R O O T S
SEBUAH NARASI, ILUSTRASI, PUISI, CERITA PENDEK, DAN SAJAK
Nirmala Puspa Yasika Mahendra Oleh Saddha Septyan Cahya A. Raditya Pramono
Roots adalah sebuah bentuk apresiasi sastra sederhana yang di kemas dalam bentuk pengarsipan fisik (cetak) zine. Berisi beberapa narasi, cerita pendek, puisi, ilustrasi, dan tulisan dari beberapa teman - teman yang memiliki minat dan alterego dalam lingkup penulisan sastra dan ilustrasi cerita. Dalam penerbitannya yang pertama, Roots mencoba mengarsipan beberapa karya sastra dari teman yang memiliki minat dan fokus diri pada bidang penulisan sastra. Selain itu, juga beberapa ilustrasi yang merupakan interpretasi dari cerita atau naskah yang di tampilkan. Karya - karya dalam penulisan sastra yang kritis, imaginatif, sarkas, satir dan berbagai macam model penulisan sastra yang naif terkadang luput untuk ditoleh dan di diskusikan menjadi pelengkap salah satu bidang seni kesastraan anak muda era masa kini. Beberapa respon mengenai keadaan lingkungan sosial, dan masyarakat yang homogen serta kondisi perilaku anak muda masa itu sendiri menjadi bahan yang sering digagas dalam penulisan sastra yang tergolong sederhana dan terkadang tidak mudah untuk di pahami sebelum diadakannya bedah buku atau forum diskusi didalamnya. Maka dari itu, dengan diterbitkannya Root, diharapkan terbentuk beberapa lingkup diskusi kecil mengenai pengarsipan dan forum dalam rangka membangun apresiasi karya sastra sederhana.
Septyan Cahya L.
Opening
Editorial
Ilustrasi
A. Raditya Pramono
Septyan Cahya L.
Yasika Mahendra O.
A. Raditya Pramono
Ironi
Pemudia, Keluarga, dan Media
Nirmala Puspa
Sudah Banggakah Kalian ?
Percakapan Sore Hari
Tubuh Kita
Melihat Lagi (ulang tahun)
Ketika Atas dan Bawah Bertemu di Tengah
Pondasi
Oleh Saddha
Manuskrip Nini
konten
Oleh : Yasika Mahendra O.
Manuskrip Nini
Lahirnya pertanyaan tanpa jawablah yang membuatku mencarinya. Seorang teman yang selalu kugandeng saat kecil. Rambutnya hitam legam. Kadang sangat kusut karena malas mencuci. Biar setiap kenangan tinggal lama, katanya. Kini aku tumbuh, usiaku telah menginjak kepala 6. Hampir setiap hari rambut kucuci. Tak pernah rambutku kusut, tapi nihil. Setiap butir kenangan tak mau luntur. Mereka tumbuh sangat subur dan membelah diri sebanyak doa yang senantiasa kurapal setiap malam. Barangkali tubuhnya saja yang berhenti tumbuh, tapi warnawarna yang ia poleskan menjajah otakku. Bahkan semakin subur saar jawaban dari pertanyaanpertanyaan ini buntu. Henti napasnya di usia 10 melahirkan keraguanku untuk tetap bernapas. Kami tidak lagi saling gandeng. Tak ada bibir yang mencibir jika air menolak mengalir. Tak ada mata usil yang selalu ingin tahu jika ada kata baru. Pun tak ada lagi kesederhanaan untuk sekedar melahirkan tawa riang. Kini aku lapuk. Tua. Rinduku padanya ikut menua. Ingin kuceritakan apa saja yang beku di otakku padanya. Memaparkan radang pilu atas biru bilur. TERADA Di usiaku enam satu, aku memilih terada sebagai tiang perahuku agar menyujudkan badai. Pun masih terada yang kuizinkan agar meja makan sehat saat pulang lepas berlayar.
Di usiaku enam satu, rayap-rayap beranak-pinak menggerogoti isi tubuhku. Mengikis lekuk-lekuk keberanian lalu menenggak habis darah merahku.
Di usiaku enam satu, tak kularang realita-realita memahat radang pada sekitarku. Namun tak pernah kubiarkan pecundang-pecundang merobohkan teradaku.
TULI Aku tumbuh di bawah atap yang dibangun oleh kedengkian, hingga pemikiranku susah tumbuh menuju langit kejujuran. Aku bernapas di tengah pengap kesombongan. Paruku penuh sembulan omong-kosong yang susah dibersihkan.
Pagi ini barisan bisu memekak, malam tadi telinga-telinga gantung diri. Mati bersama setiap kedengkian dan kesombongan. Paruku mual oleh aroma bohomg. Bibir kukunci rapat agar tak bercerita pada telinga yang tinggal nama.
Lalu di bawah purnama sendu ini kuputuskan untuk melakukan ritual ini untuk memanggilnya, seorang teman dari masa lampau yang tak perlu bohong untuk membuat orang lain bahagia. Sayup-sayup ku rapal doa-doa untuk memanggilnya, teman yang tumbuh di otakku sejak belia. Kemarilah Nini, kusiapkan tubuh untukmu. Wajah putih siwur kuolesi gincu merekah untuk bibirmu, serta segenap pernak-pernik kupasangkan pada baju barumu. Datanglah Ni, merasuklah pada boneka Thowong yang kumantrai sebagai tubuh barumu. Biar kusenandungkan hari-hari kasat, untukmu yang tak kasat oleh mata mereka. Nihil.
RAMBUT KUMAL Setiap hari kucuci rambutku biar tak kusut. Pun agar kenangan meluruh habis tanpa bekas. Nihil. Dadaku selalu kencang degupnya saat menoleh masa muda. Mataku basah ketika sayup-sayup kudengar celotehnya.
Aku sudah tua, tapi rinduku padanya lebih tua. Barangkali dia sudah keriput renta, sama sepertiku. Hanya satu saja bedanya. Ia berada di kerumunan bahagia surga. Sedangkan aku berada di antara keterpurukan bumi yang mengeluh minta istirahat dari pusing kepala.
PAGI DAN MALAM Pada karat jungkat-jungkit taman yang sudah gersang, kuayunkan napas kenang yang layu oleh terik lalu-lalang Sesekali kutiupkan kehangatan antara sisa-sisa tawa kita dalam pagi dan malam.
Henti napasmu di belia menyulut syukurku, tak perlu kau lihat elusif perangai, tak perlu kau semai umur dalam toples rapat, tak perlu kau bersikeras menghafal lapuk langgam dalam pagi dan malam.
Aku saja yang bersitahan dengan polemik kasta yang dilebur menjadi nirmala. Keberadaanmu sama saja dengan jarak pemikiranku dengan rotasi pagi dan malam, jauh juga dekat.
Mantraku semakin khusyuk. Kuucap hingga hampir seribu kali dengan segala penat dan jenuh. Lalu malam merobek ketidakmungkinan. Nini datang. Boneka di depanku bergerak tanpa kepegang. Aku merasakannya. Halus napas bocah yang selalu riang. Selamat datang Nini, bocah mungil pemilik senyum magis. Teman belia yang tumbuh subur di otakku. OBITUARIUM Henti jantungmu tak menjadi obituarium kala itu. Rumpun bambu dan gugur melati saja yang menawarkan diri untuk menoreh rimbun duka.
Lolong bulan menjelma majas agung pada nirwana. Lagu lama berduyun-duyun memadati otak hingga mual.
Kali ini aku melihat henti jantung lain yang juga bukan obituarium. Muda-mudi telanjang di luas rimba, tawa riang atas culas, tikam-menikam di bawah atap yang sama, dan aku semakin mual, kali ini keruh selokan dan bunga bangkai yang menghaturkan.
