Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Mei 2012
Gedung Griya Upakara Lantai III Unit 3, Jl. Cikini IV No. 10 Jakarta Pusat 10330 Tel. 62-21-39899777 Fax. 62-21-314.7897 http://www.demosindonesia.org
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Peneliti: 1. Sylvana Maria Apituley (Gender Spesialist) 2. Roichatul Aswidah (Koordinator Penelitian) 3. Inggrid Silitonga (Peneliti) 4. Sri Maryanti (Peneliti) 5. Christina Dwi Susanti (Peneliti) 6. Robertus In Nugroho Budisantoso (Peneliti) 7. Margaretha Saulinas (Peneliti)
Penerbit: DEMOS Alamat: Gedung Griya Upakara Lantai III Unit 3, Jl. Cikini IV No. 10 , Jakarta Pusat 10330 Tel. 62-21-39899777 Fax. 62-21-314.7897 http://www.demosindonesia.org Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan ISBN: 978-979-99969-3-0 Jakarta: Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI, 2012, 76 Hal; 210 mm x 297 mm
“Penelitian ini terlaksana berkat dukungan Program Representasi (ProRep) Chemonics International-USAID Indonesia�
Foto-foto cover: http://www.ohiocitizen.org/campaigns/coal/baard/pile.jpg, http://www.indonesianmaritimenews.com/foto_berita/16batubara.jpg http://www.smartmines.com/, http://media.viva.co.id/thumbs2/2010/10/21/98104_batubara-di-india_663_382.jpg, http://www.acehbarat.com/ wp-content/uploads/2012/04/dpr81.png, diakses 14 Mei 2012.
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
3
ABSTRAK
9
Bagian I PENGANTAR
11
1.1. Latar Belakang
11
1.2. Tujuan Penelitian
12
1.3. Pertanyaan Penelitian
12
1.4. Metodologi Penelitian
12 12 13
1.4.1. Pengambilan Data dan Analisa Data 1.4.2. Metode Validasi
1.5. Keterbatasan dan Kemanfaatan serta Kendala yang Dihadapi 1.6. Pelaksanaan Penelitian 1.6.1. Tahapan Penelitian 1.6.2. Metode dan Alur Penelitian
13 14 14 15
Bagian II KERANGKA PEMIKIRAN
17
2.1. Representasi
17
2.2. Jaminan Representasi dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
18 18
2. 2.1. Representasi Saat Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara 2.2.2. Ketentuan Terkini tentang Representasi
2.3. Mekanisme Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia 2.3.1. Mekanisme Perancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2.3.2. Mekanisme Terkini tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
20 22 22 23
2.4. Mekanisme Penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam Pembentukan Perundangundangan di Dewan Perwakilan Rakyat
24
2. 4.1. Mekanisme Penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara 2. 4.2. Mekanisme Terkini Penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam Proses Pembentukan Perundang-undangan
24
2.5. Transparansi dalam Pembentukan Perundang-undangan
26 26
2.5.1. Ketentuan Transparansi saat Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara 2. 5.2. Mekanisme Terkini tentang Transparansi dalam Pembentukan Perundang-undangan
24
27
3
DAFTAR ISI
2.6. Usaha Pertambangan di Indonesia dan Dampaknya Bagi Rakyat Indonesia 2. 6.1. Sekilas Sejarah Pertambangan di Indonesia 2.6.2. Dampak Usaha Pertambangan di Indonesia Saat Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara 2.6.3. Dampak Usaha Pertambangan di Indonesia Khususnya pada Kelompok Perempuan dan Kelompok Masyarakat Adat
29 29 30 31
Bagian III REPRESENTASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
33
3.1. Sekilas Sejarah Pembentukan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
33
3.2. Pelaksanaan Penjaringan Aspirasi Masyarakat oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang P3
33
3.2.1. 3.2.2. 3.2.3. 3.2.4.
34 36 36 39
Penjaringan Aspirasi Masyarakat melalui RDPU Penjaringan Aspirasi melalui Kunjungan Kerja Penjaringan Aspirasi melalui Fraksi Akibat Lemahnya Mekanisme Penjaringan Aspirasi
3.3. Transparansi dalam Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
43
3.3.1. 3.3.2 . 3.3.3. 3.3.4.
43 43 44 45
Transparansi dalam Proses Perancangan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Transparansi dalam pembahasan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara di DPR Akses atas Dokumen dan Proses yang Menjamin Transparansi Akibat Lemahnya Transparansi
3.4. Temuan lain: Masalah dalam Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
45
3.4.1. Pelaksanaan Penerbitan Peraturan Pemerintah 3.4.2. Penyesuaian Substansi Kontrak Karya 3.4.3. Pembentukan Panitia Kerja Mineral dan Batubara (Panja Minerba)
45 47 48
3.5. Kesimpulan Temuan
50
Bagian IV REKOMENDASI KEBIJAKAN
53
4.1. Untuk Perbaikan Partisipasi Masyarakat dalam Proses Legislasi
53
4.1.1. Perbaikan Mekanisme Perancangan Undang-Undang yang Menjadi Inisiatif Eksekutif 4.1.2. Memperbaiki Partisipasi Masyarakat dalam Perancangan Undang-Undang yang Menjadi Inisitiaf DPR RI, Pembahasan RUU serta Pengawasan oleh DPR RI atas Pelaksanaan UndangUndang yang Ditetapkan 4.1.3 Menata Ulang Partisipasi Publik melalui Kunjungan Kerja 4.1.4. Membuka Kemungkinan untuk Mewujudkan Gagasan Pembentukan Badan Perancang UndangUndang di Bawah Badan Legislasi
53 54
4
57 57
DAFTAR ISI
4.2. Untuk Perbaikan Transparansi dalam Proses Legislasi 4. 2.1. Perbaikan Mekanisme untuk Menjamin Transparansi Kelembagaan 4.2.2. Pemenuhan syarat-syarat transparansi kelembagaan dengan menjamin adanya akses pada informasi dan dokumen serta adanya full dosclosure tentang proses maupun produknya
4.3. Untuk Perbaikan Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang 4. 3.1. Peningkatan Pengawasan Pembuatan Peraturan Pelaksanaan 4.3.2. Peningkatan Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang di Lapangan dengan Memenuhi Komponen Partisipasi Publik dan Transparansi
4.4. Untuk Perbaikan Representasi secara Keseluruhan 4.4.1. Perbaikan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) 4.4.2. Peningkapan Kemampuan/Penambahan tenaga ahli (TA) serta Pemfungsian P3DI secara Lebih Maksimal 4.4.3 . Peningkatan Peran Masyarakat Sipil
4.5. Usulan Kajian 4.5.1. Kajian untuk Membuka Kemungkinan Keterlibatan Masyarakat secara Lebih Luas dalam Pembentukan Undang-Undang yang Menyangkut secara Langsung Hayat Hidup Orang Banyak 4.5.2. Kajian Menyeluruh tentang Kelemahan pada Empat Jenis Representasi yang Menjadi Kendala Tercapainya Representasi Substantif
4.6. Implikasi Administrasi dan Anggaran 4.6.1. Implikasi Administrasi atas Rekomendasi yang Disarankan 4.6.2. Implikasi Anggaran atas Rekomendasi yang Disarankan
4.7.
Pendapat Lain yang Mungkin Berlawanan
4. 7.1. Perbaikan Representasi Memperlama Proses dan Mengakibatkan Tumpukan Rancangan UndangUndang 4.7.2. Perbaikan Representasi Membutuhkan Biaya Besar
4.8.
Tantangan yang Dihadapi untuk Dilaksanakannya Rekomendasi Penelitian Ini
58 58 58
59 59 59
60 60 61 61 62 62 62
63 63 63 63 63 64 64
Bagian V PENUTUP
65
Daftar Pustaka Lampiran
67 71 71
1. Daftar PP yang harus diterbitkan sebagai implikasi hukum UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara 2. Daftar Narasumber Wawancara, FGD dan Peer Review 3. Tabel Ketentuan Baru/Perubahan Besar dalam RUU Akhir 4. Daftar Peneliti
72 73 75
5
DAFTAR ISI
DAFTAR BAGAN DAN BOX
Bagan 1. Metode dan Alur Penelitian
15
Box 1. Pasal 69 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
20
Box 2. Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2009
42
Box 3. Catatan DEMOS ketika melakukan upaya untuk memperoleh Naskah Akademis RUU Pertambangan Mineral dan Batubara
44
Box 4. Pasal 106, PP No. 23 Tahun 2010
46
Box 5. Contoh analisa pemangku kepentingan untuk pertambangan mineral dan batubara
54
DAFTAR TABEL Tabel 1. Transparansi
21
Tabel 2. Akuntabilitas
21
Tabel 3. Perbedaan antara Undang-Undang No. 4 Tahun 2010 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
27
Tabel 4. Jaminan Partisipasi Publik dan Transparansi dalam Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
28
Tabel 5. Nilai PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009 – 2011
30
Tabel 6. Perbandingan kelompok masyarakat yang hadir dalam RDPU
34
Tabel 7. Peta Pakar yang Hadir dalam RDPU
35
Tabel 8. Persandingan Identifikasi Masalah pentingnya Perubahan UU No. 11 Tahun 1967 antara DPR RI dan Pemerintah
38
Tabel 9. Alasan masing-masing fraksi yang melakukan walk out
39
Tabel 10. Isu dan Capaian dalam Penyusunan UU Minerba
41
Tabel 11. Data Renegosiasi Kontrak Pertambangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2012
48
Tabel 12. Mitra Kerja Panja Minerba
49
Tabel 13. Perbandingan pembahasan dan hasilnya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
50
Tabel 14. Usulan Perbaikan Perpres 68 Tahun 2005
54
Tabel 15. Usulan perbaikan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MD3
60
6
DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR SINGKATAN AMAN : Aliansi Masyarakat Adat Nusantara APBI : Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia AMDAL : Analisi Mengenai Dampak Lingkungan APBI : Asosiasi Perusahaan Pertambangan Batubara APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ASPINDO : Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia Baleg : Badan Legislasi BPK : Badan Pemeriksa Keuangan CSO : Civil Society Organisation DIM : Daftar Inventarisasi Masalah Dirjen Pajak : Direktur Jenderal Pajak DPD : Dewan Perwakilan Daerah DPR : Dewan Perwakilan Rakyat FGD : Focus Group Discussion Golkar : Golongan Karya Hanura : Hati Nurani Rakyat HUMA : Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis IAGI : Ikatan Ahli Geologi Indonesia ICEL : Indonesian Center for Environmental Law IMA : Indonesian Mining Association IPB : Institut Pertanian Bogor ITB : Institut Teknologi Bandung IUP : Ijin Usaha Pertambangan IUPK : Ijin Usaha Pertambangan Khusus JATAM : Jaringan Advokasi Tambang KADIN : Kamar Dagang dan Industri Kepolisian RI : Kepolisian Republik Indonesia KIARA : Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan KK : Kontrak Karya KLHS : Kajian Lingkungan Hidup Strategis KP : Kuasa Pertambangan KPA : Konsorsium Pembaharuan Agraria KPPU : Komisi Pengawas Persaingan Usaha LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MD3 : Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewa Perwakilan Rakyat Derah Minerba : Mineral dan Batubara MK : Mahkamah Konstitusi MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat NA : Naskah Akademis P3 : Pembentukan Peraturan Perundang-undangan P3DI : Pusat Pengkajian Data dan Pengolahan Informasi PAN : Partai Amanat Nasional Panja : Panitia Kerja Pansus : Panitia Khusus PBHI : Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia
7
DAFTAR SINGKATAN
PDB : Pendapatan Domestik Bruto PDIP : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDRB : Pendapatan Domestik Regional Bruto Perda : Peraturan Daerah PERHAPI : Perhimpunan Ahli Tambang Indonesia Permen : Peraturan Menteri Perpres : Peraturan Presiden PKB : Partai Kebangkitan Bangsa PKP2B : Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PKS : Partai Keadilan Sejahtera PP : Peraturan Pemerintah PPID : Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi RDPU : Rapat Dengar Pendapat Umum Rperpres : Rancangan Peraturan Presiden Rperpu : Rancangan Peraturan Pengganti Undang-Undang RPP : Rancangan Peraturan Pemerintah RUU : Rancangan Undang-Undang SDA : Sumber Daya Alam SP : Solidaritas Perempuan TA : Tenaga Ahli TAP : Ketetapan Timsin : Tim Sinkronisasi Timus : Tim Perumus UGM : Universitas Gadjah Mada UNDP : United Nations Development Programme Unhas : Universitas Hasanuddin Unsri : Universitas Sriwijaya UPN : Universitas Pembangunan Veteran Nasional UU : Undang-Undang UUD : Undang-Undang Dasar WALHI : Wahana Lingkungan Hidup Indonesia WIUP : Wilayah Ijin Usaha Pertambangan WIUPK : Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus WP : Wilayah Pertambangan
8
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
ABSTRAK Representasi DPR merupakan aspek sentral dalam melihat demokrasi Indonesia. Seberapa jauh kepentingan rakyat hadir dalam sebuah produk undang-undang akan tercermin dalam proses legislasinya. Penelitian ini hendak mengidentifikasi masalah dan solusi untuk memperbaiki fungsi representasi termasuk bagi kelompok perempuan dan masyarakat adat dalam proses legislasi di DPR. Untuk itu dipilih UndangUndang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara guna memeriksa sejauh mana representasi berjalan. Hasil penelitian ini menunjukkan masalah representasi terdapat dalam pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Proses perancangan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 yang menjadi inisiatif eksekutif hampir keseluruhannya bersifat tertutup dan tanpa pelibatan warga. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang menjamin proses perancangan undang-undang harus melibatkan partisipasi publik dan bersifat transparan. Proses pembahasannya di DPR memang melibatkan masyarakat namun belum memadai. Banyak usulan-usulan penting menyangkut kepentingan rakyat mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) namun akomodasinya belum maksimal. Proses pembahasan juga kurang transparan karena rapat Panitia Kerja (Panja) diputuskan bersifat tertutup. Pengawasan pelaksanaan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 juga belum maksimal dimana DPR belum berhasil memastikan Peraturan Pemerintah (PP) menjamin keterlibatan penuh warga dalam penetapan wilayah pertambangan (WP). DPR membentuk Panja Minerba namun belum membuka partisipasi publik dan belum transparan dalam kerjanya. Penelitian ini mencatat telah adanya perbaikan mekanisme dan prosedur pembentukan undang-undang melalui perbaikan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Akan tetapi, untuk menjamin tercapainya representasi substantif dalam pembuatan legislasi, penelitian ini merekomendasikan: 1. Perbaikan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi melalui perbaikan mekanisme perancangan undang-undang dengan memperbaiki Perpres 68 Tahun 2005 dan Tata Tertib DPR RI serta membuka kemungkinan untuk mewujudkan gagasan pembentukan Badan Perancang Undang-Undang di bawah Badan Legislasi. 2. Perbaikan transparansi dalam proses legislasi melalui perbaikan Tata Tertib DPR RI dengan memasukkan ketentuan bahwa mekanisme penyusunan legislasi terbuka setiap tahapannya serta penetapan kriteria sebuah pertemuan dilakukan secara tertutup juga adanya jaminan akses pada informasi dan dokumen serta adanya full dosclosure tentang proses maupun produknya. 3.
Perbaikan pengawasan dengan membuka kemungkinan pembuatan PP dikonsultasikan kepada DPR RI.
4.
Perbaikan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) dengan mengatur komponen representasi yaitu pembukaan partisipasi publik, transparansi dan pertanggungjawaban kerja DPR RI dalam proses legislasi dalam batang tubuh undang-undang dan mendefinisikan setiap komponen dengan jelas.
5.
Dimulainya kajian kemungkinan dibukanya partisipasi masyarakat secara luas dalam pembuatan undangundang yang menyangkut hal yang berkaitan dengan hayat hidup orang banyak, misalnya melalui referendum.
6.
Dimulainya kajian mengenai representasi secara menyeluruh (representasi formal, deskriptif, simbolik dan substantif ) untuk menemukan titik kelemahan pada empat representasi tersebut dan merekomendasikan perbaikannya guna mencapai representasi substantif yang lebih baik.
9
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
10
Bagian I PENGANTAR
1.1. Latar Belakang Hasil survei nasional DEMOS mengenai Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia (2005) dan resurvei nasional DEMOS berikutnya (2007), menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami problem representasi. Survei itu juga menjelaskan pengelolaan sumber daya alam dipandang merupakan salah satu isu yang paling mengandung banyak pertarungan kepentingan.1 Di sisi lain, proses pembentukan legislasi di Indonesia memuat kecenderungan proses pembahasan substansi rancangan undang-undang (RUU) dengan muatan politis besar lebih lama dibandingkan dengan RUU yang kurang muatan politisnya.2 Representasi DPR RI dalam pelaksanaan fungsi legislasi menjadi sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Berbagai isu ini harus ditangani untuk mencegah adanya dampak negatif pada proses demokratisasi dan meruntuhkan capaian dari proses demokratisasi di Indonesia.3 Peran representasi DPR RI menjadi titik yang sangat penting untuk menjaga capaian demokrasi Indonesia dan meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. Renstra DPR RI 2010-2014 menyebutkan pentingnya perbaikan kualitas representasi. Salah satu misi DPR RI yang paling relevan dalam hal ini adalah: �Mewujudkan kelembagaan DPR RI yang kuat, aspiratif, responsif dan akomodatif, yakni membangun lembaga perwakilan yang kuat dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat dan meningkatkan akses dalam penyerapan aspirasi masyarakat melalui pola dukungan keahlian serta prasarana dan sarana komunikasi yang lengkap, akurat, dan menjangkau masyarakat�.4 Penting kemudian untuk melihat pelaksanaan misi ini. Bila ada kendala atau masalah pelaksanannya, harus pula ada upaya untuk memberi sumbangan bagaimana kemauan politik DPR yang tercermin dalam misi ini dapat dilaksanakan. Berdasarkan hal di atas, DEMOS melakukan penelitian kebijakan yang akan mengeksplorasi masalah representasi pada masa terdahulu mengenai pembuatan kebijakan tentang pengelolaan mineral dan batubara guna memberikan saran/rekomendasi mengenai perbaikan proses legislasi saat ini. Penelitian ini dituntun oleh premis bahwa perbaikan peran representasi DPR akan berpotensi dapat menangani atau pun mengurangi insiden masalah-masalah sosial yang selama ini terhalangi oleh pembuatan kebijakan yang tidak hati-hati. Penelitian ini mengkaji pembuatan legislasi mengenai sumber daya mineral di tingkat nasional. Hasil penelitian ini diharapkan memiliki dampak nasional dan dimungkinkan untuk direplikasi pada pembuatan legislasi bidang lainnya. Penelitian ini bersifat kualitatif dan dijalankan dengan metode yang paling mungkin dimana nantinya memberikan pilihan-pilihan empiris bagi para anggota DPR RI. Oleh karena keterbatasan waktu, pembuatan kebijakan dalam penelitian ini akan dilihat dari penyusunan UndangUndang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sementara masalah representasi akan ditempatkan dalam kaitan dengan masyarakat adat dan perempuan. Dua kelompok ini dipandang sebagai kelompok yang paling terkena dampak dari kegiatan pertambangan. Kelompok perempuan adalah salah satu di antara kelompok yang paling tidak mendapat keuntungan dari adanya pertambangan di sekitar mereka. 1 Resurvei DEMOS 2007-2008 menyatakan adanya dua isu penting yang termasuk dalam agenda politik kelompok berpengaruh yaitu isu-isu tentang pemerintahan dan pembangunan ekonomi., lihat Olle TÜrnquist dkk, Satu Dekade Reformasi: Maju Mundurnya Demokrasi Indonesia, Ringkasan Eksekutif dan Laporan Awal Survei Nasional Kedua Masalah dan Pilihan Demokrasi di Indonesia, DEMOS, 2008 2 Fajri Nursyamsi dkk, Catatan Kinerja DPR 2011, Legislasi: Aspirasi atau Transaksi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, PSHK, 2012, hal. 207 3 Dalam beberapa tahun terakhir di berbagai media muncul diskusi mengenai kegagalan demokrasi untuk mendatangkan kesejahteraan bahkan masyarakat menginginkan kembali pada masa Soeharto. Lihat salah satunya di http://politik.vivanews.com/ news/read/220506-survei--publik-rindukan-masa-soeharto 4 Rencana Strategis DPR RI 2010-2014, hal. 36-37
11
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengidentifikasi kendala dan solusi untuk memperbaiki fungsi representasi termasuk bagi kelompok perempuan dan kelompok masyarakat adat dalam pembuatan legislasi di DPR; b. Menghasilkan rekomendasi untuk memperbaiki keterwakilan kepentingan warga, termasuk kelompok perempuan dan kelompok masyarakat adat dalam pembuatan legislasi oleh DPR RI.
1.3. Pertanyaan Penelitian Tujuan penelitian di atas, akan dilalui dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan riset yang dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimanakah mekanisme dan praktik penyusunan legislasi, penjaringan aspirasi dan pertimbangan dampak pembahasan suatu kebijakan DPR RI dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya mineral di Indonesia?5 b. Inisiatif terkini apa saja yang dilakukan oleh DPR RI dan apa solusi alternatif yang dapat dipertimbangkan oleh DPR RI untuk memperbaiki pembuatan legislasi di Indonesia?
1.4. Metodologi Penelitian 1.4.1. Pengambilan Data dan Analisa data Pengambilan data dilakukan secara bertahap: Pertama, dilakukan melalui kajian literatur. Tahap ini lebih bersifat studi literatur dengan mengumpulkan informasi awal seputar sejarah, proses dan mekanisme penyusunan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan penjaringan aspirasinya. Kedua, pengambilan data untuk melengkapi data kajian literatur dilakukan melalui beberapa cara: a. Wawancara yang dilakukan dengan sejumlah informan terpilih yang memiliki keterkaitan dan “mengalamiâ€? proses serta dinamika dalam hubungannya dengan persoalan representasi dan kebijakan dalam sumber daya mineral di Indonesia, dari tiga kelompok yang berbeda: ďƒ˜ Political Society merupakan kelompok pengambil kebijakan yang secara langsung bersinggungan dengan proses representasi dan kebijakan publik dalam bidang sumber daya mineral yang pada intinya berasal dari Komisi VII yang membidangi masalah Energi Sumber Daya Mineral, Riset dan Teknologi serta Lingkungan Hidup. Dalam hal ini diutamakan mereka yang terlibat dalam pembahasan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara beserta para tenaga ahlinya. Selain itu informan juga dipilih dari Badan Legislasi yang memang memiliki lingkup tugas penyusunan legislasi beserta tenaga ahlinya. Pemilihan informan dari dua alat kelengkapan DPR RI tersebut dilakukan dengan memperhatikan asal fraksi, sehingga seluas mungkin mewakili fraksi-fraksi yang ada di DPR RI. 5 Pertanyaan ini diutamakan pada bagaimana mekanisme dan praktik penjaringan aspirasi bagi kelompok perempuan dan kelompok masyarakat adat.
