Final policy paper thc

Page 1

The Habibie Center

Penelitian Kebijakan

Peningkatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat: Rekomendasi terhadap Rencana Kerja untuk Mengurangi Penumpukan Rancangan Undang-Undang

Tim Peneliti: Aay Muh. Furkon Bawono Kumoro Inggrid Galuh Mustikawati Maya Thatcher

JAKARTA, MEI 2012



The Habibie Center

PENELITIAN KEBIJAKAN Peningkatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat: Rekomendasi terhadap Rencana Kerja untuk Mengurangi Penumpukan Rancangan Undang-Undang

TIM PENELITI: AAY MUH. FURKON BAWONO KUMORO INGGRID GALUH MUSTIKAWATI MAYA THATCHER

JAKARTA, MEI 2012


Desain Grafis: Aryati Dewi Hadin CopyrightŠThe Habibie Center, 2012 Jl. Kemang Selatan, No.98 Jakarta 12560 Tlp. (021) 7817211, Fax. (021) 7817212


Daftar Isi

DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR BAGAN, GRAFIK DAN TABEL SINGKATAN ABSTRAKSI

iii iv v 1

BAB I: PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Pertanyaan Penelitian I.3. Tujuan Penelitian I.4. Metode Pengumpulan Data dan Analisis I.5. Subjek Penelitian I.6. Manfaat, Keterbatasan, dan Keberlanjutan Penelitian I.7. Studi Pustaka I.7.1. Kerangka Konseptual I.7.1.1. Landasan Hukum Kedudukan DPR I.7.1.2. Perencanaan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia BAB II: PROGRAM LEGISLASI NASIONAL DPR PERIODE 2009-2014 BAB III: TEMUAN PENELITIAN KEBIJAKAN BAB IV: REKOMENDASI KEBIJAKAN

1 1 5 5 6 9 12 13 20 25

BIBLIOGRAFI DAFTAR WAWANCARA DAFTAR PESERTA FOCUS GROUP DISCUSSIONS BIOGRAFI PENELITI

79 82 83 85

30 41 55 69

iii


Daftar Bagan, Grafik dan Tabel

DAFTAR BAGAN, GRAFIK DAN TABEL Bagan 1 Bagan 2 Bagan 3 Bagan 4 Bagan 5 Bagan 6 Bagan 7 Bagan 8 Bagan 9

Pembentukan UU secara Garis Besar Pembagian Fungsi DPR Proses Legislasi Proses Legislasi versi PSHK Proses awal RUU Inisiatif DPR, Pemerintah dan DPD Tahapan RUU dalam Prolegnas Proses Legislasi RUU Inisiatif Komisi Proses Pengharmonisasian RUU Titik Kelambanan Proses Pembentukan Undang-Undang Saat Ini

25 28 32 32

Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7

Prolegnas 2005-2011: Target vs Capaian Fraksi di DPR (2009-2014) Tiga Kelompok Besar RUU Prioritas 2011 Tiga Kelompok Besar RUU Prioritas 2010 vs 2011 Kelompok UU Capaian Prolegnas 2011 Tiga Kelompok Besar RUU Prioritas 2012 Tiga Kelompok Besar Prolegnas 2010, 2011 & 2012

4 41 46 47 48 51 52

Tabel 1 Proporsi Partai Politik dalam DPR Tabel 2 Prolegnas 2011 berdasarkan Klasifikasi Substansi Tabel 3 Delapan Kelompok Prolegnas 2011 yang Berhasil Disahkan

iv

34 59 60 64 64

8 45 48


Singkatan

SINGKATAN APBN BAKN Baleg Bamus Banggar BKSAP BPJS BUMN DIM DPD DPR DPRD ELSAM FGD Formappi HAM Kemendagri KemenpanRB KPK KPU MPR P3DI PAN Panja Pansus PDIP Perpres PPP

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Badan Legislasi Badan Musyawarah Badan Anggaran Badan Kerja Sama Antar-Palemen Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Badan Usaha Milik Negara Daftar Inventarisasi Masalah Dewan Perwakilan Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Focus Group Discussion Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia Hak Asasi Manusia Kementerian Dalam Negeri Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi Pemilhan Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Pusat Pengkajian, Pengelolaan Data dan Informasi Partai Amanat Nasional Panitia Kerja Panitia Khusus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Peraturan Presiden Partai Persatuan Pembangunan v


Singkatan

PT Prolegnas PSHK PUU RI RKP RUU Surpres THC Timsin Timus UU UUD

vi

Perseroan Terbatas Program Legislasi Nasional Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Perancang Undang-Undang Republik Indonesia Rencana Kerja Pemerintah Rancangan Undang-Undang Surat Presiden The Habibie Center Tim Sinkronisasi Tim Perumus Undang-Undang Undang-Undang Dasar


Abstraksi

ABSTRAKSI Sebanyak 560 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu tahun 2009 telah menjalani 2,5 tahun masa pengabdian sebagai wakil rakyat. Selama kurun waktu itu perjalanan DPR tidak lepas dari berbagai sorotan dan kritikan dari publik, mulai dari permasalahan kunjungan ke luar negeri dalam rangka studi banding sampai permasalahan perencanaan anggaran terhadap pembangunan gedung DPR itu sendiri. Namun, lebih dari itu sorotan dan kritikan dari publik juga tertuju pada kinerja legislasi DPR. Setiap tahun target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) selalu tidak tercapai dengan maksimal. Sebagai contoh, dalam Prolegnas tahun 2011 DPR menargetkan 93 rancangan undang-undang (RUU) untuk diselesaikan menjadi undang-undang (UU). Namun, sampai akhir tahun 2011 DPR hanya mampu menuntaskan 24 RUU menjadi UU. Adanya penumpukan RUU ini dalam kenyataannya merupakan fenomena yang berulang dan terjadi sejak tahun 2005. Pada hakikatnya, pembentukan UU yang dimiliki DPR akan berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian, tanpa terkecuali, setiap UU yang dihasilkan mengikat rakyat Indonesia. Peran DPR dalam menjalankan fungsi legislasi menjadi sorotan utama di sini. Dengan adanya penumpukan RUU yang berulang di setiap tahunnya, perlu adanya inovasi baru yang dapat mengoptimalkan kemampuan 560 anggota DPR dalam menghasilkan produk perundang-undangan. Dalam kaitan itu, The Habibie Center (THC) telah melakukan penelitian mengenai “Peningkatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat: Rekomendasi terhadap Rencana Kerja untuk Mengurangi Penumpukan Rancangan Undang-Undang.� Penelitian ini bertujuan merumuskan rekomendasi untuk meningkatkan fungsi legislasi DPR dalam mengatasi kelambanan proses pembentukan RUU menjadi UU.

vii


Abstraksi

Dari hasil temuan penelitian kebijakan ini, tim peneliti menemukan bahwa permasalahan yang seringkali terjadi adalah proses perencanaan yang kurang matang dengan ketiadaan naskah akademik saat pengajuan RUU tertentu. Dalam tahapan pembahasan, tim peneliti melihat adanya rangkap jabatan yang dimiliki anggota Baleg sehingga menimbulkan hambatan dalam hal penjadwalan rapat. Lebih lanjut, kurang optimalnya dukungan Tenaga Ahli terutama dalam hal legislative drafting. Terakhir, temuan hasil penelitian ini menyoroti permasalahan kedisiplinan anggota DPR dan persoalan uji publik yang memakan waktu cukup lama. Dari beberapa hasil temuan penelitian kebijakan ini, tim peneliti merumuskan beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat memberikan solusi bagi pemangku kebijakan untuk berkontribusi dalam perbaikan kinerja DPR ke depan.

viii


BAB I

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Seiring dengan perubahan politik dalam peralihan masa Orde Baru ke masa Reformasi pada tahun 1998, maka DPR sebagai lembaga legislatif menemukan kembali perannya sebagai lembaga yang dapat melakukan checks and balances terhadap pemerintah. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sehingga DPR sebagai lembaga wakil rakyat kembali berperan sebagai lembaga penyalur aspirasi rakyat. Dengan kata lain, DPR memiliki fungsi dan peran yang berimbang jika disejajarkan dengan fungsi perangkat kelembagaan yang lain seperti eksekutif dan yudikatif. Dalam amandemen UUD 1945, disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1) : “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undangundang.” Sebelum diamandemen, bunyi Pasal 20 ayat (1) ini adalah “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Adanya perubahan bunyi pasal ini memberikan ruang yang lebih luas bagi DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya, sebuah perubahan signifikan bila dibandingkan pada masa Orde Baru. Pada tahun 1999, Badan Legislasi (Baleg) DPR pertama kali dibentuk berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR yang ditetapkan oleh DPR pada tanggal 23 September 1999.1 Dalam Peraturan Tata Tertib tersebut, ketentuan yang mengatur kelembagaan Badan Legislasi DPR ada di 1 Badan Legislasi DPR RI: Kinerja dan Evaluasi Periode 2004-2009, diterbitkan oleh Badan Legislasi DPR RI, 2009.

1


Pendahuluan

dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 46.2 Selanjutnya, dengan adanya Keputusan DPR No. 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR, ditetapkan kedudukan Baleg DPR sebagai pusat pembentukan UU/hukum nasional. Penetapan kedudukan Baleg ini merupakan penguatan dan peningkatan atas Baleg secara kelembagaan maupun tugas. Pembentukan alat kelengkapan baru ini merupakan upaya untuk memaksimalkan potensi anggota DPR dalam menghasilkan produk perundang-undangan yang menjadi salah satu fungsi utama DPR. Seiring dengan perkembangan keadaan sosial politik, terjadi perubahan atas Peraturan Tata Tertib DPR 1999 dengan tujuan agar pelaksanaan fungsi DPR semakin optimal; Peraturan Tata Tertib DPR 1999 merupakan peraturan yang dihasilkan anggota DPR masa bakti 1999-2004 yang lalu. Untuk itu, perubahan atas Peraturan Tata Tertib DPR direalisasikan dalam Keputusan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Peraturan Tata Tertib DPR. Dalam Peraturan Tata Tertib DPR 2009 ini ditegaskan bahwa Baleg memiliki peran yang signifikan dalam merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan RUU, baik yang datang dari usul inisiatif pemerintah maupun usul inisiatif DPR. Dalam membentuk UU, DPR dan Pemerintah wajib membahas RUU tersebut. Dalam pembahasan inilah terkadang terjadi tarik menarik kepentingan antara pemerintah dan DPR, sehingga berimplikasi pada tertundanya RUU untuk disahkan menjadi UU. Dinamika pengesahan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) menjadi UU dapat menjadi contoh dari hal ini.3 Awalnya, RUU BPJS tuntas Oktober 2010. Namun, dalam pembahasan pada 2 (dua) kali masa 2 Peraturan Tata Tertib DPR 1999. 3 Wawancara dengan Ahmad Ruba’i (Anggota Badan Legislasi DPR RI) pada tanggal 25 Januari 2012.

2


BAB I

sidang DPR belum juga tercapai kata sepakat antara pemerintah dan anggota dewan. Padahal, UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengatur bahwa pembahasan RUU dilakukan paling lama 2 (dua) kali masa sidang dengan perpanjangan waktu 1 (satu) kali. Karena itu, masa sidang ini menjadi tenggat terakhir untuk pembahasan RUU BPJS. Ketika itu, RUU BPJS masih terganjal oleh perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR terkait transformasi 4 (empat) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PT Jamsostek, PT Taspen, PT Asabri, dan PT Askes. Pemerintah bersikukuh menolak melakukan tranformasi 4 (empat) BUMN itu ke dalam BPJS. Transformasi yang dimaksud adalah menggabungkan 4 (empat) BUMN itu menjadi satu wadah baru sesuai amanat dalam pasal di RUU BPJS. Hal ini disebabkan besarnya dana di keempat BUMN itu yang mencapai Rp 190 triliun.4 Sebelum pembahasan RUU dilakukan, DPR menjalankan Prolegnas yang merupakan instrumen perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis yang memiliki peran yang penting dalam politik pembangunan hukum di Indonesia. Sifat dinamis yang melekat pada Prolegnas sebagai sebuah mekanisme perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan Prolegnas harus selalu dievaluasi untuk mencapai standar terencana, terpadu, dan sistematis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun dalam kenyataannya, seringkali prioritas yang disusun dalam Prolegnas menempatkan kuantitas target RUU yang 4 Transformasi 4 BUMN Masih Jadi Ganjalan Pengesahan, 28 Oktober 2011, http:// nasional.kompas.com/read/2011/10/28/12505575/Transformasi.4.BUMN.Masih.Jadi.Ganjalan. Pengesahan, diakses pada 25 April 2012.

3


Pendahuluan

selalu tinggi, jauh dari capaian realisasinya. Gambar 1 Prolegnas 2005-2011: Target vs Capaian5

Sumber: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), 2012

Dari grafik di atas dapat terlihat kesenjangan yang cukup signifikan antara target Prolegnas dengan capaian yang dihasilkan oleh anggota DPR sejak tahun 2005 sampai 2011. Lebih lanjut, adanya peningkatan tajam atas jumlah RUU yang diprioritaskan dalam 2011 disebabkan oleh adanya penambahan jumlah RUU yang tidak tuntas pembahasannya pada 2010 sehingga berkontribusi pada penumpukan jumlah RUU prioritas pada Prolegnas 2011. Penumpukan RUU ini sebenarnya merupakan cerita lama yang selalu terjadi dan berulang setiap tahunnya. Pada tahun 2006, Tim Kajian DPR6 juga telah mengidentifikasi beberapa masalah terkait fungsi 5 Grafik ini diperoleh dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), disajikan dalam bentuk yang berbeda oleh tim peneliti untuk melihat kesenjangan yang signifikan antara target dan capaian dari tahun 2005 sampai 2011. 6 Tim Kajian DPR ini ditetapkan melalui SK Pimpinan DPR No. 12 tertanggal 16 Februari 2006 untuk merespon penilaian negatif masyarakat terhadap kinerja DPR dan menjadikan kritik,

4


BAB I

legislasi yang di antaranya kegagalan pencapaian target RUU yang telah ditetapkan dalam Prolegnas dan kualitas produk perundang-undangan yang dihasilkan DPR.7 Fungsi legislasi atau pembentukan UU yang dimiliki DPR8 akan berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian, tanpa terkecuali, setiap UU yang dihasilkan mengikat rakyat Indonesia. Peran DPR dalam menjalankan fungsi legislasi menjadi sorotan utama di sini. Dengan adanya penumpukan RUU yang berulang di setiap tahunnya perlu adanya inovasi baru yang dapat mengoptimalkan kemampuan 560 anggota DPR dalam menghasilkan produk perundang-undangan. I.2. Pertanyaan Penelitian Dengan mengacu pada latar belakang di atas, dalam penelitian kebijakan ini, terdapat beberapa pertanyaan yang akan menjadi fokus utama penelitian, di antaranya: 1. Bagaimana proses pembentukan RUU menjadi UU di DPR? 2. Apa penyebab kelambanan DPR dalam memproses pembentukan RUU menjadi UU? kekecewaan dan tanggapan negatif masyarakat sebagai dasar untuk memperbaiki kinerja Dewan. Tim Kajian DPR terdiri dari Zaenal Ma’arif (Ketua Tim/Wakil Ketua DPR), Darul Siska (Wakil Ketua Tim/Politisi Partai Golkar), Eva Kusuma Sundari, Lukman Hakim Saifuddin, dan Alvin Lie. Penelitian yang dilakukan selama 10 bulan ini dengan responden sebanyak 550 orang, penelitian ini juga melibatkan LSM, Lembaga Administrasi Negara, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bappenas, Badan Pemeriksa Keuangan, dan beberapa media massa. Tim Kajian DPR ini bersifat sementara sehingga saat ini keberadaan Tim Kajian DPR ini tidak berfungsi lagi seiring dengan pergantian periode keanggotaan DPR. 7 Zubairi Hasan, “Memperbaiki Kualitas Pembentukan Undang-Undang (UU),� Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, juni 2007. 8 Selain fungsi legislasi, terdapat beberapa fungsi yang melekat pada anggota DPR, di antaranya fungsi pengawasan, fungsi anggaran dan fungsi representasi. Ke empat fungsi ini akan dijelaskan dalam bab selanjutnya.

5


Pendahuluan

3. Inisiatif apa yang ada saat ini untuk mengatasi kelambanan proses pembentukan RUU menjadi UU dan untuk mengurangi penumpukkan RUU di DPR? I.3. Tujuan Penelitian Penelitian kebijakan ini dilakukan selama 4 (empat) bulan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Merumuskan rekomendasi untuk meningkatkan fungsi legislasi DPR dalam mengatasi kelambanan proses pembentukan RUU menjadi UU. 2. Membuat makalah kebijakan mengenai hal-hal yang menghambat pembuatan UU serta memaparkan rekomendasi yang relevan untuk mengurangi penumpukan RUU di DPR. I.4. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini digunakan dalam upaya untuk memahami gejala secara utuh dengan menggali lebih dalam data dan informasi yang diperoleh di lapangan. Pendekatan kualitatif menjadi sumber dari deskripsi yang luas dan berlandasan kokoh serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat sehingga dengan data kualitatif, alur peristiwa dapat dipahami secara kronologis serta diperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat.9 Dalam melakukan proses pengumpulan data, penelitian ini akan menggunakan beberapa cara: 9 Matthew B. Miles and A. Michael Huberman, Analisa Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press, 1992, hal 1-2.

6


BAB I

1. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan dengan mengacu pada sumber data yang didapat dari studi literatur atas beberapa buku, makalah dan hasil penelitian terkait dengan konteks kinerja DPR dan kumpulan kliping berupa pemberitaan di media cetak sejak tahun 2009 sampai 2011 (periode keanggotaan DPR 2009-2014). Melalui beberapa sumber data sekunder dan pemberitaan di beberapa media cetak itu tim peneliti melakukan analisa terhadap pemberitaan terkait kinerja DPR, terutama dalam menjalankan fungsi legislasi DPR sebagai gambaran umum terhadap subjek penelitian yang akan diteliti. 2. Penilaian anggota DPR RI (Wawancara Mendalam) Penelitian ini melakukan wawancara mendalam terhadap 3 (tiga) komisi DPR yaitu Komisi II, Komisi III, dan Komisi X, dan Baleg. Wawancara mendalam ini akan dijalankan dengan menggunakan instrumen panduan wawancara (interview guidelines) yang berkaitan dengan proses pembahasan dan pengesahan perundangundangan di DPR. Setidaknya ada sekitar 9 (sembilan) nara sumber dari masing-masing Komisi dan Baleg. Dari masing-masing komisi dan Baleg tersebut dipilih 3 (tiga) anggota DPR dengan rincian 2 (dua) dari partai politik besar (Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar) dan 1 (satu) dari partai politik menengah atau kecil10 (Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerindra dan 10 Partai Kecil Melawan Partai Besar, Kompas.com, 30 April 2012, http://nasional. kompas.com/read/2011/11/01/06075933/Partai.Kecil.Melawan.Partai.Besar, diakses pada 30 April 2012.

7


Pendahuluan

Partai Hanura). Proporsi partai besar, partai menengah dan partai kecil dalam dilihat dalam tabel berikut:11 Tabel 1 Proporsi Partai Politik dalam DPR Partai

Partai Demokrat Partai Golkar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Keadilan Sejahtera Partai Amanat Nasional Partai Persatuan Pembangunan Partai Kebangkitan Bangsa Partai Gerindra Partai Hanura

Jumlah Kursi 145 103 93 57 45 37 27 25 17

Kategori1 Partai Besar Partai Besar Partai Besar Partai Menengah Partai Menengah Partai Menengah Partai Kecil Partai Kecil Partai Kecil

Sumber: Komisi Pemilihan Umum, 2009

Dengan mempertimbangkan padatnya jadwal anggota DPR, maka penelitian ini hanya akan melakukan serangkaian wawancara kepada anggota DPR sebagai pendalaman isu terkait. Untuk lebih terperinci, wawancara dilakukan, disesuaikan dengan kebutuhan data dan informasi yang dikoroborasi dari hasil Focus Group Discussion (FGD. 3. Focus Group Discussion Focus Group Discussion ini bertujuan untuk menghasilkan gambaran awal terhadap keadaan lingkungan internal dan eksternal DPR. FGD ini membantu peneliti untuk menajamkan analisisnya dengan 11 Istilah partai besar, partai menengah, dan partai kecil merupakan bahasa politik yang digunakan untuk menggambarkan tingkat kekuatan partai politik dengan mengacu kepada hasil pemilu terakhir. Dalam konteks hasil Pemilu 2009, partai besar merupakan partai politik yang memiliki suara di atas 90 kursi di DPR. Lalu, partai menengah merupakan partai politik yang memiliki kursi DPR sebanyak 30-60 kursi. Sedangkan partai kecil merupakan partai politik yang memiliki kursi DPR kurang dari 30.

8


BAB I

menghadirkan pemahaman yang seimbang terhadap tantangantantangan yang dihadapi dalam proses legislasi di DPR. FGD dilaksanakan sebanyak 3 (tiga) kali, masing-masing akan melibatkan partisipan dari beberapa aktor terkait. FGD I melibatkan partisipan dari Tenaga Ahli Baleg dan Perancang Undang-Undang (PUU) Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI dengan tujuan pengumpulan data. FGD II melibatkan aktor eksternal seperti perwakilan dari media, dan lembaga swadaya masyarakat dengan tujuan pengumpulan data. FGD III melibatkan kembali Tenaga Ahli Baleg dan peneliti dari P3DI (Pusat Pengkajian, Pengelolaan Data dan Informasi) Setjen DPR RI dengan tujuan untuk konfirmasi dan validasi data dan informasi yang sebelumnya sudah diperoleh. 4. Peer Review Peer review dilaksanakan sebanyak 2 (dua) kali yang dilakukan dengan melibatkan tim peneliti serta menghadirkan penilaian dari pakar/ahli sebagai validasi hasil penelitian. Peer review pertama bertujuan untuk menguji initial research finding yang telah dilakukan tim peneliti pada tahap awal. Peer review kedua dilaksanakan untuk melakukan pengujian terhadap hasil akhir penelitian kebijakan ini. I.5. Subjek Penelitian Terkait dengan subjek penelitian yang menjadi fokus dalam penelitian kebijakan ini, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa penelitian

9


Pendahuluan

kebijakan ini melibatkan perwakilan dari Komisi II,12 Komisi III,13 Komisi X14 dan Baleg.15 Pemilihan ketiga komisi dari sebelas komisi dan satu alat kelengkapan yakni Baleg dari tujuh alat kelengkapan dewan ini tidak terlepas dari faktor motif politik yang begitu kuat di dalamnya.16 Pembuatan UU tidak bisa dilepaskan dari dimensi politik, karena UU pada dasarnya merupakan hasil dari kebijakan politik. Karena itulah, memilih Komisi II menjadi sebuah keniscayaan, sebab komisi II bermitra dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB), Komisi Pemilhan Umum (KPU), Panitia Pengawas Pemilu, dan Badan Pertanahan Nasional. Jika dilihat dari mitra kerjanya, maka dimensi politik sangat mewarnai kinerja Komisi II. Selanjutnya, tim peneliti juga memilih Komisi III. Mitra Komisi III adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika dilihat dari mitra 12 Ruang lingkup tugas dari Komisi II adalah (1) bidang pemerintahan dalam negeri dan otoritas daerah, (2) bidang aparatur negara dan reformasi birokrasi, (3) bidang kepemiluan, dan (4) bidang pertanahan dan reformasi agraria. 13 Ruang lingkup tugas Komisi II adalah (1) bidang hukum, (2) bidang HAM dan (3) bidang keamanan. 14 Ruang lingkup tugas Komisi X adalah (1) pendidikan, (2) kebudayaan, (3) pariwisata, (4) ekonomi kreatif, (5) pemuda, (6) olahraga dan (7) perpustakaan. 15 Baleg dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Susunan keanggotaan Baleg ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. 16 Komisi terdiri dari Komisi I sampai komisi XI, sedangkan alat kelengkapan dewan ada tujuh yaitu Badan Musyawarah (Bamus), Baleg, Banggar, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP), Badan Urusan Rumah Tangga, dan Badan Kehormatan (BK). Sebenarnya komisi adalah alat kelengkapan dewan sama seperti alat kelengkapan yang tujuh lainnya, namun komisi bersifat tetap. Lihat Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tentang Tata Tertib 2009, hal 19-71.

10


BAB I

kerjanya, Komisi III sangat terkait dengan upaya penegakan hukum. Selain itu, anggota Komisi III mempunyai latar belakang pendidikan dalam bidang hukum, sehingga tim peneliti dapat menggali secara mendalam apa-apa saja yang menjadi persoalan hukum. Terkait dengan proses legislasi, pembahasan RUU di Komisi III juga mempunyai dimensi politik yang sangat dominan sehingga banyak memakan waktu untuk perdebatan. Sebagai contoh, revisi UU KPK sejak masih dalam rancangan sudah menjadi perdebatan publik. Komisi berikutnya yang menjadi subjek penelitian kebijakan ini adalah Komisi X. Yang menjadi mitra kerja Komisi X adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan Perpustakaan Nasional. Menurut pandangan tim peneliti, Komisi X adalah komisi yang paling produktif dalam pembuatan UU. Pada tahun 2010, Komisi X sudah menghasilkan 2 (dua) UU, yaitu UU Cagar Budaya dan UU Gerakan Pramuka. Pada Tahun 2011, Komisi X membahas 4 (empat) RUU di antaranya RUU Pendidikan Tinggi, RUU Pendidikan Kedokteran, RUU Perpustakaan Nasional dan RUU Kebudayaan.17 Dalam proses legislasi, tidak jauh berbeda dengan Komisi II dan Komisi III, dalam Komisi X dimensi politik dalam tahap pembahasan juga sangat dominan. Di ketiga komisi yang menjadi fokus penelitian kebijakan ini, salah satu faktor keberhasilan/kemajuan dalam sebuah proses pembahasan RUU adalah kemampuan pimpinan rapat yang dapat mengakomodasi perbedaan pendapat sehingga rapat tidak berlarut dan monoton. 17 Wawancara dengan Reni Marlinawati (Komisi X/Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)) pada tanggal 24 Januari 2012.

11


Pendahuluan

Terakhir, tim peneliti memilih Baleg dengan alasan lembaga ini merupakan lembaga yang mempunyai otoritas untuk membuat UU. Dalam mekanisme pembuatan UU baik itu inisiatif dari DPR maupun pemerintah harus selalu melalui Baleg. Baleg memiliki peran menyusun Prolegnas tahunan (shortterm), Jangka Menengah (mid-term) dan Jangka Panjang (long-term) yang menjadi acuan membentuk prioritas-prioritas. Dalam Baleg juga dilakukan pengharmonisan, pembulatan dan pematangan terhadap RUU. I.6. Manfaat, Keterbatasan, dan Keberlanjutan Penelitian (1) Manfaat: Metodologi penelitian bertujuan untuk memaksimalkan para aktor dalam DPR Republik Indonesia (RI) dan badan terkait lainnya terhadap proses analisis dan formulasi rekomendasi. Dengan demikian, manfaat utama dari penelitian ini adalah penelitian ini menyediakan rencana kerja yang komprehensif yang akan divalidasi oleh aktor utama dalam DPR. (2) Keterbatasan: Keterbatasan utama penelitian ini adalah bahwa penumpukan RUU juga disebabkan oleh proses yang terjadi di luar kendali DPR dan penelitian ini tidak fokus pada hambatan eksternal itu. Lebih lanjut, lamanya penelitian yang hanya berlangsung 4 (empat) bulan merupakan keterbatasan waktu bagi penggalian dan pengumpulan lebih banyak data, demikian pula dalam melakukan analisisnya. (3) Keberlanjutan: Melalui jaringan yang telah terbangun oleh The Habibie Center, diseminasi akan dilakukan terhadap hasil penelitian dengan tujuan untuk sosialisasi 12


BAB I

hasil temuan penelitian kebijakan. Tujuan untuk memperoleh pendanaan tambahan untuk melanjutkan penelitian tersebut juga dimungkinkan untuk terjadi. The Habibie Center memiliki tujuan membangun kemitraan yang baik dengan DPR dengan maksud menyediakan masukan yang berkelanjutan terhadap rekomendasi yang dibuat untuk meningkatkan efektifitas anggota DPR. Keberlanjutan penelitian ini juga bermaksud agar rekomendasi yang telah dibuat dapat dijalankan oleh anggota DPR dengan melakukan peningkatan kapasitas melalui lokakarya dan pelatihan bagi anggota DPR. I.7. Studi Pustaka Perhatian khusus atas kinerja DPR banyak menjadi perhatian berbagai kalangan mulai dari lingkungan internal DPR sendiri maupun lingkungan eksternal DPR. Memang belum banyak kajian yang telah dilakukan terkait kinerja DPR namun sorotan media begitu intens dalam memberikan penilaian terhadap kinerja lembaga para wakil rakyat tersebut. Pada tahun 2006, DPR membentuk Tim Kajian yang berasal dari orang dalam sendiri yang ditetapkan melalui SK Pimpinan DPR No. 12 tertanggal 16 Februari 2006 sebagai bentuk respons DPR terhadap penilaian negatif masyarakat atas kinerja DPR.18 Kajian ini dilakukan selama 10 bulan terhadap 550 reponden dan hasilnya adalah sebuah laporan setebal 134 halaman bertajuk “Reformasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia: Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI.” Dari hasil tim kajian peningkatan kinerja DPR tersebut teridentifikasi beberapa masalah terkait fungsi legislasi di antaranya: 18 Laporan hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, “Reformasi DPR RI,” Jakarta: Desember 2006.

13


Pendahuluan

(1) Kualitas UU yang dihasilkan belum memberikan manfaat langsung terhadap kehidupan rakyat. Hal ini disebabkan oleh minimnya partisipasi publik dalam penyusunan UU termasuk penyusunan daftar RUU dalam Prolegnas, keterbatasan sumber data dan informasi yang dibutuhkan anggota DPR, dan kualitas intelektual anggota DPR itu sendiri; (2) DPR belum dapat memenuhi target jumlah penyelesaian UU yang telah ditetapkan dalam Prolegnas yang disebabkan oleh kedudukan Baleg sebagai pintu masuk dari semua inisiatif yang belum tertata secara baik dan belum difahaminya mekanisme dan tata cara penyusunan RUU oleh anggota DPR, dan (3) Proses pembahasan RUU kurang transparan terutama pada pembahasan di tingkat Panitia Kerja (Panja) yang rapatnya bersifat tertutup. Laporan hasil tim kajian DPR ini menyajikan solusi dan rekomendasi atas perbaikan kinerja DPR. Namun, sayangnya gaung laporan ini tidak terlalu terdengar dan tidak sampai menimbulkan pro- kontra. Tidak ada perhatian dari aktor signifikan khususnya pimpinan DPR untuk menindaklanjuti hasil kajian yang justru datang dari orang internal DPR itu sendiri.19 Pada tahun 2009, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) melakukan assessment terhadap pelaksanaan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan DPR untuk mengetahui responsivitas DPR terhadap HAM.20 19 Menelisik Kajian Internal DPR dan Gagasan Socially Responsible Law-Making, 26 Februari 2007, www.hukumonline.com/printedoc/hol16250 , diakses pada tangal 20 April 2012. 20 Indriaswati Dyah, dkk., “Penilaian Kinerja DPR dan Hak Asasi Manusia,� ELSAM, 2009.

14


BAB I

Dari hasil assessment tersebut, ELSAM menemukan bahwa dari segi kualitas, produk legislasi DPR jauh dari memuaskan. Hal ini dikarenakan faktor banyaknya UU yang menyebabkan kontroversi dan tidak sejalan dengan kebutuhan riil masyarakat. Materi UU yang dibahas DPR lebih banyak berkaitan dengan kepentingan politik kekuasaan. Produk legislasi DPR cenderung bersifat repetitif atau sekadar mengulangi peraturan yang sudah ada, sebab berkaitan dengan upaya memperjuangkan kepentingan fraksi-fraksi di DPR. Dengan melakukan penilaian terhadap komitmen HAM produk legislasi DPR selama periode 2005-2009, ELSAM sedikitnya mengkaji 35 UU yang dianggap memiliki relasi kuat dengan HAM. Dari 35 UU yang dianalisis, diperoleh temuan 20 UU dapat dikatakan telah sejalan dengan HAM, di antaranya UU Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, UU Guru dan Dosen, UU Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU Perlindungan Saksi dan Korban dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Sementara sisanya, 15 UU, masuk dalam kategori kurang sejalan dengan HAM, bahkan sebagian di antaranya justru membahayakan upaya perlindungan HAM, antara lain UU Administrasi Kependudukan, UU Penanaman Modal, UU Penataan Ruang, UU Energi, UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Pornografi. Dari hasil temuan ELSAM ini juga terungkap faktor tingginya politik transaksional antarfraksi di DPR. Artinya, mulus tidaknya pembahasan suatu RUU sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat kepentingan para pelaku politik di DPR. Apakah suatu UU dianggap menguntungkan atau tidak bukan bersandar pada kebutuhan riil percepatan kesejahteraan rakyat dan perlindungan hak asasi setiap warga negara. Akibatnya, UU 15


Pendahuluan

yang dianggap tidak menguntungkan bagi para pelaku politik di DPR, proses pembahasannya sekadar menjadi prosedur formalitas belaka. Sebagai contoh, pada pembahasan RUU Perlindungan Saksi dan Korban, meskipun tujuan utama dibentuknya RUU ini adalah untuk memberikan perlindungan HAM warga negara, tetapi di dalam pembahasan justru yang mengemuka adalah sekadar melengkapi kebutuhan hukum acara pidana. Padahal, jika dilihat konsideransnya, UU ini mencantumkan sejumlah pasal hak asasi dalam UUD 1945. Namun, dalam proses pembahasan justru perdebatan mengenai pentingnya perlindungan HAM setiap warga negara malah tidak muncul. Proses ini menimbulkan kesan, rupa-rupanya negara di dalam tingkat law making process, masih setengah hati untuk memberikan perlindungan terhadap setiap warga negara.21 Dalam kesimpulannya, ELSAM menegaskan bahwa DPR belum memiliki konsistensi dalam membentuk peraturan yang berkait dengan HAM. Ada banyak ketimpangan antara rencana dan implementasi. Selain buruknya capaian legislasi, mayoritas produk legislasi DPR yang berhasil disahkan juga tidak mencerminkan penjabaran dari perlindungan HAM yang sudah ditegaskan dalam UUD 1945. Imbasnya, sejumlah produk legislasi, khususnya yang tidak sejalan dengan HAM, justru cenderung berkontradiksi, baik dengan konstitusi maupun dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Efeknya, produk legislasi yang diharapkan memberikan dukungan dan basis legalitas bagi upaya pemajuan, pemenuhan dan penegakkan HAM, tetapi malah mengancam dan membahayakan perlindungan HAM. Dari assessment yang dilakukan ELSAM, kekuatan analisis terfokus pada muatan HAM semata dalam proses legislasi. Penelitian ESLAM 21

16

Ibid.


BAB I

tidak menjelaskan secara terinci dalam konteks tahapan proses legislasi yang menjadi fokus utama penelitian kebijakan ini. Namun demikian, assessment ELSAM ini memberikan kontribusi yang relevan terhadap pembahasan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan menumpuknya RUU di DPR. Secara berkala, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) juga melakukan kajian mengenai kinerja DPR. Misalnya pada tahun 2010, PSHK melakukan penilaian kinerja legislasi DPR dari sisi kualitas (dalam pengertian proses dan materi) dengan membuat kategori-kategori penilaian yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas legislasi yang dihasilkan DPR selama tahun 2006. Kategori penilaian tersebut mengacu pada 4 (empat) hal: (1) kategori substansi dari sisi muatan materi UU, (2) kategori substansi dari sisi struktur pengaturan dan penggunaan norma dalam UU, (3) kategori proses pembahasan RUU dari sisi partisipasi publik, dan (4) kategori proses pembahasan RUU dari sisi perdebatan selama pembahasan.22 Penilaian legislasi DPR dari segi kualitas di atas dianggap lebih tepat karena bisa menggambarkan kesungguhan, keseriusan, dan tingkat kedalaman penyerapan aspirasi yang dilakukan oleh DPR. Sebaliknya, penilaian legislasi DPR dari segi kuantitatif dianggap kurang tepat, karena DPR tidak mendapatkan dukungan anggaran, tim ahli dan dukungan teknis lainnya, secara memadai untuk menghasilkan UU sebanyak mungkin. 22 Zubairi Hasan, “Memperbaiki Kualitas Pembentukan Undang-Undang (UU),� Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, Juni 2007.

17


Pendahuluan

Rasanya kurang adil menuntut DPR menghasilkan UU dalam jumlah yang tidak akan mampu dikerjakan oleh anggota DPR.23 Memahami kualitas legislasi berarti menempatkan 2 (dua) persoalan penting, yaitu kualitas materi sebuah UU dan kualitas proses pembentukan sebuah UU. Kualitas materi sebuah UU berkaitan apakah pasal-pasal dalam sebuah UU sudah mencerminkan aspirasi masyarakat dan dapat menjadi titik masuk bagi upaya perbaikan kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya. Sedangkan kualitas proses pembentukan sebuah UU berkaitan dengan apakah proses pembahasan RUU itu membuka partisipasi masyarakat dan penuh dengan perdebatan yang argumentatif. Pada hakikatnya, untuk menilai kualitas legislasi DPR, dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Pembentukan PUU) terdapat patokan yang dapat dijadikan referensi sebagai asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik di antaranya adanya kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk UU yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan (lihat Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011). Lebih lanjut, selama tahun 2006 PSHK juga melakukan pengkategorian terhadap hasil legislasi DPR namun hal tersebut berdasarkan UU yang sudah tidak berlaku lagi saat ini yaitu UU No. 10 Tahun 2004.24 PSHK melakukan pemilihan atas

23 Ibid. 24 Pemekaran daerah (16 UU), pengesahan konvensi internasional dan perjanjian kerja sama bilateral (7 UU), penetapan Peraturan pemerintah Pengganti UU (1 UU), masalah APBN (4 UU), dan kategori lain-lain (11 UU). PSHK melakukan penilaian terhadap 11 UU yang masuk ke dalam kategori lain-lain, yaitu UU Resi Gudang, UU Administrasi Kependudukanm UU Badan Pemeriksa Keuangan, UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Kewarganegaraan, UU Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, UU Peradilan agama, UU Kepabeanan, UU Pemerintahan Aceh, UU Sistem Penyuluhan Pertanian dan UU Dewan Pertimbangan Presiden.

18


BAB I

11 UU sebagai fokus utama kajian karena PSHK menganggap ke-11 UU tersebut sebagai cerminan nyata dari kualitas legislasi DPR selama tahun 2006 di mana DPR bersama Presiden betul-betul membahasnya secara serius. Menurut PSHK, karakteristik ke-11 UU ini berbeda dengan UU yang lainnya disebabkan oleh UU yang terkait dengan pengesahan konvensi internasional di mana DPR tinggal mengesahkan saja, atau UU terkait pemekaran daerah di mana lobby politik lebih dominan daripada pembahasan materi UU dan DPR sudah mempunyai format yang relatif baku.25 Hasil dari penilaian kualitas legislasi yang dilakukan oleh PSHK mengindikasikan bahwa kualitas legislasi DPR masih kurang memuaskan, selain terdapat pencapaian signifikan yang dilakukan oleh anggota DPR, seperti keseriusan Komisi III yang mampu menyelesaikan 5 (lima) RUU, adanya proses pembahasan RUU tertentu yang memang semestinya harus terbuka untuk umum, dan cepatnya proses pembahasan RUU Pemerintahan Aceh yang pada saat itu menjadi isu krusial untuk dapat sesegera mungkin disahkan. Lebih lanjut, hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh PSHK pada tahun 2012 menyajikan catatan kinerja DPR pada tahun 2011. Hasil pengamatan PSHK pada tahun kedua masa jabatan DPR periode 20092014, DPR masih saja tidak maksimal dalam menjalankan fungsi legislasi secara transparan dan akuntabel. DPR dan pemerintah terkesan tak menghiraukan substansi utamanya yaitu kepentingan rakyat itu sendiri. Tidak berlebihan jika kemudian muncul pertanyaan tentang pelaksanaan 25 Zubairi Hasan, “Memperbaiki Kualitas Pembentukan Undang-Undang (UU),� Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, juni 2007.

19


Pendahuluan

fungsi legislasi sebagai perjuangan aspirasi atau sekadar transaksi politik antarpembentuk UU.26 Dari temuan penelitian yang dilakukan PSHK menggambarkan adanya pengabaian berbagai aturan terkait transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi di DPR sehingga fungsi representasi rakyat yang dilekatkan oleh konstitusi pada tubuh DPR disimpangi menjadi sebatas representasi bagi segelintir elit. Temuan lain mengemukakan bahwa DPR menunjukkan ketidaksinambungan antara tujuan yang ingin dicapai (dalam Prolegnas) dengan usaha mereka untuk mencapai tujuan tersebut sehingga tidak hanya kegagalan dalam aspek kuantitas yang terjadi namun juga terjadi pengabaian aspek kualitas dalam proses pembentukan maupun substansi produk legislasi.27 Kedua hasil kerja PSHK ini dapat berkontribusi secara signifikan terhadap penelitian kebijakan sebagai landasan akan pentingnya isu peningkatan fungsi legislasi DPR di saat DPR mendapat sorotan yang tajam atas rendahnya produktivitas capaian perundang-undangan yang dihasilkan. I.7.1. Kerangka Konseptual Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai hukum tertinggi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara UUD 1945 memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu: 26 Fajri Nursyamsi, dkk., “Catatan Kinerja DPR 2011, Legislasi: Aspirasi atau Transaksi,� Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2012. 27 Ibid.

20


BAB I

(1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) Memajukan kesejahteraan umum; (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam Pembukaan UUD 1945, perubahan naskah asli UUD 1945 yang semula terdiri dari 72 pasal, maka setelah empat kali mengalami perubahan materi muatan UUD 1945 jadi mencakup 199 pasal. Keseluruhan kesepakatan yang menjadi materi konstitusi me­nyang­kut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan negara tentu berlandaskan pada tujuan nasional. Konstitu­sio­nalisme mengatur 2 (dua) hubungan yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara. Kedua, hubungan antara lem­baga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, isi konstitusi dimak­ sudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu:28 (1) me­nen­­tukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, (2) meng­atur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan (3) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara. 28 Jimly Asshiddiqie, Hubungan Antar-Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Bahan ceramah pada Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat I Angkatan XVII Lembaga Administrasi Negara. Jakarta, 30 Oktober 2008, disampaikan lagi dalam Focus Group Discussion di LEMHANNAS, 15 November 2010.

21


Pendahuluan

Dengan demikian, salah satu materi penting dan selalu ada dalam konstitusi adalah pengaturan tentang lembaga negara. Hal itu dapat dimengerti karena kekuasaan negara pada akhirnya diterjemahkan ke dalam tugas dan wewenang lembaga negara. Tercapai tidaknya tujuan bernegara berujung pada bagaimana lembaga-lembaga negara tersebut melaksanakan tugas dan wewenang konstitusionalnya serta hubungan antarlembaga negara. Pengaturan lembaga negara dan hubungan antarlembaga negara merefleksikan pilihan dasar-dasar kenegaraan yang dianut.29 Pengaturan lembaga negara dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi dari kekuasaan negara. Mengacu pada pendapat Frank Goodnow, kekuasaan negara dapat dibedakan antara fungsi pembuat kebijakan (policy making) dan pelaksanaan kebijakan (policy executing). Teori ini kemudian disebut sebagai teori duo-politica. Dalam perspektif yang berbeda, Montesquieu menjabarkan tiga cabang kekuasaan negara (trias politica), yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif. Eksekutif terkait dengan pelaksana pemerintahan dengan mengacu pada pengimplementasian UU di mana dalam praktiknya, eksekutif melalui kementerian turut andil dalam pembahasan UU. Dengan perkataan lain, eksekutif juga melakukan sinergi fungsi dengan DPR, dalam hal ini, pengadaan perundang-undangan. Sedangkan fungsi yudikatif terkait dengan penegakan hukum jika terjadi sengketa atau pelanggaran terhadap kebijakan melalui lembaga peradilan. Legislasi terkait dengan seluruh kegiatan yang mewakili rakyat dalam hal pembuatan UU. Pelembagaan dari fungsi legislasi ini kemudian dikenal dengan nama parlemen atau DPR di Indonesia. Pada hakikatnya, adanya 29

22

Ibid.


BAB I

sistem pemisahan kekuasaan ini memberikan ruang untuk checks and balances karena masing-masing kekuasaan dapat saling mengawasi dan mengevaluasi sehingga dapat meminimalisasi kekuasaan yang melampaui batas.30 Dengan mengacu pada model fungsi legislasi yang diaplikasi oleh negaranegara lain, pelembagaan fungsi legislasi ada yang dibentuk dalam 1 (satu) forum saja, dikenal dengan unicameral/monocameral. Sementara itu, ada juga pengaplikasian pelembagaan fungsi legislasi melalui 2 (dua) forum (bicameral) dan bahkan melalui struktur parlemen multi-cameral yang terdiri atas lebih dari 2 (dua) kamar atau lebih dari 2 (dua) institusi.31 Indonesia adalah salah satu contoh nyata dari struktur multi-cameral, yakni adanya 3 (tiga) institusi yang saling beririsan antara DPR, DPD dan MPR.32 Dari 3 (tiga) institusi dalam struktur parlemen di Indonesia jika dikaitkan dengan aspek pembuatan UU, DPR memberikan kontribusi untuk membentuk UU, DPD berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam pembentukan UU, sedangkan MPR bertugas untuk menetapkan UUD sebagai kebijakan tertinggi. Jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, DPD berfungsi sebagai pengambil keputusan pembentukan UU tertentu. Namun, dengan menggunakan landasan UUD 1945 yang berlaku saat ini, keputusan-keputusan DPD sama sekali tidak menentukan 30 Lihat makalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., Lembaga Perwakilan dan Permusyawaratan Rakyat Tingkat Pusat, www.jimly.com/makalah/namafile/40/Trikameralisme_DPD.doc, diakses pada 4 Februari 2012. 31 Lihat disertasi Dr. Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral: Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara�, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009. 32 DPR adalah lembaga pewakilan politik (political representative), DPD merupakan perwakilan daerah (regional representative) dan MPR yang merupakan penjelmaan keseluruhan rakyat, baik dari segi politik maupun kedaerahan.

23


Pendahuluan

dalam proses pembentukan UU itu sehingga peranan DPD hanya sebagai penasihat terhadap DPR. Dengan demikian, struktur parlemen Indonesia dapat digambarkan sebagai bentuk kerja sama tiga forum parlemen yang memiliki fungsi legislasi dalam arti yang luas. Keberadaan DPR, DPD dan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dapat dilihat sebagai satu kesatuan lembaga perwakilan dan permusyawaratan dalam rangka pengambilan keputusan mengenai kebijakan negara berdasarkan UUD 1945.33 Secara lebih terinci, sebagai kerangka besar hukum di Indonesia, UUD 1945 yang telah diamandemen telah memberikan acuan mengenai pembentukan UU secara garis besar. Kerangka inilah yang menjadi payung hukum dan panduan garis besar dalam proses legislasi di Indonesia.

33 Lihat makalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., Lembaga Perwakilan dan Permusyawaratan Rakyat Tingkat Pusat, www.jimly.com/makalah/namafile/40/Trikameralisme_DPD.doc, diakses pada 4 Februari 2012.

24


BAB I

Bagan 1 Pembentukan UU secara Garis Besar

Sumber: Biro Perancangan Undang-Undang Setjen DPR RI, tidak ada tahun

I.7.1.1.Landasan Hukum Kedudukan DPR Kedudukan DPR dalam sistem penyelenggaraan kekuasaan negara mengalami perubahan yang signifikan sejak amandemen keempat UUD 1945 disahkan. Hal ini tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Meskipun kewenangan membentuk UU ada di DPR, namun pembahasan sebuah RUU harus dilakukan secara bersama-sama dengan pemerintah, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 20 ayat (2), “setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” DPR merupakan lembaga tinggi negara yang bertugas menjalankan fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan dan fungsi representasi 25


Pendahuluan

sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 20A UUD 1945. Dalam menjalankan fungsinya, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat (Pasal 20A ayat [2] UUD 1945). Lebih lanjut, DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hal imunitas (Pasal 20A ayat (3) UUD 1945). Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai hak anggota DPR diatur dalam undang-undang (Pasal 20A ayat [4] UUD 1945). Pengaturan tentang hakhak yang diberikan kepada DPR sebenarnya menunjukkan bargaining position atas independensi DPR terhadap lembaga negara lainnya dengan mengedepankan kepentingan rakyat diatas kepentingan eksekutif yang sedang berkuasa. Secara lebih spesifik, penjabaran atas 4 (empat) fungsi dasar dari DPR adalah sebagai berikut: (1) Fungsi Legislasi; Fungsi ini berhubungan dengan upaya menerjemahkan aspirasi masyarakat menjadi keputusan-keputusan politik yang nantinya dilaksanakan oleh pihak eksekutif (pemerintah). Di sini kualitas anggota DPR diuji. Mereka harus mampu merancang dan menentukan arah serta tujuan aktivitas pemerintahan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. (2) Fungsi Pengawasan; Fungsi yang berkaitan dengan upaya memastikan pelaksanaan keputusan politik yang telah diambil tidak menyimpang dari arah dan tujuan yang telah ditetapkan. Idealnya anggota DPR tidak sekadar mendeteksi adanya penyimpangan yang bersifat prosedural, juga diharapkan dapat mendeteksi penyimpangan 26


BAB I

teknis, seperti dalam kasus bangunan fisik yang daya tahannya di luar perhitungan normal. (3) Fungsi Anggaran; Fungsi ini berkaitan dengan kemampuan DPR mendistribusikan anggaran sesuai dengan skala prioritas yang secara politis telah ditetapkan. (4) Fungsi Representasi; Terkait dengan fungsi representasi, mengacu pada pemikiran Pitkin, representasi politik di sini diartikan dalam arti yang substantif yaitu “bertindak untuk yang diwakili dan dengan cara yang responsif terhadap mereka.”34 Törnquist menambahkan bahwa ada titik penting yang harus menjadi perhatian dalam representasi yaitu representasi mengandaikan adanya wakil (a representative), yang diwakilkan (the represented), hal yang diwakilkan (something that is being represented). Selanjutnya, lebih dari itu, pembicaraan soal representasi juga harus memasukkan konteks politik (a political context).35 Dalam konteks fungsi representasi DPR, pada bagian akhir rumusan sumpah DPR RI sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD disebutkan sebagai berikut: “bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 34 Hanna Fenichel Pitkin, “Representation and Democracy: Uneasy Alliance,” in Scandinavian Political Studies, Vol. 27 – No. 3, 2004. 35 Olle Törnquist, “Introduction: The Problem is Representation! Towards an Analytical Framework “ in Olle Törnquist, Neil Webster and Kristian Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation, New York: Palgrave Macmillan, 2009.

27


Pendahuluan

Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, kedudukan atas keempat fungsi DPR menjadi penting dan keempat fungsi ini melekat secara otomatis pada masing-masing anggota DPR. Bagan 2 Pembagian Fungsi DPR

Sumber: The Habibie Center, 2012

Pentingnya keseimbangan keempat fungsi DPR ini menjadi sebuah keharusan dalam menilai kinerja anggota DPR karena legislasi, pengawasan dan anggaran serta representasi merupakan sebuah kesatuan yang berkaitan. Dalam kenyataannya, fungsi representasi DPR ini tidak terlihat jika dibandingkan dengan ketiga fungsi DPR lainnya. Sebagai wakil rakyat, anggota DPR seharusnya mendasarkan tindakannya atas nama rakyat atau memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, namun seringkali mereka bertindak atas nama partainya atau sesuai dengan arahan yang digariskan partainya.36 Hal ini memang tidak dapat dihindari karena dorongan motif politik yang biasanya muncul di fraksi merupakan gambaran keterlibatan anggota DPR sebagai wakil 36 Bintan R. Saragih, “Strategi Memasukkan Fungsi Representasi dalam Undangundang SUSDUK dan Tata Tertib DPR RI,� Pokok-pokok makalah pada Focus Group Discussion, kerjasama Sekretaris Jenderal DPR dengan UNDP, Jakarta, 5 Juni 2008, www.parlemen.net, diakses pada 1 Februari 2012.

28


BAB I

dari partai politik yang tidak hanya sekadar perwakilan rakyat namun juga perwakilan kelompok kepentingan.37 Sebagai contoh, pembahasan RUU Pemilu berlangsung berlarut-larut. Hal ini disebabkan oleh kepentingan politik masing-masing fraksi terhadap RUU Pemilu tersebut. Karena itu jalur lobby antarketua umum partai menjadi salah satu penyelesaian masalah yang krusial.38 Dalam pasal 26 UU No 22 Tahun 2003 tersebut, fungsi representasi itu diatur hanya sebagai satu tugas dari 16 tugas yang diberikan kepada DPR, yang disebutkan dalam butir o atau tugas yang kelima belas, dengan kalimat “menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.” Fungsi pengawasan dapat berdampak terhadap adanya usulan revisi terhadap UU atau disetujui tidaknya usulan anggaran pada tahun berikutnya. Karena itu, fungsi pengawasan harus menjadi entry point bagi pelaksanaan fungsi-fungsi lainnya karena persetujuan anggaran tanpa evaluasi kebijakan akan memperlemah fungsi anggaran. Di sisi lain, fungsi pengawasan tanpa mendasarkan pada evaluasi kebijakan berdasar regulasi akan memperlemah pelaksanaan fungsi legislasi.39 Sebagai representasi rakyat DPR dipilih langsung oleh rakyat dan bekerja atas dasar kepercayaan rakyat untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar rakyat melalui produk hukum yang berpihak pada kepentingan publik. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa dari 4 (empat) fungsi 37 Hasil wawancara dengan Ganjar Pranowo (anggota Komisi II, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)) pada tanggal 8 Februari 2012. 38 Lobi RUU Pemilu Molor, Golkar Walkout, Rabu 12 April 2012, http://politik.vivanews. com/news/read/303739-lobi-ruu-pemilu-molor--golkar-walkout , diakses pada 25 April 2012. 39 Ferry Mursyidan Baldan, “Menata Alat Kelengkapan bagi Penguatan Fungsi DPR,” disampaikan pada Workshop “Menata Parlemen yang Demokratis, Efektif dan Akuntabel, Gedung Nusantara II DPR RI, 29 Februari 2012.

29


Pendahuluan

DPR yang menjadi prioritas kerja anggota DPR, seperti fungsi legislasi, anggaran, pengawasan, dan representasi, seringkali keempat fungsi ini tidak berjalan secara proporsional. Hampir dapat dipastikan bahwa dalam setiap periode capaian fungsi legislasi DPR jauh berada di bawah capaian dua fungsi lainnya, yaitu anggaran dan pengawasan yang secara otomatis berpengaruh pada capaian fungsi representasi DPR. I.7.1.2. Perencanaan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, pada Bab IV mengenai Perencanaaan Peraturan Perundang-undangan disebutkan dalam Pasal 16 bahwa “Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).� Esensi dari Prolegnas ini merupakan skala prioritas program pembentukan UU dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional (lihat Pasal 17 UU No. 12 Tahun 2011). Sedangkan dalam Pasal 1 angka 8 Keputusan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Peraturan Tata Tertib DPR, Prolegnas didefinisikan sebagai instrumen perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Dalam Peraturan Tata Tertib tersebut, Prolegnas dibagi berdasarkan periodisasi, yaitu jangka panjang (20 tahun), menengah (5 tahun) dan pendek (1 tahun). Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka panjang ini dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai pelaksana Prolegnas jangka panjang yang dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan.40 40

30

Pasal 106 Peraturan Tata Tertib DPR No. 1 Tahun 2009.


BAB I

Prolegnas memuat program pembentukan UU dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Pokok materi dimaksud meliputi (i) latar belakang dan tujuan penyusunan, (ii) sasaran yang akan diwujudkan, (iii) pokok-pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; serta jangkauan dan arah pengaturan (Pasal 4 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 61 Tahun 2005). Mengacu pada Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2011, penyusunan daftar RUU didasarkan atas: (1) Perintah UUD 1945 (2) Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (3) Perintah UU lainnya (4) Sistem perencanaan pembangunan nasional (5) Rencana pembangunan jangka panjang nasional (6) Rencana pembangunan jangka menengah (7) Rencana kerja pemerintah dan rencana strategi DPR (8) Aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat Setidaknya terdapat 5 (lima) tahapan dalam proses legislasi di DPR, yaitu perencanaan, persiapan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Ke lima tahap ini merupakan proses kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk membentuk UU. Bagan alur tahapan-tahapan ini mengacu pada UU No. 12 Tahun 2011. Bagan alur ini digunakan sebagai salah satu referensi utama dalam penelitian kebijakan mengenai Prolegnas ini.

31


Pendahuluan

Bagan 3 Proses Legislasi

• Prolegnas Tahunan & Menengah • RUU inisatif DPR, Pemerintah & DPD

• Naskah Akademik RUU • Penyusunan RUU

• Pembicaraan Tingkat I • Pembicaraan Tingkat II

• Presiden RI

• Menteri Hukum dan HAM

Sumber: Undang-Undang No. 12 Tahun 2011

Jika mengacu pada tahapan legislasi yang disimpulkan oleh PSHK, maka alur proses legislasi dapat dijelaskan melalui bagan sebagai berikut: Bagan 4 Proses Legislasi versi PSHK

Sumber: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, tidak ada tahun

Dari kedua bagan di atas, dapat dilihat adanya perbedaan dalam tahapantahapan tersebut disebabkan oleh adanya penjabaran atas tahapan persiapan menjadi tahapan perancangan dan tahapan pengusulan, serta 32


BAB I

adanya yang memisahkan tahapan persetujuan menjadi tahapan lain. Namun demikian, dari perbedaan interpretasi atas tahapan proses legislasi tersebut, setidaknya terdapat penjelasan yang saling beririsan terhadap tahapan tersebut yang akan dijelaskan sebagai berikut: I. Tahap Perencanaan Pada tahap perencanaan, Prolegnas disusun untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan 5 (lima) tahun. Penyusunan Prolegnas ini tidak terlepas dari peran alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi bernama Baleg41 dengan meminta usulan dari Fraksi, Komisi, atau DPD paling lambat 1 (satu) masa sidang sebelum dilakukannya penyusunan. Dengan demikian, penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh Baleg. Penyusunan Prolegnas di lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM).42 II. Tahap Persiapan Pada tahap persiapan yang juga dapat disebut sebagai tahapan perancangan, perancangan UU dapat dilakukan oleh fraksi, komisi atau Baleg dengan mengajukan naskah akademik RUU yang akan diajukan. 41 Pasal 16 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004, Pasal 102 ayat (1) huruf b UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Pasal 2 Peraturan Presiden (Perpres) No. 61 Tahun 2005, Pasal 60 huruf b, dan Pasal 103 ayat (1) Keputusan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Peraturan Tata Tertib DPR. Terkait dengan keterlibatan DPD dalam Prolegnas, dijelaskan dalam Pasal 224 ayat (1) huruf i UU No. 27 Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa perencanaan RUU dari DPD melibatkan panitia perancang undang-undang (PUU). DPD akan ikut serta jika RUU yang dimasukkan dalam Prolegnas berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 42 Pasal 16 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004 dan Pasal 6 ayat (2) Perpres No. 61 Tahun 2005.

33


Pendahuluan

Pada akhirnya, semua RUU akan difinalisasi oleh Baleg yang meliputi aspek teknis, substansi dan asas-asas perancangan yang dikenal dengan istilah pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU. Finalisasi ini paling lambat dilakukan pada 10 hari masa sidang sejak RUU diterima Baleg (Lihat Pasal 116 Peraturan Tata Tertib DPR No.1 Tahun 2009). Dalam konteks ini, peran Tenaga Ahli43 sangat penting untuk dapat menghasilkan RUU yang baik.44 Di sisi lain, proses ini di lembaga pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum yang diatur dalam Peraturan Presiden. Bagan 5 Proses awal RUU Inisiatif DPR, Pemerintah dan DPD

RUU dari DPR • Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dikoordinasikan oleh Baleg

RUU dari Pemerintah • Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dikoordinasikan oleh Kementrian Hukum dan HAM

RUU dari DPD • RUU disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR • Pimpinan DPR menyerahkan RUU dari DPD kepada Baleg untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU

Sumber: Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 43 Dalam edaran Tugas Pokok dan fungsi Tenaga Ahli sebagaimana dikeluarkan oleh Setjen DPR bahwa Tenaga Ahli berfungsi untuk membantu tugas anggota Dewan. Tenaga Ahli di DPR ini terbagi menjadi 4, yaitu Tenaga Ahli Anggota, Tenaga Ahli Komisi, Tenaga Ahli Komisi, Tenaga Ahli Fraksi, dan Tenaga Ahli Badan (Alat Kelengkapan Dewan selain Komisi seperti Badan Anggaran, BKSAP, dan lainnya). Dalam proses legislasi di DPR, peran Tenaga Ahli adalah mendukung kerja anggota DPR secara substansi maupun teknis dalam persiapan suatu RUU. 44 RUU yang baik mengacu pada Lampiran I dalam UU No. 12 Tahun 2011 mengenai Teknik Penyusunan Naskah Akademik dan Lampiran II dalam UU No. 12 Tahun 2011 mengenai Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang memuat contoh sistematika penulisan RUU yang baik.

34


BAB I

Pada tahap ini juga inisiatif usulan RUU dapat diajukan oleh anggota DPR, Komisi, gabungan Komisi, maupun Baleg (lihat Pasal 46 UU No. 12 Tahun 2011). RUU yang telah dirancang lengkap dengan penjelasan dalam naskah akademik kemudian disampaikan kepada Presiden RI. Untuk RUU atas dasar usulan dari pemerintah, naskah akademik, penjelasan dan Surat Presiden (Surpres) disampaikan kepada Pimpinan DPR.45 Setidaknya terdapat tiga cakupan wilayah kerja dalam proses penyusunan Prolegnas yaitu lingkungan DPR46, lingkungan Pemerintah47 dan forum bersama antara DPR dan pemerintah.48 Adapun mekanisme penetapan hasil penyusunan Prolegnas antara DPR (Baleg) dan pemerintah (Menkumham) dilaporkan dalam setiap rapat paripurna untuk mendapatkan penetapan.49 Untuk membatasi jumlah dan prioritas RUU yang akan disahkan oleh DPR, terdapat kriteria RUU yang layak masuk dalam Prolegnas, di antaranya: (1) Sesuai dengan amanat perintah UUD 1945; (2) Terkait dengan pelaksanaan UU lain; (3) Mendorong percepatan reformasi; (4) Luncuran Prolegnas sebelumnya; (5) Mengatur perlindungan hak asasi manusia; 45 Terkait dengan RUU usulan dari DPD dalam ruang lingkup otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pemekaran daerah, sumber daya alam/ekonomi dan keuangan pusat-daerah sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, inisiatif RUU dari DPD yang disetujui akan menjadi usul inisiatif DPR. 46 Pasal 8 dan Pasal 9 Perpres No. 61 Tahun 2005, Pasal 61, dan Pasal 104 dan Pasal 105 Keputusan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Peraturan Tata Tertib DPR. 47 Pasal 11 s/d Pasal 19 Perpres No. 61 Tahun 2005. 48 Pasal 20 s/d Pasal 24 Perpres No. 61 Tahun 2005 dan Pasal 106 ayat (1) s/d ayat (9) Keputusan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Peraturan Tata Tertib DPR. 49 Pasal 25 Perpres No. 61 Tahun 2005 dan Pasal 106 ayat (10) Keputusan DPR No.1 Tahun 2009 tentang Peraturan Tata Tertib DPR.

35


Pendahuluan

(6) Mendukung pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan, dan (7) Menyentuh langsung kepentingan rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Sementara itu, terdapat beberapa kriteria RUU di luar Prolegnas yang layak masuk di “tengah jalan,� yaitu RUU yang berkaitan dengan perjanjian internasional, adanya kebutuhan mendesak terhadap RUU itu, penetapan Perpu menjadi UU, dan merupakan akibat dari putusan uji materi di Mahkamah Konstitusi. III. Tahap Pembahasan Pada tahap pembahasan, aturan yang berlaku mengacu pada Pasal 66 dan Pasal 67 UU No. 12 Tahun 2011, yakni bahwa pembahasan RUU dilakukan melalui dua tingkat pembicaraan, yaitu: (1) Pembicaraan Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Baleg, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus (Pansus); dan (2) Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna. Pembicaraan Tingkat I diselenggarakan dengan serangkaian kegiatan di antaranya pengantar musyawarah, pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM)50 dan penyampaian pendapat mini. Mengacu pada tatib DPR Pasal 138 ayat (1), Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam Rapat Kerja, Rapat Panitia Kerja (Panja), Rapat Tim Perumus/Tim Kecil (Timus); dan/atau Rapat 50 DIM merupakan Daftar Inventaris Masalah yang diajukan pada Tahap Pembahasan dalam proses legislasi. Untuk RUU inisiatif DPR, DIM dipersiapkan oleh pemerintah melalui kementerian terkait yang disusun dalam jangka waktu 60 hari (lihat Pasal 49 ayat 2 UU No. 12 Tahun 2011). Begitu juga sebaliknya, DIM disusun oleh DPR jika RUU inisiatif berasal dari pemerintah (Lihat Pasal 50 ayat 3 UU No. 12 Tahun 2011).

36


BAB I

Tim Sinkronisasi (Timsin). Dalam Rapat Tim Sinkronisasi, tim ini bertugas untuk menyelaraskan rumusan RUU dengan memperhatikan keputusan Rapat Kerja, Rapat Panitia Kerja, dan hasil rumusan Tim Perumus dengan Menteri yang diwakili oleh pejabat eselon I yang membidangi materi RUU yang sedang dibahas. RUU hasil sinkronisasi itu dilaporkan kepada rapat Panja untuk selanjutnya diambil keputusan oleh pimpinan rapat.51 Selanjutnya, keberadaan Badan Musyawarah (Bamus)52 sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, kemudian menentukan alat kelengkapan lainnya yang akan membahas RUU, apakah itu Komisi, Pansus atau Baleg. Dalam tahap pembahasan ini, Komisi atau Pansus maupun Baleg dapat membentuk Panja untuk membahas substansi yang belum disetujui. Panja ini membentuk Timus untuk melakukan penyempurnaan redaksional. Panja juga membentuk Timsin untuk menyelaraskan RUU dengan hasil rapat-rapat sebelumnya. Pengambilan keputusan menjadi akhir Pembicaraan tingkat I. Hasil Pembicaraan Tingkat I kemudian dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II untuk mengambil keputusan dalam Rapat Paripurna.53 Terkait dengan batasan waktu pembahasan, dalam Pasal 141 ayat (1) jo Pasal 138 ayat (1) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang 51 Pasal 147 Tata Tertib DPR RI. 52 Bamus berjumlah paling banyak 1/10 dari jumlah anggota DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi yang ditetapkan oleh rapat paripurna. Adapun Bamus bertugas di antaranya menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang, dengan tidak mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya dan menentukan penanganan suatu rancangan undang-undang atau pelaksanaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR (lihat Pasal 90 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. 53 Pasal 149 dan Pasal 150 Tatib DPR.

37


Pendahuluan

Tata Tertib mengatur durasi pembahasan suatu RUU yaitu dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) kali masa sidang dan dijadwalkan oleh Bamus serta dapat diperpanjang oleh Bamus sesuai permintaan tertulis pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Baleg, atau pimpinan Pansus, untuk jangka waktu paling lama satu kali masa sidang. Dengan demikian, untuk dapat memenuhi peraturan di atas anggota DPR harus benar-benar membuat perencanaan, persiapan, dan proses pembahasan yang baik dengan tetap mengedepankan kualitas produk UU yang dihasilkan. IV. Tahap Pengesahan Sebelum tahap pengesahan dilakukan, Pembicaraan Tingkat II dilaksanakan oleh anggota DPR. Pada tahap ini pembicaraan hanya berupa pengambilan keputusan yang dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR. Rapat Paripurna DPR ini meliputi penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD (jika menyangkut hubungan pusat dan daerah), dan hasil Pembicaraan Tingkat I (lihat Pasal 69 UU No. 12 Tahun 2011). Selanjutnya terdapat pernyataan persetujuan atau penolakan dari setiap Fraksi dan anggota secara lisan yang dimintai oleh Pimpinan Rapat Paripurna; dan penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.54 Tahap Pengesahan merupakan lingkup kewenangan dari eksekutif dengan tidak lagi melibatkan kewenangan DPR. Hal ini disebabkan pengesahan dilakukan dengan melaksanakan penandatanganan UU oleh Presiden. RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU (Lihat Pasal 72 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011). Penyampaian RUU tersebut 54

38

Pasal 69 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.


BAB I

dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (Lihat Pasal 72 ayat 2 UU No. 12 Tahun 2011). V. Tahap Pengundangan Selanjutnya, Tahap Pengundangan, berdasarkan Pasal 81 UU No. 12 Tahun 2011 disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkan dalam: (1) Lembaran Negara Republik Indonesia; (2) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia; (3) Berita Negara Republik Indonesia; (4) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; (5) Lembaran Daerah; (6) Tambahan Lembaran Daerah; (7) Berita Daerah. Dengan demikian, Tahap Pengundangan ini dilakukan dengan pemberian nomor registrasi UU yang dilanjutkan dengan pencatatan di lembaran negara dan tambahan lembaran negara oleh Sekretariat Negara. Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-undangan.55

55

Pasal 87 UU No. 12 Tahun 2011.

39


Program Legislasi Nasional DPR Periode 2009-2014

40


BAB II

BAB II PROGRAM LEGISLASI NASIONAL DPR PERIODE 2009-2014 DPR periode baru 2009-2014 memiliki komposisi politik baru. Fraksi Partai Demokrat yang pada periode terdahulu hanya menduduki 57 kursi, pada priode ini mampu memperoleh 148 kursi. Disusul secara berturut-turut oleh Fraksi Partai Golkar sebanyak 106, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebanyak 94, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera sebanyak 57 kursi, Fraksi Partai Amanat Nasional sebanyak 46, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan sebanyak 38 kursi, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa sebanyak 28, Fraksi Partai Gerindra sebanyak 26 kursi, dan Fraksi Partai Hanura sebanyak 17 kursi.56 Gambar 2 Fraksi di DPR (2009-2014)

Sumber: Komisi Pemilihan Umum, 2009 56 Amalia Puri Handayani (ed), Berharap pada 560: Catatan Kinerja DPR 2009-2014 (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2011), h. 11-12.

41


Program Legislasi Nasional DPR Periode 2009-2014

Tahun 2011 sebenarnya merupakan tahun kedua masa jabatan DPR di periode 2009-2014. Besar harapan rakyat bahwa kinerja DPR dapat berjalan lebih baik dari tahun sebelumnya. Idealnya, pada tahun pertama, masyarakat Indonesia masih dapat menaruh harapan kepada 560 anggota DPR yang mereka pilih langsung dalam mekanisme Pemilihan Umum. Pada tahun kedua, harapan itu tentu sudah dapat diukur dengan adanya keberhasilan atau tingkatan, bahkan sebaliknya.57 Tahun pertama dinilai memberi cukup waktu bagi anggota DPR untuk menyesuaikan diri dengan pola kerja maupun substansi yang akan dikerjakan mengingat 60% anggota DPR periode 2009-2014 minim pengalaman politik.58 Jika dilihat dari persentase keberhasilan anggota DPR dalam membentuk produk perundang-undangan, kuantitas capaian Prolegnas pada 2010 dan 2011 tidak jauh berbeda, yaitu 23% pada 2010 dan 26% pada 2011. Dengan melakukan perbandingan pada DPR 2004-2009, pada tahun kedua masa jabatannya (2006), persentase capaian Prolegnasnya lebih besar dibandingkan 2011. Di tahun 2006, tercatat 51% capaian Prolegnas berhasil diraih. Hal ini disebabkan oleh banyaknya legislasi yang dihasilkan berasal dari pemekaran wilayah yang tidak memerlukan proses yang panjang dalam pembahasannya. Sebenarnya capaian keberhasilan anggota DPR dalam Prolegnas 2011 lebih terlihat peningkatannya dalam mengesahkan UU yang bersifat nonkumulatif (di luar UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN] atau ratifikasi perjanjian internasional). Pada tahun 2010, UU nonkumulatif yang sah berjumlah 7 (tujuh) UU, sedangkan pada 2011, 57 Fajri Nursyamsi dkk, “Catatan Kinerja DPR 2011, Legislasi: Aspirasi atau Transaksi?� Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2012. 58 Amalia Puri Handayani (ed), “Berharap pada 560: Catatan Kinerja DPR 2009 – 2010, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2011, hal. 11.

42


BAB II

mencapai 19 UU. Dari 19 UU nonkumulatif yang sah pada 2011 tersebut, 18 UU diantaranya merupakan UU luncuran dari 2010 dan hanya ada 1 (satu) UU yang berasal dari Prolegnas 2011. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa 95% UU nonkumulatif yang disahkan pada 2011 membutuhkan waktu lebih dari 3 (tiga) masa sidang. Beberapa UU yang waktu pembahasannya cukup lama dan isunya banyak menjadi perhatian masyarakat adalah RUU tentang Bantuan Hukum, RUU tentang Rumah Susun, RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan RUU Otoritas Jasa Keuangan.59 Keadaan ini tentu saja bertentangan dengan tata tertib internal yang telah disahkan oleh DPR sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 141 Tata Tertib DPR bahwa pembahasan suatu RUU dilaksanakan selambat-lambatnya 2 (dua) kali masa sidang dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali masa sidang. Pada dasarnya, Prolegnas Tahun 2011 diperlukan sebagai potret politik UU atau substansi politik hukum nasional untuk mencapai tujuan Negara dalam waktu kurun tertentu, baik dalam membuat UU baru maupun dalam mencabut atau mengganti UU lama. Sebagaimana telah disebutkan di atas, periodisasi Prolegnas terbagi dalam 3 (tiga) tujuan yaitu jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Untuk penyusunan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2011 merupakan penyusunan prioritas tahunan kedua dari Prolegnas Jangka Menengah (2010-2014). Selanjutnya, terkait dengan arah kebijakan Prolegnas 2011, DPR dan pemerintah terlebih dahulu menentukan landasan sebagai arah dan kebijakan penyusunan Prolegnas. Pada Prolegnas 2011, arah dan kebijakan 59 Fajri Nursyamsi, Mengembalikan Fungsi Prolegnas sebagai Instrumen Perencanaan Legislasi, Majalah Parlementaria, Edisi 89, TH. XLII, 2011.

43


Program Legislasi Nasional DPR Periode 2009-2014

berlandaskan pada 3 (tiga) faktor, yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP), kebutuhan hukum masyarakat, dan pelaksanaan Prolegnas tahun sebelumnya (2010). Dari ketiga faktor ini, Baleg kemudian merumuskan arah dan kebijakan menjadi 5 (lima) poin. Kelima poin itu dapat menjadi patokan untuk menilai keberhasilan dari Prolegnas 2011 yakni:60 (1) Mempercepat pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dengan memprioritaskan pembangunan pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, infrastruktur dan energi; (2) Menata sinergi pusat dan daerah; (3) Membenahi peraturan perundang-undangan yang bermasalah maupun diindikasikan tidak harmonis, tumpang tindih, tak taat asas (inkonsisten), multitafsir, sulit diterapkan, menimbulkan biaya tinggi, dan menciptakan hambatan kegiatan pembangunan; (4) Membenahi hukum di Indonesia dalam menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia; dan (5) Memperhatikan Prolegnas 2010. Adanya penyusunan Prolegnas 2011 yang dimulakan dengan penentuan arah dan kebijakan ini dirasa sudah merupakan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Namun demikian, kenyataannya arah dan kebijakan itu hanya berlaku dalam tataran formal saja.61 Berdasarkan hasil klasifikasi substansi, RUU prioritas 2011 dapat dibagi menjadi 17 kelompok sebagai berikut:62 60 Fajri Nursyamsi dkk, “Catatan Kinerja DPR 2011, Legislasi: Aspirasi atau Transaksi?,� Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2012, hal 4. 61 Ibid. 62 Ibid, hal, 5.

44


BAB II

Tabel 2 Prolegnas 2011 berdasarkan Klasifikasi Substansi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kelompok Investasi dan Usaha Keuangan Hukum Kelembagaan Negara Informasi dan Teknologi Sosial Kesehatan Pertahanan Pengaturan Wilayah

Jml 13 12 8 8 7 7 5 5 4

No 10 11 12 13 14 15 16 17

Kelompok

Politik Pemerintah dan Reformasi Birokrasi Pendidikan dan Kebudayaan Perempuan Infrastruktur dan Perhubungan Pembentukan Pengadilan Lingkungan Hidup dan Bencana Alam Pertanian dan Ketahanan Pangan

Jml 4 4 4 3 3 2 2 2

Sumber: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2012

Tabel di atas menunjukkan bahwa kelompok peraturan investasi dan usaha memiliki porsi RUU terbanyak dalam Prolegnas 2011, yaitu sebesar 13 RUU. Kemudian diikuti dengan kelompok keuangan sebanyak 12 RUU dan kelompok kelembagaan Negara dan kelompok hukum masing-masing sebanyak 8 (delapan) RUU. Hal ini terlihat bahwa prioritas di bidang ekonomi menjadi yang utama dalam penyusunan Prolegnas 2011. Selain pengelompokan di atas, pengklasifikasian RUU prioritas 2011 dapat juga digambarkan berdasarkan 3 (tiga) kelompok besar: (1) Politik, hukum, dan HAM sebesar 36%; (2) Perekonomian dan keuangan sebesar 30%, dan (3) Kesejahteraan rakyat sebesar 34%.63 Dengan demikian dari pembagian di atas dapat disimpulkan bahwa RUU terbanyak berada pada kelompok politik, hukum dan HAM, yaitu sebanyak 33 RUU atau 36%. Kelompok kesejahteraan rakyat menduduki urutan kedua yaitu sebanyak 32 RUU atau 34% dan kelompok ekonomi dan keuangan 28 RUU atau 30%. Untuk lebih jelas, pengklasifikasian 3 (tiga) kelompok besar tersebut 63

Ibid, hal 6.

45


Program Legislasi Nasional DPR Periode 2009-2014

dapat dilihat dalam pie chart di bawah ini: Gambar 3 Tiga Kelompok Besar RUU Prioritas 2011

Perekonomian dan keuangan 30%

Politik, Hukum dan HAM 37%

Kesejahteraan Rakyat 33%

Sumber: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2012

Dengan mengacu pada klasifikasi di atas, nampak bahwa kelompok ekonomi dan keuangan bukan kelompok dengan RUU terbanyak. Sementara itu, pada pengklasifikasian sebelumnya, kelompok investasi dan usaha serta keuangan merupakan dua kelompok yang memiliki RUU terbanyak. Dengan perkataan lain, RUU yang termasuk pada kelompok politik, hukum dan HAM tersebar ke dalam beberapa kelompok kecil lainnya. Dengan demikian, hal itu membuktikan bahwa ada pertentangan antara prioritas dalam Prolegnas dan prioritas pembangunan yang sudah dicanangkan oleh pemerintah melalui RKP. Selain itu, dapat dikatakan bahwa DPR dan pemerintah telah gagal menyusun Prolegnas 2011 yang sesuai dengan prioritas pembangunan Indonesia 2011.64 Selanjutnya, perubahan komposisi RUU juga terlihat jika dibandingkan dengan Prolegnas 2010. Pada Prolegnas 2010, kelompok yang memiliki RUU terbanyak adalah kelompok kesejahteraan rakyat (38 RUU atau 64

46

Ibid.


BAB II

54%). Lalu kelompok ekonomi dan keuangan (20 RUU atau 29%), dan terakhir politik, hukum, dan HAM (12 RUU atau 17%). Dari grafik di bawah, terlihat bahwa perubahan komposisi terbesar terjadi pada kelompok politik, hukum, dan HAM yang meningkat presentasenya dari 17% menjadi 36%. Sementara itu, kelompok kesejahteraan rakyat turun drastis dari 54% menjadi 34%. Lalu kelompok ekonomi dan keuangan yang relatif stabil dari 29% menjadi 30%.65 Di samping itu, perubahan yang dapat dilihat dari komposisi Prolegnas 2010 dan 2011 adalah pada 2011, tidak ada perbedaan yang signifikan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Di sisi lain, Prolegnas menempatkan jumlah RUU pada kelompok kesejahteraan rakyat jauh lebih banyak daripada RUU pada 2 (dua) kelompok lain. Gambar 4 Tiga Kelompok Besar RUU Prioritas 2010 vs 2011

Sumber: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2012

Terkait dengan komposisi capaian RUU nonkumulatif dalam Prolegnas 2011, sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, terdapat 17 kelompok 65

Ibid, hal 7.

47


Program Legislasi Nasional DPR Periode 2009-2014

yang digunakan untuk mengklasifikasikan 93 RUU. Namun hanya ada delapan kelompok yang berhasil disahkan meskipun tidak semuanya. Adapun, pengklasifikasian capaian Prolegnas 2011 pada ke delapan kelompok tersebut adalah: Tabel 3 Delapan Kelompok Prolegnas 2011 yang Berhasil Disahkan No 1 2 3 4 5 6 7 8

Kelompok Informasi dan Teknologi Kelembagaan Negara Hukum Investasi & Usaha Keuangan Sosial Pertahanan Politik

Jumlah 2 2 3 3 4 3 1 1

Persentase 10% 11% 16% 16% 21% 16% 5% 5%

Sumber: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2012

Gambar 5 Kelompok UU Capaian Prolegnas 2011

Sumber: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2012

48


BAB II

Di sisi lain, ada 9 (sembilan) kelompok lain yang tidak berhasil disahkan, yaitu pengelompokan berdasarkan isu kesehatan, perempuan, pengaturan wilayah, pemerintahan dan reformasi birokrasi, pembentukan pengadilan, lingkungan hidup dan bencana alam, pertanian dan ketahanan pangan, pendidikan dan kebudayaan serta infrastruktur. Dalam sebuah analisa yang dilakukan oleh PSHK, terdapat beberapa kelompok dari 9 (Sembilan) kelompok tersebut yang secara jelas masuk dalam salah satu bidang arah dan kebijakan Prolegnas 2011. Poin pertama dalam arah dan kebijakan Prolegnas 2011 adalah “mempercepat pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dengan memprioritaskan pembangunan pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, infrastruktur dan energi.� Dari arah kebijakan itu, dapat terlihat bahwa ada empat bidang yang masuk dalam arah kebijakan, tetapi tidak ada satupun RUU yang disahkan, yaitu bidang kesehatan, pendidikan, ketahanan pangan dan infrastruktur. Dengan tidak adanya RUU yang disahkan dalam bidang itu, dapat dikatakan bahwa DPR dan pemerintah gagal dalam mewujudkan salah satu arah dan kebijakan dari Prolegnas 2011.66 Dengan mengevaluasi hasil capaian RUU dalam Prolegnas 2011, dapat disimpulkan bahwa instrumen Prolegnas sebenarnya tidak menjamin adanya keterkaitan dengan prioritas pembangunan, dan bahkan arah kebijakan Prolegnas itu sendiri.67 Di tahun 2012, penyusunan Prolegas merupakan penyusunan prioritas tahunan ketiga dari Prolegnas Jangka Menengah 2010-2014. Melalui penetapan tahun 2012 sebagai tahun legislasi diharapkan tidak ada jarak yang signifikan lagi antara target dan capaian yang dihasilkan oleh anggota DPR. Meskipun jumlahnya tidak realistis, namun anggota 66 67

Ibid hal 9. Ibid, hal 10.

49


Program Legislasi Nasional DPR Periode 2009-2014

DPR tetap optimistis dengan beban berat tersebut.68 Rincian RUU yang menjadi prioritas di tahun 2012 terdiri dari 64 RUU, 42 RUU inisiatif dari DPR dan 22 RUU inisiatif dari pemerintah serta 5 RUU kumulatif terbuka.69 Dari keseluruhan daftar Prolegnas 2012 ini, 16 RUU telah memasuki Pembicaraan Tingkat I, 8 (delapan) di antaranya telah mengalami perpanjangan masa tugas 2 (dua) sampai 3 (tiga) kali. RUU tersebut antara lain: 70 (1) RUU tentang Keamanan Nasional; (2) RUU tentang Keistimewaan Provinsi DIY; (3) RUU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; (4) RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar; (5) RUU tentang Pendidikan Tinggi; (6) RUU tentang Pendidikan Kedokteran; dan (7) RUU tentang Penanganan Konflik Sosial. Dari RUU prioritas 2012, klasifikasi berdasarkan 3 (tiga) kelompok besar dapat dilihat sebagai berikut:

68 Prolegnas 2012: Optimis dengan Beban Berat, Majalah Parlementaria, Edisi 89 TH. XLII, 2011. 69 Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun Anggaran 2012, Majalah Parlementaria, Edisi 89 TH. XLII, 2011. 70 Prolegnas 2012: Optimis dengan Beban Berat, Majalah Parlementaria, Edisi 89 TH. XLII, 2011.

50


BAB II

Gambar 6 Tiga Kelompok Besar RUU Prioritas 2012

Perekonomian dan keuangan 14 RUU (22%)

Politik, Hukum dan HAM 22 RUU (34)%

Kesejahteraan Rakyat 28 RUU (44)%

Sumber: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2012

Dengan melakukan perbandingan dengan Prolegnas 2010 dan Prolegnas 2011, dapat disimpulkan bahwa terdapat fluktuasi pada kelompok kesejahteraan rakyat yang cukup signifikan dari tahun 2010 dan secara lebih spesifik terdapat peningkatan persentase dari tahun 2011 yaitu 34% menjadi 44%. Dalam pengelompokan bidang perekonomian dan keuangan, terdapat penurunan persentasi di tahun 2012 dari 30% (2011) menjadi 22% (2012). Untuk pengelompokan bidang Politik, Hukum dan HAM, pada grafik di bawah terlihat kestabilan persentase yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan Prolegnas tahun 2011, yaitu 36% dan 34% di tahun 2012.

51


Program Legislasi Nasional DPR Periode 2009-2014

Gambar 7 Tiga Kelompok Besar Prolegnas 2010, 2011 & 2012

Sumber: Pusat Studi Hukum Kebijakan dan The Habibie Center, 2012

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, optimistis dengan beban berat di tahun legislasi, itulah yang diungkapkan oleh Ketua Baleg DPR RI Ignatius Mulyono dalam menanggapi jumlah RUU dalam Prolegnas 2012 sebesar 70 RUU.71 Pada masa persidangan III 2011-2012 kegiatan DPR dibagi dalam 2 (dua) kelompok, pertama, kegiatan legislasi sebanyak 60% dan kedua, kegiatan anggaran dan pengawasan sebesar 40%. Dua kelompok kegiatan tersebut dilakukan secara bergantian per minggu termasuk untuk alokasi bagi rapat Paripurna, Rapat Fraksi, Rapat BadanBadan dan Rapat Tim. Alokasi kegiatan ini akan disesuaikan untuk Masa Persidangan I dan IV dalam membahas anggaran.72 71 Prolegnas 2012: Optimis dengan Beban Berat, Majalah Parlementaria, Edisi 89 TH. XLII, 2011. 72 Ibid.

52


BAB II

Kenyataannya, rendahnya capaian fungsi legislasi DPR tidak sebanding dengan masifnya capaian fungsi pengawasan DPR. Selama tahun 2010 saja DPR telah membentuk 32 Panja untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Pembentukan Panja yang cenderung kurang memperhatikan kaidah itu kian memperburuk kualitas UU yang dihasilkan. Ketidakhadiran anggota DPR dalam rapat pembahasan karena bersinggungan dengan jadwal rapat Panja juga mengakibatkan pecahnya konsentrasi anggota DPR. Memang, semua fungsi DPR memiliki arti sama penting. Meskipun demikian, perlu disadari bahwa sebagai lembaga legislatif tentu perlu ada penekanan pada fungsi pembentukan UU atau legislasi.

53


Temuan Penelitian Kebijakan

54


BAB III

BAB III TEMUAN PENELITIAN KEBIJAKAN Dalam konteks penelitian kebijakan ini, penekanan terhadap aspek kuantitas masih menjadi fokus utama karena sebagai pijakan awal terhadap gambaran kinerja DPR di bidang legislasi. Proses legislasi DPR tidak terlepas dari landasan pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai aturan utama pelaksanaan Pasal 22A UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang.� Secara historis, UU No. 12 Tahun 2011 merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapun kelemahannya:73 (1) Materi dari UU No. 10 Tahun 2004 banyak menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum; (2) Teknik penulisan rumusan banyak yang tidak taat asas (inkonsisten); (3) Terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan (4) Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika. 73 Penjelasan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, hal. 1.

55


Temuan Penelitian Kebijakan

Sebagai penyempurnaan terhadap UU No. 10 Tahun 2004, maka dalam UU No. 12 Tahun 2011 terdapat materi muatan baru yang ditambahkan, antara lain: (1) Penambahan ketetapan MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hirarkinya ditempatkan setelah UUD 1945; (2) Perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Perundang-undangan lainnya; (3) Pengaturan mekanisme pembahasan RUU tentang pencabutan Peraturan pemerintah pengganti UU; (4) Pengaturan naskah akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan RUU atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (5) Pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, peneliti dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan (6) Penambahan teknis penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran UU ini. Secara umum, UU No. 12 Tahun 2011 memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut:74 (1) Asas pembentukan peraturan perundang-undangan; (2) Jenis, hirarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan; (3) Perencanaan peraturan perundang-undangan; (4) Penyusunan peraturan perundang-undangan; 74 56

Ibid.


BAB III

Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan; (5) Pembahasan dan pengesahan RUU; (6) Pembahasan dan penetapan rancangan peraturan daerah provinsi dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota (7) Pengundangan peraturan perundang-undangan (8) Penyebarluasan; (9) Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundangundangan; dan (10) Ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan keputusan Presiden dan lembaga Negara serta pemerintah lainnya. Di samping adanya materi baru dalam UU No. 12 Tahun 2011, terdapat pula penyempurnaan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan beserta contohnya yang ditempatkan dalam Lampiran II. Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan peraturan perundangundangan, termasuk peraturan perundang-undangan di daerah.75 Dikaitkan dengan format naskah akademik, dalam UU No. 10 Tahun 2004 memang tidak terdapat format baku akan naskah akademik. Sebelum adanya UU No. 12 Tahun 2011 ini, referensi pembuatan naskah akademik mengacu pada peraturan dari Kementerian Hukum dan HAM di mana formatnya bersumber dari peraturan menteri.76 Dengan adanya UU No. 12 Tahun 2012, terdapat penyeragaman format atas naskah akademik yang diajukan dalam pengusulan suatu RUU baik untuk RUU yang dibuat oleh 75 Ibid. 76 Hasil Focus Group Discussion I, Pernyataan dari staf Perancang Undang-Undang Setjen DPR RI, 24 Februari 2012.

57


Temuan Penelitian Kebijakan

pemerintah maupun RUU yang dibuat oleh DPR.77 Di samping UU No. 12 Tahun 2011, acuan yang digunakan dalam proses pembuatan produk perundang-undangan juga berlandaskan pada Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR. Pada bidang legislasi dengan mengacu pada Tata Tertib DPR, tugas alat kelengkapan DPR dilaksanakan oleh Komisi, Baleg dan Pansus yang dibentuk oleh DPR. Pada tahapan awal, prioritas RUU yang akan dimasukkan dalam Prolegnas harus mengikuti alur bagan sebagai berikut:

77 Hasil Focus Group Discussion I, Pernyataan dari staff Ahli Badan Legislasi Setjen DPR RI, 24 Februari 2012.

58


BAB III

Bagan 6 Tahapan RUU dalam Prolegnas

Sumber: Biro Perancangan Undang-Undang Setjen DPR RI, tidak ada tahun

Dalam kenyataannya, proses pembuatan produk perundang-undangan tidak selalu sesuai dengan alur yang telah digariskan dalam peraturan terkait. Dari hasil temuan penelitian kebijakan, tim peneliti menemukan beberapa titik-titik kelambanan dalam proses legislasi yang berkontribusi pada penumpukan RUU. Secara lebih spesifik, persoalan kelambanan proses legislasi sedikit banyak dipengaruhi oleh tahapan dari proses legislasi yang telah ditetapkan DPR itu sendiri. Mengacu pada Pasal 109119 Tata Tertib DPR, khususnya pada konteks RUU khusus inisiatif dari Komisi, idealnya proses penyusunannya adalah sebagai berikut: 59


Temuan Penelitian Kebijakan

Bagan 7 Proses Legislasi RUU Inisiatif Komisi

Sumber: Biro Perancangan Undang-Undang Setjen DPR RI, tidak ada tahun

Dari hasil temuan penelitian didapat bahwa panjangnya proses pengesahan RUU menjadi UU menjadi salah satu faktor penyebab kelambanan proses legislasi khususnya dalam mekanisme DPR. Kelambanan proses legislasi ini terjadi pada tahapan perencanaan, tahap persiapan dan tahapan pembahasan. I. Tahap Perencanaan Dalam tahapan perencanaan tim peneliti menemukan bahwa permasalahan yang seringkali terjadi berupa proses perencanaan yang cenderung tidak realistis. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, DPR selalu bertahan dengan mematok target yang tinggi sejak tahun 2005 namun pada realisasinya tidak banyak produk 60


BAB III

perundang-undangan yang dihasilkan DPR secara kuantitas dan keadaan ini selalu berulang di setiap tahunnya. Istilah “tidak realistis” dalam proses perencanaan di sini dimaksud bahwa selalu ada jarak yang signifikan antara target RUU yang direncanakan dengan capaian yang dihasilkan DPR. Pada tahun 2011, keberhasilan DPR untuk menyelesaikan pembahasan RUU hanya sebesar 25% dari target perencanaan. DPR merencanakan penuntasan 70 RUU usulan baru di tahun 2011 ditambah 23 RUU dari sisi Prolegnas tahun 2010 sehingga total ada 93 target RUU untuk diselesaikan menjadi UU. Namun, DPR hanya berhasil menuntaskan sebanyak 24 UU. II. Tahap Persiapan Pada tahapan persiapan, ketiadaan draft awal RUU atau naskah akademik ataupun term of reference juga menjadi penyebab kelambanan proses legislasi disamping argumentasi bahwa adanya dominasi dorongan motif politik dalam pengajuan RUU.78 Ketiadaan naskah akademik ini berdampak pada munculnya kesulitan dalam pembahasan sehingga memakan waktu yang sangat lama pada tahap pembahasan.79 Selain itu, terdapat pula faktor kelambanan pada saat pengajuan draft awal RUU atau naskah akademik atas suatu RUU disebabkan oleh cara pandang anggota dewan atas perlu tidaknya suatu RUU untuk diajukan dalam Prolegnas—tidak berdasarkan kebutuhan rakyat, namun lebih merupakan ‘pesanan’ konstituen. Hal inilah yang kemudian menjadi sumber kritik atas aspek kultural 78 Wawancara dengan Ganjar Pranowo (Komisi II/Fraksi PDIP) pada tanggal 24 Januari 2012. 79 Wawancara dengan Abdul Hakam Naja (Komisi II/Fraksi Partai Amanat Nasional [PAN]) pada tanggal 1 Februari 2012.

61


Temuan Penelitian Kebijakan

anggota dewan yang kemudian mempengaruhi cara berfikir mereka atas pentingnya suatu naskah akademik untuk disertakan dalam RUU.80 Di sisi lain, yang patut disayangkan adalah ketiadaan naskah akademik ini ternyata tidak ada akibat hukum yang mengikutinya yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 2011. Pasal 44 UU No. 12 Tahun 2012 hanya mencantumkan teknik penyusunan naskah akademik saja. Lebih lanjut, tidak jarang RUU itu dirancang pada pertengahan tahun sehingga ketersediaan waktu untuk pembahasan dalam masa sidang tidak mencukupi.81 Sebagaimana disebutkan di atas, sebenarnya keberadaan dorongan motif politik merupakan hal lumrah karena keterwakilan mereka di DPR diusung oleh partai-partai politik. Yang menjadi persoalan adalah ketika keterwakilan aspirasi rakyat tidak menjadi keutamaaan anggota DPR dalam mengambil setiap keputusan khususnya terkait pengajuan RUU yang semestinya didasarkan pada kepentingan rakyat, bukan lagi kepentingan partai politik. III. Tahap Pembahasan Dalam tahapan pembahasan, kenyataan menunjukkan bahwa para anggota DPR yang menjadi anggota Baleg tidak dapat memberikan cukup waktu bagi pekerjaan mereka di Baleg karena tugas-tugas parlementer lain di komisi masing-masing telah menyita banyak waktu dan tenaga.82 Hal ini berakibat pada pembahasan RUU yang seringkali 80 2012.

Hasil Focus Group Discussion III, Pernyataan dari Peneliti P3DI, tanggal 13 Maret

82 2012.

