Pameran Tunggal Adikara : MENGAKAR

Page 1

22
Pameran Tunggal Pembukaan Selasa 22 Nov. 2022 Jam 16.00 WIB Dibuka oleh Prof. Dr. Bambang Ignatius Sugiharto (Guru Besar Estetika, Univ. Parahyangan, Bandung) Pameran dari
Nov - 11 Des. 2022 Jam 09.00 20.00 WIB Kurator Diaz Ramadhansyah Galeri Orbital Dago Penulis Herry Dim
M E NG AK AR ADIKARA Ranca Kendal No 7. Dago, Bandung

D. Adikara Rachman

Adikara kelahiran Bandung, menghabiskan masa kecilnya di Garut dan dua tahun di Cimahi kemudian lima tahun berikutnya di Bandung untuk kuliah seni rupa di ITB. Pernah bekerja di advertising dan meninggalkannya untuk menjadi pengajar di FSRD Trisakti. UiTM Malaysia dan De Monfort, UK menjadi sekolah berikutnya. Tahun 1999 – 2018 bekerja untuk kebudayaan di Sacred Bridge Foundation (SBF) dalam berbagai program budaya sebagai koordinator, konseptor, peneliti budaya rupa, dan salah satu anggota spesialis bidang pendidikan seni rupa. Tahun 2006 mendirikan dan mengelola Maros Visual Culture Initiative (MVCI) hingga tahun 2012 khusus tentang budaya rupa dan salah satu fungsinya sebagai ruang untuk generasi muda dalam menggambar dan ilustrasi dan menghelat beberapa kali klinik budaya rupa di Jakarta, Bogor, dan Semarang. 2016 mendirikan Friday Art Design Session (FADeS) di FSRD Trisakti yang terbuka untuk para peminat drawing, ilustrasi, dan melukis. Diskusi, outdoor, berkarya bersama, dan berpameran adalah kegiatannya FADeS hingga saat ini.

Pengalaman pameran dimulai dari tahun 1988 hingga sekarang secara berkelompok maupun tunggal di Bandung, Semarang, Jakarta, dan Kuala Lumpur. Karya – karyanya dikoleksi di beberapa negara Eropa, Asia, US, selain Indonesia. Dua dari enam pameran tunggal terakhirnya adalah “Garis Garis Saban Hari” bagian dari Parade Pameran Tunggal 51 Perupa Jabodetabek dari Des. 2021 – Feb. 2022 di Tangerang Selatan kemudian tahun 2022 bertema “Jejak” menampilkan drawing satu dekade yang dibuat sejak 1976 (kelas 5 SD) sampai 1986 (menjelang kuliah) di Tambora Ruang Seni, Parungpanjang, Bogor.

0812 1009 520 Ig @adikara_r @r_adikara

ME NG AKAR

Diaz Ramadhansyah

Kurator

deepbelieve26

Konsep estetika sudah menjadi kodrat manusia, dan muncul di diri masing-masing sejak lahir. Ketika manusia beranjak dewasa, konsep ini berkembang dan cenderung disematkan pada hal-hal yang mereka suka atau percayai. Inilah bagaimana estetika sangat identik dengan agama dan kepercayaan, ritual, unsur sakral dan magis. Estetik kerap diwujudkan dalam bentuk ragam hias visual, seperti gambar dan motif yang mengandung makna simbolis, religius, etis, dan filosofis. Perwujudan estetika tersebut diulang secara terus menerus dan diwariskan kepada generasi selanjutnya, sehingga menjadi suatu budaya dan bersifat tradisi.

Batik sebagai salah satu manifestasi estetika seni dan budaya di Indonesia tidak pernah lepas dari label “tradisi”. Meskipun persepsi tersebut tidak salah, melalui pameran ini Adikara juga ingin menambahkan bahwa seni tradisi bukanlah suatu hal yang berarti kuno atau tidak relevan dengan kehidupan masa sekarang. Pengertian tradisi dijelaskan dalam kamus Cambridge sebagai suatu kepercayaan, prinsip, maupun perilaku sekelompok orang yang dilakukan secara terus menerus dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Tradisi tidak muncul hanya di zaman batu, kerajaan, maupun prakemerdekaan, melainkan dapat diciptakan saat ini juga.

Karakteristik tradisi yang cenderung dinamis sangat memungkinkan sebuah produk budaya dan seni tradisi suatu kelompok masyarakat mengalami akulturasi dengan kelompok lainnya. Dalam prosesnya, akulturasi budaya terjadi berkat interaksi antar manusia didalamnya, yang mana masing-masing memiliki identitas dan ideologi yang berbeda. Dalam proses tersebut kerap ada dominasi yang terjadi, ada upaya kompromi, dan tidak jarang juga terjadi penolakan. Ketika perbedaan-perbedaan tersebut bisa saling berkompromi, maka lahirlah sebuah manifestasi estetika baru. Pemahaman ini lah yang dipercaya oleh Adikara selama beberapa tahun belakangan ini. Pameran Mengakar ini merupakan manifestasi Adikara atas perspektif tersebut. Ia mengamini bahwa budaya lahir sebagai akibat dari interaksi manusia dengan alam atau lingkungannya dan dipengaruhi oleh hal-hal yang mereka yakini. Karenanya, budaya bersifat cair dan mudah diintervensi. Intervensi disertai pertukaran nilai yang adil dapat memperkaya kebudayaan satu dengan yang lain. Sedangkan intervensi yang tidak adil berbentuk pemaksaan, misalnya kolonialisme. Ada tiga kemungkinan yang terjadi akibat kolonialisme: Modifikasi, Adisi, dan Intervensi. Dalam hal ini, Adikara melihat Batik Pesisir sebagai manifestasi dari adisi

budaya. Mulanya batik lahir dan digunakan di kalangan keraton di pulau Jawa. Lambat laun seiring masuknya budaya asing di tanah Jawa, Batik mengalami pengayaan dari segi warna dan motif sehingga lahir jenis-jenis batik baru yang dapat digunakan oleh masyarakat biasa.

Batik sebagai suatu produk tradisi, misalnya, tidak telepaskan dari roda kehidupan manusia. Ia tidak hanya digunakan sebagai pakaian, tetapi juga sebagai simbol identitas suku. Beragam pengaruh dari kebudayaan Arab, Cina, India, dan Jepang memberi pengayaan warna dan motif pada batik. Proses rekonstekstualisasi terjadi, misalnya penggunaan motif floral pada batik-batik tersebut demi menyesuaikan dengan ajaran agama Islam. Isen-isen tergambar secara ramai, melintang diagonal dan berulang. Faktor warna, corak, dan isen tersebut lah yang bagi Adikara sangat eksploratif dan memiliki kesan “nakal”. Proses ini terjadi di sepanjang wilayah pesisir utara pulau Jawa, meliputi Cirebon, Indramayu, Lasem, dan Bakaran, sehingga lahirlah istilah batik pesisir. Dalam pengalamannya mempelajari batik, Adikara melihat dalam proses penciptaan batik pesisir sangat “bermain-main” khususnya dalam penggunaan warna dan motif. Batik pesisir memiliki ruang

eksplorasi tersendiri yang tidak ditemukan pada batik pedalaman. Karakteristik ini yang menggelitik Adikara untuk membedahnya lebih dalam sebagai titik berangkat penciptaan karyanya. Adikara lahir di Bandung dan menjalani pendidikan seni pertamanya di Institut Teknologi Bandung, dan melanjutkannya di Universiti Teknologi MARA (UiTM) Malaysia dan De Monfort University, Inggris. Selain menjalani profesi sebagai perupa, Adikara juga seorang pengajar di FSRD Universitas Trisakti, Jakarta. Selama tahun 1999 – 2018 Ia bekerja bersama Sacred Bridge Foundation (SBF) untuk berbagai program budaya sebagai koordinator, konseptor, peneliti budaya rupa, dan anggota spesialis untuk pendidikan seni rupa. Selama rentang waktu tersebut, Adikara banyak berinteraksi dengan masyarakat lokal di banyak tempat, mempelajari sistem kehidupan dan konflik masyarakatnya, serta meneliti sejarah dan artefak budaya mereka. Hasil penelitian yang Ia dapatkan dari masyarakatmasyarakat tersebut menjadi titik balik bagi Adikara: Bahwa pengetahuan akan seni tradisi masyarakat Indonesia harus menjadi bagian dari kekayaan artistiknya. Di sisi lain, menjalani pendidikan yang sangat kental dengan paradigma

Barat tidak membuat Adikara menjadi ke-Barat-Baratan. Ia mendirikan dan mengelola Maros Visual Culture Initiative (MVCI) di tahun 2006 - 2012 khusus tentang budaya rupa yang berfungsi sebagai ruang untuk generasi muda dalam menggambar, berilustrasi, serta menghelat beberapa kali klinik budaya rupa di Jakarta, Bogor, dan Semarang. Pada tahun 2016 ia mendirikan Friday Art Design Session (FADeS) di FSRD universitas Trisakti yang terbuka untuk para peminat drawing, ilustrasi, dan melukis. Diskusi, outdoor, berkarya bersama, dan berpameran adalah kegiatannya FADeS hingga saat ini. Keberagaman pengetahuan yang ia miliki, baik itu yang diraih di institusi akademis maupun aktivitas lapangan, dileburkan bersama untuk menghasilkan sebuah perspektif Art – Tradition, dan Art – Science – Religion.

Sebagai akademisi, Adikara menggunakan kajian-kajian humaniora dalam membedah batik pesisir. Kajian pertama adalah Sosiologi Komunikasi, dengan titik berangkat bahwa budaya maupun tradisi lahir berkat adanya interaksi sosial antar manusia. Mereka yang notabene mendiami suatu wilayah yang sama akan membentuk identitas estetik kolektif, yang kemudian kita pahami sebagai budaya. Maka ketika dua atau lebih kelompok masyarakat terjalin dengan

identitas budaya lain maka interaksi tersebut membuka terjadinya akulturasi budaya dan melahirkan manifestasi estetik yang baru. Adikara juga menggunakan pendekatan kajian budaya visual, semantik, dan estetika terapan untuk membedah elemenelemen visual Batik Pesisir. Karenanya, pendekatan budaya visual sangat kental melatarbelakangi praktek artistiknya. Ia membongkar elemen-elemen visual pada batik pesisir dan melakukan pembacaan dengan menggunakan pendekatan semantik. Di sini Ia coba memahami bagaimana corak dan warna pada batik pesisir terbentuk dan bagaimana mengelolanya. Misalnya, pada Batik Cirebon, ciri khasnya ditandai dengan penggunaan warna-warna dasar seperti merah, kuning, hijau, dan biru. Tidak jarang pula menggunakan warna dasar kain putih.

Pola batik pesisiran Cirebon sangat dinamis dan mengikuti permintaan pasar. Penerapan polanya tidak hanya untuk kain saja tetapi juga dilukis -bahkan dicetak digital- untuk produk tas, sarung bantal, topi, taplak meja, dan lainnya. Polanya memiliki nama masing-masing. Salah satunya adalah pola Buketan yang identik dengan gambar pohon, bunga, dilengkapi dengan burung dan kupu-kupu. Penggambaran

pola ini benar-benar bermakna denotatif yaitu menggambarkan unsur alam di kehidupan masyarakatnya. Pada titik ini pengaruh Arab, Jepang , dan Cina terasa kental. Berbeda dengan batik pedalaman Cirebon (keraton), misalnya dengan corak Megamendung yang memiliki arti kiasan yaitu awan pembawa hujan merupakan sumber keberkahan dunia. Akhirnya muncul kesadaran bahwa sejak dulu kala, setiap bentuk tradisi dan budaya di Indonesia seperti batik ini sangat sejalan dengan estetika terapan terutama elemen dasar rupa. Melalui pembacaan Adikara atas batik pesisir tersebut, ia tidak lantas bermaksud “menyamai” estetika mereka. Justru berbekal keilmuan yang ia miliki, ia menciptakan batiknya sendiri. Karya-karya Adikara layaknya batik pesisir di atas kanvas dan kertas. Kita bisa mencermati beberapa elemen visual khas batik pesisir pada karya Adikara, antara lain titik; bentuk atau corak; warna; dan garis. Setiap elemen ia sematkan dengan titik yang berangkat dari hasil pengamatan dan eksplorasinya.

Artikulasi Seni dan Akar Rupa

Hampir di semua karya terlihat elemen titik yang menjadi isen (isian), yang ditampilkan secara berulang namun dengan penempatan yang tidak monoton. Sifatnya tidak lagi untuk memenuhi bidang gambar seperti isen pada batik, melainkan mengisi ruang sekaligus menangkap perhatian audiensnya. Isen-isen ini tidak bisa tidak terlihat, pada karya berjudul “Rerambatan”, “Sukma”, atau “Taman Perjanjian” isen disebar mengisi ruang-ruang kanvas yang sebenarnya tidak kosong. Prinsip penggambaran isen seperti ini jelas tidak mengikuti pola isen pada batik pesisir. Lukisan lainnya seperti “Kembang Pengantin” dan “Mega Nusantara” justru menempatkan isen secara berkelompok dan terpusat, yang secara tidak langsung menjadi pendaratan pertama pandangan saya. Pada elemen bentuk, karya-karya Adikara mirip dengan pola batik pesisir yang menampilkan corak floral. Tapi alih-alih menggambar bunga secara realistik, Adikara justru menampilkan citra daun dan tumbuhan sederhana. Corak daun sangat menonjol hampir di semua karya, seperti juga penetapan judul karya yang identik dengan tumbuhan dan aktivitas di alam. Idiom, simbol, dan figur-figur bermakna

denotatif dihadirkan pada karya-karya khas Buketan tersebut. Misalnya pada karya “Setren”, yang memiliki arti ladang yang disiram, menampilkan gambar teko air sebagai alat penampungan air yang mana tanpa dijelaskan pun dari bentuknya sudah kelihatan fungsinya apa. Pada karya “Sambah Jagat”, ditampilkan bentuk-bentuk representasi buah-buah yang kerap menjadi persembahan. Sementara itu idiom hadir pada karya “Sukma”, melalui gambar kupu-kupu. Pada karya ini Adikara ingin bercerita tentang seorang sahabatnya yang telah tiada, dan simbol kupu-kupu merepresentasikan jiwa yang telah pergi dengan tenang.

Eksplorasi yang “nakal” diperlihatkan melalui karya “Tapak Padi” dengan banyak cap tangan. Karya ini bisa dikatakan paling dekat dengan prinsip motif Batik Pesisir yang mengandung unsur pengulangan, ada isen dan gambargambar yang ramai memenuhi bidang. Mengenai maknanya sendiri, cap tangan Adikara ini tidak ada makna khusus. Sementara itu pada karya “Love Series” ada nuansa yang sedikit berbeda dengan elemen tipografi pada media campuran. Tulisan-tulisan tersebut juga bermakna denotatif saja, tapi Ia bereksplorasi dengan gaya penulisan yang dinamis.

Meskipun meniru prinsip visual Batik Pesisir dengan cara-cara tersebut, Adikara tidak serta merta melukis menggunakan canting melainkan tetap dengan kuas, medium cat akrilik dan medium campuran. Ia melukis di atas kanvas dan kertas dalam beberapa dimensi namun didominasi dimensi yang relatif besar. Ia mengalih wahanakan kreativitas, teknik, dan ekspresi estetiknya pada karya lukis yang berangkat dari pemikiran akademis. Pameran ini menjadi tanda bagaimana Adikara mengartikulasikan “Arts and Roots” . Ia tidak sedang melawan konsensus batik atau menandingi kemampuan artistik pengrajin batik, karena Adikara percaya bahwa karyakarya batik yang ada di muka bumi ini tidak pernah ada yang sama karena pengalaman hidup dan latar belakang setiap perajin batik pasti berbeda. Jika sekarang ia bisa membaca pola/gejala kreasi visual, memahami, serta mengapresiasi karya tradisi dengan cara terbaiknya, itu karena ia telah melewati masa pendidikan dan pengalaman kultural yang panjang. Ia pernah menjadi instruktur pelatihan kriya dan fasilitator bagi para pengrajin di delapan desa sekitar Candi Borobudur pada tahun 2005; melakukan penelitian budaya secara kualitatif di Trowulan untuk mengetahui dimensi dan kedalaman tradisi Majapahit seperti sistem ladang, politik kekuasaan, praktek keagamaan, peran gender, teknologi, dan

bentuk kesenian; melakukan penelitian budaya di Tenganan Pegringsingan, Bali Timur untuk melihat sistem dan praktik keagamaan dengan ekonomi moderen yang berpengaruh pada manifestasi estetika; serta berkunjung ke berbagai masyarakat tradisi seperti Nias, Suku Naga, Bugis, dsb.

Menjalani interaksi sosial langsung dan mendengarkan permasalahan mereka membuatnya memiliki lebih banyak ruang di dalam dirinya untuk mencermati dan mengkontemplasikan banyak hal. Dengan begitu, melalui pameran ini diharapkan semakin tumbuh keyakinan bahwa kesenian tidak melulu harus berbicara global saja tetapi juga menangkap nilai-nilai kelokalan masyarakat tradisi di Indonesia.

“Akar penciptaan bisa dipilih dari tradisi manapun sebagai keniscayaan saat ini, itu lebih baik daripada tidak jejak pada apapun” (Adikara)

Sambah Jagat

180 x 150 cm Cat akrilik di kanvas (2021)

Taman Perjanjian

180 x 150 cm TeCat akrilik di kanvas (2022)

Ronce 150 x 120 cm Cat akrilik di kanvas (2022)

Setren 150 x 120 cm Cat akrilik di kanvas (2022)

Partala 150 x 120 cm Cat akrilik di kanvas (2022)

Sukma 160 x 140 cm Cat akrilik di kanvas (2022)

Rerambatan 150 x 300 cm (dalam 3 panel) TCat akrilik di kanvas (2022)

Tapak Padi 105 x 75 cm Medi campur di kertas (2020)

Tasik Pesisir 73.5 x 53.5 cm Media campur di kertas (2020)

Mega Nusantara

105 x 75 cm Media campur di kertas (2020)

Kembang Pengantin

105 x 75 cm Media campur di kertas (2020)

Love Series #1

30 x 30 cm

Media campur di kertas (2021)

Love Series #2

30 x 30 cm

Media campur di kertas (2021)

Love Series #3

30 x 30 cm

Media campur di kertas (2021)

Love Series #4

30 x 30 cm

Media campur di kertas (2021)

Love Series #6 30 x 30 cm Media campur di kertas (2021) Love Series #5 30 x 30 cm Media campur di kertas (2021)
Love
30
(2021)
Series #6
x 30 cm Media campur di kertas

Bermula Dari “Mengakar”nya D. Adikara Rachman

PERJUMPAAN awal dengan karya-karya D. Adikara Rachman itu terjadi melalui sketsa dan coretan-coretan “merdeka”nya yang kerap ia poskan di IG dengan akun @adikara_r, @r_adikara atau sedikit di @adi_k_r_. Perjumpaan terjadi karena coretan-coretannya demikian memesona, meyakinkan, matang , terasa sekali lahir dari tangan yang bukan saja fasih terlatih tetapi (yang hemat saya terpenting) juga didasari getar intuitif yang kuat. Itu kiranya yang membuat karyakaryanya takhanya berhenti di pesona kematangan teknis, tapi juga “hidup,” berjiwa, senantiasa mengalirkan nafas. Setiap goresan, blabar, serupa barik, bahkan bidang yang ia biarkan ‘kosong ’ pun menjadi berbicara dengan bahasanya, bahasa rupa, bahasa yang lahir dari gabungan kematangan teknis dan sensibilitas intuisi yang terpelihara.

Sebut saja misalnya sketsa-sketsa yang bisa dijumpai di IG-nya semisal sketsa yang diberi judul “Istirahat Mencari Sesuap Nasi,” “Serangkai Petai dari Pasar,” “Potret Diri Entah Aku Ini Siapa,” “Seseorang dalam Upacara Merah,” “Area Klenteng Hian Tan Keng ,” “Lelah adalah Berkah, hingga karya yang beranjak dari kenangan seperti “Aku Tetap Bergelut dalam Kesunyian,” serta banyak lagi. Termasuk karya-karya yang cenderung ilustratif semisal “Penjual Sayur,” sambil ingin mengatakan; karya ilustratif itu takdosa selama mencapai ilustrasi yang sublim.

“Istirahat Mencari Sesuap Nasi” “Serangkai Petai Dari Pasar ”

“Potret Diri, Entah Aku Ini Siapa” “Lelah Adalah Berkah” Juga, tentu saja, karya-karya “merdeka” dalam arti tak terikat lagi oleh subjek gambar serta secara “merdeka” pula memasukan berbagai unsur rupa hingga aksara seperti pada “Life is Diversity.”

Magnitudo atau gambaran kekuatan keseluruhan rupa sketsa atau coretan itulah yang menggoyang sekaligus menyedot untuk jumpa, dan takdimungkiri kadang menunggu-tunggu coretan-coretan berikutnya yang ditampilkan. Maklum karena saya ini masih berpegang kepada keyakinan kuno, bahwa untuk melihat keluasan

karya-karya lukis seseorang itu ‘enaknya’ memulai atau sambil ‘membaca’ pula sketsa-sketsa dan coretan-coretannya, yaitu jejakjejak sketsa objek figuratif, alam benda, lanskap, ataupun yang sifatnya non-objektif, bebas merdeka. Dari coretan-coretan tersebut biasanya terlihat ‘riwayat ’ seseorang tersebut dengan telanjang. Maksudnya coretan-coretan sketsa tersebut langsung terbaca tanpa penghalang apapun, secara telajang pula segera terlihat bahwa seseorang tersebut terlatih serta menguasai medianya atau sebaliknya.

Demikianlah ujaran kitab-kitab kuno mengajarkan hal-ihwal kebiasaan corat coret. Hingga masuk masa modern jumpa, misalnya, dengan bagaimana Picasso di usia sembilan tahun membuat coretan “Pertarungan Banteng ,” lantas 46 tahun kemudian berulang-ulang melakukan studi gambar manusia kerbau/banteng (minotaurus) serta kuda dan burung , hingga pada 1937 melahirkan Guernica. Pun ternyata seniman Christo seniman yang hasil akhir karyanya itu berupa seni “bungkus membungkus,” bersama Jeanne Claude senantiasa dilandasi studi-studi berupa coretan gambar piawai dan detil. Demikian halnya Beuys di dalam “Thinking is Form: The Drawings of Joseph Beuys,” atau catatan catatan alakadarnya tapi adakalanya berhubungan pula dengan ide-ide pada “Nam June Paik, A Drawing Notebook, 1980, 1987, 1996.” Di kemudian hari Srihadi Soedarsono saat kumpul kumpul di rumah Rudy Pranajaya pada 1970an zaman KSB (Kelompok Seniman Bandung), selintas mengatakan: “sebaiknya kepandaian menggambar itu dikuasai dengan baik, entah kemanapun kelak langkah kesenimanannya

berjalan, itu tetap menjadi dasarnya.” Sementara dari Popo Iskandar saat duduk bersandingan di kursi undangan khitanan putranya Juniarso Ridwan, antara lain mengatakan: “Keur seniman mah ulah sok ngalaworakeun gagambaran, mun tiasa mah ulah eureun, tiasa ku patlot, pulpén, areng, koas atanapi naon baé ogé. Kitu ogé bahan dasar gagambaranna tiasa kertas nu memang disayagikeun, malih teu nanaon keretas tilas bon ogé batan dipiceun, atawa bahan naon baé nu aya. Nu penting ulah eureun” (Bagi seniman janganlah pernah menyepelekan kerja gambar-menggambar, jika bisa janganlah pernah berhenti, bisa dengan pinsil , pulpen, arang , koas atau apapun. Pun bahan dasarnya bisa kertas yang memang sudah disediakan bahkan bisa pula di atas kertas bekas bon ketimbang dibuang , atau bahan apapun yang ada. Yang penting jangan berhenti.) Selanjutnya ia menjelaskan bahwa: “Éta keur ngalatih diri, rupi-rupi latihan pikeun pelukis, aya di dinya sadayana. Kalebet pikeun urang diajar ngobrol jeung subjek nu digambar ku urang. Sok gera, mun urang ngagambar tangkal, sidikna urang téh ngobrol jeung tangkal. anu hartina daék merhatikeun kahayang si tangkal, sajeroning kitu teu weléh merhatikeun ogé kahayang diri urang sorangan. Kitu ngobrolna tukang gambar mah… ” (Itu untuk melatih diri, segala macam latihan bagi pelukis itu ada di sana semua. Termasuk untuk kita belajar bercakap cakap dengan subjek yang digambar oleh kita. Lihat saja, manakala kita menggambar pohon seperti halnya kita itu ngobrol dengan pohon, yang artinya berkenan memperhatikan kehendak si pohon, sementara itu pula kita pun tak lepas-

Lepasnya memperhatikan kehendak kita sendiri. Demikian ngobrolnya tukang gambar itu…)

Saya sendiri bisa dikatakan ‘murtad’ atau taksepenuhnya lagi beriman kepada ajaran Popo Iskandar ataupun Srihadi Soedarsono, dalam arti ‘jajauheun’ menggambar setiap saat bahkan bisa/pernah berhenti sampai menahun. Tapi, kiranya lain dengan D. Adikara Rachman. Jika memperhatikan produktivitas karya karyanya, cukup meyakinkan bahwa dirinya itu tanpa henti corat-coret. Pun medianya yang digunakan, terlihat merambah jauh hingga di atas kartu domino sekalipun. Gejolak Mencari “Akar ” Ke-Indonesia-an

KEMUDIAN pada 16 Oktober 2022 terjadi perjumpaan fisik dengan D. Adikara Rachman (DAR) bersama William Robert. Setelah obrolan silang siur, DAR mengarahkan perbincangan ke perkara “akar ” seni kita secara umum dan khususnya di ranah senirupa. Ia, seperti asumsi umum yang kerap muncul, bahwa kita mesti menemukan akar kebudayaan kita sendiri, berjalan dan berkembang berdasar akar yang kita miliki, sebab hanya dengan itulah kita menjadi mungkin berdiri setara di antara wajah-wajah lain kebudayaan dunia. DAR menandaskan bahwa jika tetap berjalan seperti sekarang ini, niscaya kita akan tetap sebagai medioker atau buntut (baca: pengekor) dari seluruh citra kebudayaan yang berkembang di Eropa dan kemudian di AS dalam tiga masa (Abad Pertengahan, Renesans, Modern).

Tentu, itu merupakan pembicaraan besar, nyatanya takusai meski obrolan dengan DAR berlangsung hingga lewat pukul 02:00 dini hari dan yakin takakan usai pula jika disambung hingga tiga malam ke muka. Maklum isu tersebut adalah perkara luas dan bisa dikatakan senantiasa hidup di sebagian kepala seniman ataupun pelaku kebudayaan yang mau berpikir, memiliki gairah mencari/eksplorasi, dan semangat bertarung di tengah kebudayaan dunia. Oleh karena itu isunya takpernah henti muncul hampir di sepanjang sejarah seni modern kita. Dari dahulu hingga sekarang , isu tersebut terkadang “bray pret ” atau menyala (bray) dan mati kembali (pret) di kisaran obrolan para seniman sambil minum kopi hingga forum-forum kenegaraan meskipun umumnya hanya fesyen ketimbang menyuruk kepada hal yang paling mendasar. Setengah wajib diingat, bahwa puncak perbincangan dalam kisaran isu tersebut pernah terjadi di dalam forum Polemik Kebudayaan, 1935. Saat itulah terlihat bahwa ‘isi kepala Indonesia itu mendua,’ Satu pihak adalah semangat “meninggalkan tasik yang tenang tiada beriak” yang dipicu Sutan Takdir Alisjahbana dalam arti pergi meninggalkan masa lalu, menjauhi sikap antiintelektualisme kelompok tradisional, sambil menyarankan agar mau berguru kepada pemikir Barat. Sebab, menurutnya, hanya dengan itulah Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju; pihak lainnya adalah rombongan yang ‘ngarempug ’ STA dengan beranggapan bahwa Timur itu warisan suci. Pemosisian sikap dan pikiran masing-masing yang berpolemik, memang cenderung frontal. Adalah “mereka yang mempunyai anggapan seolah-olah segala orang Timur wali yang suci dan segala

orang Barat penjahat yang tiada berhati… dst.,” demikian seperti ditulis Achdiat K. Mihardja sebagai pengantar bunga rampai Polemik Kebudayaan yang kemudian terbit pada 1948. Pandangan bipolar, frontal, chauvinistik atau sikap kesetiaan ekstrem terhadap keyakinan suatu pihak itu kemudian ditimbang-ulang , dicari kemungkinan semacam pandangan alternatifnya. Sejumlah sastrawan yang di kemudian hari dikenal sebagai Angkatan ’45, diantaranya Asrul Sani dan Rivai Apin, memandang bahwa keterbelahan yang kaku itu bukan saja berpotensi menghambat kreativitas tapi juga membahayakan atau berpotensi menyebabkan pecahnya keIndonesia-an. Atas dasar itu, mereka menyusun “Surat Kepercayaan Gelanggang ” yang diterbitkan oleh majalah Siasat pada tanggal 22 Oktober 1950. Bahkan pada teks pembukaannya tanpa ragu mengeklaim sebagai bagian dari “ahli waris kebudayaan dunia” (baca: Barat). Selanjutnya Barat-Timur taklagi dipertentangkan melainkan dianggap sebagai “berbagai-bagai rangsang ” untuk kemajuan. Untuk jelasnya dan kebetulan tidak terlalu panjang , kita lihat teks “Surat Kepercayaan Gelanggang ” selengkapnya sebagai berikut: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan. Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang , rambut kami yang hitam atau tulang pelipis

kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai. Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai. Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri. Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman” . Takjuga berakhir. Gejolak mencari “akar ” Ke-Indonesia-an, antara lain berlanjut pada perdebatan antara mereka yang berpihak kepada orientasi kerakyatan atau terkadang menyerminkan realisme sosial berhadapan dengan mereka yang menganut humanisme-universal. Realisme sosial digerakan oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)

serta jejaringnya, dan di seberangnya adalah humanisme universal sebagai keberlanjutan dari semangat “Surat Kepercayaan Gelanggang ” namun kemudian mengumumkan pernyataan baru yang disebut “Manifes Kebudayaan,” dipublikasikan di surat kabar Berita Republik dalam ruang “Forum” Sastra dan Budaya No.1, Th I, 19 Oktober 1963 dan majalah Sastra No. 9/10, Th III, 1963. Di luar perdebatan adalah juga seniman seniman yang mencari jalannya sendiri, diantaranya adalah mereka yang tergabung di dalam Kelompok Decenta. Sejatinya adalah komunitas yang bergerak di bidang desain grafis. Decenta sendiri adalah akronim dari Design Center Association, didirikan oleh Adrian Palar, A.D. Pirous, G. Sidharta, Sunaryo, T. Sutanto, dan Priyanto Sunarto pada tahun 1973. Kelompok ini berpegang kepada visi pencarian identitas keindonesiaan dalam seni rupa yang dilakukan dengan cara memanfaatkan bentuk-bentuk seni rupa tradisi Indonesia seperti ragam hias maupun citraan-citraan lain yang yang berorientasi pada estetika tradisi.

Sementara di Yogyakarta, khususnya mereka yang tergabung di dalam Kelompok Gampingan antara tahun 1973 - 1974, melontarkan “suara” dalam frasa pertanyaan dengan lantang meski penulisannya tidak mengimbuhkan tanda tanya: Seni Kepribadian Apa. Mereka, waktu itu, adalah sejumlah mahasiswa ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang kerap berkumpul, berbincang , berdiskusi di kompleks Gampingan (perkampungan dekat kampus ASRI), fokus perbincangannya adalah semangat pemberontakan terhadap kemapanan. Itu tercermin di dalam tulisan Bonyong Munny Ardhie:

kawan kawan ingin melepaskan belenggu konsep lama yang selalu dielu-elukan oleh para establishment, yaitu para dosen pengajar kami. Dari hari ke hari terbentuklah sebuah kelompok, sebuah komunitas Gampingan.”

Dari yang semula berupa pemberontakan kepada para dosen yang dianggap bersikukuh pada kemapanan, kiranya kritisisme mereka berkembang ke arah kritik terhadap negara atau pemerintahan Suharto. Maklum karena istilah seperti ke-Indonesia-an, tradisi, atau kebudayaan yang berkepribadian itu telah bergeser menjadi pengucapan (tepatnya jargon) kenegaraan. Maka dilawan oleh seni yang mempertanyakan yaitu “Seni Kepribadian Apa.” Mengingat, masa itu, kebijakan negara dirasakan takmenyentuh pribadi-pribadi (rakyat), hanya memperlihatkan konsep pembangunan yang palsu, sangat korup demi pencapaian kemapanan. Gejolak “Seni Kepribadian Apa” yang beberapa peristiwanya disaksikan Sanento Yuliman, itu segera saling-berinteraksi dengan semangat seniman-seniman lain di luar Yogyakarta hingga kemudian lahirlah “Gerakan Seni Rupa Baru” (1975) yang prinsip dasarnya adalah tetap mencari ke-Indonesia-an dengan jalan keluar atau melawan kemapanan di bidang senirupa. Citra ikoniknya antara lain terlihat pada patung “Ken Dedes” karya Jim Supangkat, karya aslinya dibuat pada 1975 kemudian dibuat ulang pada 1996 dan menjadi koleksi Galeri Nasional Singapura. Karya tersebut berupa patung Ken Dedes setengah badan disambung bagian bawahnya yang telanjang dada, bercelana jeans dengan resleting sedikit terbuka sehingga sedikit (maaf ) jembut dari sosok tersebut nyembul atau terlihat.

Translasi Mengakar

MODA kebentukan patung “Ken Dedes” di atas, sengaja diulangungkap mengingat ada semacam diksi bahasa rupa yang menjadi diskusi panjang ke-Indonesia-an kita. Meski takdikemukakan secara eksplisit oleh pematungnya, tapi siapapun kiranya bisa segera ‘membaca’ bahwa Ken Dedes di sana menjadi diksi “kita” atau keIndonesia-an nan cantik bahkan ditambah pewarna bibir merah, merunduk khusyuk dengan mata tertutup, kaya dengan ornamen sejak mahkota hingga kalung berukir; sementara ke bawah adalah penyederhanaan (simplicity) alias takberoramen bahkan ketat menyetak lekuk tubuh, dan terbuka resletingnya.

Demikian sekadar gambaran alit bahwa memang Timur dan Barat itu ada sekaligus masih menjadi perkara. Itu bahkan telah disaksikan dan disoal oleh Tuan Herbert Read sejak mula terbit buku “Makna Seni”nya pada tahun 1931. Pada catatannya #42, Read antara lain menulis: “Bagi rata-rata orang Barat, Timur selalu menjadi negeri misteri. Meskipun sarana komunikasi modern dan metoda modern untuk mentransmisikan informasi, terutama kamera dan bioskop, membuatnya akrab dengan ciri-ciri eksternal peradaban Oriental; spirit bagian dalamnya masih tetap saja asing dan terpencil. Ketika kita (baca: Barat, hd) tertarik dengan hal-hal khusus spiritual - agama seperti Buddhisme atau filsafat seperti Taoisme - kita umumnya harus puas dengan tetap berada di luar, simpatik tetapi pada dasarnya tetap sekadar penonton pasif bagi cara berpikir dan kehidupannya.”

“ …

Sayangnya gairah debat yang begitu kencang dan panjang tersebut takseiring dengan adanya gairah riset mendalam yang menyuruk ke akar-akarnya. Manakala bicara Barat, misalnya, saya sendiri selalu ingat pernyataan A.D. Pirous saat bincang berdua menjelang pemberangkatan jenazah Toto Sudarto Bachtiar, 2007: “ Ya, kita selalu hanya mendengar suara klenengan dari kejauhan tapi tak pernah tahu seperti apa klenengannya.” Takayal, pengetahuan kita tentang Barat bisa dikatakan serba sepenggal atau hanya sempat mendengar bunyi klenengannya dari kejauhan. Pun manakala membicarakan Timur atau tubuh kebudayaan kita sendiri, artefak pemikirannya mungkin masih tertumpuk di dalam kitab-kitab lama dan/atau belum diungkap serta disusun ulang hingga layak menjadi sumber kajian. Baru kemudian pada 2005 terbit buku penting “Bahasa Rupa” yang disusun Prof. Dr. H. Nang Primadi Tabrani. Dan, sepanjang sejarah seni Indonesia, baru pada 2014 terbit buku teori estetika yang mendekati lengkap dan mendasar, yaitu “Estetika Paradoks” yang ditulis oleh Jakob Sumardjo. Perlu waktu 79 tahun jika dihitung dari masa terjadinya Polemik Kebudayaan tahun 1935.

mencari/membuat medianya sendiri berdasar temuan yang didapat dari ragam tradisi pedalaman. Sebut misalnya Achmad Sopandi Hasan, seniman kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 15 Februari 1958, ini melakukan perjalanan ke berbagai masyarakat adat/pedalaman hingga ceruk-ceruk gua prasejarah untuk melakukan riset seni. Salasatu temuannya adalah bahan pewarna alami yang bisa diterakan pada lukisan, batik, tenunan, dan kriya.

DAR dengan caranya sendiri, baik secara pribadi ataupun kaitan dengan lembaga tempatnya ia mengajar, pun bertahun-tahun melakukan serangkaian riset seni dan kebudayaan ke berbagai daerah. Salasatu pusat perhatiannya adalah kepada pertanyaan: Seperti apa kiranya rupa yang meng-Indonesia itu?

Sementara jika dari sisi seniman beserta karya-karyanya bisa dikatakan berjalan tanpa henti dengan berbagai pilihan jalannya, baik yang mengarah pada orientasi perupaan ataupun mereka yang melihat ke-Indonesia-an itu dari sudut kenyataan kehidupan dan permasalahannya. Diantara semua itu ada pula yang menyuruk ke dua arah yaitu moda perupaan dan ‘nafas’ ke-Indonesia-an melalui serangkaian perjalanan / penelitian, bahkan kemudian ke langkah

DAR memulai serangkaian penelitiannya kepada tradisi budaya rupa pra-Islam yang puncaknya ia temukan pada peradaban Majapahit, 1293–1527 atau sumber lain (Hefner, 1983) menyebut masa kekuasaannya adalah 1293 – 1518. Jejak tertulis hasil penelitian DAR antara lain “Patung Terakota Majapahit: Lingkungan Sosial dan Kehidupan,” berupa makalah untuk Jurusan Komunikasi Visual, Universitas Trisakti, yang diterbitkan berkala Humaniora Vol.7 No.1 January 2016. Merupakah tulisan dari hasil penelitiannya yang dilakukan di bawah bimbingan Sacred Bridge Foundation (SBF) pada 2009 dan 2010 di Trowulan. Latar belakang penelitiannya adalah budaya visual pra-kolonial yang dianggap memiliki keaslian lokal sepanjang abad ke-12 hingga abad ke-15, dengan pengkhususan pada kekayaan budaya visual karena menurutnya bidang ini masih sangat jarang dibahas secara akademis.

Dari penelitiannya di Trowulan berlanjut kepada penelitian ihwal tradisi Bali Aga di Tenganan, Pegringsingan. Desa Tenganan merupakan salah satu desa dari tiga desa Bali Aga, selain Trunyan dan Sembiran. Suku Bali Aga adalah salah satu sub suku bangsa Bali yang menganggap dirinya sebagai penduduk Bali yang asli. Pola hidupnya masih mempertahankan aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka.

DAR melakukan penelitian pula di Sumatera dan Sulawesi, meski menurutnya hanya serba selewat yaitu untuk memperhatikan pola tindak dan pola pikir masyarakat yang diteliti. Manakala ditanya adakah hal paling inti yang ditemukan di sepanjang penelitiannya tersebut, DAR menyatakan bahwa ditemukan adanya pola yang sama yaitu hubungan manusia - keilahian - lingkungan ragawi.

Belakangan DAR melakukan kajian atas rupa Batik Pesisir. Seperti yang kita ketahui, batik pesisir adalah tradisi yang berkembang di luar Solo dan Yogyakarta. Istilah pesisir digunakan karena kebanyakan hidup di pesisir utara Jawa seperti di Cirebon, Indramayu, Lasem, Bakaran. Berlandas pada Wahyudin (2003) DAR menulis bahwa batik pesisir ditinjau dari kearifan lokal dengan sudut pandang budaya rupa, itu tumbuh dan berkembang di zaman berjalannya akulturasi budaya, di tengah masyarakat heterogen dan terbuka pada kehadiran budaya rupa dari luar, dan terlihat adanya pengaruh tradisi batik keraton Mataram Muda yang kuat. Kekhasan batik pesisir terletak pada variasi warna yang dihadirkan, keragaman motif yang lebih menunjukkan kebebasan imajinasi atau mungkin menginterpretasi ulang motif batik pedalaman.

Kekhasan itu menjadi potensi pembeda dengan batik pedalaman namun kesamaannya terletak pada pendekatan rupa yaitu dekoratif – organis serta dominasi elemen titik dan garis yang mengisi penuh permukaan kain tanpa menyisakan ruang kosong (lihat, Dikdik Adikara Rachman, “Implementasi Uji Coba Metode Translasi Visual Batik Pesisir Utara Jawa dan Sosok Wayang Kulit pada Mural,” Dimensi, Vol.17 No.2, Februari 2021).

Dalam obrolan, 16 Oktober 2022, DAR menandaskan pula bahwa batik merupakan salasatu “akar ” kebudayaan visual yang berjajar dengan kebudayaan visual Nusantara. Ketika ‘dikejar ’ ihwal landasan tumbuhnya akar tersebut, DAR menyatakan seperti halnya yang kemudian ia sampaikan dalam obrolan tertulis melalui WA bahwa dasarnya adalah peradaban sekaligus budaya perlakuan terhadap kain yang mendapat tempat begitu khusus dalam seluruh hidup, dari sakral hingga profan, ia menulis sebagai berikut: “Kaén salah sahiji wujud éstétik nu mendasar keur manusa, ti mimiti lahir nepi ka maotna teu leupas tina kaén. Kukituna kaén aya dua nilai panganteur: hirup di dunya jeung di alam nirwana. Batik pasisir tangtu nilaina dina kadunyaan, pangpangna ti budaya dagang, ngawangun jadi pangciri kaum masyarakat pasisir dina hal silih tukeur nilai jeung wangsa pendatang misalna Cina, Walanda, Arab, Jepang. Batik pasisir nyirikeun yén maranéhna mampu ngawangun diri tanpa ngaleungitkan ciri awalna” . (Kain merupakan salahsatu wujud estetik yang mendasar bagi manusia, sejak lahir hingga meninggal taklepas dari kain. Karena itu, kain memiliki dua pengantar nilai: hidup di dunia dan di alam nirwana.

Batik pesisir tentu nilainya dalam keduniawian, terutama dari budaya dagang , membentuk ciri masyarakat pesisir dalam budaya pertukaran nilai dengan bangsa pendatang semisal Cina, Belanda, Arab, Jepang. Batik pesisir menyirikan bahwa masyarakatnya mampu membangun diri tanpa kehilangan ciri awalnya). Menyebut “kaén” di dalam bahasa Sunda, itu biasanya langsung mengacu kepada kain batik. Namun karena pengaruh bahasa Indonesia, kini kaén itu menjadi seperti padanan dari “kain,” padahal terdapat kosakata yang padan dengan kain yaitu lawon. Selanjutnya yang berkenaan dengan kalimat ti mimiti lahir nepi ka maotna teu leupas tina kaén, di sebaliknya adalah gambaran siklus kehidupan-kematian: sejak kehamilan, kemudian kelahiran, inisiasi, perkawinan, dan kematian. Setiap tahapannya ditandai upacara (adat) dan salahsatu syaratnya ada/mengenakan kain batik sebagai bagian prosesi ritual. Itulah “akar”nya: ritual. Ritual atau ritus itu “laku” atau peristiwa yang dilandasi keyakinan atau spiritualitas tertentu. Jakob Sumardjo di dalam “Estetika Paradoks” (2014) menyebutnya sebagai seni yang berada di dalam lingkup budaya religi. Makna sebuah desain batik atau tenun baru kita ketahui apabila sudah dipakai dalam sebuah upacara. (JS:EP 2014:83). Di luar itu daya-daya transendennya tidak bekerja. Di luar upacara, benda-benda seni itu hanya berstatus pada profan biasa.

Benih Hipotesis: Ontologis vs Kosmologis

Dua buku penting yang telah disebut di atas, Bahasa Rupa dan Estetika Paradoks, membuka wawasan kita tentang "akar" masa lalu kesenian kita. Keduanya, sungguh tangmungkin diringkas kecuali dibaca selengkapnya. Tanpa maksud mereduksi, dari “Bahasa Rupa” setidaknya kita mendapatkan dua bahasa yaitu yang berdasar Ruang-Waktu-Datar (RWD) dan NaturalisPerspektif-Momen Opname (NPM). Karya visual RWD banyak ditemukan pada budaya visual pra-sejarah, lukisan anak-anak, wayang beber, relief Borobodur, dan/atau rupa ke-Timur-an. Di seberang lainnya, NPM, tumbuh menjadi kaidah-kaidah modern ilmu seni rupa Barat. Sementara dari "Estetika Paradoks" kita mendapat kajian yang demikian luas serta mendalam sejak filsafat, mitologi, ragam kesenian, dan gambaran sosiologis/antropologis dengan pendekatan Heurmenetik ihwal kebudayaan kita yang bertumbuh pada masa pra-modern. Disebut oleh JS bahwa masyarakat pra-modern itu bersifat religius, primordial, setiap suku bangsa dilatari mitos-mitos, dan seluruh mitologi dan seninya bertopang kepada ritus. Dua buku tersebut seperti berpasangan. Teori dari “Bahasa Rupa” khususnya yang berkenaan dengan RWD membawa kita kepada panorama faktual atau jejak dari suatu cara perupaan kita, sementara “Estetika Paradoks” memberikan gambaran latar-belakang atau sikap budaya yang melandasi kelahirannya RWD. Dua-duanya membimbing kita

ke arah pertanyaan atau katakanlah hipotesis baru yang mudah mudahan sampai ke pembuluh kayu dan pembuluh tapis dari akar: Cara pandang seperti apa yang kiranya terjadi pada diri kita sehingga melahirkan suatu cara menggambar/melukis yang liyan itu?

Benih hipotesis yang muncul, bahwa apa-apa yang selama ini kita jalani (di masa modern) manakala belajar menggambar/melukis itu taklain dari pola ontologis, adanya prinsip penjarakan sekaligus pemisahan antara aku si penggambar dengan itu yang digambar. Praktiknya seperti yang kita kenal dalam istilah menggambar/melukis model, di sana terjadi penjarakan dan keterpisahan antara aku si penggambar dan model yang digambar. Prinsip itu pula yang terjadi ketika menggambar/melukis alam benda, lanskap, serta gabungan keseluruhannya. Dalam posisi berjarak, selain berjalanannya proses melatih keterampilan menggambar/melukis; tersadari atau bisa juga taktersadari sesungguhnya terjadi proses analisis, proses pengamatan secara rinci terhadap setiap elemen atau struktur tertentu. Dari sana, antara lain lahirlah cara pandang NPM (Perspektif-Momen Opname) seperti yang diistilahkan oleh Prof. Dr. H. Nang Primadi Tabrani di dalam “Bahasa Rupa.” Ini pula yang mendasari hampir seluruh peradaban gambar/lukis Barat yang dikenal dengan istilah mimesis. Sementara kita dan/atau seperti yang diistilahkan Jakob Sumardjo sebagai masyarakat pramodern itu jauh dari mimesis. Landasannya karena tradisi seni pra-modern itu berada di dalam kebudayaan

mitis spiritual keagamaan. Kebudayaan ini berpikir kosmosentris (JS:EP 2014). Manakala menggambar objek yang sama, katakanlah sebatang pohon, NPM akan melahirkan gambar mimetik dari pohon sementara manusia kosmosentris melahirkan wujud simbolik dari pohon. Berkait dengan pameran DAR yang mengetengahkan karya berlandas pada prinsip-prinsip batik, sungguh menarik, setidaknya membawa kita untuk menengok kembali (yang dasar saja) teknik pembuatan batik. Secara teknis pembatik itu hampir takmungkin melakukan Plein air painting atau pergi meninggalkan rumah tinggalnya sambil membawa seluruh peralatan untuk kemudian membatik objekobjek di alam terbuka secara langsung. Tidak, bukan itu yang terjadi. Pembatik pun manusia, dalam keseharian tentu mereka pun melihat segala hal yang tampak di semesta alam ini. Apa yang terlihat atau bisa juga melewati pengamatan detil, itu (katakanhlah) direkam, disimpan di dalam ingatan, berbaur secara kosmologis dengan sejumlah ingatan-ingatan lain yang teralami, dan pada saatnya nanti keluar kembali melalui titik atau guratan canting beserta landasan nalar atau ingatan spiritualnya.

DAR dengan karya karyanya yang dipamerkan itu tidaklah lahir dari prinsip membatik melainkan melukis, canting telah digantikan oleh koas. Semesta keterampilan mimesisnya seperti yang telah terurai di atas, itu berbaur dengan segenap memori personal baik yang bersifat spiritual ataupun sosial. Menarik. Membuat kita kembali berpikir, dunia seni (lukis) dikembalikan ke khitahnya; bukan sekadar dunia oret oret, melainkan dunia yang membuka jalan pengelanaan nalar dan rasa, sekurang-kurangnya telah mendorong lahirnya benih hipotesis atau catatan kecil berupa tulisan ini.

*******

Ucapan Terimakasih

Kepada mereka yang telah memberi dukungan moral, pengetahuan, tenaga, waktu, dan doa yang sangat berarti atas terselenggaranya pameran tunggal ini saya haturkan terima kasih banyak kepada;

Prof. Dr. Bambang Ignatius Sugiharto

Serrano Sianturi (alm)

Diaz Ramadhansyah

Rifky Goro

Royanto Amin

Gembong Primadjaja

William Robert

Ridwan Manantik

Dedy Suherdi

Rosid

Herry Dim

Dani Sugara

Joni Paredes

Friday Art Design Session

Lundi Farida

Istriku, Cholida Rizkina

Anakku, Syaimma Alia dan Afnan Alkautsar

Serta semua pihak yang tak bisa disebutkan satu persatu

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.