Pengalaman Petani (berjuang menuju kesetaraan)
Bekerjasama dengan Pengusaha Swasta
Kontrak Kerjasama di sektor Agribisnis
Pengalaman Petani (berjuang menuju kesetaraan)
Bekerjasama dengan Pengusaha Swasta Kontrak Kerjasama di sektor Agribisnis Tim Penulis Marimin (petani) M. Riza M. Yunus M. Zainury Hasyim Nur Wardoyo (petani) Kurniawan Eko Y Editor Mediansyah Tataletak & Artistik Mediansyah Terimakasih khusus untuk Bapak Kelik Wardiono SH dari BKBH UMS yang telah menjadi narasumber hukum dalam rangkaian advokasi kasus-kasus kontrak yang dibukukan ini Buku ini diterbitkan: Yayasan Duta Awam Solo (YDA) Jl. Adi Sucipto 184i Karangasem Surakarta 57102 Telp. (0271) 710816 Fax. (0271) 729176 email: dutaawam@dutaawam.org website: http//www.dutaawam.org Penerbitan buku ini terselenggara atas kerjasama dengan Catholic Relief Service (CRS)
YDA 2004
DAFTAR ISI Posisi Petani dalam Kontrak Agribisnis
1
Selayang Pandang Perjanjian Petani dan perjanjian Belajar dari pengalaman
Realitas “Kemitraan� Petani-Pengusaha Pengalaman Petani Menganalisis Masalah
9
Mengaku bangkrut petani diterlantarkan Bimbingan teknis ala kadarnya Mengubah perjanjian secara sepihak Kemitraan berbuah utang
Menganalisis Kontrak Kemitraan & Melakukan Advokasi
19
Usaha bersama atau sekadar jual bibit? Peta masalah petani
Dari Ketidakseimbangan Kontrak, Petani Bergerak (Sebuah Kisah Advokasi yang Dilakukan Petani) Memetakan & menganalisa kontrak kerjasama produksi Supaya CV Medical mau hadir... Mempersiapkan rumusan kontrak... Pertemuan dengan pihak perusahaan...
25
Perjuangan terus berlanjut
Bagaimana Membuat Kontrak yang Pro-Petani
35
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam kontrak Mencermati stakeholder (para pihak)... Bila perjanjian tidak berjalan seperti seharusnya Bila tujuan perjanjian tidak didapat Menyatakan kehendak dalam perjanjian secara bebas
Advokasi di Media Massa
47
Bahan Bacaan
56
1
Posisi Petani dalam Kontrak Agribisnis Tanpa menafikan adanya peluang yang didapat petani dalam sebuah kontrak agribisnis dengan pengusaha (biasa kita dengar dengan istilah kemitraan), dalam prakteknya perjanjian petani-pengusaha sudah diawali dengan ketidakseimbangan daya tawar saat merumuskan klausul/isi perjanjian.
asyarakat petani Indonesia saat ini mencapai ratusan juta jiwa, yang sebagian besar diantaranya berada dalam kondisi yang tidak berkecukupan memenuhi kebutuhan hidup idealnya. Kondisi ini bukanlah kondisi yang hanya terjadi di era infomasi saja tapi juga terjadi dan selalu terjadi di era-era sebelumnya. Nasib petani dan keluarganya, dari dulu hingga saat ini belum diuntungkan atau selalu tidak diuntungkan. Selama sejarah kehidupannya, petani bukannya lelah berusaha menjadi sejahtera dalam makna mereka sendiri dan dalam makna menurut orang lain. Namun ketidakpedulian dan kekurangpedulian orang lain lah yang menyebabkan kesejahteraan mereka selalu terabaikan. Banyak kalangan akan menyebutkan bahwa ada banyak pihak yang peduli petani. Ada banyak kebijakan yang pro petani. Ada banyak proyek yang dibangun untuk petani. Namun jika pada saat ini petani di Indonesia masih sangat banyak yang belum
M
2
Posisi Petani dalam Kontrak Agribisnis
berkecukupan, tentunya akan menimbulkan pertanyaan. Ada apa ini? Dan mengapa bisa begitu? Pertanyaan tersebut juga akan menimbulkan banyak jawaban. Kemampuan sumberdaya petani yang rendah. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak. Kalangan pengusaha yang berorientasi keuntungan semata. Negara lain yang ingin untungnya sendiri. Penguasa yang tidak berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Organisasi non pemerintah yang memanfaatkan petani. Dan ada banyak lagi jawaban-jawaban lainnya, sesuai interest masing-masing. Yang jelas, pro kontra tersebut bukanlah tema yang akan dibicarakan di sini. Salah satu upaya petani meningkatkan pemenuhan kebutuhannya adalah dengan cara melakukan ikatan-ikatan yang dianggapnya mampu meningkatkan keuntungan petani. Namun boro-boro untung, kadang ada banyak petani yang justru buntung, rugi, tidak balik modal atau usaha taninya mandeg (berhenti) sama sekali. Boro-boro untung dengan tingkat yang setara, malah untung sedikit saja sudah senang sekali, bahkan impas saja sudah terima kasih. Selayang Pandang Perjanjian Ikatan antara satu pihak dengan pihak yang lain, ada banyak pengertian dan macamnya. Ikatan ini ada yang bertujuan sosial dan bertujuan non sosial atau antar person, yang merupakan wujud dari adanya perjanjian antar pihak. Ada perjanjian yang berbentuk tertulis dan ada yang tidak tertulis. Yang tertulis bisa dalam banyak wujud, contohnya undang-undang, peraturan, kontrak, kesepakatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dan lainnya. Sedangkan yang tidak tertulis contohnya adalah hukum adat,
Pada prakteknya, perjanjian yang dilakukan antara pihak non petani dan petani, ada yang sudah tertulis, masih bersifat sepihak. Sepihak dalam arti semua isi perjanjian masih berasal dari pihak non petani, petani hanya membaca atau dibacakan, setuju (meski belum tentu paham), lalu tandatangan.
Posisi Petani dalam Kontrak Agribisnis
Pada kondisi pihak non petaninya memiliki visi yang menguntungkan semua pihak maka petani untung, namun jika hanya bervisi untung sepihak (untuk dirinya sendiri) maka rugi lah petani. Dan pada banyak kasus “kemitraan� petani dirugikan, dan tidak diberdayakan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
3
kebiasaan masyarakat atau budaya masyarakat, komitmen akan sesuatu, janji lisan, dan lainnya. Ikatan bisa terjadi sesungguhnya atas satu dasar, bahwa semua pihak yang berada dalam ikatan tersebut sama-sama memiliki pemahaman yang sama tentang isi perikatan atau perjanjiannya, sadar dan rela melakukan perjanjian. Artinya di sini harus ada pemahaman bahwa semua pihak yang berada dalam perikatan tersebut memiliki kesepahaman dulu baru melakukan perjanjian dengan penuh kesadaran tanpa paksaan (rela). Paham dalam arti tahu untung dan rugi kedua belah pihak, tahu hak dan kewajiban satu sama lain, dan tidak merugikan salah satu pihak. Kalau dilihat dari aspek hukum, sebenarnya pihak-pihak yang melakukan perjanjian dianjurkan untuk membuat akad perjanjian secara tertulis yang memuat klausul-klausul atau isi perjanjian yang disepakati. Diharapkan perjanjian kerjasama yang dibuat dengan klausul-klausul tertentu dapat memberikan keamanan bagi kedua belah pihak. Perjanjian yang akan dibahas di sini adalah perjanjian yang bermotifkan atau bertujuan ekonomis, bertujuan keuntungan material, keuntungan yang bernilai uang. Perjanjian jenis ini biasa dipahami petani dalam wujud adanya komoditi tertentu, kontrak peminjaman uang, kontrak penjualan atau jual beli ke perusahaan pengumpul komoditi. Pada prakteknya, perjanjian yang dilakukan antara pihak non petani dan petani, meski ada yang sudah tertulis, masih bersifat sepihak. Sepihak dalam arti semua isi perjanjian masih berasal dari pihak non petani, petani hanya membaca atau dibacakan, setuju (meski belum tentu paham), lalu tandatangan. Pada kondisi
4
Posisi Petani dalam Kontrak Agribisnis
pihak non petaninya memiliki visi yang menguntungkan semua pihak maka untunglah petani, namun jika hanya bervisi untung sepihak, untuk dirinya sendiri maka rugi lah petani. Dan pada banyak kasus justru petani lah yang dirugikan, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Petani dan Perjanjian Ada cukup banyak petani yang telah melakukan kontrak atau perjanjian. Dan belum semua perjanjian ini dituangkan dalam sebuah kontrak tertulis. Bahkan pada kontrak petani dengan pemerintah, contohnya program kredit usaha tani (KUT), petani akan mendapat kredit dari pemerintah jika petani menanam komoditas tertentu dan sebaliknya pemerintah akan mendapatkan cadangan untuk ketahanan pangan. Selama ini belum muncul pemahaman bahwa yang dilakukan dalam program itu memerlukan kontrak (ikatan) perjanjian tertulis. Pada proyek-proyek pembangunan di wilayah pedesaan juga ada banyak kasus. Sebagai contoh, Proyek Pengembangan Rawa Terpadu (Integrated Swamp Development Project; World Bank; 1994/1995-1999/2000) di Riau dan Pekanbaru misalnya, petani akan diberi bibit kelapa hibrida gratis, ongkos perawatan, Saprodi dan sertifikasi lahannya. Syaratnya petani menyiapkan lahannya (membersihkan lahannya) yang berluas 1 hektar agar siap ditanami jatah 150-160 bibit kelapa dan menyerahkan SKT-nya (Surat Keterangan Tanah; biasa diberikan di wilayah eks program transmigrasi) agar bisa disertifikatkan. Jika petani melakukan ini semua maka pemerintah akan mendapatkan keuntungan, jika program ini berhasil, petani bisa panen kelapa sehingga pendapatannya meningkat dan anggaran pemerintah untuk
Bahkan peminggiran petani dalam kontrak kerjasama ini, juga dipraktekkan oleh pemerintah. Jika pemerintah berkontrak dengan pengusaha (misalnya pemborong jembatan/jalan) selalu dilakukan dengan kontrak kerja yang lengkap tertulis. Namun, jika pemerintah berkontrak dengan petani, hal yang sama tidak dilakukan. Dihalaman ini ada beberapa contoh, kontrak pemerintahpetani yang tidak memberdayakan itu.
Posisi Petani dalam Kontrak Agribisnis
Proyek pemerintah di Bengkulu, yaitu BRDP (dana utang Bank Dunia) dan di Kalsel, yakni CERDP (utang ADB), melakukan perubahan disain proyek di tengah jalan. Perubahan disain ini menyebabkan masyarakat yang terlibat di awal proyek mendapat “ucapan selamat tinggal� begitu saja. Padahal masyarakat sudah banyak berbuat atas permintaan proyek tersebut. Bukankah hal seperti ini, diawalnya, harus dikemas dalam suatu kontrak/perjanjian tertulis, sehingga masyarakat dapat memposisikan diri secara jelas dalam proyek.
5
pengentasan kemiskinan dan pengelolaan rawa akan menurun. Namun kenyataannya setelah 4 tahun, hasil panen kelapa tidak menguntungkan, petani yang biasa dengan kelapa lokal terlanjur menebangi kelapa lokalnya untuk diganti hibrida, dan tragisnya ada petani yang tidak memperoleh sertifikat lahannya sebagaimana yang dijanjikan, dan mereka tak dapat berbuat apa-apa. Bukankah hal ini, sebelumnya, harus dikemas dalam suatu kontrak/ perjanjian tertulis, sehingga ada kekuatan bagi petani untuk menuntut haknya? Proyek Pengembangan Wilayah Bengkulu (Bengkulu Regional Development Project; World Bank; 1999/2000-2003/ 2004) dan juga Proyek Pemberdayaan Masyarakat untuk Pengembangan Pedesaan (Community Empowerment for Rural Development Project; ADB; 2001/2002-2006/2007), melakukan perubahan disain proyek di saat mereka sudah mengajak masyarakat. Perubahan disain ini menyebabkan masyarakat yang sudah terlibat dalam proyek ini di awal proyek justru tidak dilibatkan lagi. Padahal sudah ada perubahan-perubahan di masyarakat yang terjadi atas permintaan proyek tersebut. Bukankah hal ini, sebelumnya, juga harus dikemas dalam suatu kontrak/perjanjian tertulis, sehingga masyarakat secara jelas dapat memposisikan diri mereka dalam kedua proyek tersebut? Contoh lain, tanpa perjanjian tertulis, petani di daerah Grobogan melakukan penanaman jagung varietas tertentu. Petani mendapat Saprodi, bimbingan penanaman, dan biaya perawatan, dengan janji bahwa hasil panennya akan dibeli sebuah perusahaan namun pada kenyataannya tidak semua hasil petani dibeli oleh perusahaan, kalaupun mau, perusahaan membelinya dengan
6
Posisi Petani dalam Kontrak Agribisnis
harga yang rendah. Atau tanpa perjanjian tertulis petani diminta membudidayakan jamur dengan terlebih dahulu membeli bibit jamur dan media tanamnya, kemudian hasil panennya akan dibeli perusahaan. Di beberapa wilayah di seputar Kota Solo misalnya, ada perusahaan dengan perjanjian tertulis bersedia membeli umbi tanaman ginseng jika petani membeli bibit ginseng dari mereka dan menyerahkan batang tanaman tersebut dengan panjang tertentu. Namun dalam surat kontrak perjanjian ternyata ada beberapa hal yang tidak dicantumkan, bahkan tujuan kontrak tersebut berbeda dengan realitas pelaksanaan di lapangan. Pihak perusahaan sebelumnya juga menyatakan bahwa surat kontrak dapat dibuat bersama-sama oleh kedua belah pihak namun pada kenyataannya hanya dibuat sepihak tanpa melibatkan petani yang akan diajak kerjasama. Bahkan, saat ada petani yang tidak setuju dengan isi surat kontrak tersebut, wakil perusahaan menyatakan, “Kalau tidak setuju ya sudah, mau atau tidak mau ya ini perjanjiannya.” Contoh-contoh yang di atas menandakan bahwa ada banyak kasus yang seharusnya dilakukan dengan perjanjian tertulis namun tidak dilakukan. Ada yang sudah dengan perjanjian tertulis namun sepihak, atau merugikan salah satu pihak. Kasus-kasus ini dilakukan oleh perorangan, perusahaan, proyek atau pemerintah. Belajar dari Pengalaman Banyaknya kasus-kasus yang merugikan petani, membuat petani ada yang sadar dan ada yang belum sadar. Diantara
Bahkan, saat ada petani yang tidak setuju dengan isi surat kontrak tersebut, wakil perusahaan menyatakan, “Kalau tidak setuju ya sudah, mau atau tidak mau ya ini perjanjiannya.” Tidak ada niat untuk “duduk bersama” sebagai mitra bisnis yang setara.
Posisi Petani dalam Kontrak Agribisnis
Ketika terjadi masalah dalam pelaksanaan kerjasama, maka petanilah yang paling banyak dirugikan.
7
yang sudah menyadari kerugiannya pun ada yang sudah tahu cara menghadapi sebuah perjanjian ada pula yang belum tahu. Adalah menjadi penting bagi petani khususnya yang sudah belajar dari pengalaman rugi ini untuk membagikan pengalamannya agar petani lain tidak turut merugi pula. Salah satu pengalaman belajar yang dilakukan oleh petani Kecamatan Sugihan dan Kecamatan Polokarto Sukoharjo Jawa Tengah adalah saat mereka tertarik melihat maraknya kerjasama penanaman ginseng antara petani dengan sebuah perusahaan pembeli umbi tanaman ginseng. Kerjasama tersebut ternyata menimbulkan keluhan-keluhan dari petani. Bayangan sukses sebelum bekerjasama dengan perusahaan, punah dalam prosesnya. Petani mengeluhkan hasil panen ginsengnya hanya mencapai 0,8 kg gingseng kering dari satu paket benih ginseng yang dibelinya dengan harga 1 juta rupiah. Hasil tersebut tidak seperti yang dipromosikan oleh pihak perusahaan, dimana dalam satu paketnya dapat menghasilkan minimal 3 kg gingseng kering yang akan dibeli dengan harga 2,5 juta rupiah per kg. Sementara dalam surat kontraknya resiko kegagalan panen tidak dicantumkan sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti nasib petani ketika tanamannya gagal. Masalah yang berbeda ternyata dialami petani lainnya. Petani yang tertarik melakukan penanaman ginseng namun tidak mampu membeli bibit, terpaksa merelakan sertifikat tanahnya sebagai agunan. Namun karena surat kontraknya diberikan kepada petani setelah mereka menanam ginseng, belakangan mereka baru tahu kalau sertifikatnya tidak boleh diambil sebelum masa dua tahun. Kondisi ini tentunya sangat merugikan petani.
8
Posisi Petani dalam Kontrak Agribisnis
Atas kondisi-kondisi tersebut di atas, petani Sukoharjo, Klaten, dan lainnya, merasa prihatin dan terpanggil untuk ikut membantu petani lain agar tidak mengalami masalah yang sama dalam melakukan kontrak kerjasama. Mereka melakukan kajian khusus terhadap masalah perjanjian atau kontrak kerjasama dan melakukan langkah-langkah pembelaan untuk memperjuangkan nasib teman-temannya. Mereka juga melakukan penyebarluasan informasi tentang bagaimana seharusnya melakukan perjanjian kerjasama agar tidak merugi di kemudian hari. Sebagai bentuk kepedulian pada nasib petani yang selalu dipermainkan itu lah maka bacaan ini tersaji. Isi yang disajikan merupakan hasil kajian teman-teman petani dan YDA Solo serta teman-teman lain yang peduli petani, serta rekaman pengalaman teman-teman petani di beberapa tempat. Bacaan yang harus dibaca sebelum menandatangani kontrak kerjasama, dengan satu harapan semoga memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi petani-petani Indonesia yang sedang memperjuangkan hak-hak dan eksistensi dirinya.
Sebagai bentuk kepedulian pada nasib petani yang selalu dipermainkan itu lah maka bacaan ini tersaji. Isi yang disajikan merupakan hasil kajian teman-teman petani dan YDA Solo serta teman-teman lain yang peduli petani, serta rekaman pengalaman teman-teman petani di beberapa tempat.
9
Realitas “Kemitraan� Petani-Pengusaha Sebagai salah satu pihak dalam kerja sama bisnis pertanian, ternyata petani adalah pihak yang tidak cukup mendapat perlindungan hukum. Banyak kasus yang dihimpun YDA menunjukkan lemahnya aspek perlindungan hukum bagi petani dalam pelaksanaan kontrak kerja sama dengan pihak investor swasta.
alam banyak kasus, kerjasama (atau kemitraan) antara petani dengan pengusaha, di mulai dengan inisiatif dari pihak pengusaha. Pihak pengusaha mendatangi petani dan melakukan sosialisasi atau promosi atas usaha tani yang ditawarkan. Dalam sosialisasi ini, lebih banyak dibicarakan aspek promosi dan janji-janji akan keuntungan serta kemudahan belaka. Jadi bukan merupakan pembicaraan yang menyeluruh atas segala aspek dari sebuah kerjasama, jarang sekali membicarakan kemungkinan resiko usaha. Tidak ada pula pembicaraan yang serius tentang aspek hukum (hukum perjanjian) dalam forum-forum pertemuan tersebut. Jika petani sudah mulai terpesona oleh promosi-promosi dari pihak pengusaha. Pengusahalah yang biasanya menyodorkan syaratsyarat kerjasama itu. Petani tinggal tandatangan, tanpa membicarakan ketentuan-ketentuan kerjasama secara seimbang. Padahal secara hukum, kedudukan semua pihak yang melakukan perjanjian adalah setara, sementara yang tampak dari proses dan bentuk “perjanjian kemitraan� petani-pengusaha ialah: pengusaha adalah boss, sementara petani adalah buruh semata.
D
10
Realitas “kemitraan� Petani-pengusaha
Posisi yang lemah dari pihak petani, mulai dari terbentuknya kerjasama/perjanjian, hingga pelaksanaan kerjasama, dan kelihatan juga (posisi- petani lebih lemah) ketika kerjasama harus putus di tengah jalan. Mengaku bangkrut, petani diterlantarkan Kasus yang dilaporkan oleh petani dari Klaten, ialah bahwa petani menjadi kesulitan menjual hasil panennya karena perusahaan yang mengajak bekerjasama mengalami bangkrut (menyatakan diri bangkrut). Petani tidak tahu lagi harus berbuat apa. Bentuk tertulis perjanjian yang umum dalam kemitraan petani-pengusaha, adalah secarik kertas bahwa petani menyetujui syarat-syarat dari perusahaan. “Saya tidak tahu apakah perjanjian itu kuat secara hukum. Disurat itu juga tidak ada leges atau meterainya,� tutur kata Haryono, anggota kelompok tani Desa Kurung Kecamatan Ceper Kabupaten Klaten Jawa tengah, yang pernah bekerjasama dengan PT. Inti Karya Agrosatria yang beralamat di jalan Sersan Sadikin 88, Jonggrangan Klaten. Haryono menceritakan kemitraan yang diikuti oleh kelompoknya ialah menanam Jagung Sayur atau Baby Corn (Baby Corn adalah ontong yang dipetik atau dipanen saat masih muda). Mulanya, petani gembira dengan kehadiran PT. Inti Karya Agrosatria ini, apalagi tanah di desa ini mendukung varietas yang ditanam. Apalagi sebelumnya banyak petani di sini gagal panen padi karena hama wereng. Kemudian, ternyata pihak perusahaan mitra menyatakan diri bangkrut. Walau pinjaman (kredit biaya garap) petani diputihkan, petani harus menanggung sendiri persoalan pemasaran. Padahal
Bentuk tertulis perjanjian yang umum dalam kemitraan petani-pengusaha, adalah secarik kertas bahwa petani menyetujui syarat-syarat yang disodorkan perusahaan
Realitas “kemitraan” Petani-pengusaha
11
niat petani mengikuti kemitraan ini, sebagai terobosan di bidang pemasaran. “Kami tidak tahu, apa syarat-syarat hukum sebuah perusahaan untuk dapat dinyatakan bangkrut. Dia (perusahaan) bangkrut betulan atau tidak, kami juga tidak tahu. Sebelumnya hal ini juga tidak dicantumkan dalam perjanjian. Jika dia bangkrut karena kesalahannya sendiri, mengapa kami harus ikut rugi?” tanya Haryono.
Posisi yang lemah dari pihak petani, mulai dari terbentuknya kerjasama/ perjanjian, hingga pelaksanaan kerjasama, dan kelihatan juga (posisi- petani lebih lemah) ketika kerjasama harus putus di tengah jalan.
Bimbingan Teknis Ala Kadarnya TRAUMA! Itulah kata yang muncul dari salah satu petani Desa Borongan Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten Jawa Tengah, ketika menyampaikan kesan terhadap kontrak penanaman pembenihan jagung C7 yang baru saja diikutinya. Kerjasama antara PT Monagro Kimia (Anak perusahaan Monsanto di Indonesia) dengan petani desa ini dinilai petani penuh persoalan. Kelompok Tani Ngudi Makmur adalah kelompok tani yang beralamat di Desa Borongan Kecamatan Polanharjo-Klaten. Kelompok ini pernah bekerja sama membenihkan jagung C-7 dengan PT Monagro yang beralamat di jalan Mataram no. 9 Ketandan-Klaten pada bulan April-Agustus 2002. Pada saat kerjasama ini akan berlangsung, petani melakukan pengkritisan terhadap isi perjanjian. Hasil kajian yang dilakukan petani tersebut disampaikan kepada pihak Monagro, dan kemudian Monagro menyatakan akan “memperbaiki” surat perjanjian sesuai dengan usulan petani. Ada penandatanganan kontrak yang dilakukan petani (saja) sekitar 1 minggu setelah tanam. Perjanjian tertulis ini (belum ditandatangani oleh perusahaan) kemudian disampaikan pada
12
Realitas “kemitraan� Petani-pengusaha
wakil Monagro untuk ditandatangi direktur perusahaan yang berwenang. Namun, sampai kerjasama berakhir kelompok tani tidak memiliki lembar perjanjian yang ditandatangani lengkap (bersama) oleh kelompok tani maupun Monagro. Dan dalam kenyataannya, kemudian banyak masalah muncul. Mulanya, perusahaan berjanji akan menyediakan biaya garap, namun kemudian janji ini dilanggar begitu saja. Janji tentang akan diberikannya bimbingan teknis kepada petani juga tinggal kenangan, padahal menanam varietas ini adalah pengalaman pertama kali bagi petani di desa ini. Belum lagi persoalan teknis di lahan terkait syarat penanaman yang mengharuskan tanaman tersebut di-isolasi dari tanaman jagung varietas lain. Jika petani menanam seperti biasa (tanpa bimbingan petugas teknis dari perusahaan) tentu akan ada masalah pada kualitas hasil panen. Nah, pihak perusahaan yang melanggar janji (tidak memberikan bimbingan teknis), tetapi malahan petani yang kena getah (hasil panen tidak memenuhi kualitas yang disepakati dan tidak jadi dibeli perusahaan). Petani menyebutkan, kerjasama untuk membenihan jagung C7 ini membuat petani lebih sibuk dibandingkan menanam jagung yang biasa ditanam. Bagi petani, penamaman bibit jagung C7 ini merupakan pengalaman pertama kali sehingga bimbingan teknis sangat diperlukan untuk mencapai hasil yang diharapkan. Namun PPL (yang juga menjadi agen perusahaan dalam proses perjanjian) sangat jarang datang. Kalaupun PPL datang, hanya melakukan kunjungan ala kadarnya. Hal yang sama juga terjadi dengan petugas teknis dari perusahaan. Dikatakan petani, perusahaan tidak menepati janji atas rencana kunjungan ke lahan yang direncanakan. Bahkan,
Padahal diperjanjikan bahwa perusahaan akan memberikan bimbingan teknis, tetapi jika perusahaan melanggar janji (tidak memberikan bimbingan teknis), mengapa hanya petani yang harus menaggung risiko jika hasil panen tidak memenuhi kualitas?
Realitas “kemitraan� Petani-pengusaha
Perusahaan kerapkali mengubah isi perjanjian seenaknya saja. Hal ini seperti dialami kelompok Tani Makmur Desa Jimus Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Hanya pada musim tanam I saja perjanjian ditaati penuh oleh PT Monsanto, mitra mereka dalam pengembangan benih jagung C7.
13
beberapakali perusahaan memberi pengumuman agar petani peserta kontrak berkumpul di lahan karena akan ada kunjungan, namun ternyata tidak ada kunjungan. Dikatakan, pengalaman ini menjadi pelajaran tersendiri bagi petani, sehingga petani enggan lagi untuk melanjutkan kerjasama tersebut. Kalaupun kerjasama tersebut akan berlanjut, petani mengajukan beberapa syarat. Syarat baru dari petani, antara lain kontrak harus ditandatangani sebelum penananam dilakukan, janji pertemuan di lahan harus ditepati. Juga dilakukan sosialisasi tentang teknis tanam yang khusus (isolasi tanaman) harus melibatkan pihak desa dan BPD dalam bentuk kesepakatan. Bagi petani, persoalan isolasi varietas tersebut dari varietas jagung lain, jika tidak disepakati semua warga desa (yang lahannya saling berdekatan) ditengarai akan menimbulkan konflik sosial. Lebih lanjut, petani di situ menginginkan kerja sama dengan perusahaan itu dikuatkan/ditetapkan dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes). Pengalaman ini juga dialami oleh kelompok tani Tani Makmur Desa Jimus Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Hanya pada musim tanam I saja perjanjian ditaati penuh oleh PT Monsanto. Selanjutnya beberapa kesepakatan mulai dilanggar, tanpa memperhatikan suara petani. Mengubah Perjanjian Secara Sepihak Supardi, petani asal Kabupaten Sragen Jawa Tengah, memiliki pengalaman pahit dalam kerjasama dengan pengusaha. Pada tahun 2001 dia melakukan kontrak produksi white Melon dengan CV Tunas Prospekta yang beralamat di Kartasura - Sukoharjo Jawa Tengah. Perkenalannya dengan CV Tunas Prospekta dilakukan dengan seorang penghubung bernama Ir Suparno.
14
Realitas “kemitraan” Petani-pengusaha
Kerjasama ini kemudian berjalan tidak semulus yang dibayangkan Supardi. Pihak CV Tunas Prospekta ternyata kerapkali melakukan perubahan-perubahan ketentuan seenaknya, dan tanpa pemberitahuan kepada petani sebelumnya. Dituturkan Supardi, kerapkali pihak CV tersebut melakukan perubahan terhadap ketentuan kualitas dan harga buah melon petani. Tahun 2002 saja, terjadi perubahan ketentuan kualitas (yang berdampak pada harga) sampai tiga kali, yang dilakukan secara sepihak oleh perusahaan tanpa didiskusikan dengan petani. Perubahan persyaratan tersebuthanya dituangkan dalam surat edaran yang diberikan ke petani dan dinyatakan hanya berlaku di wilayah Sragen. “Padahal dari pemantauan di pasar, dan juga di lahan daerah lain, harga white melon stabil,” kata Supardi seraya menambahkan perubahan harga secara sepihak tersebut sangat merugikan petani hingga nyaris tidak bisa menutup biaya produksi. Supardi menceritakan pula, bahwa bimbingan teknis yang dijanjikan perusahaan tidak mampu memenuhi harapan petani. “Karena penyuluh lapangan yang dikirim tidak menguasai persoalan penanaman White Melon. Terpaksa petani melakukan percobaan sendiri untuk dapat menghasilkan hasil panen yang bagus.” Supardi dan rekan-rekan petaninya, kemudian tidak lagi melanjutkan kerjasama dengan pihak CV Tunas Prospekta. “Petani merasa bahwa manajemen perusahaan tidak terbuka dalam hal penentuan harga, proses penimbangan, penyortiran hasil panen. Juga tidak ada disebutkan jangka waktu kerja sama yang jelas, dan tidak ada bentuk perjanjian tertulis yang lebih mengikat,” imbuh Supardi.
Siasat lain perusahaan ialah, melakukan perubahan terhadap ketentuan kualitas dan harga produk petani. Perubahan ketentuan kualitas (yang berdampak pada harga) bisa berkali-kali , dan dilakukan secara sepihak oleh perusahaan tanpa didiskusikan dengan petani.
Realitas “kemitraan� Petani-pengusaha
15
Diceritakan Supardi, kerjasama itu sebenarnya cukup menguntungkan. Tetapi karena pihak perusahaan tidak terbuka dalam pengelolaan hasil panen petani, khususnya dalam penentuan timbangan buah yang sesuai standar (perusahaan membuat kategori standar A1, A2, dan A3) maka petani merasa kepentingannya diabaikan. Petani sendiri pernah melakukan protes terhadap perusahaan agar ada perbaikan dan keterbukaan, namun tindak lanjut perusahaan atas protes itu sendiri tidak ada.
Blangko perjanjian yang telah dibuat dan ditetapkan oleh perusahaan hanya ditandatangani oleh petani saja (perusahaan tidak melakukan penandatanganan/ persetujuan apapun). Blanko kerjasama yang ditandatangani petani ini kemudian disimpan oleh perusahaan, sehingga petani sering lupa hal-hal apa saja yang diatur dalam perjanjian tersebut.
Pengalaman Pahit Giman Suatu hari, Giman, seorang petani Desa Sugihan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo membaca iklan sebuah perusahaan yang menginformasikan adanya penawaran kontrak kerjasama pertanian dalam hal produksi Melon Sayur/White Melon. Berbekal informasi yang diterima dan ketertarikannya, akhirnya Giman mendatangi perusahaan dan iapun terikat dalam kontrak kerjasama tersebut. Setelah perusahaan menindaklanjuti dengan pengecekan lahan, barulah dilakukan persetujuan kontrak yang dilakukan di kantor perusahaan. Blangko yang telah dibuat dan ditetapkan oleh perusahaan hanya ditandatangani oleh petani, perusahaan tidak melakukan penandatanganan/persetujuan apapun. Blanko kerjasama yang ditandatangani Giman ini hanya disimpan oleh perusahaan, sehingga Giman agak lupa hal-hal apa saja yang diatur dalam perjanjian tersebut. Giman sendiri tidak diberi kesempatan untuk memberikan penawaran yang mungkin akan lebih menguntungkan. Perusahaan tidak mau berdiskusi, petani hanya diberikan 2 pilihan. Bila setuju dan mau bergabung silakan, bila tidak setuju, silakan saja!
16
Realitas “kemitraan� Petani-pengusaha
Dalam kasus ini, Giman mengakui memang tidak mencoba melakukan penawaran terhadap isi perjanjian, “Kerjasama tersebut merupakan pengalaman pertama melakukan kontrak, Saya masih kurang pengalaman dalam hal kerjasama pertanian,� kata dia. Dituturkan, selama masa tanam perusahaan memang melakukan bimbingan teknis dan supervisi (pembinaan) dalam bentuk teori tertulis dan pendampingan teknis. Namun selama 2 bulan masa kontrak kerjasama, perusahaan melakukan 2 kali penggantian petugas teknis lapang, dan informasi perkembangan tanaman terputus karena petugas sebelumnya tidak menginformasikan pada petugas penggantinya. Setelah panen, dilakukan pensortiran (seleksi) di gudang perusahaan. Giman yang tidak hadir dan tidak ikut serta dalam proses tersebut, hanya mengetahui sebagian melonnya diterima dan sebagian lain tidak lolos seleksi. Giman tidak tahu harus dikemanakan buah melon sayur yang tidak diterima oleh perusahaan. Sementara melon sayur tersebut tidak bisa diterima oleh pasar lokal, dan juga tidak dapat dikonsumsi oleh karena rasanya yang kurang enak. Perusahaan sendiri tidak mempunyai kebijakan untuk menampung berton-ton produk yang tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Oleh karena itu akhirnya melon sayur yang tidak tetampung oleh perusahaan dibuang secara Giman dan sebagian lagi dibiarkan membusuk di sawah. Kemitraan Berbuah Utang Sama seperti kebanyakan petani, bercocok tanam adalah pekerjaan utama untuk meraih pendapatan guna memenuhi
Setelah panen, dilakukan pensortiran (seleksi) di gudang perusahaan, dan petani tidak ikut serta dalam proses tersebut. Petani hanya akan diberitahu hasil akhirnya saja, yaitu “hanya sebagian hasil panen mereka yang lolos seleksi, sedangkan sebagian lain dinyatakan tidak lolos dan tidak tidak akan dibeli oleh perusahaan.
Realitas “kemitraan” Petani-pengusaha
Seorang petani menceritakan, bahwa dia pernah melakukan kerjasama sedangan sebuah perusahaan, “Pada perjanjian itu, pihak PPL berperan sebagai makelar bagi pihak perusahaan.”
17
kebutuhan sehari-hari, begitu pula dengan Ratno, petani dari Dukuh Parakan Kelurahan Bolong Karanganyar, Jawa Tengah. Dia sempat bermimpi muluk ketika mulai bekerjasama dengan sebuah perusahaan bernama PT Wonder Pratama. Ratno menceritakan, bahwa proses perumusan kerjasama dilakukan sekali pada tahun 1999, bertempat di BPP (Balai Penyuluh Pertanian) Palur Karanganyar Jawa tengah, dengan dihadiri petani, PT Wonder Pratama, dan PPL yang berperan sebagai makelar bagi pihak perusahaan. Dalam pelaksanaan kerjasama, pengadaan benih dan mulai masa tanam dilakukan tepat seperti di dalam perjanjian. “Namun ketika panen tiba, hasil panen tidak dibeli oleh PT Wonder Pratama,” keluh Ratno. Diceritakan, perusahaan beralasan hasil panen di lahan petani tidak memenuhi target grade/kualitas A yang diinginkan perusahaan. Perusahaan menilai, mereka akan rugi pada biaya transportasi jika tetap membeli hasil panen petani. “Sementara itu, utang petani pada perusahaan harus tetap dibayar,” kisah Ratno. Menurut Ratno, tidak bisa dicapainya hasil panen dengan kualitas tertentu seperti yang diharapkan, bukan sepenuhnya kesalahan petani. “Ini terjadi juga karena, tidak adanya bimbingan penanaman dan pemeliharaan. Baik dari PPL yang menjadi makelar perusahaan maupun dari perusahaan sendiri.” Diceritakan pula, dalam kemitraan dengan PT Wonder Pratama, pihak petani tidak memegang kontrak perjanjian tertulis. Perjanjian tertulis yang dibuat dan ditandatangani bersama terdahulu, hanya dipegang oleh perusahaan. “Padahal seingat saya, dalam perjanjian itu dikatakan jika pihak perusahaan
18
Realitas “kemitraan” Petani-pengusaha
menyalahi aturan, petani bisa menuntut 2 kali biaya tanam. Tapi petani tidak memegang perjanjian tertulisnya,” kata Ratno. Pengalaman Demi Pengalaman Harapan keuntungan membuat Ratno tidak kapok dengan pengalaman pertama bermitra, maka dua tahun kemudian (2001 sampai 2002) Ratno kembali terikat kontrak kerjasama menanam Melon Daging Merah dengan Rohmat, seorang pedagang asal Desa Wonorejo, Kecamatan Bekonang-Sukoharjo Jawa Tengah. “Informasi tawaran Pak Rahmat, Saya peroleh dari teman sesama petani, yang masih punya hubungan saudara dengan Pak Rohmat. Pembahasan kerjasama kemudian dilakukan secara kekeluargaan, dan segalanya bicarakan secara lisan (tidak tertulis) serta tanpa saksi.” Namun nasib buruk kembali menimpa Ratno. Tengkulak tersebut mengingkari kesepakatan yang telah dibuat. Dia hanya mau membeli melon dengan harga Rp 15.000/kg, padahal pada kesepakatan awal, harganya Rp 2000/kg. Pak Rohmat beralasan bahwa harga di pasaran sedang jatuh. Terdapat juga petani yang panennya di beli secara dicicil.
Seolah tidak ada yang dapat diperbuat oleh petani, ketika pengusaha mengatakan “Harga sedang jatuh”, atau “Pasaran sedang lesu” atau bahkan “ekspor kita harganya jatuh di luar negeri”. Kebanyakan petani memang hanya dapat menerima saja semua alasan yang dikemukakan pengusaha.
19
Pengalaman Petani
Menganalisis Masalah Kontrak Kemitraan dan Melakukan Advokasi
K
etika sedang didera kesulitan ekonomi, tiba-tiba ada pihak yang menawarkan impian berupa pendapatan yang cukup besar, dengan adanya kepastian pasar, ternyata membuat banyak orang tidak bisa berpikir panjang. Begitulah kisah beberapa petani di Kecamatan Bendosari dan Polokarto Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. Lantas, mereka pun mengalami kepahitan dari sebuah kontrak kerjasama menanam ginseng dengan CV Medical yang beralamat di Jl Kol Sugiyono 29, Nayu Timur, Solo. Awal mereka kepincut, ialah pada sebuah acara “promosi� yang diadakan perusahaan di salah satu rumah petani di Desa Mlajon Kecamatan Polokarto-Sukoharjo. Disini beberapa petani langsung menyatakan bergabung. Dengan menyerahkan uang Rp 1.000.000 kepada CV itu, petani sudah mendapatkan 1 paket bibit ginseng berupa stek sebanyak 250 batang, kemudian ditanam di atas tanah 150 meter persegi dalam waktu 3-4 bulan. Pihak CV mengatakan dalam promosinya, 1 paket akan menghasilkan 2-3 Kg ginseng kering, dan akan di beli CV itu seharga Rp 2,5 juta/Kg. Dalam bab-bab berikut ini, secara khusus diceritakan persoalan maupun gerakan advokasi petani, yang terkait dengan sebuah kasus kontrak. Yaitu kontrak penanaman komuditas ginseng antara petani di Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar, dengan sebuah perusahaan bernama CV Medical yang beralamat di kota Solo Jateng.
20
Menganalisis Masalah Kontrak Kemitraan dan Melakukan Advokasi
Singkat cerita banyak petani yang tergiur dan akhirnya menanam ginseng, baik sekadar cobacoba/sampingan tapi ada juga yang benar-benar dijadikan sebagai tumpuan harapan. Banyak petani yang tidak mempunyai uang sebesar Rp1 juta, rela pula menggadaikan sertifikatnya pada CV Medical sebagai jaminan untuk mendapatkan 1 paket bibit ginseng, yang akan dibayarkan saat panen. Tidak ada yang merasa aneh, dengan ketentuan yang menetapkan bahwa sertifikat tidak boleh diambil/ditebus sebelum dua tahun. “Soal sertifikat baru bisa diambil minimal dua tahun ini baru diketahui petani setelah satu bulan kemudian, yaitu saat dapat perjanjian tertulisnya,” tutur Marimin, ketua KOMPPOS (Kelompok Muda Peduli Petani Sukoharjo) yang melakukan proses pembelaan (advokasi) bagi petani korban CV Medical. “Setelah satu bulan menanam ginseng, barulah perjanjian tertulis diterima. Dan pada perjanjian ini tidak ada saksi-saksi yang cukup. Aparat desapun tidak dilibatkan dalam perjanjian,” imbuh Marimin, ketua KOMPPOS (Kelompok Muda Peduli Petani Sukoharjo) yang melakukan proses pembelaan (advokasi) bagi petani korban CV Medical. Kenyataan lain, pertumbuhan tanaman ginseng yang dibudidayakan, tumbuh dengan subur. Namun ternyata tidak meng-hasilkan umbi ginseng seperti yang diharapkan petani. “Selama masa tanam, perusahaan tidak melakukan pendampingan teknis, Bahkan perusahaan mengatakan akan belajar dari pengalaman bertani ginseng tersebut,” kata Ketua KOMPPOS . Ditambahkan anggota KOMPPOS, Nur Wardoyo, karena tidak ada pendamping ahli, petani pun melakukan cocok tanam ginseng menurut kemampuan mereka sendiri-sendiri, karena tidak ada standar baku budidaya penanaman ginseng. “Harapan mendapat untung besar selama empat bulan ternyata hanya mimpi, karena justru rugi yang diperoleh. Kerugian tersebut dikarenakan hasil panen dari paket seharga satu juta rupiah hanya mampu menghasilkan 3 sampai 8 ons ginseng kering,” kata Marimin yang biasa dipanggil Ari. Selain fakta bahwa kebanyakan tanaman ginseng tidak menghasilkan seperti harapan, hal lain yang merugikan petani adalah sistem sortir yang diterapkan perusahaan. “Dari petani yang membeli 1 paket bibit, perusahaan hanya mau membeli hasil maksimal 1 kg ginseng saja,” tutur Nur. Karena sistem ini, maka jika petani berhasil menghasilkan lebih dari satu kilogram ginseng dengan kualitas bagus pun, perusahaan akan tetap hanya membeli maksimal satu kilogram. “Untuk ini perusahaan terus mensortir ulang hasil panen itu, sehingga hanya tertinggal 1 kg saja,” imbuh Ari.
Menganalisis Masalah Kontrak Kemitraan dan Melakukan Advokasi
21
Usaha Bersama atau Sekadar Jual Bibit? Bibit yang diterima petani, adalah potongan tumbuhan ginseng (untuk stek) sepanjang +/- 10 cm. Jika petani sudah panen, maka pohon ginseng yang ada di lahan, semuanya adalah hak milik CV Medical, dan akan mereka ambil dari lahan petani. Perusahaan itu tidak mau pula menampung ginseng (sebaik apa pun kualitasnya) dari ginseng yang dibenihkan sendiri oleh petani. Pihak CV Medical selalu menyatakan bahwa bibit yang mereka keluarkan sudah bebas virus. Menurut petani ini bisa jadi sebuah akal-akalan (tipu daya) perusahaan agar petani tidak membibitkan sendiri tanamannya. Dituturkan KOMPPOS, pernah suatu saat beberapa petani mendatangi kantor perusahaan, di kantor tersebut mereka jumpai tumpukan ginseng yang tidak terawat dan menjamur. Melihat hal ini petani menjadi berpikir, jangan-jangan ginseng yang dibeli perusahaan tersebut tidak digunakan atau tidak diolah oleh perusahaan. “Kami menduga, yang dilakukan perusahaan adalah sekedar memutar bibit ginseng yang dikemas dalam paket dan dijual kepada petani kembali,� kata ketua KOMPPOS. Suasana pertemuan petani peserta kontrak kerjasama budidaya ginseng di Kecamatan Jumantono Kabupaten Karangtanyar (22/ 10-2003). Pertemuan yang difasilitasi kelompok KOMPPOS dan YDA ini berhasil memetakan masalah dan langkah-langkah advokasi terhadap persoalan kontrak petani dengan pihak CV Medical yang beralamat di Kota Solo. (Foto Dok YDA)
22
Menganalisis Masalah Kontrak Kemitraan dan Melakukan Advokasi
Peta Masalah Petani Untuk memetakan masalah yang dihapapi petani, kemudian dilakukan diskusi analisis bertempat di Pendopo Kantor Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah, tanggal 7 April 2003. Diskusi analisis oleh petani penanam gingseng dari Desa Sugihan Kabupaten Sukoharjo, serta petani dari Desa Jetak dan Desa Mojodipo, Kabupaten Karanganyar. Diskusi di prakarsai oleh KOMPPOS dan YDA ini melibatkan pula pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, Kelik Wardiono SH. Hadir pula Kades dan Camat Polokarto, Kepala PPL Bendosari dan Polokarto, Perwakilan Dipertan Sukoharjo Subdin Tanaman Pangan dan Holtikultura. Dari diskusi ini, dan hasil wawancara tambahan di lokasi petani penanam, telah berhasil membuat peta persoalan petani dengan CV Medical, yaitu: 1. Panen yang dijanjikan bisa mencapai 2-3 Kg kering/paket benih ternyata rata-rata hanya mendapatkan paling banyak 0,8 Kg kering/paket, tidak lebih, bahkan tidak sedikit petani yang gagal panen 2. Isi perjanjian penanaman dibuat secara sepihak oleh CV. 3. Pada mulanya, diperjanjikan bahwa saat penanaman akan ada petugas yang akan datang untuk menjadi konsultan petani, pada kenyataannya tidak pernah ada petugas CV yang datang ke lahan. Pihak CV beralasan bahwa petani tidak pernah menghubungi untuk meminta pembimbingan (Namun, seorang staff CV memberi informasi, bahwa yang mendapatkan bimbingan adalah petani yang menanam minimal 10 paket, itupun jika diminta. secara umum, petani dianggap harus bisa belajar penanaman ginseng sendiri dari brosur yang diberikan CV Medical). 4. Saat berpromosi, pihak CV menyatakan bahwa bila gagal panen, petani akan menerima ganti uang sebesar Rp 1.000.000 atau 1 paket bibit baru untuk ditanam kembali. Tetapi ternyata yang dimasukan dalam perjanjian tertulisnya, hanya diganti 1 paket bibit gingseng, dan bila paket ganti ini gagal lagi, CV sudah lepas tanggungjawab. Kemudian bahwa, ada petani yang menanam sebanyak 2 paket bibit gingseng dan ternyata gagal seluruhnya, hanya mendapatkan ganti 1 paket bibit saja.
Menganalisis Masalah Kontrak Kemitraan dan Melakukan Advokasi
23
6. Seluruh rumpun atau batang ginseng (yang dapat dijadikan -paket- bibit baru), akan diambil seluruhnya oleh pihak CV dan dianggap menjadi hak CV, baik petani berhasil atau gagal panen. Padahal bibit stek gingseng tersebut yang sudah dibeli Rp 1.000.000/paket (250 batang). Seharusnya (secara hukum) bibit (dan keturunannya) yang sudah dibeli sepenuhnya adalah merupakan milik petani. Karena pihak CV tidak memiliki hak paten atas benih/bibit ginseng. Kecuali jika pihak CV mau membeli batang-batang ginseng yang telah menjadi bibit ginseng baru, yang senyatanya telah dikembangkan oleh petani tersebut. Dikatakan oleh pihak CV, alasan mengambil kembali batang gingseng setelah panen, adalah agar tidak terjadi booming ginseng di pasaran. Namun, ternyata pihak CV tidak pernah menjaga pasar ginseng agar tidak booming, namun terus-menerus mengembangkan wilayah penanaman di lahan-lahan baru (dengan petani peserta baru). Ketika ditanya dan diselidik oleh petani untuk apa sebetulnya batang gingseng yang diambil lagi oleh CV. Pihak CV menjawab batang gingsenng itu dipotong-potong untuk dijual kembali menjadi bibit yang siap dijual (sebagai paket penanaman baru untuk petani). Bayangkan berapa paket bibit siap jual yang bisa diambil CV dari 1 paket pohon gingseng (250 batang) yang telah dikembangkan di lahan petani. Pihak CV juga memberikan aturan tak tertulis, menyebutkan petani dilarang memotongi cabang yang tumbuh dari setiap pohon gingseng. 8. Dilaporkan petani, bahwa lebih dari 50% hasil panen ginseng terbuang percuma, karena CV menerapkan sistem sortir sepihak. Dengan penyortiran itu, maka jika panen petani bisa mencapai 1Kg sampai 1,3 Kg gingseng kering, pihak CV akan menyortir untuk kali berikutnya, (dengan alasan ginseng petani tidak memenuhi kriteria) hingga hasil petani paling tinggi hanya akan mendapatkan 0,8 Kg gingseng kering. 9. Pada awalnya, tidak ada ketentuan berat minimal untuk dapat dikatakan gagal panen. Namun ketika panen, jika petani hanya menghasilkan 2-3 Ons gingseng kering/paket, maka CV memutuskan petani tersebut gagal. Kemudian pohon gingsengnya diambil perusahaan (tanpa dibeli) dan petani diberikan bibit baru. Padahal jika 2-3 Ons itu diuangkan seharga Rp. 2.500.000/ Kg atau Rp. 250.000/Ons, harusnya petani itu mendapatkan Rp 250.000 hingga 750.000.
24
Menganalisis Masalah Kontrak Kemitraan dan Melakukan Advokasi
10. Petani yang menggadaikan sertifikat lahan untuk pembelian bibit, awalnya dijanjikan pihak CV bahwa sertifikat akan dikembalikan setelah panen atau setelah membayar harga bibit. Tetapi kemudian CV membuat aturan , bahwa sertifikat harus berada ditangan CV selama 2 tahun. Dari forum diskusi yang dilakukan KOMPPOS, ada satu kelompok petani berjumlah 25 petani yang sertifikatnya berada di CV. Ada seorang petani yang panennya “lumayan� (seberat 9 ons yang dihargai Rp 2.250.000). Setelah dia membayarkan uang bibit kepada CV sebesar Rp 1 Juta, dan biaya adminis-trasi Rp 250.000, sertifikatnya tetap tidak diberikan. Karena hal-hal di atas, KOMPPOS melakukan serangkaian aksi advokasi, dimulai dengan mempertemukan semua stakeholder dalam pertemuan bertajuk “Sosialisasi Kontrak Kerjasama Penanaman Gingseng antara Petani Penanam dengan CV Medical� tanggal 16 April 2003 di Balai Desa Sugihan, Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo. Forum pertemuan inilah yang menjadi awal serangkaian kegiatan advokasi yang dituturkan kembali dalam buku ini. Forum pertemuan ini dihadiri para petani penanam gingseng; penyuluh lapangan CV Medical; Pamong Desa Sugihan dan Polokarto; Dipertan Kabupaten Sukoharjo; Kepala BPP dan PPL Kecamatan Bendosari; serta para Ketua kelompok tani di kedua kecamatan tersebut. Dalam bab selanjutnya, akan diceritakan lebih lanjut rangkaian advokasi yang dilancarkan KOMPPOS dan YDA, baik yang terarahkan kepada pihak pengusaha dan stakeholder lain (pemerintah dll) maupun secara khusus sebagai penyadaran ke pihak petani.
25
Dari Ketidakseimbangan Kontrak, Petani Bergerak Sebuah Kisah Advokasi yang dilakukan Petani
N
asib mengenaskan yang diderita petani peserta perjanjian/kontrak kerjasama budidaya tanaman ginseng di Kecamatan Bendosari, Polokarto dan Jumantono, sebagaimana diungkapkan dalam bab terdahulu, menggugah KOMPPOS (Kelompok Muda Peduli Petani Sukoharjo – Kelompok Petani Advokasi) untuk melakukan rangkaian aksi pembelaan (Advokasi). Pembelaan ini dilakukan dengan maksud agar tuntutan petani terhadap CV Medical bisa dipenuhi, disamping agar kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh CV Media terhadap petani, terutama yang akan melakukan kerjasama kontrak produksi, tidak terjadi lagi. Dan tujuan yang lebih besar lagi yakni untuk mendorong masyarakat petani bersikap kritis terhadap tawaran kerjasama ataupun sejenisnya, sehingga terjadi pola kerjasama yang adil yang saling menguntungkan. Kisah advokasi KOMPPOS ini sengaja dimunculkan, dalam buku ini, dengan maksud bisa dijadikan bahan belajar bersama sekaligus untuk merangsang masukan dari para pembaca, agar gerakangerakan yang dilakukan oleh KOMPPOS atau petani lainnya, bisa lebih baik.
26
Menganalisis Masalah Kontrak Kemitraan dan Melakukan Advokasi
Memetakan dan Menganalisa bersama Kontrak Kerjasama Produksi Ginseng Hari itu, 7 April 2003 masyarakat petani dari Bendosari, Polokarto (Kabupaten Sukoharjo-Jawa Tengah) dan Jumantono (Kab. Karanganyar-Jawa Tengah) berduyun-duyun mendatangi Pendopo Kantor Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. Mereka berdemo, mengambil kredit atau hendak menghadiri pelatihan? Bukan! Para petani itu, sedang menghadiri undangan KOMPPOS (Kelompok Muda Peduli Petani Sukoharjo – sebuah organisasi petani advokasi yang difasilitasi oleh Yayasan Duta Awam Solo) dalam acara sosialisasi hasil kajian kontrak kerjasama produksi, yang sudah dilakukan bersamasama petani lain di Eks-Karesidenan Surakarta. Mengingat undangan terkait dengan kontrak kerjasama, maka persepsi yang muncul dari para petani bermacam-macam. Ada yang sekedar ingin tahu pertemuan tersebut mau membahas apa. Ada yang dari rumah sudah berbekal ‘gugatan’ karena mereka mengira pertemuan ini akan membicarakan kontrak kerjasama yang sedang mereka laksanakan. Dan ada juga yang berharap pertemuan ini akan menawarkan kerjasama pemasaran dengan petani. Beragam pertanyaan tersebut barui terjawab ketika KOMPPOS mulai membuka, menjelaskan maksud pertemuan. Yakni bahwa pertemuan tersebut dimaksudkan untuk membagi pengalaman dalam hal kontrak kerjasama produksi, antara petani dan perusahaan. Sedangkan pengalaman yang dibagi adalah hasil kajian kontrak kerjasama (dihasilkan tahun 2002) atas kontrak kerjasama produksi antara petani di Eks-Karesidenan Surakarta dengan Perusahaanperausahaan pengolah bahan baku, distributor bahan baku, maupun pemasok bahan baku. Diharapkan dengan pertemuan sosialisasi tersebut, petani-petani lain (khususnya yang hadir) bisa lebih kritis dalam melakukan kontrak kerjasama (baik mengenai isi perjanjian maupun dokumen perjanjian), sehingga tidak dirugikan pada saat penghitungan maupun pembayaran hasil produksi. Untuk membantu KOMPOS menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum perjanjian, KOMPPOS juga menghadirkan konsultan hukum.
27
Suasana gayeng (“meriah” dengan banyak lontaran dari petani) terlihat akan mewarnai pertemuan tersebut. Hal ini bisa dirasakan dari banyaknya petani yang langsung mengeluarkan pengalamanpengalamannya sebelum pertemuan dumulai. Benar saja, pada saat KOMPOS menyampaikan hasil kajian kontrak kerjasama, banyak petani yang langsung mengacungkan jari menyampaikan pengalamannya, meski acara belum sampai pada pembahasan pengalaman kontrak. Misalnya saja dari seorang petani peserta kontrak produksi ginseng. “Tanglet Mas. Kulo niki nderek kontrak ginseng. Trus bibitipun mboten urip. La trus kulo kudu nuntut teng pundit. Wong cepene mboten dugi malih?” ( Tanya Mas. Saya ikut dalam kontrak tanaman ginseng. Sedangkan bibit yang saya tanam tidak tumbuh. Terus saya harus menuntut ke siapa, kalau CV-nya tidak datang lagi?). Ada juga yang melontarkan soal sertifikat. “Mas waktu mau kontrak dulu, saya diminta menyerahkan sertifikat tanah. Ya saya berika. Sekarang panen saya gagal. Kok sertifikatnya tidak boleh diambil sebelum 2 tahun?” Katanya dengan nada tanya. Mengingat suasana dan pertemuan berubah menjadi ajang pengaduan, maka KOMPOS langsung mengambil inisiatif untuk menggabungkan sekalian antara sosialisasi hasi dan pemetaan masalah petani. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa petani yang hadir saat itu kebanyakan petani peserta kontrak kerjasama produksi ginseng yang dikelola oleh CV Medical Solo. Maka disamping mensosialisasikan hasil kajian kontrak, acara tersebut juga menghasilkan identifikasi masalah atas kerjasama penanaman ginseng. Ketika beberapa petani KOMPOS melakukan pencatatan atas masalah dan persoalan yang dihadapi petani, tibatiba seorang petani setengah baya berdiri dan berteriak, “Mas masalahe niku pun jelas CV Medical ingkar janji. Mpun nggo gek ndak dinapakne. Nek angel-angel dobong mawon kantore” (Mas masalahnya sudah jelas. CV Medical mengingkari janjinya. Ayo segera kita apakan. Kalau perlu bakar saja kantornya). Suaranya yang lantang membuat banyak orang terkejut. Jelas tergambar betapa geramnya dia pada perusahaan yang sudah banyak merugikan petani, seolah mengajak teman-teman petani lainnya untuk tidak pasrah dan tinggal diam.
28
Dari Ketidakseimbangan Kontrak, Petani Bergerak
Lontaran petani tadi segera disambut dengan anggukan dan sahutan setuju dari petani lainnya. Tiba-tiba, “Oalah le. Kowe isih enom tur rosa. La aku wis tuwo ora nduwe doyo. Nek aku sing penting sertifikatku bali. Mbayar yo rapopo�. ( Oalah Le -sebutan dari orang yang lebih tua untuk anak lakilaki-, kamu masih muda dan perkasa. Aku ini sudah tua dan tidak berdaya. Yang penting sertifikatku dikembalikan. Membayar juga tidak apa-apa ). Hal di atas itu adalah sebuah ungkapan yang menggambarkan kepasrahan. Seperti diketahui banyak petani yang dalam kerjasama ini harus menyerahkan sertifikat tanahnya sebagai jaminan. Pertemuan hari itu ditutup dengan kesepakatan untuk mengagendakan pertemuan bersama antara petani, CV. Medical, DPRD, Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sukoharjo. Beberapa petani ditunjuk untuk melakukan loby dan mengkoordinir terselenggaranya kegiatan. Sedangkan petani yang lain ditugaskan untuk menghubungi petani-petani peserta kontrak yang lain, agar bisa datang pada saat pertemuan dengan CV. Medical. “Supaya CV Medical mau hadir, harus diundang lewat Dinas Pertanian� Lontaran di atas itu muncul saat petani-petani mempersiapkan strategi agar pertemuan dengan CV. Medical dan Dipertanhutbun sukses. Hanya masalahnya siapa yang akan melakukan loby ke dinas, agar dinas mau bertindak sebagai fasilitator pertemuan. Gagasan menjadikan Dinas Pertanian setempat sebagai fasilitator, didasarkan pada kesadaran petani bahwa tanpa campuir tangan dari dinas pertemuan bisa dipastikan tidak dihadiri oleh CV. Medical. Maka dipetakanlah pihak-pihak yang diharapkan bisa membantu menjadi fasilitator pertemuan, disamping pihak-pihak yang diharapkan bisa membantu petani menekan pihak CV. Medical. Maka pada Bulan Mei sampai awal Juni 2003, petani-petani KOMPOS dan beberapa petani peserta kontrak budidaya ginseng, mondar-mandir untuk melakukan loby-loby ke Dipertanhutbun, BPP, DPRD dan lain-lain. Disela-sela kesibukan mengelola usaha taninya, petani-petani tersebut meluangkan waktu untuk bertandang kerumah, ke kantor para pimpinan dinas. Tujuannya hanya satu, melakukan loby agar para pejabat dinas ini mau menjadi mediator atau fasilitator pertemuan.
Dari Ketidakseimbangan Kontrak, Petani Bergerak
29
Layaknya peloby, petani-petani tersebut harus menyampaikan apa masalah yang dihadapi, mengapa harus dilakukan pertemuan, mengapa harus melibatkan dinas dan lain sebagainya. Tidak jarang penyampain tersebut harus diulang dari satu rumah pimpinan ke rumah pimpinan yang lain. Dari satu kantor dinas ke kantor dinas yang lain. Capek, jenuh, seolah tidak dirasakan. Yang ada dalam pikiran petani-petani KOMPOS ini hanyalah satu. Bagaimana berjuang membela petani-petani lemah di wilayahnya. “Yes ! Dipertanhutbun bersedia mengundang CV. Medical sekaligus menjadi fasilitator pertemuan”. Teriak seorang petani KOMPOS melaporkan hasil kerja bersama melakukan pendekatan dan lobyloby. Jelas tergambar raut kegirangan diwajahnya, seolah menjadi obat lelah dan jenuh selama ini. Perjuangan petani akhirnya tidak hanya mendapatkan dukungan dari Dipertanhutbun. Namun juga dari BPP dan instansi lainnya. “Tapi jangan-jangan Dipertanhutbun pada pertemuan nanti malahan berpihak pada CV. Medical!?” Tiba-tiba seorang petani menyahut, seolah sudah membaca gelagat yang kurang mengenakan. “Nggak masalah. Yang penting pertemuan berlangsung dan CV. Medical hadir. Selanjutnya terserah kita” salah seorang petani yang lain menyahut, sembari meyakinkan kawan-kawannya. Mempersiapkan Rumusan Kontrak yang Adil Salah satu kelemahan petani sehingga menjadi korban perjanjian kontrak adalah karena petani sendiri tidak terbiasa membuat atau mengkritisi poin-poin isi perjanjian atau tidak tersedianya dokumen perjanjian kontrak yang bisa digunakan untuk pegangan jika sewaktu-waktu terjadi wan-prestasi (tidak dipenuhinya isi perjanjian karena suatu sebab). Salah satu contoh adalah bagaimana jika terjadi kegagalan panen. Siapa yang bertanggungjawab? Dalam perjanjian sepihak dari perusahaan (CV. Medical) hal ini tampaknya sengaja tidak dibuat jelas. Berangkat dari hal tersebut sebagian tim advokasi KOMPOS bertugas untuk menggandeng pakar hukum guna mengkaji dokumen kontrak, sekaligus bersama-sama petani menyusun rumusan kontrak kerjasama yang adil. Artinya saling menguntungkan dan tidak ada pihak yang dirugikan.
30
Dari Ketidakseimbangan Kontrak, Petani Bergerak
Hasil rumusan ini yang akan digunakan petani berdiskusi dengan pihak-pihak yang diundang dalam pertemuan. Sehingga jika pada pertemuan tersebut ditanyakan tentang bagaimana rumusan perjanjian yang baik menurut petani, maka segalanya sudah disiapkan. (Sebelumnya petani telah berhasil merumuskan rancangan kontrak versi mereka sendiri untuk menjadi bahan acuan diskusi ) Pertemuan dengan CV Medical Layaknya Sidang Pengadilan Bayangan bahwa hari itu (16 Juni 2003-hari diselenggarakannya pertemuan antara petani dengan CV. Medical) petani-petani KOMPPOS gelisah. Pasalnya semula membayangkan para petani kontrak akan datang sesuai undangan dengan antusias. Namun sudah melebihi jam 09.00 (jam undangan) belum ada juga petani yang hadir, meski kalangan dinas, DPRD, BPD, BPP, PPL dan undangan lain sudah hadir. Kegelisahan semakin memuncak ketika mendekati jam 10.00 belum juga ada yang hadir. Padahal dalam beberapa pertemuan persiapan, semangat petani untuk menghadiri pertemuan sangat tinggi. Bahkan terkesan tidak sabar menanti hari pertemuan segera tiba. Kegelisahan tersebut baru terjawab, ketika satu dua petani meski terlihat ragu-ragu mondar-mandir didepan tempat pertemuan (Pendopo Balai Desa Bendosari). Seolah tanggap dengan keragu-raguan petani, salah seorang anggota KOMPOS mempersilahkan petani masuk, serta menanyakan mengapa kawan-kawan yang lain belum muncul. “Kadose wingi onten saking cepe Medical ndatengi petani. Sing salok mpun dibayar. Sing sanese mpun dijanjeni. Ning sarate mboten sah teko teng rapat niki� ujar seorang petani ya diiyakan petani lainnya. (Kelihatannya beberapa waktu yang lalu pihak CV. Medical datang kerumah-rumah. Yang lainnya sudah dibayar. Yang lainnya sudah dijanjikan. Tapi syaratnya petani diminta tidak usah hadir dipertemuan sekarang). “Sedangkan sya tidak didatangi CV Medical, Wong masalah kulo mboten sepinteno. Nek kulo rak mung batang sing digawa cepe Medical kok mboten di-eting� tambahnya (Soalnya masalah saya termasuk kecil. Kasus saya kan hanya batang yang dibawa CV. Medical kok tidak dihitung/ dihargai).
Dari Ketidakseimbangan Kontrak, Petani Bergerak
31
“Malah onten isu, jarene nek do macem-macem ajeng dilaporke polisi. Mbok menawi sami ajrih� kawan yang lain mencoba memberi penjelasan. (Bahkan ada isu, katanya kalau petani-petani berbuat macam-macam akan dilaporkan ke polisi. Mungkin kawan-kawan pada takut). Setelah melalui koordinasi yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, akhirnya sekitar pukul 10.20 para petani sudah bisa berkumpul di Balai Desa Bendosari. Meski ada beberapa petani yang diharapkan hadir, tidak bisa hadir. Waktu itu ada sekitar 50 petani yang berkumpul. Setelah dibuka acara dimulai dengan sambutan dari Dipertanhutbun yang diwakili dari Subdinas Perkebunan Kabupaten Sukoharjo. Dalam sambutannya beliau menyampaikan tentang prospek penanaman ginseng yang cerah, seraya menyampaikan informasi dari Direktur CV. Medical bahwa ada petani (Kabupaten Sragen) yang bisa mendapatkan pengahasilan 250 juta dari penanaman 26 paket bibit ginseng. Setelah sambutan, KOMPPOS mempersilahkan CV. Medical untuk menyampaikan kata sambutan. Berhubung ternyata CV. Medical hanya mengutus petugas lapangannya, maka sambutannyapun berisi tatacara penanaman ginseng serta hal apa saja yang diatur dalam surat perjanjian. Isi sambutan ini yang memancing kegelisahan petani peserta. Maka moderator segera membatasi pembicaraan CV. Medical. Saat sessi tanya jawab, suasana berubah menjadi semacam forum pengadilan. Seolah berebut menyampaikan protes dan tuntutan, petani-petani menguraikan secara jelas persoalan-persoalan yang dihadapinya dalam melakukan kontrak kerjasama penanaman ginseng dengan CV. Medical. Mulai dari sertifikat yang tidak bisa diambil sebelum jangka waktu 2 tahun, meski petani sudah membayar ke CV. Medical 1 juta rupiah sebagai tebusan. Sampai pada ganti rugi atas bibit ginseng yang tidak tumbuh yang diberikan oleh CV. Media padahal petani harus membayar 1 juta setiap paketnya. Seperti tidak mau kalah, perwakilan CV. Medical menjawab pertanyaan-pertanyaan petani ganti menuntut dan menyalahkan petani. Misalnya soal penahanan sertifikat dijawab bahwa hal tersebut merupakan urusan oknum bukan tanggungjawab CV. Dikatakan, seharusnya petani tidak menyerahkan sertifikat begitu saja ketika diminta petugas dari CV itu.
32
Dari Ketidakseimbangan Kontrak, Petani Bergerak
Soal bibit yang tidak tumbuh, si petugas malahan mempertanyakan keseriusan petani mempersiapkan lahan serta ketepatan petani dalam penanaman (meski sebenarnya pada awalnya CV menjanjikan akan ada pendampingan dan penyuluhan tehnis, pada kenyataannya tidak dilakukan). Bahkan petugas CV. Medical menganjurkan petani jeli dalam memilih kualitas bibit (Loh bibit kan dari CV, seharusnya CV bertanggungjawab atas kualitas bibit yang disediakan. Apalagi petani membelinya seharga 1 juta setiap paket). Hal yang juga seru dibicarakan yakni soal janji jumlah panen yang tidak sesuai dengan keterangan waktu promosi. Dalam hal ini petugas menjawab tergantung bagaimana petani merawatnya. Juga soal mengapa akar ginseng yang ukurannya kurang dari 1 Cm ditarik CV dan tidak dihargai (dibayar). Menjawab pertanyaan ini perwakilan CV menyebutkan bahwa memang akar yang kurang dari 1 cm tidak ada harganya. Mengapa ditarik karena menghindari booming tanaman ginseng yang bisa terjadi karena akar dan tanaman yang tertinggal tersebut akan ditanam lagi oleh petani. Disebutkan juga, hal itu untuk menghindari petani melakukan pembibitan sendiri. Konon katanya pembibitan harus dilakukan CV untuk menjaga kualitas benih. Dan hal lain yang pula harus dicatat, perwakilan CV itu menyatakan bahwa dirinya hanya petugas, sehingga dalam pertemuan tersebut tidak bisa mengambil keputusan apa-apa. Sadar bahwa petani tetap saja menjadi pihak yang disalahkan, maka peserta meminta campur tangan para pejabat yang hadir. Bahkan suasana berkembang agak emosional. Sampai-sampai beberapa petani menyimpulkan bahwa tidak ada etiket baik dari CV untuk menyelesaikan permasalahan petani dalam penanaman ginseng. Makanya petani mempertegas permohonannya agar pihak-pihak dinas yang terkait dengan petani campur tangan. Seolah sadar akan terseret dalam persoalan petani, salah satu anggota BPD yang hadir memanfaatkan mepetnya waktu (saat itu sudah jam 13.00 lebih) dengan mengusulkan agar pertemuan diakhiri. Alasannya perwakilan CV tidak bisa mengambil keputusan, persoalan petani sudah diketahui, serta para pejabat sudah waktunya pulang karena jam kerjanya sampai jam 14.00. Sementara BPD
Dari Ketidakseimbangan Kontrak, Petani Bergerak
33
sendiri akan ada rapat. Menanggapi lontaran tersebut Ketua KOMPOS mempersilahkan BPD yang akan rapat, tapi pertemuan akan jalan terus sampai ada kesepakatan dari CV. Medical. Melihat proses pertemuan yang cenderung mengarah emosional, Perwakilan subdin Perkebunan Sukoharjo menyarankan petani menuliskan permasalahan yang ada nanti Sub Din Perkebunan yang akan menyampaikan. Seraya perwakilan Subdin Perkebunan menyampaikan bahwa Direktur CV. Medical adalah seorang businessman sehingga sangat sibuk dan tidak mungkin menerima kedatangan petani. Maka cukup tertulis saja. Menjawab usulan tersebut petani langsung menyodorkan daftar analisis masalah yang memang sudah dipersiapkan petani. Sementara itu, pihak BPP memberikan dorongan agar petani melanjutkan proses tuntutan ke CV. Medical. BPP siap memberikan dukungan dalam bentuk apapun. Karena BPP sendiri tidak menginginkan terjadi kontrak kerjasama yang merugikan petani, khususnya diwilayah Kabupaten Sukoharjo. Dan pertemuan berkahir tanpa kesepakatan. Kecuali janji Subdin Perkebunan untuk menyampaikan permasalahan petani ke Direktur CV. Medical. Yang jelas petani-petani tetap bertekad untuk meneruskan perjuangan sampai mendapatkan hasil yang adil bagi petani. Perjuangan Terus Berlanjut Sampai kisah perjuangan KOMPOS dalam mendorong petani melakukan advokasi, para petani masih melanjutkan perlawanannya. Beberapa kali perwakilan KOMPOS disertai Staf Yayasan Duta Awam mendatangi CV. Medical, namun selalu saja dijawab direktur tidak ada ditempat. Bahkan petugas-petugas yang selama ini menemui petani, selah hilang. Sehingga selalu bergantian yang menemui. Dan seolah CV. Medical tidak memiliki manajemen complain (yang melayani dan menyelesaikan masalah), para petanipun harus menjelaskan maksud dan tujuan serta persoalan yang terjadi setiap berkunjung ke kantor CV. Medical. Dan seperti biasa petugas menjawab dengan “Nanti kita sampaikan pada pimpinan�.
34
Dari Ketidakseimbangan Kontrak, Petani Bergerak
Sejumlah agenda sudah dipersiapkan oleh KOMPOS untuk menindaklanjuti kasus ini. Diantaranya melakukan penjajagan dengan LBH di Solo tentang kemungkinan melakukan tuntutan hukum, atau bahkan class action. Sementara itu dirancang pula strategi advokasi dengan memanfaatkan media massa (Pada bagian lain buku ini, dilampirkan beberapa guntingan/klipping koran lokal dan nasional yang membahas masalah kontrak budidaya ginseng oleh CV Medical ini. Klipping koran tersebut adalah hasil strategi bermedia yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan advokasi). Suasana diskusi kelompok dalam workshop petani untuk merumuskan strategi advokasi terhadap kasuskasus kontrak petanipengusaha (27-29 April 2004). Workshop yang diadakan di Solo ini, berupaya merumuskan strategi advokasi atas kasuskasus yang ada, hingga berusaha menegaskan rumusan kontrak yang memihak pada petani. Inzet: Seorang petani dengan rumpun ginsengnya. (foto: Dok YDA)
35
Bagaimana Membuat Kontrak yang Pro-Petani
R
ealitas tidak terlindunginya kepentingan pihak petani dalam kerjasama ekonomi dengan pihak lain, sudah umum kita saksikan. Hal ini terutama akibat rendahnya posisi tawar mereka. Padahal kalau dilihat dari aspek hukum, sebenarnya pihak-pihak yang melakukan perjanjian kerjasama dianjurkan untuk membuat akad perjanjian secara tertulis yang memuat klausul-klausul atau isi perjanjian yang disepakati. Diharapkan melalui perjanjian kerjasama yang dibuat dengan klausul-klausul tertentu tersebut dapat memberikan garansi keamanan bagi kedua belah pihak. Dari pengalaman petani yang ada, bahwa dalam hal perjanjian kerjasama pertanian, kedudukan antara perusahaan dengan petani tidak pernah seimbang. Tentunya kedudukan pihak perusahaan lebih kuat dari pada pihak petani sehingga kalaupun ada perjanjian tertulis, tentunya klausul-klausul yang ada akan lebih banyak melindungi kepentingan pihak yang lebih kuat. Di dalam praktik kerjasama antara petani dengan perusahaan, biasanya petani hanya mempunyai pilihan antara bersedia menerima seluruh isi klausul-klausul perjanjian itu atau tidak bersedia menerimanya. Petani yang tidak bersedia menerima (syarat) kerjasama tersebut, tidak jarang harus mengalami berbagai konsekuensi sosial. Hal ini kerap dikarenakan, oleh pihak tertentu, petani yang menolak
36
Membuat Kontrak Kemitraan Pro Petani
akan dihadapkan dengan petani lain yang bersedia menerima tawaran perusahaan sehingga memungkinkan adanya konflik horisontal. Selain itu, petani tersebut juga akan kehilangan peluang untuk mendapatkan kredit tertentu, karena biasanya perjanjian kerjasama yang ada memberikan input kredit baik berupa uang maupun Saprodi. Fenomena di atas melatarbelakangi YDA Solo melakukan Kajian Partisipatif terhadap Kontrak Kerjasama Pertanian antara Perusahaan dengan Petani pada pertengahan Maret hingga Juli 2002 yang lalu. Kegiatan ini YDA bersama petani yang menjadi peserta kontrak dengan berbagai perusahaan di wilayah eks Karesidenan Surakarta. Dalam acara ini, petani membuat catatan-catatan tentang kontrak seperti apa yang mereka idamkan, atau kontrak semacam apa yang mewadahi rasa keadilan. Hal-hal yang Harus Diperhatikan Dalam Melaksanakan Kontrak Kerjasama Pertanian 1. Tahap Persiapan Pada tahap ini, biasanya dibicarakan hal-hal umum terkait dengan penawaran kerjasama. Pengalaman petani selama ini, pada tahap ini biasanya sosialisasi dilakukan oleh perusahaan, dan kerap melibatkan beberapa pihak, misalnya dinas pertanian, PPL maupun aparat desa. Oleh karena itu, pada tahap ini (petani menginginkan) harus sudah memuat hal-hal sebagai berikut: a. Sosialisasi Sosialisasi harus dilakukan sebelum perumusan dan pelaksanaan kerjasama. Waktu sosialisasi dilakukan minimal 1 bulan sebelum pelaksanaan untuk memberikan waktu yang cukup dalam perumusan kerjasama yang akan dilakukan. Materi sosialisasi yang dilakukan harus lengkap memuat 1) Teknis produksi dan pembayaran; 2) Analisis usaha tani; 3) Risiko dan tanggung jawab; 4) Tujuan dan strategi pencapaiannya; 5) Komoditas yang akan diusahakan (jenis, keunggulan dan kelemahan dibanding yang lain); 6) Sasaran (lahan dan petani calon peserta).
Membuat Kontrak Kemitraan Pro Petani
37
b.Komunikasi Komunikasi antara pihak-pihak yangterlibat dalam kerjasama harus dapat terjalin lancar dengan bahasa yang mudah dipahami oleh semua pihak. c. Pihak yang terlibat Pemetaan terhadap pelaksanaan kontrak kerjasama selama ini mendapatkan beberapa kasus yang tidak bisa diselesaikan. Hal ini diakibatkan oleh minimnya pihak yang terlibat. Oleh karena itu beberapa pihak di bawah ini harus terlibat sejak awal perumusan kerjasama. i. Petani, apabila berhubungan dengan kelompok tani minimal dihadiri oleh 60% anggota ii. Perusahaan yang akan bekerja sama iii. PPL dan dinas lainnya iv. Kepala desa dan atau aparat desa v. BPD (Badan Perwakilan Desa) Untuk perjanjian antara perusahaan dengan individu petani (perorangan), pelibatan aparat desa dilakukan selama dianggap perlu. Bagi perusahaan yang akan bekerjasama dengan petani, sebaiknya melakukan survey lapangan terlebih dahulu sebelum pembuatan perjanjian. 2. Tahap Kesepakatan Perumusan klausul/pasal-pasal yang akan mengatur perjanjian kerjasama dilakukan pada tahap ini. Lembaran kesepakatan inilah yang akan menjadi rujukan jika terjadi persoalan dalam perjalanan kerjasama yang dilakukan. Oleh karena itu, perjanjian yang dibuat harus mensyaratkan: a. Saksi Harus ada saksi yang jelas. Artinya, saksi harus hadir dan atau tercantum dalam perjanjian kerjasama yang dibuat. Saksi ini harus dipilih secara terbuka sehingga disepakati oleh pihak yang akan melakukan kerjasama.
38
Membuat Kontrak Kemitraan Pro Petani
b. Bentuk perjanjian Alangkah baiknya perjanjian dirumuskan dalam bentuk tertulis. Namun, kenyataan yang ada seringkali tidak bisa memenuhi persyaratan ini. Khusus untuk perjanjian tertulis, perjanjian dibuat rangkap 2 dan disimpan oleh pihak yang terlibat dalam perjanjian kerjasama. c. Risiko Risiko yang mungkin terjadi harus dibicarakan di awal kesepakatan perjanjian kerjasama untuk menghindari permasalahan yang muncul nantinya. Kesepakatan tentang kemungkinan risiko ini harus termuat dalam klausul perjanjian. d. Isi Perjanjian Perjanjian yang dibuat secara tertulis harus memuat segala hal yang disepakati oleh pihak yang akan melakukan perjanjian. Segala kesepakatan ini harus tertulis secara lengkap, jelas dan bisa dipahami oleh kedua belah pihak. Berikut ini beberapa hal yang bisa dijadikan acuan. i. Judul perjanjian harus sesuai dengan isi perjanjian ii. Perjanjian mencantumkan hak dan kewajiban kedua belah pihak secara jelas dan rinci (mengatur tentang benih, sarana produksi pertanian, lahan, tenaga garap, bimbingan teknis, panen, pengawasan) iii. Perjanjian memuat risiko yang mungkin terjadi dengan mencantumkan pihak-pihak yang akan bertanggung jawab serta sanksi jika terjadi pelanggaran iv. Perjanjian mencantumkan aturan kualitas/mutu panen yang dapat diterima oleh perusahaan secara jelas v. Perjanjian harus memuat tentang penentuan harga. Harga yang ditetapkan saat panen harus mempertimbangkan waktu, musim dan prediksi harga di pasaran vi. Perjanjian memuat tentang aturan waktu pembayaran hasil panen dengan jelas vii. Perjanjian harus memuat bimbingan teknis yang akan dilakukan sejak penyiapan lahan sampai pada cara panen, sesuai yang dibutuhkan petani. Pihak yang terlibat dalam bimbingan ini harus diatur dengan jelas
Membuat Kontrak Kemitraan Pro Petani
39
e.Penguat Ikatan Untuk menguatkan ikatan perjanjian kerjasama yang akan dilakukan antara perusahaan dengan petani, maka perusahaan harus memberikan sarana produksi pertanian secara lengkap, dengan syarat tepat mutu, tepat jenis, tepat jumlah, tepat tempat dan tepat waktu. f. Tawar Menawar Harus ada tawar menawar antar-kedua belah pihak tentang isi perjanjian. g. Waktu Penandatangan Perjanjian Waktu penandatanganan harus dilakukan sebelum pelaksanaan dengan mempertimbangkan penyiapan lahan. 3. Tahap Pelaksanaan Tahapan ini adalah masa pelaksanaan perjanjian kerjasama yang telah disepakati. Perluang terjadinya perubahan kesepakatan dan masalah sanga mungkin terjadi. Oelh karena itu, pada tahap ini harus mengatur hal-hal seperti di bawah ini. a.Pelaksanaan kesepakatan harus sesuai dengan kesepakatan yang sudah dibuat (disepakati) b. Jika ada perubahan dari kesepakatan dengan pelaksanaannya, perubahan tersebut harus dilakukan secara musyawarah yang dihadiri oleh semua pihak yang terlibat dalam perjanjian dan dituangkan dalam bentuk tertulis c. Jika terdapat permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh kedua belah pihak, maka petani disarankan mencari pihak-pihak yang dapat membantu, baik melalui musyawarah atau jalur hukum d. Perlunya ada pihak yang akan menjadi pengawas dalam pelaksanaan kesepakatan 4. Tahap Tindak Lanjut
40
Membuat Kontrak Kemitraan Pro Petani
4. Tahap Tindak Lanjut Setelah kerjasama selesai, sangat mungkin dilakukan tindak lanjut kerjasama. Kesepakatan tindak lanjut dapat dilakukan dengan memperhatikan: a. Aspek keuntungan kedua belah pihak b. Perubahan terhadap perjanjian semula harus dilakukan secara musyawarah antara kedua belah pihak secara rinci dan jelas c. Kesepakatan tindak lanjut ini harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Jika tidak memenuhi hal-hal di atas, sebaiknya tidak dilakukan perpanjangan perjanjian kerja sama.
Mencermati Stakeholder yang Berkaitan dengan Kontrak Kerjasama Pertanian Petani dan perusahaan merupakan pihak yang berperan sebagai subyek hukum perjanjian. Oleh Karena itu, petani dan perusahaan merupakan pihak yang sekaligus berpotensi melakukan pelanggaran. Sementara itu, keberadaan kelompok tani dalam suatu perjanjian bisa berperan sebagai subjek hukum dengan syarat mendapat surat kuasa dari petani anggotanya. Sedangkan keberadaan PPL/Dinas Pertanian dan apar desa bisa ditempatkan sebagai saksi atau mediator dalam perjanjian tersebut. Khusus untuk Dinas Pertanian, fungsi sebagai pemberi informasi kepada petani mengenai kondisi/citra perusahaan lebih diharapkan dalam mendukung kerjasama yang dilakukan petani. Satu hal penting yang dapat dijadikan pelajaran dalam pemetaan stakeholder ini adalah informasi dan pengalaman beberapa petani di Kabupaten Purwodadi Jateng. Di wilayah ini, keberadaan PPL seringkali berperan sebagai tangan panjang dari pihak perusahaan. Sehingga peran PPL cenderung memihak kepentingan perusahaan daripada membela kepentingan petani.
Membuat Kontrak Kemitraan Pro Petani
41
Petani workshop yang digelar YDA bersama petani, kalangan petani berpendapat, keberadaan LSM/LBH dapat berperan sebagai pihak yang dapat membantu menyelesaikan masalah jika terjadi sengketa/persoalan dalam perjanjian yang dilakukan oleh petani dengan perusahaan. Kemudian workshop tadi juga mencatat, bahwa petani perlu juga memahami langkah-langkah strategis untuk melakukan klaim (tututan) jika terjadi pelanggaran dalam perjanjian pelaksanaan kerjasama (Hal cara melakukan klaim ini, merupakan materi bagian pertama dalam workshop setelah teori aturan dasar yang ada dalam perjanjian kerjasama. Hasil dialog antara petani yang melibatkan juga ahli hukum ini, dapat dilihat pada diagram berikut: Jika Perjanjian tidak berjalan seperti seharusnya
Diagram ini atas menerangkan secara ringkas, bagaimana jika timbul kerugian (atau tidak tercapainya keuntungan/obyek perjanjian atau tujuan diadakannya perjanjian). Kemudian, bagaimana cara mengajukan klaim (tuntutan atas hak yang belum/tidak didapat), karena kesalahan pihak lain memang melahirkan hak menuntut bagi pihak yang satunya. Diagram ini menunjukkan betapa pentingnya untuk mengenali identitas (Subyek) para pihak dalam perjanjian, memahami apa saja yang diperjanjikan (Obyek). Sehingga kalau terjadi hal, obyek perjanjian tidak didapatkan, dapat mengajukan klaim. Baik di pengadilan maupun di luar pengadilan (musyawarah/kesepakatan).
42
Membuat Kontrak Kemitraan Pro Petani
Bila Objek Perjanjian Tidak Didapatkan oleh Salah Satu atau Kedua Subjek Yang dimaksudkan dengan Obyek Perjanjian, adalah hal-hal yang diperjanjikan atau poin-poin “tujuan” diadakannya sebuah perjanjian. Tentunya, jika terjadi keadaan yang menyebabkan “tidak tercapainya” perjanjian ini, haruslah ditentukan diawal perjanjian. Jadi, harus diatur dengan jelas, bilamana tidak didapatkannya objek perjanjian dikarenakan kesalahan salah satu pihak (yang mempunyai kewajiban) atau karena peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak. Secara hukum (perjanjian), jika obyek perjanjian tidak berhasil didapat, karena kesalahan salah satu pihak, maka pihak tersebut dikenakan sanksi tertentu, yaitu dituntut: Ganti Rugi Misalnya, perusahaan tidak melaksanakan bimbingan teknis —padahal diperjanjikan— maka perusahaan dapat diminta ganti rugi sejumlah uang (sebesar kerugian, biaya, bunga) Pemenuhan Perjanjian Misalnya karena bimbingan teknis tidak dipenuhi perusahaan, maka perusahaan mau-tidak-mau, harus membeli hasil panen walaupun tidak memenuhi standar mutu yang diinginkan perusahaan. Dapat pula sanksi ganti rugi dibarengi sanksi pemenuhan perjanjian. Pembatalan Perjanjian Misalnya, perusahaan memperjanjikan akan memberi benih, biaya garap, bimbingan teknis. Jika salah satu tidak diberikan, maka perjanjian dinyatakan batal dan petani tidak punya kewajiban apa pun terhadap perusahaan. Dapat pula sanksi ganti rugi dibarengi sanksi pembatalan perjanjian. Peralihan Risiko Contohnya perusahaan bangkrut, maka segala kewajiban perusahaan beralih ke pemilik modalnya. Jika pemilik modalnya lebih dari satu, maka mereka wajib bertang-gungjawab secara tanggungrenteng. Misal juga, kedua belah pihak dalam perjanjian menentukan penjamin masing-masing, yang akan menanggung kewajiban mereka jika (karena suatu hal) tidak bisa mereka penuhi.
Membuat Kontrak Kemitraan Pro Petani
43
Jika kesalahan terjadi karena peristiwa diluar kesalahan kedua belah pihak, kerugian dibagi/ ditanggung bersama. Sedapat mungkin masukkanlah hal-hal yang tidak dikehendaki, tapi mungkin terjadi: Misalnya, bencana alam atau huru hara/kerusuhan/penjarahan (yang menimpa lahan petani atau lokasi perusahaan yang menyebabkan tidak bisa lagi meneruskan beraktifitas yang diperjanjikan), atau gagal panen karena adanya serangan hama besar-besaran (wabah), dan lain-lain.
44
Membuat Kontrak Kemitraan Pro Petani
Membuat Kontrak Kemitraan Pro Petani
45
Kita kaum tani harus selalu ingat, jika ingin melakukan ikatan kontrak dengan pihak manapun, bahwa dasar utama dari sebuah perjanjian adalah “kebebasan berkontrak” dan “kebebasan berkehandak” yang tentunya dilandasi pula dengan “kesetaraan atau keseimbangan kedudukan” dalam merumuskan isi perjanjian. Ketidakseimbangan dapat merugikan salah satu pihak.
46
Membuat Kontrak Kemitraan Pro Petani
Dalam melakukan ikatan kontrak dengan pihak manapun, kita harus hati-hati dengan bentuk “paksaan” atau “penipuan” ataupun “manipulasi” dengan mengaburkan keadaan (menyesatkan) atau manipulasi yang memanfaatkan keadaan/kondisi. Misalnya perhatikan, apakah isi perjanjian mengenai jual beli hasil atau sekadar kredit Saprotan (sarana produksi pertanian) belaka?
47
Advokasi di Media Massa Contoh
(Lampiran)
48
Advokasi di Media Massa
Advokasi di Media Massa
Kompas, 11 Agustus 2004
49
50
Advokasi di Media Massa
Advokasi di Media Massa
51
52
Advokasi di Media Massa
Solopos, 18 Maret 2004
Advokasi di Media Massa
Suara Merdeka, 18 Maret 2004
53
54
Advokasi di Media Massa
Radar Solo, 19 Maret 2004
Advokasi di Media Massa
Radar Solo, 20 Maret 2004
55
56
Bahan Bacaan: Aneka Perjanjian; Prof R Subekti SH; Penerbit PT Citra Aditya Bakti; Bandung 1995 Hukum Perjanjian; Prof Subekti SH; Cetakan ke XII; Penerbit PT Intermasa; Jakarta 1990 Hukum Perjanjian; Abdulkadir Muhammad SH; Penerbit PT Alumni; Bandung 1986 Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Praktek; IG Rai Widjaya SH MA; Penerbit Megapoint; Jakarta 2002
D
alam banyak kasus, kerjasama (atau kemitraan) antara petani dengan pengusaha, di mulai dengan inisiatif dari pihak pengusaha. Pihak pengusaha mendatangi petani dan melakukan sosialisasi atau promosi atas usaha tani yang ditawarkan. Dalam sosialisasi ini, lebih banyak dibicarakan aspek promosi dan janji-janji akan keuntungan serta kemudahan belaka. Jadi bukan merupakan pembicaraan yang menyeluruh atas segala aspek dari sebuah kerjasama, jarang sekali membicarakan kemungkinan resiko usaha. Tidak ada pula pembicaraan yang serius tentang aspek hukum (hukum perjanjian) dalam forum-forum pertemuan tersebut. Jika petani sudah mulai terpesona oleh promosi-promosi dari pihak pengusaha. Pengusahalah yang menyodorkan syarat-syarat kerjasama itu. Petani tinggal tandatangan, tanpa membicarakan ketentuan-ketentuan kerjasama secara seimbang. Padahal secara hukum, kedudukan semua pihak yang melakukan perjanjian adalah setara, sementara yang tampak dari proses dan bentuk “perjanjian kemitraan� petani-pengusaha ialah: pengusaha adalah boss, sementara petani adalah buruh semata. Nasib mengenaskan yang diderita petani peserta perjanjian/kontrak kerjasama budidaya tanaman ginseng (dengan sebuah CV dari Kota Solo) di Kecamatan Bendosari,Polokarto (Kabupaten Sukoharjo Jateng) dan Jumantono (Kabupaten Karanganyar Jateng), menggugah KOMPPOS (Kelompok Muda Peduli Petani Sukoharjo – Kelompok Petani Advokasi yang bermitra dengan Yayasan Duta Awam) untuk melakukan rangkaian aksi pembelaan (Advokasi). Di buku ini dituturkan serangkaian kegiatan KOMPPOS dan YDA serta para petani dalam mengadvokasi kasus kontrak petani-pengusaha ini. Walau jauh dari sempurna, buku ini bertujuan besar, yakni untuk mendorong masyarakat petani bersikap kritis terhadap tawaran kerjasama ataupun sejenisnya, sehingga terjadi pola kerjasama yang adil yang saling menguntungkan.Sekaligus bisa dijadikan bahan belajar bersama bagi petani agar gerakan advokasi yang dilakukan bisa lebih baik.