Teman Seperjalanan Edisi 25

Page 1



Daftar Isi Kolom Utama Bersyukur dan Melangkah....3 Miliki Syukur yang Berkualitas....8 Menyadari Panggilan Sebagai Anugerah....13

Ad Intra Keterpautan pada Sang Ilahi....17 Teman Seperjalanan....22 Kisah Bersama Tetumbuhan....25

Ad Extra Karena Aku Kau Cinta....29 Meminimalisir Generalisasi, Mengungkap Realisasi....34 Ketika Angka Melahirkan Makna....37

Sosok Inspiratif Sepasang Sepatu yang selalu bersama....49

Pojok Teologi Roh Kudus yang Mengarahkan: Pendorong dan Penuntun....44

Sharing Pastoral Mau Belajar Apa?...52 En-Theos....56

Persona Imam Syukur....60 TS/X-Edisi 25

1


REDAKSIONAL Wahai teman seperjalanan yang terkasih, satu pepatah bijak datang menyapa dari Horatius: “Dalam keadaan sesulit apa pun, seseorang harus tetap dapat bersyukur.” Tim redaksi akan menghidupkan pepatah itu! Kami percaya, pasti selalu ada hal yang patut disyukuri. Untuk itu, hati memang terlebih dahulu mesti siap dengan disposisinya untuk mau terbuka dan terus-menerus belajar, spesifiknya: untuk terus- menerus mau dan tersedia “Belajar Bersyukur” dari setiap perjalanan dan pengalaman. Setiap syukur (Yun: eucharistia) diangkat dengan berbagai macam cara, seperti yang Majalah Teman Seperjalanan lakukan kali ini. Pertama di kolom utama, tahun syukur 2015 di KAJ kami refleksikan bersama romo Vikjen. Sesudah itu pemaknaan dilanjutkan dalam guratan syukur atas rahmat terindah nan nyata dalam wujud imamat romo Romanus dalam terang Kitab Suci dan panggilan fr. Dipta untuk menjadi imam diosesan KAJ. Menyambung kemudian, tiga frater filosofan beraksi untuk introspeksi diri ke dalam (ad intra) komunitas STKAJ sendiri dengan dasar pertanyaan, “Sejauh mana komunitas STKAJ berkembang dalam iman, persaudaraan, dan pelayanan?” Tak cukup ke dalam, kami pun berefleksi ke luar (ad extra) dengan mengamati perkembangan tiga nilai itu dengan kaca mata jurnalisme makna dalam data—suatu terobosan baru! Hmm, tentu redaksional ini tak bermaksud mensintesiskan isi seluruh majalah, cukuplah memantik saja animo anda para pembaca. Terakhir, kok dalam pandangan menyeluruh atas peredaksian edisi kali ini kami menyadari bahwa betapa dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari kita telah menerima lebih banyak dari yang kita berikan, dan hanya dengan rasa syukurlah hidup menjadi lebih kaya. Dan memang untuk itulah Majalah Teman Seperjalanan kali ini hadir; untuk mengajak kita sekalian dengan rendah hati mau terus-menerus “Belajar Bersyukur”.

REDAKSI Moderator: RD. Riki Maulana Baruwarsa; Pemimpin Umum: fr. Stefanus Tino D; Pemimpin Redaksi: fr. Salto Deodatus Manulang; Sekretaris & Sirkulasi: fr. Stevanus Harry Yudanto; Bendahara: fr. Octavianus Joko Prasetyo; Editor: fr. Marcellinus Vitus Dwiputra, fr. Reinardus Doddy Triatmaja; Layout: fr. Georgeus Mahendra Budi Prakoso, fr. Frederick Yolando; Anggota Redaksi: fr. Albertus Bondika, fr. Alberto Ernes; Publisher: Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, Keuskupan Agung Jakarta, Jl. Cempaka Putih Timur XXV, no 7-8 Jakarta Pusat, 021-4203374, Email: seminaritinggi_yohanespaulusii@yahoo.co.id

2

TS/X-Edisi 25


Kolom Utama

Bersyukur dan Melangkah Wawancara dengan RD Samuel (Vikjen KAJ) oleh fr. Harry & fr. Fritz

Tidak terasa, sudah empat tahun semenjak Arah Dasar Pastoral (ARDAS) Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) 2011-2015 disosialisasikan. Sekarang, kita sudah memasuki Tahun Syukur dengan tema “Tiada Syukur Tanpa Peduli”. Kami, tim redaksi TEMAN SEPERJALANAN, berupaya mengulas Tahun Syukur ini dengan mewawancarai RD Samuel Pangestu, Vikaris Jendral KAJ.

Mengapa setiap tahun, ARDAS menawarkan tema yang berbeda? Pertanyaan ini menjadi hal pertama yang hendak didalami. Pertamatama, RD Samuel yang akrab dipanggil Romo Sam, menjelaskan bahwa ARDAS adalah cita-cita keuskupan. Agar terfokus dan dapat terwujud, cita-cita itu haruslah diurai. Seperti halnya disaat kita memasuki Tahun Iman. Pada tahun iman, kita memusatkan perhatian untuk mengolah dan menumbuhkembangkan iman. Begitu seterusnya dengan tahun-tahun yang lain. Akan tetapi, perlu disadari bahwa belum tentu dalam satu tahun, kita dapat mencapai iman yang dewasa. Mencapai hal itu tidaklah mudah. “Iman yang dewasa itu seperti ibu Theresa,” tandas Romo Sam. Oleh karena itu, meskipun Tahun Iman, Persaudaraan, dan Pelayanan sudah berlalu, upaya kita dalam memperjuangkan dan mengolah hal-hal itu belum selesai.

TS/X-Edisi 25

3


Mengapa tahun kelima ini diberi nama Tahun Syukur? Menanggapi pertanyaan ini, Romo Sam menjawab bahwa Tahun Syukur memang ada kaitannya dengan suatu evaluasi. Akan tetapi, kata “evaluasi� bukanlah suatu istilah rohani, melainkan istilah yang biasa digunakan dalam dunia management. Nama Tahun Syukur lebih indah dan berisi. Lagi pula, syukur menjadi muara dari segala hal yang kita lakukan saat ini. Dalam tahun syukur ini, Romo Sam melanjutkan, kita sebagai pengemban tanggung jawab sejarah harus bersyukur atas karya keselamatan Tuhan. Salah satunya, bersyukur atas misionaris dan martir yang memberikan dirinya demi iman dan umat gereja. Tarekat hidup bakti juga perlu kita syukuri karena telah membangun iman umat. Dengan bersyukur, kita harus meneruskan karya para martir sehingga kita semua dapat mengemban tanggung jawab sejarah ke depan. Romo Sam juga menyebutkan bahwa salah satu cara untuk meneruskan karya martir adalah denganproses evangelisasi pastoral yang aktif dan kreatif. Untuk itu, diperlukan pemikiran yang out of

the box. Kaderisasi awam juga harus diadakan, jangan diandaikan dan terus dijaga. Indikasi dari hal ini dapat dilacak dalam program paroki yang terjadwal dan memiliki mekanisme kaderisasi kepengurusan. Dewan dan tim kaderisasi juga perlu dibentuk sehingga paroki tidak terkesan bekerja sendiri. Apabila kita bersyukur, kita dapat menjadi lebih kreatif. “Kita jadi gak takut untuk berpikir kreatif, berpikir ngawur. Saya rasa, kebanyakan dari kita itu merasa takut, sehingga gak banyak gerak bahkan menjadi nanggung kalau bertindak,� Kata Romo Sam.

Apa harapan yang ingin dicapai di Tahun Syukur dan masa-masa selanjutnya? Romo Sam menegaskan bahwa masa ARDAS selama lima tahun belumlah cukup. Mencapai itu semua tidak mudah. Kita juga harus menekankan pastoral evangelisasi. Seperti yang dikatakan oleh Paus Fransiskus bahwa satu domba yang hilang harus dicari. Istilah yang digunakan adalah blusukan. Pastoral evangelisasi itu berbentuk advokasi, khusunya untuk memberikan hati secara penuh. Sama halnya seperti Yesus yang mengorbankan nyawa dengan kasih.

Dengan bersyukur, kita meneruskan karya para martir sehingga kita semua dapat mengemban tanggung jawab sejarah kedepan. 4

TS/X-Edisi 25


ada lagi yang berkata,�Dia lagi, dia lagi orangnya.� Kita juga harus menyadari bahwa Tuhan itu hadir.Terlebihkarena Ia hadir, maka kita dapat melakukan sesuatu. Sehingga apa yang kita lakukan bukanlah karena diri kita sendiri. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, maka begitu juga tidak ada yang mustahil bagi kita. Karena itu jangan berkecil hati dan jangan berkecil jiwa. Semoga kedepannya, kita dapat lebih bersyukur. Lalu, apabila sudah dicanangkan kaderisasi, jangan berhenti hanya sekali saja tetapi terus menerus. Harapannya setelah kaderisasi, mereka tidak hanya dapat berkarya bagi gereja tetapi juga ditengah masyarakat. Oleh karena itu, kita tidak boleh melupakan evaluasi sehingga perlu adanya tim penelitan dan pengembangan (litbang). Sebagai bukti, kita berhasil melakukan sesuatu hal yang nyata memicu perkembangan umat. Di sisi lain, harapannya tidak

Berangkat dari pengalaman Romo Sam, masalah-masalah yang sama terus bermunculan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan tidak adanya suatu perkembangan yang nyata. Oleh karena itu, jangan diandaikan bahwa sesuatu hal akan berkembang sendiri. Kita harus bertindak aktif. Perlu adanya kebijakan baru yang diambil, misalnya menambah jumlah wakil ketua dewan menjadi dua, bendahara menjadi dua, sekretaris menjadi, dan dewan harian menjadi dua. Dengan strategi semacam ini, apabila ada sesorang yang pergi, kegiatan-kegiatan tetap dapat berjalan secara berkesinambungan dan penanggungjawabnya jelas. Kita juga harus menyadari satu semangat yang baru. Kita tidak ingin menumbuhkan anggapan bahwa di kantor kita bekerja dan di sini (gereja, lingkungan) kita bekerja, melainkan “Di kantor kita bekerja dan di sini kita berkarya.� TS/X-Edisi 25

5


Aksi Panggilan di St. Laurensius tanggal 12 April 2015

Bagaimana cara seorang Vikaris Jendral KAJ memaknai Tahun Syukur ini?

Romo Sam merasa bersyukur bahwa ia memperoleh rahmat panggilan, meskipun dulu ia bertanya-tanya, ”Kenapa saya yang dipanggil?” Romo Sam bersyukur bahwa ia dipakai oleh Tuhan.

6

TS/X-Edisi 25

Pertama-tama, Romo Sam merasa bersyukur bahwa ia memperoleh rahmat panggilan, meskipun dulu ia bertanya-tanya, ”Kenapa saya yang dipanggil?” Romo Sam bersyukur bahwa ia dipakai oleh Tuhan. Ia juga bersyukur dapat membantu Bapak Uskup untuk mengatur keuskupan ini. Dahulu, Romo Sam mendengar bahwa menjadi Vikaris Jendral itu tidaklah mudah. Nyatanya memang tidak. Bila teman-teman imam diutus, mereka dengan senang hati membantu. Karena itu, ia juga bersyukur atas kehadiran temanteman. Perasaan kehilangan masyarakat dan umat di Cikarang dan kehilangan “kebebasan”, berbalik menjadi rasa syukur atas masyarakat dan umat yang telah membentuknyadan syukur atas kebebasan yang boleh diterimanya.Dasar dari suatu perasaan syukur adalah perasaandicintai dan mencintai. Oleh karena itu, Romo Sam menjadi seperti “tidak ada matinya”, terus memiliki semangat untuk berkarya. Ia juga meminta evaluasi ketika datang berkunjung, seperti di Shekinah dan Wacana Bhakti. Ia beranggapan bahwa evaluasi berguna untuk berhenti sejenak sehingga dapat melangkah maju ke depan.


Apakah harapan Romo bagi para Imam dan calon Imam? Pertama, Romo Sam memiliki harapan bahwa para Imam dan calon Imam dapat bersyukur dengan tulus, tidak hanya terucap di mulut. Umpamanya, apabila kita mau memberi persembahan, seribu rupiah tidak apa-apa yang penting uang seribu rupiah yang paling bagus yang kita miliki. Apabila kita hanya mempunyai satu talenta, tidak apa-apa yang penting talenta itu diberikan secara total. Kedua, yang terpenting dari seorang imam adalah kasih dan cinta. Karena kasih dan cinta, kita dapat berkembang dan berkurban bagi umat. Kita dapat belajar dan mengubah diri kita karena cinta. Kita menjadi �tidak ada matinya�. Kita juga harus mengingat bahwa kita dapat menjadi sempurna karena ada tantangan, seperti layaknya besi yang sedang ditempa. Maka, kita harus terus belajar. Ketiga, kita harus melihat umat, apa yang dibutuhkan umat, dan menjadi garam dan terang. Kita juga harus selalu melihat ke depan, jangan ragu-ragu ataupun nanggung kalau bertindak dan memilih keputusan. Mungkin saja, kebanyakan orang sering meremehkan atau tidak menghargai sesuatu sehingga yang terjadi adalah tindakan yang nanggung. Jangan menjadikan sesuatu menjadi tidak jelas. Jika perlu, kita dapat membuat keputusan yang jelas. Satu hal penting yang tidak boleh kita tinggalkan, yaitu kedekatan relasi kita dengan Tuhan. Oleh karena itu, mari kita bersama membangun KAJ menjadi Kerajaan Allah yang hebat. Romo Sam berharap agar kita menjadi rekan kerja yang baik. Jangan bertindak setengah-setengah. Seperti pesawat yang ingin lepas landas, seseorang harus siap dengan segala sesuatunya. Hal itu juga berarti bahwa kita harus sadar akan kerusakan kita sehingga kita dapat lepas landas dengan baik. Teruslah Berjuang! Kobarkan Semangat!

