ALBUM #2
JUNE 2020 - 2023
ALBUM ORBITAL DAGO #2
June 2020 - June 2023
Diterbitkan secara Online
Juni 2024
Orbital Dago
Jl, Rancakendal Luhur No.7 Bandung 40192
Indonesia
Instagram @orbitaldago website : http://orbitaldago.com/
Pertengahan Juni 2020 hingga pertengahan Mei 2022, masyarakat global tengah dilanda pandemi (COVID – 19), sehingga terjadi berbagai pembatasan mobilitas manusia secara ketat. Pada kurun waktu tersebut banyak galeri tidak bisa menyelenggarakan pameran atau memperketat kunjungan publik. Perubahan aturan terjadi ketika vaksin pertama mulai diterapkan kepada masyarakat luas pada pertengahan tahun 2021 menjadikan kelonggaran aktifitas masyarakat mulai diterapkan. Berkat Kerjasama dengan Lembaga Kesehatan di Bandung, kami kemudian memberikan vaksinasi kepada para staff Orbital Dago, Warung Gati dan Uma Gati., pertama pertengahan tahun 2021 , dan kemudian vaksin booster ke -2 pertengahan tahun 2022. Pada kurun waktu tersebut diatas, kami tetap menyelenggarakan program pameran dengan aturan-aturan resmi selama pandemi.
Tentunya dengan adanya penyelenggaraan pameran ketika memasuki kelonggaran aktifitas masyarakat , serta merta disambut dengan antusias, sehingga berbagai program kegiatan seni budaya yang sebelumnya banyak dilakukan secara daring maupun campuran (daring – luring) mulai diselenggarakan secara luring. Kunjungan publik ke galeri maupun restoran kami kembali normal. Hal lain adalah ketika masa pandemi, ruang galeri baru dibangun untuk mengantisipasi semakin padatnya area resto kami, sehingga ruang pameran terasa kurang memadai. Pada awal September 2021 , acara pameran mulai menempati ruangan sayap baru tersebut.
Pada e-katalog Album Orbital Dago periode Juni 2020 hingga Juni 2023, menampilkan berbagai dokumentasi acara pameran seni rupa di Orbital Dago, dimana telah menyelenggarakan 33 pameran, baik tunggal maupun kelompok dan diikuti kebanyakan para seniman dari Bandung dan beberapa dari luar kota seperti; Jakarta dan Yogyakarta. Karya-karya mereka menampilkan lukisan, drawing, tiga dimensional, maupun karya media baru lainnya, dan mendapatkan apresiasi yang cukup baik. Maka kami mengucapkan banyak terima kasih kepada para seniman maupun para kurator ataupun rekan penyelenggaran yang telah ikut dalam memeriahkan kegiatan Orbital Dago.
Tak lupa juga kepada para staff Orbital Dago yang telah banyak membantu dalam hal teknis penyelenggaraan, para wartawan yang telah menyebar -luaskan berita untuk kalangan masyarakat luas. Tentunya kepada masyarakat yang berkunjung.
Salam
Rifky Effendy
Orbital Dago
Juni 2024
Daftar Isi
Pendahuluan
Hal, 4
1. Fun Follows Function Function Follows Fun
Pameran Tunggal Lucas & Sons.
Hal. 8 - 13
2. Pushing-inward, Pulling-outward
Pameran Tunggal Haiza Putti
Hal.14 - 17
3. PUNK CERAMIC
Pameran Tunggal Erlangga
Hal. 18 - 23
4. Menghidupi Kehidupan
Pameran Grup Photo
Hal. 24 - 31
5. Main Ayo Main
ARTHUR TAMNGE , KIKA PRISCILLA, RENDY PANDITA, TOMMY ADITAMA PUTRA, TENNESSEE CAROLINE, WILMAN HERMANA
Hal. 32 - 41
6. SINKRETISME
Pameran Tunggal Adhya Ranadireksa
Hal. 42 - 49
7. DEVOSI
Pameran : Bonifacius Djoko Santoso, Karin Josephine, Yulian Ardhi
Hal. 50 - 57
8. SHIFTING SPACE
Agung Eko Sutrisno dan Aura Arian, Condro Priyoaji
Delpi Suhariyanto, Fefia Suh, GURU, Marten Bayuaji
Widi Wardani dan Rainda Satrya
Hal. 58 - 69
9. BERSEMI
Pameran Tunggal TAUFIQ HT
Hal. 66 - 71
10. TUMPANG TINDIH
Pameran Tunggal Donni Arifianto
Hal. 72 - 75
11. Quarantine Studies : return to the aesthetic of beauty
Pameran Tunggal Zahrah
Hal. 76 - 79
12. “Welcome to The Machine: Experimentation and Abstraction”
Road to Bandung Photography Triennale
Hal. 80 - 85
13. Open Art and Cinema Summer Program 2021
FFT Universitas Pendidikan Indonesia
Hal. 86 - 89
14. SERAP TAMPAK TAPAK
Pameran tunggal Daniel Nugraha
Hal. 90 - 95
15. IDIOLECT Remedy In Repair
FOKUS Unpad x Suar Disabilitas
Hal. 96 - 99
16. ADAB BARU
Pameran Tunggal Erianto
Hal. 100 -105
17. MENOREH METAFORA
Pameran Lufti Yanuar
Hal. 106 - 109
18. THE ETERNAL WAITING
Pameran Tunggal Nesar Eesar
Hal. 110 - 115
19. IMAGINATION SEQUENCE
Pameran Bersama Duabelas Seniman Bandung
Hal. 116 - 119
20. I Finally Use My Own Hands
Pameran Tunggal Mahesa Damar Sakti
Hal. 120 - 125
21. “La Joie de Vivre” \ The Joy of Life
Pameran Tunggal Dewi Aditia
Hal. 126 - 131
22. CRITICAL FACES
Isa Perkasa Dan Setiyoko Hadi
Hal. 132 - 137
23. Weaving the Colours of the Archipelago
Ni Ketut Ayu Sri Wardani, Gusti Ketut Oka Armini
Ni Nyoman Sani, Nick Djatnika
Hal. 138 – 143
24. RAY of NIGHT
Pameran Tunggal Dewi Fortuna Maharani
Hal. 144 - 149
25. Dystopian Diffraction : The Appearance of Disappearance
Bandung Photography Triennale
Hal. 150 - 155
26. The Untold Story
Pameran Tunggal Tennessee Caroline
Hal. 156 - 163
27. MENGAKAR
Pameran Tunggal Adikara
Hal. 164 - 169
28. GRAFITIKASI
Pameran Tunggal UNCLEJOY
Hal. 170 - 177
29. DUNIA
Pameran Tunggal Dede Wahyudin
Hal. 178 - 183
30. Belulang Daun
Pameran Tunggal Johana Permana
Hal. 184 - 189
31. PRELIMINARIES
Luky Supriadi, Trie Aryadi Harijoto
Hal. 190 - 195
32. An Other Land
Group Exhibition by: Aditya DP, Angga Aditya Atmadilaga
Ary Rustandi, Gustav Hellberg, Helmi Frawisandi
Kurnia Ngayuga Wibowo, Ravli Ferial Mohamad, Septian Hariyoga
Hal. 196 - 201
33. BORDERLINE
Pameran Tunggal Yogie Achmad Ginanjar
Hal. 202 - 209
Fun Follows Function Function Follows
Fun
Pameran Tunggal Lucas & Sons
24 Juni - 24 Juli 2020
FUN FOLLOWS FUNCTION FOLLOWS FUN
Oleh Rifky Effendy
Pameran FUN FOLLOWS FUNCTION FOLLOWS FUN adalah pameran tunggal Lucas and Sons terdiri dari rangkaian karya obyek-obyek gubahan skateboard dan papan selancar dan beberapa lukisan yang berangkat dan mencerminkan munculnya praktek artistik dari wilayah sub-culture di Bandung khususnya, di mana bermunculan komunitas yang didasari kegiatan kesenangan atau hobi tertentu misalnya modifikasi motor berbagai merek dan tipe, musik punk dan lain sebagainya. Kegiatan komunitas ini kemudian menjadi bentuk gaya hidup dan juga membentuk budaya khas, terutama menjadi bagian identitas budaya kota Bandung yang kosmoplit. Lebih jauh lagi, kemudian kegiatan mereka menciptakan suatu ekostistem yang baru terutama dalam lingkup industri kreatif, seperti kemunculan para “maker atau kreator” yang mempunyai gerai maupun pasar tersendiri.
Lucas and Sons merupakan merek/brand papan skate dan seluncur (surfing) yang dibuat oleh lulusan Desain Produk Itenas angkatan 1994, Lucky Widiantara (lahir di Bandung 1975). Sejak tahu 1980-an ia sudah mengenal kegiatan-kegiatan di sub-kultur BMX dan skateboard terutama karena saat itu sudah muncul tokoh-tokoh skateboard awal Kota Bandung seperti Rudy Sagir dan Iwan Adjie bersama kelompoknya yang sering berskateboard di Taman Lalu Lintas Bandung. Bersama rekan lainnya sekitar tahun 1996, Lucky kemudian mendirikan merek UNKL347 yang bergerak di bidang clothing yang menjadi pelopor produsen pakaian anak muda, yang tak lepas dari kegiatan Lucky bersama kawan-kawan berskateboard dan berselancar (surfing) di Pantai Selatan Jawa Barat.
Baru pada tahun 2009 ia membuat papan selancarnya sendiri dengan mendirikan merek Lucas and Sons, dan awalnya dijual di lingkungan temannya sendiri. Ia banyak mendapatkan cara bagaimana membuat papan selancar dari video dan kanal YouTube yang kemudian dipasarkannya melalui komunitas surfing yang berkembang di Bali hingga mancanegara terutama Amerika Serikat. Di dalam dunia produksi papan selancar, signifikansi papan Lucas and Sons terletak pada grafis-grafisnya yang kerap kali menunjukkan kekentalan hubungan antar dunia surfing dan skateboard. Ia menerapkan grafis atau lukisan yang mengapropiasi desain notable skateboards di atas papan selancar sehingga nampak seperti papan skate berukuran raksasa, bahkan karena hal inilah ia dapat bekerjasama dengan para skater kelas dunia. Karya-karya pada pameran ini mungkin mewakili kekaryaan Lucky dalam menggubah obyek papan skate maupun surfing.
Gubahan papan skateboardnya pun bermacam-macam, bermula dari eksplorasinya terhadap bentuk dasar skateboard hingga kemampuannya untuk mencetak papan-papan itu sendiri. Ada yang hanya menerapkan gambar/grafis-grafis di atas papannya, berbentuk botol datar merek “Teh Botol”atau bentuk dengan gubahan tiga dimensional seperti papan yang melipat, melingkar dan lain sebagainya, menjadi bentuk kuas besar, menggabungkan dengan papan surfing, membenamkan papan skate ke dalam bongkah semen, memanfaatkan skateboard bekas menjadi badan gitar, atau membentuk patung robot seperti transformer. Lucky juga membuat lukisan di atas kanvas yang mengapropriasi lukisan klasik renaisans Michaelangelo ; “La Creazione di Adamo” dengan sosok ikonik pada lukisan tersebut sedang bermain skateboard. Atau karya François Boucher ; “ Cupids. Allegory of Poetry”, yang menggambarkan bayi malaikat sedang menulis disebuah papan skate.
Dan tanggal 21 Juni adalah hari Skateboarding yang dirayakan sedunia.
Karya-karya papan skate maupun seluncur (surfboard) Lucas and Sons dalam pameran FUN FOLLOWS FUNCTION FOLLOWS FUN ikut menandai suatu perkembangan praktek dan wacana seni rupa di Bandung bahkan di Indonesia umumnya. Terutama di lingkar luar perkembangan arus- utama seni rupa kontemporer, yang terus berkecambah bentuk-bentuk seni rupa dari ranah “seni rupa bawah” – dalam istilah kritikus Sanento Yuliman, atau disebut lowbrow.
Kemunculan istilah lowbrow art bermula di Los Angeles, California di dekade 1970-an , sebagai sebuah gerakan bawah tanah dan akar rumput seni rupa yang berasal dari sub-kultur seperti juga musik punk, komik bawah tanah dan lainnya. Sering disebut dengan pop-surealisme. Hampir semua karya-karyanya sering memiliki rasa humor yang ceria, kadang-kadang nakal, dengan komentar-komentar yang sinis. Lowbrow dianggap karya seni kelas rendah dan lawan dari highbrow, di mana sebagian praktisinya tidak mengenyam pendidikan resmi seni rupa. Karya-karya lowbrow sebagian besar adalah berbentuk lukisan, grafiti, mural, tetapi ada juga mainan (toys), seni digital, dan patung.
Di Indonesia, lowbrow dan bentuk seni jalanan dari awalnya adalah sebuah bentuk artikulasi perlawanan terhadap kekuasaan atau hegemoni . Maka pelaku seni ini dengan sadar aksi artistiknya haruslah mempertimbangkan aspek “komunikasi visual”: yang memprovokasi, menarik perhatian dan diterima pesan-pesannya oleh publik luas. Pencarian-pencarian bahasa visual yang bisa mendekati publik sangat intensif, kemudian memberikan jalan bagi munculnya alternatif estetika sebuah karya seni. Pintu terhadap kesadaran tersebut terbuka secara pemikiran pada akhir 1970-an dimana Gerakan Desember Hitam dan Gerakan Seni Rupa Baru muncul dengan jargon-jargon yang memaksa dunia seni formal akademik untuk lebih sadar terhadap nilai kelokalan dan lingkungannya. Di sini juga muncul kesadaran bahwa praktek seni rupa sebagai bentuk ‘komunikasi’ bagi orang banyak.
Gejala bagaimana perubahan di dalam medan sosial seni rupa di Indonesia menyerap aspek seni jalanan dan lowbrow ini dimulai sejak 2004. Kurator Rain Rosidi mencatat bahwa ada beberapa galeri yang berperan memelihara dinamika hubungan spirit kreativitas seni yang memuja ketidak-mapanan, dengan pasar seni yang mengharapkan ketertiban laku seni dan administrasinya, yang kemudian beberapa galeri sadar membangun dialog itu dengan menampilkan jejak-jejak proses kreatif dan eksperimentasi seniman dalam ruang galeri, walaupun kadang di galeri kita hanya melihat dari secuil kerja artistik para seniman ini. Tapi dari sana munculah para perupa abad 21 yang meramaikan pasar seni mainstream Indonesia.
Referensi dan Catatan:
1. Website https://lucasandsons.com/
2. Obrolan dengan Lucky Widiantara, Juni 2020
3. Kuratorial pameran FINDING ME: (his)Story of Lowbrow, Street art , and Animamix In Indonesia. Galeri Semarang. 2011. Website: http://www.galerisemarang.com/exdetails.php?ex=100
4. Hari raya para skateboarder sedunia ini berawal pada 21 Juni 2004 silam. Diinisiasi oleh International Association of Skateboard Companies (IASC), GSD awalnya dibuat untuk mempromosikan skateboard agar lebih dikenal melalui berbagai acara yang diadakan di kota-kota besar di seluruh dunia, salah satunya adalah Indonesia. https://kumparan.com/millennial/go-skateboarding-day-lebarannya-anak-skate-sedunia/full
“Pushing-inward,
Pulling-outward”
Pameran Tunggal
Haiza Putti
11 - 23 Agustus
Pengantar oleh Luthfi Zulkifli
Bersamaan dengan agenda sidang tugas akhir dalam Jurusan Seni Lukis ITB, seniman muda Haiza Putti atau akrab disapa Runni @runnnc memamerkan karyanya di Galeri Orbital Dago dalam bentuk pameran tunggal bertajuk “Pushing-inward, Pulling-outward”. Pada pameran ini Runni berusaha mengajak penonton untuk masuk ke dalam sebuah perjalanan yang dibangunnya melalui bentukan lukisan instalatif. Dengan menjadikan warna dan garis sapuan sebagai senjata utama untuk membangun pengalaman tersebut, Runni berharap untuk memberikan pengalaman baru bagi masing-masing penonton. Gagasan berkarya Runni berkisar pada pergeseran skala antara ‘imagining big’ atau membayangkan sesuatu yang besar di saat diri manusia menjadi bagian kecil dari lingkungan sekitarnya, dengan memaknai Tri Hita Karana.
PUNK CERAMIC
Pameran Tunggal
Erlangga
2 – 17 September 2020
PUNK CERAMIC
Pameran Tunggal Erlangga 2 – 17 September 2020
Bertemu seniman : 2 Agustus Mulai jam 11- 17 WIB di @orbitaldago
Setidaknya ada tiga perkara mengapa keramik figurine (patung kecil) karya-karya Erlangga diberi tajuk Punk Ceramic. Pertama karya-karya Erlangga tersebut mengingatkan kita pada kecenderungan Funk Ceramic yang populer di Amerika tahun 60an sampai 70an, berupa karya-karya keramik—kebanyakan figuratif—yang bizzare,, nyeleneh, kadang surealis dan berkarakter parodi. Istilah Funk, tentu dekat dengan istilah Punk, dan istilah Punk Ceramic dirasa tepat untuk menjuluki karya-karya figurine Erlangga. Hal ini menjadi alasan kedua, selain secara naratif ada beberapa figurnya yang tampak seperti sosok punk, namun lebih tepat jika dikatakan bahwa karakter estetis karya-karya Erlangga memang “berjiwa sub-cultur”. Tidak terbebani nama besar, Erlangga menyusun karyanya tanpa beban, dan juga tidak berangkat dari gagasan yang mendalam, karena itu terkandung karakter “subversif” dalam karya-karyanya. Sikap “subversif” tersebut ditunjukkan dengan membuat karya-karya figurine secara bebas merdeka dan suka-suka. Menariknya, jiwa “punk” karya-karya Erlangga justru muncul dari sikap low-profile yang merupakan sikap bawaannya. Sikap low profile, hampir tanpa pretensi, tentu bertentangan dengan atmosfir “high-profile” dalam arus utama seni rupa kontemporer.
Tidak memiliki latar belakang keramik, cara bekerja Erlangga dalam beberapa hal tidak sesuai dengan teknik keramik yang proper. Dia bekerja cepat, dan menghindari perfeksi. Namun, karena itu karya-karya figurine Erlangga menarik, mengejutkan dan kadang di luar dugaan. Setiap sosok karya figurine Erlangga tersebut memiliki narasi, yang sebagian merupakan refleksi dari perjalanan hidup Erlangga. Dia menyukai musik, genre apapun. Lama meninggalkan kampung halamannya di Bengkulu, Erlangga juga kerap terkenang dengan kehidupannya di masa lalu, dalam masyarakat akar rumput yang hidup dari berladang dan alam sekitarnya. Karena itu kita lihat figur-figur pemain musik dan masyarakat kecil yang menyunggi beraneka barang, mulai dari kayu bakar, periuk keramik, perabot rumah tangga, hewan, sampai motor vespa. Beberapa figur juga muncul dari imajinasi Erlangga, seperti manuusia dengan kepala tumbuhan, manusia dengan topeng kepala hewan, dan lainnya.
Tampil dengan sosok rata-rata gemuk, figur-figur yang dibuat Erlangga tampak lucu dan unik, kendati sebagian karya-karyanya merepresentasikan masyarakat bawah, tapi tak nampak kesedihan, yang terlihat adalah ketangguhan dan sikap “nrimo”. Kendati ada beberapa figur sepintas horror, tubuhnya berselempang potongan-potongan kepala dengan tangannya menjinjing potongan kepala, tetap berkesan lucu, seperti tokoh kartun. Figur-figur yang dibuat oleh Erlangga juga tampak intuitif dan ekspresif, seperti dikerjakan tanpa rencanana, lahir begitu saja dari tangannya. Berkarya adalah cara Erlangga untuk berdialog dengan dirinya sendiri, dan tentu dengan pemirsa. Karenanya setiap karya tersebut sangat personal, dan sangat “Erlangga”.
Asmudjo J Irianto
Erlangga lahir di Bengkulu, 21 maret 1976. Pernah belajar di Seni Rupa IKIP Padang (sekarang Universitas Negri Padang). Aktif berkarya rupa sejak tahun 2000an, dan menjadi salah satu inisiator Kelompok Belanak, salah satu kolektif seni yang cukup penting di Padang.
Menghidupi Kehidupan
2 – 18 Oktober 2020
Pengantar Kuratorial_Pameran Fotografi
Menghidupi Kehidupan
Praktik dan wacana fotografi kontemporer saat ini mendorong para fotografernya untuk terus menunjukan perannya lebih aktif dan visible baik dalam ruang sosial atau pun dalam ruang virtual. Pergeseran praktik fotografi hari ini adalah keniscayaan, untuk menunjukan kompleksitas medium fotografi dan mendorong ruang produksi wacana dan pengetahuan baru.
Dibalik hingar bingarnya fotografi saat ini, fotografi menyisakan banyak persoalan. Salah satunya adalah infrastruktur fotografi itu sendiri dan tidak banyak yang cukup konsisten di jalan fotografi sebagai penghidupan. menengok 1839 dimana fotografi meneguhkan bukan hanya sekedar klaim estetika, fotografi berakar pada aspek kehidupan. Susan Sontag dalam orasi ilmiahnya di Wallesley Collage (1975) menyebut “Photography within the humanities” bahwa visi fotografi berangkat pada sebuah individu yang mengganggap fotografi sebagai bagaian penting dari penghidupan, atau bisa juga berangkat dari wacana fotografi sebagai bagian dari praktik untuk menarik wacana kritis mengunakan medium fotografi. Memahami fotografi secara utuh tidak terlepas dari hubunan antara ekonomi politik dan industri fotografi, Walter Benjamin dalam WJT Mitchell memaparkan dengan baik mengenai hubungan antara kapitalisme dan kritik marxis ‘Kamera di satu sisi, lambang ekonomi politik kapitalisme yang destruktif dan konsumtif’. Benjamin juga menjelaskan bagaimana hal itu menghancurkan ‘aura’ dari seni dan khususnya realitas dalam fotografi.
Pameran menghidupi kehidupan berangkat dari wacana ekosistem fotografi hari ini yang menawarkan gagasan fotografi yang saling tarik menarik antara Sontag dan Benjamin. Dilain pihak narasi tersebut tidak pernah luruh di praktikan dalam dunia fotografi. Hal ini bisa dilihat dari kelima fotografer yang berpameran. Karya fotografi yang dihadirkan bukan hanya mengandung bentuk sublimasi estetik, tetapi bisa mengugah kesadaran kita atas realitas. Seperti halnya Arif Hidayah, seorang jurnalis foto. Dia bukan hanya memotret untuk kepentingan reportasi media massa, tetapi dia juga berani turun tangan dalam perjuangan-perjuangan kaum marginal. Terkadang hal tersebut tidak rasional, dalam karya foto Doly Harahap, selain sebagai musisi, Doly punya ketertarikan lebih terhadap fotografi. Foto kesehariannya sebagai musisi begitu intim dan memiliki artikulasi yang berbeda, ketimbang fotogafer yang berjarak dibawah panggung.
Pameran menghidupi kehidupan adalah serangkaian dialog fotografi sebagai alat dokumenter, yang memiliki pengalaman keberhasilan atau sekali pun mendapatkan kegagalan dalam wacana fotografi itu sendiri. Pameran menghidupi kehidupan bukan soal apa yang di tampilkan dalam foto, tetapi lebih jauh dari itu. Bukan lagi karya foto yang lebih bermakna, tetapi aktivitas mereka dalam fotografi yang sebenarnya bermakna dan menghidupinya. Seperti halnya Karya Aldiansyah Waluyo seorang fotografer komersil yang juga aktif dalam komunitas yang juga memperjuangankan hak-hak ruang berkesenian. Muhammad Fajar Hidayat yang memiliki ketertarikan pada tema-tema ruang urban, dia juga mengelola bisnis foto hipercatlab yang berkontibusi pada perkembangan fotografi analog. Terakhir adalah karya foto Fitra Sujawoto, sebagai fotografer pernikahan dia juga punya keresahan tersendiri dalam dunia fotogarfi pernikahan yang dia jewantahkan dalam bentuk workhop, buku dan kegitan edukasi lainya.
Kembali ke titik awal, jika fotografi memiliki tempat dalam humaniora, mungkin fotografi memiliki semacam tempat sentral, karena bukan hanya bentuk seni di bawah batasan tertentu, tetapi juga memiliki tempat di mana semua jenis pertanyaan sosiologis dan moral dan historis dapat diangkat. Fotografi bisa menghidupi batin secara personal atau pun hal yang lebih luas seperti kehidupan itu sendiri.
Sandi Jaya Saputra, Jatihandap, 20/20
Bio Peserta Pameran
Aldiansyah Waluyo is a Bandung based photographer/director. Inspired by the urban culture of his youth, he discovered his passion for photography in his early ages. The creative process that he’s involved in Woodensun mostly enlighted his works, his sought-after style represent scenes from accidental phenomena that play out in ours daily life.
Arif Hidayah . Biasa disapa Danun, Jurnalis foto di Pikiran Rakyat belum pernah membuat buku atau pameran foto tunggal tapi lagi mengusahakannya supaya kenyataan. Aktivitas memotret saya sedang beririsan dengan isu-isu sosial, intens merespon fenomenanya akibat kepikiran.
Doly Harahap: 2017 – 2019 adalah tahun di mana saya berada dalam aktivitas bermusik yang cukup padat. Saya terlibat dalam proyek musik, band, maupun solois yang sedang mengembangkan karyanya. Bersama Nadin Amizah, selain sebagai pemain gitar saya juga menjadi salah satu partner ketika dia menulis lagu. Menjadi manajer dalam kelompok musik Syarikat Idola Remaja dan solois Jon Kastella, juga manajer sebuah proyek musik yang kemudian menyudahi proyeknya di awal tahun 2020, Daramuda.Seru? Tentu! Karena mengerjakan apa yang saya suka. Lelah? Tak bisa saya pungkiri memang cukup melelahkan. Menyelesaikan tugas-tugas yang sudah menjadi tanggung jawab dan tak jarang pula harus bepergian dari kota satu ke kota lainnya. Dan rutinitas itu terus berlangsung hingga awal tahun 2020.
Fitra Sujawoto. Kalau fotografi memang bermakna 1000 kata, entah kenapa saya masih diminta menuliskan biografi diri di kolom ini. Bisa jadi memang membaca fotografi lebih rumit daripada memahami kata-kata. Saya mulai mengenal fotografi hanya beberapa tahun sebelum terjerumus secara tiba-tiba ke fotografi pernikahan (@redwhitephoto) di tahun 2013 lalu. Fotografi saya gunakan untuk medium bercerita, baik secara personal maupun komersial, meskipun kadang juga saya sempatkan untuk menggunakan tulisan sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan, salah satunya lewat Buku Lihat, Dengar, Rasakan: Tentang Fotografi dan Pernikahan. Memotret, lalu menulis atau bisa juga sebaliknya. Selain dua hal tersebut yang memang rutin saya kerjakan, sejak 2017, ada juga beberapa workshop yang saya lakukan, baik secara mandiri atau dengan bantuan dari komunitas, seperti Cap Doa Restu, Fellowship dan Kelas Pagi. Bertemu dengan fotografi ialah pengalaman yang menyenangkan bagi saya, bisa bercerita ini dan itu, semoga tidak bingung membaca biografi singkat ini. Salam kenal dan sehat selalu!
Muhammad Fajar Hidayat biasa dipanggil Fajar atau Yayat. Lahir di Kalimantan Selatan pada tanggal 31 Januari 1986. Menamatkan pendidikan S1 di Jurusan Teknik Industri Universitas Hasanuddin Makassar.Tahun 2011 pindah dan menetap di Kota Bandung karena atmosfir industri kreatifnya yang sangat mendukung untuk memulai usaha sendiri. Sedari kecil tertarik dengan dunia visual, dan kemudian memutuskan mendalami fotografi analog setelah melihat banyak karya fotografer di laman Flickr. Di tahun 2012 merintis Hipercat Lab sebagai akses penghobi fotografi analog di luar daerah. Selain sisi bisnis, Hipercat Lab juga sering mengadakan workshop dan photo walk sebagai wadah edukasi dan komunikasi antar pemotret film. Berkembangnya fotografi film secara umum di Indonesia dan khususnya Hipercat Lab sebagai badan usaha, berjalan seiring meningkatnya penggunaan media sosial dan kemudahan akses jual-beli alat/bahan fotografi analog.
Main Ayo Main
23 Oktober - 8 November 2020
ARTHUR TAMNGE
KIKA PRISCILLA
RENDY PANDITA
TOMMY ADITAMA PUTRA
TENNESSEE CAROLINE
WILMAN HERMANA
Pameran ini menampilkan karya-karya 6 para pelaku artistik : seniman, perancang grafis, maupun pelaku kuliner , dengan berbasis pada benda mainan masa kanan-kanak maupun dari kegemaran atau hobi yang terkait dengan benda-benda mainan. Mereka mengartikulasikan benda-benda tersebut menjadi suatu karya dengan makna yang personal maupun dikaitkan dengan berbagai fenomena disekitar kehidupan mereka. Mainan atau Toys , sebagai gagasan atau keberangkatan kekaryaan tentunya semakin lazim , terutama dalam praktik seni rupa kontemporer saat ini, baik di Indonesia maupun secara global.
Keberlimpahan benda industri (seperti : mainan) dan citraan lainnya menciptakan benturan-benturan dan ketegangan dengan kondisi sosial – ekonomi – budaya urban, dimana komunitas kreatif hidup dan bekerja dalam ruang imajinasi. Sehingga menjadi sangat menarik bila kita memperhatikan ungkapan-ungkapan visual mereka. Mereka sangat sadar bahwa aspek visualisasi begitu penting sehingga unsur bentuk, warna , ikon dan karakter-karakter hingga teks-teks , diciptakan dengan menyolok mata, kadang sangat provokatif, namun terbangun konstruksi makna baru, menjadi suatu wahana komunikasi yang khas. Representasi persoalan lokal-global sering muncul jelas dalam karya-karya mereka.
Bio :
ARTHUR TAMNGE
Junior Arthur Immanuel Tamnge adalah seorang culinary designer yang mengedepankan eksplorasi dan intuisi. Semenjak tahun 2016 hingga 2019, Ia bekerja sebagai Culinary Research & Development Consultant untuk EASTERN GROUP yang berbasis di Bandung dan saat ini Arthur adalah seorang foodpreneur. Sebelumnya Arthur menempuh pendidikan vokasional di Sekolah Menengah Kejuruan Sandy Putra hingga tahun 2009. Sebelum menetap di Bandung, Arthur aktif mencari pengalaman di restoran dan hotel baik di dalam maupun luar negeri. Restoran-restoran ini antara lain: Casa Manja, Hotel AnCasa, Malaysia (2008-2010), Casamnaja Restaurant, Bandung (2009-2010), Dubai International Hotel (2010-2012), Mozaic Gastronomique Restaurant Fine Dining, Bali (2012-2013), The Shancaya – Bintan / Singpura (2014), The Cellar Restaurant Bandung (2015), dan Leet Sky Dining, Aston Kupang (2016). Ia juga sempat mendapatkan kehormatan untuk memasak bagi presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan staf Istana.
Pernyataan Seniman:
Berawal dari antusias bermain robot-robotan di masa kecil, kenangan tersebut yang membawa semangat eksplorasi dan antusias saya dalam menciptakan karya di pameran kali ini, di kembangkan melalui ilmu memasak dan pengalaman saya sebagai praktisi di industri seni memasak, lalu karya dikemas persis seperti kemasan mainan yang biasa saya beli dulu, dengan desain kemasan yang sengaja diubah sesuai perpaduan mainan dan makanan yang biasa kita makan.Karya ini juga merupakan salah satu cara saya dalam mengekspresikan diri melalui mainan dan bahan masakan.
TENNESSEE CAROLINE
Perempuan pemural kelahiran Bandung 15 Oktober 1980 yang biasa dipanggil Iten ini, jatuh cinta pada seni sejak usia dini. Baginya, melukis adalah sebuah bentuk komunikasi. Menyampaikan apa yang tidak mampu disampaikannya dengan kata-kata. Sempat vakum dari melukis selama hampir 13 tahun, Iten tetap tidak mampu menyangkal panggilan hatinya. Passion tidak bisa dikuantifikasi dengan financial. Sosok gadis kecil pencemberut yang muncul dalam lukisannya adalah alter ego lulusan FSRD ITB angkatan 1999 ini.
Pernyataan seniman: Setelah berada dalam lingkungan komunitas diecast, saya menyimpulkan bahwa diecast itu bukan sekedar mainan saja, tapi sudah menjadi barang koleksi. Para kolektor mengkoleksi diecast beraneka ragam mulai dari yang murah hingga sampai yang mahal, dan yang paling langka sudah pasti diburu. Dalam komunitas tersebut, ada juga penikmat custom yang pada umumnya memakai decal saya sebagai seniman untuk membuat custom diecast dengan melukis pada permukaannya. Di karya ini saya menyatukan art dan diecast dengan menampilkan lukisan yang terkenal di dunia, namun wajahnya diganti
dengan karakter yang sudah menjadi ciri khas lukisan saya.
RENDY PANDITA
Perupa asal Kota Bogor yang menetap di Bandung sejak 2008, kini aktif sebagai illustrator dan pengajar di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Ia menempuh studi magister Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung dan lulus tahun 2015. Mulai aktif berkarya semenjak tahun 2013. Karya-karya yang dihasilkan banyak terinspirasi dari fenomena sosial, film, musik dan budaya pop. Seperti pada karya-karya sebelumnya yang banyak membahas tentang kejahatan di jalanan. Selain aktif berkarya di dunia seni rupa, ia juga aktif di dunia musik independent lokal dengan membangun Somnium, bandnya yang digarap sejak 2014 dan telah menghasilkan satu album bertajuk Black campaign. Ia juga pernah aktif berkarya dalam band Gaung dan menghasilkan satu buah album bertajuk Opus Contra Naturan yang dirilis pada tahun 2017.
Pernyataan seniman:
6 Karya ini merupakan hasil eksplorasi warna dan pengembangan gaya visual. Pada karya-karya sebelumnya secara singkat, saya telah banyak bermain dengan warna monokrom dan media penggambaran untuk karya saya pun banyak dilakukan diatas fotografi secara digital dengan gagasan menghadirkan sesuatu yang imajinatif pada realitas yang telah dibekukan oleh fotografi. Gagasan ini merupakan upaya penggambaran kondisi psikologis manusia ketika dihadapkan dengan rasa takut. Permainan gagasan ini ingin saya sedikit kembangkan dengan berawal dari eksplorasi gaya gambar/drawing. Eksplorasi visual ini merupakan hasil recalling memories dari masa kecil, yang dipenuhi oleh produk-produk budaya populer, seperti film, game, dan mainan/toys. Proses penggalian memory masa lalu merupakan aktivitas psikologis, dimana visual vocabulary yang tertimbun kembali dimunculkan. Apa yang pernah saya lihat, atau saya inginkan sewaktu masih kecil hingga remaja sedikit banyak mempengaruhi idiom visual yang saya gunakan pada karya-karya sekarang. Produk-produk budaya populer, benda-benda populer yang dulu tidak mampu didapatkan seiring dengan bertambahnya umur dan pengembangan karir, produk-produk tersebut bisa saya dapatkan (beli) sekarang, seperti toys/mainan, sepatu.sneakers dsb. Maka, karya ini merupakan manifestasi visual yang tertimbun, dari proses fiksasi masa kecil hingga remaja. Objek-objek dan figur yang ditampilkan seperti monster merupakan apa yang selalu saya ingin tampilkan sedari kecil hingga remaja.
KIKA PRISCILLA
Kika Priscilla adalah seorang desainer grafis yang dalam waktu luangnya senang untuk melukis dan membuat ilustrasi. Kika menyelesaikan studi sarjana di ITHB jurusan DKV pada tahun 2014 dan sempat bekerja di Exsport pada tahun 2015-2017 sebagai desainer grafis. Saat ini selain menjadi desainer, ia juga kerap kali mengambil proyek sampingan sebagai seorang fotografer produk. Pernah mendapat kesempatan untuk berpameran tunggal di Semata Gallery pada tahun 2019.
Pernyataan seniman:
Berbicara tentang ingatan masa kecil yang masih berhubungan dengan toys/games, buat saya Mario Bros adalah game yang paling membekas di ingatan saya karena Mario Bros merupakan video game pertama yang saya mainkan. Walaupun saya memainkan game tersebut hanya sebentar, tetapi segala sesuatu tentang game tersebut tidak dapat saya lupakan; mulai dari tampilan visual 8-bit nya, efek suara yang sangat khas dan mudah dikenali, hingga tokoh-tokohnya dan gambar latar belakang yang ikonis dan unik.
Karya ini merupakan hasil interpretasi saya terhadap ingatan saya pada game tersebut. Seperti halnya hanya beberapa ingatan-ingatan kecil saja yang saya ingat dari game tersebut, tampilan visual karya ini merupakan potongan-potongan kecil dari beberapa karakter/scene yang terdapat dalam game tersebut. Dan digabungkan dengan kegemaran saya dalam mengeksplorasi warna-warna.
TOMMY ADITAMA PUTRA
Tommy Aditama Putra adalah seorang desainer grafis yang saat ini aktif bekerja untuk EASTERN GROUP. Selain menjadi desainer, beberapa tahun ke belakang Ia mulai kembali aktif berkarya sebagai seniman. Tommy menyelesaikan studi sarjana di studio Seni Grafis, jurusan Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain – Institut Teknologi Bandung pada tahun 2007. Semenjak lulus hingga tahun 2011, Tommy aktif terlibat sebagai partisipan di sejumlah pameran. Hingga saat ini Tommy sudah menyelenggarakan 2 kali pameran tunggal, yakni pameran KICK! (2009) dan 101 Sindhu Bumi (2019). Ia juga pernah menjadi salah satu awardee di Indonesian Art Award pada tahun 2010.
Pernyataan seniman:
Memori bertahan selamanya. Mengangkat visual 3 ikon pop masa kecil, object karya ini adalah Ultraman, Rockman & Kamen Rider. Ultraman adalah potongan memori kaset video seharga 1000 rupiah per-hari sewa. Kamen Rider menjadi motivasi untuk pulang cepat & mandi sore tepat sebelum film ditayangkan di saluran televisi swasta -seminggu sekali. Sementara Rockman merupakan video game Nintendo yang tergolong sulit & saat berhasil ditamatkan episode berikutnya akan sangat ditunggu. Keterbatasan visual di masa keemasan ketiganya selalu menarik di mata saya, terutama jika disandingkan dengan kualitas yang ada di masa sekarang. Seperti halnya gambar yang pecah, outline yang patah-patah. Pixelate.
WILMAN HERMANA
Wilman Hermana (lahir di Bandung, 1 Februari 1982) @osmenoswer, adalah seorang seniman dan edukator yang aktif berkarya dan berbasis di Bandung. Selama kurang lebih 15 tahun, Ia aktif berkarya menggunakan beragam material dengan fokus media pada karya-karya trimatra. Ia menyelesaikan studi sarjana di Studio Patung, Program Studi Seni Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB 2007. Setelah lulus Ia sempat mendampingi Nyoman Nuarta, seorang seniman patung di Bandung selama kurang lebih dua tahun. Selain aktif berkarya Wilman juga peduli pada persoalan edukasi seni bagi anak-anak di tingkat formal yang menurutnya dirasa kurang ideal di Indonesia. Ia kemudian membuka sebuah ruang edukasi yang bernama semAta gallery yang berfokus pada pengajaran seni rupa interaktif yang memeperkenalkan seni secara luas kepada anak-anak dan remaja. Wilman kembali melanjutkan studi magister di jurusan yang sama di Sekolah Pascasarja, ITB pada tahun 2015. Setelah lulus di tingkat master, ia kembali aktif berpartisipasi baik sebagai seniman, edukator di tataran formal dan informal, serta sebagai penyelenggara pameran hingga saat ini. Dalam rentang karirnya juga Wilman sempat diminta untuk membuat karya-karya patung publik seperti, Patung Sepedah (Cimahi), Patung Sisingaan dan Patung Nanas di Subang. Pernyataan Seniman: Memori masa kecil yang kemudian terbongkar kembali ketika melihat mainan, terutama mainan tentara2an. kata tentara identik buat sy adalah sosok seorang ayah dan perang. maklum ayah sy seorang tentara yg jaman dulu kerjaannya adalah berperang, mulai dari perang melawan gerombolan DI/TII di Sulawesi Selatan, pembebasan Irian Barat, Perebutan Timor Timur, sampai penumpasan G30S/PKI. Kata perang sangatlah akrab ditelinga saya sampai akhirnya sy selalu bermain peran perang2an lengkap dengan senjata mainan. perang juga takubahnya sebuah permainan kaum elit untuk merebut kekuasaan, mendominasi wilayah, ataupun bahkan berbeda ideologi. Saya menyadari bahwa sebagai seorang seniman tentunya tidak dapat mencegah terjadinya perang, tetapi setidaknya sy dapat meresponnya melalui pernyataan artistik, serta menyadarkan publik tentang sekelumit problematika yang mengelilingnya. Melalui karya ini saya hendak menjadi cermin sikap peradaban mutakhir terhadap keberadaan perang, menjadi sebuah representasi dari kebudayaan popular dalam menanggapinya
SINKRETISME
Pameran Tunggal
Adhya Ranadireksa
17 November – 17 Desember 2020
Tentang Pameran
Adhya Ranadireksa dengan karya-karya lukisannya sebagian besar menyajikan berbagai rupa fauna atau binatang hibrid terutama Keledai yang bermutasi dengan rupa hewan lainnya seperti Unta, Katak, Harimau, Kadal, sebagai pusat dengan latar belakang lukisan flora dengan berbagai bentuk stilasinya . Juga ada lukisan dengan tulisan – tulisan Arab (pegon) yang biasa terdapat dalam jimat atau isim yang biasa ditemukan dalam beberapa budaya Nusantara. Atau seekor Keledai yang dipunggunya dipenuhi dinamit. Lukisan-lukisan Adhya tidak hanya menampilkan problem rupa binatang terutama keledai tetapi juga sebagai penyimbolan kepada suatu fenomena didalam kehidupan budaya dan reliji hari-hari ini. Terutama dengan akar budaya yang didasari percampuran dari berbagai sumber nilai menghasilkan bentuk – bentuk yang sinkretis, hibrid atau eklektik. Hal ini terepresentasikan dengan cara hidup dan kepercayaannya yang subur dalam keseharian.
Tema pameran Sinkretisme yang diambil lebih mengarah kepada persoalan kehidupan reliji di Indonesia yang hari-hari ini penuh gejolak dan mengancam nilai-nilai toleransi. Pada lukisannya Adhya menampilkan simbol utama dengan penggambaran sang Keledai sebagai pemaknaan kepada suatu nilai kebodohan, tak berpikir atau hanya ikut-ikutan, walaupun disisi lain ada pula simbol positifnya , antara lain pekerja keras atau sebagai sahabat para petani dan penjelajah. Maka penggabungan dengan bentuk hewan lainnya memberikan makna hibrid, paradoks, menyindir, sinis, dan sekaligus jenaka. Walaupun seharusnya pencampur-adukan itu bisa saja menjadi indah dan harmonis.
Dalam situs Wikipedia disebutkan bahwa Sinkretisme adalah suatu proses perpaduan yang sangat beragam dari beberapa pemahaman kepercayaan atau aliran-aliran agama. Pada sinkretisme terjadi proses pencampur-adukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain.
Karya-karya Adhya, apakah itu lukisan, fotografi, maupun obyek lain, selalu cenderung nakal: bernada sinis tapi sekaligus mengandung sisi humor dalam menangkap persoalan yang ada didalam masyarakat seperti intoleransi maupun radikalisme yang mengganggu keharmonisan beragama. Melalui pameran Sinkretisme ini ia ingin mengungkapkan persoalan tersebut dengan caranya , seperti dalam suatu cuplikan wawancara beberapa tahun lalu: “saya coba tampilkan adalah layer yang tidak kasat mata. Mencoba berada di sisi “in between”, berusaha melahirkan ambiguitas persepsi, dimana para penikmat memiliki kebebasan dalam berinterpretasi.”
Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Sinkretisme https://kopikeliling.com/visual/art/si-tintin-positif-pameran-tunggal-adhya-ranadireksa-bulan-november-2014-di-s14-bandung.html
ADHYA RANADIREKSA
Born in Bandung in 1972, was educated at the Istituto Europeo Design in Rome, Italy with a major study of still-life photography (1994-1997), founder of CREATORIVM Commercial Photo & Graphic Design studio in Jakarta; HYPNOSIS photography, Agency-Jakarta; ILLVMINASI, Research for the common art of photography in Bandung, and Joint with KOMVNI , art of photography in Bandung
Solo Exhibitions:
2014: “Si Tintin Positif”, S-14, Bandung
2011: “Cultural Hero”,Veležní palác, Odessa, Ukraine.
2010 : Lidah Bercabang. Platform3. Bandung
1996: Solo Exhibition in CTS , Rome, Italy.
1996: “Klidný”, Convent of St. Agnes, Prague- Czech.
1995: “Solo Exhibition Annual Anniversary of IED” ; Thema: “Bianco Nero”, Rome, Italy.
Selected Group Exhibitions:
2020: Curator Choice. Bandung Art Month (BAM)3 “EDANKEUN”, BDGconnex, Bandung
2018: Institut des Cultures d’Islam “JAVA – Art Energy”, Paris
2017: SENI BANDUNG. KOMVNI . “De Bloem Der Indiche Bergsteden” Ropih Gallery, Bandung
2015: BANDUNG PHOTO SHOWCASE 2015 . Selasar Soenaryo, Bandung
2015: 16 INTERBIFEP: International Biennal Festival Portreta Tuzla 2015 a winner Award:”Diplomaforaphotograph” on 16 INTERBIFEP. International jury of the 16th INTERBIFEP composed of: Nataša Smolič – Slovenia, Ismar Mujezinović -Bosnia and Herzegovina and Feridun Işıman – Cyprus make a selection and proclamation awarded works for 16th INTERBIFEP. Bosnia and Herzegovina
2015: “Mind of History and Culture” by Liu Zheng and Adhya Ranadireksa Redbase Art Foundation, Jakarta
2014: “Melihat Indonesia” Ciputra Artpreneur, Jakarta
2013: “Archives” KOMVNI , Singapore Biennale, Singapore
DEVOSI
23 Desember 2020 - 23 Januari 2021
Bonifacius Djoko Santoso
Karin Josephine
Yulian Ardhi
DEVOSI
Berbeda dengan ‘pertentangan abadi’ antara sains dan agama, hubungan seni dan agama tidak pernah benar-benar oposisional, meskipun tidak senantiasa mesra juga. Agama, sebagai sebuah ajaran, telah menyumbang banyak pada dunia penciptaan artistik. Dalam kesenian yang sering digolongkan sebagai ‘tradisional’, manifestasi ajaran agama sangatlah jelas. Sementara dalam seni modern, seni dan agama cenderung selalu berada dalam tegangan.
Pada abad ke-20 di Barat, seni mengalami sekularisasi sehingga sepenuhnya terpisah dengan agama. Tapi dalam masyarakat yang lain, prinsip-prinsip seni modern justru mengalami ‘perjumpaan’ yang konstan dengan agama. Di Indonesia, perjumpaan seni dan agama tergolong intens dan cenderung dinamis. Secara umum, perbedaan mencolok terlihat pada masa sebelum dan setelah reformasi. Jika pada masa Orde Baru manifestasi agama dan spiritualitas dalam seni rupa cenderung kuat, setelah 1998 terjadi perubahan orientasi pada praktik penciptaan seni, terutama setelah agama menguat sebagai institusi yang masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan sosial dan politik. Gesekan-gesekan antara ‘seni’ dan ‘agama’—keduanya sebagai subkultur yang menganut otonomi masing-masing—menjadi tak terhindarkan oleh karena penguatan fundamentalisme. Kebebasan ekspresi selalu berada dalam posisi terancam oleh sensor. Di lain pihak, para seniman juga merespon gejala itu dengan kritis.
Sekurang-kurangnya sejak awal 2000-an, internet berperan besar mentransformasikan kehidupan umat manusia di dunia melalui penyebaran informasi secara masif dan acak, tidak terkecuali ajaran-ajaran agama. Dalam beberapa bulan belakangan, ketika pandemi menyergap dan melumpuhkan kegiatan-kegiatan sosial dan fisik, fungsi internet menjadi semakin vital sebagai media komunikasi dan informasi. Masa pandemi di abad ke-21 menjadi momentum boom internet yang menakjubkan, di mana internet menjadi media utama yang menjembatani, bahkan menggantikan berbagai ritual agama. Dan ketika kematian oleh karena virus semakin mengancam, agama menjadi salah satu sandaran untuk mengikis kekhawatiran. Ritual agama seperti doa dan liturgi turut bertranformasi semakin deras ke dalam layar-layar digital, yang nilai-nilai spiritualnya semakin tereduksi oleh sistem kapitalistik yang menopang teknologi media baru.
Bagi Bonifacius Djoko Santoso, Karin Josephine dan Yulian Ardhi, proyek pameran ini adalah soal bagaimana menghayati apa yang mereka imani sebagai ‘agama’, sambil terus memelihara jarak dengan realitas sosial yang memproduksinya. Istilah devosi—berarti “ritual tak resmi”—yang mereka adopsi sebagai judul dari proyek ini, di satu sisi, menunjukkan bahwa karya-karya mereka adalah perwujudan spiritualitas relijius yang sungguh-sungguh. Dalam pameran ini, sangat jelas bagaimana Djoko, Karin dan Yulian mendaurulang aikon-aikon relijius dan relik Katolik ke dalam karya-karya mereka secara idiosinkratik. Tapi di sisi lainnya, penggarapan karya-karya mereka juga diniatkan sebagai suatu respon kritis atas penguatan agama sebagai institusi sosial hari-hari ini. Secara intensional, DEVOSI menonjolkan jejak-jejak keterampilan tangan, suatu pengalaman menubuh sebagai suatu kritik atas hilangnya ‘aura’ dalam ritual-ritual keagamaan. Di sini, kata-kata dari Boris Groys menjadi terdengar sangat bermakna, “Dalam dunia kontemporer, agama telah menjadi ihwal citarasa pribadi, yang berfungsi sama halnya dengan seni dan desain.”
Agung Hujatnikajennong
Kurator pameran
Bio seniman:
Bonifacius Djoko Santoso (lahir tahun 1972 di Jakarta) lulus dari Program Studi Seni Keramik, Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada tahun 2000. Setelah lulus, Djoko mengajar di berbagai institusi Pendidikan di Jakarta dan Tangerang, antara lain di Universitas Pelita Harapan, SMA Kolese Gonzaga, Universitas Bunda Mulia, Universitas Paramadina, Erudio School of Art, International Design School, dan Universitas Matana. Pada tahun 2015, Djoko bersama teman-teman membentuk kelompok seni rupa bernama Killskill. Djoko telah berpartisipasi dalam berbagai pameran kelompok, termasuk
di dalamnya Pertemuan dengan Kegelapan di Space, Galeri Pasar, Jakarta (2014); Ex Luce Tenebris di Ruang Artspace, Jakarta (2015); Eksplorasi Visual akan Keberanian di Suar Artspace, Jakarta (2015); Napas Lama di Roemah Seni Sarasvati, Bandung (2016); Mythologies: The Holy Myth of Clay di Institut Français d’Indonésie, Bandung (2017); dan Quiet Riot on Stage di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2017). Pada tahun 2018, Djoko meraih ranking 8 dari sepuluh pemenang kompetisi 2018 High Art by Natural Cannabis Company di California, Amerika Serikat. Djoko tinggal dan bekerja di Jakarta.
Karin Josephine (lahir tahun 1988 di Jakarta) lulus dari Program Studi Desain Komunikasi Visual, School of Design, BINUS University, Jakarta pada tahun 2011. Karin saat ini bekerja sebagai desainer grafis dan copywriter lepas, dan juga aktif sebagai seniman kolase. Sebelumnya Karin pernah bekerja sebagai in-house graphic designer di AppsFoundry, Jakarta; community liaison di Suar Artspace, Jakarta; collage mural artist di Selatan Café; dan in-house graphic designer dan community host di ke:kini ruang bersama, Jakarta. Pada tahun 2016, pameran tunggal Karin, Terali Memori diselenggarakan di Lir Space, Yogyakarta. Karin juga telah berpartisipasi di berbagai pameran kelompok, antara lain AQUA Temukan Indonesiamu Auction diEnergy Building, Jakarta (2013); Sikancil: Duet Collage Exhibition diCommon House, Jakarta (2014); Kembali ke Masa Depan di Roemah Seni Sarasvati, Bandung (2014); WWF March for Elephant Exhibition diCar Free Day, Jakarta (2014); Kopi Keliling x Localfest diGrand Indonesia, Jakarta (2015); Memori Lembaran di Ruang Artspace, Jakarta (2015); Chaos of Memories diOmnispace, Bandung (2016); Ultrabiotik di Malang (2016); 20th Pop Up Exhibition by Philly Art Collective diPhiladelphia, Amerika Serikat (2017); Verbindung // Connection diStein Egerta, Liechtenstein (2017); dan Unknown Asia Art Fair di Herbis Hall, Osaka, Jepang. Karin tinggal dan bekerja di Jakarta.
Yulian Ardhi (lahir tahun 1977 di Semarang) lulus dari Program Studi Desain Komunikasi Visual, Jurusan Desain, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada tahun 2000. Setelah menyelesaikan kuliahnya, ia bekerja sebagai ilustrator di Tabloid Soccer, Jakarta; kemudian pernah bekerja sebagai desainer grafis di DesignLab, Jakarta; graphic design consultant di UNICEF Timor-Leste, Dili, Timor-Leste; mengajar di SMA Kolese Gonzaga, Jakarta; dan mengajar di Universitas Bunda Mulia, Jakarta. Pada tahun 2015, Yulian bersama Djoko dan teman-teman lain membentuk kelompok seni rupa bernama Killskill. Yulian telah berpartisipasi dalam pameran kelompok antara lain Jepang Hoi-hoi di The Japan Foundation, Jakarta (2010); Innervisions di Institut Français d’Indonésie (2011); Tiada Hilang Bersemi Lagi di Padi Artground, Bandung (2012), Pertemuan dengan Kegelapan di Space, Galeri Pasar, Jakarta (2014); Ex Luce Tenebris di Ruang Artspace, Jakarta (2015); Eksplorasi Visual akan Keberanian di Suar Artspace, Jakarta (2015); Napas Lama di Roemah Seni Sarasvati, Bandung (2016); Quiet Riot on Stage di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2017); Unknown Asia Art Fair di Herbis Hall, Osaka, Jepang (2017); Dunia Komik – 2018 GG Indonesia Art Award di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2018); All the Small Things 3 di Can’s Gallery, Jakarta (2019); dan SumonarFest 2020 (segmen Monument of Hope) secara online di sumonarfest.com (2020). Yulian juga pernah mengkurasi pameran komik dan ilustrasi untuk Muhammad “Mice” Misrad, Indonesia Senyum – 20 Tahun Mice Berkarya, bersama Evelyn Huang, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2018); dan Beng Rahadian, Cerita Makan Nusantara di Bentara Budaya Jakarta (2018). Saat ini Yulian tinggal dan bekerja di Jakarta, sebagai ilustrator, desainer grafis dan editor komik lepas.
SHIFTING SPACE
26 Februari – 14 Maret 2021
Agung Eko Sutrisno dan Aura Arian
Condro Priyoaji
Delpi Suhariyanto
Fefia Suh
GURU
Marten Bayuaji
Widi Wardani dan Rainda Satrya
Proyek Shifting Spaces
oleh @kapital____space mengajak 11 perupa asal Kota Bandung dengan beragam latar belakang dan praktek kekaryaan. Para perupa menghasilkan sejumlah 7 karya yang akan dipamerkan dalam rangkaian Proyek Shifting Spaces, dengan bentuk respon dan bahasan yang berbeda-beda. Masing-masing dari perupa memilih satu permasalahan di Kota Bandung yang kemudian menjadi fokus bahasan dalam karyanya. Mari kenal seluruh perupa Shifting Spaces!
Seketika, hari ini kesadaran ruang kita menjadi berjarak. Namun dari lubang pintu isolasi mandiri, kita dapat mengintip kenyataan yang selama ini luput kita sadari. Shifting Spaces hadir dengan maksud, menanggapinya. Interaksi para seniman dengan “ruang”-nya masing-masing hadir dalam ruang pamer ini.
Sejak dalam proses pendekatan wacana, para seniman menjalani proses lokakarya singkat serta memakai metode flaneur yang dipopulerkan oleh Walter Benjamin untuk mendekati subjek. Dengan memosisikan diri sebagai pejalan kaki, para seniman mendekati ruang dalam proses meditatif, aktif, atau pun interaktif. Mulai dari menggugat polusi warna-cahaya, kooptasi ruang, serta artikulasi lainnya, para seniman seolah mengorkestrasikan hak atas ruang.
Hari ini, kesadaran kita dalam ruang virtual yang dibangun oleh sehimpun bilangan ini seperti menghadirkan diktum Galileo Galilei kembali bahwa “Matematika adalah bahasa yang digunakan Tuhan untuk menuliskan semesta.” Dengan kata lain, kehadiran para seniman di ruang publik hari ini bukanlah merayakan ruang tetapi menggugat kesadaran mereka terhadapnya. Kita diajak untuk sadar bahwa di luar pintu isolasi mandiri sebenarnya ruang gerak kita juga terbatas.
Agung Eko Sutrisno dan Aura Arian | Condro Priyoaji | Delpi Suhariyanto | Fefia Suh | GURU | Marten Bayuaji | Widi Wardani dan Rainda Satrya
Tulisan oleh
Kelana Wisnu Sapta Nugraha (Kapital Space)
Yuka Dian Narendra
BIO
Agung Eko Sutrisno dan Aura Arian
Agung eko sutrisno, seniman media baru yang memanfaatkan performance art dalam praktiknya, Eko tinggal dan berkarya di kota bandung, mengambil program studi seni patung di ISBI Bandung. Eko mendirikan prfrmnc.rar, sebuah kolektif yang berkonsentrasi pada laboratorium dan wacana performance art di Bandung, ia juga Anggota Forum Seni Pertunjukan Bandung (BPAF) sebagai Scenographer, dan anggota dari Kapital Space, sebuah kolektif yang berdiri pada tahun 2020 di Ciburial, Bandung.
Aura arian, fotografer yang tinggal dan berkarya di Kota Bandung, mengambil program studi Televisi dan film di ISBI Bandung. Dalam praktik penciptaan karya fotografi Aura memfokuskan diri pada isu-isu kemanusiaan, agrikultur dan eksplorasi lanskap realitas kaum urban. Bagi Aura foto merupakan wadah untuk membagikan Da-sein dan Mitda-sein manusia.
Condro Prioaji
Condro Priyoaji lahir di Jember pada tanggal 31 Desember 1993 dan sekarang sedang tinggal dan berkarya di Bandung. Condro sedang tertarik dengan fenomena warna yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Ketertarikan akan fenomena warna ini muncul dari kebiasaannya berkarya dengan media lukis dari saat ketika masih duduk di bangku perkuliahan. Berkarya menurutnya adalah sebagai wadah untuk ekspresi, eksisten-
si atau hanya untuk sekedar kabur sejenak dari kesibukan sehari-hari.
Delpi Suhariyanto
Delpi Suhariyanto adalah seniman seni media yang aktif berkarya di Bandung. Sebelumnya Ia kerap bereksperimen dengan performans bunyi dan cata kerja site-specific. Delpi menyelesaikan studiny di Studio Seni Intermedia FSRD ITB dan saat ini aktif menjalankan Yayasan PIAS di Bandung serta merintis ruang bernama Kapital Spaces di daerah Ciburial, bandung.
Fefia Suh
Fefia SuhLahir di Jakarta, menyelesaikan studinya di salah satu perguruan tinggi bandung mengambil jurusan seni rupa, studio keramik 2016. Kecenderungan karyanya berasal dari pengalaman-pengalaman yang ditangkap semasa bepergian ke berbagai tempat. Tinggal di perkotaan membuat bepergian ke destinasi alam menjadi lebih membekas dan memberikan pengalaman baru bagi fefia dan kar yanya.
GURU
GURU adalah grup musik asal Bandung yang terdiri dari para pendidik dengan beragam praktik, Mira Rizki, Bayu P. Pratama, Fahma Rosmansyah, dan Gazza Ryandika. Band ini memanifestasikan penampilan situasional dan suara yang dihasilkan sebagai praktik bermusik mereka, baik dalam bentuk suara tonal atau atonal. Mereka menyatakan diri mereka sebagai ‘band situasional’.
Marten Bayuaji
Lahir di Jepara, Maret 1992, Marten memulai studi seni rupa di Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2010, dan pada 2018 menempuh program pascasarjana di FSRD ITB. Dalam praktiknya Marten banyak terinspirasi oleh alam, entah secara bentuk fisikalnya atau gagasannya. Marten sering bekerja menggunakan berbagai macam media, merespon suatu lanskap alam atau sebuah framing ruang tertentu. Sering kali karya outdoornya bersifat ephemeral, suatu kondisi dimana Marten mempertanyakan kembali bagaimana posisi manusia terhadap lingkungan alamnya, apakah baik ataukah buruk. Kini Marten sedang tertarik untuk mempelajari alam dalam antroposentrisme. Menurutnya menilik kembali kepada hal yang paling mendasar tentang bagaimana cara pandang kita manusia kepada alam adalah sangat penting.
Widi Wardani dan Rainda Satrya
Widi dan Rainda adalah perupa muda asal Bandung, mereka memulai kebersamaannya sejak sekolah menengah atas. Gagasan dan ide kekaryaan Widi dan Rainda memiliki kesamaan dalam suatu hal, kesamaan ini tentunya melalui lika-liku panjang antar dua insan muda ini. Widi dalam menggagas ide berkarya selalu menceritakan tentang keseimbangan dalam hidup, kemudian Rainda selalu menguatkan ide berkarya widi, karena rainda senang menulis dan widi senang membuat onar.
BERSEMI
19 Maret - 11 April 2021
Tak perlu kita jelaskan lagi dalam masa seperti apakah kita hidup sekarang, yang selalu kita ingat term pembatasan sosial yang membuat kita harus melakukan kegiatan secara hati- hati, kegiatan kegiatan positif yang bersifat personal merupakan pilihan tepat yang bisa dilakukan agar kita tetap sibuk ketika berada dirumah. Contoh kegiatan yang cukup tren saat ini ialah bercocok tanam, Taufiq menangkap fenomena ini sebagai sesuatu yang tampak remeh namun memiliki impact yang cukup besar bagi masyarakat dalam menjalani pembatasan sosial. Banyak hal yang hilang ketika masyarakat terpaksa untuk tetap berada di rumah, salah satunya yang cukup penting adalah interaksi sosial, pada umumnya interaksi sangat dibutuhkan oleh manusia.
Taufiq memposisikan bercocok tanam sebagai pelarian atau pengganti interaksi sosial yang hilang, karena sebagian besar orang akan merasa bahagia ketika melakukannya, secara sadar atau tidak mereka seperti berdialog dalam pikiran, berdialog dengan dirinya, berdialog dengan tanaman yang sedang dia rawat dan tentu bercocok tanam membutuhkan kasih sayang, intensitas dan komitmen. Hubungan emosi ini lah yang akan membuat manusia tetap sehat. Ketika bercocok tanam kita akan menemukan pengulangan namun tidak identik, kejutan kejutan reaksi dari percobaan dan kegagalan yang kemudian menjadikan penghobi tersebut berproses kembali untuk memahami makna kehidupan. Proses ini kita temukan dalam karya karya terbarunya, seperti kesan tumbuh, pengulangan namun tidak identik, eksplorasi bahan, still life, stilasi bentuk dan warna beragam. Kita bisa melihat dalam penyajian karya, frame yang digunakan tidak hanya berperan sebagai “pemanis” karya, melainkan menjadi satu kesatuan dari karya tersebut. Dalam salah satu karyanya yang berjudul “Vertical Thinking” terdapat 32 gambar dengan ukuran sama disusun dalam kotak kotak dua kolom 16 baris membuat kesan terisolasi dari satu sama lain, bila kita hubungkan ini menjadi gambaran bagaimana sosial yang seharusnya terus tumbuh terpaksa dibatasi oleh protokol kesehatan.
Dalam pameran tunggal pertamanya ini kita perhatikan bagaimana dia mengolah banyak sekali image dalam satu karya utuh. Ternyata hal ini tidak tanpa alasan, ada kecenderungan Taufiq untuk mengisi penuh ruang dalam “kanvas”nya dengan image-image. Mungkin ini terjadi karena dalam kehidupan sehari hari, untuk mendukung karirnya sebagai full time artist Taufik melakukan banyak aktivitas pendukung, seperti mengajar, bisnis olahan susu bahkan karyawan 8 jam kerja, hal hal ini cukup menyita waktu dan pikiran sehingga harinya sangat penuh, semua kegiatan padatnya itu tercermin dalam karya, baik secara sadar ataupun tidak.
Dia menjadi salah satu contoh bagaimana seniman merespon keadaan lingkungan khususnya dimasa pandemi saat ini, semua manusia dengan profesi yang beragam tidak memiliki pilihan lain untuk tetap hidup selain menjalankan apa yang sudah menjadi keahlianya, namun harus mencari celah agar tetap bisa berkarya, bahkan tidak sedikit yang harus berganti profesi, tantangan besar bagi semua orang untuk bisa melewati masa sulit ini. Kita seperti mengalami titik balik dalam kehidupan seperti benih yang kembali ditanam di atas unsur tanah baru, kenormalan baru, keadaan sosial baru, peta ekonomi baru adalah tanah untuk kita Bersemi yang baru.
(Mujahidin Nurrahman, penulis)
Taufiq ht kelahiran Mojokerto 25 januari 1990, latar pendidikan seni rupa di ISI yogyakarta angkatan 2009, seniman ini memiliki kecenderungan mengeksplorasi berbagai macam teknik dan media, karya yang divisualkan merupakan penggabungan dari benda-benda temuan, buatan, dan benda-benda remeh-temeh kemudian dikombinasi dengan citra-citra imajinasi yang muncul sebelum maupun selama proses pengerjaan karya, kemudian disusun hingga tercapai kesempurnaan visual yang diharapkan.
TUMPANG TINDIH
15 Juni – 15 Juli 2021
TUMPANG TINDIH merupakan judul pameran tunggal seniman Bandung , Donni Arifianto yang pertama, yang menggambarkan penuangan berbagai ekspresi personal dalam bidang kanvas. Mulai dari munculnya teks –teks syair lagu, jargon – jargon maupun ungkapan keseharian dan media -sosial, hingga citraan periklanan, kartun dan ilustrasi, dan lain sebagainya. Dituangkan semua itu ke-dalam satu kanvas dengan dilukis dan beberapa ditempelkan menjadi kesatuan yang serba paradoks, tak beraturan , hanya bidang kanvas yang membatasinya. Walaupun beberapa dituangkan diatas rangkaian benda kursi kayu yang telah digubahnya.
Donni lahir di Bandung 22 november 1985. Lulus dari program Seni Rupa di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, tahun 2009. Sejak mahasiswa ia banyak terlibat dalam berbagai program pameran di Rumah Proses – Bandung yang diasuh oleh seniman senior Bandung: Rudi ST. Darma atau Udey. Tetapi kemudian hari Donni vakum dari dunia keseni-rupaan dan terjun ke dunia kuliner terutama membuka kedai kopi bernama Abraham and Smith , tahun 2016 bersama temannya . Cafenya berlokasi di Gudang Selatan , suatu lokasi pergudangan tua yang menjadi pusat kreatif anak muda Bandung. Tahun 2018 ia membuka cabang cafénya yang berlokasi disebuah gudang tua di Jalan Tamblong yang juga menjadi studionya.
Karya-karya Donni Arifianto menyiratkan suatu kondisi individu dimana berbagai sumber nilai – nillai dari berbagai realitas hari-hari ini terserap kedalam diri yang kadang tak terkendali ; tumpang tindih antara yang nurani, politis, kritis, puitis, kapitalisme, sosial dan lain sebagainya, menjadi menggumpal dalam benak dan bisa jadi menjadi bagian identitas masyarakat kita sekarang.
Quarantine Studies : return to the aesthetic of beauty
20 Agustus – 9 September 2021
Pameran Tunggal Zahrah
Setelah menyelesaikan studi di Glasgow School of Art, Zahrah atau sering dipanggil Zazu (Lahir di Bandung 1994) meninggalkan Skotlandia untuk solo travelling sebelum kembali ke Indonesia. Saat itulah ia menemukan dirinya membaca buku-buku filsafat yang kemudian mempengaruhi praktik artistiknya selama lockdown pertama pada tahun 2020. Setelah kembali ke Indonesia dan mengalami pendidikan seni di Skotlandia ia mendapati dirinya menolak pendidikan seni kontemporer yang menjadi dasar ajaran di sekolahnya, disinilah ia mencari bahasa seni yang ia yakini. Dan selama lockdown pertama ia mulai merasa nyaman mengeksplorasi ini yang disajikan di bawah pameran ‘Studi Karantina ‘.
Filosofi seni Zahrah sangat dipengaruhi oleh karya seorang filsuf Inggris Roger Scruton (1944 -2020), yang tulisannya meluas dari estetika hingga filsafat politik. Ia percaya bahwa seni adalah bentuk penting dalam menghadirkan citra kehidupan manusia, sebagai penegasan keyakinan kita melalui pengalaman visual. Bahwa hidup di dunia ini bermakna dan seni menyediakan sarana untuk memulihkan kembali keseimbangan moral dalam diri kita. Dia percaya pada pentingnya keindahan, beauty, sebagai aspek paling dasar dari sifat manusia yang membimbing kita untuk mencapai harmoni dengan orang lain dan dengan diri kita sendiri. Sejak saat itu Zahrah telah terinspirasi untuk membuat lukisan yang memegang nilai-nilai tersebut.
“Welcome to The Machine: Experimentation and Abstraction”
12 September - 12 Oktober 2021
Road to Bandung Photography Triennale
The ‘new vision’ is thus the revelation of what the unaided eye cannot see but which has ever existed ; as more powerful tools for observation are built, more worlds of form are revealed. – Beaumont Newhall
Pada peralihan abad 19 ke 20, dampak dari revolusi industri terhadap praktek senisemakin signifikan. Tawaran teknologi, instrumen, sekaligus permasalahannya menjadi daya tarik untuk direspon oleh para praktisi seni. Persilangan dan intervensi antar medium pun menjadi salah satu alternatif eksperimen pada praktek seni mulai saat itu. Ketika Antonio G. Bragaglia di tahun 1911 berkarya dengan metode fotografi yang spesifik Fotodinamismo Futurista sontak mendapat perhatian dari praktisi seni visual karena menampilkan kesan dinamis pada citra diam. Bragaglia menerapkan teknik fotografi stroboscopic multi exposure dengan menggunakan lampu kilat berkecepatan tinggi. Karya Bragaglia pun menginspirasi para seniman di Paris yang kemudian dielaborasi menjadi gaya Futurisme. Lukisan yang cukup terkenal berjudul Nude Descending A Staircase dari Marcel Duchamp di tahun 1912 pun diakui terstimulasi oleh karya Bragaglia. Hibridisasi dalam medium seni juga menjadi tahap eksperimen berikutnya seperti; overdrawing pada foto Oster Brik (1924) karya Alexander Rodchenko dan The Constructor (1924) karya El Lissitzky yang cenderung menyerupai printmaking.
Art is the tool of universal progress. El Lissitzky, 1922
Fotografi yang dilahirkan di abad mesin secara langsung mewarisi genetika dan sifat “mesin”nya. Kinerja optik, mekanik, kimia, hingga teknologi digital yang kental dengan sifat reproduksi menjadikan karya berbasis fotografi cukup sulit untuk memiliki aura dan otentisitas seperti halnya seni lukis. Tapi hal tersebut justru menjadi tantangan seni dan senimannya untuk mengurai DNA setiap genetika media visual guna membangun otentisitas medium, termasuk fotografi. Esai Walter Benjamin yang menyoal karya seni di era reproduksi mekanis bisa dibilang memberi tawaran lain pada dunia seni perihal menyikapi media—fotografi—yang berkarakter indeksikal dan reproduktif.
Dalam praktek seni berbasis fotografi hari ini, kecerdasan seniman mengurai dan membentuk kembali genetik medianya menjadi poin penting dalam proses berkarya. Sifat materialitas dan imaterialitas yang dimiliki oleh fotografi juga dimanfaatkan sebagai sarana hibridisasi dengan sifat atau karakter medium yang lain. Karya-karya yang dilahirkan oleh praktisi seni saat ini pun tidak hanya berkutat di wilayah representasi permasalahan sosial, tetapi juga memuat kritik dalam tubuh medium itu sendiri. Teknologi yang terus berkembang akhirnya juga selalu mengintervensi proses elaborasi kekaryaan seni berbasis fotografi dalam memutakhirkan wacana kritik dan mediumnya. Kondisi ini menuntut keluwesan seniman untuk berkelindan secara simultan dengan sistem yang berbau industri serta otomatisasi mesin.
Pada pameran ini kita bisa melihat bagaimana genetik dan DNA fotografi dibongkar menjadi beberapa fragmen lalu kemudian dilakukan defragmentasi kembali serta dikolaborasikan dengan medium seni lainnya. Permasalahan intervensi teknologi terhadap persepsi, memori dan medium masing-masing seniman dikritik dengan lugas melalui tindakan hibridasi yang cukup kentara dalam konsep dan pesan di dalamnya. Terdapat semacam keresahan, gugatan juga kritik maupun otokritik yang tersirat jelas pada karya-karya dalam pameran ini.
Asmudjo J. Irianto mengangkat persoalan antroposen yang menunjukan bahwa aktivitas manusia memiliki pengaruh global terhadap ekosistem bumi. Kehidupan manusia yang memiliki sistem artifisialnya sendiri terkadang memiliki irisan dengan ekosistem bumi, tapi tidak jarang terjadi penghancuran diri di kedua belah pihak. Asmudjo J. Irianto memilih pendekatan straight photography yang dikonfigurasikan dengan penggunaan material abrasif secara jelas menggarisbawahi permasalahan tersebut. Sedangkan karya Oco Santoso merefleksikan gugatan terhadap persoalan citraan pada era digital saat ini yang justru membiaskan ingatan dan narasi tanda. Dengan menggunakan pendekatan sinematis yang dituangkan dalam citra diam, penumpukan memori dalam satu bingkai memberi efek distorsi dan chaos pada karya Oco Santoso. Masih dalam koridor era digital, Willy Himawan menyoal tentang mekanisme transformasi citra fotografi dengan menambahkan teknik overpaint pada cetakan foto lalu didematerialisasi menjadi data digital. Kemudian data tersebut diwujudkan dalam material kembali dengan format yang berbeda melalui kanal
digital. Dikdik Sayahdikimullah dalam karyanya mencoba mempertemukan ide tentang ketidak-terbatasan pemikiran manusia dengan keterbatasan teknologi yang sekadar bergantung pada data. Dikdik Sayahdikumullah menggunakan bio-landscape personal sebagai representasi dari ketidak-terbatasan, kemudian diformulasikan dengan proses ekstrapolasi menggunakan alat deteksi realitas sederhana. Proses tersebut menghadirkan transfigurasi kisi-kisi visual yang menghasilkan photomontage. Patriot Mukmin mengangkat fenomena genre lukisan mooi indie dan prinsip ‘Tri Mutti’nya dengan metode merobek, memisahkan, mengurai lalu kemudian digabung kembali untuk mendapatkan makna visual yang baru. Patriot Mukmin menganyam sebuah lukisan bergenre mooi indie dengan cetakan fotografi dari jepretan lansekap yang berkarakter similar untuk menghasilkan hibridasi visual sebagai ekspresi estetikanya. Lalu Angga Aditya Atmadilaga menyikapi karya fotografi dalam koridor seni grafis yang menganut cetak tinggi dan cetak dalam, menampilkan visual kontras sebagai bagian dari manifestasi gelap-terang. Dengan menambahkan material tembus pandang yang ditoreh dan membentuk bayangan, Angga menekankan ambivalensi cahaya-bayangan serta hitam-putih.
Defragmentasi genetika medium fotografi dengan media lainnya menjadi signifikansi dalam karya-karya di pameran ini. Tujuan penyampaian pesan sebagai prioritas utama dalam berkarya justru membongkar batasan setiap medium dan membuka ruang-ruang eksperimen serta eksplorasi tanpa batas seperti yang terefleksikan oleh karya-karya di pameran ini.
Henrycus Napitsunargo
Open Art and Cinema Summer Program 2021
17 -20 Oktober 2021 FFT UPI
“Open
Art and Cinema Summer Program 2021”
This summer program is a collaborative practice between Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) and Uniwersytet Artystyczny im. Magdaleny Abakanowicz w Poznaniu (UAP) Poland. Students from both countries discuss various possible collaborative work topics from culture, art, film to body and narrative in this program.
. This activity carries out online, but the results of this activity will be exhibited live in two countries. This public presentation shows interactive finish works and those still in the process and design.
. This program is part of the Summer Program managed by the Directorate of International Affairs, Film and Television Study Program in Universitas Pendidikan Indonesia.
. Exhibiting Artist:
Aleksandra Komsta
Aleksandra Szalinska
Arsya Ardiansyah
Bona Stanulewicz
Dominik Pazdzior
Dominiko Hoyle
Dwi Anggyan
Ericka Andrian
Intan Nur Aryani
Julka Walkowiak
Lena Peplinska
Mateusz Bratkowski
Maurycy Polewski
Milosz Rygi El-Sanko
Misia Zurek
Natalia Sucharek
Nanda Maulana
Raden Reihan
Raihandika Briliantana
Ranielfa Safira
Shelvira Alyya
Sintiya Ayu Lestari
Sopia Raguan
. Curated by:
Erik Pauhrizi
Izabela Sitarska
Krzysztof Lukomski
Nala Nandana
. 17-20 October 2021, 15:00 WIB.
Do not miss it‼️
SERAP TAMPAK TAPAK
23 Oktober - 21 November 2021
Pameran tunggal Daniel Nugraha
Catatan Seniman:
Suatu kegiatan masyarakat urban yang telah menjadi gaya hidup di suatu kota, akan segera menyebar secara internasional layaknya kegiatan sosial masyarakat urban yang terus berlangsung seiring kemajuan teknologi yang ada. Di Indonesia saat ini aktivitas sketsa telah menjadi sebuah gerakan yang kembali mengaktifkan sketsa Indonesia dan memperoleh posisi baru dalam pemetaan dunia seni rupa Indonesia. Fenomena besar dan penting terjadi yang menunjukkan semakin banyak orang yang merasa menjadi bagian dari sketsa. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hal ini dapat terjadi sedemikian luas dan cepat?
Seluruh komunitas sketsa urban internasional memiliki sifat yang sangat egaliter dan terbuka. Seorang peserta baru akan disambut gembira layaknya teman satu minat dan masing-masing gaya sketsa diterima dengan terbuka untuk diapresiasi, banyaknya gaya sketsa justru makin memperkaya keragaman dunia sketsa urban ini. Saat sketsa bareng seorang pemula bisa langsung membonceng belajar di belakang seorang sketser terkenal sambil belajar melihat langsung step by step proses berkaryanya. Pada sesi presentasi yang biasanya diadakan sesudah sketsa bareng, setiap orang bisa bertanya dan akan mendapat jawaban untuk segala sesuatu yang berkenaan dengan sketsa. Hal ini sesuai dengan lifestyle kaum urban yang menyukai nuansa yang “santai tapi serius”.
Di Indonesia sendiri berbagai komunitas sketsa tumbuh di banyak kota di Indonesia, antara lain Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Ujung Pandang, Ambon, Makassar, dan lain-lain yang masing-masing memiliki grup WhatsApp, Facebook dan Instagram. Dengan mengajak teman dan follower untuk turut serta menjadi sketser, makin banyaklah peserta yang mengikuti kegiatan sketsa urban ini. Melalui media sosial kehadiran seorang sketser ke satu kota akan dikabarkan sehingga sketser dari kota yang disinggahi akan menyambutnya dengan mengadakan acara sketsa bareng bersama komunitas sketsa yang ada di kota tersebut. Hal ini terjadi bahkan hingga ke luar negeri. Workshop dan seminar baik tingkat nasional maupun internasional seringkali diadakan dengan dukungan banyak sponsor seperti tempat wisata hotel dan cafe, merek alat sketsa, maskapai penerbangan, dan lainnya.
Melalui karya sketsa dan drawing penikmat karya seolah diajak ikut hadir pada suatu tempat di suatu masa, terlebih untuk mereka yang pernah ke sana, seolah memutar memori mengundang nostalgi yang pernah hadir. Menghadiri pameran ini, maka Anda diajak untuk mengikuti storytelling yang ada di dalam karya-karya tersebut. Di dalamnya kita akan bertemu dengan alam, tempat, cerita, dan banyak perasaan yang menyertainya. Tercatat dalam garis dan warna perasaan nostalgi dan keakraban yang menyelimuti kala mengunjungi tempat-tempat tersebut seakan ingin mengajak penikmat karya untuk juga ikut merasakannya.
Membagikan cerita dan pengalaman melalui karya, sepulang travelling tidak hanya membawa foto-foto, tetapi juga membawa karya dalam bentuk sketsa dan drawing. Karya-karya tersebut adalah catatan perjalanan ke banyak tempat, beberapa dilakukan secara on the spot dan beberapa difinishing atau digambar ulang di studio serta dituangkan lewat berbagai ukuran karya. Tetapi semuanya adalah representasi kehadiran di lokasi. Passion menggambar secara manual dan langsung menggunakan media-media yang mudah untuk dibawa saat bepergian seperti pensil, cat air atau tinta, menggunakan kertas khusus yang memiliki ketebalan nyaman untuk drawing baik hitam putih maupun pewarnaan dan berkarya secara langsung di publik area seringkali memberikan cerita-cerita menarik bersama orang-orang di sekitarnya. Komentar dan tanya, begitu juga keterbatasan waktu berubahnya cuaca selalu mempengaruhi hasil karya, pengalaman tak terduga ini adalah sesuatu yang menyenangkan dan membuat selalu ingin mengulanginya. Karya dalam berbagai gaya dan media bisa membawa makna sebagai catatan anak jaman pada masanya, tetapi juga bisa dibawa ringan sebagai karya rekreasi garis dan warna saat berwisata.
Diharapkan dengan kegiatan tersebut para peserta sketsa menjadi terbiasa dan memiliki kepekaan untuk melihat setiap obyek keseharian mereka dengan sudut pandang seni dan mampu untuk menuangkannya dalam bentuk karya sketsa. Selanjutnya dengan sendirinya mereka tumbuh dari tadinya menjadi pecinta seni atau penikmat seni dapat memperoleh wawasan serta pengetahuan yang cukup untuk berani mencoba menjadi pelaku seni melalui sketsa, karena fungsi sketsa antara lain adalah salah satu tahapan seni untuk
melangkah ke tahapan seni berikutnya, baik patung, lukisan, keramik, seni grafis, kriya, desain atau bidang lainnya selain dapat pula menjadi karya mandiri.
Analoginya sketsa dapat digambarkan seperti cabang olah raga atletik yang merupakan “ibu” dari segala cabang olah raga yang ada, dengan atletik maka seseorang akan mempelajari gerakan yang nantinya dapat dikembangkan ke cabang olah raga lain yang lebih kompleks, selain dapat pula terus mendalami atletik sebagai pilihan. Jika pada atletik diajarkan berlari, melompat, melempar maka dalam sketsa diajarkan garis, warna, dan komposisi. Walau analogi ini jauh dari sempurna, tetapi sebagai contoh penyederhanaan mungkin dapat digunakan.
Dalam setiap kesempatan pertemuan selalu terdapat hal yang baru untuk dibahas seperti persoalan perspektif misalnya dimana titik hilang adalah suatu panduan dasar untuk menilai kebenaran susunan obyek gambar, tetapi hal tersebut sebatas sebagai saran yang disampaikan secara ringan dan seringkali disampaikan dalam bentuk kalimat pertanyaan, bukan sesuatu hal yang bersifat menghakimi dan harus mutlak dipatuhi. Seringkali pengabaian perspektif ini justru memberikan suatu pendekatan yang berbeda dan pilihan yang khas, seperti bentuk susunan obyek penampang ke atas yang terlihat semuanya dibanding bentuk depan belakang yang saling menumpuk dan menutupi. Ada juga pilihan gaya naif atau kartun yang tentunya memang sengaja menginterpretasikan obyek yang dilihat diolah menjadi hasil karya sketsa dengan pendekatan eksekusi yang personal. Intinya perbedaan dalam karya justru diterima sebagai kekayaan dalam sketsa.
Prinsip menggambar manual yang rentan dengan kesalahan dan keterbatasan untuk menampilkan kesempurnaan visual layaknya foto, juga dianggap sebagai suatu kelebihan dari proses sketsa, karenanya kebiasaan menghapus garis jarang sekali dilakukan, kesalahan yang terjadi dianggap sebagai bagian dari proses karya dan proses belajar yang pada masanya menyimpan catatan perkembangan karya dari seorang sketser. Hal ini dapat menjadi ciri khas masing-masing pribadi dan menambah nilai human pada karya di tengah gejolak teknologi gambar digital yang serba sempurna dan penuh berbagai bantuan tool untuk mencapainya. Menarik garis bukan lagi dianggap bagai meditasi kesempurnaan, tetapi bagian dari rekreasi dengan unsur fun yang menonjol.
Di samping itu, tahapan observasi mendalami bentuk dari proporsi dan kelengkapan elemen pembentuknya yang dilakukan untuk mendapatkan pemahaman mendalam sebelum menarik garis pertama dan menentukan sudut pandang seringkali ditinggalkan, seorang sketser dapat menarik garis sambil mempelajari anatomi dari obyek yang digambar, unsur dadakan juga terjadi saat pengambilan waktu saat yang tepat untuk membuat sketsa, jika pada masa lalu ditunggu sinar matahari terbaik yang menerpa obyek pada suatu saat terbaik, maka sekarang tidak lagi. Para sketser bagaikan memakai istilah “saya datang, saya membuat sketsa, saya berkarya”. Tidak perlu banyak pertimbangan yang merepotkan dan memerlukan unsur dramatisasi. Kejujuran dan mencatat dalam garis dan warna kenyataan apa adanya adalah hal yang diutamakan, dan justru dianggap memiliki kekayaan visual tak terbatas.
Kita melihat bagaimana sketsa dan drawing kini sering didengar di kalangan non akademis, yakni dikerjakan oleh warga (urban) yang menggemari kegiatan menggambar sketsa dengan cara sendiri maupun berkelompok, maka kita sedang melihat sebuah seni sketsa yang berkembang mengemas dirinya secara hybrid, ia melepaskan diri dari kuasa akademis yang cenderung definitif.
Sketsa sendiri saat ini sudah mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat terlihat dari banyaknya komunitas sketsa yang acaranya selalui ramai diikuti, biasanya terdiri dari sketsa bareng, workshop dan pameran bersama. Hasil karya sketsapun sudah banyak yang dikoleksi baik berbentuk karya sketsa satuan maupun dalam bentuk sketchbook. Komodifikasi dalam berbagai bentuk juga banyak ditemukan misalnya mural, fashion, dekorasi rumah, pernak-pernik dan merchandise. Di lain pihak penetapan tiga kurator pada pameran sketsa yang terdiri dari akademisi dan praktisi sketsa, kurator dan penulis seni senior, serta kurator in house Galeri Nasional Indonesia telah memperkuat sketsa sebagai karya seni yang dapat berdiri sendiri dan siap diapresiasi, tidak lagi hanya menjadi bagian tahapan dari proses berkarya seni atau desain
Daniel Nugraha studi di FSRD – ITB tahun 1987, lulusan Desain Grafis , dan kemudian melanjutkan studi Pengkajian, Sekolah Pascasarjana di Institut Kesenian Jakarta tahun 2019. Kegemarannya akan drawing dan travelling membawanya pada pengalaman berkarya saat berwisata. Beberapa kota dihadirkan dalam karya-karyanya. Saat ini menjabat sebagai Pendamping KamiSketsa GalNas di Galeri Nasional Indonesia dan aktif di komunitas sketsa urban dan komunitas lukis cat air serta telah mengikuti berbagai pameran bersama di Galeri Nasional Indonesia, Bentara Budaya Jakarta, Solo dan Bali, Galeri Cipta TIM, Kedutaan Besar Belanda, di berbagai mall dan galeri-galeri lainnya.
Pameran Tunggal Serap Tampak Tapak ini adalah pameran travelling diary perjalanan dalam bentuk karya sketsa dan drawing beragam gaya, media dan ukuran yang menjadi sebuah catatan akan destinasi wisata budaya dengan keragaman dan kekayaan yang menjadi kekuatan bangsa kita sejak lama yang terus terpelihara, melihatnya akan menyadarkan banyak dari tempat tersebut yang sudah berubah baik cerita maupun keadaannya sehingga dengan menikmati pameran ini kita dapat menyerap sebuah jejak yang pernah tampak pada suatu masa. (Daniel Nugraha, Oktober 2021)
IDIOLECT Remedy In Repair
23 – 29 November 2021
FOKUS Unpad x Suar Disabilitas
FOKUS Unpad x Suar Disabilitas
Pameran foto IDIOLECT 2021 dengan tema Remedy: In Repair akan melaksanakan exhibition secara offline di Orbital Dago, Bandung pada 23 – 29 November 2021
Selain pameran, ada webinar yang berjudul Revival: In Frame mengenai “Exploring Creativity in Photography Field” yang bekerja sama dengan @suar.disabilitas dan @fokus.unpad.
Bersama pemateri keren, yaitu Bang Achmad Zulkarnain @bangdzoel_
�� http://bit.ly/PendaftaranWebinarIdiolect2021
Artist Talk
�� Minggu, 28 November 2021
�� 13.00-14.00 WIB
�� bit.ly/PendaftaranArtistTalkIdiolect2021
Ada juga nih Photo Competition yang diadakan mulai dari tanggal:
�� 12-26 November 2021
�� https://bit.ly/Lombaidiolect2021
ADAB BARU
3 Desember – 10 Januari 2022
Adab Baru
Pelukis Erianto selalu tertarik mengeksplorasi lukisan permukaan materi. Seperti permukaan kayu lapis, karton, plastik , peti kayu dan lain sebagainya, dieksplorasi melalui keterampilan melukis realistik, sehingga mampu mengecoh dan mempermainkan penglihatan. Ia sering menciptakan ilusi berbagai benda/ barang yang akrab disekelilingnya bukan sebagai subyek lukisan tetapi justru sekaligus menjadikan bentuk lukisan sebagai objek/benda, walaupun begitu dalam tiap seri lukisannya selalu mempunyai sisi-sisi puitis dan tema. Karya-karya lukisannya yang saat ini masih mempermainkan lukisan sebagai objek sekaligus terhubung dengan pengalamannya dalam menghadapi situasi terkini. Ikan pernah menjadi subyek dalam seri lukisan sebelumnya walaupun dalam bentuk menyamar kemasan triplek kayu, sebagai sindiransindiran kepada lukisan sebagai benda konsumerisme dunia seni.
Berbagai bentuk dan ukuran ikan yang diselingi dengan tanaman laut dengan penerapan warna-warni yang menyolok dan segar, dalam format segi empat kanvas atau bulat, disertai batas ditiap sisinya mengingatkan pada pola-pola bentuk ragam hias pada bentuk kriya tekstil : seperti pada rajutan, sapu tangan, seprei dan lain sebagainya. Karya seri ini lebih cenderung dekoratif. Bentuk-bentuk ikannya datar seperti cara menggambar dalam buku anak-anak dengan komposisi yang lepas dan bebas. Diantara ikan-ikan tersebut ia menggambarkan bentuk tetumbuhan untuk memberikan permainan jarak maupun sebagai aksen sehingga secara komposisi terjaga keseimbangannya. Diatas beberapa kanvas Erianto menempelkan lempengan potongan akrilik berwarna lemon transparan. Juga satu karya yang ia lukis diatas medium kulit. Penggunaan medium juga seringkali menjadi pertimbangannya untuk mengecoh penglihatan atau persepsi.
Tetapi penggambaran ikan pada lukisannya lebih kepada mempersoalkan cara hidup ikan yang ia amati. Baginya kehidupan ikan menarik, walaupun ikan-ikan tersebut hidup dan bergerak secara berkelompok tetapi tidak pernah bersentuhan, bergesekan satu sama lain. Mereka hidup harmonis di alamnya. Ikan –ikan , baik di air asin maupun tawar mempunyai pola-pola hidup hampir sama. Ikan tampaknya tak pernah tidur , dia selalu terjaga, ikan selalu mencari air yang lebih jernih. Pun ikan juga sering sebagai konsumsi manusia , baik sebagai makanan maupun hiasan. Dengan Ikan-ikan, Erianto bermetafor maupun mengkritisi dunia sekitarnya, seringkali ia tampilkan melalui unsur-unsur rupa pada tiap garapannya.
Dalam berbagai ajaran tradisi nusantara pun banyak yang memaknai kehidupan ikan sebagai nilai – nilai yang bisa dipertimbangkan untuk kebaikan manusia. Hal ini terbalik dengan kenyataan adab manusia yang mengutamakan akal dan hubungan sosial yang intim tetapi cenderung destruktif. Setelah hampir dua tahun umat manusia diseluruh bumi merasakan guncangan terhebat dalam tiap sendi kehidupannya. Selain membawa banyak korban kematian juga berdampak besar kepada ekonomi dan kehidupan bermasyarakat. Wabah atau pandemi Covid-19 benar-benar merubah tatanan kehidupan masyarakat global.
Perilaku kehidupan yang sebelumnya dianggap normal seperti berdekatan secara fisik, berkerumun, bersentuhan, tiba-tiba menjadi sesuatu yang dianggap berbahaya, dihindari bahkan dilarang atau lebih dikenal dengan istilah social – distancing , karantina, kenormalan baru dan lainnya menjadi istilah yang akrab dalam keseharian sekarang. Berkomunikasi dengan jarak melalui teknologi komunikasi seperti gawai canggih dan perangkat komputer atau berkegiatan secara virtual.
Karya-karya Erianto berangkat dari permenungan dirinya sekaligus sebagai penawar batin yang mungkin menambah imunitasnya, dalam menghadapi berbagai persoalan seputar wabah ini dan memang tak terhindarkan bagi setiap orang dimanapun. Dan baginya mungkin wabah ini setidaknya akan mengubah adab baru manusia dimasa depan, perubahan-perubahan ini tampak jelas dihadapkan kepada manusia sekarang. Erianto menorehkan hal-hal yang tersirat maupun tersurat melalui ikan-ikannya tersebut.
(Rifky Effendy)
Erianto saat ini tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Ia telah berpameran tunggal beberapa tahun terakhir seperti: 2020 : Musyawarah Ikan, Artsphere Gallery, Art Jakarta 2020, Indonesia. 2018 : Artificially in Order,
Element Art Space, Singapore. 2015 : HANDLE WITH CARE! the image&the mind in Erianto’s paintings, D Gallerie, Jakarta Indonesia. 2013: PLAY OF PERCEPTION, Element Art Space, Singapore. CAUTION !!!, Sangkring Art Space,Yogyakarta Indonesia. 2012 : Resistance, Projec StageD Galerie , Singapore art stage, Singapore. 2011 : Returned, Inkubator Asia @ Forme, Jakarta Indonesia.
Pernah mengikuti beberapa kompetisi seni lukis, antara lain, 2018 : Finalist UOB Painting of the Year 2018, Galeri Nasional, Jakarta. Indonesia. 2015 :Finalist UOB Painting of the Year 2015, UOB Plaza, Jakarta. Indonesia . The Best Three Art Work Bakaba#4 Award, Randang dan Rendang, Jogja Gallery, Yogyakarta Indonesia. . Nomination Prudential Eye Awards 2014-15. 2014 : Nomination Sovereign Art Prize 2014. 2011. Finalist UOB Painting of the Year 2011, UOB Plaza, Jakarta. Indonesia. The Best Three Art Work BaCAA,( Bandung Contemporary art Awards), Lawang Wangi & Science Estate, Bandung Indonesia. Ia pernah beresidensi di Kultur Model, ( July–October 2011 ) Passau City, Germany.
MENOREH METAFORA
21 Januari 2022 – 21 Februari 2022
21 Januari 2022 – 21 Februari 2022
Pembukaan / Opening 15.00 WIB
Jumat, 21 Januari 2022
Tempat / Venue
Orbital Dago
Jalan Rancakendal Luhur nomor 7, Cigadung, Kecamatan Cibeunying Kaler, Kota Bandung, 40191, Jawa Barat
Pameran Buka Setiap Hari
09.00 – 20.00 WIB
Pameran terbuka untuk Umum ( Gratis ).
Harap Patuhi Protokol Kesehatan
Begitu banyak simbol dan tanda dalam artefak budaya yang beroperasi secara metaforis, namun sebagian besar pembahasannya berkutat pada perihal interpretasi: makna di balik tanda. Padahal kita bisa beranjak untuk membahas bagaimana sebuah tanda dari artefak budaya beroperasi ketika dikomposisikan dengan tanda lainnya melalui aneka cara. Pameran ini menampilkan hasil olahan Lutfi terhadap tanda-tanda dalam artefak budaya. Makna dan tafsir dari tanda-tanda yang muncul dalam lukisan Lutfi hanya menjadi latar belakang bila dibandingkan dengan pembahasan mengenai bagaimana tanda tersebut bisa bekerja. Oleh karena itu, persoalan mengenai bagaimana cara Lutfi ‘menoreh’ tanda menjadi lebih penting daripada makna di balik ‘metafora’ itu sendiri.
Lutfi Yanuar (b. 1994), lulus dari Seni Rupa ITB pada tahun 2017 (Cum Laude), adalah Seniman yang berdomisili di Kota Bandung.
Beberapa pameran dan kompetisi seni yang pernah diikuti antara lain :
“Light of Life” The 9th Beijing International Art Biennale, National Art Museum of China, Beijing (2022).
“Sintesis” Biennale Seni Rupa Jawa Barat, Thee Huis, Bandung (2021).
“UOB Painting of the Year”, Museum Nasional Indonesia, Jakarta (2019).
“Daur Hidup”, Anugerah Barli#1, Gedung Sate, Bandung (2019).
“Beyond Realistic Order”, Yun Artified, Jakarta (2019).
“Art of the Islamic World”, ISA ART Advisory, WTC III, Jakarta (2019).
THE ETERNAL WAITING
24 Februari – 6 Maret 2022
Karya-karya Nesar menyoroti kepada masalah keseharian para pengungsi Afganistan di Indonesia selama menunggu kepastian tentang keberangkatan ke negara tujuan. Mereka mencoba mengisi waktu dengan kegiatan seperti masak bersama, olahraga atau hal lainnya. Kegiatan tersebut mereka lakukan berulangkali hingga menjadi aktivitas sehari-hari, dan berlangsung hingga bertahun-tahun. Mereka tetap beraktivitas secara fisik tapi mental para pengungsi dihadapkan pada depresi karena menunggu kejelasan identitas, keberangkatan ke negara tujuan.
Setiap karyanya menampilkan beragam tanda visual yang bisa diceritakan satu-persatu, saling berkaitan dan menjalin sebuah cerita utuh. Rangkaian karya Eternal Waiting dibuat di atas kanvas dengan medium cat minyak. Nesar menggabungkan gaya lukisan realis dan miniature dari dua seniman Afghanistan yaitu Ghiasud-Din Siah Qalam dan Kamaludin Behzad. Pengaplikasian gaya miniature ini terlihat dari bagaimana Nesar meniadakan bayangan pada setiap indeks gambarnya, peniadaan perspektif, dan penanda waktu. Penggunaan warnanya bervariasi dan menarik. Mengulang lukisan hingga delapan kali pun, Nesar tetap menghasilkan warna yang sama. Gaya ini kemudian dikombinasikan dengan kemahirannya pada gaya realis, sebagaimana terlihat pada wajah figur-figur manusia dan jin. Pada beberapa bagian Nesar sengaja mengeruk karyanya dengan sisir untuk memberi kesan dramatis. Ide penggabungan gaya tersebut menunjukkan kepiawaian Nesar dalam teknik berkarya, berkat latar belakang pendidikannya.
Nesar Ahmad Eesar, Lahir di kota Zabul, Afganistan. Lalu atas ajakan kakaknya yang seorang sastrawan, Nesar melanjutkan sekolah seni kaligrafi dan seni lukis miniature di kota Kabul. Ia datang ke Indonesia karena mendapatkan beasiswa tahun 2012-2017 di Yogyakarta. Sempat pulang ke Kabul tetapi kemudian kembali ke Indonesia tahun 2019 melanjutkan studinya. Saat ini tinggal dan sedang berkuliah S2 di FSRD-ITB, Bandung.
Educational Background:
Graduated from high school in Afghanistan at 2011 in Arts high school.
Student of Azrakhsh English language center .
Certificate from institute of the art Indonesia Yogyakarta as Darmahasiswa student 2012-2013.
Degree in art from indonesian Institute of the Arts Yogyakarta 2017
Work Experience
Worked as a cartoonist in SorGhar newspaper 2008_ 2010.
Worked as a cartoonist in Walwala newspaper about one year. 2009-2011
Teacher of Calligraphy in my own course 2007 – 2012.
SOLO EXHIBITION
‘PIECES OF PEACE’ in R.J Katamsi Gallery ISI Yogyakarta. 22/02/2016
‘PAIN’ in Katamsi Gallery ISI Yogyakarta. 22/06/2016
‘RUMAH KEDUA’ in Hotel Duta Wisata 1. 02/07/2016
PALADIN NATION SHOW in ISI Yogyakarta 4./1/2017
WE in GOR UNY Yogyakarta 20 march 2017
FOLAD degree show in ISI Yogyakarta 12 July 2017
The Eternal Waiting , Orbital Dago , Bandung. 2022
AWARDS
The best student at Art School Kabul Afghanista. 2009
The best student at Art School of Sanaye Kabul Afghanistan. 2010
The best basic painting 1 in ISI Yogyakarta. 2013-2014
The best basic painting II in ISI Yogyakarta. 2013-2014
The best painting in workshop paper gallery 2016
The best painting in Djoko Pekik Art Award 2016
2nd winner of borobudur painting competition 2017
The medal of humanity, peace, and Knowledge 1st may 2017
IMAGINATION SEQUENCE
11 Maret - 11 April 2022
Pameran Bersama Duabelas Seniman Bandung
IMAGINATION SEQUENCE
Pameran Bersama Duabelas Seniman Bandung
ANDREAS
CAMELIA
– ERIS LUNGGUH SUMANTRI – HENDRIK LAWRENCE L – INDRA WAHYU KARYADI – IWONK RIDWAN – JESSICA XAVIERA – KLARISSA EMERALDA – PRABU PERDANA – RONNY P TJANDRA – ROSID – TARA SHAKIN – TONI MASDIONO
Kapasitas imajinasi merupakan anugerah bagi manusia. Hanya manusia sebagai mahluk hidup yang memiliki kemampuan berimajinasi. Sejak kecil, manusia berimajinasi, namun perlahan kapasitas imajinasi makin berkurang setelah dewasa dan makin rasional. Untuk seniman, imajinasi merupakan perkara penting. Imajinasi adalah bahan bakar bagi kreatifitas seniman. Tanpa imajinasi, seniman hanya akan melahirkan karya-karya kering. Karena itu seniman harus terus mengembangkan kapasitas imajinasinya, dan dimanifestasikan pada karyanya. Imajinasi tidak memiliki batas dan ketentuan, sebab berada dalam angan-angan seniman. Namun karya seni—sebebas apapun seni rupa kontemporer—memiliki batas-batas kemungkinannya. Bagi seniman imajinasi perlu dilengkapi oleh ketrampilan, kognisi dan strategi. Karena itu, kapasitas imajinasi seorang seniman hanya akan terlihat melalui perwujudan karyanya. Tanpa karya, maka imajinasi seniman hanyalah angan-angan belaka.
Pameran ini, Imagination Sequence—judul yang dipilih oleh para seniman yang berpameran—menampilkan dua-belas seniman lintas generasi dan latar belakang yang berbeda. Judul ini seperti menunjukkan bahwa pemirsa akan berturut-turut masuk dari satu “ruang imajinasi ke ruang imajinasi” yang lain. Berpindah dari satu tema ke tema lain, dari rupa yang satu ke rupa yang lain. Tidak ada yang sama dan sebangun. (Asmudjo J. Irianto)
Pameran hingga 11 April 2022 di Orbitaldago Jl. Rancakendal Luhur No 7 Bandung
Pengunjung mohon menjaga prokes covid-19
11 MARET 2022 – 11 APRIL 2022 09.00 – 18.00 WIB
PEMBUKAAN PAMERAN 11 MARET 2022, PUKUL 16.00 WIB
@orbitaldago
GALERI ORBITAL DAGO
JL. RANCAKENDAL LUHUR NO. 7 BANDUNG
I Finally Use My Own Hands
16 April - 8 Mei 2022
Pameran Tunggal Mahesa Damar Sakti
Pameran Tunggal Mahesa Damar Sakti
I
Finally Use My Own Hands
16 April – 15 Mei 2022 Di Orbital Dago Jl. Rancakendal Luhur No.7 Bandung Kegiatan yang sehari-harinya dirasa mudah bagi kebanyakan orang, bukan berarti mudah juga bagi Mahesa. Makan, minum, belajar, bermain, berbincang, ia menghadapi berbagai kesulitan melakukan semua hal tersebut. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, tidak membuat seorang Mahesa putus asa. Sampai di usianya yang hampir 13 tahun ini, ia bisa berbuat sesuatu. Sejak dikenalkan oleh sang Ibu kepada proses berkarya seni grafis, yaitu printmaking, tanpa disadari ia berkembang dalam segala aspek. Sungguh sebuah pencapaian yang membanggakan baginya untuk terus belajar melalui seni.
Pameran tunggal ini diselenggarakan sebagai bentuk syukur atas pencapaian Mahesa, suatu penanda dari proses perjalannya berkarya. Di mana lewat seni, Mahesa yang non verbal dapat bercerita mengenai dirinya, kehidupannya melalui perkembangan setiap goresannya yang ekspresif dari waktu ke waktu. Pameran ini menampilkan bukan hanya hasilnya saja, tetapi juga proses berkarya dengan sang guru yang membuatnya senang melakukan aktivitas belajar sambil bermain. ‘Proses’ menjadi satu kata kunci penting dalam rangkaian cerita hidup Mahesa dan orang-orang terdekatnya, dari sang Ibu, sang terapis, dan sang guru, semuanya berperan dalam membantu kembang tumbuh Mahesa dengan berbagai bentuk dan cara. Melalui pameran bertajuk “I Finally Use My Own Hands” di Galeri Orbital Dago, Mahesa Damar Sakti yang hidup dengan autisme memamerkan karya-karya cetak grafisnya sejak tahun 2018 sampai karya-karya terbarunya di tahun ini. Diskusi dan lokakarya juga akan mendampingi program pameran ini. Program diskusi dan lokakarya akan dilaksanakan bersama Rini Sunarini (Ibu Mahesa), Fajar Nurhadi (guru printmaking Mahesa), dan dosen FSRD ITB Dr. Irma Damajanti, S.Sn., M.Sn., dan Ardhana Riswarie, S.Sn., M.A., yang akan membedah sekaligus praktik langsung mengenai seni sebagai alat komunikasi dan seni sebagai terapi. Anak-anak, orang tua, mahasiswa, boleh mengikuti program diskusi dan lokakarya ini, tidak terbatas pada anak berkebutuhan khusus saja.
Pembukaan pameran: Sabtu, 16 April 2022 16.30 WIB, diikuti dengan buka bersama Galeri Orbital Dago Diskusi dan lokakarya: Sabtu, 23 April 2022 10.00 – 12.00 WIB Luring di Galeri Orbital Dago, dan daring melalui Zoom Pameran berlangsung: 17 April – 8 Mei 2022 Setiap hari 09.00 – 20.00 WIB Galeri Orbital Dago Jl. Rancakendal Luhur no. 7,
“La Joie de Vivre” \ The Joy of Life
19 Mei - 12 Juni 2022
Dewi Aditia bukan nama baru di dunia seni rupa Indonesia. Sempat menjadi finalis Phillip Morris Art Award 2003 dan aktif berpameran di awal tahun 2000an, Dewi Aditia -yang biasa dipanggil Ade, kini muncul kembali dengan semangat yang sama: merangkum kesehariannya melalui serpihan-serpihan imaji, potongan kalimat serta kode-kode visual lain yang dituangkannya dengan ekspresif, lugas namun renyah di atas kanvas.
Pameran ini merentang perjalanan Ade berkarya melintasi dua dekade, sambil menyusuri berbagai peristiwa yang turut menandai proses internalisasi Ade dalam menuangkan gagasan-gagasan artistiknya.
Kurator : Keni Soerjaatmadja
Dewi Aditia
Bandung, Indonesia
1998 – 2003 : Studio Seni Lukis FSRD ITB
2003 : Pameran bersama [SEDUCTION] Boys Don’t Cry, Ruangrupa, Jakarta, Cemeti – Yogyakarta
2003 : Finalis IAAA 2003 (Phillip Morris Art Award)
2004 : Pameran tunggal ‘Peppermint Lounge’ – Galeri Expatriart
2004 : Pameran bersama Objectivity – NADI Gallery, Jakarta
2005 : Pameran tunggal ‘Cherish O’day, Room #1, Bandung
2006 : Fashion show IKETERU HARAJUKU, Japan Foundation, Jakarta
2006 : Pameran bersama Bandung New Emergence, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung
2006 : Pameran bersama “BEYOND”, Jakarta Biennale
2012 : Pameran bersama “Book Play”, Unkl347 Bandung,
Kedai Kebun Forum, Yogyakarta
Pameran berlangsung: 19 Mei – 12 Juni 2022 Pk. 09.00 – 20.00 WIB
CRITICAL FACES
21 Juni – 31 Juli 2022
Isa Perkasa Dan Setiyoko Hadi
Pameran CRITICAL FACES atau wajah – wajah kritikal , yang ditampilkan oleh kedua seniman : Isa Perkasa (lahir di Majalengka, 1964) dan Setiyoko Hadi (lahir di Solo, 1963) menyoroti dampak sebagian para elit politik terutama terkait dengan hiruk-pikuk kontestasi politik seperti pemilu dan bagaimana mereka menjalankan pemerintahan ini dan pengaruhnya pada kehidupan sosial – politik masyarakat Indonesia. Potret atau wajah-wajah yang digambarkan dalam karya-karya kedua perupa ini menggambarkan suatu kondisi dimana individu maupun kelompok-kelompok masyarakat menjadi arena permainan , menjadi obyek, bahkan korban dari suatu system politik tertentu. Wajah-wajah atau potret pada karya mereka merepresentasikan keambiguan, kemenduaan manusia-manusia sekitar kita saat ini , bahkan mungkin saja wajah-wajah itu adalah kita sendiri.
Isa Perkasa sudah sejak lama membuat simbol-simbol manusia dengan wajah -wajah yang kaku dan ambigu, berseragam, bertopeng, janggal, sarat metafor. Wajah lelaki yang gerowong diisi dengan benda-benda atau mahluk, dengan pakaian berjas, atau seragam aparat pemerintahan, dan lainnya. Karya-karyanya dalam seri “ Republik Negeri Folower “ dimulai ketika masa dimulainya Pilpres dan Pilkada sekitar tahun 2018, merupakan suatu respon terhadap dampak kepada keseharian. Seringkali kita saksikan para politikus mendekati berbagai golongan masyarakat untuk mendapatkan pengikut dengan menggunakan berbagai cara memikat calon pemilih, seperti pembagian uang (serangan fajar) paket sembako dan lainnya, bahkan tak ragu menggunakan isu-isu keagamaan, rasial kepada golongan-golongan tertentu yang berdampak pada polarisasi kehidupan sosial masyarakat terutama diranah sosial-media.
Pada karya drawing pensil “The folowers of emak-emak ” (2022) Isa menggambar seseorang lelaki berjas dan berpeci tengah bersikap salam, dengan muka celengan ayam ditengah para perempuan atau ibu-ibu berkerudung dengan wajah-wajah kosong, diselingi dengan kemunculan ikan-ikan Koi lambang kesejahteraan. Dalam kenyataan sosial , para ibu – ibu sering menjadi target untuk mendapatkan pemilih atau pengikut, begitupun isu-isu dalam kontestasi politik melalui grup-grup whatsapp. Sering juga parpol menghadirkan atau menjadikan para selebritis sebagai calon wakil rakyat atau pemimpin untuk mendapatkan suara “emak-emak” tersebut.
Isa mengungkapkan:
“ Konten menjadi sumber pendapatan, jalan hidup disemua kalangan, banyak yang berlomba mencari folowers, politikpun masuk ke wadah ini, negeri ini menjadi republik folowers, yang layak berkuasa adalah folowernya banyak (Pernyataan Isa Perkasa, 2022)
Tetapi secara ironis ketika mereka sudah mendapatkan jabatan itu , tak jarang dari mereka kemudian tersandung berbagai kasus korupsi. Isa menggambarkannya dengan memunculkan sosok-sosok berjas, berpeci sebagai simbol orang-orang penting dan formal, seperti pejabat pemerintah dan wakil rakyat. Diiringi dengan berbagai simbol seperti Ikan, tikus, kucing keberuntungan , celengan ayam hingga hamburger, sebagai makna kerakusan, keinstanan, kesejahteraan, kelicikan, dan lainnya yang berkaitan dengan tujuan-tujuan para elit politik itu. Pada karya-karyanya , Isa banyak menggambarkan persoalan itu dalam nuansa kelabu, dengan teknis menggambar dengan arang, pensil, media campur dengan krayon , soft pastel dan akrilik.
Tampaknya dominasi kekelaman melalui nuansa hitam-putih pada karya-karya Isa masih terus terasa, walaupun ada selingan dengan karya lukisan pemandangan sawah dan gunung berjudul “Panen besar untuk festival 2024”, yang lazim ditemui pada lukisan jelekong atau lukisan yang banyak menghiasi rumah-rumah masyarakat umumnya. Lukisan awalnya dipesan oleh seorang anggota DPRD tetapi kemudian batal diambil tanpa sebab. Ia kemudian mengubah lukisan itu dengan menambah elemen sosok-sosok berjas dengan tikus-tikus.
Subyek perbedaan pandangan dan keberpihakan politis atau keterbelahan , gap atau polarisasi dalam kehidupan sosial masyarakat mendapatkan perhatian khusus pada karya-karya Setiyoko Hadi, dimana pada masa Pilpres lalu kehidupan dilingkungan pertemanannya terbelah , terutama banyak terjadi diranah
sosmed seperti grup – grup whatsapps maupun facebook. Mereka saling membela calon masing-masing dan saling mengomentari satu sama lain , bahkan saling menjatuhkan. Tak jarang dari perseteruan itu beberapa anggota membentuk grup-grup whatsapp baru yang anggotanya teman-teman yang sepihak. Subyek itu ia ungkapkan kedalam lukisan berjudul “ Penduduk SR” (2020), yakni dengan memindahkan foto-foto dari teman – teman semasa kuliah ke atas kanvas melalui media khusus, dengan menggabungkan masing-masing dua wajah kedalam satu kanvas.
Teknik lain yang digunakan adalah merajut dua drawing kertas bergambar para tokoh-tokoh Nasional kedalam satu frame sehingga terjadi efek optis atau silung seperti pada karya “Dwi Tunggal “ (2022) atau potret teman-temannya yang diberi judul “ Lukamu Lukaku “ (2022), yang ditambahi juntaian benang-benang dan jarum menggantung diujungnya. Garapan karya-karya Setiyoko menunjukan suatu penjelajahan lanjut pada drawing dan lukisan , seolah dua media utama ini belum cukup baginya untuk mengungkapkan gagasan-gagasan tentang masalah utamanya, yakni tentang perpecahan hubungan antar teman.
Pada karya-karyanya terdahulu, Setiyoko melukis banyak wajah seperti lukisan para tokoh dunia yang semua sudah wafat berjudul “ Sebentar ada lalu tiada” (2014). Lukisan diperlakukan dengan berbeda pada karya media campur yang terdiri susunan mozaik yang terdiri dari ratusan lukisan kanvas kecil yang kemudian memunculkan wajah Kristus bersilang dengan potret dirinya secara optis pada karya “Titik Temu” (2017 – 2022). Potret dirinya berbagai mimik wajah hitam putih muncul dalam instalasi drawing diatas kertas dan obyek koper pada “ Evolusi Emosi” (2021), dan instalasi lukisan potret diri yang dibumbui dengan ikatan pada kanvas dan juntaian benang-benang sehingga bernada spiritual , suatu pencarian jati diri ke dalam batin, seperti karya instalasi drawing berjudul “Faith Hope Love” (2022).
“ Ziarah ke dalam diri adalah upaya mengenali jati diri yg terus menerus sepanjang hidup ini, melalui pendakian atau turunan,berputar putar,berulang ulang sebagai sebuah proses. Berhenti atau gagal memahami diri berhenti dan gagal pula kita memahami sesama,alam semesta bahkan Tuhan, dan wajah adalah pintu masuknya.” (pernyataan Setiyoko Hadi, 2022)
Rifky ‘ Goro’ Effendy
Weaving the Colours of the Archipelago
4 - 18 Agustus 2022
Ni Ketut Ayu Sri Wardani
Gusti Ketut Oka Armini
Ni Nyoman Sani
Nick Djatnika
Pertiwi, berawal dari sebuah pameran tahun 2020 yang menghadirkan tiga Ibu perupa asal Bali yaitu; Ni Ketut Ayu Sri Wardani, Gusti Ketut Oka Armini dan Ni Nyoman Sani. Tahun ini mereka berkolaborasi dengan Fashion Desainer Nick Djatnika, menggelar pameran bertajuk “Weaving the Colours of the Archipelago”. Tema ini memiliki makna berlapis, secara kiasan dapat dimaknai sebagai upaya untuk kembali memaknai keragaman atau kebinekaan dalam ranah budaya Nusantara yang diintrepretasikan secara personal melalui ekpresi karya-karya seni lukis dan rancangan busana.
Walaupun sama-sama dari Bali mereka memiliki latar pendidikan yang berbeda. Ni Nyoman Sani yang berlatar pendidikan Seni Lukis S1 di STSI/ISI Denpasar, Gusti Ketut Oka Armini mengenyam pendidikan S1 khusus Seni Grafis di FSRD ISI Yogyakarta; dan Ni Ketut Ayu Sri Wardani menjalani pendidikan Seni Lukis di FSRD ITB Bandung. Pengalaman sebagai Ibu membawa penghayatan karya-karya mereka senantiasa menghadirkan cara pandang yang unik, dalam menangani dan memberlakukan media seni rupa sebagai bahasa ungkapan visual. Semantara Nick Djatnika dari Teknik Industri ITB Bandung yang kemudian memasuki ranah kreatif Fashion Desainer, garapan rancangan desainnya mengangkat kekayaan Tenun Nusantara.
Latar belakang pendidikan tersebut dapat menjadi anasir yang mendasari proses kreatif mereka, dengan pilihan media dan bahasa ungkap visualnya masing-masing. Meskipun latar pendidikan kesarjaan yang berbeda institusi, mereka sama-sama menempuh pendidikan tingkat menengah di sekolah yang sama yaitu Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR/SMK sekarang). Pendidikan awal ini menjadi dasar untuk mengembangkan bakat dan minat mereka serta memilih institusi selanjutnya. Serta menentukan media seni rupa yang ditekuni hingga kelak menjadi perupa dengan kekhasan dan keunikan karyanya masing-masing. Ternyata kebersamaan mereka terus berlanjut, disela kesibukannya masing-masing sebagai Ibu mereka tetap merawat kegelisahan kreatifnya pada media ekpresi yang mereka tekuni.
Tema yang diangkat “Menenun Jalinan Warna Kenusantaraan” (Weaving the Colours of the Archipelago) tidak dimaksudkan mengikat secara lateral, tetapi lebih sebagai frame yang cukup lapang untuk mengungkapkan selayang pandang tentang ke Nusantaraan dalam penghayatan personal masing-masing. Semisal dengan mengangkat keragaman warna-warna tropis dari tumbuhan sekitar pada karya Nyoman Sani, mengangkat keragaman kain-kain etnik Nusantara dalam eksplorasi Oka Armini, dan rancangan Fashion Nick Djatnika. Begitu juga penghayatan Ayu Sri Wardani terhadap alam dan kebudayaan Toba sebagai bagian dari projek Merajut Nusantara, Ia bersama almarhum suaminya.
Tema ini menjadi saksi atas penghayatan mereka dalam memaknai keragaman dan keindahan Indonesia dengan alam dan kebudayaannya yang begitu kaya. Merupakan intepretasi sederhana dari Ibu dan pejuang kreatif yang senantiasa untuk mengeksplorasi kegelisahan dan tanggapannya terhadap fenomena melalui ruang-ruang pribadi studio masing-masing, melalui keintimiannya berjibaku dengan media seni rupa. (Kurator : Wayan Seriyoga Parta)
RAY of NIGHT
20 Agustus – 10 September 2022
Dalam rangkaian @5th_bandungartmonth , Orbitaldago mempersembahkan pameran RAY of NIGHT, karya-karya lukisan Dewi Fortuna Maharani (dipanggil Tuna). Ia menggambarkan suasana malam di sudutsudut kota yang sepi dan temaram secara fotorealis, yang didasari foto-foto hasil jepretan kamera analognya. Lukisan-lukisannya merekam perjalanan malam hari dimana ia menemukan suasana yang tepat untuk situasi dirinya pada saat itu, sehingga “mood yang dibekukan” itulah yang ia salin atau pindahkan ke atas kanvas-kanvasnya dengan mengikuti secara akurat gambar-gambar dari lembar foto yang dicetak, tanpa menambahi atau merubah aspek visual dari foto-foto tersebut.Menurutnya rekam visual dari analog hasilnya bisa meningkatkan nuansa yang kita cerap dari mata biasa, karena analog punya saturasi yang khas dan unik. “ Buat saya analog punya saturasi yang khas, selalu ada nilai tambahan yang saya suka dari hasil analog, walaupun dia overexposure ataupun underexposure.”
Penggunaan kamera untuk melukis , dilakukan oleh banyak pelukis realis terutama di Amerika Serikat pada kurun tahun 1960 – 1970an dengan tokoh-tokohnya seperti Chuck Close. Gerakan seni lukis ini sangat dipengaruhi oleh Pop Art dan sebagai reaksi dari gerakan abstrak ekspresionisme. Keterampilan melukis dalam memindahkan imej foto ke atas kanvas dengan cat atau media lainnya menjadi keutamaan didalam praktek melukis fotorealis. Dengan kata lain, praktek fotorealis hampir tak mungkin dilakukan tanpa kamera. Para seniman fotorealis harus menyalin persis setiap gerakan dan perubahan yang dibekukan oleh kamera . Di Indonesia , penggunaan fotografi sebagai acuan dilakukan sejak masa Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia sekitar 1970-80an seperti Dede Eri Supria. Dan para pelukis muda seperti kelompok Taxu di Bali (Gede Mahendra Yasa , dkk) , Yogie Ginanjar, Mariam Sofrina, Ariadhitya Pramuhendra dan lainnya. Tetapi mereka menggunakan foto hanya sebagai acuan awal dan mengubahnya untuk kepentingan ungkapan-ungkapan artistik personal mereka.
Penggunaan fotografi ketika era-dijital menjadi sangat umum dipergunakan untuk menyalin imej-imej foto ke atas kanvas atau lainnya. Melukis fotorealis , Tuna sudah geluti sejak mahasiswa, karya-karyanya mengacu pada foto-foto yang ia rekam – dari kamera smartphone atau dijital berbagai – kegiatan yang ia lakukan sehari-hari. Ia menuturkan: “ Dulu pertama kali saya suka liat hasil analog orang lain pas masih SMA. Dan hal pertama yang saya kagumi, gimana dari hasil fotonya saya seolah bisa merasakan temperatur lingkungan, ruang, atau objek yang terekam di foto-foto itu. ”
Menurut pengakuan Tuna, pertama kali mencoba foto analog ketika duduk di kuliah tingkat ketiga. “ Cuma pas itu saya belum kepikiran untuk masukin analog ke dalam proses pembuatan karya lukis saya. Masih sesuatu yang saya lakukan karena bikin bahagia aja.” Baru ketika lulus kuliah ia menggunakan kamera analog untuk mengembangkan karya-karya lukisannya. Ia melanjuti , “saya nonton film Selamat Pagi Malam, pas nonton saya pause. Dan di situ pas liat still imagesnya, baru saya tergerak..Saya mau ada di sana (gang sepi malam hari), dan saya mau melukisnya”.
Lukisan-lukisan karya Tuna , mungkin bisa menandai kemunculan kembali prakek melukis fotorealis , sekaligus praktek foto analog. Karena dengan kamera analog , proses pemahaman pembentukan imej tidak lagi instan dan perlu tahapan proses tertentu dan penguasaan teknis fotografi, selain tentunya keterampilan pengamatan dan melukis secara akurat. Tetapi tetap menampilkan sisi puitik, dengan goresan-goresan kuasnya sedikit ekspresif sehingga sekilas berkesan impresionistik.
