Teman Seperjalanan Edisi 32

Page 1


Pelangi Kasih Tuhan

Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II Keuskupan Agung Jakarta


Moderator Rm. Josep Ferry Susanto Pemimpin Redaksi fr. Yuddha Adrian V. Sekretaris & Bendahara fr. Yohanes Lendra K. Sirkulasi fr. Bernando Gabriel S. fr. Balsamus Pieter D. Kepala Tim Editor fr. Reginald Mozetta J. Anggota Tim Editor fr. Alfonsus Andi K. fr. Ignasius Wahyudi P. fr. Julio Kevin fr. Gregorius Wilson Kepala Tim Kreatif fr. Albertus Adiwenanto W. Artistik fr. FA. Oki Joko Prakoso Fotografi fr. Frederikus D. Rionaldo Layout fr. Robertus Iswanto fr. Victor Galih P. Anggota Redaksi Komunitas Seminari Tinggi Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II

Keuskupan Agung Jakarta Jl. Cempaka Putih Timur XXV, No 7-8 Jakarta Pusat 021-420 3374 Email: majalah.stkajyp2@gmail.com


Pengantar Redaksi Ketika mendengar kata pelangi, pikiran kita akan menggambarkan pantulan sinar beraneka warna yang memancarkan sebuah keindahan karya Tuhan. Keindahan itu terpancar dari susunan beberapa warna yang menonjolkan keberagaman atau perbedaan. Pelangi merupakan karya Tuhan yang indah, tetapi pelangi yang indah itu pada kenyataannya tidak dapat kita nikmati keindahannya setiap saat. Demikian dengan kasih Tuhan kepada umat-Nya. Tidak jarang kita melewatkan keindahan kasih itu yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Keindahan kasih Tuhan terpancar dalam hal-hal kecil yang sepertinya biasa saja, tetapi jika disadari keberadaannya, akan tampak sangat indah layaknya sebuah pelangi. Pada pertengahan tahun 2017 ini, para frater diosesan Keuskupan Agung Jakarta kembali berkesempatan untuk menjalani live in di berbagai tempat dengan situasi yang berbeda-beda. Selama sekitar sepuluh hari, para frater hidup bersama umat Allah dengan semua aktivitas mereka setiap hari. Dari sebuah perjumpaan sampai dengan ikut merasakan kehidupan mereka, terkumpul tulisan-tulisan hasil refleksi para frater. Pada tahun ini, tim redaksi memilih judul “Pelangi Kasih Tuhan� sebagai judul buku ini. Melalui judul ini, kami berusaha menemukan keindahan pelangi, bukan hanya pada fenomena di angkasa, tetapi dalam segala perjumpaan dengan wajah-wajah ciptaan Tuhan yang beragam. Buku ini merupakan pengalaman pribadi para frater selama live in. Pengalaman perjumpaan dengan orang-orang maupun kehidupan yang berbeda tentu akan menjadi sebuah pelangi kehidupan yang indah untuk dikenang. Kami ingin menunjukan keindahan itu melalui tulisan-tulisan bahwa dalam segala kesibukan kami tetap menikmati keindahan Pelangi Kasih Tuhan. Selamat Membaca! ii


Pengantar Rektor STKAJ RD Yohanes Purbo Tamtomo

MELATIH DAN MERAWAT KETAJAMAN BELA RASA Proficiat kepada para Frater yang sudah menjalani program live in tahun 2017. Para Frater sudah menyisihkan sebagian waktu tidak kuliah bukan untuk berlibur tetapi untuk hadir dan mengalami secara langsung hidup keseharian saudara-saudari kita yang boleh dikatakan mengalami “keterbatasan�. Mereka itu adalah Forum Warga Kota Jakarta, Komunitas Pendampingan di Muara Baru, PA. Bhakti Luhur, PA. Abhimata Bintaro, Komunitas Rekan-rekan Karyawan Perusahaan Pabrik, Komunitas Panti Wreda Marfati, Paroki St. Gregorius Agung Kutabumi, pelayanan bagi orang meninggal di Oasis Lestari, Komunitas Suku Baduy Luar dan Asian Youth Day ke-7. Semua komunitas di atas, selain kegiatan AYD ke-7, adalah saudarasaudari kita yang mengalami situasi keterbatasan dalam banyak aspeknya dan beberapa komunitas diantaranya hidupnya ditandai dengan perjuangan yang tidak mudah. Kegiatan AYD ke-7 merupakan kegiatan yang berbeda karena pesertanya adalah orang muda, berasal dari beberapa Negara dan sangat diwarnai dengan dinamika orang muda. Mereka hadir di lingkungan berbagai paroki dan mengadakan perjumpaan untuk mengalami dan mengolah kebinekaan hidup untuk membangun persaudaraan. Untuk keterlibatan dalam perutusan live in ini kami mengucapkan banyak terima kasih. Kegiatan live in dipilih sebagai salah satu kegiatan formatif menuju imamat diosesan Jakarta karena situasi dan dinamika hidup mereka mempunyai warna khas dan mencolok dalam masyarakat JaTaBek di mana Gereja KAJ hidup di tengahnya. Mereka juga merupakan bagian dari umat KAJ yang membutuhkan perhatian dan pelayanan khusus. Dengan hadir di tengah mereka diharapkan para Frater mengalami secara nyata dan langsung hidup umat iii


KAJ yang seringkali kurang atau lupa diperhatikan dan dilayani karena kesibukan dan gemerlapnya hidup Metropolitan. Kehadiran bersama mereka menjadi suatu pengalaman wujud perhatian dan keberpihakan kepada yang lemah, kecil, miskin, tersingkir, dan berkebutuhan khusus. Semoga pengalaman ini terus dibawa dan menjadi bekal untuk mengembangkan sikap hidup dan perhatian kasih bagi mereka yang sangat membutuhkan. Setelah menjalani program live in, beberapa Frater bercerita mengenai pengalaman mereka. Ada Frater yang sekarang ini lebih bisa merasakan dan memahami bagaimana saudara-saudara kita demi menopang hidup bersama keluarganya harus dengan tekun dan sabar berjualan. Tak peduli panasnya matahari yang menyengat ataupun gigitan nyamuk yang tak kunjung berhenti, mereka bersyukur bahwa jualannya laku. Ada yang mengalami perjuangan keras hidup di pinggiran. Untuk memenuhi kebutuhan hidup entah untuk bekerja atau bahkan pergi beribadat perlu menempuh perjalanan yang cukup jauh bahkan harus mengeluarkan ongkos untuk kebutuhan transportasi. Padahal uang tersebut bukannya uang bebas tetapi sangat dibutuhkan untuk kehidupan keluarga. Mereka tetap menjalaninya dengan tekun. Hidup dengan perjuangan dan pengorbanan adalah “makanan� keseharian. Ada yang mengalami situasi di mana orang-orang yang sudah lanjut usia dan semakin lemah mesti melanjutkan hidupnya tidak lagi di tengah dan bersama keluarganya tetapi di panti, di mana sesama yang sudah berusia mendapatkan pelayanan. Bersama mereka, para Frater sudah di ajak melihat lebih jauh perjalanan hidup setiap pribadi yang semakin ditandai dengan kondisi, khususnya fisik yang semakin lemah. Selain itu mereka juga mengalami kesepian dan keterasingan. Bagi saudara-saudara kita yang sudah lansia, situasi ini adalah bagian dari kehidupan yang tak mungkin dihindarkan dan pilihannya hanyalah menerima dan menjalaninya bersama anggota penghuni panti wreda lainnya. Yang hadir dan melayani di rumah duka merasakan secara langsung situasi orang meninggal dan situasi keluarga iv


yang ditinggalkan. Di satu sisi terkagum-kagum melihat dan ikut berperan dalam pelayanan yang begitu profesional bagi orang yang meninggal. Di sisi lain melihat kesedihan beberapa anggota keluarga yang ditinggalkan dan acapkali merasakan tidak mudah menanggapi tuntutan pelayanan dari keluarga. Sering ditemui pengalaman di mana mereka menuntut tanpa memperhitungkan situasi para pekerja yang juga merasakan kelelahan. Mungkin mereka hanya berpikir bahwa mereka sudah membayar sehingga merasa berhak menuntut apa saja sesuai dengan kemauan dan kebutuhan mereka. Beberapa pengalaman tersebut di atas hanyalah sebagian dari sharing pengalaman live in kali ini. Tentu pengalaman-pengalaman lain masih banyak dan kaya akan nilai serta pesan untuk kehidupan. Salah satu pesan sederhana yang bisa dipetik adalah dijumpai dan dialami suatu pengalaman perjuangan hidup yang hampir tanpa henti. Dalam pengalaman-pengalaman tersebut banyak sekali pengorbanan yang mesti diberikan dan dialami. Pengalamanpengalaman ini adalah bagian nyata dari hidup dan pergulatan mereka di tengah dunia. Yang menggembirakan dan mengagumkan adalah kesetiaan dalam perjuangan tersebut apalagi kegembiraan dan syukur yang muncul di tengah perjuangan tersebut. Kegembiraan dan syukur inilah yang merupakan pengalaman yang begitu bernilai dalam suatu perjuangan dan peziarahan hidup di kota Metropolitan dan sekitarnya. Perjuangan, pergulatan, pengorbanan, kegembiraan dan syukur semoga menjadi inspirasi dan pesan bagi para Frater dalam formasi panggilan menuju imamat dan hidup serta pelayanan yang semestinya dilakukan. Semua sikap dan nilai tersebut semoga menambah dan melengkapi serta mengkonkretkan proses formasi yang sedang dialami di Seminari Tinggi. Imamat yang dicita-citakan adalah imamat yang dekat dengan umat atau merakyat. Dua sifat dan nilai ini menandai imamat diosesan Jakarta yang kita cita-citakan. Model pelayanan yang kita hayati adalah Gembala Baik dan Murah Hati. Semangat Gembala Baik ditandai dengan sikap siap berkorban khususnya bagi yang lemah dan kesetiaan mencari yang hilang. Kemurahan hati ditandai v


dengan pelayanan yang tidak pilih-pilih dan bertujuan untuk mengupayakan kebaikan bagi yang dilayani. Semuanya itu bermuara untuk mengalami kasih dan kebaikan Tuhan. Dalam proses formasi, kita diajak untuk terus-menerus menumbuhkan kepekaan terhadap saudara-saudari kita yang lemah. Kepekaan ini merupakan titik awal untuk suatu pelayanan. Kepekaan ini perlu dilatih dan diasah terus menerus mengingat arus jaman yang bernuansa kebalikannya, seperti egoisme, konsumerisme, hedonisme, ketidakpedulian, dlsb. Semuanya itu ada di sekitar kita setiap waktu dan merupakan “berhalaberhala” baru yang mengancam jati diri sebagai orang beriman dan juga pelayan Gereja. Belajar dari Sabda Tuhan, Yesus senantiasa memulai karya kasih-Nya dengan pengalaman pribadi dan batiniah. Di mana setiap kali Ia berjumpa dengan orang-orang yang “menderita” tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka (Mat 14:14; Mrk 1:41; Mrk 6:34). Gerakan hati yang penuh belas kasih merupakan “pintu” untuk mengalami kehadiran dan kasih Tuhan. Tanpa adanya gerakan hati untuk berbelas kasih sulit dibayangkan terjadinya perjumpaan lanjut baik antar pribadi apalagi dengan Tuhan. Berhadapan dengan inspirasi dari Sabda Tuhan ini para Frater diajak untuk menumbuhkan dalam pengalaman live in ketergerakan hati untuk berbelas kasih atau berbela rasa. Untuk menumbuhkan pengalaman ini perlu latihan terus-menerus supaya sikap ini menjadi bagian dari spiritualitas yang menyertai panggilan dan pelayanan sebagai imam. Bila tidak dilatih bisa jadi meskipun berhadapan dengan banyak penderitaan kita tetap tidak peduli, tidak ada gerakan hati yang berbelas kasih. Seakan-akan semuanya itu barang biasa yang tidak punya daya yang menggerakan kita. Kita ingat bagaimana orang Levi yang bahkan datang ke tempat orang yang jatuh ke tangan penyamun, ketika melihat orang itu ia melewatinya dari seberang jalan (Luk.10:32). Kisah ini menggarisbawahi bahwa sikap keberpihakan kepada yang lemah dan kesediaan untuk menolong dan melayani tidak bisa diandaikan muncul dengan sendirinya. Sikap ini membutuhkan suatu sentuhan vi


hati pribadi untuk peka dan mudah merasakan penderitaan sesama (berbela rasa). Bapa Suci Paus Fransiskus sejak awal tugas pengembalaannya senantiasa mengajak seluruh Gereja untuk membangun sikap sebagaimana dihayati dan dilakukanYesus dalam hidup dan pelayananNya. Yesus senantiasa memberikan kasih tanpa batas, memberikan diri untuk semua tanpa kecuali (Misericordie Vultus,12). Yesus adalah wujud utuh kasih dan kerahiman Allah. Gereja dan kita semua para calon imam dan imam diundang untuk semakin menyerupakan hidup dan pelayanan kita dengan pribadi Yesus. Acapkali akan kita jumpai situasi yang kompleks dan amat sulit. Dalam semangat kerahiman Allah, kita tidak boleh menyerah apalagi bersikap acuh tak acuh dan tidak peduli. Bapa Suci mengajak para pelayan Gereja dalam situasi ini untuk terus melayani “dengan keberanian rasuli, kerendahan hati Injili, dan doa yang tekun�. Semoga pengalaman live in sungguh menjadi pengalaman untuk melatih dan merawat “ketajaman� berbela rasa. Mari kita saling berbagi pengalaman kasih, saling mendoakan dan mendukung dalam formasi bersama di Seminari untuk semakin siap melanjutkan perutusan Yesus dan Gereja-Nya. Proficiat!

vii


Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II Keuskupan Agung Jakarta 1. Gambar A. Burung Merpati B. Tongkat Gembala C. Salib D. Buku yang terbuka Sisi kiri Sisi kanan 2. Warna Biru Kuning

: Roh Kudus yang selalu berkarya. : Lambang ikatan janji Bapak Uskup sebagai gembala tertahbis. : Semangat kasih Kristus. : Kitab Suci : Bagian dari Gereja Universal : Pengabdian kepada Gereja Lokal

: Simbol warna Bunda Maria : Simbol warna Gereja atau Vatikan

3. Huruf “M� Bunda Maria sebgai Bunda Gereja, para imam, dan para calon imam.

viii


DAFTAR ISI Pengantar Redaksi....ii Pengantar Rektor STKAJ....iii Rm. Yohanes Purbo Tamtomo

Daftar Isi....ix Durian Runtuh di Kadu Ketug....2 Bernard Rahadian

Suku Baduy....9 Ludowikus Andri N.

Manusia Setengah Protozoa...15 Albertus Adiwenanto W.

Surga Kecilku....20 Bernando Gabriel S.

Perjalanan Mencari Kedamaian...26 Gregorius Wilson

Daya Pertemanan Membantu Perjuangan...31 Frederick Yolando

Melihat Wajah lain Kota Dasamuka....35 Alfonsus Andi K.

Pelangi yang Datang Setelah Hujan....41 Yoseph Sonny S. ix


Gereja di Dalam Dunia Wajah Paroki Kutabumi yang Membumi...47 Giovani Surya dan Antonius Arfin

Live - In Panti Jompo Marfati....54 Camellus Delelis

Saya Anak Oma....58 Yuddha Adrian V.

Hal Kecil Bukanlah Masalah....63 Balsamus Pieter D.

Muara Baru = Cara Pandang Baru...67 Reginald Mozetta J.

Belajar Hidup di Tengah Hiruk Pikuk Kedukaan dan Kematian....73 Frederikus Dwi Rionaldo

Live in di Oasis.....79 F.A.Oki Joko Prakoso

Kecil dan Tak Berdaya...85 Yohanes Aditya R.

Sukacita Menjadi Teman Seperjalanan...91 Carolus Budhi P.

Sukacita Iman, Harapan dan Kasih Orang Muda Se-(ASIA) ...98 Alberto Ernes x


BADUY LUAR


DURIAN RUNTUH DI KADU KETUG Bernard Rahadian …hidup ini bukan hanya soal menjadi sukses. Hidup ini juga bukan semata-mata soal ‘kemajuan’. Hidup ini adalah soal menghayati setiap saat dalam waktu, dan merasa-rasakannya dengan sadar dan penuh syukur. Siang itu kami berjalan-jalan menyusuri hutan. Ingin rasanya segera sampai ke hulu sungai untuk bermain air. Tiba-tiba terdengar bunyi, bedebug. Ada sesuatu yang baru saja jatuh dari salah satu dahan pohon. Ternyata itu durian. Spontan saya menoleh ke atas dan mendapati banyak buah durian bergelantung di atas pohon. Saya pun tersadar bahwa kami sedang melintas di tengah kebun durian dengan pohon-pohon durian di sepanjang jalan. Segera kami mempercepat langkah, sebelum kami mengalami durian runtuh… Pada pertengahan tahun 2017 ini saya mendapat kesempatan untuk mengisi liburan dengan live in di perkampungan orang Baduy Luar di Desa Kanekes, Lebak-Banten. Bersama fr. Ludo, saya menumpang di rumah keluarga Bapak Juhaedi. Beliau tinggal di lembur (kampung) Kadu Ketug, yang secara harfiah berarti ‘durian jatuh/runtuh’. Katanya, Kadu Ketug adalah kampung yang terdiri dari sekitar 60 kampung di wilayah Baduy Luar. Berikut ini sepenggal kisah saya di tengah orang-orang Baduy Luar. Kami memang tidak sampai ke Baduy Dalam, namun dengan demikian kami justru dapat mengalami bagaimana adat dan teknologi berinteraksi di tengah masyarakat tradisional ini. Meski hanya sepekan, namun pengalaman ini akan selalu saya syukuri sebagai hadiah indah dari Tuhan dalam mengisi masa muda saya. Sedikit Cerita Jelajah Alam Setiap hari ada sesi jalan sehat! Kemana-mana berjalan kaki, karena tidak boleh ada kendaraan apapun masuk ke tanah baduy. 2


Kami dipandu oleh Adi (15), putera dari Pak Juhaedi. Ia termasuk jangkung di antara teman-teman sebayanya. Bersama Adi kami berpetualang menjelajah alam Baduy. Satu tempat yang sungguh menyenangkan untuk dikunjungi adalah sungai besar! Orang Baduy menyebutnya Ciujung. Di tempat itu, kami dapat berenang dengan tenang di air yang sejuk dan bersih. Jika lapar, kami tinggal membuat api unggun di tepi sungai dan menangkap ikan dari sela-sela batu. Alam Baduy itu tidak spektakuler. Tidak ada situs alam yang luarbiasa. Akan tetapi, keasrian alam yang terjaga itu tetap membuat kita berdecak kagum sambil bernafas dengan ringan (karena udaranya bersih) dan mengalami kedamaian—sesuatu yang amat mahal dan langka di kota Jakarta. Penyusuran ini bagi saya juga menjadi persiapan dan latihan fisik serta mental, sehingga bila tiba giliran saya dikirim ke pedalaman, saya sudah punya gambaran. Dari Ciujung, kami bergerak ke arah hulu, menyusuri daerah aliran sungai yang dipenuhi bebatuan besar dan tebing curam. Di satu tempat kami berhenti dan berjumpa dengan anak-anak Baduy yang sedang asyik bermain di sungai yang berarus kuat. Mereka lantas bergabung bersama kami menuju ke Curug Gobang, sebuah air terjun landai yang cukup lebar dan mengasyikkan untuk dinikmati. Mereka memanjat bebatuan itu dengan begitu lincahnya, sementara saya, tergelincir tidak hanya sekali-dua kali. Bahkan Ludo akhirnya tergelincir dari tebing dan tercebur ke sungai, membuat HP Gembala Baik yang kami bawa dari seminari akhirnya tidak dapat berbunyi lagi menandai waktu-waktu doa Angelus, syukur kepada Allah! (karena bunyinya membuat kaget). Sedikit tentang Kehidupan Orang Baduy Memasuki wilayah Baduy itu seperti memasuki ruang dan waktu yang berbeda dengan ‘dunia kita’ ini. Rasanya waktu berjalan sangat lambat bagi kami yang baru masuk ke Baduy. Ritme hidup orang Baduy jauh lebih pelan dari orang kota. Di pagi hari tidak tampak ada orang yang tergesa-gesa dikejar waktu. Orang3


orang hidup tenang di sana. Banyak waktu untuk bercengkerama dan bergurau. Ketika hari mulai siang orang-orang mulai bekerja: membersihkan rumah, pergi ke kebun, berdagang, memasak, mencari ikan, dan lain sebagainya. Ketika senja tiba, orang-orang kembali berkumpul di teras rumah sambil merokok dan minum kopi. Ada juga yang bermain celempung dan kecapi. Karena listrik sangat dibatasi maka kegiatan semacam itu menjadi satu-satunya hiburan yang dapat dinikmati semua orang. Saat kami tinggal di Baduy, ada hajatan pernikahan. Perayaan itu melibatkan seluruh warga kampung. Rasanya seperti sedang cuti bersama! Alunan lagu-lagu jaipong dan tari-tarian serta sawermenyawer uang berlangsung selama dua hari satu malam. Kami turut terlibat dalam acara tersebut, khususnya dalam penjemputan mempelai yang berasal dari kampung lain beserta mas kawin dan perlengkapan pesta yang lain, bersama orang muda se-kampung. Beberapa orang Baduy dalam juga datang bertamu (penampilan mereka berbeda sekali dengan orang Baduy luar). Usia pernikahan di sana termasuk muda. Laki-laki berumur 19 tahun dan perempuan berumur 15 tahun umumnya sudah menikah. Saya mendapati rekan Baduy yang sebaya dengan saya sudah menggendong anaknya yang berusia tiga tahun. Justru, kalau orangorang muda itu tidak segera mandiri dan menikah, mereka jadi bahan omongan dan kerap menjadi bahan gurauan—dianggap tidak lakulaku. Berkenaan dengan asal-usul tradisi dan sejarah leluhur orang baduy, rekan-rekan baduy kami tidak dapat menyebut dengan pasti. Biasanya mereka menjelaskanbahwa seluruh perangkat tradisi dan aturan-aturan iru sudah ada dari zaman baheula—dari zaman dahulu—sudah turun-temurun. Mereka tidak ambil pusing mengenai asal-usul mereka. Apa yang sudah ada mereka jalani dengan tekun dan setia. Hal ini juga menjadi alasan mengapa orang Baduy tidak merasa perlu sekolah (dan orang Baduy memang tidak bersekolah!). Mereka berkeyakinan bahwa belajar tidak perlu di sekolah. Belajar 4


tidak untuk menjadi pintar melainkan untuk hidup. Banyak orang pintar dewasa ini justru menggunakan kepandaiannya untuk minterin (baca: memanfaatkan, memperalat, menipu, menghancurkan) orang lain. Ungkapan orang-orang Baduy itu ada benarnya. Tiap-tiap hari ada saja berita orang-orang yang mengaku berpendidikan namun melakukan tindakan-tindakan yang konyol dan memalukan. Tentu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga bukan hal yang pada dirinya sendiri buruk. Akan tetapi kita sendiri menyaksikan bagaimana berbagai pihak berlomba-lomba mengancam satu sama lain dengan senjata-senjata mutakhir. Teknologi yang perkembangannya tidak dapat dibendung lagi juga membuat manusia semakin terasing dari dunianya dan bahkan dari tubuhnya sendiri—karena apa-apa saja tinggal pencet tombol, kita bisa jadi bingung bagaimana menggunakan anggota tubuh kita untuk melakukan sesuatu. Saya sempat bertanya kepada Pak Juhaedi dan beberapa orang-orang tua di Kadu Ketug mengenai sikap mereka terhadap uang. Orang Baduy Luar mengenal dan menggunakan Rupiah untuk berdagang dan memenuhi keperluan sehari-hari. Mereka memberi jawaban yang mengesankan bagi saya. Tentu mereka mencari untung, namun itu bukan segalanya. Kalau rugi, ya harus diterima. Yang penting uangnya ngegulir (berputar)—cukup untuk hidup, tidak usah berlebihan. Terlalu banyak uang juga jadi bingung mau diapakan—hidup jadi tidak tenang. Dari jawaban mereka itu saya menangkap adanya keyakinan bahwa hidup ini bukan hanya soal menjadi sukses. Hidup ini juga bukan sematamata soal ‘kemajuan’. Hidup ini adalah soal menghayati satu waktu dalam sesaat, dan merasa-rasakannya dengan sadar dan penuh syukur. Hidup dalam Tegangan di Persimpangan Belakangan ini orang-orang Baduy mulai mengenal teknologi telepon genggam. Bahkan lazim dijumpai bahwa orang muda di sana terampil menggunakan telepon pintar, lengkap dengan akses 5


internetnya! Saya sempat heran, karena di tengah hutan Baduy masih ada sinyal. Setidaknya rekan-rekan yang saya kenal di sana menggemari Rhoma Irama dan lagu-lagu reggae. Sebenarnya mereka dilarang mempunyai televisi—namun dengan adanya telepon pintar, tidak perlu televisi untuk menonton tayangan-tayangan itu. Ini salah satu contoh yang cukup jelas bahwa gaya hidup modern mulai merangsek masuk ke tanah Baduy. Apa artinya itu? Saya kira orang-orang Baduy hidup dalam tegangan dan kini berada di persimpangan. Mereka adalah penganut Sunda Wiwitan yang memegang teguh adat-istiadat mereka. Akan tetapi pengaruh ‘dunia kita’ pelan-pelan mengubah mereka. Mereka berada di persimpangan, mau mengikuti derap langkah ‘kemajuan’ atau tetap dengan keadaannya sekarang. Apakah itu pertanda baik? Apakah dengan menjadi ‘lebih maju’ dengan mengenal peradaban di luar Baduy, hidup orang-orang adat itu akan sungguh menjadi lebih manusiawi? Saya rasa pertanyaan-pertanyaan itu perlu kita renungkan dan diskusikan secara serius, tapi bukan dalam kesempatan ini. Sejauh saya mengamati, berkenaan situasi ini orang Baduy juga tidak ambil pusing. Mereka menerima perubahan ini dengan tenang, sementara tetap hidup seturut adat mereka. Saya kira mereka-pun sadar bahwa perlunya bersikap arif terhadap berbagai hal yang datang dari luar komunitas mereka. Yesus berjalan di Tanah Baduy Satu pertanyaan akhir: apakah saya berjumpa dengan Yesus di Baduy? Jawabannya adalah ya. Saya belajar dari orang-orang Baduy, baik orang Baduy luar maupun dalam,bagaimana menjalani hidup rohani secara sederhana—apa adanya, mulai dari hal-hal sederhana. Memang, rahasia Kerajaan Allah dinyatakan kepada orang-orang sederhana(Mat 11:25). Hidup keagamaan saya kerap kali terlalu rumit dengan berbagai ritus dan aturan serta gagasan-gagasan filosofisteologis yang mengawang-awang.

6


Terakhir. Saya juga tidak perlu mencari Yesus jauh-jauh. Ia berjalan di tanah Baduy. Rekan seperjalanan saya hadir seperti Yesus di tengah orang Baduy. Tanpa ragu dan dengan sopan ia menawarkan nilai-nilai luhur Kristiani kepada warga setempat. Tanpa banyak bicara soal agama, ia menjadi Yesus lewat tindakan nyata: menjaga kebersihan, bermain bersama anak-anak kampung, mengajar bahasa inggris, mengagumi alam di sepanjang perjalanan, serta berdialog dengan orang-orang tua di sana tentang hal-hal rohani. Ia bermurah hati kepada orang lain. Ia ramah, dan mau terus belajar meski sering keliru karena kendala bahasa. Bahkan ia sampai sakit di hari ulang tahunnya (mungkin juga karena saya lupa bahwa dia berulang tahun). Terima kasih Tuhan. Selamat ulang tahun Ludo‌

Marilah kita berdoa supaya setiap keluarga Kristen menjadi sebuah Gereja misioner kecil dan sekolah bagi para Penginjil. St. Yohanes Paulus II

7


BADUY LUAR

8


SUKU BADUY Ludowikus Andri Novian Aku mengira pengalamanku ini akan seperti film “Silence”, namun, kenyataannya.......... Perjalanan Awal Menuju Suku Baduy Luar Jika aku coba samakan dengan kisah yang terjadi di film “Silence”, cerita berawal 2 orang imam Portugis mencoba datang bermisi ke Jepang. Sedangkan dalam kisahku, aku pergi berdua yakni bersama Bernard rekan setiaku ke suku Baduy. Secara kebetulan, aku dan Bernard sering diutus bersama. Bukan berarti kami berdua serasi. Perjalanan kami sering penuh pergulatan dan perdebatan. Meski demikian, satu hal yang samasama kami punyai dan menyatukan kami dalam perutusan yakni satu hati dalam Kristus. Kemudian, dua orang imam itu pergi ke Jepang secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan, aku bersama rekan setiaku, Bernard, sialnya pergi ke Baduy dengan cara disembunyikan di mobil Pick Up oleh pengantar kami bernama Pak Juhedi. Kami diselipkan diantara barang-barang yang dibawa dalam mobil itu. Ditambah lagi, badan kami harus ditutup dengan terpal di mobil Pick Up karena hujan tiba-tiba turun. Udara begitu pengap dan kami sama sekali sulit melihat pemadangan diluar saat perjalanan. Kami tepental-pental dan jungkirbalikan. “Ini baru namanya berpetualangan, Ber!”, kataku mencoba menyakinkan Benard bahwa petualangan ini akan seru. Bernard hanya menatapku dengan bingung dan mungkin sinis juga. “Mungkin dia sudah tidak tahan lagi menikmati petualangan ke Baduy bersamaku”. Aku mencoba berfikir positif terhadap rekan setiaku itu. Aku berharap dalam perutusan ini jangan lagi ada perdebatan diantara aku dengannya. Aku berharap kami bisa belajar saling memahami. 9


Meski terkadang aku merasa malas dan kesal ketika melihat ekspresi wajahnya dan mendengarkan dia. Aku mencoba dan berusaha mengintip kanan-kiri disela-sela terpal. Ternyata, kami berada ditengah hutan yang lebat ditumbuhi pohon-pohon tua dan besar. Sesekali ada asap keluar diantara pohonpohon memberi efek sepertinya kami berada di tengah-tengah hutan rimba. Masuk ke Daerah Suku Baduy Setelah menaiki kereta dari stasiun Jatinegara menuju stasiun Rangkas Bitung, kami melanjutkan perjalanan kami menuju tempat suku Baduy dengan menggunakan mobil pick up. Aku sudah membayangkan-bayangkan diriku berada di film Silence, 2 orang imam yang datang ke Jepang harus berenang, melewati bukit berbatu, tidak ada penerangan, dsb. “Apakah hal itu akan sama terjadi ketika aku datang ke Baduy luar?”, pikirku. Ketika berjalan di Ciboleger, Aku merasakan hal yang berbeda. Aku melihat ada lampu, ada aspal, dan bahkan aku melihat ada Indomaret disana. Padahal aku sudah yakin disepanjang perjalanan tadi sepertinya aku akan dibawa ke tengah hutan rimba dimana banyak hewan buas dan mendan yang berat. Lalu, aku berkata kepada Bernard, “Mungkin sudah modern kali suku baduy sekarang.“ Aku merasa lega melihat kondisinya ternyata sudah modern. Lalu, aku bertanya ke Pak Juhedi yang mengantarkan kami, “Pak, apakah ini tempat Suku Baduy luar?” “O, Bukan, ini adalah terminal, tempat transit jika ingin ke Baduy,” jawabnya. “Oh my God!”, teriakku dalam hati. Pak Juhedi terus mengantar kami berjalan menuju bukit. Di perbatasan jalan menuju bukit, jalanan mulai tidak beraspal, suasana juga menjadi remang-remang karena hari semakin gelap dan juga akibat disana penerangan sangat minim. Kelegaaanku tadi menjadi berkurang, tetapi aku mencoba tetap tenang dan tegar.

10


Diremang-remangnya malam, samar-samar terlihat dari jauh rumah kayu berjejer rapi. Kami melewati banyak rumah dengan penerangan yang sangat minim. Banyak orang berbaju tradisional sedang asyik mengobrol dan merokok di pendopo-pendopo rumah mereka. Bahasa merekapun sungguh asing bagiku dan mereka terdengar seperti orang yang sedang marah. Ketika kami berjalan memasuki daerah yang cukup ramai, semua mata langsung tertuju kepada kami. Seketika itu juga, pikiranku menjadi liar, “Apakah aku dan Bernard akan ditombak?� Tapi tidak mungkin aku akan ditombak mereka karena aku mirip dengan mereka. Iseng-iseng aku berjalan agak menjauh dari Bernard, mungkin mereka tertarik dengan Bernard yang berjalan di sampingku. “Tu, cukong yang bawa duit! Hehehe...�, kataku dalam hati. Tetapi mereka ternyata memperhatikan aku juga. Lalu aku berjalan kembali mendekat ke Bernard. Pada waktu itu, Kami sudah berada di atas bukit. Di bukit itulah tempat Suku Baduy luar berada. Kami menginap di rumah Pak Juhedi yang menjadi pengantar kami tadi. Pak Juhedi adalah orang Baduy. Aku berkomunikaasi dengan Pak Juhedi dengan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ketika aku mencoba berkomunikasi dengan orang sekitar aku merasa kesulitan karena ternyata banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Tidak banyak orang Baduy yang bisa menggunakan Bahasa Indonesia. Ternyata, mereka memakai bahasa Sunda kasar. Hal ini membuat sulit bagi kami mendekatkan diri dengan mereka. Ketika kami mendekati dan mengajak mereka berbicara termasuk beberapa keluarga Pak Juhedi, ada yang menghindar dan ada juga yang tidak merespon. Awal-awal disana kami merasa terasing dan bingung harus berbuat apa. Belajar seperti Orang Baduy Disana, mau tidak mau, pertama yang harus kami latih ialah belajar berbahasa Baduy. Untungnya, anak laki-laki dari Pak 11


Juhedi bisa berbahasa Indonesia sedikit. Sepertinya, setelah kucoba perhatikan, banyak orang Baduy bukannya tidak mengerti bahasa Indonesia, tetapi mereka hanya tidak bisa membicarakannya saja. Anak laki-laki Pak Juhedi itu bernama Adi. Dia menjadi pengantara kami dalam belajar bahasa Suku Baduy dan berbaur dengan orang-orang Baduy. Jika kami ingin berkeliling sekitar Baduy mengenal daerah Baduy, kami meminta bantuan Adi untuk untuk menemani kami. Kami diantar ke sungai, jembatan gantung, Danau, dsb. Kami juga diajak untuk mengikuti upacara perkawinan disana sebanyak dua kali. Kami ikut membantu mempersiapkan pesta perkawinan yang ada mulai dari potong ayam, menjemput sang mempelai dengan berjalan kaki, melihat pertunjukan jaipongan, bakar ayam dan ikan, dan terakhir ikut upacara sawer. Ketika kami berkeliling, kami mencoba berbaur agar bisa mengenal suku Baduy. Satu hal yang membuatku terkesima dari kehidupan mereka ialah adanya sebuah sistem tradisi yang terus terjaga di sana. Penjaga atau yang mengatur sistem tradisi itu disebut sebagai Kakolot. Dari sistem tradisi itu, Mereka bisa menjaga jarak dengan pengaruh peradaban zaman modern. Linkungan tempat tinggal merekapun masih bisa terjaga kemurniaanya: terlihat dari airnya yang jernih, udaranya masih segar, dan masih banyak tetumbuhan. Kehidupan merekapun begitu sederhana. Jika bepergian, mereka tetap berjalan kaki. Tidak ada jalan aspal disana, penerangan sangat minim, lalu tidak ada TV, listrik juga tidak ada (hanya beberapa rumah saja ada listrik yakni berasal dari solar). Jika membawa barang cukup dipanggul (baik laki-laki mapun perempuan). Memang kelihatannya sulit, tetapi kulihat orang Baduy menjalani kehidupannya senang-senang saja. Kebahagiaan itu ada dimana-dimana. Akupun sejujurnya juga merasa bosan ketika mengikuti kehidupan mereka disana karena keluarga yang kutinggali bekerja sebagai pedagang, dan juga tidak banyak hiburan disana tidak ada TV, tidak ada HP, dsb. Tapi satu hal yang menguatkanku yakni aku pasti menemukan kebahagiaan yang menghibur dan meneguhkanku, 12


entah lewat perjumpaan dengan orang-orang disana ataupun ketika merasakan alam disana. Semua tantangan menjadi terasa ringan dengan kebahagiaan yang kutemukan. Kebahagiaan Ada di Mana-mana dan Menjadi Rahmat Banyangan awalku tinggal di Baduy begitu seram seperti di film Silence tidaklah sesuai dengan apa yang telah kualami. Ceritaku tidak berakhir dengan kesedian, kebingungan, ataupun kegalauan. Akupun tidak berakhir ditangkap, ditombak, ataupun dibunuh. Aku malah merasakan kebahagiaan. Aku pun bisa bertahan di tengahtengah suku Baduy ditengah ketakutan atau kesulitan karena tidak ada sarana trapsportasi, listrik jarang, tidak ada Mall, dsb karena kebahagiaan. Kebahagiaan itu membuat hidup tidak berat lagi tetapi menjadi ringan dan penuh rasa syukur apapun tantangannya. Aku tak bisa membayangkan apakah aku dapat hidup tanpa kebahagiaan. Manusia itu tidak bisa dipaksa bahagia jika tidak dapat menemukan sendiri kebahagiaan itu. Syukurnya kebahagiaan itu selalu muncul dari dalam diriku. Terimakasih atas rahmat kebahagiaan yang selalu kuterima dan muncul dalam hatiku. Aku percaya kebahagiaan pemberian Tuhan. Meski sulit, hidupku menjadi penuh sukacita dan aku terus dapat maju. Mungkin kisahku di Baduy ini tidak dapat disamakan lagi dengan film silence yang membuat orang dilemma, terdiam, dsb. Mungkin kisahku ini lebih baik dibuat film baru bukan silence tetapi “Salvation�(keselamatan), keren kan bro? Keselamatan yang datang dari Tuhan lewat kebahagiaan yang kuterima ditengah tantangan yang ada. Begitu teman-teman refleskiku. Teman-teman tinggal Tunggu tayangnya, oke. Selamat Berbahagia.

13


Yayasan Bhakti Luhur

14


MANUSIA SETENGAH PROTOZOA Albertus Adiwenanto Widyasworo Mat 19:29 menyebutkan, “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.” Jadi Bapaknya Anak-anak Pada tanggal 27 Juli hingga 5 Agustus 2017, saya menjalani live in di Pamulang, tepatnya di Panti Asuhan Bhakti Luhur. Panti Asuhan ini melayani anak-anak berkebutuhan khusus dengan kondisi yang berbeda-beda. Mulai dari tunanetra, tunadaksa, tunagrahita, atau kombinasi dari ketiganya. Karya Panti Asuhan Bhakti Luhur ini dimotori oleh para suster ALMA. Selama lima hari pertama, saya menempati rumah asuh di daerah Pamulang. Rumah asuh ini dihuni oleh sepuluh anak asuh dengan lima orang perawat. Rata-rata usia anak asuh di rumah ini adalah sekitar 19 tahun. Kondisi yang paling berat adalah tuna ganda (gabungan tunanetra dan tunagrahita). Selain tinggal bersama mereka, saya juga bersekolah bersama mereka. Saya mendampingi mereka dalam berbagai kegiatan termasuk rekoleksi dan mengajar. Jumlah anak di Sekolah cukup banyak, yang pasti lebih dari seratus anak. Yang menarik adalah, semua anak di sekolah memanggil saya “pak” sebelum mereka mengenali saya sebagai frater. Begitu pula dengan para perawat, mereka memanggil dengan sebutan “pak”. Hal ini tampaknya untuk melengkapi sosok “bapak” dalam kehidupan mereka. Efek lain dari sebutan itu adalah, tiba-tiba dalam sekejap saya memiliki lebih dari seratus orang anak yang manis-manis dan menyenangkan. Setiap malam Dhika, salah seorang anak asuh, mengucapkan “selamat tidur pak.” Dan saya juga membalas ucapan selamat tidurnya. 15


Begitu pula dengan anak-anak asuh yang lain. Intinya, dalam live in kali ini saya mengalami menjadi seorang ayah bagi banyak anakanak. Bagi saya, peristiwa ini sangat penting karena menjadi sebuah pembuktian dari janji Kristus dalam Injil Matius 19:29. Setidaknya saya melihat pemenuhan janji Allah bahwa memang dalam hal ini, saya menerima kembali apa yang saya tinggalkan (mungkin lebih dari) seratus kali lipat. Dalam sebuah sesi wawanhati saya dengan Romo Tunjung (sekitar tahun 2015), beliau mengatakan bahwa pada saat menjadi imam atau pastor, kita akan kehilangan kodrat kita, salah satunya adalah kodrat seorang ayah. Namun ia melanjutkan bahwa saya tidak perlu khawatir, sejauh saya dapat menggantikan “kehilangan� itu dengan relasi dengan Kristus yang mendalam. Namun tidak semudah itu, kadang saya membutuhkan sesuatu yang terlihat, pemenuhan janji Allah dalam hidup saya. Melalui peristiwa perjumpaan dengan para anak asuh di Bhakti Luhur saya menemukan bahwa meskipun saya tidak menikah dan tidak melakukan kegiatan reproduksi, saya tetap diberikan anak-anak oleh Tuhan, malahan jumlah anak-anak itu begitu banyak. Protozoa, Imam, dan Trinitas Banyaknya anak yang tiba-tiba saya miliki tersebut membuat saya berpikir tentang cara protozoa berkembang biak. Protozoa merupakan sebuah organisme prototype dari organisme kompleks yang lain. Organisme ini berkembang biak dengan membelah diri menjadi banyak organisme yang identik tanpa melakukan proses reproduksi yang dilakukan kebanyakan hewan-hewan lainnya. Imam dan Protozoa memiliki kesamaan, yaitu mereka tidak perlu menikah namun dapat tetap memiliki jumlah anak yang banyak. Protozoa memiliki anak dengan membelah diri, sedangkan imam memiliki anak dengan memberikan diri kepada Kristus. Imam dengan sendirinya menjadi ayah bagi para umat. Oleh karena hal itu, salah satu sapaan bagi imam adalah romo, pater, father, yang berarti ayah atau bapak. 16


Pada saat Protozoa membelah diri, anaknya memiliki sel inti yang identik dengan sel induknya karena substrat dari inti sel induk membelah diri menjadi protozoa-protozoa yang baru. Hal ini mirip dengan apa yang dialami para imam. Memang, imam tidak membelah diri dan memiliki anak yang identik dengan dirinya, tetapi justru lebih dari itu, imam tidak hanya membelah diri, tetapi memberikan dirinya, sehingga Kristus yang ada dalam dirinya dapat diberikan dan diterima kepada anak-anak, atau secara lebih umum, umat yang ia jumpai. Dalam hal ini, Roh Kristus yang ada dalam umat tidak hanya identik dengan Roh Kristus yang ada dalam diri si imam, tetapi sungguh Roh Kristus yang sama dengan apa yang dimiliki imam tersebut, bahkan Roh Kristus yang berasal dari Bapa dan sama dengan yang dimiliki Yesus dua ribu tahun yang lalu dan yang akan terus hidup dan berkarya sepanjang sejarah manusia. Wajah Kristus dalam diri mereka Menjadi bapak bagi mereka merupakan sebuah kehormatan bagi saya. Karena dalam segala hal saya menjadi teladan, panutan, dan memomong mereka. Saya harus membimbing mereka agar mereka dapat melihat Kristus dalam diri saya. Setidaknya itu yang saya pikirkan sampai suatu hari saya berjumpa dengan seorang anak bernama Silvia. Silvia adalah seorang anak berumur kurang lebih 9 tahun. Ia seorang tunanetra sejak lahir. Ketika berjumpa dengan Silvia, saya merasa ada sesuatu yang menarik dalam diri anak ini. Oleh karena hal tersebut, saya mulai sering masuk kelas Silvia dan berbicara dengan guru di kelas tersebut dan menyapa Silvia. Dalam salah satu perjumpaan kami, saya mengetahui bahwa Silvia mengenal ekspresi wajah dan gerak dari teman-temannya. Ketika diajak untuk berekspresi dan menari, ia melakukannya dengan sangat baik. Padahal menurut gurunya, tidak ada yang mengajarinya. Menurut para guru dan perawat, Silvia mampu melihat dengan hatinya. Melalui peristiwa tersebut, saya merasa bahwa Allah menyapa saya. Ia meneguhkan saya, bahwa ada hal yang lebih dalam dari apa 17


yang sekadar terlihat. Mungkin kalau saya permudah, melihat apa yang tak terlihat, dapat saya sebut dengan iman. Terkadang, saya merasa bahwa segala hal haruslah empiris, dapat dibuktikan, dan dapat dilihat dengan jelas. Namun tampaknya, Allah menginginkan saya untuk mampu melihat apa yang tidak terlihat oleh mata. Allah menginginkan saya untuk berkembang dalam iman. Mulai mempercayai Allah dan tidak menggantungkan segala pekerjaan kepada diri sendiri. Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa ternyata pada saat kita melakukan suatu perbuatan kasih, tidak hanya orang lain yang melihat wajah Kristus dalam diri kita, tetapi wajah Kristus itu sendiri dapat kita lihat dalam orang-orang yang kita layani. Dan malahan, dalam arti tertentu, kitalah yang ditunjukan wajah Kristus dalam diri mereka. Yang membuat kata-kata manusia menolong jiwa-jiwa adalah rahmat Allah.

St. Yohanes Paulus II

18


Yayasan Bhakti Luhur

19


SURGA KECILKU Oleh: Bernando Gabriel S. Semua bermula dari rasa penasaran dalam diriku yang begitu besar terhadap sahabat-sahabatku yang berkebutuhan khusus. Kala aku melihat mereka di gereja-gereja ataupun di tempat-tempat umum, timbul rasa penasaran terhadap mereka. Suara dari dalam Salah satu agenda bagi Seminari Tinggi KAJ ialah live in. Aku pun mengajukan diri untuk live in di Bhakti Luhur yang berada di Pamulang. Aku memilih tempat itu karena rasa penasaranku, dan ingin mencoba sesuatu yang baru. Aku belum membayangkan tentang Bhakti Luhur sebelumnya, apa yang akan aku lakukan, apa saja pekerjaan, dan apa yang khas dari sana. Aku sama sekali tak mempunyai bayangan tentangnya. Aku hanya berkata pada diriku, “Aku siap!�. Kata itulah yang aku pegang terus sampai tibalah saat untuk berangkat live in. Saat liburan bersama keluarga sudah selesai, dan semua frater sudah datang, mereka memenuhi ruang makan untuk makan malam bersama. Akan tetapi, menariknya, kami kembali ke Wisma Cempaka untuk bersiap-siap pergi lagi dan bukan untuk menjalani aktivitas harian. Kami akan di-’lempar’ kemana-mana untuk mengalami sesuatu yang baru. Ketika makan malam usai, ruang rekreasi kosong. Setelah menengok kanan kiri, ternyata para frater sedang bersiapsiap untuk live in yang akan dimulai esok hari. Aku amat bersyukur karena aku sudah beres-beres ketika tiba di kamar. Aku pun hanya mengecek ulang barang bawaanku untuk berangkat besok pagi. Aku akan pergi ke Bhakti Luhur dan akan tinggal di sana selama 10 hari. Aku mempersiapkan betul apa yang akan aku bawa, agar tidak menyusahkan nantinya. Pagi menyapa, udara segar mulai merasuk melalui sela-sela jendela, burung-burung pun berkicauan, dan air mulai mengucur 20


menandakan untuk segara bangun dan mandi. Perayaan Ekaristi hari ini dipimpin oleh Romo Uut. Ia mengatakan dalam homilinya, “bawalah keceriaan dan kebahagiaan yang ada di seminari ini di tempat kalian live in nanti”. Itulah pesan misa yang aku pegang dan menjadi semangat bagiku untuk melangkah lebih pasti dalam live in kali ini. “Ndo, nanti kita berangkat jam setengah sembilan ya!”, ujar Wenan padaku, kala aku baru keluar dari kamar. “Sip mas.”, jawabku mantap. Aku pun langsung menuju ke ruang makan untuk sarapan. Kali ini, aku mempercepat sarapanku untuk menyiapkan batin. Aku melirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 8.15 dan bersiap untuk berangkat. Setelah memastikan semua barang yang aku butuhkan telah terbawa, aku kancingkan tasku dan siap berangkat. Kami memilih untuk naik Transjakarta untuk mempermudah perjalanan kami. Dalam perjalanan, aku mulai membayangkan apa yang akan aku lakukan di Bhakti Luhur, karena aku belum pernah ke Bhakti Luhur. Secara manusiawi, awalnya aku merasa takut, banyak pikiran-pikiran aneh mulai muncul di kepalaku. Akan tetapi, aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk siap akan segala yang aku alami nanti. Aku berdoa pada Tuhan, “Tuhan, hanya hati yang siap melayanilah yang aku bawa dalam perutusan kali ini.” Doa inilah yang selalu menemaniku dalam perjalanan hingga sampailah aku di sebuah rumah sederhana di daerah Pamulang, Tangerang Selatan. “Yayasan Bhakti Luhur” tertera di depan pagar rumah tersebut. Aku dan Wenan masuk dan bertanya untuk memastikan bahwa tempat inilah yang kami cari. Aku dan Wenan disambut dengan hangat sesampainya di sana. Aku dan Wenan bertemu dengan Sr. Mery dan Sr. Tri dan langsung meyampaikan tujuan kami. Kami pun baru tahu bahwa tempat itu merupakan salah satu dari Yayasan Bhakti Luhur, dan ternyata masih ada beberapa rumah lagi yang bernaung dibawah yayasan tersebut. Selanjutnya, kami ditempatkan di asrama pria, dimana yayasan tersebut memiliki 2 rumah asrama pria yaitu, Asrama Bambu Apus dan Asrama Pamulang atau “Rumah Baru”. Aku dan Wenan suit untuk membagi tempat, menang akan tinggal di Bambu 21


Apus, dan yang kalah akan tinggal di Pamulang. Aku menang, jadi aku tinggal di Bambu Apus, tapi sebelumnya kami telah sepakat, setelah 5 hari akan berganti tempat tinggal, agar sama-sama merasakan kedua asrama tersebut. Hatiku Siap Tuhan Aku diantarkan oleh pak Vincent yang baru ku kenal di sana. Vincent adalah Bapak Asrama di Pamulang. Dalam perjalanan, dia bercerita bahwa sudah dari kecil dia sudah ada di Yayasan Bhakti Luhur. Kala mendengar itu, hatiku pun tersentak dan merasa ada sesuatu yang mulai menyelimuti hatiku, entah apa rasanya, aku pun mencoba menerkanya hingga tak terasa aku telah berada di rumah yang akan aku tinggali selama 5 hari kedepan, yaitu Wisma Bambu Apus. Setibanya aku di Asrama Bambu Apus, entah kenapa kesan pertamaku ialah merasa nyaman. Aura yang penuh keceriaan dan juga keterbukaan yang begitu membahagiakan. Aku berkenalan dengan teman-temanku yang ada di sana, yaitu Martin, Hadi, Momoy, Sius, Patrick, dan Tanto. Mereka semua adalah saudaraku yang memberikan sejuta pengalaman selama aku di sana. Selain itu, Aku juga tinggal bersama pak Peno beserta keluarga serta dua orang pengasuh lainnya yaitu pak Agus dan pak Wahyu. Pak Peno adalah bapak Asrama Bambu Apus yang banyak memberi tahuku keunikan saudara-saudaraku ini. Selayaknya seorang Ayah, beliau sungguh mengenal ke-enam saudaraku yang memang butuh perhatian lebih. Aku menangkap bahwa figur Ayah yang diberikan pak Peno sungguh membuat teman-teman merasa at home. Selama lima hari di Wisma Bambu Apus, aku banyak mendapatkan pelajaran penting dari teman-teman di sana. Pelajaran yang menguatkan panggilanku seperti kepekaan, menjadi seorang figur, dan juga lebih mengandalkan Tuhan. Satu hal lagi yang pak Peno katakan padaku ialah, “frater, saya belajar dari mereka untuk menjadi pribadi yang tidak mendendam, karena mereka pun tak pernah dendam pada saya, meskipun terkadang saya agak keras terhadap mereka.� 22


Aku sudah Jatuh cinta Tuhan Malam mulai menghembuskan dinginnya, membawaku untuk berpindah ke rumah baruku. Bermodal pengalaman di Asrama Bambu Apus serta hati yang siap, aku pun berangkat ke Asrama Pamulang. “Malam frater!”, sapa Pak Lian menyambutku malam itu. Aku datang setelah mereka semua selesai makan malam. Seperti biasa, aku tak butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri di rumah baruku. Aku menaruh barang-barangku di kamar dan kembali bersama mereka di ruang tamu. Di rumah baruku ini, penghuninya cukup banyak yang membuatku memiliki banyak saudara di sini. Dinamika di rumah baru ini pun cukup berbeda dengan yang di Bambu Apus. Rasanya menyenangkan. “Selamat Pagi frater!”, sapa seorang anak padaku, ketika aku baru tiba di sekolah. Aku baru mengenalnya bahwa ia adalah Silvia, seorang anak luar biasa yang memiliki semangat hidup yang besar. Di sekolah, aku bertemu lebih banyak lagi anak-anak berkebutuhan khusus. Bagiku, mereka semua unik dan selalu dapat membuat aku tersenyum. Kegiatan di sekolah cukup banyak, mulai dari persiapan perayaan 100 hari wafatnya Romo Janssen, sampai HUT RI ke-72. Aku dan Wenan diminta untuk memberi penyegaran selama 4 hari untuk teman-teman yang berkebutuhan khusus, dan para pengasuhnya. Materi yang kami berikan untuk teman-teman yang berkebutuhan khusus sederhana, yaitu “Mengampuni”. Untuk bapak ibu pengasuh, kami memberi pemaparan tentang kejang, refleksi sebuah film sampai membangun niat mereka. Aku menyadari bahwa anak berkebutuhan khusus tidak seperti yang orang-orang lain bayangkan. Mereka adalah mutiaramutiara berharga yang Tuhan kirimkan untuk melatih kepeduliaan kita pada sesama. Selain itu, pengalaman bergaul bersama mereka membantuku menjadi lebih mudah untuk melihat gambaran Tuhan yang begitu nyata dalam diri mereka. Anak berkebutuhan khusus juga dapat menjadi sahabat serta keluarga yang menghiasi hari-hari kita dengan penuh makna. Kemudian, kesetiaan dan pelayanan pun

23


menjadi semakin terlatih kala mereka mulai menampakkan senyum termanis mereka. Surga yang kubayangkan indah telah aku dapatkan di tempat yang sama sekali tak pernah terbayang olehku. Tempat itu adalah Yayasan Bhakti Luhur, dengan segala keindahan, keceriaan, suka duka, dan juga harapan yang memberikan senyuman, baik dari anakanak, bapak-ibu pengasuh, guru-guru, dan Suster-suster ALMA yang berkarya di sana. Terima Kasih Tuhan untuk Surga kecil nan indah yang Engkau berikan padaku. Aku sudah jatuh cinta, ya Tuhan, untuk semakin melayani Engkau.

Ajarilah hukum Cinta Kasih Kristen! Amal kasih yang melampaui dunia memutuskan mata rantai kebencian dan balas dendam. St.Yohanes Paulus II

24



PERJALANAN MENCARI KEDAMAIAN Gregorius Wilson Liburan sudah selesai. Kini saatnya kembali ke seminari dengan segala pekerjaan, tugas-tugas dan segala dinamika hidup komunitas yang membawa kebahagiaan. Sehari aku menikmati malam yang tenang, yang jauh dari dunia nyata, lalu aku harus pergi lagi. Kembali ke dunia nyata, dunia kerja dan dunia yang keras menempa karakter manusia. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali dan akan selalu terkenang dalam hidupku.

Aku berangkat ke gereja St. Odilia, Citra Raya tanggal 27 Juli 2017. Aku berangkat bersama fr. Fritz dengan menggunakan Commuter Line. Kami berangkat dengan penuh tanda tanya. Kami tidak mengetahui secara jelas harus menggunakan kendaraan apa. Akhirnya kami diberi petunjuk untuk turun di Stasiun Tenjo. Hari sudah menunjukkan pukul lima sore. Hari sudah mulai gelap, tetapi kami belum tiba di gereja. Kami menunggu bus Bulan Jaya di persimpangan jalan dengan harapan akan tiba di sana pukul 6 sore. Akan tetapi, bus Bulan Jaya tidak juga lewat. Akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan angkot carry berplat hitam. Sekawanan tukang ojek terus menawari kami jasa mereka. Ada yang memaksa dengan cukup keras, sampai kami memutuskan untuk berjalan kaki. Kami berjalan kaki dengan harapan ada angkot yang akan membawa kami. Sering kali angkot menolak kami karena ada tukang ojek yang iri hati dan melarang angkot mengangkut penumpang. Hari sudah benar-benar gelap, kami berjalan kaki tanpa menggunakan senter. Sesekali aku menoleh ke belakang dengan memperhatikan jenis mobil yang lewat. Siapa tahu bus Bulan Jaya lewat jalan ini. Setiap kali melihat mobil carry, aku berusaha melambaikan tangan. Besar harapanku mobil itu adalah angkot. Banyak mobil yang menolak kami. Sepanjang perjalanan kami menertawakan usaha kami menghentikan mobil. Suatu ketika, sebuah mobil berhenti dan 26


memberikan tanda bahwa ia akan berhenti di sisi kiri jalan. Aku dan fr. Fritz saling bertatapan sambil tertawa terbahak-bahak. Sebuah pertanyaan besar di kepala kami, kenapa mobil ini mau memberi kami tumpangan? Belum lagi pemilik mobil ini ternyata akan pulang ke rumahnya. Mobil yang berhenti ternyata mobil bak terbuka. Kami sangat senang dapat menumpang. Bapak ini memberikan tumpangan dan memberi petunjuk jalan juga untuk kami. Aku berkata pada fr. Fritz, “Fritz kita kasih uang aja bapak ini.” Lalu kami setuju akan memberikan Rp10.000,-. “Pak ini untuk bapak.” Bapak itu menjawab, “tidak usah mas, bawa aja. Saya ikhlas kok.” Bapak itu tersenyum dan menolak uang yang kami berikan. Aku amat bersyukur atas pengalaman ini. Tentu menjadi sebuah rahmat yang amat besar bagi kami. Aku merasa bahwa Tuhan berikan jalan untuk kami. Di dalam perutusan ini, aku belajar menerima pendapat teman seperjalananku yang memiliki keinginan untuk menggunakan kereta dan berjalan kaki menyusuri jalan yang panjang. Aku tidak bisa memaksakan kehendak, tetapi belajar menemukan jalan tengah dan membangun kedamaian dalam berkomunitas. Aku sangat gembira atas pengalaman perutusan ini bersama fr. Fritz. Mungkin sampai kami tahbisan pengalaman ini akan menjadi cerita yang menarik dan terus terkenang sebagai orang-orang yang hendak menanggapi panggilan Tuhan menjadi imam. Setelah menumpang mobil bak terbuka, kami masih berjalan kaki. Kurang lebih 1 km, ada sebuah mobil carry yang kami duga angkot, dan ternyata mobil itu adalah angkot yang hendak pulang. Bapak itu bercerita panjang lebar tentang pengalamannya berhadapan dengan ojek-ojek di Stasiun Tenjo. Kami diantar bapak itu sampai daerah Tigaraksa. Di situ kami dapat menggunakan angkot warna hijau yang mengarah ke Cimone. Beberapa menit kami menunggu di sana sampai akhirnya kami menaiki angkot ke arah Cimone. Perjalanan begitu jauh, lalu apa yang hendak kami cari? Kami mencari pengalaman akan Allah yang juga dialami teman-teman muda sebagai karyawan-karyawati. Perjalanan yang 27


jauh, tetapi kami bangga dan gembira boleh mengalami perjalanan panjang tersebut. Setelah sampai di gerbang Citra Raya, kami berjalan kaki ke dalam kompleks perumahan. Keputusan itu kami buat karena kami ingin merasa gembira ketika berjalan kaki dan berjuang untuk mencapai tempat tujuan. Ternyata kebersamaan sebagai anak-anak Allah sungguh terasa ketika berjalan bersama teman seperjalanan dalam perutusan dan dalam panggilan Tuhan. Pukul 19.00 WIB kami tiba di paroki dan disambut oleh Uno. Kemudian, kami bertemu dengan Santo. Kebetulan kami melihat Rm. Felix Supranto, SS.CC. Kami menyapa dan memperkenalkan diri seperti yang suster minta sebelum kami memulai live in. Karena sudah pukul 19.00 WIB kami makan malam di pastoran bersama romo paroki. Aku bekerja sebagai sopir di pabrik perabotan rumah tangga dan elektronik. Aku merasa agak kaget mendapat pekerjaan ini. Sebelumnya pesan dari suster kami akan menjadi buruh di pabrik perabotan rumah tangga dan elektronik. Akan tetapi Tuhan punya kehendak lain. Aku merasa agak bingung harus berpakaian rapi, karena aku dan fr. Fritz sudah siap dengan baju kerja sebagai buruh. Aku berdiskusi dengan fr. Fritz dan kami putuskan untuk pergi ke pastoran dan meminjam baju romo. Kebetulan saat itu temanteman yang kami tumpangi kamarnya akan pergi ke gereja untuk latihan koor. Aku merasa bersyukur punya banyak teman. Dengan pengalaman ini aku merasa lebih yakin dan belajar mengenal kondisi gereja St. Odilia, Citra Raya. Aku berjumpa langsung dengan temanteman yang bekerja dan harus bayar kos untuk tinggal. Sebagai karyawan baru aku memiliki bayangan yang tinggi dalam dunia kerja. Tetapi semua menjadi lain ketika aku mengalaminya di situ. Sebagai sopir aku dianjurkan untuk beristirahat di musala. Di mana pun ketika mengantar orang kantor, tempat sopir berkumpul adalah musala. Di situ aku menemukan kedamaian. Di musala aku bisa berisitirahat dengan tenang sambil mengumpulkan konsentrasi untuk bekerja. Aku sangat senang karena bisa berjumpa dengan banyak orang, termasuk orang-orang Muslim. Mereka sangat terbuka kepadaku sebagai karyawan baru di sana. Mereka mempersilahkan 28


aku tidur di sana. Sebuah pertanyaan besar bagiku, “Apakah aku juga dapat menerima mereka di dalam Gereja?� Bukan perkara mudah, tetapi aku perlu berbela rasa dan menerima siapapun untuk mengalami kasih Tuhan seperti yang mereka lakukan kepadaku. Musala yang kukunjungi merupakan tempat yang sangat damai, di mana orang-orang dapat melepaskan kepenatannya selama bekerja. Mereka dapat bertemu Sang Pemberi Hidup di dalam ketenangan. Di dalam musala ada kasih. Kasih itu terus memancar kepada setiap orang, termasuk ke dalam diriku. Aku sangat bersyukur boleh mengalami pengalaman semacam ini. Semoga aku mengalaminya lagi di masa yang akan datang. Kini aku dididik oleh mereka yang dikenal radikal dan keras kepala. Nyatanya, mereka tidak seperti itu. Kerap kali kita yang membatu dan keras kepala. Terkadang kita terlalu keras mempertahankan kesucian yang belum tentu suci dan memancarkan kasih. Mereka tidak radikal, mereka tidak keras kepala. Mereka adalah saksi-saksi Kasih Tuhan yang kujumpai di dunia ini.

Damai dalam hati berasal dari kesadaran pasti bahwa dia dicintai Tuhan dan dari kerinduan untuk menjawab cinta itu. St. Yohanes Paulus II

29


30


Daya Pertemanan Membantu Perjuangan Frederick Yolando Buruh dan nelayan adalah kelompok pekerjaan masyarakat yang selalu ramai diperbincangkan, terutama pada hari-hari belakangan ini. Ketika diberi kesempatan memilih, aku mengajukan diri untuk menjalani live in sosial ku sebagai buruh atau nelayan dan romo pun mengutus aku bersama dengan Wilson untuk menjalani live in sebagai buruh. Banyak kabar yang beredar dan tersebar mengenai buruh, dan sepuluh hari inilah waktuku menyelaminya dan membuktikan sendiri, secara nyata, bagaimana keadaan seorang buruh. Kesempatan live in kali ini, aku jalani di sebuah pabrik perabotan rumah tangga dan elektronik. Awalnya, aku mengira akan menjadi pekerja dibagian produksi dan membayangkan akan melakukan kegiatan yang sama berkali-kali hingga waktu kerja habis. Namun, ketika mulai bekerja, aku malah menjadi seorang co-driver, bahasa kerennya ‘kenek’. Aku menjadi ‘kenek’ untuk pengiriman barang kepada konsumen yang memesan langsung ke pabrik. Pekerjaan ini tidak mudah bagiku. Bukan karena aku tidak pernah menjadi ‘kenek’ tetapi karena kendaraan yang digunakan untuk operasional pengiriman barang sudah tua. Banyak bagian mobil yang sudah kurang baik. Hari pertama aku bekerja, terjadi kendala pada mobilnya. Hari pertama dan baru pertama kirim, mobil colt yang kami gunakan mogok. Sudah kami usahakan untuk didorong bertiga, mobil tidak dapat menyala karena masih memiliki muatan dan tenaga kami bertiga mungkin tidak cukup untuk memberikan daya dorong yang dibutuhkan. Usaha kami tidak membuahkan hasil yang maksimal, maka kami memutuskan untuk mencari bengkel. Dengan demikian kami berusaha mencari cara bagaimana mobil tersebut dapat keluar kompleks perumahan, kami pun menunggu montir pabrik datang. Alhasil kami tidak melanjutkan pengiriman 31


barang karena sudah sore. Hari-hari kedepannya pun beberapa kali mobil operasional yang aku gunakan mengalami kendala. Pengalaman ini memberikan sedikit gambaran bagaimana perjuangan seorang buruh atau mungkin lebih tepat yang aku rasakan adalah pekerja lapangan. Fasilitas yang diberikan terbatas namun keberhasilan dituntut lebih. Kadang, atasan tidak begitu peduli atau bahkan tidak mau tahu kendala yang terjadi di lapangan. aku juga tidak dapat menyalahkan atasanku sepenuhnya karena aku juga sadar bahwa sesungguhnya atasanku di bagian operasional ini memiliki atasannya lagi yang mungkin juga menuntut lebih. Akan tetapi, aku kagum kepada perjuangan para pekerja yang aku lihat di sini. Meskipun pekerjaan yang dilakukan berat dan tidak sepadan dengan upah yang diterima, mereka tetap melakukan pekerjaanya dengan baik. Selama aku bekerja, aku bertempat tinggal di kos. Dalam satu kamar yang kira-kira ukurannya 3x3, aku tinggal bersama satu teman dari KMK Citra Raya. Di kos ini, ada juga Orang Muda Katolik (OMK) yang tinggal. Mereka juga seorang pekerja/buruh meskipun tempat kerjanya berbeda-beda. Banyak hal yang mengesankan dan mengasyikkan yang juga terjadi bersama orang muda. Dari semua pengalaman itu, aku menyadari daya kekuatan dari sebuah pertemanan. Rasa lelah yang timbul karena pekerjaan di pabrik terasa hilang bila sudah asyik dengan teman-teman. Tidak perlu hal yang mewah-mewah atau melakukan kegiatan yang besar-besar, kebersamaan sudah memberikan semangat dan menghilangkan lelah yang ada. Aku sungguh mensyukuri pengalaman yang aku dapatkan selama live in ini. Semangat perjuangan dan daya pertemanan menjadi hal yang paling aku rasakan. Selain itu, semoga pengalaman ini, membantuku kedepannya sebagai seorang imam. Dengan mengalami sendiri, meskipun tidak lama, aku dapat memberikan keputusan, saran, bimbingan dengan lebih tepat. Hal ini pun mengingatkanku kepada komunitas di Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, di mana aku merasakan daya pertemanan ini. Sering kali 32


tidak perlu melakukan kegiatan-kegiatan hebat, tapi kehadiran dan kebersamaan sebagai teman seperjalanan memberikan ketenangan dalam menjalani segala perjuangan hidup. Begitupun dalam menjalani kehidupan panggilan ini, ketika aku yakin dan percaya bahwa Yesus selalu menemaniku dalam perjalanan hidup panggilan ini, segala rintangan dan halangan dapat aku lalui. Hanya cintalah yang bisa membuat dua orang muda memahami bahwa mereka dipanggil untuk berjalan bersama dalam hidup.

St. Yohanes Paulus II

33


34


MELIHAT WAJAH LAIN KOTA DASAMUKA Alfonsus Andi Kurniawan

Langit yang berwarna-warni dan indah itu berada dalam genggaman dasamuka, aku pun masuk menjadi salah satu warna langit itu sembari mencium aroma tetesan peluh dari kerasnya kehidupan.

Ketika pertama kali aku mendapat kabar bahwa aku live in di FAKTA, perasaanku senang bercampur dengan bingung. Senang karena memang aku yang mengajukan diri untuk live in di FAKTA, aku ingin mencoba untuk benar-benar dekat dengan orang-orang yang kondisi ekonominya kurang baik. Bagiku, ini salah satu bentuk konkret untuk latihan peduli dengan mereka, sehingga rasa peduli itu bukan sesuatu yang mengawang-awang. Perasaan bingung juga muncul dalam diriku, karena aku belum pernah ke kantor FAKTA. Suatu hari, fr. Sonny menghampiriku, ia mengatakan bahwa tempat live in-nya berubah, karena prosedur untuk mengajukan tempat live in tersebut sangat rumit. Pada akhirnya, ia diutus untuk menemaniku di FAKTA. Tentu saja perasaan gembira muncul ketika aku mengetahui kabar ini, karena kami bisa bekerja sama untuk mencari tempat live in dan mencari kontak yang bisa dihubungi. Kami sempat kesulitan untuk menghubungi kantor FAKTA, karena ketika kami hubungi selalu tidak ada yang mengangkat. Dengan bantuan dari Rm. Romanus, akhirnya kami dapat menghubungi FAKTA. Kami mendapat kontak Ibu Yati, dari beliau kami mendapat informasi bahwa kami ditempatkan di tempat yang terpisah namun masih berdekatan. Tempat yang pertama adalah rumah dari Pak Karso. Profesi dari Pak Karso adalah pedagang keliling kentang goreng dan cireng (aci digoreng). Tempat yang kedua adalah rumah dari Ibu Nur. Profesi dari Ibu Nur adalah pemulung 35


di pasar. Aku berunding dengan fr. Sonny untuk memilih tempat, keputusan dari perundingan ini adalah fr. Sonny di rumah Pak Karso, dan aku di rumah Ibu Nur. Kami berangkat tanggal 27 Juli pukul 10.00 WIB, dengan Transjakarta dan naik angkot satu kali, akhirnya kami sampai pada daerah gudang seng, tempat kantor FAKTA berdiri. Dengan modal rute yang kami dapat dari Google Map dan bertanya dengan seorang pedagang makanan, akhirnya kami menemukan kantor FAKTA, kami sampai pukul 11.30 WIB. Saat kami sampai di kantor FAKTA, kami diminta menunggu Ibu Yati sebentar. Setelah kami berkenalan dengan beberapa karyawan di kantor FAKTA dan sejenak berbincangbincang dengan Pak Joko, akhirnya Ibu Yati datang. Kami langsung diantar ke tempat keluarga yang akan menjadi tempat kami tinggal. Perasaan khawatir muncul ketika kami dalam perjalanan menuju rumah keluarga tempat kami tinggal. Aku khawatir, jika aku kurang diterima dengan baik oleh pemilik rumah. Untuk menghilangkan rasa khawatir itu, aku berkata dalam hati bahwa semua rasa khawatir ini hanyalah sebuah ilusi. Rasa khawatirku ini belum terbukti, karena aku sendiri belum memulai live in ini. Ketika kami sampai, Ibu Nur baru saja berangkat menuju pasar, untunglah ada seorang tetangga beliau yang bersedia untuk mengejar beliau agar kembali ke rumah untuk bertemu dengan ku terlebih dahulu. Dengan ramah Ibu Nur menyapa kami dan mempersilahkan aku masuk ke rumah beliau. Ibu Nur ini bekerja sebagai pemulung di Pasar Ciplak, sekarang beliau mempunyai seorang suami bernama Bapak Samin dan mempunyai tiga orang anak (Sandi, Suprihatin, dan Sigit). Ketika pertama kali aku memasuki rumah ini, aku sempat sedikit terkejut dengan keadaan rumah ini. Rumah ini dapat dikatakan kecil dan sempit, pada saat itu aku baru benar-benar mengalami realitas lain dari Jakarta. Realitas di balik megah dan mewahnya kota Jakarta. Ternyata, ungkapan bahwa Kota Jakarta itu bagaikan dasamuka benar adanya bagiku. Setelah sampai, aku sebenarnya ingin langsung ikut Ibu Nur ke pasar untuk bekerja, tetapi beliau memintaku untuk makan siang 36


dahulu. Setelah makan siang, aku diantar dengan motor oleh Sigit menuju Pasar Ciplak. Saat pertama aku datang, aku cukup terkejut dengan apa yang aku lihat. Dalam benakku, aku dan Bu Nur akan bekerja mengelilingi pasar untuk mencari sampah lalu diserahkan pada ‘pengepul’ sampah. Pada kenyataanya tidak seperti itu, aku akan bekerja di sebuah tempat pembuangan sampah di pasar. Sampah-sampah ini dibuang ke sebuah bak sampah yang besar, dan dua atau tiga orang akan naik untuk memilah sampah-sampah tersebut, sampahsampah ini berasal dari para pedagang, dan para warga. Aku akan ‘bergulat’ dengan bau busuk dari sampah selama aku bekerja di sini. Tugas pertamaku adalah mengumpulkan sampah plastik ke dalam karung. Jujur saja, saat pertama kali muncul rasa jijik. Rasa jijik muncul karena plastik-plastik tersebut terkadang bekas ikan, dan pasti plastik itu berlendir dan berbau. Aku juga belum terbiasa dengan bau sampah yang menyengat. Tentu saja kondisi ini menjadi pergulatanku pada awal aku bekerja di tempat pembuangan ini. Meski begitu, aku sadar bahwa aku tidak bisa mengikuti perasaan jijik seperti ini terus-menerus, karena bekerja menjadi pemulung di pasar adalah pilihanku. Pekerjaan sebagai pemulung di pasar telah aku pilih sebagai sarana bagiku untuk lebih mengenal dan mengalami realitas lain dari Kota Jakarta. Untuk benar-benar merasakan secara konkret tindakan prefential for the poor, sehingga melatih kepedulian kepada mereka yang kondisi ekonominya kurang baik bukanlah sebuah konsep yang mengawang-awang. Selama bekerja sepuluh hari di tempat ini, aku menemukan kenyataan yang membuatku heran sekaligus iba dengan mereka yang bekerja di tempat pembuangan sampah. Para pekerja ini juga makan dari apa yang dibuang ke dalam tempat pembuangan. Mereka dengan santai memakan pisang yang sudah masuk ke tempat pembuangan sampah sembari memilah-milah sampah. Sayur, cabai yang sudah dibuang tetapi bagi mereka masih bagus akan dibawa pulang meski sudah masuk bak pembuangan sampah.

37


Bahkan aku sempat melihat ada istri dari seorang pekerja di tempat pembuangan yang memungut salak yang sudah dibuang. Salak tersebut dipotong bagian busuknya untuk dibungkus, dicuci, dan dikonsumsi. Apakah begitu keras dan susah untuk hidup di Jakarta? Pertanyaan ini langsung muncul dalam benakku ketika melihat kenyataan ini. Hal yang sangat aku sayangkan dalam diriku adalah, saat itu aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bingung, tindakan apa yang harus aku lakukan untuk menyikapi kejadian seperti ini. Mau memberi uang, saat itu aku tidak bawa uang, mau melarang tetapi mereka pernah mengatakan sudah terbiasa dengan hal seperti itu. Aku sendiri menyesali ketidakberdayaan dan ketidakpekaanku ini. Bekerja di tempat ini juga membuatku belajar arti dari ketekunan dan kerja keras. Aku belajar dari dua orang, orang yang pertama bernama Pak Ismail. Selain membantu memulung, pekerjaan Pak Ismail di pasar adalah membersihkan lingkungan dalam dan luar pasar. Beliau sudah bekerja di pasar, kurang lebih 20 tahun dan hasil kerja kerasnya ini beliau kumpulkan untuk pendidikan anak-anak beliau. Setelah menikah, beliau juga bercerita bahwa beliau berhenti merokok, sehingga uang yang biasanya digunakan untuk beli rokok dapat ditabung. Hasilnya, beliau berhasil menyekolahkan kedua anaknya. Anak Pak Ismail yang pertama telah menjadi dokter dan sekarang sedang mengambil spesialis bedah, sedangkan anaknya yang kedua sudah menjadi tentara dan sedang menempuh kuliah agar pangkatnya lebih baik. Hasil dari sebuah pengorbanan memang akan selalu berbuah manis. Orang yang kedua adalah Ibu Nur sendiri. Beliau adalah seorang wanita tangguh yang pantang menyerah, beliau seorang pekerja keras. Berangkat jam 08.00, mulai kerja sekitar jam 09.00 dan beliau baru pulang ke rumah jam 22.00, bahkan terkadang 22.30. Di usia beliau yang sudah 56 tahun masih ada keinginan untuk bekerja keras demi mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga dan menabung demi membantu membiayai kuliah Sigit. Dari hasil kerja keras beliau juga Sandi dan Suprihatin dapat menempuh pendidikan hingga SMA.

38


Sigit kuliah D1 jurusan pariwisata, ia kuliah karena mendapat bantuan dari dermawan. Ibu Nur menabung demi biaya kuliah Sigit karena Ibu Nur mendengar bahwa bantuan yang diberikan hanya satu semester saja. Kejadian di mana Sigit mendapat bantuan bagiku tidak terlepas dari rahmat Tuhan yang ‘menghargai’ kerja keras dari Ibu Nur. Mungkin ada yang bertanya-tanya, lalu bagaimana dengan suami ibu Nur. Beliau pernah bercerita padaku bahwa suami beliau ini tidak pandai menabung dan lebih sering memakai uang untuk bersenangsenang. Benar-benar kondisi yang bagiku tidak mudah. Meski begitu dalam kesehariannya aku tetap melihat Ibu Nur yang amat tabah. Aku bersyukur karena dapat live in di tempat Ibu Nur. Aku merasa sangat diterima dan dianggap sebagai anggota keluarga sendiri. Meskipun beliau seorang Muslim dan aku non-Muslim tetapi beliau dan keluarganya tidak pernah membeda-bedakan aku. Bahkan setelah kemudian tahu bahwa aku sedang menempuh pendidikan calon pastor, beliau tetap ramah terhadapku. Pengalaman ini merupakan suatu rahmat bagiku dapat tinggal dan belajar di rumah tersebut. Dari pengalaman-pengalaman yang aku dapat selama live in, aku mengamini bahwa kota Jakarta memang bagai dasamuka. Jakarta memiliki wajah lain selain kemegahan dan kemewahan, dan wajah ini aku temui saat live in di FAKTA. Semua yang aku lihat juga membuatku mengamini bahwa hidup di Jakarta itu keras dan mencari rezeki di Jakarta tidak mudah. Tetapi, siapa yang tetap mau bertahan dan berusaha di tengah kesulitan tersebut, sembari mau membuka hati pada Tuhan pastilah mendapat sebuah rahmat yang besar. Hasil dari kerja keras tidak akan pernah mengkhianati diri kita dan akan selalu mendatangkan sebuah rahmat yang besar. Di tempat inilah Aku mengalami kemurahan hati Tuhan yang amat besar.

39


FAKTA

40


PELANGI YANG DATANG SESUDAH HUJAN Yoseph Sonny Sutanto A: Mas stik kentangnya masih lama? B: Lumayan, masih digoreng ini dek. A: Aduh cepetan dong‌ udah ditunggu nih! B: Iya..iya (sambil mengambil stik kentang yang baru matang dengan tangan) Pernah mendengar jajanan yang namanya cireng dan stik kentang, jajanan yang membuat kita teringat akan masa sekolah dulu? Yups.. stik kentang dan cireng adalah jenis jajanan sekolahan yang digoreng dan dijual dengan harga yang cukup murah alias “sesuai dengan kantongâ€? anak-anak sekolahan. Dengan bumbu yang beraneka rasa, jajanan ini tentunya terasa sangat nikmat di lidah anakanak. Oh ya‌ cerita ini bukanlah sebuah kisah nostalgia antara seseorang dengan jajanan sekolahan pada zamannya, tetapi sebuah kisah tinggal bersama atau live in antara seseorang calon imam dengan si pembuat stik kentang. Cerita ini dimulai pada tanggal 26 Juli 2017, ketika para frater projo Jakarta mengadakan live in tahunan di wilayah Keuskupan Agung Jakarta untuk mengisi liburan. Aku sendiri mendapatkan perutusan live in di Kampung Warna-Warni daerah Tanggul Penas, Kalimalang, bersama dengan seorang bapak penjual jajanan keliling, Pak Karso namanya. Ketika aku tiba di Kampung Warna-Warni, aku melihat deretan rumah penuh warna dengan loteng secukupnya. Dengan yakin aku menduga bahwa salah satu dari rumah ini adalah milik Pak Karso. Akan tetapi, Pak Karso ternyata hanya tinggal di bagian loteng salah satu rumah bersama dengan satu anaknya laki-laki, sedangkan istri dan anak-anaknya yang lain tinggal di kampung. Rumah yang ia tempati 41


ini ternyata adalah milik bibinya. Karena aku tinggal bersama Pak Karso, akhirnya aku pun ikut tinggal di loteng bersama dengannya. Di loteng, aku tinggal di sebuah ruangan berukuran 2.5 m x 2.5 m, sedangkan Pak Karso bersama dengan satu anaknya tinggal di ruangan sebelah yang berukuran sama. Di ruangan inilah Pak Karso beristirahat dan membuat adonan stik kentang. Jika dilihat sekilas, aku dapat mengetahui bahwa ruangan ini dipenuhi dengan debu dan jarang dibersihkan. Aku menduga-duga kalau Pak Karso pasti tidak sempat untuk membersihkannya, karena masih harus mempersiapkan bahan dagangan untuk esok hari meskipun sudah berada di rumah. Tak banyak perabotan yang kulihat di ruangan ini; hanya kasur tipis dengan karpet lusuh yang menjadi tatakannya. Memang terdapat kipas angin dan televisi yang berukuran kecil, akan tetapi kedua perabotan ini pun tidak berfungsi dengan baik. Perabotan lainnya yang terlihat hanyalah baskom kecil dengan pisau dan nampan yang memang digunakan setiap harinya oleh Pak Karso untuk membuat stik kentang. Selain perabotan rumah, dinding bangunan rumah ini ternyata juga tidak terbuat dari tembok, tetapi triplek yang sepertinya sudah sering ditambal. Belum selesai dengan kondisi rumah yang ‘seadanya’, aku kembali diajak untuk bersyukur dengan banyaknya semut, kecoak, nyamuk, dan tikus yang selalu muncul dan terkadang mengunjungiku ketika aku tidur. Maklum, tempat tinggal Pak Karso berada persis di samping kali. Oleh karena itu, tidak heran jika rumah ini pun sering ‘kedatangan tamu’ seperti hewan pengerat dan serangga. Selain itu, aku juga harus pergi ke kamar mandi umum (MCK) jika ingin mandi atau mendapatkan air bersih, karena tidak semua rumah memiliki kamar mandi. Air bersih ini biasanya kudapatkan dengan memompa air dari MCK, meskipun masih tercium bau besi yang sangat kuat dari air tersebut. Dengan semua kondisi yang telah kulihat di awal perjalanan ini, aku pun bertanya-tanya pada diriku, “Kira-kira pelangi seperti apa ya yang akan kudapatkan di akhir perjalanan nanti?�

42


Akhirnya, tibalah pada saat yang paling kutunggu-tunggu, yaitu menjadi penjual stik kentang dan cireng keliling bersama dengan Pak Karso. Menjadi seorang pedagang jajanan keliling memang tidak semudah yang kubayangkan sebelumnya. Jika aku memulai pekerjaan ini dengan hitung-hitungan sederhana, penghasilan bersih yang kudapatkan dari berjualan stik kentang dan cireng seharian hanyalah sekitar Rp. 10.000,00. Penghasilan ini pastinya tidak cukup untuk menghidupi Pak Karso bersama dengan keluarganya. Setiap hari aku bangun jam 05.00 dan mempersiapkan diri untuk berjualan, sedangkan Pak Karso selalu bangun lebih awal dariku. Ia terbiasa bangun jam 04.00 untuk menggoreng beberapa stik kentang menjadi setengah matang, sebagai persiapan sebelum berjualan. Sebenarnya aku juga ingin bangun jam 04.00 untuk membantunya. Tetapi sayang, badan yang belum terbiasa untuk berjualan seharian membuatku sulit untuk bangun. Pak Karso bahkan sempat membangunkanku beberapa kali di pagi hari. Pada hari biasa, aku bersama dengan Pak Karso berjualan di tiga sekolah. Sedangkan pada hari libur, kami harus mengelilingi kampung sekitar untuk menjual stik kentang dan cireng. Sebuah gerobak kecil yang sudah cukup tualah yang menjadi teman seperjalanan Pak Karso setiap harinya. Ia harus mendorong gerobak kecil ini melewati jalan yang mendaki ataupun menurun, saat cuaca cerah maupun hujan. Meskipun rasa lelah tak jarang menghampirinya, ia tetap mendorong gerobak itu untuk terus menghidupi dirinya dan keluarganya. Ada banyak pengalaman berharga yang kudapatkan ketika berjualan bersama Pak Karso, mulai dari caranya bercanda dengan anak-anak sekolahan, bertegur sapa dengan sesama penjual jajanan, membungkus jajanan stik kentang sebagai persiapan sebelum anakanak datang, hingga kejadian-kejadian unik yang kualami ketika berjualan. Kejadian unik yang selalu kuingat adalah ketika aku harus melayani banyak sekali anak-anak sekolahan yang ingin jajan ketika istirahat setiap harinya. Kami selalu mempersiapkan bungkusan stik kentang dan cireng untuk anak-anak yang akan membeli sebelum istirahat agar tidak kerepotan saat anak-anak datang nantinya. Akan 43


tetapi, tak disangka anak-anak sekolahan terus berdatangan untuk jajan. Bungkusan yang kami siapkan pun habis dengan cepat dan akhirnya anak-anak harus menunggu stik kentang yang baru digoreng. Biasanya kami harus menunggu stik kentang menjadi hangat agar mudah dimasukkan ke bungkusan. Akan tetapi, karena anak-anak sekolahan sudah tidak sabar, maka kami langsung membungkus stik kentang yang baru digoreng itu dengan tangan. Aku sendiri merasakan betapa panasnya stik kentang yang baru diangkat dari penggorengan itu. Akan tetapi, tangan yang memerah akibat membungkus jajanan sepertinya sudah menjadi ‘makanan sehari-hari’ bagi Pak Karso. Baginya yang terpenting dalam berjualan adalah terlayaninya pembeli dengan baik dan cepat. Ada sebuah pernyataan yang kuingat dari Pak Karso, “Berjualan itu tidak tentu; kadang sepi kadang ramai.” Situasi seperti itulah yang kualami selama berjualan bersama Pak Karso. Tidak setiap hari barang dagangan kami habis dengan cepat. Terkadang kami masih harus berkeliling di kampung-kampung untuk menghabiskan barang dagangan setelah sempat berjualan di sekolah. Tak masalah seberapa lama waktu yang kami habiskan untuk berjualan, yang penting barang dagangan harus dihabiskan hari itu juga, karena tidak akan bisa dijual lagi untuk keesokan harinya. Selain itu, tak jarang pula Pak Karso agak merugi karena beberapa orang yang meminta bonus setiap membeli jajanan, terlebih jika ada orang yang menawar harga jajanan menjadi Rp. 1.000,00. Meskipun agak kecewa, tetapi terkadang Pak Karso tetap melayani pelanggan itu dengan setia. Ia adalah salah satu sosok orang sederhana yang murah hati dan memiliki cinta yang besar. Pengalaman tinggal bersama dengan Pak Karso merupakan sebuah pengalaman yang berharga bagiku, juga bagi perjalanan imamatku. Sebagai seorang Muslim, Pak Karso mengajarkanku untuk setia dalam menjalankan ajaran-ajaran agama. Ia selalu menyempatkan diri untuk sholat saat di tengah-tengah berjualan. Ia juga selalu mengucapkan kata “bismillah” ketika hendak berjualan atau melakukan sesuatu. Hal ini tentunya mengajarkanku untuk

44


tetap mengingat Tuhan dalam setiap perbuatan dan mensyukuri penyertaan-Nya dalam hidup sehari-hari. Sebagai seorang pedagang jajanan keliling, ia mengingatkanku untuk setia menghidupi panggilan hidup yang telah Allah anugherahkan dan pantang menyerah dalam menghadapi setiap tantagan, rintangan dan kesulitan. Pak Karso dulunya adalah seorang sales door to door. Akan tetapi, karena tidak membuahkan hasil yang baik ia terus berpindah profesi hingga akhirnya menjadi penjual jajanan keliling selama empat tahun. Meskipun menjadi penjual jajanan keliling itu melelahkan namun ia tidak mudah menyerah. Setiap hari yaitu setelah pulang berjualan, ia selalu membuat adonan stik kentang sebagai persiapan untuk dijual esok hari. Keesokan harinya pun ia sudah harus bangun jam 04.00 untuk berjualan. Rutinitas seperti ini tentunya membutuhkan kesetiaan yang besar. Akan tetapi, ia tetap berjuang untuk menjalaninya. Setelah live in di Kampung Warna-Warni, akhirnya aku pun menemukan sebuah pelangi, bukan dalam deretan rumah warnawarni ini, tetapi di dalam diri Pak Karso. Ia memang tidak terlalu banyak berbicara, tetapi ia memancarkan cahaya Allah lewat caranya berusaha. Ia memang tidak memiliki pendidikan yang tinggi, tetapi ia memiliki semangat juang yang tinggi. Ia memang tidak memiliki rumah yang indah, tetapi ia menjadi rumah yang indah bagi sesamanya karena sering dimintai pendapat dan saran. Dari semua ini, akhirnya ia menjadi pelangi, yang selalu datang dan menghias keseharian anak-anak sekolahan setelah dihujani padatnya pelajaran di sekolah.

45


46


GEREJA DI DALAM DUNIA Wajah Paroki Kutabumi yang Membumi Giovani Surya dan Antonius Arfin Pengalaman kami terlalu indah dan kaya. Jejak-jejak-Nya merentang di antara angan dan perjumpaan. Refleksi ini hadiahNya. Bukan untuk kami, namun untuk Ibu Bumi. Gereja adalah terang bangsa-bangsa (LG1). Terang itu tidak ditaruh dibawah gantang, justru terang di taruh di tempat dimana ada kegelapan. Gereja sebagai terang juga seharusnya tidak ditaruh dibawah gantang, di dalam bangunan tembok-tembok gereja. Gereja harus keluar menerangi dunia, bangsa-bangsa, dan lingkungan sekitarnya. Kami, fr. Surya dan fr. Arfin, adalah anggota Gereja. Kami adalah paguyuban orang yang percaya pada Yesus Kristus. Lewat pembabtisan yang kami terima, kami menjadi anggota Gereja dan mendapatkan tugas untuk menjadi saksi-Nya. Bersaksi senantiasa memiliki dimensi keluar. Dengan bersaksi kami pun menjadi Gereja yang merupakan terang bangsa-bangsa itu. Namun bagaimanakah bersaksi itu dijalankan? Kami kira hal yang pertama kali perlu dilakukan sebelum bersaksi adalah mengenal subjek penerima kesaksian itu. Selama kurang lebih sembilan hari, kami berkesempatan live in di Paroki Gregorius Agung, Kutabumi. Paroki Kutabumi diresmikan sekitar lima tahun yang lalu oleh Bapak Uskup Ignatius Suharyo. Ditengah maraknya isu intoleransi, susahnya mendirikan Gereja, bahkan ada istilah Gereja-Gereja yang sedang “berjuang�, Paroki Kutabumi nampak tidak memiliki kendala dengan isu itu. Mengapa? Menurut umat Gregorius, khususnya Seksi HAAK (Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan) dan Romo Sulis, umat paroki diarahkan supaya kehidupan menggereja tidak hanya berkutat di dalam tembok 47


paroki, namun terlebih terjun ke dalam masyarakat. Karena di dalam masyarakatlah Gereja diutus menjadi garam dan terang dunia. Lantas, seperti apa masyarakat di sekitar Gereja Gregorius Agung. Demografi Paroki Berdasarkan data tahun 2015, jumlah umat Paroki Kutabumi mencapai 7698 orang. Dengan mencakup lima kecamatan (Kecamatan Pasar Kemis, Kecamatan Kutabaru, Kecamatan Kutabumi, Kecamatan Sepatan, dan Kecamatan Rajeg), Paroki Kutabumi banyak bersandingan dengan keyakinan agama-agama lain. Salah satu julukan yang disematkan adalah Paroki 100 Pesantren. Selain pesantren, di sekitar paroki ini juga terdapat 123 masjid dan 5 wihara. Sebagian besar umat Paroki Kutabumi (30%) bekerja sebagai buruh. Fenomena ini terjadi karena di sekitar Paroki Kutabumi terdapat kawasan industri. Akibat dari banyaknya umat yang bekerja sebagai buruh, partisipasi dalam doa lingkungan mengalami penurunan. Ditambah lagi dengan jarak lokasi kerja yang agak jauh, mengakibatkan beberapa di antaranya pulang larut. Oleh karena itu, beberapa kegiatan di paroki diadakan ketika pada malam hari. Melihat dinamika umat yang beragam, maka pola pelayanan yang diberikan adalah kunjungan rutin ke wilayah-wilayah. Bentuk pelayanan seperti ini juga mampu menyapa umat yang beragam etnisnya. Mereka berasal dari Jawa Tengah, Flores, Batak, Tionghoa, Ambon, Manado, Sunda, Nias, Dayak, Papua, Toraja, dan Betawi. Setiap suku mempunyai kekhasannya. Pada saat kami live in, komunitas Batak sedang latihan kor untuk mengiringi perayaan misa penampakan Bunda Maria di Fatima. Pada Hari Sabtu (29/7) sore, kami mengunjungi pesta pernikahan di daerah Rajeg. Pak Simon baru saja menikahkan anaknya di paroki. Nuansa pestanya khas orang Flores. Ada taritarian dengan diiringi oleh instrumen musik khas Nusa Tenggara. Menariknya, bahwa yang ikut menari tidak hanya keluarga, tapi juga RT dan banyak warga sekitar juga ikut menari. Ada yang berkain 48


Flores, ada yang mengenakan batik, ada yang berpeci, dan semuanya membaur dalam gerak dan senyum yang alami. Pelayanan umat tidak hanya untuk para orang tua. Anak-anak yang masih duduk di bangku SMP-SMA Negeri pun diwadahi dalam Persaudaraan Siswa/i Negeri Katolik (PersSiNK). Mereka berkumpul setiap Minggu siang di Sekolah Mediatrix. Umumnya mereka dibina oleh tokoh-tokoh yang pernah dididik dalam seminari. Beberapa pendidiknya adalah Pak Lukas dan Pak Kopong. Kesempatan untuk mengajar pun sempat kami cicipi. Hari Minggu itu, secara istimewa kami diminta untuk sharing panggilan. Harapannya, beberapa di antara siswa/i ada yang mulai berpikir untuk menjadi imam atau suster. Perlahan-lahan akan dipaparkan pengalaman dan refleksi di bidang perburuhan dan pesantren. Perburuhan Kutabumi-Tangerang merupakan kota industri. Terdapat ratusan pabrik di wilayah tersebut. Maka tidak heran apabila 30% umat berprofesi sebagai buruh dalam berbagai bidang industri. Sebagian ekonomi warga dengan demikian bergantung pada pemilik pabrik atau modal. Kebergantungan ekonomi warga terhadap perusahaan itu disampaikan oleh salah satu umat yang dulu berprofesi sebagai buruh di salah satu perusahaan garmen, sebut saja ibu Gendis. Dahulu ia menikmati upah dari hasil bekerja di perusahaan pembuat sepatu. Lantas pada tahun 2004, dia dengan 13.000 buruh lainnya mengalami pemutusan hubungan kerja. Perusahaan dinyatakan pailit dan para buruh di rumahkan tanpa uang pesangon yang memadai dan sesuai dengan aturan yang ada. Paska pemutusan hubungan kerja, otomatis para eks-buruh tidak lagi memiliki pekerjaan dan pendapatan. Biasanya tiap bulan mereka memperoleh penghasilan tetap yang digunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari-Listrik, air, biaya sekolah, dll tiba-tiba hilang. Hal itu diperparah karena

49


rata-rata umur buruh diatas 30 tahun sehingga mempersulit mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang baru. Kami tidak hanya mendengar tentang dinamika hidup buruh, selama 3 hari kami mendapatkan kesempatan menjadi buruh pabrik pembuatan kabel. Kami bekerja mulai jam 08.00 - 17.00 WIB bersama 900 pekerja yang lain. Di dalam pabrik itu, kami ditempatkan di bagian gudang scrap (sampah kabel). Tugas kami sederhana, dari pagi hingga sore kami memilah kabel yang mengandung tembaga. Lantas tembaga itu kami kumpulkan ke dalam wadah besar untuk diproses, kemudian dijual. Meskipun bekerja hanya di gudang sampah, namun sampah tembaga perkilogramnya bisa mencapai 100 ribu rupiah. Kami mendengar beberapa kali buruh tertangkap membawa sepotong tembaga di bungkus rokoknya. Meskipun hanya sepotong, tentu nilainya lumayan mengingat harga tembaga yang mahal. Oleh karenanya, nilai kejujuran menjadi hal yang sangat penting dalam bekerja. Di gudang scrap, kami bekerja dengan lima buruh lainnya. Rata-rata buruh adalah lulusan SMP dan SMA. Teman sekerja kami, sudah cukup lama bekerja di gudang scrab, ada yang 5 tahun dan yang paling lama 20 tahun. Bayangkan 20 tahun bekerja di tempat yang sama, dengan ritme kerja yang sama pula. Memilah-milah kabel! Kami berkesempatan bertemu dengan pak Anwar Sanusi, Ketua Serikat Pekerja Jembo Cable. Serikat pekerja adalah penghubung dan penengah antara buruh dan pemilik perusahaan. Menurut pak Anwar, harapan serikat pekerja adalah kesejahteraan hidup buruh. Salah satu patokan kesejahteraan hidup buruh adalah besaran Upah Minimum Regional (UMR) dari pemerintah dan tunjangan kesehatan. Di sisi lain, perusahaan mengharapkan produksi yang efisien dan sesuai dengan target. Sejauh pengalaman pak Anwar keterbukaan dan komunikasi yang baik antara buruh dan perusahaan merupakan kunci bagi hidup suatu perusahaan. Produksi perusahaan tidak akan berjalan tanpa buruh, dan buruh juga menggantungkan hidupnya pada kondisi perusahaan. Maka dari itu penting bagi buruh untuk mempunyai rasa memiliki terhadap perusahaan, dan perusahaan 50


tidak hanya melihat buruh sebagai ‘alat’ produksi. Buruh adalah asset/ modal yang bernilai. Mereka adalah manusia yang sangat penting artinya bagi suatu perusahaan. Kami bisa live in di Jembo Cable berkat pak Nugroho. Pak Nugroho, bagi kami adalah sosok awam Katolik yang pantas diteladani. Pak Nugroho kebetulan menjabat sebagai Human Resource Manager. Dengan jabatannya, banyak tawaran-tawaran “nakal” yang dapat memperkaya diri. Namun, sebagai orang Kristiani ia sadar akan panggilannya untuk menjadi saksi – garam dan terang dunia. Justru jabatannya merupakan sarana untuk menampilkan kesaksian hidup seorang pengikut Kristus. Pesantren Kami mendapat kesempatan mengunjungi salah satu pesantren di Kecamatan Rajeg. Namanya Pesantren Daarul Archam. Pesantren Daarul Archam dikelilingi persawahan. Letaknya persis di tepi jalan Rajeg menuju Tanjung Kait. Pagar hitamnya yang selalu terbuka menjadi kekhasan pesantren ini. Semakin masuk ke dalam semakin tampak proses pembangunan yang tengah terjadi. Tidak heran apabila masih ada puing yang tersisa karena beberapa ruang kelas sedang dirombak. Pesantren Daarul Archam dipimpin oleh seorang kyai. Namanya Kyai Baikandi. Kyai Baikandi merupakan guru besar dalam bidang gramatika Arab. Selain mengajar santri-santrinya di bidang membaca Quran, ia juga aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Bersama dengan keluarganya (seorang istri dan tiga orang anak), ia tinggal di Pondok Pesantren Daarul Archam. Sabtu itu (29/7) pukul 17.00 WIB. Beberapa santri sedang bermain sepakbola di lapangan voli. Santri yang lainnya tampak ramai mengobrol pada sebuah sisi dekat lapangan voli. Kendaraan kami diparkir di depan kediaman Kyai Baikandi. Kami datang bersama Pak Ino dan Pak Yosef dari tim HAAK Paroki Kutabumi. Tampak Pak Kyai sedang menerima tamu di teras rumahnya. Beralaskan tikar putih, mereka ngobrol sambil ngopi. 51


Kemudian, kami masuk ke ruang tamu. Dalam ruang tamu tersebut tampak sebuah lemari berisi ensiklopedi agama Islam. Pada suatu sudutpun diletakkan sebuah lemari berisi tumpukan kertas. Seorang anaknya yang laki-laki menyuguhkan kami beberapa camilan. Pak Kyai datang menyusul untuk berbincang dengan kami. Banyak hal yang bisa dipelajari dari pembicaraan dengan Pak Kyai. Salah satunya tentang kelahiran manusia. Menurutnya, ada tiga cara manusia terlahir ke dunia. Pertama, dengan berasal dari debu lalu dihembusi nafas kehidupan. Kedua, melalui seorang perawan yang mendapat ‘titipan’ dari Roh Kudus. Terakhir, dengan pertemuan antara sel telur dan sperma. Ketiga cara itu tidak ia ingkari. Ia pun mengimani akan ‘kebesaran’ Nabi Isa dan Bunda-Nya, Maryam. Konon, Maryam juga ikut hadir ketika kelahiran Muhammad ke dunia. Dalam konteks hidup berbangsa saat ini, ia pun turut mengutuki tindakan pembunuhan. Pembunuhan itu haram. Yang mampu menyelesaikan keadaan sekarang adalah perdamaian, bukan pembunuhan. Dalam kehidupan ini, ada tiga objek perdamaian, yakni damai kepada sesama seiman, damai kepada sesama sebangsa, dan damai kepada seluruh kemanusiaan universal. Selain berjumpa dengan Kyai Baikandi, kami pun mengalami perjumpaan dengan Kyai Syarifudin. Kyai Syarifudin merupakan Pembina Pesantren Daarul Tasbih. Jika diperhatikan asal namanya, Daarul berarti taman dan Tasbih berarti memuji. Daarul Tasbih berarti ‘Taman Pujian’. Kekhasan pesantren Daarul Tasbih yakni adanya tempat rehabilitasi untuk orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Beberapa diantaranya dibina dan kembali lagi sebagai pengurus pesantren. Dari perjumpaan, dengan Kyai Syarifudin beliau berpesan bahwa dalam hidup ada tiga hal yang tak terlepaskan. Pertama, dipuji. Ketika seseorang dipuji, kita juga harus ingat bahwa ada kalanya kita dicaci. Sejatinya pujian dan cacian itu bisa diletakan dalam dinamika ujian kehidupan. Jadi, ada tiga aspek yang mewarnai hidup; dipuji, dicaci, dan diuji. 52


53


LIVE IN PANTI JOMPO MARFATI Camellus Delelis Ketika tubuh itu merenta, ingatan sudah memudar, dan kegiatan fisik mulai terbatas bagi mereka, hari-hari menjadi penanda waktunya sudah dekat. Kurang lebih begitulah yang dihadapi oleh para lanjut usia yang tinggal di Panti Wreda Marfati, Tangerang. Jumlah mereka sekitar 70 orang yang terbagi dalam dua graha. Graha pertama ditinggali oleh para lansia yang masih bisa mengurus dirinya sendiri, sedangkan graha kedua ditinggali oleh para lansia yang membutuhkan orang lain dalam mengurus dirinya. Pada awalnya, panti ini adalah pabrik kertas yang memperkerjakan pasien kusta yang sudah sembuh dari RS Kusta Sitanala, Tangerang. Setelah itu, dibangunlah usaha konveksi yang dinamakan Komata (yang merupakan akronim dari Konveksi Maria Fatima). Pada akhirnya pabrik mulai ditinggalkan karena satu persatu pekerja meninggal dan lingkungan sekitar yang sudah tidak mendukung. Maka, dicarikan karya lain yang memiliki kontinuitas lebih lama. Keputusan untuk membangun panti jompo menjadi solusi bagi karya pengganti dari pabrik kertas. Pengalaman menjalani live in menjadi kesempatan untuk saya mengenal hidup mereka yang sudah lanjut. Adapun tujuan live in ini adalah memahami nilai syukur tentang karunia hidup bagi mereka yang diberikan kesempatan sampai berusia lanjut. Pengalaman menarik yang bisa dibagikan adalah pengalaman wawancara dengan oma-oma. Dalam pengalaman wawancara dengan oma-oma, saya menjumpai pribadi-pribadi yang menarik. Mulai dari seorang oma yang saya jumpai saat sedang membaca buku sendirian. Pembicaraan yang menarik darinya adalah ceritanya tentang pengalaman hidupnya yang seakan tidak berarti. Seakan-akan, ia mengharapkan Tuhan segera mencabut nyawanya. Oma ini bercerita bahwa ia pernah berencana untuk bunuh diri, namun niat ini diurungkan dan akhirnya 54


ia memutuskan untuk tinggal di panti sampai Tuhan memanggilnya. Selain itu, aku juga bertemu dan melakukan wawancara dengan seorang oma yang hidup sendiri dan sering difitnah oleh temantemannya. Karena hal itu, ia sampai mempertanyakan arti hidupnya. Dari pengalaman wawancara kedua oma tadi, saya kaget karena dalam pandangan saya tentang orang lanjut usia adalah orang yang memiliki kebijaksanaan dan memiliki wawasan luas. Pengalaman ini menunjukkan bahwa, bertambahnya usia, belum tentu bertambah kebijaksanaan. Harapan untuk Tuhan segera memanggilnya seakan menjadi jawaban atas masalah hidupnya, bahkan bisa saja bunuh diri menjadi jalan pintas yang mereka pilih. Hidup yang sudah dijalani selama puluhan tahun, dianggap nihil karena hilangnya harapan akan hidup di masa tua. Pengalaman oma-oma ini, mengajarkan kepada saya bahwa hidup ini layak untuk dijalani dengan syukur. Pengalaman hidup dikecewakan, difitnah, bahkan ditinggalkan bukan menjadi tolok ukur hilangnya harapan akan makna dari hidup ini. Pada akhir dari live in, saya menyadari bahwa sesungguhnya Tuhan menunjukkan kerentaan manusia ketika usianya semakin senja. Banyak dari manusia yang mengharapkan umur panjang, namun apakah mereka bisa memaknai umur yang panjang itu? Umur panjang bahkan bisa dianggap sebagai kutukan karena bisa saja sama artinya dengan penderitaan fisik dan batin yang lebih lama. Saya bersyukur bahwa keberadaan saya di sana menjadi pelipur untuk mereka dan bisa membantu mereka dengan ikut doa bersama pada pagi dan sore hari. Saya memang tak bisa berupaya banyak untuk mereka, namun bagi oma-opa sudah terasa cukup. Oma yang merasa ingin segera mati, mau ikut doa sehingga mengubur keinginan bunuh diri dan bersabar dengan Tuhan. Oma ini juga perlahan belajar dari oma lain yang mempunyai pengalaman yang lebih pahit namun memiliki semangat hidup yang lebih baik. Sementara oma yang merasa sering difitnah, bisa menikmati hariharinya dengan berdoa untuk bisa memaafkan dan tegar dalam melanjutkan sisa hidupnya.

55


Dalam kesempatan berbagi pengalaman dengan Suster Anastasia JMJ, yang adalah penanggung jawab dari Panti Marfati, beliau mengatakan bahwa beberapa dari oma-opa yang tinggal di panti ini, sudah ditinggalkan oleh keluarga mereka. Oma-opa yang tinggal di panti ini tidak serta merta diantar kemudian ditinggal, melainkan ada prosedur awal yang perlu dilakukan, seperti prosedur administrasi dan kesehatan. Hal yang paling dipertimbangkan untuk menerima oma-opa yang baru adalah motivasinya. Bila motivasi omaopa untuk tinggal di panti adalah keinginan sendiri, bukan karena paksaan, maka prosedur bisa berlanjut ke prosedur lainnya. Kapasitas panti ini dari tahun-ke-tahun meningkat, sehingga ada beberapa oma-opa yang masuk dalam daftar tunggu untuk tinggal di Panti ini Suster Anastasia menceritakan bahwa mendampingi omaopa itu harus bisa memposisikan diri, seperti bisa berlaku tegas layaknya orangtua pada anaknya, namun juga bisa berlaku lembut seperti anak pada orang tuanya. Pada suatu kali, suster menampakkan sikap yang tegas pada seorang oma dengan menegur oma itu karena mengganggu oma yang lain. Sementara pada kesempatan lain, suster ini dapat bersikap lembut di saat oma itu bersikap manis. Saya mengingat tentang surat Paulus kepada Titus yang berbunyi “Beritakanlah apa yang sesuai dengan ajaran yang sehat. Lelaki yang tua hendaklah hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan. Demikian jua perempuan-perempuan yang tua hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, dan berbicara hal-hal yang baik.� -Titus 2:1-3Saya bersyukur bahwa pengalaman live in di Marfati membuka mata saya tentang menghargai hidup. Hari-hari yang dilewati omaopa bersama saya selama live in mengajarkan kepada saya bahwa hidup ini layak dijalani. Sikap kita sekarang terhadap perjalanan hidup kita akan menentukan bagaimana usia senja kita. Saya akan memulainya dengan bersyukur setiap perkara sehingga saat saya menjalani usia senja dengan perasan tenang. 56


Graha Lansia Marfati

57


SAYA ANAK OMA Yuddha Adrian Vitra “Saya bukan anak mami, tetapi saya anak oma.� Kalimat itu adalah penggalan renungan singkat yang saya berikan di hadapan Oma dan Opa di Graha Marfati 1 dalam ibadat Komuni pada hari Minggu 30 Juli 2017. Selama sepuluh hari saya berkesempatan untuk melakukan live in bersama frater Camel di Panti Wreda Marfati, Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Tangerang. Kami disambut dan diterima dengan baik oleh para suster Serikat Yesus, Maria, dan Yusuf (JMJ). Panti Wreda Marfati Dalam kesempatan live in tahun ini, saya mendapat kesempatan untuk menentukan tempat yang saya inginkan. Saya dan frater Camel memiliki pilihan tempat yang sama, yakni Oasis Lestari sebagai pilihan pertama dan Panti Wreda Marfati sebagai pilihan kedua. Keduanya memiliki sebuah tema besar yang sama, yaitu akhir kehidupan. Pada akhirnya, Panti Wreda Marfati diputuskan sebagai tempat perutusan live in kami. Setelah kembali dari liburan ke rumah, saya mempersiapkan diri untuk menjalani live in di Panti Wreda Marfati. Saya dan frater Camel berangkat dari Cempaka Putih menggunakan Transjakarta menuju Stasiun Manggarai. Dari Stasiun Manggarai, kami menggunakan kereta Commuter Line menuju Tangerang. Sesampainya di Tangerang, kami menyempatkan diri untuk makan siang, lalu melanjutkan perjalanan menggunakan Grab menuju Panti Wreda Marfati. Sesampainya di Panti Wreda Marfati, kami menuju kantor mencari Suster Anastasia, tetapi suster sedang tidak ada ditempat. Kami diantarkan menuju kamar tidur yang telah disiapkan bagi kami. Setelah beristirahat, kami makan malam berdua di biara, karena suster-suster baru akan kembali malam. Kami baru bertemu Suster Anastasia dan Suster Adelita ketika sarapan pagi di biara. Mereka memberitahu kepada kami 58


apa saja yang dapat kami lakukan bersama dengan Oma dan Opa, waktu-waktu ibadat dan misa, serta kegiatan-kegiatan di panti. Setelah sarapan, kami menyaksikan Oma dan Opa berkumpul pada lapangan terbuka. Mereka bersiap-siap untuk melakukan senam pagi. Kami menyaksikan sekaligus melakukan orientasi terhadap lingkungan baru kami. Setelah itu, kami mulai berkeliling mulai dari Graha Marfati 2, Poli Klinik, Graha Marfati 1, dan terakhir menuju Konveksi Maria Fatima (Komata). Pada pagi yang indah itu kami kedatangan sahabat kami, frater Harry yang bertugas di Paroki Tangerang. Bersama dengan frater Harry, kami mulai menyapa Oma dan Opa di Graha 1, karena kondisi mereka lebih baik dan lebih mudah diajak berkomunikasi dibandingkan Oma dan Opa di Graha 2. Dari pembicaraan yang kami lakukan, baik dengan OpaOma, para suster, para pengasuh dan karyawan, ada banyak hal yang baru kami ketahui. Panti Wreda ini bukanlah tempat “membuang� orangtua. Salah satu syarat masuk Panti Wreda ini adalah kesediaan Oma atau Opa itu sendiri. Beberapa Oma dan Opa bahkan mengatakan bahwa berada di panti adalah kemauan mereka sendiri. Walaupun demikian, ada juga kasus-kasus dimana keluarga Oma atau Opa meninggalkan mereka dan tidak dapat dihubungi. Jika dihitung, di Marfati terdapat sekitar enam puluh Oma dan Opa. Mereka menempati sebuah kamar dengan seorang pengasuh yang mengurus mereka. Sebagian besar dari Oma dan Opa dapat mengurus hidup mereka sendiri terutama dalam hal kebersihan. Oma dan Opa yang masih dapat mengurus diri sendiri ditempatkan di Graha 1. Sementara itu, Graha 2 diperuntukan bagi Oma dan Opa dengan kebutuhan khusus terutama dalam hal kesehatan, karena letak Graha 2 yang bersebelahan dengan poliklinik. Dari Graha 1 dan 2, hampir semua kamar memiliki penghuni, dan bagi Oma dan Opa baru yang ingin tinggal harus menunggu ketersediaan kamar. Di Marfati, tidak banyak kegiatan yang diadakan bagi Oma dan Opa. Ada senam pagi setiap Selasa dan Jumat. Ada ibadat siang (Rosario) dan sore (Koronka) yang diadakan setiap 59


hari. Pada hari Minggu diadakan ibadat Komuni pada Graha 1 dan 2, tetapi ketika ada acara, maka ibadat digabungkan. Pada hari Jumat ketiga, diadakan Misa untuk seluruh Graha Marfati. Kami mendapatkan tugas untuk memimpin ibadat setiap hari. Kami bergantian memimpin baik Rosario maupun Koronka. Pada hari Minggu, kami mendapat tugas memimpin ibadat komuni. Tugas ini menjadi sebuah pengalaman pertama bagi saya, juga sebuah tantangan, dimana saya harus menyusun sebuah homili singkat yang tidak membosankan dan dapat dimengerti oleh Oma dan Opa yang sebagian sudah tidak memiliki kesadaran yang sempurna. Pengalaman kami tidak hanya terpaku pada Panti Wreda Marfati. Rupanya kami juga berkesempatan untuk merasakan tempat live in pilihan pertama kami, yaitu Oasis Lestari. Hal ini terjadi karena pada hari kedua, kami mendapat kabar bahwa salah seorang donatur Marfati meninggal dunia. Kami semua ikut melayat di rumah duka Oasis mulai hari Jumat sampai jenazah dikremasi pada hari Minggu. Bersama para frater yang bertugas di Oasis, kami mengenal perjalanan Oma dan Opa yang telah meninggal, mulai dari masuk rumah duka, sampai dimakamkan atau di kremasi. Sepuluh hari rupanya sangat cepat berlalu. Kami berpamitan dengan Oma dan Opa di Marfati sekaligus merayakan ulang tahun Suster Anastasia JMJ. Seperti berangkat, kami kembali ke Wisma Cempaka dengan menggunakan angkutan umum. Belajar dari Pengalaman Dari pengalaman live in di Panti Wreda Marfati, saya mendapatkan beberapa pelajaran penting. Walaupun sudah terbiasa hidup dengan Oma, tetapi ada banyak karakter Oma yang tidak saya jumpai dalam keluarga saya. Melihat Oma dan Opa di Marfati membuat saya bersyukur memiliki Oma yang dicintai anak-anak dan cucu-cucunya sampai dengan akhir hayatnya. Saya bersyukur memiliki Oma yang walaupun sakit tetap ingat kepada kami. Melalui pengalaman live in, pandangan saya akan panti wreda atau panti jompo mulai berubah. Panti wreda yang saya bayangkan 60


sebagai tempat dimana Oma dan Opa ditinggal oleh keluarganya menjadi tempat dimana Oma dan Opa ingin menghabiskan masa tuanya bersama dengan Oma dan Opa yang lain. Walaupun berisikan Oma dan Opa, tempat ini tetap memiliki dinamika yang luar biasa, mulai dari persahabatan sampai dengan konflik. Dalam kaitan dengan pendidikan calon imam, saya mendapatkan banyak pelajaran. Pertama-tama dalam hal hidup berkomunitas. Tidak mudah menyatukan pribadipribadi yang berbeda dalam satu rumah apalagi masingmasing dari pribadi itu memiliki karakter yang sudah tidak dapat diubah. Hal ini berbeda dengan di seminari dimana setiap pribadi dapat dibentuk untuk saling menyesuaikan diri. Kedua saya belajar dari pengalaman, seperti ketika memimpin ibadat dimana saya harus memberikan renungan kepada Oma dan Opa. Renungan atau homili singkat saya harus saya sesuaikan dengan kondisi Oma dan Opa yang tidak suka terlalu lama, tetapi juga tidak miskin makna. Ketiga saya belajar melihat masa depan, akan seperti apakah saya ketika saya tua nanti. Pelajaran ini saya dapatkan dari suster dan para pengasuh yang merefleksikan hidup mereka melalui hidup bersama Oma dan Opa. Sifat, karekter, pribadi pada masa muda akan terus terbawa sampai tua nanti. Melalui Oma dan Opa, saya diajak bercermin, akan seperti Oma atau Opa siapa saya nantinya. Untuk menutup refleksi ini, saya akan kembali kepada judul refleksi ini. “Saya Anak Oma� merupakan judul homili singkat saya kepada Oma dan Opa, yang menggambarkan saya sebagai harta yang sangat berharga bagi Oma saya. “Ketika saya ingin menjadi imam, Oma saya tidak setuju karena akan kehilangan hartanya yang sangat berharga. Seiring berjalannya waktu, Oma menemukan harta yang jauh lebih berharga. Beliau mendoakan dan merelakan saya menjadi imam, dan ia pergi meraih harta yang jauh lebih berharga dari saya. Harta itu adalah Tuhan Yesus sendiri.� (penggalan homili singkat ibadat komuni di Marfati). 61


62


HAL KECIL, BUKANLAH MASALAH Balsamus Pieter Dwiwasa Matahari menemani langkah kami memasuki Masjid Istiqlal, guna memotong jalan langsung menuju Katedral, agar dapat bertemu dengan Bapak Marsudi di LDD, yang akan menjelaskan apa yang akan kami lakukan di Muara Baru. Aku melihat kedamaian dari ratusan ribu orang yang kumpul untuk melaksanakan “reunian 287�; mereka saling menyapa, memberitahu asal dan saling mendukung satu sama lain. Mereka berbeda, tetapi menjadi satu layaknya pelangi yang selalu memberi keindahan bagi orang-orang yang melihatnya, hanya saja, semua ini tergantung orang yang melihat. Bisa jadi, ada yang melihat hal ini adalah gerakan seperti hujan yang selalu datang bersama-sama, tak pernah sendiri dan membasahi semuanya tanpa pandang bulu

Jembatan pemisah antara jalan cor dan aspal berbatu membangunkanku dari istirahat di mobil milik LDD yang mengantarku menuju tempat live in-ku di Muara Baru. Sejujurnya, tempat ini tidak sesuai dengan apa yang ada dibenakku; karena aku mengharapkan tempat yang berbatasan dengan laut, sehingga aku dapat menjadi nelayan yang setiap hari hidup dari laut. Selain itu, aku juga ingin mengolah rasa takutku terhadap air, serta ingin merasakan bagaimana hidup bersama dengan orang-orang pantai. Ketika mendapat penjelasan dari LDD bahwa Muara Baru adalah tempat mengajar bagi anak-anak yang kurang mampu; 63


aku langsung mempersiapkan baju-baju berkerah untuk mengajar mereka setiap hari. Ketika sampai di tempat tinggalku, aku di beri tahu bahwa kami hanya mengajar hari minggu saja, dari jam delapan pagi, sampai jam satu siang; dengan murid yang selalu bertambah tingkat. Kelas 1 (satu) Sekolah Dasar akan terlebih dahulu mendapat pelajaran, sedangkan yang lain menyusul. HANCUR... Diawali dengan hati yang hancur karena semuanya bertolak belakang dengan yang ada di dalam benakku dan harapanku. Aku tinggal di rumah keluarga yang memiliki kontrakkan yang “normal� di sekitar tempat itu, yang memiliki luas kurang lebih 3 x 3; yang berdinding tripleks, dengan dua jendela yang tidak dapat dibuka dan berwarna gelap. Rasa hancur itu cukup terobati dengan adanya anak-anak kecil, yang mungkin akan menjadi muridku saat aku mengajar pada hari minggu. Aku mengajak mereka untuk bicara secara perlahan, sehingga aku dapat mengetahui bahasa dan cara berbicara mereka yang khas. Pada awalnya aku mendapat penolakan dari anak-anak tersebut, tetapi aku yakin mereka akan menjadi dekat denganku setelah aku dan fr. Regi mengajar mereka. Saat jam makan siang, kami diajak makan bersama dengan beberapa (kurang lebih ada 12) mahasiswa dari AMI (Arsitektur Mahasiswa Indonesia) yang berasal dari berbagai macam pulau. Mereka sedang berada di Muara Baru karena ingin membangun MCK di wilayah ini (tepatnya RW 19). Setelah itu, aku dan fr. Regi izin untuk mengenal daerah sekitar dengan cara mengitari daerah tempat kami tinggal. Kami berjalan sampai sore hari. Setelah cukup mengenal daerah sekitar, aku mencoba untuk membaur dengan orang-orang sekitar, yang terkadang nongkrong di depan rumah tempat aku tinggal. Dari obrolan tersebut, aku menyadari sebenarnya banyak orang disana yang ingin hidup mengenyam pendidikan yang tinggi dan dapat memikirkan masa depan yang lebih baik. Banyak orang di sana yang menikah muda, karena pendidikan yang kurang. Hal tersebut menghancurkan rasa kecewaku, karena menurutku tempat ini tidak jauh berbeda dengan