Seperti pesawat yang ingin lepas landas, seseorang harus siap dengan segala sesuatunya. Hal itu juga berarti bahwa kita harus sadar akan kerusakan kita sehingga kita dapat lepas landas dengan baik

TS/X-Edisi 25

7


Kolom Utama

Miliki Syukur yang Berkualitas RD Romanus Heri Santoso

Di saat imam mudah meninggalkan hidup doa, dia akan karam. Jika ia setia dalam doa, walau terkadang sulit nan berat, ia akan kuat bersama Tuhan. Di saat imam mudah mengeluh, dia akan kehilangan rasa syukur. Jika ia bisa mensyukuri hidup, hidupnya yang baik nan suci akan tergores bagi orang-orang di sekitarnya. Maka, bukan hanya “imam butuh imam�, tetapi imam MUTLAK butuh Yesus. Jika imam tidak menjadi guru doa, apalah artinya imam? Jika imam tak mau berkorban, apalah arti kemuridannya? Jika imam tak punya nyali dalam perutusan apapun, di manakah janji imamat yang suci dan kudus itu? Tetapi nyatanya, aku (kami) pribadi yang mudah lelah. Terbalut dalam kerapuhan ragawi. Mudah jatuh dalam lumpur dosa. Namun, dibalik itu semua, aku kuat karena Tuhan. Tuhan selalu menopang dan memberikan peneguhan di saat di sekitar tak memberi harapan. Tuhan bukan hanya menopang, tetapi menempa imanku agar tidak rapuh dan cengeng. Kusyukuri perjalanan imamat bersama rekan imam. Walau imamat baru seumur balita (lima tahun imamat), tak boleh lupa aku akan syukur itu. Perjumpaan dengan para imam yang sudah matang dalam karya dan kerohanian, memperkaya jalan yang dipilihkan Tuhan ini. Aku terus ditempa. Aku terus diuji. Aku terus dimurnikan. Jalanku yang membelok, kembali diluruskan. Lukaku yang menganga terus diobati dan

8

TS/X-Edisi 25


disembuhkan. Itulah aku, imam yang terus dikasihi Allah. Bukan hanya aku, tapi juga rekan imamku. Aku yakin itu. Kusebut nama mereka satu-persatu dalam doaku. Aku dituntut ‘tuk tak boleh jemu. Ku goreskan nama mereka dalam kertas kusam di meja doaku. “Tuhan, aku yakin, Engkau menemani dan meneguhkan kami para pelayanMu. Jadikan kami sebagai pelayan yang baik dan murah hati.� Itulah untaian doaku di saat pagi hari membuka mata, malam hari merebahkan jiwa dan raga. Kini aku harus terus mengurai kata dalam buku suci itu. Kitab kudus harus aku bawa dalam doaku. Bukan hanya dalam doa tapi dalam pelayanan. Kutatapkan terus menerus hidup nan perjuanganku dalam sabda. Kadang tak mampu. Kadang tak kuat. Terkadang

dikuatkan dan tak jarang rohaniku disembuhkan. Itulah cara Tuhan menempaku. Cara Tuhan membentuk watak insani dan rohaniku. Aku diajak sampai pada kematangan pribadi dan kematangan spiritual. Watak rohani inilah yang kudapatkan inspirasinya dalam sabda. Dalam tokoh-tokoh kitab suci khususnya, dalam pengalaman iman akan kebangkitan Kristus. Mari, kita lihat pengalaman kebangkitan dalam Injil Yohanes 20:1-10. Di sana dikatakan bahwa pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur Yesus. Bukanlah kebetulan penulis Injil Yohanes menampilkan pengalaman Maria Magdalena dalam kisah kebangkitannya. Siapa Maria Magdalena? Dia perempuan dari

TS/X-Edisi 25

9


“

Aku terus ditempa. Aku terus diuji. Aku terus dimurnikan. Jalanku yang membelok, kembali diluruskan. Lukaku yang menganga terus diobati dan disembuhkan.

10

Magdala. Satu tempat di Palestina dimana banyak tentara Romawi tinggal. Tempat ini juga cukup dikenal sebagai tempat tinggal para perampok, dan bentukbentuk kejahatan lainnya. Juga Maria Magdalena adalah salah satu perempuan yang berada dalam lembah dosa. Maka, dia termasuk pribadi yang diberi cap buruk dalam masyarakat. Sapaan penuh kasih Yesus membuatnya bertobat. Pengalaman dikasihi Yesus inilah yang membuat dia menjadi pribadi yang setia. Datang ke makam Yesus pada pagi-pagi benar adalah bukti kasihnya pada Yesus. Dia adalah pribadi yang tidak diperhitungkan, tetapi mempunyai cinta yang besar pada Yesus. Inilah watak pertama. Kedua, adalah Murid yang dikasihi-Nya - Saya membacanya sebagai Yohanes. Yohanes adalah pribadi yang mempunyai intuisi yang besar. Dia menjadi pribadi yang mudah percaya, khususnya akan “makam kosong“ (kebangkitan Yesus). Dia yang berlari lebih cepat daripada Petrus. Dia juga yang melihat dan langsung percaya. Watak yang ketiga adalah Petrus. Dia pun juga berlari dengan murid yang lain menuju makam Yesus. Tetapi dia lebih lamban sampai ke makam Yesus. Dia masuk ke dalam dan melihat tanda-tanda ketiadaan

TS/X-Edisi 25


jenasah Yesus. Dia mempunyai watak yang TEGUH dalam beriman (percaya akan Yesus Tuhan), meskipun prosesnya lamban. Ketiga karakter atau watak ini membantuku untuk merenung sejenak akan perjalanan imanku dijalan panggilan ini. Aku terkadang lamban seperti Petrus dalam beriman; dalam menangkap kehadiran Yesus dalam hidupku. Terkadang aku juga ditatapkan dengan kedirianku yang berdosa, layaknya Maria Magdalena. Namun, dalam lubuk hati terdalam berteriak-rindu akan TOBAT. Aku, pribadi yang dikasihi Allah. Dia menabur kasihNya terusmenerus dalam hidupku, dalam panggilanku, dalam rahmat imamatku. Terlebih dalam pelayananku dengan semangat gembala yang baik dan murah hati. Semoga, aku akan selalu mempunyai kualitas syukur, di saat hidup dan panggilan ini kupersembahkan dalam keberanian kutuk berkorban bagi sesama. Dia (Maria Magdalena) adalah pribadi yang tidak diperhitungkan, tetapi mempunyai cinta yang besar pada Yesus.

TS/X-Edisi 25

11


rsama rga be a lu e 2015 han K Paska al 11 April g g n a t

12

UNIO

TS/X-Edisi 25


Kolom Utama

Menyadari Panggilan sebagai Anugerah fr. Nemesius Pradipta

“Bahwa saya ditugaskan bagi Mu, itu menakutkan saya. Tapi bahwa saya bersama Mu , itu menghiburku. Sebab bersama Mu, saya ini orang beriman dan menjadi seorang beriman merupakan rahmat� -St. Agustinus, Sermones 340, 1: PL 38, 1483-

Memutuskan menjadi seorang calon imam Keuskupan Agung Jakarta merupakan keputusan yang sudah saya yakini sejak awal. Namun, menjadi seorang imam untuk Tuhan merupakan pertanyaan yang senantiasa akan terus-menerus menjadi permenungan saya. Terlepas dari berbagai macam pengalaman suka-duka yang telah saya lalui hingga saat ini, ada banyak pengalaman yang mengantar saya pada ucapan syukur kepada Tuhan. Oleh karena itu, saya mencoba belajar dari St. Agustinus dalam melihat kehadiran Tuhan dalam setiap langkah hidup saya. Kalau saya merefleksikan kembali pengalaman kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari, saya bersyukur bahwa selalu ada orang-orang yang mendukung dan membantu melihat kasih Tuhan. Saya bersyukur akan kehadiran keluarga dan teman-teman yang selalu menjadi tempat untuk bertumbuh bersama. Menjalani panggilan sebagai seorang calon imam tidak bisa dipisahkan dari peran keluarga. Ada frater yang sangat bergembira TS/X-Edisi 25

13


Instruksi awal semester oleh staf STKAJ; 28 Januari 2015

“

Berangkat dari kesadaran akan kehadiran keluarga dan temanteman, saya diajak untuk mensyukuri dengan sungguh perjumpaanperjumpaan dengan mereka.

14

karena keluarganya mendukung panggilannya. Namun, ada juga frater yang merasakan betapa beratnya tinggal di seminari ketika keluarganya tidak setuju dengan keputusan yang telah ia pilih. Ada frater yang dapat menjaga relasi dan komunikasi dengan keluarganya. Namun, ada juga frater yang menjadi uring-uringan ketika mengetahui situasi keluarganya sedang kurang baik. Terkadang komunikasi antar kedua belah pihak menjadi sulit justru karena dua-duanya sama-sama ingin menjaga kondisi mereka. Oleh karena itu, bersyukur atas situasi dan kondisi keluarga juga sangat penting untuk diperhatikan. Saya kira keluarga sangat berperan dalam perjalanan panggilan saya sebagai seorang calon imam. Keluarga saya memang bukan sebuah keluarga yang ideal, namun keluarga merupakan tempat yang sempurna dalam menumbuhkan panggilan saya. Saya selalu bangga dalam menceritakan kisah keluarga dan tidak pernah kehabisan kisah menarik tentang mereka. Mensyukuri atas peran keluarga, saya ingat peran Bunda Maria dalam kisah Jalan Salib. Apapun tuduhan dan penilaian orang mengenai Yesus, Bunda Maria dengan setia mendampingi Yesus hingga di kaki salib. Saya pun yakin bahwa walaupun dalam Kitab Suci tidak ditulis secara jelas, pasti ada saat-saat di mana Yesus secara khusus berjumpa dengan ibunya untuk bercerita.

TS/X-Edisi 25


Kedekatan inilah yang mendorong Yesus untuk menyelesaikan tugas-Nya hingga selesai. Demikian pula hal yang sama saya alami dalam keluarga saya. Keluarga adalah tempat bagi seorang calon imam untuk mendapatkan dukungan. Dari keluarganya pula mereka dapat memotivasi kembali panggilan mereka. Menurut saya, seorang frater atau imam yang tidak mendapat tempat dalam keluarganya akan berusaha mencari relasi baru di tempat lain yang justru dapat membahayakan panggilannya. Begitu penting peran keluarga dalam panggilan saya, sama seperti betapa berharganya kehadiran Yesus dalam sebuah keluarga. Dari sebab itu, sebagai seorang calon imam saya ditantang untuk berusaha menghadirkan keluarga kudus Nazaret dalam keluarga saya dan juga pada keluarga-keluarga lainnya. Selain kehadiran keluarga, saya juga mensyukuri kehadiran teman-teman yang selalu mendukung dan menemani panggilan saya. Walaupun jumlah teman angkatan semenjak seminari menengah selalu berganti, namun saya mengetahui dengan pasti bahwa saya

tidak akan pernah sendiri. Sekalipun hari-hari yang saya lalui terasa berat, asalkan ada teman yang siap diajak tertawa bersama, itu sudah sangat membahagiakan. Kehadiran temanteman, baik umat maupun rekan frater sudah membantu banyak hal. Ketika tugas pastoral terasa begitu kering dan sia-sia, kehadiran mereka serasa menjadi oase yang menyegarkan. Sebagai calon imam Keuskupan Agung Jakarta, saya juga merasakan bagaimana kolegialitas antar imam dan frater tetap dikembangkan. Saya bersyukur karena boleh merasakan keakraban itu selama berpastoral di Jakarta atau pun di Yogyakarta. Kolegialitas itu justru menjadikan panggilan berjalan dengan menggembirakan karena kita dapat berbagi dalam suka dan duka. Berangkat dari kesadaran akan kehadiran keluarga dan teman-teman, saya diajak untuk mensyukuri dengan sungguh perjumpaan-perjumpaan dengan mereka. Saya merefleksikan bahwa perjumpaan dengan orangorang yang saya temui setiap hari pada akhirnya membawa saya pada

Seperti pesawat yang ingin lepas landas, seseorang harus siap dengan segala sesuatunya. Hal itu juga berarti bahwa kita harus sadar akan kerusakan kita sehingga kita dapat lepas landas dengan baik

TS/X-Edisi 25

15


perjumpaan dengan Dia yang memanggil. Menemukan kehadiran Tuhan melalui keluarga, teman, dan orang-orang yang saya jumpai, menjadikan panggilan merupakan anugerah terbesar yang saya terima. Dengan demikian, melalui kesadaran ini saya menemukan bahwa pada akhirnya panggilan juga merupakan pengalaman yang patut saya syukuri. Sebagai seorang frater, menjalani panggilan memang kerap tidak mudah. Saya selalu berhadapan dengan tegangan untuk memilih antara enak-tidak enak dan senang-tidak senang. Namun, saya berusaha untuk belajar dari St. Agustinus. Berusaha menyadari bahwa berjalan bersama Dia akan mengarahkan segala sesuatunya menjadi lebih menenangkan. Oleh karena itu, saya merasa bahwa relasi yang intim dengan Dia yang memanggil sungguh perlu dihidupi. Ada dua cara yang saya usahakan untuk membangun relasi intim dengan yang Ilahi. Pertama, berusaha dengan tekun merenungkan Sabda Tuhan setiap hari. Kedua, memberikan waktu khusus untuk berjumpa secara personal dengan Tuhan. Dan kemudian, menyatukan kedua cara ini dalam perayaan Ekaristi setiap pagi. Pada akhirnya, pengalaman panggilan membawa saya untuk menyadari betapa besar kasih Allah akan hidup yang saya jalani ini (bdk. Yoh 3: 16). Saya sungguh bahagia karena sampai saat ini dipercayakan untuk menjawab panggilan-Nya. Sebab, panggilan bukanlah hadiah yang coba saya berikan kepada Tuhan, namun sebaliknya merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kepada saya. Anugerah ini diberikan supaya saya menjadi bebas dalam mewartakan Injil, bukan untuk mengungkung saya.

Rekoleksi bulanan bersama RD Hardijantan; 22 Feb 2015

16

TS/X-Edisi 25


Ad Intra

Keterpautan pada Sang Ilahi Refleksi Syukur atas Pertumbuhan Iman Sebagai Seorang Calon Imam Diosesan Jakarta fr. Reinardus Doddy Triatmaja

Aku teringat akan orang-orang di sekitarku yang sering mengatakan kalimat singkat penuh harapan kepadaku, “Frat, doakan aku, ya!� Secara sadar, hal ini justru membuatku merefleksikan kehidupan berimanku. Aku yakin bahwa kekuatan iman seorang calon imam ataupun imam berasal dan didasari oleh kekuatan doa. Layaknya pedang bermata dua, hal ini sekaligus menimbulkan tanda tanya besar dalam permenunganku, “Apakah imanku sendiri, sebagai seorang calon imam, sudah benar-benar bertumbuh?� Secara khusus, apakah tahun iman yang telah kulalui sebagai rangkaian besar Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) 2011-2015 benar-benar meninggalkan jejak dalam peziarahan imanku saat ini? Pertanyaan sulit yang kini secara konkret harus kulihat di dalam perkembangan hidup rohaniku. Aku memang banyak berbicara tentang iman atau bahkan aku tampak beriman, namun apakah memang aku benar-benar tumbuh sebagai orang beriman? Jangan-jangan, aku hanya tampak sebagai seorang beriman saja? Ironis.

Proses Beriman dalam Komunitas Meskipun dihayati secara pribadi, iman juga bersifat partisipatif. Maksudnya, hidup beriman yang kuhayati juga tak terlepas dari pengaruh kehidupan beriman komunitasku. Dengan memperluas pandangan, aku ingin berkaca dari perspektif iman komunitasku. Berangkat dari perspektif ini, pertanyaan selanjutnya yang harus dicari TS/X-Edisi 25

17


Para frater berolah raga dalam acara “Jumat’an”; 6 Maret 2015

Sesungguhnya dengan beriman, aku mau melibatkan Allah sendiri dengan proses hidupku dan juga membiarkanNya bekerja di dalam aku.

jawabannya, “Apakah seminari sudah memberikan “fasilitas” sedemikian rupa untuk memperkembangkan imanku serta para rekan frater yang lain?” Menurutku, seminari tidak pernah “kehilangan akal” untuk membina iman para frater yang bernaung di dalamnya. Tahun 2012, di mana aku mulai memasuki dinamika pembinaan sebagai seorang calon imam KAJ, membuatku mulai berproses dalam pertumbuhan imanku. Maka, yang perlu dipertanyakan lebih dalam lagi, apakah usaha-usaha seminari ini diterima dan dihayati dengan baik oleh para fraternya? Rangkaian acara rohani telah terjadwalkan dengan baik, ajakan untuk hidup reflektif dengan refleksi harian, mingguan, dan komunitas menjadi habitus hidup yang mulai dipupuk sejak awal, serta tak kurang konferensi spiritual yang menumbuhkan berbagai insight positif kerohanian yang semakin membuka cakrawala keberimanan. Gejala dalam kehidupan komunitas secara nyata muncul dalam kehidupan iman dari masing-masing frater. Usaha untuk mau berbagi, saling peduli satu sama lain, saling mengingatkan, dan bekerja sama, menjadi sekian kesaksian iman yang nampak (Yak.2:17) dalam dinamika proses sosialisasi di komunitas. Akan tetapi, perlu diperdalam lagi, “Apakah iman yang tumbuh tersebut sudah benar-benar mendalam?”

18

TS/X-Edisi 25


Sebab, kedalaman iman yang lantas tercermin dalam perbuatan nyata masing-masing frater terbias dengan kesatuan gerakan keberimanan bersama dalam komunitas. Lantas, perlu ditilik lebih jauh untuk melihat kedalaman iman yang seringkali tak terlihat.

Penghayatan Iman yang Aktif Bagiku, inilah yang menjadi proses di mana setiap orang dengan pergulatannya masing-masing bertumbuh di dalam kesalehan hidup beriman yang mendalam. Merenungkan proses pergulatanku di dalam iman ini pun membuatku sadar bahwa untuk menyerahkan diri secara total kepada Dia yang memanggilku, pertama-tama aku harus mengenal diriku terlebih dahulu. Sebab, mustahil untuk menyerahkan diri sendiri yang tak kukenal secara mendalam. Maka, iman yang dihayati adalah iman yang secara aktif mau mengenal diri dengan kelemahan dan kelebihan diri yang ada. Sesungguhnya dengan beriman, aku mau melibatkan Allah sendiri dengan proses hidupku dan juga membiarkan-

Nya bekerja di dalam aku. Bukan hanya dalam perasaan dan akal budi, iman melibatkan pula seluruh diriku untuk mau dikuasai oleh-Nya. Kedewasaan dalam iman benarbenar bertumbuh ketika aku mau mencintai-Nya, bukan hanya karena segala kebaikan-Nya, namun juga karena diri-Nya yang luhur mengatasi segala sesuatu. Keterbukaan kepada Yang Transenden membentukku untuk mau berproses di dalam ketidakpastian dari suatu kepastian. Artinya, dengan beriman, kusadari betul bahwa Allah, sumber harapanku yang pasti, selalu membimbingku dalam situasi ketidakpastian hidup sebagai bagian dari misteri-Nya yang agung. Maka, “keterlemparan” manusia di dunia— sebagaimana yang dikatakan filsuf besar, Martin Heidegger tentang manusia—bukanlah tanpa alasan. Menyitir Latihan Rohani St. Ignatius No.23, “Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, serta mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan itu menyelamatkan jiwanya,” tepat di situlah iman menampakkan hakekatnya.

Usaha untuk mau berbagi, saling peduli satu sama lain, saling mengingatkan, dan bekerja sama, menjadi sekian kesaksian iman yang nampak

TS/X-Edisi 25

19


“

Mau memperkaya diri dengan inspirasi rohani dan tumbuhnya kerinduan untuk selalu mau datang kepada-Nya,

6 mahasiswa UKSW Salatiga live-in di STKAJ; 20-24 April 2015

Seminari adalah Sekolah Iman Memang, kerap kali dalam situasi sulit yang menjadikanku tawar hati, aku baru sadar bahwa aku masih memiliki Tuhan, sumber ketenangan dan keselamatanku (Mzm. 62:2). Situasi kekeringan rohani yang kerap kualami membuatku berani untuk mau datang kepada-Nya. Itulah iman! Dalam situasi gundah gulana dan tanpa harapan, iman-lah satu-satunya hal yang meneguhkanku. Pengetahuan cukup yang kudapatkan dari bangku kuliah dan seminari tetap harus dihadapkan pada situasi konkret yang kualami untuk terus mengajakku belajar menjadi seorang yang beriman. Maka, semua tak lepas dari usaha personal dalam menghayati iman di tengah tantangan. Rasa syukur atas tahun iman yang telah kulalui—pada tahun 2012 silam—membuatku untuk senantiasa mau berproses di dalam pertumbuhan iman pribadiku, secara khusus sebagai seorang calon imam KAJ. Usaha yang tak sulit untuk dilakukan dalam membina kehidupan beriman adalah dengan menjaga ritme keteraturan hidup doa. Kerinduan yang mendalam pada Allah menjadi pintu gerbang besar di mana iman yang gembur ditumbuhkan

20

TS/X-Edisi 25


dalam keterbukaan hati. Kerinduan dan keterbukaan hati menjadi batu pijakan yang tak terpisahkan dalam menghayati iman personal. Kedewasaan dan kedalaman hidup beriman yang kumiliki menjadi modal berharga sebagai seorang imam pendoa nantinya. Bukan hanya sebagai seorang imam pendoa, namun juga menjadi guru doa untuk semakin membawa orang lain untuk semakin beriman. Dengan iman yang tumbuh, aku pun juga akhirnya mampu untuk melihat segala peristiwa yang kualami sehari-hari dalam perspektif Allah sendiri atau yang disebutkan dalam bahasa rohani, “Dapat mengalami pengalaman akan Allah.� Dengan demikian, aku pun mampu memaknai dan menyerahkan segala yang kualami dalam rencana kasih-Nya, bukan malah mencari pelarian atau menjauh daripada-Nya.

Kendati belajar untuk menjadi seorang beriman tak mudah, kehidupan doa dalam membangun relasi yang mendalam dengan-Nya menjadi langkah sederhana yang dapat dibangun. Mau memperkaya diri dengan inspirasi rohani dan tumbuhnya kerinduan untuk selalu mau datang kepada-Nya, merupakan indikasi adanya tanda iman yang semakin bertumbuh. Mutlak adanya bahwa iman membawaku pada keterpautan pada Sang Ilahi. Dengan demikian, seminari menjadi sekolah iman yang berperan untuk semakin menumbuhkan sensus religiosus para anggota yang bernaung di dalamnya untuk selalu setia mengikuti diri-Nya. Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk Tuhan, karena Ia telah berbuat baik kepadaku. (Mzm. 13:6).

TS/X-Edisi 25

21


Ad Intra

Teman Seperjalanan fr. Albertus Ade Pratama

Di negeri Belanda, setiap anak yang sudah menginjak usia 18 tahun mendapat kewajiban untuk pergi ke luar dari rumah dan memulai kehidupannya sendiri di luar rumah. Di beberapa kebudayaan pun, terdapat pula tradisi-tradisi di mana anak yang sudah akil balig diwajibkan untuk pergi merantau untuk mencari ‘nama sejati’-nya. Tradisi suku Indian misalnya saja, kepada anak laki-laki dari suku mereka yang telah mencapai usia akil balig, diberikan tugas untuk mengembara ke alam liar selama ± 6 bulan sebagai sebuah ujian kedewasaan. Barangkali, sudah menjadi upacara yang wajar (khususnya bagi laki-laki) untuk keluar dari zona nyaman dan berjuang untuk bertahan, bahkan menemukan makna hidup di luar rumah. Agaknya, dapat kita tarik persamaan antara fenomena di atas dengan situasi di Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, Keuskupan Agung Jakarta ini. Letak persamaannya adalah bahwa kami semua—penghuni Wisma St. Yohanes Paulus II—berada jauh dari rumah dan juga dalam pergulatan untuk mencari makna hidup kami. Namun, apakah itu tujuan kami datang ke seminari? Spontan saya akan menjawab ‘Tidak!’. Saya meyakini bahwa kami datang ke tempat ini, dengan latar belakang kami masing-masing, bertujuan pertama-tama untuk menjawab panggilan yang kami rasakan ini. Panggilan ini berasal dari Sang Empunya Tuaian. Ia menuntun kami ke Jakarta, kota Megah nan banyak macam problema. Sebagaimana saya sebutkan tadi, subjeknya adalah ‘kami’. Dinamika kehidupan kamilah yang pada kesempatan ini akan kami refleksikan sebagai ungkapan syukur atas persaudaraan yang kami rasakan.

22

TS/X-Edisi 25


Dalam iman kami bersaudara Kami, sebagai pribadi yang berbeda satu dengan yang lainnya, hidup bersama di tempat ini karena sebuah kesamaan niat dan tekad, yakni untuk menanggapi panggilan yang kami rasakan. Iman kami masing-masing yang menuntun arah langkah kami sampai ke tempat ini. Kami ingin melayani Keuskupan Agung Jakarta sebagai imam. Imam adalah pemimpin spiritual. Dengan demikian, iman menjadi syarat mendasar bagi seorang imam. Di tempat inilah, kami belajar bertumbuh bersama di dalam iman kepada Yesus Kristus. Tidak hanya sekali atau dua kali, kami terjatuh pada kelemahankelemahan yang kami miliki. Kami pun seringkali mempertanyakan keberadaan kami di tempat ini.

Dalam keraguan tersebut, kami mudah jatuh pada keinginan untuk menyerah karena ketidakmampuan serta ketidakpantasan. Berkali-kali kami terjatuh, berkali-kali pula kami diselamatkan oleh-Nya melalui temanteman seperjalanan kami. Melalui pengalaman-pengalaman ini, di samping waktu doa dan bimbingan yang teratur, kami bertumbuh dalam iman. Bahwasanya, kami semua menyadari akan ketidakpantasan untuk mengemban panggilan mulia ini, namun itu semua tetap berkenan di hadapan Tuhan yang memanggil. Bukankah Ia sendiri yang berkata, bahwa “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa� (Markus 2:17)? Kami adalah orang berdosa yang terpanggil itu. Keyakinan kami akan hal inilah yang

Triduum Paskah bersama RP Setyo Wibowo tanggal 27-29 Maret 2015

TS/X-Edisi 25

23


membantu kami untuk menumbuhkan iman kami dalam persaudaraan. Kami tidak sendiri karena dalam iman, kami bersaudara.

Persaudaraan kami berbuah “Iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.� (Yakobus 2:26). Kami pun menghayati penghayatan iman yang demikian. Kami menghayati semangat bertumbuh dalam iman dan berbuah dalam pelayanan kasih. Saya akan membagi bentuk pelayanan kasih kami dalam dua gerak, yaitu gerak ke dalam dan gerak ke luar. Dalam kehidupan sehari-hari, kami berlatih untuk melayani sesama kami dalam komunitas melalui tugastugas perbidelan. Perbidelan agaknya merupakan kata yang asing, akan tetapi itu adalah nama bagi tanggung jawab kami masing-masing dalam kehidupan bersama ini. Melalui tugas yang sederhana, seperti menyiapkan makan pagi-siang-sore, menyiram tanaman, serta mengganti lampu yang rusak, kami belajar bahwa tugas perbidelan kami bukan semata-mata tanggung jawab yang diserahkan kepada kami. Akan tetapi, usaha kami untuk melayani teman seperjalanan kami. Ada pula kebiasaan yang menurut saya menggembirakan. Kebiasaan itu ialah membagikan makanan kepada para kuli-kuli yang menantikan pekerjaan di sekitar kami. Setiap kali kami memiliki makanan yang berlebih di malam hari, kami biasanya membungkus makanan itu dengan layak dan membagikannya kepada kuli-kuli tersebut. Hal ini

24

TS/X-Edisi 25

sungguh memberikan kegembiraan. Mengembirakan bagi kami dan orang yang kami temui. Di satu sisi, mereka mendapatkan kasih kami yang terungkap melalui makanan. Di sisi lain, kami pun menerima kasih mereka melalui senyum dan ucapan terima kasih mereka. Persaudaraan kami berbuah dalam pelayanan kasih.

Kami Bersyukur Akhirnya, melalui hidup persaudaraan kami ini, kami sampai pada perasaan bersyukur. Pertamatama, kami bersyukur karena kami diberikan kesempatan untuk menanggapi panggilan-Nya di tempat ini. Ia menaruh rancangan yang indah dalam hidup kami dengan memanggil kami ke tempat ini. Kami pun berusaha terus menerus untuk menanggapi panggilan kami setiap hari dengan kegembiraan. Kegembiraan karena kami memiliki iman dan kegembiraan karena kami memiliki teman seperjalanan. Kami tumbuh dalam persaudaraan. Ya! Kami bersyukur atas persaudaraan kami ini. Kebersamaan kami dalam komunitas inilah yang membuat kami selalu mampu menghadapi lika-liku dan jatuh-bangun kami dalam menanggapi panggilan di tempat ini. Melalui kasih yang kami rasakan dari sahabat-sahabat kami, kami pun semakin sadar bahwa kami dikasihi oleh-Nya. Oleh karena itu, kami diajak untuk mengasihi sesama kami dengan segala wujud pelayanan kasih yang mampu kami lakukan. Itulah makna terdalam dari kata Teman Seperjalanan!


Ad Intra

Kisah Bersama Tetumbuhan fr. Albertus Bondika

Hidup manusia diwarnai oleh dua hal. Ada kalanya, seseorang menjalankan hal-hal yang telah direncanakan. Di sisi lain, kegiatan yang tidak direncanakan juga turut ambil bagian. Hanya saja jika diamat-amati, justru lebih banyak hal di luar perencanaan yang terjadi. Kondisi itu yang saat ini digulati oleh seorang frater tingkat II di Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, Keuskupan Agung Jakarta. Perutusan untuk menjadi penanggung jawab kebun bagaikan dentuman petir. Sekali lagi, terbukti bagaimana kemungkinan di luar perencanaan justru kerap mendominasi. Kali ini, giliran fr. Bondi—begitu ia disapa—yang mengalaminya. “Aku telah masuk dalam kisah seperti apa?” Bagi John Eldredge, inilah pertanyaan terpenting bagi manusia. Persis hal yang sama juga berkecamuk dalam diri fr. Bondi. Tugas dan tanggung jawab ini membuatnya terlempar ke dalam kegelapan yang membuatnya bergidik ngeri. Hanya saja, keheningan juga sekaligus menjadi bagian di dalamnya. Ia sadar bahwa persoalan seputar tanaman bukanlah suatu hal yang benar-benar baru baginya. Masa kecilnya pernah diisi dengan hari-hari di kebun. Begitupun di pendidikan menengah, hal serupa juga pernah digelutinya. Tantangannya kini adalah bagaimana “secara dewasa merencanakan dan menjalankan tugas pengutusan secara bertanggung TS/X-Edisi 25

25


jawab� (Pedoman Pembinaan Calon Imam Diosesan Keuskupan Agung Jakarta: 2011). Sudah semakin jelas kini alur cerita yang telah menjadi kisah hidupnya. Ia tidak sepenuhnya terlempar dalam situasi yang benar-benar asing.

