BEBAS
pengantar
Bebas Melangkah
Mengalami Kemerdekaan dalam Kristus
Tujuh
dosa mematikan. Ungkapan yang terdengar agak kuno, bukan? Dosa jelas-jelas merupakan masalah modern, dan kita sering berkata bahwa semua dosa sama saja dan tidak ada dosa yang patut mendapat perhatian lebih (sekalipun dalam hidup sehari-hari kita tidak bersikap seperti kita meyakininya). Namun, seperti yang akan dibahas Winn Collier dalam halaman-halaman berikut ini, ada baiknya kita memperhatikan hikmat dan perenungan dari para pendahulu kita tentang dosadosa mematikan tersebut.
Winn mengingatkan kita bahwa meskipun penggolongan ini mungkin terdengar usang, bahaya yang mereka hadirkan bagi para pengikut Yesus di
segala zaman sangatlah nyata. Dosa-dosa tersebut merupakan penyimpangan yang bobrok dari hasrat yang dianugerahkan Allah kepada kita. Sebagai penyelewengan dari hal-hal baik yang dikehendaki Allah bagi kita, ketujuh dosa mematikan itu adalah pengejaran terhadap apa yang kita pikir kita inginkan. Akan tetapi, kita tidak dibiarkan terpuruk dalam kesengsaraan dan ketakutan akan menjadi korban dari dosa-dosa ini. Winn membawa kita kembali kepada kasih karunia dan rahmat Tuhan Mahakasih yang memampukan kita untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang membebaskan kita meraih kembali segala kebaikan yang menjadi maksud penciptaan kita.
Our Daily Bread Ministries
EDITOR: Monica Brands, J.R. Hudberg, Peggy Willison
GAMBAR SAMPUL: © Shutterstock / lzf
PERANCANG SAMPUL: Stan Myers
PERANCANG INTERIOR: Steve Gier
PENERJEMAH: Yoki Wijaya
EDITOR TERJEMAHAN: Dwiyanto Fadjaray
PENATA LETAK: Mary Chang
GAMBAR ISI: (hlm.1) © Shutterstock / Izf; (hlm.5) Tobias Hämmer via Pixabay.com; (hlm.10) Sue Brady via Pixabay.com; (hlm.31) ID#12019 via Pixabay.com
Kutipan ayat diambil dari teks Alkitab Terjemahan Baru Indonesia, LAI © 1974
© 2021 Our Daily Bread Ministries, Grand Rapids, MI Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dicetak di Indonesia.
Keluar dari Bayangan
Dalam
seni dan film kontemporer, tujuh dosa mematikan sering kali ditampilkan secara provokatif, menyiratkan bahwa ketimbang sesuatu yang harus dihindari, dosa-dosa itu justru layak dinikmati. Terkadang dosa-dosa itu membangkitkan ketertarikan yang tidak wajar, seperti dalam film Seven (1995), yang menceritakan seorang pembunuh berantai menghabisi korban-korbannya dalam upaya gila untuk meniru setiap dosa mematikan tersebut. Terkadang ketujuh dosa mematikan itu digambarkan sebagai pesona yang menggoda, seperti saat biro iklan Madison Avenue membuat iklan satu halaman penuh dalam Harper’s Magazine untuk “menjajakan” salah satu dari ketujuh dosa tersebut.
Namun, dalam tradisi Kristen, ketujuh dosa mematikan mempunyai peran yang lebih serius dan praktis dalam mengenali kecenderungan manusia yang merusak dan memberi peringatan tentang hal itu. Setidaknya sejak abad keempat, umat Kristen yang beriman menyadari bahwa ketujuh dosa ini merendahkan harkat manusia, merusak jiwa, dan mengakibatkan segala bentuk kebobrokan. Dari abad ke abad, para teolog, pendeta, dan orang Kristen dari berbagai latar belakang telah berulang kali memperingatkan kita bahwa semua kejahatan keji ini mengikis kasih kita kepada Allah, membawa kemerosotan kepada umat manusia, serta merugikan setiap hal dan pihak yang terkena dampaknya. Evagrius Ponticus (lahir tahun 345 m) adalah seorang teolog berpengaruh yang kemudian dikenal sebagai salah seorang Bapa Padang Gurun (para pemikir Kristen dari masa silam yang tinggal di padang gurun Mesir). Ponticus menyoroti delapan “pikiran jahat” yang senantiasa menjangkiti hati manusia. Ponticus mewariskan ajarannya perihal memerangi godaan beracun ini kepada Yohanes Kasianus, yang kemudian meneruskannya kepada Gregorius Agung. Gregorius kemudian menggabungkan kemalasan dan kemurungan/kemuraman , sehingga isi daftarnya menjadi tujuh saja. Akhirnya, pada abad ke-13, tradisi hikmat perihal tujuh dosa mematikan ini diterima oleh Thomas Aquinas, yang membakukan daftar ini menjadi apa yang kita kenal sekarang: kesombongan (atau turunannya: kemegahan diri), iri hati, kemalasan, ketamakan (atau keserakahan), kemarahan, hawa nafsu, dan kerakusan.
Meski disinggung berulang kali dalam Alkitab, masingmasing dosa ini tidak pernah dikelompokkan menjadi satu. Kita memang mempunyai daftar lain tentang dosa-dosa
Keluar dari Bayangan
yang merusak (misalnya Amsal 6 dan Galatia 5 memberikan beberapa jenis yang tumpang tindih dengan ketujuh dosa ini). Namun, meskipun Kitab Suci tidak secara jelas menyorot ketujuh dosa ini dalam satu kelompok yang sama, kita memiliki alasan kuat untuk memperhatikan dengan serius daftar dosa tersebut, yang mencerminkan hikmat dan perenungan firman yang mendalam dari orang-orang beriman dari abad ke abad. Mereka sangat memahami kerapuhan diri manusia dan bersikeras bahwa kita harus mewaspadai betul godaan-godaan dosa yang tidak asing bagi kita semua itu (LIHAT 1 KORINTUS 10:13) .
Tentu saja, daftar ini bukan seluruhnya yang bisa kita ketahui tentang kebobrokan manusia. Daftar ini hanya menyediakan suatu kesempatan untuk belajar dari teladan orang lain dan untuk merenungkan bagaimana (atau kapan) godaan-godaan tersebut hadir dalam hidup kita sendiri. Jika Anda mendapati daftar ini tidak lengkap atau tidak membantu sama sekali, cukup manfaatkan daftar ini sebagai tambahan pengetahuan dan kesampingkan saja apa yang tidak masuk akal bagi Anda.
Perlu juga diperhatikan bahwa daftar ini tidak dimaksudkan sebagai daftar lengkap dari seluruh dosa manusia. Ketujuh dosa ini bahkan tidak mencakup dosa-dosa terkeji (membunuh, misalnya, tidak termasuk di dalamnya). Umat Kristen kuno sebenarnya tidak menyebutnya tujuh dosa mematikan melainkan tujuh kekejian pokok . Disebut pokok bukan karena itu adalah hal-hal terburuk yang mampu dilakukan manusia, tetapi karena ketujuh dosa ini diyakini sebagai sumber, akar dari banyak godaan dan duka lara. Contohnya, kemarahan bisa berujung kepada pembunuhan atau penganiayaan, sedangkan iri hati menuntun kepada
runtuhnya kesatuan masyarakat dan rusaknya persahabatan. Jika dipelihara, setiap dosa itu akan menyulut begitu banyak derita dan sakit hati pada umat manusia.
Namun, daftar ini juga sangat praktis, bahkan dapat menawarkan harapan. Kekejian pada dasarnya adalah kebiasaan atau perilaku amoral—dan syukurlah, kebiasaan bisa diubah. Oleh karena itu, kita mengupas tuntas ketujuh dosa ini bukan untuk menghakimi kegagalan kita dan berkubang dalam kebobrokan kita. Sebaliknya, dengan memahami hikmat kuno ini, kita terbantu untuk menyadari ketidaksempurnaan, kebiasaan merusak, dan kelemahan karakter diri kita, yang mungkin terabaikan jika kita tidak ditolong untuk mengenalinya, supaya perubahan hidup dapat terjadi. Penyingkapan ini sebetulnya kabar baik. Alkitab memberi jaminan bahwa kita sanggup melawan semua kebobrokan tersebut, dan seiring waktu (disertai kasih karunia dan ketekunan kita) Allah sanggup memperbarui kita untuk melangkah dengan bahagia di jalan yang berbeda, yang menuju kepada sukacita dan kemerdekaan. Untuk mendorong kita menuju perubahan tersebut, setiap dosa yang dibahas akan disertai usulan latihan yang menawarkan pertolongan konkret dalam upaya kita meninggalkan dosa itu dan melangkah menuju kemerdekaan. Dalam Alkitab, yang ditekankan bukanlah dosa kita melainkan ketergantungan kita kepada kasih karunia Allah yang menghasilkan kesalehan dan pembaruan hidup yang dimampukan oleh Tuhan Yesus.
Sembari merenungkan daftar ini, kita akan merasakan kelegaan saat dapat menyebutkan godaan dan kegagalan kita, menyatakan kebenaran dengan jujur, tanpa berusaha membenarkan diri. Latihan ini hendak mengingatkan
Keluar dari Bayangan
bahwa kita tidak perlu menyembunyikan apa pun, dan pergumulan kita dengan dosa adalah hal yang biasa. Umat Allah di sepanjang sejarah telah bergumul dengan halhal yang sama seperti halnya kita—dan mereka telah menerima pertolongan dari Kitab Suci dan Roh Kudus yang membebaskan kita dari belenggu godaan dosa.
Namun, jika dibiarkan, kita akan kian terjerumus ke dalam siklus jahanam ini. Ini seperti pengakuan Agustinus: “Tanpa-Mu, [Allah], adakah yang sanggup kulakukan bagi diriku sendiri selain membawanya kepada kehancuran?”1 Banyak dari kita merasa terjebak dalam perangkap dosa yang kelam dan menyesakkan. Namun, seperti dinyatakan kitab Yakobus, Allah memanggil kita kepada terang yang gemilang. Kita tidak perlu hidup di tempat gelap dalam “bayangan” yang berubah-ubah, dalam perlawanan terhadap kebenaran yang difirmankan Allah kepada kita (YAKOBUS 1:17) .
Kita bahkan akan menemukan bahwa pola hidup yang merusak tersebut sesungguhnya menyingkapkan kerinduan dan hasrat baik yang menyimpang. Ketika kita membongkar kekejian dalam diri kita, tujuannya bukanlah untuk menghukum diri sendiri, melainkan untuk berpaling kepada Allah sumber pengharapan kita yang menyediakan kasih dan pengampunan berlimpah. Kita merenungkan semua keburukan tersebut, bukan untuk berkubang di dalamnya atau terpaku kepadanya, tetapi karena kita mendambakan pemulihan. Kita menginginkan apa yang disebut umat Kristen masa silam sebagai “penawar bagi jiwa.” Kita menderita dan butuh ditolong, dan kasih Allah (yang menjadi inti dari semua ini) sanggup memulihkan kita.
Agustinus, Pengakuan-Pengakuan,
Tujuh Dosa Mematikan
KESOMBONGAN
Dalam tradisi Kristen, banyak yang menganggap kesombongan sebagai akar dari semua dosa yang lain dan telah muncul sejak di Taman Eden. Disebutkan bahwa kesombongan adalah penyelewengan yang pertama dan mendasar dari keberadaan manusia: menempatkan dirinya di atas Allah. Bukankah ini kesalahan utama Adam dan Hawa, yang meyakini bahwa mereka lebih tahu daripada Allah? Bukankah ini kebodohan di Menara Babel, yakni gagasan bahwa dengan unjuk kekuatan kita bisa menjadi sejajar dengan Allah? Begitu banyak dorongan merusak yang kita miliki sering kali berakar pada keyakinan tak berdasar, yaitu bahwa kita bisa menjadi seperti Allah bagi diri kita sendiri atau memperoleh bagi diri kita sesuatu yang hanya sanggup dianugerahkan oleh-Nya.
Bertahun-tahun silam, saya pernah bekerja untuk
seseorang yang paling egois yang pernah saya kenal. Ia terus-menerus mengarahkan setiap percakapan dan interaksi untuk memastikan semua orang tahu bahwa dirinyalah yang terunggul. Ia membungkam dan mempermalukan orang lain dan selalu menceritakan kisah yang menonjolkan dirinya bak pahlawan. Sungguh melelahkan. Meski ia tampak berkuasa saat itu, kini saya bisa melihat bahwa sesungguhnya ia didorong oleh perasaan takut, sehingga ia berusaha membangun kehidupan yang membuatnya merasa penting, aman, dan dicintai. Meski Allah sanggup memuaskan hasrat baik dari hatinya tersebut, ia terlalu sibuk meninggikan dirinya sehingga tidak lagi mampu menerima kebaikan yang ingin diberikan Allah kepadanya.
Untuk melawan dorongan kesombongan yang merusak itu, ingatlah perintah pertama dari Sepuluh Perintah Allah yang menegaskan bahwa Dia tetap tak tertandingi. “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku,” ujar Kitab Suci (KELUARAN 20:3) . Mungkin inilah mengapa Yesus menyatakan bahwa perintah yang terutama adalah mengasihi Tuhan Allah kita dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi, diikuti perintah berikutnya untuk mengasihi sesama kita (LIHAT MATIUS 22:37-39) . Kasih berasal dari Allah; jika kita tidak menerima aliran kasih Allah secara teratur bagi diri sendiri, tidak ada yang bisa kita salurkan kepada sesama. Kita tidak akan pernah sanggup mengasihi dengan benar sesama kita, diri sendiri, atau dunia yang Allah ciptakan. Ini seperti ujaran Kathleen Norris, penyair dan esais ternama, “Berhala meniadakan kasih.” 2
2 Kathleen Norris, Amazing Grace, hlm.88.
Kesombongan menjadi godaan tersendiri bagi mereka yang memiliki kuasa, harta, pengetahuan, atau kemasyhuran. Semakin banyak yang kita miliki, semakin mudah meyakini bahwa kita sanggup hidup mengandalkan diri sendiri. Salah satu contoh di Alkitab adalah Raja Uzia. Uzia memerintahkan proyek pembangunan akbar dan memiliki kebun anggur di mana-mana dan sejumlah besar ternak. Uzia juga membangun angkatan bersenjata yang mengagumkan, dengan pasukan khusus yang membuat musuh-musuhnya gemetar. Ia menjadi raja hebat yang sangat berkuasa. Namun, semua keberhasilan itu membuatnya pongah. “Setelah Raja Uzia kuat,” Alkitab mencatat, “ia menjadi sombong, dan itu menyebabkan kehancurannya” (2 TAWARIKH 26:16 BIS) . Kesombongan berbisik di telinga kita, mengatakan bahwa kita sungguh hebat, dan kita tidak membutuhkan Allah.
Meski demikian, bukan hanya para penguasa yang bergumul dengan kesombongan. Setiap dari kita yang terlalu memusatkan perhatian kepada diri sendiri memancarkan kesombongan dengan berbagai cara, sekalipun ketika kita tidak punya alasan kuat untuk membanggakan diri.
Seperti keenam dosa lainnya, kesombongan sesungguhnya berasal dari hasrat baik yang menyimpang ke arah yang tidak sehat. Orang sombong ingin dilihat dan diperhatikan. Ini adalah hasrat yang baik; kita diciptakan untuk dilihat, dinikmati, membawa kesenangan bagi orang lain. Namun, hasrat ini hanya bisa dipuaskan oleh karunia berlimpah dari Allah—kasih-Nya, rahmat-Nya, dan penerimaan ke dalam keluarga-Nya. Kapan pun kita membangun citra palsu demi menggapai apa yang kita inginkan, sesungguhnya kita sedang menyingkirkan kasih yang sangat kita dambakan.
Renungkan: Kapan Anda merasa tergoda untuk meninggikan atau menempatkan diri di atas Allah? Atau merebut pengakuan yang hanya bisa diberikan Allah?
Latihan: Berdiam Diri. Sebagai penawar kesombongan, berlatihlah untuk berdiam diri. Alih-alih berbicara setiap kali Anda memiliki pendapat, atau manakala Anda berkesempatan untuk menarik perhatian kepada diri Anda, pilihlah saat-saat strategis itu untuk berdiam diri. Luangkan waktu satu jam setiap pekan untuk berdiam diri, dengan kerinduan untuk mendengar suara Allah saja. Simaklah bagaimana Allah berkenan atas diri Anda.
IRI HATI
Layaknya kesombongan, iri hati adalah hasrat baik yang telah menyimpang. Semua orang mendambakan kebaikan, peneguhan, berkat, dan sukacita. Ini sudah semestinya— karena Allah menghendaki kita mengalami semua itu. Namun, iri hati timbul ketika kita mengira kebahagiaan kita tergantung dari memperoleh apa yang dimiliki orang lain . Ketika dikuasai iri hati, kita terpaku pada apa pun yang kita pikir harus kita miliki, layaknya Gollum dalam kisah The Lord of the Rings yang menggenggam erat cincin terkutuknya. Ketika iri hati menguasai, kita berpikir kita tahu apa yang benar-benar kita butuhkan. Namun, sering kali kita keliru dan sesat; dan ketika kita semakin menjauhi kebenaran dan kasih (dari Allah ), kita kehilangan sudut pandang yang benar. Kita justru kehilangan diri kita sendiri. Orang yang iri hati selalu merasakan kehampaan batin dan berusaha menggapai apa yang orang lain nikmati (keahlian, kecantikan, kekuatan, hubungan, pencapaian
mereka) demi mengisi kekosongan ini. Orang yang iri hati terus-menerus membandingkan dirinya dengan orang lain dan menyesali kekurangannya. Meski terkadang sulit dikenali, orang yang iri hati sangatlah tajam mencerca dirinya sendiri. Karena tidak sanggup melihat dirinya dikasihi Allah, ia membenci diri sendiri sambil menatap iri orang lain untuk menutupi kekurangannya sendiri. Tragisnya, paduan maut iri hati dan kebencian terhadap diri sendiri itu menggerogoti kita dari dalam. “Iri hati,” menurut Amsal, “membusukkan tulang” (AMSAL 14:30) .
Sering kali, iri hati adalah tanggapan kita terhadap luka batin yang besar (penolakan yang pedih, rasa rendah diri, takut gagal, dll.) dan seakan menyeret kita ke jalan pintas dalam upaya yang susah payah untuk mencari dukungan, pengakuan, dan kasih. Namun, iri hati tidak akan pernah memberikan yang kita butuhkan. Sekalipun kita sanggup merampas apa yang kita dambakan itu dari orang lain, hal itu tidak akan pernah memuaskan kita. Amsal 14:30 berkata bahwa iri hati tidak hanya membusukkan tulang, tetapi juga tidak akan pernah membuahkan “hati yang tenang.” Iri hati selalu berujung kepada ketidakpuasan, keterkucilan, kemarahan, dan kebencian yang lebih besar.
Seperti kanker, iri hati membusukkan kita dari dalam. Satu-satunya kuasa yang sanggup mengalahkan iri hati adalah kasih. Inilah yang ditulis Paulus: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu” (1 KORINTUS 13:4) . Kita tahu Allah adalah kasih, sehingga untuk terbebas dari iri hati kita harus menyerahkan diri kepada kasih Allah yang abadi. Ketika kasih Allah menguasai kita, kita mendapati bahwa kita tidak perlu memiliki atau melakukan atau mencapai apa pun untuk mengalami kepuasan. Kita
Mematikan
sepenuhnya dikasihi Allah dan berkenan kepada-Nya—Dia yang telah melakukan segalanya demi menjadikan kita anakanak kesayangan-Nya.
Ketika putra sulung kami berusia lima tahun, ia melihat saya mengangkat kotak besar yang di matanya tampak raksasa. Ia terbelalak, dan dalam kekagumannya berteriak, “Wow, Ayah sangat kuat, seperti Superman dan Hulk!” Anda bisa bayangkan betapa girangnya saya. Namun, bertahuntahun kemudian, putra saya sudah lebih tinggi sepuluh sentimeter dari saya dan suka menyelinap di belakang saya, merangkul lalu mengangkat saya sambil meraung seperti beruang. Ia tidak lagi terkesan dengan kekuatan saya. Ada orang-orang yang ia kagumi dan hormati selain saya. Beberapa dari mereka lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih berprestasi dari saya. Saya bisa saja merasa terancam dan iri hati, karena menganggap saya tidak sebanding dengan mereka. Akan tetapi, ketika saya mempercayakan diri dalam kasih (kasih Allah kepada saya dan kasih saya kepada putra saya), saya tidak perlu menjelek-jelekkan orang-orang lain itu untuk meyakini adanya hubungan yang unik (dan tak tergantikan) dengan putra saya. Tidak perlu ada iri hati. Saya bebas menjadi diri sendiri dan bebas mengizinkan putra saya menjadi dirinya sendiri. Kita semua bebas.
Renungkan: Siapa yang membuat Anda iri hati? Apa akar penyebab dari iri hati tersebut?
Latihan: Berbuat baik. Paulus berkata bahwa kasih dan perbuatan baik meredam iri hati. Sepanjang minggu ini, carilah kesempatan untuk berbuat baik kepada orang-orang yang memicu perasaan iri hati dalam diri Anda. Sambil berbuat baik, perhatikan perasaan yang muncul dalam hati
Anda terhadap mereka. Kemudian, temukan cara untuk berbuat baik kepada diri Anda sendiri.
KEMALASAN
Ketika berbicara tentang daftar dosa mematikan yang mengakibatkan pelbagai kebobrokan, mungkin kita tidak mengira kemalasan adalah kekejian yang cukup serius untuk dimasukkan ke dalamnya. Hari ini, kata kemalasan membuat kita membayangkan seseorang dalam piyamanya duduk berjam-jam di sofa, melahap permen dengan kotak pizza berserakan di mana-mana sembari menonton Netflix berhari-hari tanpa henti. Jelas ini gaya hidup yang tidak sehat, tetapi apakah itu termasuk dosa mematikan?
Dalam tradisi Kristen, kemalasan merujuk kepada sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sikap bermalas-malasan. Kemalasan melukiskan berbagai cara yang kita tempuh untuk menjauhi kelimpahan hidup yang dikehendaki Allah bagi kita. Kita mengucilkan diri dari hubungan dengan sesama. Kita menjauhkan diri dari Allah yang mengasihi kita dan dari hidup luar biasa yang dipersiapkan Allah bagi kita, sekalipun hidup ini sarat dengan kesulitan dan kebingungan. Ketika menyerah kepada kemalasan, kita kehilangan semangat dan keberanian kita.
Ketika kemalasan mencengkeram, kita pun menarik diri dari Allah dan dunia-Nya, dan dari kepercayaan diri yang dianugerahkan Allah, sehingga pandangan kita menyempit. “Jalan si pemalas seperti pagar duri,” ujar Amsal, “tetapi jalan orang jujur adalah rata” (15:19) . Kemalasan mengeringkan semangat dan mengurung kita. Namun, ketika dengan berani kita membuang kemalasan dan kembali mempercayai
Dosa Mematikan
Allah, sesuatu berubah. Kita kembali memiliki pengharapan dan semangat hidup. Allah mendorong kita melangkah menuju masa depan yang terbuka lebar.
Ketika kemalasan benar-benar terwujud dalam sikap malas, itu tanda dari jiwa kita yang makin lesu. Karena terjebak dalam sikap malas, kita merasa tak berdaya menerima hidup kita, menanggapi kebenaran yang menantang kita, atau mengikut Allah dengan keyakinan atau semangat. Namun, kita mendapati kemalasan hanyalah satu cara kita menjauhkan diri dari hidup ini. Umat Tuhan di masa lalu juga memakai kata acedia untuk menjelaskan kemalasan. Kata acedia dipakai untuk melukiskan berbagai cara kita membiarkan semangat dari Allah mengering, sehingga kita tidak lagi peka kepada Allah dan menolak undangan-Nya untuk mengalami kuasa kasih Allah yang menyala-nyala. Ini seperti yang dikatakan Rebecca DeYoung, “Kemalasan lebih berhubungan kepada sikap enggan mengasihi ketimbang enggan melakukan sesuatu.”3 Ketika kemalasan menjelma sebagai acedia , yang timbul adalah kelesuan atau kemuraman. Kita tidak lagi melihat sukacita di dalam Allah, dalam hidup ini, pada wajah orangorang terkasih, dalam dunia yang luar biasa ini. Namun, jangan kita mencampuradukkan kemalasan dengan depresi biologis. Meski depresi memiliki banyak gejala serupa dan sama-sama berpengaruh terhadap jasmani dan rohani, keduanya tidak persis sama. Kita perlu bijak kapan kita harus mencari pertolongan dengan mendatangi dokter atau terapis. Namun, jika yang kita hadapi adalah kemalasan, artinya kita memilih berputus asa dan menganggap segalanya sia-sia,
3 Rebecca DeYoung, Glittering Vices , hlm.82.
ketimbang berserah kepada “Allah, sumber pengharapan” yang memenuhi kita dengan “kekuatan Roh Kudus” supaya kita “berlimpah-limpah dalam pengharapan” (ROMA 15:13) .
Kemalasan merenggut pengharapan kita; tetapi Allah mengaruniakan pengharapan dengan berlimpah-limpah. Ironisnya, wajah modern kemalasan sering kali justru berlawanan dengan sikap bermalas-malasan. Kemalasan muncul dalam hal-hal yang mengalihkan perhatian dan menyibukkan kita, yang membuat kita gagal melibatkan diri dengan sepenuhnya dan melewatkan banyak berkat yang ditempatkan Allah di hadapan kita. Ketika acedia menjelma menjadi kegelisahan atau kebosanan, kita bisa menarik diri dari hidup ini—tetapi bukan dengan menjadi lesu, melainkan justru menyibukkan diri. Saya sendiri mengalami bahwa ketika saya asyik dalam media sosial selama berjamjam atau tidak lagi membedakan waktu bagi keluarga dan pekerjaan, itulah tandanya ada yang tidak beres. Biasanya, ketika saya menggonta-ganti saluran TV atau bekerja hingga larut malam, itu tandanya saya sedang menghindari sesuatu, atau berupaya menyemangati diri guna mengatasi kehampaan atau kelesuan yang saya rasakan.
Kemalasan membuat kita tidak bisa puas terhadap orangorang yang ditempatkan Allah di sekitar kita dan merasa jenuh dengan tugas dan tanggung jawab yang diberikan Allah kepada kita. Rasa frustrasi dan bosan membuat kita selalu mencari-cari yang baru—tempat baru, hubungan baru, pekerjaan baru, hiburan baru. Namun, berlawanan dengan nafsu yang tidak pernah terpuaskan itu, justru Allah selalu menarik kita lebih lagi untuk memperhatikan keadaan kita.
Sayangnya, ketika menyadari bahwa kita terseret dalam perasaan lesu dan putus asa, kita cenderung menumpuk rasa
Mematikan
malu atas diri sendiri. Ini sebenarnya tragis karena godaan yang menarik kita kepada kemalasan itu sesungguhnya membuka peluang bagi kita untuk pulih kembali. Kemalasan mengajak kita menyadari kebutuhan khusus kita akan jamahan kasih Allah. Saya pernah mengalami masa-masa muram berkepanjangan (lebih dari setahun) yang menguras semangat dan harapan. Saya merasa tidak berguna bagi keluarga, Allah, dan pekerjaan saya. Saya juga merasa gelisah, selalu mencari-cari sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian saya. Saya tidak bisa menguasai perasaan saya, dan hal itu membuat saya membenci diri saya sendiri. Meskipun perlahan, pemulihan terjadi ketika saya mencari tahu mengapa saya merasa begitu hampa atau putus asa, mengapa saya begitu jauh dari kebaikan dan kemurahan Allah. Saya mulai menyadari betapa hausnya saya akan jamahan kasih Allah; dan pada waktunya kasih itu kemudian memuaskan dahaga hati saya.
Renungkan: Kapan Anda merasakan kemalasan, kelesuan, atau kegelisahan yang tidak sehat? Apakah Anda merasa Allah sedang menarik Anda untuk lebih lagi memperhatikan keadaan hidup Anda pada saat-saat tersebut?
Latihan: Melibatkan diri. Jika kemalasan berarti menarik diri, maka untuk melawannya, kita harus lebih berani melibatkan diri dalam hidup kita. Temukan seseorang, tujuan, atau keterampilan yang dianugerahkan Allah kepada Anda, tetapi yang selama ini terabaikan. Untuk jangka waktu tertentu, bangunlah hubungan dengan orang itu, kejarlah tujuan Anda, atau dalami keterampilan itu. Jangan cemaskan hasilnya. Bertekunlah, dan nantikan sukacita dari Allah yang dapat Anda alami di tengah upaya Anda.
KETAMAKAN
Suatu kali, ketika Yesus berkhotbah di hadapan orang banyak, seorang pemuda angkat suara dan berupaya membuat Yesus membelanya dalam perselisihan dirinya dengan saudaranya mengenai warisan mereka. Entah keluhan pemuda ini bisa dibenarkan atau tidak, hatinya berpusat pada hal keliru. Menyadari ini, Yesus memperingatkan orang banyak, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu” (LUKAS 12:15) .
Pada masa kini, seperti halnya pada abad pertama (bahkan mungkin lebih parah), bujuk rayu ketamakan yang menggiurkan menuntut kita untuk melawan terus menerus. Ketamakan senantiasa menyerang kita. Iklan-iklan membombardir kita dengan pesan-pesan yang mengingatkan kita akan segala hal yang tidak kita miliki. Sistem ekonomi dunia ini terus-menerus mencoba meyakinkan kita bahwa menimbun uang dan menumpuk barang akan menjamin kebahagiaan kita. Bahkan julukan “konsumen” yang diberikan kepada kita mendorong kita untuk menggapai lebih banyak, memakai lebih banyak, menginginkan lebih banyak. Lebih. Lebih. Lebih.
Seperti keenam dosa lain, ketamakan menyimpangkan kenyataan dan merendahkan kemanusiaan kita, menghasut kita untuk menuruti nafsu yang tak terpuaskan tanpa pernah berpikir matang tentang apa yang baik, benar, sehat, dan indah (LIHAT FILIPI 4:8) . Parahnya lagi, ketamakan mengaburkan pandangan kita akan Allah, menguatkan anggapan miring bahwa keinginan kita bisa dipuaskan di luar dari Allah yang menciptakan kita, yang mengenal
kerinduan kita yang terdalam lebih daripada kita sendiri. Saya selalu tertarik pada investasi keuangan sejak saya masih bersekolah. Saya pernah bekerja sebagai pialang di perusahaan keuangan Charles Schwab selama beberapa tahun ketika bermukim di Denver. Saya senang bekerja dengan angka, dan telah menyiapkan dana pensiun yang jelas. Saya yakin tidak ada yang salah dengan semua itu. Namun, adakalanya saya mendapati sikap saya terhadap uang tergelincir ke arah yang tidak sehat. Saya sering mencemaskan investasi dan masa depan saya, seolah meyakini bahwa untuk menjadi sejahtera, saya perlu menggemukkan dana pensiun hingga mencapai jumlah tertentu yang dipandang cukup oleh para ahli. Saya menjadi tergoda untuk meyakini bahwa kesejahteraan dan kehidupan saya tergantung pada investasi saya, tetapi sesungguhnya, hidup saya sepenuhnya tergantung pada Allah. Jika semuanya tergantung pada kita, sifat tamak tidak saja akan merampas sukacita kita, tetapi juga kepercayaan kita kepada Allah yang memiliki dunia ini beserta segala isinya (MAZMUR 24:1) .
Meski ketamakan bisa jadi lebih mudah dikenali ketika kita bernafsu mengejar lebih banyak uang dan harta benda, ketamakan juga bisa hadir dalam beragam bentuk. Yesus memerintahkan kita berjaga-jaga terhadap “segala ketamakan.” Kita bisa tamak akan kekuasaan dan kemasyhuran, keamanan atau kenyamanan, hubungan, pengetahuan, penghargaan, kesendirian atau kedekatan dengan orang lain. Dengan setiap bentuk ketamakan tersebut, kita dibuat percaya bahwa kita harus lebih memiliki sesuatu atau seseorang supaya hidup kita menjadi utuh. Jadi, seperti ujaran Yesus yang diparafrasekan oleh Eugene Peterson dalam The Message , penting sekali untuk “[menjaga] diri dari bibit-bibit ketamakan. Hidup tidak
ditentukan oleh apa yang engkau miliki, sekalipun engkau memiliki banyak harta” (LUKAS 12:15, TERJEMAHAN BEBAS) .
Meski demikian, seserius apa pun akibat ketamakan, penting diingat bahwa ketamakan hanyalah penyelewengan dari hal yang baik. Allah menciptakan kita untuk memiliki hasrat dan keinginan. Ujaran pemazmur menyiratkan bahwa kegembiraan dan keinginan terjalin erat dalam hidup kita bersama Allah dan menjadi bagian esensial dari hati yang diperbarui-Nya (MAZMUR 37:4) . Yesus tidak meminta kita menekan hasrat, melainkan agar kita memperhatikan hasrat yang lebih utama . Masalahnya bukanlah karena ketamakan menyingkapkan keinginan kita, melainkan karena ketamakan menggoda kita untuk puas dengan halhal yang mentah, rapuh, dan pada akhirnya merusak. Allah menghendaki bagi kita segala sesuatu yang jauh lebih bermakna daripada itu semua.
Renungkan: Berikut beberapa pertanyaan untuk menyingkapkan ketamakan dalam diri: Apakah Anda merasakan permusuhan terhadap mereka yang memiliki lebih dari Anda? Sulitkah Anda berbagi dengan sesama? Apakah Anda mendapati bahwa Anda tidak sungguhsungguh menikmati setiap berkat yang Allah anugerahkan?
Latihan: Bermurah hati. Untuk sebulan ke depan, tunjukkanlah kemurahan hati dengan tekun dan tanpa hitung-hitungan. Sisihkan sebagian pendapatan Anda (usahakan lebih daripada yang biasa Anda sisihkan) dan sumbangkanlah. Persembahkan kepada gereja Anda. Teruskan kepada orang-orang yang sedang menghadapi kesusahan. Berikan kepada mereka yang miskin. Lihatlah apa yang terjadi pada hati Anda selama latihan ini.
Tujuh Dosa Mematikan
KEMARAHAN
Sering kali, kemarahan yang merusak adalah perwujudan dari rasa sakit dan ketakutan kita. Kita marah ketika cemas melihat orang lain akan mendahului atau mencuri perhatian. Kita marah ketika kita dilukai atau dikecewakan begitu dalam. Kemarahan sering kali memperlihatkan bahwa kita bereaksi karena ego kita dilukai, karena kita yakin orang lain telah mencurangi atau mengecewakan kita begitu rupa sampai mengancam identitas dan citra diri kita. Karenanya, alih-alih menyadari kegelapan dalam batin kita, meneruskan pengampunan, berpaling kepada sahabat seiman, dan berpaling kepada Allah, kita justru naik pitam. Meski demikian, sekalipun kemarahan mempunyai daya rusak terhadap hidup kita, ketika merenungkan penggambaran Kitab Suci, kita menyaksikan gambaran yang lebih rumit dari sekadar kemarahan sebagai dosa yang keji. Alkitab memang berulang kali memandang kemarahan sebagai daya yang merusak, yang mampu menenggelamkan kita, mengaburkan akal sehat, dan melukai siapa pun yang disentuhnya (YAKOBUS 1:19-20) . Namun, terkadang Alkitab juga menampilkan kemarahan sebagai sikap yang bisa dibenarkan. Paulus menyatakan adanya sejenis kemarahan yang sesungguhnya memperkuat upaya kita melawan dosa (EFESUS 4:26) . Yesus pun sesekali marah. Setiap kali kaum pemuka agama menindas mereka yang lemah atau memanfaatkan Allah sebagai dalih untuk menutupnutupi ketamakan atau perbuatan licik mereka, amarah Yesus tersulut (MATIUS 21:12-17, MARKUS 3:1-6) . Jika dosa dan ketidakadilan benar-benar merusak sehingga kejahatan merajalela, kita dibenarkan untuk marah. Dalam buku
The Enigma of Anger, Garret Keizer berkata, “Saya tidak dapat mempercayai Juruselamat yang tidak pernah marah.”4 Syukurlah, Yesus tahu kapan saat yang tepat untuk marah. Mengingat bahwa setiap dosa adalah penyelewengan dari sesuatu yang baik, kita bisa belajar membedakan mana amarah yang dibenarkan untuk membela kaum yang lemah atau menuntut keadilan dan mana amarah menyalanyala yang menghanguskan apa pun dan siapa pun yang disentuhnya. Kemarahan yang benar berjuang untuk membela orang lain dan memelihara kasih. Sebaliknya, kemarahan yang tidak benar meninggalkan hubungan yang retak tanpa menghiraukan korbannya.
Pada tahun 2017, kelompok Ku Klux Klan dan sejumlah kelompok penyokong supremasi kulit putih lainnya berdatangan ke kota kami Charlottesville, Virginia, untuk menyebarkan ideologi rasialis mereka yang menyesatkan. Sebagai tanggapan, ribuan orang di lingkungan kami turun ke jalan untuk menentang pesan kebencian itu dan memberikan perlawanan dalam kadar yang benar. Kita patut marah terhadap penindasan dan gigih membela saudarasaudari kulit hitam kita yang terancam oleh gencarnya serangan paham-paham yang bengis tersebut. Namun, kita juga menyaksikan kemarahan berdosa yang diperingatkan dalam Alkitab ketika sejumlah pemrotes tandingan sekadar membalas kebencian dengan kebencian juga, lewat perkataan yang merendahkan dan menghina kelompok supremasi kulit putih tersebut. Ketika dipisahkan dari kasih Yesus yang mengubahkan hidup, amarah dan murka manusia pasti merugikan, seberapapun mulianya niat mereka.
Berlawanan dengan ini, Yakobus mendesak kita agar “cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah” (YAKOBUS 1:19-20) . Yakobus menyatakan bahwa jika dibiarkan, kemarahan kita tidak akan menghasilkan kebaikan. Kemarahan kita tidak akan bisa membawa pemulihan. Kemarahan kita tidak akan mengubah lawan menjadi kawan. Kemarahan kita tidak akan membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Kemarahan kita hanya akan merusak. Perkataan Yakobus sungguh menohok karena betapa mudahnya kita mencari-cari pembenaran atas kemarahan kita, meskipun mungkin kita memang dilukai, atau orang lain benar-benar mengharapkan pembelaan kita. Namun, bila terpisah dari kasih Allah sebagai dasar yang benar, kemarahan kita sama sekali tidak akan menghasilkan kebaikan. Itu bagaikan memadamkan api dengan minyak; yang kita lakukan hanyalah memperbesar kerusakan.
Renungkan: Kapan Anda merasakan kemarahan yang benar maupun yang tidak benar timbul dalam hati Anda? Dalam aspek apa saja Anda bergumul untuk mengendalikan kemarahan, dan apa (atau siapa) yang biasa memicunya?
Latihan: Kelemahlembutan. Lain kali Anda menghadapi seseorang yang membangkitkan amarah di hati Anda, tataplah matanya. Pusatkan perhatian Anda, dan tataplah dengan sungguh-sungguh. Lemaskan bahu, tinggalkan sikap permusuhan. Berjalanlah ke arahnya dengan lemah lembut, dengan mengingat bahwa tidak ada yang perlu Anda lindungi atau buktikan. Dengan lemah lembut, ucapkanlah perkataan yang datang dari hati Anda yang sudah tenang.
HAWA NAFSU
Kedua putra kami sangat suka makan permen. Ketika masih kanak-kanak, setiap kali Halloween tiba, mereka selalu membawa pulang sekantong penuh makanan manis yang akan membuat dokter gigi ngeri. Selama beberapa minggu berikutnya, saya dan istri saya, Miska, akan mengatur asupan gula mereka dengan ketat. Suatu kali, Miska memiliki sebuah gagasan. Kami memperbolehkan mereka makan permen sepuasnya (tanpa batasan apa pun) selama dua puluh empat jam, tetapi setelah itu kami akan membuang sisanya. Mereka sangat girang. Seharian itu mereka bebas mengunyah permen gummy, coklat Reese’s, Whopper, Skittle, dan Kit Kat—dan kami tidak melarang mereka. Mereka makan hingga mual. Ketika kami membuang permen yang masih tersisa, mereka tidak protes sama sekali. Butuh waktu berminggu-minggu sebelum mereka sanggup memikirkan permen tanpa merasa mual. Luar biasa.
Kedua putra kami telah dikuasai oleh hawa nafsu, yakni hasrat yang tak pernah terpuaskan dan tak terkendali. Namun, setelah hawa nafsu ini menguasai dan menyakiti mereka, barulah mereka merasa muak terhadap hal yang tadinya tampak begitu menggiurkan.
Sekali lagi, perlu ditekankan bahwa masalahnya bukanlah hasrat itu sendiri. Memiliki hasrat itu manusiawi, bagian dari kehidupan. Justru orang yang tidak memiliki hasrat mempunyai masalah dalam hidupnya. Namun, hasrat menjadi penyakit ketika kita dikuasai olehnya, yaitu dengan meyakini bahwa kita baru puas jika kita memiliki yang kita ingini. Hawa nafsu adalah penyimpangan (dan akhirnya menjadi penindasan) dari hasrat baik yang Allah ingin kita nikmati.
Alkitab mengatakan bahwa ada sistem kerja di dunia ini yang selalu berusaha menggantikan Allah dengan menipu dan memperdaya kita. Sistem palsu ini menyusup ke dalam hati kita melalui beragam bujuk rayu. “Sifat-sifat duniawi adalah segala keinginan jahat yang berasal dari badan kita, keinginan untuk memiliki apa yang kita lihat dengan mata, dan perasaan sombong karena apa yang kita miliki. Ketiga sifat itu tidak berasal dari Allah, tetapi dari dunia ini”
(1 YOHANES 2:16, VERSI TSI) . Hawa nafsu jasmani memikat kita melalui keinginan yang tak terkontrol untuk menikmati makanan, seks, dan kesenangan. Hawa nafsu mata menggoda kita melalui hasrat liar untuk melahap apa saja yang kita bisa demi memperoleh gengsi, kuasa, dan ketenaran. Kedua hawa nafsu ini selalu berujung dengan kebinasaan. Perilaku menuruti hawa nafsu itu membuat kita terhalang untuk menikmati kepuasan yang sesungguhnya dan mengalami sukacita sejati dari Allah. Ini tragedi yang sangat mengenaskan. Hawa nafsu menghalangi kita untuk menerima kepuasan sejati karena perhatian kita dialihkan dari Allah yang menyediakannya. Lebih dari itu, hawa nafsu bisa melumpuhkan kesanggupan kita untuk menikmati segala kesenangan yang ingin diberikan Allah kepada kita. Dalam upaya egois untuk menaklukkan orang lain dan meraih lebih banyak lagi untuk diri sendiri, hawa nafsu justru membuat kita mustahil sungguh-sungguh menikmati masa sekarang, untuk menyelami apa yang sesungguhnya terjadi di dalam jiwa kita, untuk berhubungan dengan orang-orang yang memang ada dalam hidup kita, dan untuk menikmati segala kebaikan di sekitar kita. Kita melihat tragedi ini berlangsung, misalnya, ketika hawa nafsu menguasai seksualitas kita. Baik melalui khayalan mesum,
kecanduan seksual, atau perilaku egois dalam hubungan seksual dengan pasangan, hawa nafsu memisahkan kita dari kasih sejati karena memisahkan kita dari hubungan kasih dengan orang-orang yang nyata di dalam hidup kita. Hawa nafsu membuat kita melupakan tanggung jawab kita untuk mengasihi dan berkorban kepada satu sama lain. Hawa nafsu tidak mungkin memupuk kasih, justru menghancurkannya. Layaknya kanker, hawa nafsu mengikis kesenangan baik yang bersifat sensual—kenikmatan yang sehat terhadap hidangan lezat atau keintiman seks yang menyatukan dua jiwa. Hawa nafsu dibakar oleh dusta bahwa kita harus memiliki pengalaman ini , orang itu , hubungan ini , perasaan itu —dan harus memilikinya saat ini juga, atau kita selamanya tidak akan terpuaskan. Namun, dengan sikap kita yang selalu ingin merebut dan minta dipuaskan, apa pun yang kita sentuh justru akan rusak dan binasa. Ketika hawa nafsu menguasai, kita layaknya pengembara tersesat yang merangkak di tengah padang gurun yang terik: yang terpikirkan hanyalah bagaimana mendapat air. Namun, “air” yang dijanjikan hawa nafsu selalu berupa khayalan belaka. Hawa nafsu memperdaya kita dengan menyatakan bahwa Allah bukanlah sumber dari kepuasan sejati. Hawa nafsu berjanji bahwa apa pun yang kita dambakan pasti memuaskan kita, tetapi sesungguhnya itu tidak benar. Hanya Allah yang sanggup melakukannya.
Renungkan: Menurut pengalaman Anda, bagaimana hawa nafsu gagal memberikan kepuasan sejati, dan justru menindasnya?
Latihan: Persahabatan. Niat kita untuk memanfaatkan orang lain demi kesenangan jasmani, kekuasaan, atau reputasi
diri dapat dilawan oleh sikap rela berkorban dalam lingkup persahabatan. Sepanjang minggu ini, berusahalah menjalin hubungan erat dengan seorang sahabat, tanpa memikirkan atau mengharapkan balasan apa pun darinya.
KERAKUSAN
Orang rakus terus menjejali perutnya dengan makanan, sekalipun sudah merasa kenyang. Meskipun makan terlalu banyak bisa terlihat konyol atau lucu (seperti ketika kawan saya menyantap enam belas buah taco sekaligus di suatu restoran Meksiko), tidak ada yang lucu ketika kerakusan sudah menjadi kebiasaan. Amsal memakai majas hiperbola untuk menyatakan seriusnya godaan ini: “Kenakanlah mata pisau pada lehermu, jikalau kiranya engkau seorang yang suka makan!” (AMSAL 23:2, TERJEMAHAN LAMA) .
Namun, pada dasarnya Alkitab menyatakan bahwa kerakusan bukanlah soal jumlah kalori, melainkan soal kelupaan —sikap lupa yang bisa membawa kepada pemberontakan dan kehancuran. Di Taman Eden, gigitan manusia yang rakus pertama kali terjadi ketika Adam dan Hawa lupa bahwa Allah sudah menyediakan semua yang mereka butuhkan dan bahwa tidak ada satu pun di luar hidup mereka bersama Allah yang sanggup memuaskan mereka. Demikian pula ketika Allah menuntun bangsa Israel keluar dari Mesir melalui padang gurun, mereka lupa (meskipun baru lewat beberapa minggu!) bagaimana rasanya hidup di bawah kekejaman Firaun dan betapa luar biasanya penyelamatan dari Allah. Meski demikian, Allah terus menyediakan makanan berlimpah bagi umat-Nya— manna yang berserakan di permukaan tanah dan burung
puyuh berjatuhan dari langit. Allah melakukan ini supaya umat-Nya mengingat—dan tidak pernah melupakan—Allah mereka. “Pada waktu senja kamu akan makan daging,” Allah berfirman, “dan pada waktu pagi kamu akan kenyang makan roti; maka kamu akan mengetahui, bahwa Akulah Tuhan, Allahmu” (KELUARAN 16:12) .
Namun, tentu saja, bangsa Israel lupa. Kita semua lupa. Mereka diperintahkan untuk mengumpulkan makanan yang cukup untuk hari itu saja, dan Allah akan menyediakan yang mereka butuhkan setiap pagi. Namun, seperti bisa diduga, banyak dari mereka tidak mempercayai Allah. Mereka pikir mereka harus menimbun makanan. Jadi, mereka mengambil sebanyak mungkin dan menimbunnya. Kemudian ada yang menganggap manna dan burung puyuh itu tidak cukup dan mulai “kemasukan nafsu rakus” (BILANGAN 11:4) . Mereka dikuasai oleh nafsu dan menjadi rakus.
Kita juga diterpa godaan serupa. Kita menjejali diri dengan makanan, hiburan, pengalaman, dan kemungkinan secara berlebihan. Dengan rakus kita mengejar pencitraan, pengakuan orang, atau pencapaian tertentu. Kita menjejali diri dan menimbun semuanya karena kita tidak lagi percaya bahwa Allah itu yang sesungguhnya paling kita dambakan. Saya bergumul dengan berat badan hampir seumur hidup saya. Saya tergoda untuk makan melebihi porsi yang seharusnya ketika saya sedih, lelah, atau kesepian. Saya sadar bahwa saya menggunakan makanan untuk mengatasi (atau melarikan diri dari) masalah tertentu. Ketika semakin menyadari godaan ini dan berusaha menjalani hidup dengan lebih sehat, saya menyadari kecenderungan untuk ketagihan itu juga muncul ketika saya menelusuri halaman Facebook atau Instagram tanpa tujuan yang jelas. Saya cenderung
Dosa Mematikan
menjejali diri sendiri secara berlebihan dengan apa saja yang mengalihkan perhatian—padahal yang sebenarnya saya butuhkan adalah kembali mengalami rahmat Allah. Apa yang kita semua paling butuhkan—jauh melampaui makanan, reputasi, pengalaman, atau siapa pun—adalah Allah. Godaan untuk menjejali diri kita itu memberikan petunjuk kepada kita tentang suatu kebenaran mendalam yang patut kita terima dengan penuh syukur: kita sungguhsungguh rindu . . . untuk mengalami Allah dan hidup dalam Kerajaan-Nya. Jadi, kita tidak menolak kerinduan tersebut, melainkan masuk semakin jauh ke dalamnya, kepada apa yang ditunjukkan oleh kerinduan tersebut. Lalu, ketika masuk lebih jauh dan dalam, kita mendapati kabar yang sangat baik: Allah kita yang baik dan murah hati sesungguhnya rindu memberikan segala yang kita butuhkan kepada kita. Jika kita bersikeras untuk memuaskan sendiri kerinduan tersebut, kita tidak akan pernah datang kepada Allah dengan tangan terbuka untuk menerima pemberian-Nya.
Renungkan: Kapan Anda tergoda menukar tempat Allah dalam hidup Anda dengan menikmati berbagai hal yang mengalihkan perhatian Anda? Menurut Anda, apa yang dinyatakan oleh nafsu rakus tersebut mengenai hati Anda?
Latihan: Berpuasa. Berpuasa berarti mengambil jeda dari makanan atau bentuk kesenangan lainnya. Inilah kesempatan untuk meredakan tuntutan diri yang ingin meraup lebih lagi, supaya kita terhubung dengan hasrat terdalam yang diberikan Allah. Anda bisa berpuasa makanan (melewatkan waktu makan atau jenis makanan tertentu) atau kegiatan tertentu (media sosial, televisi). Untuk berpuasa makanan, ikutilah petunjuk gizi sesuai kondisi tubuh Anda.
tiga Melangkah Menuju Terang
Bisa
jadi kita merasa bingung dan sakit saat melihat betapa berdosa dan menderitanya diri kita. Namun, sesungguhnya tidak ada yang perlu ditakuti. Tidak perlu merasa malu. Kita hanya perlu melihat dusta-dusta yang selama ini kita percayai supaya kita bisa menyingkirkannya dan melangkah menuju terang. Lengan Allah yang Mahabaik terentang lebar untuk merangkul kita. Kasih Allah jauh lebih dahsyat daripada segala khayalan, kecanduan, dan kebiasaan kita yang merusak. Entah itu kesombongan, iri hati, kemalasan, ketamakan, kemarahan, hawa nafsu, atau kerakusan—terang Allah sanggup mengusir semua penyimpangan tersebut.
Jika kita tergoda untuk berputus asa, atau merasa
dihantui rasa bersalah, atau ingin mencela diri sendiri, ingatlah kasih sayang dan kelemahlembutan Allah. Ingatlah bahwa Allah memanggil kita sebagai anak-anak-Nya yang terkasih bahkan ketika kita masih berkubang dalam kebodohan dan kekejian dosa. Allah mengundang kita keluar dari persembunyian dan berjalan menuju pancaran terang kasih-Nya. Allah memanggil kita untuk menjalani kehidupan yang utuh dan merdeka.
ANDA DAPAT MEMBERI DAMPAK YANG BERARTI!
ANDA DAPAT MEMBERI DAMPAK YANG BERARTI!
Materi kami tidak dikenakan biaya. Pelayanan kami didukung oleh persembahan kasih dari para pembaca kami.
Materi kami tidak dikenakan biaya. Pelayanan kami didukung oleh persembahan kasih dari para pembaca kami.
Jika Anda ingin mendukung pelayanan kami, Anda dapat mengirimkan persembahan kasih melalui rekening “Yayasan ODB Indonesia”
Jika Anda ingin mendukung pelayanan kami, Anda dapat mengirimkan persembahan kasih melalui rekening “Yayasan ODB Indonesia”
BCA Green Garden A/C 253-300-2510
BCA Green Garden A/C 253-300-2510
BNI Daan Mogot A/C 0000-570-195
BNI Daan Mogot A/C 0000-570-195
Mandiri Taman Semanan A/C 118-000-6070-162
Mandiri Taman Semanan A/C 118-000-6070-162
Yayasan
Yayasan
ODB Indonesia
ODB Indonesia
QR Code Standar Pembayaran Nasional
QR Code Standar Pembayaran Nasional
Scan QR code ini untuk donasi dengan aplikasi e-wallet berikut:
Scan QR code ini untuk donasi dengan aplikasi e-wallet berikut:
Silakan konfirmasi persembahan kasih Anda melalui nomor kontak kami di halaman belakang buklet ini.
Silakan konfirmasi persembahan kasih Anda melalui: WhatsApp: 0878.7878.9978 E-mail: indonesia@odb.org SMS:
Anda juga dapat mendukung kami dengan meng-klik tautan ini.