Padma menyuguh aroma terbaiknya, dan aku tak lekas lelah menghirupi sedap pada rongga-rongga malam. Kau duduk di sampingku dengan telinga yang tak tuli. Biar kukisahkan larik-larik, kulantunkan bait-bait. Padamu saja, yang kini singgah pada boneka yang hidup oleh mantra. Akan kuceritakan tentang rumit asmara yang selalu meledakkan otak saat aku mengingatnya. Padamu saja, Ni.
SAJAK PEREMPUAN LAYU Aku tidak bisa berdiam diri tanpa satu orang pun untuk aku cintai. Kehormatanku sebagai manusia pecinta akan berkurang kualitasnya. Sesekali kulirik kumbang di jalan raya yang padat, tapi tak juga kudapati wajah teduh penampung segar hujan.
Aku tidak bisa berdiam diri tanpa satu orang pun tersimpan untuk kurindui. Sembah sujudku pada alam semesta akan kosong saja di tengah rimba. Sebentar-sebentar angin menyapu mukaku yang layu, tapi angin tetap pada hakikatnya yang tak ditakdirkan tinggal pada satu.
IMPIAN PERAWAN Barangkali kau ingat perbincangan kita lepas subuh pada datang bulanku yang pertama. Aku mengeluhkan nyeri yang puncak dan meresahkan kemaluanku yang becek oleh darah.
Dulu itu aku belum punya nyali untuk bercerita tentang mimpiku malam itu. Malu saja jika kau tahu aku memimpikan abang bujangmu memeluk dan menciumiku hingga aku lupa pada apa saja.
Kami telanjang dan mencelupkan badan pada telaga yang bening. Aku merasa segar oleh air dan kecupan yang bertubi-tubi pada sekujur tubuhku. Merasai tubuhku yang tak lagi kerdil. Kubalas peluk cium dengan sangat pelan, biar aku tak lekas bangun. Dari semak belukar muncul buah-buahan segar yang berjalan dengan kaki-kaki mungilnya. Riang gembira menuju kami yang masih telanjang. Dipersembahkan rasa manis, pahit, asam, apa pun yang mereka punyai.
Masih kupeluk cium abang bujangmu hingga pagi berisik.
PECUNDANG RINDU Rindu yang kurawat adalah seorang pecundang. Keinginannya atas jumpa berkeliaran tanpa mau dipagari, tapi kakinya enggan bergerilya, bibirnya tak mau menerjemahkan, apalagi tangan-tangannya tak lekas memungut kemungkinan. Selagi aku menyemainya selalu kubawa ingatan untuk sekedar menariknya dari kursi malas.
Lalu ia mau bergerak. Pelan. Kepalanya yang lama rebah pusing sebentar saat berdiri. Matanya mengawasi sekitar. Lebih jeli. Diputar-putar kemungkinan yang menawarkan diri untuk direngkuh. Penuh pertimbangan lengannya mulai membuka pintu keluar. Imajinasinya meliar pada batu kokoh yang bisa ia gunakan untuk menari-nari.
Seketika napasnya tercekat, nadinya cepat, dan langkahnya mendadak henti. Angin luar menebas tetumbuhan imaji di otaknya. Buram matanya. Tak ingin tubuhnya roboh, ditutup segera pintu yang baru terbuka seperempat. Bergegas rebah kembali ke kursi malas. Lantas tertawa dan mendengar gema suaranya sendiri.
Seperti yang kau lihat Ni, aku ini perawan tua yang tak lekas laku. Mudaku habis oleh kotak-kotak keharusan. Sekitarku sulit kupercaya. Hanya diriku sendiri yang mampu kupercaya. Barangkali itu alasannya hingga aku menjadi perawan tua. Lantas apakah aku harus menikahi diriku sendiri. Berada di pelaminan dengan satu tubuh saja dan menggunakan dua cincin di masing-masing jari manisku. Tapi aku masih yakin bahwa akulah satu-satunya tuan atas hidupku. Bukan teori, pemikiran, atau ucapan mereka.
MENOLAK KETIDAKPASTIAN Aku perempuan yang tidak pernah bersedia bergumul dengan ketidakpastian. Pada setiap hal yang menyuguh resah, tanya panjang, apalagi ulur pencekat napas, aku tidak akan tinggal. Kakiku terlampau berharga untuk sekedar berdiam, lalu mematikan diri. Pun otakku tak akan kubiarkan menurunkan rasionya demi berputar-putar di tempat yang sama.
Aku perempuan, yang hidup dan bergerak, yang menolak ketidakpastian, yang bernapas dengan udara kasat mata, yang tidak toleran pada pemikiran tanpa pembuktian, yang dalam banyak hal hanya diam memperhatikan tingkah-polah berlumuran bohong.
PENGGUBAH Akulah penggubah tonilku sendiri, tonilmu, tonil mereka. Kali pertama kelahiran kubuat kita lahir bersamaan, mereka juga kubuat berbarengan. Tak kupedulikan umur mereka dalam kandungan. Harus bersamaan. Pokoknya. Tak kupedulikan sungsang, prematur, kematangan, dan cicit-cuitnya.
Pada kemudian semua wajah kulukis sama. Wajah kita saja yang berbeda, mereka semua berwarna hitam, wajah kita saja yang putih.
Lagi-lagi di kemudian kugariskan hidup miskin bagi mereka. Pokoknya bekerja apa saja tak bisa kaya. Kehidupan kita saja yang subur makmur. Kita bangun megah istana dengan mereka sebagai abdinya. Pokoknya tinggal perintah dan terjadilah.
Buang cemas. Sudah kusuap Tuhan agar menyerahkan kekuasaan-Nya padaku.
Seperti yang sudah kubilang, aku tak pernah mempermasalahkan datangnya musim kering yang berkepanjangan. Kembalinya napasmu pada boneka rakitanku ini sudah cukup memberikan setetes harapan untuk menunda kematian, Ni. Tanpa bahu kokoh pria itu pun aku mampu menatap hari depan dengan riang. Karena aku memiliki impian-impian lain yang perlu kudoakan biar tumbuh sehat. -MANUSKRIP NINI-
2016
Oleh : Yasika Mahendra O.
Oleh : Septyan Cahya L.
Opening Secara umum Tidak ada yang baik atau jelek Itu hanya cara yang berbeda Kemudian setiap orang akan bilang "zamanya lah yang terbaik" Gelapkan matamu dan biarkan telingamu Mendengarkan obrolan santai Antara raga dan jiwamu yang beristirahat menikmati angin
Pondasi
Yoks kembali menaiki lorong waktu untuk kalian yang selalu mengejar gengsi tanpa pondasi sebuah keinginan yang menjadi kebutuhan untuk hanya memuaskan hasrat tiada akhir sebuah rantai spontanitas dari sebuah media yang hanya bertahan sementara dan akan berganti seiring berputarnya waktu bahwasanya hidup kadang di atas kadang di bawah manusia memang mempunyai nafsu mengejar sebuah nilai dari kehidupan sosial untuk menuju ke atas di atas kehidupan sekitarnya lalu melihat kehidupan lain rasa bersaing pun muncul kembali hingga membangun menara tinggi ke atas dan siap di daki tapi menara itupun runtuh karena kau melupakan pondasimu MENGEJAR SEBUAH GENGSI karena ikut ikutan dengan apa yang dilihatnya di kehidupan sosial dalam sebuah media dan ingin di akui keberadaaanya dengan mengikuti apa yang kehidupan sosial inginkan karena ikut ikutan tanpa dasar yang pasti atau hanya sekedar mengikuti gengsi pada setiap perpindahan masa dia tak punya pijakan yang pasti dan akhirnya hanya bisa termakan zaman dan kehilangan jati dirinya
Ketika Atas dan Bawah Bertemu di Tengah Tetap terlihat di atas meski tidak sedang berada di atas Ketika di bawah maka akan dibawah sendirikan Tetapi tetap terlihat di atas dari bawah Di tengah tetapi terlihat di atas Saat menantang atas maka di lawan dengan bawah sebesar mungkin Tak perduli dengan tengah yang akan menjadi bawah Atau bawah menjadi semakin bawah
Meskipun bawah tak serata dengan tengah Jadi menurutku Ambilah bawah Karena meskipun di bawah tetap terlihat di atas Karena bawah bisa di ataskan Sedangkan atas tidak dapat di bawahkan Bawah tetap ada tetapi tidak terlihat Sedangkan atas ,kosong jika di bawahkan.
Saat menantang bawah Maka tak ada alasan atas akan terlihat semakin di atas Semua akan merata jika menantang bawah
Melihat Lagi (ulang tahun) kuseduh kopi kunyalakan lilin kumatikan lampu dan kusiapkan nafas lanjutnya
dia berkomentar seseorang meracau kemudian air mengingatkan
sudah tertulis dalam lembar telah terekam oleh indra dengan tenang, bersama warna tercetak beracak rapi
inilah yang terjadi persiapkan untuk nanti di lain pagi saat hari berganti
terSiapkan kata terima kasih berdamping dengan kata maaf menghela nafas lagi melihat lagi dari belakang untuk tujuan mereka menghakimi
Oleh : Septyan Cahya L.
Tubuh Kita Malam yang tenang tiba, saatnya mengistirahatkan tubuh kita dari rumitnya dunia ini. menyerahkan semua badan ke arah tanah, juga pasrah kita menyerahkan tubuh kita ke Yang Maha Kuasa karena kita tak akan pernah tau apa yang terjadi pada tubuh kita saat tidur dan apa yang akan terjadi setelahnya... Tapi sadarkah kalian apa yang terjadi dengan setiap bagian kecil tubuh kita ketika terhampas dalam utopis kita? bisakah kalian bayangkan bahwa setiap bagian kecil tubuh kita juga mempunyai kehidupan mereka, seperti manusia biasa mereka juga mempunyai ingatan perasaan dan pemikiranya masing-masing. Beberapa percakapan mereka terdengar di tempatnya masing masing, obrolanyapun selalu sama saat kalian tidur, membicarakan tentang apa yang mereka sepanjang hari yang telah terjalani di mulai dari kita mulai membuka mata hingga kembali terlelap. Malam ini obrolan seru terjadi di rongga mata , yaitu pembicaraan antara mata kanan dan mata kiri mereka membicarakan sesuatu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya sepanjang 17 tahun mereka melihat yaitu sebuah pemandangan di atas puncak gunung "seger banget emang ngliat yang kayak gini daripada liat kota yang geraknya tetep statis gitu gitu aja motor geraknya kalo gak maju mundur ya kanan kiri, kadang ke atas, itupun juga gak semua orang bisa, beda kali kalo di sini semuanya berubah ubah setiap objeknya, liat aja awan, geraknya gak ketebak mau turun lalu ngilang mau nyelip di antara daun daun, gimana mnurut lo?" “yop, bener juga lo, selain itu di sini tenang, beda jauh sama liat warna putih sama kuningnya mall dan kafe kafe walaupun putih dan kuning putih terasa nyenengin tapi aku gak bisa tenang, kalo di sini kayak kayak warna biru langit sama hijaunya daun tuh nenangin, kalopun gelap gelapnya total dengan cahaya bintang tuh" "Masoookk noh bener tuh, apalagi di tambah di kafe sama di mall banyak ceweknya yang bikin kita lelah aja, suruh liat kiri, liat kanan, agak mlotot sdikit biar jelas liatnya, ngerti gak ya nih yang punya mata, hahahahaha" "gitu lo juga nikmatin kan" "jelas lah, hahaha� Mereka tertawa bersama saling mendengarkan cerita mereka tentang yang mereka alami, dan terus berlanjut berteman gelap sembari bergerak ke kanan dan ke kiri sendiri Tidak hanya mata yang bergerak sendiri kegirangan mendapat kesempatan mengobrol lebih cepat dari sebelumnya Begitu juga hidung dengan lidah, tangan, kaki, begitu juga dengan tempatnya berjauhan yaitu telinga mereka tidak melewatkan kesempatan asik ini. Mereka bersaut sautan satu sama lain, dan menggerak gerakan bagian tubuh mereka sebagai ekspresi mereka, semakin lama mereka mengobrol, obrolanpun terasa semakin seru, hingga kadang gerak dan suara obrolan yang mereka ciptakan menyeruak terdengar memasuki mimpi kita atau mungkin kita biasa menyebutnya "mengigau" Memang aneh mendengar obrolan seperti itu mengisi rongga kepala memasuki celah celah tersempit dan menggema di dalmnya bahkan saat ketika kita melupakan sesuatu tetapi ingatan tubuh kita dari obrolan tersebut masih menggema, dan mencoba mengingatkan tentang sesuatu yang kita lupakan, seperti ingatan dari tubuh mengajak otak mengingat sesuatu itu. Sangat menggelikan dengan apa yang terjadi pada tubuh kita saat tidur, tapi itulah kenyataan. Resapi dan simpan obrolan mereka tubuh mengambil alih akan kuasa kita mengatur mereka, sedangkan kita diam terhenyap dalam aliran panjang sebuah mimpi
Percakapan Sore Hari Apa yang kamu inginkan? Sebuah ketenangan Apa yang menghambatmu menemui tenang? Aku tak mengerti apa yang harus ku lakukan Apa sebabnya? Karena aku hanya menyimpanya di lorong otak ku Apa saja isi lorong otakmu? Banyak, aku tak dapat memfolderkanya dengan tepat Coba sekarang keluarkan semua. Bagaimana caranya? Tuliskan semua dalam kertas (selang beberapa waktu) Kenapa kau berhenti? Ada yang menghambat lorong otak yang menuju mata Apa itu? Sebuah kebingungan Tentang apa? Tentang sebuah gagasan Masih menyumbat lorong otakmu kah? Masih Tuliskan dalam kalimat pendek saja Sekarang mulai lancar Apa gagasan itu?
Sebuah pengakuan Pengakuan tentang apa itu? Pengakuan kehidupan Apa yang terjadi pada kehidupan itu? Sebuah pengakuan Maaf aku salah bertanya, apa yg ingin di akui oleh kehidupan? Eksistensi kita berada di sini bertujuan untuk di akui oleh kehidupan sekitar kita Lanjutkan ! Di akui keberadaan alam bahwa kita ada Lalu setelah di akui apa yg di lakukan? Terserah kita Apa yg dimaksud terserah kita? Kita menjalankan alam kita sekalipun di alam bawah sadar dan mimpi Lanjutkan ! Kita bisa memilih tetap di atas alam atau di bawah alam Bagaimana kau bisa tau bahwa kita harus memilih? Dengan memilih kita tau perjuangan Maaf? Dengan memilih kita tau perjuangan Bagaimana jika tidak memilih keduanya? Kau akan terhimpit keduanya Bagaimana bisa? Karena kita berada di tengah, terkecuali kita bisa menguasai alam atas dan alam bawah, kau bisa memilih pilihan ketiga yaitu tengah Bisakah kita melakukanya?
Bisa, tetapi membutuhkan pengorbanan yang cukup besar
waktu
dan
Sebutkan 5 saja diantaranya?!
Sebesar cahaya
Mereka, aku, dia, kami, kalian (mereka yang menganggap aku gila, aku yang tidak gila, dia yang tahu aku tidak gila, kami yang di anggap gila, kalian semua gila)
Apa itu cahaya?
Itu hanya sebuah kata kata?
Ukuran sebuah waktu dan pengorbanan
Sebuah kata yang akan menjadi gagasan besar
Bagaimana kau bisa menyebut cahaya ukuran besar waktu dan pengorbanan?
Bagaimana otakmu saat malam hari?
Seberapa besar?
Cahaya adalah waktu yang cepat, dengan cepat kita mengorbankan sesuatu yang lambat Bukankah itu seleksi alam yang lemah atau dalam kasus kita lambat akan tertinggalkan? Bukan tertinggalkan Lalu apa?
Otaku akan ada diantara mereka Mereka siapa? Orang di sekitarku Bagaimana bisa? Otaku akan mengikuti mereka
Sebuah pengorbanan
Kenapa kau mengikuti? Tidak kah kau ingin membuat jalanmu sendiri?
Kenapa bisa?
Tidak
Mereka menjadi wujud yang lebih baru dan lebih hebat dan sempurna
Kenapa?
Itukah lorong otakmu saat sore hari? Ya
Aku membuka pikiran Lalu apa yang terjadi?
Darimana kau mendapatkan itu semua?
Kelemahan akan terjadi bagi orang yang tak mau membuka jalanya sendiri
Dari kehidupan
Tapi kenapa kau lakukan?
Cuma itukah isi lorong otakmu?
Karena sebuah pengakuan kehidupan dan pengorbanan
Tadi masih satu gagasan Ada berapa gagasan yang menyumbat pikiranmu lagi? masih banyak
... Kenapa kau tak bertanya?
Oleh : Septyan Cahya L.
Sudah banggakah kalian ? Alam tak akan rugi, karena alam selalu member tanpa pamrih. Manusialah yang rugi karena selalu mengurangi isi alam, lalu syukur ada yang mau mengembalikannya lagi kalau merusak ? nah. Lalu‌ Selamat Datang di era Kanibal. Untuk kalian yang senang memanfaatkan keindahan pesona dan bentuk alam, mengunjungi, berwisata ,dan berfoto ria tanpa menjaganya kalian adalah generasi Kanibal. Sebab kalian pura-pura manis di dalam situasi yang tanpa kalian sadari bencana semakin dekat, bahkan sudah terjadi di hari ini. Karena apa ? yaaa sebab hutan-hutan kini sudah minim/habis, gunung menjadi dataran, tanah pecah kering kerontang, sawah-sawah disulap menjadi perumahan, hotel, mall, semua hilang di laci-laci pengusaha kapitalis, dan sungai-sungai mulai hilang kecantikannya lalu anak-anak kecil, ikan-ikan sungai, binatang-binatang penghuni sungai sudah tak mau lagi menyentuh anyirnya sungai yang tercemar lingkungan sebab sampah limbah pabrik atau masyarakat mengunduk hamil dibibir-bibir sungai bahkan beranak-pinak di dalamnya. Ada sebuah bunyi “JEPREETTTâ€? share lalu upload di sosmed dengan liker 10K. sudah banggakah kalian dengan eksistan pamen jaga alam? Kenikmatan sesaat dan menanam kesialan di masa mendatang, sebab jika kalian tak menjaga alam pada masa sekarang maka esok kalian tak akan bias berwisata dan berfoto di tengah pemandangan yang indah karunia Tuhan. Semua kalau sudah rusak hanya akan menjadi prasasti di dalam foto-foto kalian. Marilah kita saling menjaga alam, minimal dengan membuang sampah pada tempatnya, menanam pohon atau tanaman di halaman rumah, menjaga habitat hewan, dan lain-lain menjaga alam supaya bias menikmati di masa-masa mendatang. Maka dunia akan indah. Tersenyumlah Alam save earth bumi kita lestarikan alam .
Oleh : Yasika Mahendra O.
Ironi Mereka menunggu keturunannya, menjadi buah bibir diantara tetangga dan sanak saudarinya. Berasumsi dengan menanamkan doa dan dogma masa depan, merampas hak memiliki iman mulai dari didalam kandung. Tapi tak apalah, memang itu budaya turun temurun kita. Bagaimana lagi. Kemudian dirinya lahir, dari keturunan tulang rusuk adam kala martabat saat di dalam tangisan menjadi kebanggaan diantara orang orang yang menanti didalam doa. Begitu dirinya besar, dia baru sadar jika dunia ini tidak baik untuk dirinya. Berlomba lomba menjadi
penyelamat diantara sesama. Menyebarkan materi doa yang tertanam di alam
bawah sadar kala dia mulai belajar untuk berdoa. Kemolekan dan keindahan tubuh sudah mulai menjadi manekin hidup diantara sekawanan babi rusa pada hutan samping rumahnya. Sampai suatu ketika, martabat dan keindahan itu, teracuni bagai susu ditetes dengan tinta. Menjadi kosong, masa depan pun entah, orang tua sibuk bermandi darah, saudara saudara menjadi pelarian kala uang jajan sudah habis ditanggal tua, dan sampai saat ini dia tidak tahu siapa pelaku atas penyesalannya. Mulailah dari situ, dia mulai kenal dengan beberapa dunia tak kasat mata, yah apa lagi jika bukan nirkabel semesta. Meledak bagai jaring laba laba laboratorium terkuat, mengistirahatkan derajat perempuannya untuk disajikan kepada para hidung belang di dalam rumah. Melayani satu per satu, dengan halus dan lembut dari yang tak berambut sampai pada sepasang mata yang tidak ingin lepas dari ranumnya payudara anak usia 15 tahun. Saat dia diantaranya, tangis sudah tidak menjadi alasan untuk meminta pengampunan, hanya merintih pada gengaman tangan yang mengoyak seprei dimana dia dilahirkan dulu oleh bidan selingkuhan ibunya. Tembok dikelilingi oleh foto diri, namun tidak pada sela sela mata uang 100.000 di dalam dompet kulitnya. Itu foto ibunya. Dengan tulisan tangan yang dia tulis dibaliknya “Dari kamu, Aku belajar disakiti�
Pemuda, Keluarga, dan Media Hari ini merupakan hari dimana kita melihat diri sendiri, adalah majikan atas kerusakan generasi kita sendiri. Tidak peduli satu dengan yang lain, menjadi rubah untuk mencari tikus diantara gorong gorong rumah ibadah, pahlawan terangkuh dengan tidak menyelamatkan keluarga sendiri, memilih menjadi penakluk monster dari pada duduk bersama pada satu meja membicarakan mengapa monster itu mulai memakan teman temannya satu per satu. Bagi sebagian orang, hal itu sudah biasa, namun lebih kepada seorang yang pernah tinggal pada tahun tersebut, dimana semua masih sederhana dan mencari saudara seperti mencari warung makan di setiap meter rumah rumah tetangga. Coba untuk berdiri, disalah satu ketinggian kota dan membandingkannya dengan kondisi sewaktu kecil kita dulu. Ada berbagai macam kata, cerita, asumsi, teguran, teriakan, air mata, kepada tempat dimana kita dulu pernah dibesarkan dengan permasalahan yang selalu ada jalan keluarnya, amarah orang tua karena kita selalu ingin bermain diluar, teguran para guru karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah karena tontonan anak anak masih bisa dinikmati setiap hari dan setiap waktu, gotong royong mengecat trotoar rumah dan memasang tiang bendera menjelang agustus. Mungkin sebagian masih ada yang menikmatinya, karena memang masa itu adalah masa kejayaan yang dinikmati bersama. Namun apalah jika rantai itu, diluluh lantakan oleh sebagian pemuda penerus dengan menikmatinya untuk mengejar citra dan membelokannya pada dagelan tidak lucu media. Tidak terhasut, namun menghasut, tidak terbunuh, namun membunuh, berhimpitan pada 1 jalan yang sama, dan tidak pernah menyadari bahwa yang dialuinya adalah jalan pintas. Citramu adalah konsumsi publik, tidak peduli hal baik yang telah dilakukan, jika terdidik menjadi sama pada satu jalan yang buruk pula. Disebarkan tanpat sensor, berkongsi politik dengan alih keluarga, dikonsumsi mentah, ditelan sebagai doktrin ana pinak. Yah seperti itulah, pemuda media dan keluarga.