KATA PENGANTAR Human Development Index (HDI) atau yang lebih dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), diperkenalkan pertama kali oleh badan dunia United Nations Development Programs (UNDP). Konsep pembangunan ini lebih memfokuskan pada bagaimana upaya untuk dapat meningkatkan aspek sumberdaya manusia dari sisi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Pendekatan Data Basis Pembangunan Manusia sebagai basis orientasi perencanaan pembangunan daerah menjadi sangat penting dan strategis.
Penyusunan Analisa Data Basis Pembangunan Manusia Tahun 2018 ini, dimaksudkan agar teridentifikasi permasalahan dan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan Pembangunan Manusia di Kota Bandung yang tepat dan akurat sebagai salah satu bahan acuan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan Kota Bandung. Dengan ketersediaan data yang semakin lengkap dan semakin baik, diharapkan tahapan perencanaan pembangunan akan semakin menyentuh kebutuhan masyarakat yang paling mendasar (development based need assesment). Dan apabila hal ini berlangsung secara berkesinambungan bukan mustahil pembangunan kota Bandung akan lebih maju lagi untuk masa yang akan datang.
Analisis ini disusun dengan melakukan diskusi ekspertis secara efisien untuk mengkaji hasil publikasi Indeks Pembangunan Manusia Kota Bandung dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk dituangkan menjadi kumpulan analisis per komponen; Melakukan koleksi data sekunder untuk mendukung analisa per komponen Indeks Pembangunan Manusia; dan melakukan analisis strategi serta rekomendasi dalam peningkatan nilai Indeks Pembangunan Manusia Kota Bandung.
i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................................... I DAFTAR ISI ....................................................................................................................... II INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA ...........................................................................1 1.
Indeks Pembangunan Manusia ........................................................................................... 1
2.
Sekilas Tentang IPM Metode Baru ..................................................................................... 1 2.1.
Variabel Yang Digunakan Dalam Penghitungan IPM Dan Komponennya ............................ 1
2.2.
Perbandingan Metode Lama dan Metode Baru ....................................................................... 4
STRATEGI PENINGKATAN DAYA BELI MASYARAKAT KOTA BANDUNG .........5 1.
Latar Belakang .................................................................................................................... 5
2.
Identifikasi Isu-Isu Strategis ............................................................................................... 6
3.
Prinsip-Prinsip Dasar .......................................................................................................... 7
4.
Alternatif Solusi dan Kebijakan .......................................................................................... 8 a.
Prioritas Kebijakan 1: ................................................................................................................... 8
b.
Prioritas Kebijakan 2: ................................................................................................................... 8
c.
Prioritas Kebijakan 3: ................................................................................................................... 9
d.
Prioritas Kebijakan 4: ................................................................................................................... 9
e.
Prioritas Kebijakan 5: ................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................11 LAMPIRAN .......................................................................................................................12 PENDIDIKAN DAN KESEMPATAN KERJA BERKUALITAS UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN DI KOTA BANDUNG .......................................21 1.
Pendahuluan : Pentingnya Pembangunan SDM dalam Pembangunan ............................. 21
2.
Pembangunan SDM Kota Bandung: Kondisi Eksisting & Tantangan Kedepan .............. 23 2.1
Kondisi Eksisting....................................................................................................................... 23
2.2
Tantangan Kedepan : Kondisi Internal & Eksternal .................................................................. 24
3.
Identifikasi Sumber Permasalahan Dalam Pembangunan SDM Kota Bandung ............... 26
4.
Analisis Kebijakan Eksisting dan Rekomendasi Upaya Kedepan .................................... 29
5.
Simpulan dan Rekomendasi .............................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................36
ii
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA
3
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Badan Pusat Statistik
1.
Indeks Pembangunan Manusia Survey IPM dilakukan untuk melihat secara kuantitatif pertumbuhan pembangunan
manusia di Indonesia untuk setiap Kabupaten/Kotanya. 2.
Sekilas Tentang IPM Metode Baru Badan Pusat Statistik RI sejak tahun 2010 mengubah cara penghitngan IPM (Indeks
Pembangunan Manusia) karena mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya: 1.
UNDP (United Nation Development Programme) sudah mengubah metodologi penghitungan sejak tahun 2010 lalu kemudian direvisi pada tahun 2011.
2.
Beberapa negara di Asia, dua diantaranya India dan Filipina telah menggunakan metode pengukuran IPM baru. Meskipun India baru menggunakannya pada tahun 2011.
3.
Angka Harapan Hidup sudah mulai tersedia hasil proyeksi Sensus Penduduk 2010
4.
Adanya pengubahan pembobotan dalam Survey Ekonomi Nasional untuk MYS (Mean Years of Schooling, Rata-rata lama sekolah) dan EYS (Expected Years of Schooling, Angka Harapan Lama Sekolah)
5.
Adanya pengubahan proxy indikator daya beli. Penghitungan IPM ditingkat provinsi dimulai pada tahun 1990, lalu kemudian
diperdalam ke level kabupaten/kota pada tahun 1996. Dalam diseminasi sendiri, BPS melakukan publikasi setiap 3 tahun sekali sebelum tahun 2004. Kemudian sejak tahun 2005, publikasi dilakukan setiap tahun sesuai dengan kebutuhan penghitungan Dana Alokasi Khusus yang sesuai dengan Undang undang nomor 33 tahun 2004. Selain untuk melihat pembangunan manusia secara kuantitatif, pengukuran IPM juga berperan dalam instrumen kebijakan fiskal IPM salah satu alokator DAU ukuran kinerja Pemerintah Daerah.
2.1. Variabel Yang Digunakan Dalam Penghitungan IPM Dan Komponennya Tabel 1 Variabel IPM
No 1
Komponen
Variabel
Angka Harapan
Anak Lahir Hidup
Hidup
Anak Masih Hidup
1
2
Harapan Lama
Partisipasi sekolah penduduk menurut kelompok
Sekolah
umur Angka Partisipasi Sekolah
3
Rata-rata Lama
Jenjang pendidikan yang pernah diduduki
Sekolah
Kelas yang sedang dijalani Jenjang pendidikan yang ditamatkan
4
a.
Daya Beli
Variabel Pengeluaran Konsumsi RT
Angka Harapan Hidup Saat Lahir Tahun 2017 tumbuh 1,44 persen dari tahun sebelumnya
ANGKA HARAPAN HIDUP SAAT LAHIR Angka Harapan Hidup saat Lahir 73,88
73,86
73,86
73,84
73,84
73,82
73,82 73,79
73,8 73,77
73,78 73,76
73,8
73,74
73,74 73,72 73,7 73,68 2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
Gambar 1 Komponen Angka Harapan Hidup Saat Lahir
b. Harapan Lama Sekolah vs Rata-rata Lama Sekolah Untuk angka Harapan Lama Sekolah pada tahun 2017 tumbuh 0.07%, sementara rata-rata lama sekolah tumbuh sebesar 0.09% dari tahun sebelumnya
2
HLS VS RLS HLS
RLS
14,5
13,63
14 13,5
12,97
13,05
13,13
10,33
10,35
10,37
2011
2012
2013
13,89
13,9
13,33
13 12,5 12 11,5 11 10,5
10,51
10,52
10,58
10,59
2014
2015
2016
2017
10
Gambar 2 Komponen Harapan Lama Sekolah vs Rata-rata Lama Sekolah
c.
Pengeluaran Per Kapita/tahun disesuaikan (ribu rupiah) Tahun 2017 tumbuh 1,44 persen dari tahun sebelumnya
PE NG E LUA RA N PE RK A PI TA 16.500 16.033 16.000
15.805 15.609
15.500 14.957 15.000
14.700
15.048
14.763
14.500
14.000 2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
Gambar 3 Komponen Daya Beli
Pada tahun 2017, pertumbuhan IPM Kota Bandung sebesar 0,22%, melambat dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Melambatnya pertumbuhan
indeks
pendukung IPM, disebabkan status pembangunan manusia Kota Bandung yang sudah masuk kategori “sangat tinggi�.
