Jurnal Perpustakaan Pertanian

Page 1

ISSN 0854-1078

JURNAL PERPUSTAKAAN PERTANIAN Volume 20 Nomor 1

Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Penanggung Jawab Kepala Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian

Dewan Redaksi Heryati Suryantini (Ketua) Etty Andriaty Maksum Juznia Andriani Pudji Mulyono Zakiah Muhajan

Redaksi Pelaksana Intan Yudia Nirmala Hidayat Raharja

Alamat Redaksi Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Jalan Ir. H. Juanda No. 20 Bogor 16122 Telepon : (0251) 8321746 Faksimile : (0251) 8326561 E-mail : pustaka@litbang.deptan.go.id Website : http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id

April 2011


ISSN 0854-1078

JURNAL PERPUSTAKAAN PERTANIAN Volume 20 Nomor 1

April 2011

Daftar Isi Kajian Artikel Tanaman Pangan pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Sutardji

1-9

Keragaan Taman Bacaan Masyarakat Bogor dan Permasalahannya Khayatun

10 - 15

Vivit Wardah Rufaidah

16 - 21

Perilaku Petani Sayuran dalam Memanfaatkan Teknologi Informasi Retno S.H. Mulyandari

22 - 34

Keamanan Koleksi Perpustakaan Akhmad Syaikhu HS dan Sevri Andrian Ginting

35 - 44

Jurnal Perpustakaan Pertanian diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan frekuensi terbit 2 kali per tahun. Jurnal ini memuat hasil penelitian atau tinjauan/kajian tentang aktivitas pustakawan/perpustakaan dan ilmuwan informasi di Indonesia. Jurnal Perpustakaan Pertanian menerima tulisan pustakawan dan pemerhati perpustakaan/informasi bidang pertanian. Penerbitan jurnal diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan pustakawan dalam bidang keahliannya.


KAJIAN ARTIKEL TANAMAN PANGAN PADA JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN Sutardji Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jalan Raya Kendalpayak km 8, Kotak Pos 66 Malang 65101, Telp. (0341) 801468, Faks. (0341) 801496 E-mail: balikabi@litbang.deptan.go.id Diajukan: 4 Januari 2011; Diterima: 2 Februari 2011

ABSTRAK Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui profil artikel tanaman pangan yang dimuat pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan yang mencakup sebaran komoditas/subjek, produktivitas artikel, tingkat kolaborasi penulis, sumber informasi, dan kemutakhiran informasi yang disitir serta menghitung nilai impact factor jurnal tersebut. Data dikumpulkan dari artikel Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan yang diterbitkan pada tahun 2008-2010 atau Volume 27-29(1-3) oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan). Data primer diperoleh dari informasi artikel dan daftar pustaka. Jumlah sampel sebanyak 84 artikel dengan 1.461 referensi. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) memberi kontribusi artikel terbanyak. Komoditas padi dan subjek pemuliaan merupakan topik yang paling banyak dibahas. Tingkat kolaborasi penulis artikel sebesar 0,92. Produktivitas artikel primer peneliti lingkup Puslitbangtan rata-rata 0,10 artikel/tahun. Terdapat 10 nama penulis pertama yang memberi kontribusi masing-masing dua artikel. Jurnal merupakan jenis literatur yang paling banyak disitir. Kemutakhiran informasi dari 43,15% dari literatur yang disitir berusia antara 1-10 tahun. Paruh hidup (half-life) literatur sebesar 11,7 tahun. Nilai impact factor Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan adalah 0,30.

ABSTRACT The Study of Food Crops Articles on Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan The purpose of the study is to find out the profile of food crop articles published in Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, which mainly aimed at the following objectives: to identify the distribution of subject/commodities, productivity of articles, collaboration level of authors, source of information and the currentness of its citation, and to estimate the value of journal impact factor. Data were collected from the Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan published by the Indonesian Center for Food Crops Research and Development (ICFORD) during the period of 2008-2010, Volumes 27-29 and each volume consist of 3 issues. Primary data were gathered from the information of articles and its references. The numbers of articles were 84 with 1,461 references cited. The result indicated that Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute (ILETRI) contributed the highest number of articles. Rice and plant breeding

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

were the dominant commodity and subject published. Collaboration level of authors was 0.92. Average productivity of primary article of researchers under ICFORD was 0.10 article/year. There were ten names as first authors contributing each of two articles. Journal was the most dominant reference used. Information currentness of 43.15% literature cited ranged from 1 to 10 years. Half-life of literatures was 11.7 year, and the value of journal impact factor of Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan was 0.30. Keywords: Citation analysis, food crops articles, author collaboration, half-life, journal impact factor

PENDAHULUAN Tanaman pangan merupakan komoditas yang mempunyai peran strategis, terutama dalam upaya pemenuhan ketersediaan dan kecukupan pangan. Kementerian Pertanian telah menetapkan Empat Sukses Pertanian, yaitu: (1) swasembada berkelanjutan; (2) diversifikasi pangan; (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor; dan (4) peningkatan kesejahteraan petani dan keluarganya. Dukungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan) terhadap pencapaian empat sukses tersebut adalah dalam bentuk inovasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kualitas secara berkelanjutan dalam menunjang pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Inovasi teknologi tanaman pangan berperan penting dalam pelaksanaan strategi peningkatan produktivitas dan pengamanan produksi melalui penggunaan varietas unggul/baru yang dibudidayakan dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT), penyediaan benih sumber, dan perluasan area tanam melalui peningkatan indeks pertanaman (IP) dengan introduksi varietas tanaman pangan umur super/ ultra genjah (Suyamto dan Widiarta 2010). Diseminasi hasil penelitian sangat diperlukan untuk mempercepat penyampaian inovasi teknologi tanaman pangan kepada pengguna, di antaranya melalui gelar teknologi dan penerbitan publikasi.

1


Inovasi teknologi dan publikasi ilmiah yang diterbitkan merupakan tolok ukur keberhasilan suatu lembaga penelitian. Semakin besar inovasi teknologi yang dihasilkan dan publikasi ilmiah yang diterbitkan semakin tinggi pula tingkat keberhasilan lembaga penelitian tersebut. Indikatornya adalah seberapa besar inovasi teknologi yang dihasilkan diserap oleh pengguna (petani) dan seberapa besar publikasi ilmiah yang diterbitkan dirujuk atau disitir oleh peneliti lain dalam menyusun karya ilmiah. Artikel yang dirujuk oleh ilmuwan sebagai bahan referensi menurut Garfield dan Weljams-Dorof dalam Margono (2000) dapat dipakai sebagai dasar untuk mengukur tingkat pemakaian artikel dalam suatu majalah. Semakin sering karya ilmiah tersebut disitir oleh penulis artikel lain, semakin besar pula dampaknya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Motivasi utama peneliti dalam membuat karya tulis ilmiah umumnya adalah mengumpulkan angka kredit untuk dapat naik jenjang jabatan fungsionalnya (Purnomowati 2008). Berbeda dengan Sumarno (2010), peneliti yang bersikap positif berpikiran bahwa menulis karya ilmiah adalah bagian dari ibadah dan pengabdian. Angka kredit dan pangkat/jenjang fungsional berstatus sebagai dampak atau hasil samping, bukan sebagai tujuan. Hasil penelitian harus ditulis dan dipublikasikan dalam berbagai media, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaan dana dan fasilitas, agar masyarakat mengetahui, memanfaatkan, dan mengadopsi hasil penelitian tersebut. Puslitbangtan telah banyak menerbitkan publikasi, seperti buku/monograf, prosiding seminar, lokakarya, dan simposium, Berita Puslitbangtan, Buletin IPTEK, dan Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan merupakan satusatunya jurnal primer yang diterbitkan oleh Puslitbangtan. Sejauh ini belum banyak dilakukan pengkajian terhadap publikasi tanaman pangan. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui profil artikel tanaman pangan yang dimuat pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan yang diterbitkan oleh Puslitbangtan. Hasil pengkajian diharapkan dapat memberi gambaran tentang permasalahan penelitian di bidang tanaman pangan. Selain itu, hasil yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam mempertimbangkan kebijakan penerbitan publikasi, serta perencanaan penelitian, termasuk penyediaan sumber informasi mutakhir di bidang tanaman pangan.

2

METODE Analisis dilakukan dengan pendekatan bibliometrika terhadap artikel yang dimuat dalam Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan tahun 2008-2010 atau Volume 27-29(1-3). Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari informasi artikel dan daftar pustaka yang tercantum pada bagian akhir masing-masing artikel. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber untuk menunjang informasi yang diperlukan. Masing-masing artikel dalam jurnal tersebut diinventarisasi berdasarkan judul, institusi penulis, komoditas, subjek, kolaborasi penulis, produktivitas artikel, serta karakteristik sumber informasi yang disitir, yang meliputi jenis literatur, tahun terbit, dan usia literatur. Data yang terkumpul kemudian dianalisis yang meliputi: 1. Sebaran komoditas dan subjek tiap artikel. 2. Tingkat kolaborasi penulis yang dihitung dengan rumus Subramanyan (1983), yaitu Nm C= (Nm + Ns) C = tingkat kolaborasi penulis dalam suatu disiplin ilmu (nilai 0 – 1) Nm = jumlah penulis ganda (lebih dari satu) Ns = jumlah penulis tunggal 3. Produktivitas artikel Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan selama tiga tahun terakhir. 4. Sumber informasi yang digunakan sebagai acuan, yang dikelompokkan menurut jenisnya, seperti jurnal, buku/monograf, prosiding, laporan, makalah, skripsi, tesis, disertasi, dan informasi dari internet. 5. Paruh hidup literatur (half-life), yang dihitung dengan menetapkan median tahun terbit publikasi yang terdapat dalam daftar referensi dengan mengurutkan artikel dengan tahun tertua (lama) sampai tahun terbaru (Gupta 1997). Tahun publikasi dikelompokkan dalam rentang waktu 5 tahunan. 6. Impact factor Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan selama tiga tahun terakhir. Data yang dikumpulkan kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


HASIL DAN PEMBAHASAN

Bogor, dan Universitas Negeri Papua masing-masing satu artikel.

Sebaran Artikel Berdasarkan Institusi Penulis Sebaran Artikel Menurut Komoditas Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2008-2010), Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan memuat 84 artikel yang berasal dari 17 unit kerja, 13 unit kerja berasal dari lingkup Badan Litbang Pertanian dan empat unit kerja dari luar Badan Litbang Pertanian (Tabel 1). Sebagian besar artikel berasal dari lingkup Puslitbangtan, yaitu 53 artikel (63,09%), sisanya 31 artikel (36,91%) dari luar Puslitbangtan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) merupakan unit kerja yang memberi kontribusi artikel terbesar, yakni 18 artikel (21,43%), disusul Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) 16 artikel (19,05%) dan Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) 15 artikel (17,86%). Unit kerja di luar Badan Litbang Pertanian yang juga memberi kontribusi artikel adalah Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI sebanyak dua artikel serta Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT, Institut Pertanian

Tabel 1. Sebaran artikel pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2008-2010 menurut unit kerja penulis. Unit kerja Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Balai Besar PenelitianTanaman Padi Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Balai Penelitian Tanaman Serealia Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Balai Penelitian Tanah Balai Besar Penelitian Veteriner Balai Penelitian Lahan Rawa Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian BPTP Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Bali, dan Yogyakarta Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kebun Percobaan Muara Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi BPPT Institut Pertanian Bogor Universitas Negeri Papua Total artikel

Jumlah artikel (%) 4,76 19,05 21,43 17,86 10,71 3,57 3,57 1,19 1,19 2,38 5,96 1,19 1,19 2,38 1,19 1,19 1,19 100

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

Dari 84 artikel yang dimuat pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, yang secara jelas menyebut komoditas sebanyak 82 artikel, sedangkan dua artikel bersifat umum. Dari jumlah tersebut, 31 artikel (36,91%) mengenai komoditas padi, jagung 21 artikel (25,00%), dan kedelai 18 artikel (21,43%), sedangkan komoditas lainnya relatif kecil (Tabel 2). Hal ini menunjukkan selama tiga tahun terakhir, komoditas padi, jagung, dan kedelai merupakan komoditas unggulan Badan Litbang Pertanian dan paling banyak dibahas, terutama padi dan jagung karena merupakan bahan pangan pokok/utama, sedangkan kedelai terkait dengan program swasembada kedelai tahun 2014. Ketiga komoditas tersebut memberi kontribusi dalam perekonomian nasional, ketahanan pangan, dan kesejahteraan petani. Unit kerja yang paling banyak menulis komoditas padi adalah BB Padi (16 artikel), komoditas jagung oleh Balitsereal (15 artikel), kedelai oleh Balitkabi (11 artikel), dan kacang tanah oleh Balitkabi (3 artikel). Komoditas ubi kayu, ubi jalar, dan gadung masih sangat sedikit dibahas pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Sedikitnya artikel yang membahas umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, gadung) yang hanya 5,95% mencerminkan masih melekatnya anggapan masyarakat bahwa umbi-umbian merupakan komoditas “inferior� yang belum banyak dikaji potensinya sebagai bahan pangan.

Sebaran Artikel Menurut Subjek Artikel mengenai pemuliaan merupakan subjek yang paling banyak dimuat pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan tahun 2008-2010, yaitu 34 artikel (40,48%). Selanjutnya subjek mengenai ekofisiologi 24 artikel (28,57%), hama tanaman 12 artikel (14,29%), pascapanen 6 artikel (7,14%), dan penyakit tanaman 5 artikel (5,95%). Sosial ekonomi pertanian merupakan subjek yang paling sedikit dimuat, yaitu 3,57% (Tabel 3). Artikel tentang pemuliaan paling banyak ditulis oleh Balitkabi (10 artikel), disusul Balitsereal (8 artikel) dan BB Padi 7 (artikel). Artikel ekofisiologi terbanyak berasal dari BB Padi dan Balitsereal, masing-masing 5 artikel, disusul Balingtan, Balittanah, dan BPTP masing-masing

3


Tabel 2.

Sebaran artikel Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2008-2010 berdasarkan komoditas. Komoditas

Unit kerja

Puslitbangtan BB Padi Balitkabi Balitsereal BB Biogen Balingtan Balittanah Balittra Bbalitvet BB Pengkajian BPTP PSE-KP Kebun Muara Puslit Biotek LIPI PPKIT-BPPT IPB, Univ. Papua Jumlah

Kacang tanah

Ubi ayu

Ubi jalar

Gadung

Jumlah artikel

Umum

Padi

Jagung

Kedelai

Kacang hijau

2 -

2 16 3 3 2 1 1 2 1

15 1 1 4 -

11 3 1 1 1 1 -

2 2 -

3 -

1 1 -

1 1

1 -

4 16 18 15 9 3 3 1 1 2 5 1 1 2 1 2

2 (2,38%)

31 (36,91%)

21 (25,00%)

18 (21,43%)

4 (4,76%)

3 (3,57%)

2 (2,38%)

2 2,38%)

1 (1,19%)

84 (100%)

Tabel 3. Sebaran artikel Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2008-2010 berdasarkan subjek. Subjek Pemuliaan

Ekofisiologi

Hama tanaman

Penyakit tanaman

Pascapanen

Sosial ekonomi pertanian

Jumlah

2 7 10 8 2 1 1 1 1 1

1 5 2 5 1 3 3 1 3 -

5 1 3 1 1 1

1 1 3 -

3 1 1 1 -

1 1 1 -

4 16 18 15 9 3 3 1 1 2 5 1 1 2 1 2

34 (40,48%)

24 (28,57%)

12 (14,29%)

5 (5,95%)

6 (7,14%)

3 (3,57%)

84 (100%)

Unit kerja

Puslitbangtan BB Padi Balitkabi Balitsereal BB Biogen Balingtan Balittanah Balittra Bbalitvet BB Pengkajian BPTP PSE-KP Kebun Muara Puslit Biotek LIPI PPKIT-BPPT IPB, Univ. Papua Jumlah

3 artikel. Artikel tentang hama tanaman terbanyak ditulis oleh penulis dari Balitkabi (5 artikel), penyakit tanaman dari BB Biogen (3 artikel), pascapanen dari BB Padi (3 artikel), serta ekonomi pertanian dari Puslitbangtan,

4

BPPT, dan PSE-KP masing-masing satu artikel. Sedikitnya subjek sosial ekonomi pertanian yang dimuat pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan karena di lingkup Badan Litbang Pertanian, subjek tersebut telah

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


ditangani oleh unit kerja tersendiri. Di samping itu, proporsi unit penelitian subjek tersebut di Puslitbangtan relatif kecil atau mungkin artikel subjek tersebut diterbitkan pada publikasi perhimpunan profesi.

Tingkat Kolaborasi Penulis Untuk menghitung tingkat kolaborasi penulis perlu diketahui terlebih dahulu jumlah penulis yang menulis artikel sendirian (tunggal) dan penulis yang berkolaborasi atau satu artikel ditulis oleh dua penulis atau lebih (penulis ganda). Dari 84 artikel dengan total penulis 216 orang (Tabel 4), 67 artikel merupakan karya penulis ganda dengan jumlah penulis 199 orang, dan 17 artikel karya penulis tunggal. Penulis tunggal tersebar pada semua kelompok subjek, yaitu pemuliaan 6 artikel, ekofisiologi 4 artikel, hama tanaman 3 artikel, sosial ekonomi pertanian 2 artikel, serta penyakit tanaman dan pascapanen masingmasing satu artikel. Artikel dengan kolaborasi dua penulis merupakan yang terbanyak, yaitu 30 artikel (35,71%), sedangkan artikel dengan kolaborasi enam penulis jumlahnya sangat kecil, yaitu hanya satu artikel. Hal ini berbeda dengan jurnal internasional, yang kolaborasi penulisnya bisa mencapai 16 penulis, seperti pada jurnal DNA Research. Hasil perhitungan tingkat kolaborasi penulis dengan menggunakan rumus tingkat kolaborasi Subramanyan (1983) diperoleh tingkat kolaborasi penulis sebesar 0,92. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar artikel tanaman pangan merupakan karya kolaborasi. Tingkat kolaborasi penulis pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan lebih tinggi dibanding dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Sormin (2009) terhadap artikel hasil penelitian pertanian tahun 19962005 pada pangkalan data AGRIS di Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, dengan nilai kolaborasi berkisar antara 0,71-0,80.

Produktivitas Artikel Produktivitas artikel dapat dilihat pada jumlah artikel yang diterbitkan pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2008-2010. Sebanyak 84 artikel yang dimuat pada jurnal tersebut ditulis oleh 74 penulis pertama yang berbeda, 64 penulis memberi kontribusi satu artikel, dan 10 penulis memberi kontribusi masing-masing dua artikel, yaitu A. Kasno dari Balittanah; Ayda Krisnawati, Gatut Wahyu Anggoro S., dan Sri Wahyuni Indiati dari

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

Tabel 4. Kolaborasi penulis artikel Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2008-2010. Jumlah artikel

Persentase

Total penulis

Tunggal (1 penulis) Kolaborasi 2 penulis Kolaborasi 3 penulis Kolaborasi 4 penulis Kolaborasi 5 penulis Kolaborasi 6 penulis

17 30 17 13 6 1

20,24 35,71 20,24 15,48 7,14 1,19

17 60 51 52 30 6

Total

84

100,00

216

Kolaborasi penulis

Tabel 5. Nama penulis dan unit kerja yang memberi kontribusi dua artikel di Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 20082010. Nama penulis

Unit kerja

Jumlah artikel

A. Kasno Ayda Krisnawati Gatut Wahyu Anggoro S. Muhammad Arifin M. Yasin H.G. Siti Dewi Indrasari Sri Wahyuni Indiati Sudir Satoto Titin Suhartini

Balittanah Balitkabi Balitkabi BB Biogen Balitsereal BB Padi Balitkabi BB Padi BB Biogen BB Biogen

2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

Balitkabi; Siti Dewi Indrasari dan Sudir dari BB Padi; M. Yasin H.G. dari Balisereal; serta Muhammad Arifin, Satoto, dan Titin Suhartini dari BB Biogen (Tabel 5). Munculnya artikel primer karya peneliti/penulis junior, seperti Ratri Tri Hapsari (satu artikel), Ayda Krisnawati, dan Gatut Wahyu Anggoro S. (Balitkabi) merupakan hasil bimbingan dan peran peneliti/penulis senior yang berfungsi sebagai penulis kedua atau penulis terakhir (junior author). Produktivitas peneliti didefinisikan sebagai perbandingan antara hasil yang dicapai (jumlah artikel) dengan seluruh sumber daya yang digunakan (jumlah peneliti). Produktivitas peneliti unit kerja lingkup Puslitbangtan disajikan pada Tabel 6. Dengan jumlah peneliti 166 orang, selama tiga tahun menghasilkan 53 artikel sehingga produktivitas rata-ratanya 17,7 artikel/tahun. Jumlah artikel primer per unit kerja rata-rata per tahun yaitu Puslitbangtan 1,3 artikel, BB Padi 5,3 artikel, Balitkabi 6,0 artikel, dan Balisereal 5,0 artikel. Berdasarkan data tersebut, tingkat produktivitas peneliti unit kerja

5


Tabel 6. Produktivitas penulis artikel Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2008-2010. Instansi Puslitbangtan BB Padi Balitkabi Balitsereal Unit kerja lain

Tahun

Jumlah peneliti

2008

2009

13 1) 56 1) 53 1) 44 1) -

1 7 6 5 10

1 6 5 5 12

29

29

Jumlah

Jumlah artikel

Produktivitas per tahun

2 3 7 5 9

4 16 18 15 31

0,10 0,09 0,11 0,11 -

26

84

2010

Sumber: 1)Puslitbangtan (2011).

lingkup Puslitbangan dapat diketahui, yaitu Puslitbangtan 0,10, BB Padi 0,09, Balitkabi 0,11, dan Balitsereal 0,11. Tingkat produktivitas artikel primer unit kerja Puslitbangtan yang dimuat pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan tersebut tergolong rendah dengan rata-rata 0,10 artikel/peneliti/tahun. Hal ini tercemin pada hasil Rapat Kerja Puslitbangtan 2010 yang mewajibkan peneliti yang selama tiga tahun berturut-turut memiliki RPTP/ROPP untuk mempublikasikan minimal satu karya ilmiah pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan (Puslitbangtan 2010).

Sumber Informasi yang Disitir Proporsi dan jenis sumber informasi yang disitir pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan tertera pada Tabel 7. Setiap artikel menyitir 7-56 judul. Sitiran yang berasal dari jurnal 1-36 judul, sedangkan empat artikel

tidak menyitir jurnal. Secara kumulatif, jenis literatur yang paling banyak berkontribusi dalam penulisan karya ilmiah bidang tanaman pangan adalah jurnal, yaitu 49,21%, kemudian buku 28,13% dan prosiding 10,47%. Sumber informasi lain (laporan, makalah, skripsi/tesis/disertasi, internet, koran dan surat keputusan) relatif kecil. Tabel 7 juga menunjukkan bahwa sumber informasi yang digunakan sebagai acuan/referensi pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan sebagian besar merupakan sumber primer (jurnal, buku, prosiding, tesis/disertasi), yaitu sekitar 90%. Sumber acuan primer sebesar ini merupakan tolok ukur mutu berkala ilmiah yang penting (LIPI 2005). Apabila merujuk kajian terdahulu (Sutardji 2003) pada jurnal yang sama namun pada periode berbeda, terlihat bahwa terjadi peningkatan secara nyata terhadap proporsi sitiran yang berasal dari artikel jurnal, dari 41,15% pada tahun 1996-2000 menjadi 49,21% pada tahun 2008-2010. Demikian pula penggunaan sumber

Tabel 7. Sumber informasi yang disitir pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2008-2010.

Jenis literatur

6

Frekuensi sitiran Balitsereal

Unit kerja lain

Jumlah

Puslitbangtan

BB Padi

Balitkabi

Jurnal Buku Prosiding Laporan Makalah Tesis/disertasi Internet Koran, PR, PP

44 5 3 1 1 1

105 93 29 7 15 6 5 -

193 85 39 10 9 12 23 -

150 76 8 5 11 3 6 1

227 152 74 12 18 14 16 2

719 411 153 34 54 35 51 4

Jumlah

55

260

371

260

515

1.461 (100)

(49,21) (28,13) (10,47) (2,32) (3,69) (2,39) (3,49) (0,27)

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


informasi dari internet, sebesar 3,49%. Hal ini dimungkinkan karena adanya dukungan perpustakaan dalam penyediaan sumber informasi, pangkalan data jurnal elektronis (Proquest, Science Direct) yang dapat diakses secara online, literasi informasi penulis artikel dalam mengakes dan memperoleh informasi mutakhir, dukungan infrastruktur yang memadai, serta pesatnya perkembangan teknologi informasi.

Kemutakhiran Informasi yang Disitir Kemutakhiran informasi yang disitir artikel dalam Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan memperlihatkan 43,15% berusia 1-10 tahun, yaitu terbitan tahun 2001-2010 (Tabel 8). Publikasi tertua yang disitir adalah terbitan tahun 1955 (Genetics) sebanyak satu judul. Peneliti cenderung menyitir sumber informasi yang mutakhir, sedangkan literatur yang lebih tua digunakan apabila informasi/ isinya, metode/teorinya belum ada yang baru atau masih relevan dengan topik penelitiannya. Kemutakhiran suatu informasi bersifat relatif. Dalam ilmu bibliometrika, kemutakhiran atau keusangan literatur dikenal dengan istilah paruh hidup (half-life), artinya separuh (50%) dari literatur yang ada dalam bidang tertentu berusia n tahun. Misalnya paruh hidup bidang fisika 5 tahun maka dokumen yang berusia 6 tahun dianggap sudah usang (Sulistyo-Basuki 1992). Namun, paruh hidup literatur bidang tertentu dipengaruhi oleh banyaknya sumber informasi yang tersedia dan literasi

Tabel 8. Tahun terbit sumber informasi yang disitir pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2008-2010. Tahun terbit

Jumlah

Persentase

Persentase kumulatif

1951-1955 1956-1960 1961-1965 1966-1970 1971-1975 1976-1980 1981-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2005 2006-2010

1 5 17 19 32 61 84 139 199 273 436 194

0,06 0,34 1,16 1,30 2,19 4,18 5,75 9,52 13,63 18,70 29,86 13,29

0,06 0,40 1,56 2,86 5,05 9,21 14,96 24,48 38,01 56,70 86,56 100,00

1.460

100,00

Jumlah

Paruh hidup = 10 + (56,7:100/2) : (18,69:5) = 11,7 tahun

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

informasi penulis yang bersangkutan (Sulistyo-Basuki 2001) Untuk mengetahui usia sumber informasi bidang tanaman pangan dilakukan penghitungan paruh hidup literatur. Penghitungan dilakukan terhadap semua sitiran yang dianalisis. Tahun terbit dikelompokkan dalam rentang waktu 5 tahunan, diurutkan dari tahun terlama hingga tahun terbaru (Tabel 8), kemudian dicari mediannya (50%). Dari 1.461 sitiran, terdapat satu sitiran yang tidak dilengkapi tahun terbit sehingga perhitungan paruh hidup didasarkan pada 1.460 sitiran. Median (50% kumulatif) terletak pada periode 1996-2000. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa paruh hidup literatur yang digunakan dalam publikasi bidang tanaman pangan adalah 11,7 tahun, artinya 50% literatur yang disitir berusia 11,7 tahun. Berdasarkan konsep keusangan dokumen maka informasi yang berusia di atas 11,7 tahun dianggap kurang mutakhir atau telah usang. Hal ini berarti informasi yang digunakan relatif tua atau kurang mutakhir. Kondisi ini disebabkan para peneliti belum optimal mencari informasi mutakhir atau perpustakaan kurang dapat membantu peneliti dalam menelusur informasi. Menurut Hartinah (2005), artikel yang disitir penulis untuk penyusunan artikel ilmiah sangat dipengaruhi oleh kemampuan penulis dalam menemukan sumber literatur yang mutakhir/baru.

Impact Factor Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Semakin banyak artikel dalam suatu jurnal disitir oleh artikel lain, semakin tinggi peringkat jurnal tersebut. Peringkat atau kualitas jurnal disebut dengan istilah impact factor atau faktor dampak. Impact factor dihitung dengan membagi jumlah sitiran (citation) dengan jumlah artikel yang dimuat pada periode waktu tertentu, biasanya dua penerbitan. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan dalam periode tiga tahun, dengan total 84 artikel, terdapat sembilan artikel yang memperoleh sitiran diri sendiri (self citation), yaitu tiga sitiran pada 2008, satu sitiran pada 2009, dan lima sitiran pada tahun 2010 (Tabel 9). Sitiran yang demikian tidak disertakan dalam menghitung impact factor. Impact factor dihitung berdasarkan jumlah sitiran. Oleh karena itu, nilainya akan berbeda-beda setiap tahun, dari 0,19 pada tahun 2010 hingga 0,38 pada 2009. Secara kumulatif, nilai impact factor Jurnal Penelitian Pertanian

7


Tabel 9. Impact factor Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 2008-2010.

Tahun, Vol. No.

Frekuensi sitiran

Total sitiran

Total artikel

Impact factor

10 11 5

13 12 10

29 29 26

0,34 0,38 0,19

26

35

84

0,30

Sendiri

Pihak lain

2008, 27(1-3) 2009, 28(1-3) 2010, 29(1-3)

3 1 5

Jumlah

9

Tanaman Pangan sebesar 0,30. Nilai tersebut jauh di bawah jurnal Zuriat yang mencapai 1,37 (Kementerian Riset dan Teknologi 2002). Hal ini karena jurnal Zuriat diterbitkan oleh asosiasi profesi, yaitu Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan periode 20082010 memuat 84 artikel dengan 1.461 sitiran. Sebagian besar (63,09%) artikel berasal dari unit kerja Puslitbangtan. Padi dan pemuliaan merupakan komoditas dan subjek yang paling banyak dibahas, yaitu masing-masing 36,91% dan 40,48%. Balitkabi memberi kontribusi artikel terbesar, yaitu 21,43%. Sebagian besar artikel (79,76%) merupakan karya kolaborasi (lebih dari satu), sedangkan karya penulis tunggal 20,24% yang tersebar pada semua disiplin/subjek. Tingkat kolaborasi penulis sebesar 0,92. Produktivitas artikel primer unit kerja lingkup Puslitbangtan tergolong rendah, rata-rata 0,10 artikel/ peneliti/tahun.Terdapat 10 nama penulis pertama yang memberi kontribusi masing-masing dua artikel. Peran peneliti/penulis senior yang berfungsi sebagai penulis kedua atau terakhir (junior author) sangat membantu peneliti/penulis junior. Sumber acuan/referensi primer lebih kurang 90%. Jurnal merupakan jenis informasi yang paling banyak disitir, disusul buku dan prosiding. Kemutakhiran informasi (berusia 1-10 tahun) sebesar 43,15%. Paruh hidup (half- life) literatur yang disitir sebesar 11,7 tahun. Nilai impact factor Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan sebesar 0,30.

8

Saran Peran aktif peneliti senior dalam membimbing peneliti junior yang berfungsi sebagai penulis kedua atau terakhir (junior author) perlu lebih ditingkatkan untuk meningkatkan produktivitas artikel primer yang dimuat pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Penulis diharapkan menggunakan lebih banyak acuan/referensi yang berasal dari artikel jurnal (bentuk tercetak maupun elektronis) yang mutakhir. Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai rendahnya produktivitas peneliti dalam menerbitkan artikel ilmiah pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.

DAFTAR PUSTAKA Gupta, B.M. 1997. Analysis of distribution of the age of citation in the theoretical population genetic. Scientometric 40(1): 139-162. Hartinah, S. 2005. Profil kajian bidang pangan dan gizi Indonesia pada publikasi Indonesia dan internasional. Widyariset 8(1): 347-364. Kementerian Riset dan Teknologi. 2002. Indeks sitasi bidang pertanian. http://www.progriptek.ristek.go.id/web-asdep/ IndSitasi/ind_sitasi/. [15 April 2010]. LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). 2005. Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 01/E/ 2005 tentang Pedoman Akreditasi Majalah Ilmiah. Jakarta: LIPI Margono, T. 2000. Studi keterpakaian Jurnal Perpustakaan Pertanian sebagai bahan rujukan pada penulisan ilmiah. Jurnal Perpustakaan Pertanian 9(2): 53-59. Purnomowati, S. 2008. Impact factor: Kriteria jurnal internasional. http://www.pdii.lipi.go.id/impact-factor-kriteria-jurnalinternasional_html. [7 April 2010]. Puslitbangtan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan). 2010. Rapat Kerja Reformasi Birokrasi dan Percepatan Pengembangan Inovasi Teknologi Tanaman Pangan. Berita Puslitbangtan (44): 1-3. Puslitbangtan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan). 2011. Laporan Tahunan 2010. Puslitbangtan, Bogor. 69 hlm.

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


Sormin, R. 2009. Kajian korelasi antara kolaborasi peneliti dan produktivitas peneliti lingkup Badan Litbang Pertanian. Jurnal Perpustakaan Pertanian 18(1): 1-6. Subramanyan, K. 1983. Bibliometrics study of research collaboration; a review. J. Inform. Sci. 6(1): 33-38. Sulistyo-Basuki. 1992. Teknik dan Jasa Dokumentasi. Jakarta: Gramedia. 257 hlm. Sulistyo-Basuki. 2001. Kajian jaringan ilmiah di Indonesia dengan menggunakan analisis subyek dan analisis sitiran. Laporan Final Hibah Bersaing VII/3 Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 2000/2001. 37 hlm. Sumarno. 2010. Peningkatan kinerja peneliti dan mutu publikasi ilmiah pada unit kerja penelitian. hlm. 51-66. Dalam

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

Hermanto dan Sunihardi (Ed.). Prosiding Rapat Kerja 2010: Reformasi Birokrasi dan Diseminasi Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Sutardji. 2003. Pola sitiran dan pola kepengarangan pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Jurnal Perpustakaan Pertanian 12(1): 1-9. Suyamto dan I N. Widiarta. 2010. Kontribusi inovasi teknologi dan arah litbang tanaman pangan ke depan. hlm. 1-15. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan: Inovasi Teknologi Berbasis Ketahanan Pangan Berkelanjutan, Buku 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

9


KERAGAAN TAMAN BACAAN MASYARAKAT BOGOR DAN PERMASALAHANNYA Khayatun Perpustakaan Institut Pertanian Bogor, Jalan Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Telp. (0251) 8621073, 8627853, Faks. (0251) 8623166 E-mail: khayatun@ipb.ac.id. Diajukan: 7 Januari 2011; Diterima: 11 Februari 2011

ABSTRAK Taman bacaan masyarakat (TBM) sebagai jantung pendidikan masyarakat diharapkan mampu memotivasi dan mengembangkan minat serta kegemaran membaca bagi warga belajar dan masyarakat melalui bahan bacaan dan sarana ruang baca yang disediakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan TBM, mengidentifikasi permasalahan dan kendala dalam penyelenggaraan TBM, dan menyusun rencana pengembangan TBM. Penelitian dirancang dengan menggunakan metode deskriptif. Penelitian dilakukan di enam TBM yang berlokasi di desa sekitar lingkar Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), baik di Kabupaten maupun Kota Bogor, mulai bulan Mei sampai Juni 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TBM pada umumnya belum dikelola dengan baik, jumlah koleksi sangat sedikit, dan belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Untuk mengembangkan TBM diperlukan sinergi beberapa pihak, yaitu pemerintah desa, tokoh dan anggota masyarakat, pos pemberdayaan keluarga (posdaya), pustakawan, instansi terkait, dan para donatur. Kegiatan yang dapat diusulkan antara lain adalah rekruitmen SDM pengelola, menggalang dana/ sumbangan, pendampingan dan pembinaan, sosialisasi TBM dan penyuluhan gemar membaca, pelatihan teknis pengelolaan TBM, dan kerja sama dengan lembaga pendidikan terdekat.

ABSTRACT The Profile of Community Reading Gardens in Bogor and Their Problems Community Reading Garden (CRG) as the heart of public education, is expected to motivate and develop reading interest for learning community and society through reading materials and reading room facilities provided. This study aimed to determine the profile of Community Reading Garden in Bogor on identifying problems and obstacles found in the administration, and setting the development plan. The study was designed by using descriptive method. The study was conducted in six CRG located in villages surrounding campus of Bogor Agricultural University in Bogor Regency and Bogor City, in May to June 2010. The results showed that Community Reading Gardens were generally not well managed, had few number of collections and lack of adequate facilities and infrastructures. To develop the Community Reading Garden, it needs synergies of several parties, namely the village government, community leaders and community members, family empowerment centers, librarians,

10

relevant agencies, and donors. Proposed activities to develop Community Reading Garden are recruitment of human resources, raising fund/donation, mentoring, socialization and counseling for reader, technical training for managing the Community Reading Garden, and cooperation with nearby educational institutions. Keywords: Community Reading Garden, village library, reading interest

PENDAHULUAN Kementerian Pendidikan Nasional RI (Kemendiknas) telah menggulirkan program taman bacaan masyarakat (TBM) dan penguatan minat baca pada tahun 2010. Program TBM merupakan bentuk dukungan pemerintah untuk meningkatkan minat dan kegemaran membaca pada masyarakat. Program ini dapat diakses oleh satuan pendidikan nonformal, unit pelaksana teknis pendidikan nonformal, perkumpulan, perhimpunan, dan perserikatan yang memenuhi persyaratan (Kemendiknas 2010). TBM sebagai jantung pendidikan masyarakat diharapkan mampu memotivasi dan menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca bagi aksarawan baru, warga belajar, dan masyarakat melalui bahan bacaan dan sarana ruang baca yang disediakan. Pembangunan TBM, rumah baca atau perpustakaan desa seharusnya tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi juga masyarakat, pengusaha maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pendirian TBM dapat dipadukan dengan program yang sudah ada di masyarakat, seperti program desa dan program pos pemberdayaan keluarga (posdaya), karena melalui lembaga terkecil inilah kegiatan kemasyarakatan dilaksanakan. Salah satu program bidang pendidikan posdaya untuk mengentaskan kebodohan masyarakat adalah mendirikan taman bacaan warga, di samping program pendidikan anak usia dini (PAUD), TK/TPA, dan majelis taklim. Kegiatan ini pada umumnya menggunakan bangunan/ruangan

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


yang dapat dimanfaatkan menjadi ruang baca, yang semula berupa beranda rumah, ruang tamu, garasi atau gudang; dengan pengelolanya adalah tenaga sukarela (Muljono 2010). TBM merupakan salah satu program nyata dari Direktorat Pembinaan Budaya Baca, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Kemendiknas. TBM juga menjadi sarana pendukung yang cukup efektif dalam pemberantasan buta aksara. Ini dilakukan dengan memberikan layanan pendidikan nonformal bagi masyarakat. Sejak tahun 1990-an, TBM telah banyak didirikan dan sampai saat ini jumlahnya sekitar 5.000 unit yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Hasil inventarisasi Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Bapusda) Jawa Barat menunjukkan bahwa dari 300-an unit TBM yang ada di Jawa Barat, yang terdaftar hanya 82 taman bacaan dan hanya 24 unit yang mampu bertahan dan tetap eksis. Lainnya dalam keadaan terlantar, padahal idealnya minimal ada satu taman bacaan di setiap kelurahan. Lokasi TBM sebagian besar juga kurang layak, misalnya berada di gang atau bersatu dengan pedagang. TBM merupakan sarana pembelajaran bagi masyarakat, sarana hiburan (rekreasi), dan pemanfaatan waktu secara efektif dengan memanfaatkan bahan bacaan dan sumber informasi lain. Dengan demikian, warga masyarakat dapat memperoleh pengetahuan dan informasi baru guna meningkatkan kehidupan mereka dan sarana informasi berupa buku dan bahan bacaan lain yang sesuai dengan kebutuhan warga dan masyarakat setempat. Manfaat yang diperoleh adalah menumbuhkan minat, kecintaan, dan kegemaran membaca, memperkaya pengalaman belajar dan pengetahuan, menumbuhkan kegiatan belajar mandiri, membantu mengembangkan kecakapan membaca, menambah wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Sasaran TBM adalah anak putus sekolah dan tidak melanjutkan di tingkat SD/MI/SLTP/MTs dan SMU/Madrasah Aliyah serta warga masyarakat yang memerlukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Pengelolaan TBM bertujuan untuk: (1) memelihara kemampuan warga belajar yang telah bebas buta huruf sehingga tidak buta huruf kembali; (2) memberikan pelayanan belajar pada warga belajar pendidikan luar sekolah dan masyarakat dengan menyediakan bahan bacaan sesuai kebutuhan setempat; dan (3) membangkitkan dan meningkatkan budaya baca masyarakat sebagai bagian dari aktivitas belajar mandiri sehingga

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

tercipta masyarakat gemar belajar yang berdampak pada peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM). Menurut Natadjumena (2005), salah satu alternatif yang perlu menjadi perhatian bersama agar berhasil meningkatkan kualitas SDM adalah pembangunan di sektor perpustakaan. Membangun TBM atau rumah baca seharusnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga masyarakat, konglomerat ataupun LSM. Pustakawan sebaiknya berperan dalam memberikan motivasi, pembinaan, dan pelatihan, sedangkan kelanjutan pengelolaan TBM dilaksanakan oleh masyarakat sendiri. Pendirian TBM dapat dikombinasikan dan dikoordinasikan dengan program yang sudah ada, misalnya PAUD, majelis taklim, masjid, posdaya, posyandu, PKK, serta lembaga pendidikan formal dan nonformal lainnya. Dali (2008) menjelaskan bahwa TBM merupakan sarana untuk pembelajaran dan pendidikan masyarakat secara nonformal. TBM diarahkan untuk memberikan pelayanan kepada warga masyarakat yang belum sekolah, buta aksara, putus sekolah, dan warga masyarakat yang kebutuhan pendidikannya tidak dapat terpenuhi melalui pendidikan formal. Pendidikan nonformal bertujuan memberikan layanan pendidikan agar warga belajar mampu mengembangkan potensi diri dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan vokasional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Salah satu program pendidikan nonformal adalah wajib belajar pendidikan dasar dan kesetaraaan melalui pendidikan anak usia dini, pemberantasan buta aksara, peningkatan budaya baca, dan pembangunan TBM. Studi yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional (2010) terhadap TBM mengungkapkan bahwa daya tarik suatu taman bacaan berkaitan dengan lima faktor, yaitu: (1) pelayanan yang ramah sehingga dapat menarik minat masyarakat untuk memanfaatkan taman bacaan; (2) bahan bacaan yang beragam, semakin banyak ragam bacaan, semakin banyak masyarakat yang berminat untuk datang ke taman bacaan; bacaan yang menarik minat masyarakat adalah agama, komik, dan keterampilan; (3) tempat sederhana sehingga membuat masyarakat lebih akrab, yang penting bersih dan cukup luas; (4) koleksi terus diperbarui; dan (5) bahan bacaan bersifat populer, tidak terlalu serius, dan disertai dengan ilustrasi gambar. Ketersediaan taman bacaan seperti itu diharapkan meningkatkan minat baca masyarakat. Menurut Kristyarini (2007), bimbingan membaca dapat dilakukan melalui pendekatan langsung oleh guru atau pustakawan dengan berhadapan langsung dengan

11


siswa atau masyarakat, baik secara berkelompok maupun individual. Dalam bimbingan tidak langsung, pustakawan atau guru menciptakan suasana belajar yang kondusif sehingga siswa dapat membaca dan belajar dengan tenang, serta menyediakan buku/bahan pustaka yang menarik, baik fiksi maupun nonfiksi. Hasil penelitian tahun 2007 yang dilakukan oleh Kemendiknas dan Perpustakaan Nasional RI tentang pemetaan minat baca masyarakat di tiga provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, Riau, dan Kalimantan Selatan, merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut: (1) perlu disediakan lebih banyak TBM di taman-taman tempat pertemuan komunitas; (2) perlu dikembangkan kebijakan lokal yang kondusif untuk meningkatkan semangat belajar dan minat baca masyarakat; dan (3) perlu dilakukan pembentukan kelompok baca di perkampungan, perumahan atau desa. Pembinaan, penyuluhan, dan pelatihan terhadap pengelola TBM dan masyarakat sangat diperlukan untuk keberlanjutan TBM yang umumnya minim sumber daya. Upaya pengelolaan TBM dan perpustakaan desa perlu mendapat perhatian, termasuk dari para pustakawan. Pustakawan dapat berperan dalam memberikan motivasi, pembinaan, dan pelatihan, tetapi kelanjutan pengelolaan dilaksanakan oleh masyarakat sendiri. Pemerintah Pusat melalui berbagai program telah menyalurkan dana untuk TBM, namun belum diketahui apakah TBM/perpustakaan desa yang dikelola oleh posdaya maupun desa pernah mendapat dana tersebut. Demikian pula dengan pelatihan tenaga pengelola yang diadakan oleh instansi pemerintah, belum diketahui apakah pengelola taman bacaan masyarakat yang benarbenar tumbuh dari kepedulian warga masyarakat bawah ini pernah dilatih. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menginventarisasi keragaan TBM di sekitar Bogor; (2) mengidentifikasi permasalahan dan kendala dalam penyelenggaraan TBM; dan (3) menyusun rencana pembinaan dan pengembangan TBM. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan dalam pembinaan dan pengembangan taman bacaan di lokasi yang menjadi tempat penelitian dan sebagai bahan pertimbangan dalam membina dan mengembangkan taman bacaan di tempat lain dalam rangka meningkatkan minat baca masyarakat.

METODE Penelitian dilaksanakan di enam TBM atau perpustakaan desa yang terletak di wilayah Kabupaten Bogor dan Kota

12

Bogor pada bulan Mei sampai Juni 2010. Pemilihan TBM atau perpustakaan desa dilakukan secara purposif, yakni di lokasi desa/kelurahan di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menjadi binaan IPB. Penelitian dirancang dengan menggunakan metode deskriptif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara terstruktur untuk mengetahui keragaan TBM, potensi dan permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan TBM, serta rencana pengembangan TBM ke depan. Data diperoleh melalui wawancara dengan pengurus posdaya dan pengelola TBM. Informasi tambahan diperoleh dari tokoh masyarakat dan melakukan pengamatan terhadap kondisi fisik dan kinerja masing-masing TBM. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Taman Bacaan Masyarakat Berdasarkan pengamatan terhadap enam TBM/perpustakaan desa yang terletak di desa/kelurahan lingkar Kampus IPB dapat diketahui keragaan atau profil masingmasing TBM seperti disajikan pada Tabel 1. Informasi keragaan TBM yang diperoleh dari pengamatan di lapangan meliputi nama TBM, tahun berdiri, alamat sekretariat, sarana, sistem layanan, waktu layanan, jumlah koleksi, jenis koleksi, dan sistem pengolahan bahan pustaka. Secara umum TBM yang ada di sekitar Kampus IPB, baik yang dikelola oleh pemerintah desa maupun pengurus posdaya belum dikelola dengan baik, kemampuan staf pengelolanya masih terbatas, jumlah koleksi relatif sedikit, dan belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Meskipun kondisinya demikian, terdapat beberapa potensi yang diharapkan dapat mendukung pengembangan TBM ke depan, yaitu: (1) dukungan tokoh masyarakat, kepala desa, dan pengurus posdaya; (2) tanggapan positif masyarakat yang mengharapkan minat baca anak-anaknya meningkat; dan (3) tingginya keinginan pengelola dan pengguna TBM agar koleksi buku yang dipinjamkan lebih banyak, baik jumlah, jenis maupun subjeknya. Keberadaan TBM di desa/kelurahan di sekitar Kampus IPB memberikan manfaat, antara lain dapat menumbuhkan minat, kecintaan, dan kegemaran membaca, memperkaya pengalaman belajar dan pengetahuan bagi masyarakat, menumbuhkan kegiatan belajar man-

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

13

2007

2005

2010

2010

2009

2008

Pustaka Hikmah

Pustaka Benteng Harapan

Puspa Lestari

Pustaka Kecilku

Perpustakaan Desa Neglasari

Tahun berdiri

Pustaka Keliling

Nama

Kampung Paringga RT 05 RW 03 Desa Neglasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor

Desa Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor

Babakan, RW VII, Desa Pasirkuda, Kota Bogor

Posdaya Benteng Harapan, Desa Benteng, Ciampea, Kabupaten Bogor

Posdaya Semai Mulia, Kp. Kebon Kopi RT 02 RW 02 Cibanteng, Ciampea, Kabupaten Bogor

SMA Rimba Raya dan Posdaya Bina Sejahtera, Kelurahan Pasir Mulya, Kota Bogor

Alamat

Ruang baca, meja, kursi, rak buku, buku induk, kartu anggota dan daftar pengunjung

Ruang baca, 1 meja panjang, 6 kursi, 2 rak buku dua muka, buku induk dan buku catatan peminjaman

Rak buku, belum ada ruang baca khusus dan perangkat administrasi

Ruang baca alas karpet, dua rak buku, buku induk, dan buku catatan peminjaman

Ruang baca alas karpet, dua rak buku, buku induk dan buku catatan peminjaman

Rak buku, koper, buku registrasi, buku catatan peminjaman

Sarana

Buku bisa dipinjam selama 1 minggu, maksimal 3 judul, ada denda keterlambatan dan buku peminjaman

Semua bahan bacaan bisa dipinjam, ada buku catatan peminjaman

Sistem layanan terbuka, baca di tempat, sekali ketika posyandu buka pukul 8.00–11.00

Terbuka, baca di tempat

Terbuka, dapat dipinjam pulang

Dilayankan keliling di lingkungan warga sekitar SMA

Sistem layanan

Tabel 1. Profil taman bacaan di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor, Mei-Juni 2010

Setiap hari kerja pukul 8.0011.00 bersamaan dengan jam belajar PAUD

Setiap hari kerja pukul 8.00-14.00

Setiap sebulan

Setiap hari, pukul 09.0016.00

Setiap hari

Sabtu, pukul 09.0013.00

Waktu layanan

400

300

75

176

200

1.000

Jumlah koleksi (eksemplar)

Buku cerita anak, buku pertanian, kamus, buku agama, pendidikan, dan buku paket

Buku bacaan anak, buku cerita rakyat, bacaan remaja, bacaan keluarga dan bacaan umum yang bersifat infotainment atau edutainment

Buku bacaan anak, buku umum

Buku cerita anak, buku pertanian, peternakan, agama, pendidikan, dan buku paket SD, SMP, SMA

Buku bacaan anak, remaja, dan umum

Buku umum, bacaan anak-anak, referensi dan majalah

Jenis koleksi

Belum diolah sesuai standar

DDC (Dewey Decimal Classifications)

Belum diolah sesuai standar

Belum diolah sesuai standar

Belum diolah sesuai standar

DDC (Dewey Decimal Classifications)

Pengolahan


diri, membantu mengembangkan kecakapan membaca, menambah wawasan tentang perkembangan iptek, dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Namun, dukungan dari pemerintah dalam pengembangan TBM belum optimal. Dana dekonsentrasi dari Pemerintah Pusat yang telah disalurkan untuk TBM ternyata belum mencapai sasaran, khususnya para pengelola TBM/perpustakaan desa yang terletak di sekitar Kampus IPB. Demikian pula pelatihan yang diadakan oleh instansi pemerintah, belum menyentuh semua pengelola TBM yang sementara ini pengembangannya benar-benar tumbuh dari kepedulian warga masyarakat di pedesaan.

Kendala Pengelolaan TBM SDM Pengelola Pengelolaan TBM umumnya terkendala oleh ketersediaan tenaga pengelola dan kompetensi yang dimilikinya. Dari enam TBM/perpustakaan desa yang dikaji, hanya dua yang memiliki tenaga pengelola yang telah mengikuti pelatihan teknis pengelolaan perpustakaan yang diselenggarakan oleh Bapusda Jawa Barat dan Kemendiknas, yaitu pengelola Pustaka Kecilku dan Pustaka Keliling Bina Pustaka. Ketersediaan tenaga pengelola juga menjadi kendala dalam pengelolaan TBM. Karena tumbuh dari masyarakat maka TBM sangat memerlukan SDM yang memiliki jiwa sosial tinggi yang bekerja tanpa gaji karena posdaya belum mampu memberikan gaji kepada pengelola TBM. Ketiadaan tenaga pengelola yang kompeten sangat memengaruhi pengelolaan dan pengembangan TBM. Hal ini dapat dilihat dari pengamatan di lapangan, bahwa TBM/perpustakaan desa yang pengelolanya pernah mengikuti pelatihan teknis perpustakaan telah menggunakan perangkat administrasi yang cukup baik, seperti buku registrasi, buku catatan peminjaman, cap kepemilikan, dan kartu buku. Buku telah diolah menggunakan klasifikasi standar (DDC) dan diberi label dengan penjajaran di rak menurut penempatan relatif. Sarana dan Prasarana Sebagian besar TBM belum memiliki tempat khusus yang digunakan sebagai ruang baca dan prasarana lainnya, seperti meja baca, kursi baca, dan rak buku. Umumnya TBM masih menumpang pada kantor desa, sekolah,

14

majelis taklim, PAUD atau posyandu. Untuk membangun tempat TBM sendiri tentunya memerlukan biaya yang besar. Oleh karena itu, beberapa pengurus posdaya mengharapkan dukungan dari warga masyarakat yang memiliki rumah/lahan yang luas untuk merelakan sebagian rumah/lahan yang dimiliki untuk tempat TBM. Beberapa harapan ini telah terwujud dengan didirikannya saung serba guna yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan posdaya termasuk taman bacaan, atau teras rumah warga sebagai lokasi taman bacaan. Namun, ketersediaan sarana dan prasarana lain, seperti rak buku dan meja baca masih menjadi kendala. Beberapa posdaya telah memiliki lokasi dan sarana lainnya, tetapi tenaga pengelola dan koleksinya belum tersedia.

Dukungan Pihak Luar Salah satu penentu keberhasilan TBM adalah dukungan pihak luar, yaitu pengurus posdaya, pengurus RT/RW, aparat desa, tokoh masyarakat, pustakawan, dan instansi yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat. Beberapa TBM mendapat dukungan dari tokoh masyarakat dan aparat desa, namun sebagian yang lain belum pernah mendapat perhatian dari tokoh masyarakat maupun aparat desa/kelurahan. Bentuk dukungan pihak luar yang lain adalah donatur, baik dalam bentuk sumbangan buku maupun dana untuk operasional TBM. Selama ini, koleksi buku yang ada merupakan sumbangan dari masyarakat setempat, hanya sedikit yang berasal dari sumbangan lembaga atau dana desa. Pada umumnya pengelola TBM belum pernah mengajukan usulan/proposal kepada donatur. Salah satu upaya yang perlu dicoba adalah mengajukan usulan melalui Program Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan Penguatan Minat Baca yang digulirkan oleh Kemendiknas yang merupakan bentuk dukungan pemerintah untuk meningkatkan minat dan kegemaran membaca. Program ini dapat diakses oleh satuan pendidikan nonformal, unit pelaksana teknis pendidikan nonformal, perkumpulan, perhimpunan, dan perserikatan yang memenuhi persyaratan.

Rencana Pengembangan TBM Berdasarkan keragaan dan kendala yang dihadapi enam TBM yang diamati serta memerhatikan keinginan dan harapan pengelola maupun pengurus posdaya dalam mengelola TBM/perpustakaan desa, program yang dapat

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


diimplementasikan dalam upaya mengembangkan TBM/ perpustakaan desa di beberapa desa lingkar Kampus IPB adalah sebagai berikut: 1. Posdaya/desa/kelurahan perlu mengangkat tenaga pengelola dari kader posdaya/masyarakat yang berminat mengelola taman bacaan. 2. Pendampingan taman bacaan untuk pembinaan rutin. Upaya ini dapat dilakukan oleh pustakawan sebagai penunjang kegiatan kepustakawanan. 3. Pelatihan kader posdaya sebagai pengelola taman bacaan/perpustakaan desa melalui kerja sama antarorganisasi profesi (Ikatan Pustakawan Indonesia) dan instansi terkait (Perpustakaan IPB, Perpusda, dan lainnya). 4. Penggalangan dukungan dana atau sumbangan buku dari masyarakat, pustakawan, donatur dan instansi/ lembaga. 5. Sosialisasi taman bacaan melalui penyuluhan, brosur maupun poster. 6. Penyuluhan gemar membaca kepada masyarakat secara rutin melalui forum pertemuan yang ada di lokasi setempat (rapat desa, pengajian, posyandu, PAUD, dan lain-lain) 7. Kerja sama dengan sekolah terdekat, dengan membentuk kegiatan ekstrakurikuler siswa cinta perpustakaan. Siswa dapat membantu mengelola taman bacaan, dan sekolah meminjamkan koleksi bahan pustakanya kepada masyarakat sekitar. Beberapa kegiatan pemasyarakatan perpustakaan tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah, organisasi profesi pustakawan maupun instansi yang terkait langsung dengan perpustakaan atau taman bacaan. Pelaksanaannya dapat dikaitkan dengan kegiatan tertentu, seperti Bulan Buku Nasional (Mei), Hari Kunjung Perpustakaan (17 Juli), dies natalis perguruan tinggi, maupun bakti sosial pustakawan/perpustakaan besar yang ada di Bogor.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Empat taman bacaan masyarakat (TBM) yang berada di beberapa desa lingkar Kampus IPB dikelola oleh bidang

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

pendidikan posdaya dan dua TBM dikelola oleh pemerintah desa. TBM yang ada di beberapa desa lingkar Kampus IPB, baik yang dikelola oleh posdaya maupun desa umumnya belum dikelola dengan baik, jumlah koleksi sangat sedikit, dan belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Permasalahan umum dan kendala yang dihadapi TBM adalah ketiadan tenaga pengelola yang memiliki kompetensi yang memadai (sebagian besar pengelola TBM belum pernah mengikuti pelatihan, merangkap pengurus (posdaya atau guru), jumlah dan jenis koleksi sangat sedikit, waktu layanan terbatas, buku belum dapat dipinjam untuk dibawa pulang, serta belum tersedia ruang baca dan sarana lain yang memadai. Saran Pengembangan TBM di beberapa desa lingkar kampus dapat diupayakan melalui program penggalangan dukungan atau bantuan, pendampingan dan pelatihan pengelola TBM, sosialisasi dan penyuluhan gemar membaca bagi masyarakat, serta kerja sama dengan berbagai pihak untuk pengembangan TBM.

DAFTAR PUSTAKA Dali, D. 2008. Taman bacaan masyarakat sebagai jantung pendidikan masyarakat. Makalah Seminar Membangun Masyarakat Jawa Barat Berbasis Pengetahuan yang diselenggarakan oleh DPW-PKS Jawa Barat, Medan, 29 Juni 2008. Kemendiknas (Kementerian Pendidikan Nasional RI). 2010. Acuan Pengajuan Dana Program Taman Bacaan Masyarakat dan Penguatan Minat Baca. Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal. Kristyarini, E.D. 2007. Peran pustakawan dalam menanamkan minat baca sejak usia dini. Media Pustakawan 14(3 & 4): 3337. Muljono, P. 2010. Pemberdayaan Masyarakat Akar Rumput: Posdaya sebagai model pemberdayaan masyarakat. Bogor: P2SDM-IPB dan Yayasan Damandiri. Natadjumena, R. 2005. Masyarakat dan minat baca. Media Pustakawan 12(2): 3-6. Perpustakaan Nasional RI. 2010. Studi tentang Perkembangan Taman Bacaan Masyarakat di Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

15


ANALISIS KEPUASAN PELAJAR DAN MAHASISWA TERHADAP LAYANAN SIRKULASI PADA PUSAT PERPUSTAKAAN DAN PENYEBARAN TEKNOLOGI PERTANIAN Vivit Wardah Rufaidah Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122 Telp. (0251) 8321746, Faks. (0251) 8326561, 8328592 E-mail: pustaka@litbang.deptan.go.id; vivit_wardah@yahoo.com Diajukan: 14 Januari 2011; Diterima: 17 Februari 2011

ABSTRAK Pelayanan merupakan unsur utama dalam mencapai keberhasilan suatu perpustakaan. Pelayanan yang baik akan berujung pada kepuasan pengguna yang merupakan barometer keberhasilan suatu perpustakaan. Pengkajian ini dilaksanakan dengan metode survei untuk mengetahui kepuasan pengguna terhadap layanan perpustakaan. Pengkajian dilaksanakan di Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian (PUSTAKA) pada 1 Juli-31 Desember 2010 dengan responden pengguna yang datang langsung ke perpustakaan (accidental sampling). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif serta dilakukan penarikan kesimpulan berdasarkan nilai persentase. Pengkajian menggunakan 14 pertanyaan yang mewakili dimensi pelayanan publik yang diharapkan pengguna, khususnya pada layanan sirkulasi di PUSTAKA. Layanan sirkulasi di PUSTAKA pada dasarnya telah dilaksanakan dengan baik dan telah memenuhi 10 dimensi pelayanan publik berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia No. 63/KEP/ M/PAN/7/2003 tanggal 10 Juli 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Hal ini tercermin dari penilaian responden yang baik terhadap indikator layanan perpustakaan, yang meliputi kesederhanaan, kejelasan dan kepastian prosedur pelayanan, ketepatan waktu, akurasi, keamanan, tanggung jawab petugas perpustakaan, kelengkapan sarana prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan petugas, dan kenyamanan lingkungan.

ABSTRACT Analysis of Student Satisfaction on Library Service in Indonesian Center for Agricultural Library and Technology Dissemination Library Service is a key element in achieving the success of library. A good service in the library will lead to user satisfaction and is a barometer of the success of a library. An assessment of the library service was conducted to study user satisfaction. The assessment was carried out at the Indonesian Center for Agricultural Library and Technology Dissemination (ICALTD) on 1 July – 31 December 2010 using suvey method. The respondents were users who came to ICALTD (accidental sampling). The instrument used was question-

16

naire which consisted of 14 questions that represent the expected public service dimensions, particularly in the library. Collected data were tabulated and analyzed descriptively then inferences were made based on a percentage scale. The results indicated that the library service at ICALTD has performed well and met the 10 dimensions as stated on State Ministerial Decree for the Empowerment of State Apparatus Republic of Indonesia No. 63/KEP/M/PAN/7/2003 dated 10 July 2003. This reflected on good perception on library service indicators, namely simplicity, clarity and certainty of service procedures, timeliness, accuracy, security, librarian responsibility, completeness of facilities, ease of access, disciplinary of librarians, and comfortable environment Keywords: Library services, public services, user analysis, user satisfaction

PENDAHULUAN Perpustakaan merupakan suatu institusi penyedia layanan informasi yang sebagian besar bertujuan tidak untuk mencari keuntungan atau nirlaba. Pada banyak praktik di Indonesia, karena institusi bersifat nirlaba, maka kualitas layanan kepada pengguna tidak menjadi prioritas. Sementara itu perubahan paradigma manajemen jasa sangat cepat. Pengguna merupakan faktor utama eksistensi dan operasionalnya suatu institusi, terlebih lagi institusi penyedia jasa. Oleh karena itu layanan yang berorientasi kepada pengguna (user-oriented services) dalam rangka memenuhi kepuasan pengguna merupakan suatu keharusan untuk diterapkan di perpustakaan. Layanan merupakan unsur utama dalam pencapaian keberhasilan suatu organisasi seperti perpustakaan. Layanan merupakan salah satu kegiatan perpustakaan yang berhubungan langsung dengan pengguna melalui kegiatan penyebaran informasi serta pemanfaatan jasa dan fasilitas yang tersedia di perpustakaan. Layanan merupakan hal terpenting dalam suatu perpustakaan

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


karena setiap pemberian jasa kepada pengguna dilakukan melalui layanan untuk memenuhi kebutuhan informasi pengguna. Undang-undang Perpustakaan No. 43 Tahun 2007 pasal 14 mengemukakan berbagai hal tentang layanan perpustakaan, yaitu: (1) layanan perpustakaan dilakukan secara prima dan berorientasi pada kepentingan pemustaka; (2) setiap perpustakaan menerapkan tata cara layanan perpustakaan berdasarkan standar nasional perpustakaan; (3) setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi; (4) layanan perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan melalui pemanfaatan sumber daya perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan pemustaka; (5) layanan perpustakaan diselenggarakan sesuai dengan standar nasional perpustakaan untuk mengoptimalkan pelayanan kepada pemustaka; (6) layanan perpustakaan terpadu diwujudkan melalui kerja sama antarperpustakaan; dan (7) layanan perpustakaan secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat 6 dilaksanakan melalui jejaring telematika. Layanan merupakan ujung tombak dan sekaligus gambaran kualitas suatu perpustakaan. Kinerja suatu perpustakaan tercermin pada tingkat dan kualitas layanan yang diberikan (Kusmayadi dan Andriaty 2006). Wujud pelayanan yang didambakan masyarakat, menurut Iriyanti (2005) adalah: (1) adanya kemudahan untuk mendapatkan pelayanan; (2) memperoleh pelayanan secara wajar, (3) perlakuan pelayanan yang sama; (4) pelayanan secara jujur dan terus terang; dan (5) pelayanan yang bermutu. Layanan yang baik di perpustakaan akan berujung pada kepuasan pengguna yang merupakan baromater keberhasilan suatu perpustakaan. Berdasarkan International Organization for Standardization atau ISO 11620-1998, kepuasan pengguna menempati urutan pertama dari 29 indikator untuk mengukur kinerja perpustakaan (Purnomowati 2000). Kepuasan dapat diartikan sebagai suatu keadaan dalam diri seseorang atau sekelompok orang yang telah berhasil mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan dan diinginkan. Kepuasan pengguna informasi merupakan tingkat kesepadanan antara kebutuhan yang ingin dipenuhi dan kenyataan yang diterima (Sutardji dan Maulidyah 2006). Dwijati (2006) mengemukakan, suatu perpustakaan dapat dikatakan baik jika memiliki beberapa kriteria, antara lain: (1) koleksi yang relevan; (2) tenaga yang berkualitas dan profesional; (3) sistem pelayanan yang cepat dan tepat; serta (4) sarana dan prasarana yang memadai. Selan-

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

jutnya, perpustakaan dikatakan berhasil jika perpustakaan tersebut dimanfaatkan secara optimal oleh penggunanya. Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian (PUSTAKA) merupakan salah satu penyelenggara pelayanan publik untuk lembaga pemerintah dan masyarakat. Pada perpustakaan khusus seperti PUSTAKA, layanan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi pengguna di lembaga induknya, menyimpan dan menemukan kembali informasi serta menyebarkannya secara cepat dan tepat kepada staf dan membantu pimpinan dalam memperoleh bahan untuk pengambilan keputusan. Indikator penting yang menentukan kepuasan pengguna perpustakaan adalah kepuasan pengguna akan pelayanan perpustakaan. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia No. 63/KEP/M/PAN/7/2003 tanggal 10 Juli 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik untuk lembaga-lembaga pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan masyarakat menetapkan 10 dimensi pelayanan yang dapat memenuhi keinginan masyarakat, antara lain: 1. Kesederhanaan; pelayanan dilaksanakan dengan prosedur sederhana, mudah, cepat, lancar, mudah dipahami dan dilaksanakan. 2. Kejelasan dan kepastian, baik mengenai prosedur/ tata cara, persyaratan maupun rincian biaya. 3. Ketepatan waktu dalam penyelesaian pelayanan. 4. Akurasi, yaitu produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah. 5. Keamanan; proses hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan, kenyamanan, dan kepastian hukum. 6. Tanggung jawab; pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik. 7. Kelengkapan sarana prasarana; tersedianya sarana prasarana kerja, peralatan kerja, dan pendukung lainnya yang memadai, termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika). 8. Kemudahan akses, tempat dan lokasi serta sarana pelayanan memadai, mudah dijangkau masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika. 9. Kedisiplinan, sopan dan ramah; pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.

17


10.Kenyamanan; lingkungan harus teratur, tersedia ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, indah, sehat, serta dilengkapi fasilitas pendukung pelayanan, seperti tempat parkir, toilet, dan tempat ibadah. Pelaksanaan pelayanan yang sesungguhnya dapat diukur dengan menetapkan standar pelayanan dalam kurun waktu tertentu, hasil, dan tingkat kepuasan secara umum. Pengkajian mutu layanan perpustakaan yang pernah dilakukan di PUSTAKA didasarkan pada kepuasan pengguna akan lingkungan fisik maupun sosial layanan perpustakaan, yang meliputi kelengkapan koleksi dan kondisi perpustakaan. Pengkajian pelayanan publik sesuai dengan Keputusan Menpan No. 63/KEP/ M/PAN/7/2003 tanggal 10 Juli 2003 belum pernah dilaksanakan. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pendapat pengguna perpustakaan mengenai kualitas layanan perpustakaan PUSTAKA dalam memenuhi kepuasan pengguna.

METODE Pengkajian dilaksanakan dengan metode survei. Responden adalah pengguna yang datang langsung ke perpustakaan PUSTAKA (accidental sampling) pada tanggal 1 Juli-31 Desember 2010 dengan jumlah 33 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif, kemudian dilakukan penarikan kesimpulan berdasarkan nilai persentase.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Berdasarkan data karakteristik responden, diketahui bahwa dari 33 responden, 75,76% adalah perempuan dan 24,24% adalah laki-laki. Usia responden mayoritas berkisar antara 13-17 tahun (42,42%), diikuti yang berumur 18-25 tahun (30,30%) dan di atas 40 tahun (18,18%). Mayoritas tingkat pendidikan responden adalah SLTA (39,39%), diikuti sarjana strata 1 (27,27%) dan S2 ke atas (21,21%) (Tabel 1).

Mutu Pelayanan Publik Dalam kajian ini terdapat 14 pertanyaan yang mewakili dimensi pelayanan publik yang diharapkan pengguna,

18

Tabel 1.

Karakteristik responden pengguna di Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Juli - Desember 2010. Jumlah responden

Persentase

Usia (tahun) 13-17 18-25 25-40 > 40

14 10 3 6

42,42 30,30 9,09 18,18

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan

8 25

24,24 75,76

Tingkat pendidikan SLTP SLTA Diploma S1 S2 ke atas

1 13 3 9 7

3,03 39,39 9,09 27,27 21,21

Karakteristik responden

khususnya di perpustakaan. Berdasarkan penilaian yang diberikan responden, untuk pemahaman tentang kemudahan prosedur pelayanan perpustakaan, 51,52% pengguna menyatakan bahwa prosedur pelayanan di PUSTAKA mudah dipahami, 36,36% menyatakan sangat mudah, dan hanya 12,12% yang menyatakan kurang mudah (Tabel 2). Prosedur pelayanan di PUSTAKA dirasakan responden mudah dengan adanya buku tamu on-line yang mudah diakses. Untuk memperbaiki prosedur pelayanan yang dirasa kurang mudah oleh responden, perlu disusun petunjuk tertulis untuk pengguna dan pendampingan pengguna oleh petugas perpustakaan untuk memahami prosedur tersebut. Dalam melayani pengguna perpustakaan, ada ketentuan/prasyarat dalam melakukan pelayanan. Responden menyatakan bahwa kesamaan prasyarat pelayanan dengan jenis pelayanan sudah sesuai (54,55%), dan sisanya sangat sesuai (36,36%) atau kurang sesuai (9,09%). Persyaratan pelayanan yang ditetapkan PUSTAKA sudah sesuai menurut responden sehingga untuk persyaratan layanan dan jenis layanan perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Lebih dari separuh responden (54,55%) menyatakan bahwa petugas layanan memberikan kepastian yang jelas mengenai layanan yang diberikan dan 33,33% menyatakan kepastian memberikan layanan perpustakaan sangat jelas. Walaupun demikian, 12,12% responden menyatakan petugas kurang jelas memberikan kepastian layanan. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


Tabel 2. Pendapat responden mengenai pelayanan perpustakaan di PUSTAKA, Juli - Desember 2010. Indikator pelayanan publik

Kriteria

Kemudahan prosedur pelayanan di unit perpustakaan

Tidak mudah Kurang mudah Mudah Sangat mudah Tidak sesuai Kurang sesuai Sesuai Sangat sesuai Tidak jelas Kurang jelas Jelas Sangat jelas Tidak disiplin Kurang disiplin Disiplin Sangat disiplin Tidak bertanggung jawab Kurang bertanggung jawab Bertanggung jawab Sangat bertanggung jawab Tidak mampu Kurang mampu Mampu Sangat mampu Tidak cepat Kurang cepat Cepat Sangat cepat Tidak adil Kurang adil Adil Sangat adil Tidak sopan dan ramah Kurang sopan dan ramah Sopan dan ramah Sangat sopan dan ramah Tidak wajar Kurang wajar Wajar Sangat wajar Selalu tidak sesuai Kadang-kadang sesuai Sesuai Selalu sesuai Selalu tidak tepat Kurang tepat Tepat Selalu tepat Tidak nyaman Kurang nyaman Nyaman Sangat nyaman Tidak aman Kurang aman Aman Selalu aman

Kesamaan persyaratan pelayanan dengan jenis pelayanan

Kejelasan dan kepastian petugas yang melayani

Kedisiplinan petugas dalam memberikan pelayanan

Tanggung jawab petugas dalam memberikan pelayanan

Kemampuan petugas dalam memberikan pelayanan

Kecepatan pelayanan di perpustakaan

Keadilan untuk mendapatkan pelayanan di perpustakaan

Kesopanan dan keramahan petugas dalam memberikan pelayanan

Kewajaran biaya untuk mendapatkan pelayanan

Kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan

Ketepatan pelaksanaan jadwal waktu pelayanan

Kenyamanan di lingkungan unit pelayanan

Keamanan pelayanan di unit perpustakaan

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

Jumlah responden 0 4 17 12 0 3 18 12 0 4 18 11 0 4 20 9 0 3 20 10 0 3 19 11 0 6 17 10 0 3 19 11 0 0 23 10 0 4 18 11 0 7 15 11 0 6 17 10 0 2 22 9 1 3 18 11

Persentase 0,00 12,12 51,52 36,36 0,00 9,09 54,55 36,36 0,00 12,12 54,55 33,33 0,00 12,12 60,61 27,27 0,00 9,09 60,61 30,30 0,00 9,09 57,58 33,33 0,00 18,18 52,52 30,30 0,00 9,09 57,58 33,33 0,00 0,00 69,70 30,30 0,00 12,12 54,55 33,33 0,00 21,21 45,46 33,33 0,00 18,18 52,52 30,30 0,00 6,06 66,67 27,27 3,03 9,09 54,55 33,30

19


sosialisasi Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pelayanan terhadap pengguna. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan sudah seharusnya dimiliki oleh petugas perpustakaan. Responden menyatakan, petugas layanan disiplin dalam melakukan tugasnya (60,61%), sedangkan 27,27% menyatakan petugas sangat disiplin dan hanya 12,12% yang menyatakan petugas kurang disiplin. Secara umum, responden menilai kedisiplinan petugas dalam memberikan pelayanan sangat baik. Walaupun demikian, untuk meningkatkan kedisiplinan petugas, pemberian motivasi kepada petugas layanan perlu sering dilakukan. Petugas perpustakaan sudah selayaknya bertanggung jawab atas terselenggaranya layanan, melayani pengguna dengan baik, dan menyelesaikan permintaan pengguna. Hasil pengkajian menunjukkan, 60,61% responden menyatakan petugas bertanggung jawab dalam melaksanakan pelayanan, 30,30% menyatakan petugas sangat bertanggung jawab dan 9,09% menyatakan petugas kurang bertanggung jawab. Tanggung jawab petugas perpustakaan dalam memberikan pelayanan sampai terpenuhinya kebutuhan pengguna sudah baik. Untuk lebih meningkatkan kemampuan petugas pelayanan akan tugas dan tanggung jawabnya, perlu dilakukan pembinaan dan pemahaman kembali mengenai uraian tugas setiap petugas perpustakaan. Sebagai perpustakaan khusus, petugas layanan perpustakaan di PUSTAKA selain harus menguasai keberadaan koleksi, juga harus mampu menjadi subjek spesialis karena koleksi bahan pustaka sebagian besar berbasis pertanian. Dalam menilai kemampuan petugas dalam memberikan pelayanan, 57,58% responden menyatakan petugas mampu memberikan pelayanan terbaik, 33,33% menyatakan sangat mampu, dan hanya 9,09% yang menyatakan kurang mampu memberikan pelayanan terbaik. Data tersebut menunjukkan bahwa petugas perpustakaan umumnya memiliki kemampuan yang baik dalam memberikan pelayanan. Namun, peningkatan kemampuan petugas perpustakaan tetap perlu dilakukan antara lain melalui seminar dan pelatihan. Penyelesaian pelayanan secara tepat waktu sangat dibutuhkan pengguna untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Lebih dari separuh responden (52,52%) menyatakan pelayanan di perpustakaan cepat, 30,30% menyatakan pelayanan sangat cepat, dan 18,18% menyatakan pelayanan perpustakaan kurang cepat. Kecepatan pelayanan di perpustakaan berkaitan dengan kuantitas sumber daya manusia/petugas layanan yang tersedia. Namun, di PUSTAKA, petugas yang ber-

20

tanggung jawab di ruang koleksi belum memadai, hanya dua orang yang bertanggung jawab terhadap koleksi pustaka di lima lantai. Oleh karena itu, penambahan sumber daya manusia perlu dilakukan untuk lebih meningkatkan kecepatan layanan. Untuk indikator keadilan mendapat pelayanan di perpustakaan, 57,58% responden menyatakan pelayanan di perpustakaan adil, sangat adil (33,33%), dan hanya 9,09% yang menyatakan kurang adil. Ketidakadilan petugas dalam melayani pengguna perlu ditindaklanjuti dengan lebih mensosialisasikan peraturan-peraturan yang ada. Kesopanan dan keramahan petugas dalam memberikan pelayanan merupakan salah satu faktor yang mendukung pelayanan prima. Sebanyak 69,70% responden menyatakan petugas sopan dan ramah dan 30,30% menyatakan sangat sopan dan ramah. Sikap tersebut perlu terus dipertahankan dan lebih ditingkatkan melalui pelatihan atau seminar mengenai pelayanan prima. Responden menyatakan wajar dengan biaya yang ditetapkan PUSTAKA (54,55%), tetapi 12,12% di antaranya menyatakan kurang wajar, sedangkan yang menyatakan sangat wajar dengan biaya yang dibebankan kepada pengguna sebanyak 33,33%. Walaupun ada responden yang menyatakan kurang wajar, biaya pelayanan sudah sesuai dengan peraturan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Tindak lanjut yang dapat dilakukan adalah lebih mensosialisasikan biaya pelayanan kepada pengguna. Sebanyak 33,33% responden menyatakan, biaya yang ditetapkan selalu sesuai dengan layanan yang mereka dapatkan, sedangkan yang menyatakan sesuai ada 45,46% dan yang menyatakan kadang-kadang sesuai hanya 21,21%. Dalam hal ini, sebenarnya PUSTAKA telah menetapkan biaya sesuai dengan standar dan peraturan PNBP. Sebagai tindak lanjutnya, perlu dilakukan sosialiasi biaya kepada pengguna dan petugas perpustakaan di bagian layanan. Ketepatan pelaksanaan jadwal waktu pelayanan merupakan indikator layanan yang ditanyakan kepada pengguna perpustakaan. Dari 33 orang responden, 52,52% menyatakan jadwal waktu pelayanan dimulai tepat waktu, 30,30% menyatakan jadwal selalu tepat dan yang menyatakan jadwal pelayanan kadang-kadang tepat hanya 18,18%. Penyebab kekurangtepatan jadwal pelayanan kemungkinan karena pengguna datang ke perpustakaan pada saat istirahat sehingga petugas

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


perpustakaan tidak berada di tempat. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu lebih disosialisasikan jadwal waktu pelayanan ke pengguna. Kenyamanan dan keamanan di perpustakaan merupakan unsur penting dalam memenuhi kepuasan pengguna. Sebanyak 66,67% responden menyatakan pelayanan perpustakaan nyaman, 27,27% menyatakan sangat nyaman dan hanya 6,06% yang menyatakan kurang nyaman. Kekurangnyamanan yang dirasakan pengguna mungkin disebabkan oleh fasilitas di ruang baca. Untuk meningkatkan kenyamanan layanan perpustakaan, sarana dan fasilitas ruang baca perlu diperbarui untuk lebih memberikan kenyamanan kepada pengguna perpustakaan. Keamanan pelayanan merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam layanan perpustakaan. Sebanyak 54,55% dan 33,33% responden menyatakan bahwa lingkungan unit layanan aman dan selalu aman, sedangkan yang menyatakan kurang nyaman 9,09% dan hanya 3,03% yang menyatakan tidak aman. Keamanan di unit pelayanan perpustakaan di PUSTAKA dirasakan aman karena untuk masuk ke ruang perpustakaan, pengguna dapat menyimpan barang-barang bawaan di tempat penyimpanan yang telah disediakan dan ada staf keamanan yang ditempatkan di pintu masuk (lobi utama) ruang perpustakaan. Adapun untuk merespon responden yang menyatakan kurang aman, perlu disosialisasikan keamanan di unit pelayanan perpustakaan kepada para petugas keamanan dan petugas di layanan perpustakaan akan pentingnya keamanan bagi pengguna.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Layanan sirkulasi pada Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian pada dasarnya telah dilaksanakan dengan baik dan telah memenuhi 10 dimensi pelayanan publik berdasarkan Keputusan Menpan No. 63/KEP/M/PAN/7/2003 tanggal 10 Juli 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Hal ini tercermin dari penilaian pengguna yang baik terhadap indikator layanan perpustakaan, yang meliputi kese-

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

derhanaan, kejelasan dan kepastian prosedur pelayanan, ketepatan waktu, akurasi, keamanan, tanggung jawab petugas perpustakaan, kelengkapan sarana prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan petugas, dan kenyamanan lingkungan.

Saran Layanan perpustakaan diharapkan dilakukan secara prima dan berorientasi pada kepentingan pengguna sehingga pengguna dapat memperoleh informasi yang dibutuhkannya secara optimal. Untuk itu, pustakawan dituntut bersikap ramah, sopan, tekun, serta mampu memberi jawaban atas pertanyaan pengguna perpustakaan dan jika perlu memberikan jalan keluar, membimbing dan mengarahkan pengguna dalam memanfaatkan sarana penelusuran yang tersedia. Selain itu, pustakawan diharapkan terus meningkatkan kompetensi sehingga dapat memberi pelayanan yang berkualitas dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi pengguna secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA Dwijati, S. 2006. Upaya meningkatkan kualitas jasa layanan informasi di perpustakaan. Buletin Perpustakaan UNAIR 1(2): 58-63. Iriyanti, E. 2005. Analisis Kualitas Pelayanan pada Kantor Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah. Thesis. Semarang: Universitas Diponegoro. Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Layanan Publik. Jakarta: Kantor Kementerian PAN. Kusmayadi, E. dan E. Andriaty. 2006. Kajian on-line public access catalogue (OPAC) dalam pelayanan perpustakaan dan penyebaran teknologi pertanian. Jurnal Perpustakaan Pertanian 15(2): 51-58. Purnomowati. 2000. mengukur kinerja perpustakaan. Baca 25(3&4): 61-67. Sutardji dan Sri Ismi Maulidyah. 2006. Analisis beberapa faktor yang berpengaruh pada kepuasan pengguna perpustakaan: Studi kasus di perpustakaan Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Jurnal Perpustakaan Pertanian 15(2): 32-37. Undang-undang Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

21


PERILAKU PETANI SAYURAN DALAM MEMANFAATKAN TEKNOLOGI INFORMASI Retno S.H. Mulyandari Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122 Telp. (0251) 8321746, Faks. (0251) 8326561, 8328592 E-mail: retnoshm@yahoo.com Diajukan: 4 Februari 2011; Diterima: 2 Maret 2011

ABSTRAK Teknologi informasi merupakan sarana potensial yang dapat mendukung akses petani terhadap sumber informasi teknologi produksi maupun pemasaran. Informasi tentang teknologi produksi dan pemasaran sangat dibutuhkan oleh petani sayuran mengingat sayuran memiliki sifat mudah rusak dengan fluktuasi harga produk yang sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi, dan (2) menganalisis faktor yang berhubungan dengan perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya, responden di kedua lokasi yaitu Pacet (Jawa Barat) dan Giripurno (Jawa Timur) memiliki tingkat pengetahuan terhadap pemanfaatan teknologi informasi yang rendah (skor di bawah 50). Namun, apabila dilihat dari aspek sikap, rata-rata responden memiliki sikap yang sangat positif dan dari aspek keterampilan, termasuk dalam kategori sedang. Seluruh peubah karakteristik individu, yaitu umur, pendidikan formal, kepemilikan sarana teknologi informasi, lama menggunakan sarana teknologi informasi, luas penguasaan lahan, tingkat kekosmopolitan, dan keterlibatan dalam kelompok memiliki hubungan yang nyata dengan aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi. Umur petani memiliki hubungan negatif dengan seluruh aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi.

ABSTRACT The Behavior of Vegetable Farmers Toward the Use of Information Technology Information technology is a potential tool to support farmers’ access to information sources of the vegetable information technology of production and marketing. Information on production technology and marketing is needed to support the perishable vegetables with the product price fluctuations, which is very high. This study aims: (1) to analyze the behavior of vegetable farmers in utilizing information technologies to support farming activity, and (2) to analyze the factors related to the behavior of vegetable farmers in utilizing information technology. The results indicated that in general, respondents in both locations, Pacet (West Java) and Giripurno (East Java) have a low level of knowledge of utilizing information technology. However the average respondent had a very positive attitude, whereas skills of the average respondens is categorized as

22

moderate. The entire variables of individual characteristics of age, formal education, and ownership of the means of information technology, land tenure, cosmopolitness, and involvement in the group have a significant relationship with the behavioral aspects in the utilization of information technology. Age of farmers have a negative relationship with all aspects of behavior in the utilization of information technology. Keywords: Vegetable farmer, information technology, communication networking, media, information networking

PENDAHULUAN Agribisnis hortikultura, khususnya sayuran saat ini menghadapi tantangan terbukanya arus informasi yang mendorong makin berkembangnya desakan produk ekspor maupun impor dan peningkatan selera konsumen, baik domestik maupun global. Pada era globalisasi ekonomi seperti Asean Free Trade Area (AFTA) dan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), sebagian pasar domestik Indonesia saat ini telah didominasi oleh produk hortikultura impor dengan kualitas, cara pengemasan, diversifikasi produk, dan penampilan yang lebih baik serta harga yang bersaing dengan produk domestik. Pada komoditas sayuran, pengembangan sayuran dengan benih yang didatangkan dari luar negeri semakin membuat petani sayuran dalam negeri bergantung pada ketersediaan benih impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa impor sayuran pada periode Januari-Februari 2011 senilai US$82.641.159. Nilai ini naik 45,99% dari impor pada periode yang sama tahun 2010 sebesar US$56.607.726 (BPS 2011). Guna menghadapi persaingan global dan sejalan dengan perkembangan iptek, sistem informasi pertanian yang mampu mendukung agribisnis hortikultura, khususnya sayuran perlu dikembangkan.

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


Salah satu tantangan dalam pengembangan hortikultura, khususnya sayuran adalah kurangnya informasi tentang kebutuhan sayuran, baik jenis, jumlah maupun mutu, termasuk harga produk pada masing-masing provinsi. Hal ini menyebabkan sulitnya mengatur pola tanam di tingkat petani sehingga pada daerah tertentu terjadi kelebihan produksi, sedangkan di daerah lain kekurangan pasokan. Informasi tersebut sangat dibutuhkan mengingat komoditas sayuran memiliki sifat mudah rusak dan tidak tahan disimpan dengan fluktuasi harga yang sangat tinggi. Selain itu, pengembangan ekspor sayuran masih mengalami hambatan, antara lain kurangnya informasi tentang preferensi konsumen (jenis sayuran, jumlah produk, dan kualitas) pada negara importir (Tamba 2007). Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memberi kontribusi yang nyata terhadap proses perkembangan sistem informasi pertanian, khususnya sebagai media komunikasi inovasi pertanian. Meskipun teknologi informasi memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung pembangunan pertanian, sampai saat ini petani di dunia, khususnya di Indonesia, masih belum diikutsertakan dalam bisnis teknologi informasi dan komunikasi. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembangunan pertanian membutuhkan proses pendidikan dan peningkatan kapasitas karena masih terdapat kesenjangan secara teknis maupun keterampilan dalam bisnis secara elektronis (e-business). Namun, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembangunan pertanian. Survei yang dilakukan oleh the International Society for Horticultural Sciences (ISHS) telah mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi oleh pelaku komunikasi, khususnya dalam bidang hortikultura di Sri Lanka. Hambatan-hambatan tersebut meliputi keterbatasan kemampuan, sulitnya akses terhadap pelatihan, kesadaran akan manfaat teknologi informasi dan komunikasi, waktu, biaya dari teknologi yang digunakan, integrasi sistem, dan ketersediaan software. Partisipan dari negara-negara maju menekankan pada hambatan tidak adanya manfaat ekonomi yang dapat dirasakan, tidak memahami nilai lebih dari teknologi informasi dan komunikasi, tidak cukup memiliki waktu untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, dan tidak mengetahui cara mengambil manfaat dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Responden dari negara-negara berkembang menekankan pentingnya

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

biaya teknologi informasi dan komunikasi dan kesenjangan infrastruktur teknologi. Hasil kajian dari the Institute for Agricultural and Fisheries Research sejalan dengan hasil survei ISHS dan the European Federation for Information Technology in Agriculture (EFITA) yang mengindikasikan adanya pergeseran dari kecakapan secara teknis teknologi informasi dan komunikasi sebagai suatu faktor pembatas menuju pada kesenjangan pemahaman cara mengambil manfaat dari pilihan teknologi informasi dan komunikasi (Taragola et al. 2009). Meskipun masih terdapat beberapa kendala sehingga pemanfaatan teknologi informasi menjadi sangat kompleks dan sulit untuk diadopsi, teknologi informasi sebenarnya dapat menyediakan kesempatan yang lebih besar untuk mencapai suatu tingkatan tertentu yang lebih baik bagi petani apabila didukung oleh kompetensi pelaku komunikasi yang terkait. Keberhasilan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi oleh petani sayuran di Indonesia untuk memajukan usaha taninya ditunjukkan oleh beberapa kelompok tani yang telah memanfaatkan internet untuk mengakses informasi dan mempromosikan produk dengan menggunakan fasilitas yang disediakan oleh Community Training and Learning Centre (CTLC) di Pancasari (Bali) dan Pabelan (Salatiga) yang dibentuk Microsoft bekerja sama dengan lembaga nirlaba di bawah Program Unlimited Potential. Petani mengenal teknologi budi daya paprika dalam rumah kaca melalui internet. Sejak mengirimkan profil produksi di internet, permintaan terhadap produk pertanian yang diusahakan terus berdatangan. Promosi melalui internet dapat memutus hubungan petani dengan tengkulak yang sering memberikan harga jauh di bawah harga pasar (Sigit et al. 2006). Melalui Unit Pelayanan Informasi Pertanian tingkat Desa - Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (UPIPD-P4MI) yang dilaksanakan Badan Litbang Pertanian, petani di sekitar lokasi UPIPD sudah memanfaatkan internet untuk mengakses informasi dan mempromosikan hasil pertanian yang diusahakan (UPIPD Kelayu Selatan 2009). Sinergi aplikasi teknologi informasi dalam komunikasi inovasi pertanian merupakan salah satu upaya untuk memperkuat mekanisme komunikasi dalam pengembangan sistem informasi pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung usaha tani dan (2) menganalisis faktor yang berhubungan dengan perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi.

23


METODE Penelitian ini mengkombinasikan antara penelitian menerangkan (explanatory research) dan penelitian deskriptif (descriptive research). Penelitian dilaksanakan di dua kabupaten yang terjangkau atau memiliki akses ke sistem informasi pertanian berbasis teknologi informasi, baik secara mandiri maupun melalui program tertentu yang dikembangkan oleh suatu lembaga. Lokasi penelitian merupakan sentra produksi sayuran di Kabupaten Cianjur (Jawa Barat) dan Kota Batu (Jawa Timur) yang keduanya memiliki akses terhadap teknologi informasi. Wilayah BPP Pacet Kabupaten Cianjur terpilih untuk mewakili lokasi dengan jangkauan aksesibilitas teknologi informasi secara mandiri, tanpa ada program khusus untuk meningkatkan akses masyarakat ke sistem informasi pertanian atau sumber informasi global, sedangkan wilayah BPP Bumiaji, Kota Batu khususnya Desa Giripurno terpilih mewakili lokasi dengan jangkauan aksesibilitas terhadap teknologi informasi yang didukung program dari Bank Dunia, yaitu melalui Telecenter Kartini Mandiri. Penelitian ini bersifat survei yang dilaksanakan pada satu populasi, yaitu petani yang menguasai lahan untuk berusaha tani sayuran dan memiliki akses terhadap teknologi informasi (minimal telepon rumah). Metode penarikan contoh didasarkan atas kesesuaian dengan kondisi ketersediaan data dan perkiraan tingkat homogenitas populasi (Nasution dan Usman 2006; Krzanowski 2007). Berdasarkan rumus Slovin, ditetapkan responden penelitian sebanyak 200 petani. Data dianalisis secara kuantitatif menggunakan statistik, yang meliputi analisis statistik deskriptif, analisis korelasi, dan analisis uji beda (uji t).

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Individu Petani Sayuran Responden penelitian yang berjumlah 200 petani sayuran terdiri atas 162 petani dewasa, 16 orang pemuda tani, dan 22 orang yang selain sebagai petani juga merupakan pedagang pengepul. Dari 200 petani sayuran yang diteliti, 51 orang (25,50%) adalah perempuan atau wanita tani. Aspek karakteristik individu petani yang dianalisis meliputi umur, pendidikan, kepemilikan sarana teknologi informasi, lama menggunakan teknologi informasi, luas penguasaan lahan, tingkat kekosmopolitan, dan tingkat keterlibatan dalam kelompok. Karakteristik individu petani

24

berdasarkan kategori peubah penelitian dan uji beda untuk masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 1. Usia rata-rata petani responden di Jawa Barat (Jabar) relatif lebih muda dibandingkan dengan usia rata-rata petani di Jawa Timur (Jatim). Hal ini dibuktikan dengan hasil uji beda rata-rata usia petani di dua lokasi penelitian yang menunjukkan perbedaan yang nyata antara usia petani di Jabar dan di Jatim. Di wilayah BPP Pacet (Jabar), pemuda tani lebih proaktif dalam mengembangkan usaha tani sayuran. Meskipun masih berstatus sebagai mahasiswa, beberapa pemuda tani di Pacet tetap melakukan kegiatan usaha tani. Berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti, rata-rata petani sayuran di dua lokasi penelitian memiliki sebaran yang hampir sama, yaitu rata-rata jumlah tahun pendidikan formal yang pernah diikuti selama 8 tahun atau setingkat lulus SD dan pernah masuk sekolah sampai tingkat SMP. Petani yang mampu akses terhadap teknologi informasi cenderung memiliki pendidikan relatif tinggi karena sarana teknologi informasi merupakan media komunikasi baru yang membutuhkan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi karena lebih rumit dibandingkan dengan media komunikasi lainnya. Responden merupakan petani sayuran yang dapat mengakses minimal salah satu jenis sarana teknologi informasi. Karakteristik individu petani yang diukur adalah jenis sarana teknologi informasi yang dimiliki, khususnya telepon rumah, telepon genggam, telepon genggam berinternet, komputer, dan komputer berinternet. Berdasarkan hasil skoring terhadap jumlah sarana teknologi informasi yang dimiliki, dapat dinyatakan bahwa kepemilikan sarana teknologi informasi petani sayuran di Pacet maupun Giripurno sebagian besar berada pada kategori sedang dengan memiliki ratarata 1-2 sarana teknologi informasi. Sarana teknologi informasi terbanyak yang dimiliki responden adalah telepon genggam (85%). Secara umum, skor-rata-rata kepemilikan teknologi informasi adalah 47% untuk petani di Jabar dan 44% untuk petani di Jatim. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden, jenis atau tipe telepon genggam yang dimiliki petani sebagian besar sudah merupakan media konvergen yang dapat digunakan untuk mendengarkan radio, mengakses internet, sebagai kamera maupun video, bahkan beberapa di antaranya dapat digunakan untuk menonton siaran televisi. Berdasarkan lamanya petani responden dalam menggunakan salah satu sarana teknologi informasi, diketahui bahwa sebagian besar responden baik di Jabar

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


Tabel 1.

Jumlah petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur berdasarkan kategori peubah karakteristik individu dan hasil uji beda antarlokasi.

Karakteristik individu

Kategori

Umur (tahun) Muda Dewasa Tua Pendidikan formal (tahun) Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Kepemilikan sarana TI Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Lama menggunakan TI (bulan) Sangat baru Baru Lama Sangat lama Luas penguasaan lahan (m2) Sangat sempit Sempit Sedang Luas Tingkat kekosmopolitan Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Keterlibatan dalam kelompok Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi

Rata-rata

Jumlah

Sig

(%)

Jawa Barat

Jawa Timur

(uji t)

< 30 > 30-50 > 50

20,00 63,00 16,50

38,40

42,46

0,036*

SD SMP SLTA > SLTA

58,00 18,00 16,50 7,50

8,02

8,17

0,552

< 25,00 > 25,00-50,00 < 50,00-75,00 > 75,00

22,00 55,00 17,50 5,50

46,63

44,00

0,857

< 45 > 45-90 > 90-135 > 135

57,50 27,50 11,00 4,00

47,48

50,06

0,665

< 2.500 > 2.500-5.000 > 5.000-10.000 > 10.000

58,00 21,00 16,00 5,00

3.178

4.796

0,031*

< 25,00 > 25,00-50,00 > 50,00-75,00 > 75,00

26,50 50,50 17,50 5,50

60,00

57,07

0,559

< 25,00 > 25,00-50,00 > 50,00-75,00 > 75,00

49,00 38,00 10,50 2,50

33,33

28,21

0,001**

Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.

maupun Jatim termasuk dalam kategori rendah, yaitu < 45 bulan. Beberapa petani menyatakan telah mengenal telepon genggam sejak pertama ada (lebih dari 15 tahun), yaitu tahun 1995 sebagai sarana komunikasi untuk memasarkan sayuran yang dihasilkannya. Hal ini menunjukkan bahwa bagi petani maju, sarana teknologi informasi khususnya telepon genggam memberikan peluang baru untuk memperlancar kegiatan usaha tani, khususnya dalam memperluas jangkauan pemasaran dan mempermudah komunikasi.

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

Terkait dengan sarana teknologi informasi komputer, ada pula petani yang menyatakan telah mengenal komputer sejak masa sekolah, yaitu 25 tahun yang lalu untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Meskipun telah mengenal komputer sejak 25 tahun lalu, petani tersebut baru memanfaatkannya untuk mendukung kegiatan usaha tani sejak mengenal internet, yaitu tahun 2000. Lahan yang dikuasai petani merupakan tumpuan harapan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Lahan yang dikuasai dan dikelola petani untuk usaha tani

25


sayuran di Jabar maupun di Jatim terdiri atas tiga macam sumber, yaitu lahan milik sendiri, lahan yang disewa dari orang lain, dan lahan garapan milik orang lain atau milik Perhutani. Lahan yang dikuasai petani untuk usaha tani sayuran rata-rata adalah 3.986 m2 dengan lahan yang dikuasai paling luas 5 ha (50.000 m2) dan yang paling sempit 100 m 2. Secara umum, petani sayuran di Jatim memiliki rata-rata penguasaan lahan yang lebih luas dibandingkan dengan petani di Jabar. Hal ini tampaknya berpengaruh terhadap jumlah komoditas yang diusahakan oleh petani di Jatim dibandingkan dengan petani di Jabar. Petani di Jabar rata-rata mengusahakan tiga komoditas dengan enam komoditas yang dominan yaitu wortel, bawang daun, pakcoy, caisin, sawi, dan kol. Petani di Jatim rata-rata mengusahakan lima komoditas sayuran dengan komoditas dominan jagung manis, cabai, sawi, selada air, kailan, dan tomat. Petani di Jatim ada yang mengusahakan sayuran sampai 50 jenis, termasuk sayuran eksotis untuk pasokan hotel dan pasar luar Jawa, seperti paprika, selada, ginseng, basil, kol merah, daun ketumbar, sukini, dan okra. Tingkat kekosmopolitan merupakan salah satu indikator aktivitas petani dalam berhubungan dengan pihak lain. Tingkat kekosmopolitan juga diartikan sebagai orientasi ke luar sistem sosial dengan hubungan interpersonal yang lebih luas. Kekosmopolitan dalam penelitian ini dilihat berdasarkan aktivitas responden keluar desa, menerima atau menemui tamu dari luar desa yang memiliki tujuan terkait dengan bidang pertanian, serta aktivitas petani dalam mencari informasi ke luar sistem sosialnya melalui berbagai media komunikasi yang dapat diakses atau tersedia di lingkungannya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada umumnya (77%) responden memiliki tingkat kekosmopolitan pada kategori sangat rendah dan rendah dengan skor 050. Petani sayuran yang tingkat kekosmopolitannya tinggi sebagian besar juga merupakan pedagang pengepul yang sering ke luar desa (ke pasar) untuk berdagang atau berhubungan dengan pihak lain terkait dengan profesinya sebagai pedagang pengepul. Terkait dengan intensitas petani dalam mencari informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani melalui berbagai media komunikasi (baik media konvensional maupun media baru berbasis teknologi informasi), kelompok terbesar (68%) berada pada kategori sangat rendah dan rendah. Media komunikasi yang paling sering digunakan petani selain telepon genggam adalah pertemuan kelompok, pertemuan dengan penyuluh, siaran televisi, siaran radio, dan media cetak.

26

Selain sebagai modal manusia, petani dalam sistem sosialnya juga merupakan unsur dari modal sosial. Modal sosial merupakan cerminan sejauh mana masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang bersifat unik mampu mengembangkan hubungan, interaksi, dan transaksi sosial sehingga terwujud struktur sosial. Hal ini sejalan dengan pengertian dan unsur modal sosial yang dikemukakan oleh Putnam et al. (1993) yang menyatakan bahwa unsur organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan (hubungan masyarakat) dapat meningkatkan efisiensi masyarakat melalui kemudahan bekerja sama. Modal sosial juga dapat diukur dari besarnya kepercayaan dan timbal-balik dalam suatu masyarakat atau di antara individu-individu. Hal ini sebagaimana disampaikan lebih lanjut oleh Putnam (2006) bahwa modal sosial akan menjadikan masyarakat memiliki nilai kolektif dari semua jaringan sosial dan kecenderungan yang muncul dari jaringan sosial tersebut untuk melakukan sesuatu bagi sesama. Keterlibatan petani dalam kelompok diukur dengan tiga indikator, yaitu keanggotaan dalam kelompok, keaktifan dalam kelompok, dan sikap terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu kelompok. Meskipun ratarata skor untuk tingkat keanggotaan dan keaktifan dalam kelompok sebagian besar dalam kategori rendah dan sedang, ternyata hal ini berbanding terbalik dengan sikap positif responden terhadap kegiatan kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani responden telah menyadari akan pentingnya kegiatan kelompok. Namun karena adanya pengalaman yang kurang baik terhadap realisasi kegiatan kelompok, petani cenderung menjadi apatis terhadap kelompok, sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang responden dari Batu, Jatim. Faktor Lingkungan untuk Mendukung Pemanfaatan Teknologi Informasi Konsekuensi aplikasi teknologi informasi sebagai media komunikasi inovasi pertanian adalah tersedianya sarana prasarana pendukung beroperasinya aplikasi teknologi informasi, baik infrastruktur jaringan komunikasi, sarana untuk akses sistem informasi berbasis teknologi informasi, dan fasilitasi pelatihan untuk meningkatkan kapasitas SDM dalam memanfaatkan teknologi informasi. Mengingat karakteristik petani yang masih banyak memanfaatkan media komunikasi konvensional, meskipun sudah menggunakan teknologi informasi, dalam penelitian ini ketersediaan media komunikasi konvensional juga

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


diperhatikan sebagai media untuk berbagi informasi yang diperoleh petani melalui aplikasi teknologi informasi (Tabel 2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan media komunikasi konvensional di dua lokasi sudah cukup memadai dan sangat memadai, baik media komunikasi melalui tatap muka (pertemuan dengan kelompok tani dan penyuluh), siaran radio, siaran televisi maupun media cetak. Pelangi Desa, Saung Tani, dan Dialog Pertanian merupakan acara siaran televisi yang dominan dilihat oleh petani, sedangkan Radio Komunitas Edelwis merupakan media komunikasi dan sarana berbagi informasi pertanian bagi petani di Desa Ciputri, Pacet. Sebanyak 41% responden menyatakan ketersediaan media komunikasi konvensional kurang dan sangat kurang memadai karena responden tersebut sebagian besar tidak menjadi anggota kelompok atau merasa apatis dengan media komunikasi yang ada karena informasi yang diperoleh dan atau kegiatan yang diikuti tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Media cetak merupakan media yang paling kurang tersedia dibandingkan dengan media konvensional lainnya. Media

cetak yang dapat diakses oleh responden sebagian besar berasal dari distributor sarana produksi. Petani di Jabar merasakan bahwa ketersediaan media konvensional, terutama pertemuan dengan penyuluh dan kelompok lebih tinggi dibandingkan dengan di Jatim. Hal ini juga didukung dengan adanya radio komunitas di Desa Ciputri, Pacet sebagai media komunikasi yang efektif untuk berbagi informasi/pengetahuan di lingkungan komunitas dan desa sekitarnya. Berkaitan dengan fasilitas untuk akses sistem informasi berbasis teknologi informasi, termasuk ketersediaan telecenter dan warnet atau komputer berinternet, 50% petani menyatakan masih sangat tidak memadai. Hanya 23% petani yang menyatakan fasilitas untuk mendukung akses sistem informasi berbasis teknologi informasi sudah sangat memadai. Berdasarkan hasil uji beda, ketersediaan fasilitas atau sarana untuk akses sistem informasi berbasis teknologi informasi bagi petani di Desa Giripurno, Batu, Jatim secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan di Desa Ciputri, Pacet, Jabar. Hal ini sangat dipahami karena di Desa Giripurno terdapat Telecenter Kartini Mandiri yang memungkinkan petani

Tabel 2. Jumlah petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur berdasarkan kategori peubah faktor lingkungan untuk pemanfaatan teknologi informasi dan hasil uji beda antarlokasi. Faktor lingkungan

Rata-rata

Jumlah (%)

Ketersediaan media komunikasi konvensional Sangat tidak memadai Kurang memadai Cukup memadai Sangat memadai

14,00 27,50 26,50 32,00

Ketersediaan sarana TI Sangat tidak memadai Kurang memadai Memadai Sangat memadai

50,00 18,00 9,50 22,50

Ketersediaan jaringan komunikasi Sangat tidak baik Kurang baik Baik Sangat baik

1,00 16,50 25,00 58,00

Keterjangkauan terhadap fasilitasi pelatihan Sangat tidak terjangkau Kurang terjangkau Terjangkau Sangat terjangkau

62,50 18,00 8,50 11,00

Sig

Jawa Barat

Jawa Timur

(uji t)

59,80

54,60

0,007**

31,25

47,25

0,001**

76,92

83,42

0,023*

18,67

22,67

0,247

Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

27


dapat mengakses informasi melalui internet yang dibangun oleh Bank Dunia. Ketersediaan dan kondisi infrastruktur jaringan komunikasi (jaringan internet, jaringan listrik, dan jaringan telepon) di Jabar maupun di Jatim sudah sangat memadai. Jaringan telepon di beberapa desa di wilayah Pacet dan Giripurno sudah tersedia sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai sarana sambungan jaringan internet. Wilayah yang terjangkau sambungan telepon rumah sebagian dialihfungsikan sebagai sarana untuk instalasi jaringan internet. Penyedia jasa (provider) yang banyak tersedia dan digunakan sebagai jaringan telekomunikasi oleh petani di Pacet adalah yang berbasis Global System for Mobile Communication (GSM) yang didominasi oleh dua provider, sedangkan di Giripurno didominasi dengan jaringan berbasis Code Division Multiple Access (CDMA). Variasi koneksi jaringan ini sangat dipahami karena penggunaan layanan jaringan telekomunikasi akan bergantung pada kondisi infrastruktur jaringan telekomunikasi atau provider yang paling mudah diakses petani setempat. Pemanfaatan teknologi informasi, utamanya internet untuk akses dan pengelolaan informasi memerlukan dukungan media belajar secara terprogram melalui pelatihan dan sosialisasi agar petani dapat memanfaatkan teknologi informasi yang tersedia dengan optimal. Namun, mayoritas (81%) responden menyatakan bahwa fasilitasi pelatihan sangat tidak terjangkau dan kurang terjangkau. Meskipun telah ada telecenter, pelatihan pemanfaatan teknologi informasi untuk akses dan pengelolaan informasi masih belum menjangkau petani secara luas. Pelatihan yang dilaksanakan di telecenter Kartini Mandiri, meskipun telah menyentuh petani sayuran, masih ditargetkan bagi para pelajar dari sekolah di sekitar Kecamatan Bumiaji, Batu.

Persepsi Petani Terhadap Karakteristik Teknologi Informasi Pemanfaatan teknologi informasi merupakan media baru dalam komunikasi inovasi pertanian. Internet merupakan salah satu bentuk revolusi terkait dengan pengelolaan informasi dan berkomunikasi dengan orang lain secara cepat dan tanpa terkendala ruang dan jarak. Dengan menggunakan surat elektronik dan layanan pesan singkat (SMS) dapat dilakukan komunikasi langsung secara cepat dan berbagi informasi maupun dokumen (Browning et al. 2008).

28

Teknologi informasi, sebagai media baru dalam komunikasi inovasi pertanian memiliki sifat-sifat khusus yang juga memengaruhi pemanfaatannya di tingkat petani (Browning dan Sornes 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap kelima karakteristik teknologi informasi umumnya cukup baik (Tabel 3). Sebagian besar (82%) responden menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dalam komunikasi inovasi pertanian sudah sesuai dan sangat sesuai dengan kebutuhan. Teknologi informasi, utamanya telepon genggam telah menjadi sarana utama dalam berkomunikasi untuk mendukung kegiatan usaha tani, khususnya untuk mengelola usaha tani dan pemasaran. Sebagian besar petani menyatakan bahwa membeli pulsa untuk operasional telepon genggam sudah menjadi keharusan sebagaimana kebutuhan pokok. Pada umumnya (83%) petani sudah mengaplikasikan sarana teknologi informasi dengan mudah, khususnya telepon genggam untuk menelepon atau mengirim pesan. Namun, untuk jenis sarana teknologi informasi dengan menggunakan komputer dan internet, sebagian besar petani merasa belum mudah mengaplikasikannya karena memerlukan pelatihan khusus. Aplikasi teknologi informasi dalam kegiatan usaha tani lebih menguntungkan secara ekonomi dibandingkan dengan sebelum menggunakan teknologi informasi. Hal ini dikatakan oleh 89% responden. Keuntungan yang sangat dirasakan petani dengan memanfaatkan teknologi informasi, khususnya telepon genggam adalah menghemat waktu dan biaya transportasi. Jangkauan pemasaran hasil pertanian juga menjadi lebih luas hingga mencapai luar kota, bahkan luar pulau dan luar negeri. Keuntungan lain yang dirasakan petani adalah dapat mengakses informasi sesuai dengan kebutuhan melalui internet. Hal ini berbanding lurus dengan kemudahan teknologi informasi untuk dilihat hasilnya, di mana sebagian besar (lebih dari 90%) responden menyatakan sangat mudah untuk melihat hasilnya. Hampir seluruh (93%) responden menyatakan bahwa implementasi teknologi informasi mudah dan sangat mudah dilihat hasilnya. Hal ini berbanding lurus dengan keuntungan relatif yang dapat dirasakan dengan adanya teknologi informasi. Petani yang belum mampu mengakses teknologi informasi pun sudah dapat melihat bahwa dengan adanya teknologi informasi, akses informasi menjadi lebih cepat dan dapat memperluas jaringan pemasaran.

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


Tabel 3. Persepsi petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur terhadap karakteristik teknologi informasi dan hasil uji beda antarlokasi. Karakteristik TI

Jumlah (%)

Kesesuaian TI dengan kebutuhan Sangat tidak sesuai Kurang sesuai Sesuai Sangat sesuai

3,50 15,00 64,50 17,00

Kemudahan TI untuk diaplikasikan Sangat sulit Sulit Mudah Sangat mudah

1,50 16,00 65,50 17,00

Keuntungan relatif TI Sangat tidak menguntungkan Kurang menguntungkan Menguntungkan Sangat menguntungkan

5,50 6,00 69,50 19,00

Kemudahan TI untuk dilihat hasilnya Sangat sulit Sulit Mudah Sangat mudah

1,00 6,00 67,50 25,50

Kesesuaian TI dengan budaya Sangat tidak sesuai Tidak sesuai Sesuai Sangat sesuai

2,00 32,50 30,50 35,00

Rata-rata Jawa Barat

Jawa Timur

Sig (uji t)

76,92

77,83

0,002**

71,33

73,83

0,000**

79,00

77,83

0,000**

75,83

76,75

0,000**

78,75

82,79

0,032*

.

Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.

Sebagian besar (65%) responden menyatakan bahwa implementasi teknologi informasi, utamanya telepon genggam sudah sesuai dengan budaya modern saat ini. Namun 35% menyatakan hal tersebut tidak sesuai dan sangat tidak sesuai. Responden beralasan bahwa menggunakan teknologi informasi khususnya akses internet belum membudaya di masyarakat karena selain sulit diakses juga khawatir terhadap dampak negatif yang mungkin terjadi terkait dengan penipuan dan pornografi (cyber crime). Berdasarkan hasil uji beda diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara persepsi petani di Jabar dan di Jatim terhadap karakteristik teknologi informasi, kecuali pada persepsi petani terhadap keuntungan relatif pemanfaatan teknologi informasi. Petani di Jatim memiliki persepsi yang lebih positif terhadap karakteristik teknologi informasi dibandingkan dengan petani di Jabar dalam hal kesesuaian teknologi informasi dengan kebutuhan,

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

kemudahan aplikasi, kemudahan untuk dilihat hasilnya, dan kesesuaian dengan budaya. Hal ini dapat dipahami karena di Jatim, responden berdomisili di wilayah jangkauan Telecenter Kartini Mandiri sehingga memiliki peluang lebih besar terhadap kegiatan sosialisasi pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani.

Perilaku Petani Sayuran dalam Memanfaatkan Teknologi Informasi Perilaku umumnya didefinisikan sebagai respons atau aksi yang dilakukan oleh seseorang atau segala sesuatu yang dilakukannya. Pengertian perilaku yang sangat umum menunjukkan tindakan atau respons dari sesuatu atau sistem apapun dalam hubungannya dengan lingkungan atau situasi komunikasi yang ada. Rogers dan Shoemaker (1986) menyatakan bahwa perilaku merupakan

29


suatu tindakan nyata yang dapat dilihat atau diamati. Perilaku tersebut terjadi akibat adanya proses penyampaian pengetahuan suatu stimulus sampai ada penentuan sikap untuk bertindak atau tidak bertindak, dan hal ini dapat dilihat dengan menggunakan pancaindera.

ponden memiliki sikap yang sangat positif, sedangkan dari aspek keterampilan rata-rata termasuk dalam kategori sedang. Gambaran umum perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi dan rata-rata skor untuk masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 4.

Perilaku atau tingkah laku adalah kebiasaan bertindak, yang menunjukkan tabiat seseorang yang terdiri atas pola-pola tingkah laku yang digunakan oleh individu dalam melakukan kegiatan. Lebih jauh dikatakan bahwa perilaku terjadi karena adanya penyebab tingkah laku (stimulus), motivasi tingkah laku, dan tujuan tingkah laku. Terdapat tiga komponen yang memengaruhi perilaku manusia, yaitu komponen afektif, kognitif, dan konatif. Komponen afektif merupakan aspek emosional. Komponen kognitif merupakan aspek intelektual, yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia. Komponen konatif adalah aspek yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak (Rakhmat 2002).

Berdasarkan hasil analisis, rata-rata tingkat pengetahuan dan keterampilan petani sayuran di Jabar dalam memanfaatkan teknologi informasi lebih tinggi dibandingkan dengan di Jatim. Hal ini dibuktikan pula dengan adanya perbedaan yang nyata antara tingkat pengetahuan dan keterampilan antara dua lokasi, yaitu petani di Jabar rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Jatim. Keadaan ini berbanding terbalik dengan skor sikap petani di Jatim dan di Jabar, yaitu petani di Jatim menunjukkan sikap yang nyata lebih positif dibandingkan dengan petani di Jabar. Berdasarkan analisis lebih lanjut terhadap hasil wawancara mendalam dan data kualitatif diketahui bahwa hal ini terjadi karena petani yang terampil dan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi beberapa di antaranya bersikap ragu-ragu, khususnya terkait dengan pemanfaatan telepon genggam maupun komputer berinternet. Dengan terbukanya informasi melalui koneksi internet, sebagian petani di Jabar merasa khawatir maraknya penipuan dan pornografi sehingga lebih bersikap hati-hati dalam memanfaatkan teknologi informasi.

Aspek perilaku terhadap pemanfaatan teknologi informasi yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani dalam memanfaatkan teknologi informasi. Pada umumnya, responden di Pacet (Jabar) dan Giripurno (Jatim) memiliki tingkat pengetahuan terhadap pemanfaatan teknologi informasi yang masih rendah, dengan skor di bawah 50. Namun, apabila dilihat dari aspek sikap, rata-rata res-

Tabel 4. Jumlah petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur berdasarkan kategori peubah perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi dan hasil uji beda antarlokasi.

Perilaku dalam memanfaatkan TI

Jumlah (%)

Pengetahuan terhadap aplikasi TI Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi

29,00 42,50 15,00 13,50

Sikap terhadap pemanfaatan TI Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju

0,00 0,00 19,00 81,00

Keterampilan dalam pemanfaatan TI Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi

0,00 49,50 29,00 21,50

Rata-rata Jawa Barat

Jawa Timur

Sig (uji t)

44,70

33,35

0,001**

85,67

92,08

0,000**

66,00

58,83

0,008**

Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.

30

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


Faktor yang Memengaruhi Perilaku Petani Sayuran dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi Secara umum, seluruh peubah karakteristik individu, yaitu umur, pendidikan formal, kepemilikan sarana teknologi informasi, lama menggunakan sarana teknologi informasi, luas penguasaan lahan, tingkat kekosmopolitan, dan keterlibatan dalam kelompok memiliki hubungan yang nyata dengan aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi, khususnya pada aspek pengetahuan dan keterampilan petani di Jatim dalam memanfaatkan teknologi informasi (Tabel 5). Semakin tinggi pendidikan formal responden dan tingkat kepemilikan sarana teknologi informasi, semakin tinggi pula pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani. Namun umur petani memiliki hubungan negatif dengan seluruh aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi. Semakin tua umur petani, cenderung semakin rendah tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Batte et al. (1990) dan Warren et al. (2000) bahwa faktor yang memengaruhi tingkat pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi antara lain adalah umur, pendidikan, dan luas penguasaan lahan. Adanya hubungan yang negatif antara umur dan perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi dapat dipahami karena aplikasi teknologi informasi memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi dan membutuhkan tingkat kemampuan/pengetahuan yang memadai, setidaknya responden dapat membaca dengan lancar dan memahami perintah yang ada, sementara responden yang berusia tua cenderung memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Terdapat satu responden dengan usia tua (59

tahun) yang memiliki perilaku sangat positif dalam pemanfaatan teknologi informasi. Setelah dianalisis dari hasil wawancara mendalam, ternyata responden telah lebih dari 10 tahun mengenal dan menggunakan komputer berinternet, telepon genggam, dan komputer. Berbeda dengan di Jatim, luas penguasaan lahan, tingkat kekosmopolitan, dan keterlibatan dalam kelompok petani di Jabar tidak berhubungan nyata dengan seluruh aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi. Dinamika kelompok dan intensitas penyuluhan di Jabar yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Jatim menyebabkan petani memiliki tingkat kekosmopolitan dan keterlibatan dalam kelompok yang lebih merata sehingga hubungannya dengan perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi menjadi kurang tampak. Tingkat kekosmopolitan dan keterlibatan petani di Jabar dalam suatu kelompok tidak memiliki hubungan nyata dengan aspek sikap terhadap pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani. Hal ini cukup dipahami karena sikap petani di Jabar lebih cenderung dipengaruhi oleh pengalamannya selama menggunakan teknologi informasi dan persepsinya terhadap karakteristik teknologi informasi. Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa untuk petani di Jabar maupun di Jatim, keterjangkauan terhadap fasilitasi pelatihan merupakan aspek faktor lingkungan yang memiliki hubungan positif secara nyata (P < 0,01) terhadap hampir seluruh aspek perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi, kecuali untuk aspek sikap bagi petani di Jatim. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi keterjangkauan petani terhadap fasilitasi pelatihan akan meningkatkan pengeta-

Tabel 5. Nilai hubungan antara karakteristik individu dengan perilaku petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur dalam memanfaatkan teknologi informasi.

Karakteristik individu

Umur Pendidikan formal Kepemilikan TI Lama menggunakan TI Penguasaan lahan Tingkat kekosmopolitan Keterlibatan dalam kelompok

Tingkat pengetahuan terhadap TI

Sikap terhadap pemanfaatan TI

Keterampilan menggunakan TI

Jawa Barat

Jawa Timur

Jawa Barat

Jawa Timur

Jawa Barat

-484** 454** 506** 298** -0,012 -0,071 0,096

-445 680** 645** 623** 358** 402** 225*

-375** 413** 404** 206* -0,008 -0,009 -0,149

-242* 332** 385** 0,124 0,127 269** 0,052

-485** 528** 511** 375** 0,088 0,027 0,034

Jawa Timur -361** 614** 662** 590** 320** 402** 358**

Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

31


Tabel 6.

Nilai hubungan antara faktor lingkungan dengan perilaku petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur dalam memanfaatkan teknologi informasi.

Faktor lingkungan

Ketersediaan media konvensional Ketersediaan sarana TI Ketersediaan infrastuktur Keterjangkauan fasilitas pelatihan

Tingkat pengetahuan terhadap TI Jawa Barat

Jawa Timur

0,105 0,118 0,102 0,394**

0,043 0,479** 0,328** 0,498**

Sikap terhadap pemanfaatan TI Jawa Barat

Jawa Timur

0,151 0,328** 0,098 0,346*

-0,039 0,202* 0,174 0,185

Keterampilan menggunakan TI Jawa Barat

Jawa Timur

0,235* 0,245* 0,135 0,551**

0,063 0,456** 0,229* 0,503**

Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.

huan, sikap, dan keterampilan petani dalam memanfaatkan teknologi informasi. Semakin tinggi ketersediaan sarana teknologi informasi di lingkungan petani Jabar maupun Jatim akan mendorong pada semakin tingginya tingkat keterampilan, pengetahuan, dan sikap petani dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung usaha tani, kecuali pada aspek pengetahuan bagi petani di Jawa Barat. Tidak adanya hubungan yang nyata antara ketersediaan sarana teknologi informasi dan tingkat pengetahuan petani di Jabar dalam pemanfaatan teknologi informasi disebabkan oleh proaktifnya petani di wilayah tersebut. Meskipun sarana teknologi informasi khususnya yang berbasis internet tidak banyak tersedia di lingkungannya, petani yang sebagian besar masih muda biasa belajar untuk akses internet ke warung internet atau ke penyuluh pada saat mengikuti kegiatan kelompok. Salah satu faktor pendukungnya adalah adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan akan informasi pasar karena dekatnya wilayah Pacet dengan pusat kota (Jakarta) sehingga sarana teknologi informasi sangat diperlukan untuk akses informasi dan komunikasi. Di samping itu, kegiatan kelompok dianggap juga sebagai sarana penting untuk berbagi informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani. Berdasarkan data pada Tabel 6, diketahui bahwa ketersediaan infrastruktur jaringan komunikasi di Jatim memiliki hubungan yang nyata positif dengan tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi informasi dan keterampilan petani. Pada umumnya kondisi infrastruktur jaringan komunikasi pada kedua lokasi penelitian telah cukup memadai untuk mengakses sistem informasi berbasis teknologi informasi, namun ketersediaan sarananya belum memadai, khususnya di Jabar. Sebaliknya, ketersediaan media komunikasi konvensional hanya memiliki hubungan nyata positif dengan tingkat kete-

32

rampilan petani di Jabar dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini cukup dipahami karena dinamika kelompok di tingkat petani di Jabar lebih tinggi dibandingkan dengan di Jatim. Karakteristik teknologi informasi merupakan aspek penting yang memiliki pengaruh nyata terhadap aspek perilaku petani di Jabar maupun di Jatim dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya hubungan positif yang nyata untuk hampir seluruh aspek persepsi petani terhadap karakteristik teknologi informasi dengan perilaku petani, baik pengetahuan, sikap, maupun keterampilan dalam memanfaatkan teknologi informasi. Persepsi petani terhadap kesesuaian teknologi informasi dengan budaya berhubungan positif secara nyata pada P < 0,01 dengan tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani di Jatim dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hubungan antara karakteristik teknologi informasi dengan perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi disajikan pada Tabel 7. Keuntungan relatif merupakan aspek karakteristik teknologi informasi yang paling tinggi hubungannya dengan aspek pengetahuan dan keterampilan petani khususnya di Jatim dalam memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini berarti semakin tinggi petani merasakan keuntungan dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani, semakin tinggi pula pengetahuan dan tingkat keterampilannya dalam memanfaatkan teknologi informasi.

KESIMPULAN Petani di Jabar memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan teknologi informasi yang

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


Tabel 7.

Nilai hubungan antara persepsi petani sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur terhadap karakteristik teknologi informasi dengan perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi.

Karakteristik TI

Ketersediaan TI dengan kebutuhan Kemudahan untuk dilihat hasilnya Keuntungan relatif Kemudahan untuk diaplikasikan Kesesuaian dengan budaya

Tingkat pengetahuan terhadap TI

Sikap terhadap pemanfaatan TI

Jawa Barat

Jawa Timur

Jawa Barat

Jawa Timur

0,357** 0,495** 0,285** 0,308** 0,181

0,532** 0,411** 0,651** 0,472** 0,261**

0,295** 0,342** 0,417** 0,493** 0,250*

0,285** 0,212* 0,298** 0,275** 0,114

Keterampilan menggunakan TI Jawa Barat 470** 497** 527** 413** 0,283**

Jawa Timur 555** 387** 634** 399** 0,250**

Keterangan: **signifikan pada P < 0,01 dan *signifikan pada P < 0,05.

secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Jatim, meskipun tidak didukung oleh program pengembangan akses sistem informasi berbasis teknologi informasi (telecenter). Hal ini karena petani di Jabar lebih proaktif dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk penetrasi pasar dan pengembangan jaringan pemasaran karena faktor kedekatan lokasi dengan ibukota Jakarta Teknologi informasi dimanfaatkan petani sayuran sebagai sarana komunikasi dan berbagi informasi, promosi usaha tani, serta untuk akses informasi produksi dan teknologi pertanian. Namun, secara umum perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi baik di Jabar maupun di Jatim untuk pengetahuan masih relatif rendah dan tingkat keterampilannya dalam kategori sedang. Sikap petani terhadap pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani cukup positif. Karakteristik individu yang berhubungan nyata dengan perilaku petani sayuran dalam memanfaatkan teknologi informasi adalah umur, pendidikan formal, kepemilikan sarana teknologi informasi, lama menggunakan sarana teknologi informasi, luas penguasaan lahan, tingkat kekosmopolitan, dan keterlibatan dalam kelompok. Keterjangkauan terhadap pelatihan dan ketersediaan sarana teknologi informasi merupakan aspek faktor lingkungan yang memiliki hubungan positif secara nyata dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dalam pemanfaatan teknologi informasi. Faktor persepsi terhadap karakteristik teknologi informasi yang berhubungan nyata dengan perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi adalah keuntungan relatif dan kemudahan untuk dilihat hasilnya.

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

DAFTAR PUSTAKA BPS (Badan Pusat Statistik). 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Edisi 9 Februari 2011. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Batte, M.T., E. Jones, and G.D. Schnitkey. 1990. Computer use by Ohio commercial farmers. Am. J. Agric. Econ. 72: 935945 Browning, L.D. and J.O. Sornes. 2008. Rogers’ Diffusion of Innovation. p. 47-56. In L.D. Browning, A.S. Saetre, K.K. Stephens, and J. O. Sornes. Information and Communication Technology in Action. Linking Theory and Narratives of Practice. Routledge, New York and London. Browning, L.D., A.S. Saetre, K.K. Stephens, and J.O. Sornes. 2008. Information and Communication Technology in Action. Linking Theory and Narratives of Practice. Routledge, New York and London. 304 pp. Krzanowski, W.J. 2007. Statistical Principles and Techniques in Scientific and Social Research. OXFORD University Press. 300 pp. Putnam, R.D, R. Leonardi, and R.Y. Nanetti. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton Univer. Press. Princeton. 258 pp. Putnam, R.D. 2006. E Pluribus Unum: Diversity and Community in the Twenty-First Century, Sacn. Pol. Stud. 30(2): 137174. Rakhmat, J. 2002. Metode Penelitian Komunikasi; dilengkapi Contoh dan Analisa Statistik. Remaja Rosda Karya, Bandung. Rogers, E.M. and F.F. Shoemaker. 1986. Communication of Innovations: A Cross Cultural Approach. Collier MacMill. Publisher, London. 476 pp. Sigit, I., M.S. Widodo, dan A. Wibisono. 2006. Laporan Khusus, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 3 Agustus 2006. Tamba, M. 2007. Kebutuhan Informasi Pertanian dan Aksesnya bagi Petani Sayuran: Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, Kasus di Provinsi Jawa Barat. Disertasi, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Taragola, N., Van Lierde, and E. Gelb. 2009. Information and communication technology (ICT) adoption in horticulture: Comparison of the EFITA, ISHS, and ILVO questionnaires.

33


UPIPD Kelayu Selatan. 2009. Laporan Telecenter P4MI Kelayu Selatan Juni 2009. P4MI Lombok Timur, Selong. Warren, M.F., R.J. Soffe, and M.A.H. Store. 2000. Farmers, computers and the internet: A study of adoption in

34

contrasting regions of England. Farm Mgmt. 10(11): 665684. Nasution, M.E. dan H. Usman 2006. Proses Penelitian Kuantitatif. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


KEAMANAN KOLEKSI PERPUSTAKAAN Akhmad Syaikhu HS1,2) dan Sevri Andrian Ginting2) Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122 Telp. (0251) 8321746, Faks. (0251) 8326561, 8328592 E-mail: pustaka@litbang.deptan.go.id 2) Mahasiswa Magister Chief Information Officer (MCIO), STEI - ITB Jalan Ganesha No. 10, Bandung 40132, Telp. (022) 2502260, Faks. (022) 2534222 E-mail: stei@stei.itb.ac.id

1)

Diajukan: 8 Februari 2011; Diterima: 7 Maret 2011

ABSTRAK Masalah keamanan (security) merupakan salah satu aspek penting dalam menjaga kelestarian koleksi perpustakaan. Koleksi perpustakaan dapat mengalami kerusakan disebabkan oleh faktor alam, seperti sinar matahari langsung dan kelembapan udara, oleh manusia maupun hewan. Manusia dalam hal ini pengguna perpustakaan yang merupakan penyebab utama kerusakan fisik pada koleksi perpustakaan. Kerusakan pada koleksi perpustakaan yang disebabkan oleh manusia mencakup pencurian, perobekan, peminjaman tidak sah dan vandalisme. Berbagai teknologi pengamanan koleksi perpustakaan yang berkembang saat ini dapat dimanfaatkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan koleksi perpustakaan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengamankan koleksi perpustakaan adalah dengan memerhatikan keamanan fisik/ physical security di perpustakaan seperti perancangan arsitektur perpustakaan, penggunaan teknologi keamanan (barcode, RFID, microdots dan CCTV), dan kebijakan keamanan, prosedur, dan rencana.

ABSTRACT Library Collection Security One of the important aspects of preserving the library collection is security. Library collection may damage due to natural factors, such as a direct sunrise beam, humidity, human acts or insects. Library user is the main cause of the physical damage, by stealing, tearing, illegal borrowing and vandalizing. Various technologies to secure the collection have been developed, they can be used to prevent the abuse of the collection. Means to attain the security are: by giving a particular attention to the library architectural design, the use of security technologies, such as barcode, RFID, microdots and CCTV, as well as providing the security policy, procedures, and planning. Keywords: Library collection, physical security, security technology, security policies

PENDAHULUAN Perpustakaan sebagai lembaga yang menghimpun, mengelola, dan mengatur media, baik cetak maupun non-

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

cetak, merupakan sumber informasi, media pendidikan, media rekreasi, dan media riset bagi masyarakat. Esensinya para pengguna akan lebih mementingkan dan mencurahkan perhatiannya pada pengelolaan serta pengamanan koleksi perpustakaan yang menjadi kebutuhan aktualnya. Koleksi perpustakaan dapat dibangun dan dipelihara dengan baik melalui kegiatan pengembangan koleksi yang terencana dan sistematis. Koleksi perpustakaan dapat mengalami kerusakan karena faktor alam (sinar matahari langsung dan kelembapan udara) maupun manusia. Manusia dalam hal ini pengguna perpustakaan dapat menyebabkan kerusakan fisik pada koleksi perpustakaan, berupa dokumen kotor, goresan pada foto atau rekaman, halaman sobek, dan lain-lain, bahkan dapat menyebabkan hilangnya bahan pustaka dari perpustakaan. Hal ini sesuai dengan Soetminah (1992) yang menyatakan bahwa manusia yang tidak bertanggung jawab merupakan perusak yang paling hebat karena tidak hanya menyebabkan kerusakan, tetapi juga hilangnya bahan pustaka. Sulistyo-Basuki (1991) juga menegaskan bahwa pengguna perpustakaan dapat merupakan lawan atau kawan. Pengguna perpustakaan menjadi kawan bila dapat membantu pengamanan buku dengan cara menggunakan bahan pustaka secara cermat dan hati-hati, dan akan menjadi musuh bila memperlakukan buku dengan kasar sehingga sobek atau rusak. Penyalahgunaan koleksi perpustakaan dapat mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi perpustakaan. Kerugian tersebut mencakup kerugian finansial dan sosial. Kerugian finansial adalah kerugian yang dirasakan oleh perpustakaan dalam hal dana yang harus dikeluarkan untuk mengganti koleksi yang rusak, memperbaiki kerusakan kertas, dan menjaga kualitas bahan pustaka. The University of California San Diego Libraries menyatakan telah memperbaiki koleksi lebih dari seribu halaman setiap bulan, dan sebagian besar koleksi per-

35


pustakaan dirusak secara sengaja atau akibat tindakan mutilasi (Fitrihana 2008). Kerugian sosial yang dialami perpustakaan karena adanya koleksi yang rusak antara lain adalah berkurangnya kepercayaan pengguna atau menurunnya citra (image) perpustakaan sebagai gudang informasi. Tindakan penyobekan dapat menimbulkan rasa marah dan frustasi pada pengguna yang menginginkan suatu artikel pada suatu majalah yang ternyata tidak tersedia karena disobek pengguna lain. Pengguna terkadang harus menunggu beberapa hari untuk memperoleh artikel yang diinginkan akibat perbaikan majalah oleh pustakawan (Constantinou 1995). Tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran mengenai kerusakan pada koleksi perpustakaan, penyebab kerusakan, dan berbagai upaya pengamanan koleksi perpustakaan. Pemanfaatan teknologi yang berkembang saat ini sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan koleksi perpustakaan.

PENYEBAB KERUSAKAN KOLEKSI PERPUSTAKAAN Penyalahgunaan Koleksi Perpustakaan sangat rawan terhadap tindakan penyalahgunaan koleksi. Hal ini disebabkan salah satunya oleh sistem layanan perpustakaan yang digunakan. Umumnya perpustakaan menyediakan layanan dengan sistem terbuka. Pada sistem tersebut, pengguna dapat secara langsung memilih bahan pustaka yang diinginkan pada rak tempat jajaran koleksi diletakkan. Hal ini dapat mendorong terjadinya penyalahgunaan koleksi perpustakaan oleh pengguna. Menurut Obiagwu (1992), tindakan penyalahgunaan koleksi dapat digolongkan menjadi empat, yaitu pencurian (theft), penyobekan (mutilation), peminjaman tidak sah (unauthorized borrowing), dan vandalisme (vandalism). Pencurian merupakan tindakan mengambil bahan pustaka tanpa melalui prosedur yang berlaku di perpustakaan dengan atau tanpa bantuan orang lain. Pencurian dapat bermacam-macam jenisnya, dari yang bersifat kecil sampai besar. Bentuk pencurian yang sering terjadi adalah menggunakan kartu perpustakaan curian. Mencuri koleksi perpustakaan merupakan tindakan kriminal yang dapat merugikan pengguna karena koleksi perpustakaan diperuntukkan bagi seluruh pengguna. Tindakan tersebut dapat menghalangi pengguna memperoleh informasi yang terkandung dalam koleksi tersebut. Perpustakaan secara materi mengalami kerugian setiap

36

kali terjadi pencurian koleksi, apalagi bila yang dicuri adalah koleksi langka. Walaupun demikian, pemberian sanksi atau hukuman terhadap penyalahgunaan koleksi perpustakaan belum dilaksanakan secara optimal. Penyobekan adalah tindakan menyobek, memotong atau menghilangkan artikel/ilustrasi dari jurnal, majalah, buku, ensiklopedia, dan lain-lain tanpa atau dengan menggunakan alat. Selain pencurian, penyobekan merupakan tindakan yang rentan terjadi di perpustakaan. Menyobek sebagian halaman buku merupakan tindakan yang merugikan karena dapat mengurangi kandungan informasi dalam buku tersebut. Peminjaman tidak sah merupakan tindakan pengguna yang melanggar ketentuan peminjaman, yang meliputi pelanggaran batas waktu pinjam atau jumlah koleksi yang dipinjam, membawa pulang bahan pustaka dari perpustakaan tanpa melapor ke petugas/pustakawan meskipun akan mengembalikannya, dan membawa pulang bahan pustaka yang belum diproses dari bagian pelayanan teknis. Bentuk lain dari peminjaman tidak sah adalah peredaran buku yang tersembunyi di dalam perpustakaan. Vandalisme adalah tindakan perusakan bahan pustaka dengan menulisi, mencoret-coret, memberi tanda khusus atau membasahi buku. Tindakan ini dapat mengurangi kenyaman dalam membaca.

Bentuk Lain Kerusakan Koleksi Kerusakan pada koleksi perpustakaan, selain disebabkan oleh tindakan manusia, juga terjadi karena faktor keamanan lingkungan fisik, bencana banjir, kebakaran, serta hewan. Pembangunan perpustakaan perlu mempertimbangkan faktor keamanan lingkungan fisik, seperti lokasi koleksi dengan memperhitungkan antisipasi terhadap bencana (kebakaran dan banjir) dan hama. Lingkungan perpustakaan harus dibangun sesuai spesifikasi yang disyaratkan, seperti pengaturan sistem sirkulasi udara dan pencahayaan untuk fasilitas perpustakaan seperti lantai, rak buku, ruang baca, ruang kerja, tangga, lift, dan toilet. Koleksi khusus perpustakaan dan bahan yang sensitif perlu disimpan dalam ruangan berpendingin (AC) secara terus-menerus selama 24-jam agar kelembapannya tetap terjaga, serta lantai, dinding, dan rak dibersihkan secara teratur. Selain lingkungan fisik, banjir atau kebakaran juga dapat menghancurkan koleksi perpustakaan. Fenomena ini terjadi di banyak perpustakaan. Sebagian besar penyebab kebakaran di perpustakaan adalah terjadinya

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


kosleting arus listrik. Oleh karena itu, penataan instalasi listrik harus sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku. Selain itu, gedung perpustakaan perlu dilengkapi alat pemadam kebakaran yang mudah diakses dan dioperasikan oleh setiap staf perpustakaan. Koleksi perpustakaan yang berharga disimpan di dalam brankas tahan api.

fisik perpustakaan perlu mempertimbangkan berbagai aspek, seperti arsitektur, petugas keamanan, dan pengamanan bangunan fisik perpustakaan (Mc Comb 2004).

Kerusakan koleksi perpustakaan juga dapat disebabkan oleh hewan (hama), seperti tikus, rayap, kecoa, dan kutu buku. Untuk itu perlu dilakukan penyemprotan secara periodik untuk mengendalikan hewan perusak koleksi perpustakaan.

Perencanaan arsitektur dalam pembangunan perpustakaan perlu dilakukan secara tepat untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pengguna. Perancangan arsitektur perpustakaan mencakup penataan ruang (landscaping) di luar bangunan dan ruang perpustakaan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perancangan arsitektur perpustakaan adalah aspek pencahayaan secara terus-menerus dan cukup pada pintu masuk kendaraan dan pejalan kaki serta area sirkulasi untuk menciptakan suasana yang aman serta mendukung aspek pengawasan. Selain itu, penempatan tanda-tanda yang jelas harus diperhatikan, seperti tanda pintu masuk dan keluar perpustakaan, tanda peringatan/imbauan, parkir bagi karyawan dan pengunjung, kendaraan, dan pejalan kaki. Pengaturan bagian-bagian landscaping harus dilakukan dengan baik dalam rangka meningkatkan keamanan. Gambar 1 menunjukkan landscaping, desain arsitektur perpustakaan yang dapat menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi pengguna.

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN KOLEKSI PERPUSTAKAAN Untuk mengurangi risiko tindakan penyalahgunaan koleksi perpustakaan, perlu diperhatikan tiga aspek, yaitu: (1) keamanan fisik (physical security) perpustakaan, yang mencakup arsitektur, staf keamanan, dan perangkat keras, seperti perlindungan pada pintu dan jendela; (2) penggunaan teknologi keamanan seperti barcode, radio frequency identification (RFID), microdots, dan closed circuit television (CCTV); dan (3) kebijakan keamanan, prosedur, dan rencana.

Pengamanan Fisik Perpustakaan Pengamanan koleksi perpustakaan mencakup keamanan lingkungan fisik perpustakaan. Dalam hal ini, keamanan

Pertimbangan Arsitektur

Pengawasan terhadap kendaraan juga penting. Jarak antara gedung perpustakaan dan tempat parkir kendaraan harus diatur dengan tepat. Bagian-bagian gedung lainnya seperti dinding, pagar, pohon, hambatan statis, dan pintu masuk kendaraan perlu dirancang

Gambar 1. Desain arsitektur perpustakaan (Mc Comb 2004).

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

37


secara tepat untuk mencegah kendaraan masuk dengan kecepatan tinggi. Ruang penyimpanan koleksi khusus perpustakaan, terutama buku langka atau artefak membutuhkan perencanaan arsitektur dan desain khusus terkait dengan sistem keamanan. Area gedung perpustakaan yang umumnya berhubungan dengan keamanan adalah pintu masuk, ruang penyimpanan arsip dan koleksi khusus, ruang baca koleksi khusus, ruang baca untuk anak-anak, bagian khusus bangunan seperti instalasi listrik, komunikasi, peralatan keamanan, dan pusat kontrol bangunan, kamar kecil, ruang penerimaan dan pengiriman barang, tangga, ruangan kantor, dan atap bangunan. Pintu masuk dan keluar perpustakaan harus mendapat perhatian khusus karena berkaitan dengan kemungkinan terjadinya pencurian bahan pustaka. Alat deteksi magnetik perlu ditempatkan di lokasi tersebut untuk mencegah bahan pustaka yang tidak terdaftar dibawa keluar melewati ruang pemeriksaan. Personil Keamanan

Pengamanan pada pintu mencakup kunci silinder, gerendel, dan pintu gerbang. Kunci silinder dengan kait perakit terkunci akan memberikan pengamanan pada pintu. Penambahan gerendel akan meningkatkan keamanan pada pintu. Pengamanan pintu dengan menggunakan pintu gerbang tidak selalu dapat diterima dan memerlukan penanganan khusus untuk memberi akses keluar jika terjadi kebakaran. Biasanya penggunaan pintu gerbang hanya dipertimbangkan untuk lingkungan dengan tingkat kejahatan tinggi. Pintu gerbang keamanan sangat baik untuk situasi yang memerlukan keamanan tinggi pada saat perpustakaan ditutup atau pada titiktitik akses yang terbatas (seperti entri belakang), tetapi visibilitas dan aliran udara perlu diperhatikan.

Penggunaan Teknologi Keamanan Cara mutakhir untuk mencegah penyalahgunaan koleksi perpustakaan, seperti pencurian adalah dengan memanfaatkan teknologi, seperti barcode, RFID, microdots, dan CCTV.

Tim keamanan sebagai bagian dari perencanaan keamanan perpustakaan perlu mengevaluasi kebutuhan petugas keamanan, baik selama jam kerja normal maupun setelah perpustakaan ditutup. Personil keamanan biasanya berpatroli di dalam perpustakaan dan memantau keadaan ruang perpustakaan melalui CCTV. Petugas keamanan juga dapat menjaga akses perpustakaan pada lobi utama.

Barcode

Perangkat Keras Nonfisik

Salah satu kemajuan teknologi komputer yang dapat dimanfaatkan untuk mencegah pencurian koleksi perpustakaan adalah pemberian kode pada koleksi dengan kode baris (barcode). Sistem ini memungkinkan melakukan pengelolaan koleksi dengan tepat, cepat, dan akurat. Barcode digambarkan dalam bentuk baris hitam tebal dan tipis yang disusun berderet secara horizontal. Untuk membantu pembacaan secara manual dicantumkan juga angka-angka di bawah kode baris tersebut, namun angka-angka tersebut tidak mendasari pola kode baris yang tercantum. Alat yang digunakan untuk membaca barcode adalah barcode scanner. Penggunaan barcode scanner sangat mudah sehingga pengguna (operator) hanya memerlukan sedikit latihan (Mardiana 1996).

Kondisi fisik bangunan perpustakaan merupakan pertahanan tingkat pertama terhadap ancaman pencurian maupun vandalisme. Bagian-bagian bangunan perpustakaan seperti jendela dan pintu harus dipastikan dapat terkontrol dan terlindungi dari akses orang yang tidak berkepentingan terhadap koleksi perpustakaan. Kunci sebaiknya dipasang pada semua jendela yang dapat dibuka dan dapat diakses tanpa tangga. Namun, untuk keamanan sebaiknya semua jendela dilengkapi kunci yang berfungsi dengan baik, termasuk jendela lantai dasar atau lantai atas, atap garasi atau lainnya, jendela dekat dinding atau pipa atau struktur lainnya, yang dapat digunakan untuk mengakses jendela. Umumnya, jendela yang tingginya lebih dari 60 cm dilengkapi dengan dua daun jendela dengan kunci yang berfungsi dengan baik untuk mencegah pembukaan secara paksa.

38

Penggunaan teknologi pengamanan perpustakaan dapat mengontrol pengunjung dan mengurangi berbagai bentuk pelanggaran. Dengan semakin banyaknya pengunjung diperlukan pemantauan dan pengamanan yang terpadu yang hanya memperbolehkan pengunjung yang telah terdaftar saja yang menggunakan fasilitas perpustakaan.

Barcode scanner dihubungkan dengan komputer melalui keyboard wedge. Barcode scanner dapat membaca informasi/data dengan kecepatan yang lebih tinggi daripada mengetik data secara manual dan memiliki tingkat ketelitian yang lebih tinggi. Barcode scanner

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


dihubungkan secara paralel dengan port keyboard pada CPU komputer, dan berfungsi sama dengan keyboard untuk mengetikkan suatu tulisan. Namun alat ini dapat mengetikkan kode barcode secara otomatis sehingga dapat menghemat waktu dan tenaga (Galbiati 1990). Gambar 2 menyajikan barcode scanner dan aplikasi barcode pada kartu perpustakaan.

Radio Frequency Identification (RFID) Definisi RFID menurut Maryono (2005) adalah teknologi untuk mengidentifikasi seseorang atau objek dengan menggunakan transmisi frekuensi radio, khususnya 125 kHz, 13,65 Mhz atau 800-900 MHz. RFID menggunakan komunikasi gelombang radio untuk mengidentifikasi objek atau seseorang. RFID merupakan teknologi pengumpulan data secara otomatis dan cepat. Teknologi tersebut menciptakan cara mengumpulkan informasi secara otomatis untuk suatu produk, tempat, waktu, atau transaksi dengan cepat, mudah, dan tanpa kesalahan akibat faktor manusia (human error). RFID menyediakan hubungan ke data dengan jarak tertentu tanpa harus melihat secara langsung, dan tidak terpengaruh lingkungan seperti halnya barcode. Identifikasi RFID bukan sekedar kode identifikasi, melainkan sebagai pembawa data, dapat ditulis dan data di dalamnya dapat diperbarui dalam keadaan bergerak. Maryono (2005) mengemukan bahwa RFID merupakan suatu metode identifikasi dengan menggunakan sarana yang disebut label RFID atau transponder (tag) untuk menyimpan dan mengambil data jarak jauh. Label atau transponder (tag) adalah sebuah benda yang dapat dipasang atau dimasukkan ke dalam suatu produk, hewan atau manusia dengan tujuan untuk identifikasi dengan menggunakan gelombang radio. Label RFID terdiri atas

microchip silikon dan antena. Gambar 3 memperlihatkan contoh RFID dan RFID reader. RFID merupakan suatu metode identifikasi dengan cara menyimpan suatu data secara elektronis pada suatu media yang dinamakan RFID tag, untuk kemudian dibaca melalui medium gelombang radio. RFID dapat menggantikan peran barcode. Namun, RFID memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh barcode. Dengan medium gelombang radio, suatu tag RFID dapat terbaca oleh reader RFID dalam jarak jauh selama RFID tag masih berada dalam jangkauan reader. Hal ini memberi peluang untuk melakukan proses tracking terhadap RFID tag yang ada. Cara kerja RFID disajikan pada Gambar 4. Label tag RFID tidak memiliki baterai, tetapi mempunyai antena yang berfungsi sebagai pencatu sumber daya dengan memanfaatkan medan magnet dari pembaca (reader) dan memodulasi medan magnet, yang selanjutnya digunakan untuk mengirimkan data yang ada dalam tag label RFID. Data yang diterima reader diteruskan ke database host komputer. Reader mengirim gelombang elektromagnet, yang kemudian diterima oleh antena pada label RFID. Label RFID mengirim data berupa nomor serial yang tersimpan dalam label, dengan mengirim kembali gelombang radio ke reader. Informasi dikirim ke dan dibaca dari label

RIFD

RIFD Reader

Gambar 3. Radio frequency identification (RFID) dan RFID reader.

Gambar 2. Barcode scanner dan penerapan barcode pada kartu perpustakaan (Mustafa 2010).

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

39


Gambar 4. Cara kerja RFID melalui sinyal frekuensi radio.

RFID oleh reader menggunakan gelombang radio. Dalam sistem yang paling umum, yaitu sistem pasif, reader memancarkan energi gelombang radio yang membangkitkan label RFID dan menyediakan energi agar beroperasi. Pada sistem aktif, baterai dalam label digunakan untuk memperoleh jangkauan operasi label RFID yang efektif, dan fitur tambahan penginderaan suhu. Data yang diperoleh/dikumpulkan dari label RFID kemudian dilewatkan/dikirim melalui jaringan komunikasi dengan kabel atau tanpa kabel ke sistem komputer (Kurniawan 2009). Antena akan mengirimkan data melalui sinyal frekuensi radio dalam jarak yang relatif dekat. Dalam proses transmisi tersebut, antena melakukan komunikasi dengan transponder, dan memberikan energi kepada tag untuk berkomunikasi (untuk tag yang sifatnya pasif). Kelebihan teknologi RFID terletak pada tag yang dipasang tanpa menggunakan sumber energi seperti baterai sehingga dapat digunakan dalam waktu yang sangat lama. Antena bisa dipasang secara permanen (walaupun saat ini tersedia juga yang portable), dan bentuknya beragam. Pada saat tag melewati wilayah sebaran antena, alat ini kemudian mendeteksi wilayah scanning, selanjutnya chip yang ada akan mengirimkan informasi ke antena. Untuk dapat mengetahui kebutuhan perpustakaan secara tepat, perlu diketahui pihak-pihak yang terkait (stakeholder) dengan sistem perpustakaan. Stakeholder pertama adalah pengguna perpustakaan. Mereka mem-

40

punyai kepentingan agar semua proses, baik proses pencarian, pendaftaran keanggotaan, dan sirkulasi dilakukan dengan mudah dan cepat. Stakeholder berikutnya adalah manajemen perpustakaan. Mereka memiliki kepentingan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pengguna perpustakaan. Di samping itu, manajemen perpustakaan juga bertanggung jawab terhadap kondisi fisik dan keamanan koleksi perpustakaan. Untuk mengimplementasikan RFID pada perpustakaan, setiap koleksi perpustakaan dipasangi RFID tag. Pada RFID tag tersebut diisikan data mengenai nomor inventaris, jenis buku, dan status pinjam buku. Dengan adanya status pinjam pada RFID tag, setiap koleksi buku dapat diamankan dengan cara menempatkan sejumlah reader RFID pada pintu keluar/masuk. Reader tersebut dapat dihubungkan dengan sistem alarm yang memberitahukan apabila ada koleksi yang belum dipinjam namun sudah dibawa keluar. Pada proses sirkulasi, pengguna juga dapat melakukan peminjaman secara mandiri, melalui proses yang dibuat otomatis. Gambar 5 menunjukkan implementasi sistem manajemen RFID di perpustakaan. Pengimplementasian sistem manjemen dengan RIFD di perpustakaan dapat berjalan secara efektif bila sistem tersebut didukung oleh teknologi yang tepat dan digunakan pengguna secara tepat pula. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi dan pelatihan kepada pihak manajemen agar penggunaan RFID dapat terjaga. Selain itu, pengguna juga perlu diberi pemahaman yang cukup agar proses otomatisasi dapat dilakukan dengan benar.

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


Gambar 5. Sistem manajemen keamanan di perpustakaan dengan Radio Frequency Identification (RFID). (Gamatechno Indonesia 2011).

Microdot dan DNA Sintetis Teknologi mutakhir berikutnya yang digunakan untuk mengurangi tingkat pencurian di perpustakaan, museum maupun galeri adalah dengan memanfaatkan zat yang dapat dideteksi dalam konsentrasi sangat kecil dan dapat dikombinasikan dengan berbagai cara untuk menandai bahan pustaka, seperti pada koleksi langka dengan kode identitas yang unik. Zat ini dikombinasikan dengan senyawa penanda, perekat dan permanen sehingga jika dikenakan pada permukaan yang kasar atau berpori dapat dengan mudah diketahui dengan lampu ultra violet (Knight 2008). Dengan microdot diharapkan pencuri berpikir keras dalam menjual kembali barang curiannya

karena sulit sekali untuk menghilangkan atau menghapus tanda yang telah direkatkan pada bahan pustaka tersebut. Microdot merupakan sebuah titik atau lingkaran dengan diameter tidak lebih dari 1 mm yang mengandung banyak informasi penting berupa teks, gambar, foto atau video. Teknologi microdot banyak digunakan oleh intel atau mata-mata untuk mengirimkan data penting dan sangat rahasia. Microdot dapat dibuat menjadi berbagai bentuk dan ukuran dan terbuat dari berbagai bahan seperti poliester. Pemberian nama microdots berawal dari bentuk dot/titik yang berukuran mikro (SelectaMark Security System plc. 2011). Gambar 6 memerlihatkan ben-

Gambar 6. Selectadot. Diameter kurang lebih 1 mm (Wright et al. 2005).

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

41


tuk microdot seperti lingkaran dengan diameter sekitar 1 mm. Teknologi microdot sudah ada sejak tahun 1870, tetapi ukurannya masih cukup besar, tidak seperti microdot sekarang. Seorang fotografer bernama Dagron menggunakan teknik mengecilkan foto yang kemudian dikirimkan dengan jasa merpati pada saat perang Perancis - Rusia. Profesor Zapp dari Jerman diklaim sebagai penemu teknik microdot pada perang dunia kedua. Saat ini sedang dikembangkan sejenis microdot yang dapat memberikan sinyal atau lebih tepatnya disebut pemancar. Hal ini sangat bermanfaat terutama untuk kendaraan atau orang yang biasa berpergian. Teknologi ini dapat dipakai oleh kepolisian untuk membantu mendapatkan kembali kendaraan curian sekaligus meringkus pencurinya. Saat ini teknologi microdot banyak digunakan oleh perusahaan untuk menyelamatkan dokumen penting. Perusahaan Selecta Mark telah mengembangkan sistem keamanan ini. Microdot digunakan bersama dengan stiker peringatan dan sistem penandaan yang akan menghalangi pencuri untuk mencuri barang-barang berharga karena sulit untuk menghapus tanda yang telah direkatkan (Wikipedia 2011). Format Ulang Koleksi Perpustakaan Pengamanan koleksi yang paling populer adalah melakukan format ulang ke dalam bentuk mikrofilm. Koleksi

perpustakaan yang langka dan barang berharga perlu diformat ulang dengan mikrofilm untuk menjaga kelestarian kandungan isi/informasinya. Digitalisasi merupakan proses alih format informasi dari format tercetak ke format digital. Digitalisasi telah menjadi tren saat ini dan dapat dipertimbangkan untuk digunakan sehingga pengguna perpustakaan dapat mengakses informasi melalui internet. Pemasangan CCTV Pemasangan sistem keamanan elektronik, seperti penggunaan kamera pengintai (CCTV) merupakan suatu cara memantau kegiatan pengguna di dalam perpustakaan dan merekam sistem keamanan, mencegah kejahatan, dan menjamin keamanan. Petugas perpustakaan dapat menggunakan CCTV untuk mengidentifikasi pengunjung maupun karyawan, memantau area kerja, mencegah pencurian, dan menjamin keamanan fasilitas lainnya. Teknologi CCTV berkembang dengan cepat dan menjadi salah satu sistem keamanan paling penting dan ekonomis di perpustakaan. Gambar 7 menunjukkan diagram sistem CCTV yang digunakan sebagai pengamanan di perpustakaan (McComb 2004). Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang sistem keamanan CCTV di perpustakaan meliputi menentukan aplikasi utama dari sistem CCTV, memahami letak dan karakteristik ruangan yang akan

Gambar 7. Komponen sistem CCTV di perpustakaan.

42

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


dipantau, memilih fitur dan jenis kamera, menentukan lokasi terbaik untuk melihat monitor, dan menentukan jenis media penyimpanan/sistem peralatan pengarsipan. Aplikasi sistem CCTV harus memiliki kemampuan untuk mengamati secara visual, memantau, dan merekam. Pengamatan dengan CCTV menyediakan informasi secara real-time untuk deteksi dan identifikasi. Sebelum sistem CCTV dirancang, informasi tentang tata letak area yang akan dipantau harus ditentukan. Informasi ini berguna untuk menempatkan kamera pada lokasi yang tepat, untuk menentukan tinggi atau lebar, dan arah pandang setiap lokasi kamera. Untuk memperoleh hasil terbaik, perlu diperhatikan benda atau area yang akan diamati. Daerah permukaan dan bahan yang berbeda mengandung warna yang berbeda pula yang mencerminkan tingkat cahaya. Cahaya yang tersedia akan memengaruhi kejelasan gambar. Semakin baik cahaya, semakin baik kualitas gambar.

Kebijakan Keamanan, Prosedur, dan Rencana Sistem Layanan Tertutup Pada sistem layanan tertutup, pengunjung atau pengguna perpustakaan tidak diperkenankan mengambil buku sendiri di rak, kemudian membaca atau meminjamnya. Jika pengguna membutuhkan suatu buku, pengguna dapat memberitahukan buku yang dicari kepada pustakawan yang bertugas. Pustakawan kemudian akan mencarikan buku yang dibutuhkan pengguna. Meskipun lebih aman, jenis layanan ini mengandung kelemahan. Pengguna tidak dapat leluasa mencari buku yang dibutuhkan, tidak dapat melihat-lihat buku di rak sambil sesekali membuka halamannya.

Penyadaran Pengguna dan Keakraban Pencurian buku di perpustakaan merupakan tindakan kejahatan sehingga pencurinya perlu diberi sanksi. Pustakawan perlu memberikan penyadaran kepada setiap pengguna bahwa pencurian buku di perpustakaan merupakan tindakan yang amat merugikan secara materi dan dapat menghalangi pengguna lain untuk mengakses pengetahuan yang terkandung dalam buku yang dicuri. Upaya penyadaran juga dapat dilakukan dengan memasang poster-poster yang berisi larangan melakukan tindakan penyalahgunaan koleksi. Penyadaran pengguna juga dapat dilakukan dengan memberi pengarahan

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011

tentang bahaya dan kerugian akibat tindakan penyalahgunaan koleksi melalui program bimbingan pembaca, memberlakukan sanksi yang tegas bagi pelaku tindakan penyalahgunaan koleksi, dan meminta kepada pengguna untuk memberitahu pustakawan jika melihat seseorang melakukan tindakan penyalahgunaan koleksi. Pustakawan perlu pula lebih aktif berkomunikasi dengan para pengunjung yang datang ke perpustakaan untuk menjalin persahabatan dan keakraban. Keakraban antara pustakawan dan pengguna perpustakaan dapat mencegah atau mengurangi terjadinya pencurian koleksi perpustakaan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Koleksi perpustakaan dapat mengalami kerusakan fisik akibat faktor alam dan juga oleh manusia, dalam hal ini pengguna perpustakaan. Kerusakan fisik koleksi perpustakaan dapat berupa pencurian, perobekan, peminjaman tidak sah, dan vandalisme. Upaya untuk mengamankan koleksi perpustakaan meliputi pengamanan fisik seperti perancangan arsitektur, staf keamanan, dan pengamanan pada perangkat keras (pintu dan jendela perlindungan); penggunaan teknologi keamanan seperti barcode, RFID, microdots dan CCTV, serta penerapan kebijakan keamanan, prosedur, dan rencana. Saran Dalam upaya meningkatkan pengamanan koleksi perpustakaan perlu dilakukan pengembangan teknologi yang mengarah pada aplikasi RFID. Selain dengan menggunakan teknologi RFID, pemeliharaan lingkungan fisik perpustakaan secara rutin juga perlu dilakukan untuk mengamankan koleksi perpustakaan, dengan memerhatikan pintu, jendela, suhu, kelembapan maupun pengendalian hama atau hewan perusak koleksi perpustakaan.

DAFTAR PUSTAKA Constantinou, C. 1995. Destruction of Knowledge: A study of journal mutilation at a large university library. College Res. Libr. 56(6): 497-507. Fitrihana, N. 2008. Penyalahgunaan koleksi perpustakaan di perguruan tinggi. http://batikyogya.wordpress.com [20 Januari 2011].

43


Galbiati, L.J. 1990. Machine Vision and Digital Image Processing Fundamentals. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall. 164 pp. Knight, B. 2008. Assessing new developments in collection security. Libr. Quartely 8(2): 65-75. Kurniawan, D. 2009. Implementasi RFID pada Perpustakaan. Jakarta: Binus University. Mardiana. 1996. Pengembangan Perangkat Lunak untuk Pengolah Data dari Mesin Pembaca Kode Baris ABX-10. Skripsi. Bandung: Jurusan Teknik Elektro, ITENAS. Maryono. 2005. Dasar-dasar radio frequency identification (RFID); Teknologi yang berpengaruh di perpustakaan. Media Informasi 14(20): 18-29. McComb, M. 2004. Library Security. San Franscisco: RLS. Mustafa, B. 2010. Penggunaan barceode pada sistem otomasi perpustakaan.http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/

44

123456789/27619/B.%20Mustapa_penggunaan%20 barcode.pdf?sequence=1 [11 Maret 2011]. Obiagwu, M.C. 1992. Library abuse in academic institutions: A comparative study. Int. Inform. Libr. Rev. 24(4): 291-305. SelectaMark Security Systems plc. http://www.selectamark.co.uk/ productSelectaDNA. html. [18 Januari 2011]. Soetminah. 1992. Perpustakaan Kepustakaan dan Pustakawan. Yogyakarta: Kanisius. Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 467 hlm. Wikipedia. 2011. Microdot. http://en.wikipedia.org/wiki/Microdot [11 Maret 2011]. Wright, G.J., Ward, M. dan Burgers, F. (2005). Police and business support Microdot technology. http://www.scienceinafrica. co.za/2005/november/microdot.htm [11 Maret 2011]

Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 20, Nomor 1, 2011


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.