PRINTMAKING INSTITUTE Print
Ink and Impression
Exhibition
Agung Pramana
Aryatama Nugraha
Devy Ferdianto
Dewa Made Johana
Goenawan Mohamad
Handy Saputra
I Made Aswino Aji
18 Des 2024 - 18 Jan 2025
DEVFTO
Ink and Impression
Agung Pramana
Aryatama Nugraha
Devy Ferdianto
Dewa Made Johana
Goenawan Mohamad
Handy Saputra
I Made Aswino Aji
Pameran Ink & Impression merayakan dunia seni cetak grafis yang dinamis dan beragam melalui pameran karya seni yang menarik dari Devfto Studio, menandai tiga tahun eksplorasi dan inovasi kreatif. Pameran ini menyatukan pilihan berbagai teknik cetak yang mencerminkan perjalanan studio, menyoroti evolusi teknik mereka dan beragam tema yang telah mereka jelajahi. Dalam pameran ini menampilkan proses kreatif tujuh seniman yang sebagian besar berasal dari Bali . Selama tiga tahun terakhir, Devfto Printmaking Institute telah memantapkan dirinya sebagai kekuatan dinamis dalam komunitas seni cetak grafis, khususnya di Bali maupun Indonesia pada umumnya.
Seni cetak grafis di Indonesia memiliki sejarah yang unik, dipengaruhi oleh bentuk seni tradisional, pertemuan budaya kolonial, dan perkembangan modern. Praktek seni cetak grafis di Indonesia sudah muncul sejak masa pra-kolonial sejak kemunculan percetakan tekstil dan seni dekoratif. Tradisi awal “cetak grafis / gambar” di Indonesia berakar pada produksi kain batik dan ikat. Metode ini melibatkan cap tangan atau menggambar desain dengan lilin dan pewarna, sehingga menciptakan pola rumit pada tekstil. Alat-alat seperti tjap (cap tembaga) digunakan dalam batik cetak, yang berfungsi sebagai pendahulu teknik seni cetak grafis formal. Pencetakan dengan balok kayu untuk diterapkan diberbagai artefak, digunakan untuk membuat pola pada kerajinan tradisional, termasuk wayang kulit dan dekorasi benda-benda upacara.
“ In principle a work of art has always been reproducible. Manmade artifacts could always be imitated by men. Replicas were made by pupils in practice of their craft, by masters for diffusing their works, and, finally, by third parties in the pursuit of gain “ (Walter Benjamin)
Seni cetak grafis yang dikenal dalam seni modern awalnya merupakan warisan dari budaya Eropa terutama pada abad Pencerahan dan setelahnya, dimana gagasan reproduksi / menyalin telah berkembang sepanjang sejarah Barat, bersinggungan dengan perubahan budaya, teknologi, dan filosofis. Berikut adalah ringkasan tentang bagaimana reproduksi dikonseptual-
1. Zaman Kuno (Yunani Klasik dan Roma)
- Reproduksi Artistik: Di Yunani dan Roma kuno, reproduksi sering kali berbentuk penyalinan patung, lukisan dinding, dan desain tembikar. Replika dinilai sebagai sarana melestarikan gaya master terkenal atau motif populer.
- Pandangan Filsafat: Plato membedakan antara “ideal” (Bentuk) dan reproduksinya yang tidak sempurna didunia material. Seniman dipandang sebagai peniru realitas, yang merupakan cerminan kebenaran yang lebih tinggi.
- Reproduksi Teknologi: Teknik seperti pencetakan koin atau cetakan keramik memungkinkan replikasi yang konsisten, memadukan kegunaan dengan representasi artistik.
2. Abad Pertengahan
- Reproduksi Naskah: Sebelum ada mesin cetak, teks-teks direproduksi dengan tangan di biara-biara, seringkali dengan tulisan dan hiasan yang indah. Naskah-naskah ini membutuhkan banyak tenaga kerja ahli, menjadikannya langka dan eksklusif.
- Pengaruh Keagamaan: Reproduksi sering kali memiliki tujuan sakral, seperti mereplikasi ikon keagamaan, relik, dan teks alkitabiah. Namun, perdebatan muncul mengenai kelayakan menyalin gambar suci, sehingga menimbulkan kontroversi ikonoklastik.
3. Renaisans (Abad 14-17)
- Humanisme dan Individualitas: Renaisans menekankan orisinalitas dan kreativitas manusia, namun reproduksi masih memainkan peran penting dalam menyebarkan ide.
- Kemajuan Teknologi: Mesin cetak (ditemukan oleh Gutenberg pada pertengahan abad ke-15) merevolusi reproduksi teks, menjadikan buku dan pengetahuan dapat diakses secara luas.
- Pengukiran dan pencetakan ukiran kayu memungkinkan seniman memproduksi gambar secara massal, menyebarkan seni dan gagasan Renaisans.
- Praktik Artistik: Seniman seperti Raphael dan Albrecht Dürer menggunakan teknik reproduksi untuk membuat karya mereka dikenal luas, namun orisinalitas tetap dihargai.
4. Pencerahan dan Revolusi Industri (Abad 17-19)
- Reproduksi Ilmiah: Penekanan zaman Pencerahan pada observasi dan empirisme meningkatkan reproduksi diagram, peta, dan ilustrasi ilmiah untuk menyebarkan pengetahuan.
- Produksi Massal: Revolusi Industri membawa mekanisasi ke dalam reproduksi, termasuk litografi dan pencetakan buku secara massal.
- Reproduksi tidak lagi mementingkan keahlian dan lebih mengutamakan efisiensi dan aksesibilitas.
- Pergeseran Budaya: Romantisme muncul sebagian sebagai reaksi terhadap anggapan bahwa reproduksi massal tidak berjiwa, merayakan keunikan dan keagungan.
5. Era Modern (Abad ke-20)
- Reproduksi Mekanis: Inovasi fotografi, film, dan percetakan menghasilkan penyalinan dan penyebaran yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam mereproduksi seni, sastra, dan produk budaya lainnya.
- the Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction karya Walter Benjamin tahun 1936 mengkritik bagaimana reproduksi massal mempengaruhi “aura” dan nilai budaya seni. Reproduksi Mekanis dalam Seni mengacu pada proses pembuatan duplikat karya seni melalui cara mekanis seperti pencetakan, fotografi, atau pengecoran. Ide-ide Benjamin sangat mempengaruhi diskusi seputar dampak kemajuan teknologi terhadap seni dan budaya.
- Budaya Pop: Gerakan seperti Seni Pop (misalnya Andy Warhol) menggunakan reproduksi untuk mengkritik konsumerisme dan mendefinisikan kembali peran seni dalam masyarakat media massa.
- Implikasi Politik: Reproduksi gambar dan media menjadi alat propaganda dan gerakan sosial.
6. Era Digital dan Postmodern (Abad 21)
- Reproduksi Digital: Internet dan teknologi digital telah meningkatkan kemampuan mereproduksi teks, gambar, dan suara secara eksponensial.
- Reproduksi Sempurna: File digital memungkinkan salinan tanpa batas dan tanpa kehilangan, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang orisinalitas dan kepemilikan.
- Batasan yang Kabur: Alat seperti AI dan pencetakan 3D mendorong reproduksi ke ranah baru, menantang definisi kreativitas dan keaslian.
- Perdebatan Filsafat: Postmodernisme sama sekali mempertanyakan nilai orisinalitas, menekankan pada pencampuran ulang dan penafsiran ulang atas keutamaan karya “asli”.
Kemunculan budaya reproduksi menghasilkan berbagai perdebatan yang mengacu kepada hal-hal sebagai berikut:
1. Ketegangan Antara Orisinalitas dan Salinan: Sejarah Barat sering kali lebih menghargai yang asli dibandingkan yang direproduksi, namun mengakui peran reproduksi dalam menyebarkan budaya.
2. Dampak Teknologi: Inovasi seperti mesin cetak, fotografi, dan peralatan digital telah berulang kali menggeser batasan dan implikasi reproduksi.
3. Demokratisasi Budaya: Reproduksi telah memperluas akses terhadap seni, pengetahuan, dan budaya, namun juga menimbulkan kekhawatiran mengenai dilusi atau komodifikasi.
Di Indonesia (mungkin di belahan Asia lain) memasuki era Kolonial membawa pengaruh pada praktek seni grafis dari Eropa : Belanda memperkenalkan teknik seni cetak grafis Eropa pada masa pemerintahan kolonial (1600-an hingga 1945). Teknik etsa dan litografi awalnya digunakan untuk keperluan administratif, seperti peta, buku, dan dokumentasi, dengan munculnya mesin cetak didirikan di kota-kota besar seperti Batavia (sekarang Jakarta). Praktek seni cetak grafis awal berlangsung pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak seniman Belanda yang bekerja di Indonesia mengeksplorasi seni cetak grafis. Kemudian seniman pribumi mulai bereksperimen dengan seni cetak grafis, khususnya cukil kayu, untuk mengekspresikan tema perlawanan dan nasionalisme selama perjuangan kemerdekaan di awal abad ke-20 (1945–1970an).
Praktek seni cetak grafis menjadi alat politik pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia (1945–1949), seni grafis, khususnya teknik cukilan kayu, menjadi media propaganda. Seniman membuat poster, pamflet, dan gambar yang mendukung kemerdekaan RI, seperti Hendra Gunawan dan seniman lain yang tergabung dalam Lembaga Seni Rupa Rakyat (Lekra) menggunakan seni cetak grafis untuk menggambarkan realitas sosial dan mempromosikan / propaganda identitas budaya. Kemunculan sekolah seni seperti ASRI (ISI) di Yogyakarta dan FSRD – ITB memainkan peranan penting dalam memformalkan pendidikan seni cetak grafis, memperkenalkan teknik seperti etsa, litografi, serigrafi atau sablon. Pendirian studio Decenta di Bandung dengan anggotanya G. Sidharta, A.D Pirous, T. Sutanto, Sunaryo, Hariadi Suadi dan lainnya menjadikan seni cetak grafis mulai diminati segolongan kolektor seni.
Praktek para seniman kontemporer di Indonesia saat ini memperluas spektrum seni cetak grafis ke dalam seni yang lebih modern. Teknik seperti serigrafi (sablon) hingga pencetakan digital menjadi lazim. Seni cetak grafis menjadi media ekspresi pribadi dan eksperimental, dengan fokus pada identitas, politik, dan perubahan sosial. Karena karakternya yang khas , seni cetak grafis lebih dikenal melalui kolektif seni dan peristiwa biennale seni rupa, dimana seringkali dilakukan lokakarya kolaboratif mendorong eksplorasi teknik tradisional dan modern. Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) melibatkan para seniman yang menggunakan cetak grafis pada karya-karyanya. Beberapa kelompok dan kolektif seniman yang terus aktif mengembangkan praktek dan wacana seni cetak grafis seperti studio Krack dan seniman Syahrizal Pahlevi di Yogyakarta. Di Jakarta seperti Ruangrupa, dan para seniman grafiti sering mempraktekan cetak grafis sederhana seperti stensil, dan kolektif lainnya. Seniman Tisna Sanjaya dikenal melalui pengembangan gagasan cetak grafis diluar batas-batas formalnya seperti kedalam seni performans dan instalasi.
Pameran Inks and Impressions atau dalam bahasa berarti: tinta & kesan, merupakan bukti komitmen studio Devfto untuk mendobrak batasan dan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru dalam media seni cetak grafis. Dalam seni cetak grafis, unsur tinta memainkan peranan penting karena berfungsi sebagai media yang memindahkan rancangan karya seniman dari permukaan pencetakan (pelat, balok, atau screen) ke atas kertas atau media lainnya. Berbagai jenis tinta dan sifat-sifatnya secara langsung memengaruhi kualitas, tampilan, dan daya tahan hasil cetakan akhir selain kertas. Tinta sangat penting untuk menghasilkan cetakan berkualitas tinggi, memberikan warna, tekstur, dan detail sekaligus memastikan visi seniman terwujud secara akurat. Pilihan tinta—baik berbahan dasar minyak, berbahan dasar air, atau khusus—sangat memengaruhi hasil cetakan dan umur panjang sebuah karya seni cetak grafis.
Pameran ini menampilkan beragam teknik, mulai dari intaglio tradisional dan proses cetak tinggi hingga pendekatan eksperimental, yang menunjukkan dedikasi studio dalam melestarikan metode klasik sambil merangkul inovasi kontemporer, seperti teknik dengan gumoil, yang diklaim oleh pendirinya; Devi Ferdianto menjadi teknik paling terdepan yang pernah dikembangkan dalam praktek seni cetak grafis. Teknik cetak dengan Gumoil adalah proses cetak fotografi yang unik dan eksperimental yang menggabungkan unsur fotografi, lukisan, dan seni cetak grafis. Diciptakan oleh Karl Koenig (1924–2012), seorang fotografer, seniman, dan pendidik dari Amerika, pada tahun 1990an, didasari pada interaksi antara fotografi gum bichromate (gum arab) dan cat berbahan dasar minyak. Teknik ini memungkinkan seniman untuk
menciptakan gambar yang kaya tekstur dan indah dengan kontrol artistik tingkat tinggi.
Saat ini studio Devfto di Ubud banyak diminati para seniman, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri untuk mencoba mengeksplorasi teknik – teknik seni cetak grafis yang dikembangkan oleh Devfto Printmaking Institute.
Karya -karya yang ditampilkan dalam pameran ini oleh masing-masing seniman sangat beragam , baik dari teknik cetak grafis maupun penjelajahan artistik serta tema-temanya.
Seri karya bertajuk “Unfinished Ornament” Agung Pramana, berupa sablon di atas pelat aluminium menampilkan elemen warna-warna cerah dengan pola ornamen yang rumit. Tata letaknya tampaknya melibatkan garis kisi, menunjukkan perpaduan gaya tradisional dan modern atau mengeksplorasi struktur dalam seni. Menampilkan pola hias berwarna yang disusun secara simetris. Elemen-elemen ini dicetak pada grid, menciptakan komposisi yang terstruktur dan seimbang. Perpaduan motif ornamen tradisional dengan kilau metalik pada pelat aluminium menambah sentuhan modern, memberikan karya seni ini daya tarik visual yang berlapis dan dinamis. Penggunaan motif hias pada kisi-kisi dapat melambangkan persinggungan masa lalu dan masa kini, atau ketegangan antara bentuk organik dan terstruktur. Judulnya menunjukan rasa ketidak-lengkapan atau perkembangan yang berkelanjutan, mungkin mengajak pemirsa untuk merefleksikan sifat seni atau pertumbuhan pribadi sebagai proses yang berkelanjutan dan berkembang.
Karya ““Bond of Prayers” Aryatama Nugraha, merupakan karya media campuran yang menggabungkan teknik cyanotipe dan jahitan benang, menciptakan kualitas tekstur dan nuansa warna bagian biru, dengan gradien dan variasi halus yang menyerupai riak air atau langit mendung. Penggunaan jahitan dan benang menambah kualitas sentuhan tangan, menyimbolkan kepada nilai perbaikan, pengikatan, atau penyambungan. Tekstur kertas daluang yang berserat meningkatkan kesan organik dan alami pada karya tersebut.
Devy Ferdianto , menampilkan beberapa karya dengan beragam teknik cetak grafis, mulai dari sablon dan yang termutakhir dengan gumoil. Tema-tema karyanya banyak menyinggung dengan sejarah seni rupa , baik dunia maupun Indonesia. Karya “Pemikat” yang menggunakan gumoil memperlihatkan apropriasi fotografis dari sebuah lukisan Rembrant Van Rijn , tetapi dengan mengubah sentral perhatiannya dengan babi panggang khas Bali. Karya ini seperti menjadi suatu sindiran kepada persoalan identitas budaya dan sejarah seni dunia maupun kepada nilai-nilai kelokalan.
Karya-karya Dewa Made Johana berupa figur-figur berbaju adat Bali berada di tengah, dikelilingi oleh warna-warna cerah dan elemen bunga, sehingga menciptakan titik fokus yang mencolok. Elemen Bunga yang menutupi wajahnya dapat berfungsi sebagai simbol keindahan, kerapuhan, atau pertumbuhan, menunjukkan hubungan yang kuat dengan alam. Karya-karyanya mengeksplorasi hubungan antara identitas manusia dan alam, menekankan bagaimana elemen bunga mencerminkan identitas pribadi atau budaya. Penjajaran elemen manusia dengan alam dapat melambangkan harmoni atau ketegangan, mengajak pemirsa untuk merefleksikan hubungan mereka dengan alam.
