HARAPAN MEMILIH BERIMAN
MENOLAK KETAKUTAN
BILL CROWDER
BAGIKAN KABAR BAIK SECARA
Beragam judul Seri Pengharapan Hidup telah tersedia secara digital untuk Anda baca atau diteruskan kepada siapa saja yang membutuhkan jawaban dari firman Tuhan atas pergumulan hidup mereka.
SCAN QR code ini atau buka
santapanrohani.org/sph
HARAPAN MEMILIH BERIMAN MENOLAK K E TA KU TA N
BILL CROWDER
Editor Kepala: J.R. Hudberg Editor: Tim Gustafson Perancang Sampul: Eleazar Ruiz Perancang Interior: Amy E. Langeler Penerjemah: Yoki Wijaya Editor Terjemahan: Bungaran Gultom, Dwiyanto Fadjaray Penata Letak: Mary Chang Kutipan ayat diambil dari teks Alkitab Terjemahan Baru Indonesia, LAI Š 1974 Š 2011, 2015. 2020 Our Daily Bread Ministries, Grand Rapids, MI. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dicetak di Indonesia.
DAFTAR ISI BAB 1
Pengharapan dalam Masa Sukar
7
BAB 2
Makna dari Pengharapan
13
BAB 3
Sumber Pengharapan
21
BAB 4
Pengharapan bagi Dunia yang Putus Asa 31 BAB 5
Dasar dari Pengharapan
37
BAB 6
Pengharapan yang Kekal Selamanya
45
P
engikut Kristus yang paling setia sekalipun hampir pasti pernah mengalami momen atau
masa yang membuat putus asa. Bahkan tokoh sekelas Rasul Paulus pernah menulis tentang beban yang begitu besar dan berat, sehingga ia merasa kehilangan harapan, bahkan untuk terus hidup (2 korintus 1:8). Meski demikian, Paulus menjelaskan bahwa semua itu terjadi untuk maksud yang baik—yaitu supaya ia belajar mengandalkan Allah daripada dirinya sendiri (ay.9). Menemukan pengharapan di tengah keputusasaan mungkin terdengar tidak masuk akal. Namun, seperti yang akan diperlihatkan oleh Bill Crowder, pengajar Alkitab dari Our Daily Bread Ministries, dalam buklet ini, ada suatu keputusasaan yang sesungguhnya dapat berubah menjadi pengharapan sejati—akan datangnya hari baru, jalan baru, dan sukacita yang lestari selama-lamanya.
Mart DeHaan
CHAPTER 1
BAB 1
PENGHARAPAN DALAM MASA SUKAR
R
asa takut sedang menyergap bangsa Israel. Di depan mereka terbentang Laut Merah yang
seakan tak terseberangi. Di belakang mereka pasukan kereta kuda Firaun sedang mengejar dengan ganas. Dalam kepanikan, mereka menuduh Musa dengan keras: “Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini?� (keluaran 14:11). Terdengar jelas curahan rasa putus asa mereka. Baru saja gembira karena merdeka, kini orang Israel harus menghadapi pilihan mengerikan antara kembali menjadi budak di Mesir atau mati tenggelam di Laut Merah. Kita juga hidup dalam masa sukar yang sering membuat putus asa. Mungkin kita tidak terjebak di antara bala tentara yang kuat dan ancaman kematian 7
di tengah laut, tetapi kehidupan ini masih saja melontari kita dengan berbagai kesulitan yang membuat kita terjepit. Para pria dan wanita yang telah bekerja dengan baik selama bertahun-tahun tiba-tiba saja kehilangan pekerjaan tanpa peringatan apa-apa. Orang-orang muda menghadapi masa depan tanpa kesempatan yang selama ini dinikmati oleh orangtua dan kakek-nenek mereka—apa yang sudah mereka pelajari di sekolah tidak menjanjikan mereka pekerjaan yang stabil. Di berbagai belahan dunia, bahaya mengancam—perbuatan teror kaum radikal di satu sisi dan kondisi kemiskinan di sisi lainnya. Belum lagi ancaman bencana alam yang menimbulkan kerugian yang tak terkatakan kepada masyarakat dan seluruh wilayah. Untuk masa-masa sulit itu, pengharapan menjadi obat satu-satunya. Namun, pengharapan ini bukanlah ungkapan “moga-moga� yang basa-basi dan janji-janji kosong yang sering kita lontarkan ketika kita tidak tahu harus berkata apa. Kita membutuhkan pengharapan yang tulus, teguh, dan penuh arti. Pengharapan dengan janji yang nyata dan dapat dipegang. Tidak seorang pun kebal terhadap kesulitan. Kita semua menghadapi ancaman yang sama: kehilangan mata pencaharian, deraan penyakit fatal, tragedi bencana alam, perjuangan mempertahankan hubungan yang retak. Namun, yang menentukan di sini adalah cara kita menanggapi semua kesulitan itu. Bagaimana seharusnya para pengikut 8
Yesus menanggapinya? Apakah tanggapan kita menunjukkan arti penting iman kita di mata orang luar yang mengamat-amati kita? Apakah mereka melihat dalam diri kita alasan untuk terus berharap?
KEADAAN “TANPA PENGHARAPAN� Ketika perekonomian dunia melemah baru-baru ini, saya memperhatikan bagaimana masyarakat di berbagai belahan dunia terpengaruh oleh ramalan mengenai krisis keuangan global yang akan terjadi. Saya menyimak para analis yang memperkirakan datangnya masa-masa sulit. Saya dapat merasakan beban berat dari masalah-masalah yang seakan tidak bisa diselesaikan oleh siapa pun. Meski demikian, ketika berada di tengahtengah para pengikut Kristus, saya menyaksikan adanya rasa takut, frustrasi, dan polarisasi politik yang mencerminkan keadaan masyarakat di sekitar kita. Seolah-olah percakapan dan suasana jiwa kita dibentuk oleh apa yang disiarkan di berita televisi dan laporan keuangan yang beredar di jagat maya. Komentar dan perilaku kita juga mengandung nada ketakutan dan kemarahan yang serupa dengan orang-orang yang tidak beriman. Jejak pengharapan seolah lenyap tak berbekas. Keadaan tanpa pengharapan ini tidak terbatas pada soal ketidakstabilan ekonomi semata. Harapan dan impian kita juga bisa terkikis oleh kekecewaan dan kecemasan dalam diri sendiri. Mereka yang 9
menyaksikan mungkin mengira iman kita telah dikalahkan oleh keraguan akan hari esok. Apa dampak dari ketiadaan keyakinan seperti itu terhadap iman kita dan pengharapan yang menyertainya? Mungkinkah keyakinan inti kita
Kita mengaku memiliki persekutuan dengan Allah Sumber Pengharapan, tetapi kita cenderung melihat hidup ini dari sudut pandang yang tidak berpengharapan.
kepada Allah telah terpinggirkan oleh suatu “ateisme iman” yang diam-diam kita pegang? Jika
kita
telah
mempercayai
Kristus,
mengapa terkadang kita merasa seolah-olah segala permasalahan yang ada membuat kita kehilangan pengharapan? Kita mengaku memiliki persekutuan dengan Allah Sumber Pengharapan, tetapi kita cenderung melihat hidup ini dari sudut pandang yang tidak berpengharapan.
PANDANGAN YANG BERLAWANAN Friedrich Nietzche pernah berujar, “Harapan adalah kejahatan yang terburuk, karena harapan justru memperpanjang penderitaan manusia.” Erik Erikson, psikolog Denmark kelahiran Amerika dari abad ke-20, berpandangan berbeda. Dia berkata, “Harapan adalah kebajikan yang paling awal dan tak terpisahkan dari manusia yang hidup. Jika ingin terus hidup, harapan mesti ada, bahkan ketika keyakinan goyah dan kepercayaan tergerus.” Jadi, mana yang benar? Apakah pengharapan itu kejahatan terburuk yang memperparah penderitaan, atau sesuatu yang mutlak ada bagi kehidupan layaknya udara yang kita hirup?
10
BAB 2
MAKNA DARI PENGHARAPAN
P
ada Natal pagi itu di tahun 1964, hanya satu kado yang saya ingin dapatkan di bawah pohon
Natal—sebuah gitar. Tahun itu Amerika Serikat dilanda serbuan musik asal Inggris yang ditandai dengan demam Beatles. Seperti kebanyakan remaja Amerika lainnya, saya bermimpi menjadi gitaris hebat. Pagi-pagi benar, saya berlari menuruni tangga menuju ruang keluarga, dan saya mencari-cari sesuatu yang berbentuk gitar. Namun, itu tidak ada. Alih-alih, saya menerima hadiah sejilid kamus. Alangkah kecewanya hati saya. Harapan untuk menjadi pemusik hebat hancur diluluhlantakkan oleh buku ratusan halaman yang berisi makna kata. Namun, orangtua saya memang bijaksana. Ketika saya merenungkan kekecewaan di pagi itu, saya menyadari bahwa sesungguhnya saya tidak 13
terlalu membutuhkan gitar, tetapi saya terusmenerus berurusan dengan kata-kata dan maknanya. Hari ini, tidak banyak kata yang lebih membutuhkan penjelasan yang benar daripada kata pengharapan. Bukan saja kita perlu memahami apa itu pengharapan sejati, kita juga perlu memahami apa yang bukan pengharapan yang dianugerahkan Kristus.
APA YANG BUKAN PENGHARAPAN Sering kali, pengharapan diturunkan kadarnya hingga menjadi sekadar impian muluk, sikap
Dasar dari pengharapan bukanlah teori atau filsafat, melainkan satu Pribadi.
positif, atau optimisme belaka. Kita mendengar harapan digunakan dalam ucapan-ucapan seperti, “Saya
berharap
perekonomian
akan
segera
membaik.” “Kami berharap Brazil akan memenangi Piala Dunia.” “Dokter berharap tindakan operasi yang dikerjakannya berhasil mengangkat semua sel kanker pasiennya.” Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan hasrat yang valid dalam hati manusia. Harapanharapan seperti itu tidak salah, tetapi itu bukanlah pengharapan yang ditawarkan Alkitab. Pengharapan direduksi maknanya menjadi seperti impian, bak gelembung sabun yang terlihat indah tetapi langsung buyar begitu disentuh. Ini seperti yang dikatakan Raja Salomo, “Harapan yang tertunda menyedihkan hati” (amsal 13:12).
14
Mungkin inilah alasan Nietzche mengecam keras ide tentang pengharapan. Impian memang menggiurkan dan membangkitkan hasrat dalam hati kita. Namun, jika tidak terwujud, impian hanya berujung pada kekecewaan dan sakit hati. Pengharapan harus memiliki substansi yang nyata dan juga dasar yang teguh. Jadi, apa itu pengharapan sejati?
APA ITU PENGHARAPAN Kamus
juga
memberikan
definisi
tentang
pengharapan yang lebih dari suatu impian mulukmuluk. Sebuah kamus menjelaskan harapan sebagai "keinginan yang disertai penantian atau keyakinan untuk dipenuhi." Pengharapan bisa berupa penantian atau perkiraan yang didasarkan pada apa yang kita yakini. Bagi anak-anak Allah, keteguhan pengharapan kita didasarkan pada apa yang kita ketahui tentang kebaikan dan kesetiaan Allah. Yang tidak kalah penting, pengharapan juga bisa menunjukkan kehadiran Roh Allah dalam hidup kita. Inilah pengharapan yang dijelaskan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma. Salah satu pernyataan terlengkap dalam Alkitab mengenai pengharapan adalah pesan penutup Paulus mengenai hal tersebut di Roma 15: “Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpahlimpah dalam pengharapan� (ay.13).
Pengharapan sejati adalah satu ciri utama yang membedakan orang percaya dengan mereka yang belum mengenal Kristus. 15
Doa yang luar biasa ini menyingkapkan dua alasan mengapa pengharapan menjadi prioritas utama. Pertama, Allah adalah “Allah, sumber pengharapan.” Pengharapan kita yang penuh sukacita bukanlah tanpa dasar. Dasar dari pengharapan bukanlah teori atau filsafat, melainkan satu Pribadi. Paulus ingin kita menerima pengharapan sebagai realitas yang berakar pada Allah sendiri, bukan sesuatu yang harus kita usahakan dengan kekuatan kita sendiri.
Pengharapan bukanlah sesuatu yang kita nantikan dengan harap-harap cemas.
Kedua, Paulus menghendaki kita “berlimpahlimpah dalam pengharapan.” Allah memberikan Roh-Nya, dan pengharapan yang teguh, kepada kita anak-anak-Nya. Pengharapan harus menjadi ciri penting seorang pengikut Yesus karena Allah adalah dasar pengharapan dan karena Dia telah mengaruniakan Roh-Nya. Pengharapan sejati adalah satu ciri utama yang membedakan orang percaya dengan mereka yang belum mengenal Kristus. Dalam surat kepada jemaat di Efesus, Paulus mengingatkan mereka tentang hidup mereka sebelum menerima keselamatan. “Waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia” (efesus 2:12). Frasa terakhir itu sangat penting. Mereka “tanpa pengharapan” karena mereka hidup “tanpa Allah di dalam dunia.” Orang yang mempercayai Allah
16
berbahagia karena memiliki pengharapan. Seluruh cara hidup kita pun berubah karenanya. Tantangan kita adalah bagaimana menjalani hidup dengan kesadaran akan pengharapan itu. Seorang ahli berkata bahwa bagi orang yang tidak mengenal Yesus, pengharapan adalah kata kerja. Namun, bagi orang Kristen, pengharapan juga adalah kata benda. Ini adalah perbedaan yang penting. Pengharapan bukanlah sesuatu yang kita nantikan dengan harap-harap cemas. Pengharapan—penantian penuh sukacita—adalah sesuatu yang kita miliki. Pengharapan itu kita miliki karena kita mengenal Allah yang menjadi sumber dan alasan kita untuk berharap. Pengharapan sejati tidak sama dengan menerima nasib sembari “berharap” semua akan baik-baik saja. Pengharapan sejati bersifat dinamis dan sangat kuat karena kita yang berharap dapat melihat keadaan hidup ini apa adanya—kemudian dengan penuh keyakinan bersandar pada janji dan sifat Allah.
WUJUD PENGHARAPAN SEJATI Mengapa banyak orang bingung mengenai hakikat pengharapan sejati? Salah satu alasannya adalah karena pengharapan, sama seperti iman dan kasih, dapat muncul dalam bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan yang dihadapi. Di 1 Korintus 13:13, Rasul Paulus menulis, “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di
Pengharapan adalah sesuatu yang kita miliki. 17
antaranya ialah kasih.” Ketiga pilar dari hidup dalam sukacita itu sama pentingnya, tetapi kesemuanya menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah. Dalam masa kelimpahan, orang beriman dapat memancarkan kepercayaan kepada Allah lewat senyuman penuh syukur dalam kerendahan hati. Dalam masa kehilangan, orang beriman berdukacita—tetapi tidak seperti orang yang tak berpengharapan (1 tesalonika 4:13). Ketika orang Kristen bekerja, imannya dinyatakan melalui jerih payah dan keuletan. Ketika kita beristirahat, iman dinyatakan lewat kelegaan yang ditemukan di dalam Pribadi yang berkata, “Diamlah dan ketahuilah,
Karena bergantung pada kebaikan dan kesetiaan Allah, pengharapan hadir dalam berbagai wujud untuk menanggapi pengalaman hidup yang berbedabeda. 18
bahwa Akulah Allah!” (mazmur 46:11). Kasih juga dapat menyesuaikan diri. Demi kebaikan orang lain, terkadang kasih harus dinyatakan dengan lemah lembut dan sabar. Dalam keadaan yang lain, kasih harus tegas—bahkan keras. Demikian pula pengharapan juga dapat berubah bentuk sesuai keadaan. Karena bergantung pada kebaikan dan kesetiaan Allah, pengharapan hadir dalam berbagai wujud untuk menanggapi pengalaman hidup yang berbeda-beda. Paulus menyebut bahwa pengharapan dapat berwujud keberanian: “Karena kami mempunyai pengharapan yang demikian, maka kami bertindak dengan penuh keberanian” (2 korintus 3:12). Paulus juga berkata bahwa pengharapan dapat berupa kesabaran: “Kami selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu semua . . . [dengan]
selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita” (1 tesalonika 1:2-3). Pengharapan juga berwujud penantian: Kita sedang “menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik” (titus 2:13-14). Bagi penulis kitab Ibrani, pengharapan menjadi sumber stabilitas: “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir” (ibrani 6:19). Rasul Yohanes menyebut pengharapan sejati memiliki efek
Pengharapan sejati akan menguatkan kita menghadapi berbagai tantangan karena kita melihat segala kesulitan itu melalui sudut pandang karakter Allah.
penyucian: “Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci” (1 yohanes 3:3). Pengharapan bersifat serbaguna. Pengharapan memampukan para pengikut Kristus untuk hidup dengan kepastian di dunia. Pengharapan sejati akan menguatkan kita menghadapi berbagai tantangan karena kita melihat segala kesulitan itu melalui sudut pandang karakter Allah. Jadi, bagaimana kita dapat mengembangkan pengharapan yang ulet tetapi serbaguna tersebut? Dari mana pula asalnya? 19
BAB 3
SUMBER PENGHARAPAN
P
emazmur mengakui bahwa Allah adalah sumber pengharapan kita. Ia menyatakan,
“Dan sekarang, apakah yang kunanti-nantikan, ya Tuhan? Kepada-Mulah aku berharap” (mazmur 39:8). Untuk memahami bagaimana Tuhan membawa pengharapan ke dalam hidup kita, bacalah kembali apa yang ditulis Paulus kepada jemaat di Roma. “Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci” (roma 15:4). Paulus menekankan pentingnya Kitab Suci (“segala sesuatu yang ditulis dahulu”), yang dimaksudkan “untuk menjadi pelajaran bagi kita”. Namun, bagaimana itu memberi kita pengharapan? 21
“KETEKUNAN� Saat menulis tentang kaitan antara ketekunan dan pengharapan, Paulus merujuk kepada kesabaran yang dimotivasi oleh keinginan untuk mencari kebaikan orang lain (roma 15:1-3). Ia mengingatkan bagaimana Kristus sendiri menunjukkan bahwa kesabaran menderita demi orang lain adalah cara memperlihatkan hati dan kebaikan Allah (ay.3,5-7). Sejarah mencatat nilai penting dari ketekunan tersebut. Di akhir dekade 1700-an, berkembang suatu pergerakan kecil yang berupaya menghapuskan praktik perbudakan dari Kerajaan Inggris dan meminta keinginan mereka disuarakan di parlemen Inggris. Para pendukung gerakan itu pun mendesak seorang pemuda anggota parlemen bernama William Wilberforce. Imannya di dalam Tuhan menjadi modal yang sangat baik bagi perjuangan mencari keadilan dan pembebasan bagi semua budak. Namun, jalan menuju penghapusan perbudakan tidaklah mulus. Para pendukung gerakan itu tidak banyak dan seakan menghadapi tembok yang tebal. Berulang kali Wilberforce mengajukan rancangan undang-undang penghapusan perdagangan budak, tetapi setiap kali pula itu ditolak mentah-mentah. Dari waktu ke waktu, Wilberforce dan para pendukung penghapusan perbudakan di belakangnya semakin berhasil melemahkan pihak lawan. Meskipun usaha itu menguras sebagian besar harta kekayaannya dan berdampak besar terhadap kesehatannya, Wilberforce tetap bertekun. 22
Akhirnya, pada 25 Maret 1807, raja Inggris memberikan Pengesahan Kerajaan untuk UndangUndang Penghapusan Perdagangan Budak—berkat ketekunan William Wilberforce dan rekan-rekannya yang gigih selama 20 tahun. Wilberforce dan rekan-rekannya memperlihatkan bagaimana ketekunan dapat menolong kita dalam mencapai tujuan yang berharga untuk diperjuangkan. Rasul Paulus mengamati bahwa salah satu tujuan dari ketekunan adalah pengharapan. Ia menulis:
Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya. Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri, tetapi seperti ada tertulis: “Kata-kata cercaan mereka, yang mencerca Engkau, telah mengenai aku.� Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci (roma 15:1-4).
23
Namun, Paulus juga mengamati adanya kaitan lain antara pengharapan dan ketekunan. Di bagian
Tanpa adanya ujian, kita tidak akan pernah dapat memahami atau menumbuhkan pengharapan sepenuhnya, karena ujian menimbulkan kebutuhan untuk bertekun.
lain dari surat Roma, ia menulis:
Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (5:3-5). Jika dipadukan dengan Roma 15:4, kita melihat satu kebenaran yang penting. Kita bertekun dalam pengharapan untuk mencapai tujuan yang benar. Namun, di saat yang sama, ketekunan kita menghasilkan pengharapan. Demikianlah pengharapan menjadi sarana yang kita perlukan untuk bertekun sekaligus hasil dari ketekunan kita bersandar pada Allah. Perkataan Paulus menyiratkan bahwa tanpa adanya ujian, kita tidak akan pernah dapat memahami atau menumbuhkan pengharapan sepenuhnya, karena ujian menimbulkan kebutuhan untuk bertekun. Ketika segala sesuatu berjalan mulus, kita memperoleh kesempatan untuk melihat Allah
24
bekerja. Namun, di masa-masa sulit, ketekunan memungkinkan kita mengalami kasih Allah dengan cara-cara baru. Pengharapan yang dihasilkan lewat pergumulan itu akan menjadi lebih teguh dan lebih berarti daripada apa pun yang kita dapatkan lewat kemudahan dan kenyamanan. Lewat ketekunan, kita dapat mengalami: Pengharapan dan kasih karunia Allah. Mungkin karunia terbesar yang kita terima dari ketekunan adalah sesuatu yang sangat mendasar— yaitu dalam hal-hal yang tidak bisa kita kerjakan, kita mendapati bahwa Allah lebih dari cukup bagi kita. Allah menanggapi ketidaksanggupan kita dengan kasih karunia berlimpah. Paulus menemukan kasih karunia ini lebih besar dari semua penderitaan. Tiga kali ia memohon kepada Allah kelepasan dari pergumulan tertentu. Ia mencatat tanggapan Allah di 2 Korintus 12:9, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.� Paulus pun menanggapi, “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.� Pengharapan
dan
perlindungan
Allah.
Ketidakpastian dalam hidup dapat membuat hati kita dipenuhi ketakutan. Namun, ketika kita bertekun oleh karena iman, kita akan mendapati bahwa Allah adalah perlindungan kita, bahkan
Kuasa Allah adalah sumber pengharapan yang pasti.
di masa terkelam sekalipun. Keselamatan kita di dalam Kristus memberikan pengharapan melalui kuasa-Nya, karena para pengikut Kristus adalah 25
orang-orang “yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena iman [kita] sementara [kita] menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir� (1 petrus 1:5). Karena kuasa Allah adalah sumber pengharapan yang pasti, pemazmur pun menyembah Dia:
Tetapi aku mau menyanyikan kekuatan-Mu, pada waktu pagi aku mau bersorak-sorai karena kasih setia-Mu; sebab Engkau telah menjadi kota bentengku, tempat pelarianku pada waktu kesesakanku (mazmur 59:17). Dengan menyadarinya, kita tidak perlu menyikapi hidup dengan hati penuh ketakutan atau
Oleh karena iman kepada Kristus, para pengikutNya adalah orangorang yang memiliki pengharapan sejati.
keputusasaan. Kita dapat menjalani hidup dengan pengharapan yang pasti. Pengharapan
dan
pemeliharaan
Allah.
Menurut penulis kitab Ibrani, karena Yesus turut merasakan kelemahan dan cobaan yang kita alami, kita dapat “dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya� (4:16). Kasih karunia. Perlindungan. Pemeliharaan. Ketiganya adalah sumber pengharapan yang tidak sepenuhnya kita pahami sebelum kita mengalami semuanya itu di tengah berbagai keadaan yang mengancam untuk menghancurkan kita. Meski
26
demikian, saat menengok ke belakang kita bisa menyatakan bersama Rasul Paulus, “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian; kami dihempaskan, namun tidak binasa” (2 korintus 4:8-9). Kenyataan jujur yang diungkapkan Paulus mengingatkan bahwa para pengikut Kristus tidak kebal terhadap luka batin, kesusahan, tantangan, dan pergumulan. Kita akan menemui banyak “jurang yang penuh jerat,” tetapi tidak seperti orang lain yang tidak mengenal Allah dan tidak memiliki pengharapan. Oleh karena iman kepada Kristus, para pengikut-Nya adalah orang-orang yang memiliki pengharapan sejati.
MENEMUKAN PENGHARAPAN DALAM KISAH-KISAH ALKITAB Kesanggupan Allah untuk bekerja demi kebaikan kita—sesuai dengan karakter dan kuasa-Nya— telah sepenuhnya dan sering kali terbukti dalam kehidupan para tokoh Alkitab yang adalah manusia biasa seperti kita. Mereka mendapati bahwa Allah dapat dipercaya di saat-saat tersulit sekalipun. Penulis kitab Perjanjian Baru Yakobus menasihati kita untuk belajar dari pengalaman mereka, “Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan” (yakobus 5:10).
27
Sebagai
seorang
gembala
muda,
Daud
mendatangi medan pertempuran ketika raksasa Goliat menantang tentara dan Allah Israel. 1 Samuel 17 mengisahkan bagaimana Daud mengajukan diri secara sukarela untuk menghadapi jawara Filistin itu karena Allah sudah pernah memampukan dirinya untuk melindungi kawanan domba milik ayahnya dari serangan singa dan beruang (ay.34-37). Karena
Ketakutan dan keraguan berubah menjadi keyakinan dan pengharapan karena Allah telah membuktikan diri-Nya setia.
sudah pernah mengalami perlindungan Allah yang setia dalam pergulatannya di masa lalu, Daud memiliki pengharapan yang pasti. Dalam
Daniel
3,
tiga
pemuda
Ibrani
yang ditawan di Babel diperintahkan untuk mempermalukan Allah dengan bersujud di hadapan sebuah patung raksasa. Dengan berbekal ingatan pada kelepasan yang mereka (dan rekan mereka, Daniel) terima dari Allah ketika keyakinan mereka diuji di Daniel 1 dan hidup mereka diancam di Daniel 2, mereka tetap berdiri teguh dalam kepercayaan pada kesanggupan Allah. Pengalaman mereka bersama Allah di masa lalu menjadi bekal bagi mereka untuk tetap mempercayai-Nya dalam tantangan yang saat itu mereka hadapi. Bisa jadi karena sudah terlalu sering mendengar dan membacanya, kisah-kisah tersebut tidak lagi menggetarkan hati kita. Akan tetapi, semua tokoh itu bukanlah pahlawan super dengan kemampuan istimewa. Mereka adalah orang-orang biasa yang menghadapi beragam tantangan hidup yang dalam banyak segi juga kita masih hadapi hingga saat ini.
28
Namun, mereka menghadapi semua tantangan itu dengan pengharapan karena pengalaman mereka bersama Allah di masa lalu meyakinkan mereka bahwa Allah layak dipercayai. Ketakutan dan keraguan berubah menjadi keyakinan dan pengharapan karena Allah telah membuktikan diri-Nya setia. Kitab Suci memberi kita pengharapan karena Allah yang digambarkan di dalam Alkitab bukan hanya menjadi Allah mereka, tetapi juga Allah kita! Dia tidak pernah berubah. Dia masih “dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita� (efesus 3:20). Catatan di dalam Alkitab tentang kesanggupan Allah untuk menolong umat-Nya memberi kita pengharapan pasti: kita pun dapat mempercayai Dia ketika tantangan menghadang kita hari demi hari.
29
BAB 4
PENGHARAPAN BAGI DUNIA YANG PUTUS ASA
S
eperti yang sudah dikemukakan tadi, salah satu karakteristik yang membedakan pengikut
Kristus dari mereka yang tidak mengenal Dia adalah bahwa kita ini umat yang berpengharapan. Realitas inilah yang menjadi inti dari misi kita membagikan kabar Kristus kepada orang lain. Kita tidak menawarkan agama, cara pandang, atau filsafat alternatif. Yang kita tawarkan adalah pengharapan bagi dunia yang sangat merindukannya. Ini sering kali terlupakan. Kita dipanggil tidak hanya untuk membagikan kabar pengampunan dari Allah dan tawaran untuk kembali bersekutu dengan-Nya, tetapi juga berbagi pengharapan yang dihasilkan dari persekutuan dengan Allah tersebut. Barangkali tidak ada ayat Alkitab yang lebih baik menyatakan hal ini daripada kata-kata Petrus: 31
“Kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk
Kita menawarkan pengharapan bagi dunia yang teramat sangat mendambakannya.
memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat� (1 petrus 3:15). Saya sering mendengar ayat ini diajarkan. Saya juga telah membaca banyak penafsiran yang mencoba menjelaskan maksud Petrus. Saya sendiri pernah mengajarkan bagian ini. Namun, sebagian besar penjelasan tentang 1 Petrus 3:15 ini, termasuk yang saya lakukan, memberikan penekanan yang kurang tepat. Ayat ini hampir selalu digunakan sebagai tantangan kepada orang Kristen untuk menjangkau orang lain dalam nama Yesus. Namun, meskipun ayat ini tentu menyatakan hal tersebut, tetapi bukan itu pesan utamanya. Ayat ini biasanya diajarkan sebagai berikut: “Sebagai orang percaya, kita perlu belajar bagaimana membagikan iman kita. Kita perlu mengikuti pelatihan dan lokakarya penginjilan. Kita perlu mempelajari bagian-bagian strategis dari Alkitab yang bisa menjelaskan pesan mengenai salib secara singkat dan jelas. Kita harus melakukan semua ini karena Petrus memerintahkan kita untuk selalu siap sedia memberikan pertanggungjawaban.� Itu semua tidaklah keliru. Kita memang dipanggil Kristus untuk membawa pesan Injil sampai
32
ke ujung bumi. Kita memang harus membagikan pesan mengenai kasih dan pengampunan-Nya. Akan tetapi, pemahaman mengenai 1 Petrus 3:15 seperti itu belum lengkap. Petrus mengajarkan bahwa ada satu faktor pendorong bagi kita untuk mengabarkan Injil. Ada sesuatu yang memicu kita untuk bergerak. Apakah itu? Tidak ada faktor pendorong yang lebih baik untuk mulai membagikan iman kita daripada kehadiran pengharapan di dalam hidup kita. Jika pesan Petrus dipahami secara utuh, kita menemukan langkah-langkah yang menghasilkan penjangkauan yang efektif—dan yang dibutuhkan bukan saja pengetahuan tentang isi Alkitab. Yang dimaksudkan Petrus adalah: • Kita harus hidup sebagai orang-orang yang berpengharapan; • Pengharapan itulah yang membedakan hidup kita; • Orang-orang yang hidup berputus asa di dalam dunia yang tak berpengharapan akan melihat pengaruh yang dihasilkan pengharapan dalam hidup kita; • Mereka akan menanyakan sumber dari pengharapan kita; • Pada saat itu kita harus siap memberikan pertanggungjawaban kita. Mereka
akan
menanyakan
alasan
di
balik
Pengharapan adalah ciri penanda yang menjadikan hidup kita berbeda.
pengharapan kita. Kita pun harus siap memberikan 33
jawaban kepada mereka. Jika hidup kita tidak ditandai oleh kehadiran pengharapan yang sejati, nyata, dan pasti, perbedaannya tidak akan terlihat— dan tak seorang pun akan bertanya kepada kita. Kita bisa mempelajari semua ayat dan jurus yang ada. Kita bisa dilatih untuk memahami teori dan strategi pengabaran Injil. Kita dapat memiliki kerinduan yang besar untuk menjangkau hati dan hidup orang-orang yang mencari kebenaran. Namun, tanpa adanya bukti pengharapan di tengah dunia yang putus asa, kita tidak akan menunjukkan kepada mereka yang tak berpengharapan bahwa kita memiliki sesuatu yang berbeda daripada keputusasaan yang selama ini mereka alami. Di dalam Kristus, kita memiliki pengharapan sejati, bukan sikap naif yang membuat kita gagal melihat kenyataan hidup. Pada awalnya, orangorang di sekitar kita mungkin memandang pengharapan
yang
melampaui
pemahaman
manusia dan yang menjadikan hidup kita berbeda itu sebagai hal yang aneh. Namun, di dalam dunia yang merindukan harapan, akan ada orang-orang yang tertarik kepada pengharapan itu dan kepada Kristus yang menyediakannya melalui kebangkitanNya dari kematian. Pengharapan dan kebangkitan Kristus sangatlah erat terkait.
34
BAB 5
DASAR DARI PENGHARAPAN
K
uasa Kebangkitan Kristus. Arti penting dari kebangkitan Kristus dapat ditemukan dalam
surat pertama yang ditulis oleh Petrus: “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan” (1 petrus 1:3). Di sini kita melihat kenyataan kunci yang menjadi sumber pengharapan kita, yaitu bahwa Yesus Kristus telah mengalahkan maut demi menebus kita. Kata Alkitab tentang musuh terbesar kita: • Maut adalah konsekuensi tak terbantahkan dari dosa manusia. “Upah dosa ialah maut” (roma 6:23). 37
• Luka batin dalam hidup adalah seumpama “lembah kekelaman” (mazmur 23:4). • Kengerian maut adalah alasan utama dari ketakutan kita. “Hatiku gelisah, kengerian maut telah menimpa aku” (mazmur 55:5). • Maut
adalah
pertemuan
yang
tak
terhindarkan. “Manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi” (ibrani 9:27). Kematian memang menjadi musuh terbesar yang tidak bisa kita kalahkan sendiri. Oleh sebab itulah
Kristus
datang
untuk
menyelesaikan
masalah kita dengan kematian dan memberi kita pengharapan. Begitu kuatnya pengharapan kemenangan atas kematian yang dibawa oleh Kristus ini hingga Matius menggerakkan para pembacanya untuk mengingat nubuat kuno yang pernah disampaikan Nabi Yesaya:
Kristus datang untuk menyelesaikan masalah kita dengan kematian dan memberi kita pengharapan.
“Bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang” (matius 4:16). Dari kegelapan kepada terang. Dari maut kepada hidup. Dengan karya-Nya yang menaklukkan maut, Kristus mengenyahkan ketakutan dan kengerian terhadap kematian dan menggantikannya dengan pengharapan.
38
Perhatikanlah dampak yang dihasilkan oleh kematian dan kebangkitan Kristus. Paulus menulis tentang hal itu panjang lebar di 1 Korintus 15 ketika menjelaskan betapa dalam dan sempurnanya kemenangan dari kebangkitan Kristus. Ia menulis:
Musuh yang terakhir, yang dibinasakan ialah maut. . . . Dan sesudah yang dapat binasa ini mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati, maka akan genaplah firman Tuhan yang tertulis: “Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?� Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita (1 korintus 15:26,54-57).
Kristus telah mencabut sengat maut dengan mengenyahkan ketakutan terhadap apa yang terjadi setelah kematian.
Pengharapan yang pasti dan penuh sukacita itu didasarkan pada kemenangan yang diraih Kristus. Orang-orang yang percaya kepada Kristus dapat menjalani hidup dan menyambut kematian dengan penuh pengharapan karena musuh terbesar kita telah ditaklukkan. Kristus telah mencabut sengat maut dengan mengenyahkan ketakutan terhadap apa yang terjadi setelah kematian. Sekarang, kita 39
bisa menghadapi kematian dengan pengharapan sejati—bukan “harapan� angan-angan belaka. Sudut
Pandang
Kebangkitan
Pribadi.
Pengharapan akan kebangkitan mengubah total sudut pandang kita dalam dua hal. Pertama, pengharapan akan kebangkitan
Kristus yang telah menaklukkan musuh terbesar kita tentu sanggup menolong kita menghadapi semua pergumulan dan tantangan hidup ini.
mempengaruhi cara kita memandang kehidupan dan kematian. Ini sangat nyata kita alami di saat kita berdukacita karena kematian orang terkasih. Rasul Paulus tidak pernah menganggap bahwa orang Kristen tidak boleh berduka. Kematian adalah kehilangan yang besar! Hati kita bersedih ketika hubungan kita dengan orang terkasih terputus oleh kematian, musuh yang bisa datang kapan saja. Namun, di tengah kesedihan dan kehilangan, Paulus mengingatkan bahwa sebagai pengikut Kristus kita memiliki keuntungan. Ia menulis, “Kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orangorang lain yang tidak mempunyai pengharapan� (1 tesalonika 4:13). Di abad pertama, ketika doktrin iman Kristen sedang terbentuk, orang-orang percaya di Tesalonika memiliki banyak pertanyaan. Salah satunya adalah pertanyaan yang penting: Apa yang terjadi kepada orang yang kita kasihi ketika mereka meninggal? Dalam ayat 14-18, jawaban Paulus adalah bahwa kita dapat terhibur oleh janji perjumpaan kembali di masa depan yang tidak akan pernah berakhir.
40
Hubungan kita mungkin terputus oleh kematian di dunia, tetapi ini bukanlah akhir segalanya. Kita masih merasakan duka akibat kehilangan, tetapi kita tidak perlu dikuasai terus-menerus olehnya. Kita berdukacita, tetapi tidak “seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan.” Kemenangan Kristus atas kematian menjamin suatu pengharapan yang tidak hanya memberikan keyakinan pasti ketika kita menghadapi maut, tetapi juga membawa penantian penuh sukacita akan perjumpaan kembali di dalam Kristus tatkala kita bergulat dengan dukacita atas kepergian orang terkasih. Kebangkitan-Nya memberi kita pengharapan sewaktu kita mengalami dukacita dan kesedihan di dalam “lembah kekelaman.” Kedua, pengharapan akan kebangkitan membawa kegairahan dalam pengalaman hidup orang Kristen. Hidup kita di dunia tidaklah sebatas pada apa yang terjadi selama kita ada. Hidup juga menjadi persiapan kita untuk memasuki keabadian. Paulus menulis, “Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia” (1 korintus 15:19). Saya penah mendengar ada yang berkata bahwa sekalipun surga tidak ada, mengikut Kristus sudah cukup menjadi pengalaman terindah selama hidup di dunia. Paulus jelas tidak sepakat! Menurutnya, jika itu benar, alangkah malangnya orang Kristen!
41
Mengapa? Karena jika demikian tidak ada lagi yang kita harapkan. Kita telah ditipu. Namun, ternyata hidup di dunia bukan sebatas itu saja! Jika kita dapat sungguh-sungguh hidup bagi Kristus di dunia, itu karena kita memiliki pengharapan akan hidup kekal seperti yang dijanjikan-Nya. Pengharapan yang didasarkan pada kebangkitan Kristus itu akan membentuk cara kita menjalani hidup di dunia karena hal tersebut memberikan kepada kita sudut pandang yang berorientasi pada masa depan. Bagi hidup sehari-hari, kebangkitan Kristus memberi kita kepastian yang luar biasa indah. Kristus yang telah menaklukkan musuh terbesar kita tentu sanggup menolong kita menghadapi semua pergumulan dan tantangan hidup ini.
42
BAB 6
PENGHARAPAN YANG KEKAL SELAMANYA
P
earl Buck menulis, “Menyantap makanan tanpa memiliki pengharapan sama saja dengan
mati kelaparan perlahan-lahan.” Akan tetapi, tidak seorang pun perlu mati kelaparan. Ketika seseorang datang kepada Kristus, ia akan menerima pengampunan, kehidupan, dan hubungan kembali dengan Allah. Paulus menyatakannya demikian: “Kepada mereka Allah mau memberitahukan, betapa kaya dan mulianya rahasia itu di antara bangsa-bangsa lain, yaitu: Kristus ada di tengah-tengah kamu, Kristus yang adalah pengharapan akan kemuliaan!” (kolose 1:27). Ini adalah pengharapan akan kemuliaan karena kita adalah milik-Nya dan Dia adalah Allah kita. Dalam persekutuan yang pasti itulah Dia 45
menyatakan pengharapan-Nya di dalam kita— pengharapan yang berakar pada hidup kekal yang nyata—supaya kita dapat menghadapi hidup ini dengan cara yang memuliakan Dia dan menolong kita. Lihatlah alasan kedatangan-Nya ke dunia:
Kita dapat bertekun dengan pengharapan yang pasti bahwa kita tidak sendirian atau dilupakan. Dia tidak akan pernah meninggalkan kita.
Ketika nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia, pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmatNya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita, supaya kita, sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya, berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita (titus 3:4-7). Karena Allah dalam kebaikan dan kasih-Nya telah mengutus Kristus untuk menyelamatkan kita dari dosa dan kelemahan kita, kini kita dapat “menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita� (ay.7). Janji itu bisa menjadi milik Anda ketika Anda berpaling kepada Kristus, mengakui dosa dan
46
kesalahan Anda, serta menerima pengampunan yang telah Dia lunasi bagi Anda—dan pengharapan yang menyertainya. Itulah janji Allah kepada mereka yang oleh Kristus “percaya kepada Allah, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati dan yang telah memuliakan-Nya, sehingga imanmu dan pengharapanmu tertuju kepada Allah” (1 petrus 1:21). Jika Anda telah mengenal Kristus, seberapa nyata
janji
Pengharapan
pengharapan-Nya adalah
kenyataan
bagi
Anda?
yang
indah,
penuh rahmat, dan mengubahkan hidup, yang memampukan kita melihat kehidupan dari sudut pandang yang berbeda. Pengharapan mengubah total sudut pandang kita sehingga seluruh cara kita menjalani hidup pasti terpengaruh. Mengenai ini, Paulus menulis, “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun” (roma 8:24-25). Akan ada saatnya pengharapan tampak kabur, tetapi kita selalu dapat mempercayai Allah, sumber pengharapan kita. Dia selalu hadir, dan belas kasihNya bagi kita kekal selamanya.
47
PENGHARAPAN DINYATAKAN, KETAKUTAN DIENYAHKAN Ketika bangsa Israel gemetar ketakutan di pesisir Laut Merah, Musa berkata kepada mereka, “Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari Tuhan” (keluaran 14:13). Kita semua tahu apa yang terjadi selanjutnya. Allah mengirim “angin timur yang keras” yang membuat dasar laut menjadi jalan kering yang membelah air laut itu. Orang Israel berhasil meloloskan diri, dan bala tentara Mesir yang mengejar mereka pun ditenggelamkan. Keluaran 15 mencatat nyanyian pujian kemenangan Israel kepada Allah atas pembebasan mereka yang ajaib di hadapan masalah besar yang rasanya tak terlampaui. Kita dapat selalu mempercayai Allah saat menghadapi
pergumulan
yang
tersulit
dan
tragedi yang terbesar. Kita dapat bertekun dengan pengharapan yang pasti bahwa kita tidak sendirian atau dilupakan. Dia tidak akan pernah meninggalkan kita. Kristus telah bangkit! Allah Bapa kita di surga itulah sumber pengharapan kita!
48
KINI KAMI HADIR
di Marketplace dan Google Play Books
Untuk membeli karya-karya Bill Crowder dan buku-buku lainnya, pesan melalui: orders@dhdindonesia.com www.dhdindonesia.com 0895-202-202-95
KEYAKINAN YANG LESTARI Di tengah dunia yang tak menentu dan penuh ketakutan, adakalanya iman kita terselubungi oleh keraguan. Banyak orang tidak lagi yakin akan apa yang ada di depan. Lewat buklet ini, penulis Bill Crowder menyoroti pengharapan yang hanya dapat kita temukan di dalam Yesus Kristus. Temukan kebenaran yang akan meneguhkan iman dan keyakinan Anda kepada Allah dalam masa-masa yang tersulit sekalipun. Bill Crowder pernah menggembalakan gereja selama lebih dari dua puluh tahun dan kini melayani sebagai wakil presiden dalam bidang pengajaran di Our Daily Bread Ministries serta menulis renungan untuk Our Daily Bread.
santapanrohani.org
MX204