Edisi XXVIII/ Maret - Juni 2016/ Tahun XI
i m Ka
a m e m
B
a y n l ng g i
. . . h e b a
TS/XI-Edisi 28
i
@misdinarkkr
(Paroki St. Keluarga Kudus, Rawamangun)
@misdinar_barto
(Paroki St. Bartolomeus, Bekasi Barat)
@anasthasiaclaudiaa (Paroki St. Anna, Duren Sawit)
@misdinarparokistlukas (Paroki St. Lukas, Sunter)
ii
TS/XI-Edisi 28
Galeri Hasil Lomba Picture Editing
John Paul II Cup Wacana Bhakti, 12 Juni 2016
REDAKSIONAL Setiap orang Kristiani dipanggil untuk mewartakan Kabar Gembira di mana saja mereka berada. Dalam mewartakan Kabar Gembira itu, tentu ada banyak rintangan yang bisa membuat sang pewarta mengalami putus asa atau bahkan menyerah. Oleh karena itu, sikap ‘rela’ dan ‘kesungguhan hati’ diperlukan oleh setiap orang yang hendak mewartakan Kabar Gembira. Kerelaan dan kesungguhan hati inilah yang membuat seorang pewarta Kabar Gembira dapat terus-menerus setia dan gembira di dalam lika-liku perjalanan hidupnya sebagai seorang pewarta. “Kami Memanggilnya Babeh”, melalui tema tersebut Redaksi Majalah Teman Seperjalanan kali ini mengajak pembaca merenungkan sosok pewarta Kabar Gembira dengan melihat salah satu karyawan Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II yang sudah membaktikan hidupnya sejak muda. Nama pewarta itu adalah Pak Nadih, yang biasanya dipanggil “Babeh”. Selama bekerja di seminari, beliau telah menjadi contoh konkret seorang pewarta Kabar Gembira yang memiliki kerelaan dan kesungguhan hati di dalam menjalankan tugasnya. Banyak imam maupun Frater yang mendapatkan inspirasi melalui kehidupan Si Babeh yang sekarang memasuki masa pensiun ini. Siapakah Babeh sebenarnya? Apakah makna di balik pemberian nama panggilan Babeh? Bagaimanakah sosok Babeh pada akhirnya dapat menjadi salah satu contoh pewarta Kabar Gembira yang pantas untuk diteladani? Berbagai kesan, pesan, dan sharing pengalaman tentang beliau kiranya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekaligus mengajak pembaca untuk menemukan inspirasi dan semangat sebagai sesama pewarta Kabar Gembira yang memiliki tugas untuk mewartakan Kerajaan Allah di dunia. Apa pun bentuknya, semoga memberikan inspirasi. Selamat Membaca!!!
REDAKSI Moderator: RD. Romanus Heri Susanto; Pemimpin Umum: fr. Alberto Ernes; Pemimpin Redaksi: fr. Yoseph Sonny Sutanto; Sekretaris: fr. Bernard Rahadian; Sirkulasi: fr. Yohanes Aditya Raga Prakasa; Bendahara: fr. Antonius Arfin Samosir; Editor: fr. Ludowikus Andri Novian, fr. Bernard Rahadian, fr. Antonius Arfin Samosir; Layout: fr. Carolus Budhi Prasetyo, fr. Frederick Yolando; Publisher: Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, Keuskupan Agung Jakarta, Jl. Cempaka Putih Timur XXV no. 7-8, Jakarta Pusat, 021-4203374, e-mail: seminaritinggi_yohanespaulusii@yahoo.co.id TS/XI-Edisi 28
1
Daftar Isi Redaksional .....1 Daftar Isi .....2
Spesial Babeh Menatap Semangat Panggilan Bapak Edward Nadih .....4 Sebuah Doa Kedalaman bagi Pak Nadih.....8 Babeh: Formator Sejati .....12 Bang Samiun dan Pak Nadih .....16 Babeh Edward .....20 Kesederhanaan Itu Nyata .....24 Fix Almost Everything .....28 Babeh Nadih: Josephus Redivivus .....32 Anak-Anak .....37 Andai Babeh Jadi Romo .....38
2
TS/XI-Edisi 28
Inilah potret kehangatan Pak Nadih dan istri, Ibu Sri Rahayu Veronica, yang telah mendampingi Babeh selama 35 tahun.
TS/XI-Edisi 28
3
Spesial Babeh
Menatap Semangat Pengabdian Bapak Edward Nadih Penulis: RD. Petrus Tunjung Kesuma
Perkenalan Saya dengan Pak Nadih
S
aya mengenal Pak Nadih ketika saya bertugas di Wisma Murdai tahun 1991. Pada waktu itu, saya adalah imam baru yang mendapat tugas sebagai pastor unit, sedangkan Pak Nadih adalah karyawan saya. Sejak awal, saya terkesan dengannya karena ia seorang yang berpenampilan bersahaja dan tidak banyak bicara. Saya berpikir bahwa baguslah saya mendapatkan bapak ini sebagai karyawan di Wisma Murdai karena pastilah akan menyenangkan bekerja bersama orang yang tampak begitu baik ini. Pengenalan saya tentang pak Nadih semakin mendalam setelah kami bekerja sama. Saya sangat bersyukur mendapatkan karyawan seperti dia. Rupanya ia bukan saja seorang yang sederhana, melainkan seorang yang setia, bertanggung jawab dalam tugas, murah hati, dan juga terampil dalam banyak hal. Ia sungguh menjadi sahabat dalam karya. Kerapkali pada saat para frater sedang kuliah, saya dan Pak Nadih bekerja bersama-sama, mulai dari memandikan anjing hingga melakukan perbaikan-perbaikan wisma. Pada tahun 1993, ketika saya dipindah-tugaskan ke Wisma Cempaka, saya tidak ragu-ragu membawa Pak Nadih bersama dengan saya pindah. Saya merasa cocok dengan pribadinya dan saya merasa sangat dibantu karena keterampilan serta karakternya yang penuh dengan keutamaan. Kini, apabila saya mengenang kembali kebersamaan dengan Pak Nadih selama 16 tahun, saya akui bahwa saya sangat bersyukur dapat mengenalnya.
Belajar dari Pak Nadih Sejauh saya ingat Pak Nadih adalah satu-satunya karyawan yang pernah diulas dalam majalah seminari sebanyak tiga kali. Yang pertama ketika saya masih menjadi 4
TS/XI-Edisi 28
pastor unit dalam periode 1991-1996, yang kedua pada saat saya sedang studi di Roma. Saat itu saya mendapat majalah seminari yang memiliki tema terkait Bapak Nadih, dan yang ketiga adalah dalam majalah ini. Tentu saja hal ini tidak akan terjadi apabila ia bukan orang yang istimewa. Keistimewaan itulah yang tidak bisa tidak mengesankan bagi para penghuni Cempaka (baik para frater maupun imamnya) dan mendorong mereka untuk merefleksikan sosok Pak Nadih, seorang bapak yang sederhana dan penuh pengabdian. Dalam rangka itu pula saya mencoba menemukan apa yang menjadi keutamaan Bapak Nadih. Keutamaan-keutamaan itulah yang kiranya dapat menjadi contoh bagi para frater yang sedang menjalani panggilan sebagai calon imam. Pak Nadih mengajarkan kepada kita arti dari rajin, setia, tekun dan bertanggung jawab Inspirasi yang bisa saya temukan dari dalam diri Pak Nadih adalah kesetiaan, ketekunan, dan tanggung jawab. Hal itu saya alami ketika saya menjadi pastor unit di Murdai tahun 1991. Setiap hari Pak Nadih berangkat bekerja dengan sepedanya dari Kampung Sawah hingga Cempaka Putih. Kita bisa bayangkan betapa jauh perjalanan yang harus ditempuhnya itu, namun hampir tidak pernah ia tidak masuk kerja. Ia selalu hadir dan bekerja dengan semangat. Rasa tanggung jawab akan tugas-tugasnya, kesetiaan, dan ketekunan ditunjukkan dengan kehadirannya tiaptiap hari. Demikian pula ketika sepeda tuanya itu digantikan oleh sebuah motor yang tua, Pak Nadih pun selalu berusaha untuk hadir dan bekerja walaupun kerapkali motor tersebut sering mogok. Keutamaan-keutamaan ini yang bisa kita pelajari: menjadi pribadi yang setia, bertanggung jawab, rajin, dan tekun dalam karya yang dipercayakan pada kita. Pak Nadih membuka mata kita akan arti sikap taat Sebagai seorang karyawan Pak Nadih menyadari bahwa ia harus bekerja sama dengan pimpinannya. Bentuk dari kerjasama itu adalah sikap taat dan berani berkomunikasi. Dari pengalaman saya ketika bekerja dengan Pak Nadih, kedua hal ini yang selalu ditampakkannya. Sebagai karyawan Pak Nadih tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh. Ia selalu mendengarkan apa yang diharapkan oleh pimpinannya. Kerapkali ia berjuang untuk mewujudkan apa yang menjadi
Dia selalu hadir dan bekerja dengan semangat. Rasa tanggung jawab akan tugas-tugasnya, kesetiaan, dan ketekunan ditunjukkan dengan kehadirannya tiap hari.
TS/XI-Edisi 28
5
harapan pimpinannya, walaupun itu tidak mudah. Apabila ia menghadapi kesulitan ia selalu berani bertanya dan membahas kesulitan dengan pimpinannya. Dalam kesederhanaannya ia mampu berkomunikasi sehingga apa yang menjadi harapan pimpinannya mampu dilaksanakan dengan baik. Pak Nadih mengajarkan kita apa yang harus kita lakukan apabila menghadapi persoalan dalam karya Kalimat yang sering diucapkan oleh Pak Nadih pada saya ketika menghadapi persoalan dalam karyanya adalah kata akalin (misalnya: "nanti kita akalin saja romo"). Kata “akalin” berasal dari kata “akal” (pikiran). Apabila Pak Nadih menggunakan kata tersebut, hal itu jangan diartikan menipu atau “mengakali seseorang” ( bahasa jawa: minteri), melainkan mencari terobosan (breakthrough) agar masalahnya bisa selesai. Inilah cara berpikir Pak Nadih yang sangat mengesankan. Apabila ia berhadapan dengan masalah ia tidak meratap dan mengeluh atau hanya bersedih saja. Ia selalu berpikir bagaimana ia bisa menyelesaikan masalah tersebut dan mencari terobosan. Apa saja dapat digunakan sebagai sarana untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Keterampilannya yang luar biasa menyebabkan berbagai masalah yang dihadapi dalam berkarya dapat diselesaikan dengan baik. Tidak heran bahwa dulu oleh para frater, ia pernah dijuluki Mac Gyver. Mac Gyver adalah tokoh film serial TV terkenal di Indonesia pada tahun 1990-an yang dibintangi oleh Richard Dean Anderson. Tokoh ini adalah orang yang mempunyai banyak skill dan kecerdikan sehingga dengan apa saja yang ada padanya dia bisa menyelesaikan berbagai persoalan. Kerapkali dalam menghadapi tantangan, entah itu tantangan hidup maupun pekerjaan, kita cenderung untuk berhenti pada keluhan dan ratapan, tetapi tidak berusaha mencari solusi bagaimana kita bisa menghadapi masalah tersebut. Dalam hidup mungkin ada masalah yang tidak bisa kita selesaikan seratus persen, namun kita perlu terus berusaha dan mencari terobosan sehingga kita bisa tetap bertahan dan menjalani kehidupan ini dengan baik.
Dengan keahliannya, Pak Nadih dapat memperbaiki dan membuat peralatan, salah satunya perangkap musang ini.
6
TS/XI-Edisi 28
Apabila ia berhadapan dengan masalah, ia tidak meratap dan mengeluh atau hanya bersedih saja. Pak Nadih mengajarkan arti kedisiplinan Tiap kali saya meminta Pak Nadih melakukan tugas rutin, ia selalu menanyakan kapan harinya dan waktu kerja itu dilakukan. Salah satu keutamaan Pak Nadih adalah kedisiplinan dalam pekerjaannya. Hal itu yang membuat tugas-tugasnya berjalan dengan baik dan kepercayaan saya kepadanya pun meningkat. Tidak pernah ia bersikap ABS ( Asal Bapak Senang) dan memberi janji tapi tidak pernah dilakukannya. Apa yang sudah disepakati bersama pastilah dilakukannya dengan tertib. Kecenderungan yang kerapkali muncul pada zaman sekarang adalah kecenderungan menunda-nunda pekerjaan, sehingga banyak tugas tidak terlaksana dengan baik dan bahkan tidak selesai. Pak Nadih dapat menjadi inspirasi bagi kita yang kerapkali kecewa pada diri sendiri karena tidak mampu untuk menjalankan tugas dengan baik karena kecenderungan tidak disiplin dan menunda-nunda pekerjaan. Pak Nadih mengajaran arti kesiapsediaan dan kemurahan hati Keutamaan lain dari pak Nadih sejauh saya amati selama ini adalah kesiapsediaan dan kemurahan hatinya. Kesiapsediaan bisa kami rasakan apabila seminari membutuhkan bantuannya dalam berkarya. Ia selalu siap sedia apabila diminta untuk membantu menjaga Wisma. Bahkan itu dilakukannya di masa tuanya, sedangkan kemurahan hatinya ditampakkan dengan mau bekerja lembur. Kerapkali saya terpaksa mengingatkan Pak Nadih agar menghentikan pekerjaan dan pulang karena Pak Nadih tidak segan-segan melewati batas waktu kerja demi menyelesaikan tugasnya. Berbeda dengan banyak orang lain yang justru mencuri-curi waktu dalam bekerja, Pak Nadih memberikan diri dan waktunya dalam pekerjaannya dengan murah hati tanpa perlu memperhitungkan untung-rugi. Hidup Pak Nadih kiranya dapat menjadi inspirasi bagi para calon imam untuk berani memberikan hidup mereka dengan murah hati bagi Tuhan, Gereja, dan sesama tanpa sibuk memperhitungkan untung-rugi. Inilah semangat pengabdian yang telah ditunjukkan Pak Nadih kepada kita semua. Kalau dalam bidang kepemimpinan ada yang disebut Servant leadership (kepemimpinan yang melayani), maka terkait dengan diri Pak Nadih saya bisa menyebut Pak Nadih sebagai Pelayan yang mengajar. Melalui pelayanannya yang sederhana, kesetiaan dalam tugas-tugas, serta segala keutamaannya, dengan diamdiam ia mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya menjalani hidup sebagai seorang manusia yang berkeutamaan. Selamat jalan Pak Nadih. Tuhan memberkati. TS/XI-Edisi 28
7
Spesial Babeh
Sebuah Doa Kedalaman bagi Pak Nadih Wawancara bersama RP. Alex Dirjo, SJ. Oleh: fr. Arfin dan fr. Carol
S
apaan hangat dan langkah yang mantap dari seorang imam Jesuit senior, RP. Alex Dirdjasusanta, SJ., menyambut kedatangan kami. Nada bicaranya yang hangat dan kebapakan meluruhkan rentang usia di antara kami. Imam Jesuit yang ditahbiskan 35 tahun silam ini menjadi Direktur TOR dan Rektor Seminari Tinggi KAJ pada tahun 1979—1987. Setelah ditawari air minum sebagai pelepas dahaga, kami melanjutkan perbicangan di teras pastoran yang menghadap ke Taman Ayodya dan Gereja St. Yohanes Penginjil, Blok B-Jakarta Selatan. Gereja itu dipenuhi umat yang merayakan Ekaristi pada hari Minggu, 8/5. Romo Alex, sebagaimana beliau biasa disapa, sejak 2014 mendapatkan tugas sebagai pastor rekan di Paroki Blok B setelah menjadi pembimbing rohani pada Seminari Tinggi Interdiosesan di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Pada pagi itu kami berbincang-bincang bersama Romo Alex bukan untuk “mengorek-orek� kisah perjalanan hidupnya, tetapi kami ingin menggali pengalaman Romo Alex selama mengenal Bapak Edward Nadih yang biasa disapa Pak Nadih atau Babeh. Romo Alex mengaku bahwa beliau sudah tidak mengingat secara pasti tanggal diterimanya Pak Nadih sebagai karyawan Seminari Tinggi. Akan tetapi Romo Alex menuturkan perjumpaannya dengan Pak Nadih terjadi melalui perantaraan seorang tukang kebun Wisma Uskup yang bernama Pak Aman. Romo Alex yang pernah merangkap sebagai Vikaris Jenderal KAJ (1980-1987) meminta Pak Aman mencarikan orang yang mau bekerja di seminari. Pak Aman yang tinggal di Kampung Sawah mempertemukan Romo Alex dengan tetangganya, Pak Nadih. 8
TS/XI-Edisi 28
Dalam perjumpaan pertama itu Pak Nadih terlihat kurang sehat karena beliau tidak banyak berbicara. Ya, itulah yang menjadi ciri khasnya sampai sekarang. Setiap hari Pak Nadih menggowes sepedanya dari Kampung Sawah sampai Cempaka Putih. Betapa jauh jarak yang harus ditempuh Pak Nadih dan hal itu dijalani dengan setia selama bertahun-tahun. Di kemudian hari, sepeda tua yang biasanya menemani Babeh itu diganti dengan astuti, akronim dari motor Astrea (tahun) Tujuh Tiga. Romo Alex mengenang pribadi Pak Nadih yang sehari-hari membersihkan seminari dan mencucikan pakaian para romo sebagai orang yang sangat jujur, terampil, dan pendiam. Pengalaman kejujurannya tampak ketika ia sedang mencuci pakaian Romo Alex dan Pak Nadih menemukan uang di saku celana. Uang tersebut tidak diambilnya, melainkan dikeringkan dan diseterika serta dikembalikan kepada Romo Alex. Selain memiliki sikap yang jujur, Babeh mempunyai banyak keterampilan dalam memperbaiki masalah listrik, kendaraan, air, maupun menjahit pakaian. Babeh akan segera memperbaiki kerusakan tersebut, meski terkadang ia harus mencobacoba terlebih dahulu. Sepeda para frater yang rusak pun tidak luput dari tangan Babeh yang mampu memperbaiki dan mengerjakan banyak hal. Keutamaan-keutamaan tersebut yang membuat para frater dan romo menyukai pribadi Babeh. Romo Alex menuturkan bahwa salah satu romo yang terkesan dan menyukai pribadi Pak Nadih adalah Almarhum RD. FX. Pranataseputra. Romo Pranata, yang bertugas menemani para frater di Wisma Cempaka Putih sebagai formator pada tahun 1984—1992, menyukai pribadi dan keterampilan Pak Nadih. Pada waktu itu Romo Alex berencana menjadikan Pak Nadih sebagai karyawan di Wisma
Tuhan, berikanlah diriku kedamaian untuk menerima apa pun yang tidak dapar aku ubah, keberanian untuk mengubah apa pun yang dapat aku ubah, dan kebijaksanaan untuk melihat perbedaannya.
TS/XI-Edisi 28
9
Puruhita-Klender, tempat para frater Tahun Orientasi Rohani (TOR) KAJ tinggal. Pak Nadih direncanakan akan menggantikan Almarhum Pak Panglipur, karyawan Wisma Puruhita. Akan tetapi Romo Pranata menjadi salah satu orang yang meminta kepada Romo Alex agar Pak Nadih tetap bekerja di Wisma Cempaka. Pada akhir pembicaraan, Romo Alex memberikan doa dan pesan bagi Pak Nadih yang akan memasuki masa pensiunnya pada bulan Juli 2016. Romo Alex mengambil sepenggal doa The Serenity Prayer dari Reinhold Niebuhr (1892-1971), seorang teolog Protestan asal Amerika, yang berbunyi, “Lord, grant me the serenity to accept what I cannot change, the courage to change what I can, and the wisdom to see the difference. Amen.” Apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia maka doa ini berbunyi, “Tuhan, berikanlah diriku kedamaian untuk menerima apa pun yang tidak dapat aku ubah, keberanian untuk mengubah apa pun yang dapat aku ubah, dan kebijaksanaan untuk melihat perbedaannya. Amin.” Romo Alex menitipkan pesan sederhana ini untuk Pak Nadih: “Semoga Pak Nadih diberikan kedamaian seperti dahulu dalam pelayanan di Wisma Cempaka dan selanjutnya kepasrahan serta relaksasi untuk menikmati masa lansiamu.”
Para frater STKAJ bersama para suster membagikan panggilannya di Paroki St. Antonius Padua, Bidara Cina, 17 Maret 2016.
10
TS/XI-Edisi 28
Testimonies Kedatangan Babeh di pagi hari dengan senyum hangat yang terlahir dari wajahnya, membuat saya sadar bahwa tindakan sederhana itu pun mampu memberikan nafas lega pada kami. Berjabat tangan dengannya membawa kesan bahwa tangannya lebih banyak bicara dibanding dengan mulutnya. Tangan itulah yang dengan setia merawat wajah seminari.
Fr. Arfin
Terima kasih Babeh. Terima kasih karena telah menginspirasi kami. Terima kasih karena telah menjadi teman seperjalanan kami.
Babeh Nadih adalah figur yang patut dijadikan panutan oleh setiap laki-laki. Ia seorang pekerja serba bisa yang tangguh, dan tanggap terhadap kemungkinan-kemungkinan—lelaki yang tangkas geraknya dan tatas-tuntas kerjanya, serta bapak yang tanggon—penuh tanggungjawab. Dalam kesehariannya ia melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati—dengan kelebihan dan keterbatasannya—dalam suka maupun dukanya.
Fr. Carol
Fr. Bernard
Memang belum lama saya mengenal Pak Nadih. Akan tetapi bagiku Babeh adalah pribadi yang sederhana, ulet, tenang, terampil, dan tulus. Aku sangat terkesan dengan ketulusannya yang tampak dalam senyumannya. Semoga di masa relaksasinya, Babeh senantiasa dirahmati kebahagiaan oleh Tuhan agar tetap memberikan senyuman tulus bagi orang-orang yang dikasihinya. TS/XI-Edisi 28
11
Spesial Babeh
Babeh: Formator Sejati Penulis: RD. Romanus Heri Santoso
Hidup adalah kesempatan, gunakan itu….Hidup adalah keindahan, kagumi itu….Hidup adalah tantangan, hadapi itu….Hidup adalah kewajiban, penuhi itu… Hidup adalah kekayaan, simpan itu….Hidup adalah kasih, nikmati itu….Hidup adalah kesusahan, atasi itu….Hidup adalah perjuangan, terima itu…Hidup adalah petualangan, lewati itu….Hidup adalah terlalu berharga, jangan rusakkan itu. Bunda Teresa
U
ngkapan hati Bunda Teresa di atas membantu hatiku tuk menatap dan merenungkan sosok Babeh (Pak Nadih) bagi hidupku. Babeh adalah pribadi yang aku kagumi, walau aku tahu bahwa dia tak butuh dikagumi. Karena bagi dia, dikagumi itu bukan kebutuhan dan “jiwa” bagi hidupnya. Aku kagum karena kesederhanaannya. Dia pribadi yang “tidak neko-neko dalam hidup” (tidak aneh-aneh). Hidup hariannya adalah kesempatan untuk selalu berbuat baik dalam bekerja. Dia selalu menggunakan hidup hariannya tuk bekerja dengan tulus dan rendah hati. Aku tahu bahwa hidupnya tak lepas dari perjuangan dan kesusahan. Dia berpikir tentang hidupnya, anaknya, serta keadaan keluarganya, namun Babeh adalah
12
TS/XI-Edisi 28
pribadi yang tak pernah menyerah. Hidup selalu ia perjuangkan, layaknya Bunda Teresa yang mengatakan bahwa di saat hidup terasa susah…atasilah semuanya itu. Dan sungguh, dalam ketenangan dan pergumulannya Babeh selalu berjuang untuk mengatasi sulitnya hidup ini. Aku ingat di saat aku masih menjadi frater di Wisma Cempaka. Babeh mempunyai sepeda motor yang “butut” banget. Suatu ketika aku berkata kepada babeh,” Beh, motor Babeh itu unik ya!” “Emang kenapa Ter?”, jawabnya. “Iya Beh, walau motor Babeh sudah berjalan 2 Km, tetapi suaranya masih terdengar dari sini, Beh.” Babeh hanya tersenyum sambil berkata,”Iya ya, Ter.” Walau kendaraannya sangat sederhana, tak pernah sedikitpun dia mengeluh. Jikalau rusak, dia mencoba untuk memperbaikinya. Jika sulit dia tidak pernah mencari-cari alasan untuk tidak masuk bekerja. Dia berjuang untuk tetap datang ke Cempaka dan bekerja. Terkadang aku merenungkan hidupnya: sulitnya dia bekerja demi keluarganya. Uang tidak pernah dia pegang, semua hanya untuk keluarganya. Aku tahu terkadang dia ingin menikmati hasil jerih payahnya, bukan dengan cara pergi ke mall pastinya; bukan dengan keinginan untuk membeli pakaian yang bagus; bukan juga dengan membeli barang mewah dan memuaskan hasratnya. Paling-paling ia hanya ingin memegang uang yang tampak dalam dompetnya. Itu saja sudah cukup baginya. Tetapi itu pun ditepis dari benak dan hatinya. Semua dia berikan kepada keluarganya, untuk membiayai keperluan harian keluarga, sekolah anak-anaknya, dan berobat jika ada yang sakit. Itulah Babeh, yang aku kenal dan kukagumi. Dia tak lekang oleh waktu dan gaya hidup zaman sekarang yang serba glamor. Dia tetaplah Babeh yang sederhana dan apa adanya: diam dalam bekerja dan serius dalam menuntaskan tugasnya; polos dan tak pakai topeng dalam hidupnya. Apa yang tampak di luar itulah juga yang asli dalam hatinya.
Hidup selalu ia perjuangkan, layaknya Bunda Teresa. Dan sungguh, dalam ketenangan dan pergumulannya Babeh selalu berjuang untuk mengatasi sulitnya hidup ini.
TS/XI-Edisi 28
13
Babeh selalu berselancar dalam hidupnya. Hidup lebih berharga dibanding kan dengan yang lain. Walau terkadang dia lelah dan mungkin juga tak suka dengan kami para romo dan frater yang sering merepotkan dia, Babeh tak pernah marah. Dia selalu mendengarkan dengan baik dan seksama. Apa yang kami minta, dia pasti laksanakan. Dia pendengar dan pelaksana yang baik, tak pernah ia membantah. Tak pernah ia dikuasai amarah. Ia selalu menghadapi segala sesuatu dengan senyum tulusnya. Sungguh, ketika aku banyak omong dan berteori tentang bagaimana berelasi dengan Tuhan, di hadapan Babeh aku hanya bisa terdiam dan tertunduk malu. Dia yang tak belajar filsafat dan teologi apalagi Kitab Suci secara formal, dia yang tak…dia yang tak…dia yang tak… dan seterusnya, justru adalah yang sesungguhnya sangat dekat dengan Tuhan yang ia imani. Dialah yang sungguhsungguh menghidupi Sang Sabda yang sebenarnya. Kini dia semakin tua termakan usia. Raga tak bisa bicara banyak namun jiwa tetap mewartakan kasih-Nya. Babeh memiliki semangat yang tak pernah usang. Hidupnya sudah menggores banyak jiwa yang pernah tinggal di Wisma Cempaka, baik kami para frater, para romo, dan rekan karyawannya. Dia adalah terang Sabda yang sesungguhnya. Dia bukan guru, tetapi mengajarkan banyak hal tentang hidup yang berguna bagi perjalananku. Dia sahabat peziarahan dan sungguh akhirnya, aku yakin, cara hidup dan kesaksian seperti inilah gambaran pribadi yang bisa dipastikan selalu tinggal di dalam Sang Pokok Anggur. Babeh selalu menyimpan Yesus dalam hatinya. Walau tak pernah di depanku ia berbicara tentang Yesus, tetapi kisah hidup dan kesaksian hariannya, membuktikan bahwa dia sudah dan selalu tinggal dalam Sang Pokok Anggur. “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu” (Yoh 15: 4). Hidupnya pun bukan hanya berbuah bagi dirinya sendiri, tetapi berbuah bagi orang lain. Dalam Yoh 15: 1-8, kata 'tinggal' diulang sebanyak 7 kali. Yesus berharap agar dalam situasi apapun, kita berjuang untuk tetap tinggal dalam Sang Pokok Anggur; tinggal dalam kerahiman Allah; tinggal dalam Sang Pemberi Hidup. Babeh, bagiku adalah pribadi teladan, yang mau TETAP TINGGAL dalam kebaikan Tuhan.
Sebagai Katolik 100% sekaligus 100% Indonesia, kami mengenang hari kelahiran Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, 1 Juni 2016.
14
TS/XI-Edisi 28
Untuk dapat berziarah ke Gua Maria Pajarmataram, kami harus berjalan kaki melewati pedesaan dan pematang sawah, 6 Mei 2016.
