Buletin Advokasi No 3

Page 1

Halaman 1

Buletin Petani ADVOKASI No 3/Juni-Juli 2001


Surat Tani

Halaman 2

Tikus Menghancurkan Harapan Panen ketiga yang sangat kami tunggu-tunggu akhirnya gagal. Biasanya panen ketiga itu hasilnya baik, tapi kali ini tikus lah yang menikmati tanaman padi. Tidak ada yang bisa Kami panen, bahkan 25%-nya saja tidak ada. Praktis kami tak dapat apa-apa, maka terpaksa kami tak dapat bayar KUT. Entah datang darimana tikus-tikus itu sungguh membingung-kan Kami, seolah mereka muncul dari tempat jauh. Yang lebih sedih lagi, kami, petani bergerak sendiri, pihak-pihak yang seharusnya membantu tidak tampak datang. Kami sangat menyayangkannya. Sukimin Puron, Bulu, Sukoharjo

Kami turut prihatin. Ayo, temanteman alumni Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu bisa bantu nggak nih? Lewat Buletin khan bisa. Biar semakin banyak yang paham. (Redaksi)

Kok Berani Saya sudah menerima dua Buletin Petani Advokasi YDA, bahkan sudah mengirim tanggapan dan TTS lho. Dari situ saya tahu YDA begitu peduli dan sangat memikirkan nasib kaum tani. Saya ingin tahu YDA kok berani menerbitkan Buletin Petani Advokasi itu ceritanya bagaimana? Djuni Badhe, Klego Boyolali Pak Djuni, Kelompok Peduli Lingkungan Desa Badhe saja berani, kenapa Kami tidak? (Redaksi)

tentang pupuk atau pestisida ramah lingkungan. Edisi lalu, halaman yang Saya sukai adalah halaman 8, tentang cerita orang yang berhasil membendung Pasific Gas and Electric (PGGE) yang memakai bahan kimia Kromium dan bisa meracuni semua makhluk hidup dan lingkungan. Satu lagi, saran saya, bagaimana petani tahu harga-harga di pasaran dengan benar. Dan bagaimana mengatasi/ mengurangi penggunaan pestisida kimia, mohon informasinya, kalau bisa juga contohnya. Muji Widodo Ngutran, Kunden, Bulu, Sukoharjo

Pupuk & Pestisida Ramah Lingkungan Pertama salam kenal dulu dari Saya. Setelah membaca Buletin Petani Advokasi ternyata menambah wawasan dan pengetahuan dalam penggunaan pestisida kimia. Tapi Buletin Petani Advokasi hanya memuat soal penggunaan pestisida dan keracunannya tapi tidak memuat jalan keluarnya, juga belum dimuat

PENGUMUMAN PEMENANG TTS Buletin Petani ADVOKASI Nomor 1 Tahun I Pebruari 2001 Teman-teman petani, setelah mengkaji jawaban yang dikirimkan, maka Redaksi memutuskan 3 orang pemenang, yaitu:

Djuni Negro S. (Wates Timur, Bade Kec. Klego Boyolali Jateng)

Saminto (Sei Terus Rt II Rw I, Kubu-Pontianak Kalbar)

Sumini (Sumber Harum, Harapan Jaya, Tempuling, Indra Giri Hilir-Riau)

Masing-masing pemenang akan menerima hadiah berupa Kaos khusus. Tunggu ya!

Buletin Petani ADVOKASI No 3/Juni-Juli 2001

Buletin Petani Advokasi diterbitkan oleh Yayasan Duta Awam (YDA), sebagai media komunikasi dan advokasi menuju petani Indonesia mandiri. Penanggung Jawab: Nila Ardhianie Dewan Redaksi: Mediansyah (koordinator) Muhammad Riza, Kurniawan Eko, Puitri Hatiningsih, Muhammad Yunus, M. Zainuri Hasyim, A. Bayu Cahyono, Willem M (Kalbar), Sucipto (Riau). Distributor: Sumengkar W Alamat: Jl Adi Sucipto No 184-I Solo 57102 Telp/Fax: (0271) 710816 e-mail: dutaawam@bumi.net.id Redaksi Buletin Petani Advokasi menerima tulisan, gambar/foto dengan misi pemberdayaan petani dari berbagai pihak, khususnya dari kalangan petani sendiri.


Salam Advokasi

Halaman 3

Jelas, ada yang harus kita perjuangkan!

A

da pepatah lama yang mengatakan, “Anugerah tidak tersaji begitu saja di piring emas,� ini tentunya mengisyaratkan agar kita memperjuangkan diri Kita, dan tidak mengharapkan kemudahan turun dari langit begitu saja, atau bahkan dari kemurahan hati pejabat. Terkait dengan beberapa tulisan tentang globalisasi di Buletin Petani ADVOKASI edisi ini, tentu kita tidak lagi boleh menunggu-nunggu pembuat kebijakan memberi Kita peluang hidup yang lebih baik. Tapi, kita lah yang harus memulai, bahkan “memaksa� membuat kebijakan menghasilkan kerja sesuai kebutuhan kita sebagai petani dan rakyat Indonesia. Sistem ekonomi dalam era globalisasi tampaknya selalu berpihak pada pemilik modal besar, apa saja yang harus kita perjuangankan? Apa saja hak-hak petani yang harus kita pertahankan? Dan bagaimana cara memulainya dengan cara-cara damai? Menurut kesimpulan Lokakarya Perlindungan Hakhak Asasi Petani (11 September 2000), Hak adalah halhal yang mendasar yang dimiliki dan diperoleh untuk kelangsungan hidup petani yang harus diakui dan dilindungi oleh negara. Berikut ini beberapa hak petani yang tersurat di Piagam Petani (menurut Food and Agriculture Organisation - FAO, Organisasi Pangan Dunia di bawah payung PBB): 1. Petani berhak berpartisipasi dalam perencanaanpelaksanaan-evaluasi program pembangunan. 2. Berhak atas sistem distribusi (pasar) produk pertanian (Jadi, tata-niaga produk pertanian yang dipaksakan, jelas bertentangan dengan hak-hak petani). 3. Pembagian kekuasaan ekonomi dan politik yang lebih merata. 4. Insentif peningkatan modal produksi. 5. Jaminan harga produksi pertanian yang layak dan menguntungkan petani. 6. Distribusi pangan nasional. 7. Berhak (bukan kewajiban) untuk melakukan maupun mengikatkan diri dalam penanaman modal/investasi pihak lain, baik dari dalam maupun luar negeri. 8. Insentif dari pengembangan dan teknologi (termasuk di sini hak untuk menentukan dan mengembangkan benih lokal. Serta hak

mendapatkan kembali varietas lokal yang dibawa ke luar negeri). 9. Desentralisasi pengambilan keputusan. 10. Sistem distribusi kredit usaha. 11. Pemberdayaan pasar informal setempat, koperasi pertanian, dalam memperbaiki pemasaran, penyimpanan dan pengangkutan. 12. Program kredit untuk petani bagi pengadaan perumahan, konsumsi dan produksi serta usaha keluar dari lintah darat. 13. Tersedia dana subsidi untuk meringankan biaya dan risiko kredit. 14. Tersedia dana risiko untuk menanggung beban kredit yang tidak terbayar. 15. Perluasan dan perbaikan prasarana desa untuk memperlancar penyediaan input dan pemasaran. 16. Hak atas organisasi rakyat yang akan membawa perubahan penguasaan tanah, mengikutsertakan petani dalam redistribusi tanah dan hak-hak atas air. 17. Hak penuh dalam organisasi rakyat untuk identifikasi kebutuhan/permasalahan, peren-canaan, pelaksanaan dan mengevaluasi program/proyek pembangunan. Kini, setelah memperhatikan hal-hal yang sebenarnya dijamin oleh Piagam Petani PBB itu, cobalah menganalisa keadaan atau kondisi anda sebagai petani atau rekan-rekan sesama petani. Jelas, ada hal-hal yang harus diperjuangkan bukan? Perjuangan ini akan panjang, namun dengan langkahlangkah jelas, masa depan yang lebih adil pasti tercipta. Dan kita memang harus tegas pada tujuan kita, dalam segala proses advokasi ini. Mari berjuang!

Salam Advokasi Redaksi NB: Bagi teman-teman petani yang ingin mendapat Buletin Advokasi secara ajek, dapat mengirim surat ke alamat redaksi

Buletin Petani ADVOKASI No 3/Juni-Juli 2001


Laporan

Halaman 4

Globalisasi: Beras Petani Indonesia Tidak Laku Karena Ada Beras Murah dari Negara Tetangga Mungkinkah kondisi seperti digambarkan judul ini terjadi? Sangat mungkin! Bukankah yang sekarang terjadi pun seperti itu? Petani di berbagai daerah mengeluh karena harus menjual berasnya lebih rendah dari biaya produksi. Sebagian besar dari mereka bingung kenapa hal seperti itu bisa terjadi. Selentingan di pasar mengatakan, ini terjadi karena di pasar sekarang banyak pasokan beras dari berbagai negara lain dengan harga lebih murah dan kualitas lebih baik. Melihat kenyataan ini sebagian dari petani mungkin berpikir, semoga kejadiannya hanya pada musim panen ini saja, besok tidak lagi. Sayangnya harapan seperti ini kemungkinan besar kemungkinan tidak akan terkabul, karena negara kita termasuk negara yang ikut dalam sistem pasar bebas atau sering juga disebut dengan globalisasi. Secara garis besar sistem pasar bebas adalah model perdagangan yang diharapkan bisa dilakukan sebebas-bebasnya, tanpa batas negara, tanpa perlindungan, tanpa perlakuan istimewa atau proteksi terhadap produk dalam negeri, dan perdagangan tanpa pajak atau tarif bagi barang/jasa dari negara lain. Pokoknya perdagangan yang tujuannya hanya kepentingan permintaan dan penawaran tanpa melihat batas negara, ras, agama ataupun batasbatas lain. Ini artinya kalau petani di Amerika Serikat bisa menghasilkan beras dengan kualitas super seharga seribu rupiah per kilogram, dan petani Indonesia hanya bisa menghasilkan beras

super dengan harga dua ribu rupiah perkilo, maka otomatis beras super yang dihasilkan petani negara super ini akan minta masuk dan dijual ke Indonesia. Pemerintah kita tidak boleh menolak apalagi sampai melarang, meskipun itu untuk alasan kesejahteraan petani di Indonesia. Kalau mereka menolak maka produk Indonesia yang lain pun akan diboikot di negara yang petaninya makmur berkecukupan ini. Susah ya? Pada saat sistem pasar bebas ini diberlakukan secara resmi, pemerintah kita bisa dibilang tidak punya kekuatan melindungi warganegara. Biarpun petani kecil Indonesia bangkrut semua, mereka tidak bisa menolong dengan membeli hasil produksi seperti yang sekarang terjadi. Juga, memberi subsidi pada usaha dalam negeri, dalam sistem pasar bebas nanti, adalah hal tabu.

WTO Mulainya keadaan ini, sejak Indonesia mengakui (meratifikasi) General Agreement on Tariff and Trade (Ke-

Buletin Petani ADVOKASI No 3/Juni-Juli 2001

sepakatan Umum tentang Bea dan Perdagangan) dan masuk menjadi anggota WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) tahun 1995, secara tidak sadar kita telah terjebak kedalam penjajahan ekonomi gaya baru. Sebagai anggota WTO, kita diwajibkan membuka perdagangan internasional tanpa batas dan tanpa usaha proteksi apapun terhadap produk dalam negeri termasuk produk pertanian. Hal ini membuka peluang membanjirnya produk impor, modal asing serta harus mengakui Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI/Paten). Pemberlakuan bea masuk 0% terhadap produk impor yang masuk akan membawa akibat membanjirnya produk pertanian impor dengan harga yang lebih murah dari produk lokal. Akibatnya produk lokal tidak akan mampu bersaing dengan produk impor.

Lantas akan dikemanakan produk pertanian lokal kita yang cukup melimpah? Sebagai contoh membanjirnya beras impor yang beredar dipasaran lokal sangat mendesak keberadaan beras lokal dari petani, hal serupa juga terjadi pada sayuran, kedelai dan jagung. Dengan kondisi yang demikian bagaimana nasib jutaan petani yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian? (Nila, Panggah, Bayu, Anwar)


Laporan Globalisasi:

Manfaat atau Mudharat? Mampukah negara Indonesia mengambil manfaat dari era kesejagatan (globalisasi)? Pertanyaan ini penting, karena manfaat bisa kita dirasakan bila kita siap secara kelembagaan. Pihak yang akan mengambil manfaat dari globalisasi adalah yang siap secara lembaga (institusi) ekonomi, sosial (kemasyarakatan/budaya) dan politik (demokrasi kenegaraan). Jelasnya, selain bermanfaat bagi sekelompok orang, globalisasi menghasilkan bangsa-bangsa dan kelompok manusia yang tertinggal (dalam jumlah yang sangat besar, jauh lebih besar dari jumlah yang beruntung). Memang, faham yang kini berada di puncak dunia adalah liberalisme, yang dalam kontek ekonomi berarti sistem pasar bebas. Tapi, bila kita ikut Si Pemenang ini (memilih sistem pasar bebas) tidaklah otomatis menjadikan kita juga pihak yang menang. Sebab sistem ekonomi yang diterapkan di negara-negara maju itu, telah mengalami sejarah yang panjang sebelum menyerupai bentuknya sekarang. Dalam waktu panjang itu, negara-negara tersebut mengembangkan lembaga-lembaga politik, hukum, ekonomi dan sosial yang jadi landasan kuat serta bagian tak terpisahkan dari sistem ekonomi yang mereka terapkan. Contoh persoalan: Dalam perdagangan bebas, tidak boleh menerapkan hambatan (pabean) yang non

Halaman 5

Model perdagangan bebas ini kapan dimulai? Jawabnya cukup seram lho. Tahun depan! Cepat sekali? Ya, karena tahun depan (2002), secara bertahap Indonesia sudah harus membuka pasarnya secara bebas pada semua negara ASEAN. Sistem perdagangan bebas di ASEAN ini disebut AFTA (ASEAN Free Trade Area atau Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN). Kemudian pada tahun 2015, kita harus siap bersaing dengan semua negara di Asia Pasific yang tergabung dalam APEC (Asia Pasific Economic Cooperation atau Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik). Puncaknya pada tahun 2020, hampir seluruh negara di planet Bumi akan memasuki masa perdagangan bebas yang maha sengit karena semua negara tidak peduli apakah dia negara kaya atau miskin harus siap bersaing bersamasama. Pada saat itu tidak akan ada lagi perlakuan khusus bagi negara miskin atau yang belum maju. Semua negara harus melakukan perdagangan dengan aturan yang sama. Dalam sistem ini, tentu yang kuat akan semakin kuat dan yang lemah akan semakin lemah. (Nila, Panggah, Bayu, Anwar) tarip (non tariff). Padahal hambatan non tarip sangat penting bagi kita, misalnya ketentuan tentang halalharam (sertifikat halal punya peran penting di sistem sosial Indonesia). Hal lain, hambatan non tarip dapat untuk mencegah masuknya penyakit menular (misal: penyakit kuku dan mulut, antrax dll). Hal yang sama juga berlaku untuk produk rekayasa genetik. Namun, alasan keamanan untuk mencegah barang masuk, dilarang oleh WTO. Kecuali, dengan bukti ilmiah (sayangnya, pembuktian secara ilmiah pun dikuasai oleh negara maju). Ketentuan pelarangan subsidi (menurut WTO untuk perdagangan yang adil) kerap dilanggar negara kuat. Amerika Serikat adalah negara yang paling banyak memberi subsidi ekspor kepada produk-produk pertaniannya. Sementara itu, subsidi pertanian di negara-negara Eropa, besarnya dua kali ekspor seluruh negara berkembang. Padahal, negara-negara itu selalu bicara soal keterbukaan dan kebebasan. Perusahan besar menguasai Hal lain lagi, produsen pertanian di negara maju seperti AS, adalah perusahaan besar yang bermodal raksasa. Misalnya Continental & Cargill di AS menguasai 70% produk bijibijian (padi-padian), Grup Monsanto menguasai 80% benih kapas, The Iowa Beef Packer menguasai 45% daging sapi di negara itu. Iklim usaha

pertanian ini tentu berbeda dengan kita yang bertumpu pada produk pertanian keluarga. Sektor pertanian Indonesia akan segera kerkena dampak globalisasi. Sebab 11,5% dari total perdagangan barang di dunia adalah produk pertanian, sejumlah 80%-nya adalah produk olahan, sisanya barang mentah. Padahal, kita memiliki sekitar 21,7 juta keluarga petani dan 26,5 juta orang yang bekerja di sektor pertanian. Jika perusahaan-perusahan besar masuk ke pertanian Indonesia, dipastikan lahan-lahan subur segera berpindah ke tangan mereka. Di Kamboja misalnya, sejak membuka pasarnya untuk penanam modal asing selama 10 tahun, 15% petani menjadi tidak berlahan lagi. Pada jaman kolonial, kita pernah mengenal sistem tanam paksa (Tanam Paksa Kultuurstelsel 1830) yang diprakarsai Jenderal Jan Van den Bosch. Petani harus tanam tanaman ekspor, sedangkan tanah dan tenaga kerja dibawah kekuasaan kolonial. Memang, di daerah ada mandor (supervisor) orang pribumi, sedang manajeman produksi dan pemasaran ditangani Belanda. Cara ini, mirip dengan cara kerja perusahaan multinasional (TNC) sekarang: Mereka membeli tanah, menggunakan tenaga kerja dari sekitar lokasi itu (masyarakat setempat yang semula pemilik lahan), sementara manajemen dan pemasaran dikuasai mereka. (*)

Buletin Petani ADVOKASI No 3/Juni-Juli 2001


Laporan

Halaman 6

Posisi Indonesia di Tengah Arus Globalisasi Senyatanya, WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) saat ini telah menjadi sebuah organisasi yang paling berkuasa di dunia. WTO berfungsi untuk menjalankan perjanjian dagang, memprakarsai perundingan dan memantau perjanjian perdagangan negara anggota. Perjanjian penting yang ada dalam WTO salah satunya adalah mencakup perjanjian perdagangan dalam bidang komoditas pertanian. Perjanjian tersebut mengikat secara hukum dan terdapat sanksi perdagangan terhadap negara anggota yang tidak mematuhi perjanjian yang ada di WTO. Indonesia telah ikut menjadi anggota dan menandatangani perjanjian dagang di WTO. Rezim Orde Baru saat itu memutuskan untuk menjadi anggota WTO, telah mewariskan serangkaian beban kepada seluruh bangsa ini. Dampak keputusan tersebut sudah terasa saat ini, khususnya di sektor pertanian, petani padi di Indonesia terpuruk akibat membanjirnya produk pertanian impor yang harga jualnya lebih murah dari produk hasil petani lokal. Dari kenyataan di atas nampaknya kita belum siap, atau bahkan ini merupakan kekeliruan besar negara kita dengan memutuskan untuk menjadi anggota WTO, tanpa membuat kajian mengenai kemungkinan akibatnya. Juga, tanpa persiapan untuk memperkecil dampak serta membangun kemampuan kita sebelum dan sesudah penandatangan-

an WTO. Setidaknya, pemerintah waktu itu terlalu menyederhanakan persoalan, menganggap WTO hanya mencakup lingkup perdagangan dan perindustrian. Padahal, WTO juga menyangkut sektor penting lain seperti pertanian. Ketergantungan Salah urus ekonomi negara karena KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) menyebabkan Indonesia jatuh kedalam krisis ekonomi pada tahun 1997. Kesalahan berlanjut (dalam upaya pemulihan krisis ekonomi), Indonesia memutuskan untuk mengundang IMF (International Monetary Fund /Dana Moneter Internasional) dan Bank Dunia sebagai “dokter� penyembuh krisis ekonomi. IMF dan Bank Dunia merupakan lembaga pendukung utama WTO. Undangan tersebut ditindaklanjuti dengan penandatanganan LoI (Letter of Intent/Perjanjian Utang) oleh pemerintah Indonesia dengan IMF. Di dalam perjanjian utang (LoI), IMF mengharuskan Indonesia memberlakukan SAP (Stuctural Adjustment Policy/Kebijakan penyesuaian struktural). Inilah yang kemudian menjadi tonggak awal ketergantungan baru Indonesia pada IMF. SAP merupakan program ekonomi IMF yang harus dilaksanakan Indonesia sebagai prasyarat untuk mendapatkan utang bagi pemulihan krisis ekonomi. Reformasi Ekonomi = IMF? Unsur pokok yang ada dalam kebijakan penyesuaian struktural (SAP) adalah penghapusan segala aturan perdagangan non-tarif,

Buletin Petani ADVOKASI No 3/Juni-Juli 2001

penurunan tarif bea masuk dan pajak ekspor-impor, pembukaan investasi asing dengan kepemilikan modal 100%, penjualan perusahaan milik negara/BUMN kepada perusahaan swasta (sehingga saham kepemilikan BUMN banyak jatuh ke pemodal asing). Kemudian Indonesia wajib pula, memberlakuan peraturan paten/ HaKI (hak kekayaan inteletual) secara ketat, pemotongan subsidi, pengurangan anggaran sosial dan tenaga kerja, dll. Jadi program “reformasi ekonomi� pemerintah yang dijalankan saat ini nyata-nyata merupakan program IMF yang terbukti mampu menggeser kemerdekaan bangsa Indonesia dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi yang berpihak pada kepentingan rakyat. Program IMF tersebut yang dikenal di Indonesia dengan agenda reformasi ekonomi kenyataannya telah mengesampingkan kepentingan masyarakat, hal ini terlihat pada kebijakan pengurangan tarif impor untuk semua produk pertanian seperti kedelai, gandum beras, gula , bawang putih, dll. Ketergantungan Indonesia dengan IMF telah membuat kita menjadi lahan empuk bagi perdagangan global komoditas pertanian dan berakibat pada jatuhnya harga jual produk petani Indonesia secara drastis. Demikianlah kenyataan yang kini dialami negara ini. Tentunya, jika ada peluang sekecil apapun, upaya untuk keluar dari cengkeraman IMF, harus tetap dilakukan. Sudah saatnya juga para petani Indonesia menyatukan gerakan.(Nila, Panggah, Anwar, Bayu)


Laporan

Halaman 7

Agroindustri Rakyat, Globalisasi dan HaKI Budi Widianarko (Anggota Board YDA Solo, Dosen Unika Soegijopranoto Semarang)

Agroteknologi tradisional lahir dan berkembang sebagai sarana pemanfaatan keanekaragaman hayati, baik untuk pemenuhan kebutuhan pangan, obat-obatan maupun kebutuhan lainnya. Teknologi tradisional adalah bagian dari indigenous knowledge system (IKS), yaitu totalitas informasi, kegiatan kerja, kepercayaan, filosofi yang unik pada suatu budaya lokal. IKS umumnya dimiliki secara turun-temurun oleh suatu komunitas lokal, atau hanya dikuasai oleh individu-individu khusus seperti kepala suku, para tetua dan lain-lain. Keragaman varietas singkong, misalnya, dengan sentuhan teknologi yang sesuai dapat menghasilkan beragam produk. Ada varietas singkong yang berasosiasi dengan “gethuk”, adapula varietas yang lebih sesuai untuk pembuatan “ceriping”. Daftar ini tentu saja masih dapat diperpanjang karena kekayaan hayati yang kita miliki memang luar biasa. Himpunan pengetahuan bahan dan teknologi pengolahan sumber-sumber pangan tersebut tentu sudah tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat tradisional. Namun sayangnya dalam akhirakhir ini banyak pengetahuan dan teknologi lokal dalam mengolah pangan terpaksa harus direintroduksikan (dipinggirkan), karena adanya tekanan industri pangan moderen yang cenderung mengubah ragam pangan masyarakat. Dalam tatanan di atas, konflik akan muncul ketika konsep teknologi tradisional dibenturkan dengan konsep Hak Paten dalam HaKI (Hak atas Kepemilikan Intelektual). Teknologi

tradisonal bersifat kolektif dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sedangkan Hak Paten bersifat sangat individualistik untuk kepentingan sempit perdagangan. Hak Paten adalah hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas penemuannya di bidang teknologi untuk waktu tertentu. Saat ini kepemilikan keragaman hayati berikut teknologi tradisionalnya oleh komunitas-komunitas lokal mulai terancam oleh kegiatan bioprospecting oleh perusahaan-perusahaan raksasa multinasional. Bioprospecting adalah kegiatan pencarian sumberdaya plas-ma nutfah (berikut seluruh pengetahuan dan teknologi - tradisional) yang memiliki nilai komersial untuk industri industri farmasi, bioteknologi dan pertanian. Berbagai konflik telah terjadi di beberapa negara antara komunitas lokal dengan perusahaan multinasional yang menyadap dan meng-HaKI-kan teknologi tradisional merupakan bahan pelajaran yang penting bagi Indonesia. Sebelum kita kehilangan besarbesaran atas kekayaan intelektual tradisional, maka diperlukan upaya peng-

kajian yang serius sebelum mengadopsi secara “mentah” konsep HaKI. HaKI vs Teknologi Tradisional Saat ini terdapat dua konvensi (kesepakatan) internasional yang cenderung bertentangan jika dilihat dari sudut pandang HaKI dan keanekaragaman hayati. Kesepakatan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) salah satu produk Putaran Uruguay bertujuan untuk mendorong perlindungan HaKI. Sedangkan Convention on Biological Diversity atau Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) dimaksudkan untuk mendorong perlindungan keragaman hayati. Indonesia sendiri telah meratifikasi persetujuan World Trade Organization (WTO) dengan UU No. 7 Tahun 1994. Dengan demikian Indonesia terikat aturan-aturan yang dikeluarkan WTO, termasuk kesepakatan TRIPS. Di pihak lain, Indonesia juga telah meratifikasi KKH dengan UU No. 5 Tahun 1994. KKH merupakan salah satu hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun1992. Perdebatan atas TRIPS dan KKH memunculkan “jurang” antara negaranegara industri maju dengan negaranegara berkembang yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati.

Buletin Petani ADVOKASI No 3/Juni-Juli 2001


Halaman 8 Penolakan Amerika Serikat (AS) untuk menandatangani KKH pada KTT Bumi 1992 sangat dilandasi kekhawatiran akan terganggunya hak-hak atas kekayaan intelektual yang dimilikinya. Kalaupun setahun kemudian pemerintahan Clinton akhirnya menandatangani KKH, itu lebih disebabkan oleh bergesernya posisi perusahaan-perusahaan dan organisasi-organisasi farmasi dan bioteknologi AS. Mereka khawatir bahwa beroposisi terhadap KKH hanya akan menyingkirkan perusahaan-perusahaan AS dari negosiasi tentang interpretasi KKH. Di kubu yang lain pada bulan Oktober 1993 setengah juta anggota Asosiasi Petani Negara bagian Karnataka, India di bawah pimpinan tokoh karismatik M.D. Nanjun-daswamy, memprotes penguasaan individual terhadap benih dan tumbuhan. Demonstrasi besar tersebut diarahkan pada perusahaan kimia AS: WR Grace yang beroperasi di wilayah itu. Sumber dari konflik tersebut adalah perbedaan yang sangat mendasar antara kekayaan intelektual tradisional dan HaKI yang “dipaksakan” melalui kesepakatan TRIPS. “Jantung” dari KKH adalah pengakuan bahwa keberadaan komunitas-komunitas lokal sangat tergantung pada keanekaragaman hayati, dan hak kolektif atas keanekaragaman hayati adalah bentuk proteksi terbaik. Sebaliknya, TRIPS justru menekankan pada privatisasi dan bukan melindungi keanekaragaman hayati . TRIPS telah menjadi pembenaran bagi pemilikan Hak Paten atas materi genetik oleh perusahaan-perusahaan bioteknologi dan farmasi multinasional. Mereka memiliki akses ke negara-negara berkembang dengan kekayaan plasma nutfah untuk mengambil materi genetik beserta pengetahuan tradisonal yang diinginkan dan kemudian mengajukan Hak Paten untuk itu. Karena sama sekali tidak memperhitungkan hak kolektif komunitas pemiliknya, kegiatan ini sering

disebut sebagai biopiracy- pembajakan hayati - atau dalam istilah yang lebih halus: bioprospecting. Secara historis Hak Paten dimaksudkan untuk melindungi individu penemu dari ancaman pembajakan hasil temuannya oleh perusahaan-perusahaan besar. Pada dasarnya HAKI merupakan penghargaan bagi karya intelektual berupa proses baru dan bermanfaat, mesin, fabrikasi, komposisi bahan, atau perbaikan terhadap proses dan produk di atas. HaKI sama sekali tidak dimaksudkan untuk sekedar “penemuan” (mere discovery), seperti penemuan materi genetik dalam mahluk hidup. Bagi pihak bioprospector biaya penelitian dan pengembangan dapat direduksi secara signifikan jika pengetahuan dan teknologi pemanfaatan plasma nutfah dapat disadap dari suatu komunitas lokal. Namun ironisnya, begitu informasi tersebut disadap, komunitas lokal akan kehilangan hak atas kekayaan intelektual tradisonal, karena regulasi HaKI yang ada tidak mampu melindungi mereka. Hanya dengan sedikit penyempurnaan teknologi perusahaan-perusahaan bioprospector raksasa dapat memegang Hak Paten atas produk-produk yang sebenarnya sudah secara turuntemurun menjadi kekayaan intelektual kolektif komunitas lokal tertentu. Kontribusi kekayaan agroteknologi tradisional terhadap ekonomi global tidak dapat dianggap enteng. Menurut perkiraan, AS memperoleh sekitar 50 juta dolar per tahun dari penjualan berbagai produk asal plasma nutfah yang sebelumnya dibudidayakan oleh masyarakat tradisonal. Tentus saja tak sesenpun dari hasil tersebut kembali ke masyarakat tradisional pembudidaya awal. “Penjarahan HaKI” Biopiracy juga dapat dipandang sebagai penjarahan HaKI milik komunitas lokal. Biopiracy yang telah berlangsung di beberapa negara menunjukkan betapa dirugikannya

Buletin Petani ADVOKASI No 3/Juni-Juli 2001

masyarakat tradisional oleh tindak penjarahan HaKI tersebut. Untuk mengilustrasikan hal tersebut berikut ini disajikan tiga kasus biopiracy dan satu kasus biomonopoly oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Kasus Pohon Nimba (neem) di India Petani di India memprotes keras tindakan W.R. Grace, sebuah perusahaan kimia AS, yang telah memiliki paten (di AS) untuk proses ekstraksi bahan kimia azadirachtin dari biji nimba. Perusahaan tersebut sebenarnya hanya memperbaiki cara ekstraksi yang menghasilkan emulsi stabil sehingga dapat disimpan dan didistribusikan secara luas. Sedangkan pengetahuan tentang khasiat insektisida biji nimba telah dimiliki sebelumnya oleh masyarakat lokal. Dalam ungkapan Vandana Shiva: “Without the Indian peasants knowledge of the medicinal and pesticidal properties of the tree, neem would just be another tree to Grace”. Dikhawatirkan kesepakatan TRIPS akan menjauhkan biji nimba dari masyarakat tradisional yang sebelumnya secara turun-temurun telah memilikinya dan mengalihkan penguasaanya pada perusahaanperusahaan multinasional. Kasus Beras dan Fungi Laut di Thailand Petani Thailand melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Besar AS untuk memprotes pencurian materi genetik padi. Rice Tech Inc dari AS telah memperoleh paten terhadap dua varitas padi Thailand, Jasmati dan Basmati - yang telah dibudidayakan ribuan tahun oleh petani di negeri gajah itu. Pemerintah Thailand menuntut Universitas Portsmouth Inggris untuk mengembalikan 200 strain fungi laut yang diambil dari kawasan pantai dan hutan bakau Thailand. Dikhawatirkan Universitas Portsmouth akan me-


Halaman 9 matenkan strain-strain fungi (jamur) yang memiliki khasiat kesehatan. Kasus Tiki Uba di Amazon Tiki Uba adalah tanaman mengandung antikoagulan yang telah dipergunakan selama beribu-ribu tahun oleh suku Urueu-Wau-Wau di Amazon. Ketika informasi tentang Tiki Uba dimuat di suatu majalah, perusahaan farmasi raksasa Merck Pharmaceuticals “menemukan” bahwa ekstrak tanaman tersebut efektif untuk operasi bedah jantung. Pada tahun 1988 Merck mulai mengembangkan produk baru dari ekstrak tersebut tanpa memperhitungkan sama sekali keberadaan suku Urueu-Wau-Wau yang sedang terancam kepunahan. Kasus Benih Terminator Monsato Produksi benih terminator adalah kasus biomonopoly yang sangat kontroversial. Apa yang dilakukan oleh Monsato dengan benih terminator-nya adalah perlindungan HaKI yang melampaui kesepakatan TRIPS. Teknologi terminator merupakan senjata pamungkas untuk menjamin bahwa para petani tidak dapat menggunakannya kembali. Teknologi ini menyisipkan gen bunuh diri dalam tanaman guna memunahkan kemampuannya memproduksi biji dengan gen hidup. Penggunaan benih terminator akan memaksa ketergantungan total para petani, belum lagi risiko lingkungan yang timbul jika gen bunuh diri tersebut terlepas. Kejadian serupa dengan kasuskasus di atas bukannya belum terjadi di Indonesia. Hanya karena kelemahan dokumentasi kasus-kasus serupa tidak terungkap. Pencurian keragaman hayati beserta teknologi tradisonalnya di Indonesia mungkin justru telah berlangsung amat parah. Beberapa laporan tentang dipatenkannya varietas beras lokal kita, dan juga teknologi pengolahan pangan, seperti tempe, sudah sering terdengar. Persoalannya sekarang adalah bagaimana mensikapi tekanan rejim

WTO/TRIPS sekaligus tetap mempertahankan kekayaan hayati dan teknologi tradisional kita. Apakah kita harus berlomba-lomba mematenkan kekayaan hayati beserta teknologi tradisionalnya? Jika ya, siapa yang berhak memperoleh Hak Paten? Sebaliknya jika kita tinggal diam, maka sangat boleh jadi kekayaan hayati kita akan “dikuras” dan Hak Paten-nya justru dimiliki perusahaan-perusahaan multinasional. Yang sangat diragukan adalah apakah tersedia jalan tengah? Apakah jalan yang ditempuh oleh Costa Rica melalui lembaga non-profit INBio (Instituto Nacional de Biodiversidad) dapat dipakai sebagai model? INBio membuat kesepakatan dengan Merck & Company Ltd untuk memasok ekstrak tumbuhan, serangga dan mikroba liar dari kawasan cagar alam Costa Rica dengan imbalan biaya penelitian dan pengambilan ekstrak sebesar U$ 1.135.000 dan royalti dari semua produk komersial yang

dihasilkan. Dalam kegiatannya INBio juga melibatkan penduduk lokal dengan pengetahuan tradisionalnya sebagai parataxonimist . Apakah lembaga seperti KEHATI dapat menjalankan peran seperti INBio? Tanda tanya besar masih tersisa.

Bahan Bacaan Lebih Lanjut: * Hardjasoemantri, K. (1998).Hak Kekayaan Intelektual dan Keanekaragaman Hayati. Sarasehan Jaringan Kerja Advokasi untuk Keanekaragaman Hayati dan Hak-hak Petani, 1415 November 1998. * McManis, C.R. (1998). The Interface between International Property and Environmental Protection: Biodiversity and Biotechnology. Washington University Law Quarterly 76(1). * Mugabe, J. (1998). Intellectual Property Protection and Traditional Knowledge, An Exploration in International Policy Discourse. African Center for Technology Studies. (Paper prepared for the World Intellectual Property Organization (WIPO), Geneva, December 1998). * Parkins, K. (1999). Biopiracy and Intellectual Property Rights. http:// www.heureka.clara.net/gaia/genetix.htm * Posey, D.A. (1996). Protecting Indigenous Peoples’ Rights to Biodiversity. Environment 38(8): 6-33. * Purkayastha, P. (1999). Intellectual Property Rights (IPR) on Monopoly Super Profits. Reproduced from People’s Democracy, 10 January 1999. http://www.wpb.be/lalkar/lalkar9903/ 12property.htm

Buletin Petani ADVOKASI No 3/Juni-Juli 2001









Pengalaman Advokasi

Halaman 17

Monitoring Partisipatif terhadap ISDP: Pengalaman Berharga bagi Petani, Pemerintah dan Bank Dunia ISDP (Integrated Swamp Development Project) adalah proyek pertanian (pemerintah) yang didanai oleh Bank Dunia untuk wilayah rawa di Kalimantan Barat (Kalbar), Riau dan Jambi. Proyek ini dilaksanakan selama 6 tahun, dari tahun anggaran 1994/ 1995 sampai 1999/2000. Proyek bertujuan untuk 1) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui penambahan saluran dan prasarana pedesaan, dan menyediakan dukungan di bidang pertanian dengan mengenalkan pola-pola tanam yang baru, untuk meningkatkan hasil pertanian. Kemudian 2) Membantu pemerintah dalam merumuskan pendekatan yang untuk mengelola wilayah pantai Indonesia, dan menjamin terselenggaranya pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan. Sejak tahun 1997, YDA bersama petani di Kalbar dan Riau plus 2 Lembaga Swadaya Masyarakat di dua provinsi ini (Yayasan Mitra Mandiri dan Yayasan Riau Mandiri) melakukan monitoring partisipatif terhadap ISDP. Umumnya, kegiatan pengawasan terhadap proyek dilakukan oleh pelaksana proyek (pemerintah). Nah, yang dilakukan di ISDP ini adalah pengawasan terhadap kinerja proyek yang dilakukan oleh peserta (yang tentunya paling tahu tentang pelaksanaan proyek tersebut). a. Survey awal YDA Proses pelaksanaan kegiatan ini diawali dengan kunjungan YDA ke desa-desa penerima ISDP di provinsi Kalbar dan Riau yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran kondisi lapangan melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan petani. Hasil wawancara dan pengamatan langsung ini mendapatkan daftar persoalan yang dihadapi petani.

b. Pelatihan Kegiatan ini adalah kegiatan lanjutan dari survey awal YDA. Pelatihan diadakan untuk staf LSM pendamping dan untuk petani. Pelaksanaan pelatihan petani pemonitor ini dilakukan di Kalbar pada bulan Mei 1998, sedangkan untuk di Riau dilakukan pada Juni 1998. c. Pengumpulan data Pengumpulan data dalam monitoring ini memakai beragam teknik dan metode yang telah diuji saat pelatihan. Sebanyak 37 petani pemonitor mewawancarai sebanyak 342 petani pada 15 desa di dua provinsi (Kalbar dan Riau). Setelah proses pengumpulan data selesai, dilakukan analisis data untuk membuat laporan. d. Seminar Yang dimaksud seminar disini adalah 1) pertemuan petani atau disebut juga Seminar Petani, 2) pertemuan petani dengan pihak pelaksana proyek tingkat provinsi atau disebut Seminar Lokal atau Seminar Provinsi, dan 3) pertemuan petani dengan pelaksana proyek di tingkat nasional atau disebut Seminar Nasional. Untuk Kalbar, Seminar Petani ini dilakukan di Pontianak pada 20 Agustus 1998, sedangkan di Riau bertempat di Pekanbaru pada 16 September 1998. Seminar petani menghasilkan rincian temuan serta strategi menyampaikan hasil monitoring kepada pelaksana proyek. Seminar provinsi dihadiri lengkap oleh pihak pelaksana proyek, yaitu Bappeda Tingkat I, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas PU, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan konsultan proyek. Untuk Kalbar, seminar provinsi ini dilaksanakan pada 21 Agustus 1998 bertempat di Wisma Merdeka Pontianak, sedangkan di Riau dilaksanakan di Bappeda Tingkat I

Riau pada 17 September 1998. Kegiatan lanjutan dari proses monitoring ini adalah seminar nasional. Seminar nasional dilaksanakan di Jakarta pada 5 Nopember 1998. Peserta yang hadir pada pertemuan ini adalah petani pemonitor, YDA, LSM pendamping dari Kalbar dan Riau, serta instansi/ pihak terkait ISDP seperti Bappenas, Konsultan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, BPN, serta Bank Dunia yang memberi utang untuk pelaksanaan proyek ISDP ini. e. Survai Kesepakatan Setelah seminar, dilakukan survai untuk memantau segala hasil kesepakatan yang dicapai dalam seminar provinsi dan seminar nasional. Berbagai temuan dari survai ini dilaporkan dalam pertemuan dengan para pelaksana proyek di tingkat provinsi. f. Tindak lanjut Akhirnya, Bank Dunia memandang perlu untuk melihat hasil temuan yang dilaporkan petani secara lebih menyeluruh. Untuk itu Bank Dunia mengusulkan untuk membentuk tim evaluasi berkaitan temuan yang dilaporkan petani pada Juni 1999. Evaluasi ini disebut Fact Finding Survey (FFS), yang berang-gotakan YDA dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Temuan dalam FFS ini ternyata menguatkan temuantemuan dalam monitoring sebelumnya. Setelah di monitor, terlihat ada perbaikan dalam penyelenggaraan proyek ISDP. Menurut petani, perbaikan kerja proyek mencapai 30 sampai 40%! Terbuktilah, bahwa petani pun bisa melakukan penilaian (analisis) terhadap proyek yang diikutinya. Dan petani pun bisa melakukan penelitian secara ilmiah. (Zen)

Buletin Petani ADVOKASI No 3 Juni-Juli 2001


Halaman 18

Kilas Berita Berita Tani Tani Kilas

Kepemilikan Tanah, Hak Asasi Petani Kepemilikan atas tanah merupakan hak asasi petani yang harus dipenuhi oleh negara. Seorang petani hanya bisa disebut petani, bukan buruh petani, bila ia memiliki lahan yang cukup untuk menopang kehidupan keluarganya. Hak petani atas kepemilikan tanah ini merupakan persoalan yang dibahas dalam hari kedua Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Petani di Cibubur. (Kompas, Rabu 18 April 01) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5/1960 dengan jelas menyatakan bahwa petani harus memiliki tanah untuk bisa disebut petani. Tapi dalam masa Orde Baru UndangUndang itu dimandulkan dengan lahirnya sejumlah UU lain dan tidak ada peraturan operasional untuk melaksanakan pemberian dan perlindungan tanah bagi petani. (Kompas, 20 April 01).

Perbankan Tidak Dukung Sektor Pertanian Dalam Lokakarya Pembiayaan Agribisnis di Indonesia di Jakarta, Mentan Bungaran Saragih menegaskan bahwa perbankan nasional saat ini tidak mendukung pengembangan usaha dan sistem agribisnis. Kondisi tersebut juga menyebabkan sulitnya pengucuran KKP (Kredit Ketahanan Pangan). Tingkat suku bunga tersebut menurutnya terlalu tinggi dibanding negara lain, seperti Thailand, Filipina, dan Australia

yang hanya memperlakukan bunga 10% untuk sektor Pertanian. Sedang di Jepang malah tidak dikenai bunga. Deptan telah melakukan studi banding ke Perancis untuk mengkaji lembaga keuangan non bank dan juga bisa berbentuk badan usaha modal ventura. (Solopos, 9 Mei 01)

Kapal Argentina Dilarang Masuk Pusat Karantina Pertanian, Departemen Pertanian, untuk kedua kalinya meminta pengelola pelabuhan menolak masuk kapal asal Argentina. Produk yang sudah diimport itu dilarang masuk dengan alasan keadaan memaksa (force majeure). Kapal yang mengangkut 68.000 ton Jagung dilarang bersandar di pelabuhan Cigading, Propinsi Banten karena membawa Jagung dari Argentina yang masih terserang wabah PMK (Penyakit Mulut Kuku). Sebelumnya kapal Agia Eirini yang mengangkut 38.000 ton Jagung asal Argentina , milik PT Cargill Indonesia, juga ditolak masuk. Menteri Pertanian melalui Surat Edaran No TN 510/94/A/ IV/200, mengeluarkan tindakan penolakan dan pencegahan PMK. Menteri Pertanian Bungaran Saragih tak mau mengambil risiko sekecil apapun soal PMK, dia tak mau membantu sepuluh pengusaha tapi mengorbankan jutaan peternak. Sementara itu pengamat perdagangan internasional dari lembaga Indef, Rina Oktiviani mengatakan pelarangan masuknya Jagung Argentina tidak

Buletin Petani ADVOKASI No 3 Juni-Juli 2001

melanggar peraturan dagang internasional World Trade Organization (WTO). Dalam green box agreement disebutkan hambatan nontarif oleh suatu negara diperbolehkan bila bertujuan melindungi lingkungan. WTO melalui Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures menetapkan anggota WTO berhak melakukan tindakan yang menurut mereka bisa melindungi manusia, hewan atau tumbuhan dalam perdagangan internasional. (Kompas, April Mei 01)

Beras Impor Dijual dengan Label M-Bio Masuknya beras impor eks Vietnam yang bentuk fisiknya lebih bagus dibanding beras lokal atau beras dari varietas unggul tahan wereng, mengilhami pedagang beras untuk meraup untung besar. Banyak pedagang menjual beras eks import dalam kemasan 10 Kg sampai 25 kg menggunakan label beras M-Bio atau beras bebas pestisida (zero pestisida) yang harganya lebih tinggi. Pedagang beras di Purwokerto mengatakan sulit membedakan beras M-Bio palsu(eks impor) dengan beras M-Bio asli. Harga beras M-Bio asli yang sebenarnya varietas lokal Rp. 3.500 per Kg sedang beras M-Bio palsu dijual Rp. 2.400 per kg. Satu-satunya cara membedakan adalah setelah ditanak yang palsu cepat mengeras (pera), dan tidak beraroma lagi. (Kompas 4 Mei 2001) *Puitri


Resep Kita Kita Resep

Halaman 19

Daun Tembakau dan Puntung Rokok Untuk Mengendalikan Hama Resep kita kali ini mencoba membagi tips manfaat tembakau dari puntung rokok dan daun tembakau untuk membasmi hama yang sering mengganggu tanaman kita. Semoga bermanfat. (Eko)

Resep 2 Hama yang dapat dikendalikan 1. Sundep 2. Beluk (penggerek batang padi)

Resep 1 Hama yang dapat dikendalikan 1. Ulat dan Kumbang 2. Penggerek 3. Penggorok 4. Kutu Daun & Thrips 5. Serangga Tanah Bahan yang digunakan 1. Daun tembakau yang jelak 1 kg atau puntung rokok 1 kg. 2. 15 liter air. 3. Sabun colek 1 genggam . Cara pembuatan 1. 1 kg daun tembakau (daun yang jelek)/puntung rokok (1 kg), ditambah 15 liter air dan satu genggam sabun colek (detergen) dicampur jadi satu. 2. Kemudian aduklah sampai rata 3. Biarkan selama 24 jam.

Bahan yang digunakan 1. 300 gram tembakau/puntung rokok. 2. 30 gram sabun colek. 3. Air 4 liter. 4. Kompor. 5. Saringan. 6. Kapur tohor 1 sendok makan. Cara Pembuatan 1. 300 gram tembakau atau tegesan/puntung rokok, 30 gram sabun colek, 1 liter air dicampur jadi satu. 2. Campuran tadi di panaskan selama 30 menit dan jangan sampai mendidih. 3. Setelah itu angkat dan saringlah. 4. Hasil saringan tambahkan satu sendok makan kapur tohor dan saring lagi. Cara Pemakaian 1. Satu bagian hasil saringan yang terakhir tambahkan empat bagian air tawar (1:4). 2. Kemudian semprotkan pada tanaman yang terserang hama tersebut.

Cara pemakaian 1. Saringlah hasil rendaman 2. Semprotkan pada tanaman yang terserang. Sumber : Petunjuk Lapangan Racun Hayati Untuk Pengendalian Serangga Hama Dan Penyakit Tanaman, LPTP.

Buletin Petani ADVOKASI No 3 Juni-Juli 2001



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.