12
PENGANTAR
ďƒ˜ Civil Society dan/atau organisasi yang dapat mewakili kepentingan masyarakat yang terkena dampak kebijakan sumber daya mineral yaitu organisasi masyarakat sipil yang memiliki basis (mass based organisation), organisasi pemantau (watch organisation) dan organisasi perwakilan korban. Secara isu, organisasi ini dapat berasal dari organisasi lingkungan, organisasi yang bergerak dalam bidang tambang, organisasi masyarakat adat dan organisasi perempuan. ďƒ˜ Economical Society merupakan kelompok pelaku pasar (bisnis) yang de facto mampu mempengaruhi proses politik dalam pembuatan dan implementasi kebijakan publik dalam bidang sumber daya mineral dan juga terkena dampak pengambilan kebijakan. Wawancara dilakukan terutama dengan pertimbangan praktis untuk beberapa orang yang kemungkinan tidak dapat hadir dalam kelompok diskusi terfokus/focus group discussion (FGD) yang dilakukan. Selain itu beberapa orang oleh karena posisinya dan/atau alasan lain tidak memungkinkan mereka untuk memberi pendapat secara terbuka dalam diskusi. b. Diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) yang dilaksanakan untuk melengkapi data yang dihasilkan dari riset dokumen. Peserta FGD terdiri atas tiga kelompok di atas. Diskusi ini menjadi tempat untuk pemberian masukan atas temuan awal baik atas temuan maupun rekomendasi. Penelitian ini bersifat kualitatif. Analisa akan dilakukan terhadap catatan atas bacaan dokumen dalam studi literatur, transkripsi wawancara, serta notulasi FGD. Dari data yang terkumpul ditarik pola dan kecenderungan yang muncul. Data kemudian dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan kerangka teori dan landasan norma dengan temuan yang muncul dalam penelitian ini. Di sini dilakukan analisa kesenjangan yang terjadi antara apa yang termuat dalam ketentuan dan yang menjadi praktik di lapangan. 1.4.2. Metode Validasi Peer review dilakukan untuk memeriksa validitas data dan kualitas data. Peer review dilakukan oleh dua ahli masing-masing dengan dua kelompok keahlian yaitu pertama tentang parlemen dan legislasi serta kedua mereka yang memiliki keahlian tentang minerba. Peer review dilakukan empat kali masing-masing dua kali untuk setiap kelompok keahlian yang bertujuan untuk memeriksa temuan awal dan tahap hasil temuan akhir untuk finalisasi laporan akhir dan perumusan rekomendasi kebijakan.
1.5. Keterbatasan dan Kemanfaatan serta Kendala yang Dihadapi Penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan sebagai berikut: a) Pengumpulan data terutama bersumber pada tinjauan literatur dan wawancara serta FGD. Penelitian ini tidak melakukan pengumpulan data melalui kunjungan ke lapangan yaitu ke daerah pertambangan --bidang yang menjadi kajian ini--. Penelitian ini juga tidak melakukan observasi secara langsung saat pembahasaan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. b) Lama penelitian yang hanya berlangsung selama 4 bulan merupakan keterbatasan waktu bagi penggalian dan pengumpulan lebih banyak data juga dalam melakukan analisisnya. c) Bidang sumber daya mineral merupakan bidang dengan banyak “pertarungan kepentingan� yang menerbitkan keterbatasan mereka yang menjadi informan penelitian ini untuk secara terbuka membicarakan dan memberikan data yang diperlukan. Hal ini juga dapat membatasi penerimaan dan pelaksanaan rekomendasi penelitian ini.
13
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
d) Penelitian ini berfokus pada praktik fungsi legislasi DPR RI mengenai pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Oleh karena itu, temuan-temuan penelitian ini hanya akan memunculkan rekomendasi perbaikan dengan jangkauan terbatas yaitu hanya menyentuh perbaikan proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Jadi belum menyentuh perbaikan mendasar fungsi representasi secara lebih menyeluruh. Pelaksanaan penelitian ini menghadapi beberapa kendala yaitu: a). Kesulitan untuk mendapatkan beberapa jenis data. Termasuk dalam hal ini adalah data kunjungan kerja yang dilakukan DPR RI saat itu dalam rangka pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan b). Sulitnya mengatur wawancara dengan para anggota DPR RI oleh karena kesibukan mereka. Pengaturan jadwal wawancara juga terkendala oleh masa reses anggota DPR. Hal ini menyebabkan sulitnya mendapatkan informan anggota DPR RI dari semua fraksi yang ada. Penelitian ini memiliki kemanfaatan. Oleh karena berfokus pada area pembuatan kebijakan di bidang sumber daya mineral yang sangat banyak mengandung pertarungan kepentingan, temuan dan rekomendasi penelitian ini akan pula dengan relatif mudah digunakan untuk mendorong perbaikan kebijakan publik di bidang yang memiliki kadar lebih sedikit pertarungannya. Dengan demikian, penelitian ini dapat pula direplikasi pada pembuatan kebijakan di bidang lain.
1.6. Pelaksanaan Penelitian 1.6.1. Tahapan Penelitian Penelitian ini dimulai dengan studi literatur pada periode 12 Desember 2011- 15 Januari 2012 yang dilanjutkan dengan penulisan laporannya. Wawancara dilakukan pada periode 19 Januari – 15 Februari 2012. Dalam periode ini juga dilakukan pertemuan dengan fraksi-fraksi yang hanya terlaksana dengan fraksi Hanura. Sesudah itu dilakukan perbaikan laporan penelitian yang dilanjutkan dengan kegiatan validasi data dan analisa melalui peer review pada periode 14 Februari – 13 Maret 2012. Pengumpulan data juga dilakukan dengan mewawancarai 29 orang narasumber kunci yang terdiri atas: a). anggota Komisi VII yang membidangi mineral dan batubara sejumlah 7 orang; b). anggota Baleg sejumlah 4 orang; c). Tenaga ahli baik tenaga ahli komisi maupun dari tenaga ahli anggota dan kesekjenan sejumlah 10 orang; d) Dua orang pakar yaitu mantan anggota Panitia Khusus tentang RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (Pansus Minerba) dan mantan Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi; e). peneliti Pusat Pengkajian Data dan Pengolahan Informasi (P3DI) sejumlah 1 orang dan f ). LSM sejumlah 5 orang. Sampai tahap wawancara selesai dilakukan, riset ini tidak berhasil mewawancarai kelompok bisnis (economic society). Data dari kelompok ini kemudian diperoleh dari dokumen berupa position paper Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) atas Minerba dan dokumen lain.
14
PENGANTAR
1.6.2. Metode dan Alur Penelitian Bagan di bawah ini menggambarkan metode dan rangkaian alur penelitian mulai pengumpulan data hingga pelaporan. Bagan di bawah ini juga menjelaskan rangkaian kegiatan penyebarluasan laporan penelitian.
Bagan 1: Metode dan Alur Penelitian
Alur penelitian
Kajian Literatur 12 Desember 201115 Januari 2012
Wawancara mendalam Januari: 19, 21, 24, 25, 27, 31 Februari: 1, 7, 8, 9, 15
Penulisan laporan Penelitian kebijakan (sementara) 19-23 Februari 2012
ANALISA DATA 2-18 Januari 2011
FGD 9 Maret 2012
Diseminasi I Talkshow Radio 27 Februari dan 12 Maret 2012
Peer Review 2 6 Maret 2012 13 Maret 2012
Penulisan laporan Penelitian kebijakan dan Kertas Kebijakan (sementara) 12-31 Maret 2012
Konsinyering 2-3 April 2012
Publikasi dan Diseminasi Hasil dan Penelitian Rekomendasi
Peer Review 1 24 Februari 2012 29 Februari 2012
Penulisan laporan Penelitian kebijakan dan Kertas Kebijakan (akhir) 4-5 April 2012
Seminar 17 April 2012
15
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
16
Bagian II KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Representasi Hanna F. Pitkin menyatakan bahwa konsep representasi menyiratkan paradoks yaitu ada segi yang terwakili namun ada pula yang belum tercakup dalam keterwakilan.6 Dengan mengacu pada Pitkin, Törnquist menegaskan representasi mengandaikan adanya wakil (a representative), yang diwakili (the represented), hal yang diwakilkan (something that is being represented). Selanjutnya, lebih dari itu, pembicaraan soal representasi juga harus memasukkan konteks politik (a political context). 7 Pitkin membagi empat dimensi representasi: a) Representasi formal, yang berfokus pada aturan dan prosedur yang mengatur tentang proses pemilihan dan penggantian para anggota parlemen. Dalam praktiknya, pemilihan umum dipandang merupakan upaya yang sangat penting dan mendasari upaya untuk mengoperasionalkan dimensi representasi formal. b) Representasi simbolik merujuk pada sejauh mana para wakil bertindak untuk mewakili yang diwakilinya dengan penekanan pada simbol atau simbolisasi. Yang penting bukan siapa yang mewakili atau apa yang mereka kerjakan, namun bagaimana mereka dipandang (perceive) oleh yang diwakili. c) Representasi deskriptif seringkali disebut pula “keterwakilan/ representativeness” yang merujuk pada sejauh mana para wakil dapat mewakili (stand for), yang diwakilinya. Dalam hal ini, yang mewakili haruslah mencerminkan komposisi yang diwakilinya. Representasi deskriptif dapat dibagi menjadi representasi fungsional yang lebih berfokus pada hubungan “pekerjaan” antara yang diwakili dan yang mewakilinya, misalnya kelompok buruh. Jenis kedua adalah representasi sosial yang berkaitan dengan karakteristik sosial misalnya gender, ras dan etnisitas serta kelas misalnya kelompok perempuan. d) Representasi substantif bilamana yang mewakili bertindak untuk kepentingan yang diwakili. Penafsiran yang paling umum adalah representasi substanstif menunjuk pada responsifnya sebuah kebijakan yang dibuat atau sejauh mana para wakil mengesahkan undang-undang atau pun kebijakan yang reponsif atas kebutuhan dan tuntutan warga negara. Pitkin menyatakan bahwa representasi substantif merupakan komponen yang sangat penting dan menjadi jantung dari representasi. 8
Pitkin menganjurkan untuk tidak memisahkan empat dimensi representasi tersebut dan berpandangan adanya hubungan sebab akibat yang sangat kuat antara empat representasi tersebut. Mereka yang menganjurkan representasi formal menekankan bahwa pemilu yang bebas, adil dan jujur adalah penting oleh karena pemilihan umum memfasilitasi representasi deskriptif yang kemudian dapat mendorong adanya kebijakan yang responsif serta meningkatkan dukungan publik bagi lembaga yang representatif. Representasi deskriptif juga dipandang penting untuk memajukan representasi simbolik dan kebijakan yang responsif, sementara kebijakan yang responsif dipercaya sebagai sumbangan penting bagi representasi simbolik. Sebuah studi mengenai representasi perempuan di 31 negara demokratis mengonfirmasi keterkaitan empat representasi ini. Struktur sistem pemilu memberi pengaruh yang sangat kuat baik pada representasi deskriptif 6 Hanna Fenichel Pitkin, “Representation and Democracy: Uneasy Alliance,” in Scandinavian Political Studies, Vol. 27 – No. 3, 2004 7 Olle Törnquist, “Introduction: The Problem Is Representation! Towards an Analytical Framework” in Olle Törnquist, Neil Webster and Kristian Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation, New York: Palgrave Macmillan, 2009, hal. 1-21 8 Leslie A. Schwindt-Bayer dan William Mishler, The Nexus of Representation: An Integrated Model of Women’s Representation, a revised version of a paper presented at the Annual Meeting of the American Political Science Association, August 2002.
17
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
perempuan maupun representasi simbolik. Representasi deskriptif pada akhirnya meningkatkan responsifnya anggota parlemen perempuan pada kebijakan yang menyangkut perempuan dan meningkatkan persepsi atas legitimasi. Para feminis berpandangan bahwa bagi kaum perempuan, representasi deskriptif (standing for) adalah sebuah prakondisi bagi representasi substantif perempuan dimana wakil mereka kemudian akan bertindak untuk kepentingan mereka (acting for). Kehadiran perempuan saja tidaklah cukup bagi tercapainya representasi substantif. Kehadiran itu juga tergantung pada kekuasaan yang dimiliki, serta sejauh mana wakil perempuan tersebut mengakar pada aliansi atau gerakan perempuan yang ada juga konteksi sosial dan politik yang ada. 9 Akan tetapi pada akhirnya dan sesungguhnya representasi substantiflah yang menjadi tujuan akhir. Representasi simbolik dan deskriptif hanya menekankan keharusan adanya wakil, tanpa mempertanyakan substansinya. Oleh karena itu, Pitkin menyarankan untuk memfokuskan pada apa yang dilakukan oleh para wakil dan bukan siapa mereka. Bagi Pitkin, representasi politik harus diartikan dalam arti yang substantif yaitu “bertindak untuk yang diwakili dan dengan cara yang responsif terhadap mereka’’.10 Gagasan Pitkin ini sejalan dengan pikiran Törnquist yang menyatakan bahwa esensi representasi demokratis adalah bahwa kewenangan (authorization) dan akuntabilitas didasarkan para kesetaraan politik yang mengandaikan adanya transparansi dan responsiveness. 11 Penelitian ini berfokus pada representasi substantif proses legislasi dengan melihat proses pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dengan tidak menutup kemungkinan untuk melihat keterkaitan antara representasi substantif dengan representasi lainnya dan didiskusikan dalam konteks politik yag melingkupinya. Proses pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berdasar pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) beserta peraturan turunannya. Undang-Undang ini telah diperbarui dengan Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang P3. Peraturan di bawahnya telah diperbaiki. Kajian pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diambil dengan demikian, sebagai jangkar untuk melihat perbaikan yang masih harus dilakukan untuk memperbaiki representasi dalam proses legislasi.
2.2. Jaminan Representasi dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia 2.2.1. Representasi Saat Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Representasi tidak diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan Indonesia saat pembahasan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (periode 2005-2008). UUD 1945 Pasal 20A menyatakan bahwa ”Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan”. Sementara, Ketetapan MPR RI (TAP MPR RI) saat itu tidak dimasukkan dalam tata peraturan perundang-undangan di Indonesia. Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) pun tidak memuat ketentuan tentang “representasi”. Pasal 25 dalam Undang-Undang ini menyatakan bahwa DPR mempunyai fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan. 9
Karen Celis dan Sarah Childs , “Introduction: The Descriptive and Substantive Representation of Women: New Directon” dalam Karen Celis dan Sarah Childs (eds), The Political Representation of Woman, Parliamntary Affairs, A Journal of Representative Politics, Vo. 61, No. 3, July 2008 10 Ibid 11 Olle Törnquist, op.cit (catatan kaki 7)
18
KERANGKA PEMIKIRAN
DEMOS mendasarkan definisi representasi pada kajian teoritis. Seperti disebutkan di atas, representasi substantif menurut Pitkin bermakna “bertindak untuk yang diwakili dan dengan cara yang responsif terhadap mereka’’. Törnquist menyatakan representasi substantif dicapai dengan syarat transparansi dan responsiveness. Dari sini kita dapat nyatakan representasi substantif mensyaratkan transparansi dan sejauh mana kebijakan responsif atas kebutuhan masyarakat. Elemen terakhir dapat dicapai dengan penyediaan partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan untuk memberi masukan dan tentunya akomodasi atas masukan tersebut. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) mengatur tentang “Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik” untuk menopang transparansi dan penjaringan aspirasi masyarakat oleh anggota DPR saat itu. Adapun dari 7 (tujuh) asas yang disebutkan, yang relevan dengan penelitian ini adalah: a) Pasal 5 Huruf d tentang “Asas Dapat Dilaksanakan” dimana setiap Pembentukan Peraturan Perundangundangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. b) Pasal 5 Huruf e “Asas Kedayagunaan dan Hasilgunaan” dimana setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. c) Pasal 5 Huruf g: “Asas Keterbukaan” dimana proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses itu. Dalam konteks peran serta masyarakat dalam proses pembentukan legislasi, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang P3 telah mengatur dan menjelaskan tentang “Partisipasi Masyarakat” dalam proses pembentukan undang-undang dan peraturan daerah yang relevan dengan fungsi anggota DPR RI (legislatif ). Pasal 53 UndangUndang ini menyatakan bahwa “[m]asyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah”. Bagian penjelasan Pasal 53 undang-undang ini menyatakan bahwa “Hak masyarakat dalam ketentuan in dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib. Ketentuan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah RI dan Peraturan DPR RI (Tata Tertib) (lebih lanjut tentang partisipasi masyarakat dapat dilihat dalam bagian pembentukan UU di bawah ini). Selain itu, Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme relevan pula disebutkan. Dalam undang-undang ini antara lain diatur dan dijelaskan tentang “Asas Umum Penyelenggaraan Negara”. Menurut undang-undang ini asas umum tersebut diperlukan dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dari 7 (tujuh) asas umum, maka asas-asas yang relevan dengan anggota DPR RI (legislatif ) sebagai penyelenggara negara 12 adalah sebagai berikut: a. Pasal 3 angka 4 tentang “Asas Keterbukaan” yang bagian penjelasannya menyebutkan bahwa asas ini berlaku bagi penyelenggara negara untuk membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas has asasi pribadi, golongan dan rahasia negara; 12 Yang dimaksud sebagai “Penyelenggara Negara” adalah: “Pejabat Negara…”, Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999, Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
19
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
b. Pasal 3 angka 7 tentang “Asas Akuntabilitas” yang bagian penjelasannya menyebutkan, asas ini menentukan bahwa setiap kegiatan penyelenggara negara dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.2.2. Ketentuan Terkini tentang Representasi Tidak ada perubahan dari UUD 1945 dari ketentuan yang disebutkan di atas. TAP MPR dimasukkan kembali dalam tata urutan perundang-undangan melalui UU No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Namun tidak ada TAP MPR yang mengatur secara eksplisit soal representasi. Pasal 2 TAP MPR XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dapat disebut sebagai pengaturan tidak langsung soal representasi yang menyatakan: (1) Penyelenggara negara para lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara. (2) Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pada periode pasca pembahasan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perbaikan mengenai pengaturan representasi terdapat dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Derah (UU MD3) yang secara eksplisit mengatur dan menjelaskan tentang “representasi”. Pasal 69 Undang-Undang ini menyatakan bahwa DPR RI mempunyai fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan, dimana ketiga fungsi tersebut dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. Selanjutnya penjelasan pasal ini menyatakan bahwa pelaksanaan fungsi DPR RI terhadap kerangka representasi rakyat dilakukan antara lain melalui: a. pembukaan ruang partisipasi publik; b. transparansi pelaksanaan fungsi, dan c. pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat.
Box 1. Pasal 69 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (1) DPR mempunyai fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan. (2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. Penjelasan Pasal 69 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka representasi rakyat dilakukan antara lain melalui pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi pelaksanaan fungsi, dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat.
“Pembukaan ruang partisipasi publik”, “Transparansi pelaksanaan fungsi” dan “Pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat”, dipandang dapat menjadi panduan kriteria bagi representasi substantif untuk konteks Indonesia saat ini. Namun, Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 tidak menjelaskan lebih lanjut ketiga prinsip tersebut. Untuk menafsirkan ketiga prinsip tersebut maka DEMOS telah mencari sumber-sumber lain untuk mendapatkan penjelasannya. Dalam hal ini DEMOS mengutip beberapa bagian dari kajian dan sekaligus panduan yang dilakukan oleh Eko Prasojo dalam Buku tentang Panduan Transparansi dan Akuntabilitas Parlemen, DPR RI-UNDP, 2010.
20
KERANGKA PEMIKIRAN
Tabel 1. Transparansi Jenis
Syarat-syarat
Tranparansi kelembagaan
Mekanisme yang mengatur adanya kewajiban lembaga untuk berlaku secara transparan, sidang dapat dihadiri oleh masyyarakat, keputusan dapat diperoleh masyarakat, laporan keuangan dan kinerja dapat diketahui oleh masyarakat.
Adanya disclosure informasi tentang parlemen yang menyangkut keterbukaan sidang, risalah, draf rancangan, proses pembahasan, lobby anggota maupun putusan dan simpulan rapat
Transparansi Individual
Tanggung jawab dan kewajiban setiap anggota untuk memberi informasi, serap aspirasi dan menyampaikan apa yang sudah dilakukannya (mis. melalui kunker, media rutin atau pun sikap yang dipublikasikan)
Adanya akses dan terjaminya prosedur bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi di atas Jaminan hukum masyarakat untuk mendapatkan informasi
Disarikan dari: Eko Prasojo, Buku tentang Panduan Transparansi dan Akuntabilitas Parlemen, DPR RI-UNDP, 2010
Tabel 2. Akuntabilitas Dimensi
Akuntabilitas politik
Adanya metode dalam pemberian sanksi kepada orang/ lembaga yang memegang jabatan publik melalui sistem check and balaces antara eksekutif, legislatif dan yudikatif
Tipe
Akuntabilitas manajerial
Penggunaan secara efektif dan efisien dana publik, aset dan sumber daya yang digunakan dalam pelaksanaan fungsi
Akuntabilitas fiskal
Kewajiban setiap orang/lembaga untuk melaporkan penggunaan sumber daya publik dalam menjalankan tugasnya sebagai pemegang otoritas publik
Akuntabilitas proses
Metode dan prosedur yang menjamin sifat partisipatif dan terbuka dalam menjalankan fungsi
Akuntabilitas Administratif
Kewajiban setiap orang/lembaga yang memegang otoritas publik untuk menciptakan pengawasan internal
Akuntabilitas dampak
Adanya pengukuran atas dampak positif program bagi masyarakat
Akuntabilitas legal
Konsistensi antara tindakan dan keputusan yang diambil sesuai dengan kewenangan dan kekuasaanny
Akuntabilitas profesional
Dijalankannya prinsip profesionalisme baik secara individu maupun lembaga yang ditopang oleh pengetahuan, kompetensi dan ketrampilan
Akuntabilitas program
Program relevan dengan kondisi aktual dan harapan masyarakat
Akuntabilitas moral
Bertanggungjawab secara moral atas tindakan dan keputusan yang diambil, menghindarkan dari KKN dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara
Disarikan dari: Eko Prasojo, Buku tentang Panduan Transparansi dan Akuntabilitas Parlemen, DPR RI-UNDP, 2010
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang P3 yang menjadi panduan terkini, baik bagi lembaga negara eksekutif maupun legislatif mengatur secara eksplisit tentang mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-undang ini masih mempertahankan
21
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
“Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik” sebagaimana diatur dalam UndangUndang No. 10 Tahun 2004, termasuk 3 (tiga) dari 7 (tujuh) asas yang relevan dengan penelitian ini: Asas Dapat Dilaksanakan, Asas Kedayagunaan dan Hasilgunaan dan Asas Keterbukaan dengan penjelasan yang sama pula dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Pasal 18 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 menyatakan pula bahwa “[a]spirasi dan kebutuhan masyarakat sebagai dasar penyusunan daftar rancangan undang-undang”. Sementara Pasal 19 menyatakan bahwa ‘Konsepsi RUU dituangkan dalam naskah akademis”. Lebih jauh Pasal 43 menyatakan bahwa “RUU harus disertai naskah akademik’. Ketentuan-ketentuan ini menjadi jaminan kepastian terlaksananya representasi utamanya dalam pembentukan perundang-undangan. Tata tertib DPR RI 2009-2014 memuat secara eksplisit ketentuan tentang representasi dalam Bab IV Pasal 203 dengan menyatakan: 1. Fungsi DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (Tatib DPR RI) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. 2. Dalam melaksanakan representasi rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dengan kunjungan kerja. 3. Hasil kunjungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dijadikan bahan dalam rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum. 4. Selain dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), anggota dalam satu daerah pemilihan dapat membentuk rumah aspirasi. 5. Rumah aspirasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berfungsi untuk menerima dan menghimpun aspirasi masyarakat. Ketentuan di atas, memaknai representasi rakyat sebagai penyerapan aspirasi melalui kunjungan kerja dan pembentukan rumah aspirasi. Sementara itu, dalam peraturan lain misalnya PP tidak ditemukan ketentuan yang mengatur ketentuan representasi secara eksplisit.
2.3. Mekanisme Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia 2.3.1. Mekanisme Perancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara Mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia saat pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada periode 2005-2008 dapat ditemukan dalam beberapa ketentuan. Pasal 20 UUD 1945 ayat (1) menyatakan ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang undang”. Ayat (2) menyatakan bahwa “[s]etiap rancangan undangundang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Pasal 22A menyatakan “[k]etentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang” Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang P3 menjadi panduan umum baik bagi lembaga negara eksekutif maupun legislatif tentang mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 mendefinisikan pembentukan peraturan perundangundangan sebagai “…proses pembuatan Peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan”.
22
KERANGKA PEMIKIRAN
Sementara itu Tatib DPR RI No. 08/ DPR RI/I/2005.2006, Pasal 121 menyatakan: (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. (3) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. (4) DPD dapat mengajukan kepada DPR Rancangan UndangUndang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (5) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diajukan beserta penjelasan, keterangan, dan/atau naskah akademis. Peraturan Presiden (Perpres) No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan UndangUndang (RUU), Rancangan Peraturan Pengganti Undang-Undangn (Rperpu), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Rancangan Peraturan Presiden (Rperpres ) mengatur bahwa penyusunan RUU yang menjadi inisiatif eksekutif harus berdasar pada Prolegnas dengan terlebih dahulu harus menyusun naskah akademis sebelum RUU disusun yang paling sedikit memuat dasar filosofis sosiologis, yuridis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur. 13 2.3.2. Mekanisme Terkini tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Tidak ada perubahan ketentuan UUD 1945 dari apa yang disebutkan di atas. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang memperbarui UU No. 10 Tahun 2004 tentang P3 menjadi panduan umum terkini baik bagi lembaga negara eksekutif maupun legislatif tentang mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan adalah “pembuatan Peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan�. Tata tertib DPR RI No. 1 2009-2014, Pasal 99 menyatakan bahwa: 1. Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. 2. Rancangan undang-undang dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau DPD. 3. Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Presiden. 4. Rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 5. Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademis. Sementara itu di tingkat peraturan lainnya misalnya Perpres dan peraturan lain tidak ada perubahan.
13 Perpres 68/2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperpu, RPP dan Rperpres, Pasal 3 dan Pasal 5
23
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
2.4. Mekanisme Penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam Pembentukan Perundang-undangan di Dewan Perwakilan Rakyat 2.4.1. Mekanisme Penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang P3 yang menjadi panduan umum utama baik bagi lembaga negara eksekutif maupun legislatif saat Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disusun tidak mengatur secara eksplisit tentang mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 53 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah”. Namun dalam bagian penjelasan Pasal 53 menyatakan bahwa “Hak masyarakat dalam ketentuan in dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib”. Pasal 141 Tatib DPR RI No. 08/ DPR RI/I/2005.2006 mengatur “Partisipasi Masyarakat” dalam proses pembentukan undang-undang dengan menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan tertulis kepada DPR dalam penyiapan RUU dan pemberian masukan secara lisan, dilakukan dalam pertemuan (RDPU, pimpinan alat kelengkapan). Sementara itu, Pasal 142 menyatakan bahwa dalam rangka pembahasan RUU, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dimana Pimpinan alat kelengkapan menentukan waktu pertemuan dan jumlah orang yang diundang dalam pertemuan dalam bentuk RDPU, pertemuan dengan Pimpinan alat kelengkapan, atau pertemuan dengan pimpinan alat kelengkapan didampingi oleh beberapa Anggota yang terlibat dalam penyiapan RUU. Pasal 142 selanjutnya menyatakan bahwa masukan dalam pertemuan serta masukan tertulis menjadi bahan masukan terhadap RUU yang sedang dibahas bersama dengan Presiden. PasaI 143 Tatib DPR RI 2005.2006 mengatur “wahana” DPR RI untuk mendapat masukan masyarakat dengan menyatakan: (1) Selain masukan berdasarkan permintaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 dan Pasal 142, alat kelengkapan yang menyiapkan atau membahas Rancangan Undang-Undang dapat melakukan kegiatan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat. (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Rapat Dengar Pendapat Umum, seminar atau kegiatan sejenis, dan kunjungan. Sementara itu Perpres No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperpu, RPP dan Rperpres mengatur partisipasi masyarakat. Pasal 11 Perpres tersebut menyatakan “Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang di tingkat Panitia Antar Departemen, Pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial, politik, profesi, dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang”. Pasal 13 Perpres tersebut menyatakan bahwa “Masyarakat memberi masukan dalam penyempurnaan dimana pemrakarsa RUU dapat menyebarluaskannya kepada masyarakat”. Pasal 41 secara tegas menyatakan “Masyarakat dapat memberikan masukan kepada Pemrakarsa dalam penyiapan RUU berupa pokok-pokok materi yang diusulkan”. 2.4.2. Mekanisme Terkini Penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam Proses Pembentukan Perundangundangan Pasal 18 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang P3 menegaskan bahwa “[a]spirasi dan kebutuhan masyarakat sebagai dasar penyusunan daftar rancangan undang-undang”. Undang-Undang tersebut juga mengatur dan menjelaskan “Partisipasi Masyarakat” dalam proses pembentukan peraturan perundang-
24
KERANGKA PEMIKIRAN
undangan yang relevan dengan fungsi anggota DPR RI (legislatif ) Mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat diatur dalam Pasal 96 Ayat (2), (3), dan (4) dan menjadi suatu perubahan yang cukup signifikan dalam rangka mendukung representasi yang substantif di Indonesia. Pasal 96 menyatakan: (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. 3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Penjelasan Pasal 96 Ayat (3) lebih jauh menguraikan bahwa “[t]ermasuk dalam kelompok antara lain, kelompok/ organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. Undang-Undang MD3 juga memuat jaminan partisipasi masyarakat yang diatur dalam pasal 206 dengan menyatakan bahwa Tatib DPR RI harus mengatur mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.14 Berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR RI No. I Tahun 2009-2014, mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundangan dijamin dalam Pasal 208 yang menyatakan bahwa masyarakat dapat memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis kepada DPR dalam proses: 15 (a) penyusunan dan penetapan Prolegnas; (b) Penyiapan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang; (c) pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang APBN; (d) pengawasan pelaksanaan Undang-Undang; dan (e) pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah Lebih jauh Pasal 209 Tatib tersebut menyatakan: 1. Dalam hal masukan diberikan secara tertulis dalam proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 huruf a, huruf b, huruf d dan huruf e, masukan disampaikan kepada anggota dan/atau pimpinan alat kelengkapan. 2. Dalam hal masukan diberikan dalam proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 huruf c, masukan disampaikan kepada pimpinan komisi. 3. Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan dengan menyebutkan identitas yang jelas ditujukan kepada pimpinan DPR, pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran, yang menyiapkan dan menangani 14 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3, Pasal 206 15 Tata Tertib DPR RI 2009-2014, Pasal 208
25
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
pembahasan rancangan undang-undang serta melakukan pengawasan pelaksanaan undang-undang, atau kebijakan pemerintah. 4. Dalam hal masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada pimpinan DPR, masukan diteruskan kepada pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Badan Anggaran, yang menyiapkan rancangan undang-undang. Partisipasi masyarakat dalam pembahasan rancangan undang-undang juga ditegaskan dalam Pasal 114 yang menyatakan bahwa “[d]alam penyusunan rancangan undang-undang, anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi dapat meminta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panitia kerja untuk menyempurnakan konsepsi rancangan undang-undang�. Sementara itu, Pasal 143 Tatib ini mengatur masukan masyarakat saat pembahasan RUU serta “wahana�nya: 1. Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran dapat meminta menteri yang mewakili Presiden membahas rancangan undang-undang untuk menghadirkan menteri lainnya atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian dalam rapat kerja atau mengundang masyarakat dalam rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan masukan terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas. 2. Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, atau panitia khusus dapat mengadakan kunjungan kerja ke daerah dalam rangka mendapatkan masukan dari pemerintah daerah dan/atau masyarakat di daerah. 3. Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran dapat mengadakan kunjungan kerja ke luar negeri dengan dukungan anggaran DPR dan persetujuan pimpinan DPR. 4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dengan mempertimbangkan alasan yang dimuat dalam usulan rencana kunjungan kerja yang diajukan oleh komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran. 5. Usulan rencana kunjungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sekurang-kurangnya memuat: a. urgensi; b. kemanfaatan; dan c. keterkaitan negara tujuan dengan materi rancangan undang-undang. Tidak ada perubahan dari peraturan lain dalam tingkat PP maupun Perpres mengenai partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan.
2.5. Transparansi dalam Pembentukan Perundang-undangan 2.5.1. Ketentuan Transparansi saat Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang P3 mengatur keterbukaan dengan menyatakannya sebagai asas yang harus menjadi pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan keterbukaan kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 22 yang memuat ketentuan bahwa penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR RI dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPR RI, sementara penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Pasal 51 mengatur penyebarluasan bagi peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan. Tentang keterbukaan saat pembahasan, Undang-Undang ini menyatakan bahwa hal itu diatur lebih lanjut dalam Tatib DPR RI. 16 16 UU No. 10 Tahun 2004 tentang P3, Pasal 51
26
KERANGKA PEMIKIRAN
Tatib DPR RI No. 08/ DPR RI/I/2005.2006, Pasal 95 mengatur tentang sifat rapat dengan menyatakan bahwa “Rapat Paripurna, Rapat Paripurna Luar Biasa, Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran, Rapat Panitia Khusus, Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, dan Rapat Dengar Pendapat Umum pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tersebut memutuskan tertutup”. Selain itu, Pasal 96 ayat (1) menyatakan bahwa “Rapat terbuka yang sedang berlangsung dapat diusulkan untuk dinyatakan tertutup, baik oleh Ketua Rapat maupun oleh Anggota atau salah satu Fraksi dan/atau pihak yang diundang menghadiri rapat tersebut”. Pasal 135 Tatib ini mengatur penyebarluasan RUU kepada masyarakat. Sementara itu keterbukaan dalam pembentukan undang-undang yang menjadi inisiatif eksekutif diatur dalam Perpres No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperpu, RPP dan Rperpres dimana Pasal 13 menyatakan bahwa “Pemrakarsa dapat menyebarluaskan Rancangan Undang-Undang kepada masyarakat dan hasil penyebarluasan dijadikan bahan oleh Panitia Antardepartemen untuk penyempurnaan Rancangan UndangUndang”.
2.5.2. Mekanisme Terkini tentang Transparansi dalam Pembentukan Perundang-undangan Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang P3 yang baru menajamkan asas keterbukaan dengan menyatakan bahwa penyebarluasan mencakup sejak perencanaan hingga setelah diundangkan. Pasal 96 ayat (4) UndangUndang tersebut menjamin akses masyarakat atas dokumen dengan menyatakan bahwa “[u]ntuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat”. Sementara itu Tatib DPR RI No.1 Tahun 2009-2014 menjamin keterbukaan dimana Pasal 204 ayat (1) Tatib ini menyatakan bahwa “[s]etiap rapat DPR bersifat terbuka, kecuali dinyatakan tertutup”. Dengan demikian tidak ada perubahan berarti dibandingkan dengan Tatib sebelumnya dalam hal jaminan keterbukaan dalam rapat. Peraturan lain pun tidak ada perubahan.
Tabel 3 . Perbedaan antara Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Materi
UU No. 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
UU No. 12 Tahun 2011 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Definisi Pembentukan peraturan perundang-undangan
Pembuatan peraturan perundang-undangan dimulai dari perancanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan peyebarluasan
Pembuatan peraturan perundang-undangan mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan
Penyebarluasan
Penyebarluasan hanya berlaku bagi peraturan perundangundangan dan perda yang telah diundangkan
Penyebarluasan tidak hanya RUU tetapi juga sejak prolegnas hingga UU, demikian juga untuk prolegda yaitu dari Ranperda hingga Perda
27
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Definisi Naskah Akademis:
Naskah Akademis (NA) -------
Kewajiban penyertaan Naskah Akademis
--------
”Naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu RUU, Raperda Prop dan Kab/kota sebagai suatu solusi terhadap permasalahan” Kewajiban penyertaan NA untuk setiap RUU yang berasal dari Presiden, DPR atau DPD (kecuali RUU APBN, penetapan Perpu, atua pencabutan UU atau pencabutan Perpu) Penyusunan NA berpedoman pada teknik penyusunan yang tercantum dalam Lampiran 1 UU No. 12 Tahun 2011
Penjelasan lebih detail tentang materi muatan UU
-------
Batas Waktu Penetapan PP
-------
a.
Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945
b.
Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan UU
c.
pengesahan perjanjian internasional tertentu
d.
tindak lanjut atas putusan MK dan/atau
e.
pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat
Setiap UU harus mencatumkan batas waktu penetapan PP dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan UU dengan membuka pengecualian
Sumber: PSHK, Catatan Kinerja DPR RI 2011, 2012
Tabel 4. Jaminan Partisipasi Publik dan Transparansi dalam Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Jaminan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU No. 10 Tahun 2004
Jaminan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011
Pasal 96 (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan Perundang-undangan.
Pembukaan partisipasi publik
Pasal 53
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum;
”[m]asyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pernbahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah”
b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. 3)
Transparansi
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
28
KERANGKA PEMIKIRAN
Pasal 18 Ketentuan tentang aspirasi masyarakat
-----
Aspirasi dan kebutuhan masyarakat sebagai dasar penyusunan daftar rancangan undang-undang Pasal 19: Konsepsi RUU dituangkan dalam naskah akademis Pasal 43: RUU harus disertai naskah akademis
Sumber: UU No. 4 Tahun 2010 dan UU No. 12 Tahun 2011
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 menitahkan keharusan adanya naskah akademis sekaligus memberi pedoman teknis penyusunannya. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 juga memberi batasan waktu minimum pembuatan PP dan peraturan pelaksana lainnya. Di titik ini kita lihat ada beberapa perbaikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Fungsi legislasi DPR memuat dua dimensi yaitu penyusunan undang-undang dan pengawasan pelaksanaannya. Fungsi legislasi juga mengandung makna dan memberi tugas bagi DPR untuk juga mengawasi pelaksanaan undang-undang, misalnya pengawasan terhadap pelaksanaan perintah undang-undang untuk penetapan turunan peraturannya termasuk peraturan pemerintah.17 Dimensi pengawasan pelaksanaan undang-undang mengalami perbaikan pengaturan yang secara umum diatur dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MD3. Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang MD 3 menyatakan bahwa fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
2.6. Usaha Pertambangan di Indonesia dan Dampaknya Bagi Rakyat Indonesia 2. 6.1. Sekilas Sejarah Pertambangan di Indonesia Sebelum Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan, pertambangan di Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan. Undang-Undang ini mengatur pemberian kewenangan kepada swasta untuk pengusahaan tambang berdasar atas Kontrak Karya (KK) atau pun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Pasal 10 Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 mengatur tentang perjanjian karya antara Pemerintah/Negara dengan kontraktor swasta, dalam hal pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 memberi kewenangan pemberian Kontrak Karya atau pun PKP2B hanya kepada pemerintah Pusat. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengubah konsep kontrak karya dan juga perjanjian karya menjadi konsep ijin. Hal ini didasari pemikiran untuk menempatkan negara dalam posisi yang lebih tinggi daripada swasta. Sejalan dengan itu, kontrak karya dan perjajian karya harus disesuaikan susbtansinya dengan undag-undang yang baru.18 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga mendorong pelaksanaan kaidah-kaidah good mining practices yang mengutamakan lingkungan, adanya jaminan kepastian berusaha, mengintegrasikan pengelolaan data pertambangan dan divestasi saham asing untuk pihak nasional.19 Selain itu, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyesuaikan dengan perkembangan mengenai otonomi daerah dengan memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memberikan ijin pertambangan. 17 Wawancara dengan Ketua Badan Legislasi DPR RI, Ign. Mulyono, 25 Januari 2012 18 Risalah Rapat Paripurna DPR RI, 16 Desember 2008 19 Lihat Prinsip Utama UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, di http://esdm.go.id/berita/umum/37-umum/2687-prinsip-utama-uu-no-4-tahun-2009-tentang-pertambangan-mineral-danbatubara-.htm, diakses pada 23 Mei 2012
29
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
2.6.2. Dampak Usaha Pertambangan di Indonesia Saat Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara 2.6.2.1. Dampak Positif Secara Umum
Dampak positif usaha pertambangan terutama pada sektor ekonomi yaitu memberikan devisa negara dari penjualan komoditi sumber daya alam. Pertambangan memberikan konstribusi besar pada pendapatan domestik regional bruto (PDRB) kepada daerah-daerah yang menjadi tempat pertambangan. Dapat dicontohkan, pertambangan memiliki kontribusi sebesar 80-85% pada PDRB Kutai Timur dan 97% pada PDRB Kab. Mimika saat RUU Pertambangan Mineral dan Batubara disusun (2005). 20 Namun demikian, saat RUU Pertambangan Mineral dan Batubara disusun (2005) sektor pertambangan hanya memberikan kontribusi 2,5% pada pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia. 21 Hingga kini, hal ini tidak berubah dimana sumbangan sektor pertambangan pada PDB pada periode 2009-2011, tidak terlalu besar dan berada di bawah industri pengolahan serta sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan. Laju pertumbuhan Sektor Pertambangan dan Penggalian juga memiliki pertumbuhan terendah yaitu 1,4 persen.22 Tabel 5 Nilai PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009 - 2011 Laju Pertumbuhan dan Sumber Pertumbuhan Tahun 2011 (1)( Pertanian Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
2)
1.
857,2
985,4
1.093,0
295,9
304,7
313,7
3,0
0,4
2.
Pertambangan dan Penggalian
592,1
718,1
886,3
180,2
186,6
189,2
1,4
0,1
3. 4. 5. 6.
Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran
1.447,5 46,7 555,2
1.595,8 49,1 660,9
1.803,0 55,7 756,5
570,1 17,1 140,3
597,1 18,1 150,0
634,2 18,9 160,1
6,2 4,8 6,7
1,6 0,1 0,4
744,5
882,5
1.022,1
368,5
400,5
437,2
9,2
1,6
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
353,7
423,2
491,2
192,5
218,0
241,3
10,7
10,0
8.
Keuangan, real Estate dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
405,2
466,6
535,0
209,2
221,0
236,1
6,8
0,7
574,1
654,7
783,3
205,4
217,8
232,5
6,7
0,6
9.
(3)(
4)
(5)(
6)
(7)(
8)
(9)
Sumber: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Berita Resmi Statistik, No. 13/02/Th.XV, 6 Feb 2012, BPS, 2012
2.6.2.2. Dampak Negatif Secara Umum Pertambangan adalah kegiatan yang memanfaatkan lahan baik di permukaan maupun di bawah permukaan. Selain itu, kegiatan ini juga melibatkan kegiatan pemindahan material batuan (tailing), sisa bahan pengolahan cukup besar, mengubah bentang alam, melibatkan peralatan besar namun daya serap tenaga kerja rendah. Kegiatan pertambangan juga berdampak besar pada unsur-unsur sumber daya alam lainnya terutama air, 20 Naskah Akademik, RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Dep ESDM, 2004, hal. 19 21 Ibid 22 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Beritas Resmi Statistik, No. 13/02/Th.XV, 6 Feb 20120, BPS, 2012 , diakses dari http://www.bps. go.id/brs_file/pdb_06feb12.pdf, pada 16 April 2012
30
KERANGKA PEMIKIRAN
tanah dan biodiversitas. Kegiatan pertambangan secara umum memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, yang diperburuk karena adanya praktik reklamasi pasca tambang yang tidak benar. 23 Walaupun memiliki kontribusi besar pada PDRB daerah, masyarakat sekitar wilayah pertambangan belum mendapatkan manfaat optimal dari kehadiran pertambangan. Rendahnya kesejahteraan sosial masyarakat di sekitar pertambangan mengakibatkan konflik.24 Masyarakat sekitar menolak beroperasinya usaha pertambangan yang kadang membuahkan perlawanan dan konflik kekerasan yang sering disertai jatuhnya korban jiwa.
2.6.3. Dampak Usaha Pertambangan di Indonesia Khususnya pada Kelompok Perempuan dan Kelompok Masyarakat Adat Kelompok pertama yang paling dekat terkena dampak kegiatan pertambangan adalah masyarakat sekitar. Masyarakat adat adalah komunitas yang banyak tinggal di sekitar pertambangan. Dampak kegiatan pertambangan bagi masyarakat adat di sekitar lokasi pertambangan: a. Penggusuran lahan pertanian dan tempat tinggal serta lahan peruntukan lainnya (makam, kawasan keramat, mata air , hutan dan lainnya) karena diubah menjadi kawasan pertambangan. b. Hilangnya mata pencaharian warga setempat karena wilayah kelolanya berubah menjadi kawasan pertambangan ataupun menjadi wilayah dampak. c. Dampak pencemaran limbah pertambangan d. Terganggu hingga rusaknya sumber air, tanah dan keanekaragaman hayati. e. Dampak erosi sosial budaya akibat masuknya modal dan para pendatang terhadap sosial budaya masyarakat lokal. f. Lubang-lubang raksasa dan limbah tambang yang dibiarkan terbuka secara permanen saat pertambangan usai.25 Sementara itu kaum perempuan adalah kelompok rentan karena soal budaya selalu menempatkan mereka rentan dalam banyak situasi termasuk pertambangan. Dampak buruk kebijakan pertambangan bagi perempuan dapat dikelompokkan sebagai berikut: a.). kurangnya peluang kerja; b). tidak diikutsertakannya dalam konsultasi atau pun kompensasi; c). perubahan penggunanaan tanah dan mata pencaharian; d). peningkatan kemiskinan dan beban kerja; e). konflik dan terpecahbelahnya keluarga; serta f ). kesehatan dan keamanan seksual.26
23 Naskah Akademik RUU Minerba, op.cit (catatan kaki 19), hal. 24-27 24 Ibid, hal. 29 25 JATAM Pokja-PA Pasda, WALHI, HUMA, KEHATI, ICEL, AMAN, Walhi, Tanggapan terhadap RUU Minerba 2005, RUU Pertambangan Mineral dan Batubara, Tidak Menjawab Masalah Utama Sektor Pertambangan, hal 3-5 26 Lihat Sophie Doling, Gender Sebuah Panduan Pengantar, Disiapkan untuk PT Kaltim Prima Coal, Menciptakan Masyarakat yang berdaya, Gender dan Sumber Penghidupan yang Berkelanjutan di Wilayah Pertambangan dan Batubara di Indonesia, Resource Management in Asia Pacific Program, Australian National University, 2008 di http://empoweringcommunities.anu.edu.au/documents/Gender%20 Analysis%20Toolkit_Bahasa%20Version.pdf, diakses pada 28 Maret 2012
31
Bagian III REPRESENTASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
3.1. Sekilas Sejarah Pembentukan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Rancangan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara masuk dalam daftar prolegnas 2004-2009. Pembahasan RUU ini dilakukan atas usulan resmi pemerintah melalui Amanat Presiden kepada DPR RI pada 20 Mei 2005. Rancangan Undang-Undang awal ini terdiri atas 15 Bab dan 75 pasal. DPR RI kemudian membahasnya dalam Badan Musyawarah DPR RI (Bamus) pada 9 Juni 2005 lalu dibahas dalam Rapat Paripurna DPR RI 21 Juni 2005 yang memutuskan adanya pembentukan Panitia Khusus lintas komisi. Diputuskan pula pimpinan dari Pansus berasal dari Komisi VII yang membidangi masalah mineral dan batubara. Pansus ini bersifat lintas komisi dengan alasan bahwa masalah mineral dan batu bara menyangkut pula atau bersinggungan dengan bidang-bidang lain misalnya masalah otonomi daerah, infrastruktur jalan, pajak. 27 Pansus ini menyelenggarakan rapat kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 4 Juli 2005 dimana Menteri ESDM memberikan penjelasan atas RUU Pertambangan Mineral dan Batubara. Pembahasan dilanjutkan dengan penyampaian pandangan fraksi, penyampaian pandangan dan pendapat Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), serta pembahasan RUU per Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh Panitia Kerja bersama dengan Pemerintah. Pembahasan atas masing-masing materi dilanjutkan di tingkat Panitia Kerja (Panja), Tim Perumus (Timus), dan Tim Sinkronisasi (Timsin). Tim Sinkronisasi juga melakukan pengecekan hal yang bersifat redaksional dan substansial. Materi yang sudah diklasifikasi dibahas dalam Panja, Timus, dan Timsin dalam kurun waktu 2 tahun 10 bulan. 28 RUU tentang pertambangan Mineral dan Batubara disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 16 Desember 2008 dan diundangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Terhitung sejak surat Presiden hingga disahkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 yaitu pada 20 Mei 2005 hingga 16 Desember 2008, lama waktu pembahasannya adalah 3 tahun 7 bulan.
3.2. Pelaksanaan Penjaringan Aspirasi Masyarakat oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang P3 Pasal 53 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang P3 mengatur tentang hak partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah�. Berdasarkan kajian dokumen yang relevan oleh DEMOS, DPR telah berupaya menjalankan ketentuan tersebut, yang dalam hal ini diwakili Panitia Khusus RUU Minerba sebagai berikut: 27 Wawancara dengan Anggota Komisi VII dari F PDIP, Ir. Ismayatun, 12 Januari 2012 28 Ibid, lama waktu pembahasan saat itu belum diatur baik dalam UU No. 10 Tahun 2004 maupun dalam Tatib DPR RI
33
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
3.2.1. Penjaringan Aspirasi Masyarakat melalui RDPU Proses Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dalam pembahasan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dilakukan selama periode 24 Agustus hingga 21 November 2005 sebanyak 10 kali. Mereka yang diundang adalah kalangan pakar, asosasi profesi dan usaha, pemerintah propinsi, lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi yang semuanya berjumlah 90 orang.29 Dalam menetapkan kalangan masyarakat yang diundang, Pimpinan Pansus mendapat masukan dari para tenaga ahli dan para anggota pansus. Penentuan siapa yang akan dipanggil pada pratiknya diputuskan oleh Pimpinan Pansus. 30 Kriteria yang dipergunakan untuk menentukan kelompok masyarakat (siapa saja) yang relevan diminta pendapatnya tentang RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini berdasarkan isu penting dari isi materi rancangan undang-undang Minerba yang akan dibahas. 31 Selain itu tidak ada mekanisme atau pun kriteria yang lebih detail yang digunakan misalnya analisa pemangku kepentingan. Masyarakat yang hadir terdiri atas beberapa kelompok. Perbandingannya dapat kita lihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 6. Perbandingan kelompok masyarakat yang hadir dalam RDPU
Akademisi
Asosiasi Usaha dan Profesi
Organisasi Masyarakat Sipil
15 orang Dua asosiasi ahli
15 orang dari 3 Asosiasi
6 orangdari 4 organisasi
Perguruan Tinggi
19 orang dari 4 Perguruan Tinggi
Pemerintah Daerah
35 orangdari 6 Pemda, BKKSI dan Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia
Sumber: Laporan Ketua Pansus Minerba pada Rapat Paripurna, 16 Desember 2008 dan RDPU Pansus Minerba, 24/8-21/11 2005
Rincian siapa yang diundang berdasarkan kelompok adalah: 32 a. Kalangan pengusaha diwakili oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Indonesia Mining Association (IMA)
Asosiasi Perusahaan
b. Kalangan ahli diwakili oleh 15 pakar, Perhimpunan Ahli Tambang Indonesia (PERHAPI) serta Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) juga 19 orang dari 4 perguruan tinggi yaitu dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sriwijaya (Unsri), Universitas Pembangunan Veteran Nasional (UPN) dan Universitas Hasanuddin (Unhas). c. Pemerintah Daerah (Pemda) diwakili oleh 6 Pemda Propinsi yaitu Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan, Pemerintah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan, Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat, dan Pemerintah Propinsi Maluku Utara. Tidak ada wakil dari Pemda Propinsi Papua yang menjadi tempat tambang mineral batubara besar yaitu PT Freeport. Selain itu dapat dinyatakan bahwa pihak Pemda juga diwakili oleh asosiasi Gubernur, Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI), Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten. 29 30 31 32
34
lihat Risalah Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) Pembahasan RUU Minerba, 24/8 s.d. 21/11 2005 lihat wawancara dengan Ismayatun, op.cit (catatan kaki 27) Ibid Laporan Ketua Pansus RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Rapat Paripurna DPR RI, 16 Desember 2008
REPRESENTASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
d. LSM dan Organisasi Masyarakat berjumlah 6 orang yang berasal dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), HUMA (Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum) Berbasis Masyarakat dan Ekologis, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang). Kelompok terpinggirkan dalam hal ini masyarakat adat terwakili oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Namun demikian, tidak ada wakil satu pun dari organisasi yang mewakili secara khusus kepentingan kelompok perempuan. Terlihat terbatasnya partisipasi perempuan dan masyarakat adat dalam penjaringan aspirasi melalui RDPU dan terjadinya ketidakseimbangan jumlah pemangku kepentingan yang diundang. Kalangan terbanyak yang diundang dalam RDPU adalah ahli (perorangan dan dan asosiasi ahli) sementara yang terkecil adalah masyarakat sipil yaitu 6 orang dari 90. Kelompok perempuan tidak ada wakil secara fisik sementara masyarakat adat tidak memiliki keterwakilan fisik yang memadai (hanya satu organisasi). Pakar yang hadir, meliputi pakar dalam bidang hukum, teknik pertambangan serta otonomi daerah dan tidak ada satu pun pakar mengenai masalah sosial kemasyarakatan.
Tabel 7. Peta Pakar yang Hadir dalam RDPU Nama
Bidang
Kategori
1. Prof. A. Zen Umar Purba SH, LLM
Pakar Hukum Perdata Internasional
ilmu sosial
2. Prof. Dr. E Koeswara Kertapradja
Pakar manajemen Pemerintahan
ilmu sosial
3. Dr. Ir. Haryadi Kartadihardjo
Pakar Kehutanan
ilmu teknik
4. Dr. Ir. Chairul Nas, MSc
Pakar Geologi dan Eksporasi Batubara
ilmu teknik
5. Prof. Dr. Ambyo Mangun Wijaya
Pakar Pertambangan, pernah menjabat direktur PT Bukit Asam
ilmu teknik
6. Dr. Satyo Arinanto
Pakar Hukum Tata Negara
ilmu sosial
7. Prof. Ir. Surna Djajadiningrat, PhD
Pakar Manajemen Lingkungan
ilmu teknik
8. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Pakar Kelautan dan Perikanan
ilmu teknik
9. Prof. Irwandi Arif
Pakar Pertambangan /PERHAPI/IMA
ilmu teknik
10. Dr. Ir Sofyan P Warsito
Pakar Kehutanan
ilmu teknik
11. Prof. Harun Al Rasyid
Pakar Hukum Tata Negara
ilmu sosial
12. Dr. Sutaryo Sigit
Ahli Geologi
ilmu teknik
13. Prof. Dr. Riyas Rasyid
Pakar Otonomi Daerah
ilmu sosial
14. Prof. Hikmahanto Juwana
Pakar Hukum Internasional
ilmu sosial
15. Dr. D Haryanto
Pakar Teknik Pertambangan
ilmu teknik
Sumber: Laporan Ketua Pansus Minerba pada Rapat Paripurna, 16 Desember 2008 dan RDPU Pansus Minerba, 24/8-21/11 2005
Dalam dokumen proses pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang DEMOS peroleh, tidak ada satupun yang secara eksplisit menyebutkan tentang ketimpangan
35
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
kehadiran perwakilan organisasi perempuan maupun kelompok masyarakat yang mungkin akan terkena dampak dari pelaksanaan Undang-Undang ini maupun usaha pertambangan mineral dan batubara. DEMOS juga berupaya mewawancarai mantan anggota Pansus RUU ini namun tidak ada satu pun narasumber yang dapat menjelaskan sikap Pansus atas ketimpangan kehadiran kelompok-kelompok masyarakat tersebut.
3.2.2. Penjaringan Aspirasi melalui Kunjungan Kerja Penjaringan aspirasi dapat pula dilakukan melalui kunjungan kerja di daerah-daerah. Pansus Pembentukan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pun melakukannya. Akan tetapi, informasi lebih jauh mengenai kunjungan kerja di daerah tidak dapat dilacak. Keterangan lisan hanya memberi konfirmasi bahwa kunjungan kerja di daerah memang dilakukan, namun tidak ada penyebutan detail daerah mana, kelompok yang ditemui maupun masukannya serta proses penentuan kunjungan kerja. Laporan kunjungan kerja secara tertulis pun tidak diperoleh hingga penelitian ini selesai dilakukan. Laporan Ketua Pansus dalam Sidang Paripurna pengesahan RUU ini juga tidak menyebutkan daerah yang dituju oleh karena memang tidak ada kewajiban untuk itu.33 Hal ini menyebabkan tak dapat dilacaknya kelompok mana yang mereka temui dan juga masukan apa yang mereka peroleh dalam kunjungan kerja.
3.2.3. Penjaringan Aspirasi melalui Fraksi Kelompok fraksi dapat menjadi wahana penyaluran partisipasi publik. Namun, ruang partisipasi publik melalui fraksi dalam pembahasan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak maksimal karena tidak semua fraksi responsif. Dalam pembahasan RUU ini, hanya Fraksi PDIP dan Fraksi PKB yang melakukanannya.34 Fraksi PDIP melakukan pertemuan dengan sejumlah kelompok masyarakat termasuk masyarakat sipil. Kelompok masyarakat sipil mengirim surat kepada seluruh fraksi. Namun demikian, hanya Fraksi PKB yang merespon permintaan mereka. Padahal pembukaan partisipasi publik melalui fraksi ini dianggap sebagai model baik untuk menjaring aspirasi dan merupakan model partisipasi publik yang baik dalam penyusunan legislasi.35 Analisa atas minimnya partisipasi masyarakat: Dengan keterbatasan data yang ada, setidaknya DEMOS dapat menjelaskan mengapa fenomena minimnya penjaringan aspirasi masyarakat tersebut dapat terjadi: a. Dari Sisi Peraturan Perundang-undangan: (a) Pada saat pembahasan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara hingga pengesahannya, tidak ada peraturan perundang-undangan yang menjelaskan fungsi penting anggota DPR (legislatif ) yang utama yaitu representasi. Padahal “Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik� Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang P3 dapat memicu sensitivitas fungsi utama mengapa anggota DPR dipilih oleh masyarakat dan untuk mewakili kepentingan konstituen, publik; (b) Pada saat RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dibahas hingga disahkan, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat juga aspirasi tentang dampak suatu rancangan undang-undang terhadap mereka yang berkepentingan terhadap RUU tersebut. Berdasarkan kajian dokumen yang ada maupun wawancara dengan para narasumber, masukan kepada Pansus serta penetapan kelompok masyarakat mana yang perlu diundang untuk dimintakan pendapatnya hanyalah melalui common sense semata. Padahal “Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik� dari Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang P3 dapat menjadi panduan yang rasional untuk memicu inovasi perlunya mekanisme konsultasi anggota DPR dengan publik yang lebih luas dan lebih bermakna untuk memperoleh masukan penyempurnaan RUU Minerba; 33 Ibid dan Wawancara dengan Ismayatun, op.cit (catatan kaki 27) 34 Wawancara dengan mantan Anggota Pansus Minerba dan dosen Universitas Atmajaya Jakarta, Sonny Keraf, 25 Januari 2012 35 Ibid dan masukan Hendrik Siregar (JATAM) dalam FGD, 9 Maret 2012
36
REPRESENTASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
(d) Pada saat RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dibahas hingga disahkan, kegiatan kunjungan kerja anggota DPR sebagai salah satu pintu untuk menaikkan fungsi representasi saat itu, tidak dilakukan secara intensif. Hal ini terjadi karena kunjungan kerja dalam praktik biasanya diatur oleh kantor penghubung pemda terkait di Jakarta. Hal ini menyebabkan kunjungan kerja seringkali tidak maksimal oleh karena DPR belum tentu bertemu dengan kelompok masyarakat yang menjadi pemangku kepentingan.36 Selain itu, dari sisi teknis, laporan kunjungan kerja juga tidak secara rapi dilakukan. Penjaringan aspirasi melalui kunjungan kerja kemudian tidak berjalan secara maksimal.37 Kunjungan kerja tidak dapat menjadi ruang alternatif partisipasi publik terutama bagi kelompok masyarakat yang secara langsung terkena dampak dari kebijakan yang akan diambil namun tidak dapat mengakses ruang partisipasi dengan hadir secara langsung di RDPU maupun dengan bertemu fraksi-fraksi di Jakarta. b. Dari Sisi Substansi Falsafah RUU Minerba: Dari latar belakang yang tertera dalam naskah akademik RUU ini, tujuan utama pembentukan Undang-Undang ini adalah untuk mengganti Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan dengan pertimbangan: a) perubahan internasional, yaitu era globalisasi yang ditandai dengan pasar bebas atas dasar kemajuan teknologi, informasi pertambangan, daya tarik investasi dan isu lingkungan hidup serta demokrasi; b) perubahan nasional yaitu era otonomi daerah. Naskah Akademik mengutip ketentuan Pasal 5 huruf j Ketetapan No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam namun tidak menguraikannya menjadi lebih detail. Naskah Akademik juga menyebut lima hal dalam landasan pemikirannya yaitu: a) UUD 1945, Pasal 33 ayat (3) dimana negara menguasai seluruh kekayaan bumi Indonesia dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; b) Otonomi daerah untuk mempercepat pelayanan kepada masyarakat dan memperpendek birokrasi serta menumbuhkan kreasi di masyarakat untuk mengurusi dan membangun daerahnya; c) Globalisasi dan pengaruhnya pada industri pertambangan dilihat dari persaingan investasi, bursa tenaga kerja karena terbukanya persaingan bebas bagi negara asing; d) Lingkungan hidup yang menjadi agenda penting setelah pertemuan KTT Bumi 1992 di Rio De Jeneiro; serta e) Demokratisasi dan hak asasi manusia yang menuntut kehidupan yang layak bagi rakyat serta tuntutan sebesar-besar partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. 38 Jadi, kelompok masyarakat adat dan perempuan disebutkan –namun tidak secara langsung - dalam isu kelima. Namun demikian, pada bagian-bagian selanjutnya dari Naskah Akademik tidak secara rinci mengatur dan menjelaskan masalah ini. Penjelasan tentang urgensi mengapa Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 harus diubah lebih banyak menyentuh dimensi pertambahan minerba sebagai komoditas. Jadi masalah perempuan dan masyarakat adat tidak hadir secara rinci dalam Naskah Akademik. Satu titik soal hak atas ulayat justru disebutkan bahwa bila masyarakat sangat mempertahankan haknya, akan menghalangi kepentingan nasional yang lebih luas. 39 36 37 38 39
Wawancara dengan Sonny Keraf, op.cit, (catatan kaki 34) Wawancara dengan Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar/mantan anggota Baleg, Basuki Tjahaja Purnama, 24 Januari 2012 Naskah Akademik, RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, op.cit (catatan kaki 20), 2004 Ibid, hal. 39-40 37
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
c. Dari Sisi Paradigma Penafsiran RUU Pertambangan Mineral dan Batubara Kepentingan konkrit masyarakat tak muncul dalam peta masalah yang diidentifikasi sebagai dasar perlunya perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967. Hal ini karena cara berpikir yang digunakan lebih bersifat sektoral daripada berdasar kelompok tertentu.40 Tabel di bawah ini memperlihatkan identifikasi masalah yang menjadi dasar perlunya UU No. 11 Tahun 1967 diperbarui menurut DPR RI disandingkan dengan identifikasi masalah yang dilakukan oleh Pemerintah yang memperlihatkan pendekatan sektoral tersebut. Tabel 8 Persandingan Identifikasi Masalah pentingnya Perubahan UU No. 11 Tahun 1967 antara DPR RI dan Pemerintah Masalah yang diidentifikasi DPR •
Menurunnya investasi yang mengakibatkan lesunya pertumbuhan sektor pertambangan mineral dan batubara
•
Peraturan perundang-undangan yang ada mengatur pertambangan mineral dan batubara secara sentralistik dan tidak mengakomodasi prinsip otonomi daerah
•
Pemerintah •
Ruang lingkup pengaturan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sesuai dengan jiwa/semangat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 belum secara benar dapat dirasakan bagi ”sebesar-besar kesejahteraan rakyat”
•
Pertambangan yang ada mempunyai sifat usaha yang diskriminatif antara perusahaan asing dan nasional, antara skala besar, menengah dan kecil serta antara perusahaan pemerintah (BUMN) dan swasta
Inkonsistensi peraturan perundang-undangan dalam kegiatan pertambangan terutama dengan pengelolaan kehutanan, tata ruang, lingkungan hidup, dan pembagian kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah
•
Kurang mendukung terciptanya hubungan kemitraan dan kerja sama antara perusahaan dengan Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat dalam upaya pengembangan masyarakat dan wilayah dimana kegiatan pertambangan mineral dan batubara berada
•
Gangguan dan penjarahan terhadap kegiataan usaha tambang oleh pelaku pertambangan tanpa ijin
•
Belum mengatur secara jelas hak atas tanah dan lahan masyarakat serta kepentingan sektor lain apabila dipergunakan bagi kegiatan pertambangan mineral dan batubara
•
Masalah keamanan, sengketa lahan dan ganti rugi terhadap masyarakat yang terkena dampak negatif kegiatan pertambangan
•
Kurang efektifnya tindakan hukum terhadap bentuk penyimpangan dan pelanggaran hukum atas pelaksanaan kegiatan pertambangan mineral dan batubara
•
Lemahnya jaminan proteksi fungsi lingkungan hidup sebagai dampak kegiatan pertambangan. 41
•
Penggolongan bahan galian yang terlalu sederhana
•
Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengamanatkan otonomi daerah dan desentralisasi dalam penyelenggaraaan tugas pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batubara berdasarkan asas eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi 42
Sumber: Risalah Rapat Paripurna DPR RI, 16 Desember 2008
Dalam tabel di atas, masalah masyarakat hadir sebagai masalah lingkungan, sengketa lahan dan keamanan. Namun, tidak diakui sebagai masalah dari kelompok masyarakat. Sementara itu masalah lain seperti “hak masyarakat untuk mengambil peran dalam pengambilan keputusan” larut dalam pendekatan sektor yang tidak secara langsung berhubungan dengan masyarakat.
40 Wawancara dengan mantan Anggota Pansus Minerba dan dosen Universitas Atmajaya Jakarta, Sonny Keraf, op.cit (catatan kaki 34) 41 Lihat Laporan Ketua Pansus Minerba, op. cit (catatakan kaki 32) 42 Lihat pandangan akhir pemerintah atas RUU tentang pertambangan minerba dalam Rapat Pripurna DPR RI 16 Desember 2008
38
REPRESENTASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
3.2.4. Akibat lemahnya mekanisme penjaringan aspirasi 3.2.4.1. Terjadinya walk out saat Pengesahan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Ada indikasi awal bahwa lemahnya mekanisme penjaringan aspirasi telah berakibat pada kelancaran penerimaan secara kolektif oleh anggota DPR sendiri terhadap RUU Pertambangan Mineral dan Batubara. Penafsiran sementara DEMOS, hal ini telah mengakibatkan tidak disepakatinya RUU ini secara bulat saat pengesahannya. Setelah dilakukan pembicaraan Tingkat I yaitu pembahasan akhir RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (11 Desember 2008) dalam Raker Pansus antara Menteri ESDM dengan semua fraksi, semua fraksi setuju untuk melanjutkannya dengan pembicaraan Tingkat II yaitu Rapat Paripurna DPR RI. Rapat Paripurna inilah yang menetapkan pengesahan diundangkannya RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi undang-undang. Namun demikian, 3 fraksi yaitu PAN, PKB dan PKS melakukan walk out dan meminta penundaan pengesahan UU No. 4 Tahun 2009. Berikut adalah alasan mereka:
Tabel 9. Alasan masing-masing fraksi yang melakukan walk out Fraksi PAN
A
a.
L A S A N
sejak masa peralihan Orla ke Orba pertambangan Indonesia dieksploitasi dengan menggunakan sistem kontrak. UU ini belum berubah. Konglomerasi pertambangan di Indonesia telah memakan korban manusia dan sudah memasuki tingkat ”crimes against humanity”.
Fraksi PKB
a.
RUU memandang kekayaan tambang sebagai komoditas dagang
b.
RUU tak mengakui daya rusak pertambangan
c.
RUU memicu kriminalisasi terhadap rakyat dan juga diksriminasi terhadap warga karena mementingkan modal besar
b. Pertambangan membawa kerusakan lingkungan yang luar biasa dan masalah tunggakan perpajakan c.
d.
e.
RUU memang telah hijrah dari kontrak karya ke konsep ijin, namun masih ada persoalan misalnya soal tailing dan penggunaan sarana dan pra sarana umum PAN belum bisa menerima beberapa pasal a.l Pasal 91 dan pasal 169 (a). Dua pasal itu perlu dicabut. Pasal 169 butir (a) diskriminatif karena hanya bebani pemain baru sementara pemain lama dimanjakan Pasal 169 A mempertahankan status quo
d.
Ketentuan yang masih bermasalah: •
Pasal 5 soal pemenuhan kebutuhan dalam negeri tetapi kurang kuat karena hanya diatur dengan PP
•
Pasal 134 (ayat 2 dan 3), berpotensi ada sengketa lahan pertambangan dan konservasi
•
Ketentuan Peralihan pasal 169: RUU gagal menjadi payung hukum bagi penertiban operasi pertambangan besar (mis. PT Freeport)
Fraksi PKS
Hilangnya penjelasan Pasal 169 huruf b dalam dokumen terakhir, yang telah diputuskan ada penjelasannya, tetapi kemudian hilang.
(penjelasan 169 b: Semua pasal yang terkandung dalam kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara harus disesuaikan dengan undang-undang)
Sumber: Risalah Rapat paripurna DPR RI 16 Desember 2008
Alasan dalam tabel adalah isu yang tak berhasil disepakati sampai paripurna, yaitu:4143 a. Tambang sebagai komoditas 43 Alasan PKS “hanyalah” karena alasan teknis dan pada akhirnya termuat.
39
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
b. Kepentingan investasi dan kepentingan cadangan dalam negeri c. Masalah lahan rakyat dan kriminalisasi terhadap rakyat d. Masalah kerusakan lingkungan e. Masalah kekerasan pertambangan bahkan dapat mengakibatkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan f. Masalah peralihan dari rejim ijin ke kontrak karya dan konsekwensi penertiban/penyesuaian kontrak karya Isu-isu ini sesungguhnya mencerminkan hal-hal mendasar yang tidak berhasil disepakati: pertama, adalah tak tercapainya visi dan perspektif yang sungguh-sungguh sama di antara seluruh fraksi dalam menafsir dan mengoperasionalkan ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang menyatakan bahwa ”[bumi] dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang menyebabkan tidak jelasnya isu-isu ikutannya antara lain investasi versus kepentingan dalam negeri dan posisi negara di hadapan korporasi; kedua, soal hak rakyat untuk turut serta menentukan kegiatan pertambangan dan isu ikutannya yaitu soal kriminalisasi, kekerasan dan lingkungan.
3.2.4.2. Akomodasi aspirasi mengenai masyarakat tidak maksimal Banyak aspirasi tentang kepentingan masyarakat muncul dalam RDPU. Walaupun kelompok perempuan dan masyarakat adat tidak hadir secara memadai dalam penjaringan aspirasi melalui RDPU, kalangan lain seperti akademisi dan anggota perlemen ”membawa” kepentingan masyarakat adat dan juga perempuan, selain tentunya dikemukakan oleh kalangan LSM. Setidaknya ada tiga kelompok isu penting yang berkaitan dengan masyarakat (adat dan perempuan) yang diangkat dalam RDPU: a). hak masyarakat untuk ikut menentukan atas kegiatan pertambangan yang mempengaruhi kehidupan mereka dimana seharusnya ada prior informed consent; b). pemberdayaan ekonomi masyarakat; c). lingkungan. Pada intinya RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diminta untuk mengakui ruang dan hak rakyat serta ada kejelasan asas 44 manfaat baik untuk kesejahteraan masyarakat dan kelangsungan alam.42 Pembahasan RUU Minerba memang menghasilkan beberapa capaian penting antara lain berubahnya rejim kontrak karya ke rejim ijin yang memberi kewenangan serta kedudukan pemerintah yang lebih tinggi terhadap swasta. Capaian penting lain menjawab masukan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Capaian soal ingkungan hidup misalnya adanya ketentuan tentang keharusan adanya dana reklamasi. Sementara itu soal peningkatkan kesejahteraan relatif tercapai dengan adanya ketentuan yang menyangkut peningkatan ”local content”. Pada dasarnya adanya ketentuan soal pembatasan luas tanah bagi ijin yang diberikan, pemurnian dalam negeri serta pertambangan rakyat juga dimaksudkan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini memang harus diakui bahwa hasil tambang biasanya bersifat tidak secara langsung menyejahterakan rakyat. Tambang membutuhkan investasi besar dan padat modal jadi manfaatnya memang tidak serta merta. 4345
44 disarikan dari Risalah RDPU, Pansus Minerba, op.cit. (catatan kaki 29) 45 Wawancara dengan Sonny Keraf, op.cit (catatan kaki 34)
40
REPRESENTASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Tabel berikut menjelaskan capaian ini:
Tabel 10. Isu dan Capaian dalam Pembentukan UU Minerba ISU
Kepentingan dalam negeri
CAPAIAN Berhasil diputuskan “ijin” dan bukan kontrak karya, (dengan kompromi adanya klausul ijin pertambangan khusus, misalnya untuk wilayah pencadangan) Adanya pembatasan luas tanah yang diberikan ijin pertambangan
Lingkungan hidup
beberapa isu yang berhasil diselesaikan adalah soal reklamasi dan dananya yang harus disediakan di awal kegiatan pertambangan.