Ya, pastilah setiap orang tak ada yang sempurna. Tak ada orang yang tak punya cacat. Tak ada orang yang luput dari dosa. Namun, ungkapan hati dan goresan permenunganku ini bukan basa basi yang hanya jatuh pada puja dan puji yang palsu. Akan tetapi, apa yang aku renungkan dalam tulisan ini adalah buah dari ketekunan dan kesederhanaan Babeh dalam menapaki jalan hidupnya, yang dapat aku lihat dan aku rasa; yang aku temukan selama aku tinggal bersamanya. Terima kasih Babeh, untuk kesederhanaanmu, cintamu, kesabaranmu, dan terima kasih karena segala jerih payahmu mendidik kami dalam menapaki jalan hidup ini. Bukanlah berlebihan jika kukatakan bahwa bagi kami Babeh adalah formator yang sesungguhnya. Babeh adalah rencana Tuhan dalam hidup kami. “Doakan kami, ya Beh, biar kami menjadi pelayan yang sederhana, murah hati, dan siap mengabdi kepada siapapun!�
TS/XI-Edisi 28
15
Spesial Babeh
Bang Samiun dan Bang Nadih Penulis: RD. Simon Petrus Lili Tjahjadi
“ Bang Samiun pulang kerje, Badannye lesu lantaran cape. Abis bulan, lantas abis duit, Buat bayar barang keridit. Pelan-pelan jalan ngelamun Ingat makan iris ketimun Kantong kosong, di amplop nihil Begitu nasib pegawai kecil
�
L
irik di atas adalah penggalan dari lagu gambang keromong berjudul “Bang Samiun� yang dinyanyikan oleh biduanita populer pada zamannya, Lilis Surjani (1948-2007) pada awal 1970-an. Saya sering menyanyikan lagu ini bersama Bang Nadih dahulu, dengan atau tanpa iringan gitar di tangan. Kelihatan Bang Nadih menggemari lagu ini. Bisa jadi, ia bahkan mengidentifikasikan dirinya dengan figur Bang Samiun di sana. Hanya, entahlah berapa banyaknya. Yang jelas, baik Bang Samiun dan Bang Nadih merupakan pribadi yang suka bekerja keras. Dahulu pada 1988, saat baru mulai bekerja di Seminari Tinggi KAJ dan belum memiliki sepeda motor, Bang Nadih menggowes sepedanya sepanjang sekitar 40 kilometer pergi-pulang setiap hari dari rumahnya di Kampung Sawah hingga Wisma Murdai. Sesampainya di tempat kerja, ia langsung terjun menjalankan
16
TS/XI-Edisi 28
kewajiban hariannya, tanpa pernah mengeluh. Ketangkasan dan kerajinannya memperlihatkan karakternya yang sedikit-bicara-banyak-bekerja. Memang, Bang Nadih adalah seorang yang memiliki disiplin besi dan daya tahan tinggi dalam bekerja. Diam-diam kami para frater bercermin dengan agak malu pada pribadi sederhana dan suka membantu ini. Kendati mungkin tidak pernah direfleksikan oleh Bang Nadih sendiri, tampaknya bagi Bang Nadih pekerjaan bukanlah sekedar akibat buruk, ya kutukan dari dosa asal di Taman Firdaus, tatkala Allah bersabda: “Terkutuklah tanah karena engkau. Dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu..., dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.� (Kejadian 3: 17 dan 19). Dari sini pekerjaan tampak sebagai keharusan untuk bertahan hidup demi mencukupi kebutuhan harian, yang dalam lagu Bang Samiun dipenuhi entah secara langsung atau bisa melalui pinjaman kredit. Namun melampaui penghayatannya tentang kerja sebagai keharusan untuk survive, Bang Nadih rasanya melihat pekerjaan sebagai aktualisasi dirinya juga. Jika sudah selesai melakukan apa yang saya mohon untuk dikerjakan, misalnya membuat pigura untuk foto atau lukisan, Bang Nadih lantas bertanya pada saya, bagaimana hasil kerjanya itu. Saya tidak melihat ini sebagai keinginan Bang Nadih untuk mendapatkan masukan evaluatif atas hasil kerjanya belaka, melainkan semacam konfirmasi atas kepiawaiannya dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Dia merasa gembira kalau, misalnya, pigura-pigura hasil buatannya dipasang bersama dengan lukisan atau foto di tempat-tempat strategis yang menjadi pusat perhatian komunitas. Ada kepuasan terlihat pada wajahnya. Fakta, bahwa piguranya dipasang bersama lukisan dan foto di tempat yang sentral, merupakan konfirmasi
Melampaui penghayatannya tentang kerja sebagai keharusan untuk survive, Bang Nadih melihat pekerjaan sebagai aktualisasi dirinya juga.
TS/XI-Edisi 28
17
tersirat atas prestasi kerjanya yang prima. Secara filosofis kita tampaknya sudah pernah belajar, bahwa bagi manusia pekerjaan bukan hanya soal survival melulu, melainkan manifestasi dirinya yang membuatnya terhubung dengan lingkungan dan sesamanya secara khas (dimensi sosial), bahkan terkadang melampaui durasi hidup fana si pekerjanya (dimensi historis), seperti misalnya tampak dalam karya seni bermutu tinggi sepanjang zaman. Lantas kalau kita tanya lebih lanjut darimana semangat kerja sedemikian tinggi itu muncul, jawabannya mungkin akan ditemukan di dalam keyakinan Bang Nadih sendiri yang melihat Gereja Katolik sebagai kampung halaman rohaninya. Bekerja untuk Gereja itu ibarat bekerja untuk kampung halaman sendiri. Anaknya, Narto, dianjurkannya bekerja juga pada “kampung halaman� ini. Dengan cara demikian Bang Nadih mengambil bagian dalam pembangunan komunitas nyata yang namanya adalah Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II. Ini karakter ketiga dari penghayatannya atas kerja: Kerja adalah panggilan. Lewat majalah ini saya mau berterima kasih pada Bang Nadih yang telah memperlihatkan dedikasi dan kesetiannya yang khusus terhadap komunitas Seminari Tinggi. Di dalam pengabdian selama ini, penghayatannya atas kerja merupakan inspirasi bagi kita semua. Bang Nadih sungguh teman seperjalanan kita yang sejati!
Kerja tangan adalah salah satu cara pembentukan sebagai calon imam yang mempunyai ketrampilan dalam pelayanannya.
18
TS/XI-Edisi 28
Pak Nadih adalah orang yang terampil. Bermacam-macam pekerjaan di Seminari Tinggi Yohanes Paulus II dapat ditangani oleh Pak Nadih. Selain terampil Pak Nadih juga seorang yang sangat ulet dan pekerja keras. Pak Nadih selalu bersedia membantu dan dengan sabar mendengarkan permintaan para frater. Terimakasih Pak Nadih karena mau sabar dan menyempatkan diri membantu kami, meskipun banyak tugas lain yang harus Pak Nadih kerjakan.
Fr. Sonny
Fr. Ludo
Bagiku, Pak Nadih adalah sosok pelayan yang rajin dan pekerja keras. Saat pertama kali mengenalnya aku menganggapnya sebagai orang yang agak pendiam dan jarang berbicara. Akan tetapi sikap “diam” itu tidak terlihat ketika ia bekerja. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, ia selalu berusaha untuk mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya dengan teliti hingga tuntas. Aku belajar banyak darinya tentang kesetiaan, kerja keras, dan arti dari “talk less do more”.
Halo, beh! dan selamat pagi, beh! Itulah dua ungkapan yang kuucapkan ketika berjumpa dengan laki-laki “ajaib” yang akrab disapa Babeh Nadih ini. Sosok ini selalu hadir untuk memberikan ‘keajaiban-keajaiban’ kepada kami dengan segala kesederhanaan, kerendahan hati, kesabaran, dan ketekunannya. Aku kagum dan bersyukur karena sosok Babeh Nadih yang senantiasa bekerja tanpa mengenal lelah. Kini Babeh akan memasuki masa pensiunnya, oleh karena itu, “Selamat memasuki masa pensiun yaa, Beh! Terima kasih atas segala keajaiban yang telah Babeh berikan kepada kami. Segala kenangan tentangmu akan selalu kuingat sampai sepanjang segala abad. Amin!”
Fr. Beto
TS/XI-Edisi 28
19
Spesial Babeh
Babeh Edward Penulis: RD. Antonius Baur Asmara
“Halo Frater, apakah saya bisa berbicara dengan Pak Edward?” “Iya Halo, selamat siang siang. Maaf, di sini ,tidak ada yang bernama Pak Edward.” “Masa tidak ada? Kalau Pak Nadih ada?” “Ooo, ada-ada,sebentar ya. hehe”
P
ercakapan telepon singkat inilah yang pertama kali teringat, ketika ditanya tentang pengalaman perjumpaan dengan Babeh Nadih. Itulah percakapan singkat saya di telepon dengan seorang Frater teologan pada tahun 2004. Kala itu, saya baru masuk Wisma Cempaka, sebagai frater filosofan tingkat I. Ya, saya baru tahu ternyata nama depan Babeh itu adalah Edward Nadih.
Bagi saya pribadi pengalaman kecil tersebut menjadi penanda jelas di awal masa formasi saya sebagai seorang calon imam. Perjumpaan itu bermuara pada sebuah pengenalan. Keterbatasan interaksi akan mengunci diri pada keterbatasan informasi dan pengenalan. Keterbukaan hati dalam perjumpaan bermuara pada kekayaan hidup yang penuh makna. Sejak saat itu saya mencoba berinteraksi dan berkomunikasi dengan Babeh, bapak dari Kampung Sawah yang hebat itu. Jika ditanya siapakah Babeh—setelah perjumpaan selama 4 (empat) tahun di Wisma Cempaka—jawaban saya hanya satu dan tegas: beliau adalah sahabat panggilan saya. Beliau adalah seorang teman seperjalanan yang istimewa. Beliau bukanlah seorang pendamping akademis ataupun spiritual. Akan tetapi beliau adalah seorang saksi Kristus yang menghidupi panggilannya dengan tekun dan setia. 20
TS/XI-Edisi 28
Lengkaplah rasanya formasi di seminari dengan kehadiran Babeh Nadih. Pembinaan rohani dan kepribadian sebagai seorang imam yang melayani di Keuskupan Agung Jakarta menjadi semakin utuh. Ada kualitas hidup yang terpancar dari kesaksian hidup Babeh. Yang terasa kental dalam benak saya adalah dua keutamaan yang hidup dalam diri Babeh, yakni terkait dengan loyalitas dan kreativitas hidup. Hal luar biasa yang pertama adalah terkait dengan loyalitas. Secara sederhana, saya merefleksikannya sebagai kesetiaan dan ketekunan untuk bekerja sama dan melayani para romo dan frater di Wisma Cempaka. Kesetiaan dan ketekunan ini pastilah buah dari penghayatan beliau akan arti panggilan hidupnya sebagai seorang beriman Kristiani. Setiap pagi beliau datang dari Kampung Sawah dengan bersepeda motor serta mengenakan helm putih yang tampak kegedean. Setelah itu, ia bersiap diri di kamar ganti dekat garasi. Usai itu segeralah ia beraktivitas di Wisma Cempaka sampai dengan sore hari. Memaknai dan menekuni panggilan hidup dalam karya adalah keutamaan Babeh yang membekas di hati saya. Lewat beliau, saya belajar menikmati dan menekuni hari-hari sebagai seorang imam dengan segala dinamika yang saya alami setiap harinya. Ketekunan itulah yang menjadi kunci utama dan fondasi iman yang mantap. Saya mengalami pula bahwa kesetiaan dan ketekunan akan panggilan hidup itu berbuah pada kreativitas karya dan pelayanan. Saya ingat suatu hari Babeh mengutak-utik potongan kayu dan pipa peralon. Saya mengamatinya ketika berangkat kuliah—sambil bertanya dalam hati, “akan jadi apa?”. Sore harinya potongan kayu dan peralon itu ‘telah disulap’ menjadi alat penyiram tanaman yang unik. Peralon itu bisa berputar dan mengeluarkan air ke segala penjuru layaknya yang ada di televisi. Saya tersenyum dan bangga dengan kreativitas Babeh. Itulah satu dari berbagai kreativitas karya yang Babeh lakukan di wisma Cempaka. Masih banyak lagi hal kreatif yang Babeh lakukan demi kesejahteraan bersama di Wisma Cempaka. Saya membayangkan banyak hal kreatif pula yang pastinya Babeh lakukan dalam kesehariannya bersama keluarga di rumah.