Dewi Fortuna Maharani, menjalani studi seni lukis di Studio Seni Lukis di FSRD – ITB tahun 2013. Ia sempat berpameran tunggal di Getback Coffee Jakarta tahun 2022, dengan judul : “Looking Through: Bystander”. Tahun 2020 berpameran bersama di Rubanah Underground Hub. Lalu tahun 2018 pernah berpameran bersama di Orbitaldago.
(Rifky “Goro” Effendy)
Dystopian Diffraction : The Appearance of Disappearance
14 September – 14 October 2022
Bandung Photography Triennale
Dystopian Diffraction : The Appearance of Disappearance
Pada pameran rangkaian BPT 2022 bertajuk The Appearance of Disappearance di Orbital Dago, menghadirkan karya-karya 5 seniman yang menampilkan keutamaan aspek-aspek formal, cenderung mengarah pada abstraksi, atau menjauh dari visual fotografi yang umumnya bersifat representasional. Walaupun ditampilkan secara abstraksi, karya-karya disini membawa pesan yang aktual terkait kondisi lingkungan, kritik dalam media fotografi, serta tegangan antara keindahan sekaligus kehilangan.
Bahkan tidak lagi menggunakan alat kamera seperti pada karya Iswanto Soerjanto (ID). Ia menggunakan kertas foto khusus yang sensitif kepada sinar yang kemudian dilumuri/ direndam kedalam cairan kimia (Cyanotype) dan teknis fotogram, mengontrol cahaya secara manual sehingga menghasilkan berbagai efek warna spektrum biru diatas permukaan kertas tersebut. Sedangkan karya-karya Shopie Chalk (US), dihasilkan dengan menggunakan medium kimia yang digabungkan dengan materi alami . Praktek fotografi keduanya menandai bagaimana memaknai fotografi yang berkembang kearah konsepsi pembentukan imej abstrak, yang cenderung sublime, nyaris spiritual, mendekati proses dan visual seni lukis abstrak Modern.
Berbeda dengan tiga seniman lainnya yang masih menggunakan kamera tetapi menghasilkan citraan/image abstraksi. Michael Binuko (ID) menghadirkan empat formasi ritmis lingkaran-lingkaran yang terbentuk melalui foto dijital dari pantulan dua cermin yang berhadapan sehingga menghasilkan jumlah lingkaran dan kedalaman virtual yang tak terhingga walaupun bidang cermin itu datar. Karya foto JESSICA ARSENEAU (CAN/DE) menangkap suasana dari pemandangan polusi industrial dengan pengaturan kompisisinya sehingga menghasilkan gambar yang dramatis. Foto-foto ANH-THUY NGUYEN (US) menghadirkan citraan hitam-putih yang puitis, suatu rangkaian citraan batang pohon yang meneteskan cairan berwarna kehitaman. Karya ketiga seniman ini selain mengeksplorasi bentuk visual foto , juga sekaligus mengkritik persoalan-persoalan, baik jebakaan didalam media fotografi saat ini maupun menyentuh isu-isu kerusakan alam dan lingkungan (Rifky Effendy)
The Untold Story
19 Oktober - 19 November 2022
Pameran Tunggal Tennessee Caroline
Seniman Tennessee Caroline (atau sering dipanggil Iten) memamerkan karya-karya terbarunya secara tunggal. Karya-karya Iten mempunyai ke – khas-an yakni menampilkan sosok / tokoh anak kecil perempuan berpipi tembem, yang selalu melirik dengan sinis, memandang sekitar dengan memincingkan matanya, seperti penuh kemarahan, ‘jutek’, atau sinis. Tetapi digambarkan dengan penuh warna cerah yang bertabrakan , seperti dalam dunia komik anak-anak atau dunia mimpi dalam film animasi Alice In Wonderland. Figur anak perempuan dalam karya-karyanya menandai suatu persoalan terhadap identitas diri. Pada pamerannya di Galeri Semarang (2004), penulis dan kurator Farah Wardani mencatat bahwa Tennessee Caroline lewat karya – karyanya menolak pendefinisian diri sebagai perempuan berdasarkan segala definisi baku dan tunggal. Iten menghadirkan si gadis kecil itu dengan mematahkan kode-kode sosial, melukiskannya sebagai setan kecil, perokok, anak nakal bertato. Tennessee menjuktaposisi femininitas dengan pemberontakan.
Karya-karya Iten mengingatkan kepada karya seniman pop Jepang , Yoshitomo Nara yang dikenal selalu menggambar seorang anak kecil perempuan dengan wajah yang manis. Tapi terkadang ia juga menggambarkan anak kecil tersebut dengan wajah yang penuh dengan kebencian dan perilaku yang bertolak belakang dengan imej anak-anak. Seolah memberontak melawan norma-norma masyarakat umum.
Kemunculan sosok gadis kecil pemberontak tersebut hadir pula dalam pameran tunggal Iten di Semata Gallery Bandung tahun 2018. Tetapi dengan lebih sedikit berbeda, muncul beberapa detail diwajahnya walaupun mata memincing itu menjadi kekhasannya. Iten menggambarkan anak perempuan tersebut dengan berbagai gestur yang begitu ironis. Sang anak yang sinis itu masih memberontak kepada konstruksi sosial, seperti harus berprestasi, kecantikan, kecerdasan dan lain sebagainya. Kurator Bob Edrian mencatat bahwa Tennessee Caroline mengangkat gagasan yang berkaitan dengan tegangan norma dan keunikan anak kecil dan kenakalan-kenakalan tertentu. Aspek norma atau aturan tidak hanya dimunculkan melalui pemahaman masyarakat terhadap pola perilaku tetapi juga melalui eksplorasi cerita-cerita fiksi popular, dalam hal ini kartun dan animasi.
Tokoh sang anak bukan hanya muncul didalam lukisan-lukisan Iten , tetapi juga diterapkan pada mobil-mobilan miniature (diecast) yang ditampilkan pada pameran bersama di Orbital Dago tahun 2020 lalu . Menariknya sosok-sosok tersebut muncul dalam apropriasi karya lukisan terkenal dalam sejarah seni rupa Barat seperti Monalisa yang dipelesetkan menjadi “Mini Lisa” karena diterapkan pada miniatur Mini Cooper, yang lainnya mengapropriasi karya Andy Warhol “ Mini Monroe “. Kenakalan -kenakalan Iten bukan hanya soal representasi karyanya tetapi juga dalam aplikasi kepada bentuk-bentuk obyek. Iten kerap membuat lukisan di sepatu, jaket serta mural, baik bersifat bebas maupun tematik.
Karya – karya dalam pameran tunggalnya kedua , The Untold Story , Iten masih menggambarkan sosok anak perempuan berpipi tembem itu, tetapi dengan lebih memperhatikan rinci dalam penggarapannya. Seperti menggarap bagian wajah , rambut, pakaian, perhiasan, maupun latar, seperti elemen awan, pintu kayu, flora dan fauna. Bidang kanvasnya terasa penuh dan semakin kaya akan warna. Tokoh anak perempuan itu semua dengan gestur tertentu tampak berada ditengah – tengah hewan maupun tanaman laut atau terumbu karang, ditengah kebun bunga, dan lainnya. Anak itu menjelma menjadi seperti sosok peri, ikan duyung , tokoh kartun atau seperti cerita dalam mitologi dengan berbagai elemen disekelilingnya, yang imajinatif dengan dipenuhi berbagai hiasan yang didasari dari bentuk motif mandala. Lukisannya menggambarkan bagaimana sosok anak menjadi tanda atau simbol suatu keresahan, kemarahan , kekhawatiran atas kerusakan alam yang sebabkan manusia yang tentu mempengaruhi kehidupan dimasa depan, atau sebagai suatu peringatan marabahaya. Selain lukisan ia juga menghadirkan lukisan pada miniature mobil pickup atau diecast. The Untold Story merupakan cerita moral yang belum pernah diungkap sebelumnya tentang hubungan dirinya, alam sekitar dan masa depan. Sang anak itu apakah suatu pengungkapan jati diri atau anak-anaknya? Tentunya keduanya bisa saja benar, karena kenyataan masa depan bisa dirasakan bersama saat ini, bukan hanya oleh Iten tetapi juga kita semua. Sudah menjadi umum di seluruh dunia bahwa alam disekitar kehidu-
pan kita semakin memberikan tanda-tanda bahwa terjadi ketidak-harmonisan, ketidak-seimbangan. Bencana banjir , rusaknya terumbu karang, perubahan iklim atau munculnya berbagai virus baru dan lainnya merupakan hal-hal yang sering kita alami dan rasakan akhir-akhir ini.
Perkembangan seni rupa kontemporer akhir-akhir ini memang banyak karya-karya seniman banyak membincangkan tentang kerusakan alam dan perubahan iklim, sebagai isu utama. Sebagai bentuk kampanye kepada masyarakat luas dalam upaya menyelamatkan manusia dimasa depan. Maka sebagai komitmen personalnya dan aksi nyata, Iten akan membeli pohon dari setiap bagian karya yang terjual , dalam Program Wali Pohon. Untuk mengganti hutan-hutan yang semakin menipis.
Rifky ‘Goro’ Effendy
Tennessee Caroline lahir di Bandung tahun 1980. Masuk FSRD-ITB tahun 1999, dan memilih studio seni lukis. Sempat bekerja di industri tekstil di Bandung selama setahun, dan kemudian kembali ke dunia seni lukis. Selain melukis sejak tahun 2014 ia banyak mengerjakan lukisan dinding atau mural. Mulai rumah, hotel, toko, hingga Café. Dari Bandung , Jakarta, Solo, Bali hingga Sulawesi Utara. Ia menggelar pameran tunggal di Semata Gallery tahun 2018. Selain mengikuti berbagai pameran bersama di Bandung, Semarang, Tuban, sejak 2004 hingga sekarang.
MENGAKAR
22 November - 11 Desember 2022
Galeri seni kontemporer Orbital Dago segera menghadirkan pameran terbarunya yang bertajuk “Mengakar” pada tanggal 22 November 2022 mendatang, yaitu sebuah pameran tunggal oleh Adikara. Pameran ini menjadi pameran tunggalnya yang kelima setelah sebelumnya sempat menyelenggarakan pameran tunggal di tahun 2021 dan 2022. Tidak ingin mengulang hal yang sama seperti dua pameran tunggal sebelumnya, maka kali Adikara hadir dengan tawaran baru yaitu investigasi corak warna dan visual Batik Pesisir dan menciptakan “Batik Pesisir” versinya sendiri di atas kanvas dan kertas.
Adikara adalah seorang perupa sekaligus dosen yang berdomisili di Tangerang Selatan. Ia memperoleh pendidikan seni di Indonesia, Malaysia, dan Inggris, yang mana membawanya pada ide-ide dan gagasan eksploratif atas elemen visual dalam seni rupa. Ia sempat menjalani profesi di bidang advertising, yang kemudian Ia tinggalkan untuk terjun ke dalam sebuah lembaga kebudayaan “Sacred Bridge Foundation”. Di sana Ia terlibat dalam berbagai program budaya sebagai koordinator, konseptor, peneliti budaya rupa, dan anggota spesialis untuk pendidikan seni rupa. Berpijak pada kesadaran atas kuatnya pengaruh tradisi dan kebiasaan pada suatu kelompok masyarakat terhadap manifestasi karya seni yang dilahirkan, Adikara menyoroti berbagai tradisi dan budaya masyarakat di Indonesia. Pada pamerannya kali ini, Ia lantas memilih Batik Pesisir di antara ratusan seni tradisi Indonesia lainnya sebagai titik berangkat pemikiran dan risetnya.
Pameran “Mengakar” menampilkan delapan belas (18) karya lukisan cat akrilik di kanvas dan mix media di kertas yang dibuat selama tahun 2020-2022, dan dikuratori oleh Diaz Ramadhansyah. Diungkapkan oleh sang kurator pada teks pengantar, “Dengan latar belakangnya, Adikara membaca kecenderungan dan gejala pola pada Batik Pesisir melalui pendekatan sosiologi komunikasi, semantik, budaya visual, dan estetika terapan. Ia meyakini bahwa interaksi antarmanusia dapat terjadi apabila masing-masing orangnya telah memiliki identitas. Pertemuan antar identitas tersebutlah yang akan menghasilkan kompromi maupun penolakan”. Pernyataan tersebut merujuk pada sejarah Batik Pesisir yang mengalami akulturasi dengan banyak budaya Asing seperti Cina, Arab, India, dan Portugis. Berpijak dari situ, Adikara menggunakan ilmu-ilmu yang Ia peroleh dari Barat dan dipertemukan dengan tradisi Batik Pesisir sehingga tercipta manifestasi artistik baru dengan ciri khasnya. Lukisan-lukisannya kali ini bergaya abstrak dan abstraksi dengan warna-warna cerah dan mencolok; titik-titik cat sebagai isen (isian); dan corak floral seperti pada Batik Pesisir.
Pameran ini merupakan akumulasi pengetahuan yang Ia dapatkan selama menempuh pendidikan di Indonesia, Malaysia, dan Inggris, serta pengalaman kulturalnya membaca berbagai gejala kreasi visual masyarakat tradisi di Indonesia. Pameran dibuka dari tanggal 22 November sampai 11 Desember 2022 di Orbital Dago, dan terbuka untuk umum secara cuma-cuma tanpa registrasi pada pukul 09:00 – 20:00 WIB. Pembukaan pameran dilakukan pada hari Selasa, 22 November 2022 pukul 15:00 WIB dan diresmikan oleh Prof. Dr. Bambang Ignatius Sugiharto (Guru Besar Estetika, Universitas Parahyangan, Bandung).
GRAFITIKASI
14 Desember 2022 - 15 Januari 2023
Pameran Tunggal UNCLEJOY
Pameran Tunggal
GRAFITIKASI UNCLEJOY
14 Desember 2022 - 15 Januari 2023
Pameran Grafitikasi , menghadirkan karya – karya dengan garapan mutakhir seniman Uncle Joy melalui lukisan diatas kanvas, instalasi dari kain perca dan patung / toys berbahan bubur kertas (paper mache) dengan isian sampah plastik . Dengan penerapan warna – warna kontras dan berani yang atraktif pada garapan bentuk-bentuk stilasi berbasis bentuk tanaman, bentuk elemen-elemen alam lainnya seperti lumut dan bebatuan melalui polesan, belobor dan goresan kuas cat akrilik, bercampur dengan drawing, maupun cat semprot (spray), marker, kadang digabung dengan untaian benang dan kain.
Pameran GRAFITIKASI merupakan pameran tunggal pertama Uncle Joy (yang bernama asli Tri Haryoko Adi atau biasa dipanggil Yoyo) di Bandung. Grafitikasi (berasal dari kata Graffiti), bermaksud untuk menggambarkan bentuk ungkapan seni jalanan yang kemudian bertransformasi kedalam bentuk-bentuk seni rupa kontemporer terutama seni lukis. Dalam beberapa dekade terakhir para praktisi seni jalanan (street art) menunjukan kecenderungan berekspansi ke dunia seni lukis , dari low art ke high art. Beberapa tokoh seniman seperti kelompok Apotik Komik, Farhan Siki di Yogya, atau Darbots, Tutu, Muklai di Jakarta dan lainnya kemudian banyak melakukan pameran -pameran di galeri-galeri seni dan mendapat sambutan besar dari khalayak peminat seni kontemporer.
Maka judul “Grafitikasi” menjadi suatu kata kerja yang menunjukan kecenderungan pengaruh masuknya praktek seni jalanan, termasuk juga lukisan mural ke dalam praktek seni lukis. Termasuk penggayaan dan penggunaan teknik dalam berkarya pada karya-karya Uncle Joy. Hal yang paling menonjol pada karya-karya seniman yang berbasis street art ini adalah kebebasan yang mutlak dalam garapan artistiknya, dalam artian tidak mengikuti suatu kaidah - kaidah akademik, yang ada hanya pertimbangan – pertimbangan artistik yang didasari pengalaman dan pengaruh-pengaruh dalam praktek di dunia komunitas street art.
Karya-karya para seniman graffiti punya kecenderungan mengkritik berbagai sendi kehidupan urban dengan pengungkapan yang khas . “Uncle Joy pada awalnya menunjukkan pendekatan seni jalanan yang kuat dalam kanvasnya, membawa narasi yang dicerapnya dari fenomena kehidupan masyarakat urban menjadi serpih ingatan dalam kanvasnya. Beberapa indeks visual dimunculkan secara random dan nakal, khas karya grafiti yang memberi ruang pada pemberontakan.” tulis kurator Alia Swastika dalam suatu pameran kelompok pertengahan tahun 2022 lalu.
Pada awalnya Uncel Joy bergabung dengan kelompok street art Tembok Bomber ketika di tinggal di Jakarta tahun 2004 dan sering melakukan “tagging” atau pengulangan melalui visual yang khas dengan cara berbeda, yaitu menempel stiker-stiker bergambar berbagai mimik wajah manusia , ada yang berseri, gembira, tersenyum, tenang, tetapi ketika ia tinggal di Jakarta ia melihat bagaimana wajah-wajah orang ia temui tidak ada yang tersenyum. Ia menangkap fenomena urban yang ia lihat dan rasakan di tempat dimana ia tinggal , bukan sebagai bentuk protes atas kehidupan urban yang biasanya dilakukan para seniman jalanan. “ Pada karya Uncle Joy justru tampak bereksperimen dengan gaya yang sama sekali baru, terutama dengan gagasannya tentang lukisan itu sendiri, yang tampaknya kembali pada bagaimana seniman memperlakukan sebuah bidang kanvas sebagai ruang bermain dalam mengartikulasikan memori sehari-hari ”, lanjut Alia dalam tulisannya.
Pada lukisan-lukisan Unce Joy menunjukan bagaimana kebebasan mengungkap berbagai fenomena sekitarnya ia cerap lalu dipindah ke dalam kanvas-kanvasnya dengan mencampurkan teknik melukis dan metoda membuat mural: dengan marker, cat semprot atau media lainnya yang ia anggap menarik atau mempunyai kaitan personal. Selama tinggal di Bali ia banyak bersentuhan dengan kehidupan seni dan budaya Bali, yang kemudian banyak mempengaruhi karya-karyanya dikemudian hari. Persentuhan melalui pengalaman keseharian, seperti benda-benda ritual , hiasan pura dan elemen-elemen tradisional masyarakat Bali. Hal ini tampak dari garapan-garapan yang lebih rinci seperti pengisian-pengisian dalam gambar – gambar yang berbasis pada bentuk flora , bebatuan yang mengadopsi cara melukis tradisi di Bali. Lukisannya juga mengingatkan pada cara melukis kain batik. Ia mengemukakan bahwa ketika masih tinggal di Yogyakarta, sempat belajar membatik di sekolah menengah pertama selama tiga tahun.
Karya-karya tiga dimensional seperti pada karya Bad Hair Day , sosok seperti mahluk dua kaki yang hampir
seluruh badannya diselimuti kain perca, lainnya dilumuri cat serta disekujur badannya penuh dengan kancing. Bentuk patung atau toys ini cenderung jenaka, yang menurutnya bentuk tersebut ditemukan tak ada patokan tetapi mengikuti materi isian plastik sampah. Namun karya tiga dimensional ini mengingatkannya kepada patung-patung barong, bangkung. Sementara instalasi gulungan dan jalinan kain perca mengingatkan kepada elemen-elemen Pura dan ritual keagamaan di Bali. Penggunaan kain perca pada karya-karya mutakhir Unce Joy kian sering muncul akhir-akhir ini.
Menurutnya, “ Perkenalan kain itu sudah dari kecil. Gw banyak berkutat dengan kain. Nenek dan nyokap jahit, bikin selimut-selimut. Gw suka tertarik. SMP gw ambil ekstrakurikuler membatik, dan berjumpa lagi dengan kain. Baru setelah mulai mengeksplorasi karya-karya ini, muncul ide buat pakai kain-kain bekas atau perca yang lebih banyak dibuang-buang. Kalau kita minta, garmen itu dengan sukarela dan senang banget. Dari situ gw menggali lagi, dan seni tekstil itu ada dan eksperimentasinya bisa bermacam-macam.” Ia menuturkan dalam suatu tanya jawab yang dimuat di e-katalog pameran Komensal di Kulidan Space, Bali.
Uncle Joy atau Yoyo lahir tahun 1972 di Papua, lalu tinggal di Yogyakarta dan kemudian melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) tahun 1990-97 di Bandung. Tapi minat utama ke dunia seni dan desain lebih besar, maka kemudian ia melanjutkan kuliah di Akademi Desain Visi Yogyakarta (ADVY) , di Yogya 199899. Ia sempat kerja praktek dibidang animasi, dan ketika lulus sempat bekerja di periklanan di Bandung dan Jakarta. Kemudian pada tahun 2001 bekerja di Bali hingga 2003 di industri pakaian surfing. Sempat kembali ke Jakarta tahun 2004 dan melibatkan diri dengan berbagai kegiatan pameran komunitas street art terutama kelompok Tembok Bomber; mengeksplorasi berbagai medium seperti stiker termasuk ikut membuat toys dan sneakers. Setelah menikah tahun 2008, Uncle Joy kembali bekerja didunia industri surfing di Bali hingga 2013 dan mulai menjadi seniman lepas hingga sekarang.
Karya-karya Uncel Joy mencerminkan suatu perkembangan bagaimana praktek seni rupa kontemporer di Indonesia bisa menemukan bentuk-bentuk baru yang bersentuhan dengan nilai – nilai seni dan budaya tradisional. Menjadi suatu nilai potensial bagi para seniman dalam mengekplorasi dan membentuk nilai-nilai keberbedaan dan kekhasan dalam khazanah seni rupa global.
Rifky Effendy. Kurator Pameran
Sumber Bacaan:
1. E-katalog BALI NEW EXPRESSION: INTERTWINED IN. SPACE, LINES, AND COLOUR. Puri Art Gallery. 3 Juni-31 Aug2022
2. E-katalog pameran KOMENSAL. Kulidan Artspace. 2022
DUNIA
19 Januari 2022 - 19 Februari 2023
Pameran Tunggal Dede Wahyudin
DUNIA
Pameran Tunggal
DEDE WAHYUDIN
18 Januari - 19 Februari 2023
Dimata seniman Dede Wahyudin, manusia dan sekitarnya bisa begitu banyak rupa. Bisa seperti dalam dunia ganjil : lingkungan orang-orang gila, orang-orang didalam sirkus, penuh dengan kepedihan dan kesakitan , kadang sedikit horor dan sureal. Tetapi ada juga yang menggambarkan kehidupan sehari-hari orang-orang biasa : para petani di desa, para buruh, sopir angkot, pegawai rendahan, atau orang-orang urban sekitar dimana Dede tinggal. Sebagai seorang seniman dan sekaligus guru sekolah menengah, Dede selalu memberi perhatian kepada golongan lemah dan tersingkir. Setidaknya dari akhir tahun 1990-an Dede Wahyudin memulai karya-karya dengan teknik drawing yang menggambarkan dunia yang ganjil dengan tema-tema kritikal terhadap berbagai persoalan sosial dalam masyarakat sekitarnya.
Dengan watak yang unik, drawing – drawing Dede diawal mengingatkan kepada cara penggambaran dunia aneh dalam lukisan-lukisan dan drawing dari abad awal renaisan (abad 16) eropa (Belanda) seperti lukisan Pieter Bruegel the Elder, yang diilhami berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu, sekaligus sebagai penafsiran alkitab. Dede dengan kemampuan dasar menggambar hitam-putih membangun suatu gambaran dunia penuh simbol-simbol rumit, dimana ketidak-adilan , kemiskinan , kekelaman, kegilaan dan kesusahan menjadi dorongan kuat untuk membicarakan persoalan suatu sisi kehidupan. Menjadi desakan kuat untuk menunjukan bahwa kesenian tidak harus melulu soal rasa keindahan apalagi kebagusan. Tetapi menjadi suatu dunia estetik yang bisa menghadirkan “komunikasi” kepada para audiensnya. Karya-karyanya menghadirkan suatu “kebenaran diatas kebagusan atau keindahan” yang menjadi salah satu jargon utama realisme S. Sudjojono.
Sejak kecil Dede sudah menyukai gambar , lalu melihat proses sang kakak kandung Tisna Sanjaya ketika berkarya etsa menambah dorongan untuk meneruskan ke perguruan tinggi seni rupa. Ia kemudian masuk jurusan seni rupa di IKIP – Bandung atau UPI – sekarang. Ia mengakui bahwa ia kurang menyukai penerapan warna, maka ketika lulus ia memilih berkarya realis dengan drawing pensil daripada melukis. Ketika sang kakak pulang belajar dari Jerman, ia dikenali dengan karya -karya Otto Dix, Kathy Kolwitz , Goerg Grosz hingga Soedjojono melalui buku-buku. Karya-karya Dede kemudian berkembang , sejak 2015 justru cenderung realis tetapi dengan gaya pembagian bidang seperti pada buku komik lazimnya dan muncul juga drawing pensil dengan warna. Subyeknya pun lebih pada memotret kehidupan sehari-hari dilingkungannya, seperti keluarganya: istri dan anak-anaknya, para tetangga dekat rumahnya , maupun kegiatan di pasar dekat rumahnya.
Belulang Daun
24 Februari - 12 Maret 2023
Pameran Tunggal Johana Permana
Pameran “Belulang Daun” adalah rangkaian karya-karya perupa muda asal Bandung Johana Permana, yang berupa instalasi tulang-tulang dedaunan serta dalam bentuk garapan daun kering beragam rupa didalam frame akrilik bening, pembatas ruangan, lampu duduk dan lainnya. Johana menggarap dedaunan yang kemudian dikeringkan sejak masa kuliah tingkat akhir di jurusan Kriya , FSRD – ITB. Pada awalnya ia terinspriasi dari citraan pemandangan lapisan pegunungan di Tiongkok yang memancarkan suasana estetik bagi dirinya.
Isu tentang kerusakan alam akhir-akhir semakin menguat, bukan hanya menyangkut persoalan lingkungan sekitar kita , tetapi sudah menjadi isu politik global. Berbagai pertemuan tingkat dunia membahas perubahan ekstrim cuaca yang sedang terjadi. Tetapi bagi generasi penerus seperti Johana Permana, melihat halhal sederhana yang ada disekitarnya untuk diangkat menjadi objek seni yang dihargai dan diapresiasi.
Ia mengungkapkan:
“ Ekspresi cinta terhadap alam ditunjukan dalam penggunaan daun sebagai material hasil dari alam. Pewarnaan menggunakan pewarna alam secang dan kayu tingi, Beberapa daun menggunakan warna asli tanpa pewarna. Material dan pewarnaan yang asli dari alam menjadikan karya seni mempunyai nilai lebih dibalik pembuatannya. Karya yang ditampilkan akan menunjukkan kesan rustic, organic, dan natural. Warna yang ditampilkan pun tidak jauh dari warna natural yang lebih didominasi dengan warna hitam dan coklat. Keindahan dari material yang terbentuk melalui bentuk, karakter material, dan obsesi terhadap tiap detail robekan alur tulang daun. Bentuk pecahan dari daun jika dirobek dan digabungkan akan menjadi bidang yang abstrak. Tulang daun yang memiliki karakter tembus pandang adalah keunikan yang ditonjolkan. Material yang transparan ini mempunyai struktur tulang daun yang kompleks berupa garis yang terbentuk secara alami dan bercabang.Tulang daun dan kulit daun yang tebal disusun sedemikian rupa masing- masing membentuk bidang yang berbeda, tentunya akan menciptakan perbedaan kedalaman jika digabungkan karena tingkat transparansi yang berbeda.
Cahaya lampu kuning yang menambahkan kesan mistisisme, yang membawa manusia lebih dekat ke ke-tidakterbatas-an. melampaui batas-batas dunia nyata untuk mencapai tak terhingga, bebas, berani dan berimajinasi. Menanggalkan prasangka sehingga menciptakan karya yang murni dan intim. Penikmat seni akan dibawa menikmati indahnya berbagai jenis daun yang seperti menari- nari membentuk sebuah kedalaman dan bayangan. Menyediakan sebuah ruang hangat untuk mempersilakan pelihat seni masuk kedalamnya. Seolah- olah dedaunan mempunyai hasrat untuk menunjukan bahwa merekapun mempunyai keindahan yang patut untuk dipertimbangkan.”
(Pernyataan Johana Permana)
Johana Permana
Lahir di Bandung, 30 Mei 1996
Masuk kuliah tahun 2014 di Kriya FSRD- ITB
Pameran Tunggal : 2023 : “Belulang Daun” . Orbital Dago. Bandung
Pameran Kelompok:
2017 JEMARI Annual Craft Exhibition by TERIKAT
2017 Interior Final Project Exhibition by TERIKAT
2018 ARSA, A Final Project Exhibition by Kriya ITB
PRELIMINARIES
21 Maret 2023 – 30 April 2023
Luky Supriadi
Trie Aryadi Harijoto
Dalam pameran ini Trie Aryadi dan Luky Supriadi membicarakan perihal kematian dengan pengalaman mereka masing-masing. Trie atau yang lebih akrab dipanggil Aryo mencoba memahami kematian yang sama sekali belum pernah dia alami, sedangkan Luky pernah melalui near death experience.
Aryo mencoba memahami kematian dengan pendekatan spiritual Islami. Ia mencoba “mempersiapkan” kematian dengan memandangnya sebagai proses kelanjutan dari kehidupan. Ia membayangkan kematian adalah jalan kembali, manusia kembali kepada tanah yang akan menuju kehidupan lain. Visualisasi karyanya yang cukup beragam menunjukkan bahwa Aryo sedang mencari cari jawaban tentang kematian. Mulai dari sosok potret diri sampai siluet manusia bertudung dari film The Seventh Seal (1957) yang ia hilangkan wajahnya hadir dalam beberapa karyanya. Ada pula sosok binatang peliharaan yang tampak ditelan tanah hitam, yang kemudian darinya tumbuh tanaman, sebagai analogi dari pertanggung jawaban manusia atas apa yang diamalkan selama hidupnya. Akan tetapi, selain mempersiapkan kematiannya Aryo pun masih bergelut dengan rasa ketakutan kehilangan orang sekitar dan trauma kehilangan orang terdekat. Inilah sesungguhnya hal yang juga sering merepotkan manusia menghadapi ihwal kematian.
Sementara itu, near death experience yang dialami Luky sangat mempengaruhi cara pandangnya terhadap kematian. Di tahun 2021 Luky sempat mengalami serangan jantung yang menyebabkan dia sempat kehilangan detak jantungnya beberapa saat. Ia menuturkan apa yang dirasakan saat itu adalah sebuah rasa lega, plong atau ringan, sebuah pengalaman yang akan sulit kita pahami sebagai orang yang tidak pernah mengalaminya. Saya yakin kata-kata lega, plong dan ringan saja tidak bisa mewakili apa yang dia rasakan saat itu. Pada karya di pameran ini sosok diri Luky tampak terpisah antara satu dengan lainnya di antara latar gelap tanpa batas ruang yang jelas. Fragmen-fragmen ini menjadi sebuah perhatian bagi Luky untuk memahami peran dirinya di dalam masyarakat. Hadir pula buku yang ia coba gambarkan sebagai harapan dan warisan yang bisa ia tinggalkan setelah kematiannya. Pengalaman Luky tidak membuatnya merasa takut lagi dengan kematian. Sebaliknya, ia menjadi lebih ikhlas menjalani kehidupan dengan segala liku likunya dengan cara memberikan yang terbaik kepada keluarga dan lingkungannya dengan apa yang ia miliki saat ini.
Mujahidin Nurrahman, penulis
LUKY SUPRIADI
Lahir di Bandung, 1984. Pendidikan : 2002 Seni Grafis FSRD ITB. Pameran bersama : 2009 “Unlimited Portraits” di Plaza Indonesia, Jakarta. Pameran Bersama : 2007 “Artist Preview” di Cemara 6 Galeri, Jakarta. Pameran Bersama : 2007 “SEVEN” Galeri Soemardja, Bandung. Pameran Bersama : 2006 “Merekamereka” Galeri Redpoint, Bandung. Pameran Bersama : 2005 “Human + Space” Galeri Soemardja, Bandung. Pameran Bersama : 2005 “Thursday, Collaboration Edgar Heap of Bird : Native American Artist” di Galeri Soemardja, Bandung.
TRIE ARYADIE HARIJOTO
Lahir di Bandung, 1984. Pendidikan : 2002 Seni Grafis FSRD ITB. Pameran duet 2023, ” It’s always 12 o’clock in Wonderland”, Kunasi coffee Bandung, Pameran bersama: 2012 ” Good old days”, Galeri Kita Bandung, Pameran Bersama : 2007 “Artist Preview” di Cemara 6 Galeri, Jakarta. Pameran Bersama : 2007 “SEVEN” Galeri Soemardja, Bandung. Pameran Bersama : 2006 “Merekamereka” Galeri Redpoint, Bandung. Pameran Bersama : 2005 “Human + Space” Galeri Soemardja, Bandung. Pameran Bersama : 2005 “Thursday, Collaboration Edgar Heap of Bird : Native American Artist” di Galeri Soemardja, Bandung
An Other Land
03 - 14 Mei 2023
Group Exhibition by:
Aditya DP
Angga Aditya Atmadilaga
Ary Rustandi
Gustav Hellberg
Helmi Frawisandi
Kurnia Ngayuga Wibowo
Ravli Ferial Mohamad
Septian Hariyoga
Relasi yang dibangun oleh setiap individu dengan ingatan mengenai sebuah lokus relatif beragam dan unik. Ingatan yang bertumpuk maupun ingatan tunggal yang dipertahankan tidak jarang justru bertentangan dengan kenyataan yang terjadi. Relasi yang bertahan pada dunia ide tidak menutup kemungkinan memberi lapisan makna yang tak kasat mata oleh pandangan banal. Ada banyak aspek yang melatarbelakangi relasi antara individu dengan sebuah lokus guna membangun sugesti tertentu. Tumpukan berlapis yang terdiri dari memori kolektif, pengalaman, imajinasi dan persepsi memengaruhi proses pembentukan relasi individu dengan lokus tertentu. Hal yang otentik sekaligus unik ini menarik untuk dirogoh dan segera di ‘rupa’kan ; sering Kali memberi emanasi dari sebuah lokus dengan penawaran berbeda.
Sebuah lokus yang bisa berupa ruang atau tempat dalam definisi yang luas, sering kali mengalami metamorfosis dalam ingatan kita; bergantung pada apa yang ingin kita kenang terkait lokus tersebut. Selain faktor internal dari individu, faktor eksternal juga turut andil dalam pembentukan konstruksi ingatan tentang lokus yang bisa bermuara pada banyak ragam seperti alegori, trauma, haru, dan lain sebagainya. Tapi apa pun bentuknya, ingatan tersebut merupakan indikasi awal terbangunnya konstruksi memori visual yang bersifat fotografis.
Media fotografi yang sangat akrab dengan aktivitas hari ini sebagai ekstensi dari memori, bisa dibilang menjadi sarana elaborasi bagaimana sebuah relasi yang dibangun oleh individu dengan sebuah lokus bisa diwujudkan secara personal. Fasilitas teknologi fotografi yang tersedia juga menjadi ruang eksperimen yang semakin luas. Dengan demikian, kemungkinan setiap individu untuk membangun relasi ideal antara diri dan dunianya, membuka kemungkinan ragam transformasi visual. Citraan yang muncul bisa mulai dari sekadar mimesis hingga nyaris mencapai titik abstraksi yang menyisakan setitik impresi.
Pada pameran An Other Land ini pada dasarnya merupakan refleksi berbagai irisan dari setiap sisi manusia dalam merespons sebuah lokus personal. Berbagai karya yang ditampilkan merupakan respons para seniman dalam menggunakan medium berbasis fotografi untuk mengolaborasikan dunia ‘dalam’ dengan dunia ‘luar’ dalam kerangka psikologis yang melibatkan sisi kesadaran dan bawah sadarnya. Tentu ini bisa menampilkan berbagai kemungkinan dalam representasi visualnya. Munculnya kesan personal yang bisa saja bersifat tumbukan, paradoks juga dualisme bahkan abstraktif, sangat mungkin terjadi dalam citraan visualnya. Namun pendekatan beragam dari 8 seniman yang terlibat dalam pameran ini terdapat benang merah yang cukup jelas dalam proses berkaryanya, yaitu proses pengendapan untuk mendapat penglihatan dalam keadaan jernih. Berbagai aspek eksternal dan internal yang memengaruhi proses berkarya, akhirnya dibiarkan mengendap sehingga mereka bisa mendapatkan sebuah kejernihan visi maupun refleksi yang dianggap tepat sebagai representasi.
17 Mei - 11 Juni
Pameran Tunggal Yogie Achmad Ginanjar
Seniman berasal dari Bandung, Yogie Achmad Ginanjar akan memamerkan karya-karya lukisan mutakhirnya di Orbital Dago. Ini merupakan pameran tunggalnya sejak beberapa tahun mengikuti berbagai pameran kelompok di beberapa kota, dan menguratori beberapa pameran. Diberi judul Borderline karena karya -karya lukisan Yogie bercorak diantara batasan realisme dan abstraksi. Seolah Yogie dalam melukis tertantang mencari nilai – nilai didalam antara ruang-ruang tersebut untuk menemukan hal lain dalam praktek melukisnya. Sejak 2017 , Yogie mengembangkan berbagai teknik yang menggabungkan antara yang abstrak, aksi melukis dan hiperealisme.
Maka dalam pameran ini Yogie telah membuat pernyataannya sebagai seniman / kurator .
BORDERLINE
In my recent artistic journey, I have been captivated by the interplay between realism and abstraction, the delicate dance that occurs along the borderlines of these contrasting worlds. My paintings explore the rich terrain that exists in the liminal space between the tangible and the intangible, the familiar and the enigmatic. Through my work, I seek to challenge the conventional boundaries of representation, inviting viewers to embark on a visual exploration that blurs the lines between what is real and what is imagined.
In my pursuit of this artistic realm, I employ a variety of techniques that traverse the spectrum of realism and abstraction. At times, I begin with a concrete subject, often appropriated from well-known classic masterpieces, meticulously capturing its intricate details, allowing the viewer to recognize and connect with the familiar. However, as the process unfolds, I gradually introduce elements of abstraction, weaving them into the fabric of the composition. These abstractions take shape as bold brushstrokes, vibrant colours, or distorted forms, imbuing the work with a sense of emotional depth and ambiguity.
The concept of “borderline” serves as a conceptual anchor in my artistic practice. It is an exploration of the boundaries that exist not only in the realm of art but also within the human experience. These borderlines, like the ephemeral nature of memories or the fleeting emotions that shape our lives, are ever-shifting and elusive. Through my paintings, I aim to capture these elusive moments, suspending them in time and inviting viewers to reflect on the beauty and complexity of the human condition.
By blurring the boundaries between realism and abstraction, my work offers a departure from the confines of traditional representation, allowing viewers to embark on a subjective journey. Each brushstroke becomes an invitation to step into the realm of imagination, to engage with the artwork on an emotional level, and to question the very nature of perception. In the interplay of realism and abstraction, I discover a profound sense of freedom. It is within this delicate balance, this “borderline,” that I find the infinite possibilities of artistic expression. I invite you to join me on this journey of exploration, where the boundaries dissolve, and new worlds emerge. (Yogie Achmad Ginanjar)
Bio
Yogie Achmad Ginanjar (Born in Bandung, 12-05-1981) is an Indonesian artist (painter) and Curator. Graduated Cum Laude from the Faculty of Fine Art and Design, Bandung Institute of Technology (ITB), majoring in Painting. Since 2004, Yogie has been participating in art exhibitions and programs worldwide. In 2005, Yogie participated a workshop initiated by Agus Suwage in Soemardja Gallery, Bandung-Indonesia. In the same year (2005), he was invited to participate in the Curatorial Workshop with Malcolm Smith, Asia Link, and Kelola Foundation initiated the program. Some of the artist’s notable group exhibitions are: I Play Therefore I Am, National Gallery, Jakarta-Indonesia (2005); Bandung in Emergence, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung-Indonesia (2006); REFRESH, Valentine Willie Fine Art, Singapore (2008); Korea International Art Fair (KIAF), South Korea (2010-2011); ArtStage Singapore, Singapore (2010-2013); South East Asia (SEA)+ Triennale, National Gallery-Indonesia (2013); Bazaar Art Jakarta (Annually since 2012-2017); Sovereign Asia Art Awards Exhibition, Espace Louis Vuitton, Singapore (2013). The 2017 Sovereign Asia Art Prize- Finalist Exhibition Opening, Hong Kong (2017). Silent Imagination, G13 Gallery Selangor-Malaysia.
Solo Exhibitions: Neo Chiaroscuro, Valentine Willie Fine Arts, KL-Malaysia (2009); VERISIMILITUDE, Valentine Willie Fine Arts, KL-Malaysia (2013). Some of the artist’s notable achievement: Public Vote Winner for Sovereign Asia Art Prize (2017), 1 st Place for Curatorial Competition, Sri Baduga Museum- a West Java Province Museum-Indonesia (2004); Best Student of The Year for Fine Art Department, Faculty of Art and Design, Bandung Institute of Technology (2005); The Best Artwork, West Java Painting Competition (2006, 2007) Curatorial works: Parrhesia, A Solo Exhibition by Tjutju Widjaja, Pullman Jakarta Central Park (2017); Interface: Bandung, Valentine Willie Fine Arts Malaysia (2012); Hear No Evil, See No Evil: A Solo Exhibition by Tjutju Widjaja, Cemara 6 Galeri, Indonesia (2016)
Using binaries composition and popular codes as his visual reference, his Painting represents criticism towards a contemporary and global society. Since 2017, Yogie has been developing a new technique, combining the practice of abstract, action painting, and hyperrealism.
Yogie currently works and lives in Bandung, Indonesia.
ALBUM #2
JUNE 2020 - 2023