TS/Edisi Live in
Tanah Turut Memanggil
TS/Edisi Live in
Moderator RD. Tunjung Kesuma Pemimpin Umum fr. Alberto Ernes Pemimpin Redaksi fr. Yoseph Sonny Sutanto Sekretaris fr. Bernard Rahadian Sirkulasi fr. Yohanes Aditya Raga Prakasa Bendahara fr. Antonius Arfin Samosir Editor fr. Ludowikus Andri Novian fr. Bernard Rahadian fr. Antonius Arfin Samosir Layout fr. Carolus Budhi Prasetyo fr. Frederick Yolando Anggota Redaksi Komunitas Seminari Tinggi Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II Keuskupan Agung Jakarta Jl. Cempaka Putih Timur XXV, no 7-8 Jakarta Pusat 021-420 3374 Email: seminaritinggi_yohanespaulusii@yahoo.co.id i
TS/Edisi Live in
Kata Pengantar Redaksi Tanah Turut Memanggil. Rangkaian tiga kata ini kami rasakan ketika berinteraksi dengan alam yang adalah lingkungan hidup di mana kita tinggal. Tatkala kami berkebun, merawat tanaman, dan hewan ternak, rasa-rasanya alam mengundang kami untuk ikut serta bersama dengan mereka memuji Allah. Tanah yang kami pijak rasa-rasanya juga mengundang kami mensyukuri cinta Allah yang hadir lewat dirinya (si ‘Alam’). Udara yang kami hirup mengajak kami berseru-seru kepada Tuhan, “Laudato Si!, Terpujilah Engkau!� Undangan-undangan itu menggetarkan dan menggerakkan kami untuk datang, mendekati alam dan berinteraksi dengannya. Bersama dengan alam, kami diundang untuk mensyukuri panggilan hidup kami. Bersama dengan rasa syukur ini, kami, para frater Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, Keuskupan Agung Jakarta masuk ke dalam dinamika bersama alam melalui kegiatan live in. Tahun ini kami diutus untuk menjalani live in secara berkelompok di dua tempat yang berbeda: Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT), Salatiga, dan Panti Asuhan St. Yusup, Sindanglaya. Rekan-rekan seperjalanan yang terkasih, peziarahan rohani ini mengajak kami untuk mempunyai hati terhadap Kristus melalui keterlibatan kami dengan lingkungan hidup. Kami bersyukur karena mendapat kesempatan yang berharga dan istimewa ini. Pengalaman kami bersama lingkungan hidup merupakan usaha untuk peduli dan mencintai lingkungan hidup yang adalah rumah kita bersama. Buku kumpulan refleksi live in tentunya masih jauh dari sempurna. Akan tetapi, besar harapan kami semoga pengalaman peziarahan rohani yang kami bagikan melalui tulisan ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi para pembaca dalam menjalankan tugas, karya, dan pelayanannya. Selamat membaca!
TS/Edisi Live in
ii
Kata Pengantar Uskup KAJ Salam damai dalam Kristus, Pertama-tama, saya ingin mengucapkan proficiat. Selamat atas Live In Para Frater Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II. Bertepatan dengan dengan Tahun Syukur 2015, kita patut bersyukur karena live in yang dijalani para frater dalam rangka mencintai lingkungan hidup dan panggilan ini dapat menjadi sarana kesaksian dan pewartaan iman. Lebih dari itu, pengalaman live in para frater ini juga merupakan salah satu sarana dan wadah untuk untuk memperkenalkan Seminari Tinggi “St. Yohanes Paulus II� KAJ sebagai tempat pendidikan para calon imam Diosesan Keuskupan Agung Jakarta kepada para pembaca, khususnya kaum muda. Peristiwa syukur ini menjadi kesempatan yang baik bagi komunitas Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II untuk bersyukur atas pengalaman live in para frater. Melalui diterbitkannya buku “Tanah Turut Memanggil� yang memuat refleksi para frater selama live in di Sindanglaya dan Salatiga, diharapkan para frater semakin terpacu untuk belajar mengenali kehendak dan kemauan Tuhan dalam hidup sehari-hari bersama umat dan masyarakat sekitar. Saya berharap pengalaman live in para frater ini dapat menjadi cermin yang hidup, teman berefleksi, serta sarana pewartaan iman yang mampu memberikan inspirasi bagi umat dan kaum beriman khususnya para kaum muda. Akhir kata, semoga pengalaman-pengalaman para frater selama live in tidak hanya berhenti pada tingkat romantisme sesaat, tetapi membantu para frater untuk semakin masuk ke dalam pengalaman cinta kasih dan pengalaman akan Allah yang mendalam. Pengalaman akan cinta kasih Allah akan membuahkan berbagai kreativitas dalam pelayanan kasih jika benar-benar otentik. Salam, Mgr. Ignatius Suharyo Uskup Keuskupan Agung Jakarta iii
TS/Edisi Live in
TS/Edisi Live in
iv
Kata Pengantar Rektor STKAJ Setiap tahun Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus ll mengadakan kegiatan di mana frater-frater dapat secara langsung terlibat dalam suka-duka masyarakat sekitarnya. Pada tahun ini kegiatan tersebut berfokus pada keterlibatan mereka dengan lingkungan hidup. Maka, mereka dikirim ke lembaga-lembaga yang memungkinkan mereka dapat mengalami sendiri situasi konkret yang ada terkait dengan kondisi lingkungan kita. Selain itu, dengan terlibat aktif mereka pun diharapkan mendapat keterampilan dalam berbagai hal sehubungan dengan lingkungan hidup. Banyak cerita baik yang menggembirakan maupun yang kurang menggembirakan setelah mereka terlibat dalam situasi konkret itu. Namun yang paling penting bagi kami adalah agar mereka memiliki “hati� terkait dengan masalah-masalah lingkungan hidup. Dengan demikian mereka tidak menjadi imam yang menutup mata terhadap kondisi lingkungan hidup sekitarnya, melainkan punya kerinduan untuk menciptakan suatu lingkungan hidup yang layak bagi manusia dan menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik bagi kita. Hal ini sangat penting bagi mereka karena mereka adalah imamimam yang akan bekerja di sebuah daerah yang kondisi lingkungan hidupnya sangat menyedihkan. Seperti yang kita ketahui lingkungan hidup di Jakarta dewasa ini sangat menyedihkan; berbagai masalah terjadi, dari sampah yang ada di mana-mana, kurangnya daerah hijau, pemukiman yang padat, kurangnya perhatian warga terhadap berbagai masalah lingkungan dan sebagainya. Dengan kondisi yang seperti ini kiranya sebagai imam, mereka tidak dapat menutup mata. Mereka ditantang untuk memulai suatu “keadaan alternatif" terkait dengan lingkungan hidup dan itu dimulai dari lingkungan mereka sendiri; seperti pastoran, seminari dan tempat mereka tinggal dan bekerja. Dengan cara demikian kiranya mereka dapat membuka mata banyak orang yang selama ini tidak peduli dengan lingkungan hidup mereka. v
TS/Edisi Live in
Inilah harapan kami. Semoga dengan diinsipirasikan oleh Ensiklik terakhir Paus Fransiskus Laudato Si' yang berbicara tentang perhatian kepada lingkungan hidup serta diteguhkan oleh pengalaman pribadi, mereka yang telah bergulat dengan bersusah payah dalam menjalani live in ini dapat melanjutkan pengalaman mereka dalam perhatian dan cinta mereka terhadap lingkungan. Dengan mencintai lingkungan hidup, kita sesungguhnya mencintai kehidupan kita sendiri.
Salam, RD. P. Tunjung Kesuma
TS/Edisi Live in
vi
Daftar Isi Kata Pengantar Redaksi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
ii
Kata Pengantar Uskup KAJ . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
iii
Kata Pengantar Rektor STKAJ . . . . . . . . . . . . . . . . .
v
Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
vii
Benih di Rahim Pertiwi . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
Waktu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7
Bertemu dengan Alam . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
13
Berjerih Payah dengan Hati . . . . . . . . . . . . . . .
19
Belajar untuk Terbuka dan Rendah Hati . . . .
25
Kado Terindah dari Tuhan . . . . . . . . . . . . . . . . .
31
Joko Prasetyo
Robertus Guntur
Patrick Slamet Widodo
Salto Deodatus Manulang Alberto Ernes
Stefanus Tino Prasetiyo
vii
TS/Edisi Live in
Menjadi Pribadi Organik . . . . . . . . . . . . . . . . . .
37
Terus Berjalan Bersama Rahmat-Nya. . . . . . .
43
Menjadi Imam "Organik" . . . . . . . . . . . . . . . . . .
49
Spiritualitas Seorang Petani . . . . . . . . . . . . . .
55
Tumbuh Bersama Tetumbuhan . . . . . . . . . . . .
61
Reinardus Doddy Triatmaja Albertus Bondika Marcellinus Vitus Stevanus Harry
Frederick Yolando
TS/Edisi Live in
viii
TS/Edisi Live in
Benih
di Rahim
Pertiwi
Joko Prasetyo
TS/Edisi Live in
“Aku tak punya bayangan”, kata-kata tersebut sempat terlintas di dalam pikiranku. Bagaimana tidak, live in tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan terlihat dari cara live in diselenggarakan. Tahuntahun sebelumnya, konsep live in ialah tinggal dan mengikuti dinamika yang terjadi di salah satu keluarga. Akan tetapi, tahun ini konsep live in ialah kursus pertanian sehingga aku secara pribadi berharap mengalami perjumpaan dengan Kristus di setiap kegiatan kursus pertanian yang terjadi . Meskipun aku tak punya bayangan dalam menjalani live in ini. Aku tetap percaya bahwa Yesus akan mencurahkan Roh Kudus yang akan menyertai dan membimbing diriku. Layaknya Simon Petrus yang menjawab “iya” di tengahtengah kebingungan ketika Yesus memanggilnya menjadi murid, aku pun menjawab “Ya” menerima tugas perutusan ini. Bahkan, perasaan yang aku rasakan saat itu ialah senang, semangat, dan penasaran atas pengalaman menarik apa yang akan aku terima bersama dengan Yesus.
Kuncup Kuncup berarti tertutup. Akan tetapi, bunga yang kuncup atau tertutup tidaklah menandakan bahwa hal itu buruk atau pun jelek. Melainkan, bunga itu belum memperlihatkan keindahannya. Sehingga, membutuhkan proses untuk menampakkan kecantikkannya. Ini juga yang aku rasakan. Ya, aku mengalami situasi kuncup atau pun tertutup ketika aku tak memiliki bayangan dan tidak sepenuh hati dalam menjalani tugas live in kali ini. Namun, seiring berjalannya waktu hati ini pun mulai terbuka dan menemukan kegembiraan nyata akan kehadiran Yesus dalam hidup ini. Kegembiraan nyata itu membawa diriku pada beberapa buah rohani. Buah-buah rohani ini aku rasakan sungguh berguna bagi perkembangan diriku, yang masih berproses untuk menjadi seorang imam di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Buah-buahnya yaitu buah kesabaran, buah persaudaraan sejati, dan buah keingintahuan layaknya seorang murid yang ingin senantiasa belajar dari Sang Guru yang tak lain Yesus Kristus.
Kesabaran Dewasa ini, siapakah orang yang dapat menunggu selama lima menit, khususnya di kota Jakarta? Mungkin, jawabannya jarang atau parahnya tidak ada. Jangankan lima menit diminta untuk menunggu, dua menit saja orang akan terlihat gusar, bahkan ada juga sikap ekstrem ingin langsung “menyerobot” ke sana ke mari. Sehingga, muncullah orang-orang yang egois dan tak sedikit orang Katolik terlibat di dalamnya. Bagiku kesabaran ada dalam sebuah harapan. Sebab, berharap adalah 2
TS/Edisi Live in
sebuah proses, di satu sisi aku “menunggu” apa yang menjadi kehendak atau rencana Tuhan. Di sisi lain, aku berusaha dengan segala kelemahankelemahanku sebagai manusia untuk mencari jawaban atas apa yang menjadi kehendak dan rencana Tuhan. Menurutku, iman memiliki kaitannya dengan dua hal itu (menunggu dan berusaha); sebagaimana bangsa Israel harus bersabar menunggu hingga dapat sampai ke tanah terjanji melalui penyertaan dari Roh Kudus dan usaha-usaha yang menunjukkan kelemahan mereka sebagai sebuah bangsa terpilih. Buah kesabaran ini merupakan buah rohani yang paling dominan membentuk diriku dalam seluruh proses kursus pertanian. Dalam kehidupan yang aku pilih ini, yaitu menjadi seorang imam, kesabaran merupakan hal yang senantiasa aku perjuangkan dalam hidup. Sekarang di saat aku masih menjadi frater, kesabaran erat kaitannya dengan ketahananku menjalani formasi di seminari yang membutuhkan waktu selama dua belas tahun. Kelak kesabaran juga terus-menerus aku hidupi dalam pelayananku sebagai seorang imam sampai akhir hayat. Pemisahan di atas (frater dan imam) tidaklah dimaksudkan untuk mempersempit pemaknaan diriku terhadap nilai kesabaran. Akan tetapi, aku ingin menunjukkan bahwa nilai kesabaran bersifat berlanjut dalam hidupku sampai nilai kesabaran menjadi bagian dari dalam diriku. Sebagaimana aku katakan bahwa live in kali ini membawa nilai yang paling dominan yakni kesabaran. Dalam dua minggu, nilai kesabaran itu terlihat jelas dalam setiap kegiatan-kegiatan yang aku alami. Kegiatan-kegiatan itu yaitu bertani, beternak, dan membudidayakan jamur.
Pertanian “Tuaian memang banyak tetapi pekerja sedikit” (Luk 10:2). Kiranya ayat ini membantuku masuk dalam permenungan ketika pertama kali datang di KPTT (Kursus Pertanian Taman Tani). Pantas saja ayat ini membawa aku masuk dalam permenungan sebab di zaman sekarang sudah sedikit orang yang ingin membaktikan hidupnya menjadi petani. Banyak pemikiran negatif yang masuk ke dalam pikiran anak muda sehingga mereka beranggapan bahwa petani itu norak, ketinggalan zaman dan lain sebagainya. Padahal jika dilihat, petani merupakan sebuah profesi yang sungguh mulia. Tanpa petani seluruh dunia akan mengalami kelaparan yang berujung pada kematian. Kata kunci dalam proses pertanian ini adalah “sabar dan tekun”. Setiap kegiatan pertanian membuat aku semakin menjadi pribadi yang sabar dan tekun dalam menjalankan ataupun mengerjakan segala sesuatu yang dipercayakan kepada diriku. Pertanian di KPTT dibagi menjadi dua tempat: kebun bawah dan kebun atas. Pekerjaan yang dilakukan sebenarnya sama saja. Akan tetapi, yang membedakan antara kebun bawah dan atas adalah TS/Edisi Live in
3
tanggung jawab. Kebun atas ialah milik umum. Dikatakan milik umum karena hasil kebun tidak menjadi bahan untuk menilai bagaimana kinerja dari mereka yang mengurus lahan tersebut. Sedangkan, kebun bawah ialah milik pribadi. Maksudnya, milik pribadi yaitu hasil dari kebun menjadi bahan untuk menilai bagaimana kinerja dari peserta kursus. Akan tetapi, aku hanya live in bukan kursus, sehingga bagi diriku mau di bawah atau di atas sama saja sebab tidak ada penilaian. Meskipun tidak ada penilaian bukan berarti aku menjalankan setiap tugas yang dipercayakan kepada diriku secara asal-asalan, melainkan dengan sepenuh tenaga dan semangat. Bahkan beberapa kali aku lupa diri dalam mengerjakan tugas tersebut sehingga harus diberitahu bahwa sudah waktunya istirahat. Pekerjaan yang aku lakukan di pertanian dibagi menjadi dua kurun waktu, yakni pagi dan sore hari. Pada pagi hari dimulai sejak pukul tujuh pagi sampai dua belas siang kemudian istirahat. Selanjutnya, pada siang hari dimulai pada pukul dua siang sampai empat sore. Pada pagi hari, rutinitas yang biasa aku lakukan adalah menjauhkan tanaman dari hama ataupun gulma, penen, membuat bedeng-an, dan menyiram tanaman. Sedangkan, di sore hari seluruh pekerjaan hanyalah meyiram tanaman agar cepat tumbuh besar serta sedikit perawatan atas tanaman pribadi sebagai bentuk tanggung jawab di akhir nanti. Kesabaran itu terlihat jelas dari proses yang terjadi selama menanam tanaman sampai kelak tanaman tersebut siap untuk di panen. Hal ini juga aku rasakan sama dengan menjalani panggilanku dimana juga ada proses perawatan atas panggilan yang aku miliki. Sehingga, diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk merawatnya agar panggilan ini semakin bertumbuh. Semoga kelak panggilan ini berbuah menjadi seorang imam yang senantiasa melayani Kristus sampai akhir hayat.
Peternakan Sebelumnya, aku belum pernah sama sekali beternak. Apalagi aku harus merawat dan bertemu dengan hewan seperti sapi dan babi. Sungguh, aku menyangkal diriku dari perasaan seperti takut dan jijik. Di awal aku merasa ini merupakan sebuah salib yang harus aku lalui dengan senyuman bersama fr. Linus yang adalah teman sekelompokku. Saat itu, aku telah berjanji pada diriku untuk tidak menampilkan rasa takut dan jijik yang aku miliki kepada fr. Linus. Aku tidak ingin perasaan yang aku miliki menular kepadanya hingga kami akan merepotkan bukan hanya diri kami tetapi juga orang yang bekerja di peternakan. Alhasil, aku pun berhasil melawan diriku sehingga apa yang aku lakukan di perternakan dapat berjalan baik tanpa mendapatkan perbaikan dari para pekerja di sana. 4
TS/Edisi Live in
Ada satu peristiwa yang amat berkesan bagi diriku dan kelak ingin kualami lagi. Perisiwa itu ialah dicium oleh babi saat aku memberi makan babi-babi yang sedang kelaparan. Peristiwa itu membuat aku sangat takut. Akan tetapi, peristiwa itu menyadarkan diriku betapa para pekerja-pekerja di KPTT merupakan pribadi yang tangguh. Hal ini membawa aku pada sebuah perasaan syukur karena aku dapat merasakan perjuangan dari para pekerja. Ke depan, aku akan lebih menghargai setiap pekerjaan orang lain bukan melulu menganggap pekerjaanku sendiri yang paling berat, tetapi setiap pekerjaan memiliki kesulitan masing-masing. Aku harus belajar dari kesulitan-kesulitan tersebut sehingga aku dapat berkembang menjadi seorang pribadi yang tangguh.
Persaudaraan sejati Tak diduga aku menjalankan kursus di KPTT bersama dengan orang-orang lain dari Ambarawa dan Kalimantan. Mereka lebih dahulu menjalani kursus pertanian daripada aku dan teman-teman frater lain yang hanya menjalani live in. Perjumpaan pertamaku dengan mereka membuatku sedikit takut sebab beberapa orang dari mereka berpenampilan menyeramkan. Di awalawal, aku masih pasif atau tidak banyak membangun pembicaraan dengan mereka. Ya, aku hanya mengamati perilaku dan sikap mereka terhadap satu dengan yang lain. “Tak kenal maka tak sayang.� Kiranya, pepatah kuno ini senantiasa kupegang ketika berjumpa dengan orang-orang baru. Pepatah ini juga menyadarkan diriku bahwa setiap orang memiliki potensi kebaikan di dalam diri masing-masing. Lantas, pertanyaannya ialah bagaimana aku mampu melihat kebaikan di dalam diri orang-orang yang baru aku kenal ini. Benar saja di hari kedua, aku melihat kebaikan di dalam diri mereka berupa kesabaran dan ketekunan dalam mengerjakan pekerjaan yang menjadi kewajiban mereka. Aku sungguh bangga kepada mereka sebab mereka masih menyempatkan diri untuk bersenda-gurau di tengah pekerjaan yang tidak mudah dijalani. Peristiwa senda-gurau terjadi melalui nyanyian, perkataan-perkataan lucu dan senyum tulus yang selalu terlempar dari wajah mereka. Suatu waktu aku merenung apakah keluargaku di Cempaka Putih juga dapat melakukan semua itu secara benar-benar tulus tanpa maksud apa pun? Meskipun, aku percaya bahwa teman-teman di Cempaka Putih telah melakukan segala bentuk yang serupa dengan tulus tetapi aku merasa berbeda. Akhirnya, aku menyadari bahwa kami komunitas pria di Cempaka Putih lebih menggunakan rasio daripada perasaan sehingga segala sesuatu menjadi tidak tampak sederhana seperti yang kualami di KPTT.
