Narasi Perempuan i
Narasi Perempuan
ii
Narasi Perempuan Penulis Lely Zailani Riani Siti Khadijah Sri Rahayu Retno Wulan Kartika Suindrawati Ari Purjantati Asriyanti Editor Widhyanto Muttaqien Ahmad Layout Zulfikar Arief Hak cipta: ŠHAPSARI, 2014. All rights reserved. Buku ini dipublikasikan atas dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serika (USAID). Isi buku ini merupakan tanggung jawab HAPSARI dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat. Buku ini merupakan hasil kerjasama HAPSARI dan USAID/Program Representasi, sebuah program demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) berdurasi empat hingga lima tahun dari Badan Pembangunan Internasional Amerika Serika (USAID). ProRep bertujuan untuk memperbaiki representasi di Indonesia dengan meningkatkan inklusifitas dan efektivitas kelompok dan institusi yang menyuarakan aspirasi dan kepentingan publik kepada pemerintah dengan mendorong transparansi dan efektivitas proses legislasi. ProRep dilaksanakan oleh Chemonics International, bekerja sama dengan Urban Institute, Social Impact, dan Kemitraan.
Narasi Perempuan
Kata Pengantar Tidak ada penggerak pembangunan yang lebih efektif selain pemberdayaan perempuan. ~ Kofi Annan Tahun 2015 ini menandai perjalanan seperempat abad organisasi perempuan HAPSARI. Perjalanan yang penuh perjuangan, dan juga kemenangan bagi perempuan akar rumput tertuang di dalam kisahkisah pribadi para penulis buku ini. Getir dan manis memperkaya rasa buku Narasi Perempuan ini dan membuatnya sungguh spesial. Ia juga dengan lugas mengisahkan kisah perempuan-perempuan perkasa – pelaku advokasi – yang bernaung di bawah payung organisasi ini. USAID/Program Representasi (ProRep) sendiri sangat bangga bisa menjadi bagian dari perjuangan HAPSARI. Kemitraan kami dimulai di Agustus 2012, ketika kami mendukung HAPSARI memperkuat kapasitas advokasi mereka serta organisasi anggotanya. Pada fase ini, ProRep memberikan dukungan bagi HAPSARI untuk melakukan analisis mendalam terhadap implementasi kebijakan terkait hak ekonomi perempuan, melatih kader perempuan dalam pengembangan strategi advokasi, khususnya tentang pemberdayaan ekonomi perempuan secara lebih luas. Kegiatan puncak kemitraan fase ini adalah Forum Dialog Nasional yang dihadiri pembuat kebijakan kunci baik dari tingkat lokal dan nasional. Tidak berhenti sampai disitu, ProRep melanjutkan kemitraan dengan HAPSARI dan bersama-sama meningkatkan kapasitas perempuan, anggota dan pengurus asosiasi, dalam menyusun strategi kerja, implementasi program, serta pengembangan kader-kader melalui berbagai kegiatan pelatihan. Kontribusi ProRep ini boleh jadi terlihat kecil dalam bangun pergerakan yang diupayakan oleh HAPSARI. Senang rasanya melihat HAPSARI mampu mengeskalasi kontribusi yang relatif kecil tersebut menjadi berdampak lebih meluas. Buku ini menggambarkan kisah-kisah beberapa anggota HAPSARI yang meskipun bergulat dengan permasalahan kehidupan yang tak kunjung usai, pun tetap maju ke garda depan berupaya menjadi bagian dari komunitas perubahan. Kami berharap, bahwa kisah-kisah mereka ini akan menjadi inspirasi bagi banyak komunitas marginal lain tentang kemungkinan, tentang potensi perubahan, yang bisa dihasilkan dari upaya-upaya kecil yang seolah nisbi, tapi ternyata, mampu menghasilkan kekuatan yang luar biasa, dan berdampak meluas. Kami ucapkan selamat kepada HAPSARI atas usaha mereka memperjuangkan akses terhadap ekonomi bagi para perempuan Indonesia, atas komitmen mereka selama lebih dari dua dekade meruntuhkan stigma negatif yang memasung perempuan, dan menumbuhkan kepercayaan diri mereka. Pekerjaan ini memang belum selesai,
John K Johnson Direktur, USAID/Program Representasi (ProRep) iv
Ucapan Terima Kasih Proses panjang HAPSARI bersama serikat-serikat perempuan anggotanya dan kader-kader pilihan dalam menjalani dinamika berorganisasi dan membangun gerakan perempuan basis akar rumput, kami narasikan dalam buku ini. Tentu tak semua terkatakan dan terhadirkan dalam narasi ini. Namun, mengutip apa yang disampaikan oleh pemikir Jerman Immanuel Kant yang mengatakan, “Adalah merupakan kewajiban bagi setiap orang untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan. Kendati perlawanan ini dianggap sebagai tindakan kesia-siaan�. Apa yang terkatakan dalam narasi ini adalah soal tindakan perlawanan untuk sebuah perubahan yang dicita-citakan, dan kami tidak merasakan kesia-siaan. Terima kasih kepada semua pihak yang berkontribusi untuk terbitnya buku ini. Mulai dari para penulis hebat, delapan orang kader-kader perempuan akar rumput yang tulus dan berani menorehkan sejarah bertumbuh dan berkembangnya HAPSARI, dan semua pihak yang tidak disebutkan satu per satu di sini. Terima kasih. Selamat membaca.
v
Narasi Perempuan
Tentang HAPSARI HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia) adalah organisasi masyarakat sipil berbentuk federasi yang berbasis keanggotaan terdiri dari serikat-serikat perempuan independen tingkat kabupaten. Didirikan 14 Maret 1990 di Desa Sukasari Kecamatan Perbaungan Sumatera Utara. Pada awal berdirinya HAPSARI adalah Kelompok Perempuan Desa yang memulai aktifitas dengan mendirikan Sanggar Belajar Anak bernama “Harapan Desa Sukasari”. Dari sinilah muncul akronim “HAPSARI” yang kemudian digunakan sebagai nama lembaga hingga saat ini. Tahun 1997 HAPSARI berbadan hukum dalam bentuk yayasan dan mulai memperluas wilayah pengorganisasian dengan strategi membangun organisasi sebagai media penguatan perempuan. Tahun 1999 seluruh kelompok perempuan dampingan HAPSARI didorong dan difasilitasi membangun organisasinya sendiri, bernama Serikat Perempuan Independen Sumatera Utara (SPI Sumut). Tahun 2001, HAPSARI dan SPI Sumut menyatukan diri membentuk federasi dengan nama HAPSARI-Federasi Serikat Perempuan Merdeka (HAPSARI-FSPM) yang berbadan hukum perkumpulan. Tahun 2004 nama Federasi Serikat Perempuan Merdeka (FSPM) dirubah menjadi Himpunan Serikat Perempuan Indonesia dan tetap disebut HAPSARI hingga saat ini. Sekretariat Nasional: Jl. Tamrin No.53-A Lubuk Pakam 20515 Deli Serdang Sumatera Utara Telepon : 061-7952196 Email : hapsari1@indosat.net.id Situs : hapsari.jejaring.org
vi
Daftar Singkatan ABK : Anak Buah Kapal Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BPD : Badan Perwakilan Desa Caleg : Calon Legislatif CU : Credit Union Dapil : Daerah Pemilihan DPR : Dewan Perwakilan Rakyat DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPD : Dewan Perwakilan Daerah Dispertahut : Dinas Perkebunan, Pertanian, dan Kehutanan Disperindagkop : Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Gerwani : Gerakan Wanita Indonesia HAPSARI : Himpunan Serikat Perempuan Indonesia LBH : Lembaga Bantuan Hukum LKMD : Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa KDRT : Kekerasan Dalam RumahTangga KUR : Kredit Usaha Rakyat KSU : Koperasi Serba Usaha Kadarkum : Keluarga Sadar Hukum Kec : Kecamatan Kab : Kabupaten Kades : Kepala Desa Kaur : Kepala Urusan Kesbanglinmas : Kesatuan Bangsa, Lingkungan, dan Masyarakat Koramil : Komando Rayon Militer MBI : Movement Building Institute Monev : Monitoring and Evaluation NGO : Non-Government Organization (Organisasi non-pemerintah) PKI : Partai Komunis Indonesia PKK : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga PHK : Pemutusan Hubungan Kerja PIRT : Pangan Industri Rumah Tangga Pemilukada : Pemilihan Umum Kepala Daerah Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah Pilpres : Pemilihan Presiden PNS : Pegawai Negeri Sipil Pokja : Kelompok Kerja Prov : Provinsi PRT : Pekerja Rumah Tangga Polsek : Kepolisian Sektor Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu ProRep : Program Representasi Rakom : Radio Komunitas Raskin : Beras untuk Rakyat Miskin vii
Narasi Perempuan
RT : Rukun Tetangga RW : Rukun Warga SPI : Serikat Perempuan Independen SerTani : Serikat Tani Seknas : Sekretariat Nasional SPB : Serikat Perempuan Bantul SPPN : Serikat Perempuan Petani Nelayan SPI : Serikat Perempuan Independen SBA : Sanggar Belajar Anak SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah TOT : Training of Trainer (Pelatihan untuk Pelatih) TKW : Tenaga Kerja Wanita
viii
Narasi Perempuan
Daftar Isi
ii iii iv v viii 1 18 32 44 58 70 84 92 104 118 133
Kata Pengantar Ucapan Terimakasih Tentang HAPSARI Daftar singkatan Pra-wacana Editor Narasi Perempuan: Pengantar konteks Semangat yang Terpatik Menjadi Hapsari dari Udara Rumah Kedua Suara Akar Rumput Rajutan Muda Wajar tanpa Syarat Jejak Perempuan Angka-angka di atas Meja Perubahan dan Politik Keterlibatan Biografi Penulis
ix
Narasi Perempuan
Pra-wacana Editor Dua tahun yang lalu, saya pernah berada di kantor HAPSARI di Kulon Progo, Yogyakarta. Letak kantor ini di sebuah jalan utama, yang menuju ke arah Parang Tritis, sebuah pantai yang terkenal di Yogyakarta. Sebuah tempat yang luas, dengan gaya bangunan Jawa yang telah dipugar, memiliki banyak kamar dengan ruang terbuka di tengah dan halaman belakang yang masih luas dengan berbagai tanaman buah. HAPSARI adalah sebuah serikat yang terdiri dari organisasi-organisasi perempuan dan serikat tani/nelayan, berkantor pusat di Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara. Ketika ajakan datang kembali untuk menulis sebuah pengalaman di HAPSARI, saya tertarik untuk mengambil berbagai cara pandang dalam melihat cerita-cerita yang akan dibuat oleh para penulisnya. Ada kesempatan, bagi para penulis memoar untuk menuliskan ‘wilayah belakang’ dalam kumpulan tulisan ini. Dimana kejujuran ditampilkan untuk memperlihatkan sesuatu yang selama ini dimaknai sebagai ‘berharga’. *** Rangkaian proses menulis dimulai dengan sebuah pertemuan untuk saling mengenal. Kami mulai berdiskusi, dimulai dari tujuan penulisan, yaitu menceritakan perubahan, menceritakan proses di organisasi, dan proses advokasi yang dilakukan oleh organisasi. Langkah berikutnya adalah berlatih mengembangkan tulisan dan membuat konsep tulisan. Masing-masing peserta menyiapkan konsep tulisan yang dibuat dalam bentuk peta pikiran (mind map). Proses ini berlangsung sampai dengan jam sepuluh malam. Secara maraton, kami berdiskusi. Para ibu memang terbiasa maraton, pikirku. Durabilitasnya tinggi. Proses Penulisan Narasi dalam buku ini memberikan kita pandangan tentang isu-isu seputar keterlibatan perempuan desa dalam mendorong kaumnya untuk dikenali dan diakui hak-haknya sebagai perempuan, x
sebagai warga negara. Perjuangan tersebut dilakukan lewat organisasi, bernama HAPSARI. Melalui organisasi inilah mereka menyadari, betapa perempuan dimarjinalkan, menjadi pinggir dari isu keterpinggiran. Sebagian besar penulis justru menceritakan peran organisasi dalam membangun kapasitas individu mereka. Sehingga isu-isu yang diceritakan melewati pintu organisasi. HAPSARI dari kepingan-kepingan cerita penulis dalam kumpulan ini menjadi sebuah bentuk yang dapat dilihat, dirasakan, terhubung sebagai proses penyadaran dan diberi makna bagi anggotanya. Sehingga HAPSARI dapat dilihat sebagai konsep disamping sebagai sebuah tubuh yang diisi anggota, sistem dan aturan main (kelembagaan), dan pengetahuan yang dimilikinya. Isu-isu yang dibicarakan dalam buku ini selain latar belakang masing-masing penulis yang bergulat dengan persoalan patriarki, kemiskinan dan pembangunan, lebih banyak berkisar pada membangun organisasi, praktek pengkaderan, Setiap penulis menjadi saksi mata atas kejadian di sekitarnya. Tentu hal ini membutuhkan cara penulisan. Cara penulisan yang paling banyak dalam kumpulan ini adalah teknik bercerita orang pertama sebagai ‘Aku’, penulis juga menjadi narator atas semua tokoh dan kejadian yang diceritakannya. Kerangka dan Konteks Tujuan dari penulisan buku ini tidak secara ketat ingin melakukan analisa ilmiah. Namun sebagai bahan pembelajaran, penyunting mencoba menggambarkan apa yang ingin dicapai oleh penulisan ini. Dan hal apa saja yang bisa mengantar pembaca untuk sampai pada tujuan penulisan. Tujuan penulisan buku ini; a. Menjadikan pengetahuan dan pengalaman baik HAPSARI (best practice) dalam melakukan advokasi hak-hak perempuan sebagai produk pengetahuan, sehingga dapat menjadi pembelajaran secara luas untuk anggota maupun mitra jaringan,
b.
c.
Menciptakan nilai tambah bagi organisasi (HAPSARI dan anggotanya), sehingga dapat memperkuat legitimasi dan posisi tawar organisasi, Untuk belajar, mengingat, mencatat dan membuat sejarah gerakan perempuan basis (membangun memori organisasi), untuk kader-kader HAPSARI di masa depan,
Ada persamaan diantara para penulis, yaitu hidup dalam suasana perkebunan, Daerah Serdang dan Bedagai, Sumatera Utara adalah daerah perkebunan sawit, karet dan kakao, sebelumnya perkebunan tembakau. Semua penulis menggambarkan suasana kemiskinan keluarga. Harapan keluarga mereka yang dibebankan ‘hanya’ pada anak laki-laki, sehingga kesempatan anak laki-laki untuk menikmati pendidikkan lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Ada beberapa topik yang menarik dalam cerita ini, terkait dengan cara penulisan biografi atau memoar. Pertama, adalah tulisan Retno Wulan, Sundriawati, dan Kartika, yang bercerita dengan gaya tulisan perjalanan (travelogue) yang menggambarkan kesannya dalam perjalanan mengikuti berbagai pelatihan. Perjalanan menjadi kendaraan menceritakan hal-hal yang ia pelajari, seperti isu gender, basis produksi, kepemimpinan dan keterwakilan perempuan dll. Isu gender dan patriarki menjadi penting untuk ditekankan pada kumpulan buku ini, walaupun ada cerita-cerita yang tidak begitu eksplisit menceritakannya, namun pertanyaan yang bersifat gugatan atau pernyataan dengan diam bisa dilihat dari kisah-kisah ini. Suara gugatan yang eksplisit tersebut antara lain bisa dilihat dari tulisan Ari P, Ayu tentang kondisi perempuan desa yang tidak mengenal haknya, diperlakukan tidak setara dalam masyarakat dan keluarga. Bahkan Riani dan Ayu menukik lebih tajam, menyoal tentang Gerwani, sebuah gerakan perempuan yang dianggap berhubungan dengan peristiwa G 30 S, sehingga sepanjang sejarah Orde Baru kata-kata Gerwani dan PKI didemonisasi dalam
ingatan kolektif bangsa Indonesia. Sebuah kalimat berupa ‘dominasi patriarki’ sangat halus memasuki kesadaran dalam sebuah kalimat milik Kartika, “Ketika kau menjadi orang tua nanti, kau akan mengerti nak, betapa susahnya menjaga anak perempuan.” Kata-kata yang masih terekam dalam memoriku. Mengapa bukan lelaki yang dididik untuk menjaga harkat perempuan, sehingga perempuan tidak mengalami beragam kekerasan. Mengacu kembali dalam wilayah muka (front) Goffman, diam tidak selamanya bisa diterjemahkan sebagai diam. Diam bisa jadi sebuah resistensi, suara penolakan yang teramat nyaring. Sebuah narasi diri memang mengungkapkan peta identitas penulisnya, seperti yang dikatakan Susan Cahill (1994)1 namun pilihan-pilihan untuk menuliskan kisah sesuai dengan strategi penulisan yang dipelajari tak melulu menjadi semacam perlawanan langsung. Tulisan dalam kumpulan ini juga bisa dibaca sebagai cerita tentang interaksi dalam organisasi, proses menjadi anggota gerakan dan tumbuh berkembang di dalam gerakan justru menjadi topik utama dalam kumpulan ini. Narasi perempuan oleh perempuan bisa diterjemahkan sebagai cara perempuan menghadirkan dan menafsirkan kehidupan perempuan, pengalaman perempuan. Dari pengalaman yang seolah-olah terpisah, menjadi terjelaskan mengapa dan bagaimana mereka bisa mengalaminya.2 Dalam tulisan ini, analisa terhadap tulisan dilakukan dengan metode kualitatif, melihat isu-isu yang tersurat dalam cerita. Advokasi atas kekerasan kekerasan dalam rumah tangga dilakukan dengan membuat rumah aman, seperti dalam cerita Kartika di Labuan Batu. Advokasi atas hak-hak politik perempuan dilakukan oleh semua kader HAPSARI, terutama dalam cerita Riani, lewat teaternya. Dan pada sebuah peristiwa ketika ia diusung sebagai bakal calon kepala desa oleh (1) Cahill, Susan. 1994. Writing Women’s Lives: An Anthology of Autobiographical Narratives by 20th Century American Women Writers. New York: Harper Collins. (2) Personal Narrative Group. 1989. Interpreting Women Lives: Feminist Theory and Personal Narratives. Indiana University Press.
xi
Narasi Perempuan
warga, namun tidak bisa karena faktor pendidikan formal, maka ia menyodorkan kawannya sesama perempuan sebagai penggantinya, Tarmini. Selain editor, Lely Zailani yang saat ini adalah ketua Dewan Pengurus Nasional (DPN) HAPSARI juga menempatkan tulisannya sebagai narasi pengantar dari delapan narasi di bagian kedua buku ini. Ditempatkan dibagian pertama, karena ingin menegaskan bahwa narasi tentang HAPSARI, adalah narasi tentang perempuan di akar rumput yang kemudian menjadi bagian dari narasi besar perempuan dalam dinamika gerakan perempuan Indonesia melawan ketidak adilan dan melakukan upaya perubahan. Tulisan Lely pada bagian pengantar buku ini sekaligus menegaskan bahwa proses kaderisasi kepemimpinan gerakan perempuan basis akar rumput yang terus diupayakan di HAPSARI tampak membuahkan hasil. Ketika para kader (direpresentasikan oleh ketujuh orang penulis buku ini) juga mampu menarasikan diri dan organisasinya, dan mimpi-mimpi perubahan yang hendak diperjuangkan bersama.
dimana ‘cadangan pengetahuan’ organisasi bisa dibagikan kepada orang yang mau belajar. Harapan lain adalah buku ini bisa dilihat sebagai usaha untuk mendukung proses terhadap penguatan hak-hak sipil kaum perempuan, mempromosikan kehidupan politik warga yang bermartabat dan bersahabat. “Menulis adalah mengada,” begitu ucap Nadine Gordimer.3 Ia menambahkan,”Seperti hidup nelayan yang ditentukan oleh kekuasaan laut, maka penulis terbentuk oleh tekanan dan penyimpangan di masyarakat.” Dalam upayanya itu, mengada, cuma bisa diciptakan lewat pencarian kebenaran. Sehingga penulis berhak menyelidiki baik musuh maupun kawan tercinta, untuk mencapai kebenaran, membimbing dirinya menuju keadilan.
Bagian kedua berisi delapan tulisan yang menjadi daging buku ini. Jika pendahuluan adalah kerangka maka sepuluh cerita dalam buku ini adalah daging yang menjadi hidangan utama. Bagian ketiga berisi analisa atas isi cerita. Penulis pada bagian ketiga mencoba melakukan pendekatan kualitatif analisa isi cerita terhadap sepuluh tulisan yang dibuat. Dan mencoba melihatnya dari sisi ‘politik keterlibatan’. Dimana aktivisme yang dilakukan oleh para penulis adalah politik. Dan menuliskan kisah mereka juga sebuah tindakan politik. Bagian terakhir dari buku ini adalah biografi singkat para penulis. Biografi singkat ini berisi pengalaman organisasi dan pelatihan serta keterampilan yang dimiliki oleh penulis. Harapan Terhadap Buku Buku ini diharapkan bisa dibaca oleh semua kalangan. Sebagai dokumen resmi HAPSARI buku ini tentu berguna untuk manajemen pengetahuan,
xii
(3) Gordimer, Nadine. 1997. Writing and Being: dalam Nobel Lectures Literature 1991-1995. Sture Allen (editor). Penerbit World Scientific Publishing Company.
xiii
Narasi Perempuan
Narasi Perempuan Pengantar Konteks: Lely Zailani
Š Feri Latief/USAID Program Representasi xiv
Narasi Perempuan
1
Narasi Perempuan
Kenangan tentang Abah dan Mamak Mamak tak pernah memiliki pakaian dengan jumlah yang memadai, baju mamak hanya itu-itu saja. Kami sendiri hanya punya baju baru ketika lebaran tiba, abah berusaha membelikan kami baju baru dan mamak harus mengalah karena uang tak cukup. Di rumah, mamak sering tak pakai baju, bajunya hanya ia selempangkan di bahu (selain alasan “panas� juga agar tidak cepat rusak) karena baju itulah yang akan dia pakai ke luar rumah. Setiap kali mamak merasakan pahit dan kesedihan, aku selalu berjanji dalam hati (kalau suatu saat aku punya uang banyak, maka orang pertama yang akan kubelikan baju baru dan kupenuhi semua keinginannya adalah mamak). Tapi janjiku tak pernah terwujud, karena mamak meninggal saat aku belum mampu memberinya apapun. ~ Lely Zailani.
2
Narasi Perempuan
A
ku dilahirkan dengan nama Laili Misnun, karena lahir tengah malam menjelang hari Senin. Tapi sebelum masuk SD, karena ada peristiwa aku jatuh dalam sumur di belakang rumah, namaku diganti menjadi Nur Laili (cahaya malam). Seperti kebiasaan orang-orang di kampungku, kalau anak-anak mereka mengalami suatu “kecelakaan”, namanya diganti oleh orangtuanya. Aku senang dengan pergantian nama itu, bukan pada namanya. Senang karena kupikir, aku sama dengan anakanak lain di kampungku. Aku anak ke-empat dari Sembilan bersaudara (lima laki-laki dan empat perempuan), abahku, (panggilan untuk bapak) seorang guru agama juga petani kecil dengan lahan kecil di dekat rumah. Orang-orang kampung memanggil abah dengan sebutan “pak ustadz”. Kami semua dididik untuk rajin sholat dan mengaji. Mamak adalah ibu rumah tangga biasa; bekerja di rumah melayani kebutuhan semua anggota keluarga, dan sangat patuh serta hormat pada abah. Tak pernah membantah, tak pernah menunjukkan sakit, kecuali menangis tanpa sepengetahuan abah dan kami anak-anaknya. Rumah kami terletak jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya di dusun V Desa Sukasari kecamatan Perbaungan, kabupaten Deli Serdang (sekarang – mulai tahun 2004 menjadi kecamatan Pegajahan kabupaten Serdang Bedagai). Berada tepat di tengah-tengah perladangan, di halaman rumah terhampar luas kebun karet dan coklat milik keluarga, tidak ada tetangga dan tidak ada penerangan listrik sampai tahun 2001. Kami semua dikenal penduduk sebagai anak-anak yang pemberani dan memang begitulah adanya, karena abah selalu mengajarkan agar kami jangan penakut. Ia memperkenalkan pada kami tentang setan, iblis, jin dan manusia. Aku ingat kata abah, hantu itu tidak ada, yang ada setan, iblis dan jin. Setan memang jahat, suka menggoda hati manusia supaya menjadi sesat dari ajaran agama. Kalau jin, ada yang baik dan ada yang jahat. Jin yang baik bisa ditemani, kita bersahabat dengan jin seperti bersahabat dengan manusia (tapi ada syarat-syarat tertentu). Sedangkan jin yang jahat, itulah setan, itulah iblis yang bisa menyerupai apa saja, seperti makhluk mengerikan yang oleh manusia disebut
“hantu”. Semua hantu takut pada manusia yang pemberani. Kami diajarkan untuk membaca ayat kursi (salah ayat dalam al-quran) kalau merasakan takut pada jin, setan atau hantu. Aku tidak pernah punya rasa takut kalau harus keluar rumah malam hari, atau sendirian di suatu tempat. Mungkin karena pengaruh ajaran dari abah ini. Tapi, kami memang takut dengan perampok atau maling yang sering kami dengar beraksi di rumahrumah penduduk kampung waktu itu. Kalau maling atau perampok melakukan aksi, tak jarang kami dengar korbannya dilukai atau bahkan dibunuh. Kepala dusun kami (alm. Margono) pernah terluka ketika mengejar maling di desa kami, ia ditusuk dengan pisau dan tak lama setelah peristiwa itu, ia meninggal. Aku suka sekali berkebun karena sejak kecil selalu diajak membantu abah ke ladang. Memperhatikan cangkul yang diayunkan ke tanah, berbunyi lembut dan nyaring diantara tanah gembur yang menyirami kaki abah, serta tanaman cabe yang berbuah lebat, atau timun dengan daunnya yang hijau dan buah ranum adalah alasanku suka sekali ke ladang bersama abah. Aku juga suka sekali menata ruangan, karena selalu membantu mamak di rumah mengelola ruangan rumah yang sempit dengan banyak anak. Apalagi perabotan rumah serba seadanya, kami harus menggunakannya dengan efisien. Aku sering memindah-mindahkan letak rak piring atau wajan yang digantung di dinding dapur, hanya untuk membuat suasana dapurku “berbeda”. Dapurku selalu bersih, karena itulah yang membuat aku nyaman di situ. Waktu aku berkunjung ke rumah teman atau tetangga, memperhatikan perabotan rumah mereka yang memadai, aku termotivasi untuk membuat ruangan rumahku sama “memadainya” dengan yang kulihat. Melihat ruang tamu di rumah orang ada lukisan, aku pun membuat lukisan sendiri, dengan kertas karton dan cat kapur dinding. Lalu kugantung lukisan itu di dinding rumah, melihat ada hiasan bunga di ruang tamu rumah orang, kutanam bunga dalam pot, lalu kumasukkan dalam rumah. Indah juga. Tapi kreatifitas ini membuat kakak tertuaku marah, katanya bikin “semak dan banyak nyamuk”, lalu 3
Narasi Perempuan
semua itu dia buang! Aku kecewa, sedih dan marah, tapi tak berdaya untuk mempertahankannya. Sejak kecil, aku suka sekali membaca. Tapi bahanbahan bacaan yang tersedia hanyalah buku-buku agama milik abah, dan koran lokal terbitan Medan yang dibeli abah seminggu sekali. Biasanya abah membeli koran hari minggu. Di situ selalu ada rubrik khusus untuk anak-anak, dan akulah yang menghabiskan membacanya. Kalau koran-koran itu selesai dibaca, selalu kami gunakan untuk menempel dinding rumah kami yang terbuat dari tepas (anyaman bambu), agar kalau malam hari tidak terlalu dingin karena angin yang menerobos masuk. Menempel langit-langit kamar yang juga terbuat dari tepas supaya bubuknya tidak berjatuhan. Dulu, (sampai SMP) aku hafal sejarah 25 Rasul, kisah perang salib, cerita kancil dan buaya, malin kundang, dan sebagainya. Tapi setelah SMA sudah tak ingat lagi. Kalau sudah kehabisan bahan bacaan, aku sering membaca ulang koran-koran yang tertempel di dinding kamarku sebelum tidur, menggunakan senter. Aku menamatkan Sekolah Dasar di sebuah sekolah milik perkebunan yang jaraknya kurang lebih 10 km, di sebelah desa. Untuk ke sekolah aku harus menempuhnya berjalan kaki dengan teman-teman, melewati perkebunan sawit dan kakao milik PTPN Adolina. Jumlah anak-anak dari desa kami yang bersekolah di situ sekitar sepuluhan orang. Oleh kawan-kawan di sekolah, kami sering disebut dengan “anak kampung”, mungkin karena kami bukan anak-anak karyawan perkebunan. Tapi waktu itu, ketika mendengar sebutan “anak kampung” aku dan kawan-kawan merasakan adanya “perbedaan status” dan karena kami minoritas, kami merasakan pembedaan yang “merendahkan” dari kawankawan kami sendiri. Apalagi kalau kami terlambat datang dan mendapat hukuman, kami sering diejek “dasar anak kampung”. Dulu aku berfikir, status anak kampung itu jelek. Ternyata dikemudian hari hal ini kusadari sebagai salah satu bentuk pandangan yang “merendahkan” dari sekelompok mayoritas kepada kelompok minoritas. Waktu sekolah SD aku juga sering dipanggil “agen jambu”, itu karena aku sering berjualan jambu di sekolah, kalau lagi musim. 4
Di halaman rumahku banyak ditanam pohon jambu biji. Aku tidak pernah merasa malu sedikitpun sekolah sambil jualan jambu dan dipanggil seperti itu bahkan oleh guruku. Ketika menjelang pembagian ijazah, ada pengumuman dari Kepala Sekolah (alm. Pak Arifin) agar kami semua memastikan nama-nama kami supaya tidak terjadi salah penulisan di ijazah. Ketika hal ini kuberitahukan ke abah, abah mengambil keputusan merubah lagi namaku menjadi: Laili Zailani (Zailani adalah nama Abah). Waktu itu abah bilang, ia hanya ingin ada namanya di belakang namaku. Anehnya hanya namaku yang ditambahi dengan namanya, anak-anaknya yang lain tidak. Padahal waktu itu kalau boleh memilih, aku ingin namaku menjadi; Nurlaili Misnah (Misnah adalah nama almarhum mamak). Sekarang ini, kalau ada seseorang yang mengenaliku lalu memanggilku dengan sebutan “Nur” itu berarti dia adalah temanku semasa SD. *** Mamak meninggal dunia tahun 1986, ketika aku kelas tiga SMP (Madrasah Tsanawiyah). Beliau meninggal karena sakit (komplikasi jantung, dan sebagainya: kata mendiang Ibu Alispan, seorang bidan kampung yang sempat menangani mamak) dampak buruk dari alat kontrasepsi yang digunakannya. Mamak bahkan tetap hamil adik bungsuku, walaupun ketika itu sedang ikut program Keluarga Berencana (KB). Waktu itu, mamak ber-KB karena harus, meskipun mamak tak cocok dengan semua alat kontrasepsi yang ketika itu ditawarkan. Tapi, karena ada safari KB (para tentara turun ke desa dan semua ibu harus ber-KB) maka mamak tak bisa menolak, begitu juga abah. Waktu itu aku tak tahu kenapa semua perempuan di desa (ibu rumah tangga) dipaksa datang ke balai desa lalu dipasangi alat kontrasepsi tanpa diberikan perawatan ketika mereka mengalami kegagalan kontrasepsi. Waktu mamak meninggal, dua orang guru dari sekolahku berkunjung untuk mengucapkan belasungkawa. Salah seorang diantaranya, kelak menjadi guruku di Madrasah Aliyah, guru sastra dan teater yang kuikuti.
Narasi Perempuan
Satu hal yang luar biasa dari kedua orangtuaku adalah: prinsip mereka bahwa pendidikan (formal) harus diperoleh anak-anaknya, tanpa membedakan laki-laki atau perempuan. Sejak kecil kami dikenalkan istilah “sarjana”. Mereka mengajarkan kami bermimpi tentang sekolah, kuliah dan menjadi sarjana. Untuk mimpi ini abah bekerja banting tulang, dan akhirnya, salah satu kakak perempuanku (anak nomor dua) berhasil lulus test masuk perguruan tinggi Institut Agama Islam (IAIN) Negeri di Medan, universitas “Islam” pula. Kakakku lulus hingga menjadi sarjana perempuan pertama di kampungku waktu itu. Untuk cita-cita ini, ternyata beberapa sauadaraku harus menjadi korbannya. Kakak tertuaku (laki-laki) harus ikut bekerja membantu abah mencari nafkah, ia sendiri hanya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah swasta dan tidak tamat. Dalam keadaan ekonomi yang buruk (pas-pasan untuk makan) abah tetap menginginkan salah seorang anaknya berhasil dalam pendidikan dan bagusnya, tidak harus mengorbankan anak perempuan. Begitulah, saudara-saudaraku hanya dapat menyelesaikan sekolahnya sampai tingkat SLTP. Tidak demikian dengan kalangan orangtua (para tetanggaku). Anak-anak mereka hanya bersekolah sampai tamat SD sudah bagus (malah masih banyak yang tak bersekolah). Mereka memilih untuk mendorong anak-anaknya bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan sawit dan karet di sekitar desa kami. Tapi mereka punya banyak uang, pakai baju bagus-bagus, liburan ke kota untuk berbelanja, banyak teman dan biasanya diusia 15 tahun temanteman perempuanku sudah menikah. Waktu itu aku iri sekali dengan teman-temanku itu. Tetapi aku berhasil menyelesaikan sekolahku di tingkat SLTA, bahkan sempat kuliah meski tidak tamat. Ini dimungkinkan, karena sejak Tsanawiyah (setingkat SMP) aku tinggal di rumah nenek, paman dan bibiku banyak membantu biaya sekolahku. Tamat Tsanawiyah aku bekerja menjadi pekerja rumah tangga (PRT) selama tiga (3) bulan di Medan, untuk mengambil ijazah SMP-ku, agar dapat melanjutkan sekolah ke SMA. Upayaku tidak sia-sia, aku berhasil mengumpulkan uang untuk membayar tunggakan SPP dan membayar uang Ijazah. Tanpa ijazah aku tidak bisa mendaftar untuk
Satu hal yang luar biasa dari kedua orangtuaku adalah: prinsip mereka bahwa pendidikan (formal) harus diperoleh anak-anaknya, tanpa membedakan lakilaki atau perempuan. Sejak kecil kami dikenalkan istilah “sarjana”. Mereka mengajarkan kami bermimpi tentang sekolah, kuliah dan menjadi sarjana.
5
Narasi Perempuan
masuk sekolah lanjutan atas. Meski terlambat masuk tiga bulan, aku berhasil mendaftar dan melanjutkan sekolah lanjutan tingkat atas (Madrasah Aliyah Swasta) di kotaku (Perbaungan), sementara kakak perempuanku kuliah di IAIN – Medan. Selama tiga tahun sekolah di Aliyah ini, aku tak pernah tepat waktu membayar uang sekolah, tiap bulan menjadi sasaran kemarahan guru BP (entah apa kepanjangannya – aku lupa) yang bertugas menagih uang sekolah (SPP), tiap kali menjelang ujian aku menerima ancaman tidak boleh mengikuti ujian karena tunggakan SPP. Dan ancaman itu... betapa menakutkan, sekaligus memalukan. Masih tersimpan rasa “pedih” itu dalam hati dan sungguh masih dapat kurasakan hingga saat ini. Tapi aku tau, orangtuaku bukannya tidak peduli, memang keuangan keluarga kami tidak cukup untuk dibagibagi dalam membiayai beberapa orang anak yang bersekolah. Dua saudaraku (seorang kakak lakilaki dan seorang adik laki-laki) akhirnya keluar dari sekolahnya, tidak berhasil tamat SMP. Mereka mengalami apa yang kualami juga dan akhirnya memilih putus sekolah. Aku tahu mereka pedih, karena aku pun merasakannya. Di sekolah aku mengikuti kegiatan ekstra kurikuler, Lembaga Study Sastra Aliyah (LSSA) di Perbaungan. Pada masa aku sekolah dulu, lembaga ini cukup dikenal di kalangan sekolah lanjutan atas di kabupaten Deli Serdang hingga Sumatera Utara, karena beberapa kegiatan kami diantaranya teater dan menulis. Di sinilah aku menemukan sebuah dunia baru tentang “ekspresi kebebasan”. Aku senang sekali mengikuti “latihan alam” yang dilakukan dalam kegiatan teater. Bukan pada latihannya, tetapi pada kegiatan “ke luar rumahnya” itu pada hari Sabtu, menginap di pantai dan baru pulang hari Minggu. Aku merasa bebaaass... aku melampiaskan semua “beban batinku” sebagai anak perempuan miskin yang ingin sekolah, ingin jadi sarjana dengan main teater dan menulis. Waktu masih aktif di teater, masih kelas I Aliyah, hampir setiap minggu puisiku terbit di majalah dinding sekolah dan koran Sumut yang menyediakan halaman untuk karya-karya pelajar.
