
3 minute read
Cerpen
“pas kegiatan kayak gitu aja aku ikutnya”. “ya gak pa pa to, disana aku di PMII soalnya”. “tuuu kaaaan kamu yang aktifis…”. Dengan sedikit memperhatikan penampilan ku sekarang. Pakai gamis, berjilbab agak lebar. Hasfa berkomentar dengan candaannya “Kayaknya kamu sekarang anak kajian juga ya?”. “ikut kajian tok tapi kalo males ya enggak”. “pantesan salaman gak mau”. “ya, sama kamu tok gak maunya”. Dan Kami pun saling senyum kemudian tertawa. Sembari ngobrol, sesekali kami menengok ke tembok sebelah timur yang mepet dengan tempat duduk kami. Disana terpampang kaca yang besar dan lebar memenuhi seluruh dinding disekitarnya. Melalui kaca itu aku dan Hasfa sesekali saling curi pandang, sampai bahkan berpandangan. Meskipun sebenarnya kami telah duduk berhadapan. Berpandangan langsung pun tak terhalang. Namun entah kenapa aku dan Hasfa saat itu hanya sering saling pandangan melalui kaca besar itu sembari sesekali melontarkan senyuman. Puas kami bertemu di rumah makan itu. Bercerita, bercanda seakan tak ingin waktu segera berlalu. Hari itu Rabu pertengahan bulan Januari 2002, Hasfa memintaku menemuinya di Stasiun Kota Kediri. Hasfa harus segera kembali ke Jakarta meskipun libur kuliah belum usai, Karena ada urusan yang harus dia kerjakan disana. Sembari menunggu jam berangkat kereta, aku dan Hasfa duduk menghadap ketimur dikursi tunggu teras stasiun dekat rel yang sudah ditempati oleh kereta api jurusan Kediri-Jakarta. “sudah zuhuran?”. “sudah”. “lila, aku ingin kasih ini untuk kamu”. “apa ini fa?”. “buka aja”. Kemudian aku membuka kain yang masih dibungkus plastik itu. Begitu aku buka ternyata kain itu adalah jasket warna hitam dan berbordir benang putih dengan tulisan LIFA. “LIFA, apa maksudnya?”. “LILA dan HASFA”. Sembari tersenyum dia menjelaskannya padaku. Dengan wajah memerah tersipu Aku pun membalas senyuman Hasfa. Tak kusangaka Hasfa memiliki ide seperti itu. “ooo lila dan Hasfa…”. “ini yang ku pake sama kaya itu, gak pa pa kan?”. “i-iya, gak pa pa… makasih lho”. Sesaat kemudian terdengar pengumuman begitu keras dan jelasnya melalui corong speaker stasiun itu.

Advertisement
“mohon perhatian, kereta jurusan Kediri-Jakarta akan segera berangkat dalam lima menit lagi. Bagi seluruh penumpang dimohon segera memasuki gerbong kereta api”. Entah mengapa setelah terdengar pengumuman itu, jantung ku berdegub kencang seketika. seakan tak ku relakan dia pergi dan berjauhan dari ku dalam waktu yang lama. Kemudian, Hasfa begegas berdiri dihadapan ku sembari mengulurkan tangan kanannya ke arah tanganku “masih gak mau salaman lil?” aku pun masih duduk, hanya terdiam untuk menahan segala rasa yang berkecamuk dalam hati dan fikiran ku saat itu. Hasfa akan pergi, setelah ini akan lama kembali. Dan aku pun akhirnya berdiri namun tak berucap sepatah kata pun kecuali menatap wajah lembut Hasfa yang masih berdiri dihadapanku, meminta ku bersalaman dengannya. Hasfa menatap wajah masam ku Sembari merayuk tangan kananku lalu dia pengang erat dengan kedua tangannya, dengan segala keyakinannya dia berkata “kereta akan berangkat, lila tunggu aku ya”. Aku hela nafas, terpaksa merelakanya, lalu membalas senyuman Hasfa dan berkata “iya…”. Air mata ku seakan tak dapat mengalir seiring melepaskan Hasfa pergi. Sedih bercampur bahagia merasuki relung-relung hati ini. Mesin Kereta Api sudah menyala, menderu-deru sejak 10 menit yang lalu. Pintu-pintu gerbongpun terbuka dengan lebarnya. Para penumpang pun berlalu lalang memilih gerbong yang akan ditempatinya. Hasfa bergegas berlalu dari hadapanku untuk menuju gerbong Kereta Api yang terdekat dengan tempat kami berdiri. Kereta Api Brantas warna orange strip biru jurusan Kediri-Jakarta berlahan mulai berjalan dan membawa Hasfa pergi. Tak henti ku perhatikan Hasfa yang saat itu masih berdiri dipintu gerbong tiga. Keretapun berjalan agak cepatnya. Jarak 10 meter dari tempat ku berdiri, Hasfa berteriak keras sembari melihat ku, tangan kanannya berpegangan besi pintu gerbong kereta api “ sampai Jakarta aku pasti menelponmu…”. Aku pun dengan berteriak menjawabnya “iyaaa…”. Seiring dengan lajunya angin kota Kediri siang itu. Kereta Api Brantas telah berjalan kian lajunya membawa Hasfa pergi ke Jakarta. Relung hati ku seakan berkata, Pergilah Hasfa dan kembalilah pada ku tepat pada waktunya. dimana saat itu aku kau jadikan bidadari surga yang menemani disetiap langkah kehidupanmu dalam mimpi dan nyata. Tak perlu kata “I Love U” darimu saat ini, tak perlu kau katakan kita ini apa, tidak perlu pula kita deklarasikan bahwa kita adalah pasangan kekasih. Karena, meski tak terucap oleh bibir manismu itu, jasket ini telah berkata dan bercerita tentang hati ku dan Hasfa.
