Kata Pengantar Ketua Presidium Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia Profesor Jenderal Polisi Da`i Bachtiar S.H. Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala berkah, rakhmat dan ridho-NYA sehingga Buku “Kajian dan Perumusan Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia” dapat diterbitkan sesuai rencana. Buku ini memuat hasil penelitian dan merupakan laporan rekam jejak kegiatan kerjasama antara Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) dan Partnership/Kemitraan dalam rangka reformasi tata pemerintahan (Governance reform) dibidang keamanan yang lebih baik, dan lebih demokratis dan sejalan dengan motto LCKI yaitu ”sejahtera tanpa kejahatan”(prosperity without crime). Kegiatan penelitian dan kajian materi buku ini, dengan restu dari Bapak Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, telah melibatkan banyak pihak yang terdiri dari kelompok akademisi, Tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan unsur dari instansi Pemerintah di beberapa kota dalam kegiatan Survey, Focused Group Discussion, Workshop dan Round Table Meeting. Secara khusus kerjasama ini dimungkinkan karena peranan negara Denmark dan Partnership/Kemitraan serta komitmen dari Tim Kerja LCKI. Untuk itu semua, saya selaku Pimpinan LCKI dan selaku pribadi menyampaikan apresiasi dan terima kasih. Semoga kerjasama seperti ini diwaktu yang akan datang dapat terus berlanjut dan berkembang.
i
Disadari bahwa hasil temuan ini masih banyak kekurangannya, namun demikian, betapapun diharapkan dapat dijadikan masukan bagi penyusunan kebijakan dan strategi pencegahan dan penanganan terorisme yang lebih komprehensif secara nasional. Mengingat bahwa terorisme menimbulkan korban dan akibat kerusakan yang dahsyat yang menghancurkan peradaban manusia maka setiap warga masyarakat dan aparat Pemerintah seyogianya memandang terorisme sebagai musuh bersama yang perlu dicegah, ditangani dan dilawan secara sungguh-sungguh dan profesional. Terima kasih. Jakarta, 19 Desember 2007 Ketua Presidium LCKI
Profesor Jenderal Polisi Da`i Bachtiar S.H
ii
DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar .......................................................
i
Daftar Isi ...............................................................
iii
Daftar Tabel ...........................................................
vii
Bab I PENDAHULUAN ...............................................
1
1. 2. 3. 4. 5.
Latar Belakang ........................................... Dasar....................................................... Maksud dan Tujuan ...................................... Lingkup Materi Laporan ................................. Sistematika Penulisan ...................................
1 12 13 13 14
Bab II PROSES PENELITIAN, PENGKAJIAN, DAN PERUMUSAN DALAM RANGKA KEGIATAN PROYEK .....................
15
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Judul Proyek.............................................. Tujuan ..................................................... Manfaat.................................................... Hasil Yang Diharapkan .................................. Pengorganisasian Proyek................................ Kegiatan Penelitian dan Pengkajian .................. 6.1. Umum............................................. 6.2. Pendekatan dan Tipe Penelitian ............. 7. Populasi dan Sampel .................................... 8. Kegiatan Survey : Teknik Penarikan Sampel......... 9. Teknik Pengumpulan Data.............................. 9.1. Pengumpulan Data Kuantitatif................ 9.2. Pengumpulan Data Kualitatif .................
15 15 16 16 17 18 18 19 23 23 24 24 25 iii
9.3. Perlengkapan Penelitian ....................... 9.4. Non-Participant Observation .................. 10. Analisis Data Kualitatif.................................. 11. Teknik Analisis Data Kuantitatif ....................... 12. Kendala Penelitian Dan Pengumpulan Data Kualitatif .................................................. 12.1. Kendala Dalam Melakukan Wawancara Mendalam ........................................ 12.2. Kendala Dalam Melakukan Focused Group Discussion Dan Workshop ......................
26 26 27 28
Bab III Hasil Penelitian ..............................................
31
1. ASPEK STRUKTURAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA ............. 1.1. Masalah koordinasi kelembagaan............. 1.2. Struktur Pengamanan Pelabuhan Laut, Udara dan Jalur Lalu Lintas Keluar Masuk Wilayah Indonesia............................... 1.3. Database Tentang Pencegahan Dan Penanganan Terorisme......................... 2. ASPEK INSTRUMENTAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA ............. 2.1. Aturan Hukum Tentang Tindak Pidana Terorisme ........................................ 2.2. Aturan Tentang Pelarangan Organisasi Radikal............................................ 2.3. Efektifitas Laporan Intelijen .................. 2.4. Penyesuaian Hukum Nasional Terhadap Hukum Internasional dan Konvensi Internasional Melawan Terorisme ............ iv
28 28 29
31 31
35 36 37 38 40 41
42
3. ASPEK KULTURAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA ............. 3.1. Persepsi Masyarakat Tentang Terorisme Sebagai Musuh Bersama........................ 3.2. Definisi Terorisme .............................. 3.3. Pers/ Media Massa Sebagai Sumber Informasi ......................................... 3.4. Eksistensi Kelompok-Kelompok Radikal Militan ............................................ 3.5. Partisipasi Masyarakat Dalam Pencegahan dan Penanganan Terorisme ................... 3.6. Kemampuan Mobilitas Teroris ................ 3.7. Terorisme dan Tujuan Politik ................. 3.8. Persepsi Masyarakat Terhadap Kerjasama Internasional..................................... 3.9. Dukungan Logistik Dan Pendanaan Terorisme ........................................ 3.10. Keterkaitan Terorisme dengan Kondisi Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya dan Agama 3.11. Persepsi Masyarakat dan Kinerja Penegak Hukum ............................................ 3.12. Pemanfaatan Budaya Lokal Bagi Pencegahan dan Penanganan Terorisme ....
43 43 47 49 54 56 60 62 64 65 68 71 74
BAB IV REKOMENDASI KEBIJAKAN .................................
79
1. Skema Hubungan Masalah .............................. 2. Rekomendasi Kebijakan ................................ 2.1. Rekomendasi Kebijakan Aspek Struktural... 2.2. Rekomendasi Kebijakan Aspek Instrumental 2.3. Rekomendasi Kebijakan Aspek Kultural .....
79 80 81 83 86
v
LAMPIRAN : Bagan Situasi Masalah – Substansi Masalah dan Solusi Masalah .........................................
93
DAFTAR PUSTAKA .................................................... 109 DAFTAR ISTILAH ..................................................... 113
vi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Pengetahuan Responden Tentang Pasukan Khusus Anti Teror Di Indonesia ....................................
32
Tabel 2.
Pendapat Responden Tentang Unsur Yang Seharusnya Terkait Pencegahan Dan Penanganan Terorisme ......
33
Tabel 3.
Pendapat Responden Tentang Apakah Terorisme Di Indonesia Adalah Masalah Yang Besar ...................
44
Tabel 4.
Alasan Responden Bahwa Terorisme Adalah Masalah Yang Sangat Besar ..........................................
45
Tabel 5.
Pendapat Responden Tentang Obyektif-Tidaknya Pemberitaan Mengenai Terorisme .......................
50
Tabel 6.
Sumber Informasi Tentang Terorisme Di Indonesia ...
52
Tabel 7.
Pendapat Responden Tentang Informasi Publik (Terkait Info UU Dan Peran / Wewenang Instansi) ....
54
Tabel 8.
Pendapat Responden Tentang Perlu-Tidaknya Partisipasi Masyarakat .....................................
57
Tabel 9.
Pendapat Responden Tentang Perlunya Partisipasi Masyarakat ...................................................
58
Tabel 10.
Pendapat Responden Tentang Bentuk Partisipasi Masyarakat ...................................................
59
Tabel 11.
Pendapat Responden Tentang Kinerja Polisi Dalam Mengungkap Terorisme ....................................
71
Tabel 12.
Pendapat Responden Tentang Kinerja Jaksa Dalam Menuntut Pelaku Terorisme ...............................
72
Tabel 13.
Pendapat Responden Tentang Kinerja Hakim Dalam Menghukum Pelaku Terorisme ............................
73
Tabel 14.
Pendapat Responden Tentang Sikap Pemerintah Hadapi Terorisme ...........................................
73
vii
BAB I PENDAHULUAN 1.
LATAR BELAKANG Sampai
saat
ini
belum
ada
kesepakatan
internasional
mengenai definisi tentang terorisme, karena disamping banyak elemen terkait, juga karena semua pihak berkepentingan melihat atau menerjemahkan terminologi terorisme dari sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Namun tidak berarti bahwa belum ada rumusan tentang terorisme. Setiap negara merumuskannya dalam sistem hukum sesuai dengan karakteristik ancaman yang dihadapi. Namun demikian apapun rumusan atau definisinya, terorisme
pada
hakekatnya
adalah
kejahatan
terhadap
kemanusiaan dalam arti bahwa setiap terjadi ancaman terorisme dimanapun akan merupakan ancaman bagi seluruh umat manusia karena mengancam perdamaian dan kedamaian nasional maupun internasional 1 . Indonesia, dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, memberi definisi tindak pidana terorisme sebagai setiap tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan
1
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan, Republik Indonesia. (2006). Kebijakan Dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme. Hal. 6.
1
kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Seseorang dalam pengertian di atas dapat bersifat perorangan, kelompok, orang sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual atau korporasi. Bagi Indonesia masalah terorisme ini merupakan masalah serius yang dihadapi oleh Bangsa dan Negara. Berdasarkan pengungkapan aksi terror selama ini dapat diketahui bahwa ternyata Indonesia tidak hanya menjadi target terorisme baik yang bersifat domestik maupun internasional namun ternyata juga dijadikan tempat perekrutan pelaku terorisme. Dalam beberapa kali kesempatan Kepala Negara menyatakan bahwa tiga masalah serius yang harus dihadapi bersama oleh seluruh komponen dalam masyarakat adalah Korupsi, Narkotika dan Terorisme. Pernyataan ini merupakan suatu komitmen dan sekaligus menempatkan ketiga masalah tersebut pada prioritas yang tinggi dalam agenda bangsa Indonesia 2 . Setelah tragedi bom di Legian Bali, Pemerintah telah mengambil beberapa langkah strategis untuk menghadapi tindak
2
Ibid. Hal.3.
2
pidana terorisme ini berupa langkah untuk memperkuat perangkat hukum dan organisasi yang dapat dijadikan landasan bagi upaya penindakannya. Satu minggu setelah terjadinya tragedi Bom di Legian Bali, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Perpu No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 kemudian disyahkan oleh DPR RI menjadi Undangundang No. 15 Tahun 2003 dan Undang-undang No. 16 Tahun 2003. Dalam perkembangannya Undang-undang No. 16 Tahun 2003 dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi. Di samping memperkuat dan menyempurnakan legislasi nasional mengenai penanganan masalah terorisme, Indonesia juga mempunyai kewajiban untuk melaksanakan berbagai Konvensi Internasional. Sejauh ini terdapat 13 Konvensi Internasional yang menyangkut tindak pidana terorisme. Dari jumlah ini Indonesia telah meratifikasi 6 Konvensi, sedangkan beberapa konvensi lainnya masih dalam proses ratifikasi. Selanjutnya sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa Indonesia pun terikat oleh berbagai Deklarasi dan Resolusi yang dikeluarkan oleh Perserikatan BangsaBangsa dan organisasi-organisasi dimana Indonesia menjadi anggota
3
seperti Organisasi Konferensi Islam, Gerakan Non-Blok, ASEAN, APEC dan lain-lain 3 . Dalam lingkup penyusunan peraturan perundang-undangan yang memiliki aspek internasional maka kebijakan legislasi mutlak mengadopsi substansi konvensi-konvensi internasional yang telah diakui oleh Pemerintah RI atau mempertimbangkan konvensi internasional yang belum diakui akan tetapi memiliki filosofi semangat dan jiwa yang sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta kebutuhan negara RI. 4 Dalam
rangka
meningkatkan
efektifitas
pemberantasan
terorisme, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002
yang
memerintahkan
kebijakan
dan
terorisme.
Selanjutnya
Menko
langkah-langkah Menko
Polkam
untuk
operasional Polkam
dalam
menyusun
pemberantasan melaksanakan
Instruksi Presiden tersebut telah mengeluarkan Keputusan Menko Polkam
nomor
Kep-26/Menko/Polkam/11/2002
tentang
Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) 5 . Selain itu Menko Polhukam juga mengeluarkan keputusan Nomor Kep-45/Menko/Polhukam/6/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme. Selanjutnya, oleh
3
Ibid. Hal 1-2.
4
Prof. Dr. H. Romli Atmasasmita, SH., LL.M. Kapita Selekta Hukum Pidan Internasional, CV. Utomo, Bandung. 2004, hal. 81.
5
Ibid. Hal. 3.
4
desk
koordinasi
pemberantasan
terorisme
telah
dikeluarkan
pedoman operasi terpadu dalam penanganan aksi teror pada tahun 2006. Sementara itu Presiden, pada tahun 2004, juga mengeluarkan Keputusan Presiden No. 63 tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital
Negara
yang
bertujuan
untuk
mencegah
semakin
meningkatnya ancaman dan gangguan terhadap Obyek Vital Nasional termasuk oleh aksi terorisme 6 . Penanganan terorisme perlu dilakukan secara terus menerus dan mutlak memerlukan kerjasama yang terpadu, lintas instansi, dan lintas negara. Untuk itu diperlukan penanggulangan terorisme secara komprehensif yang melibatkan peran dan fungsi berbagai instansi Pemerintah baik pusat maupun daerah dan bekerjasama dengan komunitas internasional dengan dukungan dan partisipasi segenap komponen bangsa 7 .
6
Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksudkan dengan : (1) Obyek Vital Nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/ instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis; (2) Pengelola Obyek Vital Nasional adalah perangkat otoritas dari Obyek Vital Nasional, (3) Pengamanan adalah segala usaha, pekerjaan dan kegiatan dalam rangka pencegahan, penangkalan dan penanggulangan serta penegakan hukum terhadap setiap ancaman can gangguan yang ditujukan kepada Obyek Vital Nasional; (4). Ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan dengan segala bentuknya balk yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai dapat berpotensi membahayakan kelangsungan berfungsinya Obyek Vital Nasional, (5) Gangguan adalah tindakan yang sudah nyata dan menimbulkan kerugian berupa korban jiwa dan/atau harta benda serta dapat berakibat trauma psikis kepada pegawai/karyawan Obyek Vital Nasional.
7
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan, Republik Indonesia. (2006).Loc.cit, hal.4.
5
Terorisme bukanlah kejahatan biasa melainkan merupakan kejahatan luar biasa bahkan digolongkan kedalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Terorisme mempunyai jaringan yang luas dan merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional serta merugikan kesejahteraan masyarakat, sehingga perlu
dilakukan
pemberantasan
secara
berencana
dan
berkesinambungan sehingga hak asasi manusia dapat dilindungi dan dijunjung tinggi 8 . Masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional saat ini sedang dihadapkan dengan keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya aksi teror. Bangsa Indonesia telah merasakan betapa
besarnya
kerugian
akibat
aksi
teror,
karena telah
menimbulkan korban nyawa warga negara Indonesia dalam jumlah cukup banyak serta kerugian harta benda dan memperparah keadaan ekonomi bangsa yang sedang terpuruk akibat krisis yang berkepanjangan. Oleh karena itu pemberantasan terorisme telah merupakan tekad pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam rangka mencapai tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum
dalam
Pembukaan
Undang-undang
Dasar
Negara
9
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu : “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan
8
Ibid. Hal. 29.
9
Ibid. 30.
6
ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi, dan keadilan sosial.� Pemerintah
Republik
Indonesia
sebagai
kemerdekaan, bagian
dari
masyarakat internasional melakukan hubungan dan kerjasama internasional untuk ikut memberantas segala tindakan yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme. Negara-negara
anggota
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
dan
masyarakat yang beradab menegaskan secara sungguh-sungguh untuk mengecam secara tegas seluruh bentuk, metoda, upaya dan tindakan terorisme sebagai tindak pidana yang sangat kejam, termasuk mereka yang merusak hubungan persahabatan antar negara dan mengancam integritas teritorial, keamanan, ketertiban dan pertahanan negara-negara yang berdaulat 10 . Untuk mencegah tindak pidana terorisme, diperlukan kerja sama antar negara yang dilakukan melalui perjanjian, baik bilateral maupun multilateral. Secara internasional pemberantasan terorisme adalah bagian dari pelaksanaan komitmen Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) yang mengutuk dan menyerukan seluruh negara anggota PBB untuk mencegah dan memberantasnya. PBB melalui United Nations Terrorism Prevention Branch telah melakukan studi mendalam dan merekomendasikan
langkah-langkah
penanggulangan
secara
komprehensif, sebagai berikut: 10
Ibid. Hal. 30.
7
1. Aspek politik dan pemerintahan (politics and governance); 2. Aspek ekonomi dan sosial (economic and social); 3. Aspek psikologi, komunikasi, pendidikan (psychology, communication, education); 4. Peradilan dan hukum (judicial and law); 5. Aspek kepolisian dan sistem pemasyarakatan (police and prison system); 6. Aspek intelijen (intelligence); 7. Aspek militer (military); 8. Aspek imigrasi (immigration). Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas konvensi
terorisme
internasional
sudah yang
diwujudkan menegaskan
dalam bahwa
berbagai terorisme
merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia sehingga seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia, wajib mendukung dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk terorisme dan menyerukan seluruh negara anggota PBB untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional negaranya. Substansi
8
Resolusi Dewan Keamanan PBB (UNSC) No. 1373 adalah, sebagai berikut 11 : 1. Mencegah dan menindak pendanaan terhadap teroris. 2. Pembekuan dana sumber-sumber keuangan para teroris. 3. Melarang warga negara untuk mendanai teroris. 4. Mencegah warga negara mendukung teroris, termasuk mencegah rekrutmen dan mengeliminir suplai senjata. 5. Menerapkan upaya preventif termasuk peringatan dini ke negara lain melalui pertukaran informasi. 6. Menolak untuk dijadikan tempat persembunyian teroris. 7. Mencegah
digunakannya
wilayah
teritorial
untuk
melakukan kegiatan teroris terhadap negara lain atau warga negaranya. 8. Menjamin bahwa para teroris dan pengikutnya diajukan ke pengadilan dan di jatuhi hukuman setimpal dengan kesalahannya. 9. Menyediakan bantuan dalam rangka investigasi kriminal. 10. Menerapkan
pengawasan
perbatasan
secara
efektif,
meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap dokumen perjalanan.
