EDISI AGUSTUS
Kemana Larinya Dana OTSUS Papua ?
Dugaan Perdagangan Senjata di Papua, Dari Mana Asalnya ? Hari Masyarakat Adat Sedunia, Di Peringati REDD+ Gagal di Papua ? Festival Teluk Humboldt “Unggulan Budaya Port Numbay yang Harus Dijaga” Pejuang Kaum Tak Bersuara
JARINGAN KERJA RAKYAT
EDISI VII
www.jeratpapua.org
S
elama periode 2001-2014, pemerintah pusat telah menyalurkan dana Otonomi Khusus (Otsus) senilai Rp 57,7 triliun kepada Provinsi Papua. Bagaimana efektivitasnya? Menurut Rizal Djalil, Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dana Otsus Papua belum efektif bagi kesejahteraan rakyat Papua. Dia menyebutkan sejumlah indikatornya. Pertama adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua yang pada 2012 tercatat sebesar 65,86. “Ini terendah dibandingkan seluruh provinsi di Indonesia, yang punya rata-rata nasional sebesar 73,29,” kata Rizal dalam Forum Ilmiah tentang Dana Otonomi Khusus 2014 di Universitas Cendrawasih. IPM di Papua, lanjut Rizal, memang semakin membaik dari tahun ke tahun. Misalnya pada 2001, IPM Papua masih 60,1. Kenaikan Dana Otsus setiap tahunnya ikut berpengaruh terhadap perbaikan IPM Papua.
Namun, korelasi antara kenaikan Dana Otsus dan IPM ternyata sangat kecil.
Otsus disebabkan belum adanya perencanaan pembangunan daerah yang spesifik mengatur grand design pelaksanaan di lapangan. “Setiap penambahan (dana) Otsus “Kondisi ini mengakibatkan tidak sebesar Rp 1 juta hanya meningkat- optimalnya pemanfaatan dana kan IPM Papua 0,000001521. Otsus di bidang pendidikan, Pengaruhnya sangat kecil, mendekati kesehatan, dan infrastruktur.” nol. Dengan kata lain, tambahan dana Otsus tidak signifikan terhadap penAgar dana Otsus lebih efektif, Riingkatan IPM,” papar Rizal. zal mengemukakan sejumlah masukan. Pertama, mengkaji kembali Indikator kedua adalah angka kemiski- undang-undang yang mengatur nan. Ini pun sebenarnya membaik, di Otonomi Khusus Papua yang melimana pada 2002 angka kemiskinan di batkan seluruh pemangku kepentPapua masih 51,21 persen dan ingan. Kedua, menyusun grand kemudian terus menurun hingga 30,66 design program Otsus dengan persen pada 2012. Namun lagi-lagi, jangka waktu 15 tahun. ternyata korelasi kenaikan dana Otsus dengan penurunan angka kemiskinan Ketiga, meningkatkan fungsi pemtidak signifikan. binaan pemerintah pusat dengan memberikan asistensi dan transfer “Setiap tambahan Rp 1 juta dana pengetahuan di bidang keuangan, Otsus hanya menurunkan persentase kesehatan, pendidikan, dan infrapenduduk miskin di Papua sebesar struktur. Keempat, membentuk 0,00000172 atau mendekati nol. lembaga sosial yang bergerak di Dapat disimpulkan dana Otsus tidak bidang percepatan pembangunan berpengaruh signifikan terhadap Papua. penurunan tingkat kemiskinan di Papua,” tegas Rizal. Aceh dan Papua memang memperoleh dana otonomi khusus tiap Menurut Rizal, belum efektifnya dana tahun. Pada 2014, kedua propinsi
S.MANUFANDU Sekretaris Eksekutif Manager Office ENI RUSMAWATI Manager Keuangan ASMIRAH Keuangan WIRYA.S Manager PSDA & EKOSOB SABATA.RUMADAS PSDA & EKOSOB E. DIMARA Manager PPM ESRA MANDOSIR Manager JKL ANDRIO. NGAMEL Unit Studio MARKUS IMBIRI Unit DIP
mendapat sebesar 13,648 triliun rupiah. Alokasi dana Otsus tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195 dan 196 yang diteken Menteri Keuangan M. Chatib Basri pada 17 Desember 2013. Dana sebesar itu dibagi bagi: Provinsi Aceh Rp 6,824 triliun atau 2% dari pagu Dana Alokasi Umum. Adapun Provinsi Papua Rp 4,777 triliun, dan Papua Barat Rp 2,047 triliun. “Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dialokasikan setara 2% dari Dana Alokasi Umum Nasional (Rp 6,824 triliun), dengan proporsi 70% (Rp 4,777 triliiun) untuk Provinsi Papua, dan 30% (Rp 2,047 triliun) untuk Provinsi Papua Barat,” bunyi Pasal 2 dan Pasal 3 Ayat (1,2) PMK Nomor 196/PMK.07/2013 itu. Khusus untuk Papua dan Papua Barat, lansir situs sekretariat kabinet RI, pemerintah juga memberikan Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus sebesar Rp 2,5 triliun, dengan rincian Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi
JERRY OMONA Unit DIP
JERAT NEWSLETTER| EDISI VII AGUSTUS 2014
HAL. 2
JARINGAN KERJA RAKYAT www.jeratpapua.org
EDISI VII
