Pengembangan Inovasi Pertanian

Page 1

ISSN 1979-5378

Pengembangan Inovasi Pertanian Volume 4 No. 3, 2011 Majalah Pengembangan Inovasi Pertanian diterbitkan empat kali per tahun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Majalah ini merupakan publikasi dengan format ilmiah yang memuat naskah ringkas orasi dan kebijakan pertanian dalam arti luas. Majalah dapat diakses melalui http://www.pustaka.litbang. deptan.go.id. Tulisan dan gambar dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya. Pengarah: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Penanggung Jawab: Kepala Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Redaksi: Ketua : Kusuma Diwyanto Anggota : Elna Karmawati I Wayan Rusastra Irsal Las

Ridwan Thahir

Zulkifli Zaini

Pemuliaan Ternak Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Hama Penyakit Tanaman Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Agroekonomi dan Kebijakan Pertanian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Agroklimatologi dan Lingkungan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Pascapanen Pertanian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Budidaya Tanaman Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

Redaksi Pelaksana: Bambang S. Sankarto Endang Setyorini Usep Pahing Sumantri Naskah dapat dikirimkan kepada: Redaksi Majalah Pengembangan Inovasi Pertanian Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122 Telepon : 0251-8321746 Faksimile : 0251-8326561 E-mail : pustaka@litbang.deptan.go.id Website : http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id


Daftar Isi Halaman Pengantar Redaksi ............................................................................................................

iii

Pengembangan Teknologi Pakan Sapi Potong di Daerah Semi-Arid Nusa Tenggara Abdullah Mahfud Bamualim ............................................................................. 175 Teknologi Pemanfaatan Pakan Lokal untuk Menunjang Peningkatan Produksi Ternak Ruminansia Kuswandi ....................................................................................................

189

Suplementasi Logam dan Mineral untuk Kesehatan Ternak dalam Mendukung Program Swasembada Daging Darmono .........................................................................................................

205

Pembentukan Domba Komposit melalui Teknologi Persilangan dalam Upaya Peningkatan Mutu Genetik Domba Lokal Ismeth Inounu .............................................................................................

218

Inovasi Teknologi Reproduksi Mendukung Pengembangan Kambing Perah Lokal I Ketut Sutama ............................................................................................ 231


Pengantar Redaksi

Pemerintah telah mencanangkan program swasembada untuk lima komoditas penting dan strategis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Untuk mewujudkan program tersebut banyak tantangan dan masalah yang dihadapi, baik yang terkait dengan aspek teknis, ekonomi maupun kebijakan. Dari kelima komoditas tersebut, diperkirakan permintaan daging sapi akan cenderung terus meningkat lebih cepat dibandingkan keempat komoditas lainnya, seirama dengan perkembangan ekonomi, pertambahan penduduk, perubahan gaya hidup, dan kesadaran gizi masyarakat lapisan menengah bawah. Hal ini tentunya akan merupakan tantangan sekaligus peluang dalam mendorong pembangunan peternakan pada umumnya dan peternakan sapi potong pada khususnya, dengan berbasis iptek dan kekuatan maupun potensi domestik. Dalam dua dasawarsa terakhir, terlihat kecenderungan impor daging dan sapi bakalan yang terus meningkat. Pada tahun 2009, impor sapi bakalan telah mencapai 720.000 ekor, dan menempatkan Indonesia sebagai importir sapi hidup terbesar di dunia. Pada tahun 2010, impor daging dan jeroan juga mencapai puncaknya, yaitu sekitar 120.000 ton atau setara dengan satu juta ekor sapi lokal. Angka-angka tersebut seolah menggambarkan kurangnya pasokan daging di dalam negeri sehingga harus dipenuhi dari impor. Namun dalam kenyataannya, impor ternyata bukan sekedar mengisi kekurangan, tetapi telah mendistorsi tata niaga sapi lokal. Impor yang berlebihan telah menyebabkan ternak lokal sulit dipasarkan dan bersaing dengan produk impor yang kualitasnya

diragukan, dan selanjutnya menyebabkan harga sapi lokal jatuh. Kondisi ini pada gilirannya telah membuat peternak frustasi dan tidak bergairah untuk memelihara sapi. Dari hasil sementara sensus sapi di Indonesia baru-baru ini diketahui bahwa populasi sapi potong dan sapi perah ternyata jauh di atas estimasi semula, sementara populasi kerbau lebih rendah dari perkiraan. Hasil sensus menunjukkan bahwa populasi sapi dan kerbau di Indonesia sekitar 16,8 juta ekor, dan hal ini berarti Indonesia telah berada pada posisi swasembada daging sapi menurut peta jalan yang tercantum dalam Cetak Biru PSDS-2014. Potensi ini hanya dapat diwujudkan menjadi realitas apabila tercipta suasana yang kondusif, yaitu harga daging dan sapi lokal cukup atraktif dan dibarengi dengan pengembangan ternak berbasis iptek dan sumber daya lokal. Untuk mengurangi tekanan permintaan daging sapi dan untuk tetap menjaga pasokan protein hewani bagi masyarakat, diperlukan produk alternatif seperti daging kambing maupun domba, serta produk lainnya berupa susu. Oleh karena itu, peningkatan produksi daging maupun susu di dalam negeri harus diupayakan dengan memanfaatkan bibit unggul, pakan lokal dengan cara yang lebih inovatif, serta teknologi pendukung agar produktivitas ternak terus meningkat. Makalah dalam edisi kali ini diangkat dengan tema “Pengembangan Produksi Ternak Ruminansia: Teknologi Inovatif Berbasis Sumberdaya Lokal�, mengungkap dan membahas dengan tuntas hal-hal yang terkait dengan pakan, pemuliaan,


reproduksi, dan pengelolaan kesehatan ternak. Bamualim dan Kuswandi menguraikan tentang pentingnya pengembangan leguminosa pohon, seperti lamtoro dan gamal, sebagai sumber pakan bersama biomassa yang tersedia di perdesaan. Pengawetan pakan, pengembangan lumbung pakan, pengayaan bahan pakan inkonvensional, dan penyusunan ransum yang berimbang harus dilaksanakan secara simultan dan disesuaikan dengan kondisi agroekologi dan sosial budaya masyarakat. Peningkatan konsumsi dan kecernaan pakan dapat direkayasa melalui perbaikan mutu dengan perlakuan fisik, kimiawi maupun biologis. Pola pemberian pakan juga harus disesuikan dengan ketersediaan bahan pakan yang sangat dipengaruhi musim, khususnya dalam kasus di daerah semi-arid. Darmono menguraikan tentang pentingnya pemberian beberapa mineral dalam ransum ternak, atau diberikan dalam bentuk mineral blok. Hal ini terkait erat dengan kenyataan bahwa defisiensi mineral dapat mengakibatkan penurunan produksi dan kesehatan ternak. Namun juga perlu diperhatikan bahwa ternak harus tetap dijaga jangan sampai keracunan beberapa mineral berbahaya, seperti logam berat Pb, Cd, dan Hg. Inounu dan Sutama menyajikan pilihan alternatif untuk menyediakan daging domba dan kambing serta susu kambing, sebagai komplemen atau substitusi daging sapi. Mitos yang menyatakan bahwa daging kambing dan domba lebih ber-

bahaya dibandingkan dengan daging sapi, dalam arti kandungan kolesterolnya, ternyata terbantahkan. Dengan mengembangkan domba unggul hasil pemuliaan serta memanfaatkan sumber daya genetik ternak lokal yang mampu berproduksi lebih baik, dapat diharapkan akan diperoleh produk yang lebih banyak, lebih kompetitif, dan berkelanjutan. Domba prolifik dan kambing lokal mampu beranak lebih banyak, domba komposit mampu menghasilkan produk yang lebih besar dan berkualitas, dan kambing PE mampu menghasilkan susu yang lebih baik. Kombinasi teknologi inovatif dalam bidang pemuliaan, reproduksi, dan pakan secara simultan mampu menghasilkan produk kambing dan domba yang lebih berdaya saing, serta menjadi alternatif atau substitusi produk ternak sapi. Dari makalah yang dikupas dalam edisi ini terlihat dengan jelas bahwa swasembada daging sapi dapat segera diwujudkan bila pengembangan ternak dilakukan dengan memanfaatkan iptek dan inovasi tepat guna sesuai kondisi agroekologi dan budaya masyarakat. Untuk mengurangi ketergantungan pada pasokan daging sapi, pengembangan ternak kambing dan domba harus dipacu berbarengan dengan pengembangan sapi berbasis pakan lokal.

Bogor, September 2011 Redaksi


PEDOMAN BAGI PENULIS RUANG LINGKUP Majalah Pengembangan Inovasi Pertanian merupakan publikasi ilmiah yang memuat naskah ringkas orasi profesor riset dan analisis kebijakan teknis, sosial ekonomi, dan kelembagaan pertanian dalam arti luas. Analisis kebijakan bersifat relevan dan kontekstual dengan kondisi aktual dengan tetap mempertimbangkan dinamika kebijakan yang ada. Penerbitan majalah ini didedikasikan bagi keperluan pengembangan iptek serta diseminasi inovasi kepada pengguna dan pelaksana pembangunan pertanian. BAHASA Majalah memuat naskah dalam bahasa Indonesia. Pemakaian istilah hendaknya mengikuti Pedoman Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. PENYUSUNAN NASKAH Naskah diketik pada kertas A4 1,5 spasi. Panjang naskah maksimum 20 halaman termasuk tabel dan gambar. Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut: judul, nama dan alamat penulis, abstrak, pendahuluan, pokok bahasan, kesimpulan dan implikasi kebijakan, serta daftar pustaka. Judul merupakan suatu ungkapan yang dengan tepat mencerminkan isi naskah. Nama serta instansi tempat kerja penulis dengan alamat yang jelas dicantumkan di bawah judul. Bila penulis lebih dari seorang maka penulisan namanya mengikuti kode etik penulisan. Judul naskah dapat dilengkapi dengan subjudul untuk mempertegas maksud tulisan. Sitasi literatur di dalam teks menggunakan nama penulis dan tahun. Jika refe-

rensi yang disitir secara bersamaan lebih dari satu maka penulisannya diurutkan berdasarkan tahun. Jika penulis lebih dari dua orang maka penulis pertama diikuti dengan et al. Referensi yang tidak diterbitkan sedapat mungkin dihindari. Daftar pustaka disusun secara alpabetis. Satuan pengukuran menggunakan sistem metrik, misalnya mikron, mm, cm, km, untuk panjang; cm3, liter untuk volume; dan g, kg, ton untuk berat. Pemakaian satuan yang tidak resmi seperti pikul dan kuintal harap dihindari. Tabel diberi judul singkat tetapi jelas dengan catatan secukupnya, termasuk sumbernya. Setiap tabel hendaknya mampu menjelaskan informasi yang disajikan secara mandiri. Gambar dan grafik dibuat dengan garis cukup tebal. Seperti halnya pada tabel, keterangan pada grafik harus mencukupi sehingga dapat disajikan secara mandiri. Foto hendaknya mempunyai kontras yang baik. Bila foto dalam bentuk file sebaiknya memiliki resolusi minimal 200 dpi. EVALUASI DEWAN REDAKSI Naskah yang dikirim ke redaksi akan dievaluasi oleh Dewan Redaksi. Keputusan Dewan Redaksi adalah final. SURAT MENYURAT Naskah dikirim rangkap dua berikut soft copy-nya dan diberi pengantar dari kepala unit kerja, dialamatkan kepada: Redaksi Pelaksana Pengembangan Inovasi Pertanian, Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122, Telp. 0251-8321746, e-mail: pustaka@litbang.deptan.go.id.


pakan sapi potong Pengembangan teknologi Inovasi Pertanian 4(3), 2011:...175-188

175

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PAKAN SAPI POTONG DI DAERAH SEMI-ARID NUSA TENGGARA1) Abdullah Mahfud Bamualim Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16151 Telp. (0251) 8322185, 8328383 Faks. (0251) 8328382, 8380588 e-mail: puslitbangnak@litbang.deptan.go.id Diajukan: 5 Mei 2011; Disetujui: 4 Agustus 2011

ABSTRAK Nusa Tenggara merupakan salah satu produsen terbesar sapi potong di Indonesia yang memiliki agroekosistem semi-arid. Sapi potong diintroduksi ke daerah tersebut pada awal abad ke-20 dan berkembang pesat karena didukung lahan penggembalaan 2,1 juta ha dan pengembangan tanaman lamtoro sebagai sumber pakan bermutu tinggi. Masalah dalam pengembangan sapi potong di daerah semi-arid adalah rendahnya produktivitas ternak akibat menurunnya persediaan dan kualitas pakan pada musim kemarau serta tingginya angka kematian anak sapi. Dalam menyikapi kondisi tersebut, diperlukan upaya pengembangan teknologi dan strategi pemberian pakan di lahan kering, antara lain: (1) multiplikasi tanaman legum pohon; (2) pengawetan pakan; (3) pemberian pakan suplemen; dan (4) pakan khusus anak sapi. Tanaman legum pohon yang berproduksi tinggi adalah lamtoro Tarramba dan lamtoro hibrida KX2 serta tanaman gamal produktif Provenance 126/92 asal Oxford. Teknologi pengeringan pakan mempunyai prospek yang baik di daerah kering. Pemberian pakan suplemen pada induk sapi bali dan sapi ongole meningkatkan produktivitas setelah melahirkan pada musim kemarau. Kelahiran anak sapi bali yang terkonsentrasi pada musim kemarau menyebabkan tingginya kematian anak sapi. Kematian anak sapi dapat ditekan dengan memberikan pakan khusus bagi anak sapi yang diikuti dengan penyapihan dini. Untuk meningkatkan produksi sapi potong di wilayah kering perlu intensifikasi pemanfaatan sumber daya pakan yang tersedia dan transformasi sistem pemeliharaan dari ekstensif ke semi-intensif dengan pemberian pakan yang optimal. Pengembangan sistem pertanian terpadu lahan kering beriklim kering dengan konsep minimal run off dan zero waste merupakan suatu alternatif teknologi untuk mendukung pengembangan sapi potong di lahan kering beriklim kering. Kata kunci: Sapi potong, semi-arid, legum pohon, teknologi pakan, Nusa Tenggara

ABSTRACT Development of Beef Cattle Feed Technology in Semi-Arid Area of Nusa Tenggara Nusa Tenggara is one of the major cattle producing areas in Indonesia with semi-arid condition. Beef cattle was introduced in early 1900’s and multiply rapidly ever since as supported by 2.1 million ha of natural grazing areas and the existing of leucaena as a high quality feed. As part of tropical semi-arid area, the problem encounter is low cattle production due to reduced quality and quantity of feed

1)

Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 29 November 2010 di Bogor.


176

Abdullah Mahfud Bamualim

during long dry season. Another negative impact is the experience of high calf mortality. To alleviate the problems, there is a need to develop feed technology and feeding strategy in the dry season areas which include: (1) multiplication of tree legumes; (2) dry season feed preservation; (3) feed supplement strategy; and (4) feed allocation for calves. Several high production tree legumes have been introduced in the area, including leucaena Tarramba, leucaena hybrid (KX2), and glyricidia Provenance 126/92 from Oxford. Preservation feed technology by making hay is preferable for the dry area. Feed supplementation to bali and ongole cows resulted in higher productivity after calving during dry season. The concentration of bali cows to calf during dry season resulted in high calf mortality in the area. Calf mortality can be reduced by providing special feeds to calves followed by early weaning practice. Therefore, to increase cattle production in the area, there is a need to intensify the utilization of local feeds and transform the cattle husbandry from extensive to semi-intensive system through feeding the animal optimally. The development of integrated dry land agriculture with minimum run off and zero waste is an alternative technology to support beef cattle production in the dry areas. Keywords: Beef cattle, semi-arid, tree legumes, feed technology, Nusa Tenggara

PENDAHULUAN Indonesia dengan jumlah penduduk 237 juta jiwa membutuhkan pangan hewani yang cukup besar. Kebutuhan tersebut diproyeksikan akan terus meningkat seiring dengan membaiknya kesejahteraan masyarakat dan pentingnya protein hewani bagi kesehatan dan kecerdasan bangsa. Daging merupakan pangan hewani yang konsumsinya meningkat dari 4,20 kg/ kapita pada tahun 1999 menjadi 5,15 kg/ kapita pada tahun 2004 dan 6,5 kg/kapita pada tahun 2009, termasuk di dalamnya kontribusi daging sapi sekitar 20%. Produksi sapi potong lokal belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi domestik sehingga harus diimpor lebih dari 30%, dan meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran, di luar daging dan jeroan, pada tahun 2000 Indonesia mengimpor 294.000 ekor sapi bakalan dari Australia. Impor tersebut meningkat menjadi 398.000 ekor pada tahun 2004 dan 769.000 ekor pada tahun 2009. Kondisi ini akan menguras devisa negara yang cukup besar. Tanpa terobosan peningkatan produktivitas sapi lokal, impor diperkirakan dapat mencapai 70% pada tahun 2020 (Quirke et al. 2003).

Sentra utama produksi sapi potong di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Nusa Tenggara merupakan salah satu produsen terbesar sapi potong yang memiliki agroekosistem semi-arid. Daerah semiarid memiliki curah hujan rendah, eratik, dengan curah hujan tahunan dan musiman yang bervariasi (Lal 1985). Padanan yang sering dipakai untuk semi-arid adalah lahan kering beriklim kering dengan curah hujan tahunan kurang dari 1.500 mm dan musim kemarau lebih dari enam bulan. Daerah semi-arid berpotensi untuk usaha peternakan dengan ketersediaan lahan penggembalaan yang luas. Lahan seluas 2,1 juta ha di Nusa Tenggara berpotensi untuk penggembalaan ternak. Masalah utama dalam pengembangan ternak di daerah semi-arid adalah rendahnya produktivitas ternak, tingginya angka kematian, serta menurunnya persediaan dan kualitas pakan pada musim kemarau. Pakan berkualitas baik hanya tersedia dalam periode yang singkat pada musim hujan, kemudian kuantitas dan kualitas pakan menurun sampai akhir musim


177

Pengembangan teknologi pakan sapi potong ...

kemarau. Inilah periode kritis di mana ternak dewasa mengalami kehilangan bobot badan sampai 25% dan angka kematian anak ternak cukup tinggi. Makalah ini memaparkan beberapa hasil penelitian sapi potong di daerah semiarid Nusa Tenggara. Pokok bahasan meliputi perkembangan sapi potong, sumber daya pakan, dan alternatif teknologi pakan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong.

DINAMIKA PERKEMBANGAN SAPI POTONG Sapi potong diintroduksi di Nusa Tenggara pada awal abad ke-20 dan berkembang secara eksponensial karena didukung potensi lahan penggembalaan yang luas. Pada akhir 1990-an, populasi sapi potong mencapai satu juta ekor. Namun, pada awal 2000-an, laju pertambahan populasi mulai menurun karena: (1) tingginya laju pemotongan akibat meningkatnya permintaan sapi potong dalam negeri; dan (2) makin terbatasnya daya dukung lahan. Perkembangan sapi potong di Nusa Tenggara dapat dibagi dalam tiga periode, yakni awal perkembangan (1910-1970), puncak perkembangan (1970-2000), dan stagnasi perkembangan (pascatahun 2000), yang merupakan titik balik perkembangan sapi potong di Nusa Tenggara.

Pemerintah Hindia Belanda memasukkan berbagai jenis sapi ke Pulau Timor. Pada tahun 1916 diketahui sapi bali memiliki perkembangan yang terbaik sehingga pada tahun 1921 jenis sapi tersebut ditetapkan untuk dikembangkan di Pulau Timor (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Pada periode ini, Pulau Sumba diarahkan khusus untuk pengembangan sapi ongole yang bibitnya didatangkan dari India pada tahun 1914. Impor sapi ongole bertujuan untuk menghasilkan sapi peranakan ongole (PO) melalui penyilangan dengan sapi jawa (Ndima 1989). Pada awalnya, sapi ongole memiliki tingkat reproduksi yang tinggi (62-75%), namun kemudian angka kelahirannya menurun menjadi 30-40%. Kini populasi sapi ongole hanya 40.000 ekor (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Kurang berkembangnya sapi ongole di Pulau Sumba disebabkan oleh rendahnya kualitas pakan dari lahan penggembalaan, terutama pada musim kemarau. Pada periode yang sama, sapi madura dikembangkan di Pulau Flores, tetapi kurang berkembang. Kini sapi madura hanya ditemui sedikit di daerah Mbay, Nagakeo. Namun dalam tiga dekade terakhir, sapi bali berkembang pesat di Flores. Hasil sensus ternak pada tahun 1952 menunjukkan, di Pulau Timor terdapat 108.000 ekor sapi bali (Ormeling 1955). Sapi bali juga berkembang pesat di Pulau Lombok dan Sumbawa. Hal ini didukung oleh lahan penggembalaan yang luas di Nusa Tenggara.

Awal Perkembangan (1910-1970) Dengan memerhatikan potensi pakan dari lahan penggembalaan yang luas dan dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi daging domestik dan mendukung perekonomian masyarakat, pada tahun 1912

Puncak Perkembangan (1970-2000) Pada akhir 1960-an, Nusa Tenggara mampu mengekspor sapi potong ke Singapura dan Hongkong, sekaligus sebagai pemasok


178

terbesar sapi potong ke Jakarta. Dalam periode1979-1992, Nusa Tenggara memasok 25% dari total sapi potong di Jakarta (Bamualim 1994b), selain menyuplai sapi potong ke Maluku dan Papua. Pada tahun 1980-1994, proyek International Fund for Agricultural Development (IFAD) mendistribusikan 137.550 ekor sapi bibit ke enam provinsi di Sumatera dan tiga provinsi di Sulawesi (Ditjennak 1989; IFAD 2009). Sebagian besar sapi bibit tersebut berasal dari Nusa Tenggara. Selama periode 1980-2000, tidak kurang dari dua juta ekor sapi potong dan lebih dari 200.000 ekor sapi bibit dikeluarkan dari Nusa Tenggara. Keberhasilan pengembangan sapi potong di Nusa Tenggara didorong oleh empat faktor, yaitu: (1) tersedianya lahan penggembalaan; (2) tersedianya hijauan legum pohon untuk penggemukan sapi; (3) tingginya permintaan sapi potong; dan (4) adanya permintaan sapi bibit untuk pengembangan ternak di daerah lain di Indonesia. Luas lahan penggembalaan di Nusa Tenggara mencapai 2,1 juta ha, terdiri atas 1,5 juta ha di NTT dan 600.000 ha di NTB (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Lebih dari 90% ternak sapi di NTT dipelihara secara ekstensif di lahan penggembalaan umum (Bamualim dan Saramony 1995). Walaupun produktivitas lahan penggembalaan relatif rendah, lahan penggembalaan merupakan pendukung utama pengembangan sapi bali di Pulau Timor, dari 100.000 ekor pada tahun 1950 menjadi 500.000 ekor pada tahun 1990 (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Faktor lain yang mendukung berkembangnya sapi potong di Pulau Timor adalah penerapan sistem amarasi yang merupakan cikal bakal usaha penggemukan sapi (Bamualim 1994a; Bamualim et al. 1995). Sistem ini diinisiasi pada tahun 1930 di

Abdullah Mahfud Bamualim

Amarasi dan petani diharuskan menanam lamtoro (Leucaena leucocephala) sebagai tanaman sela di antara tanaman jagung (Bamualim 1994a; Bamualim et al. 1995). Setelah dikembangkan secara masif, pada tahun 1960-an lamtoro mendominasi daerah ini dan menjadi sumber pakan bermutu tinggi. Diperkirakan luas tanam lamtoro di Amarasi mencapai 40.000 ha (Jones 1986). Hasilnya, Amarasi menjadi kawasan penggemukan sapi bali dengan bobot jual yang tinggi, di atas 350 kg/ekor.

Stagnasi Perkembangan (Pascatahun 2000) Produksi sapi potong di Nusa Tenggara mengalami stagnasi dan telah melewati titik optimal. Angka kelahiran tidak lagi menjamin peningkatan kontinuitas pasokan sapi bakalan. Bahkan sudah sejak lama diprediksi permintaan pasar yang tinggi akan menguras populasi ternak yang ada (Bamualim et al. 1991). Hal ini terbukti dengan menurunnya peran Nusa Tenggara sebagai produsen sapi potong dalam 10 tahun terakhir. Penurunan ini ditandai oleh merosotnya pengeluaran sapi potong dari 100.000 ekor/tahun (70.000 ekor dari NTT dan 30.000 ekor dari NTB) pada tahun 19852000, menjadi 60.000 ekor/tahun (40.000 ekor dari NTT dan 20.000 ekor dari NTB). Berkembangnya populasi sapi potong pada akhir 1990-an meningkatkan kebutuhan akan pakan. Di sisi lain, belum ada kebijakan mengenai kawasan peternakan sehingga luas lahan penggembalaan makin menyempit karena: (1) berkembangnya sektor dan subsektor lain di luar peternakan; dan (2) invasi gulma seperti Chromolena odorata dan jenis lainnya. Fenomena ini perlu mendapat perhatian dalam pengembangan peternakan di Nusa


Pengembangan teknologi pakan sapi potong ...

Tenggara. Di samping itu, terdapat indikasi berkurangnya kemampuan sumber daya pakan, yang ditandai oleh menurunnya kapasitas suplai pakan seperti berkurangnya luas areal dan kualitas lahan penggembalaan, baik akibat deraan iklim maupun sistem penggembalaan yang kurang bijak. Faktor nonteknis turut berpengaruh, seperti pola pemeliharaan ternak yang tradisional dan belum adanya aturan pemanfaatan lahan penggembalaan komunal.

KETERSEDIAAN PAKAN DAN PRODUKSI SAPI POTONG Masalah utama dalam pengembangan sapi potong adalah ketersediaan pakan dan produktivitas ternak yang berfluktuasi terkait dengan musim. Produktivitas lahan penggembalaan, pola pemberian pakan, dan produktivitas sapi potong di Nusa Tenggara sangat dipengaruhi oleh musim kemarau yang panjang (Nulik dan Bamualim 1998; Bamualim 2009).

Produktivitas Lahan Penggembalaan Daerah semi-arid merupakan salah satu agroekosistem suboptimal karena kurang produktif untuk mendukung pertanian intensif. Di luar Jawa, luas lahan kering mencapai 47 juta ha (Badan Litbang Pertanian 1997) dan di kawasan timur Indonesia 9,3 juta ha (Las et al. 1991). Di Nusa Tenggara terdapat 4,1 juta ha lahan kering, meliputi lahan potensial untuk penggembalaan seluas 2,1 juta ha (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Ditinjau dari luas areal, jumlah ternak, dan produktivitas lahan penggembalaan, sebenarnya daya dukung lahan di

179

sebagian besar wilayah Nusa Tenggara masih cukup tinggi karena stocking rate (SR) saat ini masih rendah, yakni 0,2-0,5 ekor sapi dewasa atau satuan ternak (ST) per hektare. Keadaan ini menunjukkan bahwa peningkatan populasi sapi potong secara ekstensif masih sangat potensial. Namun, sebagian wilayah memiliki lahan penggembalaan yang terbatas, seperti di Pulau Lombok dan sebagian Pulau Timor, dengan SR mencapai 0,8-2,5 ST/ha. Hal ini mengindikasikan bahwa pemeliharaan ternak di daerah ini harus dilakukan secara intensif (Bamualim et al. 1994a). Produksi rumput alam tertinggi terjadi pada musim hujan (Januari-Maret), berkisar antara 1,2-2,7 ton bahan kering (BK)/ha/3 bulan dan terendah pada akhir musim kemarau (September-November), yakni 0,4-1,0 ton BK/ha/3 bulan, dengan total produksi 3-6 ton BK/ha/tahun. Bila dihubungkan dengan kebutuhan ternak yakni 6 kg BK/hari/ST maka produksi rumput alam dalam setahun dapat mendukung 1,5-3,0 ST/ha/tahun (Las et al. 1991). Dengan kata lain, lahan penggembalaan tersebut dapat menampung 2,94 juta ST pada musim kemarau dan 5,88 juta ST pada musim hujan, atau minimal setara dengan 25% dari populasi sapi potong nasional. Mutu hijauan pakan dipengaruhi oleh musim, terutama kandungan protein, mineral, dan serat kasar (Bamualim et al. 1994a). Kandungan protein rumput alam meningkat pada musim hujan (7-10%) dan menurun pada musim kemarau (+ 4%) (Bamualim 1991). Kadar protein ransum pada musim kemarau jauh di bawah 6%, yakni level protein di mana mulai terjadi penurunan konsumsi ternak (Stobbs 1971) sehingga bobot badan ternak menurun. Kadar mineral berfluktuasi menurut musim. Hasil pengkajian di Pulau Timor


180

Abdullah Mahfud Bamualim

menunjukkan bahwa pada musim kemarau, rumput alam mengalami defisiensi mineral P, Na, Cu, dan Se (Little et al. 1989). Unsur mineral makro dan mikro tersebut berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan reproduksi ternak sapi. Pertumbuhan rumput alam yang cepat menyebabkan mutu hijauan menurun seiring dengan meningkatnya serat kasar. Kandungan dinding sel (NDF = neutral detergent fibre) meningkat dari 60% pada musim hujan menjadi 75-80% pada musim kemarau sehingga konsumsi dan kecernaan pakan pun menurun dan tidak memenuhi kebutuhan energi ternak (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Rendahnya mutu pakan, terutama hijauan sumber serat seperti rumput alam, menyebabkan mikroba pencerna tidak bekerja secara optimal. Akibatnya, pada musim kemarau konsumsi pakan menurun sehingga bobot badan ternak berkurang 0,15-0,27 kg/hari (Bamualim dan Wirdahayati 2002). Kondisi ini terjadi karena ternak mengalami defisiensi nutrisi, terutama yang berada pada fase produktif, seperti anak, induk bunting, dan laktasi. Di sisi lain, pada musim hujan, suplai energi, protein, dan mineral melebihi kebutuhan hidup pokok ternak sehingga terjadi pertumbuhan ternak yang signifikan. Pertumbuhan sapi bali di Pulau Timor pada musim hujan mencapai 0,40-0,50 kg/ekor/ hari (Wirdahayati dan Bamualim 1990; Bamualim et al. 1992). Hal ini menunjukkan bahwa produksi dan kualitas hijauan menentukan pertumbuhan ternak di lahan kering beriklim kering.

Pola Pemberian Pakan Sistem pemberian dan penyediaan pakan ternak sapi di Nusa Tenggara dipengaruhi

oleh kondisi lingkungan setempat. Di daerah yang memiliki padang penggembalaan yang luas, umumnya ternak digembalakan secara berkelompok dan dikandangkan pada malam hari. Di lokasi dengan lahan penggembalaan terbatas, ternak dipelihara secara intensif. Jenis dan jumlah pakan yang diberikan pada ternak sapi bervariasi antarlokasi. Namun, umumnya jumlah pakan yang diberikan pada musim kemarau menurun, dengan porsi rumput alam 70-90% dari total pakan (Bamualim et al. 1994b). Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, sisa hasil agroindustri berperan penting sebagai sumber pakan alternatif (Risdiono et al. 2009). Hijauan legum pohon dan sisa hasil tanaman pangan merupakan sumber pakan suplemen yang dominan. Kinerja produksi sapi bali terbaik, dengan pertambahan bobot badan yang tinggi dan tingkat reproduksi 90%/tahun, ditemui di Sikka (Flores), Sambelia (Lombok), dan Taliwang (Sumbawa). Di lokasi tersebut, petani memberikan 15-30% pakan hijauan legum pohon dan limbah tanaman palawija, seperti jerami kacang-kacangan dan ubi-ubian (Bamualim et al. 1994b).

Mortalitas Anak Sapi Potong Di wilayah kering, angka kelahiran sapi bali cukup tinggi pada musim hujan, dengan rata-rata 67,2% dan kisaran 35-95%. Angka kelahiran tertinggi (76-95%) tercatat di lokasi dengan sumber daya pakan terbaik, sedangkan yang terendah (35%) pada lokasi dengan ketersediaan pakan yang sangat minim (Ormeling 1955). Secara umum, angka kelahiran sapi bali jauh lebih tinggi dibanding sapi ongole, yakni masing-masing 67,2% dan 41% (Wirdahayati et al. 1994).


181

Pengembangan teknologi pakan sapi potong ...

Dampak negatif lain yang mencolok pada musim kemarau adalah tingginya angka kematian anak sapi di lahan kering. Kematian anak sapi bali di Pulau Timor berkisar antara 20-50%, dengan rata-rata 30%/tahun (Banks 1986; Wirdahayati et al. 1994). Hal ini terjadi karena kelahiran anak sapi bali terkonsentrasi pada pertengahan musim kemarau, saat terjadi kesulitan pakan. Seekor induk sapi sanggup melahirkan seekor anak tiap tahun, namun kematian anak menyebabkan efisiensi produksi menjadi rendah. Mengurangi angka kematian anak sapi merupakan suatu cara meningkatkan produksi ternak. Inovasi teknologi pakan, berupa pemberian suplemen pada anak sapi, mengurangi kematian anak sapi dari 30% menjadi 10%/tahun. Akibat kematian anak sapi yang tinggi, NTT kehilangan potensi penjualan sapi yang seharusnya 95.000 ekor/tahun menjadi kurang dari 78.000 ekor/tahun, dan potensi meningkatkan populasi sapi yang seharusnya bertambah 38.500 ekor/tahun menjadi hanya 23.000 ekor/tahun (Wirdahayati 1989). Oleh karena itu, penyediaan pakan perlu dioptimalkan, baik dari lahan penggembalaan maupun sumber pakan alternatif lainnya.

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PAKAN UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI SAPI POTONG Pengembangan teknologi pakan sangat dibutuhkan untuk mengatasi keterbatasan pakan pada musim kemarau, terutama penyediaan pakan sepanjang tahun untuk meningkatkan produksi sapi potong (Bamualim et al. 1990). Menyikapi kondisi daerah semi-arid dengan musim kemarau yang panjang maka upaya pengembangan

teknologi pakan di lahan kering meliputi: (1) multiplikasi tanaman legum pohon; (2) pengawetan pakan; (3) pemberian pakan suplemen; dan (4) penyediaan pakan khusus anak sapi.

Multiplikasi Tanaman Legum Penanaman legum pohon merupakan pilihan terbaik bagi lahan kering beriklim kering sebagai sumber pakan bergizi tinggi. Petani dianjurkan untuk menanam beberapa jenis tanaman legum, seperti lamtoro, gamal (Gliricidia sepium), dan turi (Sesbania grandiflora) karena jenis tanaman yang beragam dapat mengurangi risiko terjadinya serangan hama. Hijauan legum berproduksi tinggi berperan penting dalam meningkatkan ketersediaan pakan bermutu pada musim kemarau. Kerja sama antara Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur telah menghasilkan rekomendasi tanaman lamtoro berproduksi tinggi dan tahan hama kutu loncat, yakni lamtoro hibrida KX2 dengan hasil 18,1 ton BK/ha dan lamtoro Tarramba dengan hasil 11 ton BK/ha. Hasil lamtoro lokal hanya 8,1 ton BK/ha (Nulik et al. 2004). Di samping itu, terdapat jenis tanaman gamal yang produktif dan disukai ternak, seperti gamal Provenance 126/92 asal Oxford (Fernandez et al. 1999).

Pengawetan Pakan Salah satu upaya penyediaan pakan pada musim kemarau adalah mengawetkan pakan hijauan dan sisa hasil pertanian pada musim hujan untuk dimanfaatkan pada musim kemarau. Untuk kondisi lahan


182

kering, pengawetan pakan melalui pengeringan (hay) lebih memungkinkan dibandingkan dengan pembuatan silase. Teknologi pengeringan pakan mempunyai prospek usaha yang menjanjikan di wilayah kering karena kemudahan dalam proses penyimpanan dan transportasi. Selain rumput alam, berbagai sisa hasil tanaman pangan dapat diawetkan sebagai cadangan pakan pada musim kemarau. Bila hal ini dilakukan maka produktivitas ternak sapi dapat ditingkatkan (Wirdahayati dan Kali Taek 1993). Pengawetan sisa hasil tanaman pangan telah dilakukan oleh petani di NTB (Bamualim et al. 1994b). Pengembangan sapi potong dapat didukung oleh sisa hasil tanaman padi (415.000 ha), tanaman jagung (315.000 ha), dan tanaman jambu mete (235.000 ha) (BPS NTB 2008; BPS NTT 2008).

Pemberian Pakan Suplemen Pakan suplemen merupakan pakan berkualitas yang diberikan pada ternak dalam periode tertentu untuk menutupi kekurangan nutrisi sekaligus mencukupi kebutuhan produksi ternak. Pakan suplemen dapat berupa daun legum dan nonlegum, serta bahan pakan sumber protein, energi, dan mineral. Pemberian pakan suplemen lokal seperti putak (isi batang gewang = Corypha gebanga) sebagai sumber energi yang dikombinasikan dengan urea sebagai sumber protein dan nonprotein nitrogen (NPN), berpengaruh positif terhadap ternak (Nggobe dan Bamualim 1992; Bamualim et al. 1993a, 1993b, 1993c). Pakan suplemen tersebut meningkatkan pertumbuhan 0,10,2 kg/hari pada musim hujan dan mengurangi kehilangan bobot badan dari 0,25 kg menjadi 0,15 kg/ekor/hari pada musim kemarau.

Abdullah Mahfud Bamualim

Pemberian pakan suplemen pada induk sapi bali dan sapi ongole meningkatkan produktivitas ternak setelah melahirkan pada musim kemarau. Bobot badan induk pada 3 bulan setelah melahirkan dapat dipertahankan, produksi susu induk naik dari 2,2 kg menjadi 2,8 kg/ekor/hari pada sapi bali dan dari 3,2 kg menjadi 4,3 kg/ ekor/hari pada sapi ongole. Hal ini berdampak pada pertambahan bobot badan anak sapi dari 0,15 kg menjadi 0,20 kg/ekor/ hari pada sapi bali dan dari 0,32 kg menjadi 0,47 kg/ekor/hari pada sapi ongole. Demikian pula kebuntingan setelah melahirkan menjadi 1-2 bulan lebih cepat (Wirdahayati 1994; Bamualim 1994c; Bamualim et al. 2000). Hasil penelitian pada ternak kambing juga menunjukkan pemberian suplemen hijauan legum sebagai sumber protein sejak ternak disapih sampai dengan turunan ketiga meningkatkan kelahiran anak 300% lebih tinggi daripada tanpa suplementasi (Budisantoso et al. 1993; Budisantoso dan Bamualim 1994).

Pakan Khusus Anak Sapi Kelahiran anak sapi bali yang terkonsentrasi pada musim kemarau menyebabkan pertumbuhannya rendah dan kematian anak sapi tinggi (Banks 1986). Upaya untuk mengurangi kematian anak sapi dapat dilakukan dengan memberikan pakan khusus bagi anak sapi, dibarengi dengan penyapihan dini (Wirdahayati 2000). Pakan suplemen pengganti susu berupa hijauan legum, di samping rumput, dapat diberikan pada anak sapi sejak umur 3-6 bulan. Hasil penelitian pemberian pakan khusus bagi anak sapi bali di Pulau Timor yang dibarengi dengan penyapihan dini (Wirdahayati 2000; Wirdahayati et al.


183

Pengembangan teknologi pakan sapi potong ...

2000) memperlihatkan bahwa pemberian pakan suplemen langsung pada anak sapi yang disapih pada umur 3-6 bulan menghasilkan pertumbuhan 0,30 kg/ekor/hari dibanding anak sapi kontrol yang bobot badannya hanya bertambah 0,10 kg/ekor/ hari. Angka kematian anak juga menurun dari 30% menjadi nihil. Pertumbuhan anak sapi juga lebih cepat sehingga mempercepat mencapai dewasa kelamin.

ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PAKAN DAN SAPI POTONG Untuk meningkatkan produksi sapi potong di daerah semi-arid Nusa Tenggara diperlukan arah dan strategi yang tepat dalam memanfaatkan sumber daya pakan yang tersedia.

Arah Pengembangan Pengembangan peternakan sapi potong di Nusa Tenggara diarahkan pada: 1. Pemanfaatan sumber daya pakan lokal melalui perbaikan produktivitas lahan penggembalaan dan pengembangan legum pohon. Pemeliharaan sapi potong berbasis penggembalaan masih dapat dipraktikkan secara luas sehingga diperlukan perbaikan biomassa hijauan dengan tanaman legum dan pakan suplemen. Penggunaan lahan penggembalaan diprioritaskan untuk perbibitan ternak (cow-calf operation). 2. Transformasi sistem pemeliharaan dari penggembalaan penuh menjadi pemeliharaan semi-intensif dengan pemberian pakan yang optimal. Pola semiintensif, terutama yang didukung oleh

pertanian intensif, diprioritaskan bagi penggemukan ternak.

Strategi Pengembangan Untuk mengimbangi permintaan dan kebutuhan pakan diperlukan delineasi dan pemetaan sumber daya pakan dan daya dukung lahan yang didasarkan pada kalkulasi hubungan antara sumber pakan dengan jumlah dan penyebaran sapi potong di setiap komunitas peternak. Penanaman legum pohon mutlak diperlukan dalam pengembangan sapi potong di daerah semi-arid. Legum pohon mengandung nilai gizi tinggi dan tetap berproduksi selama musim kemarau. UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Pasal 6) mengakui eksistensi kawasan penggembalaan umum untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Perbaikan lahan penggembalaan komunal dapat dilakukan dengan pengaturan penggembalaan sesuai dengan daya dukungnya, fasilitasi sumber air, introduksi tanaman legum herba, dan penanganan gulma. Pemberian pakan suplemen merupakan syarat mutlak untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas sapi potong. Penggunaan bahan pakan lokal dan pengembangan tanaman legum yang bergizi tinggi perlu dipromosikan sebagai bahan pakan suplemen di lahan kering. Pengembangan sistem pertanian terpadu lahan kering beriklim kering (SPTLK-IK), dengan konsep minimal run off dan zero waste melalui sistem integrasi tanaman-ternak, serta pemanfaatan lahan dan air secara optimal merupakan suatu alternatif teknologi untuk mendukung pengembangan sapi potong di lahan kering beriklim kering.


184

Abdullah Mahfud Bamualim

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Kesenjangan antara permintaan dan produksi sapi potong yang makin lebar menuntut upaya maksimal untuk meningkatkan produktivitas sapi potong pada berbagai agroekosistem di Indonesia, termasuk di daerah semi-arid. Daerah semi-arid Nusa Tenggara memberi andil besar dalam pembangunan peternakan nasional, khususnya sapi potong. Masalah dalam pengembangan sapi potong di NTT antara lain adalah menurunnya kualitas dan kuantitas pakan pada musim kemarau, terutama pada sistem penggembalaan. Perbaikan teknologi pakan berupa perbanyakan tanaman legum pohon, pengawetan pakan, pemberian pakan suplemen, dan penyelamatan anak sapi dapat meningkatkan produktivitas sapi potong di wilayah kering. Pengembangan legum pohon melalui introduksi lamtoro dan gamal berproduksi tinggi, serta pemeliharaan ternak secara integratif dengan memanfaatkan sisa hasil tanaman pangan dan perkebunan, merupakan pilihan terbaik di daerah semi-arid.

Implikasi Kebijakan Kebijakan pengembangan pakan perlu difokuskan pada pelestarian lahan penggembalaan dan pengembangan tanaman legum pohon berproduksi tinggi. Kebijakan ini memerlukan kerja sama dan dukungan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Kekurangan pakan dapat dipenuhi dengan memobilisasi suplai pakan lokal yang tersedia di wilayah kering. Untuk itu,

diperlukan program pengembangan berbagai pakan lokal, seperti peningkatan mutu sisa hasil pertanian. Keberhasilan perbaikan pakan sapi potong di daerah semi-arid perlu dibarengi dengan upaya menekan angka kematian anak sapi dan pemotongan sapi betina produktif.

DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 1997. Rapat Kerja Badan Litbang Pertanian, Yogyakarta. Bamualim, A.M., J. Nulik, dan R.C. Gutteridge. 1990. Usaha perbaikan pakan ternak sapi di Nusa Tenggara. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 9(2): 38-44. Bamualim, A.M. 1991. Pengaruh musim terhadap mutu pakan dan defisiensi nutrisi yang umum terjadi di daerah tropis (Nusa Tenggara). hlm. 382-388. Prosiding Simposium Pertanian III. Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia, Malang, 22-23 Agustus 1991. Bamualim, A.M., R.B. Wirdahayati, dan R.A. Smith. 1991. Penelitian peternakan dalam menunjang peningkatan produksi ternak di Nusa Tengara. hlm. 203-222. Simposium Perencanaan Pembangunan Peternakan di NTB, NTT dan Timor Timur, Mataram, 20-23 Januari 1991. Kerja sama Biro Perencanaan Departemen Pertanian dan AIDAB. Bamualim, A.M., M. Nggobe, dan L. Malo. 1992. Pemberian suplemen blok mineral dan putak pada sapi bali betina muda yang dilepas di pastura alam selama musim hujan dan musim kemarau. hlm. 109-114. Prosiding Pertemuan Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Peternakan di Sulawesi Selatan, Ujung


Pengembangan teknologi pakan sapi potong ...

Pandang, 4 Maret 1992. Subbalai Penelitian Ternak Gowa, Sulawesi Selatan. Bamualim, A.M., J. Kali Taek, J. Nulik, dan R.B. Wirdahayati. 1993a. Pengaruh pemberian suplemen daun kedondong hutan (Lannea grandis), turi (Sesbania grandiflora), putak (Corypha gebanga), dan putak campur urea terhadap pertumbuhan ternak sapi bali di musim kemarau. Publikasi Wilayah Kering 1(1): 1-6. Bamualim, A.M., S. Arifin, dan R.B. Wirdahayati. 1993b. Pengaruh pemberian suplemen putak dan biji kapas terhadap pertumbuhan ternak sapi bali yang digembalakan pada musim kemarau dan musim hujan. Publikasi Wilayah Kering 1(1): 7-13. Bamualim, A.M., J. Kali Taek, B. Tiro, J. Manu, dan E. Hartati. 1993c. Pengaruh pemberian suplemen urea, daun kabesak (Acacia leucophloea) dan putak dengan level urea yang berbeda pada sapi bali yang mengkonsumsi jerami padi sebagai pakan dasar. Publikasi Wilayah Kering 1(1): 19-24. Bamualim, A.M. 1994a. Interaksi peternakan dalam sistem pertanian di Pulau Timor, NTT. hlm. 65-75. Prosiding Seminar Komunikasi dan Aplikasi Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering, Kupang, 17-18 November 1994. Subbalai Penelitian Ternak Lili, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bamualim, A.M. 1994b. Usaha peternakan sapi di Nusa Tenggara. hlm. 27-43. Prosiding Seminar Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Peternakan dan Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian, Kupang, 1-3 Maret 1994. Subbalai Penelitian Ternak Lili-Kupang dan Balai Informasi Pertanian Noelbaki-Kupang, Nusa Tenggara Timur.

185

Bamualim, A.M. 1994c. Beberapa hasil penelitian ternak ruminansia dalam sistem peternakan di Nusa Tenggara. Makalah disampaikan dalam Workshop Peternakan-IAEUP di Universitas Nusa Cendana, Kupang, 14-16 November 1994. Bamualim, A.M., A. Saleh, C. Liem, dan P.Th. Fernandez. 1994a. Produksi dan kualitas hijauan rumput alam di Nusa Tenggara. Final Seminar of the Cattle Health and Productivity Survey (CHAPS) held at the Disease Investigation Centre, Denpasar-Bali, 1517 May 1994. CHAPS Book A, p. 202229. Bamualim, A.M., A. Saleh, P.Th. Fernandez, dan C. Liem. 1994b. Komposisi jenis makanan yang diberikan petani pada ternak sapi yang dipelihara dengan sistem semi-intensif di Nusa Tenggara. Final Seminar of the Cattle Health and Productivity Survey (CHAPS) held at the Disease Investigation Centre, Denpasar-Bali, 15-17 May 1994. CHAPS Book A, p. 202-229. Bamualim, A.M. dan U.P. Saramony. 1995. Produksi peternakan di daerah semiarid Nusa Tenggara Timur. Makalah disampaikan pada International Conference on Agricultural Development in Semi Arid Areas of East Nusa Tenggara, East Timor and Southeast Maluku. Kupang, 10-16 Desember 1995. 12 hlm. Bamualim, A.M., E.O. Momuat, dan S.P. Field. 1995. Sistem amarasi untuk tujuan konservasi lahan, peningkatan produksi peternakan dan pangan: Suatu pengalaman. Publikasi Wilayah Kering 4(1): 7-13. Bamualim, A.M., P.Th. Fernandez, C. Liem, and R.B. Wirdahayati. 2000. Effect of feeding regimes on the performance of


186

bali and ongole cows in dry tropic region in Nusa Tenggara, Indonesia. p. 196-198. Proceedings of ASAP Seminar, Sydney, Australia. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13 (Supplement): Juli 2000. B: 207-209. Bamualim, A.M. dan R.B. Wirdahayati. 2002. Peternakan di Lahan Kering Nusa Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur, Kupang. 120 hlm. Bamualim, A.M. 2009. The dynamic of native grass resources in dry-land area of Indonesia to support beef cattle production: Case study of Nusa Tenggara. p.102-106. Paper presented at the International Seminar on Forage Based Feed Resources. Food and Fertilizer Technology Centre (FFTC) ASPAC, Livestock Research Centre-COA, ROC and Indonesian Research Institute for Animal Production, Bandung, 3-7 August 2009. Banks, D. 1986. Analysis of livestock survey data, 1985. p. 63-91. In NTTLDP Completion Report. II. Livestock. ACIL, Melbourne. Budisantoso, E., M. Nggobe, A. Saleh, and A.M. Bamualim. 1993. Growth and reproduction potential of local goats in West Timor from weaning to 1.5 years old with and without supplementation of sesbania leaf (Sesbania grandiflora) and palm pith (Corypha gebanga). p. 105-114. In Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. Proceedings of a Workshop held at the Research Institute for Animal Production, Ciawi, 3-4 August 1993. SR-CRSP. Budisantoso, E. dan A.M. Bamualim. 1994. Suplementasi turi (Sesbania grandiflora) dan putak (Corypha gebanga) pada kambing lokal betina lepas sapih sampai umur 2,5 tahun. hlm. 188-194.

Abdullah Mahfud Bamualim

Prosiding Seminar Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Peternakan dan Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian, Kupang, 1-3 Februari 1994. Subbalai Penelitian Ternak Lili, Kupang, Nusa Tenggara Timur. BPS NTB. 2008. Nusa Tenggara Barat dalam Angka. BPS Provinsi NTB, Mataram. BPS NTT. 2008. Nusa Tenggara Timur dalam Angka. BPS Provinsi NTT, Kupang. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 1989. Proyek Pengembangan Petani Ternak Kecil. Ditjennak, Jakarta. Fernandez, P.Th., A. Rubianti, dan A.M. Bamualim. 1999. Uji palatabilitas beberapa provenance tanaman gamal pada ternak sapi. hlm. 357-360. Prosiding Lokakarya Regional Penerapan Teknologi Indigenous dan Teknologi Maju Menunjang Pembangunan Pertanian di Nusa Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Naibonat, Kupang, 1-2 Maret 1999. IFAD (International Fund for Agricultural Development). 2009. Indonesia: Smallholder Cattle Development Project Phase II. Visit Rural Poverty Portal, Evaluation up dated 2 July, 2009. Jones, R.J. 1986. Leucaena - International experience. Trop. Grassld. 20: 83-85. Lal, R. 1985. Soil surface management. p. 273-300. In R.C. Muchow (Ed.). Agro Research for the Semi Arid Tropics: North-West Australia. Univ. Queensland Press. Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A.S. Karama, dan I. Manwan. 1991. Peta Agroekologi Utama Tanaman Pangan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.


Pengembangan teknologi pakan sapi potong ...

Little, D.A., S. Kompiang, and R.J. Petheram. 1989. The mineral composition of Indonesian ruminant forages. Trop. Agric. (Trinidad) 66(1): 33-77. Ndima, P.P. 1989. Perkembangan sapi ongole di Sumba. hlm. 158-172. Prosiding Temu Tugas dan Temu Lapang Penelitian dan Pengembangan Peternakan Propinsi NTT, NTB dan Timor Timur, Kupang, 3-5 Oktober 1989. Nggobe, M. dan A.M. Bamualim. 1992. Pemberian beberapa kombinasi putak dan rumput raja terhadap pertambahan berat badan sapi bali jantan muda yang dikandangkan. hlm. 105-108. Prosiding Pertemuan Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Peternakan di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang, 4 Maret 1992. Subbalai Penelitian Ternak Gowa, Sulawesi Selatan. Nulik, J. dan A.M. Bamualim. 1998. Pakan Ruminansia Besar di Nusa Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Naibonat bekerja sama dengan Eastern Island Veterinary Services Project. Nulik, J., D.K. Hau, P.Th. Fernandez, dan S. Ratnawati. 2004. Adaptasi beberapa Leucaena species di Pulau Timor dan Sumba, Nusa Tenggara Timur. hlm. 825-831. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Ormeling, F.J. 1955. The Timor Problem - A geographical interpretation of an underdeveloped island. Disertasi, Universitas Indonesia. Penerbit J.B. Wolters, Jakarta, Groningen. Quirke, D., M. Harding, D. Vincent, and D. Garrett. 2003. Effect of Globalisation and Economic Development on the Asia Livestock Sector. ACIAR, Canberra.

187

Risdiono, B., B. Haryanto, D.P. Nurhayati, and B. Setiadi. 2009. Availability and utilization of forage resources for smallscale farm in Indonesia. p. 57-64. Proceedings of the International Seminar on Sustainable Management and Utilization of Forage-Based Feed Resources for Small-Scale Livestock Farmers in Asia, Lembang, Indonesia, 3-7 August 2009. FFTC-ASPAC, IRIAP and LRI, CoA, Taiwan. Stobbs, T.H. 1971. Quality of pasture and forage crops for dairy production in the tropical regions of Australia. 1. Review of literature. Trop. Grassld. 5: 159-170. Wirdahayati, R.B. 1989. Alternatif perbaikan manajemen dalam meningkatkan produksi ternak sapi di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 8(2): 46-50. Wirdahayati, R.B. dan A.M. Bamualim. 1990. Penampilan reproduksi dan struktur populasi ternak sapi Bali di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. hlm. C1-5. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali, Denpasar-Bali, 20-22 September 1990. Wirdahayati, R.B. dan J. Kali Taek. 1993. Pemanfaatan jerami jagung dan kacang tanah sebagai pakan ternak sapi. Publikasi Wilayah Kering 1(1): 23-25. Wirdahayati, R.B. 1994. Manajemen dan performans reproduksi ternak sapi di Nusa Tenggara, Indonesia. Seminar Komunikasi dan Aplikasi Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering. Kupang, 17-18 November 1994. hlm. 84103. Wirdahayati, R.B., B.M. Christie, A. Muthalib, and K.F. Dowsett. 1994. Productivity of beef cattle in Nusa Tenggara. Final Seminar of the Cattle Health and Productivity Survey (CHAPS)


188

held at the Disease Investigation Centre, Denpasar-Bali, 15-17 May 1994. CHAPS Book A, p.170-178. Wirdahayati, R.B. 2000. Optimalisasi Pembesaran Anak Sapi melalui Penyapihan Dini untuk Meningkatkan Produktivitas Sapi Bali di Nusa Tenggara Timur. Riset Unggulan Terpadu (RUT VII). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Naibonat bekerja sama dengan Kantor Menristek dan LIPI.

Abdullah Mahfud Bamualim

Wirdahayati, R.B., P.Th Fernandez, A. Saleh, dan A.M. Bamualim. 2000. Penyapihan dini sebagai usaha terobosan untuk meningkatkan produksi bakalan sapi bali di Nusa Tenggara. hlm. 34-35. Prosiding Nasional Pengembangan Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas Andalas, Padang, 11 Oktober 2000.


Teknologi pemanfaatan lokal4(3), ... 2011: 189-204 Pengembangan Inovasi pakan Pertanian

189

TEKNOLOGI PEMANFAATAN PAKAN LOKAL UNTUK MENUNJANG PENINGKATAN PRODUKSI TERNAK RUMINANSIA1) Kuswandi Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16151 Telp. (0251) 8322185, 8328383 Faks. (0251) 8328382, 8380588 e-mail: puslitbangnak@litbang.deptan.go.id Diajukan: 9 Mei 2011; Disetujui: 4 Agustus 2011

ABSTRAK Upaya mencukupi kebutuhan daging sapi dan susu dalam negeri perlu didukung oleh perbaikan sistem pemberian pakan untuk meningkatkan produktivitas ternak ruminansia serta mendayagunakan pakan lokal, termasuk limbah pertanian. Di antara limbah pertanian yang ada, baru jerami padi yang dimanfaatkan untuk pakan, padahal limbah tanaman pangan lain dan tanaman perkebunan berlimpah, baik untuk pakan basal maupun pakan tambahan. Diperkirakan 151 juta ton hijauan kering limbah tanaman pangan dan 94,24 juta ton hijauan kering limbah perkebunan tersedia dan dapat menghidupi lebih dari 183,18 juta ekor sapi dewasa tanpa perlu bergantung pada rumput. Oleh karena itu, diperlukan teknologi perbaikan palatabilitas, konsumsi, kecernaan pakan, efisiensi penggunaan pakan, dan formulasi pakan untuk memaksimalkan produktivitas ternak. Konsumsi pakan dapat ditingkatkan dengan mengkondisikan lingkungan pada suhu rendah, menghaluskan bahan, menambah frekuensi pemberian, serta penyelingan antara pakan basal dan suplemen. Kecernaan pakan dan efisiensi penggunaan pakan dapat diperbaiki dengan memberi perlakuan kimiawi atau biologis serta pengimbangan sumber energi, nitrogen, dan mineral. Pakan komplet pabrikan dalam bentuk pelet dengan basis sumber serat, protein, energi, dan mineral dari limbah pertanian yang diperkaya vitamin dapat dianjurkan untuk penggemukan. Dengan menerapkan teknologi tersebut, pengembangan usaha ternak ruminansia perlu diintegrasikan dengan tanaman pangan dan tanaman perkebunan, industri pengolah limbah pertanian, dan ditunjang oleh lembaga inovator teknologi pendayagunaan pakan untuk menjamin ketersediaan pakan berkualitas sepanjang tahun. Kata kunci: Ternak ruminansia, teknologi pakan, limbah pertanian

ABSTRACT Technology of Local Feed Utilization Towards Ruminant Production Improvement Efforts on meeting national needs of meat and milk should be supported by feeding system improvement to increase ruminant productivity and utilizing local feed resources including agricultural residues. Meanwhile, rice straw is the fibrous food crop widely known as ruminant feed. On the other hand,

1)

Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 7 April 2011 di Bogor.


190

Kuswandi

abundant residues from food crops and estate crops and from their main product processings are not yet utilized. It is estimated that 151 million tons of dry residues from food crops and 94.24 million tons from estate crops are available that are able to maintain at least 183.18 million mature cattle, other than those consume conventional grasses. Therefore, technologies of feed palatability, consumption, digestibility, utilization efficiency improvement, and pelleted feedlot ration formulation based local feed resources are necessary. Feed consumption can be increased by conditioning a low temperature environment, grinding, frequent feeding, and intermittent offer of basal and supplementary feeds. Feed digestibility and utilization efficiency is improved by either chemical or biological treatments, and balanced energy-nitrogen-minerals. Pelleted complete feedlot rations based on fiber, protein, energy and minerals from agricultural residues enriched with vitamins should be recommended in ruminant fattening. These technology findings dictate the efforts to develop ruminant husbandry by integrating food and/or estate crops, main crop product processing industries and institutions that invent feed utilization technology to meet requirements of quality feeds. Keywords: Food, feeds, crop and agricultural industry residues, technology, ruminants

PENDAHULUAN Ternak ruminansia berperan penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional, khususnya dalam penyediaan daging dan susu. Selain itu, ternak ruminansia bersifat komplementer dan suplementer dalam sistem usaha tani karena berfungsi dan berperan dalam penyediaan tenaga kerja, sumber pendapatan, dan pupuk organik. Ternak ruminansia, khususnya sapi, memberi kontribusi daging sebesar 71% terhadap kebutuhan daging masyarakat Indonesia, dan sisanya (29%) berasal dari impor. Sebaliknya, kebutuhan susu sapi sebagian besar (75%) dipenuhi dari impor, dan sisanya (25%) dari produksi dalam negeri. Oleh karena itu, upaya meningkatkan produktivitas ternak ruminansia perlu mendapat prioritas dalam upaya mencapai swasembada daging dan susu. Produksi daging dalam negeri pada tahun 2008 sebesar 3.101.475 ton; sebagian besar (60,7%) berasal dari ternak unggas dan sebagian lagi (39,3%) dari herbivora yang didominasi oleh ruminansia (36,9%). Daging ternak ruminansia sebagian besar

(61,4%) berasal dari sapi, 15,4% dari domba, 17,1% dari kambing, dan 6,1% dari kerbau (Soedjana 2008; Ditjennak 2009). Rendahnya kontribusi daging ternak ruminansia disebabkan oleh lambatnya laju kenaikan populasi dan produksi dibanding ternak unggas karena kurangnya pakan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Oleh karena itu, perlu dikembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk mengoptimalkan pemanfaatan pakan lokal, termasuk pakan inkonvensional. Makalah ini membahas inovasi teknologi pemanfaatan pakan lokal sebagai ransum ternak ruminansia. Inovasi tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para praktisi peternakan dalam meningkatkan produktivitas ternak ruminansia.

PERKEMBANGAN IPTEK PAKAN RUMINANSIA DI INDONESIA Penguasaan iptek dan manajemen pemberian pakan ruminansia berkembang dari waktu ke waktu, namun belum banyak diadopsi peternak. Secara intertemporal,


Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...

dinamika substansi manajemen pakan mencakup masa tradisional, masa pemanfaatan kemajuan iptek, dan masa industrialisasi pertanian.

Periode Tradisional (Sebelum Tahun 1970) Pada periode ini, konsep nutrisi didasarkan pada kebutuhan pati dan protein dengan pakan utama rumput dari padang penggembalaan umum, sekitar persawahan atau perkebunan. Pada sapi perah yang dipelihara secara intensif, kekurangan gizi dicukupi dari pakan penguat, seperti dedak dan bekatul padi, bungkil kelapa, dan bungkil kedelai. Dalam perkembangannya, jerami padi melimpah seiring dengan pengembangan Proyek Padi Sentra dalam Program Pembangunan Semesta Berencana. Jerami padi hanya diberikan pada saat ternak kekurangan rumput, selebihnya dijemur dan disimpan untuk pakan pada musim kemarau.

Periode Pemanfaatan Kemajuan Iptek (1970-1990) Dalam Pembangunan Jangka Panjang tahap I diimplemetasikan program intensifikasi usaha sapi potong yang ditunjang oleh ketersediaan jerami padi dari varietas unggul baru sebagai dampak dari program Bimas dan Inmas. Namun, jerami padi mengandung banyak serat kasar, silika, dan ikatan lignin-selulosa sehingga kurang disukai ternak. Oleh karena itu, diperkenalkan pemanfaatan pakan inkonvensional dari hasil penghijauan seiring makin berkurangnya ketersediaan rumput alam. Formulasi ransum, terutama untuk sapi perah, didasarkan pada kebutuhan energi

191

atau total digestible nutrients (TDN) dan protein dapat dicerna dengan berpedoman pada NRC (1968, 1976). Pencernaan pakan sebagian besar terjadi dalam perut bagian depan (rumen) yang sekaligus menghasilkan protein mikroba. Oleh karena itu, kecernaan pakan diperbaiki melalui perlakuan fisik, kimiawi, biologis, dan suplementasi bahan pakan bergizi tinggi untuk mengurangi beban kerja rumen dalam mencerna pakan. Di antara teknologi pilihan yang disosialisasikan kepada peternak, amoniasi jerami padi dengan urea atau penambahan urea dan tetes lebih banyak dikenal. Sampai sekarang, teknik praperlakuan dan pengayaan nutrisi bahan pakan maupun fermentasi pakan belum banyak diadopsi peternak (Haryanto 2009). Sejak tahun 1980-an, pengetahuan nutrisi mengarah pada pencernaan protein dalam rumen (ARC 1980). Protein pakan digolongkan menjadi protein yang mudah dan yang lambat dicerna dalam rumen, dan yang lolos dari pencernaan dalam rumen. Protein pakan yang lolos cerna dalam rumen bersama protein mikroba rumen dicerna menjadi asam amino yang dapat dimanfaatkan untuk produksi ternak. Atas dasar teori dan pemikiran tersebut, berkembang upaya untuk memaksimumkan produksi melalui perlindungan protein (Kuswandi 1989; Haryanto et al. 1993), pati atau lemak secara fisik dan kimiawi (Lubis et al. 1998).

Periode Industrialisasi Pertanian (1990-2010) Berkembangnya usaha ternak ruminansia dan keterbatasan sumber pakan dari hasil budi daya dan rumput alam mendorong para peneliti untuk mencari terobosan


192

Kuswandi

dalam penggunaan pakan inkonvensional, seperti limbah pertanian dan limbah pengolahan hasil pertanian. Perlakuan dan penggunaan pakan inkonvensional tersebut tetap memerhatikan kandungan gizi, kecernaan, palatabilitas, dan formulasi ransum. Di samping perlakuan pakan, dikembangkan pula penggunaan probiotik sebagai pengontrol keseimbangan mikroba dalam rumen untuk meningkatkan kecernaan serat kasar dan produktivitas ternak. Dengan pemberian probiotik, kecernaan jerami padi meningkat 50% (Haryanto 2009) dan pertumbuhan sapi naik dua kali lipat (Winugroho 2009). Probiotik dari bakteri asam laktat terseleksi ditemukan (Soetanto et al. 2001) dan propolis hasil ekstraksi sarang lebah dapat menekan bakteri patogen dalam usus (Fatoni et al. 2008). Pendayagunaan pakan lokal meminimalkan porsi ransum dari pakan impor, seperti jagung, kedelai, dan tepung ikan. Berkembangnya sistem integrasi tanamanternak yang ramah lingkungan makin meningkatkan jenis pakan yang tersedia dan mendorong pengujian palatabilitas dan formulasi ransum. Sebagai contoh, kulit buah (cangkang) kakao teruji kelayakannya melalui amoniasi dan biofermentasi. Kapang seperti Aspergillus niger meningkatkan kecernaan cangkang kakao dari 43,0% menjadi 48,6% dan uji cobanya dalam formula ransum menambah bobot hidup sapi 0,76/ekor/hari (Darmawidah et al. 1998; Laconi 1999). Bahan ini dapat digunakan sampai 30% dari total ransum (Kuswandi dan Inounu 2009).

Tantangan dan Harapan ke Depan Meningkatnya jumlah penduduk, kesadaran akan gizi, dan daya beli masyarakat

mendorong bertambahnya kebutuhan daging dan susu dari ternak ruminansia. Kondisi ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi pengembangan usaha ternak ruminansia di masa mendatang. Dalam pengembangan usaha ternak ruminansia ke depan, peternak harus diberdayakan untuk mengefisienkan usahanya melalui integrasi dengan tanaman pangan atau perkebunan untuk memperoleh limbah sebagai pakan. Bahan pakan dari limbah tersebut perlu diformulasi secara ekonomis agar bergizi tinggi, seperti dalam bentuk multi-nutrient block. Formulasi pakan disesuaikan dengan kebutuhan ternak ruminansia, terutama kandungan protein, energi, mineral, dan vitamin sesuai jenis dan status fisiologis ternak (Martawidjaja et al. 2001, 2002).

SUMBER BAHAN PAKAN LOKAL Pakan ruminansia terdiri atas hijauan sumber serat dan pakan tambahan sumber protein, energi, mineral, dan vitamin. Untuk mengoptimalkan produktivitas ternak, pada kondisi tertentu, yaitu fase pertumbuhan cepat, bunting, dan laktasi, pakan tersebut perlu disuplementasi dengan bahan pakan kaya gizi, seperti konsentrat.

Pakan Hijauan Hijauan pakan umumnya berupa rumput dan semak. Pada musim hujan, ketersediaan hijauan tersebut berlimpah, namun pada musim kemarau jumlahnya terbatas. Dengan menyimpannya dalam bentuk kering, hijauan tersebut dapat dimanfaatkan pada musim kemarau (Kuswandi 1990a, 1990b).


193

Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...

Pada musim kemarau, limbah tanaman pangan, khususnya jerami padi, menjadi sumber hijauan penting selain rumput. Jerami padi mengandung protein 5% dan kecernaannya 30-40%, lebih rendah dibandingkan dengan rumput yang mengandung protein 6-10% dan kecernaan 50%, sehingga tidak menunjang kebutuhan hidup pokok. Meskipun demikian, karena produktivitasnya tinggi, 6-11 ton bahan kering/ha, jerami perlu ditingkatkan gizinya dengan perlakuan, seperti amoniasi agar dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan (Kuswandi et al. 2007). Hasil penelitian menunjukkan, seekor sapi dengan bobot 300 kg mampu mengonsumsi bahan kering jerami olahan 8 kg/hari (Davis et al. 1983). Limbah lain yang dapat dimanfaatkan untuk pakan adalah jerami jagung, umbiumbian, dan kacang-kacangan. Pada tahun 2010, tersedia tidak kurang dari 151 juta ton hijauan kering dari keseluruhan limbah tersebut bersama jerami padi. Angka ini mampu memenuhi kebutuhan pakan bagi 138 juta ekor sapi dengan bobot 250 kg, dengan asumsi penggunaannya 50% dari total pakan (Bamualim et al. 2007). Hijauan leguminosa telah disosialisasikan sebagai pakan sumber protein (lebih dari 10%). Di antara jenis legum yang merambat, legum herba untuk penutup tanah di perkebunan, seperti sentro dan kalopo, merupakan sumber amonia yang baik untuk pencernaan dalam rumen (Kuswandi 1988) dan sudah dimanfaatkan. Legum pohon, seperti lamtoro, glirisidia, kaliandra, turi, dan akasia dapat dibudidayakan untuk mengatasi kekurangan hijauan. Namun, hanya lamtoro dan glirisidia yang dimanfaatkan peternak. Protein dari hijauan ini relatif lambat dicerna dalam rumen sehingga dapat memasok amonia secara kontinu dari rumen sepan-

jang hari. Karena produksinya relatif rendah diperlukan teknologi pengawetan pada saat hijauan berlimpah, terutama untuk pakan pada musim kemarau (Bamualim et al. 2007). Limbah perkebunan tersedia seiring dengan pengembangan tanaman kelapa sawit, kopi, kakao, tebu, dan jambu mete. Pada tahun 2008, luas perkebunan kelapa sawit, kopi, kakao, dan tebu berturut-turut adalah 7.078.875, 1.302.393, 1.473.259 dan 442.151 ha, dengan produksi bahan baku pokok 18.089.503, 682.938, 742.761, dan 2.800.946 ton (Deptan 2009). Tiap hektare kelapa sawit menghasilkan bahan kering pelepah 5.214 kg, serat perasan 180 kg, dan tandan kosong 212 kg (Mathius 2007). Hasil kulit dan daging buah kopi diperkirakan 40,2-42,7% dari produksi buah, dan dari cangkang kakao 2,97-2,57 t/ha (Goenadi dan Prawoto 2008). Dari tebu, setiap ton gula menghasilkan bahan kering 1,55 ton pucuk tebu dan 2,25 ton ampas bagas (Kuswandi 2007a). Dari estimasi tersebut diperkirakan biomassa kering limbah sawit yang tersedia mencapai 39,68 juta ton, kulit kopi 0,29 juta ton, kulit buah kakao 43,77 juta ton, dan limbah tebu 10,50 juta ton, atau total 94,24 juta ton bahan kering. Dengan asumsi 70% limbah tersebut untuk pakan, jumlah tersebut mampu mencukupi kebutuhan ternak ruminansia setara 45,18 juta ekor sapi dengan bobot 250 kg, dengan asumsi konsumsi limbah kering 4 kg/ekor/ hari.

Pakan Tambahan Industri pengolah hasil pertanian menghasilkan limbah seperti dedak, pecahan biji (menir), bungkil, ampas, dan kulit (pod) (Kuswandi 1990b; Darmawidah et al. 1998;


194

Bamualim et al. 2007; Kuswandi 2007a; Pangestu et al. 2008). Bahan-bahan tersebut merupakan sumber utama protein, energi, dan mineral dalam pakan, tetapi kandungan, palatabilitas, dan kecernaannya berbeda. Oleh karena itu, diperlukan teknik tertentu dalam memanfaatkannya. Bahan pakan lokal yang memiliki gizi cukup memadai tersebut perlu direkayasa agar kandungan nutrisinya meningkat, baik dengan memperbaiki kualitas bahan maupun teknik pemanfaatannya. Salah satu teknologi pemanfaatan pakan adalah pembuatan pelet. Kini mesin pelet berdiameter 1 cm telah dikembangkan dan pakan komplet berbentuk kubus mulai diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Perlakuan ini tidak mengganggu mutu biologis pakan (Kuswandi 1990b), bahkan mampu melindungi protein dan lemak sehingga meningkatkan produktivitas ternak (Kuswandi dan Robards 1999).

REKAYASA MANAJEMEN NUTRISI PAKAN LOKAL Berbagai upaya telah dilakukan untuk memasok gizi yang cukup dan seimbang sehingga pakan dapat digunakan secara efisien. Rekayasa untuk memperbaiki konsumsi, kecernaan, dan efisiensi penggunaan pakan bertujuan untuk mengoptimalkan produktivitas ternak.

Penyiapan dan Penyajian Pakan Produktivitas ternak dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi, yang ditentukan oleh cara penyiapan dan penyajiannya. Upaya memperbaiki konsumsi pakan dilakukan dengan mengatur waktu,

Kuswandi

penyiapan dan cara penyajian pakan, serta pemberian suplemen. Salah satu faktor yang menentukan tingkat konsumsi pakan adalah suhu lingkungan. Di dataran sedang dengan suhu udara 24-29째C, sapi dengan bobot 350-450 kg mengonsumsi rumput segar 30-35 kg/ ekor/hari (Kuswandi et al. 2005a), sedangkan di dataran tinggi dengan suhu udara 16-24째C mampu mengonsumsi 50 kg/ ekor/hari (Kuswandi et al. 2005b). Uji coba pemberian pakan terhadap sapi di dataran rendah dengan suhu lebih dari 30째C telah dilakukan. Hasilnya menunjukkan, jika disajikan pada malam hari, konsumsi bahan kering pakan meningkat 2,7% dari bobot hidup (Zulbardi et al. 2000), atau naik 12,535,0% dibandingkan dengan pemberian pada siang hari. Cara ini telah dijadikan pedoman bagi peternak ruminansia di Probolinggo, Jawa Timur. Nilai biologis yang rendah dan daya tahan simpan pakan yang singkat dapat disebabkan oleh tingginya kandungan air (lebih dari 14%), besarnya ukuran pakan, dan sifat bulky (Kuswandi 1990a, 1990b; Kuswandi et al. 1992). Pakan yang kering, halus, dan berbentuk pelet dapat mengoptimalkan konsumsinya oleh ternak (Muhaemin et al. 2001). Rumput kering yang dipotong-potong hanya dikonsumsi 1,9% dari bobot hidup. Namun, bila digiling, konsumsinya meningkat menjadi 2,4% dari bobot hidup atau naik 26,3% (Kuswandi 2003). Ransum berbasis hijauan leguminosa kering (85%) dapat dikonsumsi hingga 3,7-4,0% dari bobot hidup (Kuswandi dan Robards 1999). Dalam bentuk segar, domba hanya mengonsumsi kurang dari 3% dan sapi kurang dari 2,5% dari bobot hidup. Dengan pengetahuan ini, peternak sapi perah di Bandung Utara dan Selatan telah memanfaatkan pakan kering seperti jerami padi dan pucuk tebu.


Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...

Penyajian pakan dalam jumlah banyak dapat mengurangi selera makan ternak sehingga sebagian pakan terbuang. Oleh karena itu, dilakukan penelitian pengaruh frekuensi pemberian pakan. Sapi laktasi dengan bobot 500 kg yang diberi hijauan pakan dua kali sehari mampu mengonsumsi bahan kering 17,9 kg/hari. Bila diberikan empat kali, konsumsinya menjadi 20,2 kg (naik 13%) sehingga produksi susu naik dari 9,0 l menjadi 13,8 l/ekor/hari (53%) (Kuswandi et al. 2005b). Cara ini telah diadopsi Balai Besar Perbibitan Ternak Unggul Baturraden dan peternak sekitarnya dengan frekuensi pemberian hijauan 2-3 kali sehari. Suplementasi sering kali membatasi kemampuan ternak dalam mengonsumsi hijauan. Suplemen protein yang diberikan sebelum rumput menaikkan konsumsi rumput hingga 15%. Apabila diberikan berseling beberapa kali sehari, kenaikannya menjadi 23% (Kuswandi 1989, 1994; Kuswandi dan Teleni 1990). Pemberian pakan secara berselang dapat dianjurkan untuk menjaga ketersediaan amonia yang dibutuhkan bakteri dalam rumen. Cara ini telah dipraktikkan peternak sapi potong dan sapi perah di Purwokerto dan Magelang, dan telah menyebar ke daerah lain. Jumlah suplemen yang diberikan perlu dibatasi agar tidak menggantikan sebagian pakan basal (Kuswandi et al. 2005b). Selama ini, jumlah pembatasan pakan sumber energi yang dianjurkan adalah 1020% (Mulholland et al. 1976; Doyle et al. 1986). Angka tersebut dapat ditingkatkan hingga 30% tanpa mengurangi, bahkan meningkatkan konsumsi hijauan jika suplemen tersebut kaya akan protein (Kuswandi 2000; Kuswandi et al. 2005b). Protein yang terlindung dari pencernaan dalam rumen dalam batas 25% dari total

195

protein ransum memacu konsumsi hijauan pakan (ARC 1980; Kuswandi 2007b).

Perbaikan Kecernaan Pakan Bagian pakan yang dicerna ternak merupakan selisih antara jumlah pakan yang terkonsumsi dengan yang keluar lewat feses. Rendahnya kecernaan rumput alam dan jerami tanaman pangan menghasilkan TDN kurang dari 50% sehingga jumlah pakan yang diberikan harus digandakan dari kebutuhan. Namun, cara ini sulit diterapkan karena daya konsumsi ternak terbatas. Oleh karena itu, mutu bahan pakan dan cara pemberiannya perlu diperbaiki untuk meningkatkan kecernaannya. Kecernaan pakan yang rendah dapat dipengaruhi oleh tingginya kandungan serat kasar dan alkaloid. Perlakuan kimiawi dan biologis telah diteliti dan berhasil menaikkan kecernaan bahan pakan (Devendra 1981; Kuswandi dan Inounu 2009). Amoniasi meningkatkan kecernaan bahan kering pakan dari 44% menjadi 51% (naik 16%) dan kecernaan protein dari 46% menjadi 62% (naik 35%), yang selanjutnya berdampak terhadap naiknya konsumsi pakan (26,3%) (Kuswandi dan Teleni 1990; Kuswandi 1991). Perlakuan mikrobiologis dapat menurunkan kadar serat, dan perlakuan fisik (perendaman atau perebusan) mengurangi kadar alkaloid. Cara-cara ini, terutama amoniasi jerami padi, sudah diterapkan peternak di beberapa daerah. Mikroba rumen pencerna serat tidak dapat bekerja secara optimal jika pakan bermutu rendah, seperti limbah tanaman. Kecernaan jerami padi dapat diperbaiki dengan menambahkan urea dan tetes dosis tinggi (Sitorus 1986), tetapi konsumsinya oleh ternak berkurang sehingga menurun-


196

kan bobot hidup. Perbaikan kecernaan dengan suplementasi sumber energi, seperti konsentrat, umbi-umbian atau biji-bijian, juga menurunkan konsumsi pakan basal. Untuk mengatasinya, suplemen yang digunakan hendaknya kaya protein. Pemberian suplemen sumber energi sekaligus sumber protein hingga 30% dari total bahan kering ransum pada domba menaikkan kecernaan pakan hingga 25,5% tanpa mengurangi konsumsi rumput (Kuswandi dan Teleni 1990). Peningkatan kandungan protein suplemen dari 10,3% menjadi 16,5% menaikkan kecernaan pakan hingga 25% (Kuswandi et al. 1992). Hal ini menunjukkan bahwa kekurangan substrat utama seperti sumber nitrogen dan energi perlu dikomplementasi. Di samping itu, mineral makro seperti fosfor dan belerang serta mineral mikro seperti seng (Doyle et al. 1986; Haryanto et al. 1992; Kuswandi et al. 2001) perlu diperhatikan. Untuk memenuhi kebutuhan mineral ternak, peternak umumnya menggunakan garam dapur sebagai pemacu nafsu makan, sedangkan pengusaha maju melengkapi ransum ternak dengan mineral blok. Lambatnya perjalanan digesta menuju usus halus dapat mengurangi konsumsi protein tercerna di daerah tropis (Brockman dan Laarveld 1986). Penyeimbangan asam amino ransum dapat menaikkan kecernaan pakan (Kuswandi et al. 2005c) karena mengoptimalkan sintesis bakteri dalam rumen (Thompson 1982; Kuswandi 1993). Meskipun sulit diterapkan, hasil penelitian biokinetika urea dan glukoneogenesis mengisyaratkan perlunya menambahkan bahan pakan seperti dedak, terutama yang defatted, umbi-umbian, sorgum dan bypass carbohydrates untuk meningkatkan produksi ternak (Kuswandi 1990a, 1990b; Broto et al. 2008).

Kuswandi

Peningkatan Efisiensi Penggunaan Pakan Manajemen penggunaan pakan dimaksudkan untuk mencegah penyusutan produktivitas, mengendalikan input produksi, dan mencapai target produksi. Energi dan protein merupakan komponen gizi terpenting dalam mengefisienkan penggunaan pakan. Kegagalan dalam mengestimasi produktivitas menunjukkan adanya peran nutrisi lain. Oleh karena itu, dalam upaya mengefisienkan penggunaan pakan, seluruh komponen gizi perlu dipertimbangkan. Meningkatnya kecernaan pakan secara in vitro tidak selalu mencerminkan keunggulan pakan tersebut setelah diuji pada ternak karena kurangnya konsumsi akibat rendahnya palatabilitas (Sitorus 1986), tidak imbangnya nutrisi hasil fermentasi pakan di dalam rumen (Kuswandi et al. 2005a), dan terbatasnya kemampuan pasok nutrisi pascapencernaan (Martawidjaja et al. 1998). Kebutuhan nutrien oleh bakteri di dalam rumen perlu menjadi pertimbangan pertama untuk menunjang kebutuhan hidup pokok ruminansia. Untuk itu, diperlukan sumber karbohidrat dan amonia, asam amino, dan mineral seperti fosfor dan belerang. Selanjutnya, pakan tambahan difungsikan untuk memasok energi dan asam amino bagi produksi ternak tanpa mengganggu daya konsumsi pakan basal (Doyle et al. 1986). Penambahan N dan energi mudah tersedia dalam rumen, seperti urea dan tetes pada pakan basal bermutu rendah (Sitorus 1986; Kuswandi et al. 2000, 2005a) kurang tepat tanpa rekayasa lain. Amonia harus tersedia secara kontinu untuk aktivitas bakteri di dalam rumen. Salah satu bahan pemasok amonia secara kontinu adalah daun-daunan yang lambat


Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...

dicerna dalam rumen (Artika et al. 2009). Daun leguminosa kering yang dicampur sekam padi dan urea (69,4 : 30,0 : 0,6) menambah bobot hidup domba peranakan merino 61 g/hari, tetapi kombinasi leguminosa-sekam 85:15 memperbaiki pertambahan bobot hidup hingga 119 g/ hari (Mulholland et al. 1976). Dengan demikian, penambahan nutrisi dan energi yang mudah tersedia hanya bermanfaat bila diberikan secara berulang dalam sehari untuk mencegah susut bobot hidup pada saat krisis pakan (Mulholland et al. 1976; Kuswandi 1988). Pembatasan penggunaan antibiotik untuk memacu pertumbuhan mendorong penggunaan antibiotik alami. Propolis mampu memperbaiki pertambahan bobot hidup sapi 75% lebih banyak dibanding kontrol (Kuswandi et al. 1991) bila pakannya berupa rumput alam dan konsentrat.

Inovasi Teknologi Formulasi Pakan Komplet Pabrikan Terobosan teknologi dengan pakan komplet pabrikan harus mempertimbangkan keseimbangan nutrisi. Pada pakan bermutu rendah, vitamin A bersifat labil dan mudah rusak akibat pengeringan. Pakan komplet padat protein sering direkomendasikan, padahal penggunaannya tidak efisien karena sebagian protein digunakan sebagai sumber energi (Kuswandi 1990c). Peningkatan produktivitas ternak dapat dicapai antara lain dengan peragaman bahan pakan, penggunaan nutrien yang terlindung dari pencernaan dalam rumen, pelengkapan mineral, perlakuan tertentu, dan perbaikan cara penyajian pakan. Produktivitas ternak yang maksimal dapat dicapai bila serapan asam amino dan sumber energi ke dalam darah optimal.

197

Upaya melindungi karbohidrat (ARC 1980), protein (Haryanto et al. 1993) atau lemak (Lubis et al. 1998) dari pencernaan di dalam rumen dapat mempercepat pertumbuhan domba. Ini berarti pada saat pakan berlimpah, pakan tambahan padat gizi dapat dikeringkan dalam bentuk wafer atau pelet untuk keperluan jangka panjang. Dengan konsentrat berbahan pakan lokal seperti dedak, menir, bungkil kelapa, dan bungkil kedelai, pertambahan bobot hidup pedet dapat menyamai yang diberi pakan konsentrat komersial (0,7-0,8 kg/ hari) (Supriyanti 2002; Kuswandi et al. 2004). Bahan pakan tersebut telah digunakan para pengusaha sapi untuk menghemat jagung. Pemberian konsentrat berkadar protein 15% dan TDN 70% sebanyak 2% dari bobot hidup di samping rumput menambah bobot hidup domba 122 g/ekor/hari (Bamualim et al. 2007). Produktivitas ini masih dapat ditingkatkan bila pakan diberikan dalam bentuk pelet dari sumber pakan yang beragam, sebagian proteinnya terproteksi, dan diperkaya mineral. Sumber protein hewani tidak selalu baik untuk campuran ransum pada usaha penggemukan, walaupun kandungan asam aminonya lengkap. Untuk itu, telah dicoba penggunaan protein nabati. Pemberian pelet yang mengandung 9% suplemen protein nabati dan 1% campuran mineral menambah bobot hidup domba peranakan merino 266 g/hari. Pelet tersebut mengandung protein 14,7% dengan komposisi utamanya daun legum, sereal, dan sekam padi (masing-masing 30%), sedangkan mineral utamanya adalah natrium, kalsium, fosfor, magnesium, dan belerang. Kadar protein masih dapat diturunkan menjadi 13,2% dengan menaikkan komponen sekam padi (40%) untuk mempertahankan pertambahan bobot hidup 196 g/hari. Daya


198

guna protein nabati dapat ditingkatkan dengan menambahkan formaldehida, yang menaikkan bobot badan ternak menjadi 287 g/hari (Kuswandi dan Robards 1999). Di samping sebagai sumber protein, legum merupakan sumber energi yang andal sehingga berpotensi menjadi komponen ransum untuk penggemukan berbasis pakan bermutu rendah. Penggunaan pakan terproteksi telah disosialisasikan dan diadopsi oleh perusahaan peternakan sapi potong. Pada musim kemarau, jumlah pakan yang terbatas tidak memungkinkan peternak untuk melakukan usaha penggemukan. Melalui penelitian telah dihasilkan formulasi pakan lengkap berbasis ampas tebu terfermentasi (20-40%) dan limbah lain, seperti dedak padi, polar, onggok, dan sedikit bungkil kelapa, kedelai, dan sawit. Ransum ini mampu menambah bobot hidup sapi 1,25 kg/hari (Pangestu et al. 2008). Ransum komplet ini telah diadopsi KUD Tayu di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Di dataran rendah dengan suhu 28째C atau lebih, kenaikan bobot hidup sapi 0,941,51 kg/hari dapat dicapai dengan ransum yang mengandung 12% protein dan 6066% TDN (Sunarso et al. 2007). Ransum tersebut berbasis limbah kulit kopi, onggok, dedak padi, dan bungkil (kelapa, kapuk dan sawit) serta sedikit garam dan kapur. Teknologi ransum berbasis limbah pertanian mendorong terbentuknya kelompok-kelompok peternak pengguna di Gunung Pati, Kota Semarang dan Karang Jati, Kabupaten Semarang. Bahkan peternak sapi perah di Semarang menggemukkan sapi jantan peranakan FH dengan ransum komplet berbasis limbah pertanian. Dengan demikian, limbah industri hasil pertanian perlu dimanfaatkan untuk menghindari penggunaan pakan yang mahal.

Kuswandi

ARAH DAN STRATEGI Arah Berdasarkan perkembangan iptek pemanfaatan sumber pakan lokal dan rekayasa nutrisi pakan lokal, arah pengembangan pakan lokal perlu difokuskan pada hal-hal sebagai berikut: 1. Pengembangan iptek pakan ke depan dilakukan secara terpadu dengan membangun kerja sama antara pemerintah, pengusaha, dan peternak sebagai pelaku budi daya, khususnya dalam perumusan kebijakan, pemasaran, dan pendistribusian pakan, sehingga diperoleh pakan yang bergizi seimbang, mudah tersedia, murah, dan berkelanjutan 2. Bahan pakan lokal berupa limbah pertanian tanaman pangan (jerami padi, jagung, kacang, daun ubi) dan tanaman perkebunan (limbah sawit, kakao, kopi, jambu mete) merupakan pakan basal prioritas (80%) bagi ternak ruminansia, terutama pada usaha peternakan rakyat. 3. Peningkatan kualitas pakan lokal dapat diupayakan melalui pengaturan penyediaan hijauan dengan memperbaiki teknik pengawetan, penyimpanan, dan pemanfaatannya, khususnya untuk pakan pada musim kemarau. 4. Pemanfaatan pakan diarahkan pada perbaikan konsumsi dan tingkat kecernaan, penyeimbangan nutrisi dan memaksimalkan produktivitas sesuai kebutuhan setiap jenis ternak. Perbaikan konsumsi dan kecernaan limbah hingga 50% dapat dilakukan dengan pemecahan serat. 5. Formulasi ransum diarahkan pada keseimbangan antara amonia, energi, dan mineral sehingga dapat memenuhi


199

Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...

kebutuhan dan aktivitas mikroba pencerna dalam rumen untuk kebutuhan hidup pokok ternak. Selanjutnya, produktivitas yang maksimal dapat dicapai dengan mengoptimalkan jumlah nutrisi yang siap diserap.

Strategi Untuk mencapai tujuan dan arah pengembangan pemanfaatan pakan lokal tersebut diperlukan strategi sebagai berikut: 1. Memperluas kawasan usaha ternak yang terintegrasi dengan tanaman pangan dan perkebunan. Keberhasilannya perlu didukung oleh usaha pembentukan bibit dan bakalan yang cocok dengan agroklimat setempat. 2. Memperkaya sumber bahan pakan lokal melalui inventarisasi dan karakterisasi pemanfaatan potensi sumber daya pakan lokal secara luas dan mendalam serta manajemen pemberian pakan bergizi seimbang melalui pengembangan penelitian nutrisi, baik dalam skala laboratorium maupun lapangan.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Meningkatnya kebutuhan pangan penduduk mendorong pengembangan agribisnis dalam kondisi terbatasnya ketersediaan rumput pakan sehingga perlu mengoptimalkan penggunaan pakan inkon-

vensional. Peningkatan konsumsi dan kecernaan pakan dapat dilakukan dengan memperbaiki mutu melalui perlakuan fisik (pengeringan, penggilingan, pabrikasi atau pemeletan) dan kimiawi (amoniasi), pengaturan waktu makan (malam hari, penyelingan antara hijauan dan suplemen), dan penambahan frekuensi makan ternak. Memaksimalikan produktivitas dengan pakan lokal dapat diupayakan dengan formulasi ransum yang memasok nutrien yang seimbang, peragaman bahan pakan, penggunaan nutrien terlindung dari pencernaan di dalam rumen, pelengkapan mineral, dan pengolahan bahan. Pada kondisi krisis pakan berkepanjangan, sumber nitrogen dan energi mudah tersedia dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi penyusutan bobot hidup ternak, sedangkan pada musim surplus pakan untuk mencapai target produksi.

Implikasi Kebijakan Sebagai implikasi dari hal tersebut, diperlukan beberapa kebijakan, antara lain: (1) pengembangan industri pakan yang menjamin ketersediaan pakan sepanjang tahun di setiap sentra produksi ternak; (2) fasilitasi pelatihan teknis, demonstrasi, studi banding, dan kunjungan lapang untuk pelaku usaha ternak dalam mensosialisasikan penerapan teknologi dan sistem pemberian pakan secara in situ dan spesifik lokasi; (3) perluasan dan perbaikan infrastruktur transportasi dalam pendistribusian pakan lokal; dan (4) regulasi ekspor bahan pakan lokal dengan mengutamakan kebutuhan pakan dalam negeri.


200

Kuswandi

DAFTAR PUSTAKA ARC (Agricultural Research Council). 1980. The Nutrient Requirements of Ruminant Livestock. Commonwealth Agricultural Bureau, Farnham Royal, England. 368 pp. Artika, I M., Z. Hasan, B. Haryanto, dan Kuswandi. 2009. Potensi propolis Trigona spp. Pandeglang sebagai pemacu pertumbuhan pada sapi peranakan ongole. Laporan Penelitian. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor dan Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Bamualim, A.M., Kuswandi, A. Azahari, dan B. Haryanto. 2007. Sistem usahatani tanaman-ternak. hlm. 19-33. Prosiding Seminar Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Bebas Limbah, Bogor, 22-23 Mei 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Brockman, R.P. and B. Laarveld. 1986. Hormonal regulation of metabolism in ruminants: A review. Livestock Prod. Sci. 14(4): 313-334. Broto, W., S. Widowati, R. Rachmat, dan B.A.S. Santosa. 2008. Perspektif pemanfaatan bekatul untuk pangan dan pakan. hlm. 57-73. Prosiding Seminar Sistem Integrasi Tanaman PanganTernak Bebas Limbah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Darmawidah, A., A. Nurhayu, dan M. Sariubang. 1998. Pemanfaatan kulit biji kakao sebagai pakan ternak. hlm. 523525. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, 1-2 Desember 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Davis, C.H., M. Saadullah, F. Dolberg, and M. Haque. 1983. Ammonia treatment of

straw for cattle production in intensive agrarian agriculture. p. 1-25. Proc. 4th Seminar held in Bangladesh, 2-4 May 1983. Deptan (Departemen Pertanian). 2009. Statistik Pertanian 2009. Departemen Pertanian, Jakarta. Devendra, C. 1981. Herbage resources for feeding ruminants in the Asean region. Proc. The First Asean Workshop on the Technology of Animal Feed Production Utilizing Frod Waste Materials, Bandung, 26-28 August 1981. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2009. Statistik Peternakan 2008. Ditjennak, Jakarta. Doyle, P.T., C. Devendra, and G.R. Pearce. 1986. Rice Straw as a Feed for Ruminants. International Development Program of Australian Universities and Colleges, Canberra, Australia. 117 pp. Fatoni, A., I M. Artika, A.E.Z. Hasan, and Kuswandi. 2008. Antibacterial activity of propolis produced by Trigona spp. against Campylobacter spp. Hayati J. Biosci. 15(4): 161-164. Goenadi, D.H. dan A.D. Prawoto. 2008. Kulit buah kakao sebagai bahan pakan ternak. hlm. 49-58. Prosiding Seminar Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Bebas Limbah, Bogor, 22-23 Mei 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Haryanto, B., M. Martawidjaja, dan Kuswandi. 1992. Pengaruh suplementasi energi dan protein terhadap nilai kecernaan dan pemanfaatan pakan pada domba. II. Serat, kalsium dan fosfor. hlm. 49-51. Prosiding Pertemuan Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Ternak Ruminansia Kecil, Cisarua, Bogor, 19-20 September 1991. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.


Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...

Haryanto, B., Kuswandi, A. Wilson, S. Sitorus, C.A. Budiman, dan H.M. Arifin. 1993. Efisiensi penggunaan pakan mengandung protein berfolmaldehid pada domba. Ilmu dan Peternakan 6(1): 18-20. Haryanto, B. 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Bebas Limbah (STTBL) Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging. Orasi Pengukuhan Profesor Riset. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Kuswandi. 1988. Aspek penimbunan nitrat pada hijauan pakan ternak. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 7(4): 87-92. Kuswandi. 1989. Kelakuan protein terlindung pada domba yang diberi hay dengan mutu berbeda. hlm. 193-198. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Yogyakarta, 9 September 1989. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kuswandi. 1990a. Peranan pengeringan dalam meningkatkan mutu dan nilai tambah bahan pakan ternak ruminansia. hlm. 96-113. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengeringan Komoditas Pertanian, Jakarta, 21-22 November 1990. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Kuswandi. 1990b. Nilai biologis rumput kering pada domba. hlm. 561-568. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengeringan Komoditas Pertanian, Jakarta, 21-22 November 1990. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Kuswandi. 1990c. Pengeluaran energi pada domba yang diberi rumput bermutu rendah. hlm. 1109-1116. Prosiding Simposium IV Aplikasi Isotop dan

201

Radiasi, Jakarta, 13-15 Desember 1989. PATIR-BATAN, Jakarta. Kuswandi and E. Teleni. 1990. Nitrogen metabolism in sheep fed poor quality hay with protein supplements. Proc. 13rd MSAP Animal Conference. Malaysian Research and Development Institute, Malaysia. Kuswandi. 1991. Degradasi urea darah pada domba yang diberi rumput lapangan. hlm. 717-724. Prosiding Seminar Aplikasi Isotop dan Radiasi dalam Bidang Pertanian, Peternakan dan Biologi, Jakarta, 30-31 Oktober 1990. PATIR-BATAN, Jakarta. Kuswandi, B. Sudaryanto, I. Inounu, dan M. Rangkuti. 1991. Pertumbuhan domba dengan konsentrat berkadar protein berbeda. hlm. 139-143. Prosiding Seminar Nasional Usaha Peningkatan Produktivitas Peternakan dan Perikanan, Semarang, 7 Oktober 1991. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Kuswandi, H. Pulungan, dan B. Haryanto. 1992. Manfaat nutrisi rumput lapangan dengan tambahan konsentrat pada domba. hlm. 12-15. Prosiding Seminar Optimalisasi Sumber Daya Pembangunan Peternakan Menuju Swasembada Protein Hewani, 26-27 Januari 1992. ISPI Cabang Bogor. Kuswandi. 1993. Kegiatan mikroba di rumen dan manipulasinya untuk menaikkan efisiensi produksi ternak. Buletin Peternakan 17: 68-76. Kuswandi. 1994. Kacang vetch sebagai sumber protein pada domba. hlm. 309312. Risalah Pertemuan Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi dalam Bidang Industri dan Pertanian, Jakarta, 14-15 Desember 1993. PATIR-BATAN, Jakarta. Kuswandi and G.E Robards. 1999. The efficiency of utilization by growing


202

sheep of rice hull-based rations containing protein meals. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. XXII, 259. Kuswandi. 2000. Protein bijian sebagai suplemen pada domba. Buletin Peternakan (Edisi Tambahan): 46-50. Kuswandi, M. Martawidjaja, Z. Muhammad, dan D.B. Budiwiyono. 2000. Penggunaan N mudah tersedia pada pakan basal rumput lapangan pada kambing lepas sapih. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(4): 219-223. Kuswandi, Supriyati, B. Haryanto, M. Martawidjaja, dan D. Yulistiani. 2001. Pertumbuhan domba muda yang diberi pakan aditif. hlm. 189-196. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, September 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Kuswandi. 2003. Penggunaan nitrogen pada domba yang sedang bertumbuh. Saripati hasil penelitian dipresentasikan sebagai salah satu syarat untuk usulan kenaikan pangkat/golongan dari IV-b ke IV-c. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor, 4 September 2003. Kuswandi, C. Talib, dan T. Sugiarti. 2004. Pertumbuhan sapi FH calon pejantan dengan konsentrat berbahan baku lokal. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 4-5 Agustus 2004. Buku I: 232-237. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Kuswandi, C. Talib, A.R. Siregar, dan T. Sugiarti. 2005a. Pengaruh imbangan antara rumput dan konsentrat pada sapi perah Indonesian Holstein fase bunting dan laktasi. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Kuswandi, C. Talib, A.R. Siregar, dan T. Sugiarti. 2005b. Peningkatan produksi dan kualitas susu sapi perah Indo-

Kuswandi

nesian Holstein melalui perbaikan manajemen. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Kuswandi, A.R. Ambarkarto, A.R. Siregar, dan S.B. Siregar. 2005c. Peran dan peluang sumber protein bahan pakan pada ransum sapi lepas sapih dalam menunjang pertumbuhan. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Kuswandi. 2007a. Teknologi pakan untuk limbah tebu sebagai pakan ternak ruminansia. Wartazoa 17(2): 82-92. Kuswandi. 2007b. Peluang pengembangan ternak kerbau berbasis pakan limbah pertanian. Wartazoa 17(3): 137-146. Kuswandi, A. Azahari, dan B. Haryanto. 2007. Laboratorium lapang inovasi teknologi dengan pendekatan sistem integrasi tanaman-ternak. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Kuswandi dan I. Inounu. 2009. Teknologi pengayaan pakan sapi terintegrasi dengan tanaman kakao. hlm. 111-140. Dalam A.M. Fagi, Subandriyo, dan I W. Rusastra (Eds.). Sistem Integrasi Ternak-Tanaman: Padi - sawit - kakao. LIPI Press, Jakarta. Laconi, E.B. 1999. Biofermentasi dan amoniasi limbah kakao untuk pakan sapi potong. Buletin Peternakan (Edisi Tambahan): 121-126. Lubis, D., E. Wina, dan B.E. Rubiono. 1998. Laju pertumbuhan domba yang diberi ransum berkadar lemak tinggi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(3): 143-148. Martawidjaja, M., B. Setiadi, dan S.S. Sitorus. 1998. Pengaruh penambahan tetes dalam ransum terhadap produktivitas kambing kacang. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(3): 149-153. Martawidjaja, M., Kuswandi, dan B. Setiadi. 2001. Pengaruh tingkat protein


Teknologi pemanfaatan pakan lokal ...

ransum terhadap penampilan kambing persilangan Boer dan kambing kacang muda. hlm. 228-234. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, September 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Martawidjaja, M., B. Setiadi, D. Yulistiani, D. Priyanto, dan Kuswandi. 2002. Pengaruh pemberian konsentrat tinggi dan rendah terhadap penampilan kambing jantan kacang dan persilangan Boer. hlm. 194-197. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 30 September-1 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Mathius, IW. 2007. Membedah Permasalahan Pakan Sapi Potong Melalui Pemanfaatan Produk Samping Industri Kelapa Sawit. Orasi Pengukuhan Profesor Riset, Bogor, 30 Juli 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Muhaemin, M., D.A. Setiawan, Kuswandi, dan D. Rusendi. 2001. Rekayasa desain mesin pengkubus hijauan sebagai alternatif teknologi pengolahan pakan ternak dalam upaya penyediaan pakan di musim kemarau. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Bandung, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Mulholland, J.G., J.B. Coombe, and W.R. McManus. 1976. Effect of starch on the utilization by sheep of a straw diet supplemented with urea and minerals. Aust. J. Agric. Res. 27(1): 139-153. NRC (National Research Council). 1968. Nutrient Requirements of Domestic Animals: Nutrient requirements of sheep. 4th Ed. National Academy of Sciences, Washington, DC.

203

NRC (National Research Council). 1976. Nutrient Requirements of Domestic Animals: Nutrient requirements of beef cattle. 5th Ed. National Academy of Sciences, Washington, DC. Pangestu, E., Kuswandi, B. Utomo, dan F. Wahyono. 2008. Implementasi penambahan ampas tebu terfermentasi sebagai karier padat gizi dalam complete feed sapi potong. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang, dan Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Sitorus, S.S. 1986. Pemberian suplementasi daun lamtoro pada kambing yang mendapat jerami padi sebagai ransum pokok. Ilmu dan Peternakan 2(3): 9598. Soedjana, T.D. 2008. Peningkatan produk peternakan untuk pemenuhan gizi masyarakat. Dalam Budidaya Ternak Ruminansia. Edisi 1. Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Soetanto, H., O.P. Masdiana, Kuswandi, dan A. Thalib. 2001. Seleksi berbagai jenis bakteri asam laktat dari usus halus sapi untuk produksi probiotik. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, dan Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Sunarso, E. Kurnianto, B. Haryanto, dan Kuswandi. 2007. Introduksi teknologi complete feed dalam upaya peningkatan produktivitas sapi potong. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang, dan Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Suparyanti, T. 2002. Penampilan Produksi Sapi Friesian Holstein Jantan Akibat Pemberian Konsentrat yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Thompson, D.J. 1982. The nitrogen supplied by and the supplementation of


204

fresh or grazed forage. In D.J. Thompson, D.E. Beever, and R.G. Gunn (Eds.). Forage Protein in Ruminant Animal Production. BSAP Occassional Publ. No. 6: 53-66. Winugroho, M. 2009. Probiotik: Terobosan imbuhan pakan ruminansia pada peternakan rakyat. Orasi Pengukuhan Profesor Riset, Bogor, 7 Januari 2009. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Kuswandi

Zulbardi, M., Kuswandi, M. Martawidjaja, C. Talib, dan D.B. Budiwiyono. 2000. Daun gliricidia sebagai sumber protein pada sapi potong. hlm. 233-241. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, 18-19 September 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.


Suplementasi logam dan Pertanian mineral untuk ternak ... Pengembangan Inovasi 4(3), kesehatan 2011: 205-217

205

SUPLEMENTASI LOGAM DAN MINERAL UNTUK KESEHATAN TERNAK DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING1) Darmono Balai Besar Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16111 Telp. (0251) 8331048, Faks. (0251) 8334456 e-mail: Bbalitvet@litbang.deptan.go.id Diajukan: 11 Mei 2011; Disetujui: 4 Agustus 2011

ABSTRAK Mineral makro (Ca, Mg, Na, dan K) maupun mikro (Cu, Zn, Fe) sangat dibutuhkan ternak untuk kesehatan dan daya produksinya. Pakan yang cukup mineral menyebabkan ternak menjadi sehat dan menghasilkan produk yang penuh gizi untuk manusia. Pengadaan daging dan produk ternak lain di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan sehingga dilakukan impor daging sapi atau sapi bakalan. Hal tersebut terjadi karena sistem pemeliharaan ternak masih bersifat tradisional. Umumnya petani memelihara ternak secara sederhana dengan memberi pakan berupa rumput dari lapangan. Anjuran untuk memberikan mineral suplemen pada ternak belum dilakukan. Di lain pihak, logam toksik seperti Pb, Cd dan As, sering mencemari rumput pakan, terutama di kawasan industri. Bila rumput tersebut diberikan pada ternak dapat menyebabkan adanya residu logam toksik pada produk ternak. Oleh karena itu, usaha peternakan perlu direlokasi ke tempat yang bebas cemaran. Mengingat pentingnya peran mineral bagi kesehatan ternak maka upaya meningkatkan produksi ternak secara aman dan berkesinambungan perlu mendapat perhatian. Kata kunci: Mineral, logam, produksi ternak, kesehatan ternak

ABSTRACT Metal and Mineral Supplementation for Animal Health in Supporting Beef Self-Sufficiency Macrominerals (Ca, Mg, Na, K) and microminerals (Cu, Zn, Fe) are essential for animals for health, production, and reproduction. Feed containing sufficient minerals is needed for animals to produce high quality products for human consumption. Production of meat and other animal products in Indonesia are not sufficient to fulfill the domestic demand, so that some of them are imported. This is because almost animal farm management in the villages depends on the pasture grass for feed. As a consequence mineral supplementation was strongly recommended to increase animal production. On the other hand, pastures grown on the surrounding industrial area were often contaminated by toxic elements such as Pb, Cd, and As, which caused metal residues in animal products. In this case, relocation of animal industries was needed to avoid their negative impacts on animals. Considering

1)

Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 04 Juni 2009 di Bogor.


206

Darmono

the important role of minerals for animal health, therefore, increasing animal production safely and continuously is need to be considered. Keywords: Elements, metal, animal production, animal health

PENDAHULUAN Pengembangan peternakan di masa mendatang bertujuan untuk mewujudkan peternakan yang modern, efisien, mandiri, mampu bersaing, dan berkelanjutan sekaligus dapat memberdayakan ekonomi rakyat, terutama di perdesaan. Pembangunan peternakan diarahkan agar produk ternak dalam negeri mampu bersaing dengan produk ternak impor dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional. Salah satu dampak keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya pendapatan masyarakat. Perbaikan tingkat pendapatan telah mengubah pola konsumsi masyarakat dari karbohidrat ke protein hewani, khususnya hasil ternak seperti daging, susu, dan telur sebagai sumber protein berkualitas tinggi. Peningkatan konsumsi protein asal ternak secara tidak langsung dapat memperbaiki pertumbuhan, perkembangan otak, kesehatan tubuh, dan kecerdasan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Seiring dengan peningkatan konsumsi protein hewani maka produksi bahan pangan asal ternak perlu terus ditingkatkan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Pertumbuhan dan kesehatan ternak memegang peran penting dalam mewujudkan swasembada daging. Namun, dalam beberapa kasus, aktivitas industri menyebabkan terjadinya kontaminasi limbah berbahaya pada lahan pertanian, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap ternak. Bahan pangan hewani sangat rentan terhadap kontaminasi, baik

kontaminasi mikrobiologis maupun bahan kimia beracun, termasuk logam berat. Bahan makanan yang tercemar logam toksik, seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kadmium (Cd) menjadi tidak aman bagi konsumen karena akan mengganggu proses fisiologis dalam tubuh. Logam esensial seperti besi (Fe), tembaga (Cu), dan seng (Zn) juga dapat berpengaruh buruk bagi tubuh bila kandungannya dalam bahan makanan berlebihan. Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai teknologi pemanfaatan logam dan mineral serta pencegahan toksisitas pada ternak untuk meningkatkan kesehatan dan produktivitas ternak. Misalnya pemberian mineral blok untuk meningkatkan bobot badan dan logam esensial untuk mencegah toksisitas logam berbahaya. Hasil penelitian tersebut bila diaplikasikan dapat meningkatkan kualitas kesehatan ternak dan produk ternak, seperti daging, susu, dan telur. Berkaitan dengan masalah tersebut perlu upaya suplementasi logam dan mineral pada ternak untuk meningkatkan produktivitas. Upaya ini diharapkan mampu mendorong penyediaan pangan asal ternak, terutama daging yang selama ini sebagian masih diimpor dalam rangka mencapai swasembada daging.

PERAN LOGAM DAN MINERAL BAGI KESEHATAN TERNAK Mineral sangat penting bagi proses fisiologis hewan maupun manusia, terutama mineral esensial makro seperti kalsium (Ca),


Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ...

magnesium (Mg), natrium (Na), kalium (K), fosfor (P), dan beberapa mineral lain untuk menyusun struktur tubuh seperti tulang dan gigi. Unsur mikro seperti Fe, Cu, Zn, mangan (Mn), dan iodium (I) berfungsi dalam aktivitas sistem enzim dan hormon dalam tubuh. Mineral makro seperti Ca, Mg, dan P sangat diperlukan untuk membangun tubuh dan pertumbuhan ternak. Mineral mikro esensial seperti Fe, Cu, I, dan Zn sangat berguna dalam pembentukan darah dan sistem hormon serta proses pertumbuhan ternak. Namun, perlu diperhatikan bahwa mineral dapat bersifat toksik bila dikonsumsi berlebihan. Fe sangat berguna untuk pembentukan sel darah dan proses enzimatis dalam tubuh. Dari total kandungan Fe dalam tubuh, sebagian digunakan untuk proses metabolisme dan sebagian disimpan sebagai cadangan. Fe yang digunakan dalam proses metabolisme enzimatis dalam hemoglobin sekitar 55% dan dalam mioglobin 15% (King 2006). Sebagian Fe dalam tubuh ternak terikat erat dengan protein, yang mengangkut Fe ke dalam jaringan dan menyimpannya dalam bentuk ion Fe(III) yang stabil dan tidak terhidroksidasi. Bentuk Fe transferin yang berada dalam protein darah mempunyai dua ikatan kuat dalam bentuk Fe(III), yang terdiri atas dua kelompok tirosinat dan fenolat. Bila tempat ikatan tersebut mengikat Fe(II), ikatannya menjadi lemah. Transferin merupakan kelompok glikoprotein yang termasuk laktoferin (dalam air susu), konalbumin atau ovotransferin (dalam putih telur), dan transferin serum. Semua protein tersebut mengikat Fe (Brown et al. 2004). Cu berperan sangat penting dalam proses metabolisme energi dalam sel serta sistem transmisi impuls saraf, sistem kardiovaskuler, dan sistem kekebalan. Cu juga berperan dalam proses metabolisme es-

207

trogen, kesuburan ternak betina, dan kehamilan. Mineral esensial lain seperti Zn berperan dalam sistem enzim sebagai metaloenzim. Lebih dari 100 jenis metaloenzim mengikat Zn, termasuk enzim nicotinamide adenine dinucleotide dehydrogenase (NADH), RNA dan DNA polymerase, begitu pula enzim alkalin fosfatase, superoksida dismutase, dan karbon anhidrase (Hougland et al. 2005). Beberapa mineral nonesensial seperti Cd, Pb, dan Hg termasuk logam toksik yang menimbulkan efek negatif pada ternak, walaupun dikonsumsi dalam jumlah sedikit. Mineral tersebut dapat menghambat pertumbuhan, produktivitas, dan reproduktivitas ternak, bahkan menyebabkan kematian. Sapi dan domba yang mengonsumsi rumput yang mengandung Pb 5 mg/kg berat kering rumput/hari tidak menunjukkan gejala apapun. Namun, domba betina bunting yang mengonsumsi rumput yang mengandung Pb 30 mg/kg berat kering rumput/hari dalam jangka waktu lama akan menunjukkan gejala keracunan, terutama dalam kondisi kelaparan (Adamson 1980). Kasus keracunan Pb pada sapi banyak dilaporkan, terutama sapi yang digembalakan di padang rumput bekas pertambangan. Keracunan Pb juga terjadi pada anak sapi yang sedang menyusu dan sapi dewasa. Selanjutnya, anak sapi dan sapi dewasa tersebut mati mendadak (Wardrope dan Graham 1982) Rumput pakan yang terkontaminasi Pb dari udara sering menyebabkan keracunan kronis. Namun, padang rumput yang terkontaminasi limbah peleburan logam maupun limbah batu baterai (aki) sering menyebabkan toksisitas akut. Pada ternak ruminansia, gejala khas keracunan Pb ada dua bentuk, yaitu: (1) gastroenteritis, iritasi saluran pencernaan karena garam Pb; dan


208

Darmono

(2) anemia, akibat Pb berikatan dengan eritrosit sehingga sel darah mudah pecah (Baldwin dan Marshal 1999). Bila diperiksa, sel darah tersebut berbentuk stipel yang berwana kebiruan (sel stipel). Pada pemeriksaan radiologi terlihat adanya pemadatan pada persambungan tulang lutut Logam berbahaya seperti Pb, Cd, dan kromium (Cr) dapat mencemari bahan pangan asal ternak. Kandungan Pb yang tinggi dalam bahan pangan dapat menghambat sistem kekebalan pada konsumen (Darmono 2007). Bahan pangan yang berasal dari krupuk kulit mengandung Pb dan Cr cukup tinggi, melebihi batas maksimum yang direkomendasikan, yaitu 2 mg Pb/kg dan 4 mg Cr/kg bahan (Darmono et al. 2008).

STATUS LOGAM DAN MINERAL PADA TERNAK DI BEBERAPA LOKASI DI INDONESIA Penyakit Defisiensi Mineral Kasus penyakit defisiensi mineral esensial telah dilaporkan baik di Jawa (Sutrisno et al. 1983) maupun di luar Jawa (Darmono dan Stoltz 1988; Darmono dan Bahri 1989). Kasus defisiensi mineral juga dilaporkan di beberapa negara Afrika (Damir et al. 1988) dan Eropa (Sas 1989). Ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba yang hampir 100% pakannya berasal dari tanaman pakan atau rumput akan mengalami defisiensi mineral, yang dapat menurunkan bobot badan, produksi, dan reproduksi ternak. Dalam beberapa kasus, ternak sapi di beberapa daerah transmigrasi Kalimantan, terutama di daerah pesisir, menunjukkan gejala lambat berkembang, pertumbuhan ternak sangat buruk, ternak menjadi kurus,

mandul, dan banyak yang mati. Setelah diperiksa, darah ternak mengandung Cu dan Zn di bawah normal (<0,5 Âľg Cu/ml dan <0,4 Âľg Zn/ml) pada 47% populasi ternak tersebut (Darmono dan Bahri 1989). Kandungan mineral Ca di bawah normal (<8 mg/100 ml) ditemukan pada 41,7% ternak dan rasio Na/K <1 pada saliva terdapat pada 59% ternak (Darmono dan Bahri 1990b). Ternak yang berada di daerah pedalaman yang agak jauh dari pantai menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu ternak sapi yang dikirim dari Jawa meningkat perkembangbiakannya. Bila kedua daerah tersebut dibandingkan, yaitu daerah pesisir dan pedalaman, ternyata status mineralnya sangat berbeda sehingga sapi daerah pesisir mengalami defisiensi mineral (Darmono dan Bahri 1990a). Daerah pesisir pantai yang ternak sapinya mengalami defisiensi mineral, tanahnya berpasir sehingga tanaman yang tumbuh di atasnya tidak dapat menyerap unsur mineral karena mineral langsung tercuci ke lapisan tanah yang lebih dalam. Akibatnya, tanaman yang tumbuh di atasnya miskin mineral. Penelitian pada ternak domba di Cirebon menunjukkan bahwa pada musim kemarau, 35% ternak memiliki kandungan Ca dalam darah di bawah normal (<8 mg/ dl), 30% kekurangan P (<4 mg/dl), 4% kekurangan Mg (1,8 mg/dl), dan 39% defisiensi Cu (<0,05 mg/dl). Pada pengambilan serum di pertengahan musim hujan, domba yang mengalami defisiensi mineral P dan Mg menurun sampai 0%. Hal tersebut menunjukkan bahwa defisiensi mineral pada domba di Cirebon banyak terjadi pada musim kemarau (Darmono 1989a). Kandungan mineral iodium dalam tanah di lereng Merapi dan Gunung Kidul, Yogyakarta, dilaporkan memengaruhi


209

Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ...

kandungan hormon triiodo tironin pada kambing di daerah tersebut, yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain seperti Kulonprogo (Bahri dan Suwarsono 1986). Akibatnya, pertumbuhan kambing menjadi terhambat.

Toksisitas Logam dan Mineral Pb, Cd, dan Hg adalah logam nonesensial. Keberadaan logam tersebut dalam jaringan ternak terutama disebabkan oleh cemaran pada pakan maupun air minum sehingga menimbulkan residu dalam jaringan ternak. Rumput pakan ternak yang terkontaminasi Pb dalam kadar cukup tinggi menyebabkan keracunan akut, dan anak sapi lebih peka daripada sapi dewasa (Fahy 1987). Emisi logam Pb, Cd, dan Hg di udara berasal dari industri yang menggunakan suhu tinggi, seperti pabrik besi, pembakaran sampah, pabrik semen, dan pabrik peleburan logam tersebut. Emisi logam berbahaya ke udara diperkirakan mencapai puluhan ton tiap tahun. Emisi logam berbahaya tersebut terus bertambah setiap tahun, baik kualitas maupun kuantitasnya. Emisi logam Pb dari buangan industri besi dan baja mencapai 14.600 t/tahun,

sedangkan pabrik semen mengeluarkan Pb 750 t/tahun. Secara keseluruhan, buangan Pb dari industri peleburan logam, pembakaran sampah, pabrik semen, dan industri lainnya mencapai 18.150 t/tahun. Emisi Cd ke udara dari industri tersebut mencapai 180 t/tahun dan Hg 40 t/tahun (Tabel 1, Pacyna 1987). Tingkat pencemaran akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah industri. Pencemaran logam berbahaya pada rumput pakan ternak telah banyak dilaporkan. Tingkat pencemarannya bergantung pada arah angin dan jarak pengambilan sampel dari sumber bahan pencemar (Adamson 1980; Darmono 1995). Rumput yang tumbuh di sekitar pabrik semen di Kabupaten Bogor dilaporkan mengandung Pb dan Zn cukup tinggi, yaitu masingmasing 10,5 mg dan 184,2 mg/kg berat kering rumput. Kandungan logam yang tinggi terutama ditemukan pada rumput yang tumbuh pada jarak 1 km dari pabrik. Kandungan logam dalam rumput yang tumbuh pada lokasi yang makin jauh dari pabrik makin menurun, yaitu 6,18 mg Pb/ kg dan 79,5 mg Zn/kg (Darmono 1995). Kemungkinan debu yang terbuang ke udara makin sedikit sehingga pencemaran udara juga makin tipis (Tabel 2). Namun,

Tabel 1. Perkiraan emisi logam berbahaya di udara. Emisi (t/tahun)

Industri

Pabrik besi, baja, dan fero aloi Pembakaran sampah Produksi semen Penggunaan logam yang bersangkutan1) Total 1) Di luar pestisida Sumber: Pacyna (1987).

Cd

Pb

Hg

60 85 15 20

14.600 800 750 2.000

20 20

180

18.150

40


210

Darmono

Tabel 2. Kandungan rata-rata logam berat dalam rumput menurut jarak pengambilan dari pabrik semen. Jarak (km) 1 2 3

Kandungan logam berat (mg/kg berat kering) Pb

Cd

Cu

Zn

10,50 6,18 8,83

0,43 0,34 0,35

6,16 5,49 6,31

184,2 79,5 144,0

Sumber: Darmono (1995).

Adamson (1980) menyatakan, kandungan Pb dalam rumput di daerah industri peleburan logam, selain ditentukan jarak dari pabrik, juga sangat bergantung pada arah angin. Logam Hg banyak digunakan sebagai bahan insektisida dan fungisida, sehingga keracunan logam tersebut pada ternak sering dikaitkan dengan pengobatan penyakit kulit akibat infeksi jamur maupun kutu. Hal ini karena sapi yang menderita penyakit kulit saling menjilat obat yang dioleskan (Irving dan Butler 1975).

SUPLEMENTASI LOGAM DAN MINERAL UNTUK MENINGKATKAN KESEHATAN TERNAK Secara alamiah, mineral esensial makro Ca, P, Mg, dan Na serta mineral mikro Cu, Zn, Mn, Co, dan I selalu ada pada tanaman, termasuk rumput pakan ternak. Namun, kecukupan kandungan mineral tersebut bagi kebutuhan fisiologis ternak bergantung pada beberapa faktor, antara lain sistem pemeliharaan, jenis tanah, dan keasaman (pH) tanah. Petani banyak yang memelihara ternak sapi atau kambing dengan dilepas di padang penggembalaan pada pagi hari dan dikandangkan pada sore hari. Sistem pe-

meliharaan seperti ini menyebabkan ketersediaan pakan sangat bergantung pada pakan yang ada di padang penggembalaan. Begitu pula kualitas nutrisi pakan sangat bergantung pada rumput dan hijauan yang tumbuh di padang penggembalaan dan jenis tanah di lokasi tersebut. Bila tanah miskin unsur mineral maka kandungan mineral pada hijauan yang tumbuh di atasnya juga rendah. Tanah berpasir dan dieksploitasi secara terus-menerus akan menurun kandungan mineralnya (Soepardi 1982). Keasaman tanah (pH) juga memengaruhi kesuburan dan kandungan mineral dalam hijauan pakan. Tanah alkalis dengan pH 8 menyebabkan tanaman mengalami defisiensi Fe, Mn, dan Zn, sedangkan tanah masam dengan pH 5 mengakibatkan defisiensi Cu (Gartenberg et al. 1990). Ternak yang mengonsumsi pakan hijauan yang kurang kandungan mineralnya akan menderita penyakit defisiensi mineral. Gejalanya adalah tampilan reproduksi 2075% kurang dari normal, retensi plasenta, dan pedet lahir lemah sehingga angka kematian pedet tinggi. Penyakit lain yang timbul adalah pneumonia, diare, stomatitis, anoreksia, dan penurunan produksi susu pada sapi perah. Gejala lain yang lebih parah ialah patah tulang, kulit kering dan bersisik serta kekurusan yang berlebihan (Gartenberg et al. 1990).


211

Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ...

Mengatasi Penyakit Defisiensi Mineral Pengobatan penyakit defisiensi mineral dapat dilakukan dengan menambahkan mineral dalam pakan dan mengurangi interaksi unsur nutrisi lain dengan unsur nutrisi mineral. Oleh karena itu, perlu dilakukan diagnosis kandungan mineral dalam darah ternak untuk mencegah secara dini munculnya interaksi mineral tersebut. Pengobatan penyakit defisiensi mineral dilakukan dengan memberikan sejumlah mineral tambahan dalam bentuk konsentrat maupun mineral blok dengan dosis dua kali dari ternak normal (McDowell 1985). Jumlah mineral yang perlu diberikan dihitung dengan mengalikan kandungan mineral dalam blok dengan berat blok, kemudian dibagi keperluan mineral per hari. Hasilnya adalah mineral yang diperlukan ternak yang tersedia dalam blok (Tabel 3). Beberapa jenis mineral blok telah diproduksi secara komersial, namun kesesuaiannya dengan kebutuhan ternak perlu dikaji dan dianalisis terlebih dahulu.. Dengan meneliti mineral blok pakan dari produk yang berbeda dapat diperkirakan kecukupan kebutuhan mineral pada blok tersebut. Hasil analisis dua mineral

blok dari pabrik pakan yang berbeda memperlihatkan bahwa kandungan mineralnya berbeda dengan yang tertera pada kemasan. Pada mineral blok A, kandungan Ca hanya tersedia 22,3%, sedangkan pada mineral blok B tersedia 130% (Tabel 4). Sebaliknya kandungan Na yang tersedia dalam mineral blok A mencukupi, yaitu 123,2%, sedangkan pada mineral blok B sangat tidak mencukupi, yaitu hanya 15% (Tabel 5). Begitu pula kandungan mineral P, Mg, dan Zn kedua mineral blok tersebut masih sangat kurang dan tidak mencukupi kebutuhan ternak secara normal. Pemberian mineral yang sesuai pada sapi meningkatkan bobot badan sampai 370 g/hari daripada kelompok kontrol yang meningkat hanya 203 g/hari. Pada domba, bobot badan domba yang diberi blok meningkat 95 g/hari dan yang tanpa blok hanya bertambah 73 g/hari. Ternak yang mendapat mineral blok juga lebih sehat daripada ternak kontrol (Liu et al. 1995).

Pencegahan Toksisitas Logam Berat Pencegahan dan pengobatan toksisitas logam pada ternak belum banyak dilakukan

Tabel 3. Kebutuhan mineral sapi per hari pada kondisi normal dan kondisi defisiensi.

Mineral dalam pakan

Ca Mg P Cu Zn

(g/kg) (g/kg) (g/kg) (mg/kg) (mg/kg)

Kandungan dalam darah normal (mg/100 ml) 8-12 1,8-3,1 0,4-0,6 0,06 0,08

Sumber: McDowell (1985).

Pemberian pakan kondisi normal

15,00 0,40 10,00 5,00 25,00

Kandungan dalam darah defisiensi (mg/100 ml) < < < < <

8 1,8 0,4 0,05 0,04

Pemberian pakan kondisi defisiensi

30,00 0,80 20,00 10,00 50,00


212

Darmono

Tabel 4. Kandungan beberapa mineral dalam blok A dan hasil analisis yang ditemukan dalam laboratorium. Konsentrasi (mg/kg berat basah)

Konsentrasi Mineral

Na Ca P Mg Cu Zn

pada (label) (mg/kg)

19.660 7.200 5.670 15.000 100 -

Analisis lab. Rata-rata (n=15)

Keperluan diet per hari

% dari diet tersedia dalam blok

246.446 13.733 1.310 10.151 86 51

1.400 4.300 2.400 1.500 5 35

123,20 22,3 3,8 47,4 120,0 10,2

Sumber: Darmono (1989b).

Tabel 5. Kandungan beberapa mineral dalam blok B dan hasil analisis yang ditemukan dalam laboratorium. Konsentrasi (mg/kg berat basah)

Konsentrasi Mineral

Na Ca P Mg Cu Zn

pada (label) (mg/kg)

Analisis lab. Rata-rata (n=15)

Keperluan diet per hari

% dari diet tersedia dalam blok

24.000 270.000 189.000 12.000 357 357

300 80.000 18.600 3.200 90 8

1.400 4.300 2.400 1.500 5 35

15,0 130,0 54,2 14,9 126,0 1,6

Sumber: Darmono (1989b).

karena kasus toksisitas logam biasanya bersifat akut sehingga lambat terdeteksi. Namun, bila pakan ternak terkontaminasi logam toksik dalam kadar yang relatif kecil, gejalanya terlihat agak lama atau bersifat toksisitas kronis. Dalam upaya mengantisipasi keracunan logam yang lebih luas pada ternak perlu dilakukan pengamatan kondisi lingkungan, baik udara, air maupun rumput pakan. Bila suatu daerah mulai digunakan sebagai kawasan industri maka perlu dipikirkan pemindahan industri

peternakan ke daerah yang lebih aman untuk usaha peternakan. Bila pakan terkontaminasi logam toksik, pencegahannya agar tidak mengakibatkan gejala toksisitas pada ternak adalah memberi antidotum atau unsur tertentu yang dapat mengikat logam toksik tersebut sehingga tidak diabsorpsi dinding usus dan segera diekskresikan. Bahan pengikat logam dapat berupa protein, lemak atau bahan lain yang dapat mengikat logam dengan stabil. Pemberian khelat (pengikat


Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ...

logam) pada ternak tidak lazim dilakukan karena selain aplikasinya sulit, secara ekonomis kurang menguntungkan (Gossel dan Bricker 1984). Daya racun logam/mineral nonesensial dapat menurun atau meningkat karena hadir atau absennya logam esensial. Di samping interaksi antara logam esensial dan nonesensial, di antara logam esensial juga dapat terjadi interaksi. Hal ini terjadi bila salah satu mineral esensial yang defisien dipengaruhi oleh naiknya kandungan beberapa mineral esensial (antagonis). Pada kebanyakan kasus reaksi antagonisme antarmineral, unsur yang saling berinteraksi mempunyai sifat yang hampir sama sehingga terjadi kompetisi dalam menduduki ikatan pada reseptor protein (Chowdhury dan Chandra 1987). Fe dan Cu mempunyai sifat yang sama dalam sistem pembentukan darah, yaitu Fe sebagai pembentuk hemoglobin dan Cu sebagai pembentuk seruloplasmin. Bila hewan mengalami defisiensi Fe maka absorpsi Cu dan Pb meningkat sehingga hewan mengalami gejala toksisitas Cu atau Pb (Chung et al. 2004). Logam toksik seperti Cd, bila kandungannya berlebih dalam tubuh akan berkompetisi dengan Ca di dalam tulang. Ca dalam tulang akan terbongkar dan ikatannya diganti Cd. Akibatnya, tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Ca akan dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal yang mengakibatkan gagal ginjal atau disebut itai-itai disease (Nogawa et al. 1983). Penelitian kandungan Cd dalam pakan ayam menemukan 23% sampel pakan ayam pedaging yang mengandung Cd melebihi batas rekomendasi (> 0,5 mg/kg). Pada ayam petelur, kandungan Pb pada 50% sampel melebihi batas rekomendasi (Rachmawati et al. 1996). Percobaan pemberian pakan yang mengandung Cd pada ayam

213

broiler menunjukkan bahwa Cd menghambat pertumbuhan hingga 50% dibanding kondisi normal pada pemberian Cd 100 mg/kg pakan (0,01%). Hambatan pertumbuhan menurun sampai 25% pada pemberian Cd 50 mg/kg pakan (0,005%) (Darmono et al. 1996). Toksisitas Cd juga menghambat pertumbuhan ayam pedaging. Namun, dengan pemberian Zn yang berinteraksi dengan Cd, daya toksisitas Cd akan berkurang (Darmono et al. 2000). Pemberian logam esensial untuk berinteraksi dengan logam toksik lebih menjanjikan dibanding pemberian khelat, karena selain murah, hasilnya cukup menggembirakan. Pemberian Zn pada pakan yang terkontaminasi Cd dengan perbandingan 1:1 atau 1:2 (Zn:Cd) meningkatkan laju pertumbuhan yang cukup baik, walaupun masih di bawah kelompok ternak kontrol (Darmono et al. 1996). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Zn dapat meningkatkan kandungan Zn-thionein yang semula ikatan tersebut diambil alih oleh Cd sebagai Cd-thionein (Darmono et al. 2000).

STRATEGI, KEBIJAKAN, DAN PROGRAM PENGEMBANGAN Kebijakan dan program pengembangan pemanfaatan logam dan mineral untuk kesehatan ternak meliputi delineasi masalah untuk menentukan strategi pengembangan dan prioritas. Untuk itu diperlukan penanganan pencegahan penyakit defisiensi mineral dan toksisitas logam berat. Bila ternak dikandangkan dan diberi pakan hijauan dengan sistem cut and carry maka hijauan tersebut perlu dianalisis kandungan mineralnya. Status mineral dalam tubuh ternak perlu pula dianalisis sehingga pemberian mineral tambahan sesuai dengan kebutuhan ternak.


214

Pemberian pakan seadanya sesuai dengan bahan yang tersedia perlu dikaji ulang. Mineral blok yang tersedia secara komersial di pasaran perlu pula dianalisis kandungan mineralnya sesuai dengan kebutuhan ternak normal atau ternak yang mengalami defisiensi. Untuk itu, mineral blok perlu tersedia untuk ternak normal atau ternak yang mengalami defisiensi. Pemetaan daerah industri dan pertambangan yang digunakan untuk kawasan peternakan harus dilakukan. Perlu diidentifikasi jenis logam yang mencemari pakan ternak dan air minum karena limbah industri dan pertambangan dapat menimbulkan residu dalam jaringan ternak. Untuk implikasi kebijakan ke depan, ternak yang diusahakan dengan sistem digembalakan maupun dikandangkan wajib mendapat suplemen mineral yang sesuai, baik dalam kondisi normal maupun defisiensi. Perlu pula dilakukan penelitian pemberian suplemen mineral yang ideal sesuai kebutuhan ternak, baik pada daerah yang berpotensi menimbulkan penyakit defisiensi maupun daerah normal. Dampak sosial ekonomi pemberian suplemen mineral juga perlu dikaji sehingga tidak merugikan peternak. Hasil penelitian tentang keuntungan pemberian mineral tambahan perlu didiseminasikan kepada peternak kecil maupun peternak yang sedang berkembang sehingga program pemberian suplemen mineral menguntungkan peternak. Perlu dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan keberadaan pabrik atau industri yang berada di kawasan peternakan untuk menentukan daerah yang aman bagi usaha peternakan. Ke depan, pendirian usaha ternak ruminansia besar maupun kecil maupun peternakan ayam broiler dan petelur perlu berkonsultasi dengan pemerintah setempat untuk menge-

Darmono

tahui peruntukan kawasan tersebut ke depan. Bila kawasan tersebut akan digunakan untuk industri yang berpotensi menimbulkan pencemaran logam berat maka usaha peternakan hendaknya dikembangkan di daerah lain. Bila daerah tersebut bukan untuk kawasan industri maka usaha peternakan dapat didirikan sehingga produknya bebas dari cemaran logam berat. Bila suatu kawasan telah digunakan untuk usaha peternakan maka pemerintah setempat hendaknya tidak memberi izin bagi pendirian industri yang berpotensi mencemari lingkungan sehingga usaha peternakan yang sudah ada tidak tergusur secara paksa.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Logam dan mineral berperan penting dalam tubuh ternak dan bila kekurangan dapat menyebabkan penyakit defisiensi mineral. Oleh karena itu, pemberian suplemen mineral tambahan sangat diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ternak ruminansia kecil maupun ruminansia besar. Penambahan mineral dalam konsentrat maupun blok pakan hendaknya sesuai dengan kondisi ternak, yaitu ternak normal atau yang mengalami penyakit defisiensi mineral. Perlu dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan terhadap industri yang berada dalam kawasan peternakan untuk mencegah pencemaran logam berat pada usaha peternakan. Untuk mencegah toksisitas logam, perlu pula dilakukan pemantauan terhadap kualitas lingkungan dengan mengambil sampel air minum dan


Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ...

rumput pakan di lokasi tersebut. Pemberian mineral esensial seperti Zn dalam pakan dapat mengurangi efek toksik dari logam Cd. Untuk mengetahui kontaminasi logam toksik pada pakan perlu dilakukan analisis kandungan logam Pb, Cd, dan Hg dalam pakan di laboratorium. Diagnosis kasus toksisitas logam pada ternak dapat dilakukan dengan memeriksa darah maupun melihat gejala yang muncul.

Implikasi Kebijakan Pemberian suplemen pakan ternak yang sesuai dan ideal perlu dilakukan sehingga usaha peternakan perlu mengetahui kandungan mineral dalam pakan dan mengevaluasi kandungan logam dan mineral dalam tubuh ternak. Pemilihan lokasi peternakan perlu dipertimbangkan secara matang untuk menghindari terjadinya toksisitas logam berat pada ternak. Untuk meningkatkan kesehatan ternak melalui pemanfaatan logam dan mineral perlu dilakukan diseminasi hasil penelitian, evaluasi status logam dan mineral dalam tubuh ternak, dan pemberian suplemen dari unsur nutrisi tersebut sesuai dengan yang diperlukan. Upaya tersebut diharapkan dapat mendukung peningkatan produksi ternak dan pencapaian swasembada daging nasional.

DAFTAR PUSTAKA Adamson, A.H. 1980. Lead and arsenic pollution of grass around smelter. p. 77-83. In Inorganic Pollution and Agriculture. Proceeding of Conference on Agricultural Fish Food. Her Majesty St. Off., London.

215

Bahri, S. dan Suwarsono. 1986. Kadar hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) kambing di daerah kekurangan iodium. Penyakit Hewan 18(31): 6870. Baldwin, D.R. and W.J. Marshall. 1999. Heavy metal poisoning and its laboratory investigation (review article). Ann. Clin. Biochem. 36: 267-300. Brown, J.X., P.D. Buckett, and M. Wessling-Resnick. 2004. Identification of small molecule inhibitors that distinguish between non-transferrin bound iron uptake and transferrinmediated iron transport. Chem. Biol. 11(3): 407-416. Chowdhury, B.A. and R.K. Chandra. 1987. Biological and health implication of toxic heavy metals and essential trace element interactions. Prog. Food Nutr. Sci. 11(1): 55-113. Chung, J., D.J Haile, and M.WesslingResnick. 2004. Ferroportin-1 is not upregulated in copper-deficient mice. J. Nutr. 134(3): 517-521. Damir, H.A., M.E.S. Barrri, S.M. El Hassan, M.H. Tageldin, A.A. Wahbi, and O.F. Idris. 1988. Clinical zinc and copper deficiencies in cattle of Western Sudan. Trop. Anim. Hlth. Prod. 20(1): 52-56. Darmono and D.R. Stoltz. 1988. Potential mineral deficiency diseases of Indonesian ruminant livestock: Zinc. Penyakit Hewan 20(35): 42-46. Darmono. 1989a. Status mineral pada domba di Cirebon dan hubungannya dengan penyakit defisiensi. Bull. FKH UGM 9(2): 16-18. Darmono. 1989b. Kandungan mineral pada pakan tambahan untuk mencegah penyakit defisiensi pada ternak ruminansia. Bull. FKH UGM 9(2): 13-15. Darmono dan S. Bahri. 1989. Defisiensi tembaga dan seng pada sapi di daerah


216

transmigrasi Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan 21(39): 121-126. Darmono dan S. Bahri. 1990a. Defisiensi mineral pada ternak ruminansia di Indonesia: Natrium. Penyakit Hewan 22(40): 128-132. Darmono dan S. Bahri. 1990b. Status beberapa mineral makro (Na, K, Ca, Mg, dan P) dalam saliva dan serum sapi di Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan 22(40): 138-142. Darmono. 1995. Kandungan logam berat (Pb, Cd, Cu, Zn) pada pakan ternak yang tumbuh di sekitar pabrik semen Kabupaten Bogor. hlm.391-395. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk Peningkatan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Darmono, S. Rachmawati, S. Bahri, A. Safuan, dan Z. Arifin. 1996. Toksisitas kadmium terhadap pertumbuhan ayam broiler dan pengaruhnya terhadap pemberian seng. hlm. 269-271. Dalam S. Bahri, S. Partautomo, Darminto, F. Pasaribu, Y. Sani (Ed.). Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, Bogor, 12-13 Maret 1996. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Darmono, Z. Arifin, M.B. Purwadikarta, A. Safuan, dan U. Waznah. 2000. Konsentrasi metalotionein dalam hati ayam yang diberi pakan mengandung Cd. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(4): 250-254. Darmono. 2007. Farmakologi dan Toksikologi Sistem Kekebalan: Pengaruh, penyebab dan akibatnya terhadap kesehatan tubuh. UI Press, Jakarta. 182 hlm. Darmono, R. Mariam, dan Darminto. 2008. Residu beberapa jenis logam berat

Darmono

dalam bahan pangan asal kulit hewan. hlm. 357-359. Proc. 10th National Veterinary Scientific Conference of Indonesian Veterinary Medical Association, 19-21 August 2008. Fahy, V.A. 1987. Heavy metal toxicity with reference to industrial development. p. 319-338. In Proc. No. 103. Veterinary Clinical Toxicology, 24-28 August 1987. The University of Sydney, New South Wales. Gartenberg, P.K., L.R. McDowell, D. Rodriguez, N. Wilkiinson, J.H. Conrad, and F.G. Martin. 1990. Evaluation of trace mineral status of ruminants in northeast Mexico. Livestock Res. Rural Dev. 3(2): 1-6. Gossel, T.A. and J.D. Bricker. 1984. Principles of Clinical Toxicology. Raven Press, New York. 357 pp. Hougland, J.L., A.V. Kravchuk, D. Herschlag, and J.A. Piccirilli. 2005. Functional identification of catalytic metal ion binding sites within RNA. PLoS Biol. 3(9): e277. Irving, F. and D.C. Butler. 1975. Ammoniated mercury toxicity in cattle. J. Can. Vet. 16(9): 260-264. King, M.W. 2006. Clinical aspect of iron metabolism. J. Med. Biochem. 15(9): 14. Liu, J.X., Y.M. Wu, X.M. Dai, J. Yao, Y.Y. Zhou, and Y.J. Chen. 1995. The effects of urea-mineral blocks on the liveweight gain of local yellow cattle and goats in grazing conditions. Livestock Res. Rural Dev. 7(2): 1-7. McDowell, L.R. 1985. Nutrition of Grazing Ruminants in Warm Climates. Acad. Press, Inc., Orlando, Florida. 443 pp. Nogawa, K., Y. Yamada, R. Honda, M. Ishizaki, I. Tsuritani, S. Kawano, and T. Kato. 1983. The relationship between


Suplementasi logam dan mineral untuk kesehatan ternak ...

itai-itai disease among inhabitans of the Jinzu river basin and cadmium in rice. Toxicol. Lett. 17(3-4): 263-266. Pacyna, J.M. 1987. Atmospheric emissions of arsenic, cadmium, lead and mercury from temperature processes in power generation and industry. p. 119-149. In T.C. Hutchinson and K.M. Meema (Eds.). Lead, Mercury, Cadmium, and Arsenic in the Environment. John Willey and Sons Ltd., Toronto. Rachmawati, S., Indraningsih, dan Darmono. 1996. Derajat kontaminasi kadmium dalam pakan ayam. hlm. 257-261. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, 12-13 Maret 1996, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

217

Sas, B. 1989. Secondary copper deficiency in cattle by molybdenum contamination of fodder: A case history. Vet. Hum. Toxicol. 31(1): 29-33. Soepardi, G. 1982. The zinc status in Indonesian agriculture. Contr. Centr. Res. Inst. Food Crops. Bogor No. 68: 10-31. Sutrisno, C.I., T. Sutardi, dan H.S. Sulistyono. 1983. Status mineral sapi potong di Jawa Tengah. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar, Cisarua, 1982. Wardrope, D.D. and J. Graham. 1982. Lead mine wast: Hazards to livestock. Vet. Rec. 111(20): 457-459.


218 Pengembangan Inovasi Pertanian 4(3), 2011: 218-230

Ismeth Inounu

PEMBENTUKAN DOMBA KOMPOSIT MELALUI TEKNOLOGI PERSILANGAN DALAM UPAYA PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA LOKAL1) Ismeth Inounu Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16151 Telp. (0251) 8322185,8328383 Faks. (0251) 8328382, 8380588 e-mail: puslitbangnak@litbang.deptan.go.id Diajukan: 3 Mei 2011; Disetujui: 4 Agustus 2011

ABSTRAK Untuk meningkatkan mutu genetik domba lokal telah dilakukan penelitian dengan menggunakan perkawinan silang yang dilanjutkan dengan seleksi untuk membentuk bangsa domba komposit. Pada tahun 1995-1996, perkawinan silang reguler antara domba pejantan st. croix (HH) dan betina garut (GG) memperoleh domba HG (50% H, 50% G). Pada tahun berikutnya (1996), perkawinan silang antara domba pejantan m. charolais (MM) dan betina garut (GG) dengan menggunakan inseminasi buatan menghasilkan domba MG (50% M, 50% G). Domba hasil persilangan dua bangsa tersebut, HG dan MG, kemudian diseleksi dan dikawinkan untuk memperoleh domba komposit HMG (25% H, 25% M, 50% G) dari hasil perkawinan pejantan HG dan betina MG serta domba komposit MHG (25% M, 25% H, 50% G) dari pejantan MG dan betina HG. Pengujian keragaan sifat-sifat produksi yang penting secara ekonomi, antara lain jumlah anak sekelahiran, total bobot lahir, produksi susu induk, umur saat mencapai bobot 35 kg, dan parameter genetik telah dilakukan. Disimpulkan bahwa domba komposit HMG dapat dianjurkan untuk dikembangkan sebagai domba komersial. Upaya perbanyakan ternak hasil pemuliaan terkendala oleh keterbatasan lahan, dana, dan dukungan kebijakan. Untuk itu, diperlukan dukungan kebijakan investasi, kebijakan penelitian dan pengembangan, serta kerja sama pengembangan domba komposit dengan asosiasi peternak atau pihak swasta lainnya. Kata kunci: Domba garut, domba komposit, domba lokal, persilangan

ABSTRACT The Establishment of Composite Sheep Through Cross-Breeding Technology in Efforts to Improve Genetic Quality of Local Sheep A research to improve the genetic quality of local sheep has been done using cross-breeding followed by selection to form a composite breed. From the results of regular cross-breeding between sheep of st. croix rams (HH) with garut ewes (GG) was obtained HG sheep (50% H, 50% G) in 1995-1996. In the following year (1996), MG sheep (50% M, 50% G) was obtained from cross-breeding between m. charolais rams (MM) with garut ewes (GG) using artificial insemination. Then the two hybrid sheep

1)

Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 30 Desember 2010 di Bogor.


219

Pembentukan domba komposit melalui teknologi ...

breeds of HG and MG were selected and mated to generate composite breed (HMG and MHG sheep). HMG sheep (25% H, 25% M, 50% G) was resulted from the mating between HG rams and MG ewes and MHG sheep (25% M, 25% H, 50% G) from the mating between MG rams and HG ewes. Performance test for production traits of economic importance value such as the number of lambs born, the total weight of birth, dam’s milk production, the age when they reach 35 kg, and genetic parameters was done. It is recommended that this composite sheep (HMG) could be developed as a commercial sheep breed. Multiplication of sheep resulted from breeding is constrained by limited land, funds, and policy support. It required support from investment policy, research and development policy as well as cooperation with farmer associations or with other private parties. Keywords: Garut sheep, composite sheep, local sheep, cross-breeding

PENDAHULUAN Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang mempunyai peran ganda bagi masyarakat Indonesia, baik dari segi teknis dan ekonomi maupun sosial, budaya, serta spiritual keagamaan. Dalam pasokan daging nasional, domba dan kambing merupakan pemasok keempat terbesar setelah unggas, sapi, dan babi. Domba lokal dapat dibedakan berdasarkan tipe ekor, yaitu domba ekor tipis yang banyak berkembang di Jawa Barat dan domba ekor gemuk yang berkembang di Jawa Timur (Devendra dan McLeroy 1982). Domba ekor tipis yang berkembang di Jawa Barat lebih dikenal sebagai domba garut, yang memiliki keistimewaan sebagai salah satu domba prolifik dunia (Bradford dan Inounu 1996), yang dikendalikan oleh gen tunggal FecJ (Elsen et al. 1991). Domba garut mencapai umur pubertas pada usia dini (Sutama et al. 1988), tidak kawin secara musiman, dapat beranak sepanjang tahun, bunting kembali sebulan setelah beranak sehingga memperpendek jarak kelahiran, dan tahan terhadap parasit internal (Bradford dan Inounu 1996; Diwyanto dan Inounu 2001). Pada kondisi peternakan rakyat, domba garut umumnya dipelihara secara tradisional dengan skala kepemilikan kecil.

Perhatian peternak dalam penyediaan pakan sangat terbatas sehingga keunggulan sifat prolifik tidak selalu termanfaatkan. Jumlah anak yang banyak dari seekor induk ternyata diikuti pula oleh tingkat kematian yang tinggi pada periode prasapih. Kalaupun hidup semua, laju pertumbuhannya rendah (Inounu et al. 1999). Selain itu, perbanyakannya dilakukan secara tradisional dan alami sehingga mutu genetik bibit yang dihasilkan rendah dan potensi sifat prolifik tidak termanfaatkan secara optimal. Akibatnya, laju perkembangan domba lokal Indonesia belum optimal. Makalah ini memaparkan strategi peningkatan mutu genetik domba lokal melalui identifikasi gen major pada domba ekor tipis serta seleksi dan pembentukan rumpun baru domba komposit menggunakan satu rumpun domba temperate eksotik dan domba rambut tropis.

KERAGAAN DAN PELUANG PENGEMBANGAN DOMBA LOKAL Domba lokal Indonesia, terutama domba garut, sangat potensial ditingkatkan produktivitasnya, walaupun terdapat kendala seperti penyakit ternak dan terbatasnya ketersediaan pakan. Peluang pengem-


220

Ismeth Inounu

bangannya cukup besar mengingat permintaan terhadap domba cukup tinggi, terutama pada hari-hari besar keagamaan seperti Idul Adha.

Potensi Genetik Besarnya potensi genetik domba lokal diindikasikan antara lain oleh populasi dan galur domba, umur pubertas, masa produktif, dan potensi prolifikasi yang sangat baik. Populasi domba di Indonesia dewasa ini tercatat 10,4 juta ekor, dengan produksi daging 62.300 t/tahun (Ditjennak 2008). Populasi domba terbanyak terdapat di Jawa dan Madura (92%), dan sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Barat (50%). Populasi domba lebih terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia yang jarang sapi balinya. Hal ini karena domba diduga sebagai pembawa (carrier) penyakit malignant catarrhal fever (MCF), di mana sapi bali sangat rentan terhadap penyakit tersebut, walaupun domba itu sendiri dalam kondisi sehat. Domba ekor tipis merupakan kelompok domba yang paling banyak berkembang di Jawa (Javanese thin tailed) dan mendominasi populasi domba di Jawa Barat. Oleh karena itu, domba ekor tipis lebih dikenal sebagai domba priangan. Domba priangan berkembang dengan baik di daerah Garut, yang kemudian dikenal dengan nama domba garut. Garut terletak di dataran tinggi dan acara adu ketangkasan domba merupakan aktivitas penting dan sebagai hiburan yang telah membudaya di daerah ini. Galur lain dari domba ekor tipis adalah domba jawa tengah dan domba sumatera. Domba sumatera adalah domba ekor tipis dari Jawa yang telah beradaptasi baik dengan lingkungan Sumatera. Ukurannya

lebih kecil, ekornya lebih pendek, dan mempunyai pola warna yang berbeda, yang menandakan perbedaan galur (Reece et al. 1990). Domba ekor tipis jawa betina dapat mencapai pubertas pada umur 6-8 bulan (Sutama et al. 1988), dan bereproduksi sepanjang tahun atau tidak dipengaruhi oleh musim. Tingkat konsepsi domba ekor tipis lebih rendah pada musim kemarau (April-September) dibandingkan pada musim hujan, tetapi hal ini tidak terjadi pada domba sumatera (Iniguez et al. 1991a; Setiadi et al. 1995). Dengan manajemen intensif, selang beranak domba ekor tipis jawa sekitar 203 hari (Fletcher et al. 1985), sementara domba sumatera 201 hari (Iniguez et al. 1991b). Domba garut cenderung lebih prolifik dibandingkan dengan domba yang berasal dari Bogor, dengan jumlah anak sekelahiran rata-rata 1,86 dibanding 1,58, bila keduanya dipelihara pada flok yang sama (Obs et al. 1980). Perbedaan ini karena domba ekor tipis mengalami segregasi gen yang berpengaruh besar pada laju ovulasi dan jumlah anak sekelahiran, dengan heritabilitas untuk jumlah anak sekelahiran 0,5 dan ripitabilitas laju ovulasi 0,6 (Bradford et al. 1986).

Kendala Kendala pengembangan domba terutama terkait dengan jumlah dan kualitas pakan, penyakit, tenaga kerja, dan sistem manajemen. Pakan domba umumnya berasal dari lingkungan sekitar melalui penggembalaan, atau rumput pakan diarit dan dibawa ke kandang (cut and carry). Keterbatasan sarana dan tenaga kerja menyebabkan tiap keluarga petani di Jawa rata-rata hanya mampu memelihara 5 ekor


221

Pembentukan domba komposit melalui teknologi ...

domba. Hal ini sebagai salah satu penyebab tidak berkembangnya teknologi pemuliaan domba. Oleh karena itu, upaya peningkatan kualitas genetik domba menjadi kandas karena populasi yang terlibat sangat kecil. Kendala lain adalah penyakit yang banyak menjangkiti domba, antara lain penyakit cacing dan antraks di beberapa daerah endemis. Meskipun demikian, domba lokal, yakni domba ekor tipis dan domba ekor gemuk, mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Manajemen usaha ternak domba sebagian besar belum mengarah pada usaha komersial dan masih terbatas sebagai tabungan atau penyedia dana tunai pada saat kebutuhan mendadak, atau belum berorientasi agribisnis. Oleh karena itu, dalam pemasaran, peran pedagang pengumpul di perdesaan sangat dominan sebagai pelaku tata niaga ke konsumen akhir yang umumnya berada di daerah perkotaan. Akibatnya, posisi tawar peternak pada saat menjual ternaknya menjadi lemah.

Peluang Pengembangan Sampai saat ini, konsumsi daging domba maupun kambing masih sangat rendah, sekitar 5% dari total kebutuhan daging atau 0,24 g/kapita/tahun (Ditjennak 2008). Walaupun laju permintaan daging domba relatif rendah, permintaan domba untuk kurban dan akikah diperkirakan cukup tinggi. Apabila diasumsikan keluarga muslim yang berkurban meningkat 10%/ tahun maka potensi pasar domba untuk keperluan kurban meningkat 4-5 juta ekor/ tahun. Untuk keperluan akikah, dengan asumsi tingkat kelahiran bayi muslim 1,5% maka dibutuhkan 4,3 juta ekor domba/tahun. Ini

berarti untuk keperluan prosesi keagamaan terdapat tambahan permintaan terhadap domba minimal 9 juta ekor/tahun. Apalagi jika mempertimbangkan potensi pasar daging domba di Arab Saudi, Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia mempunyai peluang besar sebagai pemasok utama (Budi 2010). Pakan domba jarang disediakan secara khusus. Pendekatan low external input sustainable agriculture (LEISA) umumnya sudah berjalan karena adanya keterbatasan yang dihadapi petani. Penyediaan pakan komplit (termasuk serat) merupakan alternatif karena terbatasnya lahan. Sebenarnya, lahan di areal perkebunan karet, kelapa sawit, lada, tebu, dan kelapa merupakan sumber pakan ternak melalui pengembangan sistem integrasi tanamanternak (SITT). Untuk mengembangkan domba agar dapat memenuhi pasar dalam negeri maupun luar negeri diperlukan dukungan teknologi pemuliaan ternak dan strategi pengembangan yang tepat.

DINAMIKA PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA LOKAL Peningkatan mutu genetik domba dapat diupayakan melalui seleksi dan persilangan. Sistem seleksi mengalami dinamika sejalan dengan kebutuhan, preferensi, dan motivasi ekonomi. Metode persilangan dalam perspektif peningkatan produktivitas adalah pembentukan domba komposit.

Seleksi Seleksi adalah pemilihan tetua tertentu untuk menghasilkan generasi berikutnya yang memiliki pertumbuhan, jumlah anak


222

sekelahiran, dan produksi susu yang lebih tinggi. Kemajuan sifat produksi domba lokal melalui seleksi sangat rendah, hanya sekitar 1%/tahun (Smith 1984). Sejalan dengan dinamika kebutuhan, preferensi, keuntungan ekonomi, dan efisiensi maka sistem seleksi domba lokal secara alami juga mengalami dinamika dan memiliki keragaman yang unik. Korelasi genetik dapat mengakibatkan terpengaruhnya sifat-sifat negatif yang tidak diinginkan selama berlangsungnya kegiatan seleksi. Dengan demikian, perlu diketahui arah seleksi dan korelasi genetik antara sifat yang satu dan yang lainnya. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya pengaruh negatif yang tidak dikehendaki dari seleksi pada suatu sifat yang dapat merusak program perbaikan mutu genetik secara keseluruhan. Seleksi yang dilakukan peternak domba di daerah Garut lebih mengarah ke domba tangkas. Ternak ini mendapat perlakuan pakan dan pemeliharaan yang istimewa dibandingkan dengan domba dari daerah lain. Seleksi yang dilakukan meliputi sifat agresivitas, bentuk tanduk, telinga, dan bobot badan. Seleksi dan perlakuan khusus tersebut menghasilkan domba garut tangkas yang unik. Untuk memenuhi tuntutan ritual keagamaan dan kegiatan sosial budaya seperti kurban, hajatan/kenduri, dan ketangkasan domba maka sistem indigenous yang berkembang di masyarakat diarahkan untuk menyeleksi ternak agar dapat memenuhi persyaratan untuk kegiatan tersebut, misalnya domba yang bertanduk bagus dan kuat, tangkas, dan berwarna bulu tertentu. Metode seleksi domba secara tradisional umumnya didasarkan pada sifat fenotipe atau penampakan visual, dan belum banyak dilakukan seleksi secara genotipe melalui analisis keunggulan

Ismeth Inounu

genetik dengan cara analisis kuantitatif dan genetika molekuler.

Persilangan Salah satu upaya meningkatkan produktivitas domba dengan metode persilangan adalah pembentukan domba komposit. Pembentukan bangsa komposit (composite breed) berdasarkan persilangan dapat dilakukan dengan persilangan reguler dan rotasi (Nicholas 1996). Pembentukan bangsa komposit ternak domba yang paling tua di Indonesia dimulai sejak tahun 1800-an, yaitu domba garut atau juga dikenal domba priangan. Domba garut berasal dari persilangan tiga bangsa, yaitu domba lokal, domba merino, dan domba ekor gemuk (Iniguez et al. 1991a). Dari persilangan tersebut dihasilkan domba yang sangat adaptif terhadap kondisi lingkungan Jawa Barat, terutama di daerah Priangan (Garut, Tasikmalaya, Sumedang, dan Bandung). Di dunia terdapat 418 bangsa domba komposit dari 75 negara, yang dibentuk menggunakan dua atau lebih bangsa domba yang berbeda. Targetnya adalah peningkatan produktivitas, sifat reproduksi, kualitas daging, kombinasi daging dan wol, wol untuk tekstil atau untuk karpet, dan produksi susu (Rasali et al. 2006). Pembentukan domba komposit cenderung bertujuan untuk memperoleh bangsa domba yang cocok untuk kondisi lokal dan untuk memenuhi permintaan khusus, seperti tanduk besar, pertumbuhan cepat, dan agresif. Oleh karena itu, pembentukan domba komposit termasuk upaya pemecahan masalah pada wilayah tertentu, baik ditinjau dari segi agroekosistem maupun sosial-ekonomi dan budaya (Rasali et al. 2006) untuk meningkatkan produktivitas


Pembentukan domba komposit melalui teknologi ...

dan daya tahan terhadap penyakit (Moreno et al. 2001; Vanimisetti et al. 2004). Pembentukan domba komposit masih terus berlangsung hingga kini. Domba komposit greeline dibentuk selama 40 tahun sejak 1969 untuk meningkatkan jumlah anak sekelahiran dengan bobot sapih dan pertumbuhan yang baik serta bobot karkas lebih dari 20 kg. Domba greeline dibentuk dari persilangan antara domba east friesian, texel, dan domba coopworth (1/4 east friesien, 3/8 texel, dan 3/8 coopworth). Saat ini, semen beku untuk persilangan telah tersedia dan diekspor ke Australia (Greeline 2010).

INOVASI PEMBENTUKAN DOMBA KOMPOSIT INDONESIA Untuk meningkatkan mutu genetik domba lokal telah dilakukan serangkaian penelitian yang sangat panjang dengan menggunakan metode seleksi dan perkawinan silang reguler tiga bangsa, yang dilanjutkan dengan seleksi untuk membentuk bangsa komposit.

Seleksi Inovasi teknologi seleksi, berupa seleksi laju ovulasi dan jumlah anak sekelahiran yang dikembangkan selama hampir 15 tahun (1981-1995), berhasil memisahkan domba garut menjadi tiga galur prolifikasi, yaitu galur prolifik (FecJF FecJF), nonprolifik (FecJ+ FecJ+), dan galur medium prolifik (FecJF FecJ+) (Inounu et al. 1993, 1999; Inounu dan Soedjana 1998). Analisis segregasi laju ovulasi dari induk betina dengan anaknya membuktikan bahwa sifat prolifik pada domba ekor tipis dipengaruhi oleh gen major, yaitu FecJF (Inounu et al.

223

1993). Untuk keperluan tersebut ditetapkan kriteria klasifikasi genotipe sebagai berikut: (Bradford et al. 1991; Inounu et al. 1993): a. FecJ + /FecJ + : induk tidak pernah mempunyai corpora lutea (CL) atau jumlah anak sekelahiran > 2 dengan jumlah catatan > 3 dan rata-rata CL atau jumlah anak sekelahiran < 1,7. b. FecJF/FecJ+: induk minimal mempunyai satu catatan (CL atau jumlah anak sekelahiran) sama dengan 3, tetapi tidak pernah > 3 atau dengan frekuensi catatan CL atau jumlah anak sekelahiran > 2 (pada tiga catatan atau lebih mempunyai rata-rata CL atau jumlah anak sekelahiran > 1,7). c. FecJF/FecJF: betina dengan satu atau lebih catatan CL atau jumlah anak sekelahiran > 4. Dengan menggunakan sistem klasifikasi tersebut dan seleksi selama lebih dari 10 tahun diperoleh galur prolifik (FecJF FecJF), medium (FeJF FecJ+), dan nonprolifik (FecJ+ FecJ+) (Bradford et al. 1991; Inounu et al. 1993). Rata-rata CL untuk galur ternak prolifik (FecJF FecJF), medium (FeJF FecJ+), dan nonprolifik (FecJ + FecJ +) masing-masing adalah 1,19; 2,12; dan 2,96 buah/induk (Bradford et al. 1991; Inounu et al. 1993), dan menghasilkan jumlah anak sekelahiran masingmasing 1,2; 2,0; dan 2,5 ekor anak/induk. Satu duplikat gen FeJF mampu meningkatkan jumlah anak sekelahiran 0,8 ekor/ induk (Inounu et al. 1999). Kemajuan teknologi di bidang genetika molekuler dapat digunakan untuk mengklasifikasi domba prolifik berdasarkan genotipenya. Davis et al. (2002) menyatakan domba ekor tipis membawa gen Booroola (FecB) pada domba garole dari India. Hasil penelitian tersebut juga membuktikan bahwa penggunaan klasifikasi


224

Ismeth Inounu

genotipe konvensional dengan beberapa kali pencatatan CL maupun jumlah anak sekelahiran sama akuratnya dengan hasil uji dengan teknologi DNA darah betina.

membentuk domba komposit MHG dan masih dilanjutkan dengan seleksi untuk memperkecil keragamannya (Inounu et al. 2007a, 2009a, 2009b).

Perkawinan Silang

Pembentukan Bangsa Komposit

Perkawinan silang pada domba telah banyak dilakukan di Indonesia, tetapi belum terarah dan belum konseptual. Hasil penelitian pada tahun 1980-an (Fletcher et al. 1985) mengindikasikan bahwa perbaikan pakan dapat meningkatkan bobot hidup domba garut hingga 45 kg, atau hampir dua kali lipat domba di peternakan rakyat di Bogor. Domba garut lebih efisien dibandingkan dengan domba hasil persilangan dengan domba suffolk wilthshire horn dan dorset. Hal ini dicerminkan oleh rasio antara total bobot sapih dan unit konsumsi pakan yang lebih tinggi. Efisiensi ini dicapai melalui konsumsi pakan yang lebih rendah, beranak lebih awal, selang beranak lebih pendek, kematian induk lebih rendah, dan kematian anak prasapih lebih rendah. Perkawinan silang reguler antara domba pejantan st. croix (HH) dan betina garut (GG) pada tahun 1995-1996 menghasilkan domba HG. Pada tahun 1996, perkawinan silang antara domba pejantan m. charolais (MM) dan betina garut (GG) dengan teknologi IB menghasilkan domba MG (Inounu et al. 1998a). IB secara intrauterine menggunakan teknik laparoscopy menghasilkan 71% domba yang berhasil beranak (Inounu et al. 1996, 1998b). Hasil seleksi berdasarkan bobot sapih dan bobot umur setahun, yang kemudian dikawinkan dengan domba HG dan MG membentuk domba komposit MHG (25% M, 25% H, dan 50% G). Sejak 1997 sampai sekarang, seleksi dan perkawinan intense mating

Tantangan utama pengembangan galur domba yang dihasilkan melalui seleksi, yang memisahkan domba garut menjadi galur prolifik (FecJF FecJF), medium (FeJF FecJ+), dan nonprolifik (FecJ + FecJ+) adalah tingkat kematian anak yang tinggi akibat bobot lahir yang rendah (Inounu et al. 1993). Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan persilangan untuk membentuk domba komposit untuk meningkatkan produktivitas. Pembentukan domba komposit pada tahun 1995 dilakukan dengan cara mengawinkan domba garut betina (GG) sebanyak 34 ekor dengan pejantan domba st. croix (HH) untuk menghasilkan domba persilangan (HG). Bobot lahir anak domba GG, HG, dan MG untuk kelahiran tunggal masing-masing adalah 3,1; 3,2; dan 3,4 kg, untuk tipe kelahiran kembar dua masingmasing 2,3; 2,2; dan 2,3 kg, dan untuk kelahiran kembar tiga masing-masing 1,5; 1,9; dan 1,8 kg (Djemali et al. 2009). Hal yang paling mengesankan adalah bobot hidup domba GG, HG, dan MG pada umur 12 bulan untuk tipe kelahiran tunggal masing-masing 21,3; 31,0; dan 35,5 kg, untuk tipe kelahiran kembar dua masingmasing 20,1; 28,0; dan 31,5 kg, dan untuk tipe kelahiran kembar tiga masing-masing 20,2; 24,7; dan 27,1 kg (Inounu et al. 1998b). Berdasarkan hasil yang menggembirakan tersebut, penelitian dilanjutkan untuk memperoleh domba dengan komposisi darah 25% H, 25% M, dan 50% G, atau disebut domba komposit. Domba hasil


225

Pembentukan domba komposit melalui teknologi ...

persilangan dua bangsa tersebut, HG (50% st.croix, 50% garut) dan MG (50% m. charolais, 50% garut) kemudian diseleksi dan dikawinkan untuk menghasilkan domba persilangan tiga bangsa atau komposit, yaitu domba HMG (50% garut, 25% m. charolais, 25% st. croix) dari perkawinan antara pejantan HG dan betina MG, serta domba MHG (50% garut, 25% m. charolais, 25% st. croix) dari perkawinan antara pejantan MG dan betina HG. Hasil perkawinan tersebut dinamakan domba komposit Balitnak. Uji keragaan sifat-sifat produksi yang penting secara ekonomi telah dilakukan, meliputi jumlah anak sekelahiran, total bobot lahir, total bobot sapih, produksi susu induk, umur pada saat bobot 35 kg, dan parameter genetik. Jumlah Anak Sekelahiran Rata-rata jumlah anak sekelahiran pada domba GG, MG, HG, MHG, dan HMG berturut-turut adalah 1,9; 1,6; 2,0; 1,8; dan 1,5 ekor anak/induk (Inounu et al. 1998b). Jumlah anak sekelahiran memengaruhi bobot lahir dan daya hidup anak. Meningkatnya jumlah anak sekelahiran biasanya diiringi oleh menurunnya bobot lahir dan daya hidup anak (Inounu et al. 1993). Total Bobot Lahir Total bobot lahir per induk galur domba garut, HG, MG, MHG, dan HMG masingmasing adalah 4,7; 4,8; 5,5; 5,2; dan 4,7 kg/ induk (Inounu et al. 2005). Kenaikan jumlah anak sekelahiran diikuti oleh rendahnya rata-rata bobot lahir per individu anak. Bobot lahir individu anak domba garut, HG, MG, MHG, dan HMG masingmasing adalah 2,5; 2,7; 2,8; 2,9; dan 2,8 kg (Inounu et al. 2003). Bobot anak pada saat

lahir untuk kelahiran tunggal, kembar dua, dan kembar tiga berturut-turut adalah 2,6; 1,8; dan 1,5 kg (Inounu et al. 2003). Faktor yang memengaruhi bobot lahir anak adalah kondisi intra-uterine (lingkungan fetus), genotipe induk dan anak, lingkungan induk, paritas, nutrisi, jenis kelamin, dan umur induk (Hansard dan Berry 1969). Pertumbuhan prenatal lebih ditentukan oleh ukuran plasenta karena penyaluran zat gizi dari induk ke fetus melalui plasenta (Gruenwald 1967; Hafez 1969). Faktor genetik, jumlah anak sekelahiran, jenis kelamin, status gizi, dan kondisi kesehatan induk dapat menimbulkan keragaman bobot fetus pada sepertiga akhir kebuntingan. Anak domba jantan tumbuh lebih cepat pada periode prenatal dibanding anak domba betina (Hansard dan Berry 1969; Gruenwald 1967).

Produksi Susu Domba m. charolais mempunyai daya tumbuh yang tinggi dan produksi susu yang juga tinggi (Farid dan Fahmy 1996). Produksi susu domba GG, MG, HG, MHG, dan HMG masing-masing adalah 53,4; 59,5; 55,9; 44,8; dan 54,7 kg/induk/laktasi (Inounu et al. 2006). Sebelum seleksi, ratarata produksi susu domba GG di tempat yang sama hanya 43,6 kg/induk/laktasi (Tiesnamurti et al. 2002). Penelitian ini menunjukkan bahwa seleksi dan persilangan dapat meningkatkan produksi susu induk yang selanjutnya memengaruhi daya hidup anak (Inounu et al. 1993) .

Bobot Umur Setahun Bobot hidup domba GG, HG, dan MG pada umur 12 bulan adalah 21, 31, dan 36 kg


226

Ismeth Inounu

untuk tipe kelahiran tunggal dan 20, 28, dan 33 untuk tipe kelahiran kembar dua. Untuk kelahiran kembar tiga, bobotnya masing-masing adalah 20, 25, dan 27 kg.

Umur Saat Mencapai Bobot 35 kg Pembentukan domba komposit Balitnak dapat mempercepat pencapaian bobot 35 kg, yaitu pada umur 15, 19, 14, dan 15 bulan masing-masing pada domba MG, HG, MHG, dan HMG, lebih cepat dibandingkan dengan domba GG yang baru dapat mencapainya pada umur 25 bulan (Inounu et al. 2008). Domba komposit juga lebih efisien secara biologis maupun ekonomis dibanding domba GG (Inounu et al. 2006). Bobot badan dewasa domba GG, MG, HG, MHG, dan HMG berturut-turut adalah 37,0; 44,1; 40,0; 43,3; dan 44,4 kg (Inounu et al. 2008). Bobot badan tersebut jauh lebih tinggi dari bobot badan domba komposit sumatera yang hanya 31,6 kg yang dicapai pada umur 54 bulan (Inounu dan Priyanti 2009).

Parameter Genetik Untuk dapat melakukan seleksi dengan baik, selain jumlah populasi juga perlu diketahui parameter genetik, khususnya nilai heritabilitas dan korelasi genetik. Nilai dugaan heritabilitas (h2) bobot lahir dan bobot sapih domba garut adalah 0,36 dan 0,22, sedangkan untuk domba komposit 0,66 dan 0,75. Nilai duga heritabilitas masing-masing sifat satu galur dapat berbeda, bergantung pada jumlah pengamatan dan metode yang digunakan (Inounu et al. 2007b). Pada domba komposit sumatera, nilai duga heritabilitas untuk total

bobot lahir dan total bobot sapih masingmasing adalah 0,40 dan 0,37 (Subandriyo et al. 2000). Korelasi genetik antara bobot lahir dan bobot sapih domba garut adalah 0,23 dan pada domba komposit garut 0,55 (Inounu et al. 2007b). Dengan demikian, seleksi untuk bobot lahir juga berdampak terhadap peningkatan bobot sapih. Tren genetik bobot lahir dan bobot sapih domba garut dan domba komposit berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun positif (Inounu et al. 2007b). Hal ini menunjukkan seleksi yang dilakukan mendapatkan respons positif.

ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN DOMBA KOMPOSIT Arah Pengembangan Dua jenis galur domba komposit yang dihasilkan melalui perkawinan silang di Balai Penelitian Ternak, yaitu galur domba komposit sumatera dan galur domba komposit garut mempunyai berbagai keunggulan (Inounu et al. 1998b). Oleh karena itu, peningkatan mutu genetik yang diindikasikan oleh produktivitas, seperti total bobot lahir, produksi susu, dan umur saat mencapai bobot 35 kg, harus diarahkan pada pembentukan domba komposit dengan memanfaatkan galur domba komposit yang telah dihasilkan, baik melalui seleksi maupun persilangan.

Strategi Pengembangan Strategi pengembangan domba komposit dalam upaya meningkatkan mutu genetik domba lokal adalah sebagai berikut:


227

Pembentukan domba komposit melalui teknologi ...

1. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penerapan teknologi pemuliaan dalam memperbaiki mutu dan produktivitas domba komposit. Upaya ini dapat dilakukan melalui seleksi domba lokal dan perkawinan silang antara domba lokal dengan domba rambut st. croix dan domba eksotik m. charolais yang membentuk domba komposit (25% domba st. croix; 25% domba m. charolais, dan 50% domba garut). Domba komposit ini memiliki pertumbuhan cepat, produksi susu tinggi, dan beradaptasi baik dengan lingkungan tropis basah. 2. Membuka seluas-luasnya kemungkinan penerapan bioteknologi, seperti marker-assisted selection (MAS), inseminasi buatan (IB), embryo transfer (ET), dan cloning dalam peningkatan mutu genetik dan produktivitas domba komposit yang dihasilkan. 3. Meningkatkan efisiensi teknologi dan manajemen budi daya domba komposit serta membentuk model pengembangan inti-plasma. 4. Mempercepat diseminasi teknologi domba komposit kepada para peternak secara terintegrasi dengan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan atau kehutanan yang kemudian dapat dibentuk sebagai suatu kawasan usaha ternak domba.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

posit Balitnak dengan komposisi genetik 25% domba st. croix, 25% domba m. charolais, dan 50% domba garut dapat dianjurkan untuk dikembangkan sebagai domba komersial. Pengembangan domba komposit dapat dilakukan melalui sistem dua strata inti-plasma secara terintegrasi di lahan perkebunan atau kehutanan dengan memanfaatkan bibit unggul dan inovasi teknologi Balitnak serta melibatkan pekebun/masyarakat sekitar hutan dan memanfaatkan hijauan maupun produk samping perkebunan dan kehutanan.

Implikasi Kebijakan Upaya perbanyakan ternak hasil pemuliaan dihadapkan pada masalah keterbatasan lahan, dana, dan dukungan kebijakan. Untuk itu diperlukan dukungan kebijakan, antara lain: 1. Kebijakan investasi untuk mendukung pengembangan teknologi pembentukan domba komposit. 2. Kebijakan penelitian dan pengembangan dalam upaya mempercepat pengembangan (perbanyakan bibit) galur-galur domba komposit yang dihasilkan. 3. Kerja sama pengembangan domba komposit (25% domba st. croix; 25% domba m. charolais, dan 50% domba garut) dengan kelompok peternak, asosiasi peternak domba, atau dengan pihak swasta lainnya.

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Untuk meningkatkan mutu genetik domba di Indonesia telah dibentuk domba komposit melalui perkawinan silang yang dilanjutkan dengan seleksi. Domba kom-

Bradford, G.E., J.F. Quirke, P. Sitorus, I. Inounu, B. Tiesnamurti, F.L. Bell, I.C. Fletcher, and D.T. Torell. 1986. Reproduction in Javanese sheep: Evidence


228

for gene with large effect on ovulation rate and litter size. J. Anim. Sci. 63(2): 418-431. Bradford, G.E., I. Inounu, L.C. Iniguez, B. Tiesnamurti, and D.L. Thomas. 1991. The prolificacy gene of javanese sheep. p. 67-74. In J.M. Elsen, L.Bodin, and J. Thimomier (Eds.). Major Genes for Reproduction in Sheep. Proc. 2nd Int. Workshop, Tolouse, France, 16-18 July 1990. Bradford, G.E. and I. Inounu. 1996. Prolific breeds of Indonesia. p. 137-145. In M. H. Fahmy (Ed.). Prolific Sheep. CAB International, Cambridge. Budi, G. 2010. Kebijakan pemerintah dalam mendukung pemasaran ternak kambing-domba (KADO) bagi peningkatan kesejahteraan peternak. Makalah disampaikan pada Seminar Peluang dan Tantangan Pembangunan Kemandirian Peternakan Rakyat Usaha Ternak Kambing-Domba, Jakarta, 24 Februari 2010. Davis, G.H., S.M. Galloway, I.K. Ross, S.M. Gregan, J. Ward, B.V. Nimbkar, P.M. Ghalsasi, C. Nimbkar, G.D. Gray, Subandriyo, I. Inounu, B. Tiesnamurti, E. Martyniuk, E. Eythorsdottir, P. Mulsant, F. Lecerf, J.P. Hanrahan, G.E. Bradford, and T. Wilson. 2002. DNA test in prolific sheep from eight countries provide new evidence on origin of the Booroola (FecB) mutation. Biol. Reprod. 66(6): 1869-1874. Devendra, C. and G.B. McLeroy. 1982. Goats and Sheep Production in the Tropics. 1st Ed. Oxford Univ. Press, Oxford. 290 pp. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2008. Statistik Peternakan 2008. Ditjennak, Jakarta. Diwyanto, K. dan I. Inounu. 2001. Kemajuan dan hasil-hasil pemuliaan ternak

Ismeth Inounu

di Indonesia. hlm. 105-120. Prosiding Simposium Nasional Pengelolaan Pemuliaan dan Plasma Nutfah. Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia. Djemali, M., S. Bedhiaf-Romdhani, L.C. Iniguez, and I. Inounu. 2009. Saving threatened native breeds by autonomous production, involvement of farmers organization, research and policy makers: The case of Sicilo-Sarde breed in Tunisia, North Africa. Livest. Sci. 120(3): 213-217. Elsen, J.M., L. Bodin, and J. Thimonier. 1991. Major Genes for Reproduction in Sheep. INRA, France. 462 pp. Farid, A.H. and M.H. Fahmy. 1996. The east friesian and other europian breeds. p. 93-108. In M.H. Fahmy (Ed.). Prolific Sheep. CAB International, Cambridge. Fletcher, I.C., B. Gunawan, D.J.S. Hetzel, B. Bakrie, N.G. Yates, and T.D. Chaniago. 1985. Comparison of lamb production from indigenous and exotic x indigenous ewes in Indonesia. Trop. Anim. Hlth. Prod. 17(3): 127-134. Greeline. 2010. Greeline composite sheep Genetics equal to the best in New Zealand. http//www.greelinesheep.co.nz. [20 May 2010]. Gruenwald, P. 1967. Growth of the human foetus. In A. McLaren (Ed.). Advances in Reproductive Physiology. Vol. II. Academic Press, New York. Hafez, E.S.E. 1969. Prenatal growth. p. 2139. In E.S.E. Hafez and I.A. Dyer (Eds.). Animal Growth and Nutrition. Lea & Febiger, Philadelphia. Hansard, S.L. and R.K. Berry. 1969. Fetal nutrition. p. 40-59. In E.S.E. Hafez and I.A. Dyer (Eds.). Animal Growth and Nutrition. Lea & Febiger, Philadelphia. Iniguez, L.C.,T.D. Soedjana, and Subandriyo. 1991a. Revisiting Merkens and Soemirat’s Landmark Paper on Small


Pembentukan domba komposit melalui teknologi ...

Ruminant Research in Indonesia. Publication of the Indonesian Small Ruminant Network (ISRN), Bogor, Indonesia. 7 pp. Iniguez , L.C., M. Sanchez, and S.P. Ginting. 1991b. Productivity of Sumatran sheep in a system integrated with rubber plantation. Small Rumin. Res. 5(4): 303-317. Inounu, I., L.C. Iniguez, G.E. Bradford, Subandriyo, and B. Tiesnamurti. 1993. Production performance of prolific Java-nese ewes. Small Rumin. Res. 12(3): 243-257. Inounu, I., E. Handiwirawan, B. Tiesnamurti, dan A. Priyanti. 1996. Peningkatan produktivitas domba melalui pembentukan domba komposit (JTT Ă— M. Charolais Ă— St. Croix). Laporan Penelitian Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Inounu, I. dan T.D. Soedjana. 1998. Produktivitas ternak domba prolifik: Analisis ekonomi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(4): 215-224. Inounu, I., B. Tiesnamurti, E. Handiwirawan, A. Priyanti, and N. Hidajati. 1998a. Body weight of Javanese sheep and its crossed with charolais and st. croix rams. Buletin Peternakan Universitas Gadjah Mada (Edisi Tambahan): 282-288. Inounu, I., B. Tiesnamurti, E. Handiwirawan, T.D. Soedjana, dan A. Priyanti. 1998b. Optimalisasi keunggulan sifat genetis domba lokal dan persilangannya: Keragaan produksi dan analisis ekonomi. hlm. 990-1006. Inovasi Teknologi Pertanian. Seperempat Abad Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Inounu, I., B. Tiesnamurti, Subandriyo, dan H. Martojo. 1999. Produksi anak pada

229

domba prolifik. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4(3): 148-160. Inounu, I., N. Hidayati, Subandriyo, B. Tiesnamurti, dan L.O. Nafiu. 2003. Analisis keunggulan relatif domba garut anak dan persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 8(3): 170-182. Inounu, I., Subandriyo, B. Tiesnamurti, N. Hidajati, and L.O. Nafiu. 2005. Relative superiority analysis of garut ram and its crossbred. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 10(1): 17-26. Inounu, I., S. Sukmawati, dan R.R. Noor. 2006. Keunggulan relatif produksi susu domba garut dan persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 11(4): 281-288. Inounu, I., D. Mauluddin, R.R. Noor, dan Subandriyo. 2007a. Analisis kurva pertumbuhan domba garut dan persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 12(4): 286-299. Inounu, I., Subandriyo, E. Handiwirawan, dan L.O. Nafiu. 2007b. Pendugaan nilai pemuliaan dan trend genetik domba garut dan persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 12(3): 225-236. Inounu, I., D. Mauluddin, dan Subandriyo. 2008. Karakteristik pertumbuhan domba garut dan persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 13(1): 1322. Inounu, I. and A. Priyanti. 2009. Biological and economic consequences of the FecB mutation in Indonesian thin tailed sheep. p. 135-141. In S.W. WalkdenBrown, J.H.J. Van der Werf, C. Nimbkar, and V.S. Gupta (Eds.). Proceedings of the Helen Newton Turner Memorial International Workshop held in Pune, Maharashtra, India, 10-12 November 2008. Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra.


230

Inounu, I., D. Ambarwati, dan R.H. Mulyono. 2009a. Pola warna bulu pada domba garut dan persilangannya. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 14(2): 118-130. Inounu, I., Erfan, and R.H. Mulyono. 2009b. Characteristics of body measurement and shape of garut sheep and its crosses with other breeds. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 14(4): 295306. Moreno, C., J. Bouix, J.C. Brunel, J.L. Weisbecker, D. Francois, F. Lantier, and J.M. Elsen. 2001. Genetic parameter estimates for carcass traits in INRA401 composite sheep strain. Livestock Prod. Sci. 69(3): 227-232. Nicholas, F.W. 1996. Introduction to Veterinary Genetics. Oxford Univ. Press, Oxford. p. 277-291. Obs, J.M., T. Boyer, and T.D. Chaniago. 1980. Reproductive performance of Indonesian sheep and goats. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 13: 321-325. Rasali, D.P., J.N. Shrestha, and G.H. Crow. 2006. Development of composite sheep breeds in the world: A review. Can. J. Anim. Sci. 86(1): 1-24. Reece, A.A., S.W. Handayani, S.P. Ginting, W. Sinulingga, G.R. Reese, and W.L. Johnson. 1990. Effect of energy supplementation on lamb production of

Ismeth Inounu

Javanese thin-tail ewes. J. Anim. Sci. 68(7): 1827-1840. Setiadi, B., Subandriyo, and L.C. Iniguez. 1995. Reproductive performance of small ruminant in outreach pilot project in West Java. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1(2): 73-80. Smith, C. 1984. Rates of genetic change in farm livestock. Res. Dev. Agric. 1: 7985. Subandriyo, B. Setiadi, E. Handiwirawan, dan A. Suparyanto. 2000. Performa domba komposit hasil persilangan antara domba lokal sumatera dengan domba rambut pada kondisi dikandangkan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(2): 73-83. Sutama, I K., T.N. Edey, and I.C. Fletcher. 1988. Studies on reproduction of Javanese thin-tail ewes. Aust. J. Agric. Res. 39(4): 703-711. Tiesnamurti, B., I. Inounu, dan Subandriyo. 2002. Kapasitas produksi susu domba priangan peridi: I. Pertumbuhan anak prasapih. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7(4): 227-236. Vanimisetti, H.B., S.P. Greiner, A.M. Zajac, and D.R. Notter. 2004. Performance of hair sheep composite breeds: Resistance of lambs to Haemonchus contortus. J. Anim. Sci. 82(2): 595-604.


Inovasi teknologi reproduksi mendukung pengembangan Pengembangan Inovasi Pertanian 4(3), 2011: 231-246 ...

231

INOVASI TEKNOLOGI REPRODUKSI MENDUKUNG PENGEMBANGAN KAMBING PERAH LOKAL1) I Ketut Sutama Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Pajajaran, Kav. E-59, Bogor 16151 Telp. (0251) 8322185, 8328383 Faks. (0251) 8328382, 8380588 e-mail: puslitbangnak@litbang.deptan.go.id Diajukan: 10 Mei 2011; Disetujui: 4 Agustus 2011

ABSTRAK Konsumsi protein hewani asal ternak di Indonesia (5,72 g/kapita/hari) masih di bawah rekomendasi Widyakarya Pangan dan Gizi (6 g/kapita/hari) dan kontribusi terkecil berasal dari susu, yaitu 0,6 g/ kapita/hari. Kambing peranakan etawa (PE) dapat menjadi alternatif ternak perah untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri. Hal ini didukung oleh tingginya sumber daya kambing PE, ketersediaan pakan, dan minat petani untuk mengembangkan kambing PE. Secara biologis, kambing PE bersifat prolifik dan adaptif pada kondisi tropis, serta telah tersebar luas di masyarakat. Dengan kelahiran setiap 8 bulan (tiga kali kelahiran tiap 2 tahun) dengan jumlah anak sekelahiran 1-3 ekor, menjadikan kambing PE juga berpotensi sebagai penghasil daging. Produksi susu kambing PE bervariasi (0,5-2 liter/ hari) dan berpeluang untuk ditingkatkan melalui seleksi. Ternak akan memproduksi susu bila terjadi perkawinan, kebuntingan, kelahiran, dan laktasi secara normal. Oleh karena itu, inovasi teknologi reproduksi untuk meningkatan produksi susu dan produktivitas ternak adalah mempercepat tercapainya pubertas, meningkatan jumlah anak sekelahiran dan bobot lahir, memperpendek selang beranak, memperbaiki efisiensi perkawinan, dan meningkatkan kemampuan hidup anak. Dengan dukungan teknologi tersebut, arah pengembangan kambing perah difokuskan pada: (1) penyebarluasan penerapan inovasi teknologi reproduksi untuk meningkatkan produktivitas di tingkat petani; (2) sosialisasi kambing perah sebagai sumber pendapatan utama petani; dan (3) menjadikan kambing perah sebagai salah satu sumber susu (diversifikasi) untuk mendukung peningkatan gizi masyarakat di perdesaan. Kata kunci: Kambing perah, reproduksi, pengembangan ternak, ternak profilik

ABSTRACT Innovation Technology in Reproduction for the Development of Local Dairy Goats The consumption of animal protein in Indonesia is lower (5.72 g/capita/day) than the recommendation of Widyakarya Pangan dan Gizi (6 g/capita/day) and the lowest contribution is from milk (0.6 g/capita/ day). Dairy goat of etawa grade (peranakan etawa/PE) can be developed as an alternative to increase milk production in Indonesia. This idea is supported by the high potential of PE goats, feed resources, and farmers involved in goat production. Biologically, PE goats are prolific and adaptive to local

1)

Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 26 November 2009 di Bogor.


232

I Ketut Sutama

tropical environment and well distributed in the rural area. Kidding every eight months (three parturitions in two years) with litter size of 1-3 indicates that PE goats are also potential for meat production. Milk yield of PE goats of 0.5-2.0 liter/day indicates a high potential to be increased through selection. Milk can be obtained if mating, pregnancy, kidding, and lactation occurred normally. Therefore, innovation of reproductive technology can be used to increase productivity of PE goats such as accelerate onset of puberty, increase litter size and birth weight, reduce kidding intervals, increase mating efficiency, and improve survivability of kids. With the support of these innovation of reproductive technologies the development of dairy goats can be focussed on: (1) dissemination of reproductive technology innovation to increase productivity of dairy goats at farmer level; (2) dissemination of dairy goats as a main source of income for the farmer; and (3) dairy goat as an alternative to increase milk production and improve nutrient status of the people in rural area. Keywords: Dairy goat, reproduction, livestock development, prolific livestock

PENDAHULUAN Pertambahan jumlah penduduk setiap tahun menuntut peningkatan ketersediaan berbagai produk pangan, termasuk pangan asal ternak. Secara nasional, konsumsi protein hewani asal ternak baru mencapai 5,72 g/kapita/hari, masih di bawah rekomendasi Widyakarya Pangan dan Gizi, yaitu 6 g/kapita/hari. Dari jumlah tersebut, kontribusi terkecil berasal dari susu, yaitu 0,6 g/kapita/hari (Soedjana 2007). Rendahnya konsumsi protein hewani asal ternak tidak terlepas dari kurangnya produksi susu dalam negeri. Saat ini, produksi susu di Indonesia hampir seluruhnya berasal dari sapi perah dan baru memenuhi 30% dari kebutuhan, sisanya harus diimpor (Ditjennak 2007). Peluang meningkatkan produksi susu masih cukup besar, baik melalui peningkatan populasi dan produktivitas ternak maupun diversifikasi sumber susu. Salah satu ternak yang potensial sebagai ternak perah adalah kambing. Ternak akan memproduksi susu apabila proses reproduksi, seperti berahi, perkawinan, kebuntingan, kelahiran, dan laktasi berlangsung normal. Proses reproduksi melibatkan berbagai jenis hormon, seperti estrogen, progesteron, follicle stimulating

hormone (FSH), luteinizing hormone (LH), dan prolaktin (Yates et al. 1975; Sutama et al. 1988a, 1993). Lingkungan yang kondusif akan membantu proses biologis ternak berfungsi secara baik dan ternak berproduksi sesuai potensi genetiknya. Salah satu faktor penting yang memengaruhi produktivitas ternak adalah reproduktivitas, yang terdiri atas tiga komponen, yaitu fertilitas, prolifikasi, dan daya hidup anak sampai dapat bereproduksi. Kegagalan atau rendahnya reproduktivitas secara alami menyebabkan lambatnya laju pertambahan populasi. Akibatnya, peningkatan produksi ternak juga rendah (Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991; Sutama et al. 1993). Penerapan inovasi teknologi reproduksi yang tepat dan benar diharapkan dapat meningkatkan populasi dan produktivitas ternak, yang akhirnya berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN REPRODUKSI TERNAK KAMBING Reproduksi adalah proses seksual atau nonseksual agar suatu makhluk hidup menghasilkan generasi penerusnya. Mela-


233

Inovasi teknologi reproduksi mendukung pengembangan ...

lui reproduksi, akan lahir atau terbentuk generasi baru yang memungkinkan terjadinya penambahan populasi. Dengan perkataan lain, tanpa reproduksi tidak akan ada produksi, dan tingkat dan efisiensi reproduksi akan menentukan tingkat dan efisiensi produksi.

bang menjadi fetus dan bagian trofoblas menjadi plasenta, yaitu jaringan yang berhubungan langsung dengan induk (Austin dan Short 1984; Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991).

Pertumbuhan Fetus Pembuahan dan Perkembangan Embrio Kehidupan suatu makhluk dimulai pada saat bersatunya sel telur dan spermatozoa pada bagian ampula dari tuba fallopii. Pembuahan terjadi melalui serangkaian proses yang dimulai dengan penembusan lapisan sel telur oleh salah satu spermatozoa. Kemudian zona pellusida “mengeras� untuk mencegah masuknya spermatozoa yang lain. Sel telur yang telah dibuahi (embrio) disalurkan ke dalam uterus yang umumnya berlangsung 1-4 hari, dan saat itu embrio telah berada pada fase 4-16 sel (blastosis). Pada beberapa spesies ternak dengan ovulasi lebih dari satu, embrio yang terbentuk akan didistribusikan ke kedua tanduk uterus untuk kemudian menempel (implantasi) pada dinding uterus (Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991). Sejak implantasi, embrio sangat bergantung pada induk. Embrio akan mati apabila tidak terjadi kesesuaian hormon, fisiologis, dan imunologis dengan induknya. Untuk itu, embrio membentuk persamaan imunologi dengan induknya, yang melibatkan trofoblas yang menghasilkan trofoblastin untuk mengurangi keluarnya prostaglandin (PGF2a). Dengan demikian, corpus luteum (CL) dari ovarium tetap berfungsi menghasilkan hormon progesteron untuk mempertahankan kebuntingan. Massa sel embrio bagian dalam berkem-

Fetus tumbuh mulai dari sel tunggal pada waktu pembuahan dan membelah 42 kali sampai lahir. Sebelum implantasi, embrio mendapat nutrisi dari sekresi kelenjar uterus. Selanjutnya, bagian trofoblas dari embrio menyerap nutrisi dari plasenta induk. Sekitar 2 bulan akhir masa kebuntingan, fetus mendapat nutrisi melalui difusi antara sirkulasi darah fetus dan sirkulasi darah induk melewati plasenta (Annison et al. 1984). Oleh karena itu, sampai pertengahan masa kebuntingan, pertumbuhan fetus relatif lambat. Fetus mulai tumbuh dengan cepat sekitar 2 bulan sebelum kelahiran. Pembatasan nutrisi induk pada periode tersebut akan menghasilkan fetus yang kecil dengan kemampuan hidup yang rendah. Sebaliknya, kelebihan nutrisi dapat menghasilkan fetus yang terlalu besar sehingga menyulitkan proses kelahiran (Yates et al. 1975; Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991; Sutama et al. 1993).

Kelahiran dan Pertumbuhan Prasapih Menjelang akhir masa kebuntingan, proses kelahiran dimulai dan fetus memegang kendali atas proses tersebut. Hipotalamus fetus menghasilkan hormon pelepas adrenocorticotrophic (ACTH-RH) yang menyebabkan lonjakan sekresi hormon adrenocorticotrophic (ACTH). ACTH


234

I Ketut Sutama

menyebabkan sekresi hormon kortisol meningkat. Kortisol kemudian melewati plasenta yang meningkatkan sekresi PGF2a dan estrogen, dan menurunkan hormon progesteron. PGF2a menyebabkan kontraksi miometrium, yang merangsang pelepasan oksitosin. Oksitosin membantu mempertahankan kontraksi miometrium. PGF2a bersama-sama dengan relaksin mengendorkan servik agar fetus dapat melewati saluran kelahiran. Kontraksi perut yang dibantu dengan kontraksi dari uterus mendorong fetus keluar, diikuti oleh plasenta 1-3 jam kemudian (Yates et al. 1975; Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991). Pada bulan pertama setelah lahir, asupan nutrisi anak hampir seluruhnya berasal dari susu induk. Setelah lahir, anak harus segera mendapat kolostrum (susu pertama) yang banyak mengandung antibodi. Antibodi akan membantu anak yang baru lahir melawan infeksi penyakit sebelum sistem kekebalannya sendiri berfungsi penuh (Esfandiari et al. 2008). Pada bulan kedua, anak sudah mulai memakan pakan padat, dan produksi susu mulai menurun. Oleh karena itu, pemberian pakan tambahan (creep feeding) akan mempercepat pertumbuhan dan menurunkan angka kematian anak (Martawidjaja et al. 1999).

Dengan bertambahnya umur, secara fisiologis akan terjadi perubahan hormonal dengan mulai berfungsinya organ reproduksi (ovarium dan testis). Hal ini diekspresikan dengan munculnya sifat ketertarikan pada dan/atau menerima secara seksual kehadiran lawan jenisnya (pubertas). Kemunculan berahi pertama ini dipakai sebagai tanda tercapainya pubertas (Dyrmundsson 1973; Sutama et al. 1988b; Sutama 1994). Mendekati pubertas, terjadi peningkatan sekresi hormon pelepas gonadotropin (GnRH) dari hipotalamus. Pada ternak betina, GnRH memengaruhi kelenjar pituitari untuk mensekresikan hormon gonadotropin, yaitu FSH dan LH. Akibatnya, folikel ovarium berkembang dan menghasilkan hormon androgen dan estrogen yang menyebabkan ternak berahi. Pada 2-6 jam sebelum berahi, terjadi lonjakan sekresi LH (preovulatory surge of LH). Lonjakan sekresi LH berikutnya (7-16 jam setelah berahi) umumnya diikuti dengan ovulasi sekitar 17-32 jam setelah lonjakan LH tersebut. Dengan demikian, perkawinan pada umur pubertas memungkinkan terjadinya kebuntingan (Yates et al. 1975; Sutama et al. 1988a, 1988c).

Kebuntingan dan Laktasi Perkembangan Seksual dan Pencapaian Pubertas Ternak sebenarnya telah menunjukkan tingkah laku seksual sejak umur sangat dini (3 hari), seperti menaiki temannya atau induknya. Sifat ini disebut play activity dan semua komponen dari aktivitas seksual, kecuali kopulasi (kawin), dimanifestasikan selama play activity (Banks 1964; Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991).

Setelah pubertas, kambing betina akan menunjukkan siklus berahi setiap 18-22 hari (rata-rata 20 hari). Tingkat kebuntingan pada berahi pertama (pubertas) umumnya rendah (45-60%) karena sebagian ternak (5-10%) berahi tanpa ovulasi (Sutama et al. 1988b, 1994, 1995). Kebuntingan akan berlangsung sekitar 5 bulan. Selama periode ini, hormon progesteron berada dalam konsentrasi tinggi untuk mempertahankan


Inovasi teknologi reproduksi mendukung pengembangan ...

kebuntingan hingga terjadi kelahiran (Sutama et al. 1995, 2002a). Setelah beranak, ternak akan mengalami fase laktasi, yang berlangsung 2-4 bulan pada kambing nonperah. Pada kambing perah, laktasi berlangsung 8-10 bulan (Sitorus 1994; Sutama 1996; Subhagiana 1998). Pada awal periode laktasi, aktivitas reproduksi ternak sangat rendah. Ternak akan menunjukkan berahi kembali 3-5 bulan setelah beranak (Sutama et al. 1998; Sutama 2004, 2009). Produksi susu pada kambing kacang berkisar antara 0,13-0,57 liter/hari, lebih rendah dibandingkan dengan kambing PE, yaitu 0,45-2,20 liter/hari (Devendra dan Burns 1983; Obst dan Napitupulu 1984; Mukherjee 1991; Sitorus 1994; Sutama et al. 1995; Adriani et al. 2004). Produksi susu kambing PE yang bervariasi tersebut memberi peluang untuk ditingkatkan melalui seleksi. Jumlah anak sekelahiran (JAS) dapat digunakan sebagai indikator produksi susu tinggi. Ternak dengan JAS lebih tinggi mempunyai kadar hormon progesteron yang lebih tinggi. Progesteron bersama dengan hormon lainnya berpengaruh positif terhadap perkembangan kelenjar ambing dan produksi susu (Manalu dan Sumaryadi 1995; Subhagiana 1998; Sutama et al. 2002a).

INOVASI TEKNOLOGI REPRODUKSI DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KAMBING PERAH Dengan memerhatikan proses biologis seperti yang dijelaskan sebelumnya, terbuka peluang cukup besar untuk memperbaiki inovasi teknologi dalam upaya meningkatkan produktivitas kambing perah.

235

Mempercepat Tercapainya Pubertas Umur, bobot badan, dan kondisi tubuh berpengaruh terhadap pencapaian pubertas. Ternak yang tumbuh lebih cepat akan mencapai pubertas lebih awal. Pada kambing, pubertas dicapai pada umur 612 bulan atau pada bobot 55-60% dari bobot badan ternak dewasa (Sutama et al. 1995). Umur pubertas berkaitan erat dengan pakan yang dikonsumsi. Ternak yang diberi pakan tambahan konsentrat urea molases blok (UMB) mencapai pubertas 20 hari lebih cepat (Wodzicka-Tomaszewska dan Mastika 1993). Pemberian hormon pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) pada umur 7 bulan dapat menstimulasi terjadinya siklus berahi dan ovulasi (Sutama et al. 1988c; Artiningsih et al. 1996). Manfaat yang lebih besar dari mempercepat tercapainya pubertas terjadi di daerah subtropis karena aktivitas seksual ternak dipengaruhi oleh musim. Di daerah tersebut, kelahiran pada kambing dan domba umumnya terjadi pada musim semi dan pubertas dicapai pada musim gugur, saat ternak berumur 6-8 bulan. Bila pubertas tidak tercapai pada umur tersebut maka perkawinan pertama baru terjadi pada musim gugur tahun berikutnya (Yates et al. 1975). Hal ini tidak terjadi pada ternak di daerah tropis. Walaupun demikian, evaluasi terhadap pencapaian umur pubertas perlu dilakukan. Umur pubertas dapat dipakai sebagai salah satu parameter dalam memilih ternak yang lebih produktif. Ternak yang mencapai pubertas lebih awal, setelah dewasa akan mempunyai produktivitas yang lebih tinggi (Ponzoni et al. 1979; Sutama 1992a; Levine et al. 1978).


236

Peningkatan Jumlah Anak Sekelahiran dan Berat Sapih Jumlah anak sekelahiran (JAS) umumnya berhubungan negatif dengan bobot lahir dan bobot sapih. Peningkatan JAS diikuti dengan penurunan bobot lahir dan bobot sapih. Hal ini berkaitan dengan kapasitas uterus dalam menampung fetus dan konsumsi susu anak prasapih. JAS yang lebih tinggi biasanya akan diikuti dengan peningkatan mortalitas (Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991; Sutama et al. 1993). Kambing PE memiliki tingkat kesuburan yang tinggi, ditunjukkan dengan JAS 1,31,7 dan rata-rata 1,5 (Subandriyo et al. 1986; Adriani et al. 2003; Sutama et al. 2007). Namun masih ada 41,7% induk yang beranak tunggal (Sutama et al. 2007). Upaya meningkatkan JAS dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan (superovulasi), dengan harapan akan ada lebih banyak sel telur yang dibuahi dan tumbuh berkembang menjadi anak. PMSG merupakan hormon yang paling sering dipakai dalam program superovulasi pada kambing (Artiningsih et al. 1996; Sutama et al. 2002a; Adriani et al. 2003) maupun domba (McIntosh et al. 1975; Sutama 1988; Sutama et al. 1988a). Penyuntikan PMSG dengan dosis 500-700 IU/ekor meningkatkan jumlah ovulasi 80160% dan anak yang lahir 31-72% (Artiningsih et al. 1996; Adriani et al. 2003). Teknologi superovulasi juga meningkatkan produksi susu sebesar 32%, jumlah anak disapih dan bobot sapih 37-53% (Adriani et al. 2003; 2004). Hal ini terkait dengan lebih tingginya kadar hormon progesteron maupun estrogen. Kedua jenis hormon tersebut merangsang pertumbuhan kelenjar ambing (Manalu dan Sumaryadi 1995; Sutama et al. 2002a). Di samping secara hormonal, peningkatan

I Ketut Sutama

JAS dapat dilakukan dengan menambah jumlah konsumsi gizi sekitar waktu kawin (flushing). Cara ini relatif mudah dan dapat dilakukan oleh petani. Namun, peningkatan JAS yang terjadi tidak setinggi cara hormonal, yaitu 22% (Adiati et al. 1999). Peningkatan laju ovulasi akibat superovulasi ataupun flushing diikuti dengan lebih tingginya sel telur yang tidak berkembang menjadi anak (ova-wastage), yaitu 28,2-40,1%. Ini terjadi karena sel telur tidak dibuahi atau embrio mati (Sutama et al. 1988b; Sutama 1989a, 1989b; WodzickaTomaszewska et al. 1991; Artiningsih et al. 1996; Adriani et al. 2003). Walaupun demikian, superovulasi dapat meningkatkan produktivitas induk 109,6% dari total anak yang disapih (Adriani et al. 2003).

Memperpendek Selang Beranak Selang beranak adalah jarak waktu antara beranak dengan beranak berikutnya. Oleh karena itu, selang beranak ditentukan oleh lama kebuntingan dan interval berahi setelah beranak. Variasi lama kebuntingan pada kambing relatif kecil, yaitu 144-156 hari (Artiningsih et al. 1996; Sutama 1996; Adiati et al. 1999; Budiarsana dan Sutama 2001; Kostaman dan Sutama 2006). Ternak umumnya akan berahi kembali 3-5 bulan setelah beranak sehingga selang beranak antara 8-10 bulan. Di lapangan, selang beranak dapat mencapai lebih dari 12 bulan karena tidak terdeteksinya berahi dan petani tidak memiliki pejantan. Padahal, penentuan berahi pada kambing lebih sulit tanpa adanya pejantan (Sutama et al. 1993). Ternak kadang-kadang tidak menunjukkan tanda berahi dengan jelas, walaupun secara fisiologis dalam keadaan berahi (Edey et al. 1978; Sutama et al. 1988a,


237

Inovasi teknologi reproduksi mendukung pengembangan ...

1988b, 1988c). Hal ini karena tidak adanya hormon progesteron yang cukup tinggi untuk menstimulasi sekresi hormon estrogen yang diperlukan untuk mengekspresikan berahi (Foster dan Ryan 1981; Sutama et al. 1988c). Masalah tersebut dapat diatasi dengan memperbaiki manajemen perkawinan dengan menempatkan pejantan pada kelompok betina (perkawinan secara alami) selama dua siklus berahi (40 hari). Pada perkawinan alami secara dituntun (hand mating) atau melalui inseminasi buatan (IB), perkawinan/inseminasi dilakukan pada setengah bagian akhir masa berahi dan diulang 10-12 jam kemudian.

Meningkatkan Efisiensi Perkawinan Perkawinan Alami Cara mudah untuk memperoleh angka kebuntingan yang tinggi adalah dengan perkawinan alami. Rasio antara jantan dan betina dalam perkawinan alami adalah 1:10 sampai 1:50 ekor, bahkan dengan manajemen perkawinan yang baik, jumlah betina dapat ditambah. Di daerah tropis, siklus berahi pada kambing terjadi sepanjang tahun, sesuai dengan ritme reproduksinya, asalkan kondisi tubuh ternak mendukung terjadinya proses reproduksi (Wodzicka-Tomaszewska et al. 1991; Sutama et al. 1993; Sutama 2009). Namun, kelahiran setiap saat sepanjang tahun justru mengakibatkan tingginya alokasi waktu petani untuk mengurus induk dan anak kambing yang baru lahir. Untuk mengatasi masalah tersebut, dilakukan sinkronisasi berahi dan ovulasi secara hormonal menggunakan PGF2a (prostaglandin analog) atau pro-

gesteron sintetis dan memperoleh persentase berahi secara serempak 80-100% (Artiningsih et al. 1996; Adiati et al. 1998; Sutama et al. 2002a; Semiadi et al. 2003). Dampak dari banyaknya kambing yang berahi dan kawin secara serempak adalah manajemen pemeliharaan lebih mudah dan lebih efisien. Di samping itu, jumlah anak yang lahir dalam satuan waktu lebih banyak dan pada akhirnya pendapatan petani meningkat. Di samping secara hormonal, sinkronisasi secara biologis dengan menggunakan pejantan (efek pejantan) lebih murah dan mudah dilaksanakan (Oldham 1980; Knight 1983; Adiati et al. 1998). Feromon yang dikeluarkan pejantan meningkatkan sekresi LH pada betina dalam waktu sekitar 2 jam. Sekresi LH diikuti dengan peningkatan sekresi hormon estrogen yang menyebabkan terjadinya berahi, dan lonjakan sekresi LH berikutnya menyebabkan ovulasi (Chesworth dan Tait 1974). Untuk memperoleh hasil sinkronisasi yang lebih tinggi, ternak betina diisolasi dari ternak jantan selama 3-4 minggu, baik secara fisik, penglihatan, suara maupun bau, kemudian secara tiba-tiba ternak betina diintroduksi pada pejantan atau sebaliknya. Dalam waktu 2-8 hari, ternak betina akan menunjukkan tanda-tanda berahi dan perkawinan terjadi secara normal. Namun, tingkat kebuntingan yang diperoleh relatif rendah (30%) (Adiati et al. 1998). Bagi ternak yang tidak bunting, siklus berahi berikutnya (20 hari kemudian) akan normal.

Inseminasi Buatan Pemanfaatan teknologi IB mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap peningkatkan produktivitas ternak dan efisiensi usaha, terutama dalam meman-


238

I Ketut Sutama

faatkan pejantan unggul, dan penurunan biaya pemeliharaan pejantan. Teknologi IB berkaitan erat dengan teknik pengenceran dan penyimpanan semen, pendeteksian waktu berahi, dan teknik inseminasi. Beberapa jenis pengencer telah dikembangkan untuk mengawetkan semen sapi, kerbau, domba, dan kambing, seperti laktose (Jellinek et al. 1980), susu skim (Herdis et al. 2002) dan tris-sitrat (Tambing et al. 2000, 2001, 2003a, 2003b; Sutama 2002; Kostaman dan Sutama 2006). Berbeda halnya pada sapi, IB pada kambing belum banyak dilakukan. Kesulitan dalam melakukan deposisi semen intra-uterine merupakan salah satu kendala IB pada kambing. Servik kambing yang berkelok-kelok (berbentuk spiral) menyulitkan alat inseminasi (insemination gun) mencapai uterus. Umumnya deposisi semen hanya dapat dilakukan di luar servik atau dalam vagina sehingga tingkat kebuntingan yang diperoleh masih rendah, yaitu sekitar 30% (Budiarsana dan Sutama 2001; Ngangi 2002; Sutama et al. 2002b). Untuk meningkatkan keberhasilan IB, beberapa inovasi teknologi telah diterapkan, antara lain melakukan IB pada waktu yang tepat (35-40 jam setelah berahi muncul) sebanyak dua kali dalam selang waktu 12 jam. Melalui teknik ini tingkat kebuntingan meningkat dari 30% menjadi 41-56% (Budiarsana dan Sutama 2001; Sutama et al. 2002b). Tingkat keberhasilan IB yang lebih tinggi (70-80%) diperoleh dengan melakukan IB di dalam uterus (Susilawati dan Afroni 2008), dengan menggunakan alat yang dapat melewati servik. Meningkatkan Kemampuan Hidup Anak Kematian kambing anak, khususnya pada masa prasapih, mencapai 10-50% (Sutama

et al. 1993, 2008; Adriani et al. 2003). Rendahnya bobot lahir anak dan produksi susu induk serta sifat keindukan yang kurang baik merupakan penyebab utama kematian anak prasapih (WodzickaTomaszewska et al. 1991). Umur 0-3 hari merupakan masa kritis bagi anak, dan konsumsi kolostrum pada masa ini sangat penting untuk memperoleh antibodi (Esfandiari et al. 2008). Untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan dengan perlakuan superovulasi dan memperbaiki pakan induk maupun anaknya dengan penerapan teknologi susu pengganti (milk replacer) dan/atau creep feeding. Susu sapi segar adalah yang paling umum dan cukup aman dipakai sebagai bahan dasar susu pengganti untuk kambing anak. Pakan creep feeding dibuat dari campuran beberapa bahan pakan (dedak padi, pollard, bungkil kedelai, dan mineral) dengan kandungan protein kasar sekitar 24% dan total digestible nutrient (TDN) 70%. Melalui cara ini, tingkat kematian anak prasapih menurun dari 1318% menjadi 0-4%. Sehingga jumlah anak yang disapih dan dijual meningkat 15-17% (Martawidjaja et al. 1999; Adriani et al. 2003; Sutama et al. 2008).

ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KAMBING PERAH Arah Dengan dukungan inovasi teknologi reproduksi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna, arah pengembangan kambing perah ke depan dapat difokuskan pada tiga sasaran utama, yaitu: (1) penyebarluasan inovasi teknologi reproduksi dalam upaya meningkatkan produktivitas kambing


Inovasi teknologi reproduksi mendukung pengembangan ...

lokal di tingkat petani; (2) sebagai sumber pendapatan utama petani; dan (3) sebagai salah satu upaya diversifikasi sumber susu mendukung peningkatan gizi masyarakat perdesaan.

Strategi Dalam upaya mencapai arah pengembangan kambing perah, diperlukan strategi yang lebih operasional sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Pemanfaatan Pejantan Unggul Penjantan unggul dapat diperoleh dari populasi ternak yang ada melalui seleksi menggunakan metode yang benar, tepat, dan terarah, atau dapat juga berasal dari pusat pembibitan yang telah terakreditasi. Agar pejantan dapat melayani betina dalam jumlah besar, sistem perkawinan hendaknya menggunakan IB. Semen pejantan unggul ditampung dengan menggunakan vagina buatan. Semen yang berkualitas baik selanjutnya diproses dan disimpan sebagai semen beku (suhu -192oC) atau semen cair (suhu 3-5oC). Semen beku dapat disimpan dalam waktu cukup lama (beberapa tahun) dan masih layak digunakan untuk IB. Semen cair umumnya harus diinseminasikan dalam waktu 3-7 hari (Putu et al. 2002; Tambing et al. 2003a; Rizal et al. 2006). Walaupun demikian, semen cair lebih praktis, lebih murah, dan pembuatannya lebih sederhana. Di lapangan, pelaksanaan IB akan lebih mudah bila petani melakukan usaha peternakan kambing perah secara berkelompok. Cara ini akan memudahkan petani dalam mendeteksi berahi dan mengatur perka-

239

winan dan/atau melaksanakan IB. Penerapan sinkronisasi berahi akan meningkatkan efisiensi pelaksanaan IB. Melalui sinkronisasi, IB dapat dilakukan pada saat yang hampir bersamaan sehingga kelahiran terjadi pada waktu yang relatif bersamaan. Sinkronisasi berahi dapat pula dipadukan dengan teknologi superovulasi untuk meningkatkan ovulasi dan anak yang lahir. Namun, kedua teknologi tersebut relatif mahal karena bahan yang digunakan masih diimpor. Pemanfaatan progesteron nabati, yang kini masih dalam tahap penelitian, diharapkan dapat menekan biaya sikronisasi berahi (Adiati 2009).

Pemanfaatan Ternak Prolifik Prolifikasi adalah suatu sifat yang menunjukkan kemampuan seekor induk untuk menghasilkan anak dalam jumlah tertentu pada setiap kelahiran. Prolifikasi bersifat menurun sehingga gen prolifikasi memberi kesempatan untuk meningkatkan produktivitas secara permanen (Bradford et al. 1991). Pada populasi kambing PE, dalam proporsi tertentu dijumpai induk yang beranak lebih dari satu (Sutama et al. 2007). Seleksi terhadap ternak yang mempunyai prolifikasi lebih tinggi, diikuti dengan program pemuliaan yang benar akan meningkatkan produktivitas. Namun, ternak prolifik membutuhan asupan nutrisi yang lebih banyak daripada ternak nonprolifik (Inounu et al. 1993). Oleh karena itu, prolifikasi yang sesuai untuk setiap petani ditentukan oleh kemampuan petani dalam menyediakan pakan. Di samping jumlah anak yang lahir lebih banyak, ternak prolifik menghasilkan susu yang lebih tinggi daripada induk


240

I Ketut Sutama

beranak tunggal (Subhagiana 1998; Sutama et al. 2002a; Adriani et al. 2003, 2004). Dengan demikian, ternak prolifik akan memberi manfaat yang lebih besar kepada petani.

Penerapan Sistem Perkawinan yang Efisien Pada sistem perkawinan alami, diperlukan strategi perkawinan yang tepat karena kemampuan seekor pejantan untuk mengawini sejumlah betina per satuan waktu terbatas. Perkawinan alami secara kelompok dalam batas tertentu sangat efektif untuk memperoleh tingkat kebuntingan yang tinggi. Namun, pada perkawinan kelompok sering terjadi seekor pejantan hanya mengawini betina tertentu karena adanya faktor memilih (preference) dari pejantan bersangkutan (Jennings 1976; Synnot et al. 1981). Akibatnya, betina lain yang sedang berahi dalam kelompok tersebut tidak dikawini sampai masa berahinya berakhir. Penempatan lebih dari satu pejantan dalam satu kelompok dapat menjadi solusi. Namun, hal ini dapat berbahaya karena pejantan akan berkelahi sesamanya, kecuali perkawinan kelompok dilakukan di padang penggembalaan yang luas. Pada usaha peternakan rakyat dengan skala pemilikan ternak yang rendah (2-3 ekor induk/petani), sangatlah tidak efisien bila setiap petani memiliki pejantan. Namun, tanpa pejantan, kebuntingan dan kelahiran tidak akan terjadi yang berarti kerugian. Untuk mengatasi hal ini, petani dapat bergabung dan membangun areal peternakan bersama (perkampungan ternak) dan pejantan menjadi milik bersama. Untuk menghindari kemungkinan kawin kerabat dekat (inbreeding), pergantian pejantan

hendaknya dilakukan secara terencana dan teratur. Pada perkawinan secara dituntun (hand mating), deteksi berahi menjadi sangat penting. Deteksi berahi dapat dilakukan dengan memerhatikan tingkah laku ternak atau perubahan pada organ seksual luar. Secara alami, pejantan sangat efektif dalam mendeteksi berahi. Ternak yang berahi sebaiknya dikawinkan dua kali selama periode berahi.

Konsolidasi Kelembagaan yang Kuat dalam Kesetaraan Bergabungnya petani dalam suatu kelompok tani atau koperasi akan memberi banyak keuntungan kepada petani dalam mengembangkan usahanya. Petani melalui kelompok tani/koperasi dapat bermitra dengan perusahaan/lembaga lain yang lebih berpengalaman dalam peternakan kambing perah. Petani dan mitra usahanya bekerja sama mulai dari proses produksi (hulu) sampai pemasaran produk (hilir). Keberadaan kelembagaan petani akan memudahkan transfer teknologi atau inovasi baru di bidang peternakan kambing perah. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kelembagaan yang dapat melayani petani dengan tenaga penyuluh lapangan dan kesehatan hewan. Pengenalan teknologi dan atau informasi pasar yang dapat memacu dan meningkatkan produktivitas ternak dan efisiensi usaha harus dilakukan oleh petugas pelayanan di lapangan.

Diseminasi dan Promosi Diseminasi dan promosi melalui pameran, ekspose, dan media cetak atau elektronik


241

Inovasi teknologi reproduksi mendukung pengembangan ...

penting dilakukan untuk mendukung program yang akan diimplementasikan. Diseminasi tidak hanya berupa penyebaran teknologi, namun sebaiknya juga berupa ternak, peralatan atau sarana produksi dan pengolahan hasil. Pelaksanaannya dapat melalui kelembagaan petani dan mitra usahanya. Untuk meningkatkan pangsa pasar produk susu dan ternak yang dihasilkan, timing know-how merupakan strategi yang dapat dilakukan, yang meliputi: (1) tepat jumlah yang diminta pasar; (2) tepat kualitas sesuai standar mutu; (3) tepat sasaran (konsumen); (4) tepat harga sesuai dan terjangkau konsumen; (5) tepat waktu sehingga tidak terjadi penumpukan produk; dan (6) tepat wilayah distribusi dan pemasaran.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Sebagai ternak yang sangat dekat dengan petani kecil, peningkatan produktivitas kambing perlu diupayakan secara terus-menerus. Peningkatan produktivitas tidak hanya difokuskan pada populasi dan bobot badan, tetapi juga produksi susu per ekor ternak sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. 2. Upaya yang dapat ditempuh antara lain adalah meningkatkan efisiensi kinerja reproduksi melalui: (1) penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif agar tampilan reproduksi ternak optimal sesuai potensi genetiknya; (2) peningkatan jumlah anak sekelahiran (JAS) dan daya hidup anak dengan menerap-

kan sinkronisasi berahi, superovulasi dan creep feeding; dan (3) penerapan perkawinan yang tepat untuk memperpendek selang beranak. 3. Dalam penerapannya di lapang, strategi pengembangan kambing perah antara lain meliputi pencapaian pubertas yang lebih awal, penyediaan pejantan unggul, pemanfaatan betina prolifik, dan perkawinan yang efisien. Di samping itu, diperlukan adanya kelembagaan produksi dan pemasaran yang kuat serta diseminasi dan promosi.

Implikasi Kebijakan 1. Dalam upaya mempercepat penerapan inovasi teknologi reproduksi di lapangan, diperlukan kebijakan pemerintah dalam pembentukan kawasan sentra produksi kambing perah di setiap provinsi yang dikelola oleh petani bekerja sama dengan pusat-pusat perbibitan pemerintah. 2. Pemerintah hendaknya memfasilitasi dan mengawasi pembentukan jejaring kerja (net-working) antara swasta dan petani dalam bentuk kemitraan yang saling menguntungkan dan berbagi risiko secara adil. 3. Keberadaan industri pengolahan susu (IPS) modern akan menjadi harapan petani dalam mempertahankan kelangsungan berproduksi karena kepastian penyerapan susu dari swasta akan menjadi jaminan pasar bagi petani. 4. Pemerintah hendaknya memacu pengembangan kambing perah secara luas melalui perangkat kebijakan yang kondusif bagi pengembangan iptek dalam bidang reproduksi, mitra usaha, dan petani.


242

I Ketut Sutama

DAFTAR PUSTAKA Adiati, U., Hastono, R.S.G. Sianturi, T.D. Chaniago, dan I K. Sutama. 1998. Sinkronisasi secara biologis pada kambing peranakan etawah. hlm. 411-416. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Adiati, U., D. Yulistiani, R.S.G. Sianturi, Hastono, I G.M. Budiarsana, IK. Sutama, dan IW. Mathius. 1999. Pengaruh perbaikan pakan terhadap respon reproduksi induk kambing peranakan etawah. hlm. 491-495. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Adiati, U. 2009. Isolasi solasodin dari buah Solanum khasianum sebagai bahan aktif pembentuk progesteron. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Adriani, A. Sudono, T. Sutardi, W. Manalu, dan I K. Sutama. 2003. Optimasi produksi anak dan susu kambing peranakan etawah dengan superovulasi dan suplementasi seng. Forum Pascasarjana 26(4): 335-352. Adriani, I K. Sutama, A. Sudono, T. Sutardi, dan W. Manalu. 2004. Pengaruh superovulasi sebelum perkawinan dan suplementasi seng terhadap produksi susu kambing Peranakan Etawah. Jurnal Ilmu Ternak 6(2): 86-94. Annison, E.F., J.M. Gooden, G.M. Houge, and G.H. McDowell. 1984. Physiological cost of pregnancy and lactation in the ewe. p. 174-181. In D.R. Lindsay and D.T. Pearce (Eds.). Reproduction in Sheep. Cambridge Univ. Press, Cambridge.

Artiningsih, N.M., B. Purwantara, R.K. Achjadi, dan I K. Sutama. 1996. Pengaruh penyuntikan pregnant mere serum gonadotrophin terhadap kelahiran kembar pada kambing peranakan etawah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2(1): 11-16. Austin, C.R. and R.V. Short. 1984. Reproduction in Mammals. Book 3. 2nd Ed. Hormonal Control of Reproduction. Cambridge Univ. Press, Cambridge. 260 pp. Banks, E.M. 1964. Some aspects of sexual behaviour in domestic sheep, Ovis aries. Behavior 23(3-4): 249-279. Bradford, G.E., I. Inounu, L.C. Iniguez, B. Tiesnamurti, and D.L. Thomas. 1991. The prolificacy gene of Javanese sheep. p. 67-73. In J.M. Elsen, L. Bodin, and J. Thimonier (Ed.). Major Gene for Reproduction in Sheep. 2 nd International Workshop, Toulouse, France, 16-18 July 1990. Institute National De La Recherche Agronomique, Paris, France. Budiarsana, I G.M. dan I K. Sutama. 2001. Fertilitas kambing peranakan etawah pada perkawinan alami dan inseminasi buatan. hlm. 85-92. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Chesworth, J.M. and A. Tait. 1974. A note on the effect of presense of rams unpon luteinizing hormone in the blood of ewes. Anim. Prod. 19: 109-110. Devendra, C. and H. Burns. 1983. Goat Production in the Tropics. Commonwealth Agricultural Bureau, U.K. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2007. Statistik Peternakan 2007. Ditjennak, Jakarta. 251 hlm. Dyrmundsson, O.R. 1973. Puberty and early reproductive performance in


Inovasi teknologi reproduksi mendukung pengembangan ...

sheep. I. Ewe lambs. Anim. Breed. Abstr. 41: 273-289. Edey, T.N., R. Kilgour, and K. Bremner. 1978. Sexual behaviour and reproductive performance of ewe lambs at and after puberty. J. Agric. Sci. Camb. 90(1): 83-91. Esfandiari, A., S. Widodo, I W.T. Wibawan, D. Sayuti, I K. Sutama, and S.D. Widhyari. 2008. Serum antibody concentration of etawah crossbred neonatus following various collostrum consumption. In Improved Dairy and Meat Goat Production for Small-Scale Farmers. Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pacific Region, Indonesian Research Institute for Animal Production, Livestock Research Institute, Council of Agriculture, Taiwan ROC. Foster, A.E. and K.D. Ryan. 1981. Endocrine mechanisms governing transition into adulthood in female sheep. J. Reprod. Fert. (Supplement 30): 7590. Herdis, I. Kusuma, M. Surachman, M. Rizal, I K. Sutama, I. Inounu, B. Purwantara, dan I. Arifinantini. 2002. Peningkatan kualitas semen beku domba garut melalui penembahan alfa-tokoferol ke dalam pengencer susu skim kuning telur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7(1): 12-17. Inounu, I., L.C. Iniguez, G.E. Bradford, Subandriyo, and B. Tiesnamurti. 1993. Production performance of prolific Javanese ewes. Small Rum. Res. 12: 243-257. Jellinek, P., P. Situmorang, and I K. Sutama. 1980. A lactose base diluent effective in the preservation of buffalo semen. p. 399-403. Animal Production and Health in the Tropics. 1 AAAP Science Congress, Serdang, Malaysia.

243

Jennings, J.J. 1976. Mating behaviour of rams in late anoestrous. Ir. J. Agric. Res. 15: 301-307. Knight, T.W. 1983. Ram induce stimulation of ovarium and oestrus activity in anoestrus ewes: A review. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 13: 321-324. Kostaman, T. dan I K. Sutama. 2006. Studi motilitas dan daya hidup spermatozoa kambing Boer pada pengencer trissitrat-fruktose. Jurnal Sain Veteriner 24(1): 58-64. Levine, J.M., M. Vavra, R. Phillips, and W. Hohenboken. 1978. Ewe lambs conception as an indicator of future production in farm flock Columbia and Targhee ewes. J. Anim. Sci. 46: 19-25. Manalu, W. dan M. Sumaryadi. 1995. Hubungan antara konsentrasi progesteron dan estradiol dalam serum induk selama kebuntingan dengan total massa fetus pada akhir kebuntingan. hlm. 57-62. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan, Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Martawidjaja, M., B. Setiadi, dan S.S. Sitorus. 1999. Karakteristik pertumbuhan anak kambing kacang prasapih dengan tata laksana pemeliharaan creep feeding. hlm. 485-490. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. McIntosh, J.E., R.M. Moor, and W.R. Allen. 1975. Pregnant mare serum gonadotrophin: Rate of clearance from the circulation of sheep. J. Reprod. Fert. 44(1): 95-100. Mukherjee, T.K. 1991. Crossbreeding for genetic improvement of local goats innovative results. p.34-52. In J.M. Panandam, S. Sivaraj, T.K. Mukherjee, and P. Horst (Eds.). Goat Husbandry


244

and Breeding in the Tropics. University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Ngangi, L.R. 2002. Efektivitas Lama Pemberian Implan Progesteron Intravaginal dan Waktu Inseminasi terhadap Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Etawah. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 75 hlm. Obst, J.M. and Z. Napitupulu. 1984. Milk yields of Indonesian goats. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 15: 501 504. Oldham, C.M. 1980. Stimulation of ovulation in seasonal or lactational anovular ewes by rams. Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 13: 73-74. Ponzoni, R.W., M. Azzarini, and S.K. Walker. 1979. Production in mature Corriedale ewes first mated at 7 to 11 or 18 months of age. Anim. Prod. 29(3): 385-391. Putu, I G., P. Situmorang, T. Sugiarti, E. Triwulaningsih, A. Lubis, D.A. Kusumaningrum, dan R.G. Sianturi. 2002. Uji multilokasi penggunaan semen cair. hlm. 229-231. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Rizal, M., Surachman, M. Herdis, dan A.S. Aku. 2006. Peranan plasma semen dalam mempertahankan kualitas spermatozoa asal epididimis domba yang disimpan pada suhu rendah (35oC). Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 11(4): 287-301. Semiadi, G., I K. Sutama, dan Y. Syaefudin. 2003. Sinkronisasi estrus pada kambing peranakan etawah menggunakan CIDR-G. Jurnal Produksi Ternak 5(2): 83-86. Sitorus, S.S. 1994. Milk production from “Kacang” goat in Indonesia. Proc. 7th

I Ketut Sutama

AAAP Animal Science Congress, Bali, Indonesia 2: 263-264. Soedjana, T.D. 2007. Masalah dan kebijakan peningkatan produksi peternakan untuk memenuhi gizi masyarakat. hlm. 2-4. Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII: Dukungan teknologi untuk meningkatkan produk pangan hewani dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Subandriyo, B. Setiadi, and P. Sitorus. 1986. Etawa grade goat production in Bogor and Cirebon goat station of West Java. Working Paper No. 82, SR CRSP/Balai Penelitian Ternak, Bogor. Subhagiana, I.W. 1998. Keadaan Konsentrasi Progesteron dan Estradiol Selama Kebuntingan, Bobot Lahir dan Jumlah Anak pada Kambing Peranakan Etawah pada Tingkat Produksi Susu yang Berbeda. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 102 hlm. Susilawati, T. and Y. Afroni. 2008. Fertility evaluation of many breeds goat. In Improved Dairy and Meat Goat Production for Small-Scale Farmers. Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pacific Region, Indonesian Research Institute for Animal Production, Livestock Research Institute, Council of Agriculture, Taiwan ROC. Sutama, I K. 1988. Lama birahi, waktu ovulasi dan kadar LH pada domba ekor pipih setelah perlakuan “progestagenPMSG”. Ilmu dan Peternakan 3(3): 9395. Sutama, I K., T.N. Edey, and I.C. Fletcher. 1988a. Oestrous cycle dynamics in peri-pubertal and mature Javanese thin-tail sheep. Anim. Reprod. Sci. 16: 61-70.


Inovasi teknologi reproduksi mendukung pengembangan ...

Sutama, I K., T.N. Edey, and I.C. Fletcher. 1988b. Studies on reproduction of Javanese thin-tail ewes. Aust. J. Agric. Res. 39: 703-711. Sutama, I K., T.N. Edey, and I.C. Fletcher. 1988c. Peri-pubertal ovulatory events and progesterone profiles of Javanese thin-tail sheep. Anim. Reprod. Sci. 16: 53-60. Sutama, I K. 1989a. Pengaruh “flushing” terhadap performance reproduksi domba ekor gemuk. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Peternakan. Lustrum Ke-4 Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sutama, I K. 1989b. Pengaruh tingkat pemberian pakan terhadap performan reproduksi domba ekor tipis. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia, Cisarua, Bogor, 8-10 November 1988. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan 2: 54-62. Sutama, I K. 1992a. Breeding the ewe lambs. p. 67-69. In P. Ludgate and S. Scholz (Eds.). New Technology for Small Ruminant Production in Indonesia. Winrock International Institute for Agriculture Development. Sutama, I K., I.G. Putu, and M. WodzickaTomaszewska. 1993. Improvement in small ruminant productivity through more efficient reproduction. p. 191- 266. In M. Wodzicka-Tomaszewska, A. Djajanegara, S. Garner, T.R. Wiradarya, and I M. Mastika. Small Ruminant Production in the Humid Tropics. Sebelas Maret Univ. Press, Surakarta. Sutama, I K. 1994. Puberty and early reproductive performance of “peranakan etawah” goat. p. 233-234. Proc. 7th AAAP Animal Science Congress, Bali-Indonesia, 11-16 July 1994. Sutama, I K., I G.M. Budiarsana, dan Y. Saefudin. 1994. Kinerja reproduksi

245

sekitar pubertas dan beranak pertama kambing Peranakan Etawah. Ilmu dan Peternakan 8: 9-12. Sutama, I K, I G.M. Budiarsana, H. Setyanto, and A. Priyanti. 1995. Productive and reproductive performance of young etawah-cross does. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1(2): 81-85. Sutama, I K. 1996. Potensi produktivitas ternak kambing di Indonesia. hlm. 3550. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Sutama, I K., B. Setiadi, I G.M. Budiarsana, dan U. Adiati. 1998. Aktivitas seksual setelah beranak dari kambing perah peranakan etawah dengan tingkat produksi susu yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan 2: 401409. Sutama, I K. 2002. The effect of equilibration time on the quality of frozen semen of ettawa crossbred and Boer goats. p. 141-147. Proc. The 3rd International Seminar on Tropical Animal Production, Yogyakarta. Sutama, I K., R. Dharsana, I G.M. Budiarsana, dan T. Kostaman. 2002a. Sinkronisasi birahi dengan larutan komposit testosterone, oestradiol, dan progesterone (TOP) pada kambing peranakan etawah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7: 110-115. Sutama, I K., B. Setiadi, P. Z. Situmorang, U. Adiati, I G.M. Budiarsana, T. Kostaman, Maulana, Mulyawan, dan R. Sukmana. 2002b. Uji kualitas semen beku kambing peranakan etawah dan kambing Boer. hlm. 88-111. Prosiding Hasil Penelitian Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan/ARMP-II.


246

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Sutama, I K. 2004. Tantangan dan peluang peningkatan produktivitas kambing melalui inovasi teknologi reproduksi. hlm. 51-60. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Sutama, I K., I G.M. Budiarsana, W. Puastuti, Supriyati, T. Kostaman, Subiharta, dan M. Yani. 2007. Introduksi teknologi produksi kambing perah sebagai komponen agribisnis di lahan marginal di Temanggung. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Sutama, I K., T. Kostaman, I G.M. Budiarsana, and D. Priyanto. 2008. Preweaning growth performances of peranakan etawah (PE) goats on different rearing management systems. In Improved Dairy and Meat Goat Production for Small-Scale Farmers. Food and Fertilizer Technology Center for the Asian and Pacific Region, Indonesian Research Institute for Animal Production, Livestock Research Institute, Council of Agriculture, Taiwan ROC. Sutama, I K. 2009. Productive and reproductive performances of female peranakan etawah (PE) goats in Indonesia. Wartazoa 19(1): 1-6. Synnot, A.L., W.J. Fulkerson, and D.R. Lindsay. 1981. Sperm output by rams and distribution amongst ewes under conditions of continual mating. J. Reprod. Fert. 61: 355-361. Tambing, S.N., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, dan I K. Sutama. 2000. Pengaruh

I Ketut Sutama

gliserol dalam pengencer tris terhadap kualitas semen beku kambing peranakan etawah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(2): 84-91. Tambing, S.N., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, dan I K. Sutama. 2001. Kualitas semen beku kambing peranakan etawah setelah equilibrasi. Hayati 8(3): 70-75. Tambing, S.N., I K. Sutama, dan R.I. Arifiantini. 2003a. Efektivitas berbagai konsentrasi laktosa dalam pengencer tris terhadap viabilitas semen cair kambing Saanen. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 8(2): 84-90. Tambing, S.N., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, B. Purwantara, I K. Sutama, dan P.Z. Situmorang. 2003b. Kualitas semen beku kambing Saanen pada berbagai jenis pengencer. Hayati 10(4): 146-150. Wodzicka-Tomaszewska, M., I K. Sutama, I.G. Putu, and T.D. Chaniago. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wodzicka-Tomaszewska, M. and M. Mastika. 1993. Effects of feeding molasses urea blocks on growth rate and onset of puberty in Ettawa cross goats. p. 213-219. In Advances in Small Ruminant Research in Indonesia. Prooceeding of workshop held in Ciawi Bogor, Indonesia, 3-4 August 1993. Yates, N.T.M., T.N. Edey, and M.K. Hill. 1975. Animal Science: Reproduction, climate, meat and wool. Pergamon Press (Australia), Pott Point, New South Wales. p. 3-165.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.