Goenawan Mohamad menjelajahi teknik etsa , litografi, sablon dan penggabungannya. Salah satunya karya berjudul “Alien” yang menampilkan beberapa elemen visual mencolok yang menciptakan efek menghantui dan sureal: didominasi oleh warna-warna berani dan kontras: figur berwarna merah cerah dengan latar belakang hitam pekat. Subjek sentral menyerupai sosok mahluk asing. Warna merah menonjolkan ciri-cirinya yang menyeramkan dan hampir seperti tengkorak. Wajahnya terdistorsi, dengan detail yang berlebihan dan penuh goresan ; mata cekung, gigi tajam, dan garis bertekstur yang memberikan kesan kulit melar dan lapuk. Secara keseluruhan, karya ini menciptakan pengalaman visual yang memadukan surealisme, ekspresionisme, dan kesan mengerikan. Teknik cetak intaglio menambah kedalaman melalui garis – garis halus dan gradasi warna. Tekstur kulit figur tersebut tampak kasar dan ekspresif, pewarnaan dengan tangan menambah kualitas sentuhan artistik. Pada karya-karya lainnya, Goenawan menjelajahi teknik etsa , litografi, sablon dan penggabungannya.
Karya - karya Handy Saputra memadukan teknik sablon dan litografi sehingga menghasilkan komposisi yang sangat ekspresif dan abstraksi. Karya ini membangkitkan rasa asing dan sureal, dengan elemen manusia, hewan, dan abstrak yang berpadu menjadi satu. Figur-figur tersebut terasa seperti dunia lain atau mistis, kemungkinan merujuk pada totem, topeng, atau bentuk makhluk yang belum ditemukan. Secara keseluruhan, karya ini menyeimbangkan abstraksi dan figuratif, menggunakan warna berani dan garis dinamis untuk menciptakan pengalaman visual yang kuat. Sosok-sosok tersebut terasa hidup sekaligus penuh teka-teki, seolah-olah muncul dari alam khayalan atau alam bawah sadar.
Karya – karya I Made Aswino Aji tampak menunjukan penggarapan visual yang dinamis, dengan berbagai elemen dan bentuk yang tampak bergerak, menunjukkan sebuah perjalanan atau perkembangan. Kombinasi bentuk abstrak dan figuratif dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda, mendorong refleksi pribadi dari yang melihatnya. Judul Journey menyiratkan tema eksplorasi—baik fisik maupun metaforis—yang mencerminkan pengalaman yang membentuk jalan seseorang. Elemen dalam cetakan dapat diambil dari motif budaya, mewakili perjalanan pribadi atau kolektif melalui warisan dan tradisi. (Rifky ‘Goro’ Effendy)
Agung Pramana (Lahir 1998). Tertarik dengan seni grafis sejak sekitar tahun 2018, ia mulai bereksperimen dengan desain grafis. Karya-karyanya kerap tampil unik, bermain-main dengan distorsi gambar, penggunaan finishing titik halftone, dan komposisi objek yang serasi.Terlahir di tengah masyarakat perkotaan, memicu kiprah Agung menjadi media untuk memahami dirinya di Bali yang “sebenarnya”. Karya-karyanya terinspirasi dari objek-objek yang ia amati disekitarnya: visual budaya Bali/Nusantara meliputi patung, arsitektur, ukiran, karangan dan benda-benda lainnya. Ketertarikan tersebut muncul salah satunya karena ketidakpastian mengenai rahasia kebudayaan Bali yang bagi Agung masih terasa ambigu dan penuh unsur yang belum diketahui. Melalui karya-karyanya, Agung meneguhkan semangat melestarikan dan mengenang warisan pola budaya, melalui karya visual pop eksperimental yang memperkecil jarak antara karyanya dengan publik.
Aryatama Nugraha, Lahir pada tanggal 15 Oktober 1996 dan lulus dari jurusan desain visual dan komunikasi. Arya saat ini tinggal dan bekerja di Bali. Semangatnya untuk bereksperimen secara otodidak, khususnya dalam pembuatan kertas murbei membawanya menjadi salah satu pembuat kertas terbaik di bidangnya. Kertas murbei (daluang) miliknya diakui sebagai salah satu yang terbaik di Bali dan saat ini digunakan oleh seniman cetak dan lukis di Bali. Dulu, ia mengkolaborasikan karya kertasnya dengan berbagai seniman lokal dan internasional seperti Kemalezedine, Jero Apel, Kuncir Sathya Viku, Nyoman Erawan, Stephan Kotas, Ricky Lee Gordon, dan masih banyak lagi. Ia juga pernah mengikuti pameran seni grafis seperti Ars Multipicata, Devfto Group Exhibition on Deus Ex-Machina Canggu, 2024, Ubud Open Studio Showcase, Titik Dua, Ubud, 2024, Devfto Group Artshow, Manna Uluwatu, 2024, Printmaking Adventure: Exploring The Unexpected Pameran Grup Indus Gallery, Ubud 2024, Gelar Grafis Devfto Langgeng Art Foundation Yogyakarta, 2023
Devy Ferdianto yang lahir pada 1968 adalah salah satu dari sangat sedikit seniman di Indonesia yang bahasa visualnya berpusat pada seni cetak sebagai mediumnya. Dedikasinya selama lebih dari 30 tahun dalam mempelajari dan menjelajahi berbagai teknik seni grafis membuat ia mendapat pengakuan dari lingkungan seni rupa sebagai master printer. Karya-karya Devy menyampaikan wacana tentang eksplorasi warna, garis, bentuk, dan kreasi melalui berbagai teknik cetak. Penguasaan Devy dalam seni cetak-mencetak diperolehnya tidak hanya dari latihan, tetapi juga melalui pendidikan formal. Ia lulus dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mengambil pendidikan lanjutan serta magang keterampilan di Hochschule fuer Bildende Kuenste de Braunschweig, Jerman, dan Canadian School for Non-Toxic Printmaking, di Alberta, Kanada. Setelah berhenti dari kiprahnya mengajar di sebuah perguruan tinggi desain di Bandung, Devy pindah ke Bali untuk memperkaya pengalaman dan dedikasinya di bidang seni grafis. Di luar studio seni pribadinya, ia telah mendirikan berbagai studio seni grafis (baik sebagai individu maupun kemitraan), yang terbuka untuk seniman profesional maupun orang biasa, di Bandung dan Jakarta. Pada 2021, ia mendirikan Devfto Printmaking Institute di Ubud, Bali. Lembaga ini telah mengajak sejumlah perupa terkemuka Indonesia untuk berkarya dengan cetak grafis. Pameran tunggal Devy Ferdianto yang mutakhir adalah Kalang (2024) di Sika Gallery, Ubud. Karya-karyanya juga telah tampil dalam berbagai pameran bersama di Indonesia maupun mancanegara sejak 1988.
Dewa Made Johana (lahir di Silungan, Bali 1994) adalah salah satu seniman muda Bali yang karyanya dari awal menggunakan cetak grafis. Jo (nama panggilannya) mulai mendalami seni grafis semasa kuliah di Undiksha (Universitas Pendidikan Ganesha), jurusan seni rupa. Banyak karya awalnya yang merupakan konstruksi teknik cetak linocut dan carborundum. Dan dalam beberapa tahun terakhir Jo mulai mengembangkan karyanya dengan menggunakan foto-foto arsip lama dan memadukannya menjadi karya cetak dengan kombinasi proses relief dan intaglio. Melalui proses ini, karya-karya Jo masuk ke ranah preservasi. Dalam 4 tahun terakhir, Jo aktif terlibat dalam berbagai pameran kelompok, sebagian besar di Bali, juga di Bandung, Yogyakarta dan Surabaya di galeri dan ruang seni seperti Bentara Budaya Bali, Museum Seni Neka, Museum Puri Lukisan, Galeri Maya, Bale Banjar Sangkring, Galeri Sika, Dia Loe Gue, Galeri Langgeng dan lain-lain.
Goenawan Mohamad (lahir 29 Juli 1941) adalah seorang penyair, esais, penulis naskah drama, dan editor Indonesia. Dia adalah pendiri dan editor majalah Indonesia Tempo. Goenawan adalah seorang pengkritik yang vokal terhadap pemerintah Indonesia, dan majalahnya secara berkala ditutup karena kritik-kritiknya. Goenawan telah memenangkan berbagai penghargaan untuk karya jurnalistiknya, termasuk CPJ International Press Freedom Awards (1998), International Editor of the Year Award (1999) dan Dan David Prize (2006). Goenawan Mohamad, beberapa kali mengadakan pameran seni rupa di Jakarta, Yogya, Semarang, Surabaya, Ubud Sanur, dan Bandung. Ia mulai terpikat membuat karya lithografi dan print lainnya sejak 4 tahun yang lalu.
Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Ia lulusan Magister Manajemen Universitas Warmadewa, Denpasar. Sejak kanak ia gemar membaca buku yang berkaitan dengan seni dan sastra. Di sela-sela kesibukannya sebagai pebisnis, ia gemar mengoleksi lukisan dan menyalurkan hobinya pada bidang seni, terutama fotografi dan seni rupa. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), pameran di Devto Studio (2021), pameran Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Lukisannya juga pernah menjadi cover buku puisi Amor Fati (Pustaka Ekspresi, 2019) karya Wayan Jengki Sunarta dan ilustrasi cerpen Wisanggeni karya Yanusa Nugroho yang dimuat di Kompas (Minggu, 19 Desember 2021).
Made Aswino Aji (Bali, 1977) adalah seniman multidisiplin yang tumbuh dalam keluarga pemahat kayu, pematung, dan pelukis. Latar belakang akademisnya di bidang Seni Lukis dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1996) memberikan landasan bagi eksplorasi seninya. Pelatihan formal ini berkaitan dengan pengalaman kekeluargaan dan tradisionalnya, sehingga membentuk pendekatan kreatifnya. Dengan memanfaatkan pengaruh-pengaruh tersebut, Aji menggunakan sindiran untuk menyampaikan kritik sosial yang menyayat hati melalui karya-karyanya.
Agung Pramana
“Unfinished Ornaments II”
Screen Print on Aluminum Plate
50 x 70 cm
2024
Agung Pramana
“Unfinished Ornaments III”
Screen Print on Aluminum Plate
50 x 70 cm
2024
Agung Pramana
“Unfinished Ornaments I”
Screen Print on Aluminum Plate
50 x 70 cm
2024
60
2024
Cyanotype and Stich
60 x 80 cm
2024
120 x 120 cm 2024
Devy Ferdianto
“The Three Mas Kenthir” (3/3)
Screen Print
50 x 70 cm
2024
Devy Ferdianto
“Tribute to Spies”
Monoprint with Screen Print
72 x 102 cm
2024
Devy Ferdianto
“Tribute to Lempad”
Monoprint with Screen Print
72 x 102 cm
2024
Devy Ferdianto
“Tribute to Srihadi”
Monoprint with Screen Print
72 x 102 cm
2024
Screen Print
20 x 20 cm
2024
Screen Print
20 x 20 cm
2024
Screen Print
20 x 20 cm
2024
Dewa Made Johana “Ritus”
Color Intaglio and Relief Print
60 x 40 cm
2021
Color Intaglio and Relief Print
36 x 49 cm
2021
“The Memory of Flower III” (2/3)
Cyanotype and Screen Print
33 x 35 cm
2024
Screen Print
42 x 60 cm
2023
Screen Print
50 x 70 cm
2024
“Alien” (3/5)
Intaglio, hand coloring
59 x 49 cm
2024
Etching Aquatint
59 x 49 cm
2024
Screen Print and Lithography
59,5 x 44,5 cm 2023
70 x 100 cm
2023
Screen Print and Lithography
80 x 120 cm 2024
Saputra “Undiscovered”
Screen Print and Lithography
44 x 58 cm 2024
Screen Print and Lithography
44 x 58 cm
2024
Screen Print and Lithography
60 x 80 cm
2024
I Made Aswino Aji
I Made Aswino Aji
Screen Print 50 x 70 cm 2024
I Made Aswino Aji “Journey III”
Screen Print
50 x 70 cm 2024
I Made Aswino Aji