E-Catalogue From Cubicle to Gallery Walls

Page 1

M O FR LE IC B CU

Alvin A. Djohan Arthur Tamnge Tommy Aditama Putra

T O L E RY GAL LS L A W


Published in conjunction with the exhibition:

FROM CUBICLE TO GALLERY WALLS

EXHIBITION BY Alvin A. Djohan Arthur Tamnge Tommy Aditama Putra Jul 31 - Aug 2, 2019 Orbital Dago

All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted, in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying or otherwise, without prior permission of the copyright holder. Copyright of artwork images belong to SemAta Gallery and their respective artists, and essay to the respective author

Director of Orbital Dago Rifky Effendy Curator Gumilar Ganjar

Jl. Rancakedal no.7, Cigadung, Kota Bandung Jawa Barat 40191 ph. +622282522979

Director of SemAta Gallery Wilman Hermana Design, Photography, and Videography Priscilla ‘Kika’ Korompis

Jl. Boscha III no.147, Cipaganti, Bandung Email : sematagallery@gmail.com IG : @sematagallery

2


TABLE OF CONTENTS

5

Pengantar SemAta Gallery Wilman Hermana

7

Pengantar Kuratorial Gumilar Ganjar

16

Artwork

41

Short Biography

3



KATA SAMBUTAN

Wilman Hermana

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME, berkat karuniaNya pameran ini, yang bertajuk ‘From Cubicle to Gallery Walls’. dapat terselenggara dengan baik. Niatan untuk menyelenggarakan pameran ini sebetulnya sudah tercetus cukup lama, namun karena pelbagai hal, pameran ini baru dapat kami selenggarakan sekarang. Pameran ini sejatinya merupakan salah satu wujud program yang digagas oleh semAta gallery , yaknia Artist Advisory. Di platform ini kami mencoba untuk mendukung dan menfasilitasi publik umum untuk dapat mengakses galeri seni sebagai ruang untuk menunjukkan ekspresi diri. Khusus untuk projek ini, kami mencoba untuk terlebih dulu berangkat dari lingkup sosial yang berdekatan dengan kami sebelum nantinya diharapkan dapat memfasilitasi publik yang lebih luas. Pameran ini pun, dapat dibilang, merupakan pilot project dari program baru kami.

5


Partisipan yang dilibatkan dalam pameran ini bisa saya nyatakan cukup unik dan spesial, karena mereka datang bukan dari kalangan seniman, namun juga berkarya dan menciptakan sesuatu. Para partisipan ini adalah tiga sekawan yang bekerja disalah satu restoran di Bandung memiliki ketertarikan terhadap seni karena tempat kerja mereka memiliki konsep mendekatkan seni kepada publik, dengan secara langsung menghadirkan seni di ruang-ruang restoran. Selama kurang lebih empat bulan mereka difasilitasi untuk mengungkapkan dan belajar mengenai seni lewat mengunjungi pameran dan berdiskusi dengan seniman-seniman. Sampai akhirnya terciptalah karya masing-masing yang menurut mereka merupakan bentuk penegmbangan kerja kreatif secara professional sebagi culinary designer, videographer, dan desainer grafis. Terima kasih saya sampaikan kepada Rifky Effendi selaku direktur dari Orbital Dago yang telah memberikan waktu dan tempatnya sehingga pameran ini dapat terlaksana, juga kepada Gumilar Ganjar yang telah mengkurasi pameran ini yang lewat penuturannya kita dapat membuka lebih jauh lagi tentang pemaknaan seni secara luas. Saya juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Jim Supangkat yang telah berbincang-bincang mengenai pameran ini serta ide-ide yang beliau sampaikan d apat membuka pengetahuan akan seni dan kesediaannya untuk membuka pameran. Saya juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam - dalamnya kepada team semata gallery, Suni, Kika, Syayu dan Resna atas dukungan dan bantuannya sehingga pameran ini terselenggara. Dan terakhir pada para seniman; Alvin, Artur, dan Tommy, saya ucapkan selamat berpameran. Terakhir saya juga mengucapkan berterima kasih kepada para audiens yang telah menjadikan pameran ini bermakna dengan kehadiran mereka. Saya berharap audiens dapat menyaksikan, menikmati dan bahkan termotivasi oleh karya para seniman. Boscha, 29 Juli 2019 Wilman Hermana Art Director semAta gallery

6


FROM CUBICLE TO GALLERY WALLS

Gumilar Ganjar, May 2019

Lingkar pertemanan barangkali adalah institusi sosial ke dua, setelah keluarga, yang dihadapi oleh individu sebelum kita berhadapan dengan cakupan sosial lain yang lebih besar. Ia cenderung bersifat cair, non-eksklusif, dan tidak ‘terpranatakan’1. Meski demikian, pertemanan tetap merupakan institusi sosial yang penting bagi tiap individu. Melaluinya seseorang dapat mulai terhubung diri pada dunia luar, menandakan keterbukaan diri 2, dan memberikan pengaruh pada diri sendiri. Pun dalam konteks kerja profesional. Meski lingkup ini cenderung bersifat lebih kaku dan terkondisikan, di luar selubung ketat keprofesian interaksi sosial yang cair dan mengarah pada pertemanan dapat terjalin, dan pada gilirannya, kembali mempengaruhi individu.

1 Beate Volker, Friendship (2016) 2 ibid

7


Esai ini tidak berpretensi untuk melandaskan diri pada analisis sosiologis dalam membingkai kerja artistik dari tiga partisipan - Alvin Djohan, Arthur Tamnge, dan Tommy Aditama dalam kinerja kuratorialnya. Frasa From Cubicle to Gallery Walls dipilih untuk menyatakan bahwa - siapa sangka - inisiatif penciptaan karya dan penyelenggaraan pameran, dapat bermula dari dorongan-dorongan kasual sebuah relasi pertemanan yang bermula dari lingkup keprofesian. Tiga sekawan ini menghidupi diri dengan bekerja di salah satu korporasi yang bergerak di industri Food and Beverages services, yang barangkali kebetulan, juga menjadikan seni sebagai salah satu konten dekorasi restoran mereka. Visi memanfaatkan seni sebagai konten ini, selain menjadi kanal lain apresiasi seni, juga memantik ketertarikan seni bagi para pekerjanya. Dengan hampir setiap hari bersinggungan dengan karya seni, juga sesekali berinteraksi dengan seniman, para partisipan ini mulai tertarik pada praktik seni dan lambat laun menumbuhkan inisiatif penciptaan seni dalam diri mereka. Ketertarikan ini yang kemudian coba disambut dan difasilitasi oleh pameran ini, dengan Semata Galeri sebagai fasilitator yang mengakomodir.

8


Dalam mendorong para partisipan yang terlibat dalam merumuskan sensibilitas artistiknya masing-masing, pameran ini mencoba bertolak dari profesi para partisipan yang sejatinya juga berlandaskan pada penciptaan: Alvin Djohan sebagai videografer, Arthur Tamnge sebagai seorang culinary designer 3, dan Tommy Aditama4 sebagai desainer grafis. Latar keprofesian yang tidak sepenuhnya terkait dengan kesenimanan ini barangkali akan menimbulkan pertanyaan. Bagaimana kemudian melalui mekanisme pameran legitimasi praktik keprofesian sebagai sebuah bentuk kesenian, dan legitimasi awam sebagai seniman dapat dilakukan? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, pameran ini tidak berusaha untuk ‘berlindung’ di bawah argumen ‘siapa saja dapat menjadi seniman’5 dan dengan serta merta melegitimasi mereka tanpa melalui penelusuran. Frasa tersebut tidak dimaknai sebagai sebuah klaim longgar yang membebaskan, melainkan sebuah motivasi yang menuntut kesungguhan dan kehati-hatian.

3 Profesi

culinary designer, dalam konteks industri F&B, ditambatkan pada mereka yang bertanggung jawab atas resep yang ditawarkan sebuah restoran. Rentang kerja mereka dapat melebar tidak hanya mengurusi kinerja dapur, melainkan pada aspek tatakelola restoran secara umum, hingga bertanggung jawab pada konsep restoran itu sendiri. Dalam hierarki kerja restoran konvensional, cakupan kerja ini sebenarnya juga mirip dengan seorang chef, namun dalam praktiknya di Indonesia, profesi chef ini seringkali juga disalahpahami sama dengan koki, atau cook. Untuk melerai kesalahan pemahaman ini, Arthur kemudian memilih untuk menyebut dirinya sebagai culinary designer.

4 Tommy

Adytama Putra sejatinya memiliki latar belakang pendidikan di bidang seni rupa dan sempat berkarir menjadi seniman penuh waktu pada paruh akhir dekade 2000an. Di awal dekade 2010an Ia mulai memutuskan untuk beralih menjadi desainer grafis. Karena pengalamannya tersebut, dalam proses penyelenggaraan pameran ini Tommy berperan tidak hanya sebagai seniman partisipan, melainkan juga sebagai kolaborator, mentor, dan katalis partisipan lainnya.

5 Mengutip

frasa “Every man is an artist” yang diutarkan oleh Joseph Beuys pada tahun 1978. Dalam konteks Beuys, frasa ini merupakan prasyarat dari intensi artistiknya dalam menciptakan ‘social organism’ yang mampu secara memadai mengkritisi sistem sosial yang mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pameran ini esai tersebut kemudian dimaknai sebagai sebuah bentuk motivasi bahwa nilai-nilai estetik, sejatinya, dapat ditelisik dan dikembangkan dalam aktivitas keseharian individu.

9


Melalui sejumlah diskusi yang dilalui, pameran ini menyadari bahwa praktik penciptaan dalam konteks profesi masing-masing sejatinya menawarkan nilai kultural - hal yang kemudian dikembangkan dan dieksploitasi sebagai ‘sumber daya artistik’ masing-masing partisipan. Dalam pengakuan mereka, eksplorasi tersebut seringkali terbentur oleh sejumlah batasan. Motivasi industri yang memprioritaskan diri pada pemenuhan permintaan yang berdampak pada subordinasi nilai kultural dari penciptaan personal, adalah contoh dari batasan tersebut. Nilai kultural dalam proses kreasi mereka cenderung tidak menjadi isu sentral dalam mekanisme industri. Ia cenderung menjadi nilai tambah, berdiri di wilayah pinggiran, serta tergeser oleh visi industri yang sebelumnya disebutkan. Konteks ‘permintaan’ kemudian menjadi sumber kegelisahan bagi mereka, karena seringkali visi-visi idealis mereka tidak sepenuhnya dapat termanifestasikan dalam pekerjaan. Gagasan mereka selalu terbentur dengan pertanyaan-pertanyaan tipikal semacam ‘sasaran pasar’, ‘tren’, dan ‘gejolak permintaan’. Pembatasan kreasi di atas lah yang kemudian coba dilerai dalam pameran ini. Dengan menjadikan visi pameran sebagai bentuk dari ‘pembebasan artistik’, pameran ini ‘menganugerahi’ dan memfasilitasi mereka dengan keleluasaan eksplorasi. Dalam prosesnya, korespondensi kuratorial yang dilalui dalam pameran ini dapat dinyatakan menjadi cukup ‘menantang’. Menantang karena misi pembebasan ini justru menjadi hal yang menyulitkan partisipan yang terbiasa menjadikan ‘pesanan’ dan ‘permintaan’ sebagai tolakan kreasi. Bagi partisipan lain, tantangan yang hadir adalah merumuskan gagasan artistik yang tepat sasaran dan relevan. Beberapa terkesan melompat terlalu jauh, terlalu berkelindan, tidak menunjukkan relevansi konseptual, dan lain-lain. Sejumlah ide muncul dan beragam strategi diupayakan dalam proses eksplorasi para partisipan di sini. Strategi seperti metode penciptaan kolaboratif, tolakan tema yang merespon isu sosial politik yang spesifik, respon pada karya partisipan lain, adalah beberapa yang diujicobakan. Dalam prosesnya gagasan ini kemudian ditampung, dikembangkan, diolah, ditolak, terus berulang hingga 10


akhirnya menjadi sebuah gagasan yang ‘dicukupkan’ untuk dihadirkan di tengah khalayak. Dari rangkaian proses tersebut, kami kemudian memutuskan untuk terlebih dulu kembali pada aspek-aspek esensial dan fundamental dalam proses penciptaan seni, seperti pada persoalan ekspresi pribadi, representasi diri, dan eksplorasi bentuk. Dalam kesehariannya mengolah gambar bergerak (moving images), Alvin Djohan juga sejatinya bersinggungan dengan aspek-aspek dasar dari formalisme seperti warna, irama, gerak, keseimbangan, dan lain-lain. Dari sekian banyak potensi eksplorasi, dalam pameran ini Ia memutuskan untuk fokus pada satu persoalan estetik, yakni warna. Dalam eksplorasinya Ia menemukan sebuah pengalaman estetik yang menarik ketika pigmen cair melebur dan bergerak dalam media air. Ia menemukan adanya pengalaman unik ketika daya kreatif manusia yang sejatinya artifisial berinteraksi dengan fenomena natural. Fenomena pergerakan, alur, dan pencampuran warna ini yang kemudian Alvin olah sedemikian rupa dalam ‘kanvas’ yang dinamis. Fenomena ini Ia rekam, Ia sunting, Ia sambungkan satu sama lain hingga menjadi sebuah tontonan yang menawarkan pengalaman estetik yang khas bagi kita. Barangkali dapat dirangkum dalam sebuah metafor, karya Alvin menunjukkan bagaimana seorang pelukis mengolah warna dalam kanvasnya yang bergerak, eksplorasi formal di di ‘bidang’ gambar yang dinamis. Alvin juga sebetulnya hendak membicarakan keragaman dan kesatuan dalam karyanya. Menurutnya, kesatuan sejatinya tetap dapat mengindahkan keberagaman, bahwa menjadi ‘satu’ tidak harus selalu menjadi seragam. Bahwa kekhususan dan partikularitas masih dapat hadir dalam sebuah harmoni yang toleran. Hal ini coba Ia gambarkan dalam perpaduan pigmen warna-warna primer kemudian menyatu menjadi warna sekunder. Ia kemudian memotong persis di momen ketika warna-warna ini masih menunjukkan karakter aslinya, sebelum nantinya melebur dalam warna yang seragam. Ia mengharapkan karyanya dapat merepresentasikan hal tersebut. 11


Sebagai seorang praktisi di bidang gastronomi, Arthur Tamnge menyadari bahwa persoalan kuliner tidak hanya sebatas pemenuhan kebutuhan manusia. Persoalan ini penting dalam kebudayaan tidak hanya karena Ia merupakan salah satu penyokong penting dari kebutuhan dasar, melainkan juga dapat menjadi cerminan identitas kultur lokal setempat, kondisi geografi, bahkan hingga karakter individu. Khusus untuk pameran ini, eksplorasi artistik Arthur kemudian diisolasi pada persoalan identitas. Argumentasi yang Ia tawarkan adalah bahwa makanan juga dapat merepresentasikan identitas individu, serta memasak sebagai medium ekspresi. Arthur kemudian akan memilih dan memasak secara langsung sekitar 5 menu makanan6 yang mengandung nilai sejarah personal bagi dirinya. 2 makanan daerah kampung halamannya, 2 menu yang Ia buat pertama kali semasa kecil, satu menu yang Ia buat pertama kali ketika Ia terjun ke dunia industri, dan terakhir adalah menu yang menurutnya merepresentasikan eksplorasi kulinernya yang cukup matang saat ini. Konfigurasi ini seperti menghadirkan metafor dinamika perjalanan kehidupannya dalam menuju kedewasaan. Makanan-makanan tersebut kemudian Ia presentasikan secara terukur selayaknya ‘artefak’ sejarah di atas pedestal yang Ia buat sendiri. Eksplorasi visual kemudian Ia latih dalam presentasi makanan di atas pedestal tersebut. Di akhir performans ini, Ia mengajak publik untuk turut serta ‘mengapresiasi’ karyanya dengan mencicipinya. Karya kedua Arthur merupakan instalasi pizza tergantung yang juga hendak Ia bagikan ke pada publik. Makanan yang Ia hadirkan memang tidak sepenuhnya

6

Pilihan menu makanan dan signifikansi sejarah personalnya ini antara lain: (1) Salmon Colo Colo dengan Puree Ubi Ungu - makanan tradisional dari Jayapura yang diperkenalkan oleh Ayah, (2) Ayam Rica-rica dengan Potongan Kentang Dadu - makanan tradisional Sulawesi yang diperkenalkan Ibu, (3) Panekuk Manis - masakan pertama yang dibuat Arthur bersama kakanya, (4) Indomie Goreng - makanan pertama yang dimasak semasa hidupnya, dan (5) Sirloin Steak with Mashed Potatoe - salah satu masakan favorit Arthur dalam karir keprofesiannya

12


matang sempurna. Ia dengan sengaja menghadirkan beberapa potongan pizza yang belum matang dan gosong. Ia mencoba ‘memainkan’ persepsi dan reaksi publik dalam menghadapi produk makanan yang tidak sempurna, mencoba mengeksplorasi hal yang tidak mungkin Ia lakukan dalam konteks Industri. Karya ini di satu sisi barangkali akan menghadirkan sebuah ‘tegangan’, karena kesempurnaan produk adalah hal yang seolah menjadi privilese konsumen. Terlepas dari betapa sulitnya sebuah proses produksi. Partisipan terakhir yang dilibatkan dalam proyek ini adalah Tommy Aditama Putra. Meskipun saat ini Tommy berprofesi sebagai seorang desainer grafis, sebelumnya Ia cukup sering terlibat dalam aktivitas medan seni rupa Indonesia utamanya pada pertengahan hingga akhir dekade 2000an. Dalam riwayat kekaryaan sebelumnya Tommy berkarya menggunakan medium grafit di atas kanvas dengan tema karya yang berkisar di antara potret dan figur manusia. Setelah vakum berpameran selama kurang lebih 7 tahun, saat ini Ia mulai kembali menekuni karir kesenimanannya. Dalam pameran ini, Tommy hadir dengan modus media baru berupa fotografi, masih dengan tema karya di wilayah hubungan manusia dalam visualitas yang monokrom. Eksplorasi artistik 7 Tommy belakangan mulai spesifik menekankan pada persoalan domestik . Fokus ini menjadi menarik karena tema ini hadir dari perspektif seorang lakilaki. Dengan tidak bermaksud menjadi seksis, esai ini melihat bahwa hal ini menawarkan sebuah pandangan baru dalam merespon persoalan. Pada karya yang dihadirkan dalam pameran ini, Tommy membahas pentingnya hubungan pertemanan bagi setiap individu. Pun dalam konteks generasi milenial di mana para partisipan ini dikategorikan, hubungan pertemanan terus menjadi penting

7 Indikasi

dari pentingnya persoalan domestik dalam kekaryaan Tommy dapat dilihat dari pameran tunggalnya yang berjudul ‘101 Sindhu Bumi’ yang diselenggarakan di awal tahun 2019 bersama Semata Galeri. Tommy mengangkat persoalan bagaimana kehadiran seorang anak dapat mempengaruhi dan menggeser orientasi kehidupan individu dalam pameran tersebut. Modus estetik yang Ia gunakan masih menggunakan strategi sebelumnya menggunakan grafit dan menampilkan potret. Ditinjau dari segi perkembangan estetik, pada pameran ini Tommy mulai lebih terbuka mengeksplorasi ekspresi. Sebelumnya ekspresi merupakan hal yang jarang Ia tampilkan, gestur tenang dan ekspresi datar sebelumnya lebih mendominasi.

13


hingga masa-masa dewasa. Dalam karyanya Tommy juga berbicara mengenai pentingnya ‘pelumas sosial 8 ’ dalam relasi pertemanan, dan juga relasi sosial secara umum. Potret yang hadir dalam karyanya memperlihatkan gestur yang tengah meneguk minuman, memberikan metafor seolah Ia sedang berbincang dengan teman-temannya melalui karyanya tersebut. Penyadaran tentang pentingnya ‘pelumas sosial’ itu pun, Ia dapatkan semasa karirnya di bidang industri makanan dan minuman. Karya Tommy berhasil memperlihatkan nilainilai yang kita luputi dalam persoalan yang terkesan minor dan trivial dalam keseharian kita. Dengan memutuskan kembali pada aspek-aspek elemental dalam proses penciptaan, pameran ini berharap dapat mengarahkan para partisipan untuk mendekati nilai inti proposisi estetik yang nantinya akan mereka kembangkan, mewujudkan visi dari pameran sebagai kanal edukasi informal. Pameran ini berharap bahwa kedepannya - para partisipan ini - kian menekuni dan mendalami kesenimanannya masing-masing hingga mampu menawarkan proposisi estetik yang lebih kritis dan purna. Tentu, menyatakan bahwa para partisipan ini sudah sepenuhnya sudah menjadi seniman, dalam ‘definisi spesifiknya’, tetap menjadi problematik. Setidaknya, pameran ini berhasil memfasilitasi mereka untuk menapaki langkah-langkah awal sebelum memasuki rimbaraya medan seni rupa kontemporer, dan memperkenalkan pada mereka tentang rumitnya perumusan sebuah argumentasi artistik yang memadai dan memuaskan, kerumitan yang justru mengandung ‘keindahan’ tersendiri. Di luar konteks dan visi promosional dari pameran ini, hal lain yang juga patut diapresiasi dari spirit yang ditunjukkan para partisipan di sini adalah kegigihan mereka dalam mengupayakan apa yang mereka yakini. Dalam fasad peradaban

8

Frasa ‘pelumas sosial’ diterjemahkan secara langsung dari ‘social lubricant’, sebuah istilah yang cenderung tercipta secara anonim dan sering digunakan dalam konteks kasual masyarakat urban. Social Lubricant sendiri menandakan ‘budaya minum’ yang secara serempak hadir di seluruh bentuk budaya sebagai salah satu metode untuk mencairkan interaksi sosial.

14


mutakhir saat ini, seringkali kita dihadapkan pada realita yang memaksa kita untuk memilih antara mengorbankan kepentingan diri dalam menekuni idealisme personal atau melupakannya dan terjebak sebagai ‘abdi’ kapital. Para partisipan ini bersiasat untuk tetap dapat melanjutkan penghidupan namun sekaligus tetap menekuni passion dan idealisme pribadi. Barangkali mereka berhasil menerapkan apa yang disebut dengan ‘pragmatic Idealism 9 ’, sebuah strategi khas generasi milenial yang berhasil menjembatani polaritas pragmatis dan idealis - dengan tetap menjadikan karir selaras dengan ketertarikan diri, atau mensiasati agar keduanya tetap dapat hidup berdampingan. Dengan melakukan hal tersebut, kita dapat tetap menaruh nilai pada realitas keseharian kita yang barangkali terkesan, trivial. Sebuah siasat dalam memahami dan memaknai hidup.

9 Konsep

Pragmatic Idealism dikemukakan oleh David Burnstein pada tahun 2013 dalam Fast Future: How the Millennial Generation Is Shaping Our World (2013). Burnstein melihat bahwa generasi milenial berhasil dalam mensiasati pragmatisme dan idealisme yang sebelumnya dinilai sebagai dikotomi yang berlawanan, dimana menjadi pragmatis akan mementingkan kepentingan diri dan mengabaikan moralitas, sedangkan menjadi idealis menuntut pengorbanan kepentingan diri dalam memperjuangkan moralitas dan idealisme personal. Menurutnya, milenial dapat secara sekaligus memenuhi tujuan-tujuan dan idealisme personal tanpa mengorbankan kepentingan diri.

15



ALVIN A. DJOHAN


Warna Kita single channel video (3 panels) duration (2:00) 2019


Warna Kita single channel video (3 panels) duration (2:00) 2019


Warna Kita single channel video (3 panels) duration (2:00) 2019



ART TAM HUR NG E


Desire & Perception food installation variable dimension 2019



Gastronomy Journal food installation & performance variable dimension 2019



Gastronomy Journal food installation & performance variable dimension 2019



Gastronomy Journal food installation & performance variable dimension 2019



Gastronomy Journal food installation & performance variable dimension 2019



Gastronomy Journal food installation & performance variable dimension 2019



TOMMY ADITAMA PUTRA


Cheapest Flight digital print on galvanis plate Âą 10 cm x 29 cm (12 panels) 2019




ALVIN A. DJOHAN

Alvin Agustinus Djohan adalah seorang desainer dengan fokus kegiatan pada produksi video untuk kebutuhan-kebutuhan komersil maupun publik. Ia menyelesaikan studi sarjana di program studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain - Institut Teknologi Bandung pada tahun 1999. Semenjak 2016 hingga saat ini, Alvin aktif berkarya di EASTERN GROUP. Selain menyelesaikan video-video komersil, Alvin pernah juga terlibat dalam pembuatan video layanan masyarakat bersama PEMPROV DKI pada tahun 2015. Karya-karya film pendeknya antara lain: To Be Used Pandora (2015), Petak Umpet (2014), Lolonie (2011), Stranger (2011), Powderman (2011), Kursinya (2010), dan Sua (2004). 39


ARTHUR TAMNGE

Junior Arthur Immanuel Tamnge adalah seorang culinary designer yang mengedepankan eksplorasi dan intuisi. Semenjak tahun 2016 hingga saat ini, Ia bekerja sebagai Culinary Research & Development Consultant untuk EASTERN GROUP yang berbasis di Bandung. Sebelumnya Arthur menempuh pendidikan vokasional di Sekolah Menengah Kejuruan Sandy Putra hingga tahun 2009. Sebelum menetap di Bandung, Arthur aktif mencari pengalaman di restoran dan hotel baik di dalam maupun luar negeri. Restoran-restoran ini antara lain: Casa Manja, Hotel AnCasa, Malaysia (2008-2010), Casamnaja Restaurant, Bandung (2009-2010), Dubai International Hotel (2010-2012), Mozaic Gastronomique Restaurant Fine Dining, Bali (2012-2013), The Shancaya - Bintan / Singpura (2014), The Cellar Restaurant Bandung (2015), dan Leet Sky Dining, Aston Kupang (2016). Ia juga sempat mendapatkan kehormatan untuk memasak bagi presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan staf Istana. 40


TOMMY ADITAMA PUTRA

Tommy Aditama Putra adalah seorang desainer grafis yang saat ini aktif bekerja untuk EASTERN GROUP. Selain menjadi desainer, beberapa tahun ke belakang Ia mulai kembali aktif berkarya sebagai seniman. Tommy menyelesaikan studi sarjana di studio Seni Grafis, jurusan Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada tahun 2007. Semenjak lulus hingga tahun 2011, Tommy aktif terlibat sebagai partisipan di sejumlah pameran. Hingga saat ini Tommy sudah menyelenggarakan 2 kali pameran tunggal, yakni pameran KICK! (2009) dan 101 Sindhu Bumi (2019). Ia juga pernah menjadi salah satu awardee di Indonesian Art Award pada tahun 2010. 41


M O FR LE IC B CU

Alvin A. Djohan Arthur Tamnge Tommy Aditama Putra

T O L E RY GAL LS L A W


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.