64


kondisi hidup orang-orang pantai yang menggantungkan diri mereka dari laut. Aku mulai menyukai dan merasa nyaman di tempat ini. Hal yang paling memprihatinkan ditempat ini ialah air. Mengapa? Karena air disini seperti air saringan dari waduk pluit yang berwarna hitam pekat. Air berwarna hijau dan asin, sehingga aku memutuskan untuk membeli empat air mineral sebesar 1,5 liter setiap harinya, untuk minum dan sikat gigi. Namun,di tengah ke prihatinan tersebut, aku merasa bangga dapat hidup di tempat seperti ini. Hal yang membuatku bangga adalah, semua orang di tempat ini tidak pernah membeda-bedakan agama, walaupun mereka tahu bahwa kami adalah calon imam. Sebelum kami live in di tempat tersebut, ternyata ada teman TOR (Tahun Orientasi Rohani) yang pernah tinggal di tempat tersebut, dan bercerita banyak tentang Pastur. Selain itu, beberapa orang yang tinggal di tempat tersebut adalah calon pendeta, dan turis-turis dari mancanegara. Ibu tempat di mana kami tinggal mengatakan bahwa, untuk kerja kami dapat ikut Bang Agung dan Pak Kodari. Seharihari, pekerjaan mereka adalah menjual buah potong. Saat berjualan buah potong ini, aku punya pengalaman mendorong gerobak yang mungkin lebih berat dari aku. Dalam berjualan buah, aku memilih untuk menemani Bang Agung, sedangkan rekanku, fr. Regi, memilih untuk menemani Pak Kodari. Aku bersyukur, karena Mas Agung adalah orang yang masih muda, dan mudah untuk diajak berbincang. Saat aku menemani Bang Agung, aku menemukan banyak hal yang sangat menampar diriku. Salah satu hal yang menamparku yakni kepeduliannya terhadap kebersihan. “Walaupun tinggal di tempat seperti ini, tetapi kita harus jaga kebersihan, kalau bukan kita siapa lagi mas? Lagian kalau lingkungan bersih, banyak yang seneng dan datang ke sini.� Walaupun sampah tersebut bukan ia yang membuang, ia tetap mengambil dan membersihkan sampah tersebut. Keterbukaan dan fleksibilitas yang di ajarkan oleh Bang Agung layak di ikuti, karena ia menggunakan observasi yang sangat baik. Allah tidak pernah lupa akan anak-anak-Nya, dimana ada beban, disanalah Dia hadir dan selalu menyertai kita. Nikmatilah 65


hal kecil yang ada dalam dirimu, karena hal itulah yang akan “menelanjangi� jiwamu sendiri bila kita tidak menggunakan dan mengembangkan hal tersebut; mari kita kembangkan hal-hal kecil yang dapat kita lakukan. Allah selalu bersertamu

Yesus mempunyai hubungan yang unik dengan setiap orang, yang memungkinkan kita untuk melihat wajah Kristus dalam wajah setiap orang. St. Yohanes Paulus II

66


MUARA BARU: CARA PANDANG BARU Reginald Mozetta Januardy Muara Baru itu tempat yang bagus Di sana kubeli sebuah sepatu Kalian beri cinta yang tulus Takkan pernah lekang oleh waktu Saya menjalani live in selama delapan hari di Kampung Muara Baru, Pluit, Jakarta Utara. Teman live in saya adalah fr. Balsamus Pieter Dwiwasa. Saya hanya menjalani live in delapan hari, karena mendapat perutusan menjadi koordinator Pekan Orientasi TOR dan menemani para frater TOR 2017—2018 di Puruhita. Awalnya saya merasa sangat berat hati, karena harus mengorbankan liburan bersama keluarga. Waktu dua minggu yang sebenarnya bisa digunakan untuk berlibur bersama keluarga, hanya tersisa empat hari karena tugas perutusan untuk menjadi koordinator Pekan Orientasi TOR dan menjaga Wisma Cempaka. Meski begitu, pada akhirnya saya menyadari bahwa banyak pengalaman baru penuh makna yang saya dapat selama Pekan Orientasi TOR dan live in. Pada akhirnya, yang terucap dari hati dan bibir adalah syukur tiada henti. Saya dan fr. Pieter diantar oleh Mbak Putri dari LDD KAJ menuju Muara Baru. Kami tinggal di kost milik Pak Heri yang berada di lantai dua rumahnya yang sederhana. Ruangan kost itu berukuran 3m X 3m. Rumah itu berada di sebuah gang yang begitu sempit dan kumuh, akan tetapi saya melihat anak-anak di sana tetap bermain penuh keceriaan dan kebahagiaan. Tetap ada pelangi di mata mereka. Mereka, anak-anak, yang menjalani hidup ini apa adanya. Saya akan menuangkan permenungan terhadap pengalamanpengalaman live in Muara Baru yang banyak mengubah cara pandang saya. Perjumpaan dengan banyak pribadi dan pengalaman selama hidup di sana, membuat saya banyak belajar. Ada pengalaman sakit,

67


bekerja menjadi tukang buah dingin keliling, bekerja di outlet stiker, dan tentang anak-anak. Pengalaman Dikasihi dan Disembuhkan Saya merasa begitu kelelahan setelah menjalani Pekan Orientasi TOR 2017—2018. Saya jatuh sakit pada malam ketiga, Minggu, 30 Juli 2017. Badan saya lemas mulai dari sore hari, dan tidak ada makanan yang bisa masuk karena muntah-muntah dan sedikit pusing. Saya mengalami perhatian dan cinta dari teman seperjalanan selama live in, fr. Pieter, dan dari Pak Heri serta istrinya, Bu Sarmini. Saya merasa malam itu begitu lemah, dan saya hanya bisa berserah diri sepenuhnya pada Tuhan dan berharap agar Ia menyembuhkan saya. Saya tidak percaya, bahwa sebagai orang baru di rumah dan lingkungan tersebut, saya mendapat perhatian dan dukungan untuk lekas sembuh. Tidak hanya dari Pak Heri dan Bu Sarmini sebagai pemilik kost,tetapi juga dari para tetangga sekitar yang mengetahui bahwa saya sedang sakit. Dukungan psikologis ini memungkinkanku besok paginya bangun jam enam pagi dengan lebih sehat dan segar. Saya biasa berada dalam kondisi tubuh yang sehat dan amat jarang sakit, Pengalaman sakit selama satu hari saat live in, membuat saya menjadi sadar bahwa sehat itu bukan sekadar mahal, melainkan sangat berarti. Kesehatan merupaka salah satu anugerah terindah kehidupan dari Sang Pemilik Hidup yang harus terus saya rawat dan syukuri. Pengalaman ini seakan mengingatkan saya untuk tidak sombong dan terus mengandalkan Tuhan dalam menjalani segala aktivitas. Berpeluh Demi Mencari Rezeki Senin, 31 Juli 2017 saya sudah lebih sehat dan berani mengambil keputusan untuk ikut dagang buah dingin keliling bersama Pak Kodari. Menjadi seorang pedagang buah dingin keliling, bukanlah pekerjaan baru bagi Pak Kodari. Pak Kodari telah telah menjalani profesi ini selama tiga puluh tahun. Pada awalnya, sempat merasa ragu dan hendak ikut bekerja dengan Mas Agung saja, karena ia berdagang buah dingin di satu tempat.Tetapi pada akhirnya, saya 68


memberanikan diri ikut Pak Kodari, sembari mengandalkan Tuhan. Pengalaman sembuh menyadarkan saya bahwa Tuhan akan selalu tahu apa yang saya butuhkan dalam setiap saat dan tempat. Saya pun akhirnya memutuskan untuk terus bekerja bersama Pak Kodari pada hari Rabu dan Kamis. Pada hari Senin, Rabu, dan Kamis itu saya mulai bekerja jam delapan pagi untuk menyiapkan, dan memasukkan buah-buahan ke dalam plastik, dan menatanya di dalam gerobak. Setelah itu saya mulai mencoba untuk mendorong gerobak, tentu saja karena baru pertama kali mencoba mendorong gerobak, saya merasa kesulitan karena gerobak tersebut amat berat. Pak Kodari menyadari bahwa saya amat bersusah payah dalam mendorong gerobak itu. Kemudian, ia memberi tahu saya cara yang lebih efisien untuk mendorong gerobak. Saya berhasil mempraktikkan cara yang diajarkan oleh Pak Kodari. Sungguh tangguhlah para pedagang buah dingin yang berkeliling demi mencari rezeki. Saya menanyakan kepada Pak Kodari apa rahasianya agar dapat menjadi pedagang yang murah senyum dan seperti tidak berbeban. Pak Kodari menjawab, bahwa ketika kita mampu mensyukuri dan terus tersenyum, maka hidup ini akan menjadi ringan walau perjuangan yang menyertai seringkali tidak mudah. manusia itu sendirilah yang sering membuat hidup menjadi sulit. Pak Kodari percaya bahwa orang yang berusaha menghadapi hidup dengan sabar dan gembira akan memperoleh apa yang ia perjuangkan. Saya melihat hal tersebut ada dalam diri Pak Kodari. Keringat terus bercucuran tetapi ia tetap semangat, gembira, dan penuh senyum. Pak Kodari bercerita bahwa dirinya sering berpuasa demi mendapatkan berkat dari Tuhan dan demi kesembuhan orang-orang yang sedang sakit. Puasa yang ia lakukan adalah hanya minum air putih saja dan tetap pergi berdagang. Cara pandang baru lain yang saya temukan dalam live in kali ini adalah mengenai hubungan doa dan usaha. Puasa sebagai sebuah doa untuk menyucikan diri, mohon berkat dari Tuhan untuk sesama dan diri sendiri. Selama berpuasa bukan berarti tidak melakukan apa-apa, tetapi tetap berjuang dengan penuh kegembiraan dan semangat. 69


Karena Kita Satu Jumat, 4 Juli 2017 saya menjadi pedagang stiker. Saya bekerja sama dengan Pak Yani. Pekerjaan yang hanya duduk dan menunggu pelanggan datang, membuat tubuh saya harus beradaptasi. Saya segera mengantuk karena tidak ada keringat yang keluar dalam menjalani pekerjaan ini. Meski begitu, saya tetap berusaha untuk semangat dan gembira dalam menjalani pekerjaan ini, dan untuk mengatasi rasa kantuk, saya melihat-lihat lingkungan sekitar tempat Pak Yani berjualan. Saya bersyukur ada seorang bapak yang datang dan mengajak kami mengobrol. Ia berbicara banyak mengenai bagaimana berjuang mencari uang. Ia mengkritisi tentang bagaimana para pejabat negara korupsi demi menyenangkan keluarga. “Hukuman di dunia itu sementara, sementara di akhirat nanti kita akan dihakimi oleh Allah yang satu dan sama sesuai dengan perbuatan kita�, katanya kepada saya. Bagi dirinya, lebih baik mencari uang dengan bersusah payah dan keringat sendiri daripada mencuri atau korupsi. Bapak itu juga seperti mengerti bahwa saya tidak beragama Islam. Ia pun menambahkan bahwa tidak ada agama yang mengajarkan untuk mencuri, korupsi, dan saling benci. Allah kita satu dan sama yang akan menghakimi kita pada saatnya nanti. Saya bersyukur di tengah situasi Kebangsaan yang sedang dirongrong oleh pihak-pihak yang ingin memecah belah persatuan dalam keberagaman, masih ada orang-orang yang peduli dan mendukung keberagaman itu. Berbagi Ilmu dan Cinta Saya sangat yakin bahwa seorang guru tidak akan pernah berhasil mendidik dan mengajari para muridnya tanpa cinta. Saya mendapat kesempatan mengajar anak-anak SD pada hari Minggu. Saya mengajar pelajaran bahasa Inggris. Sesungguhnya saya sangat bingung bagaimana cara mengajar bahasa Inggris. Akhirnya saya memberikan 15 kosa kata baru, dan mengajari cara mengeja hurufhuruf bahasa inggris dengan cara bernyanyi. Saya bergembira ketika mereka menyanyikannya sambil tersenyum dan tertawa. 70


Saya pun menyaksikan anak-anak perempuan dari kelas 3—6 SD berlatih menari. Mereka menunjukkan tarian yang sudah mereka kuasai dengan diiringi lagu kicir-kicir. Setelah itu mereka diajarkan lagu baru dengan gerakan yang lebih sulit. Mereka sempat mencoba, tapi akhirnya menyerah karena sangat sulit dan memang waktunya sudah berakhir. Akhir Kata: Terima Kasih Terima Kasih. Kiranya menggambarkan apa yang ingin saya sampaikan kepada banyak teman seperjalanan dalam pengalaman live in kali ini. Kepada Tuhan Allah yang tak hentinya memberikan kejutan, dan kasih setia-Nya lewat pengalaman sakit dan disembuhkan, dan setiap detik saat saya live in. Romo Romanus yang mengutus saya ke Muara Baru. Kepada fr. Pieter, yang telah merawat saya selama semalam, dan menemani selama delapan hari. Kepada semua warga Muara Baru yang saya temui dan hadir dalam hari-hari hidup saya selama di Muara Baru. Pengalaman selalu menjadi guru terbaik dalam hidup ini. Bagi saya, hidup menjadi tidak terlalu sulit untuk dihadapi ketika kita memandang berbagai tantangan serta kesulitannya sebagai kesempatan untuk berjuang dengan gembira dan penuh semangat. Allah selalu menyertai dan melimpahi kasih setia-Nya kepada kita yang berani berjuang dengan sabar dan penuh kegembiraan. Biarlah kita berjuang dengan jujur, karena pada akhir nanti kita semua akan dihakimi oleh Allah yang satu dan sama atas segala perbuatan dan perkataan kita. Terima Kasih.

71


OASIS LESTARI

72


BELAJAR HIDUP DI HIRUK PIKUK KEDUKAAN DAN KEMATIAN Frederikus Dwi Rionaldo Arieyanto “Oasis Lestari” adalah tempat yang dapat menciptakan hubungan emosional bagi yang beraktivitas di dalamnya, mulai dari menjadi pengunjung, pengguna pelayanan, maupun yang bekerja di dalamnya. Aku mengatakan hal itu sebab aku pun merasakannya, ketika beraktivitas sebagai pekerja di dalamnya. Aku mengalami banyak pengalaman maupun perasaan yang membuatku mampu belajar banyak hal. Mulai dari belajar melayani pengguna hingga belajar untuk berinteraksi dengan warga sekitar (para pedagang yang kami beli dagangannya saat pagi dan malam hari). Aku live in di Oasis Lestari bersama teman seperjalananku, yaitu frater Oki. Ketika pertama aku mengetahui bahwa aku diberi kesempatan live in di Oasis, aku langsung berpikir “wah kayaknya ini ‘studi lanjutku’ bareng Oki dari pastoral semester dua lalu.” Oiya, ketika semester dua aku diberi kesempatan untuk berpastoral di Pelayanan Kesehatan Sint Carolus (PKSC) di daerah Salemba bersama teman-teman Pastoral Sosial Medik (PasSosMed) kurang lebih enam bulan bersama frater Oki. Aku mengatakan seperti itu sebab aku merasa setelah mengunjungi orang-orang sakit di PKSC, sekarang kegiatan live in yang kualami adalah mengurusi orang yang meninggal. Aku merasa tertantang ketika harus live in di Oasis ini, aku penasaran bagaimana dinamika ditempat tersebut yang terkenal dengan rumah duka, dan tempat pembakaran abu. Aku berangkat bersama Oki menggunakan commuterline dan turun di Stasiun Tangerang. Setelah itu kami berkunjung sebentar ke tempat teman kami yang sedang pastoral di Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Tangerang, yaitu frater Harry. Setelah itu kami berangkat menggunakan angkutan kota. Sesampainya disana kami bertemu dengan banyak orang 73


baik yang melihat kami dengan muka penuh tanya, setelah kami menyampaikan maksud kedatangan kami, kami disambut dengan hangat. Hari pertama kami di sana baru mulai bantu-bantu pada sore menjelang malam hari. Kami bertemu Ibu Rini dan diberi petunjuk apa yang akan kami lakukan selama kurang lebih 10 hari live in di situ. Oleh karena banyak bagian dari tempat-tempat di Oasis Lestari, jadi hari kami dibagi-bagi, ada bagian “Rumah Duka”(tempat diformalin, dimandikan dan disemayamkannya jenazah), “Krematorium” (tempat pembakaran abu jenazah), “Rumah Abu” (Tempat penyimpanan abu jenazah), dan terakhir di “Landscape” (bagian landscape/bagian tata kebun). Pertama kali kami ikut merasakan dinamika di Oasis Lestari adalah di rumah duka, pada hari pertama kami dikenalkan oleh teman-teman karyawan bagian lapangan yang shift dua dari rumah duka, yang nama-namanya aku hafal dan sudah aku catat dalam buku refleksiku. Di Oasis Lestari ini kental dengan budaya Sunda, oleh karena itu rata-rata teman-teman karyawan berbicara menggunakan bahasa Sunda. Aku memang bukan orang Sunda, tapi aku mengerti sedikit-sedikit tentang bahasa Sunda, jadi tidak terlalu clingak-clinguk ketika teman-teman karyawan sedang ngobrol asik pakai bahasa Sunda, dan hal ini membuatku belajar hal baru lagi mengenai bahasa. Nah, dihari pertama ini aku merasakan namanya seperti orang hilang “clingak-clinguk” bingung mau ngapain, karena temanteman karyawan merasa pekewuh (tidak enak) untuk meminta kami melakukan sesuatu. Pada bagian shift tiga, yang bekerja dari jam 23.00 sampai pagi, ada teman karyawan namanya Kang Suwanda. Nah, sama Kang Wanda ini kami lebih tahu apa yang kami harus kerjakan karena kang Wanda ini mau menunjukkan apa yang perlu kami bantu. Kemudian kami pulang ke mess sekitar jam 12-an kurang. Aku merasa melihat pelayanan yang sungguh jelas dilakukan oleh temanteman karyawan, hal tersebut terlihat dari cara mereka bersabar dalam melayani para tamu yang memiliki banyak sifat. Mereka mampu sabar ketika jam sudah menunjukkan pukul sebelas kurang sedikit dan hendak membersihkan bagian dalam, tapi dari keluarga 74


menyuruh beberapa tamu yang sedang ngobrol di luar untuk masuk dan duduk. Dari hal ini aku melihat bahwa ketika melayani memang membutuhkan hati yang kuat. Itu hari pertama. Hari selanjutnya aku dan Oki sudah mulai menemukan ritme apa yang kami harus lakukan, yaitu yang penting tanggap dalam membantu untuk bersih-bersih dan ketika ada yang butuh bantuan tanggap untuk membantu. Aku belajar untuk mengetahui bagaimana proses administrasi yang harus dilakukan oleh keluarga dari jenazah yang hendak disemayamkan ataupun dikremasi. Di rumah duka ini aku mengenal banyak pribadi lagi yang namanya tidak mungkin aku sebutkan satu-satu disini. Aku mendapat pengalaman, walaupun hanya bisa melihat, memformalin jenazah seorang nenek dan apa yang perlu dilakukan untuk mempersiapkan jenazah sebelum disemayamkan di rumah duka. Mulai dari diformalin, diberi kapas bagian-bagian tertentu hingga memandikan jenazah. Pengalaman yang menurutku adalah pengalaman yang sangat baru dan membuatku belajar banyak. Aku memiliki salah satu pengalaman unik yang tepatnya di ruang Mawar. Pada waktu itu aku ikut bersih-bersih teras ruang mawar, kemudian ada seorang bapak minta tolong sama aku dan Oki, yang kebetulan berada di sana, untuk membersihkan ruangan dalam karena basah. Kami seperti biasa mengiyakan dan membersihkan ruangan mawar bagian dalam. Setelah kami selesai membersihkan ruangan itu aku dikagetkan oleh bapak tersebut yang tiba-tiba mendatangi aku dan berkata “frater maaf, maaf sekali kalau tadi saya menyuruh frater.” Nah sontak aku kaget dan bicara dalam hati “loh kok bapak ini tahu aku frater?” Refleks saya langsung mengatakan, “wah tidak apa pak, saya memang lagi kerja disini kok, wajar lagi pak kalau saya harus bantu kayak gitu.” Bapak tersebut tidak salah memintaku seperti itu, toh bapak itu meminta tolongnya dengan baik-baik bukan dengan cara menyuruh, selain itu memang itu adalah tugas yang memang harus aku kerjakan. Setelah kejadian itu aku berkumpul bersama teman-teman karyawan lainnya, dan bertanya ke salah satu teman karyawati “kok 75


bapak itu bisa tahu ya kalau aku frater?”. Nah ternyata pas banget karyawati yang aku tanya ini. Dia #namadisamarkan menjawab, “iya frat, tadi itu saya tanya bapak itu, “om tahu dua frater disini tadi gak?” Bapaknya jawab, “frater yang mana?” “yang pakai baju abu-abu duaduanya.” Si om itu jawab, “wah tadi saya suruh bersihkan dalam.” ya aku langsung bilang aja frat “loh kok fraternya di suruh-suruh?” gitu frat.” Ternyata dia yang bilang kalau aku dan Oki seorang frater. Pengalaman yang mengesankan ketika belajar untuk hidup di tengah hiruk pikuk rumah duka. Aku mendapat kesempatan pula untuk merasakan dinamika di Krematorium yang pola kerjanya juga berbeda. Kami bertemu dengan banyak orang baik yang terlihat memiliki beribu pertanyaan ketika kami datang. Kami tetap disambut dengan hangat, sebab diantar oleh Ibu Felis yang juga adalah bagian pelayanan (yang menjelaskan kepada keluarga tata cara kremasi berlangsung). Di Krematorium aku mendapat pengalaman untuk mengambil abu dari oven, kemudian melihat proses kremasi dari masuknya peti dan jenazah ke oven hingga pemisahan tulang setelah dikremasi menjadi abu yang ditaruh di sebuah guci. Aku ikut melayani keluarga dari almarhum Pak Paskalis Limanto yang disemayamkan di rumah duka Oasis. Pak Limanto ini orang yang baik dan aktif di Gereja, hal itu terlihat dari para tamu yang datang dan tentunya apa yang sudah dia perbuat untuk banyak orang. Ketika melihat aktivitas di ruangan ini aku teringat sabda Tuhan, “siapa yang menabur akan menuai hasilnya.” Pak Limanto terlihat sekali telah memberi banyak hal berarti dalam hidupnya untuk orang lain. Memang benar kata Rm. Purbo ketika homili, “mengimani Tuhan itu tidak mungkin tanpa keterbukaan dan persaudaraan.” Keterbukaan itu dilakukan oleh alm. Pak Limanto untuk mau berbagi dalam hidupnya, kemudian hal tersebut menumbuhkan adanya persaudaraan sebagai hasil dari mengimani Tuhan. Aku juga dapat mengetahui tata cara pelarungan abu, ada doa yang harus dilakukan dan tentunya acara adat yang harus dilakukan oleh keluarga, mulai dari melarung abu peti, kemudian abu jenazah, 76


hingga penaburan bunga di laut. Aku mengalami pengalaman yang mungkin aku alami hanya sekali, yaitu aku ikut mengkremasi jenazah orang Vietnam yang menjadi tersangka penyelundupan satu ton sabu-sabu yang ditembak mati ditempat. Dari peristiwa itu, aku juga melihat dan belajar tata cara Buddha, apa yang saudara kita lakukan untuk memberi penghormatan terakhir ketika badan dan jiwa tak lagi menjadi satu. Dari beberapa tata cara Buddha yang aku lihat, ternyata aku baru tahu kalau Buddha terbagi beberapa kepercayaan. Kedua pengalaman ini mengingatkanku bahwa dalam hidup itu tidak selalu ada yang baik-baik saja, namun ada pula yang berjuang dalam jalan yang tidak terlalu luas dan kurang terang. Ada baik ada yang kurang baik, ada yang terang ada yang kurang terang, dan ada yang luas ada yang kurang luas. Aku mengatakan ada yang A, ada yang kurang A. Aku tidak ingin mengatakan kebalikannya sebab kalau mengatakan kebalikannya berarti melanggar apa yang dikatakan dalam kitab kejadian, “Allah melihat bahwa semuanya itu baik�. Pengalaman yang mengesankan dalam hiruk pikuk “dunia� kematian. Aku mengalami banyak hal yang tidak mungkin aku ceritakan satu persatu dalam kesempatan refleksi ini. Dari banyaknya pengalaman itu aku menyimpulkan bahwa setiap cara yang ditempuh maupun dipilih oleh keluarga, kremasi maupun dimakamkan, mereka mencari harapan yang memang nyata dijanjikan oleh Tuhan. Tuhan menjanjikan akan hidup kekal bagi anaknya. Kesuksesan yang nyata adalah ketika seorang manusia sampai pada kematian (Pater Dr. Hieronimus D. Rupa, OFM), dengan mengalami pengalaman di Oasis seperti itu aku sangat menyetujui hal ini. Oleh karena itu, manusia diajak untuk tidak takut akan namanya kematian, sebab kematian adalah kesuksesan yang nyata. Belajar hidup dalam hiruk pikuk kedukaan dan kematian itu sesuatu sekali. Terimakasih Tuhan atas pengalaman dalam dunia yang berbeda dalam hidup yang aku jalani.

77


OASIS LESTARI

78


LIVE IN DI OASIS Fransiskus Asisi Oki Joko Prakoso Oasis Lestari. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini aku tidak merasakan aura yang menandakan bahwa ini adalah rumah duka. Betapa tidak, ketika pertama kali masuk gerbang Oasis Lestari aku sudah disuguhkan sebuah pemandangan yang indah dan teduh di tengah kawasan industri Balaraja, Tangerang ini. Alih-alih membayangkan tempat yang menakutkan, saban hari aku malah disuguhkan taman dan pepohonan yang hijau. Barisan aneka tanaman bunga yang penuh dengan warna seolah selalu menyambut kedatangan setiap orang di tempat ini. Tak mau kalah, karyawan di Oasis Lestari pun selalu tersenyum ramah dan selalu siap membantu siapapun yang membutuhkan. Aku pun merasakan hal yang sedemikian ketika pertama kali datang di tempat ini bersama fr. Rio. Sepintas aku melihat tulisan di baju mereka (mungkin motto Oasis lestari) “Oasis Lestari—Bagi Kemuliaan Jiwa�. Hmm...aku mengerti mengapa tidak ada kesan mistis, seram, menakutkan ketika pertama kali aku menginjakkan kaki dirumah duka ini. Ya, dengan slogan yang aku baca tadi, aku mengerti bahwa Oasis Lestari tidak hanya menawarkan jasa rumah duka ataupun krematorium. Lebih dari itu Oasis Lestari adalah sebuah oase dimana jiwa-jiwa disemayamkan dengan damai di akhir hayatnya.

79


Selama satu semester lalu, aku dan Rio diutus untuk berpastoral di Pelayanan Kesehatan St. Carolus, Jakarta. Kini aku dan Rio kembali diutus berdua untuk live in di Rumah Duka Oasis Lestari. Aku merasa mungkin live in kali ini adalah kelanjutan dari pastoral kami—dari rumah sakit kini ke rumah duka—agar kami selalu merefleksikan apa itu arti kehidupan dan kematian. Mereka masih hidup: Sebuah Pengalaman Suka di Rumah Duka Rumah duka adalah tempat pertamaku ketika aku live in di Oasis Lestari. Di sini aku banyak belajar mulai dari proses input data jenazah, memandikan jenazah, merias, hingga masuk ke rumah duka. Meskipun pertama kali di sini aku clingak-clinguk tidak jelas karena bingung apa yang harus aku kerjakan, tetapi aku bersyukur karena teman-teman di Oasis Lestari selalu mendampingi dan mengajarkanku ketika live in (meskipun awalnya mereka canggung dengan kami— mungkin karena mereka tahu kalau kami frater). Pengalaman yang membuatku berdebar-debar ketika di Oasis Lestari tentu adalah pengalaman ketika aku diajak untuk membantu memandikan jenazah. Jujur, aku adalah orang yang kurang percaya terhadap hal-hal yang berbau mistis. Bagiku ini bukanlah hal yang menakutkan, tetapi entah mengapa ketika aku melihat langsung proses memandikan jenazah hingga dirias, jantungku terasa berdebar-debar. Bagiku melihat dan ‘menyentuh’ jenazah secara langsung adalah sesuatu yang baru. Ada pengalaman menarik ketika aku bertugas di rumah duka. Ketika tengah mempersiapkan keperluan untuk memandikan jenazah, aku iseng bertanya pada seorang suster—Sr.Ulfrida namanya—, “sus apa suster tidak takut kalau malam-malam sendiri di tempat ini?” “Mengapa takut frat? Suster malah bahagia kok bisa mengurus, memandikan dan merias jenazah. Suster yakin pasti mereka sangat senang karena ada yang memperhatikan mereka— membuat mereka lebih bagus untuk bertemu dengan Tuhan. Suster senang dapat melayani disini karena mendapat banyak doa dari surga, makanya suster sehat sampai sekarang…” Jawab suster kepadaku. 80


Aku pun juga iseng bertanya kepada salah satu karyawan ketika tengah menyiapkan jenazah untuk disemayamkan. “Kang, emang akang gak takut ‘megang-megang’ jenazah?” “nggaklah frat, kuncinya adalah selalu beri senyum pada jenazah, ajak mereka berbincang seakan mereka hidup. Kalo mereka kita beri senyum dan kita ajak ngobrol, pasti mereka akan lebih mudah untuk dimandikan dan terlihat lebih cantik-ganteng…” Jawab karyawan itu padaku. Wow, sampai segitunya ya seruku dalam hati! Meskipun sepintas jawaban-jawaban mereka terdengar agak lucu dan aneh, tetapi terselip banyak makna di sana. Aku menangkap bahwa apa yang mereka lakukan di sana bukan hanya sekadar tugas maupun pekerjaan semata. Mereka tidak hanya sekadar memperlakukan jenazah sebagai orang yang sudah mati. Mereka mempunyai rasa penghargaan dan penghormatan bahwa sampai akhir hayat pun manusia adalah ciptaan Tuhan yang berharga. Memang setiap jenazah yang mereka layani tidak akan kembali hidup di dunia, namun dengan memberikan pelayanan dan cinta, teman-teman karyawan di Oasis yakin setiap jiwa yang sudah meninggal akan selalu mendoakan mereka yang masih berziarah di dunia ini. Tak lama kemudian jenazah pun sudah selesai dimandikan dan dirias. Sangat indah! Jenazah yang terbaring dan tak bernafas itu kini tidak terlihat seperti orang yang sudah meninggal. Mereka lebih terlihat orang yang tertidur pulas ketimbang orang yang sudah meninggal. “Hmmm...benar juga ya kata teman-teman di Oasis, jika kita melakukannya dengan senyum, mereka (jenazah) akan terlihat lebih indah.” Gumamku dalam hati! Dan aku pun yakin jiwa-jiwa yang sudah meninggal pasti sudah sangat siap untuk bertemu dengan Tuhan di surga. Ya, bagiku teman-teman di Oasis telah mengajarkan banyak hal, bahwa kematian tidak selalu dihadapi dengan perasaan sedih, tangisan maupun penderitaan. Kematian pun bisa dihadapi dengan senyuman. Sebuah senyuman yang mengisyaratkan sebuah 81


keyakinan, bahwa para jiwa yang sudah meninggal akan masuk surga dan hidup bersatu dengan Tuhan. Sebuah Harapan Oasis Lestari, ada satu hal yang selalu aku renungkan selama aku live in di tempat ini; satu kata yang selalu membuat perutusanku di manapun terasa bahagia dan bersemangat—HARAPAN. Satu kata itulah yang seolah menjadi sebuah oase refleksiku selama aku live in di Oasis Lestari. Dalam setiap perjumpaanku dengan banyak pribadi di tempat ini, harapan adalah sebuah kata yang menurutku tepat untuk menggambarkan suasana hati mereka (baca: keluarga yang sedang berduka). Mereka berharap agar jiwa-jiwa yang telah meninggal— yang begitu dicintainya—dapat masuk surga dan hidup tenang di sisi Tuhan. Mereka pun selalu berharap, berharap, dan berharap. *** Kolumbarium, adalah sebuah tempat dimana abu-abu jenazah disimpan setelah dikremasi. Tempat ini adalah salah satu tempat favoritku di Oasis. Hal yang membuatku begitu terkesan dengan tempat ini adalah keindahaan dan kerapiannya. Jika kebanyakan orang mempunyai kesan yang seram terhadap tempat ini, (mungkin karena di sini adalah tempat penyimpan abu jenazah) bagiku tidaklah demikian. Aku sangat menikmati pemandangan yang ditawarkan di tempat ini. Aku terkesan ketika melihat banyak kotak penyimpanan abu banyak dihiasi dengan benda-benda rohani dan benda-benda unik lainnya. Tak heran jika tempat ini begitu indah, karena disinilah tempat dimana jiwa-jiwa yang sudah meninggal beristirahat terakhir kalinya. Aku membayangkan bahwa di tempat yang indah inilah terucap banyak kata harapan. Sebuah doa dan harapan yang muncul dari orang-orang terkasih yang senantiasa mendoakan dan berharap agar jiwa-jiwa orang meninggal hidup bahagia di Surga. Harapan...sebuah kata yang indah yang aku renungkan selama live in di Oasis Lestari. Aku pun banyak belajar tentang arti harapan dari pengalaman live in ku di rumah duka ini. Belajar agar selalu memiliki harapan. Ketika aku melihat banyak orang menangis dan berduka, sesungguhnya mereka tidak hanya menangis dan bersedih, 82


tetapi juga berharap. Berharap agar jiwa yang telah meninggal hidup bahagia bersama Tuhan. Dalam menapaki jalan panggilan, aku pun senantiasa memiliki sebuah harapan. Ketika aku memiliki pengalaman jatuh dalam panggilan pun, sesungguhnya aku mempunyai harapan untuk kembali ke jalan-Nya.

“Cinta sejati menuntut pengurbanan dan penderitaan serta komitmen seumur hidup.� -St. Yohanes Paulus II-

83


84


KECIL DAN TAK BERDAYA Yohanes Aditya Raga Prakasa Jika manusia dimungkinkan untuk dapat memilih, ia akan selalu memilih pilihan yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh hatinya. Akan tetapi, yang namanya keadaan dan kondisi kerap kali mengecualikan pilihan lain, sehingga manusia selalu menyerah terhadap keterbatasannya. Apalagi bila bertemu dengan keluhan yang berujung dengan kata ‘nasib-nasib!’, manusia hanya menyerahkan perjuangan hidupnya pada doa. Siapa sangka di tengah kerlap-kerlip dan kemewahan bilangan Bintaro Jaya terdapat sebuah panti asuhan bagi anak-anak yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh orang tuanya. Panti itu terletak persis di perumahan Bintaro sektor sembilan, atau lebih tepatnya lima belas menit jauhnya dari Stasiun Sudimara, Tangerang Selatan. Panti itu berbentuk rumah seperti pada umumnya. Bangunannya besar dan tidak terlalu mewah, tetapi di dalamnya terasa sejuk dan berisi kelucuan dan celoteh anak-anak kecil. Itulah sketsa rumah yang memberikan keteduhan bagi anak-anak ini. Sebuah rumah yang tidak hanya berlandaskan kasih dan persahabatan, tetapi juga dibangun dengan berlandaskan doa dan Penyelenggaraan Ilahi dari Bapa. Kali ini saya diberi kesempatan untuk tinggal di Panti Asuhan Abhimata. Sebuah panti asuhan yang sederhana dan tidak jauh beda dengan yang lain, hanya saja memiliki kekhasan berupa habitus doa di waktu pagi dan malam. Saya tinggal di panti ini selama sepuluh hari dan selama itu pula saya berdinamika bersama dengan anak-anak. Ada banyak hal yang saya lakukan bersama anak-anak, mulai dari ibadat pembuka hari sekitar jam setengah enam pagi hingga ditutup dengan ibadat malam, sebelum tidur.

85


Keceriaan Bersama Mereka Biasanya pada pagi hari, setelah ibadat pembuka, saya mengantar mereka keluar ke pintu gerbang untuk naik kendaraan yang akan mengantar mereka menuju sekolah. Selalu saja ada banyak peristiwa yang mengesankan di pagi hari, seperti halnya hari itu, Senin 31 Juli 2017. Waktu itu mobil yang seharusnya digunakan untuk mengantar mereka ke sekolah belumlah siap, maka mereka mengisi waktu yang kosong itu dengan cara melakukan keusilan. Kalau sudah begini biasanya bakal ramai, anak-anak kecil akan menangis, anakanak yang lebih besar akan berlarian ke sana-sini sambil berbuat usil kepada adiknya, dan terakhir kakak-kakak pengasuh akan teriak marah sambil menenangkan yang sedang menangis. Potret semacam ini sudah lama tidak saya jumpai, apalagi untuk ukuran Ibu kota Jakarta menjadi sangat langka terjadi. Setidaknya peristiwa pagi itu membawa saya untuk kembali merasakan suasana masa kecil. Itulah sebuah potret dari kegembiraan anak-anak sebelum berangkat sekolah. Setelah mengantar mereka ke pintu gerbang, saya langsung pindah ke ruangan balita. Di ruangan ini tugas saya mudah, yakni menemani mereka bermain. Saya orang baru di tempat ini, tetapi uniknya adalah setiap kali saya masuk di ruangan ini para balita itu langsung menyerbu dan memeluk kaki saya. Biasanya mereka memanggil saya dengan sebutan ‘bapak’. Bagi mereka saya dianggap sebagai sosok yang kebapakan, saya memaklumi saja celotehan para balita tersebut. Saya memiliki pengalaman yang mengesankan ketika bermain dengan balita tersebut. Saat waktunya bermain, seorang balita bernama Naomi mendekati saya, di tangannya ada sebuah gunting mainan dan sisir. Berlagak seperti tukang cukur, ia mengatakan, Bapak mau potong rambut? Sesudah saya menganggukkan kepala, ia langsung menyergap kepala saya dan langsung mengobrak-abrik rambut saya dengan sisir dan gunting mainannya. Kakak-kakak pengasuh lain hanya bisa tertawa melihat tingkah laku Naomi yang sedang memainkan rambut saya bak seorang hair stylist profesional. Saya pikir peristiwa ini adalah suatu hal yang unik, sebab keceriaan 86


dan kegembiraan mereka selalu muncul dari hal-hal yang spontan, sederhana dan tulus dari dalam hati. Ketika sore hari, saya kembali menemani anak-anak yang pulang dari sekolah untuk belajar dan membantu mereka mengerjakan tugas sekolah yang belum selesai. Situasinya agak kacau memang, sebab semua anak yang sekolah dari usia taman kanak-kanak hingga SMP belajar dalam satu ruangan. Saya salut dengan cara belajar mereka, meskipun mereka sedikit kesusahan, tetapi mereka tetap saja berjuang untuk bisa menjawab pertanyaan. Itulah sifat anak-anak yang tidak mau menyerah terhadap segala tantangan. Dari pengalaman ini saya belajar untuk dapat seperti anak-anak yang selalu pantang menyerah meskipun dibebani dengan berbagai macam kesusahan. Saya belajar untuk menjadi seorang yang senantiasa bersemangat dalam hidup. Perjumpaan dengan mereka di ruang belajar membuat saya semakin yakin untuk mampu memberi hati pada setiap pelayanan yang sedang saya lakukan. Kali ini saya belajar untuk memberikan hati pada anak-anak di tempat ini melalui cara berdinamika bersama mereka, belajar bersama, bermain bersama, makan bersama, dan tentunya berdoa bersama. Itu semua saya jalani sebagai sebuah pemberian hidup saya terhadap anak-anak di Panti Asuhan Abhimata. Semoga kehadiran saya menjadi saluran kebahagiaan bagi mereka. Akhirnya rangkaian selama satu hari ditutup dengan doa bersama di kapel yang sederhana. Kami berdoa di kapel tersebut untuk memanjatkan syukur atas rahmat Tuhan yang menaungi diri kami. Kami juga memohon agar hidup kami senantiasa dilindungi. Selain itu, kami juga merenungkan Sabda Tuhan, agar hidup kami senantiasa diterangi oleh sabda-Nya. Dalam kesempatan itu saya berbagi pengalamaan dan renungan selama sehari. Pada waktu itulah, saya mengenang kembali kebaikan dan kemurahan hati Tuhan yang ada dalam diri saya yang coba saya bagikan untuk kekayaan bersama. Akhirnya perjalanan selama sehari ditutup dengan ungkapan syukur.

87


Saya Juga Anak-Anak Selama menjalani live in di tempat ini saya semakin sadar apa maknanya menjadi seorang anak kecil. Anak kecil itu memiliki sikap yang polos, yang mudah memaafkan, yang senantiasa gembira dan keluguannya itu senantiasa memancarkan kesucian hatinya. Saya ingat betul sabda yang Yesus katakan kepada murid-Nya sewaktu berhenti di Yudea. Yesus mengatakan, “Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.� (Lukas 18:17). Selama ini saya merasa bahwa hidup itu keras dan terkadang membuat saya hampir menyerah. Hanya untuk bisa bertahan saja, kerapkali saya harus melakukan kebohongan dan memakai topeng yang tebal, agar mendapat keyakinan lebih. Padahal apa yang saya lakukan, sebagai orang dewasa, demi bertahan hidup itu, tidak pernah dilakukan oleh anak-anak kecil. Mengapa demikian? Tentunya karena mereka menggantungkan hidup pada belas kasih orang yang lebih dewasa. Sama seperti hidup, seharusnya membawa saya pada sikap penyerahan seluruh diri pada Bapa. Dengan kata lain mempersembahkan seluruh diri kepada rencana dan kehendak Allah. Namun, nyatanya tidak demikian, kedegilan hati manusia kerapkali membawa manusia untuk menyombongkan kemandiriannya. Mentang-mentang sudah dewasa, manusia seringkali mengabaikan yang namanya penyelengaraan belas kasih Bapa. Pengalaman live in selama sepuluh hari di Abhimata menjadi pengalaman yang berharga dan berahmat dimana kehadiran mereka telah memberi sebuah warna yang baru dalam perjalanan formasi saya sebagai calon imam. Saya kira sebagai seorang Kristiani yang baik itu harus memiki relasi yang erat dengan Tuhan. Iman akan Yesus yang saya dapatkan selama berdinamika di tempat ini adalah menempatkan relasi kasih sebagai jembatan utama yang menghubungkan saya dengan Kristus. Hidup sebagai calon imam, jika tidak menempatkan relasi kasih akan menjadi sia-sia. Hal yang sama juga akan terjadi apabila dalam hidup berkeluarga tidak menempatkan cinta sebagai yang menyatukan. Oleh sebab itu, hidup dalam relasi Kristus menjadi hal pokok yang dimiliki oleh semua orang yang terpanggil. 88


Relasi inilah yang ingin saya bangun bersama Kristus dalam formasi calon imam yang sedang saya jalani. Tentunya dijalani dengan sikap yang sederhana, sama sederhananya seperti anak kecil. Akhirnya, saya hanya ingin menyampaikan ungkapan syukur atas pengalaman rohani yang boleh saya rasakan di tempat ini. Dengan cara yang unik, Tuhan memberi saya pembelajaran lewat anak-anak. Awalnya memang menguji hati dan perasaan, tetapi pada akhir perjalanan live in, saya boleh melihat pelangi kasih yang Tuhan buat lewat keceriaan bersama mereka. Ungkapan syukur selalu datang ketika doa menjadi nyata, kata menjadi tindakan, sabda menjadi nyawa. Hal semacam itulah yang melingkupi Abhimata Mitrasamaya menjadi gubuk doa yang melahirkan setiap kebaikan hidup. Pesta St. Bartolomeus, 24 Agustus 2017 Wisma Cempaka, Seminari Tinggi Yohanes Paulus II

89


ASIAN YOUTH DAY 2017

90


SUKACITA MENJADI TEMAN SEPERJALANAN KAUM MUDA Carolus Budhi P. Ribuan kaum muda itu berkumpul dan saling membagikan kasih serta sukacita iman. Memang ada perbedaan, seperti kebangsaan, bahasa, dan budaya, yang tidak terelakan. Namun, mereka dipersatukan sebagai keluarga oleh Yesus Kristus dan bersama menyanyikan, “Listen Jesus Christ has called us every youth all around Asia…Proclaim and living the Gospel, coloring all around the world…Sukacita hai kaum muda…Joyful! Joyful! Living the Gospel!” Selama sembilan hari, 29 Juli - 6 Agustus 2017, saya hadir bersama ribuan kaum muda se-Asia yang dipersatukan dalam the 7th Asian Youth Day (AYD). Kami merayakan persaudaraan iman di tengah kemajemukan Asia seturut dengan tema yang diangkat “Joyful Asian Youth! Living the Gospel in Multicultural Asia”. Ya, kami menyanyikan lagu Joyful!, menari, ber-wefie, tertawa, berbagi kisah, saling mendengarkan, dan juga berdoa bersama. Sungguh meluap energi dan sukacita kaum muda selama mengikuti berbagai rangkaian acara mulai dari Days in Diocese (29 Juli – 1 Agustus) hingga Days in AYD Venue (2 – 6 Agustus). Sebagai orang muda yang dipanggil-Nya, saya pun sungguh bersyukur boleh bersukacita bersama kaum muda. Kami Mengutus Kamu… Jauh sebelum pelaksanaan AYD sempat berhembus kabar bahwa dua frater akan diutus untuk mengikuti acara tersebut bersama delegasi Orang Muda Katolik (OMK) se-KAJ. Apabila dicocokan dengan agenda komunitas, pelaksanaan AYD memang bersamaan dengan jadwal live in para frater. Jujur, kekagumanku pada St. Yohanes Paulus II mendorongku untuk semakin mengenal perhatian pastoralnya, termasuk kepada kaum muda. Saya pun mengikuti kilasan sepak terjangnya dalam menginspirasi World Youth Day (WYD) dalam berita, 91


foto, dan video. Betapa mengagumkan melihat sukacita ribuan kaum muda dari berbagai perbedaan yang dipersatukan dalam nama Yesus Kristus. Dalam benakku, aku hanya bisa membayangkan betapa seru dan penuh sukacita acara kaum muda tersebut, tanpa banyak berharap bahwa kelak saya diutus untuk mengikuti AYD. Masih terkenang di dalam benakku saat Romo Romanus mengutusku bersama Beto untuk mengikuti AYD. Jumat pagi, 31 Maret, saya diminta untuk menemuinya di dapur. Awalnya, saya mengira Romo Romanus akan memintaku untuk membuat suatu desain, “Rol, para romo minta tolong kepada kamu. Kami mengutus kamu dan Beto untuk mengikuti Asian Youth Day bersama OMK KAJ. Tolong segera diurus segala keperluannya karena hari ini adalah batas akhir pendaftaran. Waktu pelaksanaannya bersamaan dengan jadwal live in, sehingga kalian berdua menjalani live in AYD. Ya, kalian diutus sebagai perwakilan seminari tinggi.” Mendengarkan perutusan tersebut, perasaanku campur aduk – terkejut, bahagia, bangga, dan syukur. Pesan sederhana dari Romo Romanus itulah yang saya bawa dalam perutusan AYD ini. “Kami mengutus kamu” senantiasa mengingatkan identitasku sebagai seorang utusan yang dipilih bukan karena kehebatan diri maupun prestasi, melainkan dimaknai sebagai kurnia Allah. Perutusanku memang tampak berbeda dari para OMK KAJ yang terpilih melalui serangkaian tes untuk menjadi perwakilan paroki dan keuskupan. Dalam mengikuti berbagai rangkaian AYD saya membawa identitas perutusanku sebagai calon imam diosesan KAJ sekaligus perwakilan komunitas. Identitas ini tidak membuatku menjadi jaim (jaga image, pencitraan) agar terlihat baik, tetapi mengingatkaku akan communio para calon imam diosesan KAJ yang mengutusku. Saya menempatkan diri sebagai bagian dari kaum muda yang juga dipanggil-Nya untuk menjadi teman seperjalanan. Diteguhkan oleh Saudara Klandestin Dari serangkaian acara AYD, pengalaman yang paling mengesankan adalah Days In Diocese (DID) bersama delegasi lain untuk mengenal kehidupan Gereja setempat. Keuskupan Agung 92


Jakarta mendapatkan kesempatan menjadi rumah bagi beberapa delegasi Indonesia, seperti Timika, Jayapura, Palangkaraya, dan Tanjung Selor, delegasi Filipina, dan delegasi Youth Group East Asia. Selama empat hari kami berdinamika bersama, saling mengenal antar delegasi, dan membagikan pengalaman iman di tengah umat Paroki Santa Maria de Fatima, Toasebio. Saya bersyukur dapat berjumpa dengan teman-teman dari Youth Group East Asia yang harus mempertahankan iman secara klandestin di negara asalnya. Mereka disebut “klandestin� – artinya rahasia, sembunyi, atau gerakan bawah tanah, karena eksistensi Gereja Katolik masih belum diakui secara resmi di negara tersebut. Tentu saja negara asal teman-temanku ini tidak dapat dipublikasikan demi menjaga keamanan. Walaupun ada kendala bahasa, hal tersebut tidak menghalangi perjumpaan dan sharing iman di antara kami. Awalnya, mereka ragu untuk mengungkapkan identitas mereka yang sejatinya. Namun, saya berusaha mendekati mereka dan membuka diri agar bisa saling meneguhkan. Di saat para delegasi Indonesia asyik berfoto di dalam gereja, teman-teman Youth Group sungguh mengambil waktu berdoa dan memberi penghormatan kepada Sakramen Maha Kudus – suatu kesempatan yang langka di negara asal mereka. Mereka bercerita bahwa dua orang dari kelompoknya dicekal untuk pergi ke Indonesia, sehingga tidak bisa mengikuti AYD. Di tengah kerinduan teman-teman Youth Group untuk menikmati kebebasan beragama, mereka meneguhkan iman dan panggilanku. Situasi kerberagamaan yang lebih kondusif di Jakarta tidak jarang membuat diriku dan teman-teman muda lainnya merasa nyaman, sehingga tidak jarang saya tergoda untuk menganggap Perayaan Ekaristi sebagai rutinitas belaka. Bahkan beberapa teman muda Jakarta pun harus berjuang menghadapi kemalasan untuk pergi ke gereja. Betapa perjuangan iman mereka meneguhkanku untuk mensyukuri situasi Gereja di Jakarta dan mendorongku untuk menghidupi iman secara lebih mendalam dan nyata.

93


Betapa bahagianya diriku bahwa mereka pun mendoakan dan mendukung panggilanku agar kelak saya sungguh dipilih-Nya menjadi gembala bagi umat. Saya pun memohon berkat dari para pastor klandestin bagi perjalanan panggilanku agar terus bertumbuh dalam jalan kemuridan-Nya sebagaimana tulisan dalam gelang yang diberikan kepadaku, Di setiap jalan ada Kamu (Yesus). Merayakan Persekutuan dalam Yesus Kristus Siapakah yang sanggup mempersatukan dua ribuan kaum muda yang berasal dari berbagai perbedaan negara, bangsa, budaya, bahasa, dan pengalaman? Siapakah yang sanggup meruntuhkan tembok pemisah tersebut dan menghimpun sukacita kaum muda? Sekiranya perkataan St. Paulus kepada jemaat di Korintus tidak tinggal menjadi kata-kata, tetapi terwujud dalam AYD, “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya� (I Kor 12:27). Dengan kemajuan media sosial, kaum muda sungguh dimudahkan untuk saling terhubung melalui Facebook, Instagram, Whatsapp, LINE, dan media lainnya selama AYD ini. Namun, saya melihat sesuatu yang berbeda. Betapa mengagumkan dan menyentuh diri saya, ketika segala perbedaan tersebut dipersatukan dalam Perayaan Ekaristi bersama. Keindahan Perayaan Ekaristi ditemukan bukan pada segi upacaranya, melainkan kita bersama-sama merayakan iman yang satu, yaitu persekutuan kasih dalam Yesus Kristus. Meskipun bahasa yang digunakan berbeda-beda bahkan ada yang berasal dari ritus berbeda, seperti Syro Malabar, saya sungguh mengalami suatu miniatur dari universalitas yang ada dalam Gereja Katolik. Kita tidak dapat berjalan sendirian di tengah dunia yang penuh dengan tantangan dan rintangan. Betapa berharganya persekutuan di antara kita dan dengan Yesus Kristus agar kita berjalan bersama. Dalam perjumpaan AYD, saya menyadari bahwa perbedaan tidak memisahkan kita, tetapi memancarkan kekayaan kemanusiaan yang satu dan kekuatan iman, harapan, dan kasih yang mempersatukan. Melalui persatuan tersebut, kita senantiasa mewujudkan sukacita 94


Injil dalam kehidupan sehari-hari dan memancarkan kemuliaan Allah yang memperbarui dunia. Menjadi Teman Seperjalanan Menjelang akhir AYD dan sepulangnya saya ke rumah (seminari), saya bertanya-tanya dalam diriku, “Apa buah dari perjumpaanku bersama kaum muda se-Asia, khususnya teman-teman KAJ?” Apakah hanya sebatas cerita yang dibagikan kepada komunitas dan berbagai foto maupun video untuk dikenang. Sekiranya tidak sebatas itu saja, melainkan saya semakin memaknainya bagi perjalanan panggilanku. Kehadiran dan kebersamaanku dengan kaum muda saya namai sebagai proses “menjadi teman seperjalanan”. “Menjadi teman seperjalanan” merupakan gambaran imamat yang semakin saya bentuk dalam rangka membangun ikatan antara umat dengan Gereja. Kaum muda, generasi masa depan Gereja, membutuhkan teman yang tidak sekadar diukur dari friend request maupun follow serta following, tetapi sungguh menjadi teman yang berjalan bersama, mau mendengarkan, dan meneguhkan. Kelak sebagai gembala, saya didorong membangun Gereja, yang bukan sekadar bangunan fisik atau himpunan aturan serta struktur, tetapi menjadi teman seperjalanan yang didalamnya umat dapat menimba kekayaan rohani, diteguhkan, dan berdaya tahan dalam mengahadapi arus dunia. Menjadi teman seperjalanan berarti mau berjalan bersama mereka dalam persekutuan iman, harapan, dan kasih di saat kehidupan terselubung ketidakpastian. Berjalan bersama umat berarti kita pun berjalan bersama Tuhan ke luar dari zona nyaman karena kasih-Nya tidak kenal batas. Kita harus bergerak ke luar untuk menyapa sesama kita dan lebih mengenal mereka agar dengan demikian memampukan kita untuk dapat mengasihi dengan tulus dan utuh. Kita dipanggil untuk membangun “jembatan” kasih dan persaudaraan agar sungguh dapat membangun persekutuan dengan seluruh umat beriman dan alam raya. Harapannya Gereja kita semakin inklusif dan bermakna bagi kehidupan sehari-hari. Meskipun jumlah kita terbilang kecil, kita pun 95


dapat menghadirkan Kerajaan Allah di sini dan saat ini, seumpama biji sesawi yang kecil namun memberi kehidupan bagi makhluk di sekitarnya (bdk. Mat 13:31-32).

“Hidup yang tidak direfleksikan

adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi.� -Sokrates-

96


ASIAN YOUTH DAY 2017

97


SUKACITA IMAN, HARAPAN DAN KASIH ORANG MUDA KATOLIK (SE)-ASIA Alberto Ernes “Joyful … Joyful … Joyful Asian Youth! Joyful … Joyful … Living the Gospel! Asian Youth Day, Joss Joss! Indonesia, Joss!”, bunyi sorak-sorai sebagai ungkapan sukacita, kegembiraan, kebahagiaan, serta semangat kaum muda yang begitu bergelora memenuhi jiwa dan raga kami. Asian Youth Day menjadi ajang pertemuan, perjumpaan, dan kebersamaan kaum muda se-Asia untuk saling berbagi cinta, iman, harapan, dan kasih bagi dunia dan Gereja. Pengantar Live in merupakan kegiatan tahunan para frater Diosesan Keuskupan Agung Jakarta yang biasanya dilaksanakan pada akhir bulan Juli sampai awal bulan Agustus. Lantas, pada tahun ini, kegiatan live in kembali diadakan seperti biasa pada tanggal 27 Juli – 5 Agustus 2017. Dalam kegiatan live in ini, para frater diutus dan ditugaskan berdua-dua ke sebuah tempat di Jakarta dan sekitarnya untuk mengalami dinamika bersama umat dan orang-orang di sekitarnya. Pada kesempatan live in tahun ini, saya bersama fr. Carol mendapat tugas perutusan khusus untuk mengikuti Asian Youth Day (AYD) yang berlangsung pada tanggal 29 Juli – 6 Agustus 2017. Asian Youth Day 2017 merupakan Asian Youth Day yang ke-7 dan Indonesia yang mendapatkan kesempatan untuk menjadi tuan rumah AYD 2017, secara khusus di Yogyakarta sebagai pusat aktivitasnya. Asian Youth Day merupakan acara dan kegiatan kaum muda khususnya Orang Muda Katolik (OMK) se-Asia dimana di dalamnya terdapat kurang lebih 20 negara yang ikut berpartisipasi, yaitu Malaysia, Jepang, Korea Selatan, India, Taiwan, Hongkong, Youth Group East Asia, Bangladesh, Pakistan, Brunei Darussalam, Filipina, 98


Laos, Thailand, Myanmar, Mongolia, Singapura, Kamboja, Timor Leste, Vietnam, Nepal, dan Indonesia. Perjalanan awal Pada kesempatan ini, pertama-tama, saya ingin bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan kesempatan istimewa tersebut kepada saya. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para staf Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II – KAJ, yaitu Rama Purbo, Rama Romanus, dan Rama Uut yang telah berkenan mengutus saya dan fr. Carol. Sejujurnya, pada waktu itu, saya sama sekali kurang berminat dan kurang tertarik untuk mengikuti event besar tersebut. Namun, rupanya, Tuhan memiliki kehendak dan rencana yang lain dan hal itu merupakan anugerah dan karunia terindah yang pernah dan akan selalu kukenang sepanjang hidupku. Flashback singkat, keterlibatanku dalam AYD ini pertamatama dikarenakan posisiku sebagai Bidel Umum Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II yang bertugas untuk mengurusi beberapa hal penting di antara rekan-rekan frater. Hal ini bermula dari pembicaraan singkat antara seorang frater Teologan Kentungan dengan Rama Rektor terkait AYD yang akan dilaksanakan di Yogyakarta. Rupanya pembicaraan singkat tersebut mendapat respon positif dari Rama Rektor dan menjadi usulan yang baik bagi pengalaman frater KAJ sekaligus animasi panggilan. Waktu pun berlalu hingga pada akhirnya, para frater Diosesan KAJ mendapat kesempatan untuk ikut terlibat dalam AYD ke-7 di Indonesia. Kabar yang berhembus adalah ada dua frater yang akan diutus untuk menjalani dinamika AYD bersama kaum muda se-Asia. Lantas, pada akhirnya, di hari terakhir pendaftaran, saya diajak oleh fr. Carol untuk bertemu dengan Rama Romanus. Pertemuan singkat itu sungguh mengejutkan saya dan fr. Carol bahwa kami diutus untuk mengikuti AYD yang ke-7 bersama Orang Muda Katolik seAsia di Yogyakarta dalam rangka live in. Pada akhirnya, mau tidak mau, siap tidak siap, saya mengatakan “YA!� dengan tulus ikhlas atas tugas perutusan ini sebagai bukti ketaatan dan kesetiaan saya dalam menapaki jalan panggilan ini, seperti halnya Dia yang dengan rela, 99


rendah hati, serta tulus ikhlas datang dan turun ke dunia menjadi manusia serta rela menderita dan wafat di kayu salib untuk menebus dosa manusia. “… Ya Bapa-Ku, jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Saya meminumnya, jadilah kehendak-Mu!” (Mat 26:42). 7th Asian Youth Day (AYD) Joyful Asian Youth! Living the Gospel in Multicultural Asia adalah tema utama dalam AYD kali ini. Rangkaian dan dinamika AYD 2017 di Indonesia terbagi menjadi dua bagian, yaitu Days in Diocese (DID) dan Days in AYD Venue. Sebelum memulai rangkaian acara AYD, kami para delegasi baik dari Indonesia maupun delegasi luar negeri dikumpulkan di paroki St. Matias Rasul, Kosambi. Lantas, setelah itu, kami dikirim ke tempat kami di mana kami akan menjalani rangkaian acara DID selama kurang lebih 4 hari 3 malam. DID merupakan kesempatan bagi saya untuk mengenal lebih jauh situasi dan kondisi salah satu Keuskupan yang ada di Indonesia. Dalam dinamika DID, saya mendapat kesempatan untuk live in di Paroki St. Aloysius Gonzaga, Cijantung, di salah satu rumah umat bersama dengan salah satu OMK dari Keuskupan Timika yang bernama Ebby. Pengalaman live in ini sungguh istimewa dan hal ini menjadi sarana bagi saya untuk mengenal lebih jauh mengenai dinamika umat di Paroki St. Aloyius Gonzaga, Cijantung, maupun situasi dan kondisi umat di Keuskupan Timika. Dinamika yang hidup dan penuh gairah bersama para Rama dan umat di Paroki Cijantung membuat saya dan teman-teman tetap semangat mengikuti rangkaian acara dan kegiatan yang telah disiapkan dengan baik oleh para panitia meskipun terkadang rasa lelah dan letih menghampiri kami. Saya sangat bersyukur mengalami perjumpaan yang indah bersama teman-teman delegasi AYD dan juga para Rama serta umat secara khusus OMK Paroki Cijantung. Pengalaman yang istimewa ini mengingatkan saya bahwa sebagai kaum muda, saya harus senantiasa bersemangat dan berjiwa muda. “Joyful … Joyful … Joyful, Asian Youth! Joyful … Joyful … Living the Gospel! Asian Youth Day, Joss Joss! Indonesia, Joss!”, begitulah sorak-sorai yang mewarnai dinamika kami selama AYD Venue di Yogyakarta. Theme song AYD yang senantiasa dinyanyikan dengan 100


diiringi oleh gerakan-gerakan yang penuh semangat membuat jiwa para kaum muda semakin bersemangat dan bergairah dalam mengikuti dinamika AYD. Hampir seluruh kegiatan kami di Yogyakarta dilaksanakan di Jogja Expo Center (JEC). Di sana, kami mengikuti berbagai acara yang sudah disiapkan panitia, seperti sesi Katekese dari para Rama dan Uskup, exposure, workshop, dlsb. Saya sungguh bersyukur karena saya diperkaya dengan sesi-sesi yang diberikan terlebih mengenai tantangan sekaligus peluang bagi Gereja maupun kaum muda dalam menghadapi situasi dan kondisi zaman ini. Saya berharap semoga bekal yang diberikan ini sungguh memperkaya diri kita sebagai pewarta sukacita Injil bagi Gereja. Perjumpaan dengan teman-teman baru “Modalnya berani aja, frat!�, kira-kira begitulah ungkapan salah satu OMK kepada saya perihal berkenalan dengan teman-teman delegasi lain. Selama dinamika AYD ini, saya berjumpa dengan temanteman baru baik dalam lingkup delegasi KAJ, OMK se-Indonesia, maupun dalam delegasi se-Asia. Perjumpaan dengan mereka merupakan kegembiraan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya. Namun, ada satu hal yang saya khawatirkan, yaitu bagaimana cara saya untuk berkenalan dan menjalin relasi dengan mereka. Selama ini, saya hanya berdekatan dengan teman-teman yang pernah saya kenal saja, saya kurang berani untuk keluar dari zona nyaman saya dan berkenalan dengan teman-teman yang baru. Namun, rupanya Tuhan mempunyai cara yang unik dalam menanggapi kekhawatiran saya ini, yaitu melalui kehadiran teman-teman se-delegasi KAJ terutama teman-teman Komisi Kepemudaan KAJ yang mengajak saya untuk berkeliling, berkenalan, berfoto bersama, dan bertukar suvenir. Kegiatan itu sepele dan sederhana. Namun melalui hal itulah, saya diajak untuk berani keluar dari zona nyaman, saya ditantang untuk berani, dan saya mendapat buah-buah yang manis di mana saya dapat semakin akrab dengan teman-teman se-delegasi KAJ dan juga mendapat teman serta sahabat baru dalam Kristus. Dalam perkenalan dan perjumpaan dengan teman-teman baru, saya terkesan dengan seseorang yang bernama Sameer 101


Wilfred yang merupakan delegasi dari India. Pertemuan ini terjadi ketika saya satu kelompok dengannya dalam dinamika AYD Venue. Perjumpaan yang dimulai dengan perkenalan singkat ini pada akhirnya berujung dalam sharing kami mengenai situasi dan kondisi iman maupun masyarakat di dalam wilayah kami masing-masing. Sameer merupakan kaum muda asal India yang berusia 19 tahun, dia mempunyai semangat serta antusias yang tinggi ketika mengikuti AYD ini. Saya terkesan dengan pribadinya yang hangat dan ramah dimana dia bercerita dengan semangat dan ceria mengenai situasi dan kondisi di India yang cukup memprihatinkan dan secara eksplisit menyatakan kekagumannya terhadap Indonesia yang begitu toleran dengan suku, budaya, agama yang beragam, dan berbeda. Satu hal yang memberi kesan mendalam bagi saya adalah ketergerakkan hatinya untuk membawa dan mewartakan buah-buah yang didapat selama AYD ini terlebih semangat Joyful serta kebersamaan dan kehangatan dalam perjumpaan kaum muda se-Asia ini kepada masyarakat India ketika dia kembali ke sana. Ungkapan sederhana dan tulus dari hatinya tersebut seakan menantangku juga untuk membawa dan mewartakan hal yang sama kepada orang-orang di sekitarku, terlebih ke dalam komunitas Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II – KAJ. Lantas, dari pengalaman singkat melalui perjumpaan dengan teman-teman baru yang pada akhirnya memberikan buah yang manis di mana saya mendapatkan kenalan sekaligus temanteman baru dari delegasi Korea Selatan, India, Malaysia, Jepang, East Asia, Hongkong, dlsb. Saya sangat bersyukur melalui perjumpaan ini di mana saya belajar sekaligus diingatkan akan nilai-nilai serta keutamaan-keutamaan sebagai kaum muda yang penuh semangat dan berani serta keutamaan sebagai calon imam untuk mewartakan Kabar Baik dan Gembira kepada umat Allah. Melalui hal ini, saya pun juga diingatkan akan perjuangan Yesus dan para murid secara khusus Rasul Paulus dalam mewartakan Kabar Baik dan Gembira dengan berani, semangat, serta penuh perjuangan kepada umatnya pada waktu itu.â€œâ€Ś dengan pertolongan Allah kita, kami beroleh keberanian 102


untuk memberitakan Injil Allah kepada kamu dalam perjuangan yang berat.� (1 Tes 2:2) Menjadi Satu dalam Keragaman dan Perbedaan Satu pengalaman yang mengesankan bagiku selama AYD Venue di Yogyakarta adalah Perayaan Ekaristi yang dirayakan dengan menggunakan tradisi-tradisi/ritus-ritus tertentu yang sudah ditentukan serta penggunaan bahasa-bahasa asing baik dalam teks maupun lagu-lagu yang dinyanyikan. Secara pribadi, hal ini bukanlah hal yang terlalu asing bagiku karena di beberapa Gereja di wilayah KAJ sudah cukup sering dirayakan Perayaan Ekaristi/Misa Inkulturasi Budaya. Namun, suasana yang kualami dalam Perayaan Ekaristi tersebut memberi suasana lain di mana saya benar-benar diajak untuk menerima perbedaan yang ada di antara kita dan mensyukurinya. Saya pun juga melihat suasana khidmat dan agung selama Perayaan Ekaristi dengan menggunakan suasana yang baru. Meskipun penggunaan bahasa asing yang berbeda, namun kami semua dapat mengikuti serta menghayati Perayaan Ekaristi dengan baik. Saya sungguh bersyukur menjadi orang Kristiani, secara khusus sebagai orang Katolik karena meskipun kita semua berasal dari latar belakang yang berbeda, baik itu dari ras, suku, budaya, negara, dlsb., namun kita semua disatukan dalam Kristus melalui Perayaan Ekaristi. Melalui Perayaan Ekaristi inilah, kita semua disatukan dan dikuatkan dalam iman, harapan, dan cinta kasih. Melalui pengalaman ini, saya sadar bahwa kita ini berbeda, namun perbedaan itulah yang menjadi warna dalam hidup kita, dan alangkah indahnya jika kita dapat menjadi satu dalam perbedaan. Saya menyadari bahwa terkadang perbedaan membuat kita lebih memilih untuk berjalan sendiri-sendiri, namun kita hendaknya menyadari bahwa kita sebagai orang Kristiani telah disatukan dalam Kristus melalui Perayaan Ekaristi. “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus.� (1 Kor 12:12)

103


Menjadi pewarta Injil yang penuh dengan sukacita dan keberanian Selama AYD berlangsung terdapat beberapa sesi dan dinamika yang terjadi. Sesi dan dinamika yang terjadi ini secara umum membahas tentang kaum muda, baik itu mengenai persoalan/ permasalahan yang terjadi, tantangan bagi kaum muda, maupun peluang-peluang dalam situasi dan kondisi mengenai kaum muda. Dalam beberapa sesi dan dinamika tersebut, saya cukup tersentuh dalam sesi Bishop Joel dan sesi Workshop mengenai Drugs. Dalam sesi Bishop Joel, hal yang cukup berkesan bagi saya adalah realita kaum muda yang kini hidupnya sudah lebih nyaman dan mudah dengan adanya berbagai fasilitas yang mendukung kehidupan mereka seperti smartphone, gadget, dan fasilitas-fasilitas lainnya dan kini mereka dapat dikatakan sebagai generasi digital. Hal-hal ini membuat hidup mereka menjadi cenderung individualistis, berada di dalam zona nyaman, kurang peka dan peduli terhadap orangorang dan lingkungan sekitar, dlsb. Mengenai hal ini, satu solusi yang diberikan oleh Bishop Joel adalah kita harus berusaha memasuki pintu dan dunia mereka, lalu mengarahkan serta mengajak mereka untuk keluar melalui pintu kita. Memang hal ini terkadang tidak mudah, ada kecenderungan dan kekhawatiran bahwa kita akan ikut terseret dan terbawa dalam dunia mereka, kita sulit untuk memasuki pintu dan dunia mereka, dlsb. Lantas, kecenderungan dan kekhawatiran tersebut bukan menjadi penghalang, melainkan menjadi tantangan bagi kita untuk terus-menerus berjuang membawa dan mengarahkan generasi baru ke hidup yang baik bahkan lebih baik lagi. Mengenal hal ini, Bishop Joel menyarankan dan mengusulkan bahwa kita harus menjadi OMG ÂŤOnline Missionaries of GodÂť, kita harus menjadi pewarta sukacita Injili yang tidak hanya di dunia nyata tetapi juga di dunia maya. Bishop Joel menyatakan bahwa para Uskup (St. Yohanes Paulus II, Paus Emeritus Benediktus XVI, dan Paus Fransiskus) juga telah menggunakan internet dan memiliki akun Twitter yang membuat mereka dapat menjangkau dan bertemu dengan kaum muda bahkan mengirim pesan kepada mereka. Hal ini pun setidaknya 104


hendaknya membuat Gereja sadar bahwa dengan memasuki pintu dan dunia mereka melalui internet ini merupakan cara yang mudah untuk mendekati, menjangkau, dan menyapa mereka. ‘Kaum muda harus mampu menjadi pewarta di dunia maya’, begitulah ajakan sekaligus seruan Bishop Joel mengenai hal ini. Lantas, hal kedua yang berkesan bagi saya adalah sesi workshop mengenai “Youth and Social Problem: Drugs”. Topik ini menarik bagi saya karena permasalahan mengenai obat-obatan secara khusus narkoba menjadi masalah yang tidak ada habisnya dan tak kunjung berhenti dan selesai. Masalah ini menjadi masalah yang serius bagi kalangan kaum muda. Dalam sesi tersebut, Rama Sunardi, SCJ mengajak dua mantan pengguna narkoba untuk memberi kesaksian dalam perjalanan hidupnya. Secara umum, mereka mengatakan bahwa alasan mereka menggunakan narkoba adalah kehidupan di keluarga yang kurang baik dan kurang mendukung, faktor lingkungan yang mendukung mereka untuk menggunakannya, faktor stress dan depresi akan kegagalan dalam hidupnya, dlsb. Namun, satu hal penting yang ditekankan mereka dalam alasan penggunaan narkoba adalah faktor jauh dari Tuhan (jarang berdoa, dan pergi ke Gereja). Mengenai hal ini, saya merenungkan dan berefleksi bahwa seringkali kita sebagai anggota Gereja kurang peka dan peduli terhadap orangorang di sekitar kita yang membutuhkan perhatian dan bantuan dari kita entah itu dalam hal/aspek afeksi/perhatian, maupun hal yang lain. Kita cenderung terlalu peduli dan perhatian terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, pengalaman ini menyadarkan saya untuk berusaha peka, peduli, dan perhatian kepada orang-orang di sekitarku dengan langkah-langkah sederhana, seperti menyapa, memberi senyuman, dlsb. “Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa saya boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa saya tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil.” (1 Kor 9:18) Kutipan ini menjadi inspirasi dari akhir refleksi perjalananku dan dinamika AYD yang saya alami. Tema yang diangkat dalam AYD yang berbunyi Living the Gospel in Multicultural Asia! yang dipadukan dengan 105


perjalanan panggilan saya sebagai calon imam pada akhirnya bermuara pada kisah perjalanan Rasul Paulus. Dalam perjalanan hidupnya, Rasul Paulus berusaha untuk menghidupi nilai-nilai Injil dan mewartakannya ke seluruh dunia dengan penuh perjuangan tanpa meminta upah sedikitpun. Dia dengan tulus dan rela serta rendah hati menjalani kehidupan yang penuh dengan perjuangan, yaitu menghidupi nilai-nilai Injil yang terkadang sulit dipahami lalu mewartakannya kepada mereka yang belum mengenal Allah. Lantas, berkaca dari kisah maupun pengalaman tersebut, saya sebagai calon imam KAJ akan berusaha untuk meneladan sikap Rasul Paulus untuk berani dan berjuang menghidupi nilai-nilai Injil dan mewartakannya melalui kesaksian hidup maupun melalui memasuki pintu dan dunia mereka dan mengarahkannya untuk keluar dari pintu kita. Penutup Demikian refleksi singkat yang dapat saya berikan selama mengikuti dinamika 7th Asian Youth Day yang dilaksanakan selama ¹ 9 hari. Sebenarnya masih banyak pengalaman yang belum dapat tertulis di sini, namun hanya ini yang dapat saya berikan saat ini. Banyak sukacita, kegembiraan, dan kebahagiaan yang saya rasakan dalam perjumpaan dengan teman-teman kaum muda se-Asia. Banyak pengalaman indah, menarik, dan istimewa yang saya rasakan di sana. Satu hal yang saya ingat jelas adalah semangat dan gelora jiwa kaum muda yang tak henti-hentinya berkobar ketika bernyanyi dan bergerak mengikuti irama lagu theme song AYD. Saya sungguh bersyukur dapat mengalami dan mendapatkan semuanya ini terlebih sebagai Teman Seperjalanan bagi mereka. Semoga sukacita iman, harapan, dan kasih selama dinamika AYD ini akan selalu berada di dalam hati kita dan mewarnai hari-hari indah di dalam hidup kita. – Hari-hari yang indah dan istimewa itu telah berlalu, namun kenangan dan memori yang ada di dalamnya tidak akan pernah pudar dan berlalu. – Jakarta, 23 Agustus 2017 fr. Alberto Ernes (fr. Beto) 106




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.