Idea 36 black campaign

Page 1


arameter Mental

Politikus Barangkali saja orang akan mengingat tulisanku ini:

Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik. SUSUNAN REDAKSI

–Pramoedya Ananta Toer Pelindung: Dekan Fakultas Ushuddin, Pembina: Wakil Dekan Bag. Kemahasiswaan, Staff Ahli: Prof. Dr. Amin Syukur, Prof. Dr. Abdul Djamil, M.A, Prof. Dr. Sri Suhanjati Sukri, M.A, Dr. Muhsin Jamil, M.A, Joko Tri Haryanto, S.Ag, Dr. Zainal Adzfar M. Ag, Dr. Imam Taufiq, M.Ag, | Dewan Penasehat: Caswiyono Rusydy Cakrawangsa, S.Th.I, Ahmad Fauzi, S.Fil.I, Rusmadi, S.Th.I, Wahyu Agung, S.Fil.I, John Sarmin, S.Psi.I, Arif Dwi Purnomo, S.Fil.I, M. Abdullah Badri, Abdul Fatah, M.Si, Agus Haryanto, S.Th.I, Misbah Khairuddin Zuhri, S.Th.I, Dzikrullah Zulqarnain, M.Si, John Sarmin, S.Ps.I, Zaenal Abidin, S.Th.I, Ahmad Khotim Muzzakka, S.Th.I, Ahmad Faisol, S.Th.I, M. Anwar Shodiq, S.Ps.I, M. Zubair Hasan, S.Th.I. Pengkaderan: Muhammad Zulfa, Ahmad Yusuful A., Miftahul Arifin, Ulinnuha, Sri Wahyuningsih, M. Khamyah. Pemimpin Umum: Faiqoh Rosita, Sekretaris Umum: A. Fajrur Rahman, Bendahara Umum: IkaFebriani, Pemimpin Redaksi: Emi Irfah, Sekretaris Redaksi: Ahmad Muzaqqi, Desk. Artikel dan Berita: HeriKuseri, Mustika Bintoro, Desk. Sastra: Rodiyatam Mardhiyah, Mia Rinakeswara, Khoirika Mahmudah, Desk. Layout: Mochamad Saifudin, Div. Perusahaan: Ahmad Zakaria (koord), Desk. RumahTangga: M. Ali Fuadi, Faiqoh Nikmah, Inayah Ma'rifah, Desk. Distribusi dan Ikan: M. LutfiMaulana, M. Afifuddin Al-Farisi, Sendi Satrio Munif, Div. Litbang: Zaimuddin (koord), PPSDM: AdibIslahuddin, Ahmad Muqsit, M. ZainalAbidin, Kajian dan Riset: Gigih Firmansyah, Adib Khoirur Rouf, M. Abul Fadhol AF.

Pada rapat redaksi yang pertama, awalnya redaksi memutuskan untuk mengangkat tema representasi politik, karena melihat banyaknya para pelaku politik yang duduk di kursi pemerintahan tidak lagi merepresentasikan aspirasi rakyat, namun lebih cenderung menggunakan politik sebagai representasi aspirasi pribadi maupun kelompok. Namun karena melihat semaraknya pesta demokrasi pada tahun 2014 ini, bidikan redaksi jadi sedikit berbelok arah. Apalagi melihat fenomena black campaign atau kampanye hitam yang begitu kental terasa dalam proses kampanye, ditambah dengan “keberpihakan” beberapa media massa pada masingmasing calon yang “diusung”, menjadikan redaksi mantap untuk mengangkat tema kampanye hitam. Kampanye hitam memang bukan fenomena baru di Indonesia. Pada setiap pemilu hampir bisa dipastikan kampanye hitam turut menyertai. Namun pada pemilihan presiden kali ini terasa begitu istimewa karena kampanye hitam medapatkan “porsi” yang lebih besar dibanding pilpres sebelumsebelumnya. Lihat saja bagaimana pertarungan antara kedua kubu calon menjelang pemilihan presiden yang jatuh pada 9 Juli lalu. Cara-cara kotor dengan menggulingkan isu-isu pribadi dijadikan sebagai senjata ampuh untuk “merontokkan” ketertarikan masyarakat pada lawan politiknya. Kampanye saling jatuh dan saling sikut ini terasa lebih mudah dengan bantuan akses internet yang sekarang bisa dijangkau hampir seluruh rakyat di pelosok-pelosok negeri. Lalu apa yang salah dengan kampanye hitam? Jika dilihat sekilas, memang tidak ada yang salah, kampanye hitam merupakan hal yang “wajar” dilakukan karena itu merupakan salah satu strategi pemenangan calon. Namun jika dilihat lebih dalam ada dampak yang lebih serius dari sekedar menang atau kalah. Praktik kampanye hitam bisa dijadikan parameter untuk mengukur bagaimana mental para politikus kita dalam berpolitik. Kedewasaan masyarakat dengan fitrahnya sebagai zoon politicon juga dapat diukur dengan melihat keterpengaruhan politik mereka pasca gempuran kampanye hitam. Isu pemilu memang hanya hangat pada beberapa bulan saja. Namun pembahasan mengenai kampanye hitam akan tetap bergulir, karena hal ini menjadi fenomena tersendiri yang mengajak masyarakat untuk berfikir cerdas agar selektif memilih calon dan cermat dalam mengawal jalannya pemerintahan. Semua tergantung dari bagaimana kita melihat hal ini. Apakah anda menerima dan menganggap kampanye hitam sebagai suatu hal yang sah dan wajar, atau melihatnya sebagai suatu kecurangan dalam pertarungan “suci” memperebutkan kursi RI I. Entahlah. [Redaksi]

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

1

Serambi

36

KAMPANYE HITAM:


Daftar Isi

Suhu politik pemilihan presiden (pilpreas) 2014 terasa begitu panas daripada pemilihan presiden sebelumnya, yang dulu kawan sekarang menjadi lawan. Saling serang antar kedua pendukung capres pun tak bisa dihindarkan. Tak jarang serangan-serangan yang dilancarkan merupakan fitnah yang bertujuan menjatuhkan elektabilitas lawan politik, mulai dari kicauan-kicauan di media sosial, elektronik, cetak, maupun media cetak dadakan yang terbit menjelang pilpres. Fitnah yang disebarkan oleh masing-masing kelompok, bisa kita sebut sebagai kampanye hitam atau black campaign, yakni sebuah cara politik yang dilaksanakan dengan sistematis dan bertujuan membangun opini dan persepsi masyarakat, melalui rekayasa dan kebohongan mengenai pihak lawan.....

11

Meneruskan

Analisis Khusus Sejarah mencatat praktik Balck Campaign sudah lama berjalan dalam dunia islam. Terutama di zaman kekhalifahan dan dinasti-dinasti islam yang pada akhirnya menimbulkan perang saudara seagama muncul. Diceritakan dalam sejarah, konflik muncul ketika khalifah Utsman bin Affan terbunuh oleh para pemberontak, dan estafet kepemimpinan jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib. Di awal pemerintahan Ali muncul banyak sekali pertentangan dan protes yang menolak kekhalifannya. Muawaiyah adalah salah satu orang yang dengan teguhnya melawan Ali dan berusaha untuk menurunkannya sebagai Khalifah. Muawiyah menuntut Ali untuk menghukum pembunuh Utsman dengan segera. Namun Ali memilih untuk menindak para pelaku setelah keadaan stabil. Lalu ......

23

Mahasiswa sebagai kaum muda terpelajar, memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan wawasan dan memperdalam intelektualitas. Mereka juga memiliki akses yang mudah dalam hal memperoleh pengetahuan maupun informasi. Maka dipundak merekalah amanat perubahan sosial selalu diletakkan. Untuk mengemban dan melaksanakan amanat mulia ini tentu bukan hal yang mudah. Butuh kerja ekstra untuk membentuk karakter-karakter yang mandiri, cerdas, berwawasan luas dan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Dengan hanya ...

42

Riset

DAFTAR ISI:

Serambi1 | Daftar Isi2 | Potret3 | Surat Pembaca4 | Editorial6 | Karikatur7 | Analisis Utama8,11,14 | Paradigma18 | Tamu Kita20 | Karikatur22 | Analisis Khusus23 | Wacana26 | Wawancara28 | Artikel Lepas30 | Fenomena32 | Forum TH34 | Forum AF36 | Forum TP38 | Forum PA40 | Riset42 | Kampusiana44 | Lorong46 | Figur48 | Resensi Buku50,52 | Resensi Film54 | Sastra56 | Ushul-Ushil60 | Liputan61 | Catatan Akhir63

2

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Cita-Cita

B

utuh waktu yang tidak sedikit bagi LPM IDEA untuk menunjukkan eksistensi dan kualitasnya. IDEA pernah berada di puncak popularitas, pernah digaung-gaungkan oleh khalayak, dan pernah selalu ditunggu kehadirannya sebagai penambah khazanah wawasan. Namun kata orang, saat ini IDEA sudah kehilangan rohnya. Roh IDEA yang ketika ditanyakan tidak ada yang dapat menjawab dengan pasti bagaimana “wujud”, “rasa”, dan “warna”nya. Namun bukankah sudah menjadi hukum alam bahwa tidak ada yang selamanya tetap berada di puncak? Masa keemasan akan “runtuh” dan digantikan dengan masa yang baru. Semua tinggal tunggu waktu. Setiap generasi di IDEA punya ciri yang berbeda. Dan setiap tim redaksi juga punya gayanya tersendiri dalam menerjemahkan roh IDEA. Kami mencoba mendewasakan diri untuk tidak menjadi “anak zaman” yang hanya mengangan-angankan kejayaan masa lalu. Menjadi generasi yang tanggap dengan masalah di zaman kami dan mencoba ikut “menyelesaikan” masalah melalui wacana dan tulisan. Tidak ada janji muluk-muluk yang ditawarkan. Kami hanya berusaha memegang komitmen untuk terus melanjutkan cita-cita IDEA sebagai penyeimbang wacana, dan penyuguh diskursus yang transformatif bagi para pembaca.

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Jika ada kesalahan atau kekurangan, kami rasa wajar. Kami sadar masih berada dalam tahap belajar dan berproses. Dan juga yakin bahwa setiap kesalahan akan menjadi pelajaran yang berharga bagi siapapun yang mau mengambil pelajaran darinya. Sungguh bukan perjuangan yang mudah bagi tim redaksi untuk berada pada titik ini, menerbitkan sebuah majalah. Waktu lima bulan yang diberikan terasa begitu singkat sehingga harus ada perpanjangan waktu. Bahkan untuk menentukan tema serta spesifikasi bidikan pun harus melalui proses panjang dan perombakan berkali-kali. Sungguh proses yang begitu menyesakkan dada untuk menerbitkan majalah di tengah hiruk-pikuk tugas lain yang juga menuntut untuk diselesaikan. Kita sadari bersama, IDEA bukanlah lembaga penerbitan profit yang memberikan gaji pada kru beserta stafnya. Sebagai sebuah lembaga pers kampus, IDEA hanya memberi “gaji” berupa ilmu dan pengalaman bagi mereka yang mau bekerja di dalamnya. Maka semua kembali pada kesadaran personal kru dan staf. Redaksi tidak memiliki hak untuk marah atas kerja-kerja yang tidak maksimal. Keterlambatan, ketidak-aktifan. Karena jika sejak awal sudah ada mufakat bahwa ini adalah kerja tim, rasanya juga akan sama-sama faham bahwa tampak tidak elok jika yang bekerja maksimal hanya segelintir orang saja. Namun apa mau dikata, bukankah sudah menjadi rahasia umum, semua Lembaga Pers Mahasiswa akan mengalami seleksi alam? Siapa yang serius, dia yang bertahan. Namun kini semua proses panjang yang berliku-liku terbayarkan dengan terbitnya majalah IDEA edisi 36. Akhirnya. Semoga bermanfaat, kritik dan saran tidak hanya menjadi sekedar seremonial yang seolah ditunggu tanpa adanya tindak lanjut. Tapi ini benar-benar kami harapkan untuk terus melanjutkan cita-cita IDEA dan menjadikan IDEA lebih baik dan terus lebih baik lagi. Semoga. [Redaksi]

3

Potret

Analisis Utama


Surat Pembaca

Surat Pembaca

Mata Kuliah Praktikum Beberapa waktu kemarin, saya sempat mendengar “geger” mengenai pengambilan mata kuliah praktikum. Ada beberapa mahasiswa yang bisa mengambil makul tersebut meskipun juga sedang mengambil makul lain, tapi ada juga yang tidak bisa mengambil. Sebenarnya bagaimana peraturan yang jelas bagi mahasiswa yang ingin mengambil makul praktikum? Mohon penjelasannya. (Umi Maulida, mahasiawi jurusan Tafsir dan Hadis 2011)

Toilet ohh Toilet

Tanggapan PD Bidang Akademik Terima kasih banyak atas pertanyaannya. Mengenai tata cara pengambilan mata kuliah praktikum, sebenarnya hal tersebut sudah diatur dalam buku panduan akademik. Mahasiswa diperbolehkan mengambil mata kuliah praktikum, jika mereka telah lulus dalam mata kuliah keahlian di jurusan masing-masing. Mata kuliah keahlian yang harus diselesaikan oleh mahasiswa itu meliputi, Pertama Mata Kuliah Dasar (MKD), dan kedua Mata Kuliah Umum (MKU). Apabila mahasiswa masih memiliki tanggungan MKD dan MKU, mereka tidak diperkenankan mengambil mata kuliah praktikum. Berbeda dengan mahasiswa yang masih mempunyai tanggungan Mata Kuliah Pilihan (MKP), bisa mengikuti mata kuliah praktikum. Jadi tidak mungkin ada kerancuan, karena sudah ada tim penyeleksi yang menangani hal tersebut.

Apresiasi bagi Mahasiswa ‘Penulis” Menulis merupakan salah satu aktifitas yang menunjukkan eksistensi mahasiswa. Apalagi jika tulisan kita dapat dimuat di media massa seperti koran, secara tidak langsung hal ini akan berimbas pada terangkatnya nama institut dan fakultas yang dibawa oleh mahasiswa tersebut. Saya ingin bertanya, apakah bagi mahasiswa yang tulisannya dimuat di koran akan mendapat dana apresiasi seperti ketika mengajukan di kampus satu? (Ifa, mahasiswi jurusan Aqidah dan Filsafat)

4

Tanggapan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Menulis merupakan suatu hal yang tidak bisa lepas dari dunia akademik, hal tersebut sebagai tolak ukur kapasitas intelektual yang dimiliki oleh mahasiswa. Apalagi jika tulisan yang ditulis oleh mahasiswa dimuat oleh media masa, tentunya pihak fakultas akan turut bangga. Sebagai wujud penghargaan, dahulu pihak fakultas pernah memberikan dana apresiasi bagi mahasiswa yang tulisannya dimuat di media massa. Bahkan Fakultas Ushuluddin merupakan fakultas pertama yang melakukan hal tersebut. Namun semenjak pihak institut (kampus satu) menganggarkan dana apresiasi, maka pihak fakultas tidak memberikannya lagi. Sebab tidak boleh ada dualisme anggaran untuk instansi yang sama. Jika pihak fakultas kembali menganggarkan dana tersebut, dan diketahui oleh Badan Penyelidik Keuangan (BPK), maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi.

Pemenuhan fasilitas yang baik dan optimal merupakan salah satu penunjang bagi terselenggarannya pendidikan yang baik. Dalam surat pembaca ini saya ingin menyampaikan keluhan mengenai kebersihan falisitas toilet yang ada di Fakultas Ushuluddin. Bisa dilihat toilet yang ada di pojok gedung E sangat kotor dan kadang-kadang juga air tidak mengalir, hal ini sangat menyulitkan bagi mahasiswa. Toilet jangan dianggap sebagai hal yang sepele, karena tanpa pemenuhan fasilitas toilet yang baik, kita akan kesulitan dalam menyalurkan “hajat” kita. Mohon pihak birokrasi kampus dapat menanggapi hal ini dengan baik dan cepat (Ainul Yaqin, mahasiswa jurusan Tafsir dan Hadis 2012)

Kirim keluhan, kritik, & saran anda ke:

ideapress@gmail.com Alamat Redaksi:

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Tanggapan PD II Terima kasih atas informasinya. Menanggapi persoalan kebersihan dan sarana toilet yang ada di gedung E, sebenarnya saya sudah mendapat laporan dari petugas kebersihan yang setiap hari melakukan pemeriksaan. Sarana yang ada di toilet gedung E memang sering mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut sudah pernah terjadi sebelum adanya proyek pembangunan gedung baru di belakang kampus Ushuluddin. Namun sudah kami tangani sehingga sudah bisa dimanfaatkan sebagai mestinya. Sementara dalam kasus kali ini, kerusakan sarana toilet disebabkan karena saluran air tertimbun oleh sisa-sisa material pembangunan gedung baru. Dengan kondisi tersebut, tentunya mahasiswa menginginkan adanya perbaikan sarana toilet. Tetapi perbaikan tersebut tidak mungkin dilakukan sekarang, karena adanya aktivitas pembangunan gedung baru yang sampai hari ini masih berlangsung. Selain itu dana perbaikan tersebut juga tidak masuk dalam anggaran kita. Jadi untuk sementara, mahaiswa terpaksa harus memanfaatkan toilet lain yang masih bisa berfungsi dengan baik. Toilet di gedung F atau PKM misalnya. Namun jika memang dirasa mendesak untuk diperbaiki, maka kami akan mendorong pihak proyek untuk memperbaikinya kembali. Terkait dengan kebersihan toilet, kami sudah mengontrolnya setiap hari. Sehingga ketika ada masalah, maka Pak Mahmud selaku petugas lapangan akan saya minta untuk segera memperbaikinya. Kebersihan memang merupakan bagian dari tanggung jawab kami, namun mahasiswa juga harus turut serta menjaga kebersihan lingkungan kampus.

Gedung PKM Lt.2 Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang Jl. Prof. DR. Hamka km2 Ngaliyan Semarang 50185. email: ideapress@gmail.com

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

5


Editorial

Karikatur

Menyorot Pilpres 2014 ex :“kalau bukan kita siapa lagi, kalau tidak sekarang kapan lagi” ex :“ pilih pemimpin yang merakyat dan berasal dari rakyat. Indonesia hebat!”

T

entu di tahun politik 2014 ini, kita sudah sangat mengenal suara-suara atau tulisan kampanye di atas. Sangat banyak terpampang di pinggir jalan, pusat perbelanjaan, kompleks perumahan, dan tempat-tempat strategis lainnya. Terasa begitu sesak dan merusak pemandangan. Dan sekarang, seiring semakin pesatnya kemajuan teknologi dan kemudahan akses internet, kampanye tidak hanya monoton lewat tulisan pinggir jalan, tapi sudah lebih maju melalui sosial media dengan disertai soundtrack masing-masing calon. Mungkin karena kemudahan dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi inilah, berbagai bentuk kampanye bermunculan. Mulai dari kampanye yang biasa, luar biasa, sampai yang tidak biasa. Cara kampanye yang tidak biasa ini yang agaknya sedikit meresahkan masyarakat. Kampanye hitam atau yang lebih popular dengan istilah black campaign terasa begitu semarak mewarnai jalannya pemilihan presiden tahun ini. Bisa dilihat di sosial media, banyak bermunculan berita-berita “hitam” mengenai kedua calon presiden seperti, “dijual murah” oleh oknum-oknum tertentu. Semua demi mendapatkan simpati rakyat kepada calon yang satu melalui antipati kepada calon yang lain. Sebenarnya dalam urusan black campaign, Indonesia sudah agak ketinggalan. Di negara lain black campaign sudah merajalela dan menjamur dalam setiap pemilihan presiden. Namun ini bukan berarti pada pilpres sebelumnya tidak ada praktik black campaign. Praktiknya tentu sudah ada, bahkan semenjak peradaban nusantara muncul. Namun black campaign dalam bentuk istilah, baru benar-benar booming di Indonesia pada sekitar sepuluh dekade terakhir. Jika ditelisik lebih dalam, kekuasaan dan intrik hitam bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Sejak dulu dalam setiap perebutan kekuasaan, kampanye hitam selalu mengiringi. Peradaban besar dunia pun pernah merasakan besarnya kekuatan model kampanye seperti ini. Peradaban Yunani, Kristen, dan Islam tak bisa luput dari intrik kampanye hitam. Hal ini menimbulkan kesan bahwa kampanye hitam memang sesuatu yang ditentang, namun di sisi lain kampenye hitam juga menjadi semacam tradisi yang diterima secara diam-diam. Dan sekarang peradaban demokrasi Indonesia semakin bereuforia dengan praktik black campaign. Terkadang hal tersebut dinilai wajar karena untuk menjadi orang nomor satu dan dua di Indonesia dibutuhkan usaha ekstra keras. Satu suara saja bisa diperebutkan sampai berdarah-darah. Apalagi memperebutkan suara jutaan rakyat Indonesia, bisa dibayangkan betapa dahsyat perjuangannya. Saking berharganya satu suara sampai-sampai banyak cara yang dilakukan untuk mendapatkan simpati rakyat, sehingga black campaign pun dianggap kewajaran. Namun, meskipun praktik black campaign terus dikembangbiakkan oleh sebagian pihak, itu bukan berarti kita harus ikut melestarikannya. Cita-cita untuk menjadikan Indonesia lebih baik harus dihayati oleh seluruh elemen masyarakat. Tidak berpikirkah kita bahwa satu menit di bilik suara menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan? Kampanye hitam bukanlah cara yang efektif untuk menjadikan rakyat Indonesia sebagai pemilih yang cerdas. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar dan berimbang mengenai calon pemimpinnya, sehingga dapat menentukan pilihan secara baik dan bijak. Jika salah informasi, bisa-bisa kita salah memilih pemimpin. Bisa gawat. [Redaksi]

6

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

[Oleh: Qorina Ziba Putri]

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

7


Analisis Utama

Analisis Utama

BLACK

CAMPAIGN

ORA POPO? Oleh: Zaimuddin Ahya’ * www.solopos.com

“Jika seorang penguasa ingin meraih cita-citanya yang tertinggi, ia tidak akan selalu merasakan bahwa bermoral itu sebagai hal yang rasional.” -MachiavelliBerpijak dari perkataan di atas, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan Black campaign ora popo atau sah saja dalam rangka mendapatkan kekuasaan, walaupun sepintas berbeda dengan para filsuf klasik dan agamawan yang selalu menggandengkan kekuasaan dengan kebijaksanaan, kebaikan, kearifan dan ketuhanan (J.H. Rapar: 1991). Black campaign adalah suatu cara berkampanye dengan menyebarkan berita bohong yang bisa mejatuhkan kapabilitas calon. Secara otomatis ketika citra dari salah satu calon tercoreng, maka citra calon yang lain melambung tinggi bak pesawat apolo. Pada pemilu tahun 2014, black campaign bereuforia, entah siapa yang memulai. Situasi ini menuntut para calon penguasa atau simpatisan melakukan black campaign, baik untuk menyerang ataupun sekedar membalas black campaign dari pihak lawan. Machiavelli mengingatakan, jika hidup di antara orang-orang jahat, lambat laun akan hancur manakala bersikukuh dengan idealisme kebaikan. Sejarah telah membuktikan, misalanya Ali bin Abi Thalib—karena pertimbangan persaudaraan seagama—dia menerima arbitase dengan Muawiyah, padahal sedikit lagi memperoleh kemenangan, akibatnya Ali kehilangan tahta

8

kekhalifahan. Bisa jadi hal yang sama juga akan menimpa—kehilangan kekuasaan atau kalah dalam pemilu—calon penguasa yang dengan pertimbangan moral tidak melakukan black campaign. Machiavelli mengatakan, “Itulah, para penguasa malah sering meyakini hal-hal yang seharusnya terjadi, bukannya apa yang nyatanyata mereka hadapi. Padahal dengan berbuat seperti itu, mereka justru sedang menggali liang kuburnya sendiri.” Sebab kehancuran Ali bin Abi Thalib karena dia berusaha melukukan apa yang seharusnya terjadi (ideal). Hal ini mungkin yang menjadi alasan mengapa pada pemilu kali ini black campaign terus dilakukan, karena para calon penguasa tidak ingin mengulang sejarah masa silam, atau para simpatisan tidak ingin hal yang terjadi pada tokoh di atas menimpa calon yang didukung.

memanfaatkan peluang, tabloid tersebut disebarkan ke pesantren-pesantren yang notabennya adalah pendukung calon yang diberitakan di dalamnya. Menurut penulis, Black Campaign adalah taktik politik jitu jika dilalukukan di negara yang menganut faham demokrasi seperti Indonesia. Dalam negara demokrasi, rakyat punya kuasa penuh menentukan siapa yang akan menjadi penguasa. Maka, siapa yang bisa mendapatkan kepercayaan rakyat, dialah yang akan berkuasa. Dengan black campaign, calon penguasa berusaha mempengaruhi rakyat untuk mendukungnya, mungkin karena mereka meyakini rakyat Indonesia mudah dipengarui, yang diibaratkan oleh WS Rendra (1935-2009) seperti rumput kering, mudah terbakar. Penguasa yang mampu menyulut black campaign bak senjata pemusnah masal, berpotensi akan sangat dicintai rakyat, karena segala kekurangan penguasa telah tertutup dengan fitnah-fitnah yang disematkan kepada lawan. Penguasa yang dicintai rakyat akan mampu menghegomoni, bahkan rakyat akan membela mati-matian jika ada pemberontakan atau serangan dari luar, sebagaimana yang dialami Raja Nabis dari Sparta, dia berhasil menahan gempuran dari Yunani dan Romawi, karena mendapat pembelaan dari rakyat.

Black Campaign sebagai Senjata Ampuh Black campaign jika dikelola secara baik dan terstruktur akan menjadi senjata yang ampuh dalam meraih kekuasaan, ibarat pasukan militer lengkap dengan persenjataaannya. Pengelolaan yang baik dan terstruktur bisa terwujud manakala dilakukan oleh seseorang yang mempunyai virtue (keutamaan)—sikap aktif penguasa dalam efisiensi politik—sehingga bisa memanfaatkan fortune (nasib) dengan maksimal, yang dalam salah satu buku Machiavelli, The Prince disebut sebagai penguasa yang menguasai seni berperang. Usaha-usaha melakukan black campaign secara baik dan terstruktur sudah dipraktikkan pada pemilu tahun ini, misalnya tabloid Obor Rakyat, tabloid dadakan yang isinya merusak citra salah satu calon. Dengan kecerdasan

Kekejaman demi Kesejahteraan Banyak kalangan yang mengecam praktik black campaign, karena dianggap sebagai tindakan yang kejam dan licik. Kekejaman black campaign teletak pada ketegaan menfitnah saudara setanah air, sedangkan kelicikannya terdapat pada praktik black campaign melalui media, yang seakan-akan bukan perbuatan dari pihak calon penguasa. Dalam pandangan Machiavelli, cara sekejam atau selicik apapun tidak jadi masalah, jika tujuannya demi kesejahteraan negara, karena baginya, negara adalah tujuan dari segala tujuan. Dalam The Prince, dikisahkan tentang penguasa Fermo, Oliverotto (1475-1502), yang bisa menjaga kestabilan negara, walaupun dalam mendapatkan kekuasaan, ia melakukan hal yang maha kejam dan licik, ia mengundang para petinggi negara dan membunuh mereka dalam jamuan makan. Penulis juga meraba, mungkin salah satu alasan para calon penguasa atau simpatisan melakukan black campaign adalah karena mereka

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

menganggap Indonesia dalam keadaan darurat, yang kalau tidak dipimpin oleh orang yang tepat, maka akan hancur, dan mereka meyakini bahwa dirinyalah yang tepat. Machiavelli menyatakan, “penguasa tidak boleh menyimpang dari sifatsifat baik, tapi jika diperlukan, boleh memakai cara licik dan kejam.” Dalam situasi kritis—dalam keyakinan calon penguasa—Machiavelli memperbolehkan, bahkan menganjurkan untuk melakukan cara licik dan kejam, karena jika tidak melakukan hal itu, atau malah memilih memakai cara baik, maka sama saja calon penguasa menggali liang kuburnya sendiri, dan cita-cita memperbaiki negara pun tidak terwujud. Dari beberapa pengamat politik ada yang khawatir, jika efek negatif black campaign masih terasa setelah pemilu, karena bagi yang pikiranya telah terpengaruh oleh black campaign kemungkinan masih menganggap jelek calon yang terpilih, dan ini ditakutkan akan mengganggu kestabilan negara, karena sangat sulit menerima kebijakan-kebijakan calon terpilih, walaupun itu baik. Berbeda dengan Machiavelli, jika calon terpilih itu nantinya bisa menyejahterakan rakyat, cara yang lebih kejam dari black campaign pun tak jadi masalah. Ia menyontohkan Oliverotto, yang bisa meredam gejolak saat pergantian kekuasaan dengan cara membuat rakyat tambah sejahtera dari sebelumnya. Black Campaign dan Pencitraan Black campaign dianggap kejam dan licik, bagaimana dengan pencitraan, yang sekilas tidak menjatuhkan citra orang lain? Pencitraan sekilas memang tidak merusak citra orang lain sebagaimana black campaign, tapi kalau dicermati secara mendalam, pencitraan berpengaruh terhadap elektabilitas lawan, karena jika salah satu calon—dengan pencitraannya—bisa meraih simpati rakyat, otomatis mengurangi dukungan rakyat pada calon yang lain. Pada pemilu ini, sering terlihat di media para calon penguasa terlihat mendadak religius, baik hati dan merakyat, misalnya berziarah kubur dan sowan ke para ulama. Hal-hal semacam ini sebenarnya merupakan salah satu taktik politik. Penulis menganggap hal ini sudah terjadi sejak dulu, karena penguasa yang lebih kelihatan terpuji, maka akan lebih diunggulkan, sebagaimana terdapat dalam The Prince bab XV.

9


Analisis Utama

Harapan Seorang Negarawan Dari paparan di atas, black campaign mendapatkan pembenaran dari Machiavelli. Bahkan dibanding perbuatan tokoh-tokoh yang diangkat dalam The Prince, black campaign masih kalah licik dan kejam. Sebagai seorang filsuf, Machiavelli berbeda dengan filsuf-filsuf klasik seperti Plato, yang meyakini bahwa politik itu sebuah kebijaksanaan dan kearifan. Penulis yakin, Machiavelli mempunyai alasan-alasan yang mendasar, kenapa memperbolehkan cara-cara tersebut dalam memperoleh kekuasaan. Machiavelli hidup pada masa Italia sering mengalami pertempuran, perebutan kekuasaan. Hal inilah yang kemudian mengilhami dia menulis the prince, sebuah buku yang membuat dia dianggap sebagai pemikir titisan setan oleh Leo Strauss (1899-1973), karena sekilas dalam buku tersebut, Machiavelli terkesan menghalalkan segala cara dalam memperoleh kekuasaan. Sebagai seorang pemikir, Machiavelli gelisah dengan keadaan Itali yang kacau. Bertahun-tahun dia mengamati para penguasa. Akhirnya, dia berkesimpulan bagi penguasa yang ingin menjaga kestabilan negara harus bisa memadukan sifat singa dan rubah sekaligus. Singa mencerminkan kekuatan, sedangkan rubah mencerminkan kecerdikan, karena seringkali orang yang hanya mengandalkan kekuatan tidak selamat dari tipuan, begitu juga orang yang hanya mengandalkan kecerdikan akan hancur jika ada serangan militer. Konsekuensi dari merepresentasikan sifat singa dan rubah adalah penguasa harus siap dan mampu berbuat jahat, kejam dan licik jika itu

10

diperlukan, tapi hal itu semata-mata dilakukan demi kepentingan negara, karena bagi Machiavelli negara adalah segalanya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Prof. J.H. Rapar, seorang ahli filsafat politik bahwa bagi Machiavelli seluruh kegiatan politik dan diplomatik haruslah demi kepentingan negara. Machiavelli menyatakan, “Tak perlu risau melakukan segala perbuatan jahat, yang tanpa tindakan itu sukar menyelamatkan negara, sebab apabila dipertimbangkan dengan baik, maka akan dijumpai ada hal-hal yang kelihatannya baik, akan menuntun seseorang menuju kehancuran, dan ada lagi hal-hal yang tampaknya jahat justru menghasilkan keamanan dan kesejahteraan.” Machiavelli adalah anak zaman, keadaan negaranya pada saat itu menuntut tindakantindakan yang kadang bertentangan dengan moral, tapi, sekali lagi perlu diingat, hal itu demi kepentingan negara. Bagi Machiavelli kekuasaan bukan segala-galanya, tapi hanya sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan negara. Maka, demi menyejahterakan negara, cara memperoleh kekuasaan yang lebih kejam dan licik dari pada black campaign itu ora popo. Tidak apa-apa. Lalu, bagaimana dengan calon pemimpin kita? Apakah tujuan mereka mendapatkan kekuasaan demi menyejahterakan negara, atau hanya ambisi pribadi, gila kekuasaan?

BLACK CAMPAIGN: Metode Mendapatkan Kuasa oleh: Zainal Abidin*

Black Campaign menjadi pilihan alternatif untuk menyerang lawan. Bisa jadi itu disebabkan karena si penyerang kurang PeDe dengan kemampuannya, atau mungkin si penyerang takut terhadap elektabilitas lawan. Entahlah!

*Penulis adalah Koordinator Div. Litbang LPM IDEA

“Apabila dipertimbangkan dengan baik, maka akan dijumpai ada hal-hal yang kelihatannya baik, akan menuntun seseorang menuju kehancuran, dan

ada lagi hal-hal yang tampaknya jahat justru menghasilkan keamanan dan kesejahteraan” -MachiavelliEdisi 36-Politik, Oktober 2014

Suhu politik Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 terasa begitu panas daripada pemilihan presiden sebelumnya, yang dulu kawan sekarang menjadi lawan. Saling serang antar kedua pendukung capres pun tak bisa dihindarkan. Tak jarang serangan-serangan yang dilancarkan merupakan fitnah yang bertujuan menjatuhkan elektabilitas lawan politik. Berbagai media pun digunakan, mulai media cetak, elektronik, sampai sosmed (social media). Bahkan, ada media cetak ‘dadakan’ yang terbit menjelang pilpres. Fitnah yang disebarkan oleh masingmasing kelompok, bisa kita sebut sebagai kampanye hitam atau black campaign, yakni

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

sebuah cara politik yang dilaksanakan dengan sistematis dan bertujuan membangun opini dan persepsi masyarakat, melalui rekayasa dan kebohongan mengenai pihak lawan.(Kristi Poerwandari: 2014). Sedangkan Yohannes Widodo mendefinisikan kampanye hitam sebagai informasi palsu atau berasal dari sumber tidak jelas (gosip) yang digunakan untuk menjelekjelekkan, mempermalukan, atau mendiskreditkan lawan politik. Biasanya informasi yang dimainkan terkait dengan isu suku, agama, atau ras. (Yohannes Widodo: 2014) Etika kampanye sendiri, telah diatur dalam UU. No. 10 tahun 2008 pasal 84 ayat 1 poin C

11

Analisis Utama

Bahkan Machiavelli menganjurkan hal itu, dia menyarankan penguasa harus terlihat mempunyai sifat-sifat baik di hadapan masyarakat, tapi tidak harus berusaha mempunyai itu semua. Pencitraan sudah dipraktikkan sejak dulu, tapi rakyat masih saja ada yang tertipu, kenapa bisa begitu? Menurut Machiavelli penipu selalu menemukan seseorang yang membiarkan dirinya tertipu. Dalam The Prince, Machiavelli juga mengisahkan Alexander VI, yang tak pernah berhenti menipu, tapi anehnya selalu mendapatkan korban. Mungkin inilah yang menjadi keyakinan para calon penguasa kita atau para simpatisannya, walaupun pencitraan adalah cara kuno, tapi diyakini masih efektif.


Analisis Utama menyatakan bahwa, pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan atau peserta pemilu yang lain. Sedangkan poin D menyebutkan adanya larangan menghasut atau mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. Kedua poin tersebut bisa menjadi alasan untuk membenarkan definisi black campaign menurut Kristi Poerwandari maupun Yohannes Widodo. Sehingga, berdasarkan UU di atas kita bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan black campaign adalah model kampanye yang dilakukan dengan menghina, mengadu domba, atau menyebarkan berita bohong yang dilakukan oleh salah satu kelompok politik untuk menyerang lawan politiknya. Hal semacam ini sering terjadi di manapun, tidak hanya di Indonesia. Bahkan di Amerika Serikat, negara yang konon menjadi model pelaksanaan demokrasi di seluruh dunia, tak luput dari proses kampanye yang sedemikian rupa. Sebut saja pada pilpres 2008 yang mempertemukan Barrack Obama dan John Mc. Cain. Dalam proses pilpres tersebut, kubu Mc. Cain sering menyebut bahwa Obama adalah calon presiden yang beragama Islam dan bukan warga negara asli kelahiran Amerika Serikat. Black Campaign dan Negative Campaign Selain black campaign, ada juga istilah negative campaign. Secara mendasar, kedua praktik kampanye tersebut memiliki tujuan dan cara yang sama, yakni untuk membentuk opini publik dengan mendiskreditkan atau menjatuhkan nama baik lawan politik. Tetapi meski memiliki tujuan dan cara yang sama, keduanya tidak bisa disamakan begitu saja, sebab keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Jika black campaign dilaksanakan melalui kebohongan yang direkasa dan berasal dari sumber-sumber yang tidak jelas dan dianggap sebagai cara yang relatif kotor, maka negative campaign cenderung dianggap lebih “bersih�, sebab seperti yang diungkapkan oleh Bara Hasibuan bahwa negative campaign didasarkan pada bukti ataupun fakta yang telah terjadi,

12

Analisis Utama sehingga apa yang disampaikan merupakan sebuah kebenaran. Sebagai satu contoh, jika ada orang yang menyatakan bahwa capres A pernah dipecat dari TNI karena melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka orang tersebut melakukan negative campaign, akan tetapi jika ada orang yang menyatakan bahwa capres A dipecat dari TNI karena menghilangkan beberapa aktivis '98 yang diculik, maka orang tersebut telah melakukan black campaign. Sebab sampai saat ini belum jelas kebenaran mengenai berita tersebut, apalagi didukung oleh fakta yang bertolak belakang dengan berita tersebut, yakni bergabungnya beberapa aktivis '98 dengan capres A. Sama halnya jika ada yang menyatakan, capres B adalah orang yang harus bertanggung jawab terhadap kasus korupsi bus Transjakarta, maka orang tersebut telah melakukan negative campaign, sebab pada saat kasus itu terjadi, B adalah gubernur Jakarta yang secara struktural bertanggung jawab atas kinerja dinas-dinas di Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Berbeda halnya jika orang tersebut menyatakan, capres B terlibat langsung terhadap kasus korupsi bus Transjakarta, maka orang itu telah melakukan black campaign , sebab meski bertanggung jawab terhadap pengadaan bus Transjakarta, belum ada fakta yang menyatakan demikian dan bisa saja terjadi manipulasi dokumen oleh bawahan capres B ketika tender pengadaan bus berlangsung.

mnemiliki kaitan secara langsung dengan politik kekuasaan, akan tetapi lebih berorientasi pada perebutan kuasa atas masyarakat, sebab sebagaimana kita ketahui bersama, pada zaman Yunani kuno siapa yang dianggap paling bijaksana, dialah yang akan mendapat simpati dan perhatian lebih dari masyarakat. Dalam tradisi Alkitab kita juga mengenal kisah Daniel, orang bijak kesayangan raja Darius yang diangkat oleh raja sebagai pemegang kekuasaan utama di kerajaan. Dalam kisah ini disebutkan, kelicikan lawan-lawan politik Daniel dalam merayu raja Darius agar menetapkan hukum yang berisi, bahwa selama tiga puluh hari tidak boleh ada seorang pun yang menyembah selain raja, yang melanggar harus dilemparkan ke kandang singa. Sementara mereka tahu bahwa Daniel adalah penyembah Allah yang taat, sehingga harus mendapatkan hukuman dengan dibuang ke kandang singa. Meskipun pada akhirnya praktik-praktik black campaign yang dilancarkan musuh-musuh Daniel tidak berhasil, sebab Daniel sendiri selamat di kandang singa berkat pertolongan Allah. (Daniel 6:1-28) Sementara dalam awal sejarah kemerdekaan Indonesia, praktik black campaign juga terjadi untuk mendiskreditkan Soekarno. Saat itu, ada beberapa pihak yang menuduh Soekarno dan Hatta sebagai kolaborator Jepang, yang menurut Jusig Hajar tak ada bedanya dengan Peatin atau Quisling di Eropa, manusia yang mau bekerja sama dengan fasis Jerman. (Hendri F. Isnaeni: 2008) Entah berhasil mencapai tujuan atau tidak, ternyata praktik black campaign masih sering dilakukan. Dari cerita-cerita di atas, kita mampu memahami bahwa praktik black campaign sudah terjadi sejak zaman kuno, hanya saja istilah black campaign baru ngetrend akhir-akhir ini.

Sejarah Black Campaign Dalam sejarah perpolitikan dunia, black campign memiliki sejarah panjang, sepanjang sejarah kebudayaan umat manusia. Hampir di seluruh belahan dunia memiliki sejarah mengenai black campaign. Sebut saja dalam sejarah Yunani kuno yang menceritakan kisah hidup Socrates, seorang filsuf kenamaan yang difitnah oleh lawanlawan diskusi yang dikalahkannya, dengan tuduhan merusak generasi muda. Sehingga harus dipenjara oleh penguasa setempat dan divonis mati dengan cara meminum racun. Apa yang terjadi terhadap Socrates, memang tidak

Demi Kekuasaan Jika mengacu pada UU No. 10 tahun 2008 pasal 84, entah black campaign ataupun negative campaign adalah jenis kampanye yang dilarang. Sebab keduanya berpotensi untuk memecah belah

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

kehidupan berbangsa dan bernegara antar warga negara, yang pada akhirnya bertentangan dengan tujuan politik sebagaimana diungkapkan oleh John Calvin (1509-1564), yakni menyempurnakan kehidupan dan kebahagiaan masyarakat. John Calvin juga menambahkan bahwa sejatinya, politisi itu merupakan profesi yang sakral atau suci, bahkan melebihi profesi pendeta sekalipun. Sebab menurut Calvin, orang yang terjun kedunia politik berarti berani menyandang tugas ilahiah untuk memancarkan terang di tempat yang gelap. Bahkan jauh sebelum John Calvin, Aristoteteles (384-322 SM) telah menggariskan posisi manusia sebagai penyelenggara kekuasaan (berpolitik) demi mencapai kemaslahatan publik (res publica). Jika ide moral politik sebagaimana diungkapakn Calvin terlihat begitu luhur, mengapa harus ada tindakan-tindakan yang berpotensi merusak persatuan bangsa? Demi kekuasaan, persatuan bangsa hampir dikorbankan. Sepak terjang politik para politisi juga memiliki andil besar membenarkan tesis Thomas Hobbes pada abad 17, yakni manusia sebagai serigala bagi manusia lainnya; homo homini lupus. Mereka juga turut serta menciptakan situasi politik tanah air sebagaimana digambarkan oleh Niccolo Machiavelli dalam Il Principle pada abad ke-16, di mana dalam politik yang baik adalah tindakan yang dapat mencapai tujuannya, terlepas dari cara yang digunakan. Sehingga etika politik yang pernah dilontarkan oleh Paul Ricoeur tidak lagi relevan untuk diterapkan. Padahal, sebagaimana dilontarkan oleh Paul Ricoeur bahwa etika politik memiliki tujuan untuk membangun institusi-institusi yang menjamin keadilan masyarakat. Sementara relevansinya adalah untuk menjinakkan segala kekuatan yang menghalalkan segala cara demi terciptanya tujuan, hingga pada akhirnya mampu membangun institusi-institusi yang adil. *Penulis adalah anggota desk. PPSDM LPM IDEA

13



Analisis Utama

Kita adalah

‘the Lord of the Gun’

dalam pesta akbar politik lima tahunan ini. Tangan kita yang akan menentukan, akan di mana negara ini dibawa?

terbukanya kran kebebasan memilih dan bersuara bagi rakyat. Hal ini hampir inharen dengan pemaknaan demokrasi sebagaimana yang kita baca dalam pengertian umum; dari, oleh dan untuk rakyat. Mengapa harus hampir? Karena kenyataannya memang begitu. Demokrasi-dalam hal ini direpresentasikan dengan pelaksanaan pemiludalam praktiknya memang dilaksanakan dari rakyat, karena jamak kita ketahui bahwa anggaran pemilu dan peserta pemilu semuanya berasal dari rakyat. Pemilu Oleh rakyat, karena para pemilih adalah seluruh warga negara Indonesia. Meski ini juga perlu disangsikan, apa benar seluruhnya oleh rakyat jika masih ada praktik money politic dan jual beli suara oleh para calon wakil rakyat. Untuk rakyat, yang terakhir ini adalah yang paling bullshit. Apa iya selama ini

mereka yang duduk di parlemen dan juga Istana presiden, sudah benar-benar melaksanakan amanat demokrasi “untuk rakyat”? Pemilu tak lebih dari urusan seremoni, pesta (atas nama) rakyat, hajatan “kondangan” nasional yang apabila kita tidak ikut guyub di dalamnya akan malu dengan pak Lurah, pak RT/RW dan tetangga sekitar. Jika kita tengok kembali, pemilu yang sudah terjadi belum sepenuhnya memberi perubahan yang signifikan dalam pemerintahan. Pemberitaan seputar politik semakin hari semakin dipenuhi laporan tentang korupsi yang pelakunya tidak lain adalah mereka yang dulu terpilih melalui kertas-kertas suara di Tempat Pemungutan Suara, mereka yang secara langsung atau entah keterwakilan partai- terpilih dalam pemilu. Pemilu menjadi penentu kemajuan ataukah kehancuran yang terjadi di negara ini selanjutnya. Dan entah sadar atau tidak, dalam prosesnya, tangan-tangan kitalah sesungguhnya yang bekerja. Kita adalah the lord of the gun dalam pesta akbar politik lima tahunan ini, maka terserah kita mau kemana mengarahkan pelatuk. Tangan kita yang akan menentukan, akan dimana negara ini dibawa?

Selamat dan sukses atas terselenggaranya

Milad Ushuluddin yang ke-44. Tanggal 23-28 September 2014 Semoga semakin jaya dan berkualitas.

*Penulis adalah Pemimpin Umum LPM IDEA

Segenapkru IDEA mengucapkan selamat atas diwisudanya

Anwar Shodiq, S. Ps.i (Sekretaris Umum 2012-2013) Kelulusan bukan akhir tapi awal dari pengabdian dan pengamalan ilmu. Semoga bermanfaat bagi nusa, bangsa dan agama.

16

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

17


Satyagraha: Politik Perlawanan Pasif Oleh: Ahmad Muqsith mahatma-gandhi-painting-white-hd-wallpaper

Paradigma

Psaradigma

(Mahatma Ghandi)

Barangkali di dunia ini tidak akan banyak orang yang akan memperjuangkan kebaikan, berjuang meskipun terpaksa disalahkan orangorang terdekat dan paling dikasihinya, hingga mereka terpaksa menderita atau bahkan menemui kematianya karena berani mengorbankan dirinya untuk bersedia menderita (Mahatma Ghandi). Politik jauh lebih mulia karena bertempat di ruang publik yang heterogen, ganjil dan tidak terduga. Politik adalah seni hidup bersama di ruang publik, lengkap dengan segala kompleksitasnya. Keputusan politik merupakan aktualisasi keadilan dalam situasi yang dilematis, jamak, dan tidak tuntas. Maka, jika ada bentuk oposisi-ooposisi haruslah sesuai tujuan yang mulia dan mampu mendorong terciptanya kemaslahatan untuk masyarakat. Gerakan Satyagraha Tidak semua perlawanan (oposisi) harus dilakukan secara agresif, mengangkat senjata, mengendarai kendaraan baja, demo merusak sarana umum, menghilangkan nyawa manusia,

18

atau bahkan sampai menggunakan senjata pemusnah masal. Ghandi, yang membawa kemerdekaan untuk India pada 1947 silam telah mengajarkan banyak hal, terutama masalah perlawanan politik lewat jalur perdamaian dan perlawanan pasifnya. Tokoh Hindu yang akrab disapa Bapu (artinya bapak) ini menggunakan cinta sebagai inti senjata perlawana. Jiwa dan cinta kemudian diasosiasikan dalam gerakan “Satyagraha�. Beda dengan perlawanan senjata, gerakanya membawa ide moral untuk menanggung penderitaan pribadi sebagai konsekuensi hasil perlawanannya. Secara bahasa, ‘satyagraha’ artinya perlawanan pasif, sementara dalam skala luas, bisa diartikan sebagai prinsip yang berpegang teguh terhadap kebenaran melalui jalan ahimsa (non violence). Gagasan-gagasan besar Ghandi sebenarnya adalah hasil interpretasi ulang terhadap nilai-nilai ajaran Hindu. Jika ahimsa dalam Hindu bisa dimaknai dengan tidak melukai, tidak menyerang serta tidak membunuh, menurut Ghandi, ahimsa harus sampai pada titik menolak keinginan untuk membunuh dan tidak membahayakan jiwa, tidak menyakiti hati, tidak membenci, bahkan tidak mengorbankan sesuatu untuk kepentingan apapun. Dalam prakteknya, Ghandi selalu memakai sandal kulit dari kerbau yang matinya secara alamiah, bukan dibunuh. Bahkan menurutnya demi kepentingan sekecil apapun manusia tidak berhak mengorbankan sesuatu yang ada di dunia ini. Orang-orang India secara perlahan-lahan ingin dihilangkan dari Afrika Selatan pada 22 Agustus 1906 melalui Rancangan Undang-Undang. Orang India diberlakukan seperti anjing, karena ke manapun pergi harus membawa sertifikat yang didapat dengan membubuhkan sidik jarinya dan melapor setiap hari, jika tidak, dideportasi upahnya.

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Tragedi yang disebut Apertheid itulah yang membawa tekad dan pemikiran Ghandi yang lulusan hukum memutuskan berjuang lewat jalur politik. Ghandi adalah politikus yang bermental baja serta religius. Dia menyatakan bahwa jika seseorang telah bertekad memilih menyerukan resolusi dengan memohon kepada Tuhan sebagai saksinya, berarti dia telah melakukan ikrar dan janji yang betul-betul hikmat. Dari titik inilah seruan itu tidak akan memberikan peluang kepada setiap orang yang telah berikrar untuk mundur. UU yang tidak sesuai HAM itulah yang akhirnya membuat Ghandi harus melakukan perlawanan untuk merubah kebijakan politik. Maka tidak heran saat Undang-Undang hitam tadi diberlakukan, Ghandi dan para pengikutnya langsung memenuhi penjara-penjara, mereka menolak registrasi untuk ditukarkan dengan sertifikat. Perlawanan Ghandi sendiri banyak terpengaruh oleh karya Henry Thoreau, Civil Obidience (Pembangkangan Sipil). Penjara tidak membuatnya takut, justru semakin menguatkan pemikiranya bahwa dia lebih memilih kehormatan seperti itu. Baginya, lebih terhormat memilih kebenaran dan menjadi benar daripada sekedar patuh kepada hukum; bahwa hak dan kewajiban setiap orang untuk melawan pemerintah tiran; dan bahwa sekelompok kecil orang mampu menciptakan perubahan dalam pemerintah. Ghandi yang religius pun mengajarkan pada masyarakat yang ia bina (Phoenix dan Toolstoy, Ashram Sabarmati) bahwa, kewajiban tertinggi manusia adalah mencintai sesama manusia dan memerangi kekerasan serta kejahatan. Baginya, jalan menuju pencerahan spiritual terletak pada seluruh perbuatan di dunia, bukanya terletak pada kediaman dan kebekuan jasmani. Pandangan seperti ini sama dengan yang diungkapkan Karen Amstrong bahwa, agama tidak berhenti pada apa yang kita pikirkan, tetapi pada apa yang akan kita lakukan (The Great Transformstion). Spiritualitas yang luwes mengantarkan Ghandi menghasilkan tulisan manifesto Indian Home Rule semasa di tahanan. Manifesto yang dia bawa ke london untuk memperjuangkan kesetaraan antara penduduk India dan lainya. Manifesto tersebut intinya adalah, tekad kuat untuk tetap melakukan perjuanganperlawanan tanpa kekerasan. Pengembaraanya selama 21 tahun di Afrika menjadi modal besar bagi gerakan Ghandi saat pulang ke India. Sepulangnya ke tanah airmya, perlawanan pasif yang ia gagas menyublim menjadi

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

berbagai bentuk yang tak kalah halus dari gerakangerakanya di Afrika. Munculah Swadesi, rasa cinta tanah air yang begitu tinggi dengan berkeyakinan bahwa pengabdian terbaik kepada masyarakat dimulai dari lingkungan sekitar. Ajaran ini lalu memunculkan gerakan menolak memakai atau membeli barang dan makanan hasil produksi Inggris. Selama masih bisa dibuat di negeri sendiri pantang menggunakan barang impor. Kemudian Ghandi juga memotori gerakan Hartal. Gerakan mogok kerja masal sebagai wujud penolakan terhadap pemerintahan Inggris yang menjajah India. Semua pegawai mogok dan toko-toko tutup di hampir seluruh wilayah India. Indonesia Darurat Konflik Dinamika perpolitikan dalam sejarahnya adalah sejarah perlawanan. Masalahnya, para pemuda yang biasanya menjadi penggerak perlawanan memakai alur oposisi yang berwajah apa? Tegas dan keras menghardik atau damai dengan kematangan jiwa? Semua butuh kematangan spiritualitas. Tidaklah mungkin bisa lurus dalam berpolitik tanpa bekal spiritualitas yang penuh, yang sudah selesai pemahaman syariatnya (kalau perlu sudah melampauinya). Karena politik juga bisa seperti hakim di pengadilan, maka politik bisa menghakimi dengan hukuman yang berat. Politik juga bisa memberi remisi, meringankan dan memberi win-win solution bagi yang sedang bersengketa. Sudahkah politikus Indoesia sekarang mirip Ghandi dalam tekadnya memilihmemperjuangkan kebenaran? Beranikah mereka membela kebenaran walaupun resikonya menanggung penderitaan pribadi dan dibenci orang-orang yang mereka sayangi? Politik yang pintar sudah menghasilkan banyak model pilihan. Indonesia dengan heterogenitas masyarakatnya bukankah terlalu riskan jika sistem perpolitikan dan gaya oposisinya salah? Politik Satyagraha setidaknya bisa ditawarkan sebagai counter terhadap perpolitikan Indonesia yang sudah menjauhi kata virtue. Perlawanan pasif dengan kepercayaan bahwa perubahan bisa dilakukan bersama masyarakat sipil harus disemai di indonesia. Label santun yang entah siapa yang melabelinya pada Indonesia harus dijadikan fakta. Politik damai akan membantu politik menjaga tujuan awalnya, yaitu menyatukan. Tidak ada NKRI lagi jika tidak segera ada yang menyemai politik damai. Indonesia darurat konflik.

19


Tamu Kita

Tamu Kita

Politik Bersih;

Sebuah Harapan Pada Pemerintahan Baru Kita tentu sepakat bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya baik dalam segi Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM). Ironisnya, kesejahteraan yang menjadi cita-cita bangsa belum dirasakan rakyat secara menyeluruh. Lalu apa yang salah? Pengelolaannya. Para wakil rakyat, instansi-instansi, juga Individu-individu yang mengklaim diri nasionalis ternyata masih banyak yang mencurangi negeri ini. Namun selalu ada harapan dan usaha untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Momen pergantian presiden dan pemerintahan atau yang kita kenal dengan Pemilihan Presiden menjadi salah satu jalan untuk mewujudkannya. Pemerintahan baru adalah harapan untuk kebijakan-kebijakan yang lebih baik, yang progresif dan yang paling utama adalah memihak rakyat kecil. Rakyat telah memilih. Sekarang yang jadi pertanyaan, sudah siapkah mereka yang terpilih untuk sepenuh hati melaksanakan amanah rakyat dengan penuh amanah dan tanggung jawab? Kali ini redaksi berkesempatan berbincang-bincang dengan seorang budayawan sekaligus cendikiawan, Romo Franz Magnis Suseno, mengenai nasib Indonesia, euforia pemilu 2014 dan segala “atributnya�. Bagaimana pendapat Romo mengenai pemilu tahun 2014 ini? Bagi saya pemilu dan pemilihan presiden (pilpres) tahun ini berjalan baik, karena sepanjang perjalanan piplres di Indonesia semua berjalan dengan lancar, jadi kekerasan berkaitan dengan pemilihan demokratis di Indonesia hampir tidak pernah terjadi. Tapi menurut saya, yang menghawatirkan ada pada kampanye. Karena yang jadi masalahnya tidak terletak pada masyarakat, tetapi pada elit politik. Dan itu terlihat mencolok sekali begitu kotor, apakah itu karena orang-orang di sekitar kandidat mempunyai kepentingan yang amat keras, misalnya kepentingan keuangan, sehingga mereka mati-matian mau membela dan menang, saya tidak tahu. Kalau masyarakat sendiri tidak pernah ada masalah dengan pilpres, masyarakat tidak masalah jika yang dipilih itu kalah atau menang. Bagaimana pendapat Romo mengenai kampanye hitam itu sendiri? Kampenye hitam kan kampanye yang bekerja dengan bohong, dengan insimulasi, juga dengan unsur-unsur SARA (baca: Suku, Agama, dan Ras) yang sebetulnya tidak relevan. Itu tanda bahwa budaya politik di kelas politik kita tidak mutu.

20

Lalu apakah kampanye hitam mempengaruhi elektabilitas calon atau tidak? Saya kira memang memepengaruhi. Kalau melihat peta dukungan sekarang, unsur keagamaan lumayan mencolok dalam mempengaruhi pilihan masyarakat di suatu daerah. Padahal dua calon itu bukan tokoh agama yang berpengaruh, dan mempunyai perbedaan intensitas agama. Bagi saya itu sebetulnya tidak sehat, tetapi masyarakat terpengaruh juga. Memang tujuan utamanya bagaimana mempengaruhi masyarakat. Bagaimana Romo melihat kampanye hitam dalam budaya Jawa? Apakah kempanye hitam juga pernah ada dalam sejarah Jawa? Sedikit kampanye hitam itu pasti ada di mana saja, termasuk sejarah Jawa. Bahkan di Amerika Serikat pun tak luput dari black campaign. Jadi kita jangan terlalu heran kalau itu masuk di Indonesia. Namun sebenarnya ada masalah yang lebih serius, korupsi di kelas politik. Kepentingan keuangan juga begitu besar. Saya kira itu memakan peranan yang begitu besar untuk semua suasana, yang sacara halus disebut transaksional. Seharusnya partai politik mempunyai pandangan politik mengenai tujuan politik yang ingin dicapai,

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

bukan hanya dapat duit sebanyak mungkin. Dan saya kira kampanye hitam juga tidak seluruhnya lepas dari praktik korupsi di kelas politik. Bagaimana Romo menanggapi hasil Pilpres yang sudah diumumkan oleh KPU? Sampai sekarang hasilnya Jokowi yang menang, tapi menang tipis. Andai kata menang seperti SBY empat tahun yang lalu, banyak masalah tidak jadi. Kalau menang 40-60 itu aman, 55-45 masih agak lumayan, tapi hanya 52-48 itu sangat sedikit selisihnya, jadi ini sebenarnya sudah gawat. Seharusnya ada public opinion seperti kesepakatan umum masyarakat untuk tidak mendengarkan kampanye-kampanye hitam. Beda suara hasil pemilihan umum sangat tipis, apakah akan mempengaruhi jalannya pemerintahan selama 5 tahun kemudian? Saya kira tidak akan terlalu mempengaruhi, yang jelas siapapun yang terpilih jadi presiden nantinya, mereka kan punya masalah yang tidak muncul dalam kampanye, yaitu bagaimana bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yangmana terlihat tidak mutu dan terlalu berpikir transaksional. Dan juga bagi presiden yang mempunyai hubungan kuat dengan partai, tentu juga akan ada politik ‘dagang sapi’ dengan partai, karena tidak mungkin seorang presiden dalam sistem di Indonesia memerintah efektif tanpa dukungan dari legislatif. Karena presiden memerintah berdasarkan anggaran belanja dan Undang-Undang. Jadi masalah yang akan datang adalah bagaimana demokrasi presidensial bisa mencapai keseimbangan antara kedudukan presiden yang kuat tetapi masih tergantung dengan hukum dari legislatif atau DPR. Itu keseimbangan yang belum dipecahkan. SBY dengan mayoritas dukungan yang telak pun masih bermasalah dengan DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR untuk rencana-rancananya. Apalagi kalau mayoritas dukungan itu kurang. Apa yang seharusnya dilakukan oleh para politikus untuk menjadikan nasib bangsa Indonesia lebih baik?

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Tantangan yang terbesar adalah pembersihan politik kita dari korupsi. Dan itu harus dikerjakan oleh tiga pihak. Pertama, dari masyarakat dan tokoh agama harus betul-betul ada preasure (tekanan) secara terus menerus dan meyakinkan anti korupsi. Kedua, perlu dukungan dari lembaga-lembaga pemberantasan koruspi seperti KPK. Dan yang ketiga, dari pemerintah yang mana tergantung dari pribadi presiden. Memang Presiden tidak bisa langsung menghapus korupsi, apalagi kalau dia tidak menguasai legislatif, tapi minimal presiden memastikan bahwa di dalam kabinetnya tidak ada yang korup. Dan jika ada yang tersandung kasus korupsi atau terlibat sebagai saksi atau lain bisa ditindak tegas dengan diberhentikan sementara sampai terbukti bersih dari korupsi. Jadi pemberantasan korupsi dari atas ke bawah. Bukan dari bawah ke atas. Dan itu harus diusahakan secara maksimal. Apa pesan Romo untuk para mahasiswa dalam menghadapi situasi politik seperti ini? Saya mengharapkan bahwa para mahasiswa tidak membatasi diri hanya pada kelulusan dengan baik dan karir, meskipun itu juga sangat penting. Tapi mahasiswa harus betul mempunyai perhatian dan hati, terlibat di dalam nasib bangsa dan menjadi sebuah kekuatan moral yang dengan keras menuntut politik yang bersih dan sesuai kepentingan nasional, serta mengecam segala macam hal yang kotor, seperti korupsi dan kampanye hitam. Mahasiswa memainkan peran yang penting , meskipun kadang on dan kadang off, tapi tidak pernah seluruhnya off. Jadi mengaharapkan mahasiswa terus melibatkan diri mereka dengan mata seorang pemuda yang tajam melihat hal-hal yang tidak beres dan tidak adanya idealisme. Dan saya kira mahasiswa masih mempunyai idealisme, yang mana idealisme itu penting karena tidak mungkin sebuah negara maju kalau para politisi tidak punya idealisme. Jadi hendaknya mahasiswa jalan terus dengan mendukung yang baik dan mengecam yang buruk. [Emy, Faiq-IDEA]

21


Karikatur 2

Oleh: Emi Irfah*

K

ampanye hitam atau yang lebih dikenal dengan black campaign terasa begitu semarak mewarnai jalannya pemilihan presiden (pilpres) tahun ini. Jika dilihat pada pilpres tahun sebelumnya, isu black campaign belum menjamur seperti sekarang ini. Mungkin karena didukung kemajuan teknologi yang semakin pesat sehingga saat ini black campaign semakin menjadi 'primadona' dalam menarik perhatian massa. Dan secara tidak langsung Ini juga berdampak pada 'kekagetan' masyarakat Indonesia akan hal tersebut. Padahal perlu diketahui Black campaign bukanlah hal baru. Praktik Black Campaign sudah ada di setiap perjalanan peradaban manusia. Bahkan dalam peradaban Islam. Hanya saja istilah black campaign baru muncul beberapa tahun terakhir.

jas hitam bersorban

IDEA Digital Art/ZQ

[oleh: Mahmud Sholahuddin]

22

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Sejarah Membuktikan Sejarah mencatat praktik balck campaign sudah lama berjalan dalam dunia Islam. Terutama di zaman kekhalifahan dan dinasti-dinasti Islam yang pada akhirnya menimbulkan perang saudara seagama muncul. Diceritakan dalam sejarah, konflik muncul ketika khalifah Utsman bin Affan terbunuh oleh para pemberontak, dan estafet kepemimpinan jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib. Di awal pemerintahan Ali, muncul banyak sekali pertentangan dan protes yang menolak kekhalifannya. Muawaiyah adalah salah satu orang yang dengan teguhnya melawan Ali dan

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

berusaha untuk menurunkannya sebagai Khalifah. Muawiyah menuntut Ali untuk menghukum pembunuh Utsman dengan segera. Namun Ali memilih untuk menindak para pelaku setelah keadaan stabil. Lalu tuntutan Muawiyah berubah menjadi tuduhan bahwa kematian khalifah Utsman adalah kesalahan Ali dan menuntut Ali untuk bertanggung jawab lalu turun dari jabatannya. Di Masjid Damaskus, ia (Muawiyah) mempertontotnkan baju Utsman yang terkena bercak darah dan potongan jari istrinya Na'ilah yang putus ketika melindungi suaminya. Dengan taktik dan kecerdikannya, ia mempermainkan

23

Analisis Khusus

Wabah Kampanye Hitam dalam Islam


Analisis Khusus emosi umat Islam. Muawiyah tidak mau menghormati Ali dan menyusutkannya pada sebuah dilema, menyerahkan para pembunuh Utsman, atau menerima status sebagai orang yang bertanggung jawab atas peristiwa itu (Philip K. Hitti, 2005: 224). Mungkin pada awalnya, Muawiyah dan beberapa sahabat lainnya memang ingin menuntut keadilan atas kematian khalifah Utsman, namun hal ini kemudian bergeser menjadi perang politik antara Muawiyah dan Ali. Dalam hal ini Muawiyah berambisi untuk merebut jabatan kekhalifahan Ali. Muawiyah adalah lawan politik Ali dalam memperebutkan kekuasaan, yang kemudian melakukan black campaign menggunakan kematian Utsman sebagai alat untuk manumbangkan kekuasaan Ali. Muawiyah mengungkit-ungkit hal tersebut untuk menjadikan Ali seolah-olah adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kematian Utsman, dan membuat umat Islam ragu pada khalifahnya. Konflik antara Muawiyah dan Ali tidak hanya berlangsung sampai di situ. Perebutan kekuasaan tetap berlangsung, sampai pada puncaknya Ali wafat dan jabatan kekhalifahan jatuh ke tangan Muawiyah. Dan parahnya, efek lain yang ditimbulkan dari hal tersebut adalah munculnya aliran-aliran keagamaan yang saling membenarkan diri dengan menggunakan legitimasi hadis palsu. Dan black campaign menggunakan hadis palsu pun menjadi cara yang ampuh untuk menarik massa pada saat itu. Bahkan hal ini berlangsung hingga masa dinasti Islam setelahnya. Di antara hal yang timbul dalam abad ke-2 ialah meluasnya pemalsuan hadits. Dalam masa ini muncullah propaganda politik untuk menumbangkan rezim Amawiyah. Untuk mudah mempengaruhi massa, dibuatlah hadis-hadis palsu. Dengan hadis-hadis ini mereka mudah menarik minat dan perhatian rakyat kepada pemerintah Abbasiyah. Sebagai imbangannya, muncul pula dari pihak Amawiyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda penganut paham Abbasiyah (M.

24

Analisis Khusus Hasbi Ash-Shiddieqy 2012: 57) M. Dailamy dalam bukunya Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, menyebutkan beberapa contoh hadis palsu,; dari Abu Hurairah al umanaau 'indaallah tsalatsatun ana wa jibriil wa mu'awiyah (aku pernah mendengar nabi bersabda, demikian kata Abu Hurairah, bahwa kepercayaan Allah ada tiga, yakni saya sendiri (Rasullah), Jibril, dan Muawiyah); Dari Abi alHamrah lailata usriya bii ila assamai nadzartu ila saaqi al'arsyil imaan faraitu kitaban fahimtuhu Muhammad rasulullah ayyadtuhu bi'aliyyin wa nushrituhu bihi (rasulullah bersabda malam saat aku diisra'kan ke langit, aku melihat bagian sebelah kanan dari arasy, aku melihat tulisan yang saya pahami tulisan itu berbunyi Muhammad Rasulullah, aku diperkuat dan ditolong oleh Ali). Memang beberapa hadis palsu di atas tidak menyudutkan salah satu pihak, tapi cenderung

“Tidak bisa dipungkiri kekuasaan selalu menjadi hal yang diperebutkan. Dan terkadang untuk mendapatkannya harus dibumbui dengan hal-hal yang 'nakal'.

Black Campaign bisa dikatakan menjadi salah satu bumbu yang kuat untuk memenangkan pertarungan. Sehingga hal ini terus dilakukan bahkan dipupuk oleh sebagian pihak.” Edisi 36-Politik, Oktober 2014

mengangkat pamor pihak tertentu. Namun walaupun begitu, hal tersebut tetap bisa dikatagorikan pada black campaign. Pada dasarnya, black campaign adalah menggunakan kebohongan atau hal fiktif untuk meraih sesuatu, entah kebohongan itu untuk meningkatkan elektabilitas diri sendiri ataupun menurunkan citra orang lain. Hal ini sama halnya dengan menggunakan dalil agama-dalam hal ini hadis palsu-guna menarik minat atau perhatian massa pada pihak tertentu. Di sini, hadis digunakan sebagai kekuatan politik untuk melancarkan jalan satu pihak duduk di kursi kekuasaan. Ini tentu bertentangan dengan semangat dijadikannya hadis sebagai dasar agama kedua setelah Alquran. Yang lebih disayangkan lagi adalah, pemalsuan hadis-hadis ini dilakukan dengan sangat teliti dan rinci, mulai dari jalur sanad dan perawinya semua tertata dengan rapi. Sehingga bagi orang yang tidak mempunyai pengetahuan mengenai hadis secara baik akan mudah terkecoh. Faktanya, banyak pemeluk agama Islam yang mempraktikkan black campaign, bahkan orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad sekalipun. Namun pada dasarnya, agama Islam sendiri menentang praktik black campaign. Alquran menyeru untuk melakukan segala sesuatu secara ma'ruf dan menentang hal yang mungkar (amar ma'ruf nahi munkar). Nabi Muhammad sendiri juga tidak pernah mengajarkan untuk “mempengaruhi” orang lain dengan cara yang buruk. Kampanye dalam rangka memperebutan kekuasaan bukanlah hal yang ditentang oleh agama Islam. Tetapi perlu diingat, semuanya harus dilakukan dengan cara yang baik lagi cantik. Kewajaran? Sejak zaman Nabi sampai kini, tak ada manusia bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Bahkan pertama mereka yang membuang diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudera masih membawa padanya

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

sisa-sisa kekuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik (Pramoedya Ananta Toer) Tidak bisa dipungkiri kekuasaan selalu menjadi hal yang diperebutkan. Dan terkadang untuk mendapatkannya harus dibumbui dengan hal-hal yang 'nakal'. Karena jika tidak demikian, kurang sedap kata orang. Black Campaign bisa dikatakan menjadi salah satu bumbu yang kuat untuk memenangkan pertarungan. Sehingga hal ini terus menerus dilakukan bahkan dipupuk oleh sebagian pihak. Entah ini dianggap sebagai kewajaran atau memang tidak ada cara lain yang lebih bagus dari itu. Entahlah. Fakta-fakta sejarah di atas, merupakan sebagian kecil dari rentetan praktik black campaign yang ada dalam sejarah Islam. Tentu masih banyak lagi catatan sejarah Islam yang akan membuat anda membuka mata bahwa perjalanan peradaban Islam juga diwarnai dengan praktik perebutan kekuasaan yang penuh dengan intrik dan taktik politik. Tidak hanya dalam peradaban Islam saja, hampir semua proses perjalanan sebuah peradaban, jika di dalamnya terdapat perebutan kekuasaan, hampir bisa dipastikan praktik black campaign akan merajalela. Dan Indonesia sekarang menjadi salah satunya. Namun walaupun begitu, ini bukan berarti kita harus “meneladani” dan melestarikan black campaign. Masih banyak cara yang lebih elegan untuk menarik simpati seseorang. Orang tidak akan memilih untuk menerima kebohongan murahan tanpa melihat fakta yang sebenarnya. Semakin hari orang akan bertambah pintar dan belajar dari kesalahan. Memilih pemimpin bukan perkara sembarangan. Pasti ada pertimbangan kenapa seseorang lebih dipilih jadi pemimpin. Dan semoga pertimbangan itu bukan berdasar pada berita fiktif-negatif belaka. *Penulis adalah Pemimpin Redaksi LPM IDEA

25


Wacana

Wacana

Gus Dur

dan Politik Kemanusiaan Oleh: Muhammd Autad An Nasher*

“Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan” --Gus Dur (1940-2009)

Pernahkah anda melihat sebuah tayangan video di youtube di saat Gus Dur dilengserkan dari RI 1? atau mungkin pada saat itu anda melihat siaran langsung di media bagaimana ketika Gus Dur turun dari kursi jabatannya. Lalu, bagaimana reaksi anda? tentu beragam. Setidaknya dari tayangan itu terekam bahwa Gus Dur sedang keluar dari Istana Negara dengan memakai celana pendek, laiknya orang yang sedang beranjak tidur. Kemudian tangannya melambai-lambai kepada para pendukungnya.

26

Tercatat, dalam sejarah di Indonesia, mungkin baru sekali itu, seorang (mantan) presiden dengan santainya berpamitan, melepas panggung kekuasaan yang terlihat tanpa beban sama sekali. Demikian itulah sikap Gus Dur, nyeleneh, dan selalu menerabas batas. Sebenarnya Gus Dur ingin memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Dalam situasi yang sengit seperti itu, mudah saja bagi seorang Abdurrahman Wahid mengendalikan massa untuk melakukan anarki dan kerusuhan. Namun yang diajarkan olehnya justru jangan sampai terjadi pertumpahan darah antar umat manusia di Indonesia. Karena tak ada gunanya mempertahankan kursi kekuasaan, tetapi mengabaikan harkat kemanusiaan. Keluar dengan celana pendek, adalah petanda bahwa kita tidak mempunyai apa-apa, dan kursi jabatan hanyalah titipan. Dalam tembang Jawa, perilaku Gus Dur tersebut tergambarkan dalam bait Maskumambang, yang berarti tidak tenggelam kepada nafsu dunia. Potret inilah yang seharusnya ditiru oleh seluruh elemen masyarakat di saat berlangsungnya pemilihan wakil rakyat maupun presiden. Sebagaimana yang saya amati tatkala melihat fenomena pilpres 2014 kemarin. Begitu masifnya perang urat syaraf di media sosial, saling tebar fitnah (black campaign). Bahkan, saling ejek dalam satu atap rumah pun sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Belum lagi, ditambah orasi para khotib Jum'at dan pendeta-pendeta di Gereja kepada jama'ahnya, jual-jual ayat. Duh. Sebab itu, etika politik yang tengah diajarkan oleh Gus Dur pada dasarnya ialah politik kemanusiaan. Di mana etika politik seperti ini yang tidak mudah dikerjakan dewasa ini. Biasanya, para caleg terlihat manusiawi di saat ia melakukan orasi kampanye. Setelah terpilih, kemudian lupa terhadap janji-janjinya.

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Yang dicari para politikus kita (kebanyakan) tak lain adalah; uang, kekayaan, dan kekuasaan. Jarang sekali dalam visi misinya yang begitu ingin memanusiakan manusia. Wajar saja kalau ia tidak terpilih, kemudian stres, lalu ia menyalahi etika kemanusiaan; dengan menjual ginjal karena terlilit hutang dan selalu melawan apa yang sudah ditetapkan oleh KPU dan MK. Ora legowo. Maka dari itu, etika-etika kemanusiaan harus ditampilkan dalam panggung perpolitikan tanah air. Jangan sampai harkat kemanusiaan yang berupa keadilan (al-'adalah), perdamaian (alsalam), dan etika (akhlak) menjadi abai. Politik Rahmatan lil 'alamin Sebuah pertanyaan yang menarik, apa sebenarnya tujuan manusia dalam berpolitik. Jika melihat suasana kekuasaan Islam di Indonesia awal-awal, khususnya oleh para Walisongo, kita akan disuguhkan panggung politik yang penuh dengan pelayanan; bukan pencitraan. Semangat untuk menaruh kepercayaan, bahwa pemimpin saat itu disadarkan akan kesejatian kehidupan di dunia ini yang merupakan sebuah perjalanan, bukan akhir dari segalanya. Jika kalah dalam panggung politik saat ini, masih ada lima tahun lagi untuk nyaleg, mendaftarkan diri ke KPU. Namun, hal itu nampaknya sudah dilupakan oleh para politikus kita. Seakan kompetisi yang sedang berlangsung adalah sebuah peperangan hingga akhir hayat. Bukan lagi urusan baik buruk, benar salah. Padahal, mereka sepertinya lupa bahwa tidak ada kawan ataupun lawan abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan. Istilah orang betawi; Loe jual, gue beli! Dus, sangat disayangkan jika berbicara politik; norma sosial dan etika dikesampingkan. Agama kemudian diseret-seret, saling kafir mengafirkan demi melambungkan suara. Semuanya dijual. Baik suku, agama, ras, yang penting mendukung dia, akan didekatinya. Wajar saja jika ormas terbesar di Indonesia—Nahdlatul Ulama'—pernah menyatakan sikap untuk kembali ke khittah, keluar dari urusan politik. Karena yang diutamakan adalah umat. Bagaimana jadinya jika umat ini saling bentrok? Alhasil, politik rahmatan lil 'alamin sepertinya harus dijunjung tinggi oleh para elit.

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Tak terkecuali parpol yang berlabelkan Islam. Tak jarang, partai yang menggunakan lambang Islam malah ikut memperkeruh suasana. Islam hanya dijadikan sebagai simbol an sich. Hanya sebagai tunggangan. Akan tetapi moralitas yang digaungkan oleh ajaran agama tidak tersentuh sama sekali. Sudah berapa kali KPK menciduk orang-orang yang berdiri di barisan partai Islam? Memanusiakan Manusia Kembali kepada tema Gus Dur. Sewaktu beliau menjabat kekuasaan di panggung politik, baik itu di PKB, PBNU, dan Presiden RI, yang dikedepankan adalah rasa kemanusiaan. Hujatan dan cercaan, baginya, merupakan suatu hal yang biasa. Malah ditanggapinya dengan enteng; gitu aja kok repot. Sudah berapa kali Gus Dur berada di garda depan dalam soal pembelaannya terhadap minoritas? Yang dibela Gus Dur bukanlah keyakinannya, akan tetapi harkat kemanusiaan itu sendiri. Dan kemanusiaan merupakan cerminan dari sifat-sifat ketuhanan. Dalam arti, apabila kita saling menghargai dan memuliakan manusia, berarti kita memuliakan Penciptanya. Begitu juga sebaliknya, yang menistakan pun sama saja merendahkan Tuhan Sang Pencipta. Watak humanis Gus Dur yang besar itu, pada tataran ini ia tak lagi mencari rujukan ajaran, karena ajaran apa lagi, khususnya dalam relasi kemanusiaan, yang lebih mulia dibanding penghormatan yang tulus atas sesama manusia? Wajar, jika komentar-komentar Gus Dur kepada orang-orang yang sok ingin membela Tuhan; “Tuhan tidak perlu dibela karena dia Maha Segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak Adil”. Kalau pernyataan itu ditarik ke ranah politik yang sedang gegap gempita akhir-akhir ini, sistem sebagus apapun, baik itu pilkada langsung maupun tak langsung, akan tetapi kalau di dalamnya keadilan dan kemanusiaan diabaikan, hanya menjadi ilusi. Bukan begitu? Wallahhua'lam biman ihtada. *Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan akivis Jaringan Gusdurian Jogja.

27


Wawancara

Wawancara Politik menjadi hal yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Banyak ahli dan pakar yang sudah mengupas mengenai politik. pembahasanya pun mulai dari berbagai aspeknya. Semua turut memikirkan nasib bangsa ini, karena secara tidak langsung kondisi politik juga mempengaruhi kondisi negara. Namun sayangnya, politik saat ini seakan menjadi barang yang “kotor�. Kebijakan dari politik tak lagi dirasakan oleh

Gus Mus: Politik itu

Wasilah,

bukan Ghoyah

masyarakat sebagai hal yang mensejahterakan. Malah, cenderung lebih menguntungkan diri sendiri. Lalu masih adakah politik (baca: praktik politik) yang bersih dan mampu menyentuh masyarakat?? Menanggapi hal semacam itu, LPM IDEA mewawancarai K.H. Musthofa Bisri (Gus Mus), seorang Kyai, budayawan dan sastrawan asal Rembang (25/06).

1. Menurut Gus Mus, apa makna politik ? Pada dasarnya politik itu ada bermacam-macam. Yang pertama namanya politik kebangsaan, kedua politik kerakyatan dan yang ketiga, politik kekuasaan. Nah, sayangnya orang-orang lebih suka pada politik yang ketiga ini, yaitu politik kekuasaan. 2. Makna dari ketiga macam politik tersebut apa Gus? Dalam politik kebangsaan, kita berusaha bagaimana cara mengayomi masyarakat dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalau politik kerakyatan, di dalamnya berjuang membela rakyat, kepentingan rakyat diutamakan, dan berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dan yang ketiga yaitu politik kekuasaan, kebanyakan orang lebih tertarik pada jenis politik yang ini. Hal ini dikerenakan mereka cenderung lebih mempunyai kepentingan

pribadi maupun kelompok, sehingga menghalalkan segala cara untuk melancarkan jalannya. Dan secara tidak langsung hal ini menjadikan citra politik menjadi negatif, kotor dan jahat. Padahal, sebetulnya yang jahat dan kotor itu ya praktik-praktiknya, bukan politik itu sendiri. 3. Berarti perpolitikan di Indonesia saat ini lebih mengarah pada jenis politik yang ketiga? lalu bagaimana cara mengatasinya? Betul, politik kita saat ini lebih senang bermain dengan politik kekuasaan. Jika ingin mengatasi hal tersebut, ya semua tergantung kita, menganggap yang demikian itu baik atau tidak. Kalau dianggap tidak baik, ayo diperbaiki bersama-sama dan kembali didudukkan permasalahannya. Yaitu, bahwa semua itu (baca: politik) merupakan wasilah (alat atau perantara) bukan ghoyah (tujuan). Nah, kalau sudah muncul kesadaran bahwa politik itu sebaiknya di jadikan wasilah bukan ghoyah , ini akan menjadi awal perbaikan yang bagus. Meskipun sebetulnya, ada juga sebagian orang yang duduk dikursi kekuasaan itu mempunyai ide perbaikan dengan melalui jalan kekuasaan politik.

4. Dalam pemilu tahun 2014 ini, sangat ramai praktik black campaign, bagaimana Gus Mus memandang hal ini? Ya itu kembali lagi, semua karena tidak menyadari bahwa politik itu merupakan wasilah bukan ghoyah, kekuasan dianggap sebagai tujuan. Padahal kekuasaan merupakan alat untuk membangun dan memperbaiki negeri ini. Semua dianggap ghoyah, dunia ini dianggap ghoyah, sehingga konsep-konsep politiknya menjadi keliru dan tidak akan berjalan dengan baik, kita harus tahu bahwa tujuan hidup bukan dunia. 5. Sebagai pemuda dan generasi penerus bangsa bagaimana seharusnya peran mahasiswa Gus? Mahasiswa harus menjadi pelopor. Jangan ikut-ikutan dengan orang awam (umum). Mahasiswa kan punya kemampuan, punya intelegensia, punya kecerdasan, berilmu dan punya wawasan luas. Sehingga mampu berperan mendudukkan masalah tadi yaitu bahwa politik itu merupakan wasilah bukan ghoyah. Kalau mahasiswa ikut-ikutan seperti mereka ya akan rusak nantinya. [Gigih Firmansyah]

Selamat bergabung mahasiswa baru Ushuluddin 2014/2015.

Ushuluddin bukan tempat untuk sekedar “bermain� menjadi mahasiswa, tapi di sini kita belajar untuk memahami sesuatu secara lebih mendalam dan esensial.

28

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

29


Artikel Lepas

Artikel Lepas

Paradoks Negeri “Gembala” Oleh : Nuri Samka*

“Siapapun yang memiliki daya angon, daya menggembalakan, kesanggupan untuk ngemong semua pihak, karakter untuk merangkul dan memesrai siapa saja; sesama saudara sebangsa, memancarkan kasih sayang yang dibutuhkan dan dapat diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan. Bocah angon adalah seorang pemimpin nasional. Bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan.” (Emha Ainun Nadjib/budayawan)

A

pa yang diuraikan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam tafsir tembang Lir-Ilir diatas adalah bagian dari dilema berkepanjangan di Negara ini. Lebih dari 6 dekade merdeka, Indonesia ibarat lepas dari kandang macan, masuk ke kandang singa. Merdeka dari penjajahan jepang dan belanda, masuk dalam penjajahan ideologi yang lebih pelik lagi. Tak hanya terjajah ideologi kapitalisme seperti yang gencar diisukan, tapi juga ideologi golongan yang menghancurkan cita-cita bangsa untuk bersatu. Persatuan yang diidamkan dalam sila ke 3 dari pancasila, sekedar menjadi rumusan mati. Di sana-sini sengketa golongan marak terjadi. Demokrasi masih menjadi wacana yang miskin realisasi. Pelaksanaannya pun hanya tercermin dalam pesta lima tahun sekali atau yang lazim disebut pemilihan umum. Selebihnya demokrasi yang di gadang sebagai bentuk pemerintahan yang dari dan untuk (seluruh) rakyat, berubah menjadi dari dan untuk (sebagian) golongan rakyat saja. Kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah banyak yang berujung pada konflik frontal masyarakat dengan pemerintah. Akhir

30

tahun 2011 saja, setidaknya tercatat tiga kasus besar lantaran kebijakan yang dirasa merugikan rakyat jelata di papua, Mesuji, dan Bima. Kasus protes dan kekecewaan terhadap pemerintah juga semakin ekstrem. Sondang Hutagulung mahasiswa Universitas Bung Karno, Melakukan aksi bakar diri di depan Istana Negara (10/12/2011) akibat kekecewaan pada ketidakadilan dan kemiskinan di negeri ini. Lalu kasus 18 warga pulau padang yang melakukan aksi jahit diri di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai protes terhadap legalisasi ijin pengambilan hak lahan mereka oleh PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) dan masih banyak lagi kasus lainnya yang jika kita urai akan menjadi catatan konflik yang amat panjang. Mengetahui berbagai persoalan ini, pemerintah justru terkesan sibuk sendiri. Tak ada tanggung jawab moral atas kebijakan yang merugikan nasib rakyat kecil. Pemerintah cuci tangan dari apa yang telah ditetapkannya. Di sisi lain mereka sibuk mengurus kesejahteraannya sendiri. Barangkali ada sengketa, sudah pasti sebab kepentingan perut saja. Giliran utang negara mencapai ratusan juta, mereka lalu

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

meminimalisir hak rakyat dengan dalih “meringankan beban negara”. Padahal sesungguhnya beban negara adalah juga imbas dari berbagai kasus “wani piro” yang mereka perbuat tanpa pengadilan yang tuntas. Hukum bungkam ketika dihadapkan pada uang. Konsekuensinya, rakyat di banyak tempat menjadi bulan-bulanan para kuasa hukum. Sementara koruptor yang menguras milyaran aset negara disidang tanpa kelanjutan, nenek minah yang tua renta harus mendekam dalam dinginnya penjara hanya karena tiga potong buah kakao bernilai tak lebih dari lima ribu rupiah (November 2009). Dan ironisnya lagi, koruptor yang mencuri kesejahteraan hidup orang banyak dengan pengetahuan yang dimiliki, jauh lebih diperlakukan terhormat dari nenek minah yang mencuri karena tak bisa membaca larangan mengambil biji kakao. Ketidakadilan seperti menjadi konflik berkesinambungan di negara ini. Berita tentangnya selalu menjadi topic hangat media setiap harinya. Ada juga Aal (15) pelajar SMK 3 Palu Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di hadapan meja hijau. Ia dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng (KOMPAS, 6 Januari 2012). Lagi-lagi rakyat hanya bisa protes menyikapi kepincangan hukum yang menimpa sesamanya. Sumbangan seribu sandal untuk kapolri akhirnya digelar dibeberapa kota sebagai wujud solidaritas terhadap Aal dan protes kepada kapolri. Negara ini bagai berada dalam paradoks negeri gembala. Rakyat mengharapkan seorang pemimpin yang bisa angon, merangkul seluruh kemajemukan, mengutamakan kesejahteraan yang di-ngon (digembalakan/dipimpin), sedangkan pemimpin yang diharapkan jauh dari jiwa bocah angon.

Kepentingan golongan dan partai masih menempati prioritas, sedangkan hajat hidup orang bawah menjadi perhatian sampingan, kalau diprotes baru diperhatikan. Untuk menyikapi para pemimpin yang suka-suka dalam memimpin negara ini, dibutuhkan rakyat yang kritis dan berani. Seluruh komponen masyarakat terutama kaum muda harus membangkitkan semangat dan nalar kritis dalam berbagai persoalan pelik negara ini. Barangkali kalau gembala bersuara, sang penggembala menjadi tak hanya tidur saja. *Pegiat di Pers Mahasiswa IDEA

Sumber: Robb Gandamana, 2014 deviantart.com

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

31


Fenomena

Fenomena

Upacara Pesta

Lomban di TPI Kelurahan Ujungbatu Jepara pada 1 Syawal 1435 H. ratusan Kapal melarung kepala kerbau untuk dibawa ke 4 mil utara perairan Pulau Panjang. Para nelayan mengharapkan berkah dari acara ini. Caranya dengan mengguyurkan air ke tiap sisi kapal atau prahu. Fotografer: Zainal Abidin, PU IDEA Periode 2008-2009 Wartawan Jawa Pos Radar Kudus


Forum TH

Forum TH

Meninjau (Kembali) Hadis Lemah-Palsu Oleh: Gigih Firmansyah*

S

eringkali hadis dhoif (lemah) dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Sehingga cenderung diremehkan dan tidak diamalkan. Padahal dalam konsep akhlak yang berkaitan dengan fadhoilul a'mal (keutamaan amal) sering dijumpai kualitas hadisnya dho'if. Bahkan kitab klasik acuan masyarakat muslim seperti Ihya' Ulumuddin karya Imam al-Ghazali dan Durrotun Nasihin karya Usman bin Hasan bin Ahmad asSyakir al-Khaubari, mengajarkan untuk mengaplikasikan fadhoilul a'mal. Kitab ini banyak dikaji diberbagai belahan dunia, sehingga kedua karya ulama tersebut mampu membentuk moral dan akhlak yang baik bagi para pengkajinya. Banyak penelitian terkait hadis-hadis yang dicantumkan dalam kedua kitab tersebut. Mengenai kitab Ihya' Ulumuddin, keterangan kualitas hadisnya dapat dilihat pada ta'liq. Biasanya ditulis dibagian bawah seperti footnote (catatan kaki). Dalam ta'liq tersebut ternyata banyak hadis dho'if yang dicantumkan Imam al-Ghazali. Bahkan terdapat keterangan hadis yang tak diketahui sumber asalnya. Lebih mengejutkan lagi adalah hasil penelitian hadis oleh Dr. Lutfi Fathullah pada tahun 1999. Dalam penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa kitab Durrotun Nasihin memuat 180/21,5% hadis dho'if, juga memuat hadis maudhu' (hadis palsu) sebesar 251/30% hadis. (al-manhaj.or.id). Sebenarnya hasil penelitian tentang kualitas hadis dalam kedua kitab tersebut telah ada sejak lama, tetapi akhir-akhir ini kembali populer, “penyerangan” terhadap kedua kitab itu juga sering ditemui. Mengenai pengamalan hadis dho'if tersebut boleh. Asal digunakan sebagai fadhoilul

a'mal, tidak sangat lemah atau dihukumi maudhu', dan tidak digunakan sebagai dalil ketetapan hukum atau aqidah. Sangat disayangkan jika seseorang menjadi enggan mengkaji kitab-kitab tersebut karena hasil penelitian tadi. Hadis Shahih = Hadis Dho'if Muhammad al-Ghazali, ulama jebolan universitas al-Azhar berkaliber internasional, suatu ketika pernah ditanya oleh mahasiswanya di Aljazair, “Shahihkah hadis yang menyebutkan Nabi Musa pernah menempeleng malaikat Jibril sehingga matanya buta sebelah?” Dengan perasaan sumpek ia balik bertanya kepada mahasiswa tadi. “Apa gunanya hadis ini bagimu? Hadis ini tidak berkaitan dengan aqidah dan tidak pula dengan suatu kewajiban amaliah. Sekarang ini umat Islam sedang mengalami pelbagai kesulitan, sementara musuh-musuhnya berambisi mencekiknya sampai mati”. Mahasiswa itu mendesak lagi, “Tapi aku ingin tahu hadis ini shahih atau tidak”. Pertanyaan ini benar-benar mengelitik seorang Muhammad al-Ghazali. Setelah mengalami kejadian itu, ia sangat penasaran dengan hadis tersebut dan berupaya mengkajinya. Hadis tersebut berbunyi: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda: “Malaikat maut mendatangi Musa as. lalu berkata kepadanya: 'Penuhilah panggilan Tuhanmu'. Mendengar itu Musa meninju mata malaikat maut sehingga menyebabkan buta

Redaksi menerima tulisan dalam bentuk artikel, kolom, cerpen, puisi, karikatur, dan tulisan lain yang sesuai dengan visi dan misi Majalah Idea. Naskah diketik maksimal 3 halaman A4 (5000-6000 karakter) dengan disertai identitas lengkap penulis. Pengiriman dapat dilakukan via-email: ideapress@gmail.com. Redaksi berhak mengedit tulisan sepanjang tidak merubah isi.

34

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

sebelah. Lalu malaikat kembali kepada Allah dan berkata: 'Engkau telah mengutus aku menemui hamba-Mu yang membenci kematian. Dan ia telah membutakan mataku'. Maka Allah mengembalikan mata malaikat seraya berfirman: 'Kembalilah kepada hamba-Ku dan katakanlah kepadanya: Adakah engkau masih ingin hidup lebih lama? Jika demikian letakanlah tanganmu di atas punggung seekor kerbau. Untuk setiap helai bulunya yang tertutupi oleh tanganmu itu, engkau akan mendapatkan tambahan hidup setahun lebih lama.' Ketika hal tersebut disampaikan kepada Musa, ia bertanya: 'Setelah itu, apa yang akan terjadi?' Jawab malaikat: 'Setelah itu engkau akan mati'. Mendengar itu, Musa berkata: 'Kalau begitu, lebih baik sekarang juga.' 'Tuhanku matikanlah aku di tempat yang dekat dengan Tanah Suci sebatas lemparan batu'. Rasulullah selanjutnya bersabda: 'Demi Allah, seandainya aku berada di tempat itu, akan ku tunjukkan kepada kalian letak kuburannya di tepi jalan, pada gundukan pasir bewarna merah'. Menurutnya hadis tersebut sanadnya shahih, akan tetapi matan-nya (isinya) menimbulkan keraguan. Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa Nabi Musa membenci kematian, ia tidak menginginkan perjumpaan dengan Allah setelah terpenuhi ajalnya. Pengertian seperti ini tidak dapat diterima dengan hambahamba Allah yang shaleh, telebih seorang Nabi yang termasuk ulul azmi. Selain itu, adakah para malaikat juga dapat mengalami cacat-cacat fisik seperti kebutaan mata atau sebelahnya? Tentunya hal ini sulit diterima. Selanjutnya Muhammad al-Ghazali menambahkan, bahwa matan hadis tersebut mengandung illat yang dapat menurunkan derajat ke-shahihan-nya, atau dengan kata lain hadis tersebut dihukumi dho'if, meskipun dari tinjauan sanad-nya merupakan hadis shahih. Menalar Hadis Dho'if dan Maudhu' Bila Muhammad al-Ghazali dapat melihat hadis yang shahih secara sanad menjadi hadis dho'if karena analisis matan hadisnya, maka mari

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

kita tinjau kembali hadis dho'if secara sanad dengan mempertimbangkan matannya. Suatu contoh hadis yang ditulis Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin yang mengatakan, “ketika diucapkan bagaimana kita mengerjakan suatu hal yang tidak kita temukan dalam al-Kitab dan sunnah?” Maka Rasulullah menjawab: “bertanyalah kamu sekalian kepada orang-orang shaleh dan jadikanlah hal itu menjadi bahan diskusi mereka”. Hadis ini dalam ta'liq kitabnya didhoif-kan oleh jumhurul ulama, tetapi muatan isinya tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur'an dan akal sehat. Namun justru adalah hal yang sangat baik dan bermanfaat. Mengenai hadis yang dianggap maudhu tersebut, dapat diukur pada kapasitas intelektual pengarangnya. Imam Ghazali pada masanya dijuluki sebagai hujjatul islam. Tidak mungkin rasanya beliau memalsukan hadis dengan resiko ancaman neraka oleh Rasulullah. Begitu pula dengan penulis kitab Durrotun Nasihin. Selain itu, Imam Ahmad bin Hambal hafal kira-kira satu juta hadis (lihat Hasan Sulaiman: Ibanatul Ahkam). Tapi beliau tidak menulis seluruh hadis tersebut dalam kitabnya. Begitu juga al-Bukhari, Muslim, mereka hafalan hadisnya lebih banyak dari apa yang mereka tulis. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang ditulis oleh Imam Ghazali dan al-Khaubari, adalah hadis yang disampaikan oleh guru-gurunya yang tidak tercantum dalam kitab-kitab hadis. Upaya-upaya penelitian hadis memang penting untuk membedakan mana hadis yang bersumber dari Rasulullah atau bukan. Tetapi bisa jadi hadis yang tidak tercantum dalam kitab hadis induk maupun non induk, adalah hadis shahih. Jadi belum tentu yang dikatakan hadis dho'if atau hadis maudhu' sekalipun, adalah benar-benar dho'if atau maudhu'. Tidak menutup kemungkinan justru sebaliknya, yaitu hadis shahih. Maka jangan lekas percaya! *Mahasiswa jurusan Tafsir-Hadis dan aktivis di Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW)

35


Forum AF

Forum AF

;

NILAI YANG TERTUKAR

Apa yang kita konsumsi dengan apa yang sebenarnya kita inginkan menjadi tidak penting, yang paling penting

oleh: Lu'luil Hamidah*

Pembahasan tentang nilai pada dasarnya merupakan kajian filsafat, khususnya bidang filsafat yang disebut aksiologi. Nilai: value, dari bahasa latin valere, yang memiliki arti berguna, mampu akan, berdaya,

berlaku, kuat. Dalam segi harkat, nilai merupakan kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diingikan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan. Sedangkan dalam ilmu ekonomi, nilai diartikan yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar benda-benda material. (Lorens Bagus,1996).

adalah kita terus mengkonsumsi. Hal ini

Foto / karikatur tertukarnya nilai :(

disebut pemborosan atau “sosiologi keranjang sampah”. -Jean Baudrillard-

ww.ciputranews.com

N

ilai adalah kualitas atau sifat yang membuat sesuatu menjadi bernilai. Nilai adalah tidak sama dengan apa yang bernilai. Nilai bukan realitas yang empiris, melainkan apriori, nilai itu mendahului penilaian dan penilaian itu bersifat subjektif, artinya bahwa nilai dari suatu obyek itu tergantung pada subyek yang menilainya. Diantara tokoh yang mengatakan bahwa nilai adalah konstruksi subjektif adalah Bertens (1993). Berbicara mengenai nilai, nilai guna/manfaat merupakan konstruksi subjektif. Manfaat dari suatu barang adalah kemampuan dari barang itu untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan manusia. Manfaat suatu barang dapat bersifat subjektif, artinya tergantung pada orang yang membutuhkannya dan hanya dapat diukur dengan menggunakan tingkat intensitas kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh barang itu. Sedangkan, pergerakan memaknai nilai tergantung sistem dan ideologi masyarakat. Menurut Michel Foucault, Episteme, atau cara berpikir yang nantinya akan membentuk siapa kita dan bagaimana kita berpikir tidak ditentukan oleh orang-orang yang hidup pada saat tertentu, tetapi ditentukan oleh struktur wacana yang mencakup tulisan (teks), bahasa, dan bentuk-bentuk nonverbal, seperti arsitektur, institusi, dan bahkan gambar atau grafik yang dominan pada saat itu (Morrisan dkk, 2013). Penilaian individual pada akhirnya terbentuk secara sosial atas gabungan dari berbagai penilaian individu dalam masyarakat. Dewasa ini wacana dominan dikuasai oleh para kapitalis. Perkembangan masyarakat posindustri dan kebudayaan postmodern tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumerisme di dalam diskursus kapitalisme mutakhir. Ideologi kapitalisme menawarkan produk-produknya dengan menciptakan imaji dan kecenderungan konsumtif. Dalam kultur ini imaji out of date dan kuno merupakan hal yang menakutkan, begitu juga kalau tidak mengejar ”kemajuan dan progresifitas” maka disebut tidak modern. Kesadaran inilah yang disebut Jean Baudrillard, seorang teoretisis sosial postmodern terkemuka dalam bukunya La société de consummation (Mayarakat Konsumsi) sebagai exclusive of pleasure, yakni pra-kondisi yang mendorong untuk mengikuti trend-trend modernitas agar mendapat predikat trendy. Menurut Baudrillard, kapitalisme adalah era kejayaan tanda-tanda dan nilai sebuah simbol yang ditopang oleh meledaknya citra dan makna oleh media massa dan perkembangan teknologi. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasarkan manfaat atau harganya, melainkan berdasarkan prestise dan makna simbolisnya. Inilah masyarakat yang hidup dengan kemudahan dan kesejahteraan yang diberikan oleh perkembagan kapitalisme, kemajuan ilmu dan teknologi, ledakan media dan iklan. Nilai guna tidak lagi memiliki makna yang nyata bagi masyarakat karena peran media membantu perkembangan budaya komoditas yang merupakan salah satu aspek simulasi dalam kehidupan masyarakat.

36

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Lingkungan simulasi (baca: lingkungan informasi dan tanda yang dikendalikan oleh models, codes, dan cybernities) memberikan info tentang sesuatu yang kita kehendaki. Lingkungan simulasi membentuk selera, pilihan, dan kebutuhan kita. Apa yang kita konsumsi dengan apa yang sebenarnya kita inginkan menjadi tidak penting, yang paling penting adalah kita terus mengkonsumsi. Dalam buku Masyarakat Konsumsi karya Jean Baudrillard, keadaan seperti ini disebut sebagai pemborosan, “kebudayaan keranjang sampah” atau “sosiologi keranjang sampah” telah terbentuk karena adanya timbunan barang rongsokan. Maksud kebudayaan tersebut hanyalah sebuah tanda yang berupa (penuh pengulangan) volume barang yang ditawarkan, dan jumlahnya yang berlimpah. Orang tidak lagi menghormati nilai guna melainkan lebih mementingkan penukaran barang dagangan menurut perubahan taraf hidup dan perubahan mode. Kebanyakan orang mungkin merasa bahwa barang yang berharga mahal lebih baik daripada yang murah, benda bermerek lebih baik dari pada yang tidak bermerek. Benda yang dijual di toko/counter dan outlet resmi lebih baik dari yang di pinggir jalan atau pedagang kaki lima. Berbagai alasan mungkin bisa menjadi pembenaran untuk argumen tersebut, mulai dari pertimbangan kualitas sampai kenyamanan dalam proses membeli dan seperangkat hasrat untuk mendapatkan kehormatan, prestise, status, dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan. Konsumsi masyarakat yang merupakan ciri masyarakat yang tidak mengenal Tuhan. Islam menyebutnya dengan israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis penggunaan harta yang hampir menjadi budaya dalam masyarakat konsumerisme. Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih terhadap hal-hal yang melanggar hukum islam, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sedekah. Ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak di antara kikir dan boros, seperti yang tertera dalam QS. Al Ahqaf: 20. Yang dimaksudkan dengan menghabiskan rizki yang baik di sini adalah melupakan syukur dan mengabaikan orang lain. Oleh sebab itu, konsumsi dalam Islam musti membuat kita ingat kepada Yang Maha membuat rizki. Kita diharapkan tidak boros, berlebihan (israf), kikir, dan tidak memakan makanan yang haram. Konsumsi dalam Islam akan menjauhkan dari sifat egois, sehingga bersedia menginfakkan hartanya bagi kerabat dan orang yang membutuhkan (Yusuf Qardlawi, 1997: 254). Al-qur'an pun memerintahkan kita bersifat seimbang dan moderasi. Serta mengingatkan kita bahwa hamba yang menyayangi Tuhan adalah mereka yang mengikuti jalan kebenaran dan tunduk serta patuh kepada-Nya. *Mahasiswi FUPK Jurusan Aqidah Filsafat

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

37


Forum TP

Forum TP

Sehat Jiwa Menuju Sehat Raga oleh: Erlina Anggraini* Pernahkah ketika kalian sedang makan tiba-tiba perut terasa mual dan ingin muntah saat melihat suatu benda yang sangat menjijikkan? Atau tiba-tiba merasa ingin muntah ketika mencium bau tak sedap yang sangat menyengat? Bahkan jantung berdegup kencang hingga akhirnya jatuh pingsan ketika menemui hal yang menakutkan? Jika jawabannya adalah pernah, maka perlu diketahui bahwa itu semua terjadi bukan sebab adanya gangguan dalam organ tubuh kalian, melainkan efek dari pikiran negatif yang muncul sehingga mengganggu fungsi jantung dan menimbulkan rasa mual pada lambung.

D

i zaman yang serba instan tidak dapat dipungkiri bahwa tuntutan hidup pun semakin tinggi. Sehingga tak jarang hal tersebut juga menimbulkan stress pada diri seseorang. Akibat dari stres itu pun menimbulkan berbagai penyakit mulai dari yang ringan sampai penyakit kronis. Dan pikiran dinilai sebagai salah satu faktor utama penyebab timbulnya penyakit tersebut. Adanya keterkaitan antara pikiran dan kesehatan ini menarik perhatian para ilmuwan. Apalagi ternyata juga ada keterkaitan antara keadaan psikologis yang tidak seimbang (stres) dengan berbagai macam kondisi kesehatannya. Misalnya seseorang yang sedang stres karena banyak tugas yang harus diselesaikannya dalam jangka waktu yang hampir bersamaan lalu tibatiba ia mengeluhkan sakit kepala dan otot kepala terasa tegang. Sakit yang dirasakan oleh orang tadi bukan disebabkan oleh faktor luar melainkan akibat stres. Stres yang biasa dialami setiap orang itu ternyata dapat menurunkan respon neuroendokrin dan pada akhirnya bisa menyebabkan kegagalan fungsi imun. Dan karena fungsi imun itu gagal otomatis bisa menimbulkan berbagai penyakit dari penyakit ringan seperti flu, demam, sakit kepala, nyeri di bagian tubuh tertentu dan juga penyakit berat seperti stroke, kanker, gangguan saraf, dan penyakit lainnya bahkan bisa pula menyebabkan kematian. Fenomena tersebut tentu saja ada faktor-

38

faktor penyebabnya. Para ilmuwan berusaha mencari tahu lebih mendalam terkait hubungan antara sistem imunitas dan perilaku melalui fungsi saraf. Maka mulai berkembanglah psikoneuroimunologi (PN). Psikoneuroimunologi merupakan istilah baru yang nampak seperti penggabungan antara 3 ilmu yang telah berdiri sebelumnya yakni psikologi, neurologi dan imunologi. Hal ini menyebabkan banyak pihak memahami psikoneuroimunologi bukan sebagai istilah baru yang utuh melainkan kumpulan pemahaman dari setiap penggal kata yang menyusun istilah tersebut. Sebenarnya psikoneuroimunologi memiliki paradigma utuh yang berdiri sendiri. Ia menamakan imunoregulasi yang tidak otonom karena dipengaruhi oleh kinerja otak yang disebut stress perception. Pada tahun 1964, Solomon dan kawankawan mempublikasikan sebuah artikel berjudul “Emotion, Immunity and disease: a speculative theoretical integration� yang membuktikan efek emosi terhadap modulasi imunitas pada penderita rhematoid arthritis. Dan akhirnya artikel ini menjadi dasar perkembangan penelitian tentang psikoneuroimunologi. Keadaan Mental yang Mempengaruhi Stres, yang menjadi mayoritas penyebab munculnya penyakit dalam kajian ini, merupakan suatu tekanan karena faktor eksternal maupun internal. Tuntutan hidup di zaman modern yang

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

kian kompleks menyebabkan mayoritas orang neuroendokrin yang memelihara homeostatis sibuk untuk terus berpikir dan bergerak agar tekanan darah, denyut jantung, suhu tubuh dan kebutuhannya (seperti kebutuhan fisik, emosional emosi. dan sosialnya) bisa tercapai. Apabila kesibukan ini Pada keadaan meditatif susunan saraf tidak diimbangi dengan keadaan mental yang kuat parasimpatis bekerja sehingga menyebabkan maka stres akan mudah menyerang ketika menurunnya tekanan darah dan detak jantung, rintangan-rintangan datang. ketegangan otot-otot tubuh menurun, kadar Stres terbagi menjadi 2. Pertama, stres glukosa dalam darah menurun dan konsumsi positif, menguntungkan (eustres) dan stres negatif energi dalam darah juga mengalami penurunan. (distres). Stres yang positif adalah wajar ketika Sehingga pengaruh psikologis individu yang dapat dialami oleh seseorang dirasakan adalah santai, karena beban yang tenang, damai dan d i t ang g u ng ny a d i ras a peningkatan kemampuan semakin berat namun ia konsentrasi. bisa mengatasinya dan Ketika individu tidak ada kekacauan merasakan tenang, apapun. nyaman, bahagia seperti Kedua, stress itulah sebenarnya otak negatif, stres negatif dapat tengah memunculkan menimbulkan tekanan gelombang alpha. Dan fisik dan psikis penderita. d a l a m Stres psikis yang akut Psikoneuroimunologi � dapat disebabkan oleh gelombang ini menjadi stres emosional jangka titik pencapaian awal pendek dan kemarahan bagi proses pemecahan yang intens, apabila masalah dan juga berlangsung terus penyembuhan penyakit menerus dalam jangka baik fisik maupun waktu yang lama maka akan psikis. berpengaruh buruk pada Berikut adalah tips kesehatan bahkan hingga untuk menjaga kondisi kerusakan pada otak. Salah psikologis agar terhindar satu penyebab utama adalah dari stres dan bahayanya peningkatan kadar serta ampuh juga untuk IDEA-DigitalArt glucocorticoid, epinefrin mengurangi stres yang maupun norepenifrin. Ini terlanjur menyerang agar masuk dalam golongan neurotransmitter dan tidak timbul kekacauan fisik yang tidak neuromudulator, gangguan pada berbagai diinginkan: 1) Sediakan waktu khusus untuk molekul inilah yang akan mengganggu sistem rileks. 2) Latihan olahraga secara teratur. 3) imunitas tubuh. Memperbaiki nutrisi dan diet. 4) Istirahat cukup Keadaan yang berlawanan pun juga berlaku. dan berkualitas. 5) Berbagi cerita atau beban Saat seseorang relaxs maka akan berpengaruh pikiran pada sahabat atau keluarga yang dapat baik pada otak, yang berhubungan dengan proses dipercaya. 6) Kelola waktu dengan baik. emosional terutama pada bagian hipotalamus yakni bagian otak yang mempunyai fungsi *Mahasiswi Tasawuf-Psikoterapi 2011

“ Tuntutan hidup mengharuskan seseorang terus berpikir dan bergerak untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini harus diimbangi dengan mental

yang kuat untuk mencegah stres.

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

39


Forum PA

Forum PA

PERPINDAHAN AGAMA Oleh: Siti Fitriatul Maratul Ulya*

Apakah agama lahir pada zaman kita? Mungkin saja. Apa yang nampak terjadi merupakan suatu peristiwa ajaib yang kita sebut dengan 'passing over', melintas dari satu kebudayaan pada kebudayaan yang lain, dari satu jalan kehidupan ke jalan yang lain, dari satu agama ke agama yang lain. Mengutip John Dunne dalam bukunya The Way of all the Earth, mengatakan passing over merupakan perpindahan dari suatu pendirian, melintas ke pendirian dari kebudayaan yang lain, jalan hidup lain, agama lain. Ungkapan itulah yang menjadi salah satu dasar dan landasan yang kuat bagi seseorang dapat mempunyai kemampuan shamanistik, yakni bersikap empati pada nilai-nilai spiritual orang lain.

D

alam dialog antar agama menggunakan kemampuan shamanistik, akan mengantarkan seseorang dalam keadaan atau perasaan yang mampu meninggalkan bentuk-bentuk khas kesadarannya dengan cara empati, masuk kedalam kesadaran orang lain. Dengan cara seperti ini, seseorang mampu masuk ke dalam dunia nilai-nilai spiritual orang lain, ke dalam wilayah keyakinan orang lain, dan mengalami ini dari dalam. Ibarat seorang shaman (dukun), yang memiliki kemampuan untuk meninggalkan tubuhnya dan berjalan pada teempat-tempat yang jauh, mendapatkan

40

pengetahuan, dan kembali untuk menyampaikannya pada masyarakat. Dengan cara inilah, seseorang dapat kembali dengan mengalami pengayaan, memasukkan nilai-nilai spiritualitas dan horison kesadaran yang lebih besar dalam dunianya, jika mampu dan telah melakukan hal tersebut. Memperkuat Keyakinan Bagi sebagian kalangan awam yang kurang atau tidak paham tentang jalan hidup dan agama, cara-cara seperti ini kerap dijadikan bahan “gunjingan”. Pada hakikatnya, cara ini dilakukan

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

tidak lain untuk saling menjaga antara umat yang satu dengan yang lain, pemahaman yang satu dengan yang lain, ideologi satu dengan yang lain, bukan sebagai pengingkaran atas Allah itu sendiri. Ketika kita “melintas” (passing over) ke dalam kesadaran nilai agama lain dan “kembali lagi” (coming back) akan mempengaruhi kenaikan tingkat keyakinan kita. Saat berdialog dengan sekelompok orang yang berbeda agama dengan kita, kesadaran dalam diri seolah keluar dengan sendirinya dan melintas ke dalam kesadaran lawan dialog kita. Saat itulah kita akan dapat melihat sesuatu dari perspektif mereka, mengalami rasa keterikatan nilai dan aturan dari agama mereka. Dalam lingkup pengaruh yang seperti itu, kita akan dapat menengok ke belakang pada aturan dan nilai agama kita sendiri dengan cahaya yang lebih terang, tatapi juga lebih jelas melihat batas-batas aturan agama itu sendiri. Tidak sampai disitu saja, setelah proses dialog dan passing over selesai, kita akan berlanjut pada tahap coming back, dimana renungan-renungan akan selalu menghiasi harihari kita. Renungan itu muncul tentang besarnya nilai-nilai kemanusiaan yang dipelihara mereka dan yang mungkin telah hilang dari diri kita, keharmonisan dengan alam, ikatan persaudaraan yang kuat, pemahaman mereka terhadap waktu sebagai proses yang mengalir dari pada suatu rangkaian yang statis yang terbagi ke dalam perencanaan yang tiada akhir, membuka mata dan tertanam kesan dalam kesadaran yang teramat mendalam pada diri dan secara sadar pula tingkat religius itu menaiki tangga bertahap. Hasil Salah Tafsir Namun, ketika kemampuan shamanistik disalah artikan penggunaannya serta coming back yang melenceng, maka akan terjadi apostasi atau perpindahan agama. Meskipun dalam Islam mengakui kebebasan beragama, dan keimanan berkaitan dengan kesadaran dan tanpa paksaan, maka perbedaan keimanan tidak bisa diselesaikan dan disikapi dengan hukuman fisik. Allah pun tidak akan merasa dirugikan apabila seorang hamba telah menghianati

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

agamanya, karena iman dan tidaknya seorang hamba serta rugi atau tidaknya, semua itu kembali kepada hamba itu sendiri, seperti yang telah ditegaskan dalam QS. Bani Israil:15. Namun Allah juga tidak lantas memberikan kebebasan atas penghianatan seorang hamba kepada agama, yaitu akan diterimanya murka dan laknat Allah di Akhirat kelak, seperti yang tertulis dalam QS. Ali Imran: 86-89. Tindakan seperti ini juga telah menghianati konsep dari pada shamanistik itu sendiri. Dimana konsep shamanistik yang mendatangkan tingkatan iman kepada tuhan, sesama umat serta alam semesta justru ternodai hakikatnya dengan penyelewengan arti dan makna shamanistik yang sebenarnya. Lalu bagaimana dengan hadis eksekusi mati bagi seorang apostasi? “Barang siapa mengganti agamanya maka hendaknya ia di bunuh” (HR. AlBukhari). Munculnya hadis ini di latar belakangi saat di ikrarkannya perang murtad yang dilancarkan oleh Abu Bakar Al- Shiddiq setelah menggantikan nabi Muhammad S.a.w. yang ditujukan pada kelompok yang tidak saja berkhianat pada komunitas dan negara, tapi juga kelompok yang ingin memerangi dan mengahancurkan komunitas dan negara islam saat itu. Seperti kasus Ubaidullah bin Jahasy yang memeluk agama Kristen saat hijrah ke Habsyah, setelah sebelumnya mengimanai ajaran Muhammad Saw. Muhammad Saw juga tidak pernah memerintahkan umatnya untuk mengejar dan membunuh orang yang murtad tersebut. Disini sudah jelas bahwa, hukuman mati bagi seorang yang berpindah agama sebenarnya tidak ada. Karena agama dan pilihan jalan hidup seseorang tidak dapat dipaksakan. Namun, Allah telah mempersiapkan laknat dan hukuman keji di Akhirat kelak, bagi setiap hamba-Nya yang mengingkari akan keagungan-Nya. *Mahasiswi jurusan Perbandingan Agama angkatan 2013

41


Riset

Riset

Mahasiswa sebagai kaum muda terpelajar, memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan wawasan dan memperdalam intelektualitas. Mereka juga memiliki akses yang mudah dalam hal memperoleh pengetahuan maupun informasi. Maka di pundak merekalah amanat perubahan sosial selalu diletakkan. Untuk mengemban dan melaksanakan amanat mulia ini tentu bukan hal yang mudah. Butuh kerja ekstra untuk membentuk karakter-karakter yang mandiri, cerdas, berwawasan luas dan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Dengan hanya duduk manis di kelas saja tentu tidak cukup. Bagaimana tidak? Dalam satu semester hanya ada maksimal 24 SKS yang bisa diambil, dengan asumsi waktu hanya 100 menit setiap pertemuan. Akan sulit-untuk tidak mengatakan mustahil-berharap memperoleh pengetahuan luas hanya dari diskusi-diskusi sesingkat itu. Oleh karena itu mahasiswa dituntut untuk menggali dan mencari sendiri ilmu yang dipelajari agar bisa lebih paham secara

42

mendalam, dan salah satu kuncinya adalah membaca. Buku adalah gudangnya ilmu, jendela dunia yang mampu membuka mata kita terhadap segala bentuk perubahan dan fenomena. Goenawan Muhammad mengatakan “Buku mengisi jam-jam kita yang kosong dengan percakapan yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat kita tahu: kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran menorehkan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah: "BACALAH".”

dok. IDEA-DigitalArt

Menakar Animo Baca Mahasiswa Ushuluddin

membaca waktu jika ada waktu luang saja, dan sisanya sebanyak 9,2% mahasiswa membaca buku hanya ketika ada tugas kuliah. Hasil survey di atas menunjukkan bahwa selisih antara mahasiswa yang rajin membaca setiap hari dengan mahasiswa yang “hanya” sesekali menyempatkan waktu untuk membaca cukup banyak, hal ini menunjukkan bahwa minat mambaca mahasiswa Ushuluddin belum mancapai “derajat” tinggi. Mahasiswa masih harus dan memerlukan stimulus agar kesadaran serta minat untuk membaca bisa meningkat. Mengenai jenis buku yang disukai dan sering dibaca oleh mahasiswa Ushuluddin pun cukup beragam. 78,9% mahasiswa sering mambaca buku-buku yang berkaitan dengan mata kuliah agar lebih bisa mendalami materi perkuliahan di kelas. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ulfa mahasiswa Tafsir dan Hadist angkatan 2013, “secara pribadi saya lebih senang membaca buku yang berhubungan dengan makul, karena itu nanti bisa jadi bahan diskusi di kelas. Tapi itu juga tidak berarti saya tidak membaca buku-buku yang lain,” terangnya. Sedangkan sebesar 18,3% mahasiswa lebih menyukai membaca buku-buku fiksi seperti novel dan komik, dan 1,91% mahasiswa lebih sering mambaca Koran dan portal-portal berita di internet.

Jika membaca buku memberi efek dan nuansa yang sedemikian menakjubkan, lalu bagaimana dengan animo membaca buku pada mahasiswa Ushuluddin? Sudahkah menjadi mahasiswa yang cinta membaca sebagaiamana “harusnya” menjadi mahasiswa? Dari hasil survey yang dilakukan oleh Tim Riset Lembaga Pers Mahasiswa IDEA, sebesar 37,6% Mahasiswa Ushuluddin menyempatkan waktu untuk membaca buku setiap hari. Sedangkan 55,9% mahasiswa

Perpustakaanku Nyaman? Perpustakaan adalah jantung Universitas. Di dalamnya lah denyut nadi institusi pendidikan ini ditentukan. Ia sekaligus merupakan salah satu parameter bagi kualitas akademik suatu Universitas. Perpustakaan yang nyaman dan kondusif untuk belajar dapat menjadi pemacu semangat membaca bagi mahasiswa. Namun sayangnya hal tersebut belum

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

terwujud di perpustakaan Fakultas Ushuluddin. 82,5% mahasiswa mengatakan bahwa koleksi buku yang ada di perpustakaan kurang lengkap dan pelayanan serta fasilitasnya pun kurang optimal. Banyak mahasiswa yang mengeluhkan mengenai tempat perpustakaan yang dianggap kurang luas. Apalagi sekarang dengan bertambahnya jumlah mahasiswa Ushuluddin, diharapakan akan adanya perluasan tempat serta perbaikan fasilitas pada perpustakaan Ushuluddin. Seperti yang disampaikan oleh Ulya mahasiswa Tafsir dan Hadis angkatan 2011, “kalau perpustakaannya diperluas akan lebih baik, karena pasti akan lebih nyaman. Dan mohon agar penempatan bukunya sesuai dengan katalog, karena saya sering kesulitan ketika buku yang saya cari tidak berada sesuai tempatnya.” Tegasnya. Sedangkan 18,3% mahasiswa mengatakan bahwa koleksi buku di perpustakaan FU sudah cukup lengkap untuk menunjang perkuliahan, dan pelayanannya pun sudah baik. Hal ini perlu mendapat perhatian penting dari pihak pengelola, mengingat urgennya perpustakaan dalam mewujudkan lahirnya mahasiswa-mahasiswa ideal bagi perubahan; mahasiswa yang berwawasan luas, memiliki intelektualitas tinggi, santun dalam moral serta tanggap pada perubahan. Selain itu, kesadaran dari diri mahasiswa juga penting, bahwa belajar, menggali ilmu, memperluas wawasan tidak cukup diperoleh dari bangku kuliah saja. Mahasiswa harus gila membaca agar jika lulus nanti, mereka menjadi sarjana-sarjana yang tidak hanya ahli di bidangnya, namun juga cerdas, berwawasan luas, mandiri dan yang paling utama; bermanfaat bagi sekitarnya. Semoga. [Tim Riset LPM IDEA—EF]

43


Kampusiana

Kampusiana

“Sekolah Filsafat berbeda dengan workshop atau seminar. Karena ada penekanan

membaca secara independen.

untuk

Pembicara atau narasumber hanya berfungsi sebagai penambah wacana ketika diskusi,” Zainul Adzvar, Kajur AF. boleh ikut. Namun, menurutnya selama ini, peserta SF kebanyakan adalah mahasiswa AF. “Sebenarnya, memang Sekolah Filsafat tidak tertutup untuk anak AF saja, tapi prakteknya tetap saja anak AF yang banyak ikut. Selain minat yang kurang dari mahasiswa, penyebabnya adalah kurang maksimalnya sosialisasi kegiatan,” lanjut mahasiswi asal Banjarnegara itu.

adalah untuk menyemangati mahasiswa supaya terus membaca buku dan berdiskusi, maka Sekolah Filsafat identik dengan buku banyak. Tentu, tema yang diangkat tiap tahunnya berbeda, menyesuaikan kebutuhan,” lanjut dosen asal Jepara ini. Pada prakteknya pun, ada yang unik dari SF, yaitu independensi membaca. Hal ini turut pula dijelaskan oleh Zainul. “Sekolah Filsafat berbeda dengan workshop atau seminar. Karena ada penekanan untuk membaca secara independen. Pembicara atau narasumber hanya berfungsi sebagai penambah wacana ketika diskusi,” paparnya. Hal ini juga diiyakan oleh salah satu peserta SF, Ika, mahasiswi semester 6. Ia telah ikut SF sebanyak dua kali, yaitu tahun 2012 dan 2014. “Setahu saya, penekanan acara Sekolah Filsafat adalah semangat belajarnya. Jangan hanya bejar dari kelas, namun perbanyaklah diskusi dan baca buku,” jelasnya. Ika menambahkan bahwa, acara SF ini tidak hanya tertutup bagi mahasiswa AF, siapa saja

Dari Masa ke Masa Dari tahun ke tahun, peserta SF jumlahnya tidak mengalami peningkatan atau penurunan secara drastis, yaitu kisaran 25 – 40 peserta. Hanya saja di tahun 2012, peserta dibatasi, yaitu hanya 20 orang. Hal itu dikarenakan, pada tahun itu, ada request pihak narasumber untuk membatasi peserta. “Sebenarnya terjadi semacam missunderstanding pada tahun itu, narasumber mengira bahwa peserta Sekolah Filsafat adalah dosen, makanya hanya dibatasi 20 orang, untuk memaksimalkan diskusi,” jelas Masrofah, ketua panitia SF tahun 2012. Ofa, sapaan akrab Masrofah, melanjutkan penjelasannya tentang SF dari tahun pertamanya, 2011, hingga sekarang, 2014. “Tidak banyak rincian yang bisa saya ingat, namun Alhamdulillah saya selalu ikut acara Sekolaf Filsafat ini. Pada tahun 2011, tak ada pembicara dari luar seperti tahun 2012 (dari STFI Sadra), hanya Kajur AF dan beberapa senior alumnus. Namun, yang sedikit berbeda dengan tahun-tahun setelahnya adalah mengenai tempat. Saat itu, acara SF dilaksanakan di sebuah pondok, yang memungkinkan terjadinya interaksi dengan masyarakat sekitar. Tidak seperti sekarang, yang lebih sering mencari tempat wisata.” Sedangkan tahun setelahnya, juga memiliki

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Sekolah Filsafat dari Masa ke Masa

Sekolah Filsafat (SF) merupakan acara rutin yang diadakan setiap tahun oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Akidah dan Filsafat (HMJAF) Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Pada mulanya, acara ini digagas oleh Kepala Jurusan AF, Zainul Adzvar, yaitu pada tahun 2011. Menurutnya, tujuan SF adalah untuk menghilangkan paradigama bahwa filsafat itu sulit dan menakutkan, padahal filsafat itu mudah, sehingga mahasiswa AF tidak minder saat kuliah terutama mahasiswa baru. Ia juga mengungkapkan bahwa, ide mengadakan sekolah filsafat dilatarbelakangi oleh kegelisahan tentang menurunnya budaya baca di kalangan mahasiswa, “Secara mendasar, ada tiga hal yang menjadi kegalauan kita bersama, yaitu, kita tidak punya buku, sulit membaca buku, dan tidak mau membaca buku. Maka Sekolah filsafat ada untuk menanggulangi hal tersebut,” terangnya ketika ditanya tentang alasan adanya SF. Pak Inul, sapaan akrab Zainul Adzvar, juga menambahkan tentang kekhasan SF, yaitu banyaknya buku. “Karena memang tujuan utama

44

kekhasan, yaitu satu-satunya acara SF yang mendatangkan peserta dari luar kampus, sehingga ada beberapa dosen yang juga ikut menjadi peserta. “Pada tahun 2012, Sekolah Filsafat dihadiri narasumber dari luar, yaitu Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra Jakarta. Namun demikian, tema dan pembahasan pada tahun itu terkesan terlalu 'berat', yaitu Filsafat Islam,” jelas Ofa. Hal ini pun tak dipungkiri Tika, mahasiswi AF angkatan 2011. “Ketika itu, saya masih semester 2, jadi memang merasa kesulitan dengan tema dan penjelasan oleh narasumber. Namun, semester berikutnya, ketika mengambil makul Filsafat Islam, saya merasa telah lebih dulu tahu tentang filsafat islam ketimbang teman-teman saya sekelas,” tuturnya. Adapun SF tahun 2013, dibuat sedemikian rupa sehingga, menurut Masrofah yang menjabat ketua HMJ-AF tahun itu, lebih menarik dan temanya lebih membumi dari tahun sebelumnya. “tahun 2013, kami menggunakan tema Filsafat Jawa, agar tidak terlalu melangit,” jelasnya. Seperti yang dilakukan sebelumnya, sebuah perbaikan, maka tahun setelahnya pun, format SF diubah lagi, agar bisa lebih baik. Hal tersebut dituturkan Ketua HMJ-AF 2014, Abdul Rosyid. “Pada tahun ini (2014) ada pemaksimalan format acara yang kami lakukan. Karena tahun kemarin, menurut kami, peserta hanya terkesan pasif, mendengarkan penjelasan dari pemateri. Maka tahun ini kami membuat semacam diskusi panel terlebih dahulu di kalangan peserta, sebelum ada pemateri, dan sepertinya hal ini berhasil,” jelas Rosyid. [Zaki-Fajrur/IDEA]

45


Lorong

Lorong

YANG TERLUPAKAN ATAU YANG DILUPAKAN? Oleh: Shri

Siang itu Rabu, 24 September 2014 jalanan Kota Semarang nampak ramai seperti biasanya. Ditambah lagi dengan adanya perbaikan dan pelebaran jalan di beberapa tempat. Macet, panas, sudah pasti. Debu-debu beterbangan bercampur asap kendaraankendaraan bermotor. Di Museum Mandala Bhakti yang bertempat di sebelah selatan Tugu Muda, nampak lengang. Hanya terlihat seorang petugas yang sedang membersihkan mobil yang sepertinya sudah tidak terpakai lagi di sebelah timur museum. Di belakang museum ada sebuah halaman yang cukup luas dan sederet bangunan dengan beberapa ruangan di sana. Bangunan tersebut nampak cukup tua, tetapi masih tetap terawat. Di ujung bangunan sebelah barat, ada beberapa ruangan yang digunakan sebagai ruangan LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia). Ketika tiba di sana, jam menunjukkan pukul 10.20 WIB. Hari itu, hanya ada dua petugas perempuan dan seorang petugas laki-laki di kantor LVRI. Petugas laki-laki yang kutemui di sana langsung menyambut dengan hangat dan penuh keramah-tamahan. Roji namanya, usianya 69 tahun. Saya disambut di salah satu ruangan di sana. Ruangan tersebut berukuran kurang lebih 7m x 5m. Ada tiga meja kerja, lemari besi di

46

pojokan, dan beberapa kursi. Udara di ruangan tersebut cukup terasa meneduhkan. Di ruangan tersebut, kami mulai bercakap-cakap. Dan ia pun mulai bercerita kepadaku. “Veteran intinya adalah pertempuran melawan negara asing. Di mana, veteran pada masa itu dibagi menjadi dua macam, veteran PKRI dan veteran pembela. Yang membedakan keduanya, veteran PKRI ada setelah masa perang (setelah Agustus 1945-Desember 1949) dan bukan tentara. Misalnya, Laskar Tentara Pelajar dan Laskar Organisasi (seperti Hisbullah). Sedangkan veteran pembela hanya ada di beberapa daerah, bukan di seluruh Indonesia. Misalnya, Pembela Trikora di Irian Barat (sebutan pada saat itu) melawan Belanda, Pembela Dwikora di Kalimantan melawan Malaysia, dan Veteran Seroja di Timor-Timor (saat itu) melawan Portugis.” ---o0o— Setelah Pak Roji cukup lama bercerita, datanglah seorang laki-laki berusia kira-kira 80 tahunan memasuki ruangan. Ia nampak sudah sangat renta, namun masih bisa berjalan dengan tegap tanpa tongkat. Namanya Soehendro, lahir pada 22 September 1928. Ia adalah salah seorang veteran yang masih tersisa dan tinggal di Semarang. Pak Hendro, panggilan akrabnya. Pak Roji mengenakan baju dan celana berwarna biru tua dan bersepatu hitam.

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Sedangkan Pak Hendro hari itu mengenakan baju berwarna coklat, celana hitam dan bersepatu selaras dengan celananya. Terlihat serasi dan rapi. Pak Hendro menghampiri kami, duduk bersama kami, mengambil gula-gula di toples dan memasukkan ke dalam mulutnya yang sudah tiada bergigi lagi. Lalu keduanya bercakap-cakap dan sesekali saling berseloroh satu-sama lain. Bercerita sambil mengingat kembali runtutan sejarah masa lalu. Sejarah perjuangan kemerdekaan demi kedaulatan bangsa ini. Sesekali keduanya menghirup rokok masing-masing dan menghembuskan asapnya ke udara dengan bebasnya. ---o0o--Hari semakin siang. Namun keduanya tetap asyik-masyuk bercerita, sedangkan saya tetap khusyu' terpekur mendengarkan mereka. Dan mereka pun mulai menyalakan rokok masing-masing.

(dulu merupakan kantor kejaksaan pada zaman Belanda-Jepang), dan mayatnya dibuang ke sungai”. Mereka terus berkisah dan sesekali menghisap rokok masing-masing. Mereka pun sedikit bercerita mengenai bagaimana cara Dr. Karyadi dibunuh, PKI dari masa kemasa, dan bagaimana mereka menyesalkan bahwa anak-anak zaman sekarang yang mulai melupakan sejarah dan budaya karena mudahnya menerima dan terpengaruh budaya asing. ---o0o--“Kami sering melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah. Itu semua atas kemauan kami sendiri. Kadang-kadang jika kami ingin mengadakan suatu acara, kami meminta bantuan dari pemerintah. Jadi, sebenarnya tidak ada masalah. Tapi, kami juga kecewa terhadap perilaku orang-orang yang di atas sekarang (pemerintah yang korup dan tidak berpihak pada rakyat)”.

“Dulu, kami para pemuda berjuang

Lalu, sebagai penutup cerita, Pak Hendro

ramai-ramai karena merasa terpanggil.

menyampaikan pesan pada kita, para pemuda

Kadang-kadang ada juga orang tua yang tidak

penerus bangsa.

tahu bahwa anaknya pun ikut berjuang.

“Dalam menempuh ilmu supaya betul-betul

Tahunya mereka, setelah perang selesai dan

dipahami dan diresapi, bukan hanya diketahui. Dan

mereka kembali ke rumah lagi. Itu kalau

tetap berpegang teguh pada kepribadian Indonesia

beruntung. Kalau tidak, ya tahunya tiba-tiba

(sebagai pribadi orang timur), agar tidak

anaknya tidak kembali ke rumah lagi karena

terpengaruh oleh budaya luar atau asing. Tetap

gugur dalam perang”.

berpendirian dan mempertahankan RI, jangan

Rokok habis terbakar, lalu mereka pun kembali menyalakan rokok yang baru. Asap putih kembali memenuhi ruangan tersebut.

sampai apa yang dirintis oleh para pendahulunya menjadi sia-sia”. Lalu, Pak Roji pun menambahi.

“Yang paling berat adalah pada saat

“Bukankah sering kita mendengar pepatah,

pertempuran lima hari di Semarang. Karena

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai

pada saat itu Jepang baru saja pulang dari

jasa-jasa para pahlawannya”. Jadi, dengan melihat

Indonesia Timur, yang rencananya akan

sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada masa lalu,

menuju Jakarta, tetapi singgah dulu di

perlu kita ingat nilai-nilai juang '45. Bahwa mereka

Semarang. Lalu, terjadilah pertempuran antara

yang berjuang pada saat itu memegang teguh disiplin

rakyat Indonesia dan tentara pasukan inti

perjuangan tanpa pamrih dan hanya mengharapkan

Jepang. Di pihak kita, banyak para pejuang

satu: Indonesia yang merdeka dan berdaulat”.

yang gugur. Yang tertangkap ditahan, lalu

---o0o—

dieksekusi di dekat Museum Mandala Bhakti

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

47


Figur

Figur

KARENA HIDUP HARUS BERARTI Hidup itu harus berarti. Berbekal prinsip inilah perempuan yang akrab disapa Tirta ini memiliki semangat untuk membawa perubahan positif bagi lingkungan di sekitarnya. Fenomena industrialisasi yang masuk ke daerah tinggalnya, telah merenggut banyak hal. Anakanak kurang mendapat sentuhan dan perhatian dari orang tua, degradasi moral remaja dan fenomena sosial lainnya mulai banyak meliputi kampung yang dicintainya ini. Akhirnya pada tahun 2007, Tirta bersama suami memutuskan untuk mendirikan sebuah kelompok belajar bagi masyarakat. “Awalnya saya bercita-cita memiliki perpustakaan, akan tetapi sulit untuk menarik minat baca masyarakat kalau langsung mendirikan perpustakaan. Akhirnya saya sepakat bersama suami membentuk taman baca yang mewadahi aspirasi dan kreatifitas masyarakat,” kenangnya saat menceritakan awal perjuangannya. Berawal dari kelompok belajar itulah akhirnya Tirta juga mewujudkan mimpinya memiliki perpustakaan atau lebih tepatnya sebuah taman baca bagi masyarakat. Tempat ini kemudian ia namai Warung Pasinaon. “Warung itu kan kalau dalam masyarakat Jawa berarti tempat yang menyediakan banyak hal. Pasinaon itu dari kata ‘sinau’. Jadi Wapas (Warung Pasinaon-red) ini adalah tempat di mana masyarakat dapat belajar banyak hal.

48

Kita ada pelatihan keterampilan buat ibu-ibu, pengembangan kreatifitas buat anak-anak dan juga tersedia ruang baca dan akses internet. Masyarakat butuh apa untuk belajar, insya Allah kita punya,” tegasnya. Perjuangan Tirta akhirnya membuahkan hasil. Wapas berhasil meraih banyak penghargaan, bahkan atas prestasinya, pernah diundang ke Istana Negara dalam rangka menghadiri peringatan hari kemerdekaan pada 17 Agustus 2011. Selain Wapas, Tirta sendiri secara pribadi juga banyak mendapatkan prestasi. Pada tahun 2012, ia berhasil menjadi wanita inspiratif Tupperware She Can. “Yang penting dalam hidup adalah lakukan apa yang kamu inginkan. Syukur kalau akhirnya apa yang kamu lakukan menjadi inspirasi bagi orang lain,” ujarnya mantap. Rumus Jurnalistik bagi Tuna Aksara Menyadari pentingnya peran seorang ibu dalam mendidik anaknya di rumah, Tirta mulai tergerak untuk menyentuh kaum ibu di desanya, terutama mereka yang tuna aksara. Mengapa? Karena membaca itu penting, sesimpel apapun bacaan pasti mengandung nilai informasi yang bisa menjadi bekal seorang perempuan untuk mendidik anaknya. Dan tentunya, untuk menarik dan menumbuhkan minat baca, Tirta merasa harus terlebih dahulu memberantas tuna aksara yang saat itu masih dialami sebagian ibu-ibu di desanya. Usaha ini dimulai dengan memindahkan kegiatan Posyandu ke Wapas. Untuk memantik semangat mereka, diadakan lomba-lomba kreatif seperti lomba dongeng, karawitan, baca puisi dan semacamnya. Ibu-ibu juga dibekali keterampilan yang menuntun mereka untuk bisa berwirausaha mandiri melalui keterampilan mengolah sampah menjadi karya kreatif, jahit dan bordir, dan pelatihan-pelatihan keterampilan dan kesenian lainnya.

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Dalam proses pembelajaran bersama, kaum ibu yang tuna akasara dipacu semangatnya untuk terus belajar membaca. Dan agar tak sekedar membaca, namun juga menghasilkan karya, Tirta mengajak para aksarawan baru itu untuk menghasilkan sebuah karya jurnalistik. Maka pada tahun 2010, diluncurkanlah Koran Pasinaon. Sebuah media untuk menuangkan aspirasi, gagasan dan kreatifitas para ibu yang baru saja terentas dari buta akasara. Bukan hal yang mudah untuk menghasilkan sebuah karya jurnalistik dari para aksarawan pemula. Namun berkat kerja keras dan inovasi pembelajaran jurnalistik yang diberikan Tirta, akhirnya segala kesulitan bisa ditebus dengan terbitnya koran tersebut. “Saya yakin setiap orang mampu menulis kalau mereka mau. Maka dari itu saya optimis saat menggagas penerbitan Koran Pasinaon ini, dan Alhamdulillah semua berjalan lancar. Bahkan Koran Pasinaon dinobatkan sebagai media inspiratif dan akhirnya mengantarkan ibu-ibu penulisnya mendapat undangan ke ibukota” ungkapnya. Tirta menerapkan prinsip jurnalistik yang sederhana. Pertama-tama ia memberikan pemahaman kepada kaum ibu tersebut bahwa jurnalistik itu mereka lakukan setiap hari melalui proses ngerumpi. Hanya saja, ketika dituangkan dalam tulisan dan menjadi sebuah media, ia harus diolah dengan baik. Tidak boleh ngawur. Tercetuslah rumus jurnalistik sederhana bagi para aksarawan pemula, yakni “ANAS NGENDIKA PIYE” yang jika dijabarkan menjadi ANA (ada apa?), S (sapa atau siapa?) NGENDI (di mana?), KA (kapan?), Piye (bagaimana?). Rumusan sederhana ini diadopsi dari percakapan harian yang sering dilakukan para ibu. Dari sinilah

mereka akhirnya berproses dan menghasilkan sebuah karya. Prestasi yang patut mendapat apresiasi luar biasa. Tirta menyadari, ada semacam permasalahan akut yang dihadapi bangsa ini, yakni semakin berpendidikan tinggi seseorang, semakin mereka ketergantungan pada orang lain. Maka melalui upaya-upaya yang dilakukannya, Tirta sangat mengharapkan masyarakat Indonesia, terutama perempuan, bisa terus mengembangkan potensi dalam dirinya. “Perempuan itu harus kuat, tapi tidak berarti dominan, dalam artian perempuan itu harus memilki satu keahlian khusus, mereka harus kreatif dan mandiri,” tegasnya. “Perempuan harus kenal dirinya. Perempuan itu harus berdaya karena PR (Pekerjaan Rumah. Red) perempuan jauh lebih besar dari lakilaki. Dan yang terpenting dalam hidup ini, sebagai seorang manusia, lakukanlah apa yang kita bisa lakukan. Kalau kita punya harta, berjuanglah dengan harta. Kalau yang kita punya adalah ilmu, berjuanglah dengan ilmu yang kita miliki. Pokoknya hidup itu harus berarti,” Tirta menambahkan. [AL-murtadlo]

Nama : Tirta Nursari // Lahir: Brebes, Jawa Tengah, 7 Maret 1973 // Suami: Hermawan budi Sentosa (45) // Anak: Zavier Raihan Aaf, Taj Abbad Abdullah // Pendidikan: D-3 Ekonomi Akademi Perdagangan Tjendekia Puruhita, Semarang, 1995 // Penghargaan: Juara I Manajemen Taman Bacaan Masyarakat (TBM) seJawa Tengah, 2009, Juara I TBM Kreatif Tingkat Nasional, 2011, Penerima Anugerah Peduli Pendidikan, Perempuan inspiratif Tupperware She Can 2012. // Pekerjaan: Pengelola Taman Baca Warung Pasinaon, Motivator, Aktifis Sosial.

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

49


Resensi BUku

Resensi Buku

Neraka,

Hadiah Masa Depan Mustika Bintoro*

Judul Buku Penulis Penerjemah

iprefereading.blogspot.com

Penerbit Cetakan Tebal

: Inferno : Dan Brown : Inggrid Djiwani Nimpoeno dan Berliani Mantili Nugrahani : Bentang Pustaka : VII, 2014 : 644 hlm

“Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral“

“Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral“ Populasi menjadi salah satu masalah yang dianggap paling mengancam akhir-akhir ini. Ledakan jumlah kelahiran manusia pun ditakutkan akan menjadikan dunia penuh sesak bahkan tak ada ruang kosong untuk sekedar 'merebahkan diri'. Dan Brown pun tak luput dari ketertarikan mengenai isu tersebut. Dalam novelnya Inferno, Dan Brown mencoba untuk membuat kita larut dalam imajinasi ancaman populasi. Over populasi adalah masalah kesehatan. Para ahli biologi menganggap, peningkatan laju pertumbuhan manusia yang drastis sebagai masalah yang krusial. Organisasi kesehatan dunia, WHO (World Health Organization) telah memprediksikan jika penduduk bumi akan

50

menjadi sekitar sembilan milyar sebelum pertengahan abad ini. Sumber daya alam pun akan semakin menyusut, berbagai macam spesies hewan akan punah dan air bersih akan semakin berkurang bahkan sulit ditemukan. “ketika semua tempat di dunia penuh sesak oleh penghuni sehingga mereka tidak bisa bertahan hidup di tempat mereka berada dan juga tidak bisa pindah ke tempat lain, maka dunia akan membersihkan dirinya sendiri” (Machiavelli) Kutipan dari Machiavelli menunjukkan betapa dahsyatnya implikasi dari masalah demografi yang sedang dihadapi dunia ini. Semua manusia berpotensi untuk menjadi seorang pencuri untuk memberi makan keluarga mereka. Dan mungkin akan menjadi seorang pembunuh untuk mempertahankan anak-anak mereka. Lantas, apa yang seharusnya dilakukan? Pembatasan penduduk manusia, melakukan pengendalian

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

kelahiran lewat pendidikan pun tak akan bisa menghambat laju populasi manusia. Karena Ledakan populasi menjadi ancaman masa depan jika tak segera dihentikan. D a n B r o w n menggambarkan, Bertrand Zobrist adalah seorang ilmuwan antagonis yang ingin melakukan pembunuhan massal melalui ciptaan genetisnya. Inferno merupakan karya terkemuka milik Dante Alighieri yang juga menginspirasi Zobrist untuk mengemas alur pembunuhan massal secara runtut namun rumit, penuh dengan kode, simbol dan tekateki. Puisi epik inferno yang ditulis pada tahun 1300-an menggambarkan hukuman akhirat menjadi mengerikan, mendalam dan tak terlupakan. Adalah Botticelli, sang seniman yang terobsesi karya-karya Dante, menerjemahkan neraka sebagai wujud corong bawah tanah dengan pemandangan berupa api, limbah, belerang, dan iblis yang berada di tengah corong. Dalam menjalankan misinya, Zobrist memberikan petunjuk di dalam bait-bait puisi serta lukisan Inferno karya Dante. Kemudian ia meminta kepada konsorsium – sebuah organisasi swasta yang bertujuan memberikan perlindungan, pertahanan serta menambah kekuasaan – untuk mensukseskan misinya. Dalam 14 hari kedepan, Zobrist menyuruh kepala konsorsium memutar video yang ia buat pada hari terakhir. Video berisikan proses pembuatan wabah penyakitnya dan penjelasan mengenai motif misi kejahatannya, serta menyuruh untuk membunuh Robert Langdon yang menyimpan stempel kuno-dimana stempel tersebut dapat memecahkan teka-teki Zobrist. Dengan segala kepiawaiannya, Zobrist memodifikasi ulang Map of Hell (Peta Neraka) karya Boticelli berdasarkan Infernonya Dante, agar Langdong tak dapat menggagalkan misinya. Lukisan peta neraka tersebut adalah petunjuk dimana Zobrist menyimpan ciptaan genetisnya yaitu wabah kematian. Wabah tersebut merupakan virus vektor yang dapat memodifikasi DNA manusia. Jika mutasi terkecil dalam tubuh manusia terjadi, dapat menyebabkan kanker, gagal organ, kerusakan darah serta menyerang fertilisasi manusia. Penyebaran wabah ini terdapat di udara dan di sebuah plastik Solublon yang diletakkan di bawah permukaan air. Serta dapat terurai lebih cepat dibanding plastik pada umumnya. Wabah itu dapat tersebar dengan sendirinya sesuai jadwal yang telah ditentukan. Robert Langdon-pemeran utama novel iniditemani oleh wanita cantik nan cerdas bernama

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Sienna Brooks dalam memecahkan simbol dan teka-teki Zobrist. Namun, suatu hari ia harus merasakan penghianatan karena wanita tersebut ternyata bersekongkol dengan ilmuwan cerdik itu. Di tengah keputusasannya, Langdon bertemu dengan anggota WHO-dr. Elizabeth Sinskey- yang juga memburu Zobrist sang bioteroris dunia. Menjelang hari ke-14, hari dimana wabah kematian itu hampir tersebar, Zobrist memilih untuk bunuh diri karena ia mengira misinya hampir berhasil. Kematian sang ilmuwan tidak mengartikan mati pula misinya. Ternyata, Zobrist telah menelurkan sekte transhumanisme garis keras dan telah memiliki banyak pengikut fanatiknya. Salah satu anggota konsorsium adalah salah satunya. Transhumanisme adalah filosofi yang mengatakan manusia harus menggunakan teknologi untuk merekayasa spesies kita sendiri supaya lebih kuat. Penggerak sekte ini terdiri dari para pemikir apokaliptik yang meyakini pengertian bahwa kiamat sudah dekat dan harus ada yang mengambil tindakan drastis untuk menyelamatkan masa depan spesies. Tak terduga, akhirnya Sienna memutuskan bergabung kembali bersama Langdon dan menyelamatkan manusia dari wabah kematian Zobrist. Puisi Dante, Map of Hell, The Mendagium, Hall of Five Hundred, Topeng Kematian Dante telah ia lewati untuk mengupas teka-teki sang ilmuwan cerdas dari kematian massal. Di luar, kegelapan berubah menjadi kebahagiaan masa depan. Karena dalam masa berbahaya, tidak ada dosa yang lebih besar daripada diam. Dalam novel ini Dan Brown sangat piawai dalam meramu teori biologi berpadu dengan karya seni, filsafat, sastra, dan sejarah dengan apik. Singkat namun padat penuh isi. Ditambah dengan penggambaran tiga budaya yang saling bertautan, membuat pembaca semakin larut dalam cerita. Namun dalam setiap novel Dan Brown alur cerita yang dipakai hampir sama; keruwetan memecahkan kode dengan dibumbui karya seni, sains, dan wanita. Dan bahasa terjemah dari nevel ini pun cukup mudah dipahami, sehingga membuat pembaca tidak kebingungan. Selamat membaca. *Kru LPM IDEA divisi Artikel dan Berita

51


Resensi Buku 2

Resensi Buku 2 Judul buku: Pemahaman Tematik Al-Qur'an menurut Fazlur Rahman // Penulis: Dr. Sa'dullah Assa'idi // Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta // Tebal: xxvi + 374 halaman // Cetakan: Pertama, November 2013 // ISBN: 978-602-229-265-4

Oleh: Adib el-Rouf

MEMBUMIKAN EPISTEMOLOGI QUR'ANIY

Al-Qur'an tidak hanya mempunyai satu nama, melainkan ada banyak nama yang melekat pada al-Qur'an, dan nama-nama itu merupakan representasi dari berbagai fungsi al-Qur'an itu sendiri. Salah satu nama lain al-Qur'an adalah alHuda. Al-Qur'an mempunyai fungsi sebagai petunjuk bagi manusia. Al-Qur'an adalah sumber kebenaran dan motivasi bagi umat islam, yang seharusnya umat islam senantiasa terinspirasi dari kitab suci tersebut untuk melakukan action sehari-hari. Namun apa yang tergambarkan secara ideal tersebut tidak mampu menjadi tolak ukur untuk melihat realitas temporal. Dalam kehidupan yang berselimut ruang-waktu ini ada kesan al-Qur'an 'gagal' menjadi sumber epistemologi yang membumi. Al-Qur'an hanya mampu memberikan doktrin langit yang berjarak dengan realitas manusia. Al-Qur'an tidak terpahami sebagai sumber inspirasi umat islam. Lantas apa yang menyebabkan kesenjangan antara apa yang seharusnya (al-Qur'an atau teks) dengan apa yang terjadi (realitas manusia atau konteks)? Melalui buku 'Pemahaman Tematik Al-Qur'an menurut Fazlur Rahman', Dr. Sa'dullah Assa'idi mencoba memberikan sebuah solusi untuk menjembatani antara al-Qur'an dan kehidupan manusia. Buku ini adalah hasil penelitian Assa'idi dengan judul “Major Themes of The Qur'an Karya Fazlur Rahman (Studi Tentang Pemikiran Tafsir)”. Penelitian ini – yang selanjutnya diterbitkan menjadi buku 'Pemahaman Tematik Al-Qur'an menurut Fazlur Rahman' – sesungguhnya adalah hasil revisi penelitian dengan judul “Studi Kritis Buku Major Themes of The Qur'an Karya Fazlur Rahman” pada tahun 1997.

52

Pada Kenyataannya, al-Qur’an terkesan ‘gagal’ menjadi petunjuk bagi manusia. Menurut Rahman, ini disebabkan 'kesalahan' metodologis yang mencoba menjembatani al-Qur'an yang bersifat metafisis-transendental dengan kehidupan manusia yang bersifat spatiotemporal. Rahman menyepakati bahwa al-Qur'an adalah sebuah sumber ilmu pengetahuan (epistemologi) yang pengoperasiannya memerlukan adanya keimanan dan intelektualitas manusia. Materi yang dikandung oleh al-Qur'an bukanlah kebenaran yang harus dicari, diuji atau dibuktikan, akan tetapi cukup diterima atas dasar iman yang merupakan kelengkapan indra manusia di atas rasio manusia. secara tidak langsung Rahman dalam Major Themes of The Quran mengingatkan perlunya menerapkan pandangan al-Qur'an yang kohesif terhadap alam semesta dan kehidupan. Agar misi al-Qur'an sebagai hudan linnas (petunjuk bagi manusia) dapat terealisasi dengan baik, dan pada akhirnya kesenjangan

(gap) antara al-Qur'an dan kehidupan manusia dapat terhindarkan, maka diperlukan telaah metodologis yang serius guna merealisasikan alQur'an sebagai epistemologi yang mapan. Buku ini merupakan buku yang memaparkan hasil penelitian Assa'idi terhadap konsep metodologis Rahman untuk merealisasikan al-Qur'an yang kohesif terhadap alam semesta dan kehidupan. Dalam penelitiannya tersebut, Assa'idi memaparkan tema-tema pokok al-Qur'an yang terdapat dalam buku Fazlur Rahman tersebut – Major Themes of The Quran – dan selanjutnya memaparkan metodologi-metodologi yang digunakan oleh Rahman dalam menciptakan atau merumuskan tema-tema al-Qur'an tersebut. Al-Qur'an adalah kitab yang bahasanya menggunakan bahasa arab, lantas menjadi kemutlakan apabila ingin memahami al-Qur'an –apalagi menjadikannya sebagai sumber inspirasi, sumber epistemologi– maka harus memahami tata kerja bahasa arab. Selain memahami bahasa arab, al-Qur'an harus didudukkan sebagai subjek. Dengan mendudukkan al-Qur'an sebagai subjek maka al-Qur'an akan mengurai dirinya sendiri, menjelaskan proposisi-proposisi (ayat) yang masih samar –semisal dengan membandingkan ayat satu dengan ayat lain maka arti dari ayat yang masih samar akan terjelaskan dengan sendirinya. Dengan memahami bahasa arab dan mendudukkan al-Qur'an sebagai subjek seseorang mampu memahami proposisi atau tema yang dikandung dalam al-Qur'an. Rahman mengemukakan bahwa al-Qur'an merupakan kitab yang disusun secara logis, bukan kitab yang disusun secara kronologis. Hal ini, bagi Rahman, memudahkan untuk menelaah tematema apa saja yang terkandung di dalamnya. Dengan telaah tematik ini, Rahman berhasil menyusun delapan tema pokok al-Qur'an, yaitu Tuhan, manusia sebagai individu, manusia sebagai anggota masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan, dan komunitas muslim. Dalam bab terakhir Assa'idi memaparkan

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

cara memahami al-Qur'an secara kohesif dengan alam semesta dan kehidupan manusia. Memahami unsur empiris, muatan konsep, serta tampilan tema yang terkandung pada ayat adalah kunci untuk memahami maksud ayat al-Qur'an. Dengan menggunakan metodologi Rahman yang terpapar dalam buku ini, memungkinkan terciptanya atau terealisasinya al-Qur'an sebagai epistemologi yang membumi, tidak hanya mengawang dan berjarak dengan kehidupan faktual manusia. Kesenjangan antara al-Qur'an dengan manusia akan terberantas, dan selanjutnya semangat moral qur'ani akan bersemi di setiap langkah manusia. Dalam penelitiannya yang terpublikasikan dalam buku ini, Assa'idi berhasil memaparkan pandangan-pandangan Rahman tentang alQur'an beserta metodologi yang digunakan oleh Rahman dalam menelaah al-Qur'an. Buku ini merupakan sebuah sumbangan terhadap keilmuan 'ulumul qur'an yang patut kita respon atau apresiasi. Disamping keterampilannya menguraikan buku Major Themes of The Quran, buku ini juga memiliki kekurangan, di antaranya yang terdapat dalam wilayah linguistik atau kebahasaan. Seperti yang banyak tertera dalam rumusan masalah, Assa'idi menuliskan kata 'respon' dengan kata 'responss' berbeda penulisannya di akhir buku yang dituliskan dengan 'respons'. Tidak hanya itu, Assa'idi kadang juga menulis kata 'dengan' menjadi 'de-ngan'. Ketidakkonsistenan dan ketidaktepatan dalam menuliskan sebuah kata yang benar –menurut KBBI– merupakan kekurangan buku ini. Selain itu, buku ini kurang berhasil dalam membius pembaca dengan kata. Ketika saya sedang membaca buku ini, kebanyakan saya dibingungkan oleh susunan kalimat. Dengan singkat kata, bahasa dalam buku ini, menurut saya, kurang enak dibaca dan dipahami. Mungkin saja, hal ini juga disebabkan oleh tingkatan keilmuan saya yang belum mumpuni dibidang tafsir, hermeneutik, atau 'ulumul qur'an. Selamat membaca

53


Resensi Film

Resensi Film

adegan film Satyagraha

PEMIMPIN BUKAN PEMERAS Oleh: Ika Febriani

“Bangsa apa yang kita punya! Di mana pemimpin yang menjalankan pemerintahan? Mengapa mereka menjauh dari kita? Bahkan mereka tak mau mendengar keluh kesah kita. Bangsa apa yang kita punya?�

K

alimat di atas diucapkan Daduji (sebutan untuk seorang kakek) -diperankan oleh Amitabh Bachchan- sebelum nafas terakhirnya. Satyagraha merupakan sebutan untuk gerakan perlawanan rakyat sipil dalam memprotes monopoli garam yang diberlakukan pemerintah Inggris di India. Gerakan ini diperkenalkan pertama kali oleh Mahatma Ghandi. Pada masa itu, garam merupakan kebutuhan vital bangsa India. Sedangkan aturan monopoli garam berisi larangan untuk mengumpulkan garam dan menjual garam secara paksa kepada Inggris. Kemudian penduduk India diharuskan membeli barang kepada Inggris dengan pajak yang tinggi. Gerakan ini merujuk pada teologi kebebasan Ghandi. Dwarka Anand, adalah seorang pensiunan guru dan mantan kepala sekolah di daerah Ambikapur. Ia adalah seorang idealis sederhana dan sangat memegang teguh prinsipnya. Ia memiliki seorang putra bernama Akhilesh Anand, yang bekerja sebagai insinyur lembaga pembangunan pemerintah. Manav, pemuda sebatangkara yang ditinggalkan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan maut adalah teman karib Akhilesh. Mereka mulai bersahabat dan menjadi sangat akrab sejak Akhilesh terus menyemangatinya untuk dapat melanjutkan hidup, sesulit apapun keadaannya. Karena kebaikan itu, Manav menganggap Akhilesh sebagai satu-satunya saudara yang dimilikinya. Manav datang dari Delhi, ia merupakan seorang kapitalis ambisius yang mulai berubah menjadi dinamis setelah

54

bertemu dan bergabung dengan Dwarka dalam gerakan menentang pemerintahan di Ambikapur, yang selanjutnya gerakan ini disebut Satyagraha. Konflik dalam film ini dimulai setelah Akhilesh mati dalam sebuah kecelakaan lalu lintas yang amat kejam, yang ternyata ini adalah pembunuhan terencana yang dilakukan oleh Sangram Singh, adik Menteri Balram Singh. Untuk menutupi kejahatannya, Balram Singh mengumumkan akan memberikan dana kompensasi untuk kematian Akhilesh, karena profesi dan prestasinya. Namun, tidak sesuai yang dijanjikan, pihak administrasi pemerintah tidak memberikan pelayanan yang baik dan mempersulit proses penerimaan dana tersebut. Pada suatu siang Sumitra, istri Akhilesh, mendatangi kantor pemerintah. Namun, pihak pemerintah tidak kunjung memberikan dana kompensasi yang dijanjikan. Sumitra pulang dengan hati sedih dan kecewa. Melihat hal tersebut, Dwarka merasa marah hingga akhirnya mendatangi kantor pemerintahan dan menampar DM di tengah pertemuan dengan para pejabat lainnya. DM adalah kolektor kepala bagian administrasi di Ambikapur. Merasa dipermalukan, DM yang murka memasukkan Dwarka ke penjara. Hal inilah yang menjadi awal dari memanasnya situasi di Ambikapur. Mendengar kabar itu, Manav yang baru datang dari Delhi segera menemui DM dan bernegosiasi terkait kebebasan Dwarka, sebelum akhirnya ditolak oleh DM. Kemudian Manav mulai berkampanye untuk membebaskan Dwarka. Ia memanfaatkan teknologi yang ada,

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

menginformasikan kejadian tersebut melalui sosial media, media cetak berupa poster, brosur dan lainnya untuk merekrut massa. Di sini lah Manav bertemu dengan Arjun, pemuda yang mengaku sebagai pembela rakyat kecil dan membuat kesepakatan untuk bekerjasama. Ia juga berhasil membujuk Yasmin, jurnalis ABP News untuk mendukung kampanye tersebut. Gerakan ini menimbulkan respon yang sangat masif dari berbagai kalangan, mulai dari para mahasiswa, masyarakat, hingga para buruh pun bergabung dalam agitasi ini. Politisi mulai panik, dan memutuskan membebaskan Dwarka sekaligus memberikan dana kompensasi yang dijanjikan. Namun siapa sangka, Dwarka menolak kompensasi itu. Ia malah menantang pemerintah untuk dapat membereskan sistem administrasi masalah santunan yang tertunda bagi semua rakyat miskin dan menghapus file tentang korupsi di penjuru Ambikapur dalam waktu 30 hari. Dari sini mulai muncul konflik yang lebih serius. Kubu Dwarka mulai menyusun strategi untuk dapat mengumpulkan semua data dari tiap kabupaten di Ambikapur. Pihak pemerintahpun terus memikirkan cara menghentikan gerakan ini. Setelah 30 hari berlalu, Dwarka membawa ordonansi dari setiap kabupaten di Ambikapur. Tapi Balram Singh dengan orang-orang suruhannya berhasil mengasingkan Manav. Setelah serangkaian peristiwa dramatis. Dwarka melakukan mogok makan dan memaksa pemerintah memenuhi janjinya. Sementara itu, seorang pemuda bernama Lal Bahadur melakukan bakar diri di depan umum dengan dalih mendukung agitasi ini. Kematiannya memicu kemarahan masyarakat, sehingga dalam iringiringan kematiannya 4 polisi secara brutal dibunuh oleh massa. Masyarakat Ambikapur mengamuk, kerusuhan terjadi dimana-mana. Akhirnya Balram Singh mengirim pasukan militer di distrik tersebut. Di tengah kerusuhan, antek Balram Singh secara sengaja menembak Dwarka, ia pun meninggal di pangkuan Manav. Kematian Dwarka mengungkap semua kejahatan Balram Singh setelah anak buahnya

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

tertangkap oleh kelompok Manav. Dalam penangkapan Balram Singh, massa nyaris menghakiminya karena geram atas ketidak adilan yang mereka terima. Tapi Manav berhasil meredakan amukan masa dan menyatakan, “Darah tak sepatutnya dibayar dengan darah. Janganlah menyia-nyiakan tenaga untuk kemarahan, kekerasan, balas dendam. Belajarlah dan bangun masa depanmu. Pemuda adalah harapan terbesar bangsa, maka simpanlah tenagamu, kemarahanmu dengan mengubahnya menjadi semangat revolusi, untuk dapat memperbaiki sistem yang ada.� Setelah semua masalah selesai, Manav dan Arjun mendirikan partai regional untuk memberantas korupsi serta mengkonstruksi seluruh sistem untuk kesejahteraan masyarakat. Film ini mengajak kita untuk melihat realitas di sekitar, banyaknya korupsi yang kian menjamur adalah masalah terbesar suatu bangsa. Pemerintah yang harusnya menjamin kesejahteraan masyarakat, justru mengutamakan kepentingan pribadi dan mengambil hak-hak rakyatnya. Dalam film ini juga banyak adegan dramatis yang menyentuh sebagaimana film-film India pada umumnya. Diwarnai dengan nyanyiannyanyian secara massal beserta tarian. Tapi terdapat beberapa adegan yang berbau kekerasan. Yang menarik dari film ini adalah bagaimana Manav mengajak masyarakat untuk menjadi masyarakat yang cerdas serta memanfaatkan teknologi secara baik, sehingga ketika berita-berita tentang Dwarka dan gerakan Satyagraha diekspos memperoleh respon positif dari berbagai kalangan dari seluruh penjuru dunia melalui sosial media. Selamat menyaksikan.

Sutradara: Prakash Jha // Skenario: Arjun Rajabali // Pemain : Amitabh Bachchan (Dwarka Anand) // Ajay Devgan (Manav Raghavendra) // Kareena Kapoor (Yasmin Ahmed) // Arjun Rampal (Arjun Rajvansh) // Manoj Bajpayee (Balram Singh) // Amrita Rao (Sumitra Anand) // Indraneil Sengupta (Akhilesh Anand) // Durasi: 152,04 menit // Tahun Rilis: 2013.

55




Ushul-Ushil

Di Tarbiyah, fasilitas Wifi di mana-mana

JANGAN !!! dosa lho, nyuri Wifi Dekanat

Pemancar Wifi PKM mangkrak

Ushuluddin: (ada) di mana?

Tukang Loak: Sekilonya berapa, pak?

KEREN!!! Di Ushuluddin, bisa internetan kapanpun-dimanapun

Syarat: Bawa modem sendiri ya ...

Permendikbud: maksimal lulus semester 10

UKM dibubarin aja, pak. FOKUS KULIAH Mahasiswa Dakwah ngulang MKU, bisa KKN.

Wuih, Walisongo sudah UIN

IAIN atau UIN, Ushuluddin TETAP Ushuluddin

Ushuluddin punya dekan baru

Ushuluddin? belum saatnya, bro. SK Tuhan belum turun.

AWAS Pak ! Jangan ulangi dosa pendahulumu Pegawai TU judes-judes #kata seseorang

Udah Pak gitu aja. #Takut diboyong Kampus Satu “Perpus panase [kok] koyok Nraka”

Biro-krat: Maklum, Musim kemarau, mas

60

gambar perpus skripsi

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Bagi mahasiswa tingkat akhir pasti akan sangat dekat lagi lekat dengan yang namanya skripsi. Syarat kelulusan ini sering membuat mahasiswa bingung dan kewalahan. Proses menjadi sarjana dirasa tidak mudah dan butuh perjuangan ekstra. Bagi yang ingin menggarap skripsi namun tidak tahu “seluk beluk”nya, tentu langkah awal yang harus dilakukan adalah melihat skripsi-skripsi yang telah jadi. Di sinilah letak dan fungsi utama ruang skripsi atau yang lebih kita kenal dengan perpustakaan skripsi. Di Ushuluddin sendiri perpustaan skripsi terletak di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) lantai dua. Perpustakaan ini kurang terekspos, karena biasanya hanya mahasiswa tingkat akhir saja yang sering riwa-riwi ke ruangan ini. Namun banyak mahasiswa mengeluhkan pelayanan serta optimalisasi perpustakaan skripsi yang terkesan seadanya. Seperti yang diungkapkan oleh Dewi mahasiswi jurusan Tafsir dan Hadis semester sembilan, “setiap saya datang ke perpus skripsi lebih sering tutup dari pada buka, dan saya juga kurang tahu kapan jadwal pasti bukanya,” terangnya. Sama halnya dengan Arifin mahasiswa Program Khusus (PK) semester sembilan juga menuturkan hal yang sama, “perpus skripsi sangat penting bagi mahasiswa tingkat akhir seperti saya, untuk bisa melihat secara langsung bentuk skripsi. Bukan hanya sekedar teoritis seperti yang ada dalam mata kuliah MP. Jadi mohon untuk pelayanan perpus bisa lebih ditingkatkan,” ungkap

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Liputan

Pengen internetan di PKM

SUSAHNYA JADI SARJANA Arifin. Ketika hal ini ditanyakan pada Mahrus selaku Wakil Dekan I, menjelaskan bahwa perpustakaan skripsi jarang dibuka karena kekurangan tenaga kerja yang bisa selalu stanby. “Saat ini penjaga perpus skripsi hanya satu orang yaitu Pak Wisnu. Di sisi lain beliau juga punya jadwal mengajar sendiri. Jadi memang bukanya tidak bisa setiap saat,” jelasnya. Lebih lanjut Mahrus mengatakan bahwa Fakultas Ushuluddin saat ini sedang mengalami kekurangan tenaga kerja dan keterbatasan tempat. Sebenarnya dulu perpustakaan skripsi pernah dibuka di ruang Kantor Lama (KL) namun karena banyak buku yang dimakan rayap maka pihak Fakultas mengalihkanya ke ruangan kantor redaksi jurnal Theologia di PKM. “Untuk penempatan skripsi secara resmi ditaruh di perpus Fakultas Usuluddin, disana terdapat sekitar sepuluh skripsi terbaik sebagai bahan perbandingan mahasiswa. Seharusnya bisa saja skripsi ditaruh di perpus fakultas semuanya namun disana masih kekurangan tempat dan rak buku,” ungkap Mahrus. Fakultas juga sudah mengusulkan tentang keterbatasan tenaga kerja ini kepada pihak terkait. Sedangkan untuk spesifik tenaga kerja khusus perpustakaan skripsi belum pernah, karena dulu pihak fakultas sudah pernah mengajukan untuk penambahan tenaga pustakawan di Usuluddin, namun sampai detik ini belum ditanggapi. Maka dari itu untuk pengadaan tenaga kerja tambahan perpustakaan skripsi masih dalam proses. Pihak fakultas mencoba untuk memberikan solusi dengan mengusahakan membuka perpus skripsi secara resmi minimal satu hari dalam satu minggu. Dan untuk tempatnya masih di Kantor Jurnal Theologia sembari menunggu proses

61


Liputan

Ayo Sekolah Skripsi Di saat perpustakaan skripsi masih belum “jelas”, hal berbeda terjadi pada Lembaga Jurusan. Beberapa Kepala Jurusan (Kajur) berinisiatif untuk mengadakan kegiatan ‘sekolah skripsi’. Seperti yang diadakan oleh Kajur Aqidah dan Filsafat (AF), Zainul Adzvar. Setiap Selasa dan Kamis, Zainul menyelenggarakan kegiatan sekolah skripsi. Kegiatan yang bertempat di depan kantor kajur AF ini, bertujuan memberikan pemahaman lebih kepada mahasiswa yang telah memasuki semester enam dalam proses pembuatan skripsi. “Di sini saya sebagai supporter agar mahasiswa semangat dan tahu langkahlangkah mengerjakan skripsi,” tuturnya. Pelatihan ini diselenggarakan dalam dua kelas. Kelas pertama diselenggarakan setiap Selasa dan Kamis pukul 09.00 untuk mahasiswa AF program khusus. Dan bagi mahasiswa reguler dilaksanakan setiap Kamis pukul 13.00. “Untuk pembahasan tema yang akan dibahas berasal dari mahasiswa. Pembahasaanya mengupas tentang tema yang diajukan mahasiswa, sisi keunikan, data, serta kerangka pikir. Saya hanya sebagai pemberi saran dan tidak pernah memaksa mereka untuk mengikuti alur berpikir saya.” jelas Zainul. Kegiatan ini mendapat respon yang sangat baik dari mahasiswa, meskipun masih sedikit mahasiswa yang ikut. Seperti yang dituturkan oleh salah satu peserta pelatihan skripsi, Emy mahasiswa AF angkatan 20111. “Saya sangat apresiatif dengan pelatihan skripsi ini. Mahasiswa butuh teman diskusi yang kompeten agar skripsi yang digarap bisa cepat selesai dengan baik. Namun sayangnya terkadang kegiatan ini bertabrakan dengan jam kuliah,” jelasnya.

62

Pelatihan Skripsi untuk mahasiswa Aqidah Filsafat ini baru terbentuk sekitar dua bulan. Pelatihan ini mengadopsi pelatihan skripsi yang diselenggarakan oleh Kajur Tafsir Hadis (TH) yang bekerjasama dengan Komunitas Mahasiswa Peneliti (KMP). Berbeda dengan jurusan AF yang menamakan kegiatannya dengan “Sekolah Pelatihan Skripsi”, kajur TH, Musyafiq dan KMP mengadakan kegiatan “Sidang Proposal”. Sidang Proposal telah berjalan sekitar enam bulan, dimulai sejak awal semester genap. Kegiatan ini berawal dari kegelisahan Musyafiq dan KMP terhadap skripsi mahasiswa semester akhir yang kerap ‘mogok ditengah jalan’. Sidang proposal diharapkan mampu membantu mahasiswa dalam pengerjaan skripsi. “Pada intinya yang kami (Kajur TH, KMP dan Kajur AF) harapkan sama, yaitu memberikan yang terbaik untuk mahasiswa. Salah satunya dengan membantu mahasiswa yang bersiap membuat skripsi,” ujar Zaenal Abidin selaku ketua KMP. Kegiatan ini biasanya diadakan setiap hari Kamis pukul satu siang, bertempat di Kantor Jurusan TH. Di dalamnya ada pembahasan tentang judul proposal, latar belakang, rumusan masalah, landasan teori, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan skripsi. Untuk saat ini, Acara pelatihan skripsi baru ada di jurusan TH dan AF, sementara belum ada di jurusan Perbandingan Agama (PA) dan Tasawuf Psikoterapy (TP). Seperti yang disampaikan Nur Kholi, salah satus mahasiswa PA, “Sejauh ini belum ada pelatihan skrispsi yang diadakan oleh kajur PA sebagaimana pelatihan skripsi yang dilakukan oleh kajur TH dan AF. Saya berharap diadakannya pelatihan semacam ini, karena akan banyak membantu mahasiswa dalam pembuatan skripsi,” tegas Kholis. Ika Rahmawati mahasiswi TP semester tujuh pun mengharapkan hal yang sama, “Sebenarnya acara semacam itu sangat berperan bagi kami dalam menyusun skripsi. Namun, sebatas ini masih dalam tahap perbincangan akan diadakannya acara semacam pelatihan skripsi,” terang Ika. [Luthfi/Zakaria-IDEA]

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Be a Champion

U

kuran juara bisa jadi tidak didapat oleh mereka yang menang. Kalah atau menang sama saja. Tentu ada parameter yang digunakan untuk mengukurnya. Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi untuk menjadi juara. Tanpa disadari selama ini kita telah menjadi seorang juara, tentu dalam bidang masing-masing. Dan sering kita dengar istilah persaingan yang kompetitif, persaingan global, persaingan sengit, dan seterusnya. Dengan adanya persaingan terdapat tujuan yang hendak dicapai dari masing-masing individu sesuai dengan cita-citanya. Banyak cara untuk memenuhi syarat tadi agar bisa mendapatkan hasil yang terbaik. Perlu adanya pembelajaran bagaimana tujuan itu bisa diwujudkan. Aspek apa saja yang perlu dipenuhi dalam mencapainya? Kita perlu membuat tahapan sedikit demi sedikit untuk mewujudkan, ditambah dengan berbagai macam strategi dan teknik untuk melengkapinya. Proses inilah yang kadang membuat tidak sabar untuk mencapainya. Seperti halnya seorang motivator memberikan materinya; bahwa kita perlu kerja keras untuk meraih apa yang kita tuju. Jangan mundur sedikitpun dengan apa yang hendak kita peroleh. Kita tidak tahu dengan apa yang hendak kita tuju itu; apakah tinggal satu langkah atau dua langkah lagi, Kita tidak tahu. Maka kerja keras saja tidak cukup, perlu ditambahkan dengan kerja cerdas. Proses menuju inilah yang sejatinya membentuk diri kita dalam menyikapi berbagai masalah, halangan, rintangan dan segala bentuk kesusahan yang menghadang. Banyak orang yang berputus asa dalam menjalani perjalanan menuju juara. Benar apa yang dikatakan peribahasa bahwa berakit-rakit kita ke hulu berenang kemudian. Kerja keras untuk meraih sesuatu pasti ada jalan payah yang kita lalui.

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Namun, kadang dalam proses menuju juara kita melihat orang lain mendapatkan keberuntungan yang tidak ada pada diri kita. Penulis percaya bahwa keberuntungan itu tidak sekonyong-konyong datang begitu saja. Ada proses yang harus kita tempuh. Keberuntungan merupakan salah satu rumus kecil ketika kerja keras bertemu dengan kesempatan. Penulis meyakini bahwa, kerja keras inilah yang kita lakukan, tidak berdiam diri. Ditambah dengan kesempatan, kalau kita tidak mencarinya maka tidak akan pernah bertemu. Dan kesempatan itu jarang terjadi dua kali. Tiap ada kesempatan yang mampu kita ambil secepatnya, sahut dan laksanakan. Dan tidak hanya menjalani proses, setidaknya kita punya baseline dalam kehidupan. Agar kita memiliki pijakan yang kuat. Dengan pondasi yang kuat inilah kita mampu membangun bangunan pemikiran dan kerangka serta strategi untuk mewujudkan milestone dalam kehidupan kita. Milestone merupakan penanda bahwa kita telah mengerjakan sesuatu. Selanjutnya kita menargetkan untuk melakukan hal yang lain. Tentu ini akan sesuai dengan skala yang telah kita rancang sebelumnya, dengan harapan kita mampu meraihnya sepadan dengan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki. Perlu digaris bawahi bahwa ketika ada banyak macam analisis yang kita lakukan, itu merupakan hal penting sebagai dasar kita untuk mengerjakan sesuatu, namun yang terpenting adalah take action. Berbuat Baik Jangan Ditunda Sub judul di atas merupakan judul lagu yang dipopulerkan oleh grup musik lawas Bimbo. Lirik lagunya menarik untuk disimak. Walaupun hanya empat bait, mendalam artinya untuk difahami dan dikerjakan. Dari siapapun kita bisa

63

Catatan Akhir

alokasi tempat untuk perpustakaan skripsi. Selain itu, untuk masuk ke perpus skripsi mahasiswa harus meminta surat desposisi kepada Wakil Dekan I. Desposisi merupakan surat izin resmi memasuki perpustakaan skripsi, karena pada dasarnya perpustakaan skripsi tidak dibuka untuk umum. “Hal ini merupakan kebijakan dari Fakultas,” jelas Wisnu selaku penaggung jawab perpustakaan skripsi.


Catatan Akhir belajar, mengambil hikmah dari tiap langkah kaki kita. Dalam liriknya menggunakan term ma'ruf. // Beramar makruf janganlah ditunda - tunda //. Meminjam analisa semantik (Toshihiko Izutsu, 2003) bahwa kata ma'ruf di antara berbagai istilah dalam bahasa Inggris yang dapat dipandang mendekati adalah kata “good” (baik), ma'ruf menempati tempat yang khusus, karena kata ini tampaknya mewakili ide yang berlangsung jauh di masa lalu. Bahwa kata ma'ruf sangat sering didefinisikan sebagai apa yang diakui dan diterima oleh Hukum Allah. Ma'ruf secara harfiah berarti diketahui, yaitu apa yang dipandang sebagai diketahui dan dikenal, dan dengan demikian, secara sosial diterima. Antitesisnya, yaitu munkar, berarti apa yang tidak diterima dengan baik karena hal itu tidak diketahui dan asing. “Masyarakat kesukuan dalam kondisi peradaban yang sejajar dengan suku Arab “Jahiliyyah”, akan memandang hal yang diketahui sebagai hal yang baik dan hal yang asing sebagai hal yang buruk. Dari analisis penulis, ukuran kebaikan yang kita kerjakan tidak harus menggunakan terma agama. Dalam bahasa penulis kita mempunyai ma'ruf, yaitu local wisdom (kearifan lokal) yang baik yang terus kita jaga dan kita tambahi perlahan-lahan dengan proses transformasi dari berbagai unsur yang baik dan kita lakukan terus menerus. Setelah kebaikan kita kerjakan tentu akan memberikan efek kepada kita. dan ini menjadi sebuah misteri yang tidak kita ketahui. Dalam

Alquran mengindikasikan untuk memikirkan apa yang akan terjadi esok hari harus kita persiapkan sedini mungkin (Al-Hasyr: 18). Kita bisa mengibaratkan kebaikan kecil-kecil inilah yang akan kita unduh nantinya dan dapat kita manfaatkan sebagai bagian integral dari kehidupan kita. Selain ma'ruf ada lima macam term dalam Alquran yang mengindikasikan berhubungan dengan kebaikan yaitu shalih, birr, khayr, hasan, dan thayyib. Ada kata menarik yaitu khayr yang sering digunakan untuk memacu kita dalam berbuat baik. Fastabiqul khairat (berlombalombalah dalam kebaikan). Masih menggunakan analisa Toshihiko; khayr merupakan sebuah istilah yang sangat komprehensif, yang mengartikan segala apapun yang dapat dinilai sebagai bernilai tinggi, menguntungkan bermanfaat, dan dikehendaki. Dan bahkan dalam ukuran dengan konteks Quranik, bidang semantiknya mencakup keduniaan dan keyakinan agama. Bila kita memperlajari dan mengurai enam terma kebaikan tadi kita akan bisa membedakan kata tersebut tepat digunakan dalam situasi dan kondisi seperti apa. Dari tahapan-tahapan yang telah kita naiki tangganya bahwa tidak mudah untuk menjadi seorang juara. Namun, tidak menutup kemungkinan kita mampu untuk mengerjakannya. Semoga.

Bootmgr

Selamat kepada Dekan baru Fakultas Ushuluddin,

Mukhamad Zulfa, PU IDEA Periode 2011-2012

“Ukuran kebaikan yang kita kerjakan tidak harus menggunakan terma agama. Kita mempunyai

ma'ruf, yaitu local wisdom (kearifan lokal) yang baik yang terus kita jaga dan kita tambahi perlahanlahan dengan proses transformasi dari berbagai unsur yang baik dan kita lakukan terus menerus.”

64

IDEAPers.com Pembuka Warta dan Wacana

Edisi 36-Politik, Oktober 2014

Dr. H. M. Mukhsin Jamil M,ag Semoga mampu mengemban amanat dengan baik


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.