Ryaas Rasyid: Desa dan Kelurahan itu self governing community
KOTAKITA M a j a l a h
B u l a n a n
Edisi 04/II/September 2002
T ERAS
Wajah Baru dan Padat
S
idang pembaca, ada banyak rencana yang kami siapkan untuk memperbaiki kinerja dan penampilan majalah ini. Salah satu yang muncul mencolok adalah penambahan jumlah halaman, kini menjadi 24 halaman. Dengan begitu kami bisa lebih banyak menampilkan berita, pendapat, dan juga berharap mendapatkan sumbangan tulisan dari Anda. Berita-berita dari daerah diharapkan semakin mungkin kami tampung. Di sembilan kota tempat Program PATTIRO dilakukan kerap terjadi dinamika antara masyarakat dan pemerintah. Tentu saja dinamika tersebut bermacam-macam bentuknya, namun peristiwa tersebut melahirkan kesadaran baru, ialah warga memiliki hak untuk terlibat (berpartisipasi) dalam setiap keputusan yang diambil bersama-sama pemerintah dan dewan. Peristiwa-peristiwa tersebut sebenarnya selalu menarik untuk diberitakan, setidaknya karena ada unsur kekhasan atau pembelajaran.
I SI
KALI INI
KRONIK
11
Paltihan PATTIRO
MITRA
12
FSBI: Pendapingan Buruh
SOSOK Mahilah: Kemauan dan Keberanian
DAERAH
16
Semarang: Menuju P
TELAAH Syahrial W.: Hak Masyarakat
RESENSI Perempuan dalam Literatur Islam Klasik COVER: Rudy Priyatno Foto: Tim PATTIRO
14
20 22
Pertemuan antar-stake holder dalam suatu kepemerintahan itu melahirkan keseimbangan di antara mereka yang sama-sama memiliki kepentingan terhadap suatu kebijakan. Jika sebelumnya hanya pemerintah dan dewan (parlemen) yang tampak begitu digjaya mengendalikan banyak hal yang menyangkut hajat orang banyak, kini mereka harus berkompromi dengan masyarakat atau organisisasi sipil, termasuk pers dan beragam kelompok kepentingan. Jika dinamika itu berjalan wajar, tentu muaranya dapat ditebak, yaitu berjalannya sistem kepemerintahan yang mampu mewadahi semua kepentingan warga yang menghuni wilayah tersebut. Sementara itu, civitas Program II PATTIRO kembali mengadakan lokakarya yang kedua kalinya pada 26-29 Agustus 2002 di Depok. Kami berharap lokakarya ini mampu menghasilkan rencana dan kesepakatan yang dapat digunakan untuk mendukung arus kesetaraan dan keadilan.[]
Perdebatan mengenai pembentukan Dewan Kelurahan di Jakarta memang sudah mengendur, tetapi hal itu tidak berarti segala persoalan yang menyelimuti sudah tuntas. Terlebih jika melihat kenyataan sepak terjang anggota Dewan Kelurahan. Di satu sisi, pembentukan lembaga kontrol semacam dewan kelurahan di Jakarta dirasakan penting, karena di daerah perkotaan memang seharusnya demokrasi lebih berjalan dengan baik. Tetapi di sisi lain beberapa persoalan juga menyeruak. inisiatif masyarakat ?
WAWANCARA
9
LIPUTAN UTAMA
9
Selama ini ada perbedaan perlakuan terhadap desa dan kelurahan, terutama dari segi pengawasannya. Namun benarkah demikian. Lalu apa urgensi adanya lembaga kontrol sejenis Dewan Kelurahan atau DMK dalam kerangka demokrasi, dan mengapa perlu ada UU tentang Desa dan Kelurahan? Wawancara KotaKita dengan Prof. Ryaas Rasyid, pakar ilmu pemerintahan yang juga mantan Menteri Negara Otonomi Daerah membahas masalah mengenai pentingnya saluran politik bagi warga kelurahan tersebut. Berikut petikan wawancara Mimin Rukmini dari KotaKita dengan Ryaas Rasyid di kantornya, Partai Demokratik Kebangsaan, Jakarta Selatan, Senin (5 Agustus 2002
Penanggung Jawab: Syahrir Wahab, Direktur PATTIRO ; Pemimpin Redaksi : Sad Dian Utomo; Redaktur Pelaksana: Anwar Holid; Redaksi: Ilham Cendekia, Dini Mentari, Danardono; Sekretaris Redaksi: Yusriani Manurung; Desain Grafis: Rudy Priyatno; Alamat Redaksi: Jl. Tebet Utara IIC, No. 22, Jakarta Selatan, Telp/Faks: 021-8297954; Website: www.pattiro.org; Email: pattiro@yahoo.com. Redaksi menerima tulisan/artikel dari pembaca. Tulisan maksimal 5 halaman A4, diketik spasi ganda, ditandatangani dan mencantumkan nama serta alamat penulis. Tema yang relevan dengan KotaKita ialah mengenai kebijakan publik, partisipasi masyarakat dan penciptaan kepemerintahan lokal yang baik (local good governance)
L APORAN
UTAMA
DEMOKRASI YANG TAK KENAL STATUS Perdebatan mengenai pembentukan Dewan Kelurahan di Jakarta memang sudah mengendur, tetapi hal itu tidak berarti segala persoalan yang menyelimuti sudah tuntas. Terlebih jika melihat kenyataan sepak terjang anggota Dewan Kelurahan. Di satu sisi, pembentukan lembaga kontrol semacam dewan kelurahan di Jakarta dirasakan penting, karena di daerah perkotaan memang seharusnya demokrasi lebih berjalan dengan baik. Tetapi di sisi lain beberapa persoalan juga menyeruak. Misalnya, mengapa Dewan Kelurahan tidak diatur dalam undang-undang pemerintahan di daerah? Bisakah lembaga yang dibentuk secara top down itu berfungsi optimal dan bagaimana peluang lembaga sejenis yang muncul dari inisiatif masyarakat ? Demokrasi bukan hanya milik para elite saja, tapi juga milik kalangan bawah , ujar Ryaas Rasyid. Ungkapan ini disampaikan mantan Menteri Negara Otonomi Daerah itu ketika mengomentari pentingnya pembentukan Dewan Kelurahan. Ryaas
yang ikut membidani lahirnya Dewan Kelurahan ini sempat mempertanyakan kelambanan proses pembentukan Dewan Kelurahan di Jakarta. Baginya Dewan Kelurahan itu penting agar setiap orang memiliki memiliki hak untuk menikmati demokrasi tak peduli status
sosial ekonominya. Pembentukan Dewan Kelurahan sendiri merupakan amanat dari UndangUndang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta yang menyatakan bahwa di kelurahan dibentuk dewan kelurahan sedangkan
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
3
L APORAN
UTAMA
di kotamadya dibentuk dewan kota. Dalam kerangka itu, maka ditetapkanlah Peraturan Daerah (Perda) No. 5 tahun 2000 tentang Dewan Kelurahan. Selain alasan legal, Dewan Kelurahan (Dekel) pun secara politis maupun sosiologis bermanfaat bagi warga Jakarta. Secara politis, melalui Dekel, rakyat di tingkat Rukun Warga (RW) akan bisa menyalurkan aspirasinya. Atau bahkan juga bisa mengontrol Lurah, ujar Paulus Wirotomo, Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia. Sedangkan secara sosiologis, dengan pemberdayaan RW untuk melaksanakan pembangunan, dapat tercipta kerukunan yang lebih nyata diantara masyarakat kelas bawah, menengah dan atas yang bermukim di RW tersebut. Namun pada kenyataannya, Perda pembentukan Dewan Kelurahan ini memancing kontroversi. Banyak pihak melontarkan kritikan terhadap Perda tersebut. Koalisi Perempuan Indonesia misalnya, menilai Perda itu diskriminatif, karena hanya kepala keluarga yang berhak dipilih, yang nota bene adalah laki-laki. Sedangkan Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) menilai perda itu tidak berorientasi pada tujuan awal, yaitu terciptanya pemerintahan yang transparan dan demokrastis. FAKTA meminta perda itu diganti dengan perda baru yang lebih akomodatif terhadap partisipasi dan aspirasi warga. Bahkan DPRD DKI Jakarta sendiri sempat menolak ditetapkannya perda tersebut, meski itu merupakan usulan dari DPRD sendiri. Masalah tidak berhenti disitu, bahkan pada pelaksanaan Perda itu juga bermasalah. Abdul Kahfi, Wakil Gubernur Bidang Pemerintahan DKI Jakarta menyatakan batas akhir pembentukan Dekel adalah 31 Januari 2001. Menurut Kahfi, seperti dikutip harian Media Indonesia (23/1/2001), penyuluhan tentang Dekel sudah dilakukan Pemda DKI sejak tahun 1999. Namun kenyataan di lapangan, seperti dipotret harian tersebut, sosialisasi Dekel baru dilakukan satu bulan menjelang batas akhir yang ditetapkan. Sehingga, pembentukan DK di Jakarta bisa dikatakan hanya untuk mengejar target sesuai UU No. 34/1999 tentang Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta dan tidak peduli pada partisipasi
warga. Isi atau substansi dari peraturan yang dibuat pemda DKI tentang dewan kelurahan, tegas FAKTA, sungguhsungguh tidak berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai peraturan itu, yaitu pemerintahan yang transparan dan demokrastis. Belum usai kita mengurai dua persoalan pokok diatas, masalah dekel bertambah ruwet ketika menyoal keinginan Pemda DKI Jakarta untuk memberikan gaji pokok kepada anggota dekel. Pengamat masalah kemasyarakatan Universitas Indonesia, Prof. Paulus Wiratomo, mempersoalkan hal itu dalam talk-show Obrolan Jakarta , di gedung DPRD Kebonsirih, Jakarta, Selasa (30/1) sore. Seperti diketahui, setiap anggota Dewan Kelurahan dijanjikan memperoleh uang kehormatan sebesar 1,2 juta rupiah. Itu terdiri dari gaji pokok sebesar Rp 500 ribu, ditambah tunjangan dan fasilitas Rp 700 ribu. Untuk itulah maka, anggota Dekel harus berasal dari masyarakat setempat. Utamanya elite RW yang tergolong ke dalam kelas menengah dan tidak lagi meninginkan honor, sehingga dalam bertugas sebagai mitra lurah mereka bisa tetap independen. Jika Dekel digaji, jelas akan kehilangan independen, ujar Paulus Wirutomo. Selain itu ada tiga syarat, Pertama, anggota Dekel tidak boleh digaji Pemda DKI Jakarta. Alasannya, bila mereka digaji maka tidak tertutup kemungkinan orang akan mencari nafkah dari situ dan
4
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
MUSYAWARAH DESA. Era keterbukaan
menganggapnya sebagai pekerjaan, bukan misi pelayanan terhadap warganya; Kedua, sebelum pemilihan Pemda DKI Jakarta harus mensosialisasikan konsep dan mekanisme pemilihan anggota secara optimal, guna mencegah persepsi salah terhadap pembentukan Dekel tersebut dan; Ketiga, harus ada perubahan mekanisme peran dan wewenang RW. Pengurus RW bersama Dekel harus memiliki akses untu pengembangan infrastruktur lingkungannya dengan cara mengajukan rancangan pembangunan yang menggunakan dana kelurahan. Persoalan yang hampir sama terjadi di Kota Malang. Bila di Jakarta disebut Dewan Kelurahan, di kota penghasil apel ini lembaga sejenis diberi nama Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK). Melalui Perda No. 18 tahun 2001 dibentuklah LPMK di seluruh kelurahan di Kota Malang. Namun sekali lagi, karena proses penetapan Perda ini kurang transparan dan relatif elitis, sementara sosialisasi kurang gencar, akibatnya hingga Februari 2002 baru 30 persen kelurahan yang membentuk LPMK. Itupun masih dihadapkan pada berbagai kendala teknis, terutama dengan dihapusnya keberadaaan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) setelah keluarnya Perda LPMK tersebut. Pengurus LKMD yang tidak memahami Perda itu, sehingga mereka justru menghalangi pembentukan LPMK yang dianggapnya sebagai rival.
L APORAN
UTAMA
Dewan Masyarakat Kelurahan Semarang
Sementara itu, di Kota Semarang gagasan pembentukan lembaga semacam Dekel dan LPMK justru datang dari masyarakat sendiri, terutama para pengurus LKMD. Mereka menamakannya Dewan Masyarakat Kelurahan (DMK). Namun sedikit berbeda dengan Dekel di Jakarta yang merupakan lembaga baru, DMK di Semarang merupakan revitalisasi dari lembaga yang sudah ada yaitu LKMD dengan perubahan pola rekrutmen dan mekanisme kerja yang lebih demokratis dan berpihak pada masyarakat. Menurut Iskandar, fasilitator Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) yang memfasilitasi gagasan DMK ini, ide dasar DMK berasal dari kegelisahan terhadap ketiadaan saluran partisipasi politik di tingkat kelurahan yang diakui undang-undang. Padahal pada Undang-undang Otonomi Daerah (UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan di Daerah, red) telah diakui dan diatur perihal lembaga partisipasi politik di tingkat desa , ujarnya. Ini alasan pertama. Alasan kedua, pembentukan kepemerintahan yang baik menuntut keterlibatan publik yang luas , tambahnya. Keterlibatan publik dalam penegakan kepemerintahan yang baik (good governance), menurutnya, mempunyai arti yang mendalam apabila diawali dan ditegaskan melalui penguatan demokrasi lokal, suatu praktek demokrasi sehari-hari yang terlaksana di tingkat komunitas. Pendapat Iskandar boleh jadi benar. Karena selama ini sering disebut bahwa desa adalah etalase demokrasi. Suatu daerah bisa disebut demokratis, bila terjadi demokrasi di tingkat desa, demikian pula sebaliknya tak ada demokrasi bila tidak terjadi demokratisasi di desa. Namun pada wilayah yang setara dengan desa, yaitu kelurahan justru iklim demokrasi tidak terjadi. Di desa, menurut UU tentang Pemerintahan di Daerah, dibentuk Badan Perwakilan Desa (BPD) yang merupakan lembaga kontrol terhadap jalannya pemerintahan di desa. Kepala Desa yang dipilih secara langsung oleh warga desa pun bertanggung jawab terhadap BPD. Anggota-anggota BPD ini
dipilih langsung oleh warga desa melalui proses pemilihan yang demokratis pula. Sementara di kelurahan, hal itu tidak terjadi. Kepala Kelurahan atau Lurah merupakan perangkat pemerintah Kabupaten/Kota yang ditunjuk langsung. Lurah hanya melaporkan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota. Tak ada lembaga yang mengawasi kinerja Lurah dan jajarannya, sehingga kinerja Lurah relatif luput dari perhatian masyarakat. Padahal bila dilihat dari karakteristiknya, desa adalah tipikal masyarakat tradisional, sedangkan kelurahan adalah tipikal masyarakat perkotaan yang lebih modern. Keheranan akan kenyataan ini juga
UU No. 22 tahun 1999 yang mengatur tentang pemerintahan di daerah, pengaturan desa sebelumnya justru lebih kuat. Desa diatur dalam UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Sementara pemerintahan daerah diatur dalam UU No. 5 tahun 1974. Baik di UU No. 5/1974 maupun UU No. 22/1999 memang tidak diatur secara khusus mengenai lembaga pengawas di kelurahan. Ini berbeda sekali dengan pengaturan mengenai desa yang lebih jelas. Namun Ryaas Rasyid, mantan Menteri Negara Otonomi Daerah, menyangkal bahwa ada pembedaan perhatian antara desa dan kelurahan. Menurutnya, dimasukkannya
MUSYAWARAH DESA. Era keterbukaan
dirasakan Ryaas Rasyid. Saya menganggap justru masyarakat kota itu harus kelihatan lebih demokratis , ujar Ryaas. Karena itu, dulu saya sarankan dan sebenarnya ini belum tuntas, sesungguhnya lurah di kota itu justru harus dipilih. Kan lucu sekarang ini, kepala desa dipilih, mestinya desa kan lebih tradisional. Malah kota tidak dipilih. Demokrasinya di mana? , tambahnya. Memang harus diakui bahwa pengaturan desa relatif lebih jelas dibanding dengan kelurahan. Sebelum
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
pengaturan mengenai desa dalam UU No. 22 tahun 1999 merupakan suatu transisi agar UU No. 5 tahun 1979 tidak berlaku lagi. Rencananya, desa dan kelurahan akan diatur secara tersendiri dalam UU tentang Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Sedang menurut Andi Mallarangeng, pengamat politik, perbedaan itu terjadi karena masalah geografis dalam menyampaikan aspirasi warga. Desa memiliki BPD sebagai lembaga legislatif desa karena jauh letaknya dari Dewan Perwakilan Rakyat
5
L APORAN
UTAMA Mencari Format Dewan Kelurahan Yang Ideal Harus diakui bahwa harapan idealnya adalah dewan masyarakat kelurahan, dewan kelurahan, atau lembaga pemberdayaan masyarakat kelurahan menjadi tumpuan bagi berjalannya fungsi kontrol di tingkat pemerintahan paling bawah. Disamping itu, lembaga ini bisa menjadi alternatif bagi penyaluran aspirasi masyarakat di tingkat kelurahan. Namun esensi persoalan ini belum tersentuh bila kita berkaca pada kenyataan yang terjadi di DKI Jakarta dan Malang. Justru yang terjadi adalah
PATTIRO Semarang
P MUSYAWARAH DESA. Peran aktif generasi muda
Daerah (DPRD) yang biasanya terletak di ibukota kabupaten. “Biasanya desa ada di pedalaman sehingga harus membuat demokrasinya sendiri untuk menyelenggarakan berbagai macam kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Tapi di kota, naik angkot sudah sampai di DPRD, telepon biasanya ada, jalanan lancar segalanya ada. Maka kemudian itu dilakukan oleh DPRD”, ujar Andi. “Makassar juga pernah terjadi perluasan wilayah, daerah desa menjadi kelurahan dan dekat sekali dengan DPRD. Kalau bingung-bingung ke DPRD langsung atau kantor kepala daerah langsung”, tutur doktor ilmu politik lulusan Amerika Serikat ini. Tetapi adakah jaminan bahwa DPRD bisa menampung semua aspirasi warga dan efektif menjadi lembaga kontrol terhadap pemerintahan, sehingga tidak perlu lagi lembaga kontrol di tingkat kelurahan? Ini masih merupakan tanda tanya besar. Apalagi mengingat kinerja DPRD yang selama ini kurang memuaskan sebagai wakil rakyat.
6
erdebatan mengenai urgensi Dewan Masyarakat Kelurahan (DMK) hingga kini masih bergulir. Argumentasi umum yang seringkali terlontar, baik dalam sikap penolakan maupun sikap kritis, terhadap sosialisasi ide ini adalah pertanyaan seputar keberadaan pejabat publik yang dikontrolnya, yakni Kepala Kelurahan atau Lurah. Sangat pantas bila di desa ada Badan Perwakilan Desa. Karena adanya Kepala Desa yang kedudukannya berasal dari pemilihan masyarakat desa. Berbeda dengan Lurah, yang kedudukannya bukan karena pemilihan warga, tetapi dari pengangkatan oleh Walikota. Sehingga pantaskah bila Lurah dikontrol oleh lembaga semacam BPD? Tentu saja, gugatan ini prematur sifatnya. Disamping bertolak belakang dengan kaidah-kaidah demokrasi dan good governance, gugatan ini sudah tentu seolah mengindikasikan paradigma Orde Baru. Dalam perspektif perjuangan DMK/DPK, pelibatan publik dan adanya pelembagaan partisipasi politik warga ditingkat komunitas menjadi dasar argumentasi yang kuat. Dalam perjuangan gagasan ini, JAMAS telah melakukan beberapa kegiatan, seperti diskusi publik, pada tanggal 20 september 2001 di Balaikota, dan diskusi tematik, pada 16 September
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
kosmetika demokrasi, seolah-olah terjadi demokrasi namun ternyata tidak. Di kedua kota ini memang dibentuk lembaga untuk mengontrol kinerja kelurahan, namun karena pembentukannya tidak demokratis (top down), maka karakter lembaga itu pun cenderung tidak demokratis. Di Jakarta, dekel jadi ladang rebutan rejeki mereka yang ingin menjadi anggotanya. Sedangkan di Malang LPMK tidak pernah terdengar kiprahnya, karena pembentukannya yang top down dan kurangnya sosialisasi ke warga masyarakat. Selain itu, dekel di Jakarta juga
Menggagas Dewan Kelurahan Masyarakat
MUSYAWARAH WARGA. Peran aktif generasi muda
dan 17 Oktober 2001. Kemudian menerbitkan buletin tentang isu ini di bulan Januari 2002. Untuk mengetahui sejauhmana dukungan yang kemungkinan dapat diperoleh dari DPRD Kota, telah dilakukan kegiatan pemetaan dukungan dari para wakil rakyat, terutama yang
L APORAN
UTAMA
dibebani tugas untuk pemberdayaan warga masyarakat dengan cara menyalurkan dana PPMK (Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) yang jumlahnya tidak sedikit. Bayangkan, untuk lima wilayah kotamadya DKI Jakarta di 25 kelurahan tahun 2001 dialokasikan anggaran sebesar Rp 53, 7 miliar. Dengan logika awam kita bisa memprediksikan fungsi kontrol dekel tidak akan berjalan. Dan itulah yang terjadi. Sampai detik ini, fungsi kontrol Dekel terhadap kinerja kelurahan sampai sekarang belum terdengar, karena sibuk mengurusi PPMK yang banyak menyita perhatian
anggota Dekel. Disinyalir, Dekel juga sudah dimanfaatkan untuk kepentingan elit, seperti yang dilakukan oleh Wali Kota Jakarta Timur Andi Mappaganti. Ia menggunakan acara tatap muka Dewan Kelurahan se-Kota Madya Jaktim dengan Gubernur DKI Jakarta dalam rangka implementasi bantuan dana PPMK tahun 2002 sebagai sarana kampanye untuk mendukung kembali Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hal ini terjadi karena posisi Dekel yang relatif tidak independen. Memang kondisi Dekel dan LPMK tidak memuaskan, tetapi itu bukan
berasal dari fraksi besar. Kegiatan ini dilakukan dari tanggal 11 sampai 15 Juli 2002. Pada awalnya meski ada sikap kritis terhadap UU No 22 Tahun 1999 yang tidak mengatur keberadaan lembaga aspirasi politik semacam BPD di tingkat kelurahan, para anggota dewan pada umumnya memberikan dukungan bagi isu ini. Terutama dari anggota dewan yang ada di Komisi A. Ada kecenderungan kuat didalam komisi ini untuk mendukung adanya LKMD yang diperbaharui, atau yang direformasi. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan itu, JAMAS telah membentuk sebuah panitia kerja, Panja DMK/DPK. Panja yang diketuai oleh Diryo Suparto, dari PAHAM, telah menyelenggarakan pelatihan advokasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas para aktivis panja dalam memperjuangkan isu ini. Pelatihan advokasi ini dilakukan pada tanggal 10 Agustus yang lalu.
dari demokratisasi, daripada membuat yang baru dan tidak dikenal masyarakat. Membutuhkan kekuatan yang lebih besar untuk melakukan pendekatan dengan sebuah lembaga yang sama sekali baru. Pendekatan yang gradualistik lebih mempan secara kultural daripada pendekatan revolusioner bagi masyarakat, pada umumnya. Kedua, memang tak ada kelebihan apapun dari LKMD. Penerimaan strategi ini lebih disebabkan masalah sosio-kultural belaka. Akan tetapi, pada dasarnya, DMK/DPK itu tidak dibentuk dari LKMD. Namun, pemanfaatan LKMD sebagai bagian penting dari penyelenggaraan pemilihan umum adalah satu solusi yang dapat diterima oleh masyarakat. Sementara itu, upaya demokratisasi di tingkat warga kelurahan yang digagas masyarakat Semarang kurang mendapat dukungan dari eksekutif. Upaya melembagakan DMK yang merupakan revitalisasi fungsi dari LKMD yang berangkat dari aspirasi warga (bottom up) harus melalui jalur panjang yang berliku. Padahal DMK ini menurut Ryaas merupakan embrio bagus menuju pemerintahan desa atau pemerintahan kelurahan yang otonom. Satu hal yang pasti, demokrasi bukanlah hadiah dari langit, tetapi merupakan hasil dari perjuangan yang terus menerus. Mari!
DMK Berbasis LKMD
Seperti yang telah diketahui bersama, DMK di Semarang sedikit berbeda dengan Dewan Kelurahan di Jakarta. Terutama, DMK merupakan sebuah bentuk revitalisasi lembaga yang telah ada, yaitu LKMD. Tidak seperti di Jakarta yang merupakan lembaga yang sama sekali baru. Ada beberapa hal yang mendasari pemanfaatan strategi ini. Pertama, memanfaatkan lembaga sosial yang sudah ada dan ditransformir peran dan fungsinya lebih diterima sebagai bagian
alasan untuk menegasikan pentingnya lembaga kontrol di tingkat kelurahan, apalagi bila keberadaan lembaga tersebut merupakan inisiatif warga. Seperti yang terjadi di Semarang. DMK merupakan inisiatif masyarakat sendiri. Dengan pola berfikir itu, keberadaan DMK memang perlu didukung, dengan syarat proses pembentukannya memenuhi aspekaspek seperti yang diutarakan oleh Paulus Wirutomo. Anggota DMK tidak digaji, ada sosialisasi konsep dan mekanisme pemilihan secara optimal dan ada perubahan mekanisme, peran dan wewenang RW. Apalagi bila menilik pandangan Ryaas Rasyid yang mengatakan bahwa Pembentukan DMK, DK dan LPMK seharusnya diposisikan sebagai embrio bagi terjadinya self governing community (pemerintahan sendiri) bukan dalam kerangka administratif. Ini artinya, posisi desa sejajar dengan kelurahan. Sehingga, desa dan kelurahan adalah wilayah pemerintahan yang otonom, terlepas dari intervensi kekuasaan diatasnya. Kalau memang konsep Dewan Kelurahan diletakkan dalam konteks
isk MUSYAWARAH WARGA. Peran aktif generasi muda
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
7
L APORAN
UTAMA
MUSYAWARAH DESA. Era keterbukaan
pemikiran Ryaas diatas, maka peluang membangun landasan demokrasi di kedua wilayah tersebut sangat kuat. Oleh karena itu, gagasan ini harus didukung sampai lahirnya sebuah perangkat kebijakan. Sehingga, pengaturan mengenai desa dan kelurahan lebih jelas lagi. Menurut Ryaas, paling lambat tiga tahun sejak UU No. 22/1999 berarti tahun 2002 ini pemerintah akan mengajukan UU tentang Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Apalagi, sebagian anggota dewan di kota Semarang menyambut baik bergulirnya gagasan pembentukan DMK. Meski ada sikap kritis terhadap UU No 22 Tahun 1999 yang tidak mengatur keberadaan lembaga aspirasi politik semacam BPD di tingkat kelurahan, para anggota dewan pada umumnya memberikan dukungan bagi isu ini. Terutama dari anggota dewan yang ada di Komisi A. Ada kecenderungan kuat didalam komisi ini untuk mendukung adanya LKMD yang diperbaharui, atau yang direformasi. Apalagi Komisi A telah melakukan kunjungan kerja ke Surabaya dan Jakarta untuk melakukan studi banding dan penggalian informasi dan pengalaman kota lain dalam mengembangkan LKMD. Diketahui oleh para anggota dewan di Komisi A bahwa
masalah ini sudah ada dasar hukumnya yang cukup kuat, yakni dari Keppres No 49 Tahun 2000 tentang penataan LKMD atau sebutan lainnya. Dengan dasar ini, menurut H. Achmad Munif, sebenarnya sudah cukup bagi Semarang untuk merealisir isu ini. Dukungan serupa juga datang dari Ir Bambang Suprayogie dan H Achmad Sujiyanto Sag. Keduanya berasal dari FGab, dan sama-sama berada di Komisi D. Meski menggunakan istilah yang berbeda dalam merespon isu DMK, mereka menyatakan persetujuannya terhadap isu ini. Demikian pula dukungan dari FPDIP. Yakni dari Edhi Santoso (Komisi E), Suhadi Slamet (Komisi C), Siyam Sutopo (Komisi A), dan H. Tugiran K, SH (Komisi A). Mereka menyatakan kesepakatannya untuk mendukung isu ini karena adanya kebutuhan penentuan kebijakan di tingkat kelurahan dan partisipasi politik warga. Meski dukungan ini lebih diartikan kepada reformasi LKMD yang telah ada, dan tidak membentuk lembaga baru. Namun ada kendala yang harus dikaji lebih jauh untuk merealisir isu ini. Hal ini diungkapkan oleh Achmad Munif, Siyam Sutopo, Achmad Sujiyanto, dan Suhadi Slamet. Masalah ini berkait dengan masalah pembiayaan. Dari manakah anggaran
8
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
untuk dana operasional lembaga itu bila isu ini direalisir? Menurut Suhadi Slamet, dalam periode mendatang kemungkinan PAD Kota akan mampu mencapai Rp 9 sampai 10 Milyar. Bila ini tercapai mungkin masalah ini tak akan jadi masalah besar. Bagi Achmad Munif, mungkin kita perlu mempelajari lebih jauh mengenai masalah ini dengan menjadi DKI Jakarta sebagai rujukan. Dukungan yang berarti juga datang dari FTNI-Polri. Dari Salmon (Komisi C) sikap fraksi ini dinyatakan akan mendukung setiap gagasan yang dapat memperkuat proses demokratisasi dan kelancaran pembangunan. Artinya, FTNI-Polri akan mengikuti kemana arah angin bertiup dan menari sesuai dengan irama gendang. Pada umumnya, dukungan terhadap isu ini sangat luas. Dari pihak DPRD dukungan ini kentara sekali, mengingat sudah datangnya masa-masa konsolidasi setiap partai untuk memperkuat basis-basisnya. Apalagi PDIP sudah menyatakan target kemenangan 100% pada Pemilu mendatang di Kota ini, dan sudah menyatakan mendukung isu ini karena adanya kebutuhan penentuan kebijakan di tingkat kelurahan dan partisipasi politik warga. Isu ini diyakini akan menjadi primadona. Dan menurut Achmad Munif dan Tugiran, sebenarnya sudah menjadi pembahasan di tingkat komisi. Namun belum adanya desakan kuat dari masyarakat membuat pembahasannya berjalan lamban. Di sisi lain, gagasan pembentukan DMK di Semarang, kurang mendapat dukungan dari eksekutif. Padahal DMK ini menurut Ryaas merupakan embrio bagus menuju pemerintahan desa atau kelurahan sendiri. Apalagi jika upaya pelembagaan DMK yang merupakan revitalisasi fungsi dari LKMD berangkat dari aspirasi warga (bottom up). Meskipun demikian, nampaknya perjuangan merealisasikan Perda tentang DMK masih harus melalui jalur panjang yang berliku. Satu hal yang pasti, pembentukan DMK atau lembaga sejenis di kota-kota lain perlu didukung. Sebab melalui lembaga ini, proses demokratisasi di level yang paling bawah dapat diupayakan. Mari.
dado/sad
L APORAN
UTAMA WAWANCARA
Prof. Ryaas Rasyid:
“Desa dan Kelurahan itu self governing community”
S
elama ini ada perbedaan perlakuan terhadap desa dan kelurahan, terutama dari segi pengawasannya. Namun benarkah demikian. Lalu apa urgensi adanya lembaga kontrol sejenis Dewan Kelurahan atau DMK dalam kerangka
demokrasi, dan mengapa perlu ada UU tentang Desa dan Kelurahan? Wawancara KotaKita dengan Prof. Ryaas Rasyid, pakar ilmu pemerintahan yang juga mantan Menteri Negara Otonomi Daerah membahas masalah mengenai pentingnya saluran politik bagi warga kelurahan tersebut. Berikut petikan wawancara Mimin Rukmini dari KotaKita dengan Ryaas Rasyid di kantornya, Partai Demokratik Kebangsaan, Jakarta Selatan, Senin (5 Agustus 2002)
Prof. Ryaas Rasyid, pakar ilmu pemerintahan yang juga mantan Menteri Negara Otonomi Daerah
Apa urgensi pembentukan Dewan Masyarakat Kelurahan (DMK) sebagai wadah aspirasi masyarakat kelurahan? Proses demokratisasi mengharuskan adanya institusionalisasi politik yang memungkinkan adanya channelling atau proses penyaluran suara-suara masyarakat. Nggak usah pakai istilah aspirasi, nanti terlalu mentereng. Saya menganggap justru masyarakat kota itu harus kelihatan lebih demokratis. Karena itu, dulu saya sarankan dan sebenarnya ini belum tuntas, sesungguhnya lurah di kota itu justru harus dipilih. Kan lucu sekarang ini, kepala desa dipilih, mestinya desa kan lebih tradisional. Malah kota tidak dipilih. Demokrasinya di mana?
membahas masalah mengenai pentingnya saluran politik bagi warga kelurahan tersebut. Berikut petikan wawancara Mimin Rukmini dari KotaKita dengan Ryaas Rasyid di kantornya, Partai Demokratik Kebangsaan,
Kenapa demokratisasi kelurahan tidak muncul dalam UU No. 22/1999, malah yang muncul demokratisasi lewat konsep BPD? Masuknya BPD dalam UU tersebut sebenarnya pemasukan darurat. Jadi itu hanya untuk segera mengakhiri
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
berlakunya UU No. 5 tahun 1979 (tentang pemerintahan desa, red). Waktu itu, saya jelaskan kepada DPR, bahwa pasal-pasal menyangkut pemerintahan desa itu bersifat sementara. Saya waktu itu berniat, bahwa paling lambat tiga tahun lagi, pemerintah akan mengajukan UU tentang Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Itu ada dalam pernyataan saya di depan DPR. Bahwa tiga tahun ke depan, begitu kita punya waktu, kita membuat UU itu. Sekarang tahun 2002, sudah waktunya. Namun, kemudian prosesnya terputus dan DPR tidak mengingatkan lagi kepada pemerintah. Pembentukan DMK untuk konteks sekarang, apakah terkait dengan DPRD yang mandul dan tidak mendengar aspirasi masyarakat kota? Itu tidak ada hubungannya. Yang penting itu, kelurahan dan desa itu dibentuk sebagai self governing
9
L APORAN
community. Jadi masyarakat yang memerintah dirinya sendiri. Di kelurahan dan desa, tidak ada lagi peranan administrasi atau bukan merupakan level administrasi pemerintah. Dia murni level kegiatan masyarakat me-merin-tah dirinya sendiri. Di situlah basis untuk civil society dan basis kaderi-sasi kepemimpinan. Tapi ini tidak terwujud karena orang-orang tidak berpikir lagi sampai ke situ. Terputus sebenarnya ide ini. Seharusnya pengembangannya harus ke arah sana. Di situlah nanti kita akan menemukan bentuk pemerintahan desa dan kelurahan yang ideal. Mengenai DMK, itu merupakan salah satu bentuk atau institusionalisasi demokrasi dalam masyarakat yang memerintah dirinya sendiri tadi. Bukan dalam konteks sekarang. Kalau konteks sekarang, nanti tidak klop dengan kenyataan bahwa kelurahan dan desa masih merupakan lembaga di level administrasi. Jadi administrasi pemerintah harus mulai di level kecamatan. Rencananya dulu begitu. Lalu aspirasi masyarakat kelurahan akan seperti apa dalam konsep pemerintahan sendiri itu? Aspirasinya itu untuk menyelesaikan masalah-masalah lokal di kelurahan dan desa itu, tidak usah ke atas. Ke atas itu dipantau LSM dan partai politik. Jadi tidak harus setiap masyarakat desa punya akses langsung ke lembaga pengambilan keputusan. Bukan begitu caranya berdemokrasi. Jadi mereka bekerja untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Di tengah-tengah ada LSM dan anggota DPRD. Nah itu semua channelling politiknya ke lembaga pengambilan keputusan pada level administrasi tertentu. Misalnya kabupaten, provinsi atau nasional. Tapi yang paling penting di sini, pematangan masyarakat untuk berdemokrasi. Jadi nanti tidak ada orang pergi berdemontrasi karena dibayar. Karena proses pembentukan kesadaran demokrasi justru pada level paling rendah ini yang bukan level administrasi. Tapi kenapa dalam UU No. 22/ 1999, lurah diangkat dan dijadikan
10
K RO
UTAMA pegawai administrasi, bukan dipilih? Konsep itu sebenarnya sudah ada dulu. Kita tidak mau langsung mengubah karena tidak punya waktu untuk menatanya. Kita mau mentransformasikannya kepada otonomi tingkat kabupaten. Kalau itu dibentuk, tidak nyampe kita untuk membinanya. Jadi satu-persatu. Itu sekadar untuk membatalkan UU No. 5/ 1979 dan dimasukkan konsep itu dalam transisi UU No. 22/1999. Tidak final bentuk penunjukan lurah dan itu bukan idealnya. Itu dalam konteks level administrasi, bukan pemerintahan sendiri.
Hampir semua masyarakat maju tidak memiliki administrasi pada tingkat desa, tapi di kecamatan. Bagaimana kelanjutan konsep pemerintahan kelurahan sendiri tersebut? Tetap harus didorong pembentukan UU tentang Pemerintah-an Desa dan Kelurahan. Konsepnya sendiri belum ada. Dan proses pembuatannya berhenti pada Agustus 2000 (Ryaas mundur sebagai Menteri Negara Otonomi Daerah pada bulan Agustus 2000) Di negara-negara lain seperti apa keberadaan desa dan kelurahan? Hampir semua masyarakat maju tidak memiliki administrasi pada tingkat desa, tapi di kecamatan.
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
Lalu bagaimana menyikapi pembentukan DMK dalam konteks sekarang? Silakan saja. Itu merupakan embrio bagus menuju pemerintahan desa atau kelurahan sendiri. Tapi itu belum bisa optimal sebelum terbentuknya pemerintahan sendiri pada desa atau kelurahan itu. Karena bagaimanapun, dia akan terhambat oleh aturan-aturan administrasi atau kewajiban-kewajiban pemerintahan. Konkretnya pemerintahan desa atau kelurahan sendiri itu seperti apa? Konkretnya, mereka hanya mengatur kepentingannya sendiri. Ada musyawarah, ada wilayah kekuasaan yang mutlak menjadi hak mereka. Mereka harus bertanggung jawab dalam hal pengaturan tentang sampah, pengamanan lingkungan, pemakaman. Di situ juga tidak bisa ada pungutan kepada masyarakat kelurahan atau desa tanpa persetujuan mereka. Jadi kalau DMK ada, apa fungsi idealnya? Itu tidak lebih dari DPRD kecil. Padahal kita membutuhkan lebih dari itu. Peran ideal DMK sendiri, menyelesaikan konflik-konflik sosial dalam lingkungan itu. Itu yang paling pokok. Kemudian membangun kesepakatan-kesepakatan nilai baru tentang gotong-royong, bagaimana memilih pemimpin, bagaimana mengatasi penyakit menular, banjir, kriminalitas, pendidikan budi pekerti. Itu semua dilakukan masyarakat sendiri. Bagaimana kelanjutan peran administrasi kelurahan? Nanti KTP tidak di desa atau kelurahan lagi, tapi di kecamatan. Desa atau kelurahan sendiri punya data-data sendiri, tapi tidak mengeluarkan kartu-kartu seperti KTP. Kepala desa atau lurahnya hanya mengurus masyarakatnya sendiri dan urusan pemerintahan diserahkan ke tingkat kecamatan. Kira-kira modelnya –kurang lebih— Pemerintahan Nagari di Minangkabau. Substansinya seperti itu.
K RONIK
●
KRONIK ● KRONIK ● KRONIK ● KRONIK ● KRONIK ●
Peluncuran Buku Mewujudkan Partisipasi: 21 Teknik Partisipasi Masyarakat Untuk Abad 21 British Council pada 10 Juni 2002 meluncurkan buku Mewujudkan Partisipasi: 21 Teknik Partisipasi Masyarakat Untuk Abad 21 di Galeri Cemara 6, Jakarta. Pada peluncuran tersebut diadakan pula seminar yang membahas buku tersebut, partisipasi publik dulu dan kini, dan partisipasi publik di era otonomi daerah. Peluncuran buku dan seminar tersebut terutama dihadiri oleh kalangan pemerintah daerah, LSM, dan pers. Dari LSM hadir sebagai pembicara antara lain Dadang Juliantara (Lapera), Armin Salasa (YPR Bulukumba), La Ode Ida (PSPK), Noer Fauzi (Konsorsium Pembaruan Agraria), dan Lerry Mboeik (PIAR). Dari kalangan pemerintah antara lain hadir Rustriani (Bupati Kebumen) dan Richard Gozney (Duta Besar Kerajaan Inggris).[]
Pelatihan Management Certificate NGO Program (MCP) NDI NDI (National Democratic Instuitute) bekerja sama dengan FISIP-UI mengadakan Management Certificate NGO Program (MCP) pada 7-20 Juli di Wisma Makara Universitas Indonesia, Depok. Peserta pelatihan ini adalah perwakilan NGO seluruh Indonesia, berjumlah 60 orang, masing-masing mewakili satu organisasi, antara lain PATTIRO Tangerang, jaringan Walhi daerah Lampung dan Medan, dan ELSAM. Materi yang disampaikan adalah strategic planning dan fundraising. Program ini dilakukan untuk penguatan dan pengembangan kapasitas organisasi NGO. Program angkatan ke-3 ini merupakan yang terakhir untuk NGO, sebab selanjutnya NDI akan melakukan program untuk legislatif. Usai pelatihan, rencana tindak lanjutnya adalah membuat milis, mengadakan pertemuan alumni, membuat direktori NGO dari angkatan I hingga III. []
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
PIRAC meluncurkan buku filantropisme PIRAC mengadakan peluncuran buku Giving and Fund Raising in Indonesia: Investing in Ourselves, sebuah buku berisi kajian mendalam tentang lembaga yang mengelola dana untuk tujuan filantropisme, baik yang berasal dari perorangan, NGO, atau lembaga pemberi dana. Hadir dalam acara tersebut antara lain Zaim Saidi, Jerome Cheung (National Democratic Instuitute), Hamid Abidin, dan Masdar F. Mas udi (P3M). Seminar yang diselenggarakan pada 2 Juli 2002 di Gran Mahakam itu mendiskusikan tingkat filantropisme (kedermawanan) di Indonesia beserta lembaga-lembaga yang mengelolanya. Ada 18 lembaga dibicarakan dalam buku tersebut, antara lain Daarut Tauhiid, MER-C Corps, Bina Swadaya, Mitra Mandiri, dan Maha Bhoga Marga. []
11
MITRA FSBI: Pendamping Kemandirian Buruh
BURUH PEREMPUAN BERUNJUK RASA. Menuntut rasa keadilan
12
K
ami akan terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak buruh yang tak diberikan oleh perusahaan, kata Soemarsono SR, Ketua Umum FSBI Semarang, tatkala mendampingi buruh perempuan yang berunjuk rasa ke DPRD karena diberhentikan sepihak oleh PT Maju Jaya Sarana Grafika tempat mereka bekerja. Aktivitas sehari-hari Federasi Serikat Buruh Independen (FSBI) Semarang terpusat pada pendampingan buruh dengan segala persoalannya. Pada bulan-bulan lalu misalnya, mereka gencar berkampanye menegakkan hak buruh kanak-kanak yang sudah begitu parah keadaannya di Indonesia. Kata Wakil Sekjen Federasi Serikat Buruh Independen (FSBI), Fajar Eib Utomo, buruh kanak-kanak diperlakukan sama seja dengan buruh dewasa, tetapi tidak dalam hak-haknya. Di lain waktu mereka siap mendampingi ratusan
“
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
buruh perempuan yang dirumahkan (tidak dipecat perusahaan, tetapi tidak dipekerjakan, dan tidak mendapatkan gaji) dan menggugat kelakuan perusahaan tersebut, kalau perlu hingga ke DPRD setempat lembaga yang masih dianggap layak sebagai pewujudan perwakilan mereka. Sekretariat FSBI, yang terletak di kaki bukit wilayah Wonodri Joho, Semarang, selalu dipenuhi oleh anggotanya dan para aktivis NGO lain. Sekretariat ini selalu sibuk, dikelola secara mandiri, dan tampaknya terbuka untuk semua kalangan. Anggotanya, misalnya, diwajibkan mencuci piring dan gelas yang sudah mereka gunakan. Itu untuk melatih kemandirian, kata Soemarsono ketika ditemui. Kemandirian buruh merupakan obsesi FSBI yang terus-menerus diupayakan perwujudannya. Soemarsono yakin kenapa posisi buruh bisa begitu buruk, ialah karena mereka sangat menggantungkan kehidupannya pada perusahaan tempat mereka bekerja. Sementara perusahaan itu kadang-kadang mengabaikan pengabdian dan hak buruhnya. Ketika terjadi konflik, baru terasa bahwa buruh seakan-akan tidak punya daya tawar dan posisi dibandingkan perusahaan. Seolah-olah benar mereka memang sekadar sapi perah yang tak bisa berbuat apa-apa. Kini, dalam waktu kurang-lebih dua tahun setelah bermetamorfosis ajek sebagai FSBI, organisasi ini mencoba membebaskan buruh dari rasa ketergantungan terhadap perusahaan. Ini tentu sukar karena rata-rata buruh tidak memiliki keahlian lain. FSBI mencobanya dengan membentuk koperasi buruh, KOSBI (Koperasi Sejahtera Buruh Independen). Sedangkan untuk meningkatkan kesejateraan sosial anggota, mereka membentuk YASBI (Yayasan Sosial Buruh Independen). Tiga organ ini bersinergi, mendampingi buruh yang sedikit demi sedikit berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kesewenang-wenangan. Yang dilakukan diawali dengan langkah sederhana, misalnya mencoba penghidupan lain di luar sebagai buruh, antara lain berdagang, membuka warung kecil-kecilan. Atau memberi pinjaman untuk perbaikan rumah dan
M I T R A biaya sekolah anak mereka. Yang paling baru, FSBI bekerja sama dengan YP4K mencoba menyediakan fasilitas pemilikan rumah, pengurusan sertifikat tanah, dan sejenisnya. Kemandirian ini penting, jangan sampai buruh berpikir seakan-akan perusahaan adalah segalagalanya bagi mereka. Atau hidup-mati ditentukan perusahaan, kata Soemarsono berprinsip. Bagaimana FSBI bisa begitu keras berjuang demi buruh? Soemarsono menuturkan, FSBI pada awalnya digagas oleh sekitar 36 aktivis Semarang yang membentuk FORSBIS (Forum Solidaritas Buruh Independen Semarang). Oleh dinamika dan perbedaan pola pendekatan, lembaga ini pecah. Sebagian eksponennya dipelopori Soemarsono membentuk FSBI pada Agustus 2000. Saat itu mereka memiliki basis dari tujuh perusahaan. Saat ini FSBI sudah menampung sekitar 9.000 buruh dari 36 perusahaan di Semarang. Perkembangan itu tentu dipengaruhi oleh keberhasilan FSBI mendampingi kasus-kasus buruh di tingkat lokal dan kedekatannya dengan berbagai eksponen gerakan sipil kota Semarang. Salah satu advokasi FSBI yang paling berhasil adalah perebutan pemilikan taksi Tugu Muda oleh pengemudi, kata Soemarsono tentang salah satu kasus yang pernah ditangani FSBI. Kasus ini ternyata merembet pada persoalan kredit macet perusahaan tersebut dengan BPD. Kunci keberhasilan itu terletak pada kekompakan mereka untuk menyelesaikan masalah, dia menambahkan. Menurut pengalamannya, buruh bisa gagal
‘’Kami akan terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak buruh yang tak diberikan oleh perusahaan,’’
SOEMARSONO SR, Ketua Umum FSBI Semarang
memperjuangkan aspirasinya karena mereka tidak sabar, ingin cepat selesai sedangkan kasusnya kadang-kadang lama, melelahkan, menghabiskan emosi dan biaya. Jika tidak kompak, perjuangan bisa bubrah, katanya serius. Mereka juga berhasil menangani kasus buruh perempuan yang tidak diberi uang tunggu oleh perusahaan. Di luar perburuhan, mereka menjalin aliansi taktis dengan berbagai NGO Semarang, antara lain LBH, LKBHMI, Jamas (Jaringan Masyarakat Semarang), dan Rumpun Karang menggalang kekuatan ikut berpartisipasi menyelesaikan berbagai kasus kemasyarakatan, misalnya gerakan antikekerasan pada perempuan, pembelaan petani, juga pada perrdaperda yang tidakberpihak pada warga. Meski bergerak di pembelaan buruh, pada dasarnya perjuangan FSBI adalah untuk semua umat, yakinnya. Dengan begitu FSBI bergumul beserta dinamika masyarakat Semarang, membangun kemandirian dan menjaga martabat warga.[]
Anwar Holid, pekerja LSM di Jakarta.
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
13
SO S O K
Kemauan dan Keberanian Demi Masyarakat
M
ahilah Abdul Aziz yang dilahirkan di Batuceper, Tangerang pada 11 Oktober 1962, berasal dari keluarga terpandang untuk ukuran zamannya. Ayahnya seorang montir dan memiliki tiga buah mobil, ibunya seorang ibu rumah tangga. Meski begitu ia tidak dididik manja oleh orangtuanya. Ayahnya adalah seorang sopir dan mekanik sering melibatkannya dalam pekerjaan laki-laki seperti mereparasi mobil. Ibu-nya seorang manajer keluarga andal. Tatkala menyalurkan beasiswa kepada anak-anaknya dia selalu ber-negosiasi dengan alot. Ini dilakukan se-bagai pembelajaran terhadap anaknya bagaimana mendapatkan uang yang merupakan simbol keberhasilan tidak bisa didapatkan dengan mudah, begitu pula dengan proses belanjanya. Ibunya yang lebih banyak menanamkan men-tal keras serta disiplin kuat kepada diri-nya. Keinginannya meraih cita-cita dan menyalurkan bakat lewat pendidikan, sangat didukung orangtuanya. Orang tua saya bukan jenis orang yang membeda-bedakan kesempatan berdasarkan jenis kelamin dan tidak ortodoks dalam mendidik anak-anaknya, komentarnya. Terbukti, empat perempuan dari lima bersaudara, semuanya mengenyam pendidikan tinggi. Mahilah remaja sudah aktif di organisasi terutama di PII (Pelajar Islam Indonesia). Organisasi yang sempat dibubarkan pemerintah ini tumbuh subur di wilayahnya, sehingga sejak dini ia terlibat aktif dalam organisasi tersebut. Tatkala memasuki perguruan tinggi, keaktifannya di organisasi semakin menunjukkan geliat. Selain duduk di kepengurusan PII Cabang Tangerang Mahilah pun aktif di senat mahasiswa.
Proses berorganisasi dan kemasyarakatan ternyata membuahkan sikap dan watak yang kukuh serta mandiri. Pernikahannya di umur 18 tahun dengan Abdul Aziz, pemuda yang belum memiliki pekerjaan tetap, juga merupakan pilihan yang mencerminkan hal itu. Komitmen berbakti pada keluarga membuat kuliahnya tercecer dan tak sempat selesai. Akan tetapi ia tak menyesal, karena ternyata pembelajaran autodidak dan pengalaman langsung terasa lebih bermakna. Genderang perang telah ditabuh pantang untuk mundur walau selangkah, itu moto hidup yang ia emban. Sebuah pilihan, walaupun pahit, jika kita konsekuen dan memiliki komitmen niscaya akan menjadi keberhasilan, ibu ini menambahkan. Saya menerapkan ajaran Rasulullah, bagaimana ia memberikan teladan yang baik mengenai keluarga sakinah. Beliau juga sangat menghormati istrinya, katanya. Jangan heran saya pernah ditegur tetangga garagara suami saya terlihat mencuci piring. Saya dianggap durhaka pada suami, lanjutnya. Pembagian kerja di rumah ini selalu terjadi secara alami, tidak ada yang merasa dipaksa. Suaminya memasak dan memandikan anak-anak bukanlah hal aneh di keluarga ini. Abdul Aziz, seorang guru agama di sekolah dasar negeri dengan penghasilan standar SD , merupakan tipe suami dan orang tua ideal bagi keluarga. Bagaimana tidak, dia belum pernah sekali pun melarang atau memarahi istrinya karena melakukan aktivitas di masyarakat. Dorongan selalu diberikan kepada istrinya manakala masyarakat membutuhkannya, walaupun sampai larut malam, Saya sangat beruntung memiliki suami seperti dia, Mahilah memuji suaminya. Begitu pula dengan kelima anaknya (Yaya, Tutu, Farhan, Azka, dan Dofi) selalu memberi dukungan pada ibunya.
Berpolitik untuk Masyarakat
Pemilu 1982 merupakan debutnya di lingkaran politik praktis. Walaupun usianya masih belia ia memberanikan diri terlibat di PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Pilihannya didasari
Mahilah Abdul Aziz 14
KOTAKIT KOTAKIT A, No. A, 06/II/September September 2002 2002
DISKUSI. Sedang memberikan penjelasan
selain lingkungannya berbasis massa Islam yang lebih membela partai bersimbol Islam, juga berharap agar proses demokratisasi di masyarakat berjalan dengan baik. Pilihan masuk partai ini tentu saja dibarengi segudang harapan dan idealisme bagaimana membangun masyarakat dengan mengedepankan partisipasi. Tetapi ketika itu pilihan yang berbeda dengan penguasa artinya mengundang ketimpangan. Ini menimpa Mahilah dan masyarakatnya. Di depan mata mereka terjadi industri besarbesaran, pembukaan proyek bandara internasional Soekarno-Hatta yang berjarak hanya ratusan meter dari rumah, namun tidak berpengaruh signifikan pada perubahan sosial eko-nomi. Kemiskinan, mahalnya pen-didikan, pengangguran, kerusakan lingkungan, menjadi masalah sehari-hari. Jalan dan lingkungan rusak tak pernah ada tandatanda diperbaiki. Sementara PPP yang dijadikan harapan untuk bisa menampung dan menyalurkan aspirasi, dengan segala kelemahannya hanya bisa mengelus dada tak berdaya. Karena kondisi tersebut akhirnya pada 1992 dengan kesepakatan suami ia berpaling ke Golkar dengan tujuan agar lingkungan masyarakatnya lebih diperhatikan. Tentu saja pilihan ini awalnya berbuah cibiran dan cemooh-an para tetangga. Partai lamanya memberi penilaian miring, menuding kepindahannya hanya ingin mendapatkan kedudukan. Namun tudingan dan prasangka tersebut tak terbukti, ketika pada 1997 Golkar menang 85 % di Kecamatan Benda. Serta-merta pujian dan sanjungan dari birokrasi berdatangan, termasuk tawaran menduduki jabatan lurah di Belendung tempat ia tinggal selama ini. Meski dukungan menduduki jabatan
tersebut berdatangan dari masyarakat, namun ia menolak secara halus. Ke-aktifan saya di Golkar bukan untuk mencari jabatan, melainkan membela dan membangun masyarakat, jawabnya. Bukti dari keberhasilannya berjuang dengan teori kooperatif terhadap penguasa ternyata membuahkan hasil. Jalan aspal hotmix yang masuk ke perkampungan Belendung kurang-lebih 3km dan sebuah mushala mungil di pinggir rumahnya merupakan saksi bisu perjuangannya. Arus reformasi yang mengalir dahsyat memorak-porandakan singgasana Orde Baru dan Golkar membuat Mahilah berpikir dan memutuskan keluar dari Golkar. Setelah keluar dari partai politik, ia mulai kembali mencurahkan aktivitasnya di dunia kemasyarakatan, selain terus sibuk keliling majelis taklim dan menjadi pengurus Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) se-Kota Tangerang dan MUI (Majlis Ulama Indonesia) Kecamatan Benda. Nyaris tiada waktu luang untuk berlehaleha di rumah, sebab ia pun membantu ekonomi keluarga dengan berjualan pakaian. Dalam hidup, keseimbangan antara duniawi dan ukhrowi sangat dibutuhkan, ia menjelaskan.
Organisasi dan Masyarakat: Bagian yang Tak Bisa Dipisahkan
Tak tega melihat masyarakat terus menderita, terutama karena kekurangan pendidikan dan ekonomi, ia melakukan sesuatu. Yang pertama menjadi target aktivismenya ialah kelompok perempuan buta huruf. Pada awal 1996 bermodalkan semangat dan cita-cita luhur beserta suami dan dibantu beberapa saudaranya ia mengadakan kegiatan pemberantasan buta huruf khusus untuk kelompok perempuan putus sekolah. Kerja keras ini usahanya berhasil. Angka buta huruf perempuan di wilayahnya berkurang drastis. Hal ini terdengar sampai ke telinga pemerintah daerah sehingga ia mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jawa Barat (Tangerang masih dalam wilayah Jawa Barat). Aktivitasnya di majelis taklim (tak kurang dari 16 majelis taklim ia bina dengan ustadzah lain) membuatnya lebih memahami kondisi perempuan di
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
daerahnya. Untuk keluar dari kondisi tersebut, beliau mengajak temantemanya meningkatkan kemampuan terutama dalam pemberdayaan pendidikan dan ekonomi. Dua komponen tersebut bisa memberi kemandirian pada kaum perempuan. Dengan itu marjinalisasi dan ketergantungan perempuan pada pihak lain akan bisa diminimalisasi. Walaupun perempuan, dalam menegakkan hak-hak masyarakat, kita harus memiliki kemauan dan keberanian, ia memberi semangat. Maka ketika PATTIRO Tangerang mengadakan lokakarya perempuan yang bertujuan mengeksplorasi need assesment dan menggali peta masalah masyarakat perempuan di Tangerang, ia langsung mendukungnya dengan mengajak dan menggerakan temanteman lainnya. Dari sana dibentuklah FWP (Forum Warga Perempuan) Gema Melati. Untuk lebih mengefektifkan gerakan forum warga perempuan di tingkat basis, pada 16 Juni 2002 dibentuk Forum Perempuan Mandiri (FPM) yang menitikberatkan pada pendidikan dan ekonomi, dirinya dipercaya sebagai ketua. Selain sangat peduli pada perempuan, lulusan pesantren Attahiriyah Jakarta ini juga selalu gerah manakala ada kebijakan pemerintah yang tidak membela masyarakat lemah. Pendidikan yang mahal dan tak terjangkau masyarakat bawah kota Tangerang memberikan iktikad untuk membuat sekolah murah. Melalui diskusi dan kajian bersama pengurus FPM, PATTIRO Tangerang, dan Yayasan Habiburrahman, dibuatlah SLTP Terbuka. Dukungan dari masya-rakat begitu besar, terbukti ada banyak siswa yang mendaftar dan para pengajar sebagai volunteer walaupun tidak dibayar. Satu hal selalu didengungkan oleh ibu bertubuh subur ini, ialah berusaha menciptakan keadilan dan kesejahteraan di masyarakat dengan meningkatkan kemandirian pada kelompok kecil lebih dahulu. Sambil terus mengingatkan, bahwa orang bisa duduk di kursi kekuasaan karena adanya dukungan rakyat, seperti ikan paus yang tetap hidup karena dukungan ikan dan plankton yang rela berkorban menyediakan banyak makanan.[]
Muslih M. Amin, Tangerang
15
S
O
S
O
K
D AERAH
Masyarakat Marjinal di Sekitar Tambang Dolar
T A N G E R A N G
K
ota Tangerang yang merupakan salah satu kawasan penyangga (Buffer Zone) ibu kota Jakarta, diindikasikan belum memiliki kebijakan pembangunan yang betul-betul memihak masyarakat bawah. Ini terbukti dari pembangunan pusat pemerintahan baru (proyek mercusuar) yang menghabiskan anggaran puluhan milyar, padahal masih banyak bangunan lama yang belum digunakan. Begitu pula alokasi anggaran rutin APBD, jumlahnya jauh melebihi anggaran pembangunan. Pembangunan pasar dan fasilitas-fasilitas umum lainnya tidak banyak melibatkan partisipasi masyarakat luas dan pelaksanaan pembangunan cenderung parsial. Masih banyak contoh bentuk ketimpangan di kota seribu industri ini. Salah satu kasus yang paling mencolok dan menjadi perhatian di kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komponen masyarakat lain adalah pembangunan komunitas di sekitar bandara Soekarno-Hatta yang cenderung terabaikan. Benda dan Neglasari merupakan dua kecamatan yang menempel langsung dengan bandara, namun wilayah ini memiliki angka kemiskinan dan pengangguran tertinggi di kota Tangerang. Tak kurang dari 13.000 penduduk miskin di Tangerang (Laporan BPS 2002) sebagian besar berada di wilayah ini. Berdirinya proyek lambang kebanggaan nasional tersebut sampai saat ini nyaris tak memberikan perubahan berarti bagi kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat sekitar bandara harus menerima kenyataan pahit, bahwa wilayahnya kini seolah ada di medan perang . Suara bising pesawat yang lalulalang hampir tiap menit merupakan sarapan sehari-hari. Padahal dampak yang ditimbulkan dari suara bising dan getaran pesawat tersebut tidaklah sedikit. Pengungsian bayi yang baru
lahir, tidak menetasnya telur ternak, dan mudah retaknya bangunan merupakan sebagian kecil dampak yang langsung dirasakan masyarakat. Harapan masyarakat untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidupnya selalu diabaikan, bahkan nyaris tidak ada kepedulian dari pengelola ban-dara maupun pemerintah kota. Birokrasi pemerintahan sering menyulitkan akses masyarakat untuk menuntut haknya, bahkan mentok sejak tingkat paling bawah. Akhirnya terbentuk anggapan sebagian masyarakat bahwa keberadaan bandara sebagai aset terbesar kota Tangerang dan nasional tidak membawa dampak yang signifikan bagi mereka. Terdengar klise, Suhendar, kepala bagian PUKK (Pengembangan Usaha Kecil dan Koperasi) PT Angkasa Pura II pengelola Soekarno-Hatta mengatakan bahwa pihaknya menantang masyarakat setempat untuk datang kepadanya dan membawa konsep usaha yang diinginkan. Namun imple-mentasi tersebut tampak belum terwujud. PUKK terkesan sekadar mencari pembenaran tanpa dibarengi konsep yang jelas. Kalaupun ada bantuan bentuknya masih insidental berupa zakat fitrah atau sumbangan ke masjid-masjid setempat. Bantuan kepada LSM ialah pelatihan menjahit dan perbaikan AC masingmasing berjumlah 25 dan 30 orang seKecamatan Benda, dikelola LSM Laskar
16
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
DAERAH KUMUH. Merajut benang kusust
(Lembaga Aspirasi Masyarakat) sebuah lembaga yang diisi aktivis lokal Benda.
Putus Asa
Masyarakat nyaris putus asa meminta bantuan dari pihak mana pun, termasuk birokrasi. Menurut kabar dari masyarakat, proposal yang akan di-kirim-kan kepada PT Angkasa Pura II harus melalui lembaga yang memiliki legalitas formal, padahal organisasi masyarakat setempat banyak yang tidak memilikinya, karena dibentuk secara insidental, dipicu oleh kebutuhan/kasus, bahkan kepercayaan. Forum Komunikasi Masyarakat Pajang, umpamanya, gagal mendapatkan ban-tuan untuk perbaikan jalan yang sudah rusak berat. Ironisnya, Tangerang Development Studies, LSM yang bergiat di sekitar Rawa Kompeni yang lokasinya tepat berbatasan dengan bandara justru mampu bekerja sama dan mendapatkan dana dari PDAM untuk pengadaan air bersih masyarakat setempat. Masyarakat sebenarnya ingin merasakan bantuan yang benar-benar menyentuh kebutuhan dasar, seperti penanggulangan pengangguran, perbaikan ekonomi, juga perbaikan kondisi fisik. Di lain pihak, birokrasi (pemerintah kota) sebagai penanggung jawab utama pembangunan dan pemberdayaan rakyat terkesan abai dan cenderung mencari kambing hitam. Pemerintah kota telah sering mengadakan program untuk meningkatkan taraf hidup mereka, namun karena masyarakatnya malas, ya susah, komentar Agah Koswara, Kabag Umum Badan Perenca-naan Pembangunan Daerah Kota Tangerang. Sindiran semacam itu memang sering menimpa masyarakat marjinal, termasuk komunitas pinggiran bandara tersebut. Tak kurang Ketua Komisi E DPRD Kota Tangerang Sadjiran Tarmidji, yang banyak berkecimpung dan bersentuhan langsung dengan masalah sosial-ekonomi mengatakan bahwa munculnya masyarakat marjinal di Tangerang salah satunya disebabkan oleh budaya mereka yang selalu ingin hidup enak dengan kerja mudah. Nah, kalau begini, siapa yang benar?[]
Muslih Muhammad Amin dan Encep Saepudin (Tangerang)
K
alangan LSM Surakarta tersentak oleh adanya Raperda Pembentukan Rukun Tetangga dan Rukun Warga di Wilayah Surakarta. Raperda ini dianggap bisa mengganggu kebebasan individu dan masyarakat untuk banyak berpartisipasi dalam banyak hal, termasuk keterlibatan dalam keputusan pemerintahan. Bahkan ada reaksi keras. Raperda RT/RW ini harus ditolak. Mestinya birokrasi cukup sampai di tingkat kelurahan/desa saja. Selama ini RT/RW justru menjadi instrumen birokrasi untuk melakukan kontrol terhadap aktivitas warga. Untuk membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk) saja, harus membawa pengantar dari RT/RW setempat. Demikian pula dengan tamu, 24 jam harus lapor RT/RW setempat, kata Yusuf yang menjadi pengacara di YAPHI. Maka sejumlah LSM di sana langsung mengadakan kritisi terhadap raperda tersebut. Mereka membentuk kaukus LSM untuk mengkaji pentingtidaknya raperda tersebut diberlakukan, urgensinya, dan latar belakangnya di balik peraturan itu. LSM tersebut antara lain Yayasan Advokasi dan Bantuan Hukum (YAPHI), Kompip, Spek-Ham, Leskap, Fatayat, dan PATTIRO Surakarta. Sejauh kritisi yang dilakukan, kaukus itu mengeksplorasi lebih jauh keberadaan RT/RW. Tak tanggungtanggung, mereka menggalang kekuatan dengan banyak pihak untuk menentukan sikap bersama. Mereka meminta pendapat langsung masyarakat (RT, RW, kelurahan), LSM, dan akademisi (Universitas Sebelas Maret). Pro-kontra terjadi, ada suara keras yang menolak raperda itu, namun ada juga tidak keberatan dengan seumlah catatan. Meski begitu harapannya sama, ialah agar partisipasi masyarakat tidak semakin dikekang birokrasi. Menurut Handoyo, dosen FH UNS, keberadaan RT/RW belum pernah diatur secara nasional. Dalam sejarahnya, yang pada masa penjajahan Jepang dinamai tonarigumi, pembentukan RT-RW memang untuk mengontrol dinamika dan memobilisasi warga, mempererat cengkeraman pemerintah, selain berguna untuk meningkatkan komunikasi. Rezim Orde Baru mengadopsi pola ini untuk
D AERAH
Mencoba Mencengkeram Hingga ke RT/RW
S U R
mengawasi tindak-tanduk warganya, termasuk memanjangkan proses birokrasi. Karenanya ada kesan RT/RW bahkan sudah seperti organisasi paramiliter. Meski begitu Joko W., Lurah Pucang Sawit, keberatan bila RT/RW langsung ditiadakan karena hal itu akan memperberat kerja kelurahan. Sementara LSM memperhatikan beberapa hal yang sepatutnya dikritisi, ialah upaya menghilangkan instrumen pengendalian warga pada raperda itu, mengembalikan semangat warga untuk ikut mengambil keputusan sendiri, dan menciptakan RT/RW yang lebih berorientasi pelayanan masyarakat, dan lebih partisipatif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa hal yang dianggap memberatkan misalnya tentang mekanisme pemilihan ketua RT/RW. Pada raperda itu, pemilihan ketua RW diketuai lurah, dan RT diketuai oleh aparat kelurahan. Ini merupakan intervensi birokrasi dan upaya dominasi pihak kelurahan. Padahal pemilihan kepala desa saja dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Lainnya ialah adanya indikasi diskriminasi, khususnya untuk penyandang cacat yang tidak diberi kesempatan menjadi ketua RT/ RW, juga terbatasnya peluang partisipasi bagi perempuan.
Tampaknya kaukus ini serius mengkritisi kebijakan publik yang akan mengikat seluruh warga kota itu. Setelah kritisi itu, kaukus berencana melakukan dengar pendapat dengan Komisi A DPRD Surakarta tentang keberadaan RT/ RW yang lebih reformatif. Mereka juga ingin agar perda yang lama dibandingkan dengan raperda ini, agar diperoleh pandangan lengkap. Menurut Ahmad Rofik dari PATTIRO Surakarta, kritisi ini penting untuk mencermati kultur birokrasi yang selama ini dibentuk pemerintah, yang jangkauannya sampai pada parastate seperti RT/RW. Yang lebih mendesak, apakah RT/RW ini memang masih layak dipertahankan, atau bisakah lembaga ini memberdayakan komunitas dan pengawasan kebijakan? Di luar pro-kontra itu, satu hal selalu terjadi setiap kali kebijakan publik muncul yang akan mengikat perilaku dan adab warga ialah tiadanya pelibatan seluruh elemen pemegang hak (stakeholder) kota itu, mengabaikan sebagian unsur yang memiliki hak terhadap kebijakan. Hal seperti itu masih saja terjadi. Akibatnya, ketika rancangan ditawarkan atau peraturan diberlakukan, bermacam-macam reaksi muncul, bahkan tak jarang berupa keterkejutan dan penolakan.[]
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
17
Laporan Ahmad Rofik (Surakarta)
A K A R T A
D AERAH G
R
E
S
I
K
P
engambilan hak ulayat masyarakat dan upaya mengembalikan lagi hak tersebut kepada mereka sebenarnya bukan kasus luar biasa di sebuah negara yang hingga kini terus labil ini. Yang patut diperhatikan justru seberapa tahan para penggugat itu bertarung dengan mereka yang dianggap mengambil hajat hidup tersebut. Hampir selalu kasus itu menghabiskan waktu dan menyita energi mereka yang bersengketa. Upaya mengembalikan hak kelola tambang batu kapur di Sekapuk, wilayah Ujung Pangkah, Gresik dari tangan PT Polowijo Gosari oleh masyarakat setempat yang didampingi Komite Aksi Pemuda Untuk Rakyat (KAPUR) juga terlihat akan menghabiskan banyak energi. Kasus ini ternyata menguat lagi dengan pokok tuntutan agar izin penambangan perusahaan tersebut dicabut, dan hak kelolanya dikembalikan kepada masyarakat. Tentu saja ini perjuangan yang berat mengingat PT Polowijo sendiri sudah mengantungi izin penambangan dari kepala desa sejak tahun 70-an. Dengan begitu sengketa tak bisa dihindari lagi, meskipun masyarakat setempat sudah berusaha mendesakkan masalah tersebut kepada DPRD pada 17 dan 24 Juli 2002 lalu. Tidak hanya itu, masyarakat sudah melakukan kajian mendalam, menyampaikan aspirasi, negosiasi, termasuk pertemuan yang difasilitasi pihak desa tapi hingga kini upaya itu belum membuahkan hasil. Tambang itu berada di gunung batu kapur di sebelah utara desa memiliki arti penting bagi penduduk setempat. Mayoritas penduduk menggantungkan penghidupannya dari menambang, karena pertanian mereka tidak menguntungkan dan hanya mengandalkan curah hujan. Batu kapur itu diproses secara tradisional menjadi tepung, bahan bangunan (jiring/batu bata putih), atau diolah menjadi bedak, kapur, sisanya berupa batu kapur (urukan). Usaha ini mampu mengubah tingkat kesejahteraan penduduk Sekapuk menjadi lebih baik. Tapi itu masa ketika Polowijo Gosari datang dan menguasai aset masyarakat itu.
18
Berjuang Di Atas Tambang Batu Kapur
Manipulasi Tanda Tangan
Begitu pada 1970-an PT Polowijo Gosari mendapatkan tanda tangan Kepala Desa Sekapuk, mereka memanfaatkan itu sebagai persetujuan masyarakat Sekapuk terhadap penambangan di wilayah itu. Sejak itu aktivitas penambangan masyarakat dibatasi PT Polowijo. Masyarakat diharuskan membayar DO (delivery order) bila mengambil batu kapur, padahal pertambangan itu merupakan aset desa. PT Polowijo memonopoli hasil DO tanpa memberi kompensasi sedikit pun pada desa, termasuk untuk pembangunan sarana dan prasarana. Kepala Desa dan mereka yang memiliki pengaruh dirangkul, digunakan untuk mengelabui dan mengintimidasi masyarakat, sehingga PT Polowijo menguasai pertambangan tanpa perlawanan berarti dari masyarakat. Mereka yang bergabung dengan PT Polowijo menjadi alat kontrol terhadap aktivitas masyarakat, khususnya yang berkaitan penambangan. Membentuk kelas tersendiri sebagai kelas sosial dan ekonomi yang lebih tinggi daripada masyarakat lain, menyebabkan kesenjangan sosial dan ekonomi. Dampaknya mereka yang di luar lingkungan PT Polowijo menjadi tersingkir. Masyarakat yang akan melakukan jual-beli harus atas restu PT Polowijo. Tidak mengherankan jika PT ini dapat menjalankan usahanya dengan efektif dan leluasa, termasuk membawa kendaraan-kendaraan berat ke gunung melintasi jalan yang bukan kelasnya . Mereka pun tidak memberi konpensasi
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
kepada desa dan layanan umum. Dari pengakuan masyarakat sudah berkali-kali perusahaan ini melakukan penipuan pembelian tanah, tidak melunasi sisa pembayaran. Lebih parah, PT ini memaksa transaksi jual-beli tanpa ada persetujuan sebelumnya, menggunakan ilmu gaib (santet/tenung) hingga menewaskan orang.
Optimis
Tergerak ingin melepaskan diri dari kondisi yang buruk ini, KAPUR mendesakkan masalah itu kepada DPRD Gresik pada 17 dan 24 Juli 2002, menuntut pencabutan izin PT Polowijo. Dari hanya didukung oleh sekelompok warga di Sekapuk, kini mereka mendapat dukungan dari tiga desa lainnya, ialah Gosari, Cangaan, dan Banyu Urip. Mereka meminta pendapat ahli, A.S. Wartono, seorang aktivis lingkungan yang berhasil memperjuangkan aspirasi warga Sumber menggugat izin pendirian kasus menara Indosat karena tidak memiliki IPAL, dan Nizam ketua LPPM UMG yang sempat menawarkan konsep Realistic Education untuk masalah tersebut. Bagaimanakah ujung upaya KAPUR ini? Mereka sebenarnya optimis. Secara de facto warga lebih dulu mengelola pertambangan itu, meskipun mendapatkan kembali hak itu membutuhkan pengorbanan besar. Tetapi, lazimnya perjuangan tak akan berakhir sampai waktu dan keyakinan menghendakinya. Dari sana akan terbukti seberapa kuat KAPUR memperjuangkan hak warga itu sampai tuntas.[]
Laporan Chamim Syaddad (Gresik)
D AERAH M
A
L
A
N
G KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
19
T
ELA AH
Hak Masyarakat dan Konsep Kepemerintahan yang Baik
S
ejak diproklamasikan pada 1945, istilah pembangunan (membangun) selalu menjadi terminologi yang memiliki nilai strategis dalam diskursus politik kekuasaan. Dari zaman Soekarno, Soeharto, hingga rezim Megawati pembangunan selalu menjadi kata kunci bagi amunisi politik dalam menjalankan roda pemerintahan. Sayangnya, pembangunan yang digunakan oleh negara selalu memarginalkan prinsip kedaulatan rakyat. Apa akibatnya? Kita lihat institusi kenegaraan selalu menempatkan diri sebagai pangreh praja (orang yang memerintah). Implikasinya perangkat birokrasi yang demikian pasti berotak dan bermental majikan, dan tenggelamlah konsep public servant. Kondisi demikian hingga kini masih terasa, meski di era keterbukaan yang berhembus. Praktik kepemerintahan yang sekarang ini berlangsung lagaknya semakin membuka ruang publik. Ringkasnya publik dapat melihat proses kepemerintahan di segala sisi. Partisipasi pun telah menjadi istilah yang diakrabkan ke benak publik sebagai kemutlakan setelah hak tersebut dirampas oleh rezim yang bangun dan tumbang. Sebagai lagak, tiada salah jadinya jika tindakantindakan yang dilakukan berstatus sebagai hal pro-forma belaka. Sedangkan tatanan politik-ekonomi-sosial yang berurat akar selama ini belum didekonstruksi. Keterbukaan informasi dan partisipasi kini menjadi prinsip fundamental adanya sebuah tatanan pemerintahan yang baik (sebagai padankannya istilah good governance). Ikhtiar menuju kedaulatan rakyat yang sejati bertaut dengan keinginan mrwujudkan tata pemerintahan yang baik. Tulisan ini dimaksudkan untuk menggugah hak masyarakat dalam proses melahirkan kebijakan yang (selalu) berimplikasi kepada kepentingan publik.
Mengedepankan Hak Masyarakat
Negara sebagai entitas politik memiliki nilai kontrak dengan rakyat sebagai salah satu baut keberadaan negara, yang melahirkan pembahasan adanya hak warga negara. Negara harus melakukan salah satu kewajiban mendasarnya yakni memenuhi hak warga. Kewajiban tersebut diimplementasikan oleh pemerintah yang memperoleh mandat dari negara. Jadi fungsi utama
20
Syahrial MW
negara bagi masyarakat adalah untuk memfasilitasi pemenuhan hak dasar manusia. Relasi logis inilah yang mendasari betapa strategis dan mendasarnya arti hak dalam politik ketatanegaraan. Amanat dalam UUD 45 yang bertaut secara langsung terhadap kepentingan rakyat adalah pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk membangun ketatanegaraan yang dicitakan seperti dalam pembukaan konstitusi Indonesia, maka menata kepemerintahan yang baik merupakan prasyarat mutlak. Good governance tak akan terwujud tanpa adanya kemauan untuk mengondisikan transparansi dan akuntabilitas sebagai kompas perilaku para stakeholder. Kunci adanya transparansi dan akuntabilitas itu sendiri tecermin dari sejauh mana hak masyarakat dapat memperoleh ruang seluas-luasnya (termasuk di dalamnya memiliki legal right atau hukum) untuk turut mengawal proses jalannya kepemerintahan. Hak harus dipandang sebagai sesuatu yang bersifat dinamis, sehingga dalam pemenuhan maupun penafsiran selalu terbuka ruang untuk melakukan proses negosiasi yang dikembangkan oleh rakyat dengan pemegang kekuasaan.
Hak Masyarakat
Salah satu cermin praktik kepemerintahan yang baik adalah bagaimana pemerintah menempatkan masyarakat dalam relasi primus inter pares (kesejajaran). Ini dapat dilihat bagaimana masyarakat mendapatkan ruang seluas-luasnya untuk mengawasi, mengeluarkan pendapat, saran, dan secara langsung terlibat dalam merumuskan sebuah keputusan publik. Konsep pemerintahan terbuka (open government) mengandung pengertian bahwa seluruh kegiatan pemerintah harus dapat dipantau serta diikuti oleh masyarakat. Masyarakat dalam konsep open government memiliki hak (1) menjadi pengamat (right to observe); (2) terhadap informasi (right to information); (3) terlibat (right to participate); (4) melakukan pengaduan dan mengajukan keberatan (right to complaint/appeal) (Mas Achmad Santosa, Good Governance & Hukum Lingkungan). Sedangkan JARI Indonesia menurunkan 9 hak dasar pengawas pembangunan, ialah (1) hak untuk mendapatkan
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
historis, sekonyong-konyong muncul dengan dorongan suka dan tidak suka, juga bukan area untuk melakukan manuver politik. Pengajuan keberatan harus diatur dalam kerangka besar mekanisme pelibatan masyarakat. Perspektif ini akan membuat proses perumusan kebijakan publik lebih membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk terlibat dalam menentukan produk kebijakan. Inilah yang akan menjadikan pemerintah (birokrasi) berperan sebagai facilitating agent. Bagaimana agar prinsip tersebut bisa menjadi realitas dalam kehidupan bernegara kita? Prinsip yang sudah direifikasi dalam hak tersebut telah mendapatkan basis legal. Perundang-undangan organik (di bawah konstitusi) di Indonesia sedikit-banyak telah memasukkan prinsip hak tersebut dalam kerangka yang lebih definitif. Misalnya UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi sedikitnya telah mengadopsi hak atas informasi, hak untu berpendapat-menyampaikan saran, hak untuk terlibat, dan hak masyarakat untuk menerima pertanggungjawaban (akuntabilitas) penyelenggara negara.
Ikhtiar Bersama
Di tengah telah terakomodasinya prinsip supremasi masyarakat terhadap proses relasi politik kenegaraan, hak mengajukan keberatan belum dilirik sebagai prinsip yang memiliki signifikansi terhadap ikhtiar demokratisasi. Hak dasar masyarakat untuk menjadi actok—subjek—bergeraknya negara Indonesia belum menjadi perhatian banyak kalangan. Sejauh ini prinsip tersebut masih merupakan statement of right, bukan sesuatu yang operasional.Sementara itu pada level UU, hukum Indonesia jarang mengatur prinsip menjadi mekanisme yang dapat diimplementasikan. Biasanya dibutuhkan peraturan di bawah UU, seperti PP untuk menerjemahkannya agar menjadi instrumen yang operasional. Memang dibutuhkan perjuangan untuk mengubah kecenderungan hak-hak masyarakat sebagai statement of right menjadi hal yang dapat dipraktikkan. Inilah yang harus segera direnungkan dan diikhtiarkan. Apabila warga telah sadar terhadap haknya, keadaan pasti akan lebih baik. Kalau hak itu masih dicengkeram oleh kekuasaan, menjadil ikhtiar bersama untuk direbut![] Ilustrasi Ruds
informasi; (2) hak untuk berpendapat; (3) hak untuk berorganisasi; (4) hak untuk melakukan pengaduan; (5) hak saksi untuk dilindungi; (6) hak untuk mengajukan keberatan; (7) hak untuk menerima pertanggungjawaban; (8) hak restitusi; (9) hak untuk terlbat dalam “pembangunan” Dalam aktivitas sebagai pengawas pembangunan, hak dasar tersebut menjadi elemen fundamental untuk setiap orang atau kelompok demi melakukan fungsi kontrol sebagai hal yang wajar dilakukan oleh warga negara. Hakikatnya, di sebuah negara demokrasi, hak tersebut secara alamiah melekat dalam kerangka relasi negara dan masyarakat. Melalui pemahaman serta wawasan mengenai hak, sebuah kebijakan publik akan memiliki legitimasi sosial. Kepemerintahan yang baik menuntut keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan. Untuk menempatkan masyarakat dalam kedudukan yang setara, pertama pemerintah harus melakukan notifikasi kepada publik sebagai kewajiban negara memenuhi hak atas informasi, ini adalah pintu pembuka akses masyarakat untuk mengawal kebijakan yang sedang dirumuskan. Kedua, harus mendengarkan pendapat dan masukan dari masyarakat atas sebuah rancangan atau rencana sebuah kebijakan, memfasilitasi komunikasi politik antara masyarakat dengan pemerintah dalam posisi yang setara. Ketiga, mengadakan mekanisme pengajuan keberatan/banding oleh masyarakat jika kebijakan yang telah melalui proses pelibatan publik (pengajuan pendapat-saran, public hearing), pada keputusan akhirnya (saat memiliki kekuatan legal operasional) menjadi produk yang ahistoris dengan prosesnya (suara masyarakat, opini umum, maupun perdebatan ketika publik terlibat) atau tidak aspiratif sesuai dengan risalah bagaimana tahapan sebuah kebijakan tersebut lahir. Hak mengajukan keberatan/banding merupakan hal lain dari hak publik untuk melakukan gugatan di pengadilan. Pengadilan memiliki cara tersendiri yang khas dalam melakukan mekanisme proseduralnya. Sedangkan mekanisme pengajuan keberatan publik merupakan hal yang integral dengan riwayat lahirnya sebuah kebijakan. Artinya proses pengajuan keberatan oleh publik merupakan bagian tahapan dari proses munculnya sebuah kebijakan. Mekanisme pengajuan keberatan ini bisa ditempatkan dalam tahapan sebelum sebuah kebijakan mendapatkan legitimasi legal, terutama pada produk hukum kewenangan pemerintah (SK Walikota, Bupati, PP, dan lain lain). Jadi sebenarnya pengajuan keberatan tidaklah sesuatu yang a
Syahrial M.W., Asisten. Program Biro Advokasi dan Jaringan JARI Indonesia
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
21
L ITERA Menemukan Kembali Untaian Hikmah yang Hilang
B
uku ini, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, merupakan buku yang bagus dalam menerangkan konsep dan kondisi perempuan dalam khazanah Islam. Sebagai sebuah pengantar pun, buku ini tampaknya sangat leng-kap, karena membahas perempuan dari hampir semua wilayah, ialah tasawuf, filsafat, kalam, kitab fikih, hadis, kitab tafsir. Meskipun masih terasa sebagai kumpulan tulisan, buku ini memiliki daya jangkau dan pembahasan yang luas. Ditulis oleh mereka yang memiliki otoritas di bidangnya—antara lain Mulyadi Kertanegara, Syafiq Hasyim, Amani Lubis, dan Nasarudin Umar— bahasa yang digunakan dalam buku ini pun tergolong lancar dan berdasar pada studi pustaka yang cukup bagus.. Dalam konteks Islam, gender sebenarnya bukan sesuatu yang asing— tidak tertinggal sama sekali dengan berbagai konsep yang ditawarkan pemikir perempuan (feminis) Barat yang sekarang memang berusaha mengupayakan keterlibatan feminisme di segala ranah. Memperbaiki kondisi sosial perempuan merupakan salah satu hal yang paling awal dilakukan Muhamad Saw. begitu dia mendapatkan mandat kenabian. Dengan demikian keterlibatan perempuan baik di wilayah publik dan privat terus terjadi dalam agama Islam, hingga kini, dan meliputi segala persoalan umat. Kondisi perempuan dalam Dunia Islam selalu mengalami pasang-surut. Sekarang pun kondisi mereka tidak dapat disamaratakan Di setiap tempat dan kesempatan kondisi mereka bisa jadi berbeda-beda. Nasib perempuan di Dunia Islam selalu dipengaruhi oleh politik, hukum, negara, kekuasaan, di tempat mereka berada. Perempuan Indonesia tentu mengalami dinamika yang berbeda dibandingkan dengan perempuan Bangladesh atau Maroko.
Namun memang dinamika hukum dan budaya Islam sangat memengaruhi keberadaan Muslimah. Karena hukum Islam universal dan boleh jadi melampaui hukum positif di suatu negara, perkembangan wacana Islam juga berpengaruh besar terhadap pemikiran dan pandangan dunia terhadap perempuan. Pemikiran klasik dan kontemporer terus mengalami dialektika tajam. Pasang-surut perdebatan itu pada dasarnya bermuara untuk mencari berkah terhadap rahasia penciptaan perempuan dan misinya di Dunia ini. setiap mazhab memang menonjolkan keutamaan dan kekhasan pemikirannya sendiri-sendiri, meski begitu tentu saja sumbernya tidak lain adalah hikmah umat Islam yang tiada habis-habisnya mereka eksplorasi: Al-Quran, Hadis, Sunnah, juga ijtihad para ulama. Dalam ranah tasawuf misalnya, beberapa perempuan memiliki keutamaan yang sangat tinggi dibandingkan lelaki saleh sekalipun. Allah juga diyakini memiliki sifat feminin yang mengisyaratkan agar lelaki senantiasa berkhidmat terhadap tujuan penciptaan perempuan. Sebaliknya, dalam ranah hadis, politik, sering terdapat manipulasi yang mendiskreditkan kedudukan perempuan. Untungnya kritik terhadap hal tersebut terus-menerus dilakukan oleh para sarjana Muslim, karena hal tersebut memang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Di dalam Islam, muara kesetaraan lelaki dan perempuan adalah berkah dan ketakwaan. Ini berarti lelaki dan perempuan sama pentingnya dalam upaya mewujudkan kehidupan yang lebih baik di Dunia. Manusia yang terbaik adalah mereka yang beramal saleh, bertakwa, dan beriman. Karenanya Islam mengatur hubungan lelaki & perempuan dalam segala urusan. Selalu ada hukum, norma, adat, atau hikmah yang mengatur agar
22
KOTAKITA, No. 06/II/September 2002
Perempuan dalam Literatur Islam Klasik: Mutiara Terpendam Penulis: Alai Najib, et. al. Editor: Ali Muhanif xlii + 263 hal., Gramedia & PPIM IAIN Jakarta, 2002
persinggungan itu tidak berdampak buruk. Karena itu gender dalam kacamata Islam memiliki nilai yang memang khas, sedikit berbeda dengan pemikiran gender feminis Barat yang cenderung bebas nilai. Karena pada dasarnya penciptaan perempuan berbeda dengan maksud penciptaan laki-laki. Mereka bukan dimaksudkan untuk berkonfrontasi, melainkan bekerja sama untuk menciptakan suatu Dunia yang penuh berkah. Hal terpenting dalam pembicaraan gender adalah hubungan peran antara lelaki dan perempuan di kancah sosial. Dalam hal tersebut, sejak dahulu Islam selalu mengupayakan agar peran tersebut selalu berada dalam kesetimbangan. Seperti diperlihatkan buku ini dengan baik, setiap ranah dalam pemikiran Islam itu pada akhirnya mencari titik temu dan harmoni terhadap segala perbedaan yang terjadi dalam persinggungan sehari-hari itu. Jadi sebenarnya sejak awal Islam bertujuan memuliakan perempuan. Meskipun singkat, buku ini mampu menjelaskan awal mula terjadinya ketimpangan peran dan ketidakadilan terhadap perempuan, menelusuri kembali cita-cita yang diajarkan AlQuran dan hukum Islam, dan mengupayakan agar ketimpangan tersebut dikikis hingga habis.[]
Anwar Holid
IKLAN LAYANAN
KARIKATUR