AKU, KAMU dan BHINNEKA Semua nyawa tau, semua mata pun tau. Berbeda sudah ada sejak awal kita menginjak bumi. Udara yang dihirup sama, angin yang dirasa selalu berbeda. Entah siapa yang menyulut apinya, sehingga aku dan kamu selalu bermasalah. Te r u n t u k b e d a ya n g s u d a h a d a . Mendarah daging seperti hal kodratnya. Tak satupun insan sanggup menolak dilahirkan seperti apa. Kita memang harus berbeda. Itu cuma soal sudut pandang kita, sebaiknya berbaik hatilah mulai dari sekarang. Karna kalian tanpa orang lainpun belum dikatakan manusia.
roots
karya : Surya Indrawan
Merobohkan Penghalang !!! Dunia berputar berotasi tanpa henti
Tanpa peduli adanya rasa menghormati
Manusia terus berlari mencari jati diri
Bahwa toleransi yang paling utama di negeri ini, memang susah mengenali diri
Tentang hakikat hidup di dunia fana ini Berlari hingga kaki dan pikirannya mengapal
Apa lagi sistem di negeri ini Yang katanya sihh demokrasi Lihat dehhh
Namun masih ada saja yg otaknya bebal Lalu menjalar ke ulung hati hingga manghitam kental
Banyak keganjilan yang terlihat namun terlewat Mungkin takut berucap dikira khianat atau terbungkam diam melihat agar selamat
Benci adalah warisan yang tak terpungkiri
Beton" yg mulai ditandur tanpa henti Menjulang tinggi gagah namun menyayat hati bagi mereka pribumi pewaris tanah ini Ohhh pemangku jabatan yg baik hati Hingga lupa sanak saudari Apakah mereka sadar telah memperkosa ibu pertiwi?
Dijejali sejak dini hingga lupa siapa diri Berjalan keluar lalu menghakimi sana sini
karya : Surya Indrawan
karya : Mukhlas Ramadhan
Aku, Kau, Lalu Kita Aku. Dengan sepada tua, menuntun dengan hari jingga sudah hampir kelabu langitnya. Karena senja. Di pasir yang berkubik di pantai yang telanjang. Bersamamu. Kau. Mengangkat rok yang putih selaras dengan kaki kulitmu, tidak sampai sedengkul karena tau dia akan basah, tapi tetap saja. Saat bercerita, dan kau menyerah lalu begitu saja. Berlari mengejar ombak dengan deru desah yang syahdu. Bermain dengannya, betapa gembira. Tumpah tercecer tawamu. Kita. Saling melepas satu semua. Selalu ingin pantai dan desa. Kembali. Dan ketika awal kedatangan, senja dan segala isinya. Laut dan ombak. Pasirnya yang banyak. Pohon dan hijau. Bukit yang menjulang menyangga. Desa permai berbaris di lerengnya. Segala macam bentuk rupa anak manusia. Menyapa tanpa harus berisik. Saat sudah gelap. Aku menuntun sepeda tua. Kau dengan gaun yang sudah basah. Kau yang menaiki sepeda dan sepertinya belum tuntas. Aku tanyakan. Bagaimana dengan kota? Sepanjang jalan kedesa di balik bukit. Kau kembali diam, luntur bahagia mu.
karya : Fajar
Dibalik Hujan Maret Sore, sebelumnya pun sudah mendung kuasa. Kau tau itu tanda akan datang dan turun. Akan menjadikan jalan kota, padi desa segala semua, basah. Pula arus sungai yang muaranya deras bertambah. Hujan. Orang-orang ada yang bahagia perihal cintanya, ditambah saat hujan. Olala menjadi kerinduan yang syahdu. Kepada kekasih. Saat di balik jendela yang rintiknya beranak-pinak membentuk sungai kecil. Dunia yang basah karena hujan dibulan Maret. Orang-orang sebagian lagi. Tak dapat memiliki cinta kasih, karena harus menukarnya dengan lembaran rupiah yang tidak banyak, bersamaan dengan sebidang tanahnya, padi yang sudah tua dan kehidupan kelak anak cucunya. Kelak. Dengan paksa bersimbah darah tangis pula. "Semua demi bhineka! Demi kesejahteraan, pembangunan" Pemerintah atas nama. Suka-suka seenak udel dengan perut yang di besarkan dari darah tangis. Dibalik hujan Maret. Tak selalu tentang kisah cinta rindu.
karya : Fajar
Sophia Bagaimana aku bisa menjemput senja yang kemilau sedangkan. Dia selalu tak mau jika kau tak ikut serta. Begitu manja. Dan para ombak membawa aroma harum sutera teruntukmu. Jelas aku tak bisa membawa pulang senja tanpamu. Bagaimana aku ingin menulis paras wajah itu sedangkan. Malam sangat malu menunjukkan bintangnya, saat jatuh sudah senyum harmoni Kerinduan. Paras pribumi semesta. Jelas aku tak mampu. Pula, ketika fajar mulai menyingsing dia mengintip dibalik bukit yang saling Bertumpu. Cahayanya Semakin mendekat dan menyelinap lewat celah jendela kamarmu Yang sedikit terbuka. Menyelimuti dan membelai pipi. Kau bangun bersama sejuta senyuman. Dan aku masih mengupayakan ketidakpastian, yang masih Tuhan merahasiakan. Sophia.
karya : Fajar
Milik Siapa Dulu, ah ketika aku masih memakai seragam merah putih yang dibeli dengan mahal. Dari perasan keringat ibu bapakku. Untuk duduk dan mendengar ceramah para guru. Kata bapak ibu guru ketika mengisahkan negeri ini, bumi ibu Pertiwi, Indonesia. Katanya, ini negeri kaya, limpah ruah kekayaan alam dimana-mana. Negeri kepulauan Sabang Merauke. Negeri dengan adat beragam, bahasa berwarna, suku dan agama. Disatukan dengan bhineka. Tapi itu dulu ketikanya, sekarang sudah mulai tahu aku akan. Negeri yang dibangun dari tulang belulang, para revolusioner dan pejuang. Rupanya dulu para guru banyak berbohong tentang kisah romantisme sejarah. Bangsa ini. Dengan mata yang dua ini aku melihat dimana hukum dan undang-undang hanya Diperuntukkan kepada. Alam yang banyak diperkosa. Sawah yang sudah berdiri pipa raksasa. Oleh yang terhormat, bapak ibu pejabat. Investor atau yang punya uang dia menang. Aku dibodohi oleh sejarah yang sudah dikonstruk. Dulu. Sekarang. Sudah jelas selayang pandang. Bahwa. Ibu Pertiwi menangis diperkosa. Lalu, yang katanya bhineka, Indonesia ini milik siapa? Jogjakarta 21 Maret 2017
karya : Fajar
karya : ibuku sosical media // a.radityapramono
Lepaskan egomu Semesta akan menyambutmu Dengan energi cinta yang timbulkan rasa Kasih sayang dan kedamaian Antar keberagaman segala ciptaanNya Sebarkan kebaikan untuk keselarasan Semesta @teralis_terapinulis
Kehancuran dimana mana Meninggalkan puing penderitaan Tangisan meronta ronta Meneteskan air kesedihan Bebaskan mereka... Bebaskan dari ketidakadilan Bebaskan mereka... Bebaskan dari kekerasan Kedamaian menjadi semu Saat peluru kebencian menghujam Kebenaran adalah palsu Saat kemuna ikan datang meraja @teralis_terapinulis
karya : Ferdy Nurhandoko
karya : Berbeda-beda Bermasalah Juga // a.radityapramono
Cendawan Peradaban Dik, aku cuma bisa menyuapimu saat lapar dengan sabar Saat kau dahaga aku hanya bisa menuangkan darah dan nanah. Tidurlah adikku tidurlah. Bunga tidur akan mengasingkan kita dari hingar bingar dunia ini, hingga suara Tuhan terlalu sayup sampai tempat kita kini. Tidurlah, barangkali di sana kau menjadi bunga surga 'karna di sini, kita hanya dianggap sebuah cendawan di pojok selokan peradaban. Solo, 20 Februari 2015
karya : Gege Surya
Enak Jamanku To ?! Tiga dasawarsa lebih, Negeri ini dinyanyikan kidung cinta yang penuh rintih, rakyat tak gundah 'karna sembako begitu murah bensin, solar seharga rokok sebatang yang terbakar bila dibakar saat ini, zaman rerintihan jalanan aman, 'karna tato-tato hijau ditembaki diberangus oleh para petrus yang memang misterius hingga kini. Nyaman, aman, perutpun kenyang dan rakyat selalu tersenyum senang. Namun semua itu, hanyalah topeng kepalsuan penutup wajah penguasa yang pongah, arogan, beringas, penuh kebiadaban yang tak terbatas. Topeng yang setelah tercopot menjadikan rakyat terbenam dalam rerintihan jauh lebih dalam, namun jauh sebelum kidung rerintihan itu mulai dilantunkan, topeng itu sudah coba dilepas, dicopot, dicongkel dengan obrolan para sastrawan, hingga kelakar orang-orang di bengkel. Dan para pewartapun bersiap mengasah pena dan lensa kamera hingga mengkilap, untuk memotret wajah aslinya, menggambarnya, dengan tulisan berita atau sekadar retorika. Akan tetapi, mereka-mereka tak kuasa juga melawan tangan pemerintah yang menutupi rapat topeng itu dengan kebiadaban.
Mereka-mereka diculik, dibungkam, diperam, dikekang, dan diberangus, dengan tajamnya pedang kekuasaan yang terhunus lalu mereka dilarung ke laut atau dibenamkan ke bumi hingga terpendam dalam. Mereka tak jadi lanjutkan obrolan, mereka juga menahan diri mengasah pena dan lensa, 'karena rekanrekan mereka 'tlah basah akan darah. Mereka-mereka pasrah. Dan akhirnya, topeng itu mampu bertahan, dari zaman PKI yang penuh pertanyaan hingga Mei Sembilan Delapan. Lalu, di bulan dan tahun itu, wajah aslinya mulai terbuka dari topeng yang palsu terbuka dengan serangkaian kejadian, bakar-bakaran, arak-arakan, dan tembakan peluru yang dibalas dengan lemparan batu. Dan kidung rerintihan mulai semakin dilantunkan...
Solo, 20 Oktober 2014
karya : Gege Surya
Tangisan Yang Gaduh Mari, kemarilah Ah, jangan sungkan masuk saja, ke dalam rumahku, rumah sajak yang jendelanya terbuat dari kaca serpihan beningnya air mata orang-orang yang terpinggirkan jaman, terkalahkan oleh keadaan. Mari, langsung masuk saja tak perlu malu Di sini begitu bebas dimasuki siapa saja yang mau biasa dilalui oleh derik jangkrik, bahkan derap langkah arogan sepatu kulit bapak carik Jadi, kemarilah langsung masuk tak masalah Biar aku tunjukkan padamu isi rumahku ini, rumah sajak yang temboknya memantulkan suara-suara serak Suara-suara orang yang tercekik oleh kelaparan, kemiskinan dan segenap ketidakadilan yang menghajar mereka seakan kenestapaan menimpa mereka tak ada habis-habisnya. Baiklah inilah wujud rumahku, rumah sajak. Dan beginilah alasnya, lusu dan berdebu. La, kalau ini bekas tangisan seorang anak yang ditinggal ibunya waktu ke luar negri untuk menjadi babu Nah, kalau ini bekas darah perawan yang kemarin habis digagahi para pemuda bejat berkali-kali. Apa? Ooo ini? ini kemarin bekas buangan ari-ari seorang jabang bayi yang dibuat ibunya dengan setengah hati. Ah, kalau ini aku agak lupa. Kelihatannya ini bekas kubangan darah dari orang-orang jaman 65 yang banyak tidak bersalah. Yah, maa kanlah aku yang sedikit lupa, maklumlah negri ini terlalu lama diajari sejarah yang salah kaprah. Oh ya, sebentar kau mau minum apa Kawan? Tentu kau haus bukan? Sebentar, aku ambilkan air biar tubuhmu kembali segar. Apa? Itu? Kau mau itu? Apa embun??? Ooo... Itu bukan embun, itu hanya bulir air mata Ibu Pertiwi yang menggantung sekian puluh tahun. Biarkan, biarlah ia begitu. Aku hanya tak mampu memberinya janji palsu, sebuah janji jika nanti aku akan mampu menggantikannya dengan alas rumah ini dengan yang baru. Solo, 7 Januari 2016
seharusnya mesra, seharusnya cinta, seharusnya kita
karya : “Pisful� // Bimo Wisnu Amojo
Biru Belajar Arti Perjalanan dari Rabu 1 Tuhan menderasnya dengan kalam 2 yang ditiupkanNya di pertengahan Oktober 1997. 3 Bersama asap, udara kering dan teriakan pemerintah Vietnam pada kita –Indonesia. 4 Lalu dengan atau tanpa kesadaran, ia pun mulai membuat catatan; 5 mengenal salib apa yang tengah ia panggul. 6 Termasuk ketika menatapku. 7 Disorongkannya halaman penuh bilur itu; 8 berbilah-bilah paku, ujung tombak, dan sisa kantung anggur asam. 9 Rabu lantas tersenyum,“Inilah diriku. Tak ada padanya yang pernah setia selain luka.� 10 Jika Tuhan naik ke Sorga di hari kelima puluh, 11 maka tahun ini Ia menghadapkan wajahNya kepadamu di hari Rabu. 12 Masih dengan udara kering berasap bekas hutan yang terjangkiti rayap api, 13 di Oktober ini, aku tak pernah ragu mengiringimu. 14 Sepanjang jalur penderitaan hingga ke bukit Golgota 15 Bersama reruntuhan angsana, 16 aku akan selalu ada di sampingmu. 17 Jadi Biru, meski nanti kau berubah jadi matahari, 18 kuning yang membakar atau menghilang di tepi hari.
karya : Stebby Julionatan
Di Sumber Hidup Biru Melihat Tuhannya Bercabang 1 Rabu, di tempat inilah untuk pertama kalinya aku melihat tuhanku bercabang. 2 Opa mengajakku ke perayaan Natal 3 sepulangnya, Papa menyambutku dengan lontar. 4 –sebab tuhannya bukanlah sosok pria dengan berambut berkibar. 5 Aku menangis melihat balon biruku diletuskan. 6 Jangan kau ulangi, sebab aku pencemburu! Jangan ada ayah lain di hadapanmu selain aku! 7 Melewati kuburan, diantarnya aku ke rumah Oma. 8 Menemui Mama. 9 Mereka bertanya apa yang membuat mataku bengkak serupa katak. 10 Aku diam. Tak satupun malaikat yang terbang malam itu 11 Sebab yang kutahu, semestinya kedatangan Tuhan membawa bahagia, bukan duka. 12 Rabu, Restoran Sumber Hidup ini adalah salah satu nisan masa kecilku, 13 seperti kuda dan jerapah yang kau lihat di sana. 14 Yang tak berganti meski usiaku kini tiga puluh tiga. 15 Ya, kini pun kita tengah membangun. 16 Entah ini nanti jadi prasasti atau nisan kita. 17 Bersama lumpia dan es krim yang kini kita nikmati bersama.
karya : Stebby Julionatan
Biru Menyadari Lebih Melegakan Menjadi Sepatu 1 Rabu, Pasar Dringu inilah yang dahulu menyembunyikan keluarga kami, 2 dari kehancuran. 3 Hal yang baru kuketahui setelah kematian Ibu. 4 Sebelumnya, tak sekalipun Mama bercerita. 5 Ia menyimpan rapat semua duri mertua 6 seperti ikal rambut yang kini bersemayam dalam kerudungnya. 7 Tuhan menjadikan mereka –Mama dan Papaku, layaknya buronan. 8 Wajah yang ditempel di poster-poster pasar 9 dan dihargai tiga puluh keping perak. 10 Diberikan kepada siapa saja yang paling rapat mencium peluk mereka. 11 Sementara, yang kutahu hanyalah bersekolah, meski belumlah genap usia. 13 Sebab kurasa, jengah juga mengeja keheningan 14 saat Mama mengajar dan Papa bekerja. 15 Ya, mungkin seperti inilah kegetiran kita, yang saat ini sibuk mengeja kedekatan. 16 Rabu, seandainya hidup seperti sepasang sepatu, 17 yang tak perlu sibuk memilih siapa pasangannya kelak.
karya : Stebby Julionatan
R
O
O
T
S