GRUP PHOTO EXHIBITION “Menghidupi Kehidupan� 02 - 18 . 10 . 2020 Para Fotografer: Arif Hidayah M. Fajar Hidayat Fitra Sujawoto Aldiansyah Waluyo Doly Harahap Kurator Sandi Jaya Saputra Pameran dibuka secara resmi pada tanggal 02 Oktober, pukul 14:00 hingga 17.00 bertemu dengan kurator dan para fotografer. Untuk hari selanjutnya bisa langsung membuat janji dengan kurator atau fotogafernya. Perlu dicatat tetap menaati PROTOKOL KESEHATAN! 11 Oktober 2020 Ada Artist Talk yang dibalut dengan PHOTOWALK. *selanjutnya akan kami info lebih lengkap. Lokasi Orbital Dago Jl. Rancakendal Luhur no 7 Bandung. Buka Buka: Senin - Minggu Pukul 9 am - 8 pm
Pengantar Kuratorial: Praktik dan wacana fotografi kontemporer saat ini mendorong para fotografernya untuk terus menunjukan perannya lebih aktif dan visible baik dalam ruang sosial atau pun dalam ruang virtual. Pergeseran praktik fotografi hari ini adalah keniscayaan, untuk menunjukan kompleksitas medium fotografi dan mendorong ruang produksi wacana dan pengetahuan baru. Dibalik hingar bingarnya fotografi saat ini, fotografi menyisakan banyak persoalan. Salah satunya adalah infrastruktur fotografi itu sendiri dan tidak banyak yang cukup konsisten di jalan fotografi sebagai penghidupan. menengok 1839 dimana fotografi meneguhkan bukan hanya sekedar klaim estetika, fotografi berakar pada aspek kehidupan. Susan Sontag dalam orasi ilmiahnya di Wallesley Collage (1975) menyebut “Photography within the humanities” bahwa visi fotografi berangkat pada sebuah individu yang mengganggap fotografi sebagai bagaian penting dari penghidupan, atau bisa juga berangkat dari wacana fotografi sebagai bagian dari praktik untuk menarik wacana kritis mengunakan medium fotografi. Memahami fotografi secara utuh tidak terlepas dari hubunan antara ekonomi politik dan industri fotografi, Walter Benjamin dalam WJT Mitchell memaparkan dengan baik mengenai hubungan antara kapitalisme dan kritik marxis ‘Kamera di satu sisi, lambang ekonomi politik kapitalisme yang destruktif dan konsumtif’. Benjamin juga menjelaskan bagaimana hal itu menghancurkan ‘aura’ dari seni dan khususnya realitas dalam fotografi. Pameran menghidupi kehidupan berangkat dari wacana ekosistem fotografi hari ini yang menawarkan gagasan fotografi yang saling tarik menarik antara Sontag dan Benjamin. Dilain pihak narasi tersebut tidak pernah luruh di praktikan dalam dunia fotografi. Hal ini bisa dilihat dari kelima fotografer yang berpameran. Karya fotografi yang dihadirkan bukan hanya mengandung bentuk sublimasi estetik, tetapi bisa mengugah kesadaran kita atas realitas. Seperti halnya Arif Hidayah, seorang jurnalis foto. Dia bukan hanya memotret untuk kepentingan reportasi media massa, tetapi dia juga berani turun tangan dalam perjuangan-perjuangan kaum marginal. Terkadang hal tersebut tidak rasional, dalam karya foto Doly Harahap, selain sebagai musisi, Doly punya ketertarikan lebih terhadap fotografi. Foto kesehariannya sebagai musisi begitu intim dan memiliki artikulasi yang berbeda, ketimbang fotogafer yang berjarak dibawah panggung.
Pameran menghidupi kehidupan adalah serangkaian dialog fotografi sebagai alat dokumenter, yang memiliki pengalaman keberhasilan atau sekali pun mendapatkan kegagalan dalam wacana fotografi itu sendiri. Pameran menghidupi kehidupan bukan soal apa yang di tampilkan dalam foto, tetapi lebih jauh dari itu. Bukan lagi karya foto yang lebih bermakna, tetapi aktivitas mereka dalam fotografi yang sebenarnya bermakna dan menghidupinya. Seperti halnya Karya Aldiansyah Waluyo seorang fotografer komersil yang juga aktif dalam komunitas yang juga memperjuangankan hak-hak ruang berkesenian. Muhammad Fajar Hidayat yang memiliki ketertarikan pada tema-tema ruang urban, dia juga mengelola bisnis foto hipercatlab yang berkontibusi pada perkembangan fotografi analog. Terakhir adalah karya foto Fitra Sujawoto, sebagai fotografer pernikahan dia juga punya keresahan tersendiri dalam dunia fotogarfi pernikahan yang dia jewantahkan dalam bentuk workhop, buku dan kegitan edukasi lainya. Kembali ke titik awal, jika fotografi memiliki tempat dalam humaniora, mungkin fotografi memiliki semacam tempat sentral, karena bukan hanya bentuk seni di bawah batasan tertentu, tetapi juga memiliki tempat di mana semua jenis pertanyaan sosiologis dan moral dan historis dapat diangkat. Fotografi bisa menghidupi batin secara personal atau pun hal yang lebih luas seperti kehidupan itu sendiri. Sandi Jaya Saputra, Jatihandap, 20/20
Aldiansyah Waluyo is a Bandung based photographer/director. Inspired by the urban culture of his youth, he discovered his passion for photography in his early ages. The creative process that he’s involved in Woodensun mostly enlighted his works, his sought-after style represent scenes from accidental phenomena that play out in ours daily life.
Arif Hidayah . Biasa disapa Danun, Jurnalis foto di Pikiran Rakyat belum pernah membuat buku atau pameran foto tunggal tapi lagi mengusahakannya supaya kenyataan. Aktivitas memotret saya sedang beririsan dengan isu-isu sosial, intens merespon fenomenanya akibat kepikiran.
Doly Harahap: 2017 2019 adalah tahun di mana saya berada dalam aktivitas bermusik yang cukup padat. Saya terlibat dalam proyek musik, band, maupun solois yang sedang mengembangkan karyanya. Bersama Nadin Amizah, selain sebagai pemain gitar saya juga menjadi salah satu partner ketika dia menulis lagu. Menjadi manajer dalam kelompok musik Syarikat Idola Remaja dan solois Jon Kastella, juga manajer sebuah proyek musik yang kemudian menyudahi proyeknya di awal tahun 2020, Daramuda.Seru? Tentu! Karena mengerjakan apa yang saya suka. Lelah? Tak bisa saya pungkiri memang cukup melelahkan. Menyelesaikan tugas-tugas yang sudah menjadi tanggung jawab dan tak jarang pula harus bepergian dari kota satu ke kota lainnya. Dan rutinitas itu terus berlangsung hingga awal tahun 2020.
Fitra Sujawoto Kalau fotografi memang bermakna 1000 kata, entah kenapa saya masih diminta menuliskan biografi diri di kolom ini. Bisa jadi memang membaca fotografi lebih rumit daripada memahami kata-kata. Saya mulai mengenal fotografi hanya beberapa tahun sebelum terjerumus secara tiba-tiba ke fotografi pernikahan (@redwhitephoto) di tahun 2013 lalu. Fotografi saya gunakan untuk medium bercerita, baik secara personal maupun komersial, meskipun kadang juga saya sempatkan untuk menggunakan tulisan sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan, salah satunya lewat Buku Lihat, Dengar, Rasakan: Tentang Fotografi dan Pernikahan. Memotret, lalu menulis atau bisa juga sebaliknya. Selain dua hal tersebut yang memang rutin saya kerjakan, sejak 2017, ada juga beberapa workshop yang saya lakukan, baik secara mandiri atau dengan bantuan dari komunitas, seperti Cap Doa Restu, Fellowship dan Kelas Pagi. Bertemu dengan fotografi ialah pengalaman yang menyenangkan bagi saya, bisa bercerita ini dan itu, semoga tidak bingung membaca biografi singkat ini. Salam kenal dan sehat selalu!
Muhammad Fajar Hidayat biasa dipanggil Fajar atau Yayat. Lahir di Kalimantan Selatan pada tanggal 31 Januari 1986. Menamatkan pendidikan S1 di Jurusan Teknik Industri Universitas Hasanuddin Makassar.Tahun 2011 pindah dan menetap di Kota Bandung karena atmosfir industri kreatifnya yang sangat mendukung untuk memulai usaha sendiri. Sedari kecil tertarik dengan dunia visual, dan kemudian memutuskan mendalami fotografi analog setelah melihat banyak karya fotografer di laman Flickr. Di tahun 2012 merintis Hipercat Lab sebagai akses penghobi fotografi analog di luar daerah. Selain sisi bisnis, Hipercat Lab juga sering mengadakan workshop dan photo walk sebagai wadah edukasi dan komunikasi antar pemotret film. Berkembangnya fotografi film secara umum di Indonesia dan khususnya Hipercat Lab sebagai badan usaha, berjalan seiring meningkatnya penggunaan media sosial dan kemudahan akses jual-beli alat/bahan fotografi analog.