Institute for Research and Empowerment (IRE)
Reformasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional untuk Memperkuat Representasi Warga: Kajian atas Kebijakan dan Praktek UU No 25/ 2004 Laporan Akhir Penelitian Kebijakan Peneliti: Sutoro Eko, Sunaji Zamroni, Abdur Rozaki, Dina Mariana, Borni Kurniawan, M. Zainal Anwar Penelitian ini terlaksana dengan dukungan Program Representasi (ProRep) Chemonics International – USAID Indonesia
Mei, 2012
Daftar Singkatan APBN APBD Bappenas Bappeda BLM DBH DAU DAK DPA DPR DPRD FPPD Jaring Asmara KUA KUAPBD IRE KN K/L KDN PP PDP PPAS Perpres Permendagri Perda RAB RRI RAPBN RKA RKP RKPD RKPD RPJP RPJPD RPJMD RPJMDes RPJMN RPTK Renstra Renja Musrenbang PNPM SKPD SPPN Tupoksi UPPD
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah : Bantuan Langsung Masyarakat : Dana Bagi Hasil : Dana Alokasi Umum : Dana Alokasi Khusus : Dokumen Pelaksanaan Anggaran : Dewan Perwakilan Rakyat : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Forum Pengembangan Pembaharuan Desa : Penjaringan Aspirasi Masyarakat : Kebijakan Umum Anggaran : Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah : Institute for Research and Empowerment : Keuangan Negara : Kementerian atau Lembaga : Kementerian Dalam Negeri : Peraturan Pemerintah : Praktik Perencanaan dan Penganggaran : Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara : Peraturan Presiden : Peraturan Menteri Dalam Negeri : Peraturan Daerah : Rumah Aspirasi Budiman : Radio Republik Indonesia : Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara : Rencana Kerja Anggaran : Rencana Kerja Pemerintah : Rencana Kerja Pemerintahan Daerah (UU No 25/2004) : Rencana Kerja Pembangunan Daerah (UU No 32/2004) : Rencana Pembangunan Jangka Panjang : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional : Rencana Program Tingkat Kecamatan : Rencana Strategis : Rencana Kerja : Musyawarah Perencanaan Pembangunan : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat : Satuan Kerja Pemerintahan Daerah : Sistem Perencanaan pembangunan Nasional : Tujuan, Pokok dan Fungsi : Usulan Pendanaan Perangkat Daerah 2|Page
Daftar Tabel, Bagan dan Diagram Tabel 1 Mekanisme kelembagaan bagi representasi warga dalam PDP Tabel 2 Interaksi antar pendekatan dalam perencanaan Tabel 3 Peta dan Peran Aktor Politik dalam Proses Penyusunan Anggaran Tabel 4 Peran Parlemen dalam Tahapan Perencanaan dan Penganggaran
17 18 32 40
Bagan 1 Tahapan Perencanaan dan Alokasi Waktu Bagan 2 Titik-Titik Kritis Musrenbangnas
25 34
Diagram 1 Ruang Partisipasi dalam Perencanaan Melekat di Sruktur Organisasi Pemerintahan Diagram 2 Ruang Partisipasi Warga Sipil dalam Alur Musrenbangnas
26 27
3|Page
Daftar Isi Daftar Singkatan Daftar Tabel, Bagan dan Diagram Daftar Isi Abstrak
2 3 4 5
1. 2. 3. 4.
6 8 8 9 9 9 10 11 11 12 12 14 14 20 22 24 28 30 37 38 39 41 42 44 45 47
Pengantar Tujuan Penelitian Pertanyaan Penelitian Metodologi A. Pendekatan Penelitian B. Teknik Pengumpulan Data C. Teknik Analisis Data D. Metode Validasi dan Review Data 5. Manfaat Penelitian 6. Keterbatasan Penelitian 7. Pelaksanaan Penelitian 8.Kerangka Konseptual, Temuan Penelitian dan Analisisnya A. Kerangka Konseptual B. Regulasi Perencanaan dan Penganggaran C. Partisipasi dalam Perencanaan dan Penganggaran C.1 Praktik Partisipasi Sejauh ini C.2 Pembaharuan Partisipasi Warga D. Deliberasi dalam Perencanaan dan Penganggaran D.1 Memperdalam Ruang Deliberasi D.2 Menjembatani Isu Daerah-Pusat E. Kontestasi dalam Perencanaan dan Penganggaran E.1 Kontestasi dalam Proses Perencanaan E.2 Kontestasi dalam Proses Penganggaran 9. Rekomendasi Kebijakan 10. Penutup Referensi
4|Page
Reformasi SPPN untuk Memperkuat Representasi Warga: Kajian atas Kebijakan dan Praktek UU No. 25/2004 Abstrak Sistem dan praktik perencanaan dan penganggaran (PDP) di Indonesia saat ini memperlihatkan fakta yang sungguh merisaukan. Alih-alih mencerminkan keberpihakan kepada warga, praktik PDP justru memperlihatkan wajah sebagai berikut; usulan dari bawah yang naik ke atas tidak bermakna; proses Musrenbang yang terjebak pada formalitas; partisipasi yang dangkal dan masih banyak lagi. Studi ini hendak mengkaji permasalahan representasi warga dalam sistem perencanaan dan penganggaran di Indonesia. Hal ini menjadi penting karena rapuhnya relasi antara warga dan parlemen bukan hanya dalam ranah institusi demokrasi perwakilan, tetapi juga dalam konteks perencanaan dan penganggaran sistem pembangunan. Pendekatan institusionalisme baru dan pendekatan ekonomi politik digunakan secara silih berganti untuk menganalisis representasi warga dalam Sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN). Berbasis pada pendekatan tersebut, studi ini menemukan beberapa hal; Pertama, SPPN sebagaimana dalam UU No 25/2004, memberi ruang terhadap partisipasi masyarakat. Namun praktik partisipasi sebagaimana di dalam arena Musrenbang adalah partisipasi yang dangkal dan terjebak pada formalitas prosedural. Kedua, warga memiliki ruang dan arena dalam SPPN, tetapi sama sekali tidak memiliki arena dan akses dalam penganggaran. Sebaliknya dengan parlemen, perannya tidak menonjol dalam ranah perencanaan, namun diakomodasi dalam penganggaran. Ketiga, Dinamika representasi atas suara warga melalui parlemen masih dominan diwarnai praktek representasi elektoral dan representasi deskriptif dibandingkan representasi substantif. Keempat, Politik akomodasi kuat, tetapi politik representasi lemah. Politik akomodasi diwujudkan dengan mewadahi beragam aktor beserta cara pandang dan kepentingannya masing-masing. Studi ini merekemodasikan beberapa hal; Pertama, memperluas dan memperdalam partisipasi dalam PDP dengan mendorong partisipasi warga yang bersifat popular participation dan berbasis hak dan kepentingan merupakan pilihan guna memperluas dan memperdalam partisipasi. Kedua, integrasi antara perencanaan dan penganggaran (PDP). Hal ini mungkin tidak mampu mengurangi tradisi “perburuan proyek� yang dilakukan masyarakat, tetapi integrasi PDP akan membuka (inklusi) bagi partisipasi dan deliberasi masyarakat khususnya dalam penganggaran. Ketiga, menata ulang kembali pola representasi-kontituensi dalam konteks relasi antara parlemen dengan warga. Dari sisi regulasi, tentu dibutuhkan koherensi antara undangundang SPPN, susunan dan kedudukan parlemen, undang-undang partai politik dan pemilihan umum. Tetapi yang paling substansial, dibutuhkan penguatan representasi substantif yang berbasis pada konstituensi organisasional. Kata kunci: Representasi, Konstituensi, SPPN, Parlemen
5|Page
1. Pengantar Jamak terdengar bahwa keterlibatan warga dalam sistem perencanaan dan penganggaran belum dapat dilakukan secara maksimal. Saat ini, sistem perencanaan memang telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk bisa berkontribusi memberikan usulan, mengajukan masalah yang dihadapi atau menyatakan kebutuhan ke depan. Akan tetapi, dalam sistem penganggaran, kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat bisa dikatakan tidak ada. Faktanya saat ini, masyarakat bisa mengajukan usulan tetapi tidak bisa ikut terlibat dalam memutuskan. Sistem Perencanaan di Indonesia yang dipayungi dengan UU No 25/2004 merupakan wadah atau arena bagi demokrasi, terutama arena untuk partisipasi warga, deliberasi multiaktor dan representasi warga melalui para wakil rakyat (lembaga representatif). Secara normatif, sistem perencanaan-penganggaran dijalankan dengan tiga pendekatan utama yakni: politik (sebagai ranah pejabat politik seperti Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota dan anggota DPR maupun DPRD); teknokratik (pendekatan yang mengutamakan keahlian dan kecermatan yang menjadi ranah birokrasi baik di level Kementerian/Lembaga di Pusat atau SKPD di daerah) dan partisipasi (ranah warga atau masyarakat dan komunitas atau kelompok). Negara, khususnya lembaga eksekutif, menyediakan Musrenbang dari bawah (desa) sampai nasional sebagai arena representasi, partisipasi, dan deliberasi warga untuk terlibat dalam perencanaan. Musrenbang dianggap dan diyakini banyak pihak sebagai jalur utama untuk perencanaan, dan selalu muncul pendapat publik, bahwa setiap program pembangunan seharusnya berbasis pada Musrenbang. Ada juga pendapat dan tuntutan publik bahwa usulan prioritas dari bawah seharusnya diakomodasi sepenuhnya, tetapi ketika usulan dari bawah itu tidak diakomodasi oleh pemerintah, maka memunculkan kekecewaan masyarakat terhadap Musrenbang. Dalam situasi tersebut, banyak masyarakat yang kemudian mempertanyakan efektifitas, efisiensi hingga relevansi proses perumusan kebijakan publik dengan mekanisme perencanaan (musrenbang) sebagaimana yang dilakukan saat ini. Ketersediaan ruang untuk terlibat dalam proses perencanaan tetapi tanpa keterlibatan dalam proses penganggaran membuat kurangnya pengawasan terhadap usulan yang diajukan. Selain itu, keterwakilan warga atau kelompok dalam arena musrenbang misalnya, sejauh ini kurang mampu menampung aspirasi kelompok-kelompok marjinal misalnya serikat pekerja/buruh, buruh nelayan, buruh petani atau pedagang kaki lima. Dalam situasi tersebut, tidak mengherankan jika kelompok-kelompok tersebut biasanya memakai mekanisme popular space misalnya demonstrasi di jalan, tidak memanfaatkan invited space seperti musrenbang, untuk menyuarakan aspirasi atau tuntutannya. Hal ini ditambah dengan fakta bahwa pihak yang berkepentingan dalam proses perencanaan bukan hanya entitas masyarakat semata tetapi juga ada pihak lain dalam hal ini birokrasi dan aktor politik (anggota parlemen atau kepala daerah). Artinya, persaingan untuk mendapatkan jatah alokasi anggaran menjadi kian rumit. Hal ini karena representasi warga dalam penganggaran tidak hadir secara langsung melainkan ditempuh dengan pendekatan politik yang dijalankan oleh parlemen (DPRD dan DPR). Parlemen tidak mempunyai kewajiban formal untuk terlibat dalam proses deliberasi melalui Musrenbang, 6|Page
sebuah jalur utama perencanaan yang disediakan oleh eksekutif. Hal ini berarti dalam proses penganggaran, masyarakat sangat tergantung pada kinerja anggota parlemen. Dalam konteks perencanaan pembangunan, peran parlemen dalam artikulasi kepentingan konstituen tercermin dalam praktik jaring aspirasi masyarakat (jaring asmara). Sejauh ini, jaring asmara menjadi media atau arena yang digunakan seorang anggota parlemen untuk menjaring masalah dan kebutuhan yang muncul di daerahnya atau terjadi pada konstituennya. Selain itu, bisa dikatakan pula bahwa jaring asmara juga menjadi bagian dari pola relasi agen representasi dan konstituen yang sekaligus berupaya menjaring aspirasi (termasuk membawa usulan proyek) untuk diperjuangkan ke dalam proses penganggaran. Meskipun jaring asmara tidak secanggih Musrenbang, tetapi ada dua pendapat yang sering mengemuka tentang jaring asmara. Pertama, pada umumnya parlemen menganggap bahwa jaring asmara (termasuk perjuangan memperoleh anggaran untuk konstituen di dapilnya masing-masing) merupakan strategi representasi yang mungkin bisa dilakukan. Bagi parlemen yang berhaluan elektoralis, keberhasilan berjuang memperoleh anggaran (APBN dan APBD) untuk konstituen merupakan bukti bahwa mereka representatif dan melipatgandakan legitimasi dan dukungan rakyat kepadanya. Kedua, konstituen sangat senang jika memperoleh uang proyek hasil perjuangan parlemen, karena itu mereka menganggap bahwa jaring asmara merupakan jalur alternatif di luar musrenbang untuk memperoleh dana yang sesuai dengan aspirasi mereka. Karena itu, simbiosis antara aspirasi konstituen dan perjuangan parlemen itu mampu melipatgandakan legitimasi anggota parlemen dalam pemilihan umum berikutnya, dan hal ini menciptakan pola politik patron klien antara wakil dengan konstituen. Berdasarkan isu-isu yang teridentifikasi diatas, IRE sangat risau dengan praktik representasi warga dalam perencanaan dan penganggaran yang pada akhirnya terjebak hanya menjadi arena perburuan proyek. IRE berkepentingan melakukan kajian dan advokasi yang mendorong reformasi tentang representasi warga dalam perencanaanpenganggaran, dan perencanaan-penganggaran yang berbasis representasi warga. Riset ini dituntun oleh premis bahwa adanya perencanaan pembangunan yang integratif antar institusi dalam pemerintahan akan memaksimalkan capaian, sasaran dan target pembangunan. Selain itu, adanya sistem perencanaan pembangunan yang based on evidence and public representation akan menjadikan usulan warga lebih kuat, bermakna dan tidak mudah hilang dalam dokumen SPPN. Adanya bukti ini juga bisa menjadi instrumen bagi anggota DPR dalam membela hak atau usulan warga. Riset ini bersifat kualitatif untuk memberikan bukti-bukti empiris bagi anggota DPR untuk pengambilan kebijakan. Riset ini menjadi penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keberpihakan negara terhadap kebutuhan dan masalah yang dihadapi masyarakatnya. Selain itu, riset ini menjadi rintisan awal bagi adanya kajian yang dimaksudkan untuk memperdalam strategi konstituensi yang dilakukan anggota parlemen kepada konstituen atau masyarakat yang ada di daerah pemilihannya. Riset ini juga berupaya mengedepankan isu representasi warga karena pola hubungan antara warga dan parlemen mengalami gejala kerapuhan
7|Page
tidak hanya tercermin dalam institusi demokrasi perwakilan tetapi juga dalam sistem perencanaan dan penganggaran. 2. Tujuan Penelitian Secara umum, riset ini bertujuan untuk memberi kontribusi pada penguatan kapasitas DPR untuk melaksanakan mandat mereka (democratic mandate) sebagai perwakilan warga dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Adapun secara khusus, riset ini bermaksud menyediakan rekomendasi untuk memperkuat representasi warga dalam proses perencanaan dan penganggaran. 3. Pertanyaan Penelitian Pada awal kegiatan, skema riset ini lebih fokus pada isu, wacana dan praktik terkait sistem perencanaan dan penganggaran di Indonesia dengan melakukan kajian terhadap UndangUndang 25/2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN). Regulasi tersebut menjadi cermin utama untuk melihat derajat keterlibatan masyarakat terutama dalam proses perencanaan. Karena itu, fokus awal riset ini, sebagaimana tertuang dalam laporan riset berbentuk desk study, lebih mengarah pada isu-isu terkait SPPN mulai dari regulasi terkait hingga praktik yang selama ini berlangsung misalnya soal efektifitas keterlibatan warga dalam arena yang disediakan negara (invited space) yakni musrenbang dan sebagainya. Berbasis pada hal tersebut, ada beberapa pertanyaan riset yang mengemuka yakni; a. b. c. d.
Bagaimanakah mekanisme dan praktek perencanaan pembangunan di daerah sampai dengan tingkat pusat? Bagaimanakah mekanisme dan praktek penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh lembaga legislatif, termasuk DPR, dalam rangka perencanaan pembangunan di Indonesia? Inisiatif terkini apa saja yang dilakukan oleh DPR untuk memperbaiki perencanaan pembangunan di Indonesia? Solusi-solusi alternatif apa sajakah yang dapat dipertimbangkan oleh DPR untuk memperbaiki perencanaan pembangunan di Indonesia?
Seiring dengan proses penelitian, terutama setelah adanya kegiatan FGD, consultation meeting dan diskusi peer review, fokus riset ini pada akhirnya memilih untuk memperdalam pada aspek keterwakilan (representasi) warga dalam sistem perencanaan pembangunan di Indonesia. Ruang keterlibatan tidak lagi hanya terbatas pada invited space tetapi juga memperhatikan popular space. Pada prinsipnya, riset ini ingin fokus pada sejauhmana representasi warga dalam perencanaan-penganggaran, dan perencanaanpenganggaran yang berbasis representasi warga. Tidak hanya kelompok masyarakat yang selama ini terlibat atau melibatkan diri dalam musrenbang yang diperhatikan, tetapi juga riset ini berupaya membidik sejauhmana aspirasi kelompok marjinal, misalnya, bisa terakomodir dalam sistem perencanaan dan sistem penganggaran.
8|Page
Berpijak pada hal tersebut, ada beberapa pertanyaan riset yang diajukan yakni a. Bagaimana representasi warga dalam perencanaan dan penganggaran? b. Apakah sistem, proses dan hasil perencanaan dan penganggaran yang partisipatif telah mencerminkan representasi warga? c. Bagaimana tindakan wakil rakyat (sebagai representasi warga) dalam perencanaanpenganggaran? Apakah jaring asmara yang mereka lakukan cukup memadai untuk memperkuat representasi warga? 4. Metodologi Pada bagian metodologi ini, ada 4 hal yang hendak dikemukakan yakni pendekatan penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan metode validasi dan review data.
A. Pendekatan Penelitian Riset kebijakan ini merupakan penelitian kualitatif yang berupaya mengedepankan narasi deskriptif berdasarkan hasil penelusuran literatur maupun regulasi, wawancara mendalam serta melalui focus group discussion. B. Teknik Pengumpulan Data Ada beberapa cara yang dilakukan dalam upaya pengumpulan data. Pertama, Desk Study. Kegiatan ini merupakan upaya mengumpulkan data atau informasi terkini tentang wacana dan praktek dinamika perencanaan pembangunan di Indonesia baik yang bersumber dari buku, laporan parlemen, laporan pemerintah, laporan hasil penelitian dari berbagai lembaga yang terkait dengan lingkup penelitian ini. Dalam desk study ini, ada dua kajian yang hendak dilakukan yakni kajian kebijakan (policy review) dan kajian literatur/pustaka (literature review). Policy review akan dilakukan terhadap a) UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) dan regulasi terkait lainnya misalnya, UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan; dan b) Ragam regulasi perencanaan di daerah, khususnya untuk daerah Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman, (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) serta Kabupaten Kebumen (Provinsi Jawa Tengah). Adapun Literature Review akan dilakukan terhadap proses dan dinamika a) perencanaan desa (village planning); b) perencanaan kecamatan (sub-district planning); c) perencanaan daerah (district planning); d) perencanaan provinsi (provincial level planning), dan e) perencanaan nasional (national level planning). Selain itu, praktik representasi warga atau inovasi pola relasi parlemen-konstituen juga dimunculkan. Kedua, Consultation Meetings I. IRE juga akan memulai pencarian data kepada anggota DPR dengan cara mengkomunikasikan atau mendiskusikan hasil temuan awal dari desk study diatas. Pertemuan ini pada intinya untuk menarik perhatian dan kepedulian serta tanggapan awal dari pihak DPR RI dan diharapkan bisa menjadi bahan awal untuk wawancara mendalam (in depth interview). 9|Page
Ketiga, Field Research. Kegiatan ini dilakukan dengan dua cara, yakni Focus group disscassion (FGD) dan In-dept interview. FGD ini dilakukan secara tematik di Kantor IRE Yogyakarta selama 2 (dua) kali. FGD I akan membicarakan tentang: a) Perencanaan Pembangunan dan Penganggaran di Daerah pada tingkat kabupaten dan propinsi, dan b) Posisi dan Peran Parlemen Dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran Program Pembangunan. Sedangkan FGD II akan memperdalam tentang: a) Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Perencanaan, Penganggaran Pembangunan di tingkat Desa dan Kecamatan, dan b) Benang Merah Dinamika Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan di Daerah. Rencananya, setiap FGD akan melibatkan sebanyak 16 orang narasumber atau total 32 orang narasumber yang setidak-tidaknya akan mewakili unsur-unsur parlemen, pemerintahan, dan masyarakat setempat, dari tingkatan desa, kecamatan, kabupaten/kota hingga propinsi. Peserta asal FGD adalah Kabupaten Gunung Kidul, Kab. Sleman dan Kab. Bantul dari wilayah Yogyakarta dan Kab. Kebumen dari Prov. Jawa Tengah. Adapun IRE Yogyakarta akan melibatkan 4 peneliti dan 1 note-taker untuk menyelenggarakan ketiga FGD tersebut. Pasca FGD di daerah, IRE akan mengadakan aktivitas in-depth interview pada berbagai responden strategis di tingkat pusat yakni Komisi V DPR RI yang berkaitan dengan pembangunan pedesaan, Komisi XI DPR RI yang berkaitan dengan anggaran dan perencanaan pembangunan nasional, Badan Anggaran DPR RI, Bappenas, Kemendagri, Kemenkeu dan Kemenkes. Kegiatan ini akan dilakukan selama 7 hari (4 hari kunjungan/interview di pusat, 3 hari untuk menulis hasil in-depth interviews) dengan melibatkan 2 peneliti. Selain itu, sebagai upaya untuk memperdalam praktik representasi warga serta strategi komunikasi parlemen dan konstituen, IRE juga melakukan wawancara kepada pengelola Rumah Aspirasi Budiman (RAB) di Banyumas-Jawa Tengah dan aktivis lokal yang pernah terlibat didalam RAB tersebut. C. Teknik Analisis Data Setelah kegiatan pengumpulan data melalui metode FGD dan in-depth interviews dilaksanakan, IRE Yogyakarta selanjutnya akan mengadakan diskusi internal guna mengkonsolidasi hasil temuan awal riset. Melalui kegiatan ini, tim IRE Yogyakarta akan mengkonsolidasi hasil temuan awal riset, baik menganalisa maupun berupaya menemukan potensi-potensi rekomendasi kebijakan. Pada tahap ini kami akan mendalami berbagai pembelajaran dan rancangan rekomendasi yang ada terkait sistem dan praktek perencanaan dan pembangunan nasional serta strategi mendorong kemauan (komitmen) anggota DPR RI untuk mereformasi sistem perencanaan pembangunan nasional yang lebih berpihak pada warga. Dalam analisis ini, IRE berupaya membandingkan apa yang seharusnya (regulasi) dan apa yang terjadi (praktik). Selain itu kami juga menganalisis berdasarkan kerangka teori yang telah kami kemukakan baik dalam desk study maupun dalam policy paper yang kami buat.
10 | P a g e
D. Metode Validasi dan Review Data Sebagai upaya untuk memperdalam data yang telah diperoleh, tim IRE berupaya untuk melakukan beberapa teknik untuk melakukan validasi dan review data. Selain dilakukan dengan model peer review, langkah yang ditempuh adalah dengan melakukan seminar publik di Jakarta dan juga pertemuan konsultatif (consultation meeting) dengan beberapa anggota parlemen. Temuan awal tim IRE sebagaimana tersaji dalam hasil desk study, proceeding FGD, hasil consultation meeting I serta beberapa laporan kemajuan bulanan akan menjadi instrumen review utama dalam kegiatan peer review. Dalam kegiatan ini, 2 orang ahli diminta mereview hasil sementara riset dimana hasilnya akan dituangkan dalam bentuk paper untuk kemudian didiskusikan dalam sebuah diskusi peer review. Diskusi ini melibatkan 2 orang peneliti ahli independen (reviewer) yakni Erwan Agus Purwanto (Magister Administrasi Publik - UGM) serta AAGN Ari Dwipayana (Fisipol UGM) dan perwakilan dari Prorep-USAID untuk mengkritisi dan memperkuat hasil/produk akademis penelitian ini, baik dari sisi metodologi, substansi dan bahkan penyajiannya. Selain membahas hasil riset yang telah ada, diskusi ini juga memperdalam draft awal policy brief. Selain dengan external reviewer, review hasil sementara riset juga dilakukan oleh Rithu dari Urban Institute. Rithu banyak mereview dan mendiskusikan secara mendalam beberapa poin rekomendasi yang diajukan dalam naskah draft desk study. Selain itu, Rithu juga banyak memberi input soal kebaruan dan validasi beberapa data. Untuk mendapatkan input secara lebih luas dan mendalam, draft policy brief akan didiseminasikan kepada publik yang dikemas dalam kegiatan seminar nasional di Jakarta. Kegiatan ini rencananya akan mengundang beberapa anggota parlemen maupun aktivis LSM di Jakarta. Dalam kegiatan ini, IRE akan memaparkan hasil riset yang sudah dikemas dalam bentuk policy brief dan akan mengundang narasumber dari anggota parlemen untuk memberi respon atas hasil kajian tersebut. Guna mempertajam hasil riset, tim IRE bermaksud mendiskusikan naskah hasil riset dengan beberapa anggota parlemen dalam kegiatan yang disebut consultation meeting II. Hal ini dimaksudkan agar rekomendasi yang dihasilkan bisa digunakan secara optimal oleh anggota parlemen sebagai penerima manfaat utama dari riset ini. 5. Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat yang bisa diharapkan dari riset ini. Pertama, hasil riset ini merangkum pengalaman penelitian maupun advokasi dan menjadi pintu masuk bagi para pihak yang hendak melakukan studi ataupun advokasi lanjutan terkait perencanaan dan pembangunan nasional untuk mencapai kebijakan SPPN yang ideal dan merepresentasikan hak masyarakat. Kedua, studi yang dilakukan IRE merupakan rintisan awal guna memperdalam kajian secara lebih mendalam terkait pola relasi parlemen-konstituen sebagaimana tercermin dalam sistem perencanaan dan penganggaran serta inovasi anggota parlemen dalam mengatasi adanya gelaja mulai rapuhnya relasi parlemen-konstituen tersebut. 11 | P a g e
Ketiga, hasil riset ini menghasilkan pembelajaran (stock of knowledge) dan rekomendasi strategis bagi anggota DPR untuk memperbaiki pola hubungan parlemen-konstituen agar bisa mendorong terwujudnya representasi substantif yang pada akhirnya bisa menghasilkan kebijakan publik yang mencerminkan atau berbasis pada kebutuhan, masalah dan kepentingan warga. 6. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan sebagai berikut yakni, Pertama, dalam metode pengumpulan data, terutama pada saat melakukan in depth interview dengan anggota parlemen, keterbatasan yang ditemui adalah sempitnya waktu yang bisa dialokasikan seorang anggota parlemen untuk bisa diajak berdiskusi dalam waktu yang relatif lama. Hal ini mengakibatkan sulitnya peneliti untuk memperdalam data atau jawaban yang diberikan anggota parlemen pada saat melakukan wawancara. Kedua, berkaitan dengan poin pertama, peneliti IRE juga mengalami kesulitan dalam memegang janji alokasi waktu yang telah diberikan narasumber, dalam hal ini anggota parlemen. Walaupun telah diupayakan melalui telpon, email atau sms, terkadang perubahan alokasi waktu terjadi begitu cepat. Upaya lain juga telah dilakukan misalnya melalui pendekatan kepada staf ahli. Ketiga, untuk diketahui bahwa riset ini hanya berdurasi 4 bulan. Dengan waktu yang relatif singkat tersebut, upaya untuk melakukan pendalaman data menjadi sangat terbatas. Selain itu, dalam durasi tersebut, keinginan peneliti untuk memperdalam praktik jaring asmara, misalnya, menjadi terhambat karena masa penelitian di lapangan tidak pas waktunya dengan masa jaring asmara yang dilakukan anggota parlemen. Pada akhirnya, data tentang jaring asmara menjadi kurang mendalam. Ke depan, diperlukan waktu yang cukup sehingga jadwal riset di lapangan bisa sesuai dengan masa jaring asmara yang dilakukan anggota parlemen. 7. Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian ini telah melalui berbagai tahapan dan serangkaian kegiatan atau aktivitas misalnya desk study, consultation meeting I dan II dengan beberapa anggota parlemen, FGD dengan para pemangku kebijakan (eksekutif dan legislatif) maupun aktivis lokal terkait perencanaan pembanguanan dan penganggaran, in depth interview dengan anggota parlemen dan staf di Bappenas hingga diskusi peer review dengan para ahli. Kegiatan deks study telah dilakukan pada minggu-minggu awal di bulan Januari 2012. Hasil dari deks study ini lalu diringkas menjadi buku kecil yang menjadi bahan awal dalam pertemuan serial dengan beberapa anggota parlemen yang dibalut dalam kegiatan consultation meeting I. Kegiatan yang dilakukan pada awal Februari 2012 tersebut, tim peneliti IRE berhasil bertemu beberapa anggota parlemen misalnya Theodorus Jacob/Fraksi PDI-P dan Anggota Banggar; Marwan Ja’far/Ketua Fraksi PKB dan Anggota Komisi 5 dan Banggar; M. Arwani Thomafi/Sekretaris Fraksi PPP dan Anggota Komisi 5; Emir Moeis/Fraksi PDI-P dan Ketua Komisi XI serta H. Juwarto/Fraksi PDI-P. Sejauh ini, berdasarkan hasil riset yang telah dihasilkan, pihak parlemen sebagai penerima manfaat 12 | P a g e
utama studi telah menyambut baik adanya kajian ini dan berharap adanya pendalaman di masa mendatang. Bahkan, Juwarto memberikan tanggapan tertulis terhadap hasil desk study IRE sebagaimana tertuang dalam surat bernomor 032/B/A-373/DPR/III/2012 perihal Tanggapan Penelitian. Pada akhir Januari 2012 tersebut, IRE juga mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan stakeholders selama dua kali yakni pada tanggal 30 Januari 2012 untuk para pihak di lingkup kabupaten dan provinsi (Bappeda kabupaten dan provinsi, Bapermas, anggota DPRD serta kelompok masyarakat sipil) yang diikuti oleh 11 peserta serta pada tanggal 31 Januari 2012 untuk para pihak yang ada di level desa dan kecamatan yang diikuti oleh 8 peserta. Metode dalam FGD tersebut adalah mix method yakni menggabungkan pendekatan kualitatif melalui brainstorming dan diskusi serta diakhiri pendekatan kuantitatif yang diltempuh dengan cara melakukan penilaian melalui metode participant report card (PRC) yang mengadopsi gaya citizen report card dalam penilaian terhadap pelayanan publik. Dalam PRC ini dilakukan dua kali penilaian secara individu dan kolektif. Sementara pada waktu in depth interview yang dilaksanakan pada akhir Februari 2012, tim IRE hanya berhasil bertemu dengan 1 orang anggota parlemen yakni Emir Moeis/Ketua Komisi XI DPR RI. Padahal, ada beberapa anggota parlemen yang awalnya bersedia ditemui terutama yang pernah diajak diskusi pada pertemuan consultation meeting I tetapi tiba-tiba ada acara mendadak sehingga tidak bisa diwawancarai. Upaya untuk melakukan wawancara melalui telpon juga sudah diupayakan tetapi belum membuahkan respon yang positif. Selain bertemu dengan anggota parlemen, tim peneliti berhasil melakukan wawancara dengan staf Bappenas guna memperdalam perihal perencanaan pembangunan. Pasca penulisan hasil riset sementara dan policy brief, diseminasi dilakukan dengan menyelenggarakan seminar nasional di Jakarta pada 10 Mei 2012 dan menjalin kerjasama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 1 untuk mengadakan talk show yang telah dilakukan pada 15 Mei 2012. Selain itu, ringkasan policy brief juga akan dimuat di bulletin Flamma yang rencananya akan terbit pada akhir Mei 2012. Disamping itu, pasca seminar nasional d Jakarta, IRE juga melakukan consultation meeting II dengan beberapa anggota DPR RI. Seminar nasional dilakukan di Hotel Santika-Jakarta pada 10 Mei 2012. Kegiatan ini dihadiri oleh tim program dan tim peneliti IRE. Narasumber yang hadir guna memberi respon atas hasil riset adalah Budiman Sudjatmiko, MSc, MPhil (Anggota DPR RI Komisi II dan Pengelola Rumah Aspirasi Budiman) dan Ir. Hetifah Sj. Siswanda, MPP, PhD (Anggota DPR Komisi X/Penggagas model reses bersama parlemen pusat-daerah). Emir Moeis yang rencananya akan hadir sebagai pembicara kunci mengkonfirmasi tidak dapat mengikuti seminar karena masih ada kegiatan di luar Jakarta. Selain itu, seminar ini juga dihadiri oleh Nurul Arifin (Anggota DPR fraksi Partai Golkar) yang menjadi penanggap utama. Seminar ini juga dihadiri oleh beberapa staf ahli anggota DPR RI, aktivis NGO di Jakarta, Bappeda dari Gunung Kidul dan beberapa kepala desa. Sementara Consultation meeting II dilakukan pasca penyelenggaraan seminar nasional hingga hari Jumat (10-11 Mei 2012). Dalam kegiatan ini, IRE melakukan pendalaman respon hasil kajian riset ke beberapa anggota parlemen. Anggota parlemen yang berhasil 13 | P a g e
ditemui adalah M. Arwani Thomafi (Fraksi PPP), Budiman Sujatmiko (Fraksi PDI-P), Hetifah dan Nurul Arifin (Fraksi Partai Golkar). Terkait blocking time di RRI Pro 2, setelah melakukan pertemuan dan komunikasi intensif dengan pengelola program talk show di RRI, ternyata jangkauan RRI Pro 2 hanya mencakup wilayah Provinsi DIY dan sebagian provinsi Jawa Tengah. Adapun jangkauan nasional hingga perbatasan Malaysia dan Singapura dan didukung sekitar 63 jaringan RRI adalah RRI Pro 1. Dengan adanya penjelasan tersebut, IRE akhirnya memutuskan untuk bekerjasama dengan RRI untuk bisa talk show di RRI Pro 1 agar bisa menjangkau level nasional. Padatnya jadwal talk show juga mengharuskan IRE masuk waiting list. Setelah menunggu, akhirnya diperoleh kepastian talk show pada 15 Mei 2012 jam 03.00-05.00 WIB. Narasumber IRE pada acara tersebut adalah Borni Kurniawan. 8. Kerangka Konseptual, Temuan Penelitian dan Analisisnya A. Kerangka Konseptual Representasi merupakan sebuah konsep kunci dalam demokrasi khususnya dalam demokrasi perwakilan. Karya klasik Hanna Pitkin (1967), The Concept of Representation, selalu menjadi pusat rujukan studi-studi mutakhir tentang representasi. Pitkin menunjukkan bahwa konsep representasi berasal dari bahasa Latin, repraesentare, yang berarti menjamin sesuatu atau seseorang hadir secara literal, fisik dan langsung. Makna literal itu dikembangkan Pitkin menjadi makna representasi secara nonliteral, tetapi pada prinsipnya frasa “menjamin� tetap menjadi makna inti representasi. Secara nonliteral, representasi ditunjukkan dengan kehadiran nonfisik, dimana orang-orang yang diwakili (represented) hadir diwakilkan oleh orang-orang yang mewakili (representatives). Kehadiran orang-orang yang diwakili (represented) itu “dijamin� hadir secara artifisial dengan tindakan representasi yang dijalankan oleh yang mewakili (representatives). Makna dasar itulah yang dijadikan basis argumen untuk memahami konsep representasi politik. Dalam representasi politik, orang-orang yang diwaliki disebut konstituen atau principal dan yang mewakili disebut secara populer sebagai wakil rakyat atau agent. Pembentukan wakil atau agent dilakukan dengan pemilihan umum (general election), dimana konstituen memberikan mandat atau perintah kepada wakil dan wakil mengambil keputusan atas nama konstituen, serta akuntabel dan responsif pada konstituen (David Runciman, 2007; M. Sawards, 2008). Pola hubungan konstituen dan wakil itu mendasari munculnya konsepsi tentang representasi yang demokratis. Esensi representasi demokratis adalah otoritasi dan akuntabilitas yang berbasis pada keseteraan politik yang mengindahkan prinsip transparansi dan responsivitas (Olle Tornquist, 2009). Dalam konteks ini ada tiga tipe representasi. Pertama, representasi simbolik, artinya wakil berdiri untuk (standing for) konstituen karena kesamaan identitas, budaya, agama, kerabat dan sebagainya. Dalam pandangan kami, representasi semacam ini bisa juga disebut representasi komunal atau representasi parokhial. Kedua, representasi deskriptif, yakni wakil berdiri untuk (standing for) konstituen karena kesamaan daerah, komunitas, jenis kelamin, profesi. Ketiga, representasi substantif, yakni wakil bertindak untuk (acting for) konstituen karena 14 | P a g e