Belajar dan Belajar RD. St. Ferry Sutrisna, dalam refleksi imamatnya yang ke-25, mengatakan bahwa pengalamannya diwarnai dengan kesempatan belajar dan belajar. Apa yang dialami oleh fr. Bondi akhirnya juga dimaknai sebagai kesempatan belajar. Saat kuliah, ia menangkap butir-butir pendalaman filsafat untuk mengarahkan hidupnya kepada Sang Kebenaran. Kini, di tanah air tercintanya ia akan menuai makna hidupnya. Sebagaimana Keuskupan Agung Jakarta menyatakan keprihatinan atas “kerusakan lingkungan hidup� (Arah Dasar Pastoral KAJ 2011-2015), fr. Bondi belajar untuk menghidupi gerakan ini. Pernah terlintas pertanyaan, apakah usahanya benar-benar berguna. Memang, luas tanah di Jl. Cempaka

Putih Timur XXV no 7-8 tidak seluas dunia ciptaan-Nya. Hanya saja, fr. Bondi mulai sadar bahwa tidak ada usaha yang sia-sia. Justru akan menjadi sia-sia jika tidak ada usaha yang dilakukan. Dengan batang kecil yang ia kebumikan bersama teman-temanya, fr. Bondi telah mengarahkan hidupnya sebagai bagian dari dunia ciptaan-Nya. Para tokoh mulai berdatangan. Ada perjalanan yang akan ditempuh. Tidak ada yang tahu terjal dan curamnya setapak ini. Bagaimanapun kisah ini harus berjalan dan kaki ini akan segera melangkah. Hanya saja masih ada gejolak yang perlu diantisipasi. Pada waktunya, akan datang saat-saat konflik yang akan menghantar kisah ini pada klimaks yang indah.

Pertempuran Hati Yang tersembunyi seringkali lebih keras bersuara. Hal itu terjadi dalam hati fr. Bondi yang menjerumuskan dirinya di antara dedaunan yang rimbun. Muncul pergolakan yang mengombangambingkannya. Cinta dan keterpaksaan berusaha mempengaruhi dirinya.

Cinta ini pula yang membangkitkan pengharapan untuk menyempurnakan kebun menjadi sebuah taman. Dunia telah dimulai di Taman Eden. Maut dikalahkan dalam makam yang terletak pada sebuah taman.

26

TS/X-Edisi 25


Bekerja bersama makhluk sesensitif tanaman memang penuh dengan kesan. Keindahan dan kesegaran yang ditampakkannya membuat cinta itu terus bertumbuh di hatinya. Keasrian dan harmoni warna-warninya justru memekarkan bunga-bunga dalam hati fr. Bondi. Hanya saja, ada yang perlu dibayar oleh fr. Bondi. Di waktu istirahatnya, ada tanah yang perlu digemburkan. Bahkan, kandungan air yang perlu dikendalikan harus mengalahkan kemalasan yang mengintainya. (“Demikianlah di bawah semangat berapi-api, bersama-sama menyerang�. ) Cinta dan keterpaksaan baru saja mengguncang hidupnya. Konflik terus berlanjut. Para pahlawan berguguran di sisi jasad musuh yang sudah tak bernyawa. Hingga tokoh utama tak lagi bisa berdiri tegak di atas kedua kakinya. Ia baru saja terlempar dari puncak pertempurannya.

You are Here Bagi yang tersesat, mengetahui posisinya menjadi harta yang tak ternilai. Hal yang sama dirasakan oleh fr. Bondi setelah melampaui pertarungan batinnya. Satu hal yang kini memenuhi hatinya adalah luapan syukur yang bernyala-nyala. Sejenak, fr. Bondi melihat ke belakang. Terbentang perjumpaannya atas misi ini hingga pertempuran agung yang baru dilaluinya. Ia sadar bahwa interaksinya dengan hijaunya daun dan coklatnya tanah telah mengubah hidupnya. Kembali diarahkan pandangannya ke depan. Kini, kakinya bergerak dalam ayunan ringan dengan keteguhan yang kokoh. Bagaimanapun, cinta yang akhirnya menang. Kenangan akan keterpaksaan menjadi tanda yang TS/X-Edisi 25

27


tak lagi menyakitkan. Kendati demikian, setiap kali sapuan matanya menangkap bekas itu, fr. Bondi ingat bahwa cintanya pun perlu diasah dan terus dimurnikan. Cinta ini pula yang membangkitkan pengharapan untuk menyempurnakan kebun menjadi sebuah taman. Dunia telah dimulai di Taman Eden. Maut dikalahkan dalam makam yang terletak pada sebuah taman. Fr. Bondi memulai kisahnya di sebuah taman. Ia menyelesaikan pertempuran hatinya juga di taman. Kini, dalam taman itulah ia hendak menguduskan diri. Dalam iman, ia percaya bahwa taman ini dapat menghantarnya pada kesempurnaan. Tidak ada kisah yang benar-benar selesai. Akhir dari satu episode mengawali episode yang lain. Itulah indahnya kehidupan manusia yang adalah bagian kecil dari Narasi Agung Kerajaan Allah dalam rangkaian kisah bersama tetumbuhan.

B

28

n a d a angs

TS/X-Edisi 25

u k a r Nega


Ad Extra

Karena Aku Kau Cinta fr. Yohanes Prasetyo Berkama Kiran

Salah satu perkataan Yohanes Maria Vianey setelah melihat banyaknya penyelewengan dan kejahatan Revolusi di negerinya adalah, “Oh, andai aku seorang imam, aku akan berjuang untuk memenangkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa bagi Tuhan.� Memang, akhirnya ia menjadi imam dan hidupnya bisa dikatakan memperjuangkan hal tersebut. Berkat keteladanan hidupnya serta perjuangannya untuk memenangkan jiwa-jiwa itu pulalah ia diangkat menjadi santo pelindung para imam di seluruh dunia. Melihat keteladanan imam Ars Pastor dari Ars ini sering dikatakan sebagai santo yang “bodoh�. Hampir kebanyakan cerita santo-santa mengatakan demikian. Namun kalau diperhatikan, toh pastor ini setidaknya hanya kurang dalam hal bahasa Latin saja. Kalau melihat karya pastoralnya, kegigihannya serta ketahanan hidupnya tinggal di Ars, berbagai katekese serta khotbahkhotbanya, maka bisa dikatakan pastor ini mempunyai kecerdasan dan kreativitas yang luar biasa. Dan kecerdasannya itu tidak dilihat oleh para dosennya di seminari. Perjalanan hidupnya untuk menjadi imam pada saat itu sangatlah tidak mudah. Selain persoalan akademik karena kekurangannya dalam bahasa Latin tersebut, persoalan pelik lainnya TS/X-Edisi 25

29


“

Bagi banyak orang, hidup yang dijalani oleh Pastor ini adalah hidup yang harus dihindari. Namun hal tersebut tidak menjadi beban baginya.

adalah keadaan sosial politik Prancis pada saat itu. Ia hidup pada zaman revolusi prancis yang kejam. Akan tetapi, hal tersebut tidak melunturkan semangatnya untuk menjadi imam. 12 Agustus 1815 ia ditahbiskan menjadi imam dan menghayatinya sampai akhir hidupnya. Pastor dari Ars ini menyukuri imamat yang diterimanya dengan laku-tapa serta pengorbanan yang dilakukannya bagi umat. Bagi banyak orang, hidup yang dijalani oleh Pastor ini adalah hidup yang harus dihindari. Namun hal tersebut tidak menjadi beban baginya. “Menderita dengan penuh kasih, adalah tidak lagi menderita� itulah kata yang diungkapkannya dalam menjalani hidup sebagai imam. Oleh karena itu, melihat cara hidup serta tindakan serta perjuangan Maria Vianney untuk menjadi seorang imam dan ketika ia menjadi Imam, maka baiklah ia dijadikan sebagai Santo pelindung para imam.

Bersyukur atas panggilan dalam Formatio Setiap imam, frater, seminaris pun sangat sulit sekali ketika diharapkan hidup sejalan dengan Santo tersebut. Meskipun Kondisi zaman, keadaan politik serta budayanya berbeda, ada beberapa semangat yang bisa kita gali sebagai pengikut Kristus, terutama bagi mereka yang membaktikan diri secara lebih sungguh dalam mengikuti panggilan Imamat dari santo

30

TS/X-Edisi 25


ini. Berikut ini sekiranya butir-butir semangat yang bisa kita peroleh dari seorang Santo yang sederhana ini.

Rasa Syukur Kalau saya ditanya kesannya mengenai pribadi Santo ini, maka saya akan berkata beliau memberikan keteladanan bersyukur yang luar biasa. Rasa Syukur merupakan ungkapan terimakasih secara tulus dan penuh kesungguhan hati yang ditujukan kepada Allah atas segala pemberianNya. Jika kita melihat Santo ini maka kita akan melihat ungkapan syukur itu terlihat dari pemberian dirinya yang begitu besar kepada Allah dengan menjadi Pastor. Ungkapan syukur itu ia tunjukkan dalam karya pastoralnya dan kesetiaannya di dalam ruang pengakuan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa. Rasa syukur itu terlihat dari perjuangan Vianney menggeluti masa formasionya sebagai calon imam dengan segala keterbatasannya sekaligus kondisi sosial dan politik negaranya yang sedang kacau. Sebagai calon imam di Jakarta, dengan melihat realitas di Jakarta dengan kegembiraan serta tantangannya kemudian membandingkan dengan adanya

seminari yang masih mempunyai daya tarik dengan adanya seminaris yang masuk setiap tahunnya, di situlah saya bersyukur. Pertama, saya bersyukur dengan adanya seminaris dan para calon yang ingin masuk ke seminari ini. Bahwa masih ada pemuda yang mau menjadi Imam di zaman sekarang sudah merupakan wujud karya nyata dari Tuhan yang tidak akan meninggalkan umatnya tanpa gembala. Kedua, kondisi sosial dan politik di Indonesia memberikan tantangan tersendiri dalam menjalani jalan panggilan ini. Meskipun tantangannya berbeda, semangat untuk bersyukur yang dimiliki oleh Vianey perlu kita teladani. Bersyukur atas rahmat panggilan yakni, bahwa dari sekian banyak pemuda yang ada di Jakarta, hanya kami yang “merasa” terpanggil. Walaupun kalimat di atas mungkin bernada sombong, tetapi kami yang menjalani hidup di seminari ini bukan bermaksud sombong melainkan kami ingin berbangga pada panggilan yang kami miliki ini: Kebanggaan bersama nuansa syukur atas rahmat panggilan. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia itu “mungkin saja” mempunyai kodrat sebagai mahkluk yang tidak pernah merasa puas. Ia terus-menerus

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia itu “mungkin saja” mempunyai kodrat sebagai mahkluk yang tidak pernah merasa puas. Ia terus-menerus mau mendapatkan yang lebih.

TS/X-Edisi 25

31


mau mendapatkan yang lebih. Manusia lapar kemudian mencari makan. Ia mendapatkan daging, namun daging saja kurang. Ia kemudian mencari tetumbuhan serta ikan; dan tetap merasa kurang. Namun, manusia juga mempunyai sifat untuk bersyukur. Bersyukur dan memampukan diri berkata cukup atas dorongan hasrat mencari yang lebih. Santo Yohanes Maria Vianney telah memberikan keteladanan bersyukur dengan berkata cukup kepada semua tawaran duniawi itu dan mempersembahkan yang terbaik dalam hidupnya kepada Tuhan, yakni dirinya sendiri.

Cinta kasih pastoral Membaca dan mengenal santo dari Ars ini seperti melihat orang yang tidak ada habisnya mencintai umat gembalaannya. Energi pastor ini tidak pernah habis untuk melayani umatnya. Kupingnya tidak pernah merasa lelah untuk mendengarkan pengakuan. Hatinya tidak pernah lelah untuk berdoa dan tubuhnya selalu kuat untuk bermatiraga, dan isi pikirannya mungkin tidak ada yang lain selain berisi semangat bagaimana membuat jiwa-jiwa bertobat. Pertanyaan dasarnya adalah mengapa energi pastor ini tidak ada habisnya untuk mencintai dan menjalankan tugas pastoralnya. Mengapa ia rela meninggalkan kenikmatan duniawi serta kuat melawan godaan-godaan untuk mencicipinya? Jawabannya adalah karena ia sudah mempunyai hal yang terindah dalam

32

TS/X-Edisi 25

hidupnya, yakni Tuhan. Semua energi yang tidak pernah habis itu ia dapatkan dari relasinya yang dekat dengan Tuhan yang mengutusnya. Sebagai seorang calon imam tugas pastoral memang tidaklah banyak, atau mungkin bisa dikatakan sedikit sekali. Namun, bukan berarti tidak ada. Dari hal sedikit tersebut mulailah diajarkan untuk mencari nilai yang mendasari tugas pastoral itu ke depannya. Semangat untuk berpasotral itu tiada lain, salah satunya, adalah peduli. Semangat kepedulian adalah semangat untuk keluar dari diri sendiri dan mulai memperhitungkan orang lain dalam setiap keputusan-keputusan kecil yang dibuat. Sikap peduli ini bukanlah suatu hal yang ekslusif. Sikap ini ada dalam setiap diri manusia karena pada dasarnya manusia dipanggil bukan untuk dirinya sendiri saja, melainkan untuk orang serta lingkungan sekitarnya di luar dirinya, yang lain dari dirinya, yang pada akhirnya mengarahkan dirinya kepada Tuhan. Oleh karena itu, setiap orang bisa peduli, dan dipanggil untuk peduli. Belajar kepedulian dari santo Yohanes Maria Vianney itu ibarat belajar filsafat di Sorbonne, atau ibarat belajar etika deontologis dari filsafat Kant, yakni mau mengatakan bahwa Anda telah belajar di tempat yang baik dan tepat. Melihat hidupnya, kita bisa melihat bahwa sebagian besar hidupnya dihabiskan bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang lain. Selain itu,


pemberian diri itu dia berikan dengan sepenuh hati, total, sampai akhir. St. Yohanes Maria Vianney memberikan keteladanan untuk mencari dan menimba semangat dari sumber yang tidak pernah habis, yakni dari Tuhan sendiri.

