Teman Seperjalanan Edisi 22

Page 1

Edisi 22 / Maret-Mei 2014 / Tahun IX


. DAFTAR ISI KOLOM UTAMA

SHARIN

Ada Ka Wre SURAT YAKOBUS; PELAYANAN KASIH SEORANG GEMBALA UMAT..1 Belas Kasih dan Setia.....13

Sosok Inspiratif

Mengubah Ironi Menjadi Pelangi..18 Tuhan telah Menuntun Saya.....22

Sudut Sastra 25 Tahun mengabdi.....33

Pe Sutinah.....37

Kerajaan Su


REDAKSIONAL

NG PASTORAL

asih di Panti edha.....25

Pojok Filsafat

Filsafat melawan Kekerasan.....29

ersona Imam

urga itu Seumpama.....42

“Jakarta punya Cerita”. Terkesan aneh dan juga membingungkan. Cerita apa yang ada di Jakarta? Korupsi, kriminalitas, kemiskinan.... Dari A-Z tentu kita bisa menjawabnya. Akan tetapi, pernahkah kita menyadari bahwa Jakarta juga menyimpan cerita kasih. Cerita kasih yang terwujud dalam pelayanan terhadap sesama. Dan pada akhirnya berbuah bagi kebaikan bersama. “Jakarta punya Cerita” juga mau mengungkapkan gerak langkah Gereja Keuskupan Agung Jakarta pada tahun 2014. Gerak langkah untuk semakin menghayati makna pelayanan kasih terhadap sesama. Tentu tidak semua bentuk pelayanan kasih yang ada di Kota Jakarta bisa kami muat dalam edisi kali ini. Kami ingin mengajak para pembaca untuk semakin menemukan kekuatan, inspirasi, dan semangat ketika membaca lembar demi lembar tulisan yang ada pada majalah ini. Pengalaman frater yang menjadi penanggung jawab hewan di Seminari, kisah pelayanan kasih di Papua, bagaimana pelayanan kasih yang dilakukan umat Paroki Kalvari, dan seorang Muslim yang membagikan kisahnya

TS/IX-Edisi 22 1


Moderator : RD Joseph F. Susanto Pemimpin Umum : Fr. Robertus Guntur Anggota Redaksi : Fr. Reinardus Doddy, Fr. Salto, Fr. Tino, Fr. Albertus Ade, Editor: Fr. Bondika, Fr Marcellinus, Fr. Robertus Guntur, Bendahara: Fr. Stefanus Harry Yudanto, Redaktur Artistik: Fr. Patrick Slamet W, Fr. G. Mahendra Budi, Sirkulasi : Fr. Surya Nandi, Fr. Joko Prsetyo Alamat Redaksi: Seminari Tinggi Yohanes Paulus II-KAJ, Jl. Cempaka Putih Timur XXV No. 7-8, Jakarta Pusat 10510. Telp. (021) 4203374/4207480 Fax (021) 4264484 E-mail: tseperjalanan@yahoo.com Blog : temanseperjalanan.blogspot.com

l

2 TS/IX-Edisi 22

dalam melayani di Pedongkelan, Jakarta Timur, pada akhirnya ingin mengajak para pembaca bahwa “Jakarta punya Cerita� yang belum selesai dan tak akan pernah selesai. Cerita yang baru akan selesai ketika hidup kita berakhir. Cerita untuk membawa kasih kepada orang-orang yang berada dekat dengan kita. Apa pun itu bentuknya. Semoga menginspirasi...


KOLOM UTAMA Surat Yakobus: Pelayanan Kasih Seorang Gembala Umat RD. Josep F. Susanto

Selama saya mempersiapkan kotbah di Seminari Tinggi Yohanes Paulus II (ST KAJ) sejak Senin, 17 Febuari sampai Sabtu, 1 Maret 2014, secara sadar mata saya hanya tertuju pada bacaan pertama yang diambil dari Surat Yakobus. Bahasanya yang lugas dan sederhana serta garis-garis pembedaan yang tegas, membuat saya jatuh cinta dengan kitab ini. Kalender Liturgi Gereja seolah memperkenalkan kita untuk sejenak lebih dekat dan mendalami kitab yang satu ini. Memang bila dibandingkan dengan keempat Injil maupun surat-surat Rasul Paulus, Surat Yakobus ini seolah tenggelam dan kurang populer di kalangan umat maupun para ahli tafsir Kitab Suci. Hal ini saya amini ketika saya mencari buku-buku acuan tentang Surat Yakobus di perpustakaan STF Driyarkara, saya hanya menemukan dua buku berbahasa Inggris. Sementara di rak-rak sebelah, terdapat

sederet buku-buku tentang Injil mapun karya-karya Rasul Paulus. Kata-kata dalam Surat Yakobus,“Iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:17.26),� tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu kutipan yang paling membekas di hati banyak umat. Sebenarnya masih banyak lagi kata-kata dalam Surat Yakobus yang bisa memberi inspirasi pastoral untuk umat, khususnya dalam menghayati pelayanan kasih. Surat Yakobus hanya terdiri dari lima bab yang terdiri dari perikop-perikop singkat. Di dalam satu bab, kurang lebih hanya menempati satu setengah

Ciri dari Surat Yakobus adalah sapaan pastoral yang singkat, hangat, dan personal dengan tekanan pada option for the poor.

TS/IX-Edisi 22 3


halaman Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Meski singkat, kalimat pertama dalam Yak 1:1 dari surat ini saja sudah menjadi perdebatan sengit para ahli Kitab Suci. Kalimat, “Salam dari Yakobus‌,â€? tidak membuat kapan waktu surat ini ditulis dan siapa yang menulis menjadi jelas begitu saja. Para ahli terbagi menjadi tiga kelompok besar ketika mereka berdebat tentang siapa dan kapan surat ini ditulis. Ada sekelompok ahli yang mengatakan surat ini mempunyai latar belakang asli keyahudian. Kelompok lain mengatakan penulisnya adalah Yakobus, Saudara Tuhan yang dikenal dengan nama James the Just (40-52 AD). Sementara kelompok ketiga yang berdasarkan fakta bahwa menggunakan Bahasa Yunani yang sangat baik dan kentalnya pengaruh dari surat-surat Paulus dalam surat

Surat Yakobus ini seolah tenggelam dan kurang populer di kalangan umat maupun para ahli tafsir Kitab Suci.

4 TS/IX-Edisi 22

ini, menyimpulkan bahwa surat ini baru muncul setelah masa Yakobus memimpin Gereja di Yerusalem. Di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, kita mengenal ada beberapa orang yang menggunakan nama Yakobus, yaitu Yakobus anak Zebedeus dan Yakobus anak Alfeus. Akan tetapi, kebanyakan ahli sekarang ini cenderung untuk melihat bahwa Yakobus yang tertera dalam Yak 1:1 lebih mengarah kepada Yakobus, saudara Tuhan yang memimpin Gereja di Yerusalem. Alasan mereka adalah tradisi pasti punya alasan yang lebih masuk akal, kalau mengaitkan surat ini dengan Yakobus Saudara Tuhan, dibandingkan dengan Yakobus-Yakobus lain. Terlebih lagi, isi dari surat kebanyakan


luar biasa. Mari kita pelajari dan ambil contoh dari gembala umat yang luar biasa ini.

cocok dengan apa yang kita tahu tentang pribadi Yakobus, Saudara Tuhan. Alasan terakhir adalah Yakobus, Saudara Tuhan ini mempunyai otoritas yang lebih masuk akal untuk menulis surat pastoral karena ia adalah pemimpin Gereja. Tanpa masuk ke dalam diskusi atau perdebatan ilmiah tentang Surat Yakobus, tulisan ini sebenarnya bertujuan membuat kita terhentak dan sadar tentang betapa bagus dan luar biasa isi dari Surat Yakobus ini. Di balik Surat Yakobus, kita bisa merasakan sosok seorang gembala yang sangat bijaksana, berpengalaman dan hangat yang dengan cara yang luar biasa juga mendidik dan mengarahkan umatnya dalam semangat pelayanan kasih yang

1. Penggunaan Amsal Salah satu kekhasan dari tulisan dalam Surat Yakobus adalah digunakannya gaya amsal yang biasa digunakan dalam Kitab-Kitab Kebijaksanaan dalam Perjanjian Lama. Amsal biasanya digunakan oleh guru-guru kebijaksanaan untuk mengajar murid-muridnya atau orang-orang muda yang belum berpengalaman. Kekhasan amsal dalam Israel adalah menggunakan bahasa perbandingan dengan menggunakan contohcontoh dari keteraturan hukum alam semesta. Kita bisa ambil contoh misalnya dalam Yak 1:6, “orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang ambingkan kian ke mari oleh angin.� Berbeda halnya dengan yang tercantum dalam

Di balik Surat Yakobus, kita bisa merasakan sosok seorang gembala yang sangat bijaksana.

TS/IX-Edisi 22 5


Yak 1:11, “matahari terbit dengan panasnya yang terik dan melayukan rumput, sehingga gugurlah bunganya dan hilanglah semaraknya. Demikian juga dengan orang kaya; di tengah-tengah segala usahanya ia akan lenyap.” Dikatakan juga dalam Yak 3:5.6, “Lihatlah, betapa pun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar, lidahpun adalah api.” Ada pula terdapat dalam Yak 3:11-12 yang terdapat dua amsal sejenis, “Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama? Adakah pohon ara dapat menghasilkan buah zaitun dan apakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara? Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar.” Amsal terakhir dapat kita temukan dalam Yak 5:7, “Sesung-

6 TS/IX-Edisi 22

guhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi.” Kekuatan penggunaan bentuk amsal dalam mengajar dan mendidik umat dalam pelayanan adalah umat merasa tidak sedang digurui atau dimarahi. Selain itu amsal-amsal seperti itu sebenarnya tidak mengajarkan sesuatu yang baru dan asing untuk pendengarnya, melainkan memberikan suatu penyadaran yang membuka mata dan hatinya terhadap potensi yang sudah ada dalam dirinya. Orang yang memilih jalan yang salah atau keliru akan merasa diluruskan dengan cara yang santun, bijaksana, dan penuh kasih.


2.Keberpihakan kepada yang Miskin dan Tersingkir Ciri kedua dari Surat Yakobus adalah sapaan pastoral yang singkat, hangat, dan personal dengan tekanan pada “option for the poor�. Sapaan pastoral yang kita baca dalam Surat Yakobus tidak melulu berbau moral atau etik belaka tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik. Penulis Surat Yakobus sangat mengenal kondisi dan situasi umat yang digembalakannya. Ia menggunakan cara mensejajarkan dua hal yang bertolak belakang dan membiarkan para pendengarnya untuk memilih apa yang lebih baik untuk hidup mereka. Dengan sangat sederhana, dalam Yak 1:8-18, Yakobus membuat suatu perbandingan antara “keadaan rendah dan keadaan kaya� yang terdapat dalam Yak 1:19-27. Kritik Yakobus terhadap masyarakat yang hanya memandang orang-orang kaya dapat kita temukan dalam Yak 2:1-13. Atmosfer itu menjadi lebih kental ketika Yakobus memberi peringatan kepada

orang-orang kaya dalam Yak 6:1-6 dan penghiburan kepada orangorang miskin dalam penderitaan mereka dalam Yak 5:7-11. 3. Kekuatan Doa Surat Yakobus melukiskan sebuah kekuatan doa secara luar biasa. Hal inilah yang menjadi senjata utama dari sebuah pelayanan kasih. Doa menjadi kekuatan bagi orang-orang yang hidup dalam penderitaan. Doa yang dimaksudkan Yakobus bukanlah sebuah doa hafalan atau formal belaka, melainkan doa yang lahir dari iman yang penuh dengan keyakinan. Di dalam kitab ini dikatakan bahwa doa seperti itulah yang mempunyai kekuatan yang sangat besar (bdk Yak 5:13.15-16). Orang seringkali mengenyampingkan atau bahkan melupakan kebiasaan doa dalam melakukan pelayanan. Di sinilah letak misteri yang dibuka oleh Yakobus, seorang gembala umat yang menjadikan doa sebagai pijakan dasar dari pelayanannya yang penuh kasih.

Surat Yakobus melukiskan sebuah kekuatan doa secara luar biasa. TS/IX-Edisi 22 7


8 TS/IX-Edisi 22


Korban dan Relawan: Umat Paroki Kalvari Bertindak! Sebuah bencana kerap diikuti dengan pilihan untuk mengungsi. Bagi para korban, berpindah ke tempat yang lebih aman menjadi kegiatan yang umum terjadi. Digerakkan oleh kasih pada sesama, sekelompok umat Lingkungan Gabriel, Paroki Kalvari, berkenan tetap tinggal dalam situasi banjir untuk menolong saudara-saudarinya. Mereka, yang adalah korban banjir, berani untuk turun sebagai relawan dalam situasi yang sama. Hujan Berbuah Banjir Selain menurunkan air, hujan juga dapat membawa kecemasan bagi manusia di bumi. Setidaknya perasaan itulah yang dirasakan sebagian besar umat di Lingkungan Gabriel. Perasaan cemas itu disebabkan oleh kemungkinan banjir yang dapat sewaktu-waktu datang kembali. Berawal dari acara Natalan bersama di tahun 2013, hujan deras sudah menjadi ancaman. Parit-parit mulai kehilangan kemampuannya untuk menampung aliran air. Tanggul yang telah diperbaharui pun tidak

mampu menjalankan fungsinya sebagai penghalang air. Akhirnya pada tanggal 12 Januari 2014, banjir pun tiba, secara khusus di perumahan Nasio. Lain dari apa yang pernah terjadi sebelumnya, di tahun ini, seluruh bagian perumahan tersebut terendam air. Pak Bambang, ketua Lingkungan Gabriel yang kediamannya juga mulai terendam air, adalah satu dari Âą 24 Kepala Keluarga yang tertimpa banjir di perumahan tersebut. Tidak menghiraukan kondisinya sebagai korban bencana ini, beliau memilih tindakan yang lebih luhur, sesuatu yang dapat disebut sebagai pelayanan kasih. “Kalau saya terus di rumah, bagaimana dengan yang lain?â€? ungkapnya kepada redaksi TEMAN SEPERJALANAN. Tanpa harus menunda lebih lama lagi, ia segera memulai

Rasanya senang, karena bisa berbagi. Juga hanya dengan cara ini saya bisa membatu sesama. TS/IX-Edisi 22 9


Iman pada dasarnya memang selalu mengandaikan tindakan yang nyata. koordinasi dengan Pak Pri sebagai koordinator wilayah 6. Langkah cepat dan tepat segera diambil. Pembukaan dapur umum dan evakuasi para orangtua menjadi tujuan jangka pendek. Di sinilah permasalahan lain muncul: siapa yang akan ikut terjun ke lokasi banjir? Cinta Ibu yang Tak Terhingga Pak Bambang mulai melebarkan sayap koordinasinya kepada anggota Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) setempat, terlebih karena hampir tidak adanya kaum muda yang bisa diikutsertakan. Ibu bambang, istrinya yang juga anggota WKRI, turut membantu pembukaan jaringan yang lebih luas. Tidak lama kemudian, kerjasama antara Lingkungan Gabriel dengan WKRI setempat terbentuk di bawah koordinasi Ibu Yayuk. Pada dasarnya, ibu-ibu WKRI telah siap mengantisipasi hal ini. Mereka telah memulai gerakan pelayan kasih dengan melakukan jimpitan atau

10 TS/IX-Edisi 22

pengumpulan makanan dengan sukarela secara berkala sejak peringatan Hari Pangan Sedunia. Salah satu aksi nyata dengan pemulung juga pernah terjadi. Saat ini, mereka kembali siap untuk melakukan aksi nyata di tengah situasi banjir. Peran serta WKRI tidak terbatas hanya di Lingkungan Gabriel. Juga di tempat-tempat lain yang terkena banjir, mereka bergerak dan hadir untuk membantu. Bahkan di antara satu cabang dengan yang lainnya terjadi aksi saling membantu sekaligus juga menerima bantuan. Berangkat dari situasi inilah pembicaraan mengenai dapur umum segera berubah menjadi kenyataan di Lingkungan Gabriel. Ibu Marwati menyediakan rumahnya yang tidak terkena banjir sebagai tempat dibukanya dapur umum. Setelah tenaga dan tempat tersedia, kini permasalahan bergerak ke pencarian bahan makanan. Dari Jimpitan Hingga Nasi Klethis Langkah spontan yang terjadi adalah mencari bahanbahan yang memang saat itu tersedia. Di luar dugaan, terjadi juga jimpitan seperti yang pernah terjadi di antara anggota WKRI dalam menyambut peringatan


Ibu-ibu Paroki Kalvari sedang mengolah makanan untuk korban banjir

Hari Pangan Sedunia. Di dapur umum itu, setiap pribadi mengumpulkan sebagian uangnya untuk membeli bahan makanan yang sekiranya masih diperlukan. Pencarian meluas sampai ke umat di lingkungan bahkan paroki lain. Setelah segalanya siap, pembagian makanan bagi umat Lingkungan Gabriel yang terkena banjir segera dilakukan. Keterbatasan peralatan, khususnya perahu karet untuk membawa makanan di tengah situasi banjir, merangsang kreativitas dan spontanitas. Seorang umat berinisiatif membuat rakit darurat dengan galon air minum yang diikat mengelilingi ember. Dengan rakit darurat itulah pembagian makanan dapat berjalan dengan lebih mudah.

Di tengah pelayanan ini sempat terjadi sebuah peristiwa yang meningkatkan ketegangan di dapur umum. Saat itu hari kedua menjelang makan siang, tragedi ini muncul. �Nasinya selalu gagal dimasak, entah itu mentah atau terlalu lembek,� tutur Ibu Retno, salah satu relawan di dapur umum tersebut. Hal ini membuktikan pentingnya ketulusan dan cinta dalam membantu sesama, bahkan dalam memasak nasi sekalipun. Untunglah tragedi ini dapat segera terselesaikan dan aktivitas dapur umum kembali seperti sediakala. Kekuatan Doa dan Kasih Pelayanan di tengah bencana ini ternyata tidak terlepas

TS/IX-Edisi 22 11


dari doa dan iman umat setempat. Ide pembukaan dapur umum terjadi setelah doa novena lingkungan pada malam ketika banjir mulai datang. Umat yang saat itu hadir seolah-olah mendapat kesempatan untuk menyatakan buah doanya melalui pelayanan kasih kepada sesama. Iman pada dasarnya memang selalu mengandaikan tindakan yang nyata. Kasih yang mengalir dalam pelayanan ini juga berhasil menyingkap sisi persaudaraannya. Selain umat lingkungan, pembagian bantuan juga di-

berikan kepada warga yang beragaman lain. “Kalau sudah di lapangan, agama dan golongan biasanya tidak lagi terpikir,� ungkap Ibu Retno, seorang relawan di dapur umum. Pada akhirnya, kebahagiaan menjadi buah manis yang dapat dituai dari pelayanan ini. “Rasanya senang, terutama karena bisa berbagi. Juga hanya dengan cara ini saya bisa membatu sesama,� tutur Ibu Tino ketika mengenangkan kembali pengalamannya di dapur umum.

Banjirku, banjirmu, banjir kita.

12 TS/IX-Edisi 22


Berbelas Kasih dan Setia fr. Salto Deodatus

Pengalaman yang sederhana bila dimaknai akan menjadi luar biasa, sementara pengalaman yang luar biasa bila tidak dimaknai akan menjadi biasa. Itulah hakikat refleksi yang menentukan dangkal atau mendalamnya makna hidup seseorang dalam proses menjadinya. Keyakinan yang kupegang ini membulatkan niatku untuk menanggapi secara positif ajakan redaksi Majalah Teman Seperjalanan untuk mengangkat cerita tentang perutusanku di Seminari Tinggi sebagai bidel (Red—petugas) hewan. Aku menilai pilihan ini cukup berani karena tidaklah mudah menggali makna dari pelayanan merawat hidup hewan-hewan. Pada kenyataannya, tugas ini kerap kali dihindari dan dianggap remeh oleh sebagian orang.

takjub, bertanya-tanya, resah, dan takut karena perutusan ini sama sekali baru untukku. Alasannya sederhana saja, yaitu aku belum pernah memelihara anjing, bahkan untuk hidup bersama secara intensif pun tidak. Lantas, pengalamanpengalaman traumatik bersama dengan anjing segera memutar dalam ingatanku. Akan tetapi, lebih daripada itu, bagaikan dua sisi mata uang koin, bila kekhawatiran terpampang pada salah satu sisinya, perasaanperasaan syukur dan kagum tergurat di bagian lainnya. Aku menangkap pesan Tuhan yang menjelaskan secara tersirat maksud dari perutusan ini. Dalam hati, akupun berkata kepada-Nya, “Tuhan, Engkau tahu apa yang

Melampaui Begitu mendengar kepastian perutusan kebidelan, hatiku spontan mengungkapkan perasaannya yang bercampur aduk. Ada perasaan heran,

Aku menangkap pesan Tuhan yang menjelaskan secara tersirat maksud dari perutusan ini. TS/IX-Edisi 22 13


Fr. Salto sedang memberi makan kepada temantemannya.

kubutuhkan.� Aku bergulat untuk menemukan makna di balik perutusan ini. Sialnya, kesulitan yang merintangi justru datang dari diri sendiri. Masih ada perasaan, segan, takut digigit anjing, dan sebagainya, namun saat itu aku sadar bahwa aku sedang bertatapan dengan diri sendiri yang utuh dan asli. Aku pernah diingatkan oleh seorang teman agar tidak lagi mengambil jarak dengan anjing karena perasaan-perasaan takut yang sesungguhnya tidak beralasan. Setelah peristiwa itu, aku memberanikan diri untuk keluar dari diri sendiri. Kubenturkan kelemahan-kelemahanku pada kenyataan objektif. Proses ini kurefleksikan sebagai perjuangan untuk melampaui diri. Terutama sebagai suatu totalitas yang mengerah-

14 TS/IX-Edisi 22

kan segenap keberanian untuk mengalahkan diri sendiri. Aku sungguh merasakan betapa kesediaan diri untuk bekerja sama dengan Tuhan membuat rahmat-Nya bekerja secara tidak terbatas untuk melampaui keterbatasanku. Alhasil, dengan pelampauan itu, kini aku bisa bermain dengan anjing secara leluasa, memberi makan, dan hidup bersama mereka setiap hari. Selama menjadi bidel hewan aku berjuang melawan kecenderungan diri dan meredam keinginan pribadi. Perutusan ini menarikku untuk hidup di balik layar. Awalnya aku mengeluhkan mengapa ditempatkan pada keadaan seperti ini. Terlebih ketika aku harus masuk ke dalam tugas yang—memakai istilah romo rektor—hina, remeh, dan tidak


berarti. Akan tetapi, keberanian untuk terus berenang ke kedalaman karya membuatku tidak lagi terjebak pada idealismeidealisme semu yang kerap kali berdiri tegak dengan kepala yang pongah dan selalu mendongak ke atas. Bagiku, inilah satu arti dari kerendahan hati. Tidak menjadi masalah jika aku hanya menjadi satu batu bata kecil saja, terlebih jika cocok dimasukkan ke dalam satu bangunan Gereja. Tidak ada karya yang tidak berarti di hadapan Allah, meski kelihatan kecil sekalipun. Aku bersyukur boleh ambil bagian dalam gerak yang lebih besar untuk suatu misi yang lebih universal, yaitu masuk ke dalam rajutan pertalian yang erat antara dinamika hidup keuskupan dengan hidup keseharian di seminari. Nurture Anjing-anjing di seminari tinggi makan dua kali sehari. Aku bertanggungjawab menyiapkan dan menyediakannya. Usai makan siang dan makan malam, dimulailah proses peramuan itu. Pertama-tama, nasi dituangkan ke dalam wadah makanan, kemudian dicampurkan dengan—biasanya—ayam rebus yang sudah disiapkan khusus untuk anjing. Ayam tersebut tentu tidak disa-

Cinta sejati teruji ketika seseorang tetap setia. jikan sama seperti ayam yang dimakan oleh manusia. Sebagai catatan, Jenggo, salah satu anjing ras yang tubuhnya panjang dan berbentuk lucu seperti sosis, tidak boleh makan tulang. Maka, aku mesti memisahkan makanan yang khusus untuknya. Setelah itu, bahan makanan diremasremas hingga teraduk merata. Sungguh, tugas ini memerlukan ketekunan, kesabaran, dan kesetiaan. Pepatah Jawa mengatakan, “Witing tresna jalaran saka kulina.” Lama-kelamaan, berkat perjumpaan dan kedekatan yang kami alami, tumbuhlah cinta di hatiku. Aku sadar bahwa pemberian diri yang tidak dilandasi dengan cinta akan menjadi kering. Maka, tugas ini kuhayati dengan hati. Terkadang juga muncul celetukan, “Yah, lu cuma ngasih makan doang.” Ketika merenungkan kata-kata itu, timbul kesadaran betapa aku telah jatuh ke dalam kenyamanan. Kegiatan rutin mudah menjebakku pada kebosanan. Lantas, semua kegiatan ini menjadi biasa saja. Di

TS/IX-Edisi 22 15


Jalani perutusan panggilan-Mu, dengan semangat yang terus menggebu... sinilah aku merefleksikan konsekuensi totalitas pemberian diri, yaitu bahwa pemberian diri terusmenerus menuntut kreatifitas dan ketetapan hati yang konsisten untuk meninggalkan kenyamanan yang sudah lama terbentuk. Hal itu kulakukan dengan menyediakan variasi makanan, membersihkan anjinganjing di luar waktu mandi, dan sebagainya. Wawan hati dengan romo rektor membukakan khazanah cakrawala pemaknaanku akan perutusan ini secara lebih luas. Satu hal yang mesti disadari, yaitu pelayanan dalam kebidelan amat kaya akan dimensi formatif (Red—pembinaan) yang bermanfaat untuk imamat.

16 TS/IX-Edisi 22

Berbelas Kasih dan Setia Mgr. Suharyo mengatakan bahwa setiap usaha untuk semakin memuliakan martabat manusia, mewujudkan kesejahteraan umum, mengembangkan solidaritas, memberi perhatian lebih kepada saudari/a kita yang kurang beruntung, dan melestarikan keutuhan ciptaan adalah pelayanan. Batinku betanya, “Apakah merawat anjing termasuk kegiatan pelayanan?” Anjing adalah ciptaan-Nya, ‘sesama’ yang berharga. Anjing adalah bagian dari komunitas yang patut diberikan perhatian. Oleh karena itu, bagiku merawat anjing adalah satu bentuk nyata pelayananan kasih yang ada di seminari. Dengan pelayanan ini,


aku belajar dan berlatih untuk menjadi pribadi yang berbelas kasih dan setia (bdk. Ibr 2: 17). Aku terus merenungkan pesan bapak uskup yang mengatakan bahwa jurus dasar menjadi seorang imam adalah setia kepada Allah dan berbelas kasih terhadap sesama. Dasar belas kasih yang kucurahkan terus-menerus dalam pelayanan kebidelan ini adalah kesetiaan Tuhan untuk mengasihi manusia sampai mati. Kasih Allah yang sedemikian tak terbatas itu mem-

buatku mengasihi-Nya. Sementara itu, aku juga senantiasa terpanggil untuk turun serta solider kepada sesama, termasuk ciptaan. Belajar dari pengalaman merawat hidup anjing-anjing, membantuku mewujudkan cinta kepada Allah dan sesama untuk mampu melampaui cinta diri, keinginan pribadi, dan kepentingan lainnya. Intinya, cinta sejati teruji ketika seseorang tetap setia meski diterpa oleh berbagai macam tantangan.

RD Tunjung mendapat potongan kue pertama dari RP Sadhyoko, SJ saat perayaan ulangtahunnya yang ke 53. (4 Febuari 2014) TS/IX-Edisi 22 17


Mengubah Ironi Menjadi Pelangi fr. Bonifasius Lumintang

Pelayanan kasih tidak pernah dapat dipisahkan dari kehidupan Gereja. Begitu banyak cara dan kreatifitas dapat kita lakukan untuk mewujudkan pelayanan kasih kepada sesama. Berikut ini merupakan beberapa potret pelayanan kasih Misi Domestik KAJ di Bomomani – Papua; 1. Kerohanian Benih iman Katolik telah ditanamkan oleh para misionaris Belanda sejak tahun 1940. Iman Katolik itu terus dipelihara dan ditumbuhkembangkan sampai

18 TS/IX-Edisi 22

sekarang melalui berbagai pembinaan-pembinaan dan kegiatankegitan rohani. Bina Iman Anak, Rekoleksi + Out Bound OMK, Legio Maria, Koor Paroki, merupakan beberapa kegiatan yang dilangsungkan untuk memperkokoh iman umat. Salah satu kegiatan rohani yang khas Paroki Maria Menerima Kabar Gembira – Bomomani ini adalah perarakan patung Bunda Maria pada akhir bulan Mei dan Oktober menuju tempat yang dinamakan Bukit Doa. Kegiatan itu dilaksanakan untuk mengakarkan semangat devosi kepada Bunda Maria. 2. TK Maria Magdalena. Kesadaran betapa pentingnya pendidikan belum mengakar kuat pada kebanyakan masyarakat di Bomomani. Tidak heran bahwa di Bomomani masih banyak ditemui anak-anak yang tidak bersekolah. Mereka tidak bersekolah bukan karena tidak ada sekolah, bukan juga karena biaya sekolah melambung tinggi, melainkan karena sikap malas.


Banyak orang muda, anak-anak, yang menghabiskan waktu dengan jalan-jalan, nongkrong di pertokoan, dan bermain. TK Maria Magdalena hadir untuk membongkar mentalitas itu. Penanaman nilai kedisiplinan, kebersihan, dan habitus belajar dimulai sejak usia dini. Berhitung, mengenal huruf, mewarnai, mandi, sikat gigi, membersihkan ingus, cuci tangan, berdoa bersama sebelum dan sesudah makan, membuang sampah di tempat sampah, mengajarkan sopan santun terhadap sesama merupakan bagian dari aktifitas di TK Maria Magdalena untuk menyiapkan generasi muda yang berkembang dalam akal budi, jasmani, dan rohani. 3. PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) PLTA juga merupakan wujud pelayanan kasih di Bomo-

Mengasihi tidak hanya berarti memberikan sesuatu, namun yang sulit untuk dilakukan adalah memberikan diri kita sendiri untuk diambil, diberkati, dipecah dan dibagikan

mani. Adanya listrik yang masuk ke rumah-rumah penduduk amat membantu penerangan lingkungan tempat mereka tinggal. Lebih dari itu, lampu yang bersinar pada setiap rumah juga memberikan beberapa manfaat lain yakni membantu anak-anak untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas sekolah, mengurangi angka penebangan kayu bakar yang biasa dijadikan salah satu sumber penerangan, dan mengurangi pembelian minyak tanah untuk lampu minyak. 4. Peternakan Mengurus peternakan (Babi, Bebek, Ayam, Kambing, Burung, dan Kelinci) menjadi aktivitas sehari-hari di Bomomani. Peternakan tersebut dihadirkan juga untuk pelayanan kasih. Peternakan bertujuan untuk penyediaan bibit ternak bagi masyarakat. Dengan adanya peternakan, masyarakat tidak harus turun sejauh 183 Km ke kota Nabire untuk membeli hewan ternak. Selain itu, peternakan tersebut juga bertujuan sebagai tempat penyedian daging segar bagi masyarakat. 5. Pertanian Sebagian besar penduduk di Bomomani bermata pencaharian sebagai petani. Pelayanan

TS/IX-Edisi 22 19


kasih yang menyentuh bidang ini dilakukan dengan penyediaan bibit sayur bagi para petani dan penyuluhan-penyuluhan untuk meningkatkan produktifitas dari lahan pertanian. 6. Kesehatan Kesehatan masyarakat juga menjadi perhatian khusus bagi Misi KAJ di tempat ini. Minimnya fasilitas kesehatan (kelangkaan obat-obat, akses menuju rumah sakit yang sulit) dan kesadaran masyarakat sendiri yang rendah akan kesehatan menjadi alasan bahwa pelayanan akan kesehatan juga menjadi bagian yang penting untuk diperhatikan. Penyakit kulit (kudis, panu), kurang gizi, HIV, TBC, dan Malaria menjadi penyakit yang menjangkit setiap

20 TS/IX-Edisi 22

lapisan masyarakat. Penyediaan obat-obat dan pengadaan “baksos� pemeriksaan gratis menjadi oase tersendiri bagi masyarakat yang memang membutuhkan pelayanan kesehatan. Pemberian Diri Pelayanan kasih kepada masyarakat Bomomani meresap ke dalam bidang kerohanian, pendidikan, perekonomian, dan kesehatan. Pelayanan kasih pada keempat bidang itu tentunya bermuara pada tujuan-tujuan mulia yakni demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua di Bomomani. Sebuah pelayanan kasih yang tulus dan murni hanya dapat terjadi dengan daya Roh


Kudus. Sebagaimana Yesus sendiri tersentuh oleh kebutuhan dan harapan orang-orang yang mengharapkan pertolongan dari padanya. Apa artinya mengasihi dengan cinta kasih yang berlimpah? Mengasihi dengan cinta kasih yang berlimpah tidak hanya berarti memberikan sesuatu, namun yang jauh lebih penting dan sulit untuk dilakukan adalah memberikan diri kita sendiri untuk diambil, diberkati, dipecah dan dibagikan. Pelayanan kasih adalah panggilan hati bagi setiap orang untuk mati terhadap diri sendiri dan kebutuhan-kebutuhan yang terpusat pada diri. Bagaimana mungkin seseorang dapat melakukan pelayanan kasih jikalau ia masih berorientasi pada

diri sendiri? Dengan kata lain pelayanan kasih membutuhkan semangat pengorbanan. Tanah Papua adalah tanah yang kaya. Edo Kondologit seorang penyanyi asal Papua bahkan menggambarkan Papua bagaikan surga kecil jatuh ke bumi. Demikian pula Bomomani. Bomomani - sebuah kampung kecil - yang masih dikelilingi oleh gunung dan hutan yang masih alami. Bomomani memang memiliki pesona alam yang masih alami, namun dibalik pesona alam yang masih alami, Bomomani menyimpan begitu banyak ironi. Pelayanan kasih Misi Domestik KAJ di tempat ini perlahan tapi pasti mengubah ironi menjadi sebuah pelangi.

TS/IX-Edisi 22 21


Tuhan telah Menuntun Saya! Wawancara dengan Bpk. Romadhon Aktivis Pedongkelan, Jakarta Timur

Tahun pelayanan tentu saja tidak bisa dipisahkan dari Tahun Iman (2012) dan Tahun Persaudaraan (2013) yang telah dihayati oleh umat KAJ. Iman yang sejati akan berbuah persaudaraan dan dihayati secara langsung dalam bentuk pelayanan kasih pada sesama. Oleh karena itu, Majalah Teman Seperjalanan tertarik untuk mewawancari Kak Romadhon, seorang Muslim yang memiliki hati yang tulus melayani warga di daerah Pedongkelan, Jakarta Timur. Bagaimana Kak Romadhon dapat nyemplung melayani warga Pedongkelan? Awalnya, saya merasa terpanggil untuk memberikan diri kepada sesama. Akan tetapi, saya belum tahu di mana saya dapat membagikan kasih tersebut. Akhirnya, saya diajak oleh teman yang merupakan relawan di Pedongkelan. Dan akhirnya saya pun mau. Selama menjalani pelayanan, saya merasakan ada sesuatu yang berbeda di dalam hati. Serangkaian peristiwa inilah yang menyadarkan saya bahwa Tuhan telah menuntun saya.

22 TS/IX-Edisi 22

Apakah ada perasaan takut ketika melayani di Pedongkelan? Pasti. Awalnya ada rasa takut di hati saya karena di sini dulunya terkenal sebagai sarang pemalak, kampak merah, dan sarang waria. Akan tetapi, perasaan takut itu hilang ketika pertama kali datang ke Pedongkelan. Bahkan setelah berproses saya melihat adanya kerjasama yang baik dengan warga sekitar. Hal ini dapat dilihat dari kerelaan warga yang dengan suka rela menginzinkan rumahnya digunakan untuk bimbingan belajar anak-anak.


Bentuk pelayan yang dilakukan oleh kak Romadhon dan relawan lainnya? Sehari-hari saya keliling di Pedongkelan untuk menyapa warga dan anak-anak. Setelah itu, saya membuka tempat bimbingan belajar bagi agar anak-anak. Anak-anak akhirnya dapat belajar, membaca buku yang ada, maupun sekadar bermain bersama. Jika ada peristiwa-peristiwa yang tak terduga, saya juga langsung membantu, contohnya ketika terjadi banjir dan kebakaran. Apakah ada pengalaman yang berkesan selama Kak Romadhon melayani di Pedongkelan?

Ada. Pada saat kami mengunjungi panti jompo. Saat itu saya melihat anak-anak belajar untuk mengasihi orang lain. Di situ saya melihat adanya kepekaan dari dalam diri anak-anak. Mereka mau menghibur para kakek dan nenek di sana. Selain itu peristiwa ini juga menumbukan rasa pluralisme dan kebhinekaan di hati mereka semua. Peristiwa lain, ialah saat anak-anak kelas enam ikut mengajar adik-adiknya setiap hari Sabtu. Hal ini juga memupuk kepekaan di hati anak-anak. Mereka dapat saling berbagi secara tulus tanpa pamrih dan tanpa merasa diri paling hebat.

Give me water, please.... TS/IX-Edisi 22 23


Adakah inspirasi yang memberikan semangat dalam melayani? Ada. Saya terinspirasi oleh Nabi Muhammad SAW dan Wali Songo (penyebar agama islam di Pulau Jawa). Mereka bukan seorang spiritualis yang hanya menyebarkan ajarannya dalam bentuk ritual. Akan tetapi, mereka juga menerapkannya di dalam kehidupan bermasyarakat. Bagaimana hubungan dengan relawan yang memiliki kepercayaan yang berbeda? Baik. Saya tidak melihat itu sebagai sesuatu perbedaan yang dapat memisahkan. Sama merasa nyaman karena kita mempunyai tujuan yang sama yakni, melayani Tuhan.

Wajah kalian selalu berarti di mataku.

24 TS/IX-Edisi 22


sHARING pASTORAL Ada Kasih di Panti Wredha fr. Frederick Yolando

Masa Probasi adalah sebuah masa perutusan keluar dari zona aman untuk diuji serta mengenali diri lebih mendalam. Mulai dari tanggal 13 Januari 2014 s/d 8 Februari 2014, aku menjalani masa probasi ini. Tempat perutusan masa probasiku adalah Panti Werdha Bina Bhakti, Serpong. Panti Werdha Bina Bhakti terdiri dari panti werdha dan panti rawat. Di panti werdha terdapat sekitar tujuh puluh lima oma-opa. Sementara itu, panti rawat difungsikan untuk oma-opa yang sungguh membutuhkan perawatan. Mereka (para oma-opa) yang sakit, baik yang hanya bisa duduk di kursi roda sampai yang tidak bisa beranjak dari tempat tidur, dirawat dengan penuh kasih sayang dan cinta kasih dari para perawat. Aku begitu bersemangat dalam menanti masa probasi ini, khususnya tempat perutusan probasi luarku. Namun, ketika mengetahui tempat perutusan probasi luarku di panti wredha, semangatku langsung runtuh

bagaikan menara pasir di terjang ombak. Aku sungguh tidak menyangka akan tempat perutusanku ini. Aku sama sekali tidak mempunyai bayangan akan apa yang akan terjadi di tempat probasiku nanti. Aku merasa gelisah karena dihadapkan pada suatu ketidakpastian. Akan tetapi, aku belajar untuk bersikap taat apa pun itu tugasnya. Menemani oma-opa tidak bisa dibilang sebuah tugas yang mudah. Butuh banyak kesabaran untuk bisa bertahan dalam tugas ini. Ada banyak hal aneh (dan juga unik!) menemani mereka: ada yang suka berbicara sendiri,

Melayani orang yang sakit, kecil, miskin, dan tersingkir merupakan sebuah keutamaan yang mulai saat ini mesti kupupuk dan kutanamkan dalam hati dan hidupku. TS/IX-Edisi 22 25


berteriak tanpa sebab, hanya duduk diam dan memandang lingkungan sekitar. Tidak jarang pula, ketika diajak berbincangbincang, mereka menanggapinya dengan topik yang berbeda sehingga memberi kesan tidak nyambung. Ketika aku berbicara A, para oma-opa menjawab B. Bahkan, terkadang aku sendiri tidak tahu apa yang mereka bicarakan (karena cara berbicaranya yang tidak jelas). Dalam bercerita pun mereka seringkali mengulang-ulang apa yang telah mereka bicarakan sebelumnya. Hal ini seringkali membuatku bingung dan merasa bosan. Melalui refleksi dan permenunganku, aku menemukan bahwa justru dalam hal inilah tantangan yang aku hadapi dalam probasi luar ini. Mungkin, jika diadakan suatu pemungutan suara antara melayani orang sehat atau sakit, mayoritas akan memilih melayani orang sehat. Namun, melayani orang yang sakit, kecil, miskin, dan tersingkir merupakan sebuah keutamaan yang mulai saat ini mesti kupupuk dan kutanamkan dalam hati dan hidupku ini Spiritualitas mendengarkan dan hadir tampaknya begitu berarti bagi para oma-opa di Panti Wredha Bina Bhakti. Suatu waktu aku menemani Opa Agus

26 TS/IX-Edisi 22

bermain catur. Secara fisik, Opa Agus terlihat sangat tua. Jika beradu dalam hal olahraga, aku tentunya bisa menang mudah. Namun, perihal catur, aku kalah total. Tak satu kali pun Opa Agus membiarkan aku mengalahkannya. Aku menjulukinya “Raja Catur Panti Wredha�. Julukan ini bukan berarti tanpa sebab, ternyata (setelah melakukan penelitian sederhana) banyak pengunjung yang telah ia kalahkan dalam permainan catur ini. Hal ini membuatku menjadi tidak terlalu merasa malu akan kekalahan dalam permainan catur ini. Akhirnya aku menyadari ada kebahagiaan yang aku alami


di tempat probasiku ini. Selain catur, Opa Agus pun mempunyai banyak kegiatan lain setiap harinya. Ia begitu aktif (nampaknya ia lupa bahwa ia sudah tua!). Semangat dan sosok Opa Agus menjadi sebuah inspirasi bagiku. Dalam usianya yang sudah tua, ia masih semangat beraktivitas dan melayani yang lain. Bagaimana denganku? Ini menjadi sebuah sindiran dan bahan permenungan bagiku. Satu pengalaman unik lainnya adalah pengalaman berbincang dengan Opa Leo. Beliau tidak lagi dapat berbicara normal. Kata-kata yang ia ucapkan sangat sulit untuk ditangkap

maksudnya. Membutuhkan cukup banyak waktu bagiku untuk menangkap inti pembicaraannya. Namun, Opa Leo tetap berusaha untuk bercerita. Ia bahkan sampai menggunakan bahasa tangan agar aku dapat mengerti maksud pembicaraannya. Meskipun ia tahu bahwa aku tidak mengerti bahasa isyarat tangan, ia tetap menggunakannya agar perbincangan dapat berjalan. Ia kemudian bahkan mengambil beberapa lembar kertas kosong dan alat tulis lalu menuliskan maksudnya di sana. Satu hal yang kukagumi darinya adalah usahanya yang tak kenal putus asa dalam mengajakku berbincang-bincang dengannya. Probasi luar ini menjadi pengalaman yang kaya akan makna. Banyak inspirasi yang kudapatkan di Panti Wredha Bina Bhakti. Para oma-opa pun mengajarkan banyak hal padaku, terutama mengenai keutamaankeutamaan dalam menjadi seorang imam. Melayani tidaklah harus melalui hal-hal yang rumit dan besar. Hal-hal sederhana seperti hadir, menjadi teman berbincang, dan mendengarkan pun juga merupakan salah satu bentuk pelayanan yang nyata. Imam dipanggil menjadi pribadi yang melayani.

TS/IX-Edisi 22 27



Pojok Filsafat Filsafat Melawan Kekerasan Fr. Surya Nandi “Ratusan nyawa melayang, termasuk warga sipil dan anak-anak.� Demikianlah laporan berita dari salah satu surat kabar nasional. Pertanyaannya adalah mengapa kekerasan terus terjadi? dan apakah memang tidak ada perdamaian di dunia ini? Tentu kita bisa menjawab hal ini dari berbagai sudut pandang. Akan tetapi, dalam kesempatan ini saya hendak mendalami posisi filsafat dalam permasalahan kekerasan dan perdamaian. Apabila mendengar kata filsafat, dengan spontan orang akan mengatakan bahwa filsafat adalah sesuatu yang abstrak, mengawang-awang, konseptual, dan tidak menyentuh realitas kehidupan manusia. Anggapan itu memang benar, tetapi tidak semuanya mengawang-awang dan tidak memikirkan pergulatan keseharian manusia. Di antara begitu banyak filsuf yang penulis ketahui hanya Eric Weil yang menggulati perihal kekerasan dan perdamaian. Eric Weil adalah seorang filsuf keturunan Yahudi. Weil lahir

di Perchim, Jerman pada tahun 1904 dari keluarga pedagang. Ia hidup sezaman dengan Jean-Paul Sartre yang terkenal oleh banyak orang sebagai seorang filsuf eksistensialis. Sekitar tahun 1930, hidup Weil yang sebelumnya damai berubah drastis oleh karena pemerintahan Nazi. Oleh karena itu, pada akhir 1932, Weil pergi dari Jerman dan melarikan diri ke Paris. Pengalaman kekejaman Nazi adalah titik tolak refleksi filosofis Weil mengenai kekerasan dan perdamaian. Bagi Weil, manusia bukanlah makluk rasional, melainkan sebuah potensi rasional. Dengan kata lain, manusia tidak serta-merta selalu rasional dalam hidup dan tindakannya. Rasionalitas adalah suatu kemungkinan bagi manusia, yakni kemungkinan atas pilihan yang dike-

Orang menjadi bijak jika mau berproses dalam jalan kebijaksanaan itu. TS/IX-Edisi 22 29


hendakinya, yaitu pilihan untuk bersikap rasional atau irasional. Hal itu bisa dimengerti dengan mudah dalam kenyataan seharihari di mana seseorang seringkali bertindak tanpa menggunakan rasio atau akal budi. Sebagai contoh, ketika seorang seminaris (Red—calon imam) lapar, tanpa pikir panjang ia melahap semua makanan di refter (Red—ruang makan) tanpa memedulikan teman-temannya yang lain. Orang yang bertindak rasional adalah pribadi yang mau sejenak mempertimbangkan dan kemudian memutuskan suatu tindakan dengan berlandaskan nilai kehidupan

30 TS/IX-Edisi 22

bersama. Ia mampu membuat pilihan dengan akal budinya untuk memakan apa yang telah menjadi bagiannya, sehingga teman-temannya yang lain juga mendapatkan bagiannya dan tidak menjadi kelaparan karena kerakusannya. Kebalikan dari tindakan rasional adalah tindakan irasional yang berarti segala tindakan yang digerakkan oleh insting, nafsu individual, atau kepentingan diri dan kebutaan pada nilai kepentingan bersama. Nilai-nilai dalam kehidupan bersama dapat dirumuskan ke dalam beberapa bagian. Weil berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat nilai-nilai uni-


versal bagi landasan kehidupan bersama. Nilai persahabatan, persaudaraan, kerjasama, dan perdamaian telah melekat dalam diri manusia. Maka dengan memilih untuk berjuang dan merengkuh nilai-nilai itu, kedamaian dapat tercipta. Pilihan rasional sekali lagi berarti kehendak untuk memperjuangkan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, menolak memperjuangkan nilai-nilai tersebut berarti mengingkari martabat manusia sebagai mahkluk rasional. Lantas, Weil menyebut pilihan hidup yang rasional sebagai jalan kebijaksanaan. Orang menjadi bijak jika mau berproses

dalam jalan kebijaksanaan itu. Penggunaan istilah proses, mengisyaratkan bahwa kebijaksanaan tidak serta merta didapatkan begitu saja. Bagi Weil, kebijaksanaan adalah buah dari proses berfilsafat. Filsafat bagi Weil adalah sebuah proses sekaligus pengalaman menghayati hidup bijaksana, terutama hidup yang terus menerus memilih rasionalitas untuk memperjuangkan nilai-nilai universal. Dalam arti inilah, filsafat tidak tergolong sebagai wacana yang abstrak, melainkan wacana yang sungguh konkret. Selanjutnya, pandangan manusia dan definisi filsafat

Sepeda menjadi teman kami menuju Kampus STF Driyarkara

TS/IX-Edisi 22 31


tentu memiliki hubungan dengan kekerasan. Kekerasan terjadi ketika kita memilih perihal irrasional dan meninggalkan perihal rasional. Kita tunduk pada nafsu dan kepentingan diri dan melupakan nilai-nilai kehidupan bersama. Dalam berita surat kabar pada bagian awal tulisan ini, para pelaku kekerasan dalam konflik menolak untuk berfilsafat. Mereka tidak mau mengaktualisasikan potensi rasionalitasnya untuk memilih memperjuangkan nilai-nilai bersama, yaitu perdamaian. Tanpa pikir panjang, mereka “main bom” dan “main tembak” tanpa memperhitungkan dampaknya bagi warga sipil dan anak-anak. Nafsu dan egoisme pada tahap ini telah mengalahkan rasionalitas. Weil memang tidak setenar Sartre dan ia bisa digolongkan sebagai filsuf “kecil”. Akan tetapi, filsafat konkretnya dalam merefleksikan perdamaian menarik untuk diketahui. Weil membuka cakrawala mengenai potensi rasionalitas kita. Sebagai mahkluk atau pengada yang memiliki kebebasan, kita ditantang untuk mengaktualkannya. Beranikah kita?

Beberapa Seminaris Seminari Wacana Bhakti dan beberapa frater KAJ menghadiri perayaan lustrum VIII Civita Youth Camp. 32 TS/IX-Edisi 22


sOSOK iNSPIRATIF 25 Tahun Mengabdi Profil Bapak Herman Yoseph Marsudi

doc. pribadi

Di tengah hiruk pikuk dan peliknya kehidupan di ibu kota, ternyata masih ada secercah sinar harapan dalam menumbuhkan api pelayanan bagi mereka yang berkekurangan. Harapan itu terdapat dalam diri segelintir orang yang mau mendedikasikan hidupnya dalam terang kasih pelayanan kepada sesama. Harapan itulah yang ada di dalam diri Bapak Herman Yoseph Marsudi, atau yang dikenal sebagai Bapak Marsudi. Sosok bapak yang lahir

di Lampung Tengah pada 25 Januari 1963, saat ini masih aktif bekerja di Lembaga Daya Dharma (LDD), Jakarta . Bapak Marsudi bergabung dengan LDD sejak 1 Februari 1989. “Hati saya di karya sosial,� ungkap Pak Marsudi yang bahagia dengan 25 tahun pengabdiannya di LDD. Pak Marsudi mengaku tertarik untuk memberikan diri dalam pelayanan sosial sejak masih duduk di bangku SD, ketika beliau sering mengadakan kunjungan rumah sebagai seorang misdinar paroki. Kecintaannya pada karya sosial pastoral yang membuatnya menjadi salah satu sosok yang memajukan karya LDD di KAJ. Pelayanan kepada anak-anak dari keluarga nelayan di daerah Jakarta Utara, menjadi fokus perhatian utama yang di-

Tanpa ada kegiatan rohani, pelayanan yang dijalani pun akan menjadi kering atau gersang TS/IX-Edisi 22 33


tekuninya dalam lembaga sosial yang sudah berusia 50 tahun ini. Ketika ditanya tentang motivasi pekerjaannya ini, Pak Marsudi yang dikaruniai tiga orang anak ini pun memilih untuk bekerja dengan tidak mencari uang atau jabatan semata. Panggilan hidup yang menggerakkan dan membawanya kepada karya mulia ini. Selain itu, tanggapan dari keluarga pun positif. Istri, anak-anak, dan keluarganya menerima dan bangga dengan komitmen akan pekerjaannya ini karena beliau boleh terlibat di dalam karya pelayanan keuskupan. Baginya, pelayanan berkaitan erat dengan hal kerohanian. Tanpa ada kegiatan rohani, pelayanan yang dijalani pun akan menjadi kering atau gersang. Di satu sisi, beliau pun menerapkan kegiatan pelayanan berbasis kitab suci. Motivasi yang menginspirasinya dalam melakukan pelayanan, didapatkannya dalam kitab suci, khususnya dari kitab Ruth. Selain itu, keprihati-

Tindakan konkret dalam melayani dengan lebih membaur kepada masyarakat 34 TS/IX-Edisi 22

nan Gereja dewasa ini, termasuk tentang kemiskinan, yang juga menjadi pedomannya dalam melakukan pelayanan. Apalagi, spiritualitas yang mendukung dari sosok Paus Fransiskus juga menjadi sosok yang inspiratif dalam melakukan kegiatan pelayanan yang dihayatinya. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan 25 tahun sudah pengabdiannya untuk Gereja Keuskupan Agung Jakarta. Memang, banyak tantangan yang tak mudah untuk dihadapinya. Namun, dengan semangat murni pelayanan yang tak pernah lelah, Bapak Marsudi tetap bahagia dalam pelayanan kasih yang dilakukannya. Kecurigaan akan Kristenisasi adalah hal yang akrab dihadapinya ketika melakukan pelayanan di perkampungan nelayan Muara Angke Jakarta Utara. Akan tetapi, banyak pula cara dari Pak Marsudi untuk mengatasi hal-hal semacam ini, salah satunya dengan mendidik mereka dengan berbagai pelatihan dan pemberian motivasi. Tujuannya, tak lain untuk “memberdayakan� dan menempatkan mereka di depan. “LDD hanya membantu memberikan spirit kepada masyarakat yang kami dampingi,� tutur Pak Marsudi. Sebagai salah seorang yang getol mendampingi anak-anak


Wajah Gereja adalah wajah melayani.

dari keluarga nelayan, Pak Marsudi ingin menjadikan masyarakat dapat mandiri dalam mengurus kampungnya dan menjadikan masyarakat yang ramah anak, termasuk dalam menyediakan sarana pendidikan bagi anak-anak mereka. Umat paroki Trinitas, Cengkareng ini terkesan dengan pesan Uskup Keuskupan Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo, pada puncak perayaan 50 tahun LDD berkarya di KAJ 4 November 2012 lalu. “LDD harus menjadi suara hati yang mampu menyebarkan virus berbela rasa kepada yang membutuhkan. Pelayanannya adalah pelayanan untuk mengangkat martabat dan memulihkan citra mereka yang

tidak diperhitungkan.� Dalam keprihatinannya, beliau mengungkapkan bahwa umat dewasa ini sudah lebih maju dalam menjadi penggerak kepedulian kegiatan pelayanan. Namun, yang disayangkannya adalah umat yang kurang memahami Ajaran Sosial Gereja (ASG) sehingga kegiatan dalam pelayanan hanya sampai pada tingkat basis. Apalagi, banyak umat yang bekerja sendiri-sendiri dan motivasinya tidak murni dalam melayani dengan ingin tampil sendiri dan ingin dikenalpamrih. Baginya, harus ada tindakan konkret dalam melayani dengan lebih membaur kepada masyarakat, bukan hanya sekaTS/IX-Edisi 22 35


dar pada taraf lembaga atau text book saja. Hal ini pula yang diharapkannya dari para calon imam dan imam. Beliau berharap bahwa para calon imam dan imam memiliki kepedulian pada kegiatan pelayanan sosial. Dengan program live-in ke daerah-daerah yang memprihatinkan, banyak orang termasuk calon imam dapat terbantu untuk melatih kepekaannya kepada mereka yang tersisihkan. Menjadi sesuatu yang relevan di tahun pelayanan yang dicanangkan oleh gereja KAJ ini, jika Bapak Marsudi menjadi sosok yang patut dibicarakan dan diteladani dalam menyebarkan wajah Gereja Kristus melalui karya nyata kepada mereka yang berkekurangan dan tersisihkan. “Melayani adalah memberikan yang terbaik bagi mereka yang berkekurangan, membuat mereka ‘hidup’, di-orang-kan lagi sehingga dapat menemukan makna hidupnya,” tutup beliau. Seperti Yesus yang mau melayani umat-Nya, apakah kita juga mau belajar melayani dari sosok sederhana bapak Marsudi? “Our poor are great people. They don’t need our sympathy or our pity. They need our love and compassion. Knowing them leads us to love them, and loving them leads us to serve them.” (Mother Teresa).

Ketika kau menemukan jalanmu, kau tidak boleh takut. Kau harus memiliki keberanian yang cukup untuk melakukan kesalahan. Kekecewaan, kekalahan, dan keputusasaan adalah alat-alat yang digunakan Tuhan untuk menunjukan jalan pada kita. Brida - Paulo Coelho

36 TS/IX-Edisi 22


Sudut Sastra Sutinah

fr. Marcellinus Vitus Dwiputra Namaku Sutinah. Sudah sepuluh tahun ini aku bekerja sebagai petugas kebersihan sebuah kompleks perumahan di Jakarta Pusat. Seperti nama pekerjaanku, tugasku sehari-hari adalah menjaga kebersihan kompleks perumahan tersebut. Aku bersamasama dengan rekan kerjaku yang lain, bekerja keras agar lingku ngan perumahan tampak asri dan nyaman untuk dipandang.

Lalat, belatung, makanan basi, hingga bangkai-bangkai binatang menjadi santapan bagiku tiap harinya. Bahkan bau tak sedap yang dijauhi banyak orang, adalah bau yang mengisyaratkan uang sehingga keluargaku di rumah dapat makan tiap harinya. Aku punya dua orang anak, keduanya perempuan, Suti dan Sinah. Seorang diri aku berusaha membesarkan mereka

Bahkan bau tak sedap yang dijauhi banyak orang, adalah bau yang mengisyaratkan uang sehingga keluargaku di rumah dapat makan tiap harinya. dengan segala usaha yang dapat kulakukan. Dulu mereka suka sekali membantuku bekerja. Mereka begitu semangat dan antusias membantuku membawakan berbagai karung sampah yang kukumpulkan selama satu hari. Bahkan, mereka seringkali berkompetisi dalam banyaknya karung sampah yang mereka mampu bawa. Namun,

kini keduanya sudah bertumbuh menjadi gadis yang tampaknya sangat jijik dengan pekerjaan yang kulakukan ini. Tak jarang mereka memintaku untuk beralih profesi dan tidak lagi menjadi petugas kebersihan. Tampaknya kini mereka malu, jika temanteman mereka tahu bahwa ibu mereka adalah seorang petugas kebersihan.

TS/IX-Edisi 22 37


Mungkin banyak yang bertanya di mana suamiku? Mengapa hanya aku yang banting tulang untuk sesuap nasi dan segelas air? Ya, aku sendiri pun tak jarang bertanya-tanya keberadaan suamiku. Seringkali aku pun juga mengeluh dan membutuhkan pasangan hidupku itu untuk menghiburku. Namun, aku sendiri juga sadar, hal itu adalah sebuah hal yang mustahil. Truk kontainer telah merenggut nyawanya ketika ia dalam perjalanan pulang setelah dagangan kerang rebusnya habis terjual. Aku menangis semalaman suntuk ketika tahu suamiku telah meninggalkan kamisekeluarga. *** Beberapa hari ini hujan deras mengguyur ibukota (begitu pula tempatku bekerja). Tuntutan pekerjaan menjadi sangat besar. Kini tak hanya sampah perumahan yang harus kubersihkan, sampah-sampah kiriman dari tempat lain pun harus kubersihkan. Aku baru bisa sampai di rumah setelah adzan maghrib berkumandang dari mushalla dekat rumahku. Dua gadisku, Suti dan Sinah, menyambutku dengan raut muka yang menampilkan kelegaan. Wajah mereka seperti baru saja menemukan harta karun yang

38 TS/IX-Edisi 22

dicari-cari. Ada rasa syukur dalam hatiku ketika mengetahui betapa dua buah hatiku itu masih sangat mencemaskanku. ”Ibu, dari mana saja? Kok berkalikali pulang telat?” ujar Suti, si Sulung, sesaat setelah kumasuk ke dalam rumah kecil kami. ”Iya, di luar kan hujan deras sekali,” Sinah menambahkan. ”Lho, kan Ibu sudah bilang, kalau sampah yang harus diangkut bertambah banyak. Hujan deras ini membawa kiriman sampah ke kompleks,” jawabku sekenanya.


Tak peduli aku dianggap hina, semua aku lakukan demi buah hati tercinta.

”Memangnya kalian mau bantu Ibu? Bukankah ada waktu kosong setelah kalian pulang sekolah? Kalian bisa membantu Ibu supaya Ibu tak pulang terlambat?” tambahku untuk menghentikan pembicaraan yang beberapa hari ini bertubi-tubi menyerbuku. ”Nggak ah, kan kotor. Bau lagi,” jawab mereka kompak dan seadanya sambil berjalan ke dalam rumah. Biasanya, setelah mendengar pertanyaan ini, mereka akan diam dan tak lagi banyak berkomentar. Dan ketika melihat mereka diam, aku pun dapat beristirahat sejenak sambil meluruskan kaki yang sudah meno-

pang tubuh lemahku selama lebih dari sepuluh jam. Saat-saat seperti inilah yang menjadi kerinduanku tiap harinya (selain bertemu dengan kedua belah hatiku tentunya). Namun, hari ini tampaknya sungguh berbeda. Suti dan Sinah tidak berhenti untuk berkomentar. Mereka kembali ke tempatku dengan segelas teh manis hangat di tangan mereka. Setelah memberikan teh manis hangat tersebut kepadaku, mereka tampak bagitu ragu-ragu untuk memulai pembicaraan. ”Ada apa? Mau ngomong sama Ibunya sendiri aja kok raguragu? Ngomong saja,” ujarku untuk memulai percakapan. ”Bu, apa Ibu tidak capek kerja tiap hari di tempat yang kotor dan bau?” ujar Suti. Nada keragu-raguan tampak dalam cara bicaranya. ”Kenapa harus capek? Pekerjaan Ibu kan halal dan tak merugikan orang lain. Bukannya dulu kalian juga suka membantu Ibu? Bahkan sampai berebut untuk membawakan karung sampah ibu,” jawabku sambil memandang kedua bola mata mereka. ”Iya, Bu. Aku juga tahu kalo pekerjaan ibu itu halal dan tak merugikan orang lain. Apa yang ibu kerjakan justru malah membantu orang lain. Warga pe-

TS/IX-Edisi 22 39


rumahan dapat menikmati lingkungan yang bersih dan bebas banjir setiap harinya karena jasa Ibu. Tapi Bu, apa Ibu tidak takut sakit? Ibu kelihatan begitu lemah sekarang. Aku takut,Bu,” Jawab Sinah menanggapi perkataanku. ”Bu, aku pun juga merasa begitu. Apalagi kata temantemanku, perumahan tempat Ibu bekerja itu para warganya tidak begitu akur antara satu dengan yang lain. Sama tetangganya sendiri aja tidak akur, apalagi sama karyawan atau petugas kebersihan, seperti Ibu ini. Ibu nggak ingin pindah?”, tambah Suti. ”Huss! Kalau ngomong ya, jangan ngelantur! Ibu masih

sehat kok. Buktinya Ibu masih pulang ke rumah dan ketemu kalian. Memangnya kalau Ibu berhenti bekerja, Ibu bisa kerja apa?” jawabku sambil menyeruput segelas teh manis hangat pemberian Suti dan Sinah. ”Lagian Ibu juga tidak terlalu mengharapkan adanya pujian atau ucapan terima kasih dari para warga atas kerja Ibu. Itu sudah menjadi tanggung jawab Ibu untuk menjaga kebersihan perumahan. Ibu dibayar tiap bulan selama sepuluh tahun ini saja sudah bersyukur. Lagi pula pekerjaan ini sudah menjadi bagian hidup dari Ibu. Sampahsampah yang bagi banyak orang itu menjijikkan, bagi Ibu adalah

Kunjungan dari OMK Paroki Belarminus, Cililitan. Semoga kelak ada yang menjadi uskup.

40 TS/IX-Edisi 22


sebuah modal uang. Ibu sangat menikmati pekerjaan ini, meskipun kini kalian tampaknya begitu jijik dengan kerjaan Ibu. Benar kan?” tambahku. Mereka diam seribu bahasa mendengar jawabanku atas pertanyaan-pertanyaan mereka. ”Sudah, sudah. Sana belajar. Ibu senang sekali diperhatikan oleh kalian. Tapi, jangan terlalu memikirkan Ibu sekarang ini. Ibu masih cukup kuat untuk bekerja, kok. Makanya, kalian belajar yang rajin supaya nanti tidak bernasib seperti Ibu. Cukup Ibu saja yang hidup susah, kalian tidaklah perlu hidup susah seperti Ibu. Sudah, belajar sana. Ibu mau mandi dulu,” ujarku sambil beranjak dari dudukku dan juga sambil menghentikan perbincangan ini.

Perbincangan dengan Suti dan Sinah hari ini sungguh tak terduga. Aku begitu terkejut betapa mereka masih begitu perhatian denganku. Ya, kuakui sebenarnya aku seringkali ingin mundur dari pekerjaan ini. Tak adanya sapaan, pujian, perhatian, bingkisan bahkan saat natal ataupun lebaran, dan gaji ”pas-pasan” menjadi sebuah beban bagiku. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya ini yang aku bisa dan mampu kerjakan. Meskipun kotor, bau, dan menjijikan, aku mencoba untuk setia dalam menjalaninya. Sebab, aku tahu bahwa aku bekerja dan berusaha sangat keras hanya untuk satu tujuan, yaitu kehidupan yang lebih baik untuk kedua putriku, Suti dan Sinah.