Kesetiaan dan ketekunan ini pastilah buah dari penghayatan beliau akan arti penggilan hidupnya sebagai seorang beriman Kristiani.
TS/XI-Edisi 28
21
Dari dua hal ini, menarik rasanya untuk menarik satu makna terdalam dari kesaksian hidup Bapak Edward ‘Babeh’ Nadih. Saya berjumpa dengan keutamaan hidupnya yang mengungkapkan bahwasanya panggilan hidup itu adalah sebuah pilihan. Dalam pilihan itu kita sudah tahu mengapa memilihnya—ada tujuan luhur yang ingin diupayakan. Ketika sudah memilih dengan mantap dan tegas kini saatnya kita menekuni pilihan hidup itu dengan penuh sukacita. Ketekunan, kesetiaan, dan sukacita dalam menjalani panggilan hidup itu membuahkan kreativitas karya dan pelayanan. Rasanya inilah kesan syukur yang bisa saya bagikan dalam perjumpaan dengan Bapak Edward. Saya bersyukur bisa berjumpa dan berinteraksi dengan beliau. Dan, bersyukur pula bahwa masa pendidikan saya ditempuh bersama dengan Babeh Nadih. Saya percaya, di balik semua kesaksian hidup Babeh bersama para calon imam dan imam diosesan Jakarta ataupun dalam keluarga Babeh, ada satu kalimat doa yang hidup layaknya Santo Paulus, “lakukanlah semuanya itu dalam Nama Tuhan Yesus” (Kol 3:17). Terimakasih Babeh Edward untuk semua pelayanan dan kesaksian hidup selama ini, khususnya bagi saya, dan juga bagi para imam serta calon imam yang pernah tinggal di Wisma Cempaka. Semoga Babeh selalu sehat dan penuh syukur. Selamat menikmati hari-hari ke depan bersama dengan keluarga. “Beh, mari kita saling mendoakan, ya Beh! Salam untuk keluarga!”
Peziarahan yang dijalani bresama saudara-saudara sepanggilan senantiasa membuahkan suka cita yang hendak dibagikan, RR. La Verna, 7 Mei 2016.
22
TS/XI-Edisi 28
Fr. Bondi
Seseorang hidup karena dia mampu berkarya. Tidak sekedar bekerja, Pak Nadih hadir sebagai teladan yang benarbenar menghidupi setiap gerakan tangannya. Tidak pernah terlupakan ketika Babeh membuat pagar bambu bersama-sama dengan saya. Ketepatan dan kerapian menjadi hal utama yang dibawakannya dalam kesederhanaan hidup yang tulus. Darinya saya belajar bahwa hidup takkan pernah sempurna tanpa adanya karya nyata yang terlahir lewat gerakan otot bersama tetesan keringat.
Pak Nadih menjadi guru kehidupan bagiku. Kalau di bangku kuliah saya banyak bergulat tentang teori yang membuat pusing kepala, namun ia justru mengajariku tentang praktek kehidupan yang sederhana, mulai dari mengajariku soal pompa air, listrik, peralatan teknik, dan lain-lain. Ia bekerja dengan penuh dedikasi. Terima kasih untuk bekal ilmu yang tak pernah saya dapatkan di bangku kuliah.
Fr. Joko
Fr. Harry
Pantas kalau frater-frater menganggap Pak Nadih sebagai Babeh. Setiap ada frater yang mengalami kesulitan, Babeh hadir bak malaikat yang siap membantu. Saya belajar dari Babeh untuk senantiasa memberikan diri kepada sesama yang membutuhkan. Terimakasih Babeh atas pengalaman dan semangat pelayanan yang telah Babeh tularkan kepada kami. Terima kasih juga sudah menjadi bagian dari seminari ini.
TS/XI-Edisi 28
23
Spesial Babeh
Kesederhanaan Itu Nyata Penulis: fr. Patrick Slamet Widodo
T
erlahir dengan nama Valentinus Edward Nadih, di Bekasi, 8 Juli 1958, ia biasa dipanggil dengan sebutan Babeh. Babeh menggambarkan sosok yang sederhana, apa adanya, nggak neko-neko, dan setia pada pekerjaan. Di usianya yang menginjak 58 tahun, Babeh memberikan permenungan kepada kita untuk melihat segala sesuatu dengan kacamata kesederhanaan dan kesetiaan. Babeh merupakan bukti nyata sedikit bicara banyak bekerja. Babeh adalah sosok yang multi tasking, semua bisa dikerjakan dengan baik dan sangat rapi. Babeh juga menjunjung tinggi prioritas. Meski frater-frater acapkali meminta bantuan kepada Babeh, ia akan bilang, “frater, saya akan mengerjakan ini dulu ya.� Babeh juga merupakan pribadi yang nggak enakkan. Pernah suatu ketika, Babeh sakit dan sepertinya dipaksakan untuk masuk kerja, karena mengingat tugas dan tanggung jawabnya, ia merasa nggak enak jika tidak masuk kerja. Kehidupan yang Babeh jalani selama ini merupakan teladan yang bisa dipetik buah-buah rohaninya. Sikapnya terhadap hidup ini bisa disandingkan dengan tokoh Ayub dalam Kitab Suci. 24
TS/XI-Edisi 28
Ayub adalah pribadi yang saleh dan seluruh hidupnya terarah kepada Tuhan. Meskipun harus memikul beban penderitaan dan duka, ia tetap menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Acap kali, lingkungan sekitar menggodanya untuk meninggalkan kesalehannya, tetapi Ayub tetap berpijak pada keyakinan bahwa Tuhan tetap mengasihinya. Gambaran Ayub ini aku sematkan dalam kehidupan Babeh, yang meskipun hidupnya susah, pahit, dan mempunyai tanggung jawab pekerjaan yang tidak mudah, tetapi tetap mampu menunjukkan kredibilitas dan sikap batin yang sungguh mendalam. Setiap manusia memiliki keterbatasan, dan keterbatasan itu juga tidak terlepas dari kehidupan Babeh. Bertambahnya usia membuat kondisi kesehatan Babeh semakin menurun. Akan tetapi, masa pensiun yang Babeh jalani dengan tetap bekerja membuatnya tetap bersemangat. “Saya, kalau tidak bekerja malah sakit, frater.� Jawaban yang kedengaranya sepele itu merupakan ungkapan dari pribadi yang dipanggil untuk berkerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Saya bisa membayangkan perjalanan Babeh ketika berangkat dari Kampung Sawah pagi-pagi dan sampai di seminari pukul tujuh pagi. Ia menembus perjalanan yang panjang dan kemacetan demi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga dan pengabdiannya kepada Gereja. Belasan tahun bukan waktu yang singkat bagi pribadi yang sederhana dan nrima dalam meniti pekerjaan ini. Dengan penghasilan yang cukup dan menerima segalanya itu sebagai anugerah dari Tuhan, Babeh menunjukkan kepada saya arti sebuah penyerahan diri. Tidak ada pretensi apapun di sana, tidak ada topeng. Babeh adalah pribadi yang akan senantiasa memberikan makna rohani akan kesetiaan, kesederhaan, dan sebuah kejujuran. Terima kasih, Babeh.
Seperti Ayub, meskipun harus memikul beban penderitaan dan duka, ia tetap menyerahkan hidupnya kepada Tuhan.
TS/XI-Edisi 28
25
Waktumu bukan untuk dirimu sendiri Dari sekian detik yang Dia beri untukmu Engkau hadir memberikan hujan yang tak kunjung usai Memberikan kehidupan yang nyata bagi semua yang ada di dekatmu Mengabdi tanpa pamrih, setia dengan waktu Seolah ingin kau ucap, “aku sungguh mensyukuri semua ini� Kerap derita singgah tetapi tetap kuat dan bertahan Bahkan untuk dirimu sendiri kerap engkau abaikan Dengan sekuat tenaga engkau memberikan yang terbaik bagi hidup dan keluarga Agar rumah itu tetap menjadi buah oase yang teduh bagi setiap pribadi yang tinggal Patrick Slamet Widodo, Cempaka, 09 Mei 2016
26
TS/XI-Edisi 28
Kata “diam” dan “serba bisa” kiranya dapat menggambarkan kepribadian Babeh Nadih. Setiap bagian kerjanya dilakukan dengan “keheningan” yang luar biasa. Dalam “keheningan” kerja-nya Babeh tidak lupa untuk tetap menyapa para romo, frater, dan karyawan yang ia jumpai. Babeh juga orang yang serba bisa. Banyak perabotan seminari yang telah diperbaiki bahkan “diciptakan” melalui tangan ajaibnya. Kecintaannya pada pekerjaannya bahkan membuat Babeh pernah masuk di hari libur dengan dalih tidak betah berdiam diri di rumah. Akhirulkalam, selamat jalan Babeh, selamat memasuki dan menikmati masa pensiun. Terima kasih.
Fr. Reja
Fr. Linus
Sapaan selamat pagi atau siang, serta pertanyaan sapaan lainnya (misalnya: Babeh, apakah sudah makan siang?) biasa saya lakukan ketika berjumpa dengan Pak Nadih. Sapaan balasan dan jawaban yang diberikan Babeh selalu diiringi dengan senyuman. Bagi saya,hal itu menunjukkan adanya kebahagiaan dalam harihari Babeh. Bukan hanya kebahagiaan dalam bekerja, namun juga kebahagiaan dalam menjalani kerasnya hidup. Tak dapat dipungkiri, perjumpaan saya dengan Babeh yang sederhana selalu memberikan motivasi bagi saya untuk mau bekerja keras dengan bahagia.
“Ah frater. Pekerjaan saya mah tidak penting. Frater-frater yang penting pekerjaannya.” Itulah Pak Nadih: Ia selalu merendah; Ia bekerja dalam diam sampai tuntas, tanpa dilihat orang; ia tekun dan setia; Ia tidak mengeluh; Ia kreatif; Daya tahannya tinggi. Itulah Pak Nadih: berkarya nyata tanpa banyak dipuji. Bukan berarti kerja Pak Nadih tidak berarti. Ia mengabadikan dirinya dalam kreasi yang menjadi sejarah yang membenda. Terlebih, warisan Pak Nadih yang tak akan lekang menyintas zaman adalah keteladanan hidupnya. Terima kasih Pak Nadih. “Keutamaanmu pewartaan untukku. Keteladananmu menggerakkanku.”
Fr. Salto
TS/XI-Edisi 28
27
Spesial Babeh
Fix Almost Everything Penulis: fr. Wahyu Kristian Wijaya
P
ak Nadih saya kenal sebagai pribadi yang sederhana, pekerja keras, ramah, murah senyum, kreatif, setia, jujur, rendah hati, tabah, dan taat. Selama berada di seminari, saya tidak pernah sekalipun melihat atau mendengar Pak Nadih marah. Setiap kali berjumpa dengan ia, khususnya di pagi hari, ia senantiasa memberi salam, “Selamat pagi, ter!� Ini
merupakan sapaan khas Pak Nadih bagi kami para frater atau setidaknya bagi saya. Sungguh, sapaan itu merupakan kebiasaan baik yang saya temukan dalam diri Pak Nadih dan patut saya tiru. Pak Nadih adalah pribadi yang “telah setia dalam perkara kecil� (lih. Mat 25:21). Saya dapat menyimpulkan hal ini karena selama di seminari hal itulah yang saya lihat dan jumpai sebagai pelayan Tuhan dalam konteks bekerja di Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II dan sekaligus sebagai karyawan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Saya mungkin satu-satunya frater yang paling intens dalam perjumpaan dan kerja sama dengan Pak Nadih. Hal itu dikarenakan latar belakang saya sebagai lulusan SMK. Sejauh yang saya ingat, berbagai pekerjaan terkait dengan pemeliharaan fasilitas seminari dapat diselesaikan oleh Pak Nadih dengan baik. Pak Nadih memang kerap berhubungan dengan barang-barang rusak yang perlu diperbaiki. Dalam pikiran saya Pak Nadih adalah orang yang dapat menyelesaikan hampir semua pekerjaan mulai dari kran air yang bocor atau patah hingga memperbaiki mesin cuci; dari 28
TS/XI-Edisi 28
menjadi tukang batu hingga ahli listrik. Di seminari ada empat mesin cuci untuk komunitas dan tidak satu pun yang belum pernah diperbaiki oleh Pak Nadih. Saya juga dapat mengatakan bahwa Pak Nadih adalah rekan sekerja yang baik. Hampir setiap ada kerusakan saya adalah orang pertama yang akan ditanyainya dan diajak untuk menolongnya. Kehadiran Pak Nadih sungguh berarti bagi seminari ini, karena ia bisa menyelesaikan hampir semua masalah kerusakan Wisma CPT (Cempaka Putih Timur). Selain memperbaiki peralatan yang rusak, Pak Nadih juga mempunyai tugas merawat tanaman dan membersihkan ruangan di seminari serta mencuci pakaian para romo. Ketika saya bertanya mengenai pengalaman apa yang menarik di seminari, ia menjawab dengan ringan bahwa “semua pengalaman menarik, ter”— dan ketika saya tanya pengalaman apa yang paling menggembirakan ia tetap berkata bahwa semua pengalamannya menggembirakan. Akan tetapi, ketika saya memperjelas lagi bahwa “pengalaman yang paling” artinya hanya ada satu hal yang utama, ia pun menjawab dengan lirih “pengalaman yang paling menggembirakan, ya, saat terima amplop, ter” (amplop maksudnya gaji bulanan). Itulah jawaban sederhana dari pribadi yang jujur dan rendah hati itu. Mendengar jawaban itu saya berkata “memang Pak, seorang pekerja patut mendapat upahnya” (lih. Mat 10:10). Saya banyak belajar dari Pak Nadih khususnya dalam hal bekerja. Pekerjaan bagi Pak Nadih adalah hakekat seorang karyawan. “Seorang karyawan ya seharusnya bekerja,” demikian ia sampaikan dengan rendah hati. Pak Nadih adalah seorang yang sederhana baik dalam penampilan maupun pemikiran, namun di balik kesederhanaan tersebut ada kreativitas yang kadang tidak diketahui setiap orang di komunitas ini. Misalnya ketika memperbaiki mesin cuci, Pak Nadih selalu saja dapat mengidentifikasi apa yang rusak dan dengan sigap memperbaikinya. Atau, saat pompa air rusak, beliau lah satu-satunya orang yang tahu apa masalah utamanya. Pak Nadih dapat membongkar mesin pompa air dan merakitnya kembali sehingga
Pak Nadih adalah pribadi yang “telah setia dalam perkara kecil”. Inilah semangat totalitas yang patut dijadikan teladan bagi kita, calon imam dan imam.
TS/XI-Edisi 28
29
dapat berfungsi dengan lebih baik. Kehadiran Pak Nadih sungguh membantu para frater dan romo yang tinggal di Wisma CPT. Ketika saya bertanya bagaimana pendapatnya tentang para romo dan frater ia menjawab “para frater dan romo semuanya baik-baik, ter.� Entah ini jawaban yang jujur atau basa-basi, namun saya dapat merasakan bahwa Pak Nadih adalah pribadi yang selalu berpikir positif. Kehadiran Pak Nadih di Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II memberi banyak inspirasi, setidaknya bagi saya. Saya tidak dapat membayangkan ketika nanti beliau tidak lagi bekerja di sini. Tidak ada yang dapat menyamai keahlian, kreativitas, dan juga inisiatifnya. Akan tetapi mau bagaimana lagi, waktulah yang akhirnya memisahkan relasi kekaryawanan Pak Nadih dengan seminari. Selama dua tahun terakhir ini Pak Nadih masih mengabdikan diri untuk seminari kendati sudah memasuki masa pensiun. Pengabdiannya sungguh total dengan memberikan diri di masa senjanya sebagai karyawan KAJ. Semangat totalitas ini patut ditiru oleh para frater dan romo yang juga mengabdikan diri untuk KAJ sebagai imam. Bedanya, tidak ada masa pensiun bagi imam karena imamat adalah anugerah dan pilihan seumur hidup. Semoga selepas dari seminari Pak Edward Nadih dapat tetap berkarya bagi keluarga, Gereja, bangsa, dan negara. Terima kasih Pak Nadih, kami akan merindukanmu. “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar.� (Mat 25:21)
Kesempatan relaksasi sejenak bersama istri ke kawah Tangkuban Parahu, Jawa Barat, Juni 2016.
30
TS/XI-Edisi 28
Fr. Tino
Pak Nadih, akrab dipanggil Babeh. Bagiku Babeh adalah sosok bapak yang sederhana, tidak banyak bicara, tetapi banyak karya yang ia buat untuk seminari ini. Selain itu, tidak diragukan lagi kesetiaannya dalam mengabdi di seminari, apapun suka dan dukanya. Moga-moga Babeh tetap diberi kesehatan dan sukacita dalam karya dan pelayanan selanjutnya.
Babeh itulah sapaannya. Pekerja keras dan setia itulah karakternya. Babeh tidak banyak menuntut namun tekun setia mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya. Ketulusan dan pengabdiannya merupakan kesaksian hidup yang luar biasa. Di tengah keterbatasan fisiknya yang sudah mulai menua dan matanya yang sudah tidak “awas” seperti dulu lagi, dan belum lagi permasalahan keluarga yang tentu tidak akan pernah ada habisnya, Babeh ya tetap Babeh. Semua dikerjakan dengan sangat baik. Benar ucapan Bapak Uskup yang tertulis dalam bingkai ukuran besar di Seminari Mertoyudan, ”Jadilah pribadi yang sederhana dengan segala kekayaannya.” Kata-kata itu ada dalam sosok yang bernama Bapak Nadih.
Fr. Wahyu
Fr. Guntur
Pak Nadih adalah pribadi yang “telah setia dalam perkara kecil” (Mat 25:21). Dia telah mengabdikan diri untuk Gereja secara total. Saya tidak bisa membayangkan bila nanti dia tidak lagi bekerja di wisma ini karena tidak ada yang dapat menyamai keahliannya. Pak Nadih adalah pribadi yang sederhana, rendah hati, ramah, pekerja keras, kreatif, dan tabah. Setiap pagi ketika berjumpa dengan Pak Nadih pasti dia menyapa dengan senyum, “Selamat pagi, ter!” Pak Nadih—sekali lagi—telah “setia dalam perkara-perkara kecil”, dan saya percaya“ia setia juga dalam perkara-perkara besar” (Luk 16:10). Terima kasih Pak Nadih. TS/XI-Edisi 28
31
Spesial Babeh
Babeh Nadih: Josephus Redivivus Penulis: fr. Bernard Rahadian
A
ndaikata St. Yoseph hidup di zaman sekarang, kira-kira seperti apakah hidupnya? Bagaimana ia mencintai Maria? Bagaimana ia mendampingi keluarganya? Lantas, bagaimana saya dapat menggambarkan sosok St. Yoseph itu dalam kehidupan saya?
Berikut ini adalah sedikit catatan perjalanan saya, mencari sosok yang bisa menjadi gambaran figur St. Yoseph, sang laki-laki tukang kayu, suami Bunda Maria, dan ayah dari Yesus yang kelak disebut Kristus. Babeh Nadih menjadi sosok pribadi itu. Sebagaimana St. Yoseph, beliau menjadi representasi setiap laki-laki yang hidupnya penuh dedikasi. Beliau memang seorang bapak biasa, namun di dalam hidupnya yang sederhana dan ‘biasa-biasa saja’ itu, orang-orang dapat mengalami ’Josephus redivivus’ (Yoseph yang hidup kembali). “Pada hari pertama Minggu itu”, saya pergi ke Kampung Sawah, Bekasi. Pak Markus, karyawan seminari mengantar saya. Waktu itu masih pagi, cuacanya cerah dan kendaraan bermotor belum memenuhi jalan raya. Pepohonan pun tampak masih rindang. Itulah suasana Minggu pagi di Kampung Sawah, yang bukan lagi kampung dan tidak lagi banyak sawahnya. Kami berhenti di depan sebuah rumah. Jemuran baju menjadi penghias di teras rumah. Tidak berapa lama, seorang ibu, berpakaian daster batik, keluar dari rumah dan menyambut saya. Ibu Sri Rahayu Veronica, namanya. Beliau adalah istri dari Babeh Nadih (panggilan akrab bagi Bapak Edward Nadih)—sang pekerja keras yang telah lama mengabdi bagi Seminari Tinggi KAJ. 32
TS/XI-Edisi 28
Kami berbincang di teras itu, membahas sosok Babeh Nadih. Saya ingin tahu bagaimana Babeh Nadih mengisi waktunya ketika berada di rumah bersama istri dan anak-anaknya. Tidak banyak pertanyaan, hanya cerita-cerita pengalaman yang terus mengalir tanpa henti. Ibu Sri mengatakan, “Babeh itu orangnya, ya ‘begitu’, ter.” Apa ya maksudnya‘begitu’'? Maksudnya, Babeh adalah orang yang apa adanya, tidak hidup dalam kepura-puraan. Apa yang dikatakan orang, begitu jugalah Babeh dalam hidupnya. Bila kata orang ia suka menolong tanpa pamrih, memang begitu-lah beliau. Bila kata orang ia seorang yang setia, begitu juga dengan aslinya, ia setia meski berbagai macam godaan dan cobaan silih berganti—sebagaimana St. Yoseph setia mendampingi Keluarga Kudus dari Nazareth. Sebagai seorang yang terampil dalam banyak bidang, Babeh sering dimintai pertolongan oleh para tetangga. Babeh dengan rela hati meluangkan waktu untuk menolong mereka sepulangnya bekerja atau di hari libur. Baru-baru ini tetangga yang kesulitan air ditolongnya. Ini bukan kali pertama—sudah banyak tetangga yang ditolongnya agar punya cukup air untuk keperluan rumah tangga mereka. Ibu Sri kemudian menceriterakan sedikit kisah beliau dengan Babeh—yang kini sudah bersama dengannya selama 35 tahun. Mereka bertemu di Kampung Sawah. Waktu itu Babeh masih bekerja di Strada Kampung Sawah. Setelah menikah mereka tinggal di rumah saudara—sebelum menempati rumah mereka sendiri beberapa waktu kemudian. Rumah awal mereka masih terbuat dari papan kayu. Setelah bekerja di Seminari Tinggi barulah Babeh mampu merenovasi rumahnya. Orang zaman sekarang, apalagi bagi kebanyakan orang yang besar dan tinggal di kota, sulit membayangkan bahwa sebuah rumah dapat dibangun oleh satu orang saja. Akan tetapi hal itu sungguh terjadi! Babeh membangun rumahnya dengan tangannya sendiri! Setiap ada kesempatan Babeh merenovasi rumahnya. Sementara itu, Ibu Sri mempersiapkan makanan dan bila ada kesempatan ikut mengaduk semen. Ibu Sri ingat betul
Setiap pulang bekerja, beliau selalu ‘mempresensi’ keluarganya. Mungkin hal ini biasa dan wajar dilakukan oleh para ayah di dalam keluarga. Akan tetapi, tindakan ayah itu memberikan kesan yang mendalam.
TS/XI-Edisi 28
33
Senyumannya yang khas tidak hanya dibagikan kepada keluarganya, tetapi kepada setiap orang yang dijumpainya...
pengalaman itu, karena waktu itu beliau sedang hamil. Renovasi rumah itu dilakukan Babeh di malam hari hingga subuh—bisa sampai jam satu dini hari. Padahal, pukul 04.00 beliau harus sudah bersiap-siap untuk bekerja. Dulu babeh pergi dan pulang bekerja dengan mengayuh sepeda. Jarak tempuhnya tidak pendek dan cukup memakan waktu. Bertahun-tahun lamanya beliau setia mengayuh sepedanya untuk pergi-pulang bekerja. Di kemudian hari Babeh memperoleh sepeda motor dari Seminari—mengingat banyaknya pekerjaan beliau dan keadaan lalu lintas yang semakin ramai dan tidak aman untuk bersepeda. Ibu Sri juga punya pengalaman bersepeda yang mengesankan bersama Babeh. Sekali peristiwa, Babeh membonceng Ibu Sri. Mereka hendak pergi ke Pasar Kecapi untuk membeli jeruk. Ketika mereka sedang menyusuri pematang sawah, sepeda mereka terperosok dan keduanya tercebur ke dalam sawah yang basah. Mereka tertawa geli bersama karena hal itu. Pengalaman kecemplung sawah sebagai pasangan muda itu begitu berkesan bagi Ibu Sri dan sekaligus menunjukkan sisi romantis sosok pendiam ini. Tidak hanya ke pasar, Babeh juga kerap mengajak sang istri berkeliling di senja hari—sepulangnya dari Seminari. Untuk apa? Untuk membeli keperluan rumah atau untuk sekadar jalan-jalan—mengisi waktu bersama. Ibu Sri ingat, Babeh sesekali mengajaknya berkeliling dengan sepeda dan mengajaknya makan malam di salah satu rumah makan—ketika ada rezeki yang lebih. 34
TS/XI-Edisi 28
Babeh pun suka berkumpul dengan keluarganya dan acara makan bersama begitu penting baginya. Sebelum bekerja Babeh menyempatkan diri untuk makan bersama istri dan anak-anaknya. Makanan kesukaannya tidak aneh-aneh. Cukup nasi dan sayur-sayuran yang dimasak ‘bening’, sudah nikmat bagi Babeh. Setiap pulang bekerja, beliau juga selalu ‘mempresensi’ keluarganya. Tidak berhenti di situ, ia menanyakan keadaan istri dan anak-anaknya—sembari makan bersama (lagi). Mungkin hal ini biasa dan wajar dilakukan oleh para ayah di dalam keluarga. Akan tetapi bagi keluarga ini, meski tetap memiliki kekurangan, tindakan sang ayah itu memberikan kesan yang mendalam. Dari tindakan Babeh tersebut, kita juga diajak merenungkan hal sederhana tersebut. Kegiatan ‘makan bersama’ dalam kebersamaan dewasa ini semakin jarang dilakukan oleh keluarga-keluarga ‘modern’. Bahkan, untuk berkumpul bersama sebagai satu keluarga pun menjadi suatu ‘kemewahan’ yang kerap dianggap terlalu mahal harganya untuk dilakukan; Padahal, apakah sungguh demikian? Andaikata St. Yoseph hidup di zaman sekarang, kira-kira seperti apakah hidupnya? Narasi kecil kehidupan Babeh ini, bagi saya menggambarkan sosok St. Yoseph: seorang bapak sederhana yang hidupnya penuh dedikasi, yang mengoptimalkan segenap bakatnya untuk mengabdi Tuhan dalam keluarga dan sesamanya, dan yang di dalam diamnya mengajarkan apa artinya hidup sebagai laki-laki sejati kepada orang-orang muda yang ada di sekitarnya—sebagaimana St. Yoseph juga mengajarkan macam-macam hal kepada Yesus muda, Sang Putra.
Babeh itu pendiam, tetapi kalau urusan kerja luar biasa. Beliau adalah pribadi yang dapat menjadi panutan untuk urusan kerja, pribadi yang setia dan rendah hati. Untuk semua teladan itu, aku hanya dapat berkata: Terima kasih Babeh. Fr. Fritz
Fr. Adit
Pak Nadih adalah seorang bapak yang sederhana yang menjalani hidupnya dengan ugahari. Saya terkesan dengan pribadinya yang tekun, teliti, total, dan selalu menyapa setiap frater dengan ramah. Babeh di mata kami adalah seorang bapak sekaligus sahabat yang senantiasa membantu. Semoga perjumpaan dengan sosok babeh memberikan teladan bagi frater diosesan untuk tekun dalam bekerja, sederhana dalam bersikap, dan ramah dalam bersahabat.
TS/XI-Edisi 28
35
Pak Nadih itu meskipun pendiam tetapi orangnya baik, jujur, rajin, dan selalu tepat waktu. Sesuai dengan panggilannya Babeh, dia memang menjadi sosok Babeh yang memberikan teladan bagi semua orang, termasuk untuk para karyawan. Babeh itu Top Makotop pokoknya! Ibu Anas
Pak Nadih orangnya baik dan rajin. Meskipun agak pendiam (tidak banyak bicara), dia merupakan sosok pekerja keras dan tekun dalam mengerjakan apapun. Ibu Ai
Pak Markus
Pak Nadih atau yang biasa dipanggil Babeh adalah orang yang tekun, rajin, sederhana, pantang menyerah, dan tidak pernah menyimpan masalah atau konflik di dalam hatinya. Dia merupakan orang yang “serba bisa� dan memiliki rasa tanggung jawab di dalam keluarga. Di samping itu, Pak Nadih juga selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan di Gereja.
Pak Nadih yang saya jumpai adalah orang yang baik, apa adanya, sederhana, dan juga rajin. Pak Pardi
36
TS/XI-Edisi 28
Anak-Anak
oleh: Andrzej Jawien (St. Yohanes Paulus II) Pertumbuhannya tak disadari, tiba-tiba saja mereka telah menjadi dewasa dan bergandengan tangan mengembara dalam kelompok-kelompok (hati mereka seperti burung-burung yang hingap di saat rembang petang) Denyutan nadi umat manusia bergetar dalam hati mereka Di tepi sebuah sungai, tatkala mereka riang berpegangan tangan pada ujung sebuah pohon dalam terang bulan, dunia setengah berbisik di hati anak-anak -- yang tergambar di atas permukaan air Akankah mereka selalu bertumbuh ketika mereka bangun pagi dan pergi Atau tataplah dengan cara: menatap mereka bagai menatap sebuah gelas kaca dalam cahaya pertumbuhannya mengatasi misteri pertumbuhan tanaman. Akankah engkau merusakkan apa yang telah mulai tertata dalam dirimu? Akankah engkau selalu dapat membedakan yang benar dan yang salah? Para pekerja disadarkan bahwa jati diri dan perjuangan mereka, itu akan bertumbuh seperti pertumbuhan anak-anak Allah yang mengatasi misteri pertumbuhananak-anak Allah yang mengatasi misteri pertumbuhan tanaman, yaitu pertumbuhan dalam segala hal, ke arah kepenuhan kebenaran Kristus (bdk. Ef 4:13-15), yaitu dalam kebenaran-Nya yang memerdekakan (Yoh 8: 31).
TS/XI-Edisi 28
37
Cerpen
Andai Babeh Jadi Romo Penulis: fr. Antonius Arfin Samosir
Celana bahan dan kemeja merah menjadi teman untuk mengisi waktu sorenya. Berbekal brevir, lengkap sudah warna merah yang melingkungi dirinya. Mungkin ia suka warna merah, atau mungkin warna tersebut mengingatkannya akan darah keberanian para martir. Romo Nadih punya kisahnya sendiri. Bukan lagi tumpah darah yang dijunjungnya, melainkan kesetiaan akan hal-hal sederhana. Akan kubagikan sedikit ceritaku bersamanya yang mengisahkan tentang seminari, tentang calon imam, dan tentang kita yang berjalan bersamanya. Suatu senja aku pernah bertanya kepada Rm. Nadih, “Romo, kenapa romo mau jadi romo?� Bukan maksudku bertanya lancang sebagai seorang seminaris yang tidak sopan, namun justru karena aku tahu siapa Rm. Nadih, maka aku tahu bagaimana aku bersikap. Rm. Nadih tidak memberi jawab. Ia merangkul hingga sampai di kebun belakang, tempat ia biasa merawat saudara-saudari kecilnya.
38
TS/XI-Edisi 28
Angin semilir musim penghujan mengantar matahari pulang. Sebuah kantong polybag diambilnya. Media tanam hampir memenuhi polybag tersebut, dan ia membuat lubang di tengah tanahnya. Lubang itu diiisi beberapa butir benih cabe. Sambil menimbunnya dengan tanah, ia bersiul sebuah lagu merdu. Memang, kata bapakku, tanaman yang sering dinyanyikan lagu-lagu, akan tumbuh lebih sehat. Maka bukan lagi seminarisnya yang disapa, tanamantanaman pun dimanusiakannya.
Setelah ia meletakkan polybag di atas rak bambu, ia duduk di sampingku. Matanya memandang setiap tunas pohon sambil diselimuti langit yang melahirkan gelapnya. “Sudahkah kau tahu alasan aku berada di jalan ini, nak?” tanyanya. “Ya, kini aku tahu” jawabku. Tidak ada ucapan yang keluar dari mulut kami karena kami sama-sama sedang menikmati suara semesta. Seolah kami tahu bahwa semesta mendukung setiap langkah manusia. Dengan menjadi imam, ia bisa memberikan diri seutuhnya kepada setiap tunas kehidupan. Semakin ia memberi, semakin kaya
dirinya. Kekayaannya tergambar dari celana bahan dan kemeja merahnya. Tidak disangka, malam itu ia amat marah. Ada yang meninggalkan seperangkat alat kebersihan di balik pintu. Dihadirkannya alat itu di tengah makan malam kami, layaknya perempuan sundal yang hendak dirajam batu. Setiap mata saling memandang raut wajah sesamanya. “Tunjukkan jiwa besarmu, karena saya tahu siapa yang melakukan ini!” katanya. Nafas semakin tertahan dan makanan tak lagi terpikirkan. “Romo, sebaiknya yang lupa TS/XI-Edisi 28
39
mengembalikan tidak usah mengaku di sini. Biar hanya Romo dan anak tersebut yang tahu.” usul si Budhi yang membuat suasana menjadi sedikit lebih rileks. Beberapa saat setelah Budhi menawarkan solusinya, seorang di dekat kulkas mengacungkan jarinya. Badanya gemuk, kulitnya hitam, dan keriting rambutya menjadi kekhasan dirinya untuk dipanggil ‘semak-semak’. Si ‘Semak’ menghembuskan nafas sejenak, “Dengan rasa sesal yang sedalamdalamnya, saya mohon maaf untuk perkara ini. Kami membersihkan ruang yang berdekatan sore ini, sehingga Romo Nadih tahu persis tentang alat tersebut. Ia bilang pada saya bahwa jiwa besar tidak turun dari langit. Jiwa besar datang dari kesempatan-kesempatan sederhana. Dan inilah saatnya. Maaf’ telah membuat suasana makan ini menjadi pahit. Saya akan berusaha memperbaiki diri.” Semak telah menunjukkan tunas
40
TS/XI-Edisi 28
barunya. Gerimis malam hari membawa kesegaran untuk tanaman, untuk komunitas kami, dan untuk mentari yang esok akan terbit. Pelukan hangat dari Rm. Nadih seolah membawa pesan bahwa ia telah menemukan anak yang hilang. Pesan inilah yang membatin dalam diriku agar setiap saudara harus saling mengasihi. Tidak ada gerutu, tidak ada yang mengutuki, dan tidak ada yang merasa kecewa dengan si ‘Semak”, yang ada adalah tawa lepas yang saling berbagi kebodohan. Bahkan, pembicaraan yang kesannya tidak bermutu pun disajikan untuk menu tambahan makan malam. “Romo, kumisnya dicukur setiap berapa hari sekali?” tanya Andri dengan dahi mengernyit. Entah karena si Andri ingin memberi alat cukur kumis, atau obsesi punya kumis, namun Rm. Nadih masih saja menanggapinya dengan serius.
Ada juga Hadi yang bertanya penasaran, “Romo, akuarium di kamar Romo beli di mana?” Jika bicara dengan Hadi, topiknya tidak akan jauh dari hewan ternak. “Akuarium itu saya buat sendiri. Ketika saya sedang di Pasar Jatinegara, ada ikan hias yang rontok ekornya. Saya bawa pulang dan dibuatkan akuarium. Sekarang ia sudah beranak banyak, kalau kamu mau bisa diternakin juga anaknya,” jawab Rm. Nadih. “Saya juga mau ternak ikan, Mo. Ajarin saya buat akuarium kayak punya Romo, ya?” tanya Hadi dengan antusias. “Kapan?”
“Keliru! Kamu siapkan dulu akuariumnya, baru beli ikan aligatornya.” “Siap Mo… yang penting saya bisa buat akuarium” Ternyata, akuarium Hadi adalah karya tangan terakhir Rm. Nadih untuk seminari. Tiga hari berselang, tanpa perpisahan, dan tanpa makan bersama yang meriah, Rm. Nadih sampaikan ucapan terima kasih atas kebersamaan kita. Perutusan baru membuat aku yakin bahwa sosok ini sungguh berjiwa besar. Masih tergambar jelas dibenakku, akan sosok yang menanam benih di senja itu. Benihnya mulai bertunas, layaknya mentari yang siap mengangkasa.
“Kalau saya sudah beli ikan aligatornya, kita bikin akuariumnya.”
Dengan menjadi imam, ia bisa memberikan diri seutuhnya kepada setiap tunas kehidupan.
TS/XI-Edisi 28
41
1
3
Galeri Kegiatan Frater STKAJ Maret-April 2016
1 Kekompakan tim futsal STKAJ sebelum bertanding dalam Dies Natalis STF Driyarkara ke-47.
2
4
5
2-3 Triduum Paskah bersama RD. Antonius Yakin C. 4-5 Animasi Panggilan di Paroki St. Antonius Padua, Bidara Cina dan keceriaan bersama misdinar dan OMK. 6. Diskusi Ardas KAJ "Pengamalan Pancasila" dengan moderator RP. Swasono, SJ. 7. Kegembiraan para siswa SMA Tarakanita, Gading Serpong merasakan hidup di seminari.
6
7
1
2
Galeri Kegiatan Frater STKAJ 3 Mei 2016
5
4
1-2 Pagi-pagi buta, kami menapaki Jalan Salib di Gua Maria Padang Bulan, Pringsewu (Ziarah Komunitas). 3 Misa Komunitas di Gua Maria Pajarmataram bersama RP. Lilo, SCJ dan RD. Romanus 4-5 Kebahagiaan setelah menutup rangkaian ziarah bersama RD. Romanus. 6 Momen kebersamaan dengan misdinar dan OMK Paroki St. Matias Rasul, Kosambi. 7 Momen kebersamaan dengan misdinar dan OMK Paroki St. Albertus, Harapan Indah.
6
6
7 7
1
2
Galeri Kegiatan Frater STKAJ Juni 2016
4
3
5
1-2 Selamat ulang tahun ke-53 Romo Tunjung..
6
3-5 Semarak pertandingan antar misdinar se-KAJ dalam John Paul II Cup 2016 di Seminari Wacana Bhakti. 6 Menjaga Bumi, Rahim Kehidupan! Para frater ambil bagian dalam Hari Lingkungan Hidup. 7-8 "Setting the boundaries!", pesan Ibu Inneke yang mendampingi Kursus Psikoseksualitas para frater.
7
6
8 7
Doa Kekuatan Salib St. Yohanes Paulus II
Kuduslah Allah. Kudus dan kuat. Yang kudus dan kekal, kasihanilah kami. Kasihanilah kami: eleison, miserere. Semoga kekuatan cinta-Mu sekali lagi mengatasi kejahatan. Semoga cinta-Mu hadir dan mengatasi dosa. Semoga kekuatan salib-Mu, Oh Kristus, mengatasi “sang penguasa dunia”, pengghulu segala dosa… Karena dengan darah dan sengsara-Mu, Engkau telah menebus Dunia! Amin. L’Osservatore Romano, 4-27-81,8
TS/XI-Edisi 28
iii
YESUS bukan hanya
mencari orang-orang yang mengelukan Dia.
DIA mencari
orang-orang yang mau
mengikuti DIA.
St. Yohanes Paulus II
jangan takut untuk menanggapi panggilan-nya Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II iv
Keuskupan Agung Jakarta Jl.TS/XI-Edisi Cempaka Putih Timur XXV No. 7-8, 10510 28 (021) 420 3374