3 minute read

PBNU Usul Madrasah Terima Siswa Nonmuslim

JAKARTA –Ketua Umum

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menyampaikan gagasan yang keluar dari pakem. Di hadapan aparatur Ditjen Pendidikan Islam

Kemenag, dia mengusulkan supaya madrasah bisa menerima murid-murid nonmuslim.

Gagasan itu disebut sebagai bagian dari reformasi madrasah.

Tokoh yang akrab disapa Gus

Yahya itu mengatakan, madrasah merupakan lembaga pendidikan keagamaan khas

Islam yang sudah lama ada.

Madrasah tumbuh dari masa ke masa. Termasuk terus bertumbuh di tengah masyarakat

Indonesia yang heterogen.

Karena itu, dia menyampaikan, reformasi madrasah harus mengusung semangat integrasi.

”Saya berpikir bagaimana madrasah-madrasah ini bisa menerima murid dari agama lain,” katanya dalam pembukaan forum konsinyasi Madrasah

Reform yang digelar Ditjen

Pendidikan Islam Kemenag pada Senin (3/4) malam.

Menteri Agama Yaqut Cholil

Qoumas itu mengatakan, kesempatan madrasah menerima siswa dari kalangan nonmuslim secara teknis bisa diatur lebih lanjut oleh pemerintah.

Semangatnya adalah bangsa Indonesia saat ini butuh satu strategi untuk memperkuat integrasi sosial. Apalagi, menurut dia, masyarakat Indonesia saat ini berada dalam kondisi superheterogeneity.

Bagi dia, sistem pendidikan keaga maan, termasuk di madrasah, saat ini justru terkesan memisah-misahkan peserta didik berdasar identitas agama. ”Jika sekarang anakanak kita sejak kecil, sejak dini, sudah kita pisah-pisahkan berdasar identitas (agama), kalau tua kok disuruh rukun. Itu ya susah,” jelasnya. Gus Yahya juga menyoroti dua jenis kesenjangan yang terjadi dalam pendidikan Islam. Yaitu, kesenjangan paradigmatik dan kesenjangan teknologi. Kesenjangan paradigmatik adalah kesenjangan terkait dengan asumsi-asumsi dasar dari pendidikan itu sendiri.

Menurut dia, kesenjangan paradigmatik dalam pendidikan Islam sangat kompleks. ”Tapi, ini kurang lebih bisa kita katakan merupakan akibat dari perubahan berskala peradaban,” kata nya. Sementara itu, kesen jangan teknologi terkait dengan instrumen yang digunakan. Mulai model organisasi, kurikulum, hingga bahan ajar. Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Muhammad Ali Ramdhani belum merespons soal gagasan madrasah bisa menerima siswa nonmuslim.

Intinya, dia berharap madrasah ke depan mampu menjadi pusat atau episentrum bangunan peradaban. ”Madrasah pada dasarnya adalah untuk mewujudkan janji konstitusi kita,” katanya. Yaitu, negara hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. (jpg)

Kadisdik Minta Prestasi Olahraga SMPN 14

BOGOR–Meningkatkan sarana prasarana kegiatan belajar mengajar (KBM), SMPN 14 Kota Bogor kembali meresmikan kerja sama, melalui program Program Tanggung

Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dari

PT Wijaya Karya Persero Tbk (PT Wika), Rabu (5/4).

Kepala SMPN 14, Gunarti Sukriyatun bersyukur atas kerja sama sekolah dengan

PT Wika. Sebab bantuan ini, tentu membuat proses KBM sekolah meningkat. ”Artinya akses anak-anak di Kota Bogor untuk mendapatkan pendidikan juga terpenuhi,” beber dia kepada Radar Bogor.

Senior Manager PT Wika, Farid Nuraidi mengakui, bahwa bantuan tersebut dapat mempermudah KBM, dan memotivasi para siswa, khususnya di SMPN 14, untuk lebih berprestasi. Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan

Kota Bogor, Sujatmiko Baliarto pun berharap, prestasi demi prestasi terus dicetak SMPN 14. Khususnya di bidang olahraga. Sebab, bantuan pun memberikan wajah baru pada lapangan olahraga di SMPN 14. ”Saya berharap, para siswa SMPN 14 lebih unggul di bidang olahraga, dengan memanfaatkan lapangan yang dicat bagus, menarik dan dilengkapi ring basket portabel,” tandasnya. (*/ran)

DALAM variabel tersebut, SETARA Institute mempertimbangkan kompleksitas tata kelola toleransi dan kebhinekaan.

Kota Bogor yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.099.026 orang dinilai memiliki toleransi terbaik di atas 90 kota lain yang ada di Indonesia.

Selain itu, Kota Bogor juga mendapat peringkat ke-4 kota paling toleransi berdasarkan variabel tindakan pemerintah setelah Kota Salatiga, Bekasi, dan Singkawang.

Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasan menjelaskan pencapaian itu menandakan kepemimpinan toleransi

Bima Arya sebagai Wali Kota menyumbang skor yang besar.

Padahal di tahun 2015 Kota Bogor menempati posisi terakhir kota paling toleransi yakni posisi ke-94. Di tahun 2017 Kota Bogor naik di posisi 92, tahun 2018 di posisi 88, dan posisi 33 di tahun 2021. Kini secara nasional Kota Bogor menempati posisi ke17 kota paling toleransi di Indonesia.

Kerja nyata Pemerintah Kota Bogor terbukti mampu meningkatkan toleransi. Berbagai program pemerintah kota untuk mendorong toleransi melalui program budaya, penciptaan ruang bersama dan perhatian khusus kepada minoritas menjadi kunci meningkatnya Indeks Kota Toleran Kota Bogor.

Tindakan pemerintah menjadi pengungkit yang dianggap paling penting bagi kinerja pembangunan toleransi kota. "Kota Bogor berhasil naik peringkat IKT secara signifikan. Kota Bogor menjadi salah satu kota yang signifikan kemajuannya," kata Ismail.

Wali Kota Bogor, Bima Arya mengungkapkan, kondisi ini bisa dikatakan capaian besar Kota Bogor, mengingat Kota Bogor pernah di tingkat terendah dari 94 kota pada tahun 2017 dan sejak itu terus berbenah hingga saat ini.

Terlebih, kemajuan pesat di Kota Bogor selama 5 tahun terakhir terjadi pada saat kota-kota lainnya mengalami dinamika penurunan peringkat. "Indeks ini menjelaskan bahwa merawat toleransi bukanlah hal mudah, terutama bagi kota-kota yang masuk kategori kota urban dengan kompleksitas sosial yang tinggi, seperti Kota Bogor," katanya. Bima mengungkapkan jika capaian tersebut merupakam hasil kerja keras semua pihak.

Menurutnya kunci kesuksesan Kota Bogor adalah komitmen Pemkot untuk menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak.

Indeks Kota Toleran (IKT) 2022 menjadi publikasi ke-6 SETARA Institute. Indeks ini bertujuan unruk menyajikan data tentang indeks kinerja setiap elemen kota di antaranya pemkot hingga elemen masyarakat dalam mengelola kerukunan toleransi, wawasan kebangsaan, dan inklusi sosial.

Dalam menentukan peringkat atau skornya studi IKT yang dilakukan SETARA Institute menetapkan 4 variabel dengan 8 indikator alat ukur. Di antaranya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), kebijakan diskriminatif, peristiwa intoleransi, dinamika masyarakat sipil, pernyataan publik pemkot, tindakan nyata pemkot, heterogenitas agama, dan inklusi sosial keagamaan. (fat)

This article is from: