Arsip Media Massa : Tulisan-Tulisan Rifky "Goro" Effendy

Page 1

Artikel Media+Massa

1



ARSIP Media Massa Tulisan-Tulisan Rifky ‘Goro” Effendy


ARSIP&MEDIA&MASSA:& Tulisan2Tulisan Rifky ‘Goro’&Effendy Effendy,&Rifky Editor:& Rifky Effendy Perancang Grafis: Rifky Effendy E2Book&ini diterbitkan oleh: Orbital&Dago,& Jl.&Rancakendal Luhur No.7& Bandung&40191 1&Juni 2020 www.orbitaldago.com


Rifky Effendy. Born in Jakarta, 1968. Trained as ceramic artist from Fine Art and Design department of Institute Technology of Bandung (ITB). Since 1997 , Rifky Effendy has been curated and coHcurated several exhibition beside as freelance contributor for national news paper and magazine such as Kompas, Tempo and from 2007 – 2008 become member of editor of Visual Arts magazine. Since late 2002 – 2008 base in Jakarta, working as curator at Cemara 6 Galeri, Jakarta. Since 2001 he starting as contributor in Art Asia Pacific Magazine. In 1999 he curated the exhibition titled “Wearable” at Galeripadi Bandung, Bentara Budaya Yogyakarta and Sika Art Gallery in Bali. In late 2001 he established and directed the Bandung Biennale. At the same year he succeded to show Japanese contemporary artist, Morimura Yasumasa at Cemeti Art House, Yogyakarta. This show travelled to Bali (Gaya Fusion and Sense), Solo and Soemardja Gallery (Bandung). In the mid of 2004 he collaborated with Indonesian architects and artits held the project titled “Imagining Jakarta” sponsored by Goethe Institute, Jakarta. In late 2004 to early 2005, Effendy togather with Greg Burke has done an exhibition titled “ TransHIndonesia ; Scoping Culture in Contemporary Indonesian Art at Govett – Brewster Art Gallery in New Plymouth, New Zealand. In late 2006, curated “ Pilgrim Project” by Dadang Christanto, at Gaya Fusion Artpace Bali. In 2008; KOI and TRINACRIA by Filippo Sciascia and Roberto Coda Zabetta at National Gallery of IndonesiaHJakarta. In 2008 and 2009, Effendy has been curating and coHcurating in many galleries in several cities and countries; Jakarta, Semarang, Jogjakarta, Singapore. He invited as curator for Indonesia in Best of Discovery, at ShContemporary 2008 in ShanghaiHChina. CoH curating of South East B(L)ooming, Primo Marella Gallery, MilanHItaly. 2010 : Fixer , Artists groups and initiative artspace at North Art Space , Southeast Asia Drawing H ark galerie, in Jakarta. He was received grants for internship and observation on contemporary art in Australia on 2000, traveled to Adelaide, Melbourne and Sydney as well as other cities. He also was a fellow of Asia Cultural Council (ACC) to stay in New York City in 2004. In the same year, Effendy presented a paper at 2004 biennale Apexart Curatorial Conference in Honolulu, Hawaii. In 2009 with other fellow curators and artists , coHestablished Platform3 artspace in Bandung. 2010: With Telly Gontha, established inkubatorasia in Jakarta, an artspace to promote emerging contemporary artists .2009 Established and coHcurated Jakarta Contemporary Ceramics Biennale. 2016 Established Orbital Dago Gallery, Bandung and 2018 coH founded BDGConnex. Co Hcurated Art Bali 2018, ABBC Building – Nusa Dua Bali ***


PENGANTAR Pandemi Covid419 mungkin membuat sebagian besar orang dipaksa tinggal didalam rumah, setidaknya bagi sebagian kecil orang mungkin terbiasa bekerja dirumah masing4masing. Seperti para seniman atau penulis terutama penulis lepas misalnya, bekerja dirumah itu hal yang lazim, karena ide4ide kadang memang membutuhkan suasana yang nyaman termasuk membaca buku4buku yang diperlukan dan terjangkau badan. Maupun ketika melakukan browsing dilaman dunia maya. Maka situasi ini saya manfaatkan juga untuk “membukukan kompilasi arsip4arsip tulisan” yang pernah dipublikasikan untuk artikel di media massa, baik majalah maupun harian, baik cetak maupun daring , yang dibuat sekitar tahun 2000 hingga tahun 20124an. Kumpulan artikel media massa ini telah saya lakukan beberapa tahun lalu bersama tulisan4tulisan kurasi untuk dibukukan secara cetak. Namun rencana itu kandas , selain harus ada prosedur khusus dan biaya untuk produksi sebuah buku yang membuat saya harus punya waktu luang, juga kesibukan mengurasi pameran dan lainnya. Menulis seni untuk media massa merangkap kurator seni memang mempunyai tantangan tersendiri. Menulis seni tentang pameran4 pameran membutuhkan “keberjarakan” dalam menilai karya4karya terkait dengan ide pamerannya, kadang ada problematikanya. Berbeda dengan kuratorial yang mengkonteksan karya4karya dalam bingkai gagasan dan wacana tertentu. Penulisan di media massa secara teknis mempunyai batasan4batasan yang sesuai dengan editorial media itu sendiri. Pada awalnya tulisan4tulisan saya sering diminta untuk rela diperpendek atau mengganti beberapa istilah teknis yang kurang akrab untuk publik oleh editor. Bagi saya hal ini menjadi pembelajaran yang sangat berarti. Hal yang tak banyak diketahui adalah menulis di media massa itu bisa menjadi pemasukan yang lumayan untuk menyambung hidup, apalagi ketika awal – awalnya profesi kurator jarang galeri atau Lembaga lain yang memperkerjakan. Walaupun hasil dari menulis tidak besar tetapi juga sangat berarti untuk memperkenalkan diri kepada pembacanya yang luas. Pada buku elektronik “ Arsip Media Massa “ bersukur banyak tulisan terselamatkan dan sempat tersimpan beberapa arsip dijital dalam bentuk word,

6

Artikel Media+Massa


karena beberapa tautan situs media massa tersebut menghilang karena perubahan system mereka. Sedangkan banyak arsip dalam bentuk cetakannya (kliping) tak sempat disimpan. Sebagian besar alasannya karena memang saya bukan orang yang rajin mengarsip. Tulisan>tulisan dalam e>book ini selain berfokus pada pameran>pameran seni rupa : lukisan, patung , instalasi dsb. Tetapi pernah saya tertarik dengan perkembangan fotografi, beberapa tulisan bahkan tak terkait dengan pameran>pameran atau sebagai tulisan kepada wacana fotografi, baik konteks di Indonesia maupun secara global. Kesibukan mengurasi yang mulai meningkat ketika booming pasar seni rupa di tahun 2007>an membuat kesempatan saya berkurang untuk menulis di media massa. Apalagi pada perkembangannya kemudian, ada banyak media massa mengurangi halamannya akibat tergerus jaman era>dijital. Berkaitan dengan penerbitan buku elektronik, saya mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada para penulis/kurator lainnya seperti: Rizki A. Zaelani, Asmujo J. Irianto, Jim Supangkat, Aminudin T.H Siregar dan Heru Hikayat (dan Pasir Impun Institut) , Agung Hujatnikajenong, Hendro Wiyanto dan Enin Supriyanto. Baik saran, tulisan>tulisan dan diskusi>diskusinya. Juga kepada para editor media massa seperti: Raihul Fajri dan Seni Joko Suyono (Tempo), Efix Mulyadi, Putu Fajar Arcana dan Bre Redana ( Kompas), Soni Farid Maulana dan Ahda Imran ( Pikiran Rakyat), Mas Susilo Hartono, Eddy Sutriono dan Teguh Wibisana ( Visual Arts ). Juga Kepada Pusat Data di Kompas yang telah membantu saya mengumpulkan artikel dijital. Semoga tulisan>tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Mohon maaf jika e>book ini masih ada berbagai kesalahan teknis maupun kekurangan. SELAMAT MEMBACA. Rifky ‘Goro’ Effendy Bandung , Mei 2020

Artikel Media+Massa

7


Daftar&Isi • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • 8

Pengantar 6 Menyimak Realitas Kesenian di+Bandung+Lewat BAE;2001++++10 Pelajar Untuk Infrastruktur Kesenian 16 Jebakan Eksotisme Baru 20 Aksi Sosial Para+Seniman Untuk Kota++24 Morimura Membongkar Identitas Budaya 28 Gerhard+Richter+:+Ironi Seni Dalam Era+Reproduksi Mekanik 34 Melihat Dunia+Lewat Mata+Perempuan 41 Yang+Inferior+Menjadi Superior+45 Tantangan Fotografi dalam Era+Rekayasa Digital++(Sebuah Refleksi)+49 Menengok Jendela Memandang Representasi Baru 55 Dunia+(Seni)+Benda;benda dan Refleksi Budaya Kontemporer 60 Wajah Bali+dalam Seni Lukis+Video+Realistik 66 Menguak Representasi Budaya MEMORIBILIA++David+Tarigan 72 Patung Setelah+Seni Patung 76 Fotografi dan Kuasa Melihat Pasca;Kolonial 80 Merajut Hubungan Budaya Lewat Benda+– benda Kriya+87 Harapan Baru dari Parijs van+Java+91 Seni Keramik:+Keterbatasan dan Penjelajahannya 72 Dari+Biennale+2005+++101 Dari+Biennale+Jogja Ke VIII+2005 106 Residensi :+Bentuk Infrastruktur Untuk Kepentingan Pasar Mutakhir 111 Arena+Internasionalisasi Dulu dan Sekarang 116 Banjir Karya Indonesia+di+Beijing 123 Kolektor Muda:+Apa Yang+baru? 128 Artikel Media+Massa


• Hal+Lain+dari Seni Rupa+ Pertunjukan (Performance+Art) 135 • Jati Diri Fotografi Seni Cina 146 • Raut+Politis dan Puitis Fotografi Iqbal+++141 • Mitologi Yunani,+Perang dan Maskulinitas 151 • Agus Suwage Dan+Hantu Peradaban 155 • Mati+‘Ketawa’+ala+Yue+Minjun+ 160 • Kegelisahan S.+Teddy+D++164 • EKO+NUGROHO+Sosok Ndeso Kosmopolit Global+ 168 • Dadang Christanto:+Pohon Menangis dan Ingatan Bangsa 172 • Emosi:+Kambing,+Batu,+Sawah,+Kasur+dan Video+ 177 • Residensi Sunaryo di+STPI,+Singapura++180 • Tantangan Global+– Godaan Lokal 184 • Mengembalikan Ketotalan Kerja Patung 189 • Perjalanan Batin Asri Nugroho 193 • Melihat Jiwa+Lewat Persona+Psikis 197 • Sebuah Wacana:+Menyikapi Keterbatasan Infrasktruktur Seni Rupa+Indonesia+ 201 • Antara+Kenikmatan dan Kesakitan 206 • Menjalajahi Kesenian dalam ruang kota Jakarta+ 210 • Simulasi BendabBenda++ 216 • Kegairahan Teks Acep Zamzam+Noor++ 222 • Lukisan Cahaya Para+Pembangkang 226 • Ada+Apa Dengan Cinta Seniman 232 • Kegairahan Nostalgia+Di+Balik Pesimisme 237 • Ledakan Dari+Ranah Kelabilan 243 • Seni Rupa+KecohbMengecoh 248 • Geliat Seniman Muda+Ditengah Krisis Global++251 • Keluh Setubuh Nandang Gawe 256 • Memahami Seni Rupa+Bandung+dari Dua Retrospektif 261

Artikel Media+Massa

9


MENYIMAK+ REALITAS+KESENIAN+ DI+BANDUNG+LEWAT+ BAE+2001 SEKITAR 800an+acara+kesenian mulai dari pameran

seni rupa,+pagelaran seni pertunjukan,+sastra,+film,+ musik,+kompetisi,+simposium dan berbagai program+ pendidikan kesenian untuk publik akan digelar di+ berbagai lokasi dan tempat yang+tersebar di+Kota+ Bandung.+Bandung+Art+Event+(BAE)+2001+adalah awalan dari sebuah rangkaian "peristiwa"+kesenian dua tahunan,+yang+terselenggara berkat kerja sama aktif dengan berbagai lapisan pelaku kesenian di+Kota+ Bandung.+Peristiwa kesenian yang+akan dilaksanakan mulai dari tanggal 18+Agustus sampai dengan 26+ September+2001,+dirancang untuk menyiapkan infrastruktur kesenian yang+lebih kondusif di+Kota+ Bandung+di+masa+yang+akan datang.

Artikel ini dipublikasikan di+Harian KOMPAS.+Minggu,+50Agustus+2001 10

Artikel Media+Massa


Kekhawatiran seni tradisi akan menjadi punah dikarenakan kurang diminati adalah sebuah kondisi global. Keberadaannya harus dipertimbangkan kembali, begitu pula pengelolaan informasinya. Sehingga, setidaknya kondisi seperti sekarang ini bisa 'dikemas' dalam bentuk?bentuk yang menarik dan merangsang publik. Seperti contohnya Saung Mang Udjo yang "terselamatkan" dengan berbagai program komunikasi yang menyedot para wisatawan budaya dari mancanegara. Memang, kesenian bukan saja urusan para seniman tetapi juga seluruh unsur yang terkait erat dengannya, terutama pihak pemerintah. Bagi BAE 2001, perubahan?perubahan besar yang terjadi di negara ini adalah sebuah dasar pijakan untuk memberikan kontribusi bagi masyarakat luas untuk lebih menghayati arti dari "partisipasi aktif masyarakat" dalam era teknologi informasi yang begitu pesat dan kondisi sosial?politik dewasa ini. Tentunya peran sentral menjadi hal yang harusnya semaksimal mungkin dihindari oleh para pelaku kesenian, sehingga nilai?nilai budaya yang ada di dalamnya adalah sebuah manifestasi dari cita?cita kehidupan masyarakat madani. Suatu cita? cita yang utopis namun menjadi landasan penyelenggaraan BAE 2001. Program?program BAE 2001 Proses terciptanya sebuah masyarakat yang partisipatif tercermin dalam BAE 2001 lewat program Mandiri, di mana berbagai acara seni budaya akan terselenggara berkat partisipasi langsung para pelaku keseniannya. Telah ada sekitar seratus acara di berbagai tempat di Kota Bandung, bahkan sampai 'di pinggiran kota'. Seperti yang telah dimulai oleh Irwan Bagja Darmawan (Iweng) dengan memulai aktivitas melukisi tembok?tembok rumah di lingkungan Kampung Babakan Cianjur di Cimindi, di mana ia tinggal. Dibantu oleh teman?teman sekampungnya, ia memulai dengan melukisi pagar?pagar, tembok?tembok rumah bahkan sampai pada 11

Artikel Media+Massa


pengecatan kamar mandi umum. Yang menarik adalah bagaimana ia memulai proses melukisi seluruh kampung dengan modalnya sendiri dan kemudian dibantu oleh temannya, anak<anak serta sokongan materi sekadarnya dari masyarakat sekitar. Walaupun belum tuntas, karena kekurangan modal membeli cat, Anda bisa melihat sebagian kampungnya telah berubah dengan warna< warna cerah walaupun kadang juga ada warga yang memprotes karena tidak setuju dengan gambar di tembok rumahnya. Ada juga yang memanfaatkan momentum 17 Agustus<an, seperti Dede Wahyudin yang akan memamerkan gambar<gambar hasil karyanya di gang sempit, di kawasan Terminal Ledeng, di mana ia tinggal dan berkarya. Rangkaian program Mandiri BAE 2001 akan banyak dimeriahkan oleh berbagai pertunjukan teater, musik, pemutaran film independen dan seminar. Seperti yang akan diadakan oleh Ruang Tengah Ardan yang akan menampilkan berbagai film "lawas" Indonesia dan pemutaran film 'Indie' yang disertaimdiskusi dengan para pembuatnya di halaman parkir radio Ardan. Lalu ada bentuk kesenian yang mengadaptasi kesenian tradisi Sunda dengan format yang lebih progresif, seperti kolaborasi antara kecapi Sunda Ibu Otih Rostoyati dan tarian Ine Arini yang akan berlangsung di Studio R<66. Aktor Iman Soleh akan membawakan monolog teater di Rumah Nusantara dan membacakan naskah sutradara terkemuka, Arifin C Noor, berkolaborasi dengan sebuah grup dangdut. Di tempat yang sama, bagi yang meminati forum diskusi, akan ada berbagai acara diskusi seperti seminar memahami kreativitas anak yang akan membicarakan bahasa rupa dalam persepsi anak<anak, dibawakan oleh Prof Dr Primadi Tabrani. Seminar dengan skala internasional akan diselenggarakan oleh Yayasan Rancage dan Toyota Foundation yang akan mengadakan Konferensi Internasional Budaya Sunda di Gedung Merdeka pada tanggal 22 sampai 25 Agustus mendatang. 12

Artikel Media+Massa


Bienal Seni Rupa BAE 2001 Bagi dunia seni rupa di Bandung, mengadakan pameran dua tahunan adalah sebuah ambisi tersendiri. Bandung akan meramaikan wacana seni rupa kontemporer di Tanah Air dengan Bienal Seni Rupa (BSR) BAE 2001, yang akan menyertakan karyaEkarya dari 40 seniman Bandung dengan berbagai kecenderungan dan media. Mulai dari namaEnama 'gaek' seperti AD Pirous, Srihadi, Sunayo, Rita Widagdo, Barli Sasmita sampai para seniman kontemporer kenamaan seperti Tisna Sanjaya, Krisna Murti, Diyanto dan banyak lagi nama seniman muda pilihan para kurator kali ini. BSR BAE 2001 akan mengambil tema besar "Warisan Perubahan" (Legacies Of Changes), yang mengetengahkan pembahasan praktik dan teorisasi seni rupa di Kota Bandung dalam lingkup paradigma perubahan masyarakat Indonesia. Ada tiga subtema yang berkaitan dengan dasar kuratorial yang disusun oleh dewan kurator yang beranggotakan Rizki A Zaelani, Asmujo Jono Irianto serta Agung Hujatnikajenong. Pertama adalah "Moralitas dalam Tegangan" yang akan menampilkan karyaEkarya seniman yang mengangkat persoalan sekitar religiusitas, spiritualitas, dan kepercayaan akan nilaiEnilai tradisi. Kedua adalah "Intrik Peradaban Universal" yang akan memamerkan karyaEkarya seniman yang berorientasi pada gaya hidup kosmopolitan serta eksplorasi ruangEruang maya. Terakhir adalah tema "Budaya Intelektual Bersama" yang lebih mengundang dialog para seniman yang memiliki perhatian khusus pada isu jender, demokrasi dan proses demokratisasi. Yang tentunya menarik nanti dalam BSR BAE 2001 adalah proses seleksi yang menekankan pada dialog dengan masingEmasing seniman, sehingga dalam proses seleksinya hendak ditawarkan orientasi pada logika interaksi ketimbang prestasi individu. KaryaEkarya seniman BSR BAE 2001 akan ditempatkan di enam lokasi pendukung utama: Galeri Sumarja, Selasar Seni Sunaryo, Griya Seni Popo Iskandar, NuEArt, Galeri Barak dan Studio RE66, berlangsung mulai tanggal 18 Agustus sampai 26 September. 13

Artikel Media+Massa


Untuk menambah pendidikan seni pada masyarakat luas, akan diadakan program:program apresiasi seperti ceramah oleh para seniman dan kurator, yang dibagi dalam berbagai kategori: umum dan pelajar sekolah menengah. Sedangkan untuk melengkapi wacana kesenian, akan diselenggarakan rangkaian seminar selama tiga hari yang akan membahas berbagai topik utama dengan tema: perubahan, kesenian dan masyarakat. Ada tiga pembahasan yang akan dipresentasikan oleh berbagai pembicara: wawasan proses kreatif dengan bahasan kisah perjuangan dan perlawanan kesenian di era globalisasi dunia. Wawasan teoretis akan membahas persoalan globalisasi sebagai pemampatan ruang dan waktu serta wawasan infrastruktur kesenian yang akan membahas pemikiran dan kepentingan infrastruktur kesenian. Bertempat di Rumah Nusantara, Gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat. Program publik Sebagai sebuah 'peristiwa' kesenian mutakhir, BAE 2001 merancang berbagai program di mana kesenian bertemu dan berinteraksi dengan berbagai bidang keilmuan. Seperti program On:Line BAE 2001 yang merupakan perlintasan antara seni dan perkembangan teknologi informasi. Selain media mutakhir untuk memberikan informasi BAE 2001 secara luas lewat jaringan situs maya, juga rencananya akan diselenggarakan workshop web art untuk para calon dan seniman yang gandrung mengolah ruang:ruang cybernet, sedangkan bagi para web desainer akan diselenggarakan kompetisi yang terbagi dalam kategori web personal, perusahaan serta organisasi. BAE 2001 juga mengadakan program kampanye lewat karya:karya para seniman yang ditempatkan di ruang:ruang publik yang dianggap 'mengganggu' dan'terabaikan' dalam tata ruang Kota Bandung, lengkap dengan pesan:pesan sosial. Tak lupa juga dalam menyiapkan sebuah infrastruktur kesenian yang kondusif, penulisan adalah mutlak bagi dunia seni. 14

Artikel Media+Massa


Untuk menyiapkannya akan diselenggarakan kompetisi penulisan ulas seni bagi para guru SMU dan para pelajar setingkat SMU, yang akan mengulas berbagai peristiwa seni dalam rangkaian BAE 2001. Diharapkan pada perencanaan jangka panjangnya, BAE dan dukungan berbagai pihak yang berkaitan dengan kepentingan pengembangan Kota Bandung menjadi salah satu lokasi penting perkembangan seni dunia. Apalagi ketika dunia sedang memasuki era pasar bebas, di mana bagi sebuah Kota seperti Bandung, industri kebudayaan adalah salah satu aset yang cukup penting di kemudian hari. *** .

Prilla Tania.+Performance.+Nuart Sculpture+Park.+ 2001.+Doc:+BAE2001

Artikel Media+Massa

15


PELAJAR-UNTUKINFRASTRUKTURKESENIAN SEROMBONGAN anak0anak berseragam sekolah dasar dan tingkat menengah berkerumun di+depan pintu masuk karya instalasi Sunaryo,+"Titik Gamang".+Mereka harus secara bergiliran memasuki labirin gelap dan berliku menuju ruangan yang+dihampari sekam dan deretan televisi serta potongan becak0becak yang+dicat putih.+

Artikel ini dipublikasikan di+ Harian KOMPAS+Sabtu,+22+ September+2001+

16

Artikel Media+Massa


Kunjungan mereka kerap membuat para penjaga pameran kerepotan. Mereka sering gaduh, apalagi beberapa anak senang mengganggu temannya yang ketakutan. Kadang beberapa anak berlari<lari ke atas hamparan sekam tersebut yang menyebabkan seluruh ruangan dipenuhi debu dan pengap. Beberapa peralatan terganggu. Di ruangan yang serba putih dan dingin itu ada yang sempat menyobek tirai dan mengacak<acak pasir yang diatur sedemikian rupa oleh sang seniman hanya karena ingin tahu banyak tentang hal<hal yang mereka anggap aneh. Karya instalasi Sunaryo, sebagai salah satu dari peserta Bandung Art Event Biennale 2001, yang dipasang di rumah seni R<66, tercatat yang paling banyak menerima kunjungan, terutama oleh para pelajar. Petugas penjaga mencatat kurang lebih 150<an anak tiap hari berkunjung, terutama pada jam<jam pulang sekolah maupun istirahat. Pada awalnya kedatangan mereka tidak secara resmi diatur atau dikoordinasikan dengan lembaganya. Mereka dengan sendirinya datang. Memang di wilayah di mana R<66 berlokasi, sedikitnya terdapat empat sekolah yaitu Yayasan Pendidikan Taruna Bakti, Sekolah Katolik Yahya, SLTPN 44, dan SLTPN 7. Beberapa dari mereka bahkan hampir tiap hari berkunjung, ada yang sampai tiga kali dalam satu hari. Mungkin saja keberadaan "Titik Gamang" sudah menjadi gosip di seputar lingkungan sekolah mereka, sampai<sampai para siswa dari SLTPN 44 "memaksa" salah seorang guru mereka untuk ikut berkunjung. Ada juga guru yang memanfaatkan moment BAE 2001 untuk memperkenalkan dunia kesenian pada muridnya, seperti yang dilakukan oleh Drs Jaka Sembiring, yang mengajar di SLTPK Yahya dan SLTPN 7 yang membawa rombongan kelasnya untuk berkunjung. Bahkan SLPTK Yahya tercantum dalam program Mandiri BAE 2001 dengan mengadakan pameran hasil karya para siswanya, mulai dari lukisan sampai patung. Artikel Media+Massa

17


Tentunya kita bertanya4tanya, apakah mereka paham makna karya Sunaryo ini. Dari buku isian yang disediakan panitia, kebanyakan mereka mengomentari pengalaman yang kadang di luar dugaan dan juga lucu. Ada yang berkomentar bahwa karya Sunaryo kurang seram, seharusnya ditambahi pocong dan kuntilanak. Seorang anak datang beberapa kali dan merasa belum paham maksud dari karya itu tetapi baginya tetap merupakan pengalaman yang mengasyikkan. Hal yang sama juga terjadi di Galeri Barak yang memamerkan karya Krisna Murti, Wayang Machine, berupa karya multimedia, walaupun tidak begitu membludak seperti pada karya Sunaryo. Keterlibatan para siswa sekolah pada dunia kesenian di Bandung, bisa juga merupakan indikasi tentang perlunya mengembangkan pendidikan yang lebih rekreatif atau biasa disebut edutainment yang sudah dipraktikkan untuk anak4anak pra4sekolah dasar. Hal itu dilakukan misalnya oleh organisasi Klab Bermain, yang membuat program untuk anak4anak empat sampai enam tahun yang menitikberatkan pada pengembangan kreativitas anak4anak melalui media seni. Program ini diikuti oleh sekitar 904an anak4anak, yang diselenggarakan tiap hari Minggu di tiap lokasi penyelenggaraan pameran BAE Biennale 2001. Di Selasar Sunaryo Art Space, mereka diperkenalkan pada bentuk tiga dimensi melalui pembuatan patung4patung dengan menggunakan media bubur kertas (paper mache) serta pengenalan pada bentuk4 bentuk kesenian tradisi maupun permainan interaktif lainnya. Salah satu orangtua anak mengatakan bahwa ia membawa anaknya dalam program ini untuk mengembangkan keberanian berimajinasi dan bersosialisasi. Selain program di atas mereka diajak berjalan4jalan ke ruang galeri, dimana digelar berbagai bentuk karya seni. Mereka tampak antusias dan banyak melontarkan berbagai pertanyaan yang membuat kewalahan para petugas relawan. Menurut Sulaiman Hakim Lubis, koordinator relawan BAE 2001, 18

Artikel Media+Massa


pertanyaan mereka sangat mendasar dan sederhana namun kadang sulit dijawab. Mungkin hal seperti itu belum dipikirkan oleh para kurator Biennale, ketika memberikan briefing kepada para relawan yang kebanyakan terdiri dari mahasiswa seni. Keterlibatan para siswa sekolah SLTP maupun SMU harus diperhatikan oleh kalangan pelaku kesenian maupun pendidikan. Minat mereka besar seperti dialami kelompok teater Alibi dengan lakon Mogok Asmara di Rumentang Siang yang harus bermain dua kali sehari untuk memenuhi keinginan serombongan pelajar SMU. Contoh lain adalah parade teater Tjutjuk Peda yang menyertakan beberapa grup teater siswa sekolah Yayasan Bina Darma di halaman sekolahnya, di Kiaracondong Bandung. Grup Longser Gaul yang sebagian besar anggotanya siswa SMU beberapa sekolah di Bandung menampilkan bentuk teater pelesetan King Lieur, yang dipadu dengan kesenian longser, tampil di halaman parkir STSI Bandung. Kehadiran mereka banyak menyedot perhatian masyarakat sekitar terutama dari kalangan anakKanak yang begitu antusias menonton hingga larut malam. Yang mengejutkan adalah ketika jeda mereka menampilkan band yang membawakan laguKlagu rock alternatif. Sebuah perkembangan menarik antara kesenian tradisi Sunda dengan teater modern apalagi dibawakan oleh generasi mudanya. Memang sejauh ini keterlibatan anakKanak maupun para pelajar dalam suatu perkembangan kesenian belum banyak ditengok secara serius oleh para pelaku seni di Tanah Air. Tak banyak para penyelenggara hajatan seni yang melibatkan anakKanak secara aktif dalam program mereka. Sudah saatnya para pelaku kesenian memikirkan anakKanak dan pelajar dalam membangun infrastruktur kesenian. ***

Artikel Media+Massa

19


Jebakan Eksotisme Baru

APA yang%akan terjadi pada bangsa0bangsa Asia0Pasifik

di%masa%depan?%Bagaimanakah keadaan masa%depan itu sendiri?%Itulah pertanyaan klise tentang masa%depan dalam menghadapi era%milenium baru.%Untuk menghadapi persoalan masa%depan,%kita harus menengok ke belakang.% Itulah dasar pemikiran para%kurator Queensland%Art% Gallery%dalam pameran Asia0Pacific%Triennial%ke03%yang% tengah berlangsung hingga Januari tahun 2000%nanti.%

Artikel ini dipublikasikan di%Majalah TEMPO%03%Januari 2000

20

Artikel Media%Massa


Salah satu pameran seni rupa kontemporer terbesar di negara bagian Australia ini diikuti oleh 77 seniman dari 20 negara Asia, antara lain Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura, Jepang, Cina, Taiwan, India, Sri Lanka, Pakistan, Kaledonia Baru, dan dari negaraDnegara Pasifik seperti Papua Nugini, Selandia Baru, Kepulauan Niue, Futuna, Wallis, dan Australia. Dalam pameran ini, kita bisa melihat berbagai gejolak dalam setiap bangsa ataupun budaya, dan seniman yang bukan lagi sekadar ‘’sang jenius” yang gemar memproduksi makna, melainkan juga sebagai ‘’negosiator” bagi suatu masyarakat atau budaya dalam sebuah diplomasi kebudayaan di era pasar global. Dalam pameran ini, kita juga bisa menyaksikan berbagai ekspresi, idiom, dan masalah yang direpresentasikan dari wilayah yang dianggap paling ‘’dinamis” di bagian dunia ini. Tisna Sanjaya menampilkan instalasi yang berjudul 32 Tahun Berpikir dengan Dengkul, yang bertema sosialDpolitik. Mulyono menyajikan instalasi Animal Sacrifice of Orde Batu, yang mengingatkan kita pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 lalu. Ia menampilkan sebuah mobil dengan posisi terbalik dan telah terbakar, dengan latar belakang grafiti yang bernada rasial. S. Teddy D. menampilkan karya yang berupa 50Dan lukisan kaca berjudul Penjagaan Kepala, yang lebih mengungkapkan konflik yang ada dalam dirinya dan masyarakat di sekelilingnya. Persoalan masa lalu atau sejarah dari sebuah bangsa adalah sebuah titik tolak bagi banyak seniman untuk kembali menelusuri persoalan masa kini dan masa depan. Zero, karya Katshushige Nakahashi dari Jepang, berupa sebuah pesawat tempur Jepang pada Perang Dunia II yang terbuat dari konstruksi 10.000 susunan kertas foto 4R yang ''lunglai dan lemas".

ArtikelZMediaZMassa

21


Karya ini adalah cerminan kaum muda Jepang yang melihat perang dan budaya kamikaze sebagai suatu yang tak kunjung dipahami. Tissa De Alwis dari Sri Lanka menampilkan figurBfigur liliput tentara dari berbagai era pada zaman kolonial Inggris. FigurBfigur yang terbuat dari ''plastisin" ini membuat kita memahami bagaimana persoalan konflik peperangan yang berkepanjangan di negaranya. Praktek pasar global, seperti eksporBimpor saat ini, ternyata membawa banyak persoalan ketika harus diterima oleh masyarakat tradisi, seperti terlihat dalam karya kelompok seniman Kepulauan Niue di Pasifik, yang menampilkan sebuah kontainer yang isinya berbagai macam objek seni yang mereka produksi. Karya yang berjudul Shrine to Abundance ini memerkarakan bagaimana kehidupan budaya masyarakat itu sangat terganggu dengan berlebihnya hasil industri negara maju yang diimpor. Sementara itu, persoalan budaya media massa sebagai fenomena masyarakat sekarang ini sangat menonjol dalam karyaBkarya dalam pameran seperti karya JunBJieh Wang dari Taiwan lewat karya yang berjudul Neon Urlaub, yang menampilkan parodi ''agen promosi" dengan tawaran berbagai produk wisata dan industri dengan warnaBwarna yang fancy. Karyanya ini mempersoalkan bagaimana media massa, terutama televisi, yang mengonsumsi kekacauan, kekerasan, atau tragedi sebagai sebuah tontonan yang laku dijual. Yang menarik dari pameran ini adalah karena galeri itu mengembangkan programBprogram yang membumi agar seni rupa kontemporer lebih dikenal oleh masyarakat umum, misalnya diskusi dengan seniman, program khusus untuk anakBanak, dan juga workshop dengan para seniman di sekolah menengah dan perguruan tinggi setempat. Karena itu, pameran ini tak sekadar menjadi sebuah pameran seni yang menuntut pengunjungnya berapresiasi secara serius, tetapi juga

22

Artikel Media+Massa


sebuah peristiwa budaya yang menghibur, memberikan informasi dan wawasan, berpetualang, bermain. Dan tentunya, di dalam sebuah pasar, para perupa mampu masuk ke lingkaran pergaulan internasional—sesuatu yang dianggap tak mungkin terjadi ketika ''gunung es" modernisme EroBAmerika masih tegar. Namun, di lain pihak, kita juga bisa terperangkap lagi pada jebakan pandangan ''eksotisme baru". Ini terutama terjadi saat para kurator asing itu hanya memandang perkembangan seni rupa lokal dari sudut representasi kondisi sebuah masyarakat dan budaya sebagai dimensi utama dalam seleksi karya.***

Foto:+The+3rd APT,+Queensland+Art+Gallery

Artikel Media+Massa

23


Aksi Sosial Para,Seniman untuk Kota Bila anda warga atau kebetulan mampir di+Kota+

Bandung,+berhati;hatilah.+Kendaraan anda bisa terperosok lubang;lubang yang+menganga sepanjang jalan.+Namun,+beberapa minggu terakhir,+ lubang;lubang itu telah diberi “rambu peringatan�+ berupa garis putih mengikuti sisi lubang.+Tanda peringatan itu bukan hasil kerja apparat+pemda setempat,+tapi hasil kerja seorang seniman muda,+ Handy+Hermansyah.+

Artikel ini diipublikasikan di+Harian Kompas ,+Minggu 2+Juni 2002

24

Artikel Media+Massa


Proyek mengecat lubang jalan9jalan itu sudah ia lakukan sejak lebih daripada sebulan lalu. Seminggu sekali, lulusan seni patung dari FSRD9ITB tahun 2001 ini berkeliling kota sambal mendorong troli berisi cat gypsum, beberapa kuas, dan segi tiga pengaman. Kadang ia ditemani beberapa rekannya, baik untuk membantu maupun hanya mendokumentasikan kegiatannya. Gagasan lelaki kelahiran Jawa Tengah tahun 1978 untuk membuat proyek ini berawal dari pengalaman pahit. Sepeda motornya terperosok lubang di tengah jalan yang tak kelihatan ditengah hujan lebat. Ia dan temannya selamat, tapi roda kendaraan itu rusak berat. Pengalaman buruk ini ia jadikan “proyek kesenian�. Tanpa bantuan siapapun ia memulai proyeknya di sepanjang jalan Ganesa, di depan Kampus ITB. Namun, tanda9tanda peringatan itu sorenya hilang terhapus oleh hujan lebat. Ia tak putus asa. Seminggu kemudian ia kembali dengan ramuan cat khusus, kapur dicampur cat gypsum, agar lebih irit, murah dan cepat kering, namun kuat. Kali ini ia bekerja di jalan Dipati9Ukur , di depan kampus Universitas Padjajaran. Aksi Handi ternyata mengundang perhatian dari masyarakat sekitar, terutama para pengguna jalan. Ada yang menyangkanya sebagai petugas dinas pekerjaan umum, kampanye partai dan lain9lain. Namun, Handi menjawab singkat, tetapi tegas : ini adalah kesenian ! . Jawaban pria yang jarang bicara ini terasa begitu tulus bagi banyak orang. Tak ayal aksinya di sepanjang jalan Ir. Juanda , beberapa pemuda, tukang parkir, dan mahasiswa turut membantunya. Bahkan, beberapa pelajar SMU ingin mengikuti aksinya. Ada juga yang menawarkan sumbangan untuk sekedar membeli cat atau konsumsi. Aksi kesenian Handi merupakan reaksi personal seorang seniman pada suatu pengalaman yang meresahkan kehidupannya. Mungkin bukan hanya Handi yang merasakannya, tetapi ketika menjadi sebuah aksi maka kejelian seniman memang harus bicara. Artikel Media+Massa

25


Secara tidak langsung Handi telah memberi contoh pada masyarakat kota yang semakin individual bahwa masih ada yang peduli akan kesejahteraan bersama, walau hanya dalam bentuj memberikan “rambu – rambu” bagi pengguna jalan. Disinilah kreativitas seniman bertemu dengan kehidupan nyata. Proyek Handi sangat sederhana , namun bisa sangat membantu para pengguna jalan, terlebih lagi denga bisa menyertakan anggota masyarakat lainnya. *** Aksi Tisna Sanjaya berbeda.Ia menanam pohonHpohon jengkol di beberapa lokasi di Kota Bandung. Seperti juga Handi, proyek Tisna masih berlanjut terus. Tisna dan beberapa temannya menanam phon jengkol di lokasiHlokasi dimana telah terjadi penebangan pohonHpohon demi pembangunan jalan layang Pasteur – Cicaheum. Bagi seniman senior yang juga dosen FSRDHITB ini, pohon jengkol merupakan sebuah metafor lewat baunya yang khas. Menurut Tisna, jengkol banyak digemari, tapi pohonnya akan mengeluarkan bau pesing yang sangat jika diguyur hujan. Bau busuk itu berhubungan dengan “kebusukan” pemerintah kota yang selali “main curang” dalam tiap proyek pembangunan. Contohnya, berbagai praktik korupsi di dalam tiap pembangunan jalanHjalan, gorongHgorong, atau jembatan layang, selalu menyisakan banyak masalah apalagi jika musim hujan tiba. Tisna, seniman kontroversial yang juga dosen Handi ini, sejak dulu selalu menawarkan masalah sosialHpolitik dalam karyanya. Ia sering menggunakan material maupun Bahasa yang cukup akrab dengan kalangan masyarakat lokal. Sebutlah contoh seperti Instalasi Tumbuh pada tahun 1997Han di beberapa kota di Jawa dan Jerman. Berpikir dengan Dengkul tahun 1999Han yan juga disertakan di Asia Pacific Trienniale (APT) ke – 3 di Brisbane, Australia, atau Sepak Bola untuk Perdamaian di tahun 2000 yang berlanjut di Perancis. Yang menarik dari Tisna adalah ia selalu berkolaborasi dengan banyak seniman maupun warga masyarakat. Berkeliling kota, berH happening, performance art, membuat pernyataan politik, mirip 26

Artikel Media+Massa


dengan aksi demonstrasi. Dunia artistic baginya harus dipahami oleh kalangan luas: sepak bola, pohon, papan bilik, tiang bamboo, dangdut, terasi, kemenyan, atau karaoke kerap menjadi mediumnya. Aksi Handi dan Tisna merupakan model kegelisahan para seniman pada kehidupan social dan sekaligus pada dunia artistik. Bagi mereka, dunia seni tidaklah sebatas pada patung, lukis, dan grafis, atau idiom yang dianggap pasif, termasuk sistem galeri dan ruang pamer. Mereka menciptakan ruangBruang sosial yang bisa interaktif untuk mengomunikasikan gagasannya, menciptakan koneksitas – estetik, trans B estetik , seperti istilahnya Suzi Gabliek. Walaupun demikian ada perbedaan yang mendalam di antara garapan murid dan guru ini. Handi percaya akan seni sebagai konsep utama dalam aktivitas kehidupan, sedangkan Tisna menjadikan seni sebagai medium untuk tujuan perlawanan politis. ***

Foto:+Arsip IVAA Artikel Media+Massa

27


MORIMURA* MEMBONGKAR* IDENTITAS*BUDAYA MUNGKIN hanya sedikit orang+Indonesia+mengenal Yasumasa+Morimura,+namun karya9karyanya cukup bisa dikenali oleh banyak pelaku maupun peminat seni.+Ia "menampilkan kembali"+mahakarya para+ empu seni Eropa sambal+mengganti figur maupun obyeknya dengan wajah seorang dari bangsa Asia:+ sorotan matanya dan struktur tulangnya.+Wajah itu milik Morimura sendiri.PAMERAN karya9karya seni yang+provokatif berlangsung 9919+November+2001+di+ Galeri Soemardja di+Kampus ITB,+Bandung.+ Sebelumnya karya9karya ini digelar di+Galeri Cemeti Yogyakarta,+Januari 2002+di+Galeri Gaya+di+Bali,+dan Februari 2002+di+Galeri I+See+Jakarta.

Artikel ini dipublikasikan di+Harian KOMPAS+Sabtu,+10+November+2001+

28

Artikel Media+Massa


Di dunia seni kontemporer Jepang, Momimura termasuk seniman muda yang terus menanjak. Selain disertakan dalam Venice Biennale ke 43 di Italia yang bergengsi itu atau pameranCpameran internasional lainnya, karyaCkaryanya banyak dikoleksi berbagai museum, di Jepang maupun dimancanegara seperti Queensland Art Gallery di Brisbane, The Gallery of New South Wales di Sydney, Paris, dan London. Mengapa seniman yang tinggal dan bekerja di Osaka ini begitu penting, sampaiCsampai karyanya bertebaran di museumCmuseum besar? Lelaki lulusan Universitas Kyoto ini telah melakukan "pembedahan" terhadap karyaCkarya bersejarah itu sejak awal tahun 1980Can, dengan teknik fotografi yang dikuasainya serta kesukaannya "berdandan". Karyanya atas potret diri karya Van Gogh, yang dibuat setelah ia pulang dari rumah sakit karena memotong kupingnya sendiri tahun 1889, adalah sebuah ungkapan rasa "cinta dan benci" Morimura terhadap sang seniman. Akio Obigane kritikus budaya dari Asahi Shimbun menulis bahwa Van Gogh merupakan salah satu seniman yang paling dikenal di Jepang. Selain mempunyai hubungan khusus dengan negara sakura itu, kehidupannya yang tragis telah melegenda di masyarakat. Lewat berbagai reproduksi berupa kartu pos, bukuCbuku, poster, dan lainnya, figur Van Gogh hampir menjadi mitos seniman sejati, gila, dan jenius. Tak heran sebuah perusahaan di Jepang membeli karyanya dengan memecahkan rekor harga lukisan di sebuah balai lelang. Van Gogh mendapat perhatian khusus Morimura walaupun ia tak sempat menyaksikan karyaCkaryanya secara langsung. "Citra" tentang Van Gogh begitu melekat di ingatannya cukup dengan melihat reproduksi dari berbagai barang suvenir di berbagai toko di Jepang. Citraan karya Van Gogh telah melebar dan berkembang di setiap kepala orang Jepang. Tak heran karyaCkarya maestro versi Morimura bisa beberapa kali lebih besar. Contohnya Monalisa, karya Leonardo Da Vinci hanya 77 x 53 cm, Artikel Media+Massa

29


sedang "Monalisa" Morimura 290 x 200 cm.Menurut Morimura setiap citraan itu merasuki memori kita dan cenderung "melebar" sehingga "lebih besar" dari kenyataannya. Selain menyamar sebagai obyek karya?karya bersejarah, Morimura berakting seperti layaknya para selebritis dunia, mulai dari Brigitte Bardot, Marilyn Monroe, Michael Jackson, sampai Madonna.

Karya?karya Morimura dekat dengan persoalan masyarakat kontemporer dalam era informasi global, walaupun secara spesifik terkait dengan masalah kanon kebudayaan modern (barat) lewat tradisi museum, terutama serial Self Portrait as Art History. Pada awal kemunculannya di Tokyo pada dekade tahun 1980?an, kalangan akademisi dan seniman yang menganut paham modernisme sangat menentang dan mencibir karya?karya ini. Mereka menolak karya?karya Morimura layak dikatakan "karya seni". Pasalnya jelas Morimura menggunakan karya?karya yang telah diakui masyarakat sebagai "mahakarya". Ia mengubah rinci dari tubuh tokoh?tokoh karya asli yang bertubuh bangsa Eropa? Amerika, dengan tubuh Morimura lengkap dengan segala khas rasnya. Provokatif, itu mungkin penilaian kebanyakan orang. Ia tega "mengerjai" mahakarya, yang dipuja sebagai hasil kerja para jenius. Monalisa menjadi telanjang dan bunting. Itu jauh lebih sadis dari Marcel Duchamp yang pernah memberinya tambahan kumis, tahun 1930?an. Ini menohok dan menghina barat? Seni era paska kolonialkah? Lihat karyanya Nine Faces (1989), di mana tujuh pasang mata menyaksikan seorang lelaki melakukan otopsi pada mayat seorang lelaki. Karya ini merupakan hasil membongkar ulang karya Rembrant yang 30

Artikel Media+Massa


dibuat pada awal abad ke318. Kesembilan wajah diri Morimura adalah pemandangan manusia sebagai obyek identifikasi bagi manusia jaman sain modern, yang memandangnya sebagai persoalan fisikal. Itu seperti juga cara memandang tiap ras sebatas perbedaan3perbedaan fisik. Ras ideal warisan jaman Yunani menjadi kanon mengerikan dan dijadikan alasan untuk menghabisi ras lain. Sejarah telah mencatat berbagai tragedi manusia yang berkaitan dengan hal ini. Masalah idealisasi ras tercermin dalam karya3karya Morimura dari serial para selebritis (Self Portrait/Actress Series). Kali ini ia "menyamar" sebagai para selebritis dunia yang sering menghiasi tiap tabloid, koran, sampul majalah, ataupun di televisi. Kecantikan dan keindahan tubuh mereka plus model rambut, make3up, dan model baju, telah menjadi mitos sebagai standarisasi gaya hidup. Karyanya Red Marylin dan White Marylin adalah representasi mitos perempuan di dunia di tahun 19603an. Marylin Monroe adalah figure perempuan sensasional dan dekat dengan para politisi Amerika, termasuk hubungannya John F Kennedy. Foto telanjang Marylin di majalah Playboy rebahan di atas ranjang, mungkin puluhan tahun sejak kematiannya yang misterius, tetap diingat dan reproduksi sampai sekarang. Morimura menghadirkan kembali Marylin Monroe di jaman ini untuk "mengkritisi dari dalam" bagaimana produksi mitos itu oleh kalangan media di Amerika, yang telah menjadikannya sebagai simbol sex dunia serta standar kecantikan dan keindahan perempuan lewat bidikan lensa fotografer. Representasi rasisme dan maskulinitas lewat fotografi dan media di Amerika di era tahun 19603an? Dalam karya3karya Morimura, banyak persoalan yang bisa kita angkat kepermukaan, seperti masalah jender, multikulturalisme, serta dunia postmodern. Transformasi tubuh Morimura menjadi siapa dan apa saja dari jaman kapanpun adalah konsekuensi dari sebuah pencapaian teknologi informasi yang semakin canggih, terutama komputer. Artikel Media+Massa

31


Morimura sempat mengatakan, "meminjam mahakarya hanya sebuah awal bukan kesimpulan, kupikir ini merupakan awal dari suatu perbincangan Panjang dengan pengamat". Ia mengajak kita ke dalam suatu diskusi Panjang tentang suatu politik kesenian dan kebudayaan di era nilai@ nilai tradisi yang mapan bisa saja runtuh dan jatuh menjadi barang konsumsi rendahan belaka (kitsch). Yang di satu pihak disebabkan oleh berbagai lembaga@lembaga (seni) modern seperti museum dan teknologi informasi global dalam usaha memediasikannya pada publik. Contohnya Van Gogh, dari kehidupannya yang tragis bisa dikonsumsi habis@habisan tak bedanya dengan dongeng pengantar tidur. Bagi Morimura gejala ini mungkin merupakan semacam kitsch yang tumbuh dalam masyarakat kontemporer secara stereotip. Dengan menyamar sebagai obyek@obyek lukisan para maestro, nilai@ nilai itu setidaknya bisa menjadi baru dengan merekonstruksi karya@ karya itu sendiri. Nilai@nilai baru itu justru menghidupkan kembali mahakarya tersebut dari sebuah kemandegan dan kematian nilai. Morimura membawa karya@karya itu pada konteks kehidupan kontemporer, di mana antara kehidupan dan kesenian tak terpisahkan. *** TEKNIK pengembangan digital fotografi memungkinkannya untuk "mengutip" (quotation) masa lalu (the past) sebagai data base yang luar biasa banyaknya untuk kemudian "dipungut" dan dikombinasikan (bricolage) sesukanya saja. Ia mentransformasikan alam dan konteks asli menjadi tanda@tanda yang secara bebas dimanipulasi sehingga menjadi bentuk fiksi yang sungguh nyata. Ia mengorbankan diri sekaligus identitasnya demi kelangsungan kebudayaan. Kita bisa bercermin dan merenungi dunia dan kebudayaan kontemporer lewat karya@karya Morimura. Kenyataan yang sedang kita jalani sekarang ini sekaligus nilai@nilainya mungkin saja hasil dari berbagai "kontruksi" 32

Artikel Media+Massa


yang maha canggih sehingga tak ada lagi satu kebenaran atau kenyataan. Kenyataan itu sebenarnya mungkin tak begitu indah. ***

Artikel Media+Massa

33


GERHARD(RICHTER:( IRONI(SENI(DALAM( ERA(REPRODUKSI( MEKANIK( DI awal 2002+ini,+kita akan disuguhi berbagai pameran

penting,+pertama yang+perlu dicatat adalah kedatangan karya<karya seniman Jerman Gerhard+Richter+yang+akan diselenggarakan di+dua kota.+Di+I+see+Imaging+Center,+ Jakarta,+21+Januari<11+Februari dan di+Galeri Soemardja,+ Bandung.+Pameran ini merupakan rangkaian pameran keliling dunia+yang+diselenggarakan oleh Departemen kebudayaan Luar Negeri Stuttgart+(IFA),+Jerman.

Artikel ini dipublikasikan di+ Harian KOMPAS+Sabtu,+26+ Januari 2002.+

34

Artikel Media+Massa


Richter merupakan satu dari tiga seniman Jerman segenerasi yang saat ini dikenal secara internasional, yang lainnya adalah Sigmar Polke dan Georg Bazelitz. Richter dikenal sebagai sosok seniman veteran yang cukup penting di Jerman saat ini dan juga sering dikaitkan sebagai pelopor gerakan Seni Pop Jerman tahun 1960Han. Lahir di Kota Dresden, Jerman Timur, tahun 1932 ia mendapat Pendidikan di Akademi Seni Rupa di kota yang sama dari tahun 1951 sampai 1956. Tahun 1949 sampai 1952 ia bekerja di periklanan dan menjadi pelukis panggung di Kota Zittau. Tahun 1961 Richter pindah ke Jerman Barat di Kota Dusseldorf dan melanjutkan kuliahnya di kota itu sampai tahun 1963. Lalu ia tinggal di Cologne sampai saat ini. Di kedua kota inilah Richter mengalami perkembangan penting dalam dunia artistiknya, di mana di tahun 1960Han pengaruh tradisi avantH garde serta latar belakang realisme sosial Jerman Timur bertemu. Ia pernah mengajar di beberapa perguruan tinggi sebagai dosen tamu. Tahun 1967 ia mengajar di Hochschule der Bildenden K|nste, Hamburg, dan tahun 1971 diangkat sebagai profesor di Academy of Fine Art, Dusseldorf. Berbagai penghargaan seni telah ia terima dari beberapa lembaga baik di Eropa dan Amerika. LukisanHlukisan Richter banyak bersumber dari citra fotografi, baik itu dari hasil jepretannya sendiri sebagai amatiran maupun dari gambarH gambar yang ditemukannya di media massa. Suatu kali ia mengemukakan bahwa fotografi merupakan cara melihat dan menawarkan pandangan yang baru, bebas dari berbagai kriteria dalam seni lukis. Bagi Richter fotografi memproduksi gambar murni yang mendorongnya untuk melukis. Berbeda dengan sikap dan cara seniman fotoHrealis Amerika, Richter menyikapi seni lukis untuk memproduksi citra fotografis. Di sini sikapnya terhadap seni lukis berubah dan bertolak belakang dengan seniman modern sejamannya yang melarikan diri dari fotografi dan terlalu terjebak dalam satu ideologi melukis. Artikel Media+Massa

35


Karya1 karyanya bervariasi baik corak maupun teknik, dari figuratif sampai abstrak, dari lukisan sampai fotografi. Antara tahun 1962 sampai sekarang, Richter telah banyak melukis realis (representasional) dan abstrak (nonrepresentasional). Obyeknya beragam mulai dari orang terdekat maupun di sekelilingnya sampai yang hanya dikenali lewat foto saja. Contoh seperti sang istri pertama, Ema (dalam Ema, Nude on a staircase, cat minyak di kanvas, 1966. penjudulan ini sering ia gunakan dalam beberapa lukisannya dan mengingatkan kita pada karya kubistik Marcel Duchamp). Ia melukiskannya dengan membuat penampakan yang samar1samar atau kabur seperti foto yang tanpa fokus. Richter juga melukiskan dengan teknik yang serupa dengan beberapa citra lainnya seperti foto hitam1 putih penyanyi opera terkenal Maria Callas dalam Woman descending the Staircase, (cat minyak di kanvas, 1965) atau foto sang paman Uncle Rudi (cat minyak di kanvas, 1965). *** Di dekade 19601an ia banyak memproduksi lukisan hitam1putih (grey scale painting) di mana ia meniru nuansa citra fotografi hitam1putih. Di fase ini banyak kritikus menghubungkannya dengan gerakan Pop dan Foto1Realisme di Amerika. Pernah ia membuat karya yang mengundang kontroversi ketika di tahun 1988 serial lukisan hitam1 putihnya berjudul October, 19, 1977, yang mengambil sumber dari foto jurnalistik di media massa. Yang menarik juga ketika ia melukis potret para cendikia maupun filsuf abad ke120 seperti Einstein, Sigmund Freud, dan lain1lain. Lukisan1lukisan abstrak (nonrepresentasional) Richter tampaknya kaya akan eksplorasi dan eksperimentasi warna, teknik, maupun material. Melukis abstrak dimulainya sejak tahun 19701an. Tiap karyanya merepresentasikan pencarian visual yang sangat enerjik namun juga 36

Artikel Media+Massa


penuh dengan sensibilitas. Itu tampak dari goresan, torehan, sapuan, maupun komposisi warna, yang otomatis namun penuh pertimbangan. Berbeda dengan karya abstrak ekspresionis dan formalisme, karya Richter tampak cenderung tanpa tendensi pada suatu kondisi psikologis tertentu. GambarAgambar abstraknya seperti tak ingin mempunyai makna, lebih cenderung menjadi indeks seperti juga citra fotografi yang rentan penafsiran yang majemuk. Hal itu bertolak belakang dengan kaum modernis yang mengandaikan adanya makna tunggal dan absolut di balik suatu citra. Dunia abstrak bagi Richter adalah suatu "dunia negatif" dari realitas yang tak bisa digambarkan, tak terlihat, tak tersentuh, dan tak terjelaskan. Ia menginginkan tiap lukisan abstraknya dianggap sebagai "gambar murni" sebagai tandaAtanda tanpa makna. Richter memberi kita suatu pengetahuan tentang dunia abstrak lewat tiap citranya. Dari warnaAwarna, tekstur, komposisi, maupun campuran dan goresannya yang sistematis penuh dinamika serta eksperimentasi. Kadang ia hanya menyajikan susunan tabel warnaA warna seperti tabel contoh warna yang biasa ditemui sewaktu kita memilih cat dinding atau mobil. Atau lukisan monochrom dan tekstur dengan berbagai macam permukaan. Seniman ini kadang terangsang oleh karyaAkaryanya sendiri. Ia memotret sebuah sketsa dari lukisan abstraknya. Karya yang berjudul 128 Photographs from a Picture (studio copy 1 dari 1, 1998), yang difotonya dari berbagai sudut pandang serta pencahayaan, maupun fokus. FotoAfoto hitam putih itu ia susun sedemikian rupa sehingga membentuk fragmenAfragmen citra baru. *** Kemunculan fotografi adalah stigma bagi dunia seni lukis modern. Secara fundamental seni lukis modern kemudian menjadi ritual strategi representasi dan artistik (politik). Bagi Richter dunia fotogafi merupakan sikap (attitude) yang lebih konseptual. Fotografi dan Artikel Media+Massa

37


melukis merupakan cara untuk memandang dunia dan memproduksi citra sebagai suatu pengetahuan. David Hickey seorang kritikus Inggris berkomentar bahwa tradisi melukis berubah setelah berkembangnya fotografi bukan sebab fotografi telah mengalihkan fungsi deskriptif seni lukis, tetapi fotografi memprioritaskannya dan tiap citra menguraikan acuan pada tiap pengamatnya. Bila seni lukis adalahsuatu informasi penuh kodeBkode (berbenturan dengan craftmanship), fotografi adalah informasi tanpa kode (analog). Maka sejauh dan selama mata memandang Richter tak pernah kehabisan obyek, apa pun dikonsumsi dan bisa direproduksi terusBmenerus (simulasi). Karya yang mirip suatu proyek dan dianggap merepresentasikan posisi dan pikiran Richter adalah karyanya Atlas, berupa 4.000 gambar yang dibagi dalam 633 panel. PanelBpanel itu berisi mulai dari lukisan, gambar, arsip, fotoBfoto baik yang dibuat maupun yang ditemukan dan dikoleksinya dari masa kini maupun historikal. Potret korban kamp konsentrasi, arsitektur, tokohBtokoh politik, kejadian sehariBhari, para selebritis, dan lainBlain. Ia mulai mengumpulkan berbagai citra dari tahun 1961 sampai 1996. Proyekini pernah ia tampilkan di pameran Dokumenta X dan Venice Biennale. CitraBcitra ini bagaikan memetakan pengetahuan kita pada suatu perjalanan dunia modern. Atlas merupakan indeks kehidupan manusia (kebudayaan) modern. CitraBcitra yang disusun tidak linier menurut waktu dan konteks sosial maupun geografis ini membuat kita sedikit memahami apa yang Richter pikirkan selama tiga dekade karir keseniannya. Tubuh Richter seperti sebuah kamera otomatis. Matanya bagai lensa, membidik obyek, merekam dan membekukan kejadian dengan instan. Gerakan tangannya secara otomatis memproses dan memindahkannya pada kanvas. 38

Artikel Media+Massa


Dingin, tanpa emosi, tanpa lelah seperti tubuh yang mesin. Seperti yang dikatakan oleh Charles Green (Small History of Photography, 1999), bahwa Richter yang pelukis bagai sebuah mesin yang memproduksi citra. Richter sendiri menolak adanya perbedaan yang mekanis dan yang natural. Maka kita tak bisa melihat suatu kedalaman intrinsik sang subyek lewat karyaGkaryanya, karena Richter adalah mesin itu sendiri seperti juga Andy Warhol. Tiap citranya merupakan ironi dunia seni dalam era reproduksi mekanis. Apa yang direpresentasikan Richter selama 40 tahun mempraktikkan seni lukis juga merupakan ironi dari dunia seni modern dan mungkin juga fotografi. Ia tak mempunyai ideologi tertentu, maka ia hanya memberi kita suatu pengalaman persepsi di jaman di mana citraGcitra telah mengisi keseharian kita. Richter memungut dan mereproduksi tiap citra dengan intensi yang hamper sama. Ihwal keorisinilan dan keotentikan telah ia buang sejak lama, apalagi menganggap seni sebagai ritual yang sakral. Bagi Robert Storr, seorang kurator dari MOMA, Richter merupakan tokoh seniman yang penuh ambigu dan kontradiktif. Tak heran Storr menjulukinya maestro of postmodern. Richter merupakan figur seniman yang bebas sekaligus paham dan sadar sepenuhnya akan sebuah permainan dalam dunia seni. Ia berada dalam posisi yang abuG abu, antara seni lukis dan fotografi, antara sang jenius dan sang peniru. Sekarang ini paradigma memandang dunia secara fotografi telah usai digantikan dengan kemunculan teknologi digital. Apakah seni pada masa yang akan datang lebih mempesona? Mungkin saja sang pengarang nan jenius telah mati tapi dunia citra tetap akan mempesonakan. ***

Artikel Media+Massa

39


40

Artikel Media+Massa


Melihat Dunia+ Lewat Mata+ Perempuan

SEJAK dimulainya praktik (seni rupa)+fotografi di+ Indonesia,+belum banyak muncul fotografer perempuan.+ Walaupun ada,+lebih banyak hanya sebentuk penyetaraan@penyetaraan pada cara pandang dunia+ lelaki.+Seolah menjawab tantangan itu,+maka tujuh perupa foto perempuan,+yang+rata@rata+berumur di+ bawah 30@an,+menampilkan berbagai ragam karya fotografi yang+sepenuhnya berupaya merepresentasikan "dunia+perempuan".

Artikel ini dipublikasikan di+Harian Kompas.+Senin 14+Mei+2003

Artikel Media+Massa

41


PAMERAN "Mata Perempuan" yang dimulai 13 Mei sampai 30 Juni 2003 di Galeri Oktagon, Jakarta, ini sungguh menarik. Para perempuan ini membawa berbagai ragam kecenderungan dan penjelajahan fotografi. Mereka menggarap mulai potret, alam benda, maupun eksplorasi teknis. Selain itu, mereka juga memperlihatkan keberanian untuk keluar dari batasJbatas konvensi fotografi dan sekaligusJyang paling sulitJmendobrak dominasi cara melihat lelaki. Lihatlah contohnya, seperti karya Ayu Ismalia Nuraini, kelahiran Jakarta tahun 1979. Ia menampilkan berbagai potret para tokoh perempuan Indonesia yang bernuansa hitam putih, mulai dari potret wajah Bu Kasur, Ratna Sarumpaet, Julia, sampai SK Trimurti. Ayu yang berprofesi sebagai fotografer di sebuah tabloid di Ibu Kota telah memperlihatkan watak dari para tokoh itu secara dramatik dengan ekspresi wajah yang tegas hasil pencahayaan yang searah. Di tangannya, wajahJ wajah itu memancarkan suatu semangat hidup yang ambigu. Itulah suatu kelelahan dari tegangan dan pergulatan antara perjuangan dan takdir yang harus diterima. Citraan foto yang bernuansa melankolis tentang sosok perempuan bisa dilihat pada karya Maria Lasakajaya yang menampilkan juga fotoJfoto hitam putih dan sekaliJkali menampilkan cahaya kebiruan yang dipancarkan ke wajah subyeknya. Fotografer lulusan Universitas Trisakti tahun lalu ini justru tak ingin membawa pemirsa pada usaha penyetaraan jender. Dari fotonya yang liris memancar perempuan yang tampak tertekan dan putus asa. Ia menginginkan kita menyadari bagaimana dunia perempuan kebanyakan terusJmenerus disituasikan oleh keterimpitan kekuasaan kaum lelaki. Hal itu ditegaskan oleh karyaJkarya Maya Ibrahim yang menyajikan deretan foto hitam putih yang mencitrakan, secara naratif, bunga mawar putih yang tengah terbawa arus air, terombangJambing tak menentu, dan akhirnya terkaramkan. 42

Artikel Media+Massa


Karya fotografer lulusan IKJ ini memancarkan ketakberdayaan kaum hawa dengan menggunakan simbol=simbol umum, yang juga merepresentasikan adanya ingatan=ingatan kolektif yang kuat dalam masyarakat. Pun karya= karya Widya Sartika Amrin yang memainkan bayangan=bayangan tubuh perempuan di balik layar. Gestur tubuh=tubuh itu memancarkan "bahasa perempuan" yang sangat khas tapi umum, merefleksikan jiwa muram. Walaupun begitu, seluruh karya mereka tak melulu memberikan pemandangan kelabu tentang dunia perempuan di Indonesia. Lihat saja karya=karya Stefanny Imelda yang bernada sinisme, baik itu ditujukan kepada dunia lelaki maupun kaumnya. Seperti karya Unborn, di mana ia menampilkan secara rampak citraan janin bayi dalam botol diapit di antara dua citraan urinoir lelaki. Lalu yang lain adalah Wedding, di mana lulusan jurusan IKJ itu merampakkan dua citraan foto sepasang kursi dan yang lainnya adalah gelas=gelas anggur yang tampak baru diminum. Sedangkan karyanya yang berjudul Ladies lebih kritis, menampilkan citraan tiga sosok maneken bernuansa hitam putih dalam ruangan yang dramatis. Stefanny, yang berprofesi sebagai fotografer lepas, kerap memperlakukan benda keseharian menjadi suatu fiksi untuk kepentingan=kepentingan yang personal. Benda=benda itu di matanya seakan membawa banyak jejak, antara kenangan, hasrat, maupun pada trauma perempuan. "Ranah digital" sepertinya memberikan ruang perubahan besar dalam dunia fotografi kontemporer. Bukan hanya "memudahkan" persoalan teknis, tetapi lebih jauh bagaimana batas fotografi telah bersinggungan dengan dunia visual lainnya, terutama grafis. Karya foto serial Make Me Over Vitri Yuliany mungkin memberi penegasannya. Karya=karya foto lulusan IKJ tahun 2000 ini sarat dengan permainan grafis, seperti mengubah dan menambah warna maupun teks=teks di atasnya. Permainan berbagai elemen rupa itu mendukung subyek yang digarapnya, yaitu tingkah laku para pesohor yang sedang berdandan di belakang layar. Vitri menangkap pemandangan itu untuk memperlihatkan sisi kehidupan yang sering terabaikan oleh kebanyakan orang, terutama di dalam masyarakat penonton. Artikel Media+Massa

43


Karya0karya foto digital dari Keke Tumbuan lebih merambah pada sisi0 sisi personal dirinya sendiri. Dalam seri foto Jhonny, misalnya, ia menampilkan berbagai bibir pria dengan beragam ekspresi, dengan meng0close up0nya sampai batas bawah hidung. Penambahan warna0 warna pastel, dengan komputer, pada beberapa bagiannya memberi aksen yang menyolok mata dan cenderung meriah, terutama dengan cara penyusunannya secara rampak. Perempuan yang pernah mendalami fotografi di Amsterdam ini secara menarik menampilkan deretan citraan foto dari bagian halaman buku hariannya. Di sinilah pemirsa diperlihatkan pada kehidupan paling pribadi dan intim dari seorang perempuan. Potongan0potongan kalimat yang tertera serta sketsa0sketsa di sana memancarkan ungkapan0ungkapan paling jujur, spontan, dan menggelitik. Buku harian bagi seorang perempuan adalah dapur paling rahasia. Namun, mungkin karena tampil hanya sebagian, maka para pemirsa boleh menghayalkan kelanjutannya. Dari karya Keke kita beroleh suatu gambaran tentang kehidupan perempuan dalam masyarakat kontemporer, yang ternyata justru tak harus menunjukkan sikap dikotomis, antara lelaki dan perempuan. Keduanya mempunyai fisik dan pandangan berbeda dalam memahami dunia serta hasrat kehidupan. Hanya saja "ruang0ruang ketiga" ini belum sepenuhnya bisa dikembangkan, terlebih di Tanah Air. ***

44

Artikel Media+Massa


Yang#Inferior# Menjadi Superior Di#Galeri Nasional Jakarta,+ada suguhan

sebuah pameran yang+pantas,+bahkan wajib dikunjungi,+ terutama oleh para+calon seniman,+seniman,+ pengamat,+serta mereka yang+mengaku sebagai pencinta seni.+Pameran Contemporary+Japanese+Crafts:+ materials+and+way+of+formative+thinking,+yang+dimulai sejak 12+Juni sampai 12+Juli 2002,+benarFbenar memancarkan sebuah etos kerja maupun pemikiran artistik yang+begitu mendalam pada materialnya.

Artikel ini dipublikasikan di+ Majalah TEMPO+,+07+Juli 2002

Artikel Media+Massa

45


Pameran yang menyertakan 61 karya 18 seniman kriya kontemporer dari berbagai pelosok daerah di Jepang ini menunjukkan kreativitas dan tingkat keragaman kreasi yang tinggi. Lihatlah karya keramik halus atau porselen dari Akihiro Maeta, yang menampilkan kesederhanaan bentuk bejana dengan teknik anjun. Dilihat dari permukaan karyanya yang kontras namun lembut dan seimbang, tampaklah bahwa seniman yang memadukan teknikCteknik menekan dan memijit ini mempunyai sentuhan artistik yang sensitif. Ini berbeda dengan patung keramik Harumi Nakashima, yang menonjolkan bentuk benjolan setengah bola yang mengarah keluar dan penambahan motif polka dot. Semua ini membuatnya kelihatan dinamis, organis, pop, dan seksi. BentukCbentuk yang ramping, runcing, dan aerodinamis diperlihatkan dari karyaCkarya Sueharu Fukami. Dengan bahan porselen berglasir hijau muda ala chinaware dan teknik cetak tuang serta sistem penyambungan yang serasi dan akurat, karyaCkaryanya berusaha melawan takdir dan mitos material. Karyanya berunsur klasik sekaligus mencerminkan semangat zaman industri dan konstruktif. Yang juga pantas dicatat adalah Etsuko Tashima, yang menampilkan bentukCbentuk bercorak flora yang feminin. Perempuan kelahiran Osaka tahun 1959 ini suka dengan putihnya warna tanah yang berbentuk kelopakCkelopak bunga digabung dengan warnaCwarna pastel gelas. Keserasian cita rasa dalam memilih warna dan material yang berkesan futuristik. Gelas tiup (blowing glass) yang menakjubkan itu merupakan tradisi klasik beratus tahun yang sudah jarang dipraktekkan. Dengan kemilau halus dan kebeningan permukaan gelas kita bisa merasakan sensasi material serta keabadiannya. Dalam sebuah lokakarya di Bandung, Yoshihiko Takahashi, seorang pionir peniup gelas di Jepang, telah menunjukkan bahwa teknik gelas tiup merupakan produksi artistik yang melibatkan proses yang indah, sensasional, membutuhkan energi tubuh, keputusanCkeputusan yang cepat, dan kesabaran yang tinggi. Tak mudah dan juga tak murah untuk melakukannya. 46

Artikel Media+Massa


Pameran kriya kontemporer dari Negeri Sakura ini menunjukkan bahwa wacana kriya telah mendapat perhatian khusus dalam sejarah perkembangan seni rupa modern di Jepang. Dalam pengantar di katalog, disebutkan bahwa kriya kontemporer di Jepang berakar pada era Meiji (1868F1912), saat Jepang mulai membuka diri terhadap modernisme Barat. Setelah Perang Dunia II, banyak kelompok perajin yang keluar dari tradisi keFrajinan tradisional Jepang dan muncul kriya personal yang menghasilkan karyaFkarya nonFfungsional, jauh dari konotasi wadah. Tapi, dalam perkembangannya, kelompok perupa kembali pada tradisi bentukFbentuk wadah dan terjadi dualitas karena tetap didasarkan pada ungkapanFungkapan personal. Sehingga terjadilah dikotomi dua wacana: seni murni dan kriya dalam tradisi seni modern di Barat. Budaya Jepang kontemporer mempertemukan entitas nilai tradisional dan modern mereka hidup berdampingan dan saling menguatkan. Dalam pameran itu, kita bisa menyaksikan bendaFbenda seni yang melampaui paradigma seni/kriya. Karya Tsukasa Kofushiwa, berupa "patung" perahu berwarna hitam dari bahan kain bercampur jerami berlapis lakuer, misalnya, memancarkan "keprimitifan" hasil dari perlakuan material dan membiarkan jejak ungkapan personal pada kualitas permukaannya. Lihat pula karyaFkarya lempengan logam kuningan tempa dari Yasushi Tanaka yang berjudul Fractal Ball The Development From Two Balls (tahun 2001), yang disusun lebih seperti karya instalasi umumnya. Juga karya Masayuki Hashimoto, Orchard: Sunlight Penetrating Fruit, Fruit in Sunlight Filtering through Leaves (1978) yang dua bagian logam tembaga ketoknya membentuk semacam makhluk asing besar dan kehitaman. Dua seniman di atas membawa kita pada pemahaman akan kekriyaan yang menuntut penguasaan bahan dan sensibilitas, tanpa harus melenyapkan jejak personal. Artikel Media+Massa

47


Tentu saja, sebagai bangsa yang punya banyak ragam tradisi kriya, kita boleh merasa "rendah diri" atau "iri" setelah melihat pameran ini. Seni kriya di Jepang telah menghasilkan karya?karya miliknya sendiri, dan berbeda dengan perkembangan seni rupa di Barat—dari yang inferior menjadi superior. Sebenarnya di Tanah Air tradisi "kekriyaan" adalah potensi yang masih dikelilingi berbagai persoalan, mulai dari sistem produksi, pasar, hingga budaya konsumsi masyarakatnya. Sedangkan dalam wacana seni rupa kontemporer kita, nilai?nilai tradisi kriya masih sebagai semata lips service para elitis: pejabat, budayawan, akademisi, seniman yang menjadikan kriya justru makin sulit dan inferior untuk muncul sebagai suatu praktek artistik yang bermakna. Sungguhlah belum muncul suatu "wacana di antara" yang tegas keluar dari dikotomi dua seni rupa kita. ***

Yoshihiko+Takahashi.+Glass

48

Artikel Media+Massa


Tantangan Fotografi dalam Era3Rekayasa Digital3 (Sebuah Refleksi) SETELAH lebih satu setengah abad sejak diperkenalkan

dan dikembangkan,+fotografi telah memberikan sumbangan yang+sangat berarti bagi gerak kebudayaan manusia modern+ terutama sepanjang abad ke;20.+Fotografi adalah revolusi dalam cara pandang manusia (the+way+of+seeing/vision).+ Fotografi bukan hanya menciptakan citraan yang+begitu akurat,+ rinci dan obyektif dalam mengapropriasi realitas.+Lewat aparatnya:+kamera dan proses+cetak kimiawi film+negatif,+yang+ begitu cepat.+

Artikel ini dipublikasikan di+Harian Kompas 12+Mei+2002

Artikel Media+Massa

49


Fotografi juga memberikan dampak yang lebih melebar. Tiap citraan fotografi bisa digandakan tanpa batasan jumlah salinan (copy), terlebih meriapnya pengembangan reproduksi mekanik, penyebarluasan citraan fotografi semakin luas. Fotografi menjadi model ''seni'' yang dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat secara massal, lewat berbagai lembaga, seperti media massa, penerbitan buku. Fotografi menjadi simbol dari semangat budaya modern: demokratisasi dunia citraan (sebelum diciptakan fotografi, seni lukis hanya bisa dimiliki kelas tertentu dalam hirarki masyarakat). Sifatnya yang obyektif, menjadikan citraan fotografi dijadikan sandaran kebenaran di berbagai aktivitas sosial, politik, seni, sain dan teknologi. Fotografi (termasuk juga pengembangannya: film, video dan televisi) merupakan sistem informasi bagi segala misteri manusia, sampai hal yang paling tersembunyi. Berbagai hal telah dipelajari, dianalisa, diamati, dibedah, fotografi bagi manusia modern adalah sumber pengetahuan: sebuah kekuatan. Susan Sontag (dalam esai sohornya, On Plato's Cave) mengemukakan, bahwa fotografi menghasilkan tata bahasa baru bahkan yang paling penting adalah telah membentuk etika cara pandang. Kehadirannya di manaKmana (omnipresence) telah dicerap dan mengendap di dalam benak tiap manusia modern sebagai sebuah antologi citraanKcitraan. Andri Malraux, sastrawan dan intelektual Perancis pernah mengatakan bahwa era fotografi dalam reproduksi mekanik telah menghasilkan museumKmuseum tanpa dinding, khayal. Fotografi telah melebur dalam mental sebagai konstruksi pengalaman. Bila masyarakat ''primitif'' mengusir ''roh jahat'' (exorcism) dengan topengKtopeng, masyarakat borjuis punya cermin, maka manusia modern punya foto! Begitulah filsuf kontemporer seperti Jean Baudrillard menganalogikan. Artinya fotografi dalam budaya manusia modern seperti juga "jimat". Kita memasuki abad baru, dimana telah terjadi evolusi dalam perkembangan teknologi media, yaitu digital. Dalam dunia digital, 50

Artikel Media+Massa


semua data, tak terkecuali citraan foto, ditransformasi dan terurai dalam bentuk kode7kode numerik, menjadi zat yang fleksibel, hampa, virtual. Perkembangan fotodigital (dan pengembangan kamera digital dan komputer grafik) membuat proses produksi dan reproduksi citraan begitu pesat. Dalam proses foto digital, kita bisa menggubah, memindahkan, memotong, menimpa, mengobrak7abrik citraan tanpa harus mengganggu salinan asli hanya dengan hitungan detik. Hebatnya lagi tiap citraan bisa keluar (output) di atas permukaan apa pun dan ukuran yang gigantik sekalipun. Dalam bentuk: negatif film, video, piringan (disc), transparansi, di atas: kertas foto, plastik, kanvas bertekstur bahkan ditampilkan secara virtual lewat jaringan di Internet. Dengan biaya relatif murah dan mudah. Rekayasa digital membawa dampak yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat kontemporer di berbagai segi. Bila Anda menemukan foto seorang selebritis Ibu Kota yang masyhur, dalam keadaan bugil dan gaya seronok (di Internet maupun sebuah tabloid), patut dicurigai itu adalah hasil pekerjaan seorang ''seniman''. Atau tiba7 tiba Anda dikejutkan oleh berita lelaki hamil, lengkap dengan hasil penelitian medis, seperti pernah dimuat di sebuah harian nasional tahun lalu. Jangan heran itu ternyata hanya ''tipu daya'' seorang seniman dari New York. Atau juga menyaksikan adegan panas sepasang anak muda, yang menyentuh moral kita beberapa waktu lalu, yang ternyata mereka bukan bintang porno dan memang bukan pornografi. Tetapi hanya ''rekaman pribadi'' yang ''tercuri'' dari data di dalam komputernya. Jutaan keping reproduksi VCD laku keras ''di pasaran'', yang menonton mungkin melebihi film Jelangkung atau Ada Apa Dengan Cinta? Sialnya kedua pasang anak muda ini hanya mendapat: caci7maki dan dikucilkan lingkungannya! Tak ada badan sensor atau nilai7nilai yang mampu menahan arus baru dalam model reproduksi era digital. Kita harus rela mempertaruhkan baik yang etik maupun estetik. Segala batasan telah diruntuhkan, termasuk juga batas antara kebenaran dan kebohongan, profesional dan amatir, tak ada lagi dominasi moral. Artikel Media+Massa

51


Itulah kenyataan yang menghantui dunia fotografi. Sebagai suatu model acuan kebenaran dan nilai normatif, fotografi mulai diragukan dan dipertanyakan. Fotografi memasuki krisis representasi. Haruskah fotografi (konvensional termasuk film) seperti seni lukis, yang dahulu menarik diri dari fungsinya sebagai bagian dari ritual agama atau kehidupan sosial, menjadi dunia "fotografi untuk fotografi " atau seperti kata Walter Benjamin menjadi sebuah kehidupan yang berbasis pada ritual politik? Bila begitu fotografi akan memasuki kehidupannya yang baru, yaitu kehidupan otonom yang penuh ''kepuraIpuraan''. Menghamba pada dirinya sendiri. Dalam perkembangan seni rupa kontemporer dunia, fotografi (termasuk film) telah memasuki arena sebagai parasit atau aparat ritual seni. Mulai dari para Dadais, Surealis atau dalam gerakan Bauhaus dan seni konseptual. Namun, fotografi sebagai suatu etika cara pandang dimulai pada dekade 60Ian. KaryaIkarya para seniman seperti Andy Warhol, Francis Bacon, Gerhard Richter, dan Edward Hopper misalnya, adalah fase yang cukup penting, dimana tradisi seni lukis berbenturan dan tumpangI tindih dengan nilai fotografis. Di masa inilah terjadi ''ledakan ke luar'' (explotion), dimana citraan fotografi mulai membentuk konstruksi mental masyarakat industri lewat meriapnya media massa dan lembaga periklanan. Maka karyaIkarya mereka dianggap mewakili model estetika masyarakat industri. Fase berikutnya adalah terjadinya apa yang disebut: ''ledakan ke dalam'' (implotion), dimana fotografi (dan film) sebagai konstruksi nilai kehidupan telah bergulir dan disimulasikan. Para seniman simulasi seperti Cindy Sherman, Sherrie Levine atau Yasumasa Morimura kerap meminjam (mengonsumsi) dan mengapropriasi citraanIcitraan dari film populer, reproduksi karyaIkarya seni lukis dan fotografi para maestro maupun potret para selebritis dunia. KaryaIkarya alegoris seperti mereka merepresentasikan model konsumsi dan estetik masyarakat paskaI industri. Penggunaan teknik dan media fotografi sangat populer dalam fase ini termasuk juga film dan video. 52

Artikel Media+Massa


Di lain pihak, dalam waktu yang bersamaan muncul juga para fotografer memasuki arena seni rupa kontemporer. Mereka adalah fotografer profesional yang bekerja secara individu dan juga sering bekerja untuk lembaga seperti periklanan dan media massa. Seperti Helmut Newton, Robert Mapplethorpe, Richard Kern, Nan Goldin, dan Neboyushi Araki. CitraanGcitraan yang dipancarkan lewat karya mereka merepresentasikan potret denyut masyarakat urban kontemporer kehidupan seks, kerumitan, kesensualan, keglamoran, kejenakaan, kekerasan, kehampaan: grotesk. Lewat merekalah dunia fotografi memasuki peran ganda: sebagai praktik sosial, dari merekalah konstruksi kehidupan dikanonkan. Sebagai ungkapan personal mereka memberikan semacam dunia perantara, di antara yang intim dan umum, sengaja dan kebetulan, sakral dan profan, amatir dan profesional, natural dan kultural. Mereka merepresentasikan keparadoksan akan kehidupan budaya citraan. Sekaligus juga fotografi sebagai sebuah praktik produksi artistik yang penuh ''kepuraGpuraan'' dalam kultusnya sebagai pembawa "jimat": kebenaran nilai. Fotografer kontemporer adalah mereka yang rela berjalan diatas sampah kebudayaan modern, mengaisGngais kebenaran di tengah tumpukan kebohongan Tak ada yang ingin memastikan kapan berakhirnya fotografi. Namun, sebagai sebuah aktivitas berdasarkan kesenangan personal mungkin tetap hadir dalam kehidupan kita. Fotografi akan menjadi medium klasik dalam produksi citraan yang penuh puitik dan melankolis. CitraanGcitraan fotografi akan menempati museumGmuseum seni, mengisi tiap halaman katalogGkatalog atau mengisi rumahGrumah kolektor. Yang pasti fotografi akan memainkan perannya yang baru. Mungkin seperti karya seniman JepangGAmerika; Moriko Mori yang mencoba memberi realitas pada dunia khayal (baca: digital). Perkembangannya di Indonesia? Di satu pihak praktik seni rupa kontemporer kita tampaknya masih bersikukuh menjalankan dominasi seni lukis terutama dalam sistem pasar.

Artikel Media+Massa

53


Di pihak lain, para pelaku fotografi masih didominasi oleh batas:batas wilayah dan kriteria artistik yang sudah usang atau hanya secara permukaan dan suka bersandar pada satu kebenaran. Walaupun ada yang memasuki wilayah ''kepura:puraan'' seni tetapi masih sebatas apa yang disebut pictorial photography atau masih suka mengolah segi:segi teknis dan formal. Atau kita telah melewatkan praktik fotografi di wilayah aktivitas sosial yang lain? Tidakkah banyak contoh karya:karya seniman kontemporer kita juga terimbas citraan fotografi dan punya mental fotografis macam seniman Agus Suwage, Chusin Setiadikara, Ivan Sagito, Asmudjo, Tisna Sanjaya, Melodia. Apakah kita lupa bahwa fotografi telah mengafirmasi keseharian kita? Sungguhlah dunia fotografi memang begitu menantang. ***

54

Artikel Media+Massa


Menengok Jendela Memandang Representasi Baru Sekelompok seniman dari Yogya yang+

menamakan dirinya Kelompok Seni Rupa+Jendela,+ tengah “menyerbu�+Kota+Bandung.+Pameran karyaB karya mereka yang+bertajuk Ectaticus Mundi+ini berlangsung di+Selasar Sunaryo Art+Space,+mulai tanggal 20+Juni sampai dengan 20+Juli 2002,+dan kemudian akan berlanjut di+Air+Art+House,+Jakarta,+ pada 26+Juli hingga 14+agustus mendatang.

Artikel ini dipublikasikan di+Harian Kompas,+Sabtu,+22+Juni 2002

Artikel Media+Massa

55


Karya1karya enam pemuda perantauan asal Minang, mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia, memang selalu memancarkan semangat artistik yang Gairah ini datang dari tawaran mereka atas idiom dengan benda1benda tiga dimensional.

yang semuanya Yogyakarta, ini menggairahkan. lukisan sampai

Lihatlah karya1karya M. Irfan, pria kelahiran Bukit Tinggi tahun 1972, membuat lukisan dengan permainan1permainan garis, warna, dan juga tanda1tanda. Karyanya yang berjudul Spirit of Unity (akrilik di atas kanvas, 2002), sekilas seperti permainan optis: garis1garis lurus vertikal dengan warna1warna cerah, tetapi di tengahnya membentuk kontur bagan sebuah rumah dari kemiringan garisnya. Permainan serupa tampak pada karyanya Oase (akrilik di atas kanvas, 2002) dengan garis1 garis biru di atas dasar warna merah, penekanan kuas yang bebas namun teratur berirama menebal pada bagian bawah sehingga membentuk gelombang dan berdimensi. Karya1karya Irfan ini tidak seperti karya1karya Optic Art yang sangat matematis dan rajin dalam mengolah tipuan mata. Ia hanya memainkan rangsangan pandangan kita dengan kesensibilitasannya mengolah materi dan mitos. Seperti karyanya berjudul Forbidden Landscape (media campuran, 2002) dengan menampilkan motif yang mengingatkan kita pada kain loreng militer. Di samping kanannya, diletakkan potongan kawat berduri. Perpaduannya merangsang ingatan kita pada sebuah nuansa yang tak asing dalam konteks keseharian, suatu stigma masyarakat yang ingin dilupakan banyak orang. Karyanya hampir mirip dengan perlakuan karya1karya Yunizar, (kelahiran Talawi tahun 1971) yang juga senang mengolah permainan garis dan titik. Kadang datar tanpa gejolak dan pretensi kadang agak tendensius dan konotatif, seperti pada karyanya, Sesuatu (akrilik pada kanvas), yang bidang kanvasnya hanya berisi totol1totol hitam seperti di bagian atas seonggok torso. 56

Artikel Media+Massa


Dominasi permainan4permainan dimensi, sifat material, dan pemaduan benda4benda juga bisa kita lihat pada karya4karya lainnya. Sebutlah seperti pada karya Handiwirman (lahir di Bukit Tinggi 1975), yang menyusun lidah4lidah yang menjulur terbuat dari resin tertanam pada dinding dan di atas selembar kartu pos bergambar pemandangan lukisan Mooi Indie. Pada beberapa lidah itu ia memasang hiasan4hiasan sehingga seperti tindik yang sedang menjadi mode anak punk sedunia. Karyanya yang berjudul Melet (Rolling Stonekah itu ..) tahun 2002, ini seperti sesuai dengan keharfiahan maknanya yaitu sedang mencibir atau muak. Silahkan tebak sendiri siapa yang diejeknya. Yang lain adalah karyanya berjudul Patah Hati #4 (2001). Ujudnya sebuah benda persegi yang dari badannya tumbuh merata gumpalan benang seperti sumbu, yang ditopang dengan empat kaki yang panjang dan runcing dari tembaga. Janggal, asosiatif, sekilas mirip badan kuda tanpa kepala. Kecenderungan menghias sangat kuat seperti pada karya Patah Hati #3 (2001), berupa deretan benda seperti pisau logam berwarna hitam yang diberi hiasan bulu4bulu berwarna merah jambu di sisi4sisinya. Paduan kontradiktif antara dua benda dan sifat materi yang cenderung menjadi lucu, kitsch. Yusra Martunus (lahir Padang Panjang, 1973) yang bermain dengan takdir bahan, mencoba memaknainya kembali dan menawarkan pada kita tentang mitos dunia materi yang baru, bermain ruang dan efek jatuh cahaya. Pada karya 200211 ia menyusun logam4logam aluminium cor berbentuk lengkungan (seperti huruf “U� terbalik) dekat jendela sehingga ketika tersinari cahaya akan menimbulkan kemilau yang lembut. Karyanya, 200213 dan 20024, menyerupai sarang tawon yang menggantung dari gumpalan kawat berduri dan rumitnya benang kusut dan kawat besi. Berdeda dengan Yusra, Rudi Mantofani (kelahiran Padang, 1973) rupanya lebih suka dengan bermain dengan datarnya bidang kanvas Artikel Media+Massa

57


dipadu dengan materi lain. Seperti karya Mengisi Putih, berupa bidang kanvas putih yang tengahnya ia isi dengan akuarium kecil lengkap dengan air, ikan, mesin pompa dan dekorasinya yang dibuat seperti gunung api mini. Rudi menyejajarkan dunia benda keseharian dengan dunia seni, pensejajaran tanda@tanda yang punya konotasi ideologis sehingga tampak sinis. Perlakuan serupa tampak pada karya berjudul Tirai Awan, sebidang kaca persegi dengan bercak@bercak putih di atasnya. Memang kita bisa melihat pemandangan alam di luar lewat kacanya itu yang penuh “awan”. Kembali, suatu penyejajaran bentuk dan makna secara harfiah. Yang masih kuat nge@Yogya adalah karya Jumaldi Alfi (kelahiran Lintau, 1973). Ia masih konsisten dengan keahlian tradisi melukis, dengan warna cerah, penggambaran yang tertib dan formal. Karya Parasite (How to Explain Picture to …), susunan lima kanvas yang masing@masing menggambarkan potret dirinya sedang duduk sambil memegang bola dengan posisi yang sama. Hanya latar belakangnya berbeda@beda nuansa. Ada yang berlatar gambar bebek@bebek mainan anak, susunan huruf arab, bunga, api dan batu. Karyanya merupakan alegori dari karya Joseph Beuys dan Agus Suwage. Karya Alfi ini menggeser pendapat Dwi Marianto pada suatu pameran beberapa tahun lalu ketika ia mengemukakan gejala “ledek@meledek” dalam dunia seni rupa kontemporer dekade 1990@an di Yogya. Jika dulu Dwi membicarakan pada konteks sosial@politik, meledek para penguasa, sekarang “anak@anak Jendela” ini lebih memandang sinis pada dunia itu sendiri; dunia yang mereka geluti, mencibir pada diri sendiri, membebaskan diri dari kemapanannya. Tentunya pemandangan seni seperti ini cukup menarik untuk disimak. Karya@karya mereka merepresentasikan suatu kondisi adanya 58

Artikel Media+Massa


kebimbangan di antara mereka terhadap makna sosial dunia seni, dunia pura8pura atau seperti kata Agung Hujatnika dalam tulisan kuratorialnya yang menyebutkan sebagai wacana benci dan rindu. Suatu “keindahan� yang muncul dari rasa: “kebencian terhadap seni yang pada saat bersamaan diekspresikan melalui rasa cinta yang mendalam�. Seni yang diniscayakan sebagai aktivitas yang mempunyai nilai pencerahan: suatu potensi medan pertukaran nilai humanisme namun sekaligus juga barang dagangan yang punya nilai investasi (komoditas). Namun, mereka sepertinya tidak mempersoalkan dikotomi itu bahkan memainkan peran ganda. Justru mungkin itulah potensi yang meyakinkan mereka terus menggeluti dunia artistik, yang kadang memang harus kembali pada keterpesonaan material dan permainan tanda, menjalani ritual politik seni. Menjadi sebuah kemabukan, kegilaan, kegairahan, dan maniak pada dunia tanda8tanda demi keberlangsungan kreativitas. Dengan demikian dari “jendela� Yogya ini mungkin kita bisa melihat pemandangan seni yang mengantarkan pada suasana dan pemaknaan baru akan dunia benda8benda yang memenuhi keseharian kita. Suatu tanda pergeseran seni rupa kontemporer dalam memasuki era representasi baru dengan: sensibilitas, perilaku, dan identitas yang baru pula. ***

Artikel Media+Massa

59


Dunia+(Seni)+Benda1 benda dan Refleksi Budaya Kontemporer SEJAK

beberapa tahun terakhir,+perhelatan seni rupa kontemporer kita dimeriahkan oleh berbagai pameran yang+ berlingkup seni kriya+kontemporer dan kadang beberapa menyebutnya seni obyek.+Saya+pernah menulis tentang pameran bertajuk "Object"+yang+berlangsung di+Fabriek Art+Project,+ Bandung+(almarhum),+22+JuniF10+Juli 2002,+di+media+ini.+

Artikel ini dipublikasikan di+Harian KOMPAS Minggu,+28+November+2004

60

Artikel Media+Massa


Pernah juga menyaksikan pameran di Galeri Lontar yang menghadirkan beberapa pameran yang bernuansa obyek, seperti perupa Handiwirman dan pameran kelompok pematung seperti Yuli Prayitno, Yusra Martinus, dan Hedi Hariyanto setahun lalu. Di Yogya ada Galeri Benda, yang secara tegas hanya memamerkan seni bernuansa obyek dan kriya kontemporer. Lalu bagaimana kita mewacanakan dan memetakan seni ini dalam perkembangan seni rupa Indonesia? Saya menduga kecenderungan telah hadirnya dan makin menunjukkan kemapanan ruang irisan dalam praktik seni rupa kita. Kecurigaan ini didasari dari premis yang dilontarkan beberapa kritikus, seperti (alm) Sanento Yuliman dalam "Dua Seni Rupa" dan kurator Asmudjo sering mengomentari persoalan kriya kontemporer dalam beberapa diskusi. Tahun 2000 yang lalu saya mengunjungi Kota Sydney dan Adelaide, Australia. Di Sydney mereka punya OBJECT Gallery, isinya dipenuhi berbagai benda dari keramik, metal, kayu, plastik, kaca, dan kombinasi berbagai bahan. Mulai dari pernakSpernik yang bersifat hiasan, aksesori, kebutuhan alat dapur dan tableware, hingga bendaSbenda tak fungsional yang sculptural. Yang membuatnya? Mereka terdiri dari para perancang, arsitek, dan seniman, bahkan beberapa dikenal sebagai perupa kontemporer. Di Contemporary Museum of South Australia, Adelaide, mereka punya koleksi karyaSkarya seniman kontemporer yang mewakili negeri itu yang justru merepresentasikan kekuatan seni kriya mereka. Ada hal yang mencolok dari pemandangan itu. KaryaSkarya dengan kategorisasi kriya kontemporer maupun seni obyek selalu berintensi dengan material dan bentuk, tetapi juga tak lepas dari masalah konseptual. Hal lain yang sangat menonjol adalah bahwa dalam seni seperti ini tampak ada kelanjutan tradisi kriya masa lampau yang berupa kebiasaan manusia membuat barangSbarang fungsional untuk memenuhi kebutuhan sehariS hari (domestik). Sebutlah itu seperti bendaSbenda dari keramik, gelas, maupun logam. Beberapa karya perupa Australia, Fiona Hall, misalnya, sangat kental dengan pekerjaan domestik "perempuan rumahan". Maka kriya punya sisi feminine. Artikel Media+Massa

61


Beberapa waktu lalu saya memamerkan instalasi kaca atau gelas perupa Jepang, Hiromi Masuda, di Bentara Budaya Jakarta. Dia mengemukakan bahwa ketika mengalami proses pembuatan gelas@gelasnya, dia merasa bebas untuk bermain@main, tak ada pikiran lain, selalu muncul spontanitas mengubah bentuk, berdialog dengan materi. Ungkapan beliau mengingatkan pada saat saya masih duduk di bangku kuliah, di mana ketika itu Rita Widagdo sering mengingatkan bahwa material, apakah tanah liat, kayu, besi, mempunyai potensi untuk mengomunikasikan sesuatu lewat sifat alami atau wataknya. Mengasah sensibilitas estetik lewat bahan atau materi ini memang sangat kental di ITB sehingga sering dicap formalis. Namun, beberapa hal ajaran ini sangat penting untuk mendapatkan dasar@dasar memahami seni, termasuk kepekaan kita akan memahami bahan itu sendiri. Sisi craftsmanship masih menjadi keutamaan dalam proses berkesenian, tetapi sekaligus juga tersisih perannya. Bukankah tak ada gambar yang kuat tanpa kita memahami sifat pensil dan kertas, tak ada lukisan yang baik tanpa disertai kemampuan menguas dan memahami cat? Tetapi kemudian ada arus pemikiran bahwa seni rupa meremehkan sensibilitas material, yang tak lain dikanonkan oleh para Dadais, terutama Marcel Duchamp hingga gerakan konseptualis. Di Indonesia, kecenderungan ini dimulai oleh Persagi lalu Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) pada tahun 1970@an, di mana seni selalu terkait dengan pertarungan arus besar ideologi masyarakat dan bangsa. Asmudjo Jono Irianto dalam tulisannya di majalah Visualarts mengemukakan bahwa memang telah terjadi proses merendahkan seni yang bernuansa kriya dalam perkembangannya di Barat. Seni yang luhung selalu dikaitkan dengan tradisi fine art, dalam hal ini seni lukis dan patung ditempatkan paling tinggi kedudukannya. Kemunculan kriya seni atau art craft merupakan hasil dari negosiasi para praktisi kriya di Barat untuk bereaksi atas kearoganan sistem hierarki seni di sana, di mana karya@karya mereka juga diproduksi secara individual layaknya karya seni luhung. : 62

Artikel Media+Massa


Sedangkan Anusapati dalam tulisannya di Kompas, beberapa minggu lalu, mengemukakan adanya stigma yang merendahkan istilah "kriya" yang sangat terkait dengan "kerajinan". Bahkan menurut Anusapati "Pengertian ’kriya’ sendiri, tidak dapat dimungkiri, masih sering kali diartikan oleh masyarakat sebagai ’bendaAbenda kerajinan’, yang identik dengan cenderamata, produk massal, barang pakai. Secara fisik pun ia selalu dikaitkan dengan sifatAsifatnya yang dekoratif, ornamentik, etnik. Tentu saja bidang ini kemudian lebih dekat dikaitkan dengan bidang industri (dan pariwisata), sedangkan persentuhannya dengan wilayah seni lebih dilihat secara genealogis, sebagai salah satu cabang dari induk seni rupa yang lebih bernilai pragmatik, fungsional". Tentunya hal ini juga terkait dengan paradigma pemerintahan kita yang melihat budaya sebagai sebuah produk komoditas, bukan suatu proses dinamika budaya masyarakat. Tak heran kalau banyak perupa kriya di Indonesia, walaupun bekerja secara individual dan berpendidikan tinggi, masih merasa rendah diri, bahkan cenderung hilang kepercayaan diri untuk muncul. Hal itu berlangsung sampai ketika arus pemikiran pascamodern mengubah banyak pihak untuk sadar akan keterbatasan cara pandang atas dunia seni yang memang bisa tanpa batas. Walaupun sedikit terlambat, kiranya masih sempat untuk membangkitkan potensi kriya dalam praktik seni rupa di Indonesia. Dunia pendidikan tinggi seni, dalam hal ini FSRD di ISI, ITB, dan IKJ, harus mengejar ketertinggalan pendidikan kriya yang memang menitikberatkan pada kemampuan teknis. Hal itu harus diupayakan sehingga pemenuhan pengembangan sarana fisik maupun pemikiranApemikiran teoretis menjadi mendesak. Ada pemikiran yang mengemukakan bahwa kehidupan tradisi tak membeku seperti dalam pandangan para konservatif. Di banyak bangsa Asia, persentuhan modernisasi dan tradisi lokal terjadi dengan saling memengaruhi secara diamAdiam. Contohnya di Pulau Bali, seni tradisi terusAmenerus mengalami perubahan, bahkan saling menguatkan, seperti tari kecak yang juga dipengaruhi oleh Walter Spies dari Jerman. Artikel Media+Massa

63


Praktik seni lukis dan patung Bali banyak dipengaruhi oleh para seniman asing yang tinggal di sana. Di Yogya, dalang Sukasman telah mengubah patokan resmi pewayangan. Wayang golek mengalami kemajuan lewat eksperimentasi Asep Sunandar Sunarya. Nilai kehidupan seni tradisi pun akhirnya selalu dalam wilayah negosiasi, namun tak pernah secara radikal perubahannya, selalu bermetamorfosa. Berusaha menghindari ketegangan yang justru melebarkan jarak dalam kenyataan hidup. Jepang, contohnya, mempunyai tradisi khas yang sangat kuat, hasil dari proses akulturasi dengan budaya China dan Korea yang berjalan berabadH abad. Ketika terjadi restorasi Meiji pada abad keH19, Jepang dengan hatiH hati mulai membuka pintu terhadap peradaban dunia Barat sehingga sekarang kita bisa melihat status keberadaan seni tradisinya cukup sejajar dengan seni modern. Malah banyak yang percaya bahwa seni tradisi berpengaruh kuat dalam perkembangan seni modern di Jepang, seperti pengaruh UkiyoHe atau cukil kayu tradisi. Begitu pun dengan seni keramik teknik Raku, yang terus berkembang hingga sekarang, belum lagi dari sisi arsitektur bangunan dan lanskap. Para seniman tradisi sangat diperhatikan oleh pemerintah. Shaoji Hamada, seorang maestro pembuat keramik yang meninggal puluhan tahun lalu, menjadi salah satu yang karyaHkaryanya selalu ada di berbagai museum di seluruh Jepang. KaryaHkarya Hamada yang banyak berupa benda keseharian yang fungsional, seperti mangkok, vas, piring, dan lainnya, menjadi sangat mahal dan diminati banyak kolektor besar. Maka, belajar dari bangsa Asia lain, seni rupa kriya kontemporer bisa diperhitungkan keberadaannya dalam budaya masyarakat secara konstruktif, bukan sebagai suatu bentuk seni untuk diangkat "martabatnya" dari kerendahHdiriannya. Sedangkan bingkai seni obyek merupakan suatu wilayah yang tak lain mempertimbangkan dunia bendaHbenda yang bermuatan pesan maupun nilai estetik namun juga hybrid secara konstruksi kewilayahannya.

64

Artikel Media+Massa


Di dalam pameran ArtPortable di CP Artspace bulan November ini, misalnya, seorang arsitek muda, Aditya Novali, bisa memproduksi berbagai benda, mulai dari kursi, pernak>pernik, elemen arsitektural, dan benda>benda sculptural yang tak menunjukkan fungsinya. Seni obyek menyediakan kebebasan yang besar untuk lebih bermain> main dengan berbagai bahan, bentuk, dan juga kepekaan estetik. Dia berada pada tiga wilayah sekaligus: rancangan (desain), kriya (ornamental), dan arsitektural sekaligus. Dengan itu kita bisa menunjuk seni obyek sebagai penanda yang netral bagi sekat>sekat disiplin seni rupa. Seni obyek sebagai keluarga besar dari dunia benda>benda estetik (objecthood) termasuk kriya kontemporer bisa jadi mewakili budaya masyarakat kontemporer, di mana fetisisme terhadap benda (gadget) memang menggejala dan berlimpah ruah dalam kehidupan keseharian masyarakat. Lalu, apakah seni obyek pun bisa menjadi refleksi kritis terhadap gelagat budaya ini atau hanya bentuk komodifikasi dan nostalgi atas dunia benda>benda saja? ***

Artikel Media+Massa

65


Wajah Bali&dalam Seni Lukis& Video&Realistik TAHUN&19601an,+tradisi seni lukis internasional

memasuki babak baru.+Lukisan bagi para+seniman masa+itu tak lagi harus menjadi medium+yang+terus melarikan diri dari kejaran teknologi reproduksi macam fotografi dan film.+ Setidaknya tradisi itu "dipatahkan"+oleh orang1orang+macam Andi+Warhol+dan Gerhard+Richter.+Seni lukis dan fotografi maupun film+terbukti bisa menjalin hubungan mesra melalui aspek1aspek visualitas maupun sebagai bentuk referensi gagasan.

Artikel ini dipublikasikan di+Harian KOMPAS.+Jum’at,+Mei+13,+2005

66

Artikel Media+Massa


Saat ini perkembangan teknologi multimedia seperti kemunculan komputer grafik dan reproduksi digital dalam bentuk foto dan video cukup membuat banyak perubahan signifikan dalam estetika maupun keartistikan. Bukan hanya mempengaruhi penggunaan medium, tetapi juga yang lebih menarik adalah bagaimana multimedia sebagai sumber gagasan dalam praktik seni lukis. Hal ini dilakukan oleh Filippo Sciascia, seorang perupa asal Italia yang bekerja dan menetap di Pulau Bali. Ia tertarik, terdorong, dan terinspirasi citraan video dalam karyaDkarya seni lukisnya. Pameran tunggalnya di Gaya Fusion of Sense, Ubud, mulai 28 November tahun lalu sampai 28 Januari 2004, menghadirkan puluhan lukisan yang dibuat mulai dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2003. Selama hampir setahun lebih secara khusyuk Filippo dalam lukisannya menekuni wajah Ni Kadek Murtini, seorang gadis pribumi. Wajah Kadek tampil dengan apa adanya, bibir agak tebal merekah dan bergincu, mulutnya kadang terbuka sedikit hingga tampak giginya yang rapi dan bersih, pipi berisi dan membulat, matanya yang bening menatap dengan lembut dan kadang melirik ke kiri dan kanan, hidungnya agak melebar dan tak begitu mancung tapi seimbang dengan struktur wajahnya. Di dahi, tepat di antara kedua alis mata tebalnya, ada hiasan menempel yang umum digunakan oleh para perempuan Bali dalam acara ritual keseharian. Rambut hitamnya diikat ke belakang dan tampak tak begitu rapi. Singkatnya, Kadek adalah sosok gadis Bali kebanyakan. Filippo merekam wajah gadis itu secara dekat (closeDup) dan frontal dengan kamera mini DV beberapa saat. Dia tak sedang pergi ke ladang, menari, maupun mandi telanjang di sungai. Kadek hanya direkam sebatas wajah dengan berbagai rupa. Tetapi Filippo kemudian mengulangDulang rekaman wajah itu melalui perangkat lunak penyunting gambar pada komputer laptopnya, diubahDubah warnanya, kadang diberi efek khusus, . Artikel Media+Massa

67


diberi warna atau diperbesar sehingga muncul kotak9kotak piksel berbagai ukuran. Berbagai citraan hasil reka9reka ini kemudian ia pindahkan ke atas bidang kanvas maupun lempengan logam dengan cat minyak. Kadek membuatnya terpesona, bukan karena hasrat yang dialami Bonnet. Wajah itu lebih punya magis dalam layar monitor. Sebelumnya, lelaki kelahiran tahun 1972 ini memang sudah menampilkan lukisan9lukisan serial wajah Kadek, sebagian karyanya pernah ia tampilkan dalam CP9Open Biennial bulan September tahun lalu di Jakarta. Pada saat itu, ia menampilkan instalasi lukisan dan rekaman video. Ia menjejerkan empat wajah Kadek: di atas sebidang kanvas yang mencitrakan laptop dengan wajah Kadek hitam9putih di layarnya, di atas permukaan bagian bokong wajan yang menyembung dan bulat, sebidang kanvas besar yang hanya mencitrakan wajah sangat dekat serta layar televisi yang menayangkan rekaman video wajah Kadek yang diulang9 ulang (looping). Pada karya9karya ini bisa melihat jalinan antara referensi dan representasinya secara rampak atau jukstaposisi; realitas Kadek dalam layar televisi dan transformasinya dalam medium cat minyak di atas berbagai permukaan. Kemagisan seni lukis dan multimedia. Filippo, yang beberapa kali berpameran tunggal di Ubud sejak tahun 2000, memang banyak terpengaruh oleh persoalan medium. Ia, yang kesehariannya juga bekerja sebagai perancang grafis, pernah memamerkan karya9karya yang didominasi fotorealistik. Seperti tahun 1998 sampai dengan tahun 2001, ia pernah memamerkan wajah9wajah orang Afrika, Sumba, maupun seri lukisan telanjang. Ia pernah mengakui pada saya, bahwa penggambaran fotorealistik memang terpengaruh oleh pelukis Jerman, Gerhard Richter, yang beberapa karyanya pernah dipergelarkan di Jakarta pada tahun 2002. Bahkan Filippo mengagumi dan menganggapnya sebagai guru dan sumber gagasannya.

68

Artikel Media+Massa


Terutama bagaimana sensibilitas Richter menguasai teknik melukis cat minyak dan mengamati serta menangkap subyek melalui fotografi, terutama citraan kaburnya. Efek pengaburan gambar dan bagaimana melukiskan kembali foto cara Richter inilah yang ia kembangkan lebih lanjut pada karya@karya lukisan videonya. Tengoklah pada karya berjudul Kadek 16 dan Kadek 17, di mana ia mendemonstrasikan teknik melukis dari citraan gambar diam (still image) video yang ditransfer melalui penyuntingan komputer yang mengakibatkan guratan@guratan secara horizontal maupun vertikal atau menangkap citraan dari layar monitor komputer yang licin dan datar. Juga kita meihat citraan gambar wajah pada karya Kadek 11 dan Kadek 18. Pewarnaan bernuansa karat kemerahan secara digital melalui perangkat lunak juga berhasil ia pindahkan ke atas kanvas melalui penjelajahan teknik guratan, cipratan, dan goresan kuas yang melapis tipis di atas gambar sebelumnya seperti pada Kadek 22 sampai Kadek 30. Filippo memang mengakui tengah tertarik untuk menemukan suatu sistem melukis yang memberi jalan pada kedekatan realitas subyek lewat konstruksi citraan digital, terutama ketika ia mentransformasikan data citraan dari VCD ke dalam format DVD yang diperbesar menghasilkan gambar dari susunan komposisi piksel@piksel yang berukuran besar. Pada Kadek 01, 31, 32 dan 33 kita bisa melihat bagaimana piksel tersebut berubah warna dan secara optis membentuk kontur wajah Kadek. Lukisan piksel ini akan tampak jelas ketika kita lihat dari jarak yang lebih jauh. Sedangkan yang menggelitik, ia juga memindahkan citraan wajah itu ke atas permukaan kasur putih pada Kadek 02. Dari pamerannya yang bertajuk "Video Painting Kadek" ini, juga menarik disimak adalah bagaimana realitas video dan multimedia telah membentuk subkesadaran kita pada pemahaman realitas. Melalui media@ baru kita melihat dunia di mana semuanya terlintas secara elektronis di layar televisi dan monitor komputer yang tak pernah berhenti bergerak. Artikel Media+Massa

69


Mata kita memindai ribuan bingkai gambar (frame) dengan jutaan piksel tiap menitnya. Sebaliknya dalam realitas lukisan, mata kita tertumbuk pada kestatisan tetapi mempunyai dimensi yang kompleks dan dalam, suatu citraan dengan dengan kesubliman, memungkinkan untuk melakukan refleksi dan permenungan. Lukisan Filippo seperti mengejawantahkan spiritualitas dunia digital yang selama ini dianggap "sihir" yang dingin dan dangkal. Valerio Deho’ , kritikus Italia, pada kata sambutannya dalam katalog pameran mengemukakan bahwa tradisi melukis telah berubah sejak penggunaan camera obscura oleh pelukis macam Vermeer dan Canaletto pada tahun 1600 Kan . Para pelukis jarang melihat langsung pada obyeknya dan tak lagi dekat dengan realitas. Terutama ketika munculnya fotografi pada abad keK19, para pelukis kemudian memanfaatkannya sebagai alat perantara untuk memahami realitas terutama lewat cahaya, suatu citra representasi. Video dan media baru sebagai realitas perantara atau representasi abad keK21 tentunya punya peran penting dalam membentuk dan mereduksi suatu keobyektifan mata kita melihat dunia, menciptakan suatu mental pencitraan yang mengambang gamang. Lukisan video Filippo menjadi suatu wujud kritis pada media baru. Dalam melukis subyeknya ia harus memilih ribuan frame wajah Kadek, menggubah, merenungi, menafsirkan kembali dan lalu memindahkannya pada sebidang kanvas. Berkat keahlian melukis dan penguasaan medium, ia berhasil menjadikan wajah itu tersusun kembali. Dari susunan piksel yang hampa dan transparan ke dalam medium cat minyak yang solid dan kental emosi. Kadek sang gadis Bali bukanlah wajah manusia yang tertangkap secara alamiah telanjang mata seperti yang dilakukan oleh Hofker, Le Mayeur, maupun Bonnet.

70

Artikel Media+Massa


Wajah itu adalah konstruksi dari cahaya berbentuk susunan jutaan piksel yang begitu cepat bergerak tetapi kemudian dibekukan, diurai dan digubah sedemikian rupa. Filippo membuatnya menjadi wajah Kadek yang baru: menjadi magis dengan merekonstruksi makna dunia Bali yang eksotis di abad digital yang penuh rekaBreka. Wajah manusia dalam kenyataan multimedia.***

Artikel Media+Massa

71


Menguak Representasi Budaya MEMORIBILIA7 David7Tarigan Di ujung Bandung+terjadi sebuah keriuhan budaya pop.+

Di+Galeri Barak,+perupa David+Tarigan menarik penonton melihat etalase,+neon+box,+display+TAshirt+klub bola+ terkenal Eropa,+warnaAwarni mesin dispenser+permen karet dan box+sticker,+ataupun segarnya minuman botol dalam lemari pendingin yang+diletakkan dengan gaya penuh sensasi dan mencolok

Artikel ini dipublikasikan di+ Majalah TEMPO+05+Februari 2001

72

Artikel Media+Massa


Lihat saja karya berjudul 19 New Ways to Fly Around the World of Easy Listening, sebuah neon box bergambar foto dirinya, mengenakan TD shirt bergambar si pemberontak Che Guevara dengan gaya rambut menggelembung dan dekorasi motif bunga. Pencitraan ini mengingatkan kita pada gaya flower generation akhir tahun 1960Dan. Dia meminjam obyek yang tersedia dalam dunia gaul anak muda dari grafis sampul kaset atau majalah. David Tarigan tampak mengonsumsi dan merekonstruksi sesukanya untuk tujuan artistik. Misalnya, ketika dia mengembangkan mesin stiker pada karya bertajuk Teenage Funclub, yang mengeluarkan stiker bergambar foto dirinya. Sedangkan pada Charlie don't surf, dia memainkan susunan huruf dan angka dalam berbagai ukuran dan tipe seperti alat uji mata (optotype) yang dikendalikan dengan remote control. Terkadang dari jejeran huruf dan angka muncul kata suck. Tapi susunan huruf dan angka sepertinya hanya memberikan sensasi optis. Karya David merupakan representasi budaya yang kini sedang menjadi tren dalam masyarakat urban kontemporer. Budaya ini terbentuk dari konsumsi berlebihan akibat sirkulasi tanda dari berbagai produk lokal maupun global, film atau musik lewat mediasi televisi, majalah, mal, billboard, atau internet. Model konsumsi ini menjadi gaya hidup bagi sebagian masyarakat, maka muncullah "mutan budaya" (subDculture) berupa komunitas punk, skinhead, skater, surfer, hacker, atau "anakanak mal". Bagi David, produksi artistik adalah cara mengonsumsi tanda tertentu untuk tujuan aktualisasi diri. Konsumsi informasi oleh masyarakat urban dewasa ini memungkinkan mengubah sistem pertandaan. Ketika tanda diproduksi dengan kecepatan tinggi, secara langsung atau tidak hal itu mengubah sistem representasi yang terjebak dalam lorong simulasi. Pada realitas ini kita tak mengenali lagi batas antara yang nyata dan tak nyata, asli dan palsu. Kita hanya bertualang dari satu tanda ke tanda lain, dari duplikasi ke duplikasi. Artikel Media+Massa

73


Simulasi dalam seni menghasilkan estetika yang kitsch, yaitu dengan mengonsumsi berbagai elemen seni tinggi serta seni pop, yang semuanya dianggap berpotensi menjadi seni. Hal ini tampak jelas pada karya David berjudul Damien and Pistols, yang merupakan duplikasi karya seniman kontemporer Inggris, Damien Hirst, yang terdiri dari botol berisi obat dalam sebuah rak. Secara vulgar David menjiplak tanpa memberikan kesempatan memahami makna karya aslinya. Pada karya ini, proses simulakra berlangsung dengan cara mendekonstruksi karya asli dan kemudian melepaskan diri untuk membentuk kembali (rekonstruksi) secara arbitrer (untuk tujuan lain), sehingga terjadi "mutasi" yang menghasilkan karya lain yang berbeda secara bentuk dan makna. Bandingkan dengan karya Asmudjo Irianto pada pameran Kleptosign, yang secara radikal mensimulasi dan mendekonstruksi citraan seniman terkenal dunia. Seniman simulasionis bersikap dengan sengaja menceburkan diri masuk ke dalam kesenangan luar biasa, bermain bebas dengan tanda. Maka, karya David juga sebuah representasi dari komunitas masyarakat urban yang berada pada suasana yang serba menyenangkan, yang senang akan tantangan duniawi, keparadoksan, senang akan kedangkalan. Pada karyanya David membenturkan penonton dalam suasana yang serba kontradiktif: antara kedalaman dan kedangkalan, yang dianggap baik dan yang benar, yang hitam dan yang putih. Penonton seolah terasuk dalam arus deras tandaJtanda sehingga tak mampu lagi berpikir. Agung Hujatnika Jenong, kurator pameran ini, menyebut bahwa karya David adalah sebuah "Memoribilia" atau perilaku golongan konsumer, fenomena fashion, gaya hidup, dan budaya bendawi. Karya ini sebuah metafor bagi benda yang patut dikenang dengan alasan nilai historis, kultural, ideologis, utilitas, atau nilai sosial, yang bisa memberikan status di hadapan individu lain. David memproduksi penanda melalui sensasionalitas obyek, seperti iklan sela, kejutan dalam film horor, tetapi kemudian membuka pintu ruang penandaan seluasJ luasnya atau pada proses pemaknaan, walau kita mungkin tak pernah menemukan logos.. 74

Artikel Media+Massa


Dia memang tidak sedang mengomentari keadaan tetapi sedang bermain dengan kefatalan. ***

Artikel Media+Massa

75


Patung Setelah' Seni Patung PAMERAN'berbagai karya patung dari sekelompok seniman

Yogya,+yang+digelar di+Galeri Lontar,+Jakarta,+pekan lalu,+tidak saja menyajikan kepandaian mengolah material.+Pameran itu berusaha memberikan persepsi lain+dalam memandang seni patung,+khususnya untuk masyarakat di+Indonesia+yang+masih melihat seni patung dari sudut pandang fine+art.

Artikel ini dipublikasikan di+Majalah TEMPO.+19+Oktober 2003

76

Artikel Media+Massa


Seperti dilansir oleh kurator pameran ini, pameran bertajuk "25 x 25 x 50 Sculpture" ini tampaknya ingin mengubah citra patung, yang tak mesti terikat oleh batasan konvensi: secara teknis ataupun ukuran, yang selalu identik dengan patung monumental. Begitu pun dengan penggunaan bahan serta pengolahan bentuknya, kebanyakan dari mereka menjelajah pada halDhal dalam keseharian di sekitar kehidupan mereka. Perhatikan berbagai karya Hedi Harianto, Rudi Mantofani, Ahmad Syahbandi, dan Yuli Prayitno, yang menggabungkan bahan seperti kaca, tali, poliester, besi, semen, sampai bendaDbenda siap pakai (ready made) dari bahan batu. Tanpa keterkaitan sejarah dan konvensi, satu sama lain dipertemukan, dielaborasi dengan baik, sehingga menjadi bendaDbenda berkadar estetik lewat perilaku yang mirip dengan perajin tetapi dengan intensi yang berbeda. Gubahan mereka membawa suasana campuran: antara rasa dan teknis, permainan material dan imajinasi tentang bendaDbenda di sekitar kita. Contohlah karya Rudi, Mengalir Keras, yang menggantungkan ember dari lempengan logam yang diisi semen padat yang membentuk cairan. Karya ini lebih asosiatif dan ilusif, mengajak persepsi pemirsa menguji keajekan realitas alam tiga dimensi. Berbeda dengan karya Syahbandi, yang mencoba mengoperasi perabot makan seperti sendok atau pembuka botol menjadi benda mutan. Imajinasi kita tak bisa lepas dari bentuk dasar atau acuannya, mencoba mengganggu kita dengan mempermainkan tandaDtandanya yang mapan. Sebaliknya dari karyaDkarya Yusra Martunus, Ichwan Noor, Pramono Pinunggul, dan Ali Umar, yang justru memperlihatkan pengolahan dari bahan dan teknik yang lazim dipergunakan pematung konvensional: kayu, logam, lempengan besi dengan teknik mengecor, mengelas, dan mengukir. Namun, mereka masih mampu membuat bentukDbentuk itu lebih menggelitik dengan menambah beberapa materi lain sebagai aksen. Artikel Media+Massa

77


Mereka sebisa mungkin berupaya mengontrol bentuk dengan menghindari manipulasi atas sifat materi asalnya. Seperti Ichwan, yang bermain dengan pola dari potongan?potongan lempengan besi ataupun jeroan mesin mobil. Tanpa tendensi untuk menjadikannya puitis. Ini berbeda dengan Pinunggul dan Umar, yang muncul dengan olahan kayu?kayu sonokelingnya membentuk berbagai simbol yang sangat umum. Berusaha menyeret imajinasi pengamat pada hal?hal yang menimbulkan sensasi, memori. Bahkan kadang tersirat dorongan untuk bernarasi oleh perupa lainnya lebih kuat, sehingga harus menambahkan elemen bantuan seperti warna dan bentuk?bentuk yang representasional. Contohlah Arlan Kamil, yang banyak mengambil elemen tradisi seperti topeng guna menggugah kita pada makna di balik benda?bendanya. Dalam hal ini, baik Teguh Priyono maupun Supar Madiyanto sepertinya tak cukup puas dengan mengolah materi ataupun bentuk. Mereka berdua banyak menambahkan unsur grafis, seperti warna dan teks, dalam tiap karyanya. Secara keseluruhan, di tahap ini karya?karya mereka tak lagi bergulat dengan aura patung seperti masa lalu, yang meniscayakan jarak yang curam antara sebuah patung, lingkungan, dan pengamatnya. Seperti pendapat pematung senior yang juga Ketua Umum Asosiasi Pematung Indonesia atau API, G. Sidharta Soegijo, di dalam katalog: karya?karya ini "memaksa" pengamat supaya mengamati benda?benda itu dari jarak yang dekat sehingga antara karya dan pengamat terjalin hubungan yang akrab. Pandangan ini seperti menyiratkan adanya perubahan orientasi para pematung muda di Tanah Air, yang cenderung mengaitkan seni patung dengan nilai?nilai yang abstrak, sakral, atau teknik dan pola kerja yang sulit, bahkan sering kali terkait dengan kekuasaan.

78

Artikel Media+Massa


Maka, bisa jadi telah terjadi pergeseran pemahaman tentang seni patung di kalangan perupa muda yang memulai kerja mematung dengan cara berkolase: baik dengan teknik, bahan, maupun bentuk< bentuknya. Dalam perkembangan seni rupa Barat di era 1990<an, muncul juga istilah "object" yang timbul dari persilangan berbagai bentuk dan pandangan seni. Bagaimanapun, sebelumnya telah terjadi friksi yang tajam dan berkepanjangan antara pendukung terminologi "seni" dan yang "bukan seni", atau kalangan para pekriya ataupun desainer yang belakangan banyak menghasilkan karya<karya individual. Lalu, apakah istilah object bisa terasa pas bagi berbagai karya ini, atau lebih jauh mungkinkah medan sosial seni rupa (patung) di Indonesia cukup bisa terbuka menerima berbagai pemikiran baru yang bisa menggeser kemapanan konvensi seni patung yang agaknya masih gemar ditegakkan oleh sebagian para pematung ataupun kritikus kita? Tetapi, yang jelas, bagi para perupa ini agaknya persoalan istilah tak pernah menjadi penghambat untuk berkreasi. Pameran ini mungkin menjadi tanda bahwa karya<karya mereka merupakan seni benda<benda campur sari yang diberi label patung, atau mungkin tepatnya patung setelah seni patung. ***

Artikel Media+Massa

79


FOTOGRAFI(dan KUASA(MELIHAT( PASCA(5 KOLONIAL “"Salah"satu hasil ilmu)pengetahuan yang/tak habis)

habisnya kukagumi adalah percetakan,/terutama zincografi./Coba,/orang/sudah dapat memperbanyak potret berpuluh ribu lembar dalam sehari./Gambar/ pemandangan,/orang/besar dan penting,/mesin baru,/ gedung)gedung pencakar langit Amerika,/semua dan dari seluruh dunia/– kini dapat aku saksikan sendiri dari lembaran)lembaran kertas cetak.” Minke,+tokoh fiktif dalam roman+karangan (Alm.)+ Pramoedya Ananta+Toer,+“+Bumi Manusia”.

Artikel ini dipublikasikan di+Majalah Visual+Arts+ No:+13.+2006 80

Artikel Media+Massa


Fotografi dan Orientalisme Soal fotografi, memang bukan hanya bisa dipahami sebagai alat yang ditemukan oleh dua orang Perancis bernama Joseph Nicéphore Niepce (1765F1833) dan Louis Jacques Mandé Daguerre (1787 – 1851). Tetapi lebih mendasar, adalah bagaimana teknologi ini sangat mendukung sebuah masyarakat untuk menguak lebih jauh tentang dunia. Dunia modern barat yang sekuler, tentu berbeda dengan pemikiran masyarakat kita. Kebutuhan akan informasi visual bagi pengetahuan barat menjadi sangat penting. Bila kita buka bukuFbuku tentang hasil penyelidikan para ahli apakah arkeologi, biologi,kedokteran, dan lainnya – sebelum ditemukannya fotografi – banyak menggunakan ilustrasi berupa keahlian drawing. Aspek visual bisa sangat membantu menjelaskan kondisi obyek yang diamati. OrangForang Eropa datang ke wilayah ini bukan hanya melulu bermaksud untuk menguras habis rempahFrempah maupun hasil bumi lainnya. Tetapi juga mengirim para ahli termasuk ahli gambar,pelukis dan selanjutnya para fotografer, untuk meneliti berbagai sendi kehidupan sosialFbudaya. Hasil dokumentasi mereka sebagian besar masih bisa kita lihat dalam bentuk beragam jenis bukuFbuku rujukan atau media massa yang beredar di Eropa, abad 18F 19, yang memuat banyak hal tentang kehidupan dipedalaman wilayah jajahan, sebagai suatu pewartaan visual atau pun berkenaan dengan keilmuan tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Dominique Françoise Arago, seorang pejabat East – Pyrénées, Kamar Dagang Perancis yang memberikan rekomendasi paten untuk tuan Daguerre, pada tahun 1839; bahwa penemuan alat ini bisa merekam dan mereproduksi citra dalam jumlah yang besar dari tiap monumen besar dunia seperti di Mesir, Thebes, Memphis atau Karnak, yang selama ini menjadi perhatian para peneliti Perancis. Dengan hanya membutuhkan waktu yang singkat dan sedikit saja jumlah orang yang terlibat. Artikel Media+Massa

81


Menurut beberapa pemikir pasca5kolonial, dalam penjajahan juga terjadi pengambil – alihan “pengetahuan” tentang timur. Lebih parah, mungkin adalah bagaimana tradisi kolonialisme juga menanamkan “konstruksi cara pandang” pada masyarakat pribumi, termasuk juga membentuk cara memandang diri mereka sendiri.Orientalisme bagi seorang Edward Said adalah suatu kuasa pengetahuan tentang dunia timur. Pada awalnya mungkin telah muncul semacam mitos pula dalam cerita – cerita yang menyebar diantara mereka, bahwa ada suatu dunia yang berbeda, punya budaya unik dan misterius atau eksotik. Timur yang direpresentasikan lewat cerita, novel perjalanan, fiksi dan kemudian data visual, menjadi suatu daya tarik yang cukup besar. Lembaga5 lembaga orientalis pun kemudian muncul dan mendapatkan peran penting ketika kolonialisme dimulai. Usaha menguak misteri kehidupan memang bukan saja milik budaya “barat”, tetapi pertanyaannya, mengapa penjelajahan –penjelajahan bangsa dari Eropa begitu pesat dan penting setelah abad pencerahan atau renaisan. Mungkin banyak pemikir bisa menjelaskan dari sudut sejarah pemikiran filsafat barat. Karena penaklukan5penaklukan barat terhadap wilayah5wilayah timur terutama Afrika , Asia dan kemudian Amerika (kemudian belakangan Australia) hampir secara serentak terjadi selama tiga abad. Citra Hindia – Belanda dan Perubahannya Citra Hindia Belanda yang eksotis, seperti juga apa yang dikritik pelukis S. Soedjojono, selalu stereotype, tercermin dalam karya seni lukis yang disebutnya, Hindia5Molek (Mooi5Indie). Bentangan sawah, dengan pohon kelapa serta gunung dari kejauhan adalah hal yang mutlak ada dalam tiap citra yang memancarkan ketenangan. Soedjojono menuduh bahwa para pelukis ini hanya mengabdi pada semangat turistik,yang tak “berjiwa5 khetok”. Ia sebenarnya mengkritik cara pandang yang dilakukan oleh para pelukis komersial yang terpengaruh pasar lukisan, dimana para pelancong dan orang5orang Eropa itu sangat takjub melihat pemandangan alam nusantara yang eksotis. 82

Artikel Media+Massa


Ngarai – ngarai yang curam, sungai yang airnya terus mengalir, hijaunya hutan dari kejauhan, atau pantai dengan pasir putih serta perahu nelayan bersandar. Begitupun manusia>manusianya,para petani pergi kesawah, anak>anak kecil tanpa sepatu, atau perempuan bertelanjang dada. Citra tentang Hindia – Belanda, yang stereotype, sudah barang tentu menghiasi buku>buku dan majalah, poster –poster yang beredar di Eropa. Menawarkan impian>impian yang menawan bagi orang –orang Eropa untuk berkunjung. Di Hindia Belanda, pemerintah kolonial memperkerjakan para juru foto Eropa untuk berbagai proyeknya. Mereka mengimpor kamera Daguerreotype untuk merekam peristiwa rekonstruksi candi Borobudur yang dilakukan oleh A. Shaefer pada tahun 1835. Menurut fotografer Yudi Soerjoatmojo, kehadiran kamera di tanah air, lebih dulu dibanding dengan kamera masuk ke negeri produsen kamera terbesar saat ini : Jepang. Sebelumnya reruntuhan bersejarah itu dibangkitkan oleh Sir Thomas Stamford Raffles, seorang pejabat kolonial Inggris yang ketika itu sempat menguasai Hindia>Belanda. Raffles, pada tahun 1815 pernah memerintahkan H.C. Cornelius guna mengadakan penyelidikan yang melibatkan banyak ahli gambar. Tetapi munculnya fotografi bisa menciptakan rekaman dengan cepat dan akurat. Puluhan ribu lembar sudah citra Borobudur menyebar ke seantero dunia. Mewartakan adanya suatu keajaiban dunia. Pada tahun –tahun selanjutnya tukang potret di wilayah ini makin bertambah jumlahnya. Fotografer turunan pribumi pertama ,Cassian Cephas, antara tahun 1890>91 juga pernah memotret bagian kaki candi yang tersembunyi itu. Woodbury and Pages adalah sebuah perusahaan foto studio yang didirikan di Batavia tahun 1857 . Foto – foto mereka menjadi dokumentasi visual terbesar dan sering menjadi rujukan para akademisi, pengamat dan peneliti di era kolonial masa peralihan abad 19 ke 20 . Artikel Media+Massa

83


Bukan hanya itu, Walter Bentley Woodbury (1834;1885), yang berkebangsaan Inggris, kemudian mengembangkan teknik foto Woodburytype, yang ia patenkan di London. Metode hasil penemuannya ini mungkin sangat signifikan pada saat itu, mengingat iklim di wilayah Hindia;belanda memang kadang merepotkan proses penyinaran. Fotografi seolah memberikan pengesahan pada hasil visualisasi sebelumnya. Dalam hal ini proses pencahayaan melalui sebuah alat, tanpa keterlibatan manusia, lebih dipercaya sebagai suatu representasi yang mengandung kebenaran. Karena dengan fotografi, semua informasi tentang obyek yang diamati bisa langsung tampak bentuknya, tanpa harus menafsirkannya melalui estetika seni lukis atau gambar. Bagi kepentingan arkeologi, antropologi, ilmu –ilmu sipil maupun industri wisata atau jurnalistik , faktor ke;akurat;an harus menjadi keutamaan. Dunia seolah mengalami revolusi imajinasi. Orang;orang yang nun jauh disana bisa melihat rinci relief pada candi Borobudur, wajah Sultan Jawa, keseharian di pedesaan, sawah, hutan tropis dan lain sebagainya. Tanpa harus datang ke negeri;negeri nun jauh. Memasuki abad ke 20, setelah fotografi dan teknologi reproduksi dikembangkan, dunia seolah dibanjiri citraan. Buku – buku dan lembaga;lembaga pemberitaan media cetak pun berubah wajah, foto; foto mulai menjadi bagian penting di tiap halamannya. Distribusi yang cukup luas, dengan adanya perkembangan transportasi, bahkan bisa menjangkau wilayah yang jauh dari Eropa. Percetakan pun tumbuh pesat di wilayah jajahan mereka. Informasi foto seolah membuka cakrawala melihat manusia moderen dan mengubah wajah dunia dikemudian harinya. Di Hindia – Belanda, masyarakat pribumi pun merasa diuntungkan dengan perkembangan ini. Informasi – informasi itu diserap bukan hanya dari ruang – ruang sekolah yang masih elit atau perpustakaan. Tetapi juga dari berbagai majalah, poster;poster, brosur dan dari mana saja. 84

Artikel Media+Massa


Perubahan sosial tercermin dalam keseharian masyarakat pribumi terutama di kota9kota besar. Mereka tahu pakaian apa yang pantas tanpa harus didikte , model rambut, sepatu dan lainnya. Hingga saatnya bahwa masyarakat itu membayangkan dirinya sebagai sebuah bangsa yang mandiri. Tak dipungkiri, Fotografi menurut Susan Sontag, sebagai suatu medium dan agen pengetahuan manusia modern mempunyai peran cukup penting dalam memberikan akses luas kepada dunia eksternal yang mengelilinginya. Kepingan – kepingan informasi yang terkandung dalam tiap helai foto telah merubah banyak hal dalam kehidupan , pasca – kolonial , berkaitan eksistensi suatu masyarakat dan bangsa. Fotografi dengan segala potensinya, kemudian diiringi kapitalisme cetak yang semakin maju, serta peraturan –peraturan baru tentang penerbitan yang longgar, selain juga perkembangan informasi elektronik seperti film, televisi dan maupun cyber9 internet, menjadikan dunia saat ini tanpa batas dan semakin problematis. Derasnya aliran informasi yang tidak berimbang saat ini, tentunya juga mengubah tata – nilai yang ada dalam kehidupan masyarakatnya. Sehingga perubahan9perubahan dalam kehidupannya mempengaruhi juga bagaimana posisi kita dalam melihat wajah atau mengamati identitas masyarakat Indonesia kontemporer. Mempelajari ilmu9ilmu dari barat oleh masyarakat pribumi di saat itu memang begitu lahap, ilmu sipil hingga seni. Sehingga muncul gerakan – gerakan untuk membentuk kekuatan politik untuk menentang penjajahan. Gerakan ini sangat didukung oleh berbagai bentuk komunikasi massa. Fotografi serta aspek komunikasi visual lain termasuk seni lukis, menjadi sangat bermanfaat bagi perjuangan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat pada saat itu. Terbentuknya IPPHOS tahun 19509an, menegaskan bahwa praktek fotografi jurnalistik sangat erat dengan politik. Seperti juga bidang kesenian lainnya pada waktu itu, dimana politik sebagai panglima, yang dilontarkan oleh Bung Karno untuk memperkokoh kesatuan bangsa baru, Artikel Media+Massa

85


membutuhkan dukungan suatu ideologi dari berbagai lini keprofesian. Tak dipungkiri Fotografi jurnalistik menjadi salah satu genre yang dominan dalam praktek fotografi di Indonesia hingga kini. Selain foto salon dan industri periklanan di kemudian hari. Minke pun berkata dalam hatinya: “ Ilmu pengetahuan telah memberikan padaku suatu restu yang tiada terhingga indahnya.� ****

Woodbury+and+Page 86

Artikel Media+Massa


Merajut Hubungan Budaya Lewat Benda3– benda Kriya Darwin adalah salah+satu kota di+Australia+yang+termasuk paling+dekat dengan Indonesia+daripada ke kota – kota besar lainnya yang+kebanyakan berada di+pantai sebelah selatan.+ Iklim yang+hampir sama dengan wilayah tenggara nusantara namun kota Darwin+terbilang sepi dalam segi kepadatan penduduk.++Pameran “Arafura+Craft+Exchange+:+Fibre 2005”,+ di+Museum+and+Art+Gallery+of+Northern+Territory+(MAGNT),+

Artikel ini dipublikasikan dipublikasikan di+Harian Kompas,+ Minggu,+5+Juni 2005

Artikel Media+Massa

87


Darwin, merupakan suatu forum baru dan penting bagi praktik seni kontemporer baik di Pasifik maupun Asia khususnya bagian tenggara, yang didasari oleh peta geografis perairan secara tradisional yang juga merupakan rute perdagangan penting antara bangsa – bangsa yang berada diwilayah ini, selama beratus tahun. Fakta ini terepresentasi lewat obyekAobyek untuk kebutuhan domestik, akibat adanya pertukaran serta persentuhan dengan budaya Asia terutama Indonesia lewat orang – orang dari Bugis dan Makasar dengan komunitas pribumi (Aborigin) dibagian utara Australia. Kurator Allison Gray dan MAGNT kemudian berinisiasi melanjutkan dan memetakan kembali hubungan masa lalu dalam konteks seni dan budaya saat ini, dengan menampilkan karya – karya seniman dari Indonesia dan Australia yang menonjolkan aspek tradisi kekriyaan. Dalam hal ini proses explorasi teknis, material maupun bentuk secara kebaruan memang menjadi basis yang paling mendasar dalam pemilihan karya A karya. Seniman Anusapati menampilkan seri karya “Rumput Ketak” (2004) berupa obyek – obyek patung berbahan kayu – kayu sisa yang banyak ditemui disekitar lingkungan dimana ia tinggal, Yogyakarta. Disini ia mengkombinasi teknis anyaman dengan kayu jati solid yang struktur bentuknya begitu harmonis. Anusapati memang dikenal fasih dengan mengubah obyek fungsional menjadi benda artistik. Hampir serupa dengan Fiona Gavino (lahir di Australia, 1971) yang menampilkan serial obyekAobyek wadah dari anyaman spiral daun Pandan . KaryaAkaryanya mempunyai kualitas yang begitu memukau; kombinasi warna yang sederhana dan bentukAbentuk organik yang dinamis. Sehingga menjadi obyek baru namun masih terjejaki konstruksi sejarahnya. Sedangkan Yvonne Koolmatrie (Lahir di Australia, , 1944) lewat karya berjudul “ Untitled: Hot Air Baloon” (2004) menerapkan teknis pilin ikat dengan serat sejenis tumbuhan lokal (lepidosperma canesens) kedalam bentuk yang lebih imajinatif dan futursistik tergantung ditengah ruangan galeri. 88

Artikel Media+Massa


Penerapan material baru kedalam benda – benda domestik tradisional terepresentasikan seperti pada karya – karya serat Dani Marti (Lahir di Barcelona. 1963). Penggunaan material industri seperti serat synthetic polymer yang diterapkan kedalam bentuk formalis dengan polaEpola abstrak geometris dengan permainan warna yang apik dan serasi. Karyanya mencerminkan sensibilitas individu dengan menggabungkan corak bernuansa teknologi tinggi dengan praktek fashion design. Menggabungkan antara materi industri tekstil mutakhir dan sensibilitas craftmanship. Sensibilitas tinggi terhadap material industri berupa kawat menjadi obyekEobyek aneh berukuran mungil dan imajinatif ada pada karya –karya Vicky Shukuroglou (Lahir di Cyprus, 1977). Ia membuktikan adanya pemahaman baru dalam praktek kriya terhadap dunia bendaE benda era – industri dengan memungut dan mengkombinasikannya dengan serat alam seperti rambut kuda atau cangkang bijian menghasilkan makna baru yang cukup menarik perhatian pengamat. Benda – benda ini diletakan didalam kotakEkotak kaca seperti juga kemuliaan bendaEbenda perhiasan yang gemerlap. Berbeda dengan Caroline Rika (lahir di Bandung, 1976) yang menggunakan berbagai elemen dan gabungan teknis kedalam bentuk – bentuk berdasarkan gagasan pakaian sehariEhari. Seperti menggabungkan kain batik yang dibuat secara teknik celup ikat dan lilin kedap (wax resist) dengan material temuan sebagai konstruksi seperti kawat dan kertas. Secara menarik ia membubuhkan narasi sejarah pribadi didalam karyanya. Seperti pada “ Me, myself and my reality” (2004) , dimana struktur kawat yang menyangga korset batiknya dibungkus oleh lembaranElembaran karcis kereta yang dikumpulkannya selama ia sering pulang pergi Bandung – Yogyakarta. Rika merupakan peserta pameran yang dikirim untuk beresidensi dengan seniman di komunitas Aborigin, Maningrida, yang dikenal tertutup dan kental dengan tradisi kriyanya, selama dua minggu. Sesuatu kesempatan yang jarang diberikan E bahkan E kepada seniman AustraliaEpun.

Artikel Media+Massa

89


Dadang Christanto – perupa Indonesia yang tinggal di Darwin; dalam pidato pembukaan mengemukakan bahwa hubungan emosional antara masyarakat Indonesia dan Australia selalu naik;turun akibat iklim politik yang diperburuk oleh minimnya pengetahuan kedua masyarakat terhadap kehidupan budaya – sosial dan politik masing;masing. Maka lewat dunia seni bisa diharapkan memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang hubungan antar budaya di wilayah – wilayah ini. Siapa sangka material, teknik dan bentuk mampu mempunyai narasi banyak hal mengenai kehidupan budaya. Arafura Craft Exchange rupanya bakal menjadi pijakan penting bagi hubungan dimasa depan antara dua masyarakat didalam aktifitas yang lebih intens dan konstruktif. Disitulah peran seniman menjadi sangat diharapkan, masih ada nilai;nilai kemanusiaan yang harus diperjuangkan. ***

90

Artikel Media+Massa


Harapan Baru dari Parijs van$ Java Ada$sebagian pengamat seni rupa saat ini yang+

begitu optimis bahwa perkembangan seni rupa di+ kota Bandung+begitu bergairah.+Bukan saja aktivitas pameran yang+meningkat atau kemunculan ruang>ruang alternatif yang+baru.+ Tetapi juga+menyangkut kekaryaan anak mudanya.+ Sebagian pengamat lagi masih ragu ,+bahwa karya> karya seniman muda kota Bandung+bakal bisa diserap pasar lokal,+atau setidaknya bisa mengisi wacana seni rupa kita dikemudian hari.+

Artikel ini dipublikasikan di+ Majalah Visual+Arts+,+2006

Artikel Media+Massa

91


Padahal praktek seni rupa di kota ini lebih terorganisir dan tertib produksi, dibandingkan kota lainnya. Alih:alih bahwa banyak seniman dicetak dari ruang:ruang perguruan tinggi seni: seperti Seni rupa ITB dan UPI (IKIP dulu). Atau dengan melalui berbagai program loka karya maupun bimbingan khusus yang terarah. Contohnya di Selasar Sunaryo Art Space,diselenggarakan pameran “ Bandung New Emergence “, mulai tanggal 9 Juni hingga 9 Juli 2006. Kurator pameran, memilih karya:karya dari 20 perupa, baik individual maupun kolaboratif. Mereka menunjukan beragam medium dan idiom. Agung Jenong , kurator pameran, mencatat bahwa ; pameran ini didorong oleh desakan untuk melakukan pemetaan berdasarkan survey selama tiga tahun terakhir. Ada nama:nama yang mulai dikenal aktif, seperti: Dewi Aditia (L. 1978), yang menampilkan susunan gambar temuan:teks:ikon – ikon personal dengan cetak dijital diatas kanvas, memancarkan sensibilitas yang penuh fantasi dan ilusi dalam narasi personal. Willy Himawan (L.1983), masih dengan lukisan fotografisnya yang blur, menegaskan kembali tentang politik cara pandang budaya modern. Serta pelukis Dadan Setiawan (L. 1979) yang terasa masih dalam mencari:cari gagasan terhadap citra figur manusia lewat teknologi representasi, dalam bentuk susunan piksel, yang direkonstruksi dengan teknik melukis. Sedangkan Iman Sapari (L. 1980), dengan lukisan serial sekuel fotografis pemandangan kereta yang sedang berpindah jalur yang digarapnya melalui komputer. Radi Arwinda (L. 1983) yang menemukan ikon:ikon hibrid dengan mencomot mitos lokal dan mengubahnya menjadi komikal, sehingga menampilkan citra simbolisme kontemporer. Yogie Achmad Ginanjar (L. 1981) menampilkan serial lukisan parodi dari citra lukisan para master Eropa abad lampau atau era:kolonial. Atau Duto Hardono (L. 1985) , dengan serial lukisan media campur dan kolase, dengan tema – tema alam benda maupun fauna yang menarik. 92

Artikel Media+Massa


Mereka walaupun terbilang baru, tetapi berani menunjukan kemungkinan – kemungkinan lanjut pencarian artistik dan opini lewat politik personal. Sementara Mufti Priyanka (L. 1980) menampilkannya dalam bentuk gambar – gambar naratif dan komikal, diatas permukaan segala macam kertas, dikompilasi dalam bentuk buku. Penggunaan media fotografi juga cukup menjanjikan, mengingat fotografi masih belum digunakan sebagai medium yang lazim dalam praktek seni rupa di Indonesia. Karya Erik Pauhrizi, dengan serial citraan yang menghadirkan pemandangan reruntuhan bangunan. Menguji watak alami fotografi antara “masa lalu yang sementara namun abadi” dan “ konteks sekarang”. Berbeda dengan Riski Resa Utama (L.1982) , yang berangkat dari foto jurnalisme, menyajikan pemandangan janggal; terbalik dan antiRgravitasi. Memang beberapa kali loka karya fotografi pernah diselenggarakan di Bandung dan mendapat sambutan antusias dari para mahasiswa maupun seniman pemula. Tak ketinggalan karyaRkarya tiga dimensional juga mendapat perhatian. Contohnya karya obyek Wiyoga Muhardanto (L.1984), yang merekonstruksi senjata seperti: senapan, pistol dan pisau belati ke dalam bentuk tas perempuan bermerk, menyatukan elemen yang kontradiktifm merepresentasikan kritik terhadap budaya konsumsi masyarakat. Karya interaktif ,hasil kolaborasi Budi Adi Nugroho (L. 1985) dan Tisa Granicia (L. 1981) menghadirkan instalasi tangga disudut ruang, menuju ke satu pintu. Merupakan suatu puitika arsitektural tentang seputar orientasi arah tujuan. Walaupun pokok soal disini begitu beragam namun kiranya penggunaan teknologi komputer dan media video menunjukan suatu kekuatan baru. Sir Dandy alias Achong menghadirkan grafis cetak saring yang dihasilkan dari rekayasa digital. Walaupun hasil akhirnya begitu sederhana dan sangat ilustratif, namun nilai komunikasi begitu menonjol. Artikel Media+Massa

93


Beda dengan garapan video5musik kelompok TROMARAMA dengan anggota: Feby Baby Rose (L. 1985), Herbert Hans dan Rudy Alexander H. (L.1984) , yang menghadirkan animasi dari citraan cukilan kayu, yang begitu rumit namun punya efek menawan. Video garapan Muhammad Akbar (L. 1984) , Rani Ravenina (L. 1981), serta Bini Fitriani (L. 1983) menyajikan puitika keseharian dalam ruang5 ruang urban. Video Yusuf Ismail (L. 1981) lebih bereaksi pada alat terhadap suatu kondisi tertentu subyeknya secara langsung, terasa masih kurang meyakinkan. Pada karya video juga diperlihatkan bagaimana apropriasi terjadi akibat kemudahan dan kecanggihan yang didapatkan dari perangkat lunak komputer. Lainnya adalah Angga Wedhaswhara (L. 1983), berani menampilkan performance yang merupakan apropriasi terhadap karya5karya performance lain pendahulunya. Sebagai suatu gagasan reaktif terhadap sejarah seni performance bukan sebagai suatu reaksi tubuh terhadap persoalannya. Akhirnya, apakah pameran ini lebih jauh memang mampu mendorong munculnya warna lain dalam praktek seni rupa kontemporer di tanah air, membawa para seniman ini pada kancah yang lebih besar lagi. Sehingga , bagi khalayak, karya –karya mereka tidak hanya sekedar menjadi proses pencarian atau eksperimentasi dengan dalih hanya “semangat muda�. Tetapi lebih jauh yang selalu dipertanyakan, adalah bagaimana gagasan kekaryaan mereka akan terus berlanjut dan berkesinambungan, sehingga seni rupa Bandung kembali mengalirkan darah baru, yang tak surut dan mandeg akibat kurangnya dukungan pasar atau lembaga5lembaga lain yang ikut mempromosikannya. Semoga saja kali ini berbeda. ***

94

Artikel Media+Massa


Seni Keramik:Keterbatasan dan Penjelajahannya Suatu pameran seni keramik kontemporer digelar di+

Galeri Nasional+Indonesia.+Pesertanya kebanyakan orang+ muda yang+berasal dari Jakarta,+Bandung,+Yogyakarta,+Bali,+ Surabaya,+Solo,+hingga Padang.+Mereka menyajikan berbagai bentuk idiom,+mulai dari kecenderungan pottery+ atau bentukDbentuk ke arah wadah hingga mematung bahkan beberapa menginstalasi.+Apakah ini menunjukkan antusiasme seniman muda Indonesia+dalam olah bahan yang+monomaterial,+terutama dengan tanah liat dan proses+pembakaran?+

Artikel ini dipublikasikan dipublikasikan di+Harian KOMPAS.+ Minggu,+12+Desember 2004 Artikel Media+Massa

95


Apakah perkembangan seni rupa kontemporer, yang cenderung "serba boleh", telah memberikan kepercayaan diri pada praktik seni yang terpinggirkan oleh seni halus (fine art) warisan abad pencerahan di Barat, yang selalu mengunggulkan lukis dan patung? Dalam pameran seni keramik itu banyak hal yang menarik, katakanlah perupa Nadia Savitri (lahir tahun 1981) yang menghadirkan karya berjudul Still Life in... (tahun 2004) yang terdiri dari bentukMbentuk yang mereproduksi benda keseharian, seperti botol dan buah apel dengan teknik cetak tuang porselen, yang dijejerkan di atas rak kayu. Di sampingnya tergantung karya Kinanti (lahir 1981) , dengan teknik sama, berjudul Seeds of Life (2004) yang bentuknya menyerupai telurM telur. Karya keduanya menunjukkan, seperti pendapat Asmudjo J Irianto dalam katalog, mengongkretkan aspek ilusi dalam tradisi melukis alam benda. Gejala ini begitu dominan dalam praktik seni kontemporer umumnya, di mana bentuk peniruan atau mimetik kembali mendapatkan tempat dalam dunia gagasan mengiringi perkembangan teknologi reproduksi mutakhir. Di sisi ini kita bisa melihat bahwa suatu disiplin seni yang membatasi teknis dan material diuji oleh suatu pemikiranMpemikiran. Senada pula dengan karya Eko Yuli Prayitno (lahir 1980), berjudul ‌Red (2004) yang menghadirkan rangkaian bentuk seperti potongan batang bambu. Karyanya agak lebih menarik karena aspek mimetik bukan hanya dari bentuk, tetapi juga dari lapisan glasirnya. Hal ini membutuhkan keahlian lanjut dalam penguasaan teknik pewarnaan dan pembakaran tungku. Walaupun secara ekstrem mimetik bentuk yang mengandalkan craftmanship seperti juga dua karya Winarno Prastawa (lahir di Bantul, 1977) yang meniru dunia fauna secara realistik sebenarnya bisa membuat nilai karya seni keramik menjadi sangat tinggi dan bisa dipahami oleh khalayak umum atau malah menjadi sangat tampak ketidakmemadainya 96

Artikel Media+Massa


penguasaan teknis sehingga menjadi "benda pasaran lagi murahan" atau kitsch dalam artian sebenarnya. Memang di dalam tradisi seni keramik banyak aspek yang unik dan hanya bisa dipahami oleh kalangan terbatas. Perkara ini kadang menjadi hambatan apresiasi masyarakat luas apalagi menyangkut tradisi pottery. Glenny Irene dari Bali, misalnya, menghadirkan bentuk silinder porselen putih dengan teknik pijit (pinching) sehingga menghasilkan tekstur dan pola yang beraturan secara apik. Begitu pun dengan karya Kurniawati Gautama dari Jakarta serta AAK Anom dari Bali, yang lebih menonjolkan aspekFaspek keunggulan material yang khas. Hal itu seperti juga yang dilakukan oleh para keramikus senior, katakanlah Keng Sien yang kental dengan penjelajahan teknis, baik bahan maupun pembakaran. Namun, justru banyak pemirsa tak begitu memahami persoalan tersebut. Tetapi, ada juga karyaFkarya yang mengomentari persoalan sosial dan mudah dicerna, seperti karya Andi Noor Samsi berjudul Selamat Datang di Kota Surabaya, yang menyindir kemacetan yang harus dihadapi kotanya. Dengan menampilkan bentukFbentuk karikatural tiga dimensi, ia membangun rangkaian miniatur jembatan dan jalan raya yang penuh sesak dengan berbagai jenis kendaraan bermotor lewat modulFmodul yang masif. Di bawahnya, tampak rangkaian kereta api melintas. Karyanya tampil begitu komunikatif dan atraktif sehingga kehadiran karya Andi mungkin saja membawa seni keramik ke dalam perbincangan arus besar seni yang tematik dan lebih cair terhadap persoalan keseharian, seperti juga apa yang dilakukan (alm) Hendrawan Riyanto. Dalam suatu diskusi yang mengiringi acara pameran, Asmudjo dan Wulandani Dirgantoro sebagai pembicara sekaligus kurator pameran ini akhirnya lebih banyak membincangkan seputar persoalan yang dihadapi seni keramik di Indonesia, yang dilematis serta problematis. Artikel Media+Massa

97


Banyak praktisi masih mencari jati dirinya dalam wilayah yang tarik9 menarik di antara perkembangan seni keramik secara khusus dan spesifik seperti keramik dalam lingkup tradisi pottery yang sarat dengan pakem9pakem teknis dan perjuangan melawan pemisahan dan peminggiran medium yang diwarisi pemikiran arus utama seni modern Barat yang linier, seperti perjuangan (alm) Hildawati Soemantri. Tarik9 menarik ini berlangsung di dalam suatu perkembangan wacana mutakhir yang tak lagi mengunggulkan medium tertentu saja seperti seni rupa kontemporer dan memungkinkan para perupa menggunakan berbagai macam medium untuk mengungkapkan gagasannya. Namun, diam9diam banyak para seniman keramik di Indonesia telah memasuki wilayah yang melampaui perbincangan sekat9sekat seni. Saya teringat karya Andar Manik pada tahun 1991, di mana ia telah membuktikan keramik ke dalam perkembangan arus utama seni di Indonesia. Hal yang sama telah dilakukan Lie Fhung dan Titarubi yang selalu menampilkan kecenderungan karya instalasi. Dalam pameran ini mereka menghadirkan masing9masing karyanya yang bernada puitis. Lie Fhung menghadirkan rangkaian porselen berbentuk sayap9sayap berukuran mungil berjudul Soaring Simulation (200392004), yang dikombinasikan dengan konstruksi kawat tembaga berbentuk kubus, digantung di dalam ruang yang dibungkus kain hitam. Ada juga bentuk figur malaikat di dinding dan lukisan hati berwarna kemerahan kontras sehingga dalam ruangan terasa menjadi sangat dramatis. Titarubi lewat karya instalasi berjudul I Wish I Had a River (2004) menampilkan puluhan patung figur yang disusun sedemikian rupa di dinding. Karyanya penuh dengan simbol9simbol personal yang liris dan di sini material yang digunakan tidak ditonjolkan. Keramik dalam perlakuan Titarubi, mungkin juga Lie Fhung, hanya merupakan medium ungkap yang bisa saja digantikan dengan bahan lain.

98

Artikel Media+Massa


Agak lain dengan instalasi Agung Suryanto dari Surabaya lewat karyanya Kepompong berbahan terakota atau Andita Purnama Sari A dari Jakarta dengan Zamrud Khatulistiwa=nya. Mereka tampaknya makin terbiasa membuat karya yang meruang, tetapi juga mulai fasih memanfaatkan watak material sebagai suatu kekayaan medium sebagai bahasa. Material dan tahapan proses teknis dalam keramik bukan hanya semata untuk dijadikan konstruksi bangun suatu bentuk, tetapi lebih jauh penjelajahannya dalam menciptakan kode yang khas untuk mengomunikasikan subyek persoalan. Di dalam dunia pendidikan seni keramik, terutama di Bandung (baca: FSRD=ITB) yang cenderung formalistik, telah diterapkan suatu metode di mana tiap material mempunyai potensinya sendiri. Tentu saja dunia pendidikan seni keramik di Indonesia saat ini masih perlu ditunjang oleh banyak pengetahuan teknis selain pemenuhan prasarana yang mendukungnya dalam hal ini berhubungan dengan teknologi keramik. Namun, bagi seorang perupa yang kreatif, penggunaan monomaterial= meminjam istilah kurator lain dalam pameran ini, Nurdian Ichsan=bisa begitu tanpa batas. Perupa keramik sesenior F Widayanto sebagai suatu contoh di mana kesetiaan pada bahan sebagai suatu keterbatasan menghasilkan karya=karya inovatif dan sekaligus akrab bagi masyarakat luas. Karya=karya perupa muda lain dalam pameran ini, seperti Feni Affiani dari Bandung, membaurkan perilaku terhadap medium. Lewat rangkaian karyanya, ia menggambar dengan menoreh permukaan porselen yang putih bersih. Torehan itu diisi oleh pewarna engobe atau tanah yang diberi pewarna biru , mirip dengan teknik cetak dalam seni grafis. Karyanya benar=benar menyerupai drawing di atas kertas atau kanvas. Perilaku serupa datang dari Evi Yonathan serta Jenny Lee dari Jakarta yang menggunakan keramik sebagai dasar untuk melukis. Hal ini mengingatkan saya pada keunggulan (alm) Suyatna yang dikenal sering menggabungkan tradisi pottery dan melukis. Artikel Media+Massa

99


Bagaimana harapan para keramikus muda ini? Dalam diskusi muncul berbagai pendapat, tetapi ada pemikiran yang saya kira harus diperhatikan serta disadari banyak pihak, yakni bahwa jarang sekali diselenggarakan pameran seni keramik di galeri>galeri, terutama di Jakarta. Sangat mungkin kenyataan ini menjadi penyebab kurangnya apresiasi masyarakat terhadap seni keramik. Saat ini seni patung dan grafis mulai diperhatikan publik seni karena ada gelagat baik dari galeri> galeri yang memamerkannya secara konsisten. Padahal, sebagai suatu material dan benda artistik keseharian, keramik sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat, katakanlah seni kerajinan maupun pelengkap rumah tangga. Hanya melalui pameranlah kiranya karya seni keramik akan mengalami kemajuan dalam hal apresiasinya. Mungkin dengan itu masyarakat akan lebih menghargai bukan hanya pada karya>karya seniman ini yang tercatat kebanyakan dari golongan menengah yang terdidik, tetapi juga menular pada nasib kerajinan keramik yang tersebar di Tanah Air. Ironisnya, "Pameran Seniman Keramik Muda Indonesia" di Galeri Nasional ini digelar hanya selama satu minggu. Tak sepadan dengan usaha para perupa ini. ***

100

Artikel Media+Massa


Dari%Bali% Biennale%2005 Pertama kalinya sebuah perhelatan dua tahunan (biennale)+ seni rupa di+gelar Bali.+Mulai tanggal 26+November+2005+hingga 4+Januari 2006.+Dalam sejarah kemunculan dan perkembangan seni rupa modern+Indonesia,+praktek seni di+Bali,+memang nyaris terisolasi dari kecamuk perdebatan dan eforia nasionalisme yang+lebih mengarah pokok soal politik kebudayaan yang+diserukan intelektual muda dalam mencari bentuk identitas keIIndonesiaIan+sebagai kesadaran nation.+

Artikel ini dipublikasikan melalui laman web+ Goethe+Institut Jakarta

Artikel Media+Massa

101


Namun dalam dekade yang sama, tahun 1930 hingga 50, praktek seni rupa di Bali ternyata telah terjadi perubahan, persentuhan budaya asli dengan Eropa terjadi seperti ketika Nyoman Lempad bertemu Walter Spies, seniman pelancong kelahiran Jerman. Begitupun ketika Le Mayeur, Antonio Blanco dan lainnya kemudian datang dan menetap disana. Ketercengangan orang – orang Eropa bukan hanya kepada eksotika timur yang menyajikan alam yang begitu indah dengan “atraksi – atraksi” seperti pemandangan alam, Pura dan perempuan L perempuan telanjang dada, yang kemudian menghiasi banyak ilustrasi iklan perjalanan yang ditawarkan di Eropa. Tetapi juga kenyataan bahwa orang – orang pribumi itu juga menghasilkan dan memperlihatkan berbagai kerja artistik dengan kualitas yang sangat baik: gambar, pahatan, tari, musik dan lainnya. Pertemuan – pertemuan ini kemudian saling mempengaruhi dan menghasilkan bentuk artistik yang baru; hibrida. Maka perkumpulan “Pita Maha” yang dibentuk oleh kedua komunitas seni ditahun 1930Lan, mengukuhkan kekerabatan dalam praktek seni yang didasari oleh penghargaan pada kebaruan yang telah disumbangkan kedua belah pihak. Baru pada medio dekade 60Lan, banyak pemuda Bali mempelajari ilmuLilmu termasuk seni rupa moderen di tanah Jawa dan sebaliknya seiring dengan kemasyhuran Bali sebagai pusat turis, banyak pula para pendatang dari tanah Jawa dan lainnya kesana. Tema Biennale Bali 2005 yang diusung oleh tim kurator yang terdiri Putu Wirata Dwikora, Nyoman Nuarta, Anak Agung Gde Rai, Ipong Purnama Sidhi, Soewarno Wisetrotomo, Wayan Sika dan Ipong Purnama Sidhi, terdiri dari beragam usaha pewacanaan dalam perkembangan seni rupa di Bali maupun di lima kota besar di Indonesia seperti; Yogyakarta, Surabaya, Malang, Jakarta dan Bandung. 102

Artikel Media+Massa


“ Space & Space” yang menjadi tema payung merupakan usaha menghimpun keberagaman dan pengaruh yang terbagi di dalam delapan sub>tema yang dianggap paling menandai praktek seni saat ini. BB 2005 sendiri menempati lokasi di 11 tempat yang tersebar di wilayah Denpasar seperti Darga Gallery , Danes Art Veranda, Bali Golf Course dan selebihnya di beberapa galeri dan museum di kawasan budaya Ubud, seperti Agung Rai Museum (ARMA), Gaya Fusion Art Space, Komaneka Fine Arts Gallery, Museum Puri Lukisan, Neka Art Museum, Nyoman Gunarsa Museum, Sika Art Gallery dan Rony Raka Gallery. Di ARMA ditempatkan beberapa karya di dalam dan luar ruangan dan terdiri dari lukisan>lukisan, yang memang masih mendominasi praktek seni di Indonesia. Di gedung utama, masih didominasi oleh karya lukisan. Instalasi Titarubi, “ Kisah > Kisah Tanpa Narasi” (Yogyakarta) di halaman belakang museum menghadirkan suasana menyayat liris patung > patung figur seukuran manusia dari terakota yang ditumpuk diatas lori kereta tebu. Disampingnya ditempatkan karya Yani Mariani (Jakarta) , sebuah rangkaian bentuk – bentuk sensual abstrak tiga dimensional berbahan kain. Di pojok lain ditempatkan patung Yesus besar dari pelat logam, karya Teguh Ostenrik (Jakarta) yang tampak tercabik, terbaring lemah di kubangan air pada sebuah kolam. Di Sika Art Gallery > Campuhan, ditempatkan beberapa karya yang kebanyakan adalah perupa yang sudah banyak dikenal publik Indonesia, seperti Agus Suwage (Yogyakarta) yang menghadirkan imaji satir dengan rangkaian gambar cat air wajah orang > orang terkemuka dari seluruh dunia ; Mulai dari Mao, Bob Marley, Andy Warhol, sampai Kartini dan Chairil Anwar. Diseluruh gambar itu muncul gambar tangan yang jarinya menghimpit rokok, didepannya terbujur sebuah kendaraan roda tiga dengan box kaca yang dipenuhi puntung rokok. Di lain sudut juga instalasinya Nyoman Erawan (Bali) mengisi pokok soal ruang mistis dan sosial yang masih melingkupi spiritualitas lokal terutama yang didasari konsep ruang Sekala > Niskala. Artikel Media+Massa

103


Pengalaman komunitas seni Bali membuat biennale pertama memang problematis seperti persoalan penempatan karya – karya yang membingungkan para pengunjung karena justru tema dan sub<tema yang ditawarkan tak terpresentasikan dengan baik. Seperti dalam suatu ruang galeri terdapat beberapa sub – tema. Hal ini diakibatkan juga karena banyak organisasi venue < venue masih menyukai karya – karya yang cenderung bisa dijual cepat atau sesuai selera para kolektor mereka. Sehingga para kurator harus merubah rencana yang sudah ditetapkan sejak awal yang akhirnya berdampak pada kekesalan beberapa seniman, terutama yang menampilkan karya instalasi. Seperti Pande Ketut Taman (Yogyakarta<Bali) yang instalasinya berjudul “Menuju Ke Langit” dari materi tepung beras yang organis begitu memukau, jejeran patung figur berukuran mini yang menyindir nilai kehidupan reliji masyarakat Indonesia , yang diproduksi secara kolaborasi dengan komunitas desa di Ubud, seharusnya mendapat ruang khusus tapi kemudian menjadi tampak sesak bercampur dengan karya<karya lukisan ketika ditempatkan di galeri Komaneka. Profesionalisme para kurator semakin dipertanyakan dengan mundurnya beberapa venue maupun perupa yang sengaja diundang secara khusus. Masih beruntung bahwa BB05 didukung banyak perupa ex<patriate, terdapat nama – nama seperti Filippo Sciascia dari Italy yang juga memberikan kontribusi dengan menyediakan Gaya Artspace < lembaga yang dikelolanya untuk venue, Paul Husner , Walter Van Oel dari Belanda serta Peter Dittmar dari Jerman, dimana eksistensi mereka telah menjadi bagian dari perkembangan seni rupa lokal. Ihwal kerja kuratorial BB ternyata punya mekanisme coba<coba, soal ini sudah tercium ketika komite menyelenggarakan pra<biennale diberbagai tempat di berbagai kota di Bali dan Jawa, sebagai ajang yang mengawali untuk menyeleksi 200 perupa dari Jawa<Bali menjadi lebih kurang 90 perupa dengan menyertakan para kurator muda lainnya..

104

Artikel Media+Massa


Standar ganda yang diberlakukan kurator kurang berhasil diartikulasikan pada publik seni sehingga mengundang friksi dan kontroversi didalam komunitas seni baik lokal Bali maupun di Jawa. Dilapangan ketika persiapan banyak para perupa mengeluh, seperti Titarubi yang harus menunggu berjamDjam menunggu kepastian tempat dan bantuan teknis dari panitia. Bienale Bali menyisakan banyak masalah lain, seperti diungkap di harian Kompas bahwa mereka harus memikirkan ongkos – ongkos produksi katalog pasca – pameran dan pengembalian karya terutama ke luar Bali yang hampir dipastikan biayanya sangat mahal. Namun BB05 sepertinya punya potensi untuk menjadi peristiwa senirupa yang internasional yang signifikan. Sangat disayangkan bahwa pemerintah daerah Bali tidak banyak berperan dan sponsor dari pihak swasta masih hanya sibuk menghitung – hitung laba dari dampak sebuah event seni. Disisi lain, para kurator seharusnya mendorong iklim kerja yang baik dalam organisasi dan memberikan informasi yang lebih rinci pada publik luas mengenai peserta, data karya maupun lokasi pameran. Masalahnya situs web resmi menjadi kurang efektif bekerja karena tidak terDup date, padahal penggunaan web saat ini perlu dalam menyebarDluaskan suatu event terutama untuk publik diluar Indonesia. Sedangkan dalam hal kurasi pameran, upaya merengkuh seluruh perkembangan praktek seni selalu membawa persoalan yang berdampak langsung pada pengalaman kerja organisasi. Tetapi sejauh ini komunitas seni di Bali telah menambah catatan penting bagi seni rupa di Indonesia. Walaupun sebelumnya, Bom para teroris di Bali telah mengguncang kedua kalinya, tetapi panitia bersikeras dan telah membuktikan terselenggaranya BB pertama ini.***

Artikel Media+Massa

105


Dari*Biennale*Jogja ke VIII*2005

Barangkali baru pertama kalinya begitu banyak

biennale+dalam satu wilayah dan kurun waktu yang+ berdekatan bahkan dengan waktu berbarengan.+Publik seni rupa di+Indonesia+baru saja di+suguhkan CP+Biennale+ke dua di+bulan September+hingga awal Oktober lalu yang+berakhir dengan sedikit masalah dengan suatu kelompok Islam+ radikal.+Di+akhir tahun 2005,+akhir November+di+buka resmi Bali+Biennale+pertama di+tahun 2006+dan seminggu kemudian dibuka juga+Biennale+Jogja (BJ)+ke VIII,+di+ Yogyakarta+yang+digelar mulai tanggal 4+hingga 22+ Desember 2005.+

Artikel ini dipublikasikan dipublikasikan melalui laman web+Goethe+Institut Jakarta

106

Artikel Media+Massa


Kota bersejarah ini memang dikenal sebagai salah satu pusat perkembangan seni rupa di Indonesia dengan komunitas perupa yang besar dan selalu padat dengan aktivitas pameran, terepresentasikan dengan jumlah perupa yang terpilih. Biennale ini agak berbeda karena menyertakan banyak karya – karya di ruang publik dengan 17 lokasi diseputar kota yang dinilai punya kaitan sejarah dengan kata lain menempati beberapa gedung – gedung warisan yang dilindungi dan situs yang dianggap bersejarah. Salah satu kuratornya Mikke Susanto mengatakan bahwa hal ini juga dimaksudkan agar supaya masyarakat di Yogya aware dengan nilai sejarah selain bisa mengapresiasi karya – karya yang ditampilkan disana. Maka ihwal tema biennale; “ Here and Now” mungkin ingin menandai adanya kaitan makna ruang dan waktu antara karyaIkarya seni kontemporer dengan kehidupan masyarakat dalam persoalan kota dan kesejarahannya. Tetapi gedung Taman Budaya Yogya (TBY), sebagai venue utama sudah banyak dirombak, sebagai gedung warisan arsitektur eraI kolonial, sehingga agak sulit mencandra apakah gedung itu bisa dianggap sebagai situs yang dilindungi ? ini mungkin juga suatu gambaran besar keironisan arsitektur di Indonesia. Di dalam gedung tertata karya –karya beragam bentuk dan idiom, seperti lukisan bercitra realistik dari Budi Kustarto (Jogja) yang mengambarkan dirinya menjadi salah satu pilar Benteng Vredeburg, sebagai suatu sindiran terhadap soal pokok heritage . Atau patung orangIorang marjinal karya Abdi Setiawan (Jogja), yang dalam realitas keseharian memang banyak komunitas ini, mendiami gedungIgedung tua kolonial yang terbengkalai, secara ilegal. Bila kita amati seluruh karya – karya yang ada di TBY , tak semua subyeknya berkaitan dan mengartikulasikan pada persoalan pokok yang ingin dicapai para kurator, seperti karya Pintor Sirait (Bali) atau Titarubi (Jogja) sepertinya lebih cenderung pada pokok soal keseharian individu yang liris. Bahkan kebanyakan perupa masih condong pada temaItema realisme –sosial terutama dalam konteks urban. Artikel Media+Massa

107


Karya2karya Instalasi Entang Wiharso (Jogja), kolaborasi Emil Chandra (Jakarta) dan Caroline Rika (Jogja) mungkin hanya menempati ruang fisik suatu gedung tua. Hampir serupa, di kompleks gedung Pasca Sarjana ISI, yang ditempatkan karya instalasi yang politis,kelompok seni Taksu dan video karya Made Wianta (Denpasar) yang menghadirkan tayangan performance yang dinamis, berjudul “ Tangan” (2005), mencerminkan kekonstanan irama dari jari jemarinya, seperti jari tangan pemain tabla India, atau penari kecak , tangan Wianta lincah memukul permukaan berbagai benda yang ditemuinya, tak peduli apakah itu kaleng makanan, piring, kaca jendela rumah, mobil atau pesawat. Di rumahnya, di hotel, di darat atau di udara, di Indonesia maupun diluar negeri. Seolah tak peduli dengan keadaan sekelilingnya, tangannya tetap memainkan irama, menyuarakan denyut jiwanya. Dari sinilah kita dibawa pada konteks kehidupan keseharian, dimana ruang; apakah fisik, sosial maupun budaya menciptakan jalan pada penghampiran subyek. Berdekatan dengannya juga ditempatkan karya perupa Jepang di galeri Biasa Soeryodiningratan, yang menghadirkan instalasi Mari Oyama (Jepang) dalam ruang gelap, berjudul “ Birth Day” (2005), menghadirkan jajaran lampu sorot yang memproyeksikan citra tangan dengan berbagai gesture seperti kode untuk orang bisu2tuli. Yogyakarta , kota pusat budaya yang urban, dimana budaya Jawa yang masih luhung berdampingan dengan pengaruh budaya global, sebenarnya memang masih nyaman untuk dijelajahi karena tak begitu luas, namun terhitung padat penduduk. Kolonial Belanda sejak abad 19 telah membangun gedung2gedung pertahanan, kantor – kantor, gereja, stasiun kereta dan lainnya. Di lokasi Benteng Vredeburg ditempatkan karya2karya patung luar ruang dari pematung Djoko Avianto (Bandung) dan lainnya. Karya publik lain tersebar , seperti di lokasi 2 lokasi keagamaan, di halaman Gereja Santo Yusuf, Bintaran patung liris keramik karya Lelyana (Jogja) dan juga instalasi Iriantine Karnaya (Jakarta) di Mesjid Besar Kotagedhe. 108

Artikel Media+Massa


Ada juga karya instalasi Hanafi (Jakarta), Koni Herawati (Jogja) dan kelompok pembatik Brahma Tirtasari (Jogja) di pabrik cerutu Tarumartani, yang masih aktif beroperasi. Menariknya bagaimana para pemilik gedung itu mendukung ajuan panitia penyelenggara. Bahkan pengelola Museum Jenderal Sudirman, yang dulunya menjadi rumah dinas pemimpin perang gerilya ini yang kemudian menjadi properti angkatan darat R.I, mengizinkan untuk menempatkan karyaJkarya Sigit Sukasman (Jogja) J dalang yang sohor karena pendekatan yang keluar dari kaidah bentuk wayang lazimnya. Dalam beberapa catatan berita yang dipajang panitia dipintu masuk TBY, ada beberapa karya publik yang cukup membuat berita, seperti karya dari Deborah J. Nolan (CanadaJJogja), yang membuat kotak hitam dengan lampu J lampu kecil berkelap – kelip. Karya ini disebar dibeberapa tempat publik dan sempat dicurigai sebagai bom yang membuat pihak kepolisian sangat sibuk. Karya – karya di ruang publik dan tempat venue yang terlalu banyak dan menyebar memang selalu mendatangkan persoalan tersendiri bagi pihak panitia. Seperti contohnya seniman performance dari Bandung, Isa Perkasa disebuah sekolah kejuruan (SMKKN 2), ketika ia sudah jadwalnya tampil, tak ada satu panitiapun disana menunggu, dan harus mengirim sms langsung ke salah satu kurator. Belum hanya itu, ia harus sabar menunggu perlengkapan penunjang datang. Performance dalam BJ VIII terbilang cukup banyak seperti Iwan Wijono (Jogja) di lokasi pijat refleksi, OK.Sinten Remen pimpinan Jaduk Ferianto (Jogja), Ferial dan Armandjamparing (Bandung), dan lainnya. Namun yang menarik adalah performance keliling kota oleh Yaksa Agus (Jogja), sembari mengundang penonton berkeliling ke tiap venue BJ dengan menggunakan mini bus dan penonton harus membayar Rp. 40,000/perorang, strategi menarik bagi para penonton dari luar kota. Dalam acara BJ VIII ini juga menyertakan penganugerahan Gudang Garam International Lifetime Achievement Award kepada para seniman senior seperti Sigit Sukasman dan G. Sidharta Soegijo. Artikel Media+Massa

109


Perihal kurasi rupanya tidak memuaskan banyak pihak terutama perupa, banyak suara8suara sumbang, mulai dari artikulasi para kurator , Mikke Susanto , M. Dwi Marianto dan Eko Prawoto, yang tidak bisa menjawab seluruh pertanyaan8pertanyaan yang dilontarkan. Penempatan karya berubah tanpa pemberitahuan seperti yang dialami oleh perupa dari Jakarta, Emil Chandra : “tiba8tiba saja tempat saya dipindah tanpa memberitahu dari jauh hari, padahal sifat karya saya sangat ditentukan oleh perencanaan di ruangan “. Koordinasi di lapangan dengan para relawan terasa masih kalang8kabut, Rain Rosidi, seorang kurator dan dosen ISI berkomentar,” kendala8kendala teknis ini seharusnya tidak terjadi jika pihak TBY sebagai organisasi utama mempersiapkannya lebih lama, toh BJ ini sudah merupakan event rutin.” Sedangkan pendapat rekannya Sujud D. Dartanto lebih mengarah pada kinerja tim kurator , selain tidak tegas dan kompak, menurutnya “ para kurator terlalu memaksakan diri membuat format biennale seperti ini dan sangat riskan”. Memang bila kita bandingkan antara sumber dana yang tersedia, jumlah partisipan dan venue yang ada,mungkin BJ VIII tak akan terjadi. Namun effort para senimanlah yang paling penting perannya dalam merealisasikan biennale ini. Terutama yang datang dari luar kota dengan pengangkutan karya dan menginap selama di Yogya, yang mengongkosi diri sendiri. Begitupun dengan publik seni yang dengan antusias membanjiri gedung TBY pada malam pembukaan. ***

110

Artikel Media+Massa


Residensi :,Bentuk Infrastruktur Untuk Kepentingan Pasar Mutakhir Tahun 2004+yang+lalu,+beruntung saya

terpilih untuk mengikuti suatu program+ residensi yang+diberikan oleh lembaga seni dari kota New+York,+Asia+Cultural+ Center+(ACC).+Selama tiga bulan lebih,+ hidup saya di+tanggung oleh lembaga kebudayaan dibawah naungan Rockefeller+ Foundation+tersebut.+Tujuan residensi ini untuk melihat lebih dekat aktifitas seni rupa di+kosmopolitan seperti New+York.+

Artikel ini dipublikasikan dipublikasikan di+Majalah Visual+Arts.+2006

Artikel Media+Massa

111


Sebuah kota yang punya sejarah penting dalam perkembangan seni rupa dunia. Khususnya praktik seni rupa kontemporer. Pasalnya dikota ini sejumlah lembaga penting, seperti seperti MoMa, Guggenheim maupun galeri?galeri yang melahirkan seni rupa Abstrak Ekspresionis, Neo Dada dan Pop Art maupun seni konseptual berlokasi. New York juga menjadi tujuan para perupa , pengamat maupun para kolektor dari penjuru dunia untuk melihat dari dekat karya?karya mutakhir atau mencari keberuntungan karirnya. Di kota ini juga mekasisme pasar seni rupa menjadi begitu subur dan sibuk. Saya ditempatkan ditengah kota Manhattan dan diberi ruang kerja di sebuah organisasi residensi Internastional Studio and Curatorial Program (ISCP). Organisasi tersebut hanyalah salah satu dari puluhan organisasi lain yang membuka residensi seniman , yang berdatangan dari seluruh dunia. ISCP berada dalam sebuah gedung tua didistrik bisnis tekstil di Manhattan. Mereka menyewa dua lantai,dimana terdapat 30 ruangan studio, ditambah kamar mandi ditiap lantai dan kantor pengurus. Tiap ruang sudah dilengkapi dengan jaringan telepon dan internet. Organisasi juga bisa menyediakan maupun petunjuk kebutuhan bahan dan perlengkapan. Mulai dari cat, proses fotografi hingga penyuntingan video. Pada dasarnya organisasi seperti ISCP bertindak sebagai pengasuh studio. Sedangkan kamar?kamar studio di sewa oleh organisasi? organisasi dari berbagai negara. ACC sendiri menyewa 4 studio disana. Dimana tiap tahun ada kurang lebih 4 perupa yang terpilih beresidensi di NY, dengan jangka waktu 6 – hingga 12 bulan. Bukan hanya ISCP , ACC juga punya beberapa studio lainnya di lembaga serupa, seperti di PS 1 (studio dibawah naungan MoMa Queens ). Lalu di pantai timur, di kota San Fransisco ACC juga menyewa beberapa studio. Walaupun ada banyak studio yang disewa, tapi hanya beberapa organisasi yang paling diminati oleh lembaga pendonor residensi. Organisasi studio yang dianggap baik adalah yang mempunyai fasilitas lengkap dan 112

Artikel Media+Massa


yang mempunyai fasilitas lengkap dan program – program yang bisa menguntungkan para perupa dan juga bisa memenuhi tujuan lembaga penyedia / pendonor residensinya. Biasanya program yang disediakan adalah secara rutin, tiap minggu ada dua kali pertemuan dengan para ahli untuk melihat dan berdiskusi tentang karya yang sedang digarap. Para kurator, kritikus, maupun beberapa ahli seni penting diundang dan secara bergiliran mengunjungi tiap studio. Singkat namun padat. Dan tiap tiga bulan organisasi membuka program Open Studio, dimana kalangan umum bisa datang melihat hasil – hasil karya mereka dan berinteraksi. Semua itu akan sangat bermanfaat untuk perupa disana. Organisasi studio biasanya akan menanggung pembiayaan kunjungan para ahli tersebut yang dananya dikelola dari uang yang diberikan oleh organisasi pemberi residensi. Menurut Margaret Cogswel dari bagian progran seni rupa ACC, lembaganya harus membayar kurang lebih 2000 USD per bulan untuk menyewa per studio disana. Di ISCP , studioJstudio yang ada sudah disewa oleh beberapa lembaga penyedia residensi. Seperti Australian Arts Council, Goethe Institut Jerman, Pusat Kebudayaan Taiwan maupun lembaga – lembaga resmi dari negara di Asia, Eropa maupun Amerika Selatan. Bagi para perupa dari mancanegara tentunya program studio macam ini memberikan banyak keuntungan. Bahkan tak jarang banyak perupa yang kemudian mendapat kesempatan ikut dalam pameran oleh seorang kurator maupun di sebuah galeri disana. Begitupun sebaliknya bagi galeriJgaleri di New York yang terkenal sangat sulit dan selektif, mereka menjadikan studioJstudio yang tersebar untuk mencari bakatJbakat baru. Lebih jauh pencari bakatJbakat muda dari seluruh belahan Eropa pun berdatangan ke “Big Apple” ini. Selain organisasi seperti ISCP, ada juga studioJstudio yang dikelola oleh galeriJ galeri swasta yang komersial. Biasanya studio mereka hanya untuk kebutuhan seniman yang bekerja untuk galeri tersebut.

Artikel Media+Massa

113


Tapi tujuan obyektifnya jelas adalah untuk mengembangkan potensi artistik maupun memperluas wawasan para seniman. Melalui interaksi sosial dan kota sebagai sumber yang memberikan rangsangannya. Model ini belum banyak dipahami dan dialami oleh banyak pihak di tanah air. Apalagi saat ini dimana perilaku pasar komersial lokal begitu menggoda tiap perupa. Residensi memberikan pengaruh pada perkembangan artistik dan konsep , selain memberikan ruang untuk lebih intens atau khusyuk bagi perupa dalam berkarya. Lebih jauh bisa memberikan visi lebih konstruktif kedalam masing – masing individu dalam kekariranya sebagai perupa profesional. Ada banyak bukti bahwa perupa Indonesia yang pernah dan sering beresidensi di luar negeri. Katakanlah Agus Suwage, Heri Dono, Nindityo Adipurnomo, Mella Jaarsma, Ade Darmawan, A.T. Christine, Eko Nugroho, Reza Asung Afisina, Agung Kurniawan, S. Teddy D, Dikdik Sayahdikumulah hingga Prilla Tania. Mereka semua mempunyai sikap dan arah yang jelas. Bahkan kekaryaan mereka sangat mempengaruhi perkembangan seni rupa saat ini. Akhir –akhir ini banyak juga lembaga – lembaga mancanegara menyewa ruang studio di negaraOnegara Asia. Di Beijing dan Shanghai mulai berjamuran lembagaOlembaga seni yang menyediakan residensi bagi masingOmasing perupa dari negaranya untuk tinggal dan bekerja disana. Kedua kota di China itu telah menjadi tujuan seni kontemporer utama dan penting di dunia. Di Indonesia, program residensi telah dirintis oleh Rumah Seni Cemeti, Jogjakarta, Selasar Sunaryo Art Space dan Galeri Soemardja – ITB. Namun masih terbatas dari negara pendonor tertentu saja. Bagi infrastruktur seni rupa kita, sepertinya banyak kendala yang akan dihadapi para perupa. Pertama adalah tidak adanya lembaga lokal non – profit atau milik negara yang bisa memberikan ruangOruang residensi di luar negri. Sehingga kita bergantung pada lembagaOlembaga asing seperti ACC, The Japan Foundation, The Goethe – Institut, dan lainnya.

114

Artikel Media+Massa


Kedua belum banyak kesadaran para pemilik galeri kita untuk menyokong dan bisa membiayai para perupanya beresidensi. Alih:alih para pemilik galeri tak mempedulikan perkembangan artistik dan konsepsi , mereka lebih suka hanya mengeruk keuntungan dari pada memperhatikan karir sebagai perupa. Sehingga suasana ini bisa menciptakan ketidak:sadaran para seniman pada lingkup kekariran mereka, yang pada akhirnya menjadi berpandangan sempit dan rentan terhadap perkembangan pasar komersial. Persoalan – persoalan seperti ini juga telah terbukti memakan korban bakat:bakat muda yang sedang berkembang. ***

Margaret+Cogswell+(paling+Kanan,+dan para+ seniman residensi dari Indonesia+dan Jepang ,+ di+New+York.+2004.+Doc:+Rifky Effendy

Artikel Media+Massa

115


ARENAINTERNASIONALISASIDULU-DANSEKARANG Bagaimanapun interaksi seni rupa kontemporer

Indonesia+dengan dunia+internasional tak lepas dari upaya para+individu,+kelompok,+maupun lembaga:lembaga,+baik yang+ada di+Indonesia+maupun di+manca negara.+Katakanlah sejak akhir 1990:an+ada beberapa pameran berskala internasional,+seperti pameran AWAS!+Recent+Art+From+ Indonesia+yang+digagas Yayasan Seni Cemeti,+Jogjakarta+ tahun 2000.+Pameran ini mungkin yang+pertama,+paling+ lama+berkeliling dan paling+besar yang+pernah menampilkan karya:karya seni rupa kontemporer Indonesia.+

Artikel ini dipublikasikan di+ Majalah Visual+Arts+2008

116

Artikel Media+Massa


Tercatat pernah tampil di beberapa kota di Australia, Jerman dan Belanda. Para perupa pesertanya sebagian telah menjadi ikon seni rupa kontemporer, katakanlah seperti Agus Suwage, S. Teddy D, kelompok Apotik Komik, Bunga Jeruk, Tisna Sanjaya dan lainnya. Yayasan Cemeti dan Cemeti Art House sebagai organisasi penyelenggara lokal memang perlu dicatat sebagai satu organisasi yang aktif mempromosikan seni rupa kontemporer Indonesia ke manca negara terutama negeri Belanda, hingga saat ini. Wajar saja tahun 2006 lalu, dua motornya Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo dianugerahi penghargaan oleh Yayasan Rockefeller di New York. Dulu Upaya mempromosikan seni rupa kontemporer ke luar negeri sebelumnya memang telah dilakukan oleh lembagaPlembaga maupun organisasi budaya di luar negeri. Katakanlah penyelenggaraan pameran, loka karya maupun residensi yang diselenggarakan di Australia seperti ARX di Perth diawal 1990Pan, sedangkan yang terbesar adalah AsiaPPacific Triennale yang diadakan sejak 1993 di Queensland Art Gallery, Brisbane. Di Amerika Serikat beberapa program residensi yang diselenggarakan oleh Asian Cultural Council (ACC) dibawah Rockefeller Foundation juga sering diikuti perupa Indonesia. Alumninya seperti Arahmaiani, Bunga Jeruk dan Dikdik Sayahdikumulah. Pameran penting Tension and Change yang dikomandoi oleh Apinan Poshyananda, kurator asal Thailand diselenggarakan di New York tepatnya di Asia Society dan galeri PS1, Queens. Secara egaliter beberapa kelompok perupa mural di San Fransisco pernah mengundang kelompok Apotik Komik untuk bersamaPsama membuat mural di sekeliling kota. Sedangkan di Jepang lewat program – program The Japan Foundation, sejak awal 1990Pan sangat aktif menyelenggarakan pameranPpameran besar seni rupa kontemporer maupun program lokakarya dan residensi para perupa dari negaraP negara Asia. Peran lembaga budaya Jepang tersebut saat ini sangat berdampak besar bagi perkembangan seni

Artikel Media+Massa

117


rupa kontemporer, di Asia seperti China, Korea, India dan Asia Tenggara. Kesempatan untuk membawa keluar seni rupa modern Indonesia dalam beberapa catatan sejarah memang pernah juga dilakukan. Bahkan jauh kebelakang, sejak masa Raden Saleh, diabad 19 hingga tahun 1970Fan, interaksi dengan budaya luar menjadi suatu keniscayaan dan punya kepentingan tersendiri bagi para perupa. Catatan sejarah yang ditulis Kusnadi tahun 1956, menyatakan bahwa para maestro seni modern seperti Soedjojono, Agus dan Otto Djaya, Basuki Resobowo, dan lainnya, pernah menyelenggarakan pameran di negeri Belanda dan beberapa negara Eropa Barat dan Timur. Basuki Abdullah pernah berpameran dan bekerja di Thailand, Henk Ngantung berpameran di China. Bahkan, masih menurut catatan Kusnadi, mendiang Affandi tercatat sebagai seniman Indonesia pertama yang mengikuti Venice Biennale, tahun 1953F54. Dalam praktik pendidikan tinggi seni rupa di tanah air, seringkali lembagaF lembaga mempunyai kerjasama dengan lembaga pendidikan di luar negeri untuk saling bertukar pengalaman. Mungkin kita pernah dengar STICUSA , beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa Indonesia untuk belajar ke Belanda. Alumninya antara lain Mochtar Apin. Sedangkan para pengajar seni rupa mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Di ITB, Ahmad Sadali, A.D. Pirous, Soedjoko, dan lainFlainnya tercatat pernah kuliah di Amerika Serikat. Para individu seperti mendiang Salim yang tinggal dan bekerja di Belanda kemudian bermukim di Paris hingga akhir hayatnya, berkarya disana dan terus membuktikan pada khalayak disana, bahwa bangsa Indonesia mempunyai talenta yang besar dalam seni modern. Dalam buku Asia Modernism, John Clark, sejarawan Australia mencatat, bahwa Raden Saleh merupakan orang non – barat dan orang Asia pertama yang melukis gaya barat, dan lima tahun lebih awal dari pelukis Jepang. Memang kenyataan, bahwa perkembangan seni rupa modern kemudian tak menjadikan praktik seni rupa modern di Indonesia banyak dikenal 118

Artikel Media+Massa


atau mendunia. Museum3museum seni rupa modern di Eropa dan Amerika belum satupun menggantung karya3karya dari Asia , apalagi dari Indonesia . Bahkan hingga dekade 19803an ketika diselenggarakan KIAS di Amerika Serikat, menurut catatan Jim Supangkat, beberapa museum seni rupa modern menolak memamerkan karya3karya dari para perupa Indonesia, seperti H. Widayat, A. Sadali, A.D. Pirous dan lainnya. Pameran kemudian terus diselenggarakan di museum – museum antropologi. Tapi kemudian wacana perubahan menghembus angin dari timur ke barat. Dimulainya perdebatan – perdebatan para intelektual di Barat yang menginterupsi lajunya pemikiran modernisme barat, membuat berbagai kalangan mulai melirik ke3modern3an bangsa3bangsa timur. Terutama perkembangan praktik seni modern di Asia. Kesempatan ini kemudian diraih oleh bangsa3bangsa Asia yang lebih dahulu menata infrastruktur seni rupa modern3nya. Contohlah Jepang dan Korea Selatan, dengan kekuatan ekonominya mampu mendirikan musium3musium yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat modern. Memamerkan karya3karya maestro Eropa kepada khalayak Jepang. Medan seni rupa kontemporer Jepang mendapat perhatian dunia, membuat para perupanya ikut dalam meramaikan gerakan seni rupa dunia. Mereka banyak diundang oleh galeri hingga museum seni rupa di Eropa – Amerika. Perkembangan serupa dialami kemudian oleh China. Sejak dekade 19903an, China mendapatkan perhatian besar oleh masyarakat dunia karena muncul sebagai kekuatan ekonomi baru di kawasan Asia. Komunisme China tiba3tiba berubah menjadi mesin kapitalisme raksasa dan terjadi perubahan3perubahan fundamental yang membuat wajah negeri tirai bambu berubah. Berbeda dengan Jepang, kekuatan diaspora China di seantero dunia menjadi faktor yang membuat para perupa di China dirayakan di pusat –pusat seni dunia. Sekarang Praktik seni rupa kontemporer di Indonesia mungkin saja sudah banyak diketahui oleh para peminat seni rupa di belahan dunia lain sejak tahun Artikel Media+Massa

119


19901an. Namun gaungnya memudar oleh hiruk pikuk seni rupa di China dan India. Kurang tereksposnya Indonesia dalam arena pasar seni rupa dunia mempunyai banyak faktor. Yang utama adalah jaringan kerjasama, pasar dan distribusi yang nyaris terisolir dari pasar internasional. Dalam dua dekade terakhir, semakin jarang para perupa Indonesia berlaga di arena1arena internasional, seperti triennale dan biennale. Kita bisa bandingkan dengan China dan India yang selalu hadir dalam perhelatan seni rupa dunia yang bergengsi. Begitupun kesempatan membangun infrastrukturnya. China menjadi fenomenal karena dengan waktu yang pendek mampu menjadi pusat perhatian publik seni rupa dunia, dengan membangun museum1museum berkelas dunia. Bahkan dirayakan kehadirannya oleh publik seni rupa di regional Asia Tenggara. Baik dalam tingkat pasar premier; seperti di galeri, museum serta pameran – pameran akbar seperti biennale, maupun pasar sekunder seperti di balai 1 balai lelang. Tapi rupanya, hiruk –pikuk pasar lokal1lah yang membuat seni rupa Indonesia mulai dilirik publik internasional. Kekuatan pasar lokal ini terbukti berhasil membuat para kolektor maupun art dealer dunia menoleh. Dua balai lelang kelas dunia seperti Christie’s dan Sotheby’s sejak awal memasuki milenium ketiga ini telah melirik karya1 karya seni modern dan kemudian seni kontemporer Indonesia. Sedangkan reaksi untuk membangun infrastruktur di dalam negeri sepertinya masih megap1 megap alias masih jauh dari cukup. Bahkan ironis, galeri – galeri yang menyokong karya perupa Indonesia di mulai di negara tetangga seperti Malaysia; Valentine Willie Fine Arts. Di Singapore lembaga1lembaga seperti NUS dan Singapore Art Museum maupun galeri1galeri komersilnya, dan beberapa galeri Hongkong lebih dulu mempromosikan seni rupa Indonesia di tingkat regional, sejak awal 20001an. Baru memasuki awal tahun ini, setidaknya dua art fair CIGE di Beijing bulan April lalu dan di ShContemporary 2008 di Shanghai, China awal September lalu, para galeri Indonesia mulai ikut serta dalam mempromosikan seni rupa kontemporer secara internasional dan gencar. 120

Artikel Media+Massa


Disinilah perbedaan pengalaman Indonesia dengan perkembangan seni rupa di negara Asia lain. Kondisi lokal jua yang berhasil menggetarkan pasar global, sebagai alternatif bagi pasar yang telah mapan, dalam hal ini China, Taiwan, India, Jepang dan Korea Selatan. Masa Depan Bagi para seniman, gejala pasar saat ini cukup berdampak positif. Mereka sudah bisa hidup dengan layak dan sejahtera, bahkan bisa membeli kendaraan, rumah, peralatan dan studio yang cukup besar, dan yang penting, bisa memikirkan masa depannya. Di Jogjakarta beberapa seniman, seperti Putu Sutawijaya bahkan membangun ruang pamer besar agar bisa mengadakan aktifitas pameran seniman yang lebih muda. Investasi untuk membuka galeri – galeri pun kian terbuka bagi penanam modal menengah. Tapi ada juga dampak negatifnya, banyak peminat seni yang menganggap lukisan seperti ‘kertas saham’ atau pelukis sebagai ‘sapi perahan’ yang harus terus memproduksi karya tanpa mempertimbangkan kualitasnya. Disinilah, praktisi seniman Indonesia bahkan para kolektor maupun art dealernya belumlah berpengalaman untuk bersentuhan dengan model infrastruktur yang lebih kompleks dan canggih. Untuk memasuki pasar Eropa yang terkenal kritis atau New York dan London yang begitu pelik, perlu adanya persiapan – persiapan mental dan pemikiran yang kontsruktif. Maka perlu juga dialog antar bidang para pelaku seni rupa di Indonesia untuk bersama –sama mempersiapkannya. Dalam situasi pasar dan ekonomi global seperti ini, fungsi lembaga – lembaga seperti museum publik yang sesuai atau proper bisa sangat berperan. Tapi rupanya hal itu masih dalam anganPangan. Desakan – desakan pihak pemerintah untuk lebih memperhatikan bidang seni rupa haruslah dilakukan secara gencar. Sedangkan upaya eksposur karyaPkarya seni rupa Indonesia di luar negeri, sepertinya menjadi urgensi guna mendistribusikan karya – karya perupa kita di medan internasional atau setidaknya menyebar di wilayah Asia yang menjadi fokus kekuatan Artikel Media+Massa

121


ekonomi baru dunia. Sehingga bila saja seluruh kekuatan lokal ini menjadi potensi untuk lebih menggenjot penetrasi pasar dunia, maka tak heran tahun depan ini karya<karya seni rupa dari Indonesia bisa menjadi bintang baru pasar seni rupa dunia, ditengah semakin suramnya perekonomian dunia. ( *** )

122

Artikel Media+Massa


Banjir Karya Indonesia0di0 Beijing Galeri – galeri seperti:++Langgeng ,+Canna,+Nadi,+

Vanessa+Artlink+dan Linda+hadir di+Beijing,+dengan masing>masing menampilkan karya>karya dari para+ perupa kenamaan yang+sedang naik+daun seperti Agus Suwage,+Handiwirman Saputra,+Putu+Sutawijaya,+S.+Teddy+ D,+Eko Nugroho,+Budi+Kustarto serta lainnya.+Bahkan beberapa galeri menyewa beberapa booth+untuk memajang karya –karya secara tunggal maupun campur.+ Masing> masing berupaya menarik perhatian para+ peminat seni rupa kontemporer dari seluruh dunia.+

Artikel ini dipublikasikan di+Majalah Visual+Arts+.+Mei+2008 Artikel serupa dengan judul Bukan Pasar Kelontong Cina dipublikasikan di+Majalah Tempo.+12+Mei+2008 Artikel Media+Massa

123


Baru kali ini, sejak kota Beijing – China menjadi salah satu pusat berbagai peristiwa penting seni rupa kontemporer di Asia, seni rupa dari Indonesia terasa kehadirannya. Dalam rangkaian artfair China International Gallery Exposition atau CIGE 2008 yang diselenggarakan mulai 24 hingga 28 April, berlokasi di kawasan bisnis China World Trade Center (CWTC) di pusat kota, tampak dipenuhi namaLnama galeri dan perupa Indonesia. Di lantai bawah yang lebih cenderung bersifat komersial, para galeri tersebut menyajikan karya lebih bercampur – aduk. Galeri Langgeng misalnya menjajakan karyaLkarya para perupa mulai dari karya – karya Srihadi , F.X. Harsono, Filippo Sciascia hingga kelompok Taksu, Bali. Vanessa menyajikan karyaLkarya patung Pintor Sirait dan Astari. Booth galeri Nadi dilantai 1 menjajakan karya lukisan Jumadil Alfi dan patung Abdi Setiawan. Bahkan Canna berani menjual karyaLkarya perupa yang lebih muda seperti drawing arang karya Ariadhitya Pramuhendra. Namun banyak pengamat mengatakan CIGE kali ini tak begitu menggairahkan. Tak banyak galeriLgaleri alternatif dengan karya – karya eksperimen yang menarik mengikuti artfair kali ini, tapi kita masih bisa menyaksikannya dari beberapa galeri saja yang menyajikan seni media baru. Geliat pasar seni rupa Indonesia memang terus meningkat sejak pertengahan tahun lalu, ditandai dengan melambungnya harga – harga karya dibalaiLbalai lelang di Hongkong, Singapura maupun lokal. Ada banyak analisa dengan berbagai sudut pandang tapi pada umumnya pengamat melihat faktor menjulangnya harga karya dari tirai bambu yang terus melangit membuat banyak galeri maupun kolektor berpaling mengejar karyaLkarya Indonesia. Peluang itulah kemudian yang harus diraih oleh para galeri Indonesia. Pendapat kurator dan direktur Tang Contemporary Art Space asal Singapura Josef Ng, menilai bahwa banjirnya para perupa dan galeri Indonesia di Beijing merupakan fenomena komersial yang perlu dibarengi dengan penggalian pemikirannya. Ia menyebutnya dengan : “ a massive commercial invasion of Indonesian art in China art scene”. Sayang bila serbuan ini hanya dari aspek komersialnya saja, perlu adanya pemahaman melihat praktek yang lebih mendalam, tuturnya. 124

Artikel Media+Massa


Gejala lain adalah para galeri itu mulai mengajak para kurator untuk menggarap ruang9ruang khusus terutama lantai dua yang diberi tema Mapping Asia dengan menyajikan 33 pameran tunggal perupa muda dari Asia . Seperti Enin Supriyanto dengan Nadi Galeri menghadirkan karya Agus Suwage yang menampilkan instalasinya terbaru, berupa rangkaian drawing arang diatas kertas. Ditengahnya ia menyajikan tengkorak manusia berwarna hitam berukuran raksasa tergeletak dilantai putih. Hingga nuansa hitam9putih terasa begitu kuatnya, menyuguhkan kesan dramatik lewat imaji9imaji potret diri dengan tengkorakya. Didepannya kurator Agung Hujatnikajenong menghadirkan rangkaian karya9karya obyek dan lukisan minimalis hibrid Handiwirman Saputra. Canna Galeri menyajikan karya9karya lukisan dan instalasi Putu Sutawijaya hingga ruangan yang masing9 masing booth berukuran 4 x 5 meter itu sedikit terasa sesak. Tak jauh dari situ, Langgeng Galeri bersama kurator Hendro Wiyanto menampilkan karya9karya S. Teddy D, dengan proyek Kacangnya yang menarik. Hanya Eko Nugroho dan Budi Kustarto yang diwakili galeri dari Taiwan ; Soka. Bukan hanya di CIGE, pameran karya9karya Indonesia juga diselenggarakan di galeri9galeri disekitar distrik seni terkenal : 798. Seperti Vanessa Artlink – Beijing yang menyajikan pameran tunggal karya – karya Harris Purnama dengan bayi – bayi bertatonya. Karya9 karya Eddie Harra muncul dibeberapa tempat, selain di CIGE dengan Galeri Nadi juga muncul di pameran Beyond Cartoon di galeri Beyond Artspace, selain nama Ayu Ariesta Murti. Dikawasan seni yang tengah diperbaiki menjelang Olimpiade Beijing 2008 itu juga digelar pameran yang diorganisasi oleh Galeri Edwin di Asian Art Center. Menampilkan karya9karya lukisan dari Ugo Untoro, Heri Dono, Tommy Wondra, Entang Wiharso, Bunga Jeruk, Chusin Setyadikara dan sebagainya. Di tempat terpisah, Galeri Soka di Beijing juga menggelar pameran A Slice dengan karya9karya dari 14 perupa muda seperti Beatrix Hendriani Kaswara, Wiyoga Muhardanto, Dikdik Sayahdikumullah, Kokok P. Sancoko, R.E Hartanto, Terra Bajraghosa dan lainnya Artikel Media+Massa

125


Antrean panjang untuk membeli sebuah karya juga dihadapi oleh Galeri Canna, hingga harus memberi prioritas untuk memilih kolektor asing dari Asia dan Eropa di banding lokal. “ Jauh – jauh hari beberapa karya sudah banyak yang pesan , tapi paling banyak pemesan dari Indonesia,� tutur Tommy , pemilik galeri tersebut. Memang urusan mengoleksi karya seni tak ada hubungannya dengan rasa kebangsaan atau nasionalisme seperti dahulu, tapi untuk saat ini pemikiran untuk menyebarkan karyaEkarya seni kepada kolektor dari mancanegara terasa cukup gencar. Mungkin mencontoh karyaEkarya para perupa China yang sudah terserap pasar internasional, bahkan oleh institusi seperti museum. Sehingga harga karya mereka terus melambung dan kokoh. Faktor lain adalah munculnya kolektorEkolektor dan dealer dari Taiwan dan China sendiri yang tak kalah agresif. Mereka pun cukup berpengaruh dalam membuat harga karyaEkarya naik di pasar regional. Sejauh ini ekonomi kedua negara tersebut memang cukup diperhitungkan dunia, terlepas dari kekuatan ekonomi EropaEAmerika. Menurut salah satu sumber di satu majalah di Beijing menyebutkan bahwa saat ini tingkat konsumsi masyarakat kaya China terhadap barang mewah menempati urutan kedua setelah Jepang. Tapi karyaEkarya China lebih jauh dikenal oleh dunia karena faktor informasi yang lebih menyebar, pameranEpameran diselenggarakan di museumEmuseum ternama seluruh penjuru dunia dan jumlah penerbitan buku yang cukup besar. Dan saat ini kotaEkota di China menawarkan atraksi yang cukup menarik, menjadi magnet bagi pencinta seni dari seluruh pojok dunia. FaktorEfaktor ini yang membuat gerakan seni rupa Indonesia masih terasa lemah strategi. Pengemasan artfair saat ini makin menunjukan bahwa ada kepentingan lebih bervisi jauh kedepan ketimbang untung rugi sesaat saja. CIGE sendiri harus berkompetisi dengan banyak penyelenggara artfair di Shanghai dan Hongkong. Belum lagi artfair di New York dan di kotaEkota Eropa seperti Art Basel yang paling bergengsi di Eropa. Maka CIGE pun

126

Artikel Media+Massa


membuka kesempatan dan menawarkan galeri – galeri untuk menggelar proyek khusus di booth khusus pula. Selain tema Mapping Asia juga disajikan khusus untuk perupa yang bekerja dengan multimedia dengan tema Alternative Energy serta bagi organisasi NonAProfit . Tuntutan dalam segi kemasan ini menjadi hal yang baru bagi galeriAgaleri di Asia, sehingga bisa kita lihat beberapa galeri tampil sangat minimalis namun fokus dan menarik seperti beberapa peserta dari Turki, Beijing, Jepang dan Korea. *** Baca artikel di Majalah TEMPO di tautan: https://majalah.tempo.co/read/seniArupa/127101/bukanApasarA kelontongAcina?read=true

Artikel Media+Massa

127


KOLEKTORMUDA-:-Apa Yang-baru? Kolektor dalam Medan+sosial seni rupa Kontemporer. Posisi kolektor dalam medan sosial seni rupa modern+ merupakan elemen penting yang+bisa mencerminkan sejauh mana+dinamika sebuah perkembangan dalam suatu konteks.+ Dalam kaitan ini sosiolog kontemporer asal Perancis,+Pierre+ Bourdieu+(1930E2002)+pernah mengemukakan bahwa suatu nilai karya seni saat ini ditentukan oleh beberapa lembaga pendukungnya,+seperti art+dealer+dan galeri,+museum+dan elemennya termasuk kurator,+kritikus dan media+massa,+serta keberadaan kolektorEkolektornya.+KaitanEkaitan ini baginya merupakan jejaring yang+produktif dalam suatu habitus yang+ kemudian menciptakan kekuatan sosial – kapital.+

Artikel ini dipublikasikan di+Majalah Visual+Arts+No+33+,+2009

128

Artikel Media+Massa


Di Indonesia peran kolektor sebagai salah satu patron perkembangan seni mempunyai peran yang bisa dikatakan cukup signifikan. Kita pun mengetahui bahwa kemunculan seni rupa modern diawal berdirinya republik juga didukung oleh pemimpin bangsanya. Almarhum Soekarno misalnya, bukan saja menjadi pengayom para seniman dengan ideologi nasionalisnya, tetapi juga kerap memberikan dukungan finansial kepada mereka. Kepatronan kolektor tumbuh dalam medan sosial seni rupa di kemudian hari karena dalam beberapa hal, terutama ketika dukungan pemerintah atas kehidupan seni masih terasa sangat kurang. KolektorC kolektor karya seni rupa merupakan individu – individu yang menarik serta mampu secara finansial, punya wawasan seni serta tingkat pendidikan yang tinggi. Mereka juga, seringkali menularkan minatnya pada generasi muda maupun individu lain. Seiring dengan waktu, lingkaran kolektor semakin solid dan berlapis. Beberapa kolektor pun memperluas perannya menjadi pemilik museum, promotor, mengelola galeri hingga art dealer. Hal ini bukan sesuatu yang baru, di belahan utara Amerika maupun Inggris, peran kolektor hingga perannya yang melebar juga terjadi, seperti kolektor fenomenal Charles Saatchi dari London, sejak era 1990Can, yang kemudian dianggap oleh sebagian orang sebagai ikon kolektor abad 21 atau menjadi “ Branded Collector� yang mampu mempengaruhi pasar dan trend seni menurut penulis Don Thompson. Hal ini seolah membuktikan bahwa menjadi kolektor seni rupa kontemporer maupun karyaCkarya modern memang menjanjikan; bukan saja dengan status sosial tapi juga menjadi kekuatan pasar dan politik kebudayaannya. Sejak bangkitnya pasar karya seni rupa Indonesia, beberapa tahun terakhir ini, lingkaranClingkaran kolektor tampaknya semakin meluas dan beragam latar belakang usia. Bila pada era 90Can hanya beberapa kolektor saja yang sering dianggap berpengaruh atau sebagai panutan dan menjadi patron oleh para seniman. Tapi saat ini banyak kolektor muda mulai belajar melalui forumCforum, seperti lelang, pameranCpameran, maupun melalui publikasi seperti majalah seni rupa maupun katalogC katalog lelang dan pameran. Artikel Media+Massa

129


Alih1alih bila dulu ada istilah belajar “ lewat kuping” , sekarang mereka juga belajar “lewat mata” dan tukar pikiran. Munculnya Kolektor Muda Dari gejala medan sosial seperti diatas, saya mengenal beberapa kolektor muda secara pribadi dan tak sengaja. Tahun 2007, di Cemara 6 Galeri, Menteng, ketika sedang mempersiapkan pameran para perupa muda dari Bandung. Sore itu sebelum pembukaan , pasangan muda datang untuk melihat1lihat karya yang sedang disiapkan. Mereka memperkenalkan diri, yang lelaki bernama Leo Silitonga dan pasangannya Helen Koeswoyo. Pada saat itu mereka tampak kecewa karena beberapa lukisan yang di incarnya terlebih dahulu di pesan oleh seseorang yang hanya selisih beberapa jam sebelum keduanya muncul. Beberapa saat kemudian ketika pembukaan akan dimulai datang pula pasangan lain yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Paulus dan Wendy. Mereka semua hadir disana dan bincang1bincang dengan para perupa, kurator dan hadirin lainnya. Setelah pertemuan itu, selanjutnya mereka kadang mengajak beberapa orang untuk berbincang sambil makan malam atau ngopi sepulang mereka bekerja atau setelah acara –acara pameran yang padat tiap minggunya, di mall, disela1sela acara lelang maupun galeri. Sengaja saya menampilkan sekilas tentang kehidupan mereka sebagai kolektor . Selain mengenal secara pribadi, mereka juga cukup aktif hadir dalam berbagai forum pameran1pameran, baik di Jakarta, Bandung, Jogja dan Bali hingga Beijing dan Shanghai. Ketertarikan Awal Leo Silitonga misalnya, mulai tertarik pada karya seni ketika ia masih duduk dibangku kuliah di jurusan arsitektur ITB, tepatnya ketika ia suatu saat berkunjung kota New York ia sempat menengok ke Guggenheim Museum. Awalnya bukan untuk menikmati karya seni modern yang terpajang disana, tapi untuk mengagumi karya arsitekturnya. Namun ia sempat terkagum1kagum dengan objek –objek karya maestro Joan Miro. Baru ketika tahun 2006 akhir, Leo yang saat ini bekerja di sebuah 130

Artikel Media+Massa


perusahaan saham, membeli lukisan pertamanya lewat salah seorang saudara yang membutuhkan uang dan mempunyai banyak karya seni. Ia ditawari sebuah lukisan karya Dede Eri Supria. Leo mengaku bahwa sudah lama ia mengenal nama dan karya@karya Dede, baik melalui pameran di galeri maupun melalui katalog lelang. Walaupun baru tiga tahun ini ia secara intens mengoleksi karya – karya tapi saat ini kira@kira sudah ada kurang lebih 200@an karya yang dikoleksi, tapi yang paling berkesan bagi pria dua anak ini adalah obyek tengkorak karya Agus Suwage”. “ dia seniman favorite saya saat ini, tapi saya rasa tidak mungkin mendapatkan karya Suwage di balai lelang, harganya sudah terlampau mahal”, Katanya. Beberapa waktu lalu ia memberi pesan singkat pada saya bahwa ia baru saja mendapatkan objek miniatur mobil BMW dengan lukisan Suwage. Berbeda dengan Leo dengan latar belakang kuliah arsitektur yang membawanya menjadi seorang kolektor karya seni. Paulus Sutrisno mulai tertarik dengan dunia seni sudah sejak dini, sejak kecil sang ayah mempunyai banyak koleksi buku@buku yang diantaranya buku ensiklopedi para seniman Eropa mulai abad pertengahan hingga seniman modern abad 20. “ Ayah saya sangat tertarik pada sejarah peradaban Barat, dan waktu kecil sering diajak ke museum sejarah, nonton konser musik klasik atau film – film yang bukan mainstraim dan pameran seni, walaupun beliau tak pernah mengoleksi lukisan. Tapi saya ingat pertengahan 1970@ an pernah diajak lihat pameran di Balai Budaja di Menteng, waktu itu acara pameran karya Lee Man Fong”, kenang Paulus yang saat ini bekerja disebuah perusahaan kimia di Jakarta. Tapi ternyata, baru pada tahun 2004 ia akhirnya memutuskan membeli sebuah karya seni. “ Saya memulai koleksi novel cerita silat…saya orang yang hobi baca buku sejak kecil”. Ia memiliki karya seni pertamanya berupa karya cetak grafis drypoint Ay Tjoe Christine. “ secara tak sengaja saya dikenalkan pada Deddy Irianto pemilik galeri Langgeng, di Magelang oleh seorang teman.” paparnya. Paulus yang lahir di Jakarta, November Artikel Media+Massa

131


tahun 1965, tertarik dengan karya tersebut terutama dengan garis; garisnya kuat pada karya itu. “ Saya baru tahu bahwa ternyata Ay Tjoe itu perupa perempuan berbadan kecil, saya pikir dulu orangnya lebih besar” ungkapnya. Saat ini Paulus merasa beruntung telah memiliki beberapa karya Ay Tjoe, beragam medium kecuali objeknya, mereka semua ada diantara karya lain yang sudah berjumlah sekitar 150 koleksinya. Latar belakang masa kecil bersentuhan dengan dunia seni rupanya membuat Paula Dewiyanti tergerak untuk mengoleksi karya seni. Bukan karena pengalaman ketika ia berkuliah di Boston ; Amerika yang mempengaruhinya. Walaupun koleksinya terbilang masih berjumlah lebih sedikit dibanding Leo dan Paulus, namun sebagai perempuan muda yang cukup sibuk mengelola sebuah perusahaan penjualan otomotif, ia masih menyempatkan mengunjungi pameran;pameran didalam dan luar negeri dengan serius. “ Sejak kecil saya sudah les menggambar , beberapa kali menang lomba gambar dan sering diajak berkunjung ke Pasar Seni Ancol oleh orang;tua “, kenangnya. Dan karya pertama yang ia koleksi adalah sebuah lukisan dekorative yang dibelinya dari Vietnam. “Orang tua saya dulu juga suka dengan lukisan yang dekorative.” Untuk sekedar menghias ruang. “ Tapi ternyata bagi saya kemudian lama;lama lukisan itu kok membosankan, gak ada isinya, “ kata Paula. Paula , yang kelahiran Jakarta bulan April tahun 1973 itu, membeli karya seni pertama yang dianggap serius untuk dikoleksi pada tahun 2005 di galeri Mon Dekor.” Saya membeli karya Amrus Natalsya sebuah patung kayu yang tak begitu besar, harganya kira;kira Rp. 25 juta rupiah, dulu terasa cukup mahal” ujarnya. Menurut pengakuannya awalnya Paula belum bisa mengapresiasi karya;karya kontemporer, tapi kemudian ada rasa penasaran, sehingga membuatnya sering datang ke galeri, baca katalog maupun majalah dan berdiskusi dengan teman – temannya. Untuk membeli karya saat ini bagi Paula tidaklah mudah, tak banyak tema yang cocok baginya, begitu banyak informasi, oleh karena itu Paula cukup berhati;hati dalam menentukan sebuah karya seni untuk dimiliki.

132

Artikel Media+Massa


Apresiasi atau Investasi ? Seperti juga gejala di medan sosial seni di pelosok dunia, gemerlap seni rupa kontemporer juga dibarengi dengan unsur kekuatan kapital. Alih>alih bahwa seni rupa kontemporer dikelimuni oleh kepentingan faktor ekonomi. Lalu bagaimana posisi apresiasi mereka ? “ Tentu bagi saya, yang notabene bekerja di industri finansial, analisa pasar seperti supply and demand menjadi pertimbangan juga dalam memilih sebuah karya “, ungkap Leo. Tapi kemudian ia juga mengatakan bahwa sisi apresiasi lebih penting, contohnya ia lebih suka mengenal senimannya dahulu dan mengorek tentang pikiran>pikirannya dan visinya. Hal ini ia ikuti dari metode seorang kolektor senior Alex Papadmetreu yang mempunyai koleksi karya dengan mengenal benar – benar sosoknya senimannya. “ Dia menjadi model saya dalam caranya mengoleksi dan bahkan bisa membeli dari awal ketika seniman itu masih belum menanjak ” lanjutnya. Leo mengakui bahwa dari koleksinya ia memperbarui dengan cara menjual melalui mekanisme lelang untuk kemudian hasilnya digunakan untuk membeli karya – karya baru. Hal yang hampir sama juga dilakukan oleh Paulus. “ Saya pernah punya satu lukisan I Nyoman Masriadi dan kemudian menjualnya melalui lelang, karyanya sudah cukup mahal waktu itu, dan saya tak mungkin bisa membeli karya lainnya” . Mungkin tujuannya hampir sama, yakni untuk modal membeli karya>karya perupa yang lebih muda dan potensial. Paulus mengakui bahwa ia mengagumi sosok kolektor seperti Eddy Hartanto yang dianggapnya punya kejelian dan punya kesamaan selera. “ Tapi saya selalu kalah cepat dari dia” . Sementara Paula mengatakan bahwa “ Sepertinya memang akan menjadi kepuasan tersendiri bila kita membeli karya seniman muda yang masih murah lalu kemudian menjadi terkenal dan mahal”. Memang beberapa kolektor terkemuka menjadi contoh, membeli karya seni saat karirnya baru mulai kemudian menjadi terkenal dan dicari banyak orang walaupun itu melibatkan sisi spekulasi. Tapi baginya selalu ada suatu perubahan dalam selera terhadap karya seni, sehingga koleksipun harus diperbarui terus. Hal ini membuktikan tumbuhnya apresiasi bagi mereka yang muda terhadap perkembangan paling mutakhir. Artikel Media+Massa

133


Hal lain bagi kolektor muda adalah keterbatasan finansial yang menjadi alasan untuk tidak mengejar karya –karya seniman yang sudah mapan dan ‘aman’ atau mereka yang sudah punya nama dengan harga sudah mahal, digaleri maupun lelang. Seperti pengalaman Paula yang sangat kagum pada sosok Handiwirman tapi belum mempunyai satupun karyaDkaryanya. “ saya baru tahu tentang karya Handiwirman beberapa tahun lalu tapi waktu itu harganya sudah sangat mahal,” lanjutnya dengan nada menyesal. Jadi aspek apresiasi dan investasi dalam praktek mengoleksi karya seni rupa selalu beriringan, tak menciptakan minyak dan air yang mendikotomi nilai, namun justru tampaknya saling menyokong. Maka gejala kolektor muda saat ini pun menjadi bagian menarik dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Mereka secara langsung dan tak langsung ikut menyokong kehidupan kreatif perupa muda dan perkembangan seni rupa Indonesia. Bahkan Leo dan Helen akan mendirikan sebuah galeri di kawasan Menteng, dan menariknya galeri itu bukan untuk memberi mereka peluang untuk mendapatkan karyaDkarya, tapi untuk mempromosikan para perupa muda. “ Alasan buka galeri mungkin saat ini gak relevan kalau untuk bisa dapat karya, karena saya dirikan ketika market sedang down, kalau memang alasannya seperti itu kenapa gak buka setahun lalu.” Tukas Leo. ****

134

Artikel Media+Massa


Hal'Lain'dari Seni Rupa'Pertunjukan (Performance'Art) Baru0baru ini terjadi galagat yang+cukup menarik

untuk disimak oleh praktisi seni rupa,+khususnya yang+berkecimpung dalam performance+art.+Ada+ beberapa pameran diselenggarakan ,+terutama yang+menampilkan seniman China,+oleh Vanessa+ Artlink.+Pertama pameran dua seniman,+Luo+Fahui dan Yuji,+pada bulan Desember lalu.+Di+awal tahun juga+Vanessa+menampilkan perupa Cang Xin.+

Artikel ini dipublikasikan di+ Majalah Visual+Arts.+2007

Artikel Media+Massa

135


Yang menarik dari dua pameran ini adalah menyertakan dua perupa pertunjukan. Yu Ji dan Cang Xin, dua nama yang cukup dikenal di China, dan dalam pamerannya kali ini, mereka tidak melakukan pertunjukan. Mereka menampilkan puluhan fotoAfoto dokumentasi atau hasil rekayasa, dari beberapa pertunjukan yang telah mereka lakukan. Foto (video atau karya rupa) seni rupa pertunjukan dari China, bukan hanya menunjukan perkembangan praktek seni rupa kontemporer disana saat ini. Tetapi juga pada hemat saya, ada suatu infrastruktur yang sedang tumbuh, dan belum terperhatikan dalam praktek seni rupa kontemporer tanah air. Praktek Seni Rupa Pertunjukan (SRP) dalam konteks di China. Akhir tahun lalu, secara kebetulan seorang pengamat SRP China, kelahiran Belanda, Dr. Thomas J. Berghuis, mengadakan loka karya bersama beberapa kurator muda, di Bandung. Ia baru saja menerbitkan buku hasil risetnya selama 6 tahun, berjudul “ Performance Art In China�. Menurutnya, bila kita membicarakan seni rupa konseptual China, mau tak mau harus memperhatikan praktek SRP. Karena ia menganggap, selain berbagai latar belakang pengaruh sosial – politik dan perkembangan lokal yang radikal , tetapi bahwa juga muncul kesadaran baru. SRP pada dasarnya adalah aksi tubuh dalam seni rupa yang berperan sebagai media ungkap, atau "the role of the mediated subject of the acting body in art,". Dalam artian, bahwa tubuh selalu hadir dalam praktek seni rupa juga sebagai penampakannya (subsequent), representasi sekunder dalam medium seperti fotografi, video, bahkan lukisan. Berghuis disini sangat membedakan dengan tegas SRP dengan SR kejadian (happening art). Walaupun seringkali disalah – pahami, SRP adalah cara tubuh beroperasi dalam ruang yang butuh kematangan dalam perencanaan dan pengaturan; apakah itu mencakup fungsinya dalam ruang, dan pengelolaannya di ruang tersebut. Kesuksesan SRP China bukan hanya mengartikulasikan temaAtema fantastis dan radikal, 136

Artikel Media+Massa


namun juga bagaimana aksi tubuh tersebut, secara eksplisit ditampakan melalui medium fotografi dan video, bahkan tubuh sering menjadi bagian dari suatu karya instalasi. Maka SRP China menjadi penting karena menjadi kelanjutan dari wacana seni rupa kontemporer, selain praktek seni lukis maupun instalasi. Oleh sebab itu, para seniman SRP sering disertakan dalam pameranEpameran atau dalam publikasi bukuEbuku ke seluruh dunia. Tentunya ada segudang nama seniman SRP di China, katakanlah Ma Liuming, Zhang Huan , Zhu Ming, dan lainnya. YuJi dan Cang Xi adalah seniman yang karyaEkarya foto, dan video SRP nya di tampilkan di Jakarta. Tampak jelas bahwa kesadaran akan aksi tubuh dengan konsepsi, terpresentasikan dengan baik lewat foto, video dan patung. Seperti serial foto aksi SRP Cang Xin, yang diberi tema “Lotus” , dimana Xin menjilat bunga Lotus, berkubang ditengah kolam penuh bunga Lotus. Bunga yang dalam budaya China mempunyai makna tersendiri, sering dihubungkan dengan nilai sakral. FotoEfoto aksinya direkam oleh kamera dengan begitu baik oleh sang fotografer. Sehingga seolah ia berada ditengah alam lain, seperti seorang suci. Dalam serial “Identity Exchange” , bahkan lebih kuat menunjukan aksi tubuhnya, meminjam pakaian dengan orangEorang yang berbeda latar belakang status sosial, pendidikan dan budaya. Seperti kondektur kereta, penjaga toko, pengantin, perawat rumah sakit, polisi, tukang sampah, buruh tambang, dan lainnya. Perempuan atau lelaki. Dalam fotoEfoto ia bersama obyeknya berdiri, berjejer, menghadap kamera dengan latar dimana lokasi obyeknya berkegiatan. Tubuh sang obyek ditelanjangi sedangkan Xin memakai bajunya. Lewat tubuh, ia ingin menguji soal identitas diri dan orang lain, dijaman globalisasi dengan cara yang humoris dan cerdas. Tentunya untuk menghasilan foto – foto maupun video dokumenter SRP, Cang Xin harus menyiapkannya dengan berkolaborasi dengan para fotografer atau videografer untuk merekam setiap aksinya, sebagai sebuah tim kerja. Bahkan persiapanEpersiapan aksi ini banyak melibatkan lembagaElembaga masyarakat yang ada. Lebih jauh Xin, Artikel Media+Massa

137


mematerialisasikan aksi tubuhnya dalam bentukan artistik seni rupa yang lazim. Seperti drawing, lukisan, patung, yang dikerjakan oleh perupa lainnya. Contohnya Xin menghasilkan karyaAkarya drawing dan lukisan SRP , dibantu oleh oleh seniman lainnya. Zhang Jun adalah seniman yang banyak menerjemahkan konsep Cang Xin kedalam medium pensil maupun cat minyak. Dalam suatu wawancara dengan Zhao Shulin, Zhang mengungkapkan, bahwa kolaborasi ini didasari ketertarikan personal, dan selama ini Zhang yang memberikan penafsiran atas konsep pertunjukan Xin ke dalam bentuk artistik yang lain. Bukan hanya persoalan keahlian tangannya saja, pemahaman konsep – konsep sangat penting. Kolaborasi ini pada hemat saya, bukan hanya persoalan gagasan serta ketertarikan, tetapi juga terjadi sharing secara nilaiAnilai pemikiran, pemahaman budaya dan ekonomi. Seni Rupa Pertunjukan di Barat Namun gejala dalam produksi SRP, bukan hal yang baru. Dalam sejarah perkembangan di Eropa dan Amerika Utara misalnya. SRP telah dimaterialisasikan. Kelembagaan seni telah mengembangkan sistem kerja, “ kolaborasi� untuk menghasilkan produk artistik. Karena bagaimanapun, SRP merupakan aksi tubuh yang sangat bergantung pada konteks ruang dan waktu. Pendokumentasian, produksi artefak SRP , kemudian menjadi penting dan telah berlangsung sejak A mulai dari kelompok Dada, Bauhaus, Fluxus, atau Yves Klein, Manzoni, Beuys, Jim Dine, hingga Gilbert – George. Memang terjadi keAironisAan, dimana pada awalnya SRP digunakan para seniman untuk melawan komersialisasi, dan hegemoni lembaga galeri. Seniman awal SRP, berusaha mendudukan kembali gagasan sebagai suatu yang paling tinggi, sebagai pengejewantahan dari eksistensi seniman modern, sebagai gerakan kaum kiri, dan ekstensi dari gerakan seni rupa konseptual. Tetapi pada akhirnya, dalam kenyataan perkembangan teori dan kelembagaan seni rupa modern, mengharuskan karyaAkarya SRP didokumentasi secara baik. Terutama banyak lembaga museum dan akademi pendidikan, maupun pameranApameran, serta publikasi 138

Artikel Media+Massa


membutuhkan materi, atau bentuk fisik untuk kepentingan arsip maupun presentasi. Dokumentasi SRP, berupa fotografi, rekaman film dan video, atau kertas@kertas kerja para seniman dikumpulkan, di kemas dalam sebuah pameran maupun materi publikasi. Bahkan kemudian, beberapa museum dan kolektor, membeli arsip@arsip dengan harga tinggi. Maka terjadi ironi, Gilbert and George, diawal tahun 70@an, mungkin yang mengawali, menggunakan medium artistik foto, grafis maupun patung sebagai ekstensi dari aksi yang mereka lakukan. Sebagai kemungkinan bentuk “dokumentasi� untuk diperdagangkan dan dimiliki oleh para kolektor. Hal ini juga mengawali suatu gejala dimana, mitos bahwa seniman modern bekerja secara individual, unik, self@center akhirnya pupus. Produksi seni rupa kontemporer termasuk SRP, menurut kritikus Kristine Stiles, dalam ulasannya tentang Performance (Nelson & Shiff,2003: 88) mengemukakan, bahwa didekade 1980@an, istilah “performance� mulai menyajikan karya beragam dengan bentuk estetik, dari produksi hingga presentasi,serta penafsirannya. SRP menjadi sebagai suatu kategori dalam visual display, hal ini memberi hal baru bagi aspek komersial seni rupa. Dengan munculnya berbagai teknologi reproduksi, seperti kamera dijital, video, rekayasa komputer maupun internet. Banyak juga seniman SRP mengembangkan konsep aksi tubuh dengan unsur teknologi. Sterlac, seniman SRP ternama asal Australia, dan Yasumasa Morimura dari Jepang, bahkan telah mengembangkan konsep tubuh kedalam konstruksi rekayasa teknologi. Begitupun penggunaan strategi presentasinya , mereka mencoba dan bereksperimen dengan mendomestifikasi tubuhnya melalui ruang@ruang virtual, yang bisa diakses oleh internet, permainan game, maupun dalam bentuk kepingan DVD. Aksi Tubuh, kelanjutannya dalam Praktek SRP di Indonesia. Artikel Media+Massa

139


Wacana SRP di tanah air, sebenarnya dimulai hampir sama dengan perkembangannya di China. Praktek SRP pada masa awal juga penuh kontroversi dan kecenderungan sebagai estetika perlawanan pada nilaiD nilai yang mapan dan menghegemoni kehidupan sosialDpolitik. Bahkan hingga saat ini SRP masih sering dipraktekan , walaupun cenderung menjadi suplemen dalam sebuah pameran maupun peristiwa. Pada dekade 1980D90 an kita mengenal namaDnama Arahmaiani, Dadang Christanto, Marintan Sirait, Tisna Sanjaya, Isa Perkasa, hingga kemudian Iwan Wiyono. Aksi tubuh mereka juga kadang dilakukan menjadi bagian dari karya instalasinya, seperti Dadang, Tisna dan Marintan. Sedangkan Isa Perkasa, Arahmaiani dan juga Tisna, menjadikan aksi tubuh sebagai inspirasi bagi karyaDkarya drawing, grafis dan lukisannya. Secara konseptual, bisa dikatakan mereka telah memiliki ketajaman dan kekuatan, terutama berkaitan dengan penafsiran kedalam karyaDkarya lainnya. Tetapi mengapa praktek SRP kini terasa mandek , dan tak begitu riuh seperti di dekade 90Dan. Bahkan aspek SRP tidak banyak mendapat tempat dalam beberapa peristiwa seni yang besar akhirDakhir ini. Walaupun ada beberapa seniman muda, yang masih tertarik dan mengembangkan aksi tubuh SRP kedalam wilayah artistik media baru. Namun masih miskin penjelajahan tema, pengelolaan dokumentasi dan pemahaman untuk membawanya pada tingkat wacana yang lebih luas. Ihwal bentukan artistik yang mempresentasikan aksi tubuh memang hal lain dari praktek SRP. Tetapi soal bentuk presentasi menjadi sangat penting dalam strategi menampilkan gagasanDgagasan tentang konsep tubuh itu sendiri, secara mendalam. Fotografi dan video memberikan kemungkinan yang cukup besar untuk itu. Atau malah gagasan itu yang tak lagi muncul? ***

140

Artikel Media+Massa


Raut(Politis dan Puitis Fotografi Iqbal Anak perempuan umur 7+tahun bernama Delisa+itu

tersenyum manis didepan lensa kamera,+lazimnya anak:anak seumurnya : dimana saja : selalu berusaha tersenyum ceria+ ketika dipotret.+Dari+kedua telinga masih tampak menjuntai kabel earphone,+rupanya ia senang mendengarkan musik dari walkman yang+baru didapatnya.++Didampingi seorang lelaki setengah baya duduk+bersila di+sebelah kanannya,+menopang tubuh si anak yang+kaki+kirinya buntung selutut,+di+atas sehelai tikar.+Walaupun berusaha tersenyum juga+namun dari sorotan mata sang+ayah,+Bachtiar – lelaki itu,+terpancar suatu luka mendalam.+Kehilangan hampir seluruh keluarganya dalam bencana maut tsunami.+Hanya Delisa+tersayang masih tersisa.+

Artikel ini dipublikasikan diipublikasikan di+Harian Kompas,+26+April+2005

Artikel Media+Massa

141


Melihat potret mereka suasana hati begitu menyentuh sekaligus bimbang, bagaimana kita harus menyikapi foto – foto seperti ini. Itulah salah satu kesan yang terpancar dari karya fotografi karya – karya Muhamad Iqbal yang ditampilkan di Goethe Haus , Jakarta, mulai 14 April hingga 14 Mei 2005 . Pameran bertajuk “ Raut Pusaran , Raut Hayat” ini menghadirkan puluhan foto berwarna berukuran besar. Seperti juga banyak para juru foto dari seluruh dunia, peristiwa bencana tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara merupakan ‘obyek’ yang luar biasa. Kita bisa saksikan diseluruh media, dalam dan luar negeri, berita bencana di NAD yang mengisi berita pagi hingga malam hari selama berminggu – minggu. Suatu mimpi buruk bangsa ini. Iqbal kembali ke tempat bencana itu untuk suatu ‘misi khusus’ dari Goethe Institut untuk merekam kehidupan paska tsunami. Berbeda dengan para juru foto kebanyakan, dimana pada awal waktu setelah gelombang raksasa meluluhSlantak kota dan desa. Suasana mengenaskan menjadi sasaran ‘tembak’ kamera mereka. Untuk kemudian disebarkan luas pada pemirsa menciptakan horor, foto – foto menjadi kerumunan citra yang terkadang brutal dan sadis. Kita, sang penonton menjadi ‘haus darah’, menantikan citra atau adegan paling mengerikan didepan mata dengan jantung berdebar. Seperti juga kegilaan masyarakat kontemporer pada “ reality show”. Seperti tentang seorang gadis bernama Cut Putri, asal Bandung yang sempat mengabadikan bagaimana rumah pamannya digulung ombak, yang kemudian hasil rekaman video itu akhirnya dijual kepada salah satu stasiun televisi swasta nasional dengan harga cukup tinggi. Iqbal memotretnya sedang berdiri, memakai jilbab, sambil menggenggam handycam. Dilatar belakangnya kita masih melihat jelas Masjid Raya masih berdiri ditengah kota Banda Aceh yang sudah rata dengan tanah . Wajahnya begitu tenang seperti seorang profesional, ia seolah bepesan ,” jangan tanggalkan kameramu sedetikpun dari tanganmu, bila tak mau kehilangan moment paling penting” 142

Artikel Media+Massa


Pada waktu kejadian, mahasiswa kedokteran Unpad Bandung ini terus merekam sambil mencari tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri. Cut Putri merupakan wakil dari generasi yang sepertinya tahu betul apa manfaat teknologi reproduksi bagi banyak orang. Bagi pria kelahiran Jakarta 1969 ini, Aceh masih punya cerita lain yang menyejukan, mengharukan sekaligus menjadikannya bimbang. Namun rasa kemanusiaan yang besar mengharuskannya menemui korbanGkorban itu, mendekati sisi – sisi pribadi mereka. Selama hampir sebulan, seperti juga tradisi tukang potret keliling, ia mengelana disana. Entah berapa orang ia telah temui disana, yang pasti ada banyak cerita dibalik bencana. Disini Iqbal berhadapan dengan nilai moral seorang juru foto. Suatu jalan silang yang mengharuskannya berkonfrontasi dengan manusia yang harus terus menjalani hidup, bukan korban – korban yang harus kita tangisi terus. Kita, penonton bisa ikut merasakan bagaimana tegangan yang terjadi. Mata orang – orang “disana” menatap kita “disini” dan sebaliknya. Serta – merta berkonfrontasi dengan kita. Bagaimana kita harus berkata – kata ketika para ibu seperti Umi Katum, Tiajar, Tengku, Fatimah, Nuraini dan mungkin ribuan perempuan tibaGtiba harus menjadi janda bahkan anakG anak menjadi yatim. Menghadapi beban hidup sebatangGkara di Aceh – yang tak pernah berhenti sejak konflik GAM – RI. Tatapan mereka tiba – tiba mengeluarkan banyak suaraG suara pilu. Penderitaan akan berkepanjangan. Iqbal sebagai juru foto tiba – tiba menjadi seorang ‘negosiator’ ditengah arena ‘konflik’ paska bencana; menemui mereka, berkenalan, berwawancara, meminta mereka mengatur posisi,memilih tempat pemotretan. KetakGnyamanan terepresentasikan dalam pose yang kebanyakan frontal. Walaupun kadang kita sedikit tersenyum kelu, bahwa realitas dalam foto ini Artikel Media+Massa

143


masih menyisakan alam manusia yang optimis atau penuh keberuntungan. Seperti potret keluarga Islahuddin Daud seorang pensiunan Departemen Pekerjaan Umum yang setiap hari membersihkan puing rumah mereka atau keluarga ustadz Abnar yang datang ke pantai dengan kendaraan terbuka dari desa tetangga. Ataukah si kecil nan ceria, Faizal Muhammad, yang memang sudah akrab dengan pantai. Masih ada ruang untuk suka cita dalam derita. Seperti juga potret orang – orang Jerman dalam karya E karya August Sanders, potret mereka tampak kaku namun terasa lebih sesak disini. Citraan orang – orang di Aceh ini tampak lebih akrab dengan rampaknya latar disekelilingnya. Warna bendera, reruntuhan rumah, gergaji, motif baju, tenda serta benda – benda menjadi elemen penting sebagai suatu identifikasi ruang dan waktu. Serta – merta potret ini berubah menjadi citraan yang ikonografis ; datar saja namun menjadi “ jendela” menuju pemaknaan dan penafsiran begitu majemuk, luas tanpa batas. Sang juru foto tak lagi punya kuasa atas makna potretEpotret ini. Foto Iqbal seperti menegaskan bahwa memang ada semacam dunia paradoks dalam fotografi. Saya tak pernah ke Aceh, namun foto – foto ini memancarkan informasi yang mendalam dan rinci mengenai dimensi sosial E politik dalam pandangan pribadi – pribadi selain juga aspek antropologis. Bisa jadi potret mahasiswi bernama Vera Siska diantara 103 koleksi bonekanya sedang dijemur. Ia mengenakan kaos bergambar bendera Amerika Serikat dan tampak di latar belakangnya berkibar bendera merah – putih. Sedangkan citraan dua murid sekolah dasar yang sedang mengadakan upacara di penampungan sangatlah menyentuh sentimen politisnya. Ganjilnya kedua siswa itu diposisikan berjauhan dengan sikap sangat kaku. Dalam teks caption tertulis bahwa mereka harus berdiri dibawah terik matahari akibat tak hafal lagu Indonesia Raya. Sungguh bukan pemandangan yang menyenangkan. Dalam teks – teks yang tertera di samping dimana foto – foto itu 144

Artikel Media+Massa


berdiri, memang kadang problematis bagi penonton. Caption yang biasanya berupa judul, dalam pameran ini menjadi informasi naratif yang juga perlu di imajinasikan bukan sekedar penambat atau keterangan gambar seperti juga halnya foto di media massa. Maka fotografi macam karya Iqbal menjadi foto “diantara” : dokumentatif, antropologis, jurnalistik sekaligus “seni”. Disinilah konstruksi sang juru foto bisa menghantarkan kita pada persoalan sisi – sisi paska bencana secara politis sekaligus puitis. ***

Artikel Media+Massa

145


Jati Diri Fotografi Seni Cina

Perkembangan praktek

fotografi seni Cina saat ini memperlihatkan gelagat menarik,+walaupun kamera adalah hanya suatu alat bantu+manusia yang+ditemukan di+Eropa dan eksplorasinya begitu luas.+Tetapi secara estetik,+tak berlebih kiranya,+ bahwa para+seniman foto Cina menunjukan keberhasilan meracik berbagai aspek potensial yang+ tersediakan oleh medium+fotografi.+

Artikel ini dipublikasikan dipublikasikan di+Majalah Visual+ Arts+No:+15.+2006 146

Artikel Media+Massa


Pemicunya, seperti banyak dikemukakan para pengamat, adalah perkembangan dunia seni rupa kontemporer seperti seni rupa pertunjukan, seni instalasi dan lukisan, yang mendapatkan perhatian besar di medan sosial seni Eropa – Amerika, terutama pasca peristiwa Tianamen. Saat ini justru pemerintah Cina kini sadar akan potensi para seniman kontemporer, yang kemudian mendorong tumbuhnya museum, galeri, maupun ikut mendanai peristiwa – peristiwa seni yang penting. Para seniman fotografi ini seolah tak mau tertinggal, mereka mengejar apa yang telah dicapai seni lukis dan lainnya. Mencari kemungkinan paling jauh secara konsep sekaligus juga menggali persoalan yang dalam kehidupan secara tajam dan beda. Dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh para senimannya, bahwa mereka dalam proses pencarian artistik, berusaha tak memisahFmisahkan aliranFaliran dalam dunia fotografi. Disinilah fotografi Cina justru bisa melampaui fungsi semata. Dengan memberikan konstruksi sudut pandang berbeda dari realitas umum, yang sekaligus memberi kesempatan kita untuk menikmati nilaiFnilai estetik yang terpancar lewat garapannya. Walaupun hanya lewat sehelai foto, namun mengamati karya 8 seniman foto Cina ini membangkitkan pengalaman baru dan memaksa berimajinasi tentang banyak hal. Beruntung kita bisa melihat dari dekat karyaFkarya fotografi mereka, yang saat ini dianggap sebagai seniman fotografi papanFatas di Cina, yang sedang merayakan sukses di dataran Eropa maupun Amerika. Kurator pameran, Ye Yongqing, memberikan tajuk “ Seduced and Abanoned” , dimana semua karya memanfaatkan dan menjelajahi kemungkinan aspek fotografi untuk merekam perubahan besar dan pesat di Cina. Dalam waktu yang singkat percepatan ekonomi Cina yang fantastis dan kebanyakan masyarakat Cina tak siap menghadapi “ modernisasi dan urbanisasi” ini. Para seniman ini memberikan suara tanpa kataFkata, membekukan sebuah momentum yang bila tidak akan dilupakan sejarah, sesuatu yang orangF orang dan ruang saling mengamati masing – masing, serta keheningan mereka seperti suatu ketertenggalaman dengan kegusaran. Artikel Media+Massa

147


Seperti karya foto Chen Jiagang, yang merepresentasikan percepatan perubahan ekonomi Cina dengan cara yang sureal. Serial fotonya “ Three Line” memperlihatkan bagaimana fasad sudut – sudut kota, pabrik dan penambangan yang lapuk, hening, kelabu dan sekarat. Menjadi begitu hidup dengan munculnya sosok perempuan muda yang cantik di tiap fotonya. Sosok ini tibaFtiba mengubah suasana menjadi begitu optimis namun sekaligus misterius. Hampir seluruh karya bernarasi persoalan sosioF arsitektural. Seperti karya suami – istri , Shao Yinong dan Mu Chen, yang menampilkan rangkaian foto gedungFgedung dan balaiFbalai pertemuan pertengahan abad 20 yang bersejarah di Beijing, maupun kota lainnya di dunia. Tetapi dibekukan dengan sudut pandang yang frontal dan penuh kehampaan. Dalam perubahan sistim ekonomi saat ini banyak gedung – gedung itu ditinggalkan, berubah fungsi atau bahkan tak terawat. Salah satu gedung, di Italia yang diabadikan dengan agak jenaka dan mengejutkan. Karena didepan pintu utama gedung tersebut berdiri tegak gawang sepakFbola. Berbeda dengan He Chongye, yang merekam rinci tekstur permukaan arsitektural tua. Garapan foto hitam – putihnya memperkuat citra perspektif arsitektural dan elemennya, bangunan yang dilapisi batu lempeng atau semen yang bopeng disana – sini dikombinasi dengan bata. Jendela atau pintu kayu menghitam tak mulus dimakan umur. posterFposter lusuh maupun bendaFbenda keseharian menjadi dekorasinya. Disalah satu sudut, ia selalu menempatkan cermin bulat, sehingga terpantul citra dirinya atau kameranya. Chongye seolah ingin mempermainkan ingatan sejarah tentang soal kesejarahan lewat cerminnya. Pantulan dirinya merupakan penanda penting dalam tiap fotonya, sebagai suatu refleksi identitas kini dan dahulu. Pada serial foto Dispressed Zone – Urban and Rural (2006), karya Zhu Yan secara jelas memperlihatkan bagaimana proses perubahan ini begitu melodramatis . Ia membidiknya dari ruang transisi, dari wilayah irisan antara pedasaan atau pinggiran dan kota. Disana orang – orang 148

Artikel Media+Massa


itu memandangi dari jauh, dimana panorama sebentar lagi akan mengubah pemandangan gunung, hutan, pertanian maupun rumah: rumah tua, menjadi beton:beton yang menjulang. Wilayah mencairnya antara urban dan pedesaan. Tetapi suasana sureal dan humor atau mungkin satir tentang menyusutnya pemandangan alam di kota: kota di Cina tercermin pada seri The Landscape, Ready Made, karya Yu Xiang. Rangkaian hitam – putihnya mencampur:adukan antara kenyataan dan khayalan, dengan memotret pemandangan dengan patung dan tugu yang “ kitsch” atau murahan bertebaran di ruang: ruang khalayak. Menariknya pameran yang berlangsung mulai 25 Agustus hingga 9 September ini, adalah disertakannya karya animasi dijital dan cetak citraan dari cuplikan karya Miao Xiaochun. Serial karyanya berjudul “ Last Judgement in Cyberspace“ menciptakan pemandangan fragmen alegoris dari mahakarya Michaelangelo era Renaisan di Italia. Namun tubuh – tubuh disana digantikan oleh citraan yang diubah menjadi modul 3:D sosok sang seniman sendiri. Seperti juga dilakukan oleh seniman Jepang, Yasumasa Morimura. Dalam dunia pendidikan seni modern dimanapun, termasuk sistim pendidikan di Cina modern lewat komunisme, mahakarya ini telah menjadi acuan sejarah penting dan mempengaruhi, dan diserap dalam praktek seni di Cina. Miao mendekonstruksi citraan kanonik dengan menggabungkan unsur fotografi, lukisan dan tehnik tiga dimensi menjadi semacam olok:olok bagi keluhungan budaya Barat. Alegori semacam ini memang pernah dilakukan banyak seniman dalam rangka memberikan artikulasikan pada dunia gagasan yang diciptakan Barat dan sebagai pemaknaan seni pasca:auratik. Tetapi seperti juga dalam praktek seni rupa di Cina secara umum, para perupa disana dengan realisme sinisnya mampu menghasilkan bentuk estetik dengan sikap yang berbeda. Begitupun dengan fotografi, telah berkembang menjadi medium ekspresi yang punya kekuatan tersendiri, sehingga berkembang ke arah dunia gagasan seni . Artikel Media+Massa

149


Fotografer Indonesia terkemuka, Oscar Matuloh, mengomentari dalam suatu diskusi tentang foto yang bertajuk “ Opini dan Seni”, bahwa kelemahan perkembangan fotografi di tanah air adalah persoalan profesionalisme dalam industri teknologi foto dan mengasah persoalan gagasan berkarya, dimana masih terjadi pemilahan disiplin foto secara ketat, sehingga banyak fotografer tak cukup bebas dalam mengembangkan subyek foto. Hal lain menurutnya, yang bisa menopang pertumbuhan fotografi seni adalah dukungan teknologi cetak yang cukup baik serta penunjang lain, seperti keterbatasan kertas foto, pembingkaian dan mekanisme pasarnya. Menurut Vanessa, penggagas pameran sekaligus pemilik galeri, mengemukakan bahwa karya – karya mereka sebagian besar masih menggunakan kamera konvensional. Bahkan secara fantastis, Shi Guorui tidak menggunakan kamera sama sekali atau menggunakan teknik Camera Obscura, yakni dengan proses pencahayaan langsung keatas kertas foto lewat titik lubang (pinhole). Dalam pameran ini ia menghadirkan citra fotogram sudut kota Sanghai diatas kertas 129 cm x 400 cm. Untuk menghasilkan karya ini ia harus menyewa kamar hotel paling atas dan menutupnya hingga gelap gulita. “ Untuk eksposurnya saya membutuhkan 7 hingga 8 jam, dengan 5 orang asisten” ungkap pria yang juga pernah membuat fotogram pegunungan Himalaya dan Tembok Cina itu. Wajar saja karya ini harganya bisa dipatok hingga 40.000 dolar AS karena memang autentik, hanya satu edisi dan tak mungkin diduplikasi. “ Ini termasuk menakjubkan, karena pinhole biasanya digunakan sebagai hobi dan mainXmain, tetapi dia bisa menjadikannya karya serius dan berkonsep “, ungkap Denny, seorang fotografer dari Jakarta. ***

150

Artikel Media+Massa


Mitologi Yunani,0 Perang dan Maskulinitas Seperti juga+dongeng Mahabarata di+ranah India,+ Yunani+adalah sumbernya mitos.++Kisah Kuda Troya atau Hercules,+merupakan drama+kehidupan manusia yang+menjadi mitos dalam kebudayaan di+ Barat.+Ada+ribuan buku tentang mitos Yunani,+yang+ diterjemahkan dalam puluhan bahasa,+bahkan beberapa sempat di+layar lebarkan.+Bagi banyak seniman,+mitos Yunani+kemudian dijadikan titik keberangkatan untuk membincangan tragedi manusia.+

Artikel ini dipublikasikan di+ Harian Kompas.+Minggu,+23+Jul+ 2006

Artikel Media+Massa

151


Melalui benda dan citraan yang penuh erotika lagi puitik, Hamad Khalaf, seorang perupa, mengajak kita merenungi tentang perang lewat mitologi. Di Galeri Nadi, Jakarta, mulai 14 hingga 24 Juli 2006. Hamad, kelahiran Kuwait tahun 1971, mengajak kita seolah memasuki ruang museum dengan bendaJbenda arkeologis dari peradaban kuno dan benda dari jaman modern yang kita kenali. Situasi yang ambigu memancar. Disana kita menemukan meja kaca, didalamnya dihamparkan pecahan tembikar dengan citra fragmen Yunani . Hamad yang tinggal dan bekerja di Bali, telah menyisipkan citra dalam mitologi Yunani kuno dengan maknaJ makna yang berlaku saat ini. Apakah melalui suatu citra dekoratif atau bendaJ benda militer. Seperti pada karya Harpies & Phineus (2006), Ia menghias masker antiJgas dari kulit berwarna hitam, dengan gambar manusia dewa bersayap disekitarnya, yang berwarna kuning. Beberapa bagian diisi motif – motif stilasi flora yang diulang serta dikombinasi dengan pola geometris. Atau sepatu tentara Irak berhiaskan citra ular naga berjudul Jason, Fleece & Dragon (2006), Beberapa sarung tangan karet dengan gambar dari fragmen Hercules (2005), yang tengah bertarung melawan seekor ular. Lalu apa hubungan benda militer peninggalan pasukan Irak dengan mitologi Yunani? “ Sejak tahun 1992, saya mengoleksi benda – benda, mulai dari sepatu, topi, selongsong peluru tank, sarung tangan kimia, masker hingga radio dan mencapai jumlah sekitar 700 buah“, ungkap Hamad pada suatu sore. Ia sebenarnya seorang otodidak, lulus dari sekolah bisnis di Paris. Seni memang dunia idamannya sejak dahulu, namun niatnya terhenti karena keinginan orang tuanya berbeda. Lagipula, menjadi seniman di Kuwait memang sangat sulit. Setelah perang teluk antara IrakJKuwait usai di tahun 1992Jan, ia sempat pulang. Masa itulah, sambil bekerja ia mulai mengumpulkan berbagai benda militer. Kesenangannya yang lain ketika remaja adalah membaca buku – buku mitologi Yunani. Disinilah kemudian ia menghubungkan Perang dengan Mitos, yang. 152

Artikel Media+Massa


ratusan tahun telah menjadi inspirasi bagi banyak kebudayaan setelahnya. Ternyata dibaliknya bersemayam sesuatu yang mengerikan. Dalam mitologi Yunani tercermin bagaimana manusia dan bahkan dewa@dewa berseteru, saling membunuh, mencurangi satu sama lain, demi hal@hal yang kadang sangat sederhana namun terus terjadi hingga saat ini, menjadi metafor. Katakanlah kisah Minotaur , dalam instalasi Minotaur Trench (2005 @ 06), yang liyan, sosoknya setengah manusia, bertanduk, harus mati dibunuh dalam kandangnya sendiri. Tapi karya – karya Hamad, dalam pameran “ Acts of War”, menyentuh pokok soal perang dengan cara yang unik dan tidak menegangkan, apalagi mencekam. Menyamarkannya lewat citra mitos Yunani, menurut kurator Enin Supriyanto, Hamad tak menyembunyikan perang malah menyingkapnya . Lihat saja serial karya cetak saring diatas kanvas, yang diberi judul nama dewa – dewi Yunani: Zeus , Apollo, Aphrodite, dan Nike (2006). Menyajikan citra patung mereka diatas bidang bercorak belang kamuflase militer, berwarna cerah, menyajikan suasana yang ironis. Pada serial lukisan yang lain, seperti Whiping Orestes, Death of Hector, Hermes and Scale of Indentity, dan Alecto (2005). Citra patung tokoh@tokoh mitos itu diulang dan disusun dalam wujud kepingan kolase yang lebih padat, menyajikannya secara dekoratif. Citraan dan narasi dalam karya@karya Hamad, tak pernah komplit, selalu terpenggal, tercerai dan diulang, sering muncul pada karya yang lain. Pada serial karya didinding berbahan fiberglas, ia menyetarakan bentuk kepingan tembikar yang dilapisi cat enamel, nampak diatasnya fragmen@ fragmen berbagai tokoh dengan pose@pose tertentu. Seperti karya Patrokles, Death of Achilles, Theseus, Minotaur (2006). Seolah ada tokoh – tokoh yang mempunyai karakter yang sejajar dengan realita politik yang terjadi di timur@tengah saat ini. Katakanlah karya tentang Jason and the Golden Fleece (2006), yang langsung bisa dikaitkan dengan para prajurit Sadam Husein ketika diperintahkan mencaplok Kuwait yang kaya minyak. Pada ghalibnya, perang bukan sekedar pertarungan yang hitam – putih, Artikel Media+Massa

153


antara yang jahat dan yang baik, seperti yang digambarkan kebanyakan film – film Holywood. Ada banyak lapisan dengan hubungan@hubungan rumit; sejarah, budaya, politik, hasrat, cinta, ego, kekuasaan, perdagangan, kepercayaan. Perang adalah ambiguitas manusia, sebagai dosa bawaan. Pada dasarnya Perang selalu membawa korban, penderitaan, kesakitan, kehilangan dibalik cerita kepahlawanan, perjuangan, kemenangan. Lewat Hamad pula, perang dan mitologi seolah diciptakan dari kemaskulinitasan lelaki. “ Dalam tradisi Yunani kuno, penggambaran lelaki selalu sempurna, berlaku hingga kini, sedangkan tubuh perempuan seperti Nike juga tampak layaknya tubuh lelaki, dan berbeda dari masa ke masa”, kata Hamad. Apakah ini merepresentasikan budaya kaum Adam lebih dominan sehingga beribu tahun? Perupa Hamad Khalaf, sejak beberapa tahun terakhir memang mulai muncul namanya, terutama di Bali. Ia sempat berpameran tunggal di Gaya Artspace, Sayan dan juga ikut perhelatan seni rupa Bali Biennale 2005. “ Indonesia sementara ini cocok sebagai tempat saya berkarya dan meniti karir sebagai seniman” , ungkapnya. Tetapi memang yang mungkin kita amini dari Hamad, bukan hanya ia berhasil mengaitkan mitos kuno dengan realita sekarang, tetapi juga dengan suatu cara apropriasi atau penyetaraan, yang begitu pelik dan juga samar, penuh teka@teki, layaknya sebuah permainan puzzle. Ia tak sekedar merepresentasikan tetapi melibatkan ihwal strategi presentasi. Mungkin inilah tantangannya, kita tiba@tiba saja harus menjadi seorang arkeolog, untuk kemudian harus menggali keluar makna@maknanya, melalui serentetan tanda budaya yang ia hadirkan. ***

154

Artikel Media+Massa


Agus Suwage Dan.Hantu Peradaban Perupa Agus Suwage,+sekali lagi mengecoh dan

mempermainkan kita,+dengan memindahkan citraan para+tokoh legendaris dunia+ke atas kanvas,+dan melukiskannya kembali sedemikian rupa secara unik.+Kali+ini beda,+tanpa citra wajah dan tubuhnya sendiri,+yang+sering muncul dalam karya@karya sebelumnya.+Satu+perubahan terjadi.+ Dengan menghadirkan potret para+tokoh dunia+ dengan nuansa hitam@putih begitu mengundang tanya,+dan mengganggu.

Artikel ini dipublikasikan di+Harian Pikiran Rakyat.+Sabtu.14+april 2007

Artikel Media+Massa

155


Terpampang wajah Chairil Anwar, Nehru, Monalisa, Soekarno, Rembrant, Marilyn Monroe, Mahatma Gandhi, Yasir Arafat, R. A. Kartini, Elvis, Pramoedya Ananta Toer, Frida Kahlo, Salvador Dali, Bruce Lee, dan lainnya. Mereka telah wafat, tapi masih terasa benar pengaruhnya dalam kehidupan kita sekarang. Semuanya merokok. Mungkin aneh, karena sepanjang yang kita ketahui, hanya Chairil Anwar, Pram atau beberapa dari mereka saja, yang memang pernah difoto sedang merokok. Chairil dengan posenya yang khas dan ikonik. Tetapi digambarkan terbalik, sehingga berkesan kidal, tangan kirinya lah yang jarinya menjepit rokok tersebut. Seperti juga judul pameran tunggalnya, “ I / CON”, di Galeri Nadi, yang bermakna ganda. Dalam catatan kurasi pameran, dibahas tentang tradisi melukis potret (portraiture) dalam sejarah panjang seni lukis. Mulai dari Leonardo Da Vinci hingga Affandi, terobsesi dengan potret dirinya . Mulai dengan cara meniru (mimesis) realitas ke atas kertas, kanvas hingga kemudian fotografi. Peradaban manusia modern memang memandang penting potret, karena darinya kita bisa memahami arti nilai individu, sebagai wujud pantulan jiwa. Agung Hujatnika, kurator pameran, mengemukakan bahwa hematnya Suwage membuat serial wajah para tokoh yang sedang merokok berjudul “ Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi”, untuk memberi gambaran paradok. Bukan hanya nilai kontradiktif antara realita dan imajinasi, atau makna puisi Chairil, tetapi juga soal kehadiran mereka dalam ledakan citraan fotografi. Di pintu masuk dan lantai dua galeri, kita didera oleh citraan para musisi dunia, dalam serial “ The Times They Are AWChangin’ “, yang lebih berwarna. Ada potret mendiang Bob Marley ,raja reggae yang sedang menghisap ganjanya, sosok kemerahan Madonna sang dewi dengan kostum sensualnya, wajah Peter Gabriel tua, mantan penyanyi kelompok Genesis, sedang membetot kelopak mata kirinya yang keriput. “ Gambar ini aku ambil dari sampul lagunya – In Your Eyes , 156

Artikel Media+Massa


tampangnya mirip dengan Sean Connary kan….aku banyak dapat gambar yang susah dicari dari internet , kayak gitaris Jaco Pastorious, google aja “, ungkap suami perupa Titarubi itu. Lelaki kelahiran Purworejo tahun 1959 ini, seolah tertarik dengan menggambarkan kembali wajah – wajah yang tenar dan dikagumi, sekaligus menorehkan artikulasi dirinya sendiri. Kita mengenali watak kekaryaan Suwage dengan model representasi yang enak dilihat , karena kecakapan melukisnya yang tinggi, tapi juga rumit secara pemaknaan. Karyanya sekarang kira – kira punya kualitas metafor, dan ironi yang sama, namun dengan perupaan yang sedikit lebih memikat. Ayah dua anak perempuan ini memang dikenal penikmat musik berat, hingga kemudian mendirikan studio kecil di rumahnya, di Jogja. Ia seringkali terlihat sibuk dengan alat – alat musik koleksinya, mulai gitar , harmonika hingga akordeon. Pengetahuan musiknya cukup luas, tapi memang dikenal paling ngeKfans dengan The Beatles. Potret anggota dari band legendaris itu muncul di beberapa lukisannya. John Lennon dan Yoko Ono sedang berciuman mesra, ada juga potret anggota lengkap band sedang memegang daging mentah, pemandangan yang kurang sedap. menurutnya gambar sampul yang sempat dilarang beredar. George Harrison pun hadir kembali, ikut merokok bergaya Chairil. Wajah – wajah pasca – auratik disana seakan bangkit ,dan hadir dalam kehidupan masyarakat kontemporer, mendera lewat sirkulasi media industri yang selalu mengalami pencanggihan dan percepatan. Citraan mereka menggerayangi dan menggoda dalam perjalanan kita menemui kehakikian maknanya. Hantu yang sama sekali tak menakutkan, bahkan kita terbuka menerimanya. Bagai mitos, yang tak tepedulikan, hadir begitu saja ditengah hidup kita. Suwage yang lulus dari desain grafis ITB tahun 1986, sering membubuhkan tulisan ke dalam lukisannya. Potongan syair lagu dalam Artikel Media+Massa

157


potret John dan Yoko, Bob Dylan, atau Thom Yorke menambah kepuitikan imaji mereka. Potret – potret figur ikonik, yang digelar mulai 3 hingga 17 April 2007 ini, seperti kelanjutan pencarian artistik Suwage, yang gemar meminjam citraan ikonik. Terakhir, ia menyisipkan tubuhnya ke dalam serial seni pertunjukan dalam rentetan gambar diatas kertas. Mengganggu kemapanan nilai dari citraan foto yang menjadi mitos. Dalam penataan yang menyindir, memperolok, bukan hanya pada nilai keorisinilannya tapi juga untuk dirinya, sebagai pengamat dan pengagum. Pernah dibedah oleh mendiang Roland Barthes, bahwa media massa berpotensi menciptakan mitos Lmitos, citraan jaman industri pun punya hubungan rumit dengan kekuasaan dibaliknya. Seni atau apapun juga berpotensi terkait dengan praktik suatu kekuasaan simbolik. Sebagian seniman punya strategi “untuk menetralisir� hantuLhantu atau mitos, dengan mencangkokan mitos baru. Disinilah muncul istilah seni apropriasi (appropriation art) atau kiraLkira sama dengan penyetaraan. Seperti dikatakan oleh sejarawan seni Inggris, Robert S. Nelson, apropriasi layaknya mitos, adalah suatu distorsi; bukan lawan atau negasi daripada sesuatu. Bisa bermutasi; berubah tanda – tandanya. Apropriasi seperti lelucon, selalu labil, berubah oleh lingkup dan sejarah baru, menjadi tandaLtanda baru. Dalam sejarah seni rupa barat , istilah apropriasi sering merujuk pada kecenderungan menggunakan elemenLelemen pinjaman dalam suatu kreasi karya seni. Peminjaman elemen tersebut termasuk citraan gambar, bentukan atau gaya dari sejarah seni atau budaya populer, atau material serta teknikLteknik dari lingkup bukan seni. Seni apropriasi, mengacu pada kamus virtual wikipedia, bahkan telah berlangsung sejak jaman klasik. Pada dasawarsa 1980Lan istilah ini juga menunjuk praktik seni yang lebih khusus, mengutip karya dari seniman lain untuk menciptakan suatu karya baru. Karya baru tersebut bisa atau 158

Artikel Media+Massa


tidak merubah nilai karya semula . Seperti kekaryaan Sherry Levine, Barbara Kruger, Jeff Koons atau Yasumasa Morimura. Karya –karya Suwage , selain memperlihatkan kecenderungan mutakhir seni rupa kontemporer, juga merepresentasikan watak manusia saat ini menghadapi citraan populer, ikonik bahkan kanonik. Menghamba sekaligus cobaGcoba menghindarnya, atau bisa tak peduli bahkan tergoda dan kemudian memasuki eksistensi dirinya. Mitos ibarat hantu bertopeng, yang terus membuntuti peradaban manusia modern. Sedangkan seni apropriasi sebenarnya bisa menjadi semacam ‘obat penangkal’ untuk melumpuhkan kekuatan, menetralisir, dan kemudian mencangkokan makna – makna berbeda padanya, tidak untuk mengusirnya. Suwage nyaris tergoda. ***

Agus Suwage.+ Peter+Gabriel.+Oil+on+Canvas.+ 2007 Artikel Media+Massa

159


Mati* 'Ketawa'*ala* Yue*MinJun TERTAWA bisa menyehatkan dan membuat

panjang umur.+Itu menurut pepatah orang+bijak.+ Tetapi bagaimana jika seseorang menertawakan diri sendiri terus>menerus tanpa henti?+Apa yang+lucu?+ Bukankah itu suatu bentuk kegilaan daripada suatu kesenangan atau kebahagiaan?+Sebelas karya lukisan potret diri Yue+MinJun yang+dipamerkan di+CP+ Artspace,+Jl Suryopranoto 67A,+Jakarta,+sejak 16+ Maret hingga 5+April+2005,+bila kita amati terus bahkan bisa saja menularkan kegilaan tertawa itu pada pengamat.

Artikel ini dipublikasikan di+Harian Media+Indonesia.+ TIFA.+Minggu,+20+Maret 2005

160

Artikel Media+Massa


Bagaimana tidak, dari soal warnanya saja begitu mencolok, agak psikodelik. Latar belakang berwarna biru terang atau keabuan. Figur? figur tubuh MinJun dengan segala rupa gesture itu kulitnya berwarna jambon. Wajahnya mengilat seperti berlemak, menguatkan mimiknya yang sedang tertawa lebar secara aneh, sehingga deretan gigi yang jumlahnya tak lazim itu tampak putih dan rapi. Kadang menakutkan, tetapi kadang juga indah. Di mana pun ia berada, apakah itu di tengah medan perang, seperti pada Fighting. Di tengah mendung seperti pada Black Cloud atau sedang terhukum seperti pada Punishment. MinJun dan kloningnya tetap terbahak layaknya seorang anak kecil yang menemukan kebahagiaan. Bisakah lukisan?lukisan ini suatu gambaran kegilaan masyarakat China kontemporer? Setelah peristiwa berdarah Tiananmen pada 1989, wajah negeri besar itu tiba?tiba berubah. Walaupun rezim komunis tetap berkuasa namun angin kebijakan ekonomi mulai berubah arah dengan cepat. Di kota?kota besar seperti Beijing atau Sanghai sangat mudah menemui restoran cepat saji Amerika; McDonald atau minuman Coca?Cola. Di jalanan jarang terlihat orang?orang dengan pakaian tradisional China komunis. Mobil bermerek dari Eropa dan Jepang berseliweran di antara sepeda kumbang. Banyak orang sibuk bicara dengan telepon genggam. Gedung?gedung pencakar langit menjulang. Di satu sisi, China tengah merayakan globalisasi seperti dengan menjadi lokasi industri baru bagi kapitalis multinasional dengan upah buruh yang begitu murah. Di sisi lain, negara Mao ini masih berpotensi terpecah?belah akibat luasnya wilayah dan banyaknya penduduk yang belum merasakan kemajuan ekonomi. Maka situasi paradoks pun melanda. Komunisme dan kapitalisme bergandengan, hal yang tak mungkin dilakukan dan mungkin tak terpikirkan oleh orang?orang Soviet dulu bahkan Karl Marx pun pasti tak pernah meramalkannya. Pasti politisi Amerika pun akan berpikir mereka gila. Artikel Media+Massa

161


Bahkan kegilaan akibat keparadoksan mungkin yang ada dalam benak pria kalem kelahiran Daqing, Hei Long Jiang, China, 1962 itu. Potret diri MinJun yang berkloning, seperti yang diungkapkan kurator pameran bertajuk Post Auratic Self Portrait of Yue MinJun ini, Jim Supangkat, merupakan realitas yang terjadi akibat perubahan drastis pola hidup di era teknoIindustrial. Realitas yang sulit dipahami karena dikepung tanda, citra, dan simbol yang tidak lagi mencari nilaiInilai tetapi menjaga kontinuitas produksi dalam sistem ekonomi. Maka seperti juga suatu adegan dalam film Matrix, tetapi tak ada musuhnya. MinJunIMinJun itu tibaItiba memamah biak, menyerang dirinya sendiri, seperti dalam Bayoneting, mengolokIoloknya seperti pada Big Parrots, Cherries, dan Close Quarters. Suatu kesinisan akan dirinya sendiri sebagai reproduksi dari nilai kolektif sosial masyarakatnya. Karya MinJun lebih mirip sebagai suatu hyperIself reflection di mana tak lagi berupaya menemukan identitas yang eksistensial. Tetapi hanya kembali mereproduksinya tanpa batas. Dirinya bukan lagi merepresentasikan 'jiwa kethok' karena memang tak pernah berniat mewujudkannya. Tetapi 'dirinya' di sana telah bertransformasi menjadi tanda, MinJun yang 'post auratic' yang tanpa spirit. Bagi MinJun yang sebenarnya, proyek kloning ini menjadi kekhusyukan dalam keironisan budaya reproduksi mutakhir. Seperti juga rekannya yang lain, Fang LieJun, Life Time Project ini merupakan ciri dalam praktik seni rupa di China dan Asia umumnya. Perupa Indonesia seperti Agus Suwage juga punya kecenderungan yang sama. Tetapi perbedaan mendasar adalah, ia terus mentransformasikan dirinya ke dalam berbagai bendaIbenda. Sebagai suatu manifestasi dari diri sendiri dalam formasi budaya massa. Mungkin keberbedaannya yang lain adalah konsistensi tema. Suwage punya cara tersendiri untuk berstrategi dengan kita membuat temaI tema yang sedang akrab. Sedangkan MinJun tampak lebih disiplin dalam tiap garapannya, apalagi penggunaan medium. 162

Artikel Media+Massa


Yang tak disangkal dari lulusan Heibei Normal University, 1985, ini adalah kepekaannya mengenali 'the other' dari dirinya yang tampak kuat. Tetapi sosok MinJun sendiri memang terkesan misterius. Tiap orang yang ada di malam pembukaan langsung mengenalinya seketika, walaupun gestureGnya menunjukkan dia adalah seorang pria biasa dan kalem, tanpa canda. Berbeda dengan realitas karyaGkaryanya. LamaGkelamaan mengamati wajahGwajah MinJun dalam lukisan itu tibaGtiba ternyata 'mereka' tengah menertawakan kita juga. BenarG benar bisa bikin gila. ***

Artikel Media+Massa

163


Kegelisahan S..Teddy.D Tayangan rekaman video+di+sorotkan ke dinding galeri,+

menggambarkan S.+Teddy+D,+sedang sibuk melukis,+di+ halaman dimana ia tinggal di+Jogja.+Disana juga+tampak beberapa anak kecil berlarian disekitarnya,+dan Teddy+ tergambar sedang mencoba memindahkan yang+lelaki,+ke dalam kanvasnya.+Cepat tapi santai,+dan sesekali seorang lelaki tua berbicara didepan kamera,+ia adalah teman Teddy+ dan ayah+dari anakCanak itu .+Sementara Teddy+terus sibuk melukis tanpa mempedulikan kamera,+sambil kadang bertelanjang dada.+

Artikel ini dipublikasikan di+Majalah Visual+Arts+No:+18.+2007

164

Artikel Media+Massa


Lukisan yang tergambar di tayangan video itu kemudian diletakan di samping proyektor, di galeri Nadi, Jakarta, tempat Teddy berpameran tunggal. Lukisan itu ‘selesai’, dengan latar belakang warna kehijauan, ditengah. Sedangkan di bagian atasnya dipoles warna tak merata kebiruan, dan cokelat dibawahnya. Sosok anak itu berdiri tegak ditengah, tak simetris, dan tak tertib. Anatominya agak aneh, kalau tidak bisa dibilang ‘ngawur’. Tapi penuh greget. Di atasnya Teddy menuliskan “ The Hungry Young Man”, yang lalu dijadikannya judul. Sejak awal mengenal karya – karya S. Teddy D, saya langsung menyukainya, apakah lukisan, grafis, bendaMbenda tiga dimensional lainnya. Tak diragukan, bahwa ia merupakan salah satu seniman muda yang paling potensial di Indonesia. Beberapa kali disertakan dalam berbagai pameran bergengsi, di dalam dan luar negeri, seperti biennale Jogja, Triennale asia pasifik (APT) di Brisbane, Australia, pameran keliling Awas! Recent Art from Indonesia, serta beberapa residensi. Begitupun, secara pribadi, cukup menarik, karena keajaiban kelakuannya, dia dikenal banyak kalangan seniman maupun kolektor. S. Teddy D, selain melukis tetapi juga banyak menjelajah beragam bentukan artistik dan medium. AlihMalih punya semangat untuk bereksperimen. Di malam pembukaan, di halaman Galeri Nadi, biasanya pengunjung dudukMduduk diatas batuMbatu berbentuk televisi seukuran 12 inch. Ingat benar ketika tv batu tersebut ditampilkan di Biennal Jogja tahun 1999, pertama kali. Karya itulah yang banyak membuat orang terpana pada ‘keisengan’ yang tak biasa, jahil tetapi sekaligus membuat orang tercenung. Tetapi sungguh, melihat karyaMkarya Teddy pada waktu itu sangat menyegarkan pikiran. Pameran tunggal yang diberi judul “ Pictura” , juga masih memperlihatkan semangatnya, walaupun diakuinya, kedodoran dalam mengejar kuota yang harus ia penuhi untuk berpameran tunggal. Butuh lima tahun Teddy memenuhi permintaan Biantoro Artikel Media+Massa

165


menyelenggarakan pameran tunggalnya. Setelah sukses dengan pameran “Metallic Shit” di Rumah Seni Cemeti. Walaupun begitu, lelaki berambut gimbal ini tetap rajin mengikuti beberapa pameran kelompok tiap tahunnya. Dan secara konsisten menunjukan gagasan yang bengal dalam kekaryaannya. KaryaDkarya S. Teddy D. memperlihatkan suatu semangat bohemian dalam kehidupan seniman di Jogja khususnya. KaryaDkarya Teddy jauh dari pretensi untuk melakukan uji selebral, konseptual atau mempersoalkan situasi rumit masalah sosial – politik. Tapi persoalan dunia luar atau eksternal yang tercerap mempengaruhi psikologi dalam dirinya, moody. Tetapi kali ini memang Teddy konon tengah punya persoalan dengan kekaryaannya , gundah atau gelisah. Bukan karena ia juga merasakan bagaimana gempa mengguncang, seperti yang diabadikannya dalam karya –karya obyek seperti buku dari alumunium yang retak, dan dilapis resin bening, berjudul,” authentic 5.9” (2007). Enin Supriyanto, sang kurator dalam pameran ini, menggaris bawahi persoalan “gambar” sehubungan dengan kekaryaan S. Teddy. D. Secara luas, dijelaskan soal pengertian gambar, dalam konteks sejarah di Indonesia, lewat risalah almarhum Sanento Yuliman. Memang , dalam masyarakat umum, gambar bukan hanya berkonotasi melulu pada praktek seni rupa (fine art). Bahkan, seperti yang diuraikan Enin, bahwa gambar digunakan juga oleh para seniman menunjuk karyaDkaryanya. “menggambar” berarti juga “melukis”, “mendrawing”. Bahkan, dalam sejarah, kita mengenal kelompok PERSAGI (Persatuan AhliDAhli Gambar Indonesia). Dimana penggunaan istilah gambar juga merujuk , mulai dari drawing atau sketsa, melukis, hingga membuat pamflet. Gambar, kemudian mengalami pencanggihan sesuai dengan perkembangan jaman, katakanlah gambar hidup (film) dan foto. Gambar disini tak berarti soal teknik memindahkan realita ke atas kertas atau kanvas tetapi lebih jauh, ihwal bagaimana bisa mewujudkan pancaran jiwa, dan identitas sang seniman. 166

Artikel Media+Massa


Saya sedikit meminggirkan dulu peristilahan “gambar” dalam lingkup kurasi karya;karya Teddy di Nadi. Karena di malam pembukaan, saya terlibat perbincangan dengan pelukis Pratomo Sugeng, dan Hanafi. Sugeng menyoal “ketak;sempurna;an” gambar – gambar Teddy, ia membandingkan dengan karya Hanafi yang baru saja menggelar pameran tunggalnya di Jakarta dan Jogja. Menurutnya karya Hanafi, walaupun cenderung abstrak namun terkesan “ selesai”, tidak dengan karya Teddy, yang baginya sangat mengganggu. Disinilah kemudian kita membincangan kegelisahan Teddy. Ia menghindari kesempurnaan serta keutuhan, sebagai suatu “konsep” guna pencarian nilai inti terhadap apa yang justru dipercayainya. Seperti mewarisi semangat ekspresionisme abad 20. Seniman, niscaya, selalu mengalami dan mendekati kegamangan. Saya yakin bahwa Teddy mempunyai keterampilan yang begitu matang dalam “menggambar”, tapi sekaligus ia menolaknya. Bahkan untuk hal – hal yang tak kasat mata, “gambar angan;angan” , bisa ia visualisasikan dengan baik, tampak dalam deretan lukisannya. Serial “Mob” dan “Finger Boy”, atau kebiasaan mabuk benda surealistik macam “ Chicken Molotov” (2007), dan “Penjara Perjalanan” (2007) , berupa pohon kaktus dari susunan sendal jepit berbahan alumunium. Karya;karya itu cerminan kekuatan imajinasinya. Masalah utama yang paling menonjol dalam karya Teddy sekarang adalah menurunnya enerji kegilaan dalam menjelajahi materi. Sehingga kehadiran karya obyek yang biasanya mengejutkan seolah sirna ditelan dinding galeri. Mudah;mudahan enerji besar kembali menghampirinya. ***

Artikel Media+Massa

167


EKO$NUGROHO Sosok Ndeso Kosmopolit Global Lelaki muda itu begitu santun dan ramah pada semua

orang+yang+ditemuinya.+Apalagi pada orang+yang+baru dikenalnya.+Tapi juga+tampak selalu sibuk sekaligus santai,+ berpenampilan sederhana.+Nama+Eko Nugroho,+pemuda itu saat ini memang sudah dikenal dan akrab bagi banyak perupa,+kurator,+komikus di+Jogja maupun secara nasional.++Eko yang+memulai karirnya sejak masih mahasiswa,+terutama ketika tahun 2000+dengan kelompok Daging Tumbuh (DT)+,+sebuah kelompok mahasiswa yang+kebanyakan mahasiswa ISI,+dengan garapan komiknya yang+unik.+Dalam artian berbeda dari komik yang+punya pakem yang+lazim kita kenal.+

Artikel ini dipublikasikan di+ Majalah Visual+Arts+No:++22.+2008

168

Artikel Media+Massa


Komik DT tak bercerita secara linear dan kebanyakan merupakan kompilasi dari beberapa narasi pendek. Yang dikumpulkan dari beberapa kontributor di beberapa kota : Jogja, Bandung dan Jakarta. Lalu dengan reproduksi yang murah dan mudah; fotokopi. Jumlah komik DT memang tak banyak, tapi menariknya tiap orang yang membeli diperbolehkan untuk mengopi. Hal ini bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku dalam dunia penerbitan. Oleh karenanya kelompok DT sangat menonjol diantara kelompok lainnya. Terutama Eko, sebagai pendiri utamanya. Karya J karya Eko sendiri bernuansa humor gelap. Selalu muncul sosokJ sosok ganjil ; seperti kepala bercerobong, tangan berbentuk gunting, kaki beroda dan lainnya. Seringkali muncul gambar yang sekuel, dan balon teks yang mengingatkan kita pada ciri khas komik, dengan kataJ kata menggelitik yang mengandung makna ganda. “ Karya – karyaku selalu punya hubungan dengan persoalan sosialJpolitik dalam masyarakat,� katanya pada suatu kesempatan. Memang dalam kehidupan kesenian di Jogja, kecenderungan sosial – politik sejak awal 90Jan banyak mempengaruhi seniman, terutama yang dihadirkan di Cemeti Art House, masa itu. Walaupun sekarang kecenderungan temaJ tema ini tak lagi dominan, tapi secara konsisten beberapa perupa tetap mengusungnya. Itupun bisa dalam beberapa aspek saja terepresentasikan. Katakanlah seperti Heri Dono, Agus Suwage, Nindityo Adipurnomo, Taring Padi, dan lainnya. Ia pernah mengatakan dalam suatu kesempatan di tahun 2005 lalu, bahwa karyaJkaryanya bebas dikategorikan, apakah itu sebagai komik , atau bukan, tergantung dari mana sisi kita melihat. Toh dalam kenyataannya Eko selalu diundang dalam forum seni rupa dan juga kegiatan para komikus atau pembuat video animasi. Artinya ia diakui oleh beragam komunitas karena kekaryaannya. Sikap atistiknya ini hampir mirip dengan seniornya, Heri Dono, dimana ia juga secara artistik selalu menggunakan unsurJunsur dari disiplin kesenian lain seperti musik dan pertunjukan. Artikel Media+Massa

169


Eko Nugroho , lahir di kota gudeg tahun 1977. Menikah muda ketika berumur 21 tahun, dan sekarang telah dikaruniai dua anak perempuan berumur 8 dan 6 tahun. “ maklum lah namanya orang ndeso, disuruh cepat nikah “, ungkapnya. Untuk seni rupa Indonesia saat ini sosok muda ini sudah cukup pengalaman dalam arena seni rupa kontemporer dunia. Tahun 2004 beresidensi di negeri kincir angin, tepatnya di Atelier Graphis Amsterdam. Setelah sebelumnya – ditahun yang sama J berpameran bersama kelompoknya di Cemeti Art House. Tahun 2000 lalu, ia juga sempat ikut dalam kegiatan Apotik Komik, kelompok yang memelopori komikJseni di Jogja. Lalu banyak terlibat dalam proyekJ proyek mural, yang sebagaian masih kita bisa saksikan disekitar kota budaya itu. Sejak itu karir artistik Eko mulai terlihat oleh banyak pengamat, terutama para kurator mancanegara. Setelah itu undangan – undangan pameran dan residensi pun berdatangan. Mulai dari pameran bersama di arena lokal , hingga internasional. Ia pun disertakan dalam proyek di Brisbane – Australia untuk program di Asia Pacific Triennale ke V, awal tahun 2007, lalu pameran “ Wind of the East; Perspectives on Asian Contemporary Art”, di KIASMA, Helsinki – Finlandia. Dalam perkembangan artistik, Eko bukan saja menggunakan komik sebagai idiom, tapi juga dalam melukis, membuat obyek patung, mural dan media baru seperti animasi video. Ia juga kerap berkolaborasi dengan banyak kalangan pekerja artistik. Baginya unsur komunikasi begitu penting dan menjadi konsepsi dan metode dari karyaJkaryanya. Dalam artikel wawancara dengan kurator dari Kiasma J Helsinski ia mengatakan, bahwa dalam proses komunikasi bisa terbangun suatu jejaring. “ Contohnya ketika berkarya mural, saya harus tahu situasi disekitar tempat tersebut, dan orang – orang yang tinggal disekitarnya. Tapi juga tergantung dengan waktu. Bila tak banyak waktu lalu saya hanya mengerjakannya di tempat itu. Lalu sambil mengerjakan mencoba berkomunikasi didalam skala yang kecil”. Mungkin unsur dan cara berkomunikasi secara lugas ini yang membuat diri Eko diterima banyak kalangan.

170

Artikel Media+Massa


Terakhir Eko banyak menggarap karya – karya dengan teknik bordiran. Awalnya ia tertarik dengan bordiran karena biasa digunakan preman= preman dijahit di jaket jeans atau celana. Bahkan bordiran dengan tanda atau simbol tertentu banyak digunakan untuk lembaga=lembaga resmi seperti polisi, pegawai pemerintah atau sekolah. Maka bentuk bordiran dipandang cenderung dekat dengan identitas pribadi maupun kelompok. Ia pernah mengatakan pada saya, bahwa ia mengerjakan bordiran dibantu oleh tukang jahit. “ Memang awalnya susah, pembordir biasa melakukan motif yang sederhana dan berulang”. Tetapi kemudian Eko ikut “melatih”nya hingga menghasilkan karya medium bordiran yang diinginkannya. “ Sejak 2005, tukang bordir itu keluar dari toko dimana ia bekerja, dan saya tawarkan untuk bekerja sama”. Eko pun kemudian mengontrak studio dekat rumahnya dan membeli mesin bordir sendiri untuk keperluan karyanya. “Bahkan sekarang sudah bisa buat bordir berukuran besar” sambungnya. Pada dasarnya ia senang dalam bereksprimen menjelajah medium maupun material. Dalam kesempatan membuat proyek di Valentine Willie Fine Art (VWFA), Kuala Lumpur=Malaysia, beberapa waktu lalu. Eko juga berkolaborasi dengan para seniman lokal disana untuk menggarap boneka=boneka. Bagi Indonesia, keberadaan seniman seperti Eko Nugroho memang bisa membanggakan. Jalan sukses sebagai perupa berkelas internasional terbuka lebar baginya. Dan tentunya ia terus bisa melakukan hal=hal yang menarik. Tahun 2008 nanti agenda Eko cukup padat. Ia rencana berpameran tunggal di Ark Gallery – Jakarta bulan Februari dan Galeri Semarang – Jateng, Juni akan datang. Tapi Eko tetap sosok sederhana , sebagai orang ndeso yang kosmopolit global. Anda bisa kunjungi situs pribadi Eko Nugroho: http://ekonugroho.or.id/ ***

Artikel Media+Massa

171


Dadang Christanto:. Pohon Menangis dan Ingatan Bangsa Ketika menemui Dadang di+rumahnya yang+lumayan luas

di+Darwin,+Australia+,+suasana yang+terkesan seperti di+Yogya;+ akrab dan terpancar kehangatan.+Walaupun ia dan keluarga baru saja “mudik”+dari Sydney,+mengajar di+sebuah perguruan tinggi selama dua semester.+“+Suasana di+Sydney+ kurang cocok untuk anakEanak saya”+ungkapnya.+Memang bila di+bandingkan Sydney,+Darwin+adalah kota yang+sepi dan jarang penduduk.++Faktor cuaca juga+lebih condong hangat dan matahari selalu bersinar.+Maklum secara geografis,+ Darwin+lebih dekat dengan garis katulistiwa dan kepulauan Indonesia+bagian timur.+Maka Dadang sekeluarga lebih suka tinggal dikota ini.+

Artikel ini dipublikasikan di+Majalah Visual+Arts+No:+11.+2006

172

Artikel Media+Massa


Perupa kelahiran Tegal tahun 1957 ini migrasi dari Yogya ke Darwin sekitar akhir bulan Februari tahun 1999 untuk mengajar mata kuliah seni rupa Asia Tenggara di Charles Darwin University (CDU). Namun nama Dadang Christanto bagi beberapa kurator maupun pengamat seni di Australia bukanlah nama baru. Reputasi Dadang sudah didengar sejak awal 90Kan. Tahun 1991, ia pernah diundang ke kota Adelaide untuk beresidensi selama lima bulan, dan setelah itu banyak organisasi maupun kurator yang mengundangnya baik untuk berpameran atau residensi serta lokakarya. Dadang juga berpartisipasi dan menjadi salah satu karya yang mendapatkan publikasi cukup besar dalam Asia Pacific Triennale ke tiga tahun 1999, di Brisbane, selain beberapa pameran penting seperti Tradition/Tension hasil kurasi Apinan Poshyananda dari Thailand. Bagi Dadang memilih Australia untuk tempat tinggal , selain hanya empat jam terbang ke Yogya , juga adalah “penerimaan” yang baik dari medan sosial seni Australia untuk karirnya. Karya – karya Dadang banyak dikoleksi oleh lembaga seni yang cukup penting, antara lain: National Gallery of Australia (NGA), di Canberra, Queensland Art Gallery (QAG), Brisbane serta Art Gallery of New South Wales (AGNSW), Sydney. Maka karir Dadang di Australia begitu pesat dan bisa dikatakan salah satu perupa penting Australia. Saat kami bertemu ia tengah sibuk menyiapkan beberapa karya untuk pameran dan karya komisi beberapa yayasan milik perusahaan swasta yang cukup besar. “Saat ini saya punya representative di Sydney, Shermann Gallery, mereka secara rutin menyalurkan karyaKkarya drawing, lukisan maupun beberapa instalasi untuk para kolektor maupun lembaga…cukup untuk menghidupi keluarga saya disini dan bahkan bisa kirim ke keluarga di Yogya”, ungkapnya dengan santai sambil menikmati malam dihalaman belakang rumahnya. Harga karya drawingnya saja mulai dari kisaran 3500 dolar Australia, sedangkan lukisan dan instalasinya mulai banyak yang meminati. Sehingga kesibukan Dadang saat ini lebih banyak berkarya di studio yang menggunakan garasi rumahnya selain ikut mengurus domestik keluarga. Bersama istrinya, Nana, yang sedang Artikel Media+Massa

173


menyelesaikan program magister di CDU, berdua mereka bahu = membahu membesarkan kedua putera dan puterinya, Gunung dan Embun. Jarang perupa kontemporer Indonesia bisa survive diluar negaranya sendiri, apalagi dengan sistem kelembagaan seninya yang berbeda. Bahkan hal prestasi ini tak mudah didapat warga negara Australia sekalipun. NGA sebagai yang dianggap paling berwibawa bahkan beberapa kali membeli karyanya untuk dikoleksi, hal yang sangat jarang. Terakhir adalah instalasi berjudul “ Heads from The North” di sebuah kolam di taman patung NGA yang sohor. Selain itu, ia juga ia pernah menggarap sebatang pohon yang hampir mati disekitar gedung. Di AGNSW, Sydney, salah satu karya instalasi Dadang yang berjudul “They Give Evidence” telah mendapat kehormatan untuk membuka ruang baru. Bahkan atas permintaan publik disana, karya = yang juga dikoleksi oleh museum kontemporer di Tokyo = kemudian dipamerkan kembali. Perhatian publik seni di Australia pada karya=karya Dadang mungkin berawal dari pokok persoalan kekaryaannya sendiri yang begitu kental dengan isu sosial=politik di Indonesia terutama era 90=an, selain juga idiom=idiom yang biasa dimunculkannya, mulai dari instalasi dan seni rupa pertunjukan (performance). Di pantai Marina Ancol Jakarta tahun 1996 , ia sempat menghentak publik dengan karya instalasi “1001 Kepala Manusia Tanah” , lalu salah satu instalasi berjudul “ They Give Evidence” yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) tahun 2002, sempat mencuat menjadi polemik karena mengundang salah tafsir dari penduduk setempat disekitar kompleks lokasi galeri berada. Faktor keadaan sistem seni di sana pula yang menjadikan karya=karya Dadang menjadi matang secara artistik dan sarat metafor. “ Saya merasa punya ruang untuk lebih melihat identitas diri sendiri dan muncul kepercayaan diri yang kuat”, ungkapnya. Karya=karyanya memang sangat erat dengan pengalaman personal masa kecil. “ Saya teringat suatu malam bapak dijemput beberapa 174

Artikel Media+Massa


orang…dan sejak itu saya tak pernah melihatnya lagi,” kenangnya. Pada saat tahun 1965@an, memang suasana politik sedang memanas dan penuh dengan ketegangan, penculikan, kecurigaan, tuduhan bahkan pembunuhan massal. Konflik internal bangsa yang tak mudah dilupakan Dadang, bahkan ia menyamakan peristiwa ini sama kualitasnya dengan apa yang terjadi di Eropa pada perang dunia II oleh Hitler. Bagi Dadang peristiwa ini merupakan trauma pribadi yang dihidupkan terus dalam karya@karyanya, menjadi ‘proyek seumur hidup’ dan menjelajahi kemungkinan perenungan serta metaforanya. “ Suasana di sini memungkinkan saya untuk melakukan hal ini”, ungkapnya sembari menerawang. Mungkin akan beda bila ia tetap berada di tanah@ air. “ Bangsa dan kehidupan kita di Indonesia sangat mudah melupakan masa lalu”, tuturnya lagi. Sejak remaja ia memang selalu dihantui oleh peristiwa itu, “ bagaimana bisa lupa, banyak cerita dikampung yang saya dengar, mulai dari sungai yang penuh mayat dan hal@hal yang mengerikan lainnya…mungkin saja salah satu dari korban itu adalah bapak ” kenangnya. Maka muncul karya – karya seperti “1001 Manusia Tanah” dan “ Kepala dari Utara” Tetapi kenyataan politik dalam kehidupan masyarakat jadi berbeda, kita terlanjur melihat sejarah politik tahun 1960@an terutama komunisme menjadi “musuh bangsa” akibat propaganda orde baru selama lebih dari 32 tahun. Kebencian kita pada komunisme melampaui derita tak terperikan dari jutaan orang yang mungkin saja tak secara langsung punya hubungan dengan pemberontakan politik mereka atau bahkan tak tahu –menahu. “ Setiap kali menatap mata Ibu saya, terasa luka itu masih membekas dalam lubuk hatinya”, Dadang melanjutkan. Dadang tetap membangun “tugu@tugu peringatan” bagi mereka. Namun monumennya tidak mengumbar kebencian seperti monumen publik yang dibangun orde baru, monumen Dadang lewat pengalaman personal namun mampu memperingati kita akan nilai – nilai kemanusiaan yang terkikis. Karya – karya Dadang apakah itu instalasi, performance, lukisan maupun drawing adalah cermin kita untuk Artikel Media+Massa

175


berefleksi pada bahaya politik perang dingin global dan hubungannya dengan nilai sosial9budaya suatu bangsa. Bukan rahasia lagi dikalangan intelektual peristiwa G930 S PKI adalah bagian dari skenario politik, namun kristal ingatan kolektif masyarakat seperti harus tetap dicairkan sehingga generasi mendatang bisa lebih kritis menghadapi berbagai gelombang sosial9politik yang terjadi. Karya9karya Dadang ibarat tetesan air yang tak9henti menghantam batu cadas, yang lama kelamaan mampu melubanginya. ***

Heads+from+the+North.+Dadang Christanto.+Koleksi National+Gallery+of+Australia.+Canberra 176

Artikel Media+Massa


Emosi:,Kambing,, Batu,,Sawah,, Kasur,dan Video Dipintu masuk

gedung utama Galeri Nasional,+ Jakarta,+tiba9tiba kita dicegat patung sekelompok kambing metalik dengan tutul hitam ditubuhnya,+ berjejer antri menuju celah dikolong imaji seseorang berbaju mirip tokoh Batman+‘the+Dark+Knight’+yang+ sedang berjongkok.+Tutul hitam itu kian memudar.+ Karya instalasi Entang Wiharso ini begitu menyergap perhatian,+karena ia melukiskan langsung bagian karyanya ditembok putih galeri dengan cat+hitam,+ membentuk imaji cadas yang+mendindingi kambing9 kambingnya.+

Artikel ini diipublikasikan di+ Majalah TEMPO.+28+Juli 2008

Artikel Media+Massa

177


Entang mengetengahkan soal ‘kambing hitam’ sebagai metafor kehadiran dari yang laten ditiap budaya dalam Unspeakable Victim The Story Behind Super Hero. Lewat kambingGkambing, ia sedang menuturkan persoalan perbedaan identitas dalam lingkup sosial – budaya saat ini. Watak kekaryaannya mencerminkan gejolak emosi , yang bukan hanya pada diri tapi lebih dipengaruhi faktorGfaktor diluar diri sang seniman. Pameran EGMotion di Galeri Nasional, mulai tanggal 18 hingga 25 Juli 2008, diselenggarakan bertepatan dengan ulang tahun majalah Visual Arts ke – 4. Mengetengahkan sejauh mana kadar nilai emosi yang terkandung dalam struktur kekaryaan 12 perupa. Salah satu kuratornya, Rizki A. Zaelani mengemukakan bahwa emosi juga menjadi penting untuk mengenali identitas, mengapresiasi dan memahami kenyataan hidup. Aspek emosi mampu menunjukan adanya batas yang bisa ditembus daya nalar dan kognisi manusia. Mungkin bisa kita bayangkan bagaimana keterlibatan emosi dalam menghasilkan karyaGkarya, seperti lukisan Ay Tjoe Christine, ..More Handcuff, Please 2 dan 3, yang memancar imaji liar terhadap seseorang dengan tubuh yang tercabik. Atau keruhnya persoalan kemanusiaan dalam karyaGkarya Tisna Sanjaya lewat garapan aspal hitam diatas kanvasnya yang membentuk imaji kengerian tapi sekaligus mengandung semangat hidup. Pada karya – karya perupa Nyoman Erawan, memperlihatkan emosi seperti jalinan antara spiritualisme, ekspresi transenden dan hasrat artistik serta persoalan sosial. KaryaG karya lukisannya seri Tarian Para Korban menunjukan gejolak yang berpusar melalui persimpangan antara cara melukis simbolik: realistik dan ekspresionis. Simbol benda berwujud jarum – jarum yang menghujam, menusuk – nusuk sesuatu yang tergantung hingga tercabik dan pecah. Garapannya yang dinamis namun tertib, ekspresif ditengah bidang yang formal, menunjukan keseimbangan antara nalar dan emosi yang menggelora. Mungkin unsur emosi ini juga bisa dilihat sebagai persoalan kontekstual, alihGalih ditiap budaya punya ekspresi masingGmasing. Diyanto menghadirkan 178

Artikel Media+Massa


imaji yang lebih teatrikal dan susunan simbol dari bahasa tubuh dalam lukisannya. Diisyaratkan oleh kurator lainnya, Hardiman, bahwa emosi juga bisa sebagai suatu konstruksi sosial. Maka bagi Diyanto, ihwal emosi juga seperti watak yang bisa dikondisikan. Lain halnya dengan kehadiran dua perupa asing, Daniel Kojo dan Ruth Frisch Daely, asal Amerika Serikat memberikan warna lain pada aspek emosi ini. LukisanElukisan potret dan lansekap ekspresif dan berlapis karya Ruth dan karya Kojo yang lebih menggabungkan unsur fotorealis dan grafis berupa potongan teks dan potret, menawarkan emosi di dalam struktur yang lebih tertib. Dari Indonesia hal ini kita bisa amati pada karyaEkarya Ibrahim misalnya, menengahkan problematik emosi ini ditengah kanvas lewat penumpukan warna dan goresan – goresan yang spontan serta sporadik, tapi dengan emosi yang sama sekali tak melimpah ruah, penuh ketenangan. Sedangkan Yani Mariani menggarap instalasi batu yang merayap ke atas dinding. Hasilnya terasa menarik, batuEbatu tersebut tampak menjalar seperti menari – nari mengikuti nada. Beda dengan Hanafi dengan rangkaian lukisan berimaji batu yang hening, atau instalasinya berupa kasur diatas dipan besi raksasa yang cenderung menghadirkan simbol yang dingin. Nah, seperti apakah emosi yang bisa menjadi irama yang mengatur denyut hasrat seniman berkarya dengan medium diluar lukisan ? Pada karya instalasi video, Teguh Ostenrik berjudul : On Sale, ia menyajikan orangEorang dari latar sosial dan budaya berbeda menyanyikan lagu “ Rayuan Pulau Kelapa “, secara rampak dari 6 unit monitor televisi sekaligus. Lagu itu kini terdengar bermakna ironis dan mengolokEolok. Begitupun tayangan tunggal video dan lukisan Krisna Murti, yang memperlihatkan bentangan sawah dari representasi media baru (video dan komputerisasi). Bila emosi dulu adalah jiwa yang merasakan getaran dari dalam dan luar diri, kemudian mengguncang kehendak untuk berkarya, maka problema emosi jaman sekarang lebih dikendalikan oleh mesin dan teknologi. Disanalah karyaEkarya seni rupa kontemporer banyak berbicara. *** Artikel Media+Massa

179


Residensi Sunaryo di-STPI,Singapura Perupa Sunaryo,+selama bulan Agustus hingga awal

September,+berkesempatan beresidensi di+Singapore+ Tyler+Prints+Institute+(STPI).+Lembaga,+yang+menurut beberapa pengamat,+mempunyai fasilitas alat cetak grafis dan pengolahan kertas dengan para+ahli paling+ baik didunia ini,+selalu mengundang beberapa perupa untuk mencoba menjelajah kemungkinan artistik lewat medium+cetak grafis secara optimal.+

Artikel ini dipublikasikan di+ Majalah Visual+Arts+,+Agustus 2007

180

Artikel Media+Massa


Menurut pengakuan Sunaryo, lembaga itu telah beberapa kali menawari program residensi disana. Namun awalnya ia enggan karena kesibukan di Bandung, apalagi pada bulan itu ia harus menyiapkan peresmian patungnya yang baru di Bandara Soekarno> Hatta Cengkareng. Hingga kemudian pada suatu hari ia menyempatkan diri menengok lembaga yang berlokasi di tepi sungai Robertson Quay. Serta merta ia kemudian menerima tawaran itu. “ Wah saya sangat tertantang dan produktif selama kerja disini”, ungkap pemilik Selasar Sunaryo Art Space ini dengan begitu semangat. Antusiasme Sunaryo beresidensi di STPI terbukti dengan karya>karya yang dihasilkan selama disana, puluhan karya kertas pun dihasilkannya. Ketika penulis diundang mengunjunginya ke Singapura, ia langsung mengajak saya ke studionya dan berkeliling didalam bengkel STPI. Disana ia menunjukan karya>karya hasil proses selama ini. Dengan beragam teknik dan medium, seperti cetak saring diatas kertas yang dibuat khusus dengan bantuan tenaga ahli disana. “ Mereka benar> benar menguasai teknis, sehingga sangat mendukung apa yang saya ingin buat “, lanjut Sunaryo. Tampak seorang lelaki dan dua perempuan muda tengah “mengerjai” karyanya di ruang bengkel. Sunaryo lalu membayangkan,” andai kita di Indonesia bisa punya fasilitas seperti ini, tentu akan banyak seniman tertantang untuk menggrafis dan menghasilkan karya>karya yang luar biasa”. Karena diruang tersebut juga terdapat alat cetak batu litho, serta beberapa alat untuk cetak lempeng logam (untuk drypoint dan etsa ). Ada juga ruang khusus untuk pengasaman. Yang luar biasa adalah ruang untuk pembuatan kertas. Disana terdapat bak besar berukuran hampir 3 meter peregi. “ Nah ini alat vacuum untuk mengeringkan kertas hasil proses” , Sunaryo menjelaskan alat yang berbentuk meja datar dengan peralatan yang di atur secara otomatis. Sembari kemudian ia memperkenalkan saya pada seorang pria asal Amerika Serikat, yang bertanggung jawab atas ruang proses pembuatan kertas tersebut. Artikel Media+Massa

181


Selama sebulan bekerja, STPI juga memberikan apartemen khusus bagi para perupa selama residensi. Ada banyak kamar yang tiap kamar dilengkapi dengan dua kamar tidur, dua kamar mandi, dapur, dan ruangan tamu. Tiap kamar di lengkapi juga dengan jaringan wireless internet berkecepatan tinggi. “ Pembiayaannya sangat mahal, walaupun disubsidi oleh pemerintah Singapura, tapi untuk operasional lembaga kami harus ditopang dengan penjualan karya atau menyewakan ruang galeri untuk berbagai acara “, ungkap Irene Lee, direktur STPI sambil mengantarkan kami menengok ruang koleksi. Tiap tahun STPI , sejak tahun 2002, mengundang beberapa perupa dari mancanegara. Mulai dari Pacita Abad ( Pakistan ), Lin Tinmao ( dari Cina) hingga Srihadi Soedarsono pernah beresidensi disini. “ Kami selalu ingin memperlihatkan bagaimana tiap seniman punya cara tersendiri berinteraksi dengan apa yang tersedia disini, dan menginspirasi kekaryaan mereka“, lanjutnya. Pada saat itu di ruang galeri sedang dipamerkan juga karyaIkarya grafis yang dihasilkan oleh Ahmad Zakii Anwar , perupa Malaysia. Menurut Lee, STPI juga membantu memikirkan pembingkaian secara khusus yang menjamin keawetan kertas dengan teknis penghampaan udara. Sehingga karyaIkarya bisa bertahan lama di cuaca tropis dengan kelembaban tinggi. KaryaIkarya Sunaryo yang dihasilkan selama residensi berangkat dari serial karyanya yang bercorak abstrak. Dengan menambahkan elemen tekstur yang ditoreh diatas kertas selagi basah, penggalan citra motif batik, yang cetakannya diberikan oleh perancang batik Obin dari Bin’s House serta rangkaian batang Bambu. “ Karya – karya untuk residensi ini berangkat dari persoalan identitas saya sebagai orang Indonesia yang dibentuk oleh berbagai aspek budaya yang dilingkungan sekitar saya dan dengan prespektif sebagai orang Jawa “, Sunaryo menjelaskan. Semua hasil proses ini akan dipamerkan tahun depan di galeri STPI. “ Mereka akan mengurus semuanya termasuk sponsor”, ungkapnya. Teringat beberapa tahun lalu Red Point di Bandung, sempat punya ambisi menjadi pusat seni grafis. Menjadikan bengkel dan ruang pamer 182

Artikel Media+Massa


dengan semangat memasyarakatkan seni grafis di Indonesia. Sayang semua itu lenyap, kurang strategi dan dukungan banyak pihak. Untuk mengenal lebih lanjut lembaga STPI bisa kunjungi situs: http://www.stpi.com.sg/. ***

Artikel Media+Massa

183


Tantangan Global, – Godaan Lokal

Nama Putu+Sutawijaya memang punya

pesona lebih akhir – akhir ini,+terutama setelah buah tangannya di+buru oleh para+kolektor dan pedagang lukisan,+bukan hanya dari Indonesia+ tapi juga+mancanegara.+GaraCgara disuatu lelang di+Hongkong+harga karyanya terjual menjulang secara mengejutkan.+Tapi pria bertubuh gempal ini masih berpenampilan sederhana dan selalu ramah ke setiap tamunya.

Artikel ini dipublikasikan di+ Majalah Visual+Arts+No:+23.+2008

184

Artikel Media+Massa


Bukan pertama kali kami bertemu, tapi di negeri Jiran , di ruang pamer galeri Valentine Willie Fine Art < saya berkesempatan berbincang panjang lebar ditengah persiapan pembukaan pameran tunggal kedua di galeri tersebut. Tepatnya 4 hingga 22 Desember < ia kembali menggelar tunggal keduanya di tahun 2007. Setelah di Sin Sin Fine Art Gallery, Hongkong. Kali ini lukisan< lukisan Sutawijaya agak berbeda. Memancarkan gerak puitik tubuh<tubuh dalam latar suasana lebih kontemplatif, tapi juga menggetarkan. Puisi Tubuh Hampir disemua lukisannya yang baru tersebar coretan tulisan tangan dan angka<angka yang secara keseluruhan tak bermakna. “ Aku juga menulis puisi/ puisi diatas kanvas, tapi bukan untuk dibaca.” Ungkapnya. Memang kehadiran tulisan dan angka ini cuma kesan yang ia guratkan untuk menciptakan aspek visual lain seperti warna, garis, bentuk dan tekstur. Seluruh aspek ini dioptimalkan dalam rangkaian bahasa rupa. Seperti pada karya “Membara” dan “Menggumuli Sang Kabut”, tubuh disana bergerak dalam irama dinamis yang mengikuti pusaran alam. Gunung, pohon<pohon, kabut, rumput hingga tangga reyot. Berinteraksi dengan elemen rupa atau tubuh lain menjadi tubuh sosial yang erat dengan alam sekitar. Karyanya yang berjudul “ Menyusuri Alam” dan “ Mencari Dunia Baru” (media campur diatas kanvas, 140 x 200 cm, 2007), menunjukan iring<iringan manusia, patuh, berbaris rapi layaknya formasi tarian Kecak, bermigrasi menuju kesuatu arah. Bukanlah suatu kebetulan karya – karya Sutawijaya juga berkomentar pada masalah gejala alam yang sedang diseminarkan oleh dunia di pulau Bali, pada awal Desember lalu. Tubuh – tubuh dalam pameran bertajuk “ Poems of Nature” , tak lagi menjadi pokok soal yang mendominasi bidang kanvasnya, tapi seolah takluk dengan suatu kekuatan yang lebih dahsyat. Ini tak lazim, karena sejak kecil seperti juga anak Bali lainnya, Sutwaijaya pun belajar menari. Ketertarikannya pada subyek tubuh begitu besar, terutama sejak tahun 2000. “Tubuh yang aku gambarkan dulu karena untuk memperhatikan gerak, lebih formalistik, lebih membicarakan tubuh itu Artikel Media+Massa

185


tubuh itu sendiri,” tutur ayah dua anak ini. Alih8alih, tubuh diolah sebagai elemen utama mencapai suatu aspek rupa. Memuliakannya dalam ranah artistik modern. Tapi kali ini ia memanusiakan tubuh, memberinya ruh sehingga menghidupi jagadnya. Seperti juga tubuh dalam ikatan nilai8nilai tradisi leluhur. Apakah ia baru tersadar bahwa kekuatan alam membuat manusia tak berdaya ? apakah gempa dahsyat yang bumi Jogjakarta telah memberinya makna berbeda tentang arti manusia ? Manusia ternyata baginya begitu lemah dan kecil, manusia sudah seharusnya takluk serta belajar pada sang alam. Lukisan – lukisan Sutawijaya pun seperti menyuarakan kebesarannya. Ia lahir didalam keluarga yang masih kental dengan nilai8nilai tradisi. Ia mengaku dekat dengan gunung, belajar menari seperti juga anak8 anak lainnya di desa8desa adat di Bali, membuat bekal kepekaan terhadap gerak dan alam. Mengagumi Lempad dan mengacunya. Lalu di Jogjakarta, ia melanjutkan mengasah daya artistik dengan cara modern di Institut Seni Indonesia (ISI) , tahun 1991 hingga 98. Pria kelahiran Angesri, Tabanan – Bali tahun 1971 ini, rupanya menuai potensi artistik dengan beragam penjelajahan media pula. Pernah ia suatu kali membuat instalasi dari kawat yang kemudian digelarnya dalam pameran bersama Entang Wiharso, Nasirun dan mendiang Affandi di Galeri Nasional, beberapa bulan lalu. “ Aku buat instalasi itu dari sisa – sisa material bangunan rumah” Ungkapnya. Rupanya pesona Sutawijaya berlanjut, tidak hanya karya – karya lukisannya saja. Instalasi itu pun diminati seorang kolektor Jakarta seharga Rp. 150 juta rupiah, bukan kolektor dari Eropa atau Amerika. Di Kuala Lumpur, ia pun ditawari mengisi hari8harinya untuk mengolah tanah liat. Karya patung tembikar di langit8langit , menempel dinding dan tergolek di kotak kayu seolah menjadi bukti bagaimana ia intens menekuni gerak tubuh. Terutama penggarapan tiga dimensional, material tanah liat, serta pembakaran. . 186

Artikel Media+Massa


Komitmen Sosial Di Biennal Jogja 2007, ia memamerkan juga karya instalasi berupa 100 figur dari kawat yang dibungkus plastik transparan menggelantung dihalaman Museum Jogja atau bekas kampusnya dulu. Bukan hanya itu, Sangkring Art Space di Nitiprayan yang tak lain studio dan tempat tinggalnya bersama Jenny (sang istri) dan kedua buah hatinya, ia buka untuk menjadi salah satu venue perhelatan besar itu. Dari kondisi ruangnya yang cukup luas, mirip dengan hanggar. Sangkring menjadi tempat ideal bagi karyaJkarya dua dimensional maupun tiga dimensional berukuran besar. Dalam kutipan wawancaranya dengan kurator Wahyudin, ia mengatakan “ Dewa Kesenian telah memberi saya rezeki, maka tidak ada salahnya untuk membagikan sedikit dalam bentuk ruang seni ini. Saya harus berbuat sesuatu, sekalipun tidak besar�. Tetapi apa yang dilakukannya mungkin sangat berarti bagi medan sosial seni rupa di Jogja. Dengan jumlah komunitas seniman yang besar hingga terasa masih kurang ruangJruang kesenian yang tersedia. Apalagi yang memadai dan menyokong para seniman muda. Maka tahun 2005 lalu ia bertekad merogoh koceknya sendiri untuk membangun studio, rumah tinggal, sekaligus ruang pameran untuk umum. Ia sadar bahwa seringkali seniman butuh hubungan sosial lebih luas agar tak terperangkap oleh pikirannya sendiri. Tahun 2008 ini , ia berniat untuk meluncurkan sebuah buku. Persis didepan Sangkring, ada sebuah gubuk dengan meja kayu besar dan bengkel dimana ia menyimpan rongsokan mobil tua. Disinilah ia sering mengajak tamunya untuk bisa sejenak ngobrol sambil disuguhi kopi hangat. Sepertinya ia ingin terus mengingat masa dimana semua masih sangat sederhana. Pasar Seni Rupa Boleh jadi banyak pihak yang terkejut terhadap gejala pasar seni rupa sekarang ini. Sutawijaya salah satu yang paling banyak disorot, Artikel Media+Massa

187


mendapat pujian maupun kecurigaan, tapi ia tampaknya cukup tenang menghadapi hal tersebut. “ Wajar saja, bila semua orang memandang seperti itu, tapi sebagai seniman aku berupaya untuk tetap fokus berkarya saja,� Ia melanjutkan bahwa sebagai seniman saat ini harus tahu apa yang sedang terjadi dalam dunia pasar, walaupun tak harus terjun lebih jauh. Baginya pasar seni rupa saat ini punya kaitan global, atau cakupan audiens yang lebih luas dan terbuka. Pasar global inilah yang saat ini punya peran. Maka ia pun punya strategi, salah satunya untuk lebih aktif berkegiatan diluar negeri, selain juga menjaga dan mengontrol penyebarannya karyaDkaryanya. Dalam pandangannya , banyak seniman dan kolektor di Indonesia tidak begitu sadar terhadap mekanisme pasar. Walaupun ia sering kedatangan para kolektor di studionya, ia berusaha untuk menjaga mekanisme yang telah ada untuk memasarkan karyaDkaryanya bersama galeri. Dan tidak hanya dengan satu galeri. “ Kita jangan mengingkari sistem yang telah ada�, ungkapnya. Mungkin saja Sutawijaya adalah salah satu perupa yang dianggap beruntung, merasakan hasil buah tangannya semasih muda dan produktif. Keberuntungan itu bukanlah diturunkan bak air hujan, yang serta D merta turun dari langit. Valentine Willie, pemilik VWFA mengatakan bahwa karya Sutawijaya harus diakui memang menarik sejak awal, rendahDdiri, punya nafas Bali yang kental, tapi sekaligus terkandung semangat yang universal . Bagi sang seniman, Booming pasar kali ini tibaDtiba menyadarkannya, bahwa ia harus belajar dan terus menerus mengasah daya artistik dan memperbaiki diri. Tantangan global dan godaan lokal jelas tampak dihadapannya. *** .

188

Artikel Media+Massa


Mengembalikan Ketotalan Kerja Patung Memperhatikan karya1karya patung Noor+

Ibrahim+dalam Pameran Tunggalnya di+Galeri Nasional+Indonesia+1 Jakarta,+sungguh membuat kita tergetar.+Bagaimana tidak,+saat ini para+seniman patung maupun pembuat karya tiga dimensional+ lainnya seperti meninggalkan aspek craftmanship+ individual+dalam proses+menciptakan karyanya.+ Terutama bila kita memperhatikan patung1patung modern+klasik hingga perupa kontemporer,+yang+ berbasis pada kerja selebral ;+mengonsep,+ membuat model+yang+dikerjakan orang+lain+dan kemudian mencetaknya apakah dengan bahan industri seperti resin+maupun cor logam.

Artikel ini dipublikasikan di+ Majalah C1arts.+2007

Artikel Media+Massa

189


Menjadi karya seni yang bisa di duplikasi dalam batas tertentu ,menjadi idiom yang tak lagi meniscayakan nilai keautentikan dan menangkap ekspresi emosi. Mulai Rodin, hingga Giacometti dalam karya?karyanya memang menakjubakan tapi juga memiliki permukaan pseudo?autentik dipermukaannya. Baru kemudian di daratan Amerika Utara para pematung modern mempraktikan cara yang lebih spontan dan cepat seperti layaknya lukisan abstrak ekspresionisme. Menjelajahi material logam , batu atau kayu dengan mengelas, menempa, memahat, dan lainnya untuk menghasilkan karya?karya mereka. Menghasilkan karya – karya individual yang penuh totalitas. Tapi kemudian dalam praktek patung – patung kontemporer kembali, kerja patung lebih mengarah pada duplikasi dengan aspek perupaan dan bentuk yang punya nilai atraktif bahkan mengarah ke bentuk realisme baru fotografis, yang kemudian menjadi cikal bakal seni patung arus utama. Bahkan banyak karya patung kemudian dibuat sebagai item supplemen karya lukisan seperti yang dilakukan oleh Yue Minjun, Takashi Murakami bahkan Agus Suwage, Putu Sutawijaya dan Eko Nugroho. Tapi karya – karya Ibrahim masih meniscayakan kerja patung klasik berbasis pada pemahaman bahan dan teknis pembentukan yang kuat , dan mewujudkan gagasan dengan medium langsung dengan tangannya, spontan dan sangat total. Layaknya seorang pande logam sejati ia masih memegang prinsip yang tak lagi dilakukan banyak seniman saat ini. Menghadapi tiap lempengan pelat kuningan, menghantamkan palunya dengan keras berkali – kali ke atas permukaannya, menghasilkan lekukan – lekukan dan kemudian membentuk suatu wujud. Tenaga yang dikeluarkan terjejaki disekujur sosok?sosok ciptaannya, permukaan pelat logam yang dingin itu tiba?tiba menggeliat menjadi dinamis dan hangat. Bahkan Ibrahim berhasil menanggulangi watak media , menundukan lempeng logam bagai meremas kertas, memberikannya ruh dengan membuatnya gestur yang akrab dengan kehidupan disekitarnya, sebagai suatu artikulasi semangat jiwa – khetoknya Soedjojono. 190

Artikel Media+Massa


Bisa kita lihat pada karya3 karyanya dalam pameran yang diberi judul Palon ini , sepeti Banjir I dan II ( dengan perunggu , 2006) serta yang menggambarkan anak dan ibu berbonceng sepeda yang setengahnya dihilangkan seperti terendam, menyentil kehidupan ditengah amukan dan ketakseimbangan alam yang sering menerpa masyarakat di daerah3 daerah di Indonesia. Di karyanya Ibrahim sengaja membiarkan sambungan – sambungan pelat logam itu di ekspose, seperti Menerja Badai dan Perjalanan (tembaga dan kuningan,2006). Seperti yang diutarakan kurator pamerannya , Eddy Sutriyono, Ibrahim seolah juga mempertimbangkan aspek rupa formalisme dalam kekaryaannya, yang mempunyai akar kuat dalam perkembangan akademi seni rupa di Bandung. Walaupun ia belajar dan berinteraksi dalam medan sosial seni di Jogja yang punya akar realisme –sosial dan bentuk artistik tradisi Jawa. Karya3karya figuratif Ibrahim lain cenderung mengingatkan pada wujud mitologi kuno, seperti pada karya Malaikat Keadilan dan Nasirun In USA ( 2007). Namun sosok manusia dengan kepala Kerbau menjelma menjadi simbolik dari persoalan yang ditemui dalam keseharian. Hal3hal sederhana menjadi inspirasi tapi dengan penjelajahan artistiknya, Ibrahim mampu menciptakan wujud – wujud hibrid yang memukau. Contohnya tampak pada beberapa karya yang cenderung abstrak seperti pada karya3 karya serial berjudul Rumput Liar (tembaga, 2007), Bintang Tertusuk Ilalang (Kuningan dan Stainless Still, 2007) , Rumput dan Rembulan Bersenggama (kuningan 2006), Kaktus (2007) . Ibrahim menafsirkan unsur3unsur alam maupun pemandangan melalui dunia materi keras menjadi sesuatu yang puitik, yang seksi dan gemulai. Ibrahim belajar melukis di Institut Seni Indonesia (ISI) , Jogjakarta hingga 1994. Namun setelah lulus ia lebih memilih mematung ketimbang melukis. Sehingga tercakra kebebasannya dalam menjelajahi bentuk – bentuknya seperti juga seorang pelukis mengguratkan garis, mencoretkan cat pada bidang kanvas, penuh kejutan tak terduga. Hal inilah yang membuat banyak pengamat terperangah, hingga ia kemudian diundang oleh kurator Dwi Marianto untuk disertakan mewakili Indonesia ke Venice Artikel Media+Massa

191


Biennale+tahun 2005.+Pria kelahiran Magelang ,+Jawa Tengah+tahun 1966+ini kemudian mengguratkan keberlanjutan seni patung Indonesia,+ditengah hirukDpikuk pasar lukisan.+***

192

Artikel Media+Massa


PERJALANAN3 BATIN3ASRI3 NUGROHO Memperhatikan citra tubuh4tubuh itu,+tiba4tiba saya

merasakan kesakitan yang+janggal.+Bagaimana tidak?+badannya tercabik – cabik dan remuk,+kulitanya mengelupas,+daging pun+ tercerai menjadi serpihan,+darahnya muncrat ke sana – sini.+Organ4 organnya terburai dari sela4sela kulitnya yang+rengat.+Tubuh itu begitu lemah dan tak berdaya.+Aneh,+karena tubuh itu dilapisi semacam logam,+teringat citra tubuh Arnold+Schwarzeneger dalam film+ Terminator+3.+Remuk namun berusaha untuk hidup,+masih mencoba melawan suatu kekuatan demi+kehidupan manusia selanjutnya.+ Menghadapi takdirnya sendiri yang+sudah menjadi suratan.+

Artikel ini dipublikasikan di+Visual+Arts+2006

Artikel Media+Massa

193


Asri Nugroho, sang pelukis, menggambarkan tubuh:tubuh itu dengan realitas yang begitu sakit. Walaupun tubuh – tubuh yang hadir adalah citra tubuh dari sebuah lukisan. Saya membayangkan sang pelukis pasti ikut “merasakan” suatu citra siksaan tak terperi, seperti yang harus dialami seorang Yesus. Setidaknya melalui gambaran Mel Gibson, dalam filmnya Passion of Christ. Digambarkan, Yesus dengan tubuhnya yang lunglai dan mengurus itu mengerang dan berguncang keras, menahan sakit yang dahsyat, ketika setiap logam tajam menghujam dagingnya, akibat cambukan –cambukan sang algojo, dengan alat siksa yang diciptakan penguasa Roma. Namun tak dibiarkannya Ia mati. Jiwanya seakan enggan meninggalkan jasadnya yang tak berdaya. Tentang rasa sakit, direpresentasikan Asri lewat garapan:garapan karyanya. Seperti pada karya “Bilur:Bilur Yesus I dan II” (2006), “ Tentang Yesus” (2000), “ Ritme Pujian” (2002), “ Yesus I” (2004). Melalui tekstur cat yang menumpuk – numpuk, menyebar disegala bidang, memantulkan citra serpihan dan kelupasan dari tubuh itu. Bahkan Asri, pada karya “Pengorbanan” (2006), menghadirkan tubuh Yesus melalui bongkahan kayu, yang dikombinasi dengan batang silinder logam yang menusuknya, untuk menggantikan rasa luka:luka itu. Karya ini ditampilkan dalam citra salib. Sedangkan pada karya “Pengharapan”(2006) , citra tubuh Kristus menghilang, digantikan oleh material logam tajam yang seolah tengah menghujam. Tetapi tak membunuh jiwa. Asri Nugroho, kelahiran Surabaya , tahun 1952, dalam kekaryaannya banyak terinspirasi dari ikonoklasme Eropa abad pertengahan. Tampak dari gestur – gestur sosok manusia disana, yang selalu memperlihatkan ketak:berdayaan dihadapan suatu kekuatan besar. Tetapi pancaran citra logam yang bercampur dengan kulit, daging dan darah,maupun elemen lainnya, mengajak kita pada suasana jaman mesin atau cyborg. Lihat saja karyanya berjudul “ Eros (8 Kuda)” (2002),yang menggambarkan gerak dinamis, sekaligus juga terasa 194

Artikel Media+Massa


adanya suasana yang membatasi, mengungkung, menjepit dan mengikat. Dalam “ Metamorfosis” (2006), terjadi suatu pembebasan, kaki – kaki itu akhirnya lepas dari cangkang logam, menjadi telanjang. Citra – citra itu kadang sureal, menciptakan suasana kengerian , seperti dalam potongan adegan serial film Alien, dimana manusia terperangkap dan dicabik mahluk asing yang menyelinap masuk dalam kehidupan. Citraan pada lukisannya: “Lompatan” (2004), “Kebersamaan” (2006), “Reflection of My Soul III” (2005). Tubuh itu begitu ringsek, tak lagi tampak wujudnya. Kadangkala, Asri bergerak kearah abstraksi , ekspresif maupun dekoratif,namun kembali ke dalam kecenderungan realis. Lukisan “The Holy” (2005), “Gerbang” (2002), “Sujud Menyembah” (2001), “White Road” (2004), dan lainnya. Tubuh pada lukisan itu melebur dalam pengaturan bidang, tekstur, warna yang terpola dan tertib. Asri memang tak pernah belajar melukis secara akademis. Selepas sekolah menengah atas ia belajar melukis pada Bambang Sugeng, seorang pelukis dari Bali. Pernah menjadi pelukis baliho, atau media reklame untuk bioskop. Tapi, bakat dan kemauan untuk belajar telah menghantarkannya ke dalam lingkaran dunia seni rupa. Beberapa kali ia mengikuti berbagai pameran penting di kotaVkota di Indonesia maupun di luar negeri. Pameran tunggal “ Sprirituality of Asri Nugroho” , di Galeri Nasional merupakan pameran tunggalnya pertama di galeri ini. Walaupun berlangsung singkat , 4 hingga 14 Juli 2006. Tetapi tampaknya Asri, bersama Gracia Art Gallery V Surabaya, berusaha menampilkan perkembangan artistik yang unik, bergerak bebas namun terjejaki suatu perjalanan batin yang terarah. Akhirnya, citra lukisan Asri kemudian tibaVtiba saja menjadi jernih. Pada instalasi, 12 panel lukisan terbarunya, berjudul “ MuridVMurid Yesus” (2006). TubuhVtubuh yang tampak adalah orangVorang dekat dengan kehidupannya, termasuk citra dirinya. Disana tampak citra Kristus , tengah mencuci kaki seorang lelaki setengah baya. “ lelaki itu adalah Artikel Media+Massa

195


pendeta saya� ungkapnya. Apakah Asri tengah mengamini suatu realita spiritualitas kita, yang telah hancur, luluh –lantak, ringsek, dengan mengandaikan ajegnya kembali suatu realita baru? Mungkin ia tak harus menanggung jawabannya sendiri, yang jelas, Asri selalu berada, dimana tubuh adalah metafor dari yang ditindas dan kuasa, yang hancur dan sempurna, citra dan kehakikian, sementara dan abadi, spiritualitas dan realitas. Hal itu tak lain adalah inti kehidupan saat ini. ****

Asri Nugroho.+Hati Kudus.+2011.+180+x+200.+ Acrylic+on+canvas

196

Artikel Media+Massa


Melihat Jiwa*Lewat Persona*Psikis Memasuki pintu utama Gaya+Fusion+Artspace,+Ubud

– Bali,+kita langsung dihadapkan dengan lukisan wajah berukuran cukup besar,+terdiri empat bidang kanvas.+Yang+lainnya,+didinding kiri dan kanan berukuran lebih kecil,+namun dengan mood yang+ sama.+Wajah – wajah itu melotot ,+dengan mata terbelalak dan mulut terkatup,+kadang ternganga.+ Seperti mimik wajah seseorang yang+tibaGtiba melihat suatu pemandangan yang+luar biasa menakutkan atau menahan sakit takGterperi.+Citra+ wajah – wajahnya terbentuk dari goresanGgoresan serta sapuan kuas yang+begitu kuat,+meliuk – liuk enerjik,+otomatis,+sekaligus terkontrol dan terjadi dengan cepat.+

Artikel ini dipublikasikan di+Majalah Visual+Arts++tahun 2006+

Artikel Media+Massa

197


Ditambah cipratan cat disana sini, yang kadang muncrat tak terduga, keluar dari bagian utama kontur. Latar belakang kanvas selalu dilebur rata dengan warna hitam pekat, membuat penggunaan warna putih semakin optimal dan menunjukan keterampilan melukis bentuk anatomi Zabetta tampak menonjol. Perilakunya melukis tanpa obyek dan posisi kanvas rebah dilantai, mengingatkan kita pada cara melukis abstrak C ekspresionis mendiang Jackson Pollock. Perupa muda asal Italia, Roberto Coda Zabetta, memperlihatkan serial lukisan dan patung keramik, berupa wajah – wajah dengan kecenderungan hibrid; antara tradisi melukis potret dan goresan liar ekspresionisme. Ukuran lukisan yang beragam maupun karya tiga dimensionalnya , ditampilkan sangat minimalistik didalam ruang galeri: bernuansa warna hitam – putih yang kuat, cenderung monokrom namun sekilas menyiratkan suasana psikologis yang menyayat. Menohok perasaan setiap pengunjung dengan carut – marut persoalan manusia kontemporer. Selama sebulan Zabetta bertandang ke Bali dan mengerjakan seluruh karyaCkarya yang dipamerkan disana. Selain melukis, ia pun bekerja dengan materi tanah lempung di studio keramik Gaya. Sesuatu yang sangat baru dan berbeda bagi dirinya yang biasa bergumul dengan dunia dwimatra dan cat. Disini ia tertantang oleh keplastisan lempung, sehingga ia bebas memperlakukan patung – patung kepalanya:merobek, memijit, menggaruk atau meremasnya. Mengeras setelah dibakar dalam tungku dan menyiramnya dengan cairan glasir putih. Proses pembakaran dengan suhu yang tak merata membentuk karakter permukaan yang dinamis dan khas. Dengan nuansa putih dan jejak – jejak lelehan glasir yang menjadi teksur , seperti sesuai dengan corak dalam lukisannya.

198

Artikel Media+Massa


Zabetta , pria kelahiran tahun 1975 , di kota Biella, Italia. Lulus dari Istituto Tecnico Sperimentale, di kota yang sama dan Istituto d’Arte , di Roma antara tahun 1990 hingga 1995. Pernah menjadi asisten studio untuk seniman Aldo Mondino , antara tahun 1996 hingga 2000, sebelum menjadi perupa yang mandiri. Sejak tahun 2005 , ia bekerja dan tinggal di London. Ia sudah tertarik sejak awal dengan persoalan melukis, menjelajahi kemampuan material cat dan bidang datar, yang berkorelasi dengan rantai sejarah yang panjang dalam budaya seni rupa Eropa. Ia seolah selalu terlibat citra kelam manusia seperti juga karyaL karya para pendahulunya, katakanlah Francis Bacon, Max Beckmann, atau Twombly. WajahLwajah patung kepala lelaki disana dideformasi: rusak, ringsek, cacat sebagian, mengingatkan kita pada penyakit aneh, seperti tumor atau bekas luka terbakar hebat yang dialami seseorang disekitar kita. Kadang kita terkaget sambil kemudian melengos ketika bertatapan dengannya. Tetapi kurator pameran, asal New York , Robert C. Morgan, mengemukakan bahwa karyaLkarya Zabetta memungkinkan menguak tabir sisi manusia yang gelap, suatu “keliyanan” (otherness) yang diungkapkan lewat elemen – elemen formal rupa. Lukisan dan patungnya memancarkan suatu komunikasi tentang kondisi psikis diri kita sendiri. Sebagai cerminan subLkesadaran manusia modern, yang menjadi subyek utama dalam tradisi seni rupa di Eropa. Patung –patung keramik maupun lukisan Zabetta, yang digelar sebulan, mulai tanggal 7 Oktober hingga 7 November 2006, secara menyeluruh memancarkan intensitasnya yang total dalam penjelajahan materi. Begitupun kemampuannya menyelami potret wajah disini tidak merujuk pada citra seseorang yang benarLbenar ada (real) , tetapi merupakan citra yang mencuat dari dalam mental, suatu jiwa tampak. Memang diakui oleh Zabetta bahwa wajahLwajah itu pernah ada, walaupun terlintas, tetapi sekonyongLkonyong citra itu mencuat otomatis, ketika ia memulai bersentuhan dengan materi. Artikel Media+Massa

199


Dari pameran karya4karya Zabetta, yang bertajuk “ Face Cancel� , ia justru mengambil langkah terbalik, dimana goresan ekspresif , secara otomatis bergerak menuju suatu citra yang representasional.Citra dan wujud bentuk wajah – wajah tanpa keterangan judul, memang bukan bermaksud menceritakan pada kita tentang sesuatu melulu aspek manusia. Tetapi sebagai suatu komunikasi, dialog antara dunia materi dan didalam dirinya yang lain. Ia melihat sisi manusia lewat mata hati yang gusar, lewat suatu watak atau persona psikis. ****

Roberto'Coa Zabetta.'Nero,+2005+ Medium:+cromolux on+canvas+Size:+120+x+120+x+6+cm.

200

Artikel Media+Massa


Sebuah Wacana:# Menyikapi Keterbatasan Infrastruktur Seni Rupa#Indonesia Di#Galeri Nasional+Indonesia+(GNI),+secara bersamaan

dilangsungkan dua peristiwa pameran yang+berbeda.+ Organisasi ruangrupa (ruru)+menyelenggarakan Ok+Video+– Militia+2007,+yang+merupakan festival+video+dua tahunan ketiga,+dibuka dengan sambutan hangat dari khalayak yang+ umumnya kaum muda.+Sehari kemudian gedung utama GNI,+ tepatnya tanggal 12+Juli petang,+Pameran Seni Rupa+Nusantara+ ;+bertajuk Demi+Ma[s]sa diresmikan.+Dengan penyelenggara utama Departemen Kebudayaan dan Parawisata (DKdP),+dan pada hari itu pula+pameran koleksi GNI+dibuka untuk khalayak umum di+gedung sayap kiri.+Menarik sekali untuk membahas kedua pameran ini kedalam pokok soal urgensi pemberdayaan infrastruktur seni rupa kita.+

Artikel ini dipublikasikan di+Majalah Visual+Arts.+2007

Artikel Media+Massa

201


Dalam Ok Video – Militia , di bagian VIDEO IN disertakan karya=karya hasil loka=karya (workshop) dari 15 komunitas di 12 kota seluruh tanah air. Selain Jakarta, Bandung , Jogja , juga melibatkan komunitas dari Cirebon, Banten, Jatiwangi, Manado, Surabaya, Malang, Padang, Pekanbaru. Reza ‘asung’ Afisina , sang koordinatornya dari ruru, mengungkapkan dalam pengantar katalog, bahwa loka=karya ini dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat dengan menggunakan video sebagai ekspresi, alat penyelidikan dan refleksi fenomena sosial. Ruru telah berupaya membuka lebar ruang apresiasi perkembangan media baru video ke komunitas – komunitas yang tersebar, dengan mengadakan kunjungan, penelitian sederhana, dan bekerja sama , berbagi pengetahuan, untuk menunjukan bagaimana teknologi video bisa “berbicara” dalam dimensi ekspresi kelompok maupun individu. Walaupun hasilnya secara kualitas beragam. Tetapi ruru sadar benar penyebaran teknologi video dan piranti lunak dengan mudah didapat , dan digunakan secara umum oleh generasi muda. Seperti juga kamera dijital dan telepon seluler. Pola penyebaran pasar secara global memudahkan akses bagi masyarakat, hingga kota kecil diseluruh nusantara untuk memiliki teknologi tersebut. Maka potensi lain diluar kemampuannya melulu untuk merekam, video maupun media yang berbasis pada teknologi dijital, mempunyai kekuatan tersendiri untuk dijelajahi. Ruru menempatkan posisi yang strategis untuk membangun serta membentuk infrastrukturnya, membawa seni video kedalam kancah dan dinamika perkembangan seni rupa kontemporer. Sekaligus mengisi suatu ruang dalam carut=marut pranata seni rupa Indonesia. Tampak perbedaannya dengan pameran Seni Rupa Nusantara (SRN). Karya=karya dalam pameran ini bertujuan menunjukan perkembangan seni rupa diberbagai wilayah di Indonesia. Melibatkan 81 seniman dari 21 provinsi, yang memamerkan hasil karya yang kebanyakan lukisan dan beberapa patung, instalasi, instalasi,serta video. 202

Artikel Media+Massa


Pameran SRN menghadapkan kita pada keironisan perkembangan. Sejak awal dekade 90?an kita sering mendengar kredo pluralisme yang dijargonkan pengusung posmodernis , yang mengusulkan untuk lebih memperhatikan lokalisme ditengah globalisasi, atau Glokal. Alih?alih bahwa reaksi atas modernitas (dan modernisme) yang membuka jurang yang lebar pada perkembangan seni rupa di tanah air. Persis seperti diungkapkan alm. Sanento Yuliman, yang juga disitir oleh kurator pameran SRN; Rizki A. Zaelani, bahwa modernisme membentuk pandangan serba tunggal dalam memahami perkembangan seni, selain terjadi pemusatan perkembangan. Kenyataan hingga saat ini, pandangan tentang seni rupa modern warisan politik identitas Nasional jaman Soedjojono, hanya dimaknai sebatas seni lukis dan sedikit patung sebagai praktik yang umum dan diakui, serta diserap mekanisme pasar. Diadaptasi kedalam lembaga pendidikan tinggi serta lembaga kebudayaan seni rupa Nasional, yang menyebar diseluruh provinsi, lewat lembaga dewan kesenian atau taman budaya. Pemikiran yang terkandung dalam manifesto nasional kemudian berhadapan dengan penafsiran seseorang yang beragam latar budaya, sosial dan ekonomi. Ditambah dengan sistim pemusatan yang membangun simbol?simbol puncak kebudayaan, praktik seni rupa diwilayah “non pusat ; Jogja, Jakarta, Bandung, Bali” berhadapan dengan ketidak ? merataan dan ketidak berimbangan informasi, atau penyebaran sarana lainnya. Mungkinkah kondisi ini bisa mendorong pencarian “Kebedaan dari Kesamaan” atau “ Kesamaan dari Kebedaan” ? Wakil seniman dari Riau contohnya , dalam acara seminar yang menyertai pameran SRN, mengatakan bahwa untuk memperoleh material kanvas dan cat minyak , mereka harus menempuh jarak 35 kilometer. Dan itupun belum tentu dengan kualitas yang terbaik. Belum lagi masalah apresiasi masyarakat lokal yang sangat terbatas. Sehingga para seniman “daerah” mempunyai masalah mengenai mediasi dan interaksi dengan masyarakatnya. Artikel Media+Massa

203


Apalagi mencoba berinteraksi dengan lembaga – lembaga di wilayah “pusat” perkembangan yang selalu diniscayakan. Saluran@saluran seperti lembaga@lembaga nasional yang ada ternyata tidak mampu memberikan ruang@ruang leluasa pada praktik seni di wilayah lain. Pameran SRN @ yang dirintis oleh kurator dan kritikus Maman Noor @ kemudian hanya menjadi ajang untuk menunjukan keterbelakangan perkembangannya. Jerih payahnya untuk melibatkan praktik SR dari wilayah diluar pusat perkembangan, hanya berupaya untuk “ membahagiakan hati mereka”, atau sekedar berkesempatan bertatap muka dengan khalayak seni rupa pusat, yang penuh basa – basi. Obyektif pameran SRN sesungguhnya melampaui dan harus mempertimbangkan kembali batas Nasional. Karena nusantara terlebih dahulu ada sebelum timbul gagasan nasional. Pada tahap ini harusnya kita kembali pada semangat kebhinekaan, pluralisme, dan lokalitas. Alih@alih bahwa seni lukis dan patung sebagai praktik seni rupa memang ternyata tidak membawa kita pada perkembangan yang membesarkan hati. Sebaliknya hanya meneguhkan modernitas yang timpang, sempit dan miskin penjelajahan. Jika kita kembali melihat apa yang dilakukan para perupa di awal dekade 90@an, atau lebih jauh pada manifesto Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia awal 1970@an. Niscaya disana terkandung semangat untuk membongkar praktik seni lukis dan patung dalam bingkai seni tinggi atau fine art maupun pemusatan seni. Disana terbuka ruang untuk medium marjinal, pemikiran lokal, tradisi bahkan paradigma yang berbeda. Pangkal dari kemunduran ini, bisa jadi menyangkut pemberdayaan infrastruktur, terutama lembaga kesenian negara yang sangat kurang adaptif dan akomodatif terhadap pemikiran@pemikiran mutakhir. Jika saja proyek SRN mengadaptasi apa yang dilakukan ruru untuk lebih aktif turun lapangan. Berinteraksi dengan komunitas kesenian dan melakukan gerakan@gerakan antar disiplin yang kondusif, secara mikro atau makro. Maka mencari kebedaan dari kesamaan dan sebaliknya, bukan hanya pada asumsi tapi pemikiran konstruktif. 204

Artikel Media+Massa


Padahal selama puluhan tahun kita merdeka, ada banyak penelitian dan pencatatan dari para akademisi, antropolog, sosiolog maupun ahli sejarah, berupa skripsi, tesis, yang bersemayam di perpustakaan – perpustakaan yang tersebar atau lembaga>lembaga budaya swadaya. Arsip>arsip ini harusnya bisa menjadi bahan dasar untuk pemikiran mencari kekayaan seni budaya nusantara, bahkan seni rupa modern. Sehingga bagaimana kemudian dimaknai secara kekinian, tentunya butuh keberanian tersendiri secara intelektual. Ada banyak bukti bahwa kesenian etnik atau tradisi juga berkembang ke arah kreatifitas individual, memasukan nilai yang aktual dan kontekstual. Seperti seni topeng Cirebon, Songket Minang, Wayang Sukasman, Batik Daud atau mungkin saja pematung dari pedalaman Papua. Disinilah seni rupa Indonesia membutuhkan peran aktif lembaga negara, dimana memberi dukungan kelembagaan bagi petualangan intelektual para kurator , kelompok peneliti dan senimannya. Atau memang dukungan selalu harus dengan campur tangan bantuan tangan asing atau korporasi, untuk merealisasikannya. Itupun akan lebih baik jika pemerintah ikut serta memikirkannya. ***

Artikel Media+Massa

205


ANTARA+ KENIKMATAN+ DAN+KESAKITAN Pameran tunggal perupa Entang Wiharso bertajuk

“+Inter+– eruption”+,+di+Bentara Budaya Jakarta+mulai Jum’at 8+hingga 17+April+2005+agak istimewa.+Bukan saja menyajikan lukisan – lukisan yang+berukuran cukup besar.+Tetapi juga,+lelaki kelahiran Tegal tahun 1967++ini membuktikan punya semangat gigantik dengan menghadirkan karya – karya instalasinya.+ Sehingga ruangan pameran begitu sesak,+hingga dua karyanya ia tempatkan dihalaman galeri.+

Artikel ini dipublikasikan di+Harian KORAN+ TEMPO+,+April+2005

206

Artikel Media+Massa


Didepan rumah Jawa berdiri sebuah kurungan persegi berbalut kain perban sehingga agak menerawang, masih terlihat jelas gergaji – gergaji besar bergelantungan siap merobek. Puluhan boneka keramik bergelantung dan sebagian lagi berserakan dibawahnya diantara balon – balon berwarna jambon. Pemandangan agak mengenaskan karena keramik itu berbentuk jabang bayi kekuningan. Karya berjudul “ I Love you too Much” ini mungkin lebih mirip ruangan teater. Samar – samar suasana horor itu tampak menjadi tontonan yang terbuka dan mengasyikan. Di dekatnya, dua patung figur lelaki berwarna (juga) jambon duduk diatas tiang sambil saling menarik tali, seolah menjaga keseimbangan. Kepalanya plontos dan mengenakan pakaian seperti Kimono. Mirip dua Samurai dengan perilaku kekanakLkanakan, adegan agak konyol,padahal judulnya sangat menakutkan; “ Sweet Terrorisme”. Di ruang galeri sayap, deretan sosok manusia dengan kepala lilin dan lepas dari tubuh yang posturnya agak gemuk . Sikapnya seperti Budha. Dibawahnya ada keranjang berwarna perak. Semacam orang – orang sucikah? “ Virtual Still Life”, kiranya mengomentari persoalan dunia era – teknologi informasi dan orang – orang ini menjadi “ sulit membumi” , hilang konteks. Sedangkan dilantai atasnya, Entang menghadirkan instalasi taman dengan hamparan rumput yang dipenuhi ratusan bola – bola mata berjudul “Forest Eyes” .Kita membayangkan kehidupan kontemporer tak ada yang luput dari pengamatan sang lain (the other). Alih – alih, globalisasi menjadi rezim kebenaran yang sulit untuk dihindari kedatangannya. Karya – karya Entang bisa jadi merupakan suatu cermin kelelahan sebagian masyarakat dalam memahami persoalan saat ini. Katakanlah persoalan politik dan media massa yang seringkali memproduksi fiksi dari pada fakta untuk suatu keuntungan kelompok tertentu. Tajuk pameran “Inter – Eruption”, dimana bisa diartikan ganda; sebagai “letupan di dalam” atau juga “interupsi”. Saya hanya menebak, bahwa Artikel Media+Massa

207


ada suatu kerisauan dalam diri, walaupun terdengar klise sebagai retorika dari banyak seniman. Dalam teks pernyataannya di dinding galeri ia seolah terus –menerus harus bergulat dengan kondisi kehidupan sosial, politik dan realitas media massa. Lukisannya “Family Tree” memperlihatkan kehidupan pribadi C yang multikultur, interCnation dan hibridaC disatu sisi merupakan gelagat global namun disisi lain masih harus menghadapi nilai – nilai lama yang konservatif. Menggambarkan posisi dirinya sebagai sang lain yang asing. Suatu arketip manusia dari bangsa terjajah. Diruang utama galeri, agak menyolok adalah bangunan rumah berwarna jambon. Bila kita intip lewat pintunya,di dalam karya berjudul “Behind Space” ini maka tampak dua sosok tubuh perempuan telanjang , kepala dibungkus dan tubuhnya digantung tali layaknya adegan fetish dan masochisme dalam dunia pornografi. Ada sorotan video dan semerbak harum dari hamparan bunga dilantainya. Inikah gambaran ruang antara kesakitan dan kenikmatan? Suatu metafora dari kehidupan masyarakat kontemporer seperti juga situasi pribadi Entang. Didepan rumah itu, bergelantungan puluhan sosok putih berkaki perak sedang memegang batok kelapa ditangannya. Wajahnya tak ada yang menampakan ketenangan, semua seperti menahan sakit atau marah. “ Fruit From Exotic Country” menjadi representasi keparadoksan globalisasi dalam lingkup di negara – negara berkembang. Seperti juga lukisan gigantik “ Forbidden Exotic Country” , yang menggambarkan drama dalam panggung kehidupan era C global yang penuh pamrih. Atau “ All about Teddy Bear” , deretan patung perak torso berkepala beruang yang sedang berteriak,yang diletakan seperti tiang menuju altar persembahan. Sesekali Entang memang suka dengan ikonCikon dunia popular. Lainnya adalah lukisan tokoh kartun Bart Simpson yang mati, sedang dibopong oleh seseorang. Kembali suasana menjadi paradoks, antara kenikmatan dan kesakitan terpancar. 208

Artikel Media+Massa


Secara kekaryaan, Entang, walaupun menggunakan beragam media, ia punya khas. Bisa dikatakan ia seorang yang berbasis lukisan dan sangat menggantungkan tekanan emosi yang kaya tekstur . Tetapi pada karya – karya tiga dimensional atau instalasinya pun, tekstur emosi itu masih sangat teraba. Kelebihannya mungkin penjelajahan material yang masih cukup tinggi. Pada pamerannya beberapa waktu lalu di CP Artspace misalnya, ia menggarap patung dengan ukuran cukup besar dari olahan kulit telur. Gabungan craftmanship dengan semangatnya yang gigantik ini memberikan jalan baginya untuk berkomunikasi lewat dimensi dan medium yang variatif dan tak terbatas. Walaupun kadang beberapa hal justru terlalu berlebihan. Tetapi bagaimanapun, karir ayah dari dua anak ini tampaknya masih terus akan bersinar. Selain, ia adalah seorang pekerja keras, Entang juga sepertinya sosok yang terbuka bagi kemungkinan – kemungkinan baru dan haus akan pengalaman. Dan itu jauh lebih penting daripada bakat yang diwarisinya. ***

Artikel Media+Massa

209


Menjalajahi Kesenian dalam Ruang kota Jakarta Sebagai kota terbesar di+Indonesia,+Jakarta+bisa dikatakan

contoh bagi kegagalan pengelolaan dan sekaligus tempat yang+ memberikan kehidupan bagi warganya.+Kesemrawutan penataan kota Jakarta+kontemporer menjadikan warga sulit mengakses wilayahnya yang+semakin melebar dan terpecah – pecah.+Perkembangan kota ini semakin tak teratur ketika negara ini dalam kesulitan ekonomi yang+mengiringi runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru.+Tak dikembangkannya sarana transportasi yang+efektif seperti jaringan kereta dalam kota,+ menyebabkan jalan – jalan raya merupakan cara paling+ memungkinkan untuk masyarakat bepergian.+Jumlah kendaraan pribadi terus melesat dibandingkan dengan pengembangan jalan dan sarana parkir gedung – gedungnya.+

Artkel ini dipublikasikan di+Harian KOMPAS+Minggu,+13+Februari 2005.

210

Artikel Media+Massa


Dalam kehidupan budaya, Jakarta menjadi sasaran utama bagi penetrasi budaya global. Sekarang ini terdapat sejumlah stasiun televisi swasta, radio dan beratus outlet untuk memasarkan berbagai jenis barang konsumsi dari berbagai negara maju berpusat di kota ini. Jakarta adalah sebuah melting pot : kota pertemuan berbagai bangsa dan etnik serta sebagai salah satu kota di Asia yang memiliki kekuatan pasar sejak dahulu. Dari warisannya sebagai pusat kekuatan pasar maupun kekuasaan politik ini, banyak para seniman dari seluruh penjuru wilayah nusantara untuk berkompetisi mendapatkan tempat di masyarakat Jakarta. Karena di kota inilah bercokol para kolektor dan dealer besar, maupun lembaga – lembaga kesenian yang dimiliki swasta atau pemerintah yang penuh gengsi. Walaupun kenyataannya dewasa ini banyak para seniman hengkang, tinggal dan bekerja di kota – kota yang lebih kecil seperti Bandung, Yogyakarta maupun di pulau Bali. Mencari tempat yang tenang dan biaya hidup yang murah agar bisa terus berkarya, tetapi bagaimanapun Jakarta sejak dahulu seperti sudah menjadi “Mekah” bagi medan sosial seni di Indonesia. Di kota inilah tiap seniman mendapatkan “pembaptisan” , mendapatkan sorotan dari para kritikus seni atau media massa yang lebih dari kota manapun juga. Padahal pada masa kolonial tahun 1920 hingga tahun 70Nan, Jakarta, adalah tempat hidup sempurna bagi para bohemian dimana para sastrawan seperti Chairil Anwar menuliskan puisi – puisinya yang imajinatif dan penuh gelora jiwa ataupun para perintis seni modern memulai pameran – pameran hasil karya mereka. Walaupun pada saat itu para seniman harus berkarya dan hidup tanpa infrastruktur yang memadai tetapi cukuplah gedung – gedung peninggalan kolonial yang bertebaran hingga jalan – jalan sempit, kampung – kampung kumuh atau pasar – pasar menjadi ruangNruang kreatif , yang begitu akrab dan bersahabat bagi para seniman. Maka berbagai peristiwa seni yang bersejarahpun dimulai disini. Dari berdirinya PERSAGI hingga kemunculan Gerakan Seni Rupa Baru dekade 70Nan. Artikel Media+Massa

211


Marco Kusumawijaya, seorang kritikus perkotaan mengungkapkan dalam sebuah essay, hidup di kota ini hari – hari terasa demikian singkat, “ tiba – tiba malam, tiba? tiba pagi”. Mengarungi lalu lintas di Jakarta, dihari dan jam sibuk merupakan suatu usaha keras, membuang banyak waktu. Untuk berjalan kaki hampir tak mungkin. Karena selain udara terik serta debu, juga adalah polusi udara yang semakin tinggi dari mesin – mesin mobil, juga sarana untuk pejalan kaki yang minim bahkan seringkali trotoir digunakan untuk fungsi jalan pengendara motor atau tempat aktivitas ekonomi kaum lemah. Jakarta semakin tak akrab bagi golongan terpinggirkan, seperti anak – anak, orang tua, apalagi orang cacat. Hanya sebagian kecil dari kota ini yang masih terasa nyaman untuk dilewati berjalan kaki. Highstreet telah berubah menjadi Highway yang membuat warganya tak lagi bisa merasakan “budaya berkota”. Mulai bulan Juni hingga Agustus yang lalu, saya dan Marco, bersama para arsitek serta seniman visual yang terdiri dari fotografer, grafik designer dan komposer mengadakan serangkaian workshop yang diberi tema “Membayangkan Jakarta”. Proyek yang dilanjuti dengan pameran pada bulan September hingga Oktober ini merupakan proyek bersama yang berusaha menyoroti berbagai persoalan sosial dan budaya mencuat dari aspek arsitektural kota Jakarta. Beberapa arsitek dan seniman berkolaborasi dengan mendekonstruksi ikon – ikon utama kota seperti Bunderan H.I., silang tugu Monumen Nasional hingga distrik bisnis dan perkantoran diporos Jl. Sudirman. Beberapa merepresentasikan opini atas grotesk atau mempertanyakan kembali ruang – ruang kota lewat fotografi, komposisi suara, drawing, proyeksi gubahan data – data lewat video serta obyek – obyek. Lainnya mencoba berinteraksi dengan khalayak dengan menghadirkan kartu – kartu permainan yang dihiasi grafis berbagai simbolisasi aktifitas yang ada dikota ini atau mencoba menawarkan jalur transportasi alternatif. Disinilah tercermin bahwa Jakarta tengah mengalami krisis tata ruang yang membawa banyak persoalan pada perubahan nilai budaya manusianya. 212

Artikel Media+Massa


Apa yang salah dengan perencanaan kota Jakarta ? Bukankah kekusutan kota ini merepresentasikan adanya persoalan mengelola dan merencanakan sebuah kota ? Karena, seperti kata Rosalyn Deutsche, seorang sosiolog perkotaan Amerika : bagaimanapun sebuah kota adalah materialisasi dari masyarakatnya sendiri, alih – alih kota sebagai representasi kultural. Mungkin yang paling terasa mengerikan adalah kota ini telah mengonstruksi pragmatisme dalam benak tiap orang hingga tak ada lagi ruang untuk berimajinasi akan kehidupan yang lebih baik dan bergairah. Arsitek muda, Dewi Susanti melontarkan bahwa telah terjadi ketidakGnyambungan (disjointedness) yang disebabkan oleh faktor aksesibilitas didalam sistim jaringan transportasi kota. Sehingga ia pun merasa sulit untuk keluar dari lingkungan rumahnya. Sepasang ekspatriat yang bekerja untuk Bank Dunia , suatu kali berungkap, bahwa jarang sekali menyempatkan diri ke acara kesenian di Jakarta. Padahal tempat tinggalnya masih di wilayah Kemang yang menjadi pusat bisnis seni . Lagipula mereka selalu disertai supir pribadi kemana mereka pergi. Kurang teraksesnya wilayah – wilayah kota, lama kelamaan telah membentuk “dinding – dinding imajiner” yang mengakibatkan menumpulnya daya jelajah seseorang akan ruang kota. Saya bisa bayangkan bagaimana orang – orang yang mengharuskan bergerak di dalam ruang kota tiap hari, seperti para supir angkutan umum, para kurir, para sales, dsb. Menjadi mahfum bahwa mobil – mobil menjadi ruang – ruang yang dibuat nyaman; ber – AC, lengkap dengan aparat audio dan kadang televisi. Begitupun dengan perlengkapan komunikasi elektronik mutakhir seperti telepon selular multimedia dan laptop hampir dimiliki oleh kaum kelas menengah Jakarta. Kecepatan media komunikasi sekarang telah melampaui tubuh yang justru terasa semakin terbatas bergerak.Telah terjadi kesenjangan antara pengalaman ruang dan waktu, maka masyarakat Jakarta telah Artikel Media+Massa

213


Menjadi mahfum bahwa mobil – mobil menjadi ruang – ruang yang dibuat nyaman; ber – AC, lengkap dengan aparat audio dan kadang televisi. Begitupun dengan perlengkapan komunikasi elektronik mutakhir seperti telepon selular multimedia dan laptop hampir dimiliki oleh kaum kelas menengah Jakarta. Kecepatan media komunikasi sekarang telah melampaui tubuh yang justru terasa semakin terbatas bergerak.Telah terjadi kesenjangan antara pengalaman ruang dan waktu, maka masyarakat Jakarta telah terputus hubungan dengan ruang kota secara sosial dan kultural, antara realitas diri dengan konteksnya. Maka jurang antara kelompok ekonomi semakin melebar tetapi terjuktaposisikan secara visual dalam keseharian di jalan – jalan; setipis kaca mobil. Disini sangat jelas bahwa otoritas kota semakin tak mempedulikan ruang – ruang publik, yang semakin hari semakin menciut. Ruang untuk kebersamaan telah berpindah ke mal – mal yang bertebaran yang tentunya menjanjikan kenyamanan budaya berbelanja, sedang museum – museum tak lagi inspiratif bagi kehidupan orang banyak dan hanya dikunjungi oleh turis, yang itupun, semakin menipis. Perpustakaan begitu terasa membosankan, tak lagi memancarkan mimpi – mimpi masa depan .Taman – taman dan patung kota yang tersisa semakin menakutkan, kaku dan kerontang. Bahkan tempat yang menampung kegiatan kesenian seperti Taman Ismail Marzuki (TIM), hampir pudar keakrabannnya dan kehilangan gaungnya, makin sayup ditelan kesibukan jalan – jalan dan keriuhan mal – mal. Sedang yang lainnya telah punah berganti fungsi. Ruang – ruang budaya menciut, kehilangan khalayak, terfragmentasi, tak bisa mengembangkan diri dan hanya membentuk komunitas – komunitas kecil yang kadang tak saling berhubungan ; disjointed. ruang kota dan semangat egaliter untuk beraktifitas kesenian di Jakarta. Banyak galeri dibangun oleh para pemodal besar maupun menengah hanya untuk kepentingan yang khusus dan kurang mempedulikan kepentingan pemirsa. 214

Artikel Media+Massa


Kalangan seniman muda lebih suka berkumpul di berbagai komunitas yang dibangun para pribadi maupun lembaga non: profit seperti Komunitas Utan Kayu, Studio Hanafi, Oktagon, CCF, Goethe Institut, TIM atau ruangrupa. Kelompok ruangrupa adalah contoh sebuah organisasi yang diinisiasi sekelompok seniman muda Jakarta, yang banyak menyelenggarakan pameran seni yang alternatif atau mediabaru seperti video, program residensi dan pertukaran seniman sejak tahun 2001 yang lalu. Dalam tiap pembukaan acara disana hampir selalu ada pesta hingga larut malam. Tetapi sebenarnya mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa beraktifitas di kota ini memang membutuhkan biaya mahal. Mereka harus menyewa rumah dengan biaya operasional yang tinggi walaupun apa yang dilakukan mereka dikatakan sudah cukup sederhana dibandingkan dengan acara pameran di Kemang. Kartu undangan dan katalog pun kadang harus dikerjakan sendiri untuk mengurangi ongkos. Operasional mereka bergantung dari donor lembaga dari luar negeri. Ade Darmawan , salah seorang pendirinya, pernah mengatakan bahwa masa depan organisasi ini masih sangat riskan bila hanya mengandalkan donor. Agak kontras dengan kesenian di kota kecil seperti Yogya, dimana biaya hidup berlipat murah dan dukungan komunitas kolektor yang cukup besar. Kota Jakarta, sebagai kosmopolitan memang sudah seharusnya memberi ruang yang leluasa kepada kegiatan budaya. Sebaliknya organisasi – organisasi budaya harus lebih aktif melakukan peningkatan strateginya. ***

Artikel Media+Massa

215


SIMULASI) BENDA-BENDA) INILAH pameran tentang seni dunia+benda6benda.+ Pameran diikuti oleh para+seniman dengan beragam latar belakang pendidikan seni,+budaya,+dan generasi:+ pelukis,+pembuat keramik,+pematung,+desainer interior+dan produk maupun para+kriyawan dari Bandung,+Yogyakarta,+Belanda,+dan Bali.+Pameran bertajuk Object+yang+berlangsung di+Fabriek Art+ Project+Bandung,+22+Juni610+Juli 2002,+ini membawa kita pada pemahaman dan pengalaman yang+lebih baru,+baik pada dunia+bendawi maupun praktik seni rupa kontemporer.

Artikel ini dipublikasikan di+Harian KOMPAS+Sabtu,+20+Juli 2002+

216

Artikel Media+Massa


SUNGGULAH menyaksikan pameran ini sekat:sekat kategori dalam dunia seni rupa terasa begitu cair. Tengoklah karya Achadiat Judawinata (kelahiran Cirebon 1942) seorang desainer interior yang kini tengah menggeluti dunia kriya keramik dan kayu. Ia menyuguhkan tiga kreasi kayunya yang semuanya bertarikh tahun 2002. Karyanya Untitled 1 berupa garapan kayu yang ramping, memanjang, bulat, berukuran kurang lebih satu setengah meteran dan runcing di kedua ujungnya mirip perahu kano. Kayunya dibiarkan alami (tanpa warna dan finishing) hanya saja ada cekungan:cekungan memanjang di bagian atas dan bawahnya yang diberi warna merah sehingga tampak kontras. Kedua karyanya, Untitled 2 (berukuran 1,5 meteran) dan Untitled 3 (kira:kira 70 cm) yang berupa garapan bilah kayu mahoni membentuk persegi panjang, pipih dengan cekungan datar mirip nampan. Dengan lapisan (finishing) coklat tua transparan dan masih memperlihatkan urat:urat kayu, karyanya tampak elegan, klasik, alami, dan mencerminkan semangat modern. Ketiga karya lelaki yang juga dosen desain interior FSRD, ITB, ini memancarkan suatu kesadaran akan sifat material dan ketertiban dalam penggarapan di mana keputusan: keputusan artistiknya cukup terkontrol, terukur, sadar ruang, dan proses. Ali Umar, seorang pematung kelahiran Padang Pariaman tahun 1967, lulusan ISI Yogyakarta, menghadirkan deretan benda:benda dari kayu berjudul untitled tahun 2002, dengan berbagai bentuk abstrak, tak beraturan (amorf) dan beragam ukuran. Dengan itu, karya:karyanya mengingatkan kita pada benda:benda pajangan di toko barang:barang seni "primitif", antik, atau peralatan dapur dan kamar mandi. Karya: karya Umar merupakan ungkapan personal terhadap dunia materi yang tumpang tindih antara yang alami, seni, dan pengalaman pada dunia benda sehari:hari (tradisional maupun industri). Dari sana tidak tercermin suatu intensi pada persoalan materi dan teknik membentuk (craftmanship mematung) tetapi pada akumulasi tanda:tanda keseharian. Artikel Media+Massa

217


Hal yang cukup menarik dalam penggunaan material kayu juga tampak pada karya Carola Vooges, perempuan kelahiran Haarlem, Belanda, yang sedang bermukim di Bali. Ia menghadirkan seri karya berjudul Shores, tahun 2002, berupa pahatan bongkah kayu dengan berbagai bentuk, sekilas mirip makhluk pantai: kerang, keong, dan uburEubur. Dengan craftmanship dan sensibilitas penggarapan bentuk yang cukup tinggi, ia menghasilkan bentukEbentuk asosiatif dengan mengutamakan karakter urat kayu secara bersamaan dan seimbang. Manusia (pasca) modern memang punya sejarah, di mana materi bendaE benda di sekelilingnya dimaknai dan ditafsirkan kembali dengan membebaskan takdir dan fungsinya untuk tujuan personal atau hanya memenuhi permainan tandaEtanda. Hal itu tampak, misalnya, seperti pada karya Teten Rohendi yang berjudul Untitle, tahun 2002, yang terdiri dari empat buah lingkaran atau gulungan bilah bambu mirip gulungan pita yang ditempel didinding. Salah satu di antaranya cukup besar, berdiameter setengah meteran. Karya Teten menampakkan bahwa materi alam telah "diperkosa" demi kegilaan pada dunia tanda. Hal yang sama juga terjadi pada karya Yusra Martunus, pematung Yogyakarta, yang menghadirkan dua karya dengan dua jenis bahan berbeda. Karyanya yang berjudul 200012, tahun 2002, berbahan tambang plastik berwarna biru yang dijalin menggumpal diletakkan dipojok sehingga mirip sarang serangga. Satunya berjudul 200112, tahun 2002, berupa "tirai" dari kawat besi yang meliukEliuk, bercat hijau dengan teknik las hingga kadang mirip dengan untaian tali atau tumbuhan rambat. Penggunaan materi hasil industri tampak pada karya Hendriana Werdhaningsih atau biasa dipanggil Henne dengan Untitled, tahun 2002, berupa kursi berbentuk kubus dari bahan fleksiglas transparan. Di bagian dalamnya terdapat jejeran besi seperti paku, disusun geometris, teratur. Karya desainer perempuan lulusan desain produk FSRD, ITB, ini merepresentasikan keajaiban dunia industri, di mana fleksiglas memancarkan sesuatu yang ringan, riskan, ringkih namun kuat, kokoh 218

Artikel Media+Massa


dan fleksibel. Henne memberi keseimbangan visual dengan memadukan bahan metal:penambahan yang mungkin "tak berfungsi" bagi kekuatan struktur dasarnya. Tentu saja karya:karya yang ditampilkan tidak ada tendensi pada maksud yang dikotomis: yang fungsional atau yang bukan. Bukan juga benda seni seperti lukisan atau patung yang mempunyai konotasi dan ideologi yang terlalu kuat dan berlebihan pada dunia makna. Ini adalah seni benda: benda. Mungkin makna bisa muncul dari pancaran tiap benda ketika pengamat menandainya dengan beragam tafsir. Boleh:boleh saja karena benda itu dibuat "seniman" dan ditampilkan di galeri. Tiap benda di sini seperti merepresentasikan "kelelahan simbolik" akan makna ideologisnya, baik sebagai benda seni atau sebagai benda keseharian. Yang muncul mungkin seperti dalam sistem penandaan ala Barthes; suatu "denotasi yang berlebihan" atau "simulasi tanda:tanda" dalam istilah Baudrillard. Hal itu terjelaskan pada karya Handiwirman perupa Yogyakarta yang berjudul Untitled, tahun 2002, berupa kran air berbentuk "T" yang di kedua lubangnya ditempelkan masing:masing sebutir telur asin. Atau karya Nurdian Ichsan yang juga Untitled, tahun 2002, berupa bola berbentuk elips yang dipenuhi mur dari metal. Sedangkan karya Asmudjo Jono Irianto berjudul Super Temporary Objects, tahun 2002, deretan tumbuhan bonsai kaktus, di mana pot dan beberapa batangnya diberi lapisan metalik dikelilingi hamparan serpihan kaca sehingga tampak artifisial dalam kotak kaca. Suatu penikmatan pada dunia yang serba rekayasa, instan, kesementaraan namun penuh kemilau jaman industri. Sementara itu, karya Christo yang berjudul Become Post Human 2 (tahun 2002) tampak menginginkan suatu persoalan dengan menghadirkan benda dari rangkaian barang rongsokan. Mirip mainan anak:anak, dengan dua boneka, susunan gelas, botol, roda dari piringan bekas cakram rem, pegas dengan warna kehitaman menggosong, dan memancarkan citra mesin, pabrik, industri yang Artikel Media+Massa

219


"lelah" beroperasi. Suasana hampir sama ada pada karya Deden Sambas (Untitled, tahun 2002) yang membuat topeng yang mengingatkan tentara dari zaman Romawi, dari bahan aluminium ketok. Di bawahnya sepasang telapak kaki dari kayu dengan kombinasi aluminium sebagai penyangga. Benda alegoris yang penuh mitos. Dunia makna bendaDbenda di dalam keseharian kita di Indonesia tentunya lebih beragam dan paradigmatik. Kita hidup di mana terjadi keberadaan dunia benda dengan berbagai konteksnya; ruang dan waktu, yang hidup secara bersamaan. Hal itu terepresentasi dengan baik oleh karya Hendrawan Riyanto dalam karyanya Daily Object, tahun 2002, berupa dua buah jalinan kantung bambu yang berwarna hitam. Karyanya mengingatkan kita pada keseharian masyarakat desa nelayan di pesisir. Dengan kehadirannya kembali dalam konteks yang berbeda, maka pemaknaan pada benda dan nilai yang melingkarinya terusik. BendaD benda rupanya sudah teridentifikasi (apalagi kalau bukan terideologi atau termitoskan) walaupun Hendrawan berusaha untuk mengombinasikan dengan balonDbalon merah jambu untuk mencoba untuk melawan tafsir sebelumnya. Sedangkan Sofwan, juga seorang desainer, dengan Untitled, tahun 2002, menghadirkan benda persegi yang terdiri dari batuDbatu koral yang selaDselanya diisi kapas, benda yang biasa kita injak menjadi suatu benda mulia. Suatu penghargaan pada halDhal yang terlupakan. Inilah mungkin antologi dunia bendaDbenda dalam era informasi dan konsumsi. Ia punya sistem tata bahasa yang terusDmenerus diubah dan disimulasikan sehingga dari pameran ini kita bisa menyaksikan kehebatan dunia seni kontemporer dalam melebarkan maknanya. Kecairannya dengan kehidupan membuatnya selalu berada di tengah konteks zaman. Bagi seni rupa kontemporer di Tanah Air, dunia seni bendaDbenda (objects) adalah wacana yang hibrid yang menawarkan kebebasan penjelajahan tandaDtanda, suatu simulasi bendaDbenda. Pameran Object ini juga menegosiasikan gejala budaya baru pada 220

Artikel Media+Massa


dunia seni, mengakui yang marginal, seni bawah yang nonseni dan yang bukan seniman. Everything goes! Begitulah teriak seorang teman dari seberang sana agak sinis. ***

Artikel Media+Massa

221


KEGAIRAHAN,TEKS, ACEP,ZAMZAM,NOOR Aku terpejam/Dalam ciuman panjangmu yang3 membara/Seratus gunung dan lembah/Terlayari dalam satu erangan/Dalam kekhusyukan matahari/3Bertawaf tanpa henti

PUISI karya Acep Zamzam+Noor+tahun 1989+ini seakan

menghembuskan ruh pada 30+lukisannya garapan tahun 1990@ an+sampai tahun 2002,+yang+ia pamerkan di+Galeri Adira,+ Bandung,+12+Oktober sampai 12+November.

Artikel ini dipublikasijan di+harian KOMPAS+Sabtu,+02+November+2002+

222

Artikel Media+Massa


HAL itu terutama muncul dari rangkaian karyanya, Bacio I sampai 15, yang ia buat di Kota Perugia, Italia, pada tahun 1992 sampai 1993. Bacio yang artinya ciuman dalam imajinasi Acep bukanlah hanya persentuhan dua mulut biasa tetapi lebih merupakan ungkapan personal tentang suatu gairah yang tak pernah surut dalam bermetafor. Mulai dari penggambaran dua kepala yang saling memakan bibir dengan rakus sampai kemudian berabstraksi membentuk raut yang tak karuan. GarisGgaris muka berantakan, matanya meremGmelek, salah satu mulutnya bahkan menjorokGmonyong membentuk silinder. GoresanG goresan guache yang bercampur dengan arang dan pastel di atas kertas bernuansa warnaGwarni cinta. Dominasi biru dan coklat gelap yang dikombinasikan secara harmonis dengan warna cerah, membara, pada rinci menambah cita rasa suasana penuh kegairahan hidup. Seperti jatuh cinta tiap hari, dalam tiap karyanya ditemukan banyak kejutan yang tak terduga dari dalam perasaan yang sama. Acep yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga santri terkemuka di Cipasung, Tasikmalaya, tahun 1960 kemudian belajar di Jakarta kemudian masuk Fakultas Seni Rupa di ITB tahun 1980. Tujuh tahun ia belajar melukis secara akademis namun secara mengejutkan ia malah dikenal juga sebagai sastrawan muda yang berbakat terutama dalam mencipta puisi. PuisiGpuisinya tersebar di berbagai media massa nasional maupun negeri tetangga, seperti di Manila dan Malaysia, mulai jurnal kebudayaan sampai harian umum. Kumpulan puisinya antara lain dalam Tamparlah Mukaku (1982), Di luar Kata (1996) dan Dongeng dari Negeri Sembako (2001). Ia mendapat berbagai penghargaan dalam bidang sastra, dan seni lukis ia merupakan seniman yang sangat produktif mengikuti berbagai pameran. Acep pernah beberapa kali berpameran tunggal. Ia pernah mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Italia.

Artikel Media+Massa

223


Memandangi lukisan Acep dalam pameran tunggal yang diberi tajuk Wanda ini, terbayang juga rangkaian kata:kata. Lukisannya merupakan puisi yang digambarkan, bahkan, di antaranya juga tampak puisi itu tertulis membaur dalam lukisannya. Lihatlah Jadilah Temanku 1 (2001), Torso (2000), Kasidah Kekosongan (2001), dan Orasi (2001), di mana teks:teks yang tertulis dan tergambar menjadi saling berinteraksi secara bebas dari hubungan:hubungan kausalitas. Kata:kata dan sosok: sosok tubuh, wajah:wajah (yang nyaris tanpa identitas) hadir begitu saja tanpa sejarah yang jelas muncul secara bersamaan di atas kanvas. Saling mewarnai, menghias, dan menguatkan. *** KADANG tafsiran kita terlalu deras ketika ia hanya menampilkan fragmen berupa potongan gambar: benda atau makhluk hidup dan kata: kata. Dalam beberapa karyanya seperti Aku Kini Doa (2000), Api Kebohongan (2002), Hijau (2002), Zwanenburg Blues (1996). Ia seperti memberikan rangsangan bagi pengamat untuk mengurai dan menyusun teks:teks baru dalam kegairahan memaknai, membuat puisinya sendiri yang imajiner. Walaupun secara teliti:dengan berkolase:di beberapa bagian kita bisa menemukan banyak fragmen: fragmen dari berbagai sumber budaya seperti potongan surat kabar, kertas lembaran berhuruf Cina, deretan angka dan lainnya, yang disusun menjadi bagian utuh. Bahkan ketika tanpa kata:kata dalam lukisannya kemudian terasa hanya menjadi kuburan sepi hanya dipenuhi batu nisan tanpa nama:nama. Kata dan rupa telah menyatu dalam dirinya, tanpa bisa dipisahkan, menjadi entitas. Maka tiap karyanya penuh dengan kejutan:kejutan. Kekuatan teks:teks dalam kesadaran Acep menjadi semacam wilayah pertarungan serta pembangunan identitas bagi komunitasnya. Aktivitas artistiknya bahkan lebih jauh telah membawanya pada kesadaran politik. Ia sering melakukan beberapa aksi yang cenderung provokatif, 224

Artikel Media+Massa


seperti menyebarkan spanduk, poster, maupun selebaran, berisi imbauan7 imbauan yang menyindir dan membuat gerah beberapa kelompok agama yang radikal maupun oportunis atau para wakil rakyat yang korup di kotanya. Suatu bentuk autokritik dengan pemanfaatan media yang jarang dilakukan. Di bawah nama komunitasnya: Partai Nurul Sembako (PNS) ia juga membentuk kelompok musik kasidah dengan membawakan syair7syair bernuansa politis yang kebanyakan muncul dari interaksi dalam kehidupan sosial. Dari membaca berita di media massa, nonton televisi, mendengarkan radio, ceramah agama, pengajian, atau dari obrolan sambil minum kopi. Dengan lingkungan santri yang kebanyakan masih beranggapan "miring" dan apriori terhadap dunia seni rupa, Acep tampak seperti seorang pembaharu7bahkan mungkin tampak seperti pemberontak. Ia merupakan seorang santri yang berani membebaskan diri dari kekuatan dan kesadaran komunal. Lihat saja, sekarangpun ia hidup dan berkarya di lingkungan pesantren yang cukup berwibawa di Cipasung. Tak hanya mengelola dan mengajar, lebih jauh Acep telah memberikan pengenalan, pengalaman dan pemahaman kultural pada komunitasnya lewat berbagai kegiatan yang ia telah lakukan bersama dengan para seniman dari kotanya sendiri maupun sekitarnya. Ia telah beberapa kali menggelar teater maupun pertunjukan di lingkungan pesantren yang jarang dilakukan oleh kaum santri di tanah air. Di sinilah seniman bisa lebih punya arti bagi pembangunan mental sebuah komunitas. ***

Artikel Media+Massa

225


LUKISAN,CAHAYA, PARA,PEMBANGKANG, PAMERAN "Subyektif Fotografie Der+Deutsche+Beitrag"+

menyajikan karya?karya foto pasca?Perang Dunia+II+dari sekelompok fotografer Jerman yang+dianggap telah memberikan kontribusi pada dunia+fotografi pada kurun waktu 1948+sampai 1963,+digelar di+Galeri Nasional,+Jakarta,+tanggal 17+sampai 29+Januari 2003.+ Karya?karya mereka berupa fotografi,+fotomontase,+fotogram,+dan lainnya yang+keseluruhan bernuansa hitam?putih dan mencerminkan keberagaman serta pengembangan fotografi.+Itu mereka lakukan melalui eksperimentasi maupun penjelajahan teknik dan medium+serta pengamatan obyek yang+begitu kaya,+ walaupun karya mereka sangat dipengaruhi oleh para+fotografer di+ era+Bauhaus+dan para+"avantgardis"+awal abad 20.

Artikel ini dipublikasikan di+Harian KOMPAS+Sabtu,+08+Februari 2003.+

226

Artikel Media+Massa


Mungkin apa yang kita saksikan dari karya4karya mereka merupakan suatu apropriasi cara pandang dan perupaan seni lukis (pictorial). Contohnya saja beberapa karya Otto Steinert yang berjudul Aggression II (1967), yang menyerupai karya lukis kubistik lewat fotomontase. Paar Diploid (1956/68), cetak negatif yang menyerupai dan mengingatkan kita pada karya4karya pelukis Escher. Ia tak hanya mempraktikkan foto sebagaimana lazimnya tetapi mencoba mencipta lukisan lewat cahaya, seperti pada karya Lampen der Place de la Concorde (1952) dan Spuren auf Schwarz (1954). Sedangkan karya4 karya "foto tanpa kamera" dan "monoprint" atau teknik fotogram didemonstrasikan secara sempurna lewat karya seperti Schebentanz (1948), Verspielter Punkt (1948) dan salah satu karya yang mengalegori lukisan Oskar Schelmmer, berjudul Strenges Ballet, Hommage Ă&#x; Oscar Schelmmer (1949). Selain menghasilkan karya4karya foto non4obyektif yang cenderung abstrak, Steinert juga rupanya tertarik pada obyek manusia, alam maupun arsitektur. Steinert adalah salah satu eksponen penting dari kelompok fotografer subyektif yang menampik adanya kelaziman bahwa fotografi melulu berfungsi merekam dan mereproduksi realitas secara sempurna. Semangat ini diwariskan oleh para Dadais seperti Raoul Hausmann, LĂ&#x;zlž Moholy4Nagy, Herbert Bayer, Man Ray yang sering melakukan eksperimen fotografi dan teknis fotomontase, fotokolase, dan fotogram. Mereka juga meneladan semangat para pionir gerakan seni modern awal abad 20: Bauhaus, yang lari dan menjadi eksil karena dibredel oleh Nazi yang menganggap seni mereka bobrok. Para "simpatisan" muda ini kemudian melanjutkan tradisi avantgarde yang sempat vakum di era Nazi. Steinert kemudian bergabung bersama kelompok "Fotoform" yang terdiri dari Adolf Lazi, Carl Struwe, Heinz Hajek4Halke, Herbert List, dan Marta Hoepffner, di mana sebelum tahun 1933 (pada saat Nazi mulai berkuasa) sudah terjun dalam aktivitas budaya yang lebih bebas.

Artikel Media+Massa

227


Maka kemudian mereka mengadakan serangkaian pameran pada tahun 1951, 1954/55, dan 1958, serta selalu menambah anggotanya. Sebagai para fotografer "muda" yang mendambakan kebebasan kreativitas dalam menjelajahi kemungkinan paling maksimum apa yang bisa diintip dan direkam lewat kamera maupun proses kimiawi kamar gelap tanpa harus dibatasi oleh konvensi, tentunya akan menghasilkan fotoEfoto yang beragam dan kaya eksplorasi artistik. Lihat saja karyaEkarya dari Hoepffner, seperti pada Abstrake Formen im Sand dan Abstrake Formen in der platanenrinde (1938) yang merekam tekstur alami pasir dan batang pohon dengan sensibilitas: pemilihan, komposisi, permainan lindap cahaya, dan kedalaman mengamati obyek seperti para pelukis modern sehingga menghasilkan gambar yang mandiri dan antinarasi. Kita juga bisa lihat hal yang serupa pada karya "lukisan cahaya": Chargesheimer (Spiel, 1950) yang bereksperimen lewat kertas foto, cairan kimia, dan film negatif, Ludwig WindstoÔer (pada Komposition mit Schakkplatten, 1949) yang mengcloseEup rinci keunikan sudut suatu obyek keseharian, mulai dari piringan hitam, pabrik, pantai, dan lainnya. Joachim Lischke (Luminogramm 1, B1, dan 5, 1950) yang mempermainkan pantulan dan bias cahaya dalam tubuh kamera, Toni Schneiders (Abstrake Komposition (Eisblumen, 1952) yang terfokus pada gerak alam dengan pencahayaan yang rendah dan Peter Keetman (LichtpendelESchwingung, 4 seri, 1952) yang merekam gerak cahaya fisiograf sehingga menghasilkan polaEpola geometris yang ritmis seperti halnya seni lukis optis. Kita bisa lihat juga karya Heinz HajekEHalke yang cenderung mencitrakan panorama surealistik, seperti foto yang berjudul Aolsharfe dan Friedhof der Fische. Fotomontase yang apik dan ilusionistik kita bisa amati pada karya Erich Vom Endt pada Gatti: >> Die 2. Existenz des Lagers Tatenberg << (1964) dan Kilian Breier pada Puppe dan Fahrrad (1953). 228

Artikel Media+Massa


Tetapi para fotografer ini tidak saja banyak melakukan sebatas mencipta foto;foto abstrak non;obyektif maupun eksperimentasi teknis yang hanya menghasilkan foto;pictorial. Mereka juga banyak tertarik pada obyek;obyek manusia maupun pemandangan alam. Hanya saja apa yang mereka lihat terasa berbeda dengan para fotografer jurnalistik atau fotoreportase lainnya. Tengoklah dua karya foto Hermann Claasen yang merekam panorama kehancuran Kota Cologne di Jerman pascaperang (Fronleichnamprozession serta Kriegsversehrter auf der bereits passierbaren Hohen StraÔe, 1945), kemuraman pemandangan seorang perempuan tua yang sedang menarik gerobak di gang sempit (Gasse, 1949) karya Siegfried Lauterwasser. Simak pula potret muram dan sepi yang memancar dari wajah seorang tua dalam karya Schneider (Wertende Frau, 1951 dan Ein trister Tag, 1955) yang mengingatkan kita pada subyek kelam karya; karya grafis zaman Weimar. Karya;karya mereka tampaknya juga mengikuti format dan pertimbangan komposisi yang lazim pada karya seni lukis. Hal itu bisa dilihat pada karya Lauterwasser yang lain berjudul: Wahtag/Appenzell bei Schneefall (1951). Foto kerumunan manusia yang sedang diterpa hujan itu tampak lebih menyerupai tekstur di matanya. Sedangkan pada Schilfhale (1950) dan Winterliches Filigran (1951), tetumbuhan di tengah hamparan salju dan batang pohon yang berlapis sebagian putihnya salju, cukup membuat ilusi yang mengingatkan pada kesederhanaan goresan tinta dalam lukisan Cina dan permainan komposisi abstrak ekspresionisnya Pollock. Contoh senada muncul lewat karya foto Adolf Lazi berjudul Selbstbildnis (1950) yang berupa potret diri mengalegori gestur dalam lukisan potret diri pelukis Albrecht D³rer. Sedangkan Monica van Boch merekam pasangan pengantin dalam Brautpaar (1954) yang bernuansa suram dan kabur (blur) mengingatkan pada lukisan fotorealis Gerhard Richter. Artikel Media+Massa

229


Namun, apa yang kelompok subyektif lakukan tidak serta ; merta menolak sepenuhnya fotoreportase. Mereka juga harus menerima kenyataan obyektif, di mana keseharian selalu menjadi magnet yang begitu kuat untuk dilewatkan. Contohnya saja Guide Mangold yang senantiasa terpesona oleh peristiwa di belahan dunia lain, seperti ketika ia merekam sebuah adegan yang menyentuh hubungan anak perempuan dan ayahnya yang buta dan mengidap lepra di India Selatan (Blinder leprakranker mit T§chterchen, 1961). Atau memotret para pesohor dunia dari sudut yang "nakal", seperti pada Konrad Adenauer an seinem 85. Geburtstag (von hinten), tahun 1961 dan John F. Kennedy in Berlin (West), tahun 1963. Hal yang serupa dengan Robert Hþusser pada Unterwegs (1953) yang mengekspos kontras pada subyek dua biarawati yang sedang melintas hutan yang tertutup salju. Atau Stefan Moses yang merekam drama perlawanan masyarakat pada Komunisme Stalin di Budapest , yang boleh dibilang foto;naratif. Moses juga sempat mengabadikan keeksentrikan gestur para tokoh seniman pendahulu lewat potret mereka seperti Otto Dix, Hans Richter, Werner Egk, Boris Blacher, foto pantulan cermin dari wajah Ernst Bloch dan Hans Mayer. Apa yang kita bisa amini dari pameran "Subyektif Fotografie" ini adalah, pertama adalah ihwal di mana fotografi sebagai medium artistic seharusnya lepas dari berbagai pakem yang ketat apalagi ketika ia jatuh pada paham umum menjadi "isme" seperti yang pernah dilakukan oleh Nazi. Kedua, apa yang mereka lakukan sebenarnya untuk mengembalikan kekayaan cara pandang (ways of "Seeing") yang sebenarnya telah diperankan sangat aktif oleh seni lukis modern, yang justru pada awalnya berusaha melarikan diri dari realitas fotografi. Lain kata, kenyataan cara pandang fotografis yang mendominasi di awal abad ke 20 telah menciptakan cara pandang yang satu dimensi dalam masyarakat Eropa pada waktu itu. Mereka menyumbangkan cara melihat dengan keliyanan fotografi yang bisa memberikan arti baru 230

Artikel Media+Massa


pada wajah dunia yang melampaui fakta. Hanya dengan kebebasan dan penghargaan pada individu serta kesubyektifannya, dunia citra telah memberikan kita pengetahuan akan kehidupan yang begitu luas dan tak terbatas. Walaupun untuk itu sikap membangkang selalu harus "menjadi". ***

Artikel Media+Massa

231


ADA$APA$DENGAN$ CINTA$SENIMAN DI mata sekelompok perupa muda,+makna "+cinta "+bisa

lebih beragam dan diungkapkan dengan berbagai cara yang+diluar kebiasaan umum.+Dari+mulai yang+benar=benar menyentuh hati sampai mengandung ledekan.+Ketidak= laziman ini sepertinya telah menggelitik pengelola Gedung+ Dua 8+,+yang+berlokasi di+Kemang Utara+Jakarta+untuk memamerkan karya=karya mereka,+mulai tanggal 14+ sampai 23+Februari yang+lalu,+selain sekaligus untuk ikut merayakan hari "Kasih+Sayang".

Artikel ini dipublikasikan di+Harian KOMPAS+Sabtu,+08+Maret 2003+

232

Artikel Media+Massa


PARA perupa belia yang kebanyakan berasal dari Jakarta dan Bandung, ini menampilkan beragam kecenderungan yang kembali pada tema û tema yang berangkat dari berbagai pengalaman yang paling personal serta penggarapan artistik yang menjelajah. Contoh seperti pada karya Saraswati Dewi Djumaryo, yang diletakkan di ruang terbuka, berjudul Sugary Sugengsare (salt print, mix media tahun 2002) . Karya berukuran raksasa ini terdiri dari 700 modul kanvas berukuran masingû masing 10 cm x 10 cm, yang diselipkan secara teratur sedemikian rupa pada bidang 5 meter x 6 meter. Bila dari kejauhan karya ini tampak membentuk ilusi raut wajah namun ketika didekati modulû modul itu adalah citraanOcitraan foto dalam jejeran huruf yang bermakna: menjadi bait puisi, yang ditransformasikan lewat eksperimentasi teknik cetak garam dengan mengandalkan pencahayaan ultra violet ke atas permukaan kanvas. Bagi Saraswati raut muka, kataûkata maupun citraan foto menyiratkan makna yang dalam lagi intim. Karya ini memang ditujukan untuk mengenang sang ayah, yang direpresentasikan lewat citraan citraan foto danmerupakan kepinganûkepingan kenangan pada sang ayah. Maka, sosok ayah hadir dalam tiap elemen karyanya, walaupun secara ilusif. Tetapi mungkin saja bagi Saraswati, yang belum setahun lulus dari seni lukis di FSRDOITB itu, cinta sang ayah tak tergantikan dan senantiasa selalu hadir dalam bayangO bayang. Berbeda dengan karya Mateus Bondan, yang tanpa judul, mengapropriasi cara para remaja dalam mengaktualisasikan ungkapan tentang cinta. Ia kemudian menciptakan medium untuk mengungkapkan cinta dalam bentuk stikerOstiker berbentuk hati, yang menyediakan kolom isian, sehingga pemirsa bisa menuliskan nama siapa yang akan dituju serta kolom nama pengirim. Stiker itu kemudian harus ditempelkan dalam bidang (juga) berbentuk hati di dinding. Karya O karya interaktif serta apropriatif seperti ini menyiratkan bahwa karyaO karya mereka menginginkan punya daya pikat Artikel Media+Massa

233


tersendiri untuk kalangan muda. Bondan, yang lulusan Institut Kesenian Jakarta, pun seperti ingin menyindir cinta yang dikomodifikasi oleh industri media. Seperti pada karyanya yang lain ia meminjam cara pedagang majalah pinggir jalan, dengan memasang lapak yang dipajangi berbagai majalah kawula muda maupun wanita yang menampilkan temaDtema maupun pernakDpernik sehubungan dengan "Valentine Day". Warna merah muda yang dominan dan teksD teks yang menyolok merepresentasikan adanya keseragaman cara pandang dalam memahami cinta. Lain hal dengan karya Tjoek Widharyoko berjudul Tell Me Something About Love, yang menampilkan apropriasi benda D benda rekreatif dari taman ria. Karya ini berupa dua buah lukisan di atas papan triplek yang berdiri, bergambar sosok dunia komik atau kartun badut kelinci dan lelaki, yang secara proporsi setara dengan tubuh manusia serta bagian wajahnya dibolongi, lazimnya digunakan sebagai wahana untuk foto wisata yang sudah jarang ditemui. Mungkin ia sedang membayangkan suasana percintaan masa lalu sembari meledek seni. Mungkin dari sudut pandang mereka cinta tak melulu ihwal yangberhubungan dengan suasana hati yang riangD gembira maupun kenangan manis. Adakalanya ia muncul dari halDhal yang aneh dan absurd dalam suatu hubungan manusia. Lihatlah karya Puji Siswanti, berupa instalasi di dinding kaca dan di sekatDsekat sekitar ruang, yang berjudul He Said, She Said, berupa patungDpatung figure berukuran mini terbuat dari tanah liat yang dilapisi cat warna perak. PatungDpatung mini tersebut ditempelkan secara tak teratur diselingi oleh tempelan kertas yang diisi oleh kataD kata yang menggambarkan suatu ambang perasaan yang tak menentu, di balik ketegasan dan pendeknya kataĂť kata itu. Yang menarik dari karya perempuan lulusan seni patung FSRDD ITB tahun lalu ini adalah keberanian dalam memecahkan ruang galeri yang bisa dikatakan cukup rumit dengan memanfaatkan rinci ruangan. 234

Artikel Media+Massa


*** SEDANGKAN kebebasan dalam memilih medium tercermin pada karya? karya Dewi Aditya, yang masih terdaftar sebagai mahasiswi tingkat akhir di seni lukis?ITB. Salah satu karyanya menampilkan sebuah gaun putih yang dihiasi oleh sulaman, tempelan berbagai elemen, gambar serta tulisan, disekujurnya. Gaun baginya bisa sebagai medium untuk mengungkapkan rasa cinta pada seseorang. Tak kalah menarik adalah pilihan Ronald Indra yang menampilkan karya?karya berupa selendang dari bahan sutra. Alumnus desain Tekstil?ITB tahun 2002 ini membuat enam helai selendang yang masing?masing berukuran 200 cm x 60 cm, dengan teknik melukis dan dilapisi getah (gutta resist silk painting). Ia menerapkan warna ûwarna kombinasi yang muda dan lembut serta penerapan paternûpatern yang diambil dari struktur huruf?huruf Cina yang bermakna tentang seputar cinta. Hasilnya adalah selendang dengan nuansa kontemporer yang cukup anggun. Nuansa warna cinta yang lain juga terasa pada seri lukisan karya Edward Enrico Harinatta, lelaki asal Bandung yang lulus seni lukis ITB tahun 2002 lalu. Dengan pencitraanûpencitraan sosok figur seperti dari dunia kartun yang didominasi warna pastel, yang selintas lalu cenderung imut?imut, tetapi sesungguhnya citra sosok?sosok itu jauh dari kesan ‘manis’. Lihatlah lebih rinci pada karya berjudul Devil I dan II, cat minyak di atas tiga bidang kanvas berbentuk bundar berdiameter masingûmasing 35 cm dan lainnya 20 cm , di mana dari mulut mereka menjulur lidah yang berduri bertalian dan saling mengikat pada salib. Panorama melankolis yang suram tetapi penuh warna? warni yang lembut dan teknik melukis seperti halnya lukisan Marc Chagal, juga ada pada karya berjudul Jumping Girl, mencitrakan sosok perempuan sedang melompati lingkaran berapi. Karyanya sungguh ironis dalam merepresentasikan pertentangan dunia batin, dalam hal ini terjadi kesejajaran antara yang positif maupun negatif, yang secara rampak ditampakkan seketika. Artikel Media+Massa

235


Yang lain adalah karya Unggul Herlambang, lulusan Trisakti tahun 1998, yang menyuguhkan sebuah instalasi dari empat karya di tengah ruang. Karyanya terdiri dari tiga buah kertas yang digantung yang masingBmasing bergambar cetak saring sepasang manusia sedang berciuman, tikus, dan lainnya, dengan warna mencolok . Dari mereka, yang begitu belia dan masih bersemangat, mungkin bisa kita rasakan suatu ambiguitas dan tegangan dalam memahami suatu makna kehidupan secara personal. Apalagi hirukรปpikuk keseharian yang dijalani,bagi beberapa orang, ternyata telah menyediakan berbagai gagasan artistik maupun estetik. Maka pameran yang bertajuk AH! An Art From The Heart ini juga bisa merepresentasikan gejolak kaum muda dalam mengarungi dunia kesenian. Namun, tentunya bila sebagian dari kita dengan suka rela menyediakan ranahBranah penjelajahannya. ***

236

Artikel Media+Massa


Dari(Whitney(Biennial(2004,(New(York

KEGAIRAHAN( NOSTALGIA(DI( BALIK(PESIMISME( Kota New+York+tak pernah sama setelah peristiwa 11+

September+2001.+Kekhawatiran dan ketakmenentuan arah politik global+terasa masih terus hinggap di+benak tiap orang+yang+lalu lalang di+jalanan,+di+kereta bawah tanah,+stasiun bus,+apalagi di+gedungCgedung pencakar langit,+walaupun tersembunyikan oleh kesibukan,+ keelokan,+dan kegemerlapannya.+Setelah peristiwa di+Madrid+(Maret lalu),+polisi siaga di+tiap kerumunan,+lorongClorong,+dan tamanCtaman,+ memerhatikan dengan saksama,+siang dan malam.

Artikel ini dipublikasikan di+Harian KOMPAS+Minggu,+18+April+2004+

Artikel Media+Massa

237


Simptom ini juga menjalar dalam kehidupan dunia seni. Dalam Whitney Biennial 2004, para kurator harus memberi catatan khusus bahwa peristiwa mengerikan itu seakan menjadi titik puncak krisis politik dan ekonomi global dan berubah menjadi sebuah gelombang besar untuk mengubah wajah seni rupa kontemporer Amerika sekarang. Biennial kali ini menghadirkan 108 seniman dari berbagai generasi (intergenerasi) dan berbagai bangsa yang pernah “dibesarkan� atau menetap di pelosok Amerika Serikat. Mereka ini berasal dari angkatan transisi dari 1960KanK1970Kan seperti Yayoi Kusama, Alex Hay, dan David Hockney. Menyusul kemudian para seniman radikal seperti Marina Abramovic, Mary Kelly, Paul McCarthy, Robert Longo dari 1980Kan. Dari angkatan 1990Kan tampil antara lain Yutaka Sone, Lee Mingwei, dan Elizabeth Peyton. KaryaKkarya mereka yang terdiri dari lukisan, gambar, instalasi, performance, obyek, patung, fotografi, video, film, suara, dan komputer, baik secara individual maupun karya kelompok, memadati galeri lantai 1 sampai 4 Whitney Museum. Bahkan, beberapa karya ditempatkan di atap gedung, toilet, dan di beberapa lokasi di Central Park sebagai koleksi tetap Pemerintah Kota New York. Karya Yayoi Kusama (perupa kelahiran Jepang, 1929) yang ditempatkan di Conservatory Water berupa cerminKcermin berbentuk bola yang mengapung di danau, berjudul Narcissus Garden (2004). Tempat ini, bagi Kusama, sangat bersejarah. Di sana ia pernah melakukan performance telanjang di akhir tahun 1960Kan. Paul McCarthy (lahir 1945) menghadirkan tiga patung sekaligus. Di atap gedung museum sebuah patung abstraksi figur dari bahan balon, sedangkan dua patung lainnya ditempatkan di Central Park sebelah utara, yakni patung serat balon Daddies Bighead (2003) serta Michael Jackson Big Head (MJBH) (2002), di selatannya. Patung perunggu MJBH adalah bentuk abstraksi dari tokoh pop Michael Jackson dan monyet kesayangannya, Bubbles. Dengan ukuran kepala, telapak 238

Artikel Media+Massa


tangan, serta kaki yang membesar dan badan yang mengecil tampaknya sang perupa ingin mengolok:olok figur sang bintang pop secara tolol dan kartun. Karyanya ini didasari oleh patung keramik Jeff Koons, Michael Jackson and Bubbles tahun 1988, yang direpresentasikan dari foto:foto dimedia massa. McCarthy dikenal sebagai seniman tiga generasi yang provokatif, kental dengan kritik, dan radikal, baik dalam bentuk performance, video, maupun patung: patungnya. Karya:karya yang ditampilkan kebanyakan mengindikasikan adanya perubahan, baik dalam praktik seni rupa kontemporer maupun wacana sosial:politik masyarakat yang sedang berlangsung. Katakanlah sejak tahun 1960 dan 1970:an yang sarat kritik, terutama diarahkan kepada media massa, budaya populer maupun persoalan politik. Belum lagi berlimpahnya perkembangan teknologi komunikasi di era 1980:an dan 1990:an. Banyak dari karya:karya itu yang berangkat dari persoalan pesimisme dengan berbasis pada apa yang lazim disebut "strategi apropriasi", yang dianggap sebagai kelanjutan praktik seni dalam era postmodern. Katakanlah seperti karya Elizabeth Peyton (lahir 1965) yang menghadirkan sederetan lukisan dan drawing potret yang kebanyakan subyeknya orang:orang yang dekat secara personal; teman dekat maupun para musisi terkenal dan ‘intim’ dengan kesehariannya melalui foto:foto maupun majalah. Citraan yang ditampilkannya pada kanvas:kanvas mungil itu kadang penuh emosi dengan menerapkan warna: warna kontras dan nyaris na´if. Karyanya merupakan personalisasi dari citraan publik. Bukan tak mungkin kita melihat karya ini meminjam citraan (appropriation) dari karya:karya seniman flamboyan, David Hockney (lahir 1937), yang juga tampil dengan instalasi lukisan cat air yang juga menggambarkan hal serupa; potret orang:orang maupun suasana interior. Artikel Media+Massa

239


Sejumlah perupa muda terinspirasi dan meminjam bentuk karya9karya pendahulu mereka. Contohnya adalah Tom Burr (lahir 1963) atau Mark Handforth (lahir 1969) yang menyajikan instalasi dari benda9 benda keseharian yang mengingatkan pada pendekatan post9 minimalis perupa kampiun macam Sol Lewitt dan Robert Smithson, tetapi tentunya dengan tujuan berbeda. Karya mereka merepresentasikan bagaimana citraan9citraan dari reproduksi telah membentuk struktur bahasa. Dengan itu persoalan keautentikan karya merupakan problem tersendiri yang telah dianggap lumrah, bahkan kadang menghadirkan ruang dan waktu yang berhenti atau alegori seperti suatu de ja vu. Yang lain, seperti karya Sam Durant (lahir 1960) dan Dave Muller (lahir 1964), menampilkan grafis9grafis dengan tipografi popular di tahun 60 dan 709an. Di sini jelas bahwa implosi citraan tidak lagi bisa ditolak maupun dikritik, tetapi menjadi taktik. Perupa seperti Amy Cutler (lahir 1974) atau Fred Tomaselli (lahir 1956) lewat lukisan cat minyak bahkan memanfaatkan aspek nostalgia berasal dari ilustrasi populer awal abad ke920 atau pencitraan zaman Gothic sebagai suatu wahana menciptakan dongeng dan mitos untuk memperbincangkan kondisi masyarakatnya. Karya9karya mereka juga merepresentasikan pemandangan tumpang tindihnya dalam realitas keseharian kita. Di sini juga terjadi suatu proses materialisasi dunia cyberspace yang meriap di sepanjang tahun 19909an. Karya kelompok Assume Vivid Astro Focus adalah sebuah respons pada dunia hiburan populer era digital, dimana mereka berkolaborasi dengan grafikus maupun DJ untuk menampilkan ruangan yang kelap9kelip dan gemuruh musik digital seperti mengajak publik memasuki sebuah pub. Contoh lain adalah karya instalasi ruangan, Virgil Marti (lahir 1962), yang membuat publik merasa gamang dengan menciptakan ruang kaca yang permukaannya bergelombang. Karya Julie Mehretu (lahir 1970) menghadirkan citraan yang cukup rumit dan rinci bidang dan 240

Artikel Media+Massa


garis struktural lewat teknis lukisan dan drawing. Penggunaan unsur suara yang berhubungan dengan budaya musik dalam seni rupa juga semakin lazim. Seperti karya suara digital, Jim O’Rourke (lahir 1969), yang ditempatkan di kamar kecil museum. KaryaJkarya yang menampilkan fotografi yang dokumentatif dan naratif juga begitu dominan, contohnya Roni Horn (lahir 1955), Jack Pierson (lahir 1960), Harrel Fletcher (lahir 1967), atau Katy Grannan (lahir 1969) yang menampilkan instalasi foto dari perjalanan personal mereka. Yang menarik adalah jumlah karya yang berbasis pada keterampilan menggambar (drawing) dengan eksperimen media baru seperti fotografi. Sebutlah itu seperti karya Zak Smith (lahir 1976) yang menampilkan ratusan gambar yang terinspirasi citraan komikJ komik neoJpunk. Tengok pula Ernesto Caivano (lahir 1972) serta Santiago Cucullu (lahir 1969) yang karyanya menghadirkan instalasi drawing dengan sensasi dari gambar teknik maupun komputer. Sungguhlah apa yang terjadi di Whitney menandakan adanya suatu kegairahan di balik pesimisme menghadapi persoalan global. Dari karyaJkarya mereka tampaknya bernostalgia juga merupakan suatu strategi untuk menolak apriori beberapa pengamat bahwa perkembangan seni rupa dunia tengah mengalami kebuntuan sejak kemunculan isu postmodern. Namun, setidaknya secara simultan seni rupa kontemporer memperlihatkan sisiJsisi yang tak pernah kita duga. Seniman secara politis mampu menunjukkan aspekJaspek budaya yang hilang akibat dilupakan maupun dianggap tak penting, walaupun itu harus dikumpulkan dari sisaJsisa masa lalu. Para kurator yang terdiri dari Shamin M Momin, Debra Singer, dan Chrissie Iles sengaja tak mengelompokkan karyaJkarya seniman secara linier, baik periodik, tematik, maupun secara medium. Semua cair seakan menciptakan ruang interaksi yang aktual serta dinamis antara ruangan galeri, karyaJkarya, maupun publiknya. Bahkan, Biennial, yang berlangsung Maret hingga 30 Mei nanti, tak diberi judul yang lazim Artikel Media+Massa

241


untuk memberikan highlight pada peristiwa seperti ini. Dari pengamatan, tercermin pula bagaimanapun tak menentunya ekonomi serta pesimisnya situasi politik=sosial masyarakat di bawah administrasi George W Bush, pemandangan seni rupa kontemporer New York belum menunjukkan kelesuan. Bahkan, pasar maupun komunitas seniman dari pelosok dunia terus berdatangan, baik untuk sementara maupun menetap mengadu nasib. ***

242

Artikel Media+Massa


LEDAKAN,DARI, RANAH,KELABILAN Suasana yang+ingar3bingar dan panas terasa di+Galeri

Tony+Heats,+London.+Pasalnya,+lukisan3lukisan yang+ tergantung di+dalam ruang yang+tak begitu besar memancarkan citra ledakan3ledakan dengan jilatan3 jilatan bunga api yang+dahsyat,+seperti pada penggambaran di+ komik3 komik aksi atau dalam film3film+laga Hollywood.+ Tetapi,+mungkinkah ledakan3ledakan ini seakan membuat orang+tercenung pada persoalan3 persoalan perang atau konflik dunia+saat ini?

Artikel ini dipublikasikan di+Harian KOMPAS+Minggu,+21+Mei+2006+

Artikel Media+Massa

243


Pencipta lukisan itu ternyata seorang perupa Indonesia, ArinDwihartanto, perupa muda asal Bandung. Karya@karya yang dikerjakan antara tahun 2005 hingga awal tahun ini memang sangat berbeda, walaupun masih didominasi dengan warna yang terang, seperti merah, jingga, kuning, yang sesekali dikombinasi dengan warna putih atau hitam. Tetapi, perupa yang baru saja lulus dari studi master di College of Saint Martin Art and Design, London, di Inggris ini terasa minim menggunakan pola garis maupun penggambaran figur manusia, seperti kebiasaannya dahulu. Sekarang, perupa kelahiran Bandung tahun 1978 ini banyak memanfaatkan aspek@aspek formal dalam melukis. Tetapi, tetaplah ada watak yang cukup menonjol, seperti juga ditulis oleh Toni Heats sang pemilik galeri itu, Arin banyak terpengaruh oleh ungkapan gambar komik, film@film fiksi,maupun artistik dalam manga (komik Jepang). Seperti pada karyanya, serial lukisan berjudul Lovebombs 1 dan 2, atau Inside Out 1 dan 2, tahun 2005. Walaupun mengingatkan kita pada suatu suasana dalam film@film laga atau cara penggambaran komik, ledakan@ledakan itu secara teknis lebih cenderung akibat suatu respons dan artikulasi dalam menanggapi tradisi melukis itu sendiri. Kekaryaan Arin, seperti diungkap perupa senior, Sunaryo, yang tak lain ayahandanya, memang menunjukkan perubahan besar secara artistik. Ia tidak lagi berkonsentrasi pada kebiasaannya mengonstruksi citra, tetapijustrumembiarkan unsur alamiah materi membentuk citra itu. Arin membiarkan blobor lelehan cat minyak bercampur air, mengikuti irama di atas permukaan kanvas yang telah diberi genangan air, mengaturnya dengan gerakan agar tak menjadi liar dan kemudian menebal membentuk permukaan tekstur yang dinamis. Penjelajahannya menghasilkan citraan yang spontan, tetapi dengan mengandalkan intuisi dan menjaga faktor "kecelakaan" sehingga kemudian menciptakan efek rupa seperti urat batu marmer dengan 244

Artikel Media+Massa


suatu daya artistik yang besar. Seperti dua karya berjudul Dispatches (1 dan 2), yang selintas seperti jejak asap berwarna keabuan dan berakhir dengan citra pijaran api. Seperti sesuatu benda yang jatuh dari udara menghantam bumi. Kekuatan intuisi Arin dalam mengembangkan segi teknis sehingga memunculkan temaCtema kuat terbukti dalam karya berjudul The Next Big Thing (1 dan 2), yang tampak seperti gulungan awan keabuan, atau Into the Sunset yang memancarkan suasana surreal seperti penggambaran dunia yang khayal. Beberapa citraan karyanya mungkin saja mengingatkan kita pada salah satu karya pelukis bercorak pop legendaris, Roy Lechtenstein. Sedangkan metoda melukis otomatis seperti ini pernah dilakukan oleh perupa Jerman terkemuka, Gerhard Richter, terutama dalam periode abstrak. Ia menemukan spontanitas dalam menjelajahi kemungkinan artistik dari materi cat dan bidang datar. Namun bedanya Richter, tak menjadikannya cara untuk mengonstruksi suatu citra secara representasional. Citra yang dihasilkan Arin lebih digunakan untuk mengundang sensasi pada persepsi pengamat dalam memahami suatu pokok soal. Semangat zaman ini yang membedakan daya artistik seorang perupa. Dalam pameran tunggal yang diberi tajuk Unstable Ground yang berlangsung selama bulan April, beberapa lukisannya berhasil mengundang minat para kolektor di sana. KaryaCkaryanya dihargai 700C 2.500 poundsterling. Apresiasi pasar ini secara langsung bisa berdampak positif pada kariernya. Sang dealer, Tony Heats, menemukan bakat Arin ketika ia berkunjung ke pameran "Open Studio", yang diselenggarakan oleh kampusC kampus seni. Suatu kebiasaan yang lazim di negaraCnegara maju untuk mengundang public seni guna melihat hasil didikan mereka. Bagi parakurator, kritikus, dealer, maupun kolektor, kunjungan ini berarti juga mencari bakatCbakat baru untuk kemudian diorbitkan. Maka, Arin langsung mendapatkan perhatian besar dealer berusia 45 tahunan asal London ini untuk mengundang berpameran tunggal di galeri barunya. Artikel Media+Massa

245


Perkembangan artistik Arin yang lain adalah menjaga keseimbangan pembagian dan permainan bidang serta tekstur yang dihasilkan oleh penumpukan cat serta warna. Hal ini menunjukkan kesadaran lanjut penjelajahannya dalam mencari bahasa rupa, seperti dalam serial The Feast dan In Chamber yang berbentuk gumpalan melingkar cenderung memancarkan suasana menyayat, seperti berkesan warna urat daging. Di sana Arin membiarkan bidang putih dengan keputusan artistik yang tepat. Adapun karya yang masih menampakkan penggambaran figuratif adalah lukisan berjudul i2, seperti kepala dengan kulit mengelupas yang dibentuk dari gumpalan cat yang mengalir dan meliuk serta menumpuk. Pertimbangan penggunaan bidang kanvas membulat juga sangat proporsional dan pas, seperti dalam karya Mad Circle 1. "Saya memang berencana pulang ke Indonesia karena visa sudah habis, tetapi mudahJmudahan kembali lagi ke London," ungkap perupa jebolan FSRD ITB yang pernah menggondol banyak penghargaan dalam bidang kompetisi seni dari beberapa lembaga ini. Ia memang ditawari untuk menjadi salah satu perupa yang mewakili Galeri Tony Heats dalam London Art Fair 2006 mendatang. Sunaryo berkomentar, "Rupanya pameran ini telah mendorong Arin untuk lebih intens berkarya dan tidak cepat segera pulang ke Tanah Air walaupun sudah lulus kuliah." Mungkin saja keputusan Arin memang tepat. Kenyataanya hidup di kota London, walaupun bisa sangat mahal, tetap menjanjikan masa depan untuk seorang perupa muda dalam memantapkan kariernya. Sebagai seniman bertaraf internasional tentunya. ***

246

Artikel Media+Massa


Artikel Media+Massa

247


Seni Rupa+ Kecoh/Mengecoh Salah satu tanda yang+diakui dan lazim dalam praktik seni

rupa modern+adalah meneguhkan subyek individu sang+kreator atau seniman.+Tanda individu ini berkaitan dengan identitas karya=karya mereka,+seperti upaya mencari perwatakan dalam gaya melukis setiap seniman.+Bahkan,+konon S+Sudjojono menganjurkan kepada teman=teman seniman lain+dan para+ muridnya di+Persagi untuk menandatangani kanvas=kanvasnya setelah selesai.+Identitas tersebut masih berlaku hingga saat ini,+terutama dalam praktik seni lukis atau patung.+Bagaimana jika tanda=tanda rujukan diri sang+seniman tersebut tiba=tiba dihilangkan?

Artikel ini dipublikasikan di+Harian KOMPAS+,+ Minggu 25+Maret 2012

248

Artikel Media+Massa


Pameran A Role Play yang berlangsung sampai 17 Maret lalu di Galeri Artsphere, Dharmawangsa Square Citywalk, Jakarta, menarik untuk dicermati karena menampilkan gejala yang tak lazim, mengecoh pemirsa dengan perilaku berkarya yang unik. Sekelompok seniman muda dari Bandung menamakan diri PARALLAB, terdiri dari Tisa Granicia, Wiyoga Muhardanto, R Yuki Agriardi, Yusuf Ismail, Dita Gambiro, Faisal Habibi, Budi Adi Nugroho, Radi Arwinda, dan Albert Yonathan Setiawan. Dalam proyek kali ini, mereka bermain dengan mengalihkan dan menyembunyikan identitas masingSmasing dengan membuat karya orang lain. Tiap anggota membuat karya dengan ciri khas dan materi yang lazim digunakan oleh anggota lain. Contohnya, karya drawing ”The Cavern” yang khas dari R Yuki Agriardi mungkin dibuat oleh Radi Arwinda. Sementara lukisan yang bergaya Arwinda, ”Sugih Attack”, mungkin saja dilukis oleh Yusuf Ismail, dan begitu seterusnya. Publik tak bisa mengetahui siapa membuat karS ya siapa karena di label keteS rangan karya tak ada informasi nama, hanya judul karya, data ukuran, dan material yang digunakan. AlihS alih, pengunjung bisa terkecoh jika hanya mengidentifikasi sebuah karya dengan mengandalkan ciriSciri visual. Sebab, pameran ini adalah sebuah proyek yang menjadikan ritual pameran menjadi bagian dari permainan tandaStanda tersebut sehingga reaksi pengunjung pun dijadikan unsur permainan mereka Kolektif PARALLAB adalah kelompok atau disebut collective yang berdiri dan beraktivitas ketika beS berapa dari mereka masih menjadi mahasiswa di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, sekitar tahun 2007. Proyek mereka beragam, seperti melakukan aksi seni publik dengan membersihkan grafiti yang dibuat para geng motor di dindingSdinding sekitar Kota Bandung. Lalu, tahun 2009, mereka menyelenggarakan A Design Award di Galeri Soemardja, FSRD ITB. Artikel Media+Massa

249


Menurut kurator pameran ini, Mia Maria, PARALLAB adalah kelompok seniman muda yang unik karena masing=masing sebenarnya mempunyai identitas karya yang sangat kuat serta diketahui publik dan pasar seni rupa kontemporer di Tanah Air.Identitas karya seniman dijadikan acuan dalam menilai perkembangan artistik dan estetika,tetapi bagi kelompok ini menjadi tanda=tanda yang dibolak=balik. Terutama terkait dengan komoditas seni rupa, identitas seniman saat ini bertransformasi menjadi branding, di mana sebuah nama kadang jauh lebih dianggap penting, berdaya jual, dibandingkan dengan misalnya realitas karya= nya. Alih= alih, bagaimanapun karyanya tetap jaminan �bagus�, �laku�, adalah nama sang seniman. Namun, gejala inilah kemudian yang menjadi gagasan aksi PARALLAB untuk bereksperimen dengan mempermainkan tanda=tanda identitas sebuah pameran dan karya seni yang dipajang. Tentu banyak pengunjung pameran terjebak, terkecoh, dan tersesat jika tidak benar= benar menyimak dan mencermati seluruh pameran ini karena di ruang pameran ini semua tanda yang dimapankan, dikacaukan, dan serta=merta diruntuhkan. ***

250

Artikel Media+Massa


Refleksi Seni Rupa'Kontemporer Indonesia'di'tahun 2012

GELIAT'SENIMAN' MUDA'DITENGAH' KRISIS'GLOBAL Sejak akhir tahun lalu ,+krisis ekonomi yang+ melanda negara:negara di+Eropa,+menyimpan kekhawatiran tersendiri terhadap dinamika seni rupa di+Indonesia.+Hal+ini tentunya menyangkut pasar seni rupa dunia+yang+ikut menurun.+Maka pada awal tahun 2012+,+ gejala ini dibuktikan dengan menurunnya tingkat harga pasar lukisan terutama dari karya:karya seniman yang+tergolong muda.+

Artikel ini dipublikasikan di+ Majalah DEWI+tahun 2012

Artikel Media+Massa

251


Penurunan ini ditambah dengan adanya “ koreksi “ dari pasar itu sendiri. Penurunan minat kepada karya seni lukis kontemporer sedikit banyak tercermin dari jumlah pameran yang semakin surut, terutama diparuh awal tahun ini. Seiring dengan ditutupnya Jakarta Art District (JAD) di lantai bawah mall Grand Indonesia. Beberapa art fair internasional seperti Hongkong International Art Fair , bulan Mei lalu, hanya diikuti segelintir galeri dari Indonesia. Padahal seni rupa Indonesia membutuhkan ajang promosi yang semakin besar dan global. Mungkin hal ini juga yang menambah lesu seni lukis kontemporernya. Selain dipengaruhi masalah eksternal , masalah kelesuan pasar seni lukis ini juga dibarengi dengan persoalan infrastruktur, selain persoalanJpersoalan dilapangan praktek seninya. Seperti banyak pelukis tidak cukup mampu untuk mengembangkan gagasanJgagasan yang segar dan menonjol. Mereka mayoritas kurang mencermati persoalan konstelasi seni rupa dunia, dan terbawa arus pasar lukisan yang umum. Seniman seperti Eko Nugroho, misalnya. Ia mengembangkan penjelajahan artistiknya melalui melalui mural, bordiran dan kemudian patung – patung atau objek. Pamerannya “TEMOIN HYBRIDE” , di Musee d'Art Moderne Paris, Perancis. awal tahun ini mendapat sambutan cukup baik dari publik , sehingga konon pamerannya diperpanjang beberapa bulan. Sedangkan karya lukisan modern terus meningkat di beberapa lelang. Baik di balai lelang ternama dunia maupun lokal. Walaupun isu mengenai pemalsuan lukisan para maestro modern muncul ditengah perayaan kemunculan museumJmuseum pribadi para kolektor. Pemalsuan lukisan bukan barang baru bagi perkembangan seni di tanah air. Hanya saja kali ini sialnya, menyasar kepada koleksi sang kolektor terkemuka : Oei Hong Djien. Beberapa pakar dan media menduga, bahwa pemalsuan kali ini juga dilakukan oleh orangJorang yang sama, yang terjadi lebih sedekade lalu. Hal ini membuktikan bahwa sindikat pemalsuan lukisan tak benarJbenar hilang dari muka bumi nusantara. 252

Artikel Media+Massa


Pameran tunggal pelukis senior, Srihadi di Museum Art ; 1 (Mon Decor), Jakarta, mungkin sedikit mengobati kekhawatiran ini. Pameran tersebut menghadirkan puluhan karya Srihadi dengan diiringi penerbitan buku kumpulan karyaEkaryanya. Sehingga koleksi dan dokumentasi para pelukis senior yang masih hidup terus dilengkapi , untuk menghindari upaya pemalsuan dimasa depan. Bila kita melihat apa yang terjadi di ArtJog bulan Juli lalu, maka tak mengherankan bahwa trend seni lukis kontemporer tengah melemah. Pada peristiwa ArtJog kebanyakan karyaEkarya yang dipamerkan adalah objek, instalasi dengan medium alternatif lain serta video dan fotografi. Sedangkan pada Bazaar Art Fair pada awal Agustus lalu, beberapa galeri menyatakan bahwa kali ini penjualan karya – karya , terutama lukisan, tidak setinggi tahun sebelumnya. Pada event yang sama , kita juga melihat karyaEkarya yang berbasis tiga dimensional dan karya fotografi dan video semakin diminati publik. Hanya beberapa pelukis kontemporer yang terus berjaya, diantaranya I Nyoman Masriadi, Rudi Mantofani, Agus Suwage, Handiwirman Saputra, Indiguerilla, J. Ariadhitya Pramuhendra, Entang Wiharso, Arin Dwihartanto, Wedhar Riyadi. Bahkan, Pramuhendra pada akhir Agustus lalu, memamerkan karyaEkarya terbarunya di Perrotin gallery di Hongkong. Tentunya ini merupakan kejutan, dimana galeri internasional yang berbasis di Paris itu mulai memperhatikan karyaE karya seniman muda dari Indonesia. KaryaEkarya dengan kecenderungan objek patung, instalasi, video dan fotografi , diminati sekelompok kolektor di Indonesia maupun di Asia Tenggara lainnya. Kecenderungan seni rupa ini mempunyai tempat yang besar di forumEforum seni kontemporer dunia. Seperti Gwangju Biennale , Shanghai Triennale dan lainnya. Pameran seni rupa Indonesia yang dipamerkan di galeri ARNDT dan Michael Janssen di Berlin dan di sebuah museum di negara kecil Leichstenstein, pada pertengahan tahun , banyak menampilkan kecenderungan karya seni Artikel Media+Massa

253


tersebut diatas. Karya5karya dengan kecenderungan tersebut juga banyak dilakukan oleh para seniman yang relatif muda seperti: Yuli Prayitno, Handiwirman, Indieguerilla, Tintin Wulya, Albert Yonathan Setiawan, Wiyoga Muhardanto, Dita Gambiro, Uji Handoko, Leonardiyansyah Allenda, Octora Chan, Angki Purbandono, Wimo Ambala Bayang, Agan Harahap, dan lain sebagainya. Contoh menarik muncul pada pameran tunggal perupa Ade Darmawan di Ark Galerie, akhir September lalu. Perupa yang juga aktif diorganisasi Ruangrupa – Jakarta itu, menampilkan kecenderungan pengumpul benda5benda temuan. Ia mengumpulkan benda5benda tersebut dari pasar loak di sekitar Jakarta, dan kemudian ditata sedemikian rupa, sehingga membentuk narasi dan makna baru. Bagi masyarakat urban, kumpulan benda5benda ini menjadi cerminan kerapuhan struktur masyarakat terhadap pola konsumsi. Pameran di Selasar Sunaryo Art Space , Bandung dengan kolaborasi ayah5anak, Hariadi Suadi dan Radi Arwinda sedikit berbeda. Mereka , selain menggarap karya grafis bersama , juga memamerkan benda5benda koleksi dari rumah mereka ke ruang galeri. Koleksi benda piringan hitam, buku5buku, komik, hingga boneka5boneka mainan (boy's toys) dari tokoh5tokoh komik dan anime Jepang. Hal ini dilakukan untuk menjelaskan struktur konstruksi dari karya5karya mereka berdua selama ini, yang banyak dipengaruhi apa yang mereka kumpulkan. Sedangkan seniman Melati Suryodarmo menghadirkan instalasi, fotografi, diiringi dengan performance yang dilakukannya mulai dari jam 9 pagi hingga 9 malam. Pameran tunggalnya di Lawang Wangi Bandung ini, berjudul I'm A Ghost In My Own House, melibatkan tubuh sang seniman dengan melakukan penghancuran arang yang terhampar memenuhi lantai itu. Performance Melati memperlihatkan kelirisan, dimana tubuh dirinya menjadi terasing dengan lingkungannya, gerakan berulang selama berjam5jam seperti siksaan yang mungkin merefleksikan tubuh manusia urban modern yang 254

Artikel Media+Massa


menjalankan ritualnya setiap hari untuk suatu tujuan yang dibayangkan. Namun jauh didalam dirinya , setiap orang mengalami degradasi spiritual , menjadi lelah bahkan hampa. Lewat karya>karya para seniman dengan penjelajahan medium diluar seni lukis, publik akan lebih merasa dekat dengan berbagai persoalan makna didalam kehidupan. Gejala seni rupa diatas, mungkin akan menarik bagi perkembangan praktek seni rupa kontemporer di masa depan. Tahun 2012 menjadi awal geliat ke arah yang baru , ditengah krisis global. Agenda>agenda seni rupa dikemudian hari akan dihadapi berbagai peristiwa internasional, seperti kesertaan Paviliun Indonesia di Venice Biennale, Art Basel Hongkong dipertengahan tahun depan, Singapore Biennale dan juga didalam negeri , masih dimeriahkan oleh Artjog dan Yogya Biennale paruh kedua tahun 2013. Selain sebelumnya diawali gagasan paviliun Indonesia di Art Stage Singapura, yang baru>baru ini menuai kontroversi. ***

Instalasi J.+A+Pramuhendra di+ARTHK+2011

Artikel Media+Massa

255


KELUH(SETUBUH( NANDANG(GAWE( TUBUH0tubuh itu tampak mengenaskan.+Kurus,+

tulang0tulangnya menyembul dari balik kulit yang+keriput,+ berlendir,+menjijikkan.+Kepalanya botak,+mimik wajahnya seperti menahan rasa+sakit yang+sangat.+Mulutnya yang+ setengah terbuka menyiratkan keinginan untuk berteriak tetapi lidahnya kelu.+Itulah kesan dari karya0karya Nandang Gumelar WS+atau biasa dipanggil Nandang Gawe,+yang+tengah digelar di+Galeri Hidayat,+Bandung, 29+Maret029+April+2002.

Artikel ini dipublikasikan di+Harian KOMPAS+Sabtu,+27+April+2002+

256

Artikel Media+Massa


Pameran tunggal Nandang Gawe yang kedelapan ini diberi judul liris: "Solilokui Atawa Blues Perengkel Jahe" memang temaram, tak sedap dipandang, tak nampak ada keceriaan. Lihat saja ke 20 karya, dari tahun 1998 sampai 2002, yang digelar ini, sama sekali jauh dari estetika keindahan yang umum. KakiLkaki (akrilik, 10 seri, 1998), berupa gambar 10 kaki yang tampak kasar, lusuh, dan kurus. Dengan warnaLwarna redup cenderung gelap kadang dibubuhi garisLgaris kontras dan sapuan warnaLwarna primer menyebar, karya ini mengingatkan kita akan kakiL kaki telanjang dari masyarakat kelas bawah: buruh, kuli, atau kaum gembel di jalanan. Hal serupa muncul pada Lahan Kita Kian Sempit (akrilik, 10 seri, 1998), 10 tubuh yang yang mengkerut, melipat berbagai posisi. Badannya menggigil, telanjang seperti berada dalam ruang yang cukup sempit, dingin, lagi gelap. Itulah pemandangan yang kita bisa temui di "rumahL rumah" kardus yang berdesakan di bahuLbahu sungai yang sempit lagi kotor, di pinggir relLrel kereta di kota besar atau selL sel tahanan. Begitu juga karyanya Balada Baladupak (akrilik, 1998, 10 seri), menyodorkan pemandangan kurang lebih serupa. *** NANDANG memang terkenal garang dalam tiap garapannya. Karyanya yang berjudul Konferensi Kepentingan (akrilik, 2000), menampilkan tubuhLtubuh di balik jeruji seperti sedang berebut sebuah mahkota. Tentu tafsir kita merujuk pada situasi eforia perebutan kekuasaan yang tengah terjadi di dunia politik. Bisa dibilang Nandang Gawe konsisten dalam menampilkan tiap subyek karyanya. Kemiskinan, kekalahan, kebusukan, kecurangan, dan ketidakadilan, merupakan hal dominan bagi lelaki kelahiran Bandung tahun 1970 ini. Keberpihakannya pada sisiLsisi muram kehidupan sudah ia lakukan sejak tahun 1990Lan, ketika ia tergabung di dalam Komunitas Gerbong Bawah Tanah, sekelompok seniman yang dikenal di Bandung karena aksiLaksi Artikel Media+Massa

257


kesenian yang cukup radikal. Nandang lulusan sekolah menengah seni rupa (SMSR) di Yogyakarta dan melanjutkan studinya di jurusan seni rupa pertunjukan STSI, Bandung tahun 1998. Aktivitas artistiknya begitu beragam mulai dari drawing, melukis, happening, performance sampai terlibat beberapa pertunjukan teater. Ia sering berkolaborasi dengan banyak seniman di Bandung maupun Yogyakarta. Begitupun dengan keragaman mediumnya. Nandang suka mencampuradukkan berbagai teknik dan media dalam satu karya, kecenderungan yang sering muncul dalam karyaKkarya seniman muda kontemporer. Untuk karyanya Duka Ini Milik Siapa? (media campur, 2001), ia menempelkan kawatKkawat berduri dalam tiap kotak fragmen di kedua sisi bidang kanvasnya. Ditengahnya tampak tubuh figur yang di kepalanya ditutup sangkar burung. Kawat berduri dan sangkar itu memang menjadi tanda yang terlampau ideologis dan stigmatik, menjadi simbol keangkuhan kekuasaan. *** YANG agak lain adalah Sejumlah Kepala, Sejumlah Soal (2000). Karya ini terdiri dari dua kanvas besar yang berisi kepala dengan berbagai macam bentuk wajah (total 140 wajah), yang diujudkan dengan berbagai teknik: drawing, kolase potongan reproduksi media massa, fotokopi, dengan nuansa agak menyolok. Ada berbagai macam mimik: senyum, tertawa, ketakutan, lucu, menyeringai, lirih, menggoda, sedih, senang, cantik, rusak. Dengan itu Nandang mengamati berbagai macam persoalan manusia lewat raut wajah. Gestur tubuh dalam citraan karya Nandang mungkin juga cermin gerakanKgerakan yang gemar ia lakukan dalam tiap performanceK nya. BerK"perengkel jahe", itulah gerakan tubuh yang banyak dilakukan oleh para seniman muda di kota kembang dekade 1990K an. Dalam pameran ini tubuh adalah jiwaKjiwa. Tubuh bagi Nandang 258

Artikel Media+Massa


seperti yang terlukis pada karya5karya Kathe Kollwitz, Grosz, atau Otto Dix dari zaman Weimar, yang oleh Goenawan Mohamad digambarkan sebagai tubuh yang tidak teratur, sumbang, jelek, penyok, liar, mesum, mengejutkan. Tubuh5tubuh yang menjadi korban yang menanggungkan rasa sakit. Namun tak ada kesunyian, sebaliknya sangat cerewet. Lihat saja dalam tiap karyanya yang berserakan huruf5huruf tersusun menjadi tanda adanya keinginan untuk berteriak namun terbungkam. Yang terdengar hanya erangan, gumam, keluhan kekesalan dan kesumat tak kepalang. Seperti karyanya yang berjudul yang sama dengan tajuk pameran: "Solilokui atawa Blues Perengkel Jahe", tahun 2002, di mana ia menggantungkan tiga lukisan besar dan satu lukisan berukuran 80 x 80 cm ditengah satu ruangan khusus yang sengaja dicat biru tua yang sekelilingnya dituliskan teks5teks. Suasana menjadi riuh dengan rengekan dan jeritan. Tubuh5tubuh pada karya Nandang adalah representasi bio5politik atau biopouvoir dalam istilah Michel Foucault, di mana lewat tubuh manusia, mekanisme jaringan berbagai bentuk kekuasan dijalankan, disimulasikan. Tubuh adalah penjara jiwa, sebuah medan kepentingan, proyek. Maka dalam tubuh5tubuh juga ada berbagai disiplin, kepatuhan sekaligus perlawanan. *** PADA karya Nandang tubuh juga metafor korban5korban berbagai kompetisi kehidupan masyarakat urban. Tubuh5tubuh yang kalah, miskin pengetahuan, lemah, naif, mengiba, cerewet, sekaligus bergantung pada satu kekuasaan. Tubuh yang belum sanggup keluar dari eksistensinya, darah5dagingnya, ideologinya. Hal itu tergambar dalam karyanya Jerat Setubuh Keluh (akrilik, 2001, enam seri). Di sana tampak tubuh lunglai, lelah mencoba keluar dari lilitan tali yang kusut. Nandang juga sengaja menghilangkan identitas seks. Tubuh itu seperti dikebiri, dihukum agar lemah tanpa gairah dan hasrat Artikel Media+Massa

259


hidup. Bila begitu tubuh apa sebenarnya dalam karya Nandang? Orang itu siapa, yang mana? Apakah orang?orang yang ada di jalanan, buruh, petani, atau para aktivis yang hilang? Kita harus tengok karyanya Tragedi Komedi (media campur, 2001). Dua kepala badut yang menakutkan bergentayangan muncul di balik jeruji yang tergembok. Di atas kepala salah satu badut itu diletakan buku berjudul "ideology" sedang yang satunya tengah menggunakan headphone. Dari judulnya saja mengingatkan kita tentang paradoks yang selalu terjadi dalam kehidupan. Karya Nandang ini seperti ingin mencibir kepada kita yang mengamati. Apakah dua badut itu yang ada di balik jeruji atau sebenarnya badut itulah yang sedang tertawa kepada kita yang berada dalam penjara?penjara kehidupan? Tubuh kita sedang diamati sekaligus mengamati. Tubuh itu gambaran sisi gelap jiwa kita dan manusia di mana pun. ***

260

Artikel Media+Massa


Pameran Sejarah/Terpisah

MEMAHAMI/SENI/ RUPA/BANDUNG/ DARI/DUA/ RETROSPEKTIF ISTILAH "Mazhab Bandung"+seakan kembali

mengemuka setelah hamper+setengah abad yang+lalu menjadi perdebatan di+kalangan seniman di+Tanah+Air.+Kita+ masih mengingat kritik pedas Trisno Soemardjo yang+ mempersoalkan lukisanAlukisan para+seniman sekolahan dari Bandung+(baca:+Seni Rupa+ITB)+yang+mengabdi "laboratorium Barat"+dengan mempraktikkan corak lukisan kubisme yang+kurang mencerminkan adanya identitas nasional atau keindonesiaan dalam karyaAkarya mereka.

Artikel ini dipublikasikan di+Harian KOMPAS+Minggu,+08+Agustus 2004+

Artikel Media+Massa

261


Dalam pameran Sejarah Terpisah yang berlangsung di Sanggar Luhur,Bandung, konteks perkembangan seni di Kota Bandung menjadi subyek utama para kuratornya yang terdiri dari Nurdian Ichsan, Dikdik Sayahdikumullah, serta Aminuddin TH Siregar sebagai usaha mendekati persoalan sejarah seni rupa yang lebih kritis terhadap jargon sejarah. Judul itu sendiri terefleksikan dalam cara mempresentasikan karyaG karya dengan memisahkan ruang antara karyaGkarya Sudjana Kerton dalam pameran retrospektif kecil; semulai dari ketika masa revolusi, di akhir 1940Gan, masa di perantauan (Eropa dan Amerika), hingga dekade 1980Gan ketika ia kembali ke Bandung. Di sebelahnya terjejer karyaG karya Retrospektif Seni Rupa Bandung yang terwakili oleh karya 14 seniman Bandung lain dari kurun waktu yang sama hingga sekarang. Yang menarik adalah terjadi gejala yang hampir sama dalam mendekati persoalan perupaan, terutama antara Kerton dan seniman Bandung sezamannya. Contoh karya lukisan cat minyak di atas kanvas berjudul Model Telanjang Kubistis (1951), Main Kelereng (1961), dan Kucing dan Ikan (1960). Itulah karyaGkarya bercorak kubistik yang tergarap apik; garisGgaris terstruktur secara ilusif akibat goresan cat yang cenderung senada yang memotong baik secara diagonal, vertikal, maupun horizontal yang membentuk obyek manusia dan binatang. Bandingkan dengan lukisan kubistik dari Ahmad Sadali, yaitu Ruang Tamu (tahun 1953), Pemandangan di Lembang (1953), serta Menggambar Studi (1954). Atau dengan karya But Mochtar berjudul Gadis Bali dan Gadis Toto (tahun 1957). Sadali dan But Mochtar cenderung menggunakan struktur garis yang lebih tegas dengan menggunakan warna yang lebih kuat di atas nuansa pastel, bahkan menggunakan garis hitam pada karya But sehingga membentuk polaG pola yang dinamis. Karya tiga maestro ini justru menyiratkan kecenderungan penyerapan seni modern Barat, lewat lembagaG lembaga pendidikan, dengan pendekatan analitis pada kenyataan. Artikel Media+Massa

262


obyek3obyek sekitarnya. Hal ini bagi Kerton merupakan pengalaman baru, di mana masa sebelumnya ia banyak menghasilkan sketsa3sketsa suasana masa perang. Karya sketsa bercorak kubisnya pada tahun 1951 menunjukkan pada kita bagaimana kubisme menjadi metode untuk memahami dunia modern. Hal ini juga bisa ditelusuri lewat perkembangan fotografi sebagai media baru yang sangat memengaruhi cara pandang para pelukis di Eropa pada masa itu. Para pelukis mulai kritis melihat benda3benda sekitarnya. Picasso dan Braque, misalnya, pernah mendemonstrasikan kubisme dengan kolase potongan surat kabar atau materi temuan untuk menemukan struktur dasar dari obyek3obyek mereka di atas kanvas. Dari sisi ini corak kubisme ia bisa dianggap sebagai cara atau suatu konstruksi untuk menemukan kembali apa yang disebut realitas obyektif. Namun, bagi Sadali dan But, corak kubis mengantarkan mereka pada pemahaman estetik baru yang tak lain menuju seni abstrak atau menjadi suatu perkembangan estetika secara linier. Lalu realitas macam apa yang ingin dicapai Kerton? Ia pernah berucap, "Kontak dengan Barat telah memberi saya suatu pandangan yang lebih luas dan lebih jelas dalam menghayati dan menganalisis kedudukan saya sebagai seniman." Alam modern yang diperkenalkan pada seniman Indonesia, baik akibat kolonialisme ataupun peziarahan para pribumi ke tanah dinastiknya, tentunya membawa pada kesadaran3 kesadaran yang baru pada praktik seni lukis di tingkat lokal. Seperti juga bagaimana terjadi pergeseran cara melukis pemandangan secara kritis, seperti yang tercermin pada karya Sunaryo dengan Bandung Utara (1974), sang maestro Mochtar Apin yang tak pernah lelah mencari sampai akhir hayatnya dengan Kasmaran di Paris (1968), ataupun dengan karya Kerton berjudul Pasar Mexico (1968) dan Street Scene Amsterdam (1951), serta karya But dan Sadali. Kita bisa bandingkan dengan dua karya pemandangan bercorak Hindia Molek Wahdi Sumanta, yaitu Pemandangan Citatah (1980) dan Sawah Artikel Media+Massa

263


di Belakang Rumah (1976). Kedua karya Wahdi merepresentasikan bagaimana alam ditafsirkan dengan kedekatan yang hampir tanpa jarak sang seniman dengan alam sekitarnya. Wahdi, yang dikenal secara konsisten melukis bergaya naturalistis hingga akhir hayatnya, tak banyak bersentuhan dengan dunia modern secara langsung. Sementara keberjarakan seniman dengan subyeknya sendiri menjadi kesadaran utama dalam praktik seni modern, terutama dalam tradisi pendidikan di Bandung. Kehadiran Wahdi dalam pameran ini menunjukkan bahwa Bandung sebagai suatu konteks perkembangan sejarah seni rupa modern Indonesia mempunyai sisi paradoks. Begitupun bila kita amati karyaJkarya Kerton di masa ketika ia kembali ke Bandung, seperti gambaran keseharian dalam karya berjudul Adu Ayam (1982), Cianjuran (1982), atau Tepi Kali (1986) yang menegaskan adanya kemiripan perkembangan estetik dari corak realisme sosial pascaJLekra yang juga dilakukan oleh Hendra Gunawan dan kawanJ kawan. Kerton yang sejak awal telah aktif dalam gerakan revolusi seperti memang terpisah dari pergumulan ideologis para seniman di Indonesia pascarevolusi. Namun, justru kenyataan "keberjarakan" dengan konteks telah memberikan banyak keuntungan dengan kekayaan bahasa artistiknya yang kreatif. Ia tidak terjebak dalam politik praktis yang cenderung menjadikan seniman berpihak pada suatu corak. Ia berjalan secara mandiri dan merdeka seperti mengingatkan apa yang diuarkan S Soedjojono, " Seni loekis tidak boleh mendengarkan dan menoeroet moraliserendeJmensen atau mendjadi boedak dari partai ini atau partai itoe." Akan tetapi, kemerdekaan yang dianut Kerton tak berarti ia kehilangan semangat nasionalisme atau sebaliknya ideologi nasionalisme tak menjadikannya memandang seni dalam ruang yang terbatas walaupun kemudian ia harus berjalan sendirian. Akibatnya adalah karyaJkarya Kerton tak meredup seiring dengan pergantian zaman. Bahkan, ketika 264

Artikel Media+Massa


realisme muncul kembali terutama di dekade 907 an, karya7karyanya banyak mengilhami para seniman muda seperti Heri Dono dan beberapa seniman Yogya. Di Bandung corak realisme sosial baru dengan karya7karya yang politis menjadi marak, seperti pada karya Tisna Sanjaya yang kali ini memamerkan dua karya lukisnya, Haiku dan Haimu (2004), dan juga karya drawing Isa Perkasa berjudul Issue (2004). Kedua seniman ini menandai adanya perubahan arah pada konotasi "Bandung" sebagai mazhab yang mempraktikkan seni abstrak yang steril dan elitis serta cenderung menghindari tegangan sosial dalam karya7karyanya secara eksplisit yang terbukti kemudian bangkrut. Generasi seniman "Mazhab Bandung" yang didominasi oleh para pengajar dari ITB seolah menjadi bimbang menentukan arah perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu, karya7karya lain dalam pameran Retrospektif Seni Rupa Bandung ini, seperti karya Diyanto, Rini Chairin, Kaboel Suadi, R Tohny Yusuf (alm), Priyanto, T Sutanto, maupun Haryadi Suadi, bisa dipandang memberikan keberagaman perkembangan lanjut setelah "Mazhab Bandung". Hal itu sekaligus menunjukkan adanya kemajemukan penafsiran para seniman Indonesia dalam mengartikulasikan dirinya dalam gerak modernitas secara lokal. Kerton selamat dan terus melenggang. Dengan demikian, pameran Sejarah Terpisah yang berlangsung dari tanggal 30 Juli hingga 30 Agustus 2004 menjadi ruang yang menantang tafsiran kita pada subyek sejarah itu sendiri. Dengan itu sejarah bukanlah sesuatu yang monumental dan tak tergugat, tetapi menjadi ruang permainan yang muncul dari jalinan kuasa antara Barat dan Timur, kolonial dan koloninya, pusat dan pinggiran, pengarang dan pemirsanya. Mampukah kita menemukan irisan7irisan narasi dari oposisi biner yang terlanjur mendarah daging lewat teks7teks berupa karya7karya seniman ini? Bisakah sejarah seni kita membebaskan diri dari kungkungan nilai7nilai yang given ataukah kita malah terjebak dalam permainan imajinasi para kuratornya? *** Artikel Media+Massa

265




Terima Kasih*kepada: Veranika dan keluarga besar WALE,*Orbital*Dago.* Keluarga besar Idris*Effendy* serta Delis*Widya (Alm).* Kepada para*dosen,*Kepada para*seniman. TemanD teman seprofesi:*para*Kurator,* Editor*media*massa,*dan penulis seni lainnya Pengelola Galeri dan Pemilik serta Pengelola Galeri dan Pameran Nawa Tunggal*,*Agustina*Rizky Lupitasari (Kompas).* Dan*yang*tak bisa disebutkan namanya satu persatu



"Kumpulan tulisan Rifky Effendy (Goro) ini mengantarkan pembaca ke suatu periode ketika seni rupa kontemporer Indonesia mengelisahkan perihal distribusi ruang dan waktu, seni dan bukan seni, identitas dan paska identitas, lokal dan global, dan aneka isu lainnya. Kerumitan wacana itu berhasil Goro kisahkan dengan cerdik dan lancar di media cetak. Selain meramaikan dunia kritik seni di media, kumpulan tulisan ini pada dirinya juga mencerminkan kegairahan dan kesuburan penulisan senirupa di tanahair B di suatu masa yang pernah gemilang menjelang tutup dan buka abad baru.� 0 Aminudin TH Siregar, anggota Sarikat Kurator Anticemas, tinggal di Leiden. "Sepengetahun saya tidak ada kurator dan kritikus seni rupa di Indonesia yang bisa lebih cekatan dari "Goro". Ia menulis cepat, merancang pameran apa pun secara kilat, dan belakangan mengelola galeri "orbital" dengan caranya sendiri yang praktis dan ringkas. Pernah ada yang menjulukinya sebagai penulis "lebih cepat dari bayangan". Saya belum membaca ulasanBulasannya di kumpulan ini, selain kalimat pertama pada esai pertama dan kalimat akhir di bab paling belakang. Rupanya sedikit banyak saya ketularan juga dengan cara dia menulis, pengin serba cepat. Tapi cara "Goro" memang tidak bisa ditiru siapa pun, maka cara baca cepat saya pun salah kaprah dan tidak menghasilkan kesimpulan apaBapa. Selamat untuk terbitnya kumpulan ulasanmu, Goro. Terima kasih atas kontribusi kecepatanmu di dunia seni rupa Indonesia yang wacananya berkembang sangat lamban." 0 Hendro Wiyanto Budiman, anggota Sarikat Kurator Anticemas.

270

Artikel Media+Massa


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.