3
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Indeks Pembangunan Manusia 80,5
80,13
80
80,31
79,67
79,5 78,98 79 78,5
78,55 78,13
78,3
78 77,5 77 2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
Gambar 4 Trend IPM Kota Bandung Tahun 2011-2017
2.2. Perbandingan Metode Lama dan Metode Baru
Gambar 5 Perbandingan Metode Lama dan Metode Baru
4
STRATEGI PENINGKATAN DAYA BELI MASYARAKAT KOTA BANDUNG
STRATEGI PENINGKATAN DAYA BELI MASYARAKAT KOTA BANDUNG Viktor Pirmana1
1. Latar Belakang UNDP (1990) menyatakan bahwa tujuan pembangunan manusia (human development) dirumuskan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging the choice of people). Pembangunan manusia dapat dipandang sebagai proses upaya ke arah “perluasan pilihan� dan sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut. Diantara berbagai pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Dengan demikian, pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan peningkatan kemampuan manusia, seperti meningkatkan kesehatan dan pendidikan. Pembangunan manusia juga mementingkan apa yang bisa dilakukan oleh manusia dengan kemampuan yang dimilikinya, untuk menikmati kehidupan, mencukupi kebutuhannya, melakukan kegiatan produktif, atau ikut serta dalam berbagai kegiatan budaya, dan sosial politik. Pembangunan manusia harus menyeimbangkan berbagai aspek tersebut. Dalam rangka memberikan fokus pelaksanaan pembangunan daerah, Kota Bandung secara konsisten menjadikan peningkatan kualitas sumber daya manusianya sebagai salah satu target utama keberhasilan pembangunan daerah. Hal ini sejalan dengan kondisi bahwa Kota Bandung merupakan dengan daerah ibukota propinsi jumlah penduduk yang cukup besar. Tolok ukur yang dijadikan sebagai indikator untuk menilai kinerja pembangunan manusia adalah nilai IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang terdiri dari tiga komponen yaitu: Indeks Kesehatan, Indeks Pendidikan serta indeks daya beli. Pencapaian IPM Kota Bandung memang menunjukkan kecenderungan yang meningkat, namun demikian nilainya masih belum seperti yang diharapkan. Pencapaian IPM pada tahun 2017 sebesar 80.31 hanya mengalami peningkatan sebesar 2.16 poin dibandingkan pencapaian IPM pada tahun 2011. Masih rendahnya peningkatan IPM ini, terutama sekali disebabkan masih rendahnya pencapaian komponen daya beli dibandingkan dengan komponen lainnya, yang tercermin dari kecilnya peningkatan dalam pengeluaran per kapita masyarakat Kota Bandung per tahun yang hanya mengalami
1
a) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran; b) Peneliti pada Center for Economics and Development Studies (CEDS) FEB-UNPAD; c) Peneliti pada Center of Sustainable Development Goals Studies (SDGs Center) UNPAD; d) PhD Candidate, Institute for Environmental Sciece (CML) Faculty of Science, eiden University
5
peningkatan sebesar 1.33jt dari tahun 2011 ke tahun 2017 (lihat tabel 1) Ukuran kemampuan daya beli masyarakat dapat direfleksikan oleh PDRB per kapita sebagai cermin dari kinerja perekonomian daerah. Perkembangan daya beli per kapita dapat dievaluasi melalui perkembangan PDRB, laju pertumbuhan penduduk dan tingkat perkembangan harga-harga umum (inflasi) daerah. Kinerja perekonomian Kota Bandung secara keseluruhan belum terlalu menggembirakan, meskipun Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) dari tahun 2011 ke tahun 2017 tumbuh secara rata-rata sebesar 7.81 persen bahkan lebih tinggi dibandingkan pencapain LPE Provinsi Jawa Barat dan Nasional (lihat grafik 1). Laju pertumbuhan ekonomi hanya merupakan salah satu target pembangunan ekonomi daerah, target lainnya adalah: perluasan kesempatan kerja, penurunan tingkat kemiskinan, dan penurunan kesenjangan ekonomi antar daerah. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Kota Bandung belum diikuti oleh penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Hal ini tercermin dari masih tingginya Tingkat Pengangguran Terbuka di Kota Bandung, bahkan lebih tinggi dibandingkan TPT provinsi Jawa Barat dan Nasional stiap tahunnya (lihat grafik 2). Pada tahun 2017, TPT di kota Bandung pada tahun 2017 masih berada pada level 8.44 persen, lebih tinggi dibandingkan Provinsi Jawa Barat dengan TPT sebesar 8.22 persen dan Nasional 5.5 persen. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Kota Bandung juga tidak diiringi dengan distribusi pendapatan yang merata, atau dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang inklusif yang menjadi cita-cita pembangunan belum tercapai. Tingkat kesenjangan pendapatan di kota masih cukup tinggi, bahkan merupakan kota dengan kondisi paling timpang di seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat (lihat grafik 3). Pada tahun 2017, tingkat kesenjangan pendapatan di kota Bandung yang tercermin dari nilai Gini Ratio adalah sebesar 0.428, tertinggi dibandingkan dengan seluruh kabupaten/kota yang ada di provinsi Jawa Barat.
2. Identifikasi Isu-Isu Strategis Kinerja perekonomian kota Bandung secara keseluruhan masih mengindikasikan belum optimalnya pencapaian komponen daya beli dalam meningkatkan pencapaian IPM Kota Bandung dibandingkan dengan komponen-komponen pembentuk IPM lainnya. Beberapa faktor penyebab dilihat dari aspek sosial demografi dan sosial ekonomi diperkirakan adalah: 1. Tata kelola ekonomi daerah yang belum optimal2
2
Studi Tata Kelola Ekonomi Daerah 2016: Survei Pemeringkatan 32 Ibukota Provinsi di Indonesia dari KPPOD memperlihatkan bahwa Tata Kelola Ekonomi Daerah Kota Bandung tidak termasuk kedalam peringkat sepuluh besar (peringkat 16 dari 32 daerah ibukota). Sumber: http://www.kppod.org/backend/files/laporan_penelitian/rating-tked-2016.pdf
6
2. Tingkat pengangguran yang masih tinggi 3. Tingkat kesenjangan pendapatan yang masih tinggi 4. Kegiatan perekonomian intra daerah yang kurang terintegrasi antara daerah UtaraSelatan, dan Barat-Timur 5. Keterkaitan ekonomi (linkages) yang belum sinergis antar pelaku ekonomi dan sektoral serta antara daerah Kota Bandung dengan daerah lainnya
3. Prinsip-Prinsip Dasar Tujuan dari pembangunan ekonomi Kota Bandung jelaslah tidak hanya terbatas pada peningkatan daya beli masyarakat, namun mencakup tujuan yang lebih luas yaitu: pengurangan kemiskinan, perluasan kesempatan kerja dan memperkecil kesenjangan ekonomi antar wilayah di Kota Bandung. Terdapat beberapa prinsip dasar pembangunan ekonomi Kota Bandung yang perlu diperhatikan dalam merumuskan solusi/kebijakan alternatif sebagai berikut:
Pertumbuhan ekonomi dicapai melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan sebaliknya peningkatan kualitas sumber daya manusia akan terfasilitasi oleh pertumbuhan ekonomi. Antara keduanya tercipta hubungan timbal balik yang bersifat saling menguatkan (lihat Lampiran).
Akselerasi pertumbuhan ekonomi pada tahapan tingkat pendapatan tertentu harus ditunjang oleh ketersediaan kualitas SDM (aparat dan masyarakat) yang sesuai agar dapat berlangsung secara berkelanjutan
Pembangunan ekonomi dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan pencapaian kondisi sosial dan lingkungan, sehingga berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang memperhatikan keseimbangan pencapaian kondisi sosial ekonomi masyarakat adalah pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan kesenjangan distribusi pendapatan.
Akselerasi pertumbuhan ekonomi harus ditunjang oleh ketersediaan investasi dalam berbagai sarana dan prasarana. Sesuai dengan kewenangan dan fungsinya, maka Pemerintah berperan dalam penyediaan infrastruktur dasar (fisik dan sumber daya manusia), sedangkan kebutuhan investasi bagi menggerakkan kinerja sektor-sektor perekonomian sebagian besar dipenuhi oleh investasi swasta (lihat Lampiran 2).
Peran pemerintah adalah sebagai regulator dan fasilitator bagi terciptanya iklim investasi yang kondusif bagi dunia usaha, baik usaha skala kecil, menengah maupun besar.
Perencanaan pembangunan ekonomi dilakukan dengan memadukan konsep “top down” dan bottom up” serta bersifat partisipatif melibatkan seluruh stakeholder yang terdiri dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
7
4. Alternatif Solusi dan Kebijakan Dengan memperhatikan isu-isu strategis, dan prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi, maka kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bandung yang diharapkan akan membantu proses akselerasi pencapaian daya beli masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam beberapa strategi umum sebagai berikut:
a.
Prioritas Kebijakan 1: Meningkatkan daya saing perekonomian daerah dengan prinsip penerapan tata
kelola ekonomi yang baik (Good Governance) untuk menarik investasi swasta Dengan memperhatikan peran dan kewenangan Propinsi, daya tarik investasi perlu difasilitasi agar tercipta iklim investasi yang kondusif melalui cara:
Identifikasi faktor-faktor yang membuat iklim usaha dan investasi kurang kondusif (Perda bermasalah, perijinan, berbagai pungutan, masalah kepastian hukum dsb).
Melakukan tindakan nyata koordinasi dedngan seluruh SKPD Kota Bandung dan juga koordinasi antar tingkatan pemerintahah (pemerintah provinsi dan pemerintah pusat) untuk menghilangkan/mengurangi faktor-faktor penghambat tsb.
Meningkatkan efektivitas dan sinergitas promosi dan penyebaran informasi peluang investasi sektoral. Misalnya: mengangkat peluang kerjasama dengan daerah lain dan luar negeri (bilateral agreement), networking dengan asosiasi pengusaha.
Memfasilitasi terjadinya follow up rencana investasi, sampai dengan terealisasinya rencana investasi. Hal ini harus didukung oleh kapasitas dan kapabilitas SDM (aparat) yang memadai dalam menyikapi peluang-peluang investasi swasta termasuk swasta asing.
Pemda tetap berperan sebagai regulator dalam hal terjadi kegagalan pasar (market failure), di mana tidak bisa semua hal dapat diserahkan kepada pihak swasta.
b. Prioritas Kebijakan 2: Mendorong perkembangan UMKM
Mendorong peran lembaga keuangan untuk menopang perkembangan UMKM (termasuk BPR milik Pemda dan Bank Koperasi).
Memfasilitasi alternatif permodalan dan penjaminan kredit UMKM.
Memfasilitasi peningkatan SDM, kewirausahaan, diversifikasi produk dan pasar UMKM.
Mendorong pengembangan pola clustering dalam pemberdayaan UMKM
Memfasilitasi pengembangan UMKM dan IKM dengan pola Dunia Usaha-Pemda dan Perguruan Tinggi, yang dapat dikombinasikan dengan pola cluster industri.
8
c.
Prioritas Kebijakan 3: Menyediakan/membangun dan memelihara infrastruktur dasar
Lebih mendayagunakan infrastruktur yang ada dengan cara mengalokasikan dana untuk O&M yang memadai. Untuk jalan-jalan Kabupaten/kota, permasalahan lain adalah adanya keterbatasan daya dukung jalan dibandingkan dengan beban yang harus diterimanya, disamping faktor geografis dan geologis yang menyebabkan tingkat kerusakan jalan cukup tinggi
Pengembangan jalan-jalan alternatif bebas hambatan yang dapat mengintegrasikan bagian Utara-Selatan Kota Bandung.
