SOFT BUT IT HARD Soft but it hard, itu yang mungkin bisa merepresentasikan perjalanan ekspedisi sesar lembang yang diawali komitment terhadap koloni hitam sebagai group performance art yang mulai mencoba meleburkan irisan seni dengan disiplin ilmu di luar seni yang melibatkan beberapa orang dengan disiplin ilmu yang berbeda. Kaitannya dengan ekspedisi sesar lembang kali ini, selain mitigasi bencana sebagai wacana utama, beberapa kawan yang terlibat mencoba menelaah kawasan tersebut dari sisi geografi, struktur geologi, sumber daya alam dan tentu fenomena yang terjadi melalui pendekatan seni. Alhasil ada beberapa catatan penting dari perjalanan tersebut. Aku ga perlu kepo dengan hasil yang kawan - kawan cerap karena itu hak personal mereka. Aku hanya berbicara dari sudut pandang diriku sebagai performer yang dulu sempat tergabung dalam kelompok pecinta alam seni rupa UPI (PASER) yang tentunya berdampak pada kekaryaan yang aku buat pada fase sekarang. Tentu nya untuk ini aku hanya berbicara masalah ketubuhan juga fenomena alam yang berdampak pada wilayah ketubuhan dalam performance art dan ternyata lembut namun menyimpan misteri yang untuk bisa menggunakan realita logis memerlukan usaha yang keras agar fenomena fenomena yang dilaui tersebut bisa kita analisa sesuai kebutuhan real. Sebelum berangkat aku tidak meneror kepalaku dengan konsep ekspedisi kali ini, sehingga aku tidak membaca tawaran yang di sodorkan akay karena sesuatu yang surprise itu lah yang aku inginkan dalam ekspedisi ini dengan terus menajamkan indra yang ada di tubuhku ini. Dalam briefing tanggal 23 maret 2019 ternyata terungkap hal yang sama dari akay dengan menginginkan capaian real dari yang di temui di lokasi tanpa meraba raba, tentu dengan batasan mitigasi bencana atas fenomena patahan lembang, sedangkan gelar memposisikan sebagai pemandu dengan cukup mengungkapkan kebahagiaannya akan tercipta jika kaki sudah memijakan patahan lembang tersebut. Kami saling mengenal lewat sapa dan tatap bersama dengan kawan lama yang jarang melakukan pertemuan yang intens, tentu berpengaruh terhadap cara pandang terhadap projek yang akan dilakukan bersama. Dari sana aku selain mendengar tawaran konsep akay dan gelar yang menginginkan perjalanan yang mengalir yang tentu akan banyak hal yang didapat di perjalanan, juga diriku membicarakan perjalanan sebelum projek ini di gunung kidul yang ternyata memunculkan rasa penasaran yang tinggi dari komara berkenaan dengan god. Tapi sebetulnya aku terlalu cape membicarakan konsep utopis itu karena terlalu berjarak dengan realita dan memang kebutuhanku sementara belum memasuki ranah utopis yang sangat ideal itu yang akhirnya akan kembali pada visi awal dengan melihat, mendengar dan merasakan fenomena yang akan aku terapkan pada wilayah ketubuhan. Pada tanggal 24 maret 2019 selepas subrang (subuh tapi beurang), kami bergegas untuk berangkat menuju titik awal perjalanan patahan dari palintang menuju puncak palasari, dan sesampainya di palintang ketegangan mental mulai on. Namun aku mencoba bertegur sapa dengan beberapa anak pemilik warung di persimpangan palintang ke curug sangkuriang dengan harapan tegur sapa ku itu
menjadi sebentuk doa untuk anak anak itu yang suatu saat bisa tergali kembali di masa dia dewasa. Tegur sapaku hanya berkisar sekolah dan cita cita mereka sambil mereka melakukan aktivitas ‘e’emahan dengan membuat kuah baso dari tanah yang di masukan ke kantong plastic. Pura puranya mereka sebagai penjual dan pembeli. Sementara beberapa kawan mulai melakukan pemetaan dengan mewawancara ibu pemilik warung mengenai lokasi dan beberapa kejadian yang berhubungan dengan gempa dan longsor di sekitar sana sambil menyantap gorengan yang tersedia di warung itu. Selepas wawancara dan ngobrol santai hampir setengah jam kita mulai perjalanan menuju puncak palasari tanpa adanya pemanasan dulu langsung hajar bleh. Memang memori alam pikirku masih terkondisikan di fase aku di PASER tanpa mengukur kondisi tubuh yang sudah memasuki umur 33. Al hasil di menit 10 perjalanan, tubuhku tak bisa aku control karena cara berjalan dan bernafas yang tidak bisa aku manage. Tapi kebetulan ada mang ara yang kerepotan pula dalam fisik nya, sehingga tidak ada salahnya aku menemaninya biar proses menaklukan medan sesar ini bisa lebih slow. Selepas 10 menit berikutnya kondisi tubuh mulai sedikit bisa beradaptasi, namun tetap saja tanpa adanya persiapan fisik sebelumnya memang sangat merepotkan dan di tengah perjalanan aku harus mengalihkan rasa cape ku dengan menikmati beberapa objek di sepanjang perjalanan dengan memotret detail tumbuhan, jamur, bunga, ranting dan buah. Yang membuat aku fresh ketika muncul kabut dimana kabut adalah objek yang paling aku sukai ketika berada di ketinggian, dan itu sedikit banyak nya memberi energy bagus untuk tubuhku dikala kondisi otot yang tegang di relaksasi dengan hembusan kabut yang masuk di sela pori pori kulitku dan tampak kabut kabut itu memberi dimensi pada jaring laba laba yang memberikan visual soft. Sambil istirahat aku mencoba beberapa metode yang pernah aku coba dari teman ku dapeng, seniman asal malang dengan merasakan energy yang pohon keluarkan. Namun aga sedikit kaget, entah kenapa mereka tidak mau banyak di interupsi dengan melakukan aktifitas lebih. Apakah mungkin energy yang mereka beri memang cukup untuk kebutuhan tubuh semata tanpa ingin diberi interaksi tendensius. Dan akhirnya aku hanya cukup merasakan pola gerak dan nafas alam saja. Sebetulnya masih sedikit penasaran, sih. se misterius itukah alam yang aku lalui disana karena dalam perjalanan ekspedisiku sebelumnya alam begitu kuat menarik masuk menginterpretasi kedalaman imajiner yang langsung mengkoneksikan pengetahuan yang aku ketahui secara terbuka. Dan setelah aku coba memakmurkan puncak palasari yang berbentuk kotak dan juga berundak aku membaca doa kebaikan sambil menyentuh pohon yang penuh lumut dan tetap aku tidak bisa melakukan interaksi tendensius disana, cukup hanya meraba, mencium wanginya, mengecap rasa dan memandanginya saja. Dan sekarang baru terpikirkan. Interaksi tendensius muncul ketika hadir kesenjangan fakta dan harapan sehingga menginterpretasi apa yang dinamakan konflik. Alam tidak menawarkan konflik tapi hasrat manusiawi lah yang akhirnya menjadi rel untuk tergiur melakukan tendensi yang meneror alam dan akhirnya menjadi candu tanpa menghiraukan batas limit harmonis alam. Selepas melakukan interpretasi peta dan kompas di puncak palasari dari kawan kawan gates, kita melanjutkan perjalanan dengan rute turun untuk istirahat di batu loceng. Namun akal sehat hilang karena didorong keinginan menemukan perkampungan terdekat batu loceng tapi akhirnya terdampar di
cikawari. Entah kenapa feel menghubungkan apa yang aku bilang bukan peristiwa kebetulan, atau bahasa lebay mainstream nya semesta menyertai langkah ku selalu muncul apakah dari de javu ataupun gerak tubuhku di atur semuanya oleh alam dan keterkaitan itu tentu hasil kulminasi dari interaksi tubuh dan alam yang akhirnya kita di persilahkan membuka pengetahuan yang ingin di perlihatkan alam dengan terbuka hanya pada wilayah tertentu. Lucunya rute yang aku lewati dan belum pernah sekalipun aku kesana, ini aku jumpai dalam mimpiku beberapa bulan yang lalu. Lembut tanah yang kupakai tayamum sebelum turun ke cikawari selepas memandang tangkuban perahu secara presisi memberi energy therapy bagi tubuh, lembut dan khas wangi tanahnya begitu terasa. Tak ku rasakan moment merasakan aroma dan lembut tekstur tanah yang aku pakai tayamum se detail itu melekat di tubuhku dan aku memberi persepsi alam di sana memberi berkah ketika kita pun memberikan berkah untuk mereka. Bahasa aku mah aku ikuti kereteg hati, atau getaran hati. Sepanjang perjalanan akhirnya selalu memaknai hal tersebut dan akupun selalu memaknai bentuk apapun yang aku rasakan se estetis mungkin dalam memori yang ku endapkan dahulu dalam imaji pasif. Dan bukan tanpa sebab kita terdampar di cikawari yang memang informasi mengenai mitigasi bencana sedikit banyaknya bisa kita dapatkan di sana baik dari fenomena pergeseran tanah dan struktur geologi beserta mitologinya pun bisa kita dapatkan. Awalnya kita hanya mencari perkampungan untuk makan saja, namun muncul inisiatif untuk nginap di warung warga sambil bisa dimasakin makanan khas ibu warung kampung cikawari. Sebelum turun ke cikawari ada pernyataan dari mang ara mengenai ungkapan kita berada pada realita bukan lah mimpi karena kita focus pada fisik yang kepayahan, namun tanpa disadari muncul ungkapan berikutnya yaitu dinding urbanlah sesungguhnya menjadi penjara diri. Ya, memang kita terbawa bijak dengan damai nya alam yang secara tidak langsung menjernihkan bagaimana cara memandang diri. Ungkapan berbeda setelah masuk perkampungan padat penduduk di daerah wangunsari ternyata di alam yang jauh dari hingar bingar kita lebih mudah mengingat semesta dan pencipta, namun setelah kita masuk peradaban yang hingar binger, seketika yang namanya pencipta sirna dari ingatan. Hehe‌ Singkat kata kita menginap dulu di cikawari sambil sebelum tidur kita berkunjung ke rumah pak rt untuk mendengarkan cerita mengenai fenomena pergeseran tanah di kawasan sesar sambil muncul bahasa untuk tebing keraton dengan istilah local sebagai cadas golodog. Terlepas dari itu semua, masyarakat tidak terlalu panic karena masalah hidup mati yang disebabkan peristiwa kebencanaan memang sudah di atur pencipta, tapi setidaknya dengan obrolan kebencanaan dengan warga di sekitar patahan, sedikit banyaknya meminimalisir beberapa kemungkinan terburuk seandainya itu terjadi. Pikiran kotor aku mah muncul spekulasi kaya wacana kiamat 2012. Banyak beberapa pihak yang kaya raya termasuk industry per fileman juga mendadak kaya lewat film 2012. Mudah mudahan pikiran suudzon ku bukan seperti itu. Yang jelas aku menikmati walaupun cape.. perjalanan yang menarik, namun sepertinya tidak cukup dengan perjalanan seminggu atau hanya beberapa hari saja untuk mengetahui dan mengalami banyak hal dari fenomena yang muncul di sekitar patahan lembang secara detail, namun mau gak mau kita harus ambil titik point terpenting saja sebagai pengamatan fenomena patahan, dan ide itu akhirnya di realisasikan bersama.
Tanggal 25 maret 2019 di lakukan briefing kesepakatan perjalanan berikutnya. Sisi liar dan murni tampak terlihat dalam belantara. Walau yang kami lalui tak seberapa parah belantaranya, namun secara psikologi mempengaruhi fisik dan mental dari team. Yang paling Nampak perubahan nya dari gelar dan akay, dimana gelar adalah pemandu yang tampak sekali memiliki beban moril harus menyelesaikan perjalanan dengan membawa team sesuai target dan tentu akay pun jelas terlihat perubahan mental nya karena dia jelas yang punya hajat. Namun sejauh ini kita semua menikmati perjalanan karena masing masing memiliki cara bagaimana menikmati dan memaknai langkah demi langkah perjalanan yang kita lalui. Sebelum lanjut perjalanan ke titik terpenting berikutnya yaitu tebing keraton, kami mengunjungi fenomena retakan tanah di sekitar cikawari tepatnya di lahan konservasi tanaman bamboo milik sebuah institusi lingkungan hidup dan IPB yang ternyata lumayan parah kami dapati retakan yang menganga begitu panjang. Mas sahid mulai melakukan pengamatannya mengenai rekahan itu untuk kepentingan mitigasi bencana dan selepas itu kami bersiap siap untuk lanjut perjalanan ke tebing keraton yang di putuskan menggunakan kendaraan bak terbuka. Saya memahami masyarakat cikawari memiliki cara bagaimana mereka menemukan solusi yang berkaitan dengan daya lenting lingkungan untuk pulih kembali pada keadaan seimbang ketika mengalami perubahan atau gangguan yang mampu hidup mendukung kehidupan sebagai mahluk hidup di dalamnya. Dan begitupun mereka sangat faham dengan fenomena dan harus berbuat seperti apa jika kemungkinan terburuk terjadi. Minimal dengan berkembangnya wacana sesar lembang dari pemerintah termasuk kami menjadi warning bagi masyarakat untuk berbuat semestinya. Langkah real dalam menghadapi permasalahan nyata dalam kehidupan mereka semisal ketika proses pertanian sayuran tidak berdampak bagi penghasilan masyarakat karena permainan harga mafia sayur, mereka memilih untuk tumpang sari tanaman kopi dan aku pikir itu langkah bijak, selain tidak memperparah kondisi perhutanan, juga ada feed back positif bagi pendapatan ekonomi masyarakat. Dan akupun yakin mereka bisa mengkondisikan diri mereka jika terjadi hal hal yang tidak diinginkan. Selepas dzuhur dan selepas melakukan peregangan tubuh kami mulai bergerak menuju tebing keraton dan di tengah jalan mampir dulu ke tempat akay yang mungkin itu menjadi spirit positif menjadi energy dalam melanjutkan proses perjalanan ke point berikutnya sampai point terahir. Kira kira asar kita sampai di tebing keraton dan mulai melakukan pengamatan fisik juga wawancara yang luar biasa. Karena didapat pengunjung yang sekaligus pengelola kawasan itu memberikan informasi mengenai tebing keraton atau cadas jojontor. Sementara deden masih melakukan pengamatan struktur geologi dengan membuat sketsa bentuk batuan yang terlihat di setiap tebing patahan yang terlihat sangat jelas juga mengamati penanda alam dari bukit tunggul sampai burangrang yang tampak begitu jelas. Sangat nyaman terlihat beberapa kawan gelar mas sahid dan andri melakukan interpretasi peta dengan kompas yang langsung terkoneksi dengan fisik natural secara jelas. Memang lucu sekaligus gila perjalanan ini dimana ketika ekspedisi kemanapun pada perjalanan sebelumnya pasti ada pemandu yang sudah mengetahui dan mengalami proses perjalanannya tidak lagi meraba raba. Nah ini mah ternyata team hanya menginterpretasi peta sehingga banyak distorsi karena wilayah peta dan real sangatlah berbeda yang akhirnya mempengaruhi proses perjalanan, tapi menariknya fleksibilitas dan efektifitas tercipta selama perjalanan. Kerumitan kerumitan perjalanan harus diselesaikan dan diputuskan secepat mungkin. Begitupun ketika turun dari tebing keraton, yang aku lihat dari atas tebing keraton begitu vertical. Sekali lagi ini perjalanan gila. Kita tanpa peralatan lengkap turun dari tebing keraton dengan
target jembatan sebelum curug di kawasan maribaya yang terlihat dari atas tanpa mengetahui trek realnya seperti apa dan vegetasi sepanjang perjalanannya seperti apa. Dan kurang lebih pukul 16.30 kita berjalan menuju titik maribaya dengan turun seperti bayangan film jacky chan yang turun dari gedung vertical ataupun imaji jaguar pow sepertinya cocok untuk mewakili rute ini dimana fisik sudah begitu payah, berjalanpun menggunakan pantat karena tubuh sudah tak stabil berdiri di kemiringan ekstreem dalam kondisi hujan rintik rintik di hiasi batu batu kecil yang ikut berjatuhan karena kita lewati dilanjut masuk vegetasi bamboo yang mungkin banyak ular dan di bawah di sambut hamparan padang daun pulus di sela sela pohon pinus besar menambah irama gatal gatal tubuh yang begitu eksotik. Sementara hari sudah hampir gelap dan jalan tak ber visual lagi yang akhirnya kita mengikuti jalur air yang pasti akan menuju sungai yang terhubung dengan titik maribaya itu. Namun psikologi mulai membaik setelah melihat sungai di depan mata walaupun bingung harus nyebrang lewat mana. Kita semua ragu apakah jembatan yang terlihat dari atas itu di depan kita atau di belakang kita. Tapi akhirnya suara gemuruh air yang menandakan air terjun menjadi penuntun team untuk menyebrangi sungai dan masuk zona maribaya. Kita pun bergerak dan akhirnya menemukan jembatan penghubung di atas curug omas. Bahagia pisan. Entah mistis atau apa namanya‌ tapi aku harus meditasi di petang hari dan melawan ketakutan psikis yang menjadi penyakit dan selalu menghantui mentalku. Tentu aku merasakan kelabilan kawanku akay yang harus aku temani sehingga tidak lose contact dengan wilayah logis. Suasana mulai gelap dan kami pun menyelesaikan perjalanan mencari gerbang pintu masuk maribaya sebagai jalan keluar menuju pemukiman, namun karena tata ruang maribaya yang telah berubah kami kebingungan untuk keluar lewat mana, namun kami terus bergerak dan akhirnya kami menemukan gerbang lama yang terkunci dari dalam karenamemang daerah tersebut sudah sepi sehingga kami memutuskan untuk meloncati pagar gerbang lama itu. Dan akhirnya kami bisa beristirahat di warung sekaligus bertanya lokasi penginapan terdekat. Ketegangan perjalanan di sesar telah mengalami fase anti klimaks, namun spirit menyelesaikan sampai ujung sesar di padalarang tetap membara. Semua team fisiknya terkuras total, tapi psikologi perkotaan tak semenakutkan belantara, namun perkotaan membiaskan focus untuk merasakan kelembutan dan kedamaian. Ya, bagaimanapun perjalanan harus kita tuntaskan. Pada tanggal 26 maret 2019 kita berganti personil. Mas sahid harus kembali ke kantor karena ada beberapa urusan pekerjaan yang harus ia selesaikan. Tapi kita pun kedatangan personil baru dosen sastra Indonesia UPI yang tertarik dengan wilayah mitologi. Dan target berikutnya adalah titik sesar gunung batu. Secara visual dan spiritual aga flat dan sepi imaji, namun dari sana aku mulai merangkai pemaknaan dari ekspedisi ini dan tetap aku tidak keluar dari prinsip awal perjalanan focus melatih indra dan memberikan doa dari dalam sebagai bentuk interaksi berkah yang memberikan efek simbiosis mutualisme anatar personal dan jejak yang aku lewati. Selepas dzuhur kita bergerak dari penginapan maribaya menuju gunung batu. Spirit memaknai apapun menjadi komposisi estetis semakin menakjubkan karena sesederhana apapun itu menjadi imaji maha karya sempurna, ketika melihat kerumunan anak sekolah dasar seperti halnyamelihat maha karya semesta naturalism atau pun mooi indie jujur dari lingkungan pendidikan dasar yang dimunculkan oleh anak anak dengan tertawa riang, saling kejar dan apapun secara menyenangkan. Melihat seorang ibu yang memetik sayuran dengan fase gerak yang syahdu di kelilingi set artistic ambisisu tokoh calon legislative yang memenuhi jalan raya
menjadi layer paradox anatar kemurnian gerak syahdu diantara dekorasi ambisus juga imaji retro dari tumpukan kayu gelondongan di bawah gunung batu dengan penata music dari gonggongan anjing rumahan memberiku impresi maskulin dari karya realism gunung batu dan akhirnya di samping tangga gunung batu di sediakan mainan karya ackay sepasang belco dari musuh bebuyutan ackay. Aku tetap tidak ingin meneriakan kata lawan dari konflik yang terjadi. Yang ku lakukan hanya tetap memberi doa untuk sang enemy. Karena terkadang umpatan, hinaan atau pun cercaan yang kita lontarkan untuk siapapun menjadi boomerang bagi kita. Ackay mewawancara seorang kakek yang sedang mencari rumput di ladang proyek dan aku mah ngajak anak anak yang lagi main d areal belco dengan mengulang performance art ku di Kendal jawa tengah. Aku ajak anak anak menyebutkan cita cita mereka dan membaca doa bersama sambil meletakan tangan semua anak anak d dadaku. Nyesss‌. Aku menangis nikmat. Dan hari inipun aku menangis nikmat ketika mengingat performance art itu. Sebelum ackay melakukan respon terhadap mainannya, kita mengenal lebih dekat dengan naik ke atas patahan gunung batu dengan harapan bisa mewawancara juru kunci gunung batu, namun ternyata juru kunci nya sedang tidak ada di rumah, hanya tertera no whatsaap juru kunci di pintunya. Mungkin itu sudah cukup jikalau kita ingin menggali informasi lanjutan. Aku lebih tertarik ngambil potret sign system di tempat pembuangan sampah yang sepertinya di buat oleh juru kunci, juga tulisan vandal dari beberapa pengunjung sebentuk eksistensi percintaan muda mudi zaman sekarang. Hal itu merepresentasikan mengenai tata kelola secara mikro yang terjadi di Indonesia. Jelas jika kita tarik spesifik mengenai fenomena sesar tentu harus di tata sedemikian rupa agar apapun kemungkinan yang terjadi di sekitar sesar bisa ditekan dampak terburuknya. Tentu dengan meninjau akses, tata ruang dan fasilitas piblik juga dengan regulasi wilayah privat dan public harus seperti apa perlakuannya pada masing masing zona. Hanya informasi‌ komposisi music alam dari pergesekan daun pinus yang tersapu angina di gunung batu indah pisan‌ keluar suara komposisi music nya pas kita lewat. Selanjutnya kami turun dan aku sempatkan memegang cakar belco dengan membaca doa hajat. Dan langsung saja ackay menghajar belco itu dengan performance art nya yang kebetulan posisi belco itu berada pada view yang bisa melihat bandung kota. Batu di kepala, batu yang keras di kepala yang di bungkus dengan kain protector otot untuk mengikat rasa sakit selama perjalanan dan dijatuhkan di atas kota bandung. Bandung diatas orang yang keras kepala. Hmmm. Dan kita lanjutkan perjalanan menuju wangun sari tempatnya ikbal (isey) untuk istirahat dan bermalam, tanpa terasa akupun cedera. Ya udah tua juga ternyata, fisik tak se kuat masa muda dulu. Dan di rumah isey di desa wangunsari, dia banyak bercerita mengenai masalah mafia yang mempengaruhi tata ruang dan penyakit mafia ini sepertinya akut. Tapi pembicaraan kami tidak sia sia, karena konsep kelentingan lingkungan bisa kita lihat dari sudut pandang manapun dan apapun. Jika melulu berteriak lawan untuk para mafia yang berkeliaran di setiap sel darah Indonesia sepertinya g aka nada habisnya. Namun langkah real sederhana yang bisa kita lakukan sepertinya menjadi langkah realistis untuk terus move on dari fakta keroposnya Negara kita. Semisal rumah isey yang menggunakan konsep bangunan ramah lingkungan, itu adalah cara taktis dalam hidup manusia hari ini dan secara rumah isey berada pada zona sesar lembang juga.
Tanggal 27 maret 2019 kita lanjutkan rute perjalanan total menggunakan kendaraan dengan titik point rekomendasi isey menuju panjebolan yang nantinya bisa langsung menuju jalur curug cimahi. Namanya juga pang jebolan dimana ada mitos sejago apapun ilmu orang kalo lewat daerah gunung pangjebolan akan jebol ilmunya yang berdampak di daerah sana tidak akan muncul konflik karena strata ilmu semua nya akan berdamai. Lucunya mobil yang kita tumpangi pun jebol saluran pembungan oli nya di sana dengan tiba tiba. Resah dan gelisah sempat melanda beberapa saat, namun akhirnya muncul solusi dengan ganti kendaraan dan biaya bengkel akan di ganti setelah perjalanan selesai. Satu demi satu titik titik penting kita lewati dari boscha dan beberapa titik di sekitar colonel matsuri dengan titik peristirahatan curug cimahi. Disana kita memutuskan menyelesaikan perjalanan sampai titik terahir di padalarang, tepatnya cikalong jembatan tol cikalong. Kita sempat berhenti di beberapa titik, namun karena sulit mengamati detail karena padat nya perumahan penduduk juga beberapa titik kendaraan kita berada tepat pada punggungan, namun aku terkesan dengan titik kantor pemerintahan bandung barat yang tepat berada pada areal sesar. Secara tidak langsung ini representasi pemahaman pengetahuan selalu runtuh dengan kepentingan. Beberapa kawan selfie di banner gugatan atas lahan perkantoran itu. Dan selepas itu kita melanjutkan ke titik pengamatan terakhir dimana aku sudah berjanji akan melakukan aksi performance art di titik pengamatan terakhir. Sesampainya di titik pengamatan terakhir tepatnya magrib, suasana udah aga sedikit gelap, memang tidak terlalu histeris. Ya mungkin anti klimaks dari spirit kita telah orgasme di maribaya setelah turun dari tebing keratin. Namun aku harus memenuhi janjiku untuk melakukan selebrasi terakhir. Aku ingin mengulang adrenalinku dengan mengingat limit hidup dan mati dengan berdiri di tengah jalan raya dan aku arahkan telunjuk kanan ku ke titik awal kita memulai ekspedisi dengan meneriakan slow but it hard sebanyak tiga kali. Walau disertai kepanikan dari gelar dan akay, aku tetap melakukan aksi ku dan aku akhiri dengan rileks di sebuah gubuk kayu kecil seukuran pos kamling disamping warung remang remang dengan mengajak bercerita semua team ekspedisi sambil tangannya di masukan ke pelindung kepalaku. Dan itulah kebahagiaanku ketika adenalinku aku luapkan di titik terakhir sesar dan aku persilahkan semua team mereview bersama perjalanan sebagai penanda akhir dari ekspedisi ini. Aku membuat persepsi bahwasanya alam tidak menuntut haknya, dia selalu tunduk akan takdir semestanyadengan jalan harmonis yang terkadang dipandang kejam cara kerja alam tersebut oleh beberapa manusia yang tak memahami jalan takdir. Dan proses ketubuhan dalam proses kekaryaan performance art menajamkan eksekusi yang bisa terekam pada memori audience, apakah dengan strategi ketegangan, repetisi, durasi atau dimensi tanpa keraguan juga dusta.