Melacak Jejak Menuju Waktu

Page 1

PAMERAN BERSAMA

NI KETUT AYU SRI WARDANI - ERLAND SIBUEA ORBITAL DAGO (BANDUNG) JULI 2018


Katalog ini disiapkan untuk melengkapi pameran “MELACAK JEJAK, MENUJU WAKTU” Pameran bersama Ni Ketut Ayu Sri Wardani dan Erland Sibuea Galeri ORBITAL DAGO (Bandung) 23 Juni - 1 Juli 2018 Seniman

: Ni Ketut Ayu Sri Wardani Erland Sibuea (alm)

Kurator : Rizki A. Zaelani Konsultan Pameran : Rifky Effendi Desain Katalog Digital Katalog Cetak

: Tatang Abdullah : http://bit.ly/2Kimpsf : GLOYA - Indonesia

Pameran ini didukung oleh: Alumni Institut Teknologi Bandung (Angkatan 1986)






Daftar Isi Sambutan Alumni........................................................................................................... 1 Kuratorial........................................................................................................................ 3 Karya Erlan Sibuea.......................................................................................................... 9 Karya Ayu Sri Wardani.................................................................................................... 41 Biodata............................................................................................................................ 49 Ucapan Terima Kasih...................................................................................................... 54



Sambutan Alumni

Institut Teknologi Bandung Angkatan 1986

Assalaamualikum, wr.wb Salam sejahtera untuk kita semua Pameran “Melacak Jejak, Menuju Waktu” - Ni Ketut Ayu Sri Wardani dan Erland Sibuea ini merupakan sebuah kesempatan sekaligus juga peringatan mengenai pentingnya nilai-nilai kebersamaan. Bagi Ayu berpameran semacam ini adalah sebuah orientasi yang telah ia kenal sejak memasuki ITB tahun 1986, dan mungkin justru adalah hal yang tak terpikirkan oleh Erland. Sejarah perjalanan hidup mereka menjelaskan bahwa apapun bisa terjadi melalui Kuasa dan Kehendak-Nya, termasuk juga kepulangan Erland kepada-Nya di tahun 2016. Sembari membesarkan dua anak perempuan mereka, di Denpasar Bali, Erland belajar dan bekembang menjadi seorang ‘seniman’ yang mengerjakan karya-karya sketsa secara intens serta luar biasa. Pameran kali ini adalah juga bagian dari upaya teman-teman Erland dan Ayu di ITB (Angkatan 1986) untuk mendukung rencana yang pernah mereka pikirkan sebelumnya. Pameran “Melacak Jejak, Menuju Waktu” menghadirkan karya-karya sketsa Erland yang didampingi oleh lukisan-lukisan Ayu. Kita tentu bisa melihat perbedaan diantara keduanya, tapi juga penting bagi kita untuk menyadari kesatuan dari perbedaan tersebut. Sketsasketsa Erland yang kini telah terkumpul melebihi 4000 karya menunjukkan komitmen yang begitu jelas dari dirinya untuk mengembangkan potensi serta visi kemajuan yang telah dibentuknya. Sementara bagi Ayu, pameran ini bisa dianggap sebagai sebuah sambutan untuk segera memulai langkah baru sebagai pelukis perempuan yang diharapkan oleh 1


perekembangan seni rupa Indonesia (jika sebelumnya Ayu lebih banyak mendukung Erland dan membesarkan anak-anak mereka). Semoga pameran memberikan dorongan yang berharga bagi kita semua agar selalu mengingat bahwa setiap keberhasilan akan terwujudkan melalui komitmen dan kerja keras yang sesungguhnya. Erland telah memberikan contoh teladan tersebut kepada kita semua. Teman-teman ITB Angkatan 1986 akan terus mendung Ayu beserta keluarga untuk terus bekerja menghidupkan dan mengembangkan visi kemajuan yang telah dimulai oleh Erland. Lebih jauh, semoga pameran ini bisa memberikan manfaat serta menghidupkan inpirasi bagi para seniman muda di Indonesia untuk tetap bekerja keras dan mengembangkan kemajuan seni rupa Indonesia yang kaya serta beragam. Terima kasih Wassalaamualaikum, wr.wb Atas nama Alumni ITB Angkatan 1986

Abdul Sobur

2


Kuratorial Seekor burung yang bertengger di gunung itu dan kemudian terbang dan pergi Adakah yang bertambah atau berkurang dari gunung itu? —Jalaluddin Rumi

Judul ‘Melacak Jejak, Menuju Waktu’ boleh juga bermakna sebagai ‘melacak jejak waktu’, atau ‘menuju jejak waktu.’ Jejak waktu pada kenyataannya adalah bayangan dari bayangan, karena waktu itu sendiri adalah bayangan. Manusia sering kali berfikir mampu menaklukan waktu, membujuknya hingga bisa mengatur dan menguasainya. Ilmu pengetahuan dan teknologi tak pernah jemu berusaha menjadikan waktu sebagai ukuran sekaligus kendali, membaginya jadi satuan, atau merumuskannya dalam bentuk satuan yang diimajinasikan dapat bernilai tepat dan benar. Namun, sesungguhnya, waktu adalah bayangan tentang Yang-lain; bayangan yang ‘hanya’ mengarahkan seseorang pada petunjuk tentang pengenalan, pemahaman, atau ingatan mengenai sesuatu atau seseorang yang lain. Waktu mengingatkan seseorang bahwa dirinya, juga orang lain yang ia kenal, pahami, atau ingat, bahkan segala sesuatu yang diketahui dan tidak diketahuinya sesungguhnya akan selalu berubah. Semua hal tidak tetap dan waktu mengingatkan pada hal itu. Soal ‘melacak jejak, menuju waktu,’ pada prakteknya, mungkin adalah perkara seseorang menuju pada kesadaran tentang perubahan dan ketidak-tetapan. Tema itu, saya rasa, relevan serta tepat untuk membicarakan pengalaman waktu yang dilalui oleh Ayu dan Erland. Erland Sibuea, lahir di Tanjung Morawa tahun 1967 (wafat 9 November tahun 2016), punya cara tersendiri untuk menyusuri waktu. Ia adalah sarjana lulusan Teknik Industri - Institut Teknologi Bandung (Angkatan 1986) yang kemudian memilih dan memutuskan jalan yang tidak umum (khususnya bagi kawan-kawan di lingkungan belajarnya yang formal) untuk menyusuri hidup serta pemahamannya mengenai perjalanan waktu. Sempat bekerja sebagai seorang insinyur di perusahaan nasional industri pesawat terbang (IPTN), Sibuea akhirnya 3


kemudian memutuskan untuk terlibat lebih jauh dalam pengalaman seni. Kegemaran dirinya membuat coretan gambar akhirnya mendorong Erland Sibuea menyusuri jejak-jejak pengalaman khas yang tak pernah ia diskusikan dan pelajari secara khusus di kampus tempat ia belajar sebelumnya. Perjalanan dari pengalaman dirinya yang intens mengerjakan karyakarya sketsa membawanya pada cakrawala cara pemahaman yang lain, dan ia pun berhasil mengumpulkan sebagian hasil kerja kerasnya menjadi buku-buku karya sketsa yang penting dengan tema-tema yang khusus. Dalam perkembangan seni rupa, praktek membuat gambar sketsa adalah soal yang lumrah bahkan dianggap sebagai kecakapan dasar agar mampu mengenal dan menangkap problemproblem penciptaan karya seni rupa. Sebuah gambar sketsa tidak hanya dikerjakan oleh sorang pelukis saja, misalnya, tapi juga para pematung, seniman grafis, atau bahkan para desainer. Gambar sketsa bisa tentang subject matter bagi sebuah karya secara keseluruhan, bisa juga tentang bagian-bagiannya, atau mengenai pokok-pokok perhatian tertentu yang hendak dicatat atau diingat secara khusus oleh seorang seniman atau perancang. Pendek kata, meski adalah sebuah gambar sketsa memang lebih berkaitan dengan soal ‘cara’ tanggap atau tangkap bahkan menujukkan lingkup pikiran mengenai sesuatu yang hendak diapresiasi. Para pelukis sering kali mengerjakan ulang sketsa-sketsa yang dikerjakan secara terpisah sebelumnya pada bidang kanvasnya, dan menganggap gambar sketsa sebagai tahapan atau media bantu untuk memulai penyelesaian karya lukisannya. Namun kini, para seniman juga umum mendorong lebih jauh pratek mengerjakan sktesa itu menjadi suatu ekspresi karya yang utuh dan mandiri—karya-karya semacam ini kemudian disebut sebagai ekspresi ‘seni gambar’ (drawing). Penting untuk dikenal bahwa, sebuah ekspresi karya seni rupa tak ditentukan oleh besaran ukuran fisiknya, juga tidak hanya ditetapkan oleh medium (alat dan bahan) yang digunakannya, melainkan lebih ditentukan oleh intensi sang seniman yang menciptakannya. Tak sedikit gagasan karya seni rupa dikerjakan pada medium kertas dengan alat-alat yang ‘sederhana’ serta konvensional namun tetap menjadi tanda catatan perkembangan seni rupa yang penting. Meski demikian, bukan berarti medium dan alat tak jadi persoalan penting dalam pembicaraan seni rupa, karena justru yang berlaku adalah sebaliknya. Karakter dari jenis-jenis medium dan alat yang digunakan seorang seniman untuk berkarya sering kali menghasilkan karakter karya yang khas dan dianggap khusus. Latar belakang pendidikan Erland Sibuea di lingkungan sains dan managemen teknologi menghasilkan sudut pandang artistik yang tidak sama persis dengan kebiasaan para seniman 4