6
Setelah kelas II dan III aku mulai dapat menulis cerpen dan artikel (ala remaja/pemula). Tulisanku (puisi) sering terbit, sering diulas, bahkan pernah jadi polemik di koran Sumut (dulu namanya Suara Pembangunan dan Harian Garuda), karena seorang penulis dan kritikus menuduh aku meniru karyanya. Tuduhan ini menyakitkan, aku tau apa itu plagiat dan betapa buruknya, aku tak akan melakukannya. Waktu itu, aku dibela beberapa penulis senior melalui koran yang sama dan hal ini membuatku jadi “populer” tidak hanya di sekolah, tapi juga di kalangan dunia seniman di Sumatera Utara. Jadi, di sekolah aku lumayan dikenal sebagai siswa berprestasi (tapi hanya dalam bidang seni) dan cukup “mengharumkan” nama sekolah ketika itu. Guru teaterku secara rutin membelikan koran yang memuat tulisanku. Inilah yang membuat aku sering diberi “permakluman” atas keterlambatanku membayar uang SPP. Sampai aku berhasil menamatkan Aliyah, aku masih meninggalkan tunggakan uang SPP lebih dari satu tahun. Baru lima tahun kemudian aku datang kepada kepala sekolah (alm.Pak Agam) dan membayar tunggakan uang SPP itu. Aku dapat melewati “masa-masa sulit” di sekolahku, karena aku memiliki seorang guru sastra sekaligus pembina teater di sekolahku. Dialah yang selalu menjadi “penjamin” agar aku mendapatkan permakluman demi permakluman atas semua tunggakan SPP-ku. Aku tau guru sastraku itu sering ber-konflik dengan guru lain yang bertugas “menagih” SPP. Sebelum memutuskan untuk “menjadi pembelaku” dia sudah tahu betul kondisi keluargaku. Dia sering berkunjung, bergaul dengan keluargaku dan berdiskusi dengan abah. Selain sisi positif dari abah yang mengutamakan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya (tanpa membedakan jenis kelamin), ada pandangan dan prinsip yang menyulitkan aku dan saudarasaudaraku. Abah menegakkan aturan bahwa anak perempuan itu harus sekolah agama, setelah SD aku harus masuk Tsanawiyah, lalu Aliyah (lebih baik tidak usah sekolah kalau tidak sekolah agama, begitu prinsip abah) sepulang sekolah harus di rumah, tidak boleh bergaul bebas di luar rumah apalagi dengan laki-laki, dan seterusnya. Tapi
Narasi Perempuan
Selain sisi positif dari abah yang mengutamakan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya (tanpa membedakan jenis kelamin), Abah menegakkan aturan bahwa anak perempuan itu harus sekolah agama, sepulang sekolah harus di rumah, tidak boleh bergaul bebas di luar rumah apalagi dengan lakilaki, dan seterusnya. Tapi aturan ini tidak berlaku untuk semua saudara laki-lakiku. Kami, semua anak-anak perempuannya memberontak terhadap aturan ini, tapi tetap tak berdaya melawan “kekuasaan� abah. Sebab jika itu dilanggar, mamak yang akan menerima akibatnya, sebagai ibu yang tak becus mengurus anak. aturan ini tidak berlaku untuk semua saudara lakilakiku. Kami, semua anak-anak perempuannya memberontak terhadap aturan ini, tapi tetap tak berdaya melawan “kekuasaan� abah. Sebab jika itu dilanggar, mamak yang akan menerima akibatnya, sebagai ibu yang tak becus mengurus anak. Kami sering kali menyaksikan pertengkaran abah dan mamak karena soal ini. *** Dibanding dengan beberapa tetangga kami lainnya, sebetulnya kehidupan kami tidak lebih miskin dari mereka. Tapi karena semua uang penghasilan abah harus diutamakan untuk biaya kuliah kakak perempuanku, kami harus berhemat. Dalam kondisi ini, mamaklah yang paling sengsara karena harus mengatur agar berapapun uang dari abah cukup untuk kebutuhan kami sekeluarga. Sejak kecil aku telah mengerti bahwa kemiskinan (ekonomi) telah membuat mamak harus menjadi orang yang paling berkorban dalam keluarga. Mamak tak pernah memiliki pakaian dengan jumlah yang memadai, baju mamak hanya itu-itu saja. Kami sendiri hanya punya baju baru ketika lebaran tiba, abah berusaha membelikan kami baju baru dan mamak harus mengalah karena uang tak cukup. Di
rumah, mamak sering tak pakai baju, bajunya hanya ia selempangkan di bahu (selain alasan “panasâ€? juga agar tidak cepat rusak) karena baju itulah yang akan dia pakai ke luar rumah, misalnya kalau ada pesta di rumah tetangga, berkunjung ke rumah nenek dan sebagainya. Ada satu kebaya mamak yang bagus (ini upaya abah untuk membelikannya) dan baju itulah baju lebaran milik mamak selama tiga sampai empat kali lebaran. Aku merasa sedih dengan kondisi ini, tapi waktu itu aku masih kecil, aku tak bisa berbuat apaapa untuk membelikan baju baru buat mamak. Kalau mamak sakit dan abah memberi uang untuk berobat, mamak lebih memilih menggunakan uang itu untuk beli beras dan kebutuhan rumah tangga, atau mencicil hutang di warung, daripada beli obat, apalagi pergi ke mantri untuk suntik tak akan mamak lakukan. Ada satu peristiwa pedih yang kuingat sampai saat ini (dan peristiwa ini sering berulang): ketika abah minta dibuatkan teh manis. Mamak mengadukaduk sendok dalam gelas dengan suara nyaring, seolah-olah sedang mengaduk gula, padahal tidak ada gulanya. Mamak mengaduknya sambil menangis‌lalu aku yang menyerahkan segelas “teh manisâ€? itu untuk abah. Barulah abah tau kalau di rumah sedang tidak ada gula dan mamak tak berani menyampaikannya. Duuh‌Tuhan...setiap kali mamak merasakan pahit dan kesedihan, aku 7
Narasi Perempuan
selalu berjanji dalam hati (kalau suatu saat aku punya uang banyak, maka orang pertama yang akan kubelikan baju baru dan kupenuhi semua keinginannya adalah mamak). Tapi janjiku tak pernah terwujud, karena mamak meninggal saat aku belum mampu memberinya apapun. *** Sewaktu masih sekolah di Aliyah, setiap kali liburan semester aku sering ikut-ikutan kawan sebayaku bekerja di perkebunan sawit sebagai buruh harian lepas, sekedar untuk membantu uang belanja atau untuk membayar sendiri uang sekolahku. Tapi, aku ini bertubuh kecil, kurus, dengan tenaga yang kecil juga. Jadi, penghasilanku tak seberapa dibanding kawan-kawanku. Aku sering tidak berhasil menyelesaikan bagian pekerjaanku (istilahnya borongan) yaitu luas lahan tertentu yang seharusnya selesai kukerjakan, dan lama kelamaan aku ditolak ikut bekerja. Di rumah, karena aku jarang ke luar rumah untuk bergaul dengan teman-teman sebayaku, aku mencari tempat bergaul lainnya: mendengarkan radio. Sepulang dari sekolah, siang – malam aku mendengarkan radio disetiap kesempatan yang tersedia. Ada stasiun radio favoritku di kota Medan yang kuikuti hampir semua program siarannya. Aku mengirimkan berbagai tulisan, mulai dari puisi, cerpen, artikel, dan terutama tulisan-tulisan singkat untuk meminta diputarkan lagu kesukaanku. Dari sini, aku mendapat banyak teman dari berbagai tempat (yang dapat menjangkau siaran radio tersebut), istilahnya “teman di udara”. Di radio ini namaku cukup terkenal, aku bahkan pernah terpilih menjadi “Fans Idola” (1989) dan mendapat penghargaan “ala puteri idola” seperti masa kini. Dulu, peristiwa ini begitu berkesan dalam hidupku. Dan, karena waktu itu siaran televisi belum seperti sekarang, hampir semua warga di kampungku mendengarkan radio. Maka di desa pun namaku dikenal orang. Ketika aktif di teater sekolah, aku banyak bertemu dan mengenal tokoh-tokoh seniman muda dari Sumatera Utara yang namanya sering kubaca 8
di koran. Program dan kegiatan di LSSA yang kuikuti pun sering menghadirkan para seniman itu ke sekolah kami. Jadi, aku banyak mengenal mereka. Ini membuat aku termotivasi untuk terus menulis. Tamat Aliyah, aku diajak lagi oleh guru teaterku itu mengikuti sebuah organisasi pemuda yang merupakan proyek dari PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) daerah Sumatera Utara. Ia sendiri adalah Koordinator proyek tersebut. Aku menjadi anggota kelompok pemuda desa, namanya KRBJ (Kelompok Remaja Bertanggung Jawab). Agenda utama KRBJ adalah agar pemuda desa menunda usia nikah (20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki). Ketika itu aku sudah tidak aktif mengikuti kegiatan teater sekolah dan guruku juga sudah tidak mengajar lagi di sekolah itu. Pada sebuah kesempatan membahas tentang puisi (karena guruku juga seorang seniman muda Sumatera Utara kala ini) tiba-tiba guruku mengatakan “mari kita lakonkan puisi yang selama ini hanya kita tuliskan”. Abah berubah pikiran setelah mengetahui “karyakaryaku” di beberapa koran yang ia ketahui melalui Kepada Desa. Ternyata Kepala Desa ku (Bpk. Syarifuddin) sering membeli koran yang memuat tulisanku, karena aku sering mencantumkan nama desaku diakhir tulisanku. Kepala Desa saja bangga padaku, apalagi abah, pikirku…he..he...Melalui KRBJ yang kuikuti ini, aku mulai mendapatkan beberapa pelatihan yang berdampak pada peningkatan pengetahuan dan rasa percaya diri. Di sinilah aku mulai mengenal kesehatan reproduksi (aku jadi marah dan kecewa, mengingat mamakku meninggal karena sakit yang ditimbulkan oleh kegagalan alat kontrasepsi). Aku mulai mengajak teman-teman sebaya di desa untuk membentuk kelompok remaja dan membahas mengenai kesehatan reproduksi remaja serta penundaan usia nikah. Entah kenapa pada masa ini ideku banyak sekali dan aku berusaha mewujudkannya. Aku selalu menghadiri pertemuan Remaja Mesjid, Karang Taruna di desa dan berusaha tampil untuk berbicara mengenai reproduksi remaja. Beberapa teman sebaya di desa aktif melakukan pertemuan denganku dan kami melakukan diskusi dengan berbagai topik.
Narasi Perempuan
Tahun 1989 KRBJ sebagai proyek PKBI Sumut berakhir. Aku kembali kehilangan pendampingan dan ruang untuk mengembangkan kreatifitasku. Tapi anehnya aku tak bisa berhenti melakukan sesuatu. Akhirnya bersama seorang teman sebayaku (perempuan, Neni Dwiani – almarhumah) aku mendirikan sebuah Sanggar Belajar Anak (setingkat taman kanak-kanak) di dusunku. Dinamakan Sanggar Belajar Anak, karena kami tak mengerti prosedur formal membangun Taman Kanak-kanak, kami takut disalahkan. Jadi, biar aman, kami sebut saja namanya Sanggar Belajar Anak. Tidak seperti sekarang, dimana pemerintah daerah punya program untuk anak seperti PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang langsung diketuai oleh istri bupati. Dulu itu semua tidak ada.
“Sanggar Belajar Anak: Pintu Keluar Rumah” Sanggar Belajar Anak yang kami dirikan cukup membanggakan warga desa kami. Masyarakat dusunku menyambut gembira apa yang kami lakukan ini. Seorang warga (alm.Wiro) meminjamkan rumahnya yang kosong sebagai tempat belajar. Bik Dartik, istri kepala dusun ku, menjadi donatur rutin tiap bulan yang menyediakan makanan tambahan (bubur kacang hijau, susu dan kue-kue untuk anak-anak). Dalam sebuah musyawarah dengan warga desa, seseorang memberikan usulan agar Sanggar Belajar Anak ini diberi nama: “Harapan Desa Sukasari”. Dari sinilah muncul akronim HAPSARI, ketika suatu hari tanggal 14 Maret tahun 1990, dalam sebuah pertemuan aku diminta memperkenalkan diri dan harus menyebut nama organisasi. Dengan persetujuan Neni (alm) teman mengajar di Sanggar Belajar Anak, aku menyebut asal organisasi: HAPSARI. “Apa itu?” tanya Neni di telingaku. “Harapan Desa Sukasari”. Jawabku cepat. “Ya, saya Neni Dwiani, dari HAPSARI” sambung Neni ketika mendapat giliran perkenalan. Tahun berikutnya, Kepala Desa menyerahkan tanah desa dan membangun gedungnya untuk kami kelola sebagai TK Desa. Selain mengasuh anak-anak untuk bermain sambil belajar, kami juga mengadakan pertemuan rutin sebulan sekali dengan ibu-ibu mereka, sehingga terbentuklah Kelompok
Perempuan Desa dengan berbagai kegiatannya. Pertemuan rutin dengan ibu-ibu ini membuat aku seringkali mendengar cerita-cerita duka para istri yang menderita karena perlakuan suami. Ada cerita tentang suami yang berselingkuh bahkan dengan teman sebayaku di desa, ada yang suaminya tukang main judi dan mabuk, lalu memukuli istrinya, adapula ibuibu yang sakit karena gagal ber-KB seperti mamakku, dan sebagainya. Tapi waktu itu kami belum mengenal istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Aku sendiri tidak tau harus bersikap seperti apa setiap kali mendengar keluhan para ibu muda itu. Aku (dan juga Neni) hanya menyediakan diri sebagai pendengar yang baik bagi mereka, dan mereka sudah cukup senang dengan adanya pertemuan yang membahas permasalahan mereka meskipun tidak ada jalan keluarnya. Kemarahanku semakin membesar dalam hati, tapi aku tak tau harus berbuat apa. Status sosialku di desa berubah karena menjadi guru dan dipanggil “ibu”. Ternyata status sosial ini cukup mempengaruhi kehidupanku selanjutnya, aku punya pengaruh. Kalau aku bicara, beberapa orang (laki-laki dan perempuan) mulai mendengarkan. Apalagi masih ditambah dengan “embel-embel” anak Pak Ustadz, wah…lumayan lah. Kalau ada rapat-rapat desa, sebagai seorang “ibu guru” aku sering diundang, hanya untuk membahas rencana kegiatan-kegiatan desa seperti peringatan 17 Agustus, peringatan Maulid Nabi dan sebagainya. Tiba-tiba aku menyadari bahwa “status sosial” itu punya pengaruh, membuat posisiku jadi penting. Rasa percaya diriku tumbuh dan terus menguat.
Indonesia dan Wajah Perempuan Ini mungkin idion-idiom sederhana ; “bambu runcing, merah-putih, proklamasi, Soekarno-Hatta, 17 Agustus 45”. Itulah defenisiku pertama kali tentang Indonesia (ketika aku kecil) sambil membayangkan sebuah bangsa dan negara yang sangat keras berjuang untuk merdeka. Lalu, “Cakrabirawa, PKI-Gerwani, 7 Jendral, Lubang Buaya dan Soeharto” kukenal berikutnya, melengkapi pemahamanku tentang komitmen Indonesia untuk menjamin“rasa aman”pada warganya, sekaligus ancaman terhadap “ketidaksetiaan” pada rejim. Persentuhan dengan idiom-idiom tersebut membuatku bangga menjadi Indonesia. 9
Narasi Perempuan
Status sosialku di desa berubah karena menjadi guru dan dipanggil “ibu”. Ternyata status sosial ini, menjadikanku punya pengaruh. Kalau aku bicara, beberapa orang (laki-laki dan perempuan) mulai mendengarkan. Kalau ada rapat desa, sebagai seorang “ibu guru”, aku sering diundang untuk membahas rencana kegiatan desa. Tiba-tiba aku menyadari bahwa “status sosial” itu punya pengaruh, membuat posisiku jadi penting. Rasa percaya diriku tumbuh dan terus menguat. Tetapi, ketika mulai memasuki usia sekolah (Aliyah), rasa itu hilang perlahan, menjadi “biasa-biasa” saja. Kondisi perekonomian keluargaku yang kurang mencukupi sehingga aku harus mengalami kesusahan di sekolah, mamak yang sangat berat beban kerjanya mengurus sembilan orang anak, sakit-sakitan karena ber-KB dan kesempatan mendapatkan perawatan kesehatan yang sangat minim sampai beliau meninggal, abah yang menurutku tidak sukses “membahagiakan” mamak, adalah kenyataan pahit yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebanggaanku masa kecil tentang Indonesia. Indonesia dan kemiskinan serta ke-takberuntungan hidup warganya seperti dua takdir kehidupan yang berbeda. Aku tak merasakan adanya campur tangan Negara untuk memperhatikan apalagi mengatasi kesengsaraan hidup warganya. Di sisi lain, sebagai warga, aku pun tidak berani berharap adanya perhatian itu. Terlalu jauh “jarak” antara rakyat yang dilayani dan pemerintah yang melayani rakyat kala itu. Tidak seperti sekarang, dulu tidak ada dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang dapat diakses, tidak ada BLT/BLSM (Bantuan Langsung Semantera Masyarakat), tidak ada kompor gas, tidak ada juga ‘amplop’ waktu pemilu, tidak ada Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), dan seterusnya yang mungkin dapat dimaknai sebagai upaya “mendekatkan negara dengan warganya”. Tidak ada juga pejabat korup yang ditangkap dan dipenjara. Gegap gempita pembangunan hanya kulihat di 10
jalan-jalan atau gedung-gedung pemerintahan, tidak masuk langsung ke pintu-pintu rumah penduduk, juga pintu rumahku. *** Aku mulai ‘merasa’ bersentuhan lagi dengan Indonesia secara serius ketika tahun 90-an aktifitasku berorganisasi harus mematuhi prosedur administrasi pemerintahan. Semisal mengeluarkan Surat Tanda Tamat Belajar dari Sanggar Belajar Anak yang kami dirikan, melapor kepada aparat pemerintahan setempat untuk setiap kegiatan yang kami lakukan, sampai pada menguatnya sebutan ‘organisasi tanpa bentuk’ (OTB) yang diikuti tuduhan “seperti PKI-Gerwani”. Di wilayah aku beraktifitas, stigma negatif PKI-Gerwani cukup kuat. Aku sering mendengar dengan sangat jelas cerita-ceritanya, sampai nama-nama orang yang diberi stigma negatif itu dibahas sambil bisik-bisik aku tahu dan ngeri bagaimana mereka diperlakukan. Aku pun takut kalau sewaktu-waktu bertemu mereka di suatu tempat, karena begitu sadisnya cerita yang kudengar tentang mereka. Dulu, pada awal aku beraktifitas di dusunku, sangat mudah kulakukan. Mudah pula diterima masyarakat dan pemerintahan desa bahkan penuh sukacita. Namun, begitu aktifitas makin meluas dalam wadah formal organisasi, mempunyai jaringan di luar desa dengan kalangan organisasi non pemerintah (LSM), keberadaanku dan organisasi yang kubangun mulai “dikhawatirkan” oleh beberapa kalangan, utamanya
Narasi Perempuan
para elit desa dan kalangan pemerintahan. Aku mulai mengenal adanya aktifitas ‘pengintaian’ (intel), dan orang-orang menyebut BIN (Badan Intelijen Negara) dalam impresi yang ‘menakutkan’. Ketika sebutan OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) yang disamakan dengan PKI-Gerwani pelan-pelan tapi pasti menjadi upaya baru pemerintah untuk membungkam pergerakan kalangan aktifis dulu, aku memasuki fase perjalanan berorganisasi yang justru mulai berkembang dan membangun jaringan. Aku merasakan ‘ancaman’ yang menakutkan justru datang dari pemerintahanku sendiri. Perilaku aparat pemerintah yang birokratis dan congkak membuat ketakutanku menjadi kebencian dan marah. Dalam situasi seperti ini, aku kembali bertemu dengan bekas guru teaterku dulu. Ia bersama teman-temannya juga membangun organisasi sepertiku yang anggotanya para nelayan. Ia juga mendapat “cap” membangun OTB. Bedanya, ia punya lebih banyak kawan-kawan (yang sekarang disebut jaringan) dan aku belum. Ia kemudian memperkenalkan aku dengan forum LSM Sumatera Utara (tapi waktu itu aku tak kenal LSM) dan, bergaul dengan para aktifis LSM membuat aku lebih ‘berani’ menghadapi Indonesia dengan pemahaman tentang Indonesia yang juga terus berkembang. Aku mulai berfikir ulang untuk mengoreksi defenisiku tentang Indonesia dalam idiom-idiom PKI-Gerwani (dulu) yang kemudian menjadi OTB (organisasi tanpa bentuk). Aku juga mulai sungguh-sungguh mengenali Soeharto yang anak Kemukus itu yang kemudian menjadi penguasa orde baru selama 32 tahun. Aku mulai mengerti bahwa ‘bersuara berbeda’ dengan kehendak rejim adalah pembangkangan dan ketidak setiaan sebagaimana ‘ketidak setiaan’ yang harus dibayar mahal dalam revolusi 1965 dulu. Aku mulai menemukan inkonsistensi Indonesia, antara janji sebagai negara demokratis yang menjamin kebebasan berorganisasi bagi warganya dengan upaya pembungkaman sistematis Negara itu sendiri. Banyak kalangan aktifis pergerakan waktu itu melakukan perlawanan antara lain dengan menolak istilah LSM dan menolak mendaftarkan organisasinya di kantor departeman sosial politik baik di tingkat propinsi maupun kabupaten, meski ada juga yang tetap mendaftarkan diri. Aku dan
teman-teman di organisasi (HAPSARI) bergabung dengan mereka yang memilih ‘melawan’. Mulai dari sinilah, berbagai bentuk peristiwa yang kualami dalam bentuk “peminggiran” sejak aku kecil kusadari bukan sebagai ‘takdir’. Aku menemukan penjelasannya sebagai dampak inkonsistensi negara terhadap konsepnya sendiri. Dinama Negara membangun wataknya selain sentralistis, paternalistik, juga sangat hegemonik, dan patriarkhis, sehingga semua orang dipaksa satu pemikiran. Dan kaum perempuan diposisikan “secara terhormat sebagai ibu rumah tangga” dalam konsep “ibuisme” dalam wadah PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) di seluruh desa-desa di Indonesia, termasuk desa dimana aku tinggal. Aku juga pernah memimpin organisasi PKK di desaku untuk membantu istri kepala desaku waktu itu. Bagiku, cita-cita kemerdekaan sebagai pintu gerbang untuk menjadi Negara yang mensejahterakan rakyatnya hanya slogan kosong yang dikampanyekan ke seluruh dunia. Itulah kenapa aku membawa ‘masuk’ ke dalam rumahku gagasan tentang ‘perlawanan’ terhadap berbagai bentuk ketidak adilan, termasuk upaya peminggiran terhadap anak-anak perempuan dan para istri. Dari situlah aku mengenali patriarki sebagai akar dari relasi sosial yang timpang antara perempuan dan laki-laki yang kemudian meluas dalam wilayah berbangsa dan bernegara, karena watak negara mengadopsi patriarki sebagai paradigma dalam menempatkan posisi perempuan sebagai warga negaranya. ***
Perlawanan untuk Perubahan Sulit untuk menjawab pertanyaan: mengapa antara janji yang diikrarkan oleh Negara untuk“mengantarkan rakyat Indonesia” menjadi merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Preambule UUD 1945) begitu bertolak belakang dengan kenyataan hidup yang kualami. Sebagai warga negara dan perempuan, bersama jutaan perempuan 11
Narasi Perempuan
lainnya aku harus hidup dalam kekuasaan rejim demi rejim dengan wajah “pertarungan politik”. Bukan pertarungan untuk memperjuangkan sepenuhnya kepentingan rakyat, apalagi kepentingan perempuan. Menurutku ini sangat jelas dipertunjukkan dalam proses pergantian kepemimpinan negeri ini, menjadi tontonan yang seru dalam membuat kebijakan baru atau ketika merubah kebijakan sebelumnya. Bagi kalangan perempuan di HAPSARI, berorganisasi adalah sebuah upaya untuk melakukan suatu perubahan, karena perubahan adalah jalan yang paling memungkingkan untuk melakukan perbaikan. Seperti perubahan sikap abah yang tiba-tiba memberikan dukungan terhadap semua kegiatan berorganisasi yang kulakukan. Aku sempat terkejut, ketika Pemilu tahun 2004 tim verifikasi dari KPU (Komisi Pemilihan Umum) datang ke rumah dan menemui abah untuk memverifikasi Prof. Darmayanti Lubis yang mencalonkan diri menjadi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari provinsi Sumatera Utara. “Ya, saya mendukung pencalonan Ibu Darmayanti,” kata abah, karena photo copy KTPnya aku lampirkan sebagai bukti dukungan pada saat pencalonan. Padahal, aku belum sempat menjelaskan untuk apa KTP abah kupinjam. Beberapa waktu kemudian ketika kampanye calon DPD dilakukan, abah ikut berkampanye dengan mengumpulkan warga di rumah. Beliau memberi penyuluhan, katanya: “Sudah saatnya kita mendukung perempuan. Ini, Ibu Darmayanti Lubis bagus, orang yang didukung anak saya di HAPSARI, mari kita dukung sama-sama,” aku tersenyum bangga untuk abah. Perubahan yang memberiku kemudahan dalam gerakan di organisasi, karena masih banyak bentuk dukungan abah yang lainnya di kemudian hari, sebelum beliau meninggal tahun 2006.
Memecah Kebisuan (1990 – 1998): Ini adalah fase pertama kaum perempuan berorganisasi di HAPSARI. Dalam berbagai pertemuan, teriakan “pecah kebisuan” adalah komando yang memimpin semua peserta secara serentak dan bersemangat menyanyikan sebuah lagu berjudul “Mari Bicara” dan diakhiri dengan teriakan “Hidup Perempuan” sambil mengepalkan 12
tangan ke atas. Pada masa ini, ada sesuatu yang sangat kuat menjadi ikatan kebersamaan dalam diri sesama perempuan yang bergabung di HAPSARI, yaitu semangat “persaudaraan sesama perempuan”. Kami tidak main-main dengan semboyan yang kami jadikan prinsip bersama tersebut. Kami menjadi begitu sangat peduli dengan sesama orang (perempuan) dalam lingkaran kami. Tidak boleh ada kata-kata atau perilaku yang merendahkan, apalagi sampai melukai diantara kami, karena kami semua bersaudara. Kalau bukan sesama perempuan, tidak akan ada orang lain yang akan membela kepentingan perempuan. Begitu kami memahaminya. Prinsip itu tertanam sangat dalam, dalam diri kami masing-masing dan terbawa jauh hingga HAPSARI melampau fase-fase selanjutnya dalam berorganisasi untuk menuju mimpi tentang perubahan yang kami rumuskan dalam visi organisasi. Kesadaran perempuan untuk menarasikan identitas dirinya sebagai perempuan “merdeka” antara lain dikonfirmasikan dalam bentuk keberanian keluar rumah dan berorganisasi. Keluar rumah tanpa konflik dengan suami, anak-anak dan orangtua adalah satu indikator keberhasilan perjuangan yang kami tetapkan bersama. Ini bukan hal yang mudah, karena kami harus melewati proses perundingan dengan damai, sesuai misi kami. Sambil terus meneriakkan kata “lawan” untuk setiap bentuk ketidak adilan, kami, para perempuan dan istri yang keluar rumah karena berorganisasi di HAPSARI harus tetap menjalankan tanggungjawab rumah tangga sebelum berangkat. Dan melakukan pengawalan, jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di rumah, selama mengikuti kegiatan organisasi. Karena jika hal itu terjadi, maka kesalahan selalu di pihak istri. Kami harus menyiapkan makanan di rumah selama kami pergi (membuat sambel teri untuk tiga hari, menyiapkan pakaian sekolah anak-anak dalam keranjang pakaian, menyiapkan persediaan beras, telur dan mie instan untuk dimasak oleh anak perempuan kami, sebagainya). Beruntung bagi kami yang masih punya ibu atau mertua yang berbaik hati membantu memperhatikan keadaan rumah, atau satu dua
Narasi Perempuan
orang diantara kami yang mampu membayar pengasuh anak selama kami pergi. Proses panjang dialog pribadi tentang pengalaman hidup perempuan dalam budaya patriarki yang membekas dalam, kami lakukan terus-menerus, dengan pemahaman bahwa seorang laki-laki memang ditumbuhkan untuk menjadi patriarki sejati. Untuk merubahnya, kita pun harus berubah. Kami menetapkan pilihan untuk “menang – menang”. Mendapat “kartu ijin keluar rumah” tanpa ada pihak yang merasa dikalahkan adalah upaya-upaya yang kami lakukan dengan berbagai pendekatan dialog dan kerjasama, dalam semangat “persaudaraan sesama perempuan” yang kemudian merambat menjadi “persaudaraan dalam keluarga” besar kami masing-masing.
Perempuan Berorganisasi (1999 – 2004): Adalah fase berikutnya, ketika keberanian bicara dan bersuara tumbuh menjadi sebuah kesadaran melakukan perlawanan terhadap ketidak adilan yang dialami perempuan dalam rumah, di lingkungan masyarakat atau di pemerintahan. Spirit “berjuang dan melawan” melalui organisasi menemukan arena perjuangannya bersama kalangan aktivis dan organisasi pergerakan. Ini adalah fase dimana kata “lawan” yang menjadi idiom pergerakan rakyat dan mahasiswa juga kami teriakkan dengan lembut di HAPSARI. Mimpi bersama untuk mewujudkan visi perubahan menjadi spirit yang kuat untuk membuat kami tak pernah lelah atau putus asa. Tetapi kami pun harus mulai menata strategi berjuang dalam konteks membangun gerakan perempuan. Gelombang besar wacana gerakan perempuan di Indonesia tidak hanya menjadi spirit, tetapi juga menjadikan HAPSARI bertumbuh sebagai organisasi gerakan sosial yang lebih mendapat ruang untuk menyuarakan tuntutan-tuntutannya dengan suara lebih lantang di arena publik. Tematema kepemimpinan perempuan dan politik mulai disuarakan secara terbuka pada fase ini. Aku yang memulai aktifitas berorganisasi karena dorongan melakukan “perlawanan” terhadap situasi
kemiskinan, peminggiran dan berbagai bentuk ketidakadilan yang kualami secara pribadi, akhirnya membawaku berorganisasi dan menemukan arena gerakan perlawanan dalam wacana besar gerakan perempuan Indonesia. Aku terlibat aktif dalam proses pembangunan organisasi gerakan perempuan tingkat nasional seperti Solidaritas Perempuan (SP) di Jakarta, mulai dari kongres pertama tanggal 23 – 25 Maret 1995 di Bogor yang mengesahkan 41 orang anggotanya, hingga menjadi salah seorang anggota dewan pengurus SP pada kongres kedua. Aku juga mengikuti kongres pertama Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) yang diadakan tanggal 14 – 17 Desember 1998 di Yogyakarta, dihadiri lebih dari 500 perempuan dari 25 propinsi dan Timor Leste, dan menjadi salah seorang anggota presidium di periode pertama ini, mewakili sektor Perempuan Nelayan. Aku pernah bermimpi bahwa kedua organisasi ini kelak akan menjadi “rumah gerakan” yang besar di tingkat nasioal, bagiku dan kawan-kawanku di akar rumput. Untuk merajut kekuatan perempuan melawan berbagai bentuk penindasan, aku dan kawankawan memang harus mulai dari diri sendiri, lalu lingkungan terdekat (keluarga), selanjutnya masuk dalam wilayah negara, wilayah administratif pemerintahan terdekat yang menjadi ‘agen’ penindasan; pemerintahan tingkat dusun, desa, kecamatan hingga kabupaten. Kami membutuhkan struktur organisasi yang lebih sesuai untuk berhadapan dengan hirarki pemerintahan, bukan sekelompok orang (perempuan) yang berkumpul dari berbagai tempat lalu disebut sebagai organisasi komunitas. Itulah kenapa kami lebih memilih organisasi dalam bentuk serikat dengan struktur formal mulai tingkat dusun hingga kebupaten. Jadi, ketika berhadapan dengan negara melalui struktur pemerintahannya, kami ingin hadir sebagai warga negara yang lebih terorganisir dan terpimpin. Ketua serikat perempuan tingkat dusun yang akan berhadapan dengan Kepala Dusun untuk “melawan” kebijakan yang merugikan perempuan di dusundusun, dan seterusnya, sampai ketua serikat tingkat kabupatenlah yang memimpin gerakan ketika berhadapan dengan Bupati Kepala Daerah, untuk 13
Narasi Perempuan
menyatakan penolakan terhadap ketidak adilan program-program pemerintah atau menuntut pelayanan program-program pemerintah agar lebih berpihak kepada kepentingan perempuan. Ketika gerakan perempuan dibangun secara sektoral, sehingga kami dipertemukan dengan komunitas-komunitas sektoral (ibu rumah tangga, perempuan kepala keluarga dan tidak menikah, perempuan masyarakat adat, perempuan petani, perempuan nelayan, masyarakat miskin kota, sektor informal, perempuan profesional, dan seterusnya), kami mengalami kesulitan untuk meleburkan diri di dalamnya. Organisasi HAPSARI sedang bertumbuh dan sedang memasuki fase membangun kepemimpinan lokal di akar rumput. Di satu sisi, sebagaimana akar pada sebuah pohon, kami membutuhkan lahan sebagai media tumbuh di wilayah-wilayah administratif pemerintahan yang tidak dapat dikelompokkan secara sektoral. Karena dalam struktur organisasi yang sudah dibangun di HAPSARI di suatu desa misalnya, terdapat perempuan miskin ibu rumah tangga, sekaligus petani, nelayan, buruh tani atau buruh perkebunan, juga perempuan tidak menikah, dan seterusnya. Di sisi lain, kami pun ingin menumbuhkan kepemimpinan perempuan lokal di berbagai tingkatan dan sektor. Akhirnya kami membangun pola kami sendiri, dengan memilih menjadi organisasi dalam bentuk federasi yang anggotanya adalah serikat-serikat perempuan independen tingkat kabupaten. Isu-isu sektoral diprogramkan di tiap serikat, sesuai konteks sosial, politik dan ekonomi serta permasalahanpermasalahan utama yang dihadapi dan kapasitas masing-masing serikat (organisasi) anggota HAPSARI. Pilihan ini bukan tanpa resiko dalam hubungan kami berjejaring dengan kalangan aktivis dan organisasi gerakan perempuan yang sudah terbangun selama ini, tetapi kami menyadari sepenuhnya resiko itu. Bahkan dalam tubuh internal HAPSARI sendiri terjadi penolakan dari kalangan Staf Program, ketika kami memutuskan merubah bentuk organisasi dari yayasan menjadi federasi. Enam dari sepuluh orang staf mengundurkan diri dan membentuk sedikitnya lima lembaga yayasan milik mereka sendiri, dimana mereka menjadi para direkturnya. Saat ini, satu dari 14
lima yayasan tersebut masih aktif dan selebihnya sudah tidak terdengar lagi sejak lima tahun yang lalu. Waktu itu, kami dinilai arogan (terutama aku), HAPSARI dianggap “mati� karena perubahan bentuk ini, dan sebagainya. Hubungan personalku dengan beberapa kalangan aktivis perempuan juga memburuk, karena komunikasi dengan mereka terputus, namun tetap dilanjutkan oleh para kader HAPSARI yang sudah membentuk LSM-LSM baru dan bekerjasama dengan mereka dan membawa informasi tentang HAPSARI dengan versi ketidak sukaan mereka. HAPSARI terus bertumbuh, bergerak, menghadapi konflik dan bertahan. Pelan-pelan kami rajut lagi jejaring dengan kalangan aktivis dan organisasi gerakan perempuan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Meskipun tidak dalam satu rumah, kami harus menjadi tetangga baik yang saling menolong, saling bekerjasama dan saling memperkuat. Aku, tanpa sungkan menemui lagi para aktivis perempuan senior, menyapa mereka dan meminta berbagai masukan. Ini adalah upayaku menjembatani para kader perempuan basis dari HAPSARI untuk membangun jejaring antar organisasi, menempatkan kembali spirit solidaritas gerakan perempuan yang pernah kurasakan dulu, untuk terus dirawat oleh para kader HAPSARI dalam membangun dinamika gerakannya saat itu. Pelan-pelan, aku memilih hijrah dari Sumatera Utara, melalukan perluasan wilayah keanggotaan HAPSARI dengan membangun serikat perempuan di kabupaten Kulon Progo (2010). Tetapi hampir semua aktivis perempuan yang pernah kukenal, kemudian dikenal dan menjadi bagian dari jaringan para kader yang meneruskan kepemimpinanku di HAPSARI. Beberapa diantara kader berhasil menggantikan posisiku sebagai pengurus dalam organisasi jaringan dan menandatangani kontrak kerjasama dengan lembaga mitra. Aku puas dengan perkembangan ini. Upaya perubahan terus bergulir, karena mengalirnya dukungan dari banyak pihak. Tahun 2012 aku kembali lagi di HAPSARI, dengan posisi sebagai Ketua Dewan Pengurus Nasional bersama duabelas orang perempuan basis akar rumput lainnya. Aku bangga sekali, sembilan orang
Narasi Perempuan
diantara mereka adalah kader-kader perempuan di HAPSARI yang bergabung lebih dari sepuluh tahun lalu; mulai dari anggota kelompok, menjadi anggota serikat, kemudian menjadi pengurus serikat dan sekarang menjadi pengurus HAPSARI, bersamaku, di sampingku.
