Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Page 1

ISSN 0216-4418

JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Indonesian Agricultural Research and Development Journal Volume 30 Nomor 3, 2011

Terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia No. 816/D/2009

Kepala Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Farid Hasan Baktir

Dewan Redaksi Ketua Didi Ardi S.

Kimia dan Kesuburan Tanah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian

Anggota Darmono Sumarno Budi Marwoto Deciyanto Soetopo Bambang Irawan Sri Yuliani

Toksikologi Balai Besar Penelitian Veteriner Pemuliaan Tanaman Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Hama Penyakit Tanaman Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Hama Tanaman Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Kebijakan Pertanian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Teknologi Pascapanen Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian

Redaksi Pelaksana Endang Setyorini Intan Yudia Nirmala Enok Nurhayati

Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian

Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Alamat Redaksi Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Jalan Ir. H. Juanda No. 20 Bogor 16122 Telp. : (0251) 8321746 Faks. : 62-251-8326561 E-mail : pustaka@litbang.deptan.go.id Website : http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id


ISSN 0216-4418

JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Indonesian Agricultural Research and Development Journal Volume 30 Nomor 3, 2011

Daftar Isi − Teknologi pengendalian hama berbasis ekologi dalam mendukung pengembangan kapas Subiyakto

81−86

− Introduksi parasitoid, sebuah wacana baru dalam pengendalian hama kutu putih pepaya Paracoccus marginatus di Indonesia Lina Herlina

87−97

− Penggunaan lahan kering di DAS Limboto Provinsi Gorontalo untuk pertanian berkelanjutan Nurdin

98−107

− Strategi pengembangan usaha ternak sapi potong dalam mendukung program swasembada daging sapi dan kerbau tahun 2014 Dwi Priyanto

108−116

− Zoonosis dan upaya pencegahannya (Kasus Sumatera Utara) Khairiyah

117−124

Sampul Depan: Kondisi lahan di kawasan DAS Limboto hulu Provinsi Gorontalo yang terdegradasi (halaman 102)

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian terbit 4 kali per tahun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jurnal ini memuat tinjauan (review) mengenai hasil-hasil penelitian yang telah diterbitkan, dikaitkan dengan teori, evaluasi hasil penelitian lain, dengan atau ketentuan kebijakan, dan ditujukan kepada pengambil kebijakan sebagai bahan pengambilan keputusan. Jurnal dapat diakses melalui http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id.


TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA BERBASIS EKOLOGI DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN KAPAS Subiyakto Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Jalan Raya Karangploso km 4, Kotak Pos 199 Malang 65152, Telp. (0341) 491447, Faks. (0341) 485121, E-mail: balittas@litbang.deptan.go.id Diajukan: 06 Desember 2010; Diterima: 17 Februari 2011

ABSTRAK Biaya pengendalian hama pada usaha tani kapas tergolong tinggi, yaitu 41% dari biaya produksi, bahkan sebelumnya mencapai 75%. Tingginya biaya tersebut disebabkan pengendalian hama masih bertumpu pada insektisida kimia. Untuk mengurangi biaya pengendalian hama, upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah menerapkan teknologi pengendalian berbasis ekologi, yang meliputi tumpang sari kapas dengan kedelai, perlakuan terhadap benih, budi daya tanpa olah tanah, pemanfaatan jerami padi sebagai mulsa, dan penggunaan pestisida nabati. Teknologi tersebut dapat mengurangi biaya pengendalian hama hingga 57%, meningkatkan hasil kapas 21% dan kedelai 31%, serta menaikkan pendapatan 57%. Pengembangan teknologi pengendalian hama berbasis ekologi untuk mendukung pengembangan kapas memerlukan arah dan strategi. Ke depan, pengembangan teknologi pengendalian hama berbasis ekologi hendaknya tidak sepenuhnya diserahkan kepada petani dan pengelola karena mereka memiliki berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, pemerintah berperan sangat penting, terutama dalam sosialisasi dan bantuan teknis. Strategi yang paling efektif untuk mengimplementasikan paradigma pengendalian hama berbasis ekologi adalah melalui sekolah lapang yang didukung oleh pembinaan dan pendampingan teknologi. Kata kunci: Kapas, pengendalian hama, pengendalian hama berbasis ekologi

ABSTRACT Pest control technology based on ecology in supporting cotton development The cost of pest control on cotton crops is high, achieving 41% of the production costs, even before reaching 75%. The high cost is because pest control on cotton still relies on the use of chemical insecticides. Effort to reduce the cost of pest control, among other, is by applying ecologically-based pest control technology. The components of this technology include intercropping cotton with soybean, seed treatment, no soil tillage, using rice straw as mulch, and applying botanical pesticides. Implementation of this technology reduced the cost of pest control by 57%, increased cotton yield by 21% and soybeans 31%, and improved income by 57%. Development of ecologically-based pest control technology to support cotton development needs a direction and strategy. In the future, development of ecologically-based pest control technology is not entirely left to the farmers and managers as they have various limitations. Therefore, the government had an important role, particularly in socialization and technical assistance. The most effective strategy to perform a new paradigm shift in ecologicallybased pest control technology is through farmers' field schools supported by assistance. Keywords: Cotton, pest control, ecologically-based pest control

T

anaman kapas (Gossypium sp.) termasuk keluarga Malvaceae, bangsa Malvales (Prentice 1972; Fryxell 1984). Di Indonesia, kapas mulai dibudidayakan secara intensif sejak kedatangan Belanda pada tahun 1596 (Lahiya 1984). Tanaman kapas menghasilkan serat untuk bahan baku tekstil dan produk tekstil serta bidang

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

kesehatan dan kecantikan. Oleh karena itu, kapas mempunyai peran penting dalam kehidupan dan peradaban manusia. Pertambahan jumlah penduduk meningkatkan konsumsi serat (Asosiasi Pertekstilan Indonesia 2004). Pada tahun 2004, konsumsi serat mencapai 9,70 kg/ kapita dan pada tahun 2010 diperkirakan

naik menjadi 11 kg/kapita. Kebutuhan serat kapas diperkirakan meningkat menjadi 688.000 ton pada tahun 2010 (Djamaludin 2007; Sagala 2007). Ironisnya, 99,50% kebutuhan serat kapas dalam negeri dipenuhi melalui impor (Ditjenbun 2008). Indonesia sebagai negara pengimpor tekstil dan produk 81


tekstil membutuhkan serat kapas ratarata 554.000 ton setiap tahun (Rachman 2007). Untuk mengurangi impor serat kapas, pemerintah melakukan berbagai upaya, antara lain introduksi varietas kapas, penerapan program Intensifikasi Kapas Rakyat (IKR) (Subiyakto 1988; 1989), pengendalian hama terpadu perkebunan rakyat (Subiyakto dan Soebandrijo 2000), pengembangan kapas bollgard bekerja sama dengan swasta (Subiyakto dan Nurindah 2002), serta akselerasi kapas dan impor benih kapas hibrida (Hasnam et al. 2007; Balittas 2008). Namun, upaya tersebut belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Produktivitas kapas berbiji di tingkat petani belum dapat ditingkatkan, masih berkisar antara 400–600 kg/ha, jauh dari harapan yaitu 1.500 kg/ha. Pengalaman 30 tahun program IKR menunjukkan, upaya peningkatan produktivitas kapas tidak tercapai terutama karena sulitnya pengendalian hama. Rendahnya produktivitas juga disebabkan kapas dikembangkan di lahan marginal yang daya dukung lahannya kurang optimal. Pada tahun 2009, luas area tanam kapas hanya 12.500 ha, jauh di bawah rata-rata luas area tahun 1978− 1983, yaitu 17.119 ha (Direktorat Budidaya Tanaman Semusim 2008). Produktivitas kapas yang rendah menyebabkan pendapatan petani juga rendah dan tidak tertarik untuk menanam kapas. Salah satu cara menarik minat petani untuk mengembangkan kapas adalah dengan menurunkan biaya produksi, terutama melalui efisiensi pengendalian hama. Biaya pengendalian hama pada tanaman kapas tergolong tinggi, mencapai 41% dari biaya produksi (Basuki et al. 2002), bahkan sebelumnya sampai 75% (Wirjosoehardjo dan Tobing 1986). Tingginya biaya pengendalian hama karena tanaman kapas disukai oleh beragam jenis hama. Ada 28 jenis serangga hama yang menyerang tanaman kapas (Subiyakto 1992; Subiyakto dan Nurindah 2000). Namun, hanya tiga jenis yang dominan, yaitu ulat buah Helicoverpa armigera (Hubner), wereng kapas Amrasca bigutulla (Ishida), dan penggerek merah jingga Pectinophora gossypiella (Saunders) (Kartono et al. 1982; Subiyakto 2006). Wereng kapas menurunkan produksi hingga 65% (Subiyakto 1988; 1990a). Ulat merah jingga menyebabkan kerusakan 40−50% (Subiyakto 1990a; Soe82

bandrijo dan Subiyakto 1992; Subiyakto 1990b, 1994; Rizal dan Subiyakto 1998), dan ulat buah kapas menurunkan produksi 63% (Subiyakto dan Kartono 1986; Subiyakto 1990b). Secara keseluruhan, hama kapas menyebabkan penurunan produksi yang bervariasi, yaitu 63,40% (Kartono et al. 1982), 40−50% (Ditjenbun 1998), dan 65% (Subiyakto 2000). Keberhasilan pengendalian hama memegang peran penting dalam pengembangan kapas. Oleh karena itu, tulisan ini mengulas teknologi pengendalian hama berbasis ekologi agar dapat diadopsi petani dalam mendukung pengembangan kapas.

PENGENDALIAN HAMA BERBASIS EKOLOGI PADA KAPAS TUMPANG SARI KEDELAI Pengendalian hama berbasis ekologi tidak hanya terbatas sebagai teknologi, tetapi berkembang menjadi suatu konsep mengenai proses penyelesaian masalah ekologi (Kenmore 1996). Pemikiran pengendalian hama berbasis ekologi didorong oleh pengembangan dan penerapan pengendalian hama berdasarkan pengertian ekologi lokal (in situ) hama dan pemberdayaan petani. Pengendalian hama berbasis ekologi disesuaikan dengan masalah yang ada di setiap lokasi dan lebih menekankan pada pengelolaan proses dan mekanisme ekologi lokal daripada intervensi teknologi (Untung 2006; Laba 2009). Pengendalian hama berbasis ekologi pada tanaman kapas meliputi penggunaan benih tanpa kabu-kabu, penanaman varietas toleran hama wereng kapas, penyemprotan insektisida berdasarkan ambang populasi, penggunaan sumber daya lokal, dan melibatkan petani secara langsung dalam sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SL-PHT) (Soebandrijo 2000; Subiyakto dan Soebandrijo 2000; Rizal et al. 2002). Pada periode ini terjadi perubahan yang mendasar, yaitu pengembangan kapas secara tumpang sari dengan palawija. Pada tahun 1983, petani telah melakukan penanaman kapas secara tumpang sari dengan palawija, antara lain dengan kedelai, kacang hijau, kacang tanah, dan jagung. Namun, pada saat itu belum diketahui pengaruh tumpang sari terhadap

populasi hama. Berdasarkan hasil penelitian, penanaman kapas secara tumpang sari dengan palawija memberikan pengaruh positif terhadap pengendalian hama (Subiyakto et al. 1987; 1988; 1990; Nurindah dan Subiyakto 1992; Subiyakto 2006). Pengembangan kapas secara tumpang sari harus disesuaikan dengan pola tanam setempat (Kadarwati dan Rahmianna 2006). Di Lamongan, kapas umumnya ditumpangsarikan dengan kedelai, sedangkan di Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah dengan tanaman jagung. Pengembangan kapas secara tumpang sari diarahkan pada lahan tadah hujan yang sebelumnya ditanami padi. Pengendalian hama berbasis ekologi pada kapas tumpang sari kedelai didasarkan pada ekologi lokal hama dan pemberdayaan petani dalam mengelola agroekosistem. Tujuannya adalah agar dalam agroekosistem terjadi keselarasan antara tanah, hara, sinar matahari, kelembapan udara, dan organisme yang ada sehingga menghasilkan pertanaman yang sehat dan hasil yang berkelanjutan (Altieri dan Altieri 2004; Nurindah et al. 2007; Subiyakto dan Indrayani 2008). Penanaman kapas secara tumpang sari dengan kedelai akan menambah keragaman tanaman (Gambar 1). Kedelai sebagai tanaman tumpang sari dapat menarik musuh alami (predator dan parasitoid) hama kapas karena adanya nektar pada bunga (Nurindah dan Subiyakto 1992). Kedelai juga dapat menyuburkan tanah karena adanya bintil akar. Penanaman kapas secara tumpang sari dengan kedelai juga dapat mengurangi risiko gagal panen sehingga meningkatkan pendapatan petani (Subiyakto 2006). Pengendalian hama berbasis ekologi pada tanaman kapas tumpang sari kedelai meliputi beberapa komponen sebagai berikut.

Perlakuan Benih Agar pengendalian hama berbasis ekologi optimal perlu didukung oleh pertumbuhan tanaman yang sehat. Selain dengan menerapkan teknologi budi daya yang tepat, untuk mendapatkan tanaman yang sehat maka benih harus diperlakukan dengan insektisida untuk mengantisipasi serangan wereng kapas (Subiyakto 1988; 1989). Perlakuan terhadap benih sangat penting karena sampai saat ini belum tersedia Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


banding tanah yang miskin bahan organik. Pada tanah yang kaya bahan organik, populasi mangsa alternatif arthropoda predator (detrivor) lebih tinggi (Settle et al. 1996; Settle dan Whitten 2000; Subiyakto et al. 2006a; Subiyakto dan Indrayani 2008).

Penggunaan Pestisida Nabati

Gambar 1. Penanaman kapas secara tumpang sari dengan kedelai menambah keragaman tanaman (Foto: Subiyakto).

varietas kapas yang toleran terhadap wereng kapas. Varietas kapas yang ada, yaitu Kanesia 1 sampai 15 bersifat moderat tahan terhadap wereng kapas. Perlakuan benih menyebabkan tanaman kapas mengandung insektisida hingga umur 45 hari sehingga terlindung dari serangan wereng kapas (Subiyakto dan Kartono 1988). Keuntungan pengendalian hama dengan perlakuan benih antara lain adalah kompatibel dengan cara pengendalian yang lain, mudah dilaksanakan, dan relatif aman terhadap lingkungan (Subiyakto 1999).

Budi Daya Tanpa Olah Tanah Pengembangan kapas di lahan sawah tadah hujan, seperti di Lamongan, Jawa Timur dan Blora, Jawa Tengah menerapkan budi daya tanpa olah tanah (Subiyakto et al. 2005a). Praktek seperti ini dapat mendorong perkembangan organisme tanah, seperti mikroarthropoda yang merupakan mangsa alternatif predator (Subiyakto et al. 2005b; Subiyakto dan Indrayani 2008). Pengolahan tanah secara intensif menurunkan populasi mikroarthropoda tanah (Hendrix et al. 1986; Rodrigues et al. 1997).

optimal. Jerami padi biasanya ditumpuk di tepi lahan, bahkan tidak sedikit yang dibakar (Gambar 2a). Pembakaran jerami padi dapat berpengaruh buruk terhadap keanekaragaman hayati dan menyebabkan biomassa jerami sebagai bahan organik hilang. Pemberian mulsa jerami padi dapat memperbaiki agroekosistem (Gambar 2b) karena menciptakan iklim mikro yang kondusif untuk perkembangan mikroarthropoda tanah dan pertumbuhan tanaman (Subiyakto et al. 2005c; Subiyakto dan Indrayani 2008). Pemberian mulsa jerami padi akan menambah bahan organik ke dalam tanah dan sebagai pemicu utama berfungsinya suatu komponen penyusun habitat (Hattenschwiler et al. 2005; Subiyakto et al. 2005b). Tanah yang kaya bahan organik memiliki populasi predator dan serangga netral yang lebih tinggi di-

Krisis moneter pada tahun 1997/1998 menyebabkan harga pestisida kimia naik 2−3 kali lipat. Hal ini mendorong para peneliti untuk mencari pestisida alternatif yang relatif murah tetapi efektif mengendalikan hama dan aman bagi lingkungan (Subiyakto et al. 1999). Pestisida alternatif tersebut antara lain berasal dari ekstrak biji mimba. Penggunaan pestisida nabati dapat mendukung konservasi musuh alami. Pada tanaman kapas, tindakan konservasi musuh alami untuk mengoptimalkan peran musuh alami mempunyai peluang keberhasilan yang tinggi. Keragaman jenis arthropoda pada pertanaman kapas tergolong tinggi, sekitar 301 jenis, terdiri atas 135 jenis hama, 90 jenis predator, 75 jenis parasitoid, dan satu jenis hiperparasitoid (Michel 2001). Komposisi hama sebenarnya lebih rendah, yaitu 45%, sedangkan predator dan parasitoid lebih besar, mencapai 65%.

DAMPAK PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA BERBASIS EKOLOGI Penerapan teknologi pengendalian hama berbasis ekologi pada kapas tumpang sari kedelai mendorong keterpaduan

Penggunaan Mulsa Jerami Padi Di lahan sawah tadah hujan, umumnya jerami padi belum dimanfaatkan secara Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

Gambar 2. Jerami padi yang dibakar (a), dan jerami padi sebagai mulsa (b) (Foto: Subiyakto). 83


pola pengendalian serangga hama dan budi daya tanaman. Keterpaduan kedua pola tersebut dapat meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi penggunaan insektisida dan peningkatan hasil kapas dan kedelai. Pengendalian hama berbasis ekologi, secara langsung maupun tidak langsung mendukung pengembangan kapas di Indonesia. Keuntungan penerapan teknologi pengendalian hama berbasis ekologi pada kapas tumpang sari kedelai diuraikan berikut ini.

Arthropoda Predator dan Mangsa Alternatif Datang Lebih Awal Pengendalian hama berbasis ekologi pada kapas tumpang sari dengan kedelai memacu keberadaan arthropoda predator serta mangsa alternatif (mikroarthropoda tanah) datang lebih awal dibanding serangga hama. Hal ini akan memberi peluang bagi arthropoda predator untuk berperan sebagai pengendali hayati untuk menekan populasi hama. Mahrub (1999) dan Subiyakto (2006) melaporkan bahwa apabila di lapang tidak dijumpai serangga hama, predator akan memangsa serangga netral seperti mikroarthropoda tanah. Populasi mikroarthropoda tanah dipengaruhi oleh perkembangan fenologi tanaman kapas (Subiyakto et al. 2005c) dan kelembapan tanah (Borror et al. 1996). Fluktuasi populasi mikroarthropoda tanah stabil sepanjang musim karena mikroarthropoda tanah kurang peka terhadap perubahan habitat (Winasa 2001; Subiyakto et al. 2005a).

Meningkatkan Pemangsaan Predator Pengendalian hama berbasis ekologi pada kapas tumpang sari kedelai meningkatkan tingkat pemangsaan predator. Uji pemangsaan ulat pada kanopi tanaman kapas menunjukkan ulat dimangsa oleh kompleks predator rata-rata 74,60% pada PHT, sedangkan pada praktek petani 60,79%. Pada uji pemangsaan di permukaan tanah, ulat dimangsa oleh kompleks predator rata-rata 78,17% pada lahan PHT dan 72,61% pada lahan petani. Predator permukaan tanah yang memangsa ulat antara lain adalah semut, cecopet, dan laba-laba (Brust et al. 1986; Subiyakto et al. 2006b). 84

Menurunkan Penggunaan Insektisida Penerapan pengendalian hama berbasis ekologi pada kapas tumpang sari kedelai mengurangi penggunaan insektisida hingga 57%. Pengendalian hama berbasis ekologi hanya memerlukan dua kali penyemprotan insektisida (0,75 l/ha), sedangkan pada praktek petani empat kali (1,75 l/ha). Rendahnya frekuensi penyemprotan pada pengendalian hama berbasis ekologi disebabkan oleh faktor biotik, yaitu berperannya musuh alami, dan faktor abiotik seperti curah hujan dalam menekan populasi hama (Nurindah et al. 2006; Subiyakto 2006).

Meningkatkan Pendapatan Petani Penerapan teknologi pengendalian hama berbasis ekologi kapas tumpang sari kedelai meningkatkan hasil kapas 21%, dari 1.056 kg/ha menjadi 1.284 kg/ha, dan kedelai 31%, dari 636 kg/ha menjadi 836 kg/ha. Pendapatan meningkat 57% dari Rp2,46 juta menjadi Rp3,28 juta (Subiyakto et al. 2006c).

PELUANG PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA BERBASIS EKOLOGI Suatu teknologi akan diadopsi petani jika teknologi tersebut secara ekonomis menguntungkan petani, secara teknis mudah diterapkan, dan secara ekologis aman bagi lingkungan. Teknologi pengendalian hama berbasis ekologi terbukti meningkatkan pendapatan petani, secara teknis mudah diterapkan, dan secara ekologis relatif aman karena lebih menekankan pada rekayasa budi daya dan penggunaan pestisida nabati. Komponen teknologi pengendalian hama berbasis ekologi pada kapas tumpang sari kedelai sebagian besar sudah diadopsi petani, terutama petani di lahan sawah tadah hujan di Lamongan dan Blora. Di dua daerah terjadi, setiap tahun luas tanamnya bervariasi, masing-masing berkisar antara 700−1.200 ha dan 300−600 ha. Perubahan luas area tanam terjadi karena budi daya kapas sangat berisiko terhadap kekeringan dan serangan hama. Komponen budi daya tanpa olah tanah dan penggunaan mulsa jerami padi sudah

diadopsi petani sepenuhnya, sedangkan perlakuan benih dan penggunaan pestisida nabati belum sepenuhnya diadopsi petani. Oleh karena itu, sangat diperlukan percepatan alih teknologi perlakuan terhadap benih dan penggunaan pestisida nabati. Area pengembangan kapas dengan teknologi pengendalian hama berbasis ekologi di Kabupaten Lamongan dan Blora belum luas karena lahan sawah tadah hujan yang ditanami kapas berkisar antara 1.500−1.800 ha. Namun, pengembangan kapas di dua kabupaten tersebut dapat menjadi model pengembangan kapas pada lahan sawah tadah hujan di daerah lainnya. Potensi lahan sawah tadah hujan yang tergolong sangat sesuai untuk ditanami kapas mencapai 206.000 ha (Kadarwati dan Rahmianna 2006). Area tersebut tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian, peluang pengembangan kapas ke lahan sawah tadah hujan dengan sistem tumpang sari dengan kedelai masih sangat terbuka.

KESIMPULAN Pengendalian hama berbasis ekologi pada kapas dapat dilakukan dengan sistem tumpang sari kapas dengan kedelai, perlakuan benih dengan insektisida, budi daya tanpa olah tanah, penggunaan jerami padi sebagai mulsa, dan penggunaan pestisida nabati. Teknologi pengendalian hama berbasis ekologi pada kapas tumpang sari kedelai telah diadopsi petani, terutama di lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Lamongan dan Blora. Pengembangan kapas di kabupaten tersebut dapat menjadi model pengembangan kapas di lahan sawah tadah hujan di daerah lain. Saat ini, potensi lahan sawah tadah hujan di Indonesia yang tergolong sangat sesuai bagi kapas mencapai 206.000 ha. Teknologi pengendalian hama berbasis ekologi untuk mendukung pengembangan kapas tidak dapat diserahkan kepada petani dan pengelola karena mereka memiliki berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, pemerintah berperan sangat penting, terutama dalam proses sosialisasi dan bantuan teknis. Untuk melakukan perubahan paradigma baru pendekatan yang paling efektif adalah melalui sekolah lapang yang didukung oleh pembinaan dan pendampingan teknologi. Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


DAFTAR PUSTAKA Altieri, N. and M.A. Altieri. 2004. Agroecological bases of ecological engineering for pest management. p. 32−54. In G.M. Gurr, S.D. Wratten, and M.A. Altieri (Eds.). Ecological Engineering for Pest Management. Comstock Publ. Associates, New York. Asosiasi Pertekstilan Indonesia. 2004. Situasi industri tekstil saat ini dan perkiraan lima tahun mendatang. hlm. 1−5. Dalam Soebandrijo, Subiyakto, A.A.A. Gothama, dan Mukani (Ed.). Prosiding Lokakarya Pengembangan Kapas dalam Rangka Otoda, Malang, 15 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. Balittas (Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat). 2008. Kapas hibrida HSD 51, HSC 138, dan HSC 188: Alternatif varietas unggul mendukung pengembangan kapas nasional. Balittas, Malang. 4 hlm. Basuki, T., S. Bambang, dan S.A. Wahyuni. 2002. Sistem usaha tani kapas di Indonesia. Dalam Kapas, Buku 1. Monograf Balittas No. 7: hlm. 55−76. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. Borror, D.J., C.A. Triplehora, dan N.F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Penerjemah P. Partosoedjono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 1083 hlm. Brust, G.E., B.R. Stinner, and D.A. McCartney. 1986. Predator activity and predation in corn agroecosystems. Environ. Entomol. 15: 1017−1021. Direktorat Budidaya Tanaman Semusim. 2008. Rumusan Hasil Pertemuan Evaluasi Pelaksanaan Program Akselerasi Pengembangan Kapas Tahun 2008, Yogyakarta 23−24 Oktober 2008. Direktorat Budidaya Tanaman Semusim, Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. 8 hlm. Ditjenbun (Direktorat Jenderal Perkebunan). 1998. Peluang dan program pengembangan kapas di Indonesia. hlm. 56−73. Prosiding Diskusi Kapas Nasional, Jakarta, 26 November 1996. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

kelembagaan dalam pengembangan kapas dan rami. hlm. 40−56. Prosiding Lokakarya Nasional Kapas dan Rami, Surabaya, 15 Maret 2006. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. Hattenschwiler, S., A.V. Tiunov, and S. Scheu. 2005. Biodiversity and litter decomposition in terrestrial ecosystems. Annu. Rev. Ecol. Evo. Syst. 36: 191−218. Hendrix, P.F., R.W. Parmelee, D.A. Crossley Jr, D.C. Coleman, E.P. Odum, and P.M. Groffman. 1986. Detritus food webs in conventional and no-tillage agroecosystems. BioScience 36(6): 374−380. Kadarwati, F.T. dan A.A. Rahmianna. 2006. Kompatibilitas palawija dengan kapas di lahan tadah hujan. hlm. 1−14. Lokakarya Revitalisasi Agribisnis Kapas Diintegrasikan dengan Palawija di Lahan Sawah Tadah Hujan, Lamongan, 8 September 2005. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. Kartono, G., A. Sastrosupadi, M. Sahid, Sudjindro, Endarwati, Darmono, Basuki, T., S.A. Wahyuni, Machfudz, dan Soebandrijo. 1982. Status penelitian kapas di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Industri, Malang. 113 hlm. Kenmore, P.E. 1996. Integrated Pest Management in Rice. CAB International, Cambridge. 576 pp. Laba, I.W. 2009. Analisis Empiris Penggunaan Insektisida Menuju Pertanian Berkelanjutan. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Hama Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 74 hlm. Lahiya, A.A. 1984. Tanaman Kapas (Sejarah Pengembangan dan Pembudidayaannya) di Indonesia. Bandung. 69 hlm. Mahrub, E. 1999. Struktur komunitas arthropoda pada ekosistem padi tanpa perlakuan pestisida. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 4(1): 19–27.

Ditjenbun (Direktorat Jenderal Perkebunan). 2008. Pembahasan harga kapas berbiji dan rayonisasi pengelolaan kapas tahun 2008. Ditjenbun, Jakarta. 8 hlm.

Michel, B. 2001. Survey of arthropod biodiversity of cotton fields in South-East Asia. p. 119–132. Proceeding of the Second South-East Asian Cotton Research Consortium Meeting, Hochiminh City, Vietnam, 20−22 November 2001.

Djamaludin, J.C. 2007. Dampak strategis industri TPT nasional menanggapi pencabutan subsidi ekspor kapas negara maju. hlm. 24−32. Prosiding Lokakarya Nasional Kapas dan Rami, Surabaya, 15 Maret 2006. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang.

Nurindah dan Subiyakto. 1992. Pengaruh tumpang sari kapas dengan palawija terhadap populasi predator serangga hama kapas. hlm. 34−40. Prosiding Diskusi Panel Budi Daya Kapas + Kedelai, 10 Desember 1992. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang,

Fryxell, P.A. 1984. Taxonomy and germplasm resources. p. 27−56. In R.J. Kohel and C.F. Lewis (Eds.). Cotton. ASA, SCAA, SSSA Inc. Publ., Madison, Winconsin, USA.

Nurindah, D.H. Parmono, dan Sujak. 2006. Faktor mortalitas biotik Helicoverpa armigera (Hubner) pada kapas tumpang sari kedelai. hlm. 118−124. Prosiding Lokakarya Revitalisasi Agribisnis Kapas Diintegrasikan dengan Palawija di Lahan Sawah Tadah Hujan, Lamongan, 8 September 2005. Balai Pe-

Hasnam, E. Sulistyowati, Nurheru, Sudjindro, dan Rr. S, Hartati. 2007. Peran teknologi dan Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

nelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. Nurindah, T. Basuki, dan M. Sahid. 2007. Penerapan sistem budi daya terpadu dalam pengembangan kapas. hlm. 127−133. Prosiding Lokakarya Nasional Kapas dan Rami, Surabaya, 15 Maret 2006. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. Prentice, A.N. 1972. Cotton with Special Reference to Africa. First Ed. Longman Group Ltd., London. 281 pp. Rachman, A.H. 2007. Strategi revitalisasi pengembangan kapas dan rami. hlm. 33−39. Prosiding Lokakarya Nasional Kapas dan Rami, Surabaya, 15 Maret 2006. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. Rizal, M. dan Subiyakto. 1998. Dinamika populasi ulat buah merah kapas di Asembagus, Jawa Timur. hlm. 67−82. Prosiding Seminar Nasional PEI dan PHT. Departemen Pertanian, Bogor. Rizal, M., S. Hadiyani, S.A. Wahyuni, B. Sulistiono, dan Soebandrijo. 2002. Pengendalian hama terpadu pada tanaman kapas. Dalam Kapas, Buku 2. Monograf Balittas No. 7: 159−172. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. Rodrigues, G.S., M.A.V. Ligo, and J.L. de C. Mineiro. 1997. Organic matter decomposition and microarthropod community structure in corn fields under low input and intensive management in Guaira (SP). Sci. Agric. 54: 1−2. Sagala, A. 2007. Kebijakan sektor industri TPT dalam mendukung pengembangan kapas dan rami pascapencabutan subsidi ekspor negara maju. hlm. 20−23. Prosiding Lokakarya Nasional Kapas dan Rami, Surabaya 15 Maret 2006. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. Settle, W.H., H. Ariawan, E.T. Astuti, W. Cahyono, A.L. Hikam, D. Hidayana, A.S. Lestari, and Pajarningsih. 1996. Managing tropical rice pest through conservation of generalist natural enemies and alternative prey. Ecology 77(7): 1975−1988. Settle, W.H. and M.J. Whitten. 2000. The role of small scale farmers in strengthening linkages between biodiversity and sustainable agriculture. p. XLI−XLIX. In Abstract, Book I. XXI International Congress of Entomology, Brazil, 20−26 August 2000. Soebandrijo dan Subiyakto. 1992. Usaha pencegahan serangan penggerek buah merah jingga kapas Pectinophora gossypiella. hlm. 122−127. Prosiding Diskusi Panel Budi Daya Kapas + Kedelai, 10 Desember 1992. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. Soebandrijo. 2000. Penerapan teknologi pengendalian hama terpadu pada tanaman kapas. Buletin Kehutanan dan Perkebunan 1(2): 35− 52.

85


Subiyakto dan G. Kartono. 1986. Beberapa aspek biologi ulat buah kapas Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae). hlm. 78−85. Prosiding Temu Ilmiah Entomologi Perkebunan Indonesia, Medan, 22−24 April 1986. Subiyakto, Soebandrijo, dan O.S. Bindra. 1987. Pengaruh tumpang sari kapas-palawija terhadap populasi serangga hama kapas. Seminar on Integrated Cotton Pest Control, Malang, 29−30 Oktober 1987. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. 9 hlm. Subiyakto. 1988. Upaya pengendalian serangga hama kapas secara terpadu. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian VII(4): 109− 115. Subiyakto dan G. Kartono. 1988. Prospek penggunaan insektisida benih dan tanah sebagai komponen pengendalian serangga hama pengisap pada tanaman kapas. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian VII(2): 43−50. Subiyakto, Soebandrijo, dan O.S. Bindra. 1988. Pengendalian serangga hama kapas secara budi daya. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penelitian Pengendalian Serangga Hama Kapas secara Terpadu, Malang, 10− 11 Agustus 1988. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang.11 hlm.

hatan, Lembang, 3 Agustus 1994. PEI Cabang Bandung. 11 hlm. Subiyakto, G. Dalmadiyo, Supriyono, dan H.P. Diwang. 1999. Pemanfaatan mimba sebagai alternatif pengendalian serangga hama kapas. Warta Penelitian Tanaman Industri IV(4): 2. Subiyakto. 1999. Statistika demografi untuk evaluasi ketahanan tanaman terhadap serangga hama. hlm. 419−428. Prosiding Simposium III Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, Bogor, 1−2 Desember 1999. Penerapan IPTEK untuk Meningkatkan Daya Saing Industri Perkebunan Menghadapi Millenium III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan dan APPI, Bogor. Subiyakto. 2000. Pemanfaatan insektisida nabati serbuk biji mimba untuk pengendalian penggerek buah kapas Helicoverpa armigera (Hubner). Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Pengendalian Hayati OPT Tanaman Perkebunan, Bogor, 15−17 Februari 2000. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. 12 hlm. Subiyakto dan Nurindah. 2000. Organisme pengganggu tanaman kapas dan musuh alami serangga hama kapas. Proyek Penelitian PHT Tanaman Perkebunan (IPM-SECP). ADB. 52 hlm.

Subiyakto. 1989. Upaya meningkatkan produktivitas lahan kapas rakyat. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian VIII(2): 40− 45.

Subiyakto and Soebandrijo. 2000. Consultant Report. Integrated Pest Management for Smallholder Estate Crops Project (IPMSECP). ADB Loan No.1469-INO. 12 pp.

Subiyakto. 1990a. Pemanduan hama wereng dan ulat buah kapas. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian IX(I): 1−5.

Subiyakto dan Nurindah. 2002. Tinjauan multiaspek pengembangan kapas transgenik di Sulawesi Selatan. Makalah Roundtable Discussion di PK-PHT, Institut Pertanian Bogor, 3 Oktober 2002. 8 hlm.

Subiyakto. 1990b. Ulat ungu kapas dan strategi pengendaliannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian IX(2): 29−31. Subiyakto, Soebandrijo, dan M. Sahid. 1990. Pengaruh tumpang sari kapas dengan jagung terhadap pengendalian ulat Helicoverpa armigera (Hubner) pada kapas. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri XV(2): 17−25. Subiyakto. 1992. Pengendalian Serangga Hama dan Penyakit Kapas. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 76 hlm. Subiyakto. 1994. Pengendalian ulat merah jingga kapas Pectinophora gossypiella (Saunders) dengan gossyplure sebagai mating disruption. Makalah Seminar Sehari Sumbangan Entomologi dalam Bidang Pertanian dan Kese-

86

Subiyakto, S. Rasminah, G. Mudjiono, and Syekhfani. 2005a. Pengaruh bobot mulsa jerami padi terhadap populasi serangga hama dan hasil kapas. hlm. 110−117. Prosiding Lokakarya Revitalisasi Agribisnis Kapas Diintegrasikan dengan Palawija di Lahan Sawah Tadah Hujan, Lamongan, 8 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. Subiyakto, S. Rasminah, G. Mudjiono, and Syekhfani. 2005b. Effect of straw mulching weight on the abundance of predation arthropods on soil surface in cotton intercropped with soybean. The First Internati-

onal Conference on Crop Security, Brawijaya University, Malang, 20–22 September 2005. 10 pp. Subiyakto, S. Rasminah, G. Mudjiono, dan Syekhfani. 2005c. Pengaruh bobot mulsa jerami padi terhadap kelimpahan mikroarthropoda tanah pada tumpang sari kapas dan kedelai. hlm. 314−323. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Biologi XIII dalam rangka Lustrum X Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, 16−17 September 2005. Subiyakto. 2006. Peranan Mulsa Jerami Padi terhadap Keanekaragaman Arthropoda Predator dan Manfaatnya dalam Pengendalian Serangga Hama Kapas pada Kapas Tumpang Sari Kedelai. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang. 157 hlm. Subiyakto, S. Rasminah, G. Mudjiono, dan Syekhfani. 2006a. Peranan mulsa jerami padi dalam pengendalian serangga hama kapas pada tumpang sari kapas dan kedelai. Jurnal Ilmiah Agrivita 28(1): 15−25. Subiyakto, S. Rasminah, G. Mudjiono, dan Syekhfani. 2006b: Tekanan pemangsaan kompleks predator terhadap ulat buah pada tumpang sari kapas dan kedelai tanpa dan dengan mulsa jerami padi. Jurnal Ilmiah Habitat XVII(1): 72−82. Subiyakto, Dwi Adi Sunarto, Dwi Winarno, dan IG A.A. Indrayani. 2006c. Peranan pengendalian hama terpadu untuk meningkatkan pendapatan petani. Makalah disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian Balittas Malang Tahun 2006. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. 16 hlm. Subiyakto dan I G.A.A. Indrayani. 2008. Pengendalian serangga hama kapas menggunakan mulsa jerami padi. Perspektif 7(2): 55−64. Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Edisi-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 348 hlm. Winasa, I.W. 2001. Arthropoda Predator Penghuni Permukaan Tanah di Pertanaman Kedelai: Kelimpahan, pemangsaan, dan pengaruh praktek budi daya pertanian. Disertasi, Institut Pertanian Bogor. 114 hlm. Wirjosoehardjo, S. and H.L. Tobing. 1986. Cotton pest control policy in IKR programme. International Workshop on Cotton Production and Protection, Malang, 13−17 May 1986. 11 pp.

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


INTRODUKSI PARASITOID, SEBUAH WACANA BARU DALAM PENGENDALIAN HAMA KUTU PUTIH PEPAYA Paracoccus marginatus DI INDONESIA Lina Herlina Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 3A Bogor, 16111 Telp. (0251) 8339793, 8337975, Faks. (0251) 8338820, E-mail: bb_biogen@litbang.deptan.go.id, borif@indo.net.id Diajukan: 15 November 2010; Diterima: 2 Desember 2010

ABSTRAK Masuknya hama eksotis Paracoccus marginatus ke Indonesia telah menimbulkan permasalahan dalam pengendalian hama tersebut pada tanaman pepaya (Carica papaya). Belum terdapat alternatif pengendalian yang efektif untuk menekan populasi hama ini di Indonesia. Pengendalian hayati dengan mengoptimalkan musuh alami sebenarnya merupakan alternatif yang paling sesuai, namun hasil penelitian yang memadai untuk mengembangkan musuh alami lokal yang potensial belum tersedia. Introduksi parasitoid yang efektif mengendalikan P. marginatus di luar negeri menginspirasi upaya pengendalian hama ini di Indonesia. Tulisan ini bertujuan membahas beberapa aspek penting dalam program introduksi parasitoid, antara lain karakter agens hayati introduksi, prosedur pelepasan musuh alami, dampak negatif terhadap organisme bukan sasaran, serta prospek aplikasi parasitoid introduksi di Indonesia. Pada prinsipnya, introduksi parasitoid cukup prospektif untuk diterapkan di Indonesia dengan persyaratan tertentu. Kata kunci: Carica papaya, Paracoccus marginatus, pengendalian hama, parasitoid, Indonesia

ABSTRACT Introduction of parasitoid, a new concept in controlling papaya mealybugs Paracoccus marginatus in Indonesia The invasion of exotic pest Paracoccus marginatus in Indonesia has encountered a special problem. Any pest controls conducted on this pest have not proved to be effective yet to suppress pest population. Actually, the most appropriate strategy to control P. marginatus infestation could be attained through biological control by optimizing the natural enemies, but unfortunately there has not been any sufficient research which developed some potential natural enemies native to Indonesia. The attempts that succeed in managing P. marginatus under lower population have been carried out by other countries through introduction of parasitoids. This has been inspiring to apply the same strategy in Indonesia to control P. marginatus. This paper aimed to discuss some important aspects associated with introduction of parasitoids, e.g. characteristics of potential agents, procedure for releasing natural enemies, effects on nontarget organisms, and also the potential and prospect of applying parasitoid introduction in Indonesia. In principal, parasitoid introduction to control P. marginatus is potential to be implemented in Indonesia, as long as it matched with the requirements. Keywords: Carica papaya, Paracoccus marginatus, pest control, parasitoid, Indonesia

H

ama kutu putih, Paracoccus marginatus merupakan salah satu kendala utama dalam budi daya tanaman pepaya (Carica papaya). Awalnya hama ini tidak dikenal dalam kelompok kutu putih di Indonesia dan bukan merupakan ancaman bagi tanaman hortikultura karena belum teridentifikasi keberadaannya di Indonesia. Namun, sekitar tahun Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

2008, hama tersebut telah menginfestasi secara luas tanaman pepaya di daerah Bogor sehingga kutu putih menjadi sangat populer di kalangan petani maupun praktisi hama. Masuknya hama eksotis P. marginatus ke Indonesia telah menimbulkan kerugian besar pada tanaman pepaya. Pada tahun 2009, 10 kabupaten sentra

pepaya di Jawa Tengah mendapat serangan parah hama kutu putih. Harian Joglo Semar melaporkan sekitar 135.000 tanaman pepaya di Kabupaten Boyolali terpaksa dimusnahkan, bahkan hama dilaporkan telah mencapai Kabupaten Klaten, yang terindikasi dari adanya 300 tanaman pepaya yang terserang. Serangan tidak hanya mematikan tanaman pe87


paya jenis impor, tetapi juga pepaya lokal, bahkan pepaya andalan Boyolali M9 sebagian juga mati terserang kutu putih. Sejak terdeteksi keberadaannya pada Mei 2008 di pertanaman pepaya di Bogor, serangan hama kutu putih meluas secara cepat ke berbagai wilayah Indonesia, antara lain Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Kota Depok (Jawa Barat), DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang (Banten), beberapa kabupaten di Jawa Tengah, Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Pekanbaru (Riau), Denpasar (Bali), dan Sulawesi (Friamsa 2009; Muniappan 2009; Deffan 2010). Alternatif pengendalian yang efektif untuk menekan populasi kutu putih belum tersedia di Indonesia. Aplikasi insektisida dengan bahan aktif imidakloprid secara tunggal dapat menurunkan populasi hama hingga 40% setelah empat kali aplikasi, sedangkan aplikasi yang dikombinasikan dengan air sabun mampu menekan populasi hama hingga 60% (Dadang et al. 2008). Meskipun demikian, selain tidak efisien karena berbiaya tinggi, pengendalian dengan pestisida, sebagaimana dipraktekkan sebagian petani pepaya di Indonesia, tidak dapat menekan populasi kutu putih di lapangan. Bahkan dalam waktu singkat, serangan hama meluas lintas pulau. Lapisan lilin di permukaan tubuh kutu putih merupakan perisai yang mampu melindungi kutu putih dari zat toksik insektisida. Pengendalian hayati klasik dengan mengoptimalkan musuh alami merupakan cara pengendalian yang paling sesuai. Namun, karena tergolong hama baru, inventarisasi musuh alami P. marginatus di Indonesia masih sangat terbatas sehingga perlu dilakukan survei ke berbagai wilayah di Indonesia, khususnya di daerah endemis kutu putih untuk menggali informasi mengenai keberadaan musuh alami lokal yang potensial untuk dikembangkan. Studi secara mendalam mengenai karakter biologi masing-masing musuh alami, kisaran inang, efektivitasnya dalam mengendalikan P. marginatus, serta analisis risiko terhadap organisme nontarget juga perlu dilakukan untuk memperoleh kandidat musuh alami yang andal. Beberapa negara telah mempraktekkan pengendalian secara biologi tersebut, antara lain Karibia, negara di Amerika Latin, Florida, Guam, dan Palau (Rich 2010). Parasitoid yang digunakan adalah dari ordo Hymenoptera, famili Encyrtidae, antara lain Acerophagus papayae Noyes 88

& Schauff, Anagyrus loecki Noyes & Menezes, dan Pseudleptomastix mexicana Noyes & Schauff. Tingkat parasitisasinya bervariasi antarlokasi dan antarspesies parasitoid. Keberhasilan cara pengendalian tersebut menginspirasi untuk mengimplementasikannya di Indonesia melalui introduksi parasitoid. Tulisan ini bertujuan memberikan ulasan mengenai introduksi parasitoid, antara lain karakteristik parasitoid yang efektif serta faktor yang perlu dipertimbangkan dalam introduksi musuh alami, seperti teknik pelepasan yang tepat serta pengukuran dampaknya terhadap organisme nontarget.

P. marginatus ANCAMAN SERIUS PRODUSEN PEPAYA Penyebaran P. marginatus Kutu putih pepaya P. marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) ditengarai berasal dari Meksiko, atau suatu wilayah di dekat Amerika Tengah (CABI 2005). Meski spesimen serangga ini telah dikoleksi pertama kalinya di Meksiko pada tahun 1955, deskripsi tentang spesies ini baru dilakukan pada tahun 1992 oleh Williams dan Granara deWillink, dan dideskripsi ulang oleh Miller dan Miller pada tahun 2002 (Amarasekare et al. 2008). Sejak saat itu, hama ini berturut-turut dilaporkan terdapat di US Virgin Island (1996), Amerika Serikat (Florida), Haiti, St. Kitts dan Nevis, St. BarthĂŠlemy, dan Guadaloupein (1998); French Guyana, Cuba, dan Puerto Rico (1999); Barbados, Cayman Islands, dan Montserrat (2000); Bahamas dan Guam (2002); Republik Palau (2003) (Muniappan et al. 2006), Kepulauan Hawaii (Maui dan Oahuta) (2004) (Amarasekare et al. 2009); dan di Northern Marianas (Tinian) (2005) (Muniappan 2009). Selanjutnya P. marginatus menginvasi pulau-pulau di Pasifik dan telah mapan di Guam (Meyerdirk et al. 2004). Invasi ke Asia Selatan dan Asia Tenggara berlangsung sejak tahun 2008 hingga sekarang. Hama ini pertama kali masuk Indonesia pada Mei 2008, berdasarkan laporan Aunu Rauf, seorang Profesor dari IPB (Deffan 2010). Pada tahun yang sama, P. marginatus juga dilaporkan terdapat di Tamil, Sri Lanka, utara Thailand, dan setahun kemudian juga terdapat di Bangladesh dan Maladewa (Muniappan 2009).

Gejala dan Dampak Kerusakan Dengan karakternya yang bersifat polifag, relatif tahan terhadap pestisida, menyebar sangat mudah dan cepat, serta pada serangan berat menyebabkan kematian pada tanaman, P. marginatus menjadi ancaman yang cukup serius bagi petani pepaya. Selain menyerang pepaya, hama ini juga menginfestasi tanaman alpukat, terung, tomat, kamboja, aglaonema, palem putri, kembang sepatu, puring, zodia, ubi kayu, dan jarak (Ditjen Hortikultura 2008). Hama biasanya menginfestasi sepanjang tepi tulang daun tua atau pada hampir seluruh bagian daun muda serta buah. Serangga menusuk dan mengisap cairan floem tanaman inangnya dan mengeluarkan toksin yang dapat mengakibatkan daun klorosis (menguning) dan mengerut, tanaman mengalami deformasi dan kerdil, serta daun dan buah gugur prematur (Heu et al. 2007; Sartiami et al. 2009a). Koloni P. marginatus menghasilkan cairan madu (honeydew) yang menutupi permukaan tanaman, yang menginisiasi tumbuhnya cendawan jelaga yang berwarna kehitaman (sooty mould). Permukaan daun, batang maupun buah yang tertutupi jelaga akan mengalami gangguan difusi gas dan menghambat proses fotosintesis sehingga selain produksi buah turun drastis, buah yang terbentuk juga gagal dipanen karena gugur prematur atau tidak layak jual (CABI 2005). Sejak terjadi serangan P. marginatus di Indonesia, buah pepaya menjadi sulit dijumpai di pasaran, padahal sebelumnya pepaya sangat mudah ditemukan dan murah harganya. Masyarakat umumnya mengonsumsi buah pepaya untuk kesehatan saluran cerna. Bagi beberapa produsen pepaya di dunia seperti negaranegara di Kepulauan Karibia, Amerika Selatan, Kepulauan Hawai, serta Florida, pepaya bernilai jutaan dolar, khususnya dari produksi papain. Papain merupakan bahan baku bagi produksi permen karet, sampo, pasta gigi maupun pasta pemutih gigi, pelunak daging, serta untuk industri minuman keras dan tekstil (CABI 2005).

PENGENDALIAN HAYATI Sejak masuk pada tahun 2008, dalam kurun waktu 2,5 tahun P. marginatus telah 'mapan’ di Indonesia, terbukti dari laporan serangan hama ini di berbagai wilayah pada berbagai komoditas, dengan prefeJurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


rensi utama pada tanaman pepaya (Friamsa 2009; Sartiami et al. 2009a). Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan petani, antara lain dengan melakukan eradikasi tanaman terserang, mengganti tanaman pepaya dengan tanaman lain yang relatif tahan (misalnya ubi kayu), dan menyemprot hama menggunakan pestisida. Namun dari sekian usaha pengendalian, belum ada satupun yang efektif menghentikan invasi hama ini. Pengendalian kimiawi dengan insektisida berbahan aktif asefat, karbaril, khlorpirifos, diazinon, dimetoat, malation, dan minyak mineral putih hanya efektif secara parsial, atau memerlukan aplikasi dua kali dari dosis normal untuk memberikan efek terhadap infestasi hama kutu putih (Walker et al. 2003). Hal ini dikarenakan P. marginatus memiliki lapisan lilin yang tebal dan kantung kapas serta sering bersembunyi di dalam daun atau tunas yang rusak (Walker et al. 2003). Statusnya sebagai hama eksotis membawa konsekuensi kesulitan tersendiri dalam mencari taktik pengendalian yang sesuai. Di negara asalnya, Amerika Tengah (Meksiko), P. marginatus tidak menjadi masalah yang serius karena di negara tersebut terdapat beberapa jenis musuh alami lokal, yaitu parasitoid yang dapat mengontrol populasi hama. Pengendalian populasi hama dengan memberdayakan musuh alami dikenal sebagai pengendalian hayati. Pengendalian hayati mencapai era gemilangnya sejak abad ke-19. Saat itu, penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama mulai menunjukkan efek negatif, berupa resistensi dan resurjensi beberapa jenis hama. Pengendalian hayati sebagai isu lingkungan berskala internasional mempunyai keunggulan, yaitu bersifat permanen dalam mempertahankan populasi hama pada tingkat yang aman, tidak mencemari lingkungan, aman bagi manusia, produk tanaman, dan organisme menguntungkan, ekonomis karena tidak membutuhkan biaya tambahan untuk pekerja sesudah pelepasan awal, ketika musuh alami telah mapan dapat menyebar sendiri, dan kompatibel dengan teknik pengendalian yang lain (Vincent et al. 2007). Dalam pengendalian hayati hama, dikenal dua jenis musuh alami utama, yaitu predator dan parasitoid. Predator adalah makhluk hidup yang memangsa makhluk lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan parasitoid adalah makhluk hidup (dalam hal ini serangga) yang Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

tinggal pada tubuh serangga lain (disebut inang) dan menggunakan tubuh inang sebagai media untuk memenuhi kebutuhan hidup dan atau menyelesaikan siklus hidupnya. Penggunaan parasitoid untuk pengendalian hayati lebih aman bagi lingkungan karena spesifik terhadap inangnya (Greathead 1986). Pengendalian hama dengan memanipulasi musuh alami dimaksudkan untuk memberikan peran yang lebih besar kepada musuh alami untuk menekan populasi hama. Pada prinsipnya, musuh alami akan selalu berkembang mengikuti perkembangan hama. Selama musuh alami dapat menekan hama maka pengendalian dengan bahan kimia tidak diperlukan karena keseimbangan biologi telah tercapai (Anonymous 2002). Filosofi ini merupakan strategi pendekatan hama terpadu dengan pendekatan ekologi, yang menekankan pada upaya menciptakan kondisi ekosistem sedemikian rupa sehingga musuh alami dapat berkembang secara baik dan menunjukkan pengaruh nyata terhadap penurunan populasi hama atau tingkat kerusakan pada tanaman. Inventarisasi musuh alami P. marginatus dari pertanaman pepaya di Bogor dan Sukabumi pada tahun 2008 dan 2009 memperoleh beberapa jenis musuh alami, antara lain dari kelompok predator (ordo Neuroptera, Coleoptera, Diptera), dan parasitoid (ordo Hymenoptera), serta dari kelompok cendawan Entomophthorales (Dadang et al. 2008; Sartiami et al. 2009b) (Tabel 1). Meskipun demikian, penelitian terhadap hama kutu putih maupun musuh alaminya di Indonesia masih sangat terbatas, yaitu baru dalam tahap identifikasi dan pengukuran persentase parasitisasi

pada skala laboratorium. Belum terdapat pengkajian di lapangan maupun upaya pengembangan musuh alami lokal secara massal. Oleh karena itu, perlu dilakukan survei dalam jangka panjang untuk menggali potensi musuh alami yang ada di Indonesia, terutama dari daerah dengan karakter geografis yang berbeda. Untuk jangka pendek, mengingat kerusakan akibat P. marginatus pada pertanaman pepaya cukup parah dalam waktu singkat, pengendalian hayati melalui introduksi parasitoid dapat menjadi alternatif pemecahan masalah.

PENGENDALIAN HAYATI MELALUI INTRODUKSI PARASITOID Komersialisasi Musuh Alami Pengendalian hayati dengan mengoptimalkan kinerja musuh alami makin banyak diadopsi petani. Produksi musuh alami secara massal berkembang sangat pesat dalam tiga dekade terakhir, antara lain dalam hal jumlah serangga, kisaran spektrum spesies serangga, serta metode produksinya (Van Lenteren dan Tommasini 2003). Kemajuan di bidang teknologi produksi massal, pengawasan mutu, penyimpanan, pengkapalan, dan teknik pelepasan telah menurunkan biaya produksi secara signifikan sehingga komersialisasi musuh alami bukan lagi hal yang sulit. Bahkan dengan makin banyaknya inovasi yang terkait dengan sistem penyimpanan jangka panjang, antara lain memanfaatkan fenomena diapause pada

Tabel 1. Musuh alami Paracoccus marginatus berdasarkan hasil survei di beberapa lokasi di Jawa Barat. Ordo

Famili

Spesies

Peranan

Neuroptera Coleoptera

Chrysopidae Coccinellidae

Predator Predator

Diptera Hymenoptera

Syrphidae Scelionidae, Eulophidae Braconidae, Encyrtidae Neozygtaceae

Chrysopha sp. Scymnus sp., Curinus sp., Chilocorus politus, Cryptolaemus montrouzieri − − Neozygites fumosa

Cendawan

Entomophthorales

Predator Parasitoid

Sumber: Dadang et al. (2008); Sartiami et al. (2009b).

89


serangga), pengkapalan, dan teknik pelepasannya, berhasil meningkatkan kualitas musuh alami sehingga aplikasinya sebagai pengendali hama makin mudah dan murah (Van Lenteren dan Tommasini 2003).

Aplikasi Parasitoid sebagai Pengendali Hama di Indonesia Parasitoid yang telah banyak dipelajari maupun dimanfaatkan sebagai pengendali hama di Indonesia didominasi oleh parasitoid dari famili Trichogrammatidae, yaitu genus Trichogramma dan Trichogrammatoidea (Herlinda 1995; Marwoto et al. 1997; Nurindah et al. 1997; Marwoto dan Supriyatin 2000; Meilin et al. 2000; Nurindah 2000; Marwoto dan Saleh 2003; Buchori et al. 2010). Potensi parasitoid Trichogramma sebagai agens pengendali hama secara hayati telah diuji di berbagai belahan dunia dan memberikan hasil yang baik (Marwoto 2010). Spesies Trichogramma dan Trichogrammatoidea yang dipilih adalah yang tergolong parasitoid telur karena lebih efektif untuk mengendalikan beberapa jenis hama, antara lain penggerek polong kedelai, penggerek batang jagung, dan hama kubis. Spesies Trichogramma maupun Trichogrammatoidea yang terdapat di Indonesia sangat beragam (Tabel 2). Namun, informasi maupun penelitian yang terkait dengan jenis parasitoid dari famili Trichogrammatidae yang menyerang P. marginatus belum ada. Dengan demikian, untuk saat ini genus Trichogramma maupun Trichogrammatoidea belum dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan P. marginatus.

Contoh Sukses Introduksi Parasitoid Pengendalian hama melalui introduksi musuh alami, dalam hal ini parasitoid, bukanlah hal baru. Keberhasilan introduksi parasitoid Pediobius foveolatus JC Crawford dari India untuk mengendalikan kumbang kedelai Meksiko Epilachna varivestis Mulsant di wilayah pantai Amerika Serikat adalah salah satu contoh sukses pengendalian hayati klasik yang terintegrasi dengan PHT pada tanaman kedelai (Kogan dan Turnipseed 1987). Introduksi parasitoid musuh alami kumbang alfalfa Hypera postica Gyllenhal 90

(Flanders dan Radcliffe 1999) juga berhasil memapankan endoparasitoid larva Bathyplectes curculionis Thompson dan B. anurus Thompson (Hymenoptera: Ichneumonidae) (Kingsley et al. 1993; Steffey et al. 1994), endoparasitoid imago Microctonus aethiopoides Lioan (Hymenoptera: Braconidae), dan endoparasitoid larva Oomyzus incertus (Hymenoptera: Eulophidae) (Radcliffe dan Flanders 1998). Department of Agriculture’s Animal and Plant Health Inspection Service (APHIS), Amerika Serikat telah berhasil mengidentifikasi tiga spesies parasitoid

dari kelompok endoparasitoid soliter yang memiliki efektivitas tinggi dalam mengendalikan P. marginatus. Parasitoid tersebut adalah A. papayae, A. loecki, dan P. mexicana (Hymenoptera: Encyrtidae) (Amarasekare et al. 2009). Parasitoidparasitoid tersebut telah dikulturkan di laboratorium Puerto Rico dan ditawarkan secara cuma-cuma ke negara yang bermasalah serius dengan P. marginatus. Beberapa negara yang telah menggunakannya antara lain adalah negaranegara Karibia, Amerika Latin, Florida, Guam (Meyerdirk et al. 2004), dan Palau (Rich 2010).

Tabel 2. Beberapa spesies parasitoid dari famili Trichogrammatidae di Indonesia. Spesies

Serangga inang

Tanaman inang

Trichogramma japonicum

Scirpophaga incertulas Tryporyza nivella Chillo auricilius S. innotata Helicoverpa armigera T. nivella C. auricillius Chillo spp. H. armigera C. suppresalis Ostrinia furnacalis C. infuscatellus C. sacchariphagus Etiella zinckenella Heliothis spp. Agrius convolvuli Pieridae Cricula trifenestrata Milionia basalis Plutella xylostella Etiella sp.

Padi Tebu Tebu Padi Kedelai, bawang merah Tebu Tebu Tebu/padi Jagung Jagung Jagung Tebu Tebu Kedelai Tembakau Ubi jalar Kedelai, cassia, kubis Jambu mete Pinus Kubis Kedelai

C. sacchariphagus Straminellus Setora nitens Setothoseae asigna Darna trima H. armigera E. zinckenella P. xyllostella Crocidolomia binotalis S. incertulas H. armigera C. sacchariphagus Straminellus C. infuscatellus Tetramoera schistaceana P. xylostella

Tebu − Kelapa sawit Kelapa sawit Kelapa sawit Kapas Kedelai Kubis Kubis, bunga kol Tebu Jagung Tebu − Tebu Tebu Kubis, bunga kol, salada Padi Bunga kol

T. chilonis T. australicum

T. chilotraeae

T. minutum

Trichogramma sp. Trichogramma sp. T. flandersi Trichogrammatoidea bactraebactrae T’toidea bactrae T’toidea thoseae

T’toidea armigera

T’toidea guamensis T’toidea nana

T’toidea cojuangcoi

Scirpophaga incertulas Diptera Sumber: Meilin et al. (2000); Buchori et al. (2010).

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


Introduksi Parasitoid Introduksi berarti membawa masuk/memperkenalkan sesuatu yang baru ke suatu tempat/lokasi/daerah tertentu. Introduksi parasitoid merupakan salah satu tahapan pengendalian hayati, yaitu melepas musuh alami eksotis ke dalam lingkungan baru sehingga nantinya secara permanen dapat mapan dan mampu mengendalikan populasi hama dalam jangka panjang tanpa intervensi lebih lanjut. Tujuan dasarnya adalah mengembalikan keseimbangan alami yang terganggu akibat masuknya spesies hama eksotis dengan cara menghadirkan musuh alaminya. Introduksi umumnya diikuti oleh konservasi musuh alami, yaitu menciptakan kondisi yang memungkinkan agens hayati untuk tetap tinggal dan hidup pada area target. Idealnya, terdapat area yang khusus disediakan untuk melindungi musuh alami agar tetap bertahan hidup, terutama di luar musimnya (Manley et al. 2001). Praktek bercocok tanam dan pemakaian pestisida yang selektif dapat dimanipulasi sedemikian rupa sehingga mendukung upaya konservasi agens hayati introduksi maupun lingkungan (Manley et al. 2001) Dalam pengendalian hayati, musuh alami yang efektif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: mampu mendeteksi populasi hama pada kepadatan yang rendah, memiliki pertumbuhan populasi lebih cepat dibanding hama, menunjukkan laju penekanan populasi hama per kapita cukup tinggi, memiliki fenologi yang sinkron dengan hama target, persisten pada kepadatan populasi hama yang rendah, musim tanam maupun rotasi tanaman, toleran terhadap berbagai aktivitas pengelolaan tanaman, serta mudah diadopsi petani dan diperbanyak secara massal (Manley et al. 2001).

KARAKTER PENTING PARASITOID INTRODUKSI Keberhasilan introduksi parasitoid sebagai musuh alami sangat ditentukan oleh kemampuannya beradaptasi terhadap iklim, tanaman inang, serangan musuh alami lokal, dan menemukan inang alternatif di lokasi yang baru (Van Driesche et al. 2008). Selain itu, juga ditentukan oleh teknik pelepasan yang tepat, yang meliputi jumlah parasitoid yang dilepas, media, praadaptasi parasitoid introduksi terhadap hama target sebelum pelepasan, Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

perlindungan pada saat distribusi, dan waktu pelepasan (Van Driesche et al. 2008; Marwoto 2010). Berikut ini diuraikan keterkaitan karakter tersebut dengan keberhasilan introduksi parasitoid.

Kemampuan Beradaptasi terhadap Iklim Kemampuan musuh alami untuk ‘mapan’ (establish) di lapangan merupakan titik kritis dalam pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami. Ketidaksesuaian lingkungan biologis musuh alami introduksi dengan lokasi baru dapat menyebabkan kegagalan dalam ‘memapankan’ agens hayati tersebut di lapangan (Van Driesche et al. 2008). Faktor utama yang menjadi pembatas distribusi musuh alami, selain keberadaan hama inang adalah iklim (BIREA 2010). Artinya, introduksi musuh alami akan lebih berhasil bila musuh alami tersebut berasal dari negara yang memiliki iklim/cuaca yang sama dengan negara penerima. Selain berpengaruh secara langsung terhadap parasitoid, iklim juga memengaruhi hama target yang menjadi ‘habitat parasitoid’ serta tanaman inang sebagai media hidup hama. Keberhasilan parasitoid introduksi untuk bertahan di lokasi baru sangat ditentukan oleh kemampuannya merespons faktor-faktor fisik yang ekstrem, antara lain iklim maupun cuaca panas, dingin, kelembapan, dan kekeringan (Van Driesche et al. 2008). Serangga merupakan organisme poikilotermik yang kelangsungan hidup maupun eksistensinya sangat bergantung pada suhu lingkungan. Tidak terdapat agens pengendali hayati yang secara permanen mampu mengkolonisasi habitat dengan suhu di luar kisaran suhunya (BIREA 2010). Demikian pula distribusi populasinya dibatasi oleh letak geografis (elevasi). Prediksi secara akurat distribusi musuh alami tanpa informasi yang memadai mengenai iklim yang sesuai bagi agens hayati maupun hama inang nontarget yang potensial, sulit dilakukan. Agens introduksi yang mampu mentoleransi kondisi fisik iklim di lingkungan baru belum tentu berhasil apabila iklim setempat tidak sejalan dengan stadia kritis hama inangnya, atau jika kondisi iklim setempat tidak cukup menstimulasi agens tersebut untuk memasuki masa istirahat atau hibernasi (diapause) secara tepat. Di Kolumbia dan Kanada, parasitoid Cotesia rubecula Marshall memasuki masa

istirahat jika panjang hari berkisar antara 15−16 jam, yang biasanya terjadi pada akhir Agustus. Ketika strain ini dibawa ke Missouri, Amerika Serikat yang terletak pada 12°LS, sensitivitas terhadap panjang hari di wilayah tersebut menyebabkan parasitoid beristirahat pada awal September, yang suhu rata-ratanya lebih dari 15°C. Padahal kemampuan hidup parasitoid menjadi rendah jika parasitoid yang sedang beristirahat terekspos oleh kisaran suhu tersebut. Akibatnya, introduksi C. rubecula di Missouri gagal (Van Driesche et al. 2008). Meksiko terletak pada ketinggian 2.309 m dpl, dengan suhu rata-rata 10°C, rentang kisaran suhu 5°C, suhu terpanas 27°C (biasanya terjadi pada April), dan suhu terendah 5°C (terjadi pada Januari dan Desember). Musim terkering terjadi pada Februari, yakni hanya terdapat 3 hari hujan dalam bulan tersebut dengan curah hujan 4 mm. Musim terbasah terjadi pada Juli dengan 22 hari hujan dan curah hujan rata-rata 160 mm. Kelembapan relatif tahunan 59,30% (Anonymous 2010b). Apabila dibandingkan dengan Meksiko, secara umum iklim di Indonesia cukup berbeda. Indonesia merupakan negara tropis dengan dua musim, yaitu musim hujan (basah) dan musim kemarau (kering). Dengan kondisi wilayah 81% tertutup perairan, suhu daratan Indonesia umumnya tidak tetap, variasi suhu relatif kecil dari satu musim ke musim berikutnya. Daerah pantai memiliki suhu rata-rata 28°C, dataran rendah 26°C, dan dataran tinggi 23°C. Kelembapan relatif berkisar antara 70–90% (Anonymous 2010a). Perbedaan iklim tersebut menjadi masalah tersendiri dalam introduksi parasitoid asal Meksiko ke Indonesia dalam rangka pengendalian hama kutu putih pepaya. Mengingat suhu rata-rata Meksiko lebih rendah dibanding Indonesia, ada dua alternatif untuk mengantisipasi hal tersebut. Alternatif pertama, mencari strain parasitoid di Meksiko atau negara lain yang memiliki iklim mirip dengan Indonesia sebagai kandidat parasitoid yang akan diintroduksi. Dengan demikian diperlukan informasi sebanyak mungkin parasitoid yang efektif mengendalikan hama kutu putih. Alternatif kedua, melakukan adaptasi kandidat parasitoid asal Meksiko yang akan diintroduksi sebelum dilepas secara massal dengan memeliharanya di suatu daerah di Indonesia yang memiliki suhu sama dengan Meksiko, misalnya di dataran tinggi. Melalui adaptasi ini akan 91


diperoleh strain parasitoid baru yang lebih adaptif terhadap iklim Indonesia. Solusi lain untuk mengatasi perbedaan iklim dalam introduksi musuh alami adalah menggunakan climate-matching. Teknik ini telah digunakan secara luas untuk memprediksi potensi distribusi berbagai jenis tanaman maupun serangga introduksi pada kondisi iklim aktual maupun di masa mendatang (Van Driesche et al. 2008). Software Climex, misalnya, secara empiris dapat mencocokkan ekoiklim setempat dengan spesies asli untuk memprediksi kisaran spesies introduksi yang sesuai dengan iklim tersebut (Sutherst 2004). Strategi lainnya dapat dipelajari dari Amerika Serikat. Untuk meningkatkan peluang keberhasilan memapankan parasitoid introduksi di kawasan beriklim marginal, sebuah proyek dibangun di daerah gurun sebelah barat daya negara tersebut dengan menerapkan tiga strategi dalam mengintroduksi parasitoid untuk mengendalikan Bemisia tabaci biotipe B (Roltsch et al. 2008). Daerah tersebut kondisi iklimnya sangat buruk dan keberadaan tanaman inang juga terbatas, namun mobilitas hama sangat tinggi. Tiga strategi yang dilakukan yaitu: 1) melepas secara berkala parasitoid eksotis dalam jumlah besar setiap musim tanam, 2) membuat area mengungsi (refugee) untuk B. tabaci ketika populasi inang rendah, untuk jangka pendek (sementara) maupun permanen, dengan menanam berbagai jenis tanaman tahunan, 3) memelihara parasitoid yang dilepas pada vegetasi yang ditanam di kebun maupun pekarangan rumah di perkotaan. Dengan menerapkan strategi tersebut, dalam selang waktu 3 tahun (1997−2000), dua jenis spesies parasitoid yang diintroduksi, Eretmocerus emiratus dan Eret. sp. nr. emiratus, berhasil mengendalikan Bemisia dengan tingkat parasitisasi lebih dari 50%. Begitu pula, Encarsia sophia asal Pakistan berhasil mapan sejak dilepas pada tahun 1997 (Roltsch et al. 2008). Strategi ini dapat ditiru untuk memperbesar peluang keberhasilan introduksi parasitoid A. papayae dan A. loecki di Indonesia.

Kemampuan Menemukan Inang (Hama Target) Kemampuan menemukan inang merupakan karakter penting yang harus dimiliki 92

parasitoid. Parasitoid umumnya memiliki kemampuan mengeksploitasi senyawa kimia tertentu yang dikeluarkan tanaman sehingga dapat menemukan inangnya secara akurat (Henneman 2008). Parasitoid juga memiliki kemampuan mempelajari ‘bau’ tertentu yang dapat meningkatkan aktivitas pencarian inang (foraging activity). Pada Trichogramma spp., parasitoid telur Etiella zinckenella, agar efektif mengendalikan hama tersebut, pelepasan parasitoid dilakukan setelah ditemukan telur inang (hama) atau populasi telur inang (hama) tinggi, yaitu pada saat tanaman berumur 45 hari dan diulang tiga kali dengan interval 7 hari (Marwoto et al. 1997; Marwoto 2001). Beberapa jenis tanaman diketahui mengeluarkan senyawa kimia tertentu saat terluka akibat aktivitas makan suatu hama. Hal ini menimbulkan adanya sugesti bahwa penurunan aktivitas makan hama akan menguntungkan tanaman. Tanaman memproduksi senyawa bau tertentu yang dapat dengan mudah dieksploitasi musuh alami hama , atau dengan kata lain, tanaman yang terserang hama akan ‘memanggil’ parasitoid untuk datang dan menyerang hama inangnya (Henneman 2008). Parasitoid akan lebih responsif dan akurat dalam menemukan inangnya jika inang tersebut berasosiasi dengan bau yang telah dikenal oleh parasitoid sebelum inang tersebut datang. Parasitoid juga memiliki orientasi dan preferensi terhadap warna tertentu serta pola kerusakan/gejala tanaman yang berasosiasi dengan hama inangnya (Henneman 2008).

Kemampuan Beradaptasi pada Tanaman Inang Lain Parasitoid yang efektif menyerang hama spesies tanaman tertentu, belum tentu efektif jika digunakan untuk memarasit spesies hama yang sama pada tanaman inang yang berbeda. Sebagai faktor biotik, karakteristik tanaman yang berbeda dalam hal komposisi kimia, tekstur daun, tingkat kematangan, dan arsitektur dapat memengaruhi kemampuan parasitoid untuk menyerang hama (Van Driesche et al. 2008). Kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap tanaman inang akan meningkatkan efektivitas parasitoid, apalagi bila hama yang dikendalikan bersifat polifag atau memiliki kisaran tanaman inang yang luas. Kemampuan Sitona discoideus untuk mapan dan bereproduksi pada

tanaman inang selain Lucerne (tanaman inang utama) di Kepulauan Norfolk, diikuti oleh kemampuan Mieroctonus aethiopoides (parasitoidnya) untuk bertahan dan berkembang pada hama tersebut pada pengujian di laboratorium, di mana S. discoideus dipelihara dengan pakan tanaman sejenis legum, famili fabaceae (Barratt et al. 2005). Hal ini mengindikasikan bahwa M. aethiopoides memiliki adaptasi yang tinggi terhadap tanaman inang hamanya. P. marginatus dikenal sangat polifag dengan lebih dari 60 jenis tanaman inang. Tiga kandidat parasitoid yang akan diintroduksi ke Indonesia (A. papayae, A. loecki, dan P. mexicana), perlu terlebih dahulu dikaji kemampuannya untuk bertahan hidup dan bereproduksi pada hama yang dipelihara pada berbagai jenis tanaman inang. Introduksi parasitoid di Republik Palau menggunakan tanaman Plumeria sp. (famili Apocynae) sebagai inang bagi P. marginatus untuk memantau kepadatan populasi hama tersebut serta parasitoidnya (Rich 2010). Tanaman pepaya dianggap terlalu rapuh dan mudah mati akibat infestasi berat P. marginatus sehingga tidak dipilih sebagai media perbanyakan. Sementara Plumeria sp. memiliki karakter fisik yang lebih kuat dan cukup tahan terhadap hama ini. Dari hasil penelitian, parasitoid yang diintroduksi melalui media Plumeria spp. sebagai inang P. marginatus, berhasil memapankan A. papayae dan A. loecki di negara tersebut. Ini juga mengindikasikan kedua spesies parasitoid tersebut cukup adaptif terhadap tanaman inang selain pepaya. Demikian pula introduksi parasitoid di Republik Guam. Media tanaman inang yang digunakan adalah Plumeria spp. dan Hibiscus spp. dan parasitoid A. papayae dan A.loecki efektif menemukan populasi kutu putih. Dengan demikian kedua spesies parasitoid tersebut cukup prospektif untuk diintroduksi dengan media inang selain pepaya, meskipun di Indonesia, P. marginatus lebih menyukai tanaman pepaya. Namun demikian, hal ini adalah positif karena dari segi vegetasi tidak terdapat kendala bagi introduksi parasitoid hama tersebut.

Kemampuan Bertahan Hidup terhadap Musuh Alami Lokal Salah satu risiko introduksi parasitoid di lokasi baru adalah serangan dari organisJurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


me/musuh alami lokal (Van Driesche et al. 2008), baik berupa hiperparasitoid, predator (khususnya terhadap imago parasitoid), maupun mikroba entomopatogen (virus, bakteri atau fungi). Serangan oleh musuh alami lokal berpengaruh terhadap keberhasilan introduksi parasitoid di lapangan. Kokon C. rubecula, parasitoid dari famili Braconidae untuk mengendalikan ulat kubis Pieris rapae (L.) di Virginia (AS) diserang sejenis hiperparasitoid ketika dilepas di lapangan sehingga introduksi parasitoid tersebut secara permanen mengalami kegagalan (McDonald dan Kok 1992). Dalam tataran parasitisasi, parasitoid dikelompokkan menjadi parasitoid primer, parasitoid sekunder, dan hiperparasitoid. Parasitoid primer adalah parasitoid yang tidak menyerang parasitoid lain, sedangkan hiperparasitoid adalah parasitoid yang hidup berkembang pada parasitoid lain. Hiperparasitoid dapat bersifat obligat atau fakultatif. Umumnya hiperparasitoid menyerang parasitoid primer, dan hiperparasitoid tersebut disebut parasitoid sekunder. Hiperparasitoid tersier atau kuarter dapat terjadi secara fakultatif (Capinera 2008). Kegagalan P. mexicana untuk tetap ada di Miami-Florida (Amarasekare et al. 2009) kemungkinan disebabkan serangan hiperparasit lokal. Terkait dengan introduksi parasitoid untuk mengendalikan P. marginatus pada pepaya di Indonesia, belum terdapat studi yang melaporkan adanya spesies hiperparasitoid lokal yang menyerang A. papayae, A. loecki maupun P. mexicana. Namun, introduksi parasitoid di Palau mendapat serangan hiperparasitoid dengan tingkat parasitisasi rendah, yaitu dari spesies Eunotus sp. (Hymenoptera: Pteromalidae) 0,40% dan Procheiloneurus dactylopii (Hymenoptera: Encyrtidae) 0,80% (Rich 2010). A. papayae dan A. loecki yang dapat bertahan hidup dan ‘mapan’ di lokasi introduksi disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, kemampuan bertahan hidup kedua jenis parasitoid tersebut terhadap musuh alami lokal cukup tinggi, atau tingkat parasitisasi yang rendah sehingga agens hayati tersebut dapat melepaskan diri dari serangan.

Kemampuan Bertahan Hidup pada Inang Alternatif Keberhasilan introduksi parasitoid juga ditentukan oleh kemampuannya mengJurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

kolonisasi inang alternatif jika pada lingkungan introduksi tidak ditemukan inang target (inang primer), atau secara fisik tidak memenuhi komponen biologis bagi kelangsungan hidup parasitoid. Pada parasitoid telur walang sangit, augmentasi (penambahan populasi musuh alami ke lapangan) terhadap Ooencyrtus malayensis dapat dilakukan karena telah ditemukan inang alternatif yaitu telur Riptortus linearis L. (Kartosuwondo 2001). Adanya inang alternatif juga akan mempermudah produksi parasitoid di laboratorium. Produksi O. malayensis dengan inang alternatif R. linearis cukup ekonomis, yakni dengan membiakkan induknya di laboratorium menggunakan kacang panjang sebagai pakan (Kartosuwondo 2001). Umumnya, parasitoid spesifik untuk inang tertentu. Oleh karena itu, ketahanan hidup parasitoid pada inang alternatif perlu diteliti. Ketahanan hidup agens hayati di lapangan pada inang sekunder sedapat mungkin tidak mengeksploitasi serangga nontarget sebagai inang sekunder saat parasitoid tidak mampu menemukan inang primer.

PERSYARATAN PELEPASAN AGENS INTRODUKSI Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelepasan agens hayati yaitu parasitoid dalam kondisi sehat, bebas dari infeksi patogen, cukup mendapat pakan, telah kawin (untuk imago) serta mewakili karakteristik genetik yang luas dari populasi aslinya (Van Driesche et al. 2008). Pemeliharaan/perbanyakan parasitoid dilakukan pada stadium hama target yang disukai parasitoid untuk menghindari dihasilkannya keturunan yang kerdil serta memiliki fekunditas dan lama hidup yang rendah. Sebelum pelepasan, perlu pula diketahui sensitivitas musuh alami terhadap hama target. Penurunan kualitas genetis (erosi genetis) dapat terjadi pada agens yang dikultur terlalu lama, sampai beberapa generasi. Hal tersebut biasanya terdeteksi pada uji sensitivitas terhadap hama target (Center et al. 2006). Untuk mempertahankan keragaman genetik musuh alami, pelepasan sebaiknya dilakukan dalam area yang cukup luas dan sedapat mungkin menyerupai kondisi lingkungan aslinya sehingga agens hayati dapat menyebar, menemukan pasangan dan inangnya (Hopper dan Roush 1993).

Seleksi genetik dapat dilakukan kembali setelah parasitoid mapan, untuk memperoleh populasi baru sebagai dasar dalam pengembangan parasitoid berikutnya. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelepasan parasitoid diuraikan berikut ini.

Jumlah dan Frekuensi Pelepasan Jumlah parasitoid yang efektif untuk mengendalikan hama berbeda untuk setiap spesies parasitoid dan hama yang dikendalikan (Marwoto 2010). Berdasarkan hasil penelitian, jumlah parasitoid telur T. bactrae-bactrae yang efektif mengendalikan hama penggerek polong kedelai Etiella spp. adalah 250.000 ekor/ha/ aplikasi, tiga kali aplikasi dengan interval satu minggu (Marwoto 2001; 2010). Menurut Pabbage dan Tandiabang (2007), agar efisien, sebelum pelepasan parasitoid T. evanescens di lapangan untuk mengendalikan penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis), perlu dilakukan pendugaan populasi telur penggerek batang jagung melalui pengamatan sehingga jumlah parasitoid yang dilepas tidak berlebihan. Jumlah parasitoid yang dilepas juga perlu memperhitungkan luas lokasi serta spesifikasi agens hayati itu sendiri. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian awal untuk mengetahui jumlah minimal parasitoid yang efektif mengendalikan hama. Van Driesche et al. (2008) memberi patokan, bila tidak ada informasi mengenai jumlah parasitoid yang perlu dilepas dapat digunakan jumlah sekitar ratusan ekor per 100 m2.

Media Pelepasan Media diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan introduksi parasitoid di lapangan. Pelepasan parasitoid ditentukan oleh tipe parasitoid, antara lain sebagai parasitoid telur, parasitoid larva atau parasitoid imago. Pelepasan parasitoid hasil pemeliharaan di laboratorium, akan lebih baik jika dilakukan dengan menyertakan hama yang telah terparasitisasi, misalnya berupa larva, telur atau imago. Mengoleksi hama terparasit parasitoid di lapangan untuk kemudian didistribusikan di lokasi lain yang mengalami permasalahan hama yang sama juga dapat dilakukan. Selain itu, parasitoid juga dapat 93


dilepas dalam bentuk koloni pada tanaman inang yang terdapat hama yang terparasit. Pelepasan parasitoid tipe ini memiliki keuntungan, yaitu parasitoid dapat muncul kapan saja sehingga sumber inokulasi tersedia secara kontinu di lingkungan tersebut. Parasitoid yang dilepas dapat ditempatkan dalam suatu wadah berupa kotak kardus kecil atau botol plastik bekas yang diberi lubang untuk keluar masuk parasitoid.

Manajemen Lokasi Setelah Pelepasan

Adaptasi Agens Introduksi Sebelum Pelepasan

DAMPAK TERHADAP ORGANISME NONTARGET

Adaptasi serangga pada lingkungannya akan meningkatkan respons serangga terhadap lingkungan. Demikian pula pada parasitoid, dengan memberikan kesempatan untuk mengenal hama target sebelum dilepas akan meningkatkan keberhasilan parasitoid untuk memarasit hama inangnya di lokasi baru. Untuk parasitoid yang diperbanyak dengan media inang alternatif (bukan hama target), pengadaptasian terhadap hama target dapat dilakukan sebelum pelepasan dalam skala laboratorium (Van Driesche et al. 2008). Beberapa spesies parasitoid memiliki strategi tertentu dalam mengeksploitasi hama yang menjadi inangnya, seperti O. nezarae Ishii, spesies parasitoid telur kumbang kedelai. Menurut Takasu et al. (2004), parasitoid ini memiliki kemampuan yang baik dalam mengkolonisasi Riptortus clavatus pada pertanaman kedelai. Dengan karakter demikian, adaptasi dengan hama inangnya akan relatif lebih mudah dan cepat, serta persentase keberhasilan parasitisasinya juga akan lebih tinggi.

Introduksi musuh alami eksotis maupun pelepasannya secara massal berpotensi menimbulkan efek negatif terhadap organisme nontarget. Kemungkinan terjadi atau tidaknya dampak negatif tersebut ditentukan oleh kisaran inang musuh alami serta keberadaan spesies yang termasuk kisaran inang musuh alami tetapi bukan menjadi target musuh alami tersebut. Salah satu kelebihan pengendalian hayati dibanding pengendalian lainnya adalah sangat mengutamakan keamanan. Dalam program pengendalian hayati, pertimbangan utamanya adalah menggunakan agens yang tidak menyerang organisme nontarget. Sebagai agens hayati, parasitoid memiliki kespesifikan lebih tinggi dibanding predator. Meskipun demikian, sebagai langkah antisipasi, sebelum maupun sesudah pelepasan parasitoid, perlu dilakukan evaluasi untuk mengukur pengaruh yang ditimbulkan musuh alami tersebut. Metode untuk memprediksi dampak negatif pelepasan musuh alami terhadap organisme nontarget antara lain adalah melalui evaluasi faktor-faktor yang terkait dalam penetapan kisaran inang, baik berdasarkan informasi dari literatur, museum, observasi lapangan di area asal maupun observasi faktor fisiologi, perilaku, dan ekologi (Bigler et al. 2006). Mc Clay dan Balciunas (2005) menyarankan untuk melakukan pengujian efikasi pralepas (pre-release efficacy assessment, PREA) dalam proses seleksi agens hayati. Meskipun diadopsi dari teknik pengendalian gulma, PREA memiliki prinsip yang sama dan dapat diterapkan dalam pengendalian serangga hama. Dampak suatu agens hayati dapat ditetapkan berdasarkan formula sebagai berikut:

Kondisi Lingkungan untuk Pelepasan Selama transportasi menuju lokasi pelepasan, musuh alami ditempatkan dalam wadah yang terlindung dari panas matahari, tersedia air dan makanan yang cukup serta kondisi cuaca mendukung. Pelepasan parasitoid sedapat mungkin dilakukan pada pagi atau sore hari untuk menghindari suhu yang ekstrem. Menurut Marwoto (2010), pelepasan parasitoid Trichogramma spp. yang efektif adalah pada pagi hari saat cuaca cerah, dengan suhu 25−30°C. Pelepasan parasitoid pada saat cuaca buruk (turun hujan atau badai) perlu dihindari. 94

Introduksi parasitoid di suatu lokasi memerlukan pengaturan yang tepat untuk meminimalkan gangguan. Misalnya, lokasi bebas dari aplikasi pestisida, atau membatasi akses masyarakat umum ke lokasi untuk meminimalkan gangguan ataupun kerusakan, seperti kebakaran.

Impact = range x abundance x percapita impact (Mc Clay dan Balciunas 2005).

Range merupakan hasil estimasi dari beberapa faktor, seperti batas iklim, ketahanan hidup dan penyebaran, kisaran geografis, masa istirahat dan kebutuhan untuk aestivasi, serta kesesuaian iklim. Abundance (kelimpahan populasi) ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain voltinisme, fekunditas, kesesuaian inang, dan kemampuan hidup. Efek per kapita dapat diestimasi dari studi kisaran lapang di daerah asal, manipulasi penelitian, dan kurva kerusakan akibat suatu agens hayati. Pengendalian hayati hama kutu putih pepaya dengan parasitoid yang dilakukan di luar negeri belum menemukan adanya efek negatif dari penerapan pengendalian tersebut.

PROSPEK INTRODUKSI DI INDONESIA Berdasarkan faktor iklim, sifat agens hayati yang diintroduksi, dan dampak terhadap organisme nontarget, introduksi parasitoid berpeluang dilakukan di Indonesia (Tabel 3). Belajar dari keberhasilan negaranegara lain, kerja sama dapat dilakukan untuk merealisasikan upaya pengendalian dengan agens hayati introduksi. Satu pilar penting yang mendukung introduksi adalah sinergisme pengendalian hayati dengan PHT agar keberlanjutannya dapat dipertahankan. Salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan adalah biaya untuk mendapat agens hayati introduksi. Menurut informasi, Meksiko menawarkan parasitoid untuk musuh alami P. marginatus secara cuma-cuma. Perlu pula dilakukan analisis biaya perbanyakan di laboratorium, serta studi yang terkait dengan introduksi tersebut. Jika dilihat dari segi keberlanjutan, pengendalian menggunakan musuh alami (parasitoid) cukup murah karena efeknya terhadap populasi hama akan berlanjut tanpa batas waktu, kecuali bila terjadi bencana alam atau kerusakan lingkungan yang fatal. Biaya hanya diperlukan pada inisiasi awal, yaitu untuk kegiatan koleksi, impor musuh alami, dan perbanyakan. Ketika musuh alami telah mapan, biaya pemeliharaan relatif tidak diperlukan karena musuh alami dapat berkembang sendiri. Kelemahan pemanfaatan parasitoid sebagai pengendali hama menurut Marwoto (2010) adalah: 1) kemampuan mencari inang dipengaruhi oleh cuaca dan faktor lain, 2) hanya parasitoid betina yang aktif Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


Tabel 3. Prospek introduksi parasitoid ditinjau dari aspek iklim, cekaman biotik, karakter agens, dampak terhadap organisme nontarget, dan biaya. Aspek yang menjadi pertimbangan dalam introduksi parasitoid

Solusi

Iklim/cekaman abiotik

Iklim merupakan faktor pembatas utama yang dapat diatasi dengan mengadaptasikan parasitoid introduksi selama beberapa waktu

Cekaman biotik Tekanan dari musuh alami lokal (jika ada) Ketersediaan inang (hama target) Keberadaan tanaman inang

Relatif tidak terdapat kendala bagi parasitoid Paracoccus marginatus

Karakteristik parasitoid Daya mencari inang Daya adaptasi dengan inang alternatif Daya adaptasi dengan tanaman inang alternatif Daya tahan terhadap musuh alami lokal

Studi karakter parasitoid untuk seleksi kandidat melalui studi literatur dan penelitian aspek biologi secara komprehensif; jika parasitoid diperoleh melalui impor maka akan mempersingkat tahapan ini

Dampak terhadap organisme nontarget

Parasitoid sebagai musuh alami memiliki tingkat keamanan cukup tinggi karena umumnya spesifik untuk hama/inang tertentu

Biaya

Relatif murah, efek pengendalian bersifat jangka panjang (Hoffman dan Frodsham 1993). Biaya diperlukan saat inisiasi, penelitian, survei/ koleksi, perbanyakan massal, transportasi, dan untuk bea impor

mencari inang, dan 3) parasitoid yang mempunyai daya cari tinggi memiliki jumlah telur sedikit. Menurut Hoffmann dan Frodsham (1993), kelemahan pengendalian dengan musuh alami adalah sulitnya mengukur efektivitas, bahkan ada yang tidak bekerja sama sekali. Selain itu, biasanya hanya efektif terhadap hama eksotis dan tidak efektif terhadap hama lokal. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu dilakukan seleksi terhadap parasitoid yang akan digunakan sehingga perlu dipilih parasitoid yang benar-benar telah teruji efektivitasnya di lapangan. Terkait dengan rencana introduksi parasitoid untuk mengendalikan hama kutu putih pepaya, langkah konkret yang perlu segera dilakukan (jika memungkinkan dalam 2−3 tahun) adalah melakukan studi pendahuluan (identifikasi dan studi literatur), menyusun proposal, melaksanakan survei dan eksplorasi, penelitian aspek biologi dan seleksi kandidat parasitoid, karantina dan seleksi sebelum pelepasan, memfasilitasi infrastruktur dan sumber daya manusia untuk produksi parasitoid secara massal, pelepasan

parasitoid dengan berbagai strategi (inokulasi, inundasi atau augmentasi), evaluasi terhadap efektivitas parasitoid (persentase parasitisasi) dan dampak terhadap ekosistem setelah pelepasan, serta mendokumentasi seluruh kegiatan pengendalian (Coupland dan Baker 2007).

KESIMPULAN P. marginatus atau kutu putih merupakan hama penting pada tanaman pepaya. Upaya pengendalian yang telah dilakukan terhadap hama eksotis ini belum mampu secara efektif menekan populasi hama di lapangan. Pengendalian hayati merupakan alternatif terbaik bagi pengendalian hama, antara lain dengan memanfaatkan musuh alami. Keterbatasan pengkajian maupun penelitian terhadap musuh alami lokal Indonesia mengisyaratkan perlunya kegiatan survei dan eksplorasi musuh alami untuk pengendalian jangka panjang.

Dalam jangka pendek, pengendalian hayati melalui introduksi musuh alami seperti parasitoid dapat menjadi alternatif pemecahan masalah hama kutu putih. Keberhasilan introduksi parasitoid sebagai musuh alami ditentukan oleh kemampuan beradaptasi terhadap iklim dan tanaman inang, menahan serangan musuh alami lokal, dan menemukan inang alternatif di lokasi introduksi. Selain itu, juga ditentukan oleh ketepatan teknik pelepasan, seperti jumlah parasitoid yang dilepas, penggunaan media untuk pelepasan, praadaptasi terhadap hama target sebelum dilepas, proteksi saat distribusi, dan pelaksanaan pelepasan. Introduksi parasitoid untuk mengendalikan hama kutu putih pepaya cukup layak (prospektif) karena hama menyebabkan kerugian yang besar bagi petani. Selain itu, belum ada alternatif pengendalian yang efektif, serta belum terdapat musuh alami lokal yang dapat dikembangkan untuk pengendalian hayati dalam kurun waktu 5−10 tahun untuk menekan populasi hama tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Amarasekare, K.G., C.M. Mannion, and L.S. Osborne. 2008. Life history of Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) on Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

four host plant spesies under laboratory condition. J. Environ. Entomol. 37(3): 630− 635.

Amarasekare, K.G., C.M. Mannion, and Nancy D. Epsky. 2009. Efficiency and establishment of three introduced parasitoids of the

95


mealybugs Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae). USDA Agricultural Research Service, Lincoln, Nebraska. Anonymous. 2010a. Climate of Indonesia. 2010. http://en.wikipedia.org/wiki/Climate_ of_Indonesia. [3 September 2010] Anonymous. 2010b. Climate of Mexico. 2010. http://en.wikipedia.org/wiki/Climate_ of_Mexico#Climate [3 September 2010]. Anonymous. 2002. Integrated pests management, entomology, plant pathology, and soil science. Biological control. http://eppserver. ag.utk.edu/courses/Epp530/BioCont.html. [7 September 2010]. Barratt, B.I.P., R.G. Oberprieler, C.M. Ferguson, and S. Hardwick. 2005. Parasitism of the lucerne pest Sitona discoideus Gyllenhal (Coleoptera: Curculionidae) and non-target weevils by Microctonus aethiopoides Loan (Hymenoptera: Braconidae) in south-eastern Australia, with an assessment of the taxonomic affinities of non-target hosts of M. aethiopoides recorded from Australia and New Zealand. Aust. J. Entomol. 44: 192− 200. Bigler, F., D. Babendreire, and U. Kuhlmann. 2006. Environmental Impact of Invertebrates for Biological Control of Arthropods. CABI Publ., Wellington. 316 pp. BIREA (Biocontrol Information Resource for Erma New Zealand Applicant). 2010. Selecting biological control agent. BIREA. http:/ / w w w. b 3 n z . o r g / b i r e a / i n d e x . p h p ? page=selecting_success_definition. [7 September 2010]. Buchori, D., A. Meilin, P. Hidayat, and B. Sahari. 2010. Species distribution of Trichogramma and Trichogrammatoidea genus (Trichogrammatoidea: Hymenoptera) in Java. J. ISSAAS 16(1): 83−96. CABI. 2005. Crop Protection Compendium. CAB International, Wallingford. Capinera, J.L. 2008. Encyclopedia of Entomology. 2 nd Ed. Springer, German. 4411 pp. Center, T.D., P.D. Pratt, and P.W. Tipping. 2006. Field colonization, population growth, and dispersal of Boreioglycaspis melaleucae Moore, a biological control agent of the invasive tree Melaleuca quinquenervia (Cav.) Blake. Biol. Control 39: 363–374.

indonesia&meta=&aq=o&aqi=&aql=&oq= &gs_rfai. [19 Agustus 2010].

e d u / p s a p u b l i s h i n g / PA G E S / . . . / 4HMan136.pdf. [20 Oktober 2010].

Ditjen Hortikultura. 2008. Waspada Serangan Kutu Putih pada Pepaya. Direktorat Jenderal Hortikultura, Jakarta. http://www.hortikultura. go.id/index.php?option=com_content& task=view&id=200&Itemid=138. [30 Agustus 2010].

Marwoto. 2001. Potensi dan peluang parasitoid Trichogramma untuk menekan populasi hama pada tanaman kedelai. Prosiding Seminar Nasional Kinerja Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Flanders, K.L. and E.B. Radcliffe. 1999. Alfalfa IPM. In E.B. Radcliffe and W.D. Hutchison (Eds.). Radcliffe’s IPM World Textbook. University of Minnesota, St. Paul, MN. http:/ /ipmworld.umn.edu. Friamsa, N. 2009. Biologi dan Statistik Demografi Kutu Putih Pepaya Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) pada Tanaman Pepaya (Carica papaya L.). Skripsi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 56 hlm. Greathead, D.J. 1986. Parasitoids in classical biological control. In J. Waage and D. Greathead (Eds.). Insect Parasitoids. Academic Press, Orlando, FL. p. 289–318. Henneman, M.L. 2008. Host Location in Parasitic Wasps. p. 1926. In Capinera (Ed). Encyclopedia of Entomology. 2nd Ed. Springer, Germany. 4411 pp. Herlinda, S. 1995. Kajian Trichogrammatoidea bactrae-bactrae Nagaraja (Hymenoptera: Trichogrammatidae), Parasitoid Telur Etiella zinckenella Treitschke. (Lepidoptera: Pyralidae). Tesis, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Heu, R.A., M.T. Fukada, and P. Conant. 2007. Papaya Mealybug Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae). State of Hawaii New Pest Advisory Department of Agriculture. No. 04−03. Hoffmann, M.P. and A.C. Frodsham. 1993. Natural Enemies of Vegetable Insect Pests. Cooperative Extension, Cornell Univ., Ithaca, NY. 63 pp. Hopper, K.R. and R.T. Roush. 1993. Mate finding, dispersal number released, and the success of biological control introductions. Ecol. Entomol. 18: 321–331. Kartosuwondo, U. 2001. Augmentasi parasitoid telur walang sangit pada pertanaman padi. Hayati 8(3): 76−80.

Coupland, J. and G. Baker. 2007. Classical biological control. In C. Vincent, M.S. Goettel, and J. Lazarovits (Eds). Biological Control, A Global Perspective. CAB International, Wallingford.

Kingsley, P.C., M.D. Bryan, W.H. Day, T.L. Burger, R.J. Dysart, and C.P. Schwalbe. 1993. Alfalfa weevil (Coleoptera: Curculionidae) biological control: spreading the benefits. Environ. Entomol. 22: 1234–1250.

Dadang, D. Sartiami, R. Anwar, dan I.S. Harahap. 2008. Kajian teknis permasalahan hama baru Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) pada tanaman pepaya di Jawa Barat. Laporan Akhir. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Kogan, M. and S.G. Turnipseed. 1987. Ecology and management of soybean arthropods. Ann. Rev. Entomol. 32: 507–538.

Deffan, P. 2010. Invasi kutu dari Meksiko. Koran Tempo. http://www.google.co.id/search? hl=id&source=hp&q=paracoccus+in+

96

Manley, D.G., E.C. Murdock, J. Thompson, W.R. James, D.R. King, and R.W. Miller. 2001. Biological Control of Pest4-HIPM Project4Hmanual 136 For Grade Levels 9−12 IPM Level F. Clemson extension. www.clemson.

Marwoto. 2010. Prospek parasitoid Trichogrammatoidea bactrae-bactrae Nagaraja (Hymenoptera) sebagai agens hayati pengendali hama penggerek polong kedelai Etiella spp. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(4): 274−288. Marwoto, Supriyatin, dan T. Djuwarso. 1997. Prospek pengendalian hama penggerek polong kedelai (Etiella spp.) dengan parasitoid Trichogrammatoidea bactrae-bactrae. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 16(3): 71−76. Marwoto dan Supriyatin. 2000. Daya sebar dan efikasi parasitoid T. bactrae-bactrae dalam mengendalikan hama penggerek polong kedelai. Penelitian Pertanian 19(1): 15. Marwoto dan N. Saleh. 2003. Peningkatan peran parasitoid telur Trichogrammatoidea bactrae-bactrae dalam pengendalian penggerek polong kedelai Etiella spp. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 22(4): 141− 149. McClay, A.S. and J.K. Balciunas. 2005. The role of pre-release efficacy assessment in selecting classical biological control agents for weeds-applying the Anna Karenina principle. Biol. Control 35: 197−207. McDonald, R.C. and L.T. Kok. 1992. Colonization and hyperparasitism of Cotesia rubecula (Hymenoptera: Braconidae), a newly introduced parasite of Pieris rapae in Virginia. Entomophaga 37: 223–228. Meilin, A., P. Hidayat, D. Buchori, dan U. Kartosuwondo. 2000. Parasitoid telur pada hama kubis Plutella xylostella (L) (Iponomeutidae). Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 12(1): 21−26. Meyerdirk, D.E., R. Muniappan, R. Warkentin, J. Bamba, and G.V.P. Reddy. 2004. Biological control of the papaya mealybug, Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) in Guam. Plant Protect. Quarterly 19(3): 110− 114. Muniappan, R., D.E. Meyerdirk, F.M. Sengabau, D.D. Berringer, and G.V.P. Reddy. 2006. Classical biological control of the papaya mealybug, Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) in The Republic of Palau. Florida Entomol. 89(2): 212−217. Muniappan, R. 2009. Invasion of Papaya Mealybug in Asia. IPM CRSP, OIRED, Virginia Tech. Nurindah. 2000. Teknik perbanyakan massal parasitoid telur Trichogrammatidae. Work-

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


shop on Development and Utilization of Parasitoids. Pusat Kajian PHTIPB. hlm. 1− 16. Nurindah, G. Gordh, and B.W. Cribb. 1997. Oviposition behavior and reproductive performance of Trichogramma australicum Girault (Hymenoptera: Trichogrammatidae) reared in artificial diet. Aust. J. Entomol. 36: 87−93. Pabbage, M.S. dan J. Tandiabang. 2007. Parasitasi Trichogramma evanescens Westwood (Hymenoptera: Trichogrammatidae) pada berbagai tingkat populasi dan generasi biakan parasitoid terhadap telur penggerek batang jagung Ostrinia furnacalis Guenée. Agritrop 26(1): 41−50. Radcliffe, E.B. and K.L. Flanders. 1998. Biological control of alfalfa weevil in North America. Integr. Pest Mgmt. Rev. (3): 225– 242.

natural enemies. In J. Gould (Ed), Classical Biological Control of Bemisia tabaci in the United States. 243©Springer Science + Business Media B.V. Sartiami, D., Dadang, R. Anwar, dan I.S. Harahap. 2009a. Persebaran hama baru Paracoccus marginatus di Provinsi Jawa Barat (Abstrak). Dalam Buku Panduan Seminar Nasional Perlindungan Tanaman, Bogor. Sartiami, D., Pudjianto, dan D. Buchori. 2009b. Penguatan musuh alami lokal hama pendatang baru kutu putih pepaya (Paracoccus marginatus). Laporan Akhir. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steffey, K.L., E.J. Armbrust, and D.W. Onstad, 1994. Management of insects in alfalfa. pp. 469–506. In R.L. Metcalf and W.H. Luckmann (Eds.). Introduction to Insect Pest Management, 3rd Ed. Wiley, New York,

Rich, M. 2010. IPM CRSP Success Story: Invasive papaya pest discovered by IPM CRSP in Asia.

Sutherst, R.W., G.F. Maywald, W. Bottomley, and A. Bourne. 2004. CLIMEX v2 – User’s Guide. Hearne Scientific Software, Melbourne.

Roltsch, W.J., C.H. Pickett, G.S. Simmons, and Kim A. Hoelmer. 2008. Habitat management for the establishment of bemisia

Takasu, K., S.I. Takano, N. Mizutani, and T. Wada. 2004. Flight orientation behavior of Ooencyrtus nezarae (Hymenoptera: Encyr-

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

tidae), an egg parasitoid of phytophagous bugs in soybean. Entomol. Sci. 7(3): 201− 206. Van Driesche, R., T. Center, and M. Hoddle. 2008. Control of Pests and Weeds by Natural Enemies: An introduction to biological control. Blackwell Publishing, UK. Van Lenteren, J.C. and M.G. Tommasini. 2003. Mass production, storage, shipment and release of natural enemies. In J.C. Van Lenteren (Ed). Quality Control and Production of Biological Control Agents. CABI Publ., Wellington. Vincent, C., M.S. Goettel, and G. Lazarovits. 2007. Biological Control, a global perspective. CAB International, Wallingford. 467 pp. Walker, A., M. Hoy, and D.E. Meyerdirk. 2003. Papaya mealybug Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink (Insecta: Hemiptera: Pseudococcidae). Featured creatures. Entomology and Nematology Department, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida, Grainesville, FL.

97


PENGGUNAAN LAHAN KERING DI DAS LIMBOTO PROVINSI GORONTALO UNTUK PERTANIAN BERKELANJUTAN Nurdin Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Jalan Jenderal Sudirman No. 6, Kota Gorontalo 96122 Telp. (0435) 821125, Faks. (0435) 821752, E-mail: ung@ung.ac.id Diajukan: 23 Maret 2010; Diterima: 17 Februari 2011

ABSTRAK Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang berpotensi besar untuk usaha pertanian. Daerah aliran sungai (DAS) Limboto mempunyai lahan kering yang sesuai untuk pengembangan pertanian seluas 37.049 ha, sedangkan lahan datar sampai bergelombang yang potensial untuk pertanian 33.144 ha. Untuk memanfaatkan lahan kering tersebut, dapat diterapkan beberapa strategi dan teknologi yang meliputi: 1) pengelolaan sistem budi daya, yang mencakup pengelompokan tanaman dalam suatu bentang lahan mengikuti kebutuhan air yang sama, penentuan pola tanam yang tepat, pemberian mulsa dan bahan organik, pembuatan pemecah angin, dan penerapan sistem agroforestry, 2) pengembangan ekonomi, sosial, dan budaya melalui penyuluhan, penyediaan sarana dan prasarana produksi serta permodalan petani, pemberdayaan kelembagaan petani dan penyuluh, serta penerapan sistem agribisnis, dan 3) implementasi kebijakan yang berpihak kepada pertanian, yang meliputi pemberian subsidi kepada petani di daerah hulu untuk melaksanakan konservasi lahan, pemberian subsidi pajak kepada petani di daerah hulu, penetapan peraturan daerah yang berkaitan dengan pengelolaan lahan berbasis konservasi, dan pengelolaan lahan dengan sistem hak guna usaha (HGU). Hal lain yang terpenting dalam pemanfaatan lahan kering adalah sinkronisasi dan koordinasi antarinstitusi pemerintah dengan melibatkan petani untuk menghindari tumpang tindih kepentingan. Kata kunci: Lahan kering, penggunaan lahan, pertanian berkelanjutan, daerah aliran sungai, Limboto, Gorontalo

ABSTRACT The use of upland in Limboto watershed of Gorontalo Province for agriculture sustainability Upland agroecosystem has a great potential for agricultural development. Limboto watershed has an upland area that suitable for agricultural development of 37,049 ha. Meanwhile, flat to undulating land that is potential for agriculture is 33,144 ha. In utilizing the land resource, some strategies and technologies for upland management can be implemented, which include: 1) upland farming management, including plant grouping in a landscape following water need, determination of appropriate cropping patterns, and application of mulch, organic matter, wind breaker, and agroforestry, 2) development of economic, social and cultural aspects through extension, provision of production facilities, infrastructure, and capital for farmers, empowerment of farmers' institutions and extensions, and implementation of agribusiness system, and 3) implementation of a pro-agriculture policies, which include provision of subsidies to farmers in upstream areas for land conservation, granting tax subsidy to farmers, filling regulations based on land conservation, and land management based on land rights system. Another most important thing in utilizing upland is syncronization and coordination between government institutions by involving farmers to avoid interest overlapping. Keywords: Upland, land use efficiency, sustainable agriculture, watershed, Limboto, Gorontalo

L

ahan merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak terbaharui (unrenewable). Hampir semua sektor pembangunan fisik membutuhkan lahan (Sitorus 1998). Notohadinegoro (2000) menjelaskan, lahan kering adalah lahan yang berada di suatu wilayah yang berkedudukan lebih tinggi yang diusahakan

98

tanpa penggenangan air. Selanjutnya, Rukmana (2001) menegaskan, lahan kering merupakan sebidang lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya bergantung pada air hujan. Sementara itu, Abdurachman et al. (2008) mendefinisikan lahan kering sebagai salah

satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buah-buahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan. Minardi (2009) menyatakan, lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan pengertian usaha tani bukan sawah yang dilakukan oleh masyaJurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


rakat di suatu daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu sebagai lahan atas atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) dan bergantung pada air hujan. Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Puslitbangtanak 2001), Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan basah (22%). Namun, Abdurachman et al. (2008) menyatakan, pemanfaatan lahan kering untuk pertanian sering diabaikan oleh para pengambil kebijakan yang lebih tertarik pada peningkatan produktivitas lahan sawah, padahal lahan kering tersedia cukup luas dan berpotensi untuk dikembangkan. Kebutuhan akan lahan terus meningkat sejalan dengan waktu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan pertambahan jumlah penduduk. Tekanan kebutuhan penduduk terhadap lahan menyebabkan pemanfaatan lahan melampaui daya dukung dan kemampuannya sehingga terjadi kelelahan tanah (soil fatigue) dan kerusakan lahan (Husain et al. 2006). Menurut Idjudin dan Marwanto (2008), salah satu penyebab ketimpangan pengelolaan lahan kering adalah pertambahan jumlah penduduk sehingga mendorong petani untuk mengusahakan lahan kering berlereng di DAS bagian hulu yang rentan erosi. DAS Limboto termasuk salah satu DAS prioritas dari DAS kritis di SWPDAS Bone Bolango (Kusmawati 2006). DAS Limboto didominasi (70%) wilayah dengan kemiringan lereng lebih dari 40% (Bapppeda Provinsi Gorontalo 2002). Dengan demikian, DAS ini rentan terhadap degradasi apabila kawasan hulu dan daerah tangkapan airnya tidak dikelola secara tepat. Berdasarkan Data Balitbangpedalda Provinsi Gorontalo (2004), kegiatan pertanian di lahan kering DAS Limboto telah menyebabkan 23.210,53 ha lahan menjadi kritis. Kondisi ini menyebabkan terjadinya erosi dan masuknya sedimen ke Danau Limboto sehingga terjadi pengendapan dan pendangkalan yang menurunkan kapasitas tampung danau (Kusmawati 2006). Danau Limboto sebagai muara (outlet) DAS Limboto terus mengalami pendangkalan sehingga luas perairan danau makin menciut. Selain itu, sebagian wilayah DAS ini tertutup oleh endapan aluvium yang cukup sesuai untuk pengembangan pertanian, memiliki permukaan air tanah yang Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

dangkal, dan akifernya tergolong produktif sedang (Husain et al. 2006). Pada wilayah yang relatif landai sampai berbukit banyak diusahakan tanaman pangan, terutama jagung, dan perkebunan seperti kelapa. Melihat kondisi tersebut maka pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan di DAS Limboto perlu mendapat perhatian. Hal ini sejalan dengan pernyataan Husain et al. (2006) bahwa pengelolaan lahan yang tepat di kawasan DAS Limboto sangat penting dalam rangka penyelamatan Danau Limboto dan pengendalian banjir di Kota Gorontalo. Tulisan ini mengulas potensi lahan kering di DAS Limboto dan status pemanfaatan lahan kering saat ini. Diungkap pula permasalahan dan strategi pengelolaan lahan kering di kawasan DAS tersebut.

POTENSI LAHAN KERING DI DAS LIMBOTO Pengembangan pertanian di lahan kering diharapkan memberi kontribusi nyata dalam mewujudkan pertanian tangguh mengingat potensi dan luas lahan yang jauh lebih besar daripada lahan sawah dan atau lahan gambut (Subardja dan Sudarsono 2005). Selain itu, lahan kering sangat berpotensi untuk pengembangan berbagai komoditas andalan dan memberikan sumbangan cukup besar terhadap penyediaan pangan nasional (Badan Litbang Pertanian 1998, tidak dipublikasikan). Berdasarkan Peta ReProot skala 1: 250.000 (1988), untuk pertanian lahan kering, lahan yang sesuai didominasi oleh tanah Inceptisol, Alfisol, dan Entisol. Hal ini didukung oleh laporan Puslittanak (1994) dalam peta tanah tinjau skala 1 : 150.000, bahwa jenis tanah yang dominan di DAS Limboto adalah Inceptisol (27.400 ha) dan Alfisol (43.849 ha) ( Tabel 1). Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo (2003) bekerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah telah melakukan evaluasi kesesuaian lahan di DAS Limboto. Hasilnya menunjukkan, lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian di DAS tersebut mencapai 37.049 ha, yaitu untuk padi gogo 27.702 ha, jagung 27.938 ha, kacang tanah 27.935 ha, ubi jalar 24.838 ha, dan ubi kayu 45.969 ha.

Tabel 1. Sebaran jenis tanah di DAS Limboto, Provinsi Gorontalo. Luas

Ordo Alfisol Molisol Vertisol Entisol Inceptisol Danau Jumlah

(ha)

(%)

43.849 6.027 5.022 1.965 27.400 3.415 87.678

50,01 6,87 5,73 2,24 31,25 3,90 100

Sumber: Puslittanak (1994).

Berdasarkan sifat-sifat tanah, Ilahude et al. (2007) melaporkan, DAS Limboto bagian Sub-DAS Biyonga memiliki tanah bertekstur lempung berdebu, permeabilitas dan infiltrasi agak cepat, porositas tanah sedikit, dan struktur tanah gumpal bersudut. Selain itu, kesuburan tanah rendah berdasarkan nilai kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa, N tanah tersedia, P2O5 tersedia, K2O tersedia, dan C-organik yang dipadankan pada Kunci Status Kesuburan Tanah (Puslittan 1983). Berbeda dengan DAS Limboto, Nurdin et al. (2009) melaporkan, bagian Sub-DAS Alo Pohu Isimu Utara memiliki kesuburan tanah yang sedang menurut kriteria Puslittan (1983). Hal ini disebabkan oleh kadar N total yang rendah, P tersedia cukup tinggi, K tersedia dan C-organik rendah, serta KTK dan kejenuhan basa sangat tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa lahan kering di DAS Limboto cukup potensial untuk pengembangan komoditas pertanian. Salah satu faktor yang menentukan tingkat kesesuaian lahan adalah bentuk wilayah atau relief (Hikmatullah et al. 2008). Bentuk wilayah DAS Limboto bervariasi dari datar (0−3%) sampai bergunung (> 50%). Masing-masing bentuk wilayah mempunyai lahan datar sampai agak datar seluas 27.125 ha, lahan berombak sampai bergelombang 6.336 ha, lahan berbukit kecil sampai berbukit 21.189 ha, dan lahan bergunung 7.551 ha (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo 2009). Menurut Hikmatullah et al. (2008), lahan yang terletak pada wilayah datar sampai bergelombang berpotensi untuk pengembangan pertanian. Lahan yang terletak pada wilayah berbukit < 40% dapat digunakan untuk perkebunan dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air (Djaenudin et al. 2003). 99


Setiap tanaman mempunyai persyaratan tumbuh tertentu untuk berproduksi secara optimal (FAO 1976; Djaenudin et al. 2003). Di samping itu, agar dapat tumbuh dan berproduksi tinggi serta hasilnya berkualitas, tanaman harus dibudidayakan pada lingkungan yang sesuai (Amien 1994; Subagjo et al. 1995; Djaenudin 2001). Komponen lahan yang memengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman selain tanah dan topografi adalah iklim (Djaenudin 2008). Wilayah DAS Limboto memiliki jumlah curah hujan tahunan 1.505 mm dengan rata-rata bulanan 125 mm, suhu udara 26,7OC, dan kelembapan udara 80,3% (BMG Gorontalo 2009). Berdasarkan data tersebut maka kondisi iklim setempat cukup potensial, walaupun kelas kesesuaiannya umumnya cukup sesuai (S2) untuk pengembangan tanaman pangan dan perkebunan menurut kriteria kesesuaian lahan Balai Penelitian Tanah (Djaenudin et al. 2003). Hal ini sejalan dengan Naylor et al. (2007) yang menyatakan bahwa produksi pertanian di Indonesia sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Syahbuddin et al. (2004) telah menganalisis data curah hujan dan suhu udara sepuluh tahunan untuk menentukan waktu tanam dan jumlah pemberian air ke tanaman. Lebih lanjut, Runtunuwu dan Syahbuddin (2007) melaporkan bahwa perubahan iklim berimplikasi pada pengembangan pertanian sehingga diperlukan upaya adaptasi sistem budi daya. Musa (2006) yang melakukan penelitian waktu tanam jagung di DAS Limboto menyimpulkan bahwa waktu tanam memengaruhi berat kering maksimal tanaman. Sementara itu, Nurdin et al. (2006) melaporkan bahwa berdasarkan faktor iklim, kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan jagung di Longalo Provinsi Gorontalo termasuk cukup sesuai dengan faktor pembatas suhu (S2tc), dengan nilai kesesuaian komparatif 86,67%. Dengan demikian, pengembangan komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah satu pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan pangan nasional (Mulyani 2006).

STATUS PEMANFAATAN LAHAN SAAT INI Kondisi lahan kering di bagian tengah dan hulu DAS Limboto hampir sebagian besar 100

berstatus lahan kritis. Hal ini sesuai dengan laporan Balitbangpedalda Provinsi Gorontalo (2004) yang menunjukkan bahwa penyebaran lahan kritis dalam kawasan hutan lindung mencapai 14.252 ha. Padahal menurut Kusmawati (2006), luas kawasan hutan di DAS Limboto pada tahun 2003 hanya 14.893 ha (Tabel 2). Artinya, tinggal tersisa 641 ha hutan yang kondisinya baik. Penggunaan lahan di wilayah DAS Limboto adalah tegalan dengan luas 32.117 ha (35,29%) dan perkebunan kelapa dengan luas 12.526 ha atau 13,76% dari total luas DAS. Balitbangpedalda Provinsi Gorontalo (2004) juga melaporkan, lahan kritis di kawasan hutan cukup luas, mencapai 35.343 ha. Jika dijumlahkan dengan luas lahan kritis yang berada di dalam kawasan hutan, totalnya mencapai 49.595 ha atau 54,50% dari luas total DAS. Hal ini mengindikasikan bahwa luas lahan yang tidak kritis tinggal 41.409 ha atau 45,50%. Perubahan penggunaan lahan pada tahun 1999−2002 menyebabkan luas area hutan menurun 1,5% dan area pertanian bertambah 1,9%. Dari total luas DAS, hanya 16,4% yang ditutupi hutan, yaitu hutan lahan kering sekunder dan hutan rawa sekunder, dan sekitar 20% dari kawasan hutan berubah menjadi semak belukar, tanah terbuka, atau lahan pertanian pada tahun 2003. Konversi lahan tersebut dilakukan tanpa mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air (BPDAS 2004). Hal ini merupakan salah satu akibat ketimpangan pengelolaan lahan kering karena pertambahan jumlah penduduk, terutama akibat perkembangan dan perluasan Kota Limboto, Isimu, dan Kota Telaga sehingga mendorong petani untuk mengusahakan lahan kering berlereng di DAS hulu yang rentan terhadap erosi (Idjudin dan Marwanto 2008). Lebih lanjut Minardi (2009) menyatakan, usaha tani lahan kering di bagian hulu suatu DAS sangat bergantung pada air hujan. Luas lahan tegalan di DAS Limboto sekitar 32.117 ha dan 9.000 ha atau 28% dari luasan tersebut merupakan area pertanaman jagung (PPLH-SDA Unsrat 2002). Berdasarkan data BPS Kabupaten Gorontalo (2009) yang dikomparasikan dengan luas lahan sesuai (LLS), luas tanam jagung mencapai 27.938 ha atau 50,52% dari LLS, kacang tanah 27.935 ha atau 1,17% dari LLS, ubi kayu 45.969 ha atau 0,21% dari LLS, dan luas tanam ubi jalar 24.838 ha atau 0,15% dari LLS. Untuk komoditas lainnya belum tersedia data

Tabel 2. Penggunaan lahan di DAS Limboto. Jenis penggunaan lahan

Luas (ha)

(%)

Tegalan Ladang Kebun Kebun campuran Kelapa Sawah Sawah/rawa Rawa Belukar Hutan Pemukiman Danau

32.117 10.056 676 3.042 12.526 4.791 608 143 8.029 14.893 708 3.415

35,29 11,05 0,74 3,34 13,76 5,27 0,67 0,16 8,82 16,37 0,78 3,75

Jumlah

91.004

100

Sumber: Peta Citra Landsat Kabupaten Gorontalo dalam Kusmawati (2006).

lahan yang sesuai untuk pengembangannya. Walaupun bukan merupakan komoditas unggulan daerah, pengembangan ubi kayu paling luas, dengan proporsi luas lahan yang sesuai 99,79%. Komoditas jagung sebagai entry point program Agropolitan masih dapat dikembangkan selain pada lahan yang telah ada dengan persentase 49,48%. Hal ini sejalan dengan rencana perluasan area pengembangan jagung pada tahun 2009 di Kabupaten Gorontalo, yaitu 62.340 ha pada lahan kering dan 3.770 ha pada lahan sawah, terutama sawah tadah hujan (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo 2009). Berdasarkan peta Status Kawasan dan Perairan Provinsi Gorontalo skala 1 : 250.000 (Badan Planologi 1999), DAS Limboto hulu ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung (HL). Hal ini diperkuat dengan Perda No. 32 tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Gorontalo tahun 2002−2016, yang menetapkan DAS Limboto hulu sebagai kawasan hutan lindung. Dalam review RTRW Provinsi Gorontalo tahun 2008 (Bapppeda Provinsi Gorontalo 2008) diusulkan perubahan status kawasan DAS Limboto, di mana daerah hulu DAS terdiri atas hutan lindung (HL), hutan produksi terbatas (HPT), dan hutan produksi konversi (HPK). Review RTRW tersebut, di samping lebih memproteksi kawasan hulu DAS, juga mengusulkan perubahan kawasan lain ke area penggunaan lain (APL) yang lebih luas sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan nonpertanian. Hal ini cukup Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


beralasan karena DAS Limboto memiliki peran penting sebagai kawasan lindung bagi daerah di bawahnya, apalagi semua sungai di wilayah ini bermuara di Danau Limboto. Danau Limboto juga berperan penting bagi kehidupan masyarakat di dalamnya karena banyak yang menggantungkan hidupnya pada danau tersebut. Namun, kegiatan pertanian yang berlangsung di sekitar kawasan lindung perlu diperhatikan agar tidak terjadi konflik pemanfaatan lahan dan keberlanjutan kehidupan masyarakat di wilayah tersebut dapat dijaga.

PERMASALAHAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING Permasalahan Biofisik Pengelolaan Lahan Kering DAS Limboto terletak pada 0°38’−0°70’ LU dan 122°48’−123°00’ BT dengan elevasi 5 m hingga lebih dari 300 m dpl. DAS Limboto terdiri atas 23 anak sungai yang bermuara di Danau Limboto (Balitbangpedalda Provinsi Gorontalo 2004, 2006). Dari 23 sungai yang mengalir ke Danau Limboto, hanya Sungai Biyonga yang airnya mengalir sepanjang tahun, padahal luas sub-DAS hanya 68 km2. Hal ini karena kondisi mata air yang cukup baik dengan vegetasi hutan di daerah hulu. Sungai terbesar adalah Alo-Molalahu dengan luas 348 km2 dan Pohu seluas 156 km2. Namun, kedua sungai tersebut airnya tidak mengalir lagi pada musim kemarau karena mata airnya terganggu akibat pembabatan hutan di daerah hulu (JICA Studi Team 2002). Daerah tengah telah dikonversi untuk pertanian dan pemukiman sehingga pada musim hujan sering terjadi banjir yang merusak lahan pertanian di sekitar bantaran sungai sampai ke hamparan lahan di bawahnya (BPDAS 2004). Djaenudin dan Hendrisman (2008) menyatakan bahwa dari aspek teknis, komponen lahan kering yang memengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman adalah iklim, tanah, dan topografi. Komponen tersebut sangat menentukan potensi, kebutuhan input, dan manajemen lahan (Djaenudin 2008). Berdasarkan kondisi iklim, wilayah DAS Limboto secara umum tidak mengalami permasalahan bagi tanaman lahan Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

kering. Namun, jika dirinci menurut jenis tanaman, jumlah curah hujan 1.505 mm/ tahun dan rata-rata curah hujan 125 mm/ bulan (Tabel 3) menjadi faktor pembatas bagi tanaman jagung dan palawija serta tanaman hortikultura. Menurut kriteria kesesuaian lahan komoditas jagung dan palawija (Djaenudin et al. 2003), jumlah hujan yang dibutuhkan tanaman jagung untuk kelas sangat sesuai (S1) adalah 500− 1.200 mm/tahun, ubi jalar 800−1.500 mm/ tahun, kedelai 350−1.100 mm/tahun, kacang tanah 400−1.100 mm/tahun, dan kacang hijau 350−600 mm/tahun. Sementara untuk komoditas hortikultura adalah bawang merah 350−600 mm/tahun, cabai 600−1.200 mm/tahun, kacang panjang dan bayam 350−600 mm/tahun, mentimun, terung, dan tomat 400−700 mm/ tahun. Untuk tanaman buah-buahan dan perkebunan, jumlah curah hujan tidak menjadi faktor pembatas. Kendala utama pemanfaatan lahan kering untuk pertanian adalah tingkat produktivitasnya rendah yang dicirikan oleh reaksi tanah masam, miskin hara, bahan organik rendah, kandungan besi, mangan, dan aluminium tinggi (melebihi batas toleransi tanaman), serta peka erosi (Hidayat et al. 2000). Ilahude et al. (2007) melaporkan, reaksi tanah (pH) lahan kering tergolong netral dengan kadar bahan organik sedang, sedangkan kadar N, P2O5, dan K2O masing-masing sangat rendah, dan nilai KTK sangat tinggi. Berdasarkan kriteria status kesuburan tanah (nilai

KTK, kadar N, P2O5, dan K2O) (Puslittan 1983) kesuburan tanah di wilayah ini tergolong rendah. Hal ini karena kadar N, P, dan K sangat rendah walaupun nilai KTK-nya sangat tinggi. JICA Studi Team (2002) melaporkan, Sungai Biyonga, Meluopo, dan Alo-Pohu merupakan sungai utama pembawa sedimen ke Danau Limboto. Dari ketiga sungai tersebut, Biyonga memberikan kontribusi 56% dari total sedimen yang masuk ke danau. Apabila volume sedimen yang masuk tidak dapat dikendalikan maka dalam kurun waktu 25 tahun, Danau Limboto diprediksi akan terisi sedimen dan menjadi daratan akibat proses pendangkalan. Kusmawati (2006) yang menduga erosi dan sedimentasi di DAS Limboto dengan GeoWEPP memperoleh total erosi 3.409.067,36 t/tahun atau rata-rata 44,69 t/ha/tahun atau 3,72 mm/tahun. Nilai erosi tersebut telah melewati ambang batas bahaya erosi yang dapat ditoleransi, yaitu 10 t/ha/tahun (Suripin 2002). Deposit sedimen pada DAS Limboto sebesar 224.356,54 t/tahun atau 2,94 t/ha/tahun atau 0,25 mm/tahun, sedangkan sediment yield 3.184.710,41 t/tahun atau 41,75 t/ha/tahun atau 3,48 mm/tahun (Tabel 4). Data tersebut sesuai dengan keadaan DAS Limboto yang sebagian besar tertutup oleh ladang dan tegalan. Oleh karena itu, usaha penanganan diarahkan pada pengelolaan lahan miring dengan menerapkan kaidah konservasi.

Tabel 3. Sebaran curah hujan di DAS Limboto Provinsi Gorontalo selama 6 tahun (2003−2008). Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Rata-rata

Curah hujan (mm)

Rata-rata

2003

2004

2005

2006

2007

2008

89 56 215 266 192 11 64 46 65 35 82 222

128 100 79 175 138 50 66 − 36 122 61 77

30 103 117 105 231 84 210 17 20 223 85 132

112 143 68 162 65 257 32 3 55 3 204 122

229 73 76 129 249 214 80 38 129 46 118 400

214 94 389 228 130 123 253 147 66 188 206 251

133,67 94,83 157,33 177,50 167,50 123,17 117,50 41,83 61,83 102,83 126,00 200,67

1.343 111,92

1.032 86

1.357 113,08

1.226 102,12

1.781 148,42

2.289 190,75

1.504,66 125,39

Sumber: BMG Gorontalo (2009), data diolah.

101


Tabel 4. Erosi dan sedimentasi di DAS Limboto, Provinsi Gorontalo. Komponen Luas area (ha) Jumlah erosi (t/ha) Jumlah deposisi sedimen (t/ha) Jumlah sediment yield (t/ha) Rata-rata erosi (t/ha/tahun) Rata-rata deposisi sedimen (t/ha/tahun) Rata-rata sediment yield (t/ha/tahun)

Nilai 76.276,81 3.409.067,36 224.356,54 3.184.710,41 44,69 2,94 41,75

Sumber: Kusmawati (2006).

Permasalahan Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pada usaha tani lahan kering tanaman semusim, produktivitasnya relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi, terutama karena tekanan penduduk yang terus meningkat (Syam 2003). Desadesa di wilayah DAS Limboto tersebar pada wilayah administratif Kecamatan Limboto, Telaga, Batudaa, dan Tibawa Kabupaten Gorontalo. Pada tahun 2007, jumlah penduduk di DAS Limboto mencapai 247.499 jiwa (Tabel 5) atau meningkat 33,07% dari tahun sebelumnya (BPS Kabupaten Gorontalo 2008). Kondisi ini akan menimbulkan tekanan terhadap lahan yang tersedia, terutama untuk kegiatan pertanian yang menghasilkan bahan pangan. Mata pencaharian penduduk di DAS Limboto bagian hulu masih didominasi oleh pertanian. Komoditas yang dominan diusahakan adalah jagung, cabai, dan ubi kayu. Untuk subsektor perkebunan yang paling dominan adalah kelapa. Demikian pula untuk desa lain, penduduknya juga dominan mengusahakan tanaman pangan (Tabel 6). Petani lahan kering umumnya tergolong marginal dengan pendapatan dan pendidikan rendah dan keterampilan terbatas, sehingga upaya konservasi lahan usaha taninya juga terbatas (Kadekoh 2010). Hal ini merupakan masalah klasik bagi petani di lahan kering sehingga memerlukan penanganan yang optimal, terencana, dan berkelanjutan. Untuk jagung sebagai komoditas unggulan daerah dalam program Agropolitan, pemerintah setempat telah menetapkan harga dasar jagung Rp750/kg dan saat ini harga jagung di daerah Gorontalo men102

capai Rp1.500/kg (Disperindag Provinsi Gorontalo 2008). Untuk komoditas lain, harga dasar belum ditetapkan pemerintah setempat karena harganya masih stabil. Hasil panen umumnya dijual langsung ke pedagang pengumpul dan hanya sedikit yang diperdagangkan di pasar lokal atau pasar induk kabupaten. Namun, kondisi ekonomi tersebut belum dibarengi dengan upaya konservasi lahan untuk pertanaman jagung maupun komoditas lainnya. Kehidupan masyarakat petani di wilayah DAS Limboto sangat agamais dan dominan dipengaruhi oleh agama Islam. Budaya “huyula� atau dalam pengertian umum gotong royong merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang saat ini masih ada, walaupun mulai terkikis oleh perkembangan zaman (Tolinggi 2010). Menurut Sunaryo dan Yoshi (2003), kearifan lokal merupakan sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh seke-

lompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Salah satu kearifan lokal yang berkaitan dengan kegiatan pertanian adalah penentuan waktu tanam yang didasarkan pada ilmu perbintangan yang dikenal dengan istilah “panggoba� (Tolinggi 2010). Sejak zaman dahulu, budaya ini dipegang teguh oleh petani. Namun seiring perubahan iklim mikro maupun global, panggoba mulai ditinggalkan. Dariah dan Besuki (2008) melaporkan, di Nusa Tenggara Timur terdapat kearifan lokal yang berkaitan langsung dengan konservasi lahan kering yang disebut kebekolo. Kebekolo merupakan barisan kayu atau ranting yang disusun atau ditumpuk memotong lereng. Tumpukan kayu/ranting ini berfungsi untuk menahan tanah yang tergerus aliran permukaan (erosi).

Gambar 1. Kondisi lahan di kawasan DAS Limboto hulu Provinsi Gorontalo yang terdegradasi.

Gambar 2. Danau Limboto di Provinsi Gorontalo yang mengalami pendangkalan. Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


Tabel 5. Jumlah penduduk di wilayah DAS Limboto Provinsi Gorontalo 2000− 2007. Kecamatan Batudaa Bongomeme Tibawa Pulubala Limboto Limboto Barat Telaga Telaga Biru Jumlah

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

58.615 − 55.148 − 56.556 − 57.674 −

58.743 − 55.260 − 56.782 − 57.982 −

26.314 32.554 55.314 − 56.223 − 36.283 21.173

26.540 33.045 34.260 22.683 38.097 21.109 38.167 22.654

28.107 32.455 34.882 22.949 39.612 21.415 38.778 22.697

26.824 33.019 34.436 22.632 38.152 21.209 38.127 22.896

27.604 33.978 35.436 23.290 39.261 21.826 39.235 23.562

27.978 34.438 35.916 23.605 39.793 22.122 39.766 23.881

227.993

228.767

227.861

236.555

240.895

237.295

244.192

247.499

− Kecamatan pemekaran. Sumber: BPS Kabupaten Gorontalo (2001, 2004, 2006, 2008).

Tabel 6. Mata pencaharian penduduk di DAS Limboto hulu, Provinsi Gorontalo. Desa/kelurahan Tenilo Bolihuangga Hunggaluwa Kayubulan Hepuhulawa Dutulanaa Hutuo Bulota Malahu Biyonga Bongohulawa Kayumerah Jumlah

Jumlah petani Tanaman pangan

Perikanan

Peternakan

Perkebunan

93 396 561 503 295 175 438 235 135 569 155 397

− 111 292 347 − − 120 − − − − −

− 2 2 6 6 4 6 − − − − −

197 113 143 160 44 143 70 184 8 164 108 173

3.952

870

26

1.507

Sumber: Kecamatan Limboto dalam Angka (2008).

Gorontalo memiliki beberapa varietas jagung (binthe) lokal, seperti kiki, kalingga (tongkol merah), momala, dan pulo (biji berwarna putih dan ketan). Untuk mengantisipasi serangan hama dan penyakit pada benih, petani melakukan molude, yaitu menyimpan benih pada tumpukan karung yang berisi kapur atau tilo agar tahan sampai panen berikutnya (Tolinggi 2010).

Pengelolaan Lahan Kering di DAS Limboto Pembangunan pertanian berkelanjutan menerapkan konsep abiotic, biotic, and culture (ABC). Komponen pertama dan Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

kedua merupakan satu kesatuan lingkungan alami, sedangkan komponen ketiga menjelaskan keseluruhan sistem berpikir dan kegiatan manusia. Namun, yang biasanya terlewatkan dalam diskusi tentang lingkungan adalah integrasi ketiganya, yang dicirikan dengan kompleksitas, dinamika, dan ketidakpastian (Mitchell 1997). Sebagai suatu sistem lingkungan, pembangunan di wilayah DAS Limboto sedang mengalami hal tersebut. Upaya meningkatkan produksi pertanian pada lahan kering memerlukan pemahaman menyeluruh mengenai kompleksitas persoalan potensi lahan. Pengelolaan lahan yang keliru akan menurunkan bahkan merusak potensi yang ada dan akhirnya menyengsarakan masyarakat (Husain et

al. 2004). Memburuknya kondisi Danau Limboto dan terjadinya banjir di Kota/ Kabupaten Gorontalo pada tahun 2002 merupakan indikasi menurunnya kualitas lingkungan di kawasan tersebut. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya akan menurunkan produktivitas lahan. Penurunan kesuburan tanah antara lain disebabkan oleh erosi, penurunan kandungan bahan organik tanah, kehilangan hara melalui panen, dan kebiasaan membakar sisa-sisa tanaman (Tala'ohu et al. 2003). Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah (Abdurachman et al. 2008). Namun, dengan strategi dan teknologi yang tepat, berbagai masalah tersebut dapat diatasi. Beberapa strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering yang dapat diterapkan di DAS Limboto diuraikan sebagai berikut.

Sistem budi daya pertanian Berdasarkan karakteristik biofisik lahan, terutama karakteristik tanah dan iklim, penggunaan lahan harus efektif dan efisien sehingga kualitas tanah dan karakteristik lahan dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Menurut Lestariya (2005), pengelolaan lahan untuk mengatasi degradasi lahan dan permasalahan yang kompleks di suatu DAS harus bersifat komprehensif dan integral. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan pola vegetasi mengingat wilayah ini merupakan lahan terbuka (pemukiman, lahan terlantar, dan belukar) yang rentan terhadap risiko limpasan dan kehilangan tanah, terutama 103


di daerah berlereng terjal dan memiliki curah hujan tinggi. Teknik lain yang dapat diterapkan adalah membuat teras, guludan, pematang searah kontur, balong, rorak, dan saluran drainase permukaan atau bawah permukaan (Agus et al. 1999; Subagyono et al. 2003; Arsyad 2006). Penerapan teknik konservasi tersebut bertujuan untuk mengurangi kehilangan tanah, limpasan, dan sedimentasi sungai (Idjudin dan Marwanto 2008). Menurut Yongki et al. (2003), beberapa teknologi budi daya yang dapat diterapkan dalam pengelolaan lahan kering pada kawasan DAS meliputi: 1) Pengelompokan tanaman dalam suatu bentang lahan (land-scape) berdasarkan kebutuhan air yang sama sehingga pengairan dapat dikelompokkan sesuai kebutuhan tanaman. 2) Penentuan pola tanam yang tepat untuk area datar maupun berlereng. Gomez dan Gomez (1983) melaporkan, pada lahan dengan kemiringan 5%, pola tanam tumpang sari antara ubi kayu dan jagung dapat menurunkan aliran permukaan (run off) dari 43% menjadi 33% dibandingkan dengan penanaman jagung monokultur. 3) Pemberian mulsa dan bahan organik yang tersedia di lokasi untuk meningkatkan kesuburan tanah. Lal (1980) melaporkan, penggunaan mulsa 4 t/ha menurunkan aliran permukaan sampai ke tingkat 3,5% dan laju erosi 0,5 t/ha. 4) Penggunaan pemecah angin (wind break) untuk mengurangi kecepatan angin sehingga menurunkan kehilangan air melalui evapotranspirasi dari permukaan tanah dan tanaman. Kombinasi tanaman dengan tajuk yang berbeda sangat mendukung upaya ini. Pola tajuk bertingkat (etage bouw) seperti pada pekarangan tradisional merupakan contoh yang baik untuk diterapkan (Setyati 1975). Agroforestry merupakan salah satu pilihan pengelolaan sistem budi daya pertanian di DAS Limboto yang mengombinasikan tanaman semusim dan tanaman tahunan berkayu (pohon) dalam suatu tapak yang sama dan dapat pula dipadukan dengan peternakan (Nuryanto et al. 2003; Rauf, 2003). Sistem ini pada hakikatnya dapat diterapkan pada berbagai kondisi lahan, terutama, lahan yang mempunyai lereng > 45%. Menurut Nair (1989) serta Chundawat dan Gautam (1993), berbagai tipe agroforestry yang dapat diterapkan meliputi: 1) agrosilviculture, yaitu kom104

binasi hutan dengan tanaman pertanian, 2) silvopasture, memasukkan ternak dan/ atau tanaman pakan pada lahan hutan, 3) agrosilvopasture, sistem campuran yang memadukan tanaman pertanian, hutan, dan pakan/ternak, serta 4) aquaforestry atau agroaquaforestry, sistem campuran yang memadukan tanaman pertanian, hutan, dan ikan/kolam. Hasil penelitian Rauf (2003) di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser menunjukkan bahwa agroforestry berdampak positif terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi petani, minimal dalam hal keberlanjutan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena musim panen yang berbeda dari berbagai komoditas yang dibudidayakan. Selanjutnya Nuryanto et al. (2003) menjelaskan keuntungan sistem agroforestry, antara lain: 1) menciptakan komunitas yang berfungsi sebagai hutan dan strata tajuk yang baik sehingga dapat menahan daya hancur butir hujan, 2) merupakan sistem usaha tani terpadu antara tanaman pangan dan komoditas lain, seperti pakan ternak, buah-buahan, lebah madu, kayu bakar, atau kayu bangunan, 3) menciptakan peluang yang lebih banyak bagi petani untuk memperoleh bahan kebutuhan sehari-hari, dan 4) kombinasi berbagai jenis tanaman atau komoditas lain dapat segera memberikan hasil bagi petani.

Pengembangan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Sebagai penghasil produk pertanian, lahan kering memberi kontribusi nyata dalam ketahanan pangan, penyangga ekonomi, serta nilai sosial dan budaya (Irawan et al. 2004). Laju pertambahan penduduk yang cukup pesat akan meningkatkan permintaan dan intensitas penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan (Abdurachman et al. 2008). Kondisi ini akan menciptakan pola penggunaan lahan yang cenderung berorientasi produksi tanpa memerhatikan konservasi lahan. Apabila hal ini dibiarkan, kerusakan lahan yang telah terjadi akan semakin parah sehingga produktivitas lahan terus merosot, yang pada akhirnya akan menurunkan kesejahteraan petani (Idjudin dan Marwanto 2008). Untuk mencegahnya, pengelolaan lahan kering di DAS Limboto perlu melibatkan masyarakat setempat (Nuryanto et al. 2003). Upaya tersebut diharapkan dapat memecahkan

permasalahan yang dihadapi petani, terutama modal, kepemilikan lahan, penguasaan pengetahuan dan keterampilan, serta hambatan karena adat dan tradisi setempat. Beberapa arahan sosial, ekonomi, dan budaya dalam pengelolaan lahan kering di suatu DAS (Nuryanto et al. 2003; Idjudin dan Marwanto 2008) yaitu: 1) penyuluhan dengan metode dan materi yang disesuaikan dengan kehidupan petani, karena menurut Hidayanto et al. (2008), penyuluhan merupakan salah satu upaya pengembangan kapasitas kelembagaan petani, 2) penyediaan sarana produksi dan permodalan serta pembangunan infrastruktur pertanian (Idjudin dan Marwanto 2008), dan 3) pemberdayaan kelembagaan untuk membina petani. Menurut Mosher (1991) dan Todaro (1994), kapasitas kelembagaan petani sangat penting dan berperan strategis dalam pembangunan pertanian. Sementara itu, Hidayanto et al. (2008) menyatakan, pemberdayaan kelembagaan petani bertujuan untuk meningkatkan partisipasi petani dalam kelembagaan usaha tani. Kelembagaan masyarakat seperti Badan Perwakilan Desa (BPD) berperan menggerakkan masyarakat dalam kegiatan bersama, menumbuhkan dan meningkatkan peran masyarakat dalam kegiatan yang diprakarsai pemerintah setempat, serta meningkatkan kemandirian petani dalam pembangunan pertanian. Sementara itu, koperasi unit desa (KUD) berperan membantu petani anggotanya dalam memperoleh kredit, sarana produksi, dan alat-alat pertanian serta menampung dan memasarkan hasil (Nuryanto et al. 2003). Pengembangan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat di lahan kering dapat pula dilakukan dengan pendekatan agribisnis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Antara (2005) bahwa pengembangan pertanian lahan kering melalui pendekatan agribisnis merupakan langkah yang benar dan tepat (on the right track) karena pendekatan ini mengintegrasikan secara vertikal aktivitas hulu hingga hilir dan secara horizontal berbagai sektor sehingga mampu menciptakan keuntungan yang layak bagi petani. Selanjutnya, ArRiza dan Alkasuma (2008) menyatakan, lembaga agribisnis yang perlu dikembangkan adalah kelompok tani, perkumpulan petani pemakai air (P3A), koperasi dan lembaga keuangan perdesaan, penyedia sarana dan prasarana produksi, Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


pemasaran hasil, dan jasa pelayanan alsintan. Selain kedua lembaga tersebut, pemberdayaan penyuluh lapangan juga perlu dilakukan karena mereka yang langsung berhadapan dengan petani.

Kebijakan yang berpihak kepada pertanian di kawasan DAS Manfaat yang dinikmati masyarakat di daerah hilir sering kali atas biaya atau kerja keras masyarakat di daerah hulu (Nuryanto et al. 2003). Apabila tujuan pembangunan adalah menciptakan keadaan sosial ekonomi yang adil dan merata maka kondisi yang demikian tidak akan mendukung pencapaian tujuan pembangunan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fagi dan Las (2006) bahwa kebijakan pembangunan yang tidak berpihak kepada pertanian akan mengganggu stabilitas ketahanan pangan, memperburuk kualitas lingkungan, dan berdampak buruk terhadap stabilitas ekonomi, sosial, dan politik. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pertanian khusus untuk kawasan DAS hulu. Beberapa arahan kebijakan yang dapat digunakan adalah: 1) pemberian subsidi kepada petani di daerah hulu untuk membangun pengendali erosi, seperti teras dan teknik konservasi lahan lainnya, 2) pemberian subsidi pajak kepada petani di daerah hulu, dengan cara membebankan petani daerah hilir membayar pajak (PBB) lebih besar daripada petani di hulu sebagai bentuk keseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya lahan yang adil dan bijaksana, 3) penetapan kebijakan di tingkat kabupaten dan atau provinsi tentang pengelolaan lahan pertanian berbasis konservasi beserta petunjuk teknisnya agar berbagai pihak mengetahui tata hukum dan tata kelola pemanfaatan lahan kering di DAS Limboto (Nuryanto et al. 2003; Idjudin dan Marwanto 2008).

Berdasarkan status kawasan, karakteristik biofisik lahan, serta kondisi sosial budaya dan ekonomi, pengelolaan lahan serta landasan pelaksanaannya dapat menggunakan sistem hak guna usaha (HGU) sebagai legal aspek berdasarkan UUPA No. 5 tahun 1960. Sistem ini dimungkinkan bagi petani di kawasan DAS Limboto hulu dengan membentuk kelompok yang berbadan hukum untuk pengajuan HGU ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan. Salah satu kendala dalam pengelolaan lahan pertanian di suatu DAS adalah tumpang tindih kepentingan dalam pengelolaan lahan (Soemarno 1991). Agar lahan kritis, erosi, sedimentasi, dan pendangkalan Danau Limboto segera tertangani, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani maka sinkronisasi dan koordinasi lintas institusi perlu dilakukan untuk menjamin pelaksanaan program pembangunan di kawasan tersebut. Dibutuhkan kearifan semua pemangku kepentingan dalam mengoptimalkan potensi dan mengurangi permasalahan penggunaan lahan kering di wilayah ini.

KESIMPULAN DAS Limboto hulu perlu dijaga dan dipertahankan fungsinya karena berperan vital dan menguasai hajat hidup masyarakat setempat. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya lahan kering di kawasan DAS tersebut potensial untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan petani. Lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian mencapai 37.049 ha, yaitu untuk padi gogo 27.702 ha, jagung 27.938 ha, kacang tanah 27.935 ha, ubi jalar 24.838 ha, dan ubi kayu 45.969 ha. Lahan datar sampai bergelombang yang potensial untuk pengembangan pertanian seluas 33.144 ha. Lahan di wilayah DAS Limboto umumnya termasuk dalam kelas cukup sesuai

(S2). Namun, pemanfaatannya menghadapi kendala dan permasalahan seperti biofisik lahan (kesuburan tanah rendah, rentan erosi dan sedimentasi, pendangkalan Danau Limboto, dan iklim), serta permasalahan sosial, ekonomi, dan budaya. Berbagai masalah tersebut perlu diatasi dengan teknologi pengelolaan lahan yang tepat. Terdapat tiga strategi utama penggunaan lahan kering di wilayah DAS Limboto, yaitu: 1) pengelolaan sistem budi daya dengan mengelompokkan tanaman dalam suatu landscape mengikuti kebutuhan air yang sama, pola tanam yang tepat, pemberian mulsa dan bahan organik yang tersedia di lokasi untuk meningkatkan kesuburan tanah, pembuatan pemecah angin, dan penerapan sistem agroforestry, 2) pengembangan ekonomi, sosial, dan budaya yang meliputi penyuluhan, penyediaan sarana dan prasarana produksi serta permodalan petani, pemberdayaan kelembagaan petani dan penyuluh, serta penerapan sistem agribisnis, dan 3) kebijakan yang berpihak kepada pertanian di DAS Limboto, seperti pemberian subsidi kepada petani di daerah hulu untuk kegiatan konservasi lahan, pemberian subsidi pajak kepada petani di daerah hulu, penetapan perda pengelolaan lahan pertanian berbasis konservasi, dan pengelolaan lahan dengan sistem hak guna usaha (HGU). Dalam penggunaan lahan kering perlu sinkronisasi dan koordinasi di antara institusi pemerintah dan melibatkan petani agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan. Kepedulian dan keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam penggunaan lahan kering di DAS Limboto menjadi prasyarat mutlak bagi keberlanjutan fungsi dan peran DAS tersebut. Kearifan dalam pemanfaatan lahan kering akan mengurangi dan menekan kerusakan serta peralihan fungsi dan peran DAS di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., A. Dariah, dan A. Mulyani. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(2): 43−49.

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

Agus, F., A. Adimihardja, A. Rachman, S.H. Tala’ohu, A. Dariah, B.R. Prawiradiputra, B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik konservasi tanah dan air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat, Jakarta.

Amien, L.I. 1994. Agroekologi dan alternatif pengembangan pertanian di Sumatera. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 13(1): 1−8.

105


Antara, M. 2005. Pendekatan agribisnis dalam pengembangan pertanian lahan kering (kasus lahan kering di Kabupaten Buleleng, Bali). Prosiding Seminar Pengembangan Pertanian di Wilayah Lahan Kering. Sustainable Development of Irrigated Agriculture in Buleleng and Karangasem (SDIABKA) Project Management Unit bekerja sama dengan Bappeda Kabupaten Buleleng, 5 Februari 2004. Ar-Riza, I. dan Alkasuma. 2008. Pertanian lahan rawa pasang surut dan strategi pengembangannya dalam era otonomi daerah. Jurnal Sumberdaya Lahan 2(2): 103. Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor. Badan Planologi. 1999. Peta Status Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Gorontalo Skala 1:250.000. Badan Planologi Departemen Kehutanan, Bogor. Balitbangpedalda Provinsi Gorontalo. 2004. Kajian dan pemetaan lahan kritis berbasis GIS dan foto udara di Provinsi Gorontalo. Laporan Hasil Penelitian Kerja Sama antara Badan Penelitian, Pengembangan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Gorontalo dengan CV Mesta Karya Utama, Gorontalo. Balitbangpedalda Provinsi Gorontalo. 2006. Analisis kesesuaian lahan pengembangan jagung di Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Laporan Hasil Penelitian. Badan Penelitian, Pengembangan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Gorontalo, Gorontalo. Bapppeda Provinsi Gorontalo. 2002. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo Tahun 2002−2016. Badan Perencanaan dan Percepatan Pembangunan Daerah Provinsi Gorontalo, Gorontalo. Bapppeda Provinsi Gorontalo. 2008. Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo Tahun 2008. Badan Perencanaan dan Percepatan Pembangunan Daerah Provinsi Gorontalo, Gorontalo.

BPS Kabupaten Gorontalo. 2008. Kabupaten Gorontalo dalam Angka Tahun 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo, Limboto. BPS Kabupaten Gorontalo. 2008. Kecamatan Limboto dalam Angka Tahun 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo, Limboto. BPS Kabupaten Gorontalo. 2009. Kabupaten Gorontalo dalam Angka Tahun 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo, Limboto. Chundawat, B.S. and S.K. Gautam. 1993. Textbook of Agroforestry. Oxford and IBH Publ. Co. Pvt. Ltd, New Delhi. Dariah, A. dan T. Besuki. 2008. Kebekolo di NTT: Kearifan lokal dalam konservasi tanah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 30(2): 7−9. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo. 2003. Master Plan Pewilayahan Komoditas Pertanian di Provinsi Gorontalo. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo bekerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo. 2009. Gorontalo the Agropolitan; profil pembangunan pertanian Provinsi Gorontalo. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo, Gorontalo. Djaenudin, D. 2001. Pendekatan pewilayahan komoditas dalam menyongsong otonomi daerah. Materi Pelatihan Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Makassar, 5−9 Juni 2001. Djaenudin, D., M. Hendrisman, H. Subagya, A. Mulyani, dan N. Suharta. 2003. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Ver. 3. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai). 2004. Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Provinsi Gorontalo. BPDAS Limboto.

Djaenudin, D. 2008. Prospek Penelitian Potensi Sumber Daya Lahan di Wilayah Indonesia. Makalah Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Pedologi dan Penginderaan Jarak Jauh. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.

BMG Gorontalo. 2009. Data iklim wilayah DAS Limboto dan sekitarnya selama 13 tahun (1996−2009). Badan Meteorologi dan Geofisika Bandara Jalaludin, Isimu, Gorontalo.

Djaenudin, D. dan M. Hendrisman. 2008. Prospek pengembangan tanaman pangan lahan kering di Kabupaten Merauke. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(2): 55−62.

BPS Kabupaten Gorontalo. 2001. Kabupaten Gorontalo dalam Angka Tahun 2001. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo, Limboto.

Fagi, A.M. dan I. Las. 2006. Konsepsi pengendalian pencemaran lingkungan secara terpadu berbasis DAS. Makalah Seminar Nasional Pengendalian Pencemaran Lingkungan Pertanian melalui Pendekatan Pengelolaan DAS secara Terpadu. Kerja Sama Loka Penelitian Lingkungan Pertanian, UNS, HITI, Surakarta, 28 Maret 2006. hlm 14.

BPS Kabupaten Gorontalo. 2004. Kabupaten Gorontalo dalam Angka Tahun 2004. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo, Limboto. BPS Kabupaten Gorontalo. 2006. Kabupaten Gorontalo dalam Angka Tahun 2006. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo, Limboto.

106

FAO. 1976. A framework for land evaluation. Soils Bull. 32: 12−16. Gomez, A.A. and K.A. Gomez. 1983. Multiple Cropping in the Humid Tropics of Asia.

International Development Research Centre (IDRC), Canada. Hidayanto, M., S. Sabiham, S. Yahya, dan L.I. Amien. 2008. Arahan pengelolaan lahan berkelanjutan di kawasan perbatasan Kalimantan Timur-Malaysia. Jurnal Sumberdaya Lahan 2(2): 105−114. Hidayat, A., Hikmatullah, dan D. Santoso. 2000. Potensi dan pengelolaan lahan kering dataran rendah. hlm. 197−222. Dalam Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hikmatullah, N. Suharta, dan A. Hidayat. 2008. Potensi sumber daya lahan untuk pengembangan komoditas pertanian di Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Sumberdaya Lahan 2(1): 45−58. Husain, J., J.N. Luntungan, Y. Kamagi, dan Nurdin. 2004. Model Usaha Tani Jagung Berbasis Konservasi di Provinsi Gorontalo. Laporan Hasil Penelitian, Badan Penelitian, Pengembangan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Gorontalo, Gorontalo. Husain, J., Nurdin, dan I. Dunggio. 2006. Uji optimasi dosis pupuk majemuk pada berbagai varietas jagung. hlm. 60−67. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi untuk Mendukung Revitalisasi Pertanian melalui Pengembangan Agribisnis dan Ketahanan Pangan, Manado 22−23 November 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Idjudin, A.A. dan S. Marwanto. 2008. Reformasi pengelolaan lahan kering untuk mendukung swasembada pangan. Jurnal Sumberdaya Lahan 2(2): 115−125. Ilahude, Z., F. Zakaria, F. Jamin, dan Nurdin. 2007. Pengembangan sistem usaha tani konservasi tanaman jagung melalui optimalisasi produktivitas lahan kering di Provinsi Gorontalo. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo. Irawan, E. Husen, Maswar, R.L. Watung, dan F. Agus. 2004. Persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap multifungsi pertanian: studi kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan, Bogor 18 Desember 2003 dan 7 Januari 2004. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. JICA Studi Team. 2002. The study on flood control and water management in LimbotoBone Bolango Basin in Indonesia. JICA. Kadekoh, I. 2010. Optimalisasi pemanfaatan lahan kering berkelanjutan dengan sistem polikultur.Http://sulteng.litbang.deptan.go. id/ind/images/stories/bptp/prosiding 2007/14.pdf [29 Januari 2010]. Kusmawati, I. 2006. Pendugaan erosi dan sedimentasi dengan menggunakan model GeoWEPP (studi kasus DAS Limboto, Provinsi Gorontalo). Tesis Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


Lal, R. 1980. Soil erosion as a constraint to crop production. In Soil-Related Constraints to Food Production in the Tropics. International Rice Research Institute (IRRI), Los Banos, the Philippines. Lestariya, A.W. 2005. Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) Melawi. Jurnal llmiah Geomatika 11(2). Minardi, S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan. Orasi Pengukuhan Guru Besar Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Mitchell, B. 1997. Resource and Environmental Management. Addison Wesley Longman Ltd., Canada. Mosher, A.T. 1991. Getting Agriculture Moving. Frederick A. Praeger, Inc. Publ., New York. Mulyani, A. 2006. Potensi lahan kering masam untuk pengembangan pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28(2): 16−17. Musa, N. 2006. Produksi potensial dan analisis pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L.). Jurnal Ilmiah Agrosains Tropis 1(1): 7−11. Nair, P.K.R. 1989. Classification of agroforestry systems. p. 39−52. In P.K.R. Nair (Ed). Agroforestry Systems in the Tropics. Kluwer Academic Publ., the Netherlands. Naylor, R.L., D.S. Battisti, D.J. Vimont, W.P. Falcon, and M.B. Burke. 2007. Assessing risk of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proceedings of National Academy of Science (PNAS) 104(19): 7752−7757. Notohadinegoro, T. 2000. Diagnostik fisik kimia dan hayati kerusakan lahan. hlm 54−61. Prosiding Seminar Pengusutan Kriteria Kerusakan Tanah/Lahan, Asmendap I LH/ Bapedal, Yogyakarta, 1−3 Juli 2000. Nurdin, J. Husain, dan H. Kasim. 2006. Kesesuaian lahan berdasarkan faktor iklim untuk pengembangan jagung di wilayah Longalo Tapa Provinsi Gorontalo. hlm. 301−307. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi untuk Mendukung Revitalisasi Pertanian melalui Pengembangan Agribisnis dan Ketahanan Pangan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, Manado, 22−23 November 2006. Nurdin, Z. Ilahude, F. Zakaria, dan P. Maspeke. 2009. Pertumbuhan dan hasil jagung yang

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

dipupuk N, P, dan K pada tanah Vertisol Isimu Utara Kabupaten Gorontalo. Jurnal Tanah Tropika 14(1): 49−56. Nuryanto, A., D. Setyawati, I. Lidiawati, J. Suyana, L. Karlinasari, M.A. Nasri, N. Puspaningsih, dan S. Yuwono. 2003. Strategi pengelolaan DAS dalam rangka optimalisasi kelestarian sumber daya air (studi kasus DAS Ciliwung Hulu). Makalah Falsafah Sains Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. PPLH-SDA Unsrat. 2002. Laporan mengenai dampak lingkungan kegiatan master plan penanggulangan banjir di DAS LimbotoBone-Bolango, Provinsi Gorontalo. PPLHSDA Lembaga Penelitian Universitas Sam Ratulangi, Manado. Puslitbangtanak (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat). 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000. Puslitbangtanak, Bogor. 37 hlm. Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1994. Ekspose hasil survei tanah tinjau Kabupaten Gorontalo, Sulawesi Utara. Puslittanak, Bogor. 128 hlm. Puslittan (Pusat Penelitian Tanah). 1983. Terms of Reference Survei Kapabilitas Tanah No 22/1983. Puslittan, Bogor. Rauf, A. 2003. Pendayagunaan lahan miring dengan sistem agroforestri di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser: Studi kasus di Kabupaten Langkat Sumatera Utara. hlm 80−92. Prosiding Seminar Nasional dan Kongres Nasional HITI VIII, Padang, 21−23 Juli 2003. Rukmana, R. 2001. Teknik Pengelolaan Lahan Kering Berbukit dan Kritis. Kanisius, Yogyakarta. Runtunuwu, E. dan H. Syahbuddin. 2007. Perubahan pola curah hujan dan dampaknya terhadap periode masa tanam. Jurnal Tanah dan Iklim 26: 1−2. Setyati, S.H. 1975. Pengantar Agronomi. Gramedia, Jakarta. Sitorus, R.P. 1998. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Tarsito, Bandung. Soemarno. 1991. Studi Perencanaan Pengelolaan Lahan di Sub-DAS Konto, Malang. Disertasi Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Subagjo, H., Djaenuddin, G. Joyanto, dan A. Syarifuddin. 1995. Arahan pengembangan komoditas berdasarkan kesesuaian lahan. hlm. 27−54. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor Subagyono, K., S. Marwanto, dan U. Kurnia. 2003. Teknik Konservasi Tanah secara Vegetatif. Balai Penelitian Tanah, Bogor. hlm 45. Subardja, D. dan Sudarsono. 2005. Pengaruh kualitas lahan terhadap produktivitas jagung pada tanah vulkanik dan batuan sedimen di daerah Bogor. Jurnal Tanah dan Iklim 23: 38−47. Sunaryo dan L. Yoshi. 2003. Peranan pengetahuan ekologi lokal dalam sistem agroforestri. ICRAF, Bogor. Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi, Yogyakarta. Syahbuddin, H., M.D. Yamaika, and E. Runtunuwu. 2004. Impact of climate change to upland water budget in Indonesia: Observation during 1980−2002 and simulation for 2010−2039. Presented in 2nd Annual Meeting of Asia Oceania Geo-Science Society (AOGS 2005), Singapore, June 2005. Syam, A. 2003. Sistem pengelolaan lahan kering di daerah aliran sungai bagian hulu. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 22(4): 162−171. Tala’ohu, S.H., A. Abas, dan U. Kurnia. 2003. Optimasi produktivitas lahan kering beriklim kering melalui penerapan sistem usaha tani konservasi. Prosiding Seminar dan Kongres Nasional VIII HITI, Padang 21−23 Juli 2003. Todaro, M.P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid I edisi ke-4, terjemahan. Airlangga, Jakarta. Tolinggi, W.K. 2010. Modernisasi pertanian dan kearifan lokal pertanian. hlm. 279−284. Dalam S.Q. Badu (Eds). Energi Peradaban. UNG Press, Gorontalo. Yongki, I., I.B. Pramono, dan S.A. Cahyono. 2003. Konservasi air lahan kering sebagai alternatif pengembangan lahan kering. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Rehabilitasi Lahan Kritis, Banjarnegara, 6 Desember 2003.

107


STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU TAHUN 2014 Dwi Priyanto Balai Penelitian Ternak, Jalan Banjarwaru, Ciawi, Kotak Pos 221 Bogor 16002, Telp. (0251) 8240752, Faks. (0251) 8240754, E-mail: balitnak@litbang.deptan.go.id Diajukan: 05 Oktober 2010; Diterima: 24 Maret 2011

ABSTRAK Laju permintaan daging sapi meningkat tajam seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, perbaikan pendapatan per kapita, dan perubahan selera konsumen. Namun, sampai saat ini Indonesia masih merupakan negara net importir daging sapi karena 35% pasokan dipenuhi dari impor. Oleh karena itu, upaya mencapai swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK) tahun 2014 difokuskan pada pengembangan usaha peternakan rakyat dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Strategi untuk mendukung PSDSK meliputi pengembangan sentra-sentra produksi sapi potong dan penggalian sumber pakan (padang penggembalaan), khususnya untuk usaha pembibitan, serta pengembangan aspek teknis dan teknologi, yang meliputi penyelamatan sapi betina produktif untuk meningkatkan populasi ternak, menunda pemotongan ternak untuk mencapai bobot potong yang optimal, memperpendek jarak beranak (calving interval) untuk efisiensi reproduksi, dan penerapan teknologi inseminasi buatan (IB) untuk memperoleh bobot badan yang tinggi. Keempat komponen tersebut mampu memberi kontribusi terhadap produksi daging sapi sebesar 58,43% dari target swasembada 400.000 t/tahun, dengan menerapkan pola integrasi dan inovasi kelembagaan. Kebijakan pemerintah dengan mengendalikan impor daging dan sapi bakalan berperan penting pula dalam melindungi peternakan rakyat. Koordinasi antarinstitusi pusat dan daerah sangat diperlukan dalam implementasi program di lapangan, termasuk pemantauan dan evaluasi secara periodik. Kata kunci: Sapi potong, kerbau, usaha ternak, produksi daging, swasembada daging

ABSTRACT Strategy of beef cattle development to support beef self-sufficiency program in 2014 Beef cattle demand increases significantly in line with the increasing population, improving income per capita, and change in consumers' preference. However, Indonesia until now is still as net importer of beef as 35% of supply is supported by import. In achieving beef self-sufficiency in 2014, effort was focused on the development of domestic farming system through utilization of local resources. Strategies to support beef self-sufficiency include development of beef cattle production centers and utilization of grass land to increase carrying capacity, particularly at cow calf production, and improvement of technical aspects and innovations of technology which include protection of slaughtering female productive cow to increase population, delaying slaughtering to increase body weight, shortening lambing interval to optimize reproduction, and introducing artificial insemination (AI) to produce final stocks with optimum body weight. These components could support beef production up to 58.43% from self-sufficiency target of 400,000 tons/year, by implementing integrated model and innovation of institution. Government policy in limitation of beef and cattle import is also important to protect domestic cattle farming. Coordination of institutions from central until regional levels is needed in implementing program in specific area, and supported by monitoring and evaluation. Keywords: Beef cattle, buffaloes, farming systems, beef production, beef self-sufficiency

L

aju peningkatan jumlah penduduk, yang diikuti dengan perbaikan taraf hidup dan perubahan selera konsumen telah mengubah pola konsumsi yang

108

mengarah pada protein hewani asal ternak. Daging, telur, dan susu merupakan komoditas pangan berprotein tinggi, yang umumnya memiliki harga yang lebih

mahal dibanding bahan pangan lainnya (Soedjana 1997). Daging sapi sebagian besar dihasilkan oleh usaha peternakan rakyat. KebuJurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


tuhan daging sapi meningkat dari tahun ke tahun, demikian pula impor terus bertambah dengan laju yang makin tinggi, baik impor daging maupun sapi bakalan. Indonesia merupakan negara net importir produk peternakan, termasuk daging sapi. Kondisi demikian menuntut para pemangku kepentingan (stakeholders) menetapkan suatu strategi pengembangan peternakan sapi potong nasional untuk mengurangi ketergantungan pada impor, dan secara bertahap mampu berswasembada dalam menyediakan kebutuhan daging nasional. Program swasembada daging sapi telah dicanangkan selama dua periode (5 tahunan), dan terakhir ditargetkan tercapai pada 2010 melalui berbagai terobosan, namun upaya tersebut belum berhasil. Menurut Yusdja et al. (2004), ketidakberhasilan swasembada daging yang dicanangkan pada tahun 2000 dan berakhir pada 2004 disebabkan tidak tercapainya sasaran program. Penyebabnya adalah: 1) kebijakan program tidak disertai dengan rencana operasional yang rinci dan kegiatan riil di lapangan, 2) program bersifat top down dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai, 3) strategi implementasi program disamaratakan dengan tidak memprioritaskan wilayah unggulan, tetapi berorientasi pada komoditas unggulan, 4) implementasi program tidak memungkinkan untuk mengevaluasi dampak program, dan 5) program tidak secara jelas memberikan dampak pada pertumbuhan populasi ternak secara nasional. Selanjutnya, dicanangkan program swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK) yang diharapkan dicapai pada tahun 2014. Program tersebut didukung

oleh berbagai terobosan dalam inovasi teknologi, kelembagaan, dan kebijakan. Strategi percepatan swasembada daging sapi dan kerbau yang dicanangkan Direktorat Jenderal Peternakan (Ditjennak) dilakukan melalui kegiatan teknis, yang meliputi 1) pengembangan sentra perbibitan dan penggemukan, 2) revitalisasi kelembagaan dan SDM di lapangan, dan 3) dukungan sarana dan prasarana, serta kegiatan nonteknis seperti dukungan finansial dan pengembangan wilayah (Badan Litbang Pertanian 2009). Tulisan ini mengulas model pengembangan usaha ternak sapi potong dalam mendukung PSDSK 2014. Aspek yang dibahas meliputi rekomendasi teknologi dan kelembagaan, kebijakan, serta koordinasi institusi dalam implementasi program di lapangan.

PERKEMBANGAN SUMBER DAYA DAN POPULASI SAPI POTONG Pemenuhan kebutuhan daging sapi nasional ditentukan oleh beberapa faktor yang terkait dengan data dukung yang tersedia dan peluang dalam menarik kebijakan ke depan. Populasi penduduk sebagai faktor utama dalam pemenuhan kebutuhan daging cenderung meningkat dengan laju 1,2%/tahun (BPS 2009a), sementara laju peningkatan populasi sapi potong mencapai 5,3% (BPS 2009b). Laju pemotongan ternak sapi mencapai 4,9% dan laju produksi daging 3,1% (Ditjennak 2009). Laju peningkatan produksi daging tersebut tidak mampu memenuhi permintaan karena berbagai

faktor, yaitu: 1) penyediaan daging pada awalnya masih tidak sesuai dengan permintaan yang masih terjadi excess demand, 2) meningkatnya pendapatan rumah tangga yang cenderung mengubah pola konsumsi yang mengarah pada protein hewani asal ternak, termasuk daging sapi, dan 3) perubahan selera masyarakat yang cenderung mengarah pada konsumsi daging sapi (steak dan produk olahan lainnya). Peningkatan konsumsi daging sapi belum dapat diimbangi oleh peningkatan produksi dalam negeri, baik kualitas maupun kuantitasnya, sehingga terjadi jurang yang semakin besar antara permintaan dan penawaran (Subagyo 2009). Kondisi ini tercermin pada impor sapi bakalan maupun daging yang cenderung meningkat. Impor sapi bakalan mencapai 570.100 ekor pada tahun 2008 dan meningkat 40,84%/tahun. Demikian pula impor daging sapi mencapai 45.708,5 ton dengan peningkatan 37,58%/tahun (Tabel 1). Target swasembada daging sapi adalah 90−95% dari kebutuhan, sementara sisanya (5−10%) dapat dipenuhi melalui impor (Badan Litbang Pertanian 2009). Endik (2010) menyatakan, swasembada daging sapi berarti harus menggali seluruh potensi dan kemampuan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan tanpa perlu melakukan impor. Pengembangan sapi dilakukan dengan melibatkan peternak sebagai pelaku utama. Namun, luas area padang rumput sebagai sumber pakan ternak menurun dengan laju 6,2%. Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam pengembangan sapi potong melalui penggembalaan, khususnya untuk usaha pembibitan.

Tabel 1. Perkembangan populasi penduduk dan ternak sapi serta luas area penggembalaan di Indonesia, 2005− 2008. Tahun

Peubah

2005

Populasi penduduk (000 jiwa)1 Populasi sapi potong (ekor) Pemotongan (ekor) Produksi daging sapi (t) Impor sapi bakalan (000 ekor) Impor daging sapi (t) Padang rumput2

218.869 10.569.312 1.653.770 358.704 256,2 21.484,5 1999 2.424.459

2006 221.654,5 10.575.125 1.799.781 395.840 265,7 25.949,2 2000 2.208.923

2007 224.196 11.514.671 1.885.950 339.480 414,2 39.400 2002 2.155.015

2008 226.766,6 12.256.604 1.899.107 392.511 570,1 45.708,5 2003 2.041.671

Peningkatan/ tahun (%) 1,20 5,32 4,94 3,14 40,84 37,58 -6,25

Sumber: BPS (2009a); Ditjennak (2008; 2009). 1

2

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

109


SUMBER PRODUKSI DAN KEBUTUHAN DAGING SAPI DI INDONESIA Penyediaan daging sapi nasional berasal dari tiga sumber utama, yakni: 1) usaha peternakan rakyat, 2) industri penggemukan sapi dengan melakukan impor sapi bakalan, dan 3) impor daging sapi (Gambar 1). Usaha ternak sapi potong rakyat umumnya berupa usaha pembibitan (produksi anak) atau pembesaran anak dengan biaya rendah (low external input). Manajemen usaha dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan sumber daya lokal (padat tenaga kerja), tidak berorientasi pada keuntungan karena mengandalkan tenaga kerja keluarga, dan diusahakan dalam skala kecil. Usaha pembibitan kurang menarik minat investor karena efisiensinya rendah dan jangka pengembalian modal panjang (Rayana 2009). Suplai daging berasal dari sapi betina afkir atau dewasa, sapi jantan lokal, sapi perah afkir, dan anak sapi perah jantan. Peternak menjual sapi berdasarkan kebutuhan. Sapi jantan umumnya dijual ke pemilik modal untuk digemukkan. Impor sapi bakalan dilakukan oleh importir yang kemudian dikelola oleh feedloter untuk digemukkan, biasanya selama 3−4 bulan atau sampai siap potong. Impor sapi bakalan dilakukan karena sulitnya mendapat sapi bakalan lokal, di

Sumber daging sapi nasional

samping harga sapi lokal yang lebih mahal dibanding sapi bakalan impor. Volume impor sapi bakalan menunjukkan trend yang semakin tinggi, yaitu 40,2% (Ditjennak 2009), dan berperan penting dalam mendukung penyediaan daging nasional. Usaha penggemukan sangat menguntungkan walaupun dengan input tinggi karena merupakan usaha padat modal dan dalam jangka waktu pendek investasi dapat kembali. Oleh karena itu, usaha penggemukan cukup berkembang. Di satu sisi, impor sapi bakalan berpotensi mendukung suplai daging nasional, namun di lain pihak merupakan pesaing bagi usaha peternakan rakyat. Impor daging sapi cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan laju 37,58%/tahun (Tabel 1). Impor daging sapi dilakukan oleh 16 importir yang ada di Indonesia (Subagyo 2009) dan 30 importir daging beku (serta berbagai jenis daging lainnya). Berdasarkan UU No. 18 tahun 2009 tentang pembukaan izin impor, tercatat enam negara yang boleh memasukkan daging sapi ke Indonesia, antara lain Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Kanada. Selama ini impor didominasi dari Australia (60%) dan Selandia Baru (30%) dari total impor 70.000 t/tahun (Rayana 2009). Impor daging sapi di satu sisi dapat memenuhi kebutuhan, namun di sisi lain menjadi pesaing usaha peternakan rakyat. Oleh karena itu, impor daging sapi perlu

Asal produk daging

s

Peternakan rakyat (domestik)

Sistem usaha

Sapi betina s

s

Sapi jantan lokal untuk penggemukan

Tradisional dan semitradisional (padat tenaga kerja)

Sapi perah afkir/ anak sapi perah jantan

s

s

s

Sapi siap potong

s

s

Daging beku

s

Impor daging

s

Impor sapi bakalan

Feedlodter (komersial/padat modal) Importir (komersial/ padat modal)

Gambar 1. Alur produksi usaha peternakan dalam mendukung ketersediaan daging nasional. 110

dikendalikan karena persaingan usaha cenderung dimenangkan pihak pemodal besar yang menguasai pasar.

STRATEGI PENGEMBANGAN SAPI POTONG MENDUKUNG PSDSK Pelaksanaan PSDSK 2014 relatif singkat, yakni 4 tahun, sehingga perlu program terobosan yang mampu mendongkrak produksi daging nasional, dengan mempertimbangkan kemudahan implementasi dan efisiensi usaha. Untuk mendukung PSDSK 2014, beberapa program yang dapat dilaksanakan diuraikan berikut ini.

Pengembangan Sentra Produksi Sapi Potong Berbasis Wilayah Pengembangan sapi potong memerlukan pengelompokan basis wilayah yang disesuaikan dengan daya dukung (carrying capacity) sebagai model pengembangan ke depan. Terdapat 10 provinsi utama produsen daging, meskipun mengalami pergeseran dari tahun ke tahun (Tabel 2). Pada tahun 2004, produsen daging utama adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Barat, Jakarta, Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur. Namun, pada tahun 2008 Jawa Timur menjadi produsen terbesar, disusul Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Jakarta, Bali, dan Kalimantan Timur tidak masuk dalam 10 besar produsen daging (Departemen Pertanian 2009 dalam Subagyo 2009). Jawa sebagai pusat konsumen daging sapi merupakan sentra pemotongan ternak terbesar. Pola usaha umumnya berupa usaha penggemukan, selain pembibitan dengan pola intensif, dengan basis pengembangan usaha difokuskan pada industri hilir. Potensi pakan terintegrasi dengan tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan dan sudah mengarah pada usaha semikomersial. Inovasi teknologi ke arah komersialisasi pengembangan produk lebih diutamakan. Pemetaan wilayah pengembangan usaha (sumber pertumbuhan baru) dengan pola pembibitan maupun penggemukan diperlukan untuk mendukung peningkatan populasi ternak. Usaha pembibitan diseJurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


Tabel 2. Sepuluh provinsi utama produsen daging sapi, 2004 dan 2008. Provinsi

Persentase

Tahun 2004 Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Sumatera Barat Banten Jakarta Sulawesi Selatan Bali Sumatera Selatan Kalimantan Timur Lainnya

17,4 17,7 14,5 3,0 3,6 2,9 2,7 1,9 1,9 1,5 32,7

Tahun 2008 Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Sumatera Barat Banten Nanggroe Aceh Darussalam Sulawesi Selatan Sumatera Utara Sumatera Selatan Nusa Tenggara Barat Lainnya

23,6 14,9 13,9 4,6 4,6 3,5 3,4 2,8 2,6 2,2 23,9

suaikan dengan daya dukung padang penggembalaan. Wilayah yang potensial untuk pengembangan usaha pembibitan adalah Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Nanggroe Aceh Darussalam, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah yang memiliki area padang rumput terluas (Tabel 3). Sampai saat ini, belum ada investor yang tertarik pada usaha pembibitan sapi potong (Rayana 2009). Usaha pembibitan hanya dilakukan oleh peternakan rakyat dengan mengandalkan sumber daya lokal. Pengembangan dan pemanfaatan padang

penggembalaan merupakan alternatif pendukung mempercepat pencapaian swasembada daging sapi, khususnya pembibitan yang dikelola oleh masyarakat (pemeliharaan secara ekstensif). Meles (2009) menyatakan, pengembangan sapi potong perlu mempertimbangkan potensi sumber daya yang dimiliki daerah, seperti area penggembalaan atau area pertanian, populasi ternak, sumber daya manusia, teknologi tepat guna, sarana pendukung, dan potensi pasar.

Pengembangan Aspek Teknis dan Teknologi Pengembangan usaha sapi potong berdasarkan aspek teknis dan teknologi didasarkan pada pembelajaran kasus yang terjadi di lapangan, yakni faktor penghambat dan alternatif pemecahannya melalui introduksi teknologi dan kelembagaan, serta sarana pendukung lainnya.

Penyelamatan sapi betina produktif Walaupun sudah ada undang-undang yang melarang pemotongan sapi betina produktif, fakta di lapangan menunjukkan kasus tersebut masih banyak terjadi. Sekitar 200.000 ekor sapi betina produktif dipotong setiap tahunnya (Rayana 2009). Jika 200.000 ekor sapi betina produktif tersebut dapat diselamatkan maka akan diperoleh tambahan anak 147.000 ekor/ tahun atau menambah produksi daging 14.700 t/tahun bila satu ekor sapi setara dengan 100 kg daging. Dengan target swa-

Tabel 3. Enam provinsi di Indonesia dengan area padang rumput terluas, yang potensial untuk pengembangan sapi dengan pola pembibitan. Provinsi Nusa Tenggara Timur Kalimantan Timur Nanggroe Aceh Darussalam Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Indonesia Sumber: Ditjennak (2008).

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

Padang rumput Luas (ha)

Persentase

746.660 726.798 382.736 294.098 157.460 154.126

30,33 29,52 15,55 11,95 6,39 6,26

2.461.878

100

sembada 400.000 ton daging maka pelarangan pemotongan sapi betina produktif akan mendukung pasokan daging 3,68%. Oleh karena itu, kebijakan penyelamatan betina produktif dipandang tepat. Ilham (2006) menyatakan, faktor yang mendorong pemotongan sapi betina produktif adalah: 1) peternak memerlukan dana tunai untuk kebutuhan hidupnya sehingga menjual sapi betina yang dimiliki, 2) harga sapi betina lebih murah dibanding sapi jantan, padahal harga jual dagingnya sama sehingga menarik pembeli, 3) adanya pemotongan di luar rumah potong hewan (RPH) pemerintah, dan 4) banyak RPH yang hanya berorientasi keuntungan sehingga melakukan pemotongan sapi betina produktif. Faktor ekonomi merupakan alasan utama peternak menjual sapi betina produktif. Untuk mengatasi kondisi tersebut, perlu dibentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang berfungsi membeli sapi betina untuk selanjutnya didistribusikan kembali ke peternak. Selain itu, perlu tersedia dana cadangan untuk pembelian sapi betina produktif dan perbaikan tata kelola RPH di daerah.

Tunda potong untuk penggemukan Data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menunjukkan, setiap tahun Indonesia membutuhkan 350.000−400.000 ton daging sapi, yang setara dengan pemotongan sapi 1,7−2 juta ekor (Rayana 2009). Pada tahun 2007, populasi sapi potong mencapai 11.514.671 ekor dengan populasi sapi induk 42,03% (Tabel 4). Bila jarak beranak 16 bulan (Achmad 1983 dalam Puslitbangnak 1994) dan mortalitas 2% (Ditjennak 2008), dalam satu tahun akan dihasilkan anak 3.557.117 ekor. Dengan kondisi tersebut maka target pemotongan 2 juta ekor sapi untuk swasembada daging dapat dicapai, dengan asumsi bobot seekor sapi 200 kg (400.000 ton daging). Namun, target produksi daging tiap ekor sapi tersebut menjadi permasalahan karena sapi lokal yang tercatat dalam populasi relatif kecil atau dipotong saat belum mencapai bobot optimal sehingga target bobot karkas per ekor (masih rendah) tidak tercapai. Oleh karena itu, rekomendasi tunda potong merupakan salah satu alternatif dalam mendukung pertambahan bobot potong dan bobot daging yang dihasilkan. 111


Tabel 4. Persentase struktur populasi sapi potong di Indonesia, 2003 dan 2007. Dewasa

Tahun 2003 2007

Muda

Anak

Jantan

Betina

Jantan

Betina

Jantan

Betina

10,01 12,22

44,30 42,03

11,61 10,70

14,86 13,63

9,35 10,08

9,87 11,25

Sumber: Ditjennak (2009).

Ternak lokal umumnya dipotong saat belum mencapai bobot optimal atau dipotong pada usia muda, dengan bobot hidup 300−350 kg sehingga menghasilkan karkas atau daging yang rendah. Penundaan pemotongan melalui penggemukan akan meningkatkan produksi karkas dan daging. Apabila 50% anak yang dilahirkan adalah jantan maka program tunda potong akan menambah produksi daging 30 kg/ekor, atau meningkatkan produksi daging per tahun sebesar 1.724.112 x 30 (tambahan bobot daging) atau 551.723,36 ton, yang dapat mendukung program swasembada daging 12,93%. Upaya tersebut dapat dilakukan bekerja sama dengan usaha penggemukan melalui kemitraan yang saling menguntungkan. Kerja sama peternakan rakyat dengan usaha penggemukan dapat mendukung program tunda potong dengan memanfaatkan sapi bakalan lokal.

Memperpendek jarak beranak Jarak beranak sapi peranakan ongole (PO) cukup panjang, masing-masing 503 dan 505 hari (sekitar 16 bulan) di Kabupaten Gunung Kidul dan Kulonprogo (Achmad 1983 dalam Puslitbangnak 1994). Dengan proporsi induk 42,03% dari total populasi dan jarak beranak 16 bulan akan diperoleh anak sebanyak 3.629.712 ekor/tahun (4.839.616 x 0,75). Jika jarak beranak dapat diperpendek menjadi 12 bulan maka anak yang dihasilkan meningkat 1.209.904 ekor menjadi 4.839.616 ekor/tahun. Dengan asumsi produksi daging tiap ekor sapi 100 kg maka produksi daging akan meningkat 120.990,40 ton atau menyumbang 30,24% dari target swasembada. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan: 1) menyediakan pejantan karena telah terjadi kelangkaan pejantan unggul di lapangan karena memelihara pejantan dianggap tidak menguntungkan, 2) mempertepat deteksi 112

berahi pada usaha ternak intensif (dikandangkan) sehingga dapat memperpendek jarak beranak, dan 3) melakukan penyuluhan sistem perkawinan sehingga peternak mampu mengawinkan ternak tepat waktu, baik dengan perkawinan alami maupun melalui IB.

Pengembangan teknologi inseminasi buatan (lB) IB bertujuan untuk membentuk bangsa baru ternak melalui persilangan dengan pejantan unggul (Toelihere 1981). Dengan teknologi IB akan dihasilkan pedet yang lebih besar dengan laju pertumbuhan yang cepat sehingga dapat diperoleh bobot potong yang tinggi. Priyanto (2003) menyatakan, penerapan teknologi IB tidak berpengaruh terhadap penyediaan daging di Indonesia, yang diprediksi berdasarkan distribusi semen beku tahunan. Kondisi tersebut terjadi karena tidak seimbangnya distribusi semen beku dan angka kelahiran. Pada tahun 1997−2000, rasio rata-rata kelahiran pedet dibanding realisasi distribusi semen hanya mencapai 38,26% atau tergolong rendah. Namun, pada wilayah kantong ternak sapi potong, teknologi IB dapat meningkatkan produktivitas sapi dengan bobot badan yang tinggi (keturunan Limousin dan Simental), seperti di Daerah Istimewa Yogyakarta (Setiadi et al. 1997). Sebagai ilustrasi, realisasi distribusi semen beku pada tahun 1997−2000 mencapai 1.211.206 straw dengan angka kelahiran 38,26% dan hasil pedet 463.407 ekor (Priyanto 2003). Dengan asumsi pertambahan bobot daging sapi hasil IB dibanding sapi lokal 100 kg/ ekor maka suplai daging akan bertambah 46.340,7 ton atau memberi kontribusi 11,58% dari target swasembada. Teknologi IB diminati peternak sapi perah maupun sapi potong. Untuk efek-

tivitas IB, semen sebaiknya tidak didistribusikan secara merata pada semua wilayah, tetapi selektif pada wilayah dengan pola pemeliharaan intensif, khususnya sumber bibit sapi potong. Tidak efektifnya distribusi semen menyebabkan persentase kelahiran rendah akibat tingginya service per conception (SC) dan rendahnya conception rate (CR). Keberhasilan IB ditentukan oleh beberapa faktor, yakni SDM peternak, keterampilan inseminator, dan sarana pendukung (peralatan) (Sitepu et al. 1997).

PENGEMBANGAN FAKTOR PENDUKUNG Dengan rekomendasi pengembangan aspek teknis dan teknologi di atas, bila target swasembada daging sapi 400.000 t/ tahun maka komponen tersebut mampu mendukung PSDSK 58,43%, yang terdiri atas penyelamatan sapi betina produktif 3,68%, tunda potong 12,93%, memperpendek jarak beranak 30,24%, dan pengembangan IB 11,58%. Untuk mencapai target swasembada, dalam kurun waktu 4 tahun, target tahunan harus dicapai sesuai rekomendasi dengan didukung beberapa kegiatan sebagai berikut.

Pengembangan Model Integrasi Daya dukung pakan ternak terus menurun akibat perkembangan populasi ternak serta persaingan dalam pemanfaatan lahan untuk usaha ternak (padang penggembalaan) dengan pengembangan tanaman pangan, perkebunan, dan perumahan. Kondisi demikian menuntut adanya terobosan, antara lain pengembangan sistem integrasi ternak dan tanaman (crop livestock system/CLS). Pola tersebut merupakan salah satu upaya efisiensi usaha untuk meningkatkan pendapatan petani dengan usaha multikomoditas (ternak dan tanaman). CLS mampu menekan input produksi dengan prinsip mengurangi risiko usaha melalui diversifikasi sehingga kelestarian sumber daya lahan lebih terjaga (Diwyanto dan Handiwirawan 2004). Dalam konsep CLS, peternak diharapkan mampu memanfaatkan limbah pertanian/perkebunan sebagai bahan baku pakan ternak yang murah dan mudah diperoleh di lokasi sehingga menekan biaya produksi usaha ternak. Sebaliknya, Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


kompos dari kotoran ternak dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman untuk menekan biaya produksi tanaman. Pola ini telah berkembang pada sapi, seperti integrasi padi-ternak (Haryanto et al. 2002; Yusran dan Soleh 2004) dan sapi-sawit (Gubernur Provinsi Bengkulu 2004; Subagiyono 2004) dan sangat potensial dalam pengembangan peternakan spesifik lokasi. Pola integrasi akan meningkatkan daya dukung pakan dengan sentuhan inovasi teknologi dalam pengolahan limbah tanaman untuk memperbaiki nilai gizi pakan.

Pengembangan Kelembagaan Pengembangan usaha ternak sapi potong perlu didukung kelembagaan di tingkat peternak maupun di tingkat institusi (koordinasi program) selain permodalan. Salah satu program pengembangan kelembagaan adalah Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) oleh Badan Litbang Pertanian (Zaini et al. 2002), yang memasukkan komponen sapi potong sebagai model integrasi untuk merehabilitasi lahan pertanian. Program tersebut didukung oleh pengembangan kelembagaan permodalan, yakni Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT), yang mengarah pada penumbuhan, penguatan, dan pemantapan kelompok tani (Soentoro et al. 2002). Dalam pengembangan kelembagaan peternakan sapi potong, kelompok diposisikan sebagai: 1) target pembinaan, yakni peternak sebagai subjek pembinaan dalam pengembangan inovasi teknologi, 2) target pengembangan sarana dan prasarana, misalnya alsintan untuk pengolahan pakan dan kompos, sebagai langkah efisiensi dengan mengoptimalkan kemampuan olah, jumlah pengguna, dan jangkauan wilayah, secara berkelanjutan, 3) pemenuhan target produksi dalam suatu kawasan (target produksi ternak) terkait dengan pemasaran hasil secara kontinu, dan 4) wahana untuk menghimpun modal kelompok sehingga mampu berperan sebagai penjamin dalam penggalangan dana untuk pengembangan usaha ternak. Dengan adanya kelompok yang mantap maka akan terbentuk usaha yang berorientasi bisnis yang mampu meningkatkan posisi tawar produk yang dihasilkan. Melalui upaya ini diharapkan usaha ternak dapat berkelanjutan dan mengarah pada usaha agribisnis berbasis peternakan (Saragih 2000). Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

Aspek Kebijakan PSDSK memiliki tantangan yang berat dalam implementasi di lapangan, baik yang menyangkut aspek teknis pelaksanaan di tingkat peternak maupun pengusaha swasta (usaha penggemukan). Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang terkait langsung dengan kinerja pengembangan sapi potong di tingkat nasional. Kebijakan tersebut dilakukan oleh pemerintah sebagai komponen penunjang dalam konsep usaha agribisnis (Saragih 2000), dengan meminimalkan persaingan antara usaha peternakan rakyat dan pengusaha bermodal besar. Kebijakan Pembatasan lmpor Daging Sapi. Kebijakan impor daging sapi awalnya dilakukan untuk menutup kekurangan pasokan di dalam negeri. Hal ini sejalan dengan penelitian Priyanto (2003) yang menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi daging sapi nasional akan meningkatkan impor daging dan sapi bakalan. Impor daging sapi pada tahun 2008 mencapai 45.708,5 ton dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan laju 37,58%/tahun (tahun 2005−2008). Impor daging sapi beku dan segar mencapai 35% dari kebutuhan daging sapi nasional (Meles 2009). Rayana (2009) menyatakan, harga daging impor jauh lebih rendah dibandingkan harga daging lokal. Harga daging impor hanya Rp27.000−Rp33.000/kg, sedangkan daging lokal Rp40.000− Rp50.000/kg, walaupun penjualan daging impor dikenakan retribusi Rp200/ kg sedangkan retribusi daging lokal Rp22.500/ekor. Maraknya impor daging juga didukung oleh UU No 18 tahun 2009, yang membuka izin impor daging sapi dari Irlandia, setelah sebelumnya dari Brasil. Impor daging yang berlebihan sangat menguntungkan importir, namun berdampak buruk pada usaha peternakan rakyat sehingga menyebabkan terjadinya kelesuan (Direktur Eksekutif Apfindo dalam Rayana 2009). Priyanto (2003) menyatakan, peningkatan harga sapi lokal tidak mendorong pertumbuhan peternakan rakyat karena usaha ternak bersifat tradisional. Sebaliknya, penurunan harga daging sapi dari peternakan rakyat cenderung menurunkan suplai daging lokal sehingga melemahkan usaha peternakan rakyat, yang salah satunya mengakibatkan terjadinya persaingan impor daging yang tidak terkendali. Peneliti Indonesia

Research Strategic Analysis (IRSA) (Adiprigandari dalam Rayana 2009) menyatakan, pembukaan kran impor daging sebesar-besarnya akan menekan usaha peternakan rakyat karena harus bersaing untuk memperoleh pasar dalam negeri. Hal tersebut bertentangan dengan Permentan No. 20/2009 tentang pemasukan dan pengawasan peredaran karkas, daging, dan jeroan dari luar negeri yang cenderung membuka peluang impor. Permentan tersebut menunjukkan adanya perubahan pola pikir dari ketahanan pangan menjadi liberalisasi program (Rayana 2009). Oleh karena itu, kebijakan pembatasan impor daging perlu dilakukan secara bertahap untuk menjamin pertumbuhan peternakan rakyat sebagai langkah proteksi serta memacu pengembangan usaha ternak dalam negeri. Kebijakan Pengaturan Impor Sapi Bakalan. Impor sapi bakalan meningkat tajam dengan laju 40,2%/tahun. Indonesia merupakan pengimpor terbesar sapi hidup dari Australia, yang mencapai 75% dari total ekspor sapi hidup Australia ke pasar dunia. Total nilai impor Indonesia mencapai 19 juta dolar Australia. Meat and Livestock Australia (MLA), yaitu perusahaan yang menjadi mitra industri peternakan dan pemerintah Australia, menyatakan Indonesia merupakan negara tujuan ekspor dan mitra dagang penting (Pukesmaveta 2009). Impor sapi bakalan yang tinggi merupakan pemborosan devisa negara dan perlu dihindari karena program swasembada adalah mencukupi kebutuhan berbasis sumber daya dari dalam negeri. Impor sapi bakalan mencapai 570.100 ekor pada tahun 2008. Menurut Kadin, kebutuhan daging di Indonesia mencapai 400.000 t/tahun, yang setara dengan 2 juta ekor sapi. Jadi impor sapi bakalan mendukung kebutuhan swasembada daging 114.000 ton (570.000/2000.000 x 400.000 ton), atau 28,50%, yang kontroversi dengan swasembada. Impor sapi bakalan sebesar itu sudah jauh dari sasaran program swasembada (target impor 5−10%). Impor sapi bakalan akan menekan harga sapi lokal karena sapi impor dikelola oleh pihak swasta (padat modal), sebaliknya usaha peternakan rakyak dikelola oleh peternak dengan sistem padat tenaga kerja sehingga sulit bersaing tanpa ada proteksi (kebijakan) pemerintah. Menurut Subagyo (2009) beberapa kendala dalam meningkatkan produksi 113


cang konsep dasar program, menentukan wilayah pengembangan berdasarkan analisis potensi wilayah, serta menyusun juknis program, rekomendasi teknologi berdasarkan kondisi agroekosistem, mekanisme pelaksanaan di lapangan, serta pemantauan dan evaluasi. 2) Keterkaitan institusi (kelembagaan). Masing-masing institusi yang terlibat dalam program memiliki peran dan fungsi sesuai dengan tupoksinya. Ditjennak berperan menentukan arah pengembangan berkoordinasi dengan Dinas Pertanian/Peternakan di tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota. Badan Litbang Pertanian merekomendasikan inovasi teknologi dan kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan di lapangan melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balai Besar Penelitian Veteriner (teknologi penanganan penyakit hewan), Balai Penelitian Ternak dan Loka Penelitian Sapi Potong (pendampingan inovasi teknologi dan kelembagaan), serta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dalam pengawalan inovasi teknologi. Institusi terkait di daerah berperan sebagai pelaksana. 3) Strategi pengembangan. Sasarannya adalah wilayah yang memiliki keunggulan komparatif, yaitu wilayah potensial pendukung produksi da-

ging, di samping wilayah yang memiliki area padang penggembalaan sebagai model pola pembibitan. Berdasarkan keunggulan komparatif tersebut, diterapkan inovasi teknologi dan kelembagaan sehingga secara bertahap wilayah tersebut mampu memiliki keunggulan kompetitif agar dapat bersaing dari segi efisiensi usaha, yang meliputi aspek produktivitas, stabilitas, keberlanjutan, dan kemerataan, dan mengarah pada konsep usaha agribisnis berbasis peternakan (Saragih 2000). 4) Pemantauan terpadu dan evaluasi. Pemantauan dilakukan secara periodik baik di tingkat pusat maupun daerah (provinsi/kabupaten/kota), yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan kemampuan program berdasarkan indikator yang telah ditentukan (indikator teknis dan ekonomi).

KESIMPULAN PSDSK dicanangkan tercapai pada tahun 2014, dengan target pemberdayaan sumber daya peternakan rakyat dengan toleransi impor 5−10%. Untuk mewujudkan target tersebut diperlukan strategi yang tepat dalam implementasi di lapangan. Strategi dalam mendukung PSDSK meliputi beberapa program terobosan sebagai berikut:

1) Pengembangan sentra-sentra produksi sapi potong dan penggalian sumber daya dukung pakan murah, khususnya pada usaha pembibitan (padang penggembalaan). Berdasarkan aspek teknis dan teknologi, direkomendasikan beberapa kegiatan, yaitu penyelamatan sapi betina produktif, tunda potong untuk mengoptimalkan bobot potong, memperpendek jarak beranak, dan menerapkan teknologi IB. Keempat kegiatan tersebut diharapkan mampu berkontribusi terhadap penyediaan daging sapi sebesar 58,43% dari target swasembada 400.000 t/tahun. Selain itu, diperlukan perbaikan manajemen usaha melalui pola integrasi dan inovasi kelembagaan. 2) Pengendalian impor daging dan sapi bakalan untuk melindungi usaha peternakan rakyat. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menumbuhkembangkan usaha peternakan rakyat agar dapat bersaing dengan pengusaha yang padat modal. 3) Koordinasi antarinstitusi dari tingkat pusat sampai daerah dalam implementasi program di lapangan. Koordinasi tersebut meliputi perencanaan dan implementasi program, keterkaitan dan tanggung jawab masing-masing institusi, serta pemantauan dan evaluasi secara periodik.

DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2009. Model Penerapan Teknologi Litbang Sapi Potong Mendukung PSDS. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. BPS (Badan Pusat Statistik). 2009a. Estimasi Penduduk per Provinsi 2006−2010. BPS, Jakarta. BPS (Badan Pusat Statistik). 2009b. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta. Briliantono, E. 2010. Sapi impor rusak harga sapi lokal di Jawa Tengah. http:/net.bisnis. com/umum/indonesiahariini/1kd 191452. html [21 Oktober 2009]. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2008. Statistik Peternakan. Ditjennak, Jakarta. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2009. Statistik Peternakan. Ditjennak, Jakarta. Diwyanto, K. dan E. Handiwirawan. 2004. Peran litbang dalam mendukung usaha agribisnis Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

pola integrasi tanaman-ternak. hlm. 63−80. Prosiding Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bekerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan Crop-Animal Systems Research Network (CASREN). Endik. 2010. Post a Comments. Harga daging sapi impor lebih murah, kok bisa? http: Udayrayana.blogspot. [21 Oktober 2009] Gubernur Provinsi Bengkulu. 2004. Prospek pengembangan sistem integrasi sapi kelapa sawit di Provinsi Bengkulu. hlm. 87−92. Prosiding Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan CropAnimal System Research Network (CASREN). Haryanto, B., I. Inounu, B. Arsana, dan K. Diwyanto. 2002. Panduan Teknis Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 16 hlm. Ilham, N. 2006. Analisis sosial ekonomi dan strategi pencapaian swasembada daging 2010. Analisis Kebijakan Pertanian 4(2): 131− 145. Meles, W. 2009. Strategi pencapaian swasembada daging sapi melalui penanganan gangguan reproduksi dan pemanfaatan limbah pertanian. Econ. Rev. (217): 56−67. Priyanto, P. 2003. Evaluasi Kebijakan Impor Daging Sapi dalam Rangka Proteksi Peternak Domestik: Analisis penawaran dan permintaan. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pukesmaveta. 2009. Indonesia importir terbesar sapi hidup Australia. http://www.mla.com.au/ general/page-net-found [04 Februari 2009]. Puslitbangnak (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan). 1994. Studi Peranan Inseminasi Buatan dalam Upaya Pening-

115


katan Produktivitas dan Pengembangan Ternak Sapi. Puslitbangnak, Bogor. Rayana, U. 2009. Harga daging sapi impor lebih murah, kok bisa? http://udayrayanan. blogspot.com/2009/10. Saragih, B. 2000. Kumpulan Pemikiran: Agribisnis Berbasis Peternakan. Edisi ke-2. USESE Foundation dan Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor. Setiadi, B., Subandriyo, P. Priyanto, T. Safriati, N.K. Wardani, Supeno, Darodjat, dan Nugroho. 1997. Pengkajian Pemanfaatan Teknologi Inseminasi Buatan (IB) dalam Usaha Peningkatan Populasi dan Produktivitas Sapi Potong Nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan P4N, Bogor. Sitepu, P., R. Dharsana, L.P. Gede, Soeripto, L.K. Sutama, T.P. Chaniago, Nurcahyo, Tjahyowiyoso, T. Rohmat, B. Bakrie, Sukandar, dan T. Asril. 1997. Pengkajian Pemanfaatan

116

Teknologi Inseminasi Buatan (IB) dalam Usaha Peningkatan Populasi dan Produktivitas Sapi Potong Nasional di Provinsi Lampung. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan P4N, Bogor. Soedjana, T.D. 1997. Penawaran, permintaan dan konsumsi produk peternakan di Indonesia. Forum Penelitian Agroekonomi 15(1 dan 2): 45−54. Soentoro, M. Syukur, Sugiarto, Hendiarto, dan H. Supriyadi. 2002. Panduan Teknis Pengembangan Usaha Agribisnis Terpadu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 17 hlm. Subagiyono, D. 2004. Prospek pengembangan ternak pola integrasi di kawasan perkebunan. Sistem integrasi tanaman ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan Crop-Animal System Research Network (CASREN), Bali. hlm. 13−17.

Subagyo, L. 2009. Potret komoditas daging sapi. Econ. Rev. 217: 32−43. Toelihere, M.R. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung. Yusdja, Y., R. Sayuti, B. Winarso, L. Sadikin, dan C. Muslim. 2004. Pemantapan Program dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging Sapi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Yusran, M.A. dan M. Soleh. 2004. Pemacuan usaha tani terpadu padi-sapi potong induk secara swadaya. hlm. 203−210. Prosiding Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan Crop-Animal System Research Network (CASREN). Zaini, Z., I. Las, Suwarno, B. Haryanto, Suntoro dan E. Ananto. 2002. Pedoman Umum Kegiatan Percontohan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 24 hlm.

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


ZOONOSIS DAN UPAYA PENCEGAHANNYA (KASUS SUMATERA UTARA) Khairiyah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara, Jalan Jenderal A.H. Nasution No. 1B, Kotak Pos 7 MDGJ Medan 20143 Telp. (061) 7870710, Faks. (061) 7861020, E-mail: bptp_sumut@litbang.deptan.go.id, antros_ria@yahoo.com Diajukan: 11 Juni 2009; Diterima: 13 Mei 2011

ABSTRAK Dalam beberapa tahun terakhir muncul penyakit zoonosis yang menyebabkan kematian pada manusia. Penyakit ini menular secara alamiah dari hewan ke manusia. Untuk mengantisipasi merebaknya wabah zoonosis diperlukan pemahaman secara menyeluruh mengenai penyakit atau infeksi tersebut. Tulisan ini menyajikan gambaran umum zoonosis di Sumatera Utara dan upaya pencegahannya. Berdasarkan agens penyebabnya, zoonosis digolongkan menjadi zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, dan yang disebabkan oleh jamur. Kejadian zoonosis yang pernah ditemukan di Sumatera Utara adalah toksoplasmosis, bruselosis, flu burung, tuberkulosis, rabies, dan skabies. Salah satu upaya untuk mencegah penularan penyakit zoonosis adalah dengan meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat terhadap penyakit-penyakit zoonosis strategis melalui sosialisasi. Kata kunci: Zoonosis, pencegahan penyakit, Sumatera Utara

ABSTRACT Zoonosis and its prevention efforts (the case of North Sumatra) Zoonosis disease has emerged in the last few years that threaten human health. The disease transmits naturally from animal to human being. To anticipate the spread of the disease, it needs a comprehensive understanding on the pandemic disease infection. This article reviewed description of infectious or zoonosis disease, its infection process from animal to human and incidences in North Sumatra, and its prevention efforts. Based on the infection agents, zoonosis disease can be caused by bacteria, viruses, parasites, and fungi. Zoonosis incidences that have been reported in North Sumatra were toxoplasmosis, brucellosis, avian influenza, tuberculosis, rabies, and scabies. Effort to socialize the pandemic zoonosis had important role in preventing infection and distribution of the disease. Keywords: Zoonosis, disease prevention, North Sumatra

Z

oonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah di antara hewan vertebrata dan manusia. Peternakan di Indonesia rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk zoonosis. Dengan demikian, zoonosis merupakan ancaman baru bagi kesehatan manusia. Berkembangnya zoonosis dalam beberapa tahun terakhir menjadi tanda bertambahnya ancaman penyakit yang mematikan bagi manusia yang ditularkan oleh hewan. Sampai saat ini, terdapat tidak kurang dari 300 penyakit hewan yang dapat menulari manusia. Dalam 20 tahun terakhir, 75% penyakit baru pada manusia terjadi akibat perpindahan patogen dari

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

hewan ke manusia atau bersifat zoonotik, dan dari 1.415 mikroorganisme patogen pada manusia, 61,6% bersumber dari hewan (Widodo 2008). Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan kontak tidak langsung melalui vektor atau mengonsumsi pangan yang berasal dari ternak sakit, atau melalui aerosol di udara ketika seseorang berada pada lingkungan yang tercemar (Suharsono 2002; Nicholas dan Smith 2003). Penyakit yang diderita ternak selama pemeliharaan dapat menular ke manusia melalui konsumsi bahan pangan asal ternak tersebut. Berbagai penyakit ternak

saat ini sedang berjangkit di beberapa daerah di Indonesia. Berdasarkan hewan penularnya, zoonosis dibedakan menjadi zoonosis yang berasal dari satwa liar, zoonosis dari hewan yang tidak dipelihara tetapi ada di sekitar rumah, seperti tikus yang dapat menularkan leptospirosis, dan zoonosis dari hewan yang dipelihara manusia. Wabah zoonosis banyak menelan korban jiwa, seperti di Malaysia. Lebih dari 80 orang meninggal dunia diduga akibat penyakit yang berasal dari babi, yang ditandai dengan peradangan otak (ensefalitis) yang ditularkan oleh nyamuk. WHO juga mencatat terdapat 310 kasus avian influenza (AI) atau flu burung 117


dengan 189 kematian pada manusia. Wabah flu babi juga telah melanda Amerika Serikat dan Meksiko dengan korban meninggal di Meksiko 68 orang, 20 orang positif flu babi, dan 1.004 orang dinyatakan terinfeksi (Wahyudi 2009). Dalam rangka mengantisipasi merebaknya penyakit yang ditularkan hewan ke manusia, diperlukan pemahaman yang menyeluruh tentang penyakit-penyakit zoonosis strategis. Tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran umum tentang penyakit infeksi yang ditularkan oleh hewan ke manusia (zoonosis) dan kejadiannya di Sumatera Utara, yang meliputi toksoplasmosis, bruselosis, flu burung, tuberkulosis, rabies, dan skabies, serta usaha pencegahannya.

PENGGOLONGAN ZOONOSIS Zoonosis mencakup berbagai penyakit menular yang secara biologis berbeda satu dengan lainnya. Banyaknya penyakit yang dapat digolongkan sebagai zoonosis dikarenakan adanya perbedaan yang kompleks di antara penyakit tersebut. Penyakit zoonosis dapat dibedakan antara lain berdasarkan penularannya, reservoir utamanya, asal hewan penyebarnya, dan agens penyebabnya (Suharsono 2002; Soejodono 2004; Murdiati dan Sendow 2006). Berdasarkan agens penyebabnya, zoonosis dibedakan atas

zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau yang disebabkan oleh jamur.

Zoonosis yang Disebabkan oleh Bakteri Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, hewan penyebarnya, dan cara penularannya disajikan pada Tabel 1.

Tuberkulosis (TBC) Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dengan panjang 1−4 Âľm. Spesies yang dapat menimbulkan infeksi pada manusia adalah M. bovis dan M. kansasi. Gejala yang ditimbulkan berupa gangguan pernapasan, batuk berdarah, badan menjadi kurus dan lemah. Bakteri ini berpindah dari saluran pernapasan melalui percikan dahak, bersin, tertawa atau berbicara, kontak langsung, atau dari bahan pangan dan air minum yang tercemar.

Bruselosis Bruselosis disebabkan oleh bakteri Brucella, yaitu bakteri berbentuk batang dan bersifat gram negatif. Strain Brucella yang menginfeksi manusia yaitu B. abortus, B. melitensis, B. suis, dan B. canis.

Masa inkubasi bruselosis pada manusia berkisar antara 1−2 bulan, kemudian penyakit dapat bersifat akut atau kronis. Bruselosis akut ditandai dengan gejala klinis berupa demam undulant secara berselang, berkeringat, kedinginan, batuk, sesak napas, turun berat badan, sakit kepala, depresi, kelelahan, artalgia, mialgia, orkhitis pada laki-laki, dan abortus spontan pada wanita hamil. Bruselosis menular ke manusia melalui konsumsi susu dan produk susu yang tidak dipasteurisasi, atau kontak langsung dengan bahan yang terinfeksi, seperti darah, urine, cairan kelahiran, selaput tetus, dan cairan vagina. Daging mentah dan sumsum tulang juga dapat menularkan bakteri Brucella ke manusia, selain melalui aerosol, kontaminasi kulit yang luka, dan membran mukosa, yang biasanya terjadi pada pekerja rumah potong hewan dan peternak. Wanita hamil yang terinfeksi bruselosis dapat menularkan kuman Brucella ke janin melalui plasenta sehingga mengakibatkan abortus spontan dan kematian fetus intrauterine pada kehamilan trimester pertama dan kedua (Gholami 2000). Penularan di antara hewan terjadi akibat perkawinan alami, kontak dengan janin yang terinfeksi, dan cairan janin.

Salmonelosis Penyebab salmonelosis adalah bakteri Salmonella serovar typhi. Bakteri ini

Tabel 1. Ternak yang terinfeksi zoonosis yang disebabkan oleh bakteri. Nama penyakit zoonosis

Bakteri penyebab

Hewan yang dapat terinfeksi

Cara penularan

Tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis M. bovis, M. kansasi

Sapi, kambing, hewan liar

Melalui saluran pencernaan, pernapasan penderita

Bruselosis

Brucella abortus, B. melitensis, B. suis, B. canis

Sapi, kerbau, domba, kambing, kuda

Melalui susu, daging mentah, aerosol

Salmonelosis

Salmonella sp., S. typhi

Sapi, unggas, kucing, kuda

Melalui daging, susu, telur

Antraks

Bacillus anthracis

Ruminansia

Melalui makanan, pernapasan, dan kontak kulit penderita

Q. fever

Coxiella burnetii

Semua hewan (liar, peliharaan, ternak ruminansia)

Kontak langsung dengan sumber penularan, partikel debu, urine, feses, susu, transfusi darah, luka pada kulit

Leptospirosis

Leptospira sp.

Sapi, anjing, tikus

Melalui air seni, kulit yang terluka

Sumber: Purnomo (1992); Budi (1996); Harjoutomo dan Poerwadikarta (1996); Widarso dan Wilfried (2002); Wardana (2006); Setiono (2007).

118

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


berkembang biak dalam makanan yang terbuat dari daging, susu, atau telur dalam kondisi suhu dan kelembapan yang cocok sehingga menimbulkan sakit bila dikonsumsi manusia (Purnomo 1992). Gejala yang ditimbulkan setelah infeksi adalah demam, diare disertai lendir, kadang berdarah. Hewan yang terkena salmonela tidak boleh dipotong.

Antraks Penyebab antraks adalah bakteri Bacillus anthracis. Bakteri ini berbentuk batang dan termasuk kelompok gram positif dan bersifat patogenik. Di alam, bakteri membentuk spora yang sulit dimusnahkan dan dapat bertahan hingga puluhan tahun di dalam tanah sehingga bisa menjadi sumber penularan pada hewan dan manusia. Penyakit antraks atau radang limpa bersifat akut dan dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia. Penyakit antraks dapat menular ke manusia, terutama para pekerja yang berhubungan atau berdekatan dengan ternak. Serangan antraks pada manusia umumnya termanifestasi pada kulit, berupa ulkus borok yang sulit sembuh. Ada pula penderita yang mengalami gangguan pencernaan berupa diare (Harjoutomo dan Poerwadikarta 1996). Pada manusia dikenal tiga bentuk penyakit antraks berdasarkan cara penularannya, yaitu: 1) melalui kulit atau kontak langsung dengan bakteri antraks, terutama pada kulit yang terluka, 2) melalui inhalasi, yaitu terisapnya spora antraks sebagai aerosol, dan 3) melalui intestinal atau usus yang terjadi karena penularan secara oral melalui konsumsi daging mentah atau daging yang mengandung antraks yang dimasak kurang matang. Hewan yang dicurigai terserang antraks dilarang untuk dibuka karkas atau bangkainya, bahkan untuk alasan pemeriksaan. Hewan yang terkena antraks dilarang untuk dipotong.

adalah mamalia, burung, dan anthropoda, khususnya caplak. Caplak dapat menjadi perantara pada hewan, tetapi tidak pada manusia (Maurin dan Raoult 1999). Selain hewan peliharaan anjing dan kucing, tikus juga merupakan hewan perantara yang potensial dalam penularan ke manusia. Hewan mamalia yang terinfeksi umumnya akan mengeluarkan bakteri pada urine, feses, susu, dan plasenta dari fetus yang dilahirkan (Baca dan Paretsky 1983). Pada manusia, penularannya dapat terjadi melalui transfusi darah maupun luka pada kulit. Gejala klinis Q. fever pada hewan umumnya bersifat subklinis, sering ditandai dengan penurunan nafsu makan dan gangguan pernapasan dan reproduksi, berupa abortus. Gejala klinis pada manusia yaitu demam mirip gejala influenza dan sering kali diikuti dengan radang paru. Penyakit Q. fever sering kali bersifat menahun dan menimbulkan kondisi yang fatal, yaitu kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pembuluh darah, dan peradangan jantung (endokarditis), yang berakibat pada kematian (Rice dan Madico 2005; Setiono 2007).

Leptospirosis Penyebab leptospirosis adalah bakteri Leptospira sp. yang berbentuk spiral dan mempunyai 170 serotipe. Sebagian nama serotipe diambil dari nama penderita, misalnya L. pomona, L. harjo, L. earick. Leptospira dikeluarkan melalui air seni reservoir utama, seperti sapi, anjing, dan tikus yang kemudian mencemari lingkungan terutama air. Manusia tertular leptospira melalui kontak langsung dengan hewan atau lingkungan yang tercemar. Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang lecet, luka atau selaput

mukosa. Pada hewan, Leptospira menyebabkan ikteus (kekuningan) ringan sampai berat dan anemia, hepar membesar dan mudah rusak, serta ginjal membengkak. Pada manusia terjadi hepatomegali dengan degenerasi hepar serta nefritis anemia, ikteus hemolitik, meningitis, dan pneumonia (Widarso dan Wilfried 2002 ).

Zoonosis yang Disebabkan oleh Virus Zoonosis yang disebabkan oleh virus, hewan penyebarnya, dan cara penularannya disajikan pada Tabel 2.

Flu Burung Flu burung (AI) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus AI jenis H5N1. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi. Virus menular melalui cairan/lendir yang berasal dari hidung, mulut, mata (konjuntiva), dan kotoran (feses) dari unggas yang sakit ke lingkungan; kontak langsung dengan ternak sakit; melalui aerosol (udara) berupa percikan cairan/lendir dan muntahan cairan/lendir, air, dan peralatan yang terkontaminasi virus AI. Virus tahan hidup dalam air selama 4 hari pada suhu 22째C dan 30 hari pada 0째C. Virus mati dengan desinfektan amonium kuatener, formalin 2,5%, iodoform kompleks (iodin), senyawa fenol, dan natrium/kalium hipoklorit. Pada kandang ayam, virus AI tahan hingga 2 minggu setelah pemusnahan ayam. Virus berada pada feses yang basah dan bertahan selama 32 hari. Gejala klinis flu burung pada unggas yaitu jengger, pial, dan kulit perut yang tidak ditumbuhi bulu berwarna biru ke-

Q. fever Penyebab Q. fever adalah bakteri Coxiella burnetii. Q. fever dapat menular melalui kontak langsung dengan sumber penular yang terinfeksi, juga partikel debu yang terkontaminasi agens penyebab. Beberapa vektor yang sangat berperan dalam penyebaran penyakit Q. fever Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

Gambar 1. Bakteri Leptospira (Wikipedia 2009 bahasa Indonesia). 119


Tabel 2. Jenis penyakit zoonosis disebabkan oleh virus. Nama penyakit

Virus penyebab

Hewan yang dapat terinfeksi

Cara penularan

Flu burung

H5N1

Ayam, burung, itik, babi

Melalui aerosol, percikan cairan dan lendir dari hewan yang sakit

Flu babi

H3N1 subtipe H1N1,H1N2, H3NI, H3N2

Babi

Melalui kontak langsung atau menghirup partikel kecil di udara yang mengandung virus

Rabies

Rhabdoviridae (F), Lyssa virus (G)

Kelelawar, semua hewan berdarah panas

Melalui gigitan anjing, kucing, kelinci, marmut

Sumber: Bell et al. (1988); Mathari (2009).

unguan (sianosis), borok pada kaki, kadang-kadang terdapat cairan dari mata dan hidung, pembengkakan pada muka dan kepala, pendarahan di bawah kulit (subkutan), pendarahan titik (ptechie) pada daerah dada, kaki dan telapak kaki, batuk, bersin, ngorok, diare, dan akhirnya menyebabkan kematian. Gejala klinis pada manusia ditandai dengan demam suhu 38°C, batuk, nyeri tenggorokan, radang saluran pernapasan atas, pneumonia, infeksi mata, dan nyeri otot. Masa inkubasi pada unggas berlangsung 1 minggu, sedangkan pada manusia 1−3 hari setelah timbul gejala sampai 21 hari.

Flu babi (swine flu) Penyebab flu babi adalah virus H3N1, termasuk virus influenza tipe A subtipe H1N1, H1N2, H3N1, H3N2, yang merupakan satu genus dengan virus flu burung H5N1. Influenza babi biasanya muncul ketika babi yang berasal dari kawasan terinfeksi dimasukkan ke kawasan yang peka. Penyakit ini sering muncul secara bersamaan pada beberapa peternakan di suatu daerah dan menyebabkan terjadinya wabah. Virus keluar melalui ingus dan menular dari babi ke babi lain melalui kontak langsung atau mengirup partikel-partikel kecil dalam air yang mengandung virus. Virus influenza babi dapat menginfeksi manusia, terutama yang kontak atau dekat dengan babi, seperti jagal dan peternak. Gejala utama flu babi mirip gejala influenza pada umumnya, seperti demam, 120

batuk, pilek, lesu, letih, nyeri tenggorokan, penurunan nafsu makan dan mungkin diikuti mual, muntah, dan diare. Gejala klinis masa inkubasi 1−3 hari. Gejala klinis yang utama terbatas pada saluran pernapasan, dan mendadak timbul pada sebagian besar babi dalam kelompok. Babi yang terinfeksi tidak mampu berjalan bebas dan cenderung bergerombol, terjadi radang hidung, pengeluaran ingus, bersin-bersin, dan konjungtiva. Babi yang terinfeksi menderita batuk paroksismal (serangan batuk yang berselang) disertai punggung melengkung, pernapasan cepat, sesak, apatis, anoreksia, rebah, tengkurap, dan suhu tubuh meningkat 41,5°C. Setelah 3−6 hari, babi biasanya sembuh, makan secara normal setelah 7 hari. Babi yang sakit diusahakan tetap hangat dan tidak menderita cekaman. Penyakit ini tidak berbahaya dan komplikasi sangat kecil serta tingkat kematian kurang dari 1%, tetapi babi yang menderita bronkopneumonia dapat berakhir dengan kematian (Mathari 2009).

Rabies Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi yang menyerang susunan syaraf pusat, terutama menular melalui gigitan anjing dan kucing. Penyakit ini bersifat zoonosik, disebabkan oleh virus Lyssa dari famili Rhabdoviridae. Infeksi pada manusia biasanya bersifat fatal (mengakibatkan kematian). Gejala dan tanda klinis utama meliputi: 1) nyeri dan panas (demam) disertai kesemutan pada bekas luka gigitan, 2) tonus otot

aktivitas simpatik meninggi dengan gejala hiperhidrosis (keluar banyak air liur), hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan dilatasi pupil, dan 3) hidrofobia. Sekali gejala klinis timbul biasanya diakhiri dengan kematian. Masa inkubasi pada manusia bervariasi dari beberapa hari sampai bertahuntahun, bergantung pada jauh dekatnya tempat gigitan dengan otak. Makin dekat tempat gigitan dengan otak, masa inkubasinya semakin cepat (Bell et al. 1988). Bila infeksi pada manusia telah memperlihatkan gejala klinis, umumnya akan berakhir dengan kematian. Untuk mencegah infeksi rabies pada suatu daerah, perlu dilakukan penangkapan dan vaksinasi anjing liar serta anjing peliharaan.

Zoonosis yang Disebabkan oleh Parasit Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit, hewan penyebarnya, dan cara penularannya dapat dilihat pada Tabel 3.

Toksoplasmosis Toksoplasmosis disebabkan oleh parasit protozoa bersel tunggal yang dikenal dengan nama Toxoplasma gondii. Penyakit menimbulkan ensefalitis (peradangan pada otak) yang serius serta kematian, keguguran, dan cacat bawaan pada janin/bayi. T. gondii dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu trofozoit, kista, dan oosit dan dapat menular pada berbagai jenis hewan. Walaupun inang definitifnya sebangsa kucing dan hewan dari famili Felidae, semua hewan berdarah panas dan mamalia seperti anjing, sapi, kambing, dan burung juga berperan dalam melanjutkan siklus T. gondii. Sumber infeksi utama adalah ookista parasit yang menginfeksi kucing dan kista yang terdapat dalam babi atau kambing. Untuk dapat menginfeksi kucing, hewan lain atau manusia, ookista harus mengalami sporulasi sehingga menjadi infektif sebagai sumber penularan lain. Selain melalui ookista infektif, individu dapat terserang toksoplasma melalui bahan pangan yang terkontaminasi ookista infektif serta daging atau telur yang mengandung tachizoid atau bradizoit (bentuk lain toksoplasma). Pada manusia, penularannya dapat melalui makanan, Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


Tabel 3. Zoonosis yang disebabkan oleh parasit. Zoonosis parasit

Parasit penyebab

Hewan yang dapat terinfeksi

Cara penularan

Toksoplasmosis

Toxoplasma gondii

Kucing, kambing, babi, unggas, berbagai jenis hewan lainnya

Melalui makanan yang tercemar, vektor lalat/kecoa, serta melalui tangan

Taeniasis

Taenia solium, T. saginata

Babi, sapi

Melalui makanan yang tercemar

Skabiosis/skabies

Sarcoptes scabiei

Kambing, domba, kerbau, sapi, kuda, babi, anjing, unta, dan hewan liar lainnya

Kontak dengan penderita

Filariasis

Filaria wucherina bancrofti

Anjing, kucing, monyet

Melalui gigitan nyamuk

Myasis

Chrysomya bezziana, Strongyloides sp. S. scabiei

Sapi, kerbau, kambing, domba, harimau, rusa, badak, dan unta

Melalui infestasi larva C. bezziana pada luka

Sumber: Brown (1979); Syariffauzi (2009).

minuman, tangan yang kotor, dan peralatan yang tercemar telur toksoplasma maupun kistanya. Apabila kista berada di otak akan menunjukkan gejala epilepsi dan bila berada di retina akan menimbulkan kebutaan (Hiswani 2010).

Taeniasis Taeniasis ditularkan secara oral karena memakan daging yang mengandung larva cacing pita, baik daging babi (Taenia solium) maupun daging sapi (Taenia saginata). Dengan kata lain, penularan taeniasis dapat terjadi karena mengonsumsi makanan yang tercemar telur cacing pita dan dari kotoran penderita sehingga terjadi infeksi pada saluran pencernaan (cacing pita dewasa hanya hidup dalam saluran pencernaan manusia). Gejala klinis penyakit taeniasis adalah gangguan syaraf, insomia, anoreksia, berat badan menurun, sakit perut atau gangguan pencernaan. Dapat pula menimbulkan mual, muntah, diare atau sembelit. Cacing dapat pula keluar seperti lembaran pita ketika buang air besar (Depkes 2010).

Skabiosis (penyakit kudis) Skabiosis disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei. Tungau menyerang induk semangnya dengan cara menginfestasi kulit kemudian bergerak dengan membuat terowongan di bawah lapisan kulit (straJurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

tum korneum dan lusidum) sehingga menyebabkan gatal-gatal, rambut rontok, dan kulit rusak (Urquhart et al. 1989). Kudis (S. scabiei) dapat terjadi pada hewan berdarah panas, seperti kambing, domba, kerbau, sapi, kuda, babi, anjing, unta, marmot, kelinci, kucing, dan hewan liar (Arlian 1989). Gejala klinis pada hewan yaitu gatalgatal, hewan menjadi tidak tenang, menggosok-gosokkan tubuhnya ke dinding kandang dan akhirnya timbul peradangan kulit. Bentuk entrima dan papula akan terlihat jelas pada daerah kulit yang tidak ditumbuhi rambut. Apabila tidak diobati maka akan terjadi penebalan dan pelipatan kulit disertai timbulnya kerak (Walton et al. 2004). Gejala tersebut muncul kira-kira tiga minggu pascainfestasi tungau atau sejak larva membuat terowongan di dalam kulit (Sungkar 1991). Gejala klinis pada manusia akibat infestasi tungau berupa rasa gatal yang parah pada malam hari atau setelah mandi. Rasa gatal diduga akibat sensitivitas kulit terhadap eksret dan sekret tungau. Fimiani et al. (1997) melaporkan S. scabiei mampu memproduksi substan proteolitik dalam terowongan yang dibuatnya untuk aktivitas makan dan melekatkan telur pada terowongan tersebut. Pencegahan pada manusia dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak langsung dengan penderita dan mencegah penggunaan barang-barang secara bersama-sama, seperti pakaian. Handuk dianjurkan dicuci dengan air

panas dan disetrika. Seprai diganti maksimal tiap tiga hari. Benda-benda yang tidak dapat dicuci dengan air, seperti bantal dan guling dijemur di bawah sinar matahari sambil dibalik 20 menit sekali. Kebersihan tubuh dan lingkungan, termasuk sanitasi dan pola hidup sehat akan mempercepat penyembuhan dan memutus siklus hidup S. scabiei (Wendel dan Rompalo 2002).

Filariasis (penyakit kaki gajah) Filariasis disebabkan oleh nematoda parasit cacing gelang genus Filaria wucherina bancrofti. Cacing hidup dan berkembang biak dalam darah dan jaringan penderita. Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk yang mengisap darah seseorang yang tertular. Darah yang terinfeksi dan mengandung larva akan ditularkan ke orang lain melalui gigitan. Gejala yang terlihat berupa membesarnya tungkai bawah (kaki) dan kantung zakar (skrotum), serta keluhan sumbatan pada pembuluh limfe (Yusufs 2008).

Myasis Parasit penyebab myasis adalah Chrysomya bezziana (Gandahusada et al. 1998). Patogenesis myasis pada hewan dan manusia sama. Kejadian myasis pada ternak diawali dengan adanya luka gigitan 121


caplak yang kemudian dihinggapi lalat C. bezziana dan akhirnya bertelur pada jaringan. Telur menetas menjadi larva dan memakan jaringan bekas gigitan lalu terjadi borok yang penuh dengan larva lalat tersebut. Myasis pada ternak sering ditemukan di sekitar mata, mulut, vulva, tanduk yang dipotong, luka kastrasi, dan pusar hewan yang baru lahir. Awal infeksi terjadi pada kulit yang luka, selanjutnya larva bergerak ke jaringan otot dengan cara membuat terowongan pada jaringan tersebut sehingga daerah luka semakin lebar dan tubuh ternak makin lemah, nafsu makan menurun, demam, dan diikuti penurunan produksi susu dan berat badan, bahkan dapat terjadi anemia (Spradbery 1991; Sukarsih et al. 1999). Gejala umum pada manusia antara lain adalah demam, gatal-gatal, sakit kepala, vertigo, eritrema, radang, dan pendarahan yang memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri. Darah penderita myasis akan menunjukkan gejala hipereosinofilia dan meningkatnya jumlah neutropil (Humphrey et al. 1980; Ripert 2000; Talary et al. 2002).

Zoonosis yang Disebabkan oleh Jamur Jamur adalah mikroba yang membentuk hifa, terdiri atas jenis kapang dan khamir. Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh jamur, hewan penyebarnya, dan cara penularannya disajikan pada Tabel 4.

Kurap (ringworm/tinea) Penyakit kurap/kadas/ringworm disebabkan oleh cendawan dermatofita yang

biasa tumbuh di daerah lembap dan hangat. Penyakit kurap biasanya menyerang rambut (Tinea ceapitis), kulit (Tinea corponis), sela jari kaki (Tinea pedis) atau athlete foot, dan paha (Tinea curis) atau jock itch karena cendawan ini mampu hidup di bagian tubuh T. ceapitis yang mempunyai zat kitin. Beberapa spesies cendawan kelompok dermatofita yang sering menyerang anjing dan kucing adalah Microsporum canis, Trichophyton mentagrophytes, dan Microsporum gypseum. Gejala klinisnya berupa cincin melingkar pada tempat yang terinfeksi dan kebotakan bulu dan rambut pada bagian yang terserang dan bagian tubuh yang mengandung karatin. Gejala yang ditimbulkan adalah bercak merah, bernanah, dan bulu rontok, terutama pada kulit bagian muka, leher, dan punggung. Penularannya melalui kontak langsung. Jamur yang berhasil melekat pada kulit menyebabkan patologik. Derajat keasaman kulit juga memengaruhi pertumbuhan jamur. Apabila jamur tumbuh pada lapisan kulit mati bagian dalam (keratin) maka pertumbuhannya bersifat mengarah ke dalam karena toksin yang dihasilkan menyebabkan jaringannya hidup. Epidemis dan dermis yang kaya pembuluh darah berusaha melawan alergen yang berbentuk toksin tersebut sehingga terjadi radang kulit (Wibowo 2010).

KEJADIAN ZOONOSIS DI SUMATERA UTARA Penyakit zoonosis di dunia mencakup tidak kurang dari 178 jenis, meliputi 48 penyakit bakterial, 11 penyakit khlamidial dan riketsial, 57 penyakit viral, dan 62 penyakit parasiter. Iskandar (1999) mela-

Tabel 4. Zoonosis yang disebabkan oleh jamur. Penyakit Kurap (Ringworm)

Jamur penyebab penyakit Microsporum canis, Trichophyton mentagrophytes, dan Microsporum gypseum

Sumber: Wibowo (2010).

122

Hewan yang dapat terinfeksi Sapi, kambing, domba, unggas, anjing, kucing, kuda

Cara penularan Kontak langsung dengan penderita

porkan prevalensi toksoplasmosis pada beberapa spesies hewan di Kabupaten Deli Serdang, Simalungun, dan Tapanuli Utara yaitu pada ayam 19,6%, itik 6,1%, sapi 35,3%, babi 2,7%, kerbau 27,3%, kambing 16,7%, serta pada anjing 10%. Sudibyo et al. (1991) melaporkan, prevalensi bruselosis pada sapi potong di Sumatera Utara berkisar antara 6,6−61,3%. Pada Agustus 2006, pemusnahan unggas yang terjangkit flu burung mencapai 50.000 ekor, yaitu di Kabupaten Dairi 11.305 ekor, di Desa Tualang 6.778 ekor, dan di desa Sisiangkat 4.225 ekor. Kabupaten Karo memusnahkan 37.500 ekor unggas. Pada tahun 2007 di Brastagi Kabupaten Karo ada dua orang yang terjangkit flu burung. Pada tahun 2005 terdapat 67,9% penderita tuberkulosis, 94 kasus rabies, dan 7.754 kasus skabies. Hasil penelitian Cross pada tahun 1975 menunjukkan, frekuensi toksoplasmosis di Sumatera Utara sekitar 9% (Hiswani 2010).

UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT ZOONOSIS Upaya untuk mencegah penularan penyakit zoonosis pada manusia meliputi: • Mengendalikan zoonosis pada hewan dengan eradikasi atau eliminasi hewan yang positif secara serologis dan melalui vaksinasi. • Memantau kesehatan ternak dan tata laksana peternakan di tingkat peternak. • Mensosialisasikan gejala klinis awal penyakit zoonosis di peternakan atau rumah potong hewan dan sesegera mungkin melaporkan dan mengambil tindakan terhadap ternak maupun pekerja yang tertular penyakit. • Memperketat pengawasan lalu lintas ternak dengan menerapkan sistem karantina yang ketat, terutama dari negara tertular. • Melarang impor sapi dan produknya, pakan ternak, hormon, tepung tulang, dan gelatin yang berasal dari sapi dari negara yang belum bebas penyakit menular. • Menjaga kebersihan kandang dengan menyemprotkan desinfektan. • Menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan, masker hidung, kaca mata pelindung, sepatu boot yang Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


dapat didesinfeksi, dan penutup kepala bila mengurus hewan yang sakit. Menjaga kebersihan dengan mencuci tangan sebelum mengolah pangan setelah memegang daging mentah, menangani karkas atau mengurus ternak. Memasak dengan benar daging sapi, daging unggas, dan makanan laut serta menghindari mengonsumsi makanan mentah atau daging yang kurang masak. Menjaga makanan agar tidak terkontaminasi hewan piaraan atau serangga.

• Menggunakan sarung tangan bila ber-

• •

kebun, menghindari feses kucing saat menyingkirkan bak pasir yang tidak terpakai. Memantau nyamuk dan lalat di daerah endemis dan mengawasi lalu lintas ternak. Jika tergigit anjing atau kucing, segera mencuci luka bekas gigitan dengan sabun di bawah kucuran air mengalir selama 10−15 menit agar dinding virus yang terbuat dari lemak rusak oleh sabun. Segera ke dokter atau ke rumah sakit untuk mendapat vaksinasi.

KESIMPULAN DAN SARAN Zoonosis pada manusia dan hewan merupakan kendala dalam usaha peternakan dan kesehatan manusia. Penyakit ini harus mendapat perhatian yang serius dari lembaga terkait untuk menekan penyebarannya. Beberapa kasus zoonosis di Sumatera Utara diduga karena tertular ternak atau hewan kesayangan. Hal ini menuntut kerja sama yang sinergis antara dokter hewan dan dokter manusia, termasuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat, terutama pada daerah endemis.

DAFTAR PUSTAKA Arlian, L.G. 1989. Biology, host relations and epidemiology of Sarcoptes scabiei. Ann. Rev. Entomol. 34: 139−161.

Iskandar, T. 1999. Tinjauan tentang toxoplasmosis pada hewan dan manusia. Wartazoa 8(2): 58−63.

Baca, O.G. and D. Paretsky. 1983. Q fever and Coxiella burnettii. A model for host parasite interactions. Microbiol. Rev 47: 127−149.

Mathari, R. 2009. Fakta flu babi. http:// rusdimathari.wordpress.com [21 September 2010].

Bell, J.C.S., R. Palmer, and J.M. Payne. 1988. The Zoonosis Infections Transmitted from Animal to Man. Edward Arnold, London.

Maurin, M. and D. Raoult. 1999. Q fever. J Clin. Mikrobiol. Rev. 12(4): 518−553.

Brown, H.W. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia, Jakarta. Budi, T.A. 1996. Kesehatan Sapi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Depkes (Departemen Kesehatan). 2010. Petunjuk Pemberantasan Taeniasis/Sistiserkosis di Indonesia. Depkes, Jakarta. [22 September 2010]. Fimiani, M., C. Mazzatenta, C. Alessandrgini, E. Paccagnini, and L. Adreassi. 1997. The behaviour of Sarcoptes scabiei var hominis in human skin: An ultrastructural study. J. Submicrosc. Cytol. Pathol. 29(1): 105− 113. Gandahusada, S.H., Ilahude, dan W. Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran, Balai Penerbitan FKUI, Indonesia. Jakarta. 217 hlm. Gholami Kh, M.D. 2000. Brucellosis in pregnant woman. Shiraz E-Med. J. 3(6): 1−3B. Harjoutomo, S. dan M.B. Poerwadikarta. 1996 Kajian retrospektif antraks di daerah endemik menggunakan uji Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA). Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2(2): 127. Hiswani. 2010. Toxoplasmosis penyakit zoonosis yang perlu diwaspadai oleh ibu hamil. http:/ library,USU,ac.id/dowload/fkm//Hiswani 5 pdf [20 September 2010]. Humphrey, J.D., J.P. Spradbery, and R.S. Tozer. 1980. Chrysomya bezziana: Pathology of Old World screw worm fly investation in cattle. Exp. Parasitol. 49: 381−397. Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

Murdiati, T.B. dan I. Sendow. 2006. Zoonosis yang ditularkan melalui pangan. Wartazoa 16(1): 14−20. Nicholas, R. and H. Smith. 2003. Parasite, cryptosporidium, giardia and cyclospora as foodborne pathogens. p. 453−478. In C.W. Blackburn and P.J. Macclure (Eds.). Foodborne Pathogens: Hazards, risk analysis and control. England. Woodhead Publishing in Food Science and Technology. Purnomo, S. 1992. Pengendalian penyakit bakterial pada ayam khususnya bidang bakteriologi hewan. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Rice dan Madico. 2005. Kejadian Q-fever pada ternak di Indonesia. Media komunikasi dokter hewan Indonesia.www.vet.indo.com. [22 September 2010]. Ripert, C. 2000 Reactive hypereossinophilia in parasitic disease. Rev. Prat. 15(6): 602− 607. Setiono, A. 2007. Kejadian Q-fever pada ternak di Indonesia. Media komunikasi dokter hewan Indonesia. www.vet.indo.com [22 September 2010] Soejodono, R.R. 2004. Zoonosis Labora-torium Kesmavet. Departemen Penyakit Hewan dan Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan Institute Pertanian Bogor. 241 hlm. Spradbery. 1991. A Manual for the Diagnosis of Screwworm Fly. CSIRO Division of Entomology, Canberra, Australia. Sudibyo, A., P. Ronohardjo, B. Pattien, dan Y. Mukmin. 1991. Status brucellosis pada sapi

potong di Indonesia. Penyakit Hewan XXIII (41): 18−22. Suharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 180 hlm. Sukarsih, S., S. Partoutomo, E. Satria, C.H. Eisemann, dan P. Willadsen. 1999. Pengembangan vaksin myasis. Deteksi in vitro respons kekebalan protektif antigen protein peritrophic membrane, pellet, dan supernataan larva L1 lalat Chrysomya bezziana pada domba. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4(3): 202−208. Sungkar, S. 1991. Cara pemeriksaan kerokan kulit untuk menegakkan diagnosis skabies. Majalah Parasitologi Indonesia. hlm. 61−64. Syariffauzi. 2009. Protozoa, filariasis. poenya syariffauziannor weblog. [22 September 2010]. Talary, S.A., A.Y. Moghadan, and R. Dehghani. 2002. Chrysomya bezzina infestation. Arch. Irn. Med. 5(1): 56−58. Urquhart, G.M.J. Armaur, H. Duncan, A.M. Doon, and F.W. Jenning. 1989. Veterinary Parasitology. Longman Scientific and Technical, New York. p. 184−187. Wahyudi, S.D.R.H. 2009. Apa itu flu babi. Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia Veterinarian Community.www.blogdokter.net/ 2009/06/27 [28 April 2009]. Walton, S.F., D.C. Holt. B.J. Currie, and D.J. Kemp. 2004. Scabies: New future for a neglected disease. Adv. Parasitol. 57: 309− 376. Wardana, A.H. 2006. Chrysomya bezziana penyebab myasis pada hewan dan manusia. Permasalahan dan penanggulangannya. Wartazoa 16(3): 146−157. Wendel, J. and A. Rompalo. 2002. Scabies and pediculosis pubis. An update of treatment regimens and general review. CID 35. (Suppl. 2): S146−S151.

123


Wibowo, D. 2010. Waspadai ringworm pada hewan kesayangan. www.compasiana.com [22 September 2010]. Widarso, H.S. dan Wilfried. 2002. Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Kumpulan

124

Makalah Simposium Leptospirosis. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Widodo, A.Y. 2008. Strategi menghadapi abad zoonosis.http://id.wikepedia.org/wki/ zoonosis [21 April 2009]

Wikipedia. 2009. Ensiklopedi Bebas Indonesia. Leptospirosis-Mozila firefox. [21 September 2010]. Yusufs. 2008. Pusat informasi penyakit infeksi. Penyakit kaki gajah (filariasis). archiveorisinil.com.

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.