TS/Edisi Live in
5
Keingin-tahuan “Delapan puluh persen praktik dan dua puluh persen teori". Kalimat tersebut adalah kata-kata yang selalu diucapkan oleh para romo yang menjalani perutusan di KPTT. Kalimat tersebut memang benar-benar mereka hidupi dalam mendidik para peserta kursus maupun live in. Aku melihat kalimat tersebut sungguh menghasilkan buah berupa kemampuan atau kecekatan dari peserta yang dapat digunakan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Akupun mencoba melihat Yesus yang memanggil para murid yang kebanyakan dari golongan nelayan. Dalam pengalaman-Nya, hanya sedikit Yesus memberikan sebuah pengajaran kepada murid-Nya dengan teoriteori. Yesus justru lebih banyak mengajar langsung melalui praktik-praktik kepada murid-murid-Nya. Sehingga setelah Yesus naik ke Surga, para murid tidak hanya pintar “ngomong� melainkan juga sangat ahli dalam berbagai macam hal-hal praktis. Lantas, “Delapan puluh persen praktik dan dua puluh persen teori,� membawa perubahan dalam diriku. Perubahan itu ialah ingin menerapkan apa yang aku pelajari dalam tindakan sehari-hari. Di sinilah salib baru yang harus aku pikul bersama-sama dengan Yesus Kristus.
Kuncup Merekah Bunga yang kuncup tadi sekarang telah merekah menunjukkan keindahannya. Begitu juga yang aku rasakan setelah mengalami live in. Ketidaktahuan dan ketidak-sepenuh-hatian yang di jumpai di awal berubah menjadi sebuah pengalaman syukur karena memperoleh begitu banyak buah-buah yang aku rasa sungguh relevan bagi perkembangan diriku yang ingin menjadi seorang imam. Lantas, tugas aku sekarang ialah menjaga buahbuah yang telah di dapat dengan mempraktikannya dalam kehidupanku sehingga dapat menyatu dengan diri sebagai sebuah karakter. Bukan malah menguap dan kemudian hilang sehingga live in bukan menjadi suatu hal yang sia-sia. Aku merasa tertantang untuk menghidupi buah-buah tersebut sekembalinya aku ke Cempaka Putih.
6
TS/Edisi Live in
Waktu Robertus Guntur
TS/Edisi Live in
Tak seorang pun tahu apa yang mungkin terjadi di menit selanjutnya, dan kita tetap saja melangkah maju. Karena kita percaya. Karena kita memiliki iman. Tak seorang pun tahu apa yang mungkin tejadi di menit selanjutnya, dan kita tetap saja melangkah maju. Karena kita percaya. Karena kita memiliki iman. Waktu selalu menghadirkan segala kejadian yang tak dapat dimengerti oleh logika. Kalimat tersebut merupakan hasil refleksiku setelah aku menjalani kegiatan live in di KPTT, Salatiga. Waktulah yang membuat segalanya menjadi nyata. Membuat segalanya menjadi hidup. Aku tidak pernah membayangkan di mana letak KPTT, apa yang harus aku lakukan di sana, dan segala pertanyaan-pertanyaan yang membuat diri ini gelisah tak wajar. Namun satu hal yang aku yakini, waktu memberikan segala yang indah dengan suka-dukanya. Waktu membuat aku kembali bertanya, Tuhan apa yang Engkau kehendaki dari peristiwa ini? Aku sebenarnya sangat menyukai kejutan. Ditambah kejutan itu adalah peristiwa yang belum pernah aku alami. Aku antusias walaupun dalam hati juga ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul seputar kegiatan live in ini. Akan tetapi, aku tidak pernah mempersoalkan segala pertanyaan-pertanyaan tersebut. Biarkan saja pertanyaan itu mengalir dan biarkan saja pertanyaan itu dijawab oleh waktu. Ya, waktu pasti akan memberikan kejutan padaku. Biarkan semua mengalir tanpa harus dipaksakan. Ini yang membuat diriku berpengharapan, bahwa yang diberikan bagiku semua adalah baik adanya. Dan pada akhirnya, mari berhadapan dengan waktu. Berhadapan dengan kejadian yang tidak pernah terpikirkan apalagi direncanakan.
Selalu Baru Hari pertama aku mulai bekerja dengan ritme yang ada di KPTT. Bekerja dimulai pada pukul 07.00-12.00. Pada pukul 10.00-10.15, kami istirahat sejenak. Hari pertama aku ditempatkan di peternakan sapi. Baru pertama ini aku memandikan, membuang kotoran sapi, mencuci bersih kandang sapi, dan memberi makan. Perasaan enggan itu ada. Apalagi ketika harus masuk ke kandang sapi dan membuang kotorannya. Akan tetapi, lagi-lagi aku tidak mau hanyut dengan diriku sendiri. Apapun tugas yang diberikan kepadaku, aku mau menjalankan itu dengan penuh kegembiraan. Itulah sepenggal kalimat yang ada dalam hatiku. Memang semua pembatasan itu yang menciptakan adalah diriku sendiri. Ketika aku dapat keluar dari sekat-sekat yang membatasi diriku untuk melakukan sesuatu, kegembiraan itu sungguh hadir. 8
TS/Edisi Live in
Bahkan waktu pun menjadi sangat cepat ketika aku mulai bergembira dengan apa yang aku jalani. Aku tidak sendiri. Aku ditemani oleh fr. Trio dari diosesan Malang dan siswa KPTT yang bernama Sugeng. Jika sendiri aku mungkin akan sangat lelah. Akan tetapi, kebersamaan membuat yang sulit menjadi mudah dan juga menjadi mudah syukur kepada Allah. Aku sadar bahwa di sini aku belajar akan arti kerendahan hati. Aku merasakan bagaimana menjadi seorang peternak sapi. Aku sadar bahwa aku bukanlah seorang peternak yang handal atau dipersiapkan untuk menjadi peternak yang handal. Akan tetapi, aku adalah frater yang diutus untuk mencari “sesuatu” di KPTT ini. Perjumpaan berarti merasakan. Dan merasakan berarti ikut ambil bagian di dalamnya. Bukan menjadi sebuah “romantisme” belaka namun dapat membuat diriku memiliki cara pandang yang baru akan kehidupan ini. Aku sebenarnya kagum akan sosok tua yang dengan setia memeras susu sapi, mencari rumput untuk kambing, sabar ketika aku bertanya ini dan itu, ya sosok tua itu bernama Mbah Gimin. Sudah dari kecil sampai usia sekitar 60-an beliau sudah berada di KPTT. Beliau sosok yang sangat bersahaja. Di balik keriput wajahnya, Mbah Gimin memiliki semangat dan kesetiaan yang sungguh luar biasa. “Kalau bagi Mbah intinya cuma satu ter, yaitu bersyukur saja. Dengan bersyukur segalanya mbah rasakan cukup kok.” Aku tersenyum dalam hati. Tuhan Engkau sedang mengajariku melalui sosok Mbah Gimin ini. Pertanyaan itu selalu mengusik hatiku. Apakah aku sudah bersyukur? Apakah aku selama ini selalu meminta dan meminta? Meminta lebih bukan mengatakan cukup. Di saat situasi yang tidak mudah, aku dengan cepat menuntut kepada Tuhan. Akan tetapi, sosok tua yang sedang berada bersamaku ini, mengajarkan aku arti menerima. Aku sadar penghasilan yang didapat oleh Mbah Gimin di KPTT dapat dibilang sangat kecil. Apa yang dilakukan oleh Mbah Gimin? Apakah ia marah dan menuntut lebih? Apakah ia selalu mengeluh dan bersungut-sungut akan pekerjaannya yang hanya sebagai peternak di KPTT? Tidak. Beliau tetap tersenyum walaupun hatinya juga pasti menangis. Sosok tua ini mengawali langkah dan perjumpaanku di KPTT. Waktu akhirnya berbisik pelan, aku akan memberikan kejutan yang baru, sabarlah dan percayalah.
Tapal Batas Kata Filipus kepadanya: ”Mari dan lihatlah!” (Yoh 1:47). Di KPTT, aku semakin mengenal dan menyadari siapa diriku ini. Situasi tapal batas kembali membuat diriku bertanya,” Apa yang sedang aku lakukan ini?” Sebuah situasi yang tidak dapat aku pilih sendiri tetapi aku harus menjalankan dan melakukannya. Aku tidak habis pikir bahwa aku sedang berada bersama babi-babi, memandikan mereka, dan harus mengambil kotoran babi-babi tersebut. Ketika aku masuk ke kandang babi untuk kali pertama dalam hidupku, aku sedikit kaget dan TS/Edisi Live in
9
terucap dalam hatiku, ”Mimpi apa gw semalem, kenapa bisa nyasar sampe sini?” Tidak pernah terbayangkan olehku menjadi peternak babi. Sebelumnya aku hanya merasakan daging babi yang lezat ketika disantap. Sekarang seolah-olah waktu berputar 90 derajat. Ketika aku memberi makan mereka, seolah-olah mereka berkata dalam hati, ”Ahaaa ini adalah orang yang sering memakan daging teman-teman kita.” Seolah-olah mereka melihat diriku dengan penuh nafsu. Jujur, awalnya aku agak sungkan untuk turun ke kandang. Bukannya takut, namun seolah-olah ada benteng dalam diriku untuk berkata tidak dan jangan. Apalagi harus masuk ke kandang babi yang diisi oleh tujuh ekor babi dewasa. “Waduhhh gimana ini, situasi yang paling tidak mengenakan bagiku, emang mimpi apa gw semalem.” Akan tetapi, aku malu juga melihat diriku yang besar ini masa tidak mau untuk terjun ke kandang babi. Malu juga sama badan. Akhirnya aku dengan tanpa pikir panjang langsung masuk ke kandang babi. Satu per satu di tengah teriknya matahari, aku membersihkan kandang, mencuci babi, dan membuang kotoran. Ketika aku berhadapan dengan babi yang besar-besar, aku berkata dalam hatiku, ” Santai ya bro, gwe gak ganggu kok, cuma mau bersihin doank.” Ada perubahan batin yang aku rasakan. Ketika aku langsung terjun tanpa pikir ini dan itu, pekerjaan ini sungguh membahagiakan. Aku benar-benar menjadi nol. Turun dan bersentuhan dengan mereka. Bekerja bersama dengan para karyawan yang bertugas di tempat itu. Pengalaman menjadi nol ini membuat aku bertanya, ”Memang tidak enak berada di bawah, apakah ini bentuk latihan kerendahan hati?” Apakah kelak menjadi imam aku akan seperti ini? Ada penolakan di awal. Penolakan ketika berhadapan dengan situasi yang bagiku tidak mengenakan. Tuhan sungguh berbicara padaku melalui pengalaman ini. Meninggalkan segala batas-batas diriku, dan memang jawabannya adalah melakukan dengan sukacita. Aku yakin semua peristiwa mengajarkan aku untuk semakin merasakan bahwa diriku ini bukan siapa-siapa. Dan, menjadi siapa-siapa itu semua karena Dia. Kalau tidak ada karyawan yang bernama Pak Eko yang selalu mengatakan kepadaku, ”Tenang ter, ayoo pasti bisa,” aku pasti sedikit ragu. Akan tetapi, Tuhan memang selalu hadir di mana-mana. Ia hadir untuk mengatakan kepadaku, ”Jangan takut Guntur, kamu pasti bisa.” Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Aku akan menyertai kamu sampai akhir zaman. Sabda-Nya sungguh hidup bagiku ketika itu. Yang jelas aku menang terhadap diriku sendiri. Ia begitu dekat aku rasakan. Lagi-lagi karyawan KPTT mengajarkanku akan makna kesetiaan dan rasa syukur yang sungguh luar biasa. Di peternakan babi milik KPTT ada tiga orang pekerja. Maklum babi yang dimiliki oleh KPTT mencapai 300 ekor lebih. Aku bertanya kepada Pak Eko salah satu karyawan yang bertanggung jawab di peternakan babi,” Bapak sudah berapa tahun kerja di tempat ini?” Pak Eko menjawab, ”Wah saya sudah 25 tahun lebih ter, bekerja seperti ini.” 10
TS/Edisi Live in
Aku kembali bertanya, ”Apakah bapak lelah?” “Wah, kalau lelah mah sudah biasa ter, namanya juga orang hidup apalagi bekerja, kalo gak lelah malah aneh. Bapak mah yang penting gembira aja ter, bersyukur itu intinya.” Pak Eko sambil tersenyum kepadaku. Aku membayangkan bagaimana mereka harus bekerja setiap harinya. Waktu berputar dan mereka setia untuk memandikan babi, mengambil kotoran babi, mencuci kandang, dan bertanggung jawab jika ada babi yang mati dan melahirkan. Mereka tentu saja bergerak dengan hati. Dari mereka aku sungguh diteguhkan.
Berharap bersama Waktu Dalam bukunya, Paulo Coelho pernah menulis bahwa waktu yang berjalan setiap harinya adalah manifestasi Tuhan dalam hidup manusia. Dalam waktu Tuhan hadir bersama manusia. Dan dari waktulah manusia dapat mengenal Tuhannya. Bersama waktu manusia belajar arti pengharapan. Di sinilah saya lagi-lagi diingatkan bahwa menanam adalah latihan berpengharapan. Aku menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana sulitnya menanam. Bagaimana rasanya menjadi seorang petani. Harus mencangkul di bawah panas terik, memperhatikan tanamannya setiap hari, memberikan pupuk, menyiram, dsb. Aku merasakan bagaimana harus membuat bedeng (lahan yang akan ditanam tanaman tertentu) di panas terik. Mencangkul dengan kedalaman yang cukup dan tenaga yang ekstra. Kalau aku di KPTT selama 3 bulan entah berapa Kg berat badanku turun. Kegagalan dalam panen juga harus diterima sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan petani. Aku tahu bahwa aku bukanlah orang yang sabar dalam merawat. Aku tidak sabar melihat benih yang ditanam. Kalau memang sudah ada tanaman yang besar kenapa harus susah-susah untuk memulai dari nol. Ternyata semua ada prosesnya. Kehidupan pun sama. Semua ada proses dan tahapan yang harus dilalui. Aku tidak peduli seberapa banyak ilmu yang aku dapatkan di KPTT. Bagiku yang terpenting aku semakin mengenali diriku dan belajar hidup dari mereka yang baru aku jumpai. Ternyata menanam adalah kegiatan untuk belajar berharap. Teringat katakata dari Rm. Herman, SJ, ”Kalau frater ingin belajar untuk berpengharapan belajarlah dari seorang petani dan belajarlah untuk menanam.” Aku jadi sadar bahwa setiap profesi itu mulia, apapun bentuknya. Tentu saja dengan segala suka-duka yang melingkupinya. Segala pekerjaan memang sangat indah jika dilakukan dengan hati. Tanpa hati yang bahagia, uang sebanyak apapun yang dihasilkan dari pekerjaan yang bagi orang banyak cukup “luar biasa” dan mentereng akan sia-sia. Hati dan rasa syukur adalah rahmat yang tidak dapat dibeli dengan uang. Dari karyawan yang ada di KPTT, dan para petani, aku belajar bahwa hatilah sumber kedamaian dan TS/Edisi Live in
11
sukacita. Manusia mencari kedamaian dan kebahagiaan, ternyata letaknya ada di kedamaian hati ini. Belajar di KPTT dari mulai mengurus sapi, babi, dan menanam aku semakin yakin bahwa tiap detik waktu kehidupan yang aku lalui semuanya sungguh berharga. Aku tahu bahwa aku bukanlah orang yang pandai dalam mengolah lahan, menanam sesuatu, dan merawat tanaman. Setidaknya aku belajar untuk menjadi tahu, belajar untuk menghargai, dan terlebih belajar untuk bersyukur. Menjadi imam, kelak bukan menjadi orang yang di atas tetapi harus tahu bau dari domba-domba yang aku layani. Kalau yang aku layani domba yang berprofesi sebagai petani, aku tahu bagaimana sulitnya menjadi petani itu. Ada rasa dan juga merasakan. Kalau umat yang aku layani seorang pekerja kantoran, aku tahu suka-duka yang dialami oleh pekerja kantoran, dsb. Maka pelayanan yang aku lakukan kelak sungguh berdaya sapa dan berdaya ubah karena aku mau turun melihat realitas umat yang aku layani. Waktu ternyata tidak pernah bohong. Waktu mengajarkanku banyak hal dan waktulah yang mengajarkanku untuk tidak menyia-nyiakan tiap detik dalam hidupku. Pengalaman di KPTT memang telah berakhir namun nilainilai yang aku dapatkan di KPTT tidak akan pernah berakhir dan biarlah waktu yang akan menjawabnya pula.