Wawancara dengan Abdul Hakam Naja (Komisi II/Fraksi PAN) pada tanggal 1 Februari

81 Wawancara dengan Reni Marlinawati (Komisi X/Fraksi PPP) pada tanggal 24 Januari 2012.

62


BAB III

tertunda karena jabatan rangkap antara anggota Baleg dan anggota komisi sehingga menimbulkan hambatan dalam hal penjadwalan rapat. Sebenarnya jika pola rangkap tugas ini dipertahankan, kinerja legislasi dewan tidak akan berubah.83 Pada akhirnya kerap terjadi penundaan waktu rapat karena anggota seringkali mempunyai 2 (dua) jadwal rapat yang sama sehingga rapat tidak tepat waktu atau tidak memenuhi kuorum.84 Dalam tahap pembahasan, isu mengenai harmonisasi juga sering dikeluhkan oleh anggota DPR. Proses harmonisasi merupakan bagian awal dari tahapan perencanaan dan bagian akhir dari tahapan pembahasan. Pada tahap persiapan, pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi dilakukan oleh Baleg terhadap usulan RUU yang akan dibahas. Sejalan dengan proses berikutnya, pada akhir tahapan pembahasan, seringkali proses pengharmonisasian mengalami pengulangan berdasarkan hasil rapat kerja dalam proses pembahasan. Namun terkadang, pementahan terhadap draft RUU yang telah dibahas juga terjadi sehingga kemunduran ini tak pelak berkontribusi pada kelambanan suatu RUU untuk disahkan menjadi UU.

83 Pola Rangkap Tugas Tetap Dipertahankan, Kinerja Legislasi Dean Tidak akan Berubah, Malajah Parlementaria, Edisi 89 TH. XLII, 2011. 84 Laporan hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, “Reformasi DPR RI,� Jakarta: Desember 2006.

63


Temuan Penelitian Kebijakan

Bagan 8 Proses Pengharmonisasian RUU

Sumber: Biro Perancangan Undang-Undang Setjen DPR RI, tidak ada tahun

Selanjutnya, masih dalam tahapan pembahasan, tim peneliti juga menemukan bahwa penumpukan RUU diakibatkan kurang optimalnya dukungan tenaga ahli. Pada dasarnya tenaga ahli dalam pembentukan UU secara umum adalah sebagai berikut: (1) Melakukan penelitian, (2) Melakukan pembuatan naskah akademik dan penyusunan draft RUU (termasuk legislative drafting), dan (3) Melakukan asistensi dalam pembahasan RUU di Baleg/Komisi/ Gabungan Komisi/Pansus. Dikaitkan dengan serangkaian tugas di atas, khususnya dalam beberapa komisi kapasitas tenaga ahli masih relatif minim, terutama dalam hal legislative drafting. Padahal, keberadaan tenaga ahli 64


BAB III

yang memiliki kemampuan legislative drafting mumpuni penting untuk mempercepat akselerasi pembahasan dan pembuatan UU.85 Akan tetapi, dari segi jumlah keberadaan tenaga ahli saat ini sudah relatif mencukupi. Setiap komisi mendapatkan dukungan 7 (tujuh) orang tenaga ahli ditambah setiap anggota mendapat 1 (satu) orang, kemudian tenaga ahli P3DI serta dari Deputi Perundang-undangan.86 Masalah lain yang juga terdapat dalam tahapan pembahasan adalah kebiasaan sebagian besar anggota DPR datang terlambat atau tidak menghadiri rapat. Kebiasaan buruk itu menyebabkan kurangnya kesadaran terhadap pentingnya kesungguhan dalam pembahasan RUU di rapat-rapat dan sidang-sidang. Ketidakdisplinan anggota DPR untuk menghadiri rapat-rapat dan sidang-sidang seakan telah menjadi ciri khas tersendiri dari kinerja parlemen di Indonesia.87 Kunci disiplin anggota DPR sebenarnya ada di Fraksi karena Fraksi memiliki kewenangan untuk menegur ketidakdisiplinan anggotanya. Jika Fraksi mengatakan harus hadir rapat tepat waktu, maka pasti akan ditaati.88 Hal ini dikarenakan anggota DPR merupakan perpanjangan tangan partai politik yang mengusungnya sehingga mereka cenderung lebih patuh kepada partai politik ketimbang rakyat yang memilihnya secara langsung. 85 Wawancara dengan Abdul Hakam Naja (Komisi II/Fraksi PAN) pada tanggal 1 Februari 2012. 86 Sinergi Tenaga Ahli diperlukan untuk Mendukung Kinerja anggota DPR RI, Komisi X, 12 Januari 2011, http://www.dpr.go.id/berita/komisi10/2011/jan/13/2298/sinergi-tenaga-ahlidiperlukan-untuk-mendukung-kinerja-anggota-dpr-ri-, diakses pada 1 Februari 2012. 87 Wawancara dengan Didi Irawadi (Komisi III/Fraksi PD), 29 Februari 2012. 88 BK: Kunci Kedisiplinan Anggota DPR ada di Fraksi, Selasa, 12 Maret 2012, http://www. republika.co.id/berita/nasional/politik/12/03/06/m0gghi-bk-kunci-kedisiplinan-anggota-dpr-ada-difraksi, diakses pada 14 Februari 2012.

65


Temuan Penelitian Kebijakan

IV. Tahap Pengesahan Tim peneliti menemukan, pada tahap terakhir sebelum tahap pengesahan, anggota DPR perlu melakukan uji publik terhadap RUU yang telah dibahas dalam tahapan pembahasan. Kendala yang dihadapi dalam uji publik ini terletak pada banyaknya masukan dari masyarakat yang masih berupa hal-hal teknis seperti penggunaan bahasa dan sebagainya. Masalah teknis tersebut seharusnya sudah dapat diselesaikan andaikan masyarakat dapat mengakses secara cepat draft RUU yang sedang dibahas di DPR. Dengan demikian, hal ini berimplikasi pada persoalan akses informasi bagi masyarakat dalam mengikuti perkembangan pembahasan RUU yang masih belum optimal. Hal ini bisa terlihat dari website DPR yang tidak update dengan perkembangan pembahasan RUU. Belum optimalnya akses informasi perkembangan pembahasan RUU menyebabkan terhambatnya partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan untuk sebuah RUU. Pada hakikatnya, uji publik akan semakin bermanfaat jika masyarakat dapat memberikan masukan pada persoalan yang substantif terhadap draft RUU yang sedang dibahas dan hal ini mungkin terjadi jika masyarakat memperoleh informasi perkembangan pembahasan RUU secara cepat dengan adanya pengoptimalan fungsi website DPR. Sebagai kesimpulan, dari hasil temuan penelitian kebijakan menunjukkan bahwa kelambanan proses legislasi terjadi dalam beberapa tahapan yang sebenarnya cukup berpengaruh pada kelambanan proses legislasi di DPR, yakni pada tahap pematangan konsepsi draft awal, tahap akhir pembahasan dan tahapan sebelum pengesahan (uji publik). Dengan 66


BAB III

demikian, secara visual titik-titik kelambanan dari proses pembentukan perundang-undangan di DPR akan berakibat pada penumpukan RUU adalah sebagai berikut: Bagan 9 Titik Kelambanan Proses Pembentukan Undang-Undang Saat Ini

Sumber: The Habibie Center, 2012

67


Rekomendasi Kebijakan

68


BAB IV

BAB IV REKOMENDASI KEBIJAKAN Tahun 2012 yang ditetapkan sebagai tahun legislasi, sebagaimana disampaikan oleh Ketua DPR Marzuki Alie dalam pidato pembukaan masa sidang, belum menunjukkan tujuan yang ingin dicapai. Hal ini terlihat dari beberapa hasil temuan penelitian atas proses legislasi di DPR. Pemaparan hasil temuan penelitian ini mengantarkan tim peneliti The Habibie Center untuk merumuskan beberapa rekomendasi kebijakan yang diharapkan dapat menjadi perhatian pihak terkait untuk dapat direalisasikan. Dengan mengacu pada serangkaian temuan penelitian berdasarkan hasil studi pustaka, wawancara mendalam dan focus group discussions terhadap anggota DPR, diperoleh deskripsi dan analisa atas hambatan-hambatan yang dihadapi oleh DPR baik secara struktur maupun alur proses legislasi. Untuk itu, terdapat beberapa rekomendasi yang tim peneliti ajukan sebagai masukan untuk peningkatan kualitas kerja anggota DPR, terutama terkait masalah legislasi. REKOMENDASI PERTAMA Temuan: Dalam tahapan perencanaan tim peneliti menemukan bahwa permasalahan yang seringkali terjadi adalah proses perencanaan yang kurang matang. Hal itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa banyak RUU dalam agenda Prolegnas tidak disertai dengan naskah akademik mengenai relevansi RUU tersebut. Ketiadaan naskah akademik berdampak pada munculnya kesulitan-kesulitan dalam pembahasan sehingga memakan 69


Rekomendasi Kebijakan

waktu sangat lama saat pembahasan kelak.89 Padahal, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengamanatkan bahwa RUU harus disertai dengan naskah akademik. Namun sayangnya dalam UU tersebut tidak disebutkan akibat hukum jika tidak ada naskah akademik yang disertakan dalam pengajuan RUU tertentu. Rekomendasi: Tim peneliti mengajukan rekomendasi bahwa RUU dalam agenda Prolegnas harus disertai naskah akademik berisi relevansi mengenai substansi RUU bersangkutan. Dengan demikian RUU yang masuk agenda Prolegnas semakin selektif dan mudah untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut. Oleh karena itu, tim peneliti memandang perlu ada sosialisasi secara intensif kepada seluruh anggota DPR dan kementerian mengenai arti penting naskah akademik dalam setiap usulan RUU sebagaimana diamanatkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011, sistematika naskah akademik berisi (1) Judul; (2) Kata pengantar; (3) Daftar isi; (4) Pendahuluan; (5) Kajian teoretis dan praktik empiris, evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait; (6) Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis; (7) Jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan UU, peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah kabupaten/ kota; (8) Penutup; (9) Daftar pustaka, dan (10) Lampiran.90 Sistematika naskah akademik inilah yang secara berkala disosialisasikan kepada anggota DPR agar anggota DPR tersebut memiliki pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya naskah akademik tersebut. 89 2012. 90

70

Wawancara dengan Abdul Hakam Naja (Komisi II/Fraksi PAN) pada tanggal 1 Februari UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan.


BAB IV

Untuk itu, DPR perlu membuat law center yang memiliki garis koordinasi dengan Baleg.91 Jika anggota DPR, Fraksi, dan Komisi menginginkan naskah akademik suatu RUU dapat dibantu law center itu. Selain itu, law center dapat juga berperan melakukan harmonisasi atau sinkronisasi UU yang diisi oleh kalangan profesional dari berbagai disiplin ilmu. Dengan adanya law center sebagai lembaga yang melakukan harmonisasi atau sinkronisasi, kebutuhan akan naskah akademik yang komprehensif atas suatu RUU dapat terpenuhi sehingga tidak memakan waktu lama dalam tahap persiapan maupun dalam tahap pembahasan.92 Sebagai perbandingan, di Kongres Amerika Serikat dukungan keahlian di bidang legislasi ditopang oleh dua institusi, yaitu Office of the Legislative Counsel dan Congressional Research Service. Office of the Legislative Counsel terdiri dari para ahli hukum dan perancang UU yang secara permanen bekerja di Kongres Amerika Serikat.93 Sedangkan Congressional Research Service menyediakan data informasi dalam rangka pembahasan RUU.94 Mereka terdiri dari para peneliti bergelar doktor yang telah memiliki pengalaman bekerja di Kongres Amerika Serikat selama puluhan tahun. REKOMENDASI KEDUA Temuan: Permasalahan yang terdapat dalam tahapan pembahasan adalah kenyataan bahwa anggota-anggota DPR yang mengisi komposisi keanggotaan Baleg tidak memiliki cukup waktu dan tenaga untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka karena sudah sangat disibukkan 91 Hasil Wawancara dengan Ahmad Yani (Anggota Komisi III dan Anggota Baleg/Fraksi PPP) pada tanggal 25 Januari 2012. 92 Ibid. 93 www.slc.senate.gov , diakses pada tanggal 30 April 2012. 94 www.loc.gov/crsinfo/, diakses pada tanggal 30 April 2012.

71


Rekomendasi Kebijakan

dengan tugas parlementer lain mereka di komisi masing-masing.95 Hal ini berakibat pada pembahasan RUU yang seringkali tertunda karena jabatan rangkap antara anggota Baleg dan anggota komisi sehingga menimbulkan hambatan dalam penjadwalan rapat. Pada akhirnya sering terjadi penundaan waktu rapat karena anggota seringkali mempunyai 2 (dua) jadwal rapat yang sama sehingga rapat tidak tepat waktu atau tidak memenuhi kuorum.96 Rekomendasi: Agar kinerja Baleg dapat berjalan maksimal perlu juga dipikirkan cara agar anggota-anggota Baleg terdiri dari mereka yang bukan anggota suatu komisi. Dengan demikian memiliki cukup banyak waktu dan tenaga untuk merampungkan beban kerja di Baleg. Salah satu cara itu adalah Baleg ditempati oleh para ahli hukum di bidang perundangundangan dan tenaga-tenaga ahli, bukan anggota-anggota DPR. Jika Baleg tidak ditempati para ahli hukum di bidang perundang-undangan dan tenaga-tenaga ahli, maka dapat dipastikan tim peneliti meyakini tidak akan ada perubahan signifikan dalam kinerja legislasi DPR. Anggotaanggota DPR yang mengisi komposisi keanggotaan Baleg tidak memiliki cukup waktu dan tenaga untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka karena sudah sangat disibukkan dengan tugas-tugas parlementer lain mereka di komisi masing-masing.97

95 Wawancara dengan Abdul Hakam Naja (Komisi II/Fraksi PAN) pada tanggal 1 Februari 2012. 96 Laporan hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, “Reformasi DPR RI,� Jakarta: Desember 2006. 97 Pola Rangkap Tugas Tetap Dipertahankan, Kinerja Legislasi Dewan Tidak akan berubah, Majalah Parlementaria, Edisi 89 TH. XLII, 2011.

72


BAB IV

REKOMENDASI KETIGA Temuan: Berkaitan dengan rekomendasi kedua, bahwa kelambanan proses legislasi juga disebabkan juga oleh kurang optimalnya dukungan tenaga ahli; dalam beberapa komisi kapasitas tenaga ahli masih relatif minim, terutama dalam hal legislative drafting.98 Padahal, keberadaan tenaga ahli yang memiliki kemampuan legislative drafting mumpuni penting untuk mempercepat akselerasi pembahasan dan pembuatan UU. Sementara itu, dari segi jumlah keberadaan tenaga ahli saat ini sudah relatif mencukupi. Setiap komisi mendapatkan dukungan 7 (tujuh) orang tenaga ahli ditambah setiap anggota mendapat 1 (satu) orang, kemudian tenaga ahli P3DI serta dari Deputi Perundang-undangan.99 Rekomendasi: Terkait dengan ketidakmaksimalan peran tenaga ahli DPR, maka upaya optimalisasi dapat dimulai dengan melakukan seleksi secara profesional, selain itu juga dilakukan up grading bagi tenaga ahli dalam bidang legislative drafting. Dengan demikian kehadiran tenaga ahli dalam membantu kerja anggota DPR dapat berjalan lebih efektif. Lebih lanjut, tim peneliti memandang perlu juga dilakukan serangkaian pelatihan (training) peningkatan guna meningkatkan kualitas dan kemampuan tenaga ahli. Dengan demikian, peningkatan kualitas tenaga ahli akan berdampak positif pada peningkatan kualitas dari substansi RUU yang akan dibahas di samping produk RUU yang dihasilkan juga akan memberikan dampak secara jelas kepada konstituen pengguna produk hukum terkait. 98 Hasil Wawancara dengan Ferdiansyah (Komisi X/Anggota Baleg/FGolkar) pada tanggal 10 Februari 2012. 99 Sinergi Tenaga Ahli diperlukan untuk Mendukung Kinerja anggota DPR RI, Komisi X, 12 Januari 2011, http://www/dpr.go.id/berita/komisi10/2011/jan/13/2298/sinergi-tenaga-ahlidiperlukan-untuk-mendukung-kinerja-anggota-dpr-ri-, diakses pada 1 Februari 2012.