Optimalisasi penggunaan pelabuhan udara yang ada (Bandara Husein) dalam jangka menengah.
Pengembangan alternatif pusat distribusi barang/cargo yang dapat memfasilitasi akses pengangkutan komoditas/produk ekspor Kota Bandung ke pasar ekspor secara lebih efisien
Identifikasi dan persiapan feasibility study serta kemungkinan calon investor untuk proyek-proyek infrastruktur strategis dan menghasilkan penerimaan (commercial basis).
Mengembangkan skema-skema PFI (Private Financing Initiative) untuk pembangunan infrastruktur wilayah.
d. Prioritas Kebijakan 4: Mengembangkan kebijakan yang menyeimbangkan antara prioritas sektoral dan aspek spasial
Pengembangan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang akan dapat mengintegrasikan perekonomian antar daerah di Kota Bandung, terutama antara daerah-daerah di kawasan Utara – Selatan, termasuk dengan wilayah yang berbatasan dengan Kota Bandung. Pemerintah Daerah berperan besar dalam mengkoordinasikan kepentingan dan peran dari daerah di lingkup Kota Bandung (kecamatan-kecamatan).
Peran strategis Pemerintah Kota (dan juga Pemerintah Provinsi dan Pusat) dalam membantu pengembangan daerah tertinggal (fokus pada kecamatan-kecamatan / kelurahan/kelurahan yang termasuk daerah tertinggal).
Koordinasi antara Pemerintah Kota dengan Pemerintah Propinsi dan pemerintah pusat dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang bersifat lintas daerah (misalnya: infrastruktur wilayah, perbaikan iklim usaha dan investasi).
e. Prioritas Kebijakan 5: Mendorong perkembangan sektor-sektor ekonomi yang memberikan dampak multiplier yang tinggi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat.
9

Pemerintah memfasilitasi pengembangan sektor andalan, yaitu sektor dengan multiplier effect yang tinggi dan sektor unggulan, yaitu sektor dengan inter sectoral linkages yang tinggi. Investasi untuk sektor-sektor andalan dan unggulan ini dilakukan oleh sektor swasta.

Penekanan prioritas kebijakan tidak semata-mata pada pengembangan sektor dengan linkages yang tinggi. Prioritas intervensi pemerintah diperlukan untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat terutama masyarakat berpendapatan rendah yang banyak hidup sektor informal

Ketepatan analisis intervensi pemerintah terhadap sektor dan sub-sektor potensial yang dapat mengangkat daya beli masyarakat sangat tergantung pada ketersediaan data seperti Sistem Nasional Sosial Ekonomi (SNSE), Tabel Input-Output yang disusun BPS bekerjasama dengan Bapeda Kota. Penyusunan data-data semacam dan analisisanalisis yang dapat disusun hendaknya menjadi prioritas dari Badan Perencana Daerah.
10
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, 2016. Jawa Barat Dalam Angka 2016. Bandung : BPS Provinsi Jawa Barat. Bendavid-Val, Avrom, Regional and Local Economic Analysis for Practitioners, Praeger, 1991 Indonesia Human Development Report, 2004, The Economics of Democracy – Financing Human Development in Indonesia, BPS – Bapenas – UNDP Kirkpatrick, Colin, at al, Development Policy and Plannig, Routledge, 1994 M. L. Jinghan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan,Edisi ke-3, Rajawali Press, Jakarta Ranis, G. and Stewart, F. 2000 'Strategies for success in human development', Journal of Human Development 1(1): 49-70. Ranis, G., F. Stewart and E Samman. 2006. 'Human Development: Beyond the Human Development Index', Journal of Human Development 7, 3, 323-358. Rinaldi. 2017. Education is as the encouragement of the increasing of human development index in Indonesia. https://www.researchgate.net/publication/318654424 Rosen, Harvey S., 2008, Public Finance, 9th ed. IRWIN Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangun, Penerbit FEUI, 1985. Situsinternet:http://www.kppod.org/backend/files/laporan_penelitian/rating-tked2016.pdf Ter-Minassian, Teresa. (1997). “Fiscal Federalism in Theory and Practice”. Washington DC. International Monetary Funds. Todaro Michael P., 1994, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi 4, Jilid 1, Erlangga, Jakarta. UNDP. 2016. Human Development Report 2016, Human Development for Everyone. New York : Oxford University Press Van den Berg, Hendrik, 2001, Economic Growth and Development, McGraw-Hill International Edition.
11
LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Indikator- Indikator Pembangunan di Kota Bandung Tabel 2 IPM dan Dimensi Penyusun IPM Kota Bandung Tahun 2011-2017
Indikator Satuan
Satuan
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Pendidikan
Harapan Lama Sekolah Rata-rata Lama Sekolah
Tahun
12.97 13.05 13.13 13.33 13,63 13,89 13,90
Tahun
10.33 10.35 10.37 10.51 10,52 10,58 10,59 Kesehatan
Umur Harapan Hidup
Tahun
73.74 73.77 73.79 73.80 73,82 73,84 73,86
Standar Hidup Layak Pengeluaran per kapita
Ribu rupiah/ Orang/Tahun
Indeks Pembangunan Manusia
14.700 14.763 14.957 15.048 15.609 15.805 16.033 78.13 78.30 78.55 78.98 79,67 80,13 80,31
Sumber: BPS Kota Bandung
9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00
3,00 2,00 1,00 Bandung
2011 7,91
2012 8,53
2013 7,84
2014 7,72
2015 7,64
2016 7,79
2017 7,21
Jawa Barat
6,50
6,50
6,33
5,09
5,05
5,66
5,29
Indonesia
6,17
6,03
5,56
5,01
4,88
5,03
5,07
Gambar 6 Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat dan Indonesia Tahun 2011-2017
Sumber : BPS 2018, diolah
12
14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 -
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
Jawa Barat 10,96 10,33
9,96
9,08
9,16
8,45
8,72
8,89
8,22
Bandung
13,29 12,17 10,34
9,17
10,98
8,05
9,02
-
8,44
Indonesia
7,87
6,13
6,17
5,94
6,18
5,61
5,50
7,14
7,48
Gambar 7 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kota Bandung, Jawa Barat dan Indonesia Tahun 2017
0,422
0,365
0,381
0,352 Kota Depok
Kota Cimahi
0,411 Kota Cirebon
0,351
0,428 Kota Bandung
Kota Bekasi
0,410
0,403
Kota Bogor
Kota Sukabumi
0,405
0,352
0,336
0,389
0,348
0,344
0,387
0,291
0,355
0,351
Kab Cirebon
Kab Majalengka
0,364
0,320
0,391
0,369
0,319
0,350
0,348
0,400
0,384
0,450
0,334
Sumber: BPS 2018, diolah
0,300 0,250 0,200 0,150 0,100 0,050
Kota Banjar
Kota Tasikmalaya
Kab Pangandaran
Kab Bekasi
Kab Bandung Barat
Kab Karawang
Kab Subang
Kab Purwakarta
Kab Sumedang
Kab Indramayu
Kab Kuningan
Kab Ciamis
Kab Tasikmalaya
Kab Garut
Kab Cianjur
Kab Bandung
Kab Bogor
Kab Sukabumi
0,000
Gambar 8 Gini Ratio menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2017
Sumber: BPS 2018, diolah
13
LAMPIRAN II
Kerangka Teoritis Pertumbuhan Ekonomi, Pembangunan SDM dan Peningkatan Daya Beli Masyarakat
Hubungan antara kinerja ekonomi (pertumbuhan ekonomi atau EG) dengan kualitas SDM (HD) secara timbal balik sudah banyak diakui dan dibuktikan secara empiris. Kinerja ekonomi yang baik akan memungkinkan suatu negara atau daerah meningkatkan kualitas SDMnya, sebaliknya peningkatan kualitas SDM merupakan faktor penting yang mempengaruhi kinerja ekonomi. Penelitian Ranis dan Stewart (2000) secara empiris telah menjelaskan hubungan yang sistematis dan spesifik antara EG dan HD. Ranis dan Stewart (2000) menjelaskan hubungan sistematis antara EG dan HD dari dua sisi sebagai suatu siklus (cyle), yaitu pertama pengaruh EG terhadap HD dan kedua, pengaruh HD terhadap EG. Pemahaman hubungan timbal balik secara sistematis antara EG dan HD akan membawa implikasi kebijakan bagi prioritas pembangunan suatu negara, termasuk suatu daerah.
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi (EG) Terhadap Pembangunan SDM (HD)
PDB/PDRB mempengaruhi pengembangan SDM melalui masyarakat (sektor rumah tangga, swasta dan LSM), dan sektor pemerintah. Tingkat PDB /PDRB yang sama bisa menghasilkan tingkat kualitas SDM yang berbeda tergantung pada alokasi PDB/PDRB untuk peningkatan kualitas SDM serta perilaku (behaviour) dari masyarakat maupun pemerintah.
Dari sisi pemerintah, berapa alokasi anggaran bagi pengembangan SDM, dan alokasi spesifik untuk komponen-komponen pengembangan SDM menurut tingkat pendidikan dan prioritas program. Efektivitas dari masing-masing program pengembangan SDM akan berbeda-beda yang tergantung dari situasi dan kondisi daerah yang bersangkutan. Misalnya: prioritas pengembangan pendidikan dasar tepat bagi daerah yang masih berada pada tahap awal pembangunan ekonominya. Apa yang sebaiknya menjadi prioritas alokasi anggaran akan berbeda tergantung pada situasi spesifik dari masing-masing daerah.
Pengeluaran untuk input pembangunan SDM bukan merupakan suatu tujuan tersendiri, tetapi lebih merupakan instrumen-instrumen untuk mencapai kemajuan dalam berbagai dimensi kehidupan. Oleh karena itu penting untuk memastikan efektifitas pengeluaran tersebut dalam meningkatkan pembangunan SDM, jenis pengeluaran apa yang paling
14
produktif pada tingkat pembangunan tertentu dan bagaimana kombinasi yang berbeda dapat mempengaruhi perubahan pembangunan SDM atau melalui apa yang dinamakan Fungsi Peningkatan Pembangunan Sumber Daya SDM atau HDIF (Human Development Improvement Function). HDIF berkaitan dengan input komplementar atau input substitusi dalam meningkatkan pembangunan SDM. Misalnya, perpaduan ketersediaan air minum yang aman berkaitan dengan tingkat pendidikan dan kontribusinya terhadap hidup sehat. Seberapa rumit hubungan yang melekat pada HDIF tergantung pada perilaku individu dan masyarakat, dan berbeda-beda pada setiap tingkatan pembangunan.
Beberapa kondisi yang penting untuk meningkatkan efisiensi dalam HDIF diantaranya adalah kemajuan informasi mengenai ketersediaan teknologi dan kombinasi input yang tepat, penciptaan teknologi yang baru dan lebih efektif, serta peningkatan motivasi untuk menggunakan pilihan-pilihan yang ada. Misalnya, motivasi untuk menyekolahkan anak dan memeriksakan anak ke puskemas. Motivasi tersebut tampaknya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, struktur kekuatan dalam keluarga, insentif, dan besarnya opportunity cost.
Intinya, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan SDM akan semakin kuat jika: 
Semakin rendah porsi masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan

Semakin besar pendapatan yang dialokasikan oleh rumah tangga untuk pembangunan SDM pada tingkat pendapatan tertentu

Semakin tinggi porsi anggaran pemerintah yang disediakan untuk memprioritaskan pengeluaran sosial

Semakin efektif kontribusi modal sosial dari masyarakat

Semakin efisien HDIF
Pengaruh Pembangunan SDM (HD) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (EG)
Di samping merupakan suatu tujuan tersendiri, tingkat pembangunan SDM yang lebih tinggi juga mempengaruhi perekonomian melalui peningkatan kemampuan masyarakat serta kreativitas dan produktivitas masyarakat sebagai konsekuensinya. Secara khusus, (i) kesehatan, pendidikan dasar dan menengah
serta perbaikan gizi meningkatkan
produktivitas pekerja; (ii) pendidikan menengah termasuk kejuruan dapat mempermudah memperoleh kemahiran dalam keterampilan dan kapasitas manajerial; (iii) pendidikan tinggi mendukung pengembangan ilmu dasar dan teknologi; (iv) pendidikan menengah dan tinggi juga mewakili elemen kritis dalam pengembangan institusi-institusi pokok, pemerintahan, hukum, sistem keuangan, yang seluruhnya penting bagi pertumbuhan
15
ekonomi.
Kekuatan dalam beragam hubungan antara pembangunan SDM dan pertumbuhan ekonomi terus mengalami perubahan dan sesungguhnya tidak ada hubungan yang bersifat otomatis antara kenaikan tingkat pembangunan SDM dengan kenaikan PDB per kapita. Menciptakan sekelompok SDM terdidik saja tidak cukup, kesempatan bagi mereka untuk dipekerjakan secara produktif juga harus ada, karena jika tidak, hanya akan menambah pengangguran terdidik. Di samping itu, tabungan dan tingkat bunga, pilihan teknologi serta penetapan kebijakan secara keseluruhan juga relevan dengan sisi permintaan.
Tingginya tingkat tabungan dan investasi tidak dengan sendirinya menjamin pertumbuhan yang tinggi dan berkesinambungan. Hubungan positif antara tingkat investasi dan pertumbuhan tergantung pada beberapa faktor seperti: iklim kebijakan, kuantitas dan kualitas sumber daya SDM, keberadaan pilihan teknologi, dan fleksibilitas kerangka kebijakan. Penanaman modal domestik maupun asing dipengaruhi oleh tingkat pembangunan SDM, pendidikan dan keterampilan tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya tergantung pada tingkat input, melainkan juga pada seberapa efektif input tersebut digunakan dan tujuan penggunaannya. Beberapa faktor penting yang turut mempengaruhinya antara lain adalah insentif dari kebijakan ekonomi, serta motivasi dan perilaku masyarakat.
Intinya, hubungan antara pembangunan SDM dan pertumbuhan ekonomi akan bertambah kuat jika : 
Semakin tinggi tingkat investasi

Semakin sedikit jumlah orang miskin

Semakin tepat penetapan kebijakan ekonomi
16
HUMAN DEVELOPMENT
SCHOOL ENROLLMENT RATIOS HEALTH SERVICE COVERAGE
CAPABILITIES of ENTREPRENEURS MANAGERS WORKERS FARMERS
H D T o
HOUSEHOLD EXPENDITURE ON HH ITEMS AND ALLOCATION WITHIN HOUSEHOLDS
ORGANIZATION OF PRODUCTION, RAD TECHNOLOGY IMPORTS AND ADAPTATION
SOCIAL AND PRIORITY RATIOS
E G T o H D
E G HOUSEHOLD INCOME AND POVERTY
COMPOSITION OF OUTPUT AND EXPORTS
GOVERNMENT REVENUE AND EXPENDITURE RATIOS
RATES SOCIAL CAPITAL
POLICY ENVIRONMENT
FOREIGN SAVING
PHYSICAL CAPITAL STOCK AND ADDITION TO IT
DISTRIBUTION OF INCOME
DOMESTIC SAVING
GNP
Sumber : Ranis and Stewart, 2000
Gambar 9 Keterkaitan antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Sumber Daya Manusia
Konsep Pembangunan Manusia Memasuki dasawarsa 1990-an, United Nations Development Programme (UNDP) mengadopsi suatu paradigma baru mengenai pembangunan, yaitu yang disebut dengan Paradigma Pembangunan Manusia (PPM). Berbeda dengan paradigma pembangunan sebelumnya, yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan menempatkan pendapatan (yang diukur misalkan dengan GNP atau GDP) sebagai ukuran pencapaian pembangunan, maka konsep PPM dapat dianggap sebagai suatu konsep yang lebih komprehensif. Paradigma baru ini memperhitungkan ukuran pencapaian pembangunan manusianya, disamping ukuran pencapaian pertumbuhan ekonomi. Upaya pembangunan manusia pada dasarnya merupakan sinergi dari semua sektor pembangunan, baik di pusat maupun di daerah. Peningkatan status pembangunan manusia melibatkan semua sektor, yang harus dimulai dengan upaya pemantauan dan evaluasi atas
17
pencapaian yang diperoleh. Pemantauan dan evaluasi tidak saja berguna untuk menilai kinerja bersama semua sektor, tetapi juga berguna sebagai masukan untuk perencanaan yang akan datang. Paradigma pembangunan manusia ini memiliki 4 (empat) pilar pokok (UNDP, 1995:12), dimana ke-empat pilar pokok ini dapat menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia seutuhnya. Secara ringkas 4 (empat) pilar pokok tersebut mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Produktivitas (productivity). Peningkatan produktivitas penduduk menjadi kebutuhan yang utama dan menjadi salah satu bagian terpenting didalam proses peningkatan kualitas hidup. Produktivitas memerlukan investasi pada manusia, serta suatu keadaan makroekonomi yang memungkinkan penduduk untuk mengembangkan dirinya secara maksimal. 2. Pemerataan (equity). Penduduk harus memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat akses terhadap semua sumberdaya ekonomi dan sosial. Semua hambatan yang memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut harus dihapuskan, sehingga penduduk dapat mengambil manfaat dari kesempatan yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas hidupnya. 3. Kesinambungan (sustainability). Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial hendaknya harus terus berlanjut tidak hanya untuk generasi sekarang saja, akan tetapi diharapkan akses tersebut dapat dinikmati juga untuk generasi-generasi yang akan datang. 4. Pemberdayaan (empowerment). Konsep yang komprehensif dari pemberdayaan dalam paradigma ini berarti penduduk dapat melaksanakan pilihan-pilihan sesuai dengan keinginannya. Hali ini berarti kebebasan bagi penduduk untuk menentukan keputusankeputusan bagi kehidupannya. Tidak lain, ini sejalan dengan desentralisasi dan peran aktif dari masyarakat madani untuk ikut berpartisipasi dalam membuat dan mengimplementasikan berbagai kebijakan.
Pemanfaatan indikator pembangunan manusia Tujuan utama dari IPM pada dasarnya adalah untuk memperlihatkan apakah pembangunan di suatu wilayah sudah mengakomodasikan seluruh penduduk dalam setiap tahapan pembangunan. Dalam pengertian ini, penduduk tidak lagi dipandang sebagai objek atau sasaran pembangunan saja, tetapi dilibatkan dalam proses pembangunan sebagai subyek yang ikut mengambil keputusan. Dalam terminology pembangunan, hal itu dikenal sebagai people centered development. Paradigma pembangunan manusia memandang pembangunan bukan tujuan, tetapi sebagai sarana (means) memperluas peluang melalui peningkatan kapasitas dasar dan daya beli penduduk.
18
IPM sebagai alat ukur dengan demikian dapat digunakan untuk melihat kinerja pembangunan manusia di suatu wilayah, yang dalam bahasa pemerintahan berarti menilai kinerja dan peranan birokrasi dalam pencapaian menuju hidup layak. Dalam konteks yang lebih luas, Indeks Pembangunan Manusia dapat menjadi dasar bagi intervensi kebijakan sektoral yang berorientasi pada upaya peningkatan capaian IPM pada periode selanjutnya. Berikut ini disajikan secara sistematis relasi antara IPM dengan daya beli.
Relasi Indeks Pembangunan Sumber Daya Manusia dengan Daya Beli
IPM DAYA BELI
INDIKATOR
Konsumsi per Kapita
Penyebab Langsung
Tingkat Upah Serapan
Penyebab Tak Langsung Level – 1
Level – 2
Pertumbuhan Kualitas Ekonomi Tenaga Kerja (SDM) Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Kemiskinan Penyebab Mendasar
horizontal causality
Tenaga Kerja
Distribusi Pendapatan
Investasi
- Konsumsi - Ekspor Netto
Entrepreneurship
Aksesibilitas (sarana, prasarana lahan, dll.)
Kondisi Makro Nasional/Internasional
Gambar 10 Relasi Indeks Pembangunan Sumber Daya Manusia dengan Daya Beli
Sumber: UNDP
19
Pendidikan dan Kesempatan Kerja Berkualitas untuk Peningkatan Kesejahteraan di Kota Bandung
PENDIDIKAN DAN KESEMPATAN KERJA BERKUALITAS UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN DI KOTA BANDUNG Policy Paper Pipit Pitriyan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran
Abstract Disamping beberapa capaian baik pembangunan, Kota Bandung saat ini menghadapi permasalahan tingginya tingkat pengangguran dan masih rendahnya daya beli masyarakat. Kajian ini memaparkan kondisi eksisting dan tantangan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) di Kota Bandung dengan fokus pada aspek pendidikan dan relevansinya dengan bidang ketenagakerjaan. Kajian ini merupakan kajian kualilatif yang mengidentifikasi permasalahan dalam pembangunan SDM Kota Bandung sebagai bahan pencarian solusi bagi pengambilan kebijakan pengembangan SDM dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kota Bandung. Peningkatan aksesibilitas dan mutu pendidikan serta peningkatan kesesuaian antara pendidikan dan ketenagakerjaan merupakan salah satu kunci bagi peningkatan kesempatan kerja dan perbaikan kesejahteraan di masa datang. Pencapaian upaya tersebut dapat ditingkatkan melalui kerjasama tripartit antara SKPD di lingkungan pemerintahan Kota Bandung, user (asosiasi pengusaha), universitas serta stakeholder lain 1.
Pendahuluan : Pentingnya Pembangunan SDM dalam Pembangunan Pada tahun 2045 Indonesia akan memasuki 100 tahun kemerdekaan atau yang
dicanangkan sebagai era “Indonesia Emas�. Pada masa tersebut diharapkan Indonesia sudah memiliki keunggulan dan daya saing sehingga dapat mencapai kehidupan yang makmur. Terdapat empat pilar yang menopang pencapaian Indonesia Emas 2045, dimana pilar pertamanya adalah penguatan Sumber Daya Manusia (SDM). Pembangunan manusia (human development) merupakan proses berkesinambungan yang dapat mempertinggi kesejahteraan manusia. Peningkatan kesejahteraan itu terwujud antara lain dengan perluasan berbagai kesempatan yang dapat mendekatkan diri pada pencapaian tujuan-tujuan mulia hidup, mempertinggi kualits hidup (well-being) serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Dengan demikian manusia bukan hanya sebagai pelaku, namun juga sebagai penikmat dari pembangunan (UNDP, 2010).
21
Konteks pembangunan manusia meliputi aspek kesejahteraan (well-being), pemberdayaan (empowerment) dan keadilan (justice). Ketiga aspek tersebut secara umum diwakili Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang setiap elemennya mencerminkan capaian terhadap seluruh aspek tersebut. Dalam konteks kekinian, hal ini erat kaitannya dengan keberdayaan atau kapabilitas (capability) yang diusung oleh peraih nobel, Amartya Sen. Dalam literatur terdahulu mengenai pembangunan manusia, Becker (1964) mengemukakan bahwa pendikan merupakan investasi yang mengakumulasi modal manusia, sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi pendapatan. Hal ini dikukuhkan oleh Mincer (1974) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang diasosiasikan dengan semakin tingginya pendapatan. Lebih lanjut dalam konteks pembangunan modern, Heckman (2001) menyimpulkan bahwa efisiensi dalam investasi modal manusia menentukan efisiensi akumulasi tersebut di masa yang akan datang. Berdasarkan pandangan Heckman tersebut, bahwa pendidikan bukan hanya merupakan masalah akses namun juga harus mengedepankan kualitas. Pendidikan yang memiliki kualitas baik akan menciptakan outcome yang lebih baik. Outcome dimaksud antara lain adalah skor kognitif maupun kecakapan (skill) individu yang bersangkutan.
Pendapatan (Rp)
Pendapatan
Usia (thn)
0 Masa investasi
Gambar 11 Investasi Individu Dalam Pendidikan Sumber: Ehrenberg & Smith (2015)
Lebih lanjut, pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki individu merupakan gerbang menuju berbagai kesempatan dalam meraih cita-cita dan kesejahteraan. Salahsatu kesempatan tersebut adalah pasar kerja. Individu yang melakukan investasi pendidikan pada akhirnya dapat menimba manfaat berupa tingkat pengembalian dari pendidikan (return to education) disebabkan kemampuanny dalam bekerja secara efisien dan memiliki produktivitas yang tinggi sebagaimana terlihat pada Gambar 1 diatas. Kajian ini memaparkan kondisi eksisting pembangunan manusia di Kota Bandung sebagai bagian dari upaya peningkatan IPM Kota Bandung, dengan memfokuskan pada aspek pendidikan dan keterkaitannya dengan ketenagakerjaan. Peningkatan relevansi
22
antara pendidikan dan ketenagakerjaan perlu ditingkatkan dimana aksesibilitas terhadap pendidikan membuka kesempatan bagi penetrasi ke pasar kerja. 2. Pembangunan SDM Kota Bandung: Kondisi Eksisting & Tantangan Kedepan 2.1 Kondisi Eksisting Kinerja pembangunan Kota Bandung dilihat dari hubungan antara aspek pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial (sumber daya manusia) selama periode 2011-2017 dapat dikatakan seimbang kuat3. Hal ini diindikasikan oleh Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang relatif tinggi sebagaimana terlihat pada Gambar 1a. Dengan capaian IPM diatas 80 sejak 2016, Kota Bandung termasuk ke dalam salah satu daerah dengan pencapaian IPM tertinggi di Indonesia. Peningkatan capaian IPM secara signifikan terjadi di setiap elemen penyusunnya, yaitu kesehatan, pendidikan, dan daya beli. Capaian indikator IPM pada 2017 yaitu Angka Harapan Hidup (AHH) 73,86 tahun; Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 10,59 tahun atau setara SMA; dan Pengeluaran per kapita Rp 16,03 juta per orang per tahun. Namun demikian tambahan peningkatan tersebut semakin menurun sejak 2016 (diminishing). Artinya, meningkatkan capian IPM dari waktu ke waktu menjadi bertambah sulit dan memerlukan pengelolaan sumber daya serta strategi yang mantap. Dengan angka Rata-rata Lama Sekolah yang tinggi tersebut, tingginya pencapaian IPM di Kota Bandung didorong terutama oleh tingginya indeks pendidikan. Hal ini merupakan indikasi bahwa dari sisi akesibilitas, pendidikan Kota Bandung sudah baik sebagaimana dicerminkan dengan capaian Angka Partisipasi Sekolah (APS) yang tinggi. Namun demikian dengan tingkat daya beli masih rendah, efisiensi pendidikan sebagai investasi modal manusia perlu lebih ditingkatkan untuk membentuk SDM berdaya saing sehingga mampu mentransformasi kecakapan menjadi peningkatan kesejahteraan. Fenomena ini sesungguhnya bukan hanya dialami oleh Kota Bandung, namun secara umum juga dialami oleh berbagai daerah di Indonesia. a. LPE dan IPM 82,50
14 12 10 8 6 4 2 0
80,50 78,50 76,50 74,50 72,50 70,50 2011
2012
2013
2014 LPE
2015
2016
2017
IPM
Gambar 12 Hubungan Antara LPE dan IPM Kota Bandung Tahun 2011-2017
3
Klasifikasi berdasarkan UNDP (1996)
23
b. LPE dan TPT 14 12 10 8 6 4 2 0 2011
2012
2013
2014 LPE
2015
2016
2017
TPT
Gambar 13 Hubungan Antara LPE dan TPT Kota Bandung Tahun 2011-2017 Sumber: BPS Kota Bandung
Relevan dengan pembangunan SDM, fenomena lain yang mencuat di Kota Bandung adalah pengangguran, terutama pengangguran terdidik. Hal ini merupakan fenomena umum bagi kota-kota metropolitan. Walaupun pada 2017 TPT Kota Bandung adalah menurun, namun angkanya masih tetap tinggi yaitu 8,4% atau sektitar 107.000 orang. Dari angka tersebut, 27% persen merupakan lulusan universitas. Demikian juga penganggur lulusan SMA/SMK yang besarnya lebih dari 50%. Hal ini mengindikasikan tingginya pengangguran terdidik di Kota Bandung. Jika dilihat dari hubungan antara LPE dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada periode yang sama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum diikuti dengan penurunan TPT secara signifikan sebagaima terlihat pada Gambar 1b. Hal ini menjadikan Kota Bandung memiliki capaian LPE namun sekaligus TPT di atas rata-rata Propinsi Jawa Barat dan Nasional. Selain itu, trend penurunan TPT cenderung terjadi bersamaan dengan LPE yang juga mengalami trend menurun. Demikian pula perbaikan dalam capaian pendidikan belum berarti bahwa mendapatkan pekerjaan semakin mudah.
2.2 Tantangan Kedepan : Kondisi Internal & Eksternal Upaya peningkatan kualitas SDM kedepan perlu memperhatikan berbagai tantangan yang dihadapi agar formulasi kebijakan relevan untuk diimplementasikan bukan hanya jangka pendek, melainkan bersifat kekinian (up to date) dalam memecahkan persoalan SDM jangka panjang. Tantangan yang dihadapi oleh Kota Bandung dalam pembangunan SDM kedepan berasal dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisi internal, tantangan antara lain berupa struktur demografi piramida penduduk muda memerlukan anggaran signifikan bagi investasi SDM kedepan. Namun hal ini juga sekaligus merupakan peluang peraihan bonus demografi. Dari sisi eksternal, Kota Bandung sebagai pusat pertumbuhan ekonomi menghadapi arus masuk pencari kerja dari daerah lain. Selain itu, kondisi pasar yang berubah di masa depan menuntuk kesiapan SDM Kota Bandung agar dapat berdaya saing. Berikut adalah penjabaran berbagai tantangan tersebut. 24
Kota Bandung adalah kota berpenduduk muda, perlu banyak pencipataan lapangan kerja dan upaya memetik bonus demografi. Penduduk usia 20-24 tahun merupakan mayoritas. Demikian pula penduduk yang berada pada primary working age yang merupakan bagian dari penduduk usia produktif. Hal ini berarti terdapat banyak kebutuhan penciptaan lapangan kerja di Kota Bandung untuk menyerap mereka di pasar kerja. Pencipataan kesempatan kerja tersebut memerlukan investasi agar angkatan kerja memiliki daya saing di pasar kerja.
Struktur Penduduk, 2016
75+ 70-74 65-69 60‒64 55‒59 50‒54 45‒49 40‒44 35‒39 30‒34 25‒29 20‒24 15‒19 10‒14 5‒9 0‒4 0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
Gambar 14 Struktur Penduduk Tahun 2016
Dalam jangka panjang terkait bonus demografi, memastikan ketersediaan lapangan kerja bagi penduduk usia muda sejak awal berarti meraih bonus demografi pada tahap awal (2025-2030). Bonus demografi dapat diraih apabilia struktur demografi penduduk yang didominasi penduduk usia produktif dapat tersalurkam ke pasar kerja. Dengan demikian dapat mengurangi angka ketergantungan (dependency ratio) sekaligus meningkatakan nilai tambah perekonomian. Kompetisi pencari kerja dari luar Kota Bandung. Walaupun laju pertumbuhan penduduk (LPP) terus menurun, Kota Bandung di siang hari memiliki jumlah penduduk lebih banyak karena banyaknya penduduk dari luar Kota Bandung yang bekerja di Kota Bandung. Kemajuan perekonomian yang kurang merata antara Kota Bandung dan daerah disekitarnya menarik migrasi masuk ke Kota Bandung. Hal ini berarti terjadi kompetisi pencarian lapangan kerja antara penduduk Kota Bandung dan mereka yang berasal dari luar Kota Bandung.
25
Perubahan selera pasar dan value chain. Revolusi Industri 4.0 sudah diambang pintu. Digitalisasi ekonomi sudah mulai terasa dengan integrasi antara dunia bisnis dan internet dan mengubah pola kerja sektor usaha, terutama distribusi barang dan jasa menjadi semakin cepat. Sektor-sektor usaha yang mampu merespon baik permintaan pasar akan bertahan dan bahkan berkembang. Generasi milennial Kota Bandung yang saat ini berusia antara 21-36 tahun pada 7-13 tahun kedepan masih akan berada pada usia produktif dan akan mendominasi pasar pada 2035-2030. Permintaan produksi barang dan jasa kedepan pun akan dipengaruhi selera golongan usia tersebut. Hal ini perlu diantisipasi dengan menyipakan tenga kerja dan keterampilan yang cocok untuk mengisi lapangan pekerjaan yang sesuai dengan permintaan pasar kerja serta pekerjaan yang cocok dengan karakteristik generasi Millennial maupun generasi Alpha, yang sebentar lagi siap memasuki pasar kerja. Berdasarkan latar belakang di atas, perlu diidentifikasi permasalahan-permasalahan dalam pengembangan sumber daya manusia di Kota Bandung sebagai bahan formulasi kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kota Bandung dengan memperhatikan tantangan-tantangan yang dihadapinya. Dengan memfokuskan pada aspek sumber daya manusia, khususnya pendidikan dan ketenagakerjaan serta keterkaitan keduanya bagian selanjutnya dari kajian ini memaparkan permasalahan mendasar serta solusi pembangunan sumber daya manusia di Kota Bandung. 3. Identifikasi Sumber Permasalahan Dalam Pembangunan SDM Kota Bandung Kecenderungan menurun (diminishing trend) pada pencapaian IPM sangat mungkin untuk terus berlanjut jika indikator yang selama ini menjadi kontributor utama telah mengalami kejenuhan. Dalam arti, kenaikannya semakin menipis karena capaiannya sudah mendekati titik optimalnya. Indikator tersebut adalah pendidikan. Mengingat IPM dibangun atas 3 komponen dan pendidikan merupakan kontributor utama, maka peningkatan pembangunan SDM di masa yang akan datang dicapai dengan peningkatan kualitas pendidikan untuk berkontribusi terhadap kesejahteraan, atau meningkatkan kontribusi komponen lain selain pendidikan. Beberapa permasalahan mendasar dalam pendidikan yang berhasil diantisipasi antara lain: disparitas pendidikan antara perempuan dan laki-laki, skills gap dan mismatch. Hal ini membawa konsekwensi pada tidak sempurnanya transformasi struktural perekonomian di Kota Bandung. Berikut adalah penjelasan dari berbagai akar permasalahan tersebut. 1) Diparitas dalam tingkat pendidikan tergolong rendah namun terdapat kecenderungan perempuan lebih rendah proporsinya pada jenjang pendidikan tinggi. Mayoritas atau hampir 36% penduduk Kota Bandung menurut pendidikan tinggi yang ditamatkan adalah SLTA. Akes terdap pendidikan telah meningkat secara signifikan, direfleksikan dengan tingginya Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Pada tahun 2017, APS Kota Bandung telah mencapai 96%. Namun demikian APS 26
perempuan masih berada di bawah laki-laki untuk pendidikan setingkat SLTP dan Universitas. Demikian pula berdasarkan ijazah tertinggi yang ditamatkan, persentase perempuan berada di bawah laki-laki untuk level SMA hingga Universitas, kecuali Diploma I-II. Hal dapat mengindikasikan bahwa perempuan lebih tertarik memasuki pasar kerja selepas menyelesaikan pendidikan dasar/menengah.
2) Skills gap sebagai cerminan inefisiensi di Pasar Kerja. Tingginya pengangguran, terutama pengangguran terdidik mencerminkan adanya inefisiensi di pasar kerja, yaitu tidak sesuainya (gap) antara permintaan dan penawaran di pasar kerja. Salah satu faktor penyebabnya adalah ketidaksesuaian antara pendidikan (keterampilan) yang diperlukan oleh pengusaha dan yang dimiliki oleh angkatan kerja. Bagi individu yang bekerja, mismatch dapat berupa vertikal atau horizontal. Vertical mismatch adalah apabila individu dengan strata pendidikan lebih tinggi (rendah) bekerja pada pekerjaan yang mensyaratkan pendidikan lebih rendah (tinggi) dari latar belakang pendidikannya, sedangkan horizontal mismatch terjadi saat latar belakang pendidikan tidak relevan (unrelated) dengan jenis pekerjaan yang saat ini dijalani.
a. vertical mismatch
27,11 36,08
36,81
b. over-education dan under-education Pekerja kasar Operator Pengrajin Pekerja Terampil Pertanian Jasa Penjualan Tata Usaha Teknisi & Ast Prof Professional Manager -
over-education
adequate
under-education
over-education
20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 under-education
Gambar 15 Vertical Mismatch di Kota Bandung, 2017
Sumber: Sakernas 2017 (perhitungan sementara)
3) Mayoritas pekerja mengalami mismatch, terutama pekerjaan dengan medium skill dan low skilled. Berdasarkan data Sakernas 2017, diantara pekerja berusia diatas 19 tahun lulusan minimal Diploma 1 hingga S2 di Kota Bandung, hanya sepertiga pekerjaan yang tidak mismatch. Kasus over-education dan under-education hampir setara, menujukkan skill gap yang tinggi di pasar kerja. Tingginya over-education untuk pekerjaan profesional dan manajerial menujukkan kekurangan SDM dengan skill tinggi. Tingginya under-education pada level operator menunjukkan kekurangan SDM yang menguasai keterampilan teknikal. 27
Mismatch membawa dampak buruk bagi individu, perusahaan maupun perekonomian, dalam bentuk: (1) pengangguran, karena perusahaan membiarkan beberapa lowongan pekerjaan tidak terisi; (2) over-education, dimana pelamar kerja dengan kualifikasi tinggi terpaksa bekerja pada jenis pekerjaan berketerampilan rendah; (3) potensi wage penalty, sebagai akibat dari over-education/under-education; (4) lag dalam pengembangan karir, terutama pada kasus horizontal mismatch. McKinsey (2012) memperkirakan bahwa China berpotensi kehilangan 0,3% dari PDB nya jika belum bisa mengatasi mismatch pada 2030. Adapun di Indonesia, ILO (2012) mengestimasi hanya 22% pekerjaan yang sesuai (well-match) dengan latar belakang pendidikan pekerja.
4) Pergeseran ke Sektor Jasa dan Sektor dengan Produktivitas Rendah. Kontribusi sektoral sektor jasa semakin tinggi terhadap Produk Domestik Regional (PDRB) Kota Bandung yang diidentikan dengan “kota jasa�. Tabel 3 memperlihatkan trend kontribusi sektor jasa-jasa yang sudah menyalip sektor perdagangan besar pada 2017. Namun untuk penyerapan tenaga kerja, sektor jasa dapat dikatakan mengalami stagnasi dibanding 2014. Kenaikan penyerapan tenaga kerja secara signifikan terjadi pada sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel. Pergeseran ke sektor jasajasa ini tidak menunjukkan transformasi struktural dalam perekonomian, apalagi jasa yang dimaksud adalah yang memiliki produktivitas rendah, utamanya Sektor jasa perorangan. Tabel 3 Kontribusi PDRB dan Kontribusi Penyerapan Tenaga Kerja Kota Bandung No 1 2 3
4 5
Sektor
2011
2014
2017
Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Industri Pengolahan
0.15
0.14
0.12
24.44
21.48
19.33
28.82
27.78
26.56
25.30
26.22
27.44
21.29
24.38
26.55
Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Informasi & Jasa-jasa :keu, adm, sosial, perorangan Lainnya
Tabel 4 Kontribusi PDRB dan Kontribusi Penyerapan Tenaga Kerja Kota Bandung No Sektor 1 Pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan 2 Industri Pengolahan 3 Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel 4 Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan 5 Lainnya
2011 0.95
2014 0.81
2017 0.71
19.51 32.62
21.72 35.81
17.47 40.99
28.59
22.33
22.99
18.33
19.33
17.83
28
Sumber: BPS, diolah.
4. Analisis Kebijakan Eksisting dan Rekomendasi Upaya Kedepan Peningkatan Kemampuan kognitif dan Socio-emotional sejak dini. Kualitas pendidikan merupakan syarat mutlak bagi peningkatan daya saing manusia. Kualitas pendidikan tercermin antara lain dari nilai kognitif siswa. Skor tingkat literasi adalah salah satu indikatornya. Di level internasional, Programme for International Student Assessment (PISA) merupakan salah satu alat ukur yang digunakan untuk menilai kecakapan dasar dalam subjek Matematika, Ilmu Alam dan Membaca. Semakin tinggi skor PISA menunjukkan kesiapan untuk memasuki tingkat pendidikan lebih lanjut. Skor PISA Indonesian pada 2016 adalah 395,3 atau peringkat ke-62 dari 70 negara. Pada saat bersamaan, Vietnam berada di peringkat 21 dengan skor 500,3. Adapun menggunakan nilai Harmonized Test Score (HTS) dalam komponen HCI, skor Indonesia adalah 403 atau berada pada quartile kedua dari bawah, jauh berada di bawah rata-rata dunia sebesar 431 dan Asia Pasifik sebesar 451. Di level ASEAN, Indonesia masih jauh tertinggal dari Malaysia dan Vietnam, yang masing-masing memiliki score 468 dan 519. Dengan rendahnya Harmonized Test Score tersebut, maka rata-rata lama sekolah berkualitas (learning-adjusted years of school) menjadi rendah. Artinya, walaupun angka harapan lama sekolah (expected years of schooling) Indonesia berada pada 12,3 tahun (hampir Diploma I) tetapi secara kualitas setara dengan 7,9 tahun (kelas 2 SLTP). Walaupun belum ada skor PISA di tataran Kota Bandung, namun bercermin pada tingkat nasional dan internasional, maka peningkatan kognitif dapat difokuskan terutama pada siswa SD dan SLTP yang kurang mampu serta mempertinggi akses ke perguruan tinggi negeri. Hal ini dengan asumsi bahwa mereka yang mampu mendapatkan bimbingan belajar di luar sekolah. Sebagai alternatif kegiatan yang meminimalkan peran APBD, koordinasi antara SKPD di lingkungan Kota Bandung dan univerasitas yang ada di Kota Bandung dapat dilakukan merujuk pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5 Upaya Peningkatan Skor Kognitif Siswa Kurang Mampu di SD dan SMP
Tujuan: Peningkatan kualitas pendidikan dasar (skor kognitif) siswa SD & SLTP tidak mampu Kegiatan : Pilot project bimbingan siswa SD & SLTP kurang mampu Siapa Melakukan apa Dinas Pendidikan Kota Pengumpulan nilai rata-rata ujian harian Bandung siswa kelas SD & SLTP Bappeda, Dinas Pendidikan Universitas merekrut mahasiswa Kota, Dinas Sosial, pembimbing sebagai bentuk Kuliah Kerja Universitas Nyata Pemilihan sekolah untuk pilot project dan identifikasi siswa kurang mampu (bersama Dinas Sosial dan Sekolah terkait) Setting materi bimbingan 29
Dinas Pendidikan Mahasiswa Sekolah Diskominfo
&
Pembinaan mahasiswa Menyediakan ruang dan infrastruktur bimbel Pemutakhiran data sekolah dan elemennya
Tabel 6 Upaya Peningkatan Skor Kognitif SMA dan Peluang Masuk Universitas Negeri
Tujuan: Peningkatan kualitas pendidikan menengah (skor kognitif) siswa SLTA & peningkatan akses masyarakat Kota Bandung ke Universitas Negeri Kegiatan : Pilot project bimbingan terstruktur mahasiswa untuk siswa kelas 3 SLTA Siapa Melakukan apa Dinas Pendidikan Propinsi Pencatatan nilai rata-rata ujian harian siswa kelas 2 SLTA Pre-test skor Bappeda, Dinas Pendidikan Universitas merekrut mahasiswa Kota, Dinas Sosial, pembimbing sebagai bentuk Kuliah Kerja Universitas Nyata Dinas Pendidikan & Pembinaan mahasiswa Universitas Sekolah Menyediakan ruangan dan infrastruktur bimbel Diskominfo Pemutakhiran data sekolah dan elemennya Disamping kemampuan dasar dan kognitif sebagaimana dikuantifikasi dalam skor PISA serta kemampuan vokasional, keterampilan yang bersifat perilaku sosial (sociobehavioral skills) merupakan komponen dalam pembentukan modal manusia. Termasuk ke dalamnya antara lain: etos kerja, keterampilan manajerial, kemampuan kerjasama dalam tim kerja, kemampuan bekerja secara independen, negosiasi, kemampuan mengelola resiko, manajeman konflik, komunikasi interpersonal, dll. Jika keterampilan dasar banyak diperlukan untuk pekerja produksi, keterampilan kognitif dan behavioral pada umumnya diperlukan pada pekerjaan yang bersifat manajerial (World Bank 2010). Mengingat sektor jasa dan pekerjaan-pekerjaan terkait jasa mengalami peningkatan signifikan di Kota Bandung, maka behavioral skills seperti komunikasi interpersonal, kemampuan manajerial merupakan keterampilan yang perlu dikembangkan. Hal ini akan semakin terasa ketika kontribusi sektor jasa dalam perekonomia semakin tinggi. Sebagai gambaran, Philippina mengalami kesulitan lebih tinggi dalam memenuhi kebutuhan pekerja yang memiliki socio-behavioral skills dibandingkan dengan keterampilan yang bersifat vokasional (World Bank of Phillipine, 2015 dalam Rutkowski, 2017). Upaya peningakatan socio-emotional maupun socio-behavioral skill sejak dini dapat dilakukan melalui skema kerjasama seperti pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7 Upaya Peningkatan Socio-Emotional dan Socio-Behaviroal Skills SD-PT
Tujuan: Peningkatan socio-behavioral skill bagi siswa level SD-PT Kegiatan : mapping hingga implementasi di sekolah Siapa Melakukan apa 30
Dinas Pendidikan, Asosiasi Psikologi dan Akademisi Asosiasi Psikologi dan Akademisi Dinas Tenaga Kerja dan Asosiasi Asosiasi Pengusaha Dinas Pendidikan Kabkot, Dinas Pendidikan Propinsi, Asosiasi Psikolog
Melakukan pre-test mengenai kondisi sociobehavioral skill secara random di berbagai level pendidikan Memetakan hasil behavioral-skill untuk level pendidikan berbeda Mengidentifikasi kebutuhan behavioral skills dari sisi permintaan Penggalangan dana CSR Merancang jenis behavioural skill untuk setiap jenjang pendidikan
Pemenuhan keterampilan yang dibutuhkan di pasar kerja untuk level skill dasar dan menengah: upaya menutup skill gap di pasar kerja. Saat ini Di Kota Bandung terdapat 128 SMK dan 136 SMA (sumber: portal.bandung.go.id). Berdasarkan Roadmap Kebijakan Pengembangan Vokasi di Indonesia 2017-2025, diperlukan sekitar 5,7juta lulusan SMK untuk mengisi kebutuhan kerja. Diantara berbagai kompetensi lulusan SMK, kebutuhan terbesar adalah untuk bidang Perikanan dan Kelautan, Teknologi dan Rekayasa, Teknologi Komunikasi dan Informasi, serta Bisnis dan Informasi. Pada saat bersamaan, kompetensi SMK di Jawa mayoritas adalah di bidang Teknik Komputer, Teknik Kendaraan Ringan, Akuntansi, Administrasi Perkantoran dan Teknik Sepeda Motor. Namun di level kota, informasi terserbut belum tergali. Kota Bandung yang identik dengan Kota Pendidikan dapat memanfaatkan peluang tersebut dengan mempertajam keterkaitan keterampilan yang disediakan SMK dengan kebutuhan di pasar kerja untuk level dasar hingga menengah dan Diploma yang memenuhi skill menengah sehingga dapat menyokong transformasi struktural ekonomi Kota Bandung ke arah peningkatan jasa yang bersifat high-productivity. Sesuai Standar kompentensi kerja nasional, pendidikan menengah berperan menyiapkan pengetahuan dan keterampilan bersifat umum dan teknikal, sedangkan pendidikan tinggi memiliki
peran dalam
keterampilan yang bersifat keahlian sebagaimana terlihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sumber: Kemdikbud
31
Berkembangnya sektor jasa Transportasi serta jasa keuangan dapat dipenuhi kebutuhan pasar kerjanya dengan mefokuskan SMK dan Diploma yang menyediakan pendidikan di bidang: Teknologi Informasi dan Komunikasi; Teknik Rekayasa, dan Teknik Kendaraan Ringan. Hal ini karena SMK dan Diploma yang membidangi Bisnis Administrasi serta Komputer sudah cukup banyak di Kota Bandung. Dominasi sektor jasa di Kota Bandung sementara di sisi lain industri manufaktur juga masih merupakan salah satu andalan untuk menyerap tenaga kerja menyiratkan bahwa pengembangan sektor ekonomi Kota Bandung di masa depan hendaknya difokuskan pada industri manufaktur yang mendorong jasa mapun sektor jasa yang mendorong manufaktur agar terjadi peningaktan nilai tambah pada setiap prosesnya (added value chain). Untuk sektor industri manufaktur yang mendorong jasa, adopsi teknologi merupakan salah satu kunci. Sebagai contoh, sektor jasa akomodasi makanan dan minuman atau kedai-kedai yang dewasa ini berkembang pesat di Kota Bandung memerlukan mesin processing level ringan. Untuk itu, pengembangan sub-sektor manufaktur yang memproduksi mesin-mesin ringan dapat dikembangkan dengan memberdayakan lulusan SMK dan Diploma, sehingga mesinmesin tersebut tidak diperoleh melalui impor sekaligus meningkatkan kesempatan kerja dan menekan biaya produksi sektor jasa makanan dan minuman. Dengan perkembangan sektor makanan minuman di daerah lain, mesin tersebut juga bisa diimpor ke daerah di luar Kota Bandung. SMK dan Diploma yang bergerak di bidang Rekayasa Teknologi serta Teknologi Informasi dan Komunikasi tepat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Mengingat penyelenggaraan SMK dan Diploma bukan merupakan kewenangan di tingkat Kota, maka koordinasi dengan pemerintah Propinsi dan Pusat merupakan langkah krusial. Skema penyediaan skill berbagai level dapat dilihat pada Gambar 17 berikut.
