7 minute read

Meneguhkan Jatidiri dalam mengarungi Globalisasi

Next Article
Pola Hidup Sehat

Pola Hidup Sehat

Meneguhkan Jati Diri dalam Mengarungi Globalisasi

Laju perubahan wajah dunia semakin cepat saja. Betapa tidak? Coba kita perhatikan perubahan percepatannya tersebut! Dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, bahkan dari abad ke abad kita akan mengetahuinya yang begitu sangat menyolok. Hal ini akan kita ketahui kalau kita rajin mengulik sejarah. Maka benar adanya, kalau kita mau mencermati apa yang pernah disampaikan oleh Bapak Proklamator kita, Bung Karno, “JASMERAH”, jangan sekali-kali kita melupakan sejarah.

Advertisement

Coba kita simak, dari perjalanan sejarah nenek moyang kita. Ketika putera Nabi Adam yang bernama Qobil yang telah membunuh rivalnya, Habil, dalam merebutkan calon istri mereka. Waktu itu, ia sedang kebingungan bagaimana merawat orang yang telah meninggal itu. Maklum, waktu itu belum ada orang meninggal kecuali Habil. Habil yang telah menjadi mayat menyebabkan Qobil kebingungan mencari solusi terakhir. Tidak ia sengaja, dia melihat sepasang burung gagak sedang bertarung ternyata salah satu darinya terkapar, mati. Setelah salah satu didapatinya mati kemudian dia angkut ke tempat sepi. Kemudian, yang masih hidup menggerakgerakkan paruh dan kakinya untuk membuat lubang. Lalu, dikuburlah yang telah mati itu oleh yang masih hidup. Setelah tahu hal itu, Qobil baru mempunyai ide. Bahwa, orang yang telah meninggal itu sebaiknya, seperti burung yang telah mati itu.

Dari kebingungan Qobil setelah membunuh saudaranya, Habil. Dia baru menyadari bahwa orang meninggal itu dimakamkan. Hal yang demikian itu, berlaku juga untuk hal-hal yang lain. Dampak Globalisasi

Berpijak dari hal itu, roda sejarah terus berputar, yang makin lama, makin kencang saja perputarannya hingga sampai ke jaman now (sekarang). Teknologi melesat sangat cepat. Yang dulu, sesuatu terjadi hanya dalam mimpi sekarang sudah mewujud dalam alam nyata. Begitu hebatnya alat transportasi, baik darat, laut, maupun udara. Begitu canggihnya alat komunikasi. Hal itu, cepat atau lambat, akan memengaruhi tatanan sosial. Hal ini sering kita kenal dengan nama zaman globalisasi.

Dengan globalisasi, kata orang Jawa, dunia menjadi selebar daun kelor. Tidak ada tempat yang jauh. Tidak ada tempat yang tidak terjangkau. Mau pergi ke Makkah, Madinah, dan, atau ke kota kota populer lainnya bisa setiap saat yang dimau. Amerika serasa di Ameriki. Apa yang terjadi disana bisa kita nikmati disini. Hal yang demikian itu akan berdampak terhadap tatanan kehidupan umat manusia, baik dampak yang positif maupun yang negatif.

Globalisasi akan menampilkan suatu corak hubungan antar bangsa yang tidak seimbang. Hubungan antar negara-negara maju dan negara-negara berkembang masih ditandai oleh polarisasi kuat-lemah. Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya akulturasi asimetris (posisi tawar-menawar yang tidak seimbang), yaitu bahwa pengaruh negara-negara maju yang lebih dominan dalam berbagai bidang atas negara-negara berkembang, apa lagi Negara miskin.

Akulturasi asimetris itu akan mendorong penetrasi budaya asing ke dalam wilayah budaya nasional suatu bangsa dan mengakibatkan terjadinya transformasi (pergeseran) budaya yang timpang. Proses transformasi budaya ini acapkali menimbulkan keterkejutan budaya (cultural shock) di kalangan bangsa yang tidak memiliki ketahanan budaya yang kuat. Sebagai akibatnya, bangsa tersebut mengalami kegamangan budaya dan terjebak ke dalam persepsi (anggapaan) akan kehebatan budaya bangsa lain.