Papua Rp 2 triliun, dan Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua Barat sebesar Rp 500 miliar. Masuk Dalam APBD Menurut Peraturan Menteri Keuangan itu, penggunaan Dana Otonomi Khusus merupakan bagian dari pendapatan daerah dan dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2014. “Penggunaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Qanun Aceh,” bunyi Pasal 3 PMK No. 195/PMK.07/2013. Sementara Pasal 9 PMK No. 196/PMK.07/2013 menegaskan, tata cara penyaluran Dana Otsus Papua dan Papua Barat serta Dana Tambahan Infrastruktur dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. PMK. No. 196/PMK.07/2013 juga menegaskan, bahwa Dana Otsus Papua dan Papua Barat ditujukan untuk pendanaan bidang pendidikan dan kesehatan. Adapun Dana Tambahan Infrastruktur ditujukan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur. Terkait penyaluran dana itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap kesejahteraan rakyat Papua dan Papua Barat bisa meningkat secara signifikan dalam lima hingga 15 tahun ke depan. “Dana Otsus Papua dan Papua Barat (untuk) tahun depan (2015) jumlahnya Rp 7 triliun, di luar anggaran yang sudah ada,” kata SBY, saat puncak acara Sail Raja Ampat, di Pantai Waisai Torang Cinta, Kota Waisai, Pulau Waigeo, Raja Ampat, Papua Barat, pekan lalu.
2011 itu, terdapat penyelesaian pekerjaan terlambat, namun tidak dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp17 miliar lebih. Ada pula temuan pengadaan barang/jasa melalui dana Otsus pada enam pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat sebesar Rp326 miliar lebih. Selain itu, penggunaan tidak tepat sasaran dengan peruntukan senilai Rp248 miliar lebih, dan masih banyak lagi. “Ini sebenarnya melanggar ketentuan dalam UU Otonomi Khusus, dana dibelanjakan namun tidak sesuai peruntukan. Bisa juga ada wewenang yang menyimpang dari ketentuan undang-undang,” kata Reba. Ia berpendapat, terdapat unsur kesengajaan dari pemakaian anggaran otsus. “Sebenarnya dana otsus harus diatur pelaksanaannya dalam Perdasus, kalau tidak ada aturan yang melandasi, pemerintah dapat saja sesuka hati membelanjakan,” pungkasnya.
Menurut dia, dana Otsus ini dikucurkan pemerintah agar terjadi percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat. “Ini sesuatu yang menjadi kebijakan pemerintah dan prioritas yang pemerintah jalankan,” ujar SBY. “Saya berharap mari kita sukseskan bersama.” Otonomi Khusus Papua diberikan oleh Negara melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan TambaSBY menyatakan akan menyampaikan kepada presiden terpilih, han Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Joko Widodo, agar percepatan pembangunan di Papua dan Papua Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang Barat terus dilanjutkan. “Kalau ini bisa dilanjutkan dan bahkan dit- terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua ingkatkan oleh beliau, maka kemajuan tanah Papua akan bisa da- dalam menjalankan Otonomi Khusus. Selain hal-hal yang diatur secara khusus, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan tang lebih cepat lagi.” Daerah yang berlaku secara umum di seluruh daerah di Indonesia. Rawan di Korupsi
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)
Dana Otonomi Khusus rawan dikorupsi. Dalam beberapa kasus, dana otsus digunakan untuk membeli jam dinding atau pajangan kantor pemerintah. “Dana otsus adalah untuk mempercepat pemenuhan hak, dana otsus ada setelah Otsus, dana itu untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan atau guna pemanfaatan yang dapat mengangkat orang Papua menjadi lebih baik,” kata Yusak Reba, Direktur Institute for Civil Strengthening. Menurut dia, penggunaan dana tersebut rawan disalahgunakan. “Dari temuan BPK, ternyata ada banyak kejanggalan dalam peruntukannya, dimana dana untuk pembangunan infrastruktur dipakai untuk membeli jam dinding,” ujarnya. Dugaan penyimpangan dana Otsus tertuang dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan tahun anggaran 2002 hingga 2010. Didalam laporan BPK nomor ; 01/HP/XIX/04/2011 tanggal 14 April JERAT NEWSLETTER| EDISI VII AGUSTUS 2014
HAL. 3
JARINGAN KERJA RAKYAT
EDISI VII
www.jeratpapua.org
K
abar peredaran dan perdagangan senjata api di Papua, tak bisa dianggap enteng. Bila dibiarkan, taruhannya; runtuh keutuhan NKRI.
Kepolisian sendiri terus menelisik jaringan peredaran senjata tersebut. Diduga, sejumlah senjata berasal dari Philipina Selatan dan Papua Nugini yang akan diseludupkan ke wilayah konflik di daerah pegunungan Papua. “Kami masih mengembangkan kasus ini,” kata mantan Kapolda Papua Irjen Polisi Tito Karnavian, beberapa waktu lalu. Tito menjelaskan, terungkapnya jaringan perdagangan senjata dari Mindanao, Philipina Selatan melalui Pulau Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, bermula ketika seorang pria berinisial JM tertangkap membawa ratusan amunisi bersama 3 pucuk senjata, jenis Armalite AR-15, Revolver dan FN di Pelabuhan Sorong, 6 Mei lalu. Dari hasil pemeriksaan, terungkap bahwa tersangka JM merupakan jaringan kelompok bersenjata di Kabupaten Puncak Jaya. Polda Papua juga sedang mengusut dugaan keterlibatan oknum pejabat salah satu Kabupaten di Pegunungan Tengah Papua yang diduga mendanai pembelian senjata. “Kami baru memiliki satu alat bukti, dan kami masih mencari bukti lain keterlibatan oknum pejabat itu.” Setelah penangkapan terhadap JM, tidak lama kemudian, Rabu 25 Juni 2014, empat pria didapati membawa senjata yang akan diseludupkan. Mereka anak buah Purom Wenda, panglima Tentara Pembebasan Nasional di Lanny Jaya. Penangkapan terjadi di jalan Abe Pantai, Kota Jayapura, dengan barang bukti amunisi 1.216 butir, 2 pucuk senjata laras panjang jenis Engle Loop. Petugas langsung mengamankan pelaku atas nama Edy Wakur (37 tahun), Deni Wetipo (19 tahun), Tiba Tabuni (42 tahun), dan Rampi (20 tahun). Panglima TPN OPM Lanny Jaya, Purom Okiman Wenda mengaku anak buahnya telah ditangkap polisi karena membawa senjata api. “Iya, itu anak buah saya,” ujarnya. Pasukan Purom memiliki puluhan senjata otomatis. Ia disebut-sebut sebagai satu dari tiga „penguasa‟ di wilayah pegunungan tengah Papua, selain Erimbo Enden Wanimbo dan Goliath Tabuni yang bermarkas di Tingginambut, Puncak Jaya. Purom berafiliasi dengan kelompok Erimbo yang menguasai Jayawijaya. Erimbo sendiri membangun markasnya di daerah gunung terjal, di kawasan Distrik Pirime, Lanny Jaya. Perjalanan dari Wamena, ibukota Jayawijaya ke Pirime, sekitar tiga jam menggunakan kendaraan darat. Dalam sebuah pertemuan, antara JERAT dan pasukan Erimbo di awal Juli 2014, pasukannya sekitar seratus orang, membawa busur dan panah. Mereka mewarnai tubuh dengan arang dan menari menyambut kedatangan wartawan. “Kami hanya mempercayai Anda. Leluhur bangsa Papua merestui pertemuan ini. Sampaikan pada dunia bahwa kami siap berperang,” kata Erimbo.
JERAT NEWSLETTER| EDISI VII AGUSTUS 2014
HAL. 4
JARINGAN KERJA RAKYAT www.jeratpapua.org
EDISI VII
Kasus Lama Sebelum pengungkapan kasus Philipina, Polisi sebenarnya sudah pernah menggagalkan beberapa kejadian peredaran senjata api di Papua. Misalnya, dengan menangkap RT yang membawa puluhan amunisi dari Papua Nugini di Pelabuhan Jayapura, 26 Februari lalu. Pada 2011, Kepolisian Daerah Papua juga menemukan 11 senjata api laras panjang beserta amunisinya dalam sebuah bengkel milik PT, 53 tahun, di Jalan Raya Abepura, Kamkey, Kelurahan Awiyo, Kota Jayapura. Temuan belasan pucuk senjata itu, sebut polisi, tidak terkait dengan keberadaan kelompok separatis. Pada awal 2012, polisi sukses pula Foto Istimewa mengungkap transaksi perdagangan senjata api di Timika. Empat orang terlibat dari transaksi tersebut, diringmenggunakan perahu, atau lewat sungai-sungai,” ungkap Ronkus. Awalnya polisi mencurigai gerak-gerik tersangka A alias N (26) yang berangkat dari Ambon menumpangi kapal Pelni. Dalam aksinya, A dibantu oleh ny. LE (24). Keduanya menjual senpi kepada JL alias P (36). Transaksi dilakukan Tapi, untuk jalur-jalur masuk resmi, lanjut Ronny, pihaknya sudi rumah AM (32). dah bekerja sama dengan instansi terkait. Itu membuat kecil Dari keempat tersangka, polisi menyita barang bukti berupa 2 pucuk senjata api kemungkinan senjata api ilegal masuk lewat bandara atau pelabuhan resmi. rakitan, 1 laras pendek dan panjang, serta 61 butir peluru. Berdasarkan keterangan tersangka, senjata itu dijual