Buletin Teknik Pertanian

Page 1

Buletin

Volume 16 Nomor 2, 2011

Penanggung Jawab Kepala Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian

Dewan Redaksi Unang G. Kartasasmita (Ketua) Sri Rachmawati Sukarman Suparlan Djajeng Sumangat Darliah Markus Anda

Redaksi Pelaksana Enok Nurhayati Ujang Sahali

Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jalan Ragunan No. 29, Pasarminggu Jakarta 12540

Alamat Redaksi Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Jalan Ir. H. Juanda No. 20 Bogor 16122 Telepon: (0251) 8321746 Faksimile: (0251) 8326561 E-mail: pustaka@litbang.deptan.go.id Homepage: http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id


Buletin

Pengantar Buletin Teknik Pertanian (BTP) merupakan satu-satunya terbitan Badan Litbang Pertanian yang memuat karya tulis teknisi litkayasa. BTP telah berperan dalam mendukung peningkatan jenjang jabatan fungsional teknisi litkayasa. Selama 15 tahun, antara 19962011, BTP telah bermanfaat sebagai medium bagi teknisi litkayasa dalam mendiseminasikan pengalamannya kepada khalayak pengguna. Secara ideal, pada setiap nomor penerbitan BTP dapat dimuat beragam komoditas atau aspek sesuai dengan beragamnya unit pelaksana teknis lingkup Badan Litbang Pertanian. Akan tetapi, keinginan yang ideal tersebut tidak selalu dapat dipenuhi karena sangat bergantung pada jumlah dan mutu artikel yang masuk ke meja redaksi. Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teknisi litkayasa yang telah mengirimkan artikelnya, sehingga isi BTP masih cukup beragam dari segi komoditas dan disiplin ilmu. Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pimpinan unit kerja lingkup Badan Litbang Pertanian yang selama ini telah memberikan perhatian dan pembinaan kepada teknisi litkayasa. Teknisi litkayasa memerlukan kondisi dan lingkungan kerja yang kondusif agar mereka terus termotivasi dan bersemangat dalam menulis artikel untuk BTP. Lebih jauh, pembuat kebijakan dan legislasi sangat diharapkan dapat merumuskan dan menerbitkan peraturan yang dapat membangkitkan semangat dan motivasi serta meningkatkan kinerja dan kesejahteraan teknisi litkayasa. Akhirnya, khalayak pengguna dan pembaca diharapkan dapat memberikan umpan balik yang konstruktif untuk peningkatan mutu dan manfaat BTP khususnya dan lebih lanjut untuk peningkatan kinerja Badan Litbang Pertanian. Redaksi

Buletin Teknik Pertanian memuat karya tulis tentang kegiatan Teknisi Litkayasa serta analisis kegiatan lapangan yang disajikan secara praktis. Buletin ini diterbitkan sejak tahun 1996, dengan frekuensi dua kali dalam setahun.

Volume 16 Nomor 2, 2011

ISSN 0853-8379

Daftar Isi Teknik Pengujian Galur Padi Gogo terhadap Keracunan Aluminium di Rumah Kaca Ade Santika

43-47

Teknik Uji Daya Simpan Entres Durian Varietas Kani sebagai Bahan Penyambungan Sukarmin

48-51

Teknik Inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula pada Benih Sirsak (Annona muricata L.) Sukarmin dan Dewi Fatria

52-54

Teknik Pengamatan Pertumbuhan Buah untuk Mengetahui Fase Pembentukan Endosperma Durian (Durio zibethinus) Dwi Wahyuni Ardiana, Farihul Ihsan, dan Sukarmin

55-57

Teknik Pengujian Pembelahan Biji terhadap Efektivitas Perbanyakan Manggis (Garcinia mangostana L.) melalui Biji Farihul Ihsan dan Sukarmin

58-60

Teknik Pengamatan Curah Hujan di Stasiun Klimatologi Kebun Percobaan Cukurgondang, Pasuruan Endriyanto dan Farihul Ihsan

61-63

Teknik Pembebasan Virus pada Tanaman Krisan Supenti dan Nina Marlina

64-67

Teknik Analisis Residu Golongan Tetrasiklin dalam Daging Ayam secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Yessy Anastasia

68-73

Teknik Analisis Pestisida Organoklorin pada Tanaman Kubis dengan Menggunakan Kromatografi Gas Sri Yuliastuti

74-76

Sosialisasi Teknik Pembuatan Arang Tempurung Kelapa dengan Pembakaran Sistem Suplai Udara Terkendali Rustan Hadi

77-80


43

Ade Santika: pengujian padi gogo terhadap keracunan aluminium Buletin TeknikTeknik Pertanian Vol. 16,galur No. 2, 2011: 43-47

TEKNIK PENGUJIAN GALUR PADI GOGO TERHADAP KERACUNAN ALUMINIUM DI RUMAH KACA Ade Santika Teknisi Litkayasa Penyelia pada Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jalan Raya Ciapus No. 25C, Muara, Bogor 16610. Telp. (0251) 8322064

P

adi gogo umumnya ditanam di lahan kering atau lahan pada kondisi kering. Secara umum, lahan kering didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan yang tidak tergenangi air dalam kurun waktu tertentu. Lahan kering terbagi menjadi lahan kering tanah masam dan tidak masam. Lahan kering tanah masam dicirikan dengan pH < 5 dan sebaliknya lahan yang memiliki pH > 5 merupakan lahan yang tidak masam (Mulyani et al. 2003). Di luar Jawa, padi gogo banyak ditanam pada lahan kering Podzolik Merah Kuning (PMK). Pengembangan padi gogo pada lahan tersebut dibatasi oleh beberapa kendala biotik dan abiotik. Kendala abiotik yang berpengaruh terhadap peningkatan dan kestabilan hasil antara lain adalah keracunan aluminium (Al). Keracunan Al biasa dijumpai pada pertanaman padi gogo di lahan PMK (Ultisols dan Oxisols) dengan pH rendah. Varietas toleran Al memiliki kemampuan mengubah pH pada daerah perakaran dan dapat menahan Al berlebihan pada akar sehingga kandungan Al di bagian atas tanaman lebih rendah (Howeler et al. dalam Lubis 1993). Menurut Ismunadji dan Partohardjono (1985), batas kritis kejenuhan Al untuk padi gogo adalah sekitar 40%. Pengapuran pada lahan masam sebagai suatu usaha ameliorasi yang biasa digunakan hanya terbatas menetralkan lapisan tanah atas (Nasution dan Suhartini 1992). Penggunaan varietas toleran keracunan Al sangat penting untuk menjaga kemantapan produksi padi di lahan PMK. Selain itu, lahan juga tidak memerlukan pengapuran dan penggunaan pupuk dapat dikurangi (Lubis 1993). Pengujian ini bertujuan untuk menyaring galur-galur padi gogo yang memiliki toleransi terhadap keracunan Al.

BAHAN DAN METODE Pengujian dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan (KP) Muara, Bogor, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi pada Juni-September 2007. Bahan yang digunakan yaitu 100 galur padi gogo. Benih diperoleh dari hasil pemilihan pertanaman observasi padi gogo di KP Tamanbogo pada musim tanam 2006/2007.

Bahan lainnya adalah amplop benih ukuran 50 g, botol (tube) film, bak plastik ukuran 40 cm x 25 cm x 15 cm, baki plastik ukuran 32 cm x 24 cm x 4 cm, styreofoam, kain kasa, spidol, pensil, stiker kertas, bahan kimia HgCl2 0,2%, HCN 1N atau NaOH 1N, unsur hara makro N(NH 4NO 3 ), P(NaH2PO42H2O), K(K2SO4), Ca(CaCl2), Mg(MgSO47H2O), dan unsur hara mikro Mn(MnCl 24H 2O), Mo[(NH 4 )6Mo 7 4H 2O], B(H 3 BO 3), Zn(Zn SO 4 7H 2 O), Cu(CuSO 4 5H 2O), Fe(FeCl 36H2O), asam sitrat, asam sulfat pekat (H2SO 4), dan larutan Al, pipet ukuran 10 cc, buku daftar, dan daftar pengamatan. Alat yang digunakan meliputi dua buah drum plastik ukuran 60 l, dua buah ember plastik ukuran 25 l, dua buah ciduk plastik, alat pengaduk kayu, dan pH-meter.

Penyiapan Benih Benih galur padi gogo disusun, lalu disiapkan masingmasing 15 g dan dimasukkan ke dalam amplop benih ukuran 25 g serta diberi nomor urut. Di samping itu, masing-masing disiapkan 50 g benih dari varietas pembanding peka Al, yaitu Situ Patenggang, Limboto, Batutugi, dan ITA 131, serta varietas Hawara Bunar dan IR60080-23 sebagai pembanding toleran Al.

Perendaman Benih Dari 15 g benih yang telah disiapkan, masing-masing diambil 50 butir benih bernas, lalu dimasukkan ke dalam botol film dan diberi nomor urut. Benih dalam botol film disusun pada baki plastik dan masing-masing diberi larutan HgCl 2 0,2% selama 1 menit, kemudian dibilas dengan akuades tiga kali lalu direndam dengan akuades secukupnya selama 24 jam.

Penyiapan Larutan Hara Yoshida Untuk pengujian larutan Al di rumah kaca digunakan larutan Yoshida. Larutan ini dibakukan oleh Yoshida. Untuk tanaman


44

Ade Santika: Teknik pengujian galur padi gogo terhadap keracunan aluminium

padi stadium bibit, kebutuhan unsur hara makro dan mikro sudah terukur. Unsur hara makro disiapkan dengan melarutkan 91,4 g N(NH4 NO3) + 40,3 g P(Na H2PO4 2H2O) + 71,4 g K(K2SO4) + 88,6 g Ca(CaCl2) + 324 g Mg(MgSO47H2O) masing-masing unsur tersebut dalam 1 l akuades. Untuk memperoleh 25 l larutan, diperlukan kelipatan jumlah unsur-unsur tersebut di atas. Untuk menyiapkan unsur hara mikro, 1,5 g Mn(MnCl 2 4H2O) + 0,074 g Mo[(NH4)6Mo74H2O] + 0,934 g B(H3BO3) + 0,035 g Zn(Zn SO47H 2O) + 0,031 g Cu(CuSO45H2O) + 7,7 g Fe(FeCl36H 2O) + 11,9 g asam sitrat masing-masing unsur tersebut dilarutkan dalam satu liter akuades. Pada gabungan larutan tersebut di atas ditambahkan 50 ml H 2SO 4 pekat. Pada larutan Yoshida tanpa ada keracunan Al, pertumbuhan akar normal. Pada larutan dengan keracunan Al, pertumbuhan akar terhambat karena unsur P dan K terikat dengan unsur Al pada pH rendah (4,0-4,5). Oleh karena itu, larutan Yoshida selalu dipertahankan pada pH 4. Pada larutan ini, akar tanaman toleran sedikit berpengaruh tetapi akar tanaman yang peka akan memendek. Oleh karena itu, untuk menentukan tanaman toleran atau peka harus dibandingkan antara panjang akar dalam larutan Yoshida dengan keracunan Al terhadap panjang akar pada larutan tanpa keracunan Al, yang disebut relatif panjang akar (RPA).

Tahapan Penyiapan Hara Yoshida Beberapa hari menjelang pembuatan larutan hara Yoshida, terlebih dahulu disiapkan akuades pada dua buah drum plastik masing-masing Âą 60 l. Pembuatan larutan hara Yoshida dilakukan dua tahap. Pertama, akuades dari drum dipindahkan ke dalam dua ember plastik ukuran 25 l. Pada

Gambar 1. (a) Styreofoam yang beralaskan kain kasa tempat benih yang diuji dan (b) bibit dan galur padi gogo yang diuji umur 10 hari setelah tabur, KP Muara, Bogor, 2007

tiap ember akuades dicampur dengan bahan kimia unsur hara makro dan unsur hara mikro seperti tersebut di atas. Larutan diaduk merata hingga mencapai pH 4. Untuk menghindari terjadinya reaksi dari logam, pengadukan menggunakan pengaduk kayu. Kedua, pada salah satu ember campuran larutan hara ditambahkan hara Al 60 ppm. Pencampuran larutan Al dilakukan sedikit demi sedikit sambil diaduk dan diukur hingga mencapai pH 4 konstan.

Penaburan Benih Benih ditabur pada bak-bak plastik berukuran 40 cm x 25 cm x 15 cm yang telah diberi larutan hara Yoshida masing-masing pada taraf 0 (nol) untuk pengujian minus Al (-Al) dan taraf 60 ppm Al untuk pengujian +Al. Setiap bak plastik diisi Âą 4 l larutan. Benih ditabur menggunakan pinset di antara celahcelah styreofoam yang beralaskan kain kasa (Gambar 1a dan 1b). Pada setiap baris ditaburkan 10 butir. Dalam setiap bak terdapat delapan galur dan masing-masing varietas pembanding peka dan varietas tahan.

Perawatan Tanaman Perawatan tanaman meliputi pengukuran pH larutan pada setiap bak pengujian. Pengukuran pH dilakukan setiap dua hari. Penggantian larutan hara Yoshida, baik pada taraf 0 (nol) maupun 60 ppm Al pada setiap bak pengujian dilakukan setiap minggu. Pengamatan Variabel yang diamati dan diukur adalah panjang akar (Gambar 2). Pengukuran panjang akar dilakukan pada umur

Gambar 2. Melihat perbedaan panjang akar pada larutan + Al dan tanpa Al, KP Muara, Bogor, 2007


45

Ade Santika: Teknik pengujian galur padi gogo terhadap keracunan aluminium

tanaman 20 hari setelah tabur benih. Panjang akar diukur dari batas leher hingga ujung akar. Pengukuran dilakukan dengan mencabut satu per satu dari setiap galur. Pengukuran menggunakan penggaris plastik ukuran 50 cm. Data yang diperoleh dicatat pada daftar pengamatan. Selanjutnya, panjang akar digunakan sebagai dasar penetapan RPA. Penilaian toleransi keracunan Al berdasarkan nilai RPA dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu toleran (RPA > 0,71), agak toleran (RPA 0,630,70), dan peka (RPA < 0,63). Nilai RPA diperoleh berdasarkan perhitungan sebagai berikut: Nilai panjang akar tanaman - Al RPA = ———————————————— Nilai panjang akar tanaman + Al

HASIL DAN PEMBAHASAN Padi gogo terluas dikembangkan di lahan PMK. Pada lahan PMK, tanaman padi biasanya mengalami keracunan Al, kahat P dan K. Pengujian in situ di lahan PMK belum tentu mencirikan bahwa tanaman padi toleran keracunan Al. Diduga tanaman padi bereaksi moderat, namun kahat P dan K, sehingga tanaman masih menghasilkan bulir padi. Pengujian toleransi padi gogo terhadap keracunan Al di rumah kaca merupakan pengujian dasar dan pembanding bagi pengujian di lapangan. Di rumah kaca, jumlah galur yang diuji sangat terbatas, sedangkan pengujian di lapangan sebaliknya. Berdasarkan hasil pengukuran panjang akar, dari 100 galur padi gogo yang diuji, terdapat 12 galur (12%) yang menunjukkan reaksi toleran (nilai RPA > 0,71), 37 galur (38%) agak toleran (RPA 0,63-0,70), dan 50 galur (50%) peka (RPA < 0,63) (Tabel 1). Varietas pembanding Situ Patenggang, Limboto, Batutugi, dan ITA 131 menunjukkan reaksi peka (RPA < 0,63). Varietas Hawara Bunar dan IR 60080-23 menunjukkan reaksi agak tahan, berturut-turut memiliki RPA 0,67 dan 0,68. Berdasarkan 63 kombinasi persilangan, terdapat 11 kombinasi yang menunjukkan reaksi toleran, di antaranya B 11577, TB 490, B 11580, B 11576, B 11587, BP 1970, B 11582, BP 1976, B 11178, B 11352, dan B 11598 (Tabel 2). Sebanyak 25 kombinasi memberikan reaksi agak toleran dan selebihnya menunjukkan reaksi peka. Tanaman yang menunjukkan reaksi toleran diselamatkan dengan cara ditanam hingga menghasilkan benih di rumah

Tabel 1. Relatif panjang akar 100 galur padi gogo, KP Muara, Bogor, 2007 Galur/varietas B11577E-MR-B-12-1 B11577E-MR-B-12-1-1 B11577E-MR-B-13-4 B11577E-MR-B-13-5 B11577E-MR-B-13-1-1-5-5 TB490C-TB-1-2-1-MR-1-1 TB490C-TB-1-2-1-MR-4-22 TB490C-TB-1-2-1-MR-4-29 TB490C-TB-1-2-1 B11598C-TB-2-1-B-7 B11604E-TB-2-3 B11604E-TB-2-5 TB356B-TB-18-1 TB356B-TB-47-3 B11602E-M-R-1-1 B11602E-M-R-1-2 B11602E-M-R-1-3 B10553E-KN-68-1-1 BP1351D-1-2-PK-3-1 B368B-TB-25-MR-2 B11580E-TB-17-1-1-1 B10580E-KN-28-1-1 TB409B-TB-14-3 B11593F-MR-11-B-2-8 IR65907-116-1-B-MR-4 IR60080-23 IR30176 IRAT13 CABACU B11338F-TB-26 B11576F-MR-5-1 B11576F-MR-18-2 B11587F-MR-4-1 B11587F-MR-4-2 BP1970-20-IB-TB-2-1 TB401B-TB-21-MR-1 TB401B-TB-21-MR-3 TB393C-TB-2-2-MR-2 B11592F-MR-12-3-2-1 B11582F-MR-15 B11585F-MR-2-2 B11604E-TB-2-4-3 B528B-TB-12-1-1 B511B-61-2-3-1 TB203C-CKY-13-1 BP702C-SI-5-1-12 B11604E-TB-2-4-3-1 B1976B-2-3-7-TB-1-1 B9071F-TB-7 IR72768-15-1-1-MR3 B11178G-TB-29 B11604E-TB-2-4-3-2 B11912G-TB-2-1 B11912G-TB-2-2

Panjang akar (cm) -Al

+Al 60 ppm

14,08 10,63 13,68 8,89 12,19 6,21 10,88 6,74 14,14 7,35 12,77 9,07 16,11 9,67 15,98 0,30 15,17 8,50 18,62 9,31 17,95 9,51 17,39 9,43 15,43 10,34 17,92 9,50 16,59 8,63 16,25 10,40 15,79 9,63 18,66 12,30 19,63 11,00 12,66 7,85 20,72 15,54 12,30 7,13 17,05 11,42 16,08 10,30 13,33 8,53 13,92 9,05 14,44 8,80 10,85 5,97 16,42 9,20 13,66 8,74 11,44 8,33 12,87 10,17 13,39 10,31 13,65 8,20 16,42 12,64 15,81 10,91 13,09 8,25 11,02 6,30 16,40 9,35 13,34 9,50 10,69 6,73 13,21 8,32 15,63 10,00 14,96 8,40 13,72 5,92 13,56 7,46 Tanaman mati 14,96 10,92 15,31 8,88 12,71 8,90 13.12 10,10 12,18 8,25 12,92 6,98 13,79 7,03

RPA

Reaksi

0,71 0,65 0,51 0,56 0,52 0,71 0,60 0,58 0,56 0,50 0,53 0,52 0,67 0,53 0,52 0,64 0,61 0,65 0,56 0,62 0,75 0,58 0,67 0,64 0,64 0,65 0,61 0,55 0,56 0,64 0,73 0,79 0,77 0,60 0,77 0,69 0,63 0,57 0,57 0,71 0,63 0,63 0,64 0,56 0,65 0,55

T AT P P P T P P P P P P AT P P AT P AT P P T P AT AT AT AT P P P AT T T T P T AT AT P P T AT AT AT P AT P

0,73 0,58 0,70 0,77 0,68 0,54 0,51

T P AT T AT P P


46

Ade Santika: Teknik pengujian galur padi gogo terhadap keracunan aluminium Tabel 2. Reaksi galur padi gogo terhadap keracunan aluminium rumah kaca, KP Muara, Bogor, Agustus 2007

