Menyibak Realita
POROS Edisi : 01/10 /05/2016
L E D E R
DIB
Nur dan Poros yang Dibredel N
amanya Nurrahmawati. Kali pertama bertemu, saya menanyakan tahun kelahirnnya. Saya penasaran. Gadis mungil itu tampaknya masih sangat muda. Sambil tersenyum, gadis yang akrab dipanggil Nur itu menjawab, “Satu tahun setelah lengsernya Soeharto mbak (1999).” Artinya, Nur tahun ini baru genap tujuh belas tahun. Usia yang cukup muda untuk ukuran mahasiswa semester satu. Gadis asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini masuk ke sekolah dasar saat berumur empat tahun. Namun, kata Nur, ia sudah lancar membaca dan menulis pada usia itu. Itu ia tahu dari cerita teman-teman neneknya yang menjadi guru di taman kanak-kanak tempat ia belajar. Mamanya pernah bercerita, saat kecil, jika melihat papanya membaca koran, Nur ikut membaca meskipun belum mengenal huruf.
Nur bisa membaca tanpa diajari dalam waktu yang lama. Di usia yang sangat muda, Nur saat masuk kuliah telah bertekad belajar jurnalistik. Ia akhirnya bergabung dengan Pers Mahasiswa Poros. Konon, kata Nur, ia telah mengenal Poros jauh sebelum Ospek berlangsung. Dari situ ia mulai tertarik karena ingin belajar menulis. Nur akhirnya mengikuti semua tahap seleksi hingga akhirnya sekarang menjadi salah satu anggota magang di Poros. Nur sebenarnya sudah mulai tenar sebagai penulis sedari SMA. Ia gemar menulis meskipun hanya dipublikasikan di akun-akun media sosial. Dari situ, karena pujian beberapa teman, ia merasa sudah mahir dalam menulis. Namun, setelah memilih kuliah di Jogja dan masuk Poros dan mengikuti banyak diskusi, ia menyadari
kemampuannya masih perlu ia tingkatkan. Cita-citanya di Poros berkembang. Nur menjadi ingin mempelajari banyak hal. Menurut saya, hingga magang kedua ─ tahapan pendidikan di Poros ─ Nur termasuk anggota yang aktif. Ditengah padatnya kuliah, ia selalu menyediakan waktu jika diajak diskusi ke pelbagai tempat. Selain itu, ia bertambah lahap membaca buku. Pernah seusai diskusi tentang Panama Papers di Magister Administrasi Publik (MAP) UGM, Nur membeli buku tentang feminisme. Saya dua kali mendapatinya membeli buku tentang perempuan. Saya ingat pernah beberapa kali ia kemana-mana memegang buku tentang feminisme. Katanya, ia tertarik pada gagasan-gagasan emansipasi perempuan. Selain soal kesetaraan gender, Nur pernah bercerita kalau ia ingin mempelajari bukubuku sejarah. “Kalau di daerah Nur kan toko buku aja jauh banget. Kalau di perpustakaan cuma ada buku pelajaran,” tutur Nur. Di tahun 2015, ia juga bergabung dengan Komunitas Baca Novel Pram (KBNP) yang didirikan mahasiswa Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi (FSBK). Minat membacanya berkembang. Ia akhirnya juga memahami pentingnya karya sastra. Membaca adalah bahan bakar untuk menulis. Harapan Nur untuk belajar menulis terwujud. Ia akhirnya magang di divisi redaksi ─ divisi di Poros yang fokus pada kepenulisan. Kegiatan di divisi redaksi dimulai dengan rapat isu. Saat rapat isu, Nur entah mengapa mengusung isu Fakultas Kedokteran (FK). FK kala itu tengah dalam proses pengajuan izin. “Mengapa UAD membuka FK ditengah banyak fasilitas kampus yang belum memadai,” tanya Nur gelisah. “Tapi itu bagus kan? Itu bikin bangga,” ujar salah seorang anggota magang. “Kenapa tidak memaksimalkan fakultas-fakultas yang sudah ada?”
Bersambung ke Hal 4
BERITA UTAMA 1
EDITORIAL 2
OPINI
Wisnu Prasetya Utomo
3
Membredel Pers Mahasiswa