Adat di Tangan Pemerintah Daerah

Page 1

ADAT DI TANGAN

PEMERINTAH DAERAH



ADAT DI TANGAN PEMERINTAH DAERAH PANDUAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH UNTUK PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

Myrna A. Safitri Luluk Uliyah

Epistema Institute 2014


Adat di tangan Pemerintah Daerah: Panduan penyusunan produk hukum daerah untuk pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat/Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah-Ed.1- Jakarta: Epistema Institute, 2014. vii, 140 hlm: ill. 17,76 x 25 cm ISBN: 978-602-1304-03-7 Adat di tangan Pemerintah Daerah: Panduan penyusunan produk hukum daerah untuk pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat Š 2014 Epistema Institute Penulis: Myrna A. Safitri Luluk Uliyah Foto sampul koleksi Luluk Uliyah Foto-foto isi koleksi Andi Sandhi, Luluk Uliyah dan Myrna A. Safitri Pracetak: Andi Sandhi Desain sampul: Doddy Suhartono Penerbit: Epistema Institute Jalan Jati Padang Raya No. 25 Jakarta 12540 Telepon: 021-78832167 E-mail: epistema@epistema.or.id Website: www.epistema.or.id Cetakan pertama: 2014

Buku ini disusun dengan dukungan dari Rakyat Amerika melalu Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi buku ini merupakan tanggungjawab Epistema Institute dan tidak dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat. Epistema adalah mitra USAID/Program Representasi; program tata kelola pemerintahan yang baik (good governance ) berdurasi empat hingga lima tahun dari USAID. ProRep bertujuan untuk memperbaiki representasi di Indonesia dengan meningkatkan inklusifitas and efektivitas dari kelompok dan institusi yang mengaspirasikan kepentingan publik kepada pemerintah melalui perbaikan transparansi dan efektivitas proses legislasi. ProRep dilaksanakan oleh Chemonics International, bekerja sama dengan Urban Institute, Social Impact dan Kemitraan.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

vii

1. PENDAHULUAN

1

2. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 35/PUU-X/2012

5

3. SIAPA MASYARAKAT HUKUM ADAT

15

4. KERANGKA HUKUM

33

5. KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB 59

PEMERINTAH DAERAH 6. PRODUK HUKUM DAERAH UNTUK PENGAKUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

71

7. PENUTUP

81

REFERENSI

83

LAMPIRAN-LAMPIRAN CONTOH PERATURAN DAERAH DAN KEPUTUSAN KEPALA DAERAH

85

v



KATA PENGANTAR Buku ini diselesaikan tepat 585 hari setelah dibacakannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012. Perubahan besar dalam konsep hukum, kebijakan dan arah gerakan sosial untuk pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Hukum Adat dibawa oleh Putusan ini. Tidak terhitung pertemuan diselenggarakan untuk membahas hal ini. Riset pun juga banyak dilakukan. Demikian pula, sejumlah peraturan perundang-undangan dibentuk oleh Pemerintah Pusat untuk menanggapi Putusan MK ini. Sayangnya, keriuhan yang berlangsung di panggung nasional itu tidak berbanding lurus dengan fakta di daerah dan di kampung-kampung. Hingga kini belum ada satupun hutan adat atau wilayah Masyarakat Hukum Adat di dalam kawasan hutan yang mendapat pengakuan Pemerintah Pusat. Penghambatnya adalah ketiadaan produk hukum daerah yang tepat untuk dijadikan dasar meng-klaim kembali wilayah adat tersebut. Kami menyusun buku ini untuk dua tujuan, yakni menjadikan wilayah adat itu senyatanya diakui dan membantu Pemerintah Daerah untuk mewujudkan pengakuan tersebut. Apa yang dipaparkan dalam buku ini adalah hasil dari perjalanan panjang kami melakukan advokasi kebijakan yang berbasis pada riset di berbagai lokasi di Indonesia. Kami berterima kasih kepada kolega yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan buku ini. Demikian pula terima kasih atas masukan dari para pihak lain dalam pelatihan penyusunan Peraturan Daerah untuk pengakuan Masyarakat Hukum Adat yang diselenggarakan oleh Epistema Institute dan pelatihan lain yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Kami berharap Buku ini dapat menginspirasi kerja yang lebih konkrit untuk mewujudkan pengakuan hukum yang nyata bagi Masyarakat Hukum Adat dan wilayahnya. Jakarta, 24 Desember 2014 Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah

vii



1. PENDAHULUAN “Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 merupakan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat. Hal demikian merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai “living law” yang sudah berlangsung sejak lama, dan diteruskan sampai sekarang. Oleh karena itu, menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.”

Kutipan di atas bersumber dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/ PUU-X/2012. Putusan ini (selanjutnya disebut Putusan MK 35) membuat koreksi mendasar terhadap konsep dan praktik penguasaan tanah di Indonesia. Mengapa demikian? Pertama-tama marilah kita melihat terlebih dahulu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebelum ada Putusan MK 35 ini, Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan ini menyatakan bahwa “hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat”. Tentu saja hal ini menimbulkan ketidakpuasan dari Masyarakat Hukum Adat karena wilayah adat mereka harus menjadi bagian dari hutan negara. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya pada tanggal 19 Maret 2012, wakil dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua kelompok Masyarakat Hukum Adat yakni dari Kenegerian Kuntu di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dan Kasepuhan Cisitu di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, mendaftarkan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap beberapa pasal dalam UU No. 41 Tahun 1999. Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Mei 2013 membacakan Putusan MK 35, yang salah satu amar atau putusannya menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Kedua, ketika Mahmakah Konstitusi menyatakan hutan adat bukan hutan negara, pada saat bersamaan Mahkamah menyatakan bahwa hutan adat adalah bagian dari hutan hak. Dengan demikian maka Mahkamah 1


Konstitusi meluruskan konsep penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Selama ini Kementerian Kehutanan (sekarang menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KLHK) dan Kementerian/Lembaga lain termasuk Pemerintah Daerah meyakini bahwa kawasan hutan itu adalah kawasan yang bebas dari penguasaan tanah oleh warga negara. Pemahaman di atas sebenarnya adalah sebuah kesalahkaprahan.1 UU No. 41 Tahun 1999 tidak menyatakan demikian. UU Kehutanan ini menganut pandangan bahwa kawasan hutan adalah wilayah yang direncanakan menjadi hutan tetap, yang di dalamnya terdapat penguasaan negara dan warga negara. Karena hal ini maka kawasan hutan itu meliputi hutan negara dan hutan hak. Hutan hak dimaksud terdiri dari hutan adat dan hutan hak perorangan atau badan hukum. Setelah keluarnya Putusan MK 35, Pemerintah Pusat menerbitkan sejumlah peraturan perundang-undangan. Di antaranya adalah Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut-II/2013 yang merupakan perubahan dari Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Selain itu juga ada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Pada tanggal 17 Oktober 2014, dikeluarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan.2 Jauh sebelum ini, terdapat Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kemudian, beberapa peraturan perundang-undangan nasional lain juga memerintahkan pengaturan dan penetapan masyarakat hukum adat melalui produk hukum daerah. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,

1

Salah kaprah adalah kesalahan yang sudah umum dilakukan sehingga banyak orang tidak lagi merasakannya sebagai sebuah kesalahan (www.kbbi.web.id).

2

Peraturan Nomor 79 Tahun 2014, 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014.

2

Nomor

PB.3/Menhut-II/2014,

Nomor


misalnya memberikan mandat kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menetapkan tanah ulayat. Jelaslah, Pemerintah Daerah menjadi ujung tombak penting untuk implementasi Putusan MK 35. Namun demikian, banyak Pemerintah Daerah ragu terhadap kewenangan ini. Sementara itu, sejumlah peraturan daerah yang ada di berbagai kabupaten pada umumnya bersifat pengaturan dan bukan penetapan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan wilayahnya. Padahal, KLHK berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 meminta adanya peraturan daerah yang bersifat penetapan sebagai syarat pengakuan hutan adat.

Untuk mendorong percepatan implementasi Putusan MK 35, maka pembentukan produk hukum daerah yang baik dan tepat sangat diperlukan. Buku ini membantu eksekutif dan legislatif di daerah untuk menyusun produk hukum mengenai pengakuan Masyarakat Hukum Adat, hak-hak serta wilayahnya. Bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan? Bagaimana format produk hukum yang benar? Bagaimana 3


materi muatan yang tepat sesuai dengan keragaman kondisi Masyarakat Hukum Adat dat di daerah dan tidak bertentangan bertentang dengan produk hukum nasional? Kami ami membagi buku panduan ini ke dalam pokok-pokok bahasan berikut. Setelah bagian pendahuluan, kita masuk ke bagian kedua yang menjelaskan secara ringkas mengenai Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. 35/PUU Kemudian dilanjutkan dengan bagian ketiga dimana kita akan menemukan pembahasan mengenai definisi de dan konsep Masyarakat Hukum Adat, baik yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perundang ataupun pendapat para ahli. Pada bagian keempat dibahas mengenai kerangka hukum untuk menyusun produk hukum daerah. Di dalamnya dibahas peraturan perundang-undan undangan nasional, rancangan undangundang mengenai Masyarakat Hukum Adat, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi dan instrumen perjanjian internasional mengenai Masyarakat Hukum Adat, baik yang sudah atau belum disetujui atau diadopsi oleh Pemerintah Indonesia. Bagian kelima membahas kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Bagian keenam menjelaskan bentuk produk hukum daerah yang dapat digunakan, langkah-langkah langkah penyusunan dan contoh formatnya. Buku Buk ini diakhiri dengan bagian an penutup yang mengikhtisarkan pokok-pokok bahasan sebelumnya.

Buku ini membantu eksekutif dan legislatif di daerah untuk menyusun produk hukum yang tepat dan benar untuk pengakuan Masyarakat Hukum Adat. Bagaimana langkah-langkah langkah yang harus dilakukan? Bagaimana format produk hukum yang benar? Bagaimana materi muatan yang tepat sesuai dengan keragaman kondisi Masyarakat Hukum Adat di daerah dan tidak bertentangan dengan produk hukum nasional?

4


2. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 35/PUU-X/20123 Putusan MK 35 yang dibacakan pada 16 Mei Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 telah mengoreksi kekeliruan konsep hukum, kebijakan dan praktik penguasaan tanah di Indonesia.

2013 merupakan tonggak penting dari perjuangan panjang Masyarakat Hukum Adat dan kelompok masyarakat sipil pendukungnya untuk mengoreksi kekeliruan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kekeliruan dimaksud secara khusus berkaitan dengan konsep, kebijakan dan praktik penguasaan tanah dan hutan di Indonesia.

Pasal 1 angka 6 dan sejumlah pasal lain dalam UU No. 41 Tahun 1999 merumuskan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara. Putusan MK 35 menyatakan ketentuan ini diskriminatif terhadap kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Apa saja hal penting yang terdapat dalam Putusan MK 35 itu, bagaimana tanggapan Pemerintah Pusat dan apa yang penting dilakukan oleh Pemerintah Daerah? Kita akan menemukan jawabannya dalam penjelasan berikut. Membedah Pokok-pokok pendapat MK Pokok-pokok pendapat MK terkait dengan Masyarakat Hukum Adat dan hutan adat sebagaimana terdapat pada halaman 166-188 Putusan MK 35 adalah sebagai berikut: (1) Masyarakat Hukum Adat adalah subjek hukum. Secara jelas MK menyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah penyandang hak dan kewajiban. Dengan kata lain adalah subjek hukum. Oleh karena itu maka Masyarakat Hukum Adat seharusnya mempunyai kedudukan yang sama dengan subjek hukum lain dalam 3

Disarikan dari Safitri, M.A., 2014, Kembali ke daerah: Sebuah pendekatan realistik untuk pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, makalah disampaikan dalam diskusi memperingati setahun Putusan MK No. 35/PUUX/2012, diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Jakarta, 13 Mei 2014.

5


penguasaan tanah. Subjek hukum lain itu misalnya orang perorangan atau badan hukum. (2) UU No. 41 Tahun 1999 telah bersikap diskriminatif terhadap Masyarakat Hukum Adat sebagai subjek hukum dengan menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara. MK berpendapat ketentuan-ketentuan terkait hal ini dalam UU No. 41 Tahun 1999 mencerminkan ketidakpastian hukum dan anti keadilan. (3) Terjadi pengabaian negara terhadap Masyarakat Hukum Adat. Sejalan dengan pokok pikiran MK mengenai diskriminasi yang dilakukan oleh UU No. 41 Tahun 1999 kepada Masyarakat Hukum Adat, MK menegaskan lagi bahwa penempatan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara adalah pengabaian hak-hak Masyarakat Hukum Adat.

(4) Pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hutan adat dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Dengan pandangan ini maka MK tidak bermaksud mendukung faham antroposentrisme dalam pengelolaan hutan adat. Faham ini menempatkan kepentingan manusia menjadi yang utama dalam pemanfaatan tanah dan sumber daya alam. MK memandang bahwa aspek kelestarian hutan tetap menjadi pertimbangan dalam pengelolaan hutan adat. 6


(5) Penguasaan hutan terbagi atas hutan negara dan hutan hak; Di dalam hutan hak terdapat hutan adat dan hutan perorangan/ badan hukum. Dalam hal ini, MK memberikan kejelasan terhadap konsep penguasaan hutan. Memasukkan hutan adat ke dalam hutan negara merupakan bentuk tumpang tindih penguasaan hutan. MK menyatakan bahwa penguasaan tanah/hutan ada pada perorangan, Masyarakat Hukum Adat (secara kolektif dengan hak ulayat) dan negara. Wewenang negara dibatasi oleh wewenang Masyarakat Hukum Adat. Wewenang Masyarakat Hukum Adat dibatasi oleh wewenang perorangan atas tanah. (6) Hutan adat adalah salah satu fungsi wilayah hak ulayat Masyarakat Hukum Adat; di wilayah tersebut terdapat fungsi-fungsi penggunaan lahan lainnya. (7) Masyarakat Hukum Adat berkembang secara evolutif. MK mengikuti pendapat Émile Durkheim pada abad ke 19 mengenai perkembangan masyarakat. Masyarakat menurut Durkheim (1997) berkembang dari solidaritas mekanis menjadi masyarakat dengan solidaritas organis. Teori sosiologi klasik yang digunakan MK ini mungkin tidak sesuai dengan realitas yang ada sekarang. Pemisahan secara tajam antara masyarakat solidaritas mekanis dan solidaritas organis tidak lagi dapat ditemukan, demikian pula pada Masyarakat Hukum Adat. Karena itu, definisi yang realistik terhadap Masyarakat Hukum Adat perlu dibangun bersama sesuai dengan perkembangan terkini. (8) Hak Masyarakat Hukum Adat untuk menentukan nasib sendiri hanya mungkin dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa batasan ini maka MK khawatir pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri akan menimbulkan ancaman separatis. (9) Peraturan Daerah (Perda) merupakan pendelegasian wewenang mengatur mengenai Masyarakat Hukum Adat dari Pemerintah Pusat. Pendelegasian ini adalah upaya menjalankan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pengaturan mengenai Masyarakat Hukum Adat sejatinya dilakukan dalam undang-undang, namun untuk menghindari 7


kekosongan hukum maka MK berpendapat bahwa pengaturan oleh Pemerintah Daerah dibenarkan. Respon Pemerintah Pusat terkait Putusan MK 35 Bagian ini memuat sejumlah pernyataan politik dan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat setelah adanya Putusan MK 35. Pemaparan setiap respon dilakukan ilakukan secara kronologis. (1) Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pembukaan International Workshop on Tropical Forest Alliance 2020, 20 Juni 2013. Setelah panjang lebar menjelaskan strategi pembangunan yang meliputi pro-growth, pro-environment, environment, propro poor dan pro-job, Presiden SBY secara khusus mengomentari Putusan MK 35 dalam kaitan n dengan komitmen pemerintahannya untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan. Beliau menyatakan:

Menurut Mahkamah Konstitusi Perda merupakan pendelegasian wewenang mengatur mengenai Masyarakat Hukum Adat dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.

“…recently the Indonesian Constitutional Court has decided that customary forest, or ‘hutan hutan adat’, adat is not part of the state forest zone. This decision marks an important step towards a full recognition of land and resources rights of adat community and forest-dependent dependent communities. This will also enable Indonesia’s shift toward sustainable growth with equity in its forests and peatlands sector. I am personally committed to initiating a process that registers and recognizes the collective ownership of adat territories in Indonesia. This is a critical first step in the implementation process of the Constitutional titutional Court’s decision.” (2) Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013 SE.1/Menhut Diterbitkan tepat dua bulan setelah Putusan MK 35, Surat Edaran (SE) ini ditujukan kepada Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepada Dinas yang membidangi urusan kehutanan. Surat Sura Edaran ini menjelaskan kembali amar putusan dan pendapat MK dalam perkara pengujian 8


konstitusionalitas pasal-pasal dalam UU No. 41 Tahun 1999 terkait hutan adat dan Masyarakat Hukum Adat. Namun, secara eksplisit SE ini menegaskan bahwa hutan adat itu harus ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, dengan syarat keberadaan Masyarakat Hukum Adat terlebih dahulu ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sebelum penetapan ini perlu dilakukan penelitian oleh Tim sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 dan penjelasannya. (3) Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 44/ MenhutII/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan Peraturan ini secara eksplisit menyatakan tujuannya untuk menjalankan Putusan MK 35. Masyarakat Hukum Adat didefinisikan oleh Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) ini sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Sedangkan wilayah Masyarakat Hukum Adat adalah tempat berlangsungnya hidup dan menyelenggarakan kehidupan Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan yang letak dan batasnya jelas serta dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. Hal kontroversial dari Permenhut ini adalah Pasal 24A yang menyatakan pada ayat (3) bahwa jika sebagian atau seluruh wilayah Masyarakat Hukum Adat berada dalam kawasan hutan maka wilayah tersebut akan dikeluarkan dari kawasan hutan. Kemudian Peraturan ini juga menyatakan: “Terhadap wilayah Masyarakat Hukum Adat yang berada dalam kawasan hutan sesuai Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, maka wilayah Masyarakat Hukum Adat dikeluarkan keberadaannya dari kawasan hutan� (Pasal 57 ayat (2)). Dengan menyebutkan bahwa wilayah adat yang berada dalam kawasan hutan dikeluarkan dari kawasan hutan maka Peraturan Menteri ini telah bertentangan dengan Putusan MK 35. Putusan MK tidak menyatakan bahwa kawasan hutan hanya berupa hutan negara. Di dalamnya terdapat hutan hak yang terdiri dari hutan adat dan hutan perorangan/badan hukum. Persoalan lain dari Permenhut ini adalah sebagaimana disampaikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yakni pengingkaran 9


terhadap status Masyarakat Hukum Adat sebagai subjek hukum. Permenhut ini membuat definisi mengenai hak-hak pihak ketiga dan inventarisasi dan identifikasi hak-hak pihak ketiga tersebut, tetapi tidak menyebutkan hak Masyarakat Hukum Adat.4 (4) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 522/8900/SJ tanggal 20 Desember 2013 tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat5 SE ini juga menyatakan diri sebagai pelaksana Putusan MK 35. Menariknya, dengan Surat ini Menteri Dalam Negeri mengusulkan definisi baru mengenai tanah ulayat. Tanah adat -- yang dipersamakan oleh SE ini dengan tanah ulayat -- disebutkan sebagai bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu Masyarakat Hukum Adat tertentu; tanah ulayat termasuk tanah kerajaan, kraton maupun kesultanan (Sultan Ground). Dimasukkannya tanah kerajaan ke dalam kategori tanah ulayat mempunyai implikasi serius terhadap cara pandang Menteri Dalam Negeri mengenai Masyarakat Hukum Adat. SE ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kesultanan, kerajaan dan sebagainya itu termasuk ke dalam kategori Masyarakat Hukum Adat yang memegang hak atas tanah ulayat. Tentu saja hal ini meresahkan karena penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen, secara tegas menyebutkan adanya dua kategori berbeda mengenai pemerintahan asli di Republik Indonesia. Keduanya adalah "Zelfbesturende landschappen" dan “Volksgemeenschappen�. Masyarakat Hukum Adat termasuk ke dalam kategori yang kedua (volksgemeenschappen). Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan contoh volksgemeenschappen itu adalah nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Sementara zelfbesturende landschappen adalah pemerintahan swapraja yaitu suatu pemerintahan pribumi yang memperoleh otonominya karena sejumlah perjanjian dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. 4

Selengkapnya mengenai keberatan AMAN terhadap Permenhut No. P.62/ Menhut-II/2013 lihat pada tautan ini: http://www.aman.or.id/2014/01/25/ pernyataan-sikap-aliansi-masyarakat-adat-nusantara-aman-terhadap-peraturanmenteri-kehutanan-republik-indonesia-nomor-p-62menhut-112013-tentangperubahan-atas-peraturan-menteri-kehutanan-nomor-p-4/#.U3ECR4LNcXx.

5

Bagian ini dimuat dalam Editorial Epistema April 2014, lihat www.epistema.or.id.

10


Di tengah upaya memperjuangkan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat dat dan wilayah adat, dimana tanahtanah tanah komunal yang disebut tanah ulayat itu berada, maka SE Mendagri ini jelas suatu langkah mundur. Surat ini bersifat kontradiktif dengan misi Undang-undang Undang No. 5 Tahun 1960 atau Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) ( untuk membentuk hukum agraria yang bersih dari anasir feodalisme. (5) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Undang-undang undang ini mengatur secara khusus mengenai Desa esa Adat. Penetapan Desa Adat dilakukan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. Perdebatan yang muncul terkait UU ini adalah: apakah lahirnya UU ini akan melemahkan atau menguatkan pengakuan Masyarakat Hukum ukum Adat? Pertanyaan ini muncul karena rumusan pasal-pasal pasal dalam UU No. 6 Tahun 2014 ini serta penjelasannya menimbulkan banyak tafsir.

Desa Adat adalah pilihan. Masyarakat Hukum Adat dapat memilih apakah bentuk pemerintahannya akan dijadikan Desa Adat atau tidak. Jika berbentuk Dssa Adat maka Pemerintahan Desa akan menjalankan urusan adat dan urusan pemerintahan umum.

Sebagai contoh adalah Pasal 97 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa penetapan Desa Adat dat dilakukan jika memenuhi salah satu kriteria yakni “kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional�. Di sini kita bisa melihat bahwa kesatuan Masyarakat Masyara Hukum Adat yang bersifat teritorial, ritorial, genealogis, dan fungsional dapat menjadi Desa Adat. Namun, dalam penjelasan umum UU No. 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa Desa Adat dat adalah sebuah kesatuan Masyarakat Ma Hukum Adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul. Penjelasan UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan tidak mengatur seluruh tipologi Masyarakat Hukum Adat. UU ini hanya mengatur kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial. 11


Desa Adat pada prinsipnya sebuah pilihan. Masyarakat Hukum Adat dapat memilih apakah bentuk pemerintahannya akan dijadikan Desa Adat atau tidak. Pasal 106 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan penugasan kepada Desa Adat untuk penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan Pembangunan Desa Adat, pembinaan kemasyarakatan Desa Adat, dan pemberdayaan masyarakat Desa Adat. Meskipun disebutkan ada biaya pada penugasan yang diberikan ini tetapi penugasan ini sejatinya penambahan beban kerja bagi Desa Adat. Selain mengurus adat, Desa Adat juga menjalankan tugas-tugas pemerintahan desa pada umumnya. (6) Program Nasional Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat melalui Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (REDD+). Ditandatangani oleh sembilan Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintahan/Komisi Negara dan disaksikan wakil-wakil organisasi Masyarakat Hukum Adat, Program ini bertujuan untuk menjalankan delapan agenda sebagai berikut: o

Mengembangkan kapasitas dan partisipasi Masyarakat Hukum Adat dalam menjalankan program dan kegiatan pemerintah

o

Sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait Masyarakat Hukum Adat

o

Adanya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat

o

Penetapan Peraturan Daerah untuk Masyarakat Hukum Adat

o

Penyelesaian konflik

o

Pemetaan dan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk rakyat termasuk Masyarakat Hukum Adat

o

Memperkuat kapasitas kelembagaan dan kewenangan berbagai pihak untuk pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat di tingkat Pusat dan Daerah

o

Mendukung pelaksanaan REDD+ sebagai upaya menjalankan partisipasi Masyarakat Hukum Adat 12


(7) Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Peraturan Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan Peraturan Bersama ini menyediakan prosedur untuk verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan, termasuk hak Masyarakat Hukum Adat atas wilayah adat yang berada dalam kawasan hutan. Lebih lanjut mengenai isi Peraturan ini dapat dilihat pada bab 4. Peran Pemerintah Daerah Ketujuh respon Pemerintah Pusat yang dibahas di atas menunjukan satu simpul yang sama bahwa Pemerintah Daerah dan keberadaan Peraturan Daerah (Perda) memegang peran penting dalam pelaksanaan Putusan MK 35 ini. Pemerintah Pusat bahkan Mahkamah Konstitusi telah menyerahkan tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, bekerja di daerah, melakukan pendampingan dan pengawasan kepada Pemerintah Daerah adalah hal yang tidak bisa ditunda lagi untuk melaksanakan Putusan MK 35 ini.

13


14


3. SIAPA MASYARAKAT HUKUM ADAT Pada

bagian sebelumnya kita telah mengetahui bahwa pelaksanaan Putusan MK Konsep Masyarakat 35 sangat bergantung pada keberadaan Hukum Adat yang khas Peraturan Daerah (Perda) untuk mengatur penting dirumuskan dan menetapkan Masyarakat Hukum Adat. karena menunjukkan Namun, klarifikasi tentang siapakah subjek pengaturan komunitas yang dapat dikategorikan sebagai sebuah produk hukum Masyarakat Hukum Adat di suatu daerah daerah. penting dirumuskan. Tanpa ada kejelasan tentang subyek pengaturannya, maka suatu peraturan akan kehilangan kesempurnaannya. Sayangnya, kita masih belum mempunyai kesepakatan yang jelas tentang persoalan ini. Salah satu masalah adalah beragamnya istilah dan kriteria yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan. UUD 1945 menggunakan istilah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Pasal 18B ayat (2) menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang�. Selain itu terdapat pula istilah masyarakat tradisional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.� UUD 1945 tidak menjelaskan apakah istilah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat tradisional itu adalah konsep yang sama atau tidak. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, istilah yang digunakan pada umumnya adalah Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Adat atau Desa Adat. Selengkapnya mengenai istilah, definisi dan kriteria pengakuan masyarakat (hukum) adat dalam peraturan perundang-undangan nasional dapat dilihat dalam tabel 1. Pada tabel itu kita dapat mengetahui bahwa beberapa peraturan hanya menyebutkan istilah saja namun tidak menjelaskan definisi Masyarakat Hukum Adat atau 15


Masyarakat Adat. Contohnya adalah UU No. 5 Tahun 1960 (dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria, UUPA), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ada pula peraturan yang tidak menerangkan definisi tetapi menyebutkan unsur-unsur Masyarakat Hukum Adat, misalnya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Definisi Masyarakat Hukum Adat dapat kita temukan dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014), UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Selain itu ada pula Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 yang menyebutkan definisi Masyarakat Hukum Adat dan Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999 yang menyebutkan definisi Komunitas Adat Terpencil. Meskipun istilah yang digunakan beragam, dalam kenyataannya yang disebut Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat itu merujuk pada komunitas yang sama. Dalam masyarakat pada umumnya tidak digunakan istilah Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat, melainkan istilah yang menunjukkan identitas lokal suatu komunitas. Misalnya, Kasepuhan, Orang Rimba, Nagari Sijunjung dan sebagainya.

16


17

Masyarakat Tradisional

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Istilah yang digunakan

UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

Masyarakat Hukum Adat

Peraturan perundang-undangan agraria/sumber daya alam

UUD 1945

Peraturan Perundangundangan

Definisi

Tabel 1. Istilah, definisi, kriteria dan pengaturan khusus Masyarakat Hukum Adat dalam peraturan perundang-undangan nasional

Hak menguasai Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuanketentuan Peraturan Pemerintah.

Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam UndangUndang.

Kriteria pengakuan MHA oleh negara/pengaturan khusus MHA


18

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Masyarakat Hukum Adat

Hutan Adat

Hak Ulayat

Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat.

e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan

c. Ada wilayah hukum adat yang jelas;

b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

a. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);

Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:

Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.


19

Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat Hukum Adat

UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan

UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat

UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografi tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, yang memiliki pranata pemerintahan adat dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.

Masyarakat Hukum Adat ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air tetap diakui sepanjang Kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.

Penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.


20

Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal atau pun atas dasar keturunan. Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun-menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Masyarakat Hukum Adat

Hak Ulayat

Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Masyarakat Hukum Adat

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuanketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;

c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh

b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan

a.

Hak ulayat diakui jika:


21

Hak Ulayat

Masyarakat Hukum Adat

UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Desa Adat

Otonomi daerah dan desa

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaaan Umum dan Kepala BPN Peraturan Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/MenhutII/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014.

Desa adat atau yang disebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur

Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun-menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Pengakuan hak masyarakat hukum adat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengakuan hak masyarakat hukum adat adalah pengakuan pemerintah terhadap keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang pada kenyataannya masih ada.

para warga persekutuan hukum tersebut.


22

Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

UU No. 6 Tahun 2014

Desa Adat

dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daerah

c. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan

a. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;

Pasal 97 ayat (1) menyebutkan penetapan desa adat harus memenuhi syarat:


23

b. Substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.

a. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan

Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila:

d. Perangkat norma hukum adat.

c. Harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/ atau

b. Pranata pemerintahan adat;

a. Masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak tradisionalnya dianggap masih hidup jika memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:


24

UU No. 18 Tahun 2001 (Otonomi Khusus Aceh)

Otonomi khusus

Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain, yang dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Keuchik atau nama lain dan

Mukim

Gampong

Tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

a.

b.

Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yang:


25

UU No. 20 Tahun 2003 tentang

Pendidikan

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia

UU No. 21 Tahun 2001 (Otonomi Khusus Papua) Warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya. Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.

Masyarakat Hukum Adat

Orang Asli Papua

Masyarakat Adat

Masyarakat Hukum Adat

Warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

Masyarakat Adat

berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.

Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang ter-

Identitas budaya Masyarakat Hukum Adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam Masyarakat Hukum Adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.


26

Komunitas Adat Terpencil

Adat-istiadat

Kekuasaan kehakiman

Keputusan Presiden No. No. 111 Tahun 1999

Kesejahteraan sosial

UU No. 29 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian

Transmigrasi

Sistem Pendidikan Nasional

26

Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi; g. Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik.

f.

e. Peralatan dan teknologinya sederhana;

d. Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten;

c. Pada umumnya terpencil secara geografi dan relatif sulit dijangkau;

b. Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan;

a. Berbentuk komunitas kecil, tertutup, dan homogen;

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan informasi mengenai ketersediaan lapangan kerja, kesempatan berusaha, tempat tinggal, kondisi geografis, dan adat istiadat di kawasan transmigrasi.

pencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.


27

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Sumber: Safitri dan Arizona, 2013 dengan pemutakhiran.

UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

(1) Sepanjang masih hidup;

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dapat menjadi pemohon


Jelaslah, bahwa Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat atau Desa Adat itu adalah konsep. Secara sederhana kita dapat menyatakan bahwa konsep merupakan pernyataan abstrak mengenai kenyataan yang diungkapkan melalui kata atau simbol untuk membangun pengetahuan mengenai realitas tersebut. Untuk menjelaskan bahwa Nagari Sijunjung atau Orang Rimba adalah komunitas yang berbeda dengan komunitas lain maka kita perlu memasukkannya ke dalam sebuah konsep yang disebut Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat. Perdebatan mengenai konsep Masyarakat Hukum Adat di Indonesia bermula di masa kolonial. Cornelis van Vollenhoven adalah orang yang secara serius mengembangkan konsep tersebut. Ia adalah ahli hukum tata negara dan perbandingan hukum yang menjadi guru besar di Fakultas Hukum Universitas Leiden di Negeri Belanda. Sebagai sarjana hukum, fokus utama penelitian van Vollenhoven adalah menemukan karakteristik hukum yang unik dari yang disebut ‘hukum’ pribumi. Demikian pula ia mempelajari komunitas yang memproduksi dan menjalankan Cornelis van Vollenhoven, perintis studi hukum hukum tersebut. Hukum pribumi adat. Sumber: www.wikipedia.com. itu kemudian dikenal sebagai hukum adat. Seorang etnolog Belanda lainnya, Snouck Hurgronje, adalah yang pertama menggunakan istilah hukum adat atau disebutnya adat recht ketika menggambarkan hukum lokal di Aceh. Van Vollenhoven membuat studi perbandingan dari beragam hukumhukum lokal pribumi. Dari perbandingan inilah ia menggolongkan hukum-hukum lokal itu ke dalam 19 golongan yang dinamakannya 28


rechtskringen atau wilayah berlakunya hukum (hukum (huku adat). Metode yang dilakukan van an Vollenhoven ini serupa dengan metode yang dilakukan ahli antropologi Wilhelm Schmidt yang membuat klasifikasi kebudayaan-kebudayaan kebudayaan di dunia ke dalam wilayah kebudayaan yang disebutnya Kulturkreise (Koentjaraningrat, 1982:115). Hukum adat yang terbagi ke dalam 19 golongan itu diampu oleh komunitas yang disebut van Vollenhoven sebagai rechtsgemeenschappen. Masyarakat Hukum Adat merupakan terjemahan bebas dari konsep rechtsgemeenschappen atau kadangkadang disebut juga adat rechtgemeenschappen rechtgemeensc . Van Vollenhoven sendiri tidak menerangkan lebih jauh tentang apa yang dimaksudkannya dengan rechtsgemeenschappen tersebut. Dalam sebuah kuliahnya pada tahun 1909, misalnya, van Vollenhoven mengatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda wajib mengakui mengak rechtsgemeenschappen karena ia merefleksikan berbagai komunitas adat yang otonom di Hindia Belanda. Komunitas ini mempunyai beragam bentuk sesuai dengan wilayah hukum adat di mana mereka berada (Burns 2004:13). J.F. Holleman, seorang ahli hukum lain yang yan mengompilasi dan menyunting karya-karya karya van Vollenhoven menyatakan bahwa meski van Vollenhoven tidak menjelaskan dengan rinci dan membuat definisi yang ketat tentang rechtsgemeenschappen itu, tetapi jelas apa yang dimaksudkannya dari penggunaan yang konsisten isten terhadap istilah tersebut. Karena itulah Holleman (1981) mengartikan rechtsgemeenschappen yang dimaksud van Vollenhoven sebagai sebuah unit sosial yang terorganisir dari masyarakat pribumi yang mempunyai pengaturan yang khusus dan otonom terhadap Istilah dan definisi yang beragam kehidupan idupan masyarakatnya karena mengenai Masyarakat Hukum Adat adanya dua faktor: (1) adanya bergantung pada konteks hubungan yang representasi otoritas lokal akan dijelaskan. Pemerintah Daerah perlu (kepemimpinan adat) yang khusus; (2) menetapkan terlebih dahulu aspek apa yang adanya properti komunal, utamanya akan diatur dalam produk hukum daerahnya. tanah, yang memungkinkan komunitas tersebut menjalankan pengaturannya.

29


Istilah Masyarakat Hukum Adat mewarnai literatur hukum adat Indonesia pasca kemerdekaan dan digunakan oleh beberapa peraturan perundangundangan seperti halnya UUPA yang diberlakukan pada tahun 1960. Pada tahun 1980-an muncul istilah lain yakni Masyarakat Adat. Istilah ini umumnya dikembangkan oleh gerakan masyarakat sipil (lembaga swadaya masyarakat) untuk advokasi hak-hak masyarakat atas tanah, kekayaan alam dan identitas lokal. Sebuah definisi mengenai Masyarakat Adat dapat dilihat dari definisi yang digunakan oleh AMAN di bawah ini: Sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan 6 kelembagaan adat. Definisi tentang Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat di atas berbeda dengan kriteria Komunitas Adat Terpencil yang dikembangkan oleh Kementerian Sosial. Kriteria ini sama sekali tidak mensyaratkan adanya penguasaan terhadap suatu wilayah secara turun-temurun. Komunitas Adat Terpencil menurut Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil bercirikan:

6

Berbentuk komunitas kecil, tertutup, dan homogen;

Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan;

Pada umumnya terpencil secara geografi dan relatif sulit dijangkau;

Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten;

Peralatan dan teknologinya sederhana;

Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi;

Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik.

Anggaran Dasar AMAN, Pasal 11 ayat (2).

30


Tabel 2. Perbedaan Konsep Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Adat Elemen

Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat Adat

Penggunaan

Digunakan oleh pemerintah kolonial untuk menyebut suatu subjek hukum susunan asli masyarakat pribumi

Digunakan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk menyebut orang-orang kampung yang teguh memegang tradisi namun menjadi korban pembangunan Orde Baru

Waktu kemunculan

Pada akhir abad XIX dan awal abad XX

Pada dekade 1980-1990-an

Tujuan awal

Digunakan oleh sarjana dan penguasa kolonial dalam rangka indirect rule dan menunjukan bahwa terdapat keunikan pada masyarakat pribumi

Gerakan pengembalian tanah dan perlawanan terhadap diskriminasi

Pencetus dan pengembang

Dicetuskan oleh sarjana hukum Belanda dan dikembangkan melalui penelitian, pengajaran dan kebijakan negara pasca kemerdekaan

Dicetuskan dari gerakan sosial oleh para aktivis dan akademisi. Dikembangkan dalam gerakan-gerakan perlawanan rakyat

Faktor pembentuk dominan

Dibentuk dari hasil-hasil penelitian antropologi kolonial

Dibentuk atas inspirasi dari gerakan indigenous peoples internasional

Sumber: Arizona, 2014.

Peraturan perundang-undangan dan konsep-konsep akademik yang telah kita bahas di atas memuat pengertian berbeda mengenai realitas komunitas yang disebut Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Adat atau Desa Adat. Pada tabel 2 kita dapat mengetahui bahwa perbedaan Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Adat lebih banyak terletak dari asal-mula dan tujuan penggunaannya. Perbedaan Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional dalam UUD 1945 terjadi karena perbedaan penekanan perlindungannya. Masyarakat Hukum Adat untuk melindungi komunitas dan penguasaan atas tanah dan kekayaan alam, Masyarakat Tradisional untuk melindungi identitas lokal. Demikian pula halnya perbedaan Masyarakat Hukum Adat dengan Desa Adat. Desa Adat 31


secara khusus merujuk pada pemerintahan adat yang dijalankan oleh Masyarakat Hukum Adat. Desa Adat yang disebut dalam UU No. 6 Tahun 2014 adalah penamaan umum atau generik yang diberikan undangundang. Desa Adat ini dapat saja disebut dengan nama-nama lokal yang dikenal masyarakat. Di antara semua istilah itu, Masyarakat Hukum Adat, jika dikembalikan pada konsep rechtsgemeenschappen, mempunyai cakupan yang lebih luas. Bagi Pemerintah Daerah yang akan membuat produk hukum daerah perlu menetapkan terlebih dahulu aspek apa yang akan diatur dari komunitas yang disebut Masyarakat Hukum Adat tersebut.

32


4. KERANGKA HUKUM Pada bagian ini kita membahas sejumlah peraturan Inilah beberapa peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum pengakuan Masyarakat Hukum Adat:  UUD 1945  TAP MPR No. IX/MPR/2001

perundang-undangan dan putusan pengadilan yang penting dijadikan rujukan untuk membentuk produk hukum daerah yang mengakui dan melindungi Masyarakat Hukum Adat dan hak-haknya. Peraturan Perundang-undangan Nasional (1) UUD 1945: o

Pasal 18 ayat (6:): Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

o

Pasal 18B ayat (2): Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.

o

Pasal 28I ayat (3): Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

 UU No. 5 Tahun 1960  UU No. 7 Tahun 1984  UU No. 5 Tahun 1990  UU No. 5 Tahun 1994  UU No. 39 Tahun 1999  UU No. 41 Tahun 1999  UU No. 20 Tahun 2003  UU No. 26 Tahun 2007  UU No. 32 Tahun 2009  UU No. 11 Tahun 2010  UU No. 11 Tahun 2013  UU No. 6 Tahun 2014  UU No. 23 Tahun 2014  UU No. 39 Tahun 2014  Sejumlah Peraturan Pemerintah

33


(2) Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 o

Pasal 4: Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip, a.l.: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.

(3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA) o

Pasal 2 ayat (4): Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

o

Pasal 3: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

o

Pasal 5: Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

o

Pasal 22 ayat (1): Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

34


(4) Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita o

Penjelasan Umum: dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia.

(5) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya o

Pasal 3: Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

o

Pasal 37 ayat (1): Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.

(6) Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati) o

Pasal 4: Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.

(7) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia o

Pasal 6 ayat (1): Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.

o

Pasal 6 ayat (2): Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. 35


(8) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 o

Pasal 1 ayat (6) sesuai Putusan MK 35: Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

o

Pasal 4 ayat (3) sesuai Putusan MK 35 ditafsirkan: Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang.

o

Pasal 5 ayat (2) sesuai Putusan MK 35: Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat.

o

Pasal 5 ayat (3): Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

o

Pasal 67 ayat (1): Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undangundang; dan c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

o

Pasal 67 ayat (2): Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

36


(9) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional o

Pasal 5 ayat (3): Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

o

Pasal 32 ayat (2): Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

(10) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang o

Penjelasan Umum angka 9 huruf (f): Hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang.

o

Penjelasan Pasal 5 ayat (5): Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya, antara lain, adalah kawasan adat tertentu, kawasan konservasi warisan budaya, termasuk warisan budaya yang diakui sebagai warisan dunia, seperti Kompleks Candi Borobudur dan Kompleks Candi Prambanan.

(11) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup o

Pasal 63 ayat (1) huruf t: Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang antara lain menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

o

Pasal 63 ayat (2) huruf n: Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Provinsi bertugas dan berwenang antara lain menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan 37


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. o

Pasal 63 ayat (3) huruf k: Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Kabupaten/Kota bertugas dan berwenang antara lain melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

(12) Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya o

Pasal 13: Kawasan Cagar Budaya hanya dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh Negara, kecuali yang secara turun-temurun dimiliki oleh masyarakat hukum adat.

o

Pasal 87 ayat (2) Pemanfaatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan peringkat Cagar Budaya dan/atau masyarakat hukum adat yang memiliki dan/atau menguasainya.

o

Pasal 97 ayat (3) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat hukum adat.

(13) Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati) Protokol Nagoya mengakui bahwa pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sumber daya genetik dan secara berkelanjutan diwariskan oleh nenek moyang masyarakat hukum adat dan komunitas lokal kepada generasi berikutnya. Protokol ini mengatur pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari 38


setiap pemanfaatan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik; pembagian keuntungan, finansial dan/atau non finansial, yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional diberikan berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms); akses pada sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik yang dilakukan melalui persetujuan atas dasar informasi awal (Prior Informed Consent/PIC) dari penyedia sumber daya genetik. (14) Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa o

Desa terdiri dari desa dan desa adat.

o

Pemerintah Daerah menetapkan Desa Adat melalui Peraturan Daerah.

(15) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten dalam hal pengakuan Masyarakat Hukum Adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, penetapan tanah ulayat dan penataan Desa Adat (lihat tabel 7 dalam bab 5). (16) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan o

Pasal 12 ayat (1): Dalam hal tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya.

o

Pasal 13: Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

o

Pasal 17 ayat (1): Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan Izin Usaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. 39


o

Pasal 17 ayat (2): Perkecualian terhadap larangan ini diberikan jika telah terjadi penyerahan tanah oleh Masyarakat Hukum Adat kepada Pelaku Usaha Perkebunan, disertai dengan imbalannya.

Ini yang perlu Anda ketahui tentang Desa Adat 1.

Desa adat diakui oleh UU No. 6 Tahun 2014 dan PP No. 43 Tahun 2014.

2.

Desa adat dapat disebut dengan nama-nama lokal seperti nagari, pekon atau lembang.

3.

Desa adat tidak sama dengan desa administratif. Desa adat adalah bentuk masyarakat hukum adat yang bersifat gabungan genealogis dan teritorial.

4.

Desa adat menjalankan fungsi pemerintahan sesuai dengan adat ditambah dengan fungsi pemerintahan desa pada umumnya.

5.

Desa adat ditetapkan dengan Perda Kabupaten/Kota.

6.

Desa atau kelurahan dapat berubah status menjadi desa adat; desa adat dapat berubah status menjadi desa/kelurahan atas prakarsa masyarakatnya.

7.

Desa adat dapat digabungkan atas prakarsa dan kesepakatan antar desa adat.

8.

Penetapan desa adat untuk pertama kali tunduk pada ketentuan Bab XIII UU No. 6 Tahun 2014. Selanjutnya penetapan desa adat dilakukan melalui pembentukan desa.

9.

Kewenangan desa adat ada yang berasal dari hak asal usul dan ada yang diperoleh dari Pemerintah/Pemerinta Daerah.

10. Kewenangan yang berasal dari hak asal usul misalnya pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; atau penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

40


(17) Undang-undang mengenai Pembentukan Provinsi (18) Undang-undang mengenai otonomi khusus (untuk produk hukum di daerah berotonomi khusus) (19) Undang-undang mengenai Pembentukan Kabupaten (20) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (21) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (22) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (23) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (24) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (25) Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Pada periode 2009-2014, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) berinisiatif merancang Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA). Rancangan ini sudah disampaikan kepada Pemerintah. Tanggapan Pemerintah telah diserahkan kepada DPR-RI namun tidak sempat dibahas mengingat berakhirnya masa tugas DPR-RI.

41


Berdasarkan Rancangan tanggal 20 Maret 2014, beberapa pokok pengaturan penting dalam RUU PPHMHA dapat dilihat di bawah ini:

Definisi Masyarakat Hukum Adat Rumusan DPR-RI

Rumusan Pemerintah

Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.

Masyarakat Hukum adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki karakteristik tertentu, hidup secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum memiliki dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.

Definisi Hak Ulayat Rumusan DPR-RI

Rumusan Pemerintah Hak ulayat adalah hak komunal masyarakat hukum adat untuk memiliki, memanfaatkan dan melestarikan tanah adatnya beserta sumber daya alam di atasnya sesuai dengan tata nilai dan hukum adat yang berlaku serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Definisi Wilayah Adat, Hutan Adat, Tanah Ulayat

Wilayah Adat

Rumusan DPR-RI

Rumusan Pemerintah

Wilayah Adat adalah satu kesatuan geografis dan sosial yang secara turun temurun dihuni dan dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat sebagai penyangga sumbersumber penghidupan yang diwarisi dari leluhurnya atau melalui kesepakatan dengan Masyarakat Hukum Adat

Tanah Adat adalah suatu wilayah berupa tanah, air dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan, dan dilestarikan secara turuntemurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, dan

42


lainnya.

atau dihuni, diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan, berupa tanah ulayat atau hutan adat.

Hutan Adat

Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam Tanah Adat, yang di atasnya terdapat hak ulayat, dikelola bersama-sama secara lestari sesuai dengan fungsi kawasan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.

Tanah Ulayat

Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu Masyarakat Hukum Adat tertentu.

Tanah Ulayat atau penyebutan lain yang dimaknai sama dari suatu Masyarakat Hukum Adat tertentu adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat.

Karakteristik Masyarakat Hukum Adat Rumusan DPR-RI Masyarakat karakteristik:

Hukum

Adat

Rumusan Pemerintah memiliki

a. Sekelompok masyarakat secara turun temurun; b. Bermukim di wilayah geografis tertentu; c. Adanya ikatan pada asal usul leluhur; d. Adanya hubungan hukum yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam; e. Memiliki pranata pemerintahan adat; dan f.

Adanya tatanan hukum adat di wilayah adatnya.

Masyarakat Hukum karakteristik, meliputi:

Adat

memiliki

a. Komunitas tertentu yang hidup dalam kelompok dalam satu bentuk paguyuban, memiliki keterikatan karena kesamaan keturunan dan/atau teritorial; b. Mendiami satu wilayah dengan batasbatas tertentu; c. Memiliki identitas budaya yang sama; d. Memiliki kekayaan immaterial berupa kearifan lokal, pengetahuan tradisional dan budaya atau harta kekayaan dan atau benda adat; e. Memiliki perangkat kelembagaan adat yang masih diakui dan berfungsi; dan f.

43

Memiliki tata nilai serta hukum adat


yang memiliki sanksi dan ditaati kelompoknya sebagai pedoman dalam kehidupan mereka.

Tahapan pengakuan Masyarakat Hukum Adat Rumusan DPR-RI

Rumusan Pemerintah

Pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat dilakukan dengan cara:

Pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat dilakukan dengan cara:

a. Identifikasi Masyarakat Hukum Adat;

a.

b. Verifikasi Masyarakat Hukum; dan

b. Validasi dan verifikasi Hukum Adat; dan

c. Penetapan Masyarakat Hukum Adat.

c.

Identifikasi Masyarakat Hukum Adat; Masyarakat

Penetapan Masyarakat Hukum Adat.

Pelaksanaan identifikasi, validasi dan verifikasi serta Penetapan Masyarakat Hukum Adat Rumusan DPR-RI

Rumusan Pemerintah

Identifikasi Masyarakat Hukum Adat dilakukan sendiri oleh Masyarakat Hukum Adat dan/atau Pemerintah Daerah.

Identifikasi Masyarakat Hukum Adat dilakukan sendiri oleh Masyarakat Hukum Adat, Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah bersama kelompok masyarakat.

Identifikasi sendiri Masyarakat Hukum Adat paling sedikit memuat data dan informasi mengenai: a. Sejarah Masyarakat Hukum Adat

Identifikasi paling sedikit memuat data dan informasi mengenai:

b. Wilayah Adat c. Hukum Adat d. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, dan e. Kelembagaan/sistem adat.

Dalam hal identifikasi dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat, Pemerintah Daerah dapat melakukan pendampingan.

pemerintahan

a. Sejarah Masyarakat Hukum Adat paling tidak selama 4 (empat) generasi atau lebih; b. Keberadaan kelompok yang memiliki keterikatan karena kesamaan keturunan dan atau teritorial; c. Letak, perkiraan luas, titik koordinat, dan batas-batas alam tanah adat; d. Tata nilai, kearifan lokal, dan hukum adat yang masih berlaku;

44


e. Kekayaan baik kekayaan materiil maupun immateriil, termasuk pengetahuan tradisional dan folklore; f.

Keberadaan pranata pemerintahan adat atau kelembagaan adat yang masih hidup dan berfungsi;

g. Pemenuhan kebutuhan hidup seharihari; h. Ada atau tidak ada sengketa. Masyarakat Hukum Adat yang berada dalam satu wilayah Kabupaten menyampaikan hasil identifikasi dan usulan keberadaan dirinya kepada Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota.

Masyarakat Hukum Adat yang berada dalam satu wilayah Kabupaten/kota menyampaikan hasil identifikasi berupa usulan pengakuan dan/atau klaim Masyarakat Hukum Adat kepada Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota.

Masyarakat Hukum Adat yang berada di wilayah paling sedikit 2 (dua) kabupaten dalam 1 (satu) Provinsi menyampaikan hasil identifikasi dirinya kepada Panitia Masyarakat Hukum Adat Provinsi.

Masyarakat Hukum Adat yang berada di wilayah paling sedikit 2 (dua) kabupaten/ kota dalam 1 (satu) Provinsi menyampaikan hasil identifikasi berupa usulan pengakuan dan/atau klaim Masyarakat Hukum Adat kepada Panitia Masyarakat Hukum Adat Provinsi.

Masyarakat Hukum Adat yang berada di minimal 2 (dua) Provinsi menyampaikan hasil identifikasi dirinya kepada Panitia Masyarakat Hukum Adat Nasional.

Masyarakat Hukum Adat yang berada di minimal 2 (dua) Provinsi menyampaikan hasil identifikasi berupa usulan pengakuan dan/atau klaim Masyarakat Hukum Adat kepada Panitia Masyarakat Hukum Adat Nasional.

Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota melakukan verifikasi terhadap usulan keberadaan Masyarakat Hukum Adat.

Validasi dan verifikasi Masyarakat Hukum Adat dilakukan oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota, Panitia Masyarakat Hukum Adat Provinsi atau Panitia Masyarakat Hukum Adat Nasional sesuai kewenangannya.

Panitia Masyarakat Hukum Adat Provinsi melakukan verifikasi terhadap usulan keberadaan Masyarakat Hukum Adat yang disampaikan oleh Masyarakat Hukum Adat. Panitia Masyarakat Hukum Adat Nasional melakukan verifikasi terhadap usulan keberadaan Masyarakat Hukum Adat yang disampaikan oleh Masyarakat Hukum Adat.

45

Validasi meliputi kegiatan pemeriksaan administrasi atas keabsahan informasi dan data yang digunakan dalam kegiatan identifikasi. Verifikasi meliputi kegiatan pemeriksaan fisik lapangan atas kebenaran informasi dan data hasil identifikasi termasuk


sengketa/klaim yang diajukan para pihak, dan melakukan pemetaan tanah adat. Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota, Panitia Masyarakat Hukum Adat Provinsi dan Panitia Masyarakat Hukum Adat Nasional memberitahukan dan/atau mengumumkan hasil verifikasi yang telah dilakukan melalui pengumuman di media massa, kantorkantor Pemerintah, dan sarana publik lainnya.

Deklarasi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dilaksanakan oleh Panitia Nasional.

Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota, Panitia Masyarakat Hukum Adat Provinsi, dan Panitia Masyarakat Hukum Adat Nasional memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan selama 90 (sembilan puluh) hari setelah hasil verifikasi diberitahukan dan/atau diumumkan.

Masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap hasil validasi, verifikasi serta deklarasi.

Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota, Panitia Masyarakat Hukum Adat Provinsi dan Panitia Masyarakat Hukum Adat Nasional melakukan pemeriksaan terhadap pengajuan keberatan yang dilakukan oleh pihak lain. Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota mengajukan hasil akhir proses verifikasi kepada Bupati. Panitia Masyarakat Hukum Adat Provinsi mengajukan hasil akhir proses verifikasi kepada Gubernur. Panitia Masyarakat Hukum Adat Nasional mengajukan hasil akhir proses verifikasi kepada Presiden Bupati menetapkan hasil akhir verifikasi Masyarakat Hukum Adat yang disampaikan oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota dengan Keputusan Bupati. Gubernur menetapkan hasil akhir verifikasi Masyarakat Hukum Adat yang disampaikan

46

Penetapan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dilakukan oleh Menteri yang bertugas dan membidangi bidang pemerintahan, yang memuat pengakuan dan perlindungan terhadap tanah adat, hak masyarakat hukum adat, dan kelembagaannya.

Tata cara validasi, verifikasi dan pengajuan keberatan/sengketa/ klaim hasil validasi dan verifikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.


oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat Provinsi dengan Keputusan Gubernur. Presiden menetapkan hasil verifikasi Masyarakat Hukum Adat yang disampaikan oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat Nasional dengan Keputusan Presiden. Masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap Keputusan Bupati, Keputusan Gubernur, dan Keputusan Presiden. Pengajuan keberatan masyarakat dilakukan sesuai dengan ketentuan perundangundangan

Lembaga Adat Rumusan DPR-RI

Rumusan Pemerintah

Lembaga Adat bersinergi secara dinamis dalam mendukung upaya pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat beserta kearifan lokalnya.

Lembaga adat merupakan pranata adat yang masih hidup dan berfungsi sesuai kedudukan dan perannya, yang dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten/ Kota, atau Pemerintah Provinsi.

Lembaga Adat berfungsi dan berperan mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan Masyarakat Hukum Adat dengan mengacu kepada Hukum Adat. Lembaga Adat dalam melaksanakan fungsi dan perannya berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah. Ketentuan mengenai fungsi dan peran Lembaga Adat diatur dengan Peraturan Daerah.

47


Penyelesaian sengketa Rumusan DPR-RI

Rumusan Pemerintah

Penyelesaian Sengketa Masyarakat Hukum Adat dapat diselesaikan melalui lembaga adat dan/atau Peradilan Adat.

Penyelesaian sengketa Masyarakat Hukum Adat dapat diselesaikan melalui Lembaga Adat dan/atau Pengadilan Negeri.

Lembaga adat menyelesaikan Hukum Adat.

kewenangan Masyarakat

Lembaga Adat menangani sengketa adat yang bukan merupakan tindak pidana.

Peradilan Adat tidak berwenang mengadili tindak pidana berat dan tindak pidana khusus.

Pengadilan Negeri menangani sengketa Masyarakat Hukum Adat yang tidak dapat diselesaikan oleh Lembaga Adat, dan sengketa yang merupakan tindak pidana.

memiliki sengketa

Peradilan Adat dapat dibentuk oleh Lembaga Adat secara berjenjang dari Kabupaten/Kota sampai dengan tingkat Provinsi.

Sengketa internal:

Sengketa internal:

Sengketa internal dalam Masyarakat Hukum Adat diselesaikan melalui Lembaga Adat.

Sengketa internal dalam Masyarakat Hukum Adat diselesaikan melalui Lembaga Adat.

Lembaga Adat mengeluarkan putusan Lembaga Adat sebagai hasil penyelesaian sengketa.

Lembaga Adat mengeluarkan putusan Lembaga Adat sebagai hasil penyelesaian sengketa.

Dalam hal terdapat keberatan terhadap putusan Lembaga Adat sengketa diselesaikan melalui Peradilan Adat.

Lembaga Adat dapat melibatkan Pemerintahan Desa dalam menyelesaikan sengketa di wilayahnya.

Peradilan adat mengeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat.

Dalam hal sengketa tidak dapat diselesaikan atau terdapat keberatan terhadap putusan Lembaga Adat, sengketa diselesaikan melalui Pengadilan Negeri.

Sengketa antar-Masyarakat Hukum Adat:

Sengketa antar-Masyarakat Hukum Adat:

Sengketa antar-Masyarakat Hukum Adat diselesaikan melalui musyawarah antarLembaga Adat.

Sengketa antar-Masyarakat Hukum Adat diselesaikan melalui musyawarah antarLembaga Adat.

Dalam hal musyawarah antar-Lembaga Adat tidak dapat menyelesaikan sengketa, sengketa diselesaikan melalui Peradilan Adat.

Dalam hal musyawarah antar-Lembaga Adat tidak dapat menyelesaikan sengketa, sengketa diselesaikan melalui Pengadilan Negeri.

48


Peradilan Adat mengeluarkan putusan sebagai hasil penyelesaian sengketa. Dalam hal terdapat keberatan terhadap putusan peradilan, sengketa dapat diselesaikan di tingkat Mahkamah Agung.

Sengketa antara Masyarakat Hukum Adat dan pihak lain:

Sengketa antara Masyarakat Hukum Adat dan pihak lain:

Sengketa antara Masyarakat Hukum Adat dan pihak lain yang menyangkut hak Masyarakat Hukum Adat diselesaikan melalui Peradilan Adat.

Sengketa antara Masyarakat Hukum Adat dan pihak lain, diutamakan dapat diselesaikan melalui musyawarah Lembaga Adat, pihak lain dan pihak pemerintahan.

Peradilan adat mengeluarkan putusan sebagai hasil penyelesaian sengketa.

Musyawarah Lembaga Adat mengeluarkan putusan penyelesaian sengketa.

Dalam hal terdapat keberatan terhadap putusan peradilan adat, sengketa dapat diselesaikan di tingkat Mahkamah Agung.

Dalam hal terdapat keberatan terhadap putusan Musyawarah Lembaga Adat sengketa diselesaikan di Pengadilan Negeri. Pemeriksaan perkara sengketa Masyarakat Hukum Adat dilakukan oleh Majelis Hakim yang berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiri dari 1 (satu) orang Hakim Karier dan 2 (dua) orang Hakim Ad Hoc. Pengangkatan Hakim Ad Hoc dilakukan oleh Presiden atas usulan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden. Dalam mengusulkan Hakim Ad Hoc, Ketua Mahkamah Agung wajib mengumumkan kepada masyarakat.

Putusan Mahkamah Konstitusi Terdapat berbagai putusan Mahkamah Konstitusi yang memuat pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat. Beberapa di antara Putusan itu adalah: (1) Putusan Nomor 010/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, 49


Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam Amar/pertimbangan hakim: Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tidaklah dimaksudkan untuk dijadikan dasar pembagian wilayah negara melainkan merupakan penegasan bahwa negara berkewajiban untuk mengakui dan menghormati Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak tradisionalnya yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. (2) Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku Amar/pertimbangan hakim: Tipologi dan tolok ukur kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 51 ayat (1) b UU No. 24 Tahun 2003: Suatu kesatuan Masyarakat Hukum Adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur: 1. Adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); 2. Adanya pranata pemerintahan adat; 3. Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan 4. Adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur adanya wilayah tertentu. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut: 50


1. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undangundang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah; 2. Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yaitu: 1. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Mahkamah Konstitusi, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA) di Indonesia dibedakan menjadi tiga: 端 KMHA genealogis ditentukan berdasarkan kriteria

hubungan keturunan darah. 端 KMHA teritorial bertumpu pada wilayah tertentu di mana

anggota kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan hidup secara turun-temurun dan melahirkan hak ulayat yang meliputi hak atas pemanfaatan tanah, air, hutan, dan sebagainya. 端 KMHA fungsional didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu

yang menyangkut kepentingan bersama yang mempersatukan Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan dan tidak tergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah, seperti Subak di Bali.

51


(3) Putusan Nomor 34/PUU-IX/2011 tentang pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Amar/pertimbangan hakim: Pasal 4 Ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 dimaknai: “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak Masyarakat Hukum Adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional�. (4) Putusan Nomor 35/PUU–X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Amar/pertimbangan hakim: Masyarakat Hukum Adat adalah subjek hukum. Hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi hutan negara dan hutan hak. Hutan hak meliputi hutan adat dan hutan hak perseorangan/badan hukum. Hutan adat bukan hutan negara. Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat. Instrumen Hukum Internasional Terdapat sejumlah instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan pada masyakarat hukum adat. Salah satu yang terkenal adalah Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization, ILO) Nomor 169 (selanjutnya disebut Konvensi ILO 169). Konvensi yang dikeluarkan pada tahun 1989 ini berjudul: Convention concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries. Dalam dokumen terjemahan Konvensi yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2007, ILO menyebutkan bahwa padanan kata yang tepat bagi indigenous peoples dan tribal peoples di Indonesia adalah Masyarakat Hukum Adat. Hal ini merujuk pada istilah yang dipergunakan oleh Komnas HAM dan Mahkamah Konstitusi (ILO, 2009:5). Meskipun menggunakan istilah Masyarakat Hukum Adat untuk menerjemahkan indigenous peoples dan tribal peoples, ILO menekankan bahwa definisi mengenai keduanya harus bersumber dari masyarakat itu sendiri. Inilah yang disebut sebagai prinsip self-identification atau 52


penjatidirian mandiri. Namun, untuk kepentingan praktis, dapat saja dibuatkan kriteria pembeda antara indigenous peoples dan tribal peoples (lihat tabel 3). Tabel 3. Perbedaan kriteria Indigenous Peoples dan Tribal Peoples dalam Konvensi ILO 169 Indigenous Peoples

Tribal Peoples

Menjalankan kehidupan tradisional.

Menjalankan kehidupan tradisional.

Mempunyai kebudayaan dan cara hidup yang berbeda dengan penduduk pada umumnya, misalnya dalam hal menjalankan kehidupan, bahasa, dan kebiasaan.

Mempunyai kebudayaan dan cara hidup yang berbeda dengan penduduk pada umumnya, misalnya dalam hal menjalankan kehidupan, bahasa, dan kebiasaan.

Mempunyai tradisional.

Mempunyai tradisional.

organisasi

sosial

dan

organisasi

sosial

dan

Keturunan dari penduduk yang telah mendiami wilayah tertentu pada waktu penaklukan, penjajahan atau penetapan batas-batas negara nasional. Sumber: www.ilo.org.

Prinsip-prinsip lain yang penting dari Konvensi ILO 169 ini adalah prinsip non-diskriminasi, perlakukan khusus, pengakuan pada kebudayaan dan kekhasan lainnya, konsultasi dan partisipasi, dan hak menentukan prioritas dalam pembangunan. Secara lengkap mengenai penjabaran prinsip-prinsip ini dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Prinsip-prinsip utama dalam Konvensi ILO 169 Prinsip Penjatidirian mandiri

Pernyataan dalam Konvensi Pasal 1 Penjatidirian terhadap diri sendiri sebagai Masyarakat Hukum Adat adalah kriteria mendasar untuk menetapkan kelompokkelompok Masyarakat Hukum Adat.

Non-diskriminasi

Pasal 3 Masyarakat Hukum Adat berhak menikmati hak-hak mereka sebagai manusia dan kebebasan-kebebasan yang bersifat mendasar tanpa halangan atau diskriminasi. Ketentuanketentuan Konvensi berlaku tanpa diskriminasi terhadap

53


anggota laki-laki maupun Masyarakat Hukum Adat.

anggota

perempuan

dari

Bentuk paksaan atau ancaman pemaksaan tidak boleh digunakan untuk melanggar hak-hak sebagai manusia dan kebebasan-kebebasan yang bersifat mendasar dari Masyarakat Hukum Adat, termasuk hak-hak yang terkandung dalam Konvensi. Pasal 4 Dinikmatinya hak-hak umum sebagai warga negara, tanpa diskriminasi, tidak boleh dikorbankan dengan cara apapun oleh upaya-upaya khusus semacam itu. Pasal 20 Pemerintah harus mencegah diskriminasi antara para pekerja dari Masyarakat Hukum Adat dan para pekerja lainnya. Perlakukan khusus

Pasal 4 Upaya-upaya khusus ditetapkan untuk menjaga dan melindungi keselamatan warga, institusi, harta benda, tenaga kerja, budaya dan lingkungan hidup dari Masyarakat Hukum Adat. Upaya-upaya khusus semacam itu tidak boleh bertentangan dengan harapan-harapan yang dengan bebas dinyatakan dari Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.

Pengakuan pada kebudayaan dan kekhasan lainnya

Pasal 5 Nilai-nilai dan praktik-praktik sosial, budaya, agama, dan spiritual Masyarakat Hukum Adat diakui dan dilindungi, baik sebagai kelompok maupun sebagai individu. Keutuhan dari nilai-nilai, praktik-praktik dan institusi-institusi dari Masyarakat Hukum Adat dihormati. Pemerintah menetapkan kebijakan-kebijakan untuk mengurangi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh Masyarakat Hukum Adat dalam menghadapi kondisi-kondisi baru dalam kehidupan dan pekerjaan, dengan partisipasi dan kerja sama dari Masyarakat Hukum Adat yang mengalami kondisi-kondisi baru tersebut. Pasal 8 Dalam memberlakukan peraturan perundang-undangan nasional kepada Masyarakat Hukum Adat, adat-istiadat atau ketentuan-ketentuan hukum adat mereka harus diindahkan

54


sebagaimana seharusnya. Masyarakat Hukum Adat berhak untuk tetap mempertahankan adat-istiadat dan institusi-institusi mereka sendiri, bilamana adat-istiadat dan institusi-institusi tersebut tidak sejalan dengan hak-hak mendasar yang didefinisikan oleh sistem hukum nasional dan hak-hak manusia yang telah diakui secara internasional. Prosedur-prosedur harus ditetapkan, bilamana perlu, untuk memecahkan konflikkonflik yang dapat timbul dalam penerapan prinsip ini. Konsultasi dan partisipasi

Pasal 6 Pemerintah mengkonsultasikan dengan Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan, melalui prosedur-prosedur sebagaimana seharusnya dan terutama melalui institusiinstitusi perwakilan mereka, setiap kali sedang dilakukan pertimbangan terhadap upaya-upaya legislatif atau administratif yang dapat langsung berpengaruh terhadap mereka. Pemerintah menetapkan cara-cara yang memungkinkan Masyarakat Hukum Adat untuk dapat secara bebas berpartisipasi di seluruh tingkat pengambilan keputusan dalam institusi-institusi pemilihan umum dan administrasi dan badan-badan lain yang bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan dan program-program yang menyangkut kepentingan mereka. Pemerintah menetapkan cara-cara untuk mengembangkan sepenuhnya institusi-institusi dan inisiatif-inisiatif dari Masyarakat Hukum Adat, dan dalam hal-hal yang semestinya, memberikan sumber-sumber daya yang perlu untuk maksud ini. Konsultasi-konsultasi yang dilakukan dalam penerapan Konvensi ini dilakukan dengan itikad baik dan dalam bentuk yang tepat dan sesuai dengan keadaan-keadaan yang ada, dengan tujuan agar upaya-upaya yang diusulkan mendapatkan kesepakatan atau izin. Pasal 13 Pemerintah harus menghormati pentingnya kekhususan nilainilai budaya dan spiritual dari Masyarakat Hukum Adat yang menyangkut hubungan mereka dengan tanah atau wilayah kekuasaan, atau keduanya sebagaimana yang dapat diberlakukan, yang mereka diami atau apabila tidak, yang mereka gunakan, dan terutama, aspek-aspek kolektif dari hubungan ini.

55


Pengakuan pada wilayah adat dan kekayaan alam di dalamnya

Pasal 16 Masyarakat Hukum Adat tidak boleh disingkirkan dari tanahtanah yang mereka tempati. Bilamana pemindahan Masyarakat Hukum Adat ini ke tempat lain dianggap perlu sebagai suatu langkah pengecualian, pemindahan ke tempat lain tersebut hanya boleh berlangsung apabila mereka dengan kehendak bebas yang mereka miliki menyetujuinya setelah mereka memaklumi akibat-akibatnya. Bilamana tidak dapat diperoleh persetujuan dari mereka, pemindahan ke tempat lain tersebut hanya boleh berlangsung dengan mengikuti prosedur-prosedur semestinya yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan nasional, termasuk dengan cara mengumpulkan pendapat umum bilamana dipandang tepat atau patut dilakukan, sehingga memberikan kesempatan bagi Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan untuk dapat terwakili kepentingannya secara efektif. Bilamana mungkin, Masyarakat Hukum Adat ini harus mempunyai hak untuk pulang ke tanah-tanah tradisional mereka, segera setelah tidak ada lagi alasan untuk memindahkan mereka ke tempat lain. Ketika kepulangan seperti itu tidak mungkin, sebagaimana ditetapkan oleh perjanjian atau, dalam hal tidak adanya perjanjian seperti itu, melalui prosedur-prosedur yang tepat, Masyarakat Hukum Adat ini harus, dalam semua situasi yang mungkin, diberi tanah-tanah yang mutunya dan status hukumnya sekurang-kurangnya sama dengan tanah-tanah yang sebelumnya mereka tempati, yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka saat ini dan perkembangan di masa yang akan datang. Bilamana Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan menyatakan lebih menyukai atau memilih ganti rugi dalam bentuk uang atau barang, mereka harus diberi ganti rugi sesuai permintaan mereka tersebut di bawah jaminan-jaminan yang tepat dan patut.

Hak menentukan prioritas dalam pembangunan

Pasal 7 Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan berhak memutuskan prioritas-prioritas mereka sendiri untuk proses pembangunan ketika proses tersebut mempengaruhi kehidupan, kepercayaan, institusi-institusi dan kesejahteraan rohani mereka serta tanah-tanah yang mereka diami atau apabila tidak mereka diami, mereka gunakan, dan untuk

56


menjalankan kendali, sedapat mungkin, terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri. Di samping itu, mereka berpartisipasi dalam perumusan, implementasi dan evaluasi rencana-rencana dan programprogram pembangunan nasional maupun regional yang dapat membuat mereka secara langsung terkena dampaknya. Sumber: ILO, 2009.

Konvensi ILO 169 ini masih belum diratifikasi ke dalam hukum nasional secara resmi oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun demikian, beberapa perjanjian internasional terkait Masyarakat Hukum Adat telah diratifikasi atau ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia (lihat tabel 5). Pada tahun 1994 misalnya, Pemerintah Indonesia meratifikasi Convention on Biological Diversity atau Konvensi Keanekaragaman Hayati melalui UU No. 5 Tahun 1994. Dalam Konvensi tersebut disebutkan tanggung jawab pemerintah untuk, sejalan dengan peraturan perundang-undangan nasional: “menghormati, melindungi dan mempertahankan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktek-praktek masyarakat asli dan lokal yang mencerminkan gaya hidup berciri tradisional, sesuai dengan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan memajukan penerapannya secara lebih luas dengan persetujuan dan keterlibatan pemilik pengetahuan inovasi-inovasi dan praktek-praktek tersebut semacam itu mendorong pembagian yang adil keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan pengetahuan, inovasiinovasi dan praktek-praktek semacam itu�. Pemerintah Indonesia juga meratifikasi konvensi internasional lain terkait dengan hak asasi manusia, yaitu the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, dan the International Covenant on Civil and Political Rights. Kemudian diratifikasi juga the Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination. Pada tahun 1999, Pemerintah meratifikasi Konvensi ILO 111 yang bertujuan membatasi diskriminasi dan mempromosikan kesetaraan dalam pekerjaan dan jabatan termasuk bagi Masyarakat Hukum Adat. Sebuah Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Masyarakat Hukum Adat (UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, UNDRIP) dihasilkan pada tahun 2007. Indonesia adalah salah satu negara 57


yang menandatangani Deklarasi tersebut. Deklarasi ini bertujuan melindungi hak-hak Masyarakat Hukum Adat untuk memelihara dan menguatkan pranata adat, kebudayaan dan tradisi mereka dan untuk menikmati pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka. Perjanjian internasional terbaru yang diratifikasi adalah Protokol Nagoya. Perjanjian ini mengatur mengenai perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat untuk memperoleh pembagian manfaat yang adil dari pemanfaatan sumber daya genetik dan keanekaragaman hayati serta pengetahuan tradisional berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya tersebut. Tabel 5. Perjanjian Internasional terkait Masyarakat Hukum Adat yang diratifikasi/ditandatangani Pemerintah Indonesia Instrumen Hukum Internasional

Ratifikasi/tandatangan

Convention on Biological Diversity

UU No. 5 Tahun 1994

ILO Convention No. 111

UU No. 21 Tahun 1999

Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD)

UU No. 29 Tahun 1999

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)

UU No. 11 Tahun 2005

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

UU No. 12 Tahun 2005

Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention On Biological Diversity

UU No. 11 Tahun 2013

UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples 2007

Ditandatangani

58


5. KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH Apakah pengaturan dan penetapan Masyarakat Hukum Adat merupakan kewenangan Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat? Apakah pengaturan dan penetapan itu merupakan urusan wajib atau urusan pilihan? Apakah Pemerintah Daerah dapat membuat peraturan untuk mengatur dan menetapkan Masyarakat Hukum Adat sebelum ada undang-undang mengenai Masyarakat Hukum Adat?

Pertanyaan-pertanyaan ini kerap disampaikan oleh unsur pemerintahan daerah ketika menanggapi gagasan pembentukan produk hukum daerah untuk Masyarakat Hukum Adat. Pada bagian ini kita mendiskusikan dasar hukum untuk kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah mengatur dan menetapkan Masyarakat Hukum Adat. Kewenangan menurut Konstitusi UUD 1945 mengatur Masyarakat Hukum Adat dalam tiga aspek: 

Aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah Pasal 18B ayat (2): Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.



Aspek Hak Asasi Manusia Pasal 28I ayat (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

59


Aspek perlindungan dan pengembangan mbangan kebudayaan Pasal 32 Ayat (1): Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai nilai budayanya.

Dari ketiga hal tersebut maka kita melihat bahwa bahw pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak hak tradisional termasuk wilayah dimana hak-hak hak itu dijalankan merupakan bagian dari tanggung jawab Negara terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh sebab itu, sangat beralasan jika kewenangan utama uta untuk pengaturan dan penetapan Masyarakat yarakat Hukum Adat itu ada pada pemerintahan daerah, dalam hal ini Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Alasan san yang lain adalah, kekhasan Masyarakat Hukum Adat di setiap daerah yang berbeda-beda beda tidak memungkinkan memun ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan undangan nasional. Sejalan dengan itu, kita juga perlu melihat Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan: “Pemerintahan Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Kewenangan menurut UU Pemerintahan Daerah UU Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, yang menggantikan UU No. 32 Tahun 2004, menetapkan penggolongan urusan pemerintahan menjadi tiga: 1. Urusan Pemerintahan Absolut 

Kewenangan mutlak tlak Pemerintah Pusat

Meliputi enam urusan yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.

60

Mengakui Masyarakat Hukum Adat adalah urusan wajib Pemerintah Daerah, terutama terkait urusan di bidang pertanahan, lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat dan desa.


2. Urusan Pemerintahan Konkuren 

Kewenangan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

Dasar pelaksanaan otonomi daerah

Urusan Daerah meliputi:  Urusan Wajib -

Urusan Wajib untuk pelayanan dasar

-

Urusan Wajib untuk bukan pelayanan dasar

 Urusan Pilihan 3. Urusan Pemerintahan Umum 

Kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan

Meliputi urusan yang berkaitan dengan pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa; pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional; penanganan konflik sosial; koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan yang ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila.

Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal.

61


Tabel 6. Urusan Pemerintahan Daerah Urusan Wajib Pelayanan Dasar

Urusan Pilihan

Non-Pelayanan Dasar

Pendidikan;

Tenaga kerja;

Kelautan dan perikanan;

Kesehatan;

Pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;

Pariwisata;

Pekerjaan umum dan penataan ruang; Perumahan rakyat dan kawasan permukiman; Ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan sosial.

Pangan;

Pertanian; Kehutanan;

Pertanahan; Lingkungan hidup; Administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; Pemberdayaan masyarakat dan Desa;

Energi dan sumber daya mineral; Perdagangan; Perindustrian; dan Transmigrasi.

Pengendalian penduduk dan keluarga berencana; Perhubungan; Komunikasi dan informatika; Koperasi, usaha kecil, dan menengah; Penanaman modal; Kepemudaan dan olah raga; Statistik; Persandian; Kebudayaan; Perpustakaan; dan Kearsipan.

Kewenangan mengatur dan menetapkan Masyarakat Hukum Adat terdapat dalam urusan wajib bukan pelayanan dasar, khususnya pada bidang pertanahan, lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat dan desa. Pada tabel 7 dapat dilihat bagaimana pembagian kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dengan penyelenggaraan kewenangan di ketiga bidang yang berkaitan dengan Masyarakat Hukum Adat. 62


63


64

Tanah Ulayat

Pengakuan keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA), kearifan lokal dan hak MHA yang terkait dengan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)

Lingkungan Hidup

Sub-urusan

Pertanahan

Bidang

Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di 2 (dua) atau lebih Daerah provinsi. Peningkatan kapasitas MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di 2 (dua) atau lebih Daerah provinsi.

Pemerintah Pusat

Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau lebih Daerah kabupaten/kota dalam satu Daerah provinsi. Peningkatan kapasitas MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau lebih Daerah kabupaten/kota dalam satu Daerah provinsi.

Penetapan tanah ulayat yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/ kota dalam satu Daerah provinsi

Pemerintah Provinsi

Tabel 7. Pembagian Kewenangan Pemerintah terkait urusan Masyarakat Hukum Adat

Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di Daerah kabupaten/kota. Peningkatan kapasitas MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di Daerah

Penetapan tanah ulayat yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota.

Pemerintah Kabupaten/Kota


65

Penataan Desa

Sumber: UU No. 23 Tahun 2014.

Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional. Penerbitan kode Desa berdasarkan nomor registrasi dari Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.





Penetapan susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan kepala desa adat berdasarkan hukum adat.

Penyelenggaraan penataan Desa.

kabupaten/kota.


Kewenangan menurut Peraturan Perundang-undangan lain Sejumlah peraturan perundang-undangan juga telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menerbitkan produk hukum daerah guna penetapan keberadaan Masyarakat Hukum Adat/Desa Adat dan hak ulayatnya. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan pelaksanaannya yakni PP No. 43 Tahun 2014 menyebutkan bahwa penetapan Desa Adat itu merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dan ditetapkan melalui Peraturan Daerah. Hal ini dikuatkan oleh UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (lihat kembali tabel 7). Secara khusus, kita dapat melihat hal ini termaktub dalam Pasal 29 PP No. 43 Tahun 2014 yang menyatakan: (1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan inventarisasi Desa yang ada di wilayahnya yang telah mendapatkan kode Desa. (2) Hasil inventarisasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan dasar oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk menetapkan desa dan desa adat yang ada di wilayahnya. (3) Desa dan desa adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota. Dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kita juga menemukan bahwa Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengukuhkan keberadaan masyarakat hukum adat (lihat Pasal 67 ayat (2) UU tersebut). Pedoman pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang diterbitkan Kementerian Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 52 Tahun 2014 memberikan kewenangan kepada Daerah untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi serta penetapan Masyarakat Hukum Adat. Kewenangan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan MK 35 sebagaiman telah dibahas pada bab 2 menyatakan bahwa untuk pelaksanaan Pasal 18B ayat (2) seharusnya dilakukan dalam undang-undang. Namun, untuk mengatasi kekosongan hukum maka pengaturan melalui Peraturan Daerah dapat dibenarkan.

66


67



6. PRODUK HUKUM DAERAH UNTUK PENGAKUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT Apakah bentuk-bentuk bentuk produk hukum daerah? Apa beda Produk Hukum yang bersifat pengaturan dan penetapan? peneta Bentuk dan sifat produk hukum daerah apa yang diperlukan untuk pengakuan Masyarakat Hukum Adat

Mengenal bentuk produk hukum daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah menyatakan bahwa produk hukum daerah itu meliputi Peraturan Daerah atau nama lainnya, Peraturan Kepala Daerah, Peraturan Bersama Kepala Daerah, Peraturan DPRD dan peraturan yang berbentuk keputusan meliputi Keputusan Kepala Daerah, Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan Kehormatan DPRD. Produk hukum daerah ada yang bersifat pengaturan dan ada yang bersifat penetapan. Produk hukum yang bersifat pengaturan memberikan aturan yang berlaku umum terhadap suatu bidang. Permendagri No. 1 Tahun 2014 memberikan contoh produk produ hukum daerah yang bersifat pengaturan adalah Peraturan Daerah atau Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) atau nama lainnya (misalnya Qanun), Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota) Peraturan Bersama Kepala Daerah (Peraturan an Bersama Gubernur atau Peraturan Bersama Bupati/Walikota) atau Peraturan DPRD. Sementara itu produk Produk hukum daerah ada hukum daerah yang bersifat penetapan yang bersifat pengaturan (regeling) dan adalah produk hukum yang bersifat ada yang bersifat penetapan konkrit, individual, final dan berakibat (beschikking). Peraturan Daerah adalah hukum pada seseorang atau badan hukum salah satu contoh produk hukum bersifat perdata. ata. Termasuk ke dalam kategori regeling, Keputusan Bupati adalah contoh penetapan ini adalah Keputusan Kepala peraturan yang bersifat beschikking. Daerah (Keputusan Gubernur atau

69


Keputusan Bupati/Walikota), Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan Kehormatan DPRD. Peraturan Daerah termasuk kelompok produk hukum daerah yang sifatnya mengatur, jika kita lihat dari isinya akan ditemukan tiga jenis Peraturan Daerah. Pertama adalah Peraturan Daerah yang murni bersifat pengaturan. Misalnya Peraturan Daerah tentang taca cara penerbitan izin. Yang kedua adalah Peraturan Daerah yang sifatnya penetapan. Dapat disebutkan contohnya di sini adalah penetapan desa dan penetapan atau kadang-kadang disebut juga pengukuhan Masyarakat Hukum Adat. Yang terakhir adalah Peraturan Daerah yang mengatur struktur organisasi dan tata kerja di daerah.

70


Bentuk Produk Hukum Daerah (Permendagri No. 1 Tahun 2014)

Pengaturan

Penetapan

• Peraturan Daerah (nama lain) • Perda Provinsi • Perda Kabupaten/kota • Peraturan Kepala Daerah • Peraturan Gubernur • Peraturan Bupa /walikota • Peraturan Bersama Kepala Daerah • Peraturan Bersama Gubernur • Peraturan Bersama Bupa / Walikota • Peraturan DPRD

• Keputusan Kepala Daerah • Keputusan DPRD • Keputusan Pimpinan DPRD • Keputusan Badan Kehormatan DPRD

Produk hukum daerah untuk penetapan Masyarakat Hukum Adat/Desa Adat Pada bagian sebelumnya kita mengetahui meskipun Peraturan Daerah pada umumnya bersifat pengaturan terdapat pula Perda yang bersifat penetapan. Misalnya Perda tentang pembentukan desa. Hal ini juga berlaku untuk undang-undang, seperti halnya undang-undang pembentukan provinsi atau kabupaten/kota. Dengan dasar ini maka penetapan Masyarakat Hukum Adat ataupun Desa Adat juga dapat dilakukan dengan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah yang bersifat penetapan ini akan memberikan kekuatan hukum yang lebih efektif bagi keberadaan Masyarakat Hukum Adat tertentu sebagai subjek hukum dan pengakuan terhadap wilayah adatnya. Langkah-langkah menyusun Peraturan Daerah Penyusunan Perda dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni melalui prakarsa Pemerintah Daerah atau melalui prakarsa DPRD. Langkahlangkah penyusunan Perda pada kedua jalur ini dijelaskan pada bagian berikut.

71


Penyusunan Perda melalui prakarsa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota: 1. Rencana penyusunan Perda dimasukkan ke dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) usulan Pemerintah Daerah. 2. Kepala Daerah memerintahkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait menyusun Rancangan Perda (Ranperda) beserta naskah akademiknya. 3. Kepala Daerah membentuk Tim Penyusun Ranperda. 4. Ranperda dan naskah akademik untuk pengakuan Masyarakat Hukum Adat sebaiknya dikonsultasikan dengan Masyarakat Hukum Adat dan pihak-pihak terkait lain. 5. Ranperda harus mendapat paraf/persetujuan dari Kepala Bagian Hukum dan SKPD terkait. 6. Pimpinan SKPD atau pejabat yang ditunjuk mengajukan Ranperda yang telah mendapat paraf koordinasi kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. 7. Sekretaris daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan terhadap Rancangan Perda yang telah diparaf koordinasi. 8. Jika terdapat perubahan dan/atau penyempurnaan maka Sekretaris Daerah mengembalikan Ranperda kepada pimpinan SKPD pemrakarsa. 9. Hasil penyempurnaan Ranperda disampaikan kembali kepada sekretaris daerah setelah dilakukan paraf koordinasi oleh kepala bagian hukum kabupaten/kota serta pimpinan SKPD terkait. 10. Sekretaris daerah menyampaikan Ranperda kepada kepala daerah. 11. Kepala Daerah menyampaikan Ranperda kepada pimpinan DPRD. 12. Pembahasan Ranperda bersama DPRD. Penyusunan Perda melalui prakarsa DPRD: 1. Ranperda diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi Daerah (Balegda). 2. Ranperda disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik. 72


3. Pimpinan DPRD menyampaikan Ranperda kepada Balegda untuk dilakukan pengkajian. 4. Pimpinan DPRD menyampaikan hasil pengkajian Perda oleh Balegda dalam rapat paripurna DPRD. 5. Rapat paripurna DPRD memutuskan usul Ranperda (disetujui, disetujui dengan perubahan, atau ditolak). 6. Jika disetujui, Pimpinan DPRD menugasi komisi, gabungan komisi, Balegda, atau panitia khusus untuk menyempurnakan Ranperda. 7. Penyempurnaan Ranperda disampaikan kepada Pimpinan DPRD. 8. Pimpinan DPRD menyampaikan Ranperda yang telah disempurnakan kepada kepala daerah untuk dilakukan pembahasan.

Yang perlu Anda ketahui tentang Prolegda þ Prolegda dapat disusun oleh Pemerintah Daerah atau DPRD; þ Prolegda ditetapkan untuk jangka waktu satu tahun

berdasarkan skala prioritas pembentukan Ranperda; þ Penyusunan dan penetapan Prolegda dilakukan setiap tahun

sebelum penetapan Ranperda tentang APBD; þ Penyusunan Prolegda dikoordinasikan oleh Bagian Hukum

Pemkab (Prolegda Pemda) atau oleh Balegda (Prolegda DPRD); þ Prolegda disepakati Pemda dan DPRD; þ Di luar Prolegda umum dapat disusun Ranperda untuk

melaksanakan peraturan yang lebih tinggi, penataan desa atau nama lain, Perda untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau Perda untuk keadaan tertentu lainnya.

73


Produk Hukum Daerah untuk Masyarakat Hukum Adat Pada umumnya, peraturan perundang-undangan nasional dan Putusan Mahkamah Konstitusi mensyaratkan penetapan Masyarakat Hukum Adat dilakukan melalui Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (lihat misalnya UU No. 41 Tahun 1999, UU No. 1 Tahun 2014, UU No. 6 Tahun 2014). Hanya Permendagri No. 52 Tahun 2014 yang menyebutkan bentuk hukum pengakuan Masyarakat Hukum Adat itu adalah Keputusan Kepala Daerah. Karena berbeda-bedanya pengaturan ini maka dalam praktiknya banyak Pemerintah Daerah yang bingung. Manakah yang harus diikuti? Apakah ketentuan yang menyatakan penetapan Masyarakat Hukum Adat harus melalui Peraturan Daerah atau cukup dengan Keputusan Kepala Daerah?

74


75


Kita mengetahui bahwa sesuai dengan hirarki perundang-undangan, perundang Peraturan Menteri itu berada di bawah undang-undang. undang Oleh sebab itu materi muatannya sebaiknya tidak bertentangan dengan undangundang undang. Dengan argumentasi ini maka pengakuan Masyarakat Hukum Adat sebaiknya dilakukan melalui Peraturan Daerah.

Memben ntuk Perda melalui iniisia f DPRD Ranperda oleh Anggota DPRD, Komisi, Gabungan Komisi, Balegda

Disampaiikan kepada Pimpin nan DPRD disertaai Naskah Akaademik

Pimpinan DPRD menyampaikan kepada Balegda untuk dikaji

Pembahasan dengan Kepala Daerah

Keputusaan Paripurna (men nyetujui, me enolak, men ngubah)

Pimpinan DPRD menyampaikan Ranperda dalam Rapat Paripurna

Meskipun n demikian, kita menyadari bahwa proses pembentukan Peraturan Daerah itu memerlukan lukan waktu yang cukup panjang, setidaknya dibandingkan dengan penerbitan Keputusan Kepala Daerah. Oleh sebab itu, sebagai solusi kita dapat membuat Peraturan Daerah yang isinya menetapkan Masyarakat Hukum Adat secara umum di Kabupaten/Kota tertentu. Sementara itu kerincian mengenai wilayah Pemerintah Daerah perlu adatnya dilakukan melalui Keputusan Kepala Daerah. Keberadaan Keputusan menyusun definisi dan kriteria Kepala Daerah di sini harus dimandatkan Masyarakat Hukum Adat yang sesuai dengan kondisi masyarakat di dengan jelas oleh Peraturan Daerah. Da Dengan demikian Keputusan ini merupakan daerahnya, dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan pendelegasian wewenang Putusan Mahkamah Konstitusi. kepada Kepala Daerah untuk membentuk 76


produk hukum yang diperlukan dalam pengakuan keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan wilayahnya. Menyadari bahwa kondisi Masyarakat Hukum Adat Ada di Indonesia ini sangat beragam, kami menganjurkan agar Pemerintah Daerah menyusun definisi dan kriteria yang khusus mengenai Masyarakat Hukum Adat di daerahnya. Apa yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan perundang nasional (lihat kembali tabel 1) pada dasarnya adalah acuan yang perlu dikembangkan lebih jauh sesuai dengan kekhasan daerah. Peraturan Daerah mengenai Masyarakat Hukum Adat perlu meliputi pengaturan secara umum mengenai kebijakan pengakuan, penghormatan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Adat hak-hak dan 7 wilayahnya. Selain itu diperlukan pula Peraturan Daerah yang sifatnya menetapkan keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayahnya (selanjutnya disebut Perda Penetapan). Ada dua model Perda Penetapan yang dapat digunakan. Pertama adalah Perdaa untuk menetapkan Perda untuk pengakuan Masyarakat Masyarakat Hukum Adat yang keberadaannya sudah tidak Hukum Adat sebaiknya memuat pengaturan kebijakan umum pengakuan, diperdebatkan lagi di daerah tentang tersebut. Sebagai contoh adalah perlindungan dan penghormatan serta nagari di Sumatera Barat. Tidak ada penetapan MHA dan wilayah adatnya. yang membantah bahwa nagari adalah salah satu bentuk Masyarakat Hukum Adat di daerah tersebut. te Contoh yang lain adalah Orang Baduy dan Kasepuhan di Kabupaten Lebak. Keduanya secara sosial juga diakui sebagai Masyarakat Hukum Adat. Yang kedua adalah Perda untuk Masyarakat Hukum Adat yang keberadaan dan wilayahnya masih memerlukan upaya lebih jauh untuk memverifikasi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kurangnya bukti 7

Bagian ini dan seterusnya diringkas dari Safitri, Warman, Firdaus, Muhajir dan Arizona, 2014. Panduan Pelaksanaan Pengakuan dan Pembuktian Hak dalam Kawasan Hutan. Laporan disampaikan kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), tidak diterbitkan.

77


kesejarahan, kondisi masyarakat yang relatif heterogen, perpindahan yang dilakukan atau terpaksa dilakukan oleh masyarakat di masa pra kolonial, masa kolonial dan pasca kolonial. Untuk Perda model pertama, kesulitan akan ada pada penetapan wilayah adat. Idealnya, penetapan wilayah adat dilakukan bersamaan dengan penetapan Masyarakat Hukum Adat. Artinya, peta wilayah adat menjadi lampiran dari Perda. Tetapi, jika hal ini sulit dilakukan maka penetapan wilayah adat itu dapat dilakukan kemudian melalui Keputusan Kepala Daerah. Syaratnya ketentuan mengenai penetapan melalui Keputusan Kepala Daerah itu dinyatakan dalam Perda. Contoh Rancangan Perda untuk model ini dapat dilihat pada lampiran 1 dan contoh Rancangan Keputusan Kepala Daerah dapat dilihat pada lampiran 2. Pada Perda model kedua, materi muatan akan lebih banyak mengatur tata cara penetapan masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya. Namun, perlu disebutkan dalam salah satu ketentuannya bahwa Pemerintah Daerah mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat di daerah tersebut. Penetapan Masyarakat Hukum Adat itu secara khusus serta wilayah adatnya dilakukan melalui Keputusan Kepala Daerah. Penting disebutkan dalam Perda bahwa penerbitan Keputusan Kepala Daerah itu merupakan pendelegasian wewenang. Contoh Rancangan Perda model ini dapat dilihat pada lampiran 3 sedangkan contoh Rancangan Keputusan Kepala Daerah dapat dilihat pada lampiran 4.

78


7. PENUTUP Pemerintah Daerah berwenang membuat produk hukum daerah untuk mengakui Masyarakat Hukum Adat, hak-hak dan wilayah adatnya. Sejumlah undang-undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi memandatkan hal tersebut. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak Masyarakat Hukum Adat adalah urusan wajib yang bukan termasuk pelayanan dasar. Keragaman kondisi Masyarakat Hukum Adat perlu menjadi perhatian dalam penyusunan produk hukum daerah. Pemerintah Daerah bersamasama dengan Masyarakat Hukum Adat, akademisi dan pendamping masyarakat perlu membahas bersama definisi dan kriteria Masyarakat Hukum Adat yang paling sesuai dengan kondisi di daerahnya. Berbagai kriteria tentang Masyarakat Hukum Adat yang dikembangkan oleh para ahli sejak masa kolonial dan sebagian daripadanya diadopsi oleh peraturan perundang-undangan tidak dimaksudkan untuk menjadi referensi tunggal mengenai keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Bagaimanapun, kondisi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia sangat beragam. Demikian pula terdapat dinamika perkembangan masyarakat yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, kriteria yang khas dan disepakati bersama menjadi kunci untuk membentuk produk hukum daerah yang baik. Produk hukum daerah yang diperlukan untuk pengakuan yang nyata pada Masyarakat Hukum Adat adalah yang bersifat penetapan. Beberapa model pengaturan telah disampaikan dalam Buku ini. Model-model ini perlu ditanggapi sebagai inspirasi untuk menyusun produk hukum daerah. Hal paling penting dalam penyusunan produk hukum ini adalah pelibatan Masyarakat Hukum Adat dan kelompok masyarakat sipil seluasluasnya. Konsultasi dengan para pihak ini menjadi syarat penting untuk menjadikan produk hukum yang dihasilkan memperoleh legitimasi. Produk hukum daerah yang baik adalah peraturan yang memenuhi syarat formal dalam pembentukannya, mengandung materi muatan yang jelas, tegas, mudah dilaksanakan dan berperspektif keadilan, serta dirumuskan dalam proses yang partisipatif. Dengan cara itu maka penyusunan 79


produk hukum daerah untuk pengakuan Masyarakat Hukum Adat dapat menjadi sarana mewujudkan negara hukum yang demokratis dan berkeadilan.

80


REFERENSI Arizona, Y., 2014, Masyarakat adat, masyarakat hukum adat dan desa adat. Presentasi, Balikpapan 27-28 Maret. Burns, P. 2004, The Leiden legacy: Concepts of law in Indoneesia. Leiden: KITLV. Durkheim, E. 1997, The division of labor in society, New York: Free Press. ELSAM dan LBBT, 1998. Konvensi ILO 169 Mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka. Jakarta: ELSAM. Holleman, J.F. (ed.), 1981, Van Vollenhoven on Indonesian adat law: Selections from ‘Het Adatrecht van Nederlands-Indië’ (Volume 1, 1918; Volume II, 1931). The Hague: Martinus Nijhoff. ILO, 2009. K 169, Konvensi Masyarakat Hukum Adat 1989. Cetakan kedua. Jakarta: ILO. Koentjaraningrat, 1982, Sejarah teori Antropologi I. Jakarta: Penerbit UI, Cetakan kedua. Safitri, M.A., 2014, Kembali ke daerah: Sebuah pendekatan realistik untuk pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, makalah disampaikan dalam diskusi memperingati setahun Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Jakarta, 13 Mei. Safitri, M.A. dan Arizona, Y. 2013. Indigenous peoples in Indonesia: Opportunities and challenges to recognize their rights in law and development programmes. Laporan disampaikan kepada International Labour Organizations, tidak diterbitkan. Safitri, M.A., Warman, K. Firdaus, A.Y., Muhajir, M., dan Arizona, Y. 2014. Panduan pelaksanaan pengakuan dan pembuktian hak dalam kawasan hutan. Laporan disampaikan kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), tidak diterbitkan. 81



LAMPIRAN 18 Contoh Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat untuk Daerah yang Masyarakat Hukum Adat dan wilayah adatnya lebih jelas dan tidak diperdebatkan lagi

LAMBANG DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN [NAMA KABUPATEN] NOMOR [NOMOR PERATURAN] TAHUN [TAHUN PENGUNDANGAN] TENTANG MASYARAKAT [sebutkan NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT, misalnya MASYARAKAT KASEPUHAN untuk Kabupaten Lebak, Banten] DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI [NAMA KABUPATEN], Menimbang

8

:

a.

bahwa pengakuan dan penghormatan Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.

bahwa keberadaan Masyarakat Hukum Adat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] di Kabupaten [NAMA KABUPATEN] masih ada dan menjadi bagian dari komponen masyarakat yang harus diakui dan dihormati keberadaannya oleh negara;

Lampiran 1 hingga Lampiran 4 bersumber dari: Safitri, Warman, Firdaus, Muhajir dan Arizona, 2014. Panduan Pelaksanaan Pengakuan dan Pembuktian Hak dalam Kawasan Hutan. Laporan disampaikan kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), tidak diterbitkan.

83


Mengingat

:

c.

bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dilakukan dalam peraturan daerah;

d.

bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam rangka menjamin adanya kepastian hukum yang berkeadilan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya dapat diatur dalam Peraturan Daerah; dan

e.

bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT];

1.

Pasal 18 ayat (6); Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);

3.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29; Tambahan Lembaran Negara 3277);

4.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara 3419);

5.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 41; Tambahan

84


Lembaran Negara 3556); 6.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara 3886);

7.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 29) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);

8.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);

9.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377);

10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4674) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5475); 11. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);

85


12. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4379) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5490); 13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara 5059); 14. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara 5063); 15. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara 5168); 16. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5214); 17. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 116; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5315); 18. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 73, Tambahan Lembaran

86


Negara 5412); 19. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5432); 20. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5495); 21. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587); 22. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5613); 23. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANG-UNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG] tentang Pembentukan [NAMA PROVINSI] (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor [NOMOR LEMBERAN NEGARA], Tambahan Lembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA]); 24. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANG-UNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG] tentang Pembentukan [NAMA KABUPATEN] (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor [NOMOR LEMBARAN NEGARA], Tambahan Lembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA]); 25. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; 26. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan; 27. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; 28. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Tanah Ulayat Masyarakat

87


Hukum Adat; 29. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; 30. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan;

Dengan persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH [NAMA KABUPATEN] dan BUPATI KABUPATEN [NAMA KABUPATEN] MEMUTUSKAN: Menetapkan:

PERATURAN DAERAH TENTANG MASYARAKAT [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT, misalnya KASEPUHAN]

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1.

Pengakuan adalah pernyataan penerimaan dan pemberian status keabsahan oleh Pemerintah Daerah terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya sebagai perwujudan konstitutif dari negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga negara.

2.

Perlindungan adalah tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk melindungi wilayah dan hak-hak Masyarakat Hukum Adat dari

88


gangguan yang dilakukan oleh pihak lain. 3.

Pemenuhan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Masyarakat Hukum Adat dalam rangka menjamin terpenuhi hak tradisional dan hak lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

4.

Penetapan wilayah adat adalah pernyataan penerimaan dan pemberian status keabsahan oleh Pemerintah Daerah terhadap wilayah adat suatu Masyarakat Hukum Adat.

5.

Tentang definisi Masyarakat Hukum Adat yang digunakan. Definisi ini hendaknya dibuat sesuai dengan kondisi dari Masyarakat Hukum Adat yang ada dalam Kabupaten. Sebagai contoh adalah beberapa pilihan rumusan definisi di bawah ini:  Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum; atau  Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan sebagai satu kelompok karena ada nilai-nilai yang dirawat secara bersama-sama, memiliki lembaga adat yang tumbuh secara tradisional, adanya ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, ada norma hukum adat yang masih berlaku, dan ada wilayah adat tertentu; atau  Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan].

6.

Hak ulayat atau disebut dengan nama lainnya (SEBUTKAN NAMA YANG DIKENAL OLEH MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN] adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat [SEBUTKAN NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT, MISALNYA KASEPUHAN UNTUK LEBAK] atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun dan tidak terputus antara Masyarakat Hukum Adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

7.

Hak tradisional adalah hak yang melekat dengan keberadaan Masyarakat Hukum Adat.

89


8.

Wilayah adat atau yang dipersamakan dengan wilayah hak ulayat atau [SEBUTAN DALAM BAHASA DAERAH] adalah ruang kehidupan yang menjadi tempat keberadaan Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] yang terdiri dari tanah, air dan sumber daya alam yang terdapat di atasnya, yang penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatannya dilakukan menurut hukum adat.

9.

Tanah adat adalah bidang tanah yang terdapat pada wilayah adat yang jenis dan pengaturannya ditentukan berdasarkan hukum adat.

10. [JELASKAN DEFINISI MENGENAI PEMBAGIAN RUANG/TANAH DI DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT. Misalkan pada Masyarakat Kasepuhan dibagi ke dalam leuweung kolot, leuweng titipan, dan leuweung sampalan. Jelaskan definisinya satu per satu]. 11. Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah Masyarakat [SEBUTKAN NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT]. 12. Hukum adat atau disebut dengan [NAMA HUKUM ADAT PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT] adalah seperangkat norma atau aturan yang hidup dan berlaku untuk mengatur hubungan manusia dengan alam dan hubungan antar-manusia yang bersumber pada nilai budaya Masyarakat Hukum Adat yang diwariskan secara turun temurun yang senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat dan mempunyai akibat hukum. 13. Lembaga adat adalah pranata pemerintahan adat yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat yang tumbuh dan berkembang secara tradisional yang terdiri dari [SEBUTKAN LEMBAGA-LEMBAGA ADAT YANG TERDAPAT DI DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT] atau disebut dengan nama lain di dalam Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]. 14. [SEBUTAN DARI WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT] adalah warga Masyarakat Hukum Adat yang terikat pada hukum adat yang berlaku pada Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]. 15. Peta wilayah adat adalah peta tematik dengan skala 1:50.000 yang berisi informasi mengenai batas luar wilayah adat. 16. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten [NAMA KABUPATEN]. 17. Bupati adalah Bupati Kabupaten [NAMA KABUPATEN]. 18. Saturan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalah perangkat daerah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah.

90


19. Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat adalah panitia yang dibentuk dengan Keputusan Bupati untuk melakukan inventarisasi dan verifikasi wilayah adat, melakukan penyelesaian keberatan, dan memberikan rekomendasi kepada Bupati untuk menetapkan wilayah adat. 20. PPNS adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada lingkungan Pemerintah Kabupaten [SEBUTKAN NAMA KABUPATEN] yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 Asas Asas dari pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan dan hak-hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] adalah: a.

Pengakuan

b.

Keberagaman

c.

Keadilan sosial

d.

Kepastian hukum

e.

Kesetaraan dan non-diskriminasi

f.

Keberlanjutan lingkungan

g.

Partisipasi

h.

Transparansi Pasal 3 Tujuan

Tujuan dari pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] adalah: a.

Memberikan kepastian hukum mengenai keberadaan, wilayah adat dan hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].

b.

Melindungi hak dan memperkuat akses Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] terhadap tanah, air dan sumber daya alam.

91


c.

Meningkatkan peran serta warga Masyarakat Hukum Adat dalam pengambilan keputusan di Lembaga Adat.

d.

Mewujudkan pengelolaan wilayah adat secara lestari berdasarkan hukum adat.

e.

Meningkatkan kesejahteraan MASYARAKAT HUKUM ADAT].

f.

Mewujudkan kebijakan pembangunan di daerah yang mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].

g.

Mewujudkan penyelesaian sengketa yang berbasis kepada pengakuan dan penghormatan terhadap hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] dan hukum adatnya.

Masyarakat

[NAMA

UMUM

DARI

Pasal 4 Ruang lingkup Ruang lingkup Peraturan Daerah ini mencakup pengakuan keberadaan dan kedudukan hukum Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT], wilayah adat, kelembagaan adat, pelaksanaan hukum adat, dan pemberdayaan Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].

BAB III KEBERADAAN DAN KEDUDUKAN HUKUM MASYARAKAT [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] Pasal 5 Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] memenuhi kriteria sebagai berikut: a.

Terdiri dari masyarakat yang warganya memiliki perasaan sebagai satu kelompok karena adanya nilai-nilai yang dirawat secara bersama-sama;

b.

Memiliki lembaga adat yang tumbuh secara tradisional;

c.

Memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;

d.

Memiliki norma hukum adat yang masih berlaku; dan

e.

Memiliki wilayah adat tertentu.

92


[Kriteria ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi untuk Masyarakat Hukum Adat yang masih hidup; Kriteria dapat disesuaikan dengan kondisi di daerah]. Pasal 6 (1) Pemerintah Daerah mengakui dan menghormati Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] dan hak tradisionalnya. (2) Pemerintah Daerah melindungi dan memenuhi hak tradisional dan hak lainnya dari Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]. Pasal 7 (1) Masyarakat [NAMA UMUM DARI berkedudukan sebagai subjek hukum.

MASYARAKAT

HUKUM

ADAT]

(2) Lembaga adat mewakili Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] di dalam maupun di luar pengadilan. Pasal 8 (1) Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] terdiri dari [SEBUTKAN BILA ADA HIERARKI ATAU PEMBAGIAN KLASIFIKASI DI DALAM MASYARAKAT]: a.

b.

c.

(2) Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini [HAL INI DICANTUMKAN BILA DIANGGAP PERLU]. Pasal 9 (1) Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] dapat ditetapkan sebagai Desa Adat. (2) Pengaturan mengenai Desa Adat dan Penetapan Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] sebagai Desa Adat diatur dengan Peraturan Daerah.

93


BAB IV WILAYAH ADAT Pasal 10 (1) Pemerintah Daerah mengakui wilayah adat Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati. (2) Peraturan Daerah ini mendelegasikan kewenangan kepada Bupati untuk menetapkan letak, luas dan batas wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk Keputusan Bupati. (3) Wilayah adat Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] terdiri dari [SEBUTKAN JENIS-JENIS PEMBAGIAN WILAYAH ADAT]: a.

b.

c.

(4) Wilayah adat memiliki batas-batas wilayah tertentu baik batas alam dan batas dengan komunitas lain.

BAB V HAK MASYARAKAT [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] Pasal 11 (1) Pemerintah Daerah mengakui, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] (2) Hak-hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] tersebut pada ayat (1) meliputi: a. Hak ulayat b. Hak perorangan warga Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] atas tanah dan sumber daya alam c. Hak memperoleh pembagian manfaat dari sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional oleh pihak luar d. Hak atas pembangunan e. Hak atas spiritualitas dan kebudayaan f. Hak atas lingkungan hidup

94


g. Hak untuk mendapatkan layanan pendidikan khusus h. Hak untuk mendapatkan layanan kesehatan i. Hak untuk mendapatkan layanan administrasi kependudukan j. Hak untuk mengurus diri sendiri k. Hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat l. Hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

BAB VI LEMBAGA ADAT Pasal 12 (1) Pemerintah Daerah mengakui, melindungi dan memberdayakan lembaga adat yang sudah ada secara turun temurun pada [SEBUTKAN NAMA UMUM MASYARAKAT HUKUM ADAT] menurut hukum adat setempat. (2) Lembaga adat tersebut pada ayat (1) berkedudukan sebagai pelaksana kewenangan masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] untuk: a.

Mengurus dan mengatur penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan wilayah adat dan harta kekayaan Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].

b.

Melaksanakan hukum dan peradilan adat.

c.

Mewakili Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] dalam melakukan hubungan hukum dengan pihak luar.

(3) Struktur lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini [BILA DIPERLUKAN BISA DICANTUMKAN STRUKTUR LEMBAGA ADAT].

BAB VII HUKUM ADAT Pasal 13 (1) Pemerintah Daerah mengakui keberadaan hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM

95


ADAT]. (2) Pelaksanaan hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip keadilan sosial, kesetaraan gender, hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup. BAB VIII TATA CARA PENETAPAN WILAYAH ADAT Pasal 14 Penetapan wilayah adat Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] dilakukan melalui: a.

Identifikasi;

b.

Verifikasi; dan

c.

Penetapan. Pasal 15

(1) Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dilakukan oleh Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] atau oleh Bupati melalui Camat atau yang disebut dengan nama lain. (2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aspek: a.

Sejarah penguasaan wilayah adat;

b.

Pembagian ruang di dalam wilayah adat;

c.

Batas wilayah adat; dan

d.

Aturan mengenai pengelolaan dan perlindungan wilayah adat.

(3) Penyusunan laporan hasil identifikasi yang dilakukan oleh Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat atau perguruan tinggi. (4) Tata cara identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 16 (1) Hasil identifikasi terhadap wilayah adat dilengkapi dengan peta wilayah adat yang memenuhi kaidah kartografis. (2) Dalam hal peta wilayah adat yang dilakukan atas prakarsa masyarakat

96


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) belum memenuhi kaidah kartografis, Camat memfasilitasi agar wilayah adat dapat dipetakan oleh SKPD terkait. (3) Tata cara pemetaan wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 17 (1) Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 dilengkapi dengan persetujuan tertulis dari komunitas yang berbatasan dengan wilayah adat Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] yang akan ditetapkan. (2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk: a.

Surat;

b.

Pembubuhan tanda tangan pada laporan hasil identifikasi; atau

c.

Bentuk persetujuan tertulis lain. Pasal 18

(1) Camat melakukan pencatatan hasil identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) ke dalam Daftar Inventarisasi Wilayah Adat. (2) Pencatatan laporan hasil identifikasi disertai dengan permohonan penetapan wilayah adat oleh Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] (3) Hasil identifikasi yang telah dilakukan pencatatan yang disertai degan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh Camat kepada Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat. Pasal 19 (1) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat melakukan verifikasi terhadap hasil identifikasi wilayah adat. (2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk verifikasi dokumen dan verifikasi lapangan. (3) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat menyampaikan hasil verifikasi kepada Pemohon. (4) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat mengumumkan hasil verifikasi selama 60 hari dengan cara:

97


a.

Menyampaikan kepada komunitas yang berbatasan; dan

b.

Menempelkan di kantor camat, kantor desa, rumah ibadah dan tempat lainnya yang mudah diakses oleh masyarakat.

(5) Tata cara verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 20 (1) Komunitas yang berbatasan atau pihak lain yang kepentingannya dirugikan dengan pengukuhan wilayah adat dapat mengajukan keberatan kepada Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat. (2) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat memfasilitasi penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 40 hari. (3) Tata cara penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 21 (1) Dalam hal penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tidak berhasil, Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat menyatakan penyelesaian keberatan gagal. (2) Dalam hal penyelesaian keberatan gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses penetapan dihentikan. (3) Panitia menyampaikan surat pemberitahuan penghentian penetapan wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemohon. Pasal 22 (1) Dalam hal penyelesaian keberatan gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), Pemohon dan pihak yang mengajukan keberatan dapat melanjutkan penyelesaian keberatan dengan bantuan pihak ketiga. (2) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat melanjutkan proses penetapan wilayah adat setelah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhasil. Pasal 23 (1) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat menyampaikan rekomendasi kepada Bupati berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.

98


(2) Bupati melakukan penetapan wilayah adat berdasarkan rekomendasi Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat dengan Keputusan Bupati. (3) Bupati menyerahkan peta wilayah adat kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk dituangkan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan mencantumkan suatu tanda kartografi yang sesuai. Pasal 24 (1) Pemerintah Daerah harus menempatkan wilayah adat sebagai kawasan perdesaan atau kawasan strategis sosial budaya dalam Peraturan Daerah mengenai Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. (2) Penetapan wilayah adat sebagai kawasan perdesaan atau kawasan strategis sosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan persetujuan dari Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].

BAB IX PANITIA INVENTARISASI DAN VERIFIKASI WILAYAH ADAT Pasal 25 Bupati membentuk Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat yang bertugas: a.

melakukan inventarisasi dan verifikasi hasil pemetaan wilayah adat;

b.

memfasilitasi pemetaan wilayah adat untuk dilakukan oleh SKPD terkait;

c.

memfasilitasi penyelesaian sengketa yang muncul dalam rangka penetapan wilayah adat; dan

d.

memberikan rekomendasi penetapan wilayah adat kepada Bupati. Pasal 26

(1) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat terdiri dari: a.

Tokoh masyarakat hukum adat;

b.

Akademisi dengan latar belakang ilmu hukum, sejarah, dan antropologi;

c.

Lembaga Swadaya Masyarakat yang berpengalaman melakukan pemetaan wilayah adat; dan

d.

SKPD yang tugasnya berkaitan dengan wilayah adat.

99


(2) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat berjumlah 9 (sembilan) orang dengan struktur yang ditetapkan oleh Bupati. (3) Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat dibentuk untuk masa tugas 2 (dua) tahun dan dapat dibentuk kembali oleh Bupati.

BAB X PEMBERDAYAAN MASYARAKAT [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] Pasal 27 (1)

Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan dukungan fasilitas, sarana dan prasarana serta pendanaan melalui SKPD yang tugasnya terkait dengan pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa dalam melaksanakan pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan dan hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]

(2)

Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan pusat informasi dan kepustakaan tentang Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT], lembaga adat, norma-norma adat dan informasi lain yang terkait dengan masyarakat adat melalui SKPD yang tugasnya terkait dengan pendidikan dan kebudayaan. Pasal 28

(1) Pemerintah Daerah harus melibatkan Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT], termasuk perempuan, dalam pembentukan kebijakan dan perencanaan program pembangunan yang akan dilaksanakan di wilayah adat. (2) Pelibatan Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberikan informasi, melakukan konsultasi dan memperoleh persetujuan suka-rela dari Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]. (3) Pemerintah Daerah harus melakukan pencegahan terhadap setiap tindakan yang langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilangnya keutuhan dan keberagaman Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] dan kerusakan wilayah adat. (4) Pemerintah Daerah harus mencegah setiap bentuk pemindahan Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] yang berakibat pada terlanggar atau terkuranginya hak-hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI

100


MASYARAKAT HUKUM ADAT]. Pasal 29 (1) Pemerintah Daerah harus memberikan pemberdayaan dan pendampingan hukum kepada Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] dalam rangka melakukan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]. (2) Dalam menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, organisasi bantuan hukum dan/atau organisasi masyarakat lain yang memiliki kapasitas melakukan pemberdayaan hukum. (3) Pemerintah Daerah memberikan pendampingan pada Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] yang akan memperoleh kembali wilayah adatnya dari penguasaan pihak luar. (4) Pemerintah Daerah harus memfasilitasi dilakukannya inventarisasi, internalisasi, dan revitalisasi hukum adat agar sejalan dengan prinsip keadilan sosial, kesetaraan gender, hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Pasal 30 (1) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pendidikan layanan khusus dengan mempertimbangkan kekhasan budaya dan menggunakan bahasa Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]. (2) Pemerintah Daerah harus menyelengarakan program pelayanan kesehatan khusus yang dapat diakses dengan mudah oleh Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]. (3) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pelayanan administrasi kependudukan yang dapat diakses dengan mudah oleh Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]. (4) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pengembangan perbekalan kesehatan sesuai dengan kelestarian lingkungan hidup dan sosial budaya Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]. (5) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pelestarian, perlindungan, dan pengembangan pengetahuan tradisional Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT].

101


BAB XI PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 31 (1) Pemerintah Daerah menghormati dan mengakui peradilan adat untuk menyelesaikan sengketa antar-warga Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] yang terjadi di dalam wilayah adat. (2) Pemerintah Daerah membantu penyelesaian sengketa antar-Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] melalui mediasi. (3) Dalam hal penyelesaian sengketa dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berhasil sengketa diselesaikan melalui peradilan umum.

BAB XII KETENTUAN PIDANA DAN PENYIDIKAN Pasal 32 (1)

Setiap orang luar yang melakukan kegiatan mengganggu, merusak dan menggunakan wilayah adat tanpa persetujuan dari Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2)

Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Pasal 33

(1)

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 32.

(2)

Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

102


BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 34 Hak milik atas tanah yang terdapat di dalam wilayah adat sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, tetap dilindungi berdasarkan hukum adat dan peraturan perundang-undangan. Pasal 35 (1) Izin atau hak atas tanah dan air yang berjangka waktu yang terdapat di dalam wilayah adat yang telah ada sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa izin atau hak tersebut. (2) Dalam hal jangka waktu berlakunya izin atau hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, maka Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] memperoleh kembali penguasaannya atas wilayah adat tersebut. (3) Izin atau hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau ulang berdasarkan tuntutan yang mendesak dari Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT]. (4) Pemerintah Daerah memberikan pendampingan hukum kepada Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] dalam melakukan peninjauan ulang terhadap izin atau hak atas tanah dan air yang melanggar hak-hak Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] sebagai dimaksud pada ayat (3). (5) Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi kepada Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] untuk menghormati izin atau hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 36 (1) Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah adat telah ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan, maka wilayah adat tersebut dapat ditetapkan sebagai hutan adat. (2) Dalam hal wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah difungsikan oleh Masyarakat [NAMA UMUM DARI MASYARAKAT HUKUM ADAT] sebagai pemukiman, fasilitas umum atau fasilitas sosial, maka wilayah adat tersebut dikeluarkan dari kawasan hutan.

103


Pasal 37 Bupati membentuk Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat paling lambat enam bulan setelah Peraturan Daerah ini ditetapkan.

BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 38 Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten [NAMA KABUPATEN].

Ditetapkan di [IBU KOTA KABUPATEN] pada tanggal [TANGGAL, BULAN, TAHUN PENETAPAN] BUPATI [NAMA KABUPATEN], tanda tangan [NAMA BUPATI] Diundangkan di [IBU KOTA KABUPATEN] pada tanggal [TANGGAL, BULAN, TAHUN PENGUNDANGAN] SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN [NAMA KABUPATEN],

tanda tangan [NAMA SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN] LEMBARAN DAERAH KABUPATEN [NAMA KABUPATEN] TAHUN [TAHUN LEMBARAN DAERAH] NOMOR [NOMOR LEMBARAN DAERAH].

104


LAMPIRAN 2 Contoh Keputusan Bupati tentang Penetapan Wilayah Adat LAMBANG NEGARA

KEPUTUSAN BUPATI [NAMA KABUPATEN] NOMOR: LAMPIRAN: TENTANG PENETAPAN WILAYAH ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT [SEBUTKAN NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] BUPATI [NAMA KABUPATEN], Menimbang

:

a.

bahwa pengakuan dan penghormatan Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.

bahwa berdasarkan hasil identifikasi dan vertifikasi, Panitia Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat memberikan rekomendasi untuk menetapkan wilayah adat Masyarakat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] yang telah memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai wilayah adat;

c.

bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten [NAMA KABUPATEN] Nomor [NOMOR PERDA] Tahun [TAHUN PERDA] tentang [JUDUL PERDA

105


YANG MENDELEGASIKAN KEPUTUSAN BUPATI] menentukan bahwa penetapan wilayah adat ditetapkan dengan Keputusan Bupati; dan

Mengingat

:

d.

bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Keputusan Bupati tentang Penetapan Wilayah Adat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT];

1.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);

2.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29; Tambahan Lembaran Negara 3277);

3.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara 3419);

4.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsabangsa mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 41; Tambahan Lembaran Negara 3556);

5.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara 3886);

6.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

106


Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 29) yang telah ditetapkan dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 7.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);

8.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377);

9.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4674) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5475);

10. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725); 11. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4379) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5490);

107


12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara 5059); 13. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara 5063); 14. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara 5168); 15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5214); 16. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 116; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5315); 17. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara 5412); 18. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5432); 19. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara

108


Nomor 5495); 20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587); 21. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5613); 22. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANGUNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG] tentang Pembentukan [NAMA PROVINSI] (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor [NOMOR LEMBARAN NEGARA], Tambahan Lembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA]); 23. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANGUNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG] tentang Pembentukan [NAMA KABUPATEN] (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor [NOMOR LEMBARAN NEGARA], Tambahan Lembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA]); 24. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; 25. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan; 26. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; 27. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat; 28. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat;

109


29. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor 17/PRT/M/ 2014, Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan; 30. Peraturan Daerah Nomor (SEBUTKAN PERATURAN DAERAH YANG MENDELEGASIKAN KEWENANGAN);

MEMUTUSKAN: Menetapkan:

KESATU

:

Menetapkan wilayah adat seluas (SEBUTKAN LUASAN) yang berada di Kecamatan (SEBUTKAN NAMA-NAMA KECAMATAN) sebagai wilayah adat Masyarakat (SEBUTKAN NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT)

KEDUA

:

Wilayah adat Masyarakat [SEBUTKAN NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] memiliki batas-batas: I.

Batas Alam A. Utara Sungai [NAMA SUNGAI] Bukit [NAMA BUKIT] atau sebutkan batas alam lain B.

Timur Sungai [NAMA SUNGAI] Bukit [NAMA BUKIT] Atau sebutkan batas alam lain

C.

Selatan Sungai [NAMA SUNGAI] Bukit [NAMA BUKIT] atau sebutkan batas alam lain

110


D. Barat Sungai [NAMA SUNGAI] Bukit [NAMA BUKIT] atau sebutkan batas alam lain II. Batas Administratif A. Utara Desa [NAMA DESA] B.

Timur Desa [NAMA DESA]

C.

Selatan Desa [NAMA DESA]

D. Barat Desa [NAMA DESA] KETIGA

:

Peta wilayah adat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] sebagaimana terlampir merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan Keputusan ini.

KEEMPAT

:

Pengelolaan wilayah adat diselenggarakan berdasarkan hukum adat Masyarakat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] dengan memperhatikan prinsip keadilan sosial, kesetaraan gender, hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup.

KELIMA

:

Lembaga adat, berdasarkan hasil musyawarah dengan warga Masyarakat Hukum Adat, mewakili Masyarakat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] dalam melakukan hubungan hukum dengan pihak luar berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan wilayah adat.

KEENAM

:

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

111


Ditetapkan di [IBUKOTA KABUPATEN] pada tanggal .............................

BUPATI,

[NAMA BUPATI]

Tembusan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.: 1.

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia di Jakarta;

2.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia di Jakarta;

3.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di Jakarta;

4.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia di Jakarta;

5.

Gubernur [NAMA PROVINSI] di [IBUKOTA PROVINSI];

6.

Ketua DPRD Kabupaten [NAMA KABUPATEN];

7.

Kepala SKPD dalam Kabupaten [NAMA KABUPATEN];

8.

Yang bersangkutan.

112


LAMPIRAN 3 Contoh Perda Pengaturan dan Penetapan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang masih memerlukan verifikasi lebih lanjut dan kondisinya beragam

LAMBANG DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN [NAMA KABUPATEN] NOMOR [NOMOR PERATURAN] TAHUN [TAHUN PENGUNDANGAN] TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI [NAMA KABUPATEN], Menimbang

:

a.

bahwa pengakuan dan penghormatan Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.

bahwa keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten [NAMA KABUPATEN] masih ada dan menjadi bagian dari komponen masyarakat yang harus diakui dan dihormati keberadaannya oleh negara;

c.

bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dilakukan dalam peraturan daerah;

d.

bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 35/PUU-X/2012

113


mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam rangka menjamin adanya kepastian hukum yang berkeadilan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya dapat diatur dalam Peraturan Daerah; dan

Mengingat

:

e.

bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Masyarakat Hukum Adat;

1.

Pasal 18 ayat (6); Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);

3.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29; Tambahan Lembaran Negara 3277);

4.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara 3419);

5.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 41; Tambahan Lembaran Negara 3556);

6.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik

114


Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara 3886); 7.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 29) yang telah ditetapkan dengan UndangUndang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);

8.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);

9.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377);

10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4674) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5475); 11. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725); 12. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau

115


Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4379) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5490); 13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara 5059); 14. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara 5063); 15. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara 5168); 16. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5214); 17. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 116; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5315); 18. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi

116


Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara 5412); 19. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5432); 20. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5495); 21. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587); 22. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5613); 23. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANGUNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG] tentang Pembentukan [NAMA PROVINSI] (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor [NOMOR LEMBARAN NEGARA], Tambahan Lembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA]); 24. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANGUNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG] tentang Pembentukan [NAMA KABUPATEN] (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor [NOMOR LEMBARAN NEGARA], Tambahan Lembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA]); 25. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; 26. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan;

117


27. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; 28. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat; 29. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; 30. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan;

Dengan persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH [NAMA KABUPATEN] dan BUPATI KABUPATEN [NAMA KABUPATEN] MEMUTUSKAN: Menetapkan:

PERATURAN DAERAH TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1.

Pengukuhan adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam melakukan penetapan untuk mengakui dan menghormati keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan wilayah

118


adatnya. 2.

Perlindungan adalah tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk melindungi wilayah dan hak Masyarakat Hukum Adat dari gangguan yang dilakukan oleh pihak lain.

3.

Pemenuhan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada Masyarakat Hukum Adat dalam rangka menjamin terpenuhi hak tradisional dan hak lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

4.

[Definisi Masyarakat Hukum Adat yang digunakan. Definisi ini hendaknya dibuat sesuai dengan kondisi dari Masyarakat Hukum Adat yang ada dalam Kabupaten. Sebagai contoh adalah beberapa pilihan rumusan definisi di bawah ini: 

Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum; atau



Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan sebagai satu kelompok karena adanya nilai-nilai yang dirawat secara bersama-sama, memiliki lembaga adat yang tumbuh secara tradisional, adanya ada harta kekayaan dan/atau bendabenda adat, ada norma hukum adat yang masih berlaku, dan ada wilayah adat tertentu; atau



Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan].

5.

Hak ulayat atau disebut dengan nama lainnya adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun dan tidak terputus antara Masyarakat Hukum Adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

6.

Hak tradisional adalah hak yang melekat dengan keberadaan Masyarakat Hukum Adat.

7.

Wilayah adat yang dipersamakan dengan wilayah hak ulayat atau yang disebut dengan nama lainnya adalah ruang kehidupan yang menjadi tempat keberadaan Masyarakat Hukum Adat yang terdiri dari tanah, air

119


dan sumber daya alam yang terdapat di atasnya, yang penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatannya dilakukan menurut hukum adat. 8.

Tanah adat adalah bidang tanah yang terdapat pada wilayah adat yang jenis dan pengaturannya ditentukan berdasarkan hukum adat.

9.

Hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat.

10. Hukum adat adalah seperangkat norma yang hidup dan berlaku untuk mengatur hubungan manusia dengan alam dan hubungan antarmanusia yang bersumber pada nilai budaya Masyarakat Hukum Adat yang diwariskan secara turun temurun yang senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat dan mempunyai akibat hukum. 11. Lembaga adat adalah pranata pemerintahan adat yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat yang tumbuh dan berkembang secara tradisional. 12. Peta wilayah adat adalah peta tematik dengan skala 1:50.000 yang berisi informasi mengenai batas luar wilayah adat. 13. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten [NAMA KABUPATEN]. 14. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalah perangkat daerah yang bertanggungjawab atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah. 15. Panitia Masyarakat Hukum Adat adalah panitia yang dibentuk dengan Keputusan Bupati untuk melakukan verifikasi terhadap hasil identifikasi Masyarakat Hukum Adat, penyelesaian keberatan, dan memberikan rekomendasi kepada Bupati untuk menetapkan Masyarakat Hukum Adat. 16. PPNS adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada lingkungan pemerintah Kabupaten [NAMA KABUPATEN] yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

120


BAB II ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 Asas Pengaturan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya berasaskan: a.

Pengakuan;

b.

Bhinneka tunggal ika;

c.

Keadilan sosial;

d.

Kepastian hukum;

e.

Kesetaraan dan non-diskriminasi;

f.

Keberlanjutan lingkungan;

g.

Partisipasi; dan

h.

Transparansi. Pasal 3 Tujuan

Tujuan pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya adalah: a.

Mengakui dan menghormati keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya;

b.

Memberikan kepastian hukum mengenai keberadaan, wilayah dan hakhak Masyarakat Hukum Adat;

c.

Melindungi hak dan memperkuat akses Masyarakat Hukum Adat terhadap tanah dan kekayaan alam;

d.

Mewujudkan perlindungan terhadap perempuan, anak-anak dan kelompok rentan lainnya di dalam Masyarakat Hukum Adat;

e.

Mewujudkan kebijakan pembangunan daerah yang mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi hak tradisional dan hak lainnya dari Masyarakat Hukum Adat; dan

f.

Mewujudkan penyelesaian sengketa yang berbasis Masyarakat Hukum Adat.

121


Pasal 4 Ruang lingkup Ruang lingkup Peraturan Daerah ini mencakup pengukuhan Masyarakat Hukum Adat dan wilayah adat, pengakuan lembaga adat, hukum adat, pemberdayaan masyarakat hukum adat, serta perlindungan hak tradisional dan hak lainnya.

BAB III KEBERADAAN DAN KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT Pasal 5 (1) Pemerintah Daerah mengakui dan menghormati Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya. (2) Pemerintah Daerah melindungi dan memenuhi hak tradisional dan hak lainnya dari masyarakat hukum adat. (3) Pemerintah Daerah melakukan pengukuhan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya. Pasal 69 Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah masyarakat yang terbentuk atas dasar genealogis, territorial, maupun fungsional dan memenuhi kriteria sebagai berikut: a.

Masyarakat dengan ikatan kesejarahan yang sama dan warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;

b.

Memiliki wilayah tertentu;

c.

Memiliki lembaga adat; dan

d.

Memiliki perangkat norma hukum adat. Pasal 7

(1) Masyarakat Hukum Adat berkedudukan sebagai subyek hukum. (2) Lembaga adat mewakili Masyarakat Hukum Adat di dalam maupun di luar pengadilan.

9

Dapat disesuaikan dengan kondisi di daerah.

122


Pasal 8 (1) Masyarakat Hukum Adat yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat ditetapkan sebagai Desa Adat. (2) Pengaturan mengenai Desa Adat dan penetapan Masyarakat Hukum Adat sebagai Desa Adat diatur dengan Peraturan Daerah.

BAB IV WILAYAH ADAT Pasal 9 (1) Wilayah adat memiliki batas tertentu baik batas alam maupun batas dengan komunitas lain. (2) Batas yang lebih rinci mengenai wilayah adat dipetakan atas prakarsa Masyarakat Hukum Adat atau oleh SKPD terkait bersama-sama dengan Masyarakat Hukum Adat. (3) Dalam hal wilayah adat berbatasan dengan komunitas lain, maka hasil pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan persetujuan dari komunitas yang berbatasan dengan wilayah adat yang akan ditetapkan. (4) Dalam hal peta wilayah adat yang dilakukan atas prakarsa masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum memenuhi kaidah kartografis, Camat memfasilitasi agar wilayah adat bisa dipetakan oleh SKPD terkait. (5) Tata cara pemetaan wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 10 (1) Penetapan wilayah adat dilakukan sebagai bagian dari pengukuhan Masyarakat Hukum Adat. (2) Hasil pemetaan wilayah adat dijadikan sebagai lampiran dalam Keputusan Bupati mengenai penetapan Masyarakat Hukum Adat. (3) Bupati menyerahkan peta wilayah adat kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk dituangkan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan mencantumkan suatu tanda kartografi yang sesuai.

123


Pasal 11 (1)

Pemerintah Daerah harus menempatkan wilayah adat sebagai kawasan perdesaan atau kawasan strategis sosial budaya dalam perubahan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.

(2)

Penetapan wilayah adat sebagai kawasan perdesaan atau kawasan strategis sosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persetujuan dari Masyarakat Hukum Adat.

BAB V HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT Pasal 12 (1)

Pemerintah Daerah mengakui, menghormati, melindungi, dan memenuhi hak tradisional dan hak lainnya dari Masyarakat Hukum Adat.

(2)

Hak masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Hak ulayat; b. Hak perorangan warga Masyarakat Hukum Adat atas tanah dan sumber daya alam; c.

Hak memperoleh pembagian manfaat dari sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional oleh pihak luar;

d. Hak atas pembangunan; e. Hak atas spiritualitas dan kebudayaan; f.

Hak atas lingkungan hidup;

g. Hak untuk mendapatkan layanan pendidikan khusus; h. Hak untuk mendapatkan layanan kesehatan; i.

Hak untuk mendapatkan layanan administrasi kependudukan;

j.

Hak untuk mengurus diri sendiri;

k. Hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat; dan l.

Hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

124


BAB VI LEMBAGA ADAT Pasal 13 (1) Pemerintah Daerah mengakui, menghormati, dan memberdayakan lembaga adat yang sudah ada secara turun temurun pada Masyarakat Hukum Adat. (2) Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan sebagai pelaksana kewenangan Masyarakat Hukum Adat untuk: a. Mengurus dan mengatur penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan wilayah adat; b. Melaksanakan hukum dan peradilan adat; dan c. Mewakili Masyarakat Hukum Adat dalam melakukan hubungan hukum dengan pihak luar.

BAB VII HUKUM ADAT Pasal 14 (1)

Pemerintah Daerah mengakui keberadaan hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam Masyarakat Hukum Adat.

(2)

Pelaksanaan hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip keadilan sosial, kesetaraan gender, hak asasi manusia dan pengelolaan lingkungan hidup yang lestari. BAB VIII PENGUKUHAN MASYARAKAT HUKUM ADAT Pasal 15

Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat dilakukan melalui: a.

Identifikasi;

b.

Verifikasi; dan

c.

Penetapan.

125


Pasal 16 (1) Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat atau oleh Bupati melalui Camat atau yang disebut dengan nama lain. (2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aspek: a. ikatan sosial; b. kesejarahan; c. wilayah adat; d. hukum adat; dan e. kelembagaan adat. (3) Penyusunan laporan hasil identifikasi yang dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat atau perguruan tinggi. (4) Tata cara identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 17 (1)

Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilengkapi dengan persetujuan tertulis dari komunitas yang berbatasan dengan Masyarakat Hukum Adat yang akan dikukuhkan.

(2)

Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk: a.

Surat;

b.

Pembubuhan tanda tangan pada laporan hasil identifikasi; atau

c.

Bentuk persetujuan tertulis lain Pasal 18

(1)

Camat melakukan pencatatan hasil identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) ke dalam Daftar Identifikasi Masyarakat Hukum Adat.

(2)

Pencatatan laporan hasil identifikasi disertai dengan permohonan pengukuhan Masyarakat Hukum Adat.

(3)

Hasil identifikasi yang telah dilakukan pencatatan yang disertai degan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

126


disampaikan oleh Camat kepada Panitia Masyarakat Hukum Adat. Pasal 19 (1)

Panitia Masyarakat Hukum Adat melakukan verifikasi terhadap hasil identifikasi Masyarakat Hukum Adat.

(2)

Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk verifikasi dokumen dan verifikasi lapangan.

(3)

Panitia Masyarakat Hukum Adat menyampaikan hasil verifikasi kepada Pemohon.

(4)

Panitia Masyarakat Hukum Adat mengumumkan hasil verifikasi selama 60 hari dengan cara:

(5)

a.

Menyampaikan kepada komunitas yang berbatasan; dan

b.

Menempelkan di kantor camat, kantor desa, rumah ibadah dan tempat lainnya yang mudah diakses oleh masyarakat.

Tata cara verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 20

(1)

Komunitas yang berbatasan atau pihak lain yang kepentingannya dirugikan dengan pengukuhan Masyarakat Hukum adat dapat mengajukan keberatan kepada Panitia Masyarakat Hukum Adat.

(2)

Panitia Masyarakat Hukum Adat memfasilitasi penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 40 hari.

(3)

Tata cara penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran [SEBUTKAN NOMOR LAMPIRAN] yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 21

(1)

Dalam hal penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tidak berhasil, Panitia Masyarakat Hukum Adat menyatakan penyelesaian keberatan gagal.

(2)

Dalam hal penyelesaian keberatan gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses pengukuhan Masyarakat Hukum Adat dihentikan.

(3)

Panitia menyampaikan surat pemberitahuan penghentian pengukuhan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Pemohon.

127


Pasal 22 (1)

Dalam hal penyelesaian keberatan gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), Pemohon dan pihak yang mengajukan keberatan dapat melanjutkan penyelesaian keberatan dengan bantuan pihak ketiga.

(2)

Panitia melanjutkan proses pengukuhan Masyarakat Hukum Adat setelah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhasil. Pasal 23

(1)

Panitia Masyarakat Hukum Adat menyampaikan rekomendasi kepada Bupati berdasarkan hasil verifikasi.

(2)

Bupati melakukan penetapan Masyarakat Hukum Adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Bupati.

(3)

Kewenangan Bupati untuk menetapkan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pendelegasian kewenangan yang diberikan oleh Peraturan Daerah ini.

BAB IX PANITIA MASYARAKAT HUKUM ADAT Pasal 24 Bupati membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat yang bertugas: a.

Melakukan verifikasi laporan hasil identifikasi masyarakat hukum adat;

b.

Memfasilitasi penyelesaian sengketa yang muncul dalam rangka pengukuhan masyarakat hukum adat; dan

c.

Memberikan rekomendasi penetapan masyarakat hukum adat. Pasal 25

(1)

Panitia Masyarakat Hukum Adat terdiri dari: a.

Tokoh masyarakat hukum adat

b.

Akademisi dengan latar belakang ilmu hukum, sejarah, dan antropologi.

c.

Lembaga Swadaya Masyarakat yang berpengalaman melakukan pendampingan masyarakat hukum adat atau pemetaan wilayah adat

d.

SKPD yang tugasnya berkaitan dengan masyarakat hukum adat

128


(2)

Panitia Masyarakat Hukum Adat berjumlah 9 (sembilan) orang dengan struktur yang ditetapkan oleh Bupati.

(3)

Panitia Masyarakat Hukum Adat dibentuk untuk masa tugas 2 (dua) tahun dan dapat dibentuk kembali oleh Bupati. Bupati membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat paling lambat enam bulan setelah Peraturan Daerah ini ditetapkan.

(4)

BAB X PEMBERDAYAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT Pasal 26 (1)

Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan dukungan fasilitas, sarana dan prasarana serta pendanaan melalui SKPD yang tugasnya terkait dengan pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa dalam melaksanakan pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya.

(2)

Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan pusat informasi dan kepustakaan tentang Masyarakat Hukum Adat, lembaga adat, normanorma adat dan informasi lain yang terkait dengan Masyarakat Hukum Adat melalui SKPD yang tugasnya terkait dengan pendidikan dan kebudayaan. Pasal 27

(1)

Pemerintah Daerah harus melibatkan Masyarakat Hukum Adat, termasuk perempuan, dalam pembentukan kebijakan dan perencanaan program pembangunan yang akan dilaksanakan di wilayah adat.

(2)

Pelibatan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberikan informasi, melakukan konsultasi dan memperoleh persetujuan suka-rela dari Masyarakat Hukum Adat.

(3)

Pemerintah Daerah harus melakukan pencegahan terhadap setiap tindakan yang langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilangnya keutuhan dan keberagaman Masyarakat Hukum Adat dan kerusakan wilayah adat.

(4)

Pemerintah Daerah harus mencegah setiap bentuk pemindahan Masyarakat Hukum Adat yang berakibat pada terlanggar atau terkuranginya hak-hak Masyarakat Hukum Adat.

129


Pasal 28 (1) Pemerintah Daerah harus memberikan pemberdayaan dan pendampingan hukum kepada Masyarakat Hukum Adat dalam rangka melakukan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat. (2) Dalam menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, organisasi bantuan hukum dan/atau organisasi masyarakat lain yang memiliki kapasitas melakukan pemberdayaan hukum. (3) Pemerintah Daerah memberikan pendampingan pada Masyarakat Hukum Adat yang akan memperoleh kembali wilayah adatnya dari penguasaan pihak luar. (4) Pemerintah Daerah harus memfasilitasi dilakukannya inventarisasi, internalisasi, dan revitalisasi hukum adat agar sejalan dengan prinsip keadilan sosial, kesetaraan gender, hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Pasal 29 (1) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pendidikan layanan khusus dengan mempertimbangkan kekhasan budaya dan menggunakan bahasa Masyarakat Hukum Adat. (2) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pelayanan kesehatan khusus yang dapat diakses dengan mudah oleh Masyarakat Hukum Adat. (3) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pelayanan administrasi kependudukan yang dapat diakses dengan mudah oleh Masyarakat Hukum Adat. (4) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pengembangan perbekalan kesehatan sesuai dengan kelestarian lingkungan hidup dan sosial budaya Masyarakat Hukum Adat. (5) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan program pelestarian, perlindungan, dan pengembangan pengetahuan tradisional Masyarakat Hukum Adat.

130


BAB XI PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 30 (1) Pemerintah Daerah menghormati dan mengakui mekanisme penyelesaian sengketa Masyarakat Hukum Adat menurut hukum adat setempat. (2) Pemerintah Daerah memfasilitasi penyelesaian sengketa yang terjadi antarMasyarakat Hukum Adat. (3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak berhasil oleh lembaga adat. (4) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak berhasil oleh Pemerintah Daerah.

BAB XII KETENTUAN PIDANA DAN PENYIDIKAN Pasal 31 (1)

Setiap orang luar yang melakukan kegiatan mengganggu, merusak dan menggunakan wilayah adat tanpa persetujuan dari masyarakat hukum adat diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2)

Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Pasal 32

(1)

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 31.

(2)

Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

131


BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 33 Hak milik atas tanah yang terdapat di dalam wilayah adat sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, tetap dilindungi berdasarkan hukum adat dan peraturan perundang-undangan. Pasal 34 (1)

Izin atau hak atas tanah yang berjangka waktu yang terdapat di dalam wilayah adat yang telah ada sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa izin atau hak atas tanah tersebut.

(2)

Dalam hal jangka waktu berlakunya izin atau hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, maka Masyarakat Hukum Adat memperoleh kembali penguasaannya atas tanah tersebut.

(3)

Pemberi izin atau pemberi hak dapat memperpanjang izin atau hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapatkan persetujuan dari masyarakat hukum adat.

(4)

Izin atau hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau ulang berdasarkan tuntutan yang mendesak dari kesatuan masyarakat hukum adat apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hak masyarakat hukum adat. Pasal 35

(1) Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah adat telah ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan, maka wilayah tersebut ditetapkan sebagai hutan adat. (2) Dalam hal wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah difungsikan oleh kesatuan masyarakat hukum adat sebagai pemukiman, fasilitas umum atau fasilitas sosial, maka wilayah tersebut dikeluarkan dari kawasan hutan.

132


BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 36 Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten [NAMA KABUPATEN].

Ditetapkan di [NAMA IBU KOTA KABUPATEN] pada tanggal [TANGGAL, BULAN, TAHUN PENGESAHAN]

BUPATI [NAMA KABUPATEN],

Tanda tangan [NAMA BUPATI] Diundangkan di [NAMA IBU KOTA KABUPATEN] pada tanggal [TANGGAL, BULAN, TAHUN PENGUNDANGAN]

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN [NAMA KABUPATEN],

Tanda tangan [NAMA SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN] LEMBARAN DAERAH KABUPATEN [NAMA KABUPATEN] TAHUN [TAHUN LEMBARAN DAERAH] NOMOR [NOMOR LEMBARAN DAERAH].

133


134


LAMPIRAN 4 Contoh Keputusan Bupati untuk Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat berserta dengan wilayah adatnya

LAMBANG NEGARA

KEPUTUSAN BUPATI [NAMA KABUPATEN] NOMOR: LAMPIRAN: TENTANG PENGUKUHAN MASYARAKAT [SEBUTKAN NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] SEBAGAI KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT BUPATI [NAMA KABUPATEN], Menimbang

:

a.

bahwa pengakuan dan penghormatan Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.

bahwa Panitia Masyarakat Hukum Adat telah melakukan verifikasi dan memberikan rekomendasi untuk pengukuhan keberadaan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] yang telah memenuhi kriteria untuk dikukuhkan sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta masih memegang teguh tradisi dan nilai-nilai adat

135


istiadat;

Mengingat

:

c.

bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten [NAMA KABUPATEN] Nomor [NOMOR PERDA] Tahun [TAHUN PERDA] tentang [JUDUL PERDA YANG MENDELEGASIKAN KEPUTUSAN BUPATI] menentukan bahwa pengukuhan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ditetapkan dengan Keputusan Bupati; dan

d.

bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Keputusan Bupati tentang Pengukuhan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT];

1.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);

2.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29; Tambahan Lembaran Negara 3277);

3.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara 3419);

4.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 41; Tambahan Lembaran Negara 3556);

5.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik

136


Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara 3886); 6.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 29) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);

7.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4301);

8.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377);

9.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4674) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5475);

10. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725); 11. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

137


2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4379) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5490); 12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara 5059); 13. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara 5063); 14. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara 5168); 15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5214); 16. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 116; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5315); 17. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia

138


Tahun 2013 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara 5412); 18. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5432); 19. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5495); 20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587); 21. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5613); 22. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANGUNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG] tentang Pembentukan [NAMA PROVINSI] (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor [NOMOR LEMBARAN NEGARA], Tambahan Lembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA]); 23. Undang-undang Nomor [NOMOR UNDANGUNDANG] Tahun [TAHUN UNDANG-UNDANG] tentang Pembentukan [NAMA KABUPATEN] (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor [NOMOR LEMBARAN NEGARA], Tambahan Lembaran Negara Nomor [NOMOR TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA]); 24. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; 25. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan;

139


26. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; 27. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat; 28. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; 29. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan; 30. Peraturan Daerah Nomor (SEBUTKAN PERATURAN DAERAH YANG MENDELEGASIKAN KEWENANGAN);

MEMUTUSKAN: Menetapkan:

KESATU

:

Menetapkan Masyarakat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

KEDUA

:

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] memiliki wilayah adat dengan batas-batas: I.

Batas Alam A. Utara Sungai [NAMA SUNGAI] Bukit [NAMA BUKIT] atau sebutkan batas alam lain

140


B.

Timur Sungai [NAMA SUNGAI] Bukit [NAMA BUKIT] atau sebutkan batas alam lain

C.

Selatan Sungai [NAMA SUNGAI] Bukit [NAMA BUKIT] atau sebutkan batas alam lain

D. Barat Sungai [NAMA SUNGAI] Bukit [NAMA BUKIT] atau sebutkan batas alam lain II. Batas Administratif A. Utara Desa [NAMA DESA] B.

Timur Desa [NAMA DESA]

C.

Selatan Desa [NAMA DESA]

D. Barat Desa [NAMA DESA] KETIGA

:

Peta wilayah adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] sebagaimana terlampir merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan Keputusan ini.

KEEMPAT

:

Pengelolaan wilayah adat dan penyelesaian sengketa yang terjadi antar-warga masyarakat diselenggarakan berdasarkan hukum adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] dengan memperhatikan prinsip keadilan sosial, kesetaraan gender, hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup.

141


KELIMA

:

Lembaga adat, berdasarkan hasil musyawarah dengan warga Masyarakat Hukum Adat, mewakili Kesatuan Masyarakat Hukum Adat [NAMA MASYARAKAT HUKUM ADAT] dalam melakukan hubungan hukum dengan pihak luar.

KEENAM

:

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di [IBUKOTA KABUPATEN] pada tanggal .............................

BUPATI,

[NAMA BUPATI]

Tembusan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.: 1.

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia di Jakarta;

2.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia di Jakarta;

3.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di Jakarta;

4.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia di Jakarta;

5.

Gubernur [NAMA PROVINSI] di [IBUKOTA PROVINSI];

6.

Ketua DPRD Kabupaten [NAMA KABUPATEN];

7.

Kepala SKPD dalam Kabupaten [NAMA KABUPATEN];

8.

Yang bersangkutan.

142


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.