Bersuara: turun ke jalan Sebagai bagian dari gerakan rakyat yang menginginkan terwujudnya keadilan sosial, kami aktif melakukan aksi-aksi demontrasi damai yang kami yakini sebagai aktifitas legal dalam negara demokrasi. Berbagai kebijakan pemerintah yang kami rasakan tidak adil, mulai dari dibiarkannya harga sembako yang melambung tinggi, upah buruh perkebunan dibayar rendah dan tidak diberikannya cuti haid untuk buruh perempuan, dibiarkannya pukat harimau (trawl) beroperasi di pesisir pantai Timur Sumatera Utara yang menabrak perahu nelayan hingga mereka meninggal dan para istri menjadi janda, banyaknya anggota organisasi kami yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, hingga berkeliarannya politisi busuk yang hendak memasuki parlemen. Kami melakukan aksi-aksi demonstrasi di halaman kantor gubernur, kantor bupati dan kantor dewan perwakilan rakyat, untuk menunjukkan sikap menolak dengan memberikan pengaruh melalui penekanan dalam aksi damai untuk menyampaikan pendapat. Ketika itu, kami meyakini bahwa demonstrasi merupakan alternatif dalam merespon kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan kehidupan kami, diamnya pemerintah melihat nasib buruk warganya, tidak hadirnya negara dalam pemenuhan hak-hak warga negaranya, terutama kaum perempuan dan anak-anak. Sepanjang aksi-aksi massa yang kami lakukan, tak pernah sekali pun kami menyertainya dengan tindakan yang bertentangan dengan tujuan kami untuk menyampaikan suara rakyat kepada pemeritahan dan negara ini. Karena ini kehendak bersuara, maka tak sekalipun kami rusak dengan bentuk-bentuk aksi yang menyebabkan kekacauan umum. Apalagi pada setiap kali aksi, kami dikawal oleh pasukan keamanan (kepolisian) yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah kami yang melakukan aksi. Para Polisi Wanita (Polwan)
biasanya ditempatkan dalam barisan paling depan, berhadapan langsung dengan kami para ibu yang melakukan aksi. Kami merasa nyaman karena bertemu dengan sesama perempuan, walau kadang ada juga rasa kesal, ketika ibu-ibu Polwan tersenyum mengejek dan mengatakan: “Ngapainlah ibu-ibuk ini di jalanan. Pulang ajalah buk, masak...”. Beberapa diantara kami menjawab: “Ah, gak adalah pedulimu sama penderitaan rakyat kecil ya. Diam ajalah kau di situ, kerjakan tugasmu...” Kecuali berita aksi yang kami lakukan masuk korankoran lokal, dengan menyebut jumlah kami yang sebanyak 700-an orang hanya dengan kata “ratusan” dan judul berita yang sungguh tak simpatik “Ratusan Omak-omak Serbu Kantor Bupati”, judul berita yang menyamakan kami dengan sekelompok perempuan menyerbu pasar untuk berbelanja, membeli ikan asin atau sembako murah. Aksi-aksi yang kami lakukan sering kali tak menghasilkan perubahan langsung yang signifikan terkait dengan tuntutan kami akan adanya perubahan kebijakan, atau sekedar perubahan perilaku sombongnya birokrasi pemerintahan. Kalaupun pada akhirnya terjadi perubahan kebijakan nasional semisal UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga hingga kuota 30 % untuk perempuan dalam politik, aksi-aksi massa yang dilakukan HAPSARI hanyalah kontribusi kecil saja untuk menyatakan bahwa tuntutan perubahan ini juga kehendak dari perempuan-perempuan lokal, perempuan miskin akar rumput di pedesaan, bukan hanya tuntutan kalangan aktivis elit gerakan perempuan di Jakarta. Sering juga kami merasa lelah atas capaian yang tak seberapa ini, tetapi kami tak merasa ini adalah kesiasiaan. Dan ketika kelelahan muncul karena berbagai permasalah yang dihadapi (baik pribadi maupun organisasi), muncul pula rasa ragu dan takut untuk meneruskan langkah berorganisasi. Dalam situasi seperti ini, ada satu pesan dari seorang perempuan tua yang kami panggil Simbok (almarhum), yang selalu menjadi ingatan kami dan menuntut kami keluar dari perasaan negatif itu. Pesan itu selalu disampaikan ketika kami berkumpul di rumahnya yang juga merupakan “kantor” sebelum HAPSARI memiliki tempat sendiri sebagai “kantor resmi” organisasi. “Nek wani ojo wedi-wedi, nek wedi ojo 15
Narasi Perempuan
Para Polisi Wanita (Polwan) biasanya ditempatkan dalam barisan paling depan, berhadapan langsung dengan kami para ibu yang melakukan aksi. Kami merasa nyaman karena bertemu dengan sesama perempuan, walau kadang ada juga rasa kesal, ketika ibu-ibu Polwan tersenyum mengejek dan mengatakan: “Ngapainlah ibu-ibuk ini di jalanan. Pulang ajalah buk, masak...”. Beberapa diantara kami menjawab: “Ah, gak adalah pedulimu sama penderitaan rakyat kecil ya. Diam ajalah kau di situ, kerjakan tugasmu... wani-wani” (kalau berani jangan takut-takut, kalau takut jangan berani-berani) begitu pesan Simbok. Pada fase ini, pembentukan struktur organisasi dan pembagian peran kepemimpinan akan mengantarkan setiap orang dalam organisasi menempati hirarki berdasarkan posisi kepemimpinannya. Ada orang di posisi “atas” sebagai pemimpin, dan harus ada orang di posisi “bawah” yang bersedia dipimpin. Ragu, takut dan tidak percaya diri adalah situasi batin yang kami hadapi. Biasanya, pesan simbok muncul dalam ingatan kami dan “memaksa” kami untuk segera mengambil keputusan. Pertanyaannya adalah: bersedia atau tidak menjadi pemimpin ? mau atau tidak menjadi ketua ? Bukan mampu atau tidak menjadi pemimpin/ketua. Tidak mudah bagi perempuan di HAPSARI untuk dengan cepat menyatakan bersedia memimpin, menjadi ketua, atau pengurus di organisasi. Butuh proses, dan untuk membangun proses menumbuhan kepemimpinan itulah dirancang berbagai strategi dan dipilih berbagai medianya. Maka kami mulai mengenal istilah pemimpin, kepemimpinan, kader, dan kaderisasi kepemimpinan. Inilah intervensi organisasi dan sekaligus kontribusi dalam membangun gerakan perempuan dan menumbuhkan kepemimpinan gerakan perempuan basis. 16
Tak kurang dari seratus orang perempuan desa yang awalnya adalah ibu rumah tangga biasa, kemudian terpilih menjadi ketua-ketua serikat perempuan, mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan hingga desa. Menjadi ketua perwiritan di desa, ketua kelompok tani, menjadi pelaksana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Perdesaan, menjadi tim sukses dalam pencalonan legislative, dan lebih dari sepuluh orang kaderkader perempuan anggota HAPSARI pernah terpilih menjadi anggota Badan Perwakilan Desa. Ada juga yang pernah berani dan percaya diri mengikuti pencalonan legislativ dalam Pemilu tahun 2009 dan 2014 lalu. Bahkan ada yang diminta mencalonkan diri menjadi Kepala Desa, dan sebagainya. Tetapi yang paling penting bagi HAPSARI adalah tumbuhnya kader-kader perempuan tingkat desa yang memiliki visi perubahan dan komitmen melakukan perubahan dalam dirinya, keluarganya dan masyarakat di lingkungannya.
“Bergandeng Tangan untuk Perubahan” Perempuan Berpolitik, Memimpin Perubahan (2005 – sekarang): Inilah fase organisasi HAPSARI sekarang. Ketika politik dikonotasikan negatif oleh mayoritas masyarakat (seperti juga kami di HAPSARI dulu memaknainya), proses dan pengalaman berorganisasi menghantarkan kami pada pemahaman bahwa politik adalah tentang
Narasi Perempuan
bagaimana melakukan sesuatu (tindakan) dan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, dan kebijakan umum, untuk kepentingan kesejahteraan. Kami memutuskan berpolitik dan memimpin gerakan perubahan di lingkungan masyarakat dimana kami berada. Dan kami memutuskan perubahan strategi, dari teriakan kata “lawan” dengan mengepalkan tangan ke atas, menjadi ajakan lembut: mari bergandeng tangan. Pemaknaan ini memandu HAPSARI dalam menempatkan posisi organisasi sebagai bagian dari masyarakat untuk ikut melakukan kontrol terhadap negara yang mempunyai kekuasan sangat luas, dengan banyaknya kebijakan-kebijakan yang masih merugikan rakyat, terutama perempuan. Jika pada masa orde baru dulu HAPSARI menjadi bagian dalam gerakan politik yang disebut golongan putih (golput) sebagai perlawanan langsung terhadap ketidak adilan politik di Indonesia, fase ini tidak lagi. Tahun 2007 bersama kalangan aktifis pergerakan di Indonesia HAPSARI malah pernah ikut mendirikan partai politik, meskipun tidak lolos verfikasi untuk ikut dalam pemilihan umum tahun 2009. Relasi jaringan yang telah terbangun dengan luas, baik dengan kalangan individu maupun organisasi betulbetul dimanfaatkan untuk mulai menjadi titik masuk “bergandeng tangan”. Di Yogyakarta, aku bahkan memberanikan diri menemui Gusti Kanjeng Ratu Hemas, permaisuri Sultan HB.X yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah yang sebelumnya kukenal sebagai “sahabat” melalui teman-teman jaringanku di Jakarta. Pertemuan yang menjadi ikatan awal tumbuhnya komitmen bersama membangun gerakan perempuan basis di wilayah Yogyakarta dan menjadi “penggerak” berkembangnya relasi dengan kalangan pemerintahan daerah di serikatserikat anggota HAPSARI yang ada di Yogyakarta. Isu-isu utama HAPSARI sepanjang periode ini ditempatkan dalam kerangka kerja advokasi untuk perubahan yang secara langsung berdampak pada penguatan kapasitas untuk penghidupan berkelanjutan, meningkatkan pendapatan, memperluas akses permodalan, dan pengembangan produk-produk pertanian. Kami
juga mulai fokus pada upaya pembangunan relasi dan interelasi dengan kalangan pemerintahan, terutama pemerintah daerah. Audiensi dan lobby bukan lagi teori dan materi dalam pelatihan, melainkan praktek keseharian dalam kegiatan program organisasi. Paska reformasi dimana isu-isu demokratisasi, desentralisasi, pemerintahan bersih, pemerintahan yang responsif dan sebagainya sudah menjadi narasi keseharian, HAPSARI merancang apa yang disebut strategi “advokasi kreatif” untuk membangun dan memperkuat diri sebagai representasi organisasi masyarakat sipil yang legitimate untuk berbicara dengan pemerintah dan legislative. Di beberapa wilayah kabupaten, ketika kalangan pemerintahan lokal sudah sangat terbuka untuk berdialog dan bekerjasama, hanya dengan “sms” bersedia hadir dalam pertemuanpertemuan kegiatan program organisasi, bahkan menandatangani lembar pernyataan komitmen dukungan terhadap organisasi, bagi HAPSARI, kata “lawan” sudah tidak tepat digunakan. Kami memilih berdialog, bekerjasama sesuai dengan peran masing-masing. HAPSARI berharap dapat menawarkan sebuah model gerakan perempuan basis (akar rumput) yang menghasilkan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara, melalui perubahan hukum, kebijakankebijakan publik dan perilaku yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat dan kepentingan perempuan. Sejak tahun 2012, bersama serikatserikat perempuan anggotanya HAPSARI mulai membangun koperasi, mendirikan trading house dan mengelola unit-unit usaha ekonomi produktif. Berbagai media advokasi digunakan HAPSARI, mulai dari forum diskusi di tingkat komunitas perempuan basis, dialog dengan pemerintah dan legislative, hingga menggunakan teater dan media sosial yang sedang populer saat ini (facebook, twitter dan website). Namun, sesekali kami tetap turun ke jalan melakukan aksi massa, ketika menemukan momentum yang tepat.
17
Narasi Perempuan
Semangat yang Terpatik Riani
Š Feri Latief/USAID Program Representasi 18
Semangat yang Terpatik
19
Narasi Perempuan
K
etika menuliskan cerita ini, baru tersadar kalau usiaku sekarang nyaris diparuh abad (47 tahun). Tanpa terasa menjadi perempuan yang sudah bersuami, bahkan kalau dihitung-hitung seluruhnya punya tujuh orang anak, walaupun Tuhan YME hanya mempercayakan aku dan suami untuk merawat dua orang putra dan satu putri yang sekarang sudah menikah dan ikut suaminya, cepatnya... waktu ini berlalu. Jika mengenang masa lalu.... Aku adalah perempuan yang dilahirkan di lingkungan perkebunan, tepatnya di Desa Bandar Pinang. Kecamatan Bintang Bayu, Kabupaten Deli Serdang (sekarang Serdang Bedagai). Aku terlahir di tengah keluarga yang masing-masing sudah memiliki empat orang anak sebelumnya, (mamakku punya anak empat dari suami pertamanya yang sudah wafat, begitu juga dengan abah/bapakku yang duda karena istri pertamanya meninggal dunia). aku sendiri adalah anak pertama dari empat bersaudara dari hasil perkawinan abah dan mamakku.
Menurut kakak iparku, aneh, seorang Riani yang tidak tamat SD mengajak orang untuk berorganisasi, karena selain trauma masa lalu dengan stigma Gerwani yang punya sejarah kelam bagi perempuan desa, organisasi adalah tempatnya orang-orang pintar, sehingga melihat diriku yang tidak punya tamatan, baginya, akalakalan saja. 20
Mamak dan suami pertamanya adalah mantan kuli kontrak yang bekerja di pabrik karet di sebuah perkebunan asing (PT. London Sumatera), sementara abahku mantan buruh perkebunan yang sudah dipecat, kemudian merantau ke kota Medan untuk menggeluti profesinya menjadi seorang supir pribadi. Tahun 1986 beliau meninggal dunia, mamak yang buta huruf harus mampu menghidupi anakanaknya, termasuk aku. Dari empat orang hanya adik laki-lakiku nomor dua yang terus berusaha sekolah hingga tamat Sekolah Menengah Atas, selebihnya hanya tamat sekolah dasar. Aku menjalani rutinitas seperti pada umumnya anak perempuan yang lahir dan tinggal di desa: ke sekolah, ke madrasah bahasa Arab, mengaji di masjid pada malam hari bersama teman-teman, membantu orang tua mencari sayurmayur di perkebunan atau di kebun/ladang orang lain, mencari kayu bakar, air bersih untuk kebutuhan memasak dan menjaga adik-adik. Kadang sepulang sekolah mengajak adik-adik jalan kaki menyusul mamak yang masih kerja pabrik.
Semangat yang Terpatik
Menjelang usia sepuluh tahun, aku tidak bisa bersekolah lagi karena harus ikut abang yang sudah menikah (abang satu mamak lain bapak) untuk bantu-bantu di rumahnya, walau aku sendiri belum sempat menamatkan kelas satu SD, ini terjadi sebab mamak dan abahku sempat bercerai saat itu. Di pertengahan tahun 1979, aku ikut orang tua pindah ke kota Medan, karena mamak dan abahku sudah rujukan lagi. Mamak juga sudah pensiun dari perkebunan tempatnya bekerja. Ternyata hanya mimpi, berharap bisa melanjutkan sekolah di tempat yang baru, penghasilan orangtuaku hanya cukup untuk bayar kontrak rumah dan makan kami sehari-hari, itu pun dipaksa berhemat. Karena tuntutan situasi dan kondisi ekonomi yang sulit, aku dan satu orang adikku yang laki-laki, kembali diminta oleh orang tuaku untuk tinggal bersama Abang untuk membantu menjaga anaknya dan bisa melanjutkan sekolah. Tapi sekali lagi harapan untuk bisa kembali sekolah cuma mimpi. Pengalaman Pemantik Di usia tiga belas tahun aku diajak oleh seorang teman, merantau ke kota Medan menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT), dengan upah Rp. 25.000 setiap bulan. Profesi ini kugeluti dari tahun 19831995. Tahun 1986, aku ikut sang majikan pindah ke Lhokseumawe, Aceh. Majikanku yang perempuan suku Batak sementara suaminya Warga Negara Asing (WNA), ia dikontrak oleh perusahaan Mobil Oil. Pada usia 19 tahun (1987), aku menikah dengan Riono yang berprofesi sebagai supir. Hingga memiliki dua orang anak, aku masih bekerja sebagai PRT dengan gaji mulai dari Rp 25.000 sampai dinaikkan menjadi Rp 400.000 di tahun 1995. Tahun itu juga aku memutuskan pulang ke kampung, karena majikan tempat aku bekerja habis masa kontrak kerjanya di Indonesia, dan anak-anakku sudah memasuki usia sekolah. Hari-hari selanjutnya kujalani dengan menjadi Buruh Harian Lepas (BHL) di perkebunan kakao milik Badan Usaha Milin Negara (BUMN) yang ada di sekitar kampungku. Lalu, ketika terjadi krisis moneter tahun 1998, dimana hampir seluruh masyarakat mengalami kondisi ekonomi yang sangat sulit, aku bekerja sampingan. Kadang jika
borongan ancak (area kerja) di perkebunanan kakao sudah habis, aku bersama dengan ibu-ibu yang lain mencari makuna dan benguk (sejenis tumbuhan kacang-kacangan merambat yang fungsinya untuk mematikan/membusukkan batang kelapa sawit) di area perkebunan dekat kampungku, bahkan mencari buah kelapa sawit dibalik-balik tanah cangkulan atau dibawah pohon kelapa sawit, karena pohonnya sudah akan ditumbang (replanting), kemudian buah sawit itu dijual sekedar untuk bisa membeli beras. Karena kegiatan ini aku dan dua orang temanku pernah ditangkap oleh Koramil, aparat keamanan yang disewa oleh perkebunan tersebut. Setelah kami selesai diinterogasi, kami diantar ke kantor Polisi Sektor (Polsek) Kelurahan Tualang, dengan tuduhan melakukan pencurian. Di kantor Polsek ini aku melihat antara petugas Koramil dengan pihak kepolisian melakukan serah terima berkas kasus pencurian kami bertiga. Di kantor polisi ini kami bertiga pun kembali ditanyai tentang kronologis bagaimana kami sampai tertangkap, setelah selesai proses interogasi, kami harus mengikuti prosedur di kepolisian ini. Aku bersama kedua temanku harus dimasukkan dalam terali (kurungan) bersama dengan tahanan yang lainnya. Sebuah pengalaman pahit yang tak pernah dapat kulupakan dan mengajarkan diriku untuk mencari jawaban atas pertanyaan: mengapa masyarakat yang hidup di sekitar wilayah perkebunan tidak boleh mendapatkan sebagian kecil saja dari keuntungan perkebunan yang mengelola usaha dengan menggunakan lahan masyarakat/rakyat setempat? Setahun setelah peristiwa itu terjadi, aku sudah tidak satu kampung lagi dengan kedua teman itu. Mereka merantau ke daerah Pekanbaru bersama keluarganya karena sulitnya mencari nafkah di sini. Tahun 1999 aku diajak kakakku yang bernama Sutarmi, mengikuti kegiatan kelompok perempuan yang sekarang menjadi SPI, atau Serikat Perempuan Independen di Kabupaten Serdang Bedagai, dan anggota HAPSARI.
21
Narasi Perempuan
Pada saat itu, aku mengikuti hampir semua kegiatan kakakku, karena mendapat tugas menjaga Iqbal, anaknya. HAPSARI memang mempunyai kebijakan untuk menyediakan tenaga pengasuh anak bagi setiap ibu yang harus membawa anaknya dalam kegiatan organisasi. Tetapi karena ruang untuk pengasuhan anak selalu bersebelahan dengan ruang kegiatan, bahkan kadang kami menggelar tikar dan kasur dalam ruangan yang sama, maka aku sangat leluasa mendengar semua topik-topik yang mereka bahas.
Semangat dari Panggung Perbincangan tahun 1999 dan Lokakarya Teater tahun 2000 Diawali perbincangan antara pengurus HAPSARI yang memang pernah bergulat dalam dunia teater dan seorang kawan, Lena Simanjuntakseorang sutradara perempuan alumni Institut Kesenian Jakarta yang sekarang tinggal di Jerman. Mereka begitu bersemangat membicarakan teater, mangguk-mangguk, geleng kepala dan kadang tertawa-tawa sangat lucu. Mereka yakin, teater adalah media pendidikan untuk penguatan kaum perempuan, begitu kesimpulannya. Perbincangan itu pun diteruskan dengan pertemuan-pertemuan antara pengurus HAPSARI dan pengurus serikat anggota HAPSARI. Tanggal 26-28 Juni 2000, HAPSARI menyelenggarakan lokakarya “Teater Sebagai Media Pendidikan� dengan fasilitator Ibu Lely Zailani, Bapak Sudarno, dan Ibu Lena Simanjuntak (Forum Koln Jerman). Dalam pertemuan inilah teater diperkenalkan kepada kami dan aku yang saat itu sudah menjadi anggota SPI Sumatera Utara. Pada hari pertama lokakarya, Bu Lely yang menjadi fasilitatornya bertanya kepada seluruh peserta, kenapa mau ikut lokakarya teater ini? Diantara peserta ada yang menjawab karena ingin masuk TV dan jadi pemain sinetron. Tetapi, setelah selesai proses lokakarya selesai dan pertanyaan itu kembali diajukan, ternyata tidak ada satu orang pesertapun yang mengatakan ingin jadi pemain sinetron dan masuk TV. Jawaban peserta hampir serentak adalah ingin menyuarakan perjuangan kaum perempuan.
22
Dalam lokakarya teater ini, peserta dibagi empat kelompok untuk membuat satu cerita dan memerankannya sesuai dengan ceritanya masingmasing. Disini semua peserta mulai memahami bahwa setiap orang bisa menjadi pemain teater. Karena teater itu menceritakan kembali kisah-kisah kehidupan yang dialami oleh manusia, dilakonkan kembali dengan gaya seni yaitu teater. Dari diskusi ini kami sangat terinspirasi dan tertarik menjadikan teater sebagai media penyampaian informasi sekaligus media pendidikan untuk perempuan basis seperti kami. Karena melalui teater, orang jadi berani ngomong dan berani tampil di depan umum, tanpa diketahui kalau ia sebenarnya grogi dan tidak ahli teater. Aku tiba-tiba dapat menguasai setiap diskusi kelompok untuk merancang cerita dan mengarahkan kawan-kawan untuk mengatur teknik pementasannya. Aku sendiri heran, kok bisa di kegiatan ini begitu sangat percaya diri dan tampil menjadi “bintang�. Sejak saat itu, semua mata tertuju padaku, pembicaraan di organisasi adalah tentang Riani dan teater, bukan Riani yang tugasnya mengasuh anak-anak dalam kegiatan organaisasi. Aku tampil meyakinkan dengan peran sebagai laki-laki pelaku kekerasan terhadap perempuan (istrinya). Aku juga yang menjadi sutradaranya. Kelompok kami menjadi kelompok terbaik dalam pementasan yang merupakan praktik berteater itu. Setelah lokakarya tersebut, baik HAPSARI maupun SPI memutuskan bahwa teater adalah salah satu media pendidikan untuk penguatan kaum perempuan. Karena melalui teater telah dibuktikan bahwa perempuan yang takut berbicara bisa dengan bebas menyampaikan suaranya. Melalui teater kami tidak takut salah dan tidak takut disalahkan. Teater yang dikembangkan oleh HAPSARI dan SPI adalah teater untuk memecah kebisuan dan menyuarakan cita-cita dan perjuangan kaum perempuan. Cerita dan Pementasan Hari-hariku selanjutnya semakin aktif di organisasi SPI, asyik dengan teater. Dalam setiap pementasan teater biasanya kami membutuhkan sekitar sepuluh sampai lima belas orang, atau disesuaikan dengan kebutuhan cerita yang akan diperankan. Untuk menghadirkan peserta harus dibuat undangan
Semangat yang Terpatik
Š Feri Latief/USAID Program Representasi 23
Narasi Perempuan
secara tertulis, setelah sebelumnya diinformasikan melalui telepon. Undangan tertulis penting bagi kami, untuk mempermudah permisi/meminta izin pada keluarga (suami, anak, dan orang tua), apalagi jika lokasi latihannya jauh dari tempat tinggal ibu-ibu dan harus menginap. Tidak hanya untuk kepentingan mendapat izin dari keluarga, undangan tertulis untuk ibu-ibu adalah bukti pada keluarga, bahwa ketika ia keluar rumah diketahui oleh keluarga (kemana, ngapain dan dengan siapa) mereka berkumpul.
Disinilah awal penderitaan, mulai dari tiga bulan gajinya yang sudah diambil agen, diperkosa oleh majikan, hingga diusir pulang dan terdampar di pesisir pantai Sialang Buah, salah satu wilayah kerja HAPSARI saat itu. 3.
Seluruh cerita yang kami pentaskan melalui teater adalah kisah hidup yang telah atau sedang dihadapi oleh para pemainnya. Kami membahas dan sepakat memilih salah satu dari kisah-kisah kehidupan kami untuk dipentaskan, sesuai dengan target yang ingin kami capai. Beberapa sinopsis cerita yang pernah dipentaskan adalah: 1. Mimpi Sukesi Ini cerita yang pertama kali kami pentaskan, kisah seorang perempuan bernama Sukesi, tetangga dari salah seorang pemain teater yang ingin membantu orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Awalnya ia bekerja sebagai guru TK di desa, tetapi hal itu belum bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari pekerjaan lain yang gajinya lebih besar, menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT), tapi sampai di kota ternyata ia dipekerjakan sebagai pekerja seks, hingga ia kena AIDS. 2.
24
Menggapai Matahari Kisah tentang seorang gadis muda desa, anak nelayan yang ibunya menjadi janda, karena bapaknya meninggal ditabrak pukat harimau (trawl). Trawl adalah alat tangkap ikan dengan mesin, milik pengusaha. Kemiskinan membuat anak gadis ini tertarik mengais rejeki di negeri seberang, menjadi buruh migran (TKW) dan disetujui oleh ibunya. Ternyata bekerja sebagai TKW ke luar negeri tidaklah semudah yang dibayangkan. Ketika ia mendapatkan pekerjaan sebagai PRT, dirinya sudah diperjualbelikan antara agen dan majikan.
Perempuan Bersatu Seorang perempuan desa yang tingkat pendidikan formalnya rendah, tetapi selalu mau peduli terhadap nasib kaum perempuan. Ini kisah tentang para pemimpin-pemimpin organisasi kami, tentang perempuan desa yang gigih yang ingin menunjukkan banyak kesamaan masalah yang dihadapi kaum perempuan, yaitu mengalami kekerasan, pembodohan, dan kepentingan perempuan tidak diperhatikan. Hal ini membangkitkan semangatnya untuk membentuk kelompokkelompok perempuan di desanya dan mulai melakukan diskusi-diskusi untuk penyadaran dan penguatan kaum perempuan. Tetapi ia mendapatkan banyak rintangan, mulai dari keluarganya, para suami dari anggota kelompoknya, sampai pemerintahan desa. Masyarakat menuduhnya menghidupkan Gerwani lagi. Di dalam pemerintahan desa keberadaan kelompok perempuan itu dianggap mengganggu, menyalahi aturan desa, karena sudah ada PKK. Tapi tantangan ini tidak membuat mereka surut, justru makin membuat mereka bersatu untuk maju dan saling peduli pada sesama perempuan.
4.
Dimana Keadilan Kisah seorang perempuan muda yang dituduh membunuh pacarnya dan akhirnya dipenjara, padahal yang membunuh adalah preman setempat yang mendapat dukungan dari pihak polisi dan pejabat tinggi setempat. Pembunuhnya sampai sekarang masih bebas berkeliaran, karena punya bekingan (pelindung) dan bisa membeli hukum. Sementara perempuan muda itu harus mengorbankan masa muda dan masa sekolahnya di penjara. Ia adalah salah seorang korban yang kasusnya diadvokasi oleh serikat anggota HAPSARI.
Semangat yang Terpatik
5.
6.
Kupilih Jalanku Semua peran sosial perempuan telah didefenisikan dan dipilihkan oleh masyarakatnya. Perempuan tidak bisa atau tidak boleh menolak. Misalnya, umur 20 tahun harus menikah, mengabdi pada suami, tidak bekerja di luar rumah, dll. Kisah yang banyak dialami oleh anggota organisasi kami ini ingin mengatakan bahwa kaum perempuan berhak memilih sendiri peran sosialnya, termasuk untuk memutuskan sendiri pada umur berapa akan menikah. Bahkan memilih jalan tidak menikah pun adalah hak ketika melihat banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang merupakan perkawinan yang dipilih sendiri, apalagi kalau dipilihkan orang lain. Suara dan Suara Ini adalah sebuah cerita yang berisi pesanpesan dari buruh perkebunan, nelayan, petani, dan para istri yang semuanya adalah anggota serikat perempuan yang mengalami berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga: • Suara Buruh Perkebunan; perempuan yang bekerja sebagai buruh harian lepas yang tidak mendapat fasilitas kerja seperti cuti haid, jaminan kesehatan, gaji yang rendah, dan tidak mendapat jaminan sosial dari perkebunan, nasibnya lebih buruk dibanding buruh tetap (karyawan). • Suara Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga; dampak dari pemutusan hubungan kerja yang membuat banyaknya tekanan, sehingga meningkatkan kasus-kasus kekerasan di dalam rumah tangga. Tanggung jawab suami dibebankan kepada istri dan anak-anak, ini hanyalah salah satu faktor penekan yang mendukung kekerasan di dalam rumah tangga, tetapi sesungguhnya budaya di masyarakat dan sistem yang berjalan turut menyumbang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, budaya dan sistem yang tidak menghargai perempuan.
•
Suara Nelayan; tentang kisah kehidupan para janda nelayan yang suaminya meninggal karena ditabrak pukat harimau. Sulitnya kehidupan nelayan miskin, apalagi janda, membuat seluruh keluarga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, walaupun seharusnya anak-anak usia sekolah tidak boleh bekerja. Kemiskinan yang ditanggung keluarga ini memaksa anak perempuannya kawin pada usia muda.
Dari Panggung ke Panggung
Proses Pembuatan Cerita dan Pemilihan Pemain Semua naskah/cerita diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh anggota organisasi dan sudah disetujui untuk ditampilkan dalam pementasan teater. Cerita-cerita itu dirembuk (dimusyawarahkan) dan disutradarai bersama. Untuk komposisi pemain, para pemeran adalah anggota organisasi bersama masyarakat lainnya dimana teater itu dipentaskan, atau anggota organisasi mitra HAPSARI/SPI yang berminat ikut dalam pementasan. Kami sudah mulai mengumpulkan naskah-naskah tersebut, tapi belum dituliskan. Pemain yang pertama kali ikut dalam pementasan teater adalah para pengurus serikat (SPI) dari Kabupaten Deli Serdang dan staf HAPSARI, yaitu: Riani, Sumiani, Herlina, Suliatik, Sutarmi, Misiyem, Syamsidar Barus, Tukijem dan Siti Hariati. Lalu bergabung pemain SPI Labuhan Batu dan Simalungun. Selanjutnya para pemain dipilih secara sukarela dari anggota-anggota SPI dan warga desa setempat. Semua orang dipersilahkan untuk mengambil perannya masing-masing, sesuai dengan minat atau kemampuannya. Biasanya, semua yang ikut dalam pementasan teater didasari keinginan untuk ikut mementaskan cerita, bukan karena sudah berpengalaman atau pernah ikut berteater sebelumnya. Untuk satu tema yang sama, para pemain bisa berganti-ganti orang, karena semuanya pasti bisa. Cara Mengajarkan Teater Mengajarkan berteater adalah membangun proses 25
Narasi Perempuan
Senang kali aku kumpulkumpul gini, paling nggak, bisalah awak melupakan sejenak persoalan di rumah. ~ Ibu Sarah
Iya, walaupun hidup susah, belum bisa bayar utang, di sini kita bisa ketawa-ketawa.
“Awak lain lagi, kalau ke luar rumah gini, bebas lah sebentar untuk tidak ‘melayani’ suami yang manja. ~ Ibu Painik. 26
musyawarah untuk menyampaikan pesan. Pesannya harus penting dan menarik, penyampai pesan harus sunggungh-sungguh. Pertama, pemain diundang ke kantor SPI dan menginap, dengan isi undangan; untuk pementasan teater. Setelah menjelaskan tujuan pementasan, misalnya dalam rangka peringatan hari besar nasional seperti Hari Kartini, Hari Perempuan Sedunia, atau momentum pilpres, lalu kami menyepakati jadwal latihan, membagi tim untuk urusan bukan-panggung (off stage) seperti: masak, bersih-bersih ruangan, dan menjadi pengelola waktu (time keeper). Untuk kebutuhan proses latihan karena biasanya menginap sampai dua atau tiga hari, masing-masing peserta berbagi untuk membawa bekal dari rumah, ada yang bawa beras, sayur-mayur (daun singkong, kangkung, kacang panjang), cabe, bawang dll. Biasanya dari hasil kebun/lahan sendiri. Kedua, kami membahas apakah ada diantara kami yang mempunyai pengalaman pribadi yang berisi pesan penting untuk disuarakan, dan boleh atau tidak disuarakan. Dari semua pengalaman hidup yang diceritakan, kami memutuskan memilih salah satu diantaranya, atau menggabungkan satu dua cerita untuk dipentaskan. Lalu membuat daftar tokoh yang ada dalam cerita dan memilih orang yang akan memerankan tokoh tersebut. Pemilihan pemain disesuaikan dengan karakter orang, suara, dan mimik wajah sesuai dengan cerita. Pemain yang akan memerankan cerita harus benar-benar hafal dengan isi cerita tersebut, walaupun naskahnya belum ada. Aku seringkali memerankan jadi lakilaki dan kejam, karena karakter, suara dan mimik wajahku konon sesuai dengan hal itu. Ketiga, memulai latihan sambil membayangkan bagaimana setting panggung untuk pementasan. Dalam setiap proses latihan, banyak celetukan penting dari ibu-ibu, misalnya; • “Senang kali aku kumpul-kumpul gini, paling nggak, bisalah awak melupakan sejenak persoalan di rumah,” komentar bu Sarah. • “Iya, walaupun hidup susah, belum bisa bayar utang, di sini kita bisa ketawa-ketawa,” sambung yang lain. • “Aku, kalau di rumah, untuk bayar uang sekolah anak-anak, bapaknya anak-anak selalu
Semangat yang Terpatik
•
menyuruh awak cari pinjaman kemana-mana, awak juga yang mikirkan bayar utangnya,” komentar bu Nur. “Awak lain lagi, kalau ke luar rumah gini, bebas lah sebentar untuk tidak ‘melayani’ suami yang manja,” sambung bu Painik.
Begitulah yang terjadi di sela-sela istirahat latihan, peserta saling berbagi perasaannya dan saling menguatkan. Kadang kala di tengah latihan ada peserta yang ditelepon keluarga dan harus pulang terlebih dulu untuk menyelesaikan persoalan di rumahnya, lalu balik lagi ke tempat latihan. Bahkan walau sudah disepakati menginap, ada peserta yang tidak bisa. Kalau sudah begitu, mau tidak mau peserta lain harus ada yang menggantikan dan melakukan peran ganda untuk teman yang tidak bisa menginap. Tapi, kebersamaan dan semangat yang terbangun untuk menyuarakan persoalanpersoalan perempuan agar tersampaikan pada semua penonton, membuat Tim Teater ini tetap kompak. Bagi kami yang notabene adalah ibu-ibu desa seperti aku yang hanya tamat SD, berteater jauh lebih mudah untuk bersuara menyampaikan persoalan-persoalan perempuan, ketimbang diungkapkan dalam sebuah tulisan. Apalagi kalau harus berceramah seperti seorang narasumber di depan kelas latihan. Kami juga mampu mengalahkan rasa grogi dan rasa takut. Hampir semua teman-temanku yang sudah ikut main teater mengatakan hal yang sama, melalui bermain peran dalam teater, menyuarakan suara hati akan lebih mudah, lebih bebas, tidak takut salah, serta mudah dipahami oleh semua kalangan masyarakat.
Proses latihan ini dipimpin oleh koordinator teater. Selama empat tahun belakangan ada dua orang yang menjadi koordinator teater yaitu aku dan Ibu Sumiani yang sudah meninggal dunia tahun lalu karena sakit. Ia pemain dan koordinator yang sangat baik menjalankan tugasnya di SPI. Bagi kami, teater adalam media pemihakan bagi kepentingan kaum perempuan dan berfungsi, sebagai: (1) media pendidikan, untuk penyadaran dan penguatan; (2) media untuk berlatih berbicara di depan orang banyak; (3) menguji keberanian atau menumbuhkan percaya diri; (4) media informasi kepada masyarakat tentang adanya persoalan kekerasan dan ketidakadilan yang dialami perempuan serta menggalang dukungan; (5) promosi keberadaan organisasi perempuan. Saat ini kami telah memproduksi dua buah cerita dalam bentuk CD dengan judul “Suara dan Suara” serta “Wajah Perempuan”. Dampak dari teater Sebenarnya dampak paling nyata dari bermain teater adalah bagi para pemain teater itu sendiri. Dengan bermain teater, kami (kaum perempuan desa) mempunyai keberanian dan keterampilan berbicara, terutama dalam menyampaikan persoalan dan gagasan-gagasan berorganisasi. Karena teater melatih diri kami untuk secara jelas menyampaikan apa isi pesan dari sebuah pertunjukan. Teater juga mengajarkan bagaimana caranya agar berani tampil tapi tidak sombong. Dalam setiap kali pementasan teater, penonton umumnya tergugah dan berempati dengan isi cerita. Pernah dalam pementasan dengan judul Suara Janda Nelayan, hampir semua penonton di desa nelayan itu menyampaikan kemarahannya dan mendukung perjuangan kaum nelayan
Dengan bermain teater, kami (kaum perempuan desa) mempunyai keberanian dan keterampilan berbicara, terutama dalam menyampaikan persoalan dan gagasan-gagasan berorganisasi. Karena teater melatih diri kami untuk secara jelas menyampaikan apa isi pesan dari sebuah pertunjukan. Teater juga mengajarkan bagaimana caranya agar berani tampil tapi tidak sombong. 27
Narasi Perempuan
dalam menghapuskan pukat harimau yang telah memakan begitu banyak korban, juga pada waktu mementaskan cerita tentang kondisi buruh perkebunan di desa yang penduduknya banyak bekerja sebagai buruh harian lepas. Menjadi panggung demokrasi Upaya memecah kebisuan perempuan berhasil dilakukan, karena dalam konteks ini, teater bukan semata seni pertunjukan (pementasan) melainkan sebagai “panggung demokrasi� yang kami pilih. Semua orang memiliki kebebasan berekspresi dengan tetap menghormati kebebasan orang lain, dan tetap menjaga keutuhan sebuah pesan yang ingin disampaikan. Teater adalah komunikasi, ketika suara-suara yang kami sampaikan melalui saluran resmi demokrasi semisal pemilihan umum, pemilihan kepala desa, hingga demonstrasi dengan aksi massa tidak menghasilkan dukungan kebijakan untuk upaya kami memperjuangkan hak-hak perempuan. Telah banyak pesan-pesan kemanusian kami sampaikan melalui pementasan teater dengan mengangkat kasus yang benar-benar terjadi dan dialami oleh anggota HAPSARI. Dari kegiatan pementasan teater ini, aku bersama ibu-ibu lainnya semakin banyak mengenal orang. Tempat Pementasan
Selain ibu-ibu dari Serikat anggota HAPSARI, kami juga mengenal mitra HAPSARI, mulai dari kalangan aparat pemerintah baik tingkat desa, kecamatan, kabupaten sampai provinsi dan juga bisa berkunjung ke berbagai daerah. Setelah penyelenggaraan Lokakarya Teater sebagai Media Pendidikan, aku mulai sering ikut diberbagai pementasan, baik di kampung-kampung basis anggota HAPSARI, acara-acara seminar di hotel, gedung pertunjukan, sampai di arena kampus. Aku tidak lagi “hanya menjadi pengasuh anak� dalam kegiatan-kegiatan organisasi. Aku memiliki catatan 23 tempat pementasan dimana kami melakukan 29 kali pementasan dengan berbagai tema tentang pengabaian hak dan kekerasan terhadap perempuan. Berikut ini catatanku: Tahun 1997, pasca konflik di tanah Poso, aku mendapat penugasan dari HAPSARI membantu Kak Lena Simanjuntak menyiapkan pementasan teater perempuan di Sulawesi Tengah. Di sini sudah ada cikal bakal kelompok perempuan anggota HAPSARI, namanya Serikat Perempuan Tana Poso (Sepenatap). Aku ditugaskan mengajak ibu-ibu korban konflik Poso menyiapkan dan membuat pementasan teater, untuk menyuarakan persoalan perempuan berdasarkan pengalaman/kejadian Jumlah
Tema/Judul Pementasan
1.
Gedung CADIKA Lubuk Pakam
2 kali pementasan
Suara dan Suara, Mimpi Sukesi
2.
Wisma Juang Perbaungan
1 kali pementasan
Kugapai Jalanku
3.
Pendopo USU Medan
2 kali pementasan
Kupilih Jalanku, Suara Buruh Perkebunan
4.
Hotel Sahid Medan
3 kali pementasan
Dimana Keadilan, Perempuan Bersatu, Suara dan Suara
5.
Desa Pegajahan, Perbaungan
1 kali pementasan
Menggapai Matahari
6.
Desa Tumpatan, Beringin
1 kali pementasan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
7.
Desa Tewan, Teluk Mengkudu
1 kali pementasan
Suara Perempuan Nelayan
8.
Desa Bogak Besar, Teluk Mengkudu
1 kali pementasan
Suara Perempuan Nelayan
9.
Hotel Polonia Medan
1 kali pementasan
Suara Perempuan Nelayan
10. Teater Utan Kayu Jakarta
3 kali pementasan
Suara dan Suara
11. Jaringan Kerja Budaya
1 kali pementasan
Suara dan Suara
12. Institut Kesenian Jakarta
1 kali pementasan
Suara dan Suara
13. Desa Kampung Baru (Kapuk) Jakarta
1 kali pementasan
Suara dan Suara
14. Taman Budaya Medan
1 kali pementasan
Suara dan Suara
15. Desa Sukasari, Perbaungan
1 kali pementasan
Suara Buruh Perkebunan
28
Semangat yang Terpatik Tempat Pementasan
Jumlah
Tema/Judul Pementasan
16. Desa Lestari, Perbaungan
1 kali pementasan
Suara Buruh Perkebunan
17. Hotel Polonia Medan
1 kali pementasan
Kita dan Pilpres
18. Hotel Asean Medan
1 kali pementasan
Pelecehan Siswi
19. Simpang Majestik Medan
1 kali pementasan
Pelecehan Siswi
20. Lubuk Pakam
1 kali pementasan
Pelecehan Siswi
21. Desa Bengkel, Perbaungan
1 kali pementasan
Bang Sareng (KDRT)
22. Halaman Kantor Bupati Sergai
1 kali pementasan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
23. Desa Bingkat, Pegajahan
1 kali pementasan
Wajah Perempuan
yang mereka alami pada masa konflik dan pasca konflik. Dibutuhkan waktu sekitar dua bulan, mengikuti irama dan waktu yang dimiliki ibu-ibu, akhirnya kami bersama ibu-ibu anggota Sepenatap berhasil mengadakan pementasan di Kota Palu. Kami meyakini bahwa teater juga dapat menjadi media pemulihan atau penyembuhan trauma pasca konflik. Ini pengalaman luar biasa bagiku, dipercaya mengembangkan teater untuk kaum perempuan di wilayah konflik. Tahun 2008, aku diutus HAPSARI menghadiri undangan dari Teater Satu KaLa Sumatera di Lampung, untuk belajar sejarah teater dan keterampilan panggung/sadar panggung, serta membuat naskah teater. Aku mendapat kesempatan untuk belajat dan mendalami duania teater, khususnya teater perempuan. Bicara tentang teater dan advokasi itu panjang. Banyak kejadian-kejadian yang mengiringi dan menjadi bagian dari proses advokasi itu sendiri. Karena selain perempuan/ibu-ibu yang menjadi tujuan untuk diajak, pihak keluarga (suami, orang tua/ mertua) kadang juga harus ikut diajak untuk terlibat dalam suatu kegiatan, bahkan mungkin diberi ruang untuk itu. Dari pengalaman berbicara melalui teater, aku mulai terbiasa untuk bicara dengan orang lain, sekalipun itu dengan orang-orang penting, misalnya anggota dewan, walau keterampilan berkomunikasi tidak hanya melalui teater saja. Pendidikan dan latihan yang diselenggarakan oleh HAPSARI telah menggembleng setiap individu menjadi berani berbicara untuk menyampaikan persolanpersolannya.
Dicalonkan menjadi Kades Kegiatanku membangun kelompok-kelompok perempuan desa terus aku tekuni. Mengajak mereka membuat kegiatan yang bisa mengakses danadana dari program pemerintah untuk peningkatan ekonomi. Syukurnya pemerintah setempat mulai peduli terhadap keberadaan kelompok-kelompok yang aku bangun. Ada dua puluh kelompok perempuan yang menjadi anggota Serikat Perempuan Independen (SPI) Serdang Bedagai dan lima kelompok diantaranya telah mendapat dana Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), melalui SPP tersebut ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok bisa membangun unit-unit usaha masing-masing, ada yang buka kios jajanan, ternak bebek, dan lainnya. Ini bukan tentang “pinjaman dan jumlah pinjaman yang diterima”. Bagiku poin pentingnya adalah tentang diakuinya keberadaan kelompok-kelompok perempuan akar rumput oleh program pembangunan yang dijalankan pemerintah. Kalau dulu pada awal berorganisasi aku banyak ditertawakan, atau paling tidak dianggap “aneh”, terutama oleh kalangan keluargaku sendiri karena bukan orang sekolahan tetapi berani-beraninya mengajak perempuan desa berorganisasi. Sekarang, seiring dengan berjalannya waktu dan perkembanganku, kegiatanku telah dipahami, baik oleh keluargaku, mapun masyarakatku. Mereka bilang, aku ‘orang organisasi’. Mereka juga bilang, aku “pintar” karena berorganisasi. Pernah suatu waktu aku dipanggil oleh salah seorang tokoh masyarakat di desaku, yaitu Bapak 29
Narasi Perempuan
© HAPSARI
Kalau dulu pada awal berorganisasi aku banyak ditertawakan, atau paling tidak dianggap ‘aneh’, terutama oleh kalangan keluargaku sendiri karena bukan orang sekolahan tetapi berani-beraninya mengajak perempuan desa berorganisasi. Sekarang, seiring dengan berjalannya waktu dan perkembanganku, kegiatanku telah dipahami, baik oleh keluargaku, mapun masyarakatku. Mereka bilang, aku ‘orang organisasi’. Mereka juga bilang, aku ‘pintar’ karena berorganisasi.
30
Semangat yang Terpatik
Manulang. Aku diajak berkumpul dan berdiskusi membicarakan tentang pencalonan Kepala Desa, karena masa jabatan Kepala Desa saat itu akan berakhir. Aku bersama beberapa tokoh masyarakat dan perangkat desa berkumpul di rumah Pak Rebin di Dusun 1 Sukaraja, Desa Pondok Tengah. Ada sekitar lima belas orang yang sudah berkumpul di sana. Beberapa nama yang kuingat turut hadir pada malam itu adalah; Bapak Manulang, Ridwan/ Mardagul (anggota LKMD), Amat, Iwan, Subandi, Ris dan Pak Rebin sendiri sebagai tuan rumah. Semuanya adalah tokoh-tokoh masyarakat di desaku. Seingatku, baru kali ini tokoh masyarakat mengundangku, untuk membahas satu topik sepenting itu; rencana pencalonan Kepala Desa baru. Terkejut juga, cuma aku sendiri perempuan di situ, terkejut kok aku diundang juga. Diskusi dibuka oleh Pak Manulang, “Kita mulai saja diskusi ini, supaya langsung pada pokok pembicaraan. Jadi Riani, maksud dan tujuan kami mengundangmu adalah kami berencana untuk mencalonkankan dirimu jadi Kades, karena kami lihat dirimu cukup punya potensi dan kami lihat kamu juga aktif di beberapa kegiatan, bagaimana menurutmu usul kami ini?” Deg! Aku kaget. Sama sekali tidak menyangka bahwa calon kepala desa yang mereka siapkan adalah aku. Melihat mereka begitu berharap, aku harus segera menjelaskan bahwa aku tidak mungkin dapat mengikuti pencalonan itu.
lain, juga seorang perempuan yang pendidikannya tamat SMA, namanya Tarmini. Tetapi mereka meragukan apakah ia mau, sebab selama ini jarang keluar rumah dan punya kesibukan berjualan di warungnya. “Kita membutuhkan perempuan yang pikirannya maju dan bersedia memajukan desa ini,” kata salah seorang diantara mereka. Aku ingat, ketika peristiwa ini kusampaikan kepada Bu Lely di HAPSARI, dia juga terdiam sejenak, mengepalkan tangannya dan memukul meja, lalu berkata, “Sayang sekali sodara-sodara,” dan kami berdua tertawa. Meski banyak kalangan dari warga desaku yang mulai mendukung kegiatanku berorganisasi, tapi masih ada yang tidak mendukung, terutama Kepala Desa yang sekarang ini dan beberapa Kaurnya (Kepala Urusan). Kalau ada musyawarah atau rapat desa, aku tidak diundang, karena mereka pikir aku akan meributkan kinerja mereka. Aku berharap agar setiap perempuan punya kesempatan berbicara dan mengembangkan potensi yang dimilikinya, baik di rumah, di desa dan di lingkungan masyarakatnya. Aku juga sedang memikirkan cara dan waktu terbaik untuk mengajak mereka main teater dan melihat perubahan apa yang akan terjadi nanti. ***
“Ini kepercayaan yang sangat besar dan penghargaan yang terlalu tinggi buat saya,” jawabku, menarik nafas panjang dan melanjutkan, “tapi saya tidak menerimanya, bukan karena tidak mau bapak-bapak, karena saya hanya tamatan SD, itupun kejar paket A. Untuk jadi kepala desa minimal harus tamat SMP,” sambungku sambil tertawa pahit. Seketika semua mata melihat ke arahku dan tak satu suara pun merespon kalimat yang kusampaikan pada detik itu. Kupandangi satu per satu wajah-wajah yang sedang berkumpul, sambil terus menunggu respon mereka. Aku lihat ada rasa kecewa, dari cara mereka menarik nafas. Aku mengusulkan calon
31
Narasi Perempuan
Menjaga Hapsari dari Udara Siti Khadijah
Š Feri Latief/USAID Program Representasi 32
Menjaga Hapsari dari Udara
33
Narasi Perempuan
H
ari Senin, sudah jam sepuluh tepat. Ini merupakan hari dan jam yang ditunggutunggu karena sudah saatnya NgoPi. Eh, tunggu dulu, NgoPi kali ini bukan ngopi seperti ngopi biasa, tetapi NgoPi yang saya maksud adalah salah satu mata acara yang disiarkan di Radio Tuah Suara Murni (TSM AM), yaitu “Ngobrol Pagi Ini�. Acara NgoPi merupakan satu mata acara dimana perempuan desa yang tidak punya pengalaman apa-apa tentang siaran radio, dapat berbagi cerita lewat siaran langsung di radio atau melalui telepon.
Selama ini perempuan menjadi warga kelas dua dalam hal mengakses informasi. Namun kini perempuan boleh bangga karena HAPSARI sudah memberikan ruang informasi yang sangat luas kepada kaum perempuan, dengan mendirikan Radio Komunitas HAPSARI_fm.
Waktu tampil perdana hampir semua narasumber merasakan yang namanya takut, gemetaran, dan grogi. Kalau sudah begitu keluarlah jurus rayuan maut dari mulut saya. Saya bilang saja ke narasumber, “Buat apa takut, grogi, tidak ada yang lihat kok, cuma ada saya dan ibu saja,� kata saya menyemangati sang narasumber yang dari kalangan perempuan desa biasa, ibu rumah tangga atau anak gadis yang memang tak biasa bicara di depan umum, apalagi di radio. Tapi biasanya setelah acara dimulai dan ditanyai oleh pendengar, mereka mulai santai dan tampil maksimal. Pendengar kamipun menikmati acara yang kami sajikan, karena memang segmen pendengar radio kami adalah perempuan. Semua acara yang kami sajikan menambah wawasan buat pendengar kami. Segmen perempuan dipilih karena semua radio yang bersiaran di sekitar Kota Medan tidak ada yang fokus terhadap pendengar dan isu perempuan. *** Nama saya Siti Khadijah, punya suami dan satu anak yang masih berusia tiga tahun. Saya anak kedelapan dari sembilan bersaudara. Di lingkungan keluarga, saya biasa di panggil Ijah. Sejak kecil kami dibiasakan untuk mandiri oleh keluarga, karena kami berasal dari keluarga yang kurang mampu. Saya masih ingat saat duduk di sekolah dasar, kami sering berjalan kaki dari rumah ke sekolah yang berjarak lebih kurang 10 kilometer, karena sepeda kami satu-satunya dipakai untuk keperluan yang lain. Ketika bersekolah di Madrasah Tsanawiyah, saya dibiayai oleh kakak nomor empat. Kakak saya harus
34
Menjaga Hapsari dari Udara
membiayai sekolah saya karena kondisi orang tua yang sudah tidak mampu lagi menyekolahkan saya. Bukan hal yang mudah bagi kakak saya untuk menyekolahkan saya, untuk membayar SPP saja sering menunggak, sampai pernah suatu kali saya mendapat jaminan dari kakak, baru saya bisa menerima rapor. Akhirnya dengan perjuangan yang teramat sulit saya berhasil menamatkan sekolah di Tsanawiyah. Setelah tamat, saya melanjutkan sekolah ke Madrasah Aliyah Swasta di Rambong Sialang Estate, lokasinya di sebelah desa tempat tinggal saya. Sambil sekolah, saya menjadi guru di Sanggar Belajar Anak (setingkat Taman Kanak-kanak). Ini adalah sekolah yang dibangun oleh kakak saya bersama kelompoknya, HAPSARI. Hanya itu yang saya tahu tentang HAPSARI, kelompok perempuan yang mendirikan TK dan setiap satu bulan sekali mengumpulkan ibu-ibu para orang tua murid untuk berdiskusi masalah sekolah dan masalah-masalah lain yang dihadapi oleh perempuan di desa. Saat itu honor saya sebagai guru TK hanya sebesar sepuluh ribu rupiah, tetapi dengan honor tersebut saya bisa membayar SPP, karena pada waktu itu SPP sekolah saya hanya enam ribu rupiah. Sisanya buat jajan di sekolah. Tahun 1997, saya menamatkan Aliyah. Dari hasil diskusi dengan kakak yang nomor empat, akhirnya saya dikuliahkan di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Medan, mengambil jurusan Sastra Inggris, alasannya, karena kebetulan di organisasi non-pemerintah (Ornop) tempat kakak saya bekerja belum memiliki staf yang menguasai Bahasa Inggris dan ke depan dengan memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang baik, akan terbuka peluang pekerjaan yang bagus, begitu pendapat kakak waktu itu. Tahun 1998 sambil kuliah saya menjadi pengajar bidang studi Bahasa Inggris di sekolah Madrasah Tsnawiyah dan Madrasah Aliyah di Desa Bingkat, bersebelahan dengan desa tempat saya tinggal. Selain menjadi guru dan kuliah, saya juga membantu kakak menjadi penerjemah untuk HAPSARI. Empat tahun kemudian saya menamatkan kuliah dan tetap menjadi pengajar di sekolah tersebut. Tahun 2004, saya meninggalkan sekolah dan memutuskan menjadi penyiar di Radio TSM AM
Lubuk Pakam. Ini adalah radio siaran swasta yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh HAPSARI, dan sebagian besar mata acaranya adalah untuk perempuan. Tepat jam 09.00 WIB, saya berangkat ke Lubuk Pakam membawa surat lamaran, jam 10.30 WIB saya sampai di kantor dan studio radio tersebut. Suasana studio masih sepi, pekarangan radio yang luas membuat suasana semakin hening. Hanya sesekali terdengar suara laju mobil dan sepeda motor di seberang halaman yang merupakan jalan utama. Saya memarkirkan sepeda motor. “Assalamualaikum,” saya mengetuk pintu studio. “Wa’alaikumsalam, masuklah,” Kak Yanti, penyiar senior yang juga Kepala Studio waktu mengajak saya masuk. Sekarang beliau sudah meninggal dunia. “Mana surat lamaranmu, nanti kuberi tahu apa saja tugasmu,” Kak Yanti berjalan ke arah saya mengambil berkas yang saya sodorkan. Setelah itu Kak Yanti mengajak saya masuk ke dalam melihat ruangan untuk saya. “Ini ruang kerjamu, kau sudah bisa bekerja sekarang,” kata Kak Yanti sambil mengambil sebuah buku besar berwarna hijau. “Pelajari ini, kalau sudah mengerti, buka komputer warna putih yang dekat telpon, di situ ada berkas untuk dikerjakan”, lanjut Kak Yanti sambil berlalu dari ruangan. Tiga bulan pertama saya menjabat sebagai staf administrasi, kemudian dipindahtugaskan menjadi penyiar. Saya memperhatikan bagaimana di setiap mata acara selalu diselipkan pesan-pesan untuk perempuan desa, untuk berani bicara dan membahas masalah-masalah kehidupan perempuan. Ini pertama kali saya terlibat dengan “kepentingan” HAPSARI, karena saya selalu mengarsip dokumen-dokumen dari HAPSARI yang harus disiarkan, direkam, lalu diserahkan ke HAPSARI sebagai laporan. Setiap satu minggu sekali saya menelpon Nining, staf HAPSARI yang bertanggungjawab terhadap materi siaran, 35
Narasi Perempuan
terutama untuk menjadi narasumber acara-acara HAPSARI. Setelah satu tahun menjadi penyiar, saya diutus untuk mengikuti sekolah penyiaran di School Broadcast Media (SBM) di Jakarta, untuk pelatihan Jurnalisme Radio. SBM adalah sebuah lembaga yang bertujuan meningkatkan keterampilan praktisi media penyiaran di Indonesia dengan memberikan pelatihan bagi para pekerja penyiaran, praktisi pemula dan para jurnalis yang tengah berkarir. Suatu pengalaman yang sangat luar biasa bagi saya. Ini untuk pertama kalinya saya ke Jakarta dan naik pesawat, dibiayai oleh perusahaan. Selama satu bulan saya mengikuti sekolah media ini dengan metode balajar pada diskusi, praktek langsung, belajar di kelas dan pendekatan mentoring. Saya belajar jurnalisme radio mulai dari memahami karakteristik radio, pengenalan studio dan Master Control Room (MCR), membuat berita, hingga teknik presentasi. Pelajaran baru yang tidak saya dapat disekolah dulu, karena memang saya tidak bersekolah jurusan media dan penyiaran. Setelah mengikuti pendidikan di SBM Jakarta, saya diangkat menjadi Direktur Radio TSM, sebuah jabatan yang membanggakan, meski gajinya tak seberapa. Di lingkungan kawan-kawan radio, saya terlihat hebat, masih muda sudah menjadi direktur radio komersil, bahkan di saya juga dipuji di lingkungan sekitar saya tinggal. Menurut mereka saya hebat, karena bekerja di tempat yang bagus, tidak terkena panas dan tidak capek, dibanding dengan kebanyakan perempuan seusia saya di lingkungan saya tinggal yang kebanyakan bekerja sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) di perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta (PT. London Sumatera) di Rambong Sialang Estate. Bahkan di rumah, saya menjadi anak kesayangan abah saya. *** Karena saat itu saham radio TSM setengahnya milik HAPSARI, program siarannya memang banyak mempromosikan visi dan misi HAPSARI. Semua acara dirancang dengan melihat kebutuhan program HAPSARI. HAPSARI memang sangat gigih 36
dalam upaya mendobrak kebisuan perempuan melalui berbagai metode dan media, termasuk radio. Hal ini tak lepas dari pengaruh Kak Lely yang mempunyai mimpi sangat kuat untuk memiliki radio dari, oleh dan untuk perempuan. Tahun 2000, Kak Lely pernah mendapat penghargaan dari Ashoka International sebagai fellow, dengan gagasan inovatif melakukan pengorganisasian dan pendidikan untuk perempuan akar rumput melalui siaran radio. Sertifikat penghargaan itu digantungkan di dinding studio, setelah radio TSM menjadi Komunitas HAPSARI_fm. Dan, radio TSM ini adalah salah satu radio yang digunakan untuk pengorganisasian perempuan melalui programprogram HAPSARI. Ada acara HAPSARI yang sangat disukai oleh pendengar, baik perempuan maupun laki-laki. Nama acaranya “BERANDA” atau “Berani Bicara Beda” yang disiarkan setiap hari Senin, Rabu dan Jum’at pada jam 14.00 – 16.00 WIB. Mengapa diberi nama seperti itu? Salah satu alasannya adalah dalam acara ini semua hal yang selama ini dianggap tabu dibicarakan dalam masyarakat atau dalam keluarga, malah menjadi bahan diskusi yang menarik dan seru dalam siaran, seperti masalah politik dan seksual. Selama ini kata politik identik dengan orangorang kelas atas, partai politik dianggap kotor dan dianggap bukan urusan kaum perempuan. Atau kata seks yang juga pantang disebut, apalagi jika di hadapan anak muda, karena kata seks dianggap identik dengan hubungan badan, padahal kata seksual bukan hanya bermakna itu. Acara Beranda diisi dengan membaca naskah yang dibuat oleh staf HAPSARI sebagai pengantar, lalu diajukan pertanyaan sebagai kuis dan disediakan hadiah, untuk tiga komentar terbaik menurut tim HAPSARI yang memonitor acara ini. Hadiahnya bermacammacam, biasanya terdiri dari uang dan suvenir yang berisi produk-produk organisasi seperti buku-buku, pin, stiker, t-shirt, dll. Para pendengar sangat senang menerima hadiah-hadiah ini, karena suvenir itu khas, tidak dijual di toko-toko. Contoh materi yang menjadi pertanyaan untuk kuis Beranda adalah: Pendengar, Selama ini hampir semua perempuan mempunyai tugas utama mengurus rumah tangga, itulah
Menjaga Hapsari dari Udara
kodratnya. Karena ia harus menjadi istri bagi suaminya, dan menjadi ibu bagai anak-anaknya. Tapi, ada pandangan bahwa itu bukan kodrat, karena kodrat adalah sesuatu yang sudah “terbawa” dalam diri manusia, sejak ia lahir dan tidak bisa diubah. Mengalami haid, bisa hamil dan melahirkan, itu yang kodrat. Selebihnya, hanyalah “menurut pandangan masyarakat, atau menurut perempuan itu sendiri”. Dan, hal itu bisa diubah. Jadi... bukan Kodrat! • Nah, bagaimana pendapat Anda? • Silahkan berkomentar, kami tunggu tanggapan Anda, sekarang. Ada yang setuju, ada yang tidak ada yang sampai marah-marah dengan tema yang dibahas. Dan justru di situlah serunya acara ini, aku senang membawakannya, juga penyiar-penyiar yang lain. Acara ini juga cukup mendulang kesuksesan, hal ini dibuktikan dengan banyaknya partisipasi pendengar dalam acara kuis yang selalu direspon lebih kurang 30 penelepon dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Selain Beranda, untuk menyebarluaskan informasi dengan format ngobrol santai bersama satu atau dua orang narasumber adalah Ngobrol Pagi Ini (NgoPI). Narasumber acara ini berasal dari serikat anggota HAPSARI, membahas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak perempuan, seperti gender, kesehatan reproduksi, pengalaman perempuan berpolitik dan lain-lain. Pada momen-momen tertentu, biasanya kami memanggil narasumber ahli untuk membahas masalah secara mendalam, biasanya yang hadir adalah para pimpinan serikat anggota HAPSARI. Acara ini menjadi ruang bagi perempuan untuk bicara. Selain ada narasumber yang secara langsung menceritakan pengalamannya di radio, acara ini juga menerima surat-surat yang dikirim oleh pendengar perempuan dan membacakannya. Menurut saya, acara ini sangat menarik. Pada suatu hari dalam acara NgoPI seorang penelepon menceritakan peristiwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialaminya, berupa penelantaran dan pemukulan yang dilakukan oleh suaminya. Kasus ini diawali dari perjodohan yang
dilakukan padanya, oleh orangtuanya. Sayangnya, ia tidak mendapatkan jodoh yang baik, suaminya suka memukul dan berselingkuh dengan perempuan lain, kemudian ia ditelantarkan. Kisahnya sangat menyakitkan dan pilu. Kami yang bersiaran pada hari itu sampai tak sanggup mendengar cerita yang disampaikannya hampir satu jam, penuh derai air mata. Di akhir kisah itu ia katakan bahwa ia akhirnya memilih meninggalkan desanya, untuk bebas dari penyiksaan suaminya yang kejam dan merajut kehidupan baru. Kisah pilu ini sangat menggugah hati para pendengar. Beberapa orang pendengar datang ke studio ingin tahu siapa pemilik kisah pedih itu dan bagaimana dapat memberikan bantuan. Ada yang menawarkan untuk melaporkan kasus itu ke polisi dan membawa ke pengadilan, ada juga yang ingin memberikan dana solidaritas. Pesan solidaritas itu kami siarkan di radio, karena kami tidak memiliki identitas penelpon itu yang sebenarnya. Akhirnya, setelah pesan solidaritas disiarkan, kami mengetahui siapa perempuan yang menceritakan kisah tersebut, karena dia datang menemui kami di studio. Ia mengenalkan dirinya sebagai Ibu J. Dari program NgoPI ini, HAPSARI sudah pernah menerbitkan buku kumpulan cerita pengalaman perempuan yang diberi judul “Jejak NgoPI” dan kisah Ibu J ada di sini. *** Setiap akhir tahun di bulan Desember, radio membuat acara Lomba Cerita Pengalaman yang yang disiarkan secara on air. Saya langsung teringat kepada Ibu J yang pernah menelpon dan menceritakan pengalamannya beberapa waktu lalu di radio. Saya bersama Kak Yanti waktu itu, memutuskan menjumpai Ibu J dipajak (istilah untuk menyebut pasar, di sini) tempatnya berjualan. Kami bertegur sapa saling bertanya kabar masingmasing. Lalu saya dan Kak Yanti menyampaikan informasi tentang lomba cerita pengalaman itu dan mengajaknya mengisi acara. Awalnya ibu J menolak, ia malu menceritakan kisahnya dan takut kalau sampai didengarkan oleh suaminya yang sekarang ini entah dimana. Saya berusaha membujuk dan mengeluarkan jurus rayuan pulau kelapa.
37
Narasi Perempuan
“Bu, kisah ibu itu penting didengarkan banyak orang, kaum perempuan. Supaya kalau ada yang punya pengalaman serupa dapat pembelajaran, agar lebih kuat seperti ibu. Dan, kalau ada laki-laki yang mendengarkan, supaya jangan bertindak kejam kepada istrinya. Suami ibu tidak akan tahu karena ibu akan menggunakan inisial, atau nama nama samaran,� begitu cara saya membujuk. “Ya sudah mbak, saya bersedia, tapi nama saya disingkat saja, J. Terus kalau ada yang tanya jangan diberi tahu lho, siapa dan dimana saya. Janji ya,� pinta ibu J sambil membereskan dagangannya. Kami senang sekali dan siap memenuhi janjinya. Ketika acara lomba cerita pengalaman dilaksanakan, ibu J datang bersama anak bungsunya. Selama satu jam, kisah pilu ibu J kembali berkumandang di udara. Ia menceritakan sambil berurai air mata, tapi tampak tabah dan kuat. Saya yang duduk di sebelah mendampinginya, terdiam membisu, badan ini seperti beku, membayangkan sebuah gambar bagaimana seorang perempuan dipukul, ditendang, sementara dalam perutnya ada seorang bayi berumur enam bulan. Selangkangannya yang berdarah tak membuat laki-laki yang seperti kerasukan setan itu berhenti menyiksanya, dan laki-laki itu adalah suaminya! Ya Tuhan... saya meneteskan air mata. Para pendengar acara ini tampaknya juga ikut perih mendengar cerita Ibu J. Ketika ada telepon yang masuk, si penelpon tidak dapat mengatakan apa-apa, hanya terdengar isak tangisnya. Satu minggu setelah acara itu, HAPSARI berniat melakukan advokasi terhadap ibu J dan mengajak saya menemui ibu J. Tetapi rumahnya kosong. Menurut tetangganya ibu J sudah pindah entah kemana, dan sejak saat itu kami kehilangan kontak dengannya.. *** HAPSARI juga membuat iklan layanan masyarakat yang disiarkan di radio. Pada tahun 2000-an, lebih dari 10 stasiun radio pernah menyiarkan iklan layanan masyarakat yang dibuat HAPSARI. Iklan 38
terakhir yang disiarkan HAPSARI adalah tentang keterwakilan perempuan dalam parlemen. Iklan layanan masyarakat ini mendapat respon yang luas. Ada ratusan surat yang masuk mengomentari iklan layanan masyarakat yang diputar di radio. Selain itu, HAPSARI juga mengundang pendengar radio untuk hadir di acara workshop media yang dibuat oleh HAPSARI. Jadi HAPSARI menjadikan radio sebagai tempat untuk menyampaikan visi dan misinya, selain itu radio juga sebagai salah satu tempat untuk kopi darat, bertujuan mengajak orang kenal dan bergabung dengan HAPSARI. Sebagai direktur saya harus mengikuti berbagai kegiatan yang dilakukan oleh HAPSARI seperti: pelatihan kader kepemimpinan, pelatihan gender, dan pelatihan lain yang dibuat oleh HAPSARI yang bertujuan memperkuat pemahaman paradigma gerakan yang dibangun HAPSARI. Konsekuensinya, saya harus meninggalkan siaran dan itu memang menjadi risiko pekerjaan. Biasanya, ada penyiar lain, teman-teman dari HAPSARI yang ditugaskan menggantikan saya siaran tanpa dibayar. Komunitas di udara: rakom HAPSARI_fm Sebagai radio yang bersiaran di daerah, kami mengalami banyak masalah seperti yang juga dialami oleh radio-radio lain yang ada di Kota Medan. Akhirnya para praktisi penyiaran yang ada di Medan memutuskan untuk membentuk sebuah komite, sehingga ada wadah bagi radio kecil untuk berbagi, dan saya selaku Direktur Radio menjabat sebagai Divisi Informasi. Selain bermitra dengan radio yang ada di wilyah Sumatera Utara, Radio TSM AM juga berjaringan dengan mitra lain di Jakarta seperti Radio 68H Jakarta, VOA (Voice of America), Radio Net, dll. Hasil dari berjaringan ini, kami selalu mendapat undangan mengikuti berbagai macam seminar dan lokakarya yang dibuat oleh mitra radio. Banyak manfaat yang didapatkan dalam berjejaring ini. Selain kami bisa me-relay siaran dari Jakarta, kami juga mendapat sharing iklan. Selain itu, ketika radio di Jakarta maupun di Medan akan membuat acara off air di Lubuk Pakam, maka secara otomatis radio kami mendapat kepercayaan menjadi panitia lokal. Banyak undangan seminar dan lokakarya
Menjaga Hapsari dari Udara
yang kami hadiri, mulai dari kota Jakarta, Surabaya, Bandung, Padang, dll. Tetapi pada bulan Maret 2009, pemilik Radio TSM AM memutuskan menutup siaran radio tersebut, karena tren pendengar sudah beralih ke frekuensi FM, sehingga radio AM tidak diminati banyak pendengar lagi, tarif iklan rendah dan pemasang iklan juga kurang berminat. Di tahun dan bulan yang sama, HAPSARI menarik sahamnya dari Radio TSM AM dan memutuskan untuk mendirikan sebuah radio siaran FM. Namun karena sudah tidak ada lagi frekuensi FM untuk radio komersil, akhirnya HAPSARI memutuskan mendirikan radio komunitas (rakom). Walaupun radio baru, tapi peralatan yang digunakan merupakan peralatan lama warisan radio TSM AM. HAPSARI hanya membeli exiter dan antena saja. Dengan bahu membahu, penyiar yang dulu bekerja di radio TSM AM mengumpulkan KTP dan tandatangan 250 orang sebagai syarat mendirikan rakom. Saya diangkat sebagai penanggungjawab dan saya kembali harus mengurus perizinan radio HAPSARI_fm. Ini kali ke dua saya mengurus izin radio, sehingga saya tidak menemukan kesulitan yang berarti. Saya harus datang ke Dinas Perindustrian untuk meminta surat izin gangguan dan harus bolak balik ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk mengurus izin siaran radio. Setelah selesai secara administrasi, KPI selaku lembaga yang memberi izin penyiaran melakukan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dan melakukan Rapat Forum Bersama, lalu keluarlah surat izin siaran uji coba untuk radio HAPSARI_fm. Untuk mendapatkan izin tetap, radio HAPSARI_fm harus melakukan sertifikasi perangkat yang digunakan. Karena radio HAPSARI menggunakan perangkat rakitan, maka kami harus mengurus izin tersebut ke Balai Sertifikasi di Jakarta. Bermodalkan nomor telepon yang kami dapat dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) di Medan saya mencoba menghubungi Balai Sertifikasi. Dari pembicaraan via telepon kami sepakat membayar pelayanan berdasarkan peraturan perjalanan dinas, yaitu: 1. Kami menanggung ongkos pesawat pulang pergi untuk tim sertifikasi, dengan catatan
2. 3. 4.
harus dengan pesawat Garuda. Mereka berangkat dua orang. Penginapan di hotel bintang lima. Transport lokal 300.000 per orang per hari. Menyediakan penjemputan dari hotel ke lokasi radio.
Karena waktu itu, ada dua radio yang ingin mengurus izin sertifikasi perangkat radio, yaitu HAPSARI_fm dan Radio Anugrah, maka kami menyanggupi syarat yang diajukan tim sertifikasi. Tapi sebelum tim sertifikasi datang ke tempat kami, kami harus membayar biaya sertifikasi tahap pertama sebesar Rp 6.000.000. Radio HAPSARI_fm dan radio Anugrah FM mentransfer biaya tersebut ke Balai Uji, setelah itu kami mendapat SP2 (Surat Pengunjukan Perangkat). Namun sayang, sampai radio ditutup tim penguji belum kunjung datang, sehingga Radio HAPSARI_fm masuk dalam kategeori Rakom tanpa izin. Karena izin belum selesai, berkalikali kami didatangi oleh Tim Monitor Gabungan dari Dinas Informasi dan Komunikasi, Polisi Daerah, dan Dinas Perhubungan (Infokom, Polda, Dishub) untuk mengecek sampai dimana pengurusan izin radio, dan karena mereka sudah kenal baik dengan saya pemeriksaan ini tidak sampai mengakibatkan kami kena sanksi, hanya peringatan saja. Selama ini saya selalu berkoordinasi dengan Infokom tentang masalah perizinan radio yang masih tersangkut di Balai Sertifikasi Jakarta. Radio HAPSARI_fm mulai mengudara dari pukul 07.00 sampai 17.00 WIB. Kesetiaan pendengar radio HAPSARI_fm merupakan nilai tersendiri dimata kami. Beberapa kali grup band besar dari Jakarta datang ke Radio HAPSARI_fm. Pihak manajemen band merasa puas, karena pendengar radio HAPSARI_fm datang meramaikan acara tersebut. Begitu juga jika ada acara lain, mereka pasti akan datang. Banyak fans radio yang menganggap penyiar sebagai saudara sendiri, jika mereka datang ke radio pasti selalu membawa oleh-oleh khusus buat penyiar idola mereka. Apapun yang mereka punya pasti diantar ke studio. Jika kita membutuhkan bantuan kita tinggal menelepon mereka dan mereka pasti akan 39
Narasi Perempuan
membantu, sampai saya sendiripun punya orang tua angkat yang menganggap saya sebagai anaknya. Perhatian orang tua angkat saya sangat luar biasa, hampir setiap hari bertanya, apakah saya membawa bekal atau tidak, selalu mengingatkan untuk makan siang, dan jika saya dikirim pesan tidak menjawab pasti saya diisikan pulsa, karena menganggap saya kehabisan pulsa. Perhatian seperti ini tidak hanya diberikan kepada saya tetapi untuk semua penyiar radio HAPSARI_fm. Perhatian mereka sangat luar biasa buat kami, para penyiar di radio HAPSARI_fm. Kami menjadi bangga dan bersemangat. Sebuah Radio Dimatikan Ketika sebuah keputusan sudah dijatuhkan, mau atau tidak mau sebagai pelaksana harus mematuhi keputusan itu, apapun keputusannya. Pada tanggal 6 Juni 2014 sekitar jam 12.15 WIB, di tengah acara Bolywood, telepon genggam saya berbunyi. Sambil siaran, saya lihat si pemanggil, wah Kak Lely menelepon, batin saya. Langsung saya putar lagu dan mengangkat telepon dari kak Lely. “Halo, iya Kak, ada apa?” tanya saya.
Kak Lely adalah orang yang lebih perih hatinya. Aku tahu radio adalah dunia dan mimpinya sejak ia masih SMA. Melalui radio sebagian mimpi masa depannya untuk mengorganisir perempuan desa, memberi pencerahan dan mengkader perempuanperempuan desa berhasil ia lakukan. Kami semua para penyiar yang ada di radio HAPSARI tercerahkan melalui acara-acara yang dirancang HAPSARI yang sebagian besar adalah gagasannya. “Apa boleh buat Je, Kakak harus ikhlas,” katanya suatu hari ketika kami bertemu di kantor HAPSARI. Matanya basah. Akhirnya dengan pahit aku mengumumkan kepada pendengar radio, bahwa besok radio HAPSARI_ fm akan ditutup sementara karena ada renovasi gedung. Saya menutup pintu studio ruang siaran, memandangi lama sekali sebelum melangkahkan kaki menuju pulang.
***
“Makasih ya J, bantu Kakak ya,” suara kak Lely diujung sana juga melemah.
Siaran udara radio HAPSARI, baik ketika masih Radio TSM AM maupun setelah rakom HAPSARI_fm telah meninggalkan kesan yang luar biasa. Namun suarasuara pembaca naskah cerita tentang perempuan sudah tidak terdengar lagi. Tidak ada lagi ngobrol dengan narasumber, perempuan desa dengan cerita yang luar biasa. Dan yang paling penting rakom HAPSARI telah menjadi “ruang untuk pembebasan” perempuan dari tekanan psikologis, dan menghibur pendengarnya, ketika mereka sedang beraktifitas di rumah. Acara dangdut merupakan salah satu mata acara yang paling digemari karena hanya rakom HAPSARI saja yang menyiarkan acara dangdut di pagi hari, lagu yang selama ini dianggap untuk kelas bawah. Yah, pendengar rakom HAPSARI memang perempuan akar rumput. Dengan lagu dangdut, HAPSARI_fm semakin digemari kalangan perempuan akar rumput.
Berat sekali saya menerima perintah dari Ketua HAPSARI, untuk mengumumkan bahwa sementara rakom Hapsari_fm ditutup, berat sekali. Sepertinya sebagian dari hidup saya di hilang, ikut diambil dalam keputusan ini. Tapi saya juga tahu kalau
Banyak cerita menarik yang memancing tanggapan penggemar, salah satunya adalah tentang kesetaraan gender. Misalnya ketika talkshow tentang kesetaraan gender, salah seorang pendengar radio menceritakan bahwa suaminya bersedia membantu mengerjakan
Aku terdiam setelah Kak Lely menjelaskan dari seberang telpon. Serrrr... jantungku berdebar, rasanya mau pingsan mendengarnya. Sebenarnya aku sudah menduga cepat atau lambat radio pasti akan ditutup, tapi aku tidak menduga secepat ini. “Halo Je, kenapa kok diam?” tanya Kak Lely membuyarkan lamunan. Dia biasa memanggil saya Ije. “Iya Kak saya mengerti, nanti saya umumkan di radio,” saya menjawab lemah.
40
Menjaga Hapsari dari Udara
pekerjaan rumah tangga. Bagi pendengar lain ini merupakan suatu hal yang lucu, bahkan bisa menjadi bahan olokan ketika bertemu. Namun setelah mendengar talkshow ini, mereka menjadi tahu bahwa memang sudah seharusnya laki-laki sebagai suami membantu istri dan sebaliknya, saling berbagi beban. Beberapa kader muda HAPSARI, berlatih melakukan presentasi dalam pertemuan-pertemuan di komunitasnya, melalui aktifitas menjadi penyiar untuk membacakan naskah-naskah kampanye di radio yang menjadi salah satu program andalan HAPSARI. Namun sayang, cerita tersebut tinggal kenangan. Mulai tahun 2013, kondisi keuangan organisasi HAPSARI tidak lagi cukup untuk memenuhi biaya operasional radio yang cukup besar. Radio komunitas dilarang menyiarkan iklan komersil, sehingga rakom HAPSARI tidak memiliki pendapatan rutin, padahal setiap bulan ada pengeluaran rutin. Selama ini biaya penyiar digaji oleh HAPSARI, biaya operasional diatasi oleh HAPSARI. Tetapi sejak HAPSARI memutuskan agar radio sebagai badan otonom mengupayakan biaya operasional sendiri karena keterbatasan anggaran pendapatan HAPSARI, pihak manajemen radio tidak mampu mengatasinya. Terhitung mulai bulan Agustus 2013 penyiar radio tidak lagi menerima honor, sehingga satu persatu penyiar mengundurkan diri mencari jalan lain. Tinggallah saya dan seorang penyiar lagi yang dulunya kawan Kak Lely, yaitu Mbak Titik yang bertahan. Tapi itu tidak lama, Februari 2014 Mbak Titik juga mengundurkan diri pada saat HAPSARI memutuskan membantu membayar gajinya. Sudah satu bulan radio HAPSARI_fm belum juga bersiaran. Semua fans yang mempunyai nomor telepon genggam saya menanyakan kapan ada rencana siaran lagi, tapi saya tidak bisa memberikan jawaban yang pasti. Tetapi setelah saya berdiskusi dengan Ketua Dewan Pengurus Nasional HAPSARI, akhirnya 6 Juni 2014 radio kembali bersiaran, dibukanya kembali radio membuat saya begitu senang. Sayangnya, kebahagiaan ini tidak berlangsung lama. Tanggal 19 Juli 2014, saya dipanggil lagi oleh Kak Lely ke ruang rapat. Kulihat Kak Lely duduk di depan laptop dengan mata basah.
“Je, cemana menurutmu radio kita ini?” tanya Kak Lely tanpa menoleh. “Kalau saya terserah HAPSARI saja, kalau mau ditutup saja,” jawab saya. “Tiang antena yang tingginya 14 meter itu kondisinya sudah rusak 70 % Je, kalau radio terus berjalan, antena harus diperbaiki. Kalau gak dibetulin, bisa tumbang dan arus listriknya bisa membakar satu RT kita di sini,” kata Kak Lely lagi dan saya tahu hal itu. Antena radio memang sudah harus diganti, diperlukan uang yang tidak kecil. “Ia Kak, kita memang butuh biaya banyak untuk menjalankan radio ini,” jawab saya, dengan detak jantung yang mulai kencang. Tanpa terasa air mata mulai mengalir di pipi saya, sebenarnya saya mencoba tegar, tapi gagal. Saya sudah menduga cepat atau lambat radio pasti ditutup kembali. Saya sendiri sebagai penanggungjawab tidak mampu mengupayakan adanya pemasukan untuk biaya operasional radio, yang ada biaya pengeluaran yang selama ini diatasi oleh HAPSARI. Sementara HAPSARI tidak lagi memiliki alokasi anggaran untuk membiayai program radio, tapi ternyata saya belum ikhlas menerima kenyataan ini. Sebagai radio kecil yang bersiaran di daerah, saya dituntut untuk mencari klien sebanyakbanyaknya. Permasalahan sponsor dan iklan bagi radio menjadi permasalahan utama. Berpuluhpuluh surat penawaran telah saya kirimkan ke biro iklan yang saya tahu, baik di Medan maupun di Jakarta, tapi hasilnya nihil. Biro iklan di Jakarta lebih memilih memasang iklan pada radio di Medan yang siarannya bisa ditangkap di daerah. Begitu juga dengan biro iklan yang ada di Medan, mereka lebih memilih memasang iklan di radio komersil daripada memasang iklan di radio komunitas, yang menurut peraturan, hanya boleh bersiaran dengan menggunakan daya 50 watt saja atau dengan jangkauan 2,5 kilometer dari studio. Pemasukan radio memang tidak mencukupi untuk biaya operasional yang selama ini dibiayai HAPSARI. 41
Narasi Perempuan
Keputusan sudah bulat. Radio ditutup sampai waktu yang tidak ditentukan. Sampai di ruang studio, saya membenamkan wajah ke bantal yang biasa ditiduri Kurnia, anak saya. Saya menangis sekuatnya di situ. Setelah puas menangis saya kembali siaran seperti biasa. Sebelum saya menutup siaran, saya mengumumkan bahwa hari ini merupakan hari terakhir radio HAPSARI_fm mengudara, karena mulai besok radio HAPSARI _fm akan ditutup sampai waktu yang tidak ditentukan. Banyak fans yang bertanya mengapa radio harus ditutup. Supaya aman saya membuat alasan bahwa beberapa hari ini saya akan mengikuti kegiatan HAPSARI. Dan alasan itu cukup jitu, tidak ada satu orang pun yang berani menelepon saya. Tapi itu tidak bertahan lama. Seminggu setelah lebaran, saya menceritakan kondisi radio yang sebenarnya kepada beberapa orang yang dekat dengan saya, sehingga saya tidak perlu menjelaskan kepada semua orang mengapa radio harus tutup dan kecil kemungkinan akan dibuka kembali. Radio HAPSARI_fm sudah ditutup. Saat ini saya memiliki jabatan baru di Divisi Media dan Jaringan yang merupakan program langsung HAPSARI, bukan badan otonom seperti radio dulu. HAPSARI kini memilih melakukan advokasi dengan menggunakan media sosial seperti Facebook dan situs web, selain teater yang sudah menjadi unggulan. Untuk peningkatan kapasitas, HAPSARI membuat program mentoring untuk media sosial, mengundang Kartini Zalukhu dari DiGi Magazine sebagai mentor di kegiatan ini. Tiga hari saya bersama teman-teman dari serikat anggota HAPSARI belajar bagaimana membuat ‘status’ yang baik. Semoga ini menjadi awal yang baik pula buat saya dan kawan-kawan, untuk dapat memanfaatkan media sosial sebagai ajang berbagi informasi dan pengetahuan baru kepada siapa saja di seluruh dunia. Suka atau tidak suka, bisa atau tidak bisa, saya di divisi ini sekarang. Saya tidak mampu lagi menjaga HAPSARI dari udara. ***
42
Menjaga Hapsari dari Udara
Š Josh Estey /USAID Program Representasi 43
Narasi Perempuan
Rumah Kedua Sri Rahayu
Š HAPSARI 44
Rumah Kedua
45
Narasi Perempuan
Aku tidak pernah menyesali diriku yang tidak menjadi PNS sebagaimana cita-citaku dulu karena organisasi adalah rumah keduaku.
A
ku terlahir 36 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 17 Maret 1978 di Sei Putih, sebagai anak ragel dari lima saudara lakilaki dan 1 saudara perempuan. Dari enam saudara hanya aku yang diberi nama oleh mamak, Sri Rahayu, selebihnya bapak yang memberi nama. Aku lulusan Diploma 1 STIE IBBI – Medan jurusan sekretaris. Aku bercita-cita ingin menadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) bekerja di instansi pemerintah. Sungguh membanggakan! Kedua orangtuaku berasal dari Jawa Tengah, pada tahun 1954 pindah ke Sumatera karena kehidupan di Jawa susah secara ekonomi. Setelah tinggal di Sumatera orang tuaku masuk kerja di perkebunan Sei Karang, Kecamatan Galang. Mamak, aku memanggilnya, beliau bekerja sebagai mandor dan bapak sebagai kerani. Secara ekonomi kehidupan keluarga kami bisa dikatakan mapan, mereka mendapatkan fasilitas yang cukup seperti: pengasuh anak, juru masak, pekerja rumah tangga untuk bersih-bersih rumah, dan kebutuhan makanan pokok berupa beras, ikan asin, kacang ijo, sarung, bahan untuk baju, kain batik, minyak goreng, dll. Dengan penghasilan bapak sebagai kerani dan mamak sebagai mandor di perkebunan, setiap bulan menerima catu dan kemudian dikirimkan kepada nenek, mengingat mamak masih memiliki tujuh orang adik yang masih kecil-kecil yang tinggal bersama nenek di Lubuk Pakam. Saat itu yang tertanam dalam benak mamak adalah bagaimana beliau bisa membantu orang tuanya, karena mamak adalah anak paling tua dari delapan bersaudara. Sedangkan nenek harus mengurusi anak-anaknya sendirian, sebab kakek yang pada tahun 1965 menjabat sebagai Kepala Desa Sidourip masuk tahanan, dinyatakan terlibat G30 S (dulu disebut sebagai G30S/PKI). Sehingga walaupun mamak sudah berkeluarga dan mempunyai anak, 46
ia terus berusaha mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan adik-adiknya. Anak-anak diasuh oleh pekerja rumah tangga, jatah dari jabatan sebagai mandor. Bagi mamak, yang penting anak harus disekolahkan, tapi beliau tidak pernah mengarahkan kami, untuk berperilaku seperti apa dan mau jadi apa. Suatu hari, kedua orang tuaku memutuskan pensiun sebelum waktunya tiba, dan mengambil semua uang pensiun yang jumlahnya lumayan besar, istilahnya pensiun borongan. Sebagian uangnya dibelikan tanah untuk membuat rumah sehingga kami kami pindah ke Desa Sidourip, Kecamatan Beringin pada tahun 1985. Pensiun, tidak punya perencanaan yang matang mengakibatkan ekonomi keluarga berubah, kami mulai menata kehidupan dari nol kembali, karena kami tidak tahu pola mencari penghidupan di desa. Kami terbiasa jadi orang yang menerima gaji bulanan. Di saat perekonomian kami memburuk, nenek (yang sekarang sudah meninggal) seolah-olah tidak ingat akan jerih payah mamak yang sudah membantunya ketika masih bekerja sebagai mandor. Hal ini membuat mamak dan bapak tersadar akan masa depan anak-anaknya. Tapi dengan kegigihan kedua orang tua dan abang-abangku, akhirnya dua orang saudaraku menjadi sarjana dan orang tuaku cukup bangga ketika abang nomor dua berhasil menjadi PNS di Dinas Perkebunan Kabupaten Asahan. Sebagai anak perempuan yang paling kecil, aku diminta kakak perempuanku untuk tinggal bersamanya di Galang dan melanjutkan sekolah ke Tsanawiyah Al Wasliyah Galang Kota. Setelah tamat, aku tidak langsung melanjutkan ke jenjang SMA, tetapi selama satu tahun ikut kursus di Kursus Latihan Kerja (KLK), di Desa Bakaran Batu, mengambil jurusan mengetik. Melihat kondisi di kampung dimana banyak perempuan menikah muda, tahun 1993 aku kembali hidup bersama
Rumah Kedua
abang nomor dua di Kisaran untuk melanjutkan sekolah SMEA. Aku masuk ke SMEA Asahan, dengan harapan dapat ikut jejak abangku menjadi PNS. Alhamdulillah, setelah tamat SMEA hati mamak terbuka untuk menguliahkan aku di Medan walaupun kesanggupannya hanya sampai jenjang Diploma 1 (D1). Hidupku yang selalu bergantung kepada saudara-saudaraku, membuat aku tidak berani sendirian mendaftar kuliah di Medan. Diantar oleh abang nomor lima, aku mendaftar masuk di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Institut Bina Bisnis Indonesia (STIE IBBI) Medan. Selama kuliah, aku diantar-jemput di Simpang Sidourip, karena tidak ada angkutan umum masuk ke desa dimana kami tinggal.
*** Di lingkungan keluarga, aku merasa selalu dimanja. Sebelum ‘lima pandawa’ (lima orang abangku) menikah, kemanapun mereka pergi aku selalu dibawa. Jika mereka bekerja di luar kota, pulangnya bawa hadiah, seperti cincin, kalung, dan baju baru. Kalau mamak dan bapak, jarang memberiku baju. Jika membelikanku baju, hanya blus dan rok, mereka tidak pernah membelikanku celana panjang. Bapakku sangat marah kalau melihat anak perempuannya memakai celana panjang karena dianggap ‘saru’, tidak sopan. Yang membuat aku merasa tidak nyaman, aku selalu diejek teman-teman sebayaku dengan sebutan ‘anak pingitan’. Lebih ‘jauhan ayamnya main, daripada yang punya. ”Memang aku ayam?” Tapi aku tidak punya keberanian untuk marah, aku mencoba tersenyum walau hatiku malu dan sakit. Aku yakin, orang tuaku pasti punya alasan dengan segala aturan yang dibuatnya. Suatu hari aku pergi kuliah naik angkot dari Simpang Sidourip ke Olympia, pakaian seragam kuliahku rok mini dan
blazer. Aku duduk di sebelah laki-laki yang lebih dulu naik. Begitu angkot penuh, tiba-tiba lakilaki itu dengan kedua tangannya yang terlipat di dada (bersedekap) ternyata tangan sebelah kanan meraba buah dadaku dari samping. Aku melirik dan memasang muka marah, lelaki itu hanya senyum. Saat itu aku malu dan risih, tapi tidak mempunyai keberanian untuk berteriak agar satu angkot tahu apa yang dilakukan laki-laki itu. Aku menganggap kejadian itu aib jika diceritakan pada orang lain. Sampai sekarang aku masih ingat wajah laki-laki itu. Ketika kejadian itu kuceritakan pada mamak, aku malah dianggap perempuan lemah, karena tidak melawan, “tenaga genjer” kata mamak mengejek. Ketika aku mendengar mamak, bapak mengatakan aku perempuan yang lemah, tidak mempunyai tenaga, aku berpikir memangnya siapa yang mengajarkan aku jadi anak perempuan yang lemah, tidak kuat? Setiap kali aku ingin ikut membantu pekerjaan di sawah, bapak dan mamak melarang. “Di rumah saja, urus rumah, masak, nyuci, kalau di sawah kepanasan, kotor,” katanya. Padahal di tempatku tinggal banyak anak perempuan seusiaku yang ikut orang tuanya ke sawah. Setiap pergi kuliah diantar-jemput, selain karena jauh, orang tuaku mengangggap aku perempuan yang lemah, anak perempuan tidak baik pergi sendirian. Ditambah aturan lainnya: kalau makan tidak boleh berbunyi, tidak boleh pergi main jauh dari rumah atau sampai larut malam, dan sebagainya. Ini membuatku tidak mempunyai banyak teman. Aku juga tidak suka bertetangga dan agak pendiam. Hari-hariku dihabiskan dirumah, membersihkan rumah, dan nonton TV. Padahal dalam hati aku ingin seperti mereka (abangabangku) dan seperti teman-teman seusiaku. Mereka boleh pergi bermain bersama temannya, dan boleh berteman dengan siapa saja. Teman-
Kalau mamak dan bapak membelikanku baju, hanya blus dan rok. Mereka tidak pernah membelikanku celana panjang. Bapakku sangat marah kalau melihat anak perempuannya memakai celana panjang karena dianggap ‘saru’, tidak sopan. 47
Narasi Perempuan
teman di sekitar lingkungan rumahku juga tidak berani bermain ke rumah, apalagi mengajakku bermain yang jauh dari pantauan keluarga. Aku menuruti semua aturan yang dibuat keluargaku, karena tidak mau ribut dan jadi bahan pembahasan ketika keluarga berkumpul. Magang di HAPSARI Setelah menyelesaikan D1, aku kembali dengan kehidupanku sebagaimana dialami oleh anak perempuan lainnya, melakukan rutinitas pekerjaan memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah. Hingga suatu saat mamak masuk menjadi anggota kelompok perempuan di desaku, namanya Kelompok Perjuangan. Kelompok ini didampingi oleh HAPSARI yang ketika masuk ke desaku, masih berbentuk yayasan. Suatu hari mamak menawarkan agar aku menggantikan status keanggotaannya, karena merasa sudah tua dan ada aku yang sudah selesai sekolah tapi tidak ada kegiatan. Tentu saja aku senang, karena dapat jalan untuk keluar rumah dan aku tak pernah membayangkan kalau inilah awal “dunia luar” yang kumasuki selanjutnya, selain dapur – sumur – kasur. Beberapa minggu kemudian aku ditawari menjadi guru pada Sanggar Belajar Anak (SBA) di Desa Sidourip, yang didirikan bersama kelompok Perjuangan dan Yayasan Hapsari. Kelompok Perjuangan diketuai oleh Kak Sutri, ia mengorganisir
perempuan di Desa Sidourip membantu Yayasan Hapsari. Kak Sutri menawarkan aku ikut magang di Yayasan Hapsari yang kantornya saat itu ada di Jl. Pantai Cermin, Kecamatan Perbaungan. Aku merasa bahwa ini adalah waktunya, inilah kesempatanku untuk bisa belajar lagi, dapat banyak teman dan menghilangkan kebosanan di rumah. Selain itu aku ingin mengetahui, seperti apa sebenarnya organisasi perempuan itu. Benar apa yang pernah diceritakan Kak Sutri, bahwa aku akan dapat banyak teman baru, karena peserta magang yang diselenggarakan Yayasan Hapsari ada sembilan orang yang berasal dari beberapa kabupaten: Langkat, Deli Serdang, Labuhanbatu dan Asahan. Semua peserta magang diundang rapat di kantor Yayasan dengan koordinator magang Siti Dahniar dan Syamsidar Barus yang merupakan staf Yayasan Hapsari. Kak Lely, pimpinan di HAPSARI waktu itu mengucapkan selamat datang dan salam kenal kepada kami. Ia menjelaskan bahwa peluang magang dibuka HAPSARI untuk mencari dan menemukan kader-kader baru dan membantu pembentukan kelompok-kelompok perempuan desa di wilayah kerja HAPSARI, juga mitra-mitra Yayasan Hapsari waktu itu seperti: Perbuni, SNSU, WPAP, dan Kekar. Untuk selanjutnya rapat persiapan magang diserahkan kepada koordinator magang, dan diputuskan bahwa program magang ini adalah tiga bulan. Nah, jadilah aku salah seorang peserta magang tersebut.
Aku duduk di sebelah laki-laki yang lebih dulu naik. Begitu angkot penuh, tiba-tiba laki-laki itu bersidekap, melipat kedua tangannya di dada. Tangan sebelah kanan meraba buah dadaku dari samping. Aku melirik dan memasang muka marah, lelaki itu hanya senyum. Saat itu aku malu dan risih, tapi tidak mempunyai keberanian untuk berteriak agar satu angkot tahu apa yang dilakukan laki-laki itu. Aku menganggap kejadian itu aib jika diceritakan pada orang lain. Ketika bercerita kepada mamak, aku malah dianggap perempuan lemah karena tidak melawan. “Tenaga genjer”, kata mamak mengejek. 48
Rumah Kedua
Pada bulan pertama, peserta belajar di HAPSARI membaca buletin, profil organisasi, buku-buku politik, belajar membuat notulensi, membuat amplop coklat yang besar, ikut membantu kerja-kerja staf HAPSARI seperti membuat surat, memasukkan surat ke kantor pos, mendistribusikan bulletin, dan sebagainya. Bulan kedua, peserta magang dibagi beberapa kelompok untuk melakukan Analisa Sosial (Ansos). Saat itu aku satu kelompok dengan Susi yang berasal dari perkebunan Pondok Tengah di Perbaungan. Karena latar belakang keluarga kami dari buruh perkebunan, maka kami ditugaskan untuk membentuk kelompok di wilayah perkebunan di Gohor Lama, Stabat, kabupaten Langkat, membantu pengorganisasian buruh perkebunan (Perbuni) di sana. Dengan selembar kertas yang bertuliskan alamat dan nama salah satu pengurus Perbuni yaitu Bapak Edy Tarigan, kami berangkat naik angkot menuju lokasi penugasan yang berada di kabupaten lain dengan jarak tempuh sekitar 70-an kilo meter, sore itu juga. Koordinator magang tidak memberi waktu kepada kami untuk berangkat besok pagi, semua peserta magang harus berangkat sore ini juga. Akhirnya kami masing-masing mengurus administrasi untuk transportasi dan biaya makan. Saat itu, hati kecilku berkata “Kejam kali, sudah sore tapi kami harus berangkat”. Bagaimana nasib kami nanti kalau kami tidak bisa menemukan alamat rumah Pak Edy tersebut? Kami tidak kenal orangnya, tidak tahu wilayahnya, dan tidak pernah ke sana. Dengan membaca Bismillahirahmanirrahim, kami berdoa dalam hati semoga dimudahkan. Dalam perjalanan, kami selalu mengintip ke luar jendela angkot, takut kalau terlewat, tak bosan-bosannya kami bilang pada sopir angkot, “Jangan terlewat ya bang!” Tepat pukul 18.25 WIB kami sampai di sebuah tempat yang namanya Simpang Gohor Lama, ternyata kami masih harus melanjutkan perjalanan dengan ojek. Senang, karena Pak Edy ternyata adalah orang yang dikenal di perkebunan itu, karena beliau adalah seorang wartawan di salah satu media cetak lokal. Tapi mengingat kembali jarak yang sudah kami tempuh naik ojek ternyata sudah menghabiskan waktu satu jam lebih masuk
Suatu hari mamak menawarkan agar aku menggantikan status keanggotaannya, karena merasa sudah tua dan ada aku yang sudah selesai sekolah tapi tidak ada kegiatan. Tentu saja aku senang, karena dapat jalan untuk keluar rumah. Dan aku tak pernah membayangkan kalau inilah awal “dunia luar” yang kumasuki selanjutnya, selain dapur – sumur – kasur. 49
Narasi Perempuan
ke wilayah perkebunan, sementara hari sudah hampir gelap dan kami belum juga sampai, aku jadi takut. Khawatir, bagaimana kalau kami diantar bukan ke rumah Pak Edy, tapi malah diantar jauh entah kemana, apa yang terjadi? Aku tak kenal wilayah ini. Ketika aku tanya kepada Susi apakah dia baik-baik aja? Susi bilang dia takut sekali dan meminta agar satu ojek berboncengan dua orang, aku dan dia. Kami tanya pada tukang ojek, bisa gak kalau satu ojek penumpangnya berdua. Tukang ojek bilang tidak bisa, walaupun ojeknya satu, bayarnya tetap dua. Lagi pula jalannya jelek, susah kalau membawa tiga orang di satu motor. Tidak ada pilihan lain, kami naik ojek sendiri-sendiri dan kami sepakat mengambil batu kerikil yang ada disekitar kami untuk dimasukan dalam tas. Jika para tukang ojek itu macam-macam, kami akan lempar batu-batu itu ke muka mereka. Akhirnya kami sampai juga di depan rumah Pak Edy, kami turun dan bertanya kepada seorang perempuan yang belum begitu tua, ternyata perempuan itu adalah istri Pak Edy. Beliau bertanya kami siapa, darimana dan mau apa. Dia bilang Pak Edy belum pulang. Setelah mendengar pernyataan Pak Edy belum pulang, kami kembali cemas, bagaimana menjelaskan keberadaan kami? Akhirnya, dengan perasaan bingung kami menjelaskan pelan-pelan, bahwa kami dari Yayasan Hapsari di Perbaungan, kami sedang magang dan mendapatkan tugas untuk menemui Pak Edy Tarigan yang pengurus Perbuni. Istri Pak Edy bertanya lagi apa itu HAPSARI? Kami jelaskan lagi, “HAPSARI adalah sebuah organisasi perempuan yang menjadi mitra Perbuni tempat bapak kerja, Bu. Dan kami ditugaskan membentuk kelompok perempuan di desa ini, tapi untuk tugas-tugas selanjutnya nanti Pak Edy yang akan mengaturnya,” Akhirnya kam pun dipersilahkan masuk rumah Pak Edy. Menjelang malam kami mendengar suara motor berhenti tepat di depan pintu rumah Pak Edy, dan terdengar ucapan “Assalamu’alaikum.” “Wa’allaikum salam,” aku yang menjawab. Seorang laki-laki bertubuh tinggi, agak tua, tegap, memakai topi 50
masuk ke dalam rumah. Aku berpikir apakah ini Pak Edy? Saat aku mau bertanya, ternyata istri Pak Edy mengatakan ini yang namanya Pak Edy Tarigan. Pak Edy beserta istri dan dua orang anaknya pun tertawa. Sementara aku dan Susi masih bingung kenapa mereka tertawa, apakah kami lucu atau salah rumah? Saat itu pula Pak Edy mengatakan pada kami selamat datang di rumahnya yang kecil, dan berharap agar kami menganggap rumahnya seperti rumah kami sendiri, jangan malu-malu. Alhamdulillah, begitu baik keluarga ini. Kami baru sadar bahwa kami dikerjai oleh mereka, karena keluarga Pak Edy ternyata sudah tahu tentang kedatangan kami dan kami disambut dengan sangat baik. Malam itu juga kami bercengkerama dengan keluarga Pak Edy. Ada banyak cerita tentang bagaimana kehidupan di desa perkebunan itu: apa saja masalahmasalah utama yang dihadapi masyarakat di perkebunan; siapa orang-orang yang berpengaruh; siapa orang yang memiliki banyak waktu; selain bekerja di perkebunan apakah mereka punya penghasilan lain; tingkat pendidikan masyarakatnya; dan sebagainya. Ini menjadi bahan awal kami untuk melakukan kunjungan dari rumah ke rumah. Tidak terbayangkan aku yang biasa dimanja di rumah, kini harus belajar hidup dengan kebiasaan lain, di antaranya dengan cara hidup keluarga Pak Edy. Air dalam lubang yang semula aku pikir adalah comberan, ternyata ditimba untuk mandi, itulah air mandiku. Juga jamban/kakus yang tidak berdinding, aku harus nongkrong di situ kalau mau buang air besar. Setiap sore aku ikut berjualan monja (pakaian bekas) bersama anak perempuan tertua Pak Edy. Pelajaran hidup yang sangat berharga dan tidak mudah. Untuk menjalani ini semua, ibarat pepatah yang mengatakan “Hargailah dirimu sebelum menghargai orang lain”. Butuh proses untuk bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan dimana kita tinggal tanpa ada perkataan yang dapat menyinggung perasaan orang lain, aku belajar bersama masyarakat Gohor Lama untuk lebih mengenal arti hidup. Ternyata sesusah-susahnya keluargaku, masih ada yang lebih susah lagi, lebih menyedihkan lagi di sini.
Rumah Kedua
Tiga minggu kami tinggal di Gohor Lama, terbentuklah dua kelompok perempuan di dusun yang berbeda. Susi, teman satu kelompokku sakit dan bidan setempat mengatakan Susi terkena gejala tipus. Hujan setiap hari tak henti-henti membuat Susi semakin parah, kasur yang kami gunakan sebagai selimut tidak mampu lagi mengurangi rasa dingin yang ia rasakan. Hingga akhirnya kami berdua memutuskan pulang ke rumah kami masing-masing dengan seizin keluarga Pak Edy. Dua hari setelah kami pulang, banjir melanda kota Stabat, Langkat dan sekitarnya, termasuk Desa Gohor Lama yang kami datangi, disebabkan benteng Sungai Stabat tidak mampu lagi menahan air. Saat itu koordinator magang, Syamsidar berkunjung ke Desa Gohor Lama untuk melihat keadaan kami. Keluarga Pak Edy sudah mengungsi ke gudang perkebunan Gohor Lama, sehingga Syamsidar tidak berhasil menemuinya. Dengan kondisi yang demikian, koordinator magang menjadi panik, karena tidak berhasil menemukan keluarga Pak Edy dan tidak menemukan kami. Ia terus berusaha mencari keberadaan keluarga Pak Edy, untuk mendapatkan kabar tentang kami. Nah, kecewa dan marah Syamsidar ketika mengetahui bahwa kami berdua sudah pulang dan tidak melakukan koordinasi. Akhirnya Kak Sutri pun menemuiku di rumah, dan setelah mendengar ceritaku, dia menyuruhku datang ke HAPSARI dan minta maaf kepada Syamsidar dan Kak Lely Zailani. Keesokan harinya aku datang ke HAPSARI, tapi tidak ada Syamsidar karena sakit. Aku menemui Kak Lely yang menerimaku dengan wajah cuek. Aku menyampaikan permintaan maaf, menceritakan kejadian yang kami alami, aku pasrah apakah Kak Lely mendengarkan atau tidak, terlebih lagi memaafkan. Intinya aku sudah meminta maaf dan aku sadar bahwa kami berdua melakukan kesalahan. Aku merasakan dia marah dan kecewa denganku. Bulan ketiga peserta magang berkumpul lagi di HAPSARI, kami menerima tugas berikutnya yaitu: 1. Tinggal di rumah anggota dampingan Yayasan HAPSARI, belajar untuk beradaptasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya,
2. 3. 4.
Menjadi guru bantu untuk Sanggar Belajar Anak (SBA) dampingan Yayasan HAPSARI, Membuat dan mengisi pertemuan-pertemuan kelompok perempuan di desa-desa, Tinggal dan belajar di kantor mitra HAPSARI: WPAP, SNSU, Perbuni, Kekar.
Proses magang selama tiga bulan akhirnya selesai. Kami semua berkumpul lagi di kantor Yayasan Hapsari. Kami saling melampiaskan rasa kangen antara satu dengan lainnya. Tiga bulan telah kami lalui dengan cerita-cerita pengalaman yang berbeda dan catatan kami masing-masing soal kelemahan dan kekuatannya. Kami ditempatkan di organisasi HAPSARI dan mitranya sesuai dengan sektor dan latar belakang dimana kami tinggal. Tiga bulan magang telah menjadikan kami mempunyai ikatan emosional yang kuat, yaitu persaudaraan, kepedulian dan kebersamaan. Ini membuat kami saling merindukan satu dengan yang lain untuk berbagi cerita pengalaman organisasi dimana kami ditempatkan. Akhirnya kami ditetapkan sebagai kader HAPSARI. Iriyanti ditempatkan di SNSU, Endang ditempatkan di Perbuni, Seni dan Saumi ditempatkan di SPI Labuhanbatu, Susi ditempatkan di kantor Yayasan Hapsari, dan aku ditempatkan di kantor organisasi Pusat Informasi dan Komunikasi Perempuan (PIKP), yang pada saat itu satu kantor dengan Serikat Perempuan Independen (SPI) Sumut. Organisasi ini juga didirikan oleh HAPSARI. Sebagai kader HAPSARI, kami mempunyai tanggung jawab untuk membantu kerja-kerja kelompok yang tergabung dalam satu organisasi untuk mempersiapkan deklarasi berdirinya Serikat Perempuan Independen (SPI) Sumatera Utara di halaman kantor Gubernur, pada bulan Oktober 1999. Semua kelompok yang kami bentuk dalam proses kami menjalankan tugas magang, diundang dan hadir dalam deklarasi tersebut. Seiring berjalannya waktu, setelah kurang lebih 1 tahun aku aktif berorganisasi, aku semakin yakin dan mantap untuk menjadikan organisasi perempuan rumah keduaku, tempat aku belajar, berkembang, dan semakin dewasa dalam 51
Narasi Perempuan
Kalau jadi pengurus, selalu harus pergi meninggalkan rumah dalam beberapa hari, untuk kegiatan organisasi. Kendalanya, tidak bisa nginap beberapa hari.
Saya merasa bodoh, tidak sekolah, tidak bisa ngetik. Jadi pengurus kan harus menulis surat-surat dan membuat laporan.
mengambil keputusan untuk bertindak. Begitu pula dengan kedua orang tuaku yang selalu mendukung aku. Dengan berorganisasi aku menghargai diriku dan mendapat penghargaan dari orang-orang yang dulu aku anggap hebat misalnya PNS, atau orangorang di instansi pemerintahan. Ternyata mereka tidak jauh bedanya dengan masyarakat biasa, yang membedakan hanyalah karena memiliki uang pensiun di masa tua. Mempersiapkan Kongres SPI Deli Serdang Sudah tiba waktunya melakukan pergantian pengurus SPI Deli Serdang periode 2009-2011, tetapi belum juga terlihat kaderisasi di SPI. Tidak ada yang siap dan mau menjadi pengurus berikutnya. Ini terlihat dalam proses rapat persiapan Kongres ke-V yang dihadiri tujuh orang pengurus SPI tingkat kabupaten, lima orang SPI tingkat kecamatan dan enam orang SPI tingkat desa. Waktu itu rapat difasilitasi oleh Ibu Riani dan Kak Lubis yang merupakan Dewan Pengurus Nasional HAPSARI. Ibu Riani berkata, “Untuk menumbuhkan kepemimpinan perempuan di SPI Deli Serdang, harus segera kongres dan HAPSARI akan memfasilitasinya. Calon-calon anggota harus disahkan melalui kongres ini. Berapa orang yang siap menjadi pengurus?” tanya Bu Riani. “Yang siap, tunjuk tangan!” pinta kak Lubis Lubis kemudian. Ternyata yang tunjuk tangan hanya tujuh orang, dan mereka semuanya adalah pengurus yang lama. Kak Lubis menghampiri Mbak Mami, pengurus SPI Kecamatan Galang. “Kenapa kakak gak tunjuk tangan?” tanyanya. “Sebenarnya kakak mau tunjuk tangan, tapi apa bisa aku mengerjakan tugas organisasi?”
Di rumah sebagai pencari nafkah, harus fokus pada pekerjaan, kurang cukup waktu untuk aktif di organisasi. 52
“Bah, kenapa pula nggak bisa? kita semua yang ada di HAPSARI, SPI, SPPN belajarnya ya di organisasi, semua mulai dari gak bisa, dan nanti semua berproses bersama, gitu kak,” bujuk kak Lubis dengan suara keras. “Nanti lah kakak pikir-pikir dulu ya!” jawab Mbak Mami.
Rumah Kedua
“Kita di organisasi sudah belajar bagaimana menjadi pemimpin, artinya kita harus belajar juga untuk mengambil keputusan kak, begitu seorang pemimpin.”
•
• “Saya tahu, karena di rumah tangga, kita perempuan kan juga seperti itu. Kakak belum bisa, karena masih banyak yang harus kakak biayai, organisasi kan gak menjanjikan uang.” “Nah, gitulah kak jangan ragu mengambil keputusan. Tapi memang dalam hal ekonomi, organisasi belum bisa menjamin, kak. Makasih ya kak.” Tiba-tiba ada suara yang lembut keibuan bertanya, “Kenapa dengan ibu-ibu di luar pengurus lama, tidak ada yang mau menjadi pengurus SPI Deli Serdang? Apakah ibu-ibu bosan dengan SPI? Ibu-ibu tidak usah takut dan ragu untuk mengungkapkan apa yang ibu rasakan ketika berorganisasi, karena ini akan menjadi masukan untuk perbaikan kita ke depan. Saya mau bilang bahwa ibu-ibu yang ada di sini semua sudah masuk pada katagori kader organisasi level B di HAPSARI. Artinya apa, HAPSARI dan SPI berpikir ibu-ibu adalah orang yang lulus seleksi untuk masuk jenjang kader pada level A; menjadi pengurus tingkat kabupaten. Ibu-ibu sudah terbukti mampu menjalankan tugas membangun strukutur SPI mulai tingkat desa hingga kecamatan. Tapi saya melihat ada keraguan ibu-ibu untuk menjadi pengurus SPI. Ada apa ini sebenarnya?” tanya Ibu Farida, Ketua SPI Deli Serdang dalam kepengurusan periode sebelum ini. Semua terdiam beberapa saat. Aku memandang berkeliling, beberapa tersenyum kecut, ada juga yang geleng-geleng kepala. Setelah Bu Riani dan Kak Lubis menanyakan lebih jauh, ternyata mereka yang menolak untuk jadi pengurus SPI di tingkat kabupaten, dikarenakan beberapa alasan yang mereka kemukakan, yaitu: • Kalau jadi pengurus, selalu harus pergi meninggalkan rumah dalam beberapa hari, untuk kegiatan organisasi. Kendalanya, tidak bisa nginap beberapa hari. • Merasa bodoh, tidak sekolah, tidak bisa ngetik, sebab pengurus kan harus menulis surat-surat dan membuat laporan.
Di rumah sebagai pencari nafkah, harus fokus pada pekerjaan, kurang cukup waktu untuk aktif di organisasi. Ada juga yang tidak bersedia jadi pengurus karena ada rencana pindah ke Aceh.
Bu Farida melanjutkan, “Saya juga seperti ibu-ibu semua, tidak pintar juga, kalau mengetik buat laporan pelan-pelan, dibilang orang sudah tua kurang kerjaan, tapi saya senang di SPI. Kalau tidak bisa mengetik nanti ada yang mengajari, nggak bisa buat laporan nanti kita tulis aja di buku biasa, apa yang sudah kita kerjakan di lapangan, misalnya pertemuan rutin buat notulensi tulis aja di buku kita, nanti kita bisa minta bantu Sri, Ayu, Rahmawati, Juwariah yang bisa mengetikkan. Jadi pengurus SPI ini kerjanya gotong royong Bu, karena kita semua punya kekurangan dan kelebihan masing-masing,” Bu Farida dengan sabar dan tenang menceritakan pengalamannya selama ini menjadi pengurus dan menjadi Kktua SPI Deli Serdang. Aku menguatkan apa yang disampaikan oleh Bu Farida tadi. Selama ini pengurus saling mengisi kekurangan masing-masing. Kita berbagi peran, siapa yang mengurusi lapangan atau menghadiri pertemuan rutin buat notulensi, mengambil foto diskusi, menjalankan daftar hadir dalam pertemuan dan siapa yang mengurusi sekretariat yang berhubungan dengan surat-menyurat, mengarsip, mengetik notulensi, membuat kartu anggota, mendokumentasikan foto-foto kegiatan, membuat laporan, membersihkan sekretariat. Nah, untuk bersih-bersih kantor secara keseluruhan setiap hari Sabtu semua pengurus gotong royong. Untuk menghadiri undangan dari jaringan atau mitra dilihat dari kesiapan masing-masing pengurus. Jadi tidak ada kerjaan yang berat di SPI Deli Serdang. Aku berusaha terus meyakinkan meraka. Dari peristiwa rapat hari itu, kami menemukan pembelajaran bahwa untuk menjadi perempuan pemimpin di SPI, kami berbeda dengan organisasi lain, misalnya LSM perempuan, atau organisasi perempuan semacam Dharma Wanita. Dimana orang-orang yang menjadi pengurusnya dengan latar belakang pendidikan formal yang memadai, 53
Narasi Perempuan
setidaknya tamat SLA. Kami di SPI, baik anggota maupun pengurus latar belakang pendidikan formal rendah, karena banyak yang putus sekolah. Walaupun begitu, satu dua orang ada juga anggota kami yang sarjana, dan lebih 30 orang dari 100 orang tamat SLA. Tetapi dengan berorganisasi kami belajar banyak dan mendapatkan pengetahuan yang tidak kalah dengan anak-anak yang duduk dibangku sekolah, bahkan mereka yang kuliah. “Gini lho bu, kalau di SPI itu latar belakang pendidikan formal tidak begitu penting, justru di SPI inilah kita belajar,” kata Bu Jumsiah, bendahara kami dengan gayanya yang lugu sambil mencoret-coret buku yang ada di depannya. “Bahkan di SPI inilah aku jadi tahu politik, yang dulu katanya politik itu kejam ternyata memang kejam bu, contohnya kalau mau pemilihan DPRD banyak orang yang datang ke kampung kita, minta dukungan. Terus kalau mereka sudah menang bu, mereka tidak ingat kita lagi pada kita. Mereka hanya ingat partainya. Sudah begitu, kita datang mau audensi aja, uuh, susahnya minta ampun. Itulah kejamnya politik!” lanjut Jumsiah. Kongres V SPI Deli Serdang Melalui Kongres ke-V SPI Deli Serdang, aku terpilih menjadi ketua untuk periode 2012 – 2015 dan aku harus banyak belajar, karena diantara 9 pengurus aku orang ke-2 termuda. Itu sudah merupakan penghargaan dan kepercayaan dari seluruh anggota SPI Deli Serdang yang saat ini ada di tujuh kecamatan di Kabupaten Deli Serdang. Kepercayaan ini harus kurawat, dengan menjadikan SPI lebih maju dan berkembang. Ikatan yang kami bangun adalah persaudaraan, kepedulian dan kesetiakawanan sesama perempuan, komunikasi untuk saling terbuka dan berbagi informasi membuat orang senantiasa ingat dan sayang dengan kita. Silahturahmi, jiwa sosial, salah satu media melakukan pendekatan dengan ibu-ibu di luar anggota SPI Deli Serdang. Setelah terpilih menjadi ketua SPI Deli Serdang, ada perlakuan yang berbeda dari pemerintahan Desa Sidourip, desa dimana aku tinggal. Aku selalu 54
diundang dalam rapat musyawarah desa, tetapi tidak pernah diundang atau mendapatkan informasi ketika di desa ada pemilihan kepengurusan misalnya: BPD, LKMD, PKK. Untuk itu melalui Ibu Era Permatasari yang merupakan mantan Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Deli Serdang, aku mengatakan, ingin masuk PKK Desa saja sulit, entah kenapa. Ibu Era mempertemukan aku dengan istri Camat Beringin dan sekretaris PKK Kecamatan Beringin, hingga akhirnya aku masuk dalam kepengurusan PKK Kecamatan Beringin sebagai Sekretaris untuk Pokja 1, dan diminta untuk mendampingi Sosialisasi Kegiatan Pokja 1 soal Kadarkum: KDRT dan Trafficking untuk Kecamatan Beringin, hingga sekarang. Pengorganisasian SPI Desa dan SPI Kecamatan Dari tujuh kecamatan di mana SPI Deli Serdang melakukan pengorganisasian dan pendampingan, kehidupan masyarakat di wilayah ini sangat beragam. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh harian lepas yang tidak memiliki kepastian akan keberlangsungan pekerjaan mereka. Sebagian yang lain adalah buruh tani yang mengandalkan pekerjaan saat musim menanam padi, pedagang sayur, tukang becak, dan juga pekerja rumah tangga di sekitar kampungnya. Rata-rata penghasilan mereka Rp 500.000 sampai Rp 800.000 per bulan dan harus menghidupi 4 sampai 7 orang per keluarga. Penghasilan yang hanya cukup untuk kebutuhan sandang dan pangan (beras, lauk pauk, sayuran mayur) seharihari. Terkadang untuk biaya pendidikan anak dan kesehatan anggota keluarga mereka masih harus meminjam ketetangga dan nanti setelah mendapat pekerjaan baru dibayar. Kalau tetangga juga tidak ada, biasanya mereka meminjam ke bakri (rentenir) dengan bunga yang sangat tinggi, tetapi tidak ada pilihan lain, mereka terpaksa tetap meminjam. Banyak manfaat yang dirasakan sebagai anggota SPI, melalui berbagai pendidikan yang dilaksanakan, seperti pendidikan gender, keorganisasian, kepemimpinan, manajemen usaha, manajemen keuangan, keterampilan mengolah tanah berpasir agar dapat ditanami sayuran, kesehatan reproduksi, hingga konseling bagi korban kekerasan terhadap
Rumah Kedua
perempuan dan anak. Kami menjadi perempuan akar rumput yang memberdayakan diri kami sendiri, berkreatifitas sesuai dengan kemampuan yang kami miliki, sehingga terjadi perubahan cara berpikir dalam diri kami, untuk berelasi dengan suami, anak, keluarga, dan masyarakat. Tidak jarang kami, para perempuan yang sudah mendapatkan pendidikan di HAPSARI dan SPI Deli Serdang lebih dihargai dimata masyarakat karena dianggap orang yang mampu memberikan informasi dan pelayanan bagi masyarakat yang tidak mendapatkan haknya. Contohnya soal pembagian beras miskin (raskin) yang banyak salah sasaran, orang yang tidak berhak malah mendapatkan. Tapi dengan perubahan cara berpikir ini, anggota Serikat HAPSARI yang sudah mendapatkan pengetahuan akan haknya sebagai warga, mereka berani datang ke kantor desa dan bertanya, “Kenapa masyarakat yang memang miskin tidak mendapatkan beras raskin yang menjadi haknya, apakah bapak mau kami laporkan?� Dengan tindakan seperti itu pemerintah desa biasanya langsung memberikan beras raskin kepada yang berhak. Serikat perempuan anggota HAPSARI terdiri dari perempuan-perempuan yang jauh dari akses informasi, minim tingkat pendidikannya, sehingga sebelum berorganisasi kami sering dipandang sebelah mata, dianggap remeh. Dengan menjadi anggota serikat kami pernah menerima program Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos), program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang selama ini jangankan mengakses, mengetahui informasinya saja tidak. Ibu Mariyati yang juga merupakan Dewan Pengurus Serikat (DPS) SPI periode 20122015. Pekerjaannya pedagang, naik sepeda motor keliling ke beberapa desa dari pagi hingga malam, berjualan pakaian yang diangsurkan atau dibayar kontan. Beliau adalah perempuan pencari nafkah yang gigih karena kondisi suaminya sakit-sakitan, ia bertukar peran dengan suaminya, pekerjaan rumah dilakukan sepenuhnya oleh suaminya. Prinsip yang dimiliki Bu Maryati adalah ketika melangkah, kemanapun harus menghasilkan uang. Kami mencoba membantunya agar sebagai pengurus mendapatkan hak untuk meningkatkan kapasitas
kepemimpinannya dan menambah pemahamannya berorganisasi. Kami yakin dia punya komitmen dan tanggungjawab sebagai pengurus. Tidak mudah memang, mengajak orang yang dibenaknya sudah terpatri dalam uang dan uang. Tapi kami tidak putus asa untuk merangkulnya sebagai pengurus SPI tingkat kabupaten. Organisasi SPI membantunya mengatasi masalah perekonomiannya, tapi juga harus bisa membebaskan dirinya dari persoalan rumah tangganya. Tidak hanya sebagai pencari nafkah tanpa ada kejelasan untuk bertambah maju usahanya, SPI membantu meningkatkan kapasitasnya, mendapatkan haknya untuk belajar menambah pengetahuan dan mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan pendapatannya. SPI memberikan pendidikan keterampilan pembuatan sabun detergen cair. Produk ini diolah bersama oleh SPI Desa Tumpatan yang dikoordinir dan dipasarkan Maryati setiap hari. Setiap keuntungan dari produk yang terjual, SPI Deli Serdang mendapatkan keuntungan Rp 500 per botol. Dengan demikian, kami mempunyai ikatan tidak hanya sebagai pengurus tapi juga ikatan bisnis. Bu Maryati juga merencanakan pengembangan usaha pembuatan sabun cair cuci piring, pembersih lantai, detergen cair, dan kaporit. SPI membantunya membuat permohonan pinjaman KUR ke BRI dan berhasil. Kemudahan ini karena sebelumnya SPI bersama HAPSARI melakukan beberapa kegiatan dalam rangka implementasi program KUR. Sehingga kami mendapatkan informasi sekaligus relasi baru dengan kalangan BRI. Sementara itu, untuk SPI Desa Marendal II di Kecamatan Patumbak, kami memfasilitasi pembentukan koperasi dengan nama Koperasi Selaras yang saat ini sedang dalam proses pengurusan badan hukum. SPI Desa Marendal II dipimpin oleh Sugi Hartati yang merupakan koordinator SPI Kecamatan Patumbak, bersama Ibu Surasmi, calon legislatif pada Pemilu 2014 yang didukung SPI tetapi tidak lolos, berhasil mengakses dana CSR dari Bank Ekonomi untuk membuat Bank Sampah. Mengingat wilayah Kecamatan Patumbak berada di pinggiran kota Medan dan tidak mempunyai tempat pembuangan 55
Narasi Perempuan
sampah yang layak. Idenya membuat bank sampah sebagai penanggulangan sampah plastik menjadi produk daur ulang yang dilakukan oleh anggota dan produknya dibeli oleh koperasi. Selain memiliki kegiatan pertemuan rutin bulanan, arisan dan membayar iuran anggota sebesar seribu rupiah per bulan sebagai upaya mengumpulan dana organisasi secara mandiri, HAPSARI juga mempunyai program peningkatan ekonomi perempuan akar rumput, melalui pengembangan unit-unit usaha, mendirikan koperasi dan melakukan berbagai inovasi. Bersama HAPSARI SPI berusaha membangun relasi untuk dapat berkomunikasi dan berinteraksi langsung dengan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) tingkat kabupaten, seperti Badan Keluarga Berencana dan Perlindungan Perempuan dan Anak (Badan KB dan PPA) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang berada di bawah naungan Badan KB dan PPA, untuk advokasi kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual. Kami juga bekerjasama dengan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Deli Serdang, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, serta dengan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Rumah bagi Perempuan Kegiatan-kegiatan advokasi yang dilakukan SPI Deli Serdang telah membawa perubahan, terutama bagi diriku sendiri. Sebagai perempuan biasa, aku merasa lebih dihargai, diperhitungkan oleh masyarakat setempat, pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten diwilayah kerja SPI Deli Serdang. Pengurus dan anggota serikat mendapatkan banyak pelayanan program yang berhasil memajukan diri dan keluarganya, mulai dari aspek pengetahuan, keterampilan, jaringan dengan kalangan pemerintahan, hingga mendapatkan aspek permodalan untuk meningkatkan usaha ekonominya. Aku bangga dan bersyukur, karena pencapaian ini sebagaian ada dalam masa kepemimpinanku sebagai Ketua SPI Deli Serdang, dan sebagai serikat anggota HAPSARI. Di organisasi selain menemukan jodoh yang kini 56
menjadi suamiku dan kami telah dikaruniai tiga orang anak. Anak pertamaku bernama Puan Arifani, Arif adalah nama yang diberikan ayahnya karena dia berpikir anak pertamanya laki-laki, ternyata lahir perempuan. Aku ingin perubahan yang kudapat dari organisasi perempuan menjadi sejarah dalam hidupku dan Allah telah memberikan anak perempuan sesuai dengan harapanku. Aku ingin kata perempuan ada pada nama anakku, tapi kami berdua tidak pintar merangkai kata. Dengan dua keinginan yang berbeda kami sepakat agar nama Arif, dan kata ‘perempuan’ melekat pada anak kami. Akhirnya kakak iparku merangkai penggalan kata tersebut menjadi sebuah nama “Puan Arifani”. Puan, dari kata perempuan, aku berharap kelak anakku menjadi perempuan yang kuat, gigih dan cerdas seperti makna dari kata PEREMPUAN, tetapi juga arif, setara dengan bijaksana dalam menghadapi tantangan zamannya. Lucunya, dari kecil Puan tidak suka memakai celana panjang model perempuan. Kalau ditanya mengapa tidak suka, dia jawab, “Sakit nunukku.” Ternyata dia tidak nyaman, sehingga kami membiarkan dia memilih model pakaian yang dia suka. Anak keduaku juga perempuan, namanya Alya Maiva. Saat hamil aku terinspirasi dengan desainer pakaian, kulihat orangnya kalem, murah senyum, dan dermawan. Harapanku, semoga anakku juga begitu kelak. Anak ketigaku laki-laki, Dede Rahmanda. Tingkahnya sungguh lucu, kalau sholat tidak mau pakai sarung dan peci, maunya pakai mukena seperti dua kakaknya. Sehari-hari mereka kutinggalkan di rumah bersama kedua orangtuaku untuk aktivitasku berorganisasi. Aku tidak pernah menyesali diriku yang tidak menjadi PNS sebagaimana cita-citaku dulu. Karena organisasi adalah rumah keduaku. ***
Rumah Kedua
© HAPSARI
57
Narasi Perempuan
Suara Akar Rumput Retno Wulan
Š Feri Latief/USAID Program Representasi 58
Suara Akar Rumput
59
Narasi Perempuan
Di Suroloyo ini kami melakukan pengorganisasian kepada perempuan basis untuk meningkatkan kapasitas mereka, dari yang tidak berani ngomong di depan umum menjadi berani.
T
iba di Lubuk Pakam aku pun langsung naik becak, karena letak Hapsari seperti tempat tinggalku, jauh dari angkot, perjalanan masih berlanjut menyusur gang. Kubayar ongkos dan sampailah aku di kantor Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI). Aku dibuat terheran-heran melihat ibu–ibu yang menggunakan baju putih dengan membentangkan kain hitam dan putih, lalu digulung seperti memeras baju. “Ini latihan apa ya, Bu?” tanyaku. “Oh, ini latihan teater untuk persiapan HUT HAPSARI yang ke-20 tahun, serta untuk hari Perempuan Internasional,” jawab Bu Sarah.
Meskipun aku sudah mengenal HAPSARI jauh sebelum aku memutuskan untuk bergabung, tapi aku tak begitu cepat memutuskan ‘iya’ untuk mengikuti apa yang bapak bilang. Dengan anggapan ingin belajar, aku pun ikut berorganisasi. Harapan yang lain, agar aku bisa melihat dunia luar yang tidak aku dapatkan di sekolah formal pun di kampus dikarenakan dari dulu aku selalu bersekolah di sekolah yang formal. Tidak ada yang salah untuk mencoba hal yang baru yang tak kudapatkan di sekolah dan kuliahku. Aku pun menelpon salah seorang yang ada di HAPSARI. “Kak, ini, Ayu, besok Ayu mau ke HAPSARI boleh?” tanyaku.
Wow! Menarik banget pikirku bisa menyaksikan langsung mereka berteater karena sangat jarang ibu–ibu yang tak muda lagi bermain teater untuk menyampaikan apa yang mereka inginkan. Lalu aku pun bertanya lagi, “Apa ya nama teater HAPSARI?”
“Iya, silahkan aja kalau mau datang dan belajar, Insya Allah Ayu bisa menikmatinya,” kata Kak Sri.
“Suara dan Suara.“
Keesokan harinya aku pun berangkat dari rumah dengan menaiki becak sebelum ke Simpang-jika kami ingin naik angkot ke luar menuju HAPSARI atau ke Medan-dikarenakan rumahku tidak memungkinkan untuk angkot masuk karena terlalu masuk ke dalam gang. Becaklah yang selalu jadi transportasi utama, jika tidak ada mobil atau motor. Aku pun naik angkot dengan rute Perbaungan – Lubuk Pakam, butuh waktu 30 menit untuk bisa sampai di Lubuk Pakam.
*** Namaku Retno Wulan, biasa dipanggil Retno kalau di lingkungan umum (formal) atau Ayu jika di lingkungan keluarga. Aku lulusan dari Universitas Islam Sumatera Utara mengambil jurusan Sastra Inggris yang berhasil kuselesaikan pada tahun 2009 saat umurku 22 tahun. Aku bergabung di organisasi setelah enam bulan selesai kuliah, sebelumnya aku menganggur. Bapakkulah yang pertama kali menganjurkan untuk bergabung di organisasi dengan maksud untuk belajar lebih dahulu, untuk menambah pengalaman hidup, katanya. “Tidak semua orang bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jurusan kuliah yang dia masuki, terkadang hidup ini harus menyimpang sedikit dari apa yang kita harapkan,” begitu kata bapak. 60
“Iya, Kak, Ayu ingin pengalaman yang baru,” jawabku.
Suara dan Suara Sangat menarik namanya. Aku pun melihat mereka latihan sambil menunggu orang yang aku tunggu datang. Sebelum selesai, Bu Riani datang dan aku langsung di ajak ke ruangannya. “Begini Ayu, Kak Sri sudah cerita kalau Ayu mau belajar di HAPSARI, Ibu ingin memberitahukan
Suara Akar Rumput
bahwa di HAPSARI ini tidak ada gaji yang besar seperti orang lain kebanyakan. Di sini proses belajar dan mungkin Ayu bisa belajar dari kami,” kata Bu Riani menjelaskan. Selesai berbincang dengannya, aku pun melanjutkan melihat mereka latihan teater karena menarik buatku. Latihan teater selesai, aku diberitahu oleh Kak Zulfa untuk ikut dalam perayaan Hari Perempuan Internasional yang akan dilakukan di Medan, tepatnya di Bundaran Majestik. “Ayu, besok ada perayaan Hari Perempuan Internasional yang di Medan. Besok Ayu pakai baju atau barang apa yang serba ungu, ya,” kata Kak Zulfa. Dengan semangat aku pun langsung menjawab, “Iya”. Kesukaanku pada warna ungulah yang membuatku bersemangat. Keesokan harinya aku berangkat dengan Kak Zulfa menuju Bundaran Majestik. Dari Lubuk Pakam kami dua kali naik angkot, yaitu A97 dan Mr X untuk berkumpul dengan peserta yang lain. Ada banyak lembaga di sana, termasuk JASS yang saat itu masih terasa asing buatku. Saat itu kami berjalan santai dari hotel tempat kami kumpul menuju Bundaran Majestik dengan peserta yang lainnya. Acara pun dimulai dengan berbagai macam aksi. Ini yang aku tunggu–tunggu, penampilan dari teater HAPSARI, yaitu “Suara dan Suara”. Kuamati ceritanya, ternyata teater tersebut menyuarakan bahwa ada seorang anak perempuan yang masih bersekolah SMA diperkosa dan tidak mampu berbuat apa–apa. Menarik untuk diresapi kembali. Selesai melihat semua aksi tersebut, aku pun pulang ke rumah dengan angkot yang sama seperti waktu berangkat. Di rumah aku berpikir, “Wah, hebat sekali mereka bisa menyuarakan aspirasi, salut lihat mereka”. Keesokan harinya aku langsung diberikan tugas, karena mereka tahu aku lulusan Sastra Inggris, aku pun diminta untuk menerjemahkan tulisan. Dengan penuh gugup sedikit, aku mengerjakannya hingga akhirnya selesai. Tak hanya itu, aku mulai belajar tentang apa itu sekretariat. Begitulah rutinitasku selama aku belajar di HAPSARI sambil membantu
persiapan HUT HAPSARI yang ke-20 tahun yang dirayakan secara sederhana di kantor sendiri. Dua bulan berlalu, aku pun menjadi staf HAPSARI yang ditempatkan di sekretariat bersama dua orang yang lebih muda dariku, rupanya mereka sudah lebih dulu masuk di HAPSARI. Waktu demi waktu, aku pun mengerti apa itu sekretariat dan apa–apa saja yang harus aku kerjakan. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak belajar di HAPSARI, semakin banyak orang yang aku kenal. Aku selalu berbincang dengan mereka di waktu istirahat. Suatu hari, di sela–sela istirahat, aku diberitahu bahwa besok sekretariat HAPSARI akan pindah ke Radio HAPSARI Fm, radio komunitas, “Jadi setelah ini kita harus menyimpan semua barang–barang di kardus atau apa yang bisa menyimpan semua barang– barang secara aman.” Capek aku rasakan, tapi asyik dan seru sekali. Ternyata, barang– barang HAPSARI sangat banyak, tidak sesuai dengan tempat kami pindah yang kecil. Jelas tidak muat, kantor HAPSARI yang lama besar dan panjang, banyak barang yang bisa disimpan di sana. Proses pindah kantor selesai dalam beberapa hari. Kantor yang sekarang lebih enak, dan aku sekali lagi, memiliki pengalaman baru tentang proses penyiaran. Setiap hari aku melihat bagaimana penyiar dalam mempersiapkan dan menyiarkan hiburan. Ada empat penyiar di sana dengan sesi: pop request, dangdut, melayu, lagu daerah, dan ada juga talkshow yang biasa HAPSARI lakukan secara bergiliran dari masing–masing serikat. Ibu– ibu siaran radio, itulah yang aku pikirkan. Lucu sih melihat mereka siaran karena mungkin baru pertama kali mereka siaran di radio, termasuk aku. Satu tahun pun berlalu, HAPSARI akan melakukan kegiatan untuk pendidikan kader muda selama satu setengah bulan. Para peserta harus mengisi kuisioner. Prosesnya seru sekali, harus berlomba dengan waktu, organisasi ingin melihat seberapa serius dan disiplinnya para peserta yang akan mengikuti pendidikan kader muda ini, hingga nanti akan disebut sebagai para kader muda HAPSARI. Ok, aku akan melakukan yang terbaik demi kemajuan diriku sendiri yang kelak akan berguna 61
Narasi Perempuan
untukku dan orang lain. Pendidikan Kader Muda yang akan dilakukan di Jakarta (oleh Kalyanamitra), Yogyakarta (oleh HAPSARI Region Jawa), dan terakhir di Bandung. Selesai pengisian kuisioner kami pun berangkat untuk mengikuti pendidikan ini. Suara Basis Kami memulai perjalanan dengan kapal laut. Selama tiga hari kami di kapal. Sangat membosankan, apalagi makanan yang disediakan juga tidak enak dan menurut kami bisa menimbulkan penyakit karena tidak layak makan. Untungnya, kami bawa bekal makanan masing–masing. Untuk mengisi kebosanan kami berjalan–jalan di kapal dan tak jarang kami ke bioskop. Yah, jadilah, walaupun tak seperti bioskop pada umumnya. Namanya juga murah, wajar jika fasilitas seperti itu. Hanya itu yang kami lakukan selama di kapal, selain tidur dan ngobrol dengan petugas kapal. Tiba di pelabuhan, kami pun dijemput oleh Kalyanamitra yang diwakilkan salah satu stafnya. Bayangkan hanya satu mobil mengangkut 15 orang ditambah barang–barang, sebagian akhirnya naik taksi. Di Kalyanamitra kami pun bertemu dengan peserta dari HAPSARI region Jawa yang sampai lebih awal. Mereka berangkat dari Yogyakarta. Selama ini kami hanya berhubungan via telepon dan email, belum pernah bertemu langsung. Tak kenal maka tak sayang. Perkenalanlah yang paling pas buat kami agar lebih mengenal lebih dalam lagi. Kami banyak belajar tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrinasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan sejarah Indonesia, serta masih banyak lagi yang lainnya. Selesai dari Kalyanamitra, kami melanjutkan pendidikan berikutnya di Yogyakarta. Kami naik kereta api, ini baru pertama kalinya aku naik kereta api. Meskipun di Medan ada, tapi buat apa aku naik kereta api kalau tidak ada tujuannya. Kami naik kereta api ekonomi sebagai proses pengkaderan yang harus siap dimanapun dan kapan pun kita berada. Sempit, sesak, panas, bau, dan masih banyak lagi yang kami rasakan selama di kereta. Kami naik kereta malam sampainya pagi, lalu dijemput dengan mobil pick up. 62
Subhanallah, sudah seperti susunan ikan gembung, satu pick-up angkut semua peserta dengan barang– barangnya. Perjalanan kami diawali ke Kulon Progo, tepatnya di sekretariat Serikat Perempuan Independen Kulon Progo (SPI KP), salah satu serikat HAPSARI yang ada di Jawa. Begitu sampai, kami meletakkan barang lalu istirahat sebentar, setelah itu, Atik, staf kesektariatan SPI KP yang juga peserta pendidikan, mengajak kami ke suatu tempat. Kami pun bertanya ke mana? Tempatnya jauh dari penat, begitu katanya. Sampailah kami di daerah sawah yang sangat menakjubkan, dimana tanahnya subur sekali karena pernah dialiri debu vulkanik Merapi yang meletus baru–baru saja. Selesai kami menikmati sawah, kami pun kembali ke kantor untuk mandi dan langsung istirahat. Besok dilanjutkan dengan sesi perkenalan dan pengalaman selama di perjalanan dan selama belajar di Kalyanamitra. Aku pun istirahat melepas semua lelah dan penat hingga sore hari. Setelah istirahat dan mandi, kami pun makam malam bersama. Esok harinya, sesi perkenalan dan saling berbagi pengalaman dimulai. Berbeda dalam pengalaman membuatku bisa belajar dari pengalaman orang lain. Tangis dan tawalah yang ada di sesi ini, karena prosesnya tidak mudah. Diawali mengikuti pendidikan, berangkat ke Jakarta dengan kapal laut, kereta ekonomi, hingga sampai di tempat sekarang. Apa lagi sebagian dari kami sudah tak muda lagi. Banyak dari mereka yang harus mempersiapkan segala kebutuhan keluarga, mulai dari kebutuhan dapur, perlengkapan sekolah anak– anak, hingga kebutuhan suami, selama mengikuti pendidikan ini. Bahkan ada yang berkelahi dulu dengan suaminya untuk bisa diizinkan ikut, bagi suaminya, pendidikkan dan proses seperti ini tidak penting dan tidak ada gunanya, meninggalkan rumah berarti melalaikan tugas seorang istri. Repotnya berumah tangga, tapi itu yang selalu dihadapi oleh ibu-ibu di HAPSARI yang ingin mengikuti pendidikan. Tapi syukurnya diizinkan sampai pendidikan selesai. Di SPI Kulon Progo, kami banyak belajar, diantaranya belajar bagaimana
Suara Akar Rumput
mengorganisir ibu–ibu basis yang ada di pedesaan. Kami merancang pelatihan untuk mereka, diantaranya pelatihan bagaimana berani berbicara di depan umum untuk kemajuan mereka sendiri. Beberapa hari kami lewati di SPI Kulon Progo ini. Kami pun beralih ke atas, yaitu daerah Suroloyo. Daerah ini masih satu kabupaten dengan Kulon Progo. Ya ampun, jalannya sangat mengerikan. Selain jalan yang curam, juga banyak dari jurang– jurang yang di pinggir belum dibatasi, sehingga membahayakan untuk orang yang masih baru memasuki daerah ini. Ada hal yang mengerikan, juga ada hal yang indah dan rugi dilewatkan. Daerah itu merupakan daerah yang indah, sejuk, dan jauh dari penatnya kota. Mitosnya, Suroloyo disebut sebagai Puncak Suroloyo alias Negeri Kahyangan tempat bersemayam Batara guru (Semar). Bila kita naik ke puncaknya, maka kita akan berdiri diantara Yogyakarta dan Jawa Tengah. Subhanallah, belum pernah kutemui daerah seperti ini, penuh dengan kedamaian dengan daerahnya dan juga masyarakatnya yang belum terkontaminasi orang luar. Di sini kami menginap di Pondok Suroloyo, yaitu pondoknya Komunitas Masyarakat Suroloyo (Keceme). Berbeda dengan daerah lain, kurasa ini sangat indah, kenapa tidak dari dulu saja diperkenalkan daerah indah seperti ini. Di sini kami banyak belajar dari komunitas Keceme. Belajar dari kehidupan masyarakat sekitar, sangat menakjubkan sekali, sangat berbeda dari apa yang kulihat selama ini. Disini, Jawa yang sangat kental dengan budaya dan adat yang sudah tertanam sejak zaman dahulu begitu terasa. Konon zaman dulu, seorang bernama Nyi Ceme melarikan diri ke daerah itu, kemudian dia memutuskan untuk tinggal dan berketurunan di sana. Sejak itu daerah ini diberi nama Keceme, karena mereka adalah keturunan Nyi Ceme. Walaupun tak begitu mengerti silsilah orang-orang yang berada di daerah tersebut, tapi aku tahu kenapa daerah tersebut diberi nama Keceme. Aku perhatikan semua orang keturunan Nyi Ceme itu kecil mungil. Walaupun tidak tinggi atau pendek, namun bukan pendek seperti pada umumnya.
Banyak dari mereka yang harus mempersiapkan segala kebutuhan keluarga, mulai dari kebutuhan dapur, perlengkapan sekolah anak–anak, hingga kebutuhan suami, selama mengikuti pendidikan ini. Bahkan ada yang berkelahi dulu dengan suaminya untuk bisa diizinkan ikut, bagi suaminya, pendidikkan dan proses seperti ini tidak penting dan tidak ada gunanya, meninggalkan rumah berarti melalaikan tugas seorang istri. 63
Narasi Perempuan
Di Suroloyo ini, kami melakukan pengorganisasian perempuan basis untuk meningkatkan kapasitas mereka, dari yang tidak berani ngomong di depan umum, dari yang belum berani menjadi berani. Mereka menjadi tahu seperti apa itu menjadi fasilitator atau moderator untuk acara–acara yang mereka adakan nantinya. Lalu kami mengundang Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta dengan mengutus Mbak Uli untuk menjadi narasumber untuk memberi informasi tentang kesehatan reproduksi (kespro), agar kami memahami bagaimana sebenarnya kespro itu, fungsi, dan bagaimana cara merawat, serta membersihkan alat reproduksi dengan baik dan benar, serta bagaimana cara memakai kondom yang benar baik untuk laki–laki maupun perempuan. Mbak Uli menunjukkan cara menggunakan kondom yang benar-baik kondom laki–laki dan perempuan, membersihkan vagina yang baik dan benar agar tidak berbau dan menimbulkan penyakit kelamin, menginformasikan bahwa bulu kelamin harus dicukur agar tidak ada jamurnya. Di proses ini, ada dua celemek yang bergambarkan alat kelamin laki– laki dan perempuan sebagai alat bantu belajar. Hal ini agar memudahkan pemahaman dengan cara melihat gambar. Banyak ibu–ibu yang masih belum mengetahui, bahkan ada yang belum mengetahui sama sekali. Miris melihatnya, namun inilah yang terjadi karena mereka hanya mengetahui sebatas apa yang diberi tahu dari ibu mereka atau orang–orang yang dianggap paham tentang ini. Kita tidak bisa menilai ini salah, tetapi kita harus membenarkan bagaimana seharusnya agar tidak terjadi kekeliruan kembali. Begitulah ibu–ibu basis yang ada di Keceme ini, masih polos dan lugu benar untuk mengetahui hal-hal di luar dari lingkungan mereka, seperti menyelenggarakan rapat atau permasalahan reproduksi yang menyangkut perilaku pasangan mereka. Tapi kami senang berada di Keceme, sangat menantang sekali, hingga akhirnya mereka bisa lebih maju dari sekarang, sampai benar–benar siap kami tinggalkan sejenak untuk kembali lagi. Di sela–sela pengorganisasian, kami para kader menyempatkan diri untuk trekking ke Borobudur. 64
Dari Puncak Suroloyo ke Borobudur dengan berjalan kaki melewati hutan yang sangat bersahabat, suara– suara burung yang merdu, dan udara yang tak panas mendukung kami untuk terus melanjutkan perjalanan ke Borobudur. Meskipun harus berjalan kaki selama empat jam, ada rasa puas pada diriku dan teman–teman yang lainnya. Belum tentu kami bisa bersama– sama seperti ini, entah kapan lagi. Aku pun tak tahu. Hal terpenting buatku, aku bisa merasakan hidup, tak masalah harus bercapek– capek ria. Selesai tugas kami di Suroloyo, kami pun berpindah ke Bantul, yaitu di Serikat Perempuan Bantul (SPB) Bantul yang tergabung dalam serikatnya HAPSARI. Setelah sampai di Bantul, seperti biasa kami selalu berbagi pengalaman–pengalaman yang sudah kami lakukan dan mengkaji apa yang sudah dikerjakan sejak di Kalyanamitra hingga di SPI KP. Menariknya lagi, ada sahabat rahasia. Kami diminta untuk mengambil satu gulungan kertas, yang namanya di dalam kertas tersebut adalah sahabat rahasia yang tidak boleh diketahui semua orang. Hanya boleh diberitahu ketika pendidikan kader selesai. Beda tempat, beda juga kesulitannya. Kalau di SPB ini, semua anggota SPB disibukkan oleh usaha, ada yang buka restoran di Pantai Parangtritis, ada yang buat makanan olahan khas, ada juga yang membuat kerajinan tangan-yang kalau dilihat susah–susah gampang mengerjakannya. Kami harus mengatur dan mengikuti waktu luang mereka untuk bisa melakukan pengorganisasian. Untuk lebih mengakrabkan kami dengan mereka, kami pun di minta oleh HAPSARI untuk menginap di rumah– rumah pengurus SPB tersebut supaya mengetahui keseharian mereka demi mewujudkan tujuan kami Di SPB ini, tidak seperti di SPI Kulon Progo dan Suroloyo, kami hanya melakukan pengorganisasian sesuai dengan apa yang ingin mereka ketahui, seperti pengenalan organisasi HAPSARI, apa itu HAPSARI, struktur HAPSARI, ada berapa serikat yang tergabung, dan apa visi misi dari HAPSARI. Selesai melakukan pengorganisasian, kami melanjutkan refleksi kegiatan di Pantai Parangtritis. Suasana sedih terpancar di sini, karena sebelumnya kami tak
Suara Akar Rumput
menyangka bisa melakukan semua kegiatan selama di Jakarta dan Yogyakarta. Kami masih butuh belajar lagi, meski dengan keterbatasan pengetahuan, kami merasa sukses melakukannya.
sudah dia ciptakan untuk kami sewaktu di SPI KP. Di Pergerakan, kami mendengar narasumber, Bapak Sapei Rusin yang membahas tentang Basis Produksi dan Mbak Tatik dari Komnas Perempuan yang membahas tentang Pendidikan Orang Dewasa.
*** Refreshing di Pantai Parangtritis sangat membantuku untuk menghilangkan rasa takutku, rasa stres yang selalu aku alami. Di pantai inilah aku buang semua beban agar berkurang. Tidur di pinggir pantai yang hanya beralaskan tikar plastik, di atas pasir pantai yang beratapkan langit, berdindingkan deburan ombak yang besar, sungguh pengalaman yang benar–benar di luar dugaanku dan kehidupanku sebelum aku menginjakkan kaki ke Yogyakarta ini. Selesai di Bantul, kami melanjutkan perjalanan ke Bandung menuju kantor Pergerakan, sebuah organisasi yang anggotanya adalah serikat-serikat dan HAPSARI menjadi salah satu anggota sekaligus menjadi pengurus. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke Bandung. Wah, mungkin kalau aku tidak ikut pendidikan ini, selamanya tak tahu dunia luar. Seharusnya setiap orang mencoba untuk keluar dari dunianya dan merasakan kehidupan yang baru, pikirku. Maklum saja, aku tidak pernah pergi jauh ke luar pulau, bisa dibilang hanya sebatas Medan dan sekitarnya. Aku bangga dengan diriku sendiri karena ada begitu banyak orang yang menginginkan pengalaman sepertiku. Mereka bilang hidupku enak, pergi keliling dan jalan– jalan. Aku hanya tersenyum ketika mereka berkata seperti itu. Aku bersyukur kepada Allah diberikan kesempatan ini. Tiba di Bandung kami langsung ke kantor Pergerakan. Wah, ternyata kantornya berisi laki–laki semua, hanya dua perempuan saat kami datang. Kami pun naik ke lantai atas untuk beristirahat meluruskan badan dan kaki yang sudah kaku sejak di kereta. Malamnya, selesai makan, kami berkumpul untuk berkenalan dengan semua orang yang berada di Pergerakan itu. Sebelum kami berkenalan, Kang Mukti penyanyi musik balada dan dua orang temannya menghibur kami dengan menyanyikan beberapa lagu ciptaannya dan juga lagu SPI yang
Beberapa hari disana mendapatkan ilmu yang belum kami tahu. Lagi–lagi Allah sayang kepadaku karena dia selalu mengizinkan aku untuk mencoba hal yang baru dan mengetahui apa yang belum aku ketahui, lebih tepatnya menambah ilmu baru yang tak kudapatkan di sekolah atau di kampus. Selesai semua materi, kami pun sibuk mempersiapkan acara penobatan kami sebagai kader muda HAPSARI 2011. Kami membeli kenang–kenangan di Tangkuban Perahu dan Ciater sebagai bonus, karena kami telah menyelesaikan semua proses pendidikkan dari Jakarta hingga Bandung dan menyelesaikan semua laporan kegiatan kami tepat waktu. Meski harus lembur menyiapkannya, terbayar sudah dengan pergi ke Tangkuban Perahu. Malamnya kami pulang. Acara perpisahan pun dimulai dengan menyampaikan pesan dan kesan dilanjutkan dengan pemberian piagam dan jaket Kader Muda HAPSARI sebagai penghargaan kepada kami. Jaket yang tak gampang kami dapatkan. Harus bersusah payah, bersedia melakukan apa dan ditempatkan dimana saja. Aku pun dipercayai untuk menjadi koordinator kader muda pada saat itu. Suasana haru kesekian kali, semua menangis namun bahagia karena telah bersama–sama selama satu setengah bulan. Kelak apa yang didapatkan di Pendidikan Kader Muda ini bisa dipergunakan sebaik–baiknya dan tidak mudah melupakan perjalanan yang sudah kami lalui bersama–sama. *** Keesokan harinya pun kami bergegas pulang ke Medan, menuju Jakarta terlebih dahulu, baru ke pelabuhan. Sesampai di pelabuhan, kami dikejutkan dengan perkataan seorang laki–laki yang biasa mengangkut barang–barang penumpang. Dia bilang kami tidak dapat kursi, tepatnya tidak mendapatkan tempat tidur. Waduh, pikirku, yah, 65
Narasi Perempuan
mau tak mau kami tidur beralaskan karung plastik yang biasa dijual untuk yang tidak mendapatkan kursi. Sengsara amat, kami ini tak tahu mau tidur dimana. Akhirnya kami pun mendapatkan tempat yang cukup nyaman, meskipun harus di bawah meja kantin yang sudah tak terpakai lagi. Jadilah dari pada harus tidur di luar kena angin laut. Kata salah seorang ibu yang menjadi peserta pendidikan ini, lagi–lagi kami harus melakukan hal yang sama di kapal, seperti waktu kami pergi ke Jakarta, daripada bosan berkepanjangan buatku tidak apa. Hanya saja makan dan mandi yang tak kuasa aku sedihkan. Makan dengan nasi dan ikan yang tak layak, serta mandi dengan air yang membuat kulit menjadi gatal–gatal. Namun harus bagaimana lagi, semua harus dijalankan dengan ikhlas. Hingga akhirnya, kami tiba di rumah masing–masing dengan semangat bertemu dengan keluarga dan menceritakan pengalaman kami selama kami mengikuti Pendidikan Kader Muda. Aktivitaspun kembali normal, karena sebelumnya kami sudah melakukan refleksi, tiba di Medan, aku langsung menjalankan tugasku di sekretariat.