Pada tingkat tertentu gejala kegamangan budaya menghinggapi sebagian masyarakat Indonesia, seperti tampak response (tanggapan) terhadap pengaruh budaya asing tidak kristis, rasional, dan proporsional-umpamanya pengambil alihan budaya lain dengan apa adanya, tanpa koreksi, terutama dalam hal seni dan mode kehidupan, dari pada pengambil alihan iptek.

Sebagai proses mendunianya kehidupan umat manusia, globalisasi mendorong persebaran dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas geografis. Proses ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia dalam proses modernisasi dan industrialisasi yang dahsyat, yang menciptakan perubahan pada struktur dan pranata masyarakat.

Sebagai akibat dari modernisasi dan industrialisasi adalah munculnya masyarakat modern mempunyai pandangan dunia (world view) yang bertolak dari suatu anggapan tentang kekuasaan manusia (antroposentrisme), bahwa manusia sebagai pusat kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupannya sendiri. Paham ini membidani munculnya pandangan manusia sekuler yang menekankan rasionalitas (kekuasaan akal-pikiran), individualitas (kekuasaan diri-pribadi) materialitas (kekuasaan harta-benda), dan relativitas (kekuasaan nilai kenisbian).

Masyarakat modern –sering juga disebut sebagai manusia tekno-struktur— sangat terikat dengan struktur-struktur kehidupan yang teknologis. Manusia, dalam hal ini, menjadi otomaton-otomaton kehidupan, yang percaya pada kemampuan diri, namun sangat tergantung pada benda yang telah diciptakan sendiri.

Dalam pada itu, tidak ada tempat dalam masyarakat industrial modern bagi sesuatu yang bersifat immaterial dan rohani, karena apa yang disebut immaterial dan rohani merupakan hasil dari sesuatu yag bersifat materi dan bendawi. Akibat dari itu semua, manusia akan kegersangan dan bahkan kekosongan nilai spiritual. Sebagai akibatnya, mereka bersaing satu sama lain untuk merebutkan prestasi setinggitingginya dalam bidang materiil, tanpa memperhatikan nilai etika dan moralitas.

Dewasa ini, dampak negatif dari globalisasi, yaitu berkembangnya beberapa kecenderungan hidup, seperti kecenderungan materealistik (pendewaan terhadap meteri), kecenderungan individualistik (pendewaan terhadap diri sendiri), dan kecenderungan hedonistik ( pendewaan terhadap

hasrat badani).

Kecenderungan-kecenderungan tersebut sedikit banyak sudah menggejala dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota besar. Kecenderungan tersebut merupakan tantangan umat beragama, utamanya umat Islam. Pertama, karena berkembangnya kecenderungan tersebut merupakan tantangan tersendiri terhadap nilai-nilai luhur agama.

Kedua, kecenderungan-kecederungan itu dapat menjalar dengan mudah dan cepat di kalangan masyarakat luas, yang bila tidak segera diatasi dapat menghambat proses pembangunan masyarakat keagamaan di negara kita tercinta ini (Samsudin, 2001).

Peneguhan Jati Diri sebagai Strategi Antisipasitif

Dampak globalisasi begitu hebat. Hal ini tidak hanya berimbas pada hal yang bersifat materi tetapi juga immateri sekaligus. Masing-masing dampak itu begitu dalam menghunjamnya, sehingga diperlukan kiat yang betul-betul jitu sebagai solusinya.

Dampak yang berupa materi, sebagai contoh, efek dari pemanasan global. yang mencairkan es di kutub. Demikian juga, suhu udara semakin panas saja. Kita semua tidak bisa menghindar dari dampak ini. Kita ikut menikmati getahnya juga. Belum lagi, yang berupa varian-variannya. Kalau kita kupas akan menjalar ke mana-mana, menjadi lebih sistemis.

Sedangkan, dampak yang berupa immateri yang –disini-- akan kita kembangkan pencarian solusinya. Insyaalloh. Sementara dampak negatifnya sudah terpapar di depan.

Manusia, sebagaimana diktum sosial, adalah mahluk sosial. Sehingga, secara de vacto, manusia harus bergumul dengan masyarakatnya. Tidak sepatutnya, kalau manusia itu hidup menyendiri, uzlah, masabodoh dengan lingkungannya. Manusia semacam ini bersifat pesimistis, khawatir kalau terkontaminasi (terkotori) oleh lingkungannya. Padahal, idealnya, manusia itu tercipta sebagai rahmah bagi lingkungannya sekaligus menjadi petunjuk bagi mereka (QS, 2:185). Manusia itu harus bermasyarakat.

Oleh karena itu, manusia harus senantiasa mengaktualisasikan dirinya. Sebagaimana wasiat dari Nabinya. Carilah ilmu mulai lahir hingga mati. Dengan harapan, manusia itu sepatutnya dinamis, inovatis, atau bahkan inspiratif, baik bagi diri sendiri maupun untuk lingkungannya. Karena Nabi Muhammad SAW. sendiri, yang sudah maksum (terjaga dari berbuat dosa) saja, masih mewartakan diri Beliau. Bahwa, pengakuan Beliau, “Tuhanku senantiasa membimbing perilaku, sehingga aku menjadi orang yang beradab (berbudi pekerti).”

Maka dari itu, manusia yang sebagai ciptaan Alloh yang terbesar (Maarif, 1984) juga yang tercantik dengan kenjelimetan struktur mental yang amat mengagumkan (QS, An Nisaa’: 4). Sehingga, tidak berlebihan bila Alloh menyuruh malaikat untuk sementara bersujut kapadanya (QS, Al-Qashash: 28-30). Dengan modal itulah

manusia ditugasi untuk menguasai alam bagi kepentingan umat manusia.

Berkait dengan tugas manusia yang begitu besar maka dia harus membekali diri. Di samping bekal iman, ilmu, dan amal yang keihlasan. Yaitu, bekal kemerdekaan atau kebebasan. Dia harus merasa bebas dari belenggu atau intimidasi dari pihak lain. Yang dia takuti hanyalah Alloh SWT. semata. Dengan demikian dia bisa memaksimalkan potensi diri secara optimal. Dan, tidak ada ketergantungan kecuali kepada Alloh. Sebagaimana Alloh SWT. telah menegaskan, “Alloh tidak akan sekali-kali membebani seseorang kecuali sekemampuan maksimalnya (QS, Al-Baqarah: 286)”.

Disamping itu, Islam mengaitkan kemerdekaan dan kebebasan dari segala macam berhala dan belenggu-belenggu dangan penyerahan dengan ikhlas kepada Alloh. Karena, manusia itu di atas segala-galanya, adalah hamba Alloh yang tidak mengakui penyerahan kepada apapun atau siapa pun, selain kepada Alloh semata (Shodr, 1984: 128-129). Oleh karena itu, dasar yang hakiki dari kebebasan di dalam Islam adalah suatu kesatuan dan kepercayaan dalam penyerahan yang ikhlas kepada Alloh, yang dihadapan-Nya segala kekuasaan keberhalaan dihancurkan, dan juga kekuasaan-kekuasaan yang telah menginjak-injak martabat manusia sepanjang sejarah.

Demikianlah Islam meletakkan dasar-dasar kebebasan dari segala macam jenis perbudakan di atas prinsip pengakuan akan penyerahan mutlak kepada Alloh SWT. Yang menjadikan manusia dangan Tuhannya menjadi basis yang berakar kokoh bagi kebebasannya dalam berurusan dengan semua manusia dan semua hal yang alami di dalam kosmos ini.

Untuk tujuan ini, ide kebebasan di dalam Islam telah dijadikan suatu doktrin kepercayaan kepada Tuhan dan keyakinan yang kukuh atas kekuasaan-Nya terhadap alam semesta. Dengan demikian, semakin kuat keimanan seorang muslim semakin menghunjam pula tauhidnya kepada Allah. Dengan tauhid yang kuat, makin meningkat pulalah jiwanya dan makin dalam perasaan akan martabat dan kebebasannya, serta makin keraslah kemauannya untuk berdiri teguh untuk menghadapi segala permasalahan yang menghadang.

Dengan demikian seorang mukmin yang muslim tidak akan silau menghadapi tantang dan godaan yang menjadi kendala hidupnya. Sehingga, dia akan terus maju pantang mundur, pantang putus asa. Tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan dari berbagai gempuran globalisasi. Dia akan selektif untuk memilah dan memilih mana yang bermanfaat dan mana yang tidak. Kita yang telah memproklamirkan diri sebagai panji-panji Islam tentunya semakin waspada terhadap gelombang globalisasi yang semakin kedepan semakin menghebat. Jangan gentar. Karena, Alloh senantiasa bersama kita. Amin. (Moh.Yusuf Wibisono, S.S.Pdi).

This article is from: