WHEN ART MEETS FASHION & LIFESTYLE
Perjalanan Harper’s Bazaar Internasional dalam menyelami seni rupa telah menjadi bagian sejarah yang panjang. Harper’s Bazaar Indonesia ikut serta dalam perjalanan itu, bukan saja melalui konten di media print dan digitalnya, melainkan juga dengan menginisiasi sebuah perhelatan senirupa terbesar di Indonesia: ART JAKARTA sejak 8 tahun yang lalu. Kami bangga, bahwa dengan konsistensi art fair yang dilaksanakan setiap tahun ini, telah membangun awareness dan kecintaan masyarakat terhadap senirupa. Inilah yang menjadi salah satu misi Harper’s Bazaar Indonesia. Karena itu kami menyambut baik kerja sama dengan Martell dalam menyelenggarakan sebuah pameran seni rupa kontemporer. Dalam 7 hari ini bisa disaksikan karya-karya Dita Gambiro, Erwin Windu Pranata, Geugeut, Lie Fhung, Maharani Mancanagara, Nurrachmart Widyasena, Miranti Minggar, Sarita Ibnoe, Tiarma Sirait. Di samping itu dengan konsep ART X FASHION, kami mengundang pula tiga kreator fashion Indonesia: Obin Komara, Susanna Perini dan Yung Yung Rinaldy untuk membuat karya instalasi. Martell secara konsisten telah menggelar pula pameran seni rupa kontemporer. Dengan spirit sama, kami ingin bersama-sama terus mendukung dan menggerakkan senirupa Indonesia. Penghargaan kami tujukan ke pada Martell atas kolaborasi dan dukungannya, juga ke pada Plaza Indonesia yang telah menjadi tuan rumah perhelatan ini. Terima kasih pula atas partisipasi Anda semua. Selamat menikmati dan mengapreasiasi karya-karya 12 seniman ini. Semoga senirupa Indonesia semakin mendapatkan tempat di rumahnya sendiri.
Ria Lirungan Editor in Chief Harper’s Bazaar Indonesia
Indonesia adalah negara yang sangat besar yang memiliki banyak keragaman dan artis-artis berbakat di dunia seni, termasuk dalam seni kontemporer. Sebagai Cognac house tertua dan salah satu produsen Cognac terbaik, Martell selalu konsisten dalam mendukung seni modern, tidak hanya di negara asalnya di Prancis, tetapi juga di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Kami telah berkolaborasi dengan begitu banyak kurator seni dan seniman di beberapa pameran seni kontemporer yang digelar di galeri seni, restoran, ruang tamu, toko furnitur, hotel, dan banyak lainnya.  Kami sangat senang bisa menggelar pameran lain pada bulan November ini, yang merupakan pameran seni kontemporer Martell yang ke-11 di Indonesia. Kami berkolaborasi dengan Harper’s Bazaar dalam mempersiapkan pameran ini, dan tentu saja kami juga bekerjasama dengan sekelompok kurator dan seniman berbakat yang antusias berkolaborasi untuk acara ini. Pameran dengan tema ART X FASHION, yang akan berlangsung di Warehouse Plaza Indonesia, akan dibuka secara resmi pada tanggal 27 November 2017, dan dapat dinikmati oleh masyarakat lebih dari seminggu. Lokasi pameran ini sangat bagus karena berada di jantung kota Jakarta dan mudah dijangkau oleh orang-orang yang datang dari berbagai arah.  Tema ART X FASHION tentu akan sangat berkesan bagi pengunjung pameran karena akan menggabungkan seni fashion modern dan seni kontemporer pada saat yang bersamaan. Para tamu akan dituntun untuk mengeksplorasi lebih jauh rasa keingintahuan mereka saat mereka melihat koleksi potongan fashion dan seni ini. Saat Anda melihat karya seni di pameran ini, Anda akan melihat banyak inovasi dan kreativitas hebat dari artis berbakat yang menciptakannya. Kami sangat senang dapat melihat Martell terus mendukung pengembangan komunitas seni di negeri ini. Dan semoga suatu hari seniman lokal kita bisa mendapatkan lebih banyak pengakuan dari banyak kalangan di dunia seni - tidak hanya di Indonesia, tapi juga di tingkat regional atau bahkan global.  Akhirnya, saya mengharapkan Anda bisa menikmati pameran seni kontemporer ini. Saya yakin acara ini akan membawa rasa ingin tahu Anda ke tingkat yang lebih tinggi.  Salam hangat,
Edhi Sumadi Managing Director Pernod Ricard Indonesia
KURATORIAL
WHAT YOU WEAR IS (NOT) WHAT YOU ARE YOU ARE (NOT) WHAT YOU WEAR Pakaian merupakan salah satu kebutuhan yang mendasar dalam peradaban manusia hingga kini. Cara kita berpakaian merepresentasikan bagaimana suatu masyarakat berbudaya. Dari cara berpakaian, kita bisa meninjau perkembangan suatu masyarakat dan bangsa kepada nilai sosial, budaya dan ekonomi. Lalu ketika praktek seni rupa kontemporer dan fashion merupakan bagian dari kegiatan seni budaya yang merefleksikan berbagai pencarian estetik: para seniman dan para perancang mode, menanggapi jamannya beserta berbagai dinamika kehidupan masyarakat sekitarnya, maka karya-karya mereka akan memperlihatkan bagaimana suatu konsep pakaian bisa menandai kemungkinan berbeda dalam melihat tubuh sebagai suatu representasi yang didalamnya berkecamuk berbagai masalah sosial, politik: identitas, budaya , ekonomi, selain sebagai penjelajahan artistik. Pameran ini akan melibatkan beberapa seniman kontemporer dan juga menyertakan karya beberapa perancang mode Indonesia. Pakaian adalah materi atau kulit paling luar yang melindungi tubuh, mempunyai makna bagi jati-diri yang bersifat sementara karena sifatnya yang mudah berubah dalam keseharian tergantung dari konteks sosial , budaya dan ekonomi. Ada beberapa pemikiran, antara lain memandang secara ideologis: Kurator Rifky Effendy Seniman Dita Gambiro Erwin Windu Pranata Geugeut Pangestu Sukandawinata Lie Fhung Maharani Mancanagara Miranti Minggar Nurrachmat Widyasena (Ito) Sarita Ibnoe Tiarma Sirait Yudi Yudoyoko Turut menampilkan Josephine Komara (Obin) Rinaldy A. Yunardi Susanna Perini
“Pakaian merupakan bagian kesatuan yang tidak terlepas dalam kehidupan sosial. Pada dimensi personal, pakaian menjadi media untuk mengeksistensikan ekspresi dan gagasan yang terkadang muncul dalam bentuk yang serba abstrak. Melalui dimensi sosial kultural, pakaian dijadikan sebagai media komunikasi, promosi, bahkan pembentukan ideologi. (....) Pakaian memiliki beragam makna eksplisit dan implisit. Pakaian adalah wujud imitasi dari tubuh sosial seseorang, sehingga batasan kenyamanan setiap personal menjadi berbeda-beda. Sehelai pakaian mampu menggambarkan suatu struktur kehidupan sosial, ideologi, sejarah, golongan, komunitas, dan juga identitas. Ideologi agama pada pakaian, mengenai permasalahan moral dan etika, merupakan aturan atau hukum mengenai bagaiÂmana berpakaian sesuai dengan kondisi ruang, tempat, dan waktu, yang perlu dipahami dan dilaksanakan. (‌) Pada akhirÂnya, pakaian tetaplah bagian benda mati, konstruksi sosial didalamnya, yang menjadikan pakaian sebagai produk seni yang bermakna ganda. (1)
Pakaian dalam fungsi keseharian dan berbagai “ritual” budaya masyarakat modern, seperti yang dikemukakan Goenawan Muhammad sering dikaitkan dengan dorongan nilai dari kapitalisme. Karena menurutnya: “Modernitas, yang semula membangun dan dibangun dari perhitungan rasional, kini menghidupkan lagi sesuatu yang tak sepenuhnya dikuasai akal: pesona itu bekerja karena bergolaknya hasrat. (…) Tapi satu catatan perlu ditambahkan: sebagaimana sihir dan pesona alam di zaman kuno bisa menyesatkan, pesona visual dari kapitalisme-lewat-etalase itu juga demikian. Bedanya: di zaman dulu apa yang menampakkan diri dan menyihir manusia bisa datang dan menghilang ke dalam misteri; kini, yang secara visual mempesona itu punya dua sifat. Yang pertama, ia tak punya kedalaman. Ia datar seperti etalase, tanpa misteri. Yang kedua, ia dibebani kesementaraan. Bentuk gaun, ukuran dasi, warna kain harus berganti terus, selalu sementara, tiap musim. Hasrat disebut ”hasrat” karena ia tak terpuaskan. (2) Bagi para seniman, tentunya makna pakaian bisa begitu plural dan menarik dalam menjelajah bentuk. Karena bagi para seniman pakaian belum tentu suatu yang melulu bisa dipakai atau wearable tetapi melebihi fungsi atau makna-makna pada umumnya. Pakaian: Identitas, Konstruksi Cara Pandang Seniman Lie Fhung, yang memandang pakaian, terutama cara berpakaian kaum perempuan, kepada budaya yang lebih luas. Ia memaknai budaya kaum lelaki yang membentuk cara berpakaian kaum perempuan. Ia mengemukakan: “External demands imposed upon women on how they should, or should not, dress themselves are infringing on women’s moral right to their own bodies. Women should not be made responsible nor victimise for men’s lack of integrity.” (3) Senada dengan Miranti Minggar, seorang seniman dan fotografer melihat banyak orang dalam style kesehariaannya merupakan sebuah tuntuntan meski itu bukan wujud aktualisasi diri ‘IT’S NOT ME’ . Selebritas mungkin menjadi contoh tepat dan kongkrit untuk hal ini, untuk pencitraan diri, mencari identitas banyak dari mereka mengenakan fashion yang terkadang itu bukan cerminan dirinya ‘IT’S NOT ME’ namun apa mau di kata ini sebuah tuntutan dan wujud totalitas serta profesionalisme. Dalam kasus yang sama, para pekerja kantor, pelajar, dsb banyak mengenakan seragam yang tentunya itu merupakan sebuah tuntutan yang telah di tetapkan. Kini, urusan passion dan style menjadi suatu keharusan dan keniscayaan, baik sebagai gaya hidup atau wujud aktualisasi diri. (4) Sarita Ibnoe, seniman yang lahir di Jakarta dan besar di beberapa tempat, ia mengaku menjadi terbiasa untuk memulai sesuatu yang baru dan sampai sekarang ia tetap mencari ‘suasana’ baru untuk berkarya dan bereksperimen. Bagi Sarita cara berpakaian tidak sepenuhnya merepresentasikan kepribadian seseorang sepenuhnya. Baginya bagaimana pakaian dapat menimbulkan memori tentang beberapa tahap kehidupan dari satu orang. Selama ini, ia merubah cara berpakaian berdasarkan suasana dan keperluan. Dari mulai bentuk baju, sampai bahan dari baju-baju yang ia kenakan. Perubahan ini membentuk sebuah memori tersendiri ketika melihat atau merasakan tekstur sebuah bahan. (5) Erwin Windu Pranata, memandang pakaian menjadi sebuah bentuk ekspresi dari identitas seseorang, karena saat memilih pakaian untuk dikenakan berarti mendefinisikan dan mendeskripsikan diri. Maka baginya pakaian berperan besar membentuk citra seseorang, karenanya sering kali terjadi stereotipe terhadap penampilan seseorang. (5)
Yudi Yudoyoko mengomentari perkembangan pola konsumsi dan perilaku masyarakat kontemporer lewat sosial media terkait dengan pakaian, tubuh. Ia menggambarkan keinginan kolektif yang tak terpuaskan yang membuat eksistensi dalam realitas maya lebih penting daripada yang sebenarnya. (6) Pakaian sebagai Rekonstruksi Kesejarahan Maharani Mancanagara, melihat pakaian sebagai suatu rekonstruksi, keluarga, sejarah, dan memori merupakan gagasan utama dalam proses berkeseniannya selama tiga tahun belakangan ini. Diawali dengan kesadaran akan perlunya mengenal identitas dalam diri sendiri membawanya dalam penelusuran rantai keluarga. Dalam hal ini, Maharani memposisikan diri sebagai etnografer, menelusuri serta mengumpulkan jejak melalui recall memory terhadap garis waktu sejarah pada umumnya dari kacamata keluarga. (7) Perupa Geugeut Pangestu Sukandawinata, lebih cenderung melihat pakaian untuk memahami sejarah seni rupa Indonesia dengan mengapropiasi atas karya-karya pelukis Sudjojono, melalui rekonstruksi cara berpakaian dari sebuah lukisan dengan latar belakang suasana perang kemerdekaan. Baginya Sudjojono menghadirkan potret pelaku sejarah sekaligus lanskap sosio-politik Indonesia pada masa itu. Lukisan tersebut seperti arsip dingin, kepedulian seorang Sudjojono menangkap sejarah lewat realisme Sudjojono. (8). Geugeut menciptakan bentuk tiga dimensional dengan menggunakan materi olahan kertas. Nurrachmat Widyasena (Ito), melihat pakaian sebagai bagian dari pencapaian sain dan teknologi. Ito merasa bahwa negaranya sendiri berada di titik yang lebih jauh lagi dari realisasi wacana-wacana masa depan apabila dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya. Hal ini menjadi kegelisahan utamanya, di mana ia merasa sebagai bangsa yang tertinggal dan membuatnya menciptakan hal-hal yang fiktif dan seperti sedang menertawai situasi tersebut. (9) Pakaian: Simbol, Perubahan Estetika Masyarakat dan Resistensi Bagi Dita Gambiro, seniman dan juga pelaku industri film di Indonesia, melihat pakaian sebagai suatu simbol dari tubuh dan bagian tubuh manusia seperti, rambut, tulang dan lainnya. Menurutnya, rambut menggambarkan sesuatu yang rapuh ketika hanya sehelai, tetapi ketika terjalin/terkepang menjadi satu kesatuan maka kekuatannya akan berkali lipat lebih besar seperti tambang. Rambut merupakan simbol dari kumpulan sugesti, harapan, doa, keyakinan yang berkumpul menjadi suatu kekuatan diri. Sedangkan tulang rusuk menyimbolkan perlindungan. (10) Tiarma Sirait, seorang seniman dan juga perancang busana. Ia melihat dan terinspirasi oleh daya cipta para perancang busana di barat seperti Paco Rabanne yang merubah estetika dan menggeser cara melihat dunia fashion dunia. Terutama dalam memperlakukan perancangan pola geometris dari yang tertata (order) menuju kacau (chaos) juga dari sisi materinya. Dari karya fashion bisa juga menandai suatu perubahan paradigma di dalam suatu masyarakat, setidaknya dalam memahami bentuk dan materi. (11) Begitupun dengan karya-karya perancang mode dan aksesoris Rinaldy A. Yunardi yang merupakan hasil pengalamannya dalam menjelajah bentuk dan
material dengan bereksperimentasi. Perancang mode dan pemilik perusahaan pakaian BIASA, asal Italia yang tinggal di Bali, Susanna Perini sering bereksperimen dengan materi lokal namun rancangannya punya sentuhan alami dengan tenunan serta teknik potongan yang sederhana dan dilakukan oleh pengrajin lokal. Sehingga rancangannya bernuansa tropis dan mempunyai ciri khas namun modern. Pembuat batik seperti Obin atau bernama lengkap Josephine Werratie Komara, mungkin termasuk perancang yang idealis dalam industri fashion di tanah air. Terutama dalam mempertahankan identitas bangsanya dalam karyakaryanya. Dalam wawancara dengan Rustika Herlambang ia mengemukakan, “Fashion is about be yourself. Menjadi fashionable, itu adalah bagian dari itu. Tapi yang terpenting adalah bagaimana menjadi dirimu sendiri.” Ia terus memperjuangkan segala hal yang dianggap sebagai nilai-nilai Indonesia – namun yang kini sudah terkikis oleh globalisasi. “Saya memang tak begitu cocok dengan globalisasi, karena meniadakan anomali. Menyamakan semua hal berdasarkan kotak-kotak yang sudah ditentukan. Padahal dalam hidup banyak sekali varian yang seharusnya bisa dipelajari sehingga menjadi tambah wawasan.” Pejuang dan wanita anomali yang dibesarkan di Jalan Kopi ini tampaknya terus mencoba merebut “kemerdekaan”: bangsa Indonesia yang dicintainya dari segala bentuk penjajahan. Dengan segala daya upaya dia sampaikan salam kemerdekaan, bukan dengan kata, melainkan karya. (12) Rifky Effendy Kurator
CATATAN KAKI:
1. Harun Yahya. PAKAIAN DAN MAKNA SIMBOLIK. Minggu, 25 November 2012, http://nuansakomunikasi.blogspot.co.id/2012/11/pakaian-dan-makna-simbolik.html Diakses 15 November 2017. 2. Goenawan Muhammad, Melihat. Catatan Pinggir; Majalah Tempo, Edisi Senin, 11 April 2011. https://caping.wordpress.com/ (diakses, 19 November 2017) 3. Pernyataan Seniman 4. Pernyataan Seniman 5. Pernyataan Seniman 6. Pernyataan Seniman 7. Pernyataan Seniman 8. Pernyataan Seniman 9. Pernyataan Seniman 10. Pernyataan Seniman 11. Pernyataan Seniman 12. Rustika Herlambang. Obin, Perempuan Anomali dari Jalan Kopi. https://rustikaherlambang.com/2008/11/30/obin/. Diakses pada 19 November 2017.
SEJARAH MARTELL Setelah mengamati perkembangan luar biasa dari kesenian dan ketrampilan pada masa pemerintahannya, Raja Louis XIV yang juga dijuluki sebagai Raja Matahari meninggal pada tahun 1715 dan mewariskan gairah akan keindahan dan kesempurnaan untuk rakyat Perancis. Di tahun yang sama, Jean Martell yang merupakan seorang pedagang dari Jersey memulai usahanya di tepian sungai Charente di daerah Cognac. Usahanya ini juga merupakan perusahaan cognac besar pertama di daerah ini. Setelah kematian mendadak Jean Martell pada tahun 1753, sang janda yaitu Rachel mengambil alih usaha perdagangan cognac-nya. Didorong semangat untuk perluasan usaha dan kebutuhan untuk produksi eau-devie maka keluarga Martell kemudian membeli properti tipe Charentais di Gatebourse dengan perkebunan anggur dan gudang penyimpanan. Rachel Martell memberikan kesempatan kepada kedua putranya yaitu Jean dan FrĂŠdĂŠric-Gabriel Martell untuk menjalankan bisnis ini dan mempertahankan semangat keluarga. Keterbukaan ke dunia internasional berlanjut terus dan ditandai dengan pengiriman barel pertama ke Amerika pada tahun 1775. Ketenaran Martell ini terus menyebar ke seluruh dunia dan pengiriman produk mulai memasuki negara-negara Asia seperti China dan Jepang pada tahun 1868. Menanggapi keputusan untuk menciptakan cognac yang hanya didedikasikan pada kemewahan saja maka Edouard Martell sang penerus keluarga menciptakan Martell Cordon Bleu yang merupakan cognac yang sangat istimewa dengan rasa unik pada tahun 1912 dan diluncurkan di Hotel de Paris yang legendaris di negara Monaco.
Dita Gambiro Dita Gambiro merupakan lulusan dari FSRD ITB jurusan Seni Patung dan Kingston University London jurusan Production Design for Film. Dita aktif terlibat di pameran seni rupa dan juga kerap terlibat dalam industri film Indonesia sebagai penata artistik. KONSEP KARYA Susunan karya yang berlayer dan menerawang menampilkan figure seseorang yang memakai baju dari rambut dan memegang tameng tulang rusuk. Tulang rusuk menyimbolkan perlindungan. Rambut menggambarkan sesuatu yang rapuh ketika hanya sehelai, tetapi ketika terjalin/terkepang menjadi satu kesatuan maka kekuatannya akan berkali lipat lebih besar seperti tambang. Rambut merupakan simbol dari kumpulan sugesti, harapan, doa, keyakinan yang berkumpul menjadi suatu kekuatan diri.
Fortress Print on Fabric 7 @ 90 x 135 cm
Erwin Windu Pranata Lahir di Bandung, 6 Juni 1981, menyelesaikan pendidikan Fakultas Seni Rupa Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung (1999-2005). Saat ini aktif berkarya menggunakan berbagai media terutama obyek 3 dimensi. Pendiri dan Direktur ruang alternative yang dikenal sebagai Omnispace di Bandung. Dosen di Fakultas Tekstil dan Fashion Design Universitas Telkom dan instruktur Design Grafik di Binus Center Bandung KONSEP KARYA Di tengah maraknya isu tentang identitas saat ini, saya tertarik tertarik akan hubungan pakaian dan identitas. Bagi saya pakaian dan identitas mempunyai hubungan yang erat. Pada awalnya pakaian hanya untuk menutupi dan melindungi bagian tubuh, saat ini pakaian menjadi sebuah statement terhadap jati diri si pemakainya, secara tidak langsung pakaian menjadi bentuk komunikasi non-verbal, seperti juga rumah, kendaraan, perhiasan, digunakan untuk mendapatkan citra tertentu yang diinginkan pemakainya. Pakaian menjadi sebuah bentuk ekspresi dari identitas seseorang, karena saat memilih pakaian untuk dikenakan berarti mendefinisikan dan mendeskripsikan diri. Selain itu pakaian menjadi pijakan awal untuk berinteraksi dengan seseorang, seperti pembentukan kesan, menunjukan identitas diri, dan lain sebagainya. Pakaian berperan besar membentuk citra seseorang, karenanya sering kali terjadi stereotipe terhadap penampilan seseorang. Pada karya ini saya akan menampilkan artefak yang ada hubungannya dengan pakaian, perhiasan dan apapun yang dikenakan seseorang dan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap karakter dan kesan pemaikainya. Artefak-artefak tersebut saya komposisikan sedemikian rupa dengan Teknik assemblage sehingga menjadi sebuah karya yang utuh.
You are What You Wear 2017 Variable Dimension
Geugeut Pangestu Sempat menjalankan penelitian tentang kertas sebagai pemenuhan salah satu mata kuliah, pengetahuan dasar itu menjadi acuan dalam ekperimen-eksperimen amatir saya berikutnya. Pengembangan kertas juga kemudian sempat dilakukan ketika magang di salah satu studio desain produk. Berdasarkan penemuan-penemuan itulah saya kini berkarya menggunakan bahasa kertas. KONSEP KARYA Karya saya kali ini adalah bagian dari projek “Pertemuan dengan Sudjojono yang Bersejarah” yang lebih besar. Saya akan membuat sebuah diorama kongruen terhadap gabungan tiga lukisan Pertemuan di Tjikampek yang Bersedjarah, Persiapan Gerilya, dan Ngaso. Karya seni rupa, termasuk lukisan, adalah teks, dalam hal ini teks visual. Sebagai teks, karya seni rupa tentu bisa dibaca. Inilah yang disebut sebagai keberaksaraan visual. Lukisan, apalagi lukisan naratif, tentulah bisa dibaca perkara muatan, pesan, sikap, keberpihakan, juga ideologi yang dianut oleh si pelukisnya. S. Sudjojono adalah saksi dan pelaku sejarah perjuangan bangsa. Karena itulah seri lukisan “perjuangan” karya S. Sudjojono, seperti Pertemuan di Tjikampek, Ngaso, Persiapan Gerilia, dll. tentu menyimpan muatan, pesan, sikap, keberpihakan, dan ideologi tertentu yang dipegang oleh sang pelukisnya yang pejuang itu. Lukisan S. Sudjojono dengan narasi yang melekat pada karyanya bisa diberi makna oleh setiap pelihat atau apresian sesuai dengan horizon harapannya masing-masing. Saya sebagai generasi hari ini yang tidak mengalami masa perjuangan bangsa sekitar masa awal kemerdekaan, sungguh beruntung bisa bertemu dengan lukisan-lukisan S. Sudjojono yang menyimpan banyak makna di dalamnya. Saya memaknai lukisan-lukisan S. Sudjojono itu sebagai pertemuan. Pertemuan dalam hal ini bisa dimaknai sebagai peristiwa dialog dua wajah, dua person, dua sikap, bahkan dua waktu. Saya dan Sudjojono merasa ‘bertemu. dalam karya saya yang berjudul “Pertemuan dengan Sudjojono yang Bersejarah:
Pertemuan dengan Sudjojono yang Bersejarah: Bagian Pertama 2017 Kertas dengan Teknik Rekayasa Khusus 170 x 160 x 150 cm
Bagian Pertama� ini. Saya melakukan dialog searah, dari saya kepada Sudjojono. Pertanyaan-pertanyaan saya dan kegelisahan-kegelisahan saya tentang makna perjuangan, kesenian, dan pertemuan saya lemparkan kepada Sudjojono. Jawaban dari Sudjojono adalah interpretasi atau pemaknaan saya terhadap karya-karya Sudjojono. Inilah sebuah pertemuan yang menyenangkan.
Josephine Komara Josephine (Obin) Komara lahir tahun 1955 di Jakarta, di pusat daerah pecinan yang dikenal sebagai Kota. Ayahnya seorang pengusaha dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga Obin menghabiskan masa kecilnya di Hongkong dan mengenyam pendidikan di Sekolah Katolik Maryknoll Sisters. Obin tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya. Di awal usia remaja ia kembali ke kota kelahirannya, Jakarta, dan mulai berkerja untuk ayahnya yang memiliki usaha agen travel. Semenjak kecil Obin sudah tertarik dengan budaya dan tradisi. Di kemudian hari, minatnya ini yang menjadi bagian utama dari pekerjaannya saat ia jatuh cinta dengan kain kuno Indonesia; dan Obin menjadi pembuat kain dan mendirikan perusahaannya sendiri, Bin House kreasi Indonesia di tahun 1986. Bersama dengan rekan bisnis, Yusman Siswandi dan Roni Siswadi (yang juga suaminya), Obin mulai menampilkan kreasi Bin House di Jepang, berpartisipasi dalam beberapa pameran tekstil dan seni di Jepang sejak 1988 dan kemudian membuat pameran tunggal Bin House dan mempresentasikan kain di beberapa tempat di Asia dan Eropa. Sejak pergantian abad, usaha Bin House untuk meremajakan industri usaha rumahan kuno di Indonesia telah menunjukkan hasil dalam berbagai kreasi, bukan hanya kain dan pakaian, tetapi juga keramik, furniture, barang-barang pecah belah, dan berbagai barang lainnya yang dibuat di Indonesia oleh pengrajin Indonesia. Obin dan keluarganya saat ini tinggal di Jakarta dan Bali, di mana kantor Bin house berada. KONSEP KARYA Struktur, tekstur, warna dan nuansa... Sesuatu formasi terbuat dari kesatuan-kesatuan kecil... Kebebasan dan kegembiraan yang tanpa prasangka dan kekhawatiran... Manusia akan selalu kembali ke habitatnya.. Tukang kain bermain.
Tukang Kain Bermain - Ban Liris 2017
Lie Fhung Lie Fhung belajar seni rupa di ITB, Indonesia, jurusan Keramik. Dia bekerja sebagai perancang di Shanghai dan akhirnya menetap di Hong Kong, di mana dia mulai bekerja secara independen dalam desain media digital. Dalam karya seninya, Fhung menelusuri masalah pribadi: lapisan tersembunyi dalam mimpi, kenangan, manusia emosi dan dorongan mereka. Pembuatan seni adalah caranya merenungkan dan memberi kesaksian akan kisah-kisah pribadi. Dia tumbuh subur dalam mengeksplorasi dan bekerja dengan beragam bahan dari porselen hingga cat, logam, dan cetakan digital, yang sering disajikan dalam bentuk instalasi. Baginya, tindakan menciptakan adalah masalah keberadaan dan kelangsungan hidup. Fhung telah menerima berbagai penghargaan nasional dan internasional untuk karya seninya sejak kecil. Dia berpartisipasi dalam pameran seni nasional dan internasional. Pada tahun 2008, ia menerima Freeman Fellowship Award Vermont Studio Center, AMERIKA SERIKAT. Karyanya ‘flight’ (2005) ditampilkan dalam buku ‘Contemporary Ceramics’ karya Emmanuel Cooper (Thames & Hudson, 2009). Pada tahun 2015, ia dianugerahi Silver Prize oleh UOB Art Academy Hong Kong. Pameran komersil yang sangat baik diterima diadakan di Dia.Lo.Gue Art Space, Jakarta pada tahun 2017. Dia telah menampilkan karyakaryanya di Sin Sin Fine Art, Hong Kong di sejak 2012, dan barubaru ini di Hanart TZ Gallery. Pada tahun 2017, Dia meluncurkan lini perhiasan tembaga buatan tangan dengan menggunakan teknik khusus yang dia kembangkan untuknya karya seni KONSEP KARYA Ada tuntutan yang saling bertentangan terhadap tubuh wanita: untuk menutupi tubuh, dan untuk mengekspos tubuh mereka. Tuntutan ini sering datang dari pengaruh luar - terutama dalam
VEIL/REVEAL I 2017 Print on brushed aluminium plate 210 x 120 cm Photographer: Ines Laimins
Work on progress
masyarakat patriarkhal dan fundamentalis religius yang melihat wanita dan tubuh mereka sebagai milik pria. Namun, entah itu diakui atau tidak, tuntutan ini juga timbul dari dalam diri wanita itu sendiri. Ada keinginan alami untuk mengungkapkan keindahan tubuh mereka kepada orang lain: kita ingin tampil cantik - tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain, terlepas dari jenis kelamin mereka. Di sisi lain, ada juga kebutuhan untuk menutupi tubuh kita; baik itu karena preferensi pribadi, kerendahan hati, takut akan pelecehan seksual, kurang percaya diri, alasan agama, atau karena alasan yang dipaksakan oleh masyarakat konservatif dan patriarkhal. Tuntutan eksternal yang dikenakan pada wanita tentang bagaimana seharusnya atau tidak seharusnya mereka berpakaian melanggar hak moral perempuan terhadap tubuh mereka sendiri. Wanita seharusnya tidak bertanggung jawab atau menjadi korban dari kurangnya integritas pria. Dalam karya seni ini, saya telah menciptakan sebuah ‘gaun sangkar’ yang terbuat dari logam tenunan tipis, keduanya tembus dan menghambat, ekspresif dari dikotomi kompleks ini yang melekat pada impuls yang berbeda terhadap menutup atau membuka di mana wanita yang menjadi subyek.
VEIL/REVEAL II 2017 Print on brushed aluminium plate 210 x 120 cm Photographer: Ines Laimins
Maharani Mancanagara Seniman kelahiran 1990 ini tinggal dan berkarya di Bandung. Lulusan Fakutas Seni Rupa dan Design ITB ini berkarya mengeksplorasi sejarah Indonesia, dari dulu hingga sekarang, berdasarkan dari pengalaman-pengalaman pribadi dan keluarga. Idenya bersumber dari kesadaran akan apa yang terjadi saat ini yang menghubungkan waktu yang berbeda melalui tulisan sejarah. Dipengaruhi dengan latar belakang pribadinya, menumbuhkan minatnya untuk memvisualisasikan sejarah pendidikan di Indonesia, bagian sejarah yang bersangkut paut dengan kakeknya melalui artefak yang ditinggalkannya. Dia berharap dapat mengekspresikan prespektif tersebut kepada orang-orang yang memiliki latar belakang serupa. KONSEP KARYA Rekonstruksi, keluarga, sejarah, dan memori merupakan gagasan utama dalam proses berkesenian saya selama tiga tahun belakangan ini. Diawali dengan kesadaran akan perlunya mengenal identitas dalam diri sendiri membawa saya dalam penelusuran rantai keluarga. Sejarah diartikan sebagai dokumentasi terencana dari garis waktu yang tersusun dari peristiwa-peristiwa monumental yang terjadi di masa lalu, yang juga merupakan rangkaian peristiwa berkesinambungan yang disusun secara kronologis. Dalam upaya mengenal Kakek melalui artefak yang ditinggalkan, saya menelusuri adanya kesamaan periode kejadian dengan sejarah pendidikan di Indonesia secara garis besar. Dalam ranah tersebut, cerita Kakek yang didapatkan berada dalam lapisan- lapisan sejarah yang mengendap, seperti proses suksesi linear yang selama ini menjadi obyek utama penyelidikan sejarah dan memunculkan penemuanpenemuan baru di antara tumpukan peristiwa sejarah dan kemudian disebut diskontinuitas. Dalam hal ini, saya memposisikan diri sebagai etnografer, menelusuri serta mengumpulkan jejak melalui recall memory terhaadap garis waktu sejarah pada umumnya dari
Babad Sepuh: Eksploitasi 2012 Serigraphy and embroidery on fabric Diameter 100 cm
Rekonstruksi Studi Memori #3 2014 Collage on paper 77 x 39,5 x 6 cm each (configuration of 6 frames)
kacamata keluarga. Rasa memiliki terhadap sejarah-pun hadir melalui kebanggaan kolektif yang mungkin dialami juga oleh orang lain. Saya mencoba merekonstruksi sebuah memori untuk mengenal Kakek melalui pencariannya terhadap historia keluarga dalam balutan dunia pendidikan Indonesia pada kurun waktu 1915 sampai dengan 1935.
Miranti Minggar T. Lahir di Banjarmasin 15 Mei 1988. Lulus dari pascasarjana ISI Yogyakarta dengan predikat cum laude tidak lantas membuat ia untuk berambisi memulai karir sebagai dosen. Keputusan untuk terus berkarya dalam masa era digital dan lingkaran jejaring sosial seperti Google Plus, Facebook, Instagram, Pinterest atau yang lainnya, memberikan banyak pilihan dan cara untuk merespon informasi dan mereduksinya menjadi karya. KONSEP KARYA Kita sering melihat wanita yang berpakaian sangat fashionable berpose di berbagai tempat, apakah itu di mall, di kantor, di taman, di jalan raya, di pusat olah raga, atau di mana pun tempat yang layak untuk berpose. Dalam sekejap mata foto-foto mereka mulai memenuhi jejaring sosial. Dengan menampilkan barangbarang fashion yang sedang in, mulai dari dress atau gaun, baju, rok, celana, hijab atau kerudung, topi, bandana, kacamata, perhiasan, aksesoris, tas, sepatu, syal, hingga make up. Ketenaran dan keuntungan pun akan segera didapatkan dengan mudah. Cukup dengan memanfaatkan handphone, berpose dengan barang-barang fashion yang disukai, upload ke sosial media atau posting ke blog, dan tunggulah hal tersebut menjadi trend setter. Semudah itukah? Tentu saja, kenapa tidak? Bukankah sudah ada kecanggihan teknologi yang membuat semua hal menjadi mungkin? Fashion adalah suatu sistem penanda dari perubahan budaya menurut suatu kelompok atau adat tertentu. Bisa juga sebagai strata pembagian kelas, status, pekerjaan dan kebutuhan untuk menyeragamkan suatu pakaian yang sedang merek. Banyak orang di luar sana dalam style kesehariaannya merupakan sebuah tuntuntan meski itu bukan wujud aktualisasi diri ‘IT’S NOT ME’. Selebritas mungkin menjadi contoh tepat dan kongkrit untuk hal ini, untuk pencitraan diri, mencari identitas banyak dari mereka mengenakan fashion yang terkadang itu bukan cerminan dirinya ‘IT’S NOT ME’ namun apa mau dikata ini sebuah tuntutan dan wujud totalitas serta profesionalisme. Dalam kasus yang sama, para pekerja kantor, pelajar, dsb banyak mengenakan seragam yang tentunya itu merupakan sebuah tuntutan yang telah di tetapkan. Kini, urusan passion dan style menjadi suatu keharusan dan keniscayaan, baik sebagai gaya hidup atau wujud aktualisasi diri.
The MIRROR I & II (Queen Of Club) | playing card series 2017 Pencil on Wood 75 x 53 cm
Nurrachmat Widyasena (Ito) Seniman yang lahir tahun 1990 tinggal dan berkarya di Bandung. Menjalani studi di Seni Rupa ITB dari tahun 2008 – 2013. Ia biasa dipanggil dengan nama panggilan Ito. Ito lulus dari studio seni grafis dengan karya tugas akhir berjudul “Wacana-wacana Takdir Kemanusiaan: Eksplorasi Luar Angkasa”. Karyanya ini mengangkat tema Space Age. Melalui karyanya ini, Ito mencoba menarik kembali semangat zman atau zeitgeist yang ada pada masa-masa Space Age, di mana manusia bermimpi, memprediksi, dan mencoba merealisasikan bagaimana kehidupan manusia di luar angkasa dan penjelajahan manusia ke luar angkasa menjadi sebuah hal yang biasa ditemukan. Karyanya ini terdiri dari medium plat alumunium, kertas, kayu, dengan teknik drawing, etching, dan cetak saring. Hal ini merupakan upaya penulis untuk menciptakan sensasi ide-ide lama yang tidak direalisasikan/ terlupakan, retro, dan arkaik. KONSEP KARYA Dalam sebuah jurnal MIT “why we can’t solve big problem”, dikatakan dengan usainya perang dingin antara Amerika dan Soviet, tantangan wacana-wacana masa depan yang dilontarkan di era Space Age untuk kehidupan umat manusia yang lebih baik berada di pundak perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di bidang teknologi. Tetapi hal ini tidak terjadi, perusahaan-perusahaan tidak berani melakukan investasi riset jangka panjang untuk menjawab permasalahan-permasalahan seperti bio-fuel, mobil terbang, teleportasi, dsb. Mereka lebih memilih untuk investasi riset singkat dan mengeluarkan iPhone, laptop, augmented reality dan teknologi-teknologi trivia lainnya. Sebagai warga bodoh Asia dunia ketiga yang hanya bisa “near enough to know it well, distance enough to desire it still”, saya merasa bahwa negara saya sendiri berada di titik yang lebih jauh lagi dari realisasi wacana-wacana masa depan apabila dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya. Hal ini menjadi kegelisahan utama saya pada kearya kali ini, untuk tidak menunggu teknologi-teknologi masa depan tersebut datang dari barat, dan membuatnya sendiri di sini dengan sebuah perusahaan teknologi masa depan sebagai poros utamanya.
PT Besok Jaya: LAPAN Suit Studies #6, #3, #7, #10 2016 Oil and etching on aluminium 100 x 70 cm (each)
Pada pameran ini saya menampilkan hasil kerjasama antara perusahaan saya yang berbasis teknologi masa depan PT Besok Jaya, dengan lembaga penerbangan antariksa Indonesia yang dikenal dengan nama LAPAN. Mencoba membuat sebuah baju luar angkasa yang merupakan salah satu poin penting dalam penjelajahan luar angkasa. Memberikan sebuah contoh bahwa perusahaan swasta harus berani untuk berinvestasi jangka panjang, tidak melulu bermain di riset jangka pendek dengan hasil yang tidak seberapa, melakukan penelitian untuk menjawab wacana-wacana masa depan yang dilontarkan di era Space Age. Sebagaimana layaknya metode-metode retro futurisme dalam membuat sebuah wacana masa depan, sebuah rancangan dimulai dengan lukisan-lukisan konsep dasar yang membayangkan bagaimana teknologi tersebut berwujud. Melalui metode lukis di atas plat yang terkorosi, PT Besok Jaya mencoba membayangkan bagaimana mewujudkan teknologi masa depan ini (yang bagi negara maju merupakan hal yang sudah dilakukan). #6 Ke empat baju luar angkasa ini merupakan bentuk referensi awal dari baju luar angkasa yang akan dibuat oleh PT Besok Jaya. Mulai dari bentuk kepala, warna material, dan lain sebagainya.
#3 Life support bag, merupakan bagian penting dari space suit. Pada visual ini, kami membayangkan bagaimana sebaiknya bentuk life support yang akan dibuat untuk LAPAN. Selain itu kami percaya bahwa setiap astronot dapat memilih gambar apa yang ia inginkan pada tasnya, seperti layaknya tentara-tentara yang memberikan gambar pada pesawat-pesawat bomber yang dikendarainya. #7 Kami percaya bahwa baju luar angkasa merupakan lapisan akhir yang akan menentukan hidup dan mati dari astronot di luar angkasa. Tetapi selain itu kami percaya bahwa pakaian dalam yang nyaman merupakan hal juga tidak kalah penting. #10 Hiu menjadi poin penting dalam konsep baju luar angkasa ini. Seperti layaknya di Indonesia yang menggunakan hewan untuk menamakan operasi-operasi berbasis militer dan semi militer, kami memutuskan hewan hiu merupakan metafora yang cocok untuk mengarungi “laut yang baru� ini. LAPAN Operasi Hiu Terbang merupakan prototype pertama dari program kerja sama PT Besok Jaya dengan LAPAN (Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional). Program kerjasama ini disebut dengan Operasi Hiu Terbang, layaknya instansi militer/ semi militer di Indonesia yang menggunakan nama hewan untuk menamai operasinya. Selain itu, baju luar angkasa ini merupakan bagian kecil dari usaha LAPAN dan PT Besok Jaya untuk mengembangkan teknologi luar angkasa. Layaknya negara Asia dunia ketiga yang bodoh, baju ini masih bodoh dalam penggunaan dan pembuatan teknologi baju luar angkasa ini.
PT Besok Jaya: LAPAN Operasi Hiu Terbang 2016 Mixed media and found objects Dimension variable
Rinaldy A. Yunardi Rinaldy Arviano Yunardi atau lebih dikenal dengan panggilan Yung Yung lahir di Medan, 13 Desember 1970, adalah maestro aksesories Indonesia yang memiliki ciri desain abstrak dan kontemporer dengan efek elegan dan Indah. Ia mengawali kariernya sebagai designer aksessories secara otodidak. Eksistensinya sebagai desainer aksesori kenamaan Indonesia tak perlu diragukan. Aksesori rancangannya diminati masyarakat Indonesia hingga mancanegara. Atas karyanya selama ini, Yung Yung berhasil menyabet sejumlah penghargaan. Di antaranya tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) atas rekor Pagelaran Busana Teatrikal dengan Live Mannequin Terbanyak pada 2012, penghargaan kategori Fashion Industry & Support dalam Fashion Icon Awards 2017, dan masuk dalam “20 Rising Global Stars” majalah Forbes pada Juli 2017. Baru-baru ini ia memenangkan 3 penghargaan dalam ajang penghargaan dunia, World of WearableArt Award (WOW) 2017 di New Zealand. KONSEP KARYA ENCAPSULATE “Alam Semesta dipandang sebagai suatu kesatuan yang teratur, menyatukan sistem pemikiran, akal dan emosinya. Merupakan karakter aslinya untuk mempertahankan dan melindungi tatanan dan keseimbangan alam. Kapsul ini secara artistik menafsirkan pertempuran dualisme alam semesta, melalui keindahan penjaga kosmik yang luar biasa yang melindungi cahaya harapan di dalam diri kita yang didukung oleh cinta “ Karya ini memperoleh penghargaan: 1. Supreme WOW Award Winner 2. Winner of the Open Section
Sarita Ibnoe Lahir di Jakarta dan besar di beberapa tempat, Sarita menjadi terbiasa untuk memulai sesuatu yang baru dan sampai sekarang saya tetap mencari ‘suasana’ baru untuk berkarya dan bereksperimen. Lulus dari jurusan ilustrasi, membuat Sarita ingin terus membuat karya yang dimulai dari gambar. Sejauh ini begitu, namun Sarita terus bereksperimen untuk menggabungkan gambar dengan berbagai medium lain seperti instalasi, objek temuan maupun performans. Karyanya sering kali menjadi sebuah medium di mana Sarita bercerita tentang kehidupan dan suatu momen yang terjadi dalam hidupnya. KONSEP KARYA Cara berpakaian tidak sepenuhnya merepresentasikan kepribadian seseorang sepenuhnya. Menarik bagi saya bagaimana pakaian dapat menimbulkan memori tentang beberapa tahap kehidupan dari satu orang. Selama ini, saya merubah cara berpakaian berdasarkan suasana dan keperluan. Dari mulai bentuk baju, sampai bahan dari bajubaju yang saya kenakan. Perubahan ini membentuk sebuah memori tersendiri ketika melihat atau merasakan tekstur sebuah bahan.
Memori Sandang 2017 Media campuran dan berbagai bahan pakaian
Susanna Perini Lahir dari keluarga couturier, pembawaan Susanna Perini yang hangat dan intim pada desain dan seni menjadi hal natural yang ia miliki sejak masa mudanya. Di awal karirnya, Susanna mengambil peran aktif dalam butik ibunya sembari menuntaskan kuliah di bidang antropologi juga bekerja sebagai fotografer fashion untuk majalah internasional terkenal di Italia. Pemotretan untuk majalah Donna inilah yang sebenarnya membawa Susanna mendarat di Bali pada tahun 1987, sebuah perjalanan yang sangat berdampak dalam hidupnya, kemudian dengan singkat ia memutuskan untuk menjadikan pulau ini sebagai rumahnya. Lebih dari dua dekade, Susanna menjalankan BIASA Group dengan semangat dan filosofi yang sama dengan saat ia mendirikan perusahaan ini. Karya abadinya dalam dunia mode dan seni kontemporer yang menyatu dengan kepekaan ala Italia-nya telah memberi dukungan tanpa henti bagi kebudayaan Indonesia dalam mempromosikan negara yang kini ia sebut rumah di hadapan audiens internasional. Dia aktif dalam komunitas kerajinan tradisional, mensponsori seniman untuk menghadiri acara-acara internasional dan memberikan dukungan untuk berbagai aktivitas social di Indonesia. Keterlibatan Susanna dalam proyek-proyek internasional termasuk mendukung pameran karya seniman Indonesia ‘Beyond the east’ di museum MACRO di Roma, di samping kegiatan-kegiatan pendukung lainnya untuk mempromosikan kesenian Indonesia pada dunia. Pada tahun 2017 Susanna menerima penghargaan “Knighthood of the Order of Merit” dari Presiden Italia atas jasanya dalam memberikan dukungan tiada henti dalam dunia seni di Indonesia. Terinspirasi oleh tradisi Indonesia, leluhur, masyarakat Bali, spiritualisme dan berbagai bentuk ekspresi seni yang mereka hasilkan melalui fashion dan seni, Susanna membagi visinya tentang sebuah “kesederhanaan yang luar biasa” kepada mereka yang mencari hal serupa. KONSEP KARYA Visual efek dari grup ini adalah hasil dari proyek kolaborasi antara seniman asal Belgia, Jyoti Parenco, dan Susanna Perini, pendiri dan Creative Director BIASA Group. Proyek ini diawali sebagai karya uji coba menyenangkan yang kemudian berkembang menjadi sebuah kolaborasi penting yang masih berlangsung hingga saat ini. Jyoti melukis karya abstrak dengan pemahaman tentang lini
Art to WEAR 2017 Limited edition prints
pakaian BIASA yang sederhana. Susanna mengarahkan keseimbangan dalam daya tahan pemakaian dan memastikan karya ini sebagai sebuah karya seni, sembari memasarkannya kepada khalayak luas sebagai karya yang bisa dikenakan. Setiap lukisan—cat akrilik di atas kanvas— telah dibayangkan dan direalisasikan dalam bentuk kaftan dan dicetak pada kain sutra yang sangat lembut dan ringan dalam 50 edisi cetak saja, sebagai penghargaan terhadap ukuran aslinya. Setiap kaftan diberi nomor dan disertai dengan sertifikat keaslian yang bertanda tangan. “Proyek ini menegaskan hasrat saya untuk memberikan pandangan terhadap keaslian suatu karya dalam menghasilkan sesuatu yang dapat dikenakan. Ada hubungan personal dengan setiap helainya, melalui tanda tangan dan batasan jumlah yang diproduksi. Hal ini merupakan sebuah cara untuk menawarkan kepada orang-orang yang akan membeli dan mengenakannya, sebuah “benang merah” yang jujur, yang menghubungkan pembeli dengan sumbernya. Hal ini, semacam berbagi pengalaman melalui tanda yang nyata.” – Susanna Perini.
Tiarma Sirait Tiarma Sirait, lahir tahun 1968. Ia adalah perupa mode Bandung yang menyajikan pertunjukan provokatif secara visual dan gagasan yang memprovokasi pertunjukan seni mode dan selalu mempertanyakan semua kearifan tradisional baik dari Timur dan Barat. Penampilannya dalam mode telah diakui oleh banyak institusi seni internasional dan ia telah secara intensif berpartisipasi lebih dari 250 pameran baik dalam maupun luar negeri. Tiarma juga telah menerima banyak penghargaan menakjubkan dalam Creativity Designs & Art Awards dari banyak negara. Pada tahun 2005, Tiarma Artist in Residency di Fukuoka Asian Art Museum, Fukuoka - Jepang & pada tahun 2006 adalah Artist in Residency di Blackburn Museum & Art Gallery and Action Factory, Blackburn - Inggris. Melalui pendekatan konseptualnya yang berani terhadap seni, fashion design dan budaya pop, ia menunjukkan eksplorasi tentang semangat bebasnya dalam karya seninya, yang menggunakan warna merah muda sebagai warna utama. Ia telah bekerja cukup konsisten dengan warna merah muda sejak awal kariernya sebagai seniman mode pada tahun 1998. Sudah menjadi ciri khasnya untuk menggunakan warna cemerlang ini dalam karya seninya. Tapi saat ini ia menunjukkan sesuatu yang berbeda, dari Pink to Punk dan menggunakan kertas serta cincin... sangat mengherankan. KONSEP KARYA Kostum ini telah terinspirasi oleh perancang 60-an Paco Rabanne yang inovatif. Di tangan saya, perkembangan desain geometris telah berkembang menjadi pola yang indah dan sangat kompleks; dari beraturan menjadi kekacauan. Kostum ini memiliki kekuatan untuk memproyeksikan penampilan kertas manipulatif. Sebenarnya terbuat dari kartu telepon yang ditutupi kertas refleksi atau fancy paper, tapi terlihat seperti logam terutama dengan tambahan cincin logam. Ekspresi kostum saya akan terlihat seperti kostum metal yang terlihat aneh, ilusif, dan absurd namun tetap bisa dipakai.
Pink to Punk 2017 Costume made from telephone cards (recycle/reuse paper) covered by fancy papers or reflection papers (looks like metal) & rings 100 cm (w) x 200 cm (h) (Including mannequins)
Yudi Yudoyoko Lahir di Jakarta, Indonesia. Sejak 2003 menetap di Montevideo, Uruguay. Seniman/desainer lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain jurusan Seni Lukis, Institut Teknologi Bandung tahun 1989. Sekolah desain grafis di BIOS, Montevideo. Berijazah teknik menjahit Adi Busana dari Institut Strasser, Montevideo. Sebelumnya adalah fashion editor pada majalah majalah MODE, Jakarta. Kolaborator untuk majalah HAI, Indonesia. Ilustrator untuk majalah S/N New World Poetics, Texas, USA; perancang grafis untuk penerbit La Flauta Mรกgica, Montevideo; kolaborator untuk majalah Lento, Uruguay dan dosen di sekolah sekolah mode Institut Strasser, Petter Hammer Fashion School dan Jurusan Seni Rupa Universitas Katolik Montevideo, Montevideo. Sebagai seniman aktif berpameran secara tunggal dan kolektif di negara negara di Asia, Amerika Serikat, Amerika Latin, Brazil dan Eropa. Mendapat berbagai penghargaan serta beasiswa sebagai seniman dan peneliti, di antaranya; penghargaan seni rupa nasional Uruguay; penghargaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Uruguay untuk proyek riset serta pameran internasional yang mengartikulasikan seni rupa dan desain. Profil dan karyanya diterbitkan dalam buku buku diantaranya; Seni Kontemporer Uruguay, Koleksi The Orient Company, 2009; PANORAMA Seni Kontemporer Uruguay, 100 Ineludible Artist in The Contemporary Scene, 2016. KONSEP KARYA Tidak ada yang puas dengan dirinya sendiri, kan? Semua orang ingin menunjukkan citra yang ideal, dan tidak hanya itu, melainkan selalu berubah, sesuai tren terkini yang selalu cepat dan tak pernah pernah terpuaskan. Bisnis dan industri sangat menyadari kekaguman diri itu, dan sekarang dengan ponsel kita tidak memiliki cara untuk menghindarinya. Kepribadian dan estetika bersifat prefabrikasi, kloning segala jenis keindahan, ada dalam jangkauan kita. Semua orang mengetahuinya dan hampir tidak dipentingkan lagi apakah itu nyata atau hanya sesuatu yang bersifat virtual. Di luar selfie, tekanan menjadi mode terbaru dan tampak sempurna sepertinya bukan hanya para selebriti yang menderita tapi kita semua. Sebelum memasang foto di Facebook, Instagram, Twitter, kita meng-edit foto kita dengan menggunakan aplikasi yang mudah di-download oleh Google Play di ponsel untuk memperbaiki foto: B612, S Photo Editor, Man Hairstyle Pro, Snapchat adalah beberapa contoh aplikasi yang untuk merekonstruksi, penampilan. Segala sesuatu yang Anda inginkan dan dambakan, mulai dari memperbesar mata dan mengubah warna pupil, memperbaiki kulit wajah, bahkan rambut, alis, bulu mata, bibir, tubuh, pakaian, aksesoris, tato, dapat dicapai
APPS (Self portraits as someone else) 2017 Teknik foto dan digital 13 pieces @25,4 x 30,5 cm
dengan cara yang sama. Stiker-stiker yang dapat di-edit, bagi pria bahkan ada stiker bisep, dada, perut, janggut, serta tonjolan kepriaan. Tidak ada satu bagianpun yang yang tidak dapat diperbaiki. Karya ini menggambarkan keinginan kolektif yang tak terpuaskan yang membuat eksistensi dalam realitas maya lebih penting daripada yang sebenarnya.