Suara Lain Selang beberapa lama, aku diundang ke acara Movement Building Initiative (MBI) yang diselenggarakan oleh JASS. Acaranya dilaksanakan di Medan, tepatnya di Hotel Grand Antares. Ada banyak peserta serikat dari region Sumatera. Senang bisa bertemu dengan teman–teman yang berbeda daerah, banyak cerita yang bisa didapat dari mereka masing–masing daerah. Di JASS, kami belajar banyak hal, belajar tentang apa itu feminisme dan gerakan perempuan, pengorganisasian, dan banyak materi lain. Teman bertambah, pengalaman bertambah. Kami bisa mengetahui bagaimana sebenarnya pengorganisasian di daerah masing– masing. Selain itu, aku juga mengetahui apa yang dimaksud dengan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) dari dua orang peserta yang memilih menjadi lesbian, penanganan HIV AIDS, masalah lingkungan, dongeng, dan masih banyak hal lain yang menarik untuk dibahas. Selesai acara JASS, aku melakukan pengorganisasian di Yogyakarta. Selain pengorganisasian, aku juga ditempatkan di staf sekretariat dan trading house HAPSARI untuk region Jawa dan Sumatera.
Para ibu–ibu basis di tempat yang kami organisir adalah ibu–ibu yang kuat, tegar, dan pantang menyerah. Kebanyakan perempuan di Yogyakarta ini, mengerjakan pekerjaan laki-laki: memotong kayu, ambil rumput, dan kayu bakar di hutan. Ada juga perempuan yang ikut mengaspal jalan atau menjadi buruh bangunan. Ada juga laki–laki yang bekerja, namun tak jarang juga yang menganggur. Di Suroloyo, para ibu, bekerja sendiri tanpa laki–laki, mencari rumput atau daun kopi, dan daun nangka yang besarnya sebesar badan mereka, dipikul sendiri. Di Tanah Karo, Sumatera Utara, perempuanlah yang bekerja dengan penghasilan Rp 50.000,- per hari, sedangkan laki–laki hanya duduk manis di warung kopi tanpa menghiraukan kewajiban sebagai suami. Para ibu tak perduli akan hal itu karena bagi mereka, ini sudah kewajiban. 66
Suara Akar Rumput
Melalui trading house, semua serikat bisa menjual hasil makanan olahan seperti: kripik regedek, opak lidah, rengginang, kripik bayam, kripik daun singkong yang di gulung, dan lain-lain. Kerajinan tangan seperti: hantaran untuk pengantin, mainan kunci dari binatang laut yang sudah di keringkan cangkangnya, batik tulis, kain tenun, kain sutra dari Sulawesi dan variasi sabun; detergen, sabun pencuci piring, pewangi pakaian, dan super pel. Ada juga hasil laut seperti: ikan asin, teri nasi, dan abon ikan. Tak ketinggalan kopi Suroloyo, jenis arabika dan robusta, dan teh Suroloyo dengan bahan baku diambil langsung dari Suroloyo, gula semut, dan jahe instan yang dibuat sendiri. Ada banyak produk yang ada di trading house dengan tujuan untuk menambah ekonomi dari ibu–ibu basis agar lebih mandiri, tidak bergantung dengan suami mereka. Menjadi istri harus bisa memimpin dirinya dan keluarganya, tidak harus laki–laki yang memimpin. Kepemimpinan bisa datang dari perempuan. Tanpa perempuan, laki– laki seperti kehilangan satu kaki, namun laki-laki menganggap perempuan itu lemah, tanpa laki–laki perempuan juga tak bisa apa–apa. Para ibu–ibu basis di tempat yang kami organisir adalah ibu–ibu yang kuat dan tegar, yang pantang menyerah. Kebanyakan perempuan di Yogyakarta ini, mengerjakan pekerjaan laki-laki, apa yang dilakukan laki–laki seperti: memotong kayu, ambil rumput, dan kayu bakar di hutan, ada juga perempuan yang ikut mengerjakan pengaspalan jalan atau buruh bangunan. Di Tanah Karo, Sumatera Utara, perempuanlah yang bekerja dengan penghasilan Rp 50.000,-/hari, sedangkan laki–laki hanya duduk manis di warung kopi tanpa menghiraukan kewajiban sebagai suami. Para ibu–ibu tak perduli dengan hal itu karena buat mereka ini sudah kewajibannya. Ada juga laki–laki yang bekerja, namun tak jarang juga yang menganggur. Seperti halnya di Daerah Suroloyo itu sendiri, para ibu–ibu bisa bekerja sendiri tanpa laki–laki dengan mencari rumput atau bisa juga daun kopi, dan daun nangka yang mereka
pikul sebesar badan mereka. Betapa beratnya, jika kita bayangkan hal seperti ini. Sungguh luar biasa perempuan di pedesaan, seharusnya kita bisa belajar dari mereka dan tidak seharusnya kita mengeluh. HAPSARI membuka koperasi dan trading house di masing–masing serikat sangat bermanfaat buat mereka, bahkan mereka mengurus izin pendirian koperasi sendiri beserta Sertifikat Produk Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT)-tetapi biasa disebut PIRT-tanpa bantuan dari HAPSARI. Dengan adanya PIRT dan izin pendirian ini, akan sangat membantu untuk memasarkan dagangan mereka keluar kota, bahkan ke luar negeri jika memungkinkan. Itu adalah mimpi yang harus ditanamkan agar menjadi kenyataan demi kemajuan mereka sendiri. Di Serikat Perempuan Independen (SPI) Labuhan Batu, selain membahas isu tentang kekerasan seksual, pelecehan seksual dan HIV/AIDS, mereka membuat kerajinan tangan seperti sapu lidi hias yang mereka buat sendiri dari bahan yang ramah lingkungan. Ada juga bros untuk yang biasa dipakai untuk jilbab dan bunga hias dari fiber seperti bunga hias dari kristal. Di SPI Deli Serdang, bergerak di isu tentang peningkatan ekonomi dengan cara membuat sabun, detergen, sabun cuci piring, super pel, dan pewangi pakaian yang mereka buat sendiri. SPI Sergai membuat kerajinan tangan dan makanan olahan. Serikat Perempuan Independent (SPI) Kulon Progo membuat batik, makanan olahan, gula aren, gula semut, jahe instan, kopi arabika dan robusta, dan teh yang menjadi produk andalan mereka sendiri. Produk kopi dan teh mereka diberi merk “JAVA MENOREH” karena diambil langsung dari perbukitan Menoreh, Suroloyo, Kulon Progo. Mereka juga membuka trading house dan menerima pemesanan dalam partai besar dan kecil. Di Serikat Perempuan dan Nelayan (SPPN) Sergai, hasil lautlah yang menjadi kebanggaan mereka, ikan–ikan yang diasinkan, kerang– kerang yang dijual kembali, bahkan ada yang diolah oleh sebagian ibu– ibu yang buka warung kecil–kecilan di pinggir pantai. Ada juga yang berjualan pakaian keliling untuk mendapatkan penghasilan tambahan. 67
Narasi Perempuan
Di Serikat Perempuan Bantul (SPB) berbeda dengan ibu–ibu di serikat lain, di SPB sudah lebih mandiri dan punya usaha sendiri yang sudah berjalan lama, di antaranya: petani bawang merah, kacang mete, membuka restoran, membuat kerajinan tangan seperti hantaran untuk pengantin, dan sebagian besar sudah menjadi PNS.
Dari HAPSARI juga aku bisa menjadi lebih dewasa, tak seperti dulu, hanya bisa menangis di kamar tanpa seorang pun yang tahu apa yang aku rasakan.
Di SPI Pekalongan, sebagian besar adalah pengrajin batik. Segala jenis batik bisa mereka buat menjadi kerajinan yang unik seperti: tas dari perca kain yang dibuat dari potongan kecil–kecil, konveksi jeans, dan baju juga menjadi andalan dengan merk yang mereka daftarkan sendiri. Perias dan produsen hantaran pengantin juga tak ketinggalan menjadi profesi mereka.
Aku senang jika ada kegiatan HAPSARI yang mendatangkan ibu–ibu dari semua serikat. Banyak cara untuk kita belajar dari orang lain dan kita hendaknya menghargai itu, tidak ada yang mampu hidup sendiri tanpa orang lain.
Di Serikat Perempuan Dayak (SPD) Kalimantan Timur, perempuan bekerja sebagai petani dan PNS. Masalah yang tidak selesai–selesai adalah hak tanah. Banyak tanah mereka yang terampas karena kurangnya pengetahuan tentang hukum, advokasi, dan pengorganisasian. Ini yang menyebabkan mereka dipermainkan begitu saja. Tinggal di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan, dengan waktu tempuh berhari–hari dari Samarinda, jadwal kapal yang hanya sekali dalam sehari, dan perjalanan darat yang menyulitkan, membuat mereka kesulitan untuk mengakses informasi yang seharusnya mereka dapatkan. Di Serikat Perempuan Mamuju (SPM), perempuan umumnya memproduksi abon ikan, dan kain sutra. Sesuai dengan kelimpahan sumberdaya alam yang mereka punya. Itu yang aku ketahui selama ini, produksi kaum peempuan yang tergabung di HAPSARI. Di Serikat Perempuan Tanah Poso (Sepenatap) yang juga melakukan aktivitas bertani serta membuat kerajinan tangan. Semua serikat HAPSARI ini menyetorkan barang yang ingin mereka dagangkan di trading house. Setiap serikat mempunyai keunikan masing– masing dengan keberagaman budaya dan fashion mereka sendiri. Menurutku mereka ibu–ibu yang kuat, dan maju, serta mampu berdiri sendiri. *** 68
Dari HAPSARI juga aku bisa menjadi lebih dewasa, tak seperti dulu, hanya bisa menangis di kamar tanpa seorang pun yang tahu apa yang aku rasakan. Saat ini aku harus lebih kuat lagi, meski harus ditentang, hanya bisa bersabar dan memikirkan masa depanku demi HAPSARI, dan kepemimpinan perempuan, serta gerakan perempuan yang selama ini aku jalani. Setiap orang punya kemampuan untuk memimpin, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain, dengan bagaimana cara mereka memimpin. Aku tak ingin ada Retno lain yang seperti aku. Buatku organisasi adalah penyemangat yang memberikan aku tangan untuk mampu bangkit dari kekecewaan dan sanggup melihat ke depan dengan tidak meratapi masa lalu. Yang aku inginkan adalah bangkit dari kenyataan yang harus terus maju demi diriku sendiri, bisa aktif dalam berorganisasi. Berorganisasi adalah tempat aku bisa lebih berarti untuk orang lain, terutama ibu–ibu basis yang masih membutuhkan kami. Mereka tak boleh terpuruk, mereka kembali harus bisa bangkit untuk kemajuan mereka dan HAPSARI sendiri, sesuai dengan visi misi HAPSARI. ***
Suara Akar Rumput
Š Wiwik Widyastuti/USAID Program Representasi 69
Narasi Perempuan
Rajutan Muda Kartika Ayu Br. Ginting
Š Feri Latief/USAID Program Representasi 70
Rajutan Muda
71
Narasi Perempuan
Aku tumbuh dalam dua kebudayaan yang berbeda, ayahku Jawa, ibuku Karo, hal ini membuatku lebih mudah menerima perbedaan. Namun, aku merasa kedua budaya ini menempatkan perempuan hanya berada di wilayah domestik. Aku juga merasakan ketidakbebasan berekspresi pada masa-masa sekolah dulu. Keinginan untuk menikmati dinginnya malam di alam bebas harus terkubur dalam-dalam. Bapak tidak pernah mengijinkan aku untuk camping. Sesusah itukah menjadi anak perempuan? Harus terkerangkeng pada ketakutan ayahnya. Harus terbelenggu pada adat yang tidak mengijinkan perempuan mendaki gunung, melihat indahnya dunia? Merangkai Asa Menggembel di Stasiun Senen adalah pilihan kami sembari menunggu kereta api yang berangkat pukul delapan malam nanti. Aku, Bu Atmi, dan Bu Yanti ditugaskan menghadiri workshop Hakhak Saksi dan Korban Trafficking, di Jakarta yang diselenggarakan oleh LBH Apik Jakarta dan International Organization for Migration (IOM). Selesai pelatihan ini kami harus ke Yogyakarta untuk melanjutkan pelatihan lain yang diadakan oleh HAPSARI. Kami bertemu di Yogyakarta bersama rekan-rekan yang ditugaskan menghadiri kegiatan USAID/Program Representasi di Malang. Di atas kereta api, aku menangis tanpa sebab. Entah apa yang sedang terjadi, entah apa yang salah. Aku meminta Bu Yanti dan Bu Atmi untuk meninggalkanku sendiri, sedangkan mereka berdua duduk di seberangku. Menatap keluar kereta aku jadi ingat perjalananku bersama rekan kader muda yang mengikuti pelatihan pengkaderan selama satu bulan di tanah Jawa. Aku kembali mengingat aktivitas yang terjadi beberapa waktu lalu. *** Sore itu, seluruh kader muda di HAPSARI sibuk menyelesaikan ujian untuk mengikuti seleksi pendidikan kader di Yogyakarta selama satu bulan. 72
Tidak ada yang tahu pasti siapa yang akan terpilih untuk berangkat kesana. Ini seperti ujian nasional zaman SMA dulu. Ada empat lembar kertas dengan 20 pertanyaan yang harus diisi dan ini bukan pertanyaan pilhan berganda, melainkan esai. Lima perempuan muda sedang berkutat di komputer masing-masing. Lisa dengan komputer putih bertabung dan Retno dengan laptop Zyrex duduk di ruangan sekretariat, Ira dengan komputer monitor datar di ruangan Pelaksana Harian, Sri dengan laptop SPI duduk menikmati dinginnya studio dan aku yang sedang menyelesaikan ujian, duduk di depan komputer dalam ruangan radio sembari siaran. Tes ini harus kami kirim ke Bu Lely Zailani melalui email masing-masing, paling lambat pukul enam sore. “Kau ngikuti pelatihan apa aja Ka?” Lisa masuk ke ruangan radio. “Aku lagi ngisi, tapi lupa aku,” jawabku. “Aku belum sampai ke pertanyaan itu, Sa. Kak Riri tanya ke aku,” jawabku sambil menunjuk Sri yang biasa kami panggil Riri. “Aku pun belum sampai ke pertanyaan itu, Sa,” tegasnya cepat. Lisa menutup pintu dan kembali berkutat di komputer tabungnya, dibalik suara radio ia berusaha
Rajutan Muda
mengingat pelatihan apa yang pernah ia terima di organisasi. Waktu pengiriman tinggal beberapa menit lagi, kali ini kesibukan kami berubah dengan mengantri di depan komputer ruang sekretariat karena hanya monitor bertabung inilah yang ada jaringan internetnya. Karena diburu waktu kami mengirim lembar ujian itu tanpa ada kata pengantar di dinding email. Kak Een menegur kami bahwa mengirim email yang baik itu dengan menyisipkan kata pengantar satu atau dua kalimat saja. Pengumuman yang kami tunggu akhirnya tiba. Kami dikumpulkan di ruang sekretariat oleh Bu Asriyanti. Yang terpilih untuk ikut pelatihan ke Jogja adalah: Lisa, Retno, dan Ira mewakili SPI Serdang Bedagai; Sri mewakili SPI Deli Serdang; aku mewakili SPI Tanah Karo; serta Indah dari Labuhanbatu. Ibu Sarah dari SPPN, Ibu Pon dan Kak Tugiana dari Credit Union HAPSARI Sehati juga berangkat ke Yogyakarta, tapi bukan untuk pelatihan kader muda, melainkan kader kepemimpinan. Kami berangkat dari Belawan menggunakan kapal laut kelas ekonomi. Ini pengalaman pertama bagi kaki kami menginjakkan tangga-tangga kapal menuju dek. Kami dibawa oleh anak buah kapal ke sebuah ruangan yang menjadi kamar kami. Tempat tidur kami beralas karpet hitam, berjejer sebanyak empat baris dan saling berhadapan. Takjub. Geli. Itulah perasaan kami ketika itu, tidak ada sekat di tempat tidurnya, laki-laki perempuan menjadi satu. Kami sangat berhati-hati di ruangan yang serba bebas ini, takut jika ada barang kami yang hilang.
Bayangkan jika perempuan kampung seperti kami hilang disini, tak tahu kemana arah pulang. Kami dijemput oleh Mas Joko dari Kalyanamitra dan kami langsung diboyong ke kantornya di Jalan Kaca Jendela II No. 9 Rawajati, Kalibata, Jakarta Selatan. Disana kami mengikuti pelatihan Gender dan Analisis Sosial. Tidak hanya kami yang ikut pelatihan ini, ada Mbak Atik, Mbak Ari Purjantati, Mbak Pur utusan SPI Kulonprogo, Mbak Ning utusan SPI Pekalongan, Bu Laminem SPB. Ketika warga Medan dan Yogyakarta sudah berkumpul jadi ramai kantor Kalyanamitra ini. Tiga hari belajar di Kalyanamitra. Kami mengisi pohon harapan sebagai motivasi kami mencapai tujuan dari pendidikan selama satu bulan ini. Kami belajar tentang gender dan patriarki melalui pengalaman kami. Aku tumbuh dalam dua kebudayaan yang berbeda, ayahku Jawa, ibuku Karo, hal ini membuatku lebih mudah menerima perbedaan. Namun, aku merasa kedua budaya ini menempatkan perempuan hanya berada di wilayah domestik. Aku juga merasakan ketidakbebasan berekspresi pada masa-masa sekolah dulu. Keinginan untuk menikmati dinginnya malam di alam bebas harus terkubur dalam-dalam, Bapak tidak pernah mengijinkan aku untuk camping. “Ketika kau menjadi orang tua nanti, kau akan mengerti Nak, betapa susahnya menjaga anak perempuan.� Kata-kata yang masih terekam dalam memoriku.
***
Sesusah itukah menjadi anak perempuan? Harus terkerangkeng pada ketakutan ayahnya. Harus terbelenggu pada adat yang tidak mengijinkan perempuan mendaki gunung, melihat indahnya dunia? Ternyata tidak hanya aku yang mengalami hal itu. Seperti Bu Pon yang bercerita di masa mudanya ia terkekang dengan aturan abangabangnya karena ia anak bungsu dan perempuan satu-satunya.
Ini namanya Tanjung Priuk, penuh hiruk pikuk. Semua harus saling pegangan satu dengan lainnya ketika turun dari kapal, kami takut hilang di Jakarta.
Keadilan gender adalah pendidikan dasar bagi kami untuk maju ke pendidikan selanjutnya, dan perjalanan berikutnya adalah menuju Yogyakarta.
Ini langkah pertama kami merangkai mimpi kami. Menikmati perjalanan tiga malam di kapal laut memandang laut lepas, lampu-lampu perkampungan di pinggiran laut, menjelajahi dekdek kapal Kelud, menghabiskan waktu di dek paling atas sambil menikmati angin laut. Kami menghayati rangkaian perjalanan kami.
73
Narasi Perempuan
Kali ini armada kami adalah kereta api kelas ekonomi yang berangkat dari Stasiun Senen. Ketika kereta datang, Mbak Ari dengan lantang mengomando kami untuk lari mencari gerbong, jadilah kami lari-lari ke gerbong dengan tas di punggung dan kedua tangan kami. Kami duduk terpencar, aku satu tempat duduk dengan Lisa berhadapan dengan Mbak Ari dan Bu Laminem. Mbak Ari membeli koran kemudian tidur di lantai, sedangkan kami bertiga berbagi ruang untuk kaki kami diantara tempat duduk yang sempit ini. Dua belas jam kami berada di kereta api. Ini membuat sepatuku menjadi sesak dengan ukuran kaki yang mulai bertambah. Pagi itu, panggilan alam menyuruhku untuk ke toilet. Aku meminta ditemani Mbak Ari, namun ketika melihat toilet kereta api yang langsung mengarah ke rel aku mengurungkan niat. Tubuhku menolak untuk berjongkok disana. Aku tidak jadi ke kamar mandi. Mbak Ari meminta kami untuk merapat ke pintu kereta, karena sebentar lagi kami akan sampai di Stasiun Sentolo, Kulon Progo. Pukul 09.00 pagi waktu Kulon Progo, kami berdiri disamping rel menunggu jemputan. Kami mencari warung nasi untuk sarapan, tapi gagal, tidak satu pun yang buka. Kami hanya berdiri saja dan menikmati sisa-sisa roti kering yang ada di tas Bu Sarah. Setengah jam kemudian ada mobil bak terbuka berwarna putih datang dari seberang, seorang laki-laki berkulit hitam memanggil-manggil Mbak Ari. Dengan mobil bak terbuka kami menikmati udara sejuk Kulon Progo. Ibu Lely Zailani menyambut kami sesampainya di kantor Serikat Perempuan Independen Kulonprogo dan memberi kami kesempatan untuk beristirahat. Malam harinya kami berkunjung ke rumah Ibu Lurah untuk memberitahukan bahwa kami pendatang baru yang akan mengadakan kegiatan selama satu bulan disini, kami ingin belajar dari masyarakat Kulon Progo. Namun, kelas belajar kami bukan di Kalibawang melainkan di sebuah puncak tinggi di Yogyakarta. *** 74
Rangkaian Kabut Jalan bebatuan yang menanjak, di sebelah kiri tebing menjulang tinggi, sebelah kanan jurang yang dalam, ukuran jalannya kecil dan hanya cukup untuk satu mobil. Perjalanan kali ini menguji adrenalin. Kadang kami teriak ketika melewati tikungan yang menanjak atau mobil lain dari seberang juga ingin lewat “Pelan Win!� teriak kami kepada sang supir. Perjalanan itu terbayar ketika melihat indahnya Suroloyo. Suroloyo adalah puncak tertinggi Pegunungan Menoreh di Kulon Progo, Yogyakarta, terletak di Dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh. Selama satu minggu bersama dinginnya Suroloyo kami mengikuti pelatihan peningkatan kapasitas kader untuk penguatan organisasi perempuan. Dengan fasilitator Bu Lely Zailani dan Pak Dhe, kami belajar bagaimana menulis notulensi yang baik, menggunakan kamera untuk mendapatkan foto yang maksimal untuk dilampirkan dalam laporan. Foto itu harus bercerita. Foto bercerita itu adalah ketika orang lain dapat mengerti apa yang sedang kita kerjakan, saat mereka melihat foto yang kita ambil. Sering sekali kami mengambil foto spanduk berdiri sendiri dan tidak ada orang di bawahnya, atau foto narasumber sendiri tanpa terlihat ada pesertanya, terkadang foto peserta yang diambil ada bagian tubuh yang terpotong. Foto seperti ini membingungkan untuk mereka yang melihat dan kurang pas untuk menjadi lampiran laporan. Akan lebih baik ketika mengambil foto spanduk tampak peserta yang duduk di bawahnya. Foto narasumber atau fasilitator diambil diantara lima atau dua kepala peserta yang menandakan bahwa narasumber tidak berbicara sendiri. Ekspresiekspresi peserta ketika serius mengikuti pelatihan. Dengan begitu, ketika orang lain yang tidak mengikuti kegiatan akan paham pada proses yang sedang berjalan dan memperkuat laporan kegiatan. Tidak hanya menjadi peserta di dalam kelas, kami juga belajar menjadi orang-orang yang menyiapkan dan menjalankan suatu pendidikan atau pelatihan. Kami belajar menjadi fasilitator, moderator, orang yang mendokumentasikan kegiatan, dan menjadi panitia. Setiap hari tugas kami berganti
Rajutan Muda
sehingga kami mendapat kesempatan yang sama. Ketika kami menjadi fasilitator, maka kami meniru beberapa fasilitator yang pernah kami temui dalam pelatihan. Saran Bu Lely kepada kami kalau ingin belajar menjadi fasilitator, sebagai awalan, tirulah orang yang kita kagumi. Ada beberapa pelatihan yang aku terima. Pelatihan community organizer di tahun 2010, ada Bang Iwan dan Bu Zulfa yang menjadi fasilitatornya, pesertanya adalah kader-kader muda dari serikat HAPSARI. Pelatihan feminisme yang diadakan oleh PESADA di Cinta Alam Sibolangit, Ibu Dina Lumbantobing menjadi fasilitatornya. Di tahun yang sama aku dan Lisa mengikuti pelatihan Hukum dan HAM Dasar yang diadakan oleh Perkumpulan Badan Hukum Sumatera Utara (BAKUMSU) ada Mbak Ressy disana sebagai fasilitator. Dari pengalaman pelatihan inilah aku mengingat-ingat, bagaimana para fasilitator itu menjelaskan dan memfasilitasi pertemuan di depan partisipan. Kami bertandang ke rumah warga Keceme. Dusun ini terletak di bawah penginapan kami, jalannya menurun, jarak rumah warga tidak saling berdekatan satu dengan yang lainnya. Ini adalah awal kami berbicara di depan masyarakat setelah tiga hari di dalam kelas. Materi kami adalah Credit Union (CU) HAPSARI Sehati dengan pembicara Ibu Sarah, Kak Tugiana, dan Ibu Pon yang merupakan utusan CU. Kami juga berdiskusi tentang homestay yang seharusnya bisa dibuat oleh masyarakat Keceme, karena Suroloyo mempunyai potensi wisata yang bagus dan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi warga dengan menerima tamu yang menginap di homestay. Ibu-ibu itu antusias, sebagian dari mereka tidak terlalu mengerti apa itu homestay, bagaimana membuatnya? Ibu Lely membantu menjelaskan tentang homestay, dan mengingatkan bahwa tamu yang menginap di rumah tidak boleh di intip-intip, kamar yang dipersiapkan harus bersih dan rapi tidak perlu baru. “Kalau makannya gimana Bu?� tanya Bu Mus. “Apa yang kita makan, itulah yang kita suguhkan.
Cuma jangan disatukan sama punya kita, untuk orang itu kita pisahkan,� ibu-ibu itu mengangguk setuju. Satu minggu sudah di Suroloyo, ilmu yang kami dapat harus kami praktekkan. Setelah berpamitan dengan warga Keceme kami melanjutkan perjalanan ke Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo. Materi kami adalah tentang Pengorganisasian Bersama Komunitas Banjaroyo. Ada rekan-rekan dari Pergerakan yang ikut saat itu. Ada Kang Mukti yang membimbing kami menciptakan sebuah lagu, Pak Sapei Rusin yang memberi semangat kepada kami yang sedang melakukan pelatihan kader, juga Khairudin rekan kader muda dari Pergerakan. Ibu Lely menunjuk kami untuk memfasilitasi kegiatan. Aku menjadi pembawa acara, Ira menjadi Notulis, Indah dan Riri menjadi tim dokumentasi, Lisa dan Mbak Atik mengurus konsumsi. Tugas kami selanjutnya adalah mewawancarai ibu-ibu Banjaroyo untuk memetakan kehidupan sosial mereka. Bermodalkan pendidikan analisis sosial dari Kalyanamitra kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Aku satu kelompok dengan Kak Nurul yang merupakan warga desa itu. Ini praktek lapangan kami yang pertama setelah satu minggu di Suroloyo. Pada pendidikan selanjutnya, kami dibagi menjadi beberapa tim untuk mengajak para perempuan Kulon Progo menjadi anggota SPI Kulon Progo. Aku bersama Riri mendapat tempat di Banjaroyo, Kak Tugiana dan Mbak Atik di Keceme, Indah dan Ira di Kalibawang, sedangkan Retno dan Lisa mengurus bidang kesekretariatan di kantor, menyiapkan segala keperluan kami ketika ke lapangan. Misi yang diberikan organisasi kepada kami adalah membuat kegiatan diskusi diantara warga. Kak Riri tinggal dengan Ibu Mus, sedangkan aku tinggal di rumah Ibu Sri. Aku merasa seperti anak pertama di keluarga ini, aku tidur sekamar dengan Dewi, anak pertama Bu Sri duduk di kelas 3 SMP Samigaluh. Si manja Sulis adalah anak keduanya yang masih SD. Ruang tamu rumah ini sederhana, sofa kuning bermotif bunga-bunga yang mulai pudar, busanya juga sudah tidak empuk lagi. Meja kayu dengan taplak hijau selalu diisi dengan kue75
Narasi Perempuan
kue kering. Suami Bu Sri bekerja sebagai tukang las dan membuka kios kecil di seberang rumahnya. Bu Sri juga pemain ketoprak di kampung ini, ia bercerita bagaimana ia bermain ketoprak dengan rekan-rekan lainnya dan menunjukkan baju-baju kebaya yang biasa ia pakai untuk tampil. Kami mendatangi ibu-ibu dari rumah ke rumah, mengajaknya berorganisasi. Kami menghadiri pengajian yang dilaksanakan setiap Selasa Pon. Kata Bu Sri, di desa ini pengajian diadakan menurut hari-hari Jawa seperti Sabtu Wage, Jumat Pahing, atau Selasa Pon. Isi pengajian disini sama seperti di kampungku, membaca tahlil beserta doanya. Kesempatan ini kami gunakan untuk memperkenalkan diri dan mengajak ibu-ibu untuk belajar bersama di HAPSARI dan SPI. Aku banyak belajar disini, terutama dari Bu Sri, bagaimana beliau mengajak ibu-ibu disini untuk ikut berkumpul, sabar menghadapi orang-orang yang mencemooh dia, dan selalu berpikiran positif pada siapapun. Sebagai staf yang kerjanya di sekretariat, dan sebagai penyiar radio HAPSARI_fm, kegiatan ini menjadi pengalaman pertama bagiku untuk terjun ke lapangan, pengalaman yang berharga. Diskusi antar warga bersama pemerintahan desa dan kecamatan harus terlaksana. Kami berbagi tugas. Aku dan Bu Sri bertugas mengantar surat ke Bapak Camat Kalibawang dan Kades Banjaroyo, sedangkan Kak Riri membuat spanduk untuk kegiatan kami dari kertas karton. Sore itu setelah selesai menghadiri acara kampanye dari salah satu calon Bupati Kulonprogo, Bu Sri mengajak kami bertemu dengan ketua RT-nya. Bu Sri mengatakan ia mendapat teguran dari RT karena ingin membuat kegiatan tetapi tidak minta izin darinya. Selesai Maghrib kami mendatangi Pak RT. Aku lupa nama Pak RT itu, yang aku ingat ia masih muda. Bu Sri saja memanggil dia Dik. Kami disambut oleh juru bicara Pak RT, umurnya sedikit lebih tua dari Kak Riri. “Kami dengar adik-adik ini mau buat kegiatan, apakah itu?” tanya mereka. “Dialog pasar gula jawa bersama pemerintah dan masyarakat Banjaroyo,” jawab Kak Riri. 76
“Disini penghasilan warganya memang itu. Mereka menjual langsung ke tengkulak.” “Karena itulah kami mengadakan diskusi ini, harapannya dengan kegiatan ini harga gula jawa ke petani tidak rendah tapi dibayar sepantasnya,” tegas Kak Riri “Jadi begini dik, kita harus tertib administrasi,” sahut juru bicara RT itu. “Jika adik-adik ingin membuat kegiatan di desa ini harus melalui RT dulu. Jika oke, maka lanjut ke RW, baru ke Kades, begitu.” “Sebelumnya kami minta maaf Pak, karena lancang tidak minta izin ke Pak RT. Kami sudah mendapat izin dari Pak Kades dan Pak Camat, Pak. Makanya malam ini kami mendatangi bapak untuk mengundang ke acara diskusi besok.” Kak Riri menyahut. “Kami takut, kalau kalian mencuci otak warga kami, kayak di TV-TV itu. Sekarang ini kita harus hati-hati,” lanjut si juru bicara lagi. “Organisasi kami tercatat dalam akte notaris dan Kesbang Pak, jadi kami bukan organisasi terlarang,” kataku. Bu Sri menambahi, “HAPSARI ini ada di Medan, Jogjakarta, Jawa Tengah, dan Poso. Tika dan Riri disini juga dalam tahap belajar, kami mengundang adik-adik untuk hadir di acara besok.” “Iya Mbak Sri, harusnya kalian izin dulu dengan kami. Kalau nanti ada apa-apa RTjuga yang salah,” sanggah mereka. Akhirnya terjadilah adu argumentasi antara Kak Riri dan juru bicara RT. Kak Riri benar-benar emosi, terdengar dari nada bicaranya yang sudah mulai meninggi, namun ia atur agar terlihat sopan di mata ketua RT dan juru bicaranya. Adu argumen ini akhirnya berhenti ketika Bu Sri mendapat telepon dari Kak Lely Lubis untuk persiapan diskusi besok. Kami pun berpamitan dengan Pak RT dan juru bicaranya itu. Perjalanan pulang ke rumah, aku bertanya ke Bu Sri siapa Pak RW di desa ini.
Rajutan Muda
“RW-nya Bapak, Ka,” ujarnya. “Bapak di rumah? Suami ibu?” “Iya.” ujarnya polos, aku tercengang. Pak RW-nya satu rumah denganku dan sangat mendukung kegiatan ini. Kenapa RT-nya aneh begitu? Kejadian dengan RT dan juru bicaranya itu menjadi bahan lelucon antara aku dan Kak Riri. *** Matahari cerah menyinari Banjaroyo pagi itu. Aku dan Kak Riri dag, dig, dug mempersiapkan diskusi ini, takut tidak ada yang datang. Diskusi ini dilaksanakan di beranda rumah mamaknya Bu Sri. Pagi-pagi sekali aku dan Kak Riri sibuk mempersiapkan tempat untuk diskusi pemasaran gula jawa ini. Kebetulan hari itu adalah jadwal Posyandu di Puskesmas dan Bu Sri adalah kader Posyandunya. Sekitar pukul sembilan aku melihat sosok Bu Sri datang bersama warga yang baru selesai kegiatan Posyandu, aku sedikit lega sekarang, kecemasan kami tinggal menunggu narasumber. Kami menjadi lebih semangat ketika narasumber dari pemerintahan juga datang, terkecuali Pak RT. Aku banyak belajar dari desa ini, para mbah-mbah disini semangat untuk berdiskusi. Mereka adalah perajin gula jawa. Namun harga jual produk mereka ke tengkulak sangat murah, padahal gula jawa dari Kulon Progo ini sudah menjadi ikon di Asia, hanya saja perajinnya masih kurang diperhatikan. Sedangkan para kaum mudanya lebih memilih merantau ke pulau Sumatera atau ke Jakarta daripada membangun desa mereka sendiri. Malam ini adalah malam terakhir kami di Kulon Progo, kami mengevaluasi seluruh kegiatan selama di lapangan dan ilmu yang kami dapatkan selama di sana. Malam itu, kami sepakat untuk menjamu ibuibu angkat kami dengan makanan yang kami masak sendiri sebagai ucapan terima kasih kepada mereka yang sudah menerima dan juga membantu kami. 10 Juni 2011, kami harus meninggalkan Kulon Progo. Siang itu, ibu-ibu angkat kami hadir memenuhi undangan untuk makan siang bersama. Tangis haru
menghiasi ruangan berlantai ubin ini, ketika kami menyematkan ulos berwarna ungu kepada mereka. Sampai bertemu lagi pada waktu lain yang lebih baik Bu, terima kasih atas pengalaman yang begitu berharga ini. *** Bantul adalah tujuan kami selanjutnya. Kami tinggal di kantor Serikat Perempuan Bantul (SPB). Kami diberi bekal selama tiga hari untuk ke lapangan, misi kami selanjutnya adalah pemuda. Untuk misi kali ini kami tidak dibagi dalam kelompok, melainkan sendiri-sendiri. Aku ditempatkan di Pleret, sebuah kota kecamatan yang terkena gempa di tahun 2006 silam. Tugas kali ini lebih rumit pastinya, ketika di Kulon Progo kami berdua, sedangkan di sini sendiri saja untuk mengajak dan menyiapkan diskusi dengan jangka waktu empat hari. Aku tinggal di tempat Ibu Kun. Ibu Kun mempunyai dua orang anak yang masih SD, satu laki-laki dan satu perempuan bernama Ayu. Ibu Kun mempunyai usaha katering, setiap hari aku membantunya mempersiapkan pesanan untuk diantar ke dinas-dinas. Malam pertama di sana, Bu Kun mengajak aku ke rumah Pak Kades untuk bersilaturahmi dan memberi tahu tujuanku ke sini. Lelaki berumur 30-an ini sangat ramah. Ia mendukung kegiatan kepemudaan. Ibu Kun memperkenalkan kepadaku seorang guru TK berkulit sawo matang, mengenakan jilbab, dan ia sebaya denganku, namanya Nurul. Ia mengajakku berkeliling berkenalan dengan remaja perempuan di Pleret ini. Pelan-pelan mereka kuajak untuk ikut berdiskusi di rumah Bu Kun. Malam ke tiga di rumah Ibu Kun aku mendapat kabar dari Berastagi, kalau mamak sedang dalam proses melahirkan adikku yang ketiga. Aku hanya dapat berdoa untuk keselamatan dan kelancaran mamak. Di umur yang ke-40 ini mamak harus berjuang melahirkan anak keempatnya. Pukul sembilan malam, tanggal 14 Juni 2011 aku resmi mempunyai adik kecil lagi. Ingin rasanya aku pulang dan melihat adik baruku itu, tapi tidak mungkin karena aku masih harus menyelesaikan pendidikan ini. Seperti dalam jadwal, kami harus membuat acara diskusi di hari keempat. Aku dibantu Bu Kun 77
Narasi Perempuan
menyiapkan keperluan untuk diskusi, sedangkan Nurul mengorganisir peserta diskusi. Aku cemas kalau tidak ada yang datang dan aku tidak berharap akan banyak yang hadir malam itu. Selesai salat Isya, Nurul datang bersama peserta diskusi, aku senang sekali karena yang hadir di acara ini sebanyak 22 orang. Aku kikuk harus menjadi fasilitator sembari menjadi narasumber di depan 22 orang. Aku malu. Kalau sudah berada di posisi grogi begini aku lebih intens ke kamar mandi. Aku berusaha menenangkan diri dengan membaca-baca doa, situasi yang rumit. Diskusi diawali dengan memperkenalkan diriku, kemudian memperkenalkan HAPSARI, serikat anggota dan tujuan organisasi ini. Kami berbagi pengalaman bersama disini, mereka antusias dan berharap ada diskusi lagi yang dilaksanakan. Malam itu diskusi kami tutup pukul 10 malam. Tanggal 17 Juni 2014, di Balai Desa Trirenggo Bantul adalah puncak kegiatan kami selama di Bantul. Kami membuat diskusi panel“Membangun Sistem Kaderisasi Organisasi Untuk Kewirausahaan Perempuan Desa”. Peserta diskusi ini adalah anggota SPB, kader muda yang sudah kami ajak, dan ibu-ibu dari SPI Kulon Progo. Pada diskusi ini kami mengundang Bapak Frans dan Pak Sudar dari LSM Yayasan Cindelaras. Aku seperti menjadi orang baru hasil pelatihan satu bulan di Yogyakarta ini. Aku lebih paham bagaimana saling membantu, berbagi peran dalam kerja tim. Aku belajar bagaimana melebur di tempat dan orang-orang yang baru aku kenal, memberi kesempatan yang sama kepada orang lain, untuk tidak merasa lebih pintar, belajar mendengarkan, dan belajar mengalahkan keegoisan. Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah, begitu kata Bu Lely dan sering kali diulang-ulangnya. Dalam kehidupan sekarang apa yang pernah kudapatkan, aku aplikasikan, terutama dalam kampus. Ketika presentasi tugas kelompok, dengan sigap aku memberi usul untuk berbagi peran, semua orang dalam kelompok ini harus berbicara di depan kelas. Sampai suatu hari seorang teman kelasku bernama Ardy mengucapkan terima kasih kepadaku, karena akhirnya ia menjadi terbiasa untuk presentasi sendiri di depan kelas. Aku berterima kasih pada proses yang kulalui itu. 78
Sama seperti di Kulon Progo, kami juga menyuguhkan makan siang kepada ibu-ibu angkat. Kami juga menyematkan cendera mata ulos berwarna ungu kepada mereka. Perpisahan itu kembali hadir. 18 Juni 2014 merupakan hari terakhir di Tanah Keraton ini, karena selanjutnya adalah perjalanan ke Kota Kembang. Disana kami tinggal di kantor Pergerakan. Bandung adalah tempat terakhir kami dalam melakukan pelatihan. Di sini kami lebih banyak belajar cara membuat laporan. Modal utama kami dalam membuat laporan adalah kegiatan selama satu bulan di Yogyakarta berupa notulensi kegiatan yang ada di buku catatan kami. Dalam pembuatan laporan ini kami saling membantu, Bu Sarah, Kak Tugiana, dan Bu Pon tidak terlalu lihai mengetik di komputer, kami yang muda-muda inilah yang mengetikkan laporan mereka. Kami juga harus menganalisis serikat kami masing-masing untuk rencana tindak lanjut dari pelatihan kader ini. Selanjutnya kami pulang, perjalanan Bandung ke Jakarta menggunakan travel sampai Tanjung Priuk. Kami menunggu di ruang keberangkatan tanpa mengecek tiket. Sampai seorang laki-laki yang menjadi buruh angkut kapal menakuti kami terhadap tulisan non-seat di tiket kami. Bu Sarah menelpon Kak Lely Lubis dan mengatakan kalau tiket kami non-seat. Kak Lubis bingung dan kembali bertanya, “Apa itu nonset?” “Nonset Lel. Non Seat tulisannya,” teriak Bu Sarah dari balik telepon. Dari kejauhan kami sudah dipanggil untuk berangkat. Dengan modal tidak tahu apaapa, bersama si abang pengangkut barang yang menyadarkan kami akan hal itu, kami menaiki kapal. Non-seat artinya tidak mendapatkan kamar atau tempat tidur. Jadilah perjalanan ke Medan kami habiskan di dek lantai tiga kapal Kelud ini. Di depan kami pantry pembuangan sampah, sehingga kami harus menggunakan masker yang dibawa Bu Sarah dari Klaten untuk menutupi bau busuk dari sampah. *** Berbekal pelatihan di tanah Jawa, Serikat yang ada di Sumatera Utara juga harus dikuatkan. Serikat pertama di Sumatera yang kudatangi adalah
Rajutan Muda
SPI Labuhanbatu. SPI Labuhanbatu merupakan salah satu serikat anggota HAPSARI yang intens menangani kekerasan terhadap perempuan. Suatu pagi ketika kami sedang bersih-bersih, seorang perempuan datang sambil menangis. Pelipisnya berdarah, di bibirnya ada yang luka, terlihat darah mulai mengering, kaki dan tangannya juga lukaluka. Ia meminta tolong kepada SPI, ia bercerita tentang suaminya yang suka mabuk, berjudi, dan main perempuan. Si suami sering sekali ketika pulang langsung memukulnya. Walaupun sudah kena pukul begitu ia masih saja bertahan selama dua belas tahun dengan laki-laki itu? batinku. Miris aku melihat tingkat kekerasan di Labuhanbatu ini. Hanya dua minggu disini setiap hari ada perempuan yang melapor tentang kesakitannya. Aku tidak kuat melihat realita terhadap perempuan disini. Seringkali, ketika sebuah becak berhenti di depan kantor SPI aku langsung merasa was-was, ada perempuan yang tersakiti lagikah? Padahal becak itu hanya ingin berbelok. Namun, sering juga perempuan-perempuan yang melapor itu akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal bersama suaminya, seperti ibu yang melapor itu. Aku menjadi sosok yang tidak percaya pada laki-laki. Menurutku apapun yang mereka katakan hanya sebatas pemberi harapan kemudian menyakiti. Dan akhirnya aku memberi batasan pada diriku sendiri untuk kaum adam itu. Ada perasaan takut di hatiku. Selesai tugas di Labuhanbatu, aku, Riri, dan Kak Tugiana berangkat ke Tanah Karo untuk penguatan SPI Tanah Karo Simalem. Kampungku sendiri. Sedangkan Ira, Indah, dan Lisa bertugas di SPI Serdang Bedagai. Aku ingat pertama kali aku mengenal HAPSARI di kota dingin ini. Awalnya diajak mamak menjadi perpanjangan HAPSARI untuk mengajak kaum perempuan lainnya. Itu di tahun 2007 ketika aku masih duduk di bangku SMA. Aku hanya ikut mendengarkan dan tidak terlalu tertarik pada organisasi itu karena aku tidak paham sama sekali. Disini kami mengajak orang-orang lama SPI TAKASIMA (Tanah Karo Simalem) untuk aktif lagi di SPI. Perempuan-perempuan yang kami ajak itu semangat utuk aktif lagi dan kami menjadwalkan pertemuan kegiatan sebulan sekali.
Suatu pagi ketika kami sedang bersih-bersih, seorang perempuan datang sambil menangis. Pelipisnya berdarah, di bibirnya ada yang luka, terlihat darah mulai mengering, kaki dan tangannya juga luka-luka. Ia bercerita tentang suaminya yang suka mabuk, berjudi, dan main perempuan. Si suami sering sekali ketika pulang langsung memukulnya. Walaupun sudah kena pukul begitu ia masih saja bertahan selama dua belas tahun dengan laki-laki itu? batinku. 79
Narasi Perempuan
Serikat terakhir yang didatangi adalah SPPN dan SPI Deli Serdang. Untuk di SPPN hanya Ira dan Indah, sedangkan aku dan Lisa berada di sekretariat. Ketika di SPI Deli Serdang hanya Riri dan Ira, sedangkan Indah kembali ke Labuhanbatu, aku dan Lisa masih tetap di sekretariat. *** Menyulam Kembali Perjuangan Akan ada perubahan di setiap perjalanan perjuangan. Tahun 2012 teman-teman kader muda yang berjuang bersama ketika pelatihan di tanah Jawa banyak yang vakum berkegiatan karena menikah. Tinggallah aku dan Indah yang masih bertahan pada jalur itu. Berhubung kami belum menikah dan masih menyelesaikan tugas sebagai mahasiswa. Setelah tidak bertemu selama beberapa bulan karena sibuk di serikat masing-masing, aku kembali bertemu dengan Indah pada pelatihan pembuatan modul di Suroloyo Jogjakarta. Semua memori tentang kami di tahun 2011 lalu masih terekam manis di dalam otak kami. Aku dan Indah mengitari kamar-kamar penginapan yang dulu kami tempati. Kami mendaki Suroloyo berdua, yang dulunya kami daki beramai-ramai. Semua masih seperti dulu, dingin. Yang tertinggal hanya jejakjejak perjuangan yang menjadi kenangan. Lokakarya Pembuatan Modul Pelatihan Advokasi Hak-hak Ekonomi Perempuan adalah judul pelatihan kami. Fasilitator kegiatan ini adalah guru terhebat kami, Bu Lely Zailani dan Pak Dhe. Tujuan dari pelatihan ini adalah memperkuat kepemimpinan dan memenuhi kebutuhan anggota secara mandiri berkegiatan untuk meningkatkan pendapatan. Pesertanya berasal dari serikat anggota HAPSARI masing-masing. Kami belajar bersama narasumber keren, Mas Bukik. Kami belajar bagaimana menjadi pemimpin di organisasi. Aku ingat bagaimana Mas Bukik membagi kami menjadi kelompok, dan kemudian meminta kami membuat rumah dari kertas. Pembelajaran dari metode ini, kata Mas Bukik adalah, “Modul pembelajaran itu ibarat mendesain rumah untuk mempermudah membayangkan rumah idaman dalam bentuk nyata, memastikan rumah yang dibangun sesuai dengan rumah yang 80
dibayangkan. Mempermudah pembuatan rumah dalam jumlah banyak.� Kami juga belajar advokasi bersama Bapak Bastian Saragih. Pemahamanku terhadap advokasi dari penjelasan beliau adalah perubahan kebijakankebijakan publik, baik tentang sosial ekonomi dan politik. Bahwa tujuan politik itu adalah untuk kesejahteraan rakyat, namun sangat disayangkan karena sampai sekarang tujuan dari politik itu sendiri belum dapat dirasakan terutama oleh kaum perempuan. Dalam perubahan ekonomi yang terjadi juga demikian, belum banyak yang dapat merasakannya. Kami bukan penulis yang hebat, namun kami dituntut membuat satu modul yang akan menjadi panduan kami ketika kami di lapangan. Kami memberikan tenaga dan pikiran ekstra untuk menghasilkan modul ini. Bermodal dengan arahan Pak Dhe untuk membuat kerangka modul dan pembahasan dengan Bu Lely Zailani akhirnya tercetaklah sebuah modul pelatihan, karya kami sendiri. Pelatihan ini masih berlanjut, namun tidak seperti pelatihan kader di tahun 2011 yang langsung selama satu bulan, pelatihan kali ini bertahap dari bulan pertama ke bulan berikutnya. Pelatihan yang diberikan HAPSARI untuk meningkatkan kapasitas kami sebagai kader dan pemimpin di serikat kami. Training of Trainer di Bantul pada 31 Oktober 2013 adalah pelatihan selanjutnya dari pembuatan modul. Pelatihan kali ini berbeda, biasanya narasumber yang mendatangi peserta tapi kali ini atas ide cemerlang dari Bu Lely, kamilah yang mendatangi narasumber. Narasumber pertama kami adalah Bapak Yando Zakaria di Rumah Jambon dengan tema teknik menjadi fasilitator. Beliau membagikan teknik menjadi fasilitator agar peserta tidak bosan. Sebagai fasilitator, kita harus menguasai substansi apa yang mau dicapai, bukan sekedar menghafal definisi tetapi paham akan maksud dan tujuannya. Fasilitator juga harus memahami proses kegiatan dan bisa mengajak partisipan untuk serius, namun harus ada permainan agar peserta tidak bosan. Pesan Pak Yando kepada kami, “Harus adil dengan diri sendiri, terima apa adanya karena belajar merupakan sebuah keniscayaan.�
Rajutan Muda
Narasumber kedua yang kami datangi adalah Mas Aris Arif Mundayat di kampus Pascasarjana Antropologi, Universitas Gajah Mada (UGM). Di sini wejangan yang diberikan oleh Mas Aris, “Tujuan organisasi penting untuk dipikirkan. Berapa orang anggota organisasi yang akan terlibat mendukung kegiatan tersebut? Bagaimana meningkatkan isuisu yang terbaik dengan program dan kemampuan lobi. Lobi berangkat dari pengalaman. Kami mengingat kembali pengalaman mengundang narasumber. Pengalamanku sebagai penyiar ketika mengadakan acara talkshow tentang buruh migran dan narasumber dari pemerintahan yang diundang itu tidak datang, jadilah acara talkshow hanya dengan satu narasumber yaitu perempuan yang pernah bekerja di Malaysia.
takut ketahuan Bu Atmi dan Bu Yanti. Aku tidak ingin membuat mereka cemas. Mengingat kembali memorikah yang membuatku menangis? Entah juga. Subuh kami sampai di stasiun Tugu Yogyakarta, kemudian dijemput oleh Kang Budi untuk bergerak langsung ke Bantul, kantor HAPSARI di Yogyakarta. Teman-teman dari Malang baru tiba ketika Maghrib, kami bercanda dan berbagi pengalaman bersama selama mengikuti pelatihan yang berbeda. Mamak menelpon dari Berastagi, dengan cepat aku menjawabnya. “Pulang, Kak. Kalau bisa pulang malam ini,” suaranya tertahan di seberang. “Kenapa?” mamak enggak menjawab apapun.
Masukan dari Mas Aris, “Jika ingin mengundang kalangan pemerintah jadi narasumber, kita harus mencari orang terdekatnya disana. Kita bisa melobi melalui partainya atau kita jaga komunikasi dengan orang-orang yang pernah kita undang dan ia datang.” Kami paham, ada beberapa orang yang kami undang sebagai narasumber datang, hal itu karena sudah terjalinnya komunikasi yang baik antara kami dan mereka. Seperti Pak Matondang di Kepolisian Deli Serdang, ketika kami mengundang menjadi narasumber untuk berbicara mengenai penanganan kekerasan terhadap perempuan, ia langsung hadir. Hal ini karena kami sudah bermitra baik dengan beliau. Dari pembuatan modul dan ToT kami ditugaskan mempraktekkannya di serikat masing-masing. Disini kesulitan sesungguhnya kami hadapi. Kami yang belum pernah melobi anggota DPRD harus menghadirkan mereka menjadi narasumber pada kegiatan yang kami lakukan. Ada anggota DPRD yang berjanji hadir kemudian benar-benar hadir. Ada juga anggota DPRD yang berjanji akan hadir tapi tidak hadir di hari H. Ketika dihubungi begitu banyak alasan mereka. *** Aku masih duduk di kereta api yang membawa kami ke Yogyakarta. Rangkaian kegiatan dengan orang-orang hebat mengisi memori perjalananku. Air mataku yang menetes cepat kuhapus karena
“Pulanglah….” teleponnya.
pesannya
dan
mematikan
Aku kembali menelepon ke sana dan adikku Bobi yang mengangkatnya “Kenapa Bo?” “Bapak udah enggak ada Kak,” suaranya tertahan. Tangisku pecah. Semua menanyaiku, suaraku putus-putus mengatakan bahwa bapakku sudah pergi. Mereka memelukku memberi kekuatan. Selama dua bulan tujuh hari bapak sakit terkena pendarahan otak karena jatuh pas lagi menukang gubuk. Aku tak pernah berpikir, di masa akhir bapak, aku tidak di sampingnya. Ia adalah orang tua yang over-protective terhadap anaknya, ia tidak pernah mengizinkanku bermalam untuk camping sejak sekolah dulu. Tapi, ia yang memberikan keleluasaan padaku memilih jalur berjuang untuk kaumku, berorganisasi. Tanggal 7 Desember 2012 bapak pergi dari kami. *** Aku dibesarkan di dataran tinggi Sumatera Utara, ibuku hanya bekerja sebagai aron atau buruh tani. Aku bersama ibu berjuang di HAPSARI melalui SPI Tanah Karo Simalem. Bagiku masih banyak PR yang harus aku kerjakan, untuk kuberikan kepada kaum 81
Narasi Perempuan
perempuan di Tanah Karo. Sampai sekarang aku masih merajut benang-benang perjuangan untuk mereka. “Perjuangan itu tidak pernah instan,” ujar ibu-ibu di HAPSARI itu kepadaku. “Yang penting tidak menyerah,” kata mereka dan,seperti syair lagu yang sering kami nyanyikan di HAPSARI, “Belum Menuju Pulang”: Hangatnya sinar matahari menyinari ruang rumah hati, senyuman bocah-bocah negeri menitipkan cinta dan harapan. Langkah yang telah dimulai memahatkan mimpi hari ini, Ibunda yang terus berjuang merajut bendera masa depan. Mari terus berjalan, belum menuju pulang... lihat ibu pertiwi sedang menagih janji, mari terus berjalan kita berpegangan tangan. Lihat ibu pertiwi sedang menunggu bakti. ***
© HAPSARI
82
Rajutan Muda
83
Narasi Perempuan
Wajar Tanpa Syarat Suindrawati
84
Wajar Tanpa Syarat
Š Feri Latief/USAID Program Representasi 85
Narasi Perempuan
Aku mulai tahu cara berbicara di depan orang banyak dan rasa gugupku berkurang. Pengetahuan dan pengalamanku pun bertambah, tidak seperti awal masuk HAPSARI, sampai harus lari ke kamar kecil jika mendapat giliran bicara di depan orang banyak. Dari pelatihan gender yang kuikuti, aku sadar bahwa di rumah pun harus ada perubahan. Pelan-pelan aku mengajak suami bertukar pikiran dan membagi beban pekerjaan domestik. Mengurus anak dan yang lainnya bukan hanya tugasku sendiri, tapi juga tugas suami, kami pun mulai berbagi pekerjaan. Sebelum berangkat kerja suamiku menyapu, membersihkan rumah, dan menjaga anak, sedangkan aku memasak.
S
UINDRAWATI namaku, tetapi sehari-hari dipanggil Een, tidak nyambung dengan nama panjangku. Menurut cerita, karena bapak hobi sepak bola, dan di permainan tersebut ada peraturan jika bola terpegang tangan, maka disebut “en� (handball). Bapakku adalah orang yang paling sering tangannya menyentuh bola, en. Jadilah aku dipanggil Een. Aku anak pertama dari empat bersaudara dengan dua adik laki-laki dan satu adik perempuan. Nama ibuku Suriatik, anak pertama dari pernikahan Mariana (nenek) dan Kinan (kakek). Mispan nama Bapakku, beliau anak ke-7 dari 8 bersaudara, hasil pernikahan dari Tirto Utomo dan Saminem. Aku dilahirkan dari keluarga yang sederhana, kedua orang tuaku bekerja sebagai petani. Saat umurku 18 tahun, aku lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Satria Dharma Perbaungan jurusan Akuntansi, pada tahun 2001. Aku berusaha mencari pekerjaan untuk membantu orangtua, melamar di pabrik-pabrik di Medan dan Tanjung Morawa, menginap di tempat indekos saudaraku selama berminggu-minggu namun tidak juga mendapat pekerjaan. Tetapi aku tidak putus asa, daripada menganggur di rumah saja, akhirnya aku bekerja di sebuah perkebunan coklat (kakao) sebagai buruh pemanen buah, ikut pekerjaan bapak dan mamak selama kurang lebih dua tahun. Aku juga pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Kota Medan, tapi tidak lama. Pulang 86
dari Medan, aku ikut bibi, Sawini namanya, ikut ngumpul-ngumpul. Waktu itu aku tidak tahu apa yang dibicarakan tapi yang aku ingat mereka ngomong-ngomong soal kehidupan perempuan. Aku baru tahu setelahnya, bahwa kegiatan yang kuikuti berhubungan dengan HAPSARI. Tanggal 18 Agustus 2005 aku menikah dengan seorang lelaki bernama Dian Pratama, pada saat umurku 23 tahun. Satu tahun kemudian, aku dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik, namanya Aulia Diana Putri, sekarang berusia 7 tahun, duduk di sekolah dasar kelas dua. Anakku yang kedua bernama Khafi Aidin Wahyudi, sekarang berumur 16 bulan. Aku masih aktif di HAPSARI sampai sekarang, karena aku menemukan sesuatu yang berharga di HAPSARI, dan menjadi dihargai setelah berorganisasi, walaupun aku seorang perempuan. Di rumah, aku diselalu ditanya, diajak bicara, terutama dalam hal berpendapat dan memberi saran tentang pendidikan adik-adikku, anakku, dan yang lainnya. *** Setelah kurang lebih satu tahun aku mengikuti kegiatan di Serikat Perempuan Independen (SPI) Serdang Bedagai bersama bibikku, aku melamar bekerja di HAPSARI pada tahun 2004, karena waktu itu ada penerimaan staf baru. Bukan langsung kerja, tetapi harus mengikuti proses pelatihan
Wajar Tanpa Syarat
dengan kegiatan Napak Tilas yang dibuat HAPSARI. Kami melakukannya dengan berjalan dari sekolah Madrasah Aliyah Bingkat menuju ke Desa Sukasari, dilanjutkan ke Desa Perkebunan Pondok Dwikora, Desa Pondok Tengah, Desa Sukaraja dan kembali lagi ke Desa Bingkat. Kami hanya dibekali uang transport sebesar Rp 5.000. Dalam napak tilas itu kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok diberi tugas untuk mencari, menemui dan mewawancarai para pendiri HAPSARI atau orang yang pernah membantu berdirinya HAPSARI. Di Desa Sukasari, kami menemui Pak Wiro yang ternyata adalah salah satu orang yang yang turut membantu berdirinya HAPSARI. Dalam wawancara itu kami mulai dengan pertanyaan apakah ia mengenal HAPSARI atau tidak. Marni: “Pak Wiro, saya Marni dari Pegajahan, saya mau tanya, apakah bapak kenal HAPSARI Pak?” Pak Wiro: “Oh, HAPSARI, ya kenal. Si Lely itu kan yang membentuknya, dulu dia guru TK di sini.” Pak Wiro lalu menceritakan bahwa dulu pertama kali kegiatan yang ia tahu adalah Taman Kanak-kanak yang didirikan di rumah Ibu Salem. Kemudian pindah ke rumahnya yang kosong yang disiapkan untuk anaknya kalau nanti sudah menikah. Waktu itu gurunya adalah Lely dan Neni. Selama empat tahun, TK menumpang di rumah Pak Wiro tanpa diminta untuk membayar sewa. Lalu tahun berikutnya pemerintahan Desa Sukasari membangun gedung sederhana untuk TK di atas lahan tanah kas desa, sehingga tidak lagi menumpang di rumah penduduk. Setelah wawancara dengan Pak Wiro selesai, kami pun melanjutkan perjalanan menemui orangorang yang namanya kami temukan dari proses wawancara, yang disebut sebagai pendiri HAPSARI. Napak tilas itu kami selesaikan sehari penuh, lalu pulang ke rumah dan besok harus datang lagi ke HAPSARI. Ada 20 orang yang mengikuti napak tilas, namun yang datang kembali ke HAPSARI hany tinggal 6 orang, termasuk aku. Kami melakukan evaluasi, membahas dan menilai hasil yang kami capai. Salah satunya adalah bahwa kami menjadi
lebih tahu, bagaimana kisah perjalanan HAPSARI dulu. Mengenal HAPSARI Pematang Pasir adalah nama sebuah desa dimana aku ditempatkan magang oleh HAPSARI pada tahun 2004. Marni dan Nining adalah teman satu kelompokku. Marni berasal dari Desa Pegajahan sedangkan Nining dari Desa Sidourip, jarak kedua desa itu sangat jauh. Ini ospek ke dua yang kuikuti. Kami menyebut kegiatan ini dengan dengan sebutan “ospek” atau orientasi pengenalan sekolah. Tapi ini berbeda dengan ospek pada saat sekolah. Dulu, ospek di sekolah kita harus membayar dan ditempatkan di kantor pemerintahan yang bekerjasama dengan sekolah tersebut. Pekerjaan yang kulakukan antara lain membantu membersihkan kantor, dan membantu pekerjaan yang mereka berikan. Di HAPSARI berbeda, karena tidak membayar dan tidak boleh membawa uang lebih dari Rp 5.000 dan kami harus berjalan kaki dari desa ke desa, dimana desa tersebut memiliki nilai sejarah bagi berdirinya HAPSARI. Yang lebih asyik, kami berjalan kaki tidak sendirian, di jalan bertemu dengan anak sekolah Aliyah Bingkat dan teman lainnya. Bedanya lagi, kami bertemu dengan orang yang pernah terlibat dalam proses penumbuhan HAPSARI dan bertanya macam-macam tentang sejarah HAPSARI. Kelompok kami terdiri dari tiga orang. Kami diantarkan oleh Bu Riani dan Bu Mardiana ke rumah Ibu Ema Salamah, salah seorang anggota Serikat Perempuan Petani Nelayan (SPPN) yang ada di Serdang Bedagai. Masa magang selama 15 hari dan kami tidak boleh pulang selama magang. Hari pertama kami diperkenalkan dengan Ibu Ema. Setelah Bu Ema menunjukkan tempat dimana kami akan menginap. Setelah kami lihat tempatnya, kami terdiam dengan wajah sedih, “Wow! Jorok kali, macam gudang,” batin kami masing-masing, terdiam dan saling pandang. Kak Ema berkata, “Ini kamar kalian selama magang, kalian bersihkan sendiri ya, sesuai yang kalian mau. Tapi lampunya mati, sementara pakai lampu sentir (lampu minyak tanpa semprong) dulu ya, abang belum sempat 87
Narasi Perempuan
ganti,” kata Bu Ema. “Oh ya, tidak masalah kak, tidak masalah.” Sahut Marni sambil mecubit-cubit paha kami. Setelah Bu Ema pergi untuk berjualan, kami pun bersiap membersihkan kamar untuk tidur nanti malam. Kami berbagi membagi tugas, menyapu menjadi tugas Nining, mengepel tugasku, sedangkan mencuci pakaian Bu Ema menjadi tugas Marni. Saya mengepel lantai kamar lebih dari sepuluh kali, tetapi tetap saja lantai kamar tersebut masih berwarna hitam. Karena kelelahan, aku tidak meneruskannya lagi. Keesokan harinya kami bangun pagi pukul lima pagi, dengan muka capek. Tiba-tiba aku geli melihat wajah Nining. Marni juga, sehingga kami pun tertawa, “Hahahaha…. Ning hidungmu kok hitam, Ning.” Nining pun tertawa, “Hidung kalian juga hitam.” Akhirnya kami tertawatawa bersama. Marni berkata, “Pasti lampu sentir itu yang membuat hidung kita hitam.” Kami masih terus tertawa. Setelah tawa kami habis, kami membantu Bu Ema berjualan lontong di teras rumahnya dan membantu menjaga anaknya. Selesai berjualan, kami mencari anak–anak muda khususnya perempuan. Ini menjadi rutinitas kami dalam ospek kali ini. Dari pintu ke pintu, kami mengenalkan diri dan mengenalkan organisasi, mengajak mereka berkumpul. Beberapa hari kemudian, pada malam Minggu, kami akhirnya berhasil melakukan pertemuan dengan anak-anak muda setempat. Tepat jam 8 malam kami membuka acara, dan diskusi difasilitasi oleh kami bertiga, tetapi yang bicara lebih banyak adalah Nining. Ia memang lebih percaya diri diantara kami. Marni hanya diam, sedangkan saya mondarmandir ke belakang, sok sibuk. Aku gelisah karena tidak terbiasa bicara di depan umum, apalagi memimpin diskusi seperti Nining itu. Aku sangat khawatir Nining akan memberi giliran padaku untuk ngomong. Padahal, pada saat perkenalan saja, aku begitu gugup sehingga harus melarikan diri ke kamar kecil. Diskusipun dilanjutkan oleh Nining, materi yang kami sampaikan adalah tentang bahaya seks remaja. Peserta diskusi terdiri dari anak perempuan berumur 88
14 tahun ke atas dan belum menikah. Tujuan diskusi adalah merekut anggota untuk kader-kader serikat anggota HAPSARI kedepan. Setelah lebih kurang setengah jam, saya pun keluar dari kamar mandi dan mengikuti diskusi tersebut. Satu jam kemudian, diskusi berakhir. Sebelum ditutup Nining ternyata masih meminta saya untuk memperkenalkan diri, dengan terpaksa dan tidak bisa kabur lagi, saya terbata-bata memperkenalkan diri. Lima belas hari di Pematang Pasir, kamipun berhasil membentuk kelompok pemuda dusun. Ini merupakan pencapaian kami dalam menjalani ospek di HAPSARI dengan tugas melakukan pengorganisasian. Setelah mengikuti ospek dan magang selama 3 bulan, kamipun menerima penempatan: Marni dan Nining di SPI Deli Serdang (sekarang Serdang Bedagai), sedangkan saya tetap di HAPSARI untuk membantu Kak Sri di bagian keuangan. Peningkatan Kapasitas Tahun 2011 saya ikut program peningkatan kapasitas kader yang dilakukan HAPSARI, kali ini sebagai kader muda HAPSARI. Namun saya juga bertugas sebagai orang keuangan yang bertanggungjawab untuk memfasilitasi keberangkatan peserta, mulai dengan mempersiapkan mobil untuk keberangkatan sampai kepulangan kembali ke Medan. Kami pergi ke Jakarta dengan kapal laut. Berdelapan dari Medan, menggunakan mobil sewaan sampai Belawan, tiket kapal laut yang kami beli adalah kelas ekonomi dengan harga Rp 315.000 per orang. Perjalanan menuju Jakarta hampir tiga hari tiga malam. Dalam perjalanan sampai ke Jakarta banyak sekali kesan yang tidak terlupakan. Makan selama di kapal, kami mendapat nasi kotak dari kapal, yang isinya selalu nasi, tumis kol, dan telur-yang tidak ada rasa telurnya sama sekali karena terlalu banyak tepungnya. Setiap hari itu saja yang kami makan. Sebenarnya kami juga membawa ‘bontot’ (bekal) masing-masing, ada yang membawa ‘sartika’ yaitu sambel teri kacang, membawa peyek, telur rebus, dan tidak ketinggalan mi instan. Tetapi bekal kami hanya bisa bertahan satu hari, hari kedua sudah habis dan sudah mulai mengandalkan mi instan.
Wajar Tanpa Syarat
© HAPSARI
89
Narasi Perempuan
Di kapal itu kami seperti satu keluarga yang utuh, Kak Sarah sebagai bapak, Kak Pon sebagai ibu, Tugiana sebagai bibi, aku sebagai kakak tertua dan yang lainnya sebagai adik-adikku. Jika bosan, kami menghibur diri dengan nonton film, karaoke, dan keluar melihat pemandangan laut luas. Dalam perjalanan, kami mendapatkan kenalan baru, seorang bapak yang selalu baik, selalu mengajak kami karaoke, makan, dan menonton. Yang masih gadis berkenalan dengan petugas kapal/anak buah kapal (ABK). Karena perkenalan itu, akhirnya kami tidak pernah mengambil jatah nasi kotak lagi ke dapur, karena selalu diantar oleh ABK teman baru kami itu. Sampai di Jakarta, kami sudah kelelahan tetapi harus langsung menuju kantor mitra HAPSARI yaitu Kalyanamitra. Begitu tiba di kantor tersebut, kami seperti orang pengungsian, terkapar dengan muka capek, letih, lesu, dan tak berdaya. Semuanya terkapar. Di Kalyanamitra kami tidak sendirian, sudah ada beberapa orang yang berasal dari serikat anggota HAPSARI yang lain, Pekalongan, Bantul dan Kulon Progo. Selama dua hari di Kalyanamitra, kami belajar tentang gender dan feminisme. Aku agak pusing dengan materi ini, karena bahasanya agak sulit, tapi tetap harus mengikutinya pelanpelan. Setelah itu kami berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan perjalanan, dalam perjalanan ke Yogyakarta kami menggunakan kereta api kelas ekonomi dengan harga tiket Rp 35.000 per orang. Di kereta, aku begitu takjub melihat keadaan stasiun yang sangat ramai, orang-orang berebutan tempat duduk, padahal di karcis sudah tertera nomor bangku. Pada malam hari, aku dikejutkan dengan gerakan-gerakan di bawah bangku. Aduh, kok di kakiku ada sesuatu ya? Oh, ternyata kulihat ada orang tidur di bawah bangku, dan setelah memperhatikan sekeliling, aku baru tahu bahwa di kereta api ini ada orang yang tidur di kolongkolong bangku. Begini rasanya naik kereta api kelas ekonomi. Melewati satu malam, kami pun tiba di Yogyakarta. Kami dijemput dengan mobil bak terbuka, macam orang pulang dari merantau. Mulailah aku mengikuti proses pengkaderan yang 90
memang wajib kuikuti untuk menambah lagi pengetahuanku. Pendidikan kader kali ini diisi dengan kegiatan mulai dari berbagai pelatihan, praktek lapangan, dan membentuk kelompok baru di desa-desa anggota serikat-bahkan di desa yang belum ada serikatnya. Kami juga diberi kesempatan berjalan-jalan melepaskan penat dari Suroloyo menuju Borobudur. Selain proses pengkaderan yang wajib dijalani, aku mendapatkan lagi pendidikan peningkatan kapasitas di bidang keuangan dan pembiayaan organisasi, yaitu Training on Integrated Strategic Financial and Program Planning tahun 2005 disebuah lembaga namanya Satunama di Yogyakarta. Kali ini aku bersama Kak Sri. Di sana kami belajar tentang monitoring and evaluation (monev) yang baru kali ini kuikuti. Barulah aku memahami arti dan peran monev dalam organisasi. Menurutku monev itu sangat penting karena proses ini dapat menilai apakah pelaksanaan kegiatan atau penggunaan keuangan sesuai dengan rencana atau menyimpang. Dan dengan monev kita dapat mengetahui hambatan atau kendala dalam pelaksanaan program, serta memantau kegiatan agar tidak lepas dari visi, misi dan tujuan organisasi. Selama dua minggu mengikuti proses pelatihan, sungguh melelahkan, karena menggunakan metode ceramah dan aku rindu rumah. Bahkan malam takbiran Idul Adha pun, kami masih di tempat acara sambil mendengar kumandang takbir, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,� sedih rasanya. Tapi ini malam terakhir di Yogya, karena esoknya acara kami selesai. Aku ikut Kak Sri berangkat ke Surabaya, mengunjungi keluarganya yang ada di sana. Sedangkan untuk Inur dan Mamik tetap di Yogya untuk mampir ke rumah adiknya yang tinggal di sana. Untuk kepulangan ke Medan kami membuat janji bertemu di Jakarta. Aduh, pada hari yang dijanjikan, ternyata aku dan Kak Sri ketinggalan pesawat dari Surabaya menuju Jakarta. Jadwal penerbangan yang tertulis di tiket kurang jelas untuk dibaca, antara angka 8 dan 9, dan kami menyimpulkan angka 9. Ternyata itu angka 8, artinya berangkat ke Jakarta jam 8, sehingga tiket
Wajar Tanpa Syarat
jadi hangus. Untungnya ada calo-calo di bandara, dengan membayar Rp 200.000 untuk dua orang, kami berhasil berangkat ke Jakarta, atas nama Tuan dan Nyonya Tomy. Peristiwa ini membuat aku bertanya, kok bisa ya. Bagaimana nanti perlakuannya di laporan, karena tiket dan boarding pass adalah bukti perjalanan. Tapi ya sudahlah, yang penting kami bisa pulang dulu. Selain pelatihan-pelatihan tersebut diatas, aku juga mendapat berbagai pendidikan/pelatihan di organisasi. Mulai dari pendidikan gender, pendidikan feminis muda, juga pendidikan keuangan yang dilakukan oleh lembaga lain. Aku belajar bagaimana membuat laporan keuangan per kegiatan, mulai dari buku kas, neraca, penulisan voucher, penomoran serta bukti-buktinya. Dari semua pelatihan yang kuikuti, aku mulai tahu cara berbicara di depan orang banyak dan rasa gugupku berkurang. Pengetahuan dan pengalamanku pun bertambah, tidak seperti awal masuk HAPSARI, sampai harus lari ke kamar kecil jika mendapat giliran bicara di depan orang banyak. Dari pelatihan gender yang kuikuti, aku sadar bahwa di rumah pun harus ada perubahan. Pelanpelan aku mengajak suami bertukar pikiran dan membagi beban pekerjaan domestik. Mengurus anak dan yang lainnya bukan hanya tugasku sendiri, tapi juga tugas suami, kami pun mulai berbagi pekerjaan. Sebelum berangkat kerja suamiku menyapu, membersihkan rumah, dan menjaga anak, sedangkan aku memasak. Bekerja dalam Arus Kas Meja berwarna coklat dilapisi kaca hitam adalah meja tempat aku bekerja. Penuh tumpukan kertas: ada kuitansi, bon-bon, buku kas, voucher, dan bukti-bukti pendukung pengeluaran keuangan lainnya. Sampaisampai, tidur pun mimpinya kuitansi melulu. Apalagi jika dalam proses persiapan audit, wow! kadangkadang belum ngerjain udah merasa enek duluan. Muka pun seperti jeruk purut, kisut-kisut, dan tegang sehingga kawan lain menyapa pun takut.
arus kas organisasi. Ini merupakan tanggung jawab yang sangat berat karena selain masalah pertanggungjawaban, yang terpenting kami juga harus bisa mendistribusikan dan mengalokasikan dana agar semua kegiatan bisa berjalan. Setiap awal tahun kami juga mengerjakan laporan keuangan organisasi yang akan di audit oleh auditor independen. Dalam mengerjakan laporan audit, kami berdua-saya dan Kak Sri-mengerjakan laporan keuangan, seperti laporan neraca, laporan rugi/ laba, perubahan ekuitas, dan lain-lain. Sedangkan aku mengurus buku besar, laporan arus kas, dengan berbagai lampiran voucher, kuitansi, bon-bon dan yang lainnya yang berhubungan arus kas. Biasanya laporan audit kami kerjