R O B N
O M N G A O R G A Arsip-Arsip Ngurasi Rifky ‘Goro’ Effendy Bagian 1 : 1999 - 2020
B N O N
ROMBONGAN BORONGAN Arsip - Arsip Ngurasi Rifky ‘Goro’ Effendy Bagian 1 : 1999 -2020
DAFTAR ISI
ROMBONGAN BORONGAN
Arsip - Arsip Ngurasi Rifky ‘Goro’ Effendy Bagian 1 : 1999 -2020 Diterbitan oleh: Orbital Dago. November 2020 Disebarkan secara elektronik melalui PDF File atau website : www.orbitaldago.com
1.WEARABLE Hal. 14 2.Ruang-Ruang Berbeda Hal. 39 3.Seduction Boys Don’t Cry. Hal. 44 4.Membayangkan Jakarta Hal. 54 5.Trans – Indonesia Hal. 74. 6.Dari Ruang - Ruang Transisional :Menimbang Kembali sang Liyan (the other) dalam Perkembangan Seni Rupa Kontemporer di Indonesia. Hal. 90 7.On Appropriation. Hal. 100 8.Space / Spacing. Hal. 116 9.Hybridization Hal. 134 10. Urbantopia Hal. 142 11.Jakarta Contemporary Ceramic Biennale 1. Hal. 148 12.Halimun Hal. 162 13.FIXER Hal. 176 14.Shopping Hal. 192 15.Sea Drawing Exhibition Hal. 206 16.Cold Memories Hal. 210 17.Room Is Mine Hal. 220 18.Critical Points Hal. 228 19.Suatu Moment Dalam Abstrak (si) Hal. 242 20.Beauty Case Hal. 256 21.Finding Me. Hal. 274 22.FLOW Hal. 298 23.FLOATED: Malaysian Contemporary Artists Exhibition Hal. 312 24.Blended by Desire Hal. 322 25. 3 Contemporary Facts Hal. 354 26.SAKTI : Indonesian Pavillion at 55th Venice Biennale Hal. 364
27.Every Day Is Like Sunday Hal,. 388 28.Jakarta Contemporary Ceramic Biennal 3. Coefficient Of Expansion Hal. 396 29.NOW : Here – There – Everywhere. Hal. 442 30.VOID Hal. 472 31.NEW.FUTURE Hal. 482 32.Bipolarity to Multipolarity Hal. 494 33.A.S.A.P Hal. 544 34.Contemporary Art From Bali. Hal.554 35.Turbulensi Hal. 578 36.WHAT YOU WEAR (are not) YOU ARE YOU ARE (not) WHAT YOU WEAR Hal. 594 37.Perjalanan Senyap. Hal.646 38.PINTAS Hal. 674. 39.Spektrum Hendra Gunawan Hal. 692 40.Painting after the Age of Technology Reproduction Hall. 714 41.Beyond The Myths Hal. 726 42.Celebration of The Future Hal. 758 43.Balinese Masters : Lintasan D.N.A Estetik Seni Rupa Bali Hal. 788 44. ART BALI 2019 : Speculative Memories Hal. 818 45.Konstelasi Benda- Benda Hal. 846
Rifky Effendy (GORO) lahir di Jakarta, Desember 1968. Ia lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, pada 1995. Sejak 1997, Effendy telah bekerja sebagai kurator aneka macam pameran sembari menjadi kontributor lepas berbagai media nasional dan majalah seni seperti Kompas, Tempo, Art Asia Pacific Magazine, dan Visual Art Magazine. Deretan pameran yang dikurasi Rifky Effendy berlangsung di berbagai negara, mulai dari Wearable (1999) di Galeripadi Bandung, Bentara Budaya Yogyakarta, dan Sika Art Gallery Bali; bekerja sama dengan arsitek-arsitek dalam Imagining Jakarta (2004) bersama Goethe Institut; sukses mengenalkan seniman kontemporer Jepang, Morimura Yasumasa, di Cemeti Art House, Gaya Fusion and Sense, dan Soemardja Gallery (2004); bersama Greg Burke, sukses mengadakan pameran Trans-Indonesia; Scooping Culture in Contemporary Indonesia Art (2004-2005) di New Zealand; mengkurasi Pilgrim Project (2006) di Gaya Fusion, Bali; mengkurasi KOI and TRINACRIA (2008) karya Filippo Sciascia dan Robert Coda Zabetta di Galeri Nasional Indonesia; South East B(L) ooming (2008) di Primo Marella Gallery, Milan; Indonesia in Best Discovery (2008) di ShContomporary, Shanghai; In Between (2009) The First Jakarta Contemporary Ceramics Biennale, North Art Space, Jakarta; Fixer (2010) North Art Space, Jakarta; FLOW: Contemporary Art from Indonesia (2012) di Michael Janssen Gallery, Berlin; Indonesia Pavilion di the 55th Venice Biennale (2013) bersama Carla Bianpoen; The Third Jakarta Contemporary Ceramics Biennale: COEFFICIENT OF EXPANSION (2014) di Galeri Nasional Indonesia; Bazaar Art Jakarta (2016); Art Bali (2018 dan 2019) ,Balinese Masters di gedung ABBC Nusa Dua, serta; mengkurasi Konstelasi Benda-Benda (2020) di Semarang Gallery. Di samping giat mengurus bermacam proyek kuratorial, Rifky Effendy aktif dalam organisasi maupun festival kesenian. Ia sempat mendapat residensi untuk mengamati seni kontemporer di Australia (2000) dengan mengunjungi berbagai kota di sana. Tercatat menggagas dan mengarahkan Biennale Bandung (2001), menjadi anggota Dewan Kebudayaan Asia yang berbasis di Amerika (2004), terlibat dalam pembentukan Jakarta Contemporary Ceramics Biennale (2009), turut mendirikan Platform 3 Space Art (2009), membentuk Inkubatorasia (2010), membangun dan mengembangkan Orbital Dago (2017), dan mendirikan BDGConnex (2018) dengan Bandung Art Month. Rifky Effendy juga pernah menjadi pemakalah dalam konferensi kurator internasional Apexart (2004) di Honolulu, Hawaii. Ia menyorot kaitan antara seni kontemporer Indonesia dengan infrastruktur seni dengan makalah berjudul Indonesian Contemporary Art and the Development of Art Infrastructure:Influences, Appropriations, and Tensions. Selain itu, bersama Deddy Kusuma dan Aminudin TH Siregar, Ia menerbitkan buku Face To Face: Identity in Indonesia Art - The Art Collection of Deddy Kusuma. Email: rifky68@gmail.com Facebook: Rifky Effendy https://web.facebook.com/rifky.effendy.7 Twitter: @rifkygoro https://twitter.com/Rifkygoro Instagram: @rifkygoro https://www.instagram.com/rifkygoro/
Pengantar Mengumpulkan arsip-arsip lama, apakah cetak maupun dijital menjadi kegiatan yang sering saya dilakukan ketika wabah Covid-19 melanda. Kemudian arsip-arsip tersebut dibukukan dengan format dijital dalam bentuk PDF, seperti yang telah saya publikasikan dan bagikan ; kumpulan arsip-arsip artikel saya dimedia massa mulai tahun 2000 hingga 2012, diawal Juni 2020 lalu. Kumpulan arsip kurasi yang dilakukan mulai tahun 1999 hingga 2020 bisa dianggap “berkah” dari wabah , jika bisa dikatakan “ keterusan” mengumpulkan arsip-arsip lama, karena tiba-tiba punya banyak waktu mencari dan menggali data -data lama. Walaupun diperiode bulan Juli hingga Oktober , kesibukan pekerjaan kurasi pameran mulai “normal”, sehingga pengumpulan sempat tertunda. Buku arsip-arsip ini merupakan pilihan kurasi untuk pameran grup atau kelompok yang saya pernah lakukan, baik di Bandung, Jakarta, Yogya, Bali maupun di beberapa negara lain. Maka judul : ROMBONGAN BORONGAN ; ingin menggambarkan bahwa pameran kelompok mempunyai tantangan tersendiri dibanding proyek pameran tunggal seniman. Pameran kelompok hampir sepenuhnya menantang kurator untuk membuat gagasan kurasi dan mengundang karya-karya seniman yang dianggap sesuai dengan tema – tema, menuliskan dan mewujudkan gagasannya lewat penataan karya-karya. Walaupun dalam pameran bersifat komersial , pemilihan karya – karya harus berkompromi dengan pemilik galeri atau pengelola pameran, tetapi dalam perkembangannya hal ini terkadang juga punya dinamikanya tersendiri kepada para kurator bersangkutan. Menjadi kurator seni bagi saya suatu kebetulan dan menjadi pilihan pekerjaan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Sebabnya adalah ketika masih mengelola studio keramik di Tangerang Selatan, kebetulan saja bertemu teman kampus yang berencana membuat galeri di Bandung. Tawaran itu sangat menarik karena, pertama belum pernah berpengalaman mengelola sebuah galeri. Kedua, pengelolaan pameran pernah saya lakukan ketika masih menjadi mahasiswa, begitupun dengan tulis menulis. Ketiga, ketika diselenggarakan Biennal Jakarta IX tahun 1993-1994 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, saya menyaksikan suatu pameran seni rupa yang begitu membuka mata dan wawasan. Pameran yang dikuratori Jim Supangkat itu hampir semua karya berupa instalasi dengan menyodorkan wacana dan perdebatan seni rupa kontemporer. Saya “terlibat” menjadi bagian pada perhelatan tersebut, sebagai model karya-karya foto instalasi seniman Bandung Yudi Yudoyoko berjudul: “ Man and an Egg”. Maka mulai tahun 1997 saya mulai membantu pengelolaan galeri yang dinamakan Galeri Padi, yang kemudian kami dibantu oleh seorang kurator yang pada saat itu sudah mulai dikenal dan juga dosen saya di FSRD-ITB, Asmujo J. Irianto. Dalam proses mengurasi program pamerannya, saya selalu mengikuti bagaimana metode suatu kurasi, sampai suatu saat , sekitar tahun 1998 diadakan sebuah workshop kuratorial yang diselenggarakan oleh The Japan Foundation di Jakarta dengan mengundang seorang kurator Jepang berpengalaman, Toshio Shimizu. Hingga suatu ketika saya diundang ke Jepang, bersama beberapa pengelola ruang seni lainnya untuk mengunjungi beberapa lembaga museum seni rupa di beberapa kota di Jepang. Pengalaman ini memantapkan jalan saya untuk menjadi kurator seni rupa walaupun
bagi publik seni di Indonesia era 1990-an, pekerjaan kurator masih baru dan mungkin membingungkan. Pada awalnya, pekerjaan membuat pameran terutama dengan kurasi yang tematik dan yang eksperimental atau pun yang ‘wacana’ hanya bisa dilakukan di ruang pameran yang non – profit , peristiwa biennale dan ruang-ruang alternatif, seperti di Lembaga kebudayaan asing, ruang-ruang seni budaya seperti taman budaya, Taman Ismail Marzuki, galeri kampus maupun ruang inisiatif seperti kolektif ruangrupa dan Cemeti Art House. Itupun dengan minimal pendanaan dan fasilitas seadanya. Tetapi seiring perkembangan seni rupa khususnya mulai munculnya pasar (art market) atau BOOM seni rupa tahun 2007-an , praktik kurasi mulai diterapkan galeri-galeri partikelir yang mengharapkan penjualan karya-karya. Hal ini membuat para kurator mulai mendapatkan bayaran yang cukup walaupun hanya untuk membiayai hidup sehari-hari. Disinilah awal praktik kurasi bersinggungan dengan perkembangan pasar seni rupa, yang tentunya akan membatasi pola kerja kurator. Maka dalam kumpulan arsip ini, perkembangan praktik kurasi di Indonesia tergambar, proyek pameran yang diinisiasi sendiri sebagai kurator maupun sebagai proyek pameran dengan kecenderungan untuk peristiwa pasar seni rupa. Walaupun dilapangan saya sering mencoba menyisipkan karya-karya yang diluar kebutuhan pasar seni rupa. Dengan kata lain, pasar seni rupa ternyata juga membutuhkan karya-karya segar untuk dipamerkan terutama pada pameran grup atau kelompok. Dalam kumpulan ini esai-esai kuratorial lama, tak semua saya bisa dapatkan terutama berupa file, maka saya lampirkan dengan bentuk file gambar dari katalog cetak dan lampiran foto- foto dokumentasi yang diharapkan bisa menggambarkan kerja kurasi yang tak hanya soal menulis, tetapi bersama seniman mendiskusikan penataan pameran. Beberapa teks berita pers maupun tulisan dan arsip artikel (Clipping) dari penulis lain yang berkaitan dengan pameran yang saya garap juga saya lampirkan beberapa. Akhir kata saya mengucapkan selamat menikmati arsip-arsip kurasi ini. Rifky Effendy (Goro) Bandung 28 Oktober 2020
Pameran Wearable Galeri Padi, Bandung. 1999 Bentara Budaya, Yogyakarta Sika Contemporary Art Gallery, Ubud - Bali
Tentang Latar Belakang dan Proses Kurasinya Ketika hampir setahun lalu masyarakat Indonesia dihadapkan pada sebuah peristiwa nasional yang bersejarah. Jatuhnya sebuah kekuasaan yang selama lebih dari tiga dasawarsa memerintah negara kepulauan ini. Diawali dari krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Asia Tenggara yang kemudian dilanjuti dengan tuntutan mahasiswa pada penguasa untuk mengadakan reformasi disegala bidang terutama bidang politik dan ekonomi. Tuntutan para mahasiswa yang kemudian dibalas dengan kekerasan oleh aparat militer menjadikan tuntutan lebih terarah untuk mencopot Soeharto dari jabatan presidennya. Hingga akhirnya pada bulan Mei 1998 terjadi peristiwa tragis dengan ditembaknya mahasiswa oleh pihak apparat keamanan. Peristiwa berdarah ini memicu sebuah tragedy besar. Di kota-kota besar seperti : Jakarta, Solo, Surabaya, dll. Terjadi kerusuhan hebat. Pusat-pusat pertokoan dibakar dan dijarah, para etnis Cina menjadi sasaran utama kemarahan massa, bahkan terjadi tindakan pemerkosaan dan pembunuhan. Tragedi ini kontan menjadi sorotan dunia internasional. Caci maki serta kutukan pun datang dari berbagai negara, bahkan beberapa negara melarang rakyatnya untuk berkunjung ke Indonesia. Sejak tragedy itu bangsa Indonesia terus dirundung kemalangan. Walaupun pemimpin baru (Habibie) men-
janjikan suatu penyelesaian krisis tetapi justru keadaan semakin tak menentu. Masyarakat semakin tidak mempercayai para pemimpinnya, pihak keamanan dijadikan sebagai musuh dalam selimut, system hukum sudah runtuh, terjadi tindakan-tindakan anarkis yang dilakukan oleh masyarakat. Benih -benih perpecahan antar golongan, suku dan agama mulai muncul di daerah-daerah : Banyuwangi , Ambon, Kalimantan Barat dan entah dimana lagi nanti. Peristiwa – peristiwa yang terjadi dewasa ini didalam masyarakat Indonesia tentunya mau tidak mau menimbulkan pertanyaan besar. Lalu sejauh mana rasa keamanan individu terjamin oleh sebuan negara macam ini? Bila kita mengingat makin meningkatnya tingkat criminal baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun terselubung, yang dilakukan oleh masyarakat maupun kelompok tertentu. Lalu, kita tidak bisa lagi menggantungkan rasa aman itu pada hukum dan aparatnya. Bila saja sekarang ini seseorang tiba-tiba menodongkan senjata tajam ditengah keramaian atau berbuat hal-hal yang akan merugikan tiap individu, dan lebih menyakitkan si korban tidak dapat berbuat apapun. Lalu ketika seseorang melakuka hal-hal kreatif yang dianggap sepele sebelumnya menjadi hal yang luar biasa dan masyarakat menyambutnya sebagai sesuatu yang dapat memberikan solusi. Juga ketika seorang kreatif insinyur bernama Simon yang berdomisili di Bandung memproduk-
si korset anti pemerkosaan. Produknya menjadi laku dipasaran ketika terjadi tragedy 1998 dan ia banyak mendapatkan publisitas dari media massa. Atau ketika teks milik pribumi, muslim pribumim milih Haji anu , pro-reformasi menjadi penyelamat dari serangan para perusuh. Contoh-contoh diatas itu merupakan gambaran dari masyarakat yang sedang mengalami masa-masa krisis dalam menghadapi pesimisnya masa depan, ketidakpercayaan pada system-sistem yang ada. Begitupun dengan munculnya gagasan pameran Wearable ini. Tercipta dari pengalaman dan pengamatan mengenai permasalahan sosial di Indonesia akhir-akhir ini. Terutama mengenai kelangsungan kehidupan dalam masyarakat. Wearable dalam terjemahan bebasnya mungkin ‘sesuatu yang dapat dipakai’ ditubuh manusia memberikan kenyamanan, keindahan sekaligus keamanan. Istilah Wereabale dalam masyarakat biasanya akrab dengan wacana fashion atau produk garmen dan lain-lain yang berhubungan dengan tubuh manusia. Namun pada esensinya istilah Wearable dalam interpretasi saya adalah sebuah nilai tentang perlindungan, kepercayaan diri dan jati diri. Bila seseorang memakai sebuah baju sutra, ia tentunya merasakan kehalusan sentuhan kain sutera terhadap kulitnya sehingga secara psikologis ia tentunya merasa comfort dan menimbulkan
rasa ‘leluasa’ dalam ‘bergerak’. Dan tentunya ia pun merasa ‘bangga’ karena sutera yang indah itu telah melekat dan memperindah tubuhnya. Namun nilai Wearable itu juga sangat tergantung tempat, waktu dana lam pikiran. Dimana sebaiknya seseorang memakai baju sutera, kapan dan siapa yang memakainya. Seperti korset pengaman produk Ir. Simon yang telah saya sebutkan diatas tadi, tentunya hanya berlaku dalam keadaan tertentu. Produknya merepresentasikan sebuah kekhawatiran segolongan masyarakat terhadap keadaan sosial dalam sebuah bangsa yang sedang bergejolak hebat. Wacana seni rupa kontemporer dewasa ini, memperlihatkan sebuah gejala pluralistik, nilai-nilai universal (baca: modern) yang dibangun oleh masyarakat Eropa-Amerika dianggap terlalu mengenyampingkan masalah-masalah lokal terutama nila-nilai sebuah tradisi dari suatu bangsa. Warna putih tidak lagi diyakini selalu bermakna suci. Warna hitam hitam tidak selalu bermakna gelap. Wajah seni rupa kontemporer dewasa ini memperlihatkan masalah yang lebih beragam. Karya-karya kontemporer menjadi sebuah gambaran tentang alam pikiran suatu bangsa dan permasalahannya atau juga sering disebut sebuah representasi. Masalah-masalah religi, sexual, gender lingkungan, sejarah, politik, dan lainnya adalah yang sering diungkapkan dalam karya-karya seni kontemporer. Penciptaan media baru seperti televisi, komputer, satelit dan internet yang menyokong dunia informasi global justru menjadi media yang dapat memberikan saling pengertian tentang nilai suatu bangsa bukan
mengenyahkannya. Perupa yang terlibat dalam Wearable ini terdiri terdiri dari para perupa mancanegara terdiri dar: Australia, Thailand , Jepang, Korea Selatan dan Belanda. Keikutsertaan para perupa asing ini tentunya untuk memberikan pandangan lebih luas tentang nilai pakai atau Wearable yang juga sangat luas itu. Khususnya yang berkenaan dengan sebuah kondisi sosial-politikal-kultural ter-
tentu. Selain juga untuk menelaah lebih jauh wacana perkembangan seni rupa kontemporer dalam forum yang juga luas. Pemilihan para perupa dilakukan
dalam beberapa proses. Pertama proses pengamatan karya terdahulu, dimana unsur-unsur benda pakai selalu ada dalam karya-karyanya. Hal ini terdapat pada karya-karya Astari Rasjid, Choi Jeong-Hwa, Mongkol Plienbangchang. Kedua proses pengamatan pada kecenderungan berekspresi pada penyikapan sebuah keadaan realitas. Hal ini ada pada Mella Jaarsma , W Christiawan, Ruswandi Abdul Ghani, Minako Saitoh, Midori Hirota. Ketiga, pada perilaku kekaryaan seperti pada Alexandra J. Wuisan, David Sequera, Francis Alleblas. Dan keempat, ketertarikan perupa pada pendekatan tema seperti pada Damon Moon dan Park Hyesung. Sebagian besar perupa asing itu pernah tinggal atau menetap di Indonesia. Mereka adalah Midori Hirota, perupa Jepang yang sekarang masih tinggal di Bali, Frances Alleblas dari Rotterdam pernah menetap di Bandung. Mongkol Plienbangchang dari Thailand pernah terlibat dalam sebuah proyek workshop di Bandung. Damon Mood dan David Sequera dari Australia juga pernah terlibat dalam sebuah pameran tour di Indonesia. Bahkan Damon pernah menjadi artists in residence di Yogya. Minako Saitoh dari Jepang dan Choi Jeong-hwa dari Korea-s Selatan secara terpisah pernah bertemu di Tokyo dan Fokuoka, Jepang. Sedangkan Park Hye-sung dari Korea Selatan direkomendasikan oleh Choi. Proses kurasi Wearable ini berlangsung sejak November 1998.
Yaitu diawali dengan memberikan brief curatorial kepada para perupa lewat pertemuan langsung, telepon, faksimili , dan e-mail. Nama – nama perupa sebelumnya sedikit berbeda dengan nama -nama perupa yang tercantum sekarang. Beberapa nama yang sebelumnya masuk dalam list saya tidak merespon tawaran saya. Bisa jadi mereka tidak tertarik pada konsep kurasinya, juga kendala dana, alasan kesibukan pekerjaan dan jarak. Tapi juga beberapa perupa yang sebelumnya tidak ada pada daftar, menyatakan untuk ikut karena ketertarikan pada kurasinya. Dalam proses Wearable, korespondensi merupakan hal yang paling penting. Terutama dengan para perupa dari luar kota Bandung dan luar batas negara. Masalah kurasi tentunya yang paling sering terlontar , selain hal-hal teknis seperti waktu dan pengiriman karya. Namun ada juga pengalaman yang menarik, ketika Damon Moon menyodorkan gagasannya dalam bentuk drawing “Tumpukan Peci�, saya menawarkan untuk merealisasikan gagasannya dengan menumpukan peci yang sesungguhnya (objek konkret) dan ia ternyata setuju gagasan itu. Pembelanjaan peci-peci itu atas biayanya sendiri. Wearable merupakan sebuah pameran yang dirancang untuk sebuah touring. Proyek ini rencananya akan berlangsung mulai tahun ini sampai tahun 2000 atau 2001. Wearable tidak akan selalu menghadirkan karya maupun para perupa yang sama. Peserta akan terus bertambah di tiap
kota dimana Wearable akan singgah. Hal yang dilakukan untuk menambah masukan – masukan, gagasan-gagasan baru sehingga dapat memperluas makna dan perspektif tentang tema. Tempat-tempat yang akan dilewati adalah Yogya dan Bali. Dan bila memungkinkan kota-kota besar di luar Indonesia , seperti kota besar di Australia, Singapore, Jepang, Thailand , Korea-Selatan, dan lainnya. Semoga saja.
SEDUCTION : Boys Don’t Cry
“ The City is not only formed by society, but can be considered the very material form of society “ (Rosalyn Deutsche, 1991)
MEMBAYANGKAN JAKARTA CEMARA 6 GALLERY , 2004 CP Biennale 2005
harian yang dirasakan langsung oleh masyarakat kota ini. Dimana dari pola pembangunannya yang terpecah (rupture) memproduksi berbagai masalah sosial yang terus meningkat seperti JAKARTA : SEBAGAI LOKASI DAN migrasi yang sangat pesat, pengeloKEBERANGKATAN MASALAH laan sampah, polusi udara, banjir, hingga kemiskinan, kriminal dan banKota sekarang adalah locus konflik yak lagi yang seringkali menimbulkan masyarakat kontemporer. Maka kota ketegangan politik. Muncul pula permenjadi tempat paling strategis dimana berbagai kepentingan; mulai dari sosial, politik, ekonomi dan budaya saling berbenturan, berkaitan satu sama lain serta dinegosiasikan. Jakarta sebagai ibukota negara menjadi bukti bahwa berbagai masalah diseluruh negeri ini bisa berawal maupun berakhir di kota ini. Ditempat ini pula berbagai kekuatan kapital, baik modal lokal, nasional dan lintas nasional (global) bercokol dan berkoneksi dengan kota – kota lain di tanah air maupun metropolis lainnya seperti Singapura, Bangkok, soalan budaya seperti pola konsumsi Tokyo, Hongkong, Shanghai, New dan gaya hidup masyarakatnya yang York, dan lainnya. Sehingga kota kon- kemudian menjadikan watak tersendiri temporer, terutama di Asia, menjadi bagi suatu kota. layaknya organisme paling kompleks dalam sejarah perkembangan kehidu- Krisis Jakarta sebagai ruang kehidupan sipil manusia modern [1]). pan makin terasa ketika terjadi berbagai peristiwa pasca reformasi. Beban Dampak langsung dari gelagat ini ada- Jakarta sebagai pusat pemerintahan lah kehidupan masyarakat di kota itu sekaligus perdagangan semakin besendiri terutama dalam ruang urban rat dan hampir tak mampu lagi menoyang perkembangannya begitu pe- pang persoalan didalamnya. Jakarta sat. Jakarta secara infrastruktur tata sebagai representasi sebuah bang- kotanya tengah memasuki tahap sa kemudian menjadi metafor bagi krisis. Berbagai masalah dihadapin- pasang – surutnya kondisi bangsa dan ya : kemacetan lalulintas, masalah negara ini. Maka menyoal kota Jakarta transportasi umum, ruang khalayak terutama dari aspek arsitektural kota maupun perencanaan perumahan dalam perspektif sosial -budaya mermerupakan beberapa masalah kese- upakan suatu hal mendesak.
Seperti yang diungkap oleh Rosalyn Deustche - seorang kritikus kota dari New York - kita sekarang tak mungkin lagi memisahkan perbincangan an-
tara masyarakat (society) dan ruang arsitektural (space) atau antara aspek budaya dan teknis. Ruang tidak lagi dihampiri hanya sebagai suatu produksi dari hubungan – hubungan sosial tetapi, lebih jauh, sebagai arena re-produksi dari hubungan – hubungan sosial dan dengan sendirinya sebagai suatu jaringan relasi [2]. Bahkan kota kemudian menjadi lorong simulacrum-nya Baudrillard. Dimana segala nilai yang ada (baik politik, ekonomi,
sosial dan budaya) disimulasikan terus-menerus. ARSITEKTUR KOTA, DAN DE-HUMANISASI
IMAJINASI
Dalam era modern, kota merupakan produk imajinasi kolektif dari berbagai subyek. Hal ini yang membedakan dengan kota – kota pra-modern yang kebanyakan muncul dari imajinasi tunggal – apa lagi kalau bukan utopia- seperti dalam kisah menara babel ; apakah angan-angan seseorang yang berkuasa atau sekelompok masyarakat tertentu. Sejak kota Jakarta dikembangkan oleh para
pedagang dari Belanda (VOC), wajah kota ini hampir mirip dengan kota – kota di Belanda maupun Eropa. Lengkap dengan kanal – kanalnya. Letak geografisnya yang berhadapan langsung dengan lautan berarti sangat menguntungkan karena terbuka bagi interaksi dengan dunia luar dan terkontrol penuh. Maka arsitektural kota Batavia pertama kali berkaitan dengan kepentingan subyek kolonial. Begitupun pembangunan daerah pecinan dan perkampungan pribumi didasari dengan pemisahan dan pembagian wilayah untuk melindungi pusat kekuasaan kolonial secara politik dan juga ekonomi. Perkembangan arsitektural kota Jakarta sangat paradigmatik. Terutama ketika negara ini memasuki era – baru, menjadi Republik, arsitektural dijadikan salah satu proyek materialisasi “identitas nasional”. Benedict Anderson dalam Imagined Communities mengungkapkan bagaimana terjadi pengadopsian konsep nasional dari barat (kolonial) ke timur (koloni) - akibat kemunculan media informasi baru (lewat teknologi reproduksi cetak) yang akhirnya terjadi transformasi “pengetahuan” besar – besaran dan massal, diakhir abad 19 – yang menyebabkan para bumi putera terpelajar (sebagai komunitas imajiner) juga membayangkan akan nasionalisme Indonesia sebagai suatu perwujudan atas kebaruan yang sinkronis dengan bangsa lain, termasuk Eropa [3]. Maka arsitektur telah menjadi proyeksi dari praktek sosial dan politik im-
ajinasi para nasionalis. Arsitektur kota yang dilengkapi dengan monumen-monumen, landmark maupun gedung – gedung yang mencerminkan keberadaan Indonesia ditengah masyarakat dunia bagi para pendiri negara seperti Soekarno menjadi suatu keniscayaan seluruh bangsa. Bahkan praktek ‘kebaruan sinkronis’ terproyeksi lewat model – model arsitektur yang diadopsi dari rancangan modern klasik dari Eropa. Kita masih bisa saksikan gradasi wajah arsitektural Jakarta secara façade, mulai dari Sunda Kelapa, Kota, jalan Gajah Mada – Hayam Wuruk, Gambir dan Lapangan Monas, jalan Thamrin – Sudirman hingga Kebayoran Baru betapa perubahan - perubahan itu memberikan tekstur identitas kota Jakarta yang mengalami berbagai perubahan paradigma dalam perkembangannya. Secara selintas kita mengalami fantasmagoria, dalam istilah Walter Benjamin, ketika melintasinya. Masa lalu dan masa kini begitu tumpang tindih dan sejajar. Pola pembangunan kota Jakarta kontemporer yang mengikuti logika ekonomi (pasar) yang seringkali berkonspirasi dengan kekuasaan (politik) ketimbang mengacu pada persoalan sosial dan budaya, dimulai masa pemerintahan Suharto. Pembangunan jalan – jalan layang dan bebas hambatan yang diiringi pembukaan lahan – lahan baru untuk perumahan dan industri meriap dalam jangka waktu pesat tanpa mempertimbangkan matang pembangunan infrastruktur yang memadai menjadikan
kota ini melebar tanpa satu pusat. Terjadi pengelompokan (agglomeration) yang (dan) tercerai – berai (rupture) tak beraturan, bukan hanya dalam artian ruang atau jarak secara fisikal tetapi juga –lama kelamaan - berubah menjadi keberjarakan dan keterpecahan hubungan – hubungan sosial
hubungan ruang kota dengan peristiwa Mei 1998, dimana kekosongan makna sosial dalam arsitektur kota Jakarta membuka adanya kemungkinan penyusupan sang lain atau “other”. Ruang spasial yang tersusupi oleh kekuatan politik secara tak – tampak (invisible), tersembunyi
dan kultural. Sehingga kemudian secara sosial dan budaya memproduksi ‘dinding – dinding imajiner’ atau fragmentasi. Ruang – ruang publik sedikit – demi sedikit lenyap oleh privatisasi seperti kawasan pantai Jakarta, ketak-nyambungan pembangunan gedung – gedung yang tersekat satu sama lain atau menciutnya ruang khalayak dalam kota seperti penyediaan taman – taman kota yang bisa dinikmati oleh khalayak.
dibalik tingginya jalan – jalan layang, pagar – pagar pengaman, megahnya gedung - gedung, seramnya pos- pos penjaga, yang akhirnya mengakibatkan ambruknya batas yang “publik dan privat” secara paksa yang menciptakan bencana kemanusiaan dan kultural nasional [4]. Maka membicarakan tentang arsitektur juga mau tak mau harus mempertimbangkan representasi kekuasaan (dan) politik dalam ruang (space).
Sonja van Wichelen, seorang peneliti dari Belanda pernah menulis tentang
Fragmentasi dan de-humanisasi kota Jakarta sebagai ruang sosial dan
kultural membawa wacana arsitekur kota sebagai suatu wilayah paling penting dalam budaya kontemporer di Indonesia. Pada tingkat wacana budaya, arsitektur kota – kota global di Asia pasca-kolonial, masihlah minim kritik, dunia arsitektur secara praktek masih sangat dibatasi selera
telah membuat frustasi masyarakatnya yang pada akhirnya muncul sikap skeptis dan keterasingan dalam kehidupan berkota. Kota ini tak lagi menjadi ruang interaksi yang kondusif dan cair bagi warganya, namun berubah menjadi entitas alot untuk membuka ruang imajinasi dan kreatifitas kolektif.
pasar dan perkembangan teknologi konstruksi. Sedangkan dilain pihak, ruang kota terbentuk oleh imajinasi kolektif masyarakat atau dalam istilah pemikir Perancis, Michele Foucault; heterotopia, dimana terjadi perbedaan ruang – ruang menurut utopia banyak orang dan kelompok tetapi dengan mengandaikan adanya kesinambungan pemaknaan yang simultan serta terproyeksikan dalam fisik ruang – ruang itu.
Maka, Jakarta, untuk menjadi ruang layak dan berkualitas bagi kehidupan manusia menjadi berkurang. Arsitek dan kritikus perkotaan, Marco Kusumawijaya, mengungkapkan :
Akan tetapi kota Jakarta lambat laun
“ Rencana masih dibuat, tapi kosong harapan dan semangat kolektif. Kota ini menjadi asing. Namun tak ada pilihan lain kecuali mengubahnya. Optimisme bukan pilihan, melainkan keharusan untuk bertahan hidup. Jika kota dan masyarakat lain bisa lebih baik, setiap kota dan masyarakat bisa juga.
Lambat atau cepat, sebuah langkah awal harus dibuat: imajinasi bersama. “ [5] JAKARTA LEWAT RE-PRESENTASI Proyek “ Membayangkan Jakarta “ merupakan suatu upaya alternatif atau cara lain melihat kota Jakarta, bukan hanya kota telah memberikan inspirasi pada proyek ini tetapi lebih jauh berusaha membuka ruang dialog secara interaktif antara para penulis, perupa yang terdiri dari perancang grafis, fotografer maupun pematung dengan para praktisi arsitektur yang seluruhya dari generasi muda. Sebulan dua hari, dari pagi hingga petang, mulai bulan Juni hingga Agustus, secara simultan forum ini bertemu dalam suatu rangkaian workshop dengan mendiskusikan berbagai persoalan utama dengan pendekatan kritis. Dengan semangat “imajinasi kolektif” terjadi diskusi panjang, intens dan kadang melelahkan. Membeberkan gagasan – gagasan awal, memberikan kritik hingga menyampaikan acuan – acuan, baik berupa contoh karya, proyek yang pernah dibuat maupun dari hasil pengumpulan data – data penting, baik yang didapatkan dari lembaga lain maupun yang sengaja dilakukan oleh tim pencari data dalam rangka proyek ini. Maka karya – karya “Membayangkan Jakarta” niscaya akan menjadi ruang interaksi nilai – nilai yang immaterial lewat artefak – artefak yang sengaja diproduksi dari sana. De - mistifikasi Ikon Kota Lingkup persoalan dalam rangka-
ian workshop yang berlangsung di Goethe Institut , Jakarta, diawali dari lontaran arsitek dan kritikus arsitektur kota, Marco Kusumawijaya yang menyodorkan konsep poros Utara – Selatan terutama poros Jl. Sudirman dan M.H. Thamrin. Diantara poros
ini ia bersama pematung, Hedi Haryanto dan perancang grafis, Cecil Mariani melakukan usaha “perbaikan radikal” bundaran Hotel Indonesia (H.I) sebagai ikon dari kota Jakarta yang terus berubah maknanya. Dalam era pemerintahan Soekarno, bunda-
ran menjadi tanda sebagai bangsa yang baru bebas dari kolonialisme Belanda dan berdaulat sepenuhnya sebagai bagian dari kemunculan modernitas di Asia (dan Afrika) pasca kolonial. Sebagai situs ikonik dalam proyek politik identitas, Bundaran
H.I pernah menjadi saksi berbagai peristiwa yang bersejarah, katakanlah ketika peristiwa tahun 1966, situs itu menjadi lokasi para mahasiswa untuk mengusir komunisme di Indonesia.
Pada era kekuasaan Orde – Baru, fungsi Bundaran H.I. berubah secara signifikan. Disisinya muncul Hotel Mandarin melebihi kemegahan hotel kebanggaan Soekarno dan pada paruh kedua dekade 1980-an dibangun Hotel Hyatt dengan pusat perbelanjaan kelas atas. Makna wilayah bundaran pun bergeser dari simbol gerakan massa menjadi kapitalisme yang otoritarian. Namun makna ini kembali bergeser secara signifikan pada tahun 1997 dimana gerakan mahasiswa meruntuhkan kekuasaan Orba. Makna sebagai ruang khalayak pun kembali terebut. Namun representasi kekuasaan politik dalam ruang arsitektural terus berlangsung secara diam – diam. Ia hingga kini tak lagi nyaman untuk aktifitas khalayak. Bahkan cenderung anti-khalayak. Lewat gagasan Marco, dkk, krisis ruang ini hanya bisa dilakukan upaya dekonstruksi menjadi suatu ruang khalayak dalam bentuk baru yang mempertimbangkan berbagai segi teknis yang mungkin dilakukan pada saat ini. Bahkan representasi ruang khalayak yang demokratis muncul dari aspek interaktifnya. Bundaran H.I. dalam bayangan Marco, Hedi dan Cecil menjadi wilayah cair dan demokratis, penuh permainan namun dengan rasa tanggung jawab pada tata ruang yang bisa diperhitungkan, baik secara sosial, ekonomi maupun teknis. Bundaran ini bisa kembali menjadi ikon khalayak secara tegas dengan trotoar yang lebar sekaligus titik penting bagi pengguna transportasi umum (commuter) dengan merancang stasiun kereta bawah tanah yang melintas
dibawah plaza bundaran. Landmark kota lain yang digarap adalah Monumen Nasional atau Monas, yang akhir – akhir ini semakin menunjukan gelagat overmistifikasi (overmistification) dewasa ini. Pagar – pagar tinggi yang mengelilingi taman Monas tak lagi memungkinkan masyarakat sekitar bebas mengakses dan menikmatinya. Fungsi ruang khalayak makin memudar justru ketika kota ini semakin membutuhkannya. Dengan luas wilayahnya yang hampir sama dengan inti kota Bukittinggi di Sumatera Barat, yang secara topografi seluas wilayah silang Monas. Marco dan Hedi menawarkan untuk mendekonstruksi dan men – demistifikasi dengan meng-copy cut Bukittinggi ke wilayah tersebut sehingga silang Monas diandaikan memiliki dinamika kehidupan selain fungsi ekologisnya yang akan memberi kualitas pada kehidupan kota. Bahkan Monas bagi fotografer Paul Kadarisman malah tampak sebagai kemiripan bentuk kemaluan lelaki (phallus) yang memantulkan maskulinitas kota. Sehingga Monas dengan wilayah yang bertopografi Bukittinggi akan menjadi ruang yang penuh keseimbangan, bersinerji antara maskulinitas dan femininitas kota. Grotesk Kota Pengembangan arsitektural kota Jakarta yang seiring dengan logika ekonomi dan kekuasaan yang selama ini tak transparan menyebabkan penumpukan pusat perkantoran di poros Sudirman – Thamrin yang akh-
irnya menimbulkan persoalan yang tak pernah terselesaikan, seperti kemacetan lalu – lintas seiring dengan bertambahnya jumlah kendaraan pribadi. Kolaborasi arsitek Budi Pradono dengan grafikus Irwan Ahmet (Iwang) dengan memproyeksikan berbagai data yang dikumpulkan dan didapat dari berbagai peneliti dan lembaga non-pe-
merintah, mengenai jumlah kendaraan dalam sebuah gedung kantor, jumlah manusia yang tiap hari keluar – masuk poros ini atau yang tinggal disekitar wilayah perkantoran, polusi udara dan air maupun sampah yang diproduksi tiap harinya merupakan suatu hal yang “taken for granted” dimata pihak pengembang maupun pemerintah
kota [6]. Maka Budi dan Iwang memberikan makna lain bagi data – data yang berupa angka – angka dengan sajian multimedia yang bernada sinis namun penuh kejutan. Hiruk – pikuk Jakarta dari deru suara kendaraan, orang – orang yang berkerumun ditiap pojok kota atau dentuman musik dari mulai rock, hip – hop hingga dangdut baik dari pengeras suara maupun para pengamen jalanan merupakan suasana keseharian kota ini. Yuka Dian Narendra seorang perupa yang sering mengolah musik, memberikan makna tersendiri akan ‘suara kota’. Proyek soundscape -nya merupakan reaksi akan watak grotesk kota Jakarta dengan menumpukan data suara yang direkam dari berbagai aspek kehidupan diwilayah Jakarta. Dielaborasikan menjadi sesuatu yang bisa membawa kita pada suasana yang lain: bisa menakutkan karena suara yang dihasilkan sebuah kota sebenarnya tak layak lagi bagi indera manusia atau kita malah menjadi trans dan melupakan dari mana suara itu bersumber, menjelma menjadi musiknya sendiri. Erik Prasetya, fotografer melihat kota Jakarta dengan nada yang sama lewat karya-karya fotonya. Pemandangan kota baginya mencerminkan banalitas secara visual, dimana arsitektur kota tak lagi cukup memberikan ruang bergerak bagi manusia. Beton – beton yang begitu, kaca – kaca yang
memantulkan cahaya terik matahari, jalan aspal yang lebar dan panas, trotoar yang sempit dan gersang serta iklan – iklan yang gigantik menyolok mata menjadi keseharian kita. De-humanisasi kota tampak terpantul pada wajah – wajah yang tampak keras, tegang, dingin lagi muram dan seringkali frustasi. Secara estetika, pemandangan disekitar kota hampir tak terperi dan tak ada kesan eksotis,
seksi maupun romantis sehingga harus mencari suatu cara penghampiran baru dalam memaknai “keindahan” kota ini. Karya - karya Bonifacius Joko Santoso bahkan merepresentasikan watak grotesk kota dengan alegori konstruksi konstruksi beton bangunan bagai perangkap yang menyemayamkan dan menyekap berbagai potensi didalamnya : kekerasan, ketakutan maupun keterputusan hubungan – hubungan politik, budaya dan sosial dan lain sebagainya.
Transportasi ; Sekat – Sekat Sosial dan Budaya Masalah transportasi kota Jakarta yang memproduksi ketidak-nyambungan (disjointedness) membawa krisis aksesibilitas dalam mejelajahi kota. Pembangunan jalan – jalan lingkar (ringroads), jalan layang dan jalan lintas cepat (Tol) yang kurang memadai secara infrastruktur maupun minimnya pengembangan transportasi umum yang menghubungkan berbagai wilayah kota yang terpisah yang telah membangun kesenjangan dan keberjarakan, bahkan menciptakan sekat imajiner dalam kehidupan kota secara sosial, budaya, ekonomi dan politik. Arsitek Dewi Susanti menawarkan gagasan alternatif dengan membangun jaringan transportasi umum menghubungkan ruang – ruang kota yang terfragmentasi ini dengan memfasilitasi areal tempat parkir bawah tanah, subway, monorel maupun jenis transport yang sudah ada pada persimpulan – persimpulannya [7]. Lewat karyanya ia mengajak pemirsa untuk memberikan pandangan dan opini pribadi mengenai tempat dimana kita tinggal lewat cermin untuk memberikan refleksi atas rasa kepemilikan kotanya. Arsitek David Hutama Setiadi, dengan konsentrasi wilayah kota tua Jakarta di bagian utara yang sekarang hanyalah sebuah latar dari kemacetan, pusat perkantoran, perdagangan, hiburan malam dan perjudian [8]. Kekontradiktifan citra wilayah Jakarta Kota tidak-
lah harus menghilangkan salah satunya. Ia menawarkan cara lain dengan membuat jaringan jalan kendaraan dibawahnya. Sedangkan bagian atas dibiarkan seperti apa adanya. Sehingga memungkinkan terjadi keseimbangan secara budaya dan sosial dimana wilayah ini terakses oleh khalayak sebagai situs bersejarah. Dengan akses langsung ke laut maka diharapkan bisa mendekatkan jarak imajiner maupun merekatkan kembali keterputusan hubungan sosial - budaya antara masyarakat Jakarta dengan laut akibat swastanisasi areal utara maupun pembangunan jalan – jalan lingkar bebas hambatan. Seperti yang diungkapkan Joko lewat sketsa – sketsa pulau – pulaunya, dimana terjadi kurangnya perhatian pada potensi besar di wilayah kepulauan Seribu, sebagai ruang kota, yang mana secara secara administratif masih tergabung dengan kota ini. Masalah transportasi di Jakarta juga menjadi bayangkan kolektif tiga arsitek : Gregorius Supie Yolodi, Ahmad D. Tardiyana serta Marco Kusumawijaya dengan menawarkan untuk menciutkan jumlah kendaraan pribadi di poros Thamrin – Sudirman. Dengan membangun koridor tambahan disepanjang jalan serta sistim transportasi mutakhir seperti kereta bawah tanah (subway), monorel serta sistim koneksi antar gedung juga membangun apartemen – apartemen bagi karyawan dengan harga yang sesuai dengan tingkat pendapatannya. Dengan rancangan ini, maka wilayah ini bisa menjadi koridor dan highstreet yang kaya akan kehidupan dan bukan
menjadi highway yang mende-humanisasi seperti sekarang ini [9]. Kota dalam Permainan Metafor Berbagai persoalan sosial dan budaya yang mencuat dari masalah arsitektural kota Jakarta bagi perancang grafis Cecil Mariani ditafsirkan menjadi arena permainan yang besar. Ia menggagas untuk menyambung kembali keterputusan, keberjarakan maupun ketak-nyambungan kehidupan sosial dan budaya didalam ruang – ruang urban Jakarta melalui permainan kartu. Dengan pilahan kartu: Karakter, Benak, Konsumsi, Tempat, Jelajah dan Kegiatan, kita bisa bermain dengan subyek – subyek pembangun kota Jakarta , sel – sel kecil kota yang berpusar pada manusia yang memungkinkan kita mengakses dengan berinteraksi dengan diri sendiri lewat setumpuk kartu diatas meja [10]. Arsitek Adi Purnomo mengibaratkan kota ini seperti organisme yang hidup dan layaknya tubuh yang sakit. Tubuh kota yang sakit ini hanya bisa disembuhkan dengan merubahnya menjadi sel tunggal yang kuat dan baik [11]. Kemandirian sel ini bisa memberikan resistensi dan berpengaruh positif terhadap organ – organ yang sudah rusak. Sehingga dengan demikian kota ini akan lebih sehat jika tiap sel saling memperbaiki kondisinya. Seperti juga perbaikan – perbaikan ruang khalayak yang telah ada seperti taman – taman kota, dimana
bagi Enrico Halim, seorang perancang grafis, sangat mungkin untuk menjadi ruang – ruang spasial yang produktif dengan interaksi makna budaya. Taman- taman kota bisa menjadi “ruang pause”, dimana menjadi ruang persinggahan sementara namun bisa untuk menerangi dan meluruskan kerumitan – kerumitan seperti metafor lewat lampunya. Arsitek Supie Yolodi menyediakan ruang bermain yang imajinatif bagi semua pihak bahwa untuk membangun kota, seluruh elemen masyarakat kota haruslah berperan aktif. Karena kota terbentuk oleh imajinasi dan maka kota sebagai proyeksi secara material dari masyarakatnya sendiri. Seperti juga keseimbangan kota yang seharusnya didasari oleh berbagai peraturan pemerintah yang mewakili masyarakat. Namun bila peraturan – peraturan tersebut tidak cukup bisa diterapkan maka keseimbangan itu setidaknya masih ada bersemayam didalam ruang hati tiap orang [12]. Bagi pandangan pematung Hedi Hari-
yanto, dalam masyarakat kota Jakarta tengah berlangsung budaya konsumsi terhadap berbagai hal, lewat berbagai media : informasi, politik, sex, hiburan, makanan, kriminal dan lainnya. Semuanya ditelan begitu saja layaknya makanan,tak peduli mutu [13]. Kue – kue buatan Hedi menjadi metafor bagaimana budaya konsumsi ini disirkulasikan dalam ruang – ruang kota. Sedangkan Arsitek, Ahmad D. Tardiyana, mengemukakan budaya konsumsi berlebihan ini pada gelagat pasar property seperti pemasaran hunian yang tengah mendemonstrasikan simulasi tanda – tanda pada nostalgia masa lalu maupun menjual impian – impian dunia Eropa klasik dan hasrat pada keidealan hidup
yang dikonstruksi oleh kampanye para pengembang. Iklan – iklan perumahan merepresentasikan bagaimana fantasmagoria bisa kita alami ketika melewati perumahan di pinggiran Jakarta. Kita mengalami pemandangan daerah hunian di pinggiran Jakarta, seperti diungkapkan Arjun Appadurai, seorang sosiolog kontemporer, sebagai suatu mediascape, dimana teknologi media baru (fotografi, video, internet dan film) telah mengonstruksi kenyataan lewat permainan tanda-tanda yang dikomodifikasikan. Tapal batas antara pemandangan yang nyata dan fiksi telah berbaur (hiperealitas) [14]. Pemandangan hiperealitas ini akan men-displace dan mengasingkan kehidupan sosial dan budaya kota dari konteksnya. Lalu
apa yang akan diharapkan dari pola pembangunan arsitektur kota Jakarta dimasa yang akan datang? Kiranya seperti bayangan fotografer Paul Kadarisman bahwa setiap orang harus terbang menerawang diatas kota ini untuk tetap bisa menyumbangkan imajinasi sebagai masukan – masukan tentang kota Jakarta yang lebih baik.
KOTA, ARSITEKTUR DAN RUANG SENI Menjadi mendesak untuk melihat kembali persoalan arsitektural kota Jakarta secara reflektif. Dalam hal ini, lewat bentuk presentasi alternatif dalam ruang – ruang kesenian, karena dalam ruang inilah imajinasi tentang kota terproyeksikan, termaterialisasikan , di(re)presentasikan dan dikomunikasikan pada pemirsa, yang kemu-
dian diharapkan muncul persoalan maupun gagasan tentang ruang arsitektural kota yang lebih konstruktif dan kritis secara sosial dan budaya. Ditawarkan untuk direnungkan dan kemudian dinegosiasikan untuk kepentingan khalayak. Pergeseran nilai dan perkembangan dalam dunia seni rupa saat ini atau seni kontemporer, secara signifikan telah memungkinkan untuk membuka lebar ruang – ruang dialog antar disiplin. Mempertimbangkan disiplin arsitektur juga menjadi desakan lain dalam perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia. Apalagi seni dalam konteks perkembangan dinegara ketiga atau pinggiran dimana seni sebagai lembaga belumlah menjadi suatu sistim yang mapan dan absennya peran museum. Dalam sejarah perkembangan seni rupa di tanah air, proyek-proyek lintas bidang ini menjadi penanda dimana pergeseran nilai – nilai estetika saling berbenturan dalam realitas kehidupan urban. Seperti proyek Pasaraya Dunia Fantasi, tahun 1987 di Jakarta oleh kelompok Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Perkembangan seni mutakhir cenderung membaurkan batas – batas aktifitas antara “seni dan bukan seni”, seperti apa yang pernah
dibayangkan para pemikir pascamodern ataupun para situasionis internasional maupun para seniman konseptual tahun 1970-an. Gerrit Willems, seorang direktur pusat seni rupa di Belanda, mengemukakan : “ Seni rupa kontemporer ditandai dengan interelasi dengan mode (fashion) dan desain, iklan dan budaya popular, dan dengan pengaruh dari masyarakat multikultur serta kolaborasi antardisiplin (…) Kini ketika seni rupa sedang menyeberangi tapal batas dengan hidup keseharian dalam begitu banyak cara, refleksi kritis tentang senirupa ini menjadi amat diperlukan, lebih dari yang sudah - sudah “ [15]. Maka pembauran antar-disiplin ini, bukan hanya untuk mendudukan arsitektur dalam kerangka profesi yang lebih mengungkapan ekspresi estetika personal atau sekedar mempertimbangkan kembali kedalam nostalgia semangat abad pencerahan (enlightment), tetapi lebih membentuk pandangan kritis pada persoalan budaya berarsitektur itu sendiri dengan suatu strategi dan pendekatan – pendekatan baru. Eko Prawoto , seorang praktisi arsitektur pernah berkomentar : “ Sangatlah jarang dilakukan paparan pemikiran dalam berarsitektur dikomunikasikan secara luas. Padahal dampak dari karya arsitektur cukup signifikan, karena tidak hanya berkait dengan pemilik atau pemakai tapi juga mencakup skala ruang dan waktu yang lebih luas “ [16]. Ruang – ruang seni telah menjelma menjadi suatu sirkuit eksperimental
dan permenungan terhadap budaya masyarakat kontemporer. Hou Hanru, seorang kurator dan kritikus Cina yang tinggal di Paris pernah berkomentar bahwa sebuah ruang pamer bukan merupakan tempat akhir dari suatu karya maupun gagasan tetapi suatu ruang artikulasi yang bisa memperkaya pemaknaan [17]). PENUTUP Proyek Membayangkan Jakarta diharapkan bisa memberikan proyeksi dari benak sekelompok warga kota untuk memperbaiki Jakarta sebagai ruang kehidupan manusia yang berkualitas. Sehingga premis bahwa kota ini telah gagal memberikan kehidupan tentunya tidak seluruhnya benar. Masih tersimpan harapan dari tiap orang bahwa Jakarta harus diberi kesempatan untuk berhasil, maka perlu kepedulian serta pendekatan kritis dan reflektif untuk membangun kota ini. Alih – alih bahwa kota ini harus diberi ruang – ruang kesempatan dimaknai secara lebih luas untuk bisa berhasil dalam memproduksi makna secara sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sehingga seperti ungkapan yang dikutip diawal tulisan ini. Bahwa kota tak hanya terbentuk oleh masyarakatnya, tetapi sebuah kota bisa menjadi wujud atau materialisasi dari budaya masyarakatnya. Sehingga inisiasi – inisasi untuk membangun kota secara kolektif dan demokratis menjadi keniscayaan tiap orang. Catatan: [1] Tentang wacana perkembangan kota – kota
global dan pergerakan orang dan uang, bisa ditelusuri dalam : Globalization and its Discontents. Saskia Sassen, tahun 1998. Terutama dalam bagian pengantarnya.
Davidts & Tijl Vanmeirhaeghe. Dalam On The Mid-Ground. Timezone 8ltd.Hongkong. 2002. Hal. 260 – 261.
[2] Rosalyn Deustche, dalam essainya “Alternatif Space” dari buku If You Lived Here : The city in Art, Theory, and Social Activism. Diedit oleh Brian Wallis. Dia Art Foundation. The New Press. New York. 1991. Hal. 46 – 66. [3] Anderson, Benedict. Komunitas – Komunitas Terbayang. Penerbit INSIST. 2002.Yogyakarta. [4] Sonja van Wichelen dalam Space, other and fear in post-1998 Jakarta. Paper for Indonesia’s International Conference on Cultural Studies. Trawas. 2003 [5] Kusumawijaya, Marco. Jakarta Metropolis Tunggal Langgang. Gagasmedia, Jakarta. 2004.Hal. iii – iv. [6] Lihat konsep peserta. [7] Lihat konsep peserta. [8] Lihat konsep peserta. [9] Lihat konsep peserta. [10] Lihat konsep peserta. [11] Lihat konsep peserta. [12] Lihat konsep peserta. [13] Lihat konsep peserta. [14] Appadurai, Arjun dalam Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy. Colonial Discourse and Post - Colonial Theory, A Reader. Harvester Wheatsheaf. Cambridge. 1993. Hal.328 – 329. [15] Baca essay Gerrit Willems dalam katalogus : 15 Years Cemeti Art House Exploring Vacuum. Tahun 2003. Hal. 190. [16] Baca essay Eko Agus Prawoto. Ibid. Hal 125. [17] Wawancara Hou Hanru dengan Wouter
Membayangkan Jakarta di CP Biennale 2005
Contemporary Indonesian art at Govett-Brewster Friday, 10 December 2004, 9:56 am Press Release: Govett Brewster Gallery Media Release 9 December 2004 Contemporary Indonesian art unveiled at the Govett-Brewster The Govett-Brewster Art Gallery presents Transindonesia: scoping culture in contemporary Indonesian art, New Zealand’s first comprehensive exhibition of contemporary Indonesian art developed by Gallery Director Gregory Burke in collaboration with Indonesian Curator Rifky Effendy, opening 18 December 2004. “Transindonesia focuses on the diversity of art making in Indonesia and provides insights into contemporary Indonesian culture at a time when the focus of international media coverage of Indonesia has been on geo-politics and not culture,” says Govett-Brewster Director and Co-curator Gregory Burke. The artists address topics related to cultural diversity, colonial legacies, national identity, the combination of traditional and contemporary art forms and the challenges facing artists in Indonesia. “To an extent the artists in Transindonesia are tackling issues prevalent not only for Indonesia but for New Zealand,” says Mr Burke. Senior Indonesian artist Heri Dono has been exhibiting his work which combines traditional Javanese motif with new technology for the past two decades. Dono’s work Bedmen 1992-2004 combines traditional Javanese wayang (puppet performance) with electronic circuitry. The resulting cartoon-like figures blend the traditional and the modern in a way that illustrates his belief that art should be based on cultural references. The group of artists working under the name EAT will branch out of the Gallery to take over the neighbouring retail building. The installation includes merchandise made by the group as a source of supplementary income. As artists are unable to earn a reasonable income in Indonesia, EAT have found it necessary to display and sell their work in an entrepreneurial way while not ‘selling out’ artistically. Works by the collective will be available for sale during the exhibition
at the Gallery’s Art and Design Shop. Like New Zealand, Indonesia has had a colonial history affecting the collective psyche of its people. Moreover, New Zealand became home to a large number of Dutch-Indonesian immigrants in the 1940s and 1950s as a result of the War of Independence and secession of sovereignty including the artist Theo Schoon who became an important figure of New Zealand modernism. The work of Valentijn Gabriel van Dijk, or Tino Djumini as he was first named, presents a series of photographs depicting families whose members are divided between Indonesia and the Netherlands as a result of adoption, commonplace in Indonesia between 1973 and 1983. Artist Iswanto Hartono’s installation begins on opening night with the experience for visitors to the Gallery of being photographed and fingerprinted in the manner of the US Immigration Department. As citizens of a predominantly Muslim country, Indonesians are now considered high risk foreigners when entering the United States and they are recorded as they enter. The exhibition includes ceramic sculptures, sculptural installations, photography, video and design by artists Titarubi, Heri Dono, EAT, Iswanto G Hartono, Mohamad Iqbal, Angki Purbandono, Agus Suwage and Valentijn van Dijk (Tino Djumini). Govett-Brewster Art Gallery Director and Co-curator Gregory Burke has most recently curated Mediarena, the largest exhibition of contemporary Japanese art staged in Australasia. He is also the New Zealand Commissioner for the 2005 Venice Biennale. Co-curator Rifky Effendy was born in Jakarta, Indonesia in 1968. He has curated exhibitions in Indonesia and abroad since 1997 and written for Indonesian and international publications. In July 2004 Effendy presented a paper at the 2004 biennial Apexart curatorial conference in Honolulu. He has held curatorial residencies in Australia and Japan and in early 2004 he was in New York as a Fellow of the Asian Cultural Council and as a resident of the International Studio and Curatorial Programme (ISCP). Effendy is currently the Curator at Cemara 6 Galeri in Jakarta. Transindonesia has been made possible with the support of the Nadi Gallery and the Cemara 6 Galeri in Jakarta. Transindonesia is on show until 27 February 2005. An exhibition catalogue will also be available at the Gallery’s Art and Design shop.
As part of the Govett-Brewster’s dynamic summer programme of contemporary art, the Gallery is also pleased to present BREAK SHIFT: the 2004 Govett-Brewster Art Gallery biennial review of contemporary New Zealand art and an exciting new project by leading New Zealand artist Ann Shelton. Ann Shelton: a kind of sleep features photographs of locations associated with urban myth and superstition. The exhibition has been developed through the Govett-Brewster Art Gallery’s New Zealand artist in residence programme in partnership with the Western Institute of Technology at Taranaki and supported by Creative New Zealand. Opening weekend events: Sunday 19 December 11.00am - 4.00pm: EAT installation Visit the Gallery’s offsite space to explore the installation by Transindonesia artist group EAT. 12.00 noon: Curatorial talk Co-curator of Transindonesia Rifky Effendy discusses contemporary Indonesian art. 1.00pm: Balinese musical performance Wayan Yudane, Michael Norris, Emma Sayers and Rachel McLaren will perform contemporary Balinese music using traditional Balinese and modern electronic instruments composed by Norris and Yudane. The performance includes works arranged in collaboration with leading contemporary New Zealand composer Jack Body. 2.00pm: Transindonesia exhibition tour Join Gallery Director and Co-curator of Transindonesia Gregory Burke and visiting artists for a tour of the exhibition. ENDS
Pameran Pendukung Biennale Jakarta : LIYAN (The Other) 2006
Dari Ruang - Ruang Transisional : Menimbang Kembali sang Liyan (the other) dalam Perkembangan Seni Rupa Kontemporer di Indonesia.
Catatan Kurasi bangsa, tak dipungkiri mendapat penPameran Pendukung Biennale Jakar- garuh dari para ‘guru Eropa’ mereka. ta : LIYAN (The Other) 2006 Mulai dari A.A Payen, para pelukis di Kunstkring, Reis Mulder hingga Rita Dari Ruang - Ruang Transisional : Widagdo ,telah menanamkan dan ikut Menimbang Kembali sang Liyan (the serta dalam memberikan nilai-nilai other) dalam Perkembangan Seni penting dalam sejarah perkembangan Rupa Kontemporer di Indonesia. seni rupa modern di tanah air hingga kini. “ Ada semacam eksistensi yang melibatkan dilaluinya halangan dan rintan- Pasca kemerdekaan, para seniman gan, diterobosnya perbatasan-perbat- asing yang tinggal dan bekerja pun seasan, berakomodasi dengan berbagai makin banyak. Apakah sebagai para kebudayaan, tidak untuk kembali expat maupun sengaja untuk menekepada semua itu, melainkan set- tap. Di pulau Bali, ada jumlah banyak idak-tidaknya agar dapat merasakan komunitas para seniman asing yang aksen-aksen dan nuansa – nuansa flamboyan dan bohemian. Mereka pengalaman mereka “. (Edward W. datang dan pergi. Sebagian menghaSaid, 1998) biskan waktu yang lama, sebagian lagi hanya singgah sebentar. Alam dan I. Kolonialisasi dan Praktek Seni Rupa budaya nusantara juga memberikan Modern magnet bagi sebagian dari mereka untuk datang. Nama – nama seperti WalDalam perkembangan awalnya, ke- ter Spies, Rudolf Bonnet, Arie Smith, munculan praktek seni rupa modern Antonio Blanco, seolah menjadi bagidi Indonesia , juga merupakan hasil an tak terpisahkan dalam sejarah seni interaksi budaya dengan dunia barat. rupa (modern) Bali. Dalam sejarah Kolonialisasi abad 19-20, merupakan seni modern (Eropa), kita mengenal masa yang paling penting dalam pros- Paul Gauguin (1848 – 1903), yang hies alih pengetahuan yang dilakukan jrah dari Paris, ibu kota dunia abad 19 oleh para pendatang dari Eropa ke yang sangat mahal, ke kepulauan Kadalam golongan masyarakat pribumi ribia dan menetap di Tahiti. Menemu(para priyayi). Para ahli gambar dan kan kehidupan lain yang penuh sensaseniman dari berbagai bangsa , teruta- si alami dan “primitive” , memberikan ma Belanda, Jerman, Perancis, berda- kebaruan pada warna lukisan pasca tangan ke kota –kota besar dan juga – impresionisnya, dalam artistik yang beberapa tempat eksotis di Hindia Be- lebih berwarna tropikal. Kolonialisasi landa. Memperkenalkan praktek seni pulalah yang memudahkan mereka lukis barat dan berinteraksi dengan untuk mengakses dunia timur. komunitas pribumi. Seniman pribumi, mulai dari Raden Saleh di pertengahan Para seniman Eropa di pulau Bali berabad 19 hingga kemudian S. Soedjo- interaksi dengan medan sosial seni jono –awal abad 20, diawal kelahiran lokal, saling mempengaruhi secara artistik. Apakah mereka datang, ka-
rena faktor ke-eksotik-an maupun sosial- ekonomi, banyak dari mereka memberikan warisan penting bagi kelanjutan kesenian lokal. Nyoman Lempad bertemu Walter Spies, seniman pelancong kelahiran Jerman. Begitupun ketika Le Mayeur dan lainnya kemudian datang dan menetap disana. Ketercengangan orang – orang Eropa bukan hanya kepada eksotika timur yang menyajikan alam yang begitu indah dengan “atraksi – atraksi” seperti upacara – upacara di Pura dan perempuan - perempuan telanjang dada, yang kemudian menghiasi banyak ilustrasi iklan perjalanan yang ditawarkan di Eropa. Tetapi juga kenyataan bahwa, orang – orang pribumi itu menghasilkan berbagai hal artistik dengan kualitas yang sangat baik: gambar, pahatan, tari, musik dan lainnya. Pertemuan – pertemuan ini kemudian saling mempengaruhi dan menghasilkan bentuk artistik yang baru; hibrida. Perkumpulan “Pita Maha” yang dibentuk tahun 1930-an, oleh kedua komunitas seni, mengukuhkan kekerabatan dalam praktek seni yang didasari oleh penghargaan pada kebaruan yang telah disumbangkan kedua belah pihak. Berbeda dengan di pulau Jawa pada saat itu, persentuhan budaya justru menghasilkan perseteruan sengit antar kelompok, terutama yang berhubungan dengan kemunculan ideologi nasionalisme Indonesia di awal abad 20 . Pandangan – pandangan dalam (politik) estetika seiring dengan pandangan politik para nasionalis, seperti munculnya PERSAGI, di akhir 1930-an. Pandangan ini termaktub da-
lam buku sohor, yang ditulis S. Soedjojono, sebagai juru bicara lembaga ini, sebagai kritik terhadap praktek seni lukis yang diwariskan para seniman Belanda pada para pelukis bumiputera, atau populer dengan lukisan bercorak Hindia Molek. II. Sang Pendatang dan Kemunculan Seni Rupa Modern Indonesia Para seniman barat (Eropa), yang sebelumnya banyak hidup di kota – kota besar di Hindia Belanda seperti, Batavia dan Bandung kemudian menyusut jumlahnya. Terutama setelah kedatangan bangsa Jepang tahun 1942. Banyak diantara mereka hengkang dan terusir, akibat dari sentimen anti – barat yang dihembuskan oleh Jepang. Pihak penguasa Jepang kemudian lewat lembaga kebudayaan, Keimin Bunka Sidosho, antara tahun 1943 hingga 45, banyak terlibat propaganda anti barat lewat seni. Tak pelak, para pengajar semisal Simon Admiraal dan Ries Mulder , yang berkebangsaan Belanda, di Bandung kemudian harus kembali ke negeri asal. Kedua orang ini, terutama Ries, di kemudian hari banyak memberi dasar pemahaman pada murid-muridnya, dalam mengembangkan suatu arah artistik dan estetik yang lebih terstruktur (akademi). Kita lalu mengenal istilah yang diungkapkan kritikus Trisno Soemardjo , yang menyebut “Laboratorium Barat”, ditahun 1950-an, yang ditujukan kepada anak didik kedua guru bangsa Belanda ini.Tetapi tentunya, secara artistik terjadi keparadoksan dalam perkembangannya, seni yang dipraktekan kaum nasionalis-sosialis pasca-kemerdekaan, kenyataannya corak
dan watak seni ini pun, mengadopsi praktek seni lukis realisme – sosialis, yang mengarah pada seni propaganda yang berakar dari Sovyet. Pemberangusan ideologi sosialis-komunis di Indonesia, oleh rezim Orde-Baru, menciptakan kehidupan sosial –budaya serta politik di Indonesia memberikan aspek yang berbeda. Dengan Pembangunanisme gaya Soeharto, kemunculan lembaga-lembaga asing tumbuh bagai jamur. Membawa serta para ahli-ahlinya beserta keluarganya untuk menetap sementara. Begitupun dengan dibukanya perwakilan-perwakilan pemerintah asing, perusahaan, pusat kebudayaan , Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya. Orangorang pendatang pun kembali mengisi kehidupan sosial masyarakat. Kali ini lebih beragam, bukan hanya didominasi oleh orang Eropa (barat), tetapi juga Amerika dan negara Asia lain, termasuk Jepang dan Australia. Diantara mereka, yang hidup secara eksklusif di kalangan sendiri, namun juga beberapa berusaha meleburkan diri ke dalam kehidupan budaya masyarakat dan melibatkan diri pada berbagai persoalan didalamnya. Di Bidang pendidikan tinggi, kita mengenal sosok Rita Widagdo, pematung, yang bukan saja memberikan kontribusi pada praktek seni patung, tetapi juga dalam pemikiran –pemikiran estetik terutama formalisme – abstrak. Dalam praktek seni rupa kontemporer, di dekade 90-an, nama seperti Mella Jaarsma pun seolah tak bisa lepas dari kemunculan
praktek seni rupa kontemporer di Indonesia. Ia telah menjadi sosok yang sering mewakili Indonesia dalam berbagai peristiwa seni rupa kontemporer internasional. Ikut andil secara aktif dalam memajukan praktek seni lokal dan mempromosikannya. Bahkan banyak dari mereka lebih dikenal di dalam komunitas lokal, dimarjinalkan oleh medan sosial dimana mereka berasal. Sumbangan dan hasil pekerjaan mereka kadang melampaui apa yang telah dilakukan oleh komunitas lokal maupun tempat asalnya. Maka pemetaan praktek seni rupa modern Indonesia boleh dikatakan telah menembus batas persoalan wilayah konsep ‘nasional’ oleh para nasionalis generasi pertama , yang berkaitan dengan identitas ras serta kewarganegaraan seseorang. Praktek seni rupa modern memang lebih menimbang ke dalam pencarian individual dibandingkan dengan urusan tetek bengek soal sekat-sekat wilayah geo-politik dan identitas secara sempit. Sehingga membincangkan seni rupa modern Indonesia yang berkaitan dengan konsep bangsa (nation –state) dan politik identitas kembali menjadi dipertanyakan secara kritis. Disini kita dihadapkan pada persoalan konteks wilayah sebagai suatu ruang aktifitas individu dan sekaligus medan identifikasi soal politik – budaya Indonesia pasca kolonial. III. Sang Liyan dalam Praktek Seni Rupa Kontemporer dan Globalisasi Kehadiran sang liyan (the other) dalam praktek dan wacana seni rupa
kontemporer di Indonesia, sebenarnya telah memberikan arah perkembangan baru dan berbeda, dengan akar dari kesenian tradisi yang berlaku dalam masyarakatnya. Para pendatang, yang melintas batas wilayah dan budaya, ber- interaksi dan banyak memberikan pemikiran – pemikiran artistik secara berbeda dalam mengartikulasikan budaya masyarakatnya. Jatuh cinta, inspirasi, ketegangan, ketidak-pedulian, kekurang-pahaman, keputus-asaan, keberjarakan, kompromi, keterpesonaan, kegembiraan dan kemarahan. Semuanya terelabolasi dalam tekanan dan sensibilitas secara berbeda – beda, dalam tiap individu yang terlibat. Terlampau banyak pemikiran artistik yang cukup menarik untuk kemudian memberikan kekayaan nilai pada praktek seninya. Ketika percepatan masuknya modal asing dalam tatanan kehidupan ekonomi nasional pasca – Soeharto (reformasi), telah menciptakan perubahan-perubahan dalam tatanan kehidupan sosial bangsa. Alih-alih ketika kredo globalisasi semakin menerpa, terjadi juga perlintasan modal dan perpindahan arus manusia yang begitu cepat. Beberapa kota besar di Asia Tenggara termasuk di Indonesia kemudian menampakan suatu gejala kedinamisan dalam aspek sosial – politik dan budaya. Ditengah meriapnya budaya populer yang datang dari penjuru dunia, muncul juga resistensi-resistensi dari komunitas-komunitas lokal. Praktek seni rupa kontemporer pun menampakan kedinamisan ini. Polarisasi pusat
perkembangan seni rupa dunia, bisa kita rasakan sejak awal tahun 1990an, dimana beberapa negara industri di Asia – Pasifik, seperti : Jepang, Korea Selatan serta Australia, mulai aktif menyelenggarakan berbagai peristiwa pameran yang cukup penting, yang mendapat perhatian penuh dari medan sosial seni rupa di Eropa-Amerika. Kedinamisan yang didukung oleh sistim informasi baru ini, rupanya memberikan daya tarik yang cukup besar, bagi sebagian orang untuk lebih dekat mengamati suatu perkembangan seni diluar arus – utama Eropa-Amerika. Para kurator, dealer, seniman, maupun pengamat seni mulai mendatangi tempat-tempat yang sebelumnya jarang dikunjungi. Yogyakarta, Jakarta dan Bandung, sebagai kota yang punya sejarah penting bagi perkembangan seni rupa modern di tanah air, juga mendapatkan perhatian cukup besar. Selain pulau Bali yang tetap menjadi lokasi favorit para pelancong mancanegara. Banyak dari para seniman pendatang saat ini juga terdidik sebagai seniman profesional, dalam artian kesadaran mereka terhadap praktek seni bukan sekedar untuk tujuan komersial semata. Tetapi menjadikan Indonesia sebagai lokasi untuk bekerja (sebagai studio) maupun alasan ekonomi lainnya, tetapi juga suatu kebutuhan pencarian “spiritualitas” yang berhubungan dengan eksistensi mereka sebagai seniman individu.
VI. Para Perupa Liyan dan Ruang Transisional Indonesia sebagai suatu lokasi perkembangan masyarakat kontemporer, tentunya diakui menyimpan potensi berbagai hal yang cukup inspiratif bagi para pendatang ini. Kebudayaan yang plural dan kehidupan sosial serta sejarah yang begitu rumit, menjadi subur akan tumbuhnya nilai baru, karena modal budaya yang dinamis dan selalu terbuka memungkinkan adanya benturan antar nilai. Hal ini jarang terjadi dalam suatu kebudayaan mapan seperti di Eropa dan kebudayaan tua di Asia, seperti Cina dan India. Interaksi antar nilai didalam ruang transisi bisa begitu cair. Karya-karya seni rupa (visual) merupakan salah satu aspek budaya yang sangat lugas memperlihatkan penampang ini. Maka “Indonesia” sebagai suatu lokasi perkembangan budaya menjadi ruang transisional yang terus menerus berubah. Identitas budaya yang plural (bhinneka) dari berbagai etnis juga berbenturan dengan nilai-nilai yang dibawa dari luar. Apakah itu budaya popular, yang di import oleh para kapitalis, maupun nilai yang dibawa secara individual. Dalam rangkaian Biennal Jakarta tahun 2006 ini, layaklah ditampilkan beberapa perupa asing, yang masih dan sempat tinggal di sekitar wilayah di tanah air. Walaupun kebanyakan dari mereka tetap beraktifitas di pusat-pusat perkembangan, seperti di Jakarta, Yogyakarta dan Pulau Bali. Keragaman medium dan penjelaja-
han artistik serta pokok soalnya juga bisa menarik. Secara berbeda-beda, masing-masing menunjukan keterlibatan dan interaksi, dengan konteks sosial dan budaya, dimana mereka tinggal dan bekerja. Karya – karya Filippo Sciascia, perupa kelahiran Milan - Italia, yang tinggal dan bekerja di Ubud, Bali, mengeksplorasi kemungkinan lanjut seni media baru dalam hal ini video ke dalam medium lukisan. Pada karyanya terepresentasikan hubungan tarik – menarik, antara seni video dengan melukis, seperti dalam beberapa serial karya yang pernah ia tampilkan di beberapa kota di Indonesia. Beberapa tahun terakhir , lewat karya-karyanya, ia berupaya memunculkan pertanyaan kritis terhadap praktek seni lukis, maupun citraan yang dihasilkan oleh medium baru dalam hal ini video. Menjuktaposisikan antara citraan video (dan suara) dengan lukisan di atas kanvas. Pada karya Filippo, citraan dijital itu di jelajahi lebih jauh, hingga paling optimal, sehingga yang terjadi adalah kemungkinan adanya nilainila estetik dan spritualitas baru, yang mencuat diantara “aura’ piksel-piksel. Selain sebagai perupa, Filippo juga sibuk dengan Gaya Art Space, Sayan, Ubud. Sebuah ruang seni kontemporer yang memang jarang ditemukan di wilayah Ubud. Peter Dittmar, yang berasal dari Jerman, sempat tinggal di Ubud dan kemudian di Sydney – Australia. Lukisan-lukisannya bercitra abstrak-geometris, yang digabung dengan elemen goresan yang minimalistik.
Dittmar tertarik dengan kehidupan reliji dan menyerap aspek ritual dan arsitektur, dalam adat – istiadat masyarakat Bali. Kemudian mengartikulasikannya kembali ke dalam estetik yang tertib rupa (formalistik). Dalam karya ini, ia menafsirkan kembali suatu nilai budaya ke dalam suatu hasil manifesto personal, dengan mata hati yang berbeda. Tetapi justru yang menarik adalah , bagaimana kemudian elemen budaya itu menjadi terelaborasi dalam suatu paduan yang penuh harmonis dan elegan, dipadu dengan penyusunan kanvas yang penuh pertimbangan ukuran serta bentuk. Dalam karyanya terepresentasikan kesimbangan antara dunia barat (ekspresionis Jerman) dan oriental dalam penataan yang cenderung ke arah abstraksi. Midori Hirota, perupa asal Jepang yang pernah tinggal di Bali, sekarang bekerja dan tinggal di Yogyakarta. Selain bekerja sebagai perupa, ia juga menulis untuk beberapa majalah seni di Jepang dan akhir – akhir ini, Midori sibuk juga memamerkan karya –karya perupa muda Indonesia di beberapa galeri di kota-kota di Jepang. Karya-karya Midori banyak terilhami oleh kehidupan reliji – budaya - sosial masyarakat sekelilingnya. Hal ini juga karena sebagai individu, ia memang cukup bisa berinteraksi dengan aktif, sehingga subyek-subyek karyanya juga seringkali berhubungan dengan simbol, kepuitisan tentang nilai spiritualitas, alienasi maupun hal lainnya yang bersentuhan nilai sosial atau komu-
nal. Begitupun dengan mediumnya yang menggunakan berbagai macam seperti keramik,lukisan, tekstil, kayu dan lainnya. Ia menghadirkan instalasi patung – patung keramik berbentuk ganjil, gabungan antara sosok manusia dan Pinguin yang ditempatkan di dalam kota kayu. Sehingga karyanya menghadirkan suasana yang aneh serta mengundang pemaknaan berbeda – beda. Nadiah Bamadhaj, perupa sekaligus peneliti sosial asal Malaysia, yang sempat tinggal di Yogyakarta, sering berkarya dengan menggabungan antara citra fotografi yang pseudo- historis atau sejarah-palsu. Menyejajarkan dengan medium fotografi rekayasa dijital sehingga citraannya menciptakan suasana ambang antara masa lalu dan kini. Karyanya cenderung bersinggungan dengan berbagai dokumentasi suatu kejadian bersejarah , apakah itu narasi besar, ataupun yang berkaitan dengan ingatan kolektif suatu masyarakat, komunitas maupun individu tertentu. Dalam Biennale Yogya tahun lalu, ia menyajikan foto - foto cetak dijital, yang menyatukan citraan Kandang Menjangan, sebuah bangunan kolonial di selatan kota Yogya, dengan citraan album foto dari suatu kegiatan masyarakat, apakah di kelurahan, rumah sakit, kegiatan di suatu kampung, dan lainnya. Ia memanipulasi dan mempermainkan citra bangunan kolonial tersebut, layaknya suatu benda yang handy dalam ukuran miniatur, di sisipkan diantara foto - foto tersebut, dengan berbagai posisi yang wajar. Menciptakan suasana penuh kejutan dan humor. Karya Nadiah
menghadirkan pemandangan ambigu ; yang membaurkan realitas puitik dan politik citraan. Ann Wizer, perupa asal Amerika Serikat yang tinggal di Jakarta dan Manila, mungkin sangat terilhami oleh persoalan urban dimana ia tinggal. Ann mengobservasi limbah buangan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, yang semakin menggunung, memenuhi lingkungan disekitar. Ia memilih beberapa sampah rumah tangga, seperti cangkang sabun, sebagai sesuatu bahan yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan benda-benda artistik. Ia pernah memamerkan benda – benda kriya seperti beragam bentuk tas dari limbah kantong plastik bekas produk sabun, pewangi, dan lainnya. Dalam perkembangannya, Ann kemudian menjelajahi kemungkinan lanjut pemanfaatan limbah itu. Bukan hanya menjadi materi untuk menghasilkan produk artistik, tetapi lebih jauh, untuk menghadirkan kebutuhan komunikasi pribadi tentang nilai lingkungan , yang tak tampak ; kehidupan dalam lingkungan sampah. Karya-karya instalasinya yang kadang interaktif, secara gamblang, memperingati kita tentang kerusakan lingkungan. Namun dengan suasana yang intim, dengan membuat berbagai benda dan furniture untuk interior dari limbah tersebut. Dengan penjelajahan dan penataan artistik, Ann memberikan kontribusi serta dimensi baru pada perkembangan seni lingkungan. Hee Sook Lee - Niinioja, perupa asal Korea yang tinggal di Finlandia dan
sekarang di Jakarta, menghadirkan instalasi yang juga memungkinkan berinteraksi dengan pemirsa. Lee mencoba melibatkan seluruh aspek inderawi seperti penglihatan, penciuman serta perabaan. Tiga aspek indera ini dikemas dalam sebuah karya instalasinya yang terbaru. Menggunakan berbagai medium seperti wewangian dari bahan-bahan alami, seperti sabun yang dicampurkan dengan garapan bunga-bunga dari kertas, grafik dan lainnya. Karyanya mengingatkan kita pada suasana ruang kontemplatif oriental. Lee kemudian menjadikan karya-karyanya sebagai ruang dialog bagi pengunjung mengenai nilai – nilai yang ada dibalik tiap materialnya. Ranger Mills, perupa asal New York yang tinggal di Singapore, sempat tinggal di Jakarta, berkolaborasi dengan perupa pertunjukan asal Singapore, Juliana Yasin. Keduanya akan menghadirkan karya instalasi dan performance, dengan mengundang secara aktif para pengunjung ataupun seniman lainnya untuk terlibat. Karya Ranger, lebih berkarakter sangat impulsif dalam menanggapi persoalan ruang – ruang fisikal, dengan kemampuannya memecahkan persoalan teknis, Sehingga, seringkali ia tampak lebih khusuk membantu seniman lain. Tetapi menariknya, ke-liyan-an dirinya, selain cukup kritis, tetapi juga mempunyai pandangan – pandangan yang mungkin sangat penting bagi nilai sosial dalam lingkup medan seni tertentu. Kehadiran karyanya membuka suatu dialog yang interaktif, inter-personal dan multidisiplin.
V. Penutup
berbagai sumber bacaan maupun perbincangan.
Keberadaan para seniman pendatang dan pelintas batas, tentunya menjadikan keparadoksan didalam medan perkembangan seni rupa di Indonesia. Di satu pihak, praktek dan medan seni rupa dunia, saat ini, telah menghapuskan batas-batas negara dan bangsa. Alih-alih, praktek seni rupa yang berlangsung tidak lagi memperkarakan persoalan kewarganegaraan seorang seniman, atau mewakili negara-negara. Di sisi lainnya, seni rupa Indonesia, masih mewarisi nilai-nilai nasionalisme pasca kemerdekaan, yang melahirkan pembatasan pandangan identitas pada nilai individunya. Tradisi ini melahirkan pandangan - pandangan yang mendikotomi antara perkembangan nasional (lokal) dan nilai yang berlaku secara global atau internasional, serta menjadikan persoalan praktek dan pasar seni rupa Indonesia menyempit dan terkucilkan. Kenyataan saat ini, tradisi untuk melintas batas wilayah yang dilakukan para seniman memang semakin terbuka. Seiring dengan globalisasi dalam aspek ekonomi dan industri, budaya – budaya semakin menampakan perbedaan – perbedaan. Seperti juga isu diaspora, yang liyan (the others) bukan lagi sesuatu hal yang harus dijauhi, sebagai suatu keanomalian yang terasing, tetapi menjadi nilai - nilai yang muncul dari ruang transisi, untuk memberikan keniscayaan perjuangan meneruskan dan menemukan nilai di dalam kehidupan budaya.
Rifky Effendy Jakarta, Mei 2006
Tulisan ini berhutang banyak pada
Pengantar kuratorial
ON APPROPRIATION 28 Jul, 2007 - 06 Aug, 2007 Galeri Semarang
Dalam Apropriasi Spektrum Praktek Apropriasi Dalam Seni Rupa Kontemporer di Indonesia Rifky Effendy Mitos Barat dan Hantu Sejarah Istilah apropriasi (approriation), atau kira-kira “ penyetaraan “, sering terdengar dalam berbagai perbincangan seni rupa , maupun budaya kontemporer. Terutama dalam diskusi yang menyangkut perkembangan budaya seni rupa pasca – modern (posmodern). Apropriasi selalu bersanding dengan jargon-jargon yang diuarkan kaum posmodernis, seperti allegory, parodi (pelesetan), eklektik atau bricolage. Aproprasi selalu mengandung gejala kemiripan atau keserupaan suatu imaji terhadap imaji lainnya. Seni rupa dengan kecenderungan apropriasi ternyata sangat lazim dipraktekan di barat sejak awal abad ke – 20. Dalam situs Wikiepedia maupun sejarawan Robert S. Nelson, di sebutkan bahwa, mengapropriasi sesuatu yang melibatkan upaya “pengambil – alihan”. Dalam seni rupa barat , istilah apropriasi sering merujuk pada penggunaan elemen-elemen pinjaman dalam suatu kreasi karya seni. Peminjaman elemen tersebut termasuk citraan atau gambar, bentukan atau gaya dari sejarah seni atau budaya populer, maupun material serta teknik-teknik dari lingkup bukan seni. Sejak dekade 1980-an istilah ini juga mengacu kepada yang lebih khusus, mengutip karya dari seniman lain un-
tuk menciptakan suatu karya baru. Karya baru tersebut bisa atau tidak merubah imaji karya semula . Seperti contohnya kekaryaan seniman Amerika Utara 1970-an; Sherry Levine, Barbara Kruger atau Cindy Sherman. 1) Masih dalam situs tersebut, diuraikan aspek-aspek apropriasi muncul dominan di wilayah sejarah seni modern abad 20, jika kita mempertimbangkan dasar pembuatan karya seni sebagai peminjaman citraan atau konsep dari dunia sekeliling , dan penafsirannya kembali ke dalam karya seni. Beberapa ahli bahkan mengklasifikasikan seniman seperti Leonardo Da Vinci sebagai seorang seniman apropriasi, karena ia menggunakan metode yang rumit, meminjam beragam sumber seperti biologi, matematik, teknik mesin dan seni, dan kemudian mensintesanya ke dalam penemuan-penemuan dan penciptaan karya-karya seni. Oleh karena itu, dalam era- pasca modern ini, seputar isu seni seperti otentisitas, orisinalitas, keluhungan, kemandirian, kejeniusan, kemuliaan gagasan, bukanlah hal yang harus lagi jadi parameter atau menjadi keutamaan nilainya. Tetapi seni rupa menjadi praktek yang terkait dengan kekuasaan simbolik, serta modal, dan juga dipengaruhi oleh sistim yang menunjangnya. Maka risalah mendiang Walter Benjamin (1892 – 1940), menjadi begitu penting, dan sangat mempengaruhi pemikiran praktek seni dan kajian budaya kontemporer. Dalam esainya “ Seni Dalam Era
Reproduksi Mekanik”, tahun 1936, ia mengemukakan, bahwa kemampuan teknologi reproduksi citraan secara masinal membawa dampak besar, bukan hanya terhadap tradisi metoda penciptaan karya seni, dan nilai-nilai hakiki dalam watak tradisi seni (elemen auratiknya), tetapi juga secara signifikan telah menggeser cara pandang kita terhadap apa yang kita lihat, dan kita pahami. Konon, pemikiran Benjamin juga dilatari oleh berbagai peristiwa penting dalam bidang seni lukis di Eropa waktu itu. Selain tentunya fenomena fotografi dan juga film, sebagai agen penting dalam mengonstruksi cara melihat modern. Dalam catatan sejarah seni rupa Barat dikejutkan oleh kelakuan Marchel Duchamp, yang memamerkan tempat kencing (1917), roda sepeda, dan potret Monalisa berkumis ( 1919). Pablo Picasso (1912) dan Georges Braque (1913) , sebelumnya menciptakan lukisan kubistik dengan menyertakan kepingan atau bagian benda – benda keseharian di permukaan lukisannya. Alih – alih, bahwa terjadi pergeseran metoda melukis sehubungan dengan cara memandang masyarakat modern. Seolah telah terjadi peleburan antara nilai – nilai luhung dalam sejarah seni, dengan nilai yang hadir dalam keseharian. Disinilah seni apropriasi muncul sebagai suatu bentuk politik representasi, dan gejala ini erat kaitannya secara konstruktif dengan kemunculan mesin cetak di Eropa, kemudian fotografi di tengah abad 19. Juga dengan penyebarannya secara masal, menciptakan – apa yang dise-
butkan Andre Malroux (sastrawan Perancis)- “museum tanpa dinding”. Munculnya fotografi, merupakan pengaruh yang sangat penting dalam perkembangan teknologi imej dan menjadi simptom era modern. Dalam Fotografi - menurut Susan Sontag - dalam On Photography (1977) - sebagai suatu medium dan agen pengetahuan manusia modern, sebagai miniatur dunia, mempunyai peran cukup penting dalam memberikan akses yang luas bagi suatu masyarakat pada dunia eksternal yang mengelilinginya. Kepingan – kepingan informasi (maupun kenangan masa lampau), yang terkandung dalam tiap helai foto telah merubah banyak hal dalam kehidupan masyarakat modern. Menjadi cermin manusia moderen dalam menentukan sikap dan tujuan hidupnya. Fotografi, yang kemudian diiringi kapitalisme cetak yang semakin maju, serta peraturan –peraturan penayangan maupun penerbitan yang longgar, selain juga perkembangan informasi elektronik maupun cyber seperti film, televisi dan internet, menjadikan dunia saat ini tanpa batas dan menjadikan problematika yang menarik dalam kehidupan budaya. Derasnya aliran informasi yang tidak berimbang saat ini, tentunya mengiritasi tata – nilai yang telah mapan dalam kehidupan budaya suatu masyarakat. Sehingga perubahan-perubahan nilai dalam tatanan kehidupan, mempengaruhi juga bagaimana posisi kita
dalam memandang dunia. Dalam hal ini Sontag mengemukakan, bahwa memotret adalah menyetarakan atau mengapropriasi (to appropriate) realita yang dipotret. Menempatkan seseorang ke dalam suatu relasi dunia yang dirasakan seperti pengetahuan – dan maka itu menjadi seperti suatu kekuatan.2) Alih-alih bahwa proses pemaknaan fotografi melibatkan eksistensi individu dalam suatu lingkup budaya, ditengah-tengah derap maju budaya masyarakat disekitarnya. Apropriasi adalah manifestasi politik terhadap kekuatan, dan dominasi kultural. Seperti dikatakan oleh Robert S. Nelson, praktek apropriasi secara semiotik, seperti juga mitos, yang merupakan distorsi; bukan lawan atau negasi dari pada “ rakitan semiotik yang utama” (The prior semiotic assemblage). Bisa bermutasi; berubah tanda – tandanya (signs). Apropriasi seperti lelucon, kontekstual dan historikal, ia tak pernah stabil, berubah oleh lingkup dan sejarah baru, menjadi tanda-tanda baru.3) Apropriasi dengan kata lain adalah strategi menjinakan mitos - mitos. Diungkapkan juga oleh Barthes (Myth Today: 1957), mitos adalah suatu sistem komunikasi , suatu narasi (speech). Dibangun dengan meta-bahasa, dengan bahasa –rampokan atau curian, yang berfungsi untuk menaturalisasi sesuatu nilai yang terbentuk. Mendistorsi suatu proses pemaknaan. Semua berpotensi menjadi mitos. Senjata terbaik melawan suatu mitos adalah menciptakan mitos artifi-
sial (artificial myth); “ sejak mitos merampok bahasa dari sesuatu. Mengapa tidak merampok mitos?”. 4) Bagi Barthes, mitos bukan hanya bentukan dari cerita – cerita masa lampau, dongeng, dan lainnya, tetapi juga dalam wujudnya yang lebih kekinian; dunia popular, seperti sampul majalah, poster iklan, papan reklame, film dan lain sebagainya. Mitos ibarat hantu bertopeng, yang terus membuntuti sejarah manusia modern. Sedangkan apropriasi menjadi semacam tamengnya untuk melumpuhkan, menetralisir, dan kemudian mencangkokan makna – makna berbeda padanya. Tidak untuk mengusir keseluruhannya. Dari Peniruan ke Apropriasi. “ Mereka adalah peniru, dan meskipun seorang jenius di cabang seni ini mungkin tidak akan muncul dari kalangan mereka, namun ada alasan kuat untuk meyakini bahwa jika diberi dorongan,mereka tidak akan ketinggalan dibanding bangsa lain yang sama tingkat peradabannya. “ ( Sir Stamford Raffles, The History of Java) 5) Dalam lingkup di Indonesia, kemunculan praktek seni modern menjadi problematik namun menarik. Pertama bahwa bentuk seni lukis tersebut diperkenalkan oleh Barat lewat proses kolonialisasi. Terutama berlangsung di abad 19, dimana pribumi seperti Raden Saleh Sjarif Bustaman (1807 – 1880) mendapat ajaran melukis dari guru-guru Belanda, lalu mengalami alam Eropa dikemudian hari. Disinilah muncul proses, dimana karya-karyan-
ya meniru (mimesis) lukisan-lukisan gaya klasik sampai romantisisme Eropa, hingga kemudian terjadi ‘perlawanan’ dalam perkembangannya kemudian, terutama dalam lukisan “ Penangkapan Diponegoro” (1857).
mimikri adalah suatu artikulasi ganda, sebuah strategi rumit terhadap perubahan, peraturan dan disiplin, dengan ‘menyetarakan’ (appopriates) sang lain (the Other) sebagai bentuk kekuatan visual. 7)
Karya ini ia buat setelah melihat buah karya orang Belanda Nikoolas Pieneman (1809-1860) , yang merekam penaklukan pemimpin perang Jawa, Pangeran Diponegoro tahun 1830, oleh tentara pemerintahan Hindia Belanda. Lukisan ini merupakan bentuk ‘revisi’ dari karya sebelumnya. Beberapa pengamat dan sejarawan kemudian berasumsi bahwa ada bentuk perlawanan politis dalam diri Saleh. Ketika ia, pada saat itu masih berada di Eropa, mendengar dan melihat kenyataan politik di Hindia – Belanda terhadap bangsa pribumi. 6)
Kedua, adalah bagaimana seni rupa kemudian berinteraksi dari wacana kolonial, dengan munculnya ideologi nasionalisme. Hal ini disebabkan faktor perubahan kebijakan politik kolonial di Hindia – Belanda abad 20, yang mengijinkan kelompok elit pribumi tertentu untuk menikmati pendidikan cara Belanda. Kadang diiringi juga dengan peziarahan ke ranah barat. Dalam proses pendidikan di lembaga formal, mereka membaca buku-buku yang disediakan dalam ruang-ruang perpustakaan.
Karya Raden Saleh tersebut menjadi model seni apropriasi terhadap karya seni lukis barat awal yang sangat jelas, bahwa peniruan juga kemudian menciptakan dimensi politis, membuktikan adanya upaya dari individu (bangsa terjajah) untuk mengartikulasikan kembali nilai yang ada (given). Mencerminkan adanya suatu watak keambivalenan dalam wacana kolonial. Apropriasi dalam pemikiran seorang ahli pasca –kolonial ternama, Homi K. Bhabha, merupakan bentuk representasi mimikri (mimicry), sebagai suatu strategi yang efektif, dan licin (elusive) terhadap pengetahuan dan kekuatan kolonial. Mimikri menjadi suatu representasi dari sebuah keberbedaan, yang didalamnya terjadi proses penolakan (disavowal). Maka
Pengetahuan membuka lebar cakrawala kaum pribumi, digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer , lewat sosok fiktif yang ambivalen, Minke, dalam roman masyhur karangannya, Bumi Manusia : “ Salah satu hasil ilmu-pengetahuan yang tak habis-habisnya kukagumi adalah percetakan, terutama zincografi. Coba, orang sudah dapat memperbanyak potret berpuluh ribu lembar dalam sehari. Gambar pemandangan, orang besar dan penting, mesin baru, gedung-gedung pencakar langit Amerika, semua dan dari seluruh dunia – kini dapat aku saksikan sendiri dari lembaran-lembaran kertas cetak “ . 8) Penafsiran dan artikulasi pengetahuan kolonial menciptakan bayan-
gan sebagian pribumi untuk menjadi sebuah bangsa yang mandiri, lepas dari kolonialisme. Tentunya didukung oleh kondisi sosial-ekonomi dan kebijakan Hindia-Belanda pada saat itu, yang tengah merekah menjadi permata di khatulistiwa. Kapitalisme cetak yang pesat juga membentuk “museum – museum tanpa dinding” dimana para pemuda terdidik dengan khidmat memperhatikan citra – citra dari barat dan mengagumi seni rupa modernnya. Informasi tercetak inilah salah satu faktor utama penularan estetika barat ke dalam kehidupan intelektual masyarakat pribumi terdidik. Perbincangan seputar identitas ke - Indonesia-an dalam wacana kesenian, khususnya dalam bidang seni rupa bergulir mulai tahun 1930-an hingga awal 1970-an. Terutama ketika kemunculan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), sebagai lembaga yang menaungi para seniman yang mendukung gerakan nasionalisme. Dengan menunjuk S. Soedjojono sebagai juru bicara, mengeluarkan manifesto tentang kepentingan mencari jati diri dalam seni lukis. Karya – karya generasi ini banyak mengetengahkan realita perjuangan untuk upaya membebaskan diri dari penjajahan. Dengan mengapropriasi corak – corak modern Eropa seperti ekspresionisme macam Vincent Van Gogh, atau corak lukisan Goya atau Monet. 9) Tetapi memang Soedjojono, dan golongannya, mampu menyisipkan nilai – nilai unik yang khas dalam karya-karya mereka. Perwujudan nilai
lokal, “jiwa khetok”, yang mengandung semangat nasionalisme. Sehingga klaim sebagai seni lukis modern juga merupakan perwujudan manifestasi politik identitas, sekaligus bentuk apropriasi politik terhadap seni modern barat. Maka ketika kemudian di dekade 1950-an, anak-anak muda, murid seorang guru gambar Belanda, Reis Mulder dari Bandung, mengadakan pameran yang menyajikan karya akademis, bercorak abstraksi, kubistik, dan lainnya. Membawa reaksi keras dari para tokoh PERSAGI dan pendukungnya. Trisno Sumardjo, kritikus ternama kala itu, khawatir bahwa akademi dengan metode yang diajarkan orang Belanda di Indonesia, bisa menghilangkan dimensi jati-diri suatu bangsa. Dengan kanonnya, yang menganggap sekolah seni di Bandung sebagai pengabdi dan laboratorium Eropa. 10) Walaupun pendapat itu di tampik keras oleh Sudjoko, dengan menggaris - bawahi bahwa, di Bandung telah dikembangkan suatu metode pengajaran seni lukis yang lebih menekankan percobaan, analisa dan diskusi. Melalui estetik yang meminjam dari corak lukisan modern Barat. Perdebatan ini pula yang memulai adanya wacana pendidikan tinggi seni rupa di Indonesia, selain juga melanjutkan sengkarut perdebatan identitas seni lukis Indonesia. Ketiga, bentuk seni apropriasi di masa ketika budaya populer memasuki kehidupan dengan iklan – iklan menciptakan delusi masyarakat secara massal ditengah suatu kekuasaan militer
. Beberapa seniman muda menggelar pameran yang dinamai Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRB), tahun 1975. Pameran ini menyuguhkan karya – karya dengan perilaku yang dianggap diluar kebiasaaan pada saat itu. Jim Supangkat misalnya menyuguhkan karya replika patung torso Ken Dedes, di atas sebuah kotak kayu bergambar tubuh bagian bawah perempuan, bercelana jeans yang resletingnya sedikit terbuka. Lainnya, seperti F.X. Harsono, Nyoman Nuarta, Bonyong Muni Ardhi juga menghadirkan obyek – obyek maupun lukisan yang ‘akrab’, dan dikenali dari dunia keseharian. Kritikus dan kurator Hendro Wiyanto mengungkapan, bahwa “ Perkembangan seni rupa moderen kita pada umumnya memang diawali dan ditandai oleh kepeloporan praktik seni lukis oleh para pelukis. Namun semenjak tahun tujuh puluhan peran seni lukis semacam itu telah digugat. Medium spesifik atau ‘medium mistik’ seni lukis beramai-ramai ditanggalkan oleh para perupa. Keluar dari kekhasan medium, para perupa mati-matian menampilkan bentuk campuran yang tidak lagi murni berasal dari tradisi fine art. 11) Para perupa GSRB, secara gagasan dan garapan artistiknya banyak meminjam unsur non-seni, elemen-elemen dan obyek, yang diambil dari sekitarnya. Selintas karya mereka seperti citra karya –karya dalam gerakan seni pop di Amerika Serikat, antara tahun 50 hingga 60-an. Meminjam citraan serta simbol-simbol populer non –seni,
menggunakan medium maupun material “rendahan”seperti cetak saring, resin, ataupun benda temuan. Secara lingkup budaya masyarakat, kelahiran estetik dalam kekaryaan anggota GSRB mulai mencerminkan adanya pengaruh kuat pokok soal politik dalam seni. Manifesto GSRB mencoba meruntuhkan dikotomi atau batas antara estetik rendah/tinggi, profan/ sakral, seni /non seni. Ke-empat merupakan tahap dimana ranah teknologi informasi dan reproduksi semakin canggih, menciptakan cakrawala global yang melampaui batas-batas geografis, geopolitik dan budaya. Fase ini dianggap beberapa pengamat sosial - budaya sangat krusial, karena terjadi lompatan, serta percepatan informasi yang luar biasa dalam kehidupan manusia sekarang, yang masih tak seimbang. Beragam citraan memasuki ruang-ruang pribadi melalui media televisi, internet maupun telepon selular. Cakrawala tanpa batas ini diistilahkan sosiolog Arjun Appadurai sebagai technoscape dan mediascape, karena derasnya sirkulasi informasi dan teknologi media akhirnya mampu membentuk kenyataan lain dan berpotensi menyingkirkan / menutupi kenyataan sebelumnya . 12) Seni rupa memasuki era dimana terjadi serba ketakpastian asal-usul, seperti memasuki lorong Platonik. Imaji dalam pencanggihannya saat ini punya kapasitas untuk berinteraksi dengan makna-makna lain secara bebas. Tanda-tanda budaya bercampur-aduk, hibrid, bermutasi menja-
di tanda yang berdiri sendiri, tanpa struktur yang pasti dan terbaca jernih. Ada banyak pameran seni rupa, yang menghadirkan beragam karya-karya dengan pendekatan apropriasi yang pernah diselenggarakan di tanah air sejak pertengahan dekade 90-an. Katakanlah karya-karya Agus Suwage, Tisna Sanjaya, Yasumasa Morimura (perupa Jepang), Asmudjo J.Irianto ( dalam pameran Kleptosign) hingga para perupa generasi sekarang. Dalam beberapa tingkatan, kekaryaan dengan strategi apropriasi bisa mengecoh pengamatnya, terutama dalam lingkup masyarakat di Indonesia yang masih tuna acuan sejarah seni rupa. Spektrum Apropriasi Sekarang : Dari Ikonik hingga Kitsch Dalam seni rupa kontemporer , di wilayah Asia, dalam dekade terakhir begitu menguat terutama tercermin dalam penjelajahan visual para perupa muda, terutama di tahun 1990-an hingga kini. Di Indonesia khusunya, perayaan memasuki budaya visual banyak di sambut oleh kalangan muda. Mereka begitu khidmat menyelusup ke dalam dunia imaji virtual maupun dalam keseharian. Mulai dari imaji yang ikonik maupun yang biasa. Dari yang kanonik maupun yang tersembunyi. Imaji yang luhung seperti dalam sejarah seni rupa maupun populer, serta rendahan atau kitsch. Pameran “ Dalam Apropriasi” berkesempatan untuk meninjau lebih lanjut praktek seni rupa saat ini, terutama dari para perupa yang sejak awal tertarik dengan persoalan dunia
imaji “sang lain” sebagai konstruksi atau landasan keberangkatan gagasan, alih-alih inspirasi, untuk menciptakan karya-karyanya, maupun perkembangan kreatifitas artistiknya. Seperti Agus Suwage,yang sejak pertengahan 1995-an mulai menggarap karya-karya berwatak apropriasi dengan meminjam corak artistik karya perupa Jerman, Anselm Kiefer, Francis Bacon dari Inggris, dan lainnya. Tetapi kemudian beringsut mencari coraknya sendiri , dengan menampilkan tubuh maupun wajahnya beragam pose dan mimik secara realis, sebagai bentuk “peragaan” untuk membincangkan berbagai persoalan sosial-budaya masyarakat dengan sinis, ironis serta bernuansa parodi. Tetapi secara keseluruhan, penjelajahan artistik Suwage berangkat dari citra fotografis yang diolah lebih lanjut, baik lewat kepekaan, dan keahlian tangannya dalam menggambar maupun dicampur dengan bantuan rekayasa dijital, sehingga menghadirkan imaji ; baik dalam lukisan, drawing maupun obyek dengan corak realisme, serta maknanya yang berlapis-lapis. Karya Suwage, menggambarkan bagaimana konstruksi citra seni rupa avant-garde Barat lewat “museum tanpa dinding”, telah memancar hasrat dalam kehidupan budaya seni rupa modern dunia. Tubuhnya memasuki dunia imaji, seolah mengganggu kemapanan nilai citraan itu. Kadangkala ia membiarkan citra itu tetap diberi kesempatan menunjukan apa adanya seperti citra awal , teta-
pi “ jati dirinya “ kemudian telah terebut oleh “sang lain” , Suwage sendiri. Model apropriasi dalam motif kekaryaan Suwage adalah meminjam citraan ikonik, sebagai acuannya, untuk kepentingan metafor nilai-nilai yang berkecamuk, antara cinta dan benci, kagum sekaligus mengejek, memparodikan dan seterusnya. Perupa muda, Ariadithya Pramuhendra menggunakan potret dirinya kedalam potret ikonik para tokoh dunia melalui rekayasa teknologi pencitraan komputer, sehingga menghasilkan citra kabur (blur), yang berkesan bergerak dan tak fokus. Kemudian hasil olahan tersebut ia pindahkan ke dalam kanvas lewat goresan arang (charcoal). Kepekaan dan keahlian tangan dalam menggambar niscaya masih begitu dominan sehingga menciptakan citra fotografis hitam – putih yang bernuansa klasik sekaligus enigmatik. Mengembalikan keauratikan imaji –imaji tersebut. Pramuhendra seolah menguji kembali tradisi menggambar tradisional, namun dengan mengapropriasi citra teknologis, watak kekiniannya muncul dalam artistik blur, selain ditujukan untuk mewacanakan identitas dirinya dalam lingkup pokok soal pencitraan massal. Keberangkatan yang hampir sama juga terjadi pada kekaryaan Aminudin T.H. Siregar. Ia menghadirkan lukisan cat air yang berangkat dari citra fotografi , maupun karya fotografi, yang ia
ciptakan dengan merekonstruksi karya – karya perupa yang telah mapan, seperti foto performance art A Wei Wei ( perupa kontemporer dari China), Gilbert dan George (performance art dengan patung hidup dari Inggris). Watak kekaryaannya memang untuk mengganggu kemapanan ikon - ikon sejarah seni rupa dan mengalihkannya pada persoalan wacana, serta sengkarut pemahaman sejarah seni rupa di tanah air saat kini.
Yogie Achmad Ginanjar merekonstruksi secara hibrida; mencampurkan imaji karya para maestro seni lukis dalam sejarah seni dari Barat dengan realita kekinian. Ia mendistorsi potret – potret figur dalam lukisan klasik jaman Renaisan, lukisan potret abad 18, kadang mencampurkanya dengan imaji karya seni yang sedang populer, seperti citra dalam lukisan Yue Mingjun dan lainnya. Terakhir ia merekonstruksi bagian citraan karya maestro seni rupa modern Piet Mondriaan sebagai latar belakang sosok manusia
lokal (Indonesia) didepannya. Sama seperti Aminudin, Yogie menggugat sejarah seni rupa barat dengan cara yang penuh ambigu. Mendua antara menolak dan menerima. Gede Mahendra Yasa, lebih tertarik menjelajahi rinci permukaan visual citraan karya-karya ikonik seni rupa Barat. Mengapropriasi dengan meminjam gaya artistik dan menafsirkan kembali karya –karya maestro seni rupa kontemporer dunia seperti Gerhard Richter, Cy Twombly, ke dalam imaji yang lebih ilusif dan diperbesar. Beberapa karyanya bahkan merekonstruksi bagian tertentu rupa dari teksur, warna maupun goresan kuas. Mahendra menyajikan kutipan imaji karya tersebut untuk mengartikulasikan kembali tentang potensi fragmentasi dalam cara pandang fotografis, yang berhubungan dengan
soal penciptaan karya seni. Maka dalam beberapa tingkatan karya acuannya telah dilenyapkan. Butuh pengetahuan sejarah seni rupa yang mendalam, untuk memahami secara lanjut karya Mahendra. Namun lepas dari itu, kekaryaannya memperlihatkan ketajaman pengamatan, bukan hanya melihat dan meniru citra acuan, tetapi juga menafsirkan kembali serta memaknainya lebih lanjut. Menjadi karya yang sepenuhnya mandiri. Galam Zulkifli menghadirkan serial lukisan bernuansa parodi, “ Model Rambut dari Masa ke Masa”, potret ikon dunia seperti Soekarno atau Marilyn Monroe. Hanya saja rambut masing-masing telah berubah. Ia secara subversif mengganti satu bagian utama identitas citraan itu, yang telah menjadi memori kolektif, kharisma ataupun stereotype -nya; rambut atau tanda dibagian kepala. Mengubah rambut-rambut mereka dengan gaya dari masa yang berbeda, bisa mengecoh pengamat. Galam menciptakan citra keberbedaan tersebut melalui imaji terbalik , layaknya negatif film juga dengan logika dijital. Sedangkan Dipo Andy menghadirkan kembali sosok populer seperti bintang pop Madonna dan Ibu Theresa. Sosok-sosok tersebut muncul dengan penambahan grafis yang tertata apik serta dinamis, membuat citraannya lebih atraktif. Unsur dan elemen grafis diapropriasi melalui rekayasa perangkat lunak komputer. Dipo seolah mengapropriasi ulang citra teknologis ke atas lukisan. Melihat lewat media komputer memaksa
mengulang kita pada pertanyaan arti dari kejeniusan dan seterusnya. Tetapi kekaryaan Dipo mungkin malah membawa kita pada renungan, bahwa bagaimanapun teknologi memang diciptakan manusia untuk kehidupan manusia sesudahnya. Dadan Setiawan menyetarakan elemen utama teknologi pencitraan ke dalam karya-karya lukisannya. Piksel sebagai konstruksi imaji dijital, yang sengaja ia rekonstruksi dari kamera telepon selular maupun distorsi serta efek pembesarannya, untuk membentuk citra potret manusia, maupun benda atau alam. Ketertarikan pada piksel sebagai dasar pencitraan era informasi saat ini banyak dilakukan oleh para pelukis besar dunia seperti Chuck Close hingga para perupa muda sekarang. Potensi untuk memanipulasi citra menjadi gejala visual lumrah saat ini. Karya-karya Dadan memberikan nilai estetika dan artistik pada rangkaian kesatuan piksel tersebut, bahkan menyelusup leb-
ih dalam ke intinya, ke ranah spiritual imaji maya. Sehingga bentuk figur maupun alam benda yang tercitra diatas kanvasnya, merupakan hasil
pengamatan terhadap ranah teknologi media (mediascape) , dibanding untuk meneguhkan subyeknya. Radi Rawindra dan Wiyoga Muhardanto, mengapropriasi imaji dari dunia popular, industrial, serta non-seni sebagai keberangkatan untuk mengartikulasikan budaya kontemporer. Karya lukisan Radi Rawindra menampilkan citraan hibrida; imaji komikal, mainan robot anak-anak maupun dari tokoh-tokoh dalam pewayangan. Tetapi ia selalu menyisipkan persoalan keterdesakan budaya lokal oleh yang global. Dalam hal ini budaya nusantara. Dalam tiap citraan robot, Radi mengubah beberapa bagiannya, di isi dengan ragam hias, hingga citra potret dirinya ke dalam subyeknya. Terepresentasikan bagaimana persoalan identitas bangsa dalam dunia tanpa batas , serta budaya konsumtif. Strategi yang ia terapkan ; menyejajarkan atau merampakan berbagai elemen budaya dalam satu tubuh (bricolage) merupakan hasil pere-
nungan generasi muda terhadap globalisasi. Wiyoga
Muhardanto
menampil-
kan deretan obyek-obyek ganjil, tulang-belulang manusia namun sekaligus terwujud bentuk fungsional keseharian yang akrab ; tas, gantungan baju, sepatu, headphone. Ia menyejajarkan dan mencangkokan (bricolage/assemblage) benda-benda keseharian yang bermerk (brand) dengan replika tengkorak manusia, yang biasa digunakan untuk pelajaran biologi di sekolah-sekolah. Melalui pengolahan teknis membentuk yang apik, serta pengenalan materi, ia bisa menghadirkan pengalaman menarik bagi pengamat. Kekaryaan Wiyoga sejak awal selalu menampilkan kemenduaan wujud dalam satu bentuk, memadukan nilai yang kontradiktif disekitar kita. Seperti pernah ia hadirkan dalam beberapa pamerannya terdahulu; senapan, pistol, pisau yang terbungkus dengan Louis Vutton, atau juga penghadiran utuh replika kursi terkenal “Barcelona Chair”, berbahan semen. Motif perbedaan (material maupun wujud) untuk mengganggu persepsi dan memori pengamat, menjadi suatu strategi artistik untuk membincangkan persoalan budaya konsumerisme. Bambang “Toko” Witjaksono lewat apropriasi materi visual ‘ seni rendahan ‘ bernuansa kitsch ; stiker-stiker yang biasa di jual di pinggir jalan, dan biasa kita lihat dan temukan sebagai hiasan untuk kendaraan truk, angkutan umum, motor , dan berbagai hiasan di lingkungan yang dianggap marjinal, “kampungan”. Dengan tulisan-tulisan
yang dianggap cengeng, norak, tetapi selalu menggelitik, karena merepresentasikan ungkapan kaum lemah dan tertindas oleh deru kemajuan jaman. Bambang Toko menghadirkan kembali citraan marjinal tersebut, secara parodi, kedalam bentukan seni luhung ( lukisan ), maupun benda-benda industrial lainnya. Lebih jauh ia menggubah tulisan-tulisan tersebut dari acuannya, menjadi bermakna setara dengan citraan maupun materialnya. Gejala penyetaraan makna (teks dan gambar) yang literer dan harfiah menandai semakin tipisnya pemahaman filosofis terhadap simbol serta tanda – tanda dalam kehidupan masyarakat. Bambang Toko memberikan gambaran umum tentang struktur citraan tersebut terhadap penafsirnya. Astari Rasyid dan Hamad Khalaf mengapropriasi citra mitologi atau
simbol dalam budaya suatu masyarakat untuk menguak persoalan sosial –politik, yang tengah berkecamuk saat ini. Astari Rasyid mengangkat tema seputar identitas perempuan lewat pencitraan simbolik potret dirinya dengan berpakaian perempuan klasik Jawa, bermetafora ke dalam citra per-
empuan kini. Menentang moral yang terbentuk dan menghegemoni, baik bersumber dari nilai keluhungan budaya (jawa) maupun dari rekayasa dunia industrial. Karyanya meminjam artistik kebaya Jawa, pakaian keseharian perempuan Jawa, namun dibuat dari logam, yang dihiasi dengan elemen dari dunia populer. Sebagai bagian pengalaman keseharian yang menyiratkan pergesekannya dengan dunia material, atau alih-alih konsumerisme yang melanda kaumnya sekarang. Peminjaman bentuk estetika Jawa yang digabung dengan elemen bercitra pop, merupakan strategi artistik untuk mewacanakan sisi keperempuanannya. Hamad Khalaf, mengapropriasi citra mitologi Yunani kuno untuk mempersoalkan aksi perang, sebagai budaya sepanjang peradaban manusia . Ia meminjam pencitraan lukisan kuno yang biasanya terdapat di pecahan-pecahan gerabah jaman Yunani di dalam museum arkeologi. Citraan tersebut ia pindahkan keatas permukaan obyek-obyek temuan (found objects) seperti: masker gas, sepatu tentara, sarung tangan karet, helm tentara yang ditinggal oleh tentara Irak diwilayah gurun Kuwait, ketika perang Teluk berakhir di awal 1990-an. Hamad memunguti benda-benda tersebut, beberapa dibuat replikanya. Dibalik obyek – obyek yang berkamuflase dibalik rentetan benda ‘arkeologis’ tersebut, terdapat metafora tentang situasi politik global yang melanda dunia. Apropriasi yang dilakukan Hamad bersifat total, mulai dari penggunaan citraan mitologi
(Yunani), narasi dibalik tokoh-tokoh simbolik, hingga materi benda-benda temuannya. Ia menggali nilai-nilai budaya lama, untuk kita renungkan dibalik lapisan-lapisan metafor yang kaya nilai artistik. Merayakan Citra Praktek seni rupa kontemporer menunjukan bahwa ranah teknologis, technoscape atau mediascape telah mengkonstruksi pandangan baru bagi para seniman untuk memahami dunianya, bukan hanya eksternal tetapi juga secara internal, mencoba menjelajahi, menggali, serta menemukan nilai-nilai berbeda. Memancarkan hasrat besar untuk menjelajahi dunia imaji bagi para seniman. Walaupun itu harus meminggirkan dan menyisihkan apa yang disebut identitas dalam pengertian yang konservatif. Namun tidak serta-merta melenyapkan hasrat kepribadiannya, alih-alih terjadi juga upaya pencarian jati diri dalam era globalisasi yang menyertakan strategi budaya lokal (atau kita juga terbiasa mendengar jargon Glokal). Strategi apropriasi menjadi fenomena utama praktek seni rupa kontemporer, bukan hanya di Amerika Utara tahun 60-an tetapi juga kemudian merambah diwilayah perkembangan di Asia termasuk di Indonesia. Didaratan China, perkembangan strategi artistik dengan apropriasi sudah umum dan radikal, sehingga menimbulkan kekaguman para pengamat dan pencinta seni di Barat. Di Indonesia dan mungkin di negara berkembang lain, gajala
seni rupa apropriasi menuntut para seniman, dan pengamat untuk lebih sadar akan sejarah seni rupa modern Barat, dan sekaligus tajam terhadap pengamatan sosial-budaya lokal. Praktek seni dengan strategi apropriasi yang dihadirkan dalam pameran ini, diharapkan mengarahkan kita pada cakrawala yang lebih lebar, dan penuh kesemrawutan nilai global – lokal dengan suasana yang bernuansa parodi, ironis dan penuh kejutan –kejutan kasat mata. Sehingga godaan untuk mengalihkan dari makna inti dibaliknya begitu besar. **** Jakarta, 26 Juni 2007 1. Periksa: http://en.wikipedia.org/wiki/Appropriation_(art) 2. Lihat Susan Sontag dalam On Photography. Penguin Book. Tahun 1977. hal 3 – 24. 3. Nelson, Robert S. Critical Terms For Art History.The University of Chicago Press.USA. 2003. p. 163 – 164. 4. Barthes, Roland. Myth Today. A Roland Barthes Reader. Edited by Susan Sontag. Vintage. 1993. London. Hal. 123. 5. Dikutip dari risalah Warner Kraus, bertajuk : Raden Saleh Di Jerman, Jurnal Kalam No: 21. Tahun 2004. Hal. 7. 6. Warner Kraus, ibid. Lukisan N. Pieneman masih bisa dilihat di museum tropikal (KIT), Amsterdam. Sedangkan karya Raden Saleh masih bersemayam di Istana Kepresidenan, Jakarta. Baca artikel tentang karya ini di : http:// bataviase.wordpress.com/2007/04/23/penangkapan-diponegoro/ 7. Lihat, Homi K. Bhabha, Mimicry of Man , Location of Culture. Routledge , London. 1994. Hal. 85 – 86. 8. Buku roman “Bumi Manusia” karangan Pramoedya Ananta Toer (1925 – 2006) ,diterbitkan kembali tahun 2005, oleh Lentera Dipantara. Jakarta. Baca juga “ Imagined communities “ , Benedict Anderson melihat contoh Nasionalisme Indonesia adalah suatu apropriasi terhadap dunia modern Eropa dengan cara berbeda dan unik. Maka ia menyimpulkan
bahwa kemodernan (nasionalisme) di Indonesia dianggap punya watak yang khas dan “orisinil”. 9. Pelukis Nashar pernah mengemukakan bahwa,” Dalam seni lukis kita sekarang,kita banyak belajar dari Barat, sebab itu pula seni lukis kita banyak mendapat pengaruh daripadanya (…) Menurut pendapat saya,hasil kita belum bisa digolongkan dalam aliran-aliran karena batasnya masih kabur, lain dengan di Barat. Apakah sebabnya? Para pelukis kita melalui buku, reproduksi-reproduksi lukisan dan lain-lain mempelajari seni lukis Barat.. Tapi kalau melukis, pelukis – pelukis kita tidak bertolak dari salah satu aliran seni yang di Barat itu, tapi semua aliran atau beberapa aliran di Barat itu telah diolahnya dalam jiwanya “. Nashar, Pameran Empat Ekspresionis Indonesia. Termaktub dalam,“ Seni Rupa Modern Indonesia ; Esai-esai Pilihan “, Disunting oleh Aminudin TH Siregar dan Enin Supriyanto. Terbitan Nalar. Jakarta. Tahun 2006. Hal 293 – 295. 10. Lihat kritik Trisno Soemardjo dan Sudjoko. Ibid. Hal. 113 – 121. 11. Hendro Wiyanto , dalam pengantar kuratorial pameran “Surface” , di Emmitan Gallery, Surabaya. 2006. 12. Appadurai, Arjun. Disjuncture and Difference In the Global Cultural Economi. The Cultural Studies Reader. Edited by Simon During. Routledge. London. 1993. Hal. 222 – 223.
Kuratorial Space / Spacing Ruang –Ruang Seni Rupa : Artikulasi Budaya dan Pembentukan Imajinasi Masyarakat Rifky Effendy Pada sekitar akhir tahun 1990, ketika saya baru menginjakan kaki di perguruan tinggi seni rupa di FSRDITB, ada suatu pengalaman estetik yang tak pernah dilupakan. Di Gedung Galeri Soemardja yang lama, tengah dipamerkan karya hasil tugas akhir mahasiswa tingkat akhir. Karya itu terdiri dari rangkaian bongkahan tanah liat melingkar menempel di dinding, membentuk pusaran, lumurannya membekas kecoklatan, mengering, mengotori dindingnya yang putih dengan indah. Retakan-retakan tanah lempung dilantai yang agak kering berserakan dan sebagian disusun sedemikian rupa memenuhinya, menjadikan suasana ruang begitu berbeda. Seperti ada suatu jejak pergolakan yang tengah terjadi, tapi entah apa. Tapi diatas semuanya, kita bisa ‘merasakan’ suatu nilai yang mungkin sangat abstrak melalui lempung yang berceceran dan berserakan disana. Tercipta suatu komunikasi yang sedang berlangsung dalam ruangan itu dan membuat kita bertanya-tanya tentang apa makna dibalik karya Andarmanik itu. Apa yang saya alami diatas, belakangan sering disebut karya instalasi adalah ilustrasi perubahan makna dimana ruang interior (maupun eksterior) galeri menjadi semacam situs bagi para sen-
iman untuk menuangkan gagasan lewat penyusunan benda-benda, obyek – obyek dari beragam materi, bahkan melibatkan indera penciuman , pendengaran selain penglihatan, bahkan melibatkan interaksi fisik dengan para pengunjungnya. Karya – karya berwatak meruang ini disikapi didalam sebuah ruang galeri dengan cara yang berbeda dari pada karya –karya lukisan maupun fotografi. Ruang galeri bagi para seniman saat ini, bermakna penting, karena ruang-ruang tersebut memberikan konstruksi nilai-nilai baik budaya maupun ekonomi bagi karya-karya maupun para seniman. Perkembangan pranata (infrastruktur) modern dengan tumbuhnya ruangruang seni, apakah galeri, museum, penerbitan buku dan majalah seni rupa maupun ruang inisiatif menjadi menarik belakangan ini, karena elemen – elemen tersebut juga memberikan sebuah nilai pada karya maupun gagasan para seniman. Alih – alih, pembentukan pranata itu melibatkan tujuan – tujuan dan cara kerja khusus yang kemudian menciptakan imajinasi kreatif bagi munculnya gagasan sebuah karya maupun pemikiran – pemikiran estetika, bahkan membentuk citra tertentu bagi sekelompok masyarakat dan bangsa. Pameran Space / Spacing bermaksud untuk memikirkan kembali penciptaan karya-karya dan munculnya ruang-ruang maupun pranata dimana karya itu diproduksi dan dihadirkan. Khususnya dalam konteks dimana ruang-ruang galeri seni memberikan makna bagi perkembangan seni rupa disuatu medan sosial. Kita sering mendengar bahwa ketika
ruang-ruang seni –budaya: galeri seni, museum , gedung pertunjukan, maupun perangkat lainnya, telah membanjiri kehidupan suatu masyarakat. Maka kehidupan budaya masyarakat itu menjadi lebih matang, dewasa dan kritis serta kreatif. Tentang Perkembangan Pranata Seni Rupa Terciptanya pranata seni (rupa) menjadi narasi lain dalam perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia dan wilayah Asia Tenggara adalah bagaimana muasal ruang – ruang berkesenian punya sejarah menarik: unik dan berbeda. Menjadi suatu kebutuhan yang diniscayakan dalam kehidupan modern, dan menjadi bagian yang selaras dengan pemikiran di balik sebuah penciptaan karya- karya modern. Booming kedua pasar seni rupa saat ini, tiba-tiba menyadarkan khalayak seni pada sistem seni yang tengah berjalan, alih-alih bahwa produksi makna seni jaman modern terkait bukan melulu proses penciptaan sebuah karya seni oleh para perupa, tapi juga bagaimana itu kemudian sangat terkait dengan kinerja elemen-elemen yang menopangnya. Apakah itu media massa dalam hal ini juga para jurnalis atau penulis seni dan kritikus, para pemilik galeri, museum – museum dan para kurator maupun menejer, pameran – pameran, para pemilik kebijakan, lembaga pendidikan seni atau lembaga pemerintah, para dealer dan broker, para pemilik rumah lelang hingga para kolektornya. Praktek seni (rupa) modern di wilayah
lain, sebagai suatu konstruksi dari barat dalam hal ini praktek yang muncul dari proses kolonialisme dan transformasi menuju kemunculan sebuah bangsa yang membayangkan serta mengartikulasikan makna keberadaan dirinya (self) ditengah bangsa-bangsa lain di dunia, men-
kemudian diadaptasi melalui lembaga-lembaga kolonial abad 19 hingga awal abad 20, yang didirikan ditanah jajahan. Kemudian terjadi proses ‘peniruan’, penyetaraan atau mimikri yang menghasilkan nilai-nilai campuran antara apa yang diserap dari kolonialisme maupun dari pertukaran-per-
priasi atau mimikri kemudian menjadi strategi atau kendaraan untuk membentuk opini maupun pendekatan pada pemikiran baru terhadap cara pandang kolonial. Didalam proses ini tentu terjadi perlawanan-perlawanan, perdebatan ditingkat pemikiran, imajinasi politik maupun praktik- praktiknya, termasuk seni rupa. Negasi, dialog-dialog maupun negosiasi ini justru terjadi ketika bangsa-bangsa ini telah melepaskan diri dari sang penjajahnya, dan berhadapan diantara mereka sendiri, sebagai pergolakan didalam internal tubuh komunitas-komunitas terbayang. Oleh karena itu proses modernitas bangsa-bangsa pasca – kolonial di wilayah Asia Tenggara terjadi hampir serentak, namun sekaligus tak merata. Menjadi suatu perkembangan yang dinamis ditingkat pemikirannya dan menarik bila dilihat dari sisi praktik seni rupanya. Perkembangan Awal : Gagasan Modern
jadi menarik sekaligus problematik dan berbeda dengan bangsa – bangsa yang justru membidani pemikiran modernisme . Alih-alih kemodernan bangsa Asia Tenggara penuh paradoks dan ironi, kebangkitannya justru berutang pada para penjajah dari Eropa maupun Amerika yang
tukaran informasi dan pengetahuan yang semakin melebarkan cakrawala dengan nilai-nilai lokal yang berlaku didalamnya. Hingga kemudian terjadi proses penyesuaian-penyesuaian terhadap nilai-nilai yang diadaptasinya. Apro-
Perkembangan pranata seni rupa menjadi suatu contoh dan mungkin sebuah model produksi dan makna dalam seni dikonstruksikan ke dalam kehidupan masyarakatnya. Saya akan mengambil contoh perkembangannya di Indonesia sebagai suatu wilayah yang dikuasai dan menurut hemat saya punya sejarah unik, rumit dan juga berbeda dengan perkembangan wilayah Asia Tenggara lainnya, terutama Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja maupun Singapura. Kemunculan praktek seni modern di Indonesia sejak awal melibatkan visi maupun perdebatan-perdebatan
dikalangan pribumi atau bumiputera, terutama dengan munculnya Pujangga Baru dibidang sastera yang kemudian disusul terbentuknya PERSAGI atau Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia dalam bidang seni rupa yang dirintis oleh S. Soedjojono, Agus dan Oto Jaya, dan kawan-kawannya ditahun 1930-an. Walaupun praktik melukis gaya Eropa dan “perlawanan secara diam – diam” telah dilakukan jauh sebelumnya oleh Raden Saleh Syarief Bustaman (1808 (14?) – 1880). Tapi kesadaran yang lantang untuk menentang cara pandang estetika kolonial oleh anggota PERSAGI sangat gencar, dikumandangkan sebagai keyakinan baru dan secara tertulis dikemukakan melalui perdebatan yang lebih terbuka dan terkait dengan perjuangan untuk membentuk bangsa yang mandiri dan bebas dari penjajahan. Alih-alih, PERSAGI menjadi lembaga seniman modern pertama yang menempatkan individualitas yang terkait dengan ideologi nasionalisme awal. Kegiatan PERSAGI , selain menyokong perjuangan menuju kemerdekaan dan pembentukan Republik Indonesia dengan membuat poster-poster maupun ilustrasi yang membangkitkan kemunculan rasa kebangsaan. Aktifitas lain adalah mendidik para pemuda untuk belajar menggambar dan melukis. Diskusi-diskusi mengenai seni diantara mereka pun sering terjadi untuk meningkatkan pemahaman konsepsi dan berkarya. Selain juga menyelenggarakan pameran-pameran yang terbuka bagi publik. Pameran pertama
PERSAGI digelar di ruang pameran di gedung Kolff, Jakarta tahun 1939. Sebuah ruang bekas toko buku milik dan dikelola seorang Belanda yang juga banyak menyokong seniman-seniman pribumi lainnya, seperti Basuki Abdullah. Sedangkan organisasi para pelukis lainnya yang cukup besar dan mapan pada saat itu adalah Kunstkring atau lingkar seni yang menjadi tempat berkumpulnya para pelukis Belanda atau orang-orang Eropa, masih mempraktekan seni lukis Mooi Indie , yang kemudian ditolak oleh Soedjojono dan kawan-kawan.
dilingkungan para intelektual muda pribumi, alih-alih kesadaran perlawanan terhadap kolonialisme . Gagasan-gagasan tersebut diartikulasikan melalui beragam hal; politik, sosial, budaya dan ekonomi. Maka praktik seni (lukis) juga menjadi salah satu ‘media komunikasi’ untuk memproyeksikan identitas yang sedang diwacanakan. Pranata ini terbentuk untuk menggulirkan pemikiran-pemikiran yang berpusar pada perjuangan menebarkan rasa kebangsaan. Ketika invasi Jepang masuk dan berhasil mengusir Belanda kolonial, mereka melalui lem-
Ketika Jepang mundur dan Indonesia memproklamirkan Kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kehidupan para pelukis, terutama para anggota PERSAGI, bisa dikatakan berada pada lingkaran elit para pemimpin bangsa, dalam hal ini Presiden Soekarno yang sekaligus menjadi patron mereka. Soekarno secara
baga kebudayaannya Keimin Bunka Shidoso, pada kurun waktu 1942 – 1945, menghimpun para seniman pribumi, berdiskusi dan menerbitkan tulisan – tulisan tentang kesenian
pribadi menyukai seni lukis, dekat dengan para seniman, dan membeli serta mengoleksi karya-karya mereka untuk kemudian disimpan di Istana Negara, Jakarta. Ketika masa
yang mencari jiwa ke-Timur-an dan menolak pengaruh – pengaruh yang datang dari dunia Barat, membiayai pameran – pameran bahkan keliling kota – kota di Jawa.
Bila kita simak diatas kebutuhan akan sebuah ruang apakah itu ruang aktifitas maupun untuk pameran bagi karya-karya para seniman (modern) perintis menjadi desakan untuk mengartikulasikan diri sebagai seniman Indonesia baru dengan menampilkan watak dan corak yang berbeda dengan para pelukis sebelumnya. Lewat pameran, mereka terbuka untuk memberi kesempatan kepada para pengamat maupun kritikus mengomentari dan memaknai sejauh mana pencapaian konsepsi mereka terhadap watak yang nasionalis atau ke-Indonesia-an. Muncul juga kesadaran bahwa pentingnya peran media massa , kritikus maupun publik sebagai pranata yang terkait dengan proses produksi makna selanjutnya. Pranata seni (lukis) modern awal terkait juga dengan wacana yang sedang berlangsung pada konteks - dalam hal ini - kesadaran pada pemikiran-pemikiran yang menggagas nasionalisme Indonesia yang berada
pembangunan infrastruktur “Indonesia Baru” dimulai, ia secara langsung memberikan pandangan estetikanya. Bekerja sama dengan beberapa arsitek, Soekarno sangat menentukan bentuk rancangan pada gedung-gedung atau monumen yang sesuai dengan konsepsi kemodernan Indonesia. Ia juga mengawasi langsung berdirinya patung-patung publik disekitar ibukota. Alih-alih, visi Soekarno dan rekan-rekan revolusinya, terhadap bangsa dan negara, juga mempengaruhi praktik seni lukis, patung bahkan arsitektur. Estetika seni dan arsitektur, yang mewujudkan sebuah proyeksi terhadap nilai-nilai yang sesuai dengan semangat Indonesia yang baru itu. Dalam kehidupan sehari-hari para seniman, Soekarno menjadi pelindung mereka, bahkan sangat dekat dan intim. Pranata seni rupa modern Indonesia pada periode jaman pendudukan Jepang hingga tahun 1950-an, mengalami pertumbuhan oleh kemunculan perkumpulan seniman atau sanggar-sanggar, terutama di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Koesnadi dalam seminar di Universitas Gadjah Mada tahun 1956, pernah menyebutkan sanggar-sanggar yang muncul sesudah PERSAGI. Antara lain : Di Jogjakarta (ketika menjadi ibu kota Republik Indonesia) tahun 1946, muncul Seniman Muda Indonesia (S.I.M) , didirikan S. Soedjojono bersama Kartono Yudhokusumo, Suromo, Surono, Dullah, Basuki Resobowo, Rusli, Sudibjo, Hendra dan Affandi. Lalu Hendra Goenawan mendirikan, “ Pelukis
Rakjat” bersama Affandi, Koesnadi, Soedarso , Trubus, Amrus Natalsja, dan lainnya. Tahun 1950 terbentuk “ Pelukis Rakyat” yang didirikan oleh Sumitro, Solihin, Koesnadi dan lainnya. Kemudian ada Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) yang diketuai Djajeng Asmoro. Menurut Koesnadi perkumpulan ini bahkan sudah berdiri sebelum SIM didirikan. Tahun 1952 Pelukis Muda Indonesia (PIM) yang diketuai Widayat.
juga kesadaran terhadap kepentingan tumbuhnya kolektor-kolektor lukisan. Galeri atau ruang pamer yang juga cukup bersejarah adalah Balai Budaya di kawasan Menteng – Jakarta. Sebagai saksi terhadap perdebat-
Dari uraian sekilas tentang munculnya kesadaran awal seni rupa modern dari para perintis. Maka kita bisa menarik kesimpulan, bahwa praktik seni modern mengandaikan adanya elemen-elemen penunjang lain diluar
an antara Trisno Soemardjo dengan para seniman muda dari Bandung tahun 1957. Dibeberapa kota di Jogja, Semarang dan Surabaya juga pernah diselenggarakan pameran – pameran lukisan yang meminjam kantor-kantor pemerintah maupun hotel-hotel.
proses penciptaan sebuah karya. Berbeda dengan pranata ketika kegiatan artistik tradisi yang secara sosiologis mengacu pada sistim adat – istiadat maupun tradisi yang berlaku dalam sebuah budaya masyarakat. Kegiatan artistik bagi masyarakat pra-modern mengerucut pada aturan-aturan nilai yang bersumber dari istana-istana kerajaan, mungkin kita bisa menjejaki dalam sejarah tradisi pembuatan Ba-
Di Jakarta Sutikno, Nasar, Zaini, Affandi dan kawan-kawan mendirikan Gabungan Pelukis Indonesia (G.P.I) pada tahun 1948 . Tahun 1955 muncul “ Matahari” dengan ketua Mardian. Di Bandung terbentuk kelompok “ Jiwa Mukti” pada tahun 1948. Dengan ketua pertama Barli dengan anggotanya Mochtar Apin. Sanggar Seniman didirikan kemudian pada tahun 1952 yang didirikan Kartono Yudhokusumo. Pada tahun 1953,didirikan “ Tjipta Pantjaran Rasa” yang diketuai oleh Abedy. Kesadaran akan membangun pranata seni modern sangat jelas diutarakan Koesnadi tahun 1956, bukan hanya tumbuhnya sanggar atau perkumpulan seniman atau akademi seni rupa yang menghasilkan para seniman secara massal dan sistematik. Seperti dibukanya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Jogja atau sekolah guru gambar di Bandung (ITB) tahun 1950. Tapi juga gagasan tentang museum Modern, museum seni rupa sejarah, Museum-Museum tokoh Individu, ruang-ruang pameran, Penerbitan buku-buku dan majalah, kartu pos, kalender, dan perfilman. Bahkan muncul
Pranata Seni Rupa Modern Pasca Revolusi
tik. Bahkan pada masa kolonial, dunia artistik mengacu pada struktur sosial yang berlaku juga. Raden Saleh mungkin contoh khusus bagaimana situasi pada era kolonial abad 19. Ia seorang pribumi Jawa yang hidup menyendiri ditengah kehidupan mewah para petinggi kulit putih, terputus hubungan sosial dengan sesama bangsanya. Apalagi lukisan-lukisannya yang condong merujuk ke Eropa klasik yang membuat kagum orangorang Belanda hingga mengirimnya ke pusat kerajaan di Amsterdam, dan meninggalkan tanah Jawa selama 24 tahun. Hidup nyaman dalam kungkungan sang patronnya. Mungkin tak ada dalam imajinasi bahwa ada sebuah bangsa dan negara yang bebas dari penjajahan. Walaupun kemudian ia menemui kenyataan bahwa dirinya berbeda dengan orang Eropa dan mulai muak dengan perilaku bangsa putih ketika ia melihat sebuah lukisan adegan tentara Hindia Belanda menjebak sang Pangeran Jawa: Diponegoro dalam sebuah perundingan di Magelang tahun 1825. Ambivalensi seorang Saleh adalah kemenduaan dalam melihat dirinya dan lingkungannya. Tak ada ruang artikulasi secara fisik, hanya lewat lukisan-lukisannya sebagai imajinasi, ia mewujudkan kegelisahannya. Terbungkus dan menyembunyikannya dalam balutan citra lukisannya yang apik. Bandingkan dengan masa perintisan seni lukis modern ketika memulai, para seniman bersama - sama politisi, pemikir, bergerak bersama secara
kolektif untuk mencapai satu tujuan. Walaupun kemudian hari terutama sekitar 1950-1960-an banyak kelompok-kelompok seniman beraliansi dengan partai-partai politik. Namun suasana medan sosial seni rupa sangat dinamis, terutama menyangkut wacana yang terkait identitas ke-Indonesia-an. Pranata terutama ruangruang pameran seni rupa modern sebagai wilayah artikulasi para seniman saat ini selalu berhubungan dengan perkembangan alam pikir yang tengah berlaku (paradigma). Kita bisa melihat bagaimana desakan pikiran seniman muda pada era 1970-an ketika merasa bosan dengan kenyatan seni lukis dan estetika yang dimapankan, yang muncul dari dunia akademi, yang puncaknya mereka bergabung dalam sebuah gerakan dari beberapa kota: Jakarta, Jogja dan Bandung, dan kemudian meretas gagasan Gerakan Seni Rupa Baru (GRSB). Pada pameran pertama mereka tahun 1975 di Taman Ismail Marzuki (TIM) mereka menghadirkan karya-karya yang diluar kebiasaan. Dengan menampilkan karya-karya instalasi, obyek-obyek dari gubahan benda-benda keseharian yang diletakan sedemikian rupa dalam ruang pameran, maupun grafis – grafis yang menyolok mata. Mereka adalah Jim Supangkat, F.X. Harsono, Nyoman Nuarta, Bonyong Muni Ardhi, dan lainnya, mendapatkan perhatian besar dari publik seni, karena mengeluarkan pernyataan tentang pandangan artistik mereka yang pada saat itu cukup keras. Mereka mendapatkan banyak tanggapan dari berbagai pihak, baik
yang mendukung maupun yang menentangnya. Di sini fungsi ruang berkesenian seperti TIM menjadi cukup penting keberadaanya. Lembaga yang didirikan
pada masa (Alm.) Ali Sadikin sebagai gubernur DKI. Jakarta, pada tahun 1968 , diatas tanah milik Raden Saleh. Peresmian Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) merupakan babak baru dalam sejarah perkembangan kesenian di Indonesia. Mimpi para seniman yang 10 tahun sebelumnya (sekitar tahun 1950an), telah menjadi kenyataan dengan dibangunnya Teater Terbuka, Teater Tertutup, Teater Arena, Ruang Pameran, dan lain-lain, yang melengkapi Pusat Kesenian di Jalan Cikini Raya 73 ini. TIM menjadi ruang yang terbuka bagi para seniman dari berbagai kelompok, bukan hanya bagi karya-karyanya ,tapi sekaligus alam pikirnya, bahkan menjadi ruang bagi eksperimen bagi hal-hal yang baru. Pada tahun 1993-1994, ketika diselenggarakan Bienal IX, TIM pun menjadi arena dimana publik berkesempatan melihat perkembangan praktik serta pemikiran artistik mutakhir. Ar-
tikel-artikel tentang perdebatan dibalik biennal ini, termasuk isu-isu seputar wacana posmodern bisa dibaca luas oleh para pembaca di Indonesia, bahkan hingga sesudah pameran tersebut selesai. Perkembangan ini berawal dari praktik – praktik yang dilakukan, baik di dalam kehidupan kampus maupun kelompok-kelompok kecil. Seperti contoh apa yang dilahirkan oleh Galeri Cemeti di Jogjakarta pada awal dekade 1980an, yang secara intensif dan ekstensif melakukan pemekaran dalam mencari bahasa ungkap artistik. Karya-karya instalasi, drawing, multimedia, performance art, video, site spesifik dan lainnya yang waktu itu sulit dilakukan oleh galeri maupun ruang – ruang pameran lainnya, bisa terakomodir dalam ruang pamer ini. Cemeti menjadi lingkaran yang semakin melebar, bukan hanya mencakup perkembangan seni rupa di Jogjakarta, tapi dengan terbentuknya Yayasan Cemeti, kota Jogja kembali menjadi “hotspot” bagi perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia. Kemunculan ruang seni seperti Cemeti secara tak langsung menjadi bentuk reaksi para seniman atas gejala pasar terutama terjadinya booming pasar seni lukis di pertengahan 1980an, dimana seperti diisyaratkan oleh (alm) Sanento Yuliman, telah terjadi ‘pemiskinan’ dalam seni rupa. Alih-alih bahwa terjadi kemerosotan kualitas, baik praktik seni lukis yang begitu dominan maupun tema-tema yang digarapnya. Dengan pengelolaan yang dilakukan Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo, wajah seni rupa
Indonesia mulai banyak disorot oleh para kurator maupun organisasi diluar negeri, mengirim para perupa muda Indonesia melalui pertukaran-pertukaran secara alternatif atau tidak melalui saluran-saluran yang resmi atau melalui lembaga pemerintah. Menerbitkan tulisan – tulisan yang diterjemahkan ke bahasa inggris, berupa buku maupun katalog-katalog serta dokumentasi karya-karya para seniman dan peristiwa – peristiwa penting. Apa yang dilakukan oleh Cemeti kemudian menjalar, menjadi inspirasi para kaum muda untuk melakukan hal yang sedikit banyak serupa, namun dalam konteks komunitas-komunitas yang mempunyai lingkaran, ketertarikan atau pengalaman artistik maupun
cara pandang yang baru, katakanlah seperti Mes56, Ruangrupa, Kelompok Taxu maupun Commonroom, dan lainnya. Komunitas – komunitas kecil tersebut menggali kembali potensi budaya populer dan seni media baru sebagai sebuah sumber pemikiran dalam berkarya. Cara pandang yang dibentuk dari ruang-ruang alternatif maupun komunitas – komunitas, bukan hanya memberi kesempatan bagi penciptaan karya yang dilandasi keterbukaan cakrawala, kontekstual, pemikiran yang pluralistik dalam praktik seni rupa modern/kontemporer, tapi juga menjadi contoh bagaimana pengelolaan mutakhir suatu perkembangan seni rupa
masuk ke dalam arena yang lebih luas; medan internasional dalam era-global. Forum-forum seni rupa kontemporer dengan landasan pemikiran seni yang lebih mutakhir, kontekstual menyoroti perkembangan seni rupa di luar pusat Eropa-Amerika di dekade 1990an, menumbuhkan perhatian publik seni dunia pada perkembangan seni rupa di Asia, khususnya India, China dan dari wilayah Asia Tenggara. Seni Rupa kontemporer Indonesia menjadi salah satu pusat perhatian dengan masuknya para seniman dalam pameran – pameran yang dikelola oleh organisasi-organisasi besar di Australia, Jepang, Amerika Serikat, dalam bentuk beragam pameran di ruang – ruang alternatif, museum –museum modern hingga biennale maupun triennale. Sehingga distribusi pengetahuan situasi seni rupa modern atau kontemporer mulai terakses. Gejala ini sangatlah berbeda sambutannya ketika diselenggarakannya pameran KIAS (1991-1992) oleh lembaga pemerintah Indonesia di beberapa kota di Amerika Serikat. Pranata dan Perkembangan Ekonomi Ruang-ruang alternatif dan pemikirannya tersebut diatas menjadi ‘penawar’ dari ruang yang tercipta dari pertumbuhan pasar. Kolektor – kolektor seni lukis yang kian bertambah, seiring dengan pesatnya ekonomi bangsa pada dekade 1980-an. Para kolektor ini bukan hanya secara perseorangan, tapi juga beberapa perusahaan milik negara maupun swasta seperti bank maupun properti mulai mengoleksi karya-karya seni lukis. Para pejabat
penting negara pun sering mengajak rekan – rekan dan lingkarannya untuk membeli lukisan, kala mereka meresmikan pameran-pameran yang marak diselenggarakan di galeri – galeri swasta, maupun milik pemerintah, hotel-hotel berbintang maupun gedung-gedung perkantoran. Muncul juga bidang baru seperti para dealer seni lukis yang menyuplai karya-karya pelukis, terutama karya-karya lukisan dari seniman yang telah wafat, seperti Soedjojono, Affandi, Hendra Gun-
awan, dan lainnya. Disisi lain perkembangan pasar komersial seni lukis akhirnya memberikan dorongan pada segelintir kolektor dan seniman untuk mendirikan museum-museumnya. Seperti kolektor besar Oei Hong Djien
di Magelang, Museum Affandi dan Widayat di Jogjakarta, Nu-art yang dibangun seniman Nyoman Nuarta, Museum Barli, museum Djeihan, hingga Selasar Seni Sunaryo di Bandung., belum lagi beberapa museum di pulau Bali. Tapi mungkin bisa kita tafsirkan lain, bahwa kemuculan museum – museum pribadi tersebut disebabkan tak berjalan dan berkembangnya museum- museum yang dikelola pemerintah maupun lembaga pendidikan yang lamban mengantisipasi kebutu-
han tenaga – tenaga bidang manajerial seni. Alih-alih sebagai reaksi atas kekecewaan publik seni terhadap pengelolaan infrastruktur negara yang kian merosot.
Kemunculan ruang-ruang inisiatif dan galeri-galeri seni rupa kemudian makin berkembang dalam dekade terakhir ini. Bukan hanya di Jakarta, Bandung dan Jogjakarta tapi juga merambah ke kota-kota lain seperti Surabaya, Semarang dan Magelang. Gejala ini oleh sebagian pengamat karena ketertarikan para kolektor yang semakin besar untuk membeli lukisan tapi juga diiringi dengan munculnya pasar sekunder. Galagat ini muncul mulai dari krisis moneter yang meluluh lantakan kehidupan ekonomi, lukisan kemudian menjadi benda yang dinilai menguntungkan untuk investasi. Menjadi kolektor pun kemudian bisa mengambil keuntungan, beberapa dari mereka kemudian membuka ruang pamer sendiri. Tapi kita saksikan bahwa ruang-ruang yang diciptakan oleh para pengelola galeri masih terbatas pada pameran karya-karya yang lebih punya daya komersial dalam hal ini lukisan. Walaupun dengan kekuatan modalnya para galeri tersebut mampu membiayai pembuatan katalog dengan baik dan berisi tulisan-tulisan oleh para kurator. Bahkan muncul juga inisiasi para kolektor dan pengusaha untuk membiayai buku – buku monogram seniman hingga bienal , seperti yang diupayakan Yayasan CP yang telah menyelenggarakan Biennale pada tahun 2003 dan 2005. Maka kita juga melihat bagaimana potensi dari pasar terhadap pertumbuhan ruangruang seni rupa. Para kolektor generasi muda pun bertambah, dengan bekal apresiasi , modal dan cakrawa-
la lebih luas dan mengglobal. Pengamat seni rupa, Agus Dermawan T. mengemukakan, bahwa saat ini, kolektor bukanlah orang yang hanya mampu membeli seni rupa dengan uangnya. Udara seni rupa membawa mereka lebih tenggelam dalam atmosfer kesenian. Sebagian dari mereka bahkan melompat lebih jauh. Memperhatikan pasar seni (lukis) saat ini menjadi menarik, karena muncul kesadaran atau strategi ekonomi bahwa sebuah karya seni terdistribusikan dengan baik, bukan hanya secara lokal tapi juga mulai untuk memikirkan dalam lingkup regional dan internasional. Inisiasi – inisiasi yang dilakukan oleh para pengusaha galeri untuk memperluas jaringan pasar seni rupa kontemporer lewat berbagai artfair di mancanegara, pameran – pameran yang bekerjasama dengan galeri-galeri di negara Asia lain terutama China dan Taiwan, penerbitan majalah seni rupa, maupun lelang – lelang yang diselenggarakan oleh Christie’s dan Sotheby’s . Agenda – agenda utama para pengusaha seni rupa ini hampir seragam, bagaimana memasukan karya-karya seni rupa Indonesia kedalam pasar yang lebih luas. Terlebih dengan menguatnya China sebagai salah satu lokasi paling atraktif seni rupa dibelahan dunia. Tetapi “sindrom Sanento” terus membayangi praktik seni rupa saat ini. Bila kita simak banyak pameran terutama di Jakarta dan kota-kota lain, bahkan di mancanegara, dominasi seni lukis terus meningkat. Pemiskinan praktik seni yang dirasakan, dibalik hiruk-pikuk gejala pasar dibuktikan semakin
jarangnya kita menemukan pameran-pameran karya-karya instalasi, fotografi, maupun media – media baru dan alternatif lainnya. Proses apresiasi seni rupa tiba – tiba menyempit dan bergerak cepat kedalam sirkulasi modal yang dikonstruksi oleh ruang-ruang hasil imajinasi pasar. Tak sempat lagi kita merenungi dan memperkaya maknanya apalagi memperdebatkannya. Tapi ruang-ruang datar yang dingin dalam bentuk reproduksi foto tercetak justru bertambah. Katalog-katalog, buku- buku, serta situs-situs internet bergambar mengabadikannya. Sebagai dokumentasi yang akan terus menerus bisa diakses secara luas dan global, menjadi “museum tanpa dinding” yang sementara menggantikan angan-angan munculnya lembaga museum yang diidamkan. Catatan Kaki: 1. Pendapat ini bersumber pada pengamatan sosiolog Perancis Pierre Bourdeu dengan mengemuka konsep “ habitus”. 2. Pendapat ini berutang pada buku Imagined Communities , Benedict Anderson. Diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh penerbit INSIST. Yogyakarta. 2001. 3. Wacana kolonialisme lebih lanjut di kemukakan oleh Homi K. Bhabha. Dalam Of Mimicry and Man: The ambivalence of colonial discourse. Location of Culture. Routledge , London. 1994. Hal. 85 – 86. 4. Istilah”seni” atau “Art” (Inggris) , dalam sastra menurut Jakob Soemardjo baru muncul pada 10 April 1935, dalam majalah kebudayaan Pujangga Baru yang terbit tahun 1933. baca lebih lanjut buku Estetika Paradoks oleh Jakob Sumardjo. Penerbit Sunan Ambu. Bandung. 2006. Hal. 9 – 15. 5. Pada tahun 1857, Raden Saleh melukiskan (kembali) atau menafsirkan ulang drama “Penangkapan Diponegoro” yang
sebelumnya dilukis oleh Nikoolas Pieneman tahun 1847. Lukisan hasi pembacaan Saleh dibuat ketika ia berada di Belanda. Baca juga esai kuratorial On Appropriation. oleh Rifky Effendy. Katalog Galeri Semarang. Juli 2007. 6. Pameran PERSAGI kedua tahun 1947 mendapatkan kritik dari para pengamat seni J. Hopman yang tulisannya dimuat di majalah berbahasa Belanda: Uitzicht. Berjudul: Toekomst van de Beeldende Kunst in Indonesie (Masa Depan Seni Rupa Indonesia). Baca artikelnya yang diterjemahkan oleh Suradji. Serangan balik dilakukan oleh S. Soedjojono dalam sebuah artikel dalam majalah Revolusioner No 4 dan 5. dengan tulisannya berjudul: Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa. Baca Seni Rupa Modern Indonesia, Esai-Esai Pilihan. Disunting oleh Aminudin T.H. Siregar dan Enin Supriyanto. Terbitan Nalar, Jakarta. 2006. Hal. 329. 7. baca artikel Sanento Yuliman. Mencari Indonesia Dalam Seni Lukis Indonesia. Dua Seni Rupa. 8. Secara menarik, Mia Bustam, Janda dari S. Soedjojono menggambarkan pengalamannya tentang hubungan para seniman yang bernaung dalam PERSAGI, maupun pelukis lain: Affandi dan Basuki Abdullah dengan para pemimpin revolusi seperti Soekarno, dkk. Baca buku Soedjojono dan Aku. Karangan Mia Bustam. 9. Koesnadi, “ Sedjarah Seni Rupa Indonesia “ , Kutipan ceramah dari Seminar Ilmu dan Kebudayaan. Universitas Gadjah Mada. 22 Juni tahun 1956. Jogjakarta. Hal. 127 – 141. 10. Sedangkan perguruan tinggi yang kala itu telah memiliki kelas untuk menggambar adalah de Technische Hoogeschool te Bandung (THB) yang didirikan pemerintah kolonial, tahun 1920, atau Institut Teknologi Bandung (sekarang). Namun pelajaran khusus menggambar lebih ditujukan untuk kepentingan teknik sipil. 11. Ceramah Koesnadi, Op.Cit Lihat juga pengantar Aminudin T.H Siregar; Seni Rupa Modern Indonesia dalam Catatan Kecil. Ia menemukan bahwa pada kurun waktu mulai tahun 1940 – 1960-an ada banyak catatan pemikiran yang dituliskan dalam majalah serta surat kabar seperti: Panji Pustaka, Suara Asia, Asia Raya, Cahaya, Siasat
hingga Gelanggang. Baca : Seni Rupa Modern Indonesia. Siregar dan Supriyanto. Op.Cit. Hal. IX. 12. Tradisi mengoleksi karya senilukis Modern dicatat khusus perkembangannya oleh Agus Dermawan T. Mulai oleh Soekarno hingga kolektor – kolektor saat ini. Baca 50 Tahun Dunia Kolektor Indonesia. Menghitung Kontribusi, Menilai Koleksi. Majalah Visual Arts No 22. 2008. Jakarta. Hal. 66-69. 13. Upaya mencari “ Ke – Indonesia-an” dalam perjalanan seni lukis Indonesia, oleh kurator Hafiz pernah dipamerkan dalam bentuk material lukisan koleksi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) , kliping-kliping maupun rekaman audio dari diskusi –diskusi pada kurun akhir 1960-an hingga 1980-an. Baca katalog pameran “ Seni Lukis Indonesia Tak Ada” . Pameran lukisan koleksi DKJ-PKJTIM. Jakarta 2007. 14. Disisi lain, proyek “ identitas nasional “ sebagai bagian dari wacana politik kebudayaan bangsa, yang terus bergulir pada masa awal dan pembangunan fisik, baik di masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto, telah memberikan inspirasi untuk menciptakan kebutuhan infrastruktur yang diejawantahkan ke dalam bentuk lembaga-lembaga seni-budaya yang dikelola dan dikontrol negara melalui saringan – saringan yang dilakukan departemen yang bersangkutan . Bukan hanya di kota-kota dipulau Jawa tapi menyebar ke pulau-pulau seperti Sumatera , Sulawesi dan Bali. Berdirinya Taman Budaya dikota-kota utama di Nusantara mencerminkan kepentingan menjaga budaya dan tradisi lokal ditengah lajunya modernitas bangsa. 15. Lihat situs webnya: http://www.tamanismailmarzuki.com/ 16. Perdebatan ini melibatkan banyak pemikir maupun budayawan, baik yang pro maupun kontra, yang masih sesuai konteks hingga kemudian yang melenceng dari perbincangannya. 17. Cemeti Art House (nama sekarang) banyak melahirkan dan mempromosikan seniman-seniman kontemporer yang ‘ blue chip’ , seperti Agus Suwage, F.X. Harsono, Heri Dono, Agung Kurniawan, hingga Eko Nugroho dan lain lain. 18. Baca artikel Sanento Yuliman dalam Dua Seni Rupa. Kalam. 19. Lembaga-lembaga alternatif yang kurang lebih satu semangat dengan Cemeti bermunculan di beberapa kota pada pertenga-
han 1990-an, seperti di Jakarta Galeri Lontar yang dikelola oleh sastrawan Goenawan Mohammad, dengan memfokuskan pada pengkajian karya seni rupa dengan pemikiran-pemikiran alternatif yang segar dan pendekatan artistik baru. 20. Pameran KIAS konon ditolak oleh museum-museum besar di Amerika Serikat. Pameran tersebut kemudian bisa diselenggarakan hanya di museum –museum etnografi. Hal ini mencerminkan bahwa tak ada pengakuan pada perkembangan seni rupa modern di luar wilayah Eropa-Amerika. 21. Kebutuhan untuk melahirkan ahli-ahli dalam manajerial seni kemudian diakomodir oleh Yayasan Kelola. Mereka bekerjasama dengan pihak-pihak pendana budaya asing seperti Asialink di Australia, Asian Art Council di Amerika Serikat, untuk menyaring dan mengirim pekerja seni untuk mengamati dan belajar di negara-negara tersebut. Program ini di mulai tahun 1999 hingga saat ini. 22. Agus Dermawan T, membagi bom lukisan di Indonesia menjadi IV Jilid. Tahun 1987, 1992-93, 1997-1998, dan 2007. Baca artikel Meniti Selera di Medan Booming. Majalah Visual Arts No 23. 2008. Jakarta. Hal. 26-28. 23. Agus Dermawan T. Visual Arts no 23. Op. Cit. 24. Istilah “Museum Tanpa Dinding” di kemukakan oleh sastrawan Perancis Andre Malraux tahun akhir dekade 1950-an. Merujuk pada perkembangan lanjut kapitalisme cetak, yang membentuk imajinasi atas citra – citra dalam kehidupan masyarakat modern.Di Indonesia Trisno Soemardjo pernah menulis pentingnya dokumentasi bagi karya-karya seniman bagi keniscayaan seni lukis modern yang menyebar luas. Baca artikelnya Dokumentasi Lukisan .Juga tentang Museum Seni Modern yang diidamkan dicatat khusus oleh Ramadhan KH.yang menceritakan pengalamannya mengunjungi MoMa di New York dan museum lainnya di Eropa. Siregar dan Supriyanto. Op. Cit. Hal. 81 dan 275.
HYBRIDIZATION 17 Apr, 2009 - 03 May, 2009 Teks NAS Jaya Ancol Hybridization Hibridisasi (hybridization) dalam konteks globalisasi merupakan terma yang sering digunakan untuk menelaah percampuran budaya yang saat ini sedang berlangsung. Hibrid secara etimologis adalah sebuah gejala bahasa yang mencampurkan satu bahasa budaya dengan bahasa budaya lain. Dalam hal ini bahasa Inggris dengan Yunani maupun Latin. Terma hibridisasi lazim digunakan juga dalam bidang ilmu biologi untuk menjelaskan upaya menyampurkan dua genetik spesies yang berbeda. Dalam praktik budaya seperti dalam bidang musik istilah hibrid mulai dikenal umum karena mengandung lebih dari dua aliran musik berbeda. Mungkin di Tanah Air musik hibrid ini disebut “campursari”, yang mengombinasikan musik dangdut dan techno bahkan identik dengan budaya popular pesisir pantai utara Jawa. Dalam konteks seni rupa, perbincangan seputar hibridisasi diawali dari praktik seni rupa kontemporer di Indonesia terutama ketika dimulai perdebatan posmodern, sejak perhelatan besar Biennale – Jakarta IX di Taman Ismail Marzuki 1993-1994. Kurator Jim Supangkat dalam “Pengantar” mempersoalkan keruntuhan modernisme dan seni modern di Barat, serta kemunculan gejala budaya yang menolak segala keteraturan dan kemapanan yang
dibentuk sejarah seni rupa Barat. Posmodernisme merupakan gejala budaya ketika segala bentuk seni dan budaya-budaya berbaur dan bercampur, hingga pemikiran-pemikiran lokal dan tradisional terakomodasikan lewat ungkapan-ungkapan seni. Hibridisasi seni rupa kontemporer bukan saja berangkat dari pembauran medium dan budaya, tetapi juga bagaimana konstruksi pikiran dan bahasa rupa atau tanda-tanda yang telah bersilang dengan beragam zaman dan praktik-praktik sosial lain. Di Indonesia terutama seni rupa kontemporer dekade 1990-an memang diawali dari suatu perlawanan serta kesadaran baru terhadap kemapanan yang bersifat elite, baik dalam dunia seni (rupa) seperti terhadap institusi (Desember Hitam, maupun Gerakan Seni Rupa Baru pada era 1970-an), tetapi juga terhadap pikiran politik bangsa terutama terhadap rezim penguasa. Persoalan politik bangsa ini dalam sejarah seni rupa modern Indonesia memang telah bergulir sejak para nasionalis perintis mulai membangkitkan kesadaran akan berdiri sebuah republik yang bebas dari penjajahan. Para seniman perintis seperti para anggota PERSAGI terlibat dalam berbagai aktivitas provokasi massa melalui pembuatan pamflet-pamflet sekaligus tercermin dalam karya–karya personal mereka. Karena itu seiring dengan perkembangan zaman, praktik dan pemikiran seni rupa modern di Indonesia, hibridisasi menjadi suatu proses pembebasan diri terhadap dogma-dogma se-
jarah seni rupa Barat (kolonialisme), mempertimbangkan keberadaan sejarah seni rupa modern Indonesia --termasuk pertumbuhan infrastruktunya-memberikan kemungkinan praktik seni yang melibatkan aspek-aspek kehidupan sosial masyarakat dalam pemikiran-pemikirannya, juga dengan mempertimbangkan budaya lokal. Karena itu hibridisasi menjadi proses pemikiran yang tengah berkecamuk dan berlangsung saat ini. Komunikasi dan Idiom
identitas (“Kepribadian Apa?� - PIPA) pada awal 1970-an di Yogyakarta. Haris yang kemudian menghilang dari aktivitas seni dan khusyuk sebagai praktisi perancang grafis, tiba-tiba muncul dengan corak dan watak yang baru. Lukisan seri bayi-bayi bertato mencerminkan kekhawatirannya terhadap masa depan bangsa ini. Secara visual lukisan Haris bermain dengan imaji bayi yang polos , namun bernada ambigu karena tato di tubuh yang mencerminkan beragam ikon-ikon yang mengandung ideologi tertentu.
Kesadaran kolektif para praktisi seni rupa tersebut kemudian menjadi bagian utama narasi sejarah seni rupa, hingga kemudian menjadi pokok pikiran penting dalam karya-karya seni rupa era 1990-an. Kita masih bisa amati hal itu dalam karya-karya Haris Purnomo yang sejak awal terlibat dengan kelompok perupa muda yang memperjuangkan keniscayaan
Strategi visualisasi dan aspek komunikasi ini bisa saja diambil dari cara ia mengolah masalah lewat kepakaran grafis, sehingga gabungan dua aspek ini menjadi daya pikat (enak dilihat) yang kuat dan mengokohkan gagasan-gagasannya. Lukisan Romi Armon merepresentasikan rasa sakit secara psikologis dengan menghadirkan unsur bentuk-bentuk yang keras dan
tajam yang digabung dengan suatu unsur yang lunak, sehingga kontradiksi ini menjadi cenderung sarat dengan rasa muram. Arie Dyanto lewat lukisan-lukisannya memperlihatkan bagaimana unsur-unsur seni jalanan (street art) seperti grafiti, stensil memungkinkan dipindahkan ruangnya ke
Lukisan Irwan Bhagja Dermawan (Iweng) yang sarat dimensi ruangruang virtual lewat gubahan–gubahan teknik yang beragam dan berwatak sureal. Proses berkarya yang menitik-beratkan pada dorongan-dorongan yang spontan dalam mengisi bidang-bidang kanvas. Karya-karya
dalam bidang kanvas. Arie memanfaatkan potensi komunikasi dan artistik jalanan untuk digunakan mengungkapkan pergumulan kehidupan ke dalam ruang yang lebih pribadi.
lukisan Hanafi dengan watak yang lebih abstraksi namun penuh perhitungan mampu berkomunikasi dengan tanda-tanda dalam ruang-ruang sisipan. Karya-karya Heri Dono, secara menarik menggabungkan beragam
aspek dalam penciptaan karya. Bahkan ia mengambil gagasan-gagasan dari budaya lokal dan tradisi seperti wayang dan seni bunyi-bunyian serta pertunjukan. Karya Heri dalam pameran ini menampilkan sosok manusia yang berwajah menyeringai mirip tokoh kartun di atas sebuah kendaraan roda tiga. Di sini kita dihadapkan pada cara ungkap yang juga melibatkan dan menggabungkan elemen dan material dalam metoda penciptaan. Penjelajahan tema-tema dalam karya seni rupa sekarang mungkin hal yang memaksa para perupa untuk menggunakan medium dan idiom yang lebih melibatkan ruang fisik dan psikologi pengamatnya sebagai wahana komunikasi. Karya instalasi Agus Suwage berupa puluhan tengkorak kepala Babi yang diikat di atas sepatu roda, dan Albert Yonathan, menggunakan gabungan medium drawing dan patung keramik secara lugas mengarahkan kita pada persoalan budaya manusia modern. Sebagai suatu metafor serta kritik terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan yang hakiki. Jompet dengan instalasi mekaniknya, menyajikan barisan tentara keraton Jawa tanpa tubuh yang sedang memukul genderang. Melibatkan
suara serta gerak elektronik sehingga menghadirkan suatu kekosongan nilai-nilai dalam sebuah budaya. Yani Maryani dengan instalasi untaian batu yang secara garapan kualitas formal menghasilkan ambian ruang serta gerak dengan sensasi psikologis dalam ruang fisik dan pikiran. Adapun Prilla Tania lewat garapan kain perca yang digabung dengan tayangan video animasi vektor menghadirkan fragmen-fragmen tentang hubungan manusia dengan alam dan ruang sekitar. Karya instalasi Saftari yang berbentuk kumpulan pentol korek api berukuran raksasa bermain dengan skala ruang dan manusia,
sehingga isu-isu terhadap lingkungan memancar dari batang-batang kayu sekaligus mengingatkan kita pada benda keseharian yang kecil dan akrab, namun bisa membawa bencana. Seni (Lukis) dan Kemajuan Teknologi Media
Kehibridan antara dua disiplin; melukis dan komunikasi visual rupanya telah memperkaya metode dalam praktik seni lukis saat ini. Begitupun dengan dunia fotografi, sinema kemudian teknologi digital yang telah turut mengonstruksi “tata-bahasa” visual perupa, menyumbangkan beragam kemungkinan gagasan dan bentuk artistik. Contohlah Andy Dewantoro yang mengambil fragmen dari citra fotografi yang berwatak muram dan enigmatik. Kharisma seni lukis semakin kokoh walaupun telah melalui berbagai ujian atau kritik, baik dari para perupa, pemikir maupun akademisi. Bagi sebagian pelukis, perkembangan teknologi dan media bisa diakrabi, digauli bukan untuk dijauhi dan dicemburui. Tapi bukan berarti mediumnya berubah, cara berpikirlah yang kemudian berbeda. Karya F.X Harsono, sebaliknya, melibatkan perangkat canggih komputer untuk menciptakan karya-karyanya dengan tema-tema yang berpusar pada stigma politik, dan kemudian ia pindahkan ke dalam medium cat minyak dan kanvas atau mencetaknya secara terbatas melalui mesin pencetak yang canggih. Namun banyak juga perupa muda yang hanya memanfaatkan media ini untuk pencarian atau penjelajahan artistik. Dewa Ngakan Ardana mengobrak-abrik citraan bagian-bagian wajah beberapa orang lewat perangkat lunak komputer dan kemudian menyusunnya kembali, digabung bagian-bagian tertentu , lalu membentuk wajah seseorang. Potret diri hibrid ini kemudian ia pindahkan ke atas bidang kanvas. Gejala ini ban-
yak dilakukan oleh perupa-perupa muda terutama yang mencari suatu nilai “kedalaman kulit” . Melukis, dengan demikian, tidak lagi mencari-cari keniscayaan suatu nilai tapi lukisan itu sendiri sebagai suatu wilayah yang sarat persoalan. Ketut Moniarta (Moni), Gede Mahendra Yasa, Agus ‘Kacrut’ Sumiantara ( dikenal sebagai kelompok Taxu) dalam karya-karyanya memperlihatkan ketajaman pengamatan mereka lewat penjelejahan “dunia permukaan” dengan caranya masing-masing. Moni menjelajah dengan tanda-tanda “pocari sweat”. Mahendra yang mendalami persoalan konstruksi citraan sejarah seni dan materi sebagai titik keberangkatan karya-karyanya, dengan mengapropriasi fragmen-fragmen citraan mencoba mengartikulasikan dengan metoda yang baru dan artifisial . Kacrut memeragakan kualitas suatu permukaan di balik medium glass-block sebagai pembeda, sehingga disini kita dihadapkan pada nilai di balik lapisan-lapisan realitas dengan distorsi kasat mata. Karya-karya yang menggunakan medium fotografi dan video juga merupakan ciri yang utama dalam praktik seni rupa kontemporer. Karena dengan medium inilah aspek komunikasi dan konsepsi mampu dimediasikan secara lugas tanpa halangan (analog). Namun dalam perkembangan seperti Indra Leonardi dan Davy Linggar lewat garapan foto-fotonya lebih mengetengahkan persoalan imaji yang puitis dan mengungkapkan hal-hal yang sangat pribadi. Kelom-
pok Tromarama meminjam cara-cara video klip musik dengan animasi yang menjelajah material serta produksi yang hasilnya sarat kejutan visual serta menghibur. Hibridisasi = Strategi Baru Pada dekade 1990-an, muncul ruangruang seni alternatif. Selain memamerkan karya-karya perupa yang lebih muda dengan kecenderungan baru. Kecenderungan ini, selain berupa bentuk-bentuk artistik yang baru tetapi juga dengan idiom-idiom yang bisa melibatkan interaksi publik seperti performance, instalasi, multimedia, juga karya-karya dengan pendekatan-pendekatan yang lebih “membumi�. Lebih jauh perkembangan selanjutnya menghasilkan juga suatu model lembaga seni yang lebih akomodatif terhadap praktik seni rupa pemikiran serta pemahaman khalayaknya. Karya-karya seni rupa kemudian mencair memasuki arena “abu-abu�. Sebagai sebuah karya yang kemudian dihilangkan jarak dengan pemirsanya, sehingga kadangkala karya-karya seperti ini justru keluar dari kebiasaan bayangan khalayak mengenai sebuah karya seni. Karena itu lembaga seperti North Art Space yang berada di tengah-tengah Pasar Seni Taman Impian Jaya Ancol, bisa secara leluasa untuk memperkenalkan kepada khalayak luas terhadap apresiasi yang lebih sesuai dengan kondisi saat ini. Sebagai media apresiasi seni, ruang aktivitas budaya dan sekaligus sebuah hiburan bagi semua kalangan.
Rifky Effendy Kurator
Galeri North Art Space (NAS) Pasar Seni Ancol menggelar pameran kontemporer yang bertajuk “Urbantopia”. Pameran yang digelar pada 24 Oktober sampai 15 November 2009 itu akan menampilkan karya-karya dari para praktisi fotografi. Pameran yang menyuguhkan potret kehidupan masyarakat urban saat ini rencananya akan dibuka Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Budi Karya Sumadi mengatakan, pameran fotografi ini menjadi sebuah representasi guna melihat wajah masyarakat perkotaan di era globalisasi yang mencakup realitas, imajinasi, bahkan impian-impiannya. “Lewat karya para praktisi fotografi akan disuguhkan bagaimana cara pandang mereka melihat masyarakat dan budaya urban saat ini melalui pengamatan yang cermat, sekaligus dengan penuh imajinatif dan olahan artistik,” kata Budi Karya dalam konferensi pers “Urbantopia” di Pasar Seni Ancol, Jumat (23/10). Sebanyak 12 praktisi fotografi akan memamerkan hasil jepretan kameranya dalam “Urbantopia” yang diselenggarakan oleh Rifky Effendy dan Julian Sihombing yang sekaligus berperan sebagai kurator. Pada pameran ini pengunjung akan melihat karya-karya foto kontemporer dari fotografer Agan Harahap, Ahmad Deny Salam, Davy Linggar, Hengki Koentjoro, Imelda Mandala, Jay Subijakto, Jim Allen, John Suryaatmadja, Kemal Jufri, Oscar Motuloh, dan beberapa fotografer lainnya. Selain foto jurnalistik, para pengunjung dapat juga menikmati foto-foto kontemporer lain yang merupakan foto salon, fashion, dan periklanan. Foto-foto tersebut sekaligus menunjukkan gambaran bagaimana fotografi dapat menembus batas antara yang bukan seni dan yang seni, menghampiri suatu pendekatan terhadap konsepsi-konsepsi mutakhir. Kurator pameran, Rifky Effendy, menambahkan, pameran fotografi kontemporer ini ingin mengetengahkan suatu persoalan tentang perkembangan fotografi yang saat ini berperan dalam membentuk budaya masyarakat sebuah bangsa. “Urbantopia juga diharapkan bisa memberikan gambaran besar bagaimana wajah masyarakat perkotaan saat ini,” kata dia. Fotografi, lanjut dia, membawa bukti pada pencapaian peradaban manusia dengan menyebar berita secara akurat serta turut berperan aktif dalam membentuk pengetahuan dunia baru. “Perkembangan dunia digital tak hanya mengisi ruang yang konservatif, tapi juga buka membuka mata masyarakat melalui membuka satu cakrawala baru. Dengan pameran ini, diharapkan masyarakat dapat melihat ruang baru dari sebuah foto,” tukasnya. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Urbantopia, Cara Lain Memandang Sebuah Foto”, https://sains.kompas.com/read/2009/10/23/17190978/ urbantopia.cara.lain.memandang.sebuah.foto.
Pengantar Kuratorial 1 Untuk menghormati mereka, para pendahulu yang telah berpulang: Eddie Kartasubarna, Hildawati Soemantri, Suyatna, Hendrawan Riyanto.
Jakarta Contemporary Ceramic Biennale 2009 In Between Space of Contemporary Art
Seni Rupa dan Praktik Seni Keramik Saat Ini Perkembangan seni rupa kontemporer di wilayah Asia terutama Asia Tenggara, akhir-akhir ini menunjukan suatu gestur yang dinamis. Beriringan dengan gejala ekonomi, sosial-politik, dan budaya masyarakat di wilayah ini, perwajahan seni rupa telah mengalami evolusi yang signifikan, setidaknya sejak awal dekade 2000-an. Globalisasi merupakan suatu kenyataan yang mendorong perubahan-perubahan dalam perilaku artistik dan cara pandang para seniman. Perubahan paradigma dalam memandang sebuah praktik seni rupa tidak lagi berpijak pada keyakinan –keyakinan maupun pemahaman tunggal. Seringkali perubahan-perubahan ini pun menyisihkan atau melemahkan banyak kelompok – kelompok yang tadinya dianggap mapan dan teguh terhadap sebuah ideologi estetik. Tapi disisi lainnya, muncul kesempatan bagi yang tersisihkan atau termarjinalkan sebelumnya, untuk kembali mengisi ruang-ruang kehidupan budaya. Mungkin inilah berkah dari jaman pasca-modern, memecah sesuatu dominasi yang telah menjadi menara gading. Mendesentralisasi pusat yang tunggal menjadi pu-
sat-pusat yang majemuk. Begitupun praktik seni keramik kontemporer, walaupun frekuensi pameran seni keramik di Indonesia tidak seintensif seni lukis, tapi dalam beberapa tahun menunjukan peningkatan terhadap apresiasi seni objek keramik. Ranah seni keramik , adalah suatu perkembangan yang berbeda. Pada perkem-
bangan sejarah seni rupa modern Barat, seni keramik diposisikan sebagai suatu praktik yang dikategorikan dalam craft atau kurang lebih kriya dalam bahasa Indonesia. Praktik seni dengan menggu-
nakan medium yang dianggap telah usang dan dekaden, namun dengan pemikiran – pemikiran baru (modernisme) yang meliputi pemahaman baru pada materi tanah, proses pembakaran dan unsur pewarnaan serta pencarian bentuk. Seni keramik seolah mendapatkan tempat kembali dalam masyarakat modern . Tetapi dalam seni modern, secara hirarki keramik bukanlah medium utama para seniman. Para praktisi keramik tetap jauh dibawah kebesaran para pelukis dan pematung, bahkan mereka menggunakan medium ini untuk mengisi waktu luang. Seperti pelukis Picasso, yang pernah menggarap bidang dan bentuk keramik pottery disebuah studio di Spanyol. Ia menggunakan keramik sebagai salah satu alternatif medium karyanya, memberinya suatu pengalaman estetik baru. Di Indonesia, modus yang sama dilakukan oleh para pelukis seperti H. Widayat maupun Iwan Koeswanna pada dekade 1980-an. Kemunculan seni keramik modern di Indonesia, lewat berdirinya studi jurusan seni keramik di Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB tahun 1963. 1) Memberikan peluang bagi para mahasiswa untuk mempelajari secara akademik mengolah membentuk dan proses materi tanah liat hingga menjadi keramik. Relevansi pendirian studi seni keramik adalah untuk memenuhi kebutuhan bentuk ekspresi seni dengan materi yang khusus. Kaitan ini dengan suatu kenyataan bahwa budaya pembuatan tembikar/gerabah atau keramik yang menyebar luas di-
tiap penjuru dunia, sejak ribuan tahun dan terus mengalami perkembangan. Hingga muncul revolusi industri di Eropa, keramik mengalami industrialisasi, tetap diproduksi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Seperti industri ubin, perlengkapan domestik hingga teknologi. Begitupun dengan benda-benda seni maupun dekora-
si, keramik masih tetap mendapat tempat. Dalam budaya masyarakat di Asia, keramik mempunyai tempat yang lebih luas bahkan dalam beberapa hal sangat penting, berkaitan dengan fungsi maupun ritual . Hal ini juga mencerminkan bahwa keter-
sediaan bahan tanah lempung dan bahan lainnya menjadi salah adanya budaya keramik. Alih-alih bahwa bagi beberapa budaya, seperti China, Persia, Jepang , keramik telah menyatu dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu bagian identitas budaya mereka. 2)
Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) atau Insitut Kesenian Jakarta (IKJ) sekarang, pada tahun 1976. 4) kemudian beliau pergi ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi sejarahnya hingga mendapat gelar doktor dengan penelitiannya mengenai gerabah Majapahit di Trowulan. 5)
Beberapa Aspek dalam Praktik Seni Keramik Modern di Indonesia Dalam perjalanan kemudian, perkembangan seni rupa modern bertumpu pada munculnya perguruan tinggi. 3} Begitupun dengan seni keramik (FSRD-ITB) di Indonesia, memunculkan lulusan yang kemudian diserap oleh industri keramik maupun pusat pengembangan keramik maupun membuka studio yang memproduksi benda-benda domestik yang jumlahnya terbatas. Hanya beberapa dari mereka yang kemudian membuat karya individual dan memamerkannya, seperti Hildawati Soemantri (Alm) Lengganu dan Bambang Prasetyo, pada dekade 1970-80-an. Karya-karya mereka bercorak sangat modern dan menciptakan bentuk-bentuk yang sama sekali tidak mengikuti tradisi keramik pottery.
Di IKJ, Hildawati menghasilkan nama-nama pekeramik yang juga para
Karya-karya mereka mencerminkan semangat yang lebih individual serta menghadirkan bentuk-bentuk cenderung abtsrak – formalisme. Hildawati seperti, yang dikemukakan penulis Carla Bianpoen, pada tahun 1976 pernah menghadirkan sebuah karya instalasi keramik, maka ia tak berlebihan menjuluki Hildawati sebagai ibu seni keramik modern Indonesia. Hildawati juga yang membuka studio keramik di
muridnya, seperti (Alm) Suyatna dan Lidya Poetrie. Suyatna kemudian melanjutkan studi keramik di negara Jepang dan mendalami tradisi pembuatan keramik Jepang yang sudah sangat lama dan mendapat tempat khusus dalam kehidupan masyarakat
disana. Suyatna kemudian mendirikan studio keramik di daerah Tangerang dan juga sesekali mengajar di IKJ. Karya-karya keramik Suyatna cenderung berwatak lebih dekat dengan tradisi pottery, namun secara teknis memutar dan pengglasiran (proses pewarnaan) karya pottery Suyatna lebih ekspresif dalam artian mengadaptasi teknis dan metoda
keramik tradisi Jepang seperti keramikus legendaris Shaoji Hamada. Perilaku ini baginya menjadi proses yang individual, dari mulai mengolah
tanah lempung, bahan glazir dan tungkunya. Pekeramik lain yang menonjol dan dikenal luas masyarakat seni Indonesia adalah F. Widayanto. Lulusan studi keramik di ITB ini bermula dari membuka studio yang membuat benda perabot keramik yang unik. Kemudian ia memamerkan patung-patung keramik yang didasari dari tokoh-tokoh mitologi pewayangan Jawa. Widayanto adalah pekeramik yang paling sering melakukan pameran secara berkala dan juga menampilkan karya-karya yang tematik sepanjang dekade 1990-an dan 2000-an. Kemampuan artistiknya dalam mengolah figur dari lempung dan penerapan glasir, menjadikannya sebagai seniman yang mampu mengggabungkan antara ekspresi budaya Jawa dengan semangat modern yang menyentil. Pada dekade 1990-an, pekeramik Liem Keng Sien membuka pendidikan non-formal atau kursus keramik di rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Kengsien yang belajar keramik di Belgia dan mempunyai ketertarikan yang khusus, terutama terkait dengan bahan-bahan alam yang tersedia di Nusantara. Idealismenya ini selalu tercermin pada karya-karyanya, seperti penggunaan warna – warna, mineral dan tanah lempung. Murid-muridnya diberi dorongan untuk membuka studio dan berupaya untuk menjadi mandiri sebagai seorang pekeramik. Mereka yang kemudian berhasil dan menjalankan studio adalah Evy Yonathan, Ira Suryandari dan Nia Gautama.
Kemunculan banyak studio keramik pottery maupun individual terjadi pada akhir dekade 1990-an. Apakah dari kursus hingga jebolan perguruan tinggi seperti ITB, ISI Jogja dan IKJ,
saya mencatat bahwa mereka pada saat itu lebih mudah mendapatkan perlengkapan atau sarana. Pada saat ketika para pendahulu memulai, perlengkapan seperti tungku pembakaran, tanah lempung, bahan glasir dan lainnya terbilang cukup langka. Mereka harus memesan dari luar negeri atau merakit sendiri dengan menggunakan bata tahan api untuk pembakaran suhu tinggi berbahan bakar minyak tanah atau so-
lar. Kemudahan tersebut adalah dari upaya beberapa orang untuk mencoba membuat tungku dengan bahan bakar elpiji dan portable. Salah satunya adalah Asmudjo Jono Irianto, yang juga berprofesi sebagai dosen, seniman dan kurator. Tungku – tungkunya banyak dipesan oleh para praktisi muda karena harganya terjangkau dan juga ringan. Sehingga untuk membangun sebuah studio keramik, tak butuh lahan luas, cukup diperumahan penduduk biasa dan tanpa polusi. Bahan-bahan untuk membuat tungku, ia dapatkan dari sumber-sumber yang ada disekitarnya, seperti dari para supplier untuk produsen keramik yang berskala industri besar. Begitupun dengan persediaan bahan pewarna dan campuran lainnya yang bisa langsung digunakan, menjadi pendukung yang utama praktik seni keramik. Seni Keramik Kontemporer. Pada dasawarsa 1990-an, suasana seni rupa Indonesia memasuki masa – masa yang penting. Selain isu-isu mengenai budaya pasca – modern mulai dilantunkan juga diiringi berbagai peristiwa seni rupa yang cukup berbeda. Seperti pameran seni rupa negara-negara Non Blok di Galeri Nasional , juga pada akhir tahun 1992, terselenggara Biennale Jakarta ke IX. Pertama kali, kurator Jim Supangkat memamerkan puluhan seniman yang berkarya dengan idiom instalasi, media campur, media baru dan lain sebagainya. Pameran ini seolah mengingatkan kembali pada apa yang terjadi dalam dasawarsa tahun 1970-an, dimana Jim Supangkat dan rekan seniman lain
mengadakan pameran yang menggugat elitisme seni rupa. Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB), dalam catatan (Alm) Sanento Yuliman, membuka kesadaran baru pada praktisi seni rupa pada gagasan tentang seni lingkungan, instalasi, penyerapan seni populer, dunia komersial dan media massa, pelibatan seni ke dalam masalah sosial dan lingkungan hidup. Kecenderungan karya-karya mereka mencakup pula eksperimentasi terhadap berbagai bahan, teknik serta bentuk yang semula tak lazim, atau kita lihat, dalam ungkapan seni rupa. 6) Di studio keramik ITB, semangat ini menular pada para mahasiswa tingkat akhir. Karya instalasi tanah lempung Andar Manik, kala itu mahasiswa studio keramik. Membuat kesadaran baru pada para mahasiswa lain bahwa persoalan perwatakan materi dan waktu menyangkut lempung kemudian pengeringannya, dibiarkan retak dan berjatuhan dari dinding bisa menimbulkan suatu gagasan karya. Perilaku seperti ini tentu saja bertentangan dengan kaidah – kaidah konvensi seni keramik, dimana proses pembakaran menjadi salah satu aspek yang paling penting. Namun karya-karya diluar jalur konvensi seperti Andar Manik, banyak didemonstrasikan dikemudian hari oleh para mahasiswa keramik. Seperti Titarubi yang menggabungkannya dengan seni pertunjukan, membiarkan patungnya terjatuh dari batu es yang meleleh, sebagai pedestal patung keramiknya. Penggabungan antara ritual tradisi dalam budaya masyarakat dan ek-
spresi seni rupa modern di sajikan oleh seniman dan juga dosen seni keramik dari ITB, (Alm) Hendrawan Riyanto (1959 – 2004). Karya-karya beliau selain berupa karya-karya tiga
dimensional dari tembikar dengan konstruksi bambu, seringkali menggabungkannya dengan seni rupa pertunjukan (performance art) yang cenderung mirip ritual seorang shaman (kurang lebih berperilaku mirip dukun). Dengan berbekal pemahaman formalisme yang tinggi, Hendrawan mampu mengolah objek-objek berbahan gerabah yang diikat dengan
kawat – yang ikut dibakar, sehingga muncul retakan-retakan yang spontan akibat proses deformasi alam, namun tampak harmonis. Puncaknya, ketika ia menyuguhkan sebuah patung ker-
bau berukuran sebenarnya dengan bahan gerabah tanah merah. Dalam karya-karya Hendrawan, ia sering mengajak kita untuk kembali merenungkan tradisi dan nilai budaya timur. Namun dengan cara dan bahasa yang lebih puitis. Karya-karya yang saya sebutkan terakhir rupanya menghantarkan praktik
seni keramik pada wilayah abu-abu atau arena dimana persilangan tanda-tanda budaya dan bentuk-bentuk seni saling menyambung dan bertukar identitas, menjadi cerminan seni rupa pasca modern. Alih-alih terjadi proses hibridisasi dalam budaya dan seni sekaligus memberi peluang bagi para praktisi keramik untuk lebih luas berekspresi. Walaupun beberapa kelompok atau komunitas masih melihat posisi seni keramik masih terlalu kecil dan belum menorehkan sejarah yang panjang dalam percaturan seni rupa. Namun secara berangsur, kepercayaan diri para praktisi sekarang ini tampaknya semakin mantap terutama bagi para perupa muda. Justru karena memang posisinya yang “marjinal” itulah, beberapa dari mereka tak lagi mengacu pada suatu pandangan tunggal serta sangat aktif menyelenggarakan pameran seni keramik, baik di dalam maupun diluar negeri. Seni keramik kontemporer berada diantara wilayah – meminjam istilah Sanento : ‘seni rupa atas dan seni rupa bawah’. Sebagai praktik seni ia mengandung elemen-elemen yang dibentuk oleh budaya modern dan model akademinya.Tapi juga sekaligus masih menggunakan materi dasar dan metode yang merujuk pada tradisi panjang pembuatan keramik. 7) Biennale Keramik Kontemporer. Dalam penyelenggaraan biennale keramik pertama di Indonesia ini, ada beberapa hal yang mendasari. Pertama adalah eskalasi aktifitas pameran seni rupa kontemporer dalam beberapa tahun terakhir ini, memberi ruang bagi
karya-karya objek dan patung dengan medium keramik, baik sebagai medium utama maupun sebagai elemen dalam karyanya. Lalu kedua adalah munculnya pemikiran dan pemahaman baru terhadap dunia seni rupa dan praktisi seni keramik. Forum-forum internasional seni keramik di Asia bermunculan, terutama di Taiwan dan Korea, begitupun interaksi diantara seniman keramik yang semakin intens seiring dengan kemudahan informasi
dan komunikasi. Sehingga mereka semakin sadar bagaimana berhadapan dengan medan sosial (kapital) seni rupa saat ini, baik dalam konteks lokal, regional maupun internasional. Ketiga, keberagaman bentuk idiom seni keramik yang luas akan masih terus berkembang dan juga menjadi potensi bagi publik untuk mengapresiasi lebih jauh, bagaimana dunia keramik ber-
makna pada aspek kehidupan sebuah budaya masyarakat saat ini. Gagasan untuk membuat sebuah pameran keramik dengan cakupan yang besar, pernah digagas oleh para pendahulu seperti Hildawati, Suyatna, Liem Keng Sien. Beberapa kali terselenggara sebuah pameran besar keramik, khususnya di Jakarta, seperti pameran keramik muda Indonesia di Galeri Nasional yang juga dikuratori
oleh Asmujo J. Irianto dan Nurdian Ichsan tahun 2004. Pameran ini seolah menguak potensi para perupa keramik muda, dengan karya-karya mereka yang membebaskan diri dari batasan-batasan seni keramik pottery bahkan terhadap nature medium itu sendiri. Maka Jakarta Contemporary Ceramic Biennale (JCCB) # 1 ini bakal menjadi suatu momentum sebagai
perhelatan yang berskala besar dan berkala dua tahunan, bagi para praktisi serta pemerhati seni terutama seni keramik. Bukan hanya di tanah air, tapi juga dalam peta seni rupa di Asia tenggara dan Internasional. Penyelenggaraan pertama JCCB #1 diikuti para praktisi keramik dari beberapa kota di Indonesia, Singapore, Malaysia, Thailand, Phillipine, Belanda, Italia, Amerika Serikat serta Australia. Karya – karya keramik yang disuguhkan mempunyai keragaman latar : seperti karya yang berbasis pada tradisi pottery seperti karya Ahadiat Joedawinata , Hadrian Mendoza (Phillipina) dengan bentuk botol-botol bakaran kayunya, Mohd Roslan Ahmad (Malaysia), Endros Sungkowo, A.A Ivan W.B., Marcello Massoni – Michella Foppani – Hillary Kane dari Gaya Ceramic Centre – Bali, dengan bakaran rakunya. Kelompok karya-karya dengan bentuk objek patung disuguhkan oleh F. Widayanto, Noor Sudiyanti, Endang Lestari, Kang Sri Hartono, Lie Fhung, Ira Suryandari, Evy Yonathan, Ika W Burhan, Mirjam Veldhuis (Belanda), Shamsu Mohamad (Malaysia) , Umi Baizurah (Malaysia) dan Krisaya Luenganantakul (Thailand) yang menyuguhkan gestur penjelajahan dan olahan patung-patung keramik dari ekspresi dunia personal. Kecenderungan menyusun instalasi disajikan oleh Albert Yonathan dengan konfigurasi bentuk – bentuk figur kontemplatifnya. Begitupun karya instalasi lain, seperti Ponimin, Taufiq Panji Wisesa, Tisa Granicia, Nia Gautama serta Nadya Savitri,Titarubi dan
dua pematung non keramik seperti karya Wiyoga Muhardanto dan perupa Handiwirman Saputra. Dengan pembentukan mulai dari cetak dan handbuilding, bahkan menggabungannya berbagai metode dan materi lain. Permukaan tanah lempung yang dimanfaatkan untuk menggambar dengan menoreh disajikan oleh karya –karya Ferry Pharama dan Harry Mahardika. Nurdian Ichsan menyajikan karya instalasi terakota yang interaktif dengan para pengunjung. Sedangkan karya Herra Pahlasari dan Tromarama menyajikan karya-karya video dengan rangkaian objek keramik industri. Mereka masing-masing menyajikan narasi kehidupan dari koridor bendabenda keramik domestik keseharian. Dari karya-karya dalam bienale keramik ini diharapkan publik bisa mengapresiasi bagaimana keberagaman dan keluasan seni keramik sekarang. Baik dalam lingkup praktik art craft (kriya seni), hingga seni konseptual dan media baru. Diharapkan JCCB ini akan menjadi agenda baru dalam peristiwa budaya di kota Jakarta dan tanah air. Dengan dukungan dari North Art Space dan Jaya Ancol, JCCB juga akan mengukir sejarah baru bagi perkembangan seni rupa Indonesia di tengah percaturan seni rupa dunia. *** Footnotes: 1.http://www.fsrd.itb.ac.id/?page_id=3. Studio seni keramik didirikan oleh Prof. Eddie Kartasubarna. 2. http://en.wikipedia.org/wiki/Ceramic_art 3.Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman. Di edit oleh Asikin Hasan. Yayasan Kalam.2001. Jakarta Hal. 59. 4. http://id.wikipedia.org/wiki/Institut_Keseni-
an_Jakarta 5. http://www.javafred.net/rd_cb_9.htm 6. Sanento Yuliman. Op.Cit. Hal. 60. 7. Sanento Yuliman, Dua Seni Rupa. Op. Cit. Hal 23 – 28.
Pameran Inaugurasi Lawangwangi January 22nd 2010 - February 22nd 2010 HALIMUN, the mist Sebuah refleksi perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia Yogie Achmad Ginanjar, Cecep M.T., Guntur Timur, Dikdik Sayahdikumullah, Willy Himawan, Radi Arwinda, Wiyoga Muhardanto, Beatrix, Tromarama, Dadan Setiawan, R.E. Hartanto, Tisna Sanjaya, Cinanti ‘kenny’ Johansyah, Prilla Tania, Nurdian Ichsan, Nadia Savitri, Tisa Gracinia, Albert Yonathan, Desziana, Monika Ary Kartika, Hari Cahaya, Herra Pahlasari, Arin Dwihartanto, Tommy A.P., Iman Sapari, Yusuf Ismail, Isa Perkasa, Deden Sambas, Adhya Ranadhireksa, Irman, Faisal Habibi, John Martono, Hilman Hendarsyah, Anggara, Mella Jaarsma (Commissioned), Made Widya Diputra (Commissioned), Kadek Agus Mediana, Suklu, Gde Mahendra Yasa, Ketut Moniarta, Dodit Artawan, Agus Sumiantara, Teguh Ostenrik (Commissioned)
HALIMUN Sebuah refleksi perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia Eskalasi : Medan Sosial (Kapital) Seni Rupa Dalam tiga tahun terakhir, dunia seni rupa Indonesia mengalami perkembangan yang siknifikan. Dalam artian meningkatnya aktifitas penyelenggaraan pameran-pameran dan transaksi yang sebabkan peningkatan gairah pasarnya. Gejala ini disebabkan oleh beberapa faktor, terutama perkembangan seni rupa China kontemporer sejak 10 tahun belakangan yang menghentak mata publik seni dunia termasuk publik di tanah air. Menjadikan Beijing dan Shanghai sebagai kota pusat seni di Asia, dengan meluncurkan seniman-seniman yang banyak mendapat sambutan para kritikus dan kurator serta kolektor internasional. Harga-harga karya seni rupa kontemporer China – menyusul kemudian dengan India- yang kian meroket di lelang-leleng di Eropa dan Amerika membuat seni rupa di wilayah Asia mulai dipertimbangkan. Maka sebagai alternatif, menjadikan wilayah perkembangan di Asia Tenggara, terutama karya-karya dari Indonesia sebagai suatu potensi baru bagi publik seni internasional. Sebaliknya , ditanah air gejala diatas dimanfaatkan oleh beberapa galeri dan balai lelang, baik lokal maupun internasional, sebagai kesempatan untuk mempromosikan seni rupa Indonesia. Harga karya seni rupa kontemporer China yang sangat menjulang, menjadikan harga-harga
karya seni Indonesia serta-merta ikut terangkat. Art Fair yang diselenggarakan di berbagai negara Asia seperti Singapore Art Fair, China International Galleries Exhibition (CIGE)-Beijing , Sanghai Art Fair dan ShContemporary di Shanghai, ArtHongkong, menjadi ajang bagi para kolektor dan art dealer internasional untuk melihat dari dekat potensi karya-karya seni Indonesia. Maka sejak tahun 2006-an para galeri di Indonesia juga mulai aktif mengikuti perhelatan semacam ini. Dimedan sosial (dan kapital) seni lokal, perayaaan ini beresonansi, selain dengan lonjakan harga – harga karya-karya di lelang tapi juga ditandai dengan munculnya balai-lelang lokal dan galeri-galeri baru. Seperti balai lelang Borobudur, Sidharta Auction, dan hingga baru-baru ini juga masih muncul balai lelang baru. Galeri-galeri menjamur seperti Vivi Yip Art Room, ARK, Sigi Arts, El – Canna, O’House, Artsphere, Rumah Roepa hingga The PEAK yang berdomisili di Jakarta. Galeri Tujuh Bintang, Roomate dan Sangkring Artspace di Jogjakarta, dan beberapa galeri di kota lain. Tak ketinggalan para kolektor yang semakin antusias mendatangi setiap studio seniman pembukaan pameran , artfair atau lelang-lelang. Lingkaran mereka semakin membesar dan umur para seniman yang masih relatif muda. Semuanya menambah kegairahan dan kedinamisan medan sosial maupun kapital seni rupa Indonesia. Saya menambahkan dengan tambahan ‘kapital’ untuk melengkapi istilah medan sosial seni yang diajukan al-
marhun Sanento Yuliman sebagai pengganti art world dalam bahasa Indonesia. Aspek munculnya peran kapital ini diisyaratkan oleh sosiolog Pierre Bourdieu (1930 – 2002), yang mengemukakan tentang sebuah nilai karya seni pada era modern akhir, dimana seringkali terjadi hubungan – hubungan produksi nilai antara elemen didalam art world. Nilai – nilai kultural dan kapital sebuah karya seni juga ditentukan juga oleh hubungan lembaga seperti: kurator, art dealer, galeri, museum, balai lelang, kritikus, media massa serta para kolektor. Kaitan-kaitan ini bagi Bourdeau merupakan jejaring yang produktif dalam suatu lingkaran sosial atau habitus, yang kemudian menciptakan kekuatan sosial – kapital. 1) Perkembangan mutakhir seni rupa Indonesia menunjukan munculnya kekuatan kapital sebagai faktor penting dalam membentuk wajah dunia seni rupa kontemporer. Bahkan menurut catatan beberapa pengamat seni, saat ini seniman berbeda dengan dulu. Berkarir sebagai seniman haruslah punya jaringan agar bisa masuk ke lingkaran konvensi, alih-alih seniman menjemput bola, merapat dengan kurator, galeri, lelang, hingga media massa , secara langsung maupun melalui sarana teknologi mutakhir. 2) Gravitasi medan sosial-kapital seni rupa saat ini, secara langsung dan tak-langsung menciptakan iklim dan arah perubahan yang mempengaruhi praktek seninya. Salah satu paling tampak jelas adalah munculnya mannerism, atau suatu bentuk dan gaya
artistik yang dianggap paling mapan, terjadi dikalangan para perupa dengan kuatnya pusaran pasar. Lukisan dengan corak realisme – baru dan foto-realisme tiba-tiba banyak dipraktekan kembali para pelukis saat ini. Watak seni lukis yang membutuhkan alat bantu optis dan keterampilan melukis realis ini muncul kembali setelah lama
tak menemukan tempat yang kokoh dalam wacana seni rupa. Para pelukis pengusung realisme baru termasuk foto-realisme seperti Dede Eri Supria dan Ronald Manullang pada 1980an atau pasca – Gerakan Seni Rupa Baru, maupun karya-karya seniman hiper-realis seperti Chusin Setiadika-
ra, Melodia , seolah senyap sementara ditelan hingar bingar seni rupa dengan wacana realisme – sosial yang menguasai praktek seni rupa 1990-an. Walaupun tak dipungkiri, perkembangan seni rupa era sebelum reformasi ini, menghantarkan beberapa nama seniman Indonesia di ajang internasional,lewat berbagai pameran
dan biennale maupun triennale dunia. Gemuruh dan perayaan kapital dan pasar seni rupa kontemporer sejak tiga tahun belakangan ini menciptakan wajah seni rupa Indonesia sangat dinamis sekaligus menjadi pengalaman baru dalam sejarah perkembangan.
Untuk pertama kalinya terjadi ‘kolaborasi’ dari berbagai elemen dunia seni dalam memproduksi identitas seni rupa Indonesia. Seiring dengan itu terjadi juga ketidak-menentuan nilai, akibat mati surinya kelembagaan kritik seni dan museum di Indonesia, sebagai salah satu faktor penentu sebuah nilai kultural karya seni. Don Thompson, dalam bukunya The $12 Million Stuffed Shark, mengemukakan bahwa saat ini branding bisa menggantikan penilaian sebuah karya seni. 3) Suasana pasar seperti ini menciptakan suatu lapisan tanda-tanda yang merabunkan, mengecoh dan mengganggu pengamatan kita terhadap kualitas karya maupun pameran terhadap totalitas makna dan wacana filosofisnya. Kondisi ini juga seolah menciptakan kabut atau halimun yang menyelimuti, menyelubungi dan menghalangi pandangan, kita masih bisa melihat tapi membatasi jarak pandang, tergantung dari tebal dan tipisnya lapisan kabut. Analogi “ halimun” ini pernah digunakan (alm.) Sanento Yuliman. Menurut catatan kurator Rizki Zaelani dalam katalog pameran Cabinet of Signs, istilah ‘mistik’ dan ‘halimun’, bagi Sanento punya sisi artikulasi yang lain, yaitu pasar. Makin menentukan praktek pasar dengan logika kapitalisme global sepertinya kini turut menerangkan apa yang disebut soal ‘mistik’ dan ‘halimun’ praktek seni rupa kita saat ini. 4) Stimulus dari negeri Tirai Bambu Kembalinya pesona foto-realisme dan munculnya realisme baru saat ini – tak
pelak- dipicu oleh gelombang besar praktek dan pasar seni lukis kontemporer China yang juga menyedot perhatian para pelaku seni rupa di Indonesia. Pameran-pameran karya seni rupa dari negri Tirai Bambu yang diselenggarakan di Jakarta dan juga beberapa kota lain, mampu memikat masyarakat seni rupa terutama kolektor, apalagi dengan harga-harganya yang meroket cepat, menjadikan
gema perkembangan seni lukis kontemporer China langsung mendapat perhatian dunia. Dengan watak yang banyak meminjam dari perkembangan seni rupa Eropa barat, mereka membangun kharismanya dengan karya-karya berwatak realisme baru seperti gaya pop sinikal hingga foto-realisme, seolah mampu membangkitkan lagi semangat baru dari
gaya dan corak seni rupa modern Barat. Pesona seni rupa China kontemporer membuat banyak kalangan galeri dan art dealer Indonesia ikut berperan dalam menentukan wajah perkembangan saat seni rupa ini. Kritikus Eddy Sutriono pernah mengangkat gelagat ini pada tahun 2006 disebuah majalah seni. Menurut catatannya, setelah pameran para pe-
lukis China avant garde yang diselenggarakan oleh Edwin Gallery di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta pada tahun 2003. Bersamaan dengan itu lonjakan harga-harga mulai terasa disana, sehingga para kolektor mendapatkan gain atau keuntungan yang cukup besar diarena secondary market. Kemudian langkah Edwin, disusul oleh banyaknya para
galeri untuk ikut serta ‘menjajakan’ seni lukis kontemporer China seperti Vanessa Art Link, Galeri Semarang, Nadi gallery, CP artspace dan Linda Gallery. Bahkan menurutnya, adanya pasar bagi lukisan China kontemporer di Indoensia, membuat galeri dari luar negeri seperti Art Seasons buka cabang di Jakarta. 5) Serbuan seni rupa kontemporer China dengan latar suatu gerakan ekonomi raksasa sebuah negara komunis ini, membuat publik seni Indonesia terperangah sekaligus gelisah. Dalam waktu singkat mereka disana sudah banyak dikenal masyarakat dunia, dipamerkan banyak museum di berbagai negara Asia, Australia, Eropa dan Amerika. Padahal banyak pengamat mengatakan bahwa secara perkembangan, para seniman Indonesia tak kalah menarik bahkan para perupa China dan Indonesia sering bertemu dalam satu arena di panggung-panggung internasional pada awal mereka berkiprah. Namun kemudian, dalam beberapa waktu terakhir, muncul perubahan arah dalam medan pasar seni lukis. Seiring dengan eskalasi harga yang melonjak semakin tak terkendali, serta kejenuhan kolektor dan pengamat seni Indonesia terhadap karya seni dari China, banyak kolektor dan art dealer berputar arah untuk kembali mengoleksi dan mempromosikan karya seniman dari Indonesia. Para perupa Indonesia rupanya – secara langsung dan tidak- disadarkan oleh gemuruhnya seni rupa kontemporer China. Terutama bagaimana
keseriusan para perupa China untuk menembus dunia. Kurator dan kritikus Aminudin T.H. Siregar (Ucok) pernah mencatat bahwa, di sebuah pasar global saat ini tidak peduli dari mana seseorang itu berasal. Sejarah keberhasilan seniman China di Amerika membuktikan hal tersebut. Mereka tidak memulai perkenalannya semata dengan sebuah identitas negara-bangsa. Justru memulai dengan keterampilan seni diatas rata-rata, mengemukakan isu-isu yang mudah dicerap serta temuan estetik yang canggih, bahkan dengan kepercayaan diri yang besar dan nyaris nekat. Para seniman itu tidak terjebak dalam ‘kecengengan eksotik’. Situasi sosial-politik yang terjadi di negara China, tidak dijual dengan sikap keras kepala. Tapi ditertawakan, atau menyulapnya dengan demonstrasi teknik atau merenungkannya sebagai wahana filosofis. 6) Corak-corak lukisan dari China seolah ramuan mujarab bagi sebagian pelukis dan galeri di Indonesia untuk dicoba dihantar sebagai lukisan yang paling mutakhir dan digemari banyak kolektor. Banyak pelukis tiba-tiba berubah gaya dengan lukisan realisme baru dan foto-realisme, menggunakan keganjilan-keganjilan penggambaran potret manusia sebagai subyeknya, menerjang mata, penerapan warna yang lembut dan sapuan kuas yang halus, dan lain sebagainya. De Ja Vu , Wanna Be Perubahan – perubahan secara perlahan tapi pasti, terjadi dalam has-
il karya seniman Indonesia, untuk meyakinkan pada dunia luas bahwa para perupa Indonesia secara budaya mempunyai modal yang lebih besar, dengan keragaman latar belakang dan dengan sejarah seni rupa modern yang unik dan khas. Begitupun beberapa kurator, media massa, galeri dan kolektor mulai menampakan kesungguhannya bekerja untuk membesarkan seni rupa kontemporer Indonesia. Sebagian besar kemudian menyoroti generasi yang lebih muda, ketimbang memoles para perupa yang lebih senior dan mapan. Para seniman muda ini dianggap masih memiliki keberanian untuk menyatakan pandangannya namun di saat yang sama berpikiran terbuka untuk mencerna perkembangan wacana yang tumbuh dari waktu ke waktu. Walaupun sebagian perupa dalam perjalanannya akhirnya menjadi ‘budak nafsu’ para spekulan dan/ atau berkarya sesuai ‘trend’ pasar dikarenakan kurangnya pemahaman dan pertimbangan kritis seluk beluk permainan capital dan pasar. Akibatnya publik seni rupa sering mengalami de ja vu , menyaksikan pameran-pameran dengan karya – karya lukisan menyerupai karya – karya para perupa yang terkenal. Para pelukis ini tak segan-segan untuk meniru dan kemudian membedakan sedikit, untuk sedikit memikat dan menarik perhatian. Strategi ini menjadi lazim beberapa tahun terakhir, bahkan menggejala di seniman muda terutama di Jogjakarta. Karya-karya kelompok Jendela atau Eko Nugroho misalnya, paling banyak
pengikutnya karena memang tengah menjadi sorotan pasar. Maka muncul kelompok perupa “wanna be” , dengan nilai harga yang tentunya lebih terjangkau dan lebih mudah didapat, beberapa spekulan bahkan mencoba mengatrol harga karya-karya mereka di arena lelang . Meski demikian beberapa seniman kemudian mampu menemukan kekuatan dirinya sendirin dan berhasil menjejakkan identitasnya sebagai seniman yang memiliki corak dan bahasa tersendiri. Bahwa mereka memasuki pasar melalui jalan “wanna be” itu hanya salah satu dari banyak jalan menjadi seniman yang sesungguhnya. Re-invent dan Re-finement Begitu pun dengan para perupa senior yang nyaris terlupakan pasar, dengan masih membawa kharisma gerakan seni rupa tahun 1970-80an. Seperti Harris Purnama, Dede Eri Supria, Moelyono, Ronal Manullang, dengan karya-karya lukisan olahan barunya kembali masuk dalam arena perayaan dengan sukses. Bahkan Harris dan Ronald mampu membangun pandangan kritisnya dalam tiap lukisan dan menciptakan karakter tersendiri. Realisme baru dan foto-realisme tiba-tiba mendapatkan tempat yang khusus dalam perkembangan terakhir. Hal ini juga menjadi core kelompok perupa yang lebih muda seperti kelompok seniman dari Bali, TAXU. Karya – karya Mahendra Yasa, Ketut Moniarta, Dodit Artawan dan Agus ‘Kacrut’ Sumiantara. Kelompok yang pada awalnya bersatu dengan semangat kritik terhadap praktek seni rupa dan budaya
di pulau Dewata itu, menjadi semakin khusyuk dengan penjelajahan dunia tampak dengan menelaah ulang tentang pertanyaan realisme dan realita seni lukis. Dengan menjelajah kemungkinan tanpa batas, foto-realisme dengan aspek-aspek optikalnya. Karya-karya kelompok ini mempunyai kesamaan dengan karya-karya realisme baru dari kelompok Abstrak-X dari Bandung, ada kandungan nilai perlawanan terhadap perkembangan
seni dengan realisme sosial-politik yang berkembang di Bandung (dan Indonesia) saat itu. Karya-karya Willy Himawan, Dadan Setiawan, Harry Cahaya, Guntur Timur, membentuk wajah baru dalam tradisi seni rupa Bandung. Pengaruh yang mungkin saja diawali oleh pendahulunya dan sekaligus dosen mereka,
Dikdik Sayahdikumullah. Mengolah kembali konsep – konsep estetika foto – realisme dikalangan perupa muda di Bandung kemudian menjadi fenomena tersendiri. Praktek seni rupa di Bandung yang sebelumnya dipengaruhi banyak oleh seniman Tisna Sanjaya maupun Isa Perkasa, berubah wajah oleh estetika realisme baru, foto-realisme dan juga kemunculan seni objek. Dengan pengembangan konsep –konsepnya; realisme baru dan foto realisme seolah
memberikan kembali ruang terhadap pengalaman keseharian masyarakat kontemporer. Re-Enchantment Bandung Art Serbuan para perupa muda dari Band Sejak tiga tahun belakangan, galeri, rumah dan storage para kolektor di ibukota diserbu para perupa
muda Bandung.Beberapa asumsi dan opini muncul dikalangan publik seni rupa di tanah air. Ada yang berpendapat bahwa para kurator yang notabene memang banyak yang berasal atau jebolan dari ITB, sehingga mempengaruhi banyak pemikiran generasi mudanya serta mempromosikan ke para art dealer Jakarta. Ada juga yang beranggapan karena perupa muda Jogja sepertin-
ya mandek dengan modus mengekor corak – corak para seniornya yang sukses atau harga mereka melesat terlalu tinggi dan terlalu produktif. Sekelompok orang lainnya berpendapat bahwa para seniman muda Bandung itu muncul dengan konsep yang kuat dan menarik, walaupun skill pas-pasan. Mungkin semua pendapat itu ada benarnya atau sama sekali kurang tepat, toh saat ini keterampilan melukis konvensional bisa
dibantu dengan teknologi proyektor atau dengan menggunakan artisan. Konsep dan pemahaman tema dalam sebuah karya dan strategi visual menjadi sangat penting dan dianut oleh banyak para perupa muda ini. “ Gelombang Bandung” mulai terasa dengan penyelenggaraan pameran para perupa Bandung, baik secara
kelompok maupun individual. Pameran Bandung New Emergence yang diselenggarakan Selasar Sunaryo Art Space sejak tahun 2007 dan kemudian tahun 2008 : Petisi Bandung yang diselenggarakan oleh Langgeng Gallery – Magelang pada kurun tahun 2007, 2008 dan kemudian dilanjutkan dengan Bandung Art Now tahun 2009 di Galeri Nasional. Bandung Initiative yang diselenggarakan oleh Art So-
ciates bersama Rumah Rupa di Jakarta tahun 2008 hingga tahun 2009. Juga pameran-pameran digaleri lain yang melibatkan mereka dan akhirnya menempatkannya dalam sebuah peta perkembangan terakhir. Forum pameran ini memunculkan nama-nama seperti R.E. Hartanto dan yang lebih muda seperti J. Ariadhitya Pramuhendra, Radi Arwinda, Wiyoga Muhardanto, Yusuf Ismail, Tromarama, Cinanti ‘Kenny’ Johansyah, Faisal Habibi dan lainnya. Selain karya-karya lukis foto-realisme, yang perlu dicatat juga munculnya karya yang menggunakan medium baru seperti fotografi dan video serta medium keramik dan objek. Dalam pameran Petisi Bandung tahun 2005 di Langgeng Gallery, Magelang. Kurator Aminudin T.H. Siregar menyebutkan bahwa para perupa Bandung abad 21 disatu sisi, pelukis-pelukis tersebut masih berada dalam bayang-bayang wacana Bandung sebagai ‘laboratorium barat’, setidaknya bagi lulusan dari ITB. Sedangkan pelukis yang berada diluar bekerja berdasarkan pengalaman pribadinya dan sesekali bersentuhan dengan metode akademik melalui pelukis – pelukis lulusan ITB. Pelukis – pelukis muda saat ini menikmati perkembangan medan sosial seni rupa di Bandung yang telah dibangun dengan susah payah sejak tahun 1950-an. Hal ini mungkin juga untuk menunjukan bahwa karya – karya seniman saat ini lebih besar dipengaruhi oleh cakrawala yang semakin terbuka lebar, dengan penetrasi teknologi informasi dan media.
Memberi dorongan artistik yang besar untuk mengartikulasikan diri ditengah episentrum globalisasi. Seni Keramik dan Objek Perkembangan praktek seni keramik di Indonesia, walaupun telah ada sejak dekade 1980-an, namun beberapa lama masih dipandang sebelah mata oleh para pengamat seni. Katakanlah karya – karya para perupa keramik seperti ; (Alm.) Hildawati Sumantri, maupun Lengganu dengan watak yang modern. Apalagi karya keramik yang berbasis tradisi pottery , seperti Liem Keng Sien, (Alm) Suyatna, dan F. Widayanto. Baru kemudian alm. Hendrawan Riyanto seringkali menggunakan medium terakota untuk karya-karyanya. Kefasihannya berbahasa dengan medium ini, ditambah dengan jelajah tema-temanya menjadikan karya Hendrawan punya tempat khusus dalam peta seni rupa kontemporer. Tak dipungkiri munculnya isu – isu seputar wacana post-modernisme , menjadikan seni rupa kontemporer pada perkembangan kemudian, memberikan tempat kepada bentuk estetika dan medium-medium diluar seni lukis dan patung. Beberapa pameran di berbagai galeri komersial di Jakarta, seperti karya-karya perupa dengan medium keramik seperti Nurdian Ichsan, Nadya Savitri, Tisa Granicia dan Albert Yonathan. Dalam artikel di majalah Visual Arts, Asmujo Irianto mengemukakan bahwa karya-karya mereka yang muda, dengan mengusung material keramik, telah malang-melintang dalam
pameran-pameran seni kontemporer. Mereka juga tak peduli pada perkara batasan – batasan kriya – karena memang tak merasa harus dibatasi oleh batasan kategoris. Karya – karya keramik ini seiring dengan perkembangan objek tiga dimensional diluar seni patung. Mempunyai kecenderungan membebaskan diri dari kaidah formal dan batasan – batasan konvensi seni modern yang diterapkan pada dunia akademi. Menurut catatan Asikin Hasan, kemunculan pemikiran – pemikiran diluar kaidah akademi muncul dari Gerakan Seni Rupa Baru pada awal 1970-an. Membawa semangat dan arah baru perkembangan seni rupa, dalam sejumlah pamerannya menampilkan pelbagai objek temuan dan barang – barang jadi. Pematung masa kini yang memperhatikan banjirnya produk industri menemukan tautan antara desain produk dan kaidah seni patung disisi lain. Seperti karya – karya para perupa Wiyoga Muhardanto dan Faisal Habibi. 7) Hal perubahan kecenderungan perilaku karya dikalangan perupa muda di Bandung, dikonfirmasi kembali oleh Asmujo dalam catatan sebuah pameran objek di Jakarta. Ia memprediksi bahwa beberapa pematung muda Bandung akan menjadi pemain utama seni patung di Indonesia. Terutama ketika praktik seni rupa tiga dimensional, didominasi oleh munculnya karya-karya objek yang membedakan dengan tradisi seni patung. Asmujo menegaskan , “ Objek, sebagai kategori seni patung dapat dibedakan dengan pengertian
konvensional /leksikal: sebagai benda seni (art object), yang mencakup segala benda / objek seni, kategori objek sculpture tidak merefleksikan perkembangan seni patung. 8) Ditengah Halimun Ada banyak nada ragu dan tak menentu terhadap perkembangan seni rupa sekarang, namun sekaligus menancapkan momentum yang menarik. Muncul pertanyaan-pertanyaan, bagaimana sikap kita sekarang dalam berhadapan dengan karya, termasuk nilai-nilai didalam yang membentuknya. Baik sebagai dasar pemikiran maupun penjelajahan artistik ditengah ‘anything goes’. Karya – karya pameran di pameran pembukaan Lawangwangi merupakan suatu perlintasan perkembangan terakhir dan sekaligus diharapkan membuka ruang refleksi bagi seni rupa kontemporer di kota Bandung dan tanah air . Adakah kita bisa menemukan suatu konstruk baru dari praktik seni rupa saat ini yang mungkin bisa menjadi pijakan sejarah medan sosial (kapital) seni rupa di Bandung yang baru. Seberapa jauhkah para seniman ini bisa melangkah, terutama di dalam arena yang jauh lebih luas. Karya-karya yang disertakan sekaligus juga untuk menjajal ruang pamer bagi karya-karya dengan berbagai watak dan kecenderungan artistik. Ada beberapa bagian besar karya-karya yang dipamerkan. Pertama karya-karya group seniman. Group ini mewakili juga praktik seni rupa yang dominan seperti Taksu yang intens menjelajahi secara kritis persoalan
estetika permukaan lewat lukisan – lukisan foto-realisme, Diperbandingkan dengan jelajah lanjut karya-karya kelompok AbstraX di Bandung yang juga pada awalnya mengusung kecenderungan yang sama . Munculnya kelompok rest-ART kemudian mengawali bagaimana media baru dan dunia komik merembes kedalam pemikiran artistik para pelukis generasi muda.
Pauhrizi, hingga Miryam Sofrina, Guntur Triyadi, Tommy Aditama Putra dan watak hyperealisme Cecep M.Taufik menunjukan bahwa persoalan realita media sekarang telah mendorong artikulasi identitas karya-karya mereka untuk memasuki wilayah seni rupa dengan media global sebagai ikatan realitanya.
Mereka tak lagi melihat realita lensa kamera sebagai suatu pandangan kritis tapi juga justru memasuki wilayah itu, bergelimang dengan realita televisi, dunia dijital, internet dan lainnya, memperlihatkan gestur jelajah medium dari karya-karya mereka.
Sedangkan karya- karya seperti Tisna Sanjaya, Isa Perkasa, R.E. Hartanto, Cinanti ‘Kenny’ Johansyah, Hilman Hendarsyah, Desziana, Agung Kurniawan, Suklu, Albert Yonathan, serta Kadek Agus Mediana secara individual menciptakan jarak terhadap realita dan mengajak kita untuk berefleksi, merenungkan tentang apa yang terjadi disekeliling kita, tapi juga sekaligus menyisakan ruang bagi kesenangan dalam mempermainkan tanda-tanda
Maka bagian lain yakni kelompok dengan karya-karya lukisan realisme baru seperti perupa Beatrix Hendriani Kaswara, Monika Ary Kartika, Erik
budaya, menjadi teks yang terbuka bagi penafsiran pengamat. Kecenderungan karya-karya media baru yang telah berlangsung hampir satu decade tetap diperlihatkan oleh pengusungnya, seperti Herra Pahlasari, Prilla Tania, hingga yang generasi yang lebih muda seperti Yusuf Ismail dan kelompok Tromarama. Dunia fotografi diwakili oleh karya-karya Adhya Ranadhireksa. Mereka menjadi satu rombongan tersendiri dalam pameran ini. Karya mereka
mencerminkan kepekaan estetika mutakhir lewat serangkaian tampilan karya yang dilatari narasi personal tentang apa yang terjadi dalam lingkungan mereka saat ini. Kelompok karya-karya lain seperti
karya tiga dimensional dari Wiyoga Muhardanto, Faisal Habibi, Erwin Windu Pranata, Benny Messa, Ali Rubin, Deden Sambas, Irman A. Rachman menyiratkan gestur seni patung dan objek dengan semangat baru, memadukan disiplin seni patung dengan dunia benda-benda keseharian. Garapan tiga dimensional yang mencerminkan gejala seni rupa adalah kemunculan para perupa dengan medium keramik: Nurdian Ichsan, Nadya Savitri, Tisa Granicia. Lalu terakhir adalah kelompok karya yang dipesan khusus
oleh pemilik Lawangwangi; Andonowati, seperti patung Teguh Oestenrik, karya instalasi Mella Jaarsma, dan objek-objek Made Widya Putra. (Rifky Effendy, Kurator)
1. In Bourdieu’s work, habitus can be defined as a system of durable and transposable[3] “dispositions” (lasting, acquired schemes of perception, thought and action). The individual agent develops these dispositions in response to the determining structures (such as class, family, and education) and external conditions (field)s they encounter. They are therefore neither wholly voluntary nor wholly involuntary. The habitus provides the practical skills and dispositions necessary to navigate within different fields (such as sports, professional life, art) and guides the choices of the individual without ever being strictly reducible to prescribed, formal rules.[4] At the same time, the habitus is constantly remade by these navigations and choices (including the success or failure of previous actions). Describing neither complete determination by social factors nor individual autonomy, the habitus mediates between “objective” structures of social relations and the individual “subjective” behavior of actors. In this way Bourdieu theorizes the inculcation of objective social structures into the subjective, mental experience of agents. In Bourdieu’s theory, agency is not directly observable in practices or in the habitus, but only in the experience of subjectivity. Hence, some argue that Bourdieu’s project could be said to retain an objectivist bias from structuralism. Further, some critics charge that Bourdieu’s “habitus” governs so much of an individual’s social makeup that it significantly limits the concept of human agency. In Bourdieu’s references to “habitus” it sometimes seems as if so much of an individual’s disposition is predetermined by the social habitus that such pre-dispositions cannot be altered or left behind. http:// en.wikipedia.org/wiki/Habitus_(sociology)#Habitus_in_Bourdieu.27s_social_theoy 2. Yusuf Susilo dan Vidhyasuri Utami. Artikel Maunya Berkarier Di Seni Rupa, Tapi… . Majalah Visual Arts, Vol. 6 no. 31. 2009 # 31. Hal. 29 3. Don Thompson. The $12 Million Stuffed Shark. The Curious Economics of Contemporary Art. Aurum Press. Ltd. London. 2008. hal. 2. 4. Katalog Pameran Bandung Initiative.# 2. Cabinet of Signs. Gallery Rumah Roepa. Jakarta. 2008. 5. Visual Arts, # 14. 2006. 6. Op. Cit. 7. Majalah Visual Arts Vol. 6. Juni – Juli 2009. # 31. Hal. 74 dan 88. 8. Asmujo Jono Irianto, dalam kuratorial pameran: Contemporary Archeology. SiGi Arts.
Jakarta. 2009.
Berita Pers FIXER: Pameran Ruang Alternatif dan Kelompok Seni Rupa Di Indonesia NORTH ART SPACE Pasar Seni Jaya Ancol Jl. Lodan Timur No. 7, Pasar Seni Ancol Jakarta Utara 14430 Telp. 021 64710319 | www.ancol.com / http://northartspace.com/
PAMERAN RUANG ALTERNATIF & KELOMPOK SENI RUPA DI INDONESIA
pAmeRAn 19 – 28 Juni 2010 Pukul 09.00 – 19.00 pReSentASi dAn diSkuSi 19 Juni 2010 Pukul 14.00 – 16.00 “Keberlanjutan organisasi, program dan strategi lokal” Pembicara: Jatiwangi Art Factory (Jatiwangi), Sarueh (Padang Panjang), Urbanspace (Surabaya), Ruang Akal (Makassar), Malang Meeting Point (Malang), Byar Creative Industry (Semarang) Moderator: Ade Darmawan Pukul 16.00 – 18.00 “Proyek seni rupa dan kolaborasi” Pembicara: ruangrupa (Jakarta), Asbestos Art Space (Bandung), Ruang Mes56 (Yogyakarta), Akademi Samali (Jakarta), Maros Visual Culture Initiative (Jakarta), Perfomance Klub (Yogyakarta) Moderator: Ugeng T. Moetidjo 20 Juni 2010 Pukul 13.00 – 15.00 “Perluasan ruang, teknologi dan media“ Pembicara: Forum Lenteng (Jakarta), Common Room Networks Foundation (Bandung), House of Natural Fiber (Yogyakarta), Videolab (Bandung) Moderator: Rifky Effendy Pukul 16.00 – 18.00 “Strategi artistik di ruang kota dan warga” Pembicara: Atap Alis (Jakarta), Kampung Segart (Jakarta), Tembok Bomber (Jakarta), Gardu Unik (Cirebon), Serrum (Jakarta) Moderator: Ardi Yunanto
pembukAAn Jumat, 18 Juni 2010, pukul 16.00 Pembawa acara: Jimmy Upstairs Dimeriahkan oleh: DJ Asung, DJ Milinka, Jalan Surabaya, White Shoes & The Couples Company
Pameran FIXER menampilkan beberapa organisasi seni yang dikelola oleh seniman yang selama beberapa tahun terakhir telah berhasil bertahan dan berperan dalam perkembangan seni rupa kontemporer. Organisasi seniman dalam pameran ini paling tidak mempunyai dua kecenderungan praktik sekaligus yaitu; kerja produksi artistik dimana organisasi/kelompok/komunitas memproduksi karya artistik secara bersama maupun individu sebagai sebuah pernyataan artistik, yang kedua adalah bahwa organisasi tersebut mempunyai kesadaran publik dengan mengelola, baik secara mandiri maupun kolaborasi, kegiatan kegiatan untuk publik luas seperti pameran, workshop, festival, diskusi, penerbitan, pemutaran film/video, website, pengarsipan, dan penelitian. Kegiatan ini tidak hanya menjadi upaya pemetaan, tetapi lebih jauh dapat berstrategi dalam peta tersebut dengan menjadi forum bertemu untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman. Juga mengoleksi, lalu menganalisa pengalaman, pencapaian dan saling mempelajari strategi, tips dan juga trik dari praktik selama ini, yang dapat dikelola menjadi sebuah pengetahuan baru.
NORTH ART SPACE Pasar Seni Jaya Ancol Jl. Lodan Timur No. 7, Pasar Seni Ancol, Jakarta Utara 14430 Telp. 021 64710319 www.ancol.com
Peserta: AKADEMI SAMALI (JAKARTA), ASBESTOS ART SPACE (BANDUNG), ATAP ALIS (JAKARTA), BYAR CREATIVE INDUSTRY (SEMARANG), COMMON ROOM NETWORKS FOUNDATION (BANDUNG), FORUM LENTENG (JAKARTA), GARDU UNIK (CIREBON), HOUSE OF NATURAL FIBER (YOGYAKARTA), JATIWANGI ART FACTORY (JATIWANGI), KAMPUNG SEGART (JAKARTA), MALANG MEETING POINT (MALANG), MAROS VISUAL CULTURE INITIATIVE (JAKARTA), PERFORMANCE KLUB (YOGYAKARTA), RUANGRUPA (JAKARTA), RUANG AKAL (MAKASSAR), RUANG MES56 (YOGYAKARTA), SARUEH (PADANG PANJANG), SERRUM (JAKARTA), TEMBOK BOMBER (JAKARTA), URBANSPACE (SURABAYA), VIDEOLAB (BANDUNG)
AkAdemi SAmAli (JAkArtA) ASbeStoS Art SPACe (bAndung) AtAP AliS (JAkArtA) byAr CreAtiVe induStry (SemArAng) Common room netWorkS FoundAtion (bAndung) Forum lenteng (JAkArtA) gArdu unik (Cirebon) HouSe oF nAturAl Fiber (yogyAkArtA) JAtiWAngi Art FACtory (JAtiWAngi) kAmPung SegArt (JAkArtA) mAlAng meeting Point (mAlAng) mAroS ViSuAl Culture initiAtiVe (JAkArtA) PerFormAnCe klub (yogyAkArtA) ruAngruPA (JAkArtA) ruAng AkAl (mAkASSAr) ruAng meS56 (yogyAkArtA) SArueH (PAdAng PAnJAng) Serrum (JAkArtA) tembok bomber (JAkArtA) urbAnSPACe (SurAbAyA) VideolAb (bAndung)
Kurator : Ade Dermawan dan Rifky Effendy Pembukaan Jumat, 18 Juni 2010, pukul 16.00 Pembawa acara: Jimmy Upstairs
kurAtor: Ade dArmAWAn & riFky eFFendy
Dimeriahkan oleh: DJ Asung, DJ Milinka, Jalan Surabaya, White Shoes & The Taman Impian
Couples Company Pameran 19 – 28 Juni 2010, pukul 09.00 – 19.00
Politik dan Puitik Ruang Seni: Sebuah sejarah singkat Oleh Rifky Effendy
PRESENTASI DAN DISKUSI
Awalnya: Modernitas
19 Juni 2010
Ledakan kedua pasar seni rupa Indonesia pada 2008 – 2009, kembali menyadarkan publik seni rupa pada fungsi sistem seni yang tengah berjalan. Medan produksi makna seni di zaman modern, yang semula hanya terkait pada proses penciptaan karya seni oleh para seniman, menjadi sangat terkait dengan kinerja elemenelemen penopangnya. Baik elemen-elemen seperti media massa—yang dalam hal ini juga para wartawan, penulis seni, dan kritikus—galeri, museum, kurator, maupun manajer, atau penata kegiatan pameran, sponsor, pemilik kebijakan, lembaga pendidikan seni atau pemerintah, pemasok dan pembeli, pemilik rumah lelang, hingga para kolektor. Elemen-elemen penopang tersebut bermula dari ruang-ruang kesenian yang punya sejarah menarik, unik, dan berbeda. Dari sana, terciptalah pranata seni rupa yang kini menjadi narasi penting dalam perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia dan Asia Tenggara.
Pukul 14.00 – 16.00 “Keberlanjutan organisasi, program dan strategi lokal” Pembicara: Jatiwangi Art Factory (Jatiwangi), Sarueh (Padang Panjang), Urbanspace (Surabaya), Ruang Akal (Makassar), Malang Meeting Point (Malang), Byar Creative Industry (Semarang) Moderator: Ade Darmawan Pukul 16.00 – 18.00 “Proyek seni rupa dan kolaborasi” Pembicara: ruangrupa (Jakarta), Asbestos Art Space (Bandung), Ruang Mes56 (Yogyakarta), Akademi Samali (Jakarta), Maros Visual Culture Initiative (Jakarta), Perfomance Klub (Yogyakarta) Moderator: Ugeng T. Moetidjo 20 Juni 2010 Pukul 13.00 – 15.00 “Perluasan ruang, teknologi dan media“ Pembicara: Forum Lenteng (Jakarta), Common Room Networks Foundation (Bandung), House of Natural Fiber (Yogyakarta), Videolab (Bandung) Moderator: Rifky Effendy Pukul 16.00 – 18.00 “Strategi artistik di ruang kota dan warga” Pembicara: Atap Alis (Jakarta), Kampung Segart (Jakarta), Tembok Bomber (Jakarta), Gardu Unik (Cirebon), Serrum (Jakarta) Moderator: Ardi Yunanto
Pranata tersebut, sekarang telah menjadi kebutuhan yang diniscayakan dalam kehidupan modern dan menjadi bagian yang selaras dengan pemikiran di balik penciptaan karya-karya seni rupa modern. Praktik awal seni rupa modern di Indonesia sebagai suatu konstruksi dari Barat yang muncul dari proses kolonialisme
dan transformasi menuju kemunculan sebuah bangsa yang membayangkan serta mengartikulasikan makna keberadaan dirinya di tengah bangsa-bangsa lain di dunia—menjadi menarik sekaligus problematik dan berbeda dengan bangsa-bangsa yang justru membidani pemikiran modernisme. Sebagai paradoks dan ironi dalam kemodernan bangsa Asia Tenggara, kebangkitannya justru berutang pada para penjajah dari Eropa, terutama pada diadaptasinya lembaga-lembaga kolonial yang didirikan di tanah jajahan pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Selanjutnya, terjadi proses ‘peniruan’, penyesuaian, dan penyetaraan yang menghasilkan nilai-nilai campuran, antara apa yang diserap dari kolonialisme maupun dari pertukaraan informasi dan pengetahuan yang semakin melebarkan cakrawalanya pada nilai-nilai lokal yang berlaku di dalamnya.1) Apropriasi dan mimikri kemudian menjadi strategi atau kendaraan untuk membentuk opini maupun pendekatan pada pemikiran baru terhadap cara pandang kolonial. Di dalam proses tersebut tentu terjadi perlawanan, perdebatan di tingkat pemikiran, imajinasi politik, yang terjadi juga dalam wilayah praktik, termasuk praktik seni rupa. Negasi, dialog, maupun negosiasi itu terjadi ketika bangsa-bangsa ini telah melepaskan diri dari sang penjajahnya. Perdebatan terjadi di antara bangsa itu sendiri, sebagai pergolakan internal di dalam tubuh “komunitas-komunitas terbayangkan”, seperti yang dikemukakan Benedict Anderson.
Oleh karena itu, proses modernitas bangsa-bangsa pascakolonial di Asia Tenggara terjadi hampir serentak, namun sekaligus tak merata. 2) Perkembangan awal: Gagasan modern Perkembangan pranata seni rupa di Indonesia adalah sebuah contoh, bahkan mungkin sebuah model tentang bagaimana suatu produksi dan makna dalam seni dikontribusikan ke dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan tersebut memiliki sejarah yang unik, rumit, dan juga berbeda daripada perkembangan di negara Asia Tenggara lainnya, terutama Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja, maupun Singapura. Kemunculan praktik seni modern di Indonesia sejak awal melibatkan visi maupun perdebatan-perdebatan di kalangan pribumi, terutama dengan munculnya Pujangga Baru di bidang sastra, yang kemudian disusul dengan terbentuknya Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) di bidang seni rupa, yang didirikan pada 1937 oleh S. Soedjojono, Agus Djaja, Abdul Salam, Sumitro, dan sejumlah pelukis lain. Walaupun praktik melukis gaya Eropa dan “perlawanan diam-diam” telah dilakukan jauh sebelumnya oleh Raden Saleh Syarief Bustaman (1814 – 1880), namun kesadaran yang dimiliki Persagi, yang secara lantang menentang cara pandang estetika kolonial, gencar dikumandangkan sebagai keyakinan baru dan dikemukakan secara tertulis melalui perdebatan yang lebih terbuka, serta terkait langsung dengan perjuangan
untuk membentuk bangsa yang mandiri dan bebas dari penjajahan. Persagi menjadi lembaga seniman modern pertama yang menempatkan individualitas yang terkait dengan ideologi nasionalisme awal. Kegiatan Persagi, selain menyokong perjuangan menuju kemerdekaan dan pembentukan Republik Indonesia dengan membuat poster-poster maupun ilustrasi yang membangkitkan rasa kebangsaan, adalah mendidik para pemuda untuk menggambar dan melukis. Diskusi-diskusi mengenai seni di antara mereka pun sering terjadi untuk meningkatkan pemahaman konsepsi dan berkarya. Selain itu, Persagi juga menyelenggarakan pameran-pameran yang terbuka bagi publik. Pameran pertama Persagi digelar di ruang pameran gedung Kol! Jakarta pada 1939; sebuah ruang bekas toko buku yang dimiliki dan dikelola seorang Belanda, yang juga banyak menyokong seniman-seniman pribumi lainnya, salah satunya seperti Basuki Abdullah. Sementara itu, organisasi para pelukis lainnya yang cukup besar dan mapan saat itu adalah Kunstkring, atau lingkar seni, yang menjadi tempat berkumpulnya para pelukis Eropa dan Belanda khususnya yang masih mempraktikkan seni lukis Mooi Indie, gaya seni lukis yang kemudian ditolak oleh S. Soedjojono dan kawan-kawan. Bila kita simak, kebutuhan akan sebuah ruang, baik itu ruang aktivitas maupun ruang pameran bagi karya-karya para seniman modern, menjadi mendesak bagi seniman Indonesia baru untuk mengartikulasikan
diri demi menampilkan watak dan corak karya yang berbeda daripada pelukis sebelumnya. Melalui suatu pameran, terbuka kesempatan bagi para pengamat maupun kritikus seni untuk mengomentari dan memaknai sejauh mana pencapaian konsepsi mereka terhadap watak yang nasionalis, atau keindonesiaan, pada saat itu. Muncul juga kesadaran akan pentingnya peran media massa, kritikus, maupun publik sebagai pranata yang terkait dengan proses produksi makna selanjutnya.3)
meran keliling yang diadakan di kota-kota Jawa. Saat Jepang mundur dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, kehidupan para pelukis, terutama para anggota Persagi, bisa dikatakan berada dalam lingkaran elit para pemimpin bangsa, dalam hal ini Presiden Soekarno yang sekaligus menjadi patron mereka. Soekarno secara pribadi menyukai seni lukis, dekat dengan seniman, membeli dan mengoleksi karya-karya mereka untuk kemudian disimpan di Istana Negara, Jakarta.
Pranata seni (lukis) modern awal terkait pula dengan wacana yang sedang berlangsung saat itu, yaitu kesadaran yang berlangsung di lingkungan para intelektual muda pribumi pada pemikiran-pemikiran yang menggagas nasionalisme Indonesia. Gagasan-gagasan tersebut diartikulasikan melalui beragam hal: politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Maka praktik seni (lukis) juga menjadi salah satu ‘media komunikasi’ untuk memproyeksikan identitas yang sedang diwacanakan. Pranata ini terbentuk untuk menggulirkan pemikiranpemikiran yang berkisar pada perjuangan menebarkan rasa kebangsaan. Ketika invasi Jepang masuk dan berhasil mengusir Belanda, melalui lembaga kebudayaannya, yaitu Keimin Bunka Shidoso pada kurun 1942 – 1945, Jepang menghimpun para seniman pribumi untuk berdiskusi dan menerbitkan tulisan-tulisan tentang kesenian yang mencari jiwa ketimuran dan menolak pengaruh-pengaruh Barat, termasuk membiayai pameran-pa-
Setelah itu pada masa pembangunan infrastruktur “Indonesia baru” dimulai, Soekarno secara langsung memberikan pandangan estetikanya. Bekerjasama dengan sejumlah arsitek, Soekarno sangat menentukan bentuk rancangan pada gedung-gedung atau monumen yang sesuai dengan konsepsi kemodernan Indonesia. Ia juga mengawasi langsung berdirinya patung-patung publik di ibukota. Visi Soekarno dan rekan-rekan revolusinya terhadap bangsa dan negara, juga mempengaruhi praktik seni lukis, patung, bahkan arsitektur. Estetika seni dan arsitektur tersebut mewujudkan sebuah proyeksi atas nilai-nilai yang sesuai dengan semangat Indonesia yang baru. Dalam kehidupan sehari-hari para seniman, Soekarno adalah pelindung mereka yang bahkan sangat dekat dan intim. Pranata seni rupa modern Indonesia selanjutnya pada periode zaman pendudukan Jepang hingga 1950-an, mengalami pertumbuhan oleh kemunculan perkumpulan seniman atau sanggar-sanggar, terutama di Jakarta,
Bandung, dan Yogyakarta. Dalam sebuah seminar di Universitas Gadjah Mada pada 1956, Koesnadi pernah menyebutkan sanggar-sanggar yang muncul setelah Persagi. Di Yogyakarta (ketika menjadi ibukota Republik Indonesia) pada 1946, muncul Seniman Muda Indonesia (SIM) yang didirikan oleh S. Soedjojono bersama Kartono Yudhokusumo, Suromo, Surono, Dullah, Basuki Resobowo, Rusli, Sudibjo, Hendra, dan Affandi. Lalu Hendra Goenawan mendirikan Pelukis Rakjat bersama Affandi, Koesnadi, Soedarso, Trubus, Amrus Natalsja, dan lainnya. Pada 1950 terbentuk Pelukis Rakyat yang didirikan oleh Sumitro, Solihin, Koesnadi, dan lainnya. Kemudian ada Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) yang diketuai Djajeng Asmoro—menurut Koesnadi, perkumpulan PTPI bahkan sudah berdiri sebelum SIM didirikan. Pada 1952, berdiri Pelukis Muda Indonesia (PIM) yang diketuai Widayat.Di Jakarta, didirikan Gabungan Pelukis Indonesia (GPI) pada 1948 oleh Sutikno, Nasar, Zaini, Affandi dan kawan-kawan. Pada 1955 muncul Matahari dengan ketua Mardian. Sementara itu, di Bandung terbentuk kelompok Jiwa Mukti pada 1948. Dengan ketua pertama Barli dan anggotanya Mochtar Apin. Sanggar Seniman didirikan kemudian pada 1952 oleh Kartono Yudhokusumo. Pada 1953, didirikan Tjipta Pantjaran Rasa yang diketuai oleh Abedy.4)
sanggar, perkumpulan seniman, atau akademi seni rupa yang menghasilkan para seniman secara massal dan sistematik dengan dibukanya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, sekarang Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta atau sekolah guru gambar di Bandung pada 1950 (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Bandung). Tetapi juga gagasan tentang museum modern, museum sejarah seni rupa, museum-museum tokoh individu, ruang-ruang pameran, penerbitan buku dan majalah, kartu pos, kalendar, dan film. Bahkan muncul juga kesadaran terhadap pentingnya peranan kolektor-kolektor lukisan. Pranata seni rupa modern pasca revolusi
Masih kita ingat, bagaimana urgensi pemikiran seniman muda pada 1970an ketika mereka jenuh dengan kenyataan seni lukis dan estetika yang dimapankan dan muncul dari praktik akademis. Puncaknya, mereka bergabung dalam sebuah gerakan dari kota Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung, yang kemudian meretas jalan bagi gagasan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Pameran pertama GSRB pada 1975 di Taman Ismail Marzuki (TIM) menghadirkan karya-karya di luar kebiasaan. Adanya karya-karya instalasi, grafis, dan obyek – obyek dari gubahan benda-benda keseharian yang diletakkan sedemikian rupa dalam ruang pameran, sangat menyolok mata. Anggota GSRB yang Kesadaran untuk membangun prana- diantaranya adalah Jim Supangkat, ta seni modern, menurut Koesnadi, FX Harsono, Nyoman Nuarta, dan bukan hanya terlihat dari tumbuhnya Bunyong Muni Ardhi,
mendapat perhatian besar dari publik seni karena pernyataan pandangan artistik mereka yang cukup keras pada saat itu. Mereka mendapat banyak tanggapan dari berbagai pihak, baik yang mendukung maupun yang menentang. Di sini, fungsi ruang kesenian seperti Pasar Seni Ancol dan TIM menjadi penting. TIM didirikan pada 1968, di masa (Alm) Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, di atas tanah milik Raden Saleh. Peresmian Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) merupakan babak baru dalam sejarah perkembangan kesenian di Indonesia. Mimpi para seniman sepuluh tahun sebelumnya telah menjadi kenyataan dengan dibangunnya Teater Terbuka, Teater Tertutup, Teater Arena, Ruang Pameran, dan sarana lainnya yang melengkapi pusat kesenian di Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat ini. PKJ-TIM, dan kemudian Pasar Seni Ancol, menjadi ruang yang terbuka bagi para seniman dari berbagai kelompok. Bukan hanya bagi karya seni, namun juga sekaligus alam pikirnya, dan menjadi ruang bagi eksperimentasi berbagai hal baru. Pada 1993 – 1994, ketika diselenggarakan Biennale IX, TIM menjadi arena di mana publik memiliki kesempatan untuk melihat perkembangan praktik serta pemikiran artistik mutakhir. Perkembangan demi perkembangan tersebut, berawal dari praktik-praktik kesenian, baik yang dilakukan di dalam kampus maupun oleh kelompok-kelompok kecil. Pada dekade 1980-an, karya-karya yang dilahirkan
oleh Rumah Seni Cemeti di Yogyakarta secara intensif dan ekstensif melakukan pemekaran dalam pencarian bahasa ungkap artistik yang baru. Karya-karya instalasi, gambar, multimedia, seni performans, video, situs spesifik, dan karya lainnya yang saat itu sulit diterima oleh galeri maupun ruang pameran lainnya, bisa terakomodir dalam ruang pameran ini. Rumah Seni Cemeti kemudian menjadi lingkaran yang semakin melebar. Tidak hanya mencakup perkembangan seni rupa di Yogyakarta, namun dengan terbentuknya Yayasan Seni Cemeti, kota Yogyakarta kembali menjadi “pusat” bagi perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia. Kemunculan ruang seni seperti Rumah Seni Cemeti secara tidak langsung menjadi bentuk reaksi para seniman atas gejala pasar, terutama ledakan pasar seni lukis di pertengahan 1980-an. Masa di mana, seperti diisyaratkan oleh (Alm) Sanento Yuliman, telah terjadi “pemiskinan dan pemingitan” dalam nilai-nilai seni rupa bahkan peminggiran atas karya-karya di luar kelaziman formal. Terjadi kemerosotan kualitas, baik pada dominasi praktik seni lukis maupun tema-tema yang digarap oleh seniman. Dengan pengelolaan yang dilakukan oleh Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo di Rumah Seni Cemeti, wajah seni rupa Indonesia mulai banyak disorot oleh para kurator maupun organisasi seni di luar negeri. Rumah Seni Cemeti juga berperan dalam mengirim para perupa muda Indonesia melalui pertukaran atau residensi seniman, baik secara alternatif atau
melalui saluran-saluran resmi seperti de 1990-an, menumbuhkan perhatian publik seni dunia pada perkembangan lembaga pemerintah. seni rupa di Asia, khususnya di InSelain itu juga dengan adanya pener- dia, China, dan wilayah Asia Tenggabitan tulisan-tulisan yang diterjemah- ra. Seni rupa kontemporer Indonesia kan ke bahasa Inggris, berupa buku menjadi salah satu pusat perhatian maupun katalog serta dokumentasi dengan masuknya para seniman Indokarya-karya para seniman dan peristi- nesia dalam pameran-pameran yang wa penting. Apa yang dilakukan oleh dikelola oleh organisasi-organisasi beRumah Seni Cemeti kemudian menja- sar di Australia, Jepang, Amerika Seridi inspirasi kaum muda untuk melaku- kat, dalam bentuk beragam pameran kan hal yang sedikit-banyak serupa. di ruang-ruang alternatif, museum-muDalam konteks komunitas-komunitas seum modern, sampai perhelatan biyang mempunyai jaringan, ketertari- ennale maupun triennale, sehingga kan, dan pengalaman artistik maupun distribusi pengetahuan situasi seni cara pandang yang baru, terbentuk- rupa kontemporer mulai terakses. lah ruang-ruang alternative lainnya seperti Mes56, ruangrupa, maupun Pranata dan Perkembangan Ekonomi Common Room, dan lain sebagainya. Komunitas-komunitas kecil terse- Ruang-ruang alternatif dan pemikiranbut, menggali kembali potensi budaya nya di atas, menjadi negasi dari ruang populer dan seni media baru sebagai yang tercipta karena pertumbuhan sumber gagasan demi perkembangan pasar. Sementara itu, seiring pesatnseni rupa kontemporer. Cara pandang ya ekonomi bangsa pada pertengayang dibentuk dari ruang-ruang alter- han dekade 1980-an, kolektor-kolektor natif maupun komunitas-komunitas seni lukis kian bertambah. Para koletersebut, bukan hanya memberi kes- ktor lukisan ini, bukan hanya sebagai empatan bagi penciptaan karya yang perorangan, tapi juga perusahaan dilandasi keterbukaan cakrawala, milik negara maupun swasta seperti kontekstual, maupun pemikiran yang bank maupun pengembang properti. pluralistik dalam praktik seni rupa Para pejabat penting negara pun serkomtemporer, tapi juga menjadi con- ing mengajak rekan-rekannya untuk toh bagaimana pengelolaan mutakhir membeli lukisan, termasuk saat meresuatu perkembangan seni rupa mam- ka meresmikan pameran-pameran pu masuk ke dalam arena yang lebih yang marak diselenggarakan di galeriluas, yaitu dalam medan internasional galeri swasta maupun pemerintah, juga pameran di hotel-hotel berbintang di era global. maupun di gedung-gedung perkantoForum-forum seni rupa kontemporer ran. Muncul juga profesi baru seperti dengan landasan pemikiran seni yang pemasok dan pembeli seni lukis yang lebih mutakhir dan secara kontekstual memasok karya-karya pelukis, terutamenyoroti perkembangan seni rupa di ma karya-karya lukisan dari seniman luar pusat Eropa – Amerika di deka- yang telah wafat, seperti
S. Soedjojono, Affandi, Hendra Gunawan, dan lainnya.Di sisi lain, perkembangan pasar komersial seni lukis akhirnya memberi dorongan pada segelintir kolektor dan seniman untuk mendirikan museum-museumnya. Seperti museum kolektor besar Oei Hong Djien di Magelang, Museum Affandi dan Museum Hidayat di Yogyakarta, Museum Nu-art yang dibangun seniman Nyoman Nuarta, Museum Barli, Museum Djeihan, hingga Selasar Seni Sunaryo di Bandung, belum lagi sejumlah museum di pulau Bali. Penyebab munculnya museum-museum pribadi tersebut adalah karena tak berkembangnya museum- museum yang dikelola pemerintah maupun lembaga pendidikan, yang lamban mengantisipasi kebutuhan akan tenaga-tenaga dalam bidang manajemen
seni. Keberadaan museum pribadi itu bisa dianggap sebagai reaksi atas kekecewaan publik seni terhadap pengelolaan dan pengembangan infrastruktur seni milik negara.
Di sisi lain, ruang-ruang inisiatif dan galeri-galeri seni komersial makin berkembang dalam dekade terakhir ini. Bukan hanya di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, tapi juga merambah ke kota lain seperti Surabaya, Medan, Malang, Cirebon, Semarang, dan Magelang. Bahkan muncul pula inisiasi para pengusaha galeri, kolektor, dan konglomerat untuk membiayai buku-buku monogram seniman maupun perhelatan biennale, seperti yang dilakukan Yayasan CP dengan menyelenggarakan biennale pada 2003 dan 2005. Kita pun kemudian melihat bagaimana potensi perkembangan dari aspek pasar mempengaruhi pertumbuhan seni rupa. Para kolektor generasi muda pun bertambah, dengan bekal apresiasi, modal, dan cakrawala lebih luas dan mengglobal. Pengamat seni rupa Agus Dermawan T, mengemukakan bahwa saat ini kolektor bukanlah seseorang yang hanya mampu membeli karya seni rupa dengan uangnya, udara segar seni rupa juga membawa mereka lebih tenggelam dalam atmosfer kesenian, sebagian dari mereka bahkan melompat lebih jauh ke depan.5) Inisiasi-inisiasi selanjutnya dilakukan oleh para pengusaha galeri untuk memperluas jaringan pasar seni rupa kontemporer melalui berbagai pasar seni di mancanegara, pameran-pameran yang bekerjasama dengan galeri-galeri di
negara Asia lain terutama China dan Taiwan, penerbitan majalah seni rupa, maupun lelang-lelang yang diselenggarakan oleh Christie’s dan Sotheby’s, maupun yang dilakukan oleh balai lelang lokal seperti Borobudur, Masterpiece, dan sebagainya. Agenda agenda utama para pengusaha seni rupa ini hampir seragam, yaitu bagaimana memasukkan karya-karya seni rupa Indonesia ke dalam pasar yang lebih luas dan mendongkrak harga pasar. Kritik Sanento Yuliman sebenarnya masih terus membayangi praktik seni rupa saat ini. Bila kita simak sejumlah pameran di Jakarta dan kota-kota lain, bahkan di mancanegara, dominasi seni lukis terus meningkat. “Pemiskinan dan pemingitan” seni yang dirasakan di balik hiruk-pikuk gejala pasar, dibuktikan dengan semakin jarangnya kita menemukan pameran-pameran karya di luar seni lukis, seperti instalasi, fotografi, maupun media-media baru lainnya. Begitupun dengan para kolektornya yang masih menempatkan koleksi karyanya di ruang privat, belum sampai di ruang yang bisa diakses publik luas. Namun keberadaan ruang-ruang alternatif dan inisiatif yang kebanyakan dilakukan oleh para praktisi muda, walau dengan bersusah-payah melangsungkan keberadaan dan semangatnya, tetap menjadi sumber perkembangan yang akan menyumbangkan nilai pemikiran terhadap dunia seni rupa Indonesia di masa depan. *** CATATAN KAKI: 1 Wacana kolonialisme lebih lanjut dikemukakan oleh Homi K. Bhabha. Dalam Of Mimicry
and Man: The ambivalence of colonial discourse. Location of Culture (London: Routledge, 1994). Hal. 85 – 86. 2 Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso. 1991). Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerbit INSIST, Yogyakarta 2001. 3 Pameran Persagi kedua pada 1947 mendapatkan kritik dari pengamat seni J. Hopman melalui tulisannya “Toekomst van de Beeldende Kunst in Indonesie (Masa Depan Seni Rupa Indonesia)“ di majalah berbahasa Belanda, Uitzicht; baca artikelnya yang diterjemahkan oleh Suradji. Serangan balik atas kritik tersebut dilakukan oleh S. Soedjojono dalam sebuah artikel “Kami Tahu Ke mana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa.” dalam majalah Revolusioner No. 4 dan 5; baca Aminudin T.H. Siregar dan Enin Supriyanto (ed), Seni Rupa Modern Indonesia, Esai-Esai Pilihan (Jakarta: Penerbit Nalar, 2006). Hal. 329. 4 Koesnadi, “Sedjarah Seni Rupa Indonesia“, kutipan ceramah Seminar Ilmu dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 22 Juni 1956. Hal. 127 – 141. 5 Dari risalah Agus Dermawan T, yang membagi ledakan lukisan di Indonesia menjadi empat periode: 1987, 1992 - 1993, 1997 -1998, dan 2007. Baca artikel “Meniti Selera di Medan Booming”, majalah Visual Arts No 23. 2008. Jakarta. Hal. 26-28.
“SHOPPING”
5 - 16 Agustus 2010 Nadi Gallery - Jakarta Art District Radi Arwinda, Anggun Priambodo, Wiyoga Muhardanto, Nadya Savitri, Ade Darmawan, Indra Ameng, Adhya Ranadireksa, Angki Purbandono, Agan Harahap, Dipo Andi, Prilla Tania, Syagini Ratnawulan, Abdi Setiawan, Yusra Martunus, Astari, Arif Tousiga, Theresia Agustina, Ketut Moniarta, Davy Linggar,Terra Bajraghosa.
Di kota-kota besar di Indonesia, budaya belanja masyarakat kontemporer ini ditandai dengan munculnya sejumlah pusat-pusat perbelanjaan mutakhir atau biasa disebut mall. Didalam mall, setiap orang bukan hanya diberi kesempatan untuk memilih produk-produk mutakhir, tetapi dimanjakan dengan kesenangan lain, seperti dengan adanya resto, cafe, tempat bermain anak-anak, bahkan hiburan seperti sinema, maupun pertunjukan musik. Goenawan Mohamad melalui catatan pinggirnya di Majalah Tempo edisi tengah bulan Juli kemarin mengungkapkan, bahwa di mana pun letaknya (Sebuah mall), ia sesuatu yang generik: sebuah atau serangkaian bangunan besar yang berisi pelbagai toko dan restoran. Untuknya, konteks tak diperlukan. Pameran bertajuk SHOPPING mengetengahkan pokok soal seputar budaya belanja, melalui karya seni rupa yang menghadirkan tanda-tanda metaforis, maupun permainan tanda visual lainnya. Melalui berbagai idiom karya sebagai penafsiran maupun sebagai hasrat artistik. Para perupa ini mengartikulasikan tentang dunia belanja dan aspek – aspek yang meliputinya.
Kuratorial Pameran Shopping atau Berbelanja adalah kegiatan melihat serta meneliti barang atau jasa dari penjual dengan maksud untuk membeli pada saat itu. Dalam beberapa hal dianggap sebagai kegiatan rekreasi serta ekonomi. Belanja dapat ditelusuri kembali ke banyak peradaban dalam sejarah, seperti di jaman Roma kuno, terdapat Pasar Trajan (Trajan’s Market) yang berfungsi sebagai unit ritel. Daftar Belanja dikenal dan digunakan oleh bangsa Roma di salah satu yang ditemukan di tembok Hadrian, pada penanggalan ke 75-125 sesudah masehi, yang ditulis untuk para prajurit. Bagi banyak orang, belanja dianggap sebagai kegiatan rekreasi dan diversional di mana satu kunjungan ke berbagai toko dengan maksud untuk membeli suatu produk. Namun perkembangan sosial – ekonomi masyarakat pada jaman modern , kegiatan dan perilaku berbelanja berubah. Ditandai dengan munculnya istilah , “Window shopping” , atau suatu kegiatan yang terlibat dalam pembelian dengan menyusuri etalase toko tanpa niat untuk membeli, mungkin hanya untuk melewatkan waktu antara kegiatan lain, atau untuk merencanakan pembelian kemudian harinya. Adapun muncul kegilaan berbelanja yang diakui sebagai perilaku kecanduan. Oniomania, juga disebut sebagai kecanduan belanja, atau istilah umum sebagai “shopaholic” , atau suatu dorongan tak terkontrol untuk berbelanja impulsif.
Di kota-kota besar di Indonesia , budaya belanja masyarakat kontemporer ini ditandai dengan munculnya sejumlah pusat-pusat perbelanjaan mutakhir atau biasa disebut mall. Didalam mall, setiap orang bukan hanya diberi kesempatan untuk memilih produk-produk mutakhir, tetapi dimanjakan dengan kesenangan lain, seperti dengan adanya resto, cafe, tempat bermain anak-anak, bahkan hiburan seperti sinema, maupun pertunjukan musik. Alih-alih fungsi mall ini , terutama di kota besar seperti Jakarta yang cuacanya panas serta lalu – lintasnya cukup bermasalah, menjadi pusat kerumunan orang yang lengkap, dengan berbelanja, rekreasi maupun sebagai ‘kantor’ , hiruk - pikuk kesibukan para pebisnis maupun pertemuan-pertemuan kerja. Goenawan Mohamad dalam risalah
catatan pinggirnya di Majalah Tempo edisi tengah bulan Juli kemarin mengungkapkan, bahwa di mana pun letaknya (Sebuah mall), ia sesuatu yang generik: sebuah atau serangkaian bangunan besar yang berisi pelbagai toko dan restoran. Untuknya, konteks tak diperlukan. Pada pameran bertajuk SHOPPING ini, saya ingin mengetengahkan pokok soal seputar budaya belanja, melalui karya seni rupa yang menghadirkan tanda-tanda metaforis, maupun permainan tanda visual lainnya. Melalui berbagai idiom karya sebagai penafsiran maupun sebagai hasrat artistik. Para perupa ini mengartikulasikan tentang dunia belanja dan aspek – aspek yang meliputinya. I SHOP THEREFORE I AM Dalam praktek seni kontemporer, kemunculan ikon – ikon yang menandai era konsumerisme adalah pada karya-karya para seniman Pop-Art , seperti karya-karya Andy Warhol. Walaupun dalam beberapa hal penggunaan elemen maupun benda-benda keseharian pernah digunakan pada karya-karya lukisan maupun media campur Picasso atau Brecht sebagai bagian dari struktur . Namun Warhol menghadirkan citra itu produk botol Coca- Cola, kaleng Campbell Soup, kotak sabun cuci diterjen Brillo, selain potret para pesohor Amerika kala itu. Museum of Modern Art menjadi tuan rumah Simposium pop art pada Desember 1962, di mana para seniman seperti Warhol, diserang karena
“menyerah” pada konsumerisme di Amerika Serikat. Para Kritikus tersinggung pada Warhol yang merangkul budaya pasar. Simposium ini menjadi nada positif untuk menerima pemikiran Warhol. Sepanjang dekade itu menjadi lebih jelas bahwa telah terjadi perubahan besar dalam budaya dunia seni, dan bahwa
Warhol berada di tengah pergeseran tersebut. What’s great about this country is that America started the tradition where the richest consumers buy essentially the same things as the poorest. You can be watching TV and see Coca Cola, and you know
that the President drinks Coca Cola, Liz Taylor drinks Coca Cola, and just think, you can drink Coca Cola, too. A coke is a coke and no amount of money can get you a better coke than the one the bum on the corner is drinking. All the cokes are the same and all the cokes are good. Liz Taylor knows it, the President knows it, the bum knows it, and you know it. (Andy Warhol) Berbeda dengan Barbara Kruger asal New Jersey - AS, perupa konseptual yang pernah membuat karya dengan teks yang sangat dikenang publik seni dunia: I SHOP THEREFORE I AM. Banyak karya Kruger menggabungkan foto temuan dari sumber yang ada dengan teks bernas dan agresif yang melibatkan pemirsa dalam perebutan kekuasaan dan kontrol. Banyak teks-nya mempertanyakan pengamat tentang feminisme, konsumerisme, dan otonomi individu serta hasrat. Penjajaran citra dan teks yang berisi kritik terhadap seksisme dan sirkulasi kekuasaan dalam kebudayaan menjadi motif berulang dalam karya Kruger. Sedangkan pada perkembangan seni rupa di Indonesia. Beberapa perupa yang ikut dalam Gerakan Seni Rupa Baru , didekade 1970-an, pernah meminjam tanda-tanda budaya populer ini dalam karya-karya mereka. Mengartikulasikan bagaimana estetika luhung bertemu dengan apa yang disebut (Alm) Sanento Yuliman sebagai seni rupa bawah. Pada perkembangan saat ini, ada
banyak karya – karya yang bersentuhan dengan persoalan budaya konsumerisme secara langsung maupun sebagai tanda-tanda visual yang terkait dengan konsepsi lain. Pameran ini SHOPPING, sekaligus memaknai atau membaca kembali teks yang ditulis oleh Goenawan Mohamad (biasa dipanggil dengan GM), lewat kolom Catatan Pinggirnya di majalah Tempo awal bulan Juli lalu. Dengan menyertakan rangkaian teks asli dalam satu rangkaian pembacaan karya-karya. Mencari Kemungkinan Refleksi dalam Repetisi dan Simulakrum Ada satu watak dalam estetika era konsumerisme saat ini, adalah pengulangan – pengulangan atau repetisi. Seperti yang diungkap oleh GM : “ Repetisi tampaknya punya peran tersendiri di sini. Ia perpanjangan dari sifat fashion. Fashion, atau mode, tiap kali memang memperbarui diri, tetapi sebenarnya ia merupakan cerminan pengulangan. Ia hidup dengan membuat keinginan datang berulang kali untuk memperoleh merek favorit itu lagi, lagi, dan lagi.” Karya Arief Tousiga, “ After Soap Box “ , dan Ketut Moniarta dengan “Pocari Box”, merepresentasikan bagaimana suatu ikon atau citra diulang – ulang, yang dalam logika teknologi reproduksi kemudian beresonansi menjadi citra mental, seperti yang kemudian diistilahkan Jean Baudrillard sebagai simulakrum. Tousiga menghadirkan citra piksel yang kasar melalui objek tiga dimensional yang mengapropriasi kotak sabun Brillo -nya Warhol. Karyan-
ya menjadi objek simulakrum sebagai permainan tanda terhadap persepsi dan optis pengamat namun dengan dimensi tiga dimensional. Mirip dengan karya Moniarta yang berupa kotak minuman Pocari Sweat, lebih cenderung memainkan tanda dengan lukisan foto-realisme tiga dimensinya. Berbeda dengan Abdi Setiawan dengan ‘’ The Shooter “ , yang membuat dua kotak produk rokok lokal sebagai penggambaran sarkasme dan ironi. Dikedua kotak rokok itu, diletakan patung anak kecil, wajahnya dicat seperti macan dan memakai kaos loreng tentara, sedang membidikan pistolnya. Bermain menjadi tanda harfiah dan sekaligus metaforis. Apakah dengan kotak produk rokok itu maupun dengan si anak yang terlihat paradoks. Dipo Andy , lewat “Canting Project“, menghadirkan deretan canting bekas didalam kotak transparan, dengan garis – garis berwarna, meleleh dan membentuk lukisan abstrak. Karyanya mengingatkan kita pada kegiatan produksi kain tradisional (batik), yang beberapa waktu lalu menja-
di persoalan nasional dengan bangsa serumpun. Keduanya menyiratkan persoalan produk lokal dan identitas sebuah masyarakat. Nadya Savitri menghadirkan permainan tanda lewat tanda, lewat benda peralatan bengkel dengan simbol atau ikon sebuah produk fashion global terkenal yang menjadi mitos. Karya ini mengartikulasikan dan kemudian mendekontsruksinya sebagai tanda dengan hasrat untuk mempermainkannya dan mengubahnya menjadi citra personal. Tanda atau merek disini sebagai suatu pengulangan yang GM suratkan, “ tanda-tanda yang perlu mengulang-ulang kehadirannya karena ia adalah penanda yang ingin diingat. Sebagai keseluruhan, etalase-etalase dengan manekin dan poster yang itu-itu juga ingin meninggalkan bekas di bawah sadar kita, agar mereka (Zara, Prada, Giorgio Armani, Versace...) terkait secara permanen sebagai penanda kemolekan, ketampanan, kemutakhiran, yang makin memenuhi angan-angan kita”. Syagini Ratnawulan menghadirkan lambang atau simbol dewa Yunani, “ Caduceus Staff “ , menonjol diatas sebuah kanvas, menghadirkan citra mitologi untuk menjelaskan dasar dari budaya konsumerisme dalam peradaban manusia. Radi Arwinda, dengan karya cetak dijital “ HOPET”, dengan citra diri dengan watak komikal, berpakaian babi dengan jenaka, mengartikulasikan mitos ‘babi ngepet’ dalam kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan cara menjadi kaya raya dengan mudah.
Permainan tanda konsumerisme mutakhir dengan paradoks dan tak-bertempat (displace), dilakukan oleh Agan Harahap, pada karya foto-dijitalnya “ Sarinah, Jakarta “ dan “Kelapa Gading Mall, Jakarta” , citra mahluk purba, dinosaurus yang tengah berada disekitar pertokoan dan mall, seperti mencibir manusia kontemporer yang diliputi oleh kemilau yang impian-impian melalui dunia materi, menjadi salah tempat dan konteks waktu. Karena memang, menurut GM “ untuknya, konteks tak diperlukan”, mungkin termasuk konteks waktu dan tempat yang menjadi dilipat dan generik. “ Di dalam etalase mall itulah agaknya pelbagai komoditas, diwakili manekin berdandan dan poster wajah dan tubuh yang memikat, “seakan-akan sosok-sosok yang otonom” yang hadir “dengan kehidupan mereka sendiri”, seperti dikatakan Marx ketika ia berbicara tentang “fetisisme komoditas” dalam Das Kapital. Benda-benda itu bukan lagi seperti produk dan kreasi orang. Mereka berhubungan dengan sesama mereka, selain dengan umat manusia”. Angki Purbandono lewat karya scanografinya “ Shopping”, menghadirkan citra benda-benda , tutup botol minuman, boneka miniatur plastik yang berjejal didalam kotak plastik. Merepresentasikan kehidupan masyarakat modern yang kesehariannya dipenuhi barang industri . Perilaku Angki yang memungut benda-benda ini, mirip juga dengan yang dilakukan Indra Ameng, dengan karya “Second Hand Shop”,
menghadirkan koper berwarna hitam yang berisi berbagai macam buku dan benda lain, dengan membelinya dari tempat penjualan barang loakan. Ia pun meninggalkan jejak dengan menyajikan cetakan foto – foto di lokasi dimana ia membeli barang bekas tersebut. Baginya menjadi satu catatan perjalanan personal bagaimana dunia barang loak punya daya tarik tersendiri. Davy Linggar, menghadirkan karya “ Welcome To Aoyama” , sebuah lukisan dengan citra peta perjalanan belanja, yang ia lakukan di wilayah perbelanjaan di kota Tokyo, Jepang. Sebuah peta daerah pusat perjalanan belanja dengan menawarkan produk fashion dan gadget mutakhir, dimana ia sering menemui ada banyak perubahan atau pergantian nama toko. Hal ini menandakan bagaimana sistim ekonomi dan industri saat ini berputar secara cepat dan sesaat. Ia seolah menorehkan secara pribadi ritual belanja itu dan memberi tanda-tanda khusus ketika jejak itu hilang atau berganti pada kanvasnya. Sementara Ade Darmawan melalui karya cetak dijital “Pentagram”, menghadirkan pentagram dengan potongan citra dan teks yang mengerikan. Pentagram dihubungkan dengan dunia sihir, dan banyak orang yang mempunyai kepercayaan paganisme mengenakan kalung berbentuk pentagram. Agama Kristen pernah menggunakan pentagram dengan umum untuk melambangkan lima luka Yesus, namun umat Kristen saat ini mengaitkan bentuk tersebut dengan
Setan. Meskipun begitu, Ade menggunakannya sebagai simbol sihir yang berhubungan dengan dunia konsumerisme. Karya Theresia Agustina S. (Tere), “Atas Nama Keinginan”, berupa sebuah kemeja putih dengan lengan panjang yang berjumlah banyak dan suara mesin jahit , melalui speaker yang bergelantungan. Berhubungan dengan tubuh sebagai metafor dan juga lokus dimana hasrat atau kehendak bahkan obsesi untuk memiliki benda-benda itu. Demikianlah di kaca-kaca yang tak kunjung habis itu mereka bersaing, tapi semua melihat ke arah kita, mengajak kita masuk ke dalam dunia di mana mereka jadi pusat. Kaca itu seakan-akan menyediakan diri sebagai cermin. Dan sebagaimana layaknya cermin, ia menyajikan ilusi tentang diri yang utuh. Ia juga mendorong kita untuk melihat diri sendiri silih berganti antara “tampan” dan “kurang tampan”. (GM) Karya Prilla Tania, “Cheap/Murah” lewat proyeksi lampu dengan angka 90%, dimana benda dan angka-angka menjadi tanda untuk waktu memenuhi hasrat belanja. Sementara Terra Bajraghosa dengan karya “ Faster Shopper” , menampilkan lukisan perempuan seksi yang penuh rayuan dengan blok mesin dipunggungnya. Menjadi ambigu antara tubuh sebagai tanda bujuk rayu dan tubuh sebagai korban. Mengutip GM : “ Hasrat adalah tanda manusia sebagai kekurangan. “Menghasratkan,” kata Gabriel
Marcel, yang menulis sebuah telaah fenomenologis yang terkenal tentang “punya” (l’avoir), “adalah punya tanpa mempunyai.” Karya Sri Astari, “ Shopping For Recovery” , seolah menyindir secara sarkasme, tentang dunia shopaholic. Dengan keranjang besar alumuniaum, bertuliskan teksteks yang seperti menjadi ungkapan dua sisi suatu pribadi.
problematik hidup. Akhirnya, karya Wiyoga Muhardanto, “Their Turn”, berupa standing banner dari bahan resin , selain untuk mengecoh persepsi, juga merepresentasikan bagaimana benda seni seperti lukisan dan lainnya, pun menjadi simbol fetshisme yang paling tinggi dan mutakhir, diperagakan dalam sebuah mall.
Karya instalasi Anggun Priambodo, Toko Keperluan, yang mengapropriasi toko ritel barang-barang kebutuhan sehari-hari, yang saat ini tengah menjamur di setiap wilayah perumahan maupun perkantoran. Karya interaktif ini juga meniagakan barang-barangnya, seperti boneka, mainan, raket, dan lain sebagainya lengkap dengan fasilitas ATM dan kotak pendingin serta tayangan video peraga, sebagai bentuk promosi dan manfaat benda-benda itu dengan jenaka. Karyanya merepresentasikan juga bagaimana hasrat kebutuhan akan membeli sesuatu antara perlu dan tak perlu , semakin tak berjarak dengan kehidupan, telah dimulai sejak masa lalu.
***
Fotografer Adhya Ranadireksa dengan menghadirkan karya fotografi tiga citra mata uang kertas rupiah yang bentuknya terdistorsi karena refleksi cermin, dan Yusra Martunus menghadirkan lukisan berjudul “Signature”, dengan citra kabur (blur) sebuah kartu kredit yang tanda-tangannya dilumuri cat. Karyanya merepresentasikan bagaimana hal tersebut menjadi sistim yang berlaku dalam masyarakat modern. Suatu sistim yang dipercaya sekaligus mendatangkan banyak
Tapi di mana akhirnya? Mall demi mall, etalase demi etalase, akan selalu mengulangi ritualnya. Manusia hanya bisa bebas jika ia melintasi obsesi ini: milikku, milikku, milikku.... Acuan: 1. http://en.wikipedia.org/wiki/Shopping 2. http://en.wikipedia.org/wiki/Andy_ Warhol 3. http://en.wikipedia.org/wiki/Barbara_Kruger 4. http://www.tempointeraktif.com/ caping/ 5. http://en.wikipedia.org/wiki/Caduceus 6. http://id.wikipedia.org/wiki/Pentagram 7. Artists Statement
Sejak jaman ketika S. Soedjojono mengritisi corak lukisan yang dijulukinya “ Hindia Molek “ atau dikenal “Mooi Indie”, sebenarnya yang disebut realitas dalam cara pandang para pelukis serta merta menjadi problematis. Soedjojono seolah berartikulasi dengan persoalan persepsi terhadap apa yang terlihat dan diyakini (way of seeing and belief ), bahwa realitas adalah suatu konstruksi yang dibentuk oleh manusia modern, terutama oleh perkembangan teknologi (fotografi dan media baru) dan posisi subyek ketika memandang suatu lansekap atau kenyataan disekitarnya. Dalam hal ini Soedjojono berupaya membedah cara pandang kolonial terhadap realita alam sekitarnya yang selalu dihadirkan dengan cantik, indah, damai tanpa problematika. Bisa dikatakan dalam pameran dua perupa ini memperlihatkan olahan lanjut dari kritik dan artikulasi dalam membedah realitas yang disebutkan Soedjojono. Kedua perupa Andy Dewantoro dan Davy Linggar, masing – masing tertarik dengan melukis, fotografi, serta teknologi media baru, walaupun dengan cara yang berbeda.
Cold Memories The real voyage of discovery consists not in seeking new landscapes but in having new eyes. – Marcel Proust (1871 – 1922)
Andy Dewantoro adalah seorang pelukis dengan kecenderungan citra yang foto-sinematis. Hampir selalu menggunakan fotografi sebagai cara untuk menangkap dan merekam subyek-subyeknya, mengolahnya melalui komputer lalu kemudian memindahkannya ke atas kanvas. Sementara Davy Linggar, dikenal seorang fotografer yang kadang melukis
yarakat . Cerita-cerita keberadaan mahluk halus yang sering menghuni tempat-tempat seperti itu dan kemudian menjadi lagenda urban, seperti yang ditayangkan melalui reality show dilayar kaca setiap minggu. Inilah sebuah citra horor yang bersemayam dalam ingatan-ingatan kita setiap melewati suasana yang serupa dengan pemandangan itu. Karya Andy Dewantoro mulai dikenali secara khas dengan menghadirkan rangkaian lukisan panorama sebuah lansekap kota senja hari ke malam. Lampu-lampu temaram menjadi kumpulan cahaya yang tampak berupaya mengalahkan gelap. Seperti yang diutarakan lewat catatan kurator Jim Supangkat lewat catatan pameran tunggal Andy beberapa waktu lalu,
dan membuat objek-objek seni. Keduanya menggunakan medium fotografi dalam menangkap realitas dibalik lensa sebagai keberangkatan berkarya. Alih-alih keduanya tak menggunakan fotografi sebagai idiom yang selesai begitu saja. Keduanya punya kecenderungan merekayasa ulang foto maupun obyek yang akan menjadi subyek karyanya. Sebagai tindak lanjut artistik visual maupun sebagai ungkapan kritis terhadap medium, baik fotografi maupun seni lukis. *** Lewat lukisan terbarunya, Andy menyuguhkan pemandangan bangunan – bangunan yang seolah terabaikan
oleh manusianya, hanya ditemani semak belukar dan pepohonan yang hampir menutupi keberadaannya. Sehingga bangunan itu nampak seperti monster-monster dalam lagenda rakyat yang muncul dari dalam hutan yang tak terjamah, dibuang jauh ke jurang ingatan. Bangunan – bangunan terabaikan banyak kita temukan di tengah-tengah hutan atau ditengah belantara komplek permahan dikota-kota besar. Tak berpenghuni bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Di kota-kota seperti Jakarta atau Bandung misalnya, banyak gedung, rumah tua ditinggalkan karena sengketa, atau memang sengaja tak dihuni, yang kemudian sering menjadi dianggap tempat “angker” oleh mas-
gambaran kota pada lukisan Andy bukan merepresentasikan kota yang ia inginkan tapi satu suasana yang menggunakan berbagai imaji tentang kota. Karena kota sebenarnya hanya sebuah media untuk menampilkan suasana ini dan suasana dalam imajinasinya berkaitan dengan pengalaman personal yang sebenarnya tidak langsung punya kaitan dengan suasana kota. Andy memang selalu melakukan observasi langsung dengan mengunjungi dan mengamati kota-kota, baik di dalam maupun luar negeri, untuk kemudian dijadikan gagasan berkaryanya. Karya-karya Andy, seolah mampu merekonstruksi ingatan – ingatan kita terhadap citra gedung – gedung, rumah dan lansekap tersebut, dengan meng-
hadirkan kembali fragmen – fragmen yang mungkin pernah kita saksikan dalam penggalan sebuah tayangan film atau acara televisi, yang saat ini sebagai acuan kolektif atau konstruksi cara pandang masyarakat global. Lukisan-lukisannya memancarkan citra mental (mental image) , suasana sepi yang melankolis bercampur dengan horor. Dalam beberapa lukisannya, Andy bahkan menampilkan fragmenfragmen yang cenderung samar (blur) akibat dari penggalan yang diperbesar maupun cara menguaskan catnya. Menambah suasana menjadi temaram penuh misteri. Suasana atau mood yang diciptakan oleh Andy, seperti juga yang dikemukakan Jim bahwa citra lansekap tersebut merupakan media ungkapan sang seniman. Lalu apakah juga lukisan – lukisan dan karya videonya itu sebagai representasi umum terhadap ingatan-ingatan horor tersebut ? Toh horor yang disebarkan secara serempak oleh media massa juga telah bercokol dalam benak banyak orang. Atau malah Andy lebih berperan sebagai sang sutradara yang mendaur ulang citra horor tersebut untuk kita ? Disini karya-karyanya menghadirkan suatu rangkaian tanda – tanda yang memungkinkan membangkitkan mood tertentu. Ia tak punya intensi menandai konteks sosiologis dan historis dari lansekapnya. Hal yang serupa dengan karya-karya Davy Linggar, yang menghadirkan serangkaian lukisan dan foto polaroid yang dicetak kembali diatas kanvas. Kita bisa melihat bagaimana
ia memainkan tanda-tanda dengan menampilkan citra mahluk, binatang dengan perilakunya yang aneh. Davy membuat lelucon, sinisme, sarkasme dan ironi lewat objek mainan yang ditata sedemikian rupa: dinosaurus, babi, rusa, anak domba, lalu kemudian ia foto dengan polaroid. Lalu ia pindahkan ke atas kanvas sebagai lukisan atau dengan melakukan lelehan dan brush stroke cat diatas medium foto yang dicetak ke kanvas lebih besar setelah dipindai. Sehingga citranya menjadi agak kabur dan samar, tapi kita bisa melihat gambar berubah mood, menjadi tampak enigmatik, liar dan lucu. Watak karya-karya Davy memang selalu memainkan aspek-aspek ironi dan bahkan hal-hal yang dianggap tabu dalam masyarakat. Dalam karyanya kita bisa perhatikan ada perilaku dinosaurus sedang menyenggamai seekor babi. Seperti yang ia ungkapkan : “ Didalam masyarakat kita saat ini banyak sekali tuntutan sosial yang membuat orang menjadi munafik. Mengharamkan dan mencemooh halhal yang sebenarnya justru adalah penolakan dari hasrat mereka yang paling dalam “. Sehingga karya-karyanya menjuktaposisi tanda-tanda yang harus dihindari oleh ingatan kolektif moralitas masyarakat. Watak yang subversif ini justru ingin menelanjangi tiap moral manusia yang diselubungi nilai-nilai yang dibentuk oleh keyakinan dan dogma – dogma. Tiap karya berpotensi untuk mengelupas tiap lapisan-lapisan nilai tersebut, namun dengan suasana bersenang – senang (excitement) yang kadang
tak rasional, atau ecrits dalam wacana psikoanalisa Lacanian. Davy Linggar adalah seorang fotografer dengan cara pandang yang tak lazim dan sekaligus pelukis yang seolah menghayati benar nilai kehidupan dalam masyarakat saat ini. Pengalamannya dalam dunia foto-komersial dan dunia gagasan seni setidaknya banyak berhubungan dengan beragam watak manusia dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini juga mempengaruhi penggunaan spektrum bahasa gambar yang lebih luas, walaupun hampir dipastikan tanda-tanda itu juga berkaitan ungkapan personalnya. Disini kepribadiannya diungkapkan selain dengan penyusunan objek-objek tapi juga dengan kuasan cat diatas citra foto. Kritikus Hal Foster dalam Return Of The Real mengetengahkan gejala “trauma pada realitas” melalui pengalaman citraan fotografi maupun yang bergerak (film dan televisi ). Gejala kegagalan atau kebingungan persepsi dalam masyarakat kontemporer menghadapi realitas. Ia mencontohkan bagaimana trauma tersebut diartikulasikan dengan memberikan efek samar oleh goresan maupun kuasan, seperti dalam karya-karya fotorealisme Gerhard Richter maupun karya pop art Andy Warhol. Sedangkan karya – karya Andy Dewantoro dan Davy Linggar, keduanya tertarik merekonstruksi realitas baru dari apa yang mereka buat. Mereka berdua menghadirkan ingatan – ingatan personal melalui karya-karya mereka, menjadi tanda-tanda yang bebas tafsir dan beringsut menjamah
ingatan-ingatan kita. Ingatan-ingatan yang mungkin saja berada jauh dibalik kesadaran. Ingatan-ingatan yang telah “dingin” mungkin tiba-tiba muncul dan menggerakan hasrat untuk mampu melihat kembali ke dalam realitas lain. Soedjojono mungkin akan kembali bertanya-tanya, dimana letak jiwa khetok ? Rifky Effendy. Kurator pameran.
ROOM IS MINE
Juni 2010 Edwin’s Gallery Jakarta Art District - Grand Indonesia Shopping Town, East Mall Lv. LG Street: Jl. M.H. Thamrin No. 1 City/Town: Jakarta, Indonesia Curator : Rifky Effendy aka Goro Agan Harahap | Desziana | Dimas Nugroho | Francy Vidriani | Henry Foundation | Indra Widiyanto | Leyla Aprilia | Marishka | Mimi Fadmi | Mujahidin Nurrachman | Nuri Fatima | Octianita Kusmugiarti | Rima Mariana | Romi Armon | Utin Rini
“CRITICAL POINTS”
Curated by Rifky Effendy
Artists: AGUNG KURNIAWAN, ASMUDJO J. IRIANTO , TISNA SANJAYA, ARIN DWIHARTANTO, FAISAL HABIBI, WIYOGA MUHARDANTO, ALBERT YONATHAN SETIAWAN, HERRA PAHLASARI, SUNARYO, TOMMY ADITAMA PUTRA, YUSUF ISMAIL, SYAGINI RATNAWULAN, J. ARIADHITYA PRAMUHENDRA, ISA PERKASA, SAFTARI, ERIANTO An exhibition of contemporary installation, video, and painterly art To be opened by: Mr. August Parengkuan Hosted by: Ms. Olivia Wongso Thursday, 12 August 2010, at 19.00hrs (Break fast refreshments served at 18.00hrs) Edwin’s Gallery Jl. Kemang Raya No 21 Jakarta Selatan
SUATU
MOMENT
Galeri Canna 9th Anniversary Exhibition 18 November – 5 December 2010
DALAM
ABSTRAK(SI)
Arin Sunaryo Albert Yonathan Setiawan Ahadiat Joedawinata Andy Dewantoro Andi Rharharha Anggara Tua Sitompul Erianto Natas Setiabudhi Dadan Setiawan Putu Wirantawan Terra Bajragosa Sunaryo Stefan Buana Syah Fadil Teguh Ostenrik Victor Angelo Yusra Martunus Yuki Agriardi
mat tersebut sangat erat kaitannya dengan hal-hal yang berhubungan dengan tampilan visual. Begitu pula bila kita hubungkan dengan sebuah karya seni, cantik dalam dunia seni rupa mungkin bisa kita katakan sebagai nilai Estetika dalam sebuah karya seni. Semua bidang seni selalu mengarah dan berhubungan dengan kata Cantik tersebut, mulai dari lukisan, drawing hingga fotografi, setiap seniman entah sadar atau tidak akan menghasilkan suatu karya yang cantik, yang sedap dipandang atau setidaknya menarik dari segi estetika. Menurut kuratorial Pameran yang ditulis oleh Rifky Effendy ini Beauty Case adalah judul yang diambil dari nama sebuah kotak perlengkapan yang berisi peralatan kecantikan atau make up, yang populer di dekade 70-an, kotak itu biasa dijinjing oleh kaum perempuan yang sibuk dan harus berpindah tempat , sehingga secara cepat mereka bisa berdandan dan tampak kembali cantik. Sehingga dari Beauty Case atau kotak kecantikan ini kita bisa menandai suatu era dimana tampil cantik bisa dimana saja bahkan ditengah perjalanan sekalipun.
Anton Ismael, Ayu Arista Murti, Bunga Jeruk, Cinanti Astria, Davy Linggar, Dita Gambiro, Eko Bintang, Endira, Gintani Nur Apresia Swastika, Indra Leonardi, Keke Tumbuan, Prilla Tania, Nadya Savitri, Octora, Syagini Ratnawulan, Teguh A.P, Tisa Granicia, Yogie Ahmad Ginanjar, Yudi Yudoyoko, Yusuf Ismail
Exhibition Name : Beauty Case Place : Jakarta Art District Curator : Rifky Effendy Time : Desember 2011 Apa yang terlintas di pikiran Anda saat saya menyebutkan kata ‘Cantik’? mungkin yang hadir dalam imaginasi Anda adalah seorang Wanita. Cantik memang identik dengan wanita, kali-
Eko Bintang | ‘Beauty is The Beast’ | crilyc on cutted woodboard | 60 × 70 cm | 2011 Beauty Case adalah sebuah pameran grup yang diselenggarakan oleh Jakarta Art Districk yang juga sekaligus menjadi perayaan ke 20 Majalah DEWI. Seperti yang sudah kita ketahui, DEWI adalah majalah
gaya hidup wanita Dewasa yang berhubungan dengan erat dengan makna Cantik, karena disana selalu disajikan berbagai macam artikel mengenai dunia kecantikan mulai dari karir, gaya hidup hingga berbagai macam iklan produk yang mendukung kecantikan seperti Make Up, Fashion hingga Aksesoris. Pameran yang dibuka oleh oleh Ibu Melani Setiawan serta Host oleh Indah Ariani ini menghadirkan 20 karya seniman muda kontemporer Indonesia yang cukup banyak menarik perhatian saya, seperti Bunga Jeruk yang manghadirkan 2 buah karyanya berupa Painting dan Patung, sudah lama saja menyukai ilustrasi Bunga Jeruk dan terutama karya patungnya. Lalu juga ada Eko Bintang dengan karyanya yg berjudul ‘Beauty is The Beast’, Eko mengatakan bahwa Beauty/Keindahan itu bisa sangat mengerikan, karena sesuatu yang terlalu indah tidak bisa kita jaga lalu mungkin akan binasa dengan kenyataan pahit bahwa Beauty/Keindahan itu tidak selalu berarti baik, tetapi kebaikan itu selalu berarti Indah. Selain menghadirkan karya Panting, patung dan Fotografi, dipameran ini kita bisa melihat 2 karya Video dari Yusuf Ismail dan Prilla Tania.
FINDING ME Semarang Contemporary Art Gallery 12 Nov, - 26 Nov, 2011
Group Exhibition by: ARIE DYANTO - BAMBANG ‘TOKO’ WITJAKSONO - DARBOTZ - EddiE haRA - EKO NUGROHO - EUNICE NUH - FARHAN SIKI - HENDRA ‘HEHE’ HARSONO - HERDE - HERI DONO - IWAN EFFENDI - POPOK TRIWAHYUDI - R.M. SONI IRAWAN - RADI ARWINDA - ROCKA RADIPA - SANCHIA TRYPHOSA HAMIDJAJA - TERRA BAJRAGHOSA - UJI HANDOKO EKO SAPUTRO - WEDHAR RIYADI
FINDING ME (his)Story of Lowbrow, Street art , and Kemunculan istilah lowbrow art berAnimamix In Indonesia mula di Los Angeles, California di dekade 1970-an , sebagai sebuah gerPameran FINDING ME , mengeten- akan bawah tanah dan akar rumput gahkan soal praktek seni rupa kon- seni rupa yang berasal dari sub-kultur temporer Indonesia ,dengan kecend- seperti juga musik punk, komik bawah erungan komikal, kartun dan seni tanah dan lainnya. Sering disebut denjalanan atau biasa disebut lowbrow. gan pop-surealisme. Hampir semua Trend ini – bila disebut sebuah ge- karya-karyanya sering memiliki rasa jala visual- menjadi fenomena yang humor yang ceria, kadang-kadang namenarik dalam kurun waktu sepuluh kal, dengan komentar-komentar yang tahun terakhir, terutama berhubun- sinis. Lowbrow dianggap karya seni gan dengan fenomena seni rupa kon- kelas rendah dan lawan dari hightemporer global. Nama-nama, seperti brow, dimana sebagian praktisinya Eko Nugroho, Wedhar Riyadi, Radi tidak mengenyam pendidikan resmi Arwinda dan lainnya tentunya menja- seni rupa. Karya -karya lowbrow sebadi nama yang tak asing ; baik dalam gian besar adalah berbentuk lukisan, pameran-pameran, art -fair , bien- grafiti, mural, tetapi ada juga mainan nale hingga acara lelang. Kepopul- (toys), seni digital, dan patung. eran gaya ‘neo-pop’ (kadang disebut pop-surrealisme) ini dimulai ketika be- Diawali oleh beberapa seniman yang berapa perupa Jepang seperti tokohn- menguarkan apa yang kemudian dikeya Takashi Murakami atau Yoshitomo nal sebagai seni kelas rendah (LowNara memukau publik seni kontem- brow) adalah kartunis underground porer dunia dengan karya-karya yang seperti Robert Williams dan Gary menggunakan karakter dan unsur cit- Panter. Karya-karya mereka dipamerraan komik Jepang : Manga dan Anime kan di galeri alternatif di New York dan (animasi Jepang), di periode 1990-an. Los Angeles seperti Galeri PsychedelSelain juga di dorong dan ter-inspirasi ic Solution di Greenwich Village, New oleh suatu fenomena, di era sebelum- York yang dijalankan oleh Jacaeber nya , terutama kemunculan gerakan Kastor, La Luz de Jesus yang dikeloPop-Art di era 1960-an dan kemudian la oleh Billy Shire serta sebuah galeri 1980-an, pernah muncul praktek seni di Hollywood , yang dikelola oleh John jalanan (street art) yang diserap ke Pochna. Gerakan ini terus tumbuh dalam wilayah ‘fine art’, seperti ikon pesat, dengan ratusan seniman yang seniman jalanan Jean-Michel Basqui- mengikuti dan mengadopsi gaya ini. at (1960 –1988), dari New York, AS, Karena jumlah praktisinya bertamyang berhasil diangkat oleh art dealer bah, kemudian muncul lagi sejumlah menjadi “bintang baru” seniman pas- galeri yang juga ikut memamerkan ca Pop-Art. karya-karya penting. Robert Williams kemudian menerbitkan majalah JuxSeni Rupa dari abad 21 tapoz pada tahun 1994, majalah ini
kemudian menjadi acuan utama yang memicu tumbuhnya praktek seni ini lebih luas hingga ke Indonesia. Sedangkan belakangan ini, istilah Seni Animamix muncul sebagai perkembangan lanjutan, dimana ketika unsur dunia animasi (anime), komik dan komputer game, mulai diadaptasi kedalam bentuk-bentuk karya lukisan, patung dan urban toys. Istilah Animamix sendiri dimunculkan oleh
yang muncul dan bisa ditemukan di seluruh ranah creative industri . Praktisi animamix adalah suatu generasi baru yang lahir ditengah keberlimpahan ikon visual, dimana bentuk estetik animamix telah menyerbu kehidupan sekarang. Lebih lanjut, Lu mengatakan bahwa Animamix Art tak hanya mengacu kepada animasi dan komik saja, tapi juga produk-produk industri mainan, grafis dan lainnya, yang banyak ditemukan disekeliling kehidupan
Takashi Murakami banyak diadopsi para perupa animamix saat ini. Ia sendiri mengadopsi cara Andy Warhol dalam memproduksi karya-karyanya, yang mendirikan “factory”. Murakami bahkan lebih jauh lagi melangkah dengan membuat perusahaan besar, seperti Walt Disney’s, dimana memperkerjakan banyak perupa, perancang grafis bahkan ahli pemasaran mutakhir. Menghasilkan banyak produk, seperti t-shirt, benda-benda seperti boneka dari karakternya. Bahkan pernah bekerjasama dengan perancang tas terkemuka perancis, Louis Vuitton. Hal ini menandakan bahwa seni kontemporer , khususnya para perupa animamix maupun lowbrow sangat cair dengan industri gaya hidup. Maple Yujie Lin, kritikus dan kurator Taiwan pada tahun 2009, mengemukakan, pada abad ini terjadi banyak persilangan dan percampuran standar estetika seni dengan dunia industri, dalam karya-karya seni rupa kontemporer animamix yang disebabkan oleh gaya hidup sub-kultur dan budaya konsumerisme, juga penolakannya :
kritikus dan kurator asal Taiwan, Victoria Lu yang mengemukakan suatu wacana dalam pameran “ Fiction@ Love Ultra New Vision in Contemporary Art”, di MOCA-Taipei tahun 2004. Ia mengemukakan bahwa Animamix Art adalah suatu neo-estetik abad 21
kita. Cara – cara berkesenian era animamix juga menarik dan banyak merubah bagaimana persepsi sebagai seorang perupa kontemporer. Pengaruh konsep dan strategi seperti perupa
Contemporary art is constantly reflecting the most representative imagination of the current generation, pushing it to its limit and exploring its boundaries. In contemporary art, the trend of Animamix (animation + comics) art is a breakthrough of aesthetic standards, for it captures the lifestyles of subcultures, blending the contradicting worlds of high art and popular culture, mainstream and subculture, and consumer culture and counter-culture. (Maple Yujie Lin , 2009)
Kelas Seni Rupa Bawah ke Atas Booming pasar seni rupa kontemporer di Indonesia, dalam kurun tiga tahun terakhir seolah memberikan peluang bagi para praktisi seni jalanan untuk berpartisipasi dalam wilayah ‘fine-art’ sebagai suatu alternatif pasar seni lukis atau komodifikasi lanjut perkembangan seni lukis. Muncul para perupa dengan semangat lowbrow, dari Yogyakarta, seperti karya-karya Wedhar Riyadi, Nano Warsono, Terra Bajhragosa, Uji ‘Hahan’ Handoko , dan lain sebagainya, menjadi fenomena yang khas dalam perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia. Tetapi khususnya dalam medan sosial seni rupa di Yogyakarta , publik tentunya masih ingat dengan kelompok Apotik Komik yang di era 1990-an, memelopori munculnya estetika semacam ini, dimana mereka : Samuel Indratma, Popok Triwahyudi, Bambang Toko, Arie Dyanto dan lainnya, aktif memperkenalkan praktek seni publik seperti komik dan mural. Gerakan ini memengaruhi para perupa muda yang baru lulus dari seni lukis dan grafis ISI, beberapa otodidak. Kemudian muncul indvidu serta kelompok , seperti Farhan Siki dan kelompok Daging Tumbuh, khususnya Eko Nugroho, yang banyak bereksperimen dan mengembangkan media komik alternatifnya dan sebagai aktivis mural kota. Kurator Rain Rosidi mengemukakan bahwa di Jogjakarta gerakan seni urban dengan kesadaran lebih besar antara seni dengan persoalan urban
kota, mulai digulirkan dalam proyek “Mural Sama – Sama” yang digagas Apotik Komik tahun 2002. Proyek ini disadari memberi pengaruh yang besar terhadap gerakan seni di Yogjakarta. Terutama bagaimana membawa kesadaran perupa untuk melihat aspek ruang publik dan ketegangannya. Bisa dikatakan gaya seni seperti sering disebut Rain Rosidi, dengan istilah ‘Jogja agro-pop’ , mengacu kepada konteks kondisi kehidupan serta medan sosial seni rupa (di Yogyakarta), dimana berlebihnya produksi citraan atau images dari wilayah publik dan perkembangan mainstream seni rupa global, serta produksi industri kreatif populer seperti komik, kartun, animasi dan film, komputer game, grafiti, seni tatto dan sebagainya. Alih – alih keberlimpahan ini menciptakan benturan-benturan dan ketegangan dengan kondisi sosial – ekonomi – budaya urban, dimana komunitas perupa hidup dan bekerja berdampingan. Sehingga menjadi sangat menarik bila kita memperhatikan ungkapan-ungkapan visual maupun teks – teks mereka. Mereka sangat sadar bahwa aspek visualisasi begitu penting sehingga unsur bentuk, warna , ikon dan karakter-karakter hingga teks-teks , diciptakan untuk menyolok mata, kadang sangat provokatif dan terbangun makna menjadi suatu wahana komunikasi yang khas. Representasi persoalan lokal-global sering muncul jelas dalam karya-karya mereka. Tetapi pada perkembangan pasca reformasi terjadi perubahan siknifikan, para perupa muda memandang keseharian mereka.
Farah Wardani dalam pengantar kurasi “ Freedom In Geekdom” di Galeri Nadi - Jakarta , tahun 2009, mengemukakan bahwa Kebudayaan anak muda sekarang seringkali dituding karena keterlalu-berbedaannya dengan apa yang disebut oleh generasi diatasnya sebagai realitas. Generasi yang rancu diantara sejumlah ambiguitas dan hibriditas, terutama dalam ranah seni rupa kontemporer, menghasilkan tendensi-tendensi untuk bergerak bukan sekedar ideologi dan pembuatan narasi – narasi besar, pilihan kreatif interdisipliner dalam menciptakan karya komunikasi visualnya sendiri; dan menyerap inspirasi dari narasi – narasi kecil dan kehidupan sehari-hari. Bagi Farah, itulah sisi ambiguitasnya yang sebenarnya merefleksikan proses perubahan generasi muda yang harus menerima kenyataan bahwa mereka lahir dan dibesarkan dalam beragam polaritas dan konfrontasi nilai yang multidimensional dan tak kenal lelah. Ketika mesin identitas politik yang ditanamkan model orde baru yang represif dijalankan. Lowbrow dan bentuk seni jalanan dari awalnya adalah sebuah bentuk artikulasi perlawanan terhadap kekuasaan atau hegemoni . Maka pelaku seni ini dengan sadar aksi artistiknya haruslah mempertimbangkan aspek “komunikasi visual”: yang memprovokasi, menarik perhatian dan diterima pesan-pesannya oleh publik luas. Pencarian-pencarian bahasa visual yang bisa mendekati publik sangat intensif, kemudian memberikan jalan bagi munculnya alternatif estetika sebuah
karya seni. Pintu terhadap kesadaran tersebut terbuka secara pemikiran pada akhir 1970-an dimana Gerakan Desember Hitam dan Gerakan Seni Rupa Baru muncul dengan jargon-jargon yang dimana memaksa dunia seni formal akademik untuk lebih sadar terhadap nilai kelokalan. Disini juga
karya-karyanya.
muncul kesadaran bahwa praktek seni rupa sebagai bentuk ‘ komunikasi ‘ bagi orang banyak. Mungkin terdengar seperti jargon seni realisme-sosial pada era perkembangan 1960-an-ketika muncul kecenderungan seni rupa abstraksi dalam dunia seni akademi -, tetapi pemikiran ini sedikit – banyak memberikan sumbangan kesadaran kepada para seniman untuk membuat karya yang bisa dipahami orang banyak. Beberapa senimanpun menggunakan elemen-elemen, simbol-simbol keseharian maupun seni tradisi dalam
GSRB. Di Indonesia para perupa era 1980-an , terpengaruh oleh estetik dunia populer , tradisi atau seni rakyat ‘bawah’ . Seperti pada karya -karya Heri Dono dan EddiE HaRA sejak awal mengembangkan watak atau karakter – karakter dari pewayangan maupun sosok-sosok imajiner kartun, dengan permainan warna-warna kuat, pola-pola yang berani dan cenderung penuh humor dan sindiran. Menariknya semangat awal dari seni animamix maupun lowbrow juga banyak mengandung kritik terhadap persoa-
Meresapnya kecenderungan kepada ‘seni rupa bawah’ atau estetika keseharian masyarakat, seperti unsur-unsur seni populer dan seni tradisional lokal juga telah banyak diadopsi oleh beberapa perupa pasca
lan sosial-politik dan budaya, tetapi dengan cara yang lebih santai, nakal, menyentil dan riang. Latar belakang para praktisi seni lowbrow dan animamix saat ini lebih beragam secara latar belakang disiplin seni rupa. Seperti Sanchia Hamidjaja dan Eunice Nuh (Pinkgirlgowild) dari Jakarta, banyak berkecimpung da-
lam perancangan grafis, ilustrasi dan industri periklanan. Sedangkan muncul juga para perupa yang aktif dalam aktifitas sub-culture yang terlibat dalam pembuatan graffiti di ruang-ruang kota- Jakarta maupun pada acara-acara komunitas sub-kultur seperti halnya Darbotz. Dalam situs http://www. tembokbomber.com/, kita bisa cermati bagaimana komunitas-komunitas ini
hadir dan memberikan nilai-nilai baru dalam budaya seni visual di perkotaan di Indonesia. Sangat lazim kemudian, para praktisi seni low brow, animamix atau street artists menerapkan karakter-karakter artistiknya melalui benda-benda seperti, papan skateboard, t-shirt, poster, sampul CD dan lainnya.
Global
Gejala bagaimana perubahan di dalam medan sosial seni rupa menyerap aspek seni jalanan dan low brow ini dimulai sejak 2004. Rain Rosidi mencatat bahwa ada beberapa galeri yang berperan memelihara dinamika hubungan spirit kreativitas seni yang memuja Seni rupa di Tengah Perayaan Budaya ketidak-mapanan, dengan pasar seni yang mengharapkan ketertiban laku seni dan administrasinya, yang kemudian beberapa galeri sadar membangun dialog itu dengan menampilkan jejak-jejak proses kreatif dan eksperimentasi seniman dalam ruang galeri, walaupun kadang di galeri kita hanya melihat dari secuil kerja artistik para seniman ini. Tapi dari sana munculah para perupa abad 21 yang meramaikan pasar seni mainstream Indonesia. Maka pameran FINDING ME , juga menjadi suatu penampang umum dan pencatatan penting, bagaimana perjalanan dan pencarian watak / karakter para perupa diwilayah silang estetik lowbrow, animamix atau “agro – pop� dalam konteks perkembangan seni rupa Indonesia. Dengan pameran ini kita bisa mencermati karya dan meninjau bagaimana identitas visual dalam pemahaman yang lebih kompleks dan secara signifikan memberi nilainilai baru bagi pembentukan identitas baru dari silang – estetika yang tentunya mempunyai sejarah sendiri. Maka sekaligus kita bisa menjejaki dan menelaah bagaimana gerakan sub-kultur memengaruhi praktek seni rupa di Indonesia dan posisinya ditengah globalisasi.
EddiE HaRa Sosok perupa EddiE HaRa, tentunya tak diragukan lagi, dia adalah perupa yang mengawali gaya low brow atau street art diatas kanvasnya, hingga bentuk “toys” atau karya tiga dimensionalnya. Dengan mengembangkan bentukan figuratif yang imajinatif seperti kartun diatas kanvas-kanvasnya yang banyak menggunakan unsur belabar garis hitam, cipratan, pola-pola titik dan sebagainya. Terkesan liar dan kekanakan. Menerapkan warna-warna yang meriah, dan pola-pola yang atraktif yang memenuhi bidang kanvas dengan merata tanpa pusat perhatian. Kadang beberapa elemen tokohnya mengingatkan pada ikon – ikon kartun terkemuka. Karakter mahluk-mahluk yang hibrid: seperti binatang seperti kucing, tikus, kelinci, ubur-ubur dengan tengkorak, bahkan tokoh wayang dan tokoh pahlawan komik dan benda-benda keseharian. Walaupun tokoh-tokohnya bukan untuk menciptakan sebuah narasi yang khusus, namun wujud tersebut selalu hadir walaupun ber-evolusi dalam beberapa rinci, yang menunjukan adanya pengaruh suatu konteks diluar dirinya. Sering juga ia memasukan unsur-unsur teks yang meletup – letup . Ia mengakui dengan canda, bahwa ia mengasosiasikan dirinya dalam posisi dimana munculnya sub-kultur punk era 1980-an yang anarkis dan liar. Tampilan dirinya pun menjadi khas, ber-anting, model rambut dan tatto ditubuhnya yang kadang mengambil beberapa elemen dari lukisan-lukisannya. Namun dari karya-karyanya kita lebih banyak terhibur dan tergelitik
dengan humor-humor absurdnya. EddiE HaRa atau biasa sering dipanggil sebagai “om legend”, telah menjadi ikon bahkan memang lagenda hidup, sebagai seniman Indonesia yang konsisten dengan watak lowbrow ini. Heri Dono Karya-karya lukisan, objek maupun instalasi Heri Dono, terjejaki dengan jelas pengaruh dunia pewayangan dan sekaligus dengan persoalan kehidupan sosial. Beberapa ikon ciptaan Heri mengacu pada sosok-sosok atau mahluk yang berasal dari mitologi lokal (budaya Jawa). Heri memang mengagumi dan pernah belajar mengenai wayang kulit melalui Sukasman, terutama dengan tokoh – tokoh punakawan. Para dewa yang menjelma sebagai orang-orang biasa yang berwatak jenaka ini dianggap sering memberikan nilai-nilai penting, menyindir , kritik dan bahkan perlawanan terhadap kesalahan suatu kekuasaan, dengan cara yang penuh humor. Heri kemudian memberi tempat yang khusus bagi tokoh-tokoh tersebut didalam karya-karyanya. Menjadikannya sebagai wujud dalam kecenderungan alegori yang terkait dengan persoalan realisme sosial – politik. Kadang ia pun mencomot citra tokoh-tokoh kartun dari Barat , seperti Superman, Batman, dan sebagainya. Atau tokoh – tokoh sejarah dunia seperti Karl Marx dan sebagainya. Tidak dijadikan pusat, seperti pemuliaan tokoh pahlawan, tapi hanya sebagai sosok yang tampaknya lebih ingin untuk ditertawakan. Menariknya Heri juga perupa yang melakukan eksperimen-
tasi elemen -elemen material yang dipungut dari kelas rendahan , lowtech, mentah ke dalam karyanya. Dalam catatan Hendro Wiyanto tahun 2004, Heri Dono mempunyai pandangan bahwa tugas seni dan seniman adalah menjadi jembatan pengertian yang sebanyak-banyaknya agar seni menjadi bebas dan tertawa bersama manusia. Sedangkan bagi Aminudin T.H Siregar , karya-karya Heri Dono telah membuka peluang selebarnya bagi mereka yang ingin mencermati perpaduan antara estetika lokal yang selama ini dibungkam dengan estetika barat yang formalis. Maka Heri Dono mel-
dan sekaligus memberi peluang pada karya-karya dengan kecenderungan lowbrow pada praktek seni rupa arus utama.
alui karya-karyanya menyumbangkan bagaimana hibridisasi estetika karya seni rupa kontemporer di Indonesia
er dipinggir jalan ataupun tertempel di kendaraan umum , dibadan truk, sampul kaset serta seni populer
Bambang Toko Wicaksono Bambang Toko adalah anggota dari kelompok Apotik Komik dan sangat aktif melakukan kegiatan artistik dengan berbagai kelompok lain di Jogja, kota lain hingga luar negeri. Selain berkarya iapun banyak menyelenggara berbagai pameran sebagai kurator maupun membantu organisasi seni lain. Bambang Toko sangat intens mencermati grafis : stiker-stik-
lainnya atau seni kitsch. Sehingga karya-karyanya banyak mengangkat kembali citraan grafis tersebut , baik dalam bentuk lukisan maupun karya interaktifnya. Ia menjelajahi kemungkinan bahasa visual yang muncul karena ingatan kolektif pada citra yang akrab dengan masyarakat kelas bawah. Di pungut dari ranah budaya kelas bawah , diangkat ke dalam arena seni rupa kontemporer dengan mengadopsi juga cara- cara produksinya. Seperti juga karya-karya Pop-Art Andy Warhol , banyak karya Bambang dihasilkan melalui proses produksi yang lazim dalam produksi grafis populer komersial. Ia pernah mengemukakan, bahwa karya lukisannya, tak harus ia buat sendiri, cukup mengirimkan dalam bentuk file dan kemudian dilukis atau melalui stensil ke atas kanvas oleh orang lain. Karena imej lukisannya, secara prinsip sangat mudah di lakukan oleh siapapun. Pola produksi karya seperti menjadi lazim terutama dilakukan oleh perupa animamix. Arie Dyanto Publik seni rupa di Indonesia telah mengenal Ari Dyanto sebagai seniman yang aktif sejak akhir 1990an, termasuk keterlibatan dia dalam kelompok Apotik Komik. Idiom yang digunakan Ari memang cukup luas. Tak hanya di atas kanvas atau kertas, tapi juga dengan mural, neon box, piringan hitam, t-shirt, bahkan juga membuat modifikasi sepeda. Dwi Marianto, seorang penulis seni rupa, pernah mengemukakan bahwa seniman muda pada dekade 1990-an
lebih bebas, lebih sopan, lebih asertif dalam mengungkapkan persepsi atau komentar mereka masing-masing tentang kehidupan dan lingkungan mereka. Karya–karya Ari Dyanto merepresentasikan suatu kecenderungan terkini dalam perkembangan praktik seni rupa kontemporer di Indonesia. Menggambarkan bagaimana para perupa mengartikulasi diri dalam konteks seni jalanan (street art) , sub-kultur, gaya hidup anak muda, yang campur aduk, diracik ke atas sebuah kanvas. Grafiti, komik, kartun, ilustrasi, mural dan grafis stensil menyatu dalam penataan yang disusun sedemikian rupa, menjadi sebuah lukisan yang terelaborasi dalam makna dan kaya dengan penjelajahan artistik. Kita dengan jelas bisa kenali potret Ari di hampir seluruh karyanya, dengan gestur yang bergaya hip-hop. Mengenakan t-shirt, yang kadang berlapis sweater bertudung, kepalanya bertopi baseball, bersepeda, ia berpose seperti imej orang-orang dalam budaya hip-hop di New York atau L.A. Dengan coreng-moreng grafiti menghiasi tembok, dengan cat-spray khusus untuk para seniman grafiti berdampingan dengan lelehan–lelehan cat (driping). Ditambah dengan tulisan-tulisan artistik yang bermakna walaupun hampir tak terbaca namun menarik untuk dipandang, seperti sebuah “kaligrafi jalanan”. Farhan Siki Farhan Siki dikenal kalangan publik seni rupa dengan karya muralnya dengan menggunakan tehnik stensil.
Maka pada mural-muralnya seringkali ia menampilkan pengulangan bentuk-bentuk tertentu. Pengulangan ini menjadi salah satu strategi untuk menarik perhatian publik disekitar jalanan, dan sekaligus sebagai penanda utama subjek -matternya. Seperti munculnya logo merek global maupun ikon – ikon dan benda -benda. Kecenderungan grafis dan grafiti ia mulai sekitar tahun 1998. Ia mengakui bahwa dari jalananlah ia memulai ketertarikan dengan grafiti dan kemudian baru belajar melukis kepada seniman Jakarta, Hanafi sekitar tahun 2000-an. Kemudian ia sering diundang oleh kelompok perupa mural seperti kelompok Apotik Komik di Jogja, maupun kelompok lain di Bandung. Menurut Bambang Toko, Farhan dalam aksin-
ya selalu mengadakan pendekatan atau riset dengan mewawancarai penduduk sekitarnya. Sikap ini berbeda dengan para perupa grafiti yang beraksi secara ilegal. Penguasaan medium cat semprot (spray) dalam membuat mural dan menggunakan stensil menjadi senjata utamanya. Ketika mencoba bidang kanvas, ia pun tetap menggunakan spray paint dan stensil sebagai medium dan teknik utama untuk membuat karyanya. Estetika perlawanan Farhan, terhadap persoalan budaya urban juga menjadi ciri yang menarik. Dengan penerapan warna-warna yang menyolok dan kontras, Farhan mencoba membangun kesadaran publik pada persoalan konsumerisme dan korporasi global yang tengah beroperasi dalam budaya masyarakat perkotaan. Popok Triwahyudi Karya-karya anggota Apotik Komik, Popok Triwahyudi sangat kental dengan karya-karya lukisan dan mural dengan kecenderungan enggambaran komikal dan ilustratif. Maka selalu narrative, atau selalu ada semacam panggung teater. Ada tokoh-tokoh dengan berbagai peran. Subyek – subyek karya Popok banyak berkaitan dengan situasi sosial – politik , terutama sejak gerakan – gerakan reformasi berlangsung. Hingga saat ini , karya-karya popok selalu menghadirkan fragmen seputar ketegangan – ketegangan, seperti perse-
teruan, kekerasan, ketidak-adilan, kekisruhan dan seterusnya. Popok mengemukakan bahwa karya-karyanya lahir dari opini dirinya tentang lingkungan dimana ia tinggal , berpikir dan berjalan dengan kebebasan disekitarnya. Sehingga karya-karya Popok merupakan bentuk kritisisme terhadap peristiwa-peristiwa sosial-politik pasca reformasi. Kekhasan karya-karyanya adalah menggunakan kanvas berukuran besar, muncul sosok-sosok anonim dan tak dikenal dengan menggunakan simbol-simbol yang dikenali, seperti dari pakaian maupun atribut yang dikenakannya. Penerapan warna-warna yang kuat, garis-garis outline yang keras. Unsur ini digabung dengan subyek-subyeknya sehingga karyanya menciptakan ironi – ironi yang tajam. Karya-karya Popok memiliki kualitas tersendiri dengan karakternya, sehingga ia bisa dikatakan salah satu Darbotz Darbotz adalah salah seorang pendiri tembok bomber yang merupakan komunitas terbesar street art dan grafiti di Indonesia. Anda bisa akses dan menemukan puluhan komunitas street art dan animamix disitus http://www.tembokbomber.com/. Rain Rosidi mencatat bahwa nama Darbotz pertama kali ditorehkan dijalanan pada saat ia masih duduk di SMU di Jakarta, tahun 1997. Apakah dipermukaan badan bus, tembok-tembok, termasuk juga tembok di sekolah musuhnya, baru setelah tahun 2004, Darbotz mengembangkan karakter visualnya sendiri yang bisa dikenali anonimus atau
tanpa membubuhkan nama atau tanda-tangan pribadinya , baik itu grafiti maupun dalam drawing dan lukisan. Tidak seperti grafiti lainnya , iapun meninggalkan bentuk ungkapan dengan tipografi. Ia menggunakan identitas visual melalui penggambaran bentuk mahluk seperti cumi-cumi dengan
warna hitam-putih yang khas dan berbeda dengan seniman grafiti lain. Ia mengaku bahwa bentuk itu adalah sebuah alter – ego dirinya. Dengan menggunakan bentuk dan warna yang sederhana, Darbotz mampu menandingi keriuhan warna-warni grafis jalanan di sekitar ibu kota-Jakarta dan dengan mudah mendapat perhatian komunitas street art maupun publik. Karena kekuatan karya-karya grafiti, Darbotz juga beberapa kali ditawarin bekerjasama dengan beberapa perusahaan global di Jakarta seperti produsen Nike, Google Chrome dan sebagainya. Selain membuat grafiti, drawing, dan lukisan, ia juga mengaplikasikan gambarnya melalui berbagai barang konsumsi anak muda seperti kaos dan lainnya. Sebagai strategi untuk mengampanyekan citra / brandingnya secara lebih luas lagi. Darbotz banyak terpengaruh oleh gerakan sub-kultur , terutama hiphop 90-an seperti Wu Tang Clan (New York), Nigazz Wit Attitude (California). Soni Irawan Menurut catatan Alia Swastika, karya Soni Irawan mulai mendapat perhatian luas dari khayalak seni rupa ketika ia memenangi penghargaan Phillip Morris yang bergengsi melalui karyanya “Bangun dari Mimpi Buruk yang Indah” pada 2001. Belajar secara formal pada jurusan seni grafis di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Soni Irawan pada akhirnya mengeksplorasi berbagai media, termasuk lukisan maupun instalasi. Hampir semua bisa dilihat kaitannya
dengan musik, terutama karena Soni memang masih sangat aktif manggung bersama bandnya, Seek Six Sick, terutama di peristiwa-peristiwa musik indie di Yogyakarta. Tidak mengherankan jika secara bentuk dan gagasan estetik, karya-karya Soni menggemakan sesuatu tentang musik itu sendiri, jika tidak bisa dilihat lebih luas, tentang suara (sound). Karya Soni memang selalu menghadirkan persoalan sosial dengan kaitan kehidupan personalnya. Dengan fragmen-fragmen dan elemen yang bertumpuk – tumpuk dan kadang menempelkan elemen bordiran. Menurut Rain Rosidi dan Bambang Toko, dalam karya Soni, figur-figur dan goresan liar yang diambil dari bentuk-bentuk komikal nan bebas memenuhi bidang kanvas. Pemakaian warna-warna primer seolah-olah hendak memberikan sebuah ironi, warna-warna yang terlihat cerah dan menyenangkan itu menyimpan sesuatu yang chaotic, riuh dan bising. Bagi Soni, melukis sebagaimana dalam bermain musik, adalah sebuah pesta. Maka, setelah melihat karya seni rupa ini, Anda akan melihat warna-warna kuning, biru, merah, hijau, dan warna-warna cerah lain dengan cara yang sangat berbeda. Radi Arwinda Seperti banyak perupa animamix sekarang, Radi Arwinda pun mengagumi perupa Jepang Takashi Murakami. Ia banyak membeli buku-buku hingga karya print Murakami. Mengadopsi strategi artistiknya terutama dalam menghasilkan produk terbatas. Karya-karya Radi sedikit-banyak terpengaruh oleh kar-
ya-karya Murakami, maupun anime dan manga lainnya. Walaupun Radi kemudian hanya mengambil semangat dari Murakami tapi terasa apropriasinya pada karya perupa fenomenal Jepang tersebut. Radi mungkin telah dikenal dengan karakter “Apet”, maupun “Ngepet”. Keduanya merupakan personifikasi dirinya dalam bentuk
bersama Yogi Ginanjar, Rangga Dimitri, Tinton Satrio dan lainnya.
badan mahluk – mahluk mitologi lokal seperti babi, monyet, naga, ular dan lain sebagainya. Namun pada seri lukisan Apet, mahluk itu berada ditengah kesenangan yang digambarkan berada disekitar tubuh gadis seksi. Radi mengawali gaya anime dan manga ini ketika ia masih tergabung dalam kelompok restart dari Bandung
melalui hewan jadi-jadian yang gaib dalam mitos lokal. Sambil mengritik cara pandang masyarakat sekarang dalam dunia material, Radi menghadirkan kembali citra Ngepet melalui rangkaian bentuk yang mutakhir, bahkan pernah ditampilkan melalui citraan cerita “Star Wars” atau seri instalasi “Sugih”. Penjelajahan Radi dalam me-
Radi sejauh ini dianggap berhasil memadukan citra tradisi Cirebonan melalui elemen mega mendung maupun penerapan beberapa pola motif dengan semangat animamix. Pada serial Ngepet , Radi menghadirkan dirinya
nemukan identitas visual juga secara ekstensif diterapkan dalam bentuk karya tiga dimensional, seperti toys , patung kayu dan sofa. Dari penjelajahan artistiknya, Radi menemukan potensi sinkretisme budaya lokal sebagai landasan alternatif bagi seni rupa kontemporer. Sanchia Hamidjaja Sanchia Hamidjaja banyak terinspirasi komik Amerika seperti Peanuts (Schultz), Garfield (Jim Davis), Life in Hell (Matt Groening), Spy vs Spy (Anthony Prohias). Menurutnya, tokoh-tokoh yang mereka ciptakan berdasarkan binatang peliharaan, hubungan keluarga, dan didasari dengan keadaan sosial-politik di negaranya. Terutama Matt Groening yang sangat mempengaruhinya, karena baginya Groening mampu menampilkan persoalan ‘serius’
kedalam persoalan sosial-politik di Amerika, seperti potret disfungsi keluarga dengan visualisasi kartun yang sederhana dan enteng. Sanchia menganggap Groening paling berhasil membuat tayangan situasi-komedi di Amerika yang klise seperti The Huxtables dan Married with Children, diangkat kedalam bentuk kartun komedi kelam yang sangat imajinatif dan tanpa batas. Selain komik experimental lainnya seperti Andy Konky Kru dan Bonom, yang banyak menggali elemen komik yang paling mendasar, sehingga ada kesadaran baru yang belum pernah ia dapatkan dari komik-komik konvensional. Pada pameran tunggalnya, awal tahun ini yang diberi judul : Yin & Yang Dogs, Sanchia menciptakan karakter dua anjingnya : Ringo dan Kwamee, ke dalam drawing, lukisan, objek dan animasi. Bagi Sanchia itu caranya
untuk mengkomunikasikan – secara visual – tentang kehidupan mereka, dan untuk berbagi pada banyak orang, selain juga bagi Sanchia seperti untuk mendedikasikan pada binatang peliharaannya. Dengan penjelajahan beragam idiom, ia banyak terpengaruh dari pekerjaannya saat ini, yakni mengerjakan proyek stop-motion, grafis dan juga proyekproyek mural. Karya-karyanya mencerminkan bagaimana saat ini seni rupa bersilang dengan berbagai disiplin kreatif visual lainnya, seperti komik dan kartun, dengan idiom seni lukis, drawing dan ilustrasi, mural dan street art, bentukan tiga dimensional seperti patung dan “urban-toys”, atau animasi, kadang bisa diaplikasikan ke dalam rancangan produk sepatu, t-shirts dan lain sebagainya. Subjek-subjek nya pun bersumber dari interaksi dengan lingkungan terdekat, baik dalam kehidupan sosial terdekat maupun ketika ia berada didalam ko-
munitas sub-kultur. Pinkgirlgowild aka Eunice Nuh Karya-karya Eunice Nuh (alias Pinkgirlgowild) dikenal dengan kemunculan tokoh karakter anak burung yang diberi nama Piyiko. Gambar -gambar tersebut kadang dikombinasi dengan serangkaian elemen visual menyeruai sulur maupun pola-pola tertentu, sehingga pengungkapan seperti ini bersifat menyokong nuansa dari keseluruhan gambar. Terkadang juga muncul citra sosok manusia diantara sulur-sulur dan motif ciptaannya. Dengan menggunakan drawing atau lukisan bernuansa hitam-putih dan bentuk- bentuk tiga dimensional, serta garapan menggunakan belabar garis-garis hitam tegas, namun teratur dan dinamis, menuju pola – pola organis yang didasari dari alam, maupun mahluk hidup dengan upaya stilasi, abstraksi; seperti dari daun, pohon dan helai bulu. Eunice menghadirkan sisi kehidupan yang lebih sederhana. Ia juga selalu mencoba melebarkan idiom-idiomnya: patung, toys dan sesekali gambar digabung dengan elemen kertas hias industrial (seperti motif taplak piring kertas) atau lempengan kayu. Dalam pengantar pameran tunggalnya , di Jakarta, ia mengemukakan : burung (bagi saya) menjadi idiom yang mewakili kerinduan terhadap hal-hal yang hilang, dan burung pada akhirnya menjadi sebuah lambang yang mewakili hal-hal hilang yang dirindukan tersebut. Burung ditampilkan merupakan sebuah bentuk keindahan tanpa wajah, untuk mewakili
identitas yang hilang dan yang saya rindukan. Bagi saya pribadi burung merupakan lambang untuk mewakili kerinduan saya terhadap ketulusan, kejujuran, proses alamiah, kesederhanaan, dan harapan yang sekarang ini semakin sulit ditemukan, dimiliki, dan dihargai. Wedhar Riyadi Karya-karya Wedhar Riyadi sering memadukan unsur-unsur dunia absurd yang kelam dan lucu , terinspirasi oleh fiksi ilmiah, horor, kartun, musik, dan fashion dalam berbagai medium seperti drawing, mural, komik, ilustrasi, stiker, poster, papan skate dan objek tiga dimensi. Karakter
karyanya muncul dari peristiwa – peristiwa benturan sosial dengan dunia imajinasinya. Dalam hal ini terutama kekerasan sosial yang terjadi dalam kehidupan sosial di Indonesia. Sedangkan sebagai perupa abad ini , yang tak lepas dari pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh keberlimpahan informasi. Benturan ini muncul dalam bentukanak-anak, mahluk setengah manusia – setengah hewan, burung, mahluk yang bermata satu seperti mutan, yang bersamaan dengan benda-benda seperti pedang, batang-batang kayu ,paku, pensil, dan lainnya. Pada perkembangan terbaru, karya Wedhar menggambungkan antara
citra fotografis dan karakter-karakternya, teks-teks yang merepresentasikan keprihatinan kepada situasi krusial. Menurut pendapat kurator Hendro Wiyanto, karya-karyanya mengartikulasikan suatu kritik terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang gaduh melawan modernitas itu sendiri. Menurut Wedhar modernisasi bukan sesuatu yang harus ditolak secara ekstrim, tetapi adalah sebuah tantangan bagaimana kita bisa memanfaatkan, memilih, dan memilah sekaligus menguji keimanan seseorang diantara arus modernitas global yang semakin besar. Terra Bajraghosa Terra Bajraghosa dikenal juga dengan karakter yang diberi nama robotgoblok. Karya-karya Terra terbagi dalam dua kategori. Penggambaran perempuan sexy yang setengah robot atau cyborg, lainnya berupa gambar dengan cara pikselisasi. Tetapi keduanya berhubungan dengan persoalan budaya kontemporer. Dalam tulisan pengantar pameran oleh Hendro Wiyanto, mengemukakan bahwa citra cyborg itu merupakan sebuah parodi dan campursari tentang superhero dan robot. Robotgoblok, adalah robot yang diproduksi keliru, salah rakitan, dan produk gagal. Robot itu seperti tidak layak disebut “robot”, karena tak jelas bagaimana mereka bisa dikendalikan secara mekanis. Terra menjelaskan bahwa “ merayakan robot adalah robot yang patuh pada tuannya, dan karena itu kita menyebutnya robot pintar. Saya memilih robot goblok untuk menunjukan bahwa diri saya tidak untuk
mengikuti perintah”. Karya cyborgnya berupa lukisan, kolase, drawing dan patung. Sedangkan karya dengan citra pikselnya membawa kita pada kenyataan perkembangan teknologi media komunikasi dan informasi, dimana khusunya komputer telah menjadi konstruksi kehidupan budaya masyarakat abad 21. Piksel merupakan bahasa utama dan elemen yang menerjemahkan realita melalui teknologi komputer. Semua citra atau gambar berubah menjadi piksel. Alih-alih piksel adalah konstruksi dari bentuk representasi mutakhir, maka Terra menerjemahkan semua melalui bentuk piksel dengan skala yang diperbesar. Sehingga penyederhanaan ini cenderung menjadi abstraksi dari citraan nyata, bahkan diterapkan untuk upaya apropriasi lukisan – lukisan dan patung bersejarah. Misalnya lukisan Raden Saleh” Penangkapan Diponegoro”, atau Delacroix : “Liberty Lead The People”, menjadi piksel dengan warna dan bentuk yang lebih sederhana. Terra juga kadang melibatkan publik dengan karya instalasi yang interaktif. Mengundang mereka untuk membuat potret diri menjadi piksel. Bentuk piksel-piksel ini, menurut Nindityo Adipurnomo, seperti mengingatkan kepada citra mainan Lego. Iwan Effendi Watak karya-karya Iwan Effendi sangat mendekati apa yang disebut pop-surealisme, seperti juga pada awal sebutan yang diberikan kepada perintis gerakan low-brow di Amerika. Ade Tanesia pernah mencatat kes-
annya terhadap karya – karya Iwan, bahwa karakter imajinatif di tengah-tengah warna-warna cerah dari dunia antah berantah, yang menjadi bahasa visual Iwan Effendi. Sering kali kita menemukan tabrakan unsur-unsur visual dalam karya-karyanya, pesawat, tank, yang kadang-kadang tampak seperti cacat dalam bentuk hewan. Hal ini terkait erat dengan kesukaannya pada cerita perang, seperti epik Perang Dunia Kedua. Selama studi di Departemen Seni Rupa Institut Pengajaran dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung, ia mengungkapkan ide-idenya dalam berbagai gestur tubuh manusia. Ketika dia pindah ke Yogyakarta, melanjutkan studinya di Institut Seni Indonesia jurusan seni lukis, gerakan visualnya yang telah bergeser dari realis ke imajinatif. Kembali ke genre seni jalanan yang dipelopori oleh para seniornya mempengaruhi metode seninya.Gaya seni jalanan yang khas, bersinggungan dengan ikon lucu, adalah artefak yang memainkan peran penting dalam pengembangan bahasa seninya. Iwan kemudian bertemu Maria Tri Sulistyani, penulis buku anak-anak yang kemudian menjadi istri nya, ia pun mengembangkan visualisasi dari cerita anak-anak dari seluruh dunia. Tidak berhenti di situ, ia mengembangkan teater boneka Papermoon, yang sebelumnya diprakarsai oleh Maria. Bersama dengan istrinya, Iwan mulai mengeksplorasi media teater boneka. Untuk Iwan , perluasan idiom ke dalam teater boneka adalah tantangan luar biasa yang tak berakhir. Menerima dan mengacu pada
filosofi teater boneka membuat Iwan mengesampingkan egonya sebagai seorang seniman, dan menyerahkan diri ke dunia teater boneka. Namun ia berupaya tetap mengembangkan karya-karya pribadinya dengan punya kematangan lebih dalam memainkan tanda-tanda yang kadang muncul dengan ikon-ikon populer, fragmen-fragmen sureal, dengan memadukan unsur melukis realisme dengan karakter komik, dan dengan medium melukis dan drawing. Uji “Hahan” Handoko Nama Uji – Handoko atau Hahan muncul dari keterlibatannya dalam berbagai aktifitas sub-culture , terutama musik punk. Ia bersama temannya mendirikan grup Black Ribbon (tahun 2004), Punkasila (2005), dan Hengky Strawberry (2006). Bahkan grup musik Punkasila bersama beberapa temannya dan sempat beberapa kali diundang ke Australia bersama seniman Dianus Kesminas. Dalam beberapa acara pameran di Yogyakarta maupun Jakarta ia sering menghibur para tamu sebagai DJ. Karya-karya Uji-Hahan menarik, karena secara visual Hahan mengadaptasi penerapan grafis stensil. Khususnya ketika penumpukan warna dan gambar yang tampak bergeser, sehingga menimbulkan ketidak-nyamanan optis. Dalam praktek seni jalanan ; mural atau graffiti , media stensil sering digunakan karena secara teknis lebih mudah dan cepat. Memang gambar yang dihasilkan kebanyakan sederhana ; baik secara bentuk maupun penerapan warna, tapi bisa rumit dan
penuh warna seperti halnya karya Hahan. Khas karya Hahan adalah menghadirkan sosok-sosok manusia, mahluk, tapi dengan bentuknya yang absurd dan berwatak kartun , seringkali menyertakan tulisan-tulisan yang menyindir dengan balon seperti lazimnya komik. Karya-karya Hahan bervariasi secara medium; mulai dari lukisan kanvas maupun diatas kayu, objek, wall paper, bendera, diatas permukaan kulkas, tekstil sofa, keramik dan lain sebagainya. Penjelajahan medium maupun artistiknya mampu membaurkan gagasan seni stensil kedalam ranah seni tinggi (fine art). Hendra “He-he” Harsono Karya-karya Hendra Harsono atau dipanggil Hendra Hehe banyak menggambarkan mahluk atau monster yang aneh, seperti dalam film – film animasi saat ini. Dalam suasana menyenangkan tapi penuh ironi, warna-warna yang memikat dan halus. Sebuah tulisan di blognya menguraikan , bahwa objek utama yang kemudian dikelilingi oleh objek pendukung yang lebih kecil. Objek-objek pendukung bisa berupa teks, atau semata bidang-bidang yang kemudian diisi warna-warna terang. Objek-objeknya kebanyakan berupa mahluk serupa manusia, bertangan, berkaki, sering kali bermata lebih dari satu, bermulut ekstra lebar dan juga beberapa menggenakan topeng. Kumpulan figur yang sekarang lazim disebut dengan karakter itu, sesungguhnya tidak membentuk sebuah cerita yang utuh. Mereka sekedar dijejerkan, seperti kumpulan boneka di toko boneka.
Kalau kemudian ada judul, yang seolah-olah mewakili sebuah kisah, itu tak lebih adalah “kesimpulan” yang terbentuk secara tidak sengaja. Karya Hendra Hehe beragam, mulai lukisan, drawing, objek-objek hingga diaplikasikan dalam bentuk T-Shirt, boneka, dan lainnya. Mungkin karena penemuan karakter-karakternya memang yang langsung memikat mata dan cocok diterapkan kedalam benda dan media lainnya. Ada kecenderung Hehe melihat segala persoalan disekitar dengan sederhana, sehingga justru hal itulah yang membuat karya-karyanya tetap menyenangkan, lucu dan segar. Walaupun ironi itu selalu muncul dalam suatu rangkaian permainan. ‘Herde’ Herde, adalah sosok imajiner/alterego dari Rangga Dimitri, salah satu anggota kelompok Re-start, bersama Radi Arwinda dan lainnya. Karya-karya lukisan Herde banyak mengadopsi komik-komik Eropa seperti Tintin karya Herge. Gagasan komik-strip ini kadang juga direpresentasikan oleh kanvas-kanvasnya yang kadang menyertakan dua atau tiga kanvas. Bahkan dalam beberapa karya terakhir, ia juga menggarap bingkai-bingkai kayu untuk lukisannya, dengan ukiran khusus untuk menunjang lukisannya. Karyanya banyak menghadirkan kembali penggalan-penggalan atau fragmen komikal dalam karyanya. Baik itu diambil dari komik, lukisan maupun kejadian sehari-hari, ataupun persilangan diantara beberapa aspek tersebut.
Kecenderungan dilakukan ‘Herde’ menjadi karakter yang bisa dikatakan konsep yang tak lazim dalam konteks praktek seni kontemporer. Karena ia sebenarnya adalah menciptakan subyek lain yang melakukan kesenian. Tetapi hal ini dilakukan, sebagai suatu pencarian diri atau bisa diposisikan budaya - penyangkal derasnya budaya arus – utama populer dalam kehidupan sekarang. Citraan – citraan ini diadopsi untuk tujuan mengganggu kemapanan eksistensi karya/citra
tersebut. Maka karya-karya sosok Herde menarik untuk dicermati dalam konteks budaya global, sebagai suatu kritikan sekaligus penjelajahan artistik. Juga merepresentasikan suatu artikulasi hubungan masyarakat dengan budaya visual sekarang. Rocka Radipa Karya-karya Rocka Radipa, secara visual dan juga penggunaan mediumnya yang tak lazim. Menggunakan pelat kuningan dan tembaga, dengan penggunaan proses etsa (atau cetak dalam) untuk menghasilkan citra yang memancarkan kesan mewah, klasik, sekaligus ngepop. Karya – karya Rocka banyak mengeksplorasi elemen-elemen semacam sulur, tumbuhan dan lidah api, yang kita sering temukan di motif-motif tenun atau batik. Kadang kita juga menemukan tanda-tanda atau simbol yang tampak seperti citra -citra ikonografi Eropa atau mengingatkan kita pada pola-pola gambar tato atau pola-pola dalam grafis – grafis yang biasa kita lihat diseputar musik rock tahun 1970an. Berangkat dari pengalaman merancang grafis dan observasinya, Rocka banyak menciptakan juga simbol-simbol baru
*** Sumber Pencarian situs: 1. http://universes-in-universe.org/ eng/bien/ a n i m a -
dan merangkai pola-polanya menjadi sebuah permainan bentuk yang lebih bebas, dinamis dan memikat. Karya-karya Rocka dalam pameran tunggalnya berjudul� Playing Patterns “, menunjukan sikap perupa generasi muda dalam melihat budaya lokal dan global melalui suatu rangkaian pengamatan lingkungan terdekat, namun dengan melibatkan cara pandang kritisisme yang khas dan penjelajahan artistik yang lebih segar. Sehingga karya-karyanya tidak selesai pada persoalan visual saja, tetapi juga dengan mencoba mengupas mitos atau nilai tradisi maupun modern, yang ada dalam kehidupan sekitarnya.
mix/2009_2010/concept. Diakses Juni 2011. 2. http://en.wikipedia.org/wiki/Lowbrow_(art_ movement). Diakses Juni 2011. 3. http://thedarbotz.com/about/. Diakses Agustus 2011 4. http://www.tembokbomber.com/. Diakses Agustus 2011 5. http://inkubatorasia.com/exhibition/the-yinand-yang-dogs/. Diakses Juli, 2011. 6. http://www.popokberaksi.com/pop/index. php, Diakses juni 2011. 7. .archive.cemetiarthouse.com/en/exhibition/2009/power-to-the-pixel-and-to-the-artisan. Diakses September 2011. 8. http://www.galerisemarang.com/. Diakses Agustus 2011. 9. http://hendrahehe.com/. Diakses September 2011 10. http://senjaketawa.blogspot.com/search/label/EXHIBITION. Diakses September 2011 11. http://elieffendi.blogspot.com/. Diakses September 2011.
12. wedhar-riyadi.blogspot.com. Diakses September 2011. Sumber Katalogus: 1. Daging & Pedang : Kegaduhan dinegeri yang Subur. Pameran Tunggal Wedhar Riyadhi. Ark Galerie. Jakarta. September 2011. 2. 294 cans/ 9999 brands/ @all items!. Pameran Tunggal Farhan Siki. Emmitan CA Gallery. Surabaya. 2011. 3. Jogja Agro Pop. Langgeng Gallery. 2009.
Press Release Galerie Michael Janssen is pleased to present Flow - Indonesian Contemporary Art, a group exhibition curatedd by Rifky Effendy with works by established as well as emerging Indonesian artists whose practices range from painting, sculpture, installation, performance and video. Agung Kurniawan (*1968) reproduces images from family and press pictures with iron bars mounted directly on the wall. Reminiscent of trellis used as support for climbing plants the metal bars overlap with their own shadows and constitute a poetic statement about the fragility and vagueness of memories and offer a path to fragments of past actualities. Erianto’s (*1983) trompe l’oeil paintings are created with a meticulous hyperrealist technique and resemble cardboard packages and wooden crates used to transport artworks. They make reference to the social realm of Indonesian art and its relation to the global art market pushing the boundaries of what painting can be. Yuli Prayitno’s (*1974) installations and sculptures confront social issues such as gender and identity through a hybrid and humorous remix of forms and signs. In their unusual form of fetishism they recall Dadaist and Surrealist western avant-gardes and transform reality into staged scenarios. Titarubi (*1968) reflects a passionate concern over problems of society
through various mediums and creative paradigms. With the body as the main focus of her practice her oeuvre addresses the evolution of female self-perception. In her practice Dita Gambiro (*1986) talks about different issues around her - a young woman experiencing contemporary urban culture in Indonesia. Her objects of braided synthetic hair and brass address the ambiguity related to domestic life and human relationships. Melati Suryodarmo (*1969) creates powerful images captured and reiterated in long time performances that combine the ancient and the modern, the traditional pride and the condition of women in Indonesian society today. She creates icons that excavate the most intimate and atavistic origin of women’s instincts and seem to give a new role and meaning to the „feminine“. In his videos Yusuf Ismail (*1983) explores various aspects of comedy and the humorous. His work often makes use of popular idioms from information technology circles and mass media. By using humor as a strategy, he delivers criticism and makes fun of certain sociological situations in which patterns of contemporary society have changed with the development of information technologies. Influenced by his biographical interests J. Ariadhitya Pramuhendra’s (*1984) charcoal paintings explore the conception of the philosophical „self”
and present momentary petitions for recognition by constantly emphasizing on re-assessing the “self” in relation to what constitutes identity, the moral and social in contemporary Indonesia. Parallel to their individual practices Erika Ernawan (*1986) and Erik Pauhrizi
which the transfer of life experiences and the physical body are the themes they foster and explore. FLOW is a presentation of contemporary art from Indonesia featuring the works of 10 artists and represents a variety of themes as well as numerous
point in which the absorption of works of art from regions previously called „non-western“ or „peripheral“ has taken place. Preceded by the boom of the Chinese contemporary art market followed by India, it has now turned to Indonesia. In spite of the turmoil of the world economy and considering
The works in the exhibition reflect the various problems that envelop Indonesian contemporary artists today that range from the turbulent memories of the country’s past history to the personal struggles with the current socio-cultural events and the outlook to the future amidst the paradox of global pessimism. The works represent an attitude of resistance to break away from the boundaries of the norm, dogmas, history and values of the constant flow facing changes. Rifky Effendy, curator
(*1981) share a collaborative work based on issues of the involvement of the body. Their different experiences and backgrounds provide a challenge in making a collective body of work in
artistic explorations that occurred in the last five years in Indonesia. Without any doubt the globalization of the contemporary art market in the 21st century has finally came to a
the lack of local infrastructure, Indonesia assumed the ambitious role to become a dynamic center for the development of contemporary art in Southeast Asia.
Teks pameran Kendra 2012 Maret FLOATED Malaysian Contemporary Artists Exhibition Oleh Rifky Effendy Praktek seni rupa kontemporer di Malaysia , mungkin saja tak sehiruk-pikuk di Indonesia. Tetapi di negara tetangga itu, tengah terjadi perubahan-perubahan – mungkin saja pergerakan seni rupa yang sangat menarik. Bukan hanya ikut -ikutan merayakan kegairahan globalisasi disegala sendi kehidupan, tetapi juga diperlihatkan dengan berbagai perkembangan kelembagaan seni rupanya. Keuntungan tersendiri bagi seniman – seniman Malaysia dimasa depan , dengan melihat kenyataan , lebih baiknya pranata dan seriusnya pengelelolaan lembaga seni rupa, seperti Balai Seni Visual Negara , atau mungkin upaya Galeri Petronas di Kuala Lumpur, serta berbagai inisiatif dari beberapa pihak swasta yang berkehendak memajukan seni rupa Malaysia. Justru perkembangan menarik ini tak dicermati oleh kebanyakan publik seni di Indonesia, dan tak banyak pameran seniman-seniman Malaysia di Indonesia. Beruntunglah tiga seniman kontemporer Malaysia : Jalaini Abu Hassan (Jai Jalak), Bayu Utomo Radjikin dan Chong Siew Ying, berkesempatan memamerkan karya-karya lukisan termutakhirnya di pulau Bali. Ketiganya mempunyai watak yang khas dengan kemampuan teknis yang baik, dan tema-tema yang beragam. Jai , berfokus kepada perso-
ia seringkali memasukan pola kolase, dengan citraan-citraan yang dianggap menunjang makna, dipungut dan dilukis kembali, dari berbagai sumber didekatnya. Lukisan-lukisannya terdahulu menggunakan medium campuran ; antara cat akrilik dan aspal diatas kanvas-kanvasnya. Kali ini ia menambahkan elemen kain transparan dengan corak-corak tertentu untuk menguatkan tema-tema terbarunya. Jai tetap konsisten dengan ketertarikannya untuk menggarap tema seputar sosial-politik. Jai , sekarang mengarahkan perhatiannya kepada kecenderungan perilaku kekuasaan politik yang memanipulasi sejarah suatu bangsa. Menurutnya , pemutar-balikan sejarah adalah suatu kecenderungan baru yang dipraktekan oleh suatu
alan dalam manipulasi sejarah yang hari-hari ini dirasakan dirinya. Bayu memilih untuk mempertanyakan kembali dengan mempermainkan citra identitas bangsa Melayu. Siew Ying menjelajahi dunia bawah sadar, yang imajiner diantara kepingan kenangan dan realita sekarang. Maka pameran FLOATED, merupakan semacam proyeksi para seniman tersebut memaknai realitas sosial dan budaya didalam kesehariannya, yang secara konstan mengalami perubahan semakin meningkat dan bergerak cepat. FLOATED menjadi ruang diantara ketidakpastian, apakah itu tanda-tanda dan simbol-simbol , diambang batas suatu keyakinan masing-masing atas suatu nilai hakiki.
Jalaini Abu Hassan : History Revisited History is the version of past events that people have decided to agree upon. - Napoleon Bonaparte (1769 - 1821) Malaysia adalah negara muda dalam usia bumi sejagat. Namun dalam kehijauannya, dibebani dengan ‘pembangunan pesat’ (pembangunan sesat). Ternyata pembangunan fizikal ini tidak setimpal dengan pembangunan mental. Malah keduanya bergerak secara songsang. (Jalaini Abu Hassan, 2012) Jai, menampilkan serangkaian lukisan dengan wataknya yang khas; cenderung garang, impulsif, provokatif, penuh sinisme, dan ungkapan satir serta naratif. Pada karya-karyanya,
kekuasaan untuk suatu kepentingan tertentu. “Kecenderung manipulasi sejarah mungkin tidak baru lagi di Indonesia atau Filipina, tapi disini perkara itu baru”, ungkap Jai. “ Tak jelas sebabnya, tapi mungkin berkaitan dengan propaganda politik sekarang ini, mungkin juga banyak muncul orang lebih muda yang kritikal dan mulai menyuarakan hal itu. ” Dalam pernyataannya Jai menulis: isu-isu kesahihan fakta begitu mudah diputar dibelit mengikut telunjuk birokrat. Kitab-kitab sejarah dipersoalkan, diperdebatkan mengikuti siapa yang lebih arif mentafsir. Akibatnya berlaku satu arus kekeliruan dikalangan rakyat yang mulai hilang pertimbangkan tentang asal-usul. Ini bagi saya , satu agenda budaya yang komplek yang tidak mudah dikompromi. Pada satu lukisan triptiknya, berjudul Steaks (2012) , dibagian bidang kanvas paling kiri, ada potret seorang lelaki dengan pakaian khas Melayu, potret atau ikon pemimpin bersejarah , raja pertama, yang tersenyum lebar dengan wajah memerah. Tapi kehadirannya tampak samar dibalik kain transparan yang dibentangkan diatas kanvas itu. “ Saya sekarang tertarik dengan menempatkan kain bermotif , ketika diterapkan diatas gambar , tiba-tiba menjadi bermakna ganda, seperti malu-malu, bisa misterius”, lanjut Jai. Kanvas dibagian tengah tampak citraan dua potong daging mentah, , dengan tulisan “steaks” dan huruf kanji. Ia menceritakan bagaimana ia memungut begitu saja tulisan dari sebuah papan penyambutan disebuah resto-
ran Jepang. “ Saya tak mengerti apa artinya. Baru belakangan dari seorang temannya, saya mengetahui itu artinya ucapan “selamat datang”. Dikanvas sebelah kanannya tampak gambar seekor anjing, yang menurut Jai mempunyai simbol kepada nilai yang berhubungan dengan kesetiaan. Kemunculan konteks kuasa , melalui potret raja dengan atau sultan Malaysia yang wajahnya memerah, dan kemudian kemunculan ikon tokoh pemimpin negara adidaya, Barak Obama , dengan dengan wajah merunduk, dan juntaian petai sebagai dasinya. Citra itu menjadi semacam olok-olok , respon dengan bumbu humor dalam menghadapi soal kekuasaan dalam ekspresinya. Sedangkan
citraan potongan daging pun kembali muncul dikanvas lainnya. Jai, seolah ingin memaksa pengamat untuk langsung memperhatikan tanda-tanda tersebut. Daging adalah simbol dari ungkapan “mendarah – daging” dalam konteks kekuatan raja-raja, sebagai ikatan darah. Kekuatan dan kekuasaan para raja inilah yang juga menjadi sentral dan mempengaruhi kehidupan politik di Malaysia hingga sekarang , selain tentunya sebagai simbol pemegang nilai-nilai adat leluhur. Sejarah bagi Jai, merupakan pokok soal yang menjadi krusial , yang berkaitan dengan politik praktis di Malaysia sekarang. Baginya sejarah menjadi tanda-tanda yang mengambang , yang berpotensi mengaburkan
suatu kebenaran. Tapi juga sekaligus membuka peluang untuk memberikan pandangan-pandangan kritikal. Jai, tak hanya prolifik dalam menghasilkan karya-karya dan berpameran. Ia juga sosok seorang pengajar yang aktif dikampus. Baru-baru ini ia juga membuka sebuah ruang galeri untuk menampilkan karya-karya alumnus dari kampusnya. Bayu Utomo Radjikin : Mempermainkan Identitas A nation is a society united by delusions about its ancestry and by common hatred of its neighbors. - William Ralph Inge (1860 – 1954) Kultur terbentuk karena banyak larangan. - Bayu Utomo Radjikin 2012.
Sebagai salah satu anggota kelompok seniman Matahati, dan juga paling aktif berpameran. Bayu juga termasuk seniman yang aktif menyokong perkembangan senirupa kontemporer Malaysia. House of Matahati (HOM) di Kuala Lumpur merupakan ruang bagi para generasi muda untuk memamerkan karya-karya mereka, dan sekaligus mempromosikan seniman Malaysia. HOM dikelola oleh Bayu dan rekannya yang lain, sejak beberapa tahun lalu. Karya-karya Bayu sendiri dikenal cukup baik oleh publik seni rupa disana. Sejak masih aktif bersama kelompok Matahati , lukisan-lukisannya banyak menyoroti berbagai soal isu-isu sosio-politikal, baik yang berlingkup lokal maupun global. Dalam catatan penulis Rachel Jenagar-
atram dari katalog pameran Bayu di Singapura tahun 2011 lalu, ia mencatat bahwa: Early in his career, Bayu often grappled with sociopolitical themes, and as early as his university days, he addressed issues related to war and global atrocities, portraying figures in fragile situations and highlighting their cause to viewers. Dalam lukisannya ia banyak melukis figuratif , seperti potret manusia dalam suatu rangkaian gestur teaterikal. Alih-alih melebih-lebihkan suatu gerak tubuh, pose dan formasi manusia dalam nuansa yang terkadang samar dan misterius, bertujuan untuk memberikan ruang pemaknaan kepada pengamatnya. Dengan kemampuan teknis menggambar dan melukis yang sangat baik, dan pendalaman terhadap pokok soal yang digarapnya, menjadikan karya-karya Bayu banyak diapresiasi publik di Malaysia maupun di medan seni rupa Asia Tenggara. Pada serial karya yang ditampilkan saat ini, Bayu menyajikan lukisan dengan drawing arang. Menghadirkan potret orang-orang dengan atribut pakaian ; ikat kepala maupun topeng penerbang jet tempur. Digambarkan secara hitam putih diatas bidang kertas. Karya-karya ini adalah hasil revisiting karya-karya Bayu sebelumnya, seperti dari pameran Unnamed di Kuala Lumpur, tahun 2010, dan Face Without Name , di Singapura tahun 2011, dan dari karya-karya awal. “ Sejak tahun 2000-an saya mengulang atau me-revisit karya terdahulu, mungkin masih ada yang belum terjawab , atau memang saya lebih suka membiarkan
saja mengalir, menjadi misteri,” ujar Bayu. Ia mengawali seri lelaki berikat kepala itu dengan sebuah pertanyaan kepada identitas bangsa Melayu dalam dirinya; dimana bangsa Melayu itu berada? Ciri-ciri bangsa Melayu selalu dikaitkan dengan pakaian atau atribut. Maka suatu saat ia kemudian meminta seorang teman mengikatkan kain dikepalanya dengan sedikit pose tertentu, lalu fotonya ia pindahkan ke atas kanvasnya. Reaksi dari pengamat itu yang kemudian bagi Bayu sangat menarik. Ia mengungkapkan, “ Banyak yang mengatakan bahwa sekarang saya sedang tertarik dengan tema pahlawan Melayu yang sedang bersilat.” Sehingga ia berhipotesa bahwa ada gejala kepada banyak orang Malaysia bermimpi terhadap ikon-ikon bangsanya berdiri megah. “ Banyak orang yang menginginkan citra bangsa Melayu pada tahapan tertentu, mengabadikannya dalam kejayaan dimasa lalu.” lanjut Bayu. Seperti pada karyanya, yang diberi judul : Seorang Jawa (2012), berupa gambar potret dirinya, dengan memakai blangkon khas orang Jawa Timur. Kedua orang tua Bayu adalah asli orang Jawa, tetapi menurutnya dalam konteks kehidupan sehari-hari , ke-jawa-an itu tak pernah diperkarakan dalam keluarga, dan tidak mewujud. Potret dirinya kemudian bisa membuka ruang penafsiran yang tak-pasti kepada makna suatu asal-usul dan identitas diri. Alih-alih identitas menjadi elemen yang mudah berganti layaknya pakaian atau atribut lain. Terutama di era – global sekarang, perkara namanya
“bangsa” menjadi tidak saja suatu misterius, karena dengan itu ada perentitas yang ajeg dari satu kesatuan bedaan realitas diri: luar dan dalam. sebuah etnis dan ras. Menjadi suatu bentuk ke-aku-an yang mendua, didalamnya terdapat nilai keSedangkan dalam karya lukisan yang ta’atan yang ditekankan melalui peralalain, tampak seseorang berada da- tan dan instrumen. Didalam kehidupan lam sebuah kockpit pesawat tempur, bangsa Melayu juga ada nilai keta’atan, seluruh kepala tertutup dengan helm malah mungkin, dikuatkan, diketatkan penerbang. Ia menceritakan bahwa dan dimistifikasikan. Disana potensi gagasan orang berhelm itu muncul pelanggaran dan pemberontakan pun ketika saat perang teluk terjadi pada muncul. akhir 1990-an. Perang itu disiarkan secara langsung di media televisi Chong Siew Ying: Imajined Landscape secara langsung. Ia mengingat bah- (Mindscape). wa pada saat peristiwa itu , pesawat
tempur Amerika Serikat sudah memiliki peralatan canggih dimana setiap instruksi dialirkan ke dalam helmnya. Topeng itu juga bisa menjadikan nilai
I’ve traveled through deserts, mountains and long beaches, and that feeling of space always finds its way subconsciously into paintings. I intend to
reduce space and time to the level of nothingness – so that a place could be anywhere, located in any time, a space for the imagination. - Chong Siew Ying , 2008. Seniman Chong Siew Ying banyak berfokus kepada bentuk gagasan yang terkait dengan nilai-nilai dari dalam dirinya, antara lain hubungannya dengan alam, pembayangan asalusul, dan manusia dari sisi yang intim dan cenderung liris dan puitik. Maka ia pernah berujar bahwa karya-karyanya lebih autobiografis, sebagai ungkapan untuk menceritakan kondisi dirinya. Ia pernah dalam jangka waktu cukup lama, membagi hidupnya antara dua kota: Paris dan Kuala Lumpur. Sebagai sosok seniman perempuan keturunan China di Kuala Lumpur dan lama hidup di Paris, dalam karya-karya Ying pun kita bisa melihat peleburan berbagai elemen alam dalam ‘ruang antara’ yang transisional, antara timur dan barat. Sesuatu citra alam yang menciptakan perasaan yang mengawang dan kesendirian. Walaupun dihadirkan dengan nuansa hitam-putih, dengan sesekali brush stroke yang kuat, melibatkan emosi yang terkendali , sehingga harmonisasi tetap terjaga. Lukisan-lukisan Siew Ying, memancarkan perasaan yang bercampur-aduk , suatu bentuk peleburan pemandangan yang mengingatkan kita kepada lukisan-lukisan tradisional China dengan barisan gunung dan hutan yang berkabut , sebuah pemandangan di padang rumput dan pepohonan di pedalaman Amerika barat, atau kampung sekitar dimana ia
hidup. Elemen-elemen disana mungkin saja seperti potongan – potongan ingatan dan bayangan tentang kampung halaman yang tidak berada dimanapun. Tersusun dalam bidang kanvas dengan begitu bersahaja dan subtil. Seperti dalam lukisannya berjudul ; Me , Under Water (2012), ia menghadirkan sebatang pohon kelapa dipantai tropis dan perairannya berarus tenang tapi sekaligus bisa saja menghanyutkan. Dari kejauhan masih terlihat sekumpulan bukit yang menghantar garis batas horison samudera , dan awan yang berkerumun tebal dilangit, menghalangi sebagian terpaan terik sinar matahari. Tampak potret diri Ying tenggelam di bawah laut, seperti bayangan yang muncul tiba-tiba disebuah cermin. Ada banyak misteri yang meliputi pemandangan ini. Lukisan dengan arang yang bercampur cairan kemudian digosok, digores dengan kuas , meninggalkan jejak dan ambien yang unik dan khas. Pada karya lainnya juga tampak tubuh perempuan yang sepertinya terhuyung-huyung, dengan mata tertutup. Membelakangi lautan dan awan yang tebal, sehingga muncul kesan suasana dramatis dan sinematis. Ying mengakui bahwa ia tidak memotret langsung obyek-obyeknya sebagai bahan observasi. Tetapi dengan mengambilnya dari sebuah foto dari majalah, film dan sumber yang dekat dan berpotensi menciptakan susunan citra sebuah wujud pemandangan yang menjadi tempat tujuan menetap sementara. “ I work a lot with emotion and instict” , ungkap Ying. Maka secara otomatis dan mengalir, ia selalu langsung bekerja diatas kanvasnya, sekaligus untuk menemukan narasi ketika proses tersebut. Baginya
itulah sebuah perjalanan imajiner untuk mengumpulkan kepingan-kepingan ingatan yang samar dan tujuan tak menentu, melalui teka-teki yang membentang horison. Ruang Refleksi Tema-tema sosial – politik yang direpresentasikan dari kegarangan Jai dan, keapikan Bayu, yang berbaur dengan transendensi puitika Siew Ying. Dengan watak dan penjelajahan artistiknya masing-masing, kita diperlihatkan bagaimana perkembangan seni lukis realisme figuratif Malaysia sekarang. Seni lukis figuratif modern yang berkembang sejak awal dekade 1970-an. Medium arang/charcoal, aspal, dan kolase memang bukan material baru untuk seni lukis, tetapi menjadi menarik, bagaimana material ini sekarang banyak digemari oleh praktisi seni lukis di Malaysia (dan juga di Filipina dan Indonesia). Dibarengi dengan berbagai cara dan upaya pencarian dan penemuan simbol- simbol visual. Pameran FLOATED bisa menjadi refleksi dari berbagai persoalan individu yang menghadapi model budaya masyarakat di regional Asia Tenggara kontemporer. Jai pernah mengungkap bahwa naratif menjadi unsur penting dalam praktek seni rupa di wilayah ini. Karena diwilayah inilah interaksi berbagai aspek sosial, budaya, ekonomi paling dinamis terjadi sejak abad 19. Menjadi ruang dimana pertukaran berbagai simbol dan tanda terjadi. Maka kredo globalisasi hanyalah suatu momentum proses persentuhan dan peleburan tanda-tanda semakin
cepat, masive dan eksesif. *** Sumber Pustaka : 1. Wawancara dengan Chong Siew Ying, Bayu Utomo Radjikin , 16 Maret , dan Jalaini Abu Hassan, 17 Maret 2012. Distudio masing-masing, Kuala Lumpur. 2. Pernyataan Jalaini Abu Hassan , 17 Maret 2012. 3. Katalog Face Without Name; Bayu Utomo Radjikin. The Substation Gallery. Singapore. 2011. 4. Katalog Unnamed. Solo Exhibition Bayu Utomo Radjikin. House of Matahati (HOM). Kuala Lumpur. 2010. 5. Katalog Infinity, Solo Exhibition Chong Siew Ying. Valentine Willie Fine Art Singapore. 2011. 6. Monogram Chong Siew Ying. Valentine Willie Fine Art. Malaysia. 2008.
BLENDED BY DESIRE 14 September 2012 Mushowir Bing, Sanchia Hamidjaja, Ricky “babay” Janitra and POPO Michael Janssen Gallery At Gillman Barracks Singapore
A Group Exhibition “3 Contemporary Facts”
Vertical Submarine Arief Tousiga Aditya Novali Dec 01 — Dec 30, 2012 Umah Seni - Jakarta
SAKTI Indonesian Pavillion at 55th Venice Biennale. 2013 ALBERT YONATHAN SETYAWAN EKO NUGROHO SRI ASTARI ENTANG WIHARSO TITARUBI RAHAYU SUPANGGAH Curators : Carla Bianpoen and Rifky Effendy Project initiator and producer: Restu Imansari Commissioner: Adji Damais
du concept of sakti was quickly integrated by Indonesians into their local c o s m o l o g y, becoming associated with such mythical female figures as the rice goddess Dewi Sri and the South Sea Queen, and with certain objects like the keris (ritual dagger).
The theme of the Indonesia Pavilion at the 55th International Art Exhibition of the Venice Biennale is Sakti, a concept taken from Indonesia’s rich cultural heritage and interpreted in the context of contemporary art practice. In Sanskrit, sákti refers to primordial cosmic energy and the personification of divine, feminine creative energy; it also indicates change and liberation. Of Indian origin, the Hin-
In modern day Indonesia, with 700 living languages, sakti can be translated into other words, but the meaning is almost always the same: a strong creative energy, divine and indestructible, that contains the capacity for achievement beyond mere human ability. It also can be understood as the feminine creative principle. As such, we chose sakti as the theme for the Indonesia Pavilion at the 2013 Venice Biennale – an exhibition that explores the inner, alternative power that is present in the creative struggle inherent in Indonesian art and life.
The concept of sakti has been the basis for our curatorial reading of art practice and has been used as a directive for the artists’ aesthetic explorations, which include historical and social aspects as well as personal memory and the value of local cultural pluralism within the global discourse. The norms embedded in sakti encompass the “other” power, a subtle form as opposed to brute strength, almost hidden, but nevertheless tangibly poignant. The challenge has been how to draw on the principles of sakti while illuminating continuity in the progression of past, present and future in a contemporary artistic language. The selected artists represent a cross-section of Indonesian artists working today. Astari, the most senior artist, studied painting in the U.S. and U.K. in the late 1980s, and had already set up her workshop in the early 1990s; Albert Yonathan Setyawan is pursuing a master’s degree in ceramic art from Seika University in Japan. Entang Wiharso and Eko Nugroho are well known in the international art scene, Titarubi is recognized for her large scale sculptures and installation, and composer Rahayu Supanggah has participated in a host of international collaborations, such as Realizing Rama (a contemporary dance production by ASEAN), and created the scores for Robert Wilson’s I La Galigo. For the 2013 Venice Biennale, the Indonesia Pavilion has taken up residence in the Arsenale. It is a gradua-
tion of sorts, reflected in the ambitious scope inherent in the theme Sakti. Notwithstanding their difference in age, gender and the materials used, the participating artists have created works that interact with one another to articulate sakti as a cultural force, exploring the past, present and future. The pavilion can be seen as a metaphor mirroring Indonesia’s culture of the present time: hybrid, syncretic and breaking through the borders of individual and social spaces. Such borderlessness is also revealed in the artworks, which include drawing, sculpture, ceramics, music (sound) and videos. While retaining their own character, the works interact with each other, through the pavilion’s layout, lighting and sound, all revealing sakti’s inherent multiple qualities.
Bharti Lalwani in conversation with the curators Carla Bianpoen and Rifky Effendy: B: How did you come to initiate the Curatorial Board for the Indonesian Pavilion for 55th Venice Biennale? CB & RE: It was Restu Imansari Kusumaningrum who initiated the project while forming the board was a joint exercise. When she visited the 54th Venice Biennale to attend the opening of the Ukrainian Pavilion, she was impressed by what she saw there and felt sad that Indonesia was not represented with a national pavilion. Back from Venice she tried to convince the government of the significance of an Indonesian representation in this most important international platform. B: Was it easy convincing them?
CB & RE: Convincing was one thing, working it all out was another. Changing departments and personnel in the bureaucracy posed some of the hurdles in the long process of dealings. Actually, this will not be the first time for Indonesia. In 1954, Affandi, Indonesia’s modern master, was invited to participate as an artist. In 2003 Heri Dono became the first and so far the only contemporary Indonesian artist to be invited as an individual to participate in the official international exhibition of the Biennale, while the first Indonesian pavilion also in 2003, was curated by Amir Sidharta. This was followed by another attempt in 2005 by curator Dwi Marianto. Heri Dono was invited by the artistic director Francesco Bonami. Bonami
had conceived 10 exhibitions by different curators and Heri was invited to participate in the exhibition Zone Of Urgency, curated by Hou Hanru and his work was shown in the Arsenale. Today things are organized differently and the international exhibition is now in a special building “La Biennale”. This year’s Indonesia National Pavilion in the 55th International Exhibition of La Biennale di Venezia will for the first time be taking place in the Arsenale, one of the two main venues of this event. The Ministry for Tourism and Creative Economy have allocated funds for the rent of 500 square meters for the duration of 6 months in the Arsenale. This will also be the first time that the Indonesia National Pavilion theme is taken from Indonesian cultural heritage. B: There seem to have been a number of hurdles along the way; in your opinion and years of critical observation of the local and international art scene, what have been the major challenges for Indonesia thus far in order to have a Pavilion? CB & RE: Many people in Indonesia do not yet understand the significance of having a national pavilion in the Venice Biennale but the Ministry for Tourism and Creative Economy has allocated the money needed for the rent of 500 square meters in the Arsenale for the duration of the biennale from June to November 2013. Though the rent is just a small portion of the budget, funding is still a major
problem. B: You have picked a diverse list of artists who work with various mediums, from ceramics to sculpture to new media, and they also represent different generations, the oldest being Sri Astari (1959) and the youngest, Albert Yonathan (1983). Will they all be making new works for the biennale? CB & RE: Yes they have all made new works, each artist has articulated on representing SAKTI. Though of different generations, Astari and Albert have remarkably been on the same wavelength as is evident in their art practice, both refer to spirituality and the internal journey of seeking the cosmic divine. As for the curatorial setting, the display of works within 500 square meters in the Arsenale has been designed with the assistance of Balinese architect Wimba Anenggata and interior desigger Djanti Soekirno, while the sound scape is composed by Rahayu Supanggah. The Pavilion is a production of PT Bumi Purnati (Jakarta)and Change Performing Arts (Milan). B: How will each of their artwork tie in together in order to fulfill the curatorial narrative while providing a global context through local references? CB & RE: An unprecedented influx of information through global exchange has no doubt made a mark on art production internationally. However, in Indonesia, the encounter between global forces and the existing culture has resulted in the sort of contemporary art
which bears its own authentic and unique characteristics. Therefore, our main objective is to showcase a substantially alternative art practice amidst other international pavilions at Venice Biennale. You must come and see, feel, and experience the Indonesia National Pavilion in the 55th International Exhibition of La Biennale di Venezia. B: I would love to! I am really intrigued by the curatorial header “Sakti” which has its roots in Sanskrit. In ancient Indian philosophy, Shakti represents the dynamic feminine energy of the divine- and in folklore, features as the Goddess who is the counterpart to the masculine (and destructive) god- Shiva. Why this mystical theme, and what sort of a creative force will we be seeing from the five selected artists? CB & RE: Sakti indeed derives from the Hindu belief in Shakti; Sakti in Indonesia denotes various meanings which have integrated with the local culture over hundreds of years. Associated with achieving something beyond human ability. Sakti, among multiple meanings, also connotes change, regenration and feminine creative energy as opposed to brute strength. Within our Javanese cultural and philosophical realm, Sakti symbolizes the power of the South Sea Queen, who’s strength is believed to be behind the Sultan’s power, as well as within each person. It became Sri Astari’s metaphor expressed in the
installation Pendopo: Dancing the Wild Seas with seven Bedoyo dancers. The “Pendopo” is the fundamental element of Javanese architecture. In the palace it used to be the sacred space where the Sultan was anointed with the South Sea Queen’s invisible presence, power and blessing. In the commoners’ house, pendopo is where visitors are welcomed and ceremonial events are held, a sort of ante chamber. For Sri Astari, it is a metaphor for the soul. To find one’s identity, one has to look intrinsically to find the power that is believed to be present within. According to Astari, it is essential for everyone to ‘switch on’ that power if the human race is to survive beyond materialism. Albert Yonathan’s Cosmic Labyrinth: The Silent Path made of 1,200 objects in the form of ceramic stupas, is also meant as a spiritual meditation in order to find enlightenment through transformative energy which he believes is the power of Sakti. For Titarubi, knowledge and science are the pillars of Sakti, which she reveals with the installation The Shadow of Surrender featuring school benches made from burnt wood with thick open books placed on them- a metaphor for education and the length of time and perseverance needed to acquire it. The charcoal drawing, accompanying this installation, of burnt and ashen trees reference the school benches, as well as the cycle of life, death and regeneration (burnt trees in the forest are fertilizers from which new trees will emerge). This cycle of
continuity is also revealed within the world map while offering a different art cut frames for the drawing. practice. We have also written a curatorial essay together in order to provide Meanwhile Entang Wiharso’s The In- context for the audience. The catalog donesian: No Time to Hide features comes in the form of a book which also a large gate covered with reliefs includes an essay by Bali based author referencing the Borobudur Temple, Jean Couteau, along with profiles of the but depicting contemporary life. The participating artists. sculptures around a meeting table have distorted faces of the country’s The hardship and struggle of our napresidents- past and present- (all tion aside, we wanted to emphasize the made with graphite and resin) which feminine creative power that ultimately refer to perception versus reality- prevails as it does in the mythical powhow negative notions of the country er of Dewi Sri, the rice goddess, or the are countered by the inner strength hidden, yet poignantly tangible power of of its citizens who stand tall- a feat the South Sea Queen. Amidst the ever of Sakti. increasing commodification of art, we wanted to offer an alternative art pracEko Nugroho’s bamboo raft Meng- tice where tradition is interpreted within hasut Badai-badai (Instigating a contemporary context. Storms) with his iconic figures depicted on it also refer to the ability of the Bharti Lalwani has a BA in Fine Art and country to survive amidst overwhelm- an MA in Contemporary Art; She writes ing political, social and religious chal- for several publications across SE Asia lenges. and India. B: Venice attracts a huge and varied audience- from globe-trotting curators and collectors to art enthusiasts from all corners of the worldwho more often than not end up on a marathon of sorts where everyone consumes the art in a rushed manner. What sort of an experience do you two hope to create through this glimpse of contemporary Indonesia? CB & RE: We hope the pavillion as a whole will exert a visceral and visual experience. By re-reading the past and contemplating the present we hope for Indonesian contemporary art to take its due place on the
Source : https://www.biennialfoundation. org/2013/05/the-indonesian-pavilion-under-thebanner-of-sakti-in-sanskrit-meaning-cosmic-energy-is-all-set-to-be-a-force-to-reacon-with-atthe-55th-venice-biennale/
ALBERT YONATHAN SETYAWAN Albert Yonathan (b. 1983) received his Bachelor of Fine Arts from the Ceramic Studio at the Faculty of Art and Design, Bandung Institute of Technology (ITB) in 2007, and an MA in Visual Arts also at ITB in 2012. The artist uses ceramics as a high conceptual and performative art. His works explore the spiritual dynamics between humans and the natural world, combining hundreds of manually moulded ceramics arranged into patterned configurations. Following geometric formations imbued with an ancient symbolic meaning, they bring a sense of the meditative and the spiritual. Recurrent themes are birds and humans arranged repetitively, while labyrinths appear in circular or rectangular shapes. His work for “Sakti’’, Cosmic Labyrinth: The Silent Path, is made of 1,200 ceramic objects in the form of stupas. The work is also meant as a spiritual meditation in order to find enlightenment through transformative energy, the power of Sakti.
ENTANG WIHARSO Entang Wiharso (b. 1967) majored in Painting and obtained his BA in the Art at the Indonesian Art Institute in Yogyakarta. A painter and sculptor, his hyper realistic imagery gives the impression of surrealism, as he juxtaposes the past with the contemporary, the imaginative and the real. Entang uses bronze, graphite and aluminium mixed with other materials for his sculptures and installations, interspersed with large paintings. He is inspired by personal and public memory and experiences, Javanese myths and legends, the Candi reliefs, and by popular iconography in which political, social and historical facts and situations are interwoven. His installation for the pavilion, The Indonesian: No Time to Hide, features a large gate covered with reliefs referencing the Borobodur Temple, but depicting contemporary life. “Keep our dreams alive” and “Your perception is not my reality” are the two sentences appearing on the entrance gates. The sculptures around a meeting table outside the fortress have distorted faces of the country’s past and present presidents, which refer to perception versus reality, and to how negative notions of the country are countered by the inner strength of its citizens who stand tall, a feat of Sakti.
EKO NUGROHO Eko Nugroho (b. 1977) graduated from the Painting Department at the Indonesian Art Institute in Yogyakarta. His works are grounded in both local traditions and global popular culture. The imaginary and the real are fused into comics and hybrid images to narrate the happenings of our time. Eko includes craft, such as embroidery and batik, in his artworks. He also reinterprets the old wayang shadow plays, taking actual issues as a theme.Eko extends his art to nurture and reinterpret these branches of culture for the benefit of his art as well as to sustain the livelihood of 24 artist who make the sculptures, embroidery, batik, and puppet theaters. For the pavilion, the artist made Menghasut Badai-badai (Instigating Storms), a bamboo raft with his iconic figures depicted on it, referring to the ability of the country to survive amidst overwhelming political, social and religious challenges, and the struggle to overcome and uncertain present.
TITA RUBI Titarubi (b. 1968) graduated from the Ceramic Studio at the Department of Fine Arts, Faculty of Art and Design, Bandung Institute of Technology (ITB). Trained as a ceramist, she has expanded her skills to include sculpture and installations. Titarubi first attracted public attention with her installation of ceramic children’s heads with Arabic inscriptions. Earlier, she had presented an installation dealing with the issues of babies born by in-vitro fertilization. She then went on to challenge stereotypes and cultural constructions, exploring the position of men and women in society, and experimenting with materials for their impact on defining gender characteristics. She is also inspired by social political and historical connotations and continues to explore the rich cultural and ethnic heritage of Nusantara, the Indonesian archipelago. For Titarubi, knowledge and science are the pillars of Sakti, which she reveals with the pavilion’s installation The Shadow of Surrender featuring school benches made from burnt wood with thick open books placed on them, a metaphor for education and the length of time and perseverance needed to acquire knowledge. The charcoal drawing, accompanying this installation, of burnt and ashen trees reference the school benches, as well as the cycle of life, death and regeneration (burnt trees in the forest are fertilizers from which new trees will emerge). This cycle of continuity is also revealed within the cut frames for the drawing. The artist juxtaposes the process of acquiring knowledge and science with the colonial past and environmental destruction. SRI ASTARI Sri Astari (b. 1953) studied painting at the University of Minnesota in the United States and at the Royal College of Art, London, but went on to expand into sculpture and installation. Astari is concerned with the re-reading of Javanese traditions, its symbolism and values. Inspired by social and political issues as well as consumerism and lifestyle, she continues to challenge stereotypes and cultural construction, with a tinge of humor, giving new meaning to Javanese traditional symbolism. Her work pays special attention to the position of a woman within her cultural traditions. Recurrent themes have been the kebaya and its accessories, both repressive and protective and branded bags as a metaphor for modern fetishism. Lately, she has given the kebaya new meaning, calling it “armor for the soul”. Her recent works show a more philosophical tendency, highlighting the need to reconcile the self with nature and the universe. Within the Javanese cultural and philosophical realm, Sakti symbolizes the power of the South Sea Queen, who’s strength is believed to be behind the Sultan’s power, as well as within each person. This became the artist’s metaphor expressed in the pavilion installation Pendopo: Dancing the Wild Seas with seven Bedoyo dancers. The Pendopo is the fundamental element of Javanese architecture. In the palace there used to be the sacred space where the Sultan was anointed with the South Sea Queen’s invisible presence, power, and blessing. In the commoners’ house, pendopo is where visitors are welcomed and ceremonial events are held, a sort of antechamber. For Sri Astari, it is a metaphor for the soul. To find one’s identity, one has to look intrinsically to find the power that is believed to be present within. According to Astari, it is essential for everyone to “switch on” that power if the human race is to survive beyond materialism.
RAHAYU SUPANGGAH Rahayu Supanggah earned his PhD from Université de Paris in 1985. He has carried out research and composed numerous pieces based on the various forms of traditional and contemporary music appearing in Asia, and Indonesia in particular. The artist ahs collaborated with world-class artists and theater directors, working alone or as part of a group, at home and internationally. Supanggah holds several prestigious awards, among others, the award of Best Composer at the Asian Film Festival in Hong Kong, the award for World Master on Music and Culture in Seoul, and the Jakarta Academy Award. For the pavilion, he composed ‘intangible sounds” included in Sri Astari’s installation.
Naima Moreli After-Biennale reflections: The Indonesian Pavillion Since no one cares about the 55th Venice Biennale anymore, I feel like sharing my definitive thoughts about my favourite pavilion, without anyone there to contradict me. So, chart lovers, my favourite pavilion was the Indonesian one, curated by Rifky Effendy. In no other pavilion the installations of different artists work so perfectly together. The show almost looked like one single artist and yet it encapsulated such a richness of discourses. If you were at the Venice Biennale in October, you would have seen me wandering in the Arsenal looking for the Indonesian Pavillion. I actually overshot the main entrance, so I came in by the back door. It was dark inside, and there was a soft music that I didn’t notice in the first place. The music though ended up being a background noise influencing the entire experience of the pavilion. The soundscape was actually by Solo composer Rahayu Supanggah, the guy who reinvented traditional Indonesian music. For the Biennale’s composition he was inspired by the theme of the pavilion, which was “Sankti”. As the press release stated, Sankti is a sanskrit word that refers to the primordial cosmic energy and the personification of the divine, feminine creative energy, as well as indicating change and liberation. The first dark-metal work I encoun-
tered immediately struck me with his expressive power. A group of man wearing a Muslim hat were sitting at a table. One man was laying with his head on the table, like someone who had been shot or something. One man was pointing his finger to another gentleman, who looked baffled. If you looked better at these two figures and you would notice that their legs where stretched under the table so to touch each other. But the figure that really stood out was a matriarch in traditional clothes, upright at the end of the table. She was bringing a hand at his chest like saying: “Who, me?” A weird lamp was falling from the ceiling, almost touching the table. It was shaped like something between an octopus and a tropical fruit. The work was a clear allusion to Indonesian politic and intrigues, and that the characters portraited were former Indonesian presidents. You don’t necessarily need to know all the details of Indonesian politic to appreciate the piece. Indeed, like all the best art, it was all about emotion and mood. In my case, being passionate with ancient Rome intrigues, the pathos and the sense of conspiracy reminded me to the plots of Catilina, Julio Cesar, Caligola and the like. In another piece in the corner there was a cabinet containing three heads. The dark colour of the metal and the dim light made everything look deeply dramatic.“Well”, I thought “This pieces has to be by Entang Wiharso”. Entang
Wiharso also created a large gate decorated with reliefs who reminded to the iconography of the temples in Central Java, the candi, interpreted in
a modern key like always in the work of this artist. Entering the gate, a series of other very powerful works captured my attention.
The most blatant one was a series of big wooden chesses on the floor by artist Albert Yonathan Setyawan. As you came closer, you realize that there were no queen, or king, or rooks; the pieces were all pawns. Coming even more closer you notice that the pieces were not in wood, but in ceramic and, even more surprising, they were forming a labyrinth. Well, I always loved the art that looks like a riddle. That particular installation, a part from being aesthetically beautiful for its symmetry, was a powerful symbol of society structure and relation between individuals. “We are all the same at the core and part of the same ecosystem” Albert Setyawan seemed to say “But what makes us different is our place in society”. Looking at the installation you can think about religiosity, bureaucracy or solidarity in the community. Another piece based on repetition was the series of school desks by Titarubi. They were made in dark wooden looked burned, weary and dusty. On each desk there was an huge open book, so thick that you could’t even read it. At the same time, because of the pages bursting out from the cover, it wasn’t even possible to close the volumes. On the wall, dreary charcoal drawings of threes, framed in elegant gold, gave you a feeling of luxurious emptiness. The title of the installation was “The shadow of surrender” and to me it dealt with a knowledge impossible to acquire and impossible to dismiss. The allusion could have been to a biased education in Indonesia
during the colonial period or dictator Suharto’s period, but again, you could take it universal symbol that can be valid anywhere in the world. There was another big installation at the end of the room. Artist Sri Astari decided to stage a ceremony under a porch structure, using life-size traditional Javanese wooden puppets. Here the reference to spirituality and Sankti was pretty clear; soaked in the dark atmosphere of the room the puppets took a solemn and hieratic air. The porch’s four columns had a base decorated with a brain, a heart, a skull and a rose. These symbols made me think that the tradition deals directly with human emotion, hopes and mysteries of life and is not so easily sellable to tourists as souvenir. Least but not last, Eko Nugroho’s work was in a corner of the room, but it certainly stood out for its colours and its only apparent optimism. Of course, the pink-flowered characters and his two box-head friends were not in a great situation: they were drifting apart on a raft made of bamboo and old oil barrels. The characters probably knew the saying “We’re all on the same boat”, but in this case the castaways didn’t seems to share the same preoccupations. The fancy pink character was busy reading. Another guy had more initiative; he was struggling to push the raft even using his feets. The third shipwrecked looked despaired instead. He understood that there was no point shouting in the megaphone, hoping
that people would hear him. At this point was better to suicide thrusting a trident in his stomach. This surreal situation was tragic and funny at the same time. It reflected the contradiction you can find as much in fast-growing Indonesian society as in other societies hassled by, for example, economical crisis. We’re in Venice so Italy, yes, I’m talking with you! *** Naima Morelli is an arts writer with a particular interest in contemporary art from the Asia Pacific region and the emerging art systems. She is a regular contributor to CoBo Social, Culture360 and Middle East Monitor, among others, and she is the author of a book about contemporary art Indonesia. Reach out: contact [at] naimamorelli.com
23 September - 13 Oktober 2014 Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. PARTICIPANTS:
Curators: Asmujo J. Irianto Rifky Effendy
AGUNG IVAN / ID AHADIYAT JOEDAWINATA / ID AHMAD ABU BAKAR / SG AKBAR ADHI SATRIO / ID ALFREDO EANDRADE / AR AMORNTHEP MAHAMART / TH ANTRA SINHA / IN ANTONIO S. SINAGA / ID ARGYA DHYAKSA NINDITA / ID ASEP MAULANA HAKIM / ID BAGUS PANDEGA / ID B ONGGAL HUTAGALUNG / ID BRETT ALEX THOMAS / US BUDI PRADONO / ID CLEI POTTERY / ID DADANG CHRISTANTO / ID / AU DEA WIDYA / ID DELIA PRVACKI/ SG /RO ELDWIN PRADIPTA / ID ELENA GORAY / NL / RU FAUZI ADHIKA / ID FITRI MEILANI / ID F. WIDAYANTO / ID GEOFFREY TJAKRA / ID
GRACIELA OLIO / AR HA - SUNGMI / KR JATIWANGI ART FACTORY / ID JENGGALA / ID JINJIT POTTERY / ID KANDURA / ID KAR / ID KERAMIK PUSPA / ID KERAMIKU / ID KIM JOON / KR KJERSTI LUNDE / NO KLAUS GUTOWSKI / AU KOLLEKAN / ID KRISTINA RUTAR / SI LEA GEORG / CH LINDA SORMIN / CA MADHVI SUBRAHMANIAN / SG/ IN MARK VALENZUELA / AU/PH NATAS SETIABUDI / ID NUR HARDIANSYAH / ID PURNOMO / ID R YUKI AGRIARDI / ID RADI ARWINDA / ID ROSANTO BIMA PRATAMA / ID ROSLAN AHMAD / MY RUDI ABDALLAH / ID RUKURUKU / ID SARAH YOUNAN / WLS SEKARPUTI SIDHIWATI / ID SHAMSU MOHAMAD / MY STEVEN LOW THIA KWANG / SG SHU-LIN WU / TW TANTERI CERAMIC / ID TERRA LUNA / ID TETSUYA ISHIYAMA / JP TOK YU XIANG / SG TOMOKO KONNO / JP / ID VULANTRI / ID / NL WANLIYA /CN WASINBUREE SUPRANICHVORAPARCH / TH YEE SOOKYUNG / KR YIHUIWANG /TW YOICHIRO KAMEI / JP YULI PRAYITNO / ID ZIA FAUZIANA / ID
Kuratorial JCCB ke-3, 2014 KERAMIK SEBAGAI TANDA - TANDA oleh Rifky Effendy “Coefficient Of Expansion”, berupaya merengkuh perkembangan seni keramik secara luas, baik dari sudut penjelajahan material tanah liat maupun bentuk, serta berupaya jauh masuk ke dalam alam gagasan atau melampaui secara konsep (seni) keramik sebagai objek tiga dimensional. Dunia keramik yang telah hadir dalam peradaban manusia mungkin saja telah menjadi memori kolektif sebagai material dan bentuk, bahkan kemudian membentuk citra mental (mental images) dari pengalaman melihat manusia yang berinteraksi dengan objek, alam, atau pemandangan yang terjebak di dalam ‘gua Plato’. Kita bisa serta–merta menyebut benda- benda seperti contohnya: batu bata, cangkir, genteng, kendi, vas—dan yang muncul adalah imej atau citraan bentuk-bentuk tertentu dari material tanah liat yang dibakar, baik berupa tembikar terakota, maupun porselen. Keramik menjadi sub-lingua franca dari perbendaharaan bahasa maupun sebagai arketip budaya post-modern. Kemapanan material keramik sebagai bagian dari budaya material (material culture), tentu melebihi apa yang disebut “seni keramik”; dalam beberapa artikelnya, Asmudjo J. Irianto selalu mencatat bahwa istilah seni keramik dalam artian sekarang masih terbilang baru, karena kemunculan revolusi industri dan seni modern (di Barat) yang terkotak-kotak atau rigid. Sedangkan di wilayah non–Barat apa yang dimaksud dengan istilah seni
masih tumpang tindih antara praktek seni modern, seni halus dan seni kerajinan. Persoalan seni sebagai institusi ini, di dalam praktek seni rupa dan medan sosialnya, menjadikan seni rupa modern beserta nilai-nilainya tak lagi universal dan problematik ketika menjangkau khalayaknya. Seni rupa ditafsirkan beragam, dan bagi beberapa pemikir estetik (post-modern), hal ini menjadi modal pembacaan baru bagi praksis seni global. Image yang stereotip terhadap ben-
tuk seni keramik terutama yang bersumber dari kehidupan sosial–budaya sehari-hari atau domestik, bagi seniman muda Bonggal Hutagalung (l. 1988) dari Bandung, menjadi tafsiran yang bisa di re- kreasikan dan direproduksi sebagai gagasan karyanya. Ia mengambil citra guci kera-
mik porselen dari Tiongkok dengan gambar biru–putih untuk membangun guci versinya pribadi, yang merepresentasikan semangat low-brow, dengan gambar–gambar dan tulisan yang cenderung mengadaptasi artistik seni jalanan. Badan gucinya dibentuk dengan cubitan (pinching) kasar dan menggunakan bahan lokal yang tersedia. Kadang ia menambahinya dengan elemen lain seperti kayu maupun lampu neon. Karya Bonggal merepresentasikan bagaimana ledakan (implosi) barang-barang konsum-
si dalam keseharian telah membentuk mental yang menyandarkan identitasnya kepada budaya baru, yakni budaya konsumtif atau post-industri. Khususnya di wilayah negara yang ekonominya sedang berkembang seperti di negara–negara Asia Tenggara, persoalan budaya konsumsi ini
mengubah karakter budaya masyarakatnya. Barang-barang industri dan kebutuhan yang diimpor juga mengubah pola produksi industri, seperti industri keramik lokal. Khususnya di Indonesia, banyak sentra kerajinan dalam perkembangannya menurun jumlahnya. Sedangkan benda-benda keramik yang diimpor dari negara lain seperti dari negara China terus masuk secara masif.
stories, and re-created objects. The original objects emerge as raw materials, in which their parts are recreated into wholes, with a desire to capture the time between past and present. The intention is to add something new and different to an object’s inherent character. Together these objects link together as small elements in a storytelling collection, and reveal a hidden story.” (1)
Perkembangan ini terepresentasikan pada karya seniman Norwegia, Kjestri Lunde yang dengan tak ragu dan dengan sengaja menggabungkan benda- benda porselen temuan dengan benda temuan lainnya untuk tujuan pencarian makna baru. Lunde menyatakan dalam wawancara yang dimuat di situs http://www.ceramicsnow.org/ kjerstilunde :
Pendekatan yang dilakukan Lunde tentunya merujuk kepada perilaku seniman avant garde Marcel Duchamp, yang juga menjadi muasal kecenderungan gejala seni modern. Di era perkembangan seni kontemporer yang tanpa batasan, keramik sebagai lingua franca atau mental image, bagi beberapa seniman telah menjadi sebuah gagasan yang bebas ditasfirkan dari berbagai pakem atau menjadi perbendaharaan gagasan yang tak terbatas. Keramik telah menjadi material dan citra yang ajeg dan tak tergoyahkan sebagai bagian budaya material, menjadi lokus eksperimentasi maupun pusat dekonstruksi ataupun re-kreasi, seperti karya patung keramik yang kitsch dari Jeff Koons, Ai Weiwei, maupun karya Grayson Perry yang fenomenal. Keramik dan porselen dijadikan penanda maupun material yang kritikal untuk menghasilkan suatu citra yang terhubung pada suatu konteks yang ingin dihadirkan oleh sang seniman. Para perupa ini memanfaatkan karakter keramik sebagai suatu strategi, dengan membuat struktur ‘tanda/ bahasa’ untuk menyampaikan suatu ekspresi.
“Every day we are surrounded by objects of different character. Objects we either know from before or new things we’ve never seen. Created by nature or shaped by human hands. We distinguish between the known and unknown, and make new discoveries. What is known from before we often find in our home environment and community, and the more unknown objects we find when traveling or in new surroundings. I approach the objects in the exposition with different artistic strategies, and a transformation process that examines functional, sculptural and cultural issues. In the selection of an object to work with, I look for what exudes a certain history and experience. By my hand, the objects are then transformed into new
Karya seniman China Wan Li Ya (l. 1963, di Qingdao, China) menghadirkan situasi yang ambigu antara bentuk dari barang keseharian yang disejajarkan dengan imej lukisan klasik tradisi China yang mapan. Ia mereproduksi wadah objek industrial dari berbagai macam produk minuman kemasan dengan porselen berdekorasi pemandangan biru-putih yang khas, dalam karya berjudul Thousands of Kilometers Landscape (2012). Benda-benda industri yang memenuhi kehidupan menyatu dengan aspek kekuatan tradisi, walaupun kontradiktif. Suatu pemandangan jukstaposisi yang lazim di dalam perkembangan budaya masyarakat tertentu, di mana tanda-tanda kehidupan modern dan nilai- nilai warisan budaya berdampingan di dalam satu konteks ruang dan waktu. Perbenturan berbagai nilai tersebut menghasilkan realitas yang tumpang tindih di dalam budaya masyarakat kontemporer China. Strategi lain yang menarik terepresentasikan pada karya perupa perempuan Yee Sookyung (l. 1963, di Seoul) yang berasal dari Korea Selatan, berupa biomorphic sculpture. Dalam serial karya-karya Translated Vase, Yee Sookyung mengumpulkan pecahan vas keramik berdekorasi tradisi budaya Korea yang diproduksi di pedesaan penghasil benda-benda keramik konvensional. Ia lalu merangkai kembali pecahan tersebut dengan struktur bentuk yang lebih bebas dan organis, dengan tambahan elemen pengikat yang terbuat dari emas 24 karat pada bagian sambungannya. Hal ini dilakukan sehingga memben-
tuk patung yang tak beraturan dengan karakter mozaik yang atraktif dan memancarkan semangat kekinian. Sookyung yang berlatar pendidikan seni lukis mampu menerjemahkan bentuk dan nilai sejarah ke dalam ruang-waktu hari ini. Lebih jauh ia juga berhasil membentuk makna baru bagi benda keramik itu sendiri. Menciptakan bentuk dari pecahan seperti mozaik seolah merespon nilai suatu sejarah masa lampau, tapi mungkin sesungguhnya itulah cara menghargai dan memahami makna tradisi maupun sejarah saat ini. Keramik sebagai penanda budaya material maupun sosial masyarakat tertentu dalam perkembangan praktek seni juga menjadi wilayah explorasi para seniman. Seperti karya seniman Dadang Christanto (l. 1953, di Tegal), berjudul Java, berupa insta-
lasi tumpukan patung kepala. Karya ini merupakan re-produksi dari karya Christanto sebelumnya ditahun 1995an berjudul Kekerasan. Ia membuat bentuk kepala-kepala manusia yang tak sempurna dengan menggunakan tanah merah yang dibakar rendah (low firing). Kepala dari tembikar itu ditumpuk, dengan latar patung kepala yang sama terbuat dari cor aluminium di dalam kotak yang disusun huruf J A V A pada dinding. Tumpukan kepala itu menjadi alegori yang menyimbolkan ketak-berdayaan. Secara citra material, terakota dekat dengan citra kelas material yang cenderung rendahan, dihubungkan sebagai metafor ‘orang-orang’ pinggiran. Bagi sang seniman, material tanah liat terakota menjadi pilihan yang paling cocok. Karya Java menjadi pernyataan sosial-politik dalam menanggapi persoalan-persoalan kekuasaan yang di-
alami oleh sebagaian masyarakat di Indonesia. Secara radikal, fotografer asal Korea Selatan Kim Joon (l. 1966, di Seoul) mengolah imej/citra benda-benda porselen melalui simulasi teknologi fotografi dijital. Kim mampu membangkitkan benda-benda tersebut seolah hidup, dengan sentuhan keahliannya merekayasa imej. Karyanya menampilkan jukstaposisi tubuh manusia bertatoo dengan imej materi dan permukaan porselen dalam benda-benda seperti piring, cangkir, guci, vas, mangkuk, poci yang badannya penuh dekorasi yang khas. Kim seolah menemukan kualitas simbolik porselen yang fragile (atau rapuh) vis a vis simbol tubuh manusia. Simulasi merupakan kata kunci dalam menandai jaman di mana cara pandang dan nilai budaya tersirkulasikan melalui teknologi informasi. Rekayasa dijital mampu menciptakan berbagai ilusi yang melahirkan realitas baru, karya-karya foto Kim juga merepresentasikan persoalan tersebut. Begitupun dengan karya foto instalasi Antonio Sabastian Sinaga dan Ahmad Abu Bakar menggunakan imej, benda atau material keramik sebagai suatu rangkaian simbolisme. Sedangkan perilaku seniman Indonesia, Yuli Prayitno (b.1974) dengan karya instalasi objek dindingnya memanfaatkan karakter material silicon rubber untuk membuat imej permukaan porselen biru-putih khas negeri Tiongkok. Ia memang dikenal sebagai seniman tiga dimensi yang sering mengangkat dan mengeksplorasi citra material untuk mempermainkan persepsi atas kemapanan
nilai materi, dan karyanya menjadi kritik atas cara pandang tersebut. Sebaliknya, karya instalasi benda-benda keseharian dari seniman Asep Maulana berjudul Memories of Childhood (2014), merepresentasikan bahwa kombinasi material tanah lempung dan keahlian mimesis mampu menyerupai material lain. Maulana memimesis benda-benda kenangan masa lalu: keranjang, cangkul, kursi dan lainnya dengan material keramik, dengan keahlian membentuk dan menaklukan karakter material tanah dan glasir. Karya seniman Wasinburee Supranichvoraparch (l. 1971, di Ratchbury, Thailand) berjudul Untitled (2014), yang berbentuk buah durian secara realistis berwarna keemasan, lebih mengesankan suatu keambiguan antara nilai kemuliaan dan suatu sindiran atau hiperbola. Karya ini merepresentasikan permainan tanda melalui bentuk dan nilai simbolik. Keramik memberikan pesona khusus bagi para seniman kontemporer. Walaupun proses pembuatannya membutuhkan pengetahuan dan keahlian khusus, namun pola produksi karya seni yang telah berbeda atau membebaskan, saat ini membuat dunia keramik kembali terakses oleh para seniman. Dalam artian para seniman diperbolehkan menggunakan tenaga ahli di luar kemampuan sang seniman sebagai bagian dari proses kreasi. Misalnya, penggunaan tenaga ahli seperti pelukis, pematung, fotografer, dan lain sebagainya. Maka proses kreasi suatu karya seni tidak lagi harus dilakukan oleh sang seniman saja, tetapi bisa bekerja sama dengan pihak lain, baik sebagai subordinat di
dalam rantai produksi maupun dalam konteks kolaboratif. Dengan kata lain, hubungan-hubungan proses sebuah karya seni menjadi terbuka, tidak berpusat pada diri sang seniman, seperti juga rantai atau jejaring proses produksi dalam logika industri modern. Di sisi lainnya, para praktisi seni keramik diperbolehkan untuk mengadaptasi perilaku para seniman kontemporer. Seperti yang dilakukan oleh pekeramik asal Argentina, Alfredo Eandarde (l. di Haedo) yang menggabungkan antara keramik dengan proyeksi video di dalam suatu instalasi. Perilaku ini menunjukkan bahwa beberapa praktisi seni keramik sudah mempraktekkan perkembangan
seni rupa mutakhir, walaupun masih melibatkan prosedur produksi karya yang konvensional. Sedangkan seniman Wales, Sarah Younan (l. 1986, di Laichingen-Germany) memasukan unsur mahluk hidup ke dalam ‘kandang burung’ keramiknya. Unsur humor juga muncul dari karya instalasi ‘kandang burung’ yang ia buat dalam kurun masa residensinya di Bandung selama satu bulan. Perilaku penggabungan material sebagai struktur yang menyatu dalam sebuah karya dalam praktek seni keramik sangat kental pada praktek bidang desain, seperti karya perhiasan Vulantri, karya kriya Ahadiat Joedawinata (l. 1943, di Cirebon), atau karya-karya patung keramik F.
Widayanto (l. 1953, di Jakarta) yang menggabungkan keramik dengan metal, bambu, dan lainnya. Komunitas Jatiwangi Art Factory (JAF) dari Majalengka bereksperimen dengan membuat berbagai aktifitas termasuk menciptakan alat- alat musik dari terakota, baik instrumen modern maupun tradisional. Mereka mencoba memberi warna kepada daerah penghasil industri genteng dan batu-bata dengan kegiatan budaya dalam kehidupan masyarakat disana. Teknologi industri keramik yang semakin mutakhir dan canggih, apakah di wilayah industri tile, sanitari, ataupun teknologi tinggi lainnya, direpresentasikan pada karya seniman keramik dari Jepang, Yeichiro Kamei (l. 1974, di Kagawa) , dengan kepresisian bentuk tiga dimensional yang secara proses melibatkan teknologi industri keramik modern. Begitupun karya arsitek dan seniman Elena Goray, Softiles, yang menampilkan karya rancangan alternatif untuk tile dinding. Berbeda dengan arsitek Budi Pradono (l. 1971, di Salatiga) , yang menggunakan batu bata tradisional untuk membangun instalasinya. Pada JCCB ke-3 kali ini pemilihan para seniman yang tak berlatar seni keramik atau tembikar/ gerabah (pottery) menjadi suatu tantangan tersendiri. Adalah para seniman seperti Bagus Pandega (b. 1985, di Jakarta) yang menggabungkan dengan elemen elektronik gerak dan suara. Eldwin Pradipta (b. 1990, di Jakarta) dengan video mapping, yang menghadirkan proyeksi video yang mengg-
Beberapa seniman membuat karyanya di Indonesia; mereka ditempatkan di beberapa lokasi. Selain Sarah Younan dari Wales yang berkarya di studio keramik Fakultas Seni Rupa – Institut Teknologi Bandung, ada pula Kristina Rutar dari Slovenia dan Amornthep Mahamart dari Thailand, keduanya bersamaan berkarya di desa gerabah Bayat, Klaten, Jawa Tengah.
abungkan animasi diatas permukaan guci, atau karya Radi Arwinda (b. 1983, di Bandung) yang mengadaptasi benda- benda ritual keseharian dalam tradisi budaya sebagian masyarakat di Asia Tenggara. Praktisi performance (seni pertunjukan) seperti Rudi Abdallah (b. 1982, di Jakarta), juga mencoba benda-benda keramik gerabah sebagai simbolik material untuk bagian dari aksinya. Benda-benda keramik menjadi tanda atau metafora suatu simbol tertentu. Plihan untuk melibatkan para seniman non-keramik diharapkan bisa memberikan warna dan mencari dimensi baru bagi praktek seni keramik di masa depan. Tak dipungkiri, perkembangan seni patung kontemporer banyak mempengaruhi praktek seni keramik. Karya–karya keramik yang menggunakan unsur– unsur seni pop juga terepresentasi-
kan oleh karya–karya seniman muda Argya Dhyaksa Nindita yang memasukan unsur-unsur seni yang cenderung bernuansa low-brow, dengan bentukbentuk patung yang ganjil, diselingi beberapa teks yang mengingatkan kepada konteks sosial tertentu. Atau karya–karya seniman Rosanto Bima Pratama (l.1991, di Kebumen) yang membentuk karakter kartun, sehingga ekspresi dalam seni keramik menjadi tak terbatas, mengikuti arah perkembangan dunia seni rupa umumnya. Oleh karena itu karya–karya berbasis pottery dan studio-studio kriya pun mengalami perkembangannya tersendiri. Karya dari studio Kandura Keramik - Bandung dan Jenggala Bali misalnya, mampu menciptakan benda-benda domestik yang bermain dengan bentuk-bentuk dan warna yang menggabungkan antara tradisi pottery konvensional dengan yang industrial.
Mahamart (l. di Chang Mai) menghasilkan karya instalasi berjudul The Heart of Java. Karya tersebut muncul melalui pengalaman tinggal di Bayat , ia menyatakan melalui akun Facebooknya, https://www.facebook.com/ topamornthep/ ; “Being with the rice straw on black sand, something wonderful happened to me. I’ve come here not only to create an art piece, but also to learn about lives, social and natural surroundings,
belief, and faith. To understand and receive warm friendship gratefully, while adjusting myself towards everything with open mind. Walking to the studio each day, I feel my feet on the soft land and straw. Everyday I sleep, eat, and live with happiness. One morning I woke up, feeling good spirit within myself. I could see the pictures of my work clearly in my head. Not just the finished piece, but the whole process. They were so clear that I couldn’t forget. So I sketched them in paper and started this work. This is new and surprising experience. This piece of work represents my appreciation for everything I’ve got from friends and people in this land.“ Di lain pihak, Kristina Rutar (b. di Lubjana) mencoba putaran miring khas Bayat dan merangkai instalasi bentuk-bentuk bola yang digabung dengan silinder mirip dengan bentuk kendi. Beberapa bulan sebelumnya, pekeramik Steven Low Thian
Kang dari Singapura, beresidensi di studio Tanteri Ceramics – Bali. Seniman muda, Bonggal Hutagalung beresidensi di Jatiwangi Art Factory, Majalengka, Jawa Barat. Sedangkan Linda Sormin, perupa kelahiran Bangkok, yang tinggal di Toronto-Canada, secara terpisah bersama Antena Art Project beresidensi di SaRang artspace di Yogyakarta. Selama kurun masa tersebut, mereka tak hanya bisa berinteraksi dengan medan sosialnya dan menyerap gagasan baru, tetapi juga memberi tantangan tersendiri menghadapi persoalan dunia keramik di Indonesia. Di tengah keprihatinan atas meredupnya kehidupan sentrasentra keramik di Indonesia, para seniman tersebut mampu beradaptasi dengan fasilitas peralatan yang serba sederhana. Maka melalui JCCB3 , diharapkan publik tidak hanya diperlihatkan soal perkembangan praktek seni, desain dan kriya keramik kontemporer, tetapi juga membuka berbagai persoalan sosial, budaya, dan ekonomi yang menyelimuti dunia keramik terutama di wilayah desa sentra keramik yang pernah hidup subur. Diharapkan dengan terselengganya bienal keramik ini, persoalan tersebut mendapat perhatian dari khalayak luas. ***
NOW : Here – There – Everywhere
durai, 1996)
Refleksi Seni Rupa Kontemporer
Kita sekarang bisa mengintip, menyimak tingkah laku banyak orang tiap detik , apakah yang kita kenal maupun tidak , dari lingkungan disekitar kita maupun yang jauh. Melalui Instagram , Twitter, Facebook, Tumbler dan berbagai aplikasi sosial media lainnya. Bahkan kita bisa berpartisipasi dengan memberikan komentar dan bahkan mengobrol langsung. Informasi dan bahkan ilmu pengetahuan bisa kita unduh tiap saat kita perlu tanpa harus pergi ke perpustakaan. Di dunia maya tersedia informasi tanpa batas , berjuta buku elektronik dan untuk mendapatkan itu tidak seperti mendapatkan ilham dari langit atau berilmu khusus, cukup melalui genggaman gadget, berbagai informasi dan ilmu itu secara arbitrer bisa didapat dalam sekejap. Tapi disisi lain , kita sekarang sering mudah marah, sinis, iri, sedih, cemburu, senang, atau terbahak-bahak, kita tak pernah benar-benar menyendiri dan sepi. Dunia sekitar menjadi sangat riuh ; udara dan langit terpolusi informasi.
SEKARANG adalah sebuah ruang dan lintasan waktu yang hari-hari ini kita semua hidupi, termasuk dengan segala persoalannya. Tapi juga sekaligus SEKARANG adalah entitas waktu yang longgar . SEKARANG juga meliputi dan membawa nilai dari hari kemarin atau masa lalu, dan tentunya juga menjadi suatu bibit untuk masa depan. Tetapi konteks pemaknaan persoalan “Sekarang” tentu lebih pelik dibanding dengan “sekarang” dalam masa lampau, karena “Sekarang” dalam era globalisasi mempunyai problematika tersendiri dan mungkin khas, dalam artian tak pernah terjadi dimasa lampau. Ruang dan waktu yang semakin memampat, seperti sekarang ini menjadikan apa yang kita alami sebagai masyarakat informasi global, batas – batas dan jarak dengan budaya lain tidak lagi seperti dipisahkan. Melalui berbagai perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, kejadian-kejadian yang terpisahkan secara geografis bisa terakses kemana pun keseluruh penjuru dunia, dengan waktu yang bersamaan , real time; melalui siaran langsung televisi, dan internet. Dunia sudah dilipat-lipat, kata orang. It has now become something of a truism that we are functioning in a world fundamentally characterized by objects include ideas and ideologies, poeple and goods, images and messages, technologies and techniques. This is world of flows. (Arjun Appa-
Dalam praktek seni rupa saat ini, konteks “Sekarang” bisa ditandai dengan beberapa hal yang berkaitan dengan kesadaran para seniman maupun dorongan artistiknya. Para seniman tidak lagi melulu menyendiri merenung dan mencari – cari ide atau bahkan orisinalitas seperti praktek seni modern klasik , tetapi dengan memaknai kembali berbagai hal yang terberikan, melintas, dan diserap ke dalam dirinya yang didorong oleh pusaran globalisasi art market maupun sirkulasi waca-
na-wacana. Batas – batas budaya diwilayah seni rupa pun sudah mencair, juga sekat-sekat didalam praktek seni rupa yang pudar, seniman tidak lagi harus menjadi spesialis suatu disiplin seni. Wajar jika ketika seorang pemerhati karya seni sering berceloteh “ karya ini / itu kok mirip dengan karya si anu”. Karya seni ternyata bisa seperti gaya rambut, gaya pakaian, atau model arsitektur. Ia juga rapuh terhadap waktu, bentuk karya seni juga berlaku trend. Bentuk-bentuk atau tampak luar karya seni sekarang mungkin tak banyak perbedaan signifikan dibelahan perkembangan dilain tempat alias sama – saja atau gitu-gitu aja. Walaupun pasti tentu ada perbedaan – perbedaan dan itulah mungkin kita bisa mendapatkan nilai-nilai individual di dalam realita diri seniman.
atau biasa dipanggil Benzig, ‘memungut’ dan meminjam berbagai tanda atau simbol dari sebuah jaman ideologi sosialis dan komunisme abad lalu. Bagi Benzig tanda-tanda tersebut sudah tidak lagi memiliki makna asalnya, bahkan menjadi komoditi bagi kapitalisme yang menjadi pemenang perang dingin. Benzig menghadirkan kembali melalui kumpulan objek pin yang membentuk simbol-simbol popular, sehingga keparadokan tercermin melalui karyanya. Karya-karya Mujahidin Nurrahman, menghadirkan citra ornamen arabesque dari susunan pola formasi citra senjata; senapan maupun pesawat tempur. Suatu citra kamuflase kekerasan yang dibalut dan dibingkai menjadi suatu keindahan dan kesempurnaan bentuk rupa. Melalui teknik potongan kertas (cut out) , Mujahidin mengartikulasikan suatu kecenderungan diseputar aspek sosial -politik global terutama berhubungan dengan isu-isu terorisme , yang menjadi perbincangan dan momok masyarakat dunia akhir – akhir ini.
“ SEKARANG” apakah itu disini, disana , dimana saja nyaris jadi sama, kehidupan semakin cepat berjalan menuju ke suatu ruang homogen. Maka sejauh manakah para seniman saat ini menandai sebuah perbedaan-perbedaan diantara ruang homogen seperti Isu global yang dihadirkan lewat karya saat ini? mereka menyadarkan kembali bahwa setiap seniman dimanapun boleh Dalam pameran ini berupaya untuk menyerap informasi global tetapi denmenyelami waktu dan konteks “se- gan sikap yang lebih menyelidik dan karang” yang termaknai melalui kar- mengupas persoalan dengan potensi ya-karya para seniman yang merep- kepekaan individu. Lewat karya Yaya resentasikan jamannya. Dimana lahir Sung lebih condong menggunakan dan tumbuh dalam masa dan konteks arsip-arsip foto masa lalu dari sebuah pengalaman yang khas dari dunia ko- keluarga dan kemudian memberikan smopolitan global. Melalui lintasan-lin- sentuhan personal dengan menjahit tasan dari nilai yang ada didalam benang diatas permukaan foto, hampersoalan “sekarang” yang kemudian pir menutupi tiap wajah orang disana. memberikan dorongan mereka dalam Karya ini mungkin bertujuan menginberkarya. Mulai karya Beni Sasmito gatkan kita kepada suatu peristiwa
politik yang traumatis bagi komunitas Tionghoa di Jakarta. Kemunculan fotografi sejak awal sudah diramalkan akan menyumbangkan persoalan budaya termasuk identitas, terutama ketika mulai digunakan sebagai medium seni. Fotografi dan video maupun media baru, satu sisi mampu memberikan ruang artikulasi yang lebih lugas bagi seniman, namun disisi lain perkembangannya, fotografi dan video menggerus soal nilai-nilai ruang , waktu dan identitas karya. Mekanisme pembentukan imaji yang hanya mengandalkan pengamatan mata menjadikan kesadaran dalam praktek baru fotografi yang terpenting adalah gagasan. Karya-karya para fotografer seperti Yudha Fehung, Aderi Pungki, Andri ‘abud’William mencoba untuk mendekonstruksi fotografi dengan membuat berwatak kuasi dokumentasi, maupun pemandangan atau realita yang ditata ulang (rekonstruksi) dan disimulasikan. Atau sebagai alat merekam sebuah aksi performance berdurasi panjang dan interaktif seperti karya “ Pelayanan Membasuh” , Ratu Rizkitasari Saraswati , berupa video dokumentasi hasil suntingan yang dilengkapi dengan instalasi tiang jemuran didalam ruang, seolah menjadi saksi atas suatu aksi seni selama 14 hari. Seniman seperti Saras berupaya menghadirkan kembali suatu aksi seni yang bergantung kepada waktu nyata kedalam waktu dan ruang berbeda . Begitupun karya Syaiful Giribaldi, dengan instalasi video-nya, yang merekam dari secara mikroskopik dunia jejamuran (funghi)
Merekayasa foto melalui perangkat lunak komputer lalu kemudian dipindahkan ke atas kanvas merupakan praktek yang sangat lazim sekarang, tetapi tidak berarti keterampilan melukis dilemahkan. Karya lukisan Tara Astari Kasenda misalnya, ia menduplikasi potret seorang temannya kedalam satu frame , dibuat rampak atau muncul beberapa sekaligus. Kita bisa menyaksikan praktek foto-realisme dalam perkembangannya juga memberi dorongan besar kepada para seniman dari generasi sekarang. Lebih jauh Tara kemudian bereksperimentasi dengan mentransfer imej kepermukaan berbahan silikon atau polymer, sebagai pencarian materi untuk subyek karyanya yang menampilkan mental imej. Melukis pemandangan tentu tidak sama dengan memotret dengan kamera atau merekonstruksi secara dijital, walau itupun sang pemotret tentunya punya kecenderungan untuk memilih subyek. Tapi melukis lebih jauh, melibatkan kepekaan yang meliputi; keterampilan tangan, indera dan emosi. Seperti karya lukisan Dikdik Sayahdikumullah, dimana ia mencoba mendekati praktek melukis pemandangan era kolonial Mooi Indie. Pemandangan alam bersalju dalam lukisan itu, ia buat ketika berada di Jepang. Mengalami cara melihat dengan jarak budaya atau displace. Bagi Dikdik merujuk kepada deskripsinya, lukisan pemandangan alam Indonesia yang indah, sering disebut Mooi Indie, dimana hampir seluruh inspirasinya diperoleh dari dalam lingkungan sosio-geografis kepulauan Indonesia.
Bagi pandangan pelukis, motif bentang alam adalah subjek ekspresi seni rupa yang telah menawarkan penafsiran ruang metaforis. Karya Zico Albaiquni Justru menampilkan lukisan pemandangan disekitar lokasi tertentu dengan menggambarkan orang-orang terdekatnya. Garapan lukisan diatas permukaan dijital print, menunjukan ketertarikan Zico kepada suatu tradisi seni lukis modern (ekspresionis , impresionis ) namun dengan sikap melukis yang baru ; dengan suatu lompatan teknologi. Ia memilih untuk mengedepankan seni lukis sebagai suatu pandangan konsepsi yang rapuh, daripada pencarian yang linier dan kokoh. Berbeda dengan lukisan foto-realis Yudi Arif Budiman yang menonjolkan permainan ilusi didalam lukisannya. Diperlukan kecakapan dan perhitungan serta metoda khusus didalam melukiskannya. Sehingga hasil lukisannya bisa tampak tiga dimensional melalui kacamata khusus. Memperlakukan dan merayakan praktek melukis kedalam ranah budaya visual. Membaurkan nilai-nilai seni dengan esensi budaya populer masyarakat sekarang; menghibur mata selain tetap berupaya menyusupkan aspek kritikal dan simbolik didalamnya. Seperti juga dengan karya lukisan realis Yogie Achmad Ginanjar, yang menghadirkan imej gula-gula atau cokelat yang disandingkan dengan ornamen arabesque, membenturkan nilai religi dan keseharian. Maupun Erianto yang menampilkan lukisan ilusi permukaan balon plastik diatas papan kayu. Praktek melukis selalu menantang bagi tiap
generasi terutama sekarang dimana melukis menjadi suatu penjelajahan yang lebih menyenangkan. Tak harus ikut terbebani oleh sejarah seni lukis modern. Seperti halnya karya Reggie Aquara, misalnya yang menghadirkan imej abstrak berpola seperti motif sayap kupu-kupu, yang dihasilkan efek dari lipatan (Rorschach technique). Kita hidup “sekarang” di tengah samudera tanda-tanda. Beberapa seniman menjelajah metoda, bereksperimen dan bermain-main dengan bentuk representasi, seperti pada karya Syagini Ratnawulan, yang menampilkan visual dan bentuk diagram. Tetapi kelompok Neo-Pitamaha justru menjadikan menengok kebelakang untuk melihat aspek sejarah, tapi dengan melihat kritikal kepada subyek didalam karya-karya mereka. Lukisan yang dikerjakan bersama oleh anggotanya: Gede Mahendra Yasa, Moniarta, Tang Adimawan dan Kemalezedine berupaya mengonsep ulang , menghampiri kembali metoda dan cara melukis di Bali , baik yang tradisional maupun yang dikembangkan dalam masa awal abad - 20 , apakah gaya Kamasan, Batuan dan lain sebagainya. Neo-Pitamaha, menurut mereka; membangunkan lagi semangat baru gerakan kelompok seni rupa dengan penggalian identitas “kelokalan” yang dimainkan dalam konteks ranah seni rupa kontemporer yang selalu melakukan refleksi terus menerus tentang paradigma seni lukis kontemporer Bali. Sedangkan bagi sebagian seniman
melihat pemandangan menjadi lebih problematis terutama melihat pemandangan kota. Seniman Oktianita Kusmugiarti atau Tia, menampilkan cut out drawing pemandangan sebuah gedung ikonik dari berbagai kota diseluruh dunia , yang mencerminkan suatu tumpang tindih didalam perkembangan arsitektur urban global (cityscape). Buktinya beberapa perumahan dikota-kota besar membangun ikon-ikon arsitektur tiruan atau meminjam nama-nama kota, maupun lokasi yang populer. Identitas kota global pun dihadapkan kepada keseragaman. Karya video rekaman aksi dan foto instalasi Ardi Gunawan mengartikulasikan suatu perilaku politik ruang dengan menyisipkan nilai subversif , banal, bagaimana benda-benda yang terbengkalai disekitarnya ,yang telah menjadi asing, dipungut dan dihadirkan kembali ke dalam ruang sosial , yang kemudian dirangkai menjadi bentuk alternatif sculptural atau arsitektural dengan makna baru, menciptakan ruang dengan menyisipkan dirinya didalam sebuah ruang. Dalam kontek paradigma seni rupa kontemporer , apapun bisa menjadi karya seni. Paradigma seni modern barat yang meminggirkan aspek kriya atau keterampilan teknik , kini didalam praktek seni sekarang mendapatkan tempatnya yang lebih layak, setidaknya dipertimbangkan kembali sebagai medium artistik . Kecenderungan arus ini mendapat sambutan dari para seniman generasi sekarang. Karya-karya Bonggal Hutagalung dan Panca DZ menyimpan potensi perkembangan menarik. Keduanya menggunakan
medium keramik dengan bentuk-bentuk yang tak lazim cenderung ngepop, melebihi hakikat materi dan potensi ekspresinya. Keduanya mencerminkan ungkapan yang mewakili jamannya, terutama dalam mengolah bentuk – bentuk yang bebas dan atraktif. Mengambil unsur-unsur bahasa visual dari jalanan , seperti grafiti , tattoo, stensil, dan lain sebagainya. Kini kita memasuki era seni rupa post – market, dimana didalam pasar seni rupa menjadikan karya-karya dan aktivitas seni rupa dilihat sebagai bagian dari nilai-nilai investasi atau bagian dari mekanisme perdagangan. Tentunya arus ini telah membentuk suatu pemahaman baru yang menyimpang terhadap apa makna produksi seni sekarang. Booming pasar seni rupa tentu telah membuat banyak pihak diuntungkan termasuk para dealer, agen, dan lingkungan pekerja seninya. Dalam model medan sosial – kapital di Indonesia persoalan , justru banyak juga mengakibatkan pihak-pihak yang dirugikan terutama para pelaku seni itu sendiri bahkan publik seni. Nilai-nilai suatu karya seni hanya bergantung kepada mekanisme pasar. Tak ada banyak lembaga museum -museum , hanya beberapa museum pribadi yang dikelola secara terbatas. Maka kemunculan para seniman generasi sekarang yang berkarya atas tujuan-tujuan yang lebih condong untuk tidak terlalu mengikuti arus pasar namun tidak anti-pasar, atau bahkan beberapa tidak begitu peduli terhadap pasar art market. Dengan kata
lain para seniman sekarang lebih mampu berstrategi untuk keberlanjutan perkembangan karir mereka. Sebagian mereka bersikukuh untuk berkarya dengan berbagai penjelajahan bahan, bentuk, dan wacana. Sesekali menengok kepada sejarah seni rupa , yang dari barat maupun lokal. Tak harus selalu bersusah – susah memikirkan pencarian identitas budaya, karena mereka adalah anak kandung dari globalisasi, selain tak dipungkiri ada beberapa dari mereka berlatar sosial-ekonomi kalangan menengah dengan tuntutan yang baru. As the imagination as a social force itself works across national lines to produce locality as a spatial fact and as a sensibilty . (Arjun Appadurai, 1996) Rifky Effendy Kurator Pameran Sumber bacaan:
1. Dari deskripsi tentang karya dan konsep para seniman. Dikirim melalui surel, whatsapp, bincang-bincang dan kunjungan studio. Kurun waktu Maret – April. 2015 2. The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction. Illuminations. Walter Benjamin. Edited by Hannah Arendt. London: Fontana. 1968. 3. Globalization. Edited by Arjun Appadurai. Duke University Press. Durham And London. 2001. 4. Art Is Not What You Think It Is. Donald Preziosi and Claire Farago. Wiley-Blackwell. West Sussex. UK. 2012
VOID Chance is a word void of sense; nothing can exist without a cause. - Voltaire
Tara Astari Kasenda Zia Fauziana Argya Dhyaksa Nindita Rega Ayundya Maharani Mancanegara Kelompok Pemuda Setempat Angga Cipta Panca DZ. Antonio Sebastian Sinaga Kemal Ezedine Etza Tandya Rahmat Nurrachmat Widyasena (Ito) Sarita Ibnoe Rima Marianna Oentoe Guna Dwi Mujahidin Nurrahman
Booming seni rupa kontemporer baru-baru yang lalu serta merta merubah wajah seni rupa kontemporer di berbagai belahan dunia Tak terkecuali di Indonesia, riuhnya pasar seni rupa mendinamisasi medan kapital dan sosialnya. Pertumbuhan galeri – galeri komersial, serta kemunculan rumah- rumah lelang, studio-studio seniman yang megah, museum-museum pribadi, penerbitan-penerbitan buku seni, kemunculan para kolektor muda, bahkan pameran-pameran di negara tetangga serta artfair begitu marak. Tetapi disisi lain , pertumbuhan ini begitu rentan karena tak diimbangi kemunculan lembaga-lembaga seni maupun museum seni. Lembaga pendidikan tinggi seni yang ada pun tak begitu adaptif dalam membaca gerakan zaman. Sehingga lambat dalam menjemput bola kemajuan. Belum ada dari mereka mengembangkan secara khusus keahlian sejarah seni, kurator, tenaga bisnis dan administrasi seni atau museum.
– kapital seni rupa di negara-negara dimana seni rupa mendapatkan perhatian besar oleh negara. Seperti di Australia, Singapura, Korea – selatan, Jepang , Taiwan dan lainnya. Guncangan ekonomi dunia seperti yang terjadi baru lalu tak banyak mempengaruhi aktivitas seni rupanya. Bagaimanapun nilai-nilai seni dan aktivitas seni disana masih kukuh dan stabil. Apalagi perkembangan di negara -negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Dengan kata lain, peran negara melalui lembaga-lembaga pendidikan tinggi seni, departemen-departemen dalam pemerintahan yang menaungi seni dan budaya, museum dan lainnya, menjadi terasa signifikan. Selain sebagai lembaga penyeimbang, negara akan menjadi penjamin keberlanjutan kehidupan seni dan nilai-nilai disekitarnya. Hambatan-hambatan didalam lembaga-lembaga tersebut, tentu lebih terkait kepada sumber daya manusia dan sistim yang mengatur mekanisme kebijakan. Para pelaku seni rupa di Indonesia kebanyakan seperti ; seniman, penulis, kritikus, kolektor, pengelola galeri yang berjalan diatas mekanisme pasar tentu menjadi suatu potensi yang harus dipertimbangkan secara khusus. Karena walaupun tanpa dukungan pihak pemerintah, kita bisa melihat telah muncul berbagai aktvitas seni yang masih berlanjut. Mulai dari pameran-pameran, pendirian museum, penerbitan, biennale, dan lain sebagainya.
Kerapuhan medan kapital-sosial seni rupa terutama karena nilai-nilai didalam karya seni selalu disandarkan kepada mekanisme pasar seni rupa. Sehingga ketika keseimbangan diwilayah ekonomi terganggu maka akan mempengaruhi nilai-nilai sekitar dunia seni Pameran ini bermaksud menunjutermasuk aktivitasnya. Hal ini tak ban- kan suatu survey perkembangan yak terpengaruh didalam medan sosial akhir dari praktek seni rupa kontem-
porer. Dari generasi para seniman muda era pasca booming pasar seni rupa (post-market). Kekosongan atau VOID terjadi didalam perkembangan seni rupa sekarang, sebuah jeda dari perkembangan wacana - wacana seni dan ledakan pasar. Namun didalam ‘ruang kosong’ atau VOID terjadi produktivitas yang potensial. Muncul karya – karya dari para seniman yang tak
dibeberapa bagiannya. Ia juga mentransfer imej foto ke atas permukaan lembaran lem silikon, menjadi terkesan ada keambiguan dengan efek kekaburan yang dihasilkannya. Karya-karya Tara mungkin saja merepresentasikan suatu dunia sekarang yang riuh-rendah dan hilangnya batas-batas public-private membawa kegamangan terhadap dunia sosial. Antonio S. Sina-
terpengaruh oleh dampak booming art market. Dengan memperlihatkan kecenderungan seni rupa yang lebih merdeka dalam pencarian identitas diri ; direfleksikan dari pencarian dengan keberagaman tematik maupun penjelajahan medium.
ga (aka Nino) dengan mengalegorikan nilai-nilai dari kisah kitab suci, dengan menggunakan imej-imej yang bersumber dari dunia ‘fana’ yang tersebar di jagat maya. Rima Mariana , menggambarkan simbol yang berhubungan kepada nilai-nilai personal melalui lukisan burungnya. Ketiganya seniman menyerap apa yang terjadi sekarang , baik didalam nilai personal, sosial maupun spiritual dengan unsur imej foto-media sebagai suatu kekuatan dan sandaran memahami dunia sekarang. Sedangkan fotografer Guna Dwi menghadirkan tubuh manusia yang
Para seniman yang memulai karirnya setelah era booming, seperti Tara Astari Kasenda (lahir Jakarta, 1990) memperlihatkan penjelajahan representasi seni lukis dengan melukis potret dan patung dada teman-teman dekatnya dengan khas, sedikit kabur
berinteraksi dengan benda-benda sekitarnya, dengan menampilkan tubuh telanjang yang dengan ganjilnya menopang sebongkah pilar. Karyanya menampilkan bentuk dasar tubuh manusia yang nyaris seperti bentuk patung dan sureal.
isan still life Tandya Rachmat, juga menunjukan keterampilan menangkap obyek-obyek yang ditata tak lazim dalam tradisi melukis still life, termasuk pencahayaan yang kemerahan. Sehingga dari lukisannya seolah muncul nuansa kepada psikologis tertentu.
Kelompok Pemuda Setempat menyajikan karya drawing potret hasil kolaborasi (dari Muhammad Vilhami, Ocipa, Arie Respati, dll). Mereka melanjutkan tradisi melukis potret (portraiture) dalam seni rupa kontemporer Indonesia, namun dengan semangat yang berbeda. Lebih menunjukan suatu konstruksi imej yang terbentuk dari kedekatan kepada subyek melalui olahan foto-media. Karya-karya drawing Rega Ayundya menampilkan potensi garis dalam membentuk ruang dan ekspresi personal. Sarita Ibnoe menampilkan serangkaian drawing tubuh perempuan dialam objek – objek kemasan, yang dikaitkan dengan ruang yang lebih personal dan intim. Karya luk-
Karya dengan corak street art seperti Kemal Ezedine berupaya menemukan artikulasi ketika bersentuhan dengan suatu budaya kental seperti sejarah seni rupa di Pulau Bali yang khas itu. Unsur-unsur tanda dari seni gambar tradisi, maupun simbol-simbol keagamaan Hindu yang bercampur dengan goresan dan bentuk rupa yang lebih bebas dan ngepop tampak dari karya-karyanya. Menjadi semacam hibriditas yang dihasilkan dari ketertarikan kepada satu nilai sejarah. Angga Cipta lewat karya dijitalnya menggambarkan suatu keadaan lalu-lintas masyarakat di kota – kota besar di Indonesia. Suatu yang kasat mata terhadap perilaku masyarakat yang menghadapi suatu
peraturan -peraturan. Berbeda dengan Argya Dhyaksa yang melakukan sindiran kepada perilaku masyarakat urban melalui simbol-simbol dan kata-kata yang nyeleneh dan pelesetan dalam objek-objek keramiknya. Karya-karya Maharani Mancanagara dan Nurrachmat Widyasena (aka ITO) merepresentasikan bagaimana konstruksi imej saat ini kemudian menjadi suatu nilai artistik didalam sebuah karya. Maharani merekonstruksi imej foto [perang dunia dari masa lalu yang dikemas seperti suatu permainan sembari melontarkan kritik kepada suatu konteks sejarah melalui peminjaman bentuk tradisi wayang beber. Sedangkan Ito, melakukan rekonstruksi imej/grafis iklan yang menggabungkan teks dan gambar yang menyindir industri turisme di Bali . Drawing karya Zia Fauziana menggambarkan irama yang teratur dari garis-garis yang membentuk jajaran imej gunung-gunung yang menenangkan. Karya video dan objek kertas Mujahidin Nurrahman kurang lebih menggambarkan perjalanan waktu yang paradoks didalam suatu masa. Karya instalasi Etza Meiysara dengan memasukan unsur-unsur rupa , suara dan raba. Karyanya dihasilkan dari suatu eksperimentasi berupa score musik dibuat dengan huruf braile (untuk orang buta). Kekosongan dialam pergaulan seni kontemporer saat ini memang hampir mustahil , tetapi untuk menghasilkan suatu pemikiran -pemikiran baru tentunya butuh stimulan , baik berupa adanya ruang yang bebas tekanan sejarah. Maka untuk menemukannya butuh keberanian
menemukan tanda-tanda yang bebas namun potensial. Para seniman muda ini menemukan potensi yang bisa tak terprediksi oleh siapapun (arbitrer).
NEW.FUTURE Pemilihan karya-karya seniman muda dari Indonesia untuk pameran NEW. FUTURE ini didasari dari survey terakhir pameran-pameran yang diselenggarakan diberbagai galeri maupun peristiwa seni rupa dibeberapa kota di Indonesia terutama Jakarta, Bandung, Magelang dan Jogjakarta. Karya – karya yang ditampilkan dari Indonesia cukup beragam dalam artian penjelajahan tema dan mediumnya. Dalam perkembangan seni rupa di Indonesia suatu “kebaruan” memang tidak selalu selaras dengan kemajuan jaman seperti kemajuan teknologi misalnya. Sangat berbeda dinegara-negara dimana teknologi menjadi ujung tombak industri dan ekonominya. Seperti di Korea maupun negara seperti Jepang maupun negara di Eropa barat dan Amerika utara “kebaruan” ghalibnya selaras dengan pencapaian aspek lainnya. Di Indonesia maupun dibagian lain negara asia dan amerika latin misalnya. Pengaruh teknologi lebih besar kepada perubahan perilaku budaya dan gaya hidup. Teknologi komunikasi dan komputer saat ini tengah memberikan kontribusi besar bagi perubahan budaya sebagian masyarakat di Indonesia, walaupun hanya menjadi pangsa pasar yang besar bagi produk – produk teknologi , terutama berupa gadget maupun produk konsumer lain. Pola-pola komunikasi baru ini muncul sejak kemunculan internet di era 1990an, yang menjadi dasar perkembangan berbagai aplikasi sosial-media, seperti facebook, twitter maupun perangkat lunak interaktif lainnya. Tetapi disisi lain dunia tanpa batas itu juga memberikan banyak aspek tak terduga, tak terstruktur atau organik dan selalu ingin mengejutkan kita. Menemukan masa lalu, sekarang dan mungkin masa depan dalam waktu bersamaan (melting). Karya-karya seniman muda Indonesia umumnya cenderung masih mengandalkan keahlian seni konvensional seperti melukis, menggambar maupun mematung. Dengan kata lain unsur craftmanship masih dipegang teguh dalam praktek seni kontemporer. Tetapi dalam pameran New. Future , pemilihan karya selain aspek tersebut lebih kepada beberapa hal. Seperti gagasan seniman yang muncul dari perilaku budaya sosial-media dengan menggunakan
medium yang konvensional seperti karya lukisan dan patung Tara Astari Kasenda yang menggunakan potret temannya untuk menggambarkan hubungan individu didalam pergaulan sosial-media yang lebih multipolar atau menciptakan berbagai kepribadian seseorang yang kompleks, seperti selfie maupun menumpahkan ungkapan atau uruan pribadi untuk dibaca orang lain, dsb. Oposisi biner antara yang privat dan publik tak lagi terpisahkan. Karya instalasi keramik Argya Dhyaksa Nindita, yang terdiri dari bentuk-bentuk ganjil diselingi dengan teks disekitarnya yang mengandung sindiran, pelesetan atau pelintiran yang penuh kelakar. Karyanya muncul dari masalah komunikasi dari pergaulan sosial-media didalam masyarakat. Ketidak-presisian dan keganjilan bentuk karyanya juga mencerminkan anti industri atau kemapanan. Dunia maya menjadi dunia pengetahuan yang luas, tanpa batas, menjadi acuan bagi generasi seniman sekarang dalam mencari dan menjelajah ‘arsip-arsip’. Karya cetak dijital Antonio S. Sinaga mencari nilai dari simbol – simbol didalam relijiusitasnya ditengah ketersediaan dan kemudahan mendapatkan imej didunia maya. Tetapi kemudian tanda-tanda tersebut diubah menjadi permainan ironis dibanding dengan simbol-simbol reliji yang sebelumnya. Karya Patriot Mukmin menyajikan jalinan imej cetak dijital dari dua tokoh kekuasaan Orde Baru yang dianyam, mempertanyakan persoalan kendali kuasa yang sebenarnya. Hal ini menjadi penanda bagaimana persoalan sejarah dalam
kenyataan sosial-politik di negara Indonesia masih begitu kabur melihat kebelakang. Maka karyannya ini seperti anyaman tanda untuk pengingat bagi generasinya akan suatu sejarah bangsa dan nilai-nilainya yang diwarisinya. Karya drawing diatas kayu , Maharani Mancanagara memberikan suatu ruang ingatan kita kepada gerakan-gerakan bangsa lewat pendidikan. Gagasan yang ia fokuskan kepada aspek sejarah pendidikan dan mungkin saja dunia perempuan terasa sangat tepat untuk membicarakan persoalan masa kini. Aspek lain didalam kehidupan era teknologi media baru dan informasi adalah kemampuannya dalam merekayasa imej dan potensi mempertanyakan kembali realita. Seniman Eldwin Pradipta melalui karya-karya video-mappingnya menampilkan imej topeng-topeng khas Bali yang kemudian pelan-pelan mengalami “pelelehan”. Karyanya menggambarkan suatu ironi kepada nilai tradisi sekaligus mempertanyakan nilai budaya tersebut didalam kehidupan masyarakat sekarang. Fotografer muda Yudha Kusuma Putera (Fehung) mencoba memahami praktek fotografi sebagai suatu konstruksi realita melalui karya yang berwatak stage-photography. Dengan membentuk suatu adegan seseorang yang menghadap bungkusan plastik warna biru di dinding atau dengan kata lain sebagai performatif. Watak fotografi seperti ini mempertanyakan suatu nilai kebenaran didalam praktek foto. Seniman Erianto melakuan pendekatan melukis dengan menghadirkan kanvas yang dibuat seperti layak-
nya kemasan sebuah lukisan. Diatas kemasan tersebut ia menambahi imej berbagai stiker perusahaan transportasi barang dan kelengkapan keterangan alamat yang mengirim dan tujuannya. Karyanya secara tak langsung ingin menyinggung persoalan posisi dirinya sebagai seniman dalam dunia seni rupa global.
individu didalam suatu formasi gambar-gambar yang prosesnya sangat organik, menciptakan dialog diantara gambar -gambar yang publik ; baik berupa apropriasi karya seni maupun dengan yang personal. Karya mereka sekaligus mempertanyakan identitas sebuah karya dalam pemikiran seni modern.
Bagus Pandega menghadirkan karya objek berupa kotak kayu yang didalamnya terdiri dari sepasang kaset dengan pitanya yang semrawut memenuhi kotak tersebut. Unsur suara juga muncul dalam karyanya seperti biasa. Karya ini menandai adanya kegandrungan kepada teknologi lawas atau mempunyai aspek nostalgi secara personal. Khususnya di dalam kehidupan sosial di Indonsia, dimana masa lalu-sekarang-masa depan berjalan beriringan. Karya Angga Cipta lebih mempertimbangkan persoalan sekarang melalui kondisi disekitarnya. Dengan menghadirkan imej tampak atas suatu persimpangan jalan raya utama di kota dimana ia tinggal. Kerumitan dan kekacauan ini menjadi ‘estetis’ dalam garapan dijitalnya. Karya drawing arang Francy Vidriani menorehkan dunia internal, yang keluar menjadi ungkapan yang digambarkan hampir murung. Karya instalasi dinding Sarita Ibnoe selalu mempertanyakannya sesuatu hal dari dalam dirinya dengan membuka kemungkinan intervensi dari luar. Berupaya memberikan makna baru kepada ekpresi diri melalui karya yang interaktif. Instalasi drawing kelompok Pemuda Setempat lebih membuka kita kepada ungkapan personal melalui banyak
Karya-karya para seniman ini dalam pameran NEW. FUTURE menjadi gambaran perkembangan praktek seni rupa ditengah perubahan budaya global melalui perkembangan teknologi media baru yang terus menerus mengubah cara pandang dan perilaku masyarakat. Para seniman ini mencerna berbagai nilai dan esensi secara berbeda-beda ; baik fokus pengamatan maupun pemahaman mediumnya. Dalam hal ini “kebaruan” tidak harus dipahami secara sinkronis dengan kemajuan teknologi, tetapi lebih kepada nilai-nilai yang mengubah alam pikir manusianya. Bila para seniman ini mempunyai ‘radar’ dalam mendeteksi denyut jiwa masyarakat, maka karya dan pikiran mereka bisa menjadi cerminan kita, sebagai alat kritik terhadap berbagai nilai untuk bisa direnungi kemudian. Dari sini kita bisa melihat dan mengira-ngira masa depan. Rifky Effendy
Kuratorial Pameran LAF Bipolarity to Multipolarity Globalisasi dan Kondisi Medan Sosial (dan kapital) Seni Rupa Indonsia Sekarang Booming seni rupa kontemporer pada sedekade lalu serta merta merubah wajah seni rupa kontemporer di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia, riuhnya pasar seni rupa mendinamisasi medan kapital dan sosialnya. Pertumbuhan galeri – galeri komersial, serta kemunculan rumahrumah lelang, studio-studio seniman yang megah, museum-museum pribadi, penerbitan-penerbitan buku seni, kemunculan para kolektor muda, bahkan pameran-pameran di negara tetangga serta artfair begitu marak, terutama kurun 2005-2014. Tetapi disisi lain , pertumbuhan ini begitu rentan karena tak diimbangi kemunculan lembaga-lembaga seni seperti museum seni yang memadai. Lembaga pendidikan tinggi seni yang ada pun tak begitu adaptif dalam membaca gerakan zaman. Sehingga lambat dalam menjemput bola kemajuan. Belum ada dari mereka mengembangkan secara khusus keahlian sejarah seni, kurator, tenaga bisnis dan administrasi seni atau khusus ilmu museum seni. Kerapuhan medan kapital-sosial seni rupa terutama karena nilai-nilai didalam karya seni selalu disandarkan kepada mekanisme pasar seni rupa. Sehingga ketika keseimbangan diwilayah ekonomi terganggu maka akan mempengaruhi nilai-nilai sekitar
dunia seni termasuk aktivitasnya. Hal ini tak banyak terpengaruh didalam medan sosial – kapital seni rupa di negara-negara dimana seni rupa mendapatkan perhatian besar atau menjadi bagian dinaungi negara. Seperti di Australia, Singapura, Korea – selatan, Jepang , Taiwan dan lainnya. Guncangan ekonomi dunia seperti yang terjadi baru lalu tak banyak mempengaruhi aktivitas seni rupanya. Bagaimanapun nilai-nilai seni dan aktivitas seni disana masih kukuh dan stabil. Apalagi perkembangan di negara -negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Dengan kata lain, peran negara melalui lembaga-lembaga pendidikan tinggi seni, departemen-departemen dalam pemerintahan yang menaungi seni dan budaya, museum dan lainnya, menjadi terasa signifikan. Selain sebagai lembaga penyeimbang, lembaga seni rupa negara akan menjadi “penjamin� keberlanjutan kehidupan seni dan nilai-nilai disekitarnya. Hambatan-hambatan didalam lembaga-lembaga tersebut, tentu lebih terkait kepada sumber daya manusia dan sistim yang mengatur mekanisme kebijakan. Para pelaku seni rupa di Indonesia kebanyakan seperti ; seniman, penulis, kritikus, kolektor, pengelola galeri yang berjalan diatas mekanisme pasar tentu problematik , tapi apakah mungkin menjadi suatu potensi yang harus dipertimbangkan secara khusus?. Karena walaupun tanpa dukungan pihak pemerintah, kita bisa melihat telah muncul berbagai aktvitas seni yang masih berlanjut. Mulai dari pameran-pameran,
pendirian museum, penerbitan, biennale, dan lain sebagainya. Kini kita memasuki era seni rupa “post – market”, dimana didalam pasar seni rupa menjadikan karya-karya dan aktivitas seni rupa dilihat sebagai bagian dari nilai-nilai investasi atau bagian dari mekanisme perdagangan. Tentunya arus ini telah membentuk suatu pemahaman baru yang menyimpang terhadap apa makna produksi seni sekarang. Booming pasar seni rupa tentu telah membuat banyak pihak diuntungkan termasuk para dealer, agen, dan lingkungan pekerja seninya. Dalam model medan sosial – kapital di Indonesia persoalan , justru banyak juga mengakibatkan pihak-pihak yang dirugikan terutama para pelaku seni itu sendiri bahkan publik seni. Nilainilai suatu karya seni hanya bergantung kepada mekanisme pasar. Tak ada banyak lembaga museum -museum , hanya beberapa museum pribadi yang dikelola kurang profesional. Maka kemunculan para seniman generasi sekarang di Bandung, yang berkarya atas tujuan-tujuan yang lebih condong untuk tidak terlalu mengikuti arus pasar namun tidak anti-pasar, atau bahkan beberapa tidak begitu peduli terhadap pasar art market atau bahkan tak memahami apa yang sedang terjadi. Dengan kata lain para seniman sekarang lebih mampu berstrategi untuk keberlanjutan perkembangan karir mereka. Sebagian mereka bersikukuh untuk berkarya dengan berbagai penjelajahan bahan, bentuk, dan wacana. Sesekali menengok kepada sejarah seni rupa , yang dari
barat maupun lokal (global). Tak harus selalu bersusah – susah memikirkan pencarian identitas budaya seperti generasi sebelumnya, karena mereka adalah anak kandung dari globalisasi, selain tak dipungkiri ada beberapa dari mereka berlatar sosial-ekonomi kalangan menengah dengan berbagai segala tuntutannya yang baru atau berbeda. Tak hadirnya sebuah model perkembangan seni yang mapan menciptakan suatu kondisi yang tak pasti, penuh spekulasi tapi bukannya tanpa masa depan bagi dunia seni rupa, karena disisi lain membentuk suatu keyakinan kepada pelaku seni rupa untuk lebih berstrategi atau sebaliknya, membuat keraguan yang simultan. Perkembangan praktek seni rupa kontemporer di kota Bandung dalam satu dekade terakhir menunjukan pergerakan yang semakin dinamis. Setelah beberapa pameran seniman muda yang mengusung “Bandung” sebagai highlight , seperti Bandung Art Now (BAN) yang berlangsung di Galeri Nasional tahun 2009 lalu, pameran rutin di kota Bandung seperti Bandung New Emergence (BNE) di Selasar Sunaryo sejak tahun 2005 , dan baru-baru ini; Bandung Kontemporer di berbagai lokasi di sekitar Bandung tahun 2014 lalu. Para seniman Bandung muda mulai dikenal dan masuk dalam lingkaran pasar seni rupa di Asia Tenggara dan Internasional. Banyak galeri-galeri, ruang seni dan Biennale-bienale di Jakarta maupun negara-negara di Asia Tenggara hingga Eropa mulai menyertakan para seniman muda Bandung seperti : Yusuf
Ismail, J.A Pramuhendra, TROMARAMA, Arin Dwihartanto, Albert Yonathan, Bagus Pandega, dan beberapa nama lainnya. Pameran di LAF ini hendak mengidentifikasi kembali karya-karya para seniman Bandung dari sisi penggarapan tema-tema dan penjelajahan medium pasca boom. Ada beberapa hal yang menonjol dalam karya-karya mereka. Seperti tema-tema yang beragam , mulai dari isu-isu budaya global popular masyarakat sekarang yang menghasilkan persoalan dalam ranah sosial : identitas diri yang terkait dengan bipolaritas budaya , sejarah, hingga kepada persoalan – persoalan budaya lokal-urban. Dengan spektrum penjelajahan medium ; mulai lukisan, gambar , patung, performans, fotografi hingga video dan suara. Pameran ini juga ingin menunjukan bahwa dalam sedekade perkembanganya telah terjadi produktifitas seni di Bandung didalam konteks komunitas seni yang lebih intens, “introvert” sebagai suatu keunikan model medan sosial seni di Indonesia. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal yang akan dibahas selanjutnya. Identitas Generasi X Sebuah generasi X yang lahir setelah gerakan reformasi tahun 1998 yang mengubah wajah sosial-budaya masyarakat Indonesia khususnya. Dengan runtuhnya rezim Orde-Baru, kontrol terhadap politik dan budaya yang sebelumnya dikendalikan oleh mesin politik Suharto, serta-merta runtuh. Reformasi politik membawa kepa-
da nilai-nilai kebebasan tiap individu maupun kelompok suatu masyarakat dalam menentukan sikap dan visi hidupnya, termasuk memaknai identitasnya. Identitas, sebelumnya selalu dikaitkan dengan nilai-nilai tradisi dan nilai nasionalisme “keIndonesiaan” yang direstui dan disaring oleh kelompok penguasa melalui program – program informasi, kebijakan-kebijakan, aturan-aturan seperti di lembaga pendidikan, agama, dan lainnya. Problematika dari pengejawantahan nilainilai tersebut memunculkan represi terhadap kelompok-kelompok kecil, masyarakat minoritas lainnya; seperti keturunan Tionghoa, kelompok etnis lain, baik dalam aspek kehidupan politik, ekonomi, reliji dan budaya. Reformasi tahun 1998, menjadi momentum perubahan, bukan hanya aspek kehidupan politik, tetapi lebih dalam lagi adalah mendorong pengakuan dan hak-hak masyarakat didalam aspek sosial , budaya, reliji. Melalui perubahan-perubahan dan kebijakan institusi negara, seperti penghilangan departemen penerangan dan kemudian pengakuan kepada kelompok masyarakat seperti keturunan Tionghoa menjadi bagian dari etnis dan budaya Indonesia oleh presiden R.I Ke 4 (alm.) Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 2002. Pun dengan derasnya globalisasi, sejak itu diterima melalui kebebasan informasi melalui televisi dan media teknologi internet. Dunia menjadi terlipat yang menyebabkan juga krisis yang terjadi di berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Sebagian masyarakat tak mampu menerima fenomena yang ter-
jadi. Semakin kuatnya bipolar budaya terasa mempengaruhi kepada persoa- Ekstensi Museum Tanpa Dinding ke lan identitas bangsa terutama didalam Pergaulan Sosial Media kehidupan urban. Mereka sebagai seniman lahir yang tiJohn Tomlinson dalam bukunya Glo- ba-tiba mengalami suatu jaman dimabalization and Culture , mengemuka- na batas-batas georgrafis dan kultural kan: It is fair to say that the impact melebur. Ditambah lagi sekarang batof globalization in the cultural sphere as normatif seperti yang publik dan prihas, most generally, been viewed in a vat pun sirna. Dalam ranah seni rupa pessimistic light. Typically, it has been hari ini kita bisa menyaksikan berbagai associated with the destruction of cul- bentuk praktek dengan karya-karya tural identities, victims of the acceler- ekstensi dari apropriasi yang lahir daating encroachment of a lam implosi tanda-tanda. Globalisasi homogenized, westernized, consumer seni rupa bukan hanya soal modal dan culture. Tomlinson (1999: 269) kapital yang berpusar tetapi juga melalui citra, wacana, hingga gosip seni Kemunculan generasi seniman yang rupa melalui berbagai gawai dalam lahir di era pasca reformasi, keban- genggaman. Sirkulasi tanda-tanda itu yakan lahir ditahun 1990-an : Tara semakin bergerak tak terperikan keceAstari Kasenda, Kelompok Pemuda patannya, tak berpola atau acak, tanSetempat , Patriot Mukmin , dimana pa sejarah dan asal-usul. Bila puluhan berbagai peristiwa politik dan sosial tahun lalu budayawan Perancis Andre jauh dari ingatan, mungkin hanya di- Malraoux membahas soal kehadiran pahami dari cerita pengalaman orang karya seni di era reproduksi mekanik tua atau berita. Generasi yang tumbuh sebagai ekstensi dari pemikiran Walter tiba-tiba berada ditengah berbagai ke- Benjamin. bebasan menerima hak sebagai warga suatu bangsa dan negara secara Baginya “museum tanpa dinding’” penuh, menerima informasi global, adalah pertanyaan bagaimana kita dengan suasana sosial-politik yang memahami sebuah karya atau objek lebih gaduh dan rumit. Globalisasi , museum melalui buku-buku dengan bagi generasi ini seolah telah menda- informasi bergambar dan dengan lebrah – daging, atau menjadi identitas ih terperinci dan jarak yang lebih dekat mereka sejak awal. Tetapi justru hal tanpa harus berhadapan langsung ini menjadi pertanyaan dalam dirinya, atau diluar lingkungan karya seni ” siapa aku”. Kesadaran ini tak dipung- tersebut diproduksi dan ditampilkan. kiri muncul dari hasil pengalaman diri Sehingga memungkinkan ruang apreketika memasuki masa pendewasaan, siasi yang lebih intim sehingga tercipatau seiring dengan pengalaman este- ta ruang imajiner yang menghasilkan tik yang membawa kepada kesadaran bentuk-bentuk seni yang mutan dan nilai-nilai lain dalam aspek kehidupan hibrid, bahkan kemunculannya tak terdi sekitar mereka. duga , berkecambah kesegala penjuru
dunia, dalam ruang kuliah yang jauh ori dan pemahaman bentuk seni yang dari muasal , baik peradabannya dan baru. sosialnya. Dalam zaman teknologi informasi dan Dalam konteks kemunculan seni komunikasi global , situasi sosial dan rupa modern di Indonesia, kecend- ekonomi seperti sekarang terjadi pererungan memahami praktik seni juga pindahan manusia dari satu tempat sangat terkait dengan munculnya ke tempat lain dengan cepat dan jumpola pendidikan terutama seni rupa, lah yang besar dan secara virtual kita yang mempelajari berbagai karya bisa melihat berbagai informasi berbseni modern dari buku-buku, ruang- agai aspek kehidupan manusia dalam ruang kuliah maupun perpustakaan. genggaman , tiap detik. Arus yang deGenerasi pertama yang mengenyam ras ini membuat nilai identitas seni sependidikan modern di negara jajahan makin cair dan sulit teridentifikasi setelah menghampiri karya-karya maes- cara “sepenuhnya”. Maka praktek seni tro (Eropa) melalui metoda “pasca rupa kontemporer terus menghadapi auratik”, atau pengamatan dengan tantangan didalam pencarian bentuk , contoh dari buku-buku,atau tidak me- gagasan , makna dan nilainya. Seperti lihat suatu karya secara langsung, karya seniman Antonio S. Sinaga, Nurtermasuk didalam ruang sosial dan rachmat Widyasena, Radi Arwinda, budaya tertentu. Hal ini menimbulkan Eldwin Pradipta, dimana mereka meproblematika didalam perkembangan- nemukan bentuk dengan mengambil nya, terutama menyangkut persoalan imej yang liar untuk kepentingan suatu “identitas”. gagasan tentang berbagai hal ; mulai dari kepercayaan atau reliji, soal buWacana identitas begitu kental da- daya konsumsi, turistik, maupun benlam perdebatan-perdebatan di era tuk seni populer global maupun lokal. awal kemunculan seni modern, seperti wacana Mooi Indie di era 1930- Dari Bipolar ke Multipolar an , hingga ketika pasca perang dingin tahun 1960-70an. Tetapi wacana Tema Bipolaritas dalam hal ini lebih identitas seni rupa Indonesia terus mengarah kepada pembahasan perterombang-ambing , hanyut bersama soalan subyek dan perilaku berkarya -sama dengan dinamika sosial, bu- seniman sekarang, serta persoalan daya, ekonomi dan politik dalam mas- kepada identitas karya dan senimanyarakat. Pada dekade 1980-an kritik- nya, terutama didalam medan – sosial us Sanento Yuliman pernah menyindir seni rupa sekarang. Wacana adanya soal cara memandang seni dengan bipolaritas dalam praktek seni rupa satu keyakinan tata acuan yang tung- Indonesia merupakan warisan yang gal dan universal bisa menyebabkan menghinggapi dunia seni sejak awal “sakit mata” dan rabun. Dengan kata kemerdekaan. Bipolaritas terjadi kalain, sebagian praktisi tak mampu rena latar belakang kemunculan seni membendung derasnya berbagai te- rupa modern di era kolonial. Dari kar-
ya-karya lukisan mendiang Raden Saleh misalnya bipolaritas terjadi akibat perkenalannya dengan seni lukis romantik, perjalanannya ke negara-negara Eropa menjadikan dirinya seorang yang penuh ambiguitas. Karya-karya potret dirinya dalam kurun waktu tertentu merepresentasikan bipolaritas menghadapi perbedan budaya antara kenyataan diri sang maestro dengan gaya hidup dan budaya masyarakat di Eropa. Memasuki era modern dengan kemerdekaan bangsa Indonesia , seni dihadapkan kepada realitas untuk mengadaptasi praktek maupun dibalik pemikirannya. Para perintis seni modern seperti S. Sudjojono, Affandi dan lainnya mengunyah berbagai pemikiran modern dengan jiwa lokal. Menjadikan nilai seni lukis Indonesia dengan semangat perjuangan melawan penjajahan dan berupaya membentuk identitas seni rupa Nasional. Pada era Orde Baru, persoalan bipolaritas bergeser kepada kebijakan politik negara pasca perang dunia II yang terbelah menjadi pro komunis dan pro demokrasi atau blok Timur dan Barat. Walaupun Indonesia pernah menjadi tuan rumah konferensi negara-negara Asia – Afrika tahun 1955 dan memrakarsai gerakan negara-negara Non Blok pada era Suharto. Tetapi kekuatan dua kutub perang dingin sulit untuk dihindari oleh negara-negara ketiga seperti Indonesia. Begitupun secara praktik seni rupa, dominasi estetik yang dipelajari dari Barat (Eropa Barat dan Amerika) begitu tertanam kuat, seperti seni sebagai kebebasan individu dan pencarian identitas Nasional yang ka-
dang mengarah kepada penjelajahan kebudayaan etnis Nusantara. Gerakan seni yang mengarah menjadi gerakan sosial atau “kekiri-kirian” mendapatkan “perhatian” , atau sensor dari pengawasan negara. Baru ketika runtuhnya komunisme Sovyet dan runtuhnya tembok Berlin yang disusul gerakan reformasi tahun 1998, kekuatan dua kutub itu terpecah. Kekuatan ekonomi baru seperti terbukanya negara Tiongkok dan negara-negara penghasil minyak seperti Uni Emirat Arab atau Amerika Latin. Karya Maharani Mancanagara , merepresentasikan suatu ingatan masa lalu kita kepada bagaimana pendidikan modern memberikan cara pandang baru untuk memahami dunia bagi sekelompok kecil masyarakat yang masih terjajah dan tradisional. Memunculkan berbagai persoalan sosial dan budaya dikemudian hari dimana nilai-nilai dua dunia (Barat-Timur) saling bertentangan. Hari ini , setelah berbagai nilai itu saling berkelindan dari banyak penjuru dan mampu membangun pemahaman berbeda- beda terhadap pemahaman cara pandang atau plural. Kita dihadapkan kepada banyak kutub atau multipolar. Didalam fashion misalnya, kita boleh dan bisa memilih pakaian yang berasal dari mana saja dalam waktu yang sama, tanpa harus merasa canggung. Begitupun didalam ‘identitas’ , yang menjadi rentan, seperti juga identitas didalam sosial-media. Budaya sekarang , mungkin bisa digambarkan melalui pemikiran filsuf Russia: Michael Bakhtin seperti area
karnaval (Carnivalisque). Dalam seni rupa modern perubahan ini di tandai dengan runtuhnya nilai-nilai seni yang adiluhung, terutama menguatnya pemikiran alternatif seperti para pos strukturalis. Maka karya-karya Kelompok Pemuda Setempat, Etza Meisyara, Panca D.Z, Rega Ayundya , Muhammad Akbar atau Argya Dhyaksa, mencerminkan bagaimana mereka secara otomatis dan impulsif berkarya dengan munculnya elemen-elemen dari dunia populer dan memasukan unsur seni kriya serta sejarah yang menghibur dan kadang diselingi kelakar yang segar maupun nilai puitisnya. Tetapi terlihat pencarian identitas seperti pada karya kelompok seniman TROMARAMA yang kompleks, dimana setiap individu mempunyai masing - masing pengaruh, selera, dan nilai- nilai budaya disekitarnya. Tetapi walaupun begitu, secara kelompok mereka mampu untuk berkolaborasi bahkan membuktikan potensinya secara maksimal. Lalu apa makna identitas sekarang ini? John Tomlinson mengungkapkan: The implication of understanding identity as a specifically modern cultural imagination is sufficient to undermine the simple idea that globalization destroys identity. But the stronger claim that globalization actually generates identity – and, indeed, the danger that, in some circumstances, it produces too much identity – requires more elaboration.(Tomlinson, 1999:272 )
Bila sebelum reformasi politik kebudayaan di Indonesia adalah menjunjung tinggi suatu budaya resmi, atau setidaknya bipolar kepada budaya barat (yang muncul akibat dua kutub kekuatan barat dan komunis dalam perang dingin). Apakah gejala globalisasi diatas itulah yang menghasilkan bentuk multipolaritas budaya sekarang? And in so far as globalization distributes the institutional features of modernity across all cultures, globalization produces ‘identity’ where none existed – where before there were perhaps more particular, more inchoate, less socially policed belongings. This, rather than the sheer obliteration of identities, is the most significant cultural impact of globalization, an impact felt at the formal level of cultural experience. This impact might, on a narrow reading, be seen as ‘cultural imperialism’ – in that this modern institutionalization of cultural attachments clearly arose first in the West. But, more interestingly, it can be understood as part of the cultural package, mixed in its blessings, that is global modernity. (Tomlinson, 1999:273 ) Rifky Effendy. Kurator Pameran Sumber Pustaka: 1. Tomlinson , John. Globalization and Culture - University of Chicago Press. USA. Published 1999. 2. The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction. Written in 1936. From Walter Benjamin, Illuminations, 1968, edited by Hannah Arendt. 3. Nelson, Robert S. Critical
Terms For Art History.The University of Chicago Press.USA. 2003.
G-13 Malaysia
Teks Kurasi Bahasa A.S.A.P New Contemporary Artist from Indonesia Oleh Rifky Effendy Booming seni rupa kontemporer pada sedekade lalu serta merta merubah wajah seni rupa kontemporer di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia, riuhnya pasar seni rupa mendinamisasi medan kapital dan sosialnya. Pertumbuhan galeri – galeri komersial, serta kemunculan rumah- rumah lelang, studio-studio seniman yang megah, museum-museum pribadi, penerbitan-penerbitan buku seni, kemunculan para kolektor muda, bahkan pameran-pameran di negara tetangga serta artfair begitu marak, terutama kurun 2005-2014. Tetapi disisi lain , pertumbuhan ini begitu rentan karena tak diimbangi kemunculan lembaga-lembaga seni seperti museum seni yang memadai. Lembaga pendidikan tinggi seni yang ada pun tak begitu adaptif dalam membaca gerakan zaman. Sehingga lambat dalam menjemput bola kemajuan. Belum ada dari mereka mengembangkan secara khusus keahlian sejarah seni, kurator, tenaga bisnis dan administrasi seni atau khusus ilmu museum seni. Kondisi tersebut membuat medan sosial seni rupa di Indonesia menjadi rapuh dan selalu mengikuti pasar bebas seni rupa. Kerapuhan medan kapital-sosial seni rupa terutama karena nilai-nilai didalam karya seni
selalu disandarkan kepada mekanisme pasar seni rupa. Sehingga ketika keseimbangan diwilayah ekonomi terganggu maka akan mempengaruhi nilai-nilai sekitar dunia seni termasuk aktivitasnya. Hal ini tak banyak terpengaruh didalam medan sosial – kapital seni rupa di negara-negara dimana seni rupa mendapatkan perhatian besar atau menjadi bagian aktifitas yang dinaungi negara. Seperti di Australia, Singapura, Korea – selatan, Jepang , Taiwan dan lainnya. Guncangan ekonomi dunia seperti yang terjadi baru lalu tak banyak mempengaruhi aktivitas seni rupanya. Bagaimanapun nilai-nilai seni dan aktivitas seni disana masih kukuh dan stabil. Apalagi perkembangan di negara -negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Dengan kata lain, peran negara melalui lembaga-lembaga pendidikan tinggi seni, departemen-departemen dalam pemerintahan yang menaungi seni dan budaya, museum dan lainnya, menjadi terasa signifikan. Selain sebagai lembaga penyeimbang, lembaga seni rupa negara akan menjadi “penjamin� keberlanjutan kehidupan seni dan nilai-nilai disekitarnya. Hambatan-hambatan didalam lembaga-lembaga tersebut, tentu lebih terkait kepada sumber daya manusia dan sistim yang mengatur mekanisme kebijakan. Para pelaku seni rupa di Indonesia kebanyakan seperti ; seniman, penulis, kritikus, kolektor, pengelola galeri yang berjalan diatas mekanisme pasar tentu problematik , tapi apakah mungkin menjadi suatu potensi yang harus dipertimbangkan secara khusus?. Karena walaupun tanpa
dukungan pihak pemerintah, kita bisa melihat telah muncul berbagai aktvitas seni yang masih berlanjut. Mulai dari pameran-pameran, pendirian museum, penerbitan, biennale, dan lain sebagainya.
Pameran para seniman muda dari Indonesia bertajuk : A.S.A.P yang merupakan singkatan dari As Soon As Possible , dimana ingin menjelaskan kondisi yang terburu-buru, urgensi, dan dibutuhkan secepatnya. Pameran ini ingin menunjukan suatu paradoks
: bagaimana percepatan pertumbuhan seniman di Indonesia dan juga berkaitan bagaimana pertumbuhan infrastruktur seni yang masih lambat berkembang dan timpang disana -sini. Dijaman teknologi informasi yang semakin pesat , waktu menjadi rapuh. Seperti yang digambarkan Gunawan Mohamad dalam catatan pinggirnya di Majakah Tempo , 5 Januari 2009 : “Perubahan itu meningkat terus tinggi velositasnya: benda-benda teknologi ditemu-ciptakan dan disebarkan kian cepat dan tanpa istirahat, begitu juga halnya kesimpulan ilmu kian mudah jadi basi, jumlah dan keanekaan penerima informasi pesat meluas, dan berubah pula ekologi manusia yang merespons informasi itu.� Dalam artian lain sebagai suatu anekdot dalam bahasa: Asap (Inggris: smokes), dimana hampir tiap tahun terjadi kebakaran hutan yang berlaurt-larut di beberapa wilayah pulau di Indonesia , yang asapnya sering melintasi batas wilayah negara- negara tetangganya dan mengirimkan kabut yang mengganggu pernapasan. Persoalan lingkungan yang tak pernah mudah dihentikan, yang diakibatkan kesewenang-wenangan berbagai pihak dalam membuka lahan hutan secara cepat menjadi industri pertanian dan perkebunan. Pameran ASAP juga akan menampilkan tujuh seniman muda yang mewakili perkembangan terkini praktek seni rupa kontemporer di Indonesia sekarang atau pasca booming pasar seni
rupa kontemporer. Karya – karya para seniman ini menampikan kecenderungan eksplorasi subject matter dan medium beragam mulai dari persoalan melihat kesejarahan bangsa yang problematik, identitas serta budaya masyarakat popular dan sosial media, bahkan juga terkait persoalan didalam praktek seni itu sendiri. Pameran A.S.A.P juga merepresentasikan bagaimana para seniman muda berkarya didalam situasi dan kondisi urgensi tersebut; diantara kebebasan dan juga sekaligus ketidak-menentuan bagaimana melihat kedepan seni rupa di Indonesia. Se-
orang ahli sejarah seni dari Filipina pernah suatu kali mengatakan bahwa praktek seni rupa kontemporer di Indonesia terlalu banyak wacana atau tak ada lagi wacana utama yang menonjol. Dalam arti lain saya ingin memahami pendapatnya dalam sudut pandang bagaimana praktek seni rupa kontemporer di Indonesia menyoroti berbagai nilai dalam perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks pasca reformasi atau menanggapi atas perayaan suatu pluralisme. Maka sangat wajar para seniman sekarang lebih banyak pilihan dalam mengamati, merasakan dan bertindak kepada suatu fenomena budaya lokal-global
, yang terkait dengan berbagai pengalaman mereka sendiri. Para seniman ini menyoroti berbagai persoalan sembari menjelajahi berbagai kemungkinan mencari bahasa artistik yang sesuai dengan ungkapan masing-masing. Seperti karya-karya Erianto yang menghadirkan lukisan –lukisan yang manipulatif dan mengecoh dengan bentuk-bentuk kemasan atau packing lukisan. Selain mengecoh dengan menghadirkan sesuatu diantara objek dan lukisan, ia pun melancarkan melancarkan persoalan didalam dunia apresiasi seni bagi banyak kalangan yang lebih melihat karya seni sebagai objek komodifikasi. Kritik lain adalah kepada persoalan dengan pasar global seni rupa yang masih tidak berimbang. Karya-karya Antonio S. Sinaga (Nino) yang menghadirkan karya fotografi yang merepresentasikan nilai relijiusitas yang cenderung lebih banal. Dengan menghadirkan tubuh manusia terbaring diranjang bertopeng Yesus, dan lainnya sepasang manusia : perempuan dan lelaki juga wajahnya masing – masing ditutupi topeng Yesus berbeda warna. Karya-karya fotonya menggambarkan ketegangan dalam memaknai kehidupan reliji dan realitanya. Sedangkan karya gambar drawing dijitalnya menghadirkan bentuk mahluk-mahluk hybrid , seperti mengapropriasi perlambangan dalam ikonografi Katolik. Karya-karya Nino menunjukan persoalan nilai-nilai reliji didalam dirinya ditengah persoalan globalisasi maupun sosial masyarakat.
Berbagai persoalan didalam kehidupan berbangsa di Indonesia juga muncul dalam kesejarahan pasca kemerdekaan. Sejarah merupakan hal yang problematik karena terkait dengan suatu tarik-menarik wilayah kekuasaaan. Seperti karya-karya yang Patriot Mukmin, yang menyoroti persoalan sejarah dari sudut pandang yang lebih kritikal. Dengan menggunakan lembaran fotografi yang dijalin atau disulam sehingga menciptakan satu imej yang blur karena dua imej saling menyilang satu sama lain atau efek permainan optis. Dalam karyanya ini Patriot ingin memberikan gambaran secara personal bahwa sejarah merupakan nilai yang rapuh, yang bisa dibongkar ulang untuk sebuah kepentingan. Patriot mengingat sebagian kecil melalui pengalaman , bagaimana kekuasaan itu mulai terasa di bangku sekolah. Karya-karya Maharani Mancanagara memperlihatkan penjelajahan artistic yang lebih cenderung menggunakan material yang bersumber dari seni tradisi seperti wayang tetapi dengan gubahan yang lebih kekinian. Mengambil imej-imej dari sejarah para tokoh nasional dan perang dunia ke-2 pasukan perang tentara maupun senjatanya yang diasosiasikan kedalam bentuk-bentuk permainan popular anak-anak, maupun mengingatkan kita kepada bentuk kesenian tradisional seperti wayang. Proyeksi video Eldwin Pradipta di lantai menyajikan eksplorasi persoalan sejarah dengan menghadirkan aliran
warna –warna yang diambil dari topografi perbukitan di wilayah selatan kota Bandung, yang menjadi perkebunan Teh pertama kali di era Kolonial Belanda. Perkebunan tersebut kemudian menjadi factor utama pendirian kota Bandung sebagai kota pusat kolonial baru atau menjadi pusat pemerintahan colonial pada awal abad 20. Karya – karya Nurrachmat Widyasena (Ito) banyak menyentuh dunia imajinasi era angkasa luar seperti hidup didalam komik – komik futuristic sebagai bentuk retro jaman modern pertengahan. Seperti berupaya menyinggung keprogresan teknologi namun dengan cenderung pesimistik tetapi dengan sedikit unsur canda. Eksplorasi lembaran-lembaran silicon karya Tara Astari Kasenda merepresentasikan persoalan kehidupan didalam era sosial – media dimana secara perilaku komunikasi sekarang berbeda dan khas. Ia mentransfer imej potret teman-temannya keatas permukaan silicon sehingga potret mereka menjadi blurr. Imej-imej di silicon tersebut mungkin menjadi tanda dan metaphor bagaimana kehidupan sosial media menjadikan tiap orang mengenal dan interaksi dengan orang lain tetapi didalam kehidupan nyata menjadi sosok yang berbeda, bahkan terasing.
Bali, sebagai entitas dengan bahasan perkembangan artistik yang khas ; kental Tradisi maupun Modern atau seni kontemporer. Pameran Seni Kontemporer Bali memberi pendekatan yang kritikal kepada sejarah seni dan budaya : baik di Bali maupun secara luas. Tujuannya melihat dan membaca ulang bagaimana pembentukan sejarah senirupa Bali serta pemahaman kembali apa itu seni lukis bali (drawing-painting). Perkembangan senirupa bali tradisi-modern-postmodern-kontemporer dalam konteks senirupa Indonesia sekarang. Bali, saat ini telah berkembang sebagai lokasi perkembangan atau tempat bekerja para seniman : baik yang lahir dan atau hanya tinggal bekerja di Bali, yang kemudian terpengaruh oleh lingkungan sosial-budaya maupun kesenian di Bali. Disini Preseden seniman bali dan bukan Bali dalam sejarah senirupa Bali selama ini selalu muncul. Antara lain kecenderungan seniman bali (asli Bali) yang menggunakan konten senirupa/budaya/sosial bali sebagai konten berkarya. Kecenderungan seniman bali (asli bali) yang tidak menggunakan konten senirupa/ budaya/sosial bali sebagai pijakan berkarya. Kecenderungan seniman bukan Bali (pendatang) yang menggunakan pijakan senirupa bali sebagai kont-
en berkarya. Gagasan maupun eksplorasi para seniman yang menunjukan kemungkinan potensi artistik dari cara pandang dan konsepsi yang hybrid ke dalam bentuk lukisan, drawing, maupun bentuk karya tiga dimensional.
Kuratorial Pameran. Edwin’s Gallery 2017 Seni Kontemporer dan Turbulensi Sosial Turbulensi atau turbulence adalah gerakan tidak beraturan atau berputar tidak beraturan akibat perbedaan tekanan udara atau perbedaan temperatur udara. -Ada mechanical turbulence karena gesekan angin dengan bangunan atau gunung, dan lainnya. Ada turbulence yang disebabkan oleh gerakan manuver pesawat.. Turbulence dalam pameran ini merepresentasikan naik turunnya kehidupan budaya , sosial-politik ekonomi dan reliji masyarakat di Indonesia dan pengaruh serta hubungannya ke dalam dunia artistik dan produksi gagasan bentuk seni rupa. Di Indonesia dan belahan dunia lain , globalisasi yang telah berlangsung dalam beberapa dekade terakhir menghadapi sebuah persoalan besar, atau bisa dikatakan terjadi titik baliknya. Seperti kecenderungan intoleransi beragama dan ras, maupun berbagai perubahan pemimpin negara adidaya yang menjadi antithesis politik global. Lalu bagaimana para seniman menghadapi perubahan – perubahan ini? Dalam sejarah seni rupa modern di Indonesia, gagasan-gagasan para seniman telah menunjukan suatu perlawanan dan keberpihakan. Keberpihakan Seni Dalam Konteks Nation dan Masyarakat. Tahun 1939, merupakan awal baru bagi perjalanan seni
rupa, dimana S. Soedjojono (19141986), pelukis PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) menyatakan dengan tegas, bahwa pada prinsipnya seni lukis dan kesenian haruslah berpihak pada perjuangan menuju bangsa yang mandiri, bebas dari kolonialisme, bebas mencari corak dan wataknya sendiri, namun haruslah berpihak pada suatu kebenaran berkaitan dengan realita masyarakat. Soedjojono pernah mengungkapkan: � Inilah keadaan kita. Inilah realita kita. Dan seni lukis yang berjiwa realita ini, yang tidak mencari kebagusannya di zaman kuno Majapahit atau Mataram atau pula di hidup pikiran si turis, akan hidup terus selama dunia ada. Sebab seni yang tinggi ialah pekerjaan yang berasal dari hidup kita sehari-hari, diolah di dalam kehidupan seniman sendiri, yang tidak keluar dari pola hidup sehari-hari dan diciptakan serta dilemparkan di kemah dengan tidak mengingat moral atau tradisi, juga tidak bermaksud ini dan itu, hanya mendorong oleh satu paksaan dalam yang memaksa.� 1) Sosok Soedjojono- tak disangkalmembawa pembaharuan dalam kesadaran dan praktek seni rupa modern Indonesia dan kata-katanya masih terngiang keras dan membekas hingga saat ini. Ungkapannya Jiwa Khetok atau jiwa yang tampak, menjadi kanon dalam sejarah perkembangan kemudian. Jiwa tampak menjadi watak dari sebuah karya yang harus digali dan diwujudkan oleh seniman sendiri dengan didasari oleh keyakinan seiring dengan tumbuhnya rasa kebangsaan.
Ia mengungkapkan :
“Apakah kesenian itu? Untuk menjawab ini susah sekali. Sama susahnya dengan memberi keterangan atau jawaban kalau orang bertanya: apakah listrik itu? Orang bisa menangkap dan memakai kekuatan listrik, tetapi menerangkan apa listrik itu sebenarnya orang tak bisa. Begitu juga kesenian. Untuk menerangkan kesenian itu saya tidak bisa, tetapi barangkali saya bisa dengan jalan contoh-contoh dari buah-buah buatan orang yang sampai sekarang diakui sebagai buah kesenian membuka sedikit tabir dunia kesenian sampai bentuk kesenian tadi bisa terlihat. Kalau seorang seniman membuat suatu barang keseni-
an, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang
kelihatan. Kesenian adalah jiwa kétok. Jadi kesenian ialah jiwa.” 2) Maka baginya, corak realisme merupakan pilihan ideologis, ia menyatakan di dalam publikasi Kesenian pada 1949 dalam sebuah wawancara dengan Dr. Huyung. “Apa sebab saya pergi ke Realisme? Realisme buat saya lebih reel. Kalau Yogya diambil orang, saya mau rebut reel Yogya. Kalau saya tidak makan, saya mesti makan nasi. Reel nasi. Kalau saya rebut kedaulatan, saya mau reel kedaulatan. Simbolis tidak mau. Tidak kenyang, tidak nyata. Seni lukis
Eropa, sebelum renaisans, menganut realistik. Akhirnya isme itu, hanya suatu alat untuk berkata. Realisme tak dapat bikin buruk seni lukis Indonesia. Cezanne pernah berkata, Weg met de schoonheid, weg met l’art pour l’art. Ini adalah hanya suatu afrekening pada waktu itu saja. Untuk menghilangkan avonturir yang berteknik saja, tapi rendah moralnya. Avonturir kita melihat moderne schilderkunst lalu ikut saja, tidak mengerti apa maksud Cezanne. Dari itu, ada baiknya kita buat afrekening, cocok dengan filsafat baru: “Rakyat butuh makan.” 3) Keberpihakan dan pembelaan terhadap suatu kebenaran sebuah bangsa menjadi semacam suatu ajimat yang mistik, bersifat keniscayaan, ada dan tiada. Rakyat dan bangsa misalnya, lebih bersifat entitas yang dibayangkan karena munculnya nasionalisme baru, nyaris abstrak , dengan satu kesatuan sebuah negara berideologi dan berbahasa yang sama , karena nyatanya di Indonesia ada banyak suku , agama, bahasa dan kepercayaan bahkan hampir mungkin ideologi.
angun oleh sekelompok orang yang berkepentingan secara politik untuk membentuk negara yang bebas dari kolonialisme, merdeka dan berdaulat. Mungkin ungkapan sastrawan Goenawan Mohamad menarik; kata ”Indonesia”, menurutnya, dengan sendirinya sebuah perlawanan bagi kata ”Hindia Belanda”. Karena setiap saat dalam aktivitas politik masa itu adalah perlawanan, kata ”Indonesia” sudah tersirat ketika orang siap masuk penjara. Atau dibuang. Atau ditembak mati. 4) Mencari kebenaran dalam realitas masyarakat baru, yang juga didasari pokok pikiran pergerakan intelektual para seniman, mulai dari gerakan seniman LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) , Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRB), hingga era reformasi. Seniman seperti juga diniscayakan memiliki antena, dimana harus bisa menerima getaran atau sinyal persoalan masyarakat bisa ditangkap, dan kemudian menggerakan daya artistik mereka. Lalu apa yang hendak diperjuangkan atau dibela ? pada kenyataannya dalam sejarah perkembangan seni modern, banyak para seniman pada masa itu justru terjebak kepada kepentingan politik tertentu.
Para seniman sekarang ini , masih mewarisi semangat kesenian dengan membela suatu nilai kebenaran, atau setidaknya masih menganggap dirinya sebagai penanda berbagai perubahan maupun persoalan sosial dalam masyarakat. Walaupun para seniman Kebenaran bagi sebuah bangsa atau sekarang lebih independen dan bebas rakyat bersifat konstruksi yang dib- dari kepentingan politik. Para seni-
man menanggapi persoalan perubahan sosial melalui berbagai pengalaman langsung maupun yang dialami melalui perkembangan teknologi informasi.
Karya-karya patung Rudi Herdianto menanggapi perkembangan interaksi manusia dengan mesin dengan cara penuh ironi. Lukisan Yogie Achmad Ginanjar menghadirkan mesin perang, merepresentasikan trauma kepada berbagai informasi terkait perang yang terus terjadi di bagian lain dunia. Begitupun dengan karya Mujahidin Nurrahman yang mengaitkan symbol-simbol arabesque dengan budaya perang. Karya Tara Astari Kasenda merepresentasikan bagaimana image dan identitas diri menjadi terduplikasi bahkan bisa manipulatif didalam dunia maya sosial – media.
Beberapa isu yang dipengaruhi oleh situasi urban perkotaan misalnya , apakah melalui saringan pengalaman personal seperti karya-karya Kara Andarini yang menyajikan drawing-drawing yang merujuk kepada kepadatan dan degup kehidupan kota. Patung-patung Arya Pandjalu, Abdi Setiawan dan Adi Gunawan menyajikan potret manusia –manusia urban yang seringkali terpinggirikan dalam suatu masyarakat kota . Karya instalasi Rudi Atjeh merefleksikan suatu kekhawatiran kepada hal Atau dengan lebih masuk kedalam yang paling nyata yang tengah dihadaalam pikiran personal yang cenderung pi masyarakat Indonesia. Bagaimana menggunakan symbol, apakah bersi- jika nilai – nilai pluralisme yang ada fat subtil dan puitik seperti karya –kar- didalam kehidupan berbangsa di Indoya Septian Hariyoga, Ayu Arista Murti, nesia tergerus dan memecah belah. Aliansyah Caniago, Rega Ayundya, Francy Vidriani dan Dody Sofyanto. (Rifky Effendy) Para seniman lebih melihat persoalan masyarakat dan jaman sebagai bahan Catatan: atau peluru bagi motivasi dasar untuk 1, S. Sudjojono, Seni Loekis, Keseniberkarya. Mereka mencari enerji untuk an dan Seniman. Penerbit Indonesia menjelajahi dunia artistik. Sekarang. Yogyakarta, 1946 2. Ibid. Walaupun kita memasuki abad te- 3. Diambil dari Pengantar kuratorial knologi siber , tetapi nilai hubungan Aminudin T.H. Siregar untuk pamerantara manusia dengan manusia an memperingati Soedjojono, Oktober masih menjadi subyek besar para 2010. seniman sekarang, walaupun mun- 4. Goenawan Mohamad, Catatan cul kerumitan dalam kenyataannya. Pinggir, Majalah Tempo Edisi 17 AgusSeperti hubungan tubuh secara terus tus 2009. terang seperti karya Yosefa Aulia atau karya tentang hubungan ibu-anak seperti Muhammad Vilhamy.
WHAT YOU WEAR (are not) YOU ARE YOU ARE (not) WHAT YOU WEAR Curated by Rifky Effendy
Lie Fhung Tiarma Sirait Maharani Mancanagara Nurrachmat Widyasena (Ito) Dita Gambiro Erwin Windu Pranata Miranti Minggar Sarita Ibnoe Geugeut Pangestu Sukandawinata Yudi Yudoyoko Obin Susanna Perinni Rinaldy A. Yunardi
Pakaian merupakan salah satu kebutuhan yang mendasar dalam peradaban manusia hingga kini. Cara kita berpakaian merepresentasikan bagaimana suatu masyarakat berbudaya. Dari cara berpakaian, kita bisa meninjau perkembangan suatu masyarakat dan bangsa kepada nilai sosial, budaya dan ekonomi. Lalu ketika praktek seni rupa kontemporer dan fashion merupakan bagian dari kegiatan seni budaya yang merefleksikan berbagai pencarian estetik: para seniman dan para perancang mode, menanggapi jamannya beserta berbagai dinamika kehidupan masyarakat sekitarnya, maka karya-karya mereka akan memperlihatkan bagaimana suatu konsep pakaian bisa menandai kemungkinan berbeda dalam melihat tubuh sebagai suatu representasi yang didalamnya berkecamuk berbagai masalah sosial, politik: identitas, budaya, ekonomi, selain sebagai penjelajahan artistik. Pameran ini akan melibatkan beberapa seniman kontemporer dan juga menyertakan karya beberapa perancang mode Indonesia. Pakaian adalah materi atau kulit paling luar yang melindungi tubuh, mempunyai makna bagi jati-diri yang bersifat sementara karena sifatnya yang mudah berubah dalam keseharian tergantung dari konteks sosial, budaya dan ekonomi. Ada beberapa pemikiran, antara lain memandang secara ideologis: “Pakaian merupakan bagian kesatuan yang tidak terlepas dalam kehidupan sosial. Pada dimensi personal, pa-
kaian menjadi media untuk mengeksitensikan ekspresi dan gagasan yang terkadang muncul dalam bentuk yang serba abstrak. Melalui dimensi sosial kultural, pakaian dijadikan sebagai media komunikasi, promosi, bahkan pembentukan ideologi. (....) Pakaian memiliki beragam makna eksplisit dan implisit. Pakaian adalah wujud imitasi dari tubuh sosial seseorang, sehingga batasan kenyamanan setiap personal menjadi berbeda-beda. Sehelai pakaian mampu menggambarkan suatu struktur kehidupan sosial, ideologi, sejarah, golongan, komunitas, dan juga identitas. Ideologi agama pada pakaian, mengenai permasalahan moral dan etika, merupakan aturan atau hukum mengenai bagaimana berpakaian sesuai dengan kondisi ruang, tempat, dan waktu, yang perlu dipahami dan dilaksanakan. (...) Pada akhirnya, pakaian tetaplah bagian benda mati, konstruksi sosial didalamnya, yang menjadikan pakaian sebagai produk seni yang bermakna ganda. (1) Pakaian dalam fungsi keseharian dan berbagai “ritual” budaya masyarakat modern, seperti yang dikemukakan Goenawan Muhammad sering dikaitkan dengan dorongan nilai dari kapitalisme. Karena menurutnya: “Modernitas, yang semula membangun dan dibangun dari perhitungan rasional, kini menghidupkan lagi sesuatu yang tak sepenuhnya dikuasai akal: pesona itu bekerja karena bergolaknya hasrat. (...) Tapi satu catatan perlu ditambahkan: sebagaimana sihir dan pesona alam di zaman kuno bisa menyesatkan, pesona visual dari kapitalisme-lewat-etalase itu juga demiki-
an. Bedanya: di zaman dulu apa yang menampakkan diri dan menyihir manusia bisa datang dan menghilang ke dalam misteri; kini, yang secara visual mempesona itu punya dua sifat. Yang pertama, ia tak punya kedalaman. Ia datar seperti etalase, tanpa misteri. Yang kedua, ia dibebani kesementaraan. Bentuk gaun, ukuran dasi, warna kain harus berganti terus, selalu sementara, tiap musim. Hasrat disebut ”hasrat” karena ia tak terpuaskan. (2) Bagi para seniman, tentunya makna pakaian bisa begitu plural dan menarik dalam menjelajah bentuk. Karena bagi para seniman pakaian belum tentu suatu yang melulu bisa dipakai atau wearable tetapi melebihi fungsi atau makna-makna pada umumnya. Pakaian: Identitas, Konstruksi Cara Pandang Seniman Lie Fhung, yang memandang pakaian, terutama cara berpakaian kaum perempuan, kepada budaya yang lebih luas. Ia memaknai budaya kaum lelaki yang membentuk cara berpakaian kaum perempuan. Ia mengemukakan: “External demands imposed upon women on how they should, or should not, dress themselves are infringing on women’s moral right to their own bodies. Women should not be made responsible nor victimise for men’s lack of integrity.” (3) Senada dengan Miranti Minggar, seorang seniman dan fotografer melihat
banyak orang dalam style kesehariaannya merupakan sebuah tuntuntan meski itu bukan wujud aktualisasi diri ‘IT’S NOT ME’. Selebritas mungkin menjadi contoh tepat dan kongkrit untuk hal ini, untuk pencitraan diri, mencari identitas banyak dari mereka mengenakan fashion yang terkadang itu bukan cerminan dirinya ‘IT’S NOT ME’ namun apa mau di kata ini sebuah tuntutan dan wujud totalitas serta profesionalisme. Dalam kasus yang sama, para pekerja kantor, pelajar, dsb banyak mengenakan seragam yang tentunya itu merupakan sebuah tuntutan yang telah di tetapkan. Kini, urusan passion dan style menjadi suatu keharusan dan keniscayaan, baik sebagai gaya hidup atau wujud aktualisasi diri. (4) Sarita Ibnoe, seniman yang lahir di Jakarta dan besar di beberapa tempat, ia mengaku menjadi terbiasa untuk memulai sesuatu yang baru dan sampai sekarang ia tetap mencari ‘suasana’ baru untuk berkarya dan bereksperimen. Bagi Sarita cara berpakaian tidak sepenuhnya merepresentasikan kepribadian seseorang sepenuhnya. Baginya bagaimana pakaian dapat menimbulkan memori tentang beberapa tahap kehidupan dari satu orang. Selama ini, ia merubah cara berpakaian berdasarkan suasana dan keperluan. Dari mulai bentuk baju, sampai bahan dari baju-baju yang ia kenakan. Perubahan ini membentuk sebuah memori tersendiri ketika melihat atau merasakan tekstur sebuah bahan. Erwin Windu Pranata, memandang
pakaian menjadi sebuah bentuk ekspresi dari identitas seseorang, karena saat memilih pakaian untuk dikenakan berarti mendefinisikan dan mendeskripsikan diri. Maka baginya pakaian berperan besar membentuk citra seseorang, karenanya sering kali terjadi stereotipe terhadap penampilan seseorang. (5) Pakaian sebagai Rekonstruksi Kesejarahan Maharani Mancanagara, melihat pakaian sebagai suatu rekonstruksi, keluarga, sejarah, dan memori merupakan gagasan utama dalam proses berkeseniannya selama tiga tahun belakangan ini. Diawali dengan kesadaran akan perlunya mengenal identitas dalam diri sendiri membawanya dalam penelusuran rantai keluarga. Dalam hal ini, Maharani memposisikan diri sebagai etnografer, menelusuri serta mengumpulkan jejak melalui recall memory terhadap garis waktu sejarah pada umumnya dari kacamata keluarga.(6) Perupa Geugeut Pangestu Sukandawinata, lebih cenderung melihat pakaian untuk memahami sejarah seni rupa Indonesia dengan mengapropiasi atas karya-karya pelukis Sudjojono, melalui rekonstruksi cara berpakaian dari sebuah lukisan dengan latar belakang suasana perang kemerdekaan. Baginya Sudjojono menghadirkan potret pelaku sejarah sekaligus lanskap sosio-politik Indonesia pada masa itu. Lukisan tersebut seperti arsip dingin, kepedulian seorang Sudjojono menangkap sejarah lewat realisme Sudjojono. (7). Geugeut menciptakan bentuk tiga dimensional dengan
menggunakan materi olahan kertas. Nurrachmat Widyasena (Ito), melihat pakaian sebagai bagian dari pencapaian sain dan teknologi. Ito merasa bahwa negaranya sendiri berada di titik yang lebih jauh lagi dari realisasi wacana-wacana masa depan apabila dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya. Hal ini menjadi kegelisahan utamanya, di mana ia merasa sebagai bangsa yang tertinggal dan membuatnya menciptakan hal-hal yang fiktif dan seperti sedang menertawai situasi tersebut. (8) Pakaian: Simbol, Perubahan Estetika Masyarakat dan Resistensi Bagi Dita Gambiro, seniman dan juga pelaku industri film di Indonesia, melihat pakaian sebagai suatu simbol dari tubuh dan bagian tubuh manusia seperti, rambut, tulang dan lainnya. Menurutnya, rambut menggambarkan sesuatu yang rapuh ketika hanya sehelai, tetapi ketika terjalin/terkepang menjadi satu kesatuan maka kekuatannya akan berkali lipat lebih besar seperti tambang. Rambut merupakan simbol dari kumpulan sugesti, harapan, doa, keyakinan yang berkumpul menjadi suatu kekuatan diri. Sedangkan tulang rusuk menyimbolkan perlindungan. (9) Tiarma Sirait, seorang seniman dan juga perancang busana. Ia melihat dan terinspirasi oleh daya cipta para perancang busana di barat seperti Paco Rabanne yang merubah estetika dan menggeser cara melihat dunia fashion dunia. Terutama dalam memper-
lakukan perancangan pola geometris dari yang tertata (order) menuju kacau (chaos) juga dari sisi materinya. Dari karya fashion bisa juga menandai suatu perubahan paradigma di dalam suatu masyarakat, setidaknya dalam memahami bentuk dan materi. (10) Begitupun dengan karya-karya perancang mode dan aksesoris Rinaldy Yunardi yang merupakan hasil pengalamannya dalam menjelajah bentuk dan material dengan bereksperimentasi. Perancang mode dan pemilik perusahaan pakaian BIASA, asal Italia yang tinggal di Bali, Susana Perrini sering bereksperimen dengan materi lokal namun rancangannya punya sentuhan alami dengan tenunan serta teknik potongan yang sederhana dan dilakukan oleh pengrajin lokal. Sehingga rancangannya bernuansa tropis dan mempunyai ciri khas namun modern. Pembuat batik seperti Obin atau bernama lengkap Joshephine Werratie Komara, mungkin termasuk perancang yang idealis dalam industri fashion di tanah air. Terutama dalam mempertahankan identitas bangsanya dalam karya- karyanya. Dalam wawancara dengan Rustika Herlambang ia mengemukakan, “Fashion is about be yourself. Menjadi fashionable, itu adalah bagian dari itu. Tapi yang terpenting adalah bagaimana menjadi dirimu sendiri.” Ia terus memperjuangkan segala hal yang dianggap sebagai nilai-nilai Indonesia – namun yang kini sudah terkikis oleh globalisasi. “Saya memang tak begitu cocok dengan globalisasi, karena meniadakan anomali.
Menyamakan semua hal berdasarkan kotak-kotak yang sudah ditentukan. Padahal dalam hidup banyak sekali varian yang seharusnya bisa dipelajari sehingga menjadi tambah wawasan.” Pejuang dan wanita anomali yang dibesarkan di Jalan Kopi ini tampaknya terus mencoba merebut “kemerdekaan”: bangsa Indonesia yang dicintainya dari segala bentuk penjajahan. Dengan segala daya upaya dia sampaikan salam kemerdekaan, bukan dengan kata, melainkan karya. (11) Rifky Effendy Kurator CATATAN KAKI: 1. Harun Yahya. PAKAIAN DAN MAKNA SIMBOLIK. Minggu, 25 November 2012, http:// nuansakomunikasi.blogspot.co.id/2012/11/ pakaian-dan-makna-simbolik. html diakses 15 November 2017. 2. Goenawan Muhammad, Melihat. Catatan Pinggir; Majalah Tempo, Edisi Senin, 11 April 2011. https://caping.wordpress.com/ (diakses, 19 November 2017) 3. Pernyataan Seniman 4. Pernyataan Seniman 5. Pernyataan Seniman 6. Pernyataan Seniman 7. Pernyataan Seniman 8. Pernyataan Seniman 9. Pernyataan Seniman 10. Pernyataan Seniman 11. Rustika Herlambang. Obin, Perempuan Anomali dari Jalan Kopi. https:// rustikaherlambang.com/2008/11/30/obin/. Diakses pada 19 November 2017.
Dita Gambiro merupakan lulusan dari FSRD ITB jurusan Seni Patung dan Kingston University London jurusan Production Design for Film. Dita aktif terlibat di pameran seni rupa dan juga kerap terlibat dalam industri film Indonesia sebagai penata artistik. ‘Fortress’ Print on Fabric 7 @ 90cmx135cm 2017 Konsep Karya Susunan karya yang berlayer dan menerawang menampilkan figure seseorang yang memakai baju dari rambut dan memegang tameng tulang rusuk. Tulang rusuk menyimbolkan perlindungan. Rambut menggambarkan sesuatu yang rapuh ketika hanya sehelai, tetapi ketika terjalin/terkepang menjadi satu kesatuan maka kekuatannya akan berkali lipat lebih besar seperti tambang. Rambut merupakan simbol dari kumpulan sugesti, harapan, doa, keyakinan yang berkumpul menjadi suatu kekuatan diri.
Yudi Yudoyoko APPS (Selfportraits as someone else) Polyptych, selfportrait digital 25,4x30,5 cm (13 Panels) 2017 Statement Tidak ada yang puas dengan dirinya sendiri, kan? Semua orang ingin menunjukkan citra yang ideal, dan tidak hanya itu, melainkan selalu berubah, sesuai tren terkini yang selalu cepat dan tak pernah pernah terpuaskan. Bisnis dan industri sangat menyadari kekaguman diri itu, dan sekarang dengan ponsel kita tidak memiliki cara untuk menghindarinya. Kepribadian dan estetika bersifat prefabrikasi, kloning segala jenis keindahan, ada dalam jangkauan kita. Semua orang mengetahuinya dan hampir tidak dipentingkan lagi apakah itu nyata atau hanya sesuatu yang bersifat virtual. Di luar selfie, tekanan menjadi mode terbaru dan tampak sempurna sepertinya bukan hanya para selebriti
yang menderita tapi kita semua. Sebelum memasang foto di Facebook, Instagram, Twitter, kita mengedit foto kita dengan menggunakan aplikasi yang mudah didownload oleh googleplay di ponsel untuk memperbaiki foto: B612, S Photo Editor, Man hairstyle Pro, Snapchat adalah beberapa contoh aplikasi yang untuk merekonstruksi, penampilan. Segala sesuatu yang Anda inginkan dan dambakan, mulai dari memperbesar mata dan mengubah warna pupil, memperbaiki kulit wajah, bahkan rambut, alis, bulu mata, bibir, tubuh, pakaian, aksesoris, tato, dapat dicapai dengan cara yang sama. Stiker stiker yang dapat diedit, bagi pria bahkan ada stiker bisep, dada, perut, janggut, serta tonjolan kepriaan. Tidak ada satu bagianpun yang yang tidak dapat diperbaiki. Karya ini menggambarkan keinginan kolektif yang tak terpuaskan yang membuat eksistensi dalam realitas maya lebih penting daripada yang sebenarnya.
Lukisan, apalagi lukisan naratif, tentulah bisa dibaca perkara muatan, pesan, sikap, keberpihakan, juga ideologi yang dianut oleh sipelukisnya. Geugeut Pangestu Sukandawinata Geugeut, lahir di Bandung dan tinggal di Bandung. Lulus dari FSRD-ITB Ia sempat menjalankan penelitian tentang kertas sebagai pemenuhan salah satu mata kuliah, pengetahuan dasar itumenjadi acuan dalam ekperimen-eksperimen amatir sayaberikutnya. Pengembangan kertas juga kemudian sempatdilakukan ketika magang di salah satu studio desain produk. Berdasarkan penemuan-penemuan itulah Gueguet kini berkarya menggunakan bahasa kertas. “Pertemuan dengan Sudjojono yang Bersejarah: BagianPertama” Kertas dengan Teknik Rekayasa Khusus 170 x 160 x 150 cm 2017 Statement Karya saya kali ini adalah bagian dari projek “Pertemuan dengan Sudjojono yang Bersejarah” yang lebih besar. Saya membuat sebuah diorama kongruen terhadap gabungan tigalukisan Pertemuan di Tjikampek yang Bersedjarah, Persiapan Gerilya, dan Ngaso. Karya seni rupa, termasuk lukisan, adalah teks, dalam hal initeks visual. Sebagai teks, karya seni rupa tentu bisa dibaca. Inilah yang disebut sebagai keberaksaraan visual.
S. Sudjojono adalah saksi dan pelaku sejarah perjuangan bangsa. Karena itulah seri lukisan “perjuangan” karya S. Sudjojono, seperti Pertemuan di Tjikampek, Ngaso, Persiapan Gerilia, dll. tentu menyimpan muatan, pesan, sikap, keberpihakan, danideologi tertentu yang dipegang oleh sang pelukisnya yang pejuang itu. Lukisan S. Sudjojono dengan narasi yang melekat padakaryanya bisa diberi makna oleh setiap pelihat atau apresiansesuai dengan horizon harapannya masing-masing. Saya sebagaigenerasi hari ini yang tidak mengalami masa perjuangan bangsasekitar masa awal kemerdekaan, sungguh beruntung bisabertemu dengan lukisan-lukisan S. Sudjojono yang menyimpanbanyak makna di dalamnya. Saya memaknai lukisan-lukisan S. Sudjojono itu sebagai pertemuan. Pertemuan dalam hal ini bisadimaknai sebagai peristiwa dialog dua wajah, dua person, duasikap, bahkan dua waktu. Saya dan Sudjojono merasa ‘bertemu. dalam karya saya yang berjudul “Pertemuan dengan Sudjojono yang Bersejarah: Bagian Pertama” ini. Saya melakukan dialog searah, dari saya kepada Sudjojono. Pertanyaan-pertanyaan saya dan kegelisahan-kegelisahan saya tentang makna perjuangan, kesenian, danpertemuan saya lemparkan kepada Sudjojono. Jawaban dariSudjojono adalah interpretasi atau pemaknaan saya terhadapkarya-karya Sudjojono. Inilah sebuah pertemuan yang menyenangkan.
Tiarma Sirait, born1968. She’s an exciting Bandung-based fashion artist who’s presenting visually provocative & thought provoking fashion art performances & always questioning all the conventional wisdoms both of the East & West. Her performance in fashion has been acknowledged by many international art institutions & she has intensively participated more than 250 exhibitions in many domestics & overseas exhibitions & also has received many astonishing awards in Creativity Designs & Art Awards from many countries. In 2005, Tiarma was an Artist in Residency in Fukuoka Asian Art Museum, Fukuoka – Japan & in 2006 she was an Artist in Residency in Blackburn Museum & Art Gallery and Action Factory, Blackburn – England. Through her bold conceptual approaches to art, fashion design & pop culture, she shows her exploration of her free spirit in her artwork, which uses pink as the main color. She has worked quite consistently with pink since the beginning beginning of her career as a fashion artist in 1998. It has been her signature to use this brilliant color in her artwork. But today she shows something different, from Pink to Punk & using paper & rings… so wonderous .. so wonderous Costume made from telephone cards (recycle/reuse paper) covered by fancy papers or reflection papers (looks like metal) & rings size approximate @ wide 100 cm x height 200 cm (Including mannequins) 2017 Statement: These costumes have been inspired by the groundbreaking 60’s designer Paco Rabanne. In my hands, the developments of geometric designs have evolved into beautiful and highly complex patterns; from order to chaos. These costumes have the power to project the appearance of manipulating paper. Actually, made from telephone cards covered by reflection paper or fancy paper, but it looks like metal especially with the additional metal rings. The expression of my costume eventually looks like metal costumes which look bizarre, illusive and absurd but still wearable.
Fhung has received numerous national and international awards for her artworks since childhood. She participated in national and international art exhibitions, recognised for the delicate tactile sensibility that infuses much of her work. In 2008, she received Freeman Fellowship Award Vermont Studio Center, USA. Her work ‘flight’ (2005) is featured in the book ‘Contemporary Ceramics’ by Emmanuel Cooper (Thames & Hudson, 2009). In 2015, she was awarded Silver Prize by UOB Art Academy Hong Kong. Her very-well received solo exhibition was held at Dia. lo.gue art space, Jakarta in 2017. She has been showing her works in Hong Kong at Sin Sin Fine Art since 2012, and more recently at Hanart TZ Gallery. In 2017, she launched her handmade copper jewellery line using the special technique she developed for her artworks.
Lie Fhung Lie Fhung studied fine arts at ITB, Indonesia, majoring in Ceramics. She worked as a designer in Shanghai and eventually settled in Hong Kong, where she began to work independently in digital media design. In her artworks, Fhung investigates private matters: hidden layers within dreams, memories, human emotions and their drives. Art-making is her way to contemplate and to bear witness to personal stories. She thrives in exploring and working with diverse materials from porcelain to paint, metal, and digital prints, which are often presented in the form of installations. For her, the act of creating is a matter of existence and survival.
Artist statement : There are conflicting demands towards women’s bodies: to both cover up their bodies, and to expose their bodies. These demands come not only from outside - especially in patriachal and fundamentalist religious societies who see women and their bodies as the property of the male. However, whether it is acknowledged or not, these demands also rise from within the women themselves. There is this natural desire to reveal the beauty of their bodies to others, similar in the way we want to look beautiful - not just for ourselves, but also for others; regardless of their gender. On the other hand, there is this need to veil our body; be it out of personal preferences, out of modesty, out of fear of sexual assault, out of lack of self confidence, for religious reasons, or imposed by the conservative and patriachal societies. External demands imposed upon women on how they should, or should not, dress themselves are infringing on women’s moral right to their own bodies. Women should not be made responsible nor victimise for men’s lack of integrity.
1.VEIL/REVEAL I. Print on brushed aluminium plate 210 x 120 cm 2017 photographer: Ines Laimin 2. VEIL/REVEAL II Print on brushed aluminium plate 210 x 120 cm 2017 photographer: Ines Laimin
Sarita Ibnoe Lahir di Jakarta dan besar di beberapa tempat, saya menjadi terbiasa untuk memulai sesuatu yang baru dan sampai sekarang saya tetap mencari ‘suasana’ baru untuk berkarya dan bereksperimen. Lulus dari jurusan ilustrasi, membuat saya ingin terus membuat karya yang dimulai dari gambar. Sejauh ini begitu, namun saya terus bereksperimen untuk menggabungkan gambar dengan berbagai medium lain seperti instalasi, objek temuan maupun performans. Karya saya sering kali menjadi sebuah medium dimana saya bercerita tentang kehidupan saya dan suatu momen yang terjadi dalam hidup saya. 
 Memori Sandang, 2017 media campuran dan berbagai bahan pakaian
Statement: Cara berpakaian tidak sepenuhnya merepresentasikan kepribadian seseorang sepenuhnya. Menarik bagi saya bagaimana pakaian dapat menimbulkan memori tentang beberapa tahap kehidupan dari satu orang. Selama ini, saya merubah cara berpakaian berdasarkan suasana dan keperluan. Dari mulai bentuk baju, sampai bahan dari baju-baju yang saya kenakan. Perubahan ini membentuk sebuah memori tersendiri ketika melihat atau merasakan tekstur sebuah bahan.
Nurrachmat (Ito)
Widyasena
Ito , (born 1990) is an Indonesian artist who lives and works in Bandung, Indonesia. Majoring in printmaking arts at ITB Faculty of Art and Design, he primarily working in the applied techniques of printmaking, installation and painting. His works explores notions around retro futurism art, where he tries to stand in the crossroad of reality and fantasy.
PT Besok Jaya : LAPAN Operasi Hiu Terbang Mixed media Dimension Variable 2016 Karya ini merupakan prototype pertama dari program kerja sama PT Besok Jaya dengan LAPAN (Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional). Program kerjasama ini disebut dengan Operasi Hiu Terbang, layaknya instansi militer / semi militer di Indonesia yang menggunakan nama hewan untuk menamai operasinya. Selain itu, baju luar angkasa ini merupakan bagian kecil dari usaha LAPAN dan PT Besok Jaya untuk mengembangkan teknologi luar angkasa. Layaknya negara asia dunia ketiga yang bodoh, baju ini masih bodoh dalam penggunaan dan pembuatan teknologi baju luar angkasa ini.
PT Besok Jaya : LAPAN Suit Studies #1-#10 Oil and Etching on Alumunium 100 x 70 cm 2016 Sebagaimana layaknya metode-metode retro futurisme dalam membuat sebuah wacana masa depan, sebuah rancangan dimulai dengan lukisan-lukisan konsep dasar yang membayangkan bagaimana teknologi tersebut berwujud. Melalui metode lukis di atas plat yang terkorosi, PT Besok Jaya mencoba membayangkan bagaimana mewujudkan teknologi masa depan ini (yang bagi negara maju merupakan hal yang sudah dilakukan).
Maharani Mancanagara is an Indonesian artist who lives and works in Bandung, Indonesia. Graduated from Institut Teknologi Bandung, Faculty of Art and Design, majoring in printmaking studio. Primarly working in the mediums of drawing, mixed media and installation. Her works explores Indonesia’s history, ancient time to present, based on her personal and family experiences.Ideas occur within our natural consciousness on present happenings, while history then derived as a media, connecting different times through historiography of past occurrences. Aided by a mandatory causal relationships, history is coherent based solely on the writer of the record. This subject is the drive for Maharani to enunciate stories from the outer realm of popular documented history, trans-
forming those to reconstructed monuments. In the last five years, Maharani honed this tendency of devising interruptions as a fragment outside of history’s known continuity that affects incidents in the past.Taking her personal background, Maharani grew her interest upon visualizing the long history of education in Indonesia and for the past 2 years continued to the exile of political prisoners in Indonesia--a part of history left on artifacts from her late grandfather’s possessions. Based on the aforementioned perspective, Maharani then aimed to express these belongings to a work of art, a path she took in identifying herself which she hopes could provide recognition for a larger sphere of people with similar background.
berkesinambungan yang disusun secara memiliki terhadap sejarah-pun hadir melalui kronologis. kebanggaan kolektif yang mungkin dialami juga oleh orang lain. Saya mencoba mereDalam upaya mengenal Kakek melalui konstruksi sebuah memori untuk mengenal artefak yang ditinggalkan, saya mene- Kakek melalui pencariannya terhadap hislusuri adanya kesamaan periode kejadian toria keluarga dalam balutan dunia pendididengan sejarah pendidikan di Indonesia kan Indonesia pada kurun waktu 1915 samsecara garis besar. Dalam ranah terse- pai dengan 1935. but, cerita Kakek yang didapatkan berada dalam lapisan- lapisan sejarah yang mengendap, seperti proses suksesi linear yang selama ini menjadi obyek utama penyelidikan sejarah dan memunculkan penemuan- penemuan baru diantara tumpukan peristiwa sejarah dan kemudian disebut diskontinuitas. Dalam hal ini, saya memposisikan diri sebagai etnografer, menelusuri serta mengumpulkan jejak melalui recall memory terhaadap garis waktu sejarah pada umumnya dari kacamata keluarga. Rasa
1. Babad Sepuh ; Eksploitasi Serigraphy and Embroidery on Fabric Diameter : 100 cm 2012 2. Rekonstruksi Studi Memori #3 Collage on Paper Configuration of 6 Frames 77 x 39,5 x 6 cm each 2014
Statement Karya Rekonstruksi, keluarga, sejarah, dan memori merupakan gagasan utama dalam proses berkesenian saya selama tiga tahun belakangan ini. Diawali dengan kesadaran akan perlunya mengenal identitas dalam diri sendiri membawa saya dalam penelusuran rantai keluarga. Sejarah diartikan sebagai dokumentasi terencana dari garis waktu yang tersusun dari peristiwa- peristiwa monumental yang terjadi di masa lalu, yang juga merupakan rangkaian peristiwa
Erwin Windu Pranata Born in Bandung June 6, 1981, finished bachelor degree at Fine Art Departement of University of Education Indonesia (UPI) Bandung, (1999 - 2005). Currently active in working with various media especially 3d object. Founder and Director of an alternative space called Omnispace in Bandung. Lecturer at Textile and Fashion Design Department of Telkom University Graphic Design Instructure at Binus Center Bandung You Are What You Wear Statement. Ditengah maraknya isu tentang identitas saat ini, saya tertarik tertarik akan hubungan pakaian dan identitas. Bagi saya pakaian dan identitas mempunyai hubungan yang erat. Pada awalnya pakaian hanya untuk menutupi dan melindungi bagian tubuh, saat ini pakaian menjadi sebuah statement terhadap jati diri si pemakainya, secara tidak langsung
pakaian menjadi bentuk komunikasi nonverbal, seperti juga rumah,kendaraan,perhiasan,digunakan untuk mendapatkan citra tertentu yang diinginkan pemakainya. Pakaian menjadi sebuah bentuk ekspresi dari identitas seseorang, karena saat memilih pakaian untuk dikenakan berarti mendefinisikan dan mendeskripsikan diri. Selain itu pakaian menjadi pijakan awal untuk berinteraksi dengan seseorang,seperti pembentukan kesan,menunjukan identitas diri,dan lain sebagainya.Pakaian berperan besar membentuk citra seseorang, karenanya sering kali terjadi stereotipe terhadap penampilan seseorang. Pada karya ini saya akan menampilkan artefak yang ada hubungannya dengan pakaian, perhiasan dan apapun yang dikenakan seseorang dan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap karakter dan kesan pemaikainya. Artefak-artefak tersebut saya komposisikan sedemikian rupa dengan Teknik assemblage sehingga menjadi sebuah karya yang utuh.
Miranti Minggar T. Lulus dari pascasarjana ISI Yogyakarta dengan predikat cumlaude tidak lantas membuat saya untuk berambisi memulai karir sebagai dosen. Keputusan untuk terus berkarya dalam masa era digital dan lingkaran jejaring sosial seperti google plus, facebook, instagram, pinterest atau yang lainnya, memberikan banyak pilihan dan cara untuk merespon informasi dan mereduksinya menjadi karya. The MIRROR (Queen Of Club)|playing card series @ Pencil on Wood 75x53 cm 2017 Statement: Kita sering melihat wanita yang berpakaian sangat fashionable berpose di berbagai tempat, apakah itu di mall, di kantor, di taman, di jalan raya, di pusat olah raga, atau dimana pun tempat yang layak untuk berpose. Dalam sekejap mata foto-foto mereka mulai memenuhi jejaring sosial. Dengan menampilkan barang-barang fashion yang sedang in, mulai dari dress atau gaun, baju, rok, celana, hijab atau kerudung, topi, bandana, kacamata, perhiasan, aksesoris, tas, sepatu, syal, hingga make up. Ketenaran dan keuntungan pun akan segera didapatkan dengan mudah. Cukup dengan memanfaatkan handphone, berpose dengan barang-barang fashion yang disukai, upload ke sosial media atau posting ke blog, dan tunggulah hal tersebut menjadi trend setter. Semudah itukah? Tentu saja, kenapa tidak? Bukankah sudah ada kecanggihan teknologi yang membuat semua hal menjadi mungkin? Fashion adalah suatu sistem penanda dari perubahan budaya menurut suatu kelompok atau adat tertentu. Bisa juga sebagai strata pembagian kelas, status, pekerjaan dan kebutuhan untuk menyeragamkan suatu pakaian yang sedang merek. Banyak orang di luar sana dalam style kesehariaannya merupakan sebuah tuntuntan meski itu bukan wujud aktualisasi diri ‘IT’S NOT ME’ . Selebritas mungkin menjadi contoh tepat dan kongkrit untuk hal ini , untuk pencitraan diri , mencari identitas banyak dari mereka mengenakan fashion yang terkadang itu bukan cerminan dirinya ‘IT’S NOT ME’ namun apa mau di kata ini sebuah tuntutan dan wujud totalitas serta profesionalisme. Dalam kasus yang sama, para pekerja kantor, pelajar, dsb banyak mengenakan seragam yang tentunya itu merupakan sebuah tuntutan yang telah di tetapkan. Kini, urusan passion dan style menjadi suatu keharusan dan keniscayaan, baik sebagai gaya hidup atau wujud aktualisasi diri.
PERJALANAN SENYAP Dari tahun 1976 hingga 1988, Marina Abramovic (lahir pada tahun 1946 di Beograd) dan Ulay (lahir tahun 1943 di Solingen sebagai Frank Uwe Laysiepen) adalah sepasang kekasih, pasangan seniman yang tinggal dan bekerja bersama-sama. Kolaborasi ini menarik, bukan saja karena didasarkan pada prinsip kesetaraan mutlak antara dua seniman, sehingga mengatasi motif jenius dan perenungan mereka yang berjalan melalui sejarah seni, tetapi juga karena membuka dan membagi antara seni dan kehidupan , privat dan publik, menempatkan mereka untuk re-negosiasi. Karya performans mereka sebagai pasangan, banyak diteliti pada berbagai tingkat estetika dan sosial-politik kemungkinan dari hubungan interpersonal. Nightsea Crossing adalah serangkaian dua puluh dua pertunjukan yang berlangsung antara tahun 1981 dan 1987 di lokasi yang sangat berbeda di seluruh dunia. Dengan setting (sering didalam museum, kadang-kadang diarea terbuka), tanggal, dan warna pakaian mereka bervariasi, tetapi mereka selalu menggunakan meja kayu mahoni yang sama dan dua kursi yang sama. Mereka menggambarkan performansnya sebagai berikut: “Nightsea Crossing adalah sebuah epik 90 hari di mana menjadi periode yang melibatkan suatu kecepatan dan keheningan , sebelum dan selama performans yang aktual. Performans itu terdiri dari tujuh jam sehari, berkonsentrasi sambil duduk diam tak bergerak dalam keadaan hening�.
Abramovic dan Ulay duduk dikursi dikedua ujung meja, saling berhadapan, dengan tubuh mereka berhadapan. Mereka menggunakan keheningan dan aspek kehidupan untuk memfokuskan perhatian pada kenyataan bahwa kesadaran terus berfungsi di dalam, sementara di luar tubuh tampaknya menjadi bagian dari arsitektur. Menurut Abramovic, performans ini adalah bentuk still life, suatu�kehidupan hening�, meskipun Ulay mencatat bahwa minat utama mereka adalah dalam proses diam yang tersisa. Berbagai performan Marina Abramovic ditandai dengan keterlibatan fisik radikal sang seniman. Seringkali, bereksperimen diri secara ekstrim yang menyebabkan situasi yang mengancam jiwanya. Dalam terminologi sejarah seni, karya-karya ini memberikan kontribusi yang kuat untuk mengganti istilah performatif dalam seni rupa. Performance art, yang muncul pada tahun 1960, dimaksudkan sebagai model counter untuk lembaga mapan seperti teater dan museum. Programnya adalah untuk menghapus semua batas-batas: perbedaan antara seniman dan karyanya, pemain dan karakternya, aktor dan penonton, serta antara seni dan kehidupan. Didalam merayakan saat beraksi , tubuh para seniman performans menjadi situs untuk negosiasi politik identitas, relasi gender, dan norma-norma sosial. Hari – hari ini, berbagai pertunjukan mereka ini hanya dapat diakses melalui dokumentasi foto-foto, rekaman
video, atau berbagai tulisan laporan. Bahwa representasi fotografi jauh lebih pas untuk Abramovic dan Ulay daripada dokumentasi belaka , penampilan mereka menjadi sangat jelas dalam pameran di Galerie Michael Jannsen, di Berlin beberapa waktu lalu. Karena snapshot, rekaman gambar dapat membuat bentuk-bentuk khusus dari sinerji mereka.
dalam era seni rupa sekarang.
Since the great changes in art during the 1965, artistic identity has not been a straightforward given. It has been selected in good and bad faith, out of duplicity, or from acts of speaking for someone else. The categories of artistic collaboration and constructed, manipulated—as opposed to “natural” or individual—authorial identities overlap Aspek gambar menjadi pusarannya but are not the same. (Charles Green) terutama untuk karya-karya setelah tahun 1980. Di sini, konstelasi hubu- Menurut Charles Green , dalam bukungan di eksplorasi dan dinegosiasikan nya THE THIRD HAND : collaboration melalui tindakan dengan gerakan min- in art from conceptualism to postmodimal, tetapi juga melalui serangkaian ernism , seri performans Marina dan simbol/tablo serta karya-karya foto- Ulay menarik- jauh meregangkan batgrafi dan patung. Karya-karya ini se- asan representasional. Seperti pada cara kritikal menginterogasi gambar kolaborasi Gilbert & George, yang dan model hubungan manusia, dan menciptakan kembali dirinya sebagai mereka semakin mendapatkan tingkat identitas ketiga, tetapi Abramovic dan alegoris dan simbolik makna. proses Ulay , memperluas tema-tema pertahubungan material dan eksperimen paan (asketik), meritualkan ke-tuna dalam simbiosis spiritual menjadi se- wisma-an dan perpindahan dengan makin penting. cara yang jauh lebih ekstrim dari Gilbert & George; kerja sama tim kolabPameran Perjalanan Sunyi yang di- oratif mereka adalah bagian dari ambil dari teks karya Nightsea Cross- suatu definisi ulang batas-batas diri. ing mengundang para seniman diluar Diri atau self ini akan tersedia untuk konteks sejarah dan budaya asalin- para seniman hanya melalui proses, ya untuk menafsirkan secara terbu- yang sekali lagi, penghilangan dan ka kepada performans Marina dan menggoda ketertutupan, keterisolaUlay. Untuk mengembangkan mak- sian, yang kemudian diceritakan oleh na – makna dan nilai sejarah suatu Abramovic , “Ketika Anda berfokus dakarya tersebut kedalam ungkapan lam situasi di sini dan sekarang, orang visual para seniman sekarang, yang mendapatkan kesan bahwa anda tidak dikepung oleh derasnya produksi dan ada.” pusaran citraan. Juga mengaitkannya dengan persoalan otoritas dan iden- Menurut Green, karya-karya relasional titas seniman yang individual seperti yang dibuat pada tahun-tahun pertayang diyakini jaman Modern klasik ma dari kolaborasi mereka, melibatkan yang kemudian dipahami ke dalam berbagai bentuk, gaya yang terlupa-
kan. Selama tahun 1979, meskipun, Abramovic dan Ulay mulai sistematis memperbaiki tindakan-tindakan dramatis ke dalam skenario ‘”diam” dan kembali kepada sesuatu yang benar-benar beku.
secara baik. Terutama banyak lembaga museum dan akademi pendidikan, maupun pameran-pameran, serta publikasi membutuhkan materi, atau dokumentasi fisik untuk kepentingan arsip maupun presentasi.
Performans ; dari Imaterial , Arsip ke Dokumentasi performans, berupa foObjek tografi, rekaman film dan video, atau kertas-kertas kerja para seniman diDalam perkembangan seni rupa per- kumpulkan, di kemas dalam sebuah formans di Eropa dan Amerika Utara , pameran maupun materi publikasi. sejak dekade 1990-an telah terjadi ge- Bahkan dalam perkembangannya jala materialisasi-nya. Kelembagaan kemudian, beberapa museum dan kolseni modern telah mengembangkan ektor mengoleksi arsip-arsip dengan sistem kerja, “ kolaborasi” untuk harga tinggi. Para seniman konsepmenghasilkan produk artistik. Karena tual juga performans seperti Gilbert bagaimanapun, performans merupa- and George, Marina Abramovich dan kan aksi tubuh yang sangat bergan- Ulay, diawal tahun 70-an, mungkin tung pada konteks ruang dan waktu. yang mengawali dalam memanfaatPendokumentasian, produksi arte- kan medium fotografi, grafis dan video fak performans , kemudian menjadi sebagai ekstensi, atau cara presentasi penting dan telah berlangsung sejak dari aksi yang mereka lakukan. - mulai dari kelompok Dada, Bauhaus, Fluxus, atau Yves Klein, Manzoni, Sebagai kemungkinan bentuk “dokuBeuys, Jim Dine, hingga Gilbert and mentasi” untuk diperdagangkan galeri George. dan dimiliki oleh para kolektor. Hal ini juga mengawali suatu gejala dimana, Memang sepertinya terjadi ke-ironis- mitos bahwa seniman modern bekeran, dimana pada awalnya performans ja secara individual, unik, self-center digunakan para seniman untuk mela- akhirnya tidak menjadi absolut, banwan komersialisasi, dan galeri, mau- yak lubang di batas-batasannya. Propun museum. Seniman awal perfor- duksi seni rupa kontemporer termasuk mans, berusaha mendudukan kembali performans, menurut kritikus Kristine gagasan sebagai suatu yang paling Stiles, dalam ulasannya tentang Pertinggi, sebagai pengejewantahan dari formance (Nelson & Shiff, 2003: 88) eksistensi seniman modern, sebagai mengemukakan, bahwa didekade gerakan kaum kiri, dan ekstensi dari 1980-an, istilah “performance” mulai gerakan seni rupa konseptual. Teta- menyajikan karya beragam dengan pi pada akhirnya, dalam kenyataan bentuk estetik, dari produksi hingga perkembangan teori dan kelembagaan presentasi,serta penafsirannya. Perseni rupa modern, mengharuskan kar- formans menjadi sebagai suatu kateya-karya performans didokumentasi gori dalam visual display, hal ini mem-
beri hal baru bagi aspek komersial konteks sosial - budayanya. Tentunseni rupa. ya akan berbeda pula cara pandang mereka melihat / membaca tanda-tanDengan munculnya teknologi repro- da. Beberapa karya seniman tidak duksi citraan, seperti kamera dijital, direncanakan untuk merespon karya video, rekayasa computer, berbagai Marina dan Ulay, tetapi mempunyai aplikasi berbasis internet. Banyak juga beberapa aspek nilai yang berhubunseniman performans mengembang- gan dengan “teks”. kan konsep aksi tubuh dengan unsur teknologi. Sterlac, seniman perfor- Pemaknaan Pada Karya-karya mans ternama asal Australia, dan Yasumasa Morimura dari Jepang, bah- Aliansyah Caniago, menafsirkan karkan telah mengembangkan konsep ya performans Marina dan Ulay pada tubuh kedalam konstruksi rekayasa persoalan hubungan, daya tahan (enteknologi, termasuk Melati Suryodar- durance), kepercayaan (trust) dengan mo. Begitupun penggunaan strategi yang dicintainya dalam hidup. Dengan presentasinya , mereka mencoba dan menghadirkan karya dari tempelan bereksperimen dengan mendomesti- kayu-kayu limbah dan pabrik pensil fikasi tubuhnya melalui ruang-ruang yang dibentuk persegi, berjudul: Sivirtual, yang bisa diakses oleh inter- lence Conversation After The Years; net, game, maupun dalam bentuk Ciburuy (2017). Karya ini mengrekaman dalam kepingan DVD. hubungkannya dengan proyek performans yang dilakukannya di danau Pada pameran ini, 13 seniman di- (situ) Ciburuy dua tahun lalu, disana undang untuk serta dalam perayaan ia melakukan interaksi bersama para “matinya sang pengarang” dan nelayan disana. Maka bagi Alin aksi – “everything goes” , dengan mendekati aksi Marina dan Ulay mengingatkan teks dan visual atau kebetulan mem- kepada para nelayan di situ Ciburuy. punyai kesamaan konsep maupun “Saya ngeliat manusia disana kayaspek tafsiran visual dengan karya ak ngelakuin long durational perforNightsea Crossing –nya Marina dan mance juga, setelah adanya banyak Ulay. Menafsirkan sisi-sisi yang mung- pilihan hidup mereka tetap bertahan kin mempunyai nilai berbeda yang hidup dengan air. Pilihan hidup tuh kemudian bisa dimaknai kembali oleh bisa jadi juga soal endurance”. Alianpara seniman sehingga muncul karya syah mendekati dengan mengalegoridengan konteks dan bentuk yang ber- kan kepada durasi dan daya tahan beda bahkan mungkin nilai dan mak- kegiatan suatu masyarakat. Hari-hari na baru. Juktaposisi karya Marina dan ini, seni performans banyak dilakukan Ulay dengan karya-karya seniman lain oleh para seniman diluar ruang – ruang ini disajikan dalam pameran inagurasi seni dengan kehidupan nyata. Mengaini mengundang para seniman yang ktualisasi ekspresi dengan terjun dententunya berbeda secara generasi, gan masyarakat, baik sebagai aktivcara pandang, sikap maupun dalam isme sosial, lingkungan hidup maupun
mengartikulasikan bentuk-bentuk seni relasional. Karya Dita Gambiro (Lahir Jakarta 1986), berjudul You In Me (2017), memaknai “ hubungan dua manusia” dengan menyajikan pakaian (baju) dengan materi kain transparan (Jute). Salah satu lengan pakaian masing-masing terpotong. Ketidak-sempurnaan pola pakaian itu disusun berdampingan sehingga saling memberikan “kesatuan” dari bentuk pakaian tersebut. Karya-karya Dita Gambiro banyak menampilkan nilai berbeda dari tubuh feminine, cenderung menyentuh dengan ironi-ironi. Menyejajarkan simbol-simbol barattimur dalam menjelajah materi. Seniman Eddi Prabandono , (Lahir di Pati , 1964, tinggal dan bekerja di Yogyakarta). menghadirkan karya objek hibrid sepeda yang diatasnya diletakan objek lukisan karya Piet Mondriaan. Karya berjudul , Fiets Mondriaan (2016), ini bisa dimaknai sebagai gejala bahasa pelesetan dari dua suku kata “Fiets” yang dalam bahasa Belanda artinya sepeda. Sehingga ketika disatukan berbunyi seperti nama sang maestro seni modern Belanda tersebut. Pelesetan kata dan logika assemblage yang dihadirkan oleh Eddi yang menyejajarkan dua objek yang tak nyambung : antara obyek sejarah seni yang ikonik dan sepeda. Tapi juga sepeda adalah kendaran ikonik dan umum di negeri Belanda. Maka konteks sosial dan budaya juga menjadi nilai yang dipertimbangkan. Erika Ernawan (lahir di Bandung
1986), seniman yang biasanya menggunakan elemen tubuhnya (atau performans) dan juga instalasi dan media lainnya didalam karyanya. Kadang pendekatan performansnya cenderung menyentuh batas pemahaman nilai-nilai yang mapan yang diyakini masyarakat secara moral. Kali ini Erika menguaskan cat diatas image print yang ditempel diatas medium Perspex. Karya berjudul :Motionless (2016-17) muncul dari persoalan waktu dalam performans yang melibatkan aspek “diam”, yang sering dimunculkan dalam performance Marina dan Ulay. Dengan menghadirkan proses pembekuan cat , diam itu dimaterialisasi, seperti juga dalam proses melukis Jackson Pollock. Tetapi pada karya Erika muncul metafor tentang wacana tubuh dan diri. Drawing Michael Binuko atau Koko (lahir di Biak, 1987. Tinggal dan bekerja di Bandung) menghadirkan citra ibu dan anak. Ia mengatakan bahwa poin utama karya kolaborasi Marina dan Ulay yang ditangkap itu terkait dengan nilai kepercayaan dirinya. Maka ia memutuskan untuk menggunakan figur Maria dan bayi Yesus, suatu hubungan yang magis dan ikonik. Image atau citra yang sakral tapi sekaligus juga menjadi profane atau sekuler. Pada drawingnya Koko membuat kerusakan yang disengaja, menurutnya , Faktor “rusaknya” sendiri sebagai gambaran karya kolaborasi mereka yang sering terlihat destruktif dan menantang . Maka citra tersebut tidak lagi ada upaya ‘glorifikasi’ , tetapi membuatnya lebih menjadi fana, menjadi manusia yang tak sempurna.
Muhammad Vilhamy (Lahir di Surabaya, 1990, tinggal dan bekerja di Bandung) menghadirkan instalasi deretan lukisan cat air , berjudul : “Maaf Sold Out!” (2017) dengan elemen teks dan objek, seperti dalam sebuah toko pakaian. Karyanya menjadi sarkasme kepada gejala pasar seni rupa kontemporer saat ini. Baginya ; “empat komponen karya instalasi yang ditawarkan menjadi bentuk karya seni yang merepresentasikan pola atau sikap “dingin” dan leisure dari masyarakat kelas menengah, serta juga sebagai bentuk respon apropriasi praktik dalam medan seni rupa kontemporer Indonesia”. Walaupun beberapa elemen karya tersebut muncul dari ruang pribadi. Ia menjadi seniman yang memainkan tanda dengan ironi dan sarkasme dalam praktek seni hari-hari ini. Karya Patricia Untario , (Lahir di Jakarta 1984, tinggal dan bekerja di Bandung) berjudul Fasting (2017) , membuat elemen dalam bentuk miniatur dari logam dari elemen performans Marina dan Ulay. Kursi-kursi itu masing-masing ditutupi oleh silinder kaca atau gelas. Patricia dikenal sebagai seniman yang mengeksplorasi teknik pembuatan kaca , kebanyakan dengan teknik cetak. Ia banyak menggarap bentuk lampu gantung atau chandlier maupun benda-benda domestik seperti ceret, cangkir dan lain sebagainya, yang dieksplor menjadi karya bernarasi yang khas sekitar hubungan-hubungan domestik manusia dan kenangan. Kursi dalam gelas menandai suatu ruang yang dibatasi
oleh sekat yang transparan. Bisa saling menatap tapi tubuh terkurung dan tak bisa saling menyentuh. Menjadi suatu ironi manusia sekarang. Richard Streitmatter-Tran (lahir di Bien Hoa1972, tinggal dan bekerja di Ho Chi Min, Vietnam ) , menggambarkan hubungan dengan menghadirkan objek dua bola dari tanah liat, seperti kepala dengan rambut dari sabut kelapa yang dikepang dan menyambung kerambut lainnya. Gestur objek berjudul Bound (2016) ini mengingatkan kepada salah satu citra ikonik dari performans yang dilakukan Marina dan Ulay yang ikonik, di Italia berjudul Relation in Time (1977). Performans tersebut aslinya dilakukan selama 17 Jam dengan kedua rambut kepang bagian belakang yang terikat satu sama lain. Karya Richard ini menjadi semacam tribute untuk Marina dan Ulay dengan menghadirkan nilai hubungan yang tak abadi, lewat material yang lebih berumur terbatas dan rentan seperti tanah liat dan serabut kelapa. Wiyoga Muhardanto (Lahir di Jakarta 1984 , tinggal dan bekerja di Bandung) secara khas melalui karya patungnya selalu melibatkan permainan tanda dan unsur sinisme, sindiran atau olokolok, apakah melalui bentuk maupun pengolahan materinya. Ia menampilkan karya berjudul What If (Figur No: 3, Football Fans) 2016, berupa patung figur pemain bola (penjaga gawang) yang sedang menangkap seorang fansnya , mengenakan seragam klub bola terkenal Liga Inggris. Sosok fans bola itu berperawakan gempal dan mengepalkan tinjunya keatas. Karya
ini seperti mewakili kegilaan dan obsesi masyarakat global kepada sepak bola. Karya Wiyoga seperti bertolak belakang dengan nilai dalam citraan performance Marina dan Ulay. Namun dengan hakikat tujuan yang sama ; melihat kembali nilai-nilai didalam budaya masyarakat urban era-informasi dimana muncul penetrasi ikon-ikon global dan obsesi kuat untuk menjadi bagian dari komunitas global-internasional. Yogie Achmad Ginanjar (Lahir di Bandung 1981, Tinggal dan bekerja di Bandung) memaknai karya Marina dan Ulay tersebut dengan menghadirkan deretan lukisannya , Me and You and a Cycle of Impossible Truth (2017). 22 lukisannya menjadi tribute kepada 22 performans Marina dan Ulay. Bagi Yogie , Night Sea Crossing menceritakan siklus kehidupan, metamorphosis, perjalanan dan menghubungkan antara tubuh ke pikiran, psikis ke metafisik yang direpresentsikan oleh upaya mereka berimplikasi kepada tradisi disiplin-fisik pada jangka periode waktu yang panjang untuk mencapai kesadaran metafisik. Yogie menantang keterbatasan fisikal itu dengan membuat lukisan sekuen pertumbuhan bunga Dandelion sebagai metafor siklus hidup. Sapuan-sapuan menggambarkan suatu efek “kesalahan/meleset” (Glitch) , untuk menunjukan kegagalan komunikasi, mirip yang apa ia rasakan dalam proses membaca karya Marina dan Ulay. Ia juga mengadaptasi melukis dengan cara dan efek maestro Jerman, Gerhard Richter untuk menghasilkan visualnya.
Karya-karya kolase atau asemblage Yudi Noor (lahir di Bandung, 1971. Tinggal dan bekerja di Berlin) memberikan ruang kepada pemaknaan ulang atas materi , benda-benda temuan arsitektural yang dielaborasikan melalui sensibilitas estetiknya. Sehingga menyajikan suatu narasi yang mistis maupun filosofis dari elemen, materi yang wataknya berbeda-beda. Menyatukan yang nyambung dan tidak nyambung, menjadi harmoni yang formal walaupun penyusanannya dilakukan intuitif. Pematung Yuli Prayitno menghadirkan kembali objek Gunting tetapi membuatnya menjadi berbeda fungsi asalinya. Gunting tersebut ia potong bagian pisaunya dan dijadikan pegangan dengan ditempa. Sehingga bisa dipegang dua orang di kedua sisinya. Garapan –garapan karya objek Yuli memang khas , karena selalu mempermainkan persepsi umum antara benda-benda, watak materi serta fungsinya. Karya gunting berhandle ganda ini menciptakan simbol untuk memparodikan performans yang radikal dari Marina dan Ulay yang biasanya menyerempet dan melibatkan berbagai objek berbahaya. Sebaliknya Yuli menghadirkan simbol-simbol yang lebih lunak , lebih bersahabat (friendly). Karya lukisan Zico Albaiquni (lahir di Bandung 1987) berjudul: menggambarkan satu komunikasi dengan mendekati kehidupan keseharian, tetapi melalui garapan lukisan yang bercorak agak impresionistik , “Saya
mengambil snapshot dua orang yang sedang duduk tanpa tendensi apaapa‌.namun posisi duduk menjadi memiliki tendensi ketika berada dalam form atau performa seni “, ujarnya. Zico memilih merekam gestur manusia yang natural tetapi kemudian dikerjakan dalam konteks sejarah lukisan tertentu, pemaknaanya menjadi sangat berbeda, bahkan jauh diluar kendali sang seniman. Dramatisasi muncul dari bagaimana gambar dihadirkan dan dengan sendirinya sudah termaknai oleh sejarahnya. Lukisan Zico banyak menggali ulang konsep-konsep lukisan di era modern dan berupaya menemukan nilai dalam konteks kekinian. Rifky Effendy, Kurator.
Artist By Tromarama
(Bandung)
UVisual
(Bandung)
HUMANIKA
(Bandung)
Mira Rizki Kurnia (Bandung)
Orcyworld
(Bandung)
Riar Rizaldi
Tomy Herseta
(Bandung)
Ade Darmawan (Jakarta) Krisna Murti
(Jakarta)
PAMERAN SE NI ME D I A
Eldwin Pradipta (Bandung)
Curator By Rifky effendy dan Bob Edrian
M. Akbar
Thee Huis Gallery UPTD
pengelolaan
kebudayaan
(Bandung)
(Bandung)
daerah
Jawa Barat. Jl. Bukit Dago selatan no.53A Bandung, 40135
GALLERY
PINTAS
terkini dalam seni media.
The medium, or process, of our time – electric technology – is reshaping and restructuring patterns of social interdependence and every aspect of our personal life.
Tajuk PINTAS dalam perhelatan ini diajukan sebagai sebuah kata yang mampu mewakili gagasan terkait dengan kecenderungan-kecenderungan terkini manusia Indonesia di kota-kota besar secara umum, dan khususnya seniman media. Teknologi dan media secara umum dikembangkan untuk mempermudah (menjadi jalan pintas) manusia dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupannya, mulai dari kebutuhan akan informasi hingga upaya aktualisasi diri. Perhelatan PINTAS kemudian membagi gagasan besar di atas menjadi setidaknya tiga bagian: contact, vir(tu)ality, dan comm(unity). Masing-masing merupakan bentuk manifestasi atas respons terhadap fenomena perilaku manusia terhadap media dan teknologi saat ini melalui ragam eksplorasi karya seni media.
- Marshall McLuhan The Medium is the Massage: An Inventory of Effects (1967) Selama kurang lebih lima puluh tahun setelah Marshall McLuhan mengungkapkan pernyataan di atas, perkembangan media (dalam hal ini media elektronik, informasi, dan komunikasi) telah mengalami perkembangan yang berkali-kali mengubah pola dan cara hidup manusia. Teknologi internet (pertama kali masuk ke ranah publik pada pertengahan 1989), sebagai perkembangan terkini atau setidaknya dalam 20 tahun terakhir, dengan segera mengubah perilaku manusia dalam mengakses dan menyebarkan informasi. Dalam buku yang ditulis oleh Shumon Basar, Douglas Coupland, dan Hans Ulrich Obrist berjudul The Age of Earthquakes: A Guide to the Extreme Present (diterbitkan pada tahun 2015 dan konon merupakan sebuah upaya merespons gagasan Marshall McLuhan dalam buku The Medium is the Massage: An Inventory of Effects), bahkan disebutkan bahwa manusia tidak hanya mengubah struktur otak dalam kurun waktu beberapa tahun ini, melainkan juga struktur planet. Proses perubahan pola perilaku manusia akibat perkembangan media dan teknologi seringkali menjadi pemicu bentuk-bentuk eksplorasi
Contact Salah satu hal yang mendorong perkembangan media dan teknologi adalah keinginan manusia untuk memperluas kemampuan serta kemungkinan berkomunikasi. Seperti halnya pembahasan terkait komunikasi dalam novel spekulatif Carl Sagan berjudul Contact (1985), salah satu bagian dari perhelatan PINTAS ini (yang pengkategorisasiannya meminjam judul novel tersebut) berupaya memayungi kekaryaan seni media yang menekankan pada eksplorasi gagasan komunikasi. Aspek-aspek yang dimunculkan dalam kekaryaan dalam kategori ini berkaitan dengan elaborasi pemahaman komu-
nikasi, eksplorasi teknologi komunika- ktif dalam perkembangan seni media si, hingga bentuk-bentuk spekulatif saat ini. terkait dengan perluasan makna komunikasi. Ketiga kategori di atas diharapkan dapat mewakili respons seniman terVir(tu)ality hadap kondisi hubungan manusia dan teknologi media saat ini. PerheDapat dibaca dalam dua makna: viral- latan PINTAS sebagai upaya potong ity dan virtuality. Pemaknaan tersebut kompas untuk memahami olah gagaterkait dengan kondisi masyarakat san seni media sekaligus memaknai saat ini yang sudah sangat akrab den- bagaimana masing-masing individu gan teknologi internet, teknologi yang mengonsumsi perkembangan media sedikit banyak telah mempopulerkan dan teknologi. istilah viral dan virtual. Kategori ini menekankan gagasan-gagasan seniman terkait internet dan juga pola pikir sen- Kurator iman yang lahir di era setelah internet. Rifky Effendy & Bob Edrian Mengacu pada istilah extreme present yang juga diajukan dalam The Age of Earthquakes: A Guide to the Extreme Present (2015), era internet telah membuat manusia di masa kini dibanjiri oleh ragam informasi yang membuatnya kesulitan untuk beradaptasi atau bahkan mengidentifikasi kondisi saat ini (present). Comm(unity) Kategori ini menekankan aspek hubungan sekelompok manusia (komunitas), teknologi, media, dan lingkungan di sekitarnya. Hal ini juga bisa dimaknai secara sempit sebagai proyek-proyek seni media oleh komunitas dalam merespons gagasan maupun ruang pamer perhelatan PINTAS. Memasuki periode 2000-an, telah bermunculan ragam komunitas/kolektif kesenian di Indonesia dengan proyek-proyek dan visi yang bervariasi. Kategori comm(unity) diharapkan mampu mewakili bentuk-bentuk eksplorasi secara kole-
Muhammad Akbar was born in 25 January 1984, graduated from Arts & Language Teaching Faculty in Universitas Pendidikan Indonesia, as a visual artist, experimental short film, video art, media art. he works in graphic design, VJ-ing, motion with a nickname Killafternoon. he also exhibit & screen his works in film festival and art exhibition, his works also collaborate with bands & musicians in the subculture music scene. a vocalist of a noise rock band A stone A, member of performance group Wayang Cyber, member of Video Lab, member of an open community called Open Labs, he was working in iF venue, an alternative space in Bandung
Orcyworld a.k.a. Gilang Anom M. M. lahir pada tanggal 23 April 1997, adalah seorang seniman muda yang menggunakan media visual dan performance sebagai sarana ekspresinya. Tumbuh dalam lingkungan keluarga seniman dan musisi, atas keyakinanya memilih untuk melakukan homeschooling pada usia 15 tahun, untuk mengembangkan minat dan kemampuan sepenuhnya dalam bidang seni. Dengan keputusan tersebut ia dapat memanfaatkan waktunya untuk mengikuti workshop, residensi, magang dan kelas kelas independen, memperdalam keterampilan dan gagasannya. Media visual yang ia gunakan adalah Drawing, Painting, dan art fashion, sementara dalam performancenya ia menggabungkan antara live painting, performance art, sound art serta karya art fashionnya. Bentuk performance lain yang ia hadirkan yaitu vocal rajah dan throat singing dengan bahasa rasa yang ia ciptakan diiringi dengan alat music shruti box. Pada usia 9 tahun, ia menciptakan dunia imajiner yang bernama Orcyworld, dunia hitam putih yang merupakan sketsa ruang waktu untuk melahirkan kehidupan, namun dunia inipun bernafas, memiliki hati dan pikiran serta kehidupannya sendiri. Setelah terbentuknya berbagai macam realita, Orcyworld menjadi sebuah ruang perjumpaan bagi para mahluk selestial, untuk berbagi cerita, cinta, pengetahuan, prediksi, pengalaman serta memberi pencerahan bagi mahluk lain yang menembus ruang waktu itu. Mahluk yang mencari nilai kebijakan serta keselarasan, mahluk yang berupaya membangun kedamaian.
Krisna Murti pada tahun 1993 membuat karya berjudul 12 Jam dalam Kehidupan Penari Agung Rai, dalam video performance. Krisna Murti dikenal sebagai pelopor seniman multi media di Indonesia. Karya - karyanya dikategorikan sebagai new media art yaitu seni yang banyak menggunakan peralatan elektronika. Krisna Murti lahir di Kupang pada tanggal 19 April 1957 dan melanjutkan pendidikan tinggi di FSRD ITB ( 1976 - 1981 ). Ia menjadi dosen dan asisten Ahmad Sadali dari tahun 1984 - 1987. Ia aktif mengikuti residensi di berbagai negara, di antaranya Jepang, Singapura, Kuba, Russia, Australia, Jerman, dan Belanda. Karyanya penah di pamerkan di The First Fukuoka Asian Art Triennal di Jepang tahun 1999, Havana Biennale di Kuba, Gwangju Biennale di Korea tahun 2000, dan Venice Biennale di Italia tahun 2005. Ia juga berpatisipasi di festival new media art di Belanda tahun 2000, Jerman tahun 2005, dan Australia tahun 2009.
UVISUAL is one of visual community from Bandung, Indonesia. Especialy Video Mapping, Visual Jockey and Multimedia, was born on October 24th 2014. not make this community like a newbie because have a lot experience from our member. Development of times, technology and art, making this community is arise be medium for research and development. Until now has 13 members, with the most member love and care about art and culture, making this community be different with the other.
Riar Rizaldi (Bandung, 1990) adalah seniman yang berbasis dan bekerja di Bandung, Indonesia. Karya-karyanya berfokus pada hubungan antara manusia dan teknologi, media dan elektronik konsumer, sirkulasi citra dan intervensi jaringan. Lewat karya-karyanya Riar banyak mempertanyakan tentang gagasan akan temporalitas, politik citra, fiksi-teori, virtualitas dan konsekuensi dari perkembangan teknologi yang tidak diantisipasi pada kehidupan manusia dan non-manusia. Riar juga secara aktif menampilkan karya komposisi bunyinya lewat metoda foley dan field recording melalui algoritma komputer. Riar pernah menjadi kurator untuk ARKIPEL Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival (2017) dan Indonesian Netaudio Festival (2018). Karya-karya Riar telah dipresentasikan dalam ruang lingkup global, seperti dotolimpic festival (2017, Seoul), re:emergence (2017, Bandung), All Ears Festival (2016, Oslo), Asian Meeting Festival (2015, Tokyo), juga partisipasinya dalam program undangan residensi oleh Seoul Foundation for Arts and Culture di Seoul Art Space Geumcheon (2017). Pada tahun 2016, karya instalasi dan performans-nya The Act of Seeing (2016) mendapatkan penghargaan Newcastle Institute of Creative Art Practice Award. Saat ini Riar adalah kandidat PhD dalam kajian post-internet image circulation, politics of post-production, and computational cinema di School of Creative Media, City University of Hong Kong.
Tomy Herseta, A designer who works in various medium, from intangible to tangible medium ranging from sound, video, two-or-three-dimensional object, to interactive multimedia installation. He often work with multi-disciplinary approach, combining design, science, and technology.Interested in social, internet culture, and speculative design issues, he tried to create a work that is not just for his own satisfaction but also could give a thought provoking experience to the audience with a narrative and fictional scenario sometimes with a little humour so it would be more interesting from the beginning, because he believe humour takes an important role in order to trigger something to achieve deeper conceptual goals.
Ade Darmawan (1974) lives and works in Jakarta as an artist, curator and director of ruangrupa*. He studied at Indonesia Art Institute (I.S.I), in Graphic Art Department. A year after his first solo exhibition in 1997 at the Cemeti Contemporary Art Gallery, Yogyakarta (now Cemeti Art House), he moved to Amsterdam for a two years residency at the Rijksakademie Van Beeldende Kunsten. In 2000, with five other artists from Jakarta he founded ruangrupa, an artists’ initiative, which focuses in visual arts and its relation with the social cultural context especially in urban environment. Ade Darmawan’s works range from installations, objects, digital print, video and public art. As an artist and curator he has been participated in many art projects and exhibitions in several cities in Indonesia and International. He was involved in a collaboration project Riverscape in-flux (2012), and Media Art Kitchen (2013) with several South East Asia curators and artists. From 2006-2009 he was a member of the Jakarta Arts Council and in 2009 he became the artistic director of the Jakarta Biennale. Since 2013 he is also the executive director of the Jakarta Biennale.
Tromarama (est. 2006, Bandung) is an Indonesian art collective founded by Febie Babyrose (b. 1985, Jakarta), Ruddy Hatumena (b. 1984, Bahrain) and Herbert Hans (b. 1984, Jakarta). Graduates of Institut Teknologi of Bandung, Babyrose, Hatumena and Hans met in a music video workshop where they conceived ‘Serigala Militia’ (2006) for Seringai’s track of the same title and established Tromarama, referencing the “traumatic” experience of making hundreds of woodcut plywood boards. Since then, Tromarama’s work has been exhibited at Open Eye Gallery (Liverpool, 2016),the Gwangju Biennale (2016),[4] Frankfurter Kunstverein (Frankfurt am Main, 2015),the Stedelijk Museum (Amsterdam, 2015), National Gallery of Victoria (Melbourne, 2015) and Mori Art Museum (Japan, 2010)amongst other locations. Engaging with the notion of hyperreality in the digital age, Tromarama specialises in developing inventive responses to contemporary urban culture spanning multiple media – from stop motion animation and video art to installations and lenticular printsFleshing out the element of play and humour in everyday life, each work infuses the ordinary with novel means of contemplation in the context of urban Asian cultural environment and political reverberations. In 2016, Tromarama’s installation ‘’Private Riots’ (2014–2016) – a monumental structure composed of flash sequence video and protest banners – was selected for the Encounters section of Art Basel Hong Kong curated by Alexie Glass-Kantor. Other notable solo exhibitions in recent years include its debut in the UK (2016) curated by Ying Tan in collaboration with Edouard Malingue Gallery and Open Eye Gallery as part of the Liverpool Biennial fringe programme and ‘Panoramix’ (2015) at Edouard Malingue Gallery in Hong Kong.
Eldwin Pradipta is a multimedia artist worked mostly in Bandung. An ITB graduate, Eldwin finished his bachelor degree from Faculty of Visual Art and Design, Bandung Institute of Technology (ITB), majored in Inter-media Studio, in the year 2013. Born in Jakarta, May 17th 1990, Eldwin often participated in awards and competitions, gaining him several prizes and distinction, such as: Finalist of Young Artist Award, Art|Jog|13, Yogyakarta, Indonesia; Finalist of Indonesia Art Award 2013, Yayasan Seni Rupa Indonesia, Jakarta, Indonesia; and Finalist of AMD Rising Stars Competition -MotionGraphic Category, AMD, Jakarta, Indonesia. Eldwin also actively involved in exhibitions and art projects, some of the most recent were: “Art|Jog|13 – Maritime Culture”, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia; “Bandung Contemporary: Disposition”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Indonesia; and “Indonesia Art Award 2013”, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Indonesia. This year, Eldwin will participated in the 3rd Jakarta Contemporary Ceramic Biennale, hoping to bring a dynamic potential to the exhibition space—dominated by ceramic works—with his aptitude in using digital-media.
SPEKTRUM HENDRA GUNAWAN Hendra Gunawan merupakan sosok maestro seni lukis modern Indonesia yang karya-karyanya termasuk sangat unik dan berkarakter. Penjelajahannya mengenai teknik melukis , penerapan warna-warna, komposisi serta tema-tema ; mulai dari perjuangan revolusi, keluarga , ritual tradisi hingga perempuan secara langsung maupun tidak langsung membentuk narasi dan wacana yang khusus. Maka tak heran karya-karya Hendra Gunawan telah memberi sumbangan dan warisan besar bagi perkembangan seni (seni lukis) modern di Indonesia. Walaupun, tak seperti S. Soedjojono yang menguasai banyak teori seni lukis dan produktif dalam menulis. Ir, Ciputra berpendapat bahwa Hendra bukanlah seorang lulusan akademi seni tetapi jiwa pendidiknya menciptakan lulusan seni.
Adytria Negara Agung Kurniawan Ahmad Yulius Handayani Bahaudin (Udien AEE) Dedy Sofianto Eldwin Pradipta Hary Jumalindra Hilmi Pratama Soepadmo I Gede Jayaputra (Dekde) Jumaldi Alfi Kemalezedine M. Ghilmanul Faton Muhammad Sabil Muhammad Taufik (Emte) Mulyono Nandanggawe Nasirun
Prabu Perdana Reza Kutjh Rosid Butet Kertaradjasa Arya Sudrajat Meliantha Muliawan Dina Adelya Nindityo Adipurnomo Mella Jaarsma Wayan Suja Rendy Raka Pramudya Fransziska Fennert Ketut Moniarta Gegeut Pangestu Sukandawinata Hanafi Abdi Setiawan Amalia Febryana
Rizal Batubara Willy Himawan Asmudjo J. Irianto Ali Robin Eddie Prabandono Entang Wiharso Patricia Oentario Theresia Agustina Sitompul Ricky Janitra Eddy Susanto Mujahidin Nurahman Mella Jaarsma Arya Pandjalu Denny Apriyanto Otty Widasari Muchlis Fahri (Muklay) Rudi ST Darma
Hendra Gunawan lahir di Bandung, Jawa Barat, 11 Juni 1918. Dia belajar melukis dari Wahdi Sumanta (1917-1996) dan Affandi (1907-1990). Tahun 1935, Hendra bersama Sudarso (19142006) dan Barli Sasmitawinata (lahir 1921), bergabung dengan kedua gurunya membentuk ‘Kelompok Lima’ di Bandung. Hendra juga mendukung grup teater ‘Poesaka Soenda’ di Bandung, terutama sebagai pelukis dekor pada tahun 1940. Setelah kemerdekaan, Hendra terlibat dalam berdirinya organisasi ‘Pelukis Rakyat’ di Yogyakarta pada tahun 1947. Hendra Gunawan dipenjara oleh Orde Baru tanpa masa percobaan, setelah peristiwa tragedi kemanusiaan 1965. Sebelumnya, sejak 1957 Hendra telah menjadi aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Hendra dibebaskan dari tahanan pada tahun 1978 dan memutuskan untuk tinggal di Bali. Lukisan Hendra dikenal karena penggambarannya yang kuat tentang kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. Hendra wafat di Denpasar pada tahun 1983. (IVAA) Lukisan-lukisan Hendra Gunawan walaupun berangkat dari keseharian atau realitas tetapi perilaku artistiknya berkembang kearah penggambaran dunia yang imajiner, puitis, dramatis , bahkan cenderung surreal. Pameran seni kontemporer “SPEKTRUM Hendra Gunawan” akan menjadi bagian dari pameran museum koleksi Ir. Ciputra untuk memperingati 100 Tahun Hendra Gunawan . Kata ‘spectrum’ (bahasa Inggris) berarti tingkatan , skala, atau nuansa warna yang dihasilkan melalui kaca prisma atau pantulan air. Atau bisa berarti tingkatan dan skala
gelombang elektromagnetik , emosi maupun suasana hati. Pameran Spektrum ini mengundang para seniman sekarang , untuk memberikan gambaran pengaruh artistik atau etstetik, nilai-nilai dan pemaknaan dari semangat Hendra Gunawan dalam perkembangan seni rupa di Indonesia, dalam berbagai aspeknya seperti kaitan dengan nilai formal seni rupa : bentuk, warna, cara pandang dan lainnya. Maupun narasi –narasi yang meliputinya, seperti tema-tema keseharian, perjuangan suatu ideologi, perempuan, tema seni tradisi maupun yang menyangkut dengan potret diri. Pameran ini mengundang para seniman lukis, patung, media campuran bahkan seni media, baik dari Jakarta, Yogyakarta, Bandung dan Bali. Dalam pameran ini juga disertakan karya-karya dari Panggilan Terbuka atau Open Call untuk para seniman maupun desainer , bagian ini untuk memberikan kesempatan bagi para seniman muda (dibawah 33 tahun) untuk ikut membaca dan menafsirkan karya-karya Hendra Gunawan maupun menampilkan karya-karya mereka untuk dimaknai dalam lingkup kekaryaan Hendra. Panitia menerima lebih dari 300 pelamar dari berbagai kota dan pulau di Nusantara. Namun kami telah menyeleksi hanya 30-an karya untuk ikut disertakan dalam pameran ini, sehingga para pemirsa bisa melihat potensi karya-karya mereka. Terakhir adalah tampilnya karya-karya lukisan maupun gambar dari kelompok difabel. Bagian ini merupakakan pro-
gram seni khusus untuk memberikan ruang bagi ekspresi artistik kelompok masyarakat minoritas , memberikan nuansa sosial bagi penyelenggaraan pameran ini. Hendra dan Aspek Formal Seni di Indonesia Karya-karya lukisan Hendra dikenal dengan penggambaran dunia keseharian yang unik lewat kanvas-kanvasnya. Penerapan warna-warna yang cerah dan matang dan berani menunjukan imajinasi yang bebas kepada yang disebut seni lukis realisme, memberikan nafas baru dengan menjelajahi batas-batas pemahaman umum kepada praktek seni lukis dijamannya. Pengolahan bentuk-bentuk seperti penggambaran manusia, hewan atau binatang, tanaman dan pepohonan mempunyai gaya dan wataknya tersendiri dan khas, menggunakan metoda pemiuhan atau stilasi, bahkan beberapa lukisan Hendra terakhir memperlihatkan kearah abstraksi lirisisme. Beberapa karyanya sangat kuat dengan simbolisme. Sisi-sisi formal lukisan-lukisan Hendra , secara signifikan telah memberikan sumbangan dan inspirasi besar kepada praktek seni lukis modern di Indonesia selanjutnya terutama bagaimana praktek seni di dunia pendidikan seni modern. Hendra dan Subyek Keseharian. Subyek karya-karya Hendra Gunawan bersumber disekitar kehidupan kesehariannya, maka Hendra juga dikenal seorang yang humanis. Terbagi dalam beberapa fase:
1. Masa perjuangan kemerdekaan : Tampak lukisan-lukisannya seputar perjuangan kemerdekaan. Ia turun ke medan perang dengan membuat poster-poster penyemangat bersama kelompok PERSAGI , menurut catatan Agus Darmawan T. yang menyadur dari istri Hendra, Karmini, bahwa Hendra adalah tentara amatir dan tidak tega membunuh lawan. Disini Hendra banyak merekam realitas bukan dimedan tempur, tetapi mengarahkan perhatiannya kepada sisi keseharian dan kondisi orang-orang biasa dalam masa perang tersebut, seperti para tentara, pasar, petani, pengungsi, ritual seni tradisi, maupun keseharian lainnya. Baik berupa potret maupun penggambaran kegiatan lainnya. 2. Pasca Kemerdekaan : Menyoroti kehidupan di dalam penjara karena keterlibatannya dengan LEKRA , walaupun seperti dalam tulisan Agus Dermawan T, bahwa Hendra tak terlalu perduli dengan posisi ideology. Ia lebih fokus melukis dengan melukis berbagai aktivitas masyarakat di kampung-kampung disekitarnya, baik di kota dan di desa. Pemandangan alam, berbagai ritual atau upacara keagamaan dan budaya tradisi (ketika berada di Bali) , potret keluarga, dan perempuan, hingga potret diri. Maka pameran SPEKTRUM Hendra Gunawan merupakan penghargaan (tribute) , membaca kembali aspek – aspek yang terkandung dalam kekaryaannya kedalam praktek seni rupa saat ini, maupun dengan pemaknaan yang mengaitkan suatu karya keda-
lam pewacanaan karya-karya Hendra Gunawan. Selain menjadi selebrasi 100 tahun kelahirannya, pameran SPEKTRUM menjadi semacam ruang refleksi kepada karya-karya sang maestro karena dipertemukan dengan karya-karya seniman yang berbeda jaman. Karya Seniman Sekarang dan Hendra Gunawan Karya – karya para seniman dalam merespon Hendra Gunawan yang dihadirkan tentunya menarik untuk dicermati , dimana karya-karya mereka memberikan nafas baru untuk memaknai kekaryaan dan ingatan tentang karya dan sosok Hendra, sehingga bisa memberi kekayaan kepada nilai-nilai karya maupun pemikiran Hendra Gunawan. Dalam praktek seni rupa saat ini para seniman banyak mengenal metode apropriasi atau penyejajaran, assemblage atau biasa dikenal dengan istilah asembling, kolase dan lainnya. Maka karya-karya para seniman peserta pameran SPEKTRUM juga banyak yang menggunakan metode kekaryaan seperti diatas, selain yang berbasis tubuh kekaryaan mereka selama ini untuk dimaknai dari aspek-aspek formal yang disebutkan diatas. Selain berbagai corak karya , para seniman juga menampilkan berbagai material dan medium seperti tekstil, kayu, video, fotografi dan media lainnya. Maka, pameran SPEKTRUM juga meninggalkan jejak perkembangan seni rupa di Indonesia pasca Hendra Gunawan.
(Rifky Effendy dan Puja Anindita)
PAI NTIN G OF
AF T E R
TH E
A G E
T E CH NOL O GY
RE PRODU C TI ON 3 MAY - 4 JUNE 2018 GAL LERY 1 L ANGGENG ART FOUNDATI ON
TEXT: RIZKI A. ZAELANI I CURATED BY: RIFKY EFFENDY
Pameran Painting after the Age of Technology Reproduction “Penduduk dunia sekarang ini amat biasa bergaul dengan gambar yang bagaikan santir dari dunia nyata. Dan teknologi terus saja ingin menampilkan gambar yang makin menyantir, makin mewimba”. Dr. Soedjoko,1992 Bandung, dalam sejarah perkembangan seni modern di Indonesia mempunyai peran yang khusus. Terutama dalam praktek seni lukis di lingkaran akademi atau Bandung school, yang mengajarkan berbagai praktek seni lukis modern barat. Tak disangkal , penulis Trisno Soemardjo di tahun 1954, pernah menuduh sekolah seni di Bandung sebagai laboratorium barat, karena mereka sangat khusyuk mempelajari seni lukis dari barat di studio, seolah tak terlalu peduli kepada apa yang terjadi didalam kehidupan sosial masyarakat sekitarnya , yang kala itu baru saja merdeka. Namun sejumlah para pelukis dari Bandung telah banyak menyumbang nilai artistik terutama corak abstraksi dan abstrak formalisme ke dalam sejarah seni lukis modern di Indonesia. Tentunya , dalam perkembangan kemudian, praktek seni lukis di Bandung juga muncul gaya melukis lainnya dengan berbagai pengaruh. Salah satunya adalah kemunculan gaya foto-realis pada dekade awal 2000-an. Era ini menandai juga dimana dimulainya maraknya teknologi foto dijital termasuk berbagai perangkat lunak seperti photosop yang semakin lazim digunakan untuk menggubah sebuah gambar. Para pelukis yang kemudian mengajar di lingkungan akademi, seperti Dikdik Sayahdikumullah mengembangkan karya-karya foto-realis dengan karakter memiuh atau menandai suatu kelainan optis; seperti pemandangan hujan dibalik kaca mobil. Karya-karyanya merepresentasikan cara pandang melalui mata teknologi yang global. Lalu apa yang dipraktekannya kemudian diikuti oleh para muridnya. Seperti munculnya kelompok Abstrak X, kemudian muncul generasi yang merespon perkembangan kemudian seperti kelompok Restart.
AGUNG FITRIANA DADAN SETIAWAN DIKDIKSAYAHDIKUMULLAH JABBAR MUHAMMAD HARRY CAHAYA GUNTUR TIMUR RADI ARWINDA REGGIE AQUARA WILLY HIMAWAN YOGIE ACHMAD GINANJAR
Diawal milenial perkembangan seni lukis di Bandung menunjukan tanda-tanda perubahan yang cenderung mulai meninggalkan teknologi foto sebagai sandaran dunia seni lukis atau referensi utama dalam membentuk lukisan, tetapi lebih mempertimbangkan aspek-aspek melukis seperti potensi formal : cat, bidang kanvas, goresan kuas, image dan yang muncul dari pertimbangan aspek melukis itu sendiri ketika dilakukan, seperti tekstur, efek warna, lelehan, garis dan lainnya. Para pelukis ini kembali bersemangat menggali aspek-aspek kemungkinan formal sebagai tindakan personal setelah era teknologi reproduksi. (Rifky Effendy, Kurator Pameran)
Beyond The Myths Pembongkaran mitos-mitos dalam konteks perkembangan sejarah seni rupa Indonesia. Oleh Rifky Effendy 1. Pada awal bulan Agustus 2018 lalu, telah dibuka secara resmi patung perunggu setinggi 121 meter karya pematung asal Bali yang tinggal di kota Bandung, Nyoman Nuarta. Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) kemudian ditasbihkan sebagai patung terbesar ketiga didunia, dan patung perunggu tertinggi didunia. Patung ini terlihat menjulang , bertengger diatas bukit Ungasan , diselatan pulau Bali. Tampak jelas dari berbagai lokasi , seperti dari jalan tol Mandara, dan Jimbaran. Bahkan menjadi perhatian para penumpang pesawat yang datang atau pergi dari bandara. GWK akan menjadi ikon baru bagi Bali bahkan Indonesia.
Curated by Ignatia Nilu and Rifky Effendy Artists: Adi Panuntun, Agan Harahap, Agung Mangu Putra, Agus Suwage, Arin Dwihartanto Sunaryo, Ashley Bickerton, Chusin Setiadikara, Dipo Andy, Eddi Prabandono, Eko Nugroho, Entang Wiharso, Filippo Sciascia, Galam Zulkifli, Handiwirman Saputra, Heri Dono, I Made Djirna, I Made Wianta, dan I Made Widya Diputra. I Made Wiguna Valasara, I Nyoman Erawan, I Nyoman Nuarta, I Wayan Upadana, Joko Dwi Avianto, Jompet Kuswidananto, Mella Jaarsma, Nasirun, Nu-Abstract {Agus Saputra, Dewa Ngakan Ardana, Gede Mahendra Yasa, Kemalezedine, Ketut Moniarta, Putu Bonuz}, Pande Ketut Taman, Samsul Arifin, Syagini Ratna Wulan ft. Bandu Darmawan, Uji Handoko Eko Saputro, Yani Mariani Sastranegara, Yoka Sara, dan Yudi Sulistyo.
Dalam pameran Art Bali pertama 2018 di ABBC, Nyoman Nuarta menampilkan model patung tersebut berskala 1:20 dari bahan kayu lapis berwarna perak. Didinding yang lainnya juga ditempelkan lini masa proses pembuatan patung tersebut, dimana digambarkan proses selama hampir 28 tahun perjalanan impian sang seniman harus dilalui, menempuh berbagai rintangan finansial, politik dan sosial maupun teknis. Patung Nuarta mematahkan sikap skeptisme terhadap mitos –mitos yang ada dalam budaya Bali, seperti persoalan ketinggian maupun secara nilai reliji Hindu-
isme dan kepercayaan yang tertanam dalam masyarakat Bali. Tema Art Bali pertama ; Beyond The Myths ingin menunjukan suatu gambaran perkembangan mutakhir seni rupa, baik di Bali, Indonesia maupun secara global. Karya-karya ini merepresentasikan bagaimana perubahan didalam praktek seni rupa kontemporer terkait dengan perubahan-perubahan sosial-politik dan ekonomi , baik di Indonesia maupun dunia. Memberikan makna baru dari cara pandang dunia yang baru, yang melampaui tanda-tanda, simbol yang termitoskan , baik yang dikonstruksi maupun secara arbitrer. Melalui periskop mitology, kita bisa membuka pemikiran kritis, dan melahirkan nilai kemanusiaan yang lebih modern. Mempertimbangkan yang ditawarkan oleh pemikir post-strukturalis Perancis ,Roland Barthes (Myth Today : 1957) bahwa mitos merupakan suatu sistem komunikasi, suatu narasi, wacana (speech). Dan mitos dibangun melalui meta-bahasa yang difungsikan untuk menaturalisasi nilai yang dibentuk dalam ruang sosial. Mendistorsi suatu proses pemaknaan. Semua berpotensi menjadi mitos. Senjata terbaik melawan suatu mitos adalah menciptakan mitos artifisial (artificial myth); “ sejak mitos merampok bahasa dari sesuatu. Mengapa tidak merampok mitos?�. 1 Mitos hari ini tidak melulu dalam bentuk dongeng dan cerita rakyat melainkan pada bentuk-bentuk media popular seperti sampul majalah, poster iklan, film dan musik. Dalam keseh-
arian masyarakat di Indonesia mitos tersembunyi dibalik simbol, narasi politik, dogma, bahkan ajaran leluhur atau agama, ilmu pengetahuan dan sain. Terutama terkait dengan lokasi dimana Art Bali diselenggarakan, pulau Dewata Bali, yang dikenal dengan lautan tanda-tanda, simbol dan sebagainya. Mitos sepertinya halnya hantu yang terus membuntuti sejarah modern manusia. Melalui penciptaan karya seni rupa , berbagai mitologi yang masih ada dalam kehidupan masyarakat dikupas, dibongkar ulang untuk dijinakan , dipereteli untuk kemudian menemukan nilai-nilai yang berbeda, yang baru dan yang kemudian nilai-nilai ini menjadi pijakan untuk melihat dan melompat kedepan. Para seniman mempunyai daya untuk berpikir alternatif, atau kritis terhadap arus kehidupan yang semakin digempur oleh informasi global. Bagaimana bentuk ungkapan seni rupa kemudian berinteraksi dari wacana kolonial, dengan munculnya ideologi nasionalisme. Hal ini disebabkan faktor perubahan kebijakan politik kolonial di Hindia – Belanda abad 20, yang mengijinkan kelompok elit pribumi tertentu untuk menikmati pendidikan cara Belanda. Kadang diiringi juga dengan peziarahan ke pusat-pusat kolonialnya. Dalam proses pendidikan di lembaga formal, mereka membaca buku-buku yang disediakan dalam ruang-ruang perpustakaan. Seperti yang diartikulasi dalam narasi kecil melalui karya instalasi Jom-
pet Kuswadananto berjudul “Jarahan” (2018) , karya ini bertolak dari ingatan sejarah lampau tentang kisah sekelompok warga sebuah desa di Madiun pada masa kolonialisme di akhir abad 19 yang mencuri kain tirai di rumah-rumah para pejabat kolonial supaya bisa mengintip perilaku-perilaku penghuninya, terutama pada malam hari. . Penjarahan atas lampu kristal menjadi metafor atas pengetahuan dan budaya yang kemudian diserap secara bebas oleh masyarakat pribumi. 2) Pengetahuan telah membuka lebar cakrawala kaum pribumi, digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer , lewat sosok fiktif yang ambivalen, Minke, dalam roman masyhur karangannya, “Bumi Manusia” : “ Salah satu hasil ilmu-pengetahuan yang tak habis-habisnya kukagumi adalah percetakan, terutama zincografi. Coba, orang sudah dapat memperbanyak potret berpuluh ribu lembar dalam sehari. Gambar pemandangan, orang besar dan penting, mesin baru, gedung-gedung pencakar langit Amerika, semua dan dari seluruh dunia – kini dapat aku saksikan sendiri dari lembaran-lembaran kertas cetak “ 3) 2. Penafsiran dan artikulasi pengetahuan kolonial menciptakan bayangan sebagian pribumi untuk menjadi sebuah bangsa yang mandiri, lepas dari kolonialisme. Tentunya didukung oleh kondisi sosial-ekonomi dan kebijakan Hindia-Belanda pada saat itu, yang tengah merekah menjadi permata di khatulistiwa. Kapitalisme cetak
yang pesat juga membentuk “museum – museum tanpa dinding” dimana para pemuda terdidik dengan khidmat memperhatikan citra – citra dari barat dan mengagumi seni rupa modernnya. Informasi tercetak inilah salah satu faktor utama penularan estetika barat ke dalam kehidupan intelektual masyarakat pribumi terdidik. Berbeda dengan masa sebelumnya atau abad 19 dimana mengakses dunia Barat hanya bisa dilakukan sedikit kalangan yang mempunyai keistimewaan, dengan melakukan kunjungan-kunjungan ke Eropa yang kosmopolit. Contohnya adalah Raden Saleh , (1807 – 1880), seorang keturunan bangsawan Jawa yang mendapat bimbingan melukis dari guru-guru Belanda, lalu mengalami alam Eropa dikemudian hari. Disinilah muncul proses, dimana karya-karyanya meniru (mimesis) lukisan-lukisan gaya klasik sampai romantisisme Eropa, hingga kemudian terjadi ‘perlawanan’ dalam perkembangannya kemudian, terutama dalam lukisan “ Penangkapan Diponegoro” (1857). Karya ini ia buat setelah melihat buah karya orang Belanda Nikoolas Pieneman (18091860) di Belanda, yang merekam penaklukan pemimpin perang Jawa, Pangeran Diponegoro tahun 1830, oleh tentara VOC. Lukisan ini merupakan bentuk ‘revisi’ dari karya lukisan Pieneman. Beberapa pengamat dan sejarawan kemudian berasumsi bahwa ada bentuk perlawanan politis dalam diri Saleh. Ketika ia, pada saat itu masih berada di Eropa, mendengar dan melihat kenyataan politik di Hindia – Belanda terhadap bangsanya di
Jawa. Tubuh dan wajah Saleh pun muncul pada lukisannya secara rampak , menjelma sebagai sang Pangeran , kusir , dan para pengawal dan pengikut yang bersimpuh. Karya Raden Saleh tersebut menjadi model metoda melukis dengan apropriasi terhadap karya seni lukis barat awal yang sangat jelas, bahwa peniruan juga kemudian menciptakan dimensi politis, membuktikan adanya upaya dari individu (bangsa terjajah) untuk mengartikulasikan kembali nilai yang ada (given). Mencerminkan adanya suatu watak keambivalenan dalam wacana kolonial. Bentuk yang disebut apropriasi seperti ini menurut pemikir post-kolonial, Homi K. Bhabha, bentuk representasi mimikri (mimicry), sebagai suatu strategi yang efektif, dan licin (elusive) terhadap pengetahuan dan kekuatan kolonial. Mimikri menjadi suatu representasi dari sebuah keberbedaan, yang didalamnya terjadi proses penolakan (disavowal). Maka mimikri adalah suatu artikulasi ganda, sebuah strategi rumit terhadap perubahan, peraturan dan disiplin, dengan ‘menyetarakan’ (appopriates) sang lain (the Other) sebagai bentuk kekuatan visual. 4) Lukisan kontemporer berjudul “Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906” karya Agung Mangu Putra yang dibuat tahun 2015 merupakan upaya penggambaran ulang atas peristiwa bersejarah di Denpasar, Bali. Ia tertarik kepada subyek sejarah masa perang karena terkait dengan sejarah keluarganya, terutama ayah dan paman-
nya yang kemudian ia tuangkan dalam serial karya bertema “sejarah” . Ia mengambil arsip foto-foto yang merekam peristiwa perang Puputan dari lembaga di Belanda atas bantuan seorang temannya, dan menyusun ulang foto-foto itu untuk dituangkan diatas kanvas. Tubuh Mangu pun hadir didalam lukisan itu menjelma sebagai seorang tentara Belanda, sehingga seperti peran seorang antagonis. Lukisannya tentang perang puputan mengingatkan kembali pendudukan Belanda atas kerajaan Badung yang membawa kepedihan yang luas dan mendalam, banyak keluarga kerajaan dibunuh dan bunuh diri serta seluruh puri Denpasar dibakar hangus. Dalam era- pasca modern ini, seputar isu seni seperti otentisitas, orisinalitas, keluhungan, kemandirian, kejeniusan, kemuliaan gagasan, bukanlah hal yang harus lagi jadi parameter atau menjadi keutamaan nilainya. Tetapi seni rupa menjadi praktek yang terkait dengan kekuasaan simbolik, serta modal, dan juga dipengaruhi oleh sistim yang menunjangnya. Maka risalah mendiang Walter Benjamin (1892 – 1940), menjadi begitu penting, dan sangat mempengaruhi pemikiran praktek seni dan kajian budaya kontemporer. Dalam esainya “ Seni Dalam Era Reproduksi Mekanik”, tahun 1936, ia mengemukakan, bahwa kemampuan teknologi reproduksi citraan secara masinal membawa dampak besar, bukan hanya terhadap tradisi metoda penciptaan karya seni, dan nilai-nilai hakiki dalam watak tradisi seni (elemen auratiknya), tetapi juga secara signifikan telah menggeser
cara pandang kita terhadap apa yang kita lihat, dan kita pahami. 5) 3. Sejarah seni rupa modern Indonesia barulah seumur negara Republik Indonesia ini berdiri, sejarah ini muncul dari ketegangan -ketegangan, negosiasi-negosiasi diantara pengaruh praktek seni lukis pada era kolonialisme dengan gerakan – gerakan intelektual muda pro-kemerdekaan yang terjadi pada kurun waktu 1910 hingga 1940-an.Setelah wafatnya Raden Saleh pada akhir abad 19, tak ada muncul pelukis pribumi hingga kemudian pada sekitar awal abad 20 banyak pelukis Eropa berdatangan ke Hindia – Belanda (nama era kolonial) dan mempraktekan seni lukis pemandangan. Mereka menyebar di kota-kota di Jawa, dan pulau Bali untuk melukis pemandangan alam yang brilian, dan mentransfer ilmu melukis realis mereka kepada para pemuda pribumi seperti Wakidi, Basuki Abdullah, Maspringadi dan lainnya, melalui “Kunstrking” (semacam komunitas seniman). Gaya melukis pemandangan inilah yang kemudian ditentang dan dipertanyakan oleh S. Sudjojono, pada tahun 1930-an dan menjuluki sebagai cara melukis hindia – molek (Mooi Indie), yang sudah harus ditinggalkan oleh para pelukis masa itu. Kritikus (Alm) Sanento Yuliman mencatat dalam risalahnya bahwa apa yang dinama seni rupa modern Indonesia bukanlah lanjutan dalam bentuk apa pun juga, jadi bukan transformasi - dari seni rupa tradisional kelompok etnis, sehingga seni rupa modern
bukan lanjutan seni rupa tradisional. Seni rupa modern Indonesia bagi Yuliman adalah seni rupa yang muncul dari kontak kebudayaan antara Indonesia dan Barat. Ia membagi kecenderungan seni lukis Indonesia Baru dalam tiga masa perkembangan: Masa Pertama berlangsung antara tahun 1900 hingga 1940-an. Dimana masa itu terjadi praktek melukis pemandangan alam atau dikenal sekarang sebagai “Mooi Indie”. Seperti karya pelukis ; Abdullah Surio Subroto (1878 – 1941), Maspirngadi (1865 – 1936), Wakidi (lahir 1889). Corak melukis pemandangan masa ini biasanya dicirikan menggunakan teknik realistik yang khas, Dalam Teknik ini perspektif harus diperhitungkan dan teliti. 6) Di Bali para pelukis dari Eropa seperti Walter Spies dan Rudolf Bonnet, juga membawa pengaruh pada praktek melukis pemandangan, bersama pelukis lainnya seperti Lempad dan kawan-kawan, dengan mendirikan kelompok Pita-Maha dimana mereka bersama pelukis pribumi mempraktekan seni lukis modern dengan pengaruh seni lukisan tradisional Bali. Praktek melukis ini masih kuat terutama dalam wilayah pasar industri turisme. Tetapi beberapa seniman saat ini melawan arus industri turisme dan menemukan elaborasi baru, seperti karya lukisan I Made Djirna , (Mencari Yang Hilang, 2014), walaupun digarap secara modern tetapi mempunyai akar kental dengan lukisan tradisi di Bali seperti gaya Ubud, terutama tema yang didasari cerita Ramayana. Dengan komposisi padat , diseluruh bidang kanvasnya , disertai tekstur
dan warna yang memikat, menjadikan karyanya bentukan baru dari karya sastera klasik. Berbeda dengan Nyoman Erawan yang menunjukan keberanian melibatkan elemen – elemen material tradisi keseharian seperti rambut barong, kertas dari kitab yang dilapisi resin dan lainnya. Karya instalasi mixed media berjudul Cosmic Dance (2016-18), menurutnya bukan untuk menggambarkan representasi tentang dunia terlihat yang kita alami secara biasa, melainkan tentang sebuah ekspresi aktual untuk merepresentasikan ‘rasa yang tak terlihat’ ( Unseen feeling) dan ‘daya kreatif ‘ (Kreative Power) yang dihayatinya, berkaitan dengan rasa dan daya yang juga di miliki pihak yang menikmatinya. Ia mengelaborasikan nilai keagamaan dengan melibatkan persepsi audiens melalui garapan rupa dan material , antara yang tersentuh dan yang dianggap gaib atau spiritual. 7) 4. Hari-hari ini merupakan masa dimana ranah teknologi informasi dan reproduksi semakin canggih, menciptakan cakrawala global yang melampaui batas-batas geografis, geopolitik dan budaya. Fase ini dianggap beberapa pengamat sosial - budaya sangat krusial, karena terjadi lompatan, serta percepatan informasi yang luar biasa dalam kehidupan manusia sekarang, yang masih tak seimbang. Beragam citraan memasuki ruang-ruang pribadi melalui media televisi, internet maupun media sosial lewat telepon pintar. Cakrawala tanpa batas ini diistilah-
kan sosiolog Arjun Appadurai sebagai technoscape dan mediascape, karena derasnya sirkulasi informasi dan teknologi media akhirnya mampu membentuk kenyataan lain dan berpotensi menyingkirkan / menutupi kenyataan sebelumnya . 8) Seni rupa memasuki era dimana terjadi serba ketakpastian asal-usul, seperti memasuki lorong Platonik. Imaji dalam pencanggihannya saat ini punya kapasitas untuk berinteraksi dengan makna-makna lain secara bebas. Tanda-tanda budaya bercampur-aduk, hibrid, bermutasi menjadi tanda yang berdiri sendiri, tanpa struktur yang pasti dan terbaca jernih. Upaya membongkar ulang sejarah maupun tanda-tanda , simbol dari kehidupan sekitar untuk memahami masa lalu dan hari ini, dengan cara pandang baru dan menemukan nilainilai yang lebih mutakhir, yang sesuai dengan perkembangan jaman. Para seniman mempunyai keistimewaan untuk mengusik, memaknai ulang simbol-simbol, nilai-nilai yang telah ajeg atau mapan, dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat didalam memori paling dalam sekalipun. Maka didalam pameran Art Bali pertama ini kita diajak menjelajah ke masa lalu dan masa kini melalui berbagai bentuk ekspresi para seniman , untuk kemudian menjadi bahan permenungan dalam menjajaki masa depan. (***) Catatan Kaki: 1. Barthes, Roland. Myth Today. A Roland Barthes Reader. Edited by Susan Sontag. Vintage. 1993. London. Hal. 123.
2. Pernyataan Seniman, Oktober, 2018 3. Buku roman “Bumi Manusia” karangan Pramoedya Ananta Toer (1925 – 2006) ,diterbitkan kembali tahun 2005, oleh Lentera Dipantara. Jakarta. Baca juga “ Imagined communities “ , Benedict Anderson melihat contoh Nasionalisme Indonesia adalah suatu apropriasi terhadap dunia modern Eropa dengan cara berbeda dan unik. Maka ia menyimpulkan bahwa kemodernan (nasionalisme) di Indonesia dianggap punya watak yang khas dan “orisinil”. 4. Lihat, Homi K. Bhabha, Mimicry of Man , Location of Culture. Routledge , London. 1994. Hal. 85 – 86. 5. The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction. 1936. From Walter Benjamin, Illuminations, 1968, edited by Hannah Arendt. 6. Sanento Yuliman Dua Seni Rupa Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman. Editor Asikin Hassan. Yayasan Kalam. Jakarta. 2001. 7. Pernyataan seniman, Nyoman Erawan, Oktober 2018. 8. Appadurai, Arjun. Disjuncture and Difference In the Global Cultural Economi. The Cultural Studies Reader. Edited by Simon During. Routledge. London. 1993. Hal. 222 – 223.
I Ketut Teja Aswata (Bali), I Nengah Sujena (Bali), I Nyoman Arisana (Bali), I Putu Suanjaya (Yogyakarta), I Putu Wirantawan (Yogyakarta), I Wayan Suja (Bali), Iabadiou Piko (Yogyakarta), Iqi Qoror (Yogyakarta), Kadek Ardika (Bali), MA Roziq (Yogyakarta), Maharani Mancanegara Bandung), Meliantha Muliawan (Yogyakarta), Natisa Jones (Bali), Ngakan Putu Agus Arta Wijaya (Yogyakarta), Ni Luh Pangestu Widya Sari (Bali), Putu Sastra Wibawa (Bali), Putu Wirantawan (Bali), Radhinal Indra (Bandung), Rendy Raka Pramudya (Bandung), Restu Ratnaningtyas (Yogyakarta), Restu Taufik Akbar (Bandung), Ronald Apriyan (Yogyakarta), Satya Cipta (Bali), Slinat (Bali), Taufik Ermas (Yogyakarta), Theresia Agustina Sitompul (Yogyakarta), Wayan Novi (Yogyakarta), and Willy Himawan (Bandung).
Celebration of The Future / SELAMATAN MASA DEPAN Masa depan adalah suatu kredo manusia dan peradaban melangkah kedepan , bagaimanapun samar dan selalu tak pasti, “masa depan” selalu menjadi tujuan kolektif setiap masyarakat atau bangsa. Bisa optimis maupun pesimis, karena “masa depan” bukanlah mistik , tapi selalu mengandung jejak masa lalu dan sekarang. Gerakan avant-garde dalam sejarah seni modern dunia menjadi suatu penanda bahwa seni, seniman dan karya seni selalu bergerak melihat masa depan. Di Indonesia, para seniman dipercaya memberi sumbangan kepada gerakan – gerakan kemerdekaan dan kebangsaan, sejak era revolusi , seperti PERSAGI di akhir 1930-an, hingga ketika munculnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia di era 1970-an. Maupun gerakan reformasi diakhir 1990-an. Pameran Selamatan Masa Depan (Celebration of the Future) akan menyertakan para seniman generasi muda dengan karya- karya beragam medium dengan dilandasi berbagai pemikiran, ungkapan tentang berbagai nilai didalam masyarakat dan masa depannya, terutama terkait dengan keberagaman nilai-nilai kemanusiaan dan budaya, reliji dan persoalan suatu bangsa ditengah pusaran globalisasi. (Rifky Effendy)
Balinese Masters Lintasan D.N.A Estetik Seni Rupa Bali Rerajahan, gambar , seni lukis , pahat dan arsitektur Bali mempunyai tempat tersendiri dalam perkembangan dunia seni rupa di Indonesia, maupun global. Bentuk kesenian di Bali muncul, tumbuh dan tetap lestari karena telah menjadi bagian kehidupan masyarakatnya, mulai untuk ritual keagamaan maupun adat –istiadat sejak berabad – abad lalu, kemudian berinteraksi dengan berbagai aspek perubahan sosial , ekonomi dan nilai-nilai budaya , didalam masyarakat di Bali maupun yang datang dari luar Bali, dikembangkan secara kolektif maupun individual. Pameran Balinese Masters: Lintasan D.N.A Estetik Seni Rupa Bali , mencoba meneropong pencapaian estetik seni di Bali dan mempertimbangkan kembali praktek artistik sebagai penelusuran rupa atau visual di dalam konteks : ritual keagamaan, budaya maupun aktivitas sosial dan ekonomi di Bali dengan melepaskan diri dari pandangan kanonik yang mendikotomi , menerobos sekat-sekat paradigma lainnya. Alih-alih untuk mempertimbangkan praktek seni rupa Bali dalam formasi seni rupa Indonesia maupun global. Dalam kurun waktu tertentu sejarah (seni) dan budaya di Bali, telah terjadi perubahan akibat sistim kekuasaan, tegangan sosial-politik- ekonomi dan terobosan-terobosan yang dilakukan para pelaku kesenian dan pasar . Sehingga muncul bentuk – bentuk seni rupa yang khas, baik yang masih mewarisi seni klasik pra-modern, awal kemodernan seperti: era Pita Maha maupun dengan semangat yang akademik modern seperti gerakan Sanggar Dewata Indonesia dan praktek seni kontemporer. Bentuk-bentuk estetik tersebut tetap hadir dan lestari dalam masyarakatnya, sehingga masih bisa melihat berbagai spektrum estetik seni rupa Bali. Dengan kepekaan atau sensibilitas serta, keterampilan tangan (craftsmanship) yang ulung atau kemasteran dalam mengolah rupa dan material, serta mencerap berbagai nilai dilingkungannya.
Agung Mangu Putra, Dewa Putu Mokoh, Dewa Ratayoga, Gede Mahendra Yasa, I Made Budi, I Made Djirna, I Made Sumadiyasa, I Nyoman Tusan, I Wayan Sika, Ida Bagus Putu Purwa, Ida Bagus Rai, dan IGAK Murniasih. Kadek Armika, Kedol Subrata, Ketut Budiana, Ketut Moniarta, Made Budhiana, Made Griyawan, Made Wianta, Mahendra Mangku, Mangku Mura, Mangku Muriati, Mangku Nyoman Kondra, Nyoman Erawan, Nyoman Gunarsa, Nyoman Nuarta, Putu Sutawijaya, Putu Wirantawan, Wayan Bendi, Wayan Karja, Wayan Sujana Suklu, dan I Ketut Muja
Melalui pameran Balinese Masters: Lintasan D.N.A Estetik Seni Rupa Bali, kita bisa menyoroti berbagai pencapaian estetik dan artistik para pelaku berdarah Bali, baik yang tinggal di Bali maupun di luar Bali. Dalam bentuk seni gambar, lukisan, pahatan patung kayu, logam maupun batu, hingga garapan berbagai seni instalasi. Dengan kecenderungan estetika dan ragam corak artistik, apakah bergaya tradisi seperti Kamasan , Batuan ,Ubud, yang modern serta kontemporer. Mulai dengan kecendrungan mengolah simbolisme , realisme, surealistik, mistisisme , ekspresionistik, dekorativisime , formalisme, abstraksi hingga fotorealistik maupun berbagai perpaduannya. Mengiringi pameran ini disajikan berbagai teks dinding dari berbagai sumber dan bahan bacaan untuk memberikan informasi dan acuan-acuan kepada karya-karya yang dipamerkan. Sebagian karya-karya pameran ini meminjam dari para seniman, keluarga, lembaga dan museum. Pameran “Balinese Masters: Lintasan D.N.A Estetik Seni Rupa Bali”, dikuratori oleh Rifky Effendy , berkolaborasi dengan para narasumber penting seperti : Jean Couteau, Agung Rai, Hardiman Adiwinata, Elmondo Zanolini, I Made Aswino Aji , Satya Cipta, Wayan Sujana Suklu, dan Soemantri Widagdo (Titian Space).
ART BALI | 2019 Speculative Memories (Ingatan-ingatan Spekulatif) Melalui edisi kedua ditahun 2019 — ART BALI terus mencoba untuk mengembangkan sebuah moda eksplorasi atas ruang sebagai titik perjumpaan antara wacana seni rupa global dengan budaya Indonesia dengan penikmatnya. Berangkat dari gagasan Beyond The Myths (Melampaui Mitologi) sebagai bentuk pembongkaran narasi, pemikiran dan praktik yang termitoskan pada Seni Rupa di Indonesia kami mencoba untuk mengelaborasikan pemikiran ini dalam membaca situasi yang terjadi di hari-hari ini, baik secara nasional maupun global, secara sosial, maupun politik, secara material maupun secara virtual. Multipolar dan desentralisasi adalah kenyataan dunia baru di hari ini. Dunia menjadi terkoneksi dengan hadirnya IoT(Internet of Things) yang muncul pada 1989 melalui diluncurkannya platform world wide web (www) yang kita kenali dengan situs web oleh CERN di tahun 90-an. Informasi, pengetahuan dan kesempatan menjadi tidak terbatas geografis dan kelompok tertentu, Namun juga memasuki wilayah Open culture, creative common yang menjadi tonggak kebangkitan demokratisasi dan liberasi baru di era siber, dunia menjadi transparan dan tanpa batas. Dalam dunia yang serba transparan dan tanpa batas di era-siber dan kehadiran mesin, robot, artificial intelegence and kehadiran script dengan sistem otomomatisasi atau sering disebut periode post-human, sekonyong – konyong dunia terbuka lebar dan memberikan banyak pengetahuan dan informasi yang seolah baru dan hal-hal yang tersembunyi. Tetapi disisi lain , banyak muncul kekhawatiran kepada persoalan – persoalan yang mendasar dalam nilai-nilai kemanusiaan. Kemunculan neo-tribalisme, neo nasionalis, fundamentalisme dan radikalisme agama dan lain sebagainya. Melalui banyak studi kasus, dunia secara lingkungan nasional maupun global tengah mengalami transisi dan konfigurasi baru yang tidak dapat dijauhkan dari konflik dan pengrusakan alam alamiahnya dan alam sosialnya. Tanda jaman yang disebut post-human menciptakan ruang spekulatif yang sebelumnya tidak pernah diprediksi menjadi realitias yang akan nyata
kita alami di ruang sehari-hari. Tantangan atas peperangan sipil yang tergantikan oleh perang siber, terorisme siber, black hat hacker dan narasi atas kecerdasan buatan yang mengancam ruang privat dan keamanan publik hari ini. Adalah sebagian dari tantangan yang menjadi ruang spekulasi, khususnya jika kita telah terkonstruksi oleh pemikiran realism bagaimana pembacaan akan fenomena berasal dari perjumpaan dari interaksi manusia dan benda. Dan ruang di sekililingnya masih menjadi ruang spekulasi. Nampaknya hal ini tengah terjadi di hari-hari ini dan kita membutuhkan alat baca dan pemahaman baru untuk dapat mengatasi krisis di segala lapisan persoalan manusia di jaman ini. Dengan dilandaskan dengan pembacaan komprehensif atas kesejarahan bangsa dan identitas nya. Ingatan kita atas identitas bangsa dan sejarah kerap kali membawa kita atas ketakutan atas menjadi identitas baru di era siber. Dan disisi lain, kita menghadapi paradox atas ketakutan atas menjadi Negara pinggiran atas dinamika dunia secara global. Mampukah kita menerawang masa depan dengan menterjemahkan ingatan kita atas sejarah, sosial, politik, ekonomi, filsafat, nilai budaya dan kearifan lokal yang kita miliki menjadi sebuah kekuatan baru dalam pertumbuhan seni kontemporer yang progresif? Apakah ini mencerminkan kegagalan modernisme dan globalisasi ? modernitas – global sebagai suatu mitos baru dalam kehidupan budaya hari-hari ini , tidak menunjukan suatu pencerahan kepada sebagian masyarakat dunia. Bahkan sebaliknya, telah menumbuhkan budaya resiko yang didasari kekhawatiran melihat masa depan dunia. Mengikis kesadaran nilai-nilai budaya lokal dalam berbagai sendi kehidupan. Seni sebagai suatu gerakan budaya, sosial dan kemanusiaan ditantang lebih untuk menciptakan jembatan kepada nilai-nilai tersebut atau menunjukan peran didalam suatu masyarakatnya. Melalui karya-karya dalam Art Bali 2 – 2019, berbagai persoalan yang ada di balik berbagai mitos atas dunia modern dan global akan menjadi pemikiran atau wacana-wacana untuk menemukan dan memberikan pencerahan kepada nilai budaya, sosial, reliji didalam kehidupan hari-hari ini. (Curators: Ignatia Nilu dan Rifky Effendy)
Seni Kontemporer dalam Masyarakat A-historis Oleh Rifky Effendy “ Budaya Jawa bisa dipahami sebagai budaya yang sangat terbuka untuk pengaruh budaya asing. Sejak ribuan tahun lalu budaya masyarakat di wilayah ini mengalami evolusi dan pengaruh dari berbagai kebudayaan. Jelas percampuran berbagai budaya ini memang bisa dilihat dalam budaya Jawa yang dominan. Berbagai elemen kebudayaan asing dipadukan secara sedemikian rupa lalu menjadi percampuran budaya yang sinkretik. Maka sifat budaya disini menjadi hybrid dan bisa dikatakan menempati kategori tersendiri.”. (Arahmaiani, 2014) 1)
ini Borobudur selalu didatangi penganutnya dari seluruh dunia pada setiap hari Waisyak. 2) Nilai-nilai luhur Buddhisme dimasa Borobudur didirikan, yang paling penting adalah nilai toleransi kepada nilai dari kepercayaan lainnya dan memberi ruang yang luas kepada pemahaman manusia dan alamnya. Disekitar Borobudur masih berdiri berdampingan dengan candi-candi Hindu seperti Prambanan dan lainnya. Namun dikemudian hari nilai-nilai tersebut tenggelam bersamaan dengan terkuburnya candi tersebut. Nilai-nilainya pun tersembunyi dan terlupakan karena kepentingan-kepentingan: kolonialisme maupun untuk tujuan kekuasaan – kekuasaan tertentu setelah masa itu. 3)
Diatas adalah cuplikan tulisan seniman Arahmaiani dalam pencarian spritualitas dengan mengunjungi berbagai tempat di Indonesia maupun luar negeri, yang bekerja dengan berbagai komunitas. Perjalanan ini ia presentasikan melalui Flag Project (2006- sekarang) , yang dimulai sejak 2006 hingga sekarang. Dalam perjalannya, ia menemukan kejutan, salah satunya ketika ia berada di Tibet. Alih-alih untuk mempelajari ajaran-ajaran Budhisme melalui seorang Biksu disana, justru sang Biksu memberitahu Iani bahwa leluhur mereka telah mempelajari ajaran-ajaran Buddha dari wilayah Nusantara.
Melalui edisi kedua ditahun 2019 — ART BALI terus mencoba untuk mengembangkan sebuah moda eksplorasi atas ruang sebagai titik perjumpaan antara wacana seni rupa global dengan budaya Indonesia dengan penikmatnya. Berangkat dari gagasan Beyond The Myths (Melampaui Mitologi) sebagai bentuk pembongkaran narasi, pemikiran dan praktik yang termitoskan pada Seni Rupa di Indonesia, kami mencoba untuk mengelaborasikan pemikiran ini dalam membaca situasi yang terjadi di hari-hari ini, baik secara nasional maupun global, secara sosial, maupun politik, secara material maupun secara virtual.
Menurut Iani , ada beberapa fakta sejarah bahwa perkembangan ajaran Budha subur di era Sriwijaya (sekitar 600 -an hingga 1100-an Masehi). Dengan penemuan reruntuhan bangunan bata merah disekitar Muar0-Jambi , yang dipercaya oleh arkeolog sebagai kompleks bangunan universitas Buddha terbesar dan terpenting. Selain itu juga fakta bahwa Candi Borobudur menjadi pencapaian paripurna era Buddha , yang hingga saat
Dalam dunia yang serba transparan dan tanpa batas di era-siber dan kehadiran mesin, robot, artificial intelegence and kehadiran script dengan sistem otomatisasi atau sering disebut periode post-human, sekonyong – konyong dunia terbuka lebar dan memberikan banyak pengetahuan dan informasi yang seolah baru dan halhal yang tersembunyi. Tetapi disisi lain , banyak muncul kekhawatiran kepada persoalan – persoalan yang mendasar
dalam nilai-nilai kemanusiaan. Kemunculan neo-tribalisme, neo nasionalis, fundamentalisme dan radikalisme agama dan lain sebagainya. Melalui banyak studi kasus, dunia secara lingkup nasional maupun global tengah mengalami transisi dan konfigurasi baru yang tidak dapat dijauhkan dari konflik dan pengrusakan alam alamiahnya dan alam sosialnya. Tanda jaman yang disebut post-human menciptakan ruang spekulatif yang sebelumnya tidak pernah diprediksi menjadi realitias yang akan nyata kita alami di ruang sehari-hari. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia , terutama ketika iklim sosial-politik memanas dibeberapa tahun terakhir, berkelindan kepentingan politik yang memanfaatkan berbagai cara untuk mendapatkan pengikutnya. Salah satunya adalah melalui ajaran dan nilai agama. Seperti yang representasikan oleh karya Kemalizedine , berjudul Bloodline (2019), instalasi lukisannya berangkat dari munculnya isu – isu seputar gejala fundamentalisme , khususnya kelompok fanastik Islam. Kemunculan tokoh-tokoh keagamaan terutama dari hari-hari ini banyak menggunakan identitas ke-arab-an terutama dari kelompok-kelompok yang disebut ‘wahabian’. Identitas Islam (Arab) yang digunakan mulai dari penamaan, predikat atau panggilan (seperti “Habib”), penampakan, cara berpakaian , bahasa keseharian , hingga berbagai perhiasan , bahkan bentuk -bentuk arsitektur. Tak segan di dinding rumah-rumah mereka dihiasi dengan kaligrafi Arab atau silsilah yang mendekatkan kepada leluhurnya sebagai tokoh penting seperti para Kahlifah ditanah Arabia. Bahkan secara vulgar menunjukan bahwa ada garis keturunan dengan sosok Nabi Muhammad SAW. Identitas ke-Arab-an ini menjadi gejala yang kemudian diangkat oleh sang seniman dengan menggambarkan dirinya atau menjelma
menjadi “tokoh-tokoh” maupun figur para leluhur tersebut atau semacam fetishisme. Kecenderungan ini menjadi gajala penyucian, legitimasi diri bagi kelompok tersebut di dalam kehidupan masyarakat muslim. Situasi a-historis yang kemudian dikanonkan atau diviralkan melalui sosial-media atau dikenal istilah hoax, menjadi gejala yang merasuk dalam sendi-sendi kehidupan.Seniman media, Deden Hendan Durahman tertarik menciptakan “ruang artifisial” yang tidak hanya memaksa batas realita dan ilusi kedalam kesamaran, tetapi juga memiuhkan (distorsi) - bahkan membuat pemirsa berpikir lebih lama untuk menyadari, karena subyek bahasannya tidak tampak secara eksplisit. Menurut kritikus Aminudin Th. Siregar; Lingkup karya fotografi Deden adalah gejolak sosial-politik dan budaya yang sedang melanda Indonesia saat ini. Dinamika ini tentunya juga berlaku secara global. Dalam hal ini, memproduksi kebohongan melalui berbagai citraan, sedang dihadapi bangsa Indonesia ibarat kanker yang akut. Dalam budaya visual sekarang, orangorang tidak bisa lagi menyaring mana realita yang diciptakan melalui kebohongan dan mana yang tidak. Melalui proyek fotografi Look // After , Durahman setidaknya ingin menyampaikan fenomena ini. Ia menawarkan suatu untuk merefleksi makna kebenaran dalam bayang - bayang kebohongan di era “Pasca kebenaran/Post Truth”. Seperti yang Deden kemukakan untuk proyek ini, “ budaya visual dalam ruang siber harus juga dikritik karena itu mengasingkan kita dari kebenaran - meski ia hanyalah konstruksi.” 4) Sebagian dari karya yang hadir di edisi Art Bali tahun ini menampilkan galian atas narasi mereka atas juktaposisi dari modernitas dan cita-cita dari modernitas. Konteks ini coba dibangun dari kemungkinan atas waktu yang lalu. Pemahaman
atas sejarah begitu luas. Ia mencermati persoalan manusia, persoalan alam, persoalan kisah nenek moyan dan leluhur, Identitas bangsa juga soal spiritualitas . yang menjadi ideologi yang dipegang oleh entitas budaya dan bangsa. Para seniman disini mencermati banyak fenomena serta dinamika yang aktual, mulai dari isu agama, sosial-politik nasional-global, identitas budaya lokal-global, krisis lingkungan, sejarah dan lain sebagainya . Mereka menyuarakan narasi personal dari banyak generasi yang berbeda. Kita sedang berada pada teknologi yang begitu cepat, tidak terbatas, transparan namun sekaligus melahirkan banyak pemahaman serta tindakan yang sewenang-wenang (arbiter). Ditengah dinamika sosial yang bergerak cepat, kita tengah berhadapan dengan persaingan dengan komputasi, sistem automasi internet dan pertanyaan lainnya atas posisi manusia atas alam. Karya-karya seperti instalasi struktur bambu seniman Wayan Sujana Suklu, berjudul Alfabet Moles (2019) menjadi suatu rangkaian symbol yang didasari dari sisi spiritual budaya atas materi alam yakni molekul, yang telah menciptakan semesta dan bisa berwujud benda padat atau cair, manusia maupun hewan dan tumbuhan. Dimana menurut Suklu, Alfabet Moles adalah sebentuk rupa dikendalikan gagasan tentang signal-signal memori yang ingin bicara tentang kesatuan manusia. 5) Tanaman Bambu dalam konteks budaya di Bali maupun budaya Nusantara lainya adalah tanaman yang fungsinya menyeluruh yang bisa dimanfaatkan oleh manusia, mulai akar hingga daunnya. Tetapi disisi lain kehidupan budaya material tradisi pun terancam oleh perkembangan jaman yang instan, tak terkecuali di Bali. Budaya material dalam konteks industri dan konsumerisme menjadikan ingatan-ingatan kepada benda-benda keseharian mendorong kepada fetishisme seperti se-
rial karya patung Faisal Habibi , This Thing (2019) yang merupakan respon kepada kesehariannya dalam berinteraksi lewat benda-benda disuper market dan lainnya, obyek dan ruang saling mengkonstruksi, akhirnya ia memiliki pemahaman yang lain dari obyek itu sendiri. Menurut penulis dan kurator Roy Voragen ; Faisal menginterogasi budaya semacam itu dengan keleluasaannya bermain sembari mendudukkan obyek-obyek dan fungsionalitasnya secara kritis sedemikian rupa sehingga keduanya telah mendominasi kehidupan kita sehari-hari sampai pada titik saat obyek tampil sebagai perantara dalam interaksi hubungan kita dengan orang lain. Kita, pada gilirannya, mengidentifikasikan (diri) dengan fetish semacam itu, yang sebenarnya menghalangi subyektivitas dan agensi sosial. Interogasi kritis semacam ini mengambil wujudnya dalam bentuk munculnya perubahan dan penyesuaian dalam tataran ergonomis, yang memicu kita untuk memulai kembali sebuah perbincangan dengan obyekobyek sehari-hari, dan, dengan demikian, dengan diri dan tubuh kita sendiri. 6) Kecenderungan perubahan budaya material juga menjadi tema yang banyak diangkat terutama terkait dengan kehidupan reliji. Karya instalasi patung seniman I Made Palguna “God Is Above’ (2019) , membuat tempat sembahyang Hindu-Bali yang memancarkan cahaya ketika audiens memasuki ruangan. Ia menyinggung perubahan pola beragama. Ia menyatakan, “Dewasa ini perkembangan iman dan keagamaan kita “meningkat” seiring pesatnya perekonomian masing – masing individu. Hingga pemahaman akan ketuhanan pun mulai bergeser lebih cenderung ke fisik dan material. Sehingga mempunyai tempat sembahyang atau ibadah menjadi sebuah acuan akan sebuah “ ketebalan “ iman dan keyakinan kepada Tuhan.” (7)
Sedangkan disisi lain resistensi kepada budaya tradisi ditunjukan olej seniman muda Putu Marmar Herayukti berjudul “Pejuang Adat” (2019), yang disimbolkan melalui penggambaran beberapa manusia diatas perahu yang sedang digulung ombak, menurutnya, “ Sekarang jiwa-jiwa pejuang telah hadir di benak hati , untuk menegakkan daulat adat kembali yang telah lama disalah arti , untuk mengarungi lautan dan menaklukan gelombang dengan kapal kecil yang “Beradat dan beradab” dan dengan tata laku swadarma (jujur terhadap keahlian) serta bertujuan menciptakan kembali rasa saling menghormati karena sadar bahwa tentram dan damai bukan bukan daya cipta bala tentara namun sejatinya adalah hasil prilaku bijak dan bajik yg bernaung dan bergema dari dalam jiwa”. 8) Karya-karya terkait dengan persoalan adat dan budaya serta reliji merepresentasikan bagaimana para seniman memberikan perhatian kepada perubahan-perubahan yang ada disekitar dimana para seniman hidup, tak terkecuali karya-karya seniman internasional. Seperti seniman Jepang, Takashi Kurabayashi yang menghadirkan instalasi berbentuk seperti kubah masjid hybrid pelat stainless, yang menyoroti bagimana kita harus melihat dengan cara berbeda, melihat yang tak-tampak disekitar kita , yang mungkin sangat berbahaya. Karya “Kubah Reaktor Nuklir” (2017) dan instalasi jendela kaca patri “ NOT SEE” (2017), merupakan respon dari dinamika sosial-reliji ketika melihat masyarakat dimana ia tinggal di Yogya. Karya-karya para seniman yang ditampilkan pada Art Bali 2019 telah melahirkan wacana yang menyangkut politik, reliji, sosial, ekonomi, perubahan iklim dan lainnya . Ia membentuk realitasnya dengan berbagai penggalian kemungkinan ekplorasi artistik, serta ingatan atas garis waktu
yang lampau , memiliki perspektif yang tidak melulu dinyatakan oleh kekuasaan yang besar, tetapi menampilkan potongan berbagai narasi kecil yang personal, yang telah terpendam, terhanyut, tersangkut dan dapat tergali kembali, ditemukan dan dihadirkan saat ini bersama kita. Dari sini, kita dapat melihat bersama berbagai kisah dan kenyataan yang tidak melulu linier, kerap kali liris tapi berperan bersama dalam menubuhkan perjalanan atas kemanusiaan dan hidup bersama. *** 1) Catatan Arahmaiani : SURAT UNTUK SEORANG BIKSU ( 18 Maret 2011) 2) satu artikel oleh Risa Herdahita Putri menyebutkan ; Arkeolog Agus Widiatmoko menguraikan pusat-pusat pendidikan Buddha di India muncul sejak awal masehi. Ditandai dengan adanya Situs Piprahwa dari abad 1 dan 2 M, Situs Nagarjunakonda abad 3 M, Situs Ganwaria dari abad 4 M, dan Situs Nalanda yang didirikan masa pemerintahan Gupta pada abad 5 M. Masa Gupta, ditandai dengan pendirian tempat pendidikan Nalanda yang membawa ajaran Buddha memasuki era sumber ilmu pengetahuan. Memasuki abad 6 M, tak hanya dikenal dengan institusi Buddha yang menghasilkan karya seni, Nalanda juga menjadi pusat ajaran Mahayana.(..) Di antara universitas itu, Nalanda menjadi unggulan dan acuan. “Pusat-pusat pendidikan itu telah mempengaruhi ajaran Buddha di Nusantara,” kata Agus dalam pidato kebudayaan yang berjudul “Hubungan Muoro Jambi, Nalanda, Vikramasila dan Candi Borobudur” di acara Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta, Kamis malam (23/11). Sumber: https://historia.id/kuno/articles/tempat-pendidikan-buddha-di-nusantara-PdWzl. Diakses 22 Oktober 2019. Catatan Kaki: 1) Catatan Arahmaiani : SURAT UNTUK SEORANG BIKSU ( 18 Maret 2011) 2) Wawancara dengan Arahmaian , Lembang , 17 Agustus 2019 3) Tulisan Aminudin TH. Siregar untuk pameran tunggal Deden Hendan Nurahman di Braunsweigh , Mei 2019. 4) Pernyataan I Wayan Sujana Suklu, Oktober 2019. 6) Pengantar Kuratorial oleh Roy Voragen , pameran Tunggal Faisal Habibi; This is not an apple faisal habibi at roh projects, Published on Nov 29, 2015 7) Pernyataan Seniman , I Made Palguna, Oktober 2019. 8) Pernyataan Seniman, Putu Marmar Herayukti. 2019
Konstelasi Benda-Benda Cara kita berhubungan dengan benda-benda didunia tak lagi sebagai akal murni yang mencoba menguasai sebuah obyek atau ruang yang berdiri di hadapannya. (Marleau – Ponty disadur oleh Goenawan Mohamad). 1)
KONSTELASI BENDA - BENDA Eddi Prabandono, M. Irfan, Andy Dewantoro 6 February - 6 April 2020
Karya-karya tiga seniman yang dipamerkan di Galeri Semarang ini begitu memikat dengan menghadirkan rangkaian benda-benda yang mungkin pernah ada didalam benak maupun kita temui langsung disekitar kita. Melalui suatu rangkaian obyek temuan atau obyek gubahan yang didasari benda keseharian atau kekonkritan, maupun dengan menghadirkannya kembali ke dalam bentuk lukisan. Ketiga seniman ini mempunyai kesamaan dalam melihat obyek atau benda saat ini, tapi sekaligus berbeda dalam mengolah artistik dan tujuan masing-masing. Dalam konteks praktek seni kontemporer persoalan pengalaman dan interaksi manusia modern dan benda-benda industri, apakah yang terkait den-
gan produksi maupun konsumsi menjadi salah satu subyek yang seringkali muncul menjadi subyek utama para seniman. Maka seperti yang diungkapkan oleh kurator Ralph Rugoff bahwa seni bisa lebih dari suatu bentuk dokumen dari jamannya, bagaimana bisa seorang seniman menarik kesimpulan – kesimpulan tentang momentum dimana kita hidup di era – merujuk pada sejarawan Henry Focillon 80 tahun lalu - tidaklah “singular dan juga homogen” dan mencakup keberagaman citraan (images) dan kontradiksi yang tajam ?” 2) Ketiga seniman ini, hidup dan mencerap berbagai citra dan nilai benda-benda disekitarnya, bukan hanya dalam interaksi atau pengalaman langsung atau empiris, tetapi juga dalam serangkaian pengalaman virtual atau imajiner . Karya-karya Eddi Prabandono menggabungkan beberapa benda-benda industri menjadi sebuah patung atau obyek. Kadang benda-benda tersebut mempunyai konteks yang khas dalam suatu masyarakat dan waktu, menjadi suatu ingatan
kepada sejarah , kejadian dan bahkan menjadi Bahasa. Kontradiksi tanda-tanda budaya kontemporer dalam konstelasi benda-bendanya Eddi diterapkan dalam sebuah karya instalasi berjudul “Sweat and Luxury” (2018) berupa becak yang digabung dengan lampu-lampu gantung (chandelier). Becak yang diasosiasikan dengan kendaraan umum terutama di Yogyakarta dan kota-kota lain, dikendarai oleh golongan kelas bawah, dipadu dengan gantungan lampu yang diasosiasikan dengan kemewahan golongan kelas atas masyarakat di Indonesia. Gabungan simbol kontradiktif seperti ini memuncukan spekulasi makna kepada persoalan kelas dalam masyarakat dan eksplotasinya, seperti misalnya kelas buruh atau petani yang bekerja lebih keras yang hasil jerih payah mereka dinikmati hanya oleh segelintir golongan. Begitupun dengan instalasi “Tumpang Sari” (2020) berupa mobil bekas Mercedes tua dengan konstruksi rak besi yang berisi berbagai tanaman dalam pot. Eddi menyindir persoalan polusi udara yang be-
rasal dari mesin-mesin mobil tua yang memproduksi emisi gas buang atau karbon ke udara. Sebaliknya tanaman didalam pot menyerap dan bisa menyaring udara bersih ke sekitarnya. Kontradisi ini ia rampakan (jukstaposisi) dengan di “tumpang-sari” kan seketika melalui karyanya. Sedangkan melalui karya-karya obyek atau instalasi seniman M. Irfan, benda-benda yang dihadirkan mempunyai kaitan dengan suatu kenangan atau ingatan-ingatan kepada kampung halaman dan berbagai kenyataan serta perubahannya saat ini , baik alam, budaya dan masyarakatnya. Karya berjudul “Hidup Segan Mati Tak Mau” (2019) berupa benda troli dengan kotak kaca yang didalamnya kita bisa melihat tumpukan kayu berasal dari pohon buah nangka. Boleh jadi karya ini diangkat dari pengalamannya melihat kenyataan kegilaan pembalakan hutan maupun pola pembanungan di Sumatera. Karya ini pernah ia pamerkan di RUBANAH Jakarta yang berjudul Nirkias. Dikutip dari pengantar kuratorial Grace Samboh, bahwa
Ia (Irfan) memulai perjalanan ini dengan keyakinan bahwa kepulauan ini perlu dialami secara spasial dan empiris dengan tubuhnya sendiri agar dapat dipahami. Perjalanan ini adalah cara konkritnya untuk mencapai pengalaman seperti itu, sama seperti instalasi barunya yang menuntut kehadiran fisik kita untuk melengkapi kekongkritannya. 3) Dengan kata lain, pengalaman-pengalaman berinteraksi dengan pemandangan, alam – budaya menghasilkan kontradiksi -kontradiksi antara apa yang diimajinasikan, yang diingat dimasa lalu, kenangan dan kenyataan saat ini, sehingga menimbulkan dorongan untuk memberi kesimpulan atau bahkan penghakiman kepada benda-benda yang ia temukan maupun yang ia susun dan gubah. Irfan memaknai lebih jauh dengan menggunakan atau meminjam peribahasa yang ia gunakan untuk penjudulan beberapa karyanya. Karya-karya Irfan , baik obyek atau instalasi maupun lukisannya mempunyai konteks aktual yang terkait dengan berbagai persoalan lingkungan yang sering terjadi
di Sumatera yang juga akhirnya merubah perilaku dan budaya manusianya. Berbeda dengan Andy Dewantoro, yang mempertemukan imajinasi tentang lansekap dan pengalaman empiris yang ia rekam melalui fotografi dan dipindahkan dan digubah melalui lukisan diatas kanvas. Konstruk tentang suatu pemandangan yang ia terima melalui citraan atau gumunan yang tersirkulasi melalui dunia maya , yang kemudian melalui pengalaman kunjungan langsungnya menemukan nilai-nilainya yang baru baginya. Pemandangan yang kita saksikan melalui lukisan maupu fotografinya menyajikan lansekap yang ganjil; dingin, tragis , terbengkalai, misterius bahkan magis. Seperti suatu pemandangan dari ambang kematian peradaban moderen. Cerobong dan bangunan industrial yang tampak terabaikan (Forget me not , Deserted dan Sundial), atau pesawat yang teronggok ditengah hamparan salju (Deserted #2). Pemandangan yang cinematografis yang disajikan dengan perpaduan nilai-nilai kontradiktif melalui logika dan tindakan meluk-
is diatas kanvas. Andy menampilkan juga karya obyek gubahan berjudul Solipsism (2019), apakah berupa dua pintu mobil yang ia gabungkan sedemikian rupa. Andy mengungkapkan , bahwa seni datang kepadanya sebagai bentuk ekspresi dan dimensi. Baik dalam bentuk fotografi, lukisan, atau obyek tiga dimensi, mereka semua mendukung suatu terjemahan dimensi. Pekerjaan saya berpusat pada institusi seumur hidup saya yang terbentuk dari keterlibatan kehidupan sebelumnya. Dalam karya 3D ini Andy mencoba menghembuskan nafas hidup ke benda duniawi seperti pintu mobil Andy mengungkapkan tentang Solipsisme, “ keasyikan ekstrem dengan mengumbar perasaan seseorang. Dalam bahasa latin baru; sōlipsismus berarti “egoisme yang ekstrim. Karya seni yang saya buat tidak pernah mengungkapkan keegoisan saya tetapi untuk menunjukkan apa yang saya lihat dalam diri saya. Pintu mobil disajikan untuk finishing permukaan, dipoles dan dicat, bagian lain dari permukaan berkarat.
Pintu-pintu adalah simbol dari pembukaan diri saya dengan keamanan dan rasa tidak aman saya. Saya mengekspos bagian luar saya di bagian yang sama saya menunjukkan masa lalu . Di satu sisi, saya memastikan bahwa orang-orang di sekitar saya akan selalu memiliki bagian kebaikan saya, tetapi saya tidak menyembunyikan obsesi saya terhadap masa lalu yang ada di sekitar mereka juga.” 5) Mengamati karya-karya Andy seolah memasuki suatu arena pergumulan antara kumpulan citra dan keyakinan terhadap kenyataan yang seringkali kita temui berbeda. Dominasi alam citraan dengan pengalaman empiris saling tarik-menarik, sehingga keputusan untuk menuangkan serta menyelesaikan diatas kanvas tentunya menjadi kekuatan absolut muncul dari tangan sang seniman. Antara ‘cinta dan benci’ akhirnya saling berbaur dengan membuka kemungkinan ruang spasial untuk penafsiran baru , walaupun provokatif dan ambigu tetapi memancarkan ketenangan dan keindahan yang misterius.
Praktek seni rupa yang ditunjukan oleh ketiga seniman ini memberikan gambaran kepada perkembangan seni rupa kontemporer dengan memanfaatkan benda/obyek untuk membicarakan suatu hal. Benda-benda itu bisa menyuarakan dirinya sendiri tapi sekaligus tentang kita ; dalam ruang dan waktu sekarang . Benda baik yang tersentuh (tangible) maupun tak-tersentuh (intangible) pasca Duchamp dipagari konteks pengalaman sang seniman, yang menurut Goenawan Mohammad ; “ pengalaman itu tidak bisa disampaikan pada kita melalui perantara konsep. Makna, dalam pengalaman itu, selalu dalam suatu konteks, dan konteks selalu terpaut ruang dan waktu, dan ruang dan waktu selalu dialami secara konkrit. Pengalaman estetik, sebagaimana proses kreatif, berlangsung dengan yang konkrit itu.: materialitas unsur-unsur yang melekat erat dalam proses penciptaan. Artinya tubuh, hasrat dibawah sadar, ruang dan suhunya, kanvas dan teksturnya, kayu dan besi dengan kekedapannya. “ 4)
Rifky Effendy , Bandung 23 Januari 2020. Catatan : 1. Goenawan Mohamad. Tatapan Jaka Tarub. Pigura Tanppa Penjara, Esai-Esai Seni Rupa. Shira Media. Yogyakarta.2019. Hal. 77. 2. Ralph Rugoff, May You Live In Interesting Times. Short Guide. Biennale Arte 2019. Venice.2019. Hal. 36. 3. Grace Samboh. E-catalogue NIRKIAS. Pameran tunggal M. Irfan. Rubahah Hub. Jakarta. 4. Goenawan Mohamad. Djoko Pekik. Sebuah “Realisme” Lain. Op. Cit. Hal. 151. 5. Perbincangan dengan Andy Dewantoro melalui pesan whatsapp. 29 January 2020.
UCAPAN TERIMA KASIH
Para perupa yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Veranika dan keluarga besar, Staff Orbital Dago. Para rekan kurator : Rizki. A Zaelani, Asmujo J Irianto, Jim Supangkat, Hendro Wiyanto, Agung Hujatnika Jennong, Aminudin T. H Siregar, Bambang Subarnas. Cemeti Contemporary Art Gallery : Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo dan staff. Jajaran CCF-Bandung, Rekan - rekan ruangrupa, Rekan-rekan Galeri Padi, Jajaran Sika Gallery, Bentara Budaya (Yogya), Staff Cemara Gallery, Jajaran North Art Space ( Jaya Ancol) , Jajaran Yayasan Bumi Purnati, Jajaran Galeri Semarang, Jajaran Galeri Langgeng (Magelang - Yogyakarta) , Galeri Edwin, Vivi Yip, Jajaran Michael Janssen Gallery (Berlin dan Singapura), Jajaran Lawangwangi Creative Space, George Burke dan Jajaran New Plymouth Art Gallery, New Zealand. Jajaran Canna Gallery (Can’s), Jajaran Galeri Umah Seni, Jajaran Nadi Galeri, Jajaran Asosiasi Galeri Seluruh Indonesia (AGSI), Jajaran ART 1 Museum, Jajaran G-13 Malaysia, Jajaran Galeri Rumah Teh Taman Budaya - Bandung, Jajaran Galeri Nasional- Jakarta, Jajaran Museum seni rupa dan Keramik, Jajaran BEKRAF, Jajaran Heri Pemad Art Manajemen, Jajaran Kemenparekraf, Jajaran Kendra Gallery, Seminyak - Bali. Jajran MRA Group. Dan para individu yang mungkin belum disebutkan satu persatu.