kesamaan organisasi, pandangan, kepentingan, dan ideologi (H. Pitkin, 1967, Gerry Mackie, 2003; Olle Tornquist, 2009). Jika representasi merupakan konsep sentral dalam demokrasi perwakilan, konstituensi merupakan konsep sentral dalam representasi. Konstituensi sebagai bentuk hubungan antara konstituen dengan wakil selalu menghadirkan pertanyaan: siapa konstituen setiap wakil rakyat, bagaimana wakil menentukan dan berhubungan dengan konstituen, bagaimana sistem konstituensi yang dibangun oleh sebuah negara. Dalam demokrasi prosedural, konstituensi elektoral menjadi dasar pembentukan konstituensi, yakni pengelompokan dimana suara warga dihitung berdasarkan hasil pemilihan umum (Andrew Rehfeld, 2005). Melissa Williams (1998) menilai bahwa konstituensi elektoral ini adalah bentuk konstituensi yang sangat sempit karena hanya berbicara tentang hubungan antara pemilih dan wakil-wakilnya dalam pemilihan umum. Lebih dari sekadar konstituensi elektoral, Kitschelt et. al. (1999) menegaskan bahwa konstituensi mengandung tiga elemen penting: proteksi terhadap hak-hak dan kepentingan kelompok atau organisasi rakyat; merepresentasikan kepentingan lokal yang dimarginalkan oleh kepentingan nasional; dan mendidik keahlian atau keterampilan kewarganegaraan di kalangan warga. Andrew Rehfeld (2005) juga menilai bahwa konstituensi teritorial merupakan tipe konstituensi yang paling lemah, bahkan menciptakan pengabaian (exclusion) terhadap konstituen, karena wilayah sebagai basis konstituensi menyediakan “community of interest� yang tidak jelas, heterogen dan meluas. Dalam kondisi ini, wakil rakyat tidak cukup jelas mewakili atau merepresentasi kepentingan apa dan siapa. Karena itu, Rehfeld merekomendasikan konstituensi berbasis kelompok dan organisasi atau disebut konstituensi organisasional, yang tentu berbasis pada kepentingan yang spesifik dan jelas. Sebagai contoh, wakil rakyat mempunyai basis konstituen pada organisasi buruh, organisasi petani, organisasi nelayan, dan sebagainya. IRE berpendapat pada konstituensi organisasional ini akan membuat representasi lebih substantif ketimbang representasi simbolik dan deskriptif. Representasi dan konstituensi sebenarnya bekerja dalam tiga ranah yang berujung dalam kebijakan publik, yakni ranah masyarakat sipil, ranah masyarakat politik dan ranah negara. Pertama, ranah masyarakat sipil bukan berbicara tentang komunitas spasial (misalnya desa), tetapi berbicara tentang organisasi warga (people organization maupun civil society organization) dengan berbasis pada hak dan kepentingan yang jelas. Sebab dalam demokrasi, kepentingan warga itulah yang menjadi basis kebijakan negara. Organisasi warga itu antara lain serikat buruh, serikat tani, serikat nelayan, organisasi difabel, organisasi masyarakat peduli pendidikan dan kesehatan, kelompok perempuan, serikat guru dan sebagainya. Mereka bukanlah organisasi komunitas berbasis spasial yang berorientasi pada harmoni, melainkan sebagai aksi kolektif yang digunakan untuk merepresentasikan kepentingan hakiki mereka dan mengontrol negara. Kedua, ranah masyarakat politik yang mencakup partai politik dan parlemen. Mereka adalah institusi representasi warga serta jembatan antara warga dengan negara. Mereka berkepentingan dengan warga sebagai konstituen dan basis kekuasaannya. Dengan kalimat lain, warga adalah basis konstituensi elektoral bagi parlemen. Setiap anggota parlemen pasti menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan konstituen. Tetapi ada pola representasi dan konstituensi yang berbeda-beda. Ada wakil rakyat yang membangun 15 | P a g e
konstituensi secara teritorial (spasial) yang berbasis pada kekerabatan, komunitas, suku, agama, identitas dan lain-lain, yang tentu akan membuahkan pola representasi simbolik atau representasi deskriptif. Sebagian kecil wakil rakyat lain yang mempunyai ideologi kuat biasanya membangun konstituensi organisasional sehingga membuahkan representasi substantif yang relevan dengan representasi yang demokratis (democratic representation). Ketiga, ranah negara, yakni arena perencanan-penganggaran dan kebijakan publik. Sebagai institusi representasi dan jembatan antara masyarakat dan negara, setiap anggota parlemen sangat berkepentingan mempengaruhi dan menentukan PDP dan kebijakan publik. Jika mengikuti skema representasi yang demokratis, peran parlemen adalah menjalankan konstituensi organisasional dan representasi substantif, yakni memperjuangkan kepentingan organisasi yang diwakilinya menjadi kebijakan publik yang strategis. Kebijakan yang berproses dari pola ini lebih fundamental dan mencerminkan representasi warga. Tetapi, sebaliknya, jika wakil rakyat menggunakan representasi simbolik dan representasi deskriptif dengan basis konstituensi teritorial, maka akan sulit membuahkan kebijakan yang mencerminkan representasi warga. Perjuangan wakil rakyat memperoleh dana proyek melalui PDP hanya memenuhi kebutuhan konstituen jangka pendek, tetapi tidak menjawab hak dan kepentingan warga secara fundamental. Tentu tidak semua wakil rakyat menjalankan representasi yang substantif. Knights (2005: 30-31) menyebut adanya misrepresentation yakni prilaku parlemen yang korup atau cermin seorang wakil rakyat yang tidak menyuarakan kehendak masyarakat atau konstituen yang diwakilinya. Ini jelas kontraproduktif dan hanya membuat warga terutama konstituennya semakin jauh. Pada sisi lain, Tornquist (2009:1) menyebut adanya representasi mengambang. Hal ini disebabkan karena terjadinya pembangunan institusi atau lembaga publik yang sangat elitis sedangkan pada level partisipasi warga terjadi fragmentasi. Disamping itu, mekanisme demokrasi perwakilan juga memiliki kelemahan internal terutama antara satu pemilu dengan pemilu berikutnya yang rata-rata antara 4-5 tahun. Hal ini tentu memungkinkan seorang wakil rakyat terpilih untuk melupakan janjinya atau sekedar mengabaikan suara konstituten untuk kepentingan yang lain. Dalam situasi yang demikian, diperlukan sebuah instrumen kelembagaan yang mampu mempertemukan antara pihak pemerintah, parlemen serta kalangan konstituen agar terus menerus terjadi komunikasi yang intens (Liwuhono, Ed., 2006:2). Banyaknya kasus dimana wakil rakyat dan institusi parlemen melakukan penyalahgunaan sumber daya publik (abuse of public resources) misalnya penggunaan anggaran yang berlebihan atau melakukan kunjungan studi banding ke luar negeri yang inefisien menjadikan citra parlemen sebagai representasi suara rakyat banyak dipertanyakan. Hal ini menjadikan kritik Tornquist tentang representasi mengambang semakin mendekati kenyataan. Apa yang dikatakan Tornquist tentang representasi mengambang (flawed representation) sebetulnya merupakan peringatan bahwa saat ini masyarakat mulai mendekati titik putus dengan jejaring politik di parlemen yang sebenarnya menjadi wakil mereka dalam membela maupun menyuarakan kepentingan warga terutama dalam proses perencanaan. 16 | P a g e
Mulai adanya kejenuhan di level masyarakat untuk menghadiri arena yang disediakan pemerintah seperti musrenbang seharusnya mampu menggugah kesadaran anggota parlemen bahwa ada yang harus diperbaiki dalam sistem perencanaan mulai dari level desa hingga nasional. Dengan kata lain, mengendurnya kehadiran warga dalam ruang formal yang disediakan negara merupakan bentuk lain dari mulai hilangnya kontrol publik terhadap barang-barang publik atau fasilitas publik lainnya (Tornquist, 2009:4). Hasil-hasil representasi – apakah representasi deskriptif dan simbolik yang berbasis konstituensi teoritorial ataukah representasi substantif yang berbasis pada konstituensi organisasional – tampaknya sangat tergantung pada pertarungan antara kerangka institusional dan ekonomi politik. Keduanya adalah pendekatan yang saling berkontestasi dan bisa digunakan untuk menganalisis representasi warga dalam PDP. Studi ini tentu berkepentingan untuk menganalisis bagaimana representasi warga dalam PDP, dan di sisi lain apakah kerangka institusional PDP cukup mewadahi atau membuka pulang bagi representasi substantif berbasis konstituensi organisasional. Pertanyaan penting lain yang perlu diajukan adalah, apakah para wakil rakyat membangun representasi-konstituensi secara memadai di ranah masyarakat sipil dan masyarakat politik sebelum masuh ke arena PDP dalam ranah negara? Pada dasarnya representasi warga dalam PDP dapat ditempuh dengan tiga cara: partisipasi langsung sebagaimana direkomendasikan oleh aliran strong democracy, deliberasi melalui forum bersama seperti anjuran deliberative democracy, dan artikulasi melalui institusi elitis (parlemen) sebagaimana dianjurkan oleh representative democracy (Olle Tornquist, 2009). Atas dasar ini, kami merumuskan sebuah kerangka analisis untuk memetakan representasi warga dalam PDP, tetapi term representasi kami modifikasi menjadi partisipasi, deliberasi dan kontestasi (sebagaimana dilakukan parlemen). Tabel 1 memberikan kerangka institusional untuk memahami representasi warga dalam PDP itu. Pada dasarnya matriks ini akan kami gunakan untuk menganalisis, bagaimana regulasi dan problem empirik tentang partisipasi, deliberasi, dan kontestasi pada sisi perencanaan dan penganggaran. Tabel 1 Mekanisme kelembagaan bagi representasi warga dalam PDP Partisipasi Deliberasi
Kontestasi (parlemen)
Perencanaan Partisipasi masyarakat (community participation) berbasis teritorial (desa, kecamatan, kabupaten/kota) Delegasi masyarakat berpartisipasi dalam proses musyawarah (deliberasi) dengan aktor-aktor lain dalam Musrenbang Parlemen tidak berkewajiban menghadiri Musrenbang, dan parlemen tidak punya kewenangan perencanaan.
Penganggaran Tidak ada Tidak ada
Jaring asmara untuk memperjuangkan usulan masyarakat, membentuk Badan Anggaran untuk bernegosiasi dengan tim anggaran eksekutif 17 | P a g e
Cara pandang institusionalisme baru dalam perencanaan, yang memasukkan konsep desentralisasi, demokratisasi, partisipasi dan representasi di atas, bagaimanapun diakomodasi, diadaptasi dan dilembagakan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional di Indonesia. UU No. 25/2004 tidak sekadar melakukan sinkronisasi dan koherensi perencanaan antar level pemerintahan dan antar pemangku kepentingan, tetapi juga mendorong hadirnya perencanaan responsif-partisipatif. Ini tercermin dalam beberapa pendekatan perencanaan: politik, teknokratik, dari atas dan dari bawah serta partisipatif. Secara sederhana, pendekatan teknokratik sebenarnya bisa ditempatkan sebagai jembatan atau interseksi antara pendekatan politik dari atas dan pendekatan partisipatif dari bawah. Tetapi, jika pendekatan teknokratik mengalami birokratisasi dan selalu tunduk pada pendekatan politik, maka pendekatan yang mengutamakan keahlian itu cenderung mengabaikan pendekatan partisipatif dari bawah. Berbagai pendekatan tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi terbangun sebuah interaksi sistemik sebagaimana tersaji dalam tabel 2. Sisi baris memperlihatkan pendekatan (politik, teknokrasi dan partisipasi) dan sisi kolom menunjukkan jalur (dari atas dan dari bawah). Interaksi antara pendekatan dan jalur itu melahirkan konsep-konsep yang terajut secara institusional di dalam enam kuadran, sehingga membuat perencanaan bisa menjadi lebih komprehensif. Tabel 2 Interaksi antar pendekatan dalam perencanaan Politik Teknokrasi Partisipasi
Dari atas ke bawah Visi kepemimpinan Rencana strategis dan alur informasi secara transparan Inklusi dan fasilitasi
Dari bawah ke atas Representasi melalui jaring asmara Data dan informasi (evidence based planning) Artikulasi, agregrasi dan deliberasi secara berjenjang melalui musrenbang
Musrenbang di level desa, kecamatan, daerah dan nasional sebenarnya merupakan titik temu (interseksi) antara tiga pendekatan dan dua jalur itu, sekaligus enam kuadran dalam tabel itu. Interseksi inilah yang disebut dengan demokrasi deliberatif melalui musyawarah secara kolektif untuk mengambil keputusan secara kolektif. Praktik demokrasi deliberatif dalam musrenbang menemukan berbagai kepentingan beragam aktor, aspirasi masyarakat, visi kepemimpinan, rencana strategis perangkat pemerintah, serta data dan informasi. Partisipasi dan deliberasi mencegah terjadinya otokrasi atau oligarki dalam perencanaan, dan dan sisi lain data dan informasi membuat perencanaan lebih berkualitas, bahkan bisa mengurangi terjadinya politisasi dan mencegah terjadinya tirani partisipasi. Pada dasarnya cara pandang institusional merupakan cara pandang “baik” atau cara pandang ideal-normatif terhadap perencanaan. Tetapi menurut cara pandang ekonomi politik, pendekatan dan kerangka institusional itu pasti menyajikan berbagai titik lemah. Meskipun pendekatan institusional mempunyai klaim “baik” dan ideal, tetapi pendekatan ekonomi politik juga mempunyai pandangan yang “lebih baik”. Pendekatan ekonomi politik mengajukan pertanyaan, apakah SPPN cukup memadai sebagai wadah representasi kepentingan ekonomi-politik berbagai organisasi rakyat? Apakah SPPN cukup memadai 18 | P a g e
merepons bentuk-bentuk partisipasi langsung (sebagai wujud strong democracy), bahkan partisipasi nonkonvensional seperti aksi kolektif kaum buruh atau organisasi tani yang memperjuangkan kepentingan mereka? Apakah SPPN mampu mewadahi kontestasi kepentingan ekonomi politik warga yang marginal untuk melahirkan kebijakan yang fundamental, atau hanya sebagai prosedur rutin untuk menjaga harmoni politik? Dengan cara pandang “lebih baik� pendekatan ekonomi politik berkepentingan terhadap partisipasi langsung organisasi-organisasi berbasis kepentingan dalam proses kebijakan, sekaligus lebih mengutamakan model right based planning-budgeting ketimbang need based planning-budgeting. Pendekatan yang berbasis hak (right based approach), sebagai antitesis terhadap pendekatan yang berbasis kebutuhan (need based approach) maupun pendekatan teknokratis. Jika pendekatan berbasis kebutuhan berupaya mengamankan sumberdaya tambahan untuk melayani atau mencukupi kebutuhan warga dengan menentukan skala prioritas yang selama ini diterapkan, maka pendekatan berbasis hak menegaskan bahwa sumberdaya yang tersedia seharusnya dibagi secara adil kepada warga yang selama ini marginal, sekaligus memperkuat posisi warga untuk memperjuangkan hakhak dan akses mereka atas kebijakan dan sumberdaya. Jika kebutuhan bisa ditangani dengan pendekatan bantuan dan karitatif (amal), maka hak-hak dan akses warga yang marginal didasarkan pada kewajiban legal (legal obligation) pemerintah, bahkan dalam beberapa kasus ia berbasis pada kewajiban etik yang menjadi pondasi bagi nasib manusia. Di sisi lain, pendekatan ekonomi politik juga mempunyai pandangan “buruk� terhadap SPPN karena melihat konteks kekuasaan yang oligarkhis. Menurut cara pandang ekonomi politik, perencanaan pasti mengandung kekuasaan dan kekayaan (uang). Di dalam kekuasaan terdapat kekayaan dan di dalam kekayaan terdapat kekuasaan. Relasi politik dalam perencanaan tidak mesti terjadi antara visi sang pemimpin dan partisipasi masyarakat, tetapi di balik itu terdapat relasi kekuasaan yang dominatif antara elite dan massa atau antara yang memerintah dengan yang diperintah. Karena itu, jika cara pandang institusional berbicara pada aras normatif-ideal atau apa yang sebaiknya dilembagakan dalam perencanaan, sementara cara pandang ekonomi politik berbicara pada tataran realis-empirik atau apa yang terjadi. Cara pandang ekonomi politik berguna untuk menganalisis kontestasi atau pergulatan kekuasaan beragam aktor untuk memperebutkan sumberdaya (baca: uang) dalam perencanaan. Cara pandang ekonomi politik sangat kritis terhadap konsep aksi kolektif (termasuk aksi kolektif dalam perencanaan) yang biasa dipakai oleh pendekatan institusional. Salah satu dilema aksi kolektif, demikian ungkap Mancur Olson (1965), adalah munculnya para penumpang gratis (free rider) yang mencari keuntungan pribadi dalam aksi kolektif. Catatan kritis tentang free rider ini dimanfaatkan dan dikembangkan oleh banyak studi dengan tema elite capture atau penyerobotan elite terhadap sumberdaya ekonomi dalam aksi kolektif. Sejumlah literatur menunjukkan bahwa elite capture merupakan dilema dan bahaya yang mudah muncul dalam pemerintahan lokal yang terdesentralisasi (Bardhan and Mookherjee 2002; Platteau and Gaspart 2004; Diya Dutta, 2009). Hadir argumen kuat bahwa, jika sentralisasi dan pemerintah pusat merupakan sarang korupsi, maka desentralisasi membawa kerentanan, yakni penyerebotan sumberdaya oleh elite lokal maupun kelompok-kelompok kepentingan politik. Dengan cara pandang ini, maka perencanaan daerah menjadi arena elite capture itu. 19 | P a g e
Studi ini akan menggunakan pendekatan institusionalisme baru dan pendekatan ekonomi politik secara silih berganti untuk menganalisis representasi warga dalam SPPN atau PDP. Dua tabel di atas adalah bentuk pendekatan institusional untuk melihat dimensi regulasi dan praktik empirik dalam hal partisipasi, deliberasi dan kontestasi. Sementara pendekatan ekonomi politik untuk menyampaikan kritik terhadap pendekatan institusional sekaligus memahami tiga hal penting. Pertama, representasi kepentingan berbagai organisasi warga dalam SPPN atau PDP baik melalui partisipasi konvensional, deliberasi dalam musrenbang dan kontestasi wakil rakyat. Kedua, menemukan kontestasi ekonomi politik jangka pendek dalam bentuk perburuan proyek dalam PDP. Ketiga, memanfaatkan temuan-temuan kritis secara ekonomi politik itu untuk merumuskan rekomendasi dalam bentuk kerangka institusional yang lebih memadai, yakni yang mampu menjawab kerisauan pendekatan ekonomi politik. B. Regulasi Perencanaan dan Penganggaran Melalui desk study yang telah dilakukan, terdapat beberapa temuan awal yang cukup penting untuk dikemukakan. Pertama, IRE menemukan bukti bahwa pertautan antar regulasi yang menjadi pijakan regulasi sistem perencanaan dan penganggaran di tingkat nasional, yakni, UU No 17/2003, UU No 32/2004, UU No 25/2004 dan UU 33/2004 memunculkan dua persoalan utama yakni; a. Ketentuan konsistensi antara dokumen perencanaan dengan dokumen anggaran tidak diatur oleh UU No 32/2004. Regulasi induk perencanaan (UU No 25/2004) dan regulasi induk penganggaran (UU No 17/2003) justeru tegas mengatur bahwa dokumen penganggaran (KUA-PPAS, RKA, APBN/APBD) berpedoman kepada dokumen perencanaan (RKP/RKPD). Padahal UU No 32/2004 berkehendak memayungi sistem perencanaan dan penganggaran daerah. b. Kerangka regulasi perencanaan desa tidak ada. Empat paket regulasi yang menaungi perencanaan dan penganggaran ternyata tidak menyinggung sama sekali tentang perencanaan desa. Padahal UU No 32 Tahun 2004 mengatur secara khusus tentang desa, baik itu Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga desa, keuangan desa, dan kerjasama desa. Bagaimana dengan posisi regulasi PP No 72/2005 tentang Desa yang memuat materi pengaturan tentang perencanaan pembangunan desa (Pasal 63–66)? Dalam konteks demikian, menjadi sebuah permasalahan tersendiri mengapa pada UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak memuat materi khusus tentang perencanaan pembangunan desa. Kedua, ada beberapa poin yang penting untuk dikaji lebih mendalam: a. Regulasi induk perencanaan (UU No 25/2004) dan penganggaran (UU No 17/2003) secara tegas menautkan dokumen perencanaan dan penganggaran, termasuk memberikan bingkai relasi antara pusat dan daerah. Masalahnya adalah UU No 25/2004 menempatkan dokumen RPJMN dan RPJMD dalam yuridiksi eksekutif (Perpres/Perkada), namun UU No 32/2004 justeru menempatkan RPJMD ke dalam yuridiksi legislatif (Perda). UU No 25/2004 menempatkan perencanaan dalam
20 | P a g e
domain eksekutif (executive heavy), sedangkan UU No 32/2004 memberikan domain yang seimbang antara eksekutif dan legislatif. a. Dokumen perencanaan tahunan berbeda terminologi. UU No 25/2004 mempergunakan terminologi RKPD sebagai Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sedangkan UU No 32/2004 menyebut RKPD sebagai Rencana Kerja Pembangunan Daerah. b. Pedoman penyusunan dokumen perencanaan oleh UU No 25/2004 diserahkan ke daerah melalui Perda, sedangkan UU No 32/2004 justeru mengembalikan pengaturannya kepada Pemerintah ymelalui Peraturan Pemerintah. Undang-undang No25/2004 dan UU No 32/2004 sama sekali tidak mengatur konskuensi inkonsistensi antardokumen perencanaan, misal antardokumen RPJP dengan RPJMN dan RKP. c. Materi muatan dan format KUA tidak diatur di dalam UU NO 17 Tahun 2003. Dokumen Renja dan RKA memiliki format isian yang relatif sama, yaitu: kerangka kebijakan, program dan kegiatan (berikut besaran anggaran dan sumbernya). Ketiga, IRE juga mencatat bahwa tahapan perencanaan jangka panjang tidak mengenal penyusunan rancangan rencana kerja, sedangkan perencanaan jangka menengah dan tahunan menjadikan penyusunan rancangan rencana kerja sebagai bagian penting dari penyusunan dokumen perencanaan. Selain itu, pengaturan lebih lanjut mengenai tahapan, penyusunan dokumen, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana di serahkan ke daerah (UU No 25/2004), namun UU No 32/2004 justeru melimpahkannya kepada pusat. Keempat, disamping itu, IRE juga melihat bahwa regulasi perencanaan menempatkan Bappenas dan Bappeda sebagai leading sector-nya. Namun demikian regulasi penganggaran tidak sama sekali memberikan peran dan ruang bagi Bappenas dan Bappeda. Dalam kerangka menyatukan dokumen perencanaan dan penganggaran maka Bappenas dan Bappeda diusulkan memiliki TUPOKSI baru di bidang penganggaran. Kelima, IRE menemukan bukti baru bahwa kerangka regulasi perencanaan dan penganggaran masih bermasalah dalam memberikan ruang partisipasi masyarakat dan peran parlemen. Partisipasi masyarakat masih terlokalisir dalam proses perencanaan, melalui payung regulasi UU No 25 tahun 2004. Tetapi ruang partisipasi tersebut menjadi tidak jelas pada saat proses penganggaran. Sebaliknya, peran parlemen yang tidak ada sama sekali pengaturannya di dalam UU No 25/2004, justeru mulai diberi ruang seluasluasnya dan memiliki kewenangan kuat pada proses penganggaran, (UU No 17/2003). Dua peran yang tidak seimbang dan terlokalisir sendiri-sendiri inilah yang menjadi tantangan untuk dirumuskan ke dalam skema pengaturan yang baru. Keenam, dalam praktek perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat daerah dan desa memunculkan fragmentasi dalam perencanaan pembangunan. Hal ini terlihat dalam perencanaan reguler, seperti Musrenbangdes dan Musrenbangcam dengan perencanaan non reguler seperti program PNPM-MP yang memiliki perencanaan dan penganggaran tersendiri. Begitu juga dengan intervensi langsung pemerintah pusat melalui program bantuan langsung masyarakat (BLM). Adanya perencanaan dan penganggaran yang tidak saling terintegrasi dan terkoneksi satu sama lain berakibat pada pada lemahnya sistem dan kelembagaan di dalam mengembangkan aspirasi warga dalam perencanaan 21 | P a g e
pembangunan. Partisipasi warga yang baru sekedar bersuara, belum mengalami proses transformasi secara lebih meluas dalam mengatasi permasalahan sosial yang ada di tingkat lokal, seperti dalam mengatasi kemiskinan dan sejenisnya. Ketujuh, adanya jaring asmara yang dilakukan oleh anggota dewan (parlemen) yang tidak terintegrasi kedalam forum perencanaan reguler membuat hasil Musrenbangdes dan juga Musrenbangcam tidak memiliki kekuatan politis sehingga mudah dikalahkan oleh perencanaan yang bersifat non reguler atau perencanaan sektoral lainnya sebagaimana yang dilakukan oleh departemen atau SKPD. Kedelapan, IRE menilai penting adanya kajian mendalam tentang representasi warga dalam sistem perencanaan dan penganggaran. Studi ini dipandang penting mengingat sistem pemilu saat ini semakin memperlihatkan arah yang jelas sebagai demokrasi perwakilan. Dengan sistem pemilu yang tidak lagi berbasis pada nomor urut tetapi suara terbanyak, mandat rakyat yang diberikan melalui pemilu legislatif menjadi sangat penting. Karena itu, isu maupun praktik representasi warga menjadi hal penting untuk dikaji lebih mendalam. C. Partisipasi dalam Perencanaan dan Penganggaran Cara pandang institusional sebagaimana dipaparkan di depan telah menunjukkan bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN) merajut pendekatan politik, teknokrasi dan partisipasi dengan dua jalur perencanaan, yaitu; jalur atas bawah (top down planning) dan jalur bawah ke atas (bottom up planning). Proses merajut tersebut menghasilkan interseksi secara sistemik di dalam pelaksanaan Musrenbang sehingga menjadi arena pertautan antar nalar para aktor yang berkepentingan dalam mengelola sumberdaya publik. Musrenbang akhirnya dipandang sebagai salah satu arena representasi warga dalam hal partisipasi, deliberasi dan kontestasi. Meskipun demikian, pandangan tersebut dipersoalkan oleh cara pandang ekonomi politik yang mempertanyakan kinerja Musrenbang dalam menyediakan ruang partisipasi langsung maupun partisipasi non konvesional dari kelompok-kelompok warga berbasis sektoral. Tulisan berikut ini akan mencoba memberikan penjelasan tentang kualitas ruang partisipasi yang disediakan SPPN melalui Musrenbang, melalui cara pandang institusional dan ekonomi politik secara bergantian. Ruang partisipasi warga semakin terbuka dalam proses pengambilan keputusan publik di era desentralisasi dan otonomi daerah. Warga memperoleh ruang partisipasi tersebut sebagai hasil demokratisasi yang menawarkan prinsip dan nilai-nilai demokrasi partisipatif, (Sediono M.P. Tjondronegoro, 2003:v-vi; Sutoro Eko, 2003:9-10; Hetifah Sj Sumarto, 2004:3-7, Binny Buchori, 2005:v-vii; Juni Thamrin, 2005:49-54; Widiyanto dan Syafa’atun K, 2011). Perubahan struktur politik di awal tahun 1998, telah mengantarkan kepada praktik-praktik demokrasi langsung (participatory democracy), yang bercirikan pelibatan warga dalam pembuatan keputusan publik. Era demokrasi partisipatoris dengan demikian bisa disebut sebagai era publicness dalam perumusan kebijakan maupun pembuatan keputusan-keputusan publik lainnya.
22 | P a g e
Orientasi publicness (baca: kepublikan) pun menjadi semarak diwacanakan. Materi-materi dalam diskursus akademik, kebijakan di parlemen dan pemerintah, kampanye gerakan sosial serta ragam desain program dari lembaga-lembaga donor internasional, selalu terkait dengan publicness ini. SPPN mengalami orientasi publicness melalui ketentuan formal-legal UU No 25/2004. Dalam diri SPPN ini ada kehendak kuat untuk menghadirkan praktik demokrasi langsung, mulai dari desa sampai pusat. Demokrasi langsung hendak diwujudkan melalui partisipasi warga secara langsung untuk hadir dan terlibat di dalam pembicaraan masalah publik dan sumberdaya publik yang dikelola pemerintahan. Apakah kehendak kuat ini memperlihatkan pencapaian yang signifikan bagi partisipasi warga? Musrenbang sebenarnya didesain sebagai forum antar pelaku untuk merencanakan pengelolaan sumberdaya publik. Rute yang ditempuh mulai dari perencanaan program/kegiatan dan berakhir pada proses alokasi anggaran publik untuk program/kegiatan tersebut. Forum antar pelaku tersebut mempertemukan warga masyarakat dari unsur kewilayahan dan sektoral dengan para birokrasi yang bekerja di institusi publik. Oleh karena itu, perencanaan dan penganggaran bisa dimaknai sebagai mekanisme untuk mempertautkan kebutuhan warga masyarakat dengan institusi publik yang menjalankan mandat mengelola sumber daya publik. Kebutuhan publik bisa jadi tak terbatas, namun sumberdaya publik yang dikelola institusi publik jumlahnya terbatas. Masalah publik yang tak terbatas tersebut oleh SPPN diseleksi melalui Musrenbang desa, Musrenbang kecamatan, Musrenbang kab/kota, Musrenbang propinsi dan pusat. Dalam Musrenbang tersebut ruang partipasi warga dibuka. Mereka bisa langsung menyampaikan masalah, kebutuhan dan gagasan untuk dirumuskan menjadi program/kegiatan. Mereka pun bisa berdialog langsung dengan sesama warga masyarakat sipil dan para birokrat pemangku institusi pemerintahan. Musrenbang ini dilaksanakan dengan menempel struktur organisasi dan kegiatan pemerintahan. Karena melekat di struktur organisasi pemerintahan ini, maka leading agency Musrenbang adalah birokrasi pemerintah. Musrenbang desa diselenggarakan pemerintahan desa, Musrebang kecamatan diselenggarakan pemerintah kecamatan, dan seterusnya. Dengan kata lain, Musrenbang masih diselenggarakan di ranah pemerintahan, belum berlangsung di ruang masyarakat sipil. Merujuk pada pemikiran Suhirman (2005;144), forum seperti Musrenbang ini idealnya berlangsung di ruang masyarakat sipil. Ketika forum Musrenbang menjelma menjadi ruang masyarakat sipil, maka warga akan memiliki kesempatan untuk berkonsolidasi, mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan mereka, serta merdeka untuk memilih pertimbangan atau rujukan bagi kepentingan publik.
23 | P a g e
C.1 Praktik Partisipasi Sejauh ini “Masih banyak kelemahan dalam proses perencanaan kita, dimana dewan dinilai tidak memiliki peran yang optimal dalam tahapan ini. Tahapan perencanaan seringkali masih menjadi wilayah eksekutif, sehingga dewan seringkali banyak ketinggalan informasi dari proses Musrenbang. Dewan selama ini hanya memakai mekanisme jaring aspirasi masyarakat saja untuk menjaring kebutuhan di tingkat dapil, yang selanjutnya dipertarungkan dalam proses pembahasan anggaran di tingkat DPR”, (Emir Moeis, Ketua Komisi XI DPR RI, Wawancara IRE 2012). Studi tentang participatory budgeting yang dilakukan oleh banyak pihak, antara lain; FPPM (2006), IRE (2008) dan Demos (2011), menemukan fakta, bahwa warga masyarakat hanya bisa berpartisipasi dalam ruang formal pada proses perencanaan, tetapi tidak bisa secara formal pada proses penganggaran. Dalam penjelasan yang terkait dengan partisipasi masyarakat, pemikiran yang disampaikan UU No 25/2004 tentang SPPN adalah “pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki.” Penjelasan tersebut memberikan jalan terang bahwa proses perencanaan pembangunan yang berlangsung di pusat dan daerah harus melibatkan semua elemen masyarakat yang terkait, agar masalah dan kebutuhan yang sedang dihadapi bisa difasilitasi melalui penyelenggaraan pemerintahan di pusat maupun di daerah. Penjelasan seperti ini semakin menegaskan bahwa SPPN yang diformulasikan merupakan kerangka pemikiran, meminjam pendapat Daniel Dhakidae (2011), deepening democracy dan sekaligus thickening democracy. Disebut deepening democracy (pendalaman demokrasi) karena ruang partisipasi dalam Musrenbang merupakan fase lanjutan dari electoral democracy. Sedangkan sebutan thickening democracy (penebalan demokrasi) merujuk pada kehendak SPPN yang menyediakan ruang partisipasi “di mana-mana”. Mengapa warga masyarakat harus bersusah payah terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan publik? Bukankah sudah ada lembaga parlemen yang dikonsepsikan sebagai representasi warga masyarakat? Pernyataan Ketua Komisi XI DPR RI di atas menyiratkan fakta dan sekaligus mengkonfirmasi temuan hasil desk study IRE terkait dengan peran parlemen dalam proses perencanaan dan penganggaran. Parlemen yang seharusnya mewakili warga masyarakat (representatives) dalam forum Musrenbang, tidak terjadi karena mereka absen. Para anggota parlemen daerah dan pusat justeru lebih suka menjalankan fungsi representasinya pada saat masa reses, melalui jaring asmara (penjaringan aspirasi masyarakat). Masalahnya, jaring asmara anggota parlemen selama ini tidak bersamaan waktu dengan proses Musrenbang. Musrenbang dimulai bulan Januari (Musrenbang desa), sedangkan masa reses dimulai pada bulan April. Fakta ini menyebabkan warga masyarakat harus berpartisipasi langsung dalam Musrenbang desa/kel, Musrenbang kecamatan dan Musrenbang kab/kota. Mereka merayakan demokrasi langsung melalui forum Musrenbang, tanpa pengawalan yang berarti dari anggota perlemen yang dipilihnya pada saat demokrasi pemilihan. Inilah keterputusan yang terjadi antara demokrasi pemilihan (electoral 24 | P a g e
democracy) dengan demokrasi langsung (participatory democracy). Pihak terwakili (represented) harus berjibaku dalam pengambilan keputusan publik, karena pihak yang didaulat mewakili (representatives) tidak hadir. Ruang partisipasi formal Musrenbang akhirnya didominasi birokrasi pemerintah selaku penyelenggara, sisanya diisi oleh elemen masyarakat sipil, segelintir pelaku ekonomi dan terkadang hadir elemen budaya, (Sunaji Zamroni dan M. Zainal Anwar, 2008). Diskursus gagasan dan nalar yang menonjol pun, karena komposisi demikian, bukan voices of the citizen, tetapi nalar birokrasi dan teknokrasi. Bagan 1 Tahapan Perencanaan dan Alokasi Waktu Januari • Musrenbang Desa
Februari • Musrenbang Kecamatan
Maret • Musrenbang Kabupaten/Kota
Awal April • Musrenbang provinsi
Akhir April • Musrenbang Nasional/Pusat
Partisipasi warga cenderung meriah pada saat Musrenbang desa/kelurahan, namun kian mengalami defisit partisipasi ketika Musrenbang kecamatan, forum SKPD dan Musrenbang kab/kota. Bahkan ruang partisipasi warga tertutup rapat pada saat penganggaran, sebaliknya ruang penganggaran terbuka lebar untuk parlemen. Studi yang dilakukan FPPM (2006), IRE (2008) dan Demos (2011) menemukan bukti-bukti terkait dengan partisipasi warga di Musrenbang dan pembahasan anggaran. Tidak sekedar derajat ketebalan partisipasi, studi-studi tersebut juga mengidentifikasi bahwa partisipasi warga berlangsung karena mobilisasi penyelenggara Musrenbang, bukan kesukarelawanan mereka. Warga berpartisipasi dalam Musrenbang karena diundang. Para pihak penyelenggara pun cenderung membuka ruang partisipasi bagi warga yang diundang, tanpa undangan mereka cenderung menolaknya. Kondisi demikian mencerminkan bahwa demokrasi langsung yang disemai SPPN tumbuh kembang dalam situasi yang formal, prosedural dan administratif. Hal ini berpunggungan dengan konsep demokrasi langsung yang digambarkan mampu menghadirkan ruang terbuka yang fair, equity dan adil. Ruang yang demikian bisa hadir di tengah komunitas masyarakat sipil, sulit terwujud di tengah birokrasi yang sarat dengan budaya prosedural dan administrasi. Diagram 2.1 mempertegas paparan ini yang menyoroti keberadaan ruang partisipasi warga dalam Musrenbang yang melekat pada struktur organisasi pemerintah.
25 | P a g e
Diagram 1 Ruang Partisipasi dalam Perencanaan Melekat di Sruktur Organisasi Pemerintahan
Struktur Pemerintahan
Pusat
Tahapan Musrenbang
Musrebangnas
Propinsi
Musrenbang Propinsi
Kab/kota
Musrenbangkab/kota
Kecamatan
Musrenbangcam
Desa/Kelurahan
Musrenbangdes/kel
Delegasi kec, SKPD, Pemkab/Pemkot, stakholders
Delegasi desa/kel, UPTD, PemKec
Warga tingkat komunitas, pemuda, perempuan, LPMKD/K, Pemdes/kel
Selain masalah jenjang Musrenbang yang melekat pada struktur organisasi pemerintahan, sebagaimana diagram di atas terdapat pula masalah keterhubungan warga dengan lembaga perwakilan. Pada saat Musrenbang desa sampai pusat, warga tak dapat bertemu secara formal dengan anggota atau lembaga perwailan. Sebaliknya pada saat penganggaran, warga masyarakat ditinggalkan begitu saja. Warga yang diwakili tidak bisa bertemu denganpihak yang mewakilinya. Akibatnya, relasi kedua belah pihak menjadi renggang atau berjarak. John Gaventa (2005:2-3) melalui laporan voices of the poor untuk disajikan pada dokumen World Development Report (WDR 200/I) memberikan peringatan, bahwa hubungan masyarakat sipil (kaum miskin, marginal) dengan institusi publik (pemerintah dan parlemen) yang berjarak atau merenggang, telah menjadi fakta di sebagian besar belahan dunia. Hubungan seperti ini merupakan pertanda buruk bagi kehidupan demokrasi partisipatif. Studi ini meyakini bahwa praktik demokrasi langsung pada saat Musrenbang dan penganggaran terhalang oleh karakter prosedur dan administrasi yang formal. Partisipasi sebagai manifestasi demokrasi langsung telah dipertegas dalam Pasal 2 ayat (4) huruf d dan penjelasan UU No 25/2004 tentang SPPN, dimana tujuan SPPN adalah untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Namun demikian, regulasi ini ternyata hanya menghubungkan partisipasi warga dengan institusi pemerintah (daerah dan pusat), tidak menghubungkan dengan institusi parlemen (daerah dan pusat). Kondisi inilah yang
26 | P a g e
dikhawatirkan oleh pemikiran John Gaventa, warga sipil tak terhubung secara formal dengan institusi parlemen dalam proses perencanaan. Semakin ke atas, jenjang Musrenbang ternyata memperlihatkan ruang partisipasi warga yang semakin sempit. Desain kegiatan Pra Musrenbangnas yang disusun Bappenas menjadi gambaran nyata ruang sempit partisipasi yang tersedia bagi warga. Diagram 1 memperlihatkan bahwa organisasi masyarakat sipil (OMS) disediakan ruang berpatisipasi dalam pra Musrenbangnas. Ruang partisipasi ini tersedia bagi OMS yang diundang Bappenas, tidak sembarangan warga tanpa diundang bisa hadir di forum tersebut. Apakan OMS yang akan diundang mewakili masyarakat sipil lainnya? Bagaimana keterhubungan OMS yang diundang dengan warga yang bersebaran seantero negeri ini? Bagaimana relasi OMS ini dengan parlemen di daerah maupun pusat? Pertanyaan – pertanyaan seperti inilah yang krusial dipenuhi dalam disain yang sedang dkebangkan Bappenas. Kami sangsi bahwa ruang partisipasi yag diciptakan Bappenas tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat sipil, terlebih ruang itu disediakan hanya untuk OMS dalam waktu sekitar 10 hari. Diagram 2 Ruang Partisipasi Warga Sipil dalam Alur Musrenbangnas
Sumber : Bahan presentasi Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, pada Pertemuan Triwulanan II, 29 Februari 2012) Bagaimana partisipasi warga dalam proses penganggaran? Ruang partisipasi warga pada proses penganggaran, mulai dari KUA-PPAS sampai APBD/APBN, menjadi tertutup rapat secara formal karena digantikan oleh ruang representasi parlemen yang justru terbuka lebar melalui UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Masalah yang muncul adalah parlemen (komisi mitra SKPD atau K/L, Banggar) justru sering mempergunakan ruang tersebut untuk membawa hasil 27 | P a g e
agregasi dan artikulasi konstituennya pada saat jaring asmara (masa reses) di dalam forum-forum pembahasan anggaran. Padahal proses perencanaan telah usai dan ditetapkan melalui Perbup/Perwal atau Perpres tentang dokumen RKPD/RKP. Fenomena “salah ruang” inilah yang menyebabkan proses perencanaan yang panjang dan melibatkan banyak warga sipil, sering terpental oleh “operasi politik” melalui praktik-praktik negosiasi dan lobi antara anggota parlemen dengan pihak eksekutif. Penuturan salah seorang anggota Komisi V dan Badan Anggaran DPR RI berikut ini menjadi pertanda adanya praktik-praktik “salah ruang” yang diperankan oleh parlemen pada saat pembahasan anggaran. “Banggar hanya mengeksekusi apa yang diusulkan komisi. Kebijakan makro ada di komisi XI dan kebijakan mikro ada di Banggar. Sekarang komisi di parlemen yang banyak berperan dalam menentukan anggaran. Bahkan, ada juga komisi yang melakukan by pass dengan langsung menghubungi kementerian terkait.” (Marwan Ja’far, Anggota komisi V dan Badan Anggaran DPR RI, Wawancara IRE, 2012) Informasi yang disampaikan anggota parlemen tersebut memberikan signal, bahwa proses pembahasan anggaran APBN berlangsung “head to head” antara pemerintah (K/L) dan parlemen. Setali tiga uang dengan proses pembahasan APBD di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Apakah praktik tersebut termasuk pelanggaran? Dalam regulasi yang mempedomaninya, UU No 17/2003 dan UU No 32/2004, memang proses pembahasan anggaran berlangsung antara pihak eksekutif dan legislatif. Bahkan dalam konsepsi fungsi parlemen, salah satu fungsi utama lembaga ini adalah melaksanakan budgeting. Jadi, secara legal formal tidak ada unsur yang dilanggar. Masalah yang serius dalam proses ini adalah ruang partisipasi warga yang tertutup. Pada saat warga dengan parlemen tidak terhubung secara formal dalam proses perencanaan, peran representasi parlemen pada saat pembahasan anggaran menjadi pantas dipersoalkan. Terlebih lagi dalam studi yang telah dilakukan IRE di Kabupaten Kebumen-Jawa Tengah dan Kabupaten Bantul-D.I Yogyakarta (2006-2008), maupun wawancara dengan anggota parlemen di DPR RI (2012), memberikan gambaran, bahwa pada saat pembahasan anggaran mereka tanpa dibekali dokumen perencanaan yan telah dihasilkan oleh Musrenbang (RKP, RKPD). Anggota parlemen sering berbekal pada hasil jaring asmara pada saat reses di daerah pemilihannya. Sehingga representatives yang seharusnya diperankan menjadi minimize atau terlokalisir dalam kepentingan mereka. C.2 Pembaharuan Partisipasi Warga Paparan di atas memberikan gambaran bahwa partisipasi warga secara langsung sangat dibutuhkan dalam proses perencanaan dan penganggaran. Kerangka pemikiran demokrasi partisipatoris bisa menjadi payung dalam pengembangan partisipasi warga secara langsung. Beberapa fakta yang ditunjukkan oleh hasil studi terdahulu maupun dalam studi ini, menyampaikan early warning, bahwa relasi formal warga dengan anggota parlemen terputus pada saat perencanaan dan penganggaran. Dengan demikian, menjadi penting untuk mencari alternatif ruang partisipasi untuk warga dalam proses tersebut. Ada 28 | P a g e
beberapa catatan penting untuk dipertimbangkan menjadi isu pembaharuan partisipasi warga dalam proses perencanaan dan penganggaran. Pertama, ketersediaan ruang partisipasi. Ruang partisipasi warga untuk terlibat memutuskan program/kegiatan pembangunan disediakan oleh regulasi melalui Musrenbang dan jaring asmara. Musrenbang menyediakan ruang bagi warga sipil untuk hadir mengikuti proses deliberasi perencanaan maupun berkontetasi menyampaikan masalah publik dan gagasan penyelesaiannya. Sedangkan mekanisme reses DPR dan DPRD, dipergunakan untuk jaring asmara, atau dimanfaatkan warga konstituennya untuk mengartikulasikan masalah dan kepentingannya. Dalam praktiknya, dua ruang partisipasi ini memiliki karakter dan cerita tersendiri. Terkait katersediaan ruang partipasi, Juni Thamrin (2005:55-56) pernah mencoba mengkaitkannya dengan konsep invited space dan popular space yang diformulasikan oleh Cornwall. Dalam uraiannya, Juni Thamrin mendeskripsikan bahwa konsep invited space seperti “institusi antara� yang disediakan oleh pemerintahan karena tuntutan warga dari bawah, tekanan dunia internasional atau tekanan dari LSM yang menghendaki pelibatan warga dalam arena tata pemerintahan. Singkat kata, praksis invited space sebagai siasat rejim pemerintahan menghadapi tuntutan dan tekanan dari elemen masyaraat sipil. Musrenbang bisa dianggap sebagai praksis atas konsep invited space sebagaimana diformulasikan oleh Cornwall. Hanya saja, praksis ini belum tentu sebangun dengan pemikiran yang disampaikan Suhirman (2005), bahwa seharusnya forum seperti Musrenbang merupakan ruang masyarakat sipil yang terbuka, equity dan adil untuk pembuatan keputusan publik. Catatan yang IRE miliki sejauh ini, praksis konsep invited space tidak memberikan keleluasaan bagi masyarakat sipil, karena ruang tersebut disediakan secara formal dan terbatas, bahkan hanya warga yang diundang saja yang bisa hadir. Lain halnya dengan konsep popular space. Konsep ini di dalam praksisnya merupakan bentuk ruang asli yang diciptakan dan dikembangkan sendiri oleh warga sipil. Ruang ini biasanya tercipta karena rasa solidaritas sesama warga sipil yang menghadapi struktur politik yang merugikan mereka. Karenanya, konsep popular space dirumuskan sebagai ruang yang terbuka, equity dan adil bagi warga sipil. Cerita “dewan penganggaran partisipatif� di Kota Porto Alegre Brasil, banyak pihak yang meyakininya sebagai praksis popular space. Menurut kami, konsep popular space inilah yang penting untuk dipertimbangkan dalam rangka pengembangan partisipasi di masa depan. Kedua, kebutuhan menghubungkan warga dengan institusi publik. Kritik yang dilontarkan banyak kalangan atas demokratisasi yang berlangsung saat ini adalah jebakan demokrasi prosedural. Praktik electoral democracy sejauh ini telah menempatkan warga sebagai voters, yang hanya dianggap pada saat mereka memberikan hak pilihnya. Setelah itu mereka cenderung dilupakan. Konsep warga sebagai citizenship yang aktif berhubungan langsung dan terus menerus dengan institusi publik yang mempengaruhi kehidupann mereka, belum menjadi praksis nyata sampai saat ini. Desain representasi yang dikonsepsikan demokrasi perwakilan ternyata sulit dipraktikkan, karena hubungan warga dengan para wakilnya menjadi sangat berjarak dan kalau pun terjadi sarat dengan kepentingan politik. Karena itu dibutuhkan mekanisme untuk menghubungkan warga dengan anggota parlemen dan institusi parlemen.
29 | P a g e
Dalam situasi anggota parlemen tidak berperan maksimal dalam peran representasinya, seperti saat ini, ada kebutuhan mendesak untuk membangun ruang constituency relation. Desain penyediaan ruang partisipasi dalam SPPN belum dapat disebut sebagai arena mempertemukan warga dengan anggota parlemen (constituency relation). Jika masa reses sebanyak 4 kali dalam setahun dikonsepsikan sebagai arena contituency relation, warga pun tidak bisa memaksimalkan sebagai ruang partisipasi. Bahkan masa reses secara legal formal tidak dikenal dalam UU 25/2004 tentang SPPN dan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. IRE menemukan contoh menarik untuk dipertimbangkan terkait model constituency relation. Salah satu model yang dikembangkan anggota Fraksi PDIP Budiman Sudjatmiko, melalui Rumah Aspirasi Budiman (RAB), memberikan gambaran tentang house of representative guna menghubungkan konstituen dengan anggota parlemen (constituency relation). Dalam wawancara yang kami lakukan di RAB diperoleh gambaran bahwa institusi ini dijalankan oleh para konstituen Budiman Sudjatmiko yang memiliki tiga program utama, yaitu; 1) penguatan pemerintahan desa dan pemberdayaan petani, 2) pemberdayaan sosial dan advokasi kebijakan publik, serta 3) konsultan hukum. Ketiga program RAB ini merupakan menifestasi dari janji kampanye Budiman pada saat kampanye (Wawancara IRE, 2012). Ketiga, penguatan kapasitas warga untuk berpartisipasi. Jaminan adanya ruang partisipasi warga masyarakat dalam perencanaan termuat pada Pasal 2 ayat (4) huruf d, yaitu; “Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk: …(d) mengoptimalkan partisipasi masyarakat”. Selain itu dalam penjelasan UU No 25/2004 bagian Umum tentang pendekatan perencanaan, penegasan partisipasi warga diuraikan lebih detail, yaitu; “bahwa pendekatan perencanaan ada 5; 1) politik, 2) teknokratik, 3) partisipatif, 4) atasbawah (top-down), dan 5) bawah-atas (bottom-up)”. Masalahnya, warga masyarakat sipil sebagian besar masih memiliki kapasitas yang kurang untuk memahami peraturan, sistem, dokumen dan aspek-aspek teknokrasi yang sering dihadirkan dalam proses Musrenbang. Karena itu, pengalaman yang kami miliki menunjukkan, bahwa kapasitas warga sipil ketika diperkuat dan diorganisir maka mereka akan siap beradu argumentasi dan terampil di dalam mengikuti proses perencanaan dan penganggaran melalui Musrenbang maupun pembahasan anggaran. D. Deliberasi dalam Perencanaan dan Penganggaran Sesuai dengan amanat UU No. 25/2004 tentang SPPN yang kemudian djabarkan melalui PP No. 40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional mengamanatkan kepada masing-masing tingkatan pemerintah mulai dari tingkat desa/kelurahan sampai dengan tingkat nasional untuk menyelenggarakan agenda musrenbang. Musrengbangnas dimaksudkan dalam rangka sinkronisasi Renja-K/L (rencana Kerja Kementerian/Lembaga) serta Usulan Pendanaan Perangkat Daerah (UPPD) Provinsi untuk menyokong penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) (Bappenas, 2011). Sama halnya dengan musrenbang kabupaten maupun musrenbang provinsi, forum musrenbangnas juga melibatkan banyak unsur. Dalam buku panduan musrenbangnas untuk penyusunan RKP tahun 2011 yang dikeluarkan Bappenas tahun 2010 mencantumkan cukup banyak pihak yang dapat terlibat dalam forum deliberasi tingkat 30 | P a g e
nasional tersebut. Secara garis besar ada dua kelompok yang dilibatkan dalam forum musrenbangnas yaitu peserta dari pusat dan peserta dari daerah. Peserta dari pusat misalnya seluruh Sekjend/Sesmen/Sestama dari seluruh Kementerian/Lembaga, perwakilan dunia usaha, akademisi dan LSM. Sedangkan peserta dari daerah meliputi gubernur, bupati/walikota, dan kepala bappeda provinsi kabupaten/kota. Posisi perwakilan DPR malah tampak tidak tercantum sebagai salah satu peserta musrenbangnas. Tidak hanya itu, kelembagaan perwakilan rakyat tersebut juga tidak terlibat didalam forum-forum pramusrenbangnas. Baik di daerah maupun pusat, kehadiran anggota DPR dalam forum-forum musrenbang belum memberikan kontribusi signifikan. Pasalnya kehadiran mereka masih sebatas melengkapi komposisi stakeholder. Hadir dan memberi kata sambutan nampak menjadi tradisi umum yang biasanya diperankan anggota DPRD ketika hadir pada musrenbang. Titik temu deliberasi yang nyata, dimana terjadi proses permusyawaratan dan negosiasi antara legislatif dengan eksekutif justru bertemu pada saat rumusan usulan pembangunan hendak diangkat menjadi Kebijakan Umum Anggaran APBD atau APBN untuk tingkatan pusat. Dalam posisi ini, daftar usulan pembangunan yang dihimpun melalui skema musrenbang maupun jaring aspirasi masyarakat sama-sama berpotensi tereliminasi, mengingat keterbatasan sumber daya (anggaran), namun dengan jumlah usulan program dan kegiatan yang melebihi plafon anggaran. Selain itu, pelibatan stakeholder dari elemen masyarakat yang semakin mengecil dari satu jenjang musrenbang ke jenjang musrenbang berikutnya, kian melemahkan posisi tawar prioritas program dari masyarakat. Jumlah keterlibatan anggota DPR pada tahap penganggaran juga tidak menjamin secara penuh usulan masyarakat dapat diakomodir. Dengan kata lain panitia anggaran baik dari pemerintah maupun DPR nampak menjadi aktor penentu akhir keluaran daftar prioritas usulan pembangunan yang akan dibiayai APBD/APBN. Dari gambar piramida diatas, kiranya dapat menjelaskan bahwa posisi DPR memiliki posisi tawar tinggi dalam hal penentuan prioritas program pembangunan. Demikian pula dengan kelompok birokrasi seperti Kementerian/Lembaga. Dalam konteks ini, wacana keterwakilan (representation) menjadi variabel cukup menentukan. Secara kuantitas serta kualitas keluaran program prioritas pembangunan nasional tentu dipengaruhi pula oleh faktor jumlah aktor dan kepentingan aktor yang terlibat dalam agenda permusywaratan perencanaan dan penganggaran. Studi Zulmansyah dan Taqiudin dkk (2003) di Sumbawa dan Lombok Timur memperlihatkan kecenderungan terpinggirnya program prioritas yang diusulkan masyarakat akar rumput (desa). Di tingkat musrenbangdes/Kel, usulan program masyarakat desa dapat mencapai 10 program, akan tetapi ketika masuk ke musrenbangcam hilang 7 atau menjadi 3 program saja yang diakomodir. Ada beberapa penyebab disini, pertama, pemerintah desa harus bersaing dengan pemerintah desa lainnya. Kedua, pemerintah desa harus bersaing pula dengan pemerintah kecamatan. Ketiga, pemerintah desa juga harus bersaing dengan Unit Teknis Cabang Dinas. Kekalahan posisi desa dalam hal usulan prioritas pembangunan ini mengerucut pada satu akar penyebab yakni soal keterwakilan aktor desa dalam forumforum deliberasi. Pemetaan berikut ini kiranya dapat memperkuat argumentasi atas lemahnya keterwakilan masyarakat dalam forum-forum musrenbang.
31 | P a g e
Tabel 3 Peta dan Peran Aktor Politik dalam Proses Penyusunan Anggaran Tahapan penyusunan program dan peran aktor dalam APBD Usulan Kegiatan Pihak yang terlibat Fakta Lapangan Kecenderungan Kasi dan Subdin Staf, Kepala Seksi, Kasi dan Subdin Terdapat Subdin menyusun program. kepala subdin memutuskan yang memiliki Dasar penyusunan rencana program banyak program ada program didasarkan masing-masing juga subdin yang pada Renstra Subdin dan programnya sedikit pengusulan Pimpro Usulan masing- Staf, kepala seksi, Kasubdin bersama Keputusan meskipun masing subdin kepala subdin, kadis memutuskan dibahas secara dibahas ditingkat kepala dinas rencana program bersama tetapi perencanaan dinas dan rencana cenderung pimpro didominasi kepala dinas Usulan program Diajukan kepala Bappeda Terjadi perbedaan dinas dan belanja Dinas dan atau pihak menyampaikan antara rancangan rutin ke Bappeda yang ditunjuk untuk perkiraan plafon yang diajukan (tim asistensi) mewakili Bappeda anggaran yang dengan plafon yang tersedia untuk suatu tersedia dinas dan menyesuaikan program yang telah diusulkan dinas Dinas menyesuaikan Idem Tim asistensi Alat penilaian dan kembali program memberikan bobot penilaian yang yang telah diusulkan penilaian apakah baku tidak ada. karena plafon program yang Biasanya hanya anggaran tidak diajukan “layak� atau menggunakan sesuai dengan sesuai dengan apakah usulan rencana yang telah rencana bappeda tersebut merupakan disusun ataukah sebaliknya kebutuhan atau keinginan Rencana program Bappeda, Dinas Tim Eksekutif Usulan masyarakat dinas dibahas Teknis, camat, wakil sebagai panitia kurang dapat ditingkat desa dari kecamatan, mencoba melakukan terakomodir musrenbang Bupati, Sekda, dan sinkronisasi dan bersama program unit kerja lainnya penyesuaian antara yang diusulkan oleh program yang masyarakat melalui diajukan oleh dinas musrenbangdus dengan program yang difasilitasi oleh yang diusulkan oleh Bappeda masyarakat 32 | P a g e
(Bappeda) Rancangan program Panggar eksekutif Eksekutif eksekutif diajukan dan panggar menyampaikan kepada DPRD legislative kepada panggar (panggar) untuk dibahas sesuai mekanisme yang ada Ditingkat legislatif Komisi A, Komisi B, Legislatif juga melakukan komisi C, komisi D, mempunyai draft penyerapan aspirasi dan Komisi E dari masyarakat ke tiap-tiap untuk dibahas kecamatan dengan tim eksekutif
Pembahasan Panggar program rancangan dan eksekutif dan legislatif penyerapan aspirasi legislative
eksekutif panggar
Panggar sementara menerima untuk dibahas
Penyerapan aspirasi dilakukan ketika akan dilakukan pembahasan, ada kecenderungan setiap anggota DPR memperjuangkan basis kepentingan politiknya (daerah pemilihan) Eksekutif Ada kencederungan menyampaikan terjadi benturan rancangan program kepentingan antara kepada panggar dan eksekutif dengan dibahas secara legislatif bersama terhadap program yang disetujui akan dibahas dalam sidang selanjutnya. Apabila ditolak maka Bappeda melakukan koordinasi dengan unit kerja dan menyesuaikan kembali program untuk diajukan kembali ke DPR Sidang paripurna Ada kecenderungan penetapan RAPBD/N ‘ceremonial’ menjadi APBD/N masyarakat hanya mendengar
Penetapan program Seluruh fraksi, dalam APBD/N kepala dinas, tomas, toga, pers, akademisi, LSM, masyarakat umum Sumber : Zulmansyah dan Taqiudin, Ed., 2003, hal. 47-48.
Peta diatas mengandung makna sempitnya ruang pelibatan rakyat baik pada tahap perencanaan maupun penganggaran. Sekalipun DPR merupakan lembaga representasi masyarakat, konstituen (masyarakat yang diwakili) nampak tidak mempunyai peran untuk 33 | P a g e
berpartisipasi baik dalam proses perencanaan maupun penganggaran. Hanya ruang penetapan program dalam kebijakan APBD/N saja yang memberi ruang luas bagi pelibatan masyarakat umum. Menyimak titik-titik kritis penyelenggaraan musrenbangnas (lihat bagan dibawah ini), kiranya mengandung suatu pesan bahwa variabel keterwakilan dapat mempengaruhi kualitas musrenbangnas baik dari sisi mekanisme maupun substansi keluarannya. Bagan 2 Titik-Titik Kritis Musrenbangnas
2. terbatas hanya dana dekon/TP
RKP BUKU II Prioritas Bidang
RKP BUKU I Prioritas Nasional
7. tidak pasti
Rakorbangpus II pasca Musrenbangnas
Finalisasi Rancangan RKP 2012
Rancangan Renja K/L
4. Nomenklatur tidak sama
Musrenbang Provinsi
5. Kriteria tidak jelas
Persandingan Prioritas (Short List)
Usulan Pendanaan Pemda (UPPD)
Tidak Disepakati untuk masuk RKP 2012
Pembahasan sidang kelompok musrenbangnas
Masih perlu dibahas lanjutan pada Rakorbangnas II
Kesepakatan pembahasan musrenbangnas
Disepakati untuk masuk RKP 2012
Persandingan Lengkap (Long List)
Persandingan Renja K/L & UPPD
3.Arahan pusat normatif, tidak pasti
1. Tujuan dan Sasaran kurang tajam
RKP BUKU III Prioritas Wilayah
Penetapan RKP 2012
Rakortek/Rakernas K/L
Penyampaian short list ke Bappeda & K/L
6. Waktu terbatas
Penyampaian long list ke Bappeda & K/L
Sebagai forum yang menjembatani usulan (prioritas pembangunan) daerah dengan visi dan misi pembangunan nasional, forum musrenbangnas masih menyimpan cukup banyak titik lemah. Pertama, tujuan dan sasaran prioritas pembangunan antara yang dikeluarkan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah kurang tajam. Kedua, arahan dari pusat ke daerah masih normatif dan tidak pasti. Hal ini dikarenakan perencanaan dan penganggaran saat ini masih menjadi dua tahapan yang terpisah dan masing-masing tahapan dipegang oleh K/L yang berbeda sehingga seringkali tidak sinkron. Selain itu, sinergi dan pertautan program antar K/L masih fragmented, sehingga programprogram pusat yang bekerja di daerah juga mengalami hal yang sama. Bahkan, berpotensi tidak bersesuaian dengan RPJMD ataupun prioritas program pembangunan daerah. Ketiga, 34 | P a g e
keterbatasan waktu juga menjadi penghambat tingkat produktivitas musrenbangnas menghasilkan program daerah dengan pusat yang padu. Dalam durasi waktu kurang lebih 20 hari (21 Maret-10 April) setiap provinsi harus menyelenggarakan musrenbangprov untuk menghasilkan UP-PD. Selanjutnya UP-PD hasil musrenbangprov dipersandingkan dengan Renja K/L sebagai langkah untuk mempertajam Renja K/L (10-15 April). Hasilnya, kemudian dibawa ke forum pra musrenbangnas (16-20, 25 April) untuk disinkronkan kembali. Keterbatasan waktu dimana dalam satu tahun terdapat dua siklus sekaligus yang harus dijalankan pemerintah yakni fungsi perencanaan dan penganggaran. Disamping merancang program pembangunan tahunan, pada saat yang sama pemerintah juga membelanjakan anggaran untuk tahun perencanaan sebelumnya. Sementara itu usulan-usulan program prioritas dari daerah yang telah dimusyawarahkan dalam musrenbangnas yang tidak disepakati masuk ke dalam daftar RKP tidak dijamin masa depannya. Artinya, pada tahun perencanaan berikutnya, daerah juga harus membuat daftar usulan prioritas pembangunan yang relatif baru. Dalam konteks inilah titik masalah berikutnya. Terkait dengan problematika waktu ini, Bappenas berpendapat siklus perencanaan dan penganggaran lebih baik dibuat dalam durasi waktu tiga tahunan agar tidak melelahkan, menjenuhkan serta dapat menjamin kontinuitas pembangunan yang berdasar pada daftar usulan prioritas bukan daftar usulan yang selalu baru setiap tahunnya. Titik masalah berikutnya adalah Bappenas memiliki peran yang sangat strategis dalam proses perencanaan, akan tetapi seringkali tidak memiliki kewenangan apabila dalam tahap penganggaran. Perencanaan dan penganggaran saat ini masih menjadi dua tahapan yang terpisah dan masing-masing tahapan dipegang oleh K/L yang berbeda sehingga seringkali tidak terjadi sinkronisasi. Posisi Bappenas saat ini memang terbilang lemah dalam hal penentuan alokasi anggaran, berbeda pada masa orde baru. Lemah dan kuatnya posisi Bappenas juga tidak lepas dari pengaruh politik kekuasaan. Pada masa Bappenas dipimpin oleh Sri Mulyani, Bappenas memiliki posisi yang lebih strategis bila dibandingkan dengan masa Kwik Kian Gie. Sri Mulyani yang dinilai memiliki kedekatan dengan Presiden SBY, telah memperkuat posisi Bappenas dalam tahapan perencanaan dan penganggaran. Hal yang berbeda dirasakan pada saat Bappenas dikepalai oleh Kwik Kian Gie yang dinilai cukup kritis dan menjadi tidak harmonis dengan Presiden Megawati, sehingga Bappenas cenderung diminimalisir perannya.(Wawancara IRE, 2012) Berikut ini kami tampilkan daftar permasalahan musrenbang di tingkat daerah dan pusat hasil identifikasi Bappenas tahun 2012; Level Musrenbang Kabupaten/kota
Existing Condition Hanya membahas program dan kegiatan, bukan tujuan dan sasaran yang jelas.
Problem Keluaran hanya “daftar belanja” Belum ada kriteria penetapan prioritas kegiatan dan
Recomendation Perlu pelaksanaan perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja secara konsisten Perlu 35 | P a g e
Musrenbang Provinsi
Konsultasi regional
Sistem informasi perencanaan dan penganggaran belum terintegrasi. Arahan pusat dan provinsi bersifat umum Hanya membahas program dan kegiatan, bukan tujuan dan sasaran yang jelas Arahan pemerintah pusat bersifat normatif dan umum Arahan pemerintah pusat bersifat normatif dan umum
lokasi Lemahnya sinergi kabupaten/kota dengan provinsi dan pusat
pengembangan sistem informasi perencanaan dan penganggaran yang terpadu
Belum ada tujuan dan sasaran nasional untuk setiap daerah. Belum ada pagu indikatif K/L untuk setiap provinsi sebagai acuan penetapan prioritas
Hasil konreg masih berupa “daftar belanja”, belum berupa rencana investasi wilayah secara menyeluruh.