11
Ibid. 30-31.
9
Dalam rangka memperkuat kerjasama internasional dalam pemberantasan terorisme, perlu diratifikasi berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan pemberantasan terorisme. Juga perlu diadakan persetujuan bantuan hukum secara timbal balik (mutual legal assistance treaties) dengan negara lain, sehingga mempunyai landasan hukum yang kuat dalam kerjasama operasional, pemeriksaan saksi-saksi, pengambilan barang bukti dan lain-lain 12 . Dengan dikeluarkannya Perpu No. 1 tahun 2002, Perpu No. 2 tahun 2002 yang kemudian telah disahkan masing-masing menjadi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 dan Undang-undang Nomor 16 tahun 2003 dan selanjutnya Inpres No. 4 tahun 2002, maka Pemerintah merumuskan
memberi
mandat
kebijakan
mengkoordinasikan
kepada
nasional
langkah-langkah
Menko
melawan operasional
Polkam terorisme dalam
untuk dan upaya
pencegahan dan penanganan terorisme. Dengan menyadari bahwa upaya pencegahan dan penanganan terorisme mutlak memerlukan kerjasama terpadu secara lintas instansi bahkan lintas negara, maka diperlukan suatu konsep operasi yang komprehensif, dengan memadukan peran dan fungsi instansi-instansi pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta melibatkan partisipasi masyarakat.
12
Ibid. 32-33.
10
Secara umum, pencegahan dan penanganan terorisme dapat dikatakan masih belum efektif. Dalam penindakan terorisme, hampir semua pelaku teror Bom Bali 12 Oktober 2002 telah tertangkap dan diproses sesuai ketentuan hukum. Namun demikian ternyata masih terjadi lagi aksi teror bom di Hotel J.W. Marriot Jakarta pada tanggal 5 Agustus 2003 dan teror bom didepan Kedutaan Besar Australia pada tanggal 9 September 2004. Bahkan kemudian di Bali terjadi lagi aksi teror bom pada tanggal 1 Oktober 2005 (Bom Bali II). Hal tersebut menuntut untuk terus meningkatan upaya-upaya pencegahan dan penanganan terorisme. Dalam pencegahan dan penanganan terorisme ternyata tidak hanya berkait dengan masalah hukum atau undang-undang (aspek instrumental),
tapi
mencakup
secara
komprehensif
masalah
pengorganisasian upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme (aspek struktural) dan budaya (aspek kultural). Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan antara lain adalah, membangun kesadaran publik tentang bahaya terorisme, menciptakan komunitas yang sadar tentang masalah-masalah keamanan. Dengan demikian, selain meningkatkan sistem hukum yang mampu merespons terorisme, upaya-upaya prevensi dan sosialisasi, seperti melakukan program-program edukasi dan rehabilitasi. Untuk itu, perlu dilakukan pembahasan dan pengkajian lebih lanjut tentang hal-hal yang terkait dengan:
11
1. Penataan normatif (aspek instrumental) pencegahan dan penanganan
terorisme
manajemen
sebagai
penyelenggaraan
bagian
integral
negara
dari
/
tata
pemerintahan. 2. Pengorganisasian
(aspek
struktural)
upaya-upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme yang dapat menjamin sinergi upaya pencegahan dan penanganan terorisme yang dilakukan oleh berbagai instansi. 3. Nilai-nilai (aspek kultural) yang direfleksikan dalam tata laku aparat dan masyarakat dalam pencegahan dan penanganan terorisme dan persepsi masyarakat tentang kejahatan terorisme sebagai musuh bersama (common enemy), sehingga diharapkan bisa menciptakan bentukbentuk
partisipasi
masyarakat
yang
efektif
dalam
pencegahan dan penanganan tindak pidana terorisme.
2.
DASAR Kerjasama Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia dengan
Kemitraan dalam Proyek Kajian dan Perumusan Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia,
yang
dituangkan
dalam
bentuk
Memorandum
of
Understanding (MOU) yang ditanda tangani pada tanggal 28 Mei 2007. 12
3.
MAKSUD DAN TUJUAN Maksud
dari
penulisan
laporan
ini
adalah
untuk
menggambarkan hasil penelitian, pengkajian dan perumusan tentang
“Mekanisme
Alternatif
Manajemen
Pencegahan
dan
Penanganan Terorisme di Indonesia� yang dilaksanakan oleh Lembaga
Cegah Kejahatan
Indonesia
bekerja
sama
dengan
Kemitraan. Laporan ini bertujuan untuk: 1. Menyajikan deskripsi Proses Penelitian, Pengkajian dan Perumusan; 2. Menggambarkan Substansi yang dihasilkan mencakup Aspek Situasi Masalah, Substansi Masalah dan Alternatif Solusi
Pemecahannya
(Struktural,
Instrumental
dan
Kultural); 3. Menyajikan rumusan alternatif Rekomendasi Kebijakan.
4.
LINGKUP MATERI LAPORAN Adapun
lingkup
materi
Laporan
tentang
alternatif
manajemen pencegahan dan penanganan terorisme ini meliputi: 1. Proses Penelitian, Pengkajian dan Perumusan.
13
2. Materi
yang
dihasilkan
mencakup
Situasi
Masalah,
Substansi Masalah dan Alternatif Solusi Pemecahannya (Struktural, Instrumental dan Kultural). 3. Rekomendasi Kebijakan.
5.
SISTEMATIKA PENULISAN
Sesuai
dengan
tujuan
penulisan
Laporan
yang
telah
disebutkan di atas maka disusun sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I
:
PENDAHULUAN
BAB II
:
PROSES PENELITIAN, PENGKAJIAN DAN PERUMUSAN DALAM RANGKA KEGIATAN PROYEK
BAB III
:
HASIL PENELITIAN: 1. Aspek Struktural Dari Pencegahan Dan Penanganan Terorisme Di Indonesia 2. Aspek Instrumental Dari Pencegahan Dan Penanganan Terorisme Di Indonesia 3. Aspek Kultural Dari Pencegahan Dan Penanganan Terorisme Di Indonesia
BAB IV
14
:
PENUTUP : REKOMENDASI KEBIJAKAN
BAB II PROSES PENELITIAN, PENGKAJIAN DAN PERUMUSAN DALAM RANGKA KEGIATAN PROYEK 1.
JUDUL PROYEK Judul Proyek yang dilakukan oleh Lembaga Cegah Kejahatan
Indonesia bekerja sama dengan Kemitraan adalah: “KAJIAN DAN PERUMUSAN MEKANISME ALTERNATIF MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA”.
2.
TUJUAN Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan
alternatif manajemen pencegahan dan penanganan terorisme yang effektif di Indonesia. Secara khusus, tujuan dari penelitian tentang ini adalah untuk mengetahui: 1. Gambaran terkini tentang pencegahan dan penanganan terorisme
yang
dilakukan
oleh
berbagai
instansi
pemerintah yang terkait.
15
2. Persepsi masyarakat tentang pencegahan dan penanganan terorisme. 3. Merumuskan alternative policies tentang pencegahan dan penanganan terorisme.
3.
MANFAAT Adapun
manfaat
dari
Proyek
“Kajian
dan
Perumusan
Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia ini adalah : Terwujudnya pembaharuan Tata Pememerintahan
(Governance
Reform)
khususnya
di
bidang
keamanan yang lebih demokratis, legal dan komprehensif untuk kebijakan publik (legislatif dan eksekutif)
4.
HASIL YANG DIHARAPKAN Hasil yang diharapkan dari kegiatan Proyek “Kajian dan
Perumusan Mekanisme Alternatif Manajemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia ini adalah : 1. Deskripsi kebijakan, implementasi dan tata cara atau mekanisme pencegahan dan penanganan terorisme yang dilaksanakan oleh Instansi terkait. 2. Deskripsi
pendapat
masyarakat
tentang
terorisme,
pencegahan dan penanganannya. 3. Policy
Paper
tentang
alternatif
penanganan terorisme di Indonesia. 16
pencegahan
dan
4. Komitmen Policy Makers untuk menggunakan alternatif pencegahan dan penanganan terorisme.
5.
PENGORGANISASIAN PROYEK Untuk dapat melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan Proyek
“Kajian
dan
Perumusan
Mekanisme
Alternatif
Manajemen
Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia”, dilakukan pengorganisasian pelaksanaan pekerjaan yang meliputi : Penanggungjawab
: Prof. Drs. Da’i Bachtiar, S.H.,
A. Steering Committee : 1. Prof. Drs. Adrianus E. Meliala, M.Si., M.Sc., Ph.D. (Senior Governance Advisor – Partnership) 2. Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A. (Direktur Jenderal Perlindungan HAM – Departemen Hukum dan HAM) 3. Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai (Ketua Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kemenko Polhukam) 4. Brigjen. Pol. Bekto Suprapto (Kadensus 88/AT Bareskrim Polri) 5. Irjen Pol (Purn) Drs. Ronny Lihawa, M.Si. (Ketua Desk Antar Instansi DN / LN – LCKI) 6. Warsito Sanyoto, S.H., M.H. (Ketua Desk Anti Teror – LCKI)
17
B. Manajemen Proyek
:
1. Pimpinan
: Irjen Pol (Purn) Drs. Momo Kelana, M.Si.
2. Wakil Pimpinan
: Irjen Pol (Purn) Drs. Ketut Astawa
3. Staf Teknis Proyek : Dede Astika Widiana 4. Staf Administrasi
: Mohamad Viva, S.Kom.
5. Staf Keuangan
: Dra. Sri Purnamawati
6. Peneliti
: Drs. M. Kemal Dermawan, M.Si. Rocky Sistarwanto, S.Sos., MBA.
6.
KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGKAJIAN 6.1. UMUM Metode penelitian merupakan suatu proses yang harus dilalui dalam suatu penelitian agar hasil yang diinginkan dapat tercapai. Dalam metode penelitian, cara yang akan digunakan dalam mengumpulkan data sangat penting karena akan
mempengaruhi
hasil
penelitian.
Jika
cara
yang
digunakan tidak sesuai atau kurang tepat maka hasil penelitian bisa saja berbeda dari apa yang diharapkan. Metode penelitian yang diuraikan dalam Research Design mencakup beberapa hal yaitu: (a) Pendekatan dan Tipe penelitian; (b) Populasi dan sampel; (c) Teknik penarikan sampel; (d) Teknik pengumpulan data; serta (e) Teknik analisis data.
18
6.2. PENDEKATAN DAN TIPE PENELITIAN Pendekatan dan tipe penelitian yang dilakukan dalam kegiatan ini sangat tergantung pada hasil kegiatan yang diharapkan.
Dalam
mencapai
hasil
kegiatan
pertama
(Output I: hasil wawancara mendalam), yakni deskripsi tentang
kebijakan,
implementasi
dan
tata
cara
atau
mekanisme pencegahan dan pemberantasan terorisme yang selama ini dilaksanakan oleh instansi Primer Tingkat Nasional yang telah ditetapkan oleh Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, Kemenko Polhukam, Republik Indonesia, maka dilakukan pendekatan kualitatif, dalam bentuk wawancara mendalam dengan berpedoman pada variabel dan indikator penelitian yang dirujuk dari berbagai referensi. Wawancara mendalam
dilakukan
kepada
informan-informan
yang
mewakili instansi yang menangani upaya pencegahan dan penanganan terorisme dan instansi Primer Tingkat Nasional yang telah ditetapkan oleh Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT), Kemenko Polhukam, Republik Indonesia, yaitu: 1. Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme – Kemenko Polhukam 2. Badan Reserse Kriminal, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim POLRI), Densus 88/AT Bareskrim Polri
19
3. Departemen Dalam Negeri 4. Departemen Luar Negeri 5. Departemen Pertahanan 6. Departemen Agama 7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Dalam rangka mencapai hasil kegiatan ke dua (Output II:
Hasil
Survei),
yakni
(Stakeholders:
Hotel,
Perbelanjaan,
Bandara,
terorisme,
pencegahan
deskripsi
Restoran
/
Pusat dan
persepsi Kafe,
masyarakat
Mal
Perkantoran);
penanganannya,
/
Pusat tentang
dilakukan
dengan pendekatan kuantitatif dalam bentuk survei, yang mewawancarai para responden. Untuk memperkaya temuan masalah dari output I dan II dilaksanakan kegiatan Focused Group Discussion (FGD) di empat kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makasar) yang diikuti oleh para peserta yang merupakan perwakilan dari: I. Instansi Pemerintah antara lain: 1. Departemen Hukum dan HAM (Imigrasi, Lembaga Pemasyarakatan, Perundangan-undangan, dan Hak Asasi Manusia) 2. Kejaksaan Agung (di daerah Kejaksaan Tinggi/Negeri) 3. Mahkamah Agung (di daerah Pengadilan Tinggi/Negeri) 20
4. Tentara Nasional Indonesia (TNI) 5. Kepolisian Densus 88 dan Gegana (di daerah POLDA) 6. Departemen Keuangan (PPATK) 7. Departemen Perhubungan (Bandara) 8. Badan Intelijen Negara (BIN) 9. Perwakilan dari instansi-instansi pemerintah yang terkait. (PEMDA dan dinas terkait lainnya antara lain pemadam kebakaran dan ambulans) II. Umum/multistakeholders: 1. Asosiasi Hotel dan Restoran (PHRI) 2. Asosiasi Pedagang Retail (Mall / Pusat Perdagangan) 3. Angkasa Pura (Pengelola Bandara) 4. Pelindo (Pengelola Pelabuhan) 5. Organisasi Profesi (Asosiasi Manajer Sekuriti Indonesia) 6. Asosiasi Hiburan / Pariwisata 7. Perbankan (Perbanas) 8. Organisasi Mahasiswa; 9. Organisasi Kepemudaan yang bersifat lokal III. Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) 1. Kontras (khusus Jakarta) 2. Organisasi Perlindungan Perempuan 3. Lembaga Bantuan Hukum 4. Majelis Ulama Indonesia 5. Asosiasi Pondok Pesantren
21
6. Muhammadiyah 7. Nahdlatul Ulama 8. Parisadha Hindu Dharma (Organisasi Hindu) 9. Walubi (Organisasi Budha) 10. Kristen (Organisasi Kristen) 11. Katolik (Organisasi Katolik) IV. Universitas / Akademisi 1. Universitas-universitas lokal (negeri dan swasta) Setelah dilakukan Focus Group Discussion (FGD), maka dilakukan Workshop di empat kota (Medan, Pekanbaru, Jakarta dan Jogjakarta) yang menghadirkan para peserta dari unsur yang sama dengan peserta Focus Group Discussion (FGD). Hasil dari Workshop dibahas dalam kegiatan Round Table Meeting (RTM) dengan pakar dari berbagai bidang dan disiplin ilmu. Setelah kegiatan Round Table Meeting (RTM) dilakukan kegiatan Diskusi Publik yang diikuti oleh tokoh masyarakat dan pimpinan organisasi sosial kemasyarakatan dan agama dalam rangka uji sahih. Setelah
dilakukan
Diskusi
Publik,
dalam
rangka
mendapatkan komitmen dari Policy Makers, hasil Penelitian dan Kajian dibahas dalam Round Table Meeting dengan para
22
pejabat dari berbagai instansi terkait dan penyerahan Draft Policy Paper pada Komisi III DPR-RI.
POPULASI DAN SAMPEL 13
7.
Populasi dalam penelitian ini adalah pengunjung seluruh unsur stakeholders, yakni Hotel, Restoran/Kafe, Mal/ Pusat Perbelanjaan, Airport, Pusat Perkantoran di wilayah tertentu yang akan dipilih. Sedangkan sampel merupakan bagian dari populasi yang
diteliti
dan
yang
dianggap
dapat
menggambarkan
populasinya. Sampel tiap-tiap unsur ditentukan jumlahnya, yakni bagi survei di Jakarta, setiap unsur diambil 50 responden (sehingga jumlah keseluruhan adalah 250) Untuk Surabaya, Denpasar dan Makasar setiap unsur diambil 20 responden (sehingga jumlah keseluruhan tiap kota 100 responden).
KEGIATAN SURVEI : TEKNIK PENARIKAN SAMPEL 14
8.
Penarikan sampel dilakukan dengan metode multistages sampling atau penarikan sampel secara bertahap. Tahap awal untuk menentukan kriteria sampel/responden berdasarkan metode penelitian yang dipakai adalah: Tahap 1:
Menentukan wilayah penelitian, misalnya Kota mana, Hotel,
Restoran/Kafe,
Mall/Pusat
Perbelanjaan,
13
Khusus untuk kegiatan Survei.
14
Khusus untuk kegiatan Survei.
23
Airport, dan Pusat Perkantoran mana saja yang diambil berdasarkan pertimbangan metodologis tertentu. Tahap 2:
Menentukan jumlah sampel. Jumlah sampel yang diambil secara keseluruhan di empat kota (Jakarta 250, Surabaya 100, Denpasar 100, dan Makasar 100) adalah 550 orang, yang ditemui di masing-masing tempat yang telah ditentukan.
Tahap 3:
Menentukan kuota. Dari setiap jumlah responden di seluruh Kota diambil separuhnya adalah responden laki-laki
dan
separuhnya
lagi
adalah
responden
perempuan (Jakarta: 125 perempuan, 125 laki-laki; Surabaya, Denpasar, dan Makasar: 50 responden lakilaki dan 50 responden perempuan. Tahap 4:
Menemui responden berdasarkan tahap 2 dan 3 secara accidental,
yaitu
dengan
memperhatikan
kuota
pewawancara dapat menemui setiap pengunjung, dengan kriteria tambahan bahwa setiap responden harus berusia 18 tahun ke atas.
9.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA 9.1. Pengumpulan Data Kuantitatif Data atau keterangan yang diambil untuk menjawab pertanyaan penelitian diperoleh dengan cara mengumpulkan informasi dengan teknik wawancara berstruktur dengan
24
menggunakan
kuesioner.
Kuesioner
dibuat
sedemikian
ringkas, padat dan akurat agar menghemat waktu sehingga tidak mengganggu kepentingan dan agenda responden. Jika hal ini tidak diwaspadai maka akan menyebabkan tingginya tingkat penolakan responden. 9.2. Pengumpulan Data Kualitatif Pendekatan kualitatif (pengumpulan data kualitatif melalui wawancara mendalam) dilakukan bagi kepentingan penelusuran data yang lebih mendalam tentang kebijakan, implementasi dan tata cara atau mekanisme pencegahan dan pemberantasan terorisme yang selama ini dilaksanakan oleh instansi Primer Tingkat Nasional yang telah ditetapkan oleh Desk
Koordinasi
Polhukam,
Pemberantasan
Republik
Indonesia,
Terorisme, sebagai
Kemenko
instansi-instansi
penjuru dalam penanganan terorisme, yaitu: (1) Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme – Kemenko Polhukam; (2) Badan Reserse Kriminal, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim POLRI), Densus 88/AT Bareskrim Polri; (3) Departemen Dalam Negeri; (4) Departemen Luar Negeri; (5) Departemen Pertahanan; (6)Tentara Nasional Indonesia (TNI); (7) Badan Intelijen Negara (BIN); (8) Departemen Kesehatan. Dalam melakukan pengumpulan data, Tim Peneliti menggunakan metode interview dalam bentuk “personal
25
interview” dengan mewawancarai beberapa key informan dari unsur-unsur yang telah disebutkan di atas. 9.3. Perlengkapan Penelitian Untuk memperoleh data yang akurat dan terfokus, Tim Peneliti
dilengkapi
dengan
checklist
dan
pedoman
wawancara tak berstruktur. Checklist merupakan daftar pertanyaan yang tidak ditanyakan pada informan melainkan menjadi pedoman bagi peneliti tentang data yang harus dicari di lapangan. Sedangkan wawancara tak berstruktur berupa pedoman wawancara yang berisikan poin-poin (garis besar) yang harus dikembangkan secara mendalam oleh peneliti di lapangan. 9.4. Non-Participant Observation Peneliti juga melakukan “Non-participant observation”. Dalam observasi ini peneliti mengamati kejadian atau situasi yang sedang berlangsung, tetapi ia sendiri tidak merupakan bagian dari kelompok dan situasi tersebut, hanya mengamati dari “jarak tertentu”. Teknik ini banyak dipergunakan dalam penelitian; biasanya sambil mengamati dulu dan melakukan pencatatannya kemudian.
26
10. ANALISIS DATA KUALITATIF Dalam analisa data (kualitatif) pada dasarnya merupakan proses pengorganisasian dan pemilahan data ke dalam kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan pola, tema yang dapat menjadi panduan dalam melakukan analisa (interpetasi). Sebelum melakukan analisa data, dilakukan kegiatan: 1. Mendiskripsikan hasil wawancara secara apa adanya. 2. Melakukan kategorisasi hasil temuan-temuan itu menurut jenis datanya yang sesuai dengan tujuan penelitian. 3. Dilakukan analisa secara kritis terhadap seluruh hasil temuan yang ada. 4. Penyajian hasil wawancara secara mendalam, dipisahkan antara emik (pendapat informan) dengan etik (pendapat peneliti). 5. Penyajian data menggunakan teknik etnografi modern yaitu teknik laporan penelitian sudah diimaginasikan dengan bantuan teori dan referensi lainnya. Proses analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang dikumpulkan, baik yang diperoleh melalui wawancara, pengamatan, catatan lapangan dan seterusnya, baru melakukan reduksi data yang dilakukan dengan cara membuat abstraksi. Sebelum data ditafsirkan dilakukan evaluasi terhadap keabsahan data, baru data ditafsirkan dengan bantuan teori yang telah disediakan.
27
11. TEKNIK ANALISIS DATA KUANTITATIF Data
yang
diperoleh,
dianalisis
sesuai
dengan
fokus
penjelasan hubungan antar variabel penelitian. Pengolahan data melalui SPSS (Statistic Package for Social Science) kemudian akan dianalisis dengan: descriptive statistics.
12. KENDALA PENELITIAN KUALITATIF
DAN
PENGUMPULAN
DATA
12.1. Kendala Dalam Melakukan Wawancara Mendalam Sesuai Research Design yang telah disepakati maka Informan dari pihak Instansi Pemerintah yang akan di wawancarai adalah : 1. Komenko Polhukam – Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) 2. POLRI (Bareskrim) 3. Departemen Agama 4. Departemen Dalam Negeri 5. Departemen Luar Negeri (Direktorat Keamanan Negara) 6. Departemen Pertahanan (Ortala) 7. KOMNAS HAM 8. Departemen Hukum dan HAM (Imigrasi) Ada hambatan birokratis yang dihadapi oleh Tim Peneliti, yang kemudian mengakibatkan kurang lancarnya kegiatan wawancara ini dilakukan. Pihak instansi terlihat sangat berhati-hati dalam merujuk informan yang tepat 28
untuk diwawancarai masalah Terorisme ini. Perlu kiranya pihak LCKI mendukung kelancaran permohonan dengan pendekatan yang lebih khusus lagi, karena surat permohonan yang diberikan ditanggapi tidak terlalu berbeda dengan surat permohonan lainnya yang sangat prosedural sifatnya. 12.2. Kendala Dalam Melakukan Focus Group Discussion Dan Workshop Walaupun Tim Peneliti dan Tim Manajemen telah merancang dengan seksama kegiatan Focus Group Discussion dan Workshop namun ada pula kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya, antara lain : 1. Dalam kegiatan-kegiatan seperti Focus Group Discussion dan
Workshop,
walaupun
Tim
Peneliti
dan
Tim
Manajemen serta dibantu pula oleh Panitia Lokal di Kota di
mana
kegiatan
dilakukan
telah
mempersiapkan
undangan kepada pihak-pihak yang dinilai kompeten dalam diskusi, namun dalam pelaksanaannya, Tim Peneliti dan Tim Manajemen serta dibantu pula oleh Panitia Lokal, tidak dapat menjamin bahwa peserta yang hadir adalah benar-benar berkompeten
para
undangan
untuk
yang
memberikan
diharapkan
atau
pemikiran
yang
diharapkan. 2. Khusus untuk pelaksanaan Workshop, persiapan undangan dilaksanakan pada bulan puasa mendekati hari Raya Idul
29
Fitri, sehingga kelancaran penyebaran undangan dan konfirmasi terhambat.
30
BAB III HASIL PENELITIAN 1.
ASPEK STRUKTURAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA Aspek
struktural
mencakup
pembahasan
tentang
pengorganisasian, kelembagaan, atau sistem sebagai wadah atau badan yang mengemban tugas pencegahan dan penanganan terorisme.
Dalam
Struktural
ini,
membahas
difokuskan
temuan
pada
lapangan
butir-butir
dari
masalah
aspek yang
dikelompokkan ke dalam situasi masalah, substansi masalah, dan solusi pemecahan masalah. 1.1. MASALAH KOORDINASI KELEMBAGAAN Beberapa instansi memiliki satuan anti teror yang keberadaan dan rumusan tugasnya mengacu kepada undangundang dari instansi yang menjadi induk organisasinya. Sebagai contoh Densus 88 mengacu pada Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Satuan Tugas Anti Teror TNI (Detasemen 81 Kopasus, Detasemen Jalamangkara/Denjaka Marinir, dan Detasemen Bravo 90 Paskhas TNI AU) yang mengacu kepada Undang
31
undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI dan Desk Koordinasi Pemberantasan
Terorisme
(DKPT)
pada
Kementerian
Koordinator Polhukam yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menko Polkam No. Kep-26/Menko/Polkam/11/2002. Di masyarakat berkembang juga suatu persepsi tentang badan yang menangani terorisme yang tercermin dari hasil penelitian survei. Berikut ini akan disajikan tabel yang menunjukkan pengetahuan para responden tentang pasukanpasukan
khusus
yang
diketahui
oleh
mereka,
tanpa
menonjolkan variasi jawaban dari responden. Kepentingan penyajian data ini adalah menunjukkan seberapa jauh eksistensi pasukan-pasukan khusus anti teror yang ada di masyarakat kita ini sudah tersosialisasi di masyarakat. Tabel 1. Pengetahuan Responden Tentang Pasukan Khusus Anti Teror Di Indonesia Frekuensi Jawaban Yang Disebutkan Detasemen 88 Anti Teror 286 Satuan Gegana 131 SAT 81 Counter Terrorist KOPASSUS AD 28 Unit Counter Terrorist Batalion RAIDER 23 Intelijen atau BIN 19 Detasemen Jalamengkara MARINIR AL 13 Detasemen Bravo 90 PASKHAS AU 9 Cyber crime MABES POLRI 1 Tidak Tahu 86 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007 Pasukan khusus anti teror
32
Selain itu ada persepsi masyarakat tentang unsur pemerintah dan masyarakat yang seharusnya terkait dengan upaya pencegahan dan penanganan terorisme sebagaimana disajikan dalam tabel berikut ini Tabel 2. Pendapat Responden Tentang Unsur Yang Seharusnya Terkait Pencegahan Dan Penanganan Terorisme Unsur POLRI TNI Departemen Luar Negeri Pemerintah Daerah Departemen Dalam Negeri Kejaksaan BIN Lembaga Pengadilan Masyarakat Departemen Agama Badan intelijen DPR Imigrasi Departemen Perhubungan Lembaga Swadaya Masyarakat Departemen Pertahanan Dinas Pariwisata Presiden Departemen Hukum dan HAM Perguruan tinggi Partai politik Organisasi Keagamaan Kecamatan Kelurahan Aparat Hukum KOMINFO
Frekuensi Jawaban Yang Disebutkan 529 373 147 136 126 35 31 27 21 9 4 3 3 2 2 9 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2
33
KOMNAS HAM 1 Media informasi 1 Menkopolkam 1 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
Disadari bahwa ancaman terorisme bersifat lintas sektoral
dan
lintas
negara
sehingga
upaya
penanggulangannyapun harus bersifat lintas sektoral yang melibatkan seluruh instansi dengan didukung oleh seluruh potensi masyarakat dan menggalang kerjasama Internasional. Dengan
demikian,
koordinator
lintas
secara sektoral
nasional yang
harus
ada
satu
mempunyai otoritas
melakukan koordinasi dan sinkronisasi semua upaya dan langkah
Pemerintah
untuk
mencegah
dan
menangani
terorisme secara efektif dengan harapan bahwa semua sektor menjalankan fungsinya masing-masing secara profesional. Koordinator tidak mengambil alih fungsi sektoral yang ada, namun hanya memadukannya, membuatnya lebih efisien, lebih efektif dan terfokus pada sasaran bersama. 15
15
Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme tugas pokoknya adalah menyusun program bersama pencegahan dan penanganan terorisme, termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian serta dukungan anggarannya. Pelaksana dari Program bersama terdiri dari instansi sektoral dan atau organisasi kemasyarakatan. Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang kegiatan sehari-harinya dilaksanakan oleh Menko Polhukam sebagai Pelaksana Harian.
34
1.2
STRUKTUR PENGAMANAN PELABUHAN LAUT, UDARA DAN JALUR LALU LINTAS KELUAR-MASUK WILAYAH INDONESIA Masalah lain yang ditemui adalah bahwa saat ini,
Struktur Pengamanan Pelabuhan Laut dan Udara, serta jalur lalu lintas keluar-masuk wilayah Indonesia sangat lemah, tidak berpola, dan tidak taat asas. Hal ini disebabkan petunjuk teknis bagi pengamanan Pelabuhan Laut dan Udara, serta jalur lalu lintas keluar-masuk wilayah Indonesia tidak jelas, bersifat duplikasi, tidak efisien, tidak proporsional. Misalnya unsur pengamanan pelabuhan laut yang ditemukan terdiri dari Syahbandar (KPLP), Polri (KP3), dan TNI Angkatan Laut yang tugasnya saling bertumpang tindih dan kurang koordinasi. 16 Untuk pengamanan bandara, terdapat perbedaan pola antara lain pola yang berlaku di bandara Juanda, unsur Polri tidak diperbolehkan berada di kawasan bandara, sehingga jika ada masalah keamanan di wilayah bandara Juanda yang menangani
adalah
pihak
Angkatan
Laut 17 ,
yang
tidak
berkewenangan secara hukum, dan banyak dikeluhkan oleh masyarakat, karena sangat merugikan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang cepat dan efisien. 16
Terungkap dari kegiatan FGD di Surabaya
17
Terungkap dari kegiatan FGD di Surabaya
35
Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai pantai yang terpanjang di seluruh dunia, tetapi pengawasan terhadap pantai sangat kurang, contohnya di Propinsi Riau Kepulauan ada 42 pintu-pintu masuk yang tidak resmi serta pintu masuk melalui jalan laut dari Filipina ke Sulawesi dan Maluku yang tidak dijaga oleh aparat 18 , oleh karena itu maka perlu diadakan pengembangan kekuatan Angkatan Laut dan Pol Air serta membina masyarakat pantai. Hal ini diperberat lagi dengan banyaknya pintu-pintu masuk wilayah Indonesia melalui perbatasan darat di Kalimantan dan Papua. 1.3. DATA BASE TENTANG, PENANGANAN TERORISME
PENCEGAHAN
DAN
Beberapa instansi (Polri, Departemen Luar Negeri, Departemen
Agama,
BIN,
Imigrasi,
TNI,
Lembaga
Pemasyarakatan, Departemen Dalam Negeri, dsb.) memiliki data yang berkait dengan pencegahan dan penanganan terorisme di bidangnya, tetapi terbatas pada kebutuhan bidang tugasnya dan belum dipadukan menjadi satu data base yang komprehensif yang dapat diakses oleh instansiinstansi yang berkepentingan. Disadari bahwa data base tentang terorisme yang komprehensif
adalah
18
sangat
Terungkap dari kegiatan workshop di Jakarta.
36
penting
dalam
upaya
pencegahan dan penanganan terorisme baik yang bersifat strategis, taktis, dan teknis. Secara yuridis undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15 ayat (1) huruf j, telah memberi kewenangan umum Kepolisian untuk menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional. Dalam hubungan ini maka dengan sendirinya Pusat Informasi Kriminal Nasional mencakup pula informasi tentang terorisme sebagai bentuk kejahatan. Oleh karena itu perlu ditingkatkan peranan Pusat Informasi Kriminal Nasional, yang saat ini hanya sebagai unsur pelaksana pada Divisi Telematika Polri, ke arah posisi suatu lembaga yang mengemban kewenangan umum kepolisian dan dapat mengakses data base kriminal termasuk terorisme yang ada di tiap instansi.
2.
ASPEK INSTRUMENTAL PENCEGAHAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA Aspek
instrumental
mencakup
pembahasan
DAN
tentang
ketentuan penataan normatif dalam bentuk hukum, Undangundang, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi legitimasi dari badan / organ serta hubungan dan tata cara kerja terkait
dengan
pencegahan
dan
penanganan
terorisme.
Sebagaimana halnya dengan aspek struktural, pembahasan temuan lapangan aspek instrumental, difokuskan pada butir-butir masalah
37
yang dikelompokkan ke dalam situasi masalah, substansi masalah, dan solusi pemecahan masalah. 2.1. ATURAN
HUKUM
TENTANG
TINDAK
PIDANA
TERORISME Aturan hukum yang lemah terhadap pencegahan dan penanganan terorisme sulit untuk mengungkap pelaku teroris dan jaringannya. Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme khususnya bagian yang mengatur hukum acaranya, belum sepenuhnya mengakomodasikan kepentingan-kepentingan
pengaturan
pencegahan
dan
penanganan terorisme sebagai extra ordinary crime. Selama ini kebijakan Pemerintah lebih terfokus hanya pada upaya penegakan hukum, sementara pasal hukum yang digunakan untuk mengadili sangat lemah, dan payung hukum yang
dijadikan
dasar
masih
kurang
memadai;
Upaya
penegakan hukum hanya mampu menindak para pelaku lapangan (orang suruhan), sementara para master-mind, provokator dan spiritual leader belum terjangkau 19 . Ketentuan tentang jangka waktu penahanan yang ditentukan di dalam Undang-undang No. 15 tahun 2003 pasal 25 ayat (2) tentang jangka waktu penahanan selama 6 bulan untuk
kepentingan
penyidikan
19
FGD Medan
38
dan
penuntutan
telah
menimbulkan masalah-masalah penafsiran yang berbeda terutama apabila dibandingkan dengan ketentuan KUHAP pasal 24, 25, dan 29 20 yang menimbulkan ketidakpastian hukum baik bagi penyidik dan penuntut umum maupun tersangka teroris. Selain itu ketentuan pasal 28 Undangundang No. 15 tahun 2003 tentang lamanya penangkapan 7x24 jam masih dirasakan kurang untuk memberikan waktu kepada penyidik melengkapi bukti permulaan yang cukup menjadi bukti yang cukup sebagai dasar dilakukannya penahanan. Oleh karena itu perlu ada penyempurnaan dan penguatan Undang-undang No. 15 tahun 2003 tersebut. Selain itu kelemahan Undang-undang No. 15 tahun 2003 yang ditemukan melalui penelitian menyangkut perlunya pengaturan khusus tentang bukti permulaan 21 , barang bukti
20
Dalam KUHAP, kewenangan Penyidik untuk menahan : menurut Pasal 24 ayat 1, waktu penahanan selama 20 hari, menurut Pasal 24 ayat 2 : waktu penahanan dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum selama 40 hari dan terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya lebih dari 9 tahun dapat dikenakan tahanan paling lama 2 kali 30 hari (60 hari). Dengan demikian Penyidik dapat menahan paling lama 120 hari (4 bulan). Menurut KUHAP kewenangan Penuntut Umum untuk menahan pada pasal 25 ayat (1) adalah 20 hari, menurut pasal 25 ayat (2) diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 30 hari dan terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya lebih dari 9 tahun dapat dikenakan tahanan paling lama 2x30 hari dengan demikian Penuntut Umum dapat menahan paling lama 110 hari. Dengan demikian menurut KUHAP terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya lebih dari 9 tahun tersangka dapat ditahan oleh Penyidik dan Penuntut Umum paling lama 120 hari ditambah 110 hari atau sama dengan 230 hari (8 bulan).