“Jangan pernah merasa malu,” “Terima apa yang ditawarkan hidup padamu dan berusahalah untuk minum dari setiap cawan. Semua anggur harus dirasakan; sebagian hanya harus dihirup, tetapi yang lain, harus diminum seluruhnya.” Brida-Paulo Coelho

TS/IX-Edisi 22 41


pERSONA IMAM “Kerajaan Surga itu Seumpama ….” RD Reynaldo Antoni

Masih jelas diingatan saya ketika itu, Natal 2012 saya diminta datang ke Wisma Keuskupan Agung Jakarta untuk menemui Romo Sekretaris Keuskupan. Saya berpikir ini pasti soal penugasan saya untuk menjalani masa diakonat yang akan datang. Studi magister saya sudah sampai tahap akhir dan sudah diperkenankan untuk ujian. Maka sesuai ‘janji’ Bapak Uskup awal 2012 yang lalu, setelah selesai

42 TS/IX-Edisi 22

studi magister saya diperkenankan menerima tahbisan diakon. Saya tidak berpikir akan ditempatkan di paroki mana. Diijinkan untuk menerima tahbisan diakon saja saya sudah senang. Paroki Bomomani, Papua. Paroki itulah yang ternyata akan menjadi destinasi saya selanjutnya dalam menjalani masa diakonat. Saya sempat serkejut dan kaget, tapi tidak lebay!. Bermodalkan kerendahan hati


dan ketaatan penuh pada Bapak Uskup saya menyatakan siap untuk pergi ke sana. Apa yang akan terjadi di sana, apa yang harus saya lakukan? Entahlah. Tapi saya selalu percaya Roh Kuduslah yang membawa saya ke tanah Indonesia timur itu, seperti Ia juga membawa Yesus ke padang gurun (Mat 4:1). Ketika sampai di Bomomani saya melihat realitas yang sangat jauh berbeda dari apa yang selama ini saya lihat di pulau Jawa. Daerah ini masih sangat kampung sekali. Tidak ada sinyal ponsel, tidak ada listrik, jalan raya banyak yang belum diaspal. Tetapi, pemandangan alamnya luar biasa. Udara segar, air bersih, hu-

tan hijau yang lebat semua tersedia. Bomomani, sebuah kampung kecil dari Distrik Mapia Kabupaten Dogiyai ini terletak sekitar 1700 meter di atas permukaan laut. Kampung ini dapat ditempuh melalui jalan darat menggunakan mobil kurang lebih 6-8 jam atau melalui jalan udara sekitar 1 jam. Sebagian besar penduduk merupakan suku Papua asli, sisanya merupakan pendatang dari Bugis dan Makasar. Jika sempat untuk datang ke sana, saya yakin siapapun akan setuju jika saya mengatakan bahwa kampung ini tertinggal 40 tahun dari Jakarta. Dalam situasi seperti itulah Keuskupan Agung Jakarta hadir membantu dan melayani paroki

RD Aldo dan fr. Purboyo bersama saudara-saudaranya.

TS/IX-Edisi 22 43


Bomomani dengan menempatkan imam dan calon imamnya di sana. Waktu saya datang pertama kali, kompleks pastoran Bomomani terlihat seperti peradaban Jakarta di tengah primitifnya Papua. Ada PLTA buatan sendiri yang mengalirkan listrik ke pastoran dan gereja. Ada juga sambungan internet langsung via satelit, perkakas-perkakas dapur, kompor gas, kompor minyak. Bahkan gedung gerejanya adalah gedung gereja yang paling megah (setidaknya di antara paroki se-dekenat). Hanya rasa kagum dan salut bagi para imam KAJ yang dulu berupaya semaksimal mungkin menghadirkan semuanya itu di tanah Papua ini. Sampai detik saya meninggalkan paroki ini untuk kembali ke Jakarta (Agustus 2013) proses pembangunan fisik dan infrastruktur kompleks paroki masih berlangsung. Memang, fokus utama saya hadir di sana bukan itu. Yang ada dalam pikiran saya waktu itu pertama-tama adalah melihat dan belajar, serta berusaha semaksimal mungkin membantu karya misi KAJ di sana. Ada empat pilar yang menjadi fokus utama karya pelayanan kasih bagi umat di Papua, yakni pelayanan pastoral Gerejawi, pendidikan, perekonomian dan

44 TS/IX-Edisi 22

kesehatan. Satu kisah tentang keadaan pendidikan di sana baik untuk saya ceritakan. Suatu kali di sekolah paroki berlangsung pelajaran berhitung. Ibu Guru – seorang asli Papua – mengajarkan anak murid berhitung satu sampai lima. Lantas, ibu itu menulis di papan tulis angka 1, 2, 3, 4, 5 sambil mengatakan “Ini satu, ini dua, ini tiga, ini empat, ini lima�. Anak-anak dengan baik mengikuti perkataan ibu itu. Tapi saya lalu bertanya dalam hati. Apakah anak-anak ini memang bisa berhitung, dua itu berapa? Ataukah mereka hanya mengikuti kata-kata sang ibu guru? Lalu saya interupsi kelas itu. Saya ambil lima buah batu. Lalu, saya minta satu anak maju ke depan


Melayani dengan gembira dan tulus hati.

dan menyuruhnya mengambil dua buah batu. Dan ia tidak bisa. Saya panggil anak yang lain lalu saya minta dia mengambil empat buah batu. Tidak bisa juga! Apakah terjadi proses belajar mengajar di sini? Di Bomomani, perekonomian hidup karena hadirnya para pendatang yang membuka warung-warung kelontong di kampung itu. Seperti di Jakarta, warung mereka itu layaknya indomaret dan alfamart, yang akhirnya membunuh para mamamama papua yang menjual hasil kebun mereka di jalan-jalan. Beberapa dari orang asli juga masih menganut sistem barter. Jika mereka memiliki biji kopi yang dapat dihargai RP. 300.000, tetapi dengan barter mereka me-

nukarnya dengan barang-barang di warung kelontong berdasarkan apa yang mereka butuhkan saat itu. Kalau mereka hanya butuh dua bungkus indomie dan sekaleng sarden, mereka lantas menukarkannya. Rugi dan tidak sebanding. Maka paroki membuat koperasi untuk membantu mereka menjual biji kopi itu dengan harga yang layak. Kami beli biji kopinya dan menggantinya dengan uang untuk mereka. Saya juga selalu suka marah kalau melihat ada anak kecil yang membiarkan luka di kulitnya menganga dan tidak diobati. Bahkan lukanya itu hanya dicuci dan ditutup dengan plastik agar tidak dirubung lalat. Kalau sudah membusuk dan sakit mereka baru datang ke pastoran untuk minta diobati. Kurangnya tenaga medis membuat saya kadang-kadang bertransformasi menjadi perawat dadakan dengan modal searching di google dan tanya beberapa teman perawat di Jakarta. lMCK pun seadanya saja. Yang penting buang dulu, membersihkan belakangan. Ini yang salah siapa ya? Sempat suatu kali saya bertanya pada diri sendiri. Jauhjauh datang ke Papua, menaati Bapak Uskup, melayani di tanah antah berantah, repot, capek

TS/IX-Edisi 22 45


mengurusi dan membentuk umat asli di pedalaman papua? Untuk apa dan demi siapa saya mau melakukan itu semua? Akhirnya saya menemukan jawaban yang sangat sederhana. Semuanya itu tidak lain adalah demi Kerajaan Allah yang hadir di tanah Papua. Itulah motivasi yang membakar semangat saya agar mampu melayani dengan hati. Dalam Surat Gembala Pembukaan Tahun Pelayanan 2014 ada satu pernyataan menarik yang kiranya dapat saya kutip di sini. Dalam Surat itu Mgr. Haryo menyatakan, “Setiap usaha untuk semakin memuliakan martabat manusia, mewujudkan kesejahteraan umum, mengembangkan solidaritas, memberi perhatian lebih kepada saudari-saudara kita yang kurang beruntung dan melestarikan keutuhan ciptaan adalah pelayanan�. Kalau Yesus saat ini diutus ke Papua, Ia mungkin saja akan mengatakan, “Kerajaan Allah itu seumpama anak-anak Papua dapat belajar dan berhitung dengan benar. Ketika anak-anak itu mau mandi, hidup sehat dan bersih. Ketika para bapa bekerja dan tidak hanya nongkrong di jalan-jalan. Ketika para mama mempunyai keterampilan lain selain berkebun. Ketika umat paroki datang ke gereja dapat merayakan ekaristi dengan gembira. Ketika melihat anak-anak Papua mampu bernyanyi dengan baik dalam ekaristi, memainkan pianika dengan baik juga.� Dan bagi saya sendiri, kerajaan Allah terjadi dalam hidup saya ketika saya mau dan mampu melayani orang-orang asli itu dengan tulus tanpa mengharapkan balasan apapun..

Saya selalu percaya Roh Kuduslah yang membawa saya ke tanah Indonesia timur itu, seperti Ia juga membawa Yesus ke padang gurun (Mat 4:1) 46 TS/IX-Edisi 22


Tuhan ajar kami untuk tetap bisa mencinta, saat kami ditolak dan ditinggalkan, ketika cinta kami yang telah kami tawarkan terasa sia-sia.

TS/IX-Edisi 22 47


48 TS/IX-Edisi 22




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.