Tuhan adalah
GEMBALAKU Pemulihan & Pembaruan dari Mazmur 23
David Roper
ANDA DAPAT MEMBERI ANDADAPAT DAPATMEMBERI MEMBERI ANDA DAMPAK YANG BERARTI! DAMPAKYANG YANGBERARTI! BERARTI! DAMPAK Materi kami tidak dikenakan Materikami kamitidak tidakdikenakan dikenakanbiaya. biaya.Pelayanan Pelayanankami kamididukung didukung Materi oleh persembahan kasih dari para pembaca kami. oleh persembahan kasih dari para pembaca kami. oleh persembahan kasih dari para pembaca kami. Jika Anda ingin mendukung pelayanan kami, Anda JikaAnda Andaingin inginmendukung mendukungpelayanan pelayanankami, kami,Anda Andadapat dapat Jika dapat mengirimkan persembahan kasih melalui rekening mengirimkan persembahan kasih melalui rekening mengirimkan persembahan kasih melalui rekening “Yayasan “YayasanODB ODBIndonesia” Indonesia” “Yayasan ODB Indonesia” BCA Green Garden A/C 253-300-2510 BCAGreen GreenGarden GardenA/C A/C253-300-2510 253-300-2510 BCA BNI Daan Mogot A/C 0000-570-195 BNIDaan DaanMogot MogotA/C A/C0000-570-195 0000-570-195 BNI Mandiri Taman Semanan A/C 118-000-6070-162 MandiriTaman TamanSemanan SemananA/C A/C118-000-6070-162 118-000-6070-162 Mandiri QR Code Standar QRCode CodeStandar Standar QR Pembayaran Nasional PembayaranNasional Nasional Pembayaran
Scan QR code ini untuk donasi dengan aplikasi ScanQR QRcode codeini iniuntuk untukdonasi donasidengan dengan aplikasi Scan aplikasi e-wallet berikut: e-walletberikut: berikut: e-wallet Yayasan Yayasan Yayasan ODB Indonesia ODB Indonesia ODB Indonesia
Silakan kasih Anda melalui: Silakankonfirmasi konfirmasipersembahan persembahan kasih Anda melalui: Silakan konfirmasi persembahan kasih Anda WhatsApp: 0878.7878.9978 WhatsApp: 0878.7878.9978 melalui nomor kontak kami di halaman belakang buklet ini. E-mail: E-mail:indonesia@odb.org indonesia@odb.org SMS: SMS:081586111002 081586111002
Anda Andajuga jugadapat dapatmendukung mendukungkami kami dengan meng-klik tautan ini. dengan meng-klik tautan ini.
daftar isi satu
Siapakah Allah? ��������������������������������������������������������������������� 3 dua
Pemulihan dan Pembaruan ��������������������������������������������12 tiga
Menyendiri Bersama Allah ����������������������������������������������18 empat
Mendengarkan Allah ��������������������������������������������������������� 21 lima
Menanggapi Allah ���������������������������������������������������������������28
EDITOR: J. R. Hudberg GAMBAR SAMPUL: © iStock.com / Paffy69 PERANCANG SAMPUL: Stan Myers PERANCANG INTERIOR: Steve Gier PENERJEMAH: Timothy Daun EDITOR TERJEMAHAN: Natalia Endah PENYELARAS BAHASA: Bungaran Gultom, Indrawan PENATA LETAK: Mary Chang GAMBAR ISI: Freerange Stock (hlm.3); Terry Bidgood (hlm.12); Michaela Kobyakov/Stock.xchng (hlm.18); John Nyberg/Stock.xchng (hlm.21); Mateusz Stachowski/Stock.xchng (hlm.28). Kutipan ayat diambil dari teks Alkitab Terjemahan Baru Indonesia, LAI © 1974 Buklet ini dikutip dari Every Day is A New Shade of Blue: Comfort for Dark Days from Psalm 23 karya David Roper. Digunakan seizin Discovery House. Copyright © 1994, 2012 Our Daily Bread Ministries, Grand Rapids, MI. © 2018 Our Daily Bread Ministries, Grand Rapids, MI Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dicetak di Indonesia. Indonesian Discovery Series “The Lord is My Shepherd—Rest and Renewal from Psalm 23”
satu
Siapakah Allah?
K
ebanyakan dari kita tidak memiliki gambaran yang jelas tentang Allah yang ingin kita sembah. Gambaran kita tentang Allah diwarnai oleh ingatan akan gedung gereja yang dingin dan agama yang kaku, oleh pendeta atau pemimpin gereja yang menanamkan rasa takut akan Allah dalam diri kita, atau oleh penderitaan yang kita alami sebagai anak dari ayah yang tidak hadir dalam masa pertumbuhan kita, ayah yang tidak peduli, kejam, atau justru lemah. Setiap kita memiliki gambaran yang tidak tepat tentang Allah. Gambaran yang tidak tepat tentang Allah merupakan bagian dari pengalaman manusia pada umumnya. Karena kita terbatas dan Allah tak terbatas, mustahil bagi kita untuk memiliki pemahaman yang sempurna dan lengkap tentang Dia. Namun, gambaran yang tidak tepat belum tentu tidak akurat. Itu juga tidak berarti bahwa Allah tidak akan bisa dipahami. 3
Jadi pertanyaannya adalah tentang Allah itu sendiri: Siapakah Dia? Itulah puncak dari semua pertanyaan kita— dan memang Allah yang menanamkan pertanyaan itu dalam hati kita. Karena pertanyaan itu ditanamkan oleh Allah, tentulah jawabannya hanya ditemukan di dalam Dia—dan Dia sungguh ingin menyatakannya kepada kita. Daud memberi kita jawaban yang menghibur sekaligus menguatkan: “Tuhan adalah gembalaku” (MAZMUR 23:1). Gembala merupakan metafora yang sederhana, tetapi sarat makna. Metafora itu memberikan gambaran tentang gembala dan domba-dombanya; selain itu juga gambaran tentang pengalaman Daud dan pengalaman kita. Daud memberikan gambaran dan mengikutsertakan kita di dalamnya. Mazmur tersebut kemudian menjadi mazmur kita. Perkataan Daud dapat dipakai sebagai perkataan kita.
Daud, Si Gembala
Daud sendiri adalah seorang gembala. Di masa mudanya, ia sering menjaga beberapa ekor domba di padang gurun (1 SAMUEL 17:28). Padang gurun adalah salah satu tempat belajar terbaik di dunia. Di padang gurun, tidak banyak gangguan dan tidak banyak hal yang bisa dilakukan. Di tempat semacam itu, kita terdorong untuk berpikir lebih dalam tentang makna dari hal-hal tertentu. Suatu hari, sewaktu Daud menjaga domba-dombanya, muncul ide di benaknya bahwa Allah itu seperti gembala. Ia memikirkan tentang perhatian yang terus-menerus diperlukan oleh kawanan domba karena mereka tak berdaya dan tak bisa mempertahankan diri. Ia mengingat kebodohan domba-domba itu yang suka menyimpang dari jalan yang aman dan perlunya mereka dibimbing dari waktu ke waktu. Ia memikirkan tentang waktu dan kesabaran yang diperlukan agar domba-domba itu mempercayainya sebelum mereka mau mengikutinya. Ia 4
TUHAN ADALAH GEMBALAKU
juga ingat saat-saat ketika ia melindungi domba-domba itu dari bahaya dan mereka mengerubungi kakinya. Ia memperhatikan fakta bahwa ia harus memikirkan kawanan dombanya, melindungi mereka, menjaga mereka, dan mencarikan mereka padang rumput yang hijau serta mata air yang tenang. Ia ingat saat membebat luka memar dan goresan yang dialami domba-dombanya, dan ia terheran, betapa seringnya ia harus menyelamatkan mereka dari bahaya. Namun, tak seekor pun dari domba itu yang menyadari betapa mereka telah dijaga dengan sangat baik. Ya, Daud merenungkan, Allah itu seperti seorang gembala yang baik. Para gembala di zaman dahulu mengenal dombanya satu per satu. Mereka tahu semua kebiasaan dombadombanya—ciri khas, sifat, kecenderungan, maupun tabiat aneh dombanya. Di masa itu, gembala tidak menggiring, tetapi menuntun domba-dombanya. Di pagi hari, gembala memanggil domba-dombanya dengan siulan khusus dan kawanan dombanya akan bangun serta mengikutinya ke padang rumput. Bahkan jika dua gembala bersiul secara bersamaan dan dua kawanan domba tercampur, dombadomba itu tak pernah mengikuti gembala yang salah. Sepanjang hari kawanan domba itu mengikuti gembala mereka ke padang rumput yang hijau dan mata air yang tenang agar mereka dapat makan-minum dengan aman. Di saat-saat tertentu, si gembala perlu membawa kawanan dombanya melintasi padang belantara, tanah tandus dan terpencil tempat binatang pemangsa berkeliaran. Namun, domba-domba itu selalu dijaga dengan baik. Gembala membawa “gada” (pentungan) yang diikat di pinggangnya dan juga tongkat gembala. Tongkat itu memiliki lengkungan yang dipakai untuk menarik domba dari tempat berbahaya atau mencegah Siapakah Allah?
5
mereka agar tidak tersesat. Gada adalah senjata untuk menangkal binatang buas. Daud berkata, “Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya” (1 SAMUEL 17:34-35). Sepanjang hari, si gembala akan berada di dekat kawanan dombanya, dengan waspada mengawasi dan melindungi domba-domba itu dari bahaya sekecil apa pun. Jika seekor domba tersesat, gembala akan mencarinya sampai ketemu. Lalu domba itu dipanggul di pundaknya dan dibawa pulang. Pada petang hari, gembala menuntun kawanan dombanya ke kandang yang aman dan tidur di depan pintu kandang untuk melindungi mereka. Seorang gembala yang baik tak pernah membiarkan dombanya tanpa penjagaan. Domba-domba itu akan tersesat tanpa adanya gembala. Keberadaan gembala merupakan jaminan perlindungan bagi mereka. Gembala yang baik seperti itulah yang dibayangkan Daud ketika menuliskan setiap kalimat dalam Mazmur 23. Dalam Yohanes 10:7-9, Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Dia bukan saja “gembala yang baik”, tetapi juga “pintu”. Sebagai pintu, Yesus adalah satu-satunya jalan untuk keluarmasuk. Sebagai gembala yang baik, Dia menghadang bahaya demi melindungi domba-domba-Nya.
Gembala Agung segala domba
Ratusan tahun setelah Daud menuliskan mazmur tentang Gembala itu, Yesus mengatakan dengan penuh keyakinan: Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba6
TUHAN ADALAH GEMBALAKU
domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku (Yohanes 10:11-15). Dialah Yesus, Tuhan kita, “Gembala Agung segala domba” (IBRANI 13:20). Yesus dan Allah Bapa adalah satu. Dia pun memandang kita sebagai “domba yang tidak bergembala.” Dia “datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (LUKAS 19:10). Dialah gembala yang “meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang sesat”. Itulah bukti abadi dari betapa bernilainya satu jiwa dan besarnya kerinduan Allah Bapa yang tidak menghendaki seorang pun binasa (MATIUS 18:12-14). F. B. Meyer menulis: Dia memiliki hati seorang gembala, penuh kemurahan hati dan kasih yang murni, yang tak memperhitungkan nyawa-Nya sendiri sebagai sesuatu yang terlalu mahal demi menebus kita. Dia memiliki mata seorang gembala, yang mampu mengawasi seluruh kawanan dan tahu jika ada domba malang yang tersesat di pegunungan yang dingin. Dia memiliki kesetiaan seorang gembala, yang takkan pernah mengabaikan dan meninggalkan kita tanpa daya, atau melarikan diri saat melihat serigala datang. Dia memiliki kekuatan seorang gembala, sehingga sanggup melepaskan kita dari terkaman singa atau cengkeraman beruang. Dia memiliki kelembutan seorang gembala; domba sekecil apa pun akan digendong-Nya; anak selemah apa pun akan dituntun-Nya dengan lembut; jiwa yang hampa pun akan dipuaskan-Nya. Siapakah Allah?
7
Namun, ada satu poin lagi: Gembala yang Baik itu menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya. Gembala sering menempatkan diri mereka dalam bahaya demi melindungi domba-dombanya dari para pencuri dan binatang pemangsa.
Sejak semula, agama-agama telah menetapkan bahwa domba yang harus menyerahkan nyawanya bagi gembala. Gembala akan membawa dombanya ke bait suci, menyandarkan seluruh beban tubuhnya pada kepala domba itu, dan mengakui dosanya. Domba itu lalu akan disembelih dan darahnya tercurah untuk pengampunan dosa gembalanya—nyawa ganti nyawa. Sungguh ironis! Kini Sang Gembala yang menyerahkan nyawa-Nya bagi domba- domba-Nya. ”Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi Tuhan telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian” (YESAYA 53:5-6). Itulah gambaran kematian Sang Gembala. “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh” (1 PETRUS 2:24). Dia telah mati bagi semua dosa—dosa berupa perbuatan seperti membunuh, berzinah, dan mencuri maupun dosa dalam batin seperti keangkuhan dan keegoisan. Dia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib. Inilah jawaban yang tuntas atas masalah dosa. Saat memandang salib orang biasanya akan berkata bahwa karena begitu jahatnya manusia dan begitu 8
TUHAN ADALAH GEMBALAKU
murkanya Allah, maka ada yang harus membayar harga dari kejahatan itu. Namun bukan kemarahan yang menyebabkan Kristus disalibkan, melainkan karena kasih. Penyaliban adalah inti dari segalanya. Karena kasih-Nya yang besar kepada kita sehingga Allah rela menanggung kesalahan dan dosa kita lalu menghapuskannya. Dan saat semuanya telah tuntas, Yesus berkata, “Sudah selesai!” Tak ada lagi yang perlu kita lakukan selain datang kepadaNya untuk memperoleh pengampunan dan penerimaan dari-Nya—dan bagi yang sudah melakukannya, kita perlu menghayatinya dengan lebih mendalam. Sang Gembala memanggil kita dan Dia mendengar suara terlirih serta ratapan tersayup sekalipun. Seandainya Dia tidak mendengar suara apa pun, Dia tetap takkan menyerah atau pergi begitu saja. Dia membiarkan kita pergi mengembara dengan harapan suatu saat nanti, keletihan dan keputusasaan akan membawa kita kembali kepada-Nya. Sesungguhnya, ketidaknyamanan kita pun berasal dari Allah. Dia memburu dan mengurung kita. Dia membuyarkan impian kita. Dia menggagalkan rencana kita yang terbaik. Dia memupuskan harapan kita. Dia menunggu sampai kita tahu bahwa tak ada satu hal pun yang mampu meredakan kepedihan kita; tak satu pun yang mampu menjadikan hidup ini berarti untuk dijalani selain kehadiran-Nya. Dan ketika kita berbalik kepadaNya, Dia senantiasa siap menyambut kita. “Tuhan dekat pada setiap orang yang berseru kepada-Nya” (MAZMUR 145:18). ”Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau” (MAZMUR 139:7-8). Siapakah Allah?
9
Namun, Anda mungkin bertanya, “Mengapa Allah menginginkanku? Dia tahu semua dosaku, pemberontakanku, dan kebiasaan lamaku yang mudah menyerah. Aku tak layak. Aku tak sungguh-sungguh menyesali dosaku. Aku tak kuasa melawan dosa.” Allah tidak membutuhkan penjelasan tentang sikap kita yang pemberontak. Dia tidak pernah terkejut dengan apa pun yang kita lakukan. Dia melihat segalanya sekaligus— apa yang terjadi, yang mungkin terjadi, dan yang akan terjadi, terlepas dari pilihan kita yang berdosa. Allah memandang ke dalam setiap sudut dan celah hati kita yang tergelap dan memahami segalanya tentang kita. Namun, apa yang dilihat-Nya membuat Dia semakin rindu menyatakan kasih-Nya. Tak ada motivasi lain yang lebih besar di hati Allah daripada kasih. Natur Allah adalah mengasihi; Dia tidak dapat lepas dari itu, karena “Allah adalah kasih” (1 YOHANES 4:8). Apakah Anda mengalami kepedihan yang tak terkatakan? Kemurungan dan kesedihan? Datanglah kepada Allah yang mengetahui isi hati Anda. Yesus berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan” (MATIUS 11:28-30). Tidak ada pelajaran bagi kita yang lebih mendalam daripada kenyataan ini: Allah adalah satu-satunya yang kita butuhkan. Kata gembala mengandung makna kelembutan, keamanan, dan kecukupan. Namun, semua makna itu takkan berarti selama saya tak dapat berkata secara pribadi, “Tuhan adalah gembalaku.” Sungguh itu penekanan yang penting, karena itu berarti saya boleh menerima seluruh perhatian Allah, 10
TUHAN ADALAH GEMBALAKU
kapan saja, seolah-olah saya adalah satu-satunya domba milik-Nya. Memang saya adalah bagian dari seluruh kawanan-Nya, tetapi saya unik dan tak satu pun yang sama persis dengan saya. Menyatakan, “Tuhan adalah gembala,” sangat berbeda dengan menyatakan, “Tuhan adalah gembalaku.”
Siapakah Allah?
11
dua
Pemulihan dan Pembaruan
M
engandalkan diri sendiri hanya akan menghasilkan keresahan, karena kita sadar bahwa apa yang kita ketahui dan kasihi selama ini tidak cukup. Namun, Allah tidak akan membiarkan kita berjalan sendirian. Menurut Mazmur 23:2, Allah membaringkan kita di padang yang berumput hijau. Dia membimbing kita ke air yang tenang. Kedua kata kerja itu menyatakan ajakan yang lembut—seorang gembala yang dengan sabar dan tekun menuntun domba-dombanya ke tempat yang dapat menghilangkan rasa lapar dan dahaga mereka. Pada zaman Daud, “padang yang berumput hijau” adalah oasis, wilayah yang dipenuhi tumbuhan hijau di tengah padang pasir. Ke tempat itulah para gembala membawa kawanan ternaknya yang haus. Jika dibiarkan saja, domba-domba itu akan tersesat di padang belantara 12
dan mati. Para gembala yang berpengalaman mengenal wilayahnya dan membimbing ternaknya ke padang yang berumput hijau dan aliran air, sehingga domba-dombanya dapat merumput, berbaring, dan beristirahat. Yang digambarkan di sini bukan domba-domba yang sedang merumput dan minum air, melainkan “berbaring dengan tenteram”. Kata membimbing berarti berjalan pelan dan tidak buru-buru. Itu menggambarkan suasana yang tenang, teduh, dan nyaman. Biasanya para gembala akan menggiring kawanan dombanya untuk merumput di padang yang agak gersang di saat subuh, lalu membawa mereka ke tempat yang lebih banyak rumputnya seiring hari beranjak pagi, dan kemudian menuntun mereka ke oasis yang teduh dan sejuk untuk istirahat siang. Gambaran tentang air yang tenang menegaskan konsep tentang istirahat—suatu kondisi ketika segala hasrat kita terpuaskan. Agustinus berseru, “Apa yang dapat membuatku beristirahat di dalam-Mu . . . agar aku bisa melupakan kegelisahanku dan mengandalkan-Mu, satu-satunya yang terbaik dalam hidupku?” Dorongan itu dimulai oleh Allah. “Ia membaringkan aku [membuatku berbaring] di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang “(MAZMUR 23:2). Gembala yang Baik itu “memanggil dombadombanya masing-masing menurut namanya dan menuntunnya ke luar. Jika semua dombanya telah dibawanya ke luar, ia berjalan di depan mereka dan domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya” (YOHANES 10:3-4). Allahlah yang mengambil langkah pertama. Dia berinisiatif memanggil dan menuntun kita ke suatu tempat untuk beristirahat. Bukan kita yang mencari Allah; melainkan Dialah yang mencari kita. Pemulihan dan Pembaruan
13
Seruan Allah kepada Adam dan Hawa yang bersembunyi, “Di manakah engkau?” menyiratkan kesepian yang dirasakan-Nya saat terpisah dari insan yang dikasihi-Nya. G. K. Chesterton berpendapat bahwa seluruh Alkitab berbicara tentang “kesepian Allah”. Saya menyukai pemikiran bahwa entah bagaimana Allah merindukan saya; Dia tak tahan terpisah dari saya; saya selalu ada di pikiran-Nya; dengan sabar dan tekun Dia terus memanggil dan mencari saya, bukan demi saya saja, tetapi demi diri-Nya. Dia berseru, “Di manakah engkau?” Hubungan adalah inti utama Injil. Pribadi Kristus dalam rupa manusia adalah wujud nyata dari kerinduan-Nya untuk memulihkan hubungan dengan manusia yang telah jatuh dalam dosa.
Ada tempat bagi Allah di dalam lubuk hati kita. Kita diciptakan bagi Allah, dan tanpa kasih-Nya, kita merana dalam kesepian dan kehampaan. Mazmur 42:8 menjadi gambaran bagaimana Allah terus-menerus memanggil jiwa kita bagaikan samudera raya berpanggil-panggilan dengan deru air terjun-Nya. Daud berkata, “Hatiku mengikuti firman-Mu: ‘Carilah wajah- Ku’; maka wajah-Mu kucari, ya Tuhan” (MAZMUR 27:8). Allah berbicara dalam lubuk hati Daud untuk mengungkapkan kerinduan-Nya: “Carilah wajah-Ku.” Dengan sigap, Daud menanggapinya, “Wajah-Mu kucari, ya Tuhan.” Inilah yang terjadi: Allah memanggil kita—mencari kita agar kita mencari-Nya—dan hati kita menggemakan kerinduan terhadap diri-Nya. Pemahaman itu secara radikal telah mengubah pandangan saya terhadap hubungan saya dengan Allah. Kini hubungan itu bukan lagi soal keharusan atau disiplin—seperti disiplin diri 14
TUHAN ADALAH GEMBALAKU
untuk melakukan 100 kali sit-up dan 50 kali push-up setiap hari—melainkan suatu respons, jawaban, kepada Pribadi yang telah memanggil saya di sepanjang hidup saya. Apa yang dimaksud padang berumput hijau dan air yang tenang, tempat Allah menuntun kita? Di manakah itu? Realitas apa yang ada di balik metafora-metafora tersebut? Allah adalah “tempat kebenaran” (YEREMIA 50:7—tempat mengandung arti yang sama dengan padang rumput atau tempat penggembalaan) dan mata air yang tenang bagi kita. Dialah sumber makanan sejati dan air hidup kita. Jika kita tidak mengenyam-Nya, kita terus merasa lapar. Dalam hati manusia ada rasa lapar yang tak dapat dikenyangkan oleh apa pun selain oleh Allah sendiri; ada dahaga yang hanya dapat dipuaskan oleh diri-Nya. “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa,” kata Yesus, “melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu. . . . Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi” (YOHANES 6:27,35). Pengakuan dari Malcolm Muggeridge sungguh tepat menggemakan pemikiran di atas: Saya pikir, saya bisa menganggap diri saya sebagai orang yang sukses. Terkadang orang mengenali saya di jalan. Itu artinya saya tenar. Saya bisa dengan mudah memperoleh penghasilan yang membuat saya terhitung sebagai salah satu wajib pajak terbesar di negara ini. Itulah kesuksesan. Dengan modal uang dan ketenaran, para lansia sekalipun, jika mereka ingin, dapat menikmati hiburan yang paling mutakhir. Itulah kenikmatan. Mungkin sesekali ada perkataan atau tulisan saya yang mendapat perhatian luas sehingga bisa dikatakan memberi dampak Pemulihan dan Pembaruan
15
bagi masyarakat. Itulah kepuasan. Namun, percayalah, gandakan setiap pencapaian kecil itu jutaan kali, jumlahkan, dan hasilnya adalah nihil, bahkan nihil pun tidak, jika dibandingkan dengan seteguk air hidup yang ditawarkan pada jiwa yang dahaga.
Namun, bagaimana kita dapat “menikmati” Allah dan “mereguk-Nya”? Sekali lagi kita menemukan simbolisme. Apa arti semua itu? Proses itu dimulai, sama seperti relasi pada umumnya, dengan “pertemuan”. Daud berkata: “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” (MAZMUR 42:2-3). Allah adalah Pribadi yang nyata. Dia bukan penemuan manusia, konsep, teori, atau proyeksi diri kita. Allah benar-benar hidup—lebih hidup daripada segala impian kita yang tak masuk akal sekalipun. Dia boleh ditemui. A. W. Tozer menuliskan: Allah adalah Pribadi dan karena itu kita dapat bergaul dengan-Nya seperti kita dengan pribadi lainnya. Allah adalah Pribadi dan dalam keagungan natur-Nya, Dia berpikir, berkehendak, menikmati, merasakan, mengasihi, merindukan, dan menderita sama seperti pribadi lainnya. Allah adalah Pribadi dan dapat dikenali dengan semakin intim seiring dengan keluasan hati kita untuk menerima keajaiban-Nya.
Inilah realitas sekaligus kesulitannya: Apakah kita bersedia menyiapkan diri kita untuk bertemu Allah? Dia menanggapi kita sejauh respons yang kita berikan kepada-Nya. “Engkau mencari Tuhan, Allahmu, dan menemukan-Nya, asal engkau menanyakan Dia dengan 16
TUHAN ADALAH GEMBALAKU
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu,” janji Musa
(ULANGAN 4:29).
Kita tak perlu bersusah payah mencari Allah. Dia dekat dengan kita (ROMA 10:8-9), tetapi Dia takkan memaksa. Dia memanggil kita, lalu menunggu jawaban kita. Kedekatan kita dengan-Nya ditentukan oleh kadar kerinduan kita untuk bersekutu dan mengenal-Nya secara pribadi. Mungkin kita berkata, “Ada yang tidak beres dengan diriku. Aku tak bahagia. Pastilah ada yang lebih berarti daripada semua ini,” tetapi kita tidak melakukan apa pun untuk mengatasi ketidakpuasan kita. Sikap pasrah dan menarik diri itu menjauhkan kita dari sukacita. Kita harus pertama-tama bersikap jujur terhadap diri sendiri. Apakah kita sungguh-sungguh menginginkan Allah? Jika ya, kita perlu berupaya untuk menanggapi-Nya. “Mendekatlah kepada Allah,” kata Rasul Yakobus, “dan Ia akan mendekat kepadamu” (YAKOBUS 4:8). Ini soal kerinduan. “Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau,” kata pemazmur (MAZMUR 63:2).
Pemulihan dan Pembaruan
17
tiga
Menyendiri Bersama Allah
M
ulailah dengan langkah kecil dan sesegera mungkin,” demikian ungkapan kuno dari kaum Quaker. Intinya, buatlah segala sesuatu tetap sederhana dan mulailah sesegera mungkin. Kesederhanaan dimulai dengan kesendirian—bukan sekadar menyendiri, tetapi menyendiri bersama Allah. Henry Nouwen menulis: “Kesendirian dimulai dengan menyediakan waktu dan tempat bagi Allah, dan hanya Allah. Jika kita sungguh-sungguh percaya bahwa Allah tidak hanya ada, tetapi juga aktif hadir dalam hidup kita— menyembuhkan, mengajar, dan membimbing kita—kita perlu menyediakan waktu dan tempat agar bisa memberiNya perhatian penuh.” Namun, di mana kita dapat menemukan kesendirian itu? Di mana kita dapat menemukan tempat yang tenang di tengah hiruk pikuk dan tuntutan dunia ini? “Sulit 18
melihat Allah di tengah keramaian,” kata Agustinus. “Penglihatan seperti itu memerlukan tempat tersembunyi.” “Masuklah ke dalam kamarmu,” kata Yesus, “tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi” (MATIUS 6:6). Tempat pertemuan itu bisa sangat dekat, sedekat pintu kamar kita—waktu dan tempat bagi kita untuk bertemu dengan Allah, menyimak segala pemikiran-Nya, dan Dia pun mendengarkan kita; itulah waktu kita sendirian bersama Allah, ketika Dia mendapatkan perhatian kita sepenuhnya dan kita pun diperhatikan penuh oleh-Nya. Selama berabad-abad, banyak kelompok Kristen mencari dan merancang tempat-tempat khusus untuk mendekatkan diri dengan Allah. Dalam Matius 6, Yesus mengakui perlunya menemukan tempat yang khusus agar kita bisa menikmati kesendirian bersama Allah.
Kesendirian dapat menjadi tempat pemulihan yang dipakai Allah untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh hiruk pikuk dunia. “Semakin sering Anda mengunjungi tempat itu,” kata Thomas á Kempis, “semakin Anda ingin terus kembali ke sana.” “Aku mau membangunkan fajar,” kata Daud (MAZMUR 57:9). Ada yang indah dari bersekutu dengan Allah sebelum kesibukan mewarnai hari dan kegiatan demi kegiatan mulai menyita waktu kita. Namun, kita tidak boleh mengartikan pernyataan itu sebagai kewajiban bahwa kita harus bangun sebelum fajar menyingsing untuk dapat bersekutu dengan Allah. Bagi banyak orang, pagi hari adalah waktu yang paling tepat; bagi yang lain, ada waktu-waktu lain yang memang lebih mudah untuk bersekutu dengan Allah. Pengaturan ini perlu disesuaikan dengan ritme tubuh Anda. Yang terutama adalah kerinduan Anda untuk bertemu dengan Dia. Menyendiri Bersama Allah
19
Melakukannya pagi-pagi sekali dapat menolong kita menyimak segala pemikiran-Nya dengan lebih baik sebelum hal-hal lain menyerbu pikiran kita. Pertama-tama kita perlu mencari Alkitab, tempat yang tenang, dan rentang waktu yang bebas gangguan. Duduklah dengan tenang dan ingatlah bahwa Anda sedang berada di dalam hadirat Allah. Allah ada di sana bersama Anda, dan Dia sangat rindu bertemu dengan Anda. “Tinggallah di tempat tersembunyi itu,“ ucap A. W. Tozer, “hingga keriuhan di sekelilingmu perlahanlahan mereda dari dalam hatimu, hingga kesadaran akan kehadiran Allah melingkupimu. Dengarkanlah suara-Nya di dalam hatimu hingga engkau belajar mengenalinya.”
20
TUHAN ADALAH GEMBALAKU
empat
Mendengarkan Allah
J
ika kita tidak menyediakan waktu untuk berdiam diri , kita takkan mendengar Allah. Allah tak dapat didengar dalam hiruk-pikuk dan kegelisahan, melainkan hanya dalam keheningan. Dia akan berbicara dengan kita bila kita memberi-Nya kesempatan, bila kita mau mendengarkan, bila kita mau menenangkan diri. “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!” tulis pemazmur (MAZMUR 46:11). “Dengarkanlah Aku,” pinta Allah, “maka kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat. Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku; dengarkanlah, maka kamu akan hidup!” (YESAYA 55:2-3, PENEKANAN DITAMBAHKAN). Dengarkanlah Dia. Tak ada cara lain untuk menikmati diri-Nya. “Apabila aku bertemu dengan perkataanperkataan-Mu, maka aku menikmatinya” (YEREMIA 15:16). 21
Doa yang mendengarkan merupakan praktik rohani yang sulit dilakukan tetapi bermanfaat. Mendengarkan daripada berbicara dalam doa—bisa dengan merenungkan bagian-bagian Kitab Suci— merupakan cara yang sangat baik untuk menantikan Tuhan.
Duduklah di dekat kaki-Nya dan izinkanlah Dia memberi Anda makan. Masalahnya, kebanyakan dari kita membaca firman Tuhan tetapi tidak menikmati diri-Nya. Kita lebih berniat untuk menggali ayat-ayat Alkitab—menemukan makna yang paling cocok, mengumpulkan teori-teori dan pengetahuan teologi—agar kita dapat lebih pandai berbicara tentang Allah. Akan tetapi, tujuan utama membaca Alkitab bukanlah untuk mengumpulkan datadata tentang Allah, melainkan untuk “datang” kepada-Nya dan bertemu dengan-Nya, Allah yang hidup. Kepada para ahli yang paling rajin membaca Kitab Suci pada zaman-Nya, Yesus berkata, “Kalian mempelajari Alkitab sebab menyangka bahwa dengan cara itu kalian mempunyai hidup sejati dan kekal. Dan Alkitab itu sendiri memberi kesaksian tentang Aku” (YOHANES 5:39 BIS). Para ahli itu membaca Alkitab, tetapi mereka tidak mendengarkan Allah; mereka “tidak pernah mendengar suara-Nya” (YOHANES 5:37). Kita harus melakukan lebih dari sekadar membaca kata demi kata. Kita harus mencari Firman yang tersingkap dalam kata-kata itu. Kita ingin memperoleh lebih daripada pengetahuan belaka. Kita ingin memandang Allah, semakin dibangun dan dibentuk oleh kebenaran-Nya. Memang ada kegembiraan sesaat ketika kita belajar sesuatu tentang Alkitab, tetapi hal itu tidak mendatangkan perubahan hidup. Alkitab tidak cukup sekadar dipahami, tetapi harus menjadi pendorong bagi kita untuk berinteraksi dengan Allah.
22
TUHAN ADALAH GEMBALAKU
Para bapa gereja menggunakan frasa “Firman Allah” secara khusus untuk menyebut pribadi Yesus Kristus. Ketika berbicara tentang Alkitab, mereka memilih menggunakan istilah “Kalam Kudus”, “Kitab Suci”, atau “sabda Allah”.
Mulailah dengan kesadaran dan kerinduan untuk bersekutu dengan-Nya secara pribadi. Pilihlah satu bagian Alkitab—satu ayat, satu perikop, satu pasal—dan bacalah berulang-ulang. Bayangkan Allah hadir dan sedang berbicara kepada Anda, menyingkapkan pikiran, perasaan, dan kehendak-Nya. Allah menyampaikannya dengan jelas: Dia berbicara kepada kita melalui firman-Nya. Renungkanlah kata-kata-Nya hingga segala pemikiran-Nya mulai terbentuk di dalam pikiran Anda. Pikiran adalah kata yang tepat karena memang itulah Alkitab—“pikiran Tuhan” (1 KORINTUS 2:16). Ketika membaca firman-Nya, kita sedang membaca pikiran-Nya— apa yang Dia ketahui, rasakan, inginkan, sukai, dambakan, kasihi, dan juga Dia benci. Sediakanlah waktu untuk merenungkan apa yang Allah katakan. Pikirkan setiap kata. Luangkan waktu untuk merenung sambil berdoa hingga isi hati Allah disingkapkan dan hati Anda dibukakan. Jean-Pierre de Caussade menulis, “Bacalah dengan tenang, perlahan-lahan, kata demi kata, untuk menghayati apa yang dibaca lebih dengan hati ketimbang dengan pikiran. Sesekali berhentilah sejenak agar kebenarankebenaran itu mengalir perlahan ke seluruh relung hati.” Membaca Kitab Suci secara tenang dan perlahan-lahan sambil berdoa adalah bagian dari Lectio Divina atau pembacaan sakral. Praktik kuno para biarawan itu meliputi pembacaan yang dilakukan secara cermat dan penuh penghayatan dari bagian Alkitab tertentu dengan maksud untuk mengalami transformasi rohani. Mendengarkan Allah
23
Perhatikan baik-baik setiap kata yang menyentuh hati Anda dan renungkan kebaikan-Nya. “Berlakulah setia” (MAZMUR 37:3). Pikirkan tentang kebaikan-Nya dan ingataningatan akan kasih setia-Nya yang memotivasi Anda untuk semakin mengasihi-Nya (MAZMUR 48:10). Nikmatilah firman-Nya. “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu!” (MAZMUR 34:9). Begitu banyak hal yang mempengaruhi—temperamen kita, tuntutan dalam keluarga dan pekerjaan kita, kondisi kesehatan kita, usia dan tingkat kedewasaan kita. Awalnya, waktu yang bisa kita sediakan hanyalah 10 atau 15 menit. Namun kemudian, kita mungkin sudah siap meluangkan waktu satu jam setiap hari. Tidaklah penting berapa banyak waktu yang kita sediakan pada awalnya. Yang penting kita memulainya. Roh Allah akan menuntun ke mana langkah kita selanjutnya. Seharusnya kita membaca Alkitab untuk menikmati Allah dan bersuka di dalam Dia—“menyaksikan kemurahan Tuhan” seperti kata Daud (MAZMUR 27:4). Ketika kita mendekat kepada Allah dengan cara seperti itu, kita akan tergerak untuk semakin menginginkan diri-Nya. “Aku telah mengecap-Mu,” kata Agustinus, “dan sekarang aku lapar akan Engkau.” Kita tak perlu khawatir tentang teks yang tidak kita mengerti. Ada makna teks itu yang akan luput dari pemahaman kita. Setiap kesulitan mengindikasikan adanya sesuatu yang belum bisa diterima oleh hati kita. Ini seperti yang pernah Yesus katakan kepada murid-muridNya, “Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya” (YOHANES 16:12). Ada banyak hal yang tak akan pernah kita pahami, tetapi sejumlah pertanyaan sulit akan dijawab pada saat kita sudah siap mendengar jawabannya. Allah tidak akan pernah dapat dimengerti dengan intelektualitas kita. Pencerahan muncul dari hati yang 24
TUHAN ADALAH GEMBALAKU
murni—dari kasih, kerendahan hati, dan kerinduan untuk taat. Hanya orang yang “suci hatinya” yang “akan melihat Allah,” kata Yesus (MATIUS 5:8). Semakin banyak kebenaran Allah yang kita ketahui dan ingin kita taati, semakin kita mengenal-Nya. George MacDonald menulis, “Firman Tuhan adalah benih yang ditabur dalam hati kita oleh sang penabur. Benih-benih itu harus jatuh dalam hati kita untuk bertumbuh. Perenungan dan doa harus menyiraminya, dan ketaatan menyinarinya bak mentari. Kelak benih-benih itu akan berbuah saat Tuhan datang menuai.” Kita juga tidak perlu mengkhawatirkan segala keraguan kita. Bagaimana mungkin Allah menyatakan diri-Nya sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan keraguan? Madeleine L’Engle pernah berkata, “Mereka yang yakin bahwa mereka percaya akan Allah . . . tanpa pergulatan dalam pikiran, tanpa ketidakpastian, tanpa keraguan, dan bahkan adakalanya tanpa perasaan kecewa, sesungguhnya hanya percaya pada pemikiran tentang Allah, dan bukan percaya kepada Allah itu sendiri.” Ketidakpastian adalah faktor yang sangat menentukan. Karena itu, hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah membawa langsung segala keraguan dan pertanyaan kita kepada Allah, seperti yang sering dilakukan Daud. Mazmur-mazmurnya dipenuhi dengan pergulatan dan pertentangannya dengan jalan-jalan Allah. Lembar demi lembar tulisannya diwarnai kebingungan dan keraguan. Itu cara yang baik. Allah tidak akan merasa keberatan menghadapi segala keraguan kita. Adakalanya pikiran kita buntu atau jiwa kita kering, letih, dan lesu. Di saat-saat seperti itu, tak ada gunanya memaksa diri kita sendiri untuk berpikir lebih dalam atau merespons lebih jauh. Jika nilai dari waktu teduh kita bersama Allah tergantung pada perasaan kita, kita akan selalu bermasalah. Tak seharusnya kita khawatir dengan Mendengarkan Allah
25
apa yang kita rasakan. Bahkan saat pikiran kita kacau atau hati kita tawar, kita dapat belajar dari kesendirian kita. Jangan berusaha memaksa hati Anda mengasihi Allah. Serahkan saja hati Anda kepada-Nya. Keakraban dengan Allah terjalin ketika kita berserah kepada-Nya, bukan karena kita mengupayakannya sendiri. Lihat Kolose 2:6–3:17.
Jika kita bergumul dengan Allah, dan belum dapat mempercayai maksud hati-Nya, kita perlu membaca kitabkitab Injil— Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Dalam kitab-kitab itu, kita mendengar apa yang Yesus katakan dan lakukan, serta apa yang dikatakan tentang diri-Nya. Kita juga melihat Yesus membuat Allah yang tak terlihat menjadi kasatmata. Saat Filipus, murid Yesus, meminta untuk dapat melihat Allah, Yesus menjawab, “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami” (YOHANES 14:9). Seorang penafsir menuliskan, “Permintaan Filipus menjadi ungkapan luar biasa akan kehausan besar yang ada di balik semua pencarian agamawi, suatu suara yang mewakili orang-orang saleh, para petapa, pemikir, moralis, dan kaum beriman di segala zaman. “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa,” merupakan respons Kristus yang mengejutkan. Itulah arti sebenarnya dari doktrin mengenai keilahian Kristus sebagai Anak Allah, dan mengapa itu penting. Lewat perkataan-Nya, kita mendengar Allah berbicara; lewat perbuatan-Nya, kita melihat Allah berkarya; dalam teguran-Nya, kita melihat sekilas penghakiman Allah; lewat kasih-Nya, kita merasakan isi hati Allah. Jika itu tidak benar, maka 26
TUHAN ADALAH GEMBALAKU
kita takkan mengetahui apa pun tentang Allah. Jika itu benar—dan kita yakin demikian—maka Yesus adalah Allah yang menjadi daging, Anak tunggal Allah yang Hidup, unik dan tiada bandingnya.”
Manfaat utama dari Injil adalah kita ditolong untuk melihat karakter Allah secara nyata, dekat, dan gamblang lewat pribadi Yesus. Apa yang kita lihat sedang dilakukan Yesus—memperhatikan, menderita, menangis, memanggil, mencari—itu juga yang sedang dan telah Allah lakukan selama ini. Jika Anda belum dapat mengasihi Allah, cobalah melihat-Nya dalam diri Yesus. Dalam Dialah, Allah dinyatakan sebagai Pribadi dengan kasih yang tak terbatas; Pribadi yang dapat kita temui dengan membawa segala keraguan, kekecewaan, dan kesalahan kita; Pribadi “yang dapat kita dekati tanpa rasa takut dan yang kepadaNya kita dapat berserah sepenuh hati” (Blaise Pascal). Di dalam kitab-kitab Injil, kita melihat bahwa Allah kita adalah satu-satunya Tuhan yang layak kita percayai. “[Yesus] adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan” (KOLOSE 1:15). “Kata Filipus kepada-Nya: ‘Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami.’ Kata Yesus kepadanya: ‘Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami’” (YOHANES 14:8-9).
Mendengarkan Allah
27
lima
Menanggapi Allah
K
etika kita mendengarkan Allah, kita perlu menjawab-Nya. Itulah arti doa, yakni respons kita atas pernyataan dan penyingkapan isi hati Allah. “Ya Allahku, ciptaan-Mu menjawab Engkau,” kata seorang pujangga Prancis, Alfred de Musset. Itu berarti bahwa doa sepatutnya keluar secara alami dari persekutuan kita dengan Allah, bukan suatu kegiatan tambahan. Pertemuan kita dengan Allah itu seperti berbincangbincang akrab dengan seorang teman. Itu bukan percakapan satu arah—yang satu berbicara terus dan yang lain hanya mendengarkan. Pertemuan itu merupakan komunikasi dua arah—kedua belah pihak mendengarkan dengan saksama curahan hati masing-masing dan kemudian memberikan tanggapan. Seorang rekan saya menggambarkan proses itu begini: Jika kita sedang membaca tulisan dari seseorang yang 28
kita cintai, dan di dalamnya kita dipuji, dikasihi, dihargai, dinasihati, dikoreksi, dan dibantu sedemikian rupa, dan orang itu berada di ruang yang sama dengan kita saat kita membacanya, sudah sepatutnya kita mengungkapkan rasa terima kasih kita, membalas kasihnya, mengajukan pertanyaan, dan menanggapi tulisannya dengan beragam cara. Alangkah tidak sopan jika kita tidak melakukannya. Seperti itulah doa. Jika Anda tidak tahu harus memulai dari mana, cobalah berdoa dengan memakai mazmur-mazmur Daud. Kehidupan Daud diwarnai oleh doa. Dalam Mazmur 109:4, Daud menulis, “Sebagai balasan terhadap kasihku mereka menuduh aku, sedang aku mendoakan mereka.” Doa merupakan intisari dari kehidupan Daud dan kesanggupannya, demikian juga kita. Kita memiliki akses untuk datang kepada Allah, kedekatan dengan-Nya, dan kesempatan untuk menerima segala sesuatu yang Allah sediakan bagi kebaikan kita. Doa merupakan sarana bagi kita untuk menerima karunia Allah—sarana untuk menggenapi segala sesuatu. Daud mengajar kita berdoa. Doa adalah penyembahan. Doa-doa kita haruslah penuh dengan pengagungan, kasih, dan kesukaan kita kepada Allah karena Dia adalah Allah kita, karena Dia menciptakan kita sebagai penerima kasih-Nya, karena Dia menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib, dan karena Dia begitu rindu menjadikan kita sebagai manusia seutuhnya. Penyembahan kita mengungkapkan apa yang paling kita hargai dan junjung tinggi. Penyembahan adalah salah satu cara terbaik untuk mengasihi Allah. Doa menjadi ungkapan terbaik akan ketergantungan kita kepada Allah. Doa berarti meminta apa yang kita inginkan. Kita dapat meminta apa pun—bahkan yang tersulit sekalipun. “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal Menanggapi Allah
29
keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (FILIPI 4:6). Doa cukup untuk menampung permohonan kita yang terbesar. Namun, doa pada dasarnya adalah meminta. Doa bukan mendesak atau memaksa. Kita tidak dapat menuntut Allah atau bernegosiasi dengan-Nya. Lebih dari itu, berdoa itu seperti menemui seorang sahabat. Sahabat takkan menuntut. Mereka meminta lalu menanti. Kita menanti dengan sabar dan berserah hingga Allah memberikan apa yang kita minta—atau mungkin hal lain yang tidak kita minta. Daud menulis, “Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku; seperti anak yang disapih berbaring dekat ibunya, ya, seperti anak yang disapih jiwaku dalam diriku” (MAZMUR 131:2). Daud sedang berada dalam pembuangan, menanti-nantikan Allah, belajar untuk tidak khawatir dengan penundaan yang diberikan Allah dan segala jalan-Nya yang penuh misteri. Ketika Daud tidak lagi gelisah dan menuntut, ia menantikan Allah menjawab doanya sesuai dengan waktu dan cara-Nya. Allah sanggup melakukan lebih dari yang dapat kita minta atau bayangkan, tetapi Dia harus melakukannya sesuai dengan waktu dan cara-Nya. Kita meminta sesuai dengan waktu dan cara kita; Allah menjawab sesuai dengan waktu dan cara-Nya. Doa berarti meminta pengertian. Doa menjadi sarana bagi kita untuk belajar memahami apa yang sedang Allah katakan kepada kita dalam firman-Nya. Proses yang menyadarkan kita akan maksud Allah itu tidak terjadi bersifat natural, tetapi supernatural. Hal-hal rohani hanya dapat dipahami secara rohani (1 KORINTUS 2:6-16). Ada kebenaran yang tidak akan pernah dapat dimengerti sepenuhnya oleh akal manusia. Kebenaran itu tak dapat ditemukan, tetapi hanya bisa diterima jika disingkapkan 30
TUHAN ADALAH GEMBALAKU
bagi kita. Kita bisa memahami fakta-fakta dalam Alkitab tanpa bantuan Allah, tetapi kita tidak akan pernah bisa menyelami kedalamannya atau sepenuhnya menikmati “semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (AY.9). Kita harus berdoa dan menantikan kebenaran itu masuk dengan leluasa ke dalam pikiran kita. Doa memindahkan apa yang kita ketahui dari dalam pikiran kita menuju kepada hati kita. Itulah cara kita menjauhkan diri dari kepura-puraan dan membawa diri kita hidup dalam kebenaran. Apa yang kita anggap sebagai kebenaran selalu mendahului kondisi kita. Doa membawa kita kepada keselarasan dengan cara menjembatani apa yang kita ketahui dengan siapa diri kita sesungguhnya. Doa memusatkan dan menyatukan hati kita yang terbagi-bagi. Kita memiliki ribuan kebutuhan. Mustahil kita dapat memurnikan, menyederhanakan, dan mengintegrasikan semua itu menjadi satu. Daud berdoa, “Bulatkanlah hatiku” (MAZMUR 86:11). Ia ingin mengasihi Allah dengan segenap hatinya, tetapi ia tidak dapat mempertahankan upayanya. Banyak hal lain yang memikat dan membuyarkan perhatiannya, maka ia meminta Allah untuk menjaga hatinya dan membulatkan tekadnya. Nabi Yesaya menuliskan, “Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid. Tuhan Allah telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang” (YESAYA 50:4-5). Memusatkan perhatian pada Allah haruslah dilakukan dengan kerinduan yang baru dari hari ke hari. Di tempat yang tenang itulah, Dia menghibur kita, mengajar kita, mendengarkan kita, menyiapkan hati kita, dan menguatkan kita untuk menjalani hari itu. Di sanalah kita belajar untuk kembali mengasihi dan menyembahNya. Kita menjunjung firman-Nya dan tunduk kepada-Nya sekali lagi. Kita melihat dengan perspektif-Nya yang baru Menanggapi Allah
31
terhadap berbagai masalah dan segala kemungkinan yang terjadi di hari yang akan kita jalani. Lalu kita perlu terus menyadari kehadiran-Nya bersama kita di sepanjang hari—menempuh perjalanan, berhenti sejenak, menanti, mendengarkan, dan mengingat kembali apa yang telah dikatakan-Nya kepada kita di pagi hari itu. Dialah guru kita, pengajar kita, sahabat kita; pendamping kita yang paling lembut, paling baik, dan paling menyenangkan. Allah menyertai kita ke mana pun kita melangkah. Dia ada di mana saja, baik kita sadari atau tidak. “Sesungguhnya Tuhan ada di tempat ini,” kata Yakub di tempat yang tak terduga, “dan aku tidak mengetahuinya” (KEJADIAN 28:16). Kita mungkin tidak menyadari Allah ada di dekat kita. Mungkin kita merasa kesepian, sedih, dan terabaikan. Hari yang kita jalani mungkin terlihat suram dan menyedihkan tanpa secercah harapan, tetapi Allah selalu hadir. Allah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” Sebab itulah kita dapat berkata dengan yakin: “Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut” (IBRANI 13:5-6). Hiruk pikuk dalam dunia ini membuat suara Allah yang lembut kadang hanya terdengar sayup-sayup. Akibatnya, kita lupa bahwa Dia hadir di dekat kita. Namun, jangan khawatir: Dia tidak akan melupakan kita. Dalam hadirat Allah, ada kepuasan. Padang rumputNya yang subur sungguh tak terbatas. Mata air-Nya yang tenang terus mengalir. “Di sana,“ saya katakan kepada diri sendiri, “di tempat penggembalaan yang baik [aku] akan berbaring dan rumput yang subur menjadi makanan-[ku]” (YEHEZKIEL 34:14).
32
TUHAN ADALAH GEMBALAKU
AKU MENGENAL DOMBA-DOMBA-KU DAN MEREKA MENGIKUT AKU Menelusuri jalan Anda di tengah belantara hidup ini dapat menjadi lebih mudah saat Anda memiliki Pemandu yang tepat untuk menuntun jalan Anda. Dalam nukilan buku Every Day is a New Shade of Blue: Comfort for Dark Days from Psalm 23 ini, penulis David Roper mencermati relasi antara Sang Gembala Agung dan domba-domba-Nya yang tergambar di sepanjang Kitab Suci. Terimalah inspirasi dari kehidupan Daud, Yesaya, dan tokoh-tokoh Alkitab lainnya yang menemukan harapan, penguatan, dan pemulihan dalam pemeliharaan Allah yang sempurna. David Roper pernah melayani sebagai gembala gereja dan kini masih menjadi penulis rutin dari renungan Our Daily Bread. Tiga belas judul buku yang ditulisnya telah dicetak lebih dari 630.000 jilid.
dhdindonesia.com