Perlu penyusunan target yang terukur dan penyampaian Renja K/L sejak awal kepada pemerintah provinsi. Perlu kerangka investasi wilayah (pemerintah, swasta dan perbankan) Perlu keterlibatan swasta dan perbankan. Perlu penyusunan kerangka investasi pemerintah, swasta dan perbankan
Secara substantif, forum-forum deliberasi musrenbang di semua tingkatan belum mampu menghasilkan usulan program yang mengakar pada kebutuhan masyarakat. Daftar keinginan masih menjadi warna dominan keluaran forum musrenbang. Disamping itu, program dan kegiatan yang dirumuskan tidak menyasar pada tujuan dan sasaran yang jelas terutama dengan target capaian program K/L. Dalam konteks inilah kiranya unsur representasi DPR menemukan relevansinya dengan sistem perencanaan dan penganggaran. Voice DPR yang hanya diperhitungkan saat penganggaran perlu ditarik kebelakang, agar perdebatan substansial program lebih mendalam, bukan saat pembahasan anggaran belaka. Karena proses pembahasan KUAPBD/N, sejauh ini sarat dengan transaksi politik atau tradisi barter proyek. Ruang deliberasi yang lebih luas dan mendalam bukan tidak mungkin dapat memperkuat argumentasi program-program 36 | P a g e
pembangunan nasional, karenanya akan memperkuat argumentasi di depan Kementerian Keuangan yang selama ini memegang kendali utama distribusi anggaran belanja. Emir Moeis, Ketua Komisi XI DPR RI, menyatakan bahwa Bappenas selaku penanggungjawab dalam tahapan perencanaan pada akhirnya tidak memiliki kekuatan pada saat masuk dalam proses penganggaran yang menjadi domain kementerian keuangan, seperti hendak mengatakan bahwa sekalipun program pembangunan yang dirumuskan Bappenas melalui tahapan permusyawaratan buttom up planning, Kementerian Keuangan penentunya. Emir Moeis menyadari masih banyak kelemahan yang memang ada dalam proses perencanaan pembangunan, dimana dewan dinilai tidak memiliki peran yang optimal dalam tahapan ini. Tahapan perencanaan seringkali masih menjadi wilayah eksekutif, sehingga dewan seringkali banyak ketinggalan informasi dari proses musrenbang. Dewan selama ini hanya memakai mekanisme jaring aspirasi masyarakat saja untuk menjaring kebutuhan di tingkat daerah pemilihan (dapil), yang selanjutnya dipertarungkan dalam proses pembahasan anggaran di tingkat DPR. (Wawancara IRE, 2012) D.1 Memperdalam Ruang Deliberasi Relasi substantif (bukan transaksional) yang terbangun antara anggota DPR dari suatu partai dengan basis konstituen mempunyai potensi yang relavan untuk membangun arah dan kebijakan pembangunan. Relasi konsitituensi substantif dapat mematahkan orientasi pragmatis suatu kelompok yang menempatkan jalur aspirasi dan musrenbang sebagai ruang sah untuk berebut proyek atau dana-dana pembangunan. Arus pragmatis dalam siklus perencanaan dan penganggaran hanya akan melahirkan penumpang gelap yang membajak program-program strategis menjadi program-program pembangunan yang pragmatis. Karena itulah, pelibatan konstituen suatu partai politik atau konstituen seorang anggota parlemen dalam siklus perencanaan cukup signifikan untuk dikembangkan. Pendekatan pendidikan politik dan perjuangan politik yang dilakukan Budiman Sujatmiko yang berangkat dari daerah pemilihan Cilacap dan Banyumas kiranya dapat dijadikan pemantik untuk membangun keterwakilan kelompok ideologis dalam sistem perencanaan dan penganggaran. Budiman Sujatmiko sebelum mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari PDIP pada tahun 2009, sudah mempunyai akar cukup kuat dengan kalangan buruh dan tani di Cilacap. Budiman sendiri dikenal kuat karena karakter pembelaannya pada komunitas akar rumput buruh dan tani yang terbangun sejak dia masih menjadi aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada tahun 1993. Di wilayah Cipari-Cilacap-Jawa Tengah, ia mengorganisir, mengadvokasi hak-hak para petani, menuntut keadilan negara. Budiman bersama petani Cipari menuntut reforma agraria. Untuk memperkuat makna kehadirannya sebagai wakil rakyat, Budiman membangun Rumah Aspirasi Budiman (RAB). Melalui RAB ini, masyarakat dipersilakan menyampaikan aspirasi, terutama pada isu-isu strategis yang telah disepakati antara Budiman dengan kontituen yang berasal dari petani, buruh dan desa sebagai representasi kewilayahan (spasial). Ada dua isu strategis disini yakni reforma agraria dan perjuangan pembuatan Undang Undang Desa. 37 | P a g e
Selain itu, RAB juga dapat memerankan diri sebagai akselerator perjuangan masyarakat dalam arena pembangunan. Lahirnya program, Jamkesda di Banyumas salah satu contoh program yang diperjuangkan RAB. Para aktivis RAB, bersama organisasi konstituen pendukung Budiman Sujatmiko (kelompok tani, pakorba, komunitas penderita HIV Aids, buruh, pekerja jalanan, dll) melibatkan diri dalam agenda-agenda deliberasi (musrenbang) dan melakukan negosiasi politik melalui partai politik di PDIP, dilanjutkan ke parlemen dan eksekutif, tidak lain agar program Jamkesda bisa diakomodir sebagai kebijakan daerah. Fakta kasuistik ini kiranya dapat memperteguh posisi konstituensi politik dapat melahirkan aktor yang melibatkan diri dalam proses policy making berjuang untuk arah kebijakan yang sifatnya strategis bukan pragmatis. D.2 Menjembatani Isu Daerah-Pusat Dalam rangka menjembatani bertemunya prioritas program atau isu strategis daerah dengan program strategis pusat, Bappenas telah memulai dua inisiatif baru. Pertama menyelenggarakan pertemuan triwulanan pra musrenbangnas. Pertemuan ini melibatkan Bappenas dan seluruh Bappeda provinsi. Pertemuan triwulanan bertujuan membahas beberapa hal berikut; 1) pencapaian kinerja pembangunan daerah, 2) penyusunan target sasaran pembangunan per provinsi dan 3) kesepakatan mengenai isu strategis per Provinsi yang akan menjadi guidence bagi daerah serta Kementerian/lembaga dalam mengalokasikan program, kegiatan dan pendanaan di daerah. Pada pertemuan triwulanan ke-2 yang diselenggarakan pada 29 Februari 2012 lalu, berhasil menginfentarisasi isu-isu strategis setiap provinsi. Akan tetapi masih mengalami kesulitan dalam hal mempertemukan isu atau program stretegis antar provinsi sebagai satu kesatuan program strategis yang saling terkait dan memperkuat. Kedua, mendelegasikan pejabat setingkat eselon dua (2) sebagai pejabat pendamping provinsi dalam proses sinkronisasi isu strategis daerah dengan pusat. Pendelegasian ini dimaksudkan pula untuk memperkuat posisi usulan strategis daerah saat pembahasan musrenbangnas. pejabat setingkat eselon 2 Bappenas diterjunkan untuk menjadi pendamping masing-masing provinsi. Jadi ada sekitar 33 pendamping provinsi. Wakil menteri SPPN dalam sambutan pembukaan Pertemuan Triwulanan Bappenas-Bappeda Provinsi se-Indonesia menyatakan bahwa setiap satu pejabat Eselon II bertugas menjadi pendamping para Kepala Bappeda Provinsi dalam merumuskan isu-isu strategis provinsi sesuai dengan prioritas nasional dan prioritas daerah. Setelah itu, mengawal proses penyusunan hingga penetapan isu-isu strategis tersebut dalam Konsultasi Triwulanan II yang direncanakan pada tanggal 22 Maret 2012 setelah pelaksanaan Rapat Koordinasi Tingkat Pusat (Rakorpus). Para Pejabat Pendamping Provinsi juga akan mengikuti secara penuh pelaksanaan Musrenbang Provinsi (Musrenbangprov) dan melaporkan hasil-hasil kesepakatan penting dalam Musrenbangprov untuk dibahas lebih lanjut dalam rangkaian Pra-Musrenbangnas dan Musrenbangnas. Melalui pendampingan ini diharapkan sinergi Bappenas – Bappeda Provinsi dalam proses penyusunan rencana-rencana pembangunan akan lebih baik lagi ke depan. Melalui ruang pertemuan triwulanan, pemerintah provinsi diminta menyiapkan daftar isuisu dan program strategis yang akan diusung pada musrenbangnas. Selanjutnya, isu-isu strategis antar daerah dibahas untuk menemukan kesesuaian dan sinergitas satu sama lain. 38 | P a g e
Bappenas, kemudian akan memperjuangkan hingga diakomodir dalam kebijakan APBN. Isu-isu strategis yang telah dibahas dalam pertemuan triwulanan I selanjutnya disempurnakan bersama oleh Para Kepala Bappeda dan Para Pendamping Provinsi untuk difinalkan dalam pertemuan Konsultasi Triwulanan berikutnya (triwulanan ke-2) setelah acara Rakorbangpus. Isu-isu strategis provinsi yang disepakati dalam Konsultasi Triwulanan II selanjutnya akan menjadi materi pokok pembahasan Musrenbang Provinsi dan Pra-Musrenbangnas dan dikomunikasikan dengan Kementerian/ Lembaga serta Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) terkait. Selanjutnya, dituangkan dalam Nota Kesepakatan yang ditandatangani oleh Wakil dari K/L, Kepala Bappeda Provinsi, Direktur Mitra Kerja K/L terkait dan Pejabat Pendamping Provinsi. Kesepakatan final ini selanjutnya akan dilaporkan oleh Ibu Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas kepada Bapak Presiden dan selanjutnya akan dituangkan dalam Rancangan RKP 2013 untuk dibahas dalam Sidang Kabinet Paripurna. (Bappenas, 2012) E. Kontestasi dalam Perencanaan dan Penganggaran Sebagai lembaga legislatif, para anggota parlemen di pusat dan daerah memiliki tiga kewenangan dalam menjalankan peran dan fungsinya, yakni (1) fungsi pengawasan (2) fungsi penganggaran, dan (3) fungsi legislasi. Ketiga fungsi ini tentu sangat strategis dalam mendorong proses-proses keterwakilan agar kebijakan pemerintahan benar-benar berorientasi pada perbaikan kehidupan masyarakat secara adil. Melalui fungsi pengawasan para anggota dewan dapat melakukan kontrol terhadap semua kebijakan pemerintah, khususnya yang terkait dengan kehidupan rakyat. Melalui fungsi pengawasan ini pula, anggota dewan dapat mengkritisi sejauhmana perencanaan dan penganggaran pembangunan pemerintah dapat mendatangkan perbaikan kualitas kehidupan masyarakat. Jika terdapat menyimpangan dari proses perencanaan dan penganggaran (PDP), maka sebagai wakil rakyat, anggota dewan dapat menegur dan memperbaiki berbagai bentuk penyimpangan yang ada. Melalui fungsi penganggaan, anggota dewan dapat saja tidak menyetujui dan meminta perbakan atas usulan penetapan APBN dan APBD jika di dalamnya terdapat rencana pembanbangunan yang penganggarannya sangat tidak efektif dan tidak mengarah pada perbaikan kualitas kesejahteraan masyarakat. Sedangkan melalui fungsi legislasi, anggota dewan memiliki peluang untuk melakukan prakarsa atau inisiasi untuk melakukan perbaikan terhadap berbagai perundangan yang dinilai tidak mendorong berbagai kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, kewenangan anggota dewan dilihat dari ketiga fungsi diatas jika dikaitkan pada proses berlangsungnya sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN) memang masih memiliki kelemahan. Dalam praktiknya, SPPN melakukan exclusion terhadap parlemen dalam ranah perencanaan, tetapi melakukan akomodasi anggota dewan dalam penganggaran. Parlemen memiliki alat kelengkapan yang masuk ke ranah anggaran seperti Badan Anggaran, tetapi institusi wakil rakyat ini tidak memiliki alat perencanaan. Badan Anggaran berwenang dan bertugas melakukan pembahasan anggaran bersama Tim Anggaran dari eksekutif. Sebelum menjalankan fungsi budgeting, setiap anggota parlemen memanfaatkan momen reses untuk pulang kampung, melakukan komunikasi dan jaring asmara bersama para konstituen mereka di dapil masing-masing. Ketika jaring asmara berlangsung, desa, pejabat daerah maupun kelompok-kelompok masyarakat tidak hanya 39 | P a g e
menyampaikan aspirasi, tetapi juga sudah menyiapkan proposal untuk diperjuangkan dalam pembahasan APBN. Tabel berikut ini lebih memperjelas terkait dengan peran anggota DPR/D sangat terbatas untuk mempengarui aspek perencanaan, namun dapat memainkan peran strategis dalam aspek penganggaran. Tabel 4 Peran Parlemen dalam Tahapan Perencanaan dan Penganggaran TAHAPAN
PERAN DPR
DPRD
PERENCANAAN RPJP RPJM RENSTRA RENJA/RKP Musrenbang
Tidak terlibat Tidak terlibat Tidak terlibat Tidak terlibat Tidak Terlibat
Tidak terlibat Terlibat Tidak terlibat
PENGANGANGGARAN KUA/PPAS RAPBN/D RKA
Terlibat Terlibat Tidak terlibat
Terlibat (berdasarkan SEB) Terlibat
Dari tabel diatas, dalam urusan perencanaan, sebagaimana dalam perumusan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Strategis (RENSTRA), Rencana Kegiatan Program (RKP/RENJA), parlemen tidak terlibat karena menjadi domain eksekutif. Namun untuk Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), berdasarkan surat edaran bersama (SEB), anggota DPR/DPRD dapat memainkan peran keterlibatan dalam forum tersebut. Sedangkan dalam konteks penganggaran, untuk KUA/PPAS dan RAPBN/D anggota dewan dapat terlibat, dan untuk RKA tidak terlibat. Adanya akses dalam keterlibatan disisi penganggaran ini oleh sebagian besar anggota dewan dipergunakan untuk mendatangkan sebanyak mungkin alokasi pendanaan pembangunan di dapilnya dan kepentingan proyek lainnya. Dalam konteks ini, terjadi kontestasi dari relasi politik akomodasi dalam PDP ini, yakni sesuatu yang disebut dengan tradisi “perburuan proyek”. Di level daerah, misalnya, selama ini telah terbangun sebuah “konvensi politik” bahwa belanja publik dibagi dengan pola plafonisasi ala politik akomodasi: 20% plafon politik (10% untuk kepala daerah dan 10% untuk parlemen); 70% plafon sektoral di SKPD (yang didominasi oleh pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum); dan 10% plafon desa. Pada sisi pertama, para pejabat politik memanfaatkan plafon politik itu sebagai “gentong babi” (pork barrel), yang mereka bagi-bagi secara populis kepada konstituen agar popularitas para anggota dewan ini terpelihara pada dapilnya. 40 | P a g e
E.1 Kontestasi dalam Proses Perencanaan Proses perencanaan merupakan arena pertarungan yang konkret bagi para stakoeholders, apakah itu elemen eksekutif, legislatif dan masyarakat sipil melalui active citizen untuk memperebutkan posisi prioritas dalam dokumen perencanaan. Pendekatan yang selama ini digunakan dalam fase perencanaan pembangunan, yakni dengan menggunakan tiga pendekatan: Pertama, pendekatan partisipatif, dimana metode ini yang banyak dikembangkan oleh pemerintah dalam melaksanakan proses perencanaan melalui arena Musrenbangdus, Musrebangdes, Musrebangcam. Masyarakat diundang untuk mengikuti serangkaian proses musrenbang, para tokoh masyarakat diundang hadir, dan masyarakat pun terus melakukan pengawalan secara berjenjang untuk menjaga agar usulan dari bawah terakomodasi dalam proses penganggaran. Tak jarang dalam konteks ini ada anggota dewan yang hadir, meski perannya sebatas pada peran seremonial seperti memberi sambutan dan juga melakukan observasi terhadap dinamika dan hasil dari Musrenbang tersebut. Pendekatan partisipatif kerap pula disandingkan dengan pendekatan emansipatif yang muncul dari dalam kekuatan prakarsa warga sendiri. Disini warga masyarakat yang aktif berinovasi membuat perencanaan terhadap berbagai pemasalahan yang dihadapi dilingkungannya dan secara bersama mengatasinya sendiri berdasarkan prinsip kolegialitas. Kedua, pendekatan teknokratis yang lebih berupaya mendekatkan proses perencanaan dengan proses-proses teknokratis, dimana terdapat berbagai macam dokumen yang harus dijadikan sebagai acuan dalam proses musrenbang. Pendekatan ini seringkali dinamakan pula sebagai pendekatan dari atas, dengan aktor utamanya adalah para birokrasi pemerintahan. Ketiga, pendekatan politik yang biasa digunakan oleh anggota DPR/DPRD sebagai suatu mekanisme dalam menjaring aspirasi masyarakat. Pendekatan ini merupakan mekanisme yang biasa digunakan oleh parlemen, ada yang memanfaatkan masa reses untuk melakukan jaring asmara. Saat melakukan jaring asmara ini tidak jarang para konstituen di Dapil menitipkan proposal pengajuan program pembangunan kepada anggota parlemen terkait. Kegiatan jaring asmara yang dilakukan anggota dewan, berdasarkan tata tertib DPR dilakukan pada masa reses. Dalam setahun, anggota DPR memiliki masa reses sebanyak 4 kali. Masa reses ini digunakan oleh anggota DPR untuk berkomunikasi dengan dapilnya guna menghimpun berbagai persoalan dan kebutuhan yang ada di tingkat dapil. Jaring asmara merupakan upaya anggota DPR untuk menjalankan fungsi artikulasi kepentingan dari konstituen mereka. Fungsi representasi untuk memperkuat suara warga dapat dilakukan di dalam kesempatan masa reses untuk menjaring aspirasi masyarakat dengan konstituennya di tingkatan Dapil masing-masing anggota dewan. Dalam konteks ini memang muncul berbagai perdebatan, apakah mekanisme jaring asmara di tingkatan Dapil ini sebagai sarana memperkuat konstituensi? Mengingat pola transaksional yang begitu kental dalam pemilu memunculkan fenomena representasi mengambang sehingga memperlemah hubungan antara warga dengan para wakilnya. Dalam konteks ini pula dimensi konstituensi yang terbangun tak lebih dari realitas konstituensi elektoral, dimana anggota DPR membangun hubungan hanya dengan para pemilihnya saja. Seandainya anggota parlemen berkunjung ke konstituen melalui skema 41 | P a g e
jaring asmara di tingkat dapilnya, tidak lebih dari pola hubungan konstituensi teritorial berdasarkan daerah pemilihan. Kedua jenis model konstituensi ini lebih merupakan strategi yang bersifat pragmatis, mengingat relasi yang dibangun hanya sebatas tanggungjawab antara anggota DPR/DPRD dengan pemilihnya. Namun demikian, ditengah maraknya representasi mengambang (Olle Tornquist, 2009) dalam pola hubungan konstituensi elektoal dan teritorial ini, masih ada anggota dewan yang melakukan representasi subtantif, yakni melakukan proses pendidikan politik kritis untuk membawa perubahan struktural dari komunikasi antara anggota dewan dengan konstituennya. Apa yang dilakukan Budiman Sujatmiko dari Fraksi PDIP dengan mengembangkan Rumah Aspirasi Budiman (RAB) mungkin bisa menjadi cermin bagi upaya membangun relasi anggota parlemen dengan konstituen secara lebih baik. Budiman Sujatmiko mempertegas identitas organisasional konstituennya, yakni kelompok tani, nelayan, kepala desa Wahyu Manunggal (Cilacap) dan Persada Satria Praja (Banyumas) serta kelompok HIV-AIDS, sektor informal (perempuan pedagang kecil), eks tahanan politik, narapidana politik korban orde baru. (Wawancara IRE, 2012) Budiman melakukan strategi idealis dalam membangun hubungan dengan konstituennya, dimana melalui RAB dilakukan kerja-kerja pengorganisasian dan penguatan isu-isu substansi, sehingga memiliki arah perjuangan yang jelas. Sayangnya, seringkali partai politik dan parlemen melalui fraksi tidak memiliki pola saluran aspirasi dari konstituen yang jelas, sehingga sosok seperti Budiman bisa jadi hanya berjuang sendiri dan harus bertarung dengan banyaknya kepentingan di DPR. Selain Budiman Sujatmiko, ada juga anggota Dewan dari Partai Golkar dari daerah pemilihan Kalimantan Timur, yakni Ir. Hetifah Sj. Siswanda, MPP, PhD. Ia mencoba mendorong komunitas-komunitas warga di Dapilnya agar terlibat aktif dan mempengaruhi proses perencanaan pembangunan seperti di dalam forum Musrenbangdes, Musrenbangcam dan Musrenbangkab. Selain itu, Hetifah juga coba mengembangkan model reses kolaboratif yakni menyambangi para konstituen dengan anggota DPRD di level provinsi dan kabupaten serta dirinya sendiri (anggota DPR RI). Dengan model yang demikian, Hetifah berharap bisa mendapatkan lebih banyak aspirasi dan bisa segera menyalurkan persoalan yang dihadapi warga kepada pihak yang memiliki otoritas. Artinya, jika masalah yang dihadapi levelnya kabupaten, akan segera ditindaklanjuti anggota DPRD tingkat II dan seterusnya. E.2 Kontestasi dalam Proses Penganggaran Sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara bahwa Pemerintah Pusat dan DPR mempunyai tugas bersama dalam melakukan pembahasan kerangka ekonomi makro serta kebijakan umum dan prioritas anggaran bagi setiap kementerian negara/lembaga. DPR/DPRD memang memiliki fungsi budgeting yang selama ini dapat kita lihat prakteknya setiap tahun dalam rapat pembahasan RUU APBN. Selanjutnya, merupakan tugas dari para anggota DPR/DPRD untuk melakukan pembahasan terhadap RUU APBN, dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, baik dari sisi pengetahuan soal anggaran, waktu serta tenaga agar nantinya proses pembahasan anggaran dapat memenuhi tujuan pembangunan nasional maupun daerah. Ha inilah yang 42 | P a g e
menjadi arena pertarungan politik yang cukup keras bagi anggota DPR/DPRD yang sebelumnya sudah dititipi banyak pesanan dari konstituen atau dapil masing-masing. Sebagaimana penuturan Emir Moeis, Ketua Komisi XI DPR RI berikut ini: “PPID adalah dana yang sebenarnya konkrit untuk pembangunan di daerah, dana ini biasanya digunakan oleh dewan untuk memenuhi kebutuhan konstituen, namun seringkali aksesnya yang tidak ada atau mekanismenya yang tidak jelas. Dulu pernah ada kelebihan anggaran, ya saya bagi-bagikan saja ke anggota, saya dapat 25 Miliar� (Wawancara IRE, 2012) Penuturan di atas memberikan gambaran bahwa kontestasi dalam proses pembahasan anggaran ternyata sangat berat dan penuh dalam ketidakpastian karena harus memperebutkan alokasi anggaran yang sedikit dengan skema yang tidak jelas. Pertama, tidak ada pos alokasi khusus yang bisa dimanfaatkan oleh anggota dewan untuk konstituennya. Kedua, tidak ada kepastian mengenai besaran alokasi anggaran yang bisa dimanfaatkan oleh dewan untuk dapilnya. Ketiga, tidak ada mekanisme yang mengatur pola transfer anggaran untuk konstituen para anggota dewan. Tidaklah mengherankan jika pada akhirnya praktek yang terjadi selama ini adalah adanya transaksi politik antara DPR/DPRD dengan pemerintah, dimana pola yang seringkali terjadi adalah persetujuan alokasi anggaran untuk K/L atau SKPD. Untuk selanjutnya sebagian anggaran tersebut akan dialokasikan untuk kepentingan dapil/konstituen anggota dewan. Pola seperti inilah yang paling memungkinkan dilakukan oleh anggota dewan, meski semua alokasi program pembangunan yang diusulkan juga tidak semuanya berada dalam posisi kepastian untuk memperolehnya. Hal ini mengingat cukup banyaknya titipan kebutuhan warga kepada anggota dewan pada masa reses melalui kegiatan jaring asmara di Dapilnya. Jika titipan usulan program pembangunan dari konstituen di dapil ituk memperoleh anggaran pembangunan dari pemerintah, seringkali warga memberikan apresiasi positif pada anggota dewan. Akan tetapi jikalau gagal, citra anggota dewan tersebut seketika bisa langsung pudar, konstituen tentu tidak mau memahami bagaimana beratnya pertarungan politik dalam proses pembahasan anggaran di DPR/DPRD. Kisah beberapa anggota dewan yang berhasil menyuarakan usulan dapilnya tidak menyebutkan resep mujarab untuk bisa mengalokasikan anggaran sesuai dengan hasil jaring asmara yang sudah dilakukan, semua memang dalam ketidakpastian dan permainan keberuntungan. Yang pasti harus dilakukan adalah pendekatan dengan K/L atau SKPD, sehingga ada pos yang bisa diambil untuk kepentingan konstituen. Selain itu, kontestasi selanjutnya adalah saat Panja melakukan proses mekanisme adanya transfer keuangan pusat ke daerah. Anggota dewan memainkan peranan secara informa pula bagaimana mengupayakan adanya kenaikan pos DAK serta kejelasan peruntukan DAK. DAK sendiri merupakan dana yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah. Melalui komponen anggaran inilah, DPR bisa lebih memiliki keleluasaan untuk mengkomunikasikan kebutuhan konstituen di daerah pemilihan, meskipun hal tersebut belum bisa memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan di tingkat dapil, mengingat ketatnya aturan mengenai alokasi DAK dari 43 | P a g e
pemerintah pusat melalui peraturan pemerintah. DAK pun akan sulit dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan konstituen dalam lingkup yang kecil seperti organisasi masyarakat, mengingat mekanismenya penyalurannya yang harus melalui pemerintah daerah serta adanya kewajiban bagi daerah untuk berkontribusi melalui dana pendampingan. Padahal di sisi lain, tidak sedikit anggota DPR yang tidak memiliki pola relasi yang jelas dengan pemerintah daerah maupun dengan anggota DPRD di tingkat lokal. 9. Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan data yang diperoleh, IRE mengajukan beberapa poin rekomendasi kebijakan di dalam mendorong reformasi SPPN berbasis pada representasi warga melalui keterwakilan di parlemen. Pertama. IRE mengusulkan pembaharuan regulasi yang mengatur sistem perencanaan dan penganggaran. Kami mengusulkan supaya pengaturan tentang perencanaan dan penganggaran dilakukan melalui satu paket regulasi, yaitu regulasi tentang sistem perencanaan dan penganggaran. Adanya satu paket regulasi akan mendorong integrasi antara perencanaan dan penganggaran di masa mendatang. Hal ini penting untuk mengatasi adanya fragmentasi dalam urusan perencanaan dan penganggaran. Rekomendasi ini mungkin tidak mampu mengurangi tradisi “perburuan proyek� yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi integrasi PDP akan membuka (inklusi) bagi partisipasi dan deliberasi masyarakat khususnya dalam penganggaran. Institusi yang terkait dengan perencanaan yakni Bappenas dan Kemendagri serta Kemenkeu yang mengurusi penganggaran akan berperan secara lebih sinergis melalui satu paket regulasi tersebut. Kedua. IRE mengusulkan agar mekanisme jaring asmara anggota dewan (parlemen) memiliki kesamaan waktu dengan kegiatan perencanaan reguler agar aspirasi dalam forum Musrenbangdes dan Musrenbangcam memiliki kekuatan politis sehingga representasi warga melalui peran-peran keterwakilan dewan benar-benar berbasis pada aspirasi dan kebutuhan warga masyarakat. IRE mendorong agar hasil dari jaring asmara bisa menjadi basis data dalam menjalankan fungsi pengawasan parlemen. Dengan kata lain, ke depan perlu adanya upaya yang serius untuk melakukan tata ulang pola representasi-kontituensi dalam konteks relasi antara parlemen dengan warga. Dari sisi regulasi, tentu dibutuhkan koherensi antara undang-undang SPPN, susunan dan kedudukan parlemen, undang-undang partai politik dan pemilihan umum. Tetapi yang paling substansial, dibutuhkan penguatan representasi substantif yang berbasis pada konstituensi organisasional. Artinya setiap anggota parlemen mempunyai konstituen yang berbasis pada organized interests yang jelas, seperti organisasi buruh, organisasi perempuan, serikat tani, organisasi pedagang kaki lima dan sebagainya. Apa yang dilakukan Muspani (anggota DPD 2004-2009 dari Bengkulu) dan Budiman Sudjatmiko (anggota DPR dari PDI Perjuangan 2009-2014) memberikan contoh wakil rakyat yang telah membangun model representasi substantif dengan basis konstituensi organisasional. Mereka melakukan jaring asmara bukan untuk keperluan “perburuan 44 | P a g e
proyek� tetapi bertindak untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan hakiki kaum marginal atau kelas bawah, sekaligus melakukan pendidikan politik warga. Kedepan Rumah Aspirasi Budiman (RAB) bisa menjadi contoh institusi yang menjadi instrumen untuk membangun representasi substantif itu. Ketiga. Memperluas dan memperdalam partisipasi dalam PDP. Partisipasi masyarakat (community participation) yang bersifat invited participation dan berbasis pada kebutuhan sangat penting tetapi tidak cukup. Partisipasi warga yang bersifat popular participation dan berbasis hak dan kepentingan merupakan pilihan untuk memperluas dan memperdalam partisipasi. Partisipasi model ini berangkat pada organized interests yang muncul dari berbagai organisasi rakyat seperti serikat tani, serikat buruh, organisasi perempuan, organisasi difabel, organisasi pemulung, pengamen, pedagang kaki lima dan seterusnya. Mereka tidak berkepentingan meminta anggaran sebagaimana partisipasi masyarakat yang berasal dari desa, tetapi memperjuangkan hak-hak dan kepentingan hakiki mereka. Jika Musrenbang selama ini telah menjadi domain bagi partisipasi masyarakat, maka sistem PDP sebaiknya membuka ruang (inclusion) bagi popular participation melalui jalur di luar Musrenbang. Setidaknya Forum SKPD di daerah bisa menjadi arena untuk bertemunya berbagai pihak terutama kelompok marjinal yang biasanya tidak terlibat dalam arena musrenbang. Konkritnya, IRE mengusulkan adanya sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran yang integratif dari tingkat pusat sampai tingkat lokal (desa) yang dirumuskan kedalam regulasi yang lebih utuh atau komprehensif sehingga bisa mempertemukan proses perencanaan berbasis spasial atau sektoral. Selain itu, dengan adanya perencanaan integratif bisa didorong adanya satu desa satu perencanaan. 10. Penutup Studi ini mengkaji wacana dan praktik representasi warga dalam perencanaan dan penganggaran di Indonesia dengan fokus pada partisipasi warga, deliberasi dan kontestasi. Terkait hal tersebut, ada beberapa hal yang penting dikemukakan. Pertama, ruang partisipasi bagi warga sejauh ini memperlihatkan adanya keterbukaan terutama dalam proses perencanaan tetapi menjadi tertutup dalam proses penganggaran. Akibatnya, derajat partisipasi masih sebatas pada upaya mengusulkan masalah atau kebutuhan tetapi tidak memiliki ruang untuk terlibat memutuskan usulan tersebut. Pada praktiknya, partisipasi yang ada baru sebatas pada invited space saja dengan memanfaatkan ruang yang disediakan pemerintah. Hal ini memang penting dilakukan tetapi ternyata tidak cukup. Ketidakcukupan ini terlihat terutama ketidakmampuan arena invited space dalam menampung organisasi rakyat seperti kelompok pengamen, serikat buruh, kelompok pedagang perempuan atau organisasi difabel. Dalam situasi tersebut, penting bagi sistem perencanaan dan penganggaran untuk membuka ruang bagi popular participation melalui jalur di luar Musrenbang. Kedua, proses perencanaan dan penganggaran selama ini dilakukan secara terpisah terutama dilihat dari aspek lembaga yang memegang otoritas. Keterpisahan ini ternyata banyak membuka ruang atau kesempatan berburu proyek terhadap program atau kegiatan 45 | P a g e
yang ada di departemen maupun SKPD di daerah. Usaha untuk mendorong integrasi proses peencanaan dan penganggaran memang bukan hal yang mudah mengingat sejauh ini banyak lembaga atau institusi yang terlibat misalnya Kemenkeu, Kemendagri, Bappenas hingga parlemen sendiri. Akan tetapi, lebih dari itu, upaya integrasi ini berupaya membuka ruang keterlibatan dan deliberasi masyarakat khususnya dalam proses penganggaran. Ketiga, studi ini juga menangkap adanya gejala mulai rapuhnya hubungan konstituen dengan anggota parlemen. Hal ini misalnya terlihat dari minimnya interaksi antara masyarakat atau konstituen dengan anggota parlemen terpilih. Akibat interaksi dan komunikasi yang minim ini pada akhirnya melemahkan derajat kualitas mandat keterwakilan yang sebelumnya dimiliki anggota parlemen terpilih melalui Pemilu. Dampak serius dari semakin lemahnya derajat mandat tersebut adalah terjadinya keterputusan hubungan antara konstituen dengan anggota parlemen. dalam situasi tersebut, model keterwakilan yang terjadi adalah representasi deskriptif dengan konstituen yang tidak jelas. Pada akhirnya, kebijakan publik, misalnya yang terwujud dalam APBN atau APBD, tidak mencerminkan atau berbasis pada kepentingan warga. Namun demikian, dibalik pola relasi konstituen dan anggota parlemen yang cenderung menurun derajatnya, inisiatif untuk memperbaikinya mulai muncul misalnya dengan adanya rumah aspirasi. Studi ini sendiri berupaya mendalami model rumah aspirasi yang dikembangkan Budiman Sujatmiko di Banyumas yang diberi nama Rumah Aspirasi Budiman (RAB). Budiman dan RAB sejauh ini memberi contoh wakil rakyat yang telah membangun model representasi substantif dengan basis konstituensi organisasional.
46 | P a g e
Referensi Bornie Kurniawan dan M. Zainal Anwar, Memotret Rumah Aspirasi Budiman; Dari Pusat Pemenangan Menjadi Agen Representasi, field report ke Rumah Aspirasi Budiman di Banyumas-Jawa Tengah, Yogyakarta, 2012 Buku Panduan Musywarah Perencanaan pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Dalam Rangka Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 20011, Bappenas, 2011. Hetifah SJ Sumarto, 2004, Demkrasi Partisipatif dan Prospek Penerapannya di Indoensia, dalam Jurnal Analisis Sosial vol 9 No 3 desember 2004, Yayasan AKTIGA Bandung John Gaventa, 2005, Enam Saran Proposisi menuju Tata pemerintahan daerah Partisipatoris, dalam Orde Partisipasi: Bunga Rampai Partisipasi dan Politik anggaran, Perkumpulan PraKarsa Jakarta Juni Thamrin, 2005, Menciptakan Ruang Baru bagi Demokrasi Partisipatif: Dinamika dan Tantangannya, dalam Orde Partisipasi: Bunga Rampai Partisipasi dan Politik anggaran, Perkumpulan PraKarsa Jakarta Runciman, D. (2007), “The Paradox of Political Representation”, The Journal of Political Philosophy: Vol. 15, No. 1. Rehfeld, A. (2005), The Concept of Constituency: Political Representation, Democratic Legitimacy, and Institutional Design, Cambridge: Cambridge University Press. Sediono M.P. Tjondronegoro, 2003, Pengantar Membangun Forum Warga: Implementasi Partisipasi dan Penguatan Masyarakat Sipil, AKATIGA Bandung Suhirman, 2005, Kerangka Hukum Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Indonesia: Peuang dann Tantangan untuk Partisipasi Publik, dalam Orde Partisipasi: Bunga Rampai Partisipasi dan Politik anggaran, Perkumpulan PraKarsa Jakarta Sutoro Eko, 2003, Empat Model Demokrasi Prosedural, dalam Annual Report 2001 – 2002, IRE Yogyakarta Saward, M. (2008), “ Representation and Democracy: Revisions and Possibilities”, Sociology Compass Vol. 2 No. 3 Mackie, G. (2003), Democracy Defended, Cambridge: Cambridge University Press.
47 | P a g e
Kitschelt, H., Mansfeldova, Z., Markowski, R., & Tóka, G. (1999). Post-communist Party Systems: Competition, representation, and inter-party cooperation. NewYork: Cambridge University Press. Pitkin, H. (1967), The Concept of Representation, Berkeley: University of California Press. Zulmansyah dan Taqiudin, ed., 2003, Politik Anggaran Daerah, Mataram, Pustaka Konsepsi Nusa Tim Penulis IRE Yogyakarta, Laporan Desk Study Reformasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional untuk Memperkuat Representasi Warga, Yogyakarta, Januari 2012 Wawancara Wawancara dengan Emir Moeis, Ketua Komisi XI DPR RI, di Jakarta pada 27 Februari 2012 Wawancara dengan Marwan Ja’far, Ketua Fraksi PKB DPR RI-Anggota Komisi V -Anggota Badan Anggaran DPR RI di Jakarta pada 1 Februari 2012 Wawancara dengan Jarot Setyoko, Direktur Rumah Aspirasi Budiman, di Banyumas pada 9 Maret 2012. Wawancara dengan Hindun Barokah, Kepala Bidang Pedesaan Direktorat Perkotaan dan Pedesaan Bappenas di Jakarta pada 27 Februari 2012. Wawancara dengan Drs. Sumedi Andono Mulyo, M.A., Ph.D., Kepala sub Direktorat Ekonomi Lokal dan Analisis Sosial Bappenas di Jakarta pada 27 Februari 2012.
Makalah, Proceding dan Notulensi Bahan Presentasi Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (pada agenda Pertemuan Triwulanan II 29 Februari 2012 di Bappenas) Proceding Focus Group Discussion “Reformasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional untuk Memperkuat Representasi Warga” Yogyakarta, 30-31 Januari 2012, Program Kerjasama IRE-Prorep USAID Proceding Consultatiion Meeting I dengan Komisi 5, Komisi 11 dan Badan Anggaran, Jakarta, 31 Januari-2 Februari 2012, Program Kerjasama IRE-Prorep USAID
48 | P a g e
Notulensi Seminar Nasional “Reformasi SPPN untuk Memperkuat Representasi Warga: Kajian atas Kebijakan dan Praktek Pelaksanaan UU No 25/2004,” Jakarta, 10 Mei 2012 Notulensi Talk Show “Reformasi SPPN untuk Memperkuat Representasi Warga: Kajian atas Kebijakan dan Praktek Pelaksanaan UU No 25/2004,” Yogyakarta, 15 Mei 2012
49 | P a g e