73


Rekomendasi Kebijakan

REKOMENDASI KEEMPAT Temuan: Masalah lain yang juga terdapat dalam tahapan pembahasan adalah kebiasaan sebagian besar anggota DPR datang terlambat atau tidak menghadiri rapat. Kebiasaan buruk itu menyebabkan kurangnya kesadaran terhadap pentingnya kesungguhan dalam pembahasan RUU di rapat-rapat dan sidang-sidang. Ketidakdisplinan anggota DPR untuk menghadiri rapat-rapat dan sidang-sidang seakan telah menjadi ciri khas tersendiri dari kinerja parlemen di Indonesia.100 Kunci disiplin anggota DPR sebenarnya ada di Fraksi karena mereka memiliki kewenangan terhadap para anggotanya. Jika Fraksi mengatakan harus hadir rapat tepat waktu, maka pasti akan ditaati.101 Hal ini dikarenakan anggota DPR merupakan perpanjangan tangan partai politik yang mengusungnya sehingga mereka cenderung lebih patuh kepada partai politik ketimbang rakyat yang memilih secara langsung. Rekomendasi: Terkait dengan rendahnya tingkat kedisplinan para anggota DPR dalam menghadiri rapat-rapat dan sidang-sidang, maka tim peneliti memandang perlu bagi DPR untuk mempublikasikan secara luas kepada publik daftar hadir para anggota DPR dalam rapat-rapat dan sidang-sidang agar menumbuhkan sanksi moral publik dalam diri mereka. Publikasi daftar hadir para anggota DPR dalam rapat-rapat dan sidangsidang dapat dilakukan melalui media massa. Selain itu, fraksi-fraksi perlu didorong untuk memberlakukan sanksi tegas kepada anggota-anggotanya 100 Wawancara dengan Didi Irawadi (Komisi III/Fraksi PD), 29 februari 2012. 101 BK: Kunci Kedisiplinan Anggota DPR ada di Fraksi, Selasa, 12 Maret 2012, http://www. republika.co.id/berita/nasional/politik/12/03/06/m0gghi-bk-kunci-kedisiplinan-anggota-dpr-ada-difraksi, diakses pada 14 Februari 2012

74


BAB IV

yang tidak memiliki kedisiplinan tinggi dalam menghadiri rapat-rapat dan sidang-sidang di DPR. REKOMENDASI KELIMA Temuan: Uji publik merupakan salah satu tahapan yang harus dilakukan dalam pembahasan RUU sebelum pengesahan dilakukan. Anggota Panja RUU diharuskan datang ke masyarakat yang berkepentingan untuk mendapatkan masukan mengenai RUU yang sedang dibahas. Proses uji publik ke daerah paling sedikit memakan waktu tiga hari. Setelah uji publik dilakukan, anggota Panja mempersiapkan laporan untuk kemudian dibahas kembali dalam Panja. Dalam pandangan tim peneliti, uji publik harusnya bisa dilakukan bersamaan dengan pembahasan RUU tersebut. Dalam kenyataannya, masyarakat tidak dapat mengikuti perkembangan pembahasan RUU, sebab pusat informasi yaitu website DPR tidak terupdate dengan perkembangan pembahasan RUU. Lemahnya akses informasi perkembangan pembahasan RUU menyebabkan terhambatnya partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan untuk sebuah RUU. Padahal masukan atau kontribusi dari masyarakat yang sangat beragam tersebut sangat diperlukan dalam pembahasan RUU. Rekomendasi: Sebagai bagian dari partisipasi publik, proses uji publik dapat lebih dipercepat dengan memfungsikan secara optimal website DPR sebagai sarana untuk membuka ruang komunikasi dengan masyarakat secara luas. Jika sebuah RUU yang sedang dibahas dapat selalu ditampilkan pada website DPR, maka proses uji publik akan dapat berlangsung dengan lebih cepat dan mudah karena publik bisa mengakses dan memberikan masukan setiap saat. 75


Rekomendasi Kebijakan

REKOMENDASI UNTUK PENELITIAN SELANJUTNYA Penelitian kebijakan yang dilakukan selama 4 (empat) bulan ini menyisakan beberapa hasil temuan penelitian yang perlu untuk digali dan dikaji lebih mendalam lagi. Dengan adanya keterbatasan waktu tersebut, hasil penelitian kebijakan yang tertuang dalam naskah ini dapat dijadikan stepping stone untuk melakukan penelitian kebijakan selanjutnya. Untuk itu, tim peneliti telah merumuskan beberapa hal yang dapat dijadikan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya. 1. Terkait dengan tidak adanya akibat hukum bagi RUU yang tidak disertai dengan naskah akademik, tim peneliti mengajukan usulan penelitian selanjutnya untuk mengkaji amandemen UU No. 12 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan dalam UU No. 12 Tahun 2011 itu tidak disebutkan akibat hukum atas ketiadaan naskah akademik sehingga berimplikasi pada kurangnya perhatian anggota DPR akan pentingnya naskah akademik dalam pengajuan sebuah RUU. Padahal jika mau ditelaah, ketiadaan naskah akademik inilah yang juga turut berkontribusi terhadap kelambanan proses legislasi di DPR. 2. Tim peneliti juga menemukan usulan penelitian selanjutnya terkait dengan isu pembentukan atau pendirian law center dalam lembaga DPR. Membuat badan baru dalam sebuah lembaga yang terstruktur secara baku bukanlah hal mudah. Untuk itu, sebagai penelitian lanjutan, tim peneliti melihat bahwa kajian atas kelayakan pendirian law center menjadi sangat menarik. Dengan demikian, pendirian law center ini dapat dijadikan bagian dari program revilatisasi DPR. Revitalisasi DPR ini mencakup bagaimana membentuk struktur DPR yang sesuai 76


BAB IV

untuk mengefektifkan anggota DPR dalam menjalani keempat fungsi DPR tanpa harus mengorbankan salah satu atau sebagian dari fungsifungsi mereka tersebut. 3. Usulan penelitian selanjutnya terkait dengan sistem otomatisasi pemantauan perkembangan status pembuatan RUU (automated tracking system). Sistem ini termasuk mengenai sistem untuk manajemen masukan dari masyarakat. Sistem pemantauan ini harus menjadi bagian dari sistem manajemen informasi yang menyeluruh dari DPR. Sebagaimana telah dijelaskan dalam temuan hasil penelitian di atas bahwa kelambanan proses legislasi juga dipengaruhi oleh hambatan yang dihadapi saat uji publik yang berlangsung sebelum tahap pengesahan dilakukan yaitu terkait dengan tidak ter-updatenya informasi selama pembahasan RUU sehingga masyarakat hanya langsung disajikan draft akhir RUU. Untuk itu perlu ada kajian lebih lanjut mengenai bagaimana merancang mekanisme sistem manajemen informasi sehingga masyarakat dapat mengakses informasi mengenai pembahasan suatu RUU ataupun data dan informasi lainnya dengan mudah. 4. Sebagai usulan akhir, adalah menarik untuk dapat menindaklanjuti hasil penelitian yang dilakukan oleh internal DPR pada tahun 2006 yang penjelasannya telah disebutkan di atas. Dengan demikian penelitian selanjutnya akan membahas pandangan anggota DPR terhadap hasil penelitian Tim Kajian DPR mengenai “Reformasi DPR RI: Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI� yang dilakukan oleh internal DPR itu sendiri dan faktor apa yang sebenarnya membuat hasil penelitian tersebut tidak “didengar� oleh anggota DPR itu sendiri. 77


Penelitian Kebijakan

78


Bibliografi

BIBLIOGRAFI Amalia Puri Handayani (ed), “Berharap pada 560: Catatan Kinerja DPR 2009 – 2010, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2011. Badan Legislasi DPR RI: Kinerja dan Evaluasi Periode 2004-2009, diterbitkan oleh Badan Legislasi DPR RI, 2009. Bintan R. Saragih, “Strategi Memasukkan Fungsi Representasi dalam Undang-undang SUSDUK dan Tata Tertib DPR RI,” Pokok-pokok makalah pada Focus Group Discussion, kerjasama Sekretaris Jendral DPR dengan UNDP, Jakarta, 5 Juni 2008, www.parlemen. net, diakses pada 1 Februari 2012 BK: Kunci Kedisiplinan Anggota DPR ada di Fraksi, Selasa, 12 Maret 2012, http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/12/03/06/ m0gghi-bk-kunci-kedisiplinan-anggota-dpr-ada-di-fraksi, diakses pada 14 Februari 2012 Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun Anggaran 2012, Majalah Parlementaria, Edisi 89 TH. XLII, 2011. DPR RI, “Reformasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia: Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI, Jakarta: Desember 2006. Fajri Nursyamsi, dkk., “Catatan Kinerja DPR 2011, Legislasi: Aspirasi atau Transaksi,” Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2012. Fajri Nursyamsi, “Mengembalikan Fungsi Prolegnas sebagai Instrumen Perencanaan Legislasi,” Majalah Parlementaria, Edisi 89 TH. XLII, 2011. Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral: Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara”, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009. Ferry Mursyidan Baldan, “Menata Alat Kelengkapan bagi Penguatan Fungsi DPR,” disampaikan pada Workshop “Menata Parlemen yang Demokratis, Efektif dan Akuntabel, Gedung Nusantara II DPR RI, 29 79


Penelitian Kebijakan

Februari 2012. Hanna Fenichel Pitkin, “Representation and Democracy: Uneasy Alliance,” in Scandinavian Political Studies, Vol. 27 – No. 3, 2004. Indriaswati Dyah, dkk., “Penilaian Kinerja DPR dan Hak Asasi Manusia,” ELSAM, 2009. Informasi Sekilas tentang Proses Legislasi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 6 Juli 2011, http://pshk.or.id/assets/images/upload/ attachment/Info_Sekilas_Proses_Legislasi-PSHK.pdf, diakses pada 15 Januari 2012. Jimly Asshiddiqie, SH., Lembaga Perwakilan dan Permusyawaratan Rakyat Tingkat Pusat, www.jimly.com/makalah/namafile/40/ Trikameralisme_DPD.doc, diakses pada 4 Februari 2012. Jimly Asshiddiqie, Hubungan Antar Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Bahan ceramah pada Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat I Angkatan XVII Lembaga Administrasi Negara. Jakarta, 30 Oktober 2008, disampaikan lagi dalam Focus Group Discussion di LEMHANNAS, 15 November 2010. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tentang Peraturan Tata Tertib No. 1 Tahun 2009. Lobi RUU Pemilu Molor, Golkar Walkout, Rabu 12 April 2012, http:// politik.vivanews.com/news/read/303739-lobi-ruu-pemilu-molorgolkar-walkout , diakses pada 25 April 2012. Matthew B. Miles and A. Michael Huberman, Analisa Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press, 1992. Menelisik Kajian Internal DPR dan Gagasan Socially Responsible Law-Making, 26 Februari 2007, www.hukumonline.com/printedoc/ hol16250 , diakses pada tangal 20 April 2012. Olle Törnquist, “Introduction: The Problem is Representation! Towards an Analytical Framework “ in Olle Törnquist, Neil Webster and Kristian Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation, New York: 80


Bibliografi

Palgrave Macmillan, 2009. Partai Kecil Melawan Partai Besar, Kompas.com, 30 April 2012, http:// nasional.kompas.com/read/2011/11/01/06075933/Partai.Kecil. Melawan.Partai.Besar, diakses pada 30 April 2012. Pembukaan UUD 1945 Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 Pola Rangkap Tugas Tetap Dipertahankan, Kinerja Legislasi Dean Tidak akan Berubah, Malajah Parlementaria, Edisi 89 TH. XLII, 2011. Prolegnas 2012: Optimis dengan Beban Berat, Majalah Parlementaria, Edisi 89 TH. XLII, 2011. Sinergi Tenaga Ahli diperlukan untuk Mendukung Kinerja anggota DPR RI, Komisi X, 12 Januari 2011, http://www.dpr.go.id/id/berita/ komisi10/2011/jan/13/2298/sinergi-tenaga-ahli-diperlukan-untukmendukung-kinerja-anggota-dpr-ri-, diakses pada 1 Februari 2012. Transformasi 4 BUMN Masih Jadi Ganjalan Pengesahan, 28 Oktober 2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/10/28/12505575/ Transformasi.4.BUMN.Masih.Jadi.Ganjalan.Pengesahan, diakses pada 25 April 2012. UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. William G. Andrews, Constitutions and Consti¬tu¬tio¬nalism, 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968). www.loc.gov/crsinfo/ www.mediacenter.kpu.go.id www.slc.senate.gov Zubairi Hasan, “Memperbaiki Kualitas Pembentukan Undang-Undang (UU),” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4, No. 2, juni 2007.

81


Daftar Peserta Wawancara

DAFTAR PESERTA WAWANCARA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

82

Achmad Dimyati (Wakil Ketua Badan Legislasi/Fraksi PPP) Malik Haramain (Komisi II/FPKB) Didi Irawadi (Komisi III/Fraksi PD) Reni Marlinawati (Komisi X/Fraksi PPP) Abdul Hakam Naja (Komisi II/Fraksi PAN) Ganjar Pranowo (Komisi II/Fraksi PDIP) Ahmad Yani (Komisi III/Fraksi PPP) Ferdiansyah (Komisi X/Baleg/Fraksi Golkar) Achmad Rubai (Badan Legislasi/Fraksi PAN)


Daftar Peserta Focus Group Discussion

DAFTAR PESERTA FOCUS GROUP DISCUSSIONS 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Atisa Praharini (Staf Perancang Undang-Undang Setjen DPR RI) Emmanuel Tular (Staf Tenaga Ahli Badan Legislasi DPR RI) Sabari Barus (Staf Tenaga Ahli Badan Legislasi DPR RI) Poltak Nainggolan (Peneliti P3DI) Riris Katharina (Peneliti P3DI) Harry Adi (Peneliti P3DI) Rizky Argana (Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) Hadi Rahman (www.jurnalparlemen.com) Nalom Kurniawan (Majalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia)

83



Biografi Peneliti

BIOGRAFI PENELITI Aay Muhammad Furkon lahir di Jakarta, 28 Maret 1971. Alumni International Islamic University Malaysia 1997 pada disiplin ilmu Hubungan Internasional. Sekembali ke Jakarta aktif menjadi wartawan, sambil melanjutkan kuliah Pascasarjana di Fakultas FISIP Universitas Indonesia. Aktif sebagai peneliti di Reform Institute dan Aufklarung Institute, serta aktif menulis di berbagai media dan jurnal. Pada 2004 meluncurkan buku yang berjudul ‘Partai Keadilan Sejahtera, Ideologi dan Praksis Politik Kalangan Muda Islam Indonesia’, dan Sejarah Universitas Pancasila. Bawono Kumoro lahir di Jakarta, 1 Desember 1984. Lulus sarjana Ilmu Politik FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif berorganisasi di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Ciputat (2006-2007). Sejak kuliah aktif menulis di berbagai media cetak nasional, seperti Kompas, Seputar Indonesia, Koran Tempo, Media Indonesia, The Jakarta Post, Jurnal Nasional, dan lain-lain. Pada Maret 2009, menerbitkan buku Hamas: Ikon Perlawanan Islam terhadap Zionisme Israel. Kini, sedang menempuh studi pascasarjana komunikasi politik di Paramadina Graduate School of Communication dan bekerja sebagai peneliti politik di The Habibie Center. Inggrid Galuh Mustikawati lahir di Sukabumi, 16 Juli 1980. Lulus Sarjana Ilmu Sosiologi FISIP Universitas Indonesia, Depok pada tahun 2003. Setahun kemudian, melanjutkan studi S2 di Department of Political Science, International Islamic University Malaysia. Pada tahun 2012 menerbitkan buku “Helsinki Agreement and Power Sharing in Aceh,” yang diterbitkan oleh Lambert Academic Publisher, Jerman. Sejak kuliah, aktif melakukan serangkaian penelitian yang dikelola oleh beberapa lembaga penelitian independen diantaranya Lab. Sosiologi Universitas Indonesia dan Action Contre la Faim (ACF). Saat ini bekerja sebagai Peneliti bidang Sosial Politik di the Habibie Center, Jakarta. 85


Biografi Peneliti

Maya Thatcher memulai kehidupan profesionalnya sebagai wartawan Newswire, Thomson Reuters and Platts, di London. Setelah pindah ke Indonesia pada awal 2011, dia beralih karir pada sektor non-profit, membagi waktunya antara bekerja sebagai Peneliti Fellow / Asisten Associate di The Habibie Center dan sebagai penulis lepas di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). Dia memiliki gelar Master dalam bidang Konflik, Keamanan dan Pengembangan dari King College London, Universitas London, dan Sarjana di bidang Sejarah Modern, Sejarah Ekonomi dan Politik, dari Royal Holloway, Universitas London.

86


Biografi Peneliti

87


The Habibie Center

The Habibie Center Jl. Kemang Selatan, No.98 Jakarta 12560 Tlp. (021) 7817211, Fax. (021) 7817212 thc@habibiecenter.or.id http://www.habibiecenter.or.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.