Article - Introduction to Urban Design

Page 1

Urban Architecture

AR4111 Pengantar Arsitektur Kota

Mochammad Fikri Ardiansyah/15219083

Bata Merah sebagai Genius Loci-nya Streetscape Di Jalan Siti Inggil, Bejijong, Kawasan Trowulan

Bata merah, material yang sering ditampilkan secara gamblang dalam salah satu bagian façade bangunan saja, namun pernahkah terbayangkan bata merah ekspos ditampilkan di keseluruhan bangunan? Atau bahkan dalam satu deret rumah? Distrik? bahkan satu kawasan menampilkan façade bata merah ekspos yang sama? Fenomena ini terjadi di salah satu Kawasan Peninggalan Majapahit di Trowulan khususnya di Jalan Siti Inggil, Desa Bejijong yang menjadi desa dengan façade batu merah seragam terbanyak. Jalan Siti Inggil ini jalan desa yang bermuara di Makam Raden Wijaya salah satu Raja Majapahit. Fenomena keseragaman façade bata merah yang digaungkan oleh pemerintah setempat mengubah image Jalan Siti Inggil menjadi titik perhatian kota secara praktik. Secara teoritis, jika dilihat dari elemen teori Image of The City secara parsial dapat dijelaskan. Path, jalur jalan Siti Inggil hanya lurus yang bermuara di Makam Raden Wijaya menimbulkan kebosanan, dengan adanya variasi pada tekstur façade bata merah menjadi lebih kaya. Edges, Sisi tepi jalan yang dibatasi pagar bata merah memperkaya tekstur yang dapat dirasakan dan dinikmati secara visual oleh pejalan kaki. Nodes, jalan Siti Inggil yang lurus tidak memiliki simpul penghentian yang menyebabkan kelelahan, namun ini terbayar dengan hadirnya façade bata merah yang mengapit pengguna jalan. dikategorikan pada Concerning Contents yang menceritakan dirinya sendiri sebagai ruang koridor jalan yang kaya akan rona tekstur material bata dengan warna merah sebagai gaya dan karakter kawasan situs yang menghidupkan kembali kehidupan Majapahit tidak hanya skala kecil beberapa bangunan, namun semua bangunan menerapkan rona bata merah menjadi ruh bangunannya. Pengalaman ruang yang menarik kita ke koridor waktu masa lalu ketika bata merah masih menjadi jiwa utama bangunan menghadirkan pengalaman manusia yang ditarik ulur berada di Jalan Siti Inggil saat ini secara tangible namun merasakan aura masa lampau secara intangible sehingga menghadirkan fenomenologi yang khas dan tidak akan didapatkan di tempat lain. Ragawidya bata merah muncul sebagai tubuh dari ruh bangunan masa Majapahit lampau yang kini hadir Kembali dalam skala masif dan menularkan ruhnya mengenai keindahan struktur bata merah alami di dalam perkotaan. Genius Loci Jalan Siti Inggil ini hadir melalui proyeksi penyeragaman façade bata merah bangunan sekitar yang tumbuh unik dan terus berdampingan dengan warga sekitar dan pendatang yang tidak ada di tempat lain. Namun, muncul pertanyaan apakah ruh Genius Loci ini menghadirkan kekhasan yang proporsional? Atau berlebihan sehingga muncul aura Genius Loci yang lain, yaitu membosankan? Dan bagaimana masyarakat dan pemerintah setempat berkompromi menciptakan Genius Loci bata merah ini dengan yang hilang dan dapat dihadirkan Kembali?

Selisik Pola Bentuk IKN Baru Indonesia di Masa Depan, Mampukah danAkankah Berbeda?

Ibu Kota Negara (IKN) baru Indonesia yang berada di Kalimantan Timur akan mengusung konsep forest city yang organik mengikuti bentuk alam sehingga diperlukan desain lanskap yang terintegrasi mengingat kawasan IKN memiliki karakteristik wilayah yang sensisif dan limitasi ekologi yang tinggi terhadap pembangunan. Melihat teori bentuk kota dari Kostof, mengapa dan bagaimana bentuk IKN kedepan dapat diwujudkan? bisakah teori kostof memprediksi bentuk IKN kedepannya?

Menurut website IKN, pada 2020 telah dilakukan Kajian Lingkungan Strategis Master Plan IKN secara terintegrasi dan sedang dilakukan penyusunan serta penyesuaian RDTR IKN. Jika dilihat secara umum, menurut teori Kostof City as Diagram IKN cenderung mengikuti pola sungai dan hutan di sekitar kawasan, hal ini menunjukkan hirarki pembangunan IKN lebih mementingkan geografis alam daripada pembangunan kota itu sendiri. Konsep forest city membuat pola IKN memiliki pendekatan berbeda dari kota lain yang hirarkis terhadap kosmik, faith, sosial, dan kultural yang dijdikan patokan oleh kota lain, seperti Washington, Paris, Barcelona dan lainnya. Namun secara spesifik, Pola Masterplan diambil dari hasil Sayembara IKN beberapa waktu lalu yang terbagi menjadi 2 kawasan, yaitu IKN dan K-IKN. IKN terdiri dari IKN bagian utara, selatan, timur, dan barat yang dikembangkan menjadi kota tematik, seperti Kota Teknologi, Kota Olahraga, Kota Riset Media dan Kesehatan, serta Kota Edukasi-Kreatif-Inovasi. Sedangkan K-IKN menjadi kawasan inti IKN yang terdiri dari KIPP (Kawasan inti Pusat Pemerintahan). Dilihat dari teori Kostof, kawasan IKN cenderung berkembang secara kantung pola organik dengan menerapkan Urban Cluster secara tematik. Kawasan kluster tematik IKN ini cenderung memiliki bentuk organic pattern mengikuti pola aliran sungai dan kanal anak sungai di sekitar site yang kemudian digabungkan dengan grid pattern yang dipecah oleh sirkulasi organik utamanya. Urban Cluster tematik ini menimbulkan Energized Crowding pada simpul kota tersebut sesuai dengan tematik kota pendukung IKN sekitarnya sehingga mempengaruhi cara berkembang kota tersebut secara historikal, sosial, dan kultural kedepannya. Akankah Kota Teknologi akan berkembang lebih buruk secara fisik dari Kota Edukasi dan Inovasi? Atau bahkan Kota Olahraga akan berkembang lebih baik secara pembangunan kesehatan daripada Kota Riset Media dan Kesehatan itu sendiri? Hal ini dipengaruhi oleh aspek Diferent Resources dari masing-masing kota tematik di IKN, baik resources secara sumber daya alam maupun manusianya. Selain itu, IKN memiliki konsep ‘10 menit berjalan’ yang artinya akan muncul grid per blok yang akan mempengaruhi bentuk pola bangunan dalam IKN.

AR4111 PengantarArsitektur Kota

Menilik secara spesifik di K-IKN, teori Kostof dapat digunakan secara jelas. Pola Grand Manner dapat dilihat secara jelas dari atas terdapat Axis yang cukup kuat dan panjang membelah kawasan K-IKN di KIPP yang membentang dari Istana Negara hingga Plaza dan Danau ideologi pancasila. Pola ini menegaskan KIPP ini sebagai pusat dari Kawasan IKN Baru

Indonesia, sebagai pusat pengembangan dan identitias ideologis Indonesia serta contoh bagi Kota lain di Indonesia maupun dunia. Grand Manner ini jika dipecahkan lagi, dapat dilihat dari bagian Axis yang membentuk boulevard antara Istana Negara dengan kawasan sekitar yang berujung pada Danau Ideologi sebagai garis benang merah yang menyatukan permukiman ataupun perkantoran sekitarnya. Axis ini melawan konsep utama IKN yang mengikuti konsep forest city yang organik terhadap bentuk geografis hutan dan sungai di sekitar kawasan. Garis lurus ini menjadi sebuah pembeda dan titik perhatian sebagai Grand Manner KIPP yang menegaskan sebagai pusat kawasan IKN dan pusat dari Indonesia secara keseluruhan.

AR4111 PengantarArsitektur Kota

Taman Ganesha dan Ketidakmampuannya menjadi Social Activity Support & Place for Democracy Mahasiswa ITB Mochammad Fikri Ardiansyah – 15219083

Taman Ganesha, menjadi salah satu elemen kota yang dirancang dalam kategori Open Space menurut teori elemen fisik kota dari Shirvani (1985). Taman Ganesha termasuk daalam elemen pelengkap Kota Bandung yang berada dalam masterplan kampus Institut Teknologi Bandung. Taman Ganehsa dirancang dengan bentuk dan gaya Indische Tropische Park sebuah gagasan lanskap tropis priangan yang dipromosikan oleh kelompok Bandung Vooruit dengan khas gaya Prancis dan Italia pada abad pertengahan menjelang renaisans. Taman yang dulunya Bernama “Ijzerman Park” ini dirancang secara estetis fungsinya yang tidak hanya meyerap polusi kota, namun untuk memberi kesegaran di antara rutinitas keseharian. Taman Ganesha kemudian bergeser menjadi ruang fungsi publik karena kedekatannya dengan institute Pendidikan, komersil, dan perumahan yang menjadi target pengguna Taman Ganesha. Namun, aspek kedekatan tersebut tidakmembuat taman ini menjadi lebih hidup sebagai ruang publik, justru memunculkan fenomena taman yang sepi dan seperti taman pemakaman yang tidak terdapat aktivitas di dalamnya. Kemana mahasiswa ITB (sebagai target utama pengguna) ketika melakukan kegiatan, mengapa tidak tertarik menggunakan Taman Ganesha sebagai pusat sosial mahasiswanya?

memilih

terlihat, hanya di bagian sisi utara (plaza tugu kubus) Taman Ganesha yang hanya terlihat digunakan untuk sekedar ‘nongkrong’ dan aktivitas kecil lainnya seperti mengobrol ringan. Tanpa disadari kegiatan ini berpotensi menjadi Place for Democracy mahasiswa ITB dengan cara menjadi tempat berkumpulnya percikan ide-ide kecil yang didiskusikan mahasiswanya. Namun, hal ini masih menimbulkan pertanyaan mengenai mampukah Taman Ganesha menjadi Place for Democracy atau menjadi pusat demokrasi dan berkreasi mahasiswa ITB? Mengingat belum adanya atau tidak diliriknya Taman Ganesha sebagai pusat pergerakan aktivitas mahasiswa ITB. Taman Ganesha cenderung sepi dan tidak terawat, bahkan mati seolah terpendam dan tak menunjukkan ke-eksis-an dirinya sebagai pusat aktivitas ruang publik bagi sekitarnya. Fenomena ketidakmampuan Taman Ganehsa menjadi magnet pusat sosial dan demorkasi mahasiswa ITB ini dapat diannalisis dari teori The Social Life of Small Urban Spaces karya White (1980). Menurut teori tersebut, Taman Ganesha tidak mampu menunjukkan dirinya sebagai pusat sosial dan demokari mahasiswa ITB

aktivitas kemahasiswaan.

AR4111
Pengantar Arsitektur Kota
Taman Ganesha Dari aspek Social Activity Support, Taman Ganesha seharusnya dapat menjadi alternatif aktivitas mahasiswa ITB untuk bersosialisasi dan melakukan kegiatan kemahasiswaan. Namun, fenomena mahasiswa ITB yang lebih Lapangan Ganyang menjadi pilihan Sering

sebagai pengguna utamanya dikarenakan adanya beberapa elemen yang tidak tercapai, khususnya pada elemen Demographic of Plaza Users dan User Behavior Untuk menciptakan Successful Social Space, hal paling utama yaitu adanya segmentasi demografi pengguna (Demographic of Plaza Users) pada suatu ruang publik. Taman Ganesha sudah memiliki desain aspek fisik yang bagus, baik dari segi elemen natural, relasi dengan pedestrian utama, kapasitas, dan lainnya namun teralihkan untuk menyesuaikan desain tersebut terhadap konteks sekitar yang ternyata pengguna utamanya paling besar akan berasal dari Mahasiswa ITB itu sendiri.Ketidakmampuandalamsegmentasidemografiiniyangmengakibatkanaspek desain secara eksposur kurang bisa terlihat dan menarik mahasiswa ITB untuk melakukan kegiatan di Taman Ganesha. Eksposur dan kurangnya Openers pada plaza – plaza besar untuk mengakomodasi aktivitas sosial dan demokrasi mahasiswa menjadi sebab mengapa Taman Ganesha masih bukan menjadi pilihan lokasi kegiatan berkemahasiwaan di ITB. Aspek kedua adalah karena User Behavior yang tidak teridentifikasi dengan baik. Pengguna Taman Ganesha yang dominan berasal dari mahasiswa ITB seharusnya menyediakan ruang yang identik dengan kegiatan kemahasiswaan dan konfigurasi tempat yang familiar dengan aktivitas mahasiswa seperti berdiskusi, kebebasan, dan mengerjakan tugas sambal santai serta bermain. Sementara itu, Taman Ganesha saat ini lebih mirip seperti taman publik perkotaan yang identik dengan bersantai dan pengguna yang lebih bersifat individu maupun kelompok kecil untuk aktivitas bersantai, ketimbang aktivtias kemahasiswaan yang justru berpotensi menjadi pengguna utamanya. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya sedikit perbaikan untuk mengikuti tren perkembangan aktivitas kemahasiswaan dalam perbaik konfigurasi Taman Ganesha serta kesadaran mahasiswa ITB untuk memanfaatkan ruang publik seperti Taman Ganesha sebagai ruang sosial dan demokrasi yang sebebas-bebasnya dalam beraktivitas khususnya ruang publik.

AR4111

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.