Pemrosesan dan pemurnian di dalam negeri berhasil disepakati untuk paling lambat lima tahun bagi perusahaan lama.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat
Dapat diperjuangkannnya ”local content’ melalui ketentuan penggunaan tenaga dalam negeri selama klasifikasi yang dibutuhkan masih ada di dalam negeri dan baru menggunakan tenaga asing bila klasifikasi ini tidak ada di dalam negeri. Demikian juga tentang pemurnian dan pemrosesan yang harus dilakukan di dalam negeri. Ketentuan audit produksi akan dapat mencegah dibawanya mineral ke luar negeri dan memberi data berapa dan mineral apa saja yang sebenarnya dihasilkan. Ketentuan tentang pembatasan wilayah dan masa ijin membuka kemungkinan banyak orang ikut menikmati dan mendapatkan kesejahteraan. Ketentuan-ketentuan ini diperjuangan agar tambang dapat semaksimal mungkin menyejahterakan rakyat sekitar
Soal PETI yang bersifat dilematis yaitu positif untuk kehidupan rakyat kecil namun negatifnya merusak lingkungan
Kompromi berhasil dicapai yaitu diberinya ijin dan pembinaan dengan nomenklatur ”ijin pertambangan rakyat”.
Pasal 169 tentang penyesuaian kontrak karya
merupakan bentuk kompromi akan tetapi bersifat tegas. Istilah yang dipakai juga bukan renegosiasi tetapi penyesuaian substansi KK dengan UU.
Lahan konservasi bagi kegiatan pertambangan
berhasil dicapai kesepakatan, disesuaikan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Kewenangan daerah untuk memberikan ijin
Berhasil dicapai ketentuan yang sesuai dengan UU tentang Otonomi Daerah dimana Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk memberikan ijin. Pelaksanaannya tidak mudah dan sejauh ini masih silang sengkarut. Seharusnya dimanfaatkan ketentuan dalam UU No. 32 tentang Lingkunan Hidup yang mengatur mengenai kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Hasil kajian ini dapat dijadikan dasar pencegahan pemberian ijin pertambangan oleh pemerintah daerah secara masiv dan terburu-buru, misalnya dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan di di daerah terkait. Bila dinyatakan bahwa lingkungan sudah tak mendukung, maka ijin tak bisa diberikan. Ketentuan tentang inspektor tambang dalam UU No. 4 Tahun 2009 juga dapat menjadi penjaga lingkungan. Dengan catatan inspektur tambang harus dalam jumlah dan kapasitas yang yang memadai dan kredibel
Disarikan dari wawancara dengan Sonny Keraf, Jakarta, 25 Januari 2012
41
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Namun demikian, akomodasi atas aspirasi yang muncul tidak maksimal. Salah satunya adalah masukan tentang hak masyarakat untuk ikut menentukan kegiatan pertambangan berupa adanya prior informed consent tidak 46 UU Minerba mengakomodasi masukan ini menjadi diakomodasi secara memadai dalam UU yang ditetapkan.44 rumusan yang sangat ringan dalam Pasal 10 UU Minerba yaitu ”memperhatikan pendapat masyarakat”.
Box 2: Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2009 Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan: a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b.
secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi penzerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan
c. dengan rnemperhatikan aspirasi daerah.
Haruslah menjadi catatan bahwa terdapat permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Uji Materi atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Salah satunya adalah permohonan yang diajukan oleh lima LSM yaitu Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Solidaritas Perempuan (SP) melalui permohonan dengan No. 32/PUU-VIII/2010. Mereka berpandangan bahwa Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bertentangan dengan UUD 1945 karena menghilangkan partisipasi masyarakat dalam penentuan kegiatan tambang. Menurut mereka harusnya masyarakat memiliki hak untuk ikut menentukan dalam kegiatan pertambangan. Pengajuan Uji Materi ini 47 menurut mereka dilakukan untuk mengurangi ekses diterapkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009.45 Putusan MK No. 32/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa Pasal 10 huruf b frasa “…memperhatikan pendapat… masyarakat…” Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bertentangan secara bersyarat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak”. Putusan tersebut juga menyatakan bahwa frasa tersebut hanya mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa tersebut dimaknai, “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah 48 pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak”. 46 46 Proses yang terbuka memungkinkan adanya keterlibatan masyarakat secara maksimal dalam seluruh proses pembentukan legislasi. DPR sebenarnya juga telah memiliki preseden terbukanya semua tahapan proses pembahasan legislasi. Tercatat pembentukan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memiliki proses terbuka pada semua tahapannya untuk seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam pertemuan timus dan timsin. Proses pembentukan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga melibatkan masyarakat dalam seluruh proses pembentukan termasuk dalam pertemuan timsin dan timus dimana kelompok masyarakat saat itu yaitu Forum Konstitusi ikut duduk bersama dengan anggota pansus untuk bekerja bersama-sama. Wawancara dengan Anggota Baleg dan Anggota Komisi VII dari F PDIP, Irvansyah, 25 Januari 2012 47 Mewujudakan Hak Veto Rakyat atas Rang Hidup, Lewat Uji Materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara, WALHI, HUMA, KPA, SP, PBHI dan KIARA, 2011 48 Putusan MK No. 32/PUU-VIII/2010, hal. 143, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Persidangan. PutusanPerkara&id=1&kat=1
42
REPRESENTASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
3.3. Transparansi dalam Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara 3.3.1. Transparansi dalam Proses perancangan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Rancangan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara merupakan inisiatif eksekutif. Penyusunan naskah akademis dan RUU ini tidak membuka partisipasi publik secara memadai dan bersifat tertutup. JATAM mulai menyuarakan perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 sejak 1995 dan mendapat informasi bahwa proses penyusunan naskah akademis sudah dimulai oleh Pemerintah pada 2000. Namun demikian, proses ini tidak diketahui oleh masyarakat sipil apalagi melibatkan mereka. Dokumen naskah 49 Proses penyusunan RUU Pertambangan akademik pun susah sekali didapatkan oleh kalangan masyarakat sipil.47 Mineral dan Batubara di tingkat eksekutif tanpa melibatkan publik dengan memadai. Hal ini telah menyebabkan tidak terumuskannya masalah masyarakat terkait dengan pertambangan dalam naskah akademis dengan baik dan rinci. Hal ini pada akhirnya menghasilkan kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dengan rancangan naskah akademik dan rancangan undang-undang yang disusun. Partisipasi publik seharusnya dibuka sejak awal penyusunan naskah akademik. Jadi kebutuhan masyarakat dapat terumuskan dengan baik dalam naskah akademik yang menjadi dasar penyusunan rancangan sebuah undang-undang. Praktik ini sebenarnya telah dilakukan misalnya dalam penyusunan RUU Sumber Daya Alam (SDA) yang juga merupakan inisiatif eksekutif. Penyusunan naskah akademik dan RUU SDA 48 Hal ini memang terjadi karena komitmen pemegang kewenangan saat itu dan bersifat sangat transparan.50 bukan karena mekanisme mengharuskannya. Sampai saat ini tidak ada peraturan dan mekanisme yang menjamin penyusunan rancangan undang-undang yang menjadi inisiatif pemerintah harus bersifat terbuka dengan membuka partisipasi publik secara luas. Perpres 68 Tahun 2005 yang mengatur perancangan di tingkat eksekutif memuat ketentuan tentang partisipasi masyarakat dengan rumusan “ringan” yang hanya mencantumkan kata “dapat” yaitu Pasal 41 yang menyatakan “....masyarakat dapat memberikan masukan kepada Pemrakarsa”. Juga pasal 11 yang menyatakan “Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang di tingkat Panitia Antardepartemen, Pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial, politik, profesi, dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang”. Rumusan “dapat” dalam praktiknya seringkali tidak terlaksana. Selain itu, partisipasi masyarakat hanya muncul dalam ketentuan penyebarluasan rancangan guna penyempurnaan dan tidak sejak awal penyusunannya. Dalam praktik hal ini lebih mirip sosialisasi dan bukan konsultasi. Lemahnya transparansi juga ditandai –seperti dikatakan di atas—dengan susahnya masyarakat sipil mengakses dokumen awal rancangan undang-undang juga naskah akademiknya. Proses ideal bagi penyusunan undang51 Hal ini seharusnya dijamin oleh undang adalah adanya konsultasi publik dan keterbukaan proses sejak awal.49 mekanisme dan peraturan peraturan perundang-undangan.
3.3.2. Transparansi dalam pembahasan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara di DPR Pada saat RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dibahas hingga disahkan, Tatib DPR RI yang berlaku adalah Tatib DPR RI No. 08/ DPR RI/I/2005.2006, dimana Pasal 95 mengatur tentang sifat rapat dengan menyatakan bahwa “Rapat Paripurna, Rapat Paripurna Luar Biasa, Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran, Rapat Panitia Khusus, Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, dan Rapat 49 Lihat, Tanggapan terhadap RUU Minerba 2005, op.cit (catatan kaki 25), hal. 8-9 50 Wawancara dengan Sonny Keraf, op.cit (catatan kaki 34) 51 Ibid
43
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Dengar Pendapat Umum pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tersebut memutuskan tertutup”. Selain itu, Pasal 96 ayat (1) menyatakan bahwa “Rapat terbuka yang sedang berlangsung dapat diusulkan untuk dinyatakan tertutup, baik oleh Ketua Rapat maupun oleh Anggota atau salah satu Fraksi dan/atau pihak yang diundang menghadiri rapat tersebut”. Pansus RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memutuskan bahwa rapat panitia kerja (panja) 52 Telah ada upaya untuk mengusulkan agar pertemuan Panja bersifat terbuka, antara lain bersifat tertutup.50 53 51 oleh FPDIP. Namun demikian, upaya ini tidak membawa hasil. Mekanisme yang ada saat itu tidak mengatur alasan mendasar penentuan rapat dapat dinyatakan bersifat tertutup. Hal ini menghambat keterlibatan luas oleh masyarakat. Asas-asas penting UU No. 10/2004 tidak dilaksanakan secara konsekuen. Adanya tahap yang bersifat tertutup mengakibatkan tidak seluruh proses dapat dipantau oleh publik.
3.3.3. Akses atas dokumen dan proses yang menjamin transparansi Akses atas proses dan dokumen yang menjamin transparansi tidak terpenuhi secara memadai. Terutama dalam hal perancangan, ditemukan tidak adanya “disclosure” atas seluruh dokumen. Tercatat di atas bahwa perancangan dimulai pada 2000. Namun demikian, kalangan masyarakat sipil baru mengetahui proses ini pada 2005 saat mereka mengirim surat secara resmi dan meminta penjelasan tentang proses penyusunan RUU Pertambangan Mineral dan Batubara. Pun dalam hal ini mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan 52 Penelitian ini juga sulit untuk mendapatkan naskah dokumen yang diminta antara lain naskah akademik.54 akademik tersebut. Hal ini menandakan bahwa akses masyarakat pada dokumen produk maupun proses masih terbatas. Demikian juga beberapa dokumen penting lain berkaitan dengan pembahasan seperti laporan kunjungan kerja sulit diperoleh.
Box 3: Catatan DEMOS ketika melakukan upaya untuk memperoleh Naskah Akademis RUU Pertambangan Mineral dan Batubara Pada 1 Desember 2012, Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (DEMOS) secara kelembagaan menghubungi sekretariat Komisi VII untuk mendapatkan risalah pembahasan UU No 4 Tahun 2009. DEMOS diminta datang langsung membawa surat permohonan dan pada 5 Desember 2012 DEMOS mendatangi Komisi VII dengan membawa surat permohonan. DEMOS diminta menunggu dan pada akhirnya setelah menunggu 3 jam diminta untuk datang ke Bagian Humas DPR RI untuk meminta risalah tersebut karena prosedur sistem informasi DPR RI bersifat satu pintu. DEMOS lalu mendatang Humas dalam hal ini unit Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) DPR RI dengan membawa surat permohonan dan meminta risalah pembahasan RUU minerba yang akhirnya tanpa proses panjang diberikan copy risalah UU Minerba dalam bentuk kepingan CD-rom. Namun, dalam kumpulan dokumen tersebut tidak terdapat Naskah Akademik (NA) dari RUU Minerba. DEMOS mencoba menanyakan kembali ke PPID DPR RI dan ternyata data yang diberikan ke PPID memang tak termasuk NA didalamnya. Pada 7 Februari 2012 DEMOS menyurati kembali Kepala Bagian Sekretariat Komisi VII dan meminta NA UU Minerba. Sesuai saran petugas PPID DPR RI surat diantar langsung. Namun tidak ada respon. Sesuai saran Pak Sonny Keraf, DEMOS mengirim surat lagi namun ditujukan kepada Sekretariat Jenderal DPR RI untuk meminta NA UU Minerba. Pada awal Maret akhirnya terdapat pemberitahuan dari Sekretariat Komisi VII bahwa NA UU minerba dapat diambil di PPID DPR RI.
52 Pertemuan lain yaitu pertemuan tim perumus (timus) dan tim sinkronisasi (timus) memang juga bersifat tertutup. Namun pertemuan ini bersifat teknis, oleh karena itu dianggap wajar bersifat tertutup. Pertemuan dengan anggota Baleg dari PDIP Ivasyah pada 1 Mei 2012 53 Ibid 54 Lihat Tanggapan atas RUU Minerba, op. cit (catatan kaki 25), hal 8-9
44
REPRESENTASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
3.3.4. Akibat Lemahnya Transparansi Lemahnya transparansi mengakibatkan beberapa hal. Pertama adalah walk out di atas. Penafsiran sementara DEMOS, apabila semua proses pembahasan terbuka, ada kemungkinan bahwa elemen masyarakat bisa ”membantu” proses pembahasan atas isu-isu yang susah untuk mencapai titik kesepakatan. Penyusunan undang-undang memanglah sebuah pertarungan ide dimana tidak semua hal yang menjadi kepedulian 55 Terbukanya semua proses memungkinan gagasan pembuatan sebuah undangbersama dapat diakomodasi.53 undang sebagai pertarungan ide menjadi lebih maksimal dimana dalam posisi yang sulit untuk mencapai kesepakatan, “elemen” masyarakat dapat ikut berpartisipasi serta mendorong tercapainya kesepakatan dengan tetap mendasarkan pada pertimbangan ide (reason). Proses terbuka juga meminimalisir adanya pertarungan kepentingan dalam membuat putusan-putusan pada isu-isu yang sulit ini. Kedua, tidak terbukanya seluruh tahap pembahasan telah mengakibatkan akomodasi atas masukan yang masuk tidak maksimal seperti disebutkan di atas.
3.4. Temuan lain: Masalah dalam Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Dalam Rapat Paripurna 16 Desember 2008 saat pengesahan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, DPR menyatakan adanya dua implikasi hukum atas pengesahan itu yaitu penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) dan penyesuaian substansi kontrak karya dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Kerangka implikasi hukum penerbitan PP ini dapat dipandang sebagai titik penting bagi upaya DPR RI untuk mengantisipasi kelemahan Undang-Undang ini dan pelaksanaannya. Walaupun merupakan PP yang dalam hal ini tentunya menjadi kewenangan Pemerintah, namun demikian penerbitan PP adalah wujud inisiatif DPR untuk memastikan kebijakan yang diambil dapat 54 Berikut adalah uraian dari pelaksanaan implikasi hukum serta inisiatif Komisi VII dilaksanakan dengan baik. 56 untuk melakukan pengawasan pelaksanaan UU Minerba.
3.4.1. Pelaksanaan Penerbitan Peraturan Pemerintah Dalam Rapat Paripurna pengesahan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, 16 Desember 2008, Ketua Pansus RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara melaporkan perlu diterbitkannya 21 PP. Terdapat dua PP yang diamanahkan dibuat yang menyentuh dan terkait langsung dengan kepentingan masyarakat yaitu peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dan peraturan pemerintah mengenai ketentuan perlindungan masyarakat. Sampai laporan ini disusun, Pemerintah telah menerbitkan empat peraturan pemerintah yaitu: a) Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan b) Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang direvisi dengan PP No. 24 Tahun 2012. PP ini memperbaiki ketentuan mengenai divestasi yang hanya mewajibkan divestasi saham 20 persen. PP 24 yang baru mewajibkan perusahaan asing pemegang izin pertambangan setelah lima tahun produksi wajib mendivestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51 persen dimiliki peserta Indonesia. 55 Wawancara dengan Sonny Keraf, op.cit (catatan kaki 34) 56 Menjadi catatan bahwa, saat penyusunan UU Minerba telah pula menjadi pemikiran untuk memasukkan ketentuan yang harusnya diatur melalui PP. Namun demikian hal ini urung dilakukan oleh karena dipandang menimbulkan kerumitan tersendiri, dan kemudian putusannya ketentuan teknis yang harusnya masuk PP dikeluarkan kembali dan menjadi catatan saat pengesahan. Wawancara Sonny Keraf, op.cit (catatan kaki 34) dan Wawancara dengan mantan Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Simon F. Sembiring , 27 Januari 2012
45
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
c) Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggarakan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara d) Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang.
Sejauh ini hanya empat PP di atas dan 1 PP perbaikan yang telah diterbitkan. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan memang sekaligus memuat beberapa masalah yang dititahkan untuk diatur dalam masing-masing satu PP yaitu mengenai ketentuan batas, luas, dan mekanisme penetapan Wilayah Pertambangan, tata cara penetapan batas dan luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan, pedoman prosedur dan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat. Dengan demikian, dari sisi muatan dapat dinyatakan bahwa empat PP 窶電an satu PP perbaikan-- yang telah diterbitkan oleh Pemerintah memuat sekaligus sejumlah 57 Namun, ada pemampatan ketentuan yang dititahkan oleh DPR untuk dirinci masing-masing menjadi satu PP.55 muatan PP. Dua PP yang terkait langsung dengan masyarakat tidak pula menjadi PP tersendiri. Dari empat PP 窶電an satu PP perbaikan-- yang telah dibuat oleh pemerintah, ketentuan pemberdayaan masyarakat terdapat dalam PP No. 23 Tahun 20120 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. PP tersebut selanjutnya menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan dan pemberdayaan 58 masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri.56
Box 4 Pasal 106, PP No. 23 Tahun 2010 (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar WIUP dan WIUPK. (2) Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikonsultasikan dengan Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan masyarakat setempat. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan usulan program kegiatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat kepada bupati/walikota setempat untuk diteruskan kepada pemegang IUP atau IUPK. (4) Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk masyarakat di sekitar WIUP dan WIUPK yang terkena dampak langsung akibat aktifitas pertambangan. (5) Prioritas masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan masyarakat yang berada dekat kegiatan operasional penambangan dengan tidak melihat batas administrasi wilayah kecamatan/kabupaten. (6) Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pada anggaran dan biaya pemegang IUP atau IUPK setiap tahun. (7) Alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikelola oleh pemegang IUP atau IUPK.59
Sumber PP 23/2010
57 Ibid 58 PP 23 Pasal 109 59 PP 23 Pasal 106
46
REPRESENTASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Sementara itu pengawasan pemberdayaan masyarakat termuat dalam PP No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggarakan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengatur bahwa pengawasan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat paling sedikit meliputi: a). program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; b). pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; dan c). biaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Memang kemudian menjadi pertanyaan sejauh mana PP yang diterbitkan oleh Pemerintah tersebut dapat memuat dan mengatur secara memadai hal-hal yang dititahkan dalam Rapat Paripurna DPR 16 Desember 2008. Hal ini tentu membutuhkan kajian tersendiri. Namun demikian, satu titik yang sangat penting adalah dari sisi muatan yang sudah diatur dalam PP tersebut, ditengarai adanya ketentuan yang justru tidak sejalan dengan UU No. 4 Tahun 2009 yaitu tidak adanya ketentuan tentang harus diikutsertakannya masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan. Seperti disebutkan di atas, Pasal 10 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 pada intinya menyatakan bahwa mekanisme penetapan mengenai batas luas wilayah pertambangan dengan memperhatikan pendapat masyarakat. Seharusnya PP mengatur lebih rinci dan menjabarkan ketentuan di atas. Namun tidak ada satu pun ketentuan dalam PP No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan yang 60 PP No. 22 Tahun 2010 bukan hanya tidak menjabarkan, namun justru tidak sesuai dengan mengaturnya.57 61 ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 2010.61 Dari temuan ini, nampak bahwa penerbitan PP merupakan titik kelemahan tersendiri bagi DPR untuk melakukan pengawasan. PP berada di bawah kendali pemerintah dan sampai saat ini tidak ada mekanisme resmi bagi 62 Padahal seperti disebutkan di atas, DPR bukan hanya memiliki fungsi DPR untuk mengontrol pembuatan PP.58 untuk membentuk UU, namun juga fungsi untuk mengawasi pelaksanaannya. Titik ini, terutama pengawasan pembuatan PP, belum ditopang oleh mekanisme dan prosedur yang kuat dimana hal ini belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada. PP tidak dapat secara maksimal menjadi �kaki� bagi UU agar dapat dilaksanakan dan mencegah serta mengantisipasi dampak buruk pelaksanaan undang-undang.
3.4.2. Penyesuaian Substansi Kontrak Karya Rapat Paripurna DPR RI 16 Desember juga menyatakan bahwa Pemerintah harus segera membuat kebijakan berkaitan dengan ketentuan peralihan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 yaitu keharusan bagi seluruh kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan yang ada untuk menyesuaikan seluruh substansi perjanjian dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 dalam kurun waktu satu tahun. Istilah yang dipakai adalah penyesuaian seluruh substansi isi kontrak karya dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 dan bukan renegosiasi. Istilah penyesuaian mengasumsikan bahwa pihak Pemerintah Indonesia berada dalam posisi yang lebih tinggi dengan pihak yang menerima kontrak karya. Hal ini sejalan dengan rejim ijin dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2009 yang menempatkan pemerintah lebih tinggi dari perusahaan dan bukan sejajar seperti halnya 63 dalam kontrak karya dan perjanjian karya. 59 Atas putusan itu, Presiden telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 3 Tahun 2012 tentang Tim Evaluasi untuk Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Usaha Pertambangan. Secara waktu, penerbitan Kepres ini terlambat oleh karena Rapat Paripurna menitahkan bahwa seluruh kontrak karya harus disesuaikan substansi isinya dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 dalam waktu satu tahun. Sementara itu, Keppres ini terbit tiga tahun setelah Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diundangkan dan baru membentuk tim evaluasi. Sampai laporan ini disusun, baru sekitar 12 persen dari seluruh jumlah kontrak karya yang harus disesuaikan substansinya dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 oleh pemerintah, sebagai berikut: 60 61 62 63
Lihat PP No. 22 tahun 2010 dan UU No. 4 Tahun 2010 Wawancara dengan Simon Sembiring, op.cit (catatan kaki 56) Wawancara dengan Ign. Mulyono, 25 Januari 2012, op. cit (catatan kaki 17) Wawancara dengan Sonny Keraf, op.cit (catatan kaki 34)
47
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Tabel 11. Data Renegosiasi Kontrak Pertambangan 64 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2012 60 Jenis Kontrak
1. Kontrak pertambangan yang akan renegosiasi
2.
Kontrak pertambangan yang selesai dikaji ulang (renegosiasi)
Jumlah
113
Keterangan -
37 KK di sektor pertambangan logam dan mineral 76 PKP2B yang bergerak dalam bidang pertambangan batubara
-
11 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) 4 kontrak kerja (KK)
15 -
Pelaksanaan penyesuaian substansi kontrak karya terlambat oleh karena Presiden baru membentuk tim evaluasinya berdasarkan Keppres pada 2012 dan dari capaian jumlah juga jauh dari yang diharapkan.
3.4.3. Pembentukan Panitia Kerja Mineral dan Batubara (Panja Minerba) DPR RI dalam hal ini Komisi VII berinisatif untuk membentuk Panitia Kerja dalam kaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Panitia Kerja Mineral dan Batubara (Panja Minerba) Komisi VII DPR RI dibentuk berdasarkan Hasil Keputusan Rapat Internal Komisi VII DPR RI pada 24 Agustus 2010 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2010-2011. Pembentukan Panja Minerba ini merujuk pada Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1/DPR RI/I/2009-2010 tentang Tata Tertib DPR RI. Panitia Kerja Mineral dan Batubara (Panja 65 Pembentukan Minerba) dibentuk pada intinya untuk mengawasi dan mendorong pelaksanaan UU Minerba.61 Panja Minerba ini dilatar belakangi oleh adanya perubahan rejim kontrak karya ke ijin dalam UU Minerba dan penyesuaian substansi kontrak karya tersebut, serta tumpang tindih yang terjadi dengan tata ruang, kehutanan serta optimalisasi penerimaan negara. Langkah ini pantas untuk dihargai dan dicatat sebagai praktik baik dalam rangka meningkatkan fungsi legislasi dalam hal ini pengawasan pelaksanaan undang-undang oleh DPR RI. Namun demikian, ada beberapa catatan atas inisiatif ini: a. Pembukaan Ruang Partisipasi Publik dan Transparansi pada Panja Minerba Sangat Terbatas Pembentukan Panja Minerba oleh Komisi VII untuk mengawasi jalannya undang-undang adalah langkah yang baik. Namun, partisipasi masyarakat tidak dibuka dengan lebar terutama untuk masyarakat sipil. Mitra kerja Panja hanyalah Pemerintah pusat dan daerah, universitas dan kalangan bisnis baik perusahaan maupun asosiasinya, sebagaimana dapat dilihat di samping ini:
64 Lihat berita di KONTAN 18 Januari 2012 berjudul “Pemerintah baru renegosiasi 15 kontrak pertambangan� http://industri.kontan. co.id/news/pemerintah-baru-renegosiasi-15-kontrak-pertambangan 65 Wawancara dengan Anggota Komisi VII dari F PKS, Idrus Luthfi, 24 Januari 2012
48
REPRESENTASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Tabel 12. Mitra Kerja Panja Minerba
Pemerintah Pusat
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum
Pemerintah Lokal
Universitas
Gubernur Provinsi Kalimantan Timur
Masyarakat sipil/wakil kelompok masyarakat
------Perusahaan Pemegang Kontrak Karya (KK)
Kepulauan Bangka Belitung dan Sulawesi Tenggara
ITB UGM IPB Kepolisian RI, BPK dan Dirjen Pajak
Perusahaan/Asosiasi Perusahaan/Bisnis
Bupati/Walikota
Perusahaan Pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Perusahaan pemegang Kuasa Pertambangan (KP) PERHAPI, IMA, APBI, ASPINDO Industri Smelting Investor Pertambangan
Sumber: Kerangka Acuan (Terms of Reference) Panja Minerba
Panja yang dibentuk nampak tidak ditopang oleh partisipasi publik yang memadai dalam hal ini masyarakat sipil atau pun masyarakat yang terkena dampak. Proses kerja panja minerba juga tidak cukup transparan. Masyarakat sipil tidak banyak yang mengetahui pembentukan panja ini. Sejauh ini juga tidak dapat diperoleh laporan seperti laporan perkembangan kerja. b. Satu setengah tahun Panja Minerba namun belum selesai tugasnya Jadwal kerja Panja Minerba dinyatakan dalam kerangka acuan disesuaikan dengan tata tertib yang berlaku. Sampai laporan ini disusun Panja belum selesai dan masih bekerja. Dengan demikian, belum diketahui hasil 66 Penelitian ini tidak berhasil mendapatkan laporan perkembangan pekerjaan Panja Minerba. kerjanya.62 Dapat diduga bahwa kelemahan-kelemahan di atas menyebabkan Panja Minerba tidak dapat mengantisipasi dampak dan gejolak kegiatan pertambangan minerba serta memaksimalkan potensi dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 untuk mengatasi masalah pertambangan di tanah air. Sampai saat laporan ini disusun, usaha pertambangan masih menimbulkan banyak masalah mulai dari pelanggaran aturan dan hukum, kerusakan lingkungan, konflik sosial dan horizontal yang berujung pada tindak kriminal dan kekerasan. Kegiatan pertambangan juga dinilai masih jauh untuk dapat menyejahterakan masyarakat. Kompas mencatat setidaknya 63 14 konflik pertambangan terjadi pada kurun waktu 2010-2011 yang membentang dari Aceh hingga Papua.67 Pelaksanaan dua implikasi hukum yaitu penerbitan PP dan penyesuaian substansi kontrak karya yang dapat 66 Wawancara dengan Anggota Komisi VII F PKB, Agus Sulistyono, 7 Februari 2012 67 Kompas, �Tambang Banyak Picu Masalah�, 20 Februari 2012
49
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
dikatakan sebagai bagian dari upaya untuk mengantisipasi dampak pembentukan UU No. 4 Tahun 2009 mencerminkan lemahnya dimensi pengawasan sebagai bagian dari fungsi legislasi.
3.5. Kesimpulan Temuan Transparansi dan penjaringan aspirasi pada dasarnya disyaratkan untuk menjamin terciptanya representasi substantif dimana undang-undang yang dibuat semaksimal mungkin menjawab kebutuhan masyarakat. Temuan penelitian ini dan analisanya mengindikasikan bahwa mekanisme sebagaimana termuat dalam undang-undang maupun ketentuan turunannya pada saat pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara belum menjamin transparansi dan partisipasi masyarakat. Hal ini menyebabkan representasi substantif belum terpenuhi secara maksimal dalam pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Temuan lain penelitian ini menyatakan bahwa selain masih ada beberapa titik kelemahan mekanisme, ada masalah “teknis” yang lebih mempersulit upaya pencapaian representasi substantif. Hal ini meliputi kelemahan 68 kapasitas dan kurangnya komitmen DPR serta kurangnya tenaga ahli baik dari sisi jumlah maupun kapasitas. 64 Perbaikan mekanisme dan peningkatan kapasitas sungguh dibutuhkan untuk menjamin representasi substantif yang responsif pada kepentingan masyarakat. Tabel di bawah ini memberi refleksi penting adanya keharusan perbaikan secara terus menerus “representasi” dalam fungsi legislasi oleh karena tabel ini mengkonfirmasi bahwa semakin banyak kepentingan yang bermain semakin terjebak DPR dalam politik transaksional dan semakin berjarak 65 pula dengan kepentingan masyarakat. 69 Tabel 13 . Perbandingan Pembahasan dan Hasilnya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UU MINERBA
UU LINGKUNGAN HIDUP
I. RUU merupakan inisiatif/dibahas oleh Pemerintah/Pansus –lintas komisi
DPR RI/Komisi VII II. Penjaringan Aspirasi II. 1. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
4 organisasi LSM/CSO
8 organisasi LSM /CSO
6 pemerintah daerah 8 asosiasi perusahaan
7 asosiasi perusahaan
15 orang pakar dan 4 universitas
6 orang pakar 7 universitas II.2. Kunjungan Kerja
Tidak ada laporan ketua Pansus, jadi tidak terlacak
Berdasar laporan Ketua Komisi VII: Uji publik dilaksanakan di Makassar, Medan, Semarang dan Banjarmasin
68 Wawancara dengan anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Basuki Tjahaya Purnama, op.cit (catatan kaki 37) 69 Lihat Catatan Kinerja DPR, PSHK, op.cit (catatan kaki 2), hal, 212
50
REPRESENTASI DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
III. Lama Waktu Pembahasan 3 tahun 7 bulan
3 bulan (15 Juni 2009- 8 September 2009) IV. Pengambilan Keputusan
3 Fraksi (PKB, PAN dan PKS) melakukan walk out
BULAT
V. Perubahan Jumlah Bab 15 Bab 75 pasal menjadi 26 Bab 175 Pasal
18 Bab 86 pasal menjadi 17 Bab 127 Pasal
11 Bab dan 100 pasal VI. Implikasi Hukum 21 PP dan satu Peraturan serta Penyesuaian Kontrak Karya
19 PP, 8 Peraturan Menteri (Permen) VII. Catatan
Catatan Positif atas Undang-Undang ini, antara lain:
Catatan positif atas Undang-Undang ini:
•
Berubahnya rejim kontrak karya ke ijin
•
Adanya pembatasan luas pemberian ijin terkait pertambangan
•
Pemurnian dalam negeri dan ketentuan “local content”
• Kewajiban pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Kajian itu untuk memastikan pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan
Catatan Negatif atas Undang-Undang ini, antara lain:
•
Tidak memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.
•
Secara prosedural UU ini tak memberi saluran memadai untuk mendapatkan keadilan. Misalnya prosedur gugatan perwakilan (class action) apabila terdapat kerugian yang timbul akibat usaha pertambangan.
•
Pasal 162 UU ini, memberi resiko kriminalisais warga 70
•
WALHI, HUMA, KPA, SP, PBHI dan KIARA melakukan uji materi UU No.. 4 Tahun 2009 ke MK.
• Penguatan AMDAL (analisi mengenai dampak lingkungan) untuk mencegah kerusakan lingkungan dengan meningkatkan akuntablitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen AMDAL, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang AMDAL, dan AMDAL sebagai persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan.71
Sumber: Risalah RDPU Pansus Minerba dan Laporan Ketua Pansus Minerba serta Risalah RDPU RUU Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Laporan Ketua Komisi VII juga UU No. 4 Tahun 20009 tentang Minerba serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
70 lihat Briefing paper WALHI, Jatam, Kiara, ICEL, Januari 2009 71 Lihat DPR Sahkan UU Lingkungan Hidup, http://www.antaranews.com/news/153856/dpr-sahkan-uu-lingkungan-hidup, diakses pada 6 April 2012
51
Bagian IV REKOMENDASI KEBIJAKAN Berdasarkan hasil temuan dan analisa penelitian ini, Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (DEMOS) mengajukan beberapa rekomendasi kebijakan. Rekomendasi kebijakan ini dibuat dengan mempertimbangkan kemungkinan penerapannya berdasar atas penelitian pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai studi kasus peran representasi DPR RI dalam proses legislasi. Oleh karena itu, rekomendasi kebijakan ini adalah rekomendasi kebijakan bagi perbaikan peran representasi DPR RI dalam fungsi legislasi yang didasarkan pada temuan-temuan umum pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara untuk perbaikan representasi termasuk kelompok perempuan dan masyarakat adat. Mekanisme penyusunan legislasi telah diperbaiki dari tahun ke tahun dengan lebih baik untuk mencoba mencapai �representasi’. Undang-Undang tentang MD3 mengatur dengan lebih eksplisit fungsi DPR sebagai bagian dari representasi. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 diperbaiki menjadi UU No. 12 Tahun 2011 tentang P3 yang mengatur lebih rinci partisipasi masyarakat. Tata tertib DPR RI No. 1 Tahun 2009-2012 juga semakin diperbaiki dengan mengatur representasi dan partisipasi masyarakat secara lebih rinci dan eksplisit. Namun demikian, masih ada beberapa kelemahan yang harus diperbaiki yaitu:
4.1. Untuk Perbaikan Partisipasi Masyarakat dalam Proses Legislasi 4.1.1. Perbaikan Mekanisme Perancangan Undang-Undang yang Menjadi Inisiatif Eksekutif Proses pembuatan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memperlihatkan adanya masalah yang sangat mendasar pada proses dan mekanismenya. Kepentingan kelompok perempuan dan masyarakat adat, tidak teridentifikasi sejak awal dalam pembuatan Undang-Undang tersebut. Kepentingan dua kelompok ini hanya terselip di antara belantara masalah yang ditetapkan baik oleh DPR RI maupun Pemerintah. Solusi yang dapat diambil adalah harus adanya mekanisme dan prosedur yang menjamin partisipasi dan transparansi dalam pembuatan legislasi sejak awal. Di sini harus ada penjaringan masukan dan pendapat dari para pemangku kepentingan. Sehingga pembentukan RUU bertitik tolak dari data empiris tentang masalah masyarakat dan kemudian menjadi dasar alasan mengapa sebuah undang-undang harus disusun atau pun harus diperbaiki. Hal ini harus dijamin dalam mekanisme resmi perancangan undang-undang. Partisipasi publik dan tranparansi harus masuk dalam mekanisme resmi perancangan undang-undang dan menjadi bab tersendiri yang diatur secara rinci. Bab ini harus mengatur dua hal yaitu: a). pembukaan ruang partisipasi publik sedini mungkin; b). pemilihan pemangku kepentingan dilakukan berdasar analisa pemangku kepentingan yang memadai baik siapa yang terkena dampak positif maupun negatif yaitu mereka yang terancam atas kebijakan yang dibuat (lihat box contoh analisa pemangku kepentingan). Untuk itu direkomendasikan adanya perbaikan Perpres No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperpu, RPP dan Rperpres. Dengan memperbaiki ketentuan tentang patisipasi publik ini dan transparansi dalam Perpres 68 Tahun 2005, maka ketentuan ini menjangkau pula Rperpu, RPP, dan RPerpres.
53
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Tabel 14. Usulan Perbaikan Perpres 68 Tahun 2005 Jenis Peraturan Perundangan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden
Rumusan Lama
•
BAB VIII Peran Serta Masyarakat
Masukan Untuk Perubahan
•
Mengganti kata “dapat” pada ayat (1) menjadi “harus” : Dalam rangka penyiapan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang, masyarakat harus memberikan masukan kepada Pemrakarsa.
•
Mewajibkan adanya transparansi, pelaksanaan fungsi, dan pertanggungjawaban pelaksanaan PP
•
Adanya mekanisme konsultasi dan sosialiasi publik yang jelas
•
Adanya ketentuan yang menjamin transparansi proses perancangan peraturan perundangundangan yang menjadi inisiatif eksekutif
Pasal 41 : (1) Dalam rangka penyiapan dan pembahasan Rancangan UndangUndang, masyarakat dapat memberikan masukan kepada Pemrakarsa (2) Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan pokok-pokok materi yang diusulkan (3) Masyarakat dalam memberikan masukan harus menyebutkan identitas secara lengkap dan jelas
----
4.1.2. Memperbaiki Partisipasi Masyarakat dalam Perancangan Undang-Undang yang Menjadi Inistiaf DPR RI, Pembahasan RUU serta Pengawasan oleh DPR RI atas Pelaksanaan Undang-Undang yang Ditetapkan Tatib yang ada sudah mengatur mengenai partisipasi publik dalam penyusunan rancangan undang-undang yang menjadi inisiatif DPR juga dalam pembahasan. Namun demikian, hal ini harus diperinci dengan memastikan diundangnya semua pemangku kepentingan berdasar atas pemetaan dan analisa pemangku kepentingan yang memadai baik siapa yang yang terkena dampak positif maupun negatif yaitu mereka yang terancam atas kebijakan yang dibuat.
Box 5. Contoh Analisa pemangku kepentingan untuk pertambangan mineral dan batubaran Langkah 1: Mengidentifikasi pemangku kepentingan utama
1.
54
Siapa yang paling berpotensi diuntungkan
a. b. c. d.
Kelompok bisnis Masyarakat adat/lokal sekitar pertambangan Masyarakat daerah setempat Pemerintah daerah setempat
REKOMENDASI KEBIJAKAN
2.
Siapa yang mungkin dirugikan
a. b. c.
Masyarakat sekitar (adat/lokal) pertambangan (termasuk perempuan dan anak) Kelompok bisnis yang telah memiliki ijin kontrak karya/perjanjian karya Kelompok pertambangan rakyat (PETI)
3.
Kelompok-kelompok rentan
a. b.
Masyarakat lokal/adat yang tinggal di daerah pertambangan Kelompok perempuan dari masyarakat lokal/adat di sekitar pertambangan
Kelompok bisnis dengan catatan adanya jaminan kemudahan dalam melakukan usaha pertambangan dalam RUU
4.
Kelompok yang mungkin menjadi pendukung
Kelompok masyarakat sekitar dengan catatan adanya jaminan hak lingkungan hidup dan hak atas tanah RUU
Pemerintah daerah dengan catatan RUU memberi kewenangan daerah untuk memberikan ijin dan pembagian keuntungan ekonomi yang seimbang antara pusat dan daerah
5.
Kelompok yang mungkin menjadi penentang
masyarakat adat/lokal dan masyarakat sipil (gerakan lingkungan hidup) dan kelompok perempuan
Hubungan antar pemangku kepentingan
Kepentingan antara kelompok saling bertentangan yang menjadikan hubungan antar pemangku kepentingan saling berlawanan
Langkah 2: Menilai Kepentingan-kepentingan para pemangku kepentingan
1.
Apa harapan-harapan para pemangku kepentingan terhadap program
Kelompok bisnis mengharapkan kemudahan dalam melakukan kegiatan usaha dalam pertambangan Masyakat lokal/adat di sekitar pertambangan mengharapkan adanya kesejahteraan dari kegiatan pertambangan Pemerintah daerah mengharapkan kenaikan pendapatan daerah dari kegiatan pertambangan
2.
Manfaat apa saja yang dapat diperoleh para pemangku kepentingan
3.
Apa sumber daya yang mungkin dan akan digerakkan oleh para pemangku kepentingan
Kelompok bisnis dapat memperoleh kemudahan dalam kegiatan usaha pertambangan Kelompok masyarakat lokal/adat dapat memperoleh peningkatan kesejahteraan Pemerintah Daerah mendapatkan peningkatan pendapatan daerah
Kelompok masyarakat adat/lokal menentang/mendukung kebijakan
akan menggerakkan kelompok masyarakatnya untuk
Kelompok bisnis dapat menggerakkan kekuatan finansial untuk mempengaruhi pembuat kebijakan
55
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
4.
Kepentingan apa saja dari pemangku kepentingan yang akan berlawanan dengan tujuan pembuatan undang-undang
Masyarakat adat memiliki kepentingan atas tanah dan lingkungan mereka yang mungkin menghalangi kegiatan tambang Kelompok bisnis memiliki kepentingan untuk sebesar-besar mengambil kemudahan dan keuntungan, mis. dengan mempertahankan kontra karya dan perjanjian karya Pertambangan rakyat akan menghalangi untuk penertiban kegiatan mereka
Langkah 3 Menilai pengaruh dan pentingnya para pemangku kepentingan
1.
Kekuatan politik, sosial dan ekonomi, serta status
2.
Tingkat pengorganisasian
Kelompok bisnis memiliki pengaruh kuat secara politik, dan ekonomi Kelompok masyarakat sipil memiliki pengaruh kuat secara sosial
Kelompok bisnis memiliki asosiasi yang kuat (mis. Indonesian Mining Assosiation) yang solid Kelompok masyarakat adat/lokal tidak memiliki pengorganisasian yang rapi
Kelompok masyarakat lokal/adat memiliki kontrol atas tanah 3.
Kontrol atas sumber daya strategis
Kelompok bisnis pemegang kontrak karya dan perjanjian karya memiliki kontrol atas kegiatan pertambangan yang ada dan dapat mengancam “pergi� bila kepentingan mereka tidak terakomodasi
Kelompok bisnis memiliki kekuatan secara ekonomi dan politik untuk mempengaruhi pembuat kebijakan 4.
Pengaruh informal Pemimpin informal masyrakat adat/lokal memiliki pengaruh kuat untuk mempengaruhi masyarakatnya
5.
Peran penting dalam pencapai tujuan dari pembuatan undangundang
Masyarakat adat/lokal memiliki peran penting untuk memasukkan pentingnya isu lingkungan dan kemanfaatan tambang bagi masyarakat sekitar Masyarakat bisnis memiliki peran penting untuk mendorong pengaturan pertambangan yang lebih baik.
Langkah 4: Membuat Kerangka strategi pelibatan tiap pemangku kepentingan dengan mengacu pada:
Kelompok bisnis memiliki kepentingan untuk mengambil keuntungan finansial sebesar-besarnya
1.
56
Kepentingan-kepentingan, pentingnya dan pengaruh dari tiap kelompok pemangku kepentingan
Kelompok masyarakat adat/lokal memiliki kepentingan pertambangan untuk kegiatan mereka namun dengan catatan dimasukkannya hak mereka untuk ikut menentukan kegiatan pertambangan Pemerintah daerah memiliki kepentingan untuk pertambangan
memiliki kewenangan dalam kegiatan
REKOMENDASI KEBIJAKAN
2.
3.
Usaha-usaha khusus yang diperlukan untuk melibatkan para pemangku kepentingan yang penting namun lemah pengaruhnya
Bentuk-bentuk pelibatan yang tepat
Perlu dilakukan sebuah forum permintaan aspirasi dari kelompok rentan (masyarakat adat/lokal dan kelompok perempuan) dengan pertemuan di daerah mereka Perlu meminta aspirasi dari organisasi pendamping kelompok rentan dari kegiatan pertambangan Diberikan akses pada dokumen maupun proses pembentukan RUU Minerba
Diundang dalam perancangan undang-undang Diundang dalam pembahasan Didatangi dalam kunjungan kerja
Selain itu harus ada perbaikan Tatib DPR RI dengan memasukkan ketentuan partisipasi publik dalam pengawasan DPR RI. Temuan penelitian ini menyatakan bahwa Panja Minerba yang dibentuk tidak cukup membuka ruang partisipasi publik termasuk masyarakat sipil dan masyarakat yang terkena dampak langsung pembuatan kebijakan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Ketentuan Tatib yang ada tidak menjelaskan secara rinci partisipasi publik dalam pengawasan walaupun memiliki ketentuan tentang RDPU yang membuka kemungkinan adanya partisipasi publik dalam hal ini pemangku kepentingan. Namun demikian hal itu tidak diatur secara rinci dan eksplisit. Harus ada perbaikan ketentuan yang menjamin transparansi dan partisipasi publik untuk meningkatkan pengawasan DPR dalam pelaksanaan undang-undang dan mengantisipasi dampak yang terjadi.
4.1.3. Menata Ulang Partisipasi Publik melalui Kunjungan Kerja Mereformasi pelaksanaan pembukaan partisipasi publik melalui kunjungan kerja dengan menata ulang penyelenggaraan yang harus ditangani oleh DPR RI sendiri dan tidak menyerahkannya kepada kantor penghubung Pemda terkait di Jakarta (untuk kunjungan kerja di daerah). Tatib DPR RI No. 1 Tahun 2009 – 2014 sudah mengatur kunjungan kerja namun lebih merujuk pada kunjungan kerja ke luar negeri yaitu kunjungan kerja harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan: a. urgensi; b. kemanfaatan; dan c. keterkaitan negara tujuan dengan materi rancangan undang-undang� Tatib DPR RI perlu diperbaiki dengan mengatur secara rinci baik kunjungan kerja di daerah maupun luar negeri. Seluruh rencana kunjungan kerja ditata dan direncanakan secara matang berdasarkan pemetaan masalah dan pemetaan pemangku kepentingan. Transparansi dan partisipasi masyarakat harus dijamin dalam kunjungan kerja baik di daerah maupun luar negeri.
