Majalah POROS Edisi VIII

Page 1

P

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

ORO

Menyibak Realita

S

Meruwat Bencana dalam Bencana

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

1


Iklan Mencoba Menyinggung Masyarakat

2

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


Editorial

3

Kapan Kita akan Sadar? Sudah menjadi takdir Indonesia untuk berdiri menjadi sebuah negara di lingkaran cincin api bumi. Keistimewaan ini membawa pengaruh yang hubungannya cukup besar bagi kelangsungan hidup manusia. Salah satunya mengenai kerawanan akan terjadinya bencana. Indonesia dalam sejarahnya sudah pernah menorehkan beberapa bencana besar yang berdampak pada keseimbangan muka bumi. Diantaranya letusan Gunung Tambora dan Gunung Toba yang mampu membuat cahaya matahari tersendat untuk masuk ke bumi. Dalam menghadapi bencana, kekompakan masyarakat Indonesia tentu tidak diragukan lagi. Setiap pihak memiliki peran dan andil masing-masing. Saling bahu-membahu untuk menopang kehidupan sampai bencana tersebut dianggap selesai. Upaya saling membahu tersebut contohnya media dengan beritanya, pemerintah dengan tim tanggap daruratnya, dan masyarakat dengan penggalangan dananya yang terus mengalir. Ketika situasi darurat bencana berakhir, berakhir pula peran dan andil mereka. Pekerjaan seolah telah usai. Padahal bencana lain siap datang kembali, tetapi semua orang sudah lupa. Dan hal ini terjadi berulang-ulang. Kira-kira seperti itulah gambaran masyarakat Indonesia ketika terjadi bencana. Kita sudah terbiasa menghadapi bencana, namun kita belum terbiasa untuk melakukan hal-hal yang dapat mengurangi resiko bencana. Padahal tak sedikit kerugian baik fisik maupun psikis yang ditimbulkan oleh bencana. Bukti bahwa kita belum siap dan terbiasa dengan hal-hal yang dapat mengurangi risiko bencana adalah gempa Yogyakarta 2006. Gempa ini berkekuatan 5,3 SR menghancurkan ratusan ribu bangunan dan rumah yang menyebabkan lebih dari 5000 korban meninggal. Sebenarnya pemerintah sudah melakukan usaha pengurangan risiko bencana atau berbasis mitigasi bencana. Usaha tersebut yaitu dengan disahkan UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan didirikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). UU tersebut jelas mengatur tugas, wewenang, dan hak pemerintah melalui BNPB maupun masyarakat dalam mitigasi bencana. Selain itu, disebutkan pula kegiatan-kegiatan mitigasi bencana. Kegiatan itu meliputi

pelaksanaan penataan ruang; pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Sayangnya kegiatan tersebut masih sebatas isapan jempol semata. Contohnya bagian penataan ruang, UU Penanggulangan Bencana sebenarnya langsung direspon dengan pengesahan Perda Nomer 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) di kota Yogyakarta. Perda ini mengatur penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana. Namun pada pelaksanaanya, Perda ini belum menunjukkan taringnya. Setelah tujuh tahun berjalan, implementasi Perda RTRW masih sebatas penentuan titik-titik evakuasi. Sama halnya dengan penataan ruang, masalah infrastruktur pun tak kalah peliknya. Sebenarnya bagian infrastruktur sudah memiliki peraturannya sendiri yaitu melalui Perda nomor 2 tahun 2012 mengenai Pembangunan gedung. Gedung terutama gedung pusat kegiatan massa harus dilengkapi fasilitas yang dapat mengurangi risiko, bencana seperti sistem penanggulangan bencana di dalam gedung yang harus memiliki tangga darurat dan penunjuk jalur evakuasi. Sayangnya hal ini belum sepenuhnya teraplikasi dengan baik. Sebuah pepatah mengatakan gempa tak membunuh manusia, bangunan gedung yang buruklah yang melakukannya. Dalam bidang pendidikan dan pelatihan pun tak lepas dari masalah. Di sekolahsekolah tidak ada kegiatan khusus untuk mendidik para siswa mengenai kebencanaan. Mulai dari kurikulum yang belum merangkul mitigasi bencana, kemampuan guru yang terbatas hingga sekolah yang keberatan jika disisipi pendidikan mitigasi bencana.

Pers Mahasiswa

POROS Pelindung Dr. Kasiyarno, M.Hum. (Rektor Universitas Ahmad Dahlan) Pembina Anang Masduki, S. Sos.I. Pimpinan Umum Irma Restyana Koordinator Majalah Usi Fahrisa Nur Editor Irma Reporter Evelin, Nehru, Kartika, Somad,Laras, Usi, Andrias, Irma, Nanda, Sofi, Satrio, Nurul, Labina, Azkya Kadiv. Litbang Usi Fahrisa Nur Anggota Azkya Jamila Laras Pramita Sari Kadiv. Perusahaan Kurnia Nanda Anggota Ahmad Nabil Ardan Siti Khoiriyah Nur Mussofiyatul Jannah Kadiv. Kaderisasi Andrias Indra G Anggota Abdus Somad Kadiv. Jaringan Raden Nurul Fitriana P Anggota Satrio Bintoro Layouter Ahmad Nabil Ardan, Satrio Bintoro Foto cover Harri Dwi Putra

Dari pemaparan di atas terdapat suatu keanehan. Indonesia sudah memiliki peraturan sekaligus lembaga pelaksana peraturan mengenai mitigasi bencana. Namun masih banyak korban berjatuhan ketika terjadi bencana. Tentu saja hal ini Alamat Redaksi: membuat kita bertanya-tanya di mana letak Gedung ITC Lt.1, Jl. Kapas No.9, Semaki, kesalahannya. Ditilik lebih jauh ternyata Yogyakarta, 55166. kesadaran semua pihak terhadap mitigasi poros_uad@yahoo.co.id MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014 bencana masih minim. Red


4 Suara Mahasiswa

GOLPUT BUKAN PILIHAN Oleh : Eky Fereza Ketua umum Ikatan Keluarga Pelajar Belitung Yogyakarta

Demokrasi saat ini merupakan pilihan sistem pemerintahan yang banyak dipilih oleh negaranegara di dunia, termasuk Indonesia. Nilai pokok dari demokrasi cukup jelas tersirat di dalam UUD 1945. UUD kita menyebut secara eksplisit mengenai sistem pemerintahan negara yaitu Indonesia berdasarkan hukum (rechstaat) dan berdasarkan sistem konstitusi dalam arti tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Corak khas demokrasi Indonesia yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyarawatan perwakilan. Untuk mewujudkan demokrasi maka diperlukan proses pemilihan penyelenggara negara sesuai dengan kehendak rakyat, proses ini dikenal dengan istilah pemilu. Ironisnya setiap pemilihan umum angka Golongan Putih masih tinggi, hal ini tentunya menjadi sebuah tanda tanya besar. Jika kita membicarakan eksistensi Indonesia, hari ini dan masa depan, maka kita tidak akan terlepas dari yang namanya generasi muda salah satunya mahasiswa. Dengan perannya sebagai akademisi, pemikir dan pembaharu dalam bidang keilmuan dan pemikiran, mahasiswa menjadi pionir dalam pembangunan nasional. Sebagai agent of change sudah seharusnya mahasiswa memberikan peranannya didalam pemilu 2014 ini khususnya di dalam menentukan wakil rakyat yang akan memperjuangkan aspirasi rakyat, dan sudah menjadi kewajiban kita untuk meminta pertanggungjawaban mereka atas kinerjanya. Namun menjadi lucu jika kita tidak memilih dalam pemilu ini tetapi masih mengktitisi kebijakan-kebijakan pemerintah.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Mahasiswa Baru Meningkat, Mahasiswa Kuliah Di Panti Asuhan Oleh: Muhammad Yasir Mahasiswa Sastra Indonesia 2013 Universitas Ahmad Dahlan Tahun 2014, UAD mengalami peningkatan Mahasiswa Baru yang mengakibatkan mahasiswa 2013 kekurangan ruangan untuk perkuliahan. Apa usaha yang telah dilakukan oleh universitas? Untuk saat ini, pihak universitas menyediakan tempat perkuliahan bagi Prodi Ilmu Komunikasi, PGSD, dan PGPAUD di Panti Asuhan Putra Muhammadiyah Jalan Lowanu Yogyakarta. Miris melihat hal ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Tak ada yang bisa menjawab. Bahkan, UAD juga akan menambah Prodi baru. Sungguh mengherankan memang. Gedung baru yang diharapkan bisa merubah keadaan masih dalam proses pembuatan. Panti asuhan pun, jadi jalan satu-satunya. Mereka itu adalah “ayam di sekeliling burung merak�, terluntang-lantung tanpa kepastian. Pun begitu, tak ada protes dari Mahasiswa Ilmu Komunikasi, PGSD, dan PAUD 2013. Kalaupun ada, mereka tidak bisa menyuarakan keluhannya. Untuk itu bagaimana kita dapat memecahkan permasalahan ini? Sampai saat ini, belum ada solusi. Sebagai sesama mahasiswa, tentu saja apa yang Mahasiswa Ilmu komunikasi, PGSD, PAUD rasakan, juga ikut dirasakan oleh mahasiswa dari prodi lain. Untuk itu, hendaknya tulisan ini terbaca oleh sesama mahasiswa khususnya, dan hatinya akan tergerak untuk membantu teman-teman mahasiswa yang kuliah di Panti Asuhan Putra Muhammadiyah. Muncul lagi sebuah pertanyaan besar, yaitu mengapa tidak ada tindakan dari BEM? Di mana partai-partai yang menyatakan diri untuk membela mahasiswa? Patutkah mereka diadakan? Inilah sebuah realita penindasan nurani yang disuguhkan oleh pihak universitas kepada mahasiswa. Bagaimana tidak? Mahasiswa sudah membayar jutaan, malah yang didapatkan adalah panti asuhan. Kan begitu? Demonstrasi? Patut untuk dipertimbangkan. Sesekali demo besar-besaran akan terjadi, apabila sistem keinginan mahasiswa masih saja tidak pernah dipenuhi, Inti dari semua ini adalah harus adanya kontribusi dari universitas kepada mahasiswa. Jangan seenaknya saja menempatkan mahasiswa yang seharusnya mendapatkan fasilitas yang memadai, namun kebalikannya. Jangan hanya mau harum namanya saja, tapi untuk mencapai keharuman itu mesti menindas nurani mahasiswa.


DAFTAR ISI

5

Laporan Utama

Laporan Khusus

8

36 Kursi untuk Penyiaran Publik

Yang Mengintai Yogyakarta

10 Langkah Berat Lembaga Penanggulangan Bencana

39 Meniti Harapan pada TVRI 41 Memulai RTRI

13 Truk Berjejal, Jalur Evakuasi Bergeronjal 16 Bunyi Sumbang Sirine Bencana 19 Bergerak Pada Desa 21 Pak Asih: Merapi itu Kehidupan

Penyiaran Publik, 43 Lembaga Riwayatmu Kini

Berita Kampus 52 Kontroversi PPG, Mahasiswa Resah,

Perspektif

UAD menunggu

23 RTH Belum Ramah Bencana

Harmonis Bersama Ancaman 29 Hidup Bahaya

25 Bencana Pendidikan Kebencanaan

30 Praktik Cemar Jurnalisme Bencana

27 Awas(i) Gedung

45 TVRI Masih Bisa 54 Menadaburi Pancasila

Cerpen

66 PPG: Praktik dan Implementasinya

51 Gara Gara Sumur

Snapshoot 47 - 50

Infografi

Intip

Event

32 Jika Harus Bencana

61 Mengais Rezeki di Tanah Pasca Bencana

56

3 Editorial

Barisan Cinta di Bukit Turgo

64 Rasulan, Rasa Syukur yang Berseni

4 Suara Mahasiswa

5 Daftar Isi

55, 59 Wacana

68-70 Resensi

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


6

Bersahabat (kembali) dengan Alam You think you own whatever land you land on The earth is just a dead thing you can claim But I know every rock and tree and creature Has a life, has a spirit, has a name

Mendengar lagu berjudul the colors of the wind yang dinyanyikan oleh Vanessa Williams ini membuat imajinasiku membayangkan bahwa yang hidup dan memiliki jiwa tak hanya manusia, segala sesuatu yang ada di bumi pun memilikinya. Gunung, lautan, batu, pepohonan, tanah, segalanya memiliki jiwa yang terus bertumbuh dan berubah. Jika kita telusuri, masyarakat Nusantara pernah menganut kepercayaan mirip seperti yang disebutkan dalam lirik lagu di atas. Mereka beranggapan bahwa gunung, lautan, batu, pepohonan dan sebagainya memiliki spirit dan jiwa yang mesti dihormati. Dengan kata lain manusia dan alam hidup berdampingan layaknya sahabat.

Seiring dengan berkembangnya teknologi dan informasi serta kecerdasan manusia dalam mengolah alam, kepercayaan semacam ini ditinggalkan. Manusia kemudian menganggap bahwa alam hanyalah benda mati yang keberadaannya untuk memenuhi bahkan memuaskan kebutuhan manusia. Pada titik inilah manusia dan alam menjadi berjarak, tak lagi menjadi sepasang sahabat. Paradigma berpikir manusia berpengaruh terhadap sikap manusia ketika terjadi bencana alam. Saat manusia dan alam berjarak, maka bencana alam bagi manusia adalah petaka yang membuat kesengsaraan, kedukaan, dan kerugian. Wajar jika manusia berpikir semacam itu, tak bisa dipungkiri bencana memang tak sedikit merenggut apa yang manusia cintai.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Bencana alam seperti gempa bumi, erupsi gunung berapi, dan tsunami merupakan bencana geologi yang terjadi semata-mata karena faktor alam. Artinya bencana tersebut terjadi akibat hukum alam dan cara alam menyeimbangkan dirinya. Ditambah kenyataan bahwa tanah air Indonesia berada di kawasan Cincin Api Pasifik, tempat bertemunya lempeng-lempeng tektonik utama dunia yang ditandai oleh ratusan gunung berapi. Fakta ini tentu saja meniscayakan bahwa pada saat-saat tertentu sebuah gunung berapi akan erupsi dan terjadi ketegangan di antara lempeng tektonik yang akan berujung pada pelepasan energi berupa gempa bumi. Hal tersebut tentu saja menunjukkan bahwa bencana alam bukan laknatullah namun sunnatullah. Sebagai bukti, bencana alam tak melulu memberikan kepedihan. Contohnya saja erupsi gunung berapi.


7

Menurut Surono (dalam Geomagz, Maret 2014) keberadaan gunung berapi di Indonesia adalah berkah, karena material letusannya membuat tanah subur dan nyaman, serta air berlimpah. Karena itu, ada sekitar 4 juta jiwa masyarakat Indonesia bermukim dan beraktivitas di daerah rawan gunung api. Semua daerah di gunung aktif memiliki produk unggulan. Contohnya daerah Karo dengan Sinabungnya memiliki jeruk medan yang terkenal. Selain itu potensi energi panas bumi juga merupakan anugerah yang patut disyukuri dari gunung api. Untuk mengahadapi keperkasaan alam seperti ini bukan dengan cara menaklukannya, karena manusia tidak mungkin mengalahkan alam dan tak melulu dapat didekati dengan sains. Begitupun saat bencana alam terjadi, manusia tak akan bisa mencegahnya secanggih apapun teknologi yang digunakan. Salah

satu yang bisa manusia lakukan adalah bersahabat (kembali) dengan alam, dengan menganggap bahwa alam memiliki kehidupannya sendiri dan sewaktuwaktu alam butuh untuk memulihkan dirinya kembali. Bersahabat (kembali) dengan alam tentu tidak semata-mata diartikan dengan kembali menjadi masyarakat Nusantara zaman dulu yang menganggap bahwa gunung, lautan, batu pepohonan dan sebagainya harus dihormati melalui serangkaian upacara. Tak bisa dipungkiri perjalanan zaman sudah sampai pada era modern. Dalam hal ini, manusia menggunakan teknologi dan sains sebagai alat untuk memahami alam dengan cara berbeda. Artinya dalam aspek kehidupan, manusia perlu mempertimbangkan segala kegiatannya agar dapat terhindar dari bencana. Dalam ranah kebencanaan, ada istilah pengurangan resiko bencana atau disaster reduction risk yang berarti upaya mengurangi resiko bencana dan mengurangi kerugian. Pengurangan resiko bencana ini menjadi penting karena dengan ini manusia tetap bisa melanjutkan kehidupannya sementara alam menjalankan sunahnya.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


8

Laporan Utama

P

Potret udara Desa Kopeng yang berada dikaki Gunung Merapi. Erupsi Merapi tahun 2010 memluluhlantakan Praditya Ardian Hanafi Desa Kopeng dan membuat Sungai Gendol disisi timur penuh dengan material erupsi.

Yang Mengintai Yogyakarta Oleh : Nur Mussofiytul Janah

rovinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan daerah yang memiliki luas 3.185,80 km2 (0,17% dari luas wilayah Indonesia). Secara geografis Provinsi DIY terletak antara 7°33 ́ – 8°12 ́ lintang selatan dan 110° – 110°50 ́ bujur timur. Selain itu, Yogyakarta juga berdekatan dengan zona subduksi lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia sehingga wilayah ini berpotensi terjadi bencana alam. Potensi bencana alam tersebut antara lain gempa bumi, erupsi Gunung Merapi, kekeringan, angin, dan tanah longsor. Erupsi Gunung Merapi merupakan salah satu dari potensi bencana alam di DIY khususnya di Kabupaten Sleman. Kerawanan terhadap erupsi Gunung Merapi terbagi menjadi tiga golongan, yaitu kerawanan rendah (rawan bencana I), kerawanan sedang (rawaan bencana II), dan kerawanan tinggi (rawan bencana III).

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


Yang Mengintai Yogyakarta

Daerah yang berada pada tingkat kerawanan tinggi ini meliputi daerah di sekeliling Gunung Merapi, yaitu Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Boyong. Selain erupsi Gunung Merapi kekeringan juga merupakan potensi becana yang ada di Sleman.Kedalaman air tanah merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kekeringan. Hal tersebut disebabkan semakin dalam air tanah maka kapasitas kandungan airnya semakin kecil, sehingga daerah tersebut akan mudah mengalami kekeringan. Kekeringan juga bisa disebabkan faktor geologi dan meteorologi. “Bencana kekeringan itu lebih banyak disebabkan oleh faktor geologi dan meteorologi,� ujar Emi Suryanti selaku aisten peneliti Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM. Saat ini jumlah mata air yang ada di Sleman berkisaran antara 50 mata air, yaitu Prambanan 17, Saegan 12 dan Ngemplak 11. Kerawanan terhadap kekeringan ini juga dibagi atas beberapa bagian, diantaranya kerawanan rendah yang terjadi pada Berbah, Depok, Gamping, Godean, Kalasan, Mlati, Ngaglik, dan Sayegan. Sedangkan daerah dengan kerawanan sedang terjadi di daerah Berbah, Cangkringan, Depok, Gamping, Godean, Kalasan, Minggir, Mlati, Moyudan, Ngaglik, Ngemplak, Pakem, Prambanan, Sayegan, Sleman, Temon, dan Turi. Untuk kerawanan tingkat tinggi terjadi di Berbah.

Kerawanan rendah memiliki resiko banjir lahar, terutama di daerah dekat lembah ataupun hilir sungai, dan resiko terkena hujan abu ataupun lontaran batu (pijar). Daerah yang berpotensi terkena kerawanan rendah diantaranya Dusun Srikaton, Pondok, Ngablak, dan Jumoyo Utara. Sedangkan wilayah dengan kerawanan sedang antara lain memiliki risiko terkena aliran massa beruap (awan panas, aliran larva, lahar) dan lontaran batuan vulkanik yang lebat. Kerawanan sedang ini terjadi di daerah Kopeng, Batur dan Kepuharjo. Sedangkan kerawanan tinggi terdiri dari ancaman awan panas, aliran larva, guguran batu, dan lontaran batu.

Jika di Sleman memiliki potensi bencana erupsi Gunung Merapi dan kekeringan, Kabupaten Bantul memiliki potensi bencana gempa bumi. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, akitivitas gunung api atau runtuhan batuan. Hal ini sering terjadi di Indonesia karena merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng euro-asia di bagian utara, lempeng indo-australia di bagian selatan, lempeng filipina dan samudera pasifik di bagian timur. Penentuan ancaman gempa bumi disadarkan pada tiga komponen, yaitu jalur patahan, keberadaan sungai dan tingkat kerusakan infrastruktur. Pemetaan ini menggunakan asumsi bahwa potensi gempa bumi ditentukan berdasarkan jaraknya dari lokasi

patahan (sebagai pemicu gempa). Salah satu jalur patahan adalah sungai-sungai besar di DIY seperti sungai Opak, Oyo, dan Progo yang terbentuk akibat patahan serta mengalir di sepanjang jalur patahan. Jika suatu daerah berada dalam radius 500 meter dari jalur patahan, maka ancaman gempanya termasuk dalam kategori tinggi. Sanden, Kretek, Pundon, Jetis, dan Banguntapan adalah daerah daerah dengan ancaman gempa tinggi. Jika berada dalam radius lebih dari 500 meter namun kurang dari 1000 meter, maka potensi ancamannya termasuk kategori sedang. Daerah yang memiliki ancaman sedang ini di antaranya Piyungan, Pleret, Imogiri, Srandakan, dan Banbanglipuro. Daerah yang jaraknya lebih dari 1000 meter dari patahan, memiliki potensi ancaman gempa rendah. Daerah tersebut meliputi Sendaya, Kasihan, Panjangan, Pandak, dan Dlingo. Membaca peta rawan bencana yang dikeluarkan oleh BPBD DIY, daerah yang memilki kerawanan tsunami di Yogyakarta ialah wilayah pesisir pantai selatan antara Bantul hingga Kulonprogo. Tsunami berasal dari bahasa Jepang, "tsu" berarti pelabuhan, "nami" berarti gelombang sehingga secara umum diartikan sebagai pasang laut yang besar di pelabuhan. Tsunami dapat diartikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut. Gangguan impulsif tersebut bisa berupa gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik atau longsoran. Kecepatan tsunami yang naik ke daratan (run-up) berkurang menjadi sekitar 25100 Km/jam dan ketinggian air tsunami yang pernah tercatat terjadi di Indonesia adalah 36 meter yang terjadi pada saat letusan gunung api Krakatau tahun 1883. Gejala datangnya tsunami umumnya ditandai dengan gempa bumi dan susutnya air laut. Di Indonesia umumnya sunami terjadi dalam kurun waktu 40 menit setelah terjadinya gempa bumi besar di bawah laut. Mengingat adanya rentan waktu antara terjadinya gempa dan tsunami, maka dimungkinkan untuk melakukan penyelamatan diri dengan cara berlari menuju kedataran yang lebih tinggi. *Sofi, Satrio

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

9


10 Laporan Utama

Beberapa warga megikuti simulasi bencana yang diladakan oleh Tagana Dok.Pribadi

Langkah Berat Lembaga Penanggulangan Bencana Oleh: Abdus Somad

“Pemangku kebijakan belum menganggap itu (kebencanaan-red) isu yang penting.�

S

ebuah Negeri baru tercipta akibat gesekan lempengan, membentuk negara kepulauan yang di kelilingi oleh gunung berapi, dengan letak geografis yang berada pada tiga titik pertemuan lempeng; Indo- Australi, Euro-Asia dan Pasifik. Lempengan- lempengan tersebut ternyata menimbulkan potensi bencana alam yang cukup besar. Negeri ini pernah menuliskan catatan sejarah dunia akan bencana alam yang terjadi di wilayahnya. Pada tahun 1816 dan 1883, Indonesia dihantam bencana dua letusan gunung berapi yang mengakibatkan dunia gelap. Gunung Tambore di pulau Sumba, Nusa Tenggara Barat dan Gunung karakatau yang terletak di perairan Selat Sunda. Material yang dikeluarkan oleh letusan Krakatau bahkan mampu menahan sinar matahari untuk masuk ke Bumi. Letusan tersebut diperkirakan setara 13.000 kali bom atom yang diledakkan di Hirosima semasa PD ke II. Upaya penanggulangan bencana di Indonesia menjadi hal yang harus diperhatikan, terutama dalam hal mitigasi bencana. Banyak dari kita belum memahami bagaimana langkah dalam

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


Langkah Berat Lembaga Penanggulangan Bencana

menyelamatkan diri saat terjadi bencana. Pemahaman atas potensi ancaman menjadi strategi mitigasi, perencanaan strategi mitigasi melalui pendekatan ilmiah dengan usulan dari masyarakat. (Bencana Mengancam Indonesia, Kompas 2011, halaman 34). Kordinator mitigasi bencana Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Ferry Setiawan mengungkapan setiap daerah mempunyai karakteristik bencana. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kerawanan terhadap bancana alam seperti letusan Gunung Merapi, tsunami dan gempa bumi. Titik kerawanan bencana tersebut berada di daerah Sleman, Bantul, Yogyakarta, Kulonprogo, dan Gunungkidul. “Setiap daerah di DIY mempunyai hazard-nya masing- masing,” ujarnya. Mengetahui bahwa DIY memiliki daerah yang mempunyai potensi bencana alam yang hampir menyeluruh di setiap kabupaten/kota, beberapa lembaga masyarakat berinisiatif untuk bergerak dalam penaggulangan bencana seperti Lembaga Kemanusiaan Nasional PKPU, MDMC, Taruna Siaga Bencana (Tagana), dan Komite Yogyakarta Untuk Pemulihan Aceh (KYPA) berupaya mempersiapkan strategi untuk upaya penanggulangan berbasis mitigasi bencana. Program mitigasi bencana pun disusun, mulai dari Sekolah Siaga Bencana (SSB), Sekolah Aman, Kampung Siaga, sampai pada pemetaan kondisi rawan bencana. Ferry memiliki pandangan bahwa masyarakat harus bisa menyelamatkan dirinya sendiri jika terjadi bencana. Apabila masyarakat harus menunggu relawan datang, itu akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk proses penyelamatan, ”Masyarakat harus bisa mandiri saat ada bencana,’’ tegas Ferry saat ditemui di ruangannya. Lembaga lain yang turut aktif dalam mitigasi bencana ialah Forum Penanggulangan Resiko Bencana (FPRB). Aris Sustiyono selaku kordinator Bidang 1 Advokasi, Regulasi dan Kebijakan mengatakan bahwa upaya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat menge-

nai bencana merupakan hal yang diprioritaskan di lembaganya. Hal ini berdasar bahwa masyarakat banyak yang belum paham mengenai bencana. Dengan jelas Aris Sustiyono menuturkan, “Kita tidak bisa menghindari bencana, karena itu adalah gerak alam. Maka dari itu kita harus mengenal tanda-tanda yang alam sampaikan. Paradigma itu harus disampaikan ke masyarakat.’’ Antusias dalam melakukan mitigasi bencana oleh lembaga-lembaga penaggulangan bencana menjadikan DIY sebagai salah satu daerah percontohan manajeman penaggulangan bencana. “Jogja itu relatif bagus dalam penanggulangan bencananya, beda dengan daerah lain” ujar Mariana Pardede selaku Program Manager lembaga KYPA.

Dari Individu Hingga Level Komunitas Program yang dirancang untuk mengurangi resiko bencana disesuaikan dengan pemetaan bencana wilayahnya. Lembaga- lembaga tersebut mengemas program semenarik mungkin, dengan berazaskan pada pengurangan resiko. Koordinator Tim DRM PKPU Yogyakarta Akhta Suendra mengatakan dalam melakukan mitigasi bencana harus ada koherensi antara masyarakat, pemerintah dan lembaga yang terkait hal tersebut sudah diatur dalam UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. “Dari itu (UU No. 24 tahun 2007red) kemudian kami membuat programprogram yang disesuaikan dengan penanggulangan bencana dan pengurangan resiko bencana,” terangnya. Akhta Suendra juga mengungkapkan jika dalam pengurangan resiko bencana ada beberapa program yang dicanangkan oleh PKPU, yakni program Community Based Disaster Risk Management (CBDAM). Program tersebut merupakan upaya penanggulangan bencana berbasis komunitas. PKPU membuat forum dimana anggotanya bertindak sebagai unit pelaksana tindakan. Dengan nada santai Akhta mengungkapkan, “Kita berikan kapasitas pada masyarakat agar mereka tahu hazard-nya apa, tahu bagaimana rencana

kontigensinya.” Berbeda dengan PKPU, Tagana yang merupakan lembaga penanggulangan bencana di bawah Kemeterian Sosial juga memiliki perhatian pada upaya mitigasi bencana. Salah satu program mitigasinya ialah dengan mendata daerah rawan bencana di DIY. Tagana memetakan berbagai aspek diantaranya potensi- potensi bencana, sumber daya manusia dan alat- alat yang dapat membantu proses mitigasi. “Yang dilakukan yakni pendataan,” ujar Minar selaku anggota Bidang Pendataan dan IT. Disamping itu Tagana juga melirik program yang belum pernah diusung oleh lembaga lain, yaitu SSB khusus penyandang disabilitas. Dalam SSB tersebut Minar juga mengungkapkan program tersebut hampir sudah merata menjangkau sekolah penyangdang disabilitas. Materi yang diberikan bertujuan untuk memberikan pemahaman bencana baik pra maupun pasca. “Selama ini beberapa komunitas tidak menjangkau hal itu” ungkapnya. Lembaga MDMC pun memiliki geliat dalam melakukan program mitigasinya. Salah satu programnya yakni Jamaah Tangguh Bencana dengan mengutamakan warga Muhammadiyah. Kegiatan ini berorientasi pada kelompok-kelompok pengajian di masjid dengan pendampingan para utadaz/ustadzah. Tidak hanya proses mengaji yang diutamakan namun para pendamping tersebut diberikan pemahaman tentang pengurangan resiko bencana, “Kita memahamkan ke mereka bahwa bencana itu bukan laknatullah tapi bencana itu adalah fenomena alam,” tutur Ferry saat ditanya tujuan dari kegiatan Jamaah Tangguh Bencana. Saat ditanya upaya monitoring dari program tersebut, Ferry mengungkapan bahwa program tersebut berkolaborasi dengan jamaah tablig. Sehingga hal tersebut tidak dilakukan langsung oleh pihak MDMC, “Kita tidak tahu secara pasti tempat mana saja yang beroperasi, kita sendiri tidak melakukan monitoring.” Taman Kanak dan Sekolah Dasar menjadi rujukan para lembaga dalam

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

11


12

Langkah Berat Lembaga Penanggulangan Bencana

Seorang instruktur memberikan arahan untuk melakukan pertolongan pertama korban patah tulang kepada peserta Jambore SAR 2014 | Irma

melakukan program mitigasi bencana. Hal tersebut dirasa perlu karena mengingat banyak yang belum bisa menjangkau kearah tersebut. Dede mengatakan jika terjadi gempa anak- anak belum paham harus menyelamatkan diri. Di samping itu pengetahuan kesiapsiagaan menjadi sangat penting diberikan kepada anakanak. “Bayangkan jika anak- anak tidak memiliki pengetahuan kesiapsiagaan. Ketika kondisi gempa anak itu nggak tahu harus kemana, paling nangis dan teriak- teriak,’’ paparnya.

Walau Kendala Menerjang Program mitigasi yang dilakukan di setiap lembaga terhambat beberapa kendala, baik ditataran sumber daya manusia, peralatan, kebijakan maupun anggaran dana. Tak heran jika masih banyak kekurangan yang dialami dalam upaya melakukan mitigasi bencana. Dari beberapa lembaga yang diwawancara oleh tim Poros salah satu kendala yang paling utama yang dihadapi setiap lembaga ialah perihal anggaran dana dan peralatan penunjangnya. Ferry menyatakan jiakalau MDMC

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

belum bisa secara masif melaksakan program dengan skala nasional, terutama di SSB. Hal tersebut dikarenakan Muhammadiyah merupakan organisasi masyarakat lalu sedangkan lembaga sekolah terletak dibawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI). “Kita harus berdiskusi dengan majelis Dikti dan Dikdasmen, karena kendalanya ada dikebijakan dan dana,” ujarnya. Hal serupa juga diungkapkan Dede, bahwa kendala yang dialaminya ialah seputar anggaran dana dan kebijakan dari pemangku sekolah dan institusi pemerintahan. Ia memandang banyak dari pemangku kebijakan di negara ini yang belum merasa bahwa isu kebencanaan menjadi sebuah kebutuhan, “Pemangku kebijakan belum menganggap itu isu yang penting.” Tagana dalam menjalankan programnya mengaku kesulitan dalam menyesuaikan jam sekolah dan minimnya peralatan alat peraga disekolah untuk melakukan mitigasi. Minar mengungkap-

kan jika alat peraga itu sangat dibutuhkan agar siswa langsung mengenal dan memahami bagaimana proses terjadinya gempa dan gunung meletus. Minar menaruh harapan untuk keberlangsungan program mitigasinya, “Inginnya ada alat peraga dan praktek langsung.” Seiring dengan berjalan waktu, di tahun 2014 lembaga-lembaga penggiat penanggulangan bencana terus melakukan evaluasi dengan berbenah diri dalam memaksimalkan program yang disusungnya. “Kita sering evaluasi, baik SDMnya dan lainnya, ada yang kurang kita tambahan,” ungkap Minar. Evaluasi menjadi kegiatan yang harus rutin dilakukan mengingat masyarakat harus paham apa saja yang harus dilakukan saat pra bencana, bencana dan pasca bencana. *Somad, Labina


Laporan Utama

Jalan evakuasi yang rusak parah membuat warga yang melintas di jalan tersebut harus berhati-hati dalam mengendarai kendaraan. | Irma

Truk Berjejal, Jalur Evakuasi Bergeronjal Oleh: Nehru Asyikin

Tepat diakhir April 2014, status Gunung Merapi berubah dari normal menjadi waspada. Kenaikan status ini membuat panik beberapa pihak. Media saat itu gencar memberitakan bahwa banyak jalur evakuasi yang rusak parah karena aktivitas penambangan. Sebenarnya masyarakat sudah berkali berteriak agar jalan segera diperbaiki. Namun janji tanpa realisasi yang didapati. Tak berselang lama dari kenaikan status tersebut, pemerintah kabupaten pun langsung sigap beraksi, mereka turun ke lapangan dan segera mengadakan perbaikan. Begitulah sekiranya salah satu potret kesadaran pemerintah akan penanggulangan bencana. Baru sigap jika alam sudah mulai bergeliat.

J

alur evakuasi di Desa Kepuharjo Padukuhan Pagarjurang rusak akibat sering dilalui oleh truk penambang pasir. Jalan yang rusak ditandai dengan permukaan yang berlubang dan aspal yang hancur. “Kebanyakan truk-truk pasir berasal dari luar Jogja diantaranya Solo, Kudus, Semarang, Jakarta, Bali, Lampung, Palembang,� ujar Trisayuti, salah seorang warga Kepuharjo. Aktivitas penambangan sudah berlangsung sejak berakhirnya erupsi merapi tahun 2010. Pada saat itu, Bupati Sleman mengeluarkan kebijakan untuk dilakukan normalisasi Sungai Gendol. Izin untuk normalisasi seharusnya berakhir pada 2013, namun hingga empat tahun kegiatan penambangan masih saja berjalan. Bahkan, ratusan alat berat masih terlihat di sepanjang Sungai Gendol.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

13


14

Truk Berjejal, Jalur Evakuasi Bergeronjal

Aktivitas penambangan di Sungai Gendol meningkat pasca erupsi Merapi tahun 2010. Ratusan alat berat memenuhi sungai untuk mengeruk pasir. |Irma

Kuota material yang diangkut oleh penambang pasir melebihi batas yang ditentukan sehingga hal tersebut membuat jalan semakin hancur. ”Sebenarnya kendala terberatnya adalah batasan muatan yang seharusnya 4 kubik atau 6 ton. Sekarang supir penambang masih ngotot dan harus segera ditertibkan pemerintah atau Dinas Perhubungan karena kepala desa tidak punya kewenangan untuk menertibkan itu,” terang Heri Suprapto yang menjabat sebagai Lurah Kepuharjo. Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Sleman mengaku sudah melakukan tindakan untuk menertibkan penambang pasir. Dalam satu tahunnya lebih dari 40 kali upaya penertiban dan harusnya tiga hari sekali ada operasi di daerah tersebut. “Untuk penertiban kami tunggu di pinggir jalan, disana dipasang timbangan portable kemudian truk-truk itu kami timbang dan apabila ada kelebihan muatan material tambang kita tilang, bentuk sanksi nanti sidang di Pengadilan Negeri Sleman,” tegas Sulton Fathoni Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Di sisi lain upaya penertiban dari Dishub Sleman belum efektif dengan kendala pada saat dilakukan razia yang terjaring hanya beberapa truk penambang, “Setiap razia ada 30 truk yang terjaring operasi dari 500-700 truk penambang,” ungkap Sulton Fathoni. Supir yang terjaring operasi langsung menghubungi teman-teman truk penambang yang lain bahwa ada operasi dari LLAJ di wilayah Padukuhan Pagerjurang.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Di Desa Kepuharjo sebenarnya ada dua jalur evakuasi yang langsung mengarah ke kota, namun hanya satu yang kondisinya masih baik yaitu arah barat menuju Jalan Kaliurang. Jalan yang lainnya ialah jalan yang sering dilalui penambang merupakan salah satu jalur evakuasi yang langsung mengarah ke Jalan Solo dan Prambanan. Padahal, jalan rusak tersebut adalah jalur evakuasi sementara apabila terjadi peningkatan aktivitas Gunung Merapi. Semenjak jalan menuju wilayah timur mengalami kerusakan parah, proses evakuasi warga saat ini difokuskan ke arah barat. “Sementara untuk sekarang ini evakuasi warga menuju barat ke arah Kaliurang, untuk jalur evakuasi satunya sudah susah, dulunya sebelum jalan rusak jalannya digunakan untuk evakuasi, lah mas bawa motor aja susah apalagi pakai mobil,” ungkap Ali warga yang sudah 12 tahun tinggal di depan titik evakuasi. Basuki pun mengeluhkan hal yang sama. Warga yang membangun usaha bengkel di pinggir jalan evakuasi Kepuharjo mengungkapkan bahwa masyarakat sudah melakukan berbagai upaya untuk menghalang truk masuk jalan evakuasi. Salah satunya dengan membuat poster peringatan ukuran besar yang

berisi larangan jalan bagi truk, namun hal tersebut tidak membuahkan hasil. Ratusan truk tiap harinya masih saja hilir mudik jalur tersebut. Cara lain yang digunakan oleh warga ialah dengan menanam pohon pisang di jalan evakuasi yang rusak parah, cara tersebut merupakan ekspresi kekesalan warga akan kegiatan penambangan yang tidak ada hentinya. Perihal keluhan masyarakat Heri Suprapto menyatakan bahwa selama ini belum banyak keluhan dari masyarakat, jikapun ada keluhan biasanya datang dari rumah yang berdekatan dengan jalan raya. Jika malam hari suara mesin yang mengganggu dan jika siang debu banyak bertebaran. Tak hanya itu jika terjadi hujan maka debu membuat licin jalan sehingga sangat berbahaya bagi pengguna motor. Jalan Baru Jemblong dan Tak Berambu Persoalan jalur evakuasi masih menjadi perdebatan masyarakat. “Selain menjadi jalur evakuasi, jalan tersebut juga sebagai jalur ekonomi. Dua puluh persen masyarakat Kepuharjo dan Cangkringan berprofesi sebagai penambang juga,” ungkap Wabdi kepala Dukuh Pagerjurang. Sebenarnya jalur khusus pun sudah dibuat untuk penambang pasir yang terletak sebelah timur Desa Kepuharjo yang dulunya adalah pemukiman penduduk sebelum erupsi Gunung Merapi 2010. “Memang jalur baru tersebut dibuat untuk para penambang namun sekarang ti-


Truk Berjejal, Jalur Evakuasi Bergeronjal

Truk penambang pasir membawa material hasil erupsi dan melewati jalur evakuasi. Supir truk tetap melintasi jalan tersebut walau sudah dipasang tanda peringatan bahwa truk dilarang lewat. | Nabil

dak digunakan lagi dikarenakan goronggorongnya jemblong akibat hujan,” ujar Heri.

yang rusak sepanjang delapan km dan targetnya tahun ini sudah mulai diperbaiki,” ungkap Heri saat didatangi Poros.

Dishub bagian Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) sudah melakukan beberapa pertemuan dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (DPUP) dan instansi terkait lainnya. DPUP melaporkan bahwa jalan baru khusus para penambang yaitu di sebelah Sungai Gendol sudah selesai. Selanjutnya ialah tugas Dishub untuk memasang rambu-rambu jalan mana yang boleh dilewati oleh penambang dan telah disurvei. “Dishub menunggu pelelangan pengadaan rambu karena rambu tidak bisa dibeli harus dilelangkan dan prosesnya selama satu setengah bulan,” tutur Sulton Fathoni .

Pasca erupsi Gunung Merapi 2010, DPUP bagian Bina Marga telah secara rutin mensurvei jalan rusak sekitaran Kepuharjo. Jalan rusak itupun masuk dalam program Rehabrekon (Rehabilitasi dan Rekontruksi). Beberapa ruas jalan yang rusak termasuk jalan Kepuharjo sebagai jalur evakuasi warga sudah diajukan ke BPBD Sleman bekerja sama dengan BBPB Provinsi DIY.

Upaya Pemkab Sleman DPUP dan BPBD

“Karena sebelah timur Kepuharjo berbatasan dengan kabupaten yang dananya dikelola oleh BPBD Sleman yang kebetulan jalan itu adalah jalur evakuasi bentuk koordinasinya dari DPUP melakukan pengajuan dana ke BPBD Sleman dan ke BBPB provinsi mengenai titik-titik kerusakan jalur evakuasi,” kata Emilia Bina Marga DPUP. Langkah selanjutnya adalah menunggu dana turun dari BPBD Sleman untuk perbaikan jalur evakuasi. Pada saat ditanya oleh Poros Kenapa perbaikan jalan di jalur evakuasi lamban, Taufik menyatakan semua proses berjalan dengan normal. “Menurut saya tidak ada yang terlambat. Semua melalui proses sesuai aturan yang ada.”

18 September 2013 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Cangkringan untuk meresmikan Bendungan Kaliopak, “Pak SBY berjanji secepatnya agar diperbaiki jalur evakuasi

Taufik menambahkan target Pemkab Sleman dalam perbaikan jalur evakuasi yakni sampai semua jalan memenuhi standar untuk bisa lancar dilalui pada saat proses evakuasi. Tahun 2014 ini

Perbaikan jalan dilakukan oleh pihak penyedia jasa melalui lelang, “Dimana sistem pengadaan barang dan jasa telah dilakukan secara elektronik atau melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Sedangkan pemeliharaan infrastruktur jalan, jalan akses evakuasi dilakukan dengan sistem swakelola oleh Dinas PUP Kab. Sleman,” jelas Taufik Wahyudi Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekontruksi BPBD Sleman.

akan dilakukan perbaikan dan peningkatan lima ruas jalan akses evakuasi sepanjang sebelas km. Target perbaikan harus sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan, sehingga fungsi jalan dapat optimal digunakan. BPBD Sleman dan DPUP saling berkoordinasi dan bekerjasama dalam mengusulkan dan melaksanakan program perbaikan atau peningkatan jalan. Bentuk kordinasi BPBD Sleman dalam melaksanakan kegiatan peningkatan jalan, mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanakan melibatkan DPUP. Sedangkan untuk kegiatan rutin pemeliharaan jalan yang ada di DPUP. BPBD mengkoordinasikan terhadap adanya permasalahan yang muncul. “Perlu diketahui bahwa BPBD berfungsi sebagai koordinator dalam kegiatan rehabilitasi rekonstruksi pasca bencana. Yang melaksanakan fisik konstruksinya ada di dinas masing-masing,” tegas Taufiq Wahyudi saat Poros temui di ruang kerjanya. *Nehru, Andre

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

15


16 Laporan Utama

Togor EWS terpasang di samping gedung SAR di Pantai Parangtritis DIY. Sirine ini akan berbunyi jika terjadi bencana alam seperti gempa dan tsunami. | Irma

Bunyi Sumbang Sirine Bencana Oleh: Evelin Kristanti

Beranjak dari pengalaman sirine tidak berbunyi saat terjadi bencana, masyarakat masih mengandalkan pentongan hingga toa masjid untuk menyebarkan informasi terjadinya bencana di kawasan wilayah Yogyakarta.

M

itigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Salah satu bentuk fisik mitigasi bencana adalah peringatan dini untuk mengiformasikan kepada masyarakat melalui Early Warning System (EWS) atau sirine. EWS merupakan serang-

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

kaian sistem untuk memberitahukan masyarakat jika terjadinya bencana, seperti gempa bumi atau bencana lainnya. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bantul saat ini memiliki 29 titik EWS di pemukiman warga sebagai alat informasi kebencanaan. Diantaranya ada di sepanjang pantai selatan, yaitu di wilayah Srandakan, Kretek, Sanden, Parangkusumo, Parangtritis dll. Akan tetapi, keberadaan sirine tidak diandalkan sepenuhnya oleh masyarakat.

Seperti yang dikatakan salah seorang pedagang di Pantai Parangtritis, Wijaya mengakui pada saat gempa bumi 2006 sirine berbunyi namun tidak mengumumkan arahan apa pun. Warga hanya menyelamatkan diri masing-masing tanpa mengetahui titik kumpul mana yang harus di datangi, “Yang penting saya lari ke tempat yang lebih tinggi,� ungkapnya. Nasib beda dialami oleh masyarakat


Bunyi Sumbang Sirine Bencana

pesisir Pantai Kuwaru. Salah satu pedagang mengakui bahwa ia tidak pernah mendengar sirine di sekitar pantai berbunyi. “Gempa 2006 dan 2010 saya tidak dengar apa-apa, asal lihat air laut surut saja baru saya lari, kalau tidak surut berarti tidak ada apa-apa,” ujarnya. Saat Poros mencoba mengkonfirmasi ke Pos Polisi Air Pantai Kuwaru, tidak satu pun ada yang menjaga pos penjagaan saat itu. Warga sekitar menyatakan bahwa EWS yang berada di pos penjagaan polisi air tersebut baru terpasang dua bulan yang lalu. Hal yang sama diakui pula oleh Siti Umaroh warga Mancingan, Parangtritis. Umaroh menyatakan bahwa desanya sering menggunakan alat pentongan sebagai alat informasi peringatan dini jika terjadi gempa bumi atau bencana lainnya. “Biasanya ada gempa langsung bunyi pentongan di rumah-rumah punya pribadi saja,” tegasnya. Alat pentongan ini diakui Umaroh sebagai pengganti informasi agar warga waspada jika terjadi gempa. Ia juga menyatakan bahwa informasi hanya didapatkan melalui televisi. “Biasanya saya gak dengar sirine, dengar kalau ada latihan atau pengecakan saja, biasanya saya cuma lihat di TV,” ujar ibu berusia 41 tahun ini. Padahal, terdapat tiga titik sirine yang mendekati desa Mancingan ini, yaitu gedung Laboratorium Geospasial yang berjarak 320 m, Pantai Parangtritis dengan jarak 750 m, dan Pantai Depok 530 m. Dwi Daryanto selaku kepala BPBD Bantul menyatakan bahwa sejauh ini pihaknya memiliki 29 titik EWS, diantaranya sembilan titik EWS utama di sepanjang pantai selatan, selebihnya adalah EWS backup. Ia mengakui bahwa EWS backup yang tersebar di masjid pemukiman warga belum memenuhi standar. “Kami utamakan sembilan titik dulu yang standar, yakni pesisir pantai,” ungkapnya. Peremajaan dan pengecekan alat dipaparkan Dwi bahwa BPBD Bantul melakukan pengecekan keberfungsian alat-alat setiap satu bulan sekali pada tanggal 26. Potensi alat yang sering rusak ada di EWS utama sepanjang pesisir pantai, ia

beralasan bahwa tingkat korosi di pesisir pantai lah yang menjadi penyebabnya. Sedangkan EWS backup belum dikatakan memenuhi standar. Teknisi BPBD Bantul, Ruwadi, menyatakan ciri alat yang standar adalah EWS aktivator yang memiliki togor. Togor adalah gardu EWS, dapat disebut pula tiang sirine yang besar dan pintu listrik. EWS utama atau aktivator yang ada di Pusdalapos berfungsi untuk mengirim sirine dan voice untuk warga.

Lokasi EWS Tak Terdeteksi Saat Poros menyusuri kurang dari 22 titik EWS dari total 29 yang telah dipaparkan BPBD Bantul, ternyata kondisi lapangan tidak menunjukan hal yang sama. Dengan kata lain, 22 EWS backup yang telah dipetakan tidak semua terdeteksi lokasinya, jika lokasi telah ditemukan, tidak semua sirine dapat ditemukan. Data yang telah terkumpul dan dibuat oleh pihak BPBD Bantul dianggap tidak valid oleh teknisi BPBD Bantul yang langsung menangani EWS. “Data itu tidak valid, saya sudah cek kemana-mana tidak semuanya ada” ujar Ruwadi. Ia menegaskan bahwa 20 titik EWS merupakan EWS backup, yang utama hanya ada sembilan titik, salah satunya Parangtritis dan Parangkusumo, sisanya menjadi backup di pemukiman warga. Ketika Poros kembali memverifikasi data titik EWS yang telah terpasang, pihak BPBD Bantul memberikan data yang sama. EWS backup dengan jumlah 22 titik dan EWS utama atau yang memiliki togor sebanyak tujuh titik, yakni masjid An-Nur, Goa Cemara, Pos polisi Air Pantai Kuwaru, Pos SAR Pantai Baru, Lab Geospasial, Pos SAR Pantai Depok, dan SD Tirtohargo. Trias Aditya salah satu tenaga pendidik Teknik Geodesi UGM dengan keahlian bidang Geoinformatika, IDS dan Geovisualisasi menyatakan bahwa EWS tidak dapat dipastikan harus ada berapa titik. Hal ini perlu dilakukan analisis lapangan. Jika pemukiman padat sirine tidak mungkin dipasang satu setiap desa. “Target sistem peringatan dini kan manusia, nah sejauh mana kita dapat menjangkau manusia-manusia ini,” ujarnya. Ia juga

memaparkan bahwa sirine merupakan sebagian alat informasi untuk memberitahu masyarakat agar menghindari bahaya bencana Selain itu untuk mendukung kelancaran dan kejernihan suara sirine, Ruwadi selaku Kepala teknisi EWS BPBD Bantul menyatakan bahwa pihaknya sedang berusaha membangun refiter. Refiter adalah tower yang memancarkan radius ke berbagai arah agar penyampaian informasi kepada masyarakat lebih jelas. Ruwadi memaparkan sitem informasi mulai dari Pusdalapos BPBD Bantul, kemudian dipancarkan ke refiter sebelum tersebar ke 29 titik sirine yang ada. Refiter yang ada kini berdiri di lahan warga sejak 2006 lalu. Kini BPBD Bantul berupaya memindahkan lokasi refiter di timur gardu pandang. Rencananya refiter ini akan di pindah pada tahun 2015 mendatang. Centauri Indra Pratiwi, staf BPBD Bantul menyatakan bahwa EWS digunakan pada saat darurat saja. “Hanya digunakan saat darurat, jadi tidak selalu dibunyikan jika tidak berpotensi tsunami” ujar Centa. Ia juga memaparkan masyarakat tidak harus mengandalkan EWS, mereka dapat mengandalkan radio, telpon genggam, media sosial melalui parabola two way yang telah BPBD sediakan. Saat ditanyai mengenai alat pendeteksi bencana yang dapat mendukung berjalannya informasi yang valid, Centa menyatakan bahwa BPBD Bantul sebagai penyalur informasi tidak memiliki alat pendeteksi potensi bencana atau tsunami. Centa mempertegas lagi jika terjadi gempa bumi sirine tidak dibunyikan namun pihaknya hanya memberi pengumuman arahan melalui EWS dengan cara voice terlebih dahulu. Selanjutnya apabila BMKG mengabarkan gempa bumi tersebut berpotensi tsunami barulah BPBD Bantul membunyikan sirine. Aka luklukfirmansyah, staf Pusdalapos menyatakan bahwa Informasi antara BPBD Bantul dan BMKG hanya melalui fax atau e-mail serta DVB (Digital Video Broadcast). Alur penyampaian informasi sehingga sampai ke masyarakat ialah

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

17


18

Bunyi Sumbang Sirine Bencana

dengan perhitungan jarak penyampaian informasi dari BMKG ke masyarakat melalui Pusdalapos BPBD Bantul selama 5 menit, dengan menggunakan voice dan sirine, sistem inlah yang disebut EWS.

Berbasis GIS untuk Mempertajam Penempatan EWS Berbeda dengan Bantul, di kawasan Gunung Merapi untuk dapat menggunakan EWS dan memasang sirine, BPBD Sleman memiliki sistem informasi berbasis Geography Information System (GIS). Sistem informasi ini bersifat pemanfaatan data spasial untuk memudahkan analisis penanganan kebencanaan di lapangan. Trias menyatakan bahwa keuntungan menggunakan data spasial akan memudahkan dan mempertajam dalam analisis bahaya, termasuk memudakan peneliti untuk memasang sirine di lokasi bahaya dampak bencana. Djoko Juliyanto, Kepala Seksi Mitigasi Bencana BPBD Sleman memaparkan bahwa sistem geografis kebencanaan ini akan menampilkan peta yang berisi datadata lokasi kebencanaan serta data-data tabulasinya. Data tabulasi diantaranya adalah data pemukiman warga, jumlah kepala keluarga, ternak dan foto rumah pemilik. “Data tabulasi seperti ini berfungsi sebagai penjelas, apabila bantuan bagi korban yang rumahnya tertimbun kami bisa tahu data spasial, penduduk, lokasi rumah, foto rumah, data ternak, kepala keluarga dan data difabelnya” papar Djoko. Saat disinggung mengenai informasi bagi warga yang dapat diakses dengan mudah ia menjawab bahwa pihaknya telah memiliki sembilan titik EWS yang tersebar di sepanjang jalur sungai. Empat diantaranya berfungsi sebagai sistem informasi peringatan dini awan panas, sisanya dipasang untuk peringatan hujan lahar dingin, “Kami pasang di tempat yang paling berpotensi menjadi korban bencana, untuk pengamatan lapangan telah didukung oleh CCTV. Untuk memberikan informasi peringatan langsung kepada warga menggunakan telepon dengan pulsa, atau langsung pencet di

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

sana,” lanjut Djoko. Seakan menghindari pengalaman pembuatan Huntap yang akhirnya mengalami pembengkakan dana akibat tidak memiliki data tabulasi kepala keluarga, BPBD Sleman membuat GIS ini di tiga lokasi percobaan sejak 2013 lalu. Diantaranya Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Serunen yang jaraknya hanya 5 km dari Merapi. “Dulu itu data kepala keluarga, ternak yang tertimbun dari keterangan lurah saja, padahal belum tentu data kepala keluarga menunjukan jumlah rumah dan jumlah ternak mereka dan akibatnya dana bantuan membengkak. Makanya kami buat GIS supaya mengetahui semua data itu,” papar Djoko.

Menjadi Acuan Walau Minimnya Alat Pengamatan Cerita berbeda diutarakan Agus Sarnyata Kepala Induk Balerante 907 tepatnya di lereng Dusun Gondang Desa Balerante Kecamatan Kemalang, Klaten. Selain menggunakan seismograf yang seadanya Agus mengakui informasi berjalan hanya melalui hand talk (HT) dengan pos pengamatan Merapi lainnya. Ia menggunakan pendengaran dan penglihatan saat aktifitas Merapi mulai meningkat. Didukung dengan pengalaman dan keinginan mendirikan pos induk ini Agus dan kawan-kawan berjaga dengan sukarela. Sebagai pos tertinggi di antara pos pengamatan Merapi lain induk Balerante 907 diakui Agus sebagai acuan pos pengamatan lain termasuk pemerintah. Meskipun bukan instansi pemerintah, Induk Balerante 907 selalu menjaga komunikasi antar pos untuk bertukar informasi. Dilihat dari tahun berdirinya Induk Balerante 907 berdiri pada tahun 2006, sedangkan BPBD Sleman berdiri tahun 2010. Jangan harap pemukiman yang berada di ketinggian 1050 meter dari permukaan laut dan 5,78 km dari puncak Gunung Merapi memiliki EWS. Informasi yang langsung disampaikan kepada warga hanya menggunakan frekuensi radio 149.070 Mhz, atau Dial 907 serta

menggunakan toa atau megaphone dari masjid. “Pemerintah daerah belum ada bantuan membuat alat informasi kepada warga, hanya menggunakan toa masjid yang fungsi awalnya untuk adzan,” ungkapnya. Saat ditanyai mengenai sirine atau EWS sebagai pendukung informasi untuk warga, ia mengakui bahwa Balerante tidak memiliki EWS. Setiap dusun memiliki toa di masjid, toa itu lah yang menjadi pengantar informasi. Tidak ada petugas khusus yang ditugaskan untuk memberikan informasi. Siapapun yang dekat dengan masjid warga langsung memberikan informasi untuk menuju ke titik kumpul. Ada tidak adanya EWS tidak menjadi masalah bagi Agus. “Kami tidak nunggu pemerintah, karena yang di bawah lambat memberikan informasi. Kami yang di atas tahu duluan ya lari duluan.” Di pos pengamatan ini Agus mengakui bahwa ia dan kawan-kawannya hanya mengandalkan visual dan suara saja apabila aktifitas Merapi terlihat meningkat. Posko induk ini tidak dapat mendeteksi lokasi kejadian dan kekuatan semburan Merapi. “Semua itu dari pemerintah informasinya tapi biasanya informasi lambat jadi kami biasanya turun duluan karena sudah liat di seismograf,” ujar Agus Sejak 2006 berdirinya pos ini Agus sudah pernah mengajukan proposal bantuan kepada pemerintah. Sebagai Kepala Lembaga Masyarakat Induk Balerante 907, Agus mengakui bahwa mengajukan alat bantuan untuk informasi dipersulit, “Saya tidak mau lagi ngajukan proposalproposal seperti itu, kalau niat bantu ya bantu aja.”


Laporan Utama

Spanduk berisi informasi mengenai dokumentasi kegiatan dan pemetaan wilayah sekitar Sungai Gajah Wong di pasang di sekitar pemukiman warga.

B

Kartika

Bergerak Pada Desa

encana merupakan urusan bersama, begitulah salah satu prinsip yang digunakan untuk mengembangkan program pengurangan bencana berbasis komunitas. Salah satu strategi yang digunakan untuk mewujudkan ini adalah melalui pengembangan desa/kelurahan yang tangguh terhadap bencana. Tujuannya agar desa/kelurahan memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi ,menghadapi potensi ancaman bencana, dan memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak bencana yang merugikan.

Oleh: Kurnia Nanda

Di Yogyakarta sudah dikembangkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana yang dibina BPBD Provinsi dan Kota. Desadesa yang menjadi binaan BPBD Provinsi antara lain desa Gricak dan Poncosari, sedangkan desa yang sedang dibina oleh BPBD Kota antara lain Prawirodirjan, Ledok Tukangan, Jetisharjo, Joyonegaran, Sorosutan, Balirejo, dan Pandeyan. Program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana mengacu pada kerangka Masyarakat Tangguh Internasional yang dikembangkan berdasarkan Kerangka Aksi Hyogo, yang mengandung aspek tata kelola; pengkajian risiko; peningkatan penge-

tahuan dan pendidikan kebencanaan; manajemen risiko dan pengurangan kerentanan; dan aspek kesiapsiagaan serta tanggap bencana. Mekanisme perencanaan dan penganggaran program Desa Tangguh Bencana dibahas melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes), sedangkan kegiatan dalam rangka pengembangan Kelurahan Tangguh Bencana diusulkan melalui musyawarah. Setiap desa akan dikoordinir oleh dukuh atau orang yang ditokohkan oleh masyarakat di desa tersebut, seperti halnya di Kelurahan Pandeyan, Kecamatan

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

19


20

Bergerak Pada Desa

Umbulharjo, kelurahan ini membentuk FPRB (Forum Pengurangan Resiko Bencana) diketuai oleh Ketua RW, sedangkan pembinanya adalah Lurah Pandeyan. Forum ini menyediakan mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kerjasama berbagai pemangku kepentingan dalam keberlanjutan kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana melalui proses yang konsultatif dan partisipatif. Ada tahapan yang harus dilewati sebuah desa/kelurahan untuk menjadi Desa Tangguh Bencana. Gatot Supardi selaku kepala BPBD DIY mengatakan bahwa butuh waktu yang lama untuk menjadi desa tangguh bencana, “Paling tidak harus tiga tahun, kalau satu tahun ya belum bisa, ada bencana nanti malah lari,’’ tegasnya. Tahapan paling awal ialah pembentukan forum group discussion untuk masyarakat desa yang selanjutnya akan disusun dokumen yang bernama Rencana Kontinjensi. Rencana Kontinjensi berisi suatu proses perencanaan ke depan, dalam keadaan yang tidak menentu, dimana

skenario dan tujuan disepakati, tindakan teknis dan manajerial ditetapkan, dan sistem tanggapan dan pengerahan potensi disetujui bersama untuk mencegah, atau menanggulangi secara lebih baik dalam situasi darurat atau kritis. Melalui perencanaan kontinjensi, akibat dari ketidakpastian dapat diminimalisir melalui pengembangan skenario dan asumsi proyeksi kebutuhan untuk tanggap darurat. Sifat Rencana Kontinjensi adalah single hazard, hanya digunakan untuk satu jenis ancaman. Seperti di Kelurahan Pandeyan, Rencana Kontinjensi dibuat untuk menanggulangi bencana Banjir. Hal ini disebabkan karena Kelurahan Pandeyan berisiko tinggi terhadap ancaman bahaya banjir yang dialiri oleh dua sungai yaitu Sungai Gajah Wong dan Sungai Manunggal. Padahal jika melihat peta kerawanan bencana yang dikeluarkan oleh BPBD DIY, ancaman bencana di Kelurahan Pandeyan tidak hanya banjir, namun ada angin puting beliung, kebakaran, dan tanah longsor.

Seorang warga sedang melihat papan berisi peta wilayah Kelurahan Pandeyan lengkap dengan kerawanan bencana daerah tersebut. | Kartika

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Untuk mewujudkan Desa Tangguh Bencana, selain bekerjasama dengan masyarakat, BPBD DIY juga bekerja sama dengan BPBD Kota dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak di bidang kebencanaan. Forum Pengurangan Resiko Bencana. “Kalau hanya dibebankan kepada BPBD tok ya berat, seperti merubah budaya, itu butuh waktu, kita perlu merangkul tokoh agama merangkul ya macem-macem lah,’’ ujar Gatot yang ditemui di ruang kerjanya. Oleh karena itu, dengan adanya Desa/Kelurahan Tangguh Bencana diharapkan masyarakat mampu menangani dirinya sendiri pada saat terjadi bencana, sehingga proses evakuasi bisa segera dilakukan secara mandiri.

Papan penanda titik kumpul masyarakat jika terjadi keadaan drurat di Kelurahan Pandeyan. | Kartika


Laporan Utama

Pak Asih : Merapi Itu Kehidupan Oleh: Diana Putri Arini

Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada lingkaran api pasifik atau sering disebut dengan Ring of Fire. Julukan Ring of Fire ini diberikan pada daerah yang mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Tercatat ada 35 letusan gunung berapi terdahsyat di dunia, 12 letusan gunung berapi yang pernah diabadikan dunia sebagai letusan terdahsyat berasal dari Indonesia. Merapi, merupakan satu dari letusan terdahsyat yang pernah tercatat dalam sejarah. Di tahun 1930-1943 erupsi Merapi memakan banyak korban jiwa sebanyak 1369 orang. Sebagai gunung berapi yang aktif tentu Merapi punya siklus erupsi sendiri yaitu 2-5 tahun waktu interval. Gunung ini bertipe strato-vulcano dengan kubah larva. Meski disebut gunung berapi berbahaya namun Merapi merupakan kehidupan bagi masyarakat itu senadiri. Berikut ini merupakan wawancara Poros dengan Mbah Kasih. Script wawancara ini mengalami proses edit tanpa mengurangi substansi pesan yang ingin disampaikan. Ada banyak mitos dan cerita yang berkembang di kawasan Merapi, seperti kisah Nyi Gadhung Melati atau Eyang Sapu jagad. Sebenarnya bagaimana awal mula Merapi menurut cerita masyarakat setempat? Ini hanyalah cerita. Jika dianggap mitos, dipercaya, atau semacamnya tergantung manusianya. Sebenarnya yang disebut Eyang Sapu Jagad dulunya manusia, kejadian ini berawal sejak zaman kerajaan Mataram ketika raja pertama menerima telur jagad atau telor dunia dari Nyi Roro Kidul.

Juru kunci Gunung Merapi, Pak Asih saat ditemui di rumahnya di kawasan huntap. | Nabil

P

ak Asih adalah Juru Kunci Merapi yang sekaligus bekerja menjadi staf tata usaha di salah satu universitas di Yogyakarta. Sebelum mendapatkan amanah untuk menjadi juru kunci Merapi, nama gelar sebelumnya adalah Mas Lurah Surakso Sihono. Sepeninggalan Mbah Maridjan, juru kunci Merapi sebelumnya yang sekaligus merupakan ayahnya, beliau menggantikan posisi Mbah Maridjan menjadi juru kunci dan abdi dalem Kraton dengan gelar Mas Ngabehi Surakso Hargo.

Waktu itu Panembahan Senopati bertapa di Pantai Selatan. Hal ini membuat pertanyaan Nyi Roro Kidul mengapa seorang Panembahan Senopati, seorang raja bertapa disitu? Lalu, Nyi Roro Kidul menemui raja mengatakan kegiatan raja bertapa diwilayahnya menganggu warga pantai laut selatan. Raja mengatakan dia butuh bantuan, akhirnya Nyi Roro Kidul menyuruhnya pulang, dia memberikan telur jagad kepada raja serta berjanji akan membantu raja. Sepulang dari kerajaan ketika raja hendak memakan telur dari Nyi Roro Kidul, patihnya melarang raja untuk memakan telur tersebut. Sang patih mengajukan usul untuk memberikan telur itu kepada juru taman kerajaan. Sang Juru taman dipanggil dan dipinta untuk memakan telur tersebut, ketika juru taman memakan telur tersebut dia berubah menjadi raksasa. Juru taman protes kenapa tubuhnya menjadi besar. Akhirnya raja menitahkannya untuk menjaga Merapi. Raja berjanji akan mendatanginya setiap setahun sekali mem-

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

21


22

Pak Asih : Merapi Itu Kehidupan

bawakan makanan dan pakaian untuknya. Si penjaga Gunung Merapi itu dipanggil eyang, karena dia memakan telur jagad, dia dipanggil Eyang Sapu Jagad. Oh, jadi itu awal dari upacara adat Merapi? Ya, namanya Labuhan. Jadi Merapi dijaga Eyang Sapu Jagad. Ada mitos yang saya dengar jika Merapi sedang berbahaya, maka penunggu Merapi Nyi Gadhung Melati datang memberitahu warga lewat mimpi. Apa saja tugas juru kunci? Kalau tugas juru kunci melaksanakan tugas dari Kraton apabila ada perintah. Pertama, kami melaksanakan Labuhan yang dilaksanakan setiap tahunnya, upacara adat. Bagaimana cara masyarakat melihat tanda-tanda erupsi Merapi? Kalau secara lokal karena kami tidak punya alat-alat modern, kami menggunakan ilmu titen jika masyarakat kampung ini menyebutkan. Ilmu titen itu bisa mengetahui ciri-ciri Merapi akan meletus. Terutama jika mendengar suara gemuruh, batu yang berjatuhan, dan mungkin binatang turun ke bawah. Merapi termasuk gunung berapi aktif, berbahaya dan memiliki siklus erupsi 2-5 tahun. Meski begitu masih banyak warga yang tinggal di tempat itu. Sebenarnya apa yang mendorong masyarakat untuk tinggal di tempat tersebut? Ya memang kalo dilihat dari sejarah, dari teknologi, atau dari akal memang sangat lucu. Mengapa masih mau tinggal di tempat berbahaya seperti ini. Tapi gini mbak, karena warga sudah tinggal disini sejak zaman nenek moyang. Oleh karena itu untuk meninggalkan tempat ini sangat berat. Apa sebabnya? pertama, Merapi memang tanah kela-

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

hiran mereka. Kedua, mata pencariannya disitu. Seperti saya sekarang, memang saya sudah pindah kebawah. Tetapi aktivitas ekonomi tetap diatas karena kalau kita pindah dari tempat itu sejauh 100 meter, jika kami tidak punya lapangan pekerjaan sama saja kita tidak bisa hidup. Walaupun itu (Merapi-red) berbahaya, berisiko, tetapi kita tetap memperjuangkannya karena itu (Merapi-red) ekonomi. Kami tahu tempat itu rawan bencana, kami harus hati-hati, tanggap dengan bencana. Jika ada tanda-tanda bahaya kami jauhi, kalau aman ya disana.

warga-warga disana sudah tidak punya pekerjaan lagi, lalu mereka jualan. Jalan yang awalnya tertutup oleh pasir dibersihkan. Warga menyewakan jasa ojek untuk naik ke atas, menyewakan jeep dan semacamnya. Semuanya berasal dari inisaitif warga. Bagaimana masyarakat menjaga Merapi agar bisa hidup berdampingan dengan alam?

Pernah, tapi saya tidak diajak waktu itu. Biasanya para karangtaruna, relawan, kalau warga perwakilan datangnya.

Ya, karena kita hidup dengan alam maka warga menjaga kelestarian alam. Jadi untuk menjaga kelestarian alam kita tidak boleh merusak, saya pun dan teman-teman sering menanam pohon walaupun hanya beberapa batang. Menurut saya, kami sudah berpartispasi untuk menjaga Merapi, kami tidak merusak. Tanaman yang ditanam, dipelihara dan dijaga.

Apakah sosialisasi dilaksanakan secara rutin? Kapan waktunya?

Sebenarnya apa makna Merapi bagi bapak sendiri?

Nggak rutin mbak. Baru kok kegiatannya tahun 2013.

Menurut saya Merapi itu kehidupan, karena apa? Kami bersatu dengan alam yang memberi lereng gunung Merapi. Contohnya setelah erupsi ini tanah menjadi subur, makmur. Ternyata dampak erupsi juga ada positifnya, sejak erupsi Merapi warga bisa menikmati desanya menjadi tempat wisata. Warga akhinya mengambil alih profesi dari petani, mencari rumput untuk sapi. sekarang warga berdagang, ngojek. Saya kira kehidupan warga sangat berkembang dalam bidang ekonominya.

Apakah pemerintah pernah memberikan pelatihan bencana alam atau simulasi bencana alam? Kapan?

Desa dibawah Merapi sekarang sudah menjadi tempat wisata dengan tema Tour Vulcano. Sejak kapan desa tersebut jadi tempat wisata? Siapa pengagasnya? Pengagasnya tidak ada. Sejak tahun 2012 sekitar bulan Januari waktu itu jalur Merapi ditutup. Setelah itu dibuka, banyak sekali orang-orang yang datang. Karena banyak orang-orang yang datang warga meminta uang sumbangan seikhlasnya kepada pendatang. Jadi modal usaha dari warga yang datang ya? Ya, modalnya dari warga yang datang. Setelah itu warga berinisiatif membuat warung. Pemerintah desa dan para warga bermusyawarah agar pendatangnya tertib, agar orang yang datang lebih enak maka dibuat tempat parkiran. Karena


Laporan Utama

Ilustrasi: Irfan

RTH Belum Ramah Bencana Oleh: Usi Fahrisa Nur

Sejauh ini tidak ada desain khusus agar RTH (Ruang Terbuka Hijau) dapat dijadikan ruang evakuasi. Ruang evakuasi hanya memanfaatkan ruang-ruang terbuka yang sudah ada dalam suatu kawasan.

D

alam proses penyelamatan ketika terjadi bencana, selain jalur evakuasi dibutuhkan pula titik evakuasi untuk berkumpul massa. Salah satu tempat yang bisa dijadikan tempat evakuasi adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Berdasarkan pada pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri no 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, salah satu manfaat RTH adalah sebagai sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat. RTH (Ruang Terbuka Hijau) menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah area memanjang atau jalur dan atau mengelompok, yang penggunaan-

nya lebih bersifat terbuka sebagai tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah ataupun sengaja ditanam. RTH memiliki fungsi sebagai pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan; pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara; tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati; pengendali tata air; dan sarana estetika kota. Menurut Bima sakti dalam penelitiannya yang berjudul Ruang Terbuka sebagai Ruang Evakuasi Bencana Tsunami pada tahun 2009 menyebutkan bahwa ruang terbuka juga berfungsi sebagai perlindungan terhadap bencana. Langkah tersebut dapat ditempuh den-

gan cara menjadikan peruntukan kawasan rawan bencana sebagai ruang terbuka publik dan mengantisipasi adanya kawasan terbangun pada kawasan rawan bencana tersebut. Sejauh ini tidak ada desain khusus agar RTH dapat dijadikan ruang evakuasi. Ruang evakuasi hanya memanfaatkan ruang-ruang terbuka yang sudah ada dalam suatu kawasan. RTH didesain hanya untuk menunjang fungsi utamanya yakni sebagai penjaga ekologi perkotaan. Di temui di kantornya, Pamungkas, staf sub bidang sarana dan prasarana tata ruang bidang pengendalian, evaluasi, dan pelaporan Badan

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

23


24

RTH Belum Ramah Bencana

Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta mengatakan bahwa tidak ada desain dan perencanaan khusus untuk menjadikan RTH sebagai ruang evakuasi, yang ada hanyalah perencanaan pemanfaatan RTH yang sudah ada menjadi ruang evakuasi. Perencanaan dan desain RTH menjadi perlu karena, masyarakat secara spontan menyelamatkan diri dari bencana ke RTH. Contohnya Jumiati, Ibu yang tinggal di barat Stadion Mandala Krida mengungkapkan bahwa saat gempa 2006 ia secara spontan lari ke Stadion Mandala Krida. Tak hanya Jumiati, Andre warga yang tinggal di Kampung Sanggrahan utara Stadion Mandala Krida pun memilih menyelamatkan diri ke stadion tersebut. Andre mengungkapkan saat gempa 2006 warga Kampung Sanggrahan serentak keluar rumah lalu berkumpul di Stadion Mandala Krida. “Semua warga, waktu habis gempa kan berkerumun di pinggir jalan terus terjadi gempa susulan baru diarahkan, sekarang kumpul aja di Mandala Krida, nanti kalau ada apa-apa enak untuk evakuasi,” paparnya. Masih dalam penelitian Bima Sakti, saat terjadi bencana, baik yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam, Nias, Yogyakarta maupun di wilayah lainnya, masyarakat berlari menuju ruang terbuka baik yang bersifat publik maupun yang bersifat privat sebagai langkah reaktif dan spontan untuk menghindari bencana tersebut. Selain itu, perencanaan dan desain ini diperlukan karena RTH bisa dikatakan layak menjadi ruang evakuasi jika didukung infrastruktur yang memudahkan proses evakuasi serta lokasi yang tepat. Melalui e-mail, infrastruktur-infrastruktur yang perlu diperhatikan menurut Dewan Pakar Pusat Studi Bencana (PSBA) Sudibyakto diantaranya infrastruktur fisik berupa akses jalan yang jelas dan mudah terjangkau dalam waktu sangat singkat, alat transportasi massa, suplay air minum, dan sumber energi listrik. Iwan Aminto Ardi, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Sekolah Tinggi Teknik Nasional mengungkapkan agar RTH lay-

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

ak menjadi ruang evakuasi maka harus dilengkapi fasilitas layaknya pemukiman dan suplay air minum, “Yang paling penting itu air minum. Saya tidak tahu apakah di Jogja sudah terpenuhi belum”. Tak hanya sarana yang mendukung, Iwan menambahkan RTH pun harus ditata dan diletakkan jauh dari kawasan rawan bencana. Jika RTH terletak di daerah kawasan bencana, RTH tidak bisa dijadikan tempat evakuasi dan titik kumpul. Tak hanya itu, jalur atau akses menuju ruang evakuasi pun harus diperhatikan. Jalur atau akses tersebut harus bisa membuat masyarakat bisa menjangkau ruang evakuasi dengan mudah. “Sekarang gini, kalau titik evakuasi sudah dilengkapi tapi jalan menuju itu (titik evakuasi-red) mandeg, macet ya percuma,” tegasnya. Keadaan infrastruktur di Kota Yogyakarta yang dapat mempermudah proses evakuasi korban bencana masih belum ideal. Berdasarkan pengamatan Poros, beberapa RTH yang dapat dijadikan tempat evakuasi masih memiliki akses yang terbatas, terutama akses jalan masuk. Contohnya adalah Stadion Mandala Krida, sejak 2013 lalu Stadion ini hanya membuka satu pintu masuk yakni pintu masuk barat. Tak hanya itu, Stadion Mandala Krida juga mengurangi jumlah pintu masuknya dari lima pintu menjadi tiga pintu saja. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip bahwa akses jalan menuju tempat evakuasi harus mudah terjangkau dalam waktu yang singkat. Meski begitu, jalan-jalan sekitaran Stadion Mandala Krida termasuk baik sehingga bisa mengurangi kendala saat evakuasi dan terletak di dekat pemukiman penduduk. Bagi Pamungkas, hal tersebut bukanlah masalah, sebab proses evakuasi sudah memiliki sistem koordinasinya tersendiri di bawah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Yogyakarta. Artinya saat terjadi bencana, BPBD dapat mengkoordinasikan badan-badan pemerintah terkait untuk menangani kebutuhan-kebutuhan di tempat evakuasi. “Ketika ada evakuasi, pengungsian ko-

rban ini diharapkan ada komando. Itu mandala krida buka! Itu pasti buka, rencananya kayak gitu,” jelas Pamungkas. Keadaan Mandala Krida tak jauh berbeda dengan Stadion Kridosono yang terletak di Kecamatan Kotabaru. Stadion ini merupakan salah satu titik evakuasi yang ditetapkan Bappeda, namun lokasinya yang berada di pusat perkotaan dan tidak berada di pemukiman membuat Stadion ini kurang bisa digunakan untuk penyelamatan secara spontan. Apalagi jalan sekitar Stadion Kridosono setiap hari sangat ramai ditambah pintu masuk yang selalu terkunci.

Baru Ada pada 2007 Ketiadaan perencanaan dan desain RTH sebagai ruang evakuasi disebabkan oleh aturan mengenai tata ruang kota berbasis pengurangan resiko bencana baru muncul tahun 2007, yakni dengan terbitnya Undang-undang no. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Sedangkan, sebelum terbit UU tersebut, Kota Yogyakarta sudah memiliki RTH. Pamungkas menjelaskan bahwa UU tersebut merupakan umpan balik bagi Undang-undang no. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, “Sejak munculnya UU no. 24 2007 Tentang Penanggulangan Bencana diiringi juga dengan munculnya UU no. 26 Tentang Pentataan Ruang. Artinya daerah berkewajiban untuk menyusun tata ruang yang mengakomodir untuk rawan bencana,” paparnya. Oleh karena itu, usaha yang telah dilakukan Bappeda Kota Yogyakarta terkait penataan ruang berbasis penanggulangan bencana baru pada tahap penentuan titik-titik evakuasi dalam tata ruang yang sudah ada di Kota Yogyakarta. “Kita sudah menentukan titik-titik evakuasi di dalam tata ruang kita. Nah, titik-titik evakuasi pun sudah ditentukan misalnya Mandala Krida, Kridosono Kotabaru, Lapangan Karang,” Lanjut Pamungkas. Usi


Laporan Utama

Seorang anggota Tagana memberi instruski pada siswa saat simulasi bencana di SSB SMPN 2 Cangkringan

Dok.Pribadi

Bencana Pendidikan Kebencanaan Oleh: Raden Nurul Fitriana Putri, Laras Pramita Sari

Potret sekolah dalam penanggulangan bencana dapat terlihat dari sekolah yang angkat tangan menerima penanggulangan bencana, tidak adanya mata pelajaran khusus hingga simulasi yang jarang dilakukan

M

elihat potensi bencana yang rentan terjadi di Yogyakarta, pendidikan tanggap bencana sangat diperlukan agar masyarakat siap dalam menghadapi bencana dan dapat meminimalisir jatuhnya korban dalam kejadian. Terlebih bencana datangnya tak pernah ketuk pintu dan tak memandang usia. Kesiapan sekolah sangat diperlukan, tak hanya sekolah yang berada di rawan bencana tetapi semua sekolah. Upaya yang dilakukan untuk menyiapkan sekolah dalam upaya penanggulangan bencana salah satunya melalui pembentukan

Sekolah Siaga Bencana (SSB). Mulyo Santoso selaku Kepala Seksi Kesiapsiagaan BPBD Provinsi DIY menceritakan dalam upaya membangun kesadaran mengenai bencana pihaknya menghadapi beberapa kendala. Salah satunya kesulitan pembentukan SSB ada pada saat pendekatan kepada pihak sekolah. Pada proses pendekatan, pihak sekolah rata-rata mengeluh karena terlalu banyak titipan materi yang harus diintegrasikan ke dalam kurikulum. Diantaranya lingkungan, masalah lalu lintas, reproduksi serta pengurangan resiko bencana. Melihat kondisi seperti itu BPBD Provinsi DIY melakukan upaya per-

suasi dengan cara memberi tahu regulasi atau aturan-aturan yang mendukung itu seperti undang-undang, edaran Menteri Pendidikan Nasional serta Peraturan Daerah (Perda).

Mata Pelajaran Dalam perjalanannya, mata pelajaran (mapel) mengenai mitigasi bencana yang berdiri sendiri tidak ditemukan di sekolah-sekolah yang Poros datangi. Semua sekolah menerapkan sistem terintegrasi, artinya dalam satu mapel tertentu materi kebencanaan disisipkan. Seperti halnya di SSB SMPN 2 Cangkringan, Hadi Suparmo selaku Kepala Sekolah menjelaskan bahwa tidak ada mapel khusus tapi pi-

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

25


26 Bencana Pendidikan Kebencanaan

haknya mengintegrasikan materi-materi yang terkait dan mendukung mata pelajaran masing-masing.

mengajar, mengingat materi mitigasi bencana hanya disisipkan di beberapa mapel tertentu.

Materi penanggulangan bencana diintegrasikan dengan mapel fisika yang bisa menyinggung terbentuknya atau proses erupsi gunung api. Di mapel PKN siswa diharapkan dapat memiliki kesetiakawanan sosial, terlebih saat terjadi bencana jiwa sosial perlu bangkit dan dimiliki oleh semua orang. Di mapel Geografi, siswa dapat mempelajari struktur gunung api atau punlapisan-lapisan gunung.

Akhirnya SSB yang dibentuk oleh BPBD DIY Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pun menerapkan materi kebencanaan melalui mapel terintegrasi yang diperkuat oleh Dokumen Kontinjensi yang nantinya akan menjadi acuan jikalau bencana datang. Hadi menjelaskan, bahwa disekolahnya ada Dokumen Kontinjensi yang nantinya akan menjadi landasan atas setiap kegiatan terkait bencana alam khususnya erupsi Gunung Merapi. Dimana dalam dokumen tersebut terdapat beberapa Pokja (Kelompok Kerja) diantaranya Pokja Penyelamatan Aset, Pokja Pembelajaran Darurat, Pokja P3K serta Pokja Dapur Umum.

Muhamad Joko Susilo selaku Dosen Analisis Kurikulum Universitas Ahmad Dahlan memiliki pandangan bahwa mitigasi bencana tidak cocok jika dibuat suatu mapel sendiri. Salah satu alasannya ialah akan membingungkan siapa yang akan mengajarkan, mengingat tidak adanya jurusan pendidikan kebencanaan di perguruan tinggi. Hal tersebut senada dengan keputusan Dinas Pendidikan dan Olah Raga DIY yang tidak menyusun kurikulum khusus untuk mitigasi bencana. Suroyo menjelaskan, “Kalau kurikulum sendiri, tentu nanti akan menjadi atau menambah beban pada anak didik. Sehingga materi-materi yang sifatnya memang penting atau pokok tentu diintegrasikan pada berbagai mata pelajaran yang terkait atau relevan,” ungkapnya yang ditemui Poros di ruang kerja. Ani guru kelas 4 di SD Glagah mengungkapkan bahwa guru harus berimprovisasi dalam memberikan materi mengenai kebencanaan kepada siswanya. “Dalam mengajar saya ada improvisasi sendiri, bagaimana jika ada gempa atau bagaimana kalau ada bencana yang lain” ujar Ani saat ditemui Poros. Menurutnya, hal tersebut harus dilakukan kerena jika mengandalkan materi yang bersumber dari buku saja tidak cukup memberikan pemahaman kepada siswa. Dalam kondisi seperti itu pembelajaran guru di dalam kelas lebih banyak menggunakan metode ceramah atau teacher centered learning. Guru harus mempunyai keterampilan sendiri dalam

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Selain mengenalkan sistem mitigasi bencana dalam beberapa mapel yang terintegrasi, di SSB SMPN 2 Cangkringan pun melaksanakannya dengan sistem blok yakni pembahasan materi kebencanaan kepada siswa baru pada saat Masa Orientasi Siswa (MOS). Tak hanya BPBD Provinsi DIY, BPBD Kabupaten Sleman pun mendampingi beberapa SSB, salah satunya yaitu SMKN Nasional Berbah. Mengingat wilayahnya merupakan daerah sesar opak, SMK Nasional Berbah berinisiatif fokus pada penanggulangan bencana gempa bumi. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi bencana yang datangnya sulit untuk diprediksi. Di SSB SMK Nasional Berbah simulasi dilaksanakan setahun sekali berbarengan dengan kegiatan MOS.

Simulasi Tak Rutin Tidak adanya mapel khusus yang berkaitan dengan mitigasi becana, memunculkan ide untuk memberikan pemahaman mengenai kebencanaan kepada siswa melalui simulasi. Hal tersebut dipaparkan oleh Joko Susilo, ia berpendapat bahwa belajar sambil mempraktikkan menjadi salah satu metode yang tepat. “Tidak ada cara yang pas untuk mengajarkan itu (kebencanaan-red) selain simulasi demonstrasi. Belajar sambil melakukan” ujarnya.

Ani pun mengamini, SD Glagah melakukan simulasi untuk upaya penyelamatan diri ketika terjadi bencana. Namun sayang, simulasi tidak berjalan rutin dan terakhir dilaksanakan pada tahun 2010. Menurut keterangan pihak sekolah, pihak yang menyelenggarakan simulasi berbeda-beda, ada dari Dinas Pendidikan maupun lembaga yang berkecimpung dalam upaya penanggulangan bencana seperti Palang Merah Indonesia (PMI). Tak jauh berbeda, SSB bentukan BPBD Kabupaten Sleman ini pun hanya melakukan kegiatan simulasi pada masa penerimaan siswa baru. “Simulasi dilakukan dalam rangka agenda tahunan di sekolah,” ungkap Dwi Ahyadi Kepala Sekolah SMK Nasional 2 Berbah. Berbeda lagi dengan SSB SMPN 2 Cangkringan bentukan BPBD Provinsi, terakhir mengadakan simulasi pada saat launching menjadi SSB pada Juni tahun lalu. Penyelengaraan simulasi yang dilakukan tidak rutin berdampak pada perilaku siswa saat terjadinya bencana. Seperti yang diungkapkan Humas PMI Kota Yogyakarta, biasanya masyarakat meskipun sudah mendapatkan pelatihan mereka cenderung melakukan berbeda dengan apa yang telah diajarkan. Hal tersebut diungkapkan pula oleh seorang siswi kelas VII SMP 2 Muhammadiyah Yogyakarta, meskipun sudah diberikan pemahaman mengenai langkah penyelamatan diri ketika terjadi gempa ia masih bingung dengan apa yang harus dilakukannya, “Kita tahu kalau ada gempa ketika di dalam ruangan bersembunyi di bawah meja kemudian lari kelapangan terus jangan panik, tapi tetap saja kita panik.” Menanggapi hal tersebut Joko Susilo menyesalkan mengenai simulasi yang tidak rutin dilakukan, “Sinau (belajar-red) aja kalau tidak intensif tidak masuk, apalagi cuma setahun sekali sinaune mana bisa masuk.” Nurul, Laras


Laporan Utama

Ilustrasi: Irfan

Awas(i) Gedung Oleh: Irma Restyana

“Bukan gempa yang menyebabkan korban jiwa, tetapi bangunan yang buruk lah penyebabnya”

B

anyak gedung di daerah Yogyakarta yang belum memiliki sistem manejemen bencana yang teritegrasi dengan maksimal. Hal ini dapat dilihat dari belum tersedianya fasilitas untuk memudahkan proses evakuasi jika terjadi keadaan darurat. Salah satunya ialah Pasar Beringharjo yang berada di Jalan Ahmad Yani, Yogyakarta. Di gedung bertingkat tiga ini tidak memasang satu pun tanda arah yang akan membantu menunjukkan tempat yang tepat untuk berlindung jika terjadi bencana. “Gedung ini memang belum dilengkapi tanda jalur evakuasi. Saat ini kita baru akan merancang titik titik mana yang akan dijadikan titik kumpul,” ujar Sunarto Kepala Bidang Pemeliharaan, Sarana dan Prasarana, Kebersihan dan Keamanan Pasar Beringharjo.

Salah seorang pedagang Pasar Beringharjo yang berasal dari Klaten mengisahkan kebingungan dirinya pada saat gempa 2006 terjadi. “Gempa nya besar Mbak, waktu itu saya ada di dalam gedung, karena panik saya bingung mau kemana. Yang ada dipikiran saya cuma lari.” Ia pun mengamini semenjak kejadian gempa tahun 2006 Pasar Beringharjo belum juga memasang tanda jalur evakuasi di dalam gedung. Hal serupa dikatakan oleh seorang pedagang makanan di lantai dua, ia menceritakan pengalamannya ketika gempa 2010, saat itu banyak pedagang yang panik dan ia bingung kemana harus berlindung. Pengakuan Sunarto searah dengan hasil dari pengamatan yang dilakukan oleh Poros. Gedung Pasar Beringharjo memang belum memasang tanda arah evakuasi serta tanda lokasi titik kumpul jika terjadi keadaan darurat. Pasar yang terdiri dari tiga gedung utama ini dipenuhi dengan los-los yang digunakan untuk berjualan. Los-los tersebut tersusun dengan saling berhadapan di dalam sebuah lorong-lorong dan menyisakan sedikit jalan bagi

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

27


28

Awas(i) Gedung

itu perlu sekali, namun saat ini hampir tidak ada. Itu penting karena pembangunan dan pengembangan harus berjalan terus menerus,” tegas Sarwidi yang juga aktif mengajar sebagai Dosen di Universitas Islam Indonesia.

Kendala

Pasar Beringharjo selalu ramai dikunjungi pembeli setiap harinya. Terlebih jika akhir pekan atau hari libur. | Irma

para pembeli. Jika pengunjung sedang mem-beludag, akses untuk berjalan di dalam lorong-lorong tersebut menjadi tersendat karena sempitnya ruang yang tersisa. Jika terjadi keadaan darurat, selain akses jalan yang sempit keberadaan tangga pun menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan.Pasar Beringharjo memiliki tangga yang menghubungkan antar lantai dan akses untuk keluar gedung. Tangga-tangga tersebut tersebar di beberapa sisi bangunan. Tangga yang langsung mengarah ke luar gedung diantaranya ada di sebelah selatan dan timur. Jika dalam keadaan terdesak pengunjung akan kesulitan untuk menemukan tangga ini karena tidak adanya papan penunjuk arah serta banyaknya lorong-lorong sempit yang menjadi ciri khas pasar. Kelayakan sebuah gedung bertingkat untuk dinyatakan aman apabila sistem pertolongan evakuasi korban sudah memenuhi standar yang ditentukan. Selain konstruksi yang aman, aspek kemudahan pengguna bangunan gedung untuk melakukan evakuasi dari dalam gedung secara aman jika terjadi keadaan darurat pun harus diperhatikan. Dalam hal ini Yogyakarta sudah memiliki aturan terkait bangunan yang tertuang dalam

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Perda No. 2 tahun 2012. Disusunnya Perda tersebut bertujuan salah satunya untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan. Dalam pasal 53 diatur bahwa setiap bangunan kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret sederhana harus meyediakan sarana evakuasi yang meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu darurat dan jalur evakuasi. Dijelaskan lebih lanjut bahwa jalur evakuasi harus dilengkapi oleh tanda arah yang mudah dibaca dan jelas. Mulyo Santoso, Kepala Bagian Mitigasi Bencana BPBD Provinsi DIY mengatakan bahwa bangunan yang baik harus memiliki peta jalur evakuasi sekalipun bangunan itu sederhana. “Kalau sudah lantai empat, lantai lima dan jalurnya ruwet tidak ada tanda penunjuk jalan harus lari kemana pasti bingung, maka dari itu tanda jalur evakuasi harus suatu yang mutlak” paparnya. Sementara itu, Sarwidi selaku anggota pengarah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan bahwa semua bangunan harus memiliki jalur evakuasi, termasuk sekolah. “Semua

Setiap gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah lantai dan atau jumlah penghuni dalam bangunan gedung tertentu harus memiliki manajemen penanggulangan bencana. Hal ini diatur dalam Perda No. 2 tahun 2012. Sistem menejemen bencana akan mengatur hal-hal seperti penyediaan sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat dan jalur evakuasi yang disesuaikan dengan klasifikasi bangunan gedung, serta jarak pencapaian ke tempat yang aman. Namun dalam pelaksanaannya, ti­ dak banyak gedung yang memiliki sistem menejemen bencana yang baik. Menurut pengakuan Sarwidi, hal ini baru mulai diterapkan di Jakarta itupun baru pada bangunan hotel melalui konvensi yang diselenggarakan oleh BNPB. Hotel yang biasanya sudah memiliki sistem menejemen evakuasi ialah hotel berbintang tiga atau empat. “Hotel yang lain ada sebagian, tapi saya lihat belum begitu sistematik. Perlu perbaikan,” ungkap Sarwidi saat ditemui di kediamannya di wilayah Sleman. Menurut Sarwidi belum maksimalnya berbagai sistem penanggulangan bencana di Indonesia karena negara ini baru menggunakan penanggulangan bencana secara sistematis setelah adanya UU no 24 tahun 2007. Dulu sebelum ada UU tersebut, semua orang mengerjakan semuanya, tapi sekarang semua bidang sudah memiliki fungsinya masing-masing,“Itu menjadi peluang generasi berikutnya untuk mengembangkan.” Berbeda dengan Sarwidi, Mulyo Santoso beranggapan bahwa kurangnya komitmen dari berbagai elemennya lah yang menyebabkan permasalahan kebencanaan belum berjalan maksimal. “UU sudah ada, Badan sudah dibentuk, Perda pun sudah ada. Nah yang kurang hanyalah kesadaran dan komitmennya,” ucapnya dengan nada yang tegas. Irma


Perspektif

HIDUP HARMONIS BERSAMA ANCAMAN BAHAYA Oleh : Moch Muzani Staf Balai Penyeledikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Yogyakarta

Manusia dianugerahi oleh Allah akal, dengan potensi akal itu menjadikan manusia hidup secara dinamis dapat menyesuaikan dengan perkembangan alam sekitarnya. Dengan akal pula lah manusia dapat memikirkan segala permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya. Ada tiga cara berpikir manusia menyikapi ancaman bahaya, pertama memindahkan dan atau menjauhkan sumber bencana dari lokasi dimana manusia itu berada. Kedua, masyarakat itu sendiri yang pindah dan menjauh dari ancaman bahaya. Dan ketiga, masyarakat tetap berada di tempatnya tapi mengambil sikap dan langkah untuk selalu hidup harmonis dengan ancaman bahaya.

terkait dengan keselamatan jiwa dan harta mereka. Pada prinsipnya pemerintah harus melindungi warganya sekalipun mereka tetap tidak bersedia direlokasi ke tempat yang lebih nyaman dan aman. Memang ada beberapa kebijakan pemerintah yang harus ditegakkan antara lain berupa tidak diberikannya beberapa santunan dan bantuan kepada masyarakat yang tetap bertahan tersebut, akan tetapi kebutuhan dasar yang sangat azasi berupa prasarana dan sarana jalan, persediaan air bersih, jaminan keamanan dan informasi yang cepat dan akurat akan datangnya ancaman bahaya harus diperhatikan dan disediakan oleh pemerintah.

Alternatif pertama menunjukkan bahwa hampir mustahil memindahkan sumber bencana khususnya bencana alam, apalagi sebagai seorang muslim kita memahami bahwa musibah atau bencana merupakan skenario Allah yang telah tertulis dalam Lauh al Mahfudh (Al-Hadid:22). Selanjutnya cara kedua sesuatu hal yang sangat logis dilakukan, hanya dalam praktiknya betapa sulitnya melakukan proses relokasi kepada sebagian komunitas manusia, apalagi tempat tersebut merupakan tanah kelahiran mereka dan di tempat itu pula mereka dibesarkan. Kenyataan di masyarakat kita, alternatif ketiga yang mereka pilih, tetap bertahan di kawasan rawan bencana dengan memegang teguh prinsip-prinsip mitigasi bencana, yaitu memahami betul karakter ancaman bahaya dan menyadari posisi dimana mereka tinggal serta mengetahui secara persis kemana arah penyelamatan diri apabila terjadi ancaman bahaya.

Di sisi lain masyarakat yang dengan keteguhannya memilih alternatif ketiga harus bersedia melakukan beberapa upaya mitigasi dengan cara yang lebih baik, lebih cepat, lebih akurat dibanding masyarakat yang tinggal di daerah aman. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana antara lain pemahaman terhadap karakter ancaman bahaya, ketersediaan informasi tentang perkembangan ancaman dari instansi terkait, ketersediaan alat komunikasi antar individu masyarakat yang siap pakai setiap saat, ketersediaan peralatan penerangan jalan untuk membantu kelancaran evakuasi di waktu malam hari. Selanjutnya ketersediaan sarana transportasi secara mandiri yang siap pakai, sangat dibutuhkan dalam proses evakuasi menuju tempat yang lebih aman.

Potret masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana Gunung Merapi pada hakikatnya lebih mengedepankan alternatif ketiga, dengan tidak menutup kemungkinan melakukan alternatif kedua yaitu bersedia direlokasi ketika memang rumah dan halaman mereka sudah tersapu habis oleh luncuran awan panas atau lokasi dimana mereka tinggal dinyatakan oleh pihak yang berwenang sebagai daerah dengan resiko sangat tinggi yang dalam Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi (2010) dinyatakan sebagai area terdampak langsung oleh luncuran material letusan. Ketika sebagian masyarakat di kawasan rawan bencana Gunung Merapi telah membulatkan tekad untuk tetap bertahan dan memilih altenatif ketiga maka menjadi tugas pemerintah untuk memberikan perhatian secara ekstra kepada mereka, terutama

Dalam pemahaman kita, telah diyakini bahwa apa yang akan terjadi besok merupakan sesuatu yang ghaib (Luqman: 34), akan tetapi usaha yang rasional dan maksimal harus dilakukan dengan cara terbaik, seiring dengan ibadah dan doa yang senantiasa ditunaikan dan dipanjatkan. Sebagai insan yang beriman kita tidak dapat mengelak takdir dan kehendak Allah, rabbul ‘alamiin. Dengan berlandaskan surat Huud : 123, manusia hendaklah menyadari bahwa Allah mempunyai kuasa, kodrat dan iradahNya, dan segala urusan yang ada di jagat raya ini semua akan dikembalikan kepada Allah, maka manusia berupaya menjadi pribadi yang tunduk patuh kepadaNya dan senantiasa bertawakkal serta mempercayakan sepenuhnya apa yang akan tejadi besok kepada Allah semata. Wallahu a’lamu bish showaab.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

29


30 Perspektif

PRAKTIK CEMAR JURNALISME BENCANA Oleh: Ahmad Arif penulis “Ekspedisi Cincin Api Kompas” Suatu hari menjelang peringatan dua tahun tsunami, November 2006. Wabah flu burung yang tengah marak di Indonesia, sampai juga ke Aceh. Ratusan unggas milik warga mati. Dinas Peternakan setempat pun bermaksud memusnahkan unggas di salah satu desa di tengah Kota Banda Aceh, yang dicurigai telah terinfeksi virus. Wartawan tulis, fotografer, hingga kameramen, berbondong meliput. Saya dan seorang teman, fotografer dari agensi foto internasional, memakai masker, sarung tangan, dan membungkus sepatu dengan plastik. Beberapa kawan wartawan, yang juga meliput tanpa berbekal masker, menertawakan “kostum” kami. Mereka menganggapnya berlebihan. Para petugas yang “memusnahkan” unggas juga memakai “kostum” lengkap karena takut terinfeksi, kenapa wartawan yang juga mendekat di sana tidak? Apa kalau sudah memakai “kartu pers” wartawan bisa aman dari bencana? Usai ritual “pembersihan” saya datang ke rumah salah seorang warga di desa itu. Saya datang ke rumah seorang ibu paruh baya. Rumahnya baru, bantuan lembaga donor asing. Rumah lamanya musnah ditelan tsunami, bersamaan dengan hilangnya dua anak dan suaminya. Saya melihat dia memelihara ayam dan itik. Beberapa unggas itu sakit-sakitan, tetapi, dia enggan menyerahkannya ke petugas untuk dimusnahkan. Kandangnya juga dapur rumahnya. Saat saya tanya, apakah tidak khawatir ayamnya tertular virus flu burung? Apakah juga tidak takut virus itu akan menularinya? Dengan tenang dia menjawab, “Saya sudah mengalami tsunami. Apalagi yang harus saya takutkan?” Ada dua hal yang ingin saya sampaikan dengan kisah di atas. Pertama, soal minimnya pengetahuan keselamatan diri dalam peliputan bencana. Jika jurnalisnya saja tidak bisa menghargai hidupnya sendiri, bagaimana bisa menerapkan prinsip-prinsip “kemanusiaan” dalam peliputan bencana? Lebih dari soal masker dan kostum, persoalan ini juga menggambarkan sengkarut peliputan bencana di Indonesia, mulai dari soal belum adanya SOP peliputan bencana hingga minimnya pengetahuan soal bencana itu sendiri—baik bencana alam ataupun bencana manusia. Bisa dibilang, masalah yang melingkupi media ini mencerminkan persoalan kedua, yaitu sikap masyarakat yang juga abai terhadap mitigasi bencana dan kerap tidak belajar dari bencana yang lewat. Autokritik Baiklah, saya akan memulai dengan menyoal praktik jurnalisme bencana di Indonesia. Kali ini, kisah tentang hiruk-pikuk peliputan bencana alam di Indonesia yang beruntun merundung.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Televisi masih ramai menyiarkan letusan Gunung Merapi, Yogyakarta, yang terjadi pada senja Selasa (26/10/2010) hingga tengah malam dua hari setelah bencana itu. Beberapa warga diberitakan tewas, termasuk seorang wartawan. Sedangkan ratusan orang di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, tewas dalam senyap. Tanpa mengecilkan tragedi Merapi, pemberitaan media soal Mentawai sangat tidak memadai. Hingga hari kedua setelah tsunami menerjang pada Senin (25/10), gambaran tentang Mentawai masih samar, sementara pemberitaan seputar Merapi sudah riuh rendah, terutama perihal “drama” Mbah Maridjan atau tentang kematian wartawan vivanews.com dalam peliputan. Pemberitaan terhadap dua bencana yang terjadi hampir bersamaan ini menunjukkan kekeliruan cara kerja media. Di satu sisi, Mentawai terlambat diberitakan. Kelambanan yang terjadi karena media ternyata juga tak hadir di sana karena “tersesat” pernyataan BMKG gagal mendeteksi tsunami. Kenapa media tidak mengecek ke lokasi bencana? Di sisi lain, bencana Merapi diumbar, tetapi kebanyakan dari perspektif keliru. Bahkan, kekeliruan dalam peliputan juga masih terjadi pada tingkat yang paling dasar. Seorang wartawan dari media televisi nasional salah membedakan suhu panas dan hujan abu dengan awan panas. Dalam tayangan langsung pada 30 Oktober 2010 dinihari, reporter menyebutkan, awan panas meluncur sejauh 20 kilometer dari puncak Merapi—yang benar adalah hujan abu. Dalam breaking news juga disebutkan, “Awan panas terasa di Jl Kaliurang Km 6,2 tempat reporter kami melaporkan.” Kekacauan informasi membuat ratusan ribu pengungsi dilanda kepanikan. Seorang pengungsi tewas tertabrak truk dalam kekacauan itu. Berita di media, telah membawa bencana baru. Dalam tayangan lain di televisi lain pada Minggu (7/11)— yang mengklaim sebagai tayangan investigasi, tetapi sebenarnya gosip murahan (baca: Silet)—, menyebut bahwa Yogyakarta adalah kota malapetaka dan pada tanggal 8 November 2010 akan terjadi bencana besar dengan mewawancarai paranormal. Berita ini memicu kepanikan dan kemarahan korban Merapi. Sebagai puncak kekesalan, warga melarang media tertentu meliput dusun mereka. Sebagian yang lain melaporkan tanyangan “Silet” ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers, meminta agar tanyakan itu dihentikan. Apakah ada yang lebih buruk bagi media, selain dibenci oleh pembaca dan pemirsanya sendiri? Dalam Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010), saya mencatat pertanyaan reporter televisi—televisi yang sama yang diboikot sebagian warga Merapi—kepada seorang bapak yang anaknya terjebak dalam sekolah rubuh akibat gempa yang meng-


Perspektif

guncang Sumatera Barat akhir September 2009. Pertanyaan itu begitu menyudutkan, “Gimana perasaan bapak apabila putri bapak ternyata tewas?” Saya melihat wajah sang bapak, yang tertunduk lesu. Dia tersudut. Dan hanya bisa berkata, “Semua saya pasrahkan kepada Allah....” Tetapi reporter itu tak berhenti. Dia terus mencecar dengan berondongan pertanyaan-pertanyaan, tanpa rasa empati terhadap korban yang sedang kesusahan itu. Beberapa karib saya, wartawan televisi, mengakui banyak produser mereka yang meminta agar terus mencecar narasumber sampai menangis untuk mengejar efek dramatis. Semakin pedih tangisan korban, semakin “hebat” sebuah tayangan. Tak semua wartawan atau media memiliki cara pandang seperti itu. Namun, faktanya, air mata dan darah memang telah menjadi dagangan yang dianggap paling laku. Bukti lain tentang “berita buruk” adalah “berita baik” dalam praktik jurnalisme adalah sepinya peliputan pasca bencana.Pemberitaan soal rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana nyaris tak disuarakan. Padahal, dalam banyak kasus, misalnya pasca bencana Aceh, rekonstruksi dan rehabilitasi memicu bencana baru. Bahkan, ketika hak-hak dasar korban bencana di Mentawai (seperti barak, kesehatan, dan makanan) tak terpenuhi hingga tiga bulan setelah bencana, nyaris tak ada beritanya di media massa. Tak ada media yang secara intens memantau kondisi korban bencana di Mentawai dan juga Wasior, Papua. Sesekali memang ada liputan media, tetapi bisa dipastikan liputan itu karena kebetulan ada lembaga negara ataupun LSM yang “membawa” wartawan ke lokasi bencana. Nyaris tak ada media yang sengaja mengirim wartawan untuk memantau kondisi di dua lokasi bencana itu. Selain faktor biaya, media juga menganut prinsip “berita baru” untuk menyingkirkan “berita lama”. Dengan tepat, Milan Kundera menggambarkan situasi ini dalam The Book of Laughter and Forgetting, “Pembantaian massal di Banglades dengan cepat menutupi ingatan orang terhadap invansi Rusia ke Cekoslovakia, pembunuhan di Allende menggantikan tragedi Banglades, perang di Sinai membuat orang melupakan Allende, pembantaian di Kamboja melupakan Sinai dan begitu seterusnya, hingga setiap orang membiarkan segala sesuatunya dilupakan.” Dan demikianlah yang terjadi di Indonesia pada tahuntahun bencana, 2006 hingga 2014. Bencana Nabire yang segera dilupakan ketika gempa dan tsunami mengoyak Aceh dan Nias. Dan gempa Yogyakarta mengurangi perhatian orang terhadap bencana di Aceh. Sebagian bantuan untuk Aceh juga mulai dipindahkan ke Yogyakarta. Demikian seterusnya, sampai bertahun kemudian bencana-bencana itu dilupakan dan para korban ditinggalkan begitu saja. Seperti disebut sosiolog media John H Macmanus, media telah mengekspose berbagai bentuk peristiwa becana alam seperti gempa dan banjir secara sadar dan sistematis mengikuti logika komersial. Selain kesalahan teknis dalam peliputan, media kita juga memiliki dosa masal. Dapur media tidaklah suci, banyak banyak yang telah tercemar oleh bias kepentingan. Baik kepentingan pribadi (penulis atau pemilik media), maupun lembaga (baca=perusahaan). Apalagi, hampir semua media di Indonesia dimiliki oleh perorangan, atau setidaknya oleh perusahaan, yang juga memiliki bisnis lain. Akibatnya, sejak semula, media tidak

31

pernah bisa “steril” dalam pemberitaan. Ada bias kepentingan di balik pemilihan tayangan. Contoh bias kepentingan pemilik media ini adalah pemberitaan bencana Lumpur Lapindo di media yang dimiliki oleh Grup Bakrie, yang juga menjadi memiliki PT Lapindo Brantas. Di media milik Bakrie, kebanyakan menampilkan tentang hal-hal “baik” yang telah dilakukan perusahaan tersebut kepada korban semburan lumpur: tentang ganti rugi yang mulus dan menguntungkan korban, bahkan ada tayangan yang menampilkan korban yang menyatakan, “lumpur telah membawa kemakmuran” dan “membuat kami bertambah kaya.” Mitigasi Bencana Adakah peran yang bisa dilakukan media “yang lebih baik” dalam peliputan bencana? Selain memperbaiki soal-soal mendasar seperti perbaikan SOP dalam peliputan bencana, melatih wartawan peliputnya agar siap meliput bencana, juga konsisten menataan kode etik peliputan agar tidak mengeksploitasi korban, hal yang menurut saya mendesak dilakukan adalah: meliput mitigasi bencana. Selama ini, media di Indonesia meliput bencana pascakejadian. Peliputan bencana identik dengan duka-lara, mengeksploitasi tangis dan darah korban secara berlebihan. Padahal, jurnalisme bencana seharusnya mendorong masyarakat untuk lebih bersiaga menghadapi bencana, sehingga korban bisa diminimalkan. Pertengahan tahun 2007, ketika saya meninggalkan Aceh, pertanyaan tentang kenapa negeri ini tidak bersiap menghadapi tsunami 2004 terus menghantui. Para wartawan, biasanya berbondong datang ke daerah bencana segera sesudah petaka terjadi untuk melaporkan kematian yang meruap dan duka lara yang mengiris nurani. Itulah praktik jurnalistik di negeri ini selama tahun-tahun bencana yang panjang. Kenapa tidak melaporkan bencana dalam perspektif untuk mengurangi risiko bencana? Kenapa sebelum petaka itu menerjang, sama sekali tak ada peringatan terhadap warga Aceh? Tidakkah nenek moyang kita yang telah berhuni di Nusantara ribuan tahun lamanya mewariskan kesiapsiagaan? Apakah bencana alam yang memiliki kekuatan serupa bisa terjadi di kota lain di negeri ini? Lalu bagaimana kesiapsiagaan negeri ini menghadapi bencana berikutnya? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menggelorakan semangat untuk membuat peliputan khusus perihal bencana, bukan untuk memberitakan setelah petaka lalu meratapinya, tetapi yang terpenting mendorong kesiapsiagaan untuk menghadapinya. Sejak saya susun proposalnya pada 2007, gagasan itu terealisasi pertengahan 2011 dalam bentuk Ekspedisi Cincin Api Kompas; perjalanan jurnalistrik selama satu tahun, mendaki gununggunung api, menyusuri lembah yang berimpit zona patahan dan kerap dilanda gempa, serta mengarungi lautan yang menyimpan bahaya tsunami. Sebagai perenungan akhir, saya kira, peliputan serupa Ekspedisi Cincin Api di Kompas, dengan perspektif mitigasi bencana, mungkin bisa dilakukan, terkait tema-tema bencana yang lain, seperti bencana banjir dan longsor atau bahkan bencana wabah penyakit menular? Berani menerima tantangan?

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


INFOGRAFI

32

Jika Harus Bencana Bencana alam tak bisa dicegah, ia merupakan cara alam untuk menyeimbangkan dirinya. Bencana alam juga menjadi pengingat bagi manusia bahwa dirinya tak hidup sendirian, ada gunung, tanah, binatang, air, laut, udara dan lainnya yang menemaninya hidup. Bencana alam merupakan bahasa alam, bahasa Tuhan. Manusia yang hidup berdampingan dengan alam memang mau tak mau harus menyesuaikan dirinya agar bisa bertahan hidup. Selama ini telah banyak korban nyawa dan harta melayang disebabkan manusia kurang tanggap dalam menghadapi bencana. BNPB mencatat sebanyak 185.544 jiwa korban bencana alam dalam sepuluh tahun terakhir, padahal semua itu bisa dikurangi dan dicegah dengan perencanaan dan manajemen tertentu. Pendidikan bisa menjadi salah satu alat agar manusia bisa waspada dan bisa melindungi diri ketika terjadi bencana. Baik itu melalui pendidikan formal yang dilakukan di sekolah maupun pendidikan non formal melalui komunitas masyarakat, televisi, buku, radio maupun internet. Sayangnya, di Indonesia masih kurang sekali media yang mau dan bisa mensosialisasikan mengenai cara-cara melindungi diri ketika terjadi bencana, padahal Indonesia merupakan negara dengan tingkat rawan bencana yang tinggi. Oleh karena itu Litbang Poros menyajikan langkah-langkah apa saja yang bisa dilakukan oleh masyarakat ketika terjadi bencana. Data-data yang kami himpun merupakan data sekunder bersumber dari BNPB dan penelitian yang dilakukan sebelumnya.

Ketika ERUPSI GUNUNG BERAPI 1.Update info mengenai status gunung api. 2.Hindari daerah rawan bencana seperti lereng gunung, lembah dan daerah aliran lahar. 3.Ditempat terbuka, lindungi diri dari abu letusan gunung api. 4.Jangan memakai lensa kontak. 5.Pakai masker atau kain untuk menutup mulut dan hidung. 6.Kenakan pakaian yang melindungi tubuh. seperti, baju lengan panjang, celana panjang, dan topi.

Ketika HUJAN ABU GUNUNG BERAPI 1.Tetap berada di dalam ruangan. 2. Jika berada di luar ruangan, carilah tempat. perlindungan, misal gedung maupun mobil. 3.Gunakanlah masker, sapu tangan atau pakaian. Anda untuk menutup mulut dan hidung. 4. Jika hujan abu terjadi ketika sedang di luar rumah (kantor maupun bepergian), tetaplah untuk berada di dalam ruangan sampai hujan abu reda. 5.Prioritaskan penggunaan telepon untuk telepon gawat darurat. 6.Selalu pantau informasi tentang aktivitas gunung api. 7. Jangan gunakan lensa kontak karena akan mengakibatkan kerusakan kornea. 8. Jika terdapat abu di dalam air, biarkanlah mengendap terlebih dahulu. Gunakan air yang bersih dan tidak keruh. 9. Jika ada banyak abu di tendon air, jangan gunakan air dalam tandon tersebut untuk mesin cuci maupun mesin cuci piring. Air terkontaminasi abu gunungapi dapat menyebabkan risiko kesehatan.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


INFOGRAFI

33

Ketika TSUNAMI Di sekitar pantai Terasa ada guncangan gempa bumi, air laut dekat pantai surut secara tibatiba, segeralah lari menuju ke tempat yang tinggi (perbukitan atau bangunan tinggi) sambil memberitahukan temanteman yang lain. Di dalam perahu/kapal di tengah laut Jika mendengar berita dari pantai telah terjadi tsunami, jangan mendekat ke pantai. Arahkan perahu ke laut. Jika gelombang pertama telah datang dan surut kembali, jangan segera turun ke daerah yang rendah. Biasanya gelombang berikutnya akan menerjang.

Ketika GEMPA SEBELUM GEMPA Sadar bencana- tahu resiko lingkungan- tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa. SAAT GEMPA Tetap tenang, cari tempat aman untuk berlindung- di bawah mejapada sudut ruangan- hindari dekat kaca. Berlindung hingga gempa selesai. SETELAH GEMPA Keluar dari gedung- tetap tenang dan berhati hati- lindungi kepalatidak menggunakan lift. Berkumpul di titik/lokasi kumpul yang telah ditentukan. Di dalam rumah Masuklah ke bawah meja untuk melindungi tubuh dari jatuhan benda-benda. Jika tidak memiliki meja, lindungi kepala dengan bantal. Jika sedang menyalakan kompor, maka matikan segera untuk mencegah terjadinya kebakaran. Di sekolah Berlindunglah di bawah kolong meja, jika gempa mereda keluarlah berurutan carilah tempat lapang, jangan berdiri dekat gedung, tiang dan pohon. Di dalam mobil Saat terjadi gempa bumi besar jauhi persimpangan, pinggirkan mobil di kiri jalan dan berhentilah. Hentikan mobil di tempat terbuka. Ikuti instruksi dari radio mobil. Jika harus mengungsi maka keluarlah dengan segera dari mobil. Di dalam lift Jangan menggunakan lift saat terjadi gempa bumi atau kebakaran. Jika terjebak dalam lift, hubungi manajer gedung dengan menggunakan interphone jika tersedia.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


Siaga selalu terhadap Bencana! Iklan Mencoba Mengingatkan Masyarakat

34

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


LAPORAN KHUSUS

TVRI

35

Foto: Somad

Dalam Derasnya Arus Zaman MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


36 Laporan Khusus

Ilustrasi: Ginanjar

Kursi untuk Penyiaran Publik Oleh: Evelin Kristanti

Mulai dari statusnya sebagai yayasan hingga saat ini tercatat sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI masih terseok-seok menjalankan perannya untuk kepentingan publik.

A

tas dasar keinginan pemerintah Indonesia membangun stasiun televisi di Jakarta pada 1961, tepatnya saat penyelanggaraan ASIAN GAMES, maka terbentuklah sembilan kepanitiaan yang diketuai oleh R. M. Soenarto pada 23 oktober 1961. Keputusan akhir yang di ambil mengenai pendirian stasiun televisi sekaligus digunakan pula peralatan dari Nippon Electronica Corporation (NEC) Jepang. Siaran pertama sekaligus siaran percobaan dilakukan pada 17 Agustus 1962 berupa siaran upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Kemudian disusul penayangan pembukaan ASIAN GAMES IV, lalu penyiaran teratur dengan nama Biro Radio dan Television

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Organizing Committee ASIAN GAMES IV pada 24 Agustus 1962, sekaligus sebagai hari jadinya Televisi Republik Indonesia (TVRI). Melalui Kepres RI No. 215 tahun 1963 dibentuklah yayasan tersendiri dengan nama Yayasan Televisi Republik Indonesia. Penyesuaian pada tahun 1968 dilantik Direktorat Jendral Radio, Televisi dan Film Departemen Penerangan RI. Perluasan jangkauan TVRI terus ditingkatkan guna menggali, mengangkat serta mengembangkan potensi dari suatu daerah. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mendirikan stasiun penyiaran daerah di beberapa wilayah di Indonesia dalam kurun waktu 1962-1999, yakni TVRI Jakarta (1962), TVRI Yogyakarta (1965), TVRI Medan (1970), TVRI Ujung Pandang (1972), TVRI Banda Aceh (1973), TVRI Palembang (1974),


Laporan Khusus

TVRI Denpasar (1978), TVRI Surabaya (1978), TVRI Manado (1978), TVRI Bandung (1987), TVRI Samarinda (1993), TVRI Ambon (1993), TVRI Semarang (1996), dan TVRI Padang (1997). Selanjutnya dengan adanya pemekaran wilayah di beberapa propinsi di In donesia, maka saat ini jumlah Stasiun TVRI di Indonesia mencapai 27 stasiun.

angkan potensi lokal sebagai TV daerah karena potensi daerah yang terus dipertahankan dan dikembangkan. Seperti, kerajinan industri rumah batik, wayang kulit, tas, tempat wisata, museum dll. “Kami adalah TV lokal, maka kami untuk menumbuhkan rasa cinta pada publik sebagai pemilik budaya melalui siaran lokal,” ungkap Anang.

Entah apa yang membuat masyarakat Indonesia kini menjadi tidak lagi memindah channel TV-nya ke stasiun TV tertua ini. Ada satu ciri yang hingga kini tidak pernah TVRI tinggalkan, acara budaya ketoprak masih saja seperti itu, di tengah acara lomba nyanyi dan lomba joged. Masih dengan jelas sejarah mencatat ketidakonsistenan statusnya yang membuat media publik ini semakin terpuruk. Mulai dari statusnya Yayasan TVRI pada 1962, hingga menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) sejak 2006-sekarang.

Sambil terus tersenyum, Anang meneruskan percakapannya mengenai ingatannya terhadap status TVRI. Anang mengakui saat TVRI di posisi terpuruk sangat tidak mungkin mengejar TV swasta. Lagi-lagi anggaran menjadi harga mati. “Kami tidak mungkin mengajukan alat, peremajaan SDM, atau pun meminta paket acara yang berkualitas dan menarik, ini lah yang semakin membuat terpuruk,” tuturnya.

Meski menayangkan acara yang mengandung unsur pendidikan, budaya, dan wisata, televisi milik rakyat ini tetap dalam posisi terpuruk di antara gencarnya televisi swasta. “Saya tidak punya duit, siapa yang punya duit? Kami ini tidak bisa membiayai paket acara yang bagus,” ungkap Anang Wiharyanto selaku Humas stasiun TVRI Yogyakarta, saat Poros bertemu dengannya di ruang Humas sore itu. Tentunya televisi swasta memiliki modal lebih besar untuk menayangkan paket acara menyenangkan. Sayangnya, acara yang mendidik masih saja kurang diminati publik sebagai pemiliknya. Saat Poros mengunjungi stasiun lokal TVRI yang berada di Jalan Magelang Yogyakarta, kami berbincang banyak dengan Anang Wiharyanto. Dengan tutur katanya yang halus ia mulai membongkar realitas TVRI kini. Sambil tersenyum ia menyatakan bahwa TVRI DIY adalah stasiun televisi lokal yang menayangkan potensi lokal yang dapat membangun rasa cinta publik terhadap budayanya. “Fungsi TV lokal mengangkat potensi lokal agar kemudian tumbuh rasa cinta, mempertahankan, juga eksistensi, dan melestarikan,” ujarnya lirih. Salah satu alasan TVRI terus menay-

Masa Keterpurukan TVRI Anang menumpahkan ingatannya saat ia bersama rekan-rekannya mengalami masa-masa keterpurukan itu. Di awal masa berdirinya tahun 1962 TVRI berstatus yayasan. Perubahan terjadi pada tahun 1975 dimana TVRI di bawah Direktorat Departemen Penerangan. Sejak saat itu TVRI memiliki status ganda hingga tahun 1999. Kemudian Presiden Abdurahman Wahid menandatangani pembubaran Departemen Penerangan yang terjadi pada 16 oktober 1999, melalui Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 2000, TVRI resmi menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Pembubaran ini lah yang dimaksudkan sebagai awal keterpurukan. Pembubaran itu diakui Anang mengakibatkan TVRI tidak lagi memiliki induk organisasi. Dalam kelembagaan TVRI Induk organisasi berfungsi dalam proses perencanaan anggaran. “Kalau saya mau memberikan usul, ya tidak bisa karena mentrinya sudah bubar, saya mau minta dana ke siapa?“ tanya Anang dengan nada suara meninggi. Kemudian pada pemerintahan Megawati melalui PP No. 9 Tahun 2002, tertanggal 17 April 2002 TVRI diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Dengan beralihnya TVRI menjadi PT berarti

struktur organisasinya secara otomatis mengalami perubahan dengan menyesuaikan prinsip-prinsip operasional sebuah perusahan. Anang meneruskan ceritanya saat perubahan menjadi PT, TVRI telah mengusulkan agar tidak dirubah menjadi PT dengan alasan rumitnya perubahan prinsip operasional organisasi tersebut. “Tidak mungkin kalau kita mau jadi PT, karena budaya kita sudah susah, nanti nek ngatur piye pegawai negeri yang karyawan PT terus gajinya gimana, sangat rumit sekali,” tuturnya secara jelas seolah masih mengingat peristiwa itu. Ia melanjutkan dan menyatakan setelah statusnya berubah menjadi PT, TVRI tetap tidak bisa berjalan maksimal. “Jalan kita ya masih sesuai teknis dari Deppen, dari (aturan-red) Perjan itu meskipun banyak aturan kita tetep tidak bisa aplikasikan,” tegasnya. Kebijakan pemerintahan Megawati Soekarno Putri untuk menjadikan TVRI menjadi PT ternyata menjadi kebijakan yang gagal, “Megawati waktu itu mungkin pikirannya sama kayak saya,” kata Anang. Saat itu Presiden berniat mengkormersilkan TVRI, karena akses yang dimiliki mencapai ke penjuru Indonesia. Di sisi lain pemerintah tidak mempertimbangkan posisi TVRI di mata publik. “Aset kita sudah pada remuk, TVRI sudah jarang orang yang mau nonton,” ungkap Anang sambil menunjuk TV berukuran 29 inc yang menayangkan program TVRI. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002 yang menempatkan TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Sejak tanggal 24 Agustus 2006 telah ditetapkan Jajaran Direksi LPP oleh Dewan Pengawas LPP TVRI. Dalam aturan tersebut didalamnya membahas seluruh peraturan isi konten penyiaran, hingga ulasan mengenai pendanaan. Seakan tidak ingin lagi mengalami gagal kebijakan, LPP menjadi salah satu usaha membangun kembali citra baik TVRI di mata publik. Anang mengungkapkan bahwa kini TVRI ingin memperbaiki dan memperkenalkan kembali citra TVRI, “Citra kita sudah terlanjur jatuh, un-

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

37


38 Laporan Khusus

Kursi Keberpihakan Tidak dapat dipungkiri, ketidaktegasan TVRI saat Orde Baru membuat TVRI

“Sebenarnya kita ingin mengamankan sistem pemerintahan agar tidak rusak,” ungkap Anang lagi. Ia menganggap masyarakat Indonesia belum siap menerima kenyataan pemerintahan yang sebena-

Citra kita sudah terlanjur jatuh, untuk membangun kembali memang sangat sulit -Anang Wiharyanto

terkungkung oleh pemerintahan. Saat itu TVRI adalah unit pelaksana teknis di bawahi oleh Deppen, Anang kembali memaparkan bahwa masa orba terdapat kepentingan Deppen terhadap TVRI. Tak hanya itu, kepentingan internal pun terjadi sehingga menunjukan TVRI terlihat tidak independen. Ketidakindependenan ini lah yang dimanfaatkan Deppen sebagai alat propaganda. Dikatakan Anang, bahwa TVRI sebenarnya telah berhasil dengan angka rating tertinggi, “Wong stasiun televisi satu-satunya cuma TVRI, ya jelas yang nonton banyak,” ujarnya. Sambil mengecilkan volume suara TV di ruangannya itu Anang kembali melanjutkan dengan tenang, ia mengatakan TVRI Jogja tidak lah terlalu memihak kepada pemerintah. TVRI hanya ingin menghadirkan motivasi melalui informasi yang baik, sebaliknya Anang menyatakan bahwa hal-hal yang buruk justru akan memprovokasi publik.

tuk membangun kembali memang sangat sulit,” ungkapnya sambil tersenyum.

rnya. Ini alasan TVRI menayangkan informasi pemerintahan yang positif saja.

Anang menegaskan kembali bahwa TVRI hanya sekedar memotivasi bukan sebagai alat provokasi. Di sisi lain keterbatasan dana lagi-lagi menjadi masalah utama bagi TVRI, Anang menjelaskan dana dari APBD tidak mencukupi sehingga TVRI membuka pintu bagi partai untuk beriklan. Sambil tersenyum Anang menjelaskan bahwa sudah jarang ada yang ingin memasang iklan di TVRI. “Kebetulan saja ada satu partai yang mengajukan saat itu, sehingga kami dianggap tidak independen,” jelasnya kepada Poros saat disinggung mengenai independensi TVRI. Dalam penelitian yang pernah dilakukan Taufik, salah satu mahasiswa Universitas Indonesia (UI) tentang TVRI masa Orde Baru yang diarahkan pada peran TVRI dalam pendidikan politik rakyat. Dengan menganalisis penayangan pi-

dato kampanye Pemilu masa Orde Baru melalui TVRI, menjelaskan bahwa pada masa Orde Baru TVRI tidak menunjukkan fungsinya dalam pendidikan politik. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Orde Baru menerapkan sistem pers otoritarian. Dalam sistem ini Pemerintah dengan kekuasaannya dapat membuat aturan kultural yang ketat dengan cara melarang opini yang tidak sejalan dengan negara, media massa harus dibawah kontrol negara. Pemerintah Orde Baru telah mengorganisir TVRI untuk mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah, serta menjadikan TVRI sebagai abdi negara. Peran TVRI sebagai pendukung dan abdi negara ditampilkan dengan jelas pada pemilu Orde Baru, yaitu Pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997, diantaranya dengan dibuatnya aturan yang membatasi pidato kampanye Pemilu di TVRI dalam kurun waktu yang relatif singkat dan adanya sensor dari pemerintah. Kemenangan Golkar sebagai partai pemerintah sebenarnya telah dapat diperkirakan, namun menjadikan TVRI sebagai alat propaganda pemerintah untuk mempertahankan status quo adalah harga yang harus dibayar mahal. Munculnya sikap tidak percaya dari OPP non Golkar dan masyarakat terhadap TVRI dari Pemerintah adalah buktinya. *Evelin, Labina

Untuk usaha yang lebih baik pasang iklan anda di media Poros Selengkapnya Hubungi 085643878343 | poros_uad@yahoo.com |@PorosUAD

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


39

Salah satu acara TVRI Nasional ialah ‘Indonesia Siang’. Acara tersebut menyajikan berita-berita. | Nabil

Meniti Harapan Pada TVRI

T

Oleh: Azkya Jamila

elevisi merupakan fasilitas yang menjadi sumber informasi bagi masyarakat. Televisi pun menjadi ibu kedua bagi remaja dan publik yang menyaksikannya. Menyadari televisi adalah sarana yang menjadi kebutuhan publik maka televisi memiliki peraturan berdasarkan undang-undang no 32 tahun 2002 yang menekankan televisi bersifat independen, mendidik (edukatif) dan menghibur (entertaint). Akhir–akhir ini televisi banyak memberikan tayangan yang bersifat menghibur seperti tayangan live music berdurasi panjang, juga tayangan sinetron yang berantai episodenya dengan tujuan menghibur namun terkikis dari nilai pendidikan. “Acara TV itu memuakkan,” ungkap Siti Jenar, warga Kelurahan Warungboto yang resah dengan siaran televisi saat ini. Kemudian ia meneruskan, “Yang dijual itu gak bermutu. Semua harus menguntungkan kapitalis, harus menguntungkan pemodal. Itu dari segi bisnis ya, dari segi moral, tidak mendidik sama sekali. Dari segi budaya, generasi Indonesia itu dijauhkan dari budayanya,

jadi anak-anakmu nanti gak akan kenal dengan kebudayaan Indonesia.” Pendapat Siti Jenar tak berbeda dengan Rahmat Muhajir, Dekan Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan. “Tayangan-tayangan yang bersifat nasionalis sudah jarang ditayangkan. Seolah-olah Negara Indonesia sudah tidak jelas identitasnya,”ujar Rahmat saat ditemui di ruangan kerjanya. Indonesia seperti dihadapkan dengan krisis nasionalisme. Dibuktikan dari tayangan televisi masa kini yang sering mengadopsi acara show dari luar negeri, mempromosikan hal–hal yang bersifat komersil, menayangkan hiburan tanpa batasan yang tidak menjamin mutu pendidikan.

Efek Tayangan Televisi Menjelaskan sifat televisi masa kini, Iswandi Syahputra mantan komesioner KPI, menyatakan bahwa acara TV pada saat ini secara umum tidak mendidik, mencerahkan dan

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


40 Laporan Khusus

Zamroni mengungkapkan bahwa anak–anak sangat rentan terhadap imitasi program acara televisi. Anak–anak mudah meniru apa yang ia lihat setiap hari. Ketika anak–anak dihadapkan dengan tayangan yang berbau kekerasan secara tidak langsung akan mempengaruhi sikap anak–anak yang jiwanya tergolong imitatif. Tak hanya anak-anak saja yang bisa terkena dampak negatif televisi, orang dewasa pun tak terlewatkan. Zamroni menjelaskan bahwa efek infotainment yang banyak mengeksplor permasalahan rumah tangga para selebritis seperti perselingkuhan, perceraian, perzinahan, pernikahan dini menjadi bumerang buat masyarakat. “Makanya angka pernikahan dini jadi sangat besar angka perceraian juga sangat besar,” ungkapnya prihatin. Jika merujuk pada undang undang tentang penyiaran tahun 2002, televisi saat ini sebenarnya sudah keluar jalur dari penetapan undang undang negara, baik dari segi tayangan maupun nilainya. Bagi negara yang terbilang demokratis, saat ini televisi tergolong tidak sehat dari segi penayangan. “Tidak melanggar, namun menjadi tidak sehat,” ungkap Rahmad Muhajir, “Menjadi tidak sehat karena setiap televisi memihak satu sama lain.” Masyarakat seharusnya bisa mengidentifikasi mana tayangan yang dibutuhkan atau hanya sekedar tayangan yang menawarkan hiburan dengan efek negatif. Masyarakat sebenarnya bisa melaporkan tayangan televisi yang mengikis nilai pendidikan kepada KPI, sayangnya tak semua publik bisa menilai. “Tidak semua publik hidup secara sehat dan bisa mengkritisi televisi. Negara juga harus menga-

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

tur, karena publik terlalu lemah,” ungkap Iswandi. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih aktif melindungi publik dari

dulu lagi, kalo sekarang sudah out of date (basi-red).” Salah satu warga pemilik parabola, Winda Widiyaningrum juga men-

Sekarang yang menjadi tumpuan akhir buat publik adalah sebenarnya TVRI -Zamroni

siaran yang tak mendidik.

TVRI sebagai Alternatif Menyikapi tayangan televisi masa kini yang meleburkan rasa nasionalisme pada Indonesia, TVRI memiliki andil dalam mengemas kembali tayangan yang menarik perhatian publik dengan tidak melepas identitas indonesia. TVRI menjadi satu–satunya lembaga yang wajib memberikan tayangan sesuai kebutuhan publik, karena status TVRI adalah Lembaga Penyiaran Publik artinya TVRI milik publik. Idealnya memang televisi publik harus lebih mengutamakan kepentingan publik dari pada kepentingan pemerintah ataupun bisnis. “TVRI itu masih ditopang oleh supporting pendanaan APBN termasuk SDM nya dari PNS, artinya TVRI tidak boleh dikomersialkan mereka boleh mengambil iklan tapi dibatasi hanya maksimal 15% dari total siaran tiap harinya,” ungkap Zamroni. Harusnya TVRI menjadi media informasi pilihan publik pertama sebelum media televisi swasta menjadi penyebar tayangan komersil dan budaya asing sehingga masyarakat melepas identitas indonesia tersendiri. “Sekarang yang menjadi tumpuan akhir buat publik sebenarnya TVRI” lanjutnya. Namun, hari ini masyarakat menganggap TVRI sebagai media yang dianggap kurang menarik dan monoton. Aris Akbar Jaya, seorang mahasiswa UAD mengutarakan “TVRI beda, tidak seperti

demokratis. Muhamad Zamroni, dosen Komunikasi Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga menerangkan bahwa, hal yang telah disebutkan Iswandi akan memberikan efek yang luar biasa kepada publik, baik secara afektif, kognitif maupun psikomotorik.

gatakan “TVRI tidak interest (menarikred), garing.” Meskipun begitu mereka tetap memiliki harapan kepada TVRI. Aris mengharapkan TVRI bisa menjadi salah satu siaran unggulan, sehingga masyarakat tak harus pindah kepercayaan kepada televisi swasta. “Harapan saya TVRI seperti yang dulu, tetap pada style nya sendiri” tambah Aris. Winda pun menginginkan TVRI menjadi televisi yang menayangkan acara beragam dan tidak terlepas dari amanah undang-undang negara. Sebenarnya Zamroni yakin, TVRI bisa tetap menjadi pilihan hati publik, namun ada syaratnya. Syarat itu pertama adalah penguatan infrastruktur. Penguatan infrastruktur menjadi sangat penting, agar semua masyarakat Indonesia bisa menonton TVRI. Zamroni dengan nada prihatin mengatakan bahwa masyarakat perbatasan tak bisa menonton TVRI karena frekuensinya tak sampai, “Di perbatasan masyarakat menonton program dari negara tetangga. (Ini-red) bisa meruntuhkan nasionalisme” tegasnya. Selain penguatan infratruktur, penambahan biaya produksi dan SDM yang kreatif juga menjadi hal yang harus diperhatikan agar TVRI tetap eksis. *Azkya, Usi


41

Masduki saat aksi Save Public Rights di depan gedung DPR. | Dok. Pribadi

Memulai RTRI Oleh: Irma Restyana

P

ersaingan antar media untuk melahirkan siaran dengan rating tinggi tak dapat dipungkiri. Tak terkecuali dengan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang harus ekstra bekerja untuk dapat mempertahankan keberadaannya di tengah polemik yang terjadi di internal lembaga. Akan tetapi, keadaan TVRI-RRI saat ini tidak memungkinkan untuk membawa LPP menjadi benar-benar milik bersama. Kisruh internal, manajemen yang kurang berkembang, membuat lembaga ini harus terseok-seok untuk mempertahankan keberadaannya. Bersama rekan-rekan yang tergabung dalam Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP) yang didirikan 2013 silam, Masduki berupaya membangun kembali sistem penyiaran Indonesia menjadi sebuah sistem penyiaran demokratis dengan mengedepankan prinsip independen, netral, mandiri, imparsial

dan tidak berorientasi kepentingan. Berikut petikan wawancara Poros dengan Masduki yang di temui saat Rumah Perubahan sedang melakukan workshop di Hotel Colombo, akhir Juni kemarin. Script wawancara ini mengalami proses edit tanpa mengurangi substansi pesan yang ingin disampaikan.

Bagaimana pandangan Anda mengenai keadaan TVRI dan RRI saat ini? Jadi ada dua hal, pertama RRI dan TVRI itu sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP-red), yang sudah mendapat perlindungan hukum. Secara hukum sudah diproteksi melalui UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. LPP dibutuhkan oleh negara dengan sistem demokrasi seperti Indonesia. Jika kita berkaca di Inggris yang sudah maju demokrasinya atau

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


42 Laporan Khusus

Eropa misalnya, LPP-nya paling dominan dibanding lembaga swasta. TV atau radio swasta itu lebih sedikit jumlah maupun penetrasinya. LPP seharusnya memberi ruang bagi semua orang untuk berekspresi. Dalam demokrasi hak berekspresi milik semua orang dan itu harus difasilitasi oleh media publik.

Lalu yang kedua? Kedua, masalah ada pada proses transformasinya. Sejak tahun 2002 sampai sekarang perubahan itu berjalan sangat lambat. Di lingkungan profesional, SDM nya masih berkembang pemikiran lama. Karena ini milik pemerintah, jadi apa apa harus diberitakan, lalu kata pemerintah ini masih ada di kepala broadcaster-nya. Selain itu manajemennya ini juga masih birokrastis, RRI dan TVRI dikelola sama seperti kementerian atau seperti dinas bukan seperti lembaga penyiaran. Padahal beda sekali manajemen birokrasi lembaga pemerintah dengan lembaga penyiaran publik. Memang orang bilang hal ini seperti api dan air, susah disatukan. Selama ini LPP berorientasi pada sistem yang birokratis yang SDM bekerja dengan pendekatan adminitratif. Selain itu pola keuangan negara kita yang sangat sentralisitik dengan orientasi pada report dan bukanlah proses. Sehingga kita sekarang melihat perubahannya berjalan lamban dan campur tangan pemerintah masih kuat sekali. DPR ataupun Kominfo (Kementerian Informasi dan Komunikasi -red), campur tangan dan intervensinya masih luar biasa sampai sekarang.

Bagaimana sistem ideal yang seharusnya dimiliki Lembaga Penyiaran Publik? Pertama LPP harus berazaskan pada prinsip sebagaimana penyiaran pada umumnya yaitu, profesionalisme, independen, SDM bekerja dengan berorientasi kualitas, badgeting dan disemua aspek. Kita bermimpi bisa seperti BBC di

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Inggris, di Australia atau seperti di Thailand TPB. Jadi tekhnologi maju, orang yang bekerja didalamnya berorientasi profesional, independen serta lembaganya kuat secara hukum.

Selama ini sudah ada UU No. 32 tahun 2002 yang menjadi landasan hukum penyiaran. Lalu, saat ini DPR sedang menggodog rancangan UU RTRI (Radio Televisi Republik Indonesia-red), apa saja point penting dalam RUU RTRI? Kita mencoba untuk mengintrodusir standar untuk tata kelola yang baru. Pertama ialah upaya penggabungan dua lembaga, TVRI dan RRI dijadikan satu namanya RTRI (Radio televisi republik Indonesia). Setelah digabung kita lakukan proses restrukturisasi, dari pucuk sampai bawah dilakukan restructuring. Undang-undang bahasa sederhananya akan memberikan payung hukum bagi perubahan sistem, dari kelembagaan RRI dan TVRI. Karena, UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran tidak cukup memberikan payung untuk perubahan atau transformasi RRI-TVRI. Kalau disahkan (RUU RTRI-red) akan dijadikan payung hukum untuk perubahan tata kelola, dari lembaga birokratis menjadi institusi media nasional. Ada banyak kontennya di rancangan undang-undang itu. Salah satu contohnya soal akses publik yang tinggi, jadi setiap profesional bisa gabung, tak harus karir dari bawah tidak harus orang RRI TVRI yang bisa menjadi kepala stasiun sampai direktur. Orang luar bisa bergabung karena ini (TVRI dan RRIred) milik publik. Selain itu harapannya akan ada sistem pengendalian SDM yang otonom, tidak ada aturan atau UU lain yang akan menghambat untuk reward dan punishment-nya. Jadi ada lima aspek utama yaitu, struktur lembaga, SDM, keuangan, program dan infrastruktur. Kelima pilar tersebut yang akan dikelola.

Awal tahun 2013 dibentuk Rumah

perubahan, bagaimana aktivitas Rumah Perubahan dalam mendukung transformasi LPP? Ini inisatif dari masyarakat. Rumah perubahan merupakan tempat dimana orang bisa bergabung dan berkumpul. Disana kita mengelola gagasan-gagasan untuk kemudian dikanalkan dalam draf dan usulan masyarakat terkait RUU RTRI. Kemudian kita akan mengadvokasi hingga RUU itu bisa disahkan.

Kegiatan apa yang sudah dilaksanakan di Rumah Perubahan? Seperti hari ini kita mengadakan workshop, ini salah satu bagian dari aktivitas Rumah Perubahan. Rumah Perubahan mengadakan kajian akademik dan drafting RUU. Di luar itu kita melakukan kampanye publik ke kampus, mengumpulkan satu juta tanda tangan untuk pengesahan RUU RTRI. Saat ini kita baru mengumpulkan sekitar 1500 tanda tangan. Kegiatan lainnya yaitu lobby-lobby ke parlemen.

Kapan target RUU RTRI disahkan? Saat ini keliatannya DPR lagi sibuk pilpres, kita tidak tahu kapan bisa disahkan. Kita berharap bisa disahkan bulan Agustus, itu target ya. Kita sebagai anggota masyarakat hanya bisa mengadvokasi, tidak bisa memastikan karena kendali ada di anggota DPR, jadi kita hanya bisa berharap.


43

Beberapa siswa Sekolah Menengah Atas sedang melakukan kunjungan ke Gedung TVRI Jogja

Somad

Lembaga Penyiaran Publik, Riwayatmu Kini Oleh: Raden Nurul F

B

Penyiaran publik nyaris dilupakan.

anjir media informasi membuat berbagai media bersaing mendapatkan pilihan di hati pemirsanya, media penyiaran khususnya. Media yang biasanya kita dengar dan saksikan setiap harinya. Radio dan televisi menyajikan berbagai jenis program acara yang bisa dinikmati para pemirsa setianya. Namun siapa sangka, TVRI dan RRI yang dulu menjadi pilihan pertama masyarakat secara umum pun nasibnya kini nyaris dilupakan. Menjamurnya televisi dan radio swasta dengan berbagai program hiburan yang menggiurkan masyarakat menjadi salah satu alasan mengapa Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI) dilupakan oleh pecintanya dulu. Minat masyarakat terhadap TVRI dan RRI tak lagi seperti dulu, program acara yang menjenuhkan, bahasa terlalu formal serta gambar yang resolusinya membuat ngantuk, inilah alasan masyarakat beralasan untuk tidak menyaksikan dan mendengarkan frekuensi milik publik tersebut. Melihat kenyataan seperti itu, wajar ketika akhirnya masyarakat beralih ke Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dalam hal ini televisi dan radio. Diungkapkan oleh Noviasih warga asal Srandakan Bantul, bahwasannya siaran TVRI tidak tertangkap oleh antena televisi dirumahnya. “Kayak’e antena di rumah kurang tinggi, TVRI ndak ke tangkap di tivi ku,” jelasnya

ketika poros tanya kapan terakhir nonton TVRI. “Gambarnya buram, jadi tak tertarik untuk dilihat. Mungkin kameranya kurang mahal” tambah Noviasih setelah beberapa hari yang lalu tak sengaja melihat tetangganya sedang menyaksikan tayangan di TVRI. Di wilayah ini RRI pun mengalami nasib yang sama dengan TVRI, ternyata hanya ada beberapa radio yang tertangkap jernih, yaitu Retjho Buntung, Iradio dan Yasika. Dimana ketiganya adalah radio swasta lokal Jogja. Ditemui di tempat yang sama seusai Ujian Akhir Semester (UAS), Agung Dwi Ratna Kristanto mengatakan ketika ia menonton TVRI bukanlah dari kesengajaan melainkan karena tak ada lagi tontonan yang menurutnya asyik disaat itu. Program yang biasa ditonton adalah berita dan ketoprak. “Ngga sengaja (menonton TVRI-red), tapi kebetulan nemunya itu yaudah,” jawabnya ketika ditanya kenapa hanya dua program itu saja yang dilihat. “Kadang suka niat nonton, tapi kalo ada event budaya yang akan tayang,” tambahnya. Untuk RRI, Agung mengatakan bahwa dalam waktu belakangan ini sama sekali tak pernah mendengarkannya. “Ga asyik, terlalu formal, kebanyakan iklannya,” komentarnya. “Lebih sering dengerin JIZ.FM sama Kota Perak. Satu hari full musik terus, penyiarnya juga seru,” tambahnya.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


44 Laporan Khusus

Ditemui di tempat yang berbeda, Mbah Prawiro yang kala itu sedang menjaga mesjidnya dari orang-orang yang tak peduli dengan kebersihan tembok mengungkapkan bahwa sekitar tahun 40-an sering menonton program acara ketoprak di TVRI. Ada beberapa pemain yang bagus. Dengan semangatnya, Mbah Prawiro menceritakan keasyikannya menonton program acara tersebut. Menurut penuturannya, ketoprak itu menghibur, kalau dalam bahasa Jawa sebutannya dagelan. “Sing penting nggawe ngguyu penonton,” ucapnya. Tak hanya ketoprak yang diingat Mbah Prawiro, dulu selalu ada ibingibingan disetiap kali usai pementasan Ibing-ibingan merupakan tarian yang dimainkan oleh laki-laki dan perempuan dengan menggunakan slendang. “Biyen jenenge ibing-ibingan, nek saiki ki jenenge dansa, lanang karo wedok jogedjoged nganggo slendang,” tutur Mbah Prawiro pada Poros. Ditanya tentang RRI, dulu beliau tidak pernah ketinggalan mendengarkan program acara malam Senin sama malam Kamis. “Meski kadang radio suka dimatiin sama mbah putri, karena sudah malam,” keluhnya dengan nada rendah. “Kalo lagi nonton berita di televisi pun sama, masih tetep kalah sama mbah putri yang lebih seneng sama sinetron,” tambahnya. Saat ditemui seusai menjadi pengawas Ujian Akhir Semester (UAS) Najih Farihanto selaku dosen Ilmu Komunikasi pada Poros ia mengatakan bahwa TVRI kini dan dulu sangatlah berbeda. Ketika dulu dinanti, sekarang seolah tak berarti. Sebagai salah satu orang yang pernah mengalami majunya TVRI pada masanya, diselingi dengan tawa ia mengatakan itu sudah belasan tahun yang lalu. Sembari nostalgia, ia menunjukan beberapa video acara favoritnya dulu di akun Youtube. Salah satunya adalah program acara yang selalu ia tunggu disetiap hari Minggu, yaitu Album Minggu. Sebuah program yang menayangkan video klip lagu-lagu hits saat itu. “Kalo sekarang sih acara itu kaya Inbox atau Dahsyat gitu. Tapi acaranya indoor,” jelasnya dengan video yang masih terputar di gadget hitam miliknya. “Kalo ibuku dulu sering banget

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

nonton Primaraga, semacam acara senam kebugaran tiap Minggu pagi pembawa acaranya Berthy Tilarso,” kenangnya. “Dulu itu TVRI gak ada iklannya,” jawabnya ketika ditanyai perbedaan TVRI dulu dan sekarang. TVRI dulu tidak untuk komersil dan tak boleh menayangkan iklan, akhirnya iklan tersebut dikemas dalam sebuah program acara yang berhasil membuat audiensinya tak sekonsumtif sekarang ini. Mana Suka Siaran Niaga itulah nama acaranya. Diawal, audien diwanti-wanti dengan berbagai quote yang menjadi bumper in dalam acara tersebut. Quote-nya antara lain: 1. Teliti sebelum membeli 2. Makin banyak yang ditawarkan, makin hati-hati dalam pengeluaran 3. Yang memikat belum tentu bermanfaat 4. Belilah yang diperlukan sebatas kemampuan “Pada saat itu bener-bener tidak konsumtif seperti sekarang. Uses and Gratifications sangat terimplementasi banget disini. Kita memilih sesuai dengan kebutuhan,” bandingnya. Selain itu, dulu adalah masa-masa dimana TVRI dinanti oleh banyak orang, karena saat itu hanya ada beberapa stasiun televisi yang bersiaran. Ditambah dengan orangorang tertentu saja yang punya televisi. Ramai-ramai orang datang ke rumah salah satu warga, hanya untuk menonton televisi padahal kualitas gambar masih rendah karena tak berwarna seperti saat ini. “Aku masih mengalami tv hitam putih. Ada acara cerdas cermat yang mana yang nonton banyak banget,” paparnya dengan semangat. Menurut Najih Farihanto, dulu itu TVRI tidak ada saingannya. Lagi pula media televisi pada masa Orde Baru sangat dibatasi dalam hal kebebasan jurnalistiknya. Dimana pada saat jam 9 malam, semua TV swasta harus menayangkan Dunia Dalam Berita, jadi semuanya sama. TV swasta saat itu hanya ada RCTI, SCTV dan TPI. Kreatifitas pun dibatasi. Pada saat itu normatif, berita yang diangkat hanya yang bernilai positif bukan yang menimbulkan konflik. Industri kreatif dan teknologi belum

begitu maju seperti sekarang. Perbedaan yang lain bahwa TVRI punya aturan khusus, ada batasan sehingga tidak bisa menyaingi televisi swasta. TVRI terbatas karena punya negara, bertahan pun karena itu. “Harapannya, tetap seperti itu karena kita pun butuh alternatif juga. Tapi TVRI bisa menjadi media alternatif ditengah banjir informasi sekarang ini,” jelasnya. “Lagi pula saat ini masyarakat pun blunder dengan omongannya, ketika rindu akan tayangan edukasi di televisi disuruh nonton TVRI ya pada nggak mau,” ungkapnya. Ketika banyak saran untuk bersaing dengan televisi dan radio swasta, identitas serta ciri khas media harus dipegang teguh. Banyak cara untuk bersaing, salah satunya lewat program acara yang disajikan. Bisa saja mengadopsi ide dari televisi swasta, namun ciri khas LPP harus dipertahankan. “Ada juga program yang khusus, sebut saja Pangkur Jenggling sebuah acara yang Jogja banget, tapi sometime dia bisa meniru atau setidaknya mengadopsi ide-ide tayangan yang digemari di tv swasta seperti OVJ (Opera Van Java-red) misalnya,” sarannya. Tak hanya pada TVRI, ada banyak harapan juga untuk RRI yang kelak bisa menambah minat masyarakat untuk mendengarkan kembali. Diantaranya: bahasa yang digunakan jangan terlalu formal. “Menggunakan bahasa jawa sehari-hari nampaknya lebih asyik,” saran Najih Farihanto terhadap RRI. Program acaranya dikemas semenarik mungkin, “Jangan hanya iklan saja yang dibanyakin,” ujar Agung Dwi Ratna Kristanto. Permasalahan akan terus ada tanpa penyelesaian ketika kita bertahan tanpa adanya perubahan. Sama halnya dengan LPP riwayatnya dulu begitu indah. Tapi ketika televisi serta radio swasta menggiurkan hingga membuat terlena dengan hiburan yang disediakan, apa kita melupakan hingga akhirnya meninggalkan? Mari lanjutkan riwayat indah itu, jangan biarkan berhenti sampai disini.


Perspektif

TVRI MASIH BISA Oleh : M.Suparwoto

Mantan pegawai TVRI Yogya, sekarang aktif mengajar sebagai dosen

Televisi Republik Indonesia (TVRI) adalah Stasiun Penyiaran tertua di Indonesia yang mengudara sejak tahun 1962. Kini TVRI sudah berumur 52 tahun. Kejayaannya memang pernah dirasakan selama kurang lebih 27 tahun namun hal ini bukanlah yang istimewa. Alasan kejayaan itu karena pada masa itu hanya layar TVRI saja yang hadir di masyarakat. Kejayaan tersebut mulai sirna setelah bermunculannya lembaga penyiaran televisi baru, saat itu RCTI di tahun 1987 dan SCTV di tahun 1990, maka masyarakat memiliki alternatif pilihan. Semenjak saat itu perhatian masyarakat terhadap tayangan program tidak hanya pada TVRI saja. Apalagi setelah di tahun-tahun berikutnya bermunculan stasiun-stasiun televisi lain seperti Indosiar, ANTV, Trans TV, Metro TV, La TV (sekarang TV One), hingga sekarang menjamur stasiun TV lokal. Kondisi ini seakan akan memberi kesan TVRI telah ditinggalkan pemirsanya. Sesungguhnya itu tidak lah benar. Tidak ada satupun Lembaga Penyiaran Televisi di Indonesia yang mampu merebut seluruh pemirsa. Banyaknya stasiun penyiaran televisi tentu tidak bisa terhindar dari upaya persaingan merebut perhatian pemirsa sebanyakbanyaknya. Apalagi kalau hidupnya penyiaran tergantung dari iklan yang ditayangkan. Segala upaya dilakukan untuk meraih perhatian pemirsa, hingga kadang lupa dengan tata aturan penyelenggaraan siaran yang berlaku di negeri ini. Perlukah TVRI ikut terlibat dalam kancah persaingan tersebut? Kalau lah insan-insan TVRI menyadari benar bahwa kedudukkan TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik, maka tidak perlu sibuk bersaing. Dasar yang harus dibangun ialah adalah bagaimana meningkatkan kualitas program-programnya benar-benar menjadi kebutuhan masyarakat. Kalau melayani keinginan masyarakat, niscaya TVRI akan terlibat persaingan ketat dengan TV swasta, dan sulit menandinginya. Antara TVRI dengan TV Swasta tidak perlu diperbandingkan dan dipersaingkan, karena TVRI memiliki Visi dan Misi yang berbeda dengan TV swasta TVRI harus mampu menerobos ruang vacum program yang tidak dimiliki oleh stasiun swasta. Dengan pengertian bahwa TVRI mampu menyajikan program – program yang tidak tertampung di TV swasta. TVRI dapat membuat program yang mengedepankan

content edukatif. Ibaratnya program itu akan menjadi gizi bagi pemirsanya. Tidak sekedar memenuhi keinginan, namun lebih mengedepankan kebutuhan khalayak. Tidak perlu meniru dan menandingi. Tetapi konsisten dengan jatidiri TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Masih lekat dalam ingatan saya ketika saat Gunung Kelud akan erupsi beberapa bulan yang lalu. TVRI kalah dengan TV Swasta dalam kecepatan penyampaian informasi kepada masyarakat. Saat itu running text pun tidak muncul dari layar TVRI. Sedangkan konon katanya TVRI memiliki jaringan yang paling luas. Contoh kecil itulah yang kemudian bisa menjadi indikator masyarakat menilai, kemana TVRI. TVRI telah memiliki jam terbang yang tinggi, keberadaannya pun menurut saya masih sangat diperlukan, sebagai penyeimbang dengan TV lain dan sumber tuntunan namun tidak meninggalkan unsur tontonan. Permasalahnnya tinggal menunggu keberanian insan-insan TVRI, baik yang tingkat nasional ataupun di daerah-daerah untuk melakukan inovasi-inovasi program yang dianggap unggulan masa lalu. Mereka harus berpikir untuk kondisi sekarang dan yang akan datang. Kejayaan masa lalu bukanlah harus dibangga-banggakan dan dipertahankan terus menerus, tetapi bagaimana kejayaan masa lalu itu diapresiasi sehingga menjadi sumber inspirasi untuk masa kini dan yang akan datang. TVRI masih memiliki kekuatan, TVRI masih memiliki pirsawan. Masih bersyukur TVRI bisa merayakan ulang tahun yang 52, namun bagaimana ditahun berikutnya?. Dalam pengamatan saya terhadap TVRI, Lembaga Penyiaran Publik ini masih belum mengoptimalkan pontensi-potensi yang tumbuh sebagai sumber penciptaan program yang kreatif, inovatif dan bermanfaat untuk mencerdaskan bangsa Indonesia. Bukalah GERBANG pemersatu bangsa selebar-lebarnya. Jangan hanya JENDELANYA saja. TVRI MASIH BISA. Opini ini saya ungkapkan karena kecintaan saya pada TVRI.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

45


46

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


47

Snapshoot Menyusuri Jogja memang tak ada habisnya. Setiap sudutnya menyimpan cerita dan keistimewaan yang berbeda. Seperti tempat yang Poros kunjungi kali ini. Hanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit dari pusat kota untuk kembali belajar mengenai salah satu budaya bangsa, Wayang MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


48 Perspektif

snapshoot

Di kompleks Museum Kekayon juga terdapat Pendapa yang disewa untuk berbagai acara.

Gatotkaca ialah putra Bimasena dari keluarga Pandawa. Gatotkaca adalah ksatria yang mati muda karena ‘Panah Kuntho’ yang menusuk dadanya. MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


49

Windandini, Gardhapati, Gardhapura, Balakundha, Danudara dan Balamardhana dalam Dinasti Kurawa.

Ada berbagai macam koleksi Wayang di Museum Kekayon, salah satunya adalah Wayang Hewan MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


50

snapshoot

Wayang Golek Wahyu merupakan wayang dakwah agama Nasrani berisi cerita yang terdapat Kitab Perjanjian Lama dan Baru.

Dalam pagelaran wayang, beberapa unsur materi yang harus ada ialah wayang dari kulit lembu, debog, keprak, kepyak, kotak wayang, cempala, blencong dan seperangkat gamelan. MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


Sastra

GGS

(GARA GARA SUMUR) Oleh : Laras Pramita Sari “Mak, listriknya mati!” “Airnya habis, Mak!” Emak keluar dari balik pintu kamarnya, kemudian menghampiriku dan Maryam. “Ambil air di sumur Lek Warno saja, Nduk!” ujar Emak. Maryam terlihat kecewa. Mengambil air menggunakan ember dari sumur tidak semudah yang dibayangkan, apalagi di zaman yang serba modern seperti sekarang ini. “Kita tunggu sampai listriknya hidup aja ya, Mak.” “Nyalanya lama, bisa sehari, dua hari,” sahut Emak lagi. Maryam mendengus kesal. Mau tak mau ia harus mengambil air secara manual. “Rum, bantu adikmu ngambil air di sumur!” Sebenarnya aku ingin menolak tapi aku tidak mau kejadian Malin Kundang terulang kembali padaku, aku pun beranjak mengambil ember dan pergi ke sumur Lek Warno yang tak jauh dari rumahku. Dulu sebelum sanyo masuk desa, warga setempat termasuk keluargaku menggunakan timba atau pompa tangan untuk mengambil air. Sumur Lek Warno adalah sumur pertama di kampung kami. “Hari gini ngangkutin air? Apa kata dunia?” keluh Maryam kesal. Aku mengangguk, mengamini perkataanya. “Gak maulah tinggal di desa kayak gini. Susah air, susah listrik, semua serba susah,” sambungnya lagi yang langsung ku yakini dalam hati. Saat gadis remaja lain sudah bisa menggunaan gadget dan peralatan canggih lainnya, aku dan Maryam masih harus menimba air dari sumur. Setiba di sumur ternyata sudah banyak ibu-ibu dan remaja mengantri untuk mengambil air. Suasananya seperti hendak arisan. Tak ketinggalan pula keluhan buat PLN yang mematikan listrik seenaknya. “Mau sampai kapan mati lampu terus ya, Mbakyu?” tanya ibu muda yang berada di dekatku setengah mengeluh. “Tadi saja aku masak belum selesai udah pettt mati lampu” sambung ibu yang satunya lagi. Aku dan Maryam menyingkir, mendengar obrolan para ibu tersebut. Kami memilih tempat yang enak untuk mengantri. Semakin lama orang yang berdatangan semakin banyak, air memang kebutuhan yang sangat mendesak.

Kini giliranku dan Maryam untuk menimba air, belum sampai lima menit aku sudah ngos-ngosan. Aku heran melihat wanita paruh baya di sebelahku, menimbanya cepat sekali, hanya butuh beberapa menit saja embernya telah penuh terisi. “Mar, gantian dong!” Kataku pada Maryam yang sedari tadi hanya memperhatikanku. Ternyata Maryam lebih kuat dariku, terbukti ia bisa mengisi satu ember penuh. “Masih satu ember lagi, Mbak. Gantian dong!” katanya. Kusingsingkan lengan baju, siap menimba lagi, tapi tetap saja aku kecapekan saat airnya baru setengah ember. Aku istirahat sejenak, Maryam tak mau meneruskan, tak adil katanya jika hanya dia yang bekerja. Sambil beristirahat aku dan Maryam ikut berbagi informasi bersama ibu-ibu tetangga, istilah kerennya bergosip. Dulu Emak selalu membawaku saat mencuci baju atau keperluan lainnya. Sambil menunggu Emak yang sedang mencuci, aku biasanya bermain dengan anak-anak seusiaku. Selain menjadi sumber mata air, sumur Lek Warno juga menjadi tempat bermain sekaligus tempat berbagi informasi ibu-ibu. Informasi kematian, kelahiran, pernikahan bahkan informasi Bang Toyib yang tak kunjung pulang juga menjadi sesuatu yang patut untuk diperbincangkan. Dulu warga terutama ibu-ibu sering berkumpul meski hanya di sumur. Tak ada arisan tak ada pengajian, yang ada kumpul ngerumpi sambil meencuci, momong dan sebagainya. Sumur Lek Warno pun menjadi tempat bermain anakanak. Biasanya setelah dimandikan, kami bermain petak umpet, kelereng ataupun hanya sekedar lari-lari saja sampai orang tua kami menyeret kami pulang. Itu terjadi beberapa tahun lalu, saat aku masih kanakkanak, saat belum ada listrik di desaku. Kini semuanya sudah berubah, sumur Lek Warno menjadi sepi karena warga sudah mempunyai sumur sendiri-sendiri di rumahnya. Anak-anak sudah jarang bermain lagi karena ada televisi di rumah mereka. Aku dan Maryam selesai menimba. Saat kutiggalkan, terlihat di sumur Lek Warno masih banyak warga yang datang untuk menimba air. Entah kenapa aku berharap bahwa listrik mati sampai esok hari.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

51


52 Berita Kampus

Kontroversi PPG Mahasiswa Resah, UAD Menunggu Oleh : Usi Fahrisa Nur

R

ahmayuni Tri Anita atau lebih sering dipanggil Nita merasa heran. Mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika UAD ini gelisah mengapa lulusan sarjana pendidikan harus meraih gelar profesi dulu sebelum sah menjadi guru, padahal selama ia mengenyam pendidikan di Pendidikan Matematika, ia sudah menjalani mata kuliah ilmu pendidikan. “Kita kan udah ada (ilmu-red) pendidikannya, berarti kan memang sudah dipersiapkan menjadi pendidik,” ucapnya dengan nada yang meninggi. Kegelisahan Nita bermula dari keputusan Menteri Pendidikan melalui Peraturan Menteri no. 87 Tahun 2013. Permen ini memutuskan bahwa untuk menjadi seorang guru yang memiliki kualifikasi sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan sehingga dapat memperoleh sertifikat pendidik profesional harus mahasiswa pendidikan lulus S1 dan melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Sekilas tak ada yang salah dengan peraturan ini, namun ketika sarjana nonkependidikan ternyata juga bisa mengikuti program PPG, banyak calon lulusan sarjana pendidikan menjadi gerah. Bagi Nita hal ini tidak adil. “Profesi apoteker hanya sarjana farmasi yang boleh ngambil, profesi dokter hanya sarjana kedokteran yang ngambil, masa profesi guru semua boleh ngambil,” lanjutnya dengan nada kecewa.

Mahasiswa memasuki ruangan yang dikhususkan untuk program PPG di Kampus II UAD. | Nabil

Tak hanya Nita yang merasa kecewa, Feri Taupik Ridwan pun sama, Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ini memiliki alasan lain. Kekecewaannya pada PPG disebabkan karena untuk menjadi seorang guru ia harus membebani orang tuanya dengan tambahan biaya pendidikan dan waktu yang panjang. “Masalah biaya untuk PPG berapa, aku yakin diatas 10-20 juta,” ungkapnya tak ragu. Di sisi lain Feri juga merasa program PPG ini menjadikan guru sebagai profesi jasa pendidikan saja. “PPG ini aku pikir menjadikan guru (sebagai-red) profesi jasa. Sudut pandang guru sebagai penyedia jasa pendidikan akhirnya akan membiaskan esensi pendidikan,” tegasnya. Tak semua menyambut PPG ini dengan muram. Mahasiswa Bimbingan dan Konseling yang sering disapa Ocha menganggap bahwa program PPG ini

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


PPG : Mahasiswa Resah, UAD Menunggu

bisa membawa pendidikan Indonesia kepada tujuan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Baginya tak menjadi soal bila ia harus bersaing dengan sarjana non-kependidikan, karena menjadi seorang guru adalah hak semua orang. Dengan nada santai Ocha mengatakan, “itu hak mereka (sarjana nonkependidikan-red) juga dan itu juga tidak menjadi masalah yang komplek banget.” Bagi Rukmana Indriani, Mahasiswi Sastra Indonesia meskipun PPG terbuka lebar bagi sarjana nonkependidikan ia tak berniat sama sekali memanfaatkan kesempatan ini. “Saya rasa tidak, kalau saya niat mau jadi guru kenapa saya tidak masuk FKIP?” ucap Rukmana tegas. Ia beralasan sayang sekali ilmu yang sudah ia dapatkan kalau harus ikut PPG dan lebih memilih meneruskan jenjang S2, “kayak gitu sebenernya ya emaneman kuliah ilmu murni ya, selain buang waktu buang biaya lagi. Kalau kayak giru mending saya ikut S2.”

Kualitas Guru dan PPG Di tahun 2011, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa hanya 28,9% saja guru SD yang layak mengajar. Guru sekolah menengah sedikit lebih baik. Guru SMP menunjukkan ada 57, 55% guru yang layak mengajar dan 65% untuk guru SMA. Ditemui di sebuah kampus di Jalan Mayjend Sutoyo, Wisnu Giyono dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) berpendapat barangkali penelitian inilah yang menjadi dasar mengapa program PPG ada. Untuk menjadi seorang guru diperlukan empat kompetensi yang harus dikuasai. Keempatnya ialah kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Program PPG diharapkan dapat meningkatkan empat kompetensi tersebut. Tetapi, banyak variabel yang dapat menentukan sejauh mana kualitas guru, dan tentu saja karena variabel yang banyak ini, maka PPG tak bisa begitu saja meningkatkan kualitas guru. “Orang

masuk jadi guru itu belum tentu qualified terpenuhi. Kadang-kadang karena politik, uang, keluarga, itu banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan PPG tidak berdampak positif,” ucap Wisnu. Bagi Wisnu untuk meningkatkan kualitas seorang guru harus dimulai dari hulu. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) harus diperbaiki dan seleksi calon penerimaan mahasiswa pendidikan guru diperketat, “Tapi harus diiringi oleh satu hari depan yang cerah dalam bidang sosial ekonomi,” lanjutnya sambil tersenyum. Ia juga menyesalkan mengapa begitu banyak LPTK di Indonesia, seharusnya pendirian LPTK itu diiringi man power planning. “Jadi, penentuan calon mahasiswa itu juga diperhitungkan dengan prediksi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan,” ucapnya masih dengan gaya yang sama.

UAD Siap untuk PPG Terlepas dari pro-kontra mengenai apakah PPG dapat meningkatkan kualitas guru, UAD sebagai salah satu LPTK siap untuk menyelenggarakan PPG. “Ini mau tidak mau, karena itu sudah undang-undang, sudah merupakan ketentuan dari pemerintah Indonesia” ujar Tri Kinasih Handayani, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UAD ketika ditanya mengenai sikap UAD mengenai PPG. “Oleh karena itu UAD juga bersikeras, punya keinginan yang kuat untuk bisa menjadi lembaga yang diberi kepercayaan oleh pemerintah untuk melaksanakan PPG,” lanjutnya. Meskipun mengklaim bahwa FKIP UAD sudah siap untuk menyelenggarakan PPG, namun belum ada kepastian untuk UAD apakah bisa membuka program PPG. UAD melalui Tri Kinasih mengaku masih menunggu keputusan pemerintah, karena pemerintah belum menunjuk LPTK mana saja yang akan menyelenggarakan program PPG. “Perguruan Tinggi penyelenggara PPG itu ada syaratnya, kita nyiapkan itu hampir setahun,” ujar Tri Kinasih. Untuk

menjadi PT penyelenggara program PPG memang tidak sembarang. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat itu diantaranya adalah memiliki program studi pendidikan S1 dengan akredetasi minimal B, memiliki dosen tetap paling sedikit dua orang berkualifikasi doktor (S3) dengan jabatan akademik paling rendah Lektor, dan empat orang berkualifikasi Magister (S2) dengan jabatan akademik paling rendah Lektor Kepala, memiliki asrama mahasiswa, dan memiliki sekolah laboratorium untuk meningkatkan mutu proses pengajaran. Tri Kinasih menegaskan memang tidak semua program studi memenuhi syarat tersebut, sebagian besar belum bisa memenuhi syarat dosen. Menanggapi kekhawatiran mahasiswa pendidikan UAD mengenai mahasiswa non-kependidikan yang boleh mengikuti program PPG, Tri Kinasih menjawab bahwa memang mau tak mau harus saling bersaing, jika tak lulus tahun ini maka bisa dilakukan di tahun depan, “Ditunda tahun depan. Bisa mengambil PPG di luar UAD. Ya lulusan UAD bisa saja mengambil ke mana saja mencari kuota.” Mahasiswa program PPG memang ditentukan kuotanya oleh pemerintah sehingga tak semua lulusan pendidikan bisa masuk PPG. Menurut Wisnu, mahasiswa pendidikan sebaiknya memang tidak perlu untuk mengikuti program PPG, “Menurut saya sendiri PPG itu lebih penting bagi teman-teman mahasiswa yang non guru.” Namun hal tersebut bukan tanpa syarat, mahasiswa pendidikan tak perlu mengikuti PPG asal setelah lulus S1 sudah bisa mendapat sertifikasi guru. “Yang guru begitu lulus sudah included sertifikasi. Syaratnya pelaksaan pendidikan di perguruan pendidikan guru harus qualified. Michroteaching satu semester, PPL satu semester itu belum cukup. Mestinya ada sekolah laboratorium. Kalau ditata bener gak usah ada PPG,” tegas wisnu mengakhiri pembicaraan. *Evelin, Usi

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

53


54 Perspektif

MENADABURKAN PANCASILA Oleh Muhammad Tahir Mahasiswa Pendidikan Fisika UAD

Negara yang berdaulat pasti mempunyai ideologi Sejatinya ideologi adalah kumpulan gagasan, cita-cita, landasan, pandangan hidup. Tanpa ideologi suatu negara tidak mempunyai arah dan pedoman dalam menjalankan sistem ketatanegaraan. Demikianpun dengan Indonesia, hampir seluruh rakyat Indonesia, tahu bahwa ideologi Indonesia adalah Pancasila. Pancasila adalah output yang terbentuk dari pemikiran-pemikiran The Founding Father negeri ini yang berorientasikan pada karakter-karakter yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hingga saat ini rakyat masih memegang Pancasila sebagai dasar dan cita – cita bangsa.Tetapi ada juga golongan dan kelompok tertentu yang mengangap Pancasila sebagai taghut. Mereka mengharamkan Pancasila, mereka mengangap Pancasila bertentangan dengan syariat islam. Apa itu taghut? Menurut Ahmad Mustathafa al Maraghi dalam tafsir al– Maraghi, taghut adalah sesuatu yang disembah dan diyakini sebagai penyebab perbuatan melampaui batas. Apakah benar Pancasila haram? Apakah nilai–nilai Pancasila bertentangan dengan syariat islam? KETUHANAN YANG MAHA ESA Pada awal perumusan Pancasila, sila pertama berbunyi “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk–pemeluknya”. Akan tetapi pada keputusannya, sila tersebut diubah menjadi “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk–pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” oleh Ki Bagus Hadikusumo. Dalam ajaran islam, Ketuhanan Yang Maha Esa termasuk dalam bab Tauhid yang menerangkan bahwa Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah. Dalam Al–Qur’an surah Al–Ikhlas: 1. Allah berfirman yang artinya “Katakanlah Dialah Allah Yang Maha Esa”. Jadi apakah sila Ketuhanan Yang Maha Esa bertentangan dengan syariat Islam? KEMANUSIAN YANG ADIL DAN BERADAB Dalam Al–Qur’an surah Al–Maidah:8 Allah berfirman yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah maha teliti apa yang kamu kerjakan”. Jelaslah dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada hambaNya untuk berlaku adil. PERSATUAN INDONESIA Sila yang ketiga kita lihat dalam Al–Qur’an surah Ali–Imran:103 Allah berfirman yang artinya “Berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai–berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh–musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang–orang bersaudara; dan kamu telah berada ditepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikainlah Allah menerangkan ayat–ayat Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk”. Agama ini mengajarkan kepada umatnya untuk bersatu, bukan untuk bercerai berai. Dapat kita simpulkan sila ketiga tidak melanggar syariat islam. KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT DALAM PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN Musyawarah adalah jalan keluar yang di pilih agama ini dalam memecahkan suatu masalah. Musyawarah untuk mencapai mufakat. Ketika Rasulullah ingin mengambil suatu keputusan pastilah Beliau melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan para sabahat. KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA Keadilan adalah salah satu perbuatan yang sangat di haruskan oleh agama islam. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam surah An–Nisaa:58 yang artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik–baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. Keadilan adalah salah satu ciri khas dari agama Islam. Jadi tidak ada alasan untuk mengatakan sila ke lima melanggar syariat islam. Itulah penjelasan sila–sila dalam perspektif Islam. Sungguh tidak ada yang bertentangan dengan ajaran islam, apalagi melanggar. Jika pemimpin dan rakyat indonesia mengimplementasikan dengan benar.


Wacana

55

Bukan (Lagi) IPA Biasa Oleh: Usi Fahrisa Nur

Pernah saya mendengar kisah seorang anak SD yang menangis karena salah satu jawaban pada soal ulangannya disalahkan oleh sang Guru. Soal tersebut berbunyi, “kapan waktu nelayan berangkat menangkap ikan?” si murid dengan jujur menjawab “setiap saat”. Sebagai seorang yang pernah merasakan pembelajaran IPA saat SD, saya sangat hapal dengan pertanyaan macam itu. Kapan waktu nelayan berangkat menangkap ikan? Saya dengan sigap akan menjawab “malam hari”. Jawaban itu berdasarkan buku karena tempat tinggal saya bukan di pesisir. Namun si murid tadi telah terbiasa dengan pantai. Di pantai, ia melihat nelayan melaut setiap saat. Maka, wajarlah jika murid tersebut menjawab setiap saat. Nelayan pergi melaut pada malam hari sebenarnya merupakan aplikasi dari fenomena ‘angin darat’ dan ‘angin laut’. Nelayan melaut di malam hari karena pada malam hari arah angin datang dari darat ke laut sehingga bisa membantu perahu melaju ke laut. Sayangnya, zaman sudah bergulir. Teknologi melaju cepat sehingga nelayan tak perlu menunggu malam untuk melaut karena sudah terbantu dengan motor berbahan bakar solar. Sang guru ketinggalan zaman, pembuat soal ketinggalan zaman, dan buku pelajaran pun ketinggalan zaman. Seperti itulah jadinya ketika kita hanya menganggap IPA sebagai sekumpulan pengetahuan, seolah kebenarannya telah khatam. Padahal dari namanya saja-Ilmu Pengetahuan Alamseharusnya sudah menjadi petunjuk bahwa IPA adalah ilmu tentang segala hal yang ada pada alam, sedang alam terus berubah maka pastilah IPA akan terus berkembang. Pada akhirnya IPA semakin ditakuti oleh murid. Padahal IPA sangat dekat dengan kehidupan. Ditambah lagi dengan reputasi IPA yang dekat dengan persamaan-persamaan matematis yang membuat IPA dianggap mata pelajaran horor. Populernya jurusan-jurusan IPA di sekolah pun kebanyakan disebabkan olemenjanjikannya lapangan pekerjaan di bidang IPA, bukan oleh semangat keilmuan IPA.

bentuk penemu dan ilmuwan. Proses untuk menghasilkan pengetahuan sangat bergantung pada pengamatan teliti terhadap suatu fenomena, dan teori yang mendasari pengamatan, yang pada gilirannya akan memberi peluang munculnya teori baru yang dapat menggugurkan teori lama atau diperoleh teori yang lebih memperkuat teori yang sudah ada. Kurikulum 2013 dan IPA Ditetapkannya kurikulum 2013 sebagai pengganti kurikulum sebelumnya yaitu KTSP 2006 menuai pro kontra di dunia pendidikan. Menteri pendidikan bersikukuh bahwa kurikulum 2013 mendesak diterapkan karena melihat degradasi moral pelajar masa kini, karena kurikulum 2013 ini akan menekankan pada aspek karakter anak bangsa. Meski banyak yang menentang, toh kurikulum 2013 ini diberlakukan juga. Ciri khas kurikulum 2013 adalah adanya empat Kompetensi Inti (KI) yang harus dicapai murid. Keempat KI tersebut jika dijabarkan dalam bahasa yang lebih sederhana ialah siswa diharapkan dapat; 1) Mengamalkan dan menghayati agama yang dianutnya, 2) Menghayati dan mengamalkan perilaku dan akhlaq yang baik, 3) Memiliki pengetahuan sesuai bidang pelajaran, dan 4) Dapat menggunakan metode ilmiah untuk pengembangan keilmuan. Paradigma yang berkembang adalah IPA dianggap tidak memiliki korelasi dengan akhlaq. Padahal penjelajahan dan rasa ingin tahu murid tentang bumi dan alam raya akan membuat murid menyadari betapa kompleks dan ajaibnya alam semesta. Hal ini akan memancing murid untuk mengagumi pencipta alam semesta tentunya, sehingga sikap religius dapat tertanam dalam diri murid. Maka, secara otomatis tujuan kurikulum 2013 pada KI I sudah dicapai.

Menurut Collete dan Chiappetta (1994), IPA memiliki tiga hakikat dasar: 1) Sekumpulan pengetahuan (a body of knowledge); 2) Sebagai cara berpikir (a way of thinking); dan 3) Sebagai cara penyelidikan (a way of investigating) tentang alam semesta. Sayangnya, yang terjadi saat ini adalah pembelajaran IPA baru pada sekumpulan pengetahuan.

Sedangkan penelitian selain membuka peluang dialektika dan penemuan teori baru, bisa mengembangkan perilaku jujur, sabar, teliti, dan tanggung jawab, seperti yang harus dicapai pada KI II. Penelitian yang membutuhkan waktu tak sedikit membuat murid belajar untuk bersabar. Penelitian juga mengharuskan murid mencurahkan perhatian pada hal yang ia teliti, sehingga murid belajar tanggung jawab dan hati-hati. Hasil penelitian terkadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dalam hal ini murid belajar untuk jujur menunjukan hasil penelitiannya terlepas hasilnya baik atau buruk.

Sebagai cara berpikir, pembelajaran IPA seharusnya bisa mendorong murid melakukan penjelajahan dan penelitian, memancing rasa ingin tahu murid mengenai ada apa sebenarnya di bumi ini. IPA sebagai cara berpikir tentu akan membuat murid bisa menemukan pengetahuannya sendiri, membuka peluang dialektika dengan teori-teori sebelumnya, bahkan dapat mem-

Tentu saja semua ini bisa dicapai jika paradigma pembelajaran IPA bisa keluar dari “sekumpulan pengetahuan” kepada “semangat cara berpikir dan penyelidikan” yakni membebaskan murid berekplorasi, memancing rasa ingin tahu tentang alam semesta. Tentu saja untuk mencapai hal ini dibutuhkan guru-guru luar biasa yang mau belajar pula. Salam IPA! MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


56 Event

Para peserta sedang berbaris dalam upacara penutupan acara Jambore SAR. | Irma

Barisan Cinta di Bukit Turgo Oleh : Labina

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

H

ari ini merupakan hari pertama di bulan Maret. Aku menghabiskan waktu selama lebih dari satu jam menuju Turgo, Sleman Yogyakarta, tempat dimana Jambore SAR diselenggarakan. Deretan pohon pinus menemaniku sepanjang perjalanan, udara yang segar dan sejuk menandakan bahwa saat ini aku sudah memasuki wilayah kaki Gunung Merapi. Perjalanan ini mengantarkanku pada titik keramain acara Jambore SAR. Sesampai di Turgo mataku langsung tertuju pada lapangan hijau. Aku berada dari kejauhan di atas bukit melihat hulu-halang keramaian di lapangan. Lapangan yang dipenuhi dengan para relawan-relawan peserta Jambore SAR yang menggunakan kaos berwarna merah dan orange. Tak hanya itu banyak mobil-mobil yang berderatan di lapangan, ada mobil BNPB, BPBD,


Barisan Cinta di Bukit Tungo

Tagana,PMI bahkan aparat kepolisian. Mereka semua ambil bagian dalam kegiatan ini. Pelaksanaan acara Jambore SAR ini banyak menarik perhatian berbagai pihak. Terbukti jumlah peserta yang mengikuti kegiatan ini mencapai 814 orang. Acara yang berlangsung selama dua hari ini sebenarnya hanya menargetkan peserta untuk daerah Yogyakarta. Namun tak disangka, menyemutnya peserta yang datang dan mendaftar berasal dari berbagai daerah yaitu mulai dari daerah Karanganyar, Magelang, Klaten, Solo hingga Semarang. Aku berbincang dengan Daru Supriyono selaku Humas kegiatan ini. Dengan gayanya yang santai Daru menceritakan bahwa kegiatan ini berawal karena keresahan akan munculnya relawan-relawan bencana pasca erupsi 2006 dan 2010. Menurutnya, munculnya banyak relawan harus diikuti dengan pemahaman dan keterampilan dalam hal menolong korban bencana. Relawanrelawan yang muncul nantinya akan menimbulkan kontribusi untuk setiap kejadian darurat. Inilah alasan mengapa jambore dilaksanakan. Jambore ini bukan hanya sekedar acara pengenalan tentang rescue dan transfer knowledge. Akan tetapi dengan adanya acara ini harapannya akan membantu memberikan pemahaman para relawan-relawan tentang teknis rescue dilapangan. “Setidaknya dengan ini, para relawan sudah harus bisa mengaplikasikan tentang apa yang telah didapat selama dua hari mengikuti Jambore SAR,� jelas Daru. Ketua Harian SAR DIY Ferry Ardyanto juga memaparkan bahwa relawan butuh ruang yang lebar untuk menguasai materi dan bisa menga-

plikasikannya. Selama ini acara bersama yang ditujukan untuk pelatihan penolongan korban bencana masih jarang diadakan. Padahal menurut penuturan Ferry seorang relawan akan mampu dalam memberikan pertolongan apabila memenuhi syarat. Idealnya rescuer telah menempuh pendidikan yang berhubungan dengan kegiatan rescue. Maka kegiatan pendidikan dan pelatihan harus lebih sering diadakan agar dapat meningkatkan kemampuan rescuer.

Materi dan Praktik Dari tempatku duduk, pandanganku tertuju pada aktivitas sekelompok peserta yang sibuk dengan tali temali di tangannya. Ada yang menyusun dan memasang tali, ada pula yang terlihat bersusah payah mencapai ketinggian pohon dengan alat-alat yang menempel ditubuhnya. Ternyata, itulah salah satu materi dalam kegiatan ini, Vertical rescue namanya. Tak hanya vertical rescue, materi yang diberikan dalam kegiatan ini meliputi, navigasi peta kompas, water rescue, collapsed structure dan ESR ( Emergency, Search and Rescue) untuk bangunan runtuh. Materi-materi tersebut dipilih dengan pertimbangan keahlian yang dibutuhkan saat proses petolongan dan pencarian korban bencana. Pada materi navigasi, relawan dikenalkan dengan topografi sebuah wilayah. Pengenalan topogafi menjadi penting karena saat terjadi situasi darurat, relawan yang bertugas sebagai tim bantu darat bisa bergerak cepat dan tepat sasaran. Materi water rescue memberikan pengenalan kepada relawan tentang pertolongan dalam kecelakaan di air. Sedang pada materi emergency first responder, mengenalkan kepada relawan bagaimana

memberikan pertolongan medis pertama pada korban. Pemberian materi tak hanya diberikan melalui teori. Pihak panitia pun mengemas materi dalam praktek lapangan. Hal ini akan mempermudah peserta memahami materi secara optimal. Harapan dari pemberian materi ini ialah relawan dapat menolong korban dengan tepat dan dapat memastikan keselamatan bagi dirinya sendiri. “Kesalahan fatal apabila saat me-rescue yang di-rescue adalah rescuer itu sendiri,� ungkap Daru. Usai berbincang dengan Daru, aku berusaha mencari pendapat peserta terhadap materi yang didapatkan dalam acara Jambore SAR. Aku berjalan menuju sisi selatan lapangan ke arah bukit. Tampak banyak gerombolan peserta yang sedang beristirahat. Aku mendatangi salah satu diantaranya, tiga orang peserta yang sedang bersamaku kini ialah relawan yang bergabung di Turgo Asri yang bergerak dalam Public Emergency and Frequency Yogyakarta. Turgo Asri dikenal dengan sebuah komunitas komunikasi. Komunitas ini didukung oleh perangkat HT, perangkat yang dilengkapi dengan pemancar. Turgo Asri termasuk salah satu komunitas relawan tertua yang ada di Yogyakarta. Terbentuk pada tahun 1994 sejak erupsi Merapi tahun itu. Laras mengatakan bahwa menjadi salah satu bagian dari peserta yang mengikuti acara ini sangatlah beruntung. Ia memaparkan bahwa pemberian materi sangatlah penting karena akan menambah pengetahuan saat melakukan aktifitas pencarian dan pertolongan. Pengetahuan sangatlah penting untuk membantu dalam mengurangi kesalahan teknis dilapangan pada saat me-rescue. Tapi disisi lain salah satu ang-

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

57


58

Barisan Cinta di Bukit Tungo

gota komunitas relawan Turgo Asri mengeluhkan keadaan pada saat pemberian materi. Pada saat praktik pemberian materi berdasarkan pambagian kelompok dengan jumlah yang tak sedikit. Hal tersebut menjadikan proses pembelajaran menjadi kurang efektif dan kondusif. Sebagian anggota kelompok bahkan hanya melihat saja tanpa ikut praktik. Setelah lelah dengan meliput acara Jambore SAR ini aku menden-

gar bahwa budayawan Emha Ainun Nadjib yang akrab disapa Cak Nun akan hadir dalam upacara penutupan. Jam sudah menunjukkan pukul 14.00 wib. Dari pusat informasi sudah diinformasikan bahwa upacara penutupan akan segera dilaksanakan. Para peserta jambore tampak bergegas untuk berkumpul dilapangan dan berbaris yang rapi untuk mengikuti upacara penutupan. Sebagai pembina upacara penu-

tupan, Cak Nun mengatakan bahwa relawan adalah orang-orang yang bekerja karena rela dan tidak memikirkan kekuasan. Tidak semua orang bisa dan ingin menjadi seorang relawan. Cak Nun mengakhiri sambutannya dengan perkataan bahwa anggota SAR adalah barisan Tuhan dan barisan cinta, “Yang menolong tanpa melihat latar belakang dan dosa korban,� ucapnya tegas.

Seorang peserta Jambore sedang mempraktekkan materi Single Rope Technique (SRT). | Irma

Beberapa peserta sedang mempraktekkan upaya penolongan pertama pada korban yang mengalami patah tulang. | Irma

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


Wacana 59

Memilih dalam Gelap Oleh : Irma Restyana

“ Saat tahun sudah berulang lima kali, akan ada satu waktu dimana ketimpangan sosial dianggap tidak pernah terjadi, pendidikan dianggap berjalan baik dan akses sumber daya tersebar merata. Itulah saat pemilihan umum”

3 Kisah Di Ruang Tunggu Seorang wanita tua duduk di hadapanku. Di kursi kayu yang disediakan panitia untuk menunggu antrian pencoblosan. Meskipun namanya belum dipanggil, ini sudah kali dua ia menghampiri meja panitia. Dengan wajah pucat ia bertanya kapan gilirannya untuk maju. Dengan mimik wajah serius pula ia mengatakan takut dan tidak mengerti apa yang harus dilakukannya di balik bilik pencoblosan. Seorang panitia pencoblosan pun tertawa sambil menyuruh nenek tua tersebut kembali ke kursinya. Nenek tua duduk kembali dan terlihat jelas kecemasan yang dihadapinya. Selang beberapa saat, salah seorang panitia memanggil nenek yang sedari tadi menunggu dengan cemas. Sambil dibantu untuk berdiri, sang nenek berkata “Aku kon kepiye, aku iki ndak iso moco”. Sang nenek ternyata buta huruf. Dalam ketidaktahuannya, ia terpaksa harus mengambil keputusan untuk memilih calon pemimpin rakyat. Terlebih selain untuk DPD dan kertas suara pemilihan presiden, saat ini dalam kertas suara tidak lagi mencantumkan foto calon kandidat. Semua hanya daftar nama. Sulit bagi sang nenek untuk membuat suatu keputusan yang dia sadari sepenuhnya. Nenek tua berusia 80 tahun, lahir pada masa dimana pendidikan di Indonesia belum semaju saat ini. Belajar baca tulis menjadi hal yang harus dibayar mahal kala itu. Bukan mahal karena besarnya uang namun juga jarangnya kesempatan. Pendidikan memang menjadi catatan merah bagi negara ini. Mulai dari masa Orde Baru hingga Reformasi, pemerataan pendidikan merupakan hal yang sulit untuk dicapai. Namun hal tersebut tak menciutkan niat baik sang nenek untuk memilih. Tahu akan keterbatasan dirinya, sang nenek tetap melangkah menuju TPS. Kecemasan akan timbul jika seseorang mendapati situasi yang jarang ia hadapi. Kecemasan sang nenek timbul karena ketidaktahuannya akan apa yang harus ia kerjakan dibalik bilik pencoblosan. Dalam kondisi cemas, seseorang sulit untuk menentukan suatu keputusan yang rasional. Hal tersebut dialami sang nenek. Dalam kecemasan ia dipaksa untuk mengambil suatu keputusan. Keputusan yang dibuatnya akan turut memberi kepastian nasib

negara lima tahun kedepan. Begitulah pemilu ia tak bisa melihat latar belakang pendidikan dan keadaan emosional seseorang. Seorang perempuan yang belum lama lulus dari program sarjana duduk disamping kiriku membawa sebuah buku tulis. Buku bergambar Barbie di kempitnya erat. Beberapa saat kemudian, datanglah Ibu berkerudung merah, menyalamiku dan Ibu disamping kiriku. Ibu tersebut berkata, “Aku membawa kertas contekan, buat jaga-jaga kalau nanti aku lupa. Lihat ini, bener ndak?”. Kali ini Ibu yang membawa buku, membuka bukunya. Di lembar pertama buku tersebut, sudah tertulis daftar nama caleg yang akan dipilih. Setelah mencocokkan, sambil mengembalikan kertas perempuan tersebut berkata, “wes bener.” Di desa pelosok ini, kesadaran mengenai pendidikan belumlah tumbuh kuat. Bisa dihitung dengan satu tangan jumlah sarjana di desa ini. Akses informasi sulit dijangkau. Setiap rumah harus punya parabola jika ingin menonton tv. Signal telepon genggam pun baru ada sekitar satu tahun belakangan. Salah satu cara yang sering digunakan untuk mendapatkan informasi ialah dengan berkomunikasi secara langsung. Entah dengan tetangga, guru sekolah, kepala dukuh atau orang yang mereka anggap ‘tahu’. Tentu bisa dipahami, dengan terbatasnya akses informasi, informasi yang berputar diantara masyarakat setempat sulit untuk dicari tahu kebenarannya. Berbekal informasi yang seadanya, tak menyurutkan masyarakat desa untuk memilih calon pemimpin. Sejenak aku teringat perbincangan sebelum aku berangkat ke TPS. Dengan segenap usaha, Bibi membujukku untuk memilih salah seorang caleg yang tempo hari datang ke rumah untuk meminta restu agar mendapatkan satu kursi di legislatif. Tahu bagaimana bentuk hidung nya saja tidak, mana mau aku memilih. Bibi rupanya tak kehabisan akal, kakek pun turut memberi pembelaan untuk memilih caleg tersebut dengan kemasan seperti nasihat. Dari yang awalnya yakin untuk tidak memilihnya, perlahan aku merasa dilema. Memilih atau tidak. Kalimat Bibi diakhir perbincangan

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


60 Wacana

masih tergiang sampai aku berdiri di balik bilik pencoblosan, “Kita sudah menerima uang yang diberikan olehnya, jika kita menerima kitapun harus siap untuk memberi.” Makin menjadi sudah kebimbangan ini. Terjadilah pertarungan antara idealisme dan kejujuran. Pemilu erat hubungannya dengan upaya saling mempengaruhi. Calon pemimpin dan tim sukses serta pendukung calonpun bergerilya untuk meyakinkan masyarakat. Setiap caleg maupun tim sukses bak penjual produk yang dengan sigap menawarkan barang dagangannya. Tentu dalam pemilu barang dagangan yang diumbar ialah janji untuk program-program pro rakyat. Upaya untuk meyakinkan dilakukan dengan berbagai macam cara, ada yang suka dengan memberikan alasan serta pendekatan yang logis hingga cara memberi ‘amplop’. Kampanye tolak politik uang dengan jargon ‘Terima ampop nya, jangan coblos orangnya’ sepertinya tidak berlaku di desa. Dengan alasan-alasan sederhana seperti, kasian mereka sudah keluar uang banyak atau memberi uang itu sudah lebih baik dari pada tidak melakukan upaya sama sekali masih ada masyarakat yang rela memberi suaranya bagi calon tersebut. Politik uang menjadi salah satu ancaman bagi kualitas suatu pemilu. Ternyata politik uang bukan sekedar menerima dan memberi, melainkan besar pengaruhnya dalam pengambilan keputusan seseorang.

Sama dan Beda, Benar dan Baik Potret ketiga kisah diatas merupakan sepersekian dari jutaan kisah yang terjadi pada saat pemilu legislatif 9 April silam. Pemilih dari berbagai kalangan baik muda yang berstatus pemilih pemula hingga para lansia yang sudah beberapa kali merasakan gegap gempita pemilu memiliki kesempatan yang sama. Pemilu juga memberikan nilai yang sama bagi para pemilih yang mempersiapkan diri dengan mempelajari rekam jejak calon pemimpinnya dengan pemilih yang memiliki segala keterbatasan untuk belajar. Pemilu dalam sejarahnya memang tidak akan pernah memandang bulu. Seperti halnya tiga kisah diatas, kesamaan lainnya ialah ketiganya merupakan pelaku sejarah karena berpartisipasi dalam jalannya pemilu. Memberikan sumbangan suara bagi salah satu calon pemimpin. Memegang komitmen untuk menjadi warga negara yang baik dengan datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya. Melihat dari perspektif yang berbeda, didapati ketimpangan diantara ketiganya. Kesamaan tindakan untuk datang ke Pemilu dihadapkan dengan perbedaan kadar pengetahuan dari masing-masing individu.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Ada yang memilih karena merasa itu kewajiban sebagai warga negara tanpa tahu mengapa ia harus memilih. Lalu, ada pula yang sadar akan pentingnya satu suara bagi masa depan negara namun tanpa menimbang siapa yang pantas diberikan suaranya. Di dapati pula pemilih yang memilih karena telah mendapatkan uang balas jasa. Tak peduli berbagai latar belakang pemilih, dinamika yang terjadi di masyarakat, adanya pertentangan antara nilai moral dengan keinginan akan jabatan yang terlampau kuat, banyaknya kepentingan yang ada, pemilih tetaplah memiliki suara yang sama. Pemilu dianggap sebagai bentuk paling riil dari demokrasi serta wujud paling konkrit keiktsertaaan rakyat dalam penyelenggaraan negara. One man one vote!

Jika Harus Pemilu Dalam pernyataan umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 21 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya secara langsung atau melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara bebas. Hak untuk berperan serta dalam pemerintahan ini berkaitan dengan tidak dipisahkan hak berikutnya dalam ayat 2 yaitu: bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh akses yang sama pada pelayanan oleh pemerintahan dalam negerinya. Banyak yang bisa di soroti di pedesaan, salah satunya ialah perihal social justice. Alokasi, kesempatan, akses dan kontrol atas ketersediaan sumber-sumber daya bagi masyarakat menjadi catatan pembangunan yang harus segara diselesaikan. Akses pendidikan dan informasi mengenai pemilu menjadi hal yang sulit persebarannya di lingkup desa. Padahal, selain nilai atau keyakinan, pendidikan dan pengetahuan juga menjadi salah satu faktor pembentuk pola pikir seseorang. Jika begitu, permasalahan pendidikan bagi masyarakat desa menjadi satu kendala yang harus segera diatasi agar pemilu yang sehat dapat benar-benar terwujud. Jika diperhatikan, beberapa permasalahan pemilu 2014 tak berbeda dengan pemilu sebelum-sebelumnya. Hal ini menjadi indikasi bahwa proses introspeksi dan evaluasi belum berjalan maksimal. Evaluasi terkait jalannya pemilu jangan hanya sebatas teknis pelaksanaan, melainkan juga pada kualitas pemilih. Pemerintah harus sigap dalam memetakan permasalahan-permasalahan yang ada dan mulai memikirkan langkah preventif. Jika ketimpangan masih terjadi, bukan hal yang mustahil jika pemilu hanya ‘memanfaatkan’ bukan ‘memerdekakan’.


Intip

Pasca erupsi Merapi 2010, kawasan Merapi berkembang menjadi kawasan wisata dengan konsep Volcano Trip. | Irma

Mengais Rezeki

di Tanah Pasca

Bencana

Oleh: Diana Putri Arini

“Kalau tamunya pak Asih masuk aja, gratis,� kata penjaga pintu masuk desa di kaki Gunung Merapi yang sekarang disulap menjadi desa wisata Tour Vulcano. Desa yang terletak di kaki Gunung Merapi ini kini menjadi tempat mengais rezeki penduduk sekitar. Penduduk desa yang dulunya mayoritas bekerja sebagai petani dan peternak kini membuka usaha sendiri menjadikan desanya menjadi desa wisata. Motor di parkir di tanah lapang yang sudah disiapkan. Di setiap pinggir jalan banyak lapak-lapak berisi dagangan yang dijual penduduk sekitar. Aneka jualannya juga bermacam-macam. Ada yang menjual souvenir yang terbuat dari akar pohon, makanan dan minuman ringan. Ada juga warung yang menjual makanan dengan nama menu unik

seperti nasi goreng vulkanik, soto awan panas, kopi poci gembel dan menu lainnya yang berhubungan dengan bencana Merapi. Tak hanya menjual makanan dan souvenir, penduduk juga menjual paket penyewaan mobil jeep dan motor bagi para pengunjung yang ingin memicu adrenalinnya dengan melintasi area gunung yang terjal ke atas. Panas terik matahari ditambah lagi jalanan gunung yang semakin menaikkan suhunya seakan membuat kepala serasa terpanggang. Terlebih lintasan untuk naik ke gunung miring sekitar 45 derajat membuat langkah semakin berat. Namun, selama di perjalanan pandangan mata dimanjakan dengan warna hijau pepohonan dan hembusan angin yang sejuk sekali. Di

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

61


62

Mengais Rejeki di Tanah Pasca Bencana

setiap pinggiran jalan ada warungwarung yang menjual minuman dan makanan ringan untuk pengunjung yang datang. “Ayo Mbak istirahat disini, minum!” seru seorang ibu pemilik warung menawarkan jualannya. Saya hanya tersenyum sambil mengucapkan terimakasih. Langkah kaki masih dilanjutkan untuk mencari tempat tinggal Pak Asih, juru kunci Gunung Merapi sekarang. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan rumah Pak Asih letaknya di dekat makam Mbah Maridjan. Sesekali saya dan rekan saya beristirahat sejenak sambil bertanya dimana rumah Pak Asih. Bahasa Jawa kromo halus membuat saya bingung dengan jawaban dari penduduk. Untung saja rekan saya bisa berbahasa Jawa kromo, masalah bahasa dapat teratasi. Akhirnya kami memutuskan istirahat karena lelah menaiki jalan yang menanjak. Saya bertanya apakah perjalanan masih jauh namun pemilik warung yaitu Ibu Sri Rahayu mengatakan tempatnya tidak jauh lagi. Ibu Sri Rahayu, perempuan berkulit sawo matang dengan postur tubuh cukup besar itu merupakan satu dari sekian penduduk yang menjadi korban bencana Merapi. Saat erupsi Gunung Merapi tahun 2010, rumahnya habis diratakan oleh lahar dingin, ternaknya mati, ibu dan bapak serta dua kerabatnya juga meninggal akibat menghirup asap yang dikeluarkan Merapi. “Dulu tempat ini banyak rumahrumah, sekarang rumah-rumah sudah ditimbun oleh abu. Sekarang jadi hutan disini,” katanya sambil menunjukkan area pepohonan yang dulunya rumah. Memang dari kejauhan terlihat ada beberapa reruntuhan rumah di tengah hijaunya hutan. Dari penuturan Ibu Sri, desa ini merupakan desa biasa di lereng Merapi yang letaknya paling ujung di wilayah Yogyakarta. Semenjak erupsi

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Gunung Merapi, penduduk sekitar menjadikan desa ini sebagai desa wisata dengan tema Tour Vulcano. Sekarang tidak ada lagi rumah penduduk disini, penduduk sudah direlokasikan ke Huntap (Hunian Tetap). Setiap kepala keluarga yang kehilangan rumah akan mendapatkan bantuan 30 juta dalam bentuk material bangunan asalkan dia mau tinggal di tempat yang direlokasi. Alhasil desa yang dulu tempat tinggal penduduk sekarang harus ditinggalkan, hanya digunakan untuk bekerja. Meski sudah menempati rumah yang disediakan pemerintah berupa beton, tetap saja Ibu Sri merindukan rumahnya dan pekerjaannya dulu sebagai peternak. “Enak punya ternak mbak, sebenarnya saya kerja gini (berdagang-red) karena ndak ada pilihan aja. Kalau ternak kan ora mikir modal cuma pake tenaga aja. Ternak juga gak terasa (mengurusnya-red) beberapa tahun kemudian dijual. Kalau kerja gini memang ringan kerjaannya tapi mikiri modal dari awal, terus kadang-kadang dapet penghasilan kadang-kadang nggak perharinya,” katanya sambil melayani

beberapa pembeli yang membeli air minum. Pandanganku tertuju di jalanan khusus pendaki, beberapa pengunjung terlihat kelelahan. Ada yang mengenakan payung untuk menghalau sinar matahari, ada juga menggunakan motor yang disewa seharga 30 ribu untuk naik. Matahari mulai ditutupi awan putih, radiasi tidak seterik tadi. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menemui juru kunci Merapi. Ketika menghadap ke belakang terlihat sudut miring jalan seolah melawan gaya gravitasi. Saya melonjak tidak menyangka sudah berjalan sejauh ini. Di belakang saya banyak pengunjung yang kelelahan dan terus berjalan seperti saya tadi. Saya menghela napas lega ketika menemukan jalanan miring yang memudahkan langkah kaki untuk berjalan. Entah sudah berapa langkah kaki yang saya ayunkan, akhirnya sampai juga ke rumah juru kunci. Di puncak pendakian terdapat makam Mbah Mardijan. Mbah Maridjan menjadi simbol atau ikon di tempat ini, siapa yang tak kenal Mbah Maridjan? Pengunjung dari luar kota pasti tahu


Mengais Rejeki di Tanah Pasca Bencana

Pengunjung beristirahat sambil menikmati makanan di salah satu warung di kawasan wisata Merapi. | Irma

aksi heroik yang dilakukan oleh Mbah Marijan beberapa tahun yang lalu. Beberapa pengunjung yang berhasil melewati jalanan curam itu berfoto-foto di depan lukisan merapi ketika sedang erupsi. Tidak hanya itu, mobil yang dipakai relawan untuk mengangkut penduduk Merapi tempo lalu dipajang disini seolah menjadi saksi bisu dahsyatnya Merapi. Mobil itu dulunya digunakan oleh relawan untuk menyelamatkan pengunjung tersisa. Namun sayang relawan itu meninggal karena keracunan gas. Aksi heroiknya dikenang oleh penduduk disini. Selain itu perabotan-perabotan rumah yang terkena abu panas menjadi perhatian pengunjung. Seorang pengunjung tidak berhenti menyebutkan pujian untuk Allah karena takjub membaca tulisan berisi kronologi letusan Merapi yang tertulis di papan. Tempat ini seolah menjadi museum kecil pasca erupsi Merapi, hanya melihat tempat ini saja pengunjung sudah mengerti bagaimana ketakutan para penduduk. Tak jauh dari museum kecil ini ada makam Mbah Maridjan. Beberapa pengun-

jung sengaja datang melayat untuk mengucapkan doa. Kami beristirahat di warung milik cicit Mbah Marijan, namun sayangnya juru kunci Pak Asih sedang di rumah sakit menjaga eyang putri. Sama halnya dengan penduduk lainnya, kerabat Mbah Maridjan ini membuka usaha berupa warung yang tidak hanya menjual makanan dan minuman, namun juga souvenir. Ia membuka usaha dagang ini pasca erupsi Merapi. Jika senja mulai datang, aktivitas di pendakian ini tidak ada, para penduduk akan kembali ke Huntap. Secangkir jahe hangat yang sudah diracik disuguhkan padaku. Rasanya segar sekali menghirup aroma jahe dan meneguknya ditambah lagi pelayanan ramah di tempat ini. Setelah sejenak menikmati suasana kami memutuskan untuk turun, langkah kaki terasa ringan saat turun ke bawah. Rasanya tidak percaya, saya yang mati-matian menaiki tempat ini ternyata jarak untuk ke atas tidak terlalu jauh. Beberapa menit kemudian kami menemukan ibu-ibu mengenakan kerudung yang berpofesi sebagai tukang ojek. Dia menawari jasanya dengan ramah pada pengunjung yang ingin turun. Beberapa pengunjung memanfaatkan momen turun dari pendakian dengan meluncur menggunakan sepeda. Kami berpapasan dengan turis luar negeri yang juga kelelahan mendaki. Saya meneriaki kata-kata semangat menggunakan bahasa Inggris pada mereka. Mereka tersenyum pada saya, salah seorang bertanya dengan bahasa Indonesia aksen bule, “masih jauh?” “Ya!” jawab saya mantap. Mereka menghela napas sambil menunduk wajah. Dari sorot wajahnya mereka pasti kelelahan namun tenang saja kelelahan mendaki ini akan terbayar ketika mencapai puncak.

63

Asih tidak berhenti, meski kami tidak menemukan Pak Asih di puncak pendakian. Berdasarkan informasi dari penduduk sekitar, Pak Asih tinggal di daerah Huntap, lokasi relokasi pemberian pemerintah. Kami mencari tempat tersebut sambil menikmati pemandangan. Pemandangan hijau itu terkadang diselingi bangunan rumah yang rusak membentuk puingpuing yang masih terlihat fondasi dasar bangunan. Di tanah relokasi kami terkejut melihat rumah-rumah mungil nan indah. Rumah-rumah ini merupakan syarat yang diberikan pemerintah agar warganya turun ke bawah. Rumah ini membentuk kompleks yang dihias begitu indah dan rapi. Rumah penduduk berjejer dengan bentuk bangunan yang sama namun dihiasi cat yang membedakan rumah satu dengan rumah lainnya. Ada masjid yang berbentuk joglo. Kami hampir tidak menyadari tempat itu sebagai masjid karena bentuknya yang unik. Ada perpustakaan, ada taman bermain untuk anak-anak yang diberi fasilitas berupa ayunan dan prosotan, ada juga balai desa tempat berkumpulnya warga. Saya memuji keasrian tempat ini serta bentuk bangunannya yang bagus. Saya masih bingung dan bertanya-tanya kenapa bu Asih masih menyukai rumahnya yang ada di kaki gunung. Saya berani bertaruh rumahnya di kaki gunung pasti tidak sebagus rumah pemberian pemerintah bahkan pemerintah sudah membuatkan kandang sapi hanya saja sapinya sedang tidak ada. Teman saya orang asli Jawa menjawab kebingungan saya, “Orang Jawa asli memang kayak gitu, sebagus-bagusnya rumah orang masih bagus rumah sendiri.” Mungkin saja Ibu Asri satu dari sekian penduduk yang berhasil bertahan dari letusan Gunung Merapi, yang masih merindukan tempat tinggalnya dan kehidupannya dulu.

Rumah Relokasi Petualangan kami mencari Pak

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


64 Intip

Rasulan

Rasa Syukur yang Berseni Oleh: Evelin Kristanti

Tak ada yang tahu sejak kapan dan siapa pencetus Rasulan. Aku menyusuri jalan berliku, ciri khas wilayah Gunungkidul dan berharap menemukan jawaban. Menuju satu desa yang ramai orang perbincangkan karena budayanya yang masih terjaga, Desa Purwodadi namanya. Udara segar, pepohonan yang besar, serta bukit-bukit tinggi menemani perjalananku. Disetiap desanya menyimpan banyak kisah dan budaya, salah satunya adalah Desa Purwodadi, Kelurahan Winangun. Desa ini terdiri dari 704 kepala keluarga. Tiga Kelurahan melebur menjadi satu menjadi Desa Purwodadi, yaitu Kelurahan Danggolo, Gesing dan Winangun. Lepas beristirahat di Pantai Nglambor sekedar membayar lelah dua jam perjalanan dari Yogyakarta menuju Desa Winangun. Bergegas aku menuju ladang milik Pakde Bambang yang merupakan salah satu tokoh masyarakat di Purwodadi. Namun sayang, Ia tidak berada di ladangnya. Aku langsunmeluncur menuju kediamannya. Pakde menyambut dengan hangat. Rumah Joglo menyambutku dengan pintu yang dibuka Pakde dengan lebar. Rumah yang sebagian besar bahannya terbuat dari kayu terasa menyejukkan, lirih suara televisi mengiringi kisah rasulan yang diceritakannya. Kandang disamping rumah yang lengkap dengan hewan ternak tak luput dari pendengaranku. Selain memiliki ladang, Pakde juga memiliki beberapa ekor kambing sebagai ternak kecil di rumah. Pakde mengambil kalender yang tertempel di dinding kayu rumahnya. Telunjuknya mengarahkan pada kalender ber-wuku Mandasiya tepatnya hari Rabu Legi pada 11 Juni 2014. Saat itulah Rasulan akan dilaksanakan di Purwodadi yang diikuti sebanyak sembilan padukuhan. Sama halnya denganku, Pakde Bambang pun tidak mengetahui sejak kapan Rasulan diadakan dan siapa pencetusnya. Menurutnya Rasulan dilaksanakan untuk mempertahankan budaya yang mereka punya. Tak berlebihan, Rasulan hanya diartikan sebagai simbol rasa syukur warga Purwodadi atas limpahan hasil panen mereka.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Rasulan berasal dari kata ‘rasul’ yang diartikan sebagai simbol rasa syukur kepada Rasullulah saw, cerita Pakde dengan mata mengawang-awang ke atas untuk mengingat apa yang ia ketahui. Di Purwodadi Rasulan dilaksanakan setiap tahun dengan hari yang sama yaitu Rabu Legi, sedangkan bulan, tanggal dan wukunya ditetapkan berdasarkan musyawarah. Musyawarah ini melibatkan warga kampung dan sesepuh adat yang memahami hitunghitungan kalender Jawa. Setelah ditentukan tanggal dan wuku apa yang dipakai pada tahun ini barulah para kepala dukuh menginformasikan kepada warga untuk selanjutnya membentuk kepanitiaan. Rangkaian Rasulan diawali dengan Resik Watu Sueng atau membersihkan batu Sueng. Saat padi menguning seluruh warga bergegas membersihkan Watu Sueng dimana tempat menaruh Padasan (tempat untuk manaruh air wudhu-red) pada zaman Sunan Kali Jaga, tepatnya di Gunung Batur. Penentuan waktunya ialah pada saat padi menguning. Di tahun 2014, acara ini berlangsung di akhir Februari. Rangkaian selanjutnya ialah upacara Ngalangi. Upacara ini merupakan kegiatan pembuka acara inti Rasulan. Sebelum upacara dimulai warga Purwodadi dilarang untuk memancing atau mencari ikan di Pantai Nglambor. Tepat di Senin Wage, warga menuju Pantai Nglambor untuk melaksanakan upacara Ngalangi. Ngalangi berasal dari kata “Ngalang-alangi� yang berarti menghalang-halangi ikan untuk tidak pergi mengarah ke laut tanpa menggunakan racun atau yang dapat merusak keindahan pantai. Ngalangi dilakukan menggunakan alat tradisional seperti pancing, jala dan sepuh. Selain itu ada beberapa sarana untuk melaksanakan Ngalangi, yaitu diantaranya membuat Dawar dan Tratak sebagai penghalang agar ikan tidak ke tengah laut.


Rasulan; Rasa Syukur yang Berseni

Kirab budaya merupakan salah satu kegiatan dalam rangkaian Rasulan. (Foto dari kanan ke kiri) 1. Warga desa memeriahkan acara Kirab Budaya dengan cara yang berbeda beda. Salah satunya dengan menggunakan pakaian adat khas Jawa. 2. Sekelompok ibu kompak berbusana untuk menari pada saat Kirab Budaya berlangsung. 3. Seorang gadis menari sebuah tarian untuk menghibur masyarakat yang antusias menunggu berlangsungnya Kirab Budaya. | Haris Sudrajat

Seolah Pakde memahami apa yang aku pertanyakan ia melanjutkan cerita. Pada malam Selasa Kliwon, Tayuban dilaksanakan di balai desa yang dihadiri seluruh lapisan masyarakat Purwodadi. Tayuban adalah kesenian dimana ada penari-penari yang disebut dengan ledek untuk menghibur warga. Tayuban dahulunya merupakan tarian hiburan untuk raja dan sudah ada sejak zaman Majapahit. Hari kedua, yaitu tepatnya pada Selasa kliwon seluruh warga melaksanakan mandi janabatan atau mandi besar sebelum menghadiri acara Tirakatan. Tirakatan dilaksanakan pada malam Rabu Wage. Acara Tirakatan diselingi hiburan Ketoprak yaitu teater rakyat yang mengisahkan

tentang kisah pewayangan tertentu. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Rabu Wage adalah puncak acara Rasulan. Seluruh kepala keluarga sembilan padukuhan di Desa Purwodadi memberikan sedekah berupa tumpeng nasi putih beserta lauknya lalu dikumpulkan di dusun masing-masing. Setelah terkumpul seluruh tumpeng atau gunungan tersebut diarak ke balai desa yang dinamakan Kenduri Ageng. Kekompakan warga dalam mengumpulkan sedekahnya yang berupa nasi tumpeng ini menunjukan antusiasme mereka dalam menyambut acara puncak rasulan. Ratusan warga berbondong-bondong menuju balai desa untuk bersama melaksanakan Kenduri Ageng. Di balai desa, kesem-

65

bilan padukuhan atau 704 kepala keluarga berkumpul menjadi satu untuk makan besar. Rasulan diakhiri dengan hiburan Wayang pada malam harinya. Rasulan sebagai simbol rasa syukur atas rahmat dan rezeki yang diberikan oleh Allah swt diakui pula oleh Pakde Waido. Pakde Waido memiliki warung makan di pesisir Pantai Siung. Kepada warung itu lah Ia menggantungkan hidupnya. Ia merupakan salah satu warga yang kerap menjaga alam dan budaya disekitarnya. Dimata Pakde Waido hubungan alam dan manusia tidak dapat dipisahkan. Alam membutuhkan manusia untuk mencintainya. Sambil menahan sakit mata kanannya yang baru saja disengat lebah Pakde berkisah bahwa rasulan di Purwodadi tidak mencampuradukan simbol rasa syukurnya dengan hal ghaib yang lain. “Tidak ada pemikiran mistis yang sifatnya menuhankan selain Allah, hanya simbol rasa syukur,’’ Jelasnya. Rasa syukur melalui Rasulan di desa ini hanya sekedar mempertahankan budaya nenek moyang yang tak ingin mereka lepas. Untuk menghindari unsur penyimpangan, dalam Rasulan diniatkan tidak untuk hal ghaib lain, sekedar rasa syukur atas panen yang berlimpah, kesehatan dan rezeki yang lancar, serta memohon untuk panen berikutnya. Perjalananku di akhiri dengan satu jawaban, budaya dan agama.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


66 Perspektif

PENDIDIKAN PROFESI GURU: KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA

Oleh : Dr. H. Sugito, M.Si (Dosen Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan)

Guru sebagai Profesi Salah satu keputusan Kongres XVIII PGRI tahun 1998 di Bandung adalah berupa rekomendasi mendesak kepada Pemerintah dan DPR untuk melahirkan Undang-Undang Guru. Hal ini dianggap penting oleh PGRI karena guru saat itu belum mendapat perhatian yang pantas dari pemerintah dan masyarakat. Tujuan adanya Undang-Undang Guru adalah untuk mewujudkan guru yang profesional, bermartabat, sejahtera, dan terlindungi (Anwar Arifin, 2007). Realisasi lahirnya Undang-Undang Guru memerlukan jalan panjang, berliku, dan memakan waktu yang relatif lama. Paling tidak melewati 4 (empat) presiden yaitu B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Guru sebagai jabatan profesi dinyatakan pertama kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada waktu peringatan Hari Guru Nasional tahun 2004 dan Hari Ulang Tahun PGRI ke 59 di Jakarta. Selanjutnya dikuatkan dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Lahirnya UU Guru dan Dosen merupakan amanat UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mampu menjawab tantangan zaman yang selalu berubah, diperlukan kualitas manusia Indonesia yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia itu dihasilkan melalui proses pendidikan yang bermutu. Untuk menghasilkan pendidikan bermutu, diperlukan guru yang berkualitas. Guru Profesional dan Sertifikasi Jabatan profesi selalu dituntut memiliki persyaratan khusus yaitu: (1) jabatan itu bersifat sosial dan dibutuhkan oleh masyarakat, (2) jabatan itu melalui pendidikan khusus dan memerlukan waktu yang lama, (3) memiliki Kode Etik Profesi, dan (4) sebagai imbalan terhadap keprofesiannya mendapatkan imbalan penghasilan yang pantas (Depdiknas,1993). Guru profesional dituntut memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan komopetensi profesional. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian guru dituntut memiliki kepribadian yang baik dan menjadi teladan. Kompetensi sosial guru dituntut memiliki kompetensi untuk berkomunikasi dan bersosial secara efektif dengan peserta didik. Sedangkan kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan, teknologi, dan seni budaya yang diampunya. Kompetensi guru cukup berat, untuk dapat dinyatakan sebMAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

agai guru profesional harus melalui sertifikasi pendidik bagi guru melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat atau LPTK swasta. Program pendidikan profesi diikuti oleh peserta didik yang telah memiliki kualifikasi akademik S1 atau D4 (PP 74 tahn 2008, pasal 4). Sertifikasi guru dapat dibedakan menjadi dua yaitu: sertifikasi guru dalam jabatan dan sertifikasi calon guru. Sertifikasi guru dalam jabatan adalah sertifikasi bagi guru yang sudah menjabat sebagai guru, sedang sertifikasi calon guru adalah sertifikasi bagi calon guru melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Permasalahan yang muncul dalam implementasi sertifikasi guru dalam jabatan adalah tentang kualifikasi guru dan sertifikasi guru. Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, pendidikan formal guru minimal S1 atau D4. Undang-Undang Guru dan Dosen diundangkan pada tahun 2005, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2005. Saat Undang-Undang ini mulai berlaku, kualifikasi pendidikan formal guru masih bervariasi. Guru TK/RA/TKLB dan SD/MI/SDLB masih banyak yang berpendidikan di bawah S1 atau D4. Sementara guru SMP/MTs/SMPLB dan SMA/MA/SMALB/ SMK juga masih banyak yang belum berpendidikan formal minimal S1 atau D4. Pasal 13 Undang-Undang Guru dan Dosen menyebutkan: (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat; (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam Pasal 82 UU Guru dan Dosen disebutkan sebagai berikut: Pemerintah mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dalam waktu 12 (duabelas) bulan terhitung sejak berlakunya undang-undang ini. Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada undang-undang ini wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya undang-undang ini. Dari ketentuan ini seharusnya guru-guru dalam jabatan yang diangkat sebelum lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen ini (30 Desember 2005), pada akhir tahun 2015 nanti semuanya telah mengikuti program kualifikasi dan program sertifikasi. Ini artinya seharusnya semua guru dalam jabatan pada tahun 2015


Perspektif telah berpendidikan minimal S1 atau D4, dan semua guru dalam jabatan telah memiliki sertifikat guru profesional. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat ini masih banyak guru dalam jabatan yang belum mengikuti program kualifikasi. Hal ini disebabkan keterbatasan anggaran Pemerintah dan pemerintah daerah tidak memprioritaskan program kualifikasi bagi guru yang belum S1 atau D4. Untuk peningkatan kualifikasi guru dapat ditempuh melalui beasiswa dari Pemerintah, Pemerintah Daerah (baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota), Yayasan Pendidikan Swasta, atau swadana dari guru. Kalau pada akhir tahun 2015 guru dalam jabatan yang diangkat sebelum keluarnya UU Guru dan Dosen, belum berpendidikan minimal S1 atau D4 akan menjadi masalah tentang status mereka. Beberapa pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota ada yang menganggarkan biaya kualifikasi guru, bahkan ada yang memberi beasiswa sampai jenjang S2 dan S3, namun banyak yang tidak menganggarkan biaya kualifikasi guru dalam jabatan. Begitu pula dengan sertifikasi guru dalam jabatan, dengan melihat kuota sertifikasi setiap tahun dapat diprediksi bahwa pada tahun 2015 program sertifikasi guru dalam jabatan tidak akan selesai. Berarti pada akhir tahun 2015 masih banyak guru dalam jabatan yang belum mengikuti program sertifikasi. Salah satu solusinya adalah pada tahun 2015 kuota sertifikasi dinaikkan sehingga semua guru yang diangkat sebelum lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen yang memenuhi syarat sudah mengikuti program sertifikasi. Kalau ini tidak dilaksanakan akan terjadi protes dari guru yang belum mendapatkan jatah sertifikasi. Kendala lainnya biaya sertifikasi saat ini dianggarkan melalui APBN melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun melalui Kementerian Agama. Hampir tidak ada pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota yang menganggarkan biaya sertifikasi guru. Pendidikan Profesi Guru Bagi Calon Guru Manakala aturan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen khususnya pada pasal 13 dan pasal 82 ditaati oleh pemerintah dan Pemerintah Daerah, mestinya akhir tahun 2015 program kualifikasi dan sertifikasi guru dalam jabatan tuntas, sehingga mulai tahun 2016 tidak ada program kualifikasi dan program sertifikasi guru dalam jabatan. Namun karena tidak ditaatinya implementasi Undang-Undang Guru dan Dosen, kemungkinan program kualifikasi dan program sertifikasi guru dalam jabatan tetap akan berlangsung. Bagaimana kebijakan Pemerintah dalam hal ini, jawabannya masih dalam perut sejarah. Pendidikan Profesi Bagi Calon Guru diatur dalam UndangUndang Guru dan Dosen. Di antaranya diatur dalam pasal 11 ayat (1) sertifikasi pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan, dan (2) sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memilii program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapakan oleh Pemerintah. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 tentang Guru. disebutkan dalam pasal 4 : (1) Sertifikat pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik

67

yang diselenggarakan oleh Pemerintah mupun oleh masyarakat, dan ditetapkan oleh Pemerintah; (2) Program pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diikuti oleh peserta didik yang telah memiliki kualifikasi akademik S1 atau D4 sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari keterangan dalam UU Guru dan Dosen serta PP 74 tahun 2008 tentang Guru seharusnya pengangkatan guru mulai tahun 2016 adalah calon guru yang telah lulus sertifikasi guru melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Saat ini PPG masih terbatas, sehingga menjadi pertanyaan besar apakah pengadaan guru mulai tahun 2016 sudah diangkat guru yang lulus sertifikasi melalui PPG atau masih dimungkinkan pengangkatan guru baru, mereka yang sudah lulus S1 atau D4 tetapi belum memiliki sertifikat guru. Ada perbedaan muatan mata kuliah pada PPG antara yang berlatar belakang kependidikan dan nonkependidikan yaitu: (1) untuk lulusan program S1/D4 kependidikan dititikberatkan pada penguatan kompetensi profesional, dan (2) untuk lulusan program S1/D4 nonkependidikan dititikberatkan pada pengembangan kompetensi pedagogik (PP 74 tahun 2008 pasal 8). Adanya PPG merupakan keharusan guru sebagai jabatan profesi. Pada profesi lain seperti dokter, apoteker, notaris, dan lainlain juga ada pendidikan profesi setelah lulus S1 atau D4. Yang menjadi masalah saat ini PPG kuota ditentukan oleh Pemerintah sangat terbatas. Begitu pula perguruan tinggi yang menyelenggarakan PPG juga terbatas. Yang menjadi pertanyaan apakah pemerintah telah mampu memiliki dana untuk PPG, sehingga perencanaan PPG dengan kebutuha guru benar-benar akurat. Masalah yang kedua tentang LPTK yang ditunjuk sebagai penyelenggara PPG. Dalam peraturan ditentukan LPTK negeri atau swasta yang terakreditasi. Sementara ini yang diberi kepercayaan menyelenggarakan PPG sebagain besar LPTK negeri. Memang ada beberapa LPTK swasta yang ditunjuk namun jumlah dan kuota mahasiswanya sangat terbatas. Selain dua masalah tersebut di atas, LPTK swasta menghendaki agar PPG melekat pada LPTK yang bersangkutan. Maksudanya setiap LPTK baik negeri maupun swasta yang terakreditasi diberi kepercayaan menyelenggarakan PPG, sehingga bagi mahasiswa yang sudah lulus S1 atau D4 kependidikan dapat langsung mengikuti PPG pada perguruan tinggi yang sama. Sementra ini usulan belum direspon wecara serius oleh Pemerintah. Keuntungan dengan adanya PPG adalah setiap calon guru yang sudah memiliki sertifikat PPG, maka dia berarti sudah guru profesional, sehingga kalau diangkat menjadi guru tidak perlu mengikuti sertifikasi guru dalam jabatan lagi. Hal ini akan berdampak bahwa guru yang bersangkutan dalam waktu tertentu sudah akan mendapatkan tunjangan profesi. Namun juga ada kerugiannya yaitu untuk dapat diangkat menjadi guru khususnya guru PNS memerlukan tambahan pendidikan profesi guru sesuai dengan latar belakang pendidikan yang bersangkutan antara 18 SKS sampai dengan 40 SKS. Berarti seorang yang telah lulus S1 atau D4 harus belajar lagi mengikuti PPG sebelum diangkat menjadi guru.

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


68 Resensi

Tiga benih. Benih bertaburan. Berbunga. Oleh: Kartika Dewi Tribuana

Dibawah pohon. Ada kehidupan. Film ini mengisahkan tentang tiga perempuan dengan kisah yang berbeda. Kisah pertama datang dari Maharani. Seorang perempuan yang sejak dari lahir dijual oleh sang ibu. Maharani menelusuri Bali untuk mencari siapa dan dimana akar nya. Dalam perjalanannya ia menemukan berbagai pengalaman lain, dimulai dari adegan erotisnya dengan salah satu pemuda Bali yang menyatakan ia mirip dengan Ibunya, sampai ia menemukan persoalan tentang perdagangan bayi di Bali. Kisah kedua datang dari Dewi, perempuan Bali yang tengah hamil. Dewi dihadapkan dengan kenyataan bahwa janinnya terkena an ensephalus, yaitu keadaan dimana sang bayi tidak memiliki otak. Dewi diberikan pilihan. Pilihan pertama, untuk menggugurkan kandungannya atau pilihan kedua tetap mempertahankan kandungannya dengan melahirkan secara normal. Akan tetapi bayinya hanya akan bisa hidup selama beberapa menit saja. Pilihan ini hanyalah soal waktu, karena segala pilihannya akan berdampak sama. Kematian. Kisah ketiga datang dari Nian. Perempuan yang berprofesi sebagai artis di Jakarta. Perempuan yang sudah tidak memiliki Ibu dan tak tahu jalan hidupnya akan dibawa kemana. Nian memilih Bali untuk tinggal lantaran malu menghadapi kenyataan bahwa sang ayah terlibat kasus korupsi. Di Bali Nian sering sekali mengikuti seorang seniman bernama Darma, hingga akhirnya ia menemukan sosok ayah pada diri Darma.

Judul : Under The Tree Sutradara : Garin Nugroho Produser : Garin Nugroho Durasi : 104 menit Tanggal rilis : 5 September 2008

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

Dalam film ini, sang sutradara memakai beberapa simbol untuk membantu kita masuk ke dalam dilema para perempuan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari beberapa adegan yang kental akan simbol yang menunjukkan keadaan psikologis tokoh. Adegan saat Dewi memainkan gunting di dekat perutnya, memukul mukul kelapa dengan kapak atau saat Dewi menyanyikan tembang Bali sambil melahap sebuah telur. Simbol-simbol tersebut mampu untuk menggambarkan bagaimana keadaan dan tekanan yang sedang dihadapi oleh Dewi. Begitupun dengan kisah Nian. Nian menutupi wajahnya dengan kardus saat mengetahui ayahnya menjadi terdakwa kasus korupsi. Dengan wajah tertutup kardus, Nian berjalan mendekati Darma. Perlahan Nian membuka kardusnya dan berbaring dipangkuan Darma. Simbol kardus yang menutupi wajah menandakan bahwa Nian malu menghadapi kenyataan bahwa ayahnya terlibat korupsi. Hal ini diperkuat dengan perkataan Nian saat


Resensi

Masyarakat dalam

Belenggu Sistem Sekolah Oleh: Andrias Indra Gautagama pertama menutup wajahnya dengan kardus, “Bapak saya tidak punya x! Tidak punya hati! Tidak punya tangan!� Tak hanya sampai disitu, sang sutradara secara detail menyisipkan simbol dalam tarian di film ini. Tarian-tarian Bali yang disuguhkan dalam cerita rupanya bukan hanya sebagai penghias cerita. Seperti halnya cerita Gandhari ibunda Kurawa yang diceritakan lewat salah satu tarian. Gandhari merupakan seorang ibu yang cemburu dengan Kunti yang melahirkan Pandawa. Gandhari pun akhirnya melahirkan seratus orang putra dan satu orang putri. Dan tarian yang bercerita mengenai kisah Calon Arang. Calon Arang ialah seorang janda penguasa ilmu hitam, yang dendam karena tidak seorang pun yang mau meminang putri cantiknya. Calon Arang akan berjuang habis-habisan untuk membela anaknya, tak peduli anaknya sejahat apapun, tak peduli walaupun harus bersekutu dengan iblis. Kisah ini menggambarkan kasih sayang ibu terhadap anaknya. Tidak seperti film pada umumnya yang beralur pembuka-klimaks-penutup. Dari awal cerita film ini sudah menceritakan bagaimana konflik yang terjadi secara bertubi-tubi. Tak hanya menonjolkan unsur ceritanya, film ini pun menonjolkan unsur budaya dan seni yang menjadi ciri khas Bali. Tiga kisah perempuan dalam film ini tidak saling berkaitan, hanya waktu dan kejadiannya yang sama yaitu di Bali pada tahun 2008. Musik dan lagu yang dinyanyikan para pemain dalam beberapa scene salah satu cara lain agar penonton merasakan emosi yang dirasakan oleh pemain. Satu hal yang disayangkan dari film ini adalah eksekusi akhir cerita yang terbuka. Yang membebaskan penonton mencari akhir dari masing masing cerita.

Judul Terjemahan Penulis Penerjemah Penerbit Tebal

Benarkah sekolah merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan masa depan

: Bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah : Deschooling society : Ivan Illich : A. Sonny Keraf : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 166 halaman

anak bangsa? Jika tidak, mengapa kita tidak bisa lepas darinya, dan masih menggantungkan nasib pada suatu lembaga yang disebut ‘sekolah’?

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

69


70 Resensi

Ivan Illich dalam bukunya yang berjudul Deschooling Society memaparkan suatu pemikiran yang luar biasa. Ia melihat sekolah dari sudut pandang yang berbeda, pemikirannya membawa kita untuk merenung sejenak dan berpikir mendalam lalu mendongkrak paradigma kita yang keliru mengenai sekolah. Dari sintesisnya tersebut, Ia melihat sekolah justru diskriminatif, tidak egaliter, dan hanya mementingkan sekelompok golongan. Model sistem persekolahan sekarang ini, cenderung menganut semangat kapitalisme. Sekolah dibentuk untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sekolah dituntut untuk menghasilkan output yang bisa hidup dan mampu bersaing di perekonomian terbuka. Sehingga terbentuklah sekolah modern dengan sebuah sistem untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini mempengaruhi paradigma masyarakat, bahwa untuk hidup di era modern berarti harus mengikuti sistem yang berlaku di sekolah. Menurut Illic, struktur industri masyarakat kapitalis telah membentuk paradigma yang keliru dalam memandang fenomena modernisasi. Masyarakat selalu dan hanya mengaitkan pendidikan dengan sekolah, pelayanan kesehatan dengan rumah sakit, mobilitas pribadi dengan frekuensi aktivitas yang banyak, dan seterusnya. Inilah fenomena ketika kebutuhan-kebutuhan non-material dalam spektrum masyarakat kapitalis telah diubah menjadi permintaan terhadap barang, yang tentu saja berada dalam jaringan sistem kapitalisme. Ketergantungan masyarakat terhadap institusi sekolah untuk memperoleh pendidikan ini menurut Illich merupakan suatu bentuk pelembagaan nilai yang mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan polusi fisik, polarisasi sosial, dan ketidakberdayaan psikologis. Definisi dan label-label sosial diciptakan dalam kerangka hubungannya dengan lembaga sekolah. Salah satu paradigma yang berlaku dimasyarakat saat ini ialah orang yang tidak sekolah dianggap bodoh, hanya orang yang bersekolahlah yang dianggap berpendidikan. Jika anda ingin sukses nantinya dengan predikat berpendidikan maka anda harus mengikuti jalur dengan sistem yang terlembagakan seperti sekolah. Akibatnya terjadi distorsi dalam proses pendidikan yang sesungguhnya. Paradigma ini ditanamkan untuk menancapkan hegemoni kapitalis di masyarakat. Sekolah membentuk suatu sistem kelas yang berlaku di masyarakat dengan adanya standar dengan klasifikasi khusus. Dalam menuju suatu kesuksesan peserta didik harus

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014

melewati standar dan klasifikasi tertentu, lalu dibentuklah nilai dan sertifikat sebagai legitimasi kompetensi seseorang. Sistem sekolah dengan strata kelas yang terstandar lebih menguntungkan kaum borjuis, dengan modal yang kuat dia mempunyai kesempatan yang lebih dalam mengakses pendidikan yang bermutu, sehingga nantinya melahirkan generasi kapital baru yang memainkan peran sosial di masyarakat. Dengan adanya sistem klasifikasi kelas, akan terjadi ketimpangan sosial yang curam antara kaum borjuis dan proletar. Akses kehidupan akan dikuasai sepenuhnya oleh golongan yang memiliki modal kuat dan pengaruh di masyarakat. Dari situlah Illich melihat bahwa sekolah modern tidak lebih sebagai alat untuk menancapkan semangat kapitalis yang nantinya melahirkan para pekerja baru untuk memenuhi kebutuhan pasar. Disinilah Illic melihat fenomena yang terjadi di masyarakat, dia mencoba mengembalikan hakikat dari suatu proses pendidikan. Pendidikan seharusnya dapat diakses oleh siapapun tanpa melihat status sosial seseorang. Pendidikan dibuat tidak untuk menghambat perkembangan seseorang. Pendidikan dibuat untuk meminimalisirkan ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Pendidikan dengan nilai dan klasifikasi khusus dihapuskan agar tidak diskriminatif. Pendidikan tidak dipersempit cakupannya dengan konteks hanya didalam kelas. Setiap anak bebas mengakses dan memperluas jaringan diantara mereka tanpa ada sekat. Interaksi diantara mereka diperlukan dengan tujuan saling membantu sesama. Paradigmapun diubah dengan tidak melihat sertifikat ataupun nilai rapor tapi lebih pada kemampuan individu seseorang. Revolusi budaya yang dilakukan Illic ini sungguh menarik, terutama melihat konteks pembangunan Indonesia di era modern ini, dimana pendidikan sekarang terlihat semakin berjenjang sesuai kelas ekonomi masyarakatnya. Pendidikan yang bermutu hanya bisa diakses oleh sekelompok golongan saja. Maka perlunya pendidikan demokratis dan egaliter yang bisa dijangkau dan diterima oleh masyarakat tanpa mengurangi nilai yang terkandung dalam proses pendidikan tersebut. Kekurangan dari buku ini adalah penilaian Illich yang cenderung telalu radikal dan skeptis dalam melihat sistem persekolahan. Illich juga kurang memaparkan solusi alternatif dari permasalahan yang ada. Akan tetapi dengan segala kekuranganya, buku ini mampu mengajak kita berpikir ulang mengenai sistem sekolah yang ada di sekitar kita. Buku ini patut mendapat penghargaan.


71

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


72

MAJALAH POROS EDISI VIII / TAHUN 2014


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.