Tabel 1. (lanjutan) Galur/varietas B11177G-TB-7 B11352-MR-5-3-2 B11358-MR-17-3-2 B11598G-TB-2-5 B10533E-KN-6-1-2-TB-1-8 B11592F-MR-16-1-5-1 B11592F-MR-16-1-5-4 B11599D-TB-5-2-4 BP303/MB0-2-1-1 BP294D-TB-66-3-1-7-1 TB436-TB-2-3-3 B11592C-MR-4-1-2-1-2-1-3 B11592C-MR-4-1-2-7-5-2-1 B11216-4-PN-3-4-3-3-2-5-1 TB437B-TB-1-3-3-2 BP741F-2-3-PK-2-2-3-3-1 BP2008-16-3-TB-4-1-2-1-1 BP2008-16-3-TB-4-1-2-1-2 TB356B-TB-12-2-2-1-1 TB356B-TB-12-2-2-1-2 TB356B-TB-12-2-2-1-3 TB356B-TB-12-2-2-3-4 TB356B-TB-12-2-2-1-5 IR65907-116-1-MR-3-TB-1-4 B11592C-MR-4-2-1-2-5-1 B11593F-MR-17-1-1-2 IR72768-16-1-1-MR-4 TB406B-TB-2-1-3-MR-1-3 TB47J-TB-27-1-3-4 B11579E-MR-7-1-1 B11597C-TB-2-2-4 B11600C-TB-3-4-1-12 B11584E-MR-5-1-1-1-1 B11584E-MR-5-2-3-1-1-1 B11584E-MR-5-2-3-1-1-2 B11598C-TB-53-2-1 B11598C-TB-53-2-2 B11576E-MR-13-1-7-3 B11576E-MR-13-3-1-1 B11577E-MR-13-3-1-2 B11576E-MR-13-1-2-14-1-1 B11350F-MR-13-1-2-14-1-2 B11352F-MR-5-3-2 Situ Patenggang Limboto Batutugi

Panjang akar (cm) -Al

+Al 60 ppm

14,73 13,19 12,01 12,73 10,04 10,20 10,70 13,20 13,61 17,04 15,83 18,55 16,27 17,15 15,56 13,70 14,76 17,60 16,16 16,22 14,82 16,87 15,66 13,70 16,92 15,22 16,87 15,78 16,57 18,30 17,88 17,11 17,17 13,24 18,30 17,00 16,98 16,56 13,92 15,28 14,11 16,89 21,85 12,11 12,79 13,31

10,00 9,36 7,06 10,44 6,53 5,56 8,72 6,81 9,20 8,71 9,20 8,71 11,50 10,40 9,96 8,63 9,45 9,50 10,56 9,73 10,22 8,77 9,86 8,90 11,00 12,00 10,20 10,10 9,94 11,90 11,80 10,10 10,30 7,68 9,70 10,20 10,70 10,10 8,63 9,32 7,90 9,12 11,80 6,91 6,91 7,19

RPA

Reaksi

0,68 0,71 0,59 0,82 0,65 0,63 0,52 0,66 0,50 0,54 0,55 0,62 0,67 0,67 0,64 0,63 0,64 0,54 0,65 0,60 0,69 0,52 0,63 0,65 0,65 0,67 0,63 0,64 0,60 0,65 0,66 0,59 0,60 0,58 0,53 0,60 0,63 0,61 0,62 0,61 0,56 0,59 0,54 0,57 0,54 0,58

AT T P T AT AT P AT P P P P AT AT AT AT AT P AT P AT P AT AT AT AT AT AT P AT AT P P P P P AT P P P P P P P P P

RPA = relatif panjang akar (+Al/–Al) RPA < 0,63 = P (peka); RPA 0,63-70 = AT (agak toleran); RPA > 71 = T (toleran)

kawat KP Muara, Bogor. Benih hasil dari tanaman tersebut dipergunakan sebagai tetua persilangan, percobaan observasi, dan pengujian lainnya.

Galur/varietas

Kombinasi persilangan

RPA

Reaksi

0,71 0,71

T T

0,75

T

0,79

T

0,79

T

0,77 0,77

T T

0,71

T

0,73

T

0,77

T

0,71

T

0,82

T

Pembanding Peka Situ Patenggang Limboto Batutugi ITA131

0,57 0,54 0,58 0,49

P P P P

Pembanding Toleran Hawara Bunar IR60080-23

0,67 0,68

AT AT

B11577E-MR-B-12-1 B8503E-TB-9/IAC 25 TB490C-TB-1-2-1-MR-1-1 Batutugi/Cigeulis// Ciherang B11580E-TB-17-1-1-1 Cisadane/Cabacu// Gajah Mungkur B11576F-MR-5-1 Gajah Mungkur/Cabacu// Bulan Sabit/Memberamo B11576F-MR-18-2 Gajah Mungkur/Cabacu// Bulan Sabit/Memberamo B11587F-MR-4-1 Dupa/IRAT 144 BP1970-20-1B-TB-2-1 TB47H-MR-5 3* / Dodokan B11582F-MR-15 Memberamo/Bulan Sabit// Gajah Mungkur/Cabacu BP1976B-2-3-7-TB-1-1 Raffaille/IR58015-1-2-1// Pel.I-2 B11178G-TB-29 TB177E-TB-28-0-3/ B10384//BL 122 B11 352-MR-5-3-2 TB177/B10384// Salumpikit/BP364 B B11598G-TB-2-5 Limboto/IRBL23// IUF 5-1

T = toleran; AT = agak toleran; P = peka

KESIMPULAN DAN SARAN Dari 100 galur padi gogo yang diuji terhadap keracunan Al, terdapat 12 galur yang menunjukkan reaksi toleran (RPA > 0,71), 37 galur agak toleran (RPA 0,63-0,70), dan 50 galur bereaksi peka. Dari 63 kombinasi persilangan galur yang diuji, 11 kombinasi menunjukkan reaksi toleran, 25 kombinasi agak toleran, dan selebihnya bereaksi peka. Pengujian toleransi padi gogo terhadap keracunan Al di rumah kaca merupakan pengujian dasar dan pembanding bagi pengujian di lapangan. Di rumah kaca jumlah galur yang diuji sangat terbatas, sedangkan pengujian di lapangan sebaliknya. Untuk mendukung pengembangan dan peningkatan hasil padi gogo di lahan kering beriklim basah perlu dilakukan pengujian terhadap keracunan Al, baik di rumah kaca maupun di lapangan.


Ade Santika: Teknik pengujian galur padi gogo terhadap keracunan aluminium

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Erwina Lubis, pemulia padi gogo pada Balai Besar Penelitian Tanaman Padi atas sarannya dalam penulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA Ismunadji, M. dan S. Partohardjono. 1985. Evaluasi dan seleksi sifat agronomis galur-galur padi gogo toleran kekeringan dankeracunan Al. Seminar Pengapuran Tanah Masam untuk

47 Meningkatkan Produksi Tanaman Pangan. Puslitbangtan dan JICA, Jakarta, 21 September 1985.

Lubis, E. 1993. Evaluasi dan Seleksi Sifat Agronomis Galur-galur Padi Gogo Toleran Kekeringan dan Keracunan Al. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 1-2. Mulyani, A., Hikmatullah, dan H. Subagyo. 2003. Karakteristik dan potensi tanah masam lahan kering di Indonesia. Simposium Nasional dan Temu Lapang Pendayagunaan Tanah Masam, Bandar Lampung, 29-30 September 2003. hlm. 1-3. Nasution, I. dan T. Suhartini. 1992. Evaluasi metode uji ketahanan kultivar padi gogo terhadap tanah masam. Prosiding Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus 1991. hlm. 65-80.


48 Buletin Teknik Pertanian Vol. 16, No. 2, 2011: 48-51

Sukarmin: Teknik uji daya simpan entres durian varietas Kani sebagai bahan penyambungan

TEKNIK UJI DAYA SIMPAN ENTRES DURIAN VARIETAS KANI SEBAGAI BAHAN PENYAMBUNGAN Sukarmin Teknisi Litkayasa Penyelia pada Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jalan Raya Solok-Aripan km 8, Kotak Pos 5, Solok 27301, Telp. (0755) 20137, Faks. (0755) 20592 E-mail: balitbu@litbang.deptan.go.id

D

urian (Durio sp.) merupakan salah satu buah yang mengandung berbagai zat gizi dan dijuluki sebagai “raja buah�. Pada masa mendatang, peluang pasar durian di dalam maupun di luar negeri masih terbuka luas (Santoso et al. 2008). Kelebihan buah durian adalah mempunyai aroma yang khas dan rasanya lezat. Setiap 100 g daging buah durian mengandung energi 150 kkal, protein 2,9 g, lemak 3,8 g, Ca 49 mg, Fe 2,0 mg, vitamin A 8,0 mg, beta-karoten 46 UI, vitamin C 25-62 mg, dan delapan jenis asam amino, termasuk metionin dan lisin, bergantung varietasnya. Di samping dikonsumsi segar, durian juga dapat diproses menjadi produk olahan, seperti keripik, dodol, permen, dan bahan perisa dalam bentuk tepung untuk es krim, biskuit, cake, dan sebagainya (Brown 1997). Untuk mendukung pengembangan durian diperlukan ketersediaan benih unggul. Kesalahan dalam penggunaan benih durian akan mengakibatkan kerugian yang besar karena baru dapat dirasakan setelah tanaman berbuah. Benih yang benar adalah benih yang berasal dari pohon induk yang secara genetik unggul, produktif, dan dihasilkan melalui penangkaran yang benar. Untuk menjamin kemurnian mutu genetik, perbanyakan benih durian umumnya dilakukan secara vegetatif, seperti sambung pucuk (grafting). Penyambungan tanaman merupakan penyatuan kambium antara batang bawah dan batang atas. Perbanyakan tanaman yang populer di kalangan penangkar benih tanaman buah-buahan di Indonesia adalah okulasi dan sambung pucuk karena caranya mudah dan tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Sutarto dan Syah (1991) menyatakan, perbanyakan benih secara vegetatif merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pengadaan benih sirsak yang bermutu tinggi dengan harapan buah mewarisi sifat asli seperti induknya dan mampu menghasilkan buah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan penyambungan antara lain adalah keterampilan pelaksana, iklim mikro di sekitar tempat pembenihan, serta kondisi batang bawah dan batang atas. Batang bawah yang diharapkan

adalah pertumbuhannya optimal, sehat, bebas hama/penyakit, dan mempunyai daya kompatibilitas dengan batang atas yang serasi. Umur batang bawah yang optimal untuk disambung dini berkisar antara1,5-2 bulan. Kondisi entres atau batang atas yang baik untuk disambung adalah umur tunas 2-4 bulan setelah flushing atau tumbuh tunas baru, mata tunas gemuk dan sedikit agak menonjol, dorman, dan bernas (Sukarmin dan Wahyudi 2008). Dalam perbanyakan secara vegetatif, jarak antara tempat mengerjakan okulasi dan sumber pohon induk biasanya berjauhan, kadang bisa antarpulau. Selain itu, jumlah pohon yang akan diokulasi sangat banyak sehingga okulasi sulit diselesaikan dalam waktu satu hari sehingga entres harus dikemas kembali dan disimpan karena tertundanya waktu okulasi (Sjaefuddin dan Abdurahman 2001). Varietas durian yang ada di Indonesia saat ini telah menyebar di berbagai wilayah, seperti Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Jauhnya tempat perbanyakan benih dengan sumber pohon induk merupakan kendala bagi penangkar tanaman buah. Untuk itu diperlukan teknik pengemasan entres yang efektif untuk mempertahankan viabilitas entres sehingga tingkat keberhasilan penyambungan dapat terjamin (> 80%). Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui daya simpan entres tanaman durian varietas Kani dan viabilitasnya untuk penyambungan.

BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan pada bulan September 2009-Januari 2010 di rumah sere Kebun Percobaan (KP) Aripan, Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Solok Sumatera Barat pada ketinggian tempat 435 m dpl. Bahan tanaman untuk batang atas (entres) adalah durian varietas Kani. Sebagai batang bawah digunakan durian lokal yang disemai di kantong plastik ukuran 18 cm x 25 cm dan berumur Âą 1,5 bulan. Peralatan dan bahan pendukung yang digunakan adalah pisau okulasi, gunting pangkas, koran bekas, pelepah pisang,


49

Sukarmin: Teknik uji daya simpan entres durian varietas Kani sebagai bahan penyambungan

tempat duduk, alat tulis, papan pengamatan, pisau cutter, tali plastik, sungkup plastik, pupuk NPK, pupuk kandang, dan pestisida. Percobaan diulang tiga kali dan tiap-tiap perlakuan terdiri atas 10 tanaman, sehingga secara keseluruhan terdapat 120 tanaman. Perlakuan percobaan terdiri atas empat macam, yaitu: A = entres langsung disambung (kontrol), B = entres disimpan satu hari sebelum penyambungan, C = entres disimpan dua hari sebelum penyambungan, dan D = entres disimpan tiga hari sebelum penyambungan.

Gambar 1. Entres durian varietas Kani, Balitbu Tropika, Solok, 2009

Persiapan Batang Bawah Tahap pertama penyambungan durian adalah menyiapkan batang bawah. Biji untuk batang bawah berasal dari buah durian yang dijual di sekitar Solok. Biji durian diambil dari buah yang telah masak secara fisiologis di pohon. Selanjutnya buah dikupas dan dibersihkan dari daging buahnya dengan cara dicuci. Sebelum disemai, biji diseleksi untuk memilih biji yang bernas. Tempat persemaian dibuat dari batako yang berisi media pasir sungai. Biji disemai pada media pasir di tempat persemaian. Setelah semaian berumur 5-7 hari akan tumbuh kaliptra atau tudung akar dan segera dipindahkan ke polibeg ukuran 18 cm x 25 cm yang berisi campuran media tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan volume 2:1 agar pertumbuhan semaian optimal. Pemeliharaan semaian meliputi penyiraman tiap 2-3 hari sekali bila tidak ada hujan, penyiangan gulma, dan pengendalian hama dengan insektisida dosis 2 cc/liter air dengan interval 2-3 minggu sekali. Penyambungan dilaksanakan ketika semaian (batang bawah) berumur 1,5 bulan pada ketinggian Âą 2-3 cm di atas hipokotil tanaman dengan metode sambung celah.

Persiapan Batang Atas (Entres) Batang atas (entres) berasal dari durian varietas Kani berumur 17-18 tahun yang tumbuh di KP Aripan (Gambar 1). Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi penyiangan gulma di bawah kanopi tanaman, pembuangan benalu dan cabang yang mati, serta pemupukan NPK dengan dosis 2 kg/ tanaman dengan cara ditimbun di bawah kanopi daun. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan cabang-cabang vegetatif yang nantinya akan digunakan sebagai sumber entres untuk penyambungan. Kriteria entres yang dipakai untuk penyambungan adalah tidak terlalu tua/muda, kondisi pucuk dalam keadaan dorman, serta mata tunas bernas dan sehat (tidak terserang hama dan penyakit).

Pengambilan Entres Waktu pengambilan entres yang baik adalah pagi hari, antara pukul 7.00-9.00 dengan menggunakan gunting pangkas. Pengambilan entres dilakukan pada hari pertama sampai hari keempat pelaksanaan penyambungan. Entres dikemas dengan kertas koran bekas yang sudah dilembapkan dengan air lalu dibungkus lagi dengan pelepah pisang dan diikat dengan tali rafia. Kemasan entres disimpan pada suhu ruang. Penyambungan dilakukan pada hari yang sama di rumah sere KP Aripan, Balitbu Tropika, Solok.

Teknik Penyambungan Batang bawah durian dipotong dengan gunting pangkas pada 2-3 cm di atas hipokotil lalu dibelah menjadi dua bagian yang sama sedalam 1-2 cm. Kedua sisi pangkal entres (batang atas) disayat dengan menggunakan pisau okulasi hingga membentuk seperti huruf “V�. Sayatan entres dimasukkan ke belahan batang bawah lalu diikat dengan tali plastik mulai dari bawah ke atas dan kembali lagi ke bawah. Sambungan lalu disungkup dengan kantong plastik untuk mengurangi transpirasi atau penguapan. Setelah tiga minggu, sambungan mulai bertunas dan sungkup plastik dibuka. Tali sambungan dibuka setelah pertautan antara batang bawah dengan batang atas menyatu secara sempurna (umur 2-3 bulan setelah penyambungan). Setelah berumur empat bulan setelah penyambungan, benih durian siap ditanam di lapangan.

Pemeliharaan Sambungan Setelah tanaman durian disambung, dilakukan pemeliharaan agar pertumbuhannya optimal. Pemeliharaan meliputi penyiraman tiap 2-3 hari sekali, penyiangan gulma, dan pe-


50

Sukarmin: Teknik uji daya simpan entres durian varietas Kani sebagai bahan penyambungan

mangkasan cabang batang bawah yang tumbuh secara liar dengan gunting pangkas, pemupukan NPK 5 g/tanaman, serta pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida dosis 2 g/liter air Pengamatan Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan pada umur satu bulan setelah penyambungan dengan interval pengamatan sebulan sekali. Parameter yang diamati dan diukur adalah: 1. Persentase keberhasilan sambungan, dihitung jumlah sambungan yang hidup dan yang mati dengan rumus: jumlah sambungan Persentase keberhasilan hidup sambungan = ———————— x 100% jumlah tanaman yang disambung 2. Tinggi tanaman, diukur dari bidang sambungan sampai titik tumbuh dengan menggunakan penggaris. 3. Jumlah daun, dihitung jumlah daun yang telah membuka secara sempurna. 4. Jumlah cabang per tanaman, dihitung jumlah cabang pada setiap tanaman. Pengamatan dilakukan pada akhir percobaan, yaitu pada umur enam bulan setelah penyambungan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan, persentase sambungan jadi pada uji daya simpan entres durian Kani berkisar antara 4096,6% (Tabel 1). Persentase keberhasilan tertinggi (96,6%) diperoleh dari perlakuan A (langsung disambung), diikuti oleh perlakuan C, B, dan D. Tingginya persentase keberhasilan penyambungan pada entres yang langsung disambung atau disimpan hingga dua hari sebelum penyambungan karena entres masih cukup segar. Entres yang optimal untuk bahan penyambungan adalah tidak terlalu tua atau muda, umur 2-4 bulan setelah flushing (muncul tunas baru), bernas, dan sehat (bebas hama/penyakit). Penggunaan batang bawah yang tepat dan relatif masih muda, yaitu umur 1,5-2 bulan setelah semai, juga menjadi faktor pendukung keberhasilan perbanyakan tanaman durian secara vegetatif. Pertumbuhan tanaman yang meliputi tinggi tanaman dan jumlah daun berbeda antarperlakuan. Tinggi tanaman tertinggi (25 cm) terdapat pada perlakuan D (entres disimpan tiga hari sebelum penyambungan), diikuti perlakuan A (entres

Tabel 1. Rata-rata persentase keberhasilan penyambungan benih durian, tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah cabang per tanaman, KP Aripan, Balitbu Tropika, Solok, 2009 Perlakuan A B C D A B C D

= = = =

entres entres entres entres

Keberhasilan penyambungan (%)

Tinggi tanaman (cm)

Jumlah daun (helai)

Jumlah cabang per tanaman

96,6 83,3 90,0 40,0

24,61 23,87 24,17 25,00

18,73 15,63 18,02 12,39

5,03 4,97 4,67 3,16

langsung disambung (kontrol) disimpan satu hari sebelum penyambungan disimpan dua hari sebelum penyambungan disimpan tiga hari sebelum penyambungan

langsung disambung), yaitu 24,61 cm. Jumlah daun terbanyak terdapat pada perlakuan A (entres langsung disambung), yaitu rata-rata 18,73 helai, diikuti perlakuan C ratarata 18,02 helai. Hal ini diduga kondisi entres yang cukup segar dapat mempercepat proses pertautan antara batang bawah dan batang atas/entres sehingga mempermudah proses penyerapan unsur hara dan air dari dalam tanah. Di samping itu, tempat pembibitan yang terbuat dari naungan paranet dapat meningkatkan kelembapan (70-80%) untuk pertumbuhan benih tanaman durian tersebut. Hasil pengamatan jumlah cabang per tanaman menunjukkan bahwa perlakuan A (entres langsung disambung) menghasilkan jumlah cabang terbanyak (rata-rata 5,03) dibanding perlakuan B (4,97), C (4,67), dan D (3,16). Semakin lama waktu penyimpanan entres, jumlah cabang yang dihasilkan makin menurun. Hal ini diduga cadangan makanan entres yang cukup dapat meningkatkan pembentukan selsel baru untuk pertumbuhan batang, cabang, dan daun.

KESIMPULAN DAN SARAN Persentase keberhasilan sambungan tertinggi pada uji daya simpan entres durian varietas Kani diperoleh pada perlakuan A (entres langsung disambung), yaitu 96,6%, diikuti entres yang disimpan dua hari sebelum penyambungan (90%). Pertumbuhan benih durian terbaik secara umum terdapat pada perlakuan entres yang langsung disambung, yaitu jumlah daun rata-rata 18,73 helai dan jumlah cabang per tanaman rata-rata 5,03. Untuk meningkatkan persentase keberhasilan penyambungan durian varietas Kani, entres yang baik digunakan adalah yang langsung disambung atau disimpan sampai dua hari sebelum penyambungan. Diperlukan informasi teknik penyimpanan entres yang efektif untuk mempertahankan viabilitas entres lebih dari dua hari.


Sukarmin: Teknik uji daya simpan entres durian varietas Kani sebagai bahan penyambungan

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Ir. Ni Luh Putu Indriyani, MP yang telah membimbing penulis dan memberi saran dalam tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA Brown, M.J. 1997. Durio: A Bibliographic Review. In R.K. Arora, V.R. Rao, and A.N. Rao (Eds.). IPGRI Office for South Asia, New Delhi. 188 pp.

51

Santoso, P.J., N. Fitriana, A. Wahyudi, dan Mujiman. 2008. Teknologi Inovatif Perbenihan Durian Sehat. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Solok. 45 hlm. Sjaefuddin, A. dan Abdurahman. 2001. Daya simpan entres dan penggunaan media pembungkusnya pada tanaman sirsak. Buletin Teknik Pertanian 6(1): 26-28. Sukarmin dan A. Wahyudi. 2008. Berbagai macam cara perbanyakan durian. Makalah diklat teknologi maju tanaman buah-buahan bagi penyuluh pertanian Provinsi Riau. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Solok, 26-28 Agustus 2008. 5 hlm. Sutarto, I. dan M.J.A. Syah. 1991. Pengaruh jumlah nodus dan pengeratan entres pada sambung pucuk sirsak (Annona muricata L.). Penelitian Hortikultura 4(4): 11-17.


52 Buletin Teknik Pertanian Vol. 16, No. 2, 2011: 52-54

Sukarmin dan Dewi Fatria: Teknik inokulasi cendawan mikoriza arbuskula pada benih sirsak

TEKNIK INOKULASI CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA PADA BENlH SIRSAK (Annona muricata L.) Sukarmin1 dan Dewi Fatria2 1 Teknisi Litkayasa Penyelia dan 2Peneliti Nonkelas pada Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jalan Raya Solok-Aripan km 8, Kotak Pos 5, Solok 27301, Telp. (0755) 20137, Faks. (0755) 20592 E-mail: balitbu@litbang.deptan.go.id

S

irsak (Annona muricata L.) merupakan salah satu jenis tanaman buah yang berasal dari dataran Amerika Selatan yang beriklim tropis, kemudian menyebar luas ke Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada awalnya, sirsak merupakan tanaman liar dan setelah dikembangkan lebih banyak sebagai tanaman pekarangan. Buah sirsak terdiri atas 67% daging buah yang bisa dimakan, 20% kulit, 8,5% biji, dan selebihnya berupa bagian tengah buah (Verheij dan Coronel 1997). Tanaman sirsak toleran terhadap keadaan tanah yang kering, tetapi akan meluruhkan daunnya jika mengalami kekeringan yang berkepanjangan. Pada kondisi demikian, tanaman perlu diairi atau disiram agar tidak mati. Untuk mengurangi kekeringan pada perakaran yang dangkal dapat dibantu dengan mengaplikasikan cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada benih yang berasal dari biji. CMA juga dapat membantu penyerapan unsur hara dan air, terutama pada tanah yang miskin unsur hara, seperti tanah podzolik merah kuning (Ultisol). Selain itu, untuk mengatasi masalah harga pupuk yang terus meningkat dari waktu ke waktu, perlu dicari suatu alternatif untuk mengurangi atau menghindari pemakaian pupuk buatan. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan jasad renik tanah, seperti CMA karena cendawan tersebut dapat bersimbiosis dengan tanaman. Setiadi (1994) menyatakan, CMA memberikan manfaat yang sangat besar di bidang pertanian karena dapat meningkatkan penyerapan unsur hara dan memperbaiki ketahanan tanaman terhadap serangan patogen akar dan kekeringan. Percobaan bertujuan untuk mengetahui teknik inokulasi CMA pada benih sirsak.

BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2009 di Kebun Percobaan (KP) Aripan, Balai Penelitian Tanaman

Buah Tropika, Solok, Sumatera Barat, yang terletak pada ketinggian 435 m dpl. Bahan dan alat yang digunakan antara lain adalah benih sirsak umur tiga bulan (telah siap ditanam dalam polibeg ukuran 20 cm x 30 cm), tanah podzolik merah kuning, inokulum CMA, KOH 10%, HCl 1%, lactofenol trypan blue 0,05%, polibeg, media tanah, cangkul, selang air, papan pengamatan, cawan petri, oven, mikroskop, timbangan analitik, dan alat tulis. Perlakuan percobaan terdiri atas lima taraf, yaitu: (A) bibit sirsak tanpa inokulum CMA/kontrol; (B) bibit sirsak dengan inokulum CMA 1 g; (C) bibit sirsak dengan inokulum CMA 5 g; (D) bibit sirsak dengan inokulum CMA 10 g; dan (E) bibit sirsak dengan inokulum CMA 15 g. Setiap perlakuan terdiri atas empat ulangan dan setiap perlakuan terdiri atas 10 tanaman sehingga total tanaman berjumlah 200 tanaman. Persiapan Benih Tahap pertama dari percobaan adalah perlakuan benih. Buah sirsak yang telah masak secara fisiologis dipanen dari kebun plasma nutfah KP Aripan, selanjutnya buah diperam 2-3 hari. Setelah masak, buah dikupas dan dipisahkan biji dan daging buahnya. Biji lalu dicuci dengan air bersih dan disemai dalam bak persemaian yang berisi media pasir sedalam Âą 1 cm dengan jarak tanam 1 cm x 2 cm di alur persemaian. Setelah berumur 2-2,5 bulan, semaian dipindahkan ke polibeg ukuran 20 cm x 30 cm dengan media lapisan atas tanah podzolik merah kuning. Pemeliharaan Tanaman Agar pertumbuhan tanaman sirsak optimal, perlu dilakukan pemeliharaan seperti penyiraman 2-3 hari sekali dan penyiangan gulma. Bila ada gejala serangan hama, tanaman disemprot insektisida dengan dosis 2 cc/liter air. Setelah berumur tiga bulan, bibit siap diinokulasi CMA.


53

Sukarmin dan Dewi Fatria: Teknik inokulasi cendawan mikoriza arbuskula pada benih sirsak

Inokulasi Mikoriza Setelah tumbuh optimal, tanaman siap untuk perlakuan. Pertama, CMA ditimbang dengan timbangan analitik sesuai takaran perlakuan lalu masing-masing hasil timbangan CMA dibungkus dengan kertas. Aplikasi CMA dilakukan pada pagi hari. Media tanah dalam polibeg dibuat alur lubang melingkar mengelilingi tanaman lalu CMA sesuai dengan takarannya ditaburkan pada alur lubang tersebut dan ditutup kembali dengan tanah.

Pangamatan Parameter yang diamati dan diukur antara lain adalah tinggi tanaman, jumlah daun, berat akar basah, berat akar kering, dan persentase akar terinfeksi CMA. Pengamatan persentase akar terinfeksi CMA dilakukan pada 10 titik satuan pandang dengan menggunakan mikroskop. Menurut Kormanik dan Mc. Graw (1982), penghitungan persentase akar terinfeksi dilakukan dengan menggunakan metode clearing and staining sebagai berikut: • Clearing (penjernihan), yaitu mencuci perakaran sampel tanaman sampai bersih lalu akar dipotong sepanjang 2 cm. Potongan akar dimasukkan ke dalam larutan KOH 10% lalu dididihkan selama 10 menit. Akar kemudian dicuci dengan larutan KOH 10% dingin lalu direndam dalam larutan HCl 1% selama 1 menit. • Staining (pengecatan), yaitu merendam potongan akar yang telah melalui tahap 1 (clearing) dalam larutan lactofenol trypan blue 0,05% selama dua hari. Akar yang telah dicat lalu diletakkan pada gelas preparat (petridish) dan diamati dengan mikroskop. Pada akar yang terinfeksi akan terlihat adanya selubung maupun jaring yang berbentuk bulat sampai oval.

meningkatkan serapan unsur hara. CMA termasuk kelompok endomikoriza, yaitu cendawan tanah yang bersifat simbiotik obligat dengan akar tanaman yang saling menguntungkan (Syah et al. 2003). Untuk pertambahan jumlah daun, semakin tinggi takaran CMA yang diberikan, jumlah daun yang dihasilkan juga makin banyak. Aplikasi CMA 15 g/tanaman menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak (30,63) dibandingkan dengan perlakuan CMA 1 g/tanaman (27,75). Hal ini diduga karena takaran CMA 15 g/tanaman lebih banyak menghasilkan spora berkecambah yang dapat mempermudah akar tanaman dalam menyerap unsur hara dan air dari dalam tanah sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Anwaruddin et al. (2006) mengemukakan, inokulasi CMA pada tanaman manggis dapat memacu pertumbuhan bibit hingga 50% dibandingkan dengan bibit manggis yang tidak diinokulasi CMA. Hasil penghitungan berat akar basah dan berat akar kering bibit sirsak dengan beberapa takaran inokulasi CMA pada akhir percobaan (umur tiga bulan) menunjukkan pengaruh yang cukup baik (Tabel 2). Pada umumnya, inokulasi CMA 15 g/tanaman memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertambahan berat akar basah (16,69 g) dan berat akar kering (3,77 g) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga inokulasi CMA dapat memacu aktivitas pertumbuhan tanaman sirsak dengan memperTabel l. Tinggi tanaman dan jumlah daun pada inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada benih sirsak, KP Aripan, Balitbu Tropika, Solok, 2009 Perlakuan (CMA g/batang)

Tinggi tanaman (cm)

Jumlah daun (helai)

41,25 43,70 43,76 44,76 48,60

26,21 27,75 27,84 29,92 30,63

Tanpa CMA/kontrol 1 5 10 15

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun, berat akar basah, berat akar kering, dan persentase akar terinfeksi CMA pada bibit sirsak yang diinokulasi beberapa takaran CMA memberikan hasil yang positif. Inokulasi CMA pada takaran 15 g/batang menghasilkan pertambahan tinggi tanaman sirsak yang paling baik (48,60 cm) dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 1). Semakin tinggi takaran CMA yang diberikan pada bibit sirsak, pengaruhnya terhadap tinggi tanaman juga semakin baik. Hal ini diduga karena CMA memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman dengan cara

Tabel 2. Hasil rata-rata pengamatan berat akar basah, berat akar kering, dan persentase akar terinfeksi pada Inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada benih sirsak, KP Aripan, Balitbu Tropika, Solok, 2009 Perlakuan (CMA g/batang) Tanpa CMA/kontrol 1 5 10 15

Berat akar basah (g)

Berat akar kering (g)

Persentase akar terinfeksi (%)

11,25 11,47 14,25 12,99 16,69

2,55 3,01 3,50 3,44 3,77

0,9 1,1 2,8 2,6 3,1


54

Sukarmin dan Dewi Fatria: Teknik inokulasi cendawan mikoriza arbuskula pada benih sirsak

mudah bulu-bulu akar tanaman menyerap hara dari dalam tanah. Syah et al. (2003) melaporkan, CMA mempunyai mekanisme hubungan dengan akar tanaman, diawali dengan spora CMA yang berkecambah dan menginfeksi akar tanaman, kemudian di dalam jaringan akar CMA tumbuh dan berkembang membentuk hifa yang panjang dan bercabang sehingga mempunyai jangkauan yang luas untuk menyerap unsur hara dan air dari dalam tanah. Persentase akar terinfeksi tertinggi terdapat pada perlakuan inokulasi CMA 15 g/tanaman (3,1%) dan terendah tanpa perlakuan inokulasi CMA, yaitu 0,9%. Mekanisme hubungan antara CMA dan akar tanaman adalah spora berkecambah dan menginfeksi perakaran tanaman dengan cara eksudat.

terinfeksi pada bibit sirsak. Inokulasi CMA lebih dari 15 g/ tanaman pada benih sirsak perlu diuji lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA Kormanik, P.P. and A.C. Mc. Graw. 1982. Qualification of A VM in plant root. p. 27-45. In Nc. Snhenck (Ed.). Methods and Principles of Mycorrizal Research. APS Soc. St. Paul, Minnesota. Setiadi, Y. 1994. Fungsi Mikoriza dan Prospeknya sebagai Pupuk Biologis. PAU-Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm. 35-37. Syah, M.J.A., M. Irwan, dan H. Yusri. 2003. Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula untuk Memacu Pertumbuhan Bibit Manggis. Balai Penelitian Tanaman Buah, Solok.

KESIMPULAN DAN SARAN

Syah, M.J.A., M. Yeni, I. Djatnika, Hendri, dan F. Usman. 2006. Teknologi Perbenihan Manggis. Monograf. Balai Penelitian Tanaman Buah, Solok. 34 hlm.

Inokulasi cendawan mikoriza arbuskula (CMA) 15 g/tanaman memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun, dan persentase akar yang

Verheij, E.W.M dan R.E. Coronel. 1997. Prosea. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2. Gramedia, Jakarta. hlm 81-85.


Dwi Wahyuni et Vol. al.: Pengamatan pertumbuhan buah untuk mengetahui fase pembentukan endosperma durian Buletin Teknik Ardiana Pertanian 16, No. 2, 2011: 55-57

55

TEKNIK PENGAMATAN PERTUMBUHAN BUAH UNTUK MENGETAHUI FASE PEMBENTUKAN ENDOSPERMA DURIAN (Durio zibethinus) Dwi Wahyuni Ardiana1, Farihul Ihsan1, dan Sukarmin2 1

Teknisi Litkayasa Nonkelas dan 2Teknisi Litkayasa Penyelia pada Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jalan Raya Solok-Aripan km 8, Kotak Pos 5, Solok 27301, Telp. (0755) 20137, Faks. (0755) 20592 E-mail: balitbu@litbang.deptan.go.id

D

urian tergolong dalam subdivisi kelas Angiospermae. Buah ini terkenal di kawasan Asia Tenggara karena berbau khas, rasanya manis dan legit. Tinggi pohon durian dapat mencapai 40 m. Buahnya besar berbentuk oval, berwarna hijau, berduri keras, dan mengandung biji yang terbungkus daging buah yang lunak (Sastrahidayat dan Soemarno 1991).

Menurut Graitter et al. (1990), kalus dari hasil induksi endosperma sel tanaman jeruk (Citrus sinensis) dapat diperoleh dari buah berumur 12-14 minggu setelah polinasi. Namun, pada tanaman durian, belum ada informasi yang menjelaskan umur buah yang tepat untuk induksi endosperm secara kultur jaringan. Oleh karena itu, penelitian perkembangan biji durian perlu dilakukan.

Durian umumnya mempunyai biji yang besar dan banyak dengan sedikit daging buah. Dengan demikian, buah durian tanpa biji (seedless) akan meningkatkan daya tarik konsumen dan harga. Untuk menghasilkan buah tanpa biji, persilangan antara tanaman diploid (2n) dan tetraploid (4n) akan menghasilkan tanaman triploid (3n) yang biasanya tanpa biji. Cara lainnya adalah melalui aplikasi zat pengatur tumbuh (ZPT) auksin atau giberelin pada kuncup bunga. ZPT berfungsi sebagai pengganti biji untuk memenuhi kebutuhan auksin pada proses pembentukan buah sehingga bunga dapat berkembang menjadi buah tanpa adanya biji. Namun, cara ini kurang praktis dan sifatnya tidak permanen karena hanya kuncup bunga yang disemprot auksin saja yang akan menghasilkan buah tanpa biji. Cara ini juga memerlukan tenaga dan biaya yang mahal apabila diterapkan pada area yang luas.

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui umur endosperma yang tepat sebagai bahan perbanyakan tanaman durian secara in vitro.

Teknik persilangan yang lebih praktis dan bersifat permanen adalah melalui pembentukan tanaman triploid, namun untuk memperoleh induk tetraploid cukup sulit. Oleh karena itu, upaya memperoleh buah tanpa biji dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknik kultur in vitro (kultur jaringan) dan rekayasa genetik. Teknik kultur jaringan mulai banyak dicoba para peneliti untuk menghasilkan tanaman triploid melalui kultur endosperm (Pardal 2009). Pada tanaman kelas Angiospermae, endosperm merupakan jaringan cadangan makanan yang berasal dari penyatuan salah satu sel sperma yang haploid dengan dua inti polar (triple fusion) sehingga terbentuk jaringan yang triploid (Kamil 1979). Tanaman triploid bersifat steril atau seedless. Sterilitas tersebut disebabkan adanya kelebihan satu set kromosom (2n = 3X) dalam tanaman.

BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Aripan dan Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Balitbu Tropika), Solok Sumatera Barat, pada bulan Juni sampai November 2010. Bahan yang digunakan adalah buah durian varietas Kani dengan delapan tingkatan umur buah setelah polinasi atau bunga mekar, yaitu: K2 : buah berumur 2 minggu (17 hari) K4 : buah berumur 4 minggu (28 hari) K6 : buah berumur 6 minggu (42 hari) K8 : buah berumur 8 minggu (56 hari) K10 : buah berumur 10 minggu (70 hari) K12 : buah berumur 12 minggu (84 hari) K14 : buah berumur 14 minggu (98 hari) K16 : buah berumur 16 minggu (112 hari) Buah durian dengan berbagai tingkatan umur tersebut diperoleh dengan cara memberi label tanggal mekar pada bunga dan memetiknya sesuai dengan umur buah yang diperlukan. Alat yang digunakan meliputi jangka sorong, pisau, kamera, pensil, dan buku catatan. Parameter yang diamati dan diukur meliputi: (1) tebal dan warna daging buah; (2) panjang dan lebar biji; (3) tebal dan warna kulit biji; (4) tebal, warna, dan tekstur endosperma; (5) panjang, lebar, dan warna kotiledon; dan (6) panjang, lebar, dan warna embrio. Pengamatan dilakukan dengan cara


56

Dwi Wahyuni Ardiana et al.: Pengamatan pertumbuhan buah untuk menngetahui fase pembentukan endosperma durian

membuka buah durian dengan menggunakan pisau, kemudian buahnya dikeluarkan dengan hati-hati agar tidak merusak daging buah dan biji. Buah kemudian dipotong melintang dan diamati dengan cara mengukurnya menggunakan jangka sorong sesuai dengan parameter pengamatan. Ketebalan daging buah diukur searah diameter melintang terpendek dari daging buah dengan menggunakan jangka sorong, sedangkan warna daging buah diamati secara visual. Panjang biji diukur dari bagian pangkal sampai ujung biji pada sayatan melintang dengan menggunakan jangka sorong, sedangkan lebar biji diukur bagian tengah yang terlebar pada sayatan melintang dengan menggunakan jangka sorong. Tebal kulit biji diukur searah diameter melintang dari kulit biji dengan menggunakan jangka sorong, sedangkan warnanya diamati secara visual. Ketebalan endosperm diukur searah diameter melintang terpanjang dari bagian endosperm, sedangkan warnanya diamati secara visual. Tekstur endosperm diamati dari teksturnya. Panjang kotiledon diukur dari pangkal sampai bagian ujung di bawah embrio, sedangkan untuk lebarnya diukur bagian tengah kotiledon yang terlebar pada sayatan melintang, kemudian diamati warnanya secara visual. Panjang embrio diukur dari pangkal sampai bagian ujung embrio, sedangkan lebarnya diukur bagian tengah embrio yang terlebar pada sayatan melintang, kemudian diamati warnanya secara visual.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan bahwa biji sudah terbentuk pada buah yang berumur dua minggu setelah bunga mekar (K2), namun daging buahnya belum terbentuk. Perkembangan daging buah dan biji makin jelas pada buah yang berumur empat minggu (K4) sampai 16 minggu setelah bunga mekar (K16) (Gambar 1). Daging buah pada K4 sampai K10 berwarna putih, yang artinya buah masih mentah, sedangkan pada K12 sampai K16, daging buah berwarna krem sampai kuning oranye, yang menunjukkan buah sudah mengkal dan menuju matang (Tabel 1). Pada K2 sampai K6, kotiledon dan embrio belum terlihat, tetapi di dalam kulit biji terdapat cairan yang diduga adalah endosperm. Hal ini didukung oleh pendapat Kamil (1979) yang menyatakan bahwa penyatuan ketiga inti, yaitu satu sel sperma yang haploid dengan dua inti polar umumnya terjadi lebih dahulu dibandingkan dengan penyatuan sel sperma yang satunya lagi dengan sel telur. Hal ini karena sel telur masih mempunyai dinding sel, sedangkan sel polar tidak lagi memiliki dinding sel yang harus ditembus oleh sel sperma sehingga endosperm terbentuk lebih dahulu daripada embrio.

Gambar 1. Perkembangan morfologi biji durian, umur 2 minggu (K2), 4 minggu (K4), 6 minggu (K6), 8 minggu (K8), 10 minggu(K10), 12 minggu (K12), 14 minggu(K14), dan 16 minggu (K16), Balitbu Tropika, Solok, 2010

Tabel 1. Rata-rata ukuran daging buah, biji, kulit biji, dan endosperma durian pada berbagai tingkat umur buah, Balitbu Tropika, Solok, 2010 Daging buah Kode

MSBM1

Tebal (mm)

K2 K4 K6 K8 K10 K12 K14

2 4 6 8 10 12 14

0,95 0,99 1,80 3,52 6,16 12,86

K16

16

18,75

1

Warna Putih Putih Putih Putih Krem Kuning krem Kuning oranye

Biji

Kulit

Panjang (mm)

Lebar (mm)

Tebal (mm)

4,51 10,11 13,38 19,00 31,50 41,24 40,63

2,85 6,91 8,03 10,44 10,93 27,96 33,70

0,35 1,23 1,27 1,28 1,29 2,00 1,98

50,90

41,50

1,25

Warna Putih Putih Putih Putih Putih Krem Coklat krem Coklat muda

MSBM = minggu setelah bunga mekar

Pada K8 sudah terbentuk endosperm yang bertekstur kenyal dan berwarna krem. Pada fase ini juga sudah terlihat perkembangan embrio dan kotiledon. Embrio pada K8 mempunyai ketebalan 4,24 mm, namun seiring perkembangan embrio dan kotiledon, ketebalan endosperm makin menipis (2,42 mm pada K10) dan akhirnya menyerupai selaput pada K12 dan hampir hilang pada K16 (Tabel 2). Hidayat dan Niksolihin (1995) menyatakan bahwa perisperm dan endosperm merupakan jaringan pada biji yang menyimpan cadangan makanan. Namun, pada sebagian besar tumbuhan dikotil, kedua jaringan tersebut hidupnya


57

Dwi Wahyuni Ardiana et al.: Pengamatan pertumbuhan buah untuk mengetahui fase pembentukan endosperma durian Tabel 2. Hasil rata-rata pengukuran endosperma, kotiledon, dan embrio durian berdasarkan panjang, lebar, tebal, dan warna dengan berbagai tingkatan umur buah, Balitbu Tropika, Solok, 2010 Endosperm

Kotiledon

Embrio

Kode

MSBM1

Tebal (mm)

Warna

Tekstur

Panjang (mm)

Lebar (mm)

Warna

Panjang (mm)

Lebar (mm)

Warna

K2 K4 K6 K8 K10 K12 K14 K16

2 4 6 8 10 12 14 16

1,51 3,18 3,91 4,24 2,42 0,20 Tipis hampir hilang Tipis hampir hilang

Putih Putih Putih Krem Krem Krem coklat Coklat Coklat

Cair Cair Cair Kenyal Kenyal Selaput Selaput Selaput

8,50 15,74 32,40 35,86 46,75

5,22 5,45 22,10 28,45 35,50

Putih Putih Putih Kuning muda Kuning muda

5,27 7,24 12,26 14,91 14,25

3,37 4,55 5,35 8,60 8,25

Putih Putih Kuning muda Kuning muda Kuning muda

1

MSBM = minggu setelah bunga mekar

singkat dan makanan diserap oleh embrio yang sedang berkembang sebelum biji memasuki masa istirahat. Dalam hal ini, makanan disimpan dalam tubuh embrio, yakni dalam keping biji (kotiledon). Hal ini didukung oleh pendapat Kamil (1979), bahwa pada fase permulaan (early stage), endosperma bersifat hidup, tetapi pada masa tua (late stage), sel endosperma menjadi mati. Endosperma dapat dimanfaatkan sebagai bahan eksplan dalam kultur jaringan dan K8 adalah fase yang tepat. Secara teknis hal ini karena tekstur endosperma masih segar dan kenyal sehingga memudahkan pelaksanaan inisiasi. Pada K2 sampai K6, endosperma masih berbentuk cairan, sedangkan pada K10 sampai K16 endosperma sudah menipis dan hampir hilang.

eksplan dalam perbanyakan durian melalui kultur jaringan, khususnya untuk durian varietas Kani. Kultur endosperma pada tanaman lainnya sebaiknya diawali dengan pengamatan pertumbuhan biji, mulai dari bunga mekar sampai pembentukan endosperma.

DAFTAR PUSTAKA Graitter, F.G., Jr, X.B. Ling, and X.B. Deng. 1990. Induction of triploid citrus plants from endosperm calli in vitro. Theor. Appl. Gen. 8: 735-740. Hidayat, E.B. dan S. Niksolihin. 1995. Anatomi tumbuhan berbiji. Bagian biji. Proyek Pengembangan Staf dan Sarana Perguruan Tinggi. Institut Teknologi Bandung, Bandung. hlm. 247-275. Kamil, J. 1979. Teknologi Benih. Endosperm. Angkasa Raya, Padang. hlm. 38-227.

KESIMPULAN DAN SARAN Buah durian yang berumur delapan minggu setelah bunga mekar memiliki fase perkembangan endosperm yang terbaik karena mempunyai ketebalan 4,24 mm dan teksturnya kenyal. Pada fase ini, endosperm dapat dimanfaatkan sebagai bahan

Pardal, S.J. 2009. Rekayasa buah tanpa biji. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 31(6): 9. Sastrahidayat, I.R. dan Soemarno.1991. Budidaya Berbagai Jenis Tanaman Tropika. Durian (Durio zibethinus). Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Usaha Nasional, Surabaya. hlm. 224-524.


58 Farihul Ihsan dan Sukarmin: Pengujian pembelahan biji terhadap efektivitas perbanyakan manggis Buletin Teknik Pertanian Vol. 16, No. 2, 2011: 58-60

TEKNIK PENGUJIAN PEMBELAHAN BIJI TERHADAP EFEKTIVITAS PERBANYAKAN MANGGIS (Garcinia mangostana L.) MELALUI BIJI Farihul Ihsan1 dan Sukarmin2 1

Teknisi Litkayasa Nonkelas dan 2Teknisi Litkayasa Penyelia pada Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jalan Raya Solok-Aripan km 8, Kotak Pos 5, Solok 27301, Telp. (0755) 20137, Faks. (0755) 20592 E-mail: balitbu@litbang.deptan.go.id

M

anggis merupakan salah satu buah-buahan asli Indonesia yang mempunyai banyak julukan. Krishnamurthi dan Rao (1965) menjuluki manggis sebagai “Queen of Fruit”, “Nectar of Ambrosia” atau “Golden Apples of Hesperides”, sementara Stephen (1935) menjulukinya sebagai “Finest in the World” karena keistimewaan dan kelezatan yang dimilikinya. Campbell (1966) menyatakan manggis merupakan buah yang terbaik dan enak di dunia. Tanaman manggis yang ada sekarang sebagian besar telah berumur puluhan tahun dengan sedikit upaya pemeliharaan, serta sebagai hasil pengembangan di lokasi penanaman baru. Kondisi ini menyebabkan produktivitas manggis masih jauh di bawah potensi yang dimiliki. Peningkatan produksi dan kualitas buah manggis perlu dilakukan untuk memanfaatkan potensi dan peluang pasar yang terbuka lebar. Dukungan teknologi budi daya yang efisien dan memadai diperlukan, mulai dari perbenihan sampai pengelolaan pascapanen (Rais et al. 1996). Perbanyakan manggis melalui biji merupakan cara yang paling umum dilakukan petani karena murah dan lebih praktis dibandingkan dengan cara perbanyakan lainnya, seperti penyusuan, sambung pucuk atau kultur jaringan. Tanaman manggis bersifat apomiksis sehingga tanaman yang berasal dari biji secara genetis akan sama dengan induknya (Horn 1940 ; Ochse et al. 1961; Cox 1976). Apomiksis adalah metode reproduksi secara aseksual melalui biji di mana biji terbentuk tanpa pengurangan jumlah kromosom dan fertilisasi (Den Nijs dan Van Dijk 1993). Tanda-tanda apomiksis pada manggis antara lain adalah terjadinya pengecambahan biji tanpa adanya peran dari organ jantan, adanya proembryo adventitious, pertumbuhan secara vegetatif dari nucellar atau jaringan integumen, dan menghasilkan beberapa kecambah dari satu biji (Richards 1990). Berdasarkan hal tersebut, dimungkinkan untuk memperoleh benih manggis dalam jumlah banyak dan seragam. Percobaan ini bertujuan untuk memperoleh teknik pengujian pembelahan biji pada perbanyakan manggis.

BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di Rumah Kasa Kebun Percobaan Aripan, Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Balitbu Tropka), Solok, Sumatera Barat, pada bulan Januari-April 2010. Bahan dan alat yang digunakan yaitu buah manggis, pasir, sekam, kertas label, bak persemaian, pisau, penggaris, jangka sorong, dan alat tulis. Buah manggis diambil dari pohon induk varietas Ratu Tembilahan. Buah dipilih yang masak di pohon dan segera diambil bijinya setelah dipanen. Biji lalu dibersihkan dari daging buah dan selaput kulit biji, kemudian dicuci dengan air yang mengalir. Percobaan menggunakan tiga perlakuan pembelahan biji, yaitu biji manggis tanpa dibelah (B1), biji manggis dibelah menjadi dua bagian (B2), dan biji manggis dibelah menjadi tiga bagian (B3). Masing masing perlakuan menggunakan 20 biji manggis.

Persiapan Persemaian Bak persemaian dengan ukuran 1 m x 2 m diisi campuran pasir dan sekam yang telah diaduk rata dengan perbandingan volume 1:1 dengan ketebalan media 10 cm. Sebelum biji disemai, persemaian disiram dengan air terlebih dahulu hingga jenuh.

Pelaksanaan Perlakuan Biji manggis diperlakukan sesuai dengan masing-masing perlakuan. Untuk B1, biji manggis tidak diberi perlakuan. Untuk perlakuan B2, biji manggis dibelah melintang menjadi dua bagian dan untuk perlakuan B3, biji manggis dibelah melintang menjadi tiga bagian (Gambar 1). Pemotongan dilakukan dengan menggunakan pisau. Masing-masing perlakuan menggunakan 20 biji manggis sehingga setelah


59

Farihul Ihsan dan Sukarmin: Pengujian pembelahan biji terhadap efektivitas perbanyakan manggis Tabel 1. Pengaruh pembelahan biji manggis terhadap jumlah tunas, persentase tumbuh bagian biji bertunas, dan tinggi tunas, Balitbu Tropika, Solok, 2010 Perlakuan B1 B2 B3

Jumlah biji 20 20 20

Jumlah bagian Persentase tumbuh Tinggi Jumlah biji setelah bagian biji bertunas tunas tunas perlakuan (%) (cm) 20 40 60

23 21 27

100,00 52,50 45,00

6,72 4,28 4,07

B1 = biji tanpa dibelah, B2 = biji dibelah dua, B3 = biji dibelah tiga Gambar 1. Biji manggis tanpa perlakuan pemotongan (B1, kiri), dibelah dua (B2, tengah), dan dibelah tiga (B3, kanan), Balitbu Tropika, Solok, 2010

perlakuan pembelahan, jumlah biji untuk tiap perlakuan yaitu B1 20 bagian biji, B2 40 bagian biji, dan B3 60 bagian biji. Biji yang telah diberi perlakuan kemudian disemai dalam bak persemaian yang telah disiapkan dengan jarak tanam 5 cm x 5 cm dan kedalaman semai dalam media 2 cm. Setelah penyemaian, semaian kemudian diberi label sesuai dengan masing-masing perlakuan.

Pemeliharaan dan Pengamatan Selama percobaan, media dijaga kelembapannya dengan disiram air. Penyiangan dilakukan dengan mencabut gulma yang tumbuh. Pengamatan dilakukan pada saat biji telah tumbuh dan saat dipindah ke media tanam yang baru atau pada tiga bulan setelah penyemaian. Parameter yang diamati dan diukur adalah:

Gambar 2. Pertumbuhan biji manggis tanpa perlakuan pemotongan (B1, kiri), dibelah dua (B2, tengah), dan dibelah tiga (B3, kanan), Balitbu Tropika, Solok, 2010

3. Tinggi tunas, diukur tinggi tunas yang tumbuh pada tiap perlakuan dari pangkal hingga ujung tunas.

masing-masing 23 dan 21 tunas. Persentase bagian biji yang bertunas pada perlakuan B1 mencapai 100%, bahkan beberapa biji dapat menghasilkan lebih dari satu tunas, sedangkan pada perlakuan B2 dan B3 masing-masing hanya 52,50% dan 45%. Untuk tinggi tunas, perlakuan B1 menghasilkan tunas yang lebih tinggi (6,72 cm) dibanding B2 dan B3, yaitu masing-masing 4,28 cm dan 4,07 cm (Tabel 1 dan Gambar 2). Rata-rata jumlah tunas pada perlakuan B3 lebih banyak dibanding perlakuan B1 dan B2, namun persentase bagian biji yang tumbuh lebih sedikit dan ukuran tunasnya lebih kecil. Hal ini diduga karena biji yang dibelah tiga mempunyai cadangan makanan pada tiap potongan yang terbatas sehingga walaupun menghasilkan tunas, pertumbuhannya kurang sempurna.

HASIL DAN PEMBAHASAN

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan biji manggis yang dibelah tiga (B3) menghasilkan jumlah tunas lebih banyak (27 tunas) dibanding perlakuan B1 dan B2,

Perbanyakan manggis melalui biji dengan cara dibelah menjadi tiga bagian menghasilkan tunas yang lebih banyak (27 tunas) daripada biji tanpa dibelah (23 tunas) ataupun

1. Jumlah tunas, dilakukan dengan menghitung jumlah tunas yang tumbuh pada tiap perlakuan. 2. Persentase tumbuh bagian biji bertunas, dihitung dengan rumus: Jumlah bagian Persentase tumbuh biji bertunas = ——————————— x 100% bagian biji bertunas Jumlah bagian biji


60

Farihul Ihsan dan Sukarmin: Pengujian pembelahan biji terhadap efektivitas perbanyakan manggis

yang dibelah menjadi dua bagian (21 tunas). Namun, persentase tumbuh bagian biji bertunas dan tinggi tunas yang dihasilkan biji yang dibelah dua atau tiga lebih rendah, masing-masing 52,50% dan 45% serta 4,28 cm dan 4,07 cm, dibanding biji tanpa dibelah (100%; 6,72 cm). Perlu dilakukan pengujian lanjutan perlakuan pembelahan biji terhadap efektivitas perbanyakan manggis melalui biji dengan aplikasi zat pengatur tumbuh untuk meningkatkan persentase tumbuh bagian biji yang bertunas dan pertumbuhan tunas pada biji yang dibelah.

DAFTAR PUSTAKA

Breeding: Principles and Prospects. Chapmann and Hall, London. Horn, C.L. 1940. Existence of only one variety of cultivated mangosteen explained by asexually formed seed. Puerto Rico Experiment Station of US Department of Agriculture Mayague. Science News Series Vol. XCII. July-December 1980: 237-238. Krishnamurthi, S. and N.V. Rao. 1965. The mangosteen (Garcinia mangostana L.), Its introduction and establishment in Peninsular India. In S. Krishnamurthi (Ed.). Advances in Agricultural Sciences and Their Application. Madras Agric. J. India 52: 401-421. Ochse, J.J., J. Soule, M.J. Dijleman, and C. Wehlburg. 1961. Tropical and Subtropical Agriculture. Vol. 1. The Macmillan Company, Collier-Macmillan Ltd., London. 760 pp.

Campbell, C.W. 1966. Growing the mangosteen in Southern Florida. Proc. Florida State Hort. Soc. 79: 399-401.

Rais, M., E. Mansyah, S. Lukitariati, dan M. Jawal A.S. 1996. Monograf Manggis. Peningkatan Efisiensi Teknologi Usaha Tani Manggis. Balai Penelitian Tanaman Buah, Solok.

Cox, J.E.K. 1976. Garcinia mangostana L., Mangosteen. Propagation of Tropical Fruit Trees. 1 st ed. Commonwealth Bureau. Farm Harn Royal, England. p. 8-12.

Richards, A.J. 1990. Studies in Garcinia, dioecious tropical forest trees: Agamospermy. Bot. J. Linnean Soc. 103: 233-250.

Den Nijs, A.P.M. and D.E. Van Dijk. 1993. Apomiksis. In M.D. Haywards, N.O. Bosemark, and I. Romagosa (Eds.). Plant

Stephen, S.E. 1935. Some tropical fruits. 1. The mangosteen. Queensland Agric. J. 44: 346-348.


Endriyanto danPertanian Farihul Ihsan: Buletin Teknik Vol. 16,Pengamatan No. 2, 2011:curah 61-63hujan di stasiun klimatologi KP Cukurgondang, Pasuruan

61

TEKNIK PENGAMATAN CURAH HUJAN DI STASIUN KLIMATOLOGI KEBUN PERCOBAAN CUKURGONDANG, PASURUAN Endriyanto1 dan Farihul Ihsan2 1

Teknisi Litkayasa Pelaksana Lanjutan pada Kebun Percobaan Cukurgondang, Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Kotak Pos 1 Grati, Pasuruan 67184, Telp. (0343) 7732760 2 Teknisi Litkayasa Nonkelas pada Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jalan Raya Solok-Aripan km 8, Kotak Pos 5, Solok 27301, Telp. (0755) 20137, Faks. (0755) 20592 E-mail: balitbu@litbang.deptan.go.id

C

urah hujan merupakan salah satu unsur iklim selain suhu, kelembapan, radiasi matahari, evaporasi, tekanan udara, dan kecepatan angin. Hujan adalah air yang jatuh ke permukaan bumi sebagai akibat terjadinya kondensasi dari partikel-partikel air di langit. Jumlah curah hujan diukur sebagai volume air yang jatuh di atas permukaan bidang datar dalam periode waktu tertentu, yaitu harian, mingguan, bulanan, atau tahunan. Tinggi air ini umumnya dinyatakan dengan satuan milimeter (Nawawi 2001). Mohr pada tahun 1933 mengajukan klasifikasi iklim berdasarkan curah hujan. Klasifikasi iklim ini didasarkan pada jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah yang dihitung sebagai nilai rata-rata dalam waktu yang lama. Bulan kering adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm. Bulan lembap adalah bulan dengan curah hujan 60-100 mm, dan bulan basah adalah bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (Nawawi 2001). Alat pengukur curah hujan secara umum dinamakan penakar hujan. Salah satu alat penakar hujan adalah penakar hujan tipe observatori yang berbentuk silinder. Pada alat ini, lingkaran penangkap air hujan yang terbuat dari bahan antibocor diletakkan di bagian atas corong yang meneruskan air hujan yang tertampung ke penerima. Penerima harus mempunyai leher yang sempit untuk mengurangi kehilangan air akibat penguapan, kemudian di bagian bawahnya merupakan tempat penampungan atau reservoir. Lingkaran penangkap luasnya berkisar antara 100-500 cm 2 yang dirancang sedemikian rupa sehingga percikan hujan tidak keluar, yaitu dindingnya dibuat cukup dalam dan corongnya miring lebih dari 45째. Alat ini dibuat dari bahan logam tahan karat, fiberglass, atau plastik (Nasri 1978). Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui jumlah curah hujan dan klasifikasinya di Kebun Percobaan (KP) Cukurgondang, Pasuruan, Jawa Timur.

BAHAN DAN METODE Pengamatan dan pencatatan data curah hujan dilaksanakan di stasiun klimatologi KP Cukurgondang, Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika di Desa Cukurgondang, Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Pengamatan dan pencatatan data dilaksanakan mulai Januari 2001 hingga Desember 2010. Alat yang digunakan meliputi penakar curah hujan tipe observatori dengan luas penampung 100 cm2 (Gambar 1), gelas ukur penakar curah hujan, dan alat tulis. Pembacaan data curah hujan dilakukan dengan mengamati banyaknya curah hujan selama 24 jam. Pengamatan dan pencatatan curah hujan dilakukan setiap pukul 07.00. Data yang dicatat pada saat itu merupakan data untuk hari sebelumnya. Sebagai contoh, data yang dibaca pada pukul 07.00 tanggal 1 Desember dicatat sebagai data untuk hari sebelumnya, yaitu tanggal 30 November. Cara pengamatan dan pencatatan curah hujan adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.

Menyiapkan gelas ukur penakar curah hujan. Menyiapkan alat tulis yaitu kertas dan pena. Meletakkan gelas ukur di bawah kran pembuangan. Membuka kran pembuangan dengan hati-hati agar air tidak tertumpah keluar dan dipastikan air dalam penakar hujan habis dan semua air tertampung dalam gelas ukur (Gambar 2a). 5. Menutup kembali kran pembuangan. 6. Mengukur volume air yang tertampung dalam gelas ukur, kemudian mencatat data volume air yang tertampung tersebut (Gambar 2b dan 2c). Hasil pengamatan dan pencatatan yang dilakukan pada hari tersebut menunjukkan data curah hujan pada hari sebelumnya.


62

Endriyanto dan Farihul Ihsan: Pengamatan curah hujan di stasiun klimatologi KP Cukurgondang, Pasuruan

Lingkaran penangkap 135째

Penampung/ reservoir

Corong penampung

Gelas ukur

3-5 l = 3.000-5.000 mm Kran pembuangan

Tiang penakar hujan

120 cm

Gambar 1. Alat penakar hujan tipe observatori yang digunakan di Stasiun Klimatologi KP Cukurgondang, Pasuruan, Jawa Timur, 20012010

Gambar 2. Tahapan pengamatan dan pencatatan jumlah curah hujan: (a) membuka kran pembuangan dan menampung air hujan pada gelas ukur penakar curah hujan, (b) mengamati air hujan yang tertampung pada gelas ukur penakar curah hujan, dan (c) mencatat data jumlah curah hujan yang tertampung pada gelas ukur penakar curah hujan, Stasiun Klimatologi KP Cukurgondang, Pasuruan, Jawa Timur, 2001-2010

Pengamatan dan pencatatan curah hujan dengan alat penakar hujan dilakukan sampai satuan 0,1 mm. Hasil pembacaan di bawah 0,05 mm dicatat dengan 0 mm, namun tetap dianggap sebagai hari hujan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan dan pencatatan jumlah curah hujan dari tahun 2001 sampai 2010 di KP Cukurgondang, diketahui bahwa jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2010, yaitu 2.432 mm/tahun, dan yang terendah pada tahun 2009, yaitu 1.187 mm/tahun. Untuk sifat bulan hujan berdasarkan klasifikasi Mohr, jumlah bulan basah terbanyak

terjadi pada tahun 2010, yaitu 10 bulan, dan jumlah bulan basah terkecil terjadi pada tahun 2003 dan 2007, yaitu empat bulan. Jumlah bulan kering terbanyak terjadi pada tahun 2003, 2007, dan 2008, yaitu tujuh bulan, dan jumlah bulan kering terkecil terjadi pada tahun 2002, yaitu satu bulan (Tabel 1). Berdasarkan hasil pengamatan dan pencatatan tahunan untuk tahun 2001 sampai 2010, curah hujan rata-rata adalah 1.520,60 mm/tahun dengan jumlah bulan basah tujuh bulan, bulan lembap satu bulan, dan bulan kering empat bulan. Bulan basah terjadi pada Januari sampai Mei, kemudian terjadi lagi pada November dan Desember. Bulan lembap terjadi pada Juni sebagai peralihan musim kemarau ke musim hujan. Bulan kering terjadi pada Juli, Agustus, September, dan Oktober (Tabel 2).


63

Endriyanto dan Farihul Ihsan: Pengamatan curah hujan di stasiun klimatologi KP Cukurgondang, Pasuruan Tabel 1. Data hasil pengamatan dan pencatatan jumlah curah hujan di stasiun klimatologi, KP Cukurgondang, Pasuruan, Jawa Timur, 2001-2010 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah

Curah hujan (mm)

Rata-rata

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

296 123 340 98 46 110 19 x x 17 174 130

371 373 349 207 73 x x x x x 0 209

373 389 227 70 31 8 x x x 1 41 157

206 310 366 x 162 9 4 x 1 x 166 188

170 490 254 217 1 128 16 x 0 4 120 247

472 390 202 101 156 x x x x x x 216

29 362 385 113 79 14 4 x x x 16 238

218 411 233 46 10 0 x x 0 36 384 181

402 216 136 88 158 130 x x x x 5 52

368 255 336 295 318 83 110 11 115 113 221 207

290,50 331,90 282,80 137,22 103,40 60,25 30,60 11,00 29,00 34,20 125,22 182,50

1.353

1.582

1.297

1.412

1.647

1.537

1.240

1.519

1.187

2.432

1.520,60

x = tidak ada hujan 0 = ada hujan < 0,05 mm

Tabel 2. Klasifikasi bulan hujan berdasarkan pengamatan jumlah curah hujan di stasiun klimatologi, KP Cukurgondang, Pasuruan, Jawa Timur, 2001-2010 Bulan

Tahun

Rata-rata

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

BB BB BB BL BK BB BK BK BK BK BB BB

BB BB BB BB BL BK BK BK BK BK BK BB

BB BB BB BL BK BK BK BK BK BK BK BB

BB BB BB BK BB BK BK BK BK BK BB BB

BB BB BB BB BK BB BK BK BK BK BB BB

BB BB BB BB BB BK BK BK BK BK BK BB

BK BB BB BB BL BK BK BK BK BK BK BB

BB BB BB BK BK BK BK BK BK BK BB BB

BB BB BB BL BB BB BK BK BK BK BK BK

BB BB BB BB BB BL BB BK BB BB BB BB

BB BB BB BB BB BL BK BK BK BK BB BB

Jumlah BK Jumlah BL Jumlah BB

5 1 6

6 1 5

7 1 4

6 6

5 7

6 6

7 1 4

7 5

6 1 5

1 1 10

4 1 7

BK = bulan kering; BL = bulan lembap; BB = bulan basah

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Curah hujan tahunan rata-rata untuk tahun 2001 sampai 2010 adalah 1.520,60 mm dengan jumlah bulan basah tujuh bulan, bulan lembap satu bulan, dan bulan kering empat bulan. Bulan basah terjadi pada Januari sampai Mei, kemudian terjadi lagi pada November dan Desember. Bulan lembap terjadi pada Juni sebagai peralihan musim kemarau ke musim hujan. Bulan kering terjadi pada Juli, Agustus, September, dan Oktober.

Nasri, A.A. 1978. Beberapa Alat Pengukur Cuaca di Stasiun Klimatologi Pertanian. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nawawi, G. 2001. Pengantar Klimatologi Pertanian. Modul Dasar Bidang Keahlian. Proyek Pengembangan Sistem Standar Pengelolaan SMK. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.


64 Buletin Teknik Pertanian Vol. 16, No. 2, 2011: 64-67

Supenti dan Nina Marlina: Teknik pembebasan virus pada tanaman krisan

TEKNIK PEMBEBASAN VIRUS PADA TANAMAN KRISAN Supenti1 dan Nina Marlina2 1 Teknisi Litkayasa Pelaksana Pemula dan 2Teknisi Litkayasa Pelaksana Penyelia pada Balai Penelitian Tanaman Hias Jalan Raya Ciherang, Segunung, Pacet, Cianjur 43253, Kotak Pos 8 Sindanglaya, Telp. (0263) 517056, Faks. (0263) 514138 E-mail: balithi@litbang.deptan.go.id

K

risan (Dendranthema grandiflora [Ramat.] Kitam) merupakan salah satu tanaman hias penghasil bunga potong yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Sentra produksi krisan utama berada di Pulau Jawa, dengan produksi 104,29 juta tangkai atau 96,70% dari total produksi krisan nasional. Jawa Barat merupakan penghasil krisan terbesar dengan produksi 55,71 juta tangkai atau 51,66% dari total produksi krisan nasional, diikuti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Penghasil krisan terbesar di luar Jawa adalah Sulawesi Utara dengan produksi 2,08 juta tangkai atau 1,93% dari total produksi krisan nasional (Departemen Pertanian 2009).

Peningkatan produksi krisan di dalam negeri harus diiringi dengan ketersediaan benih bermutu. Salah satu kendala dalam penyediaan benih bermutu adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh virus, viroid, dan fitoplasma. Menurut Megan et al. (2001), sedikitnya terdapat 14 jenis virus yang menyerang tanaman krisan, di antaranya chrysanthemum virus B, cucumber mosaic virus, chrysanthemum latent virus, dan chrysanthemum rossete virus. Di Indonesia, chrysanthemum virus-B (CVB) merupakan salah satu virus yang paling banyak ditemukan pada pertamanan krisan. Gejala yang tampak pada tanaman krisan yang terserang virus tersebut berupa klorosis pada daun, pecahnya warna petal bunga, dan pertumbuhan tanaman yang terhambat dan kerdil (Zaitlin dan Palukaitis 2008). Pengaruh CVB terhadap kualitas pertumbuhan tanaman krisan juga dilaporkan hingga pada tingkat perbanyakan in vitro. Planlet krisan yang terinfeksi CVB memperlihatkan laju pertumbuhan dan tingkat ploriferasi yang lebih lambat dibandingkan dengan tanaman yang sehat (Marwoto et al. 2004). Usaha mengembalikan potensi genetik tanaman akibat serangan virus dapat dilakukan dengan mengeliminasi virus pada tanaman yang terinfeksi. Upaya mengeliminasi virus pada berbagai jenis tanaman telah berhasil dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, seperti kultur meristem, terapi panas (termoterapi), dan penggunaan antiviral sintetis. Teknik isolasi daerah meristem yang memiliki kandungan antiviral alami dan belum terinfeksi virus pertama kali berhasil

dilakukan pada anggrek Cymbidium (Morel 1960). Namun, teknik isolasi daerah meristem yang sangat sensitif dan sangat kecil ini dilaporkan sulit dilakukan pada beberapa jenis tanaman (Brown et al. 1988). Aplikasi termoterapi untuk mengeliminasi virus krisan berdasarkan tingkat multiplikasi virus sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, terutama suhu yang tinggi. Beberapa hasil penelitian termoterapi menunjukkan bahwa laju multiplikasi virus menurun pada kisaran suhu 35-43째C (Converse dan Tanne 1984). Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa laju tanaman hidup setelah perlakuan termoterapi makin kecil seiring dengan meningkatnya suhu termoterapi (Lozoya-Saldana dan Merlin-Lara 1984). Penerapan metode kombinasi termoterapi dan kultur meristem dilakukan untuk mengurangi tingkat kesulitan penerapan metode tunggal termoterapi atau kultur meristem. Metode kombinasi ini dilaporkan efektif diterapkan pada beberapa virus pada tanaman yang sulit dieliminasi dengan metode tunggal kultur meristem atau termoterapi, seperti pada ubi jalar, tembakau, jeruk, dan mentimun (LozoyaSaldana dan Dawson 1982; Green dan Lo 1989; Greno et al. 1990). Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui durasi waktu yang diperlukan pada pembebasan virus pada tanaman krisan dengan teknik termoterapi dan kultur meristem.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2005 di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Hias, Segunung, Cianjur, Jawa Barat, yang terletak pada ketinggian tempat 1.100 m dpl. Bahan yang digunakan adalah krisan varietas Cut Nyak Dien, Sakuntala, dan Yellow Fiji. Metode eliminasi virus menggunakan durasi termoterapi tiga tahap, yaitu 1, 2, dan 3 minggu (suhu 38-40째C), yang dilanjutkan dengan kultur meristem. Tahapan percobaan pembebasan virus krisan disajikan pada Gambar 1.


65

Supenti dan Nina Marlina: Teknik pembebasan virus pada tanaman krisan Batang krisan yang telah diidentifikasi terinfeksi virus, dipotong-potong per nodus sepanjang ± 1,5 cm t

Disterilisasi menggunakan bakterisida + fungisida 0,5% selama 30 menit, dimasukkan ke dalam larutan NaOCl 1% dan 1,5% masing-masing selama 5 menit, dibilas dengan akuades enam kali t

Ditanam pada media 0,5 MS + IAA 0,5 mg/l dan diinkubasi pada suhu 18-20°C t

Tunas aksiler yang tumbuh disubkultur pada media 0,5 MS + 0,1 mg/l t

Planlet ditermoterapi dalam inkubator pada suhu 38-40°C selama 1, 2, dan 3 minggu t

Meristem apikal (< 1 mm) planlet diambil di bawah mikroskop pada setiap perlakuan t

Apikal-apikal meristem ditanam pada media MS + BAP 2 mg/l + NAA 0,5 mg/l dan diinkubasi pada suhu 18-20°C hingga terbentuk planlet baru t

Planlet baru disubkultur pada media regenerasi t

Deteksi virus dengan teknik DAS ELISA Gambar 1. Diagram alir tahapan percobaan pembebasan virus pada tanaman krisan, Balithi, Segunung, 2005

Kandungan CVB pada planlet krisan dideteksi dengan metode DAS ELISA langsung menurut Clark dan Adam (1977). Tahapan metode ELISA langsung adalah sebagai berikut: 1. Lubang plate dilapisi dengan IgG CVB (IGDIA, USA) yang dicampur dengan penyangga coating (Na 2CO 3 + NaHCO 3 + NaN 3) dengan perbandingan 1:200 sebanyak 100 µl per lubang, kemudian diinkubasi semalam pada suhu 4°C. 2. Lubang plate kemudian dicuci dengan penyangga PBS Tween (NaCl + KH2PO4 + Na2HPO4 + NaN3 + Tween 20 + H2O) selama tiga menit sebanyak dua kali dan ditunggu hingga kering. 3. Sampel tanaman masing-masing 0,2 g dihancurkan dalam mortar dan diekstraksi dengan penyangga ekstraksi

(PBST + 0,02% PVP) dengan perbandingan 1:5 sebanyak 1 ml. 4. Ekstrak sampel sebanyak 100 µl dimasukkan ke dalam plate dan diinkubasi selama dua jam dalam inkubator pada suhu 37°C. Plate kemudian dicuci kembali dengan PBS Tween dan ditunggu hingga kering. 5. IgG CVB (yang telah dilabel dengan enzim alkalin fosfatase) (AGDIA, USA) sebanyak 100 µl dimasukkan ke dalam lubang plate yang dicampur dengan penyangga ECI (PBST + 0,2% BSA) dengan perbandingan 1:200 dan diinkubasi pada suhu 37°C selama dua jam. 6. Setelah dicuci dengan PBS Tween, penyangga substrat sebanyak 100 µl yang mengandung 4-nitrofenilfosfat dimasukkan ke dalam tiap lubang plate dan diinkubasi pada suhu kamar hingga terjadi perubahan warna menjadi kuning. Perubahan warna ini disebabkan adanya kandungan partikel virus. Reaksi kemudian dihentikan dengan menambahkan NaOH 3 M sebanyak 25 µl. 7. Intensitas perubahan warna diukur menggunakan ELISA reader (Minireader II Dynatech) pada panjang gelombang 410 nm. Sampel tanaman dinyatakan tidak terinfeksi (bebas) virus bila tiga kali nilai absorbansinya kurang dari nilai absorbansi kontrol positif. Masing-masing varietas terdiri atas 10 ulangan. Parameter yang diamati dan diukur adalah persentase planlet hidup setelah termoterapi, persentase planlet hidup setelah diinkubasi 1, 2, dan 3 minggu, waktu inisiasi tunas aksiler setelah kultur meristem, dan tinggi tanaman hasil kultur meristem.

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Planlet Hidup Setelah Termoterapi Hasil pengamatan menunjukkan adanya perbedaan jumlah planlet hidup pada tiga varietas yang diuji untuk setiap perlakuan durasi pemanasan. Pada durasi pemanasan 1, 2, hingga tiga minggu, varietas Cut Nyak Dien memperlihatkan jumlah planlet hidup lebih banyak dibandingkan dengan Sakuntala dan Yellow Fiji (Tabel 1). Lebih banyaknya planlet yang hidup pada varietas Cut Nyak Dien menunjukkan bahwa varietas tersebut lebih toleran terhadap termoterapi dibandingkan dengan Sakuntala dan Yellow Fiji. Hasil ini juga mengindikasikan perbedaan respons varietas terhadap durasi pemanasan dan toleransi ketahanan ini dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman (Lozoya-Saldana dan Merlin-Lara 1984).


66

Supenti dan Nina Marlina: Teknik pembebasan virus pada tanaman krisan

Tabel 1. Jumlah planlet hidup pada tiga varietas krisan, Balithi, Segunung, 2005 Rata-rata jumlah planlet hidup setelah perlakuan termoterapi (minggu)

Varietas Cut Nyak Dien Sakuntala Yellow Fiji

1

2

3

8,8 7,8 7,6

7,6 6,4 6,0

3,8 3,2 3,6

Waktu Inisiasi Tunas dan Tinggi Tanaman Hasil pengamatan waktu inisiasi tunas dan tinggi tanaman menunjukkan bahwa durasi termoterapi pada planlet berpengaruh terhadap waktu inisiasi tunas pascakultur meristem pada tiga varietas krisan yang diuji (Tabel 2). Waktu inisiasi tunas pascakultur meristem lebih cepat seiring dengan lamanya durasi termoterapi pada planlet. Inisiasi tunas planlet varietas Sakuntala dan Yellow Fiji setelah dua minggu termoterapi lebih cepat dibandingkan dengan planlet yang diberi termoterapi satu minggu. Planlet yang diberi termoterapi tiga minggu memperlihatkan waktu inisiasi tunas yang lebih cepat dibandingkan dengan termoterapi dua minggu untuk semua varietas yang diuji. Pengaruh durasi termoterapi juga terlihat pada pertambahan tinggi planlet. Tinggi planlet ketiga varietas krisan setelah perlakuan termoterapi menunjukkan perbedaan setelah tiga minggu subkultur. Perbedaan tinggi planlet pada ketiga varietas krisan menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu tinggi planlet pada perlakuan termoterapi dua minggu, meskipun memiliki nilai yang lebih tinggi, namun tidak jauh berbeda dengan planlet yang diberi perlakuan termoterapi satu minggu, kecuali pada Yellow Fiji. Planlet yang diberi perlakuan pemanasan tiga minggu lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipanaskan selama satu dan dua minggu (Tabel 3). Lambatnya laju pertumbuhan, yang terlihat pada waktu inisiasi tunas dan tinggi planlet subkultur pada termoterapi satu dan dua minggu pada ketiga varietas yang dicoba mengindikasikan masih adanya kandungan partikel virus pada jaringan tanaman sehingga memengaruhi pertumbuhan planlet. Pertumbuhan planlet dengan perlakuan termoterapi tiga minggu menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan termoterapi satu dan dua minggu. Hal ini karena termoterapi selama tiga minggu yang diikuti dengan kultur meristem mampu mengembalikan potensi pertumbuhan planlet yang terganggu akibat keberadaan partikel virus pada jaringan tanaman. Pulihnya performa pertumbuhan mengindikasikan bahwa kandungan partikel

Tabel 2. Waktu inisiasi tunas pascakultur meristem planlet tiga varietas krisan setelah perlakuan termoterapi, Balithi, Segunung, 2005 Varietas Cut Nyak Dien Sakuntala Yellow Fiji

Waktu inisiasi tunas (hari) setelah perlakuan termoterapi (minggu) 1

2

3

66,8 67,4 64,6

67,4 62,6 62,6

52,4 51,2 47,4

Tabel 3. Tinggi planlet tiga varietas krisan pada umur tiga minggu setelah subkultur, Balithi, Segunung, 2005 Varietas Cut Nyak Dien Sakuntala Yellow Fiji

Rata-rata tinggi planlet krisan setelah tiga minggu subkultur (cm) 1

2

3

4,54 4,58 5,24

5,22 5,04 6,42

6,56 7,06 7,22

virus pada tanaman tereliminasi sehingga planlet mampu mengabsorsi hara secara optimal dari dalam media dan memaksimalkan proses metabolisme untuk mensintesis unsur-unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan vegetatif (Styer dan Chin 1983)

Analisis Kandungan Virus Hasil uji ELISA pada jaringan planlet menunjukkan nilai absorbansi yang bervariasi pada ketiga varietas krisan, namun memiliki nilai rata-rata yang tidak terlalu jauh pada masing-masing durasi termoterapi yang dicoba. Pada planlet ketiga varietas krisan, nilai absorbansi, yang menunjukkan kandungan partikel virus pada jaringan tanaman, makin menurun seiring dengan lamanya durasi termoterapi (Tabel 4). Hasil analisis jaringan tanaman juga menunjukkan bahwa persentase planlet bebas CVB meningkat seiring dengan lamanya durasi termoterapi. Perlakuan termoterapi satu minggu yang diikuti kultur meristem dapat membebaskan 30-50% planlet dari partikel virus. Persentase planlet bebas virus meningkat menjadi 60-80% setelah perlakuan termoterapi dua minggu dan 100% setelah perlakuan termoterapi tiga minggu. Menurunnya nilai absorbansi pada uji ELISA dan meningkatnya persentase planlet yang terdeteksi bebas virus seiring dengan makin lamanya durasi pemanasan menunjukkan bahwa kandungan partikel CVB pada jaringan tanaman dipengaruhi oleh durasi termoterapi. Kandungan partikel


67

Supenti dan Nina Marlina: Teknik pembebasan virus pada tanaman krisan Tabel 4. Hasil deteksi uji ELISA langsung dan persentase planlet bebas CVB dari tiga varietas krisan pada durasi termoterapi yang berbeda, Balithi, Segunung, 2005 Durasi pemanasan (minggu)

Nilai absorbansi

Planlet bebas CVB (%)

1 2 3

0,07-0,16 0,06-0,10 0,02-0,06

50 60 100

1 2 3

0,08-0,12 0,04-0,08 0,03-0,06

30 70 100

1 2 3

0,08-0,10 0,06-0,08 0,02-0,08

40 80 100

Kontrol positif

0,21

+

Kontrol negatif

0,01

-

Varietas Cut Nyak Dien

Sakuntala

Yellow Fiji

virus yang masih terdeteksi pada perlakuan satu dan dua minggu termoterapi mengindikasikan bahwa durasi termoterapi tersebut belum cukup untuk membebaskan daerah apikal dari virus sehingga partikel virus masih terbawa pada meristem apikal yang ditanam. Termoterapi selama tiga minggu cukup efektif untuk menghambat multiplikasi virus pada daerah apikal. Penghambatan multiplikasi virus menyebabkan apikal meristem yang ditanam pada media induksi relatif bersih dari partikel virus sehingga planlet yang tumbuh dari meristem ini pun terbebas dari virus (Hosokawa et al. 2004).

KESIMPULAN Toleransi ketiga varietas krisan terhadap perlakuan termoterapi berbeda-beda. Jumlah planlet hidup setelah termoterapi menurun seiring dengan makin lamanya durasi termoterapi. Persentase planlet bebas virus makin meningkat seiring dengan lamanya durasi termoterapi. Termoterapi selama 3 minggu yang diikuti dengan kultur meristem dapat membebaskan planlet krisan dari infeksi CVB.

DAFTAR PUSTAKA Brown, C.R., S. Kwiatkowski, M.W. Martin, and P.E. Thomas. 1988. Eradication of PVS from potato clones through excisions of meristems from in vitro, heat treated shoot tip. Am. Potato J. 65: 633-638. Clark, M.F. and A.N. Adam. 1977. Characteristic of the microplate method of enzyme linked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. J. Gen. Virol. 34: 475-483. Converse, R.H. and E. Tanne. 1984. Heat therapy and stolon apex culture to eliminate mild yellow-edge virus from Hood strawberry. Phytopathology 74: 1315-1316. Departemen Pertanian. 2009. Statistik Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. 270 hlm. Green, S.K. and C.Y. Lo. 1989. Elimination of sweet potato yellow dwarf virus (SPYDV) by meristem tip culture and by heat treatment. J. Plant Dis. Protection 96: 464-469. Greno, V., M. Cambra, L. Navaro, and N. Duranvila. 1990. Effect of antiviral chemicals on the development of virus content of citrus buds in vitro. Sci. Hort. 45: 75-87. Hokosawa, M., A. Otake, K. Ohishi, E. Ueda, T. Hayashi, and S. Yazawa. 2004. Elimination of chrysanthemun stunt viroid from an infected chrysanthemum cultivar by shoot regeneration from a leaf primordium-free shoot apical meristem dome attached to a root tip. Plant Cell Rep. 22: 859-863 Lozoya-Saldana, H. and W.O. Dawson. 1982. Effect of alternating temperature regimes on reduction or elimination of viruses in plant tissue. Phytopathology 72: 1018-1022. Lozoya-Saldana, H. and O. Merlin-Lara. 1984. Thermotherapy and tissue culture for elimination of potato virus X (PVX) in Mexican potato cultivars resistant to late blight. Am. Potato J. 61: 737-739. Marwoto, B., L. Sanjaya, K. Budiarto, dan I.B. Rahardjo. 2004. Pengaruh antiviral dalam media kultur terhadap keberadaan chrysanthemum virus B pada 4 varietas krisan terinfeksi. Jurnal Hortikultura (Edisi Khusus) 14: 410-418. Megan, F.H., R.J. Giles, R.M. Moran, and G. Hepworth. 2001. The incidence of chrysanthemum, tomato aspermy cucumovirus and tomato spotted wilt tospovirus in Australian chrysanthemum crops. Aust. Plant Pathol. 25(3): 174-178. Morel, G. 1960. Producing virus free-Cymbidium. Am. Orchid Soc. Bull. 29: 495-497.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Fitri Rachmawati, S.P., M.Si., Ibu Dewi Pramanik, S.P., dan Ibu Euis Rohayati, A.Md. yang telah memberikan bimbingan penulisan.

Styer, D.J. and C.K. Chin. 1983. Meristem and shoot tip culture for propagation, pathogen elimination and germplasm preservation. Hort. Rev. 5: 221-277. Zaitlin, M. and P. Palukaitis. 2008. Advances in understanding plant viruses and virus diseases. Annu. Rev. Phytopathol. 38: 117-143.


68 Buletin Teknik Pertanian Vol. 16, No. 2, 2011: 68-73

Yessy Anastasia: Analisis residu golongan tetrasiklin dalam daging ayam

TEKNIK ANALISIS RESIDU GOLONGAN TETRASIKLIN DALAM DAGING AYAM SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI Yessy Anastasia Teknisi Litkayasa Nonkelas pada Balai Besar Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata No. 30, Kotak Pos 52, Bogor 16114, Telp. (0251) 8331048, 8334456, Faks. (0251) 8336425 E-mail: balitvet@litbang.deptan.go.id, balitvet@indo.net.id

D

aging ayam merupakan bahan pangan bernilai gizi tinggi dan berperan penting dalam memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Daging ayam yang beredar di Indonesia sebagian besar berasal dari ayam pedaging. Ayam pedaging mampu tumbuh cepat sehingga dapat menghasilkan daging dalam waktu relatif singkat, yaitu 5-7 minggu. Ayam pedaging memiliki peran penting sebagai sumber protein hewani asal ternak (Resnawati 2005). Antibiotik adalah substansi yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain dalam konsentrasi yang sangat rendah (Wiryosuhanto 1990). Sinaga (2004) mengungkapkan, penambahan obat-obatan antibakteri (antibiotik) ke dalam ransum pakan ternak bertujuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan berat badan atau memperbaiki laju efisiensi pakan. Penggunaan obat-obatan tersebut meningkat tajam, khususnya pada sapi potong dan ayam pedaging untuk mempercepat laju pertumbuhan bobot badan. Salah satu antibiotik yang banyak digunakan adalah golongan tetrasiklin untuk menghambat sintesis protein bakteri. Penggunaan antibiotik tersebut harus sesuai dengan aturan karena bila menyalahi aturan, akan menimbulkan residu pada produk ternak. Residu antibiotik dapat menimbulkan alergi, keracunan, gagalnya pengobatan akibat resistensi, dan gangguan jumlah mikroflora dalam saluran pencernaan (Murdiati 1997). Dilaporkan bahwa lebih dari 50% dari 200 sampel susu sapi yang dianalisis mengandung residu antibiotik cukup tinggi. Residu antibiotik tetrasiklin pada daging ayam belum dilaporkan. Oleh karena itu, perlu diketahui kemungkinan adanya residu antibiotik tersebut dalam daging ayam dengan melakukan pemeriksaan sampel daging ayam dari lapangan dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) atau high performance liquid chromatography (HPLC). Kromatografi adalah suatu istilah umum untuk berbagai teknik pemisahan yang didasarkan atas partisi sampel di antara suatu fasa gerak, yang bisa berupa gas ataupun cair,

dan fasa diam yang bisa berupa cairan ataupun padatan (Putra 2004). Sampel dibawa oleh carrier atau disebut fase gerak (mobile phase) melewati kolom. Kolom berisi fase diam (stationery phase) yang berfungsi memisahkan komponen sampel. Hampir setiap senyawa kimia, baik yang memiliki bobot molekul rendah maupun tinggi, dapat dipisahkan komponen-komponennya dengan metode kromatografi. KCKT merupakan salah satu metode kimia dan fisikokimia yang menggunakan teknologi kolom sistem pompa tekanan tinggi dan detektor yang sensitif sehingga dapat memisahkan senyawa kimia dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Detektor yang dipergunakan adalah diode array, yang merupakan modifikasi dari detektor ultraviolet, yang lebih sensitif dan spesifik dengan dua panjang gelombang yang telah ditentukan. Detektor ini digunakan untuk mendeteksi sampel pada daerah spektrum ultraviolet sampai cahaya tampak (visible). Pembacaan dan pengukuran dilakukan oleh monokromator yang menggunakan lampu tungsten atau deuterium. Percobaan bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotik golongan tetrasiklin dalam daging ayam dengan menggunakan KCKT.

BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Toksikologi, Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet), Bogor pada bulan Februari-Juni 2011. Bahan yang digunakan ialah daging ayam, standar oksitetrasiklin (OTC), tetrasiklin (TC), klortetrasiklin (CTC), asam oksalat, 0,0025M, asetonitril (grade), asam trikloroasetat 20%, asam sitrat monohidrat, dinatrium hidrogenfosfat dihidrat, garam dinatrium EDTA, gas nitrogen, metanol p.a, kertas saring 0,45 Âľm, alumunium foil, parafilm, akuades, dan akuabides. Alat yang digunakan ialah KCKT Shimadzu LC-20AD, syringe KCKT, kolom varian Polaris 5 Âľ C18-A 150 x 4,6 mm, kolom solid phase extraction (SPE) varian C18, sentrifuse Backman model Tj-6, tabung sentrifuse,


69

Yessy Anastasia: Analisis residu golongan tetrasiklin dalam daging ayam

vortex, penyaring vakum, neraca analitik, syringe plastik, mikropipet, tip mikropipet, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, labu takar, pipet tetes, batang pengaduk, vial kecil, dan sudip.

Pembuatan Larutan Baku Larutan baku merupakan stok larutan baku yang nantinya akan diencerkan menjadi larutan baku campuran, kemudian digunakan sebagai larutan baku kerja. Untuk membuat larutan baku, ditimbang 10 mg standar tetrasiklin, oksitetrasiklin, dan klortetrasiklin, kemudian masing-masing dilarutkan dengan metanol lalu dimasukkan ke dalam labu takar dan ditepatkan hingga 10 ml untuk mendapatkan konsentrasi larutan standar 1.000 mg/l. Sebanyak 500 µl larutan standar tetrasiklin, 500 µl larutan standar oksitetrasiklin, 1.000 µl larutan standar klortetrasiklin konsentrasi 1.000 mg/l dimasukkan ke dalam labu takar 5 ml, kemudian ditepatkan dengan metanol sehingga didapat konsentrasi larutan standar campuran antibiotik tetrasiklin (1:1:2) 100:100:200 mg/l.

Pembuatan Larutan Baku Campuran Larutan baku campuran merupakan larutan baku yang nantinya akan digunakan sebagai larutan baku kerja, yang diinjeksi setiap akan melakukan analisis dengan menggunakan alat KCKT. Untuk membuat larutan baku campuran OTC 10 ppm, TC 10 ppm, dan CTC 20 ppm, dipipet 200 µl larutan baku pembanding oksitetrasiklin 100 ppm, 200 µl larutan baku pembanding tetrasiklin 100 ppm, dan 400 µl larutan baku pembanding klortetrasiklin, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 2 ml dan dilarutkan dengan fase gerak hingga tanda dan dikocok hingga homogen. Pembuatan larutan baku campuran OTC 1 ppm, TC 1 ppm, dan CTC 2 ppm dilakukan dengan memipet 200 µl larutan baku campuran OTC 10 ppm, TC 10 ppm, dan CTC 20 ppm kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 2 ml dan dilarutkan dengan fase gerak hingga tanda tera dan dikocok sampai homogen.

Pembuatan Larutan Bufer Mc Illvaine Larutan bufer Mc Illvaine merupakan larutan yang digunakan untuk mengekstrak sampel daging ayam. Pembuatan larutan bufer Mc Illvaine dilakukan dengan cara menimbang masing-masing 11,8 g asam sitrat monohidrat, 13,72 g dinatrium hidrogenfosfat dihidrat, dan 33,62 g garam dinatrium EDTA, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 1.000 ml, diencerkan, dan ditera dengan akuabides.

Pembuatan Larutan Metanol 5% Larutan metanol 5% merupakan larutan yang digunakan untuk mencuci kolom SPE setelah ekstrak sampel dilewatkan. Pembuatan larutan metanol 5% dilakukan dengan cara menuang metanol 5 ml ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditera dengan akuabides.

Pembuatan Larutan Metanol Oksalat Larutan metanol oksalat merupakan pelarut untuk elusi kolom SPE, yang di dalamnya sudah dilewatkan ekstrak sampel daging ayam. Larutan metanol oksalat dibuat dengan cara menimbang 1.297 g asam oksalat dan dilarutkan dengan metanol p.a, kemudian dituang ke dalam labu takar 100 ml serta ditera dengan metanol p.a.

Pembuatan Larutan Fase Gerak Larutan fase gerak merupakan larutan campuran dari berbagai bahan kimia, air, dan pelarut organik dan digunakan sebagai fase gerak pada alat KCKT. Pembuatan fase gerak dilakukan dengan cara mencampur 200 ml asam oksalat 0,0025 M dengan 50 ml asetonitril. Setelah itu, campuran disaring dengan menggunakan penyaring vakum dengan kertas saring 0,45 µm sehingga diperoleh perbandingan metanol dan asam oksalat 4:1 (v/v).

Proses Ekstraksi Sampel Pembuatan Larutan Trikloroasetat 20% Larutan trikloroasetat 20% merupakan larutan yang digunakan untuk melarutkan sampel daging ayam. Pembuatan larutan trikloroasetat dilakukan dengan menimbang 20 g asam trikloroasetat kemudian dilarutkan dengan akuabides, setelah itu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditera dengan akuabides.

Sebanyak 5 g daging ayam yang telah digiling, ditempatkan dalam tabung sentrifus. Setelah itu, ditambahkan 2 ml larutan asam trikloroasetat 20% kemudian diaduk. Sampel ditambahkan 18 ml larutan bufer Mc Ilvaine-EDTA kemudian diputar pada kecepatan 3.000 rpm selama 10 menit. Larutan supernatan hasil sentrifus dipisahkan dari residunya kemudian dimasukkan ke dalam kolom SPE. Sebelumnya, kolom SPE


70

Yessy Anastasia: Analisis residu golongan tetrasiklin dalam daging ayam

diaktifkan terlebih dahulu dengan 20 ml metanol dan 20 ml air. Setelah sampel dimasukkan, kolom SPE dicuci dengan 20 ml metanol 5%, kemudian kolom SPE tersebut dielusi dengan 6 ml metanol oksalat. Setelah proses ekstraksi selesai, filtrat dipindahkan ke dalam aliran gas nitrogen sampai kering, kemudian dilarutkan dengan 250 µl larutan fase gerak. Sebanyak 40 µl sampel dianalisis dengan KCKT Shimadzu LC-20 AD dengan kondisi alat sebagai berikut:

Sistem kromatografi cair kinerja tinggi dapat dilihat pada Gambar 1. Teknik pemisahan KCKT dilakukan dengan cara menginjeksi sampel yang berbentuk cairan ke dalam fase gerak yang dialirkan melalui kolom yang berisi partikel dari suatu fase diam. Komponen yang keluar dari kolom, kemudian dideteksi oleh detektor. Sinyal yang dihasilkan direkam dalam bentuk suatu kromatogram.