4.1.4. Membuka Kemungkinan untuk Mewujudkan Gagasan Pembentukan Badan Perancang Undang-Undang di Bawah Badan Legislasi Badan Perancang Undang-Undang merupakan gagasan dari DPR namun belum terwujud. Gagasan pembentukan Badan Perancang Undang-Undang sebenarnya merupakan pandangan Badan Legislasi (Baleg) yang mengharapkan adanya badan perancang undang-undang yang tugasnya menjembatani antara Baleg dengan stakeholders. Dengan demikian, jika ada usulan pembentukan undang-undang yang merupakan inisiatif DPR --baik yang datang dari anggota, fraksi, komisi, badan, atau pun masukan masyarakat --dapat dirumuskan terlebih dahulu undang-undang mana yang akan dibuat bersama pemerintah. Baleg memandang bahwa perancangan undang-undang melibatkan para akademisi dari 2 perguruan tinggi terpilih lalu rumusannya
57
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
masuk ke dalam Badan Perancang Undang-Undang yang terdiri dari para pakar berbagai disiplin ilmu, forum 66 Namun konstitusi dan forum pancasila. Dengan demikian, anggota badan ini bukan saja dari anggota DPR. 72 demikian, diusulkan di sini adanya pemastian, keterlibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses penyusunannya walaupun mungkin tidak bersifat tetap sebagai anggota badan perancang undang-undang. Badan ini dibantu oleh legal drafter dan tenaga ahli serta dikoordinir oleh Deputi perundang-undangan yang sudah ada saat ini. Badan perancang ini menyusun RUU dan Naskah Akademik (NA) yang kemudian diserahkan kepada Baleg untuk tindak lanjutnya. Apabila menjadi tanggung jawab Komisi, maka Baleg menyerahkan kembali pada Komisi. Sementara itu RUU yang menjadi usulan Baleg akan pula masuk dalam pleno Baleg, dibahas dan dibentuk Panja. Draft RUU ini bersama dengan Draft RUU yang telah dibahas di komisi setelah dilakukan sinkronisasi, lalu dikirimkan kepada paripurna untuk dijadikan usul inisiatif dari DPR dan dikirim 73 kepada pemerintah.67
4.2. Untuk Perbaikan Transparansi dalam Proses Legislasi 4.2.1. Perbaikan Mekanisme untuk Menjamin Transparansi Kelembagaan Untuk legislatif, titik kritis terjadi pada proses pembahasan RUU pada panja yang dalam proses pembentukan UU No. 4 Tahun 2009 diputuskan tertutup. Harus ada perbaikan Tatib DPR RI yang menjamin bahwa semua tahap dalam proses pembahasan bersifat terbuka termasuk Panja terutama untuk pembuatan kebijakan 68 Apabila diputuskan tertutup, harus yang menyangkut hayat hidup orang banyak seperti pertambangan.74 ada perbaikan Tatib yang mengatur kriteria rapat diputuskan tertutup. Dalam hal ini disarankan bahwa pembuatan undang-undang yang menyangkut hayat hidup orang banyak semuanya bersifat terbuka. Perbaikan transparansi dilakukan dengan memperbaiki Tata Tertib DPR RI dan memasukkan ketentuan 75 bahwa mekanisme penyusunan legislasi terbuka setiap tahapannya. 69 Untuk eksekutif, titik kritis terjadi saat perancangan dimana semua proses penyusunan rancangan undangundang bersifat tertutup. Proses ini harus dipastikan terbuka dengan memperbaiki Perpres No. 68 Tahun 2005 dan memasukkan ketentuan jaminan proses terbuka pada perancangan RUU yang yang menjadi inisiatif pemerintah (lihat bagian rekomendasi perbaikan partisipasi publik di atas). 4.2.2. Pemenuhan syarat-syarat transparansi kelembagaan dengan menjamin adanya akses pada informasi dan dokumen serta adanya full dosclosure tentang proses maupun produknya. Transparansi kelembagaan mensyaratkan adanya jaminan akses pada informasi dan dokumen. Demikian juga, pelibatan masyarakat hanya dimungkinkan bila ada sosialisasi secara lebih intensif dan meluas kepada masyarakat. Hal ini harus dilakukan sejak penyusunan prolegnas, penetapannya hingga awal penyusunan rancangan undang-undang, pembahasannya dan pengesahannya serta pengawasan pelaksanaan undangundang oleh DPR RI. Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang P3 telah mengatur hal ini. Oleh karena itu, jaminan terpenuhinya syarat-syarat transparansi ini harus masuk dalam tata tertib DPR RI dengan mengaturnya secara rinci dari prolegnas hingga pengawasan pelaksanaan undang-undang yang disahkan.
72 73 74 75
58
Wawancara dengan Ign. Mulyono, op. cit (catatan kaki 17) Ibid Pertemuan dalam Timus dan Timsin dapat dilakukan secara tertutup karena memang bersifat teknis Lihat Zubairi Hasan, “Memperbaiki Kualitas Pembentukan Undang-Undang�, http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/42075766.pdf, diakses pada 4 Februari 2012
REKOMENDASI KEBIJAKAN
4.3. Untuk Perbaikan Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang Walaupun fungsi legislasi pada dasarnya memiliki dua dimensi penyusunan dan pengawasan pelaksanaan undang-undang yang telah ditetapkan, namun dimensi terakhir sangat lemah. Pengawasan DPR RI atas pelaksanaan undang-undang yang ditetapkannya diatur lebih lanjut dalam Tatib DPR RI. Namun penguatan pengawasan dalam fungsi legislasi mensyaratkan adanya jaminan mekanisme formal yang lebih kuat yaitu melalui UU yang mengaturnya secara eksplisit dan rinci. Hal ini meminta adanya prosedur dan mekanisme pengawasan DPR berkaitan dengan pengawasan pelaksanaan undang-undang yang ditetapkannya yang menyangkut dua titik penting:
4.3.1.Peningkatan Pengawasan Pembuatan Peraturan Pelaksanaan Pengawasan DPR RI sangat lemah dalam pembuatan peraturan pemerintah yang menjadi “kaki�bagi pelaksanaan undang-undang yang ditetapkan. Pembuatan peraturan pemerintah memang menjadi area eksekutif. Namun demikian, harus ada penguatan pengawasan DPR untuk memastikan secara substansial muatan PP sejalan dengan undang-undang yang mengamanahkannya. Selain itu, DPR juga harus memastikan bahwa PP dibuat oleh pemerintah dalam waktu paling lambat satu tahun. Untuk itu diperlukan adanya perbaikan undangundang yang mangatur fungsi pengawasan DPR RI. Diusulkan untuk mengubah Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MD 3 dengan memasukkan secara lebih rinci kewenangan DPR RI untuk memastikan perintah undang-undang untuk pembuatan PP atau pun peraturan di bawahnya telah dilaksanakan. Hal ini untuk memperkuat pengawasan DPR RI atas muatan PP agar sejalan dan tidak bertentangan dengan undangundang di atasnya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan membuka kemungkinan harus dikonsultasikannya draft rancangan PP dengan Komisi terkait di DPR RI. (lihat tabel di bawah tentang usulan perubahan UU MD 3)
4.3.2 Peningkatan Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang Memenuhi Komponen Partisipasi Publik dan Transparansi
di Lapangan
dengan
a. Perbaikan Tatib DPR RI untuk fungsi pengawasan. Pengawasan oleh DPR RI atas pelaksanaan undang-undang di lapangan, ditandai dengan sangat lemahnya komponen transparansi dan partisipasi publik. Absennya dua komponen ini semakin melemahkan dimensi pengawasan atas pelaksanaan undang-undang yang telah ditetapkan. Peningkatan pengawasan mensyaratkan terjaminnya dua komponen tersebut dalam fungsi pengawasan dengan mengatur secara rinci dan eksplisit. Dua komponen haruslah dijamin dan tidak diandaikan dua komponen ini akan terlaksana begitu saja. Untuk itu perlu ada perbaikan Tatib DPR RI dengan merinci fungsi pengawasan dan mencantumkan secara ekplisit bahwa prosesnya akan berjalan secara transparan dengan membuka seluas mungkin pertisipasi publik, b. Intensifikasi Pengawasan dengan Membuat Inisiatif Sedini Mungkin. Meningkatkan dan mengintensifkan pengawasan DPR atas pelaksanaan UU yang ditetapkannya dengan membuat daftar inventarisasi masalah dari pelaksanaan undang-undang yang ditetapkan dan melakukan antisipasinya. Pembentukan dan pelaksanaan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 memberi pelajaran dalam hal sebuah undang-undang menyangkut masalah yang sangat nyata bagi orang banyak serta rentan konflik, DPR harus membuat inisiatif sedini mugkin. Dengan demikian, dapat dilakukan antisipasi bagi dampak dari pelaksanaan sebuah sebuah undang-undang.
59
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
4. 4. Untuk Perbaikan Representasi secara Keseluruhan 4.4.1. Perbaikan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) Telah ada perbaikan jaminan representasi dimana Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 menyatakan secara eksplisit bahwa fungsi DPR dilaksanakan dalam kerangka representasi rakyat. Komponen representasi juga disebutkan oleh Undang-Undang No. 27 tahun 2009 yaitu pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi dan pertanggungjawaban kepada rakyat dalam penjelasannya. Namun demikian, tiga komponen ini “hanya� disebutkan dalam bagian penjelasan dan tidak didefinisikan dengan lebih jelas. Untuk itu diperlukan adanya perbaikan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 dengan mendefinisikan tiga komponen yang sudah disebutkan dalam Undang-Undang tersebut untuk memastikan pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi dan pertanggungjawaban DPR kepada rakyat dapat benar-benar dilaksanakan. Selain itu tiga komponen yang saat ini ada dalam bagian penjelasan dari pasal 69 Undang-Undang No. 27 Tahun 2005 tentang MD3 harus dimasukkan ke dalam batang tubuh. Juga disarankan untuk memasukkan ketentuan tentang pembentukan Badan Perancang Undang-Undang serta penguatan fungsi pengawasan seperti disebutkan di atas.
Tabel 15. Usulan perbaikan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 Jenis Peraturan Perundangan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Rumusan Lama
Pasal 69 : Ayat (2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat Pasal 70 (1) Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. (3) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undangundang dan APBN Pasal 71 Tugas dan Wewenang Pasal 81 : Ayat (1) Alat kelengkapan DPR terdiri atas :
60
a.
Pimpinan;
b.
Badan Musyawarah;
c.
Komisi;
d.
Badan Legislasi;
Masukan Untuk Perubahan
Muatan inti penjelasan pasal 69 yaitu bahwa pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka representasi rakyat dilakukan melalui pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi pelaksanaan fungsi, dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat dimasukkan dalam batang tubuh UU. Penjelasan pasal ini kemudian memuat keterangan lebih rinci partisipasi publik, transparansi dan pertanggungjawaban kepada rakyat harus dilaksanakan dan dijamin. Memperbaiki ketentuan Pasal 71 dengan merinci tugas dan kewenangan berdasarkan kelompok fungsi sebagaimana diatur dalam pasal 70 dan memasukkan tiga komponen representasi dalam setiap fungsi. Dalam ketentuan tentang pengawasan memasukkan fungsi pengawasan DPR RI untuk mengawasi pembuatan PP baik dari sisi muatan maupun jangka waktu dengan memungkinkan PP yang dibuat dikonsultasikan terlebih dahulu ke DPR sebelum diterbitkan. Penambahan alat kelengkapan DPR yaitu Badan Perancang Undang-Undang yang berada di bawah koordinasi Badan Legislasi. Salah satu tugas dari Badan yang baru ini adalah menjembatani Baleg dengan stakeholders.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Pasal 81 : Ayat (1) Alat kelengkapan DPR terdiri atas : a. Pimpinan; b. Badan Musyawarah; c. Komisi; d. Badan Legislasi; e. Badan Anggaran; f. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara; g. Badan Kehormatan; h. Badan Kerjasama Antar-Parlemen; i. Badan Urusan Rumah Tangga; j. Panitia Khusus; dan k. Alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
4.4.2. Peningkapan Kemampuan/Penambahan tenaga ahli (TA) serta Pemfungsian P3DI secara Lebih Maksimal Pelaksanaan prosedur dan mekanisme penyusunan legislasi serta produk undang-undang yang dihasilkannya 76 Merekalah yang berperan dalam pembahasan sebuah sangat tergantung pada anggota DPR dan tenaga ahli.70 rancangan undang-undangan hingga disahkan dan pengawasan pelaksanaannya. Untuk itu disarankan adanya penambahan jumlah maupun peningkatan kapasitas staf ahli.7771 Dalam hal ini juga tidak menutup kemungkinan adanya pemfungsian Pusat Pengkajian Data dan Pengolahan Informasi (P3DI) secara lebih maksimal dengan meningkatkan koordinasi dan menghubungkan area kajian mereka dengan pekerjaan Komisi atau pun Baleg. Akan tetapi, bila dua hal ini tidak dimungkinkan oleh karena kesulitan prosedur atau pun kesulitan lain, maka 78 dapat pula ditempuh pelibatan akademisi atau pun ahli dari universitas dalam penyusunan undang-undang. 72 Akademisi yang dilibatkan tidak melulu dari ilmu hukum namun juga ilmu lain terkait dengan materi rancangan undang-undang.
4.4.3. Peningkatan Peran Masyarakat Sipil Perbaikan mekanisme formal hanya akan bermakna bila masyarakat sipil kuat. Masyarakat sipil dalam hal ini adalah mereka yang bekerja untuk pemantauan parlemen dan/atau masyarakat sipil yang bekerja pada isu yang diatur oleh RUU yang sedang disusun, dapat berperan menjadi parantara antara kekuatan perlemen dan luar parlemen yang kemudian diharapkan dapat mengurangi kesenjangan representasi. Oleh karena itu, masyarakat sipil harus: a. memberi masukan mengenai kelompok kepentingan pada setiap legislasi yang akan dibahas dengan melakukan analisa stakeholders dan invetarisasi stakeholders. Misalnya setiap prolegnas lima tahunan dan tahunan dikeluarkan, masyarakat sipil dapat langsung membuat pemetaan pemangku kepentingan atas setiap RUU dan mengeluarkan daftar pemangku kepentingan yang harus diundang untuk pembahasan setiap RUU. 76 Wawancara dengan Ign. Mulyono, op.cit (catatan kaki 17) 77 Wawancara dengan Ismayatun , op.cit (catatan kaki 27) dan Wawancara dengan Anggota Baleg dari F PDIP, Honing Sanny, 21 Januari 2012 78 Wawancara dengan Basuki Tjahaja Purnama, op. cit (catatan kaki 37)
61
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
b. meningkatkan keaktifannya untuk turut serta dalam seluruh rangkaian penyusunan legislasi. Masyarakat sipil juga dituntut untuk terus memberi sumbangan tertulis dan praktis dalam seluruh penyusunan 73 legislasi. 79
4.5. Usulan Kajian: 4.5.1. Kajian untuk Membuka Kemungkinan Keterlibatan Masyarakat secara Lebih Luas dalam Pembentukan Undang-Undang yang Menyangkut secara Langsung Hayat Hidup Orang Banyak Pengesahan RUU Minerba tidak dilakukan dengan permufakatan seluruh fraksi. Tiga fraksi melakukan walk out. Alasan yang dikemukakan oleh fraksi-fraksi mencerminkan adanya ketidaksepakatan tentang hal mendasar yaitu bagaimana menafsir dan mengoperasionalkan ketentuan ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang menyatakan bahwa �[bumi] dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat�. Temuan penelitian ini menerbitkan sebuah saran untuk dimulainya kajian dan diskusi tentang kemungkinan dibukanya partisipasi masyarakat secara luas dalam pembuatan undang-undang yang menyangkut hal yang berkaitan dengan hayat hidup orang banyak. Isu-isu yang menyangkut hayat hidup orang banyak harus dibuka pembahasannya dimana publik secara luas dapat ikut serta membahas dalam perdebatan yang bersifat 80 Dalam hal ini dapat mulai dijajaki kemungkinan masyarakat ikut serta dalam mengambil keputusan rasional.74 pembuatan kebijakan yang menyangkut hayat hidup orang banyak, misalnya melalui referendum.
4.5.2. Kajian Menyeluruh tentang Kelemahan pada Empat Jenis Representasi yang Menjadi Kendala Tercapainya Representasi Substantif Penelitian ini memandang adanya hubungan sebab akibat yang sangat kuat antara empat representasi dimana representasi formal yang menekankan pemilu yang bebas, adil dan jujur adalah penting oleh karena pemilihan umum memfasilitasi representasi deskriptif yang kemudian dapat mendorong adanya kebijakan yang responsif serta meningkatkan dukungan publik bagi lembaga yang representatif. Representasi deskriptif juga dipandang penting untuk memajukan representasi simbolik dan kebijakan yang responsif, sementara kebijakan yang responsif dipercaya sebagai sumbangan penting bagi representasi simbolik. Oleh karena itu, perlu adanya kajian untuk menelaah titik lemah pada setiap representasi yang ada yang ditengarai menghambat tercapainya representasi substantif. Kajian ini dapat memberi sumbangan saran perbaikan representasi formal, simbolik dan deskriptif yang diperlukan untuk memperbaiki representasi substantif secara lebih mendasar pada seluruh fungsi DPR RI.
79 Wawancara dengan Honing Sanny, op. cit (catatan kaki 77) 80 Sebastian Salang dalam peer review, 13 Maret 2012
62
REKOMENDASI KEBIJAKAN
4.6. Implikasi Administrasi dan Anggaran 4.6.1. Implikasi Administrasi atas Rekomendasi yang Disarankan a. Implikasi Administrasi untuk Pembukaan Ruang Partisipasi Publik Pembukaan ruang partisipasi publik mensyaratkan adanya administrasi yang baik yang dapat mengelola data base pemangku kepentingan (bank of stakeholders) yang melintasi teritori maupun isu serta kelompok. Untuk ini perlu adanya jajaran staf profesional yang mengelola data base pemangku kepentingan. b. Implikasi Administrasi atas Perbaikan Transparansi Perbaikan transparansi memberi implikasi diperlukannya perbaikan sistem informasi dan komunikasi publik DPR RI yang memerlukan diperbaikinya sistem pendokumentasian seluruh dokumen dan mekanisme penyebarannya. Hal ini harus pula ditopang oleh sistem dan prosedur standar yang ditetapkan oleh DPR RI untuk dokumen yang dihasilkan, klasifikasi dokumen dan bentuk diseminasi serta jangka waktunya. Di sini diperlukan perbaikan penanganan dokumen dan penyebarannya dalam bentuk tercetak dan tidak tercetak via website DPR RI.
4.6.2. Implikasi Anggaran atas Rekomendasi yang Disarankan Perbaikan partisipasi publik, transparansi dan pertanggungjawbaan memiliki implikasi anggaran sebagai berikut: a. Implikasi Anggaran untuk Perbaikan Partisipasi Publik Secara sederhana perbaikan partisipasi publik akan memiliki implikasi anggaran: • Biaya mendatangkan para pemangku kepentingan baik dari penambahan jumlah pemangku kepentingan maupun dari penambahan jangkauan daerah • Biaya penambahan rapat atau pun wahana partisipasi lain yang secara jumlah menjadi lebih banyak • Biaya pembuatan data base pemangku kepentingan beserta rekrutmen staf pengelolanya b. Implikasi Anggaran untuk Perbaikan Transparansi Perbaikan transparansi memberi implikasi anggaran: • Biaya pengembangan dan perbaikan sistem informasi DPR RI beserta rekrutmen staf pengelolanya • Biaya diseminasi proses dan hasil DPR RI melalui media • Biaya perbanyakan dokumen atau pun publikasi hasil
4.7. Pendapat Lain yang Mungkin Berlawanan 4.7.1. Perbaikan Representasi Memperlama Proses dan Mengakibatkan Tumpukan Rancangan Undang-Undang Perbaikan representasi dalam proses legislasi memunculkan ketakutan akan menyebabkan lamanya proses pembahasan sebuah rancangan undang-undang. Di sini muncul dilema apakah kuantitas atau kah kualitas
63
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
undang-undang yang dikedepankan. Apalagi DPR RI menghadapi masalah penumpukan RUU yang harus 81 dibahas dan semakin rendahnya capaian atas target prolegnas dari tahun ke tahun. 75 Hal ini bisa ditangani dengan memperkuat perbaikan komponen representasi di awal perancangan sebuah undang-undang. Dengan demikian produk yang dihasilkan yaitu naskah akademik dan rancangan undang-undangnya telah merupakan hasil dari sebuah proses yang transparan dengan partisipasi publik yang maksimal. Bila ini dapat dilakukan, diharapkan resiko berlarut-larutnya pembahasan bisa dikurangi dan target capaian kuantitas juga dapat dijaga.
4.7.2. Perbaikan Representasi Membutuhkan Biaya Besar Perbaikan representasi dalam legislasi membutuhkan biaya besar dan berdampak pada kenaikan anggaran. Padahal terkait anggaran ini, DPR RI telah dikritik publik oleh karena alokasi anggaran untuk perbaikan gedung dan ruangan yang luar biasa besar. Implikasi dari hal ini adalah perbaikan representasi akan mendapat tantangan karena alasan akan membutuhkan biaya besar. Hal ini hanya dapat ditangani bila DPR RI memiliki rencana tertulis beserta target dan jangka waktu yang terukur bagi pelaksanaan perbaikan partisipasi publik dan transparansi. Proses perbaikan ini harus merupakan pelaksanaan ketentuan undang-undang dan pembuatan rencana pun harus terbuka, melibatkan publik dan transparan. Hal ini akan menghindarkan proses perbaikan ini dari biaya yang tidak perlu sekaligus publik akan ikut pula mengontrol pelaksanaannya.
4.8. Tantangan yang Dihadapi Penelitian Ini
untuk Dilaksanakannya Rekomendasi
Perbaikan representasi akan menghadapi tantangan yaitu sejauh mana komitmen politik dari seluruh partai politik untuk melaksanakan fungsi representasinya dengan lebih baik. Hal ini dapat didorong dengan pertama mendorong perbaikan dari legislasi yang mengaturnya yaitu perbaikan Undang-Undang MD3 agar lebih rinci dan eksplisit dalam memerintahkan perbaikan dan mendefinisikan komponen representasi. Setelah itu dapat dilakukan dorongan pada turunan aturan pelaksanaannya maupun sistem pendukungnya. Selain itu pula perlu ada dorongan dari seluruh elemen masyarakat sipil untuk mendorong dan ikut dalam perbaikan representasi tersebut, antara lain ikut aktif dalam perbaikan Undang-Undang MD3. Proses perbaikan representasi substantif dalam proses legislasi harus terus menerus dilengkapi dengan perbaikan jangka panjang yaitu mendidik warga untuk memilih anggota DPR yang kapabel dan berkomitmen.
81 Lihat Executive Summary, THC, Laporan Hasil Penelitian, “Peningkatan Fungsi Legislasi DPR: Rekomendasi terhadap Rencana Kerja untuk Mengurangi Penumpukan RUU�, 2012, hal. 2
64
Bagian V PENUTUP
Proses pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara membuka partisipasi publik dan berjalan secara transparan namun belum maksimal. Pembahasannya telah dilakukan dengan menghadirkan wakil masyarakat tetapi minus kehadiran fisik kelompok perempuan dan kehadiran yang tidak memadai dari masyarakat adat. Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berhasil mengakomodasi masukan penting masyarakat namun tidak berhasil mengamodasi hak masyarakat untuk ikut menentukan atau menolak kegiatan usaha pertambangan. Representasi substantif dimana Undang-Undang tersebut menjawab kebutuhan masyarakat tercapai namun tidak secara maksimal. Pengawasan pelaksanaan Undang-Undang tersebut oleh DPR RI harus ditingkatkan. Penelitian ini mencatat telah adanya perbaikan mekanisme dan prosedur pembentukan undang-undang melalui perbaikan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang No. 12 Tahun 2011. Selain itu, ada pula perbaikan pengaturan representasi secara eskplisit dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2009 tentang MD3. Namun demikian, penelitian mencatat masih perlunya perbaikan dalam mekanisme dan prosedur pembuatan undang-undang sehingga representasi substantif dapat tercapai. Temuan penelitian ini mengkonfirmasi hasil riset nasional DEMOS mengenai Masalah-masalah dan Pilihanpilihan Demokratisasi di Indonesia (2005) dan resurvei nasional DEMOS berikutnya (2007) yang menyatakan bahwa: a) kualitas representasi politik di Indonesia buruk oleh karena representasi dikooptasi oleh para 76 dan ; b). belum ada upaya substansial yang telah dilakukan untuk meningkatkan peran representasi elit 82 83 Mekanisme dan prosedur penyusunan legislasi sejauh dari lembaga legislatif, terutama di tingkat DPR-RI.77 ini memang telah dibangun dan diperbaiki. Namun demikian, perbaikan ini belum menopang secara substansial kapasitas institusi DPR RI yang kemudian menuntut adanya perbaikan secara berkesinambungan 78 dalam rangka menciptakan representasi kerakyatan yang lebih baik. 84 Dibutuhkan pula sebuah kerja jangka panjang untuk menciptakan demokrasi yang menyediakan kerangka bagi rakyat untuk memperbaiki hidupnya melalui: (1) pengembangan kapasitas untuk mendorong rakyat jadi warga negara yang aktif, (2) memfasilitasi pembangunan organisasi popular, dan (3) regulasi yang mengatur dengan jelas representasi warga negara melebihi sekedar pemilihan, di mana organisasi-organisasi demokratis mampu menjadi perantara terjadinya pengaturan yang adil untuk adanya partisipasi secara langsung dalam 82 Salah satu kesimpulan utama dari Resurvei DEMOS 2007-2008 adalah terjadinya monopolisasi representasi.Resurvei ini menunjukkan bahwa aktor-aktor berpengaruh di dalam masyarakat mendominasi politik dan ekonomi politik.Politik (termasuk para eksekutif ) dan ‘kontak-kontak berpengaruh’ adalah sumber kekuasaan mereka yang paling utama. Mereka membangun aliansi di tingkat elit, sedangkan legitimasi berkait dengan kemampuan untuk menghubungkan orang-orang dan memperoleh posisi penting dan berkuasa, lihat Olle TĂśrnquist dkk , op.cit ( catatan kaki 1) 83 Resurvei DEMOS 2007 menengarai tidak adanya usaha yang cukup susbstansial untuk menumbuhkan representasi demokratik langsung dalam pemerintahan publik lewat wakil-wakil lokal dan organisasi-organisasi popular yang berbasiskan kepentingan dan pengetahuan khusus, seperti serikat buruh dan gerakan lingkungan. Jika ada, maka hanya menjaring kontak-kontak khusus dan orang-orang terkemuka yang diseleksi dari atas. Di seluruh wilayah Indonesia hampir tidak ada representasi substantif dari ide atau kepentingan krusial kelas menengah liberal, pekerja, petani, kaum miskin kota, perempuan atau aktivis hak asasi manusia dan lingkungan. Resurvei ini juga menyatakan bahwa potensi pengembangan representasi popular mensyaratkan adanya upaya untuk kemungkinan untuk menggabungkan aktivitas parlementer dan non-parlementer, serta partisipasi representatif dan partisipasi langsung. Lihat ibid 84 Ibid
65
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
pembuatan kebijakan publik. Kapasitas warga dalam memilih wakil mereka serta daya dukung masyarakat sipil dalam upaya menjembatani kesenjangan �keterwakilan� antara warga dan wakil mereka menjadi titik 79 yang sangat penting untuk menjadi perhatian. 85
85 Lihat Olle TĂśrnquist, op.cit (catatan kaki 7), hal. 20-21
66
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA Buku/Artikel Eko Prasodjo, Buku Panduan tentang Transparansi dan Akuntabvilitas Parlemen, Sekretariat Jenderal DPR RI dan UNDP, Jakarta, 2010 Fajri Nursyamsi dkk, Catatan Kinerja DPR 2011, Legislasi: Aspirasi atau Transaksi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, PSHK, 2012 Hanna Fenichel Pitkin, “Representation and Democracy: Uneasy Alliance,” in Scandinavian Political Studies, Vol. 27 – No. 3, 2004 Karen Celis dan Sarah Childs , “Introduction: The Descriptive and Substantive Representation of Women: New Directon” dalam Karen Celis dan Sarah Childs (eds) The Political Representation of Woman, Parliamentary Affairs, A Journal of Representative Politics, Vo. 61, No. 3, July 2008 Leslie A. Schwindt-Bayer dan William Mishler, The Nexus of Representation: An Integrated Model of Women’s Representation, a revised version of a paper presented at the Annual Meeting of the American Political Science Association, August 2002. Olle Törnquist dkk, Satu Dekade Reformasi: Maju Mundurnya Demokrasi Indonesia, Ringkasan Ekskeutif dan Laporan Awal Survei Nasional Kedua Masalah dan Pilihan Demokrasi di Indonesia, DEMOS, 2008 Olle Törnquist, “Introduction: The Problem Is Representation! Towards an Analytical Framework an Analytical Framework” dalam Olle Törnquist, Neil Webster and Kristian Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation, New York: Palgrave Macmillan, 2009 Sophie Doling, Gender Sebuah Panduan Pengantar, Disiapkan untuk PT Kaltim Prima Coal, Menciptakan Masyarakat yang berdaya, Gender dan Sumber Penghidupan yang Berkelanjutan di Wilayah Pertambangan dan Batubara di Indonesia, Resource Management in Asia Pacific Program, Australian National University, 2008 di http:// empoweringcommunities.anu.edu.au/documents/Gender%20Analysis%20Toolkit_Bahasa%20Version.pdf, diakses pada 28 Maret 2012 Zubairi Hasan, “Memperbaiki Kualitas Pembentukan Undang-Undang”, http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/ jurnal/42075766.pdf, diakses pada 4 Februari 2012 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 TAP MPR XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
67
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang No. 27 Tahun 2009, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Derah Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang direvisi dengan PP No. 24 Tahun 2012. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggarakan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamsi dan Pasca Tambang Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperpu, RPP dan Rperpres Tata Tertib DPR RI No. 08/ DPR RI/I/2005.2006 Tata Tertib DPR RI No. 1 Tahun 2009 Dokumen Resmi Lembaga Negara/Pemerintah Laporan Ketua Pansus dalam Rapat Paripurna DPR RI, 16 Desember 2008 Naskah Akademik, RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Dep ESDM, 2004 Pandangan akhir pemerintah atas RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Rapat Pripurna DPR RI 16 Desember 2008 Prinsip Utama UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, di http://esdm.go.id/berita/ umum/37-umum/2687-prinsip-utama-uu-no-4-tahun-2009-tentang-pertambangan-mineral-dan-batubara-. htm, diakses pada 23 Mei 2012 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-VIII/2010, hal. 143, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index. php?page=website.Persidangan.PutusanPerkara&id=1&kat=1 Rencana Strategis DPR RI 2010-2014 Risalah Rapat Paripurna DPR RI 16 Desember 2008 Risalah Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) pada periode 24 Agustus s.d. 21 November 2005 Surat Presiden RI tertanggal 25 Mei 2005 perihal Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara
68
DAFTAR PUSTAKA
Term of Reference, Panja Mineral dan Batubara, Komisi VII, 27 Oktober 2010 Wawancara Wawancara dengan Anggota Komisi VII dari F PDIP, Ir. Ismayatun, 19 januari 2012 Wawancara dengan Anggota Komisi VII dari F PKB, Nur Yasin, 27 Januari 2012 Wawancara dengan Anggota Komisi II dan mantan anggota Baleg dari F PG, Basuki Tjahaja Purnama, 24 Januari 2012 Wawancara dengan mantan Anggota Pansus Minerba dan dosen Universitas Atmajaya Jakarta, Sonny Keraf, 25 Januari 2012 Wawancara dengan Ketua Badan Legislasi DPR RI, Ign. Mulyono, 25 Januari 2012 Wawancara dengan Anggota Komisi VII dari F PKS, Idris Luthfi, 24 Januari 2012 Wawancara dengan Anggota Komisi VII F PKB, Agus Sulistyono, 7 Februari 2012 Wawancara dengan Anggota Baleg dari F PDIP, Honing Sanny, 21 Januari 2012 Wawancara dengan mantan Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, Simon F. Sembiring , 27 Januari 2012 Wawancara dengan Anggota Baleg dan Anggota Komisi VII dari F PDIP, Irvansyah, 25 Januari 2012 dan 1 Mei 2012 Laporan NGOs/ Artikel Media Massa Briefing Paper JATAM, WALHI, KIARA, ICEL – Januari 2009, ”UU Minerba: Judul Baru, Isi Kadaluarsa” DPR Sahkan UU Lingkungan Hidup, http://www.antaranews.com/news/153856/dpr-sahkan-uu-lingkunganhidup, diakses pada 6 April 2012 Executive Summary, THC, Laporan Hasil Penelitian “Peningkatan Fungsi Legislasi DPR: Rekomendasi terhadap Rencana Kerja untuk Mengurangi Penumpukan RUU”, 2012 JATAM Pokja-PA Pasda, WALHI< HUMA, KEHATI, ICEL, AMAN, Walhi, Tanggapan terhadap RUU Minerba 2005, RUU Pertambangan Mineral dan Batubara, Tidak Menjawab Masalah Utama Sektor Pertambangan, hal 3-5 KOMPAS, 20 Februari 2012 dengan judul berita “ Tambang Banyak Picu Masalah.” KONTAN 18 Januari 2012 berjudul “Pemerintah baru renegosiasi 15 kontrak pertambangan” http://industri. kontan.co.id/news/pemerintah-baru-renegosiasi-15-kontrak-pertambangan Mewujudakan Hak Veto Rakyat atas Rang Hidup, Lewat Uji Materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara, WALHI, HUMA, KPA, SP, PBHI dan KIARA, 2011
69
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Berita Resmi Statistik, No. 13/02/Th.XV, 6 Feb 20120, BPS, 2012 , diakses dari http://www.bps.go.id/brs_file/pdb_06feb12.pdf, pada 16 April 2012
70
LAMPIRAN
LAMPIRAN
1. PP yang harus diterbitkan sebagai implikasi hukum UU Minerba
1.
Peraturan Pemerintah mengenai ketentuan batas, luas, dan mekanisme penetapan Wilayah Pertambangan
2.
Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penetapan batas dan luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan.
3.
Peraturan Pemerintah mengenai pedoman prosedur dan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat,
4.
Peraturan Daerah mengenai kriteria dan mekanisme penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat, dan Peraturan Daerah mengenai tata cara pemberian Izin Pertambangan Rakyat
5.
Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pemberian Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
6.
Peraturan Pemerintah mengenai tata cara memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan
7.
Peraturan Pemerintah mengenai penetapan ketentuan pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri
8.
Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penetapan batas dan luas Wilayah Izan Usaha Pertambangan Khusus
9.
Peraturan Pemerintah mengenai tata cara memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dan tata cara memperoleh Izin Usaha Pertambangan Khusus
10. Peraturan Pemerintah mengenai penunjukan suatu komoditas tambang ke dalam suatu golongan pertambangan mineral. 11. Peraturan Pemerintah mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan finansial dalam usaha pertambangan 12. Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penugasan penyelidikan dan penelitian, dan ketentuan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan data pertambangan 13. Peraturan Pemerintah mengenai ketentuan pengelolaan reklamasi dan pascatambang, serta ketentuan mengenai dana jaminan reklamasi dan pascatambang. 14. Peraturan Pemerintah mengenai ketentuan peningkatan nilai tambah dan ketentuan mengenai pengolahan dan pemurnian sumber daya mineral dan/atau batubara 15. Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat 16. Peraturan Pemerintah mengenai ketentuan bentuk, jenis, waktu, dan tata cara penyampaian laporan kegiatan usaha pertambangan 17. Peraturan Pemerintah mengenai divestasi 18. Peraturan Pemerintah mengenai penghentian sementara dan pencabutan izin usaha pertambangan 19. Peraturan Pemerintah mengenai standar dan prosedur pembinaan serta pengawasan pertambangan rakyat dan Peraturan Daerah mengenai pembinaan dan pengawasan pertambangan rakyat 20. Peraturan Pemerintah mengenai ketentuan perlindungan masyarakat 21. Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pelaksanaan sanksi administratif
71
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
2. Daftar Narasumber Wawancara, FGD dan Peer Review a. Wawancara NO.
NAMA
INSTITUSI
JABATAN
TANGGAL WAWANCARA
1.
Drs. Ir. H. Sutan Bhatoegana
DPR RI
Demokrat ; Anggota Komisi VII ; Mantan Anggota Pansus Minerba
1 Februari 2012
2.
Mayjen (Purn) Ignatius Mulyono
DPR RI
Demokrat ; Ketua BALEG ; Mantan Wk.Ketua Pansus Minerba
25 Januari 2012
3.
Ir. Ismayatun
DPR RI
PDIP ; Anggota Komisi VII ; Mantan Anggota Pansus Minerba
19 Januari 2012
4.
Honing Sanny
DPR RI
PDIP ; Anggota Baleg
21 Januari 2012
5.
Idris Lutfi
DPR RI
PKS ; Anggota Komisi VII ; Mantan Anggota Pansus Minerba
24 Januari 2012
6.
Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM
DPR RI
Golkar ; Mantan Anggota Baleg
24 Januari 2012
7.
Irvansyah S.IP
DPR RI
Anggota Baleg dan komisi VII PDIP
25 Januari 2012
8.
Nuryasin
DPR RI
PKB ; Anggota Komisi VII
1 Februari 2012
9.
H Agus Sulistiyono SE
DPR RI
PKB ; Anggota Komisi VII
7 Februari 2012
10.
Dr. M Ali Kastella, M.MT
DPR RI
HANURA ; Anggota komisi VII
27 Januari 2012 .
11.
Santo
DPR RI
Tenaga Ahli DPR
12.
Agus Zaini
DPR RI
Tenaga ahli Fraksi Hanura
27 Januari 2012 .
13.
Bonan A Tenaga
DPR RI
Tenaga ahli Fraksi Hanura
27 Januari 2012 .
14.
Faisal P Tenaga
DPR RI
Tenaga ahli Fraksi Hanura
27 Januari 2012 .
15.
Hanny J Senewe
DPR RI
Tenaga ahli Fraksi Hanura
27 Januari 2012 .
16.
Bisman Bhakti
DPR RI
Tenaga Ahli Komisi VII
31 Januari 2012
17.
Rahmat H
DPR RI
Tenaga Ahli Komisi VII
31 Januari 2012
18.
Lukman M
DPR RI
Tenaga Ahli Komisi VII
31 Januari 2012
19.
Kholilul
DPR RI
Tenaga Ahli Nuryasin
1 Februari 2012
20.
Shofielwidad Az
DPR RI
Tenaga Ahli H Agus Sulistiyono
1 Februari 2012
21.
Sonny Keraf
Akademisi (Pakar etika) di Univ. Atma Jaya bidang Lingkungan Hidup;
Mantan Pimpinan Pansus tentang RUU Pertambangan Mineral dan Batubara dari PDIP
25 Januari 2012
22.
Simon Sembiring
-----
Mantan Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi
27 Januari 2012
23.
Juli Panglima S
P3DI
Peneliti
31 Januari 2012
24.
Pius Ginting
WALHI
Manajer Kampanye
8 Februari 2012
25.
Siti Maimunah
JATAM
Badan Pengurus
8 Februari 2012
26.
Andrie S Wijaya
JATAM
Koordinator
15 Februari 2012
27.
Hendrie Siregar
JATAM
Manajer Kampanye
15 Februari 2012
28.
A. Harris Balubun
JATAM
Staf
15 Februari 2012
72
LAMPIRAN
b. FGD di Jakarta pada 9 Maret 2012 NO
NAMA
INSTITUSI
JABATAN
1.
Iqbal
DPR RI
Tenaga Ahli Anggota DPR RI, Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM
2.
Anwar Arif Wirowo
DPR RI
Tenaga Ahli Anggota DPR RI Nur Yasin
3.
Pius Ginting
WALHI
Manager Kampanye
4.
Aliza
Solidaritas Perempuan
Staf
5.
Hendrik Siregar
JATAM
Manager Kampanye
6.
Asadur Rahman M
DPR RI
Tenaga Ahli Totok Daryanto
7.
Dwi Putra N
DPR RI
Tenaga Ahli Anggota DPR RI, Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM
8.
Sr. Teresia Din. SSps
Vivat Internasional Indonesia
c. Peer Review NO
NAMA
INSTITUSI
JABATAN
TANGGAL
1.
Sri Palupi
Institute Ecosoc Rights
Direktur Eksekutif
24 Februari 2012
2.
Ronald Rofiandri
PSHK
Direktur Advokasi
29 Februari 2012
3.
Dr. Sonny Keraf
Mantan Pansus tentang RUU Pertambangan Mineral dan Batubara dari PDIP
6 Maret 2012
4.
Sebastian Salang
Koordinator
13 Maret 2012
Formappi
3. Tabel Ketentuan Baru/Perubahan Besar dalam RUU Akhir No.
Materi
PERUBAHAN DARI RUU AWAL
1.
Asas dan Tujan
Baru
2.
Wilayah Pertambangan
dirinci menjadi Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), Wilayah Pencadangan Negara (WPN)
Izin Usaha Pertambangan (IUP)
dirinci dengan pembagian Umum, Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi, Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi dan Pertambangan Mineral â&#x20AC;&#x201C; dalam hal ini lebih dirinci lagi menjadi a). Pertambangan Mineral Radioaktif; b). Pertambangan Mineral Logam; c). Pertambangan Mineral Bukan Logam; d). Pertambangan Batuan; e). Pertambangan Batubara
3.
73
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
4.
Izin Pertambangan Rakyat (IPR)
dijadikan satu bab tersendiri
5.
Pendapatan Daerah
Baru
6.
penggunaan lahan untuk pertambangan dalam kaitan dengan sektor kehutanan dan tata ruang
Baru
7.
Perlindungan masyarakat
Diatur secara lebih rinci
8.
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan
Bab ini mengakomodasi masukan bahwa pemberian kewenangan kepada daerah harus dilengkapi dengan peningakatan kapasitas di daerah
9.
Sanksi administratif dan sanksi pidana
ketentuannnya dipisahkan dalam dua bab tersendiri
Sumber: RUU Minerba dan UU No. 4 Tahun 2009
74
DAFTAR PENELITI
4. Daftar Peneliti Gender Spesialist, Sylvana Maria Apituley, adalah anggota perkumpulan DEMOS. Saat ini menjabat sebagai Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Sejak tahun 1997 aktif memperjuangkan keadilan jender khususnya di komunitas Protestan dan kelompok lintas iman. Aktif di MADIA dan ikut mendirikan Indonesian Conference on Religion and Peace/ICRP pada tahun 1999, keduanya LSM lintas iman di Jakarta. Mengajar Sejarah Kekristenan Indonesia dan Teologi Feminis dan memulai Pendidikan HAM di STT Jakarta sejak tahun 2004. Menjadi narasumber dan fasilitator pendidikan adil jender dan HAM di lingkungan gereja-gereja anggota Persekutuan Gereja-gereja Indonesia/PGI. Koordinator Penelitian: Roichatul Aswidah, pendidikan terakhir MA Human Rights Theory and Practice, University of Essex, UK 2005. Pendidikan S1 ditempuh pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM 1994. Bergabung dengan Demos sejak Oktober 2009 sebagai peneliti. Kemudian menjabat sebagai Deputi Direktur Bidang Riset sejak Januari 2010 sampai sekarang. Sebelumnya merupakan Staff pimpinan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia/ Komnas HAM Januari – September 2009, Sekretaris pada Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM (Agustus 2007 – Januari 2009). Pengabdian Komnas HAM telah dijalaninya selama 15 tahun (1994-2009). Peneliti: Inggrid Silitonga, pendidikan terakhir S-1 Manajemen Kehutanan Universitas Pattimura Ambon 2002. Menjadi mahasiswa titipan di Fakultas Kehutanan UGM dalam rangka penyelesaian studi S-1 (April 2000-Agustus 2001). Pengalaman berorganisasi sejak 1999 sebagai Community Organizer (CO) TRK Baileo Maluku Maret – Agustus 1999, campaigner di E-Team Yogyakarta dan volunteer di Insist Yogya (1999 -2000). Menjadi Finance Officer Canadian Human Rigths Foundation (Oktober 2000 – April 2005), kemudian bergabung dengan Demos sebagai Staff Keuangan dan Pengelola Kantor (Mei 2005 –April 2009). Menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Demos sejak Mei 2009 hingga sekarang. Sejumlah pelatihan yang diikutinya adalah Pelatihan Fund Raising (Pena Bulu 2006 dan IMZ 2010), NGO Management Certificate Program (Pacivis UI 2008), International Human Rights Training Program di Montreal (Equitas 2010), Pelatihan Sumber Daya Manusia di Bidang Demokrasi (DG Bridge –UNDP, 2010). Pengalaman sebagai fasilitator pada Pelatihan SDM di Bidang Demokrasi di Makassar dan Bogor (UNDP Maret dan Juli 2011). Peneliti: Sri Maryanti, staff peneliti di DEMOS (Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia). Sebelumnya bersama Institute for Ecosoc Rights, terlibat dalam penelitian kebijakan penanganan masalah di gizi di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2009-2010 dan penelitian masalah perkotaan (perbandingan Jakarta dan Bangkok) tahun 2007. Sri Maryanti juga aktif terlibat dalam advokasi penolakan pemberlakuan kebijakan yang merugikan warga miskin di Jakanta yaitu Perda Ketertiban Umum tahun 2007-2009. Bersama lembaga yang sama Sri Maryanti terlibat dalam berbagai pelatihan hak asasi manusia untuk masyarakat adat dan pihak legislatif di beberapa kabupaten di NTT pada tahun 2008-2009 dan peneliti pernah bekerja sebagai staff untuk bidang informasi dan dokumentasi pada tahun 2006-2007. Sri Maryanti menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2003. Peneliti: Christina Dwi Susanti, pendidikan terakhir S-1 Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas 2005. Bergabung dengan Demos sejak September 2007 sebagai staff advokasi. Sebelumnya bekerja di Radio SMART FM Balikpapan sebagai penyiar. Sejumlah kursus yang diikuti selama di Demos adalah Kursus Intensif Kebenaran dan Keadilan Transisi yang diselenggarakan oleh ICTJ – Komnas HAM –KKPK 2009, Kursus Intensif Demokrasi Berbasis Hak Asasi Manusia “Kekuasaan, Kesejahteraan, dan Demokrasi” diselenggarakan oleh Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universita Gadjah Mada 2009, Pelatihan HAM Tahunan (PHAMT) 2010 yang diselenggarakan oleh Equitas dan ELSAM 2010 dan Pelatihan Mekanisme HAM International yang diselanggarakan oleh Human Rights Working Group (HRWG) 2010.
75
Laporan Penelitian Kebijakan Peran Representasi dalam Fungsi Legislasi DPR RI Studi Kasus Pembentukan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Peneliti: Robertus In Nugroho Budisantoso, magang di Demos sebagai peneliti sejak September 2011. Pendidikan terakhir adalah Master in Humanities pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2009. Menempuh Pendidikan S-1 bidang Filsafat Barat pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara 2001. Pengalaman berorganisasi pada Panti Semedi Klaten sebagai Deputi Direktur 2011, sebagai Humanitarian Volunteer in Mannar Island (December 2010 – January 2011) dan Director of Campus Ministry pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2007-2010. Sebelumnya terlibat dalam kerja – kerja kemanusiaan sejak 1997 di sejumlah lembaga seperti ISJ, sempat mengajar di SMA Adhi Luhur di Nabire Papua (2001-2003) dan menjadi koordinator relawan di Komunitas Sosial Pingit. Peneliti: Margaretha Saulinas, pendidikan terakhir D3 Manajemen Informasi dan Dokumen UI 2004. Pengalaman berorganisasinya sebagai Staff Sekretariat Koalisi Masyarakat Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak Ekosob (2002-2004), Staf Humas dan Kampanye Komnas HAM 2004-2011. Menjadi Panitia Pelatihan HAM bagi staf Komnas HAM 2005-2010. Pengalaman sebagai fasilitator pelatihan HAM untuk anak muda oleh Yayasan Jurnal Perempuan (2005) dan fasilitator pelatihan HAM bagi komunitas Waria (2009). Membantu kerja – kerja Demos seperti Pengumpulan Data Aktor Pro Demokrasi (April – Mei 2009), mengelola database dan perpustakaan (2009-2010) berdasarkan sistem kontrak. Kemudian bergabung dengan Demos sejak Februari 2011 hingga saat ini sebagai staf informasi dan dokumentasi.
76