Halaman 2
Advokasi Bagi Petani Muda
S
aya adalah anak seorang petani dan seorang pelajar di SMK Pembangunan Nasional PurwodadiGrobogan, Jawa Tengah. Pertama saya mengenal Buletin Advokasi adalah Buletin Advokasi No.4 Agustus-September 2001 tentang Rekayasa Genetika. Saya sangat merasa bangga karena ada buletin yang mengulas tentang dunia pertanian. Semoga Advokasi bisa lebih maju dan mengembangkan isi halamannya dengan tema-tema yang menarik dan bermanfaat sesuai dengan harapan petani. Saya pernah membawa Advokasi ke sekolah untuk dibaca dan temanteman pun ikut membaca dan meminjam. Alhamdullilah, ternyata banyak teman yang menyukai buletin ini. Bahkan ada yang bertanya “Dapat dari mana? Saya juga ingin punya”. Saya menjawab dari Yayasan Duta Awam Solo. Tetapi setelah itu saya tidak pernah lagi mendapatkannya sampai sekarang. Saya memohon kepada Advokasi, saya dikirimi buku tentang Rekayasa Genetika dan Advokasi edisi terbaru, karena kata tetangga saya YDA juga menerbitkan buku tentang Rekayasa Genetika. Di desa saya, akhir-akhir ini banyak petani yang menanam melon. Saya melihat ternyata tanaman tersebut diberi banyak obat-obatan (fungisida, pestisida, dan obat perangsang pertumbuhan lainnya). Yang ingin saya tanyakan, apabila buah tersebut dikonsumsi dalam jangka waktu lama apakah ada efek sampingnya bagi tubuh? Dampak obat-obatan bagi tanah sendiri apakah ada? Misalnya, perubahan kadar asam basa tanah atau perubahan PH tanah itu. Kemudian bagaimana solusinya supaya tanah bisa stabil
Surat Tani
kembali dan dapat ditanami lagi dengan subur? Saya ingin mengusulkan agar Advokasi menambah sub bagiannya lagi, yang diberi nama yunior farmer’s (petani muda - red) yang mengulas permasalahan-permasalahan petani pemula, bagaimana solusi-solusinya dan kreasi-kreasi lainnya yang datangnya dari para petani pemula. Bagaimana jika isi dan halaman Advokasi diperbanyak dan menambah isi dan pokok permasalahan. Juga diberi tips menarik bagi petani atau motto tentang bertani kepada para pembaca supaya menambah semangat petani dalam bercocok tanam. Sawidi SMK Pembangunan Nasional Jl. Gajah Mada No. 5 Purwodadi Grobogan Jawa Tengah
Media Bagi Petani
K
ami dan teman-teman Ornop (Organisasi Non-Pemerintah red) di Banyuwangi merasa senang dengan kehadiran buletin ini. Begitu juga dengan sejumlah dampingan lembaga kami dan lembaga temanteman di Banyuwangi. Buletin Advokasi ini sangat bermanfaat karena, seperti namanya Advokasi Petani, isinya sangat dimaksudkan untuk memihak pada petani. Pengadaan media massa elektronik maupun cetak - sebagai sarana komunikasi dan informasi bagi petani teramat dibutuhkan. Terutama, ketika berbagai pihak - pemerintah maupun pengusaha - hanya menjadikan petani sebagai alat legitimasi
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
kekuasaan dan pengadaan perusahaan obat-obatan. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas kiriman buletin ini. Kami dan teman-teman Ornop di Banyuwangi tetap berharap agar pada edisi berikutnya sampai juga kepada kami. Chusnul Cholifah Sekretaris LSM Leban Indah Banyuwangi Jl. Cipto 15 Kalibaru Wetan Banyuwangi - Jawa Timur
Tidak Ada Dana Beli Beras Petani?
T
erima kasih atas dimuatnyatulisan saya dalam Surat Tani Buletin Petani Advokasi No. 9 Tahun 2002 dan No.10 Tahun 2003 dan atas kiriman buku-bukunya. Buku tersebut telah saya bagikan pada teman-teman petani/wanita tani dan anggota PKK di desa saya. Manfaat dari buku tersebut sangat menyentuh kehi-dupan masyarakat pedesaan (petani) di luar Jawa yang “kurang” secara teknis. Hal ini umumnya dirasakan petani tanaman pangan, cocok benar dengan ulasan ADVOKASI No. 7 hal 10 dengan topik “Mengapa Petani Melarat”. Saya dan teman-teman di Siak Riau sedang dalam upaya mendesak Pemda Kab. Siak atas janji Bulog yang akan menampung gabah petani di Siak, ternyata sampai saat ini masih nihil (alasan Bulog tidak ada dana). Yang kami herankan Pemerintah lebih mampu membeli pesawat Sukhoi dengan dana ratusan milyar dan mengimpor beras luar negeri sampai melimpah di pasaran, tetapi kenapa untuk membeli gabah petani kok tidak ada dana? Radisan Rt. 04/Rw. 01 Buantan Lestari Kecamatan Bungaraya Kabupaten Siak - Riau
Salam Salam Advokasi Advokasi
Halaman 3
Hasil Advokasi BBBA Kita! Pemerintah: Label Bahasa Indonesia Wajib!
R
angkaian monitoring dan advokasi terhadap Benih Boyolali, Sukoharjo, Klaten dan Wonogiri, melakukan Berlabel Bahasa Asing (BBBA), yang dilakukan monitor terhadap peredaran BBBA di wilayahnya masingpetani di Surakarta bersama YDA, menunjukkan masing. Sebelum kegiatan memonitor BBBA ini, para titik terang. Bisa dikatakan, advokasi petani Surakarta atas petani melakukan pelatihan monitoring yang melibatkan fasilitator dari YDA. Petani juga dibekali oleh 2 konsultan BBBA, hampir berujung pada kemenangan! Kini Departemen Pertanian, sedang menyiapkan ahli (hukum dan pertanian), Kelik Wardiono (BKBH UMS) peraturan yang mengharuskan importir produk pertanian dan Supriyadi (Fakultas Pertanian UNS). Pelatihan monitoring partisipatif (MP) yang dilakukan mencantumkkan label Bahasa Indonesia! Bahkan, khusus pada tanggal 4 - 6 April 2002 itu, ditindaklanjuti dengan untuk produk peternakan, pemerintah akan mulai pengumpulan data lapangan hingga menerapkan aturan label Bahasa Indotanggal 27 Mei 2002. Data temuan nesia ini, paling lambat sebelum Hari petani, kemudian dianalisis bersama Raya Idul Fitri . Untuk produk pertanian T o l a k pada tanggal 24-25 Juni 2002 di Solo. yang lain, seperti benih, wajib label Kemudian, petani pemonitor berBahasa Indonesia segera diterapkan. sama YDA mengundang pihak-pihak Hal di atas, ditegaskan oleh Dirjen terkait (stakeholder: Deptan, Balai Bina Produksi Deptan, Sofyan Sudrajat, Benih berLABEL Karantina, BPSB, pengusaha, akade5 Agustus silam. Dalam pernyamisi, petani, dan kalangan legislatif) taannya, Sofyan menegaskan pula pada tanggal 10 Agustus 2002. Pada bahwa semua produk pertanian impor, forum “temu stakeholder benih berlabel Bahasa termasuk produk ternak dan benih bahasa asing” ini, petani mengungkap impor, wajib berbahasa Indonesia. Asing bahwa di kalangan petani banyak Pemerintah kini sedang memberi waktu beredar benih impor dengan label asing, dan melakukan sosialisasi kepada para dan persoalan disebabkan benih impor itu. pengusaha. “Dasar hukum ketentuan labelisasi Bahasa Pada saat itu, para petani mengusulkan antara lain: Indonesia adalah PP No 69/1996 tentang Labelisasi dan Kemasan benih harus memakai atau mencantumkan Iklan serta UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Bahasa Indonesia, dengan mencantumkan a) Cara Konsumen, yang mengharuskan setiap produk impor yang penyemaian dan penanaman b) Cara dan dosis pemasuk ke Indonesia harus diberi label berbahasa Indonemupukan c) Hama dan cara pengendalian hama d) Daya sia,” tegas Sofyan. tumbuh dan tingkat pertumbuhan, e) Tanggal uji dan Buletin Petani Advokasi memantau, pernyataan Sofyan kadaluwarsa f) Sifat-sifat benih (produksi, adaptasi) serta dikutip oleh media berbahasa Inggris Agroindonesia, yang g) Umur tanaman. Juga harus adanya strategi yang lebih dalam pemberitaannya itu menyebutkan pula perjuangan jelas dalam mengembangkan benih lokal. (dan temuan) para petani di Surakarta, yang telah Setelah forum, BPSB Jateng menyebutkan akan memantau peredaran BBBA. berkoordinasi dengan Gubernur dan Balai Karantina, mengSeperti diketahui, hampir sepanjang tahun 2002, adakan uji mutu, yang sebelumnya tidak dilakukan. (Medi) puluhan petani asal Kabupaten Sragen, Karanganyar, Buletin Petani Advokasi diterbitkan oleh Yayasan Duta Awam (YDA), sebagai media komunikasi dan advokasi menuju petani Indonesia mandiri. Redaksi Buletin Petani Advokasi menerima tulisan, gambar/foto dengan misi pemberdayaan petani dari berbagai pihak, khususnya dari kalangan petani sendiri.
Penanggung Jawab: M Riza Sidang Redaktur: Mediansyah (koordinator), Haleluya Giri Rahmasih, M Yunus, M Riza, Kurniawan Eko, M Zainuri Hasyim, Gideon Sumiarsa. Penulis edisi ini: Gideon Sumiyarsa, Kurniawan Eko, Zainuri Hasyim, Sucipto, Mediansyah, Sartono (Petani), Riset Foto: K. Eko Administrasi: Puitri Hatiningsih Pengiriman: Agus Wahyono Alamat: Jl Adi Sucipto No 184-I Solo 57102 Telp: (0271) 710816 Fax: (0271) 729176 e-mail: dutaawam@bumi.net.id
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
Laporan Laporan
Halaman 4
Petani Bicara Globalisasi Kata globalisasi boleh jadi asing bagi para petani kita. Meski begitu, jelas sekali petani kita tahu dan merasakan apa yang sedang terjadi... Sebab, pasar bebas telah menjelajah dan mulai melibas ekonomi petani di pelosok-pelosok desa.
Sarjono, petani dari Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah lebih menyebutnya pasar bebas yaitu ketika produk atau barang bisa masuk ke Indonesia dari negara manapun. Masuknya bibit wortel dari luar negeri ke Tawangmangu, misalnya. Demikian juga dengan Sugiatno, Sumarno dan Suparno, warga Blumbang Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah dan Roshid petani dari Suroteleng, Selo, Boyolali, Jawa Tengah memahami bahwa globalisasi itu adalah pasar bebas. Sementara Darmo Wiyono warga
S
ore itu, Sugiyanti, berasal dari Cendono, Bendosari, Sukoharjo, Jawa Tengah ini sedang menunggu keponakannya yang sedang berada diantara tanaman melon. Menurut ibu satu anak ini, globalisasi adalah tidak jauh berbedanya kondisi antara di kota dengan di desa. Ia mencontohkan bahwa di desa sudah banyak motor dan mobil, sama dengan kondisi di kota.
Pasar bebas ko’ dipaksakan?
Dok YDA
L
antas bagaimana pemahaman petani sendiri tentang globalisasi? Umumnya petani lebih memahami pasar bebas daripada globalisasi. Sunarno, dari Desa Nguneng, Puhpelem, Wonogiri, Jawa Tengah, memahami bahwa globalisasi adalah kebebasan dan keterbukaan dalam banyak aspek kehidupan. Globalisasi memberikan peluang bebasnya informasi dan teknologi masuk ke desa, selain juga masuknya barang-barang dari luar negeri.
Sugiatno
Cendono, Bendosari, Sukoharjo, Jawa Tengah ini asing dengan kata globalisasi dan pasar bebas, tetapi yang ia tahu tentang maraknya produk pertanian impor yang masuk ke Indonesia. Untung Rugi Melihat dampak globalisasi ada petani yang menganggap globalisasi membawa keuntungan dan kerugian. Menurut Sunarno, dalam jangka pendek globalisasi akan menguntungkan, karena masuknya bibit Menurut dia, hal yang menguntungkan adalah orang desa mudah mencari barangbarang yang dibutuhkan, sehingga tidak usah keluar negeri. Namun di sektor pertanian, globalisasi berdampak pada ruginya petani karena produk dari luar harganya jauh lebih murah dari panen petani, padahal seharusnya produk tersebut lebih mahal. Sugiyanti tidak setuju dengan adanya pasar bebas, karena Indonesia mampu
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
jagung dari luar meningkatkan hasil panen petani. Namun dalam jangka panjang justru akan merugikan petani karena petani menjadi tergantung dengan bibit tersebut. Selain itu, benih jagung lokal pun makin lama makin menghilang. Senada dengan Sunarno, Roshid menyatakan bahwa keuntungannya karena sarana yang dibutuhkan mudah diperoleh, sementara kerugiannya adalah petani tidak mampu bersaing dengan produk dari luar negeri karena kurangnya pengetahuan petani. Ada juga petani yang beranggapan bahwa globalisasi hanya merugikan petani. Sugiatno, misalnya, justru melihat dalam bidang pertanian, pasar bebas ini berakibat buruk, yaitu tersainginya produk hasil panen petani. Ia menuturkan bahwa sebenarnya produk pertanian Indonesia sudah mencukupi kebutuhan dalam negeri, tetapi banyak produk dari luar negeri masuk. Bagaimana sikap petani? Sunarno mengatakan untuk menghadapi globalisasi diperlukan jaringan antar petani dan kelompok tani. Jaringan ini diperlukan, tambah dia, agar petani bisa bersama-sama meningkatkan kemandirian. Misal, mengembangkan benih lokal sehingga petani tidak tergantung benih dari luar. mencukupi kebutuhannya. Indonesia sudah cukup dalam menghasilkan beras, tapi kenapa harus mendatangkan dari luar negeri yang harganya ternyata lebih murah. “Itu kan mematikan pasaran petani namanya,� katanya. Tentang kebijakan pemerintah dalam mensikapi globalisasi ia mengatakan bahwa “Harusnya pemerintah menaikkan harga beras petani, agar petani tidak rugi terus,� katanya.(Eko)
Laporan
N
arto, petani asal Desa Blumbang, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah mengatakan ia tidak tahu tentang istilah globalisasi namun tahu pasar bebas. Menurutnya, pasar bebas ialah banyak barang dari luar negeri bisa masuk ke Indonesia. Bagi petani, dampak dari pasar bebas tidak cocok. Ia mencontohkan harga
mencari cara, misal dengan menggunakan input organik. Petani tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama,” katanya.
Dok YDA
Sementara itu, Sugiatno menyatakan,”Pasar bebas silahkan saja, tetapi yang penting dilakukan pemerintah adalah bagaimana mengangkat harga panen petani,” katanya. Pemerintah harus terjun ke masyarakat untuk melihat kondisi petani yang sebenarnya. Sarjono justru dengan tegas menyatakan pasar bebas harus dihentikan.Tetapi apakah mungkin orang kecil seperti kita bisa menghentikan pasar bebas? “Yang bisa menghentikan ini semua ya pemerintah, sebab yang berhubungan dengan luar negeri kan ya pemerintah, jadi yang tahu ya pemerintah,” ujarnya. Senada dengan Sarjono, Sumarno dan Suparno sangat tidak setuju dengan pasar bebas karena dampak dari pasar bebas adalah harga produk impor lebih rendah dari harga produk dalam negeri. Contoh yang pernah mereka alami adalah harga bawang putih yang sangat menurun karena tidak bisa mengimbangi harga bawang putih yang berasal dari luar negeri. Paino juga tidak setuju dengan kondisi tersebut karena harga saprodi (sarana produksi) yang mahal. “Panen saja tiga bulan sekali, kok tahu-tahu ada beras impor yang harganya sangat murah dan itu mematikan harga beras petani,” katanya. Sikap lain ditunjukkan oleh Roshid. “Petani harus waspada di era globalisasi ini,” terangnya. Dia memberikan contoh dalam soal harga, merosotnya harga saat panen menurutnya sangat merugikan petani. “Untuk itu petani harus
Halaman 5
Pemerintah jangan mematikan pasar petani lokal Sumarno
Kebijakan Bagaimana dengan kebijakan pemerintah selama ini? Tampaknya kebijakan pemerintah belum berpihak kepada petani. Sarjono, mengatakan selama ini petani sering memberikan usul pada pemerintah melalui pertemuan kelompok, namun tidak pernah ditanggapi. Terkait dengan kebijakan pemerintah Sugiatno mengatakan harusnya pemerintah dapat mengatur harga panen petani agar tidak rugi. Jika hal ini dibiarkan terus menerus petani akan habis. “Untuk mengantisipasi panen yang berlebihan, pemerintah perlu menginformasikan kepada petani tentang kebutuhan apa yang yang diperlukan oleh pasar,” kata Sugiatno. bawang putih yang jatuh akibat masuknya bawang putih luar negeri ke Indonesia. Belum lagi jika dilihat dengan terus naiknya harga pupuk, sehingga harga jual tidak sesuai. Pasar bebas memang tidak bisa dicegah, sehingga upaya yang bisa dilakukan menurutnya adalah menanam apa yang cocok untuk dijual dan tidak tersaingi dengan harga
“Sehingga petani bisa menanam sesuai dengan kebutuhan tersebut,” imbuh Sugiatno.
Sumarno dan Suparno mengungkapkan melalui kebijakannya, pemerintah harus menghentikan pasar bebas, misalnya dengan melarang masuknya bawang dari luar negeri. Juga pemerintah perlu menurunkan harga pupuk dan sarana produksi lainnya. Bahkan menurut Paino pemerintah harus mengurangi masuknya barang dari luar negeri atau mencegah masuknya barang dari luar agar barang dalam negeri laku. Barangbarang tersebut boleh saja masuk tapi jumlahnya jangan berlebihan karena akan mematikan pasaran. Kebijakan pemerintah mendatangkan beras luar negeri yang harganya lebih murah menurutnya sangat merugikan petani di Indonesia. “Bagaimana petani akan sukses untuk meningkatkan penghasilan keluarga, sementara kondisinya harga hasil panen selalu menurun?” tanya Paino. Melihat kebijakan pemerintah, Roshid berpendapat bahwa kebijakan pemerintah belum berpihak pada petani. Misal, persoalan benih. Pengawasan peredaran benih yang kurang dari pemerintah, mengakibatkan maraknya peredaran benih berlabel bahasa asing. Globalisasi memang perlu disikapi, bukan hanya oleh petani namun juga butuh keterlibatan pihak lain. Kebikan-kebijakan Pemerintah seharusnya lebih berpihak pada petani yang merupakan bagian terbesar penduduk Indonesia. (Gideon dan Eko)
produk yang berasal dari luar negeri tersebut. “Pasar bebas boleh-boleh saja asalkan jangan sampai produk yang dihasilkan oleh masyarakat kecil didatangkan dari luar negeri,” katanya. Kalau produk masyarakat kecil selalu disaingi dari luar negeri akhirnya masyarakat kecil menjadi bingung.(Eko)
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
Laporan Laporan
Halaman 6
KELILING DESA MENSOSIALISASIKAN GLOBALISASI Suatu pagi di bulan September 2003 terlihat beberapa staf YDA nampak sibuk mempersiapkan kertas dan beberapa alat tulis untuk dibawa ke Desa Bade Kecamatan Klego-Boyolali Jawa Tengah. Kesibukan kecil tersebut dilakukan dalam rangka acara sosialisasi globalisasi kepada petani. Selain di Desa Bade, diskusi sosialisasi ini diselenggarakan juga di Kecamatan Selo-Boyolali, Kecamatan Wedi-Klaten, Kecamatan Sugihan Sukoharjo, Kecamatan Toroh-Grobogan, dan Kecamatan Tawangmangu-Karanganyar pada Juli hingga September 2003.
B
agi petani, istilah globalisasi sendiri terasa masih asing di telinga walaupun mungkin mereka sering mendengar dari orang, berita televisi, koran maupun mediamedia lain. Melalui kegiatan sosialisasi ini YDA mencoba memberikan informasi tentang apa yang dimaksud globalisasi dengan segala aspek dan dampak yang terjadi. Selain itu, diskusi yang diselenggarakan hingga beberapa hari di tiap desa tersebut juga bertujuan untuk mencari solusi agar dampak yang terjadi tidak terlalu merugikan petani. Proses Sosialisasi Proses pelaksanaan sosialisasi difasilitasi oleh YDA. Materi sosialiasi globalisasi yang disampaikan dalam setiap penyelenggaraanya secara umum adalah :
Pertama, Pengertian globalisasi dan aktivitasnya dalam pertanian. Materi awal ini disampaikan dengan metode ceramah, diskusi, metaplan dan curah pendapat. Kedua, Pelaku globalisasi. Materi ini disampaikan dengan metode ceramah dan diskusi yang menjelaskan tentang aktor globalisasi pertanian, agenda dan mekanismenya. Ketiga, Dampak globalisasi pertanian, metode yang digunakan adalah diskusi. Keempat, Merumuskan pemecahan menghadapi dampak globalisasi, metode yang digunakan adalah diskusi. Globalisasi, Aktivitasnya dalam Sistem Pertanian
pihak lain juga produksi atau hasilnya karena orientasinya adalah pasar. Hal ini disebabkan karena petani telah sangat tergantung dengan input dari luar, pengetahuan dan teknologi dari luar, hasil atau produksi untuk pasar (konsumen). Aktor Globalisasi, Agenda dan Mekanismenya Setelah peserta berdikusi mengenai apa hakekat dari globalisasi kemudian peserta diajak bersama-sama melihat mengapa globalisasi itu terjadi, bagaimana globalisasi itu muncul, siapa pelakunya, apa ideologi, dan agenda serta mekanismenya. Untuk membahas materi tersebut, fasilitator lebih
Pengertian globalisasi dan aktivitasnya dalam sistem pertanian disampaikan agar peserta memahami apa makna dan hakekat globalisasi dan aktivitasnya dalam sistem pertanian. Untuk memberi pemahaman tentang hal di atas peserta menuliskan pendapat di potongan kertas, Dok YDA maupun curah pendapat Berdiskusi tentang globalisasi di Desa Badhe langsung, sehingga peKecamatan Klego Kabupaten Boyolali serta dapat membandingkan sistem pertanian 40 tahun yang lalu dengan kondisi banyak menggunakan metode ceramah dan diskusi. sekarang, Fasilitator memperkenalkan Dari proses diskusi tentang perbedaan sistem pertanian 40 tahun beberapa aktor globalisasi dianyang lalu dengan sekarang, peserta taranya adalah Bank Dunia, IMF menjadi paham bahwa 40 tahun yang (Dana Moneter Internasional), WTO lalu sistem pertanian tidak tergantung (Organisasi Perdagangan Dunia), dari pihak luar, pertanian dikelola oleh TNC (Perusahaan Multi Nasional), petani dari petani untuk petani. yang bermarkas di negara-negara Berbeda dengan sistem pertanian maju (Amerika Serikat, Kanada, Itali, sekarang, pertanian dikelola oleh Perancis, Inggris, Jepang, Jerman dan petani dengan inputnya dan untuk lain-lain) yang menganut ideologi
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
Laporan
Halaman 7
para aktor di Indonesia, dibidang pertanian khususnya yaitu seperti pengurangan subsidi, liberaliasi sektor pertanian, penghapusan aturan yang menghambat globalisasi dan sebagainya. Sebuah perubahan maupun kondisiDok YDA kondisi tertentu Berdiskusi tentang globalisasi di Sukoharjo yang diciptakan oleh manusia akan menimbulkan dua sisi, liberalisme (percaya bahwa kemakyaitu positip dan negatip, demikian muran dapat dicapai dengan pasar bebas tanpa campur tangan peme- pula dengan gobalisasi. Pada sesi rintah) dengan program ekonominya selanjutnya peserta diajak untuk adalah liberalisasi (pasar bebas), mengenali dampak atau ancamanderegulasi (penghapusan aturan- ancaman yang bisa terjadi akibat aturan yang menghambat pasar globalisasi. Dengan metode diskusi kelombebas), privatisasi (pengelolaan pok, tergalilah dampak yang terjadi ekonomi oleh swasta). Jika ini terus akibat adanya globalisasi. Dampak berlanjut, maka bumi air dan sumber yang terjadi dan dirasakan petani daya yang menguasai hajat hidup sekarang mencakup aspek sosial, orang banyak akan dikuasai oleh budaya, ekonomi, lingkungan, kebiorang-orang tertentu saja. jakan, kesehatan antara lain : (1). Petani diperkenalkan dengan Mulai terkikisnya rasa sosial dan siasat Bank Dunia yang sering munculnya sifat individual pada setiap dengan dalih memberikan pinjaman kepada negara berkembang , namun orang. (2). Mulai hilangnya nilai-nilai mempengaruhi kebijakan pemerintah budaya lokal, seperti upacara adat dalam pemanfaatan dana yang pada saat penanaman dan panen diarahkan mendukung pasar bebas. misalnya wiwit sesaji (upacara adat Petani juga diajak berkenalan yang dilangsungkan menjelang dengan IMF yang dengan berbagai musim tanam). Juga (3). Mulai hilangnya budaya bentuk aturannya mempengaruhi gotong royong. (4). Masyarakat petani pemerintah dalam membuat kebipindah ke kota. (5). Menyempitnya jakan seperti deregulasi, privatisasi, lahan pertanian akibat indutrialisasi. dan lain-lain. (6). Rendahnya harga produksi petani. Dalam sosialisasi itu, petani (7). Semakin meningkatnya biaya prodiajak berdiskusi tentang WTO, duksi. (8). Meningkatnya polusi terdengan aturan di sektor pertanian hadap lingkungan. (9). Hilangnya bemisalnya liberalisasi pertanian (akses nih lokal. (10). Penghapusan subsidi pasar, pengurangan subsidi). Pada sesi materi ini peserta menjadi lebih bagi petani oleh pemerintah. (11). paham, siapa pelaku yang meran- Penghapusan bea masuk bagi produk cang dan bermain dalam arena luar yang masuk ke Indonesia oleh globalisasi, ideologi, agenda dan pemerintah Indonesia. (12). Swastanisasi BUMN oleh pemerintah mekanismenya. Dalam sesi ini peserta juga men- Indonesia. Kemudian (13). Menurunnya tingjadi tahu apa agenda dan mekanisme kat atau kualitas kesehatan petani globalisasi yang telah dilakukan oleh
karena pemakaian input kimia dalam kegiatan usaha taninya. Mencari Solusi Setelah peserta terlibat dalam serangkaian proses sosialiasi di atas, ternyata peserta semakin paham terhadap apa yang sedang terjadi disekitarnya dan yang secara tidak disadari justru ikut larut dengan permainan yang diperankan oleh para aktor dan sutradaranya. Mengenali dampak negatif yang dirasakan oleh mereka, mampu menumbuhkan atau memunculkan motivasi, semangat, dan antusiasme petani untuk melakukan tindakan nyata, meskipun kecil saja. Pada tahap ini, dengan metode diskusi kelompok, peserta merumuskan solusi atau pemecahan masalah terhadap dampak negatif dari globalisasi difasilitasi oleh fasilitator. Rumusan solusi untuk mengatasi dan mengantisipasi dampak tersebut antara lain : (1). Mengubah pola atau sistem usaha tani dari pertanian anorganik (kimia) menjadi pertanian organik/ alami yang ramah lingkungan. Solusi berikutnya (2). Pembentukan persekutuan atau jaringan petani atau kelompok tani. (3). Menjalin hubungan dan kerjasama antar petani untuk mendukung sistem pertanian organik, penyedian sarana dan prasarana pupuk organik. Terekam juga usulan solusi seperti (4). Penyebaran informasi tentang globalisasi pertanian kepada semua lapisan masyarakat. Untuk hal-hal yang terkait dengan kebijakan, ada usulan solusi berupa (5). Mengusulkan kepada pemerintah dan DPRD untuk mengalokasikan APBD yang lebih besar bagi sektor pertanian dalam bentuk subsidi. Sedangkan aspek ekonomi berupa usulan (6). Membuat lumbung desa. (7). Pengembangan unit usaha simpan pinjam atau lembaga keuangan mikro (8). Melakukan gotong royong dalam kegiatan usaha tani dan sosial. Setelah berhasil merumuskan solusi, mereka sepakat untuk memulai melakukan aktivitas tersebut di atas mulai dari diri mereka, saat ini! (Sucipto)
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
Laporan Laporan
Halaman 8
PETANI, RIWAYATMU KINI Siapkah Petani Menghadapi Globalisasi? Sartono “Kenyataan bahwa pertanian di Indonesia didominasi petani yang sebagian besar tingkat pendidikannya sangat rendah (87 % dari 35 juta tenaga kerja pertanian berpendidikan SD ke bawah), berlahan sempit (dengan kepemilikan lahan rata-rata dibawah 0,5 Ha), dan bermodal kecil.
S
ejenak kita mendengar keluhan beberapa petani kecil di negeri ini; kenapa harga beras semakin turun di kala umat manusia semakin bertambah dan lahan pertanian semakin bekurang? Kenapa harga-harga benih, pupuk dan pestisida semakin naik? Kenapa beras dan produk pertanian luar negeri berdatangan dengan harga yang relatif lebih murah? Kenapa ini dan itu terjadi? Akibat dari apakah semua keadaan ini? Pertanyaan-pertanyaan itu sering muncul dan terlontar dari petani kita, namun mereka jarang menemukan jawaban yang menggembirakan atau malah terkadang mereka tidak peduli tentang jawabannya, sebagai reaksi dari kondisi petani yang tak pernah reda dirundung masalah. Globalisasi seperti kata baru di telinga para petani kita, namun konsekuensi dan akibat yang ditimbulkan dari sistem ini, mereka sudah rasakan saat ini. Keluhan di atas adalah sebagian kecil dari dampak globalisasi, namun sudah begitu berat dirasakan oleh petani kita. Globalisasi yang “katanya” bertujuan untuk mewujudkan kemakmuran bersama seluruh warga dunia yang ditandai dengan terbukanya berbagai hambatan perdagangan, nampaknya hanya akan dijadikan alasan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk meraup keuntungan yang se-
Kenapa beras dan produk pertanian luar negeri berdatangan dengan harga yang relatif lebih murah? Kenapa ini dan itu terjadi? Akibat dari apakah semua keadaan ini?
besar-besarnya dari globalisasi, dan negara-negara yang sedang berkembang yang paling banyak menerima dampak negatif dari sistem ini. Kondisi ini jelas menjadi persoalan besar bagi semua pelaku dunia pertanian di Indonesia dalam kaitannya menghadapi era globalisasi dimana sistem perdagangan bebas tanpa batas negara, tanpa perlindungan/proteksi dalam negeri dan perdangan tanpa pajak/tarif bagi barang dan jasa dari negara lain, kare-
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
na memakai prinsip transparency (keterbukaan), market acces (akses pasar) dan nondiscriminatory (tidak membedakan). Sehinga semua negara anggota lembaga “pilar globalisasi” seperti GATT(Perjanjian Umum tentang Perdagangan dan Tarif), WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), AFTA (Kesepakatan Kawasan Perdagangan Bebas Asia) dan APEC (Kesepakatan Perdagangan Bebas Asia Pasifik), harus menghapuskan berbagai perintang perdagangan. Tentu termasuk Indonesia harus melepas “portal” dagangnya, karena menjadi salah satu anggota. Sebagai anggota lembaga tersebut, kita diwajibkan membuka perdagangan internasional tanpa batas dan tanpa usaha proteksi apapun terhadap produk dalam negeri termasuk produk pertanian. Pemberlakuan bea masuk 0% terhadap produk impor yang masuk, akan membawa akibat membanjirnya produk luar negeri termasuk produk pertanian dengan harga yang lebih murah dan mungkin saja lebih baik kualitasnya. Sebagai anggota WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), kita sudah terlanjur menandatangani kesepakatankesepakatan. Dalam bidang pertanian. Tapi.......
Siapkah Petani Kita? Kesepakatan tersebut mengikat secara hukum dan terdapat sanksi
Laporan
Dok YDA
Halaman 9
Workshop Globalisasi - Petani memahami jeratan pemodal dan kemudian mencoba mencari siasat untuk hidup di era globalisasi. perdagangan terhadap negara anggota yang tidak mematuhinya. Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah, sudah siapkah negeri ini menerima konsekuensi globalisasi? Sudah siapkah petani kita menghadapi era pasar bebas? Kondisi petani kita dengan tingkat pendidikan yang rendah, berlahan sempit, bermodal kecil dan memiliki tingkat efisiensi rendah, dengan skala usaha kecil harus menerima kenyataan untuk menerima (dampak dan konsekuensi) kesepakatankesepakatan tingkat dunia itu, seperti pengurangan/pencabutan subsidi
produksi, kebebasan impor produk pertanian luar negeri dengan pajak bea masuk hingga 0%. Begitu pula, bayang-bayang ketergantungan total akan Saprodi (Sarana Produksi) asing, tentu akan memperberat beban hari ke hari.
Pertanyaan Besar Adalah suatu pertanyaan besar yang harus dijawab bersama oleh bangsa ini, tidak hanya oleh petani, karena itu baru dari sisi masalah intern, belum dihadapkan dengan masalah ekstern dimana petani kita harus bersaing dan berhadapan
dengan petani luar negeri yang memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan relatif lebih tinggi, modal besar, teknologi maju, skala usaha besar, produktivitas dan efisiensi yang tinggi, ditambah dengan proteksi dan subsidi dari pemerintahnya yang sangat besar. Ibarat petani kita yang baru belajar berjalan dihadapkan dengan mereka yang sudah belajar naik mobil, sungguh sangat berbeda kondisinya. AFTA sudah mulai efektif 1 Januari 2003 dan GATT/WTO mulai tahun 2004 dan saat ini adalah dalam rangka membangun kesepakatan-kesepakatan, hal ini berarti bahwa mulai sekarang inipun kita sudah mulai dan dihadapkan pada era globalisasi. Mau tidak mau, siap tidak siap kita akan menghadapinya (menyalahkan siapa-siapa adalah percuma pula). Karena nasi sudah menjadi bubur maka kita harus mencari daging ayam, kacang, seledri, bawang goreng dan sambal agar menjadi bubur ayam yang spesial yang dapat kita nikmati, artinya kita harus mencari solusi/alternatif untuk setidaknya mengurangi kondisi kita saat ini. Siapa tahu, di tingkat kelompok tani, bisa ditemukan “pola kehidupan” bukan sekedar pola bertani, yang cocok di jaman ini. Sartono, petani dari Desa Sugihan, Kec. Bendosari, Kab. Sukoharjo Jawa Tengah
Bagaimana kita bisa memperbaiki kondisi yang sudah demikian parah ini? Alternatif di bawah ini bukan resep yang harus diikuti, namun secara umum petani haruslah meningkatkan pengetahuan dan pemahaman, sehingga dapat memperkirakan dampak dan mengatur strategi. Kelompok tani dapat memulai melakukan sosialisasi, diskusi untuk membahas hal ini. Kemandirian, adalah kata kunci yang disepakati di beberapa diskusi, sebagai “obat” untuk melawan penggerogotan dan penguasaan modal oleh “raksasa internasional”. Hal ini tentu berat, karena “pihak sana” melancarkan berbagai program dan promosi, untuk menggoyahkan kemandirian kita. Tentu saja, peningkatan kualitas/kuantitas pertanian serta profesionalisme pengelolaan pertanian (misalnya dalam mengelola modal) adalah hal yang harus terus ditingkatkan. Kreatif dalam bercocoktanam. Melihat pasar dengan tetap setia pada lingkungan/keberlanjutan. PETANI JUGA HARUS KRITIS DENGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
Monitor && Advokasi Advokasi Monitor
Halaman 10
Globalisasi & Petani Kecil Globalisasi ekonomi (atau sederhananya ‘globalisasi’) adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan gejala menuju meningkatnya integrasi pasar dunia akan barang, jasa, dan kapital (dana). Globalisasi ekonomi mudahnya dapat diartikan sebagai suatu proses integrasi ekonomi yang cepat antara negara-negara. Hal ini dipacu oleh meningkatnya liberalisasi perdagangan internasional dan investasi asing langsung, dan juga oleh arus kapital yang lebih bebas. Globalisasi adalah hasil dari berbagai kekuatan, beberapa diantaranya bersifat politis, beberapa lainnya adalah teknologi (transportasi dan komunikasi yang lebih cepat dan lebih murah), dan juga adalah ekonomi (perusahaan-perusahaan besar mengembangkan sayapnya ke luar batas negara mereka). WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangan Dunia Globalisasi ekonomi merupakan buatan manusia. Globalisasi adalah suatu proses yang dikendalikan oleh kekuatan dan otoritas, korporasi/perusahaan transnasional (lintas negara), institusi-institusi keuangan internasional, dan negara-negara kaya di dunia. Negaranegara kaya dan perusahaan-perusahaan transnasional mendorong ‘’globalisasi’’ dan apa yang disebut dengan “perdagangan bebas” ke semua negara di dunia demi kepentingan dan keuntungan mereka sendiri. WTO diciptakan untuk meluaskan liberalisasi perdagangan untuk kepentingan korporasi-korporasi berkuasa yang umumnya berasal dari negara-negara industri & kaya. Kebijakan-kebijakan WTO telah membuat jutaan petani kehilangan lahannya, membahayakan keamanan pangan di negara-negara miskin dan menjajah/kolonisasi kembali di bumi bagian selatan. WTO yang dimanfaatkan negara-negara maju dan perusahaan multinasional, berjuang keras agar segala bentuk subsidi (termasuk subsidi pertanian) dicabut. Mereka beralasan, hal ini merupakan bentuk hambatan perdagangan.
Padahal negara-negara maju hingga kini tetap mengucurkan subsidi bagi petani mereka (yang sudah maju dan mapan). Di Eropa dan Jepang misalnya, ada subsidi “kesejahteraan hewan ternak”. Seekor sapi di Eropa disubsidi 2 dolar Amerika per ekor per hari, di Jepang bahkan mencapai 5-6 dolar Amerika per ekor tiap hari. Jadi, hidup sapi di sana jauh lebih terjamin dari pada kita di sini.
Kuilu
Tujuhpuluh persen (70%) sumber pangan orang sedunia, dikuasai 6 “kumpeni” saja. dari data tahun 2000, omset mereka adalah: • Syngenta (dengan penjualan kimia pertanian 5.888 juta USD (dolar Amerika), penjualan benih 9.58 M USD) • Monsanto (penjualan kimia pertanian 3.605 juta USD dan penjualan benih 1.608 juta USD) • DuPont (penjualan kimia pertanian 2.027 juta USD dan penjualan benih 1.838 M USD) • Aventis (penjualan kimia pertanian 3.480 juta USD dan benih sebesar 247 juta USD); • BASF (kimia pertanian sebesar 3.336 juta USD) • Dow Chemical Co (dengan penjualan agrokimia sebesar 2.086 M USD dan penjualan benih/bioteknologi sebesar 1.85 M USD).(Medi\berbagai sumber)
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
Efek globalisasi (WTO) terhadap petani kecil
Halaman 11
1. Dampak terhadap keamanan pangan Perdagangan bebas telah memicu ketidakamanan pangan. Dulunya sebagian besar aktivitas pertanian difokuskan pada produksi untuk pasar lokal. Namun berubah menjadi tanamantanaman ekspor. Para petani besar dan Kuilu beberapa kelompok kecil petani tidak lagi memproduksi untuk konsumsi nasional, tetapi untuk pasar internasional. Maka petani terkena ketidakstabilan pasar dunia yang akan menimbulkan lebih banyak masalah, dan kesulitan hidup petani kecil. 2. Produk impor murah Kebanyakan rakyat di negara berkembang adalah keluarga petani kecil. Petani mendapat masalah karena adanya “impor murah”, yang terjadi karena perdagangan bebas. Impor Kuilu murah datang baik dari negara-negara maju (khususnya AS & Uni Eropa) dan juga dari negara-negara berkembang (seperti impor gula dari Thailand, Vietnam). Persaingan akibat impor murah mengakibatkan petani di negara berkembang kehilangan pekerjaan. Impor-impor seperti itu datang baik melalui jalur komersial dan dari ‘’dumping’’ (pangan yang dijual di bawah harga produksi untuk mengurangi kelebihan, yang biasanya lebih murah dibanding impor komersial dan lebih berbahaya).
Penelitian menunjukkan bahwa globalisasi telah memicu peningkatan biaya-biaya awal pertanian, mengakibatkan masalah besar bagi petani kecil. Karena terpaksa mengeluarkan biaya banyak untuk biaya awal. 3. Dampak terhadap lingkungan Penanaman komoditas internasional demi orientasi ekspor terbukti beresiko Kuilu besar bagi kerusakan lingkungan. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia dalam produksi tanaman-ekspor secara meluas telah meningkatkan kerusakan tanah dan hilangnya keanekaragaman hayati. Petani kehilangan sistem pertanian tradisional yang ramah lingkungan demi tanaman ekspor satu jenis. Juga, program perangsangan ekspor pertanian di daerah-daerah tertentu mengakibatkan penggunaan cadangan air dan pengurasan sumber-sumber air. Perdagangan bebas mendiktekan sistem pertanian lebih “menguras” dan tidak berkelanjutan. 4. Kesenjangan yang lebih lebar Globalisasi/perdagangan bebas tidak memecahkan masalah kemiskinan. Justru meningkatkan kesenjangan antara kaya - miskin. Laporan Badan Pengembangan Kuilu Manusia PBB pada tahun 1999 menunjukkan bahwa pihak yang kaya menjadi semakin kaya sedangkan pihak yang miskin menjadi semakin miskin. Pada tahun 1997, 20% orang-orang terkaya dunia menjadi 74 kali lebih kaya.(Medi\berbagai sumber)
M ari lakukan gerakan untuk melestarikan sumber-sumber kehidupan dan gerakan untuk tidak makin
Apa yang harus kita lakukan?
memperkaya para penguasa dunia ini (sehingga tidak makin memiskinkan kita), dengan cara: 1. Menerapkan pertanian organik terpadu (pada dan dari lahan sendiri), dengan seminimal mungkin input (bahan produksi: seperti pupuk atau benih) dari luar (input dari luar ini sedapat mungkin ditiadakan, walaupun input tersebut adalah bantuan!). 2. Dengan menerapkan hal di atas, kita juga akan melestarikan lahan, lingkungan dan usaha tani kita. Sehingga kemandirian/kemerdekaan dan kontrol kita atas pangan, akan lestari hingga anak cucu. 3. Hal-hal seperti “bantuan beras” harus diwaspadai, sebab beras bantuan yang berasal dari luar negeri itu, sering dimaksudkan untuk merusak ekonomi petani kita. Demikian pula Proyek Utang Luar Negeri. 4. Jika anda sebagai konsumen, hindari pangan impor, seperti buah impor atau pangan yang berbahan baku gandum/kedelai impor. Hal ini jika diterus-teruskan, akan ikut menghancurkan kedaulatan pangan kita.
4. Jadilah bagian warga negara yang ikut bertanggungjawab atas kedaulatan bangsa, dengan mendorong pemerintah melaksanakan kemandirian ekonomi bangsa. Ikutlah dalam gerakan yang menghalangi penguasaan segelintir orang atas sumber-sumber kehidupan. Seperti “Privatisasi Air”. 5. Diskusikan dengan kelompok Anda! Apa dampak globalisasi yang sudah dan akan dirasakan, lantas bagaimana cara menanggulanginya! (Medi) Wariskan Kemerdekaan Pada Anak Cucu Kita!
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
Halaman 12
Pengalaman Advokasi
Kisah Advokasi Masyarakat Penerima Proyek Utang di Kalimantan Selatan
JALAN PANJANG PEMBELAAN ’Kami tidak pernah diberikan informasi tentang proyek selama ini. Jangankan kami, Pembakal (kepala desa) pun tidak tahu. Bahkan kami tidak tahu harus bertanya ke siapa,’ kata Mustain, warga Desa Kali Besar Kecamatan Kurau Kabupaten Banjar.
K
rakat dari 2 kabupaten penerima Proyek CERD bersama LK3-Banjarmasin, YCHI-Banjarbaru dan YDA-Solo melakukan monitoring terhadap proyek tersebut. Monitoring ini mendapatkan data tentang infrastruktur (jalan, jembatan, gorong-gorong) yang tidak sesuai, dihentikannya pelaksanaan proyek di desa penerima tahun 2002 dan adanya indikasi pelaksanaan tahun 2003 ini akan mengulang kesalahan pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya. Berbekal data yang diperoleh dalam monitoring, masyarakat melakukan kegiatan pembelaan terhadap hakhaknya sebagai penerima proyek. Berikut ini tahapan yang telah dilakukan masyarakat pemonitor setelah pengumpulan data.(Zen) Dok YDA
alimat di atas merupakan salah satu yang disampaikan masyarakat dalam acara Pelatihan Monitoring Partisipatif (MP) terhadap Proyek CERD (Comunity Empowerment for Rural Development) atau disebut juga Proyek Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa (PMPD) pada Pebruari 2003 yang lalu di Banjarmasin - Kalimantan Selatan. Proyek CERD adalah proyek utang luar negeri Indonesia kepada Asian Development Bank (ADB) - Bank Pembangunan Asia senilai Rp920 miliar dari Rp1,36 triliun total anggaran. Proyek ini dilaksanakan di 6 provinsi, yaitu: Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Pelaksanaan proyek sejak Maret 2001 dan rencananya akan berakhir pada Desember 2006. Berangkat dari ketidakjelasan pelaksanaan proyek yang ada di desa masing-masing, sebanyak 22 masyaPENYAMPAIAN HASIL MONITORING Masyarakat masih belum mendapat kejelasan terkait permasalahan proyek dalam seminar yang berlangsung pada Maret 2003 ini. Penyebabnya adalah tidak hadirnya pelaksana proyek dari Kab. Banjar dan pelaksana tingkat pusat. ADB sendiri yang diundang juga tidak hadir. Akibatnya, penyelesaian masalah secara konkret tidak dihasilkan. Sementara,pihak proyek dari Kab. Tanah Laut yang Dok YDA datang berjanji akan melakukan peninjauan ke desa untuk menyelesaikan masalah yang ada. Pihak DPRD dan konsultan proyek dari 2 kabupaten juga berjanji untuk membantu mengupayakan selesainya masalah yang ada. Seminar yang dihadiri sekitar 100 orang ini mem-buka mata berbagai pihak (pemerintah, DPRD, mahasiswa, akademisi, LSM, dan media massa) tentang pelaksanaan proyek utang yang ada di Kalsel.(Zen)
PENYUSUNAN STRATEGI ADVOKASI Masyarakat merancang rencana lanjutan. Tiga hal besar yang harus diperoleh kejelasan, adalah 1) Perbaikan sarana fisik yang tidak sesuai dokumen proyek, 2) Status proyek tahun 2002, di desa-desa yang dihentikan pelaksanaannya, dan 3) Penyebarluasan informasi hasil monitoring kepada desa penerima proyek tahun 2003. Langkah pertama, dilakukan pertemuan tingkat desa untuk mendapatkan informasi terbaru dan sebagai forum sosialisasi hasil dan pelaksanaan advokasi. Kemudian diadakan pertemuan tingkat kecamatan. Lantas penggabungan hasilnya di tingkat kabupaten melalui pertemuan tingkat kabupaten. Hasil gabungan keseluruhan inilah yang menjadi bahan aksi advokasi.(Zen)
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
Pengalaman Advokasi AKSI-AKSI ADVOKASI
BERJARINGAN DENGAN MEDIA MASSA
Dok YDA
Pendekatan yang dilakukan kepada DPRD ternyata tidak membuahkan hasil. Pihak DPRD beralasan “jadual padat”. Padahal, saat seminar hasil monitoring, Komisi C DPRD Kab.Banjar berjanji untuk memfasilitasi pertemuan masyarakat dengan pihak proyek. Karena tidak ada kepedulian DPRD, diputuskan untuk mendatangi pihak proyek. Dari berbagai ‘tekanan’ kepada pelaksana proyek dan kecamatan, akhirnya disepakati adanya pertemuan di masing-masing kecamatan. Pertemuan kecamatan dilaksanakan April 2003, dihadiri oleh masyarakat desa, camat, Pimpro, Bappeda, Kimpraswil dan Dinas Sosial. Hasil pertemuan di 3 kecamatan (Batu Ampar - Tanah Laut, Karang Intan dan Aluh Aluh - Banjar) berupa janji pelaksanan proyek untuk
Melibatkan media massa, seperti koran dan radio, menjadi kebutuhan dalam upaya-upaya advokasi. Sejak kegiatan ini berawal dari monitoring pada Pebruari 2003 lalu hingga akhir September lalu, tak kurang 51 tulisan di 6 media massa Kalsel dan Nasional yang memuat kegiatan advokasi ini. Belum lagi acara ‘talkshow’ di radio-radio. Melalui berita dan siaran inilah informasi tentang pelaksanaan Proyek CERD dapat diketahui masyarakat luas dan menuai du-kungan dari berbagai pihak terhadap pelaksanaan advokasi ini.(Zen)
meninjau ulang keberadaan sarana fisik yang tidak sesuai dengan dana pemeliharaan. Kejelasan tentang dana pembangunan sarana fisik yang dikelola masyarakat juga dipertanyakan ke KPKN. Bappeda dan Pimpro kemudian berjanji untuk membuat surat ke Pimpro Pusat agar penerapan proyek di desa penerima tahun 2003 dilakukan dengan penerapan komponen proyek secara utuh.
Halaman 13
Pengakuan terhadap data yang dikumpulkan masyarakat, meningkatkan kepercayaan diri masyarakat pemonitor. Namun, yang masih menjadi ganjalan adalah masalah perbaikan sarana fisik yang rusak. SehaDok YDA rusnya perbaikan tidak mengambil dari dana pemeliharaan. Sebab, dana pemeliharaan dipakai untuk sarana fisik yang sudah selesai dengan kondisi baik. Tanggal 27 Mei 2003, Bupati Banjar berjanji membentuk tim evaluasi untuk memantau pelaksanaan Proyek CERD. Namun, walau ditunggu-tunggu ternyata aksi Bupati Banjar tidak ada. Pengaduan kepada DPRD juga tidak berbuah hasil yang jelas.(Zen)
MENGKAJI TUNTUTAN HUKUM Masyarakat hampir tidak percaya lagi kepada pelaksana proyek, yang hanya bisa berjanji. Padahal, masyarakat sudah cukup “bekerjasama” dalam mencari jalan keluar permasalahan. Pada pertengahan September lalu, masyarakat melakukan konsultasi hukum terkait masalah Proyek Dok YDA CERD. Acara ini dihadiri masyarakat desa penerima proyek tahun 2002 dan 2003, kalangan LSM dan media massa. Sebagai narasumber hukum adalah Prof. Ideham Djarkasi, SH., Ketua Anti KKN Kalsel. Kajian narasumber menyebutkan bahwa sebenarnya pemerintah menyadari bahwa ada aparatnya yang nakal, makanya dibentuk badan pengawas. Namun kadang kala pengawasnya juga tidak bisa melaksanakan perannya. Penyakit ini diperparah oleh ketidakmampuan DPR, yang harus menjadi pengawas dalam semua pelaksanaan proyek di daerah. Terkait peluang tuntutan hukum yang paling memungkinkan adalah dengan membandingkan antara pelaksanaan proyek di desa dengan perencanaan proyek. Hasil dari pembandingan ini dilaporkan kepada kepolisian. Pilihan penyampaian laporan kepada kepolisian karena laporan yang disampaikan masyarakat selama ini sudah jelas tidak ada tindak lanjutnya. Masyarakat sepakati melengkapi data pelaksanaan proyek, khususnya pelaksanaan proyek untuk desa penerima tahun 2003. Selain itu, pencarian bestek proyek juga direncanakan. Hasil pembandingan ini akan dirumuskan dalam bentuk laporan untuk disampaikan ke kepolisian dan kejaksaan.(Zen)
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 oktober-Desember 2003
Profil Aksi
Halaman 14 Hari Hartiko, merupakan salah satu dari sedikit intelektual dan pakar tentang Rekayasa Genetika yang punya kepedulian pada petani. Sosok pria 66 tahun ini masih terlihat gagah. Ditemui di
sela-sela waktu mengajarnya di Universitas Gajah Mada Yogyakarta – meski sudah pensiun, namun tetap diminta untuk mengampu beberapa mata kuliah – Hari bercerita banyak soal aktivitas dan perhatiannya terhadap dunia pertanian.
Tanggung Jawab Seorang Ilmuwan rekayasa,” katanya. Dulu, kita juga punya jenis tanaman yang tahan terhadap kekeringan misalnya, padi gogo. “Bagi saya, saya punya tanggung jawab sebagai pakar untuk mengatakan yang sebenarnya, kalau hijau ya saya bilang hijau bukan merah,” tegasnya. Berbincang masalah pertanian, Hari Hartiko melihat bahwa masalah utama pertanian adalah petani Indonesia rata-rata petani kecil atau petani gurem berlahan sempit kurang dari 2 hektar. “Masalah pengolahan pasca panen, dan dampak adanya revolusi hijau, dan kepemilikan lahan yang sempit membuat petani
Buletin Petani ADVOKASI No. 13Oktober-Desember2003
Indonesia hanya berkutat pada pertanian yang subsisten. Artinya, pertanian yang hanya untuk mencukupi kebutuhan pangan dan belum bisa menjadi sebuah agribisnis untuk mencari keuntungan.” Akibatnya, petani Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraannya. Petani juga
Hari Hartiko
gideon
S
ebagai seorang pakar dalam bidang Bioteknologi, Hari Hartiko banyak berhubungan dengan tanaman. Inilah yang kemudian mendekatkan dia dengan dunia pertanian. Dia banyak berhubungan dengan kalangan petani maupun Ornop (Organisasi Non Pemerintah) dan bersama dengan mereka turun ke desa membuka wacana petani tentang bioteknologi pertanian. Selain itu, bidang studi yang ditekuninya menyebabkan dia menjadi ahli tentang rekayasa genetika. Namun keahliannya tersebut dimanfaatkannya untuk membantu petani memahami tentang rekayasa genetika. Bersama dengan Yayasan Duta Awam (YDA) Solo, Hari pernah berkeliling desa di Eks Karesidenan Surakarta untuk memberikan pengertian tentang rekayasa genetika. Diakuinya itu merupakan salah satu bentuk tanggung jawab keilmuannya. Hari Hartiko merasa prihatin dengan adanya penyimpangan tentang pemahaman rekayasa genetika. Misal, rekayasa tentang tanaman yang tidak akan puso karena tahan terhadap kekeringan. “Tahan terhadap kekeringan ini kan persoalan air, persoalan alam, bukan persoalan
Profil Aksi
Hari Hartiko bersama YDA berkeliling desa untuk mensosialisasikan “apa itu” tanaman Rekayasa Genetika?!
Sementara itu, menyikapi globalisasi, Hari melihat bahwa globalisasi makin membuat petani Indonesia tergantung dengan pihak luar. Petani saat ini sudah biasa dengan benih dari luar. “Mungkin produktivitasnya lebih tinggi tapi kesejahteraan petani tidak,” katanya. Dengan globalisasi petani Indonesia makin jatuh. Hari Hartiko, yang menyelesaikan pendidikannya di Filipina ini merupakan salah satu angggota Tim Perumus Rancangan Undang-Undang Keamanan Pangan dan Keamanan Hayati. Namun RUU yang dirumuskannya bersama dengan beberapa pakar ini sampai sekarang tidak jelas nasibnya. Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati sangat diperlukan sehingga kelestariannya bisa dijaga. Selama ini, keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia ini sangat rawan untuk disalahgunakan oleh pihak lain. Itulah sebabnya Hari berusaha untuk terus mendesakkan hal tersebut. “Namun tampaknya belum ada tanggapan yang memadai dari
Dok YDA
cenderung untuk menjual hasil mentah panennya. Penguasaan teknologi pengelolaan pasca panen belum banyak dimiliki petani. Oleh karena itu, petani tidak bisa meningkatkan posisi tawarnya dan selalu diombang-ambingkan oleh pasar. “Mengembangkan teknologi menengah yang bisa dipakai untuk mengolah hasil pertanian pasca panen, bisa dijadikan sebuah alternatif,” ujarnya. Mengomentari revolusi hijau, Hari yang punya perhatian terhadap keanekaragaman hayati ini, mengamati bahwa benih unggul menghilangkan banyak benih lokal dan menciptakan ketergantungan terhadap input luar. Benih unggul ini rakus terhadap input luar sehingga petani dipaksa untuk selalu membeli input tersebut. Tingginya permintaan terhadap input luar dan keterbatasan persediaan – sesuai hukum permintaan penawaran – mengakibatkan harga input tersebut tinggi dan otomatis biaya usaha tani menjadi tinggi. Sementara, meningkatnya jumlah hasil panen yang dihasilkan – sekali lagi sesuai dengan hukum permintaan penawaran – harga yang didapatkan petani menjadi rendah. Sementara, benih lokal, menurut Hari, memiliki kelebihan karena sesuai dengan kondisi lokal dan tidak banyak meminta input luar - pupuk dan pestisida – seperti benih dari luar negeri. Lantas, bagaimana petani mesti menyikapi persoalan pasar? Hari melihat bahwa sebenarnya koperasi bisa dijadikan sebuah alternatif bagi pengembangan kesejahteraan petani. “Asal aspek manajerialnya diperbaiki,” tambahnya. Koperasi, seperti KUD, dilihatnya belum muncul dari kebutuhan para petani, namun lebih muncul karena program pemerintah. Semestinya koperasi muncul karena kebutuhan petani sehingga petani merasa memiliki.
Halaman 15
Departemen Pertanian,” sesalnya. Pemerintah selalu beralasan bahwa RUU tersebut sedang dalam persiapan. Hari Hartiko banyak terlibat dengan beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) karena punya pemikiran yang sama. Bahkan ia sempat dibilang sebagai provokator LSM. Namun baginya itu merupakan bagian dari tanggungjawabnya untuk mengatakan kebenaran. Sampai saat ini ia masih dipercaya sebagai Dewan Penasehat KONPHALINDO (Konsorsium Nasional Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia) sebuah organisasi non pemerintah yang bergerak dalam bidang keragaman hayati. Hari Hartiko yang telah pensiun sejak tahun 2001 ini kini lebih banyak punya waktu bagi cucucucunya dan juga hobinya. Meski demikian ia tidak mau tinggal diam. Berbagai aktivitas masih dijalankannya bahkan masih membimbing beberapa mahasiswa S2 di kampusnya. (Gideon)
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
Bero
Halaman 16
Makanya.... Jangan Asal Nyerocos.......
Kuilu
Dari pesawat telepon yang ada di ruang panitia, mulailah dia ngontak peserta, kamar per kamar. Entah karena terlalu semangat atau memang tidak terlalu perhatian dengan nomor kamar yang dituju, Beki pun menelpon sebuah kamar..., Dan tanpa basa basi, Beki langsung menerocos ngalor ngidul dengan debit suara penuh, ibarat senjata ototmatis yang sedang memuntahkan pelurunya tanpa henti. “Bla, bla bla...Ayo cepat ke ruang pertemuan, seminar mau mulai!...nanti terlambat bla..bla...dst,” cerocosnya. Sesaat si penerima telepon memang tidak menjawab omongan Beki itu (mungkin karena heran atau karena kaget dengan ucapan Beki yang super cepat itu). Di sela-sela Beki ngomong, tiba-
Gambar di sebelah ini adalah gambar kelelawar yang sedang menikmati buah (masih putik sudah disikat tuh) milik petani. Terinspirasi dari sebuah film perang, Seorang staf YDA pernah memiliki pengalaman sbb: Dengan menggantungkan potongan-potongan kecil alumunium dari kaleng bekas minuman ringan di pohon buah, ternyata kelelawar yang kerap mengganggu menjadi sulit mendekati pohon. Bahkan beberapa kelelawar jatuh karena menabrak tembok rumah di dekat pohon.
Pertanyaan: Mengapa kelelawar tsb kehilangan kendali terbang, saat mendekati pohon buah yang dipasangi gantungan lempengan alumunium? (pilih jawaban yang benar) A. Kelelawar silau dengan potongan alumunium. B. Sistem radar yang menjadi indera kelelawar terganggu. C. Alumunium melukai kelelawar.
Buletin Petani ADVOKASI No. 13Oktober-Desember2003
tiba si penerima telepon bersuara, “What? What? What you say (Apa? Apa? Apa yang kamu katakan-red)’” dengan suara tinggi pula. Menyadari bahwa si penerima telepon tersebut ternyata seorang tamu asing (non-peserta seminar) yang juga menginap di tempat yang dijadikan pertemuan itu, Beki segera menjawab “Oh, I’m sorry, Sir (Oh maaf tuan-red)”. Dengan wajah malu dan terlihat cengar-cengir akhirnya Beki menutup telepon. “Makanya.......kalau telepon harus memakai SISDUR (Sistem dan Prosedur) dan etika bertelepon, jangan asal nyerocos kayak gitu,” timpal seorang teman yang duduk di sebelahnya.(Eko)
& berhadiah! Santai & & Pemenang kuis nomor 11 Juni PA Wates timur Rt 04/II Bade-KlegoBoyolali 57385 Eko Istiyanto LPTP Jl. Nuri no. 8/11 Sambeng, Mangkubumen Solo Prawito Kelompok Mitra Tani Desa Harapan Jaya Kec. Tempuling-Indragiri Hilir-Riau
Kirim jawaban anda melalui surat pos/kartu pos ke: Redaksi Buletin PetaniADVOKASI Yayasan Duta Awam, Jl. Adisucipto 184 i Solo Hadiah
KAOS KASUAL medi
K
ejadian ini terjadi di suatu hari di sebuah acara persiapan seminar, yang diselenggarakan di sebuah tempat pertemuan sekaligus penginapan yang disewa panitia. Nah, acara akan segera segera dimulai pukul 19.00 pas, tapi kok peserta belum pada nongol?. Entah karena lelah setelah seharian berdiskusi atau karena asyik ngobrol di kamar masing-masing, petani (peserta) tidak segera datang ke tempat diskusi. Adalah seorang panitia bernama Beki (bukan nama sebenarnya, walau pun dia minta dengan sangat agar ditulis nama lengkap), akhirnya memutuskan untuk memanggil peserta lewat telepon yang tersedia di masingmasing kamar.
menanti Anda yang beruntung (diumumkan 2 nomor mendatang)
Santai dan Berhadiah
KUPON Edisi
13
Berita Tani
Halaman 17 Halaman 17
Repro SM
P
etani di Jawa Tengah dan pihak yang peduli dengan hak rakyat atas air menggelar unjuk rasa menolak privatisasi air ke Gedung DPRD Jateng, Jumat 19/9/2003. Mereka menuntut pemerintah mengembalikan air sebagai barang sosial untuk kehidupaan dan kesehatan warga negara. Mereka membentangkan poster antara lain, “Stop Perdagangan Air”, “Air Adalah Barang Langka” dan “Stop Pembahasan RUU Air”. Pada intinya, mereka menolak privatisasi air, Pembahasan RUU Sumber Daya Air oleh DPR RI untuk pengganti UU No 11/1974 tentang pengairan harus dihentikan. Pembuatan UU yang dibiayai (utang) Bank Dunia ini, akan menjadikan air dapat dikuasai pihak yang memiliki uang saja. (Suara Merdeka 20/9 2003)
Impor Beras = Sembelih Petani
S
ub-Dolog Banyumas Jawa Tengah, akan mendatangkan beras eks impor dari Thailand yang masih tersimpan di gudang Bulog Jakarta. Hal ini sangat mengherankan karena daerah ini sedang surplus beras. “Itu sama saja menyembelih ribuan petani di Banyumas dan sekitarnya,” kata Wasitah Yusuf, anggota Komisi B (Perekonomian) DPRD Banyumas. Dia menyayangkan langkah yang merugikan petani itu. Dulu Dolog selalu meyatakan persediaan gabah aman dan mencukupi di Banyumas, tapi ternyata sekarang malah kurang. Padahal salah satu fungsi Dolog adalah menstabilkan harga gabah dan beras, seharusnya Dolog membeli gabah petani dengan harga sesuai, bukannya impor. Surplus Tetap Impor Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Banyumas Ir. Djoko Wikanto mengemukakan berdasar analisis , produksi gabah petani tahun ini di Banyumas sebenarnya cukup hingga lima bulan ke depan. Namun Dispertan tidak memantau soal distribusi dan pemasaran. Dia menjelaskan persediaan beras
Tahun 2003, 122.399 ton. Sedang kebutuhan Januari-Juni 42.786 ton. Jadi ada surplus 79.612 ton. (Suara Merdeka 6/9 2003)
Pemerintah Tidak Serius di Sektor Pertanian
K
eberpihakan pemerintah petani tidak total mengakibatkan Indonesia mengalami ketergantungan pada luar negeri. Hal ini dikatakan pengusaha nasional, Prabowo Subianto Djoyo Hadikusumo. “Kebijakan pertanian dan sektor pangan nasional saat ini dalam kondisi memprihatinkan” kata dia, Minggu 21/9. Menurut Prabowo kebijakan pemerintah belum diarahkan untuk mengurangi ketergantungan pangan. Maka tidak aneh jika dari tahun ke tahun pertumbuhan impor komoditas pertanian terus meningkat. “Indonesia tiap tahun mengimpor beras 3,5 juta ton, jagung 2,8 juta ton, kacang tanah 1 juta ton, kacang hijau 0,23 juta ton ,1 juta ton gaplek,1,6 juta ton gula dan satu juta ton garam. Demikian juga ketika petani panen,
pemerintah justru mengijinkan masuknya beras impor”. Hal itu seolah menggambarkan bahwa produk yang diimpor itu tidak ada dan tidak bisa dikembangkan di Indonesia. (Kompas 23/9 2003)
Ilegal, Separuh Beras Impor
G
lobalisasi ekonomi, dengan manutnya pemerintah pada WTO, terbukti tidak menyehatkan perda-gangan. Malahan menimbulkan maraknya aksi kriminalitas ekonomi, yaitu penyelundupan. Berdasar data dari The Rice Trader (lembaga penyedia informasi perdagangan beras dunia yang bermarkas di Bangkok) dari negara – negara eksportir beras, menunjukkan sedikitnya separuh dari beras yang diimpor tiap tahun merupakan beras ilegal. Bahkan tahun 2002 terdapat impor ilegal 900.000 ton. Untuk menanggapi semakin merajalelanya penyelundupan beras yang sudah dimulai sejak tahun 2000, Pemerintah tampaknya tidak bisa berbuat banyak. (med/Kompas 14 Agustus 2003)
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
Info Tani
Halaman 18
TIDAK SEORANGPUN DAPAT BERKATA “PESTISIDA AMAN�
Segera terbit Buku pengalaman bisnis pertanian berdasar fakta
Pestisida meracuni lebih banyak dari yang kita duga
Bagaimana Memulai KONTRAK KERJASAMA AGRIBISNIS yang menjamin hak-hak petani?
Redaksi Advokasi mengucapkan
Eko
Dicari... Dicari... Dicari... Beras Organik P emasok pangan (beras & sayuran organik non-pestisida kimia), di wilayah Solo, Yogya dan Semarang, mencari beras organik dari petani (varietas Pandan Wangi lebih disukai). Jika Anda mampu menyediakan rutin, hubungi dan kirimkan contoh produk ke: Ibu Rini Aditya, Jl. Sri Gunting VIII/26 A Manahan, Solo. Telp 0271-728626 Fax 0271-721869
Puasa menahandiri mensucikan jiwa dan jalan taqarub agar lebih mendekat kepada cintaNya Idul Fitri damai hablu min Allah wa hablu min annas proses menyiapkan diri untuk dapat menjadi rahmad fil alam
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003
Dengan Natal kita belajar dari sebuah totalitas cinta dengan Natal kita melebur dalam juang menuju damai mengetuk pintu rumah cintaNya
Tahun baru kita sambut dengan semangat advokasi damai
Resep Kita ResepKita Penghalau Hama Organik
Halaman 19
Bahan : 1. Untuk Serangan Serangga – Walang a. ½ ons tembakau b. 1 tongkol buah mahoni c. 1 kolong tangan (1 ons) daun sambiloto segar/mimba d. Gadung sebesar kepalan e. 2 liter air Cara Pembuatan : Bahan-bahan dihaluskan/cacah lalu diaduk dengan air. Setelah itu direbus sampai mendidih dan dinginkan lalu disaring. Masukkan dalam jerigen, buka sebentar dan tutup lagi kira-kira 7-10 hari, siap dipakai Dosis : + Tiap 14 liter air/ 1 tangki diisi kurang lebih 50-70 cc ramuan
Kuilu
2. Untuk Serangan Hama Sundep dan Wereng a. 5 lembar daun sirsak segar b. 2 ons bawang putih c. 5 ons seledri d. ½ ons tembakau e. 1 liter air
3. Untuk Serangan Hama Wereng a. 2 ons jahe segar b. 2 ons laos segar c. 2 ons temuireng d. 2 ons kunir e. 1 ons kencur f. 5 ons daun mimbo g. 1 liter air
at as
Cara pembuatan dan dosis sama dengan di atas
sama deng an di sis Cara pembuatan dan do
4. Untuk Serangan Hama Tikus a. b. c. d. e. Redaksi menerima tulisan Resep Kita dari pembaca. Tulisan bisa berupa resep untuk pertanian/peternakan maupun kesehatan manusia yang menggunakan bahan alami, mudah didapat dan/atau teruji turun-temurun.
¾ ons buah mahoni ¾ ons kg daun sambiloto ¾ kg daun cengkeh ¼ belerang 1 liter air
Cara pembuatan dan dosis sama dengan di atas Kiriman Suradi Mulworeja Rt 03/06 Kamal, Bulu, Sukohatjo Jawa Tengah
Buletin Petani ADVOKASI No. 13 Oktober-Desember 2003