dengan harga Rp 10 juta. Polisi menjerat (Jerry Omona/dari berbagai sumber) keempatnya dengan pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api. Dua tahun sebelumnya, Juni 2010, Polda Papua juga berhasil menggagalkan pengiriman puluhan amunisi ke Puncak Jaya. Amunisi kaliber 5,56 sebanyak 38 butir, amunisi AK-47 tujuh butir, dan satu magazen yang terbungkus rapi dalam kardus amplifier itu dikirim menggunakan pesawat komersil Manunggal dari Jakarta ke Wamena, melalui Bandara Sentani Jayapura. Pengiriman amunisi ini, diduga ada kaitannya dengan serangkaian aksi penyerangan pos-pos keamanan di Puncak Jaya. Misalnya pada 14 Juni 2010, saat kelompok bersenjata menyerbu Pasukan Brimob yang sedang melakukan patroli rutin di Kampung Yambi, Distrik Mulia, Puncak Jaya. Penembakan itu menewaskan seorang anggota Brimob Kelapa Dua, Brigadir Satu Agus Suhendra. Harus Dihentikan Peredaran senjata api di Papua harus dihentikan. Karena dampaknya, dapat mengena pada warga sipil. Dari berbagai pengungkapan kasus di Papua, kata Tito, mantan Kapolda Papua, membuktikan bahwa pasokan senjata kepada kelompok-kelompok sipil di wilayah Pegunungan Tengah, tidak hanya dari hasil rampasan, namun juga melalui perdagangan ilegal dengan pihak asing. “Kelompok sipil yang sering melakukan aksi kriminal, umumnya mendapat senjata rampasan dari aparat yang lengah, seperti di Pos Kulirik, Puncak Jaya. Selain itu, mereka juga sudah mulai memasok persenjataan dari luar negeri melalui jalur perdagangan senjata ilegal.” Kepala Divisi Humas Polri Irjen Ronny Franky Sompie mengatakan, pengiriman senjata biasanya melalui jalur yang sulit diawasi. “Seperti masuk lewat pantai, JERAT NEWSLETTER| EDISI VII AGUSTUS 2014
HAL. 5
JARINGAN KERJA RAKYAT
EDISI VII III EDISI
www.jeratpapua.org
ma Hari Internasional tahun ini adalah ” Bridging the gap: implementing the rights of indigenous peoples” atau “Menjembatani kesenjangan: melaksanakan hak-hak masyarakat adat”. Tema ini bertujuan untuk menyoroti pentingnya penerapan hak-hak masyarakat adat melalui kebijakan dan program baik di tingkat nasional dan internasional yang bekerja bersama menuju tujuan bersama dengan Pemerintah, sistem PBB, masyarakat adat dan stakeholder lainnya.
H
Sebuah acara khusus di Markas Besar PBB di New York diadakan pada Jumat, 8 Agustus, dari pukul 3 – 6 sore waktu setempat, yang di hadiri oleh Sekretaris Jenderal PBB, Presiden Majelis Umum, Wakil Ketua Forum Tetap PBB untuk Masyarakat Adat Isu, delegasi dari Negara anggota, wakil dari Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, dan perwakilan masyarakat adat. Acara ini yang berlangsung tersiar langsung webcast di webtv.un.org.
ari Masyarakat Adat Sedunia (9 Agustus) pertama kali dicanangkan oleh Majelis Umum pada bulan Desember 1994, yang akan dirayakan Konferensi Dunia pertama pada Masyarakat Adat akan diselenggarakan pada September 2014. Pertemuan akan menjadi kesempatan setiap tahun selama Dekade Internasional pertama dari Penduduk Asli untuk berbagi perspektif dan praktik terbaik tentang realisasi hak-hak Dunia (1995-2004). masyarakat adat, termasuk mengejar tujuan Deklarasi PBB tentang Pada tahun 2004, majelis PBB memproklamirkan Dekade Internasional hak Masyarakat Adat. Kedua, 2005-2014, dengan tema “A Decade for Action and Dignity.” Teun.org/Markus Imbiri
REDD+ telah digulirkan. Sejauh mana perkembangannya di Papua? REDD, Reducing Emission from Deforestation and Degradation atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan merupakan isu global yang butuh penyelesaian global. Isu ini pertama kali mencuat pada level internasional saat Conferences Of The Parties (COP)- sebelumnya disebut United Nation Framework Convention on Climate Change atau Earth Summit (Konferensi Bumi). Awalnya, REDD yang kini menjadi REDD+, difokuskan pada isu stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca (emisi) pada sektor industri. Di COP 13 Bali, yang diperkuat COP 15 di Kopenhagen, soal REDD kembali dibahas dengan begitu sengit. Meski demikian, COP 15 oleh banyak Negara dianggap gagal karena tidak memberi putusan yang diikat oleh hukum. Hutan Papua. Foto Istimewa
JERAT NEWSLETTER| EDISI VII AGUSTUS 2014
Selanjutnya, untuk mencegah timbulnya resiko HAL. 6
JARINGAN KERJA RAKYAT
EDISI VII III EDISI
www.jeratpapua.org
secara sosial dan lingkungan dalam pelaksanaan REDD+, Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-16 UNFCCC di Cancun, Meksiko pada 2010, menetapkan kerangka pengaman (safeguards) REDD+ yang terdiri dari tujuh prinsip. Diantaranya; menghormati hak masyarakat adat dan lokal. Dalam menerjemahkan mandat kesepakatan tersebut, Indonesia mengembangkan Prinsip, Kriteria dan Indikator Safeguards (PRISAI) REDD+ Indonesia melalui Satuan Tugas (Satgas) REDD+. Di Indonesia, Papua di bagian timur adalah provinsi yang paling siap untuk melaksanakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. Ini dimungkinkan karena dari 42 juta hektar, hutanPapua ternyata bisa menyimpan lebih dari 400 ton karbon bagi kelangsungan hidup di bumi. Pada Konferensi perubahan Iklim di Denpasar Bali, 27 April 2007 lalu, Gubernur Papua ketika itu, Barnabas Suebu dan Gubernur Papua Barat, Abraham Oktavianus Atururi bersepakat mengalokasikan 5 juta ha hutan Papua untuk mekanisme perdagangan karbon. Model ini akan memberikan semacam “reward” bagi setiap upaya pengelolaan hutan yang menjamin agar hutan tidak rusak atau pun punah. Namun sejauh mana perkembangannya, masih gelap. Satu informasi penting dari usaha merealisasikan REDD di Papua adalah dengan dikeluarkannya peraturan Gubernur Barnabas Suebu pada bulan Oktober 2010 mengenai Pembentukan Gugus Kerja Pembangunan Rendah Karbon. Salah satu peran Gugus Tugas itu yakni untuk memastikan kepastian hukum mengamankan hak-hak masyarakat sesuai dengan prinsip pemberian persetujuan berdasarkan informasi awal tanpa tekanan (FPIC). Kebijakan serupa juga dibuat Gubernur Papua Barat, Abraham Atururi, bulan Maret 2011. Di bagian lain, diterbitkan pula Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) Papua No. 23/2008 mengenai Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan PERDASUS No.21/2008 mengenai Pengelolaan Hutan Lestari. Regulasi ini diharapkan bisa mengakui hak-hak masyarakat Papua, serta memperkuat posisi masyarakat yang terimbas oleh rencana REDD+. Kepala Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Papua, Noak Kapisa, pada empat hari Konferensi Keanekaragaman Hayati Internasional di Jayapura mengatakan, bersama dengan provinsi tetangga Papua Barat, Papua sedang menunggu otorisasi pemerintah pusat dan peraturan rinci mengenai mekanisme REDD. “Tentu saja, kami ingin kebijakan yang jelas dan peraturan kegiatan REDD serta insentifnya,” kata Noak.
Hutan Papua. Foto Istimewa
kompensasi, masyarakat juga harus tetap memiliki akses kelola terhadap hutan alam, misalnya terhadap hasil hutan non kayu. “Jangan sampai REDD justru mengganggu mereka,” kata Thomas. Hutan Papua Papua ditutupi oleh hamparan terbesar hutan hujan tropis di Asia Tenggara. Hutan Papua meliputi lebih dari 42 juta hektar, atau 24 persen dari total kawasan hutan Indonesia yang tersisa. Sebanyak 85 persen dari hutan Papua diklasifikasikan sebagai hutan utuh, terdiri dari campuran antara Asia dan Australia yang unik. Seperti Riau yang memiliki sekitar 700.000 hektar hutan dan Jambi 100.000 hektar untuk alokasi REDD, hutan Papua juga demikian. Negara maju selanjutnya akan memberihibah berbeda dari Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Plus skemanya. Komitmen itu sebelumnya merupakan bagian dari Kopenhagen Accord yang disepakati untuk menghadapi perubahan iklim. Indonesia sendiri diperkirakan akan memperoleh $ 4-5 miliar dana bagi pengurangan emisi dari hasil „menjual‟ karbon. Bantuan tersebut rencananya disalurkan secara bertahap dalam beberapa ketentuan, termasuk pembentukan dana perwalian dan pemilihan prioritas hutan. “Departemen Kehutanan telah menawarkan (hutan) di Papua, Kalimantan Timur, Riau dan Jambi. Kami akan pilih (hutan) bersama-sama dengan Norwegia,” kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, ketika itu.
Ia menjelaskan, Papua telah mengusulkan agar insentif dari kegiatan Untuk mengawasi hibah US $ 1 miliar yang disediakan oleh Norwegia bagi REDD, dialokasikan untuk masyarakat setempat.”Juga kepada pengurangan deforestasi, Indonesia mendirikan sebuah Badan Rehabiliorang-orang yang secara langsung terlibat dalam kegiatan REDD.” tasi dan Rekonstruksi (BRR). BRR, badan yang pernah merehabilitasi daMantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) na Nias dan Aceh setelah gempa bumi dan tsunami pada tahun 2004. Kehutanan Manokwari, Ir. Thomas Nifinluri, MSc, pernah berujar, Lembaga ini dianggap efektif di mana korupsi dapat dicegah. mekanisme REDD telah menempatkan masyarakat adat pemilik huSelain Indonesia, Brasil juga menerima hibah dari Norwegia untuk mengutan sebagai mitra utama. Selain karena alasan kepemilikan, juga rangi emisi. “REDD memungkinkan Negara berkembang mendapat bankarena masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam kaitannya yak dana. Ini bagian dari upaya penyelamatan global,” ujar Rob Law, Third dengan pemanfaatan hutan secara lestari. Secretary (Economic) dalam Lokakarya „Memahami Perubahan Iklim: PanNamun ia tak menampik bahwa dibutuhkan negosiasi yang kuat un- duan Jurnalis untuk Meliput‟ di Jakarta. tuk memperkuat posisi masyarakat adat dalam mekanisme REDD. Menurutnya, REDD bukan hanya masalah bagaimana memberi hibah paBagaimanapun, ketika mekanisme itu berjalan, selain mendapat da Negara pemilik hutan saja. REDD bahkan lebih pada masalah ekonomi. JERAT NEWSLETTER| EDISI VII AGUSTUS 2014
HAL. 7
JARINGAN KERJA RAKYAT
EDISI VII
www.jeratpapua.org
Dimana ada begitu banyak uang yang dikelola yang memungkinkan terjadinya korupsi. “Dengan demikian, problem perubahan iklim bukan masalah sebuah Negara saja, ini persoalan global yang membutuhkan tanggungjawab bersama,” tuturnya. Tidak berbeda jauh, Neil Scotland, Coordinator, Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership mengatakan, bahwa soal REDD, ada sesuatu yang memang sangat pelik untuk dijawab. Jika REDD adalah masalah ketergantungan Negara berkembang pada Negara maju, tentu tidak tepat untuk disimpulkan. “Karena jelas, dari banyak data, penghasil emisi terbesar saat ini ada pada negara maju, tentu masalah perubahan iklim adalah persoalan bersama.”
J
ayapura, Festival Teluk Humboldt (FTH) yang digelar oleh Pemerintah Kota Jayapura di bibir pantai wisata Hamadi, merupakan salah satu agenda pariwisata unggulan Papua sehingga perlu dipublikasikan lebih luas. “Festival Teluk Humboldt sudah menjadi agenda wisata nasional dan menjadi salah satu pariwisata unggulan yang unik,” kata Asisten II Setda Papua Ellia Loupatty, ketika membacakan sambutan tertulis Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe, pada pembukaan festival tersebut, di Pantai Hamadi, Kota Jayapura, Selasa (5/8/2014).
Memang benar apa yang dikatakan keduanya. REDD bukan hanya masalah „merah‟ oleh masyarakat adat, tapi bagaimana hutan bisa dijaga untuk penyelamatan umat manusia. “Jika Indonesia dan Negara berkembang yang memiliki hutan mau berpikir untuk hidup manusia kelak, mau tidak mau, hutan saat ini perlu dijaga,” cetus Jenny Dee dari kedutaan besar Australia.
Festival Teluk Humboldt diharap mampu menjaga kelestarian budaya Port Numbay. Festival ini merupakan ajang pengekspresian karya seni dan budaya tradisional serta pameran kuliner yang bahan bakunya bahan lokal yang berasal dari kampung-kampung di Teluk Humboldt.
Perubahan iklim yang melahirkan skema REDD+ atau mungkin dengan pendapat yang berbeda, jelas bukan soal memberi hibah. Perubahan iklim dan REDD+tak juga bisa diselesaikan dengan hanya menerbitkan Peraturan Daerah terhadap pelarangan keluar kayu log dari hutan. Masalah perubahan iklim mencakup banyak hal yang sulit diuraikan dengan mudah.
Menurut gubernur , karya seni dan budaya yang ditampilkan ini akan menambah khasana budaya nasional sekaligus mempromosikan produk wisata Kota Jayapura dan Papua.”Hal ini harus dilakukan guna mewujudkan Kota Jayapura sebagai daerah destinasi wisata dan saya harap apa yang dicapai oleh Kota Jayapura menjadi barometer bagi kabupaten lain di Provinsi Papua,”imbuhnya.
Indonesia sebagai salah satu pemilik hutan perawan tentu harus ikut bertanggunggung jawab meski sepanjang 60-an bukan sebagai Negara penghasil emisi terbesar. Penandatanganan letter of intent (LOI) antara Indonesia dan Norwegia untuk mengurangi deforestasi di Indonesia menjadi awal yang baik bagi hidup bangsa-bangsa di dunia.
”Kami berharap kuliner lokal ini bisa dijajal oleh hotel dan restoran di Kota Jayapura serta tari pergaulan masyarakat Tabi serta pameran kerajinan rakyat yang diharapkan mampu mengangkat ekonomi kreatif dari masyarakat Port Numbay secara khusus dan Papua pada umumnya,”ungkap Gubernur saat memberikan sambutan sekaligus membuka secara resmi Festival Teluk Humboldt Ke VI tahun 2014 di pesisir pantai Hamadi.
Dikatakan, selain menampilkan seni dan budaya festival ini menampilkan keindahan panorama pantai wisata Hamadi sebagai objek wisata alam yang mempesona.”Mengingat Festival Teluk Humboltd ini merupakan event yang mengangkat budaya Papua bahkan Indonesia sehingga kedepannya harus ada koordinasi sehingga beberapa event festival di Papua seperti Festival Bali-
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)
JERAT NEWSLETTER| EDISI VII AGUSTUS 2014
JARINGAN KERJA RAKYAT www.jeratpapua.org
EDISI VII
Wali Kota Jayapura Benhur Tommy Mano mengatakan FTH tahun ini mengusung tema “Love Culture and Green” di mana kegiatan itu merupakan pesta rakyat Port Numbay yang digelar tiap awal Agustus. “Festival Teluk Humboldt merupakan bagian upaya mendukung program Gubernur Lukas Enembe untuk menjadikan Papua sebagai salah satu tujuan wisata di timur Indonesia,” katanya. Mengenai masukan agar pelaksanaan FTH disinkronkan dan dikoordinasikan dengan pelaksanaan festival lainnya di Papua, Benhur menyatakan kalau hal itu tetap akan dilakukan. “Ke depan memang kita di Ibu Kota Provinsi Papua akan membuat satu kalender yang terkoneksi dengan semua agenda festival di daerahdaerah, agar bisa dimanfaatkan oleh para wisatawan lokal dan mancanegara, supaya kalau sekali mereka datang tidak bolak balik, ini juga penting,” katanya. em, Festival Danau Sentani dan Festival lain yang tengah digalakan di kabupaten lain dapat dilakukan secara bersama-sama dan terintegrasi sehingga menarik minat wisatawan lokal mupun mancanegara,”katanya. Senada dengan itu, Wali Kota Jayapura, Drs. Benhur Tommy Mano, MM menuturkan, Pemkot Jayapura siap mendukung program Gubernur Papua untuk meningkatkan Papua sebagai daerah tujuan wisata.”Kami di Kota Jayapura siap mendukung program tersebut, kami setuju program tersebut dibuat satu paket sehingga wisatawan datang ke Papua untuk mengikuti Festival Humboltd, Festival Danau Sentani, Festival Lembah Baliem dan lainnya,”tuturnya.
Lanjut Wali Kota Tommy Mano seusai dari pelaksanaan festival yang digelar selama tiga hari ini pihaknya bakal menggelar evaluasi yang acuan untuk penyelenggaraan festival kedepan mengingat festival ini dari tahun ke tahun diharapkan dapat meningkat.”Terkait dengan sosialisasi festival ini yang belum berjalan dengan baik saya minta kedepan dinas pariwisata harus lebih bijak lagi dalam hal mengekspos baik di media cetak maupun elektronik kalau boleh kita libatkan wartawan juga dalam penyelenggaraan festival ini,”lanjut Wali Kota pertama asli Port Numbay ini. (Makus Imbiri/berbagai Sumber)
Socrates Sofyan Yoman, seorang pendeta dan aktivis Papua. Ia aktif memperjuangkan kemerdekaan Papua. Pada 8 November 2004, dalam acara peringatan ulang tahun Universitas Cendrawasih, Jayapura, ia menyampaikan makalah berjudul „Pepera 1969 di Papua Barat Tidak Demokratis‟. Bersama Tom Beanal, Thaha Alhamid, Willy Mandowen, dan Terrianus Yoku, ia juga pernah ke Amerika Serikat untuk melobi Kongres AS dan PBB agar sejarah Papua diluruskan. Yoman saat ini memimpin Gereja Baptis yang berpusat di Jayapura. Dia adalah tokoh gereja lokal, terkenal vokal terhadap sikap pemerintah. Apalagi saat Papua mengalami konflik pelanggaran hak asasi manusia. Menurutnya, hal tersebut merupakan masalah yang sangat kompleks dan belum ada penyelesaiannya. Perannya sebagai pendeta ditunjukkannya dengan mendengar dan terus mengajak umat membicarakan bagaimana masalah HAM diselesaikan. Ia tetap berharap masalah Papua diselesaikan hingga ke akar-akarnya. Sebagai orang Papua, Yoman ingin mempertahankan nasionalisme Papua. Nasionalisme itu disimbolkan seperti sumur tua yang perlahan dikikis oleh arus peradaban dunia. Yoman, pernah menjadi Dosen STT (Sekolah Tinggi teologi) Baptis, Dosen STT Izak Samuel Kijne Abepura, Pendeta Gereja Baptis Skyland, Jayapura, Pendeta Gereja Baptis Sentani, Pengurus The Fellowship of BaptistChurches of Papua dan terakhir sebagai Ketua Persekutuan Gereja Baptis Papua. Penulis Buku Isu Papua kerap masuk daftar buku terlarang. Yang terbaru, larangan lima buku oleh Kejaksaan Agung menjelang tutup tahun lalu. Salah satunya berjudul “Suara Gereja JERAT NEWSLETTER| EDISI VII AGUSTUS 2014
HAL. 9
JARINGAN KERJA RAKYAT
EDISI VII
www.jeratpapua.org
dalam; “Suara Bagi Kaum Tak Bersuara”. Buku-bukunya terdengar agak berat miring ke separatisme. Tapi Socrates mengelak tudingan itu. “Ini kritik gereja buat pemerintah,” ujarnya. Isi bukunya, menyorot sejumlah kebijakan pemerintah. Socrates menuding kebijakan pembangunan nasional itu hanya dalih. “Pada kenyataannya adalah penjajahan secara sistematis,” katanya. Membaca buku Socrates, tampak ada semangat menampik sejarah Papua bersama Indonesia. Misalnya, dia mengatakan, dari dulu Papua memang ingin dan mau merdeka. “Nasionalisme dan ideologi Papua merdeka sudah lahir di dalam darah, dan jiwa setiap orang Papua.”
bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri” karangan Socrates Sofyan Yoman. Keputusan itu cukup menyentak. Diterbitkan Reza Enterprise, beralamat di Jl. Penggalang VIII No.38 Jakarta Timur, buku karya Socrates itu akan disita oleh kejaksaan bila beredar. Isinya, kata Kejaksaan Agung, dapat menganggu ketertiban umum. Tak disebut detil bagaimana buku itu bisa berbahaya. Dalam keterangan kepada wartawan, Kejaksaan Agung menilai buku itu “merusak kepercayaan masyarakat atas pimpinan nasional, merugikan akhlak, memajukan percabulan dan lain sebagainya yang dapat mengakibatkan terganggunya ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan”. Buku karya Socrates memang kerap disorot pemerintah. Calon doktor dari Sekolah Tinggi Teologia Waltepos, Jayapura itu, misalnya menulis “Orang Papua Bukan Separatis” pada 1999. Setahun kemudian, dia menulis lebih tajam: “Pintu Menuju Papua Merdeka”. Pada 2005, dia mengeluarkan judul “Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM.” Di tahun berikutnya, dia menulis lagi buku “Pepera 1969 Tidak Demokratis”.
Dengan alasan itu, dia menolak disebut separatis. Menurutnya, Penentuan Pendapat Rakyat Papua (Pepera) pada 1969 penuh rekayasa dan manipulasi. “Ini berdasarkan dokumen yang saya selidiki sendiri di PBB pada 2001.” Sementara, dalam literatur sejarah nasional Indonesia, Pepera kerap dinilai penegasan rakyat Papua bergabung dengan Republik Indonesia.
Dialog Jakarta-Papua Socrates lahir di Tiom, Lanny Jaya pada 15 Desember 1969. Ia pendeta di Papua yang pernah berbicara dengan staf khusus Sekjen PBB pada Oktober 2011. Dalam visinya, Yoman selalu berbicara soal dialog sebagai jalan tengah penyelesaian masalah Papua. Menurut dia, akar persoalan yang sangat mendasar di Papua, bukan perihal kesejahteraan seperti yang didengungkan selama ini oleh elite politik. Tetapi lebih kepada masalah pelurusan sejarah Papua ke Indonesia. “Dialog damai yang bermartabat antara Indonesia dan Papua tanpa syarat dan dimediasi oleh pihak ketiga, itu solusinya,” cetusnya. Ia mengatakan sejak 1961, telah banyak program yang berlaku di Papua hingga pada masa reformasi 1998. Pada tahun 1999 rakyat Papua meminta merdeka, namun yang diberikan oleh pemerintah pusat adalah otonomi khusus.
Baginya, Otsus seharusnya bisa memberikan keberpihakan, pemPada 2007, Socrates bersama Sem Karoba pernah menulis karya be- berdayaan dan perlindungan, bukan sebaliknya. sar dengan judul “Pemusnahan Etnis Melanesia”. Kejaksaan sudah (Jerry Omona/JERAT/dari berbagai sumber) menarik buku ini dari peredaran. Pada 2008, lagi-lagi Yoman menerbitkan “Suara Bagi Umat Tertindas” yang juga ditarik dari peredaran oleh Kejaksaan Agung. Pada 2009, Socrates menuangkan gagasannya
JERAT NEWSLETTER| EDISI VII AGUSTUS 2014
HAL. 10
JARINGAN KERJA RAKYAT www.jeratpapua.org
EDISI VII
Kunjungan DUBES Autralia ke Kantor JERAT Juli 2014
“ ESRA MANDOSIR (Manager Jaringan Kampanye dan Lobby) saat membantu memfasilitasi kegiatan Yayayasan Anak Dusun Papua (YADUPA) di PNG Juni—Juli 2014 “
REDAKSI Penanggungjawab Pimpinan Redaksi Editor/Redaktur Kontributor Desain/Layout
: : : : :
pt. JERAT Papua Septer Manufandu Jerry Omona Wirya Supriyadi, Engelbert Dimara Markus Imbiri
JERAT NEWSLETTER| EDISI VII AGUSTUS 2014
Kantor JERAT Papua Jalan : Bosnik Blok.C No. 48 BTN Kamkey Abepura (99351) Kota Jayapura - Papua Email : jeratpapua@gmail.com Telp : (0967) 587836 Website : www.jeratpapua.org FotoH: Jerry A L .Omona 11
Supported by :
AN ERA K J T r te PA
T
DA
t Le bsite .org s a ew i We apu N p d i at is jer d . E w ww