Kesederhanaan Dalam sebuah pertemuan, Mgr. Suharyo, pernah mengatakan suatu definisi singkat mengenai kesederhanaan. Kesederhanaan mengungkapkan suatu disposisi batin yang lurus kepada satu tujuan saja, yakni Tuhan. Dalam definisi kesederhanaan yang beliau ungkapkan, Tuhan merupakan satu-satunya tujuan yang diperjuangkan dan dicari di dunia ini. Segala sesuatu yang ada membantu kita terarah kepada tujuan tersebut. Singkat dan Jelas bukan! Namun menurut Beliau di situlah kesulitannya menjadi sederhana di Jakarta ini. Mengapa demikian? Karena di Jakarta banyak sekali tawaran-tawaran yang bisa menjadi tujuan dan malah kita perjuangkan. Malah mungkin, secara tidak sadar, kita ini diperbudak dengan tujuan-tujuan dan ilah-ilah lain di Jakarta. Sejalan dengan definisi kesederhanaan itu, St. Yohanes Maria Vianney ini telah mempraktikannya. Santo ini menjadi keteladanan kesederhanaan yang luar biasa. Tujuan hidup santo ini mengarah kepada Tuhan. Pengabdiannya sebagai

pastor pun terarah pada Tuhan yang mengutusnya. Kesederhanaannya itu diungkapkan dalam matiraganya yang kuat serta devosi yang kuat pada St. Perawan Maria. Memang apabila dibandingkan dengan situasi St. Maria Vianney hidup, situasi saat ini sudah jauh berbeda. Akan tetapi, hal tersebut sebaiknya bukan menjadi penghalang bagi seseorang untuk hidup sederhana meneladai Santo ini melainkan menjadi tantangan yang harus dihadapi. Seperti yang diungkapkan Mgr. Suharyo bahwa menjadi sederhana itu tidak mudah, namun kita tetap bisa mengusahakannya. Sederhana, tidak harus mewah atau malah menjadi sengsara. Melalui kebersamaan dengan umat dan ikut serta dalam perkembangan umat, kita sendiri nantinya dapat mengetahui bagaimana seharusnya kita bersikap dan memposisikan diri sebagai seorang Gembala yang berusaha membawa kabar Gembira ini kepada umat. Sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita gali dari figur Santo Yohanes Maria Vianney ini. Mungkin seandainya dibahas, tulisan ini atau bahkan majalah tidak akan cukup memuatnya. Namun sekali lagi sebagai calon imam, saya merasa keteladanan santo ini sangat mengispirasi saya untuk hidup semakin lebih baik setiap harinya dan tentu saja semakin dekat dengan Tuhan sebagai tujuan hidup manusia.

TS/X-Edisi 25

33


Ad Extra

Meminimalisir Generalisasi Mengungkap Realitas RD Ulun Ismoyo

Pada dasarnya kata sifat sulit untuk diukur obyektivitasnya secara tepat. Hal ini terjadi karena dua hal: pertama, kentalnya unsur subyektivitas dari pihak yang mengalaminya, dan kedua, berada dalam tataran perbandingan. Sebagai contoh misalnya, ketika kita mengatakan murid di sekolah A pintarpintar, kita terbelenggu pada dua sebab yang menjadi halangan obyektivitasnya. Kita akan bertanya: “siapa yang mengatakan tersebut?” Alumninya? Orangtua murid? Gurunya? Orang luar? Kategori ‘pintar’ sangat berbeda-beda dan memiliki sejumlah alat ukur. Kemudian kita akan bertanya lagi: “pintar bila dibandingkan dengan sekolah mana?” karena kata sifat dapat diperluas dalam perbandingan: lebih pintar (komparatif) dan paling pintar (superlatif). Maka berbicara tentang kata sifat, orang tergoda untuk menyamaratakan sejumlah fenomena pada kata “banyak”, “sedikit”, atau “rata-rata”. Godaan penyamarataan tersebut dapat dilihat sebagai bahaya generalisasi, yaitu kondisi dimana orang kehilangan keakuratan terhadap fakta dan fenomena yang seharusnya bisa dihitung. Sebagai sebuah istilah, kata ‘generalisasi’ sering dipandang sebagai usaha penyederhanaan terhadap data yang disebabkan oleh sejumlah hal, misalnya: kemalasan dalam menghitung, ketiadaan alat

34

TS/X-Edisi 25


untuk mengukur dan bisa karena kemendesakan waktu untuk tahap selanjutnya. Mengingat pentingnya pemahaman akan data sebagai langkah awal pembuat kebijakan, maka patut disetujui bahwa generalisasi mesti diminimalisir dengan aneka metode manajerial, seperti misalnya sensus dan survey. Keuskupan Agung Jakarta, dalam Arah Dasar-nya (selanjutnya disingkat Ardas) telah mengungkapkan keinginan untuk meminimalisir bahaya generalisasi tersebut dengan menuliskan frase ‘pastoral berbasis data’ sebagai strategi pastoral yang perlu diupayakan oleh seluruh elemennya. Melihat bahwa kata-kata ini termuat dalam Ardas, maka penulis berpendapat bahwa strategi ini adalah sebuah keharusan, bukan pilihan. Dan karenanya perlu ada upaya sistematis agar strategi ini tertuang dalam tindakan nyata. Sebelum melangkah lebih jauh tentang tindakan nyata tersebut, kita perlu telaah lebih jauh tentang makna pastoral berbasis data. Pastoral Berbasis Data (selanjutnya disingkat PBD) dapat dilihat sebagai kebijakan-kebijakan di bidang pastoral

yang memiliki landasan yang tepat. Memang pada hakekatnya, terdapat sejumlah landasan untuk lahirnya kebijakan pastoral, yaitu teologi, biblis, magisterium, analisis sosial kemasyarakatan, dsb. Namun supaya kebijakan pastoral dapat tepat sasaran, perlulah kajian data yang akurat terhadap apa yang sesungguhnya dialami dalam satu medan karya yang tentunya berbeda kekhasannya dengan medan karya lainnya. Meminjam istilah teologis, PBD adalah kebijakan Gereja yang bersifat inkarnatoris: mendarah daging dalam locus yang sangat spesifik. Berbicara mengenai data, aneka data yang dimiliki oleh Gereja mesti dilihat sebagai titik pijak analisa untuk aneka kepentingan. Lantas bagaimana kita mengkategorikan aneka data tersebut? Kita menyadari bahwa cakupan data itu begitu luas, meliputi aspek keuangan, demografi usia, pekerjaan, keaktifan dalam hidup bermasyarakat, dsb. Data itu terdiri dari angka-angka yang pasti (bukan kurang lebih) dan diperoleh dengan cara yang pasti, misalnya dengan sensus pengisian Kartu Keluarga. Dengan ‘status’ data yang mudah didapatkan

Berbicara mengenai data, aneka data yang dimiliki oleh Gereja mesti dilihat sebagai titik pijak analisa untuk aneka kepentingan.

TS/X-Edisi 25

35


dari hasil upaya standar ini, data tersebut bisa kita kategorikan sebagai ‘data primer’. Namun, data primer ini tidak cukup untuk melihat kekayaan realitas faktual hidup menggereja, maka dibutuhkanlah ‘pengolahan data primer’ yang didapat dengan survey lanjutan melalui kerjasama pelbagai pihak yang terlibat dalam hidup menggereja. Konkretnya dengan contoh: di sebuah paroki pada masa prapaskah, disediakan tiga hari berturut-turut penerimaan sakramen tobat untuk umum. Jumlah total umat yang ikut selama tiga hari tersebut (dihitung oleh panitia yang berjaga) adalah sebanyak 2115 orang. Sedangkan total populasi umat paroki itu adalah 19.000 umat. Apakah bisa dikatakan bahwa hanya sekitar 11,13 persen umat yang mengaku dosa di masa prapaskah tersebut? Ternyata tidak, karena ternyata bila dilihat dari data demografi anak yang bersekolah di sekolah katolik, mereka menerima pengakuan dosa di sekolahnya masing-masing. Belum lagi, data ini bisa diperkaya dengan uji persepsi, melalui survey tentang tingkat pentingnya penerimaan sakramen tobat melalui metode statistik yang sederhana. Inilah contoh kerumitan dan sekaligus keasyikan membaca data yang tersebar dan bisa diolah sehingga menghasilkan kebijakan yang tepat guna. Ada begitu banyak matriks data yang bisa diolah untuk melihat atau mengkaji sebuah peristiwa melalui

36

TS/X-Edisi 25

kombinasi data yang bisa digabungkan dan dianalisa. Pengkajian ini menghasilkan penemuan baru untuk landasan kebijakan pastoral berikutnya. Maka lebih tepatnya sebetulnya bukan Pastoral Berbasis Data, melainkan pastoral berbasis pengolahan data. Melihat pentingnya hal tersebut, sebagai langkah taktis: sudah layak dan sepantasnyalah bahwa aneka medan karya (paroki, komisi, kategorial, seminari, lembaga pendidikan dan aneka lembaga lainnya), membentuk tim pengolahan data yang mumpuni untuk pengolahan data, sehingga angka-angka yang ada tidak hanya tinggal angka, melainkan menjadi sebuah realiasi. Berkaitan dengan hal ini patut diapresiasi sejumlah pihak di Keuskupan Agung Jakarta yang telah sungguh-sungguh melakukan kajian serius untuk pengambilan dan pengolahan data: pembentukan tim penelitian, pengambilan dan pengolahan data primer, pengolahan matriks data umat, dan pembuatan survey persepsi umat untuk sejumlah fenomena dalam Gereja. Maka, akhirul kata, semoga pembaca yang budiman pun tergerak untuk ambil bagian dalam pastoral berbasis pengolahan data, sehingga Gereja yang kita cintai ini semakin kontekstual pada orang-orang di zamannya.


Ad Extra

Ketika Angka Melahirkan Makna fr. Stefanus Tino Dwi Prasetiyo

Sebagai umat Katolik, khususnya di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), tentu istilah Arah Dasar Pastoral (ARDAS) Keuskupan Agung Jakarta tidak menjadi hal yang asing . Mengutip dari Surat Gembala Uskup KAJ tentang ARDAS KAJ 2011-2015, Arah Dasar Pastoral disusun untuk menjadi pedoman bagi kita semua dalam meneruskan peziarahan, panggilan, dan perutusan keuskupan yang sudah berlangsung lebih dari 200 tahun. Dalam ARDAS terdapat rumusan cita-cita KAJ, khususnya pada alinea pertama, yaitu “memperdalam iman akan Yesus Kristus, membangun persuadaraan sejati, dan terlibat dalam pelayanan kasih di tengah masyarakat”. Dalam peziarahan Gereja KAJ, cita-cita keuskupan telah berjalan dari tahun ke tahun dan terimplementasi dalam komunitas, keluarga, lingkungan, lembagalembaga Katolik, komisi-komisi, Dewan Paroki, dan seluruh lapisan umat di KAJ. Pemberlakuan rumusan ARDAS dimulai sejak tahun 2011 yang diawali dengan tahun sosialisasi ARDAS. Selanjutnya pada taun 2012 dipilihlah tema Tahun Iman, Tahun Persaudaraan Sejati di tahun 2013, Tahun Pelayanan Kasih pada tahun 2014, dan pada tahun 2015 diakhiri dengan Tahun Syukur sekaligus masa evaluasi atas ARDAS KAJ. Tahun 2015 adalah tahun terakhir dalam periode implementasi ARDAS KAJ 2011-2015. Setelah sosialisasi ARDAS KAJ pada tahun 2011, di tahun-tahun berikutnya umat KAJ telah diajak untuk memfokuskan gerakan berpastoral pada ketiga pilar utama cita-cita Gereja KAJ, “… semakin memperdalam IMANnya akan Yesus Kristus, membangun PERSAUDARAAN SEJATI, dan terlibat dalam TS/X-Edisi 25

37


PELAYANAN KASIH di tengah masyarakat.” Pada tahun 2015, umat KAJ diharapkan melakukan evaluasi dan refleksi sejauh mana cita-cita bersama umat KAJ yang dirumuskan dalam ARDAS dapat terimplementasi dengan efektif dan efisien.

gambaran evaluasi yang digunakan adalah sejauh mana kalangan anak-anak remaja Katolik KAJ terlibat dalam cita-cita Gereja KAJ

38

Sebagai gerak langkah bersama Gereja KAJ, redaksi TEMAN SEPERJALANAN ikut ambil bagian atas hal ini dengan bersyukur sekaligus melakukan evaluasi atas cita-cita Gereja KAJ yang “semakin memperdalam IMANnya akan Yesus Kristus, membangun PERSAUDARAAN SEJATI, dan terlibat dalam PELAYANAN KASIH di tengah masyarakat”. Disesuaikan konteks dan kapasitas yang ada, evaluasi dilakukan dengan melakukan implementasi pastoral berbasis data, yakni melalui sebuah penelitian deskriptif. Responden yang dilipih adalah anakanak remaja berusia 12-15 tahun (remaja Katolik setingkat SMP) sebanyak 238 siswa/i. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Cluster Random Sampling. Redaksi menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan teknik pengumpulan data berdasarkan skala penilaian. Adapun variabel yang diukur adalah ketiga pilar utama cita-cita Gereja KAJ yaitu iman, persaudaraan sejati, dan pelayanan kasih yang terumuskan dalam Arah Dasar Pastoral KAJ. Secara sederhana, redaksi ingin melihat gambaran penilaian diri responden dalam cita-cita Gereja KAJ, yaitu iman, persaudaraan sejati, dan pelayanan kasih. Dalam hal ini, gambaran evaluasi yang digunakan adalah sejauh mana kalangan anak-anak remaja Katolik KAJ (generasi muda dan harapan masa depan Gereja) terlibat dalam cita-cita Gereja KAJ yang disesuaikan dengan konteks dan kapasitasnya.

TS/X-Edisi 25


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan tiga kategorisasi (Baik, Cukup, Kurang), diperoleh gambaran tentang variabel ”iman akan Yesus Kristus” di mana sebagian besar siswa (68.07%) berada pada level cukup. Begitu pula gambaran tentang ”persaudaraan sejati” menunjukkan sebagian besar siswa (59.66%) berada pada level cukup, dan gambaran tentang ”pelayanan kasih” menunjukkan sebagian besar siswa (76.47%) berada pada level cukup. Berdasarkan hasil penelitian ini di mana sebagian besar berada pada level cukup, ARDAS KAJ, khususnya dalam pokok iman, persaudaraan sejati, dan pelayanan kasih pada tingkat remaja SMP cukup terimplementasi dengan menyesuaikan konteks dan kapasitas mereka sebagai remaja SMP. Dengan melihat hasil penelitian semacam ini, tentu kita tidak serta merta berpuas diri atau merasa cukup. Kembali mengutip Surat Gembala Uskup KAJ tentang ARDAS KAJ 2011-2015, disampaikan bahwa kalaupun kita belum atau tidak berhasil, Allah tidak akan gagal. Kita telah dijauhkan dari sikap sombong, karena kalau usaha dan rencana kita berhasil, bukan kita yang berhasil, melainkan Allah yang sedang menyelesaikan karya-Nya. Penelitian ini tidak semata-mata menyajikan data berupa angkaangka saja, tetapi lebih dari pada itu, sejauh mana penghayatan terhadap cita-cita kita bersama (Gereja KAJ) dapat semakin dihayati dan hidup secara nyata dalam kegiatan seharihari. Ditambahkan pula, semoga kehadiran para remaja Katolik dapat menjadi generasi muda dan harapan Gereja.

TS/X-Edisi 25

39


Sosok Inspiratif

40

TS/X-Edisi 25


Sepasang Sepatu yang Selalu Bersama fr. Oktavianus Joko P. & fr. Salto “Barang siapa melayani Aku, Ia harus mengikuti Aku” (Yoh. 12:26). Kiranya, kutipan dari Injil Yohanes ini sesuai dengan jalan kehidupan keluarga bapak Stephanus Harisyanto dan ibu Caecilia Purwanti. Para rekan dan sahabat biasa memanggil mereka dengan sebutan bapak dan ibu Hari. Sejak mereka masih muda, semangat kasih dan pelayanan untuk Gereja dan sesama sudah tumbuh dalam hati. Jelas, teringat dalam benak mereka bahwa Mudika (sekarang OMK) merupakan tempat awal mereka melayani Tuhan. Sampai sekarang, semangat pelayanan yang dimiliki oleh keduanya pun tidak pernah padam dimakan waktu. Bahkan saat ini, mereka merasa dapat melayani Tuhan dengan segenap hati dan jiwa tanpa memikirkan anak. Maklum, putra satu-satunya yang biasa dipanggil mas Wanto telah memutuskan masuk seminari, menjawab panggilan Tuhan atas hidupnya menjadi seorang gembala-Nya kelak.

Kupersembahkan Anak Sulungku Tahun 2005, Mas Wanto masuk ke Seminari Menengah Wacana Bhakti. Saat ini, ia telah menjadi frater dari ordo Serikat Yesus, yang sedang menjalani TOPER (Tahun Orientasi Pastoral). Di balik keinginan mas Wanto untuk masuk seminari, ternyata terdapat sebuah janji yang diucapkan oleh ibu Caecil sebelum kelahiran mas Wanto. Beliau berjanji kepada Tuhan: “Tuhan izinkanlah aku mengandung seorang anak dan jika anakku itu lahir kelak akan kupersembahkan kepada-Mu seturut kehendak-Mu, ya Tuhan”. Rupanya, beberapa bulan kemudian ibu Hari mengandung seorang anak laki-laki. Benar bahwa bapak dan ibu Hari pun menepati janji

TS/X-Edisi 25

41


yang sudah terucap pada Tuhan untuk mempersembahkan mas Wanto kepada Tuhan dan membiarkan Tuhan sendiri yang akan membentuk anak mereka.

Sebuah Titik Balik Menuju Dia yang Memanggil Keinginan Mas Wanto untuk menjadi gembala-Nya membuat pasangan suami-istri ini merasakan adanya sebuah titik balik di dalam hidup mereka berdua. Entah mengapa muncul semangat kasih dan pelayanan yang lebih dari dalam hati yang seakan-akan diperbarui oleh Tuhan. Pembaruan ini berujung pada niat mereka yang ingin menjadi “teman seperjalanan” untuk anak mereka yang telah menghidupi ketiga kaul. Keinginan itu diperkuat dengan nasihat dari Mgr. Soenarko. yang masih jelas terpatri dalam hati mereka: “Sekarang, anakmu sudah menjadi Yesuit. Itu berarti, kamu harus menjaga anakmu dengan menciptakan kondisi yang sama seperti di Novisiat yakni menjalankan ketiga kaul, yang salah satunya ialah kaul kemiskinan (kesederhanaan)”.

POCI, PAGUTER, GOTAUS Titik balik itu juga yang membuat mereka memiliki kepedulian terhadap

orang-orang yang berjuang untuk menanggapi panggilan suci. Mereka merasa bahwa Tuhanlah yang mengarahkan hidup mereka untuk melayani Gereja dan sesama. Poci (Paguyuban Orang Tua Calom Imam), Paguter (Paguyuban Orang Tua Terpanggil), dan Gotaus (Gerakan Orang Tua Asuh Seminaris) adalah beberapa contoh pelayanan yang mereka jalani dengan tulus ikhlas tanpa berharap memperoleh imbalan. Bisa dikatakan bahwa mereka berdua adalah pencetus sekaligus ‘motor’ yang menggerakan ketiga kegiatan itu sehingga dapat berjalan sampai saat ini. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga memiliki pelayanan di bidang lain, seperti menjadi panitia pembangunan Civita, lansia dan lain sebagainya.

POCI Poci terbentuk sejak angkatan 15 di Seminari Wacana Bhakti atas seizin dari romo Yakobus Rudiyanto, SJ, selaku rektor Seminari Menengah Wacana Bhakti, dan juga Bapak Kardinal Julius Darmaatmadja, yang waktu itu memangku jabatan sebagai uskup Keuskupan Agung Jakarta. Awalnya, Poci diperuntukan untuk orang tua seminaris Wacana Bhakti. Namun saat ini, Poci diperuntukkan juga bagi para orang tua di Keuskupan Agung Jakarta

“Entah mengapa muncul semangat kasih dan pelayanan yang lebih dari dalam hati yang seakan-akan diperbarui oleh Tuhan.” 42

TS/X-Edisi 25


yang anaknya terpanggil menjawab panggilan suci. Dalam setahun, Poci mengadakan pertemuan tiga kali, yakni Januari, Mei, dan September setiap minggu kedua. Poci terbentuk atas dasar kerinduan para orangtua seminaris di Wacana Bhakti untuk bersama-sama berdoa dan sharing seputar berbagai pergulatan para orang tua dalam menanggapi pergumulan yang dialami oleh anak mereka. Dalam Poci, para orang tua merasakan ada sebuah ikatan kekeluargaan yang membuat mereka berani untuk terbuka antara satu dengan yang lain. Keterbukaan dari orang tua mereka ini juga yang secara tidak langsung menguatkan panggilan anak-anak mereka.

PAGUTER Paguter adalah paguyuban orang tua terpanggil. Acara-acara yang dilakukan dalam Paguter ialah seminar ataupun retret. Banyak para orang tua yang semangat dalam mengikuti acaraacara yang diadakan oleh Paguter. Akan tetapi, yang menjadi kendala ialah permasalahan dana untuk mengadakan acara tersebut karena sekali mengadakan acara tersebut dibutuhkan uang puluhan juta. Lantas, bapak dan ibu Hari sendiri percaya bahwa tangan Tuhan akan senatiasa bekerja. Buktinya, selama ini ada saja uluran tangan dari orang-orang yang peduli akan tumbuhnya panggilan menjadi seorang biarawan-biarawati. Meskipun tidak menutup kemungkinan diharapkan paroki tempat orang tua yang anakanaknya terpanggil juga memberikan donasi untuk terselenggaranya acara-

acara tersebut.

GOTAUS Gotaus merupakan rekan kerja dari KWI yang memiliki kepedulian terhadap panggilan para calon biarawan-biarawati. Bapak dan ibu Hari, serta tim biasanya datang ataupun diundang di kantor-kantor atau tempat-tempat tertentu untuk mencari dana yang diperuntukkan bagi pendidikan calon imam di Indonesia. Sebenarnya, bapak dan ibu Hari sungguh bersyukur karena begitu banyak umat yang turut membantu pembiayaan pendidikan calon imam di Indonesia sehingga sungguh sakit rasanya ketika mendengar ada calon imam ataupun imam yang keluar karena ada permasalahan yang serius. Tujuan utama diadakan Gotaus sendiri setidaknya membantu para seminaris dalam memenuhi kebutuhannya. Gotaus memberikan bantuan kepada satu anak sebesar 100.000 ribu rupiah.

Syukur dan Peduli Tiada syukur tanpa peduli sungguh mereka rasakan dalam hidup ini. Rasa syukur atas hidup justru datang ketika mereka mau peduli dengan Gereja dan sesama, secara khusus peduli akan panggilan para calon imam. Oleh karena itu, mereka hanya dapat berharap kepada Tuhan agar para calon imam ataupun imam dapat menjadi orangorang yang rendah hati dalam melayani umat titipan dari Tuhan.###

TS/X-Edisi 25

43


Pojok Teologi

Roh Kudus yang Mengarahkan: Pendorong dan Penuntun fr. Wahyu Kristian Wijaya

Apa peran Roh Kudus di dalam Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta (Ardas Pastoral KAJ) tahun 2011-2015? Pertanyaan ini dengan sendirinya terjawab dalam kalimat pertama rumusan Ardas Pastoral KAJ: “Gereja Keuskupan Agung Jakarta bercita-cita menjadi Umat Allah yang, atas dorongan dan tuntunan Roh Kudus, semakin memperdalam imannya akan Yesus Kristus, membangun persaudaraan sejati, dan terlibat dalam pelayanan kasih di tengah masyarakat.� Jadi, Roh Kudus berperan mendorong dan menuntun umat Allah untuk mewujudkan cita-cita Ardas Pastoral KAJ. Bagaimana peran ini secara nyata dijumpai dalam implementasi Ardas Pastoral KAJ?

44

TS/X-Edisi 25


Mari Berefleksi Implementasi Ardas Pastoral KAJ yang telah berjalan selama empat tahun terakhir, pastilah membuahkan hasil. Secara khusus, tulisan ini merefleksikan peran Roh Kudus. Peran Roh Kudus nyata melalui buahbuahnya, yakni “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22-23). Kemudian, bagaimana buah-buah Roh tersebut dirasakan secara konkret? Buah-buah Roh merupakan rahmat. Rahmat dipahami sebagai “suatu relasi, yakni relasi antara Allah dan manusia, yang sifatnya begitu rupa sehingga Allah yang mendatangi manusia dan menerima manusia berdosa” (Dister, 2004: 190). Rahmat sebagai karunia, tentu saja perlu dimohon dan permohonan ini tampak di dalam doadoa yang dirumuskan berkaitan dengan tema tahunan Ardas Pastoral KAJ. Rumusan doa ini selalu bersifat Trinitaris, sebagaimana dirumuskan dalam Credo Nikea-Konstantinopel (Dister, 2004: 153). Usaha Umat Allah dalam bentuk doa ini merupakan karya Roh Kudus “sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” (Rom 8:26).

Sosialisasi Tahun 2011 merupakan masa sosialisasi Ardas Pastoral KAJ dan Tim Karya Pastoral KAJ telah menyusun sebuah buku panduan Ardas Pastoral KAJ berjudul “Menuju Gereja Keuskupan Agung Jakarta yang Dicita-citakan:

Peluang-peluang Implementasi Arah Dasar Pastoral Tahun 2011-2015.” Buku ini merupakan buah “dorongan dan tuntunan Roh Kudus” yang nyata di dalam sosialisasi Ardas Pastoral KAJ kepada Umat Allah agar mereka dapat mengetahui, memahami, dan kemudian mengimplementasikannya. Sosialisasi ini didukung dengan doa: “Ya Roh Kudus, kobarkan semangat kami untuk menjadikan setiap orang dan seluruh alam ciptaan saudara kami, untuk semakin ramah, rela menyapa, memelihara, giat saling membantu dalam lingkungan dan masyarakat kami. Jadikan kami umat-Mu yang mau berbagi dengan tulus hati.” Doa ini merupakan permohonan umat beriman agar dimampukan mewujudkan citacita Ardas Pastoral KAJ secara konkret. Buah-buah Roh dibahasakan secara lebih konkret: ramah, berbagi, dan tulus hati. Doa ini tentu sudah terjawab dengan berbagai bentuk. Iman yang mendalam memampukan Umat Allah melihat dan merenungkan karya-Nya.

Makin Beriman Tahun 2012 dirayakan sebagai Tahun Iman, yang berpuncak dalam Perayaan Ekaristi. Iman akan Allah

Buah-buah Roh dibahasakan secara lebih konkret: ramah, berbagi, dan tulus hati.

TS/X-Edisi 25

45


Tritunggal nyata dalam doa Tahun Iman: “Ya Allah Tritunggal Mahakudus, Bapa, Putera dan Roh Kudus, kami umat-Mu bersyukur atas karunia iman yang membawa keselamatan.” Rumusan Trinitaris mengungkapkan landasan iman yang secara eksplisit dinyatakan di dalam Credo (Aku Percaya). “Credo terdiri atas tiga artikel utama: Pertama, percaya pada hanya satu Allah, Bapa Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi. Kedua, percaya pada Yesus Kristus, Putra tunggal-Nya, Tuhan kita. Ketiga, percaya pada Roh Kudus, yang hadir dalam Gereja katholikê yang kudus.“ (Susanto [ed.], 2014: 8).

“Dipersatukan dalam Ekaristi, Diutus untuk Berbagi.” Iman perlu dihayati, dirayakan dan juga diamalkan melalui tindakan nyata karena “iman tanpa perbuatanperbuatan adalah mati.”

46

TS/X-Edisi 25

Doa Tahun Iman ini diwujudkan dalam semangat Aksi Puasa Pembangunan (APP): “Dipersatukan dalam Ekaristi, Diutus untuk Berbagi.” Iman perlu dihayati, dirayakan dan juga diamalkan melalui tindakan nyata karena “iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” (Yak 2:26). Lagu “Mari Berbagi” merupakan karya nyata yang didorong dan dituntun oleh Roh Kudus pula. Lagu ini sangat fenomenal karena dihafal dan dinyanyikan Umat Allah mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Roh Kudus hadir dalam sukacita dan antusiasme Umat Allah yang dipersatukan dalam persaudaraan.

Makin Bersaudara Tahun 2013 dirayakan sebagai Tahun Persaudaraan dengan tema “Makin Beriman, Makin Bersaudara, Makin Berbelarasa.” Tahun Persaudaraan didukung Umat Allah dengan doa: “Allah Bapa di surga, Putra-Mu mengajarkan kepada kami untuk mencintaiMu sepenuh hati dan mencintai manusia seperti diri sendiri. Bimbinglah kami dengan daya Roh Kudus-Mu, supaya ajaran mulia itu makin terwujud nyata, dalam hidup bersama sebagai saudara.” Roh Kudus dimohon untuk


membimbing usaha dan niat baik Umat Allah yang ingin mewujudkan iman akan Yesus Kristus dalam setiap usaha menjalin persaudaraan. Persaudaraan ini tidak hanya sekadar persaudaraan dalam keluarga, lingkungan, dan wilayah serta paroki, namun persaudaraan universal yang mampu “mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri” (Mrk 12:33) dan seluruh alam ciptaan (Mzm 104:24). Persaudaraan yang telah terwujud di dalam Gereja hendaknya memberi efek positif bagi masyarakat, bangsa, dan negara dengan berdialog dengan agama lain (EG art. 250) dan saling melayani.