On-the-Job Training dana: sebagian besar swasta target: pekerja pelaksana: perusahan, lembaga kursus
Work-Readiness Skills dana: pemerintah & swasta target: individu yang siap memasuki pasar kerja pelaksana: LSM, masyarakat, pemerintah
Foundational Skills dana: pemerintah target: anak usia sekolah & usia muda pelaksana: sekolah pemerintah
Gambar 17 Tahapan Peraihan Keterampilan
32
Sumber: diadaptasi dari USAID & FHI360 (2015)
Relevan dengan tingginya mismatch di pasar kerja, meningkatkan kesesuaian (link and match) pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja diperkirakan dapat mengurangi skills gap yang terjadi saat ini. Link and match sulit dilakukan namun dalam jangka pendek dapat dimulai dengan identifikasi kebutuhan akan skills di pasar kerja. Alternatif upaya yang dapat dilakukan tercantum dalam Tabel 8 berikut. Tabel 8 Upaya Peningkatan Link And Match Pendidikan
Tujuan: Penajaman relevansi pendidikan dan pasar kerja Kegiatan : Pilot Project identifikasi dan mapping kebutuhan skills di pasar kerja untuk sektor spesifik Siapa Melakukan apa Dinas Tenaga Kerja, BPS dan Mengidentifikasi keterkaitan latar belakang Akademisi pendidikan lulusan dan pekerjaan di Kota Bandung Dinas Tenaga Kerja, Asosiasi Mengidentifikasi jenis kebutuhan untuk Pengusaha dan Akademisi sektor spesifik Mapping kebutuhan skill spesifik Mengidentifikasi kebutuhan upskilling dan reskilling BLK, Dinas Pendidikan, Dinas Menginventarisir kesiapan skill level yang Tenaga Kerja, Dinas Sosial akan diberikan oleh BLK dan lembaga kursus Bappeda BLK, Dinas Pembentukan konsorsium penyusunan modul Pendidikan, Dinas Tenaga sektor spesifik Kerja, Dinas Sosial, Pemetaan implementasi Akademisi, Asosiasi Penggalangan dana CSR Pengusaha Bursa Kerja (Job Fair), pelatihan kerja dan peciptaan kewirausahaan: penguatan sistem informasi pasar kerja. Secara berkala Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung menyelenggarakan bursa kerja, pelatihan keterampilan dan produktivitas kerja, pelatihan untuk penciptaan wirausaha baru, pemagangan, dll. Selain bursa kerja, upaya menjembatani kebutuhan dan penawaran di pasar kerja juga dilakukan dengan mencantumkan informasi kebutuhan kerja dan pelatihan di website Dinas Tenaga Kerja. Namun demikian kebanyakan website mengenai pasar kerja baik milik pemerintah maupun swasta di berbagai daerah termasuk Kota Bandung belum merupakan suatu sistem informasi pasar kerja. Perannya masih parsial menyajikan informasi lowongan kerja dan pelatihan. Bagi individu yang memasuki usia produktif, calon lulusan maupun lulusan sekolah menengah hingga tinggi, informasi mengenai jenjang karir serta prospeknya di masa depan merupakan kebutuhan yang akan menentukan jalur hidup (path life) dari individu. Artinya, secara konseptual individu usia produktif bukan hanya membutuhkan informasi mengenai lowongan kerja dan pelatihan kerja, melainkan informasi lainnya yang dapat mendukung pemilihan karir tersebut. Sebagai contoh: perkembangan sektor usaha relevan dan 33
prospeknya di masa depan, jenis pekerjaan dan keahlian di sektor relevan, rata-rata gaji yang diperoleh, kebutuhan aktual dan proyeksi di masa depan serta pilihan pengembangan karirnya di masa depan. Adapun secara teknis, individu yang memasuki usia produktif memerlukan pengetahuan mengenai skill membuat surat lamaran kerja, menghadapi wawancara kerja, dll. Dengan demikian, sebagai suatu sistem, selayaknya website informasi pasar kerja kedepannya sudah meliputi aspek-aspek ini. Tabel 9 Upaya Penguatan Sistem Informasi Pasar Kerja
Tujuan: Penajaman relevansi pendidikan dan pasar kerja Kegiatan : Pilot Project identifikasi dan mapping kebutuhan skills di pasar kerja untuk sektor spesifik Siapa Melakukan apa Swasta / Universitas Mengembangkan website sistem informasi pasar kerja Pelatihan website maintenance untuk mengelola website Diskominfo Outlook & Proyeksi sektor usaha Career path jenis pekerjaan dan kebutuhan skill setiap level Dinas Tenaga Kerja & Menghimpun kebutuhan di pasar kerja Asosiasi Pengusaha Informasi training Update informasi gaji pekerjaan relevan 5. Simpulan dan Rekomendasi Berdasarkan paparan diatas, tantangan pengembangan SDM di Kota Bandung sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat terletak pada aspek penigkatan kualitas pendidikan serta penajaman relevansinya di pasar kerja. Kualitas pendidikan dimaksud bukan hanya meliputi keterampilan dasar bersifat hard-skill, namun juga socio-emational skill sejak dini. Adapun relevansi dengan pasar kerja perlu diperlukan untuk meningkatkan efisiensi pendidikan dan mengurangi pengangguran. Untuk mencapai upaya tersebut, kebijakan yang direkomendasikan untuk ditempuh oleh pemerintah Kota Bandung melalui berbagai skema kerjasama antara lain: 1) Peningkatan kualitas pendidikan sejak SD-SLTP siswa tidak mampu dengan mempertinggi skor kognitif melalui kerja sama dengan universitas dalam bentuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) terpadu. Dalam hal ini perlu penandatangan MoU dengan universitas agar kerjasama tersebut berkesinambungan. 2) Mempertinggi aksesibilitas lulusan menengah di Kota Bandung ke universitas negeri melalui bimbingan terpadu kerja sama dengan mahasiswa dalam bentuk KKN terpadu. 3) Melakukan kerja sama tripartit antara pemerintah, asosiasi pengusaha (user) dan institusi pendidikan untuk melakukan mapping kebutuhan tenaga kerja dalam rangka mengurangi mismatch di pasar kerja. 4) Melakukan reskilling dan upskilling bagi terutama bagi mereka yang terkena PHK atau putus sekolah melalui kerja sama dengan swasta dalam bentuk pelatihan. 34
5) Meninjau ulang kualitas informasi pasar kerja yang tersedia dan membuat sistem informasi pasar kerja yang komprehensif, yang dapat memberikan informasi bukan hanya bagi pelamar kerja, namun bagi individu yang sudah memasuki usia kerja bagi pengembangan karir kedepan.
35
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statik Kota Bandung, www.bandung.bps.go.id Bank Indonesia, Kajian Kebijakan Ekonomi Regional (KKER) Provinsi Jawa Barat, Mei 2018. Becker, Gary (1962). Investment in Human Capital: A Theoretical Analysis. The Journal of Political Economy Vol. LXX, No. 5, Part 2 (University of Chicago Press) Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung, www.disnaker.bandung.go.id Ehrenberg, R.G & R. Smith (2015). Modern Labor Economics: Theory and Public Policy. Pearson. Heckman, J.J., Lachner, L.J and Todd, P.E. Fifty Years of Mincer Earning Regressions dalam Hanushek, E. and F. Welch (eds.) Handbook of Education Economics, Vol. 1. The Netherlands: Elsevier, 2006. International Labor Organization, Indonesia Jobs Outlook 2017: Harnessing Technology for Growth and Job Creation Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Roadmap Kebijakan Pengembangan Vokasi di Indonesia 2017-2025. Mincer, J. (1994). The Production of Human Capitals and Lifetime Earnings: Variations on A Theme. Journal of Labor Economics, vol.15, no.1, Part 2, January 1997 PPID Kota Bandung, www.ppid.bandung.go.id UNDP (2010). Human Development Report USAID & FHI360 (2015). Workforce Connections. Analysis of Skills Demand in Indonesia. The World Bank (2018), Learning to Realize Education Process. World Development Report
36