21
Pada pasal 26 ayat (2) Undang-undang No. 15 tahun 2003 laporan intelijen dapat digunakan untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup namun harus mendapat penetapan dari Ketua / Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
39
sebagai alat bukti 22 , keputusan hakim berdasarkan satu alat bukti dan keyakinan hakim, serta penentuan jangka waktu eksekusi dari vonis hukuman mati yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Masalah lain yang ditemukan dalam penelitian adalah bahwa
Undang-undang
pemberantasan
tindak
pidana
terorisme yang dimiliki Indonesia masih lebih lunak dibanding undang-undang sejenis yang dimiliki negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, Singapura dan Australia. Undang-undang yang dimiliki Indonesia yaitu Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu direvisi, dalam arti penguatan Undang-undang tersebut. 2.2. ATURAN TENTANG PELARANGAN ORGANISASI RADIKAL Pembiaran perilaku radikal dan anarkhis oleh aparat selama ini akan menimbulkan kesan bahwa perilaku tersebut dibenarkan dan akan menjurus kepada tindak pidana terorisme. Oleh karena itu diperlukan aturan tentang pelarangan terhadap organisasi yang berperilaku radikal dan anarkhis agar Pemerintah dapat bertindak tegas melarang organisasi
yang
mengembangkan
perilaku
radikal
dan
anarkhis.
22
Sementara ini barang bukti tidak sebagai alat bukti, alat bukti menurut pasal 184 KUHAP adalah: 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan Ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan Terdakwa.
40
2.3. EFEKTIFITAS LAPORAN INTELIJEN Upaya-upaya pencegahan dan penanganan terorisme memerlukan laporan intelijen yang efektif. Permasalahan yang dihadapi yaitu masih kuatnya resistensi terhadap peranan intelijen akibat trauma masa lalu yang dialami oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Kurang dapat dimanfaatkannya laporan intelijen secara langsung sebagai bukti permulaan yang cukup dalam upaya mencegah dan menangani terorisme berakibat menurunnya kinerja aparat intelijen yang dapat menjadi hambatan dalam proses peradilan. Oleh karena itu diperlukan ketentuan normatif yang mengatur tentang penggunaan laporan intelijen sebagai alat bukti tindak pidana terorisme. Ketentuan normatif tersebut harus menjadi bagian dari penguatan Undangundang No. 15 tahun 2003. Penguatan Undang-Undang No.15 tahun 2003 diperlukan juga untuk mengaktualisasikan Instruksi Presiden No. 5 tahun 2002 kepada Kepala Badan Intelijen Negara sehubungan dengan
terorisme
penyusunan
untuk
perencanaan
melakukan umum
dan
pengkordinasian pengkoordinasian
pelaksanaan operasional kegiatan Intelijen seluruh instansi lainnya, yang menyelenggarakan fungsi tersebut sebagai bagian
atau
untuk
mendukung
penyelenggaraan
tugas
masing-masing.
41
2.4. PENYESUAIAN HUKUM NASIONAL TERHADAP HUKUM INTERNASIONAL
DAN
KONVENSI
INTERNASIONAL
MELAWAN TERORISME Terorisme merupakan kejahatan terhadap peradaban dan
merupakan
kedaulatan
salah
tiap
satu
negara.
ancaman
Terorisme
serius sudah
terhadap merupakan
kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya
terhadap
merugikan
keamanan,
kesejahteraan
perdamaian
masyarakat,
dunia
serta
sehingga
perlu
dilakukan pencegahan dan penanganan secara berencana dan berkesinambungan
serta
dengan
melaksanakan
kerjasama internasional. Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan
memberantas
terorisme
sudah
diwujudkan
dalam
berbagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme
merupakan
kejahatan
yang
mengancam
perdamaian dan keamanan umat manusia. Kerjasama internasional di bidang intelejen, kepolisian, bantuan hukum, dan kerjasama teknis lainnya adalah bentuk-bentuk
kerjasama
internasional
melawan
terorisme. Meskipun kerjasama internasional dilakukan, Pemerintah Indonesia tetap harus independen dalam mengambil tindakan dan membuat keputusan sehingga tidak di dikte oleh kekuatan asing manapun, tapi tetap 42
berdasarkan pada temuan akurat dan professional melalui proses
dan
Pemerintah sejumlah
mekanisme Indonesia
konvensi
yang
baru
akuntabel.
meratifikasi
internasional
dan
Selama
beberapa resolusi
ini dari
Dewan
Keamanan PBB di bidang pemberantasan terorisme.
3.
ASPEK KULTURAL PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME DI INDONESIA Aspek kultural mencakup pembahasan tentang tata laku
aparat dan masyarakat dalam pencegahan dan penanganan terorisme sebagai musuh bersama (common enemy) sehingga diharapkan
dapat
menciptakan
bentuk-bentuk
partisipasi
masyarakat yang efektif dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana terorisme. Dalam membahas temuan lapangan dari aspek kultural
ini,
difokuskan
pada
butir-butir
masalah
yang
dikelompokkan ke dalam situasi masalah, substansi masalah, dan solusi pemecahan masalah. 3.1. PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG TERORISME SEBAGAI MUSUH BERSAMA Kembali kepada anggapan bahwa terorisme adalah suatu bentuk extra ordinary crime, maka perlu pula kiranya dilihat seberapa jauh masyarakat secara empiris memandang terorisme.
Tim
Penelitian,
melalui
kegiatan
survei,
memperoleh data sebagai berikut :
43
Sebagian besar responden (57,8%) berpendapat bahwa terorisme adalah suatu masalah sosial yang sangat besar. Sementara kelompok responden lainnya menganggap bahwa terorisme itu adalah masalah yang cukup besar (30,2%). Hal yang menarik adalah bahwa cukup banyak pula responden yang menganggap bahwa terorisme itu bukanlah suatu masalah
sosial
yang
besar
(5,3%)
bahkan
ada
yang
menganggap terorisme sebagai suatu masalah yang dibesarbesarkan saja (6,4%). Tabel 3. Pendapat Responden Tentang Apakah Terorisme Di Indonesia Adalah Masalah Yang Besar Apakah terorisme di Indonesia masalah Frekuensi Persen yang besar Terorisme adalah masalah yang sangat besar 318 57,8 Terorisme adalah masalah yang cukup besar 166 30,2 Terorisme bukanlah masalah besar 29 5,3 Terorisme hanya masalah yang di besar2 kan 35 6,4 Menolak / tidak menjawab 2 ,4 Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
Mereka yang menganggap bahwa terorisme adalah suatu masalah yang sangat besar memiliki berbagai macam alasan. Namun alasan yang terbanyak dikemukakan oleh responden
adalah
bahwa
terorisme
itu
adalah
suatu
perbuatan yang melanggar HAM, mengancam masyarakat umum, dan menyangkut nyawa orang yang tidak berdosa (12,0%) serta bahwa terorisme itu adalah suatu perbuatan 44
yang mengganggu stabilitas nasional / politik / ekonomi (15,3%) (lihat Tabel di bawah). Tabel 4. Alasan Responden Bahwa Terorisme Adalah Masalah Yang Sangat Besar Alasan terorisme masalah yang sangat besar Melanggar HAM, mengancam masyarakat, menyangkut nyawa Mengganggu stabilitas nasional / politik / ekonomi Menimbulkan rasa tidak aman Mengganggu stabilitas dan meresahkan masyarakat Menjatuhkan martabat Indonesia / Indonesia sarang teroris Makan banyak korban dan nyawa Merugikan bangsa, pemerintah, dan masyarakat Merusak Citra Indonesia Mengacaukan keamanan dan ancam nyawa Memecahbelah bangsa / NKRI, dan disintegrasi bangsa Merusak perekonomian masyarakat Memecah belah agama Mengganggu perekonomian Indonesia dan membahayakan nyawa Berbahaya dan merusak fasilitas Merusak hubungan diplomatik dan meresahkan masyarakat Karena teroris membentuk jaringan Menyangkut negara dan mengancam negara Membahayakan masyarakat Melibatkan beberapa negara Membahyakan nyawa dan memecah belah NKRI Merugikan banyak orang dan dikecam dunia Membuat masyarakat takut dan merusak perekonomian Merusak posisi RI dan mengganggu perekonomian Banyak korbannya dan meresahkan masyarakat Tujuannya tidak jelas
Frekuensi Persen 82
14,9
65 21 19
11,8 3,8 3,5
12
2,2
10 9 8 8
1,8 1,6 1,5 1,5
8
1,5
7 6
1,3 1,1
6
1,1
5
,9
4
,7
4 4 4 3 3 3
,7 ,7 ,7 ,5 ,5 ,5
3
,5
2 2 2
,4 ,4 ,4
45
Mengganggu keamanan negara dan merusak 2 ,4 perekonomian Banyak korban, mengancam keamanan, paham 2 ,4 yang sesat Jaringan luas dan merugikan banyak orang 2 ,4 Gembong teroris belum tertangkap 1 ,2 Karena kebijakan AS yang terlalu mencampuri 1 ,2 negara Islam Menghilangkan banyak nyawa dan intimidasi umat 1 ,2 agama tertentu Mengintimidasi umat agama tertentu dan 1 ,2 propaganda media massa Menelan korban nyawa, proses hukum tidak 1 ,2 maximal, punya jaringan kuat Menyangkut ideologi dan memiliki jaringan yang 1 ,2 terlatih dan terorganisir Teroris tidak perduli pada orang lain 1 ,2 Mengganggu kenyamanan masyarakat dan merusak 1 ,2 citra negara Memecahbelah agama 1 ,2 Tidak relevan 235 42,7 Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
Sementara itu ada juga responden yang menganggap bahwa terorisme itu bukanlah suatu masalah yang besar, antara lain adalah : selain terorisme masih banyak lagi masalah sosial yang perlu mendapatkan prioritas perhatian pemerintah dan masyarakat (31.0%) serta bahwa sasaran dari terorisme itu hanyalah orang asing dan orang tertentu saja (24,1%). Pendapat sementara responden bahwa terorisme bukanlah suatu masalah yang besar atau memiliki derajat seriusitas tinggi ini bisa menjadi potensi munculnya sikap 46
masa bodoh dan apatis warga masyarakat terhadap masalah terorisme. Besar kemungkinan pula bahwa berkembangnya pendapat tersebut juga terkait dengan kondisi minimnya program-program penyuluhan oleh lembaga publik tentang bahaya terorisme sebagai musuh bersama masyarakat. Tindak pidana teror dimasukkan dalam extra ordinary crime dengan alasan antara lain sulitnya pengungkapan karena merupakan kejahatan trans-boundary dan melibatkan jaringan internasional. 3.2. DEFINISI TERORISME Walaupun
terorisme
sebenarnya
fenomena
lama,
namun hingga saat ini belum terdapat suatu definisi yang bersifat universal mengenai terorisme yang diterima oleh semua kalangan. Masih sulitnya mendefinisikan terorisme secara universal disebabkan biasnya pengertian bagi kalangan atau negara tertentu. Bagi sebagian kelompok atau negara, seseorang yang melakukan tindak terorisme disebut dengan teroris, tapi bagi kelompok tertentu dan negara tertentu, mereka bisa saja menjadi simbol perjuangan yang lalu disebut dengan pahlawan atau patriot. Adanya perbedaan definisi terorisme tersebut mengakibatkan tidak terwujudnya kesamaan persepsi masyarakat tentang terorisme sebagai musuh bersama.
47
Terlepas perbedaan
dari
definisi
kenyataan dan
bahwa
persepsi
masih
terdapat
masyarakat
tentang
terorisme, namun dapat dikemukakan beberapa macam definisi tentang terorisme antara lain: 1. Terorisme adalah suatu tindakan atau aktivitas simbolik yang bertujuan untuk mempengaruhi tingkah laku politik dengan menggunakan cara-cara yang tidak normal. Seringkali yang digunakan adalah ancaman dan kekerasan yang terutama ditujukan untuk menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat yang menjadi sasarannya. Terorisme seringkali dijadikan taktik oleh mereka yang tidak mempunyai kekuasaan. 2. Terorisme adalah kegiatan kriminal, ancaman yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang dibentuk untuk mencapai tujuan politik atau ekonomi dengan jalan kekerasan, intimidasi, kekuatan dan kekejaman, termasuk penculikan, penggunaan bom, sabotase, pembunuhan terhadap orang penting (very important person/VIP), dan sebagainya. 3. Terorisme
adalah
kekerasan
untuk
suatu
ancaman
maksud-maksud
atau
penggunaan
politis,
yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku dari suatu kelompok yang lebih besar. Sasarannya bukan saja mereka yang langsung menjadi korban, namun lebih 48
jauh misalnya masyarakat internasional agar mengakui eksistensi mereka yang ingin mendapatkan imbalan politis dari pihak yang berkuasa. 4. Terorisme adalah kekerasan yang bermotivasi politik yang direncanakan
lebih
dahulu.
Ia
ditujukan
terhadap
sasaran-sasaran non tempur oleh agen-agen teroris, biasanya
dimaksudkan
untuk
mempengaruhi
suatu
golongan. Masalah belum adanya kesamaan persepsi dan definisi terorisme di masyarakat bisa diminimalisir melalui program sosialisasi oleh lembaga-lembaga publik kepada masyarakat tentang bahaya terorisme, pencegahan, dan penanganannya. Ketentuan normatif yang ada tentang terorisme adalah Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme, Bab III, Pasal 6 sampai dengan Pasal 19. 3.3. PERS/ MEDIA MASSA SEBAGAI SUMBER INFORMASI Sumber
informasi
pengetahuan
terbanyak
yang
dikonsumsi oleh masyarakat tentang terorisme adalah media massa. Hal yang harus menjadi perhatian kita bersama adalah bagaimanakah tingkat efektifitas sumber-sumber informasi lainnya yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat tentang
pemberitaan,
penjelasan
dan
termasuk
pula 49
penyuluhan akan seriusitas terorisme di masyarakat. Lebih jauh lagi, perlu diwaspadai dominasi media massa dalam perannya sebagai sumber informasi, yang pemberitaanya tentang terorisme dapat merugikan upaya pencegahan dan penanganan terorisme. Sebaliknya perlu disadari bahwa media massa dapat dimobilisasi untuk keberhasilan upaya pencegahan dan penanganan terorisme. Melalui
kegiatan
survei
ditemukan
data
tentang
pendapat masyarakat mengenai efektifitas pemberitaan masalah-masalah terorisme di Indonesia. Ternyata lebih dari separuh responden menganggap bahwa pemberitaan media massa tentang terorisme itu sudah memberitakan kondisi yang sebenarnya (44,7%). Sementara itu ada 26,9% responden yang berpendapat bahwa keadaan sebenarnya tentang bahaya dan ancaman terorisme tidak seburuk pemberitaan yang dimuat oleh media massa. Ada pula 12,7% responden yang
berpendapat
sebaliknya,
yakni
bahwa
keadaan
sebenarnya tentang bahaya dan ancaman terorisme lebih buruk dari pemberitaan yang dilakukan oleh media massa. Tabel 5. Pendapat Responden Tentang Obyektif-Tidaknya Pemberitaan Mengenai Terorisme Obyektifkah pemberitaan mengenai terorisme Media massa memberitakan apa adanya Keadaan sebenarnya tidak seburuk pemberitaan
50
Frekuensi
Persen
246
44,7
148
26,9
Keadaan sebenarnya lebih buruk dari 70 pemberitaan Tidak tahu 40 Sebagian kurang berimbang 7 Tidak obyektif, eksploitasi 5 Tidak relevan 4 Standar ganda 4 Ragu-ragu 4 Terkadang menjelekkan Islam 3 Menolak / tidak menjawab 3 Bisnis berita 3 Ada yang masih ditutupi 3 Cenderung memihak teroris 2 Biasa saja 2 Rekayasa berita 1 Memposisikan pelaku sebagai pahlawan 1 Masih simpang siur beritanya 1 Masih memerlukan pembenahan 1 Informasi jaringan tidak dibahas lbh 1 lanjut Bisnis berita dan bersifat politis 1 Total 550 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
12,7 7,3 1,3 ,9 ,7 ,7 ,7 ,5 ,5 ,6 ,5 ,4 ,4 ,2 ,2 ,2 ,2 ,2 ,2 100,0
Media massa, khususnya televisi, memberikan akses paling baik bagi publik karena daya tariknya yang kuat. Karena alasan ini, televisi semakin banyak digunakan sebagai wahana yang terpenting bagi pembenaran sosial dan moral dari tujuan-tujuan dan tindakan-tindakan. Perjuangan untuk melegitimasi dan memperoleh dukungan bagi kepentingankepentingan
seseorang
dan
untuk
mendiskreditkan
kepentingan-kepentingan musuh seseorang, sekarang semakin lebih dilancarkan melalui televisi.
51
Teroris berusaha mempengaruhi para pejabat atau negara-negara yang menjadi sasaran dengan intimidasi publik dan membangkitkan simpati bagi kepentingankepentingan yang mereka dukung. Tanpa adanya publisitas yang meluas, tindakan teroris tidak dapat mencapai dampakdampak ini. Oleh karenanya teroris memaksa akses ke media untuk mempublikasikan keluhan mereka ke masyarakat internasional.
Mereka
menggunakan
televisi
sebagai
instrumen utama untuk memperoleh simpati dan dukungan. Sementara itu data survei, menunjukkan sumber informasi
yang
sering
disebut
oleh
responden,
tanpa
menonjolkan variasi jawaban dari responden adalah sebagai berikut: Tabel 6. Sumber Informasi Tentang Terorisme Di Indonesia Frekuensi Jawaban Yang Disebutkan Media Massa Spt TV, Koran, Radio 544 Orang Lain: Saudara, Teman, Dll 100 Pamflet Dan Selebaran Dari Polisi 52 Internet 12 Pekerjaan 6 Pengalaman 4 Pendidikan (Di Kuliah) 2 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007 Sumber Informasi
Salah satu bentuk sumber informasi yang dikonsumsi oleh responden, walaupun tidak terlalu banyak, adalah 52
internet. Dari 12 orang responden yang mendapat informasi tentang terorisme melalui internet sebagian besar adalah responden yang berusia 18 tahun hingga 25 tahun dan berpendidikan tinggi. Kelompok masyarakat berusia muda dan berpendidikan tinggi ini adalah segmen masyarakat yang paling
banyak
mengkonsumsi
berita
tentang
terorisme
melalui internet. Jika melihat karakteristik internet sebagai sumber informasi yang memiliki aksesibilitas tinggi, sumber berita tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka dikhawatirkan substansi berita akan diserap oleh pengguna tanpa kontrol yang memadai. Dalam kondisi seperti ini internet sebagai sumber informasi tentang terorisme bersifat laten sehingga memungkinkan munculnya pengaruh negatif bagi pengguna. Unsur lain yang tidak kalah pentingnya dalam rangka meningkatkan
efektifitas
pencegahan
dan
penanganan
terorisme adalah kondisi informasi publik terkait dengan informasi tentang terorisme dan segala upaya pencegahan dan penanganannya serta peran dan wewenang instansi terkait. Dari hasil Survei diperoleh data bahwa lebih dari separuh responden (53,3%) berpendapat bahwa kondisi informasi publik terkait dengan informasi Undang-Undang dan Peran serta Wewenang instansi terkait masih kurang baik. Sementara itu, 26,4% responden berpendapat bahwa kondisi
53
informasi publik cukup baik. Hanya 6,4% responden yang mengatakan bahwa kondisi informasi publik sudah baik. Tabel 7. Pendapat Responden Tentang Informasi Publik (Terkait Info UU Dan Peran / Wewenang Instansi) Informasi publik (terkait info UU dan Frekuensi Persen peran / wewenang instansi) Kurang baik 293 53,3 Cukup baik 145 26,4 Tidak tahu 74 13,5 Baik 35 6,4 Menolak / tidak menjawab 3 ,5 Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
3.4. EKSISTENSI KELOMPOK-KELOMPOK RADIKAL MILITAN Masalah
serius
terkait
dengan
terorisme
adalah
eksistensi Kelompok-kelompok radikal militan yang meyakini penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh tidak dimilikinya pemahaman yang benar tentang keyakinan agama oleh anggota dari kelompok-kelompok tersebut. Penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama dapat terjadi pada setiap pemeluk agama manapun. Jika kebetulan saja aksi-aksi terorisme yang ada sekarang ini dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam, itu bukan berarti bahwa Islam mengajarkan m e la ku k an t i nd ak a n y a ng 54
da pat me r ugi k an o r an g lain tersebut. Hal itu terjadi akibat penafsiran yang keliru tentang perintah dan larangan yang ada dalam ajaran agama. Agama Islam sendiri yang sesungguhnya adalah mengajar
umatnya
untuk menebarkan kedamaian di muka bumi. Terorisme tidak dapat dikaitkan dengan agama apapun. Adanya pandangan dan pendapat bahwa terorisme terkait dengan Islam adalah merupakan pandangan yang keliru dan harus diluruskan. Dalam
usaha
meluruskan
pandangan
yang
keliru
tersebut ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan antara lain: 1. Perlu dilakukan upaya pencerahan dan peningkatan pemahaman masyarakat tentang ajaran agamanya secara benar, karena pemahaman keagamaan secara sempit dapat melahirkan tindakan yang cenderung radikal dan anarkis. Salah satu penyebab utama terjadinya sikap radikal dan anarkis tersebut adalah karena lemahnya pengetahuan tentang hakikat agama dan kurangnya bekal untuk memahaminya secara mendalam, ditambah dengan rendahnya tingkat kesadaran hukum. 2. Pemerintah perlu melakukan inisiasi dan memfasilitasi dialog
terbuka
dan
komunikasi
konstruktif
dengan
55
kelompok radikal atau yang diduga berpotensi melakukan tindakan terorisme. 3. Mendorong agama
berkembangnya
untuk
upaya
forum
pencegahan
komunikasi dan
antar
penanganan
terorisme. 4. Melakukan
pemantauan
terhadap
ceramah-ceramah
agama yang cenderung mendukung radikalisme sejalan dengan upaya deradikalisasi / pencerahan. 3.5. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME Upaya melawan terorisme tidak mungkin dimenangkan tanpa partisipasi masyarakat. Aksi teror itu sendiri berawal
dari
tengah-tengah
rangkaian aktifitas
kegiatan
yang
masyarakat
dilakukan
sehari-hari.
di Bila
gejala awal terorisme dapat dieliminir, maka tindakan terorisme dapat dicegah. Oleh karena itu Pemerintah dituntut untuk mendorong partisipasi publik seoptimal mungkin agar masyarakat dengan cara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama
melawan
terorisme
dalam
batas-batas
kerangka hukum yang berlaku. Upaya pencegahan dan penanganan terorisme bukan hanya tugas pemerintah tetapi juga menjadi tugas seluruh lapisan masyarakat.
56
Partisipasi masyarakat tidak datang dengan sendirinya, tetapi
merupakan
suatu
kesadaran
yang
dibina
oleh
masyarakat sendiri untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Untuk
itu
penting
kiranya
diketahui
seberapa
jauh
masyarakat memahami arti penting dari partisipasi mereka dalam meningkatkan upaya pencegahan dan penanganan terorisme di Indonesia. Melalui kegiatan survei, ketika ditanyakan perlu tidaknya partisipasi
masyarakat
dalam
upaya
pencegahan
dan
penanganan terorisme, hampir seluruh responden (96,4%) berpendapat bahwa partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan terorisme diperlukan. Hanya 2,2% responden menjawab bahwa partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan terorisme tidak perlu. Tabel 8. Pendapat Responden Tentang Perlu-Tidaknya Partisipasi Masyarakat Perlukah ada partisipasi masyarakat Tidak tahu Perlu Tidak perlu Menolak / tidak menjawab Total
Frekuensi
Persen
4 530 12 4
,7 96,4 2,2 ,7
550 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
100,0
57
Sementara itu, ketika ditanyakan apakah bentukbentuk partisipasi masyarakat yang diperlukan bagi upaya pencegahan dan penanganan terorisme di Indonesia, jawaban terbanyak berkisar pada keamanan swakarsa; pelaporan dan pemantauan hal / peristiwa yang mencurigakan serta pengenalan warga lingkungan komunitas. Tabel 9. Pendapat Responden Tentang Perlunya Partisipasi Masyarakat Alasan perlu ada partisipasi masyarakat Bisa memberi informasi dan melaporkan keberadaan teroris Masyarakat paling dekat atau berinteraksi dengan pelaku teror Mempermudah kinerja pemerintah Upaya preventif Mempermudah proses penanganan = lebih efektif = lebih fokus Terorisme adalah masalah bersama, semua harus terlibat Masyarakat sasaran dan korban terorisme Tidak Relevan Agar masyarakat waspada terhadap hal ini Keamanan merupakan kepentingan masyarakat Masyarakat bagian tak terpisahkan dan pusat informasi Masalah bersama, masyarakat adalah korbannya Menyangkut nyawa orang banyak dan teroris ada di masyarakat Masyarakat jadi tahu tentang teroris untuk preventif dan menjaga keamanan Menyangkut jiwa masyarakat yang dirugikan Polisi tidak dapat menjangkau semua wilayah Mempersempit ruang gerak teroris Masyarakat wajib menjaga keamanan negara Masyarakat harus dilibatkan dalam kebijakan negara
58
Frekuensi
Persen
139
25,3
83
15,1
81 41
14,7 7,5
40
7,3
36
6,5
30 20 16 14 11 9
5,5 3,6 2,9 2,5 2,0 1,6
7
1,3
4
,7
3 3 2 2 2
,5 ,5 ,4 ,4 ,4
Informasi keamanan 2 ,4 Informasi lebih cepat dan waspada lingkungan 2 ,4 Seluruh penanganan tindak kejahatan memerlukan 1 ,2 partisipasi masyarakat Agar ketakutan tidak menyebar luas 1 ,2 Teroris mencari daerah terpencil dan jauh dari 1 ,2 jangkauan pemerintah Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
Pelaporan dan pemantauan hal atau peristiwa yang mencurigakan serta keamanan swakarsa ternyata merupakan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat yang paling banyak disebut oleh responden. Tabel 10. Pendapat Responden Tentang Bentuk Partisipasi Masyarakat Bentuk partisipasi masyarakat
Frekuensi Jawaban Yang Disebutkan 2
Tidak tahu Pelaporan dan pemantauan hal atau 390 peristiwa yang mencurigakan Keamanan Swakarsa 132 Pengenalan warga lingkungan komunitas 111 Pendataan warga 5 Mewaspadai orang-orang asing 3 Tidak lindungi teroris = berpihak pd pem 1 Kerjasama aktif masyarakat – pemerintah 1 Peningkatan nilai-nilai etika dan moral 1 Lapor diri masuk daerah lain 1 Jangan gampang menilai sesuatu 1 Pengawasan dan usaha preventif 1 Saling menjaga 1 Mengadakan forum informasi 1 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
59
Walaupun
hampir
responden
menyatakan
bahwa
partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan terorisme adalah perlu namun dalam kesempatan kegiatan FGD di hampir semua kota terungkap adanya keseganan masyarakat dalam berurusan dengan aparat penegak hukum terkait dengan peristiwa terorisme. Keengganan masyarakat berpartispasi,
diungkapkan
oleh
beberapa
narasumber,
terutama disebabkan karena enggan menjadi saksi dan ditambah pula adanya ketidak percayaan dan kedekatan hubungan antara masyarakat yang bersangkutan dengan aparat. 3.6. KEMAMPUAN MOBILITAS TERORIS Dari berbagai peristiwa terorisme yang terjadi baik di Indonesia maupun di luar negeri terungkap bahwa kegiatan terorisme memiliki mobilitas yang tinggi, tak terbatas dalam lintas batas ruang dan waktu, memiliki jaringan internasional sehingga dapat mengancam keamanan domestik, regional maupun internasional. Mobilitas yang tinggi dari terorisme dapat terjadi antara lain karena kemudahan untuk melakukan perpindahan tempat dan kemudahan untuk merubah atau duplikasi identitas kependudukan. Terkait dengan hal tersebut, maka upaya memutuskan jaringan terorisme tersebut harus dengan 60
melakukan penguatan pengawasan serta pendataan secara ketat dan efektif terhadap keberadaan dan kegiatan Warga Negara Asing maupun Warga Negara Indonesia yang keluar masuk
wilayah
Indonesia
serta
penguatan
penataan
administrasi kependudukan. Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang No. 23 Tahun 2006, tentang administrasi kependudukan 23 yang didalamnya mengatur tentang diberlakukannya NIK (Nomer Induk Kependudukan). Agar penerapan NIK dapat berfungsi sebagai Single Identification System disarankan NIK memuat rumus sidik jari dari penduduk yang bersangkutan karena rumus sidik jari manusia bersifat permanen dan tidak ada yang sama. Perencanaan penerapan NIK harus diprogramkan taat asas sesuai ketentuan undang-undang (tahun 2011 dapat terlaksana sesuai amanat undang-undang). 23
Lihat Undang-undang No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 3 : “Setiap, penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran pendudukan dan pencatatan sipil”; Pasal 13, Ayat (1) : “setiap penduduk wajib mempunyai Nomor Kependudukan Indonesia (NIK)”; Ayat (2) NIK sebagaiman dimaksud pada ayat (1) berlaku seumur hidup dan selamanya yang diberikan pemerintah dan diterbitkan oleh instansi pelaksana kepada setiap penduduk setelah dialakukan pencatatan biodata; Ayat (3) : “NIK sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dicantumkan dalam setiap dokumen kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan paspor, Surat Ijin Mengemudi, NPWP, Polis Asuransi, sertifikat atas tanah dan penerbitan dokumen Identitas lainya”; Ayat (4) : “ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan ruang lingkup penerbitan dokumen identitas lainya, serta pencatuman NIK diatur dalam peraturan pemerintah”; Pasal 101 : “pada saat undangundang ini berlaku pemerintah memberi NIK kepada setiap penduduk paling lambat 5 Tahun serta semua Instansi wajib menjadika NIK sebagi dasar dalam menerbitkan dokumen sebagiaman yang dimaksud dalam pasal 13 ayat 3 paling lambat 5 Tahun”.
61
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No 23 tahun 2006 ini maka Pemerintah beserta masyarakat diharapkan dapat
mendeteksi
gerak
mobilitas
keberadaan
para
terorisme. 3.7. TERORISME DAN TUJUAN POLITIK Dari
segi
politik
yang
perlu
diwaspadai
adalah
berkembangnya ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara
dan
menyebarluaskan
pemikiran-pemikiran
yang
memotivasi sikap-sikap dan perilaku radikal dan anarkis. Para teroris memiliki pengetahuan tentang peperangan dan membawa ideologi baru yang menggunakan terorisme untuk mencapai tujuannya, antara lain seperti pengetahuan yang dimiliki dan ideologi yang dibawa oleh para teroris alumni Afganistan. Fenomena terorisme digunakan untuk mencapai tujuan politik di Indonesia telah terjadi, dalam bentuk gerakangerakan yang mengembangkan dan menyebarluaskan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara serta merebut kekuasaan pemerintahan dengan menggunakan cara-cara radikal dan anarkis. Contoh antara lain gerakan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Negara Islam Indonesia (NII), dan Gerakan 30 September / Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). 62
Dari fenomena tersebut di atas ternyata bahwa ideologi yang bertentangan dengan ideologi Pancasila bukan hanya ideologi Komunisme / Marxisme-Leninisme saja, tetapi ada ideologi-ideologi lain. Ketentuan normatif yang ada terbatas pada larangan menyebarkan dan mengembangkan ideologi Komunisme / Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara (UU No. 27 tahun 1999 j.o. pasal 107a dan 107d KUHP). Ketentuan penindakan terhadap pengembangan dan penyebarluasan ideologi lain selain Komunisme / Marxisme-Leninisme baru dapat dilakukan setelah ada pernyataan keinginan untuk mengganti atau mengubah Pancasila dan berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa, atau kerugian harta benda (Pasal 107b KUHP). 24 24
Lihat Undang-Undang No. 27 tahun 1999, Pasal 107 a : “Barangsiapa yang secara
melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-
Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”; Pasal 107 b : “Barangsiapa yang secara melawan
hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun”; Pasal 107 c : “Barangsiapa yang secara
melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun”; Pasal 107 d : “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah
63
Disarankan agar terhadap setiap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila diberlakukan ketentuan normatif yang sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap ideologi Komunisme / Marxisme-Leninisme. 3.8. PERSEPSI MASYARAKAT INTERNASIONAL Komitmen Indonesia, terorisme
masyarakat
dalam
upaya
TERHADAP
KERJASAMA
internasional,
pencegahan
dan
termasuk penanganan
sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi
internasional
yang
menegaskan
bahwa
terorisme
merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan
umat
manusia.
Namun
demikian,
walaupun
konsekuensi dari ratifikasi berbagai konvensi internasional ini adalah adanya Kerjasama internasional, namun masih banyak masyarakat yang mempunyai persepsi yang negatif terhadap setiap bentuk kerjasama Internasional dalam penindakan pelaku
teroris
tersebut
dan
memandang
seolah-olah
pemerintah diperalat oleh kekuatan asing. Persepsi yang salah dari warga masyarakat tersebut antara lain karena adanya persepsi global bahwa kekuatan Amerika melawan kekuatan teroris kelompok Islam radikal, kurang transparannya pemerintah dalam proses pencegahan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun�.
64
dan
penanganan
terorisme,
terutama
dalam
bentuk
kerjasama Internasional, yang terkait juga dengan rendahnya tingkat
informasi
kepercayaan
yang
publik
serta
rendah
dari
masih
adanya
masyarakat
tingkat terhadap
pemerintah dalam pencegahan dan penanganan terorisme. 3.9. DUKUNGAN LOGISTIK DAN PENDANAAN TERORISME Teroris memiliki infrastruktur utama: operasi intelijen, kerjasama
dengan
kelompok
kriminal
lainnya,
militer, dan infrastruktur pendukung seperti
operasi
propaganda,
serta infrastruktur sumber pendanaan yakni bisnis illegal, hasil tindakan kriminal, yayasan amal, bisnis legal yang didirikan melalui money laundering (placement, layering, entering ke bisnis legal), donasi para simpatisan, dana dari organisasi teroris lain di luar negeri. Jalur penyaluran dana melalui perbankan tradisional, sistem kurir, sistem money changer. Selain itu, ada pula Infrastruktur rekrutmen yang dilakukan melalui kegiatan dakwah, training / pelatihan / indoktrinasi, logistik, komunikasi HP / Internet. Maka untuk menghancurkan organisasi teroris haruslah menghancurkan seluruh infrastruktur tersebut. Dari
sekian
infrastruktur
terorisme,
infrastruktur
pendanaan
menduduki
yang
yang
relevan
menyangkut
peranan
yang
dengan
logistik penting
dan bagi 65
terselenggaranya kegiatan-kegiatan terorisme, oleh karena itu upaya-upaya menghancurkan infrastruktur logistik dan pendanaan akan sangat efektif bagi upaya pencegahan dan penanganan terorisme. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan bahwa pihaknya sudah melakukan berbagai upaya pengawasan keuangan sesuai dengan standar yang dibuat oleh PBB. Namun diungkapkan masih ada kesulitan ketika dana tersebut adalah berasal dari sumber kegiatan yang legal dan disalurkan melalui institusi yang legal. Ketentuan normatif yang ada yang mengatur tentang pendanaan teroris dalam Undang-undang No. 15 tahun 2003 terdapat dalam pasal 13 yaitu “dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme�
yang
dirasakan
tidak
memadai.
Sebagai
perbandingan, dalam Undang-undang USA PATRIOT ACT 2001 yang terdiri dari sepuluh Bab, memiliki satu Bab yaitu Bab III yang
mengatur
tentang
Pelacakan
Pencucian
Uang
Internasional dan Anti Pendanaan Teroris. Dari
perbandingan
tersebut
diperlukan
penguatan
ketentuan normatif yang mengatur tentang pengawasan pendanaan bagi kegiatan terorisme. Dari segi infrastruktur logistik yang menonjol adalah peranan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam 66
dalam aksi-aksi terorisme. Substansi masalah yang berkaitan dengan infrastruktur logistik dan sangat berpengaruh bagi mudahnya aksi-aksi terorisme di Indonesia dapat dicatat antara lain: 1. Lemahnya
pengawasan
terhadap
kepemilikan
serta
peredaran senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam termasuk juga kepemilikan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam organik TNI dan POLRI, 2. Masih adanya bahan peledak sisa peninggalan perang, 3. Mudahnya memperoleh bahan baku untuk meramu bahan peledak yang merupakan bahan bebas yang terdapat di pasaran. Terkait
dengan
hal
tersebut
maka
Pemerintah
seyogyanya dapat mengoptimalkan upayanya untuk memberi pengawasan bagi kondisi-kondisi tersebut di atas. Seperti yang diungkapkan oleh Jeanne Mandagi 25 bahwa perlu ada peningkatan pengawasan terhadap senjata api dan bahan peledak yang
ternyata dilapangan banyak kendala yang
dihadapi. Berdasarkan pengungkapan oleh peserta dari Kontras pada kegiatan FGD di Jakarta dan Makassar, bahwa pada peristiwa konflik di Poso banyak ditemui senjata api dan 25
Workshop Jakarta
67
amunisi yang dikuasai oleh masyarakat adalah produksi dari PINDAD, yaitu perusahaan yang membuat dan memasok senjata api, bahan peledak, dan amunisi untuk kepentingan TNI dan Polri. 3.10. KETERKAITAN TERORISME DENGAN KONDISI POLITIK, SOSIAL, EKONOMI, BUDAYA, DAN AGAMA Ada
beberapa
faktor
yang
menjadi
penyebab
munculnya terorisme yaitu: 1. Masalah atau persoalan ekonomi; seperti kemiskinan, ketidakmerataan
kesempatan,
pengangguran,
harga
barang meningkat, distribusi produk tidak merata, dan kesenjangan sosial-ekonomi. 2. Ketimpangan struktur sosial; seperti ikatan kekerabatan yang longgar atau terlalu kuat, tata nilai norma dan aturan yang berlaku tidak seragam untuk semua lapisan masyarakat, atau eksklusivisme kelompok tertentu yang sangat menonjol. 3. Struktur sosial yang diskriminatif; seperti pembedaan antar
ras,
suku
dan
agama,
yang
tajam,
dengan
pembatasan kesempatan pada kelompok tertentu untuk bisa ikut berperan. 4. Partikularisme
pada
interpretasi
atau
pemberian
pengertian dan makna tertentu pada nilai aturan adat atau agama yang seharusnya berlaku universal; 68
5. Sistem
kekuasaan
atau
penguasaan
barang-barang
bergerak dan tak bergerak atau sumber daya yang seharusnya menjadi milik bersama, tetapi ada ditangan piliak-pihak
tertentu
yang
terbatas
jumlahnya,
melahirkan sistem hegemoni dengan dampak pada adanya kelompok yang menguasai dan dikuasai; Kelima masalah ini akan menjadi pemicu konflik jika bertemu dengan interpretasi, pemaknaan, fanatisme dan etnosentrisme yang terlalu sempit. Prof. Dr. Qasim Mathar mengatakan bahwa secara umum, di dalam masyarakat terdapat dua jenis konflik, yakni konflik rasial dan konflik agama. Semua jenis konflik tersebut, baik konflik rasial maupun konflik agama, samasama berpotensi menjadi tindakan teror. Lebih lanjut, Mathar memberikan beberapa hal yang dapat dianggap sebagai
penyebab
konflik
ataupun
terorisme,
yakni
:
radikalisme agama/ras/suku; kualitas sumber daya manusia yang rendah, tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yang rendah; permainan politik dan tekanan kepentingan politik; tingkat yang rendah dari pendidikan dan sosialisasi yang bermuatan nasionalisme; rendahnya disiplin sosial; adanya kesenjangan antara negara-negara Timur dan Barat; rendahnya
penyuluhan
ciri-ciri
konflik
dan
terorisme;
rendahnya penataan kependudukan (dari tingkat terkecil
69
hingga terbesar), serta rendahnya kontrol dan pembinaan fungsi pers dan media 26 . Tatanan kehidupan bermasyarakat yang menghimpun berbagai
kelompok
dan
kepentingan,
sesungguhnya
mengharuskan keterlibatan semua pihak untuk secara bersama-sama memelihara dan membangun bangsa dan negara dengan segala macam keragamannya,
karena itu
setiap kelompok masyarakat harus merasa memiliki dan bertanggung jawab bagi kelangsungan eksistensi bangsa dan negara.
Tidak
boleh
terjadi
dominasi
mayoritas
atas
minoritas dan pada saat yang sama tidak boleh terjadi tirani minoritas atas mayoritas. Jika hal seperti itu tidak bisa diwujudkan dengan baik, maka pada gilirannya kelompok minoritas
yang
merasa
tertindas
itu
berusaha
memberikan perlawanan secara sembunyi-sembunyi karena mereka tidak memiliki kekuatan 27 .
26
27
Prof.Dr. Qasim Mathar, narasumber dalam kegiatan Focus Group Discussion, dalam rangka kegiatan penelitian Kajian dan Perumusan Mekanisme Alternatif Managemen Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia, yang dilaksanakan oleh Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) bekerja sama dengan Partnership, pada tanggal 14 Agustus 2007 di Makassar. FGD Makasar.
70
3.11. PERSEPSI MASYARAKAT DAN HUKUM
KINERJA PENEGAK
Melalui kegiatan Survei, ditemukan beberapa pendapat masyarakat tentang kinerja penegak hukum yang tentunya perlu untuk menjadi bahan rekomendasi peningkatan upaya penegakan hukum itu sendiri dalam menghadapi terorisme. Hampir
separuh
bagian
dari
jumlah
responden
berpendapat bahwa kinerja Polisi dalam mengungkap kasuskasus terorisme, termasuk juga upaya-upaya penangkapan pelaku teroris, sudah baik. Namun demikian, banyak pula responden (28.5%) memiliki pendapat sebaliknya, bahwa kinerja Polisi dalam mengungkap kasus-kasus terorisme masih kurang baik. Tabel 11. Pendapat Responden Tentang Kinerja Polisi Dalam Mengungkap Terorisme Bagaimana kinerja Polisi dalam Frekuensi Persen mengungkap terorisme Tidak tahu 9 1,6 Sangat baik 22 4,0 Baik 269 48,9 Kurang baik 157 28,5 Buruk 68 12,4 Ragu-ragu 22 4,0 Menolak / tidak menjawab 3 ,5 Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
71
Sementara
itu,
terdapat
suatu
pendapat
yang
berimbang antara anggapan bahwa kinerja Jaksa sudah baik (32,9%) dan kurang baik (33,1%) dalam menuntut kasus-kasus terorisme. Tabel 12. Pendapat Responden Tentang Kinerja Jaksa Dalam Menuntut Pelaku Terorisme Bagaimana kinerja jaksa dalam menuntut pelaku terorisme Tidak tahu Sangat baik Baik Kurang baik Buruk Ragu-ragu Menolak / tidak menjawab
Frekuensi
Persen
66 6 181 182 88 21 6
12,0 1,1 32,9 33,1 16,0 3,8 1,1
Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
Dalam
menilai
kinerja
Hakim,
khususnya
dalam
menghukum pelaku terorisme, ternyata lebih dari separuh jumlah responden cenderung menganggap bahwa kinerja Hakim dalam menghukum pelaku terorisme cenderung kurang baik bahkan buruk (52%). Sebaliknya, hanya 30,5% responden mengganggap bahwa kinerja Hakim dalam menghukum terorisme adalah baik.
72
Tabel 13. Pendapat Responden Tentang Kinerja Hakim Dalam Menghukum Pelaku Terorisme Bagaimana kinerja hakim dalam menghukum pelaku terorisme
Frekuensi
Persen
51 8 168 202 87 29 5
9,3 1,5 30,5 36,7 15,8 5,3 ,9
Tidak tahu Sangat baik Baik Kurang baik Buruk Ragu-ragu Menolak / tidak menjawab
Total 550 100,0 Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
Selanjutnya, lebih dari separuh responden beranggapan bahwa Pemerintah telah mengambil sikap tegas terhadap terorisme (55,6%), sementara responden lainnya ada yang berpendapat bahwa Pemerintah harus lebih menyiapkan penanganan yang fleksibel dalam menghadapi terorisme serta harus memperbanyak dialog dengan berbagai pihak. Tabel 14. Pendapat Responden Tentang Sikap Pemerintah Hadapi Terorisme Sikap Pemerintah hadapi terorisme Mengambil sikap tegas terhadap terorisme Menyiapkan penanganan yang fleksibel Memperbanyak dialog dengan berbagai pihak Belum maksimal Kurang siap dan sigap, kurang tegas Cukup Bagus
Frekuensi Jawaban Yang Disebutkan 320 63 53 9 45 4
73
Harus konsisten dalam menangkap teroris Kinerja harus ditingkatkan Meningkatkan kerja intelijen Tuntutan teroris harus dimediasi Mengusut tuntas kejahatan teroris Apatis, meremehkan, tidak ada kemajuan Paranoid, berlebihan Tidak ada intervensi asing Perbaikan perekonomian Kurang strategi Segera memberantas pelaku Meningkatkan keamanan Langsung tanggap Acuh tak acuh UU cukup jelas, alat cukup canggih Kurang terlihat Buruk Koordinasi aparat keamanan Campur tangan pihak asing Waspada Tidak obyektif Kurang adanya pemberitaan Dialog dengan berbagai pihak Biasa Proaktif Tidak tahu Sumber : Penelitian di Empat Kota (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makasar), 2007
1 3 4 1 3 2 1 2 2 3 2 2 1 2 1 4 1 1 2 2 4 1 1 2 2 23
3.12. PEMANFAATAN BUDAYA LOKAL BAGI PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TERORISME Di
Indonesia,
pencegahan dilepaskan
dan dari
penanggulangan 74
pemanfaatan penanganan penerapan
kejahatan
budaya
terorisme konsep
secara
lokal tidak
dapat
pencegahan
umum
yang
bagi dan
menitik
beratkan keterlibatan dan peran serta masyarakat, seperti yang
telah
dituangkan
ke
dalam
konsep
“keamanan
mempunyai
pengertian
swakarsa�. Keamanan
swakarsa
yang
sebagai tatanan secara terpadu dari berbagai aspek secara sistematis
berkelanjutan
tentang
masalah-masalah
keamanan, mengupayakan hidupnya peran dan tanggung jawab masyarakat dalam pembinaan keamanan yang tumbuh dan berkembang atas kehendak dan kemampuan masyarakat sendiri, untuk mewujudkan daya tangkal, daya cegah dan daya
penanggulangan
masyarakat
terhadap
setiap
kemungkinan gangguan keamanan, serta daya tanggap dan penyesuaian masyarakat terhadap setiap perubahan dan dinamika sosial yang membudaya dalam bentuk pola sikap kebiasaan dan perilaku masyarakat; sehingga gangguan keamanan dapat di cegah sedini mungkin sejak dari sumber dasarnya dan kekuatan fisik aparatur keamanan digunakan seminimal mungkin dan secara selektif 28 . Dengan demikian realisasi konsep keamanan swakarsa ini dapat dikembangkan budaya
lokal
yang
dapat
secara
efektif
mendukung
pencegahan dan penanganan terorisme.
28
Tadjuddin, N.H., (1988). Sistem Keamanan Swakarsa Konsepsi Dan Penjabarannya, Mabes Polri, Direktorat Bimbingan Masyarakat,.
75
Keamanan swakarsa, dengan demikian, merupakan pencegahan kejahatan yang sekaligus merupakan upaya pengembangan komunitas, khususnya di bidang Community based Crime Prevention, yang segala langkahnya ditujukan untuk memperbaiki kapasitas masyarakat untuk mengurangi kejahatan dengan jalan meningkatkan kapasitas mereka untuk menggunakan kontrol sosial informal Suatu contoh penerapan keamanan swakarsa yang dapat dimanfaatkan bagi pencegahan dan penanganan terorisme adalah apa yang dapat dilihat di Bali 29 , di mana organisasi adat dan agama dapat membantu pencegahan teroris untuk melakukan aksinya, melalui tiga kekuatan otonomi mengatur hal tersebut. Antara lain: 1. Desa adat mempunyai kewenangan menetapkan aturanaturan
hukum
yang
berlaku
bagi
mereka.
Melalui
kekuatan ini desa adat/Pekraman menetapkan hukumnya sendiri yang meliputi seluruh aspek kehidupan dalam wadah desa Pekraman. Aspek hukum tersebut dikenal dengan awig-awig/perarem yang ditetapkan berdasarkan musyawarah desa / paruman desa. Kekuasaan ini identik dengan kekuasaan legislatif. 2. Kekuasaan
atau
kewenangan
menyelenggarakan
kehidupan organisasinya. Kekuasaan menyelenggarakan
29
FGD Denpasar.
76
kehidupan organisasinya ini identik dengan ekskutif dalam lingkungan negara. 3. Kekuasaan atau kewenangan menyelesaikan persoalanpersoalan hukum. Pelanggaran hukum yang dihadapi desa Pekraman dapat berupa pelanggaran hukum (awig-awig, dresta lainnya) dan dapat berupa sengketa. Kekuasaan ini dapat diidentikkan dengan yudikatif. Tugas desa Pekraman antara lain : 1. Membuat awig-awig 2. Mengatur krama desa 3. Mengatur pengelolaan harta, kekayaan desa 4. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan disegala
bidang
terutama
dibidang
keagamaan,
kebudayaan dan kemasyarakatan 5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam
rangka
memperkaya,
melestarikan
dan
mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya. 6. Mengayomi krama desa (Sudantra, 1999:98). Di
dalamnya
tugas
desa
pekraman
menjaga
keseimbangan antara Manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya 30 . 30
Sudiana, 2006:92
77
Ditegaskan lagi oleh Wayan P Widya 31 bahwa komunitas tradisional Bali yang dikenal dengan desa pakraman (desa adat), memiliki sistem organisasi masyarakat yang kuat, seperti tampak dalam struktur organisasinya, awig-awig dan perarem desa, baik tertulis maupun tidak tertulis. Inilah antara lain yang menyebabkan kenapa Bali menjadi terkenal keamanan dan kedamaiannya.
31
Wayan P. Widya, 2005:1-2
78
B A B IV REKOMENDASI KEBIJAKAN 1.
SKEMA HUBUNGAN MASALAH Merujuk
pada
uraian
Bab
terdahulu,
maka
sebelum
membahas Rekomendasi Kebijakan perlu kiranya diungkapkan kembali pokok-pokok masalah dalam sebuah Skema Hubungan Masalah antara Situasi Masalah, Substansi Masalah dan Solusi Pemecahan Masalah.(Bagan Skema Hubungan Masalah terlampir). Skema Hubungan Masalah merupakan alur pengkajian dan perumusan dalam rangka mendapatkan berbagai alternatif solusi masalah yang akan dijadikan bahan masukan untuk penentuan rekomendasi kebijakan. Alternatif solusi masalah ditujukan untuk solusi terhadap
substansi masalah dan tidak ditujukan kepada
situasi masalahnya. Berbagai alternatif Solusi masalah dalam rangka rekomendasi kebijakan dikelompokkan kedalam aspek Struktural/pelembagaan/ hukum/peraturan
keorganisasian;
perundang-undangan
aspek dan
Instrumental/
aspek
Kultural/
budaya/tata-laku, namun demikian antara ketiga aspek tersebut tetap
dipertahankan
keterkaitan
hubungannya
secara
komprehensif.
79
2.
REKOMENDASI KEBIJAKAN Dari uraian mengenai berbagai permasalahan dalam upaya
pencegahan dan penanganan terorisme tampaknya masih banyak hal yang harus dilakukan. Berbagai permasalahan yang muncul dalam upaya pencegahan dan penanganan terorisme, secara umum adalah karena: 1) Belum adanya satu Kebijakan dan Strategi Raya (Grand Strategy) yang bersifat nasional di bidang Pencegahan dan Penanganan Terorisme di Indonesia yang dapat dijadikan acuan kebijakan dan strategi secara komprehensif dan dapat
dijadikan
penata
normatif
bagi
kegiatan
pencegahan dan penanganan terorisme yang dilaksanakan oleh Pemerintah bersama masyarakat; 2) Tidak profesionalnya aparat yang melaksanakan aturan yang sudah ada yang membawa dampak terhadap sikap dan perilaku aparat yang tidak mendapatkan kepercayaan masyarakat yang pada gilirannya menimbulkan sikap apatis masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan penanganan terorisme. 3) Permasalahan dalam mereposisi atau bahkan membentuk lembaga
yang
diberikan
kewenangan
untuk
mengkoordinasikan kegiatan berbagai instansi Pemerintah dan
80
masyarakat
dalam
mensinergikan
kegiatan
pencegahan
dan
penanganan
terorisme
melalui
penyusunan program bersama. 2.1. Rekomendasi kebijakan aspek struktural. 2.1.1.
Masalah
koordinasi
kelembagaan
sebagai
dampak adanya beberapa instansi yang memiliki satuan anti teror tetapi tidak ada koordinasi antar instansi tersebut
dari
segi
struktural
direkomendasikan
kebijakan sebagai berikut : 1). Pembentukan
Badan
Koordinasi
Nasional
Anti
Terorisme dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden
RI
yang
perundang-undangan
diatur
dengan
peraturan
yang
diberi
wewenang
mengkoordinasikan kegiatan lintas sektoral dalam pencegahan
dan
penanganan
terorisme
secara
efektif . Badan Koordinas Nasional Anti Terorisme, tidak mengambil alih fungsi instansi sektoral yang ada, namun hanya mensinergikannya, memadukan dan membuat lebih efisien dan efektif,terfokus pada sasaran program bersama. Tugas pokok Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme adalah menyusun program bersama pencegahan dan penanganan terorisme, pengorganisasian,
termasuk pelaksanaan,
perencanaan, pengawasan, 81
pengendalian serta dukungan anggarannya. Unsur Pelaksana dari program bersama tersebut terdiri dari
instansi
sektoral
dan
atau
organisasi
kemasyarakatan. Pembentukan Terorisme
Badan
Koordinasi
memerlukan
Nasional
instrumen
Anti hukum
/perundang-undangan yang kuat dan diprogram secara bertahap, sejalan dengan proses sosialisasi budaya koordinasi antar instansi. 2). Koordinasi
kelembagaan
dapat
juga
diciptakan
melalui penyiapan Aturan pelibatan antar instansi (Rule of enggagement) yang lebih jelas sehingga tidak terjadi duplikasi pelaksanaan tugas. 2.1.2. Masalah
Struktur Pengamanan, Pelabuhan
Laut dan Udara, serta Pengamanan jalur lalu lintas keluar-masuk wilayah Indonesia Direkomendasikan kebijakan sebagai berikut: a. Penggunaan pola pengamanan Pelabuhan Laut dan Udara yang baku dan dengan standard Internasional dilengkapi dengan Pengaturan hubungan tata kerja instansi terkait (a.l. Pengaturan tentang bantuan TNI kepada Polri, Koordinasi dan Pengawasan serta Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS, serta bentuk82
bentuk satuan Pengamanan Swakarsa serta bantuan dan hubungan Polri dengan Pemda. b. Penambahan kekuatan dan peningkatan kemampuan Pengamanan perbatasan wilayah Negara Indonesia sejalan dengan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat perbatasan. 2.1.3.
Data
Base
Tentang
Pencegahan
dan
Penanganan Terorisme. Upaya
pencegahan
dan
penanganan
terorisme
memerlukan informasi yang didukung oleh Data Base yang komprehensif. Kebijakan yang direkomendasikan dalam hal ini adalah : 1). Penguatan dan aktualisasi Pusat Informasi Kriminal Nasional sesuai undang-undang (UU No. 2 Tahun 2002, Pasal 15, ayat 1, huruf c); 2). Aktualisasi Inpres No. 5 tahun 2002, BIN sebagai koordinatorsemua kegiatan intelijen. 2.2. Rekomendasi kebijakan aspek instrumental. Untuk masalah-masalah yang terkait dengan aspek instrumental direkomendasikan kebijakan sebagai berikut : 2.2.1.
Penyiapan
payung
hukum
untuk
pembentukan Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme
83
yang memuat Hubungan dan Tata-cara Kerja Antar Instansi dan antara instansi dengan masyarakat yang jelas. 2.2.2.
Penguatan
Aturan
hukum
untuk
mengungkap pelaku teroris dan jaringannya sesuai dengan masalah terorisme sebagai extra ordinary crime yang membutuhkan penanganan khusus. Dalam hal ini direkomendasikan: 1) Penyempurnaan UU tindak pidana terorisme yaitu Undang-undang No. 15 tahun 2003 yang menyangkut antara lain masalah jangka waktu penahanan, bukti permulaan, keputusan hakim berdasarkan satu alat bukti dan keyakinan hakim; 2) Vonis
hukuman
mati
yang
sudah
mempunyai
kekuatan hukum tetap, harus ditentukan jangka waktu eksekusinya (penegasan dalam Hukum Acaranya). 2.2.3.
Penguatan aturan hukum yang mengatur
tentang
keberadaan organisasi radikal.
Pembiaran oleh aparat terhadap perilaku radikal dan anarkhis
dapat
menurunkan
wibawa
aparat
dan
menimbulkan kesan bahwa perilaku tersebut benar dan dapat menjurus kepada tindak pidana terorisme. Kebijakan yang direkomendasikan adalah : 84
1) Penyiapan aturan normatif untuk kegiatan radikal dan anarkhis. 2) Penyempurnaan
Standard
Prosedur
operasional
berdasarkan kewenangan aparat secara fungsional. 2.2.4. Efektifitas Laporan Intelijen Masalah lainnya dalam aspek instrumental adalah kurang efektifnya peran intelijen. Dalam hal ini direkomendasikan kebijakan penyempurnaan Undangundang No.15 Tahun 2003 Tentangh Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu dengan klausul yang menyatakan laporan intelijen sebagai alat bukti. 2.2.5. Memasyarakatkan Kebijakan dan Strategi Pemberantasan Terorisme Nasional (INPRES No. 4 tahun 2002 Kepmenko Polhukam No. 26/Menko/Polkam/11/2002 tentang pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme), dalam hal ini direkomendasikan kebijakan: Pembentukan Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme yang mengakomodasikan tugas-tugas sosialisasi kebijakan pencegahan dan penanganan terorisme. 2.2.6.
Perlunya
kerjasama
Internasional
untuk
menangani terorisme. Pemecahan masalah yang dapat diambil
oleh
Pemerintah,
dan
kebijakan
yang
direkomendasikan adalah:
85
1) Penyesuaian
hukum
nasional
terhadap
hukum
Internasional khususnya terhadap konvensi-konvensi Internasional yang sudah diratifikasi dan resolusi Dewan Keamanan PBB. 2) Pemanfaatan kerjasama internasional dan bantuan teknis yang sudah berjalan 2.3. Rekomendasi kebijakan aspek kultural. Aspek
kultural,
mencakup
tata-laku
aparat
dan
masyarakat dalam pencegahan dan penanganan terorisme sebagai musuh bersama, Kebijakan yang direkomendasikan adalah : 2.3.1. Membangun
kesamaan persepsi masyarakat
tentang terorisme sebagai musuh bersama yang dapat dilakukan melalui : 1) Program sosialisasi pencegahan dan penanganan terorisme yang berkesinambungan dengan sasaran program bersama yang disusun secara nasional sebagai bagian dari Strategi Nasional Pencegahan dan Penanganan Terorisme. 2) Pemanfaatan dan pendayagunaan Badan Koordinasi Kehumasan antar instansi.
86
2.3.2. Definisi Terorisme. Upaya sosialisasi definisi terorisme sesuai Hukum Positif (Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) 2.3.3. Pers/Media massa sebagai sumber informasi Mengingat bahwa pemberitaan pers bersifat latent dapat berdampak positif dan negatif maka dalam hal ini direkomendasikan Optimalisasi
kebijakan
peran
dalam
pemberitaan
bentuk pers
:
dalam
pencegahqan dan penanganan terorisme sebagai salah satu program Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme, 2.3.4. Eksistensi Kelompok-kelompok radikal militan yang meyakini penafsiran keliru terhadap ajaran agama; Kebijakan yang direkomendasikan adalah Program “Soft Power Politic� dan atau “Deradikalisasi� melalui pencerahan oleh tokoh-tokoh agama moderat sebagai salah satu program Badan Koordinasi Nasional Anti Terorisme
sejalan dengan peningkatan kesadaran
hukum masyarakat.
87
2.3.5. Partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan terorisme. Partisipasi
masyarakat
dalam
pencegahan
dan
penanganan terorisme ada kaitannya dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat . Oleh karena itu rekomendasi kebijakan diarahkan kepada upaya membangun kepercayaan masyarakat kepada aparat sehingga tidak apatis dan dapat berpartisipasi.Dalam hal ini bentuknya adalah peningkatan profesionalisme aparat. 2.3.6. Kemampuan mobilitas Teroris. Teroris memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi dan kemudahan mengubah identitas diri sehingga sulit dilacak. Rekomendasi kebijakan dalam hal ini adalah : 1) Penerapan ketentuan-ketentuan UU No. 23 Tahun 2006
tentang
Administrasi
diberlakukannya berdasarkan
“Single
identitas
Kependudukan
Identification sidik-jari
dan
System�
yang
bersifat
permanen dalam NIK(Nomor Induk Kependudukan) 2) Meningkatkan
peranan
Pusat
Identifikasi
Polri
sebagai Pusat Identifikasi Nasional. 3) Perencanaan Undang
-
terlaksana).
88
penerapan undang
NIK
(Tahun
sesuai 2011
ketentuan
sudah
dapat
2.3.7. Terorisme dan Tujuan Politik Terorisme juga digunakan untuk mencapai tujuan politik antara lain mengembangkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara. Kebijakan yang direkomendasikan adalah : 1) Meningkatkan peran Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa ; 2) Memperluas
cakupan
ketentuan
normatif
yang
terdapat dalam UU No.27 Tahun 1999 j.o pasal 107 d KUHP sehingga mencakup larangan terhadap segala ideologi yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. 2.3.8
Persepsi
masyarakat
terhadap
kerjasama
internasional. Adanya persepsi masyarakat yang negatif terhadap setiap
bentuk
penindakan
kerjasama
pelaku
teroris,
Internasional sehingga
dalam
seolah-olah
pemerintah diperalat oleh kekuatan asing.Kebijakan yang direkomendasikan adalah : Transparansi dalam program kerjasama Internasional khususnya
mengenai
pencegahan
dan
penanganan
terorisme melalui informasi publik;
89
2.3.9. Dukungan logistik dan pendanaan terorisme Masalah lain dalam aspek kultural pencegahan dan penanganan terorisme adalah fakta bahwa kegiatan terorisme pendanaan.
membutuhkan Untuk
dukungan
menangani
logistik
masalah
dan
ini,
maka
kebijakan yang direkomendasikan adalah: 1) Meningkatkan upaya-upaya deteksi dini dari POLRI, aparat intelijen, dan PPATK; 2) Membangun
jaringan
informasi
antara
aparat
intelijen dan penyidik pada setiap penyidikan tindak pidana yang diperkirakan ada kaitannya dengan penyaluran dana untuk terorisme; 3) Meningkatkan kerjasama antara pengemban fungsi intelijen, POLRI, Jaksa, dan PPATK 4) Memperketat pelaksanaan perijinan dan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. 2.3.10. Keterkaitan Terorisme dengan Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya dan Agama. Kondisi Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Agama dapat
dieksploitasi
oleh
teroris,
maka
direkomendasikan kebijakan sebagai berikut :
90
dapat
1) Menciptakan penguatan politik baik dalam negeri menciptakan
stabilitas
politik
dan
manajemen
nasional) maupun luar negeri (melalui kerjasama internasional); 2) Meningkatkan kualitas hidup (sosial ekonomi); 3) Meningkatkan
pembinaan
kerukunan
hidup
bermasyarakat dan bernegara; 4) Meningkatkan pengawasan aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, sesuai peraturan perundang-undangan (UU No. 1 PNPS tahun 1965 kaitannya dengan Pasal 156a KUHP). 2.3.11.
Persepsi Masyarakat dan Kinerja Penegak
Hukum Persepsi Masyarakat terhadap Kinerja Penegak Hukum pada umumnya sudah baik namun masih tetap perlu peningkatan
dan
penyempurnaan.
Kebijakan
yang
direkomendasikan adalah : 1) Peningkatan
kemampuan
profesi
penegak hukum melalui program
SDM
aparat
pelatihan yang
konsisten. 2) Peningkatan
koordinasi
antar
instansi
penegak
hukummelalui program yang melembaga.
91
2.3.12. Pemanfaatan budaya lokal bagi pencegahan dan penanganan terorisme; Kebijakan yang direkomendasikan adalah : Pelaksanaan Program”Community Development” Pemerintah Pusat dan Daerah serta Program “Community Policing” POLRI.
92
LAMPIRAN
BAGAN SITUASI MASALAH-SUBSTANSI MASALAH DAN SOLUSI MASALAH Skema 1. Hubungan Antara Situasi Masalah dengan Substansi Masalah Situasi Masalah
Struktural
Substansi Masalah
- Beberapa instansi punya satuan anti teror - Tidak ada koordinasi antar instansi anti teror - Struktur Pengamanan Pelabuhan Laut dan Udara, serta jalur lalu lintas keluar-masuk wilayah Indonesia sangat lemah, tidak berpola, dan tidak taat asas
- Tidak ada badan koordinasi - Tidak ada pengaturan hubungan & tata kerja instansi terkait - Petunjuk teknis tidak jelas, duplikasi, tidak efisien, tidak proporsional, arogansi sektoral
- Data base mengenai terorisme belum komprehensif
- Tidak ada pusat informasi yang relevan dengan pencegahan dan penanganan terorisme di Indonesia
93
Instrumental
Situasi Masalah
Substansi Masalah
- Aturan hukum yang lemah terhadap terorisme sulit untuk mengungkap pelaku teroris dan jaringannya - Terorisme adalah extra ordinary crime yang membutuhkan penanganan khusus
- Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang terorisme (bagian yang mengatur Hukum Acaranya) belum sepenuhnya mengakomodasikan kepentingan-kepentingan pengaturan untuk extra ordinary crime
- Peranan Intelijen kurang efektif
- Laporan intel tidak dianggap sebagai alat bukti - Keterbatasan distribusi naskah kebijakan - Sosialisasi yang tidak melembaga
- Kebijakan dan Strategi Pemberantasan Terorisme Nasional (INPRES No. 4 tahun 2002 - Kepmenko Polhukam No. 26/Menko/Polkam/11/ 2002 tentang pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme) belum memasyarakat
94
Situasi Masalah
Kultural
- Kejahatan terorisme tidak lagi bisa ditangani oleh satu negara untuk itu diperlukan kerjasama Internasional [kejahatan terorisme bukan saja masalah domestik tetapi merupakan pula masalah atau kejahatan lintas negara] - Belum ada kesamaan persepsi masyarakat tentang terorisme sebagai musuh bersama - Belum terdapatnya definisi terorisme yang bersifat universal - Persepsi masyarakat bergantung kepada sumber informasi pers/media massa - Eksistensi Kelompokkelompok radikal militan yang meyakini penafsiran keliru terhadap ajaran agama - Kurangnya partisipasi masyarakat pencegahan dan penanganan terorisme
Substansi Masalah - Persamaan kepentingan domestik dan Internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme
- Minimnya program penyuluhan oleh lembaga-lembaga publik tentang terorisme - Masih biasnya pengertian terorisme bagi kalangan atau negara tertentu - Pemberitaan pers bersifat latent dapat berdampak positif maupun negatif - Tidak dimilikinya pemahaman yang benar tentang keyakinan agama - Rendahnya tingkat kesadaran hukum - Apatisme dan Ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat
95
96
Situasi Masalah
Substansi Masalah
- Teroris memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi dan kemudahan-kemudahan mengubah identitas diri sehingga sulit dilacak.
- Belum diterapkannya ketentuan-ketentuan UU No. 23 Tahun 2006, tentang administrasi kependudukan
- Terorisme juga digunakan untuk mencapai tujuan politik, antara lain: mengembangkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara
- Lembaga pembina kesatuan bangsa cenderung administratif dan tidak secara intensif melaksanakan tugas operasional pembinaan - Ketentuan normatif yang ada terbatas pada larangan menyebarkan dan mengembangkan ideologi Komunisme, Marxisme, serta Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara (UU No. 27 tahun 1999 j.o. pasal 107d KUHP)
Situasi Masalah
Substansi Masalah
- Ada persepsi masyarakat yang negatif terhadap setiap bentuk kerjasama Internasional dalam penindakan pelaku teroris, sehingga seolah-olah pemerintah diperalat oleh kekuatan asing.
- Adanya persepsi global bahwa kekuatan Amerika melawan kekuatan teroris kelompok Islam radikal. - Kurang transparan-nya pemerintah dlm proses pencegahan dan penanganan terorisme, terutama dlm bentuk kerja- sama Internasional. - Tingkat kepercayaan yang rendah dari masyarakat terhadap pemerintah dalam pencegahan & penanganan terorisme.
- Pemilikan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam di masyarakat dapat dimanfaatkan oleh pelaku terorisme
- Lemahnya pengawasan terhadap kepemilikan serta peredaran senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam termasuk juga kepemilikan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam organik TNI dan POLRI - Masih adanya bahan peledak sisa peninggalan perang. - Mudahnya memperoleh bahan baku untuk meramu bahan peledak.
97
Situasi Masalah - Kegiatan terorisme membutuhkan dukungan logistik dan pendanaan
- Kondisi Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Agama dieksploitasi oleh teroris
- Pemanfaatan potensi budaya lokal dalam pencegahan dan penanganan terorisme
98
Substansi Masalah - Sumber pendanaan kegiatan teroris bisa bersifat legal (sumbangan dari suatu badan) dan bisa juga merupakan hasil dari kejahatan (money laundering) - Kelemahan-kelemahan di bidang Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Hukum - Tiap daerah memiliki potensi budaya lokal yang khas berkait dengan pranata setempat
Skema 2. Hubungan Antara Situasi Masalah, Substansi Masalah dan Solusi ASPEK
Situasi Masalah
Substansi Masalah
Solusi Pemecahan Masalah
- Beberapa instansi punya satuan anti teror
- Tidak ada badan koordinasi
- Penguatan Desk Anti Teror yang Sudah ada; atau pembentukan Badan Nasional Anti Terorisme dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang diatur dengan peraturan perundangundangan.
- Tidak ada koordinasi antar instansi anti teror
Struktural
- Struktur Pengamanan Pelabuhan Laut dan Udara, serta jalur lalu lintas keluarmasuk wilayah Indonesia sangat lemah, tidak berpola, dan tidak taat asas
- Tidak ada pengaturan hubungan & tata kerja instansi terkait - Petunjuk teknis tidak jelas, duplikasi, tidak efisien, tidak proporsional, arogansi sektoral
- Pengaturan hubungan tata kerja instansi terkait (a.l. Pengaturan tentang bantuan TNI kepada Polri; Koordinasi dan Pengawasan serta Pembinaan Teknis terhadap Kepolisian Khusus; Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS, serta bentuk-bentuk satuan Pengamanan Swakarsa – tentang tugas: Pasal 14 ayat 1 huruf f dan tentang wewenang: Pasal 15 ayat 2 huruf f dan g – serta bantuan dan hubungan Polri dengan Pemda) [instrumental]
99
ASPEK
Situasi Masalah - Data base mengenai terorisme belum komprehensif
Substansi Masalah - Tidak ada pusat informasi yang relevan dengan pencegahan dan penanganan terorisme di Indonesia
Solusi Pemecahan Masalah - Penguatan dan aktualisasi Pusat Informasi Kriminal Nasional sesuai undang-undang (UU No. 2 Tahun 2002, Pasal 15, ayat 1, huruf c) - Aktualisasi Inpres No. 5 tahun 2002, BIN sebagai koordinator semua kegiatan intelijen
Instru mental
100
- Aturan hukum yang lemah terhadap terorisme sulit untuk mengungkap pelaku teroris dan jaringannya - Terorisme adalah extra ordinary crime yang membutuhkan penanganan khusus
- Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang terorisme (bagian yang mengatur Hukum Acaranya) belum sepenuhnya mengakomodasik an kepentingankepentingan pengaturan untuk extra ordinary crime
- Penyempurnaan UU tindak pidana terorisme [Undangundang No. 15 tahun 2003 Æ antara lain masalah jangka waktu penahanan, bukti permulaan, barang bukti sebagai alat bukti, keputusan hakim berdasarkan satu alat bukti dan keyakinan hakim] - Vonis hukuman mati yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, harus ditentukan jangka waktu eksekusinya (penegasan dalam Hukum Acara-nya)
ASPEK
Situasi Masalah
Substansi Masalah
Solusi Pemecahan Masalah
- Peranan Intelijen kurang efektif
- Laporan intel tidak dianggap sebagai alat bukti
- Laporan intel menjadi alat bukti
- Kebijakan dan Strategi Pemberantas an Terorisme Nasional (INPRES No. 4 tahun 2002 Kepmenko Polhukam No. 26/Menko/Po lkam/11/200 2 tentang pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme) belum memasyarakat
- Keterbatasan distribusi naskah kebijakan
- Pembentukan Badan Nasional Anti Terorisme yang dapat mengakomodir tugastugas sosialisasi kebijakan pencegahan dan penanganan terorisme
- Sosialisasi yang tidak melembaga
101
ASPEK
102
Situasi Masalah
Substansi Masalah
- Kejahatan terorisme tidak lagi bisa ditangani oleh satu negara untuk itu diperlukan kerjasama Internasional [kejahatan terorisme bukan saja masalah domestik tetapi merupakan pula masalah atau kejahatan lintas negara]
- Persamaan kepentingan domestik dan Internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme
Solusi Pemecahan Masalah - Penyesuaian hukum nasional terhadap hukum Internasional khususnya terhadap konvensi-konvensi Internasional yang sudah diratifikasi dan resolusi Dewan Keamanan PBB
ASPEK
Kultural
Situasi Masalah
Substansi Masalah
Solusi Pemecahan Masalah
- Belum ada kesamaan persepsi masyarakat tentang terorisme sebagai musuh bersama
- Minimnya program penyuluhan oleh lembaga-lembaga publik tentang terorisme
- Pelembagaan gerakan masyarakat dalam kampanye anti terorisme sebagai salah satu program Badan Nasional Anti Terorisme
- Belum terdapatnya definisi terorisme yang bersifat universal
- Masih biasnya pengertian terorisme bagi kalangan atau negara tertentu
- Persepsi masyarakat bergantung kepada sumber informasi pers/media massa
- Pemberitaan pers bersifat latent dapat berdampak positif maupun negatif
- Optimalisasi peran pemberitaan pers dalam pencegahan dan penanganan terorisme sebagai salah satu program Badan Nasional Anti Terorisme
- Eksistensi Kelompokkelompok radikal militan yang meyakini penafsiran keliru terhadap ajaran agama
- Tidak dimilikinya pemahaman yang benar tentang keyakinan agama
- Deradikalisme melalui pencerahan oleh tokohtokoh agama moderat sebagai salah satu program Badan Nasional Anti Terorisme sejalan dengan peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
- Rendahnya tingkat kesadaran hukum
- Peningkatan program sosialisasi oleh lembaga-lembaga publik kepada masyarakat tentang bahaya terorisme, pencegahan dan penanganannya
103
ASPEK
104
Situasi Masalah
Substansi Masalah
Solusi Pemecahan Masalah
- Kurangnya partisipasi masyarakat pencegahan dan penanganan terorisme
- Apatisme dan Ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat
- Membangun kepercayaan masyarakat kepada aparat sehingga tidak apatis dan dapat berpartisipasi
- Teroris memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi dan kemudahankemudahan mengubah identitas diri sehingga sulit dilacak.
- Belum diterapkannya ketentuanketentuan UU No. 23 Tahun 2006, tentang administrasi kependudukan
- Diberlakukannya Single Identification System berdasarkan identitas sidik jari yang bersifat permanen dalam NIK (Nomer Induk Kependudukan) - Meningkatkan peranan Pusat Identifikasi Polri sebagai Pusat Identifikasi Nasional - Perencanaan penerapan NIK harus diprogramkan taat asas sesuai ketentuan undang-undang (tahun 2011 dapat terlaksana sesuai amanat undangundang)
ASPEK
Situasi Masalah
Substansi Masalah
Solusi Pemecahan Masalah
- Terorisme juga digunakan untuk mencapai tujuan politik, antara lain: mengembang kan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara
- Lembaga pembina kesatuan bangsa cenderung administratif dan tidak secara intensif melaksana-kan tugas operasional pembinaan
- Meningkatkan peran lembaga pembina kesatuan bangsa dalam rangka pencegahan dan penanganan penyebaran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara
- Ketentuan normatif yg ada terbatas pd larangan menyebarkan dan mengembangkan ideologi Komunisme, Marxisme, & Leninisme dgn maksud mengubah atau mengganti Pancasila sbg dasar negara (UU No. 27 tahun 1999 j.o. pasal 107d KUHP)
- Ketentuan normatif yang ada [UU No. 27 tahun 1999 j.o. pasal 107d KUHP] diperluas untuk mencakup larangan terhadap segala ideologi yang bertentangan dengan ideologi Pancasila
105
ASPEK
Situasi Masalah
Substansi Masalah
Solusi Pemecahan Masalah
- Ada persepsi masyarakat yang negatif terhadap setiap bentuk kerjasama Internasional dalam penindakan pelaku teroris, sehingga seolah-olah pemerintah diperalat oleh kekuatan asing.
- Adanya persepsi global bhw kekuatan Amerika me lawan kekuatan teroris kelompok Islam radikal. - Krng transparan pemerintah dalam proses pencegahan dan penanganan terorisme,terutama dlm bntuk kerjasama Internasional - Tgkt kepercayaan yang rendah dari masyarakat thdp pemerintah dlm pencegahan & pe nanganan teroris - Lemahnya pengawasan terhadap kepemilikan, srt peredaran senjata api, bhn pldk, & senjta tjm trmasuk jg kepemilikan snjta api, bhn peledak, & senjata tjm organik TNI & POLRI
- Transparansi dalam program kerjasama Internasional khususnya mengenai pencegahan dan penanganan terorisme melalui informasi publik.
- Pemilikan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam di masyarakat dapat dimanfaatkan oleh pelaku terorisme
106
- Memperketat pelaksanaan perijinan dan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.
ASPEK
Situasi Masalah
Substansi Masalah
Solusi Pemecahan Masalah
- Masih adanya bhn peledak sisa peninggalan perang. - Mudahnya memperoleh bhn baku untuk meramu bahan peledak. - Kegiatan - Sumber terorisme pendanaan membutuhkan kegiatan teroris dukungan bisa bersifat logistik dan legal (sumbangan pendanaan dari suatu badan) dan bisa juga merupakan hasil dari kejahatan (money laundering)
- Meningkatkan upayaupaya deteksi dini dari POLRI, aparat intelijen, dan PPATK - Membangun jaringan informasi antara aparat intelijen dan penyidik pada setiap penyidikan tindak pidana yang diperkirakan ada kaitannya dengan penyaluran dana untuk terorisme - Meningkatkan kerjasama antara pengemban fungsi intelijen, POLRI, Jaksa, dan PPATK
107
ASPEK
Situasi Masalah
Substansi Masalah
Solusi Pemecahan Masalah
- Kondisi Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Agama dieksploitasi oleh teroris
- Kelemahankelemahan di bidang Politik, Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Hukum
- Menciptakan penguatan politik baik dalam negeri {menciptakan stabilitas politik dan manajemen nasional} maupun luar negeri {melalui kerjasama internasional}. - Meningkatkan kualitas hidup (sosial ekonomi) - Meningkatkan pembinaan kerukunan hidup bermasyarakat dan bernegara - Meningkatkan pengawasan aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, sesuai peraturan perundang-undangan (UU No. 1 PNPS tahun 1965 kaitannya dengan Pasal 156a KUHP).
- Pemanfaatan potensi budaya lokal dalam pencegahan dan penanganan terorisme.
108
- Tiap daerah memiliki potensi budaya lokal yang khas berkait dengan pranata setempat
- Program community development dan community policing
DAFTAR PUSTAKA Ariyasinghe, Mithra, 2006, Case Handling of Terrorism in Sri Lanka, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006. Atmasasmita, Romli, 2006, Strategy Of Combating Terrorism And Its Implications In Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006. Atmasasmita, Romli. 2006. Strategy Of Combating Terrorism And Its Implications In Indonesia; Azra, Azyumardi, 2006, Jihad And Suicide Bombing An Indonesian Perspective, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006. Bafadal, Fadhal AR, Mebendung Terorisme: Perspektif Lektur Keagamaan (Makalah), Surabaya, 2006 Davies,
Barry, BEM., 2003, Terrorism: Phenomenon, London Books Ltd.
Inside
a
World
Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Kemenko Polhukam, Republik Indonesia. 2006. Pedoman Operasi Terpadu Dalam Penanganan Aksi Terorisme.
109
Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Kemenko Polhukam, Republik Indonesia. 2006. Pedoman Operasi Terpadu Dalam Penanganan Aksi Terorisme. Dzulqarnain, Muh, Sanusi, , 2006 M/ 1427 H. Meraih kemuliaan Melalui Jihad, Pustaka As Sunnah, Klaten, Euroweek, 2002, Bali Blast Fractures Southeast Asia Economic Hopes, London, Euromoney Institutional Investor PLC, 18th October . H.S., Baharuddin, 2006. Membangun Msyarakat Islam lewat Gerakan Kultural (Makalah), Makassar Harmon, Christoper C., Terrorism Today, (London: Frank Cass, 2000), p. 186-233. See as well his article, Christopher C. Harmon, "Terrorism; A Matter for Moral Judgment", Terrorism and Political Violence 4:1 (Spring 1992), p. 121. Hassan, Riaz. 2006. Suicide Terrorism: Its Nature and Management in Different Countries, dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI). Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006. Husain, Adian. 2001Jihad Osama Versus Amerika, Gema Insani, Jakarta, Kahfi, Syahdarul. (ed.). 2006. Terorisme Di Tengah Arus Global Demokrasi. Jakarta : Spectrum. Keelty, Mick, 2006, Threat Detection And Preventative Efforts Against Terrorism, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus 110
Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan, Republik Indonesia. 2006. Kebijakan Dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan, Republik Indonesia. 2006. Kebijakan Dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme. Hal. 6. Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia. 2006. Makalah Rekomendasi Bagi Penggalangan Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Jakarta. Mere, Gories, 2006, Case Handlings of Suicide Bombing of Terrorism in Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri Sebagai Gejala Dalam Terorisme”, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006. Qardhawi, Yusuf, 2004Islam Radikal: Analisis terhadap Radikalisme daam Berislam dan Upaya Pemecahannya, diterjemahkan oleh Hawn Murtadho, Era Intermedia, Solo. Sudiana. 2003. Pancasila dan Jihad. Jakarta : Sinar Mulia Widya, Wayan Putera. 2004. Di Tengah Gelombang Teror. Bandung : Mustika Karya. Wirawan, Sarwono, Sarlito, 2006, What is in their minds? The psychology of suicide bombers in Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Pencegahan Kejahatan: “Menggalang Kerjasama Internasional Melawan Terorisme; Fokus Bahasan Bom Bunuh Diri
111
Sebagai Gejala Dalam Terorisme�, Grand Ball Room Hotel Mulia, Jakarta, 27 Februari 2006. YLBHI : RUU Rahasia Negara Berbahaya. Kompas, 19 Januari 2006. Yusanto, S, et.al, 2003. Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara, EFSThe Ridef Institute, Jakarta.,
112
DAFTAR ISTILAH Terror: Penggunaan kekerasan dan ancaman untuk menimbulkan rasa takut dan meniadakan pelawanan. Terorrism: Penggunaan kekerasan secara sistematis untuk menimbulkan rasa takut dan mengganggu sistem wewenang. Berdasarkan Undangundang No. 15 tahun 2003 terrorisme adalah tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Seseorang dalam pengertian di atas dapat bersifat perorangan, kelompok, orang sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual atau korporasi. Obyek Vital Nasional: Kawasan / lokasi, bangunan / instalasi dan / atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis. Aspek Instrumental: Ketentuan penataan normatif dalam bentuk hukum, Undangundang, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi legitimasi dari badan / organ serta hubungan dan tata cara kerja. Aspek Struktural: Pengorganisasian, kelembagaan, atau sistem sebagai wadah atau badan. Aspek Kultural: Tata laku aparat dan masyarakat.
113
Radikalisme: Suatu ajaran atau pandangan yang mementingkan penanganan drastis untuk mengubah masyarakat sehingga kondisi kehidupan sosial berubah. Deradikalisme: Suatu ajaran atau pandangan yang bertujuan untuk mengurangi radikalisme. Anarki: Suatu keadaan dimana tidak ada suatu organisasi sosial yang efektif sehingga timbul kekacauan. Anarkis: Suatu tindakan pengacauan dengan mangabaikan organisasi sosial yang ada. Komunisme: Suatu filsafat sosial atau sistem organisasi sosial yang didasarkan pada prinsip pemilikan umum atas sarana produksi dan jasa-jasa ekonomis yang senantiasa dikaitkan dengan doktrin untuk mempertahankan sistem tersebut, yang didasarkan pada ajaran yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Marxisme: Ajaran yang dikembangkan Karl Marx dan Friedrich Engels yang berintikan pada asumsi bahwa kelas buruh mempunyai peranan penting untuk menghilangkan kapitalisme dan hak-hak istimewa kelas-kelas sosial tertentu, sehingga pada akhirnya terbentuk masyarakat tanpa kelas sosial. Community Development: Usaha kerja sama yang dengan sengaja dilakukan oleh orang-orang anggota suatu komunitas untuk mengarahkan masa depan komunitasnya dan mengembangkan seperangkat teknik yang tepat untuk membantu orang-orang dalam komunitas dalam menjalani proses. Community Policing: Suatu model yang secara substansial sipil diberi kewenangan di masing-masing daerah untuk ikut merumuskan, mendukung 114
operasional dan melakukan kontrol atas berbagai bentuk kebijakan sektor keamanan di daerah. Kewenangan ini dapat dirumuskan dalam sistem kelembagaan, regulasi, dan kemampuan praktis, sekaligus juga perlu ditopang oleh pelembagaan perangkatperangkat kultural sebagai dasar penguat bekerjanya regulasi yang demokratis. Community based Crime Prevention: Langkah-langkah yang ditujukan untuk memperbaiki kapasitas masyarakat untuk mengurangi kejahatan dengan jalan meningkatkan kapasitas mereka untuk menggunakan kontrol sosial informal. Mastermind: Orang yang sangat terpelajar, terutama dalam membuat suatu perencanaan dan memimpin suatu kegiatan yang rumit. Spiritual Leader: Orang yang menggunakan sumber-sumber keagamaan menggerakkan atau mempengaruhi orang lain.
untuk
Money Laundering Adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1 UU. No. 15 Tahun 2002 jo. UU. No. 25 Tahun 2003). Dari pengertian di ini, paling tidak ada dua elemen penting untuk adanya pencucian uang (money laundering) ialah adanya transaksi keuangan dan adanya tindak pidana (illegal activity).
115