Dipilih untuk Melayani “Dipilih untuk Melayani” adalah tema Tahun Pelayanan (2014). Kata “melayani” diambil dari semangat Yesus yang “datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat 20:28). Kata “dipilih” selain terdapat di dalam Injil

(lihat Mat 22:14; Luk 13:20; Kis 1:2) juga dipakai dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara yang merayakan pesta demokrasi dalam proses pemilihan umum. Gereja menaruh harapan terhadap pemilu 2014. Mereka yang terpilih diharapkan memiliki semangat melayani demi kesejahteraan masyarakat dan bukan sebaliknya “memerintah rakyatnya dengan tangan besi” (Mat 20:25). Di Tahun Pelayanan ini, Umat Allah berdoa: “Bimbinglah kami dengan Roh Kudus-Mu agar kami bertekun mewujudkan ajaran-Nya: supaya kami lebih suka melayani, bukan dilayani; supaya kami berbelarasa bagi yang menderita; supaya kami melayani dengan tulus dan gembira. Tuntunlah kami agar mampu berbagi harta, talenta, waktu, dan tenaga untuk mewujudkan pelayanan penuh kasih bagi sesama yang lemah, kecil, miskin, dan tersisih.”

Diskusi komunitas bersama perwakilan FKUB Jakarta; 21 April 2015

TS/X-Edisi 25

47


Roh Kudus dimohon untuk membimbing, menuntun, dan mendorong Umat Allah dalam mengusahakan pelayanan yang konkret. Di mana peran Roh Kudus? Roh Kudus sebagai Roh Pemersatu di dalam penyertaan-Nya sepanjang tahun politik sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap bersatu.

Syukur dengan Peduli Tahun 2015 dirayakan oleh Umat Allah KAJ sebagai Tahun Syukur. Namun, Gereja Universal juga menjadikan tahun 2015 sebagai Tahun Hidup Bakti. Pada tahun ini, Umat Allah berdoa: “Bimbinglah kami dengan Roh KudusMu agar kami dapat menimba inspirasi dari peziarahan selama ini supaya kami semakin mencintai Engkau, semakin tulus peduli kepada sesama, semakin gembira melayani sesama. Tuntunlah kami untuk mewujudkan syukur dengan peduli kepada mereka yang lemah, kecil, miskin, dan tersisih, juga dengan upaya membangun keutuhan ciptaan serta lebih tekun mendukung pengembangan generasi muda dan panggilan biarawan-biarawati.� Roh Kudus sejak awal mengarahkan perjalanan Arah Dasar Pastoral KAJ tahun 2011-2015. Kehadiran-Nya dirasakan melalui buah-buah Roh

(Gal 5:22-23). Umat Allah memohon penyertaan Roh Kudus dalam evaluasi dan refleksi di Tahun Syukur ini. Refleksi yang mendalam akan menemukan Allah dalam setiap pengalaman. Allah senantiasa hadir, namun kadang tidak disadari. Maka, yang terpenting adalah sikap terbuka pada sapaan Allah. Semua adalah karya Allah. Allah yang telah memulai karya-Nya yang baik akan menyelesaikannya juga dengan baik (bdk. Flp 1:6).

Sumber bacaan: Dister, Nico Syukur. 2004. Teologi Sistematika 1. Yogyakarta: Kanisius. Dister, Nico Syukur. 2004. Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius. Fransiskus, Paus. 2013. Evangelii Gaudium. Vatikan: Roma. KAJ, Tim Karya Pastoral. 2011. Menuju Gereja Keuskupan Agung Jakarta yang Dicitacitakan: Peluang-peluang Implementasi Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta Tahun 2011-2015. Jakarta: Sekretariat KAJ. Susanto, Josep Ferry (ed.). 2014. Credo dan Relevansinya: Ulasan Komprehensif Rumusan Iman Kristiani. Jakarta: Obor.

Umat Allah memohon penyertaan Roh Kudus dalam evaluasi dan refleksi di Tahun Syukur ini.

48

TS/X-Edisi 25


TS/X-Edisi 25

49


Sudut Sastra

?

25 April

fr. Mahendra Budi P

25 April adalah hari yang aku tunggu-tunggu setiap awal tahun. Hari itu begitu spesial bagiku karena harapan dan keinginan bisa terjadi pada hari itu. Tahun lalu, aku ingin berjalan-jalan bersama ayahku. Ayahku jarang pulang ke rumah dan bertemu dengan aku. Aku ingin menjadikan hari itu sebagai momen di mana aku bisa jalan-jalan dan bicara hanya dengan dia, tanpa ada yang lain. Ketika aku jalan-jalan bersama ayahku, aku melihat bunga yang mampu mengalihkan perhatianku dari ayah. Bunga itu memberi kesan begitu mantap dalam diriku, warna merahnya yang mengelilingi warna kuning menembak mataku, bentuknya yang seksi seakan-akan mengajak aku untuk tetap melihatnya. Akan tetapi, mawar itu adalah gangguan keinginanku. Ia membuat keinginanku untuk bersama ayah hampir lenyap. Untung saja ayahku kembali mengingatkanku bahwa aku ingin jalan-jalan dan bicara bersama ayahku. Ingatan pada keinginan dan realitas tahun lalu masih kental dalam pikiranku saat ini. Masih mengawangawang dan memberi pelajaran penting bagiku, “Hal manakah yang menjadi keinginanku?�

50

TS/X-Edisi 25

Empat puluh hari lagi tanggal itu akan datang. Aku masih bingung, keinginan apa yang akan aku lakukan? Sebenarnya, aku memiliki beberapa keinginan yang muncul sepanjang tahun ini. Aku ingin naik gunung, aku ingin pergi ke Solo, aku ingin berselancar, aku ingin naik ke puncak monas, aku ingin‌, aku ingin‌, aku ingin‌. Tapi, apakah keinginankeinginan itu harus aku lakukan ketika 25 April nanti? Keinginan mana yang paling spesial sehingga pantas untuk aku lakukan tahun ini? Menurutmu? Ah, mengapa aku harus bertanya padamu, toh juga tidak bisa memberi jawaban. Jawabanmu pasti menambah kebingunganku untuk memilih yang mana, A atau B, bahkan C.

Tiga hari yang lalu, nenekku mengajakku untuk tinggal bersama dia. Ia berjanji akan menyekolahkan aku di bidang yang aku sukai. Tempat nenek tinggal sungguh menggiurkan. Di sana, aku akan mendapat banyak hal, termasuk kehidupan yang baru. Di sana, aku akan mempersiapkan diriku sesuai keinginanku. Itulah nenekku, rasa sayangnya begitu besar. Ia berupaya menyediakan berbagai fasilitas agar aku bisa tinggal bersama dia dan fasilitas-fasilitas itu sesuai dengan


?

keinginanku. Setiap ia memberi tawaran untuk tinggal bersama dia, aku selalu bersyukur atas anugerah ini, anugerah cinta dari nenekku. Akan tetapi, bila tiba-tiba keinginanku itu sirna, apakah aku bisa tetap tinggal bersama nenekku? Lantas, apa yang membuat aku bisa tetap tinggal bersama dia? Tentu saja bukan keinginan lagi, tapi apa? Apa yang membuat keinginan tetap ada dalam hati? Jika melihat kembali, keinginan itu bagaikan air Waduk Gajah Mungkur selama musim hujan yang selalu memuntahkan airnya dan akan berhenti ketika musim kemarau. Ia mau menampakan dirinya, menuju ke permukaan, tetapi ketika sudah sampai ke permukaan, luber, dan akhirnya kebosanan akan menutup dirinya sendiri. Saatnya aku merumuskan mengenai keinginan yang tidak bisa dimakan oleh kebosanan, ia tetap, meski sudah luber maupun kering. Pembicaraan lain. Ingin rasanya, aku bertemu dengan mawar itu kembali. Duduk di sampingnya dan merasakan damai. Ia tidak lagi menjadi selingan dalam keinginanku, tetapi akan kujadikan dia sebagai keinginanku. Aku ingat sekali warna merahnya yang mengelilingi warna kuning yang menembak mataku, bentuknya yang seksi seakan-akan mengajak aku untuk tetap melihatnya. Akan aku cari dia sampai ketemu, mungkin di taman di mana kita bertemu, mungkin di toko bunga, mungkin di tangan orang yang memetiknya. Apakah ia sudah layu? Ah, tidak apa, ia masih bunga mawar, apapun bentuknya. Tapi, apakah aku siap melihat dia dalam kondisinya yang sekarang? Apakah keinginanku untuk melihat mawar itu tetap ada ketika bayanganku tentang nya tidak sesuai dengan kondisinya sekarang? Aku menjadi takut. Aku tidak takut untuk mencari mawar itu, tapi aku takut melihat mawar itu dengan

segala kondisinya sekarang. Ketakutan juga mampu membuat keinginanku menjadi sirna. Ketakutan seperti monster pemakan segala, yang bisa melenyapkan segala sesuatu, termasuk keinginanku. Aku semakin bingung. Satu keinginan muncul, tapi muncul hal tertentu yang membuat keinginan itu sirna sebelum dikabulkan. Apakah aku harus membuat keinginan saat ini, sehingga bisa aku lakukan 25 April nanti? Preettttt! Jangan-jangan, timbul kekecewaan ketika aku mengabulkan keinginanku yang satu dan tidak memilih keinginanku yang lain? Aku memutuskan untuk tidak membuat keinginan pada tahun ini. Aku terlalu dipusingkan dengan seorang tokoh yang namanya “keinginan�. Ia memainkan pikiranku dengan keanekaragamannya, dengan cara membujuknya, dan dengan segala kenikmatan yang akan aku rasakan ketika aku melakukannya. Pertanyaanku, apakah ada keinginan yang melampaui rasa takut, kekecewaan, dan membuat aku tetap bertahan? Sosok itu mungkin seperti bendungan yang memiliki fungsi membendung air Waduk Gajah Mungkur yang selalu ada ketika musim hujan dan kemarau, dalam segala kondisi air. Entah apapun itu namanya, pokoknya ia selalu ada dalam kondisi diriku dan tetap membuat aku tetap bisa berterimakasih, entah saat senang, sedih, bahkan kecewa. Jika kamu tahu itu, beritahu saya. Jika kamu tidak tahu, tidak usah beritahu saya, tapi kabari saya ketika kamu sudah tahu. Menurutmu? Ah, mengapa aku harus bertanya padamu, toh juga tidak bisa memberi jawaban. Jawabanmu pasti menambah kebingunganku untuk mencari sesuatu di atas keinginanku, yang bisa membuat aku bertahan, walau takut dan kecewa.### TS/X-Edisi 25

51


Sharing Pastoral

Mau Belajar Apa? fr. Alberto Ernes

“Kak, hari ini kita mau belajar apa?� begitu salah satu ungkapan dari anak-anak yang kutemui dalam tugas perutusanku. Tugas perutusan yang kudapatkan adalah mengajar anak-anak jalanan atau mereka yang terpinggirkan di Tanah Merah, Plumpang. Sebelumnya, aku mendapatkan tugas untuk mengajar di Papanggo, Sunter. Namun, tidak bertahan lama. Kemudian, aku berpindah ke Pedongkelan. Pada akhirnya, aku bersama Fr. Fritz harus kembali berpindah lagi dan mendapatkan tempat baru di Tanah Merah. 52

TS/X-Edisi 25


Pengalaman mengajar anak-anak yang terpinggirkan merupakan hal yang menyenangkan dan berharga bagiku. Anak-anak ini hidupnya dapat dikatakan jauh dari kata “nyaman�. Sejauh yang kualami dan kusaksikan, meskipun mereka hidup dalam kondisi yang seperti itu, mereka tetap senang dan bahagia dalam menjalani hidup ini. Mereka selalu bersemangat dan selalu ceria dalam keadaan apapun, terutama ketika kami datang untuk membantu mereka dalam mengasah segala kemampuan mereka dalam masa pendidikan ini. Pengalaman berpastoral di Tanah Merah ini membuatku sadar bahwa di Jakarta ini masih ada orang-orang yang hidupnya tidak seindah mereka yang sering kusaksikan di layar televisi. Aku bersyukur bahwa aku diberi kesempatan untuk mengenal dan masuk ke dalam lingkungan mereka secara langsung. Sebelum mendapatkan pengalaman yang istimewa dan penuh anugerah ini, kusadari bahwa aku kurang mengetahui keberadaan mereka karena mataku seolah tertutup oleh kemegahan bangunan-bangunan pencakar langit yang begitu mempesona.

Keberadaan mereka semakin terasa menyedihkan ketika aku mengetahui bahwa di balik kemegahan bangunanbangunan pencakar langit itu, mereka hidup dalam keterbatasan fasilitas yang kurang memadai. Akan tetapi, di balik itu semua, mereka tetap mampu menemukan kebahagiaan dan kegembiraan hidup ini. Bagiku, hal ini adalah karunia dan anugerah yang istimewa, di mana aku dapat merasakan sendiri indahnya hidup ini melalui kenyataan hidup mereka. Ketika menyadari pengalaman ini, aku merenungkan bahwa kita yang mempunyai kehidupan yang cukup memadai dengan berbagai fasilitas yang tersedia seringkali kurang bersyukur dan berterima kasih atas segala anugerah yang telah diberikanNya. Kita lebih sering mengeluh dan hanya dapat meminta terus-menerus, tetapi kita jarang mengucapkan rasa syukur kita kepada Allah. “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.� (1 Tes 5:18). Perikop inilah yang mengajakku untuk selalu mengucap syukur dalam segala hal dan dalam waktu apapun karena dengan kekuatan syukur, kita semakin

Dengan mampu mensyukuri atas segala sesuatu yang telah kita terima, maka kita pun akan mampu melihat indahnya dunia ini.

TS/X-Edisi 25

53


dimampukan dan dikuatkan untuk menjalani hidup yang indah sekaligus penuh tantangan ini.

kepada mereka. Sementara itu, yang didapat oleh mereka hanyalah sekadar ilmu pengetahuan pada umumnya.

Pengalaman berpastoral ini terasa sangat menantang karena aku mengalami pergulatan di dalamnya. Pergulatan ini kurasakan ketika aku mulai menanyakan kembali tugas perutusanku ini. Apakah aku melakukan tugas ini hanya sekadar menaati staf seminari dan melaksanakan tugas saja atau aku melakukan tugas pastoral ini dengan pelayanan yang sepenuh hati demi orang lain dan demi perkembangan diriku? Pada awalnya, aku menyadari bahwa aku melakukan hal ini hanya sekadar melaksanakan tugas dari staf seminari. Pada saat itulah, aku menyadari bahwa yang kulakukan ini hanya demi diriku saja agar aku terlihat baik. Selama masa ini, yang kudapat hanyalah kekosongan belaka. Aku tidak mendapatkan kegembiraan dan kebahagiaan bersama orangorang yang kulayani. Fokusku hanya kepada diriku sendiri. Kegembiraan dan kebahagiaan yang kudapat hanya untuk diriku sendiri dan tidak dapat kubagikan

Namun, semuanya berubah ketika aku merenungkan dan merefleksikan perjalanan tugas perutusanku. Kata ‘mengajar’ adalah salah satu bentuk kegiatan pelayanan untuk membimbing, mendampingi seseorang, dan memberikan sesuatu berupa ilmuilmu pengetahuan kepada mereka. Anak-anak terpinggirkan adalah mereka yang hidupnya dapat dikatakan cukup jauh dari hidup yang “nyaman”.