Kolom : varian Polaris 5 µ C18-A 150 x 4,6 mm Sistem : fase terbalik Fase gerak : asam oksalat 0,0025 M - asetonitril (4:1, v/v) Laju alir : 1 ml/menit Detektor : Photodiode array (UV), 355 nm dan 368 nm

Uji Linearitas

Perhitungan kadar residu antibiotik golongan tetrasiklin dalam zat uji dilakukan dengan menggunakan rumus: As —— x Cbp x V Abp Kadar (µg/g) = ——————— B di mana: As Abp Cbp V B

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respons secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematika terhadap konsentrasi analit dalam sampel, biasanya dinyatakan dalam variansi sekitar arah garis regresi yang dihitung berdasarkan persamaan matematika dari data yang diperoleh dari hasil uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi analit. Persamaan dinyatakan dengan rumus y = a + bx, di mana a adalah intersep dan b adalah kemiringan garis dengan koefisien korelasi 0,995 (Harmita 2004). Untuk uji linearitas, dibuat larutan standar campuran antibiotik tetrasiklin dengan konsentrasi 0,125; 0,250; 0,500; 1,000; 2,000; dan 4,000 mg/l. Sebanyak 40 µl larutan dianalisis dengan KCKT. Linearitas ditentukan menggunakan metode regresi kuadrat terkecil sebanyak tiga kali ulangan untuk masing-masing konsentrasi. Persamaan linearitas yang di-

= luas puncak zat uji = luas puncak baku = konsentrasi larutan baku (µg/ml) = volume akhir (µl) = bobot sampel (gram)

Kolom HPLC Kromatogram

Injektor

Stasiun data komputer Penampung larutan (fase gerak)

Sampel Pompa

Detektor

Limbah Gambar 1. Sistem kromatografi cair kinerja tinggi, Bbalitvet, Bogor, 2011


71

Yessy Anastasia: Analisis residu golongan tetrasiklin dalam daging ayam

gunakan ialah y = a + bx, dengan a adalah titik potong dan b adalah kemiringan.

mAU 355,04

2,5

a

2,0

Penentuan Batas Konsentrasi Terendah Penentuan batas konsentrasi terendah dilakukan sebelum mencari limit deteksi alat. Larutan standar tetrasiklin, oksitetrasiklin, dan klortetrasiklin dengan konsentrasi 50; 25; 10; 5; dan 1 Âľg/l sebanyak 40 Âľl dianalisis dengan KCKT. Standar terendah yang dapat terbaca pada alat KCKT kemudian diinjek sebanyak lima kali ulangan, kemudian dihitung respons simpangan bakunya menggunakan rumus:

1,5 1,0 0,5

437,98

0,0 300

400 mm

mAU 355,22

3,0

b

2,5 2,0

Limit of detection (LOD) = x + kSD

1,5 1,0 438,13

0,5

dengan x adalah luas puncak rata-rata konsentrasi terendah, SD (standar deviasi) adalah simpangan baku luas puncak blanko, nilai k adalah 3 untuk LOD.

0,0 300

400 mm

mAU 368,10

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis residu antibiotik golongan tetrasiklin dalam daging ayam pedaging secara KCKT dilakukan menggunakan KCKT Shimadzu LC-20AD dengan detektor fotodioda. Detektor tersebut dapat mendeteksi senyawa yang memiliki sperktrum serapan pada daerah UV (200-380 nm) dan visibel (380-780 nm). KCKT tersebut juga dapat digunakan untuk menganalisis lebih dari satu senyawa yang memiliki dua panjang gelombang yang berbeda secara simultan. Menurut Cinquina et al (2003), antibiotik golongan tetrasiklin memiliki karakteristik serapan UV-Vis pada panjang gelombang di sekitar 350 nm sehingga dapat dideteksi oleh KCKT dengan detektor PDA. Panjang gelombang maksimum OTC dan TC adalah 355 nm, sedangkan CTC 367,5 nm (O’neil et al 2006). Hasil pembacaan spektrum serapan sinar UV untuk standar antibiotik golongan tetrasiklin menunjukkan bahwa spektrum serapan OTC, TC, dan CTC memiliki serapan maksimum masing-masing pada panjang gelombang 355,04; 355,22; dan 368,10 nm (Gambar 2.). Oleh karena itu, untuk tahapan analisis selanjutnya dilakukan pada dua panjang gelombang, yaitu 355 dan 368 nm secara simultan. Uji linearitas dilakukan dengan membuat kurva kalibrasi dari serangkaian konsentrasi larutan baku antibiotik golongan tetrasiklin. Setelah diperoleh kurva kalibrasi, persamaan regresi dihitung untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi antibiotik dan luas puncak.

c

1,0 0,5 437,88 0,0 300

400 mm

Gambar 2. Spektrum serapan sinar UV tetrasiklin (a), oksitetrasiklin (b), dan klortetrasiklin (c), Bbalitvet, Bogor, 2011

Nilai koefisien korelasi yang diperoleh adalah 0,99969 untuk OTC, 0,99947 untuk TC, dan 0,99934 untuk CTC (Gambar 3). Nilai ini telah memenuhi persyaratan metode yang baik dari segi linearitas, yaitu koefisien korelasi lebih dari 0,995. Oleh karena itu, analisis antibiotik golongan tetrasiklin dapat dilakukan secara simultan dengan KCKT. Limit deteksi merupakan ukuran sensitivitas dari KCKT, yang dilihat dari nilai batas deteksi yang merupakan konsentrasi terendah senyawa yang dapat dideteksi. Alat KCKT tidak dapat mendeteksi keberadaan OTC, TC, dan CTC pada konsentrasi 1 ppb (OTC dan TC) dan 2 ppb (CTC) (Tabel 1). Konsentrasi standar OTC, TC, dan CTC yang dapat terdetek-


72

Yessy Anastasia: Analisis residu golongan tetrasiklin dalam daging ayam Luas puncak (µV)

Tabel 2. Residu antibiotik golongan tetrasiklin dalam daging ayam pedaging. Bbalitvet, Bogor, 2011

40.000

s

y = 37906,2 x -864,083 R = 0,99947

35.000 30.000

y = 29018,1 x -271,125 R = 0,99969

25.000 20.000

s

15.000 10.000

y = 18536,7 x -848,563 R = 0,99934

s

5.000

s s

0 0

0,5

Sampel

1

OTC TC s CTC Linear (OTC) Linear (TC) Linear (CTC)

1,5

2

2,5

A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 C4

Kandungan antibiotik dalam sampel (µg/l) Oksitetrasiklin

Tetrasiklin

Klortetrasiklin

5,94 7,30 4,31 2,31 41,29 2,63 4,63 7,83

14,28 -

35,95 38,68 19,46 18,24 15,55 9,11 31,07 26,45 43,13 58,92

Konsentrasi antibiotik (mg/l) Gambar 3. Linearitas antibiotik golongan tetrasiklin, Bbalitvet, Bogor, 2011

Tabel 1. Batas konsentrasi terendah antibiotik golongan tetrasiklin, Bbalitvet, Bogor, 2011 Ulangan 1 2 3 4 5 Rata-rata SD LOD

Luas puncak Oksitetrasiklin

Tetrasiklin

Klortetrasiklin

358 352 356 343 361 354 6,964 5,29 µg/l

367 356 355 356 360 358,8 4,970 5,21 µg/l

297 298 302 292 306 299 5,291 10,53 µg/l

si oleh KCKT dengan detektor photodiodida array masingmasing adalah 5, 5, dan 10 µg/l. Oleh karena itu, konsentrasi di bawah angka tersebut tidak dapat ditentukan. Berdasarkan nilai yang dihasilkan melalui uji linearitas dan limit deteksi alat KCKT maka alat tersebut sudah baik untuk menentukan residu antibiotik golongan tetrasiklin. Kandungan residu antibiotik golongan tetrasiklin dalam daging ayam pedaging cukup rendah, yaitu OTC sekitar 241 µg/l, TC hanya satu sampel yang terdeteksi, sedangkan CTC yaitu sekitar 9-59 µg/l (Tabel 2). Kandungan tetrasiklin dalam semua sampel daging ayam pedaging yang dianalisis berada di bawah batas maksimum residu (BMR) tetrasiklin, yaitu 100 µg/kg (SNI 2001) sehingga daging aman dikonsumsi. Kan-dungan residu yang melewati BMR akan menyebabkan daging tidak aman dikonsumsi karena dapat mengakibatkan reaksi alergis, keracunan, dan resistensi mikroba tertentu (Bahri et al. 2005).

KESIMPULAN Penentuan kadar residu antibiotik golongan tetrasiklin dalam daging ayam menggunakan metode KCKT dengan detektor PDA layak digunakan untuk analisis residu antibiotik golongan tetrasiklin secara simultan pada panjang gelombang 355 dan 356 nm dengan fasa gerak asam oksalat 0,0025 M – asetonitril (4:1) dan laju alir 1 ml/menit. Limit deteksi alat KCKT untuk OTC, TC, dan CTC masing-masing adalah 5,29; 5,21; dan 10,53 µg/l. Linearitas yang dihasilkan cukup baik, yaitu koefisien determinasi > 0,995 yang terdapat pada kurva standar OTC, TC, dan CTC. Analisis terhadap 10 sampel daging ayam pedaging menunjukkan bahwa semua sampel positif mengandung antibiotik CTC, sedangkan hampir semuanya tidak mengandung residu TC, tetapi kandungan tetrasiklin masih berada di bawah BMR (100 µg/kg) sehingga daging aman dikonsumsi.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Tri Budhi Murdiati, Ph.D dan Dr. Rapahella Widiastuti atas saran dan bimbingan selama penulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA Bahri, S., E. Masbulan, dan A. Kusumaningsih. 2005. Proses praproduksi sebagai faktor penting dalam menghasilkan produk ternak yang aman untuk manusia. http://www.pustaka-deptan. go.id/publication/p3241054. pdf. [20 September 2006]. Cinquina, Al., F. Longo, G. Anastasi, L. Gianetti, and R. Cozzani. 2003. Validation of a high-performance liquid chromatography


Yessy Anastasia: Analisis residu golongan tetrasiklin dalam daging ayam

73

method for the determination of oxytetracycline, tetracycline, chlortetracycline and doxycycline in bovine milk and vmuscle. J. Chromatography 987: 227-233.

Resnawati, H. 2005. Preferensi Konsumen terhadap daging dada ayam pedaging yang diberi ransum menggunakan tepung cacing tanah (Lumbricus rubellus). Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Balai Penelitian Ternak, Bogor. hlm 744-748.

Harmita. 2004. Petunjuk pelaksanaan validasi metode dan cara perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian 1(3): 117-135. Murdiati, T.B. 1997. Pemakaian antibiotik dalam usaha peternakan. Wartazoa 6: 18-21.

Sinaga, S.M. 2004. Perspektif pengawasan makanan dalam kerangka keamanan makanan dan untuk meningkatkan kesehatan. http://digilib.usu.ac.id/artikel/sinaga.pdf. [11 Februari 2009].

O’neil, M.J., P.E. Heckelman, K.J. Roman, C.M. Kenny, P.H. Dobelaar, and L.S. Karaffa. 2006. The Merck Index. 14th Ed. An Encyclopedia of Chemicals, Drugs, and Biologicals. Merck Research Laboratories Inc., New Jersey.

SNI. 2001. Batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Putra, E.D.L. 2004. Kromatografi cair kinerja tinggi dalam bidang farmasi. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan. http://digilib.usu.ac.id/skripsi/farmasi.pdf. [11 Februari 2009].

Wiryosuhanto, S.D. 1990. Tinjauan penggunaan antibiotik di Indonesia saat ini dan yang akan datang. Kumpulan Makalah Seminar Nasional: Penggunaan Antibiotik dalam Bidang Kedokteran Hewan, Jakarta.


74 Buletin Teknik Pertanian Vol. 16, No. 2, 2011: 74-76

Sri Yuliastuti: Teknik analisis pestisida organoklorin pada tanaman kubis

TEKNIK ANALISIS PESTISIDA ORGANOKLORIN PADA TANAMAN KUBIS DENGAN MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS Sri Yuliastuti Teknisi Litkayasa Penyelia pada Balai Besar Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata No. 30, Kotak Pos 52, Bogor 16114, Telp. (0251) 8331048, 8334456, Faks. (0251) 8336425 E-mail: balitvet@litbang.deptan.go.id, balitvet@indo.net.id

P

estisida yang sering digunakan di Indonesia adalah golongan organoklorin yang merupakan racun kronis dan sangat berbahaya bagi lingkungan karena daya tahannya yang lama dan sukar terurai. Sekali pestisida ini digunakan maka racunnya akan berada di lingkungan dalam waktu yang sangat lama. Pestisida banyak digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT), seperti pada tanaman kubis. Penggunaan pestisida untuk mengendalikan OPT tidak hanya akan memengaruhi gulma atau tanaman pengganggu, tetapi juga berbagai jenis tumbuhan lain, seperti sayuran, buah-buahan, dan tanaman lain yang dikonsumsi manusia maupun ternak. Hal ini karena penyemprotan pestisida akan mengakibatkan terjadinya deposit pestisida dan akhirnya menjadi residu pada tanaman. Residu pestisida akan menyebabkan keracunan pada ternak yang mengonsumsi limbah pertanian tersebut. Keracunan pada ternak terjadi akibat adanya akumulasi pestisida dalam jangka waktu tertentu sehingga residu dalam tubuh ternak bertambah tinggi yang akhirnya dapat mengakibatkan kematian (Tarumingkeng 1992). Tujuan percobaan adalah untuk mengetahui kadar residu pestisida pada tanaman kubis secara kromatografi gas.

BAHAN DAN METODE Percobaan analisis dilaksanakan di Laboratorium Toksikologi, Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet), Bogor, pada bulan November 2005. Contoh kubis diperoleh dari daerah Pangalengan, Bandung, yang meliputi daun kubis bagian luar dan bagian dalam. Bahan lain yang digunakan adalah aseton, heksan, dietil eter, sodium sulfat anhidrat, florisil, dan air suling. Alat yang digunakan yaitu kromatografi gas model 3700 yang dilengkapi dengan detektor penangkap elektron (electron capture detector), mikro siring 10 Âľl, pisau, socorex 5 ml, neraca analitik, labu erlenmeyer 250 ml, corong pemisah 250 ml, labu evaporator 100 ml (florentin), gelas ukur 100 ml,

kolom kromatografi, klem, statif, gelas piala 100 ml, kertas saring, evaporator, dan botol kecil 10 ml untuk contoh. Metode Analisis residu pestisida pada contoh kubis dilakukan menurut Association of Official Analytical Chemist (AOAC 1984). Analisis meliputi beberapa tahapan, yaitu preparasi contoh, ekstraksi, pemurnian, dan identifikasi. Preparasi contoh. Contoh kubis dibagi menjadi dua bagian, yaitu kubis bagian dalam dan bagian luar. Masingmasing bagian terdiri atas 12 contoh. Contoh kubis lalu dipotong/diiris kecil-kecil. Ekstraksi. Setelah contoh dipotong kecil, disiapkan 24 labu erlenmeyer, yaitu 12 labu untuk contoh kubis bagian dalam dan 12 labu untuk kubis bagian luar. Masing-masing contoh ditimbang 10 g lalu dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan direndam dengan aseton sampai seluruh sampel terendam dan dibiarkan selama satu malam. Selanjutnya, masing-masing contoh dikocok lalu disaring dalam corong pemisah, ditambahkan 50 ml heksan ke dalam corong pemisah, dikocok kembali, ditambahkan 50 ml akuades, dan dikocok kembali selama 10 menit. Setelah dikocok, contoh didiamkan beberapa menit sampai terbentuk dua lapisan yang terpisah. Lapisan bawah dibuang dan lapisan atas (pestisida + heksan) ditampung dalam labu florentin 100 ml. Hasil ekstraksi dikeringkan hingga volume 5 ml dan siap untuk dimurnikan. Pemurnian. Kolom gelas kromatografi diisi dengan florisil setinggi 10 cm dan Na2SO4 2 cm di atas lapisan florisil. Untuk mengembangkan lapisan florisil, dituangkan 10 ml heksan ke dalam kolom tersebut. Setelah heksan membasahi seluruh isi kolom, hasil ekstraksi contoh dimasukkan ke dalam kolom. Selanjutnya, kolom dimurnikan dengan menambahkan larutan dietil eter + heksan 15% sebanyak100 ml. Hasilnya ditampung dalam labu florentin lalu diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator. Hasilnya diencerkan dengan heksan 3 ml lalu dimasukkan ke dalam botol contoh


Sri Yuliastuti: Teknik analisis pestisida organoklorin pada tanaman kubis

75

dan siap untuk diinjeksikan pada alat kromatografi gas. Diagram alir analisis residu pestisida dalam tanaman kubis disajikan pada Gambar 1.

4% OV-101 + 6% OV-210, suhu injektor 230°C, suhu kolom 200°C, suhu detektor 300°C, gas pembawa nitrogen dengan kecepatan alir 40 ml/menit, detektor penangkap elektron dengan sensitivitas 16. Waktu retensi (tambat) dari puncak yang muncul pada contoh diamati. Adanya puncak pada sampel dengan retensi waktu yang sama dengan standar pembanding menunjukkan adanya residu dalam contoh. Luas area puncak pada contoh dihitung dengan membandingkannya dengan luas area standar pembanding. Kadar residu pestisida dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Identifikasi. Pestisida diekstrak dalam pelarut organik dan dideteksi puncaknya (peak) dengan waktu retensi (R t = retention time) tertentu pada kromatografi gas. Konsentrasi masing-masing cemaran yang terdapat dalam sampel dihitung berdasarkan luas puncak sampel pada kromatogram dibandingkan dengan luas puncak dari standar. Pengamatan dilakukan terhadap waktu retensi dan konsentrasi masingmasing cemaran yang terdapat dalam contoh dibandingkan dengan konsentrasi standar pembanding. Untuk analisis dengan kromatografi gas, 1 µl contoh diinjeksikan ke dalam kromatografi gas. Kondisi kromatografi gas yang digunakan adalah kolom gelas 2 m x 2 mm fase diam 10 g contoh + aseton ( terendam) Disimpan satu malam t

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dikocok dan disaring dalam corong pisah t

Ditambahkan 50 ml heksan dan dikocok t

Ditambahkan 50 ml akuades dan dikocok 10 menit

Ekstraksi

t

Didiamkan sampai terbentuk dua lapisan yang terpisah t

Lapisan bawah dibuang dan lapisan atas ditampung dalam florentin 100 ml t

Hasil ekstraksi diuapkan menjadi 5 ml untuk tahap pemurnian t

Disiapkan kolom florisil 2 g florisil, 1 g Na2SO4 di atas lapisan florisil, dan dibasahi dengan 10 ml heksan t

Dimasukkan filtrat contoh t

Area puncak contoh Kadar residu = ——————— x volume injek baku x Area puncak (ng/g) konsentrasi baku x standar faktor koreksi —————————————————— berat contoh (g)

Pemurnian

Ditambahkan 100 ml larutan dietil eter 15% ke dalam heksan t

Ditampung dalam florentin 100 ml Filtrat diuapkan dan siap untuk diinjek dan diidentifikasi dengan alat gas kromatografi Gambar 1. Diagram alir analisis residu pestisida dalam tanaman kubis, Bbalitvet, Bogor, 2010

Hasil perhitungan secara kualitatif (secara visual) dan kuantitatif (melalui perhitungan) dengan membandingkan kromatogram sampel dan kromatogram standar pembanding menemukan empat jenis pestisida pada sampel, yaitu alpha benzene hexa chloride (alpha BHC), lindan, heptaklor, dan klorpirifos. Pengamatan dilakukan terhadap waktu retensi dan konsentrasi masing-masing cemaran yang terdapat dalam contoh dibandingkan dengan konsentrasi standar acuan. Hasil pengamatan pada 24 contoh kubis menemukan empat jenis pestisida pada daun kubis bagian dalam, dengan konsentrasi 0-0,0018 ppm untuk alpha BHC, 0-0,0032 ppm untuk lindan, 0-0,0016 ppm untuk heptaklor, dan 0-0,0025 ppm untuk klorpirifos. Untuk daun kubis bagian luar, residu pestisida berkisar antara 0-0,0001 ppm untuk alpha BHC, 00,0004 ppm untuk lindan, 0 ppm untuk heptaklor, dan 0 ppm untuk klorpirifos. Kandungan residu pestisida pada daun kubis bagian luar seharusnya lebih tinggi dibandingkan dengan bagian dalam karena daun bagian luar secara langsung terkena semprotan pestisida. Namun, kandungan residu pestisida pada daun kubis bagian luar lebih rendah daripada daun kubis bagian dalam. Hal ini kemungkinan karena residu pestisida pada daun kubis bagian luar telah tercuci oleh air hujan. Berdasarkan standar batas maksimum residu dari FAO dan WHO, yaitu alpha BHC 0,05 ppm, lindan 0,5 ppm, heptaklor 0,05 ppm, dan klorpirifos 1 ppm maka daun kubis yang dianalisis masih aman untuk dikonsumsi manusia maupun sebagai pakan ternak (FAO 1978).


76

Sri Yuliastuti: Teknik analisis pestisida organoklorin pada tanaman kubis

KESIMPULAN DAN SARAN Kadar residu pestisida pada daun kubis bagian luar lebih tinggi dibandingkan dengan daun kubis bagian dalam. Residu pestisida bagian dalam berkisar antara 0-0,0018 ppm untuk alpha BHC, 0-0,0032 ppm untuk lindan, 0-0,0016 ppm untuk heptaklor, dan 0-0,0025 ppm untuk klorpirifos. Untuk daun kubis bagian luar, residu pestisida berkisar antara 0-0,0001 ppm untuk alpha BHC, 0-0,0004 ppm untuk lindan, 0 ppm untuk heptaklor, dan 0 ppm untuk klorpirifos. Berdasarkan standar batas maksimum residu dari FAO dan WHO, yaitu alpha BHC 0,05 ppm, lindan 0,5 ppm, heptaklor 0,05 ppm, dan klorpirifos 1 ppm maka daun kubis yang dianalisis masih aman dikonsumsi manusia maupun sebagai pakan ternak. Namun, untuk menghindari kontaminasi residu pestisida,

disarankan untuk mencucinya hingga bersih sebelum dikonsumsi.

DAFTAR PUSTAKA AOAC (Association of Official Analytical Chemists). 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. In S. William (Ed.), Fourteenth Edition. AOAC, Arlington, Virginia, USA. 1141 pp. FAO (Food and Agricultural Organization). 1978. Guide to Codex Maximum Limits for Pesticide Residues. First issue. FAO, Rome. p. 84-108. Tarumingkeng, R. 1992. Insektisida: Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. Ukrida, Jakarta. hlm. 59-110.


77

Rustan Teknik Hadi: Sosialisasi teknik arang tempurung kelapa Buletin Pertanian Vol. 16,pembuatan No. 2, 2011: 77-80

SOSIALISASI TEKNIK PEMBUATAN ARANG TEMPURUNG KELAPA DENGAN PEMBAKARAN SISTEM SUPLAI UDARA TERKENDALI Rustan Hadi Teknisi Litkayasa Pelaksana Lanjutan pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Jalan Samarinda Paal Lima, Kotak Pos 118, Kota Baru 36128, Jambi, Telp. (0741) 7053525, Faks. (0741) 40413 E-mail: bptp-jambi@litbang.deptan.go.id, bptp_jambi@yahoo.com

D

ari 15 negara anggota Asian Pacific Coconut Community (APCC), Indonesia merupakan negara dengan area tanam kelapa (Cocos nucifera) terluas, yaitu 3,86 juta ha dengan produksi 15,20 juta butir atau setara dengan 3,03 juta ton kopra/tahun (APCC 2007). Di Provinsi Jambi, area tanam kelapa mencapai 117.184 ha dengan produktivitas 700.614 butir/tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan 2007). Sebagian dari area tanam kelapa di Jambi terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yaitu 59.154 ha, dengan produksi 69.445 ton kopra/tahun, yang merupakan area tanam terluas dan produksi tertinggi di Provinsi Jambi. Area tanam terluas di Kabupaten Tanjung Jabung Timur terdapat di Kecamatan Mendahara, yaitu 21.906 ha dengan produksi 25.260 ton kopra/tahun (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2005). Data tersebut menunjukkan adanya potensi yang besar dalam usaha pengolahan hasil kelapa, baik kopra maupun produk turunannya. Buah kelapa mempunyai hasil sampingan berupa tempurung yang dapat diolah menjadi arang. Namun, selama ini tempurung kelapa hanya digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak atau dibiarkan sebagai limbah. Menurut informasi dari para perajin kopra di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, tiap pembuatan 1.000 kg kopra kering akan menghasilkan 300-500 kg tempurung kelapa. Dengan demikian, untuk wilayah Kecamatan Mendahara saja, jumlah tempurung kelapa yang dihasilkan berkisar antara 7.57812.630 ton/tahun. Untuk meningkatkan nilai tambah produk kelapa, perlu dilakukan upaya pemanfaatan tempurung kelapa untuk diolah menjadi arang, mengingat kebutuhan arang tempurung kelapa cenderung meningkat sebagai bahan baku pembuatan arang aktif. Arang aktif atau sering juga disebut karbon aktif adalah jenis karbon yang memiliki luas permukaan yang besar (500 m2/g). Hal ini dicapai dengan proses pengaktifan karbon, baik secara kimia maupun fisik. Pengaktifan juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan adsorpsi karbon aktif (Anonim 2011). Arang aktif digunakan dalam berbagai jenis industri sebagai adsorben dan untuk kegunaan lainnya.

Konsumsi arang aktif di dunia diperkirakan mencapai 300.000 ton/tahun, dan 10,12% bahan bakunya berasal dari arang tempurung kelapa (BPTP Jambi 2006). Hal ini merupakan peluang sekaligus tantangan yang menarik untuk dikembangkan. Salah satu masalah yang dihadapi dalam memproduksi arang tempurung kelapa sebagai bahan baku arang aktif adalah adanya persyaratan khusus yang wajib dipenuhi, antara lain arang harus bersih, keras/kompak, kadar air 5%, dan tingkat kematangannya sempurna (Lindayanti 2006a). Penduduk setempat selama ini membuat arang tempurung dengan cara membakar tempurung kelapa dengan ditumpuk atau menggunakan lubang atau drum bekas sehingga arang yang dihasilkan berkualitas rendah. Proses pembakaran biasanya diakhiri dengan menyiramkan air untuk mematikan api sehingga arang yang dihasilkan memiliki kadar air yang tinggi, yaitu 15-17%, dan sebagian arang menjadi abu sehingga rendemennya rendah, yaitu 22,5% (Lindayanti 2006b). Untuk menghasilkan arang tempurung kelapa yang berkualitas baik maka proses pembakarannya harus dikontrol. Pembakaran tempurung kelapa dengan menggunakan alat pembakaran tipe drum dengan suplai udara terkendali dapat menghasilkan arang yang berkualitas tinggi sesuai dengan standar untuk bahan baku arang aktif. Pada tahun 2006, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi melakukan sosialisasi dan demonstrasi alat pembakaran tempurung kelapa tipe drum dengan suplai udara terkendali. Alat ini merupakan hasil rakitan Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna - L1PI dan modifikasi dari tipe Balai Penelitian Tanaman Kelapa (Balitka) Manado. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mensosialisasikan alat pembakaran tempurung kelapa tipe drum dengan suplai udara terkendali dalam pembuatan arang tempurung kelapa di tingkat petani dan perajin atau pengusaha arang tempurung kelapa. Dengan menggunakan alat tersebut diharapkan dapat dihasilkan arang tempurung kelapa yang berkualitas tinggi untuk bahan baku arang aktif.


78

Rustan Hadi: Sosialisasi teknik pembuatan arang tempurung kelapa

BAHAN DAN METODE Penutup cerobong asap

Kegiatan sosialisasi dilaksanakan di Desa Mendahara Ilir, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi pada bulan September 2006. Bahan yang digunakan adalah tempurung kelapa 300 kg, minyak tanah 0,5 l, tanah liat 1 ember, dan bahan lainnya. Alat yang digunakan adalah alat pembuat arang tipe drum, stop watch, timbangan, karung plastik 10 lembar, alat tulis kantor, dan alat bantu lainnya. Alat Pembuat Tempurung Kelapa Tipe Drum Alat pembakaran tempurung kelapa tipe drum terbuat dari bahan plat besi, merupakan drum bekas tempat minyak oli dengan tinggi 90 cm dan diameter 60 cm. Pada bagian atas alat dibuat lubang pembuangan asap berupa cerobong dari bahan pipa seng dengan ukuran tinggi 30 cm dan diameter 10 cm. Bagian atas cerobong dilengkapi dengan penutup yang dapat dibuka dan ditutup. Di sekeliling dinding drum tempat pembakaran dibuat beberapa lubang berdiameter 13 cm yang dapat dibuka dan ditutup sebagai pengatur suplai udara pada saat pembakaran. Jumlah lubang udara sebanyak lima baris dengan jarak antarbaris 18 cm dan tiap baris terdiri atas empat lubang dengan jarak antarlubang 45 cm. Kapasitas alat adalah 90-112 kg tempurung dan usia ekonomis alat 1218 bulan (Gambar 1). Prosedur Pembuatan Arang Tempurung Kelapa Pembuatan arang tempurung dengan sistem suplai udara terkendali pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan cara yang biasa dilakukan petani dan perajin arang tempurung setempat. Namun, terdapat beberapa perbedaan urutan kerja, alat/tempat pembakaran, dan cara memadamkan api. Urutan kerja pembuatan arang tempurung kelapa dengan cara suplai udara terkendali adalah sebagai berikut:

• Tempurung kelapa sebanyak 7,5 kg dimasukkan ke dalam

Cerobong asap

Penutup drum/tabung

Lubang pengendali udara (dilengkapi penutup)

Drum/tabung tempat pembakaran

Gambar 1. Bagian-bagian alat pembakaran tempurung kelapa tipe drum dengan suplai udara terkendali yang dimodifikasi dari model LIPI - Balitka Manado dan BPTP Jambi

tidak padam hingga drum penuh (sekitar 32 kg). Penutup drum lalu dipasang, tetapi cerobong asap pada bagian atas drum dibiarkan terbuka.

• Asap yang keluar dari cerobong diperhatikan; jika asap yang keluar cukup banyak berarti proses pembakaran berjalan sempurna.

• Dari lubang kendali udara bagian bawah (baris I) yang terbuka, dapat dilihat tempurung telah terbakar sempurna atau belum. Apabila tempurung sudah menjadi bara, berarti pembakaran tempurung pada bagian bawah sempurna.

• Lubang kendali udara pada baris I ditutup rapat dan lubang

drum tempat pembakaran yang telah tersedia hingga mencapai 1/4 bagian drum.

pada baris II dibuka, lalu ditambahkan tempurung kelapa sampai drum penuh (sekitar 12 kg) dengan cara membuka penutup atas drum, kemudian drum ditutup kembali.

• Lubang pengendali udara pada drum tempat pembakaran

• Proses pembukaan dan penutupan lubang kendali udara

ditutup rapat, kecuali lubang pada baris paling bawah yang dibiarkan terbuka.

• Dilakukan pembakaran pertama dengan menyalakan sabut kelapa yang dicelupkan ke dalam minyak tanah sebagai umpan.

• Setelah api menyala dengan sempurna, ditambahkan tempurung ke dalam drum secara perlahan-lahan agar api

dilakukan seiring dengan penambahan tempurung kelapa ke dalam drum. Caranya sama seperti di atas sampai lubang kendali udara pada barisan paling atas (terdapat lima baris lubang).

• Setelah asap yang keluar dari cerobong tidak lagi pekat, tetapi lebih bening/jernih, semua lubang kendali udara dan lubang cerobong asap ditutup.


79

Rustan Hadi: Sosialisasi teknik pembuatan arang tempurung kelapa

• Penutupan harus betul-betul rapat dan dipastikan tidak bocor sehingga di dalam drum menjadi hampa udara. Untuk menjamin tidak ada kebocoran, semua penutup lubang kendali udara dan lubang cerobong asap ditambal dengan tanah liat.

• Karena di dalam drum hampa udara, api yang ada di dalam drum akan padam dengan sendirinya (sekitar 1,5 jam setelah ditutup).

• Penutup drum bagian atas dapat dibuka setelah suhu cukup dingin. Hasil pembakaran berupa arang tempurung lalu dikeluarkan agar menjadi dingin. Arang tempurung yang telah dingin dapat dikemas sesuai keperluan.

Pengamatan Percobaan pengolahan tempurung kelapa dalam sosialisasi teknologi ini menggunakan metode demonstrasi langsung dan melibatkan 20 orang peserta, yang terdiri atas petani kelapa dan perajin arang tempurung kelapa. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi:

• Waktu yang diperlukan untuk sekali proses pembakaran tempurung (dicatat waktu mulai pemasukan tempurung sampai pembongkaran arang hasil pembakaran).

• Jumlah arang yang dihasilkan dalam sekali pembakaran (ditimbang dalam kg).

• Rendemen arang dalam sekali pembakaran (dihitung dalam %).

• Respons penduduk sekitar, terutama peserta demonstrasi, yang meliputi minat dan kritik/saran terhadap alat yang didemonstrasikan (diperoleh dari hasil wawancara).

• Respons pengguna terhadap arang hasil pembakaran dengan menggunakan alat pembakaran tipe drum dengan sistem suplai udara terkendali (wawancara dengan para ibu rumah tangga yang memasak menggunakan arang tempurung).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data pada Tabel 1 menunjukkan, dalam setiap proses pembakaran, alat dapat menampung rata-rata 90 kg tempurung dan menghasilkan rata-rata 28,42 kg arang sehingga rendemen rata-rata 31,58% dan waktu pembakaran rata-rata 413 menit (6 jam 53 menit). Dengan waktu pembakaran tersebut, dalam sehari semalam satu unit alat dapat digunakan untuk tiga kali proses pembakaran. Tahapan paling penting dan paling memengaruhi kualitas arang adalah proses pembakaran dan mematikan api. Pada pembakaran dengan cara seperti yang biasa dilakukan masyarakat setempat, proses pembakaran berlangsung menyeluruh dan terus-menerus tidak terkendali sehingga tempurung yang terbakar lebih dahulu dan sudah menjadi arang, akan terus terbakar mengikuti tempurung yang belum terbakar. Akibatnya, banyak tempurung yang menjadi abu dan sebagian lainnya belum terbakar sehingga rendemen arang hasil pembakaran rendah, yaitu 22,5% (Lindayanti 2006b). Pada pembakaran dengan sistem suplai udara terkendali, proses pembakaran dikendalikan dengan cara mengatur suplai udara ke dalam tabung tempat pembakaran. Pada bagian tempurung yang sudah terbakar menjadi arang, lubang suplai udara ditutup dan lubang pada baris bagian atasnya dibuka sehingga proses pembakaran hanya berlangsung pada bagian yang lubang suplai udaranya terbuka. Begitu seterusnya sampai lubang udara pada baris paling atas. Dengan demikian, pada arang hasil pembakaran tidak ditemukan abu dan sedikit sekali tempurung yang tidak menjadi arang sehingga rendemen arang yang dihasilkan lebih tinggi, yaitu 31,58%. Masyarakat setempat melakukan pemadaman api pada saat pembakaran tempurung dengan cara menyiramkan air dan menutupkan karung basah sehingga arang kurang keras dan kadar airnya tinggi, yaitu 17,5%. Dengan cara suplai udara terkendali, pemadaman api pembakaran dilakukan dengan cara mengondisikan ruang pembakaran menjadi hampa udara dan api akan mati dengan sendirinya sehingga arang lebih kompak/keras dan kadar airnya rendah, yaitu 5,25%. Tabel 1. Hasil pembakaran tempurung dengan alat pembakaran sistem suplai udara terkendali, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, 2006

Hasil Pembakaran Arang Tempurung Kelapa

Tempurung kelapa (kg)

Hasil arang (kg)

Waktu pembakaran (menit)

Rendemen hasil (%)

I II III

90 90 90

28,80 24,45 32,00

392 395 452

32,00 27,17 35,56

Rata-rata

90

28,42

413

31,58

Demo

Kualitas arang tempurung yang dihasilkan dengan alat pembakaran tipe drum dengan sistem udara terkendali secara fisik lebih keras dan mengilap, kadar air 5%, dan rendemen 31,58% (Tabel 1). Arang tempurung hasil pembakaran dengan alat ini dapat langsung menjadi bahan baku arang aktif.


80

Rustan Hadi: Sosialisasi teknik pembuatan arang tempurung kelapa

Respons Masyarakat terhadap Penggunaan Alat Peserta yang mengikuti sosialisasi dan demonstrasi alat ini memberikan respons yang berbeda-beda, tetapi sebagian besar tertarik dan berminat untuk menggunakan alat tersebut. Dari hasil wawancara, terdapat 62% peserta yang tertarik, 18,5% peserta tidak tertarik, dan 19,8% peserta mengatakan tidak tahu atau tidak ada respons. Masyarakat tertarik dengan alat ini karena konstruksinya sederhana, bahan baku alat mudah didapat, dapat dipindahkan, tidak memerlukan tempat khusus, harganya murah, dan arang yang dihasilkan kualitasnya lebih baik. Masyarakat yang tidak tertarik beralasan kapasitas alat terlalu kecil dan operasionalnya memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dibandingkan dengan pembakaran secara konvensional. Sebagian besar ibu rumah tangga di lokasi kegiatan menggunakan arang tempurung kelapa sebagai bahan bakar untuk memasak. Setelah mencoba arang tempurung kelapa hasil pembakaran dengan alat yang didemonstrasikan, mereka sangat tertarik karena arangnya lebih keras, lebih bersih, dan lebih awet sehingga lebih hemat dibandingkan dengan arang yang biasa mereka gunakan. Karena kualitas arang yang dihasilkan lebih baik dan rendemennya lebih tinggi, para perajin atau pengusaha arang tempurung kelapa dapat menggunakan alat ini untuk memenuhi pesanan arang dari luar daerah, terutama sebagai bahan baku arang aktif.

KESIMPULAN DAN SARAN Alat pembakaran arang tempurung kelapa tipe drum dengan suplai udara terkendali dapat menghasilkan arang yang berkualitas lebih baik dibandingkan dengan arang hasil pembakaran yang biasa dilakukan masyarakat setempat. Kapasitas alat adalah 90 kg/proses, dengan waktu pembakaran sekitar tujuh jam. Rendemen arang yang dihasilkan 31,6%.

Berdasarkan permintaan masyarakat, alat ini perlu dimodifikasi agar kapasitasnya lebih besar sehingga arang yang dihasilkan dalam sekali proses pembakaran lebih banyak. Untuk memanfaatkan asap yang keluar pada saat pembakaran tempurung, disarankan alat ini dapat dimodifikasi dengan alat penyulingan (destilasi) sehingga dapat menghasilkan asap cair. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Ir. Lindayanti, M.Si sebagai penanggung jawab kegiatan dan semua pihak yang membantu penulis dalam proses pengkajian dan penulisan naskah. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Karbon aktif. http//: id.wikipedia.org/wiki/karbon aktif [3 Agustus 2011]. APCC (Asian Pacific Coconut Community). 2007. Negeri berjuta Cocos. Trubus 469 (Desember 2008/XXXIX): 32. BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Jambi. 2006. Laporan Tahunan 2005. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. hlm. 63. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. 2005. Tanjung Jabung dalam Angka 2005. Kerja Sama Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Timur. hlm. 134 dan 136. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Baru: Bisnis asap cair. Trubus 469 (Desember 2008/XXXIX): 19. Lindayanti. 2006a. Penanganan pascapanen tanaman kelapa di daerah pasang surut. Prosiding Seminar Kegiatan Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi. Jambi, November 2006. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. hlm. 26. Lindayanti. 2006b. Teknologi Pembuatan Arang Tempurung Kelapa. Liptan Agdex:161/78 No. 01/BPTP Jambi/2006.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.