E- Katalog Pameran Tunggal Nesar Eesar The Eternal Waiting

Page 1




The Eternal Waiting Berdasarkan data yang dirilis pada bulan November 2021, UNHCR atau The UN Refugee Agency Indonesia mencatat 13.175 orang pengungsi dan pencari suaka berada di Indonesia. Mereka berasal dari beberapa negara antara lain Afghanistan sebanyak 57%, Somalia sebanyak 10%, Myanmar sebanyak 5%, dan sisanya Iraq, Sudan, dan negara-negara lain. Sayangnya para pengungsi dan pencari suaka tersebut harus menunggu selama bertahun-tahun sampai bisa diberangkatkan ke Negara Ketiga (Third Resettlement Country). Pada tahun 2021, UNHCR Indonesia hanya dapat memberangkatkan 468 orang saja ke Negara Ketiga, atau sekitar 3,55 % dari total pengungsi dan pencari suaka. Sisanya, untuk sementara tinggal tersebar di Jakarta, Aceh, Medan, Tanjung Pinang, Pekanbaru, dan Makassar. Kondisi ini diperparah oleh pandemi Covid-19 yang semakin memperkecil jumlah pemberangkatan, sekaligus memperbesar angka kematian akibat bunuh diri. Mereka terjebak dalam kondisi limbo atau terkatung-katung. Peperangan disinyalir menjadi penyebab nomor satu pengungsian. Buktinya Afghanistan merupakan negara dengan peperangan tanpa akhir, hingga memiliki sebutan “Kuburan Para Penguasa”. Sejarahnya dimulai sejak Alexander Agung menginvasi Afghanistan pada tahun 330 SM, dilanjutkan Genghis Khan dan pasukan Mongolnya, hingga upaya-upaya pasukan Inggris, Uni Soviet, Amerika, bahkan Taliban. Konvensi Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) mendefinisikan mereka, para pengungsi, sebagai “Orang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial dan partai politik tertentu, berada di luar negara kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari negara tersebut”. Para pengungsi ini kehilangan seluruh haknya sebagai warga negara sejak mereka angkat kaki dari negaranya. Di sisi lain, mereka tidak bisa menjadi warga negara Indonesia disebabkan Indonesia bukan Negara Ketiga berdasarkan konvensi tersebut. Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk mensejahterakan mereka. Meskipun begitu pemerintah Indonesia telah menerbitkan PERPRES No.125 Tahun 2016 yang menyatakan kesediaan negara membantu para pengungsi dari luar negeri atas dasar kemanusiaan. Namun bantuan tersebut kadang tidak cukup. Upaya UNHCR untuk memberikan penghidupan yang layak di negara transit ini juga masih jauh dari ideal. Status pengungsian mengucilkan mereka dari hak-hak atas pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Tanpa dokumen dan identitas diri yang sah, para pengungsi dan


pencari suaka sulit mendapatkan pekerjaan. Mereka hidup bergantung dari santunan UNHCR dan donasi. Dalam kondisi demikian, sebetulnya bukan masalah ekonomi yang menjadi momok terbesar mereka, melainkan perasaan ketidak berdayaan mereka sebagai manusia. Para pengungsi ini memiliki keterampilan dan pengetahuan, mendambakan kehidupan sosial yang baik, berkeluarga, mengenyam pendidikan, layaknya seorang warga negara. Tapi mereka tidak berdaya. Apapun yang mereka upayakan, UNHCR tak kunjung mengirim mereka ke Negara Ketiga. Kegamangan dan penantian yang tak tampak ujungnya semakin memicu keputusasaan. Setidaknya, mereka harus menunggu paling cepat delapan tahun sebelum akhirnya diberangkatkan ke Negara Ketiga. Hampir satu dasawarsa waktu mereka terbuang sia-sia, terkatung-katung. Sementara di luar sana, para Warga Negara Indonesia, menjalani kehidupan dengan ideal: tumbuh dewasa, bekerja, berkeluarga, dan menikmati berbagai fasilitas yang disediakan oleh negaranya. Kondisi ini terkadang juga dipersulit oleh masyarakat Indonesia di area sekitar camp pengungsian. Area camp pengungsian seperti di Kalideres, Jakarta Barat, barangkali cukup kondusif. Namun sayangnya di beberapa wilayah Jakarta Barat lainnya terjadi penolakan warga dengan alasan keamanan maupun kesehatan. Stereotip bahwa pengungsi adalah pencuri rupanya masih diyakini oleh sebagian warga di Jakarta Barat. Menggantungkan harapan pada UNHCR untuk mengedukasi masyarakat pun seolah percuma. Faktor penolakan ini turut menambah keputusasaan para pengungsi. Media seperti Kompas dan BBC Indonesia memberitakan setidaknya selama tahun 2019 hingga 2022 ada 13 pengungsi Afghanistan di Indonesia yang mengakhiri hidupnya sendiri. Namun kenyataannya para pencari suaka mencatat bahwa selama tahun 2021 – 2022 telah ada 17 korban bunuh diri. Nesar Ahmad Eesar menyoroti berbagai permasalahan yang dialami oleh saudara-saudaranya baik dari Afghanistan maupun bangsa lain. Ia mencermati sejarah, faktor-faktor penyebab pengungsian, serta problematik mereka. Melalui pameran Eternal Waiting, Nesar secara halus melakukan kritik sekaligus menuturkan kisah-kisah yang dialami para saudaranya, termasuk cerita-cerita yang tidak diekspos oleh media. Karya Eternal Waiting #1 hingga #8 dibuat selama tahun 2021 dan bercerita layaknya silent comic. Setiap karya menampilkan beragam tanda visual yang bisa diceritakan satu-persatu, saling berkaitan dan menjalin sebuah cerita utuh. Rangkaian karya Eternal Waiting dibuat di atas kanvas dengan medium cat minyak, tidak berbeda dengan karya-karya Nesar sebelumnya, tetapi spesial sebagai momentum di mana Ia keluar dari kebiasaan melukis potret. Nesar menggabungkan gaya lukisan realis dan miniature dari dua seniman Afghanistan yaitu GhiasudDin Siah Qalam dan Kamaludin Behzad. Pengaplikasian gaya miniature ini terlihat dari bagaimana Nesar meniadakan bayangan pada setiap indeks gambarnya, peniadaan perspektif, dan penanda waktu. Penggunaan warnanya bervariasi dan menarik. Mengulang lukisan hingga delapan kali pun, Nesar tetap menghasilkan warna yang sama. Gaya ini kemudian dikombinasikan dengan kemahirannya pada


gaya realis, sebagaimana terlihat pada wajah figur-figur manusia dan jin. Pada beberapa bagian Nesar sengaja mengeruk karyanya dengan sisir untuk memberi kesan dramatis. Ide penggabungan gaya tersebut menunjukkan kepiawaian Nesar dalam teknik berkarya, berkat latar belakang pendidikannya. Penuturan kisah Nesar melalui karya-karyanya ini menarik untuk dicermati menggunakan metode bahasa rupa Primadi Tabrani yang berfokus pada Ruang, Waktu, dan Datar. RWD tidak mengenal perspektif, tapi di dalamnya tetap tergambar jarak (ruang) dan momentum (waktu). Peniadaan perspektif memungkinkan setiap indeks disusun berdasarkan urgensinya. Ukuran lebih besar berarti lebih penting, dan dibaca lebih dulu. Ukuran lebih besar juga secara reflek menunjukkan waktu masa sekarang, dan yang lebih kecil terjadi di masa sebelumnya. Pada kasus lukisan Nesar, setiap indeks yang terkandung di dalamnya digambarkan secara unik, sarat makna, dan mewakili fragmen penting kisah sejarah pengungsian Afghanistan. Indeks seperti figur manusia, latar gunung, dan pepohonan ditampilkan di setiap karya, memberi kode bahwa delapan karya Eternal Waiting ini berlatar tokoh dan lokasi yang sama. Keberadaan indeks gunung membagi area atas dan bawah untuk menandai lokasi yang berbeda. Dataran tempat figur pengungsi berada diasumsikan sebagai negara transit, Indonesia, sementara di balik gunung adalah negara asal pengungsi. Nesar tidak menggambar langit biru, matahari, atau bulan untuk mengekspresikan waktu. Ia justru mengulang bentuk awan cina di setiap lukisannya, namun posisinya selalu berpindah. Secara tersirat Nesar ingin menekankan kembali bahwa waktu terus berjalan selama para pengungsi ini menanti. Nesar tidak secara gamblang menyinggung satu kelompok atau negara melainkan menyamarkan beberapa indeks dengan siluet atau warna blok. Siluet tank dan prajurit jelas tergambar sebagai simbol peperangan yang terjadi di Afghanistan, penyebab nomor satu pengungsian. Pada lukisan ke-5 siluet prajurit berubah dari ikon tentara Barat menjadi Timur Tengah, terlihat dari perubahan siluet helm menjadi turban. Figur pria dengan life vest menjadi simbol sang pengungsi, dan adanya gambar karpet bertuliskan UNHCR membuatnya jadi satir. Nesar menggunakan lebih banyak metafora. Di antaranya yang perlu mendapatkan perhatian adalah ikon api pada latar dan pada figur pengungsi, kaligrafi, figur wanita, dan sosok jin yang perlahan-lahan menampakkan dirinya. Sumber inspirasi Nesar menggambar jin tersebut berasal dari karya-karya Siyah Qalam yang menampilkan delapan puluh lukisan jin berdasarkan cerita rakyat Arab. Di sana, jin direpresentasikan sebagai makhluk antromorfik atau memiliki sifat-sifat seperti manusia. Gaya penggambarannya dipengaruhi oleh tradisi artistik Cina, Persia, Turki, atau Mongol. Kitab suci Al-Quran menceritakan jin sebagai makhluk yang tercipta dari api tanpa asap, dan rakyat Arab menggambarkan mereka sebagai sosok yang kerap merasuki tubuh manusia dan mendorong terjadinya perilaku jahat. Tidak ada konsensus global mengenai sosok jin sebenarnya. Setiap bangsa memiliki imajinya masing-masing untuk menggambarkan makhluk ini, termasuk bangsa Indonesia. Namun Nesar menyadari, ada simbol-simbol jin yang dipercaya oleh hampir seluruh bangsa yaitu bertubuh manusia namun berwa-


jah binatang, serta memiliki tanduk dan ekor. Penggambaran seperti ini sekaligus menyiratkan bahwa jin dan manusia sangat dekat, sama-sama bisa berkelakuan jahat. Seperti iblis. Bagi Nesar, kaum perempuan Afghanistan merupakan golongan yang paling menderita akibat pemerintahan Taliban. Mereka dikecualikan dari bidang sosial, ekonomi, dan politik. Mereka juga direpresi hak-haknya, seperti tidak boleh bekerja, tidak boleh bepergian sendiri, diatur cara berpakaiannya, serta dibatasi kebebasannya untuk berekspresi dan berserikat. Figur perempuan pada lukisan Nesar menyoroti bagaimana perempuan Afghanistan memprotes tekanan-tekanan tersebut, khususnya ketika dicabut hak mereka atas pendidikan. Nesar menggarisbawahi ironi yang dilakukan Taliban: berjanji menjalankan Islam sesuai syariat namun dengan mudahnya mengambil hak-hak perempuan yang justru seharusnya dimuliakan dalam Islam. Ia juga mengkritisi kinerja UNHCR sebagai lembaga di bawah United Nations yang dinilai tidak kompeten dalam menyelesaikan permasalahan pengungsi. Mereka membatasi gerak para pengungsi, membuat mereka menunggu, sembari tetap tidak menghasilkan kemajuan andimistrasi dan justru terus menggantungkan harapan para pengungsi. Kondisi ini terlalu aneh bagi Nesar, seolah-olah para pengungsi ini memang sengaja “dipelihara” untuk keuntungan suatu oknum. Kecurigaan ini Nesar tuangkan ke dalam figur jin yang Ia sebut Dew (iblis), yang secara tersurat melakukan pengintaian dan menikmati pemandangan keputusasaan para pengungsi sementara dirinya hidup makmur bergelimang harta. Narasi seperti ini tidak pernah diungkap oleh media, atau, disembunyikan dengan begitu rapi oleh para oknumnya. Penyiksaan mental seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh satu kelompok saja, melainkan mengakar pada berbagai “pemangku kepentingan”. Memahami kondisi ini, rasanya jadi wajar jika banyak pengungsi yang lelah dan memilih untuk mengakhiri hidupnya. Tiada lagi harapan bagi mereka, ketika pihak-pihak yang paling mereka andalkan justru tidak memanusiakan mereka. Permasalahan pengungsi tidak akan berakhir selama peperangan masih terjadi. Luka yang ditimbulkan terlalu dalam. Para pegungsi keluar dari negaranya dengan harapan dan pengorbanan yang begitu besar, namun yang terjadi adalah keluar kandang harimau masuk mulut buaya. Fanatisme suku dan kebangsaan sama mengerikannya. Ini seperti perang saudara yang notabene rawan sekali terjadi, bahkan bisa dan tidak mustahil menimpa rakyat Indonesia. Melalui karya-karyanya, Nesar berupaya menyadarkan kita bahwa pengungsian ini adalah masalah besar yang patut mendapat perhatian lebih. Pameran Eternal Waiting mempertunjukkan daya guna Nesar sebagai seorang seniman. Tidak hanya sebagai pemuas estetik, tetapi juga berkontribusi mengungkap realita, memberi penyadaran, serta mengupayakan perubahan. Sembilan lukisan dan enam sketsa sekaligus mengajak kita menyelami makna sebuah penantian. Aktivitas menanti terjadi karena adanya harapan yang dituju, yang akan datang. Namun jika kenyataannya penantian ini abadi, maka apa yang masih bisa dihara-


pkan? Eternal Waiting menjadi alegori yang tepat menggambarkan bahwa permasalahan peperangan, pengungsian, dan HAM ini adalah masalah kita bersama untuk kita hayati dan cegah bersama. Diaz Ramadhansyah, Kurator Pameran















The Eternal Waiting


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.