54

TS/X-Edisi 25

Ketika melihat, menemukan, dan merenungkan hal ini, aku menyadari bahwa selama ini pelayanan yang kulakukan hanya demi keuntungan bagi diriku sendiri. Selain itu, kata ‘anakanak terpinggirkan’ ini yang sungguhsungguh menyadarkanku bahwa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh mereka adalah kegembiraan dan keceriaan dalam sapaan, rasa cinta, dan perasaan diperhatikan oleh orang lain, bukan hanya sekadar ilmu pengetahuan. Ketika mulai menyadari hal ini, aku


merasa menyesal dan sedih karena aku hanya melakukan tugasku sebagai formalitas belaka, bukan berasal dari hati. “… lakukanlah segala sesuatu yang dikandung hatimu, sebab TUHAN menyertai engkau.” (2Sam 7:3) Kutipan perikop ini sungguh menguatkanku dalam melakukan tugas perutusan ini. Kata ‘hati’ seringkali kita dengar dan mudah diucapkan, namun sulit untuk diikutsertakan dalam aktivitas kita. Melakukan segala sesuatu dan melayani dengan hati bukanlah hal yang mudah bagiku karena sangat membutuhkan kerendahan hati dan kesadaran untuk melakukan sesuatu secara tulus dan ikhlas kepada orang lain. Pergulatan inilah yang pada akhirnya membawaku sampai kepada kesadaran bahwa Yesus selalu melakukan segala sesuatu dengan rendah hati, termasuk hal yang paling berat sekalipun sampai Ia harus mengalami penderitaan dan wafat di kayu salib. Segala sesuatu yang dilakukan oleh Yesus sungguh-sungguh berasal dari hati. Pengorbanan Yesus inilah yang sangat menginspirasi diriku untuk melakukan segala tugas dengan hati.

Tidak hanya itu, kesetiaan Yesus dalam melakukan tugas dari Bapa menginspirasiku juga. Kesetiaan yang ditunjukkan Yesus ini sangat nampak dalam kisah sengsara yang dialami oleh-Nya. Ia dengan rela menyerahkan diri-Nya untuk menerima segala penderitaan sampai wafat-Nya di kayu salib. “Maka lakukanlah semuanya itu dengan setia, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu.” (Ul 5:32). Kutipan perikop ini dan perjalanan kesetiaan Yesus sangat meneguhkanku untuk melakukan tugas perutusanku dengan kesetiaan. “Aku melayani Tuhan dengan seluruh kerendahan hati” dan menjadi Gembala yang Baik dan Murah Hati. Kedua hal inilah yang pada akhirnya menjadi arah langkahku sebagai calon imam KAJ. Kedua inspirasi ini memberikanku kekuatan bahwa di tengah besarnya arus gelombang tantangan kota metropolitan ini, aku tetap diajak untuk mampu melayani dengan hati dan berusaha menjadi pelayan yang baik dan murah hati; menemukan, dan melayani Tuhan di dalam setiap pribadi yang kujumpai setiap harinya.###

Kata ‘mengajar’ adalah salah satu bentuk kegiatan pelayanan untuk membimbing, mendampingi seseorang, dan memberikan sesuatu berupa ilmuilmu pengetahuan kepada mereka.

TS/X-Edisi 25

55


Sharing Pastoral

En-Theos fr. Bernard Rahadian

Apa yang patut saya syukuri dari probasi luar (Red—masa latihan kerja di luar rumah)? Itulah pertanyaan pengantar bagi saya sebelum menulis. Saya belum mampu memberikan rumusan sahih atas jawaban itu, namun saya tetap ingin berbagi cerita. Dari sebab itu, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjadi satu tulisan yang padu, tidak juga dimaksudkan untuk memberikan jawaban gamblang atas pertanyaan tersebut. Semoga tulisan ini bisa membantu menjelaskan maksud yang tidak terungkapkan dengan bahasa manusia yang terbatas. Persiapan Saya diutus ke Sukatani bersama dengan fr. Carol. Saya bersyukur memperoleh fr. Carol sebagai rekan seperjalanan saya. Ketika ditawari ingin probasi di mana, saya memilih di Depok. Alasannya sederhana, yaitu karena saya belum pernah ke Depok. Ternyata, Romo Direktur mengabulkannya dan saya diutus bekerja kepada Ibu Yusefin Lely Kusumaningsih, seorang notaris yang juga merupakan aktivis lingkungan hidup.

Beriman Lewat Uang Seluruh uang saku dan uang tabungan hendak saya bawa untuk probasi. Sebelum berangkat, Romo Rektor memeriksa barang bawaan kami. Ketika tiba giliran saya, ia mempertanyakan mengapa saya membawa semua uang itu.

56

TS/X-Edisi 25


Pada titik itulah saya sadar bahwa saya seumpama benih yang ditabur dan jatuh di tengah semak berduri, terhimpit kekhawatiran dunia. Saya tidak diomeli, tidak juga dihakimi. Romo rektor justru memberi pengertian bahwa tindakan saya ini bisa berbahaya. Meski sadar akan hal itu, saya tetap takut sehingga kesadaran itu-pun saya abaikan. Dalam doa, saya mendapati bahwa ketakutan itu berakar dari sikap berkecil hati. Rasa kecil hati yang membuat saya meragukan diri saya dan bahkan meragukan rahmat Allah. Lalu? Tentu ketakutan dan keraguraguan tetap ada, namun pada akhirnya saya tidak membawa uang itu. Inikah juga yang dialami Rasul Petrus di Danau Galilea, ketika diminta menebarkan jala? Ia meragukan amanat Yesus untuk bertolak ke tempat yang dalam dan menebar jala di sana namun, “in verbo autem Tuo, laxabo rete—tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga (Lukas 5:5).� Demikianlah terjadi, meski di dalam

keragu-raguan, Rasul Petrus panen ikan dan saya masih tetap hidup. Allah mengajak saya mengawali probasi ini dengan belajar mengimani DIA. Tidak membawa uang banyak-banyak menjadi latihan untuk itu. Inilah pelajaran pertama di awal probasi, yaitu belajar beriman, bertolak ke tempat yang dalam tanpa banyak tanya meski raguragu.

Bersaudara dengan yang Saudara Banyak kegiatan yang kami lakukan selama probasi, namun sebagian besar berhubungan dengan tanaman. Kami bekerja bersama Pak Kiman, seorang petugas keamanan di Sukatani yang dipercaya oleh Bu Lely untuk merawat bibit tanaman yang akan dipakai untuk penghijauan. Ribuan bibit dengan segala ukurannya ada di sana. Kami menyiangi, mengganti tanah dan memberi pupuk, mengangkut tanaman, dan ikut mengirim serta menanamnya di beberapa tempat di Jawa Barat dan Banten.

Dalam doa, saya mendapati bahwa ketakutan itu berakar dari sikap berkecil hati. Rasa kecil hati yang membuat saya meragukan diri saya dan bahkan meragukan rahmat Allah.

TS/X-Edisi 25

57


Paus Fransiskus dalam pengajarannya menyebutkan istilah triple love, yaitu cinta kepada Allah, kepada sesama, dan kepada alam ciptaan. Dalam kesempatan bekerja di kebun, saya diajak untuk belajar mencintai alam ciptaan, secara khusus mencintai tanaman, being (makhluk) yang kerap dianggap sama saja dengan thing (benda). Bekerja dengan tanaman terutama membutuhkan keterlibatan hati yang di dalamnya terintegrasikan kekuatan fisik dan pikiran. Merawat tanaman dengan hati, melahirkan rasa dan hasil yang berbeda dengan sesuatu yang hanya sekadar dimaknai sebagai pekerjaan belaka. Yang diprediksi mati ternyata hidup, sedangkan yang segar bisa mati. Mengapa demikian? Karena mereka hidup! Mereka menghirup udara yang sama dengan kita. Mereka sa-udara (baca: satu udara) dengan kita, saudara kita, saudara se-ciptaan, Allah kita sama. Mereka �menghadirkan� Allah dengan cara mereka yang khas. Sebagaimana manusia, Allah menciptakan mereka juga sebagai subjek kehidupan.Tanpa hati, kita merendahkan tanaman yang hidup sebagai ciptaan Allah yang dalam

diamnya mencerminkan penyerahan yang penuh. Merawat, menjaga,dan menghargai tanaman serta lingkungan hidup dengan hati, merupakan bentuk nyata pewartaan iman kita terhadap �kehadiran-Nya�yang menakjubkan.

Melayani dengan Sukacita Di samping bekerja di kebun, kami berkesempatan untuk menjadi kuli pengki, pedagang sayur keliling, serta buruh pergudangan. Ke pasar? Itu sudah biasa; ke pasar jam satu pagi? tidak biasa. Mendaki gunung? Belum pernah; Mendaki buku? Sudah! Kami tidak bekerja seorang diri. Di tengah kepenatan, mereka (para buruh misalnya) masih mengajak saya berdiskusi tentang batu akik atau bercerita dengan penuh semangat. Banyak orang yang kami jumpai dan satu ciri menarik yang ada di setiap pribadi yang kami jumpai adalah ekspresi sukacita. Dalam hidup yang sederhana dan tidak selalu mudah, mereka bersukacita. Entah dari mana datangnya sukacita itu, namun kenyataan itu menandakan adanya syukur dalam hidup mereka.

Yang diprediksi mati ternyata hidup, sedangkan yang segar bisa mati. Mengapa demikian? Karena mereka hidup! Mereka menghirup udara yang sama dengan kita.

58

TS/X-Edisi 25


Tiada Syukur tanpa Peduli Saya tertarik akan suatu energi positif yang terpancar keluar dari kesederhanaan mereka dan seolaholahmau mengundang saya untuk ikut bersukacita bersama mereka. Di lain kesempatan, sukacita mereka membuat keuletan, kesetiaan, kesabaran, serta keutamaan hidup melulu dimaknai demi kesejahteraan dan kesuksesan, namun justru memberi makna dan mencerahkan hidup yang tidak selalu mudah ini. Sebagai umat Allah yang meniti ‘jalan Tuhan’ sukacita itu saya sadari sebagai ciridari syukur. Syukur menjadi sikap iman yang begitu sederhana

namun sangat berdaya. Di dalam syukur yang sejati selalu ada antusiasme karena syukur selalu bersifat en-Theos (di dalam Tuhan). Dengan antusiasmenya, syukur menggerakkan (driving) dan sifatnya sentrifugal-keluar: menyebar luas dan menuju ke kedalaman. Itulah kiranya mengapa kepedulian (suatu aksi keluar) akhirnya tidak bisa tidak lahir sebagai dayadari rasa syukur yang en-Theo situ. Tuhan mengajak Anda dan saya untuk menghidupi syukur itu. Jadi, apa yang patut saya syukuri dari probasi? Iman, persaudaraan dan pelayanan kasih? Syukur dan peduli? Semuanya? Deo gratias, syukur kepada Allah.

Komunitas Seminari Tinggi sedang mendiskusikan dokumen Rerum Novarum; 13 Febuari 2015

TS/X-Edisi 25

59


Persona Imam

SYUKUR RD. Riki Maulana Baruwarsa

50 tahun yang lalu (tepatnya: 8 Desember 1965) konsili ekumenis Konsili Vatikan II resmi ditutup oleh Paus Paulus VI dengan sebuah perayaan Misa yang meriah. Dalam homilinya, Paus Giovanni Battista Montini ini (nama asli Paus Paulus VI) mengungkapkan bahwa “kita tidak dapat mengenyampingkan makna religius yang luhur dari Konsili ini yang memberikan perhatian utama pada kenyataan dunia modern. Gereja harus bergerak untuk mengenal secara lebih dekat, memahami, terlibat, melayani dan mewartakan Kabar Sukacita kepada masyarakat dunia dan menerimanya dengan segala perubahan yang ada di dalamnya yang terjadi secara cepat dan terus-menerus”. Penutupan Konsili Vatikan II ini kiranya patut disyukuri jika sungguh disadari dinamika yang terjadi di dalamnya semasa persiapan, pelaksanaan dan perumusan akhir dokumen-dokumen terkait. Segala ketegangan yang ada baik itu yang berasal dari luar maupun dari dalam peserta Konsili itu sendiri pada akhirnya, dalam arti tertentu, dapat diarahkan pada sebuah ‘akhir’. Kiranya hal ini patut disyukuri karena mengingat konsili sebelumnya, Konsili Vatikan I, yang dibuka pada tahun 1870, sesungguhnya tidak pernah ditutup. ‘Akhir’ menjadi sangat penting untuk dapat melihat dan menyadari jauhpendeknya perjalanan yang telah dilalui. Untuk itu, kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika Paus Paulus VI dengan bangga menyebutkan tingkat partisipasi

60

TS/X-Edisi 25


yang tinggi dalam Konsili Vatikan II: 2450 peserta, yang terdiri dari para uskup, kardinal, teolog, awam, cendekiawan, seniman. Bahkan hadir sebagai undangan beberapa tokoh yang non-Katholik. Melalui ‘akhir’ ini pula bisa dirasakan pula semangat yang telah dan terus membakar para Bapa Konsili: Persahabatan dan Keterbukaan terhadap sejarah. Konsili Vatikan II merombak cara berpikir atau logika ‘mengutuk’ dan membuka diri terhadap aspek kesejarahan manusia. Tentu sangat disadari adanya ketidakpuasan dari sebagian pihak terhadap hasil Konsili Vatikan II –banyak imam yang meninggalkan Gereja sebagai bentuk penolakan terhadap pembaruan yang dibawa oleh KV II. Juga sangat dipahami bahwa Konsili Vatikan II tidak memberikan jawaban

atas segala persoalan yang ada. Namun, setidaknya KV II telah memberikan insights yang dapat berguna bagi kehidupan menggereja di zaman modern ini. Rasa syukur muncul dalam momen ‘akhir’. Akhir bukanlah kesudahan segala sesuatu, namun justru awal animasi baru. Pada tahun 2015 ini Gereja Katholik Keuskupan Agung Jakarta bersyukur atas perjalanan Arah Dasar KAJ 2011-2015. Semoga momen syukur selalu menjadi momen reanimasi di tahun-tahun mendatang.

TS/X-Edisi 25

61


62

TS/X-Edisi 25


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.