12
TS/Edisi Live in
Bertemu dengan
Alam ( ) Memberikan yang Hakiki bagi Tuhan
Patrick Slamet Widodo
TS/Edisi Live in
Setiap pribadi dilahirkan dengan segala keluh kesah, perbedaan pendapat, kemampuan nalar dalam bertindak dan berpikir, bahwa setiap pribadi pula diundang untuk senantiasa memberikan diri bagi kehidupan komunitas terlebih bagi diri sendiri. Setiap pribadi pula adalah karya Allah yang menyelamatkan dan teman seperjalanan adalah jantung yang berharga bagi perjalanan panggilan ini. Pengalaman akan sesuatu yang berguna bagi hidup panggilan, masingmasing memberikan satu bentuk pergulatan batin yang memang harus dijalani; entah senang, sedih, itulah sebuah pertanggung jawaban hidup yang harus digeluti sampai nafas tidak lagi bersatu dengan tubuh. Live in, mengiaskan pendewasaan bagi setiap pribadi untuk bertemu dengan dirinya sendiri dan semakin menyadari bahwa pemberian diri yang absolut kepada Tuhan yang memang sudah layak dan sepantasnya. Dengan berkebun, setiap pribadi diajak untuk berkawan dengan tanah, tanaman, air dan udara, agar jiwa diajak untuk menghembuskan satu titah yang pasrah untuk senantiasa beradu dengan alam yang memberikan kedamaian bagi negeri yang namanya waktu. Kedamaian hati yang tak bisa dihindari untuk memberi yang terbaik bagi Tuhan dan tiada pernah bertanya apa yang akan didapatkan nantinya. Persaudaraan dengan lintas budaya, agama dan generasi akan menumbuhkan cinta akan persahabatan yang berlandaskan pada kesatuan sebagai umat manusia. Inilah pengalaman iman bertemu dengan alam, pribadi-pribadi yang dikasihi oleh Tuhan yang dapat aku rangkai dan aku bagikan:
Tentang Doa Pertanyaan-pertanyaan yang kadang timbul tenggelam dengan panggilanku semakin membuat hidup doaku kering dan tidak bermakna. Aku terkadang terjebak dalam berdoa pribadi lebih kepada tuntutan yang harus dipenuhi dalam tataran formasi saat ini. Relasi yang harusnya akrab dengan Dia terkubur oleh keinginan-keinginan duniawiku sendiri. Terlampau sering aku mengadu akan ketidakadilan Tuhan terhadapku. Ketika permasalahan menghimpit terlalu dalam dan aku tidak kuasa untuk menghadapinya, aku baru datang kepada-Nya. Dalam kedatanganku ini sering aku menganggap 14
TS/Edisi Live in
Tuhan sebagai sampah di mana aku bisa mengungkapkan beban yang aku hadapi. Beban yang aku hadapi ini seolah-olah membuatku merasa jadi orang yang paling sengsara di dunia. Ketika aku mengungkapkan bebanku inilah sering aku meluapkannya dengan menangis agar aku dapat merasa tenang. Dalam Injil Markus 1:36 dikatakan “ Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke suatu tempat yang sunyi dan berdoa di sana,“ Yesus memberi teladan untuk selalu berdoa secara pribadi kepada Bapa. Aku merasa malu dengan ayat ini, mengaku sebagai pengikut Yesus Kristus tetapi dalam menjalani doa pribadi ini aku masih setengah-setengah. Kehidupan doa pribadiku lebih didorong karena ada kebutuhan yang ingin aku dapatkan dari Yesus Kristus. Kadang aku merasa doa pribadiku hanya sebagai kewajiban sebagai formandi bukan didorong oleh keinginanku untuk menjalin relasi yang intim dengan Yesus Kristus. Dalam hal berdoa, kadang aku merasa seperti melakukan sebuah trading (dagang), seperti ada tawar menawar dengan Yesus Kristus sendiri. Seolaholah aku ingin mendapatkan imbalan atas apa yang sudah aku lakukan. Seperti ingin mengatakan, “Tuhan, aku sudah berdoa lama, sekarang aku mau engkau mengabulkan permintaanku.“ Kisah Para Rasul 20: 19 dikatakan, ”dengan segala rendah hati aku melayani Tuhan. Dalam pelayanan itu aku banyak mencucurkan air mata dan banyak mengalami percobaan dari pihak orang Yahudi yang mau membunuh aku.” Ketika membaca perikop ini aku disadarkan akan ketabahan dalam menjalani panggilan. Walaupun terkadang ada perasaan tidak dihargai, tidak dihormati, dicemooh, dicela dan tidak mampu untuk mengontrol emosi terhadap teman tetapi aku menyadari inilah salib yang harus aku bawa. Aku diajarkan untuk tetap setia, untuk saling mengasihi dalam komunitas, dan bekerja sama dalam teman seperjalanan. Seperti dalam Yohanes 15:17 dikatakan “ Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”
Semakin Mengenal Diri Sendiri Orang yang semakin dewasa itu, mereka yang terlihat semakin sederhana, apakah dalam tindakan atau berbicara. Sederhana bukan dalam arti hanya dalam berpakaian atau tampak luarnya saja. Kisah Para Rasul 9:1-19a, tentang Saulus yang bertobat, aku seperti bercermin sehingga aku bisa melihat sebenarnya tentang diriku. Perubahan hidup yang aku alami saat ini adalah untuk siap diutus dan dibentuk oleh Allah. Terkadang aku bangga dengan diriku sendiri seolah-olah segalanya adalah jerih payahku dan betapa bodohnya aku jika aku tetap memiliki pandangan seperti ini. TS/Edisi Live in
15
Yesus Jalan Kebenaran dan Hidup, aku semakin menyadari bahwa sebagai calon imam aku tidak hanya hidup untuk diriku sendiri. Aku dipanggil dan diutus sehingga bukan lagi diriku yang penting tetapi Tuhan Yesus yang telah memanggil aku dan mengutus aku. Tanpa Kristus aku akan kehilangan jati diri dan makna akan panggilan serta perutusan, “ Di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa� (Yohanes 15:5). Aku harus mampu menanggalkan diriku sendiri, kepentingan, kehendak, cinta diri sendiri, dan memberikan diri seutuhnya dan sepenuhnya untuk mengikuti Kristus sehingga aku dapat semakin memperdalam imanku akan Yesus Kristus. Di dalam Matius 10:40 dikatakan “Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, dia menyambut Dia yang mengutus Aku.� Aku juga semakin dimurnikan akan buah-buah ketekunan, kesetiaan, tanggung jawab, dan spiritualitas hamba yang melayani. (aku menghidupi ini terus menerus). Untuk bisa setia pada tugasnya, orang perlu jujur dengan diri sendiri dan berani menyadari kerapuhan dan keterbatasan dirinya. Dengan masuk ke dalam diri, orang akan mudah menemukan Tuhan dan kehendak-Nya. Dengan demikian, kegagalan dan kesulitan yang dihadapi dapat dilihat secara positif sebagai salah satu pembelajaran dari Tuhan.
Belajar dari Pekerja Kebun Aku belajar melihat Tuhan dalam diri sesama, melihat Tuhan dalam peristiwa sehari-hari misalnya bekerja sama dengan karyawan kebun di Sindanglaya, mengkontemplasikan seakanakan Tuhan sendirilah hadir sukacita melakukan pekerjaannya ini. Kurang lebih dua minggu bergaul dan melihat keadaan mereka merupakan cerminan yang bisa aku jadikan pengalaman iman yang tidak bisa aku sembunyikan dalam hidup ini. Kenyataan bahwa mereka adalah orang yang terpinggirkan, lalu apa yang dapat aku perbuat untuk mereka? Apakah ini hanya terhenti di tulisan refleksi? Menyadari bahwa aku masih seorang frater yang butuh senjata untuk membantu mereka. Aku melihat mereka adalah bagian dari Gereja Universal yang di dalamnya tidak terbagi lagi suku, agama, ras, dan antar golongan. Kehidupan mereka merupakan bagian dari hidup Gereja yang bertanggung jawab terhadap hidup semua orang. Kesempatan yang aku dapatkan saat ini: belajar dan tinggal dalam satu institusi besar, Keuskupan Agung Jakarta, membuka peluang untuk (membantu kaum marjinal) dan menyiapkan diri untuk memberikan hidup
16
TS/Edisi Live in
bagi mereka. Aku menyadari juga bahwa apa yang aku nikmati saat ini adalah hasil keringat dari mereka (umat) yang mempersembahkan rupiah demi rupiah. Sejauh mana aku melihat karya Allah dalam hidup orang-orang marjinal ini? Dalam tulisan Bapak Uskup Mgr. Ignatius Suharyo dibuku berjudul The Catholic Way: Kekatolikan dan Keindonesiaan kita, dikatakan bahwa orangorang suci mempunyai tiga pengalaman dasar. Pertama, ketidakberdayaan. Bukan ketidakberdayaan yang membuat orang lumpuh, melainkan ketidakberdayaan yang membuat orang bebas dan merdeka. Tetapi kalau seseorang hanya mempunyai pengalaman ketidakberdayaan saja ia akan hancur. Maka, diperlukan pengalaman yang kedua, yaitu persahabatan. Ketika kita lemah ada orang yang meneguhkan kita secara manusiawi, ada orang yang bisa mendengarkan kita, ada orang yang mengerti kita. Itulah arti kehadiran seorang sahabat. Tetapi itu semua belum cukup. Diperlukan pengalaman yang ketiga, yaitu pengalaman akan kehadiran Allah dalam hidup. Kalau ketiga pengalaman ini berkembang, maka kedewasaan juga akan berkembang. Jika salah satu tidak ada, kedewasaan itu tidak utuh. Dengan bekal ini, siapapun dapat berkata,”Jika aku lemah, maka aku kuat”, sebab Tuhan berkata, ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab Justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Dalam tulisan Romo Sindhunata di majalah Basis dikatakan, Paus Fransiskus sangat mencintai orang miskin. Katanya, ”Doa yang tak membuahkan aksi untuk menolong orang miskin, adalah doa yang steril dan tak sempurna.” Ia meminta imam-imamnya untuk hidup sederhana dan jangan tergoda oleh kemewahan duniawi. Ia mengecam kebiasaan untuk menyisakan makanan atau membuang sisa makanan yang kerap dilakukan oleh mereka yang berkelebihan. Kebiasaan ini sungguh suatu penghinaan terhadap kaum miskin dan yang berkekurangan, yang harus bersusah payah membanting tulang hanya untuk mencari sesuap nasi saja. Ia mengajak agar umat untuk mau memberi kepada sesama yang membutuhkan bukan dari “kelimpahannya tapi dari sedikit yang mereka punya.” Semangat kesederhanaan yang diungkapkan oleh Paus Fransiskus memberi makna tersendiri bahwa pelayanan terhadap kaum lemah, kecil dan tersingkir saat ini menjadi tema yang tidak dapat dipisahkan dalam hidup menggereja. Untuk menjadi saksi Keselamatan Tuhan pada zaman sekarang memerlukan kepekaan hati dan keluasan pikiran untuk mencermati situasi yang ada, dibutuhkan kemampuan discernment sehingga kita bijak dalam menanggapi situasi zaman, dan dibutuhkan relasi yang dekat dengan Tuhan sendiri.
TS/Edisi Live in
17
Gusti, punopo maleh ingkang kedhah kulo lampahi? Apa ini yang namanya panggilanMu, Tuhan Jauh tak terarah aku di padang gurunMu Terik membahana panas tak berjubah Bahkan aku merasa ini kosong tak berpenghuni Seorang diri menjala di samudra luas Hanya dengan api kudusMu Aku teduhkan seluruh jiwa dan raga Kering kerontang saja aku mengagumi Sebatas itukah kasihku padaMu Hendak mengatakan, sudah.....cukup..... Tetapi rintihan salib-Mu hempaskan aku Kembali di sini, bahkan aku membisu dan tak berperasaan Ingin lari ke bukit yang jauh tak terarah Endapkan sepi yang mungkin aku dapat aku kuasai Ya... ini aku Tuhan dengan hidupku Entah dengan apa lagi aku bisa berbagi dengan Mu Darah, bahkan titian jantung yang Kau beri ini Ambillah.....jika itu Engkau inginkan Cungkillah ....jika itu memang maksud Mu Bunuhlah....jika itu memang kodratku Tuhan, sepercik api yang telah kau hembuskan Kadang menguap, seringkali padam di tujuan Mengungkapkan sedikit beban yang tak pernah diam Bahkan lari ke botol kaca Agar aku bisa bersembunyi tetapi sesungguhnya bukan aku sebenarnya Gusti, punopo maleh ingkang kedhah kulo lampahi?
18
TS/Edisi Live in
Berjerih
Payah dengan
Hati Salto Deodatus Manulang
TS/Edisi Live in
Kala Tak Ada Makna Tidak semua perutusan sesuai dengan minat dan bakat. Itu terjadi denganku awalnya di KPTT. Aku merasa biasa saja kala menyambut perutusan untuk live in. Kuakui, tidak mudah jika tidak memulai dengan antusiasme untuk mau belajar. Saat-saat pertama di KPTT kusadari kepekaan, perhatian, dan cintaku akan lingkungan hidup belum tumbuh subur dari dalam hati. Alhasil, KPTT yang rindang jadi terasa gersang. Secara fisik memang jelas, aku berada di ladang dan padang dengan dedaunan hijau. Namun secara rohani, batinku mengembara di kesunyian padang gurun. Memang aku bekerja, tetapi tidak dengan cinta. Semua kujalani dengan baik, tapi tanpa kegembiraan dari hati. Inilah desolasi rohani. Satu hal yang patut kusyukuri: menyadari dan mengakui keadaan ini. Suatu teori psikologi berkata: kesadaran akan gangguan dalam diri sudah mengurangi gangguan itu sendiri sampai lima puluh persen. Melampaui psikologi, ketika menggulati pertarungan ini, aku jadi ingat pengajaran spiritualitas. Yang penting ditumbuhkan dalam keadaan kekeringan rohani adalah disposisi kerinduan dan keterbukaan. Aku mau menekuni kerja tangan nyata ini karena aku percaya Tuhan besertaku dan membantuku. Untuk itu, kendati lelah lantaran bekerja dari pagi sampai sore, kusediakan waktu hening pribadi. Aku percaya Tuhan menuntunku. Ia pasti akan mencurahkan rahmat-Nya yang kaya kendati masih tersembunyi. Untuk itu, memang perlu untuk bersabar dengan waktu Tuhan. Memang aku harus terus berlajar untuk “mencari Kristus dengan setia merenungkan sabda Allah, dalam keakraban yang aktif dengan misteri-misteri suci Gereja, terutama dalam Ekaristi dan ibadat harian” (Optatam Totius art. 8). Orang Jawa bilang, Witing tresna jalaran saka kulina. Artinya: cinta tumbuh karena biasa bertemu. Aku menyadari, tidak bisa aku bekerja mengolah tanaman hanya dengan pikiran. Kepala akan selalu punya alasan untuk resisten. Penolakan hanya memiskinkan, menutupi rahmat. Untuk itu Tuhan memanggilku: untuk kembali ke hati, memakai hati. Memang tidak instan dan secepat kilat proses ini terlaksana, namun keterbukaan memasukanku ke dalam proses untuk merasakan kekayaan makna perutusan ini. Kutemukan Allah, Dia yang kehadiran-Nya hidup di dalam alam, tumbuhan, dan hewan—Dia, yang menyelenggarakan segala. Sebagaimana Paus Fransiskus mengajarkan, “The universe as a whole, in all its manifold relationships, shows forth the inexhaustible riches of God” (Laudato Si art. 86). Satu karakteristik pemimpin rohani adalah hening. Tanpa keheningan ia bekerja dengan kekuatannya sendiri. Tanpa keheningan, imam tidak menyadari Roh Allah yang membimbingnya. Hatinya tertutup. Telinganya bising. Matanya buta. Ia sibuk dengan dirinya sendiri dan “lupa” akan Kristus yang mesti dibawanya pada umat gembalaannya. 20
TS/Edisi Live in
Keheningan inilah yang mengantarku pada konsolasi. Dalam konsolasi itu aku diajak untuk bertekun dalam kerendahan hati. Penghiburan rohani datang dari Tuhan. Itu karena kemurahan-Nya yang tak terbatas dan “tak terjangkau” olehku. Dari situ kusadari: manusia di hadapan-Nya amat kecil sekaligus amat berharga. Sungguh aku belajar: orang yang tinggi hati dalam penghiburan rohani lupa akan siapa sejatinya dia di hadapan Tuhan. Ya, kebijaksanaan kerendahan hati menyalurkan kekayaan rahmat Allah kepada siapa saja yang berjumpa dengannya.
Berkaca dari Pilihan Tugas pertamaku adalah bekerja di tempat pembudidayaan jamur. Awalnya saja sudah menantang. Pak Bowo, Pak Sri, Hermanus, dan fr. Surya dari praja Malang, dan aku memindahkan seribu lima ratus media tanam jamur yang siap dijual ke dalam mobil bak. Punggung terasa pegal setelah hampir satu jam bergerak cepat dengan gerakan yang sama terus. Hermanus dan fr. Surya beberapa kali istirahat sejenak. Aku tidak. Di sini kusadari idealismeku tinggi sekali. Aku “memaksa” diri agar tak mudah mengeluh, berhenti atau beristirahat. Alhasil pekerjaan selesai nyaris tepat dua jam. Namun, karena belum biasa, keesokan paginya pinggul dan bokongku terasa pegal. Bahkan, saat mengambil benda yang terjatuh di lantai, pinggangku nyeri. “Lumayan juga ya, rasanya,” pikirku. Idealisme yang tinggi itu baik sebagai energi yang membakar semangat untuk bertindak mencapai target, namun aku juga perlu berlatih mengenali tubuh. Bila berujung pada penyakit, tentu aktifitas jadi tidak produktif. Jadi, aku perlu belajar bijaksana dalam bekerja dengan idealisme dan realisme. Pilihanku (dalam arti tertentu) mencerminkan siapa diriku. Kendati sudah memakai sepatu boot, di kandang sapi, saat membersihkan kotorannya, aku masih memilih-milih langkah kaki. Kadang kusadari aku hanya mengambil kotoran sapi yang dekat saja agar tidak banyak berjalan-jalan di kandang. Dengan kesadaran itu kulatih diri untuk melakukan yang sebaliknya (agere contra), bahkan untuk memilih yang tersulit. Rasanya menggembirakan dan membebaskan. Ini dia: berani mengambil risiko—keluar dari zona nyaman— adalah prasyarat bagi perkembangan diri. Tubuh fisik kugunakan untuk memuliakan Tuhan. Untuk itu perlu sikap lepas bebas.
Tentang Keluhan dan Kepemimpinan Kerap diajarkan: seorang calon imam dididik untuk menjadi pemimpin yang bijaksana untuk memutuskan secara rasional dan obyektif. Tuntutan ini baik, namun baik juga dikritisi dan tidak diterima begitu saja. Bagiku, TS/Edisi Live in
21
melampaui pertimbangan rasional dan obyektif (karena memang harus melalui tahap-tahap ini), ada hati Yesus yang penuh belaskasih. Dorongan atas kesadaran ini begitu kuat. Suatu momen dikala Roh Kudus menggedor hati. Suatu momen yang mendorong tubuh ini untuk keluar, untuk bergerak melayani Tuhan, sesama, dan alam ciptaan. Melihat Nampa bekerja seorang diri, mencuatkan niat dalam diri untuk membantu. Kendati tak ada penugasan untuk membantunya, tetap kudekati dia. Sekali lagi idealisme melambungkan semangat setinggi langit. Nampa nampak kelelahan. Selain karena futsal satu malam sebelumnya membuat badan pegal, bau kotoran babi yang sudah ditimbun berbulan-bulan ini, memakai istilah Yeremia, “Menusuk sampe ke otak.” Alhasil, dalam proses perjuangan bersama, beragam keluhan terucap dalam candaan-candaan kami. Kemudian, dalam dialog kehidupan, Nampa beraksi menyenandungkan pepatah bijak, “mengeluh itu untuk diri sendiri saja, jangan untuk orang lain.” Nampaknya keluhan memang menebarkan pengaruh negatif bagi rekan-rekan sekerja. Keluhan, dengan demikian, adalah bentuk permintaan seseorang untuk dipahami lantaran menghadapi kesulitan tertentu. Aku menatapkan panggilan untuk menjadi pemimpin dengan tantangan yang kerap melanda seorang pemimpin hingga membuatnya mengeluh. Pemimpin memahami orang lain, tidak menuntut untuk dipahami terlebih dahulu. Pemimpin memotivasi, menginspirasi, menyemangati temantemannya untuk optimis dan terus bergerak. Pemimpin harus siap-sedia mati. Dia bukan orang yang meminta dikasihani. Tapi dia adalah orang yang hatinya penuh dengan belaskasihan. Oleh karena itu, dalam kerja sama tim, pemimpin sejati tidak meratapi, apalagi mengeluhkan keadaan yang sulit. Dia siap mendengarkan masukan, kritik, evaluasi, keluhan, ratapan, bahkan cercaan rekan sekerjanya. Akan tetapi, dari mulutnya sendiri sebagai seorang pemimpin, dia setia untuk tidak mengeluhkan kesulitan. Di kala anggotanya putus asa, pemimpin memotivasi, menginisiasi, memotori, mempelopori dan bahkan tetap menginspirasi. Satu hal yang tak boleh hilang dari pikiran seorang pemimpin adalah harapan! Meski demikian, itu tidak berarti pemimpin menjadi orang yang idealis-utopis. Pemimpin juga realistis. Dia adalah orang super idealis dan super realis. Dengan memancangkan harapan, pemimpin mau untuk tekun, telaten, teliti, perhatian, dan sabar. Itu sebabnya, yang satu ini (harapan) tidak boleh hilang. Terasa dalam kerja sama bersama Nampa, Riski, dan Pak Mulyadi ketika “memindahkan gunung kotoran babi” untuk disebar di sekitar pohon kopi, semangat seorang pemimpin tim mempengaruhi rekan lain untuk turut bangkit. 22
TS/Edisi Live in
Petani dan Peternak Dari penampilannya, Pak Dasim (begitu juga Mas Bowo yang mengelola kebun atas dan Pak Eko yang mengelola peternakan babi) memang tidak kece, apalagi stylish layaknya para profesional muda di kota Jakarta. Akan tetapi, itu tidak berarti mereka bekerja tanpa ilmu. Seperti kata Pak Dasim, “Petani kalau punya ilmunya, kaya.” Yang membuat petani KPTT berhasil adalah ilmu. Mereka bekerja dengan ilmu. Pengetahuan akan pertanian (juga peternakan) memberi kerangka berpikir dalam memandang tanaman, tanah, hama, air, hewan ternak dan lain-lain. Itu yang tidak dimiliki kebanyakan petani di Indonesia, satu hal yang memprihatinkan. Mereka tidak dibekali ilmu sehingga produktifitasnya tidak optimal. Stigma miskin belum lepas dari para petani. Dengan demikian, dari sudut pandang ekonomi dan sosiologi, Petani membutuhkan perhatian yang lebih. Itu juga yang Paus Fransiskus kemukakan, “A true ecological approach always become a social approach; it must integrate questions of justice in debates on the environment, so as to hear both the cry of the earth and the cry of the poor.” Sementara itu, di hadapan para petani dan peternak KPTT aku ternganga, terpesona dengan kecanggihan teori yang mereka kuasai. Rupanya nurturing (memelihara dan menumbuhkembangkan) tanaman tidak bisa sembarangan. Penumbuhkembangan kehidupan tanaman maupun hewan mempertimbangkan banyak aspek. Bahkan, boleh dibilang: kompleks! Melihat mereka menjelaskan teori-teori pertanian dan peternakan yang sophisticated, kepalaku terngiang dengan pepatah klasik, “Don’t just look from the cover.” Ya, kualitas manusia ditentukan bukan oleh penampilan, melainkan kompetensinya.
Keutamaan Petani Keutamaan Imami “Petani dididik untuk sabar,” begitu kata Pak Dasim menggebu. Penjelasannya amat mencerahkan. Sore hari kami belajar tentang teori-teori seputar dunia pertanian dan peternakan. Saat mendengarkannya barulah aku tahu: proses pertanian yang mulai dari pembibitan sampai panen membutuhkan waktu yang lama, tidak instan. Untuk pembibitan saja, benih disemai hingga tumbuh, tak bisa begitu saja jadi seperti sulap ketok magic. Ambillah contoh: benih kubis tumbuh butuh dua sampai tiga hari, tomat empat sampai lima hari, cabe sekitar tujuh hari, terong lima sampai enam hari, dan pare bahkan butuh waktu sampai dua Minggu. Setelah itu benih tersebut masih harus dipindahkan ke tempat persemaian berikutnya. Satu contoh: bagiku yang orang kota, asing dengan pertanian, yang TS/Edisi Live in
23
hanya tahu menikmati hasil pekerjaan petani yang sudah tersaji di meja makan, kaget mendengar bahwa baru sesudah tiga bulan tomat dan seledri bisa dipanen. Sekarang aku mengerti mengapa seorang temanku bersemangat untuk bercerita tentang seorang suster di suatu daerah yang tak membolehkan satu butir nasi pun tersisa di piring. Paus Fransiskus juga mengingatkan, “Believers themselves must constantly be challenged to live in a way consonant with their faith and not to contradict it by their actions� (Laudato Si art. 200). Ketakzimanku makin menggelora. Rupanya pengelolaan pertanian itu holistik. Tahapannya saja panjang: mengolah lahan, menyemai, menanam, merawat, memanen, hingga pasca panen. Unsur-unsur itu tidak berdiri sendiri, saling terkait bahkan menentukan satu sama lain. Menyangkut tanah saja kandungan unsur hara dan fisik perlu diselidiki. Untuk unsur hara terbagi dua, yakni mikro dan makro. Elemen-elemen penyusun mikro seperti Kalsium, Magnesium, dan lain-lain harus seimbang. Jika lebih atau kurang, akan jadi penyakit. Begitu pun dengan unsur-unsur fisik. Mereka terbagi dua: elemen kimiawi dan biologis. Begitulah petani. Keutamaan-keutamaan pemimpin ada pada mereka. Petani bisa melihat beragam hal bersama-sama. Orangnya tekun, teliti, dan telaten. Setiap hari petani setia memperhatikan setiap detail dari tanah, benih, tanaman, OPT (Organisme Penggangu Tanaman), hingga panenannya. Kontrol terus dilakukan. Petani adalah orang yang mempunyai visi. Cita-cita besar dikejarnya dengan menekuni hal-hal kecil. Idealisme dijalani dengan realisme. Praktek diiringi dengan teori. Tidak berhenti di situ. Yang lebih kukagumi lagi dari petani adalah kualitas kepemimpinannya yang tidak mekanis dan teknis belaka. Petani punya kontak hati dengan setiap tanaman yang hidup itu! Petani merawat tanaman dengan hati. Dia menaruh cinta pada tanamannya. Dia tidak hanya menanam tumbuhan. Petani menanam harapan. Makanya begitu melihat mas Bowo (Kepala Bagian Kebun Atas) membawa panenan Sawi, Caisim, Kembang Kol, dan lain-lain, kulihat wajahnya berseri-seri penuh kegembiraan. Indah sekali. Ya, buah dari ketekunan dan kesetiaan adalah kegembiraan dan syukur. Lantas, terasa terlarut dengan kegembiraan mas Bowo saat memanen, hatiku menyanyi, “yang menabur dengan bercucuran air mata, akan menuai dengan sorak-sorai� (Mzm. 126). Hatiku berkaca-kaca. Bagiku keutamaan-keutamaan petani itu imami sekali!
24
TS/Edisi Live in
Belajar
(
untuk menjadi Pribadi yang
)
Terbuka dan
Rendah Hati Alberto Ernes
TS/Edisi Live in
Awal Keberangkatan Selama kurang lebih dua minggu (29 Juli 2015 – 11 Agustus 2015), aku bersama tujuh teman frater mendapat tugas perutusan untuk menjalani live in di Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga. Pengalaman live in di KPTT Salatiga ini merupakan pengalaman yang indah, menarik, unik, serta berbeda dengan live in yang pernah kualami sebelumnya. Akan tetapi, sebelumnya aku sempat enggan untuk menjalani live in ini karena live in ini akan dipenuhi dengan kegiatan kerja tangan. Selain itu, aku pun sempat berpikir bahwa betapa lama waktu yang akan kulalui, yaitu selama empat belas hari. Rasa antusias dan penasaran tidak ada sama sekali di dalam diriku. Aku pun berkeinginan untuk segera menyelesaikan live in dan kembali ke Seminari. Beberapa hal inilah yang menjadi pergulatan awalku sebelum menjalani live in ini, tetapi semuanya itu berubah menjadi perasaan sukacita, gembira, bahagia setelah aku menjalani live in selama dua minggu tersebut.
Persiapan menjadi seorang Pemimpin Tahun ini, aku ditunjuk menjadi koordinator dalam tugas perutusan di KPTT Salatiga. Awalnya, aku kaget dan shock karena aku tidak siap menjadi seorang koordinator yang merupakan pemimpin dalam persiapan dan pelaksanaan live in ini. Menjadi pemimpin adalah hal yang sering kuhindari karena aku tidak siap dan tidak terbiasa untuk melakukan hal-hal tersebut. Ketidaksiapan dan rasa tidak biasa ini muncul karena aku memang jarang diminta menjadi pengurus dalam hal-hal inti seperti itu. Ketakutan dan kecemasan itu berubah menjadi rasa syukur yang begitu menggembirakan dan membahagiakan karena melalui pengalaman inilah aku banyak belajar mengenai bagaimana menjadi seorang pemimpin (leader). Menjadi seorang pemimpin (leader) bukanlah hal yang mudah dan bukan juga hal yang sulit. Perjalanan dan pengalaman live in ini mengajariku untuk menjadi pemimpin yang rendah hati, tegas, dan mau melayani. Gambaran keutamaan ini kutemukan dan kudapatkan setelah menjalani live in bersama para frater yang lain. Gambaran pemimpin ini kusesuaikan dengan konteks sebagai frater KAJ yang mempunyai spiritualitas "Gembala yang Baik dan Murah Hati.� Sebagai seorang calon imam yang nantinya adalah seorang imam yang juga seorang pemimpin rohani, tentu saja saya harus mempersiapkan diri. Penyadaran inilah yang akhirnya membuatku berani untuk keluar dari zona nyamanku dan berani untuk belajar hal baru terutama mengenai kepemimpinan. Jatuh bangun, inilah yang kurasakan ketika belajar menjadi seorang pemimpin. Aku harus berani bersikap tegas, berani mengambil keputusan, berani untuk menanggung resiko, berani untuk bertanggung jawab, belajar 26
TS/Edisi Live in
untuk semakin percaya diri, belajar untuk rendah hati menerima masukan, kritik dan saran, dan belajar untuk melayani orang lain, dlsb. Terkadang terasa menyakitkan dan tidak mengenakkan, tetapi inilah proses yang harus kualami seperti halnya petani yang harus bekerja keras dengan mencangkul, bersusah payah merawat dan memelihara tanaman, serta berpanas-panasan demi tersedianya pangan bagi penduduk bumi ini. Aku merefleksikan bahwa perjalanan menjadi seorang pemimpin adalah perjalanan kerendahan hati untuk senantiasa belajar dan berlatih dari orang lain walau prosesnya terkadang menyakitkan dan tidak mengenakkan.
Olah Tubuh, Pikiran, dan Hati Pengalaman live in di KPTT merupakan pengalaman pengolahan diriku yang begitu dinamis. Perjalanan ke-dinamis-an ini muncul ketika aku mulai memasuki dan menjalani dinamika kegiatan kerja KPTT yang membawaku mengalami konsolasi dan desolasi. Awal tugas perutusanku menjalani dinamika kerja tangan di KPTT adalah berkebun di kebun atas dari lima bidang kerja yang tersedia. Kegiatan berkebun atas menjadi pembuka pengolahan diriku selama dua minggu di KPTT yang mengajakku untuk mengolah tubuh, pikiran, dan hatiku. Pengolahan tubuh menjadi porsi utama dalam live in dalam rangka kerja tangan untuk mencintai lingkungan hidup karena hampir seluruh dinamika kerja live in ini menggunakan kekuatan fisik. Awalnya, aku merasa pesimis dan inferior ketika mengetahui bahwa seluruh pekerjaan yang akan dilakukan tersebut akan menggunakan porsi kekuatan fisik yang besar. Hal ini dikarenakan aku mempunyai badan yang kecil dan seringkali dianggap lemah. Gambaran diriku itulah yang membuatku menjadi ragu dan pesimis dalam menjalani live in ini. Selain itu, rasa malas juga ikut menghantui diriku karena harus melakukan pekerjaan petani yang dianggap sebagai pekerjaan yang berat. Hal-hal tersebut yang menjadi pergulatanku dalam pengolahan tubuh ini. Mencangkul, menanam, menyiram, memberi makan sapi dan babi, membersihkan kandang sapi dan babi dan memandikan mereka merupakan hal yang tidak terbayang di kepalaku dan hal inilah yang menjadi bagian dari proses pengolahan diriku. “Kata Filipus kepadanya: “Mari dan lihatlah!� (Yoh 1:47). Kutipan perikop ini menjadi titik awal semangatku dalam menjalani live in. Jujur saja, ketika berhadapan dengan lima jenis bidang pekerjaan yang harus dilakukan, aku merasa takut dan ragu. Bayangan-bayangan yang aneh dan macam-macam memenuhi isi kepala dan hatiku sehingga membuatku semakin takut dan ragu untuk menjalani itu semua. Salah satu pengalaman yang paling menarik akan hal ini adalah ketika aku mendapatkan tugas untuk beternak babi bersama fr. Bondi yang adalah rekan kerja sekaligus teman seperjalananku TS/Edisi Live in
27
dalam live in ini. Realitas berbeda dengan bayangan. Hal inilah yang kusadari ketika melihat tempat kerjaku yang berada di Wates dan dipenuhi dengan babi yang berjumlah sekitar 300 ekor. Rasa takut, ragu, dan kaget langsung menyerangku saat itu juga. Aku menjadi ragu dan tidak berani masuk ke dalam kandang babi tersebut. Pengalaman ini menjadi pengalaman pertamaku untuk berjumpa lebih dekat dengan babi yang masih hidup serta mengalami dinamika bersama mereka. Selama ini, aku hanya menjumpai babi yang sudah dimasak dan terletak serta tersedia di atas meja makan. Namun, kali ini berbeda, aku melihat mereka begitu aktif berlari-lari dan memanjat-manjat dinding untuk mendapatkan makanan mereka. Tidak lama kemudian, aku mendengar seorang bapak berkata kepadaku: “Mari masuk, frater!â€? Bapak itu bernama Pak Pur. Beliau adalah orang yang akan menemaniku dalam berternak babi pada kesempatan hari itu. Perkataan Pak Pur pun mengingatkanku akan kutipan perikop: “Mari dan lihatlah!â€? yang mengajakku untuk berani datang dan melihat realitas yang ada. Keraguan, ketakutan, dan bayangan-bayangan negatif lainnya pun luntur saat itu juga dan aku pun dengan berani melangkah dan masuk ke kandang babi tersebut. Di saat itu, aku menyadari bahwa sebagai manusia seringkali begitu mudah terbawa perasaan dan bayangan-bayangan negatif yang akhirnya menghambat diri kita untuk menjadi pribadi yang semakin baik. “Bertolaklah ke tempat yang dalam ‌â€? (Luk 5:4). Masuk ke dalam kandang babi, membersihkan kandang, dan memandikan mereka merupakan pengalaman yang baru dan unik bagiku. Begitu masuk ke dalamnya, aku menjumpai sekumpulan babi yang sedang asyik memakan makanan yang telah diberikan dan tentu saja beserta kotorannya yang memenuhi kandang tersebut. Pikiran dan hatiku bergejolak, aku merasa jijik dan geli. Aku ingin segera keluar dari tempat tersebut, namun tubuhku sulit untuk bergerak karena ini tugas yang harus kulakukan. Secara perlahan, aku mulai berani untuk membersihkan kandang babi tersebut dan mulai memandikan mereka meskipun dengan rasa takut dan ragu terutama jika diseruduk babi. Detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam berlalu begitu cepat. Ketakutan dan keraguanku pun mulai pudar bahkan lenyap. Perasaan senang dan gembira kurasakan ketika aku melihat babi dan kandang babi yang bersih yang mungkin membuat mereka merasa semakin nyaman untuk beristirahat setelah makan. Akan tetapi, hal-hal yang dirasakan oleh tubuh, pikiran, dan hatiku seperti rasa lelah dan letih, pusing, panas, capek dan degdegan. tidak dapat kuhindari, namun semuanya itu menjadi hilang ketika aku melihat ketenangan dan kedamaian yang ditunjukkan oleh para babi itu ketika selesai dibersihkan. Melalui pengalaman ini, aku menyadari bahwa sebagai manusia, tubuh kita mempunyai berbagai kelemahan, namun kelemahan itulah perlu diolah menjadi suatu kekuatan. 28
TS/Edisi Live in
“… roh memang penurut, tetapi daging lemah" (Mat 26:41). Kutipan perikop inilah yang menjadi salah satu bahan pengolahan dan refleksiku selama live in ini. Selama live in aku mempunyai kecenderungan untuk bermalasmalasan dalam bekerja, serta mencuri-curi waktu untuk istirahat sejenak. Akan tetapi, ternyata semua itu hanya menimbulkan kenikmatan sesaat. Kusadari bahwa itu semua berasal dari daging yang lemah, yang senantiasa ingin mencari sesuatu yang enak, menyenangkan, dan nikmat, dan pada akhirnya berdampak kepada pikiran dan hatiku untuk segera menyelesaikan live in ini dan merasa tidak nyaman serta kerasan di KPTT. “Tubuh memang lemah, oleh karena itu perlu dilatih terus-menerus!”, begitulah bunyi kalimat yang dilontarkan Romo Suto kepadaku sewaktu bimbingan rohani dengannya. Kalimat itupun seakan menjadi teguran sekaligus semangat bagiku untuk mengolah dan melatih tubuh ini menjadi sarana pelayanan untuk mewartakan Kabar Gembira kepada seluruh umat. Aku merefleksikan bahwa tubuh adalah wadah Roh Allah yang menjadi penyalur rahmat, berkat, dan cinta kasih Allah. Oleh karena itu, tubuh perlu dan senantiasa diolah dan dilatih agar dapat menjadi penyalur berkat dan rahmat serta cinta kasih Allah agar dapat mewartakan Kabar Gembira kendati tubuh memang lemah. Namun, seiring berjalannnya waktu, pekerjaan, dinamika yang kujalani serta proses pengolahan fisik, pikiran, dan hati, aku menyadari bahwa semua proses ini bukanlah semata-mata demi diriku, tetapi untuk orang lain, lingkungan, dan Tuhan. Bagiku, pengalaman live in yang telah terjadi ini merupakan sarana pembentukan diriku untuk menjadi pribadi yang semakin dewasa dan pembentukan keutamaan sebagai calon imam KAJ yang HANDAL berlandaskan Spiritualitas Gembala yang Baik dan Murah Hati.
Pengosongan Diri dan Rendah Hati Dari keseluruhan pengalaman live in pada kali ini, satu hal yang sangat mengesankan bagiku adalah mengenai pengosongan diri. Kata ‘pengosongan diri’ ini kudapatkan ketika aku mendapatkan kesempatan untuk wawanhati dengan Mgr. Ignatius Suharyo. Dalam kesempatan itu, beliau mengatakan kepadaku bahwa dalam melakukan suatu pekerjaan, hendaknya semuanya itu dilandasi dan diawali dengan pengosongan diri. Tentu saja, kemampuan ini tidak mudah didapatkan dan diterapkan begitu saja, tetapi harus melewati berbagai pergulatan dan tantangan. Di awal masa live in ini, aku merasa berat untuk melakukan tugas dan pekerjaan yang diminta karena aku tidak siap dan merasa berat dalam menjalani itu semua. Hari-hari awal live in ini terasa semakin berat karena aku tidak mampu beradaptasi dengan semua hal ini. “… melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:7). Menerima diri, lingkungan, orang lain serta rendah hati, hal inilah yang membuka mata TS/Edisi Live in
29
dan hatiku untuk menjalani live in dengan sukacita dan penuh semangat sampai akhir. Semuanya diawali ketika aku mulai menyadari dan menerima diriku secara penuh baik jiwa maupun raga untuk berada di KPTT Salatiga melalui kehadiran teman-teman frater, para peserta kursus, serta para bapak pendamping live in. Kehadiran serta kehangatan yang mereka berikan sungguh mengajakku untuk beranjak dari zona nyaman dan masuk ke dunia mereka, dunia petani. Tidak hanya itu, aku pun teringat akan seorang dosen psikologi semasa aku menjalani TOR yang mengatakan: “Berusahalah untuk menjadi pribadi yang terbuka dan rendah hati!� Kalimat itulah yang menyadarkanku bahwa aku masih menjadi pribadi yang sombong dan tinggi hati, aku kurang peduli terhadap orang lain, masih egois dan hal ini menjadi titik tolakku untuk mulai menikmati live in ini dan hidup saat ini dan sekarang (hic et nunc) sebagai seorang petani. Tiada lagi rasa berat, lelah, keluhankeluhan yang dahulu semakin memberatkanku dalam perjalanan live in ini. Pengosongan diri serta menjadi pribadi yang terbuka dan rendah hati inilah keutamaan yang kutemukan dalam perjalanan live in ini. Keutamaan ini tentu saja tidak kutemukan dan kudapatkan begitu saja, aku pun masih berusaha untuk mengolah dan terus berjuang untuk menerapkannya dalam kehidupanku sehari-hari. Pengalaman pengosongan diri ini mengajariku untuk mau, mampu, bisa, dan akhirnya menjadi terbiasa untuk melakukan sesuatu yang awalnya terasa berat, sulit dan mustahil untuk dilakukan dan pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang perlu terus-menerus diolah, dilakukan, diusahakan, dilatih dan dikembangkan lebih lanjut. “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu� (Ef 4:2). Kutipan perikop inilah yang kiranya merupakan bentuk konkret dari keutamaan yang kutemukan dari perjalanan live in ini. Sebagai seorang calon imam KAJ, keutamaan inilah yang kiranya harus terus-menerus kuperjuangkan dan kuusahakan sampai akhir hidupku karena keutamaan ini juga merupakan salah satu bentuk cinta kasih Yesus kepada umat-Nya. Ia bersedia mengosongkan diri-Nya sendiri, mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia serta dengan rendah hati dan sabar serta rela menerima segala sengsara dan penderitaan demi dosa umat manusia. Aku bersyukur atas pengalaman live in ini yang banyak membukakan mataku akan realitas umat (yang bekerja keras demi keberlangsungan hidup para penduduk) dan juga karena teman-teman frater, teman-teman peserta kursus, para romo dan bapak-ibu pembimbing serta pendamping yang begitu banyak memberikanku pelajaran akan nilai kehidupan sebagai seorang manusia. Dari pengalaman live in ini, aku mendapat pelajaran dan nilai-nilai seperti nilai kerja keras, usaha, semangat, rendah hati, pengosongan diri dan menjadi seorang leader yang tentu akan membantuku dalam proses pengolahan diri sebagai seorang calon imam KAJ. 30
TS/Edisi Live in
Kado
Terindah dari
Tuhan Stefanus Tino
TS/Edisi Live in
“Cangkul, sabit, garu, tanah, ladang, tanaman, pupuk, pohon, dan binatang menjadi sahabat baru yang Tuhan berikan kepadaku sebagai kado terindah”
Hal yang Biasa? Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam ... sepotong kutipan lirik lagu anakanak yang terbesit dalam pikiranku ketika dibacakan tugas perutusan live in yang dimulai tanggal 29 Juli sampai 11 Agustus 2015. Seperti biasa, selepas kunjungan dan liburan bersama keluarga, para frater Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II-Keuskupan Agung Jakarta mengadakan kegiatan live in. Tema live in tahun ini adalah mencintai lingkungan hidup dan panggilan. Kegiatan live in ini diadakan setiap tahun dan menjadi hal yang biasa bagiku, apalagi setelah aku mengetahui tempat live in nya di Panti Asuhan St. YusupSindanglaya. Aku bersama fr. Fritz dan fr. Patrick yang mendapat perutusan live in di Panti Asuhan St. Yusup-Sindanglaya. Lantas dalam hati aku bertanya, “mengapa aku mendapat tempat live in di kompleks Panti Asuhan lagi?” Sebelum masuk Tahun Orientasi Rohani, aku pernah live in di Panti Asuhan St. Vincentius-Kramat (2012) dan tahun 2014 aku pernah live in di Panti Asuhan Sinar Pelangi. Meski demikian, perutusan live in tahun ini memiliki orientasi yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni latihan kerja tangan dan area kerjanya di bagian pertanian dan perkebunan. Dengan demikian, aku semakin percaya dan yakin bahwa Tuhan senantiasa mempunyai rencana yang indah yang Dia telah siapkan bagiku melalui kegiatan live in ini. Aku pun semakin menyadari bahwa mungkin awalnya biasa saja, tetapi berawal dari yang biasa inilah ada sesuatu yang istimewa yang aku temukan sebagai kado terindah dari Tuhan. Dalam serpihan-serpihan kisah pengalaman kerja tangan, aku mendapatkan kado-kado kecil dari Tuhan yang menjadi mutiara indah dalam hidupku.
Serpihan Kisah ‘Kerja Tangan’ Rabu, 29 Juli 2015 sekitar pkl. 09.00, kulangkahkan kakiku bersama fr. Fritz dan fr. Patrick menuju Terminal Senen. Kami sepakat menggunakan jasa transportasi umum dari terminal Senen. Dari terminal Senen, kami menggunakan jasa transportasi APTB menuju Ciawi, dilanjutkan bis umum Parung Indah menuju Cipanas. Aku berangkat menuju tempat live in dengan kondisi fisik dan mental yang baik. Perjalanan menuju tempat live in ditempuh sekitar empat jam. Sesampainya di Panti Asuhan, aku bertemu dengan para romo Fransiskan yang ada di kompleks Panti Asuhan St. Yusup, 32
TS/Edisi Live in
di antaranya P. Martin Harun, P. Urbanus, P. Haryo, dan Br. Pudi. Mereka menyambut baik kedatangan kami dan sore harinya kami diundang untuk menghadiri perayaan Pesta Imamat ke-50 P. Martin Harun, OFM. Peristiwa istimewa bagiku, karena kali kedua aku menghadiri perayaan Pesta Imamat ke-50, Rm. Koelman, SJ (2012) dan P. Martin Harun, OFM (2015). Mengapa istimewa? Karena pesta imamat yang dirayakan memberi inspirasi dan nilai hidup bagiku yang sedang menjalani panggilan sebagai calon imam, terutama nilai kesetiaan. Rahmat kesetiaan yang Tuhan berikan kepada mereka, memampukan para religius ini setia menapaki jalan panggilan. Tentu lika-liku perjalanan imamat mereka tidak selalu di jalan yang lurus dan mulus. Seperti yang kita ketahui, baik Rm. Koelman maupun P. Martin Harun adalah seorang misionaris berjuang mewartakan kabar sukacita injil kepada kawanan domba-Nya (bdk. 1 Ptr 5:2) melalui tugas-tugas perutusan yang dipercayakan kepada mereka. Semangat dan inspirasi ini menjadi bekalku dalam menjalani proses live in. Kesetiaan dalam menapaki jalan panggilan, pertama-tama setia dalam perkara-perkara kecil (Mat 25:23), salah satunya adalah tugas perutusan live in yang ditempatkan sebagai bagian dari formatio. Bagaikan balatentara yang siap sedia bertempur, kini saatnya aku dengan segala perlengkapan bertani dan berkebun, siap untuk olah raga, olah rasa, dan olah diri melalui kerja tangan. Tempat live in dibagi menjadi dua tempat, yaitu di kompleks Panti Asuhan St. Yusup dan di daerah Ciloto. Kegiatan live in di kompleks Panti Asuhan dikoordinatori oleh Pak Didi, sedangkan di daerah Ciloto dikoordinatori oleh Br. Pudi, OFM. Secara bergantian, setiap harinya ada satu frater yang bekerja di Ciloto dan dua frater di kompleks PA St. Yusup. Rutinitas harian selama menjalani live in, antara lain diawali dengan ibadat pagi, perayaan ekaristi, sarapan, kerja kebun (07.30-12.00; 13.00-15.00), dilanjutkan kegiatan pribadi, ibadat sore, makan malam, rekreasi, dan istirahat. Kecuali hari Minggu, kegiatan berkebun libur. Terkait dengan konteks ‘kerja tangan,’ hal-hal apa saja yang aku lakukan? sebenarnya hal-hal sederhana yang aku lakukan, tetapi kenyataannya tidak sesederhana seperti yang dikatakan. Misalnya, membuat bedengan tanah, mencangkul, menanam benih tanaman, memanen, mengisi plastik semai dengan campuran tanah dan pupuk, menyemai, menyiram, membuat pupuk kompos, dan lain-lain. Salah satu pengalaman yang mengesan bagiku adalah ketika aku diajak untuk ‘membuka lahan.’ Peralatan yang dibawa adalah cangkul, garpu, kapak, dan sejenisnya. Awalnya aku sudah mengira bahwa akan mengerjakan suatu proyek besar dan setelah aku melihat lokasinya sungguh menakjubkan. Lahan yang dimaksud masih ditumbuhi pohon-pohon, tanaman-tanaman, dan rumput-rumput liar. Pekerjaan yang dilakukan adalah membersihkan lahan tersebut dari pohon, tanaman, dan TS/Edisi Live in
33
rumput-rumput liar. Yang mengesan bagiku adalah ketika aku mencabut sisa potongan pohon di mana akar dari pohon tersebut begitu kuat mengakar di bawah tanah. Akupun mengalami kesulitan. Dengan berbagai cara dan teknik, serta kesabaran, akhirnya satu per satu sisa potongan pohon tersebut tercabut sampai ke akar-akarnya. Dengan demikian, lahan menjadi bersih, siap dijadikan bedengan tanah, dan benih siap untuk ditanam (bdk. Mzm 126:5). Akupun bercermin dengan diriku sendiri melalui pengalaman sederhana dan penuh rahmat ini. Aku merefleksikannya dalam hidup panggilanku saat ini sebagai calon imam. Masa formatio merupakan masa di mana aku semakin memurnikan motivasi panggilan dan mengarahkan pandangan hanya kepada-Nya. Kendati demikian, dalam proses memurnikan motivasi dan mengarahkan pandangan kepada-Nya, ada berbagai macam hal yang menghambat proses tersebut, yakni kelemahan dan dosa. Kuncinya adalah kelemahan dan dosa tercabut sampai ke akar-akarnya, meski aku menyadari bahwa semua itu membutuhkan perjuangan dan pengosongan diri (Flp 2:7). Hari demi hari aku lalui dengan gembira bersama teman-teman di kebun. Canda tawa dan sharing dengan para karyawan merupakan suatu hal yang juga meneguhkan panggilanku. Salah seorang karyawan berkata, “pekerjaan sebagai petani merupakan pekerjaan kasar dan membutuhkan kerja keras. Jadi, kalau kerja seperti ini mesti sabar dan telaten". Sejenak aku tersentak dan diam seribu bahasa. Aku membayangkan kerja keras dan perjuangan mereka merawat dan memelihara tanaman demi kepentingan orang banyak. Tanpa kerja keras dan perjuangan, apa yang dilakukan tidak akan mencapai hasil yang optimal. Demikian pula, ketika aku dilanda rasa malas, bosan, dan jenuh, pekerjaan yang aku lakukan menjadi tidak optimal. Spontan aku teringat sebuah peribahasa, “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian�. Untuk dapat menikmati hasil panen, dibutuhkan suatu usaha dan kerja keras. Semua tidak serta merta terjadi dan ada begitu saja. Ada karya Allah yang senantiasa menyempurnakan usaha manusia. Sebagai umat beriman Kristiani, aku menyadari bahwa usaha, kerja keras, dan perjuangan yang dilakukan bukan semata-mata hanya untuk menikmati hasil panen, tetapi lebih daripada itu, kita ikut ambil bagian dalam mencintai lingkungan hidup dan panggilan. Hasil panen sayur-mayur khususnya diproduksi untuk kepentingan seluruh warga yang ada di Panti Asuhan. Hasil panen diolah bagian dapur menjadi masakan yang dinikmati bersama. Apa yang ditanam, dipanen, dan dimakan merupakan usaha dan karya dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Sungguh nikmat, gembira, dan bersyukur yang aku rasakan ketika menikmati hasil panen berupa makanan yang tersaji. Sebagai catatan penting bahwa produksi sayur-mayur yang dihasilkan adalah sayur-mayur organik (tanpa bahan kimia). Serpihan-serpihan pengalaman sederhana ini sungguh ingin 34
TS/Edisi Live in
mengungkapkan kasih Allah yang begitu besar yang aku rasakan. Karena kasih-Nya, aku dimampukan untuk semakin mencintai segenap alam ciptaan dan panggilan yang berasal daripada-Nya. Kasih Allah juga memampukanku memaknai setiap pengalaman yang aku alami sehingga aku merasakan kasih-Nya melalui tanaman-tanaman yang aku jumpai. Kasih untuk merawat, memelihara, dan melindungi alam ciptaan, kini menjadi bagian dalam hidupku.
Untuk Apa Aku Melakukan Semuanya Itu? Kegiatan live in yang aku alami merupakan kegiatan live in yang mengisahkan pengalaman unik, mengesan, dan membawa perubahan dalam hidup. Meski demikian, semuanya tidak terjadi secara otomatis. Waktu, tenaga, kemauan, dan kesetiaan dalam berproses memampukanku melihat dan merasakan pengalaman bersama Allah selama peziarahan live in. Semua pekerjaan yang aku lakukan bukan tanpa perjuangan dan cinta. Saat di mana aku merasa jenuh, lelah, bermalas-malasan, akupun bertanya dalam hati, “untuk apa aku melakukan semuanya ini?� Aku menyadari bahwa perjuangan dan kerja keras yang aku lakukan semata-mata untuk membalas cinta-Nya yang besar kepadaku, meski aku tahu apa yang aku lakukan belumlah cukup untuk membalas cinta-Nya yang besar. Kendati demikian, aku tidak kehilangan kegembiraan dalam selama kegiatan live in. Pengalaman selama live in juga memberi dampak dan perubahan positif dalam hidupku. Sekurang-kurangnya aku belajar mencintai alam ciptaan. Awalnya, aku merasa perhatianku pada lingkungan hidup hanya sebatas pengetahuan semata. Artinya, pengetahuan yang aku miliki tentang lingkungan hidup masih di permukaan belaka dan belum terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Untuk sampai pada sebuah pemaknaan mendalam harus bertolak ke tempat yang lebih dalam (Luk 5:4). Melalui pengalaman live in, aku belajar dari semangat St. Yusup yang sekaligus nama pelindung Panti Asuhan. Dalam pribadi St. Yusup, pekerjaan tangan memperoleh suatu dimensi ilahi. Kerja meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Allah dan memungkinkan manusia turut serta di dalam karya penciptaan dan penyelamatan Allah. Yesus pun menerangkan misi-Nya sendiri terkait dengan hal bekerja: �BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga� (Yoh 5:17). Spiritualitas kerja manusia harus digali dari semangat hidup Yesus sendiri. Yesus juga seorang pekerja keras. Dia terus bekerja melalui sabda dan karya-Nya sehingga makanpun tidak sempat (bdk. Mrk 6:31). Kerja tangan yang aku lakukan setiap hari, tidak hanya dilihat sebagai kegiatan fisik semata, tetapi sebagai ungkapan kesiapsediaan untuk dibentuk dan terbuka dalam situasi apapun.
TS/Edisi Live in
35
Sebagai calon imam, keutamaan siap sedia dan terbuka dengan situasi apapun menjadi bagian penting yang terus dihidupi dan diperjuangkan. Dalam keutamaan tersebut terkandung dimensi sosial, yakni peka dan tanggap dengan keadaan di sekitarku, termasuk lingkungan hidup. Kini lingkungan hidup menjadi bagian dari hidupku yang perlu aku rawat dan pelihara sebagai wujud syukur dan cinta kepada Tuhan dan sesama. Hal ini juga tampak dalam kebersamaan dengan teman-teman karyawan yang senantiasa meneguhkan dan menguatkan jalan panggilan yang aku pilih ini. Inilah kado terindah dari Tuhan yang aku alami, dapatkan, dan rasakan. Dengan demikian, akupun semakin menyadari bahwa Tuhan memanggilku untuk mencintai lingkungan hidup dan panggilan dan membagikan kado terindah dari Tuhan kepada sesama. Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si berpesan, “Sadarilah tanggung jawab kita terhadap alam ciptaan Tuhan dan kewajiban mereka terhadap alam semesta dan Pencipta. Pelaksanaan tanggung jawab dan kewajiban ini merupakan bagian integral dan esensial dari hidup beriman.�
36
TS/Edisi Live in
Menjadi Pribadi
Organik Reinardus Doddy Triatmaja
TS/Edisi Live in
Suasana khas pedesaan yang tak kutemukan dalam bisingnya kota Metropolitan menyeruak erat ketika kulangkahkan kaki di Salatiga. Kota asri nan subur yang belum pernah kujumpai sebelumnya. Udara sejuk yang merasuk dalam rongga hidung seakan mengajakku untuk bersemangat dalam menjalani pembinaan diri. Di Salatiga, di sinilah panggilanku disegarkan kembali. Kesegaran suasana Salatiga membawa penyegaran juga dalam panggilanku. Rasa syukur yang tak pernah lelah menghampiriku dalam setiap permenunganku akan anugerah alam ciptaan-Nya ini. Bukan gengsi atau soal prestise yang seharusnya tak membuatku urung untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kreatif seperti bertani atau berternak semacam ini. Aku masih ingat betul apa yang dikatakan oleh Mgr. Ign. Suharyo kepadaku dalam salah satu kesempatan berwawan hati dengan beliau, “Seorang imam bukan hanya dapat memegang Tubuh Kristus yang mulia, namun juga harus dapat mengerjakan hal-hal yang sederhana atau malahan dianggap rendah oleh orang lain.” Maka, seharusnya pergaulanku dengan cangkul, tanah, bahkan dengan teletong (baca: kotoran) sapi atau babi bukanlah masalah bagiku. Malahan, itulah rahmat yang harus kusyukuri karena tak setiap orang punya pengalaman yang menakjubkan seperti ini. Rasa syukurlah yang membuatnya semuanya menjadi bermakna. Tentu, hal inilah yang menjadi modal awalku untuk memulai segalanya di Salatiga. Keyakinan untuk menjadi pribadi organik yang ditanam sendiri oleh Bapa (Mat 15:13) bertumbuh di dalam untaian pengalaman yang kurajut bersama-Nya di tempat ini.
Terasing di Kandang Babi Pengalaman menakjubkan kumulai di tempat ini dan melalui pengalaman sederhana ini, yakni belajar berternak babi. Proses berternak babi bukanlah proses yang mudah. Pengalaman eksistensial ini secara nyata kujumpai setelah aku mendapatkan tugas di kandang babi selama tiga kali. Awalnya, memang aku banyak bertanya dalam diri karena teman-teman yang lain hanya satu kali di sana, sedangkan aku dan salah seorang partner kerjaku mendapatkan tiga kali kesempatan untuk menyambangi mereka(yang biasanya hanya kutemui di atas meja makan di seminari). Tak pernah terbayang tempat mereka hidup dan diternakkan. Namun, dengan kesempatan ini aku boleh mengenal hewan-hewan ternak ini lebih dekat. Salah satu keutamaan yang kental kusadari dan kutanamkan di tempat ini adalah hal keberanian. Berani untuk jujur memang terkadang sulit. Keberanian merupakan hal yang kuperjuangkan. Rasa takutku berhadapan dengan ‘motor’—sebutan kami yang belajar di KPTT untuk babi— 38
TS/Edisi Live in
membuatku berani jujur untuk mengatakan bahwa aku tidak berani masuk ke kandang. Begitupun dalam hidup panggilan. Keberanian adalah sesuatu yang mutlak harus kumiliki agar aku pun berani untuk masuk dalam proses bersama Roh Kudus. Aku adalah orang asing yang memang terasing di kandang babi. Tiga kali aku bergulat dengan rasa enggan ini untuk mau dengan rela hati menekuni tugas baru ini. Bukan rasa letih, namun rasa enggan untuk mau kotor atapun jijik. Namun, aku sadar bahwa melalui hal sederhana inilah aku melakukan hal nyata untuk berbagi kasih kepada lingkungan sekitarku. Keprihatinan yang ada di Keuskupan Agung Jakarta akan lingkungan hidup yang rusak kiranya memotivasiku untuk mau belajar (kembali) mencintai lingkungan hidup. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam berternak maupun bertanam, harus ada kerja tangan yang merupakan aksi nyata. Semua usaha ini tidak dapat dilepaskan dalam keterlibatan untuk mau terjun langsung dan melihat lebih dekat akan proses yang terjadi. Proses bertanam dan berternak bukanlah proses instan, layaknya panggilan. Bukan hanya duduk di belakang meja atau mempelajari teori yang rumit dan membingungkan, namun yang lebih utama adalah praktek. Melalui proses trial and error di lapangan, aku belajar untuk bergulat dalam proses panjang yang seolah tanpa harapan. Tepat, di saat inilah aku masuk dan berkubang dalam misteri perutusan-Nya untukku. Dalam pergulatan inilah, aku berusaha untuk menemukan butirbutir harapan dari-Nya.
Tanam Harapan, Tanam Panggilan “Lihat, ia memang ditanam, tetapi apakah ia akan memberi hasil? Apakah ia tidak akan layu kering kalau ditimpa angin timur?� (Yeh 17:10). Keraguraguan seperti ini muncul dalam menjalani prosesku di sana. Namun, semakin hari aku menyadari bahwa bagiku, KPTT menyediakan paket komplit kepadaku kurang lebih dua minggu aku berproses di tempat ini. Bertanam, bertani, dan berternak adalah proses pembinaan yang juga mempengaruhi perkembangan diri berkat benturan kenyamanan pada diriku sendiri. Keprihatinanku pada alam lingkungan sekitar juga kutemukan solusinya dari hal yang dasar: mulai dengan proses mencintai! Mengenal berarti mencintai. Pengenalanku pada hewan-hewan ternak dan berbagai tanaman dalam proses belajarku ini membuatku perlahan mencintai alam lingkunganku. Proses yang panjang harus dilalui dari setiap tanaman. Mulai dari proses pembibitan sampai siap tanam, harus didasari dengan kesabaran dan kerendahan hati. Selain itu, perjuangan untuk memberantas hama, gulma, dan penyakit tanaman merupakan proses dengan makna tersendiri. Banyak hambatan dalam perkembangan diri, layaknya gulma, bagaimana aku dapat memberantasnya? TS/Edisi Live in
39
Kuakui bahwa berbagai keluhan dalam hati muncul secara pasti dari hari ke hari. Tanpa sadar, aku sebenarnya menghitung waktu untuk kembali pulang ke wisma. Aku bergelut dengan rasa ketidaknyamanan diri di tempat ini, yang pasti kurasakan mengusikku. Di tempat inilah kusadari bahwa aku belajar akan makna daya tahan diri dan berjuang. Prosesku bertanam di tempat ini adalah prosesku menanam harapan akan panggilanku juga. Semua hal dalam panggilan kuharapkan berbuah baik, berbuah dan tumbuh besar seperti biji sesawi yang “tumbuh dan menjadi pohon dan burung-burung di udara bersarang pada cabang-cabangnya� (Luk. 13:19). Aku berusaha, namun juga melibatkan karya Allah dalam membentuk diri yang lebih matang. Kesuburan panggilan ini berasal dari akar motivasiku yang kuat dan tanah pembentukan pribadiku yang gembur.
Yang Sehat, Yang Alami Proses alami dalam panggilan dapat berarti pembentukkan diri dalam proses formatio dengan semangat keterbukaan untuk mau dibentuk oleh Roh Kudus sendiri. Segala hal yang alami itulah yang memang sehat. Namun, terkadang sesuatu yang non-instan itu melelahkan. Untuk menjadi yang organik, dibutuhkan kerendahan hati dan sikap yang mau terbuka pada pembinaan diri yang kerap masih rapuh. Yang sehat itu memerlukan waktu yang lama, namun benar-benar menyehatkan. Begitupun dengan hidup panggilan yang merupakan proses alamiah dalam hidupku ini. Campur tangan kasih-Nya lah yang senantiasa membuatku setia bertahan dalam setiap pembentukkan diri yang tak mudah dan kerap berlangsung lama. Menjadi pribadi organik berarti menjadi pribadi yang tumbuh subur dan berkualitas dalam proses yang panjang dan penuh perjuangan. Dengan pengalaman berharga ini, aku belajar mengenal, mengolah, dan menghargai proses. Inilah satu hal pula yang patut kusyukuri dalam pengalaman penuh rahmat ini. Untuk sampai di hadapanku, semua hal yang kulahap di waktu-waktu makanku tersebut membutuhkan proses yang berlangsung panjang. Aku pun juga belajar memposisikan diri sebagai seorang petani. Petani yang setiap hari harus bergulat dengan kerasnya terik cahaya di siang hari, yang bekerja keras namun tetap saja mendapatkan hasil yang tak seberapa karena memang kurang diperhatikan. Keprihatinan ini menimbulkan tempat di hati untuk juga mau berpartisipasi dalam karya nyata di lingkunganku khususnya. Habitus yang baru dan pendidikan karakter yang berdaya tahan dan penuh perjuangan justru yang kental kualami dalam pembentukkan diri di Salatiga. Kehadiran Tuhan kualami dalam diri teman-temanku, khususnya mereka yang baru saja kukenal, yakni mereka yang datang dari Kalimantan 40
TS/Edisi Live in
dan Ambarawa. Bagiku, mereka adalah sahabat seperjalanan yang selalu menyemangati dan membuatku selalu siap untuk terbiasa bekerja keras dan pantang menyerah. Pengalaman ini sekaligus menjadi pengalaman nyata dalam olah fisikku untuk juga siap sedia dan terbuka akan segala pengalaman yang nantinya pasti membawa pemaknaan baru untukku, bukan malah “pergi menyembunyikan talenta di dalam tanah� (Mat.25:25). Menjadi siap terbuka dengan kondisi apa pun merupakan hal yang kusadari mulai kupersiapkan kini. Keluar dari zona aman dan nyaman, kemudian masuk dalam pergumulan yang menguji diri. Menjadi nyata pula bahwa pengalaman yang kualami ini adalah pengalaman menakjubkan yang mengembangkan hidup rohaniku. Hidup dengan mudah bersyukur adalah indikasi yang paling nyata sederhana kurasakan mulai terbangun dalam semangat menekuni panggilan. Pengalaman berhadapan dengan diri sendiri jelas menjadi hal yang tak luput dalam permenungan. Secara sadar, aku menata diri untuk mau masuk dalam situasi yang sulit dan pengalaman bersusah payah. Keterlibatanku dalam lingkungan hidup bukan hanya menjadi habitus sesaat yang hanya muncul di tempat ini saja. Pengalaman belajarku kali ini membawaku pada kesadaranku akan perhatian yang lebih untuk lingkungan hidup, khususnya sebagai seorang calon imam Diosesan Jakarta. Berbagai pembinaan diri ini yang nyatanya membuatku selalu disiapkan dan dibiasakan untuk selalu mau terbuka dengan situasi sulit dan tantangan yang baru ke depannya. Merawat lingkungan menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk belajar merawat panggilan juga, khususnya dalam keadaan Jakarta yang sarat akan nilai-nilai penghargaan terhadap lingkungan hidup.
Pertemuan itu Meneguhkanku Mencari penyegaran di alam kota Salatiga merupakan hal menarik yang kulakukan di sela-sela prosesku ini. Sekadar berjalan-jalan di sekitar alun-alun kota dengan merasakan sejuknya Salatiga adalah refreshing yang membawa angin semangat yang merasuk dalam raga. Aku terhibur, tertarik tanpa tertambat dalam penyegaran yang sementara ini. Badai peneguhan dalam panggilan lain lagi kualami. Dalam kesempatan untuk mengunjungi kota-kota di sekitar Salatiga, aku dan teman-teman berkunjung ke Girisonta. Bukan untuk retret ataupun wisata, hanya satu harapan kami bersama, yakni bertemu dengan Romo Koelman yang telah sekian lama berpisah dan kini menetap di Wisma Emaus, Girisonta. Warna suaranya yang khas dengan keramahannya yang sudah tak lagi asing di telingaku membuatku bahagia bertemu dengan beliau. Canda tawa dan gurauan tentang panggilannya membawa kembali semangat TS/Edisi Live in
41
dan harapan bagiku. Secara jujur, dari proses live in ku ini, hal inilah yang merupakan semangat peneguhan panggilan terbesar bagiku.
Penutup: Belajar dari Benih Bukanlah waktu yang singkat untuk mengalami dan merasakan kehadiran-Nya dalam pergulatan mencintai panggilan. Proses yang sama juga dialami oleh sebuah benih kecil di tanah ini. Sesuatu yang bukan apaapa bertumbuh menjadi besar, namun tetap belajar untuk menjadi yang bukan apa-apa. Biarpun telah besar, sebuah benih harus kembali belajar merendah, bahkan mengorbankan diri dengan mengosongkan diri untuk belajar merelakan dirinya untuk generasi selanjutnya. Tak mudah memang untuk menerima rasa sakit dan menderita. Namun, inilah arti pemberian diri untuk selalu mau tulus dan merasakan kebahagiaan sejati. “Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil� (Mzm 1:3). Desiran semilir angin lembah membuat semesta hijau ini bergeming. Pengalaman akan kehidupan membuka mata hati dan menyadarkan diri akan indahnya sanubari. Bukan rasa enggan, namun rasa takjub pada Yang Kuasa. Harapan dalam tanaman hijau yang merekah berjalan bersama tumbuhnya panggilan suci di hati. Tak ingin kutolak, namun kurawat dalam kehendak batin yang kuat untuk mengikuti-Nya. Pergumulan diri takkan pernah usai. Hanya pemaknaan yang selalu berubah dengan menyesuaikan proses alami. Dalam cinta dan syukur, kunikmati panggilan ini.
42
TS/Edisi Live in
Terus
Berjalan Bersama Rahmat-Nya Albertus Bondika
TS/Edisi Live in
Hidup manusia sesungguhnya dipenuhi dengan banyak pertentangan. Dalam Ilmu Alam, Isaac Newton dalam hukumnya yang ketiga menjelaskan hal ini dengan sangat brilian. Setiap aksi selalu dibarengi dengan reaksi dalam jumlah yang sama. Itulah sebabnya, bus umum yang melaju ke depan dengan cepat selalu membuat penumpangnya seakan terlempar ke belakang. Gerak ke depan dipertentangkan dengan keterlemparan ke belakang. Hanya saja, pertentangan itu tidak selalu dapat dijelaskan. Hal ini secara keren dapat disebut paradoks. Salah satu contohnya adalah pengalamanku mendaki gunung. Semakin tinggi keberadaanku di atas permukaan laut, semakin jauh pula jarakku dengan dunia tempatku tinggal. Uniknya bahwa di situlah aku justru merasa semakin dekat dan mengenal diriku sendiri. Inilah paradoks, yaitu dengan menjauhi dunia, aku justru semakin dekat dengan kehidupan. Apa yang pernah kualami itu ternyata terjadi juga dalam pengalaman live in yang kujalani. Dinamika di Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) membawaku pada pengalaman kehidupan yang paradoks. Hanya kali ini, pendakianku hanya terjadi di imajinasiku yang sejalan dengan ayunan cangkulku ketika memecah bebatuan. *** Setiap pendakian membutuhkan persiapan. Hal serupa juga terjadi dalam pengalamanku di tempat itu. Berurusan dengan kehidupan, apalagi dengan tanaman, jamur, dan ternak, tetap perlu adanya suatu pendahuluan. Setiap sore, diadakan pertemuan layaknya dinamika pembelajaran di kelas. Mereka yang sepanjang hari bersama-sama di ladang dengan caping yang sama, kini menjadi dosen dengan sisiran rambut rapi dan pakaian yang disetrika halus. Pada kesempatan itulah, waktu 120 menit akan dihabiskan untuk memperkaya wawasan teoritis tentang tanaman, jamur, dan ternak. Duduk, diam, dan mendengarkan ternyata tidaklah semudah yang kubayangkan. Apalagi ketika sepanjang hari telah diisi dengan gerakan tubuh yang menguras banyak energi. Ingin rasanya aku pergi dari ruangan itu dan lebih memilih pembelajaran di lapangan yang dapat langsung dipraktekkan. Di antara kelopak mata yang semakin sayu, aku mulai tersadar akan satu hal. Hidup senantiasa berusaha mencari keseimbangannya. Di saat tubuhku aktif bergerak, maka perlu diimbangi dengan situasi diam yang penuh ketenangan. Apa yang kualami di kelas merupakan usaha untuk mencapai keseimbangan itu. Walau tidak mudah, aku percaya ada nilai-nilai kesetiaan yang sedang bertumbuh di sana. Persiapan lain juga terjadi di tempat penyemaian benih. Biji suatu tanaman dipilih yang terbaik dan terkumpullah benih yang siap tanam. 44
TS/Edisi Live in
Di lingkungan yang dikondisikan, benih itu disemai agar tumbuh menjadi tanaman muda yang disebut bibit. Baru pada waktu kematangannya, bibit itu dapat dipindahkan ke lahan yang lebih luas. Pengalaman di rumah penyemaian dan pembibitan adalah saat-saat yang penuh rahmat. Aku sadar akan kelemahanku dalam memperhatikan hal-hal kecil. Justru di tempat inilah aku diajak untuk bertekun dalam detail-detail dengan kehidupan di tahap awal yang paling ringkih. Bukanlah hal yang mudah untuk bertahan dalam situasi ini. Di balik perjuangan yang kulakukan, aku sadar bahwa tidak selamanya hidupku dipenuhi dengan hal-hal besar. Rasa-rasanya malahan lebih banyak peristiwa kecil dan sederhana yang mewarnai hari-hariku. Saat itulah mata dan hatiku mulai terbuka. Pemaknaan dari detail-detail hidup yang mungkin terkesan sepele adalah awal dari pengalaman syukur yang besar atas rahmat-Nya. Persiapan barulah awal. Masih ada perjalanan dan pendakian yang menanti. Maka akupun memberanikan diri untuk terus berproses dalam pengalaman ini. *** Pendakian amat jarang dilakukan sendirian. Begitu pula pengalaman live in ini kujalani bersama orang-orang di sekitarku. Canda tawa, keringat, dan kebersamaan ini menjadikan setiap detikku lebih berharga. Penugasan untuk berkebun dan beternak dilakukan secara berkelompok. Uniknya bahwa aku selalu mendapat teman sekerja yang sama, yaitu Fr. Beto. Seiring tetes keringat yang dicurahkan bersama, ia pun bertransformasi menjadi teman seperjalananku. Relasi yang dibangun dalam pandangan yang sempit bukanlah persaudaraan yang mendalam. Itulah pengalaman awalku yang kulihat dalam diri Fr. Beto. Lebih banyak hal negatif yang kudapat dari keberadaannya. Ternyata, pengalaman kebersamaanku yang intensif dengannya membuka mataku akan kekayaannya yang unik dan berharga. Di balik tubuhnya yang mungil dan sikapnya yang terkesan kekanakkanakan aku mulai menemukan kilauan mutiara dalam hidupnya. Ia menyimpan suatu kepekaan yang besar pada lingkungan sekitarnya. Ketekunannya kerap kali menegurku yang cenderung mudah putus asa dan bermalas-malasan. Bahkan perhatiannya pada sesama membuatku malu akan kebiasaanku untuk cuek dan meremehkan sesama. Kehadiran-Nya mulai kusadari sebagai cara-Nya utuk terus membentuk dan mendewasakanku melalui keberlimpahannya. Selain rekan-rekan dari Jakarta, aku juga bertemu dengan teman-teman baru yang tengah menjalani pelatihan di tempat tersebut. Ada dua kelompok lain di sana, yaitu teman-teman dari Ambarawa dan perutusan Credit Union TS/Edisi Live in
45
dari Kalimantan. Perjumpaan dengan mereka yang pada mulanya terkesan asing itu mulai berubah menjadi perjalanan bersama kawan perjuangan. Keberadaan mereka menyadarkanku akan indahnya hidup yang teratur dalam sebuah rumah pembinaan. Bagi teman-teman dari Ambarawa dan Kalimantan, hidup dalam asrama adalah hal yang baru. Satu hal yang menarik bagiku bahwa dinamika yang bagi mereka berat pada mulanya, justru membawa banyak hal positif. Hidup teratur membuat mereka sehat, baik secara fisik maupun kepribadian. Aku teringat betapa sering aku mengeluh akan dinamika hidup berasrama. Perjumpaanku dengan teman-teman dari Ambarawa dan Kalimantan memberikan tamparan atas sikapku itu. Aku sadar bahwa hidup teratur yang kudapatkan adalah sebuah bentuk kemewahan yang belum tentu bisa dirasakan oleh banyak orang. Satu hal yang menjadi jelas kini adalah perlunya pertumbuhan rasa syukur yang terwujud nyata dalam komitmenku untuk terus bertumbuh. Perjalanan bersama teman-teman terdekat memang menyenangkan. Pendakian menjadi lebih ringan dalam kebersamaan. Kendati aku pun sepenuhnya sadar bahwa masih banyak langkah kaki yang akan kutempuh. *** Waktu yang panjang senantiasa identik dengan rasa jenuh. Begitupun yang kualami dalam pengalamanku di KPTT. Bagaimanapun setiap pendakian pasti melalui fase jenuh. Waktu-waktu selama live in tidak selamanya indah. Aku juga mengalami titik-titik terendah ketika rasa jenuh berkecamuk dalam diriku. Hal tersebut semakin mengkristal setiap kali aku mendapat tugas untuk membersihkan gulma. Bukanlah hal yang menyenangkan ketika hidangan sudah tersedia di meja makan sementara aku justru ditugaskan membersihkan sekitar meja makan itu. Itulah yang kurasakan setiap memangkas tanaman liar. Alih-alih merawat tanaman, aku justru berurusan dengan hal-hal yang awalnya kukira tidaklah penting. Seiring dengan banyaknya rumput liar yang kubinasakan, sebuah pencerahan menyapa diriku. Pemahamanku terbuka bahwa tidak selamanya perawatan bergerak dari dalam. Ada kalanya pengkondisian lingkungan juga perlu. Hanya saja seperti membersihkan gulma, tidak mudah membentuk situasi ideal untuk perkembangan diriku. Secara alamiah, aku justru lebih senang dalam kenyamanan di antara tanaman-tanaman liar, meski sulit bertumbuh. Pengalamanku ini mengingatkanku akan peran lingkungan yang sedikit banyak mempengaruhi pertumbuhanku. 46
TS/Edisi Live in
Kejenuhan juga muncul ketika aku harus menyiram tanaman. Dibutuhkan konsistensi dan ketelitian yang lebih. Ternyata persis di situlah tenaga dan situasi hatiku banyak terkuras. Tanpa kusadari, mentalitas hidup instan ternyata sudah semakin merasuk. Aku kurang setia dalam proses. Selalu muncul godaan untuk menyiram sekenanya demi menyelesaikan tugas dengan cepat. Pengalaman ini mengingatkanku akan makna di balik proses. Air dan selang menyadarkanku bahwa cepat tidak selamanya baik. Di balik proses yang sepintas terkesan membuang-buang waktu, ada tempat tak terlihat yang sedang membentuk hidupku. Rasa jenuh dalam pendakian tidaklah terelakkan. Aku juga sadar setiap perjalanan menyimpan kejutan untuk mengusir kejenuhan. Untuk itu, biarlah kaki ini tetap melangkah maju. *** Berada di padang edelweiss merupakan saat-saat penuh keajaiban dalam dinamika pendakian. Begitupula dalam pengalaman live in ini ada saat-saat penuh rahmat di mana bibirku dapat kembali tersenyum. Bagaimanapun, Dia akan senantiasa membuat hatiku tersenyum. Canda dan tawa selalu membawa kehangatan seperti sang mentari yang menerangi bumi di pagi hari. Suka cita itulah yang kurasakan dalam perjumpaanku dengan para dosen dan karyawan di KPTT. Aku tersadar bahwa kesederhanaan dan kebahagiaan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Entah mengapa gambaran hidup petani dan peternakan dalam benakku diwarnai dengan situasi yang memprihatinkan. Dalam pengalaman ini, pandanganku terbuka lebih lebar atas hal ini. Jika sebatas memandang dari segi materiil, hal itu mungkin ada benarnya. Hanya saja dari sudut pandang yang lebih luas, ada kekayaan sejati yang belum kuketahui. Perjumpaan dengan alam ternyata berbuah pada suka cita yang mendalam. Hal itu terpancar secara nyata dari keseharian orang-orang yang kujumpai di KPTT. Aku terhenyak bahwa kerap kali aku sudah semakin menjauh dari bumi ini. Perjumpaan yang penuh kesederhanaan ini seakan membasahi hidupku dengan rahmat berlimpah. Tuhan telah terlebih dahulu menciptakan alam sebelum manusia. Demikian halnya dengan kembali pada alam, aku memiliki kesempatan untuk dapat lebih dekat dengan-Nya. Pengalaman membahagiakan lain juga muncul dalam suatu tumpukan yang terkesan menjijikkan. Siapa sangka dinamikaku bersama sapi, babi, dan kotoran-kotorannya justru berbuah pada suka cita. Merawat kehidupan menjadi nilai berharga yang bisa kupetik pada pengalaman live in ini. TS/Edisi Live in
47
Cuci motor dan cuci mobil. Itulah istilah akrab untuk menamai penugasan di kandang babi dan kandang sapi. Faktanya di lapangan, ukuran ternakternak itu memang sebesar kendaraan bermotor. Hanya saja, bukan asap yang keluar, melainkan tumpukan kotoran. Selain memandikan dan memberikan makan, aku pun berkesempatan membersihkan kandang mereka. Tanpa sadar aku pun terkadang berkomunikasi dan menjalin ikatan emosi dengan babi dan sapi. Aku menemuka suka cita atas pelayanan pada alam ciptaan. Dalam wilayah yang lebih luas, aku sadar betapa membahagiakan penyerahan diri yang bisa kulakukan untuk sesama. Pengalaman indah memang menyenangkan. Hanya saja perjalananku belumlah selesai. Aku sudah semakin jauh dari tanahku berpijak dan aku akan segera menyongsong puncak pengalamanku. *** Tidak banyak tempat yang menyajikan pemandangan di atas awan. Itulah sebabnya peristiwa di puncak gunung selalu meninggalkan kesan yang mendalam. Begitupula yang kualami di puncak pengalaman live in kali ini. Di saat aku jauh dari rutinitas keseharian, hidupku terbuka pada suatu hal yang benar-benar lain. Pertama-tama aku bertemu dengan diriku melalui perjumpaan dengan bumi dalam segala kekayaannya. Banyak hal yang bisa kusyukuri atas anugerahnya. Tidak sedikit pula pengolahan lanjut yang menjadi tugas-tugas baruku. Jauh lebih dalam, aku juga bertemu dengan Dia yang pernah, sedang, dan akan terus memanggilku. Setiap sentuhan dengan alam ciptaan senantiasa menggetarkanku akan pengolahan dalam menjawab ajakan-Nya. Imamat mendapat bentuknya yang semakin nyata dalam setiap usaha kerja nyata bersama tanaman dan ternak. Keberadaan di puncak membuat hati nyaman. Hanya saja aku sadar tidak bisa selamanya aku berada di sana. Ada perjuangan nyata yang masih kuhidupi setelah turun dari pendakian ini. Pengalaman live in telah banyak membuka mataku. Kini saatnya bagiku untuk kembali dalam perjuangan dan terus berjalan bersama rahmat-Nya.
48
TS/Edisi Live in
Menjadi
Imam “Organik�
Marcellinus Vitus
TS/Edisi Live in
“The ultimate purpose of other creatures is not to be found in us. Rather, all creatures are moving forward with us and through us towards a common point of arrival, which is God, in that transcendent fullness where the risen Christ embraces and illumines all things.� Laudato Si art. 83 Menanam dan merawat tanaman bagaikan merawat panggilan. Jika tanaman tidak disiram atau diberi pupuk secara berkala, lambat laun ia akan mati. Begitu pula dengan panggilan. Suatu misteri dan anugerah dari Allah kepadaku ini perlu terus-menerus dirawat dan dikembangkan dengan kesungguhan hati sehingga panggilan tetap tumbuh bersemi. Pengalaman live in ini bagaikan menjadi sebuah kesempatan bagiku untuk merawat, menyiram, memupuk dan memurnikan panggilanku sebagai seorang calon imam Keuskupan Agung Jakarta.
Mempersiapkan benih Sebelum menanam suatu tanaman, hal yang pertama dilakukan adalah mempersiapkan benih. Benih menjadi komponen dasar dan utama dalam menanam. Tanaman tidak akan tumbuh bila tidak ada benih. Dari benih inilah kemudian tanaman tumbuh dan dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Hal pertama yang perlu dipersiapkan adalah ketepatan benih yang digunakan. Hal ini dimaksudkan agar tanaman dapat tumbuh sesuai dengan harapan dan jangan sampai maksud hati menanam tomat, buah terong yang didapat. Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga menjadi tempat live in ku. Spontan, aku sangat terkejut mendengar pembagian tempat live in ini. Aku bertanya dan bereaksi dalam hatiku, “Hal apa yang diinginkan oleh staf seminari sehingga mengirim para fraternya untuk tinggal di tempat pertanian? Mengapa tidak berfokus saja pada keadaan orang-orang pinggiran dan tersingkir di Jakarta?� Pertanyaanku ini didasari oleh gambaranku akan live in di wilayah pinggiran Jakarta seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Anggapan dan konsepku tentang live in ini sedikit-banyak menutup mata dan hatiku akan pengalaman baru di tempat yang baru pula. Tidak seperti Yesus yang tergerak karena belas kasih-Nya dalam berkarya (bdk. Mat. 9:36, Mrk. 1:41, Luk. 7:13), rasa penasaran dan bertanya-tanya menjadi rona dasar perasaanku di awal live in ini. Di sisi lain, aku juga merasa sangat tertantang untuk menjalani live in ini. Tidak sabar rasanya untuk memulai perjalanan live in. Tidak bisa kubayangkan pula apa yang akan terjadi nantinya selama dua minggu tinggal dan hadir secara langsung di dunia pertanian yang asing bagi diriku. 50
TS/Edisi Live in
Menyemai benih Setelah benih dipersiapkan, benih kemudian disemai. Dalam proses persemaian, benih ditanam di tempat yang khusus dengan jarak-jarak dan perhitungan tertentu. Kegunaan proses persemaian ini adalah agar benih dapat bertunas dan tumbuh hingga siap untuk dipindah-tanamkan di medan tanah sesungguhnya. Dalam proses persemaian ini benih perlu disiram setiap hari secara merata agar kelembapan tetap terjaga. Baru setelah beberapa hari –tergantung jenis tanamannya- tunas akan muncul. Hal ini menandakan bahwa proses pertumbuhan tanaman telah dimulai. Setiap paginya seluruh peserta kursus menanti pembagian tugas yang diberikan oleh Bpk. Dasim – seorang petani senior KPTT. Dengan telaten ia menyusun jadwal kerja masing-masing peserta kursus sesuai dengan bidang-bidang kerja yang telah ditentukan sebelumnya. Ada lima tempat kerja yang menjadi bidang kerjaku dan teman-taman yang lain, yakni peternakan sapi, peternakan babi, budidaya jamur, kebun atas, dan kebun bawah. Setiap tempat tersebut memiliki bidang kerja yang berbeda-beda dengan tantangannya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bagiku secara pribadi, kebun bawah merupakan bidang kerja yang paling berat. Bidang ini memerlukan tenaga yang banyak. Tempat yang luas dengan beragam tanaman yang ditanam. Ditambah lagi, tanaman di kebun bawah pun memerlukan perawatan yang berbeda-beda. Di kutub yang lain, “budidaya jamur” menjadi bidang kerja favoritku. Tenaga yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Sebaliknya, dibutuhkan kecermatan serta ketelitian – suatu hal yang sungguh-sungguh kusukai - dalam mengerjakan serta mempersiapkan log-log persemaian jamur. Akan tetapi, Tuhan – melalui Bpk. Dasim – berkehendak lain. Selama sembilan hari kerja, aku hanya satu kali bertugas di tempat budidaya jamur. Sementara itu, di kebun bawah aku mendapatkan tiga kali giliran bertugas. Sangat berat rasanya ketika mengetahui di pagi harinya bahwa aku bertugas di kebun bawah. Namun, seiring berjalannya waktu, aku dapat menikmati dan mempersatukan diri dengan segala tugas di kebun bawah. Dari pengalaman sederhana ini, nampaknya Allah menginginkanku untuk mau dan terus bertekun di dalam keadaan yang tidak nyaman bagiku. Hal ini menjadi tonggak dan menumbuhkan harapan untuk menembus batas kenyamanan diriku sendiri (bdk. Mzm. 18:20).
Perawatan: Pupuk dan Penyiraman Penanaman bibit bukan berarti proses penanaman telah usai. Justru rangkaian proses setelah penanaman ini yang menentukan pertumbuhan hingga berproduksinya tanaman. Rangkaian proses selanjutnya adalah TS/Edisi Live in
51
pemberian pupuk dan penyiraman air secara teratur dan secukupnya. Dalam pertanian organik, pupuk yang digunakan organik pula, bisa pupuk kandang, kompos, ataupun biogas. Proses perawatan inilah yang secara langsung dan tidak langsung menjadi faktor penentu bagi pertumbuhan tanaman. Pengalaman live in ini pun menjadi semacam “pupuk” dan “air” dalam perjalanan formasiku. Pengalaman, pengajaran, serta nasehat dari para karyawan KPTT dan segala pihak yang kutemui selama live in semakin memperkaya pandangan serta segala hal yang perlu kupersiapkan dalam proses formasiku ini. Bpk. Dasim mengajarkan nilai “kesabaran” yang menjadi modal dasar bagi seorang petani. Dalam suatu kesempatan aku bertanya kepada Bpk. Dasim tentang waktu pertumbuhan pohon tomat. Bpk. Dasim lalu menjelaskan waktu yang tidak sebentar untuk pertumbuhan tanaman tomat. “Kok lama ya, Pak?”, tanyaku kepada beliau. Beliau dengan mudahnya lalu menjawab, “namanya Petani, ya, harus sabar. Kalau tidak mau, beli saja tomat di pasar. Cepatkan?” Di lain kesempatan Bpk. Eko mengajarkan nilai “tanggung jawab” bagi seorang peternak. Menjadi peternak 300-an babi memerlukan tanggungjawab besar. Ia dan peternak lainnya menuntut diri untuk selalu bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup ternaknya. Konkretnya adalah jam pulang kerja yang tidak sama dengan pekerja lain. Jam kerja para peternak babi, selesai pada Pk. 17.30 WIB. Mereka merasa bertanggungjawab untuk berjaga-jaga jika terjadi suatu hal terhadap babi-babi tersebut, entah melahirkan, sakit, atau ada yang keluar kandang. Baru setelah para babi terlelap, jam kerja usai. Dua pengalaman ini hanyalah gambaran singkat dari pelbagai pengalaman lainnya yang mengajarkan banyak hal bagiku. Nilai dan semangat seorang petani dan peternak juga menjadi nilai dan semangat, bahkan kebajikan yang perlu ditumbuhkan dalam diri seorang imam. Tidak mudah memang, dan tentunya memerlukan suatu perjuangan yang tidak sebentar. Diperlukan latihan dan aksi konkret dariku untuk menumbuhkan terus serta mengembangkannya dalam perjalanan panggilan ini.
Pengendalian Hama: Menembus batas diri Agar tanaman dapat tumbuh dengan maksimal, kehadiran hama pun perlu diperhatikan. Kehadiran hama bisa berdampak pada kerusakan dan bahkan kematian tanaman. Tentunya ada banyak jenis hama yang dapat merusak tanaman. Kemampuannya yang adaptif pun seringkali membuat pestisida yang digunakan tidak mempan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu teknik pengendalian hama dalam proses pertumbuhan tanaman. 52
TS/Edisi Live in
Bpk. Jimin, dalam kesempatanku bekerja di peternakan sapi, berkata demikian, “ayo ter… kita ambil kotoran sapinya. Anggap aja ini latihan untuk blusukan ke rumah umat….” Aku lalu dengan perlahan-lahan dan menahan rasa enggan dan jijik, mulai mengangkat kotoran sapi tersebut untuk dijadikan pupuk bagi tanaman. Pernyataan singkat nan sederhana dari Bpk Jimin ini berbicara banyak bagiku. Salah satunya adalah ajakan serta harapan dari seorang umat untuk mau turun langsung ke umat dan terus melek akan kehadiran umat yang terpinggirkan dan perlu disapa oleh gembalanya. Awalnya sungguh berat bagiku untuk mengangkat serta mengambil kotoran sapi dengan tangan kosong. Rasa jijik melihat rupa dan mencium bau kotoran sapi menjadi salah dua faktor penolakanku. Lebih jauh lagi, kutemukan bahwa keenggananku ini muncul karena aku sudah terlebih dahulu membangun tembok pembatas diri. Kemampuanku adalah segala hal yang ada di dalam tembok ini, sementara yang di luar tembok merupakan segala hal yang di luar kemampuanku. Begitu pula, dalam hal kotoran sapi ini. Menyentuh dan bahkan mengangkat kotoran sapi merupakan sesuatu yang berada di luar batas kemampuanku. Perkataan Bpk. Jimin mengajakku untuk melampaui batas diriku. Rasa enggan dan penolakan pun akhirnya muncul. Kusadari hal ini dan ingin sekali kulawan. Akhirnya secara perlahan-lahan dari beberapa buah jari hingga langsung dengan dua kepalan tangan, aku mengangkat kotoran sapi itu. Pengalaman mengangkat kotoran sapi ini menjadi pengalaman kecil dan sederhana untuk menembus batas diri. Kusadari bahwa “tembok batas diri” merupakan hama bagi pertumbuhan panggilanku. Kalau tidak disadari dan terus dinikmati, tembok batas ini akan terus berubah dan menyesuaikan diri, layaknya sang hama perusak tanaman. Mau menjadi imam berarti pula mau mengikuti panggilan-Nya pergi keluar dari zona nyamanku untuk melampaui tembok batas diri untuk menampilkan cahaya dan kebenaran Injil (bdk. Evangelii Gaudium art. 20).
Menuai hasil: Usaha Menjadi “Imam” Organik Setelah melalui proses panjang dan tidak sebentar, akhirnya benih yang ditanam dapat dinikmati hasilnya. Ia berbuah dan buahnya sesuai dengan harapan. Menanam tanaman organik itu susah-susah gampang. Perawatannya memang tidak mudah dan tidak bisa dengan cepat dinikmati hasilnya. Hama pengganggu pun selalu hadir dan menjadi tantangan tersendiri dalam pertumbuhan tanaman organik ini. Meski tidak mudah dan membutuhkan waktu yang panjang, tanaman organik ini berdampak pada kelestarian dan kesuburan alam. TS/Edisi Live in
53
Begitu pula dengan perjalanan panggilan. Panggilan perlu dirawat dan dijaga dengan telaten. Layaknya sebuah benih kecil yang tumbuh menjadi tanaman serta pohon yang besar, demikian pula panggilan menjadi seorang imam. Ia lebih dahulu mencintai manusia (bdk. 1Yoh. 4:19). Panggilan-Nya penuh misteri; dan dalam misteri itu aku diajak berjalan bersama denganNya, tumbuh bersama dengan-Nya, dan disuburkan dengan kehadiran-Nya. Seperti kata St. Paulus, “Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan… karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah” (1Kor 3:7-9). Layaknya hama yang menjadi tantangan bagi seorang petani, begitu pula “tembok diri” dalam hidup panggilanku. Bentuk “tembok diri” ini bermacam-rupa. Seperti singa mengincar mangsa (lih. 1Pet. 5:8), “tembok diri” ini menunggu aku menjadi lengah. “tembok diri” ini perlu dikendalikan. Dikendalikan dengan cara semakin rendah hati dan mau menghadapinya dengan keterbukaan hati; untuk mendengarkan masukkan orang lain. Akhirulkalam, menjadi imam “organik” memerlukan perjuangan yang tak kunjung usai. Di sisi lain, bekerja sama dengan rahmat menjadi keniscayaan yang perlu diusahakan terus-menerus. Hadir, tinggal, dan merasakan secara langsung kehidupan seorang petani dan peternak memberikan gambaran yang semakin kaya akan hidup panggilanku. Seperti pertanian organik yang juga menyuburkan tanah, seorang (calon) imam pun perlu berupaya terus-menerus menjadi penerus dan penyalur rahmat bagi umat yang digembalakannya. Di sanalah Kristus menjadi semakin nyata dan hidup dalam dunia.
54
TS/Edisi Live in
Spiritualitas
Seorang
Petani Stevanus Harry
TS/Edisi Live in
“Ratakanlah tanah bergelombang, timbunlah tanah yang berlubang…” Penggalan nyanyian ‘Jangan Lelah’ menjadi lagu favorit yang mengiringiku ketika mencangkul. Di bawah teriknya sinar matahari siang membuatku semakin tertantang untuk semakin masuk dalam dimensi perjuangan. Rasa lelah, peluh keringat, dan cuaca yang panas seolah menjadi sahabat karib untuk masuk ke dalam kehidupan seorang petani.
Live In: Latihan Praktek ‘Mengalami’ Aku mendapat tugas perutusan live in di Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT), Salatiga. Aku merasa senang bisa belajar banyak hal tentang pertanian, namun di sisi lain ada suatu pergumulan berkaitan soal kemampuan fisik dan keterampilan bertani yang menyulitkanku. Dalam kata pengantar yang diberikan oleh Romo Mangunharjana, S.J., (sebagai Romo pendamping live in) yang menegaskan bahwa live in adalah latihan praktek bagi para frater agar dapat mengalami dan merasakan hidup sebagai seorang petani. Kesempatan live in ini aku manfaatkan sebagai sarana belajar sekaligus untuk mencicipi sebagian kecil dinamika kehidupan umat yang kurang diperhatikan. Tema live in kali ini adalah kerja tangan sebagai upaya mencintai alam sekaligus mencintai panggilan. Tema tersebut menjadi daya dorong yang memberikan semangat bagiku. Aku bersyukur kepada Tuhan yang menganugerahi alam Indonesia dengan keanekaragaman hayati, termasuk di dalamnya potensi pertanian yang besar. Akan tetapi, di balik potensi itu, justru kehidupan para petani kurang diperhatikan. Banyak dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, sungguh ironis! Petani adalah profesi yang kurang populer di masyarakat Indonesia tetapi justru berkat hasil panen mereka lah setiap hari aku dapat makan. Perjuangan dan kerja keras mereka inilah yang aku maknai sebagai pengalaman berharga untuk dapat belajar menimba keutamaan-keutamaan yang mereka hidupi. Banyak buah-buah rohani yang justru lebih dalam maknanya dibanding urusan kerja fisik belaka. Ada begitu banyak hal positif yang bisa aku kembangkan dalam kerangka hidup panggilan sebagai calon Imam.
Spiritualitas Pengharapan Hal pertama yang aku lakukan saat memulai proses bertani adalah pembibitan. Aku belajar teknik-teknik pembibitan bersama Pak Bowo. Dalam prosesnya butuh ketekunan untuk mulai menanam benih yang kecil-kecil. Dari benih sampai menjadi kecambah butuh waktu 5-8 hari. Setelah itu 56
TS/Edisi Live in
masuk ke persemaian tahap pertama. Bibit ditempatkan pada wadah khusus seperti nampan atau kotak khusus. Dari persemaian pertama butuh waktu 10-14 hari lagi untuk masuk ke persemaian kedua. Baru setelah umur 4-5 minggu tanaman boleh ditanam di tanah. Proses pembibitan ini butuh waktu sekitar 3 bulan. Belum lagi perlu diperhitungkan benih-benih yang mati, layu, dan rusak sebagai benih yang gagal tanam. Dari pengalamanku ada sekitar 10-15% benih yang mati setelah kutanam. Aku merasa sedih juga melihat benih-benih yang mati dan layu sehingga harus dibuang dan diganti lagi dengan benih yang baru. Dari proses pembibitan ini, aku belajar dua keutamaan, yaitu ketekunan dan kesabaran. Ketekunan misalnya: diperlukan mengukur jarak tanam dengan teliti supaya tumbuhnya tidak tumpang tindih. Kesabaran dibutuhkan dalam proses menunggu tumbuhnya benih. Waktu yang dibutuhkan sekitar 3 bulan bagi benih agar siap ditanam menandakan adanya sebuah kerinduan akan harapan untuk dapat tumbuh dengan baik. Dimensi inilah yang menjadikan Yesus sebagai sumber kekuatan di dalam pengharapanku. “Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasih-Mu, dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus dihadapan Allah dan Bapa kita” (1 Tes 1: 3).
Spiritualitas Kerendahan Hati Selain bertani aku juga belajar beternak. Aku belajar membersihkan kotoran babi dan sapi. Ini adalah pengalaman pertamaku untuk bergelut dengan kotoran hewan yang terasa menjijikkan. Kotoran-kotoran hewan ini nantinya dipakai sebagai pupuk dalam memenuhi kebutuhan zat hara tanah. Ada perasaan takut ketika masuk ke kandang babi dan sapi, bahkan aku pernah ‘diseruduk’ babi. Pengalaman yang tidak bisa kulupakan ketika aku mendapat tiga kali kesempatan membersihkan kandang babi dibanding teman-temanku yang lain hanya satu kali kesempatan saja. Akan tetapi, justru di sinilah kesempatan bagiku untuk belajar mengerjakan hal-hal yang rendah dan kerap tak dipandang orang. Kegiatan membersihkan kotoran babi dan sapi, hingga ‘diseruduk’ babi sangat tidak pernah kubayangkan dalam hidupku. Dari seorang scientist yang berjibaku dalam riset di laboratorium selama kuliah, kini aku merasakan ‘aroma sedap’ dari kotoran ternak. Betapa aku merasa shock tatkala Tuhan benar-benar mengizinkan peristiwa ini terjadi di dalam kehidupanku. Akupun sempat mengalami putus asa dan ‘down’. Aku hampir mau pulang karena tidak kuat menjalankan pekerjaan ini. Namun satu hal yang aku ingat adalah pesan Bapak Uskup ketika colloquium (bincang-bincang pribadi) yaitu untuk belajar pengosongan diri. Mgr. Ignatius Suharyo menyampaikan TS/Edisi Live in
57
kutipan ini kepadaku: ”yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba” (Flp 2: 6-7). Dari ayat ini aku merenungkan arti pengosongan diri. Pengalamanku semasa kuliah dan bekerja bukanlah suatu milik yang harus kupertahankan, melainkan aku harus tinggalkan. Pengosongan diri berarti juga menjadi seorang hamba dan menjadi sama dengan para petani atau peternak babi di sana. Aku belajar akan makna kerendahan hati untuk mau mengerjakan pekerjaan yang rendah, kotor, hina, dan kerap tidak diperhatikan oleh banyak orang.
Spiritualitas Bertahan dalam Penderitaan Paus Fransiskus menegaskan kepada para pewarta Injil “untuk senantiasa melakukan apa yang terbaik yang bisa, betapapun dalam proses, tapak kakinya terkotori oleh lumpur jalanan” (Evangelii Gaudium art. 45). Sapaan Paus mampu menjadi oase rohani bagiku untuk semakin mau belajar dari para petani yang walaupun sulit, namun senantiasa bertahan. Aku belajar makna bertahan dalam penderitaan dari Pak Dasim. Pak Dasim mengajariku cara membuat pestisida organik dari bahan dasar tumbuh-tumbuhan yang ada di alam (khususnya tanaman pahit dan beracun). Sistem pertanian organik sangat menghindari bahan kimia buatan yang dapat mencemari lingkungan. Dalam situasi yang berat, dimana para petani sering mengalami kerugian akibat hama dan penyakit tanaman yang menyerang. pestisida organik merupakan bentuk alternatif-kreatif yang aku pelajari dari mereka untuk mencegah semakin banyaknya hama yang menyerang. Dari seorang Pak Dasim juga aku belajar teknik pengembangbiakan tanaman melalui metode okulasi dan menyambung. Salah satu inspirasi yang aku dapatkan adalah tanaman justru akan semakin cepat tumbuh ketika dilukai. Memang agak aneh kedengarannya, namun bagi tanaman tersebut mekanisme pe-luka-an ini malahan dapat mempercepat penyerapan nutrisi. Dalam kehidupan sehari-hari ketika aku berani terluka, aku akan semakin cepat bertumbuh dan dewasa. Meskipun luka itu menyakitkan, namun justru dengan sakit itulah aku mampu bertumbuh semakin dewasa dalam memaknai peristiwa hidup. Apapun pengalaman yang aku alami, dengan bertahan dalam penderitaan aku diajak berpikir kreatif. Hal yang diajarkan oleh Pak Dasim adalah soal kekreatifitasan yang mampu memanfaatkan apa saja dari alam. Kreatifitas akan muncul justru di dalam situasi yang terbatas dan terjepit “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yak 1: 12). 58
TS/Edisi Live in
Spiritualitas Perawatan yang Intensif Perawatan menjadi faktor penting yang harus diperhatikan, bukan hanya soal menanam atau mengolah Setelah proses menanam diperlukan perawatan yang intensif guna menjaga tanaman agar dapat tumbuh dengan subur dan sehat. Ada banyak hal yang aku pelajari di sana dalam hal merawat tanaman, misalnya: pemasangan mulsa (plastik penutup tanah), penyiraman, pemupukan, hingga sanitasi gulma (tanaman liar pengganggu). Teknik pemasangan mulsa atau lebih tepatnya Mulsa Plastik Hitam Perak (MPHP) bertujuan untuk mengurangi hama dan menekan gulma. Pemasangan mulsa ini memerlukan keterampilan khusus supaya plastiknya dapat sungguh rapat dan mampu menutup tanah dengan baik. Selain itu proses penyiraman tanaman juga perlu dilakukan setiap hari. Secara khusus waktu penyiraman dilakukan pukul 14.00. Itu sempat aku lakukan dengan suasana hati yang malas dan letih karena aku praktis hanya bisa beristirahat 45 menit saja. Penyiraman dilakukan dengan menggunakan air dari rendaman kotoran kambing. Pemupukan juga menjadi bagian dari proses perawatan. Aku belajar membuat pupuk kompos yang terbuat dari sisa sampah organik (daun-daun kering, sampah sisa makanan, dll), kotoran ternak, air seni ternak, sekam, bakteri pengurai, molase, dan kapur. Aku mengaduk-aduk campuran yang sangat berat itu. Hasilnya baru bisa digunakan setelah 15 hari. Hal lainnya yang aku lakukan adalah sanitasi gulma atau membersihkan hama tanaman penganggu. Aku mencabut rumput-rumput liar dan tanaman pengganggu lainnya agar tanaman induk tidak terganggu pertumbuhannya. Salah satu tujuan perawatan adalah memelihara tanaman agar dapat tumbuh baik. Aku menyadari bahwa aku punya potensi dari keterampilan merawat hal-hal yang detail. Dalam kerangka sebagai calon Imam, aku letakkan kelebihan ini untuk memelihara atau menyelamatkan jiwa-jiwa. Seperti yang tertulis dalam Kanon 1752, “dengan memperhatikan keselamatan jiwa-jiwa yang dalam Gereja harus selalu menjadi hukum yang tertinggi.�
Sukacita di Waktu Panen Hal yang paling ditunggu-tunggu oleh para petani adalah panen. Aku pun turut serta merasakan bagaimana senangnya ketika memanen sayur organik langsung dari kebun sendiri. Ada caisim, pakcoy, cabe, terong, pare, sawi, dll. Hasil panenan sebagian diolah untuk konsumsi keperluan KPTT dan sebagian dijual. KPTT memiliki sentra penjualan produk-produknya, baik pascapanen maupun prapanen. Selain itu, setiap pagi dan sore hari juga panen susu sapi segar yang juga dapat dikonsumsi sendiri maupun dijual kepada pelanggan tetap. TS/Edisi Live in
59
Hasil perjuangan dan kerja keras yang dilakukan oleh para petani tampak dari hasil sayur mayur yang segar. Aku hanya mencicipi sedikit perjuangan keras mereka. Akan tetapi, rasa lelah yang aku rasakan terbayar tatkala aku ikut memanen dan juga makan dari hasil kebun sendiri. Sungguh nikmat dan puas rasanya makan dari usaha dan keringat sendiri. Pemazmur melukiskan dengan indah akan sukacita menuai.
Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, Akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis Sambil menabur benih, Pasti pulang dengan bersorak-sorai Sambil membawa berkas-berkasnya. (Mzm 126: 5)
60
TS/Edisi Live in
Tumbuh Bersama
Tetumbuhan Frederick Yolando
TS/Edisi Live in
“Kerja tangan”, Kata itulah yang diserukan oleh romo yang mengutus kami untuk live in. Aku bersama dengan fr. Tino dan fr. Patrick mendapatkan kesempatan untuk live in di Sindanglaya. Sindanglaya bukan merupakan tempat yang asing bagiku. Sudah dua kali, aku mengunjungi tempat ini. Pada kali ketiga ini, aku sempat tidak mengenali Panti Asuhan Santo Yusup ini. Pintu masuk ke wilayah ini sudah berubah. Ada tempat parkir dan lapangan futsal. Pengalaman perjumpaan ini seakan berkata kepadaku bahwa akan ada pengalaman baru meskipun ‘kita’ sudah pernah berjumpa. Hal ini juga aku maknai sebagai pengingat untuk tidak langsung berkata, “kan sudah pernah.” Banyak pengalaman yang akan didapat ketika pertemuan kedua dan mungkin seterusnya. Aku kira dalam sebuah pertemanan sama seperti itu. Dan benarlah, aku mendapatkan banyak hal, mulai dari pemahaman; pemikiran; teori dan praktek; serta hal jasmani dan rohani. Kesempatan live in selama dua minggu ini juga semakin menumbuhkan perhatianku kepada lingkungan hidup. Memperhatikan pertumbuhan tanaman, mulai dari benih yang kecil hingga memiliki batang dan daun, menjadi hal yang mengesankan bagiku. Dari ‘benda’ yang begitu kecil dapat tumbuh menjadi sebuah tanaman dan nantinya dapat menghasilkan sebuah panenan untuk dapat dimanfaatkan oleh kita manusia. Hal itu terasa begitu unik. Sayangnya, aku tidak memiliki kesempatan untuk melihat tanaman yang aku tanam menghasilkan sebuah panenan.
Berkebun 29 Juli 2015, aku sampai di Sindanglaya, Panti Asuhan Santo Yusup. Aku diantar masuk menuju pastoran panti yang akrab dipanggil Carceri yang artinya sel atau penjara. Selama aku live in di sini, aku menempati satu kamar yang dikenal sebagai ‘kamar barak.' Kamar ini disebut demikian karena ranjangnya yang bertingkat dan kamar ini cukup untuk ditinggali delapan orang. Romo Haryo, selaku rektor panti, menjadi pembimbing kami selama di sini. Akan tetapi ketika diladang, Mas Didi yang akan menjadi pendamping kami. Di ladang, kami dibagi menjadi tiga kelompok kebun. Aku mendapatkan kelompok kebun A yang terletak di samping sekolah Taman Kanak-kanak bersama Mas Bimbim dan Mas Toha. Pada hari pertama di ladang, setelah memanen wortel di ladang bawah, aku menanam kacang dan daun bawang di ladang tempat kelompokku bertugas. Tidak sulit, bahkan aku berkata dalam hati, “Gampang banget". Keterlenaanku ini menjadi sebuah kesalahan. Aku terlena dengan kemudahan ini. Padahal, proses menanam masih berlanjut pada hari-hari berikutnya hingga benih itu dapat tumbuh dan dapat menghasilkan panenan, tidak dibiarkan. Aku belajar bahwa dalam live in kali 62
TS/Edisi Live in
ini tidak hanya dibutuhkan kerja tangan saja akan tetapi juga kesetiaan dan hatinya. Aku kira tidak hanya di tempat ini, ditempat perutusanku nantinya juga dibutuhkan hal yang sama. Pada hari kedua, aku masih bekerja di ladang yang sama. Namun, kali ini bukan berkebun akan tetapi kami bertugas untuk membuka lahan baru. Tugas kali ini dilakukan bersama dengan kelompok kebun yang lain. Banyak semak-semak dan pohon. Dengan sebilah celurit dan instruksi untuk membersihkan daerah yang ditentukan, aku menebang semua tetumbuhan yang ada dengan semangat. Aku bersyukur karena sebelumnya aku sudah pernah melakukan hal tebang-menebang, jadi aku tidak kebingungan melakukannya. Sudah agak lama aku membuka ladang, sampai akhirnya Mas Didi berkata, “Frater, di badan frater banyak ulat.� Aku pun memperhatikan tubuhku dan ternyata benar banyak ulat. Aku pun menyingkirkannya. Hal ini menjadi sebuah persoalan karena aku tidak menggunakan baju lengan panjang maupun sarung tangan. Aku pun tidak menggunakan sepatu boot karena awalnya aku cuek. Lagi pula tanpa pakaian itu, aku masih dapat melakukan tugasku. Akan tetapi, sesudahnya aku terkena gatal-gatal. Aku baru berpikir bahwa di antara serangga maupun tanaman itu mungkin ada yang menyebabkan gatal. Walaupun sudah berpikir seperti itu, aku tetap melakukan tugasku. Hal ini aku maknai sebagai sebuah risiko yang aku terima karena keterbatasanku. Kiranya sama halnya dalam pelayanan. Perlu sebuah pengorbanan. Dengan semangat ini, aku dapat melakukan tugasku dengan maksimal.
Ciloto Dalam live in kali ini, kami tidak hanya melakukan aktivitas di Sindanglaya. Kami secara bergiliran pergi ke Ciloto. Aktivitas yang kami lakukan di Ciloto tetap sama, berkebun. Aku mendapatkan kesempatan dua kali di Ciloto. Hari pertama, aku pergi bersama dengan Bruder Pudi. Dengan dua teman kebun, aku merawat kebun di Ciloto. Hari pertama, aku diberikan tugas oleh bruder untuk menanam bawang. Bruder memberikan contoh singkat untuk memananam bawang. Tidak sulit menanam bawang, yang diperlukan adalah meratakan tanah dan melubanginya. Tanahnya begitu gembur sehingga aku melubangi dan meratakan tanah hanya menggunakan tangan. Aku bekerja menanam bawang dari pagi hingga siang, ketika jam istirahat tiba. Meratakan tanah dan membuat lubang kecil dengan jari tangan. Bekerja selama itu, dan seperti itu, membuat aku bosan. Seolah-olah pekerjaan ini tiada hentinya. Perasaan itu aku sadari. “Inilah yang disebut dengan kesetiaan�, dalam hatiku. Pekerjaannya tidak sulit, tetapi perasaan yang membuatnya menjadi sulit. Kesetiaan di sini adalah tetap bertahan dalam melakukan TS/Edisi Live in
63
pekerjaan yang sederhana. Semangat inilah yang membuatku menyelesaikan tugas menanam bawang. Akhirnya pun aku puas terhadap hasil pekerjaanku dan hal ini juga yang menjadi semangat bagiku untuk melakukan pekerjaan yang lainnya. Pada kesempatan kedua, aku pergi sendiri ke Ciloto karena bruder mendapat tugas ke Jakarta. Dalam kesendirian, aku memilih tugasku sendiri. Tidak ada yang mengawasi dan memerintah. Hal ini menjadi tantanganku untuk tetap bekerja dengan baik meskipun tidak ada bruder. Aku hanya khawatir kalau-kalau malah merusak kebun. Dengan berkonsultasi dengan salah satu teman kebun di Ciloto, aku memutuskan untuk mencabut tanaman liar di kebun. Bekerja secara mandiri, tanpa ada yang memperhatikan, menjadi sebuah tantangan bagiku yang terus berlangsung. Dalam melakukan tugas dan pelayanan, aku membutuhkan inisiatif dan kreativitas. Perlu juga motivasi yang murni, sehingga aku tidak terjebak untuk melakukan tugas demi pemimpin atau ‘atasan’ senang. Sebagai calon imam, semangat ini terwujud dengan melakukan pelayanan dengan sepenuh hati. Aku teringat akan semangat Keuskupan Agung Jakarta dan bapak uskup: “Gembala yang Baik dan Murah Hati”. Aku merasa semangat ini merangkum semua semangat yang aku dapatkan di Ciloto ini: Kesetiaan dan pelayanan sepenuh hati.
Carceri Tiga hari (kerja) sebelum masa live in kami berakhir, Romo Urbanus meminta pertolongan kepada kami bertiga untuk membuka ladang yang ada di Carceri. Ladang yang ada di Carceri tidak sama seperti ladang di bawa, seperti hutan. Ladang yang ini hanya tidak terawat. Banyak rerumputan liar dan tanaman yang sudah mengering. Pengalaman yang telah aku dapatkan, sekarang aku ‘praktekkan’ sendiri di ladang Carceri. Aku bersyukur sudah diberikan pengalaman yang cukup untuk membuka dan merapihkan ladang. Tidak ada kesulitan yang berarti karena teman-teman di ladang bawah telah memberikan cukup pengetahuan dan tips yang aku perlukan. Aku membayangkan apabila aku belum diberikan pengalaman yang cukup, aku akan mengalami banyak kesulitan dan kebingungan untuk membuka dan merapihkan ladang ini. Demikian pula di seminari, aku diberikan banyak pengalaman yang pastinya akan berguna bagiku untuk menjadi pelayan di Keuskupan Agung Jakarta ini. ***
64
TS/Edisi Live in
“Tidak ada pengalaman yang sia-sia,� Kalimat itu yang berbisik di benakku. Pengalaman tidak sama dengan barang yang dapat dibeli dengan mudah, melainkan pengalaman perlu dicari. Pengalaman dan pengetahuan lebih berharga daripada benda yang bersifat material. Oleh karena itu, aku sungguh sangat berterimakasih telah mendapatkan kesempatan untuk live in di Panti Asuhan Santo Yusup. Aku sungguh bersyukur dapat bertumbuh bersama tumbuhan di sini. Semoga semua yang aku dapatkan di sini dapat memberikanku semangat untuk menjadi pelayan di Keuskupan Agung Jakarta nanti. ***
"mereka yang ditanam di bait TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita." (Mazmur 92:14)
TS/Edisi Live in
65
60
TS/Edisi Live in
TS/Edisi Live in
TS/Edisi Live in