yang tumbuh di kalangan komunitas seni. Kepekaan dan simpati Erland terhadap berbagai gejala keindahan (khususnya, terhadap alam dan lingkungan) juga dirangkai melalui ketajaman renungan pemikirannya terhadap berbagai persoalan sosial dan lingkungan yang tengah berlangsung. Ia tak hanya membuat gambar —tentang lingkungan alam dan manusia— tapi juga terlibat memikirkannya. Gambar-gambar sketsa Erland tak hanya soal kepekaan persepsi tapi juga soal kemampuan inferensi —yang melibatkan analisa dan pertimbangan nalar. Erland selalu membawa serta, ke mana-mana, alat gambar dan kertas; dan ia akan segera bekerja (berkarya) sesaat ia menemukan perhatian dan masalah yang jadi subjet matter karya-karya sketsanya. Tak jarang dorongan perhatian itu muncul disebabkan penampakkan nilai-nilai keindahan dan harmoni yang ia cerap secara personal; namun juga sering disaat yang lain, pertimbangan pemikirannya tentang berbagai gejala perubahan sosial dan lingkungan alam mendahului dorongannya untuk menggambar. Mengerjakan karya-karya sketsa, bagi Erland, bisa dipahami sebagai cara dirinya untuk terlibat dan berkontribusi ‘menjawab’ berbagai persoalan. Ribuan hasil sketsa yang telah dikerjakan Erland menunjukkan intensitas dari cara ditinya yang khas untuk menemukan, memilih, dan menggali sudut pandang persoalan alam, lingkungan, serta manusia yang terus berubah seiring perjalanan waktu. Pendek kata, Erland tak hanya terus berkomitmen menyatakan apa yang ia rasakan tapi juga mengungkapkan yang ia pikirkan. Kini, sepeninggal Erland, karya-karya sketsa yang dikerjakannya itu, di hadapan kita, meninggalkan jejak-jejak pengalaman yang menarik serta penting. Pameran sketsa-sketsa Erland ini didampingi karya-karya Ni Ketut Ayu Sri Wardani, alumni lulusan seni rupa ITB (studio lukis, angkatan 1986) yang untuk kesempatan pameran ini dipersiapkan secara khusus. Ni Ketut Ayu Sri Wardani adalah sosok yang penting bagi Sibuea; bukan sekedar teman satu angkatan di ITB, ia adalah juga sahabat debat dan diskusi—bahkan setelah keduanya menikah dan dikaruniai dua orang anak perempuan—, jadi seorang ‘tutor’ bagi Sibuea dalam menjelajahi pengalaman seni dan dunia artistik. Kecenderungan lukisan-lukisan Ayu condong bercorak ekspresionistik, umumnya menunjukkan kecenderungan pendekatan abstrak-figuratif yang sarat dengan gubahan tema-tema penderitaan dan pengorbanan manusia—Ayu menyebut kredo ekspresi seninya ini sebagai persoalan ‘via Dolorosa.’ Ditilik dari medium dan teknik pengerjaannya, jelas, lukisan-lukisan Ayu Wardani berwatak beda dengan karya-karya sketsa Erland Sibuea. Sebagaimana umumnya lukisan ekspresionistik, karya-karya Ayu cenderung memiliki sifat kedalaman ruang dan ketebalan permukaan bidang gambar; pun menempatkan pentingnya permainan intensitas warna-warna yang dihasilkan melalui teknik pencampuran medium 5


cat (cat minyak atau akrilik) serta teknik pembentukan tangan yang khas (dengan alat kuas atau pisau palet). Karya-karya lukisan memang tak hanya menunjukkan ‘apa yang digambar (dilukis)’ tetapi juga berbagai jejak-jejak persoalan tentang ‘bagaimana sebuah subject matter karya dihasilkan’ melalui cara-cara melukis (ways to paint). Dibandingkan para pelukis ekpresionis pada umumnya, kebiasaan proses penciptaan karya-karya Ayu juga dikerjakan dengan kecenderungan intensitas emosional yang kuat dan intens sehingga kerap menghasilkan lukisan dengan ketebalan cat yang maksimal serta tidak biasa. Ayu seakan mendorong keluar seluruh yang gejolak emosi dan simpatinya terhadap persoalan-persoalan [penderitaan] kemanusiaan yang ia renungi hingga menghasilkan ekspresi karya lukisan yang sarat dan berat. Saya rasa, kecenderungan ekspresif dari cara melukis Ayu yang khas ini pula yang jadi perhatian dan minat diskusi bagi Erland. Mencermati kebiasaan proses kreasi melukis Ayu yang ‘mendorong emosi ke luar’; maka Erland secara bertahap menciptakan kebiasaan dirinya untuk ‘meraih emosi dan pemikirannya ke dalam,’ setelah mengamati dan menilai, Erland kemudian jadi terbiasa untuk mengontrol emosi untuk mewujudkan ‘catatancatatan ekspresi’ dirinya secara lebih terkontrol. Pameran ini tak hanya ingin menampilkan perbedaan diantara kedua jenis karya-karya yang dikerjakan Ayu dan Erland tetapi juga, terutama, adalah soal ‘kesamaan’ dan persinggungan diantara keduanya. Lukisan-lukisan Ayu yang dipersiapkan khusus untuk pameran ini menanggapi kebutuhan ini secara lebih tegas. Jika sebelumnya, Erland lebih aktif mengamati proses kreasi melukis Ayu yang ekspresif maka kini berlaku arah yang sebaliknya: Ayu seakan ‘belajar’ kembali mengerjakan lukisan-lukisannya dari catatan artistik yang dikerjakan Erland. Tentu, sebenarnya, masalahnya bukan bagaimana Ayu mengambil gagasan artistik yang telah dibuat Erland jadi karya sketsa—juga bukan soal Ayu ‘meniru’ karya Erland. Apa yang Ayu coba lakukan adalah usahanya untuk melacak kembali jejak-jejak pengalamannya bersama Erland saat ia mengerjakan karya-karyanya (karena Ayu memang sering menemani Erland mengerjakan sketsa). Upaya melacak jejak [pengalaman] semacam ini bukannya tanpa masalah dan tantangan. Untuk kembali ‘di sekitar’ Erland, Ayu mesti beradaptasi agar ia bisa berhasil secara emosional maupun segi pendirian estetik. Lukisan-lukisan yang dikerjakan Ayu untuk pameran kali ini tak lagi sama persis dengan kebiasaan dirinya melukis pada umumnya; seolah tengah berdialog dengan catatan sketsa Erland, Ayu berbagi jejak makna-makna ruang pada bidang kanvasnya dengan ‘kebiasaan’ Erland. Lukisan-lukisan Ayu kemudian jadi sebuah hasil dari interaksi dari kecenderungan melukis (dengan kekuatan sapuan kuas dan palet) dan kecenderungan gambar (yang menekankan kekuatan garis dan komposisi bentuk). Bagi kecenderungan melukis Ayu, ada yang tetap dan juga yang berubah 6


dalam hasil pencapainnya. Namun itulah cara bagi dirinya agar mampu melacak waktu pengalaman dirinya bersama Erland. Dalam proses penyiapan pameran “Melacak Jejak, Menuju Waktu� ini diputuskan tema yang dianggap penting mengikat kebersamaan Ayu dan Erland, yaitu: alam lingkungan danau Toba di Sumatera Utara. Tema lanskap Toba adalah salah satu ruang pertemuan personal dan kultural yang penting bagi keduanya. Ni Ketut Ayu Sri Wardani sebelumnya adalah orang luar yang kemudian melebur menjadi bagian dari tradisi kultural Batak—sebagaimana juga Erland Sibuea diterima dan menjadi bagian dari budaya Bali setelah mereka memutuskan untuk menetap dan membesarkan kedua putri mereka di Denpasar, Bali. Tema lanskap alam di Toba memang dikerjakan Erland lebih intensif (karena terkait dengan identitas kultural Erland) selain ia juga mengerjakan tema landskap di Bali dan di Bandung (di mana Erland tertarik mengamati pengalaman budaya dan lingkungan. Bagi pameran ini tema lanskap alam memiliki makna yang penting karena telah mengajarkan pada kita untuk saling memahami dan berbagi. Sifat sejati alam berlaku sama bagi tiap budaya dan manusia: fenomena alam tidak pernah membeda-bedakan. Pesona dan kebijaksanaan alam pula yang boleh jadi menguatkan ikatan Ayu dan Erland melalui dorongan keindahan dan kepekaan artistik yang saling melengkapi. Alam dengan caranya sendiri mengajarkan pada manusia bagaimana semestinya waktu bergulir dan berlalu. Jika orang modern selalu menganggap waktu jadi berharga karena bisa diukur dan ditundukkan, maka perkara itu sebenarnya adalah ilusi. Waktu jadi berharga karena bisa menjadi tanda bagi seseorang hingga ia mampu melajak jejak-jejak yang ditinggalkannya jadi bermakna. Alam memberi tanda tentang perguliran waktu, dan terus-menerus mengajarkan pada manusia soal perubahan dan pergantian tanpa harus ragu karena merasa kurang atau merasa lebih. Seperti pernah dibilang Rumi: “Seekor burung yang bertengger di gunung itu, dan kemudian terbang dan pergi. Adakah yang bertambah atau berkurang dari gunung itu?� Bandung, Juni 2018 Rizki A. Zaelani | kurator

7


8


Karya Erland Sibuea

9


10


Semenanjung Parapat

11


Semenanjung Parapat

12


Tigaraja Parapat

13


Tepi Danau Tigaraja

14


Kapal Hendak Berlabuh

15


Mercusuar

16


Warung

17


Kantor POS

18


Pasanggrahan Soekarno

19


Pasanggrahan Soekarno

20


Rumah Pengasingan Parapat

21


Pasanggrahan Soekarno

22


Bungalow Unik

23


Bungalow Unik

24


Bungalow Unik

25


Rumah Unik

26


Suasana di depan hotel inna Parapat

27


Hotel Parapat

28


Menuju Parapat

29


Kapal Berangkat

30


Rumah ibadah Mesjid

31


Kapal Berlabuh

32


Kapal Berlayar

33


Kapal Tigaraja (atas) Pelabuhan Tiga raja (kiri bawah) Pelabuhan Tiga raja (kanan bawah)

34


Pelabuhan Tiga raja (atas) Pelabuhan Tiga raja (kiri bawah) Pelabuhan Tiga raja (kanan bawah)

35


Gereja HKBP Parapat, cat air di atlas kerns, 55x25 cm, 2015

36


37


HKBP Parapat

38


Rumah Ibadah Katedral

39


HKBP Pardomuan

40


Karya Ni Ketut Ayu Sri Wardani

41


42


rumah adat batak, 100cm x 75 cm, oil on canvas

43


lembah toba, 100cm x 70cm, oil on canvas

44


lembah bakara, 150cm x 100cm, oil on canvas

45


pelabuhan balige, 150cm x 100cm, oil on canvas

46


kapal wisata, 150cm x 100cm, oil on canvas

47


48


Biodata ERLAND SIBUEA Erland Sibuea was born in Tanjung Morawa in 1967 and was raised on the plantation company property in Langkat North Sumatra where his father worked. He is a graduate of Industrial Engineering from Bandung Institute of Technology (ITB) in 1986, He is married to Ni Ketut Ayu Sri Wardani, a Balinese artist who graduated from The Fine Art Department of ITB. In 2000 they moved to Bali and he began to study painting, He has also been involved in various art activities. He has published 5 books containing a wealth of sketches. His first book titled Menimba Air Selokan (2006) is a collection of sketches and poems to remember his beloved father. The second book entitled “ Bandung dalam Hitam Putih” (2010) is a collection of 200 pieces of sketches about Bandung, this book is dedicated to celebrating the 200-year anniversary of the founding of the Bandung City, His third book tided “ Sekelumit Sketsa Bali “ (2011) contains sketches of life in Bali, the fourth book titled “ Heart Lines of Denpasar “ (2013) depicts the twisted life around Gajah Mada Street, Denpasar. His fifth book titled “ Sketsa Toba “ (2014) contains sketches of panorama views of Toba Lake and the life of Batak Toba people. He also has completed a sketchbook of life on Sanur Beach that are ready to be published this year, His sketches have been exhibited in 3 solo exhibitions, ‘Kita’ Gallery - Bandung exhibited 200 works in conjunction with the book launching “Bandung dalam Hitam Putih” (2010). Lindy Fine Art Gallery - Medan exhibited his sketches of the city of Medan and its surrounding areas in 2010. Sketches of Denpasar were exhibited in 2012 at the Gallery of the University of Pelita Harapan in Jakarta. Several exhibitions with other artists have been held in various cities, among others: Denpasar, Jakarta, Bandung, and some cities in USA, and London. His works are also published in several books and magazines, He is a member of Indonesia’s Sketchers, an organization of sketchers in Indonesia. Solo Exhibitions 2012 “Heartlines of Denpasar”, University of Pelita Harapan Gallery, Jakarta Indonesia 2010 “Bandung dalam Hitam putih” (Bandung in black & white), Kim Gallery, Bandung Indonesia “Medan dalam sketsa” (Medan in sketches), Lindi Fine Art Gallery, Medan Indonesia Publications 2014 “Sketsa Toba: Pesona Garis Kehidupan di Tanah Batak, Khazanah Bahari, Bandung 49


2013 2011 2010 2006

“The Operation of CNOOC in Black and White”. CNOOC, Jakarta “Hearlines of Denpasar”, Khazanah Bahari Publisher, Bandung “Sekelumit Sketsa Bali”, Terabas Publisher. Bandung “Bandung dalam Hitam Putih”, Khazanah Bahari Publisher. Bandung “Menimba Air Selokan”, Sutra Publication, Bandung

Joint Exhibitions 2014 Indonesia Drawing Festival, Bandung Kota Tua Creativity Festival, Jakarta 2013 Perkantas Art Exhibition, Denpasar 2011 Reflection and Tradition - Contemporary Asian Art Exhibition, Boulder Colorado, USA Seruni Exhibition, “Because of Me”, MCU Gallery, Bandung Indonesia Run with the Fire, London 2012 Olympics, UK Indonesia’s Sketchers Exhibition, Le Meridien Hotel, Jakarta Indonesia Charis Exhibition, Dordt College, Sioux Center, Iowa, USA. Oct 17, 2011 Charis Exhibition, Dadian Gallery, Luce Centre for the Artsand Religion, Wesley Theological Seminary, Washington DC, USA, January 18 ó March 4, 2011 2010 Charis Exhibition, International Forum on Christian Higher Education, Hyatt Regency, Atlanta Georgia USA, Feb 24-26, 2010 Charis Exhibition, Columbia Theological Seminar, Decatur, Georgia. USA January 20. August 7, 2010 Joint Exhibition, Mandiri Bank Gallery, Jakarta Indonesia 2009 Charis Exhibition, Metcalf Gallery, Taylor University. Upland, Indiana, USA. October 29December 4, 2009 Charis Exhibition, Center Art Gall, and Gall, 106 Downtown. Calvin College. Grand Rapids, Michigan, USA. September 4-October 10. 2009

50


NI KETUT AYU SRI WARDANI Ni Ketut Ayu Sri Wardani is one of a number of Indonesian women artists living in Bali. Since a childhood she was interested to art especially to paintings and dance. She was active to create artworks since 1985 until now and exhibited her artworks in many place in Indonesia and also in another countries: Australia, Singapore, USA, UK, Sweden, Hong Kong, and Philippines. Her artworks was selected and published in the book Christ for All People (2000) with the 100 others’ artists from 60 countries likes Rembrant, Van Gogh, Soedjojono, Bagong Kussudiarja, etc. She also participated in global environmental concern with Asian artists in exhibition and workshop in Metro Manila, Philippines. She involved in a woman conference, workshop and exhibition in Hong Kong. Many of her networks speak about the deepest suffering in society. Sri Wardani completed her study in art in the High School of Fine Art in 1986 and in the Fine Art Deportment in Bandung Institute of Technology in 1993. With her husband Erland Sibuea and their 2 daughters: Puteri Delphia Esther (1994) and Hannah Debora (1998) since 2000 she now lives and works in Bali. Exhibitions 2014 Pameran Tunggal “VIADOLOROSA Derita Menuju Kemenangan”. Jakarta Pameran Bersama “Seeing God Through Arts”. Hotel Patrisia, Denpasar 2013 Pameran Bersama -Seeing God Through Arts”, GBI ROCK, Bali 2012 Pameran Seni Kristiani, STT Jakarta Charts: Bound, Crossing Exhibition, Fuller Theological Seminary, California, USA Charts: Boundary Crossing Exhibition, Regent College, Vancouver, Canada Charts: Boundary Crossing Exhibition, Belmont University, Tennessee, USA 2011 Charts: Bound, Crossing Exhibition, Dordt College, Iowa, USA Charts: Boundary Crossing Exhibition, Wheaton College, Illinois. USA Charts: Boundary Crossing Exhibition, Wesley Theological Seminary, Washington, USA 2010 Pameran ‘Because of Me’ Galen Universitas Kristen Maranatha, Bandung Charts: Boundary Crossing Exhibition, Philadelphia Biblical University, Pennsylvania, USA Charts: Bound, Crossing Exhibition, Columbia Theological Seminary Georgia, USA 2009 Charts: Boundary Crossing Exhibition, Calvin College, Michigan. USA Charts: Bound, Crossing Exhibition, Taylor University, Indiana, USA 2008 Exhibition and Workshop: Asia and North American Artists in Jogja - Bali 2006 ‘Dia Sang Kasih’ Pameran Seni Spiritual, Galeri Nasional, Jakarta Calon Arang Exhibition, Cemara Gallery, Jakarta Calon Arang Exhibition, Neka Gallery, Ubud 2005 JA4C. Galeri Hadiprana, Jakarta Exhibition in Yadhoart, Singapore 51


2004 2003 2002 1998 1996 1993 1992 1991 1990 1988 1986 1985

Christian Art Exhibition, Swesden Laughing and Loving Exhibition in Edinburgh Festival Fringe, Edinburgh, UK Laughing and Loving Exhibition, Perth Australia Pameran Bersama Lukisan Rohani di Galeri GKI Bali Demonstrasi Lukis Viadolorosa (Kebangkitan Yesus) pada kebaktian Khusus - Paskah di International Church, Bali Beach Hotel. Demonstrasi Lukis Viadolorosa pada Kebaktian Perjamuan Kudus GKI tanggal 29 September Denpasar. Pameran Bersama Lukisan Rohani, Galery GKI, Denpasar Pameran Bersama Lukisan Rohani, Hotel Dhyanapura, Denpasar Pameran Bersama Lukisan Rohani, Katedral Roh Kudus Denpasar Pameran Kristiani ‘Hiram’, Bandung Workshop and Exhibition CCA -Using Art to Communicate Environmental Concerns:* Manila, Filipina Pameran Tugas Akhir, FSRD ITB, Bandung Pameran Desain dan Seni Rupa ‘Nuansa Kemerdekaan’. Jakarta Pameran dan workshop The First Asian Women Christian Artists Consultation dan 15 negara, Hong Kong Pameran Lukisan Karya Mahasiswa, Jakarta Pameran Lukisan Pamesrani National Gallery, Jakarta Pameran Pelukis Lima Kota, Sukabumi Pameran ‘Wahana Kreasi’, Art Center Denpasar, Bali Pameran Karya Seni dan Komputer, Bandung Pameran Bina Budaya, Bandung Pameran Seni Kristiani, Bandung Pameran Seni Rupa, FSRD ITB, Bandung Kompetisi Pelukis Muda Indonesia, Art Center Denpasar, Bali. Tema Kana Seni Siswa Seluruh Bali. Karangasem, Bali

Publication 2014 Lukisan “Thy Will Be Dow” dipublikasikan sebagai gambar sampul buku Simanjuntak Julianto. 2014. Alat Peraga di Tangan Tuhan. Pelikan Indonesia. 2013 Lukisan “Menuju Golgota” dipublikasikan sebagai gambar cover buku Jalan Salib, Herb Keisman. Akademi Lutheran Indonesia, Pematangsiantar. Lukisan “Sudah Selesai” dipublikasikan dalam sebuah kalender Kijken met andere ogen. Missie Zending Kalender 2013, Den Hag, Netherland 2008 Lukisan There is Always Forgiveness dipublikasikan dalam buku Selected Reading of Bible 52


Stories, Susan M. Felch. Lukisan “Kemerdekaan yang terkungkung” dan “Duka Wanita” dalam buku Heraty Toeti. 2006. Calon Arang: Story of a Woman Sacrificed to Patriarchy. Saritaksu. 2004 Lulusan “Memikul Salib” dipublikasikan sebagai gambar sampul buku Simanjuntak Julianto 2004. Seni Merayakan Hidup yang Sulit. Pelikan Indonesia. 2003 Lukisan Jeritan Hati Ibu, dimuat dalam majalah IMAGE, publikasi ACAA (Asian Christian Art Association) volume 95. 2002 Lukisan Siap Sedia! dimuat dalam majalah IMAGE, publikasi ACAA (Asian Christian Art Association) Volume 93 Lulusan Siap Dituai dan Rasa Memiliki di dalam brosur Departemen Pengutusan Lintas Budaya The Navigators Indonesia. Enam Lukisan di dalam Kalender Tahunan 2002 The Navigators Indonesia 2001 Lukisan Menuju Terang dalam buku “Gereja Memasuki Millenium III” Editor: K.Suyaga Ayub, GKPB. Denpasar Lukisan Viadolorosa III dimuat dalam buku “Christ for All People”, page 118. Editor Rev. Ron O’Grady, PACE Publishing, Auckland, New Zealand 1999 Ilustrator Buku “Penciptaan Alam Semesta & Langit Baru Bumi Baru”. Pdt. Markus Agung, Jakarta 1997 Lukisan Barren dimuat dalam Majalah IMAGE, Volume 70 1996 Ilustrator Buku “ Penelitian Alkitab Secara Visual”, Memperlengkapi Kaum Awam, Yogya. 1995 Lukisan Viadolorosa Ill dimuat dalam buku “Creation and Spirituality - Asian Women Expressing Christian Faith Through An, oleh Rebecca Lozada dan Alison O’Grady, CCA, Hong Kong 1994 Lukisan Viadolorosa III dimuat dalam Majalah IMAGE volume 61 1993 Tiga Lukisan Viadolorosa buku “Beberapa Wajah Seni Rupa Kristiani Indonesia” editor, Endang Wulandari, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jakarta 1990 Ilustrator pada Buletin Para Navigator Ganesha, Bandung, Edisi III Mei/Juni Ilustrator pada lukisan Sistem Hafalan Ayat The Navigators dalam budaya Jawa. 1989 Ilustrator pada Baku “Studi dan Melayani” The Navigators - Bandung 1987-1999 Ilustrator transparansi kotbah It Badi Situmorang, Direktur The Navigators Asia

53


Ucapan Terima Kasih Ni Ketut Ayu Sri Wardani dan keluarga mengucapkan terima kasih kepada : Gembong Premadjaya Abdul Sobur Nick Djatnika Rizki A. Zaelani Rifky Effendi Danne Dirgahayu Oco Santoso Willy Himawan Supriatna Edi Sugiharto Anton Susanto Teman-teman SR 86 Semua alumni ITB Angkatan 86 Teman-teman di Galeri Soemardja Staf Orbital Dago serta semua pihak tang tidak bisa disebutkan satu-per satu. Karena ketulusan dan bantuan anda semua pameran ini bisa terselenggara.

54


55


Bagi pameran ini tema lanskap alam memiliki makna penting karena mengajarkan cara pada kita untuk saling memahami dan berbagi. Sifat sejati alam adalah berlaku sama bagi tiap budaya dan manusia: fenomena alam tidak pernah membeda-bedakan. Pesona dan kebijaksanaan alam pula yang boleh jadi menguatkan ikatan antara Ayu dan Erland melalui dorongan keindahan dan kepekaan artistik yang saling melengkapi. Alam dengan caranya sendiri mengajarkan pada manusia bagaimana semestinya waktu bergulir dan berlalu. Jika orang modern selalu menganggap waktu jadi berharga karena bisa diukur dan ditundukkan, maka perkara itu sebenarnya adalah ilusi. Waktu jadi berharga karena bisa menjadi tanda bagi seseorang hingga ia mampu melajak jejak-jejak yang ditinggalkannya jadi bermakna. Alam memberi tanda ihwal perguliran waktu, dan terus-menerus mengajarkan pada manusia soal perubahan dan pergantian tanpa harus ragu karena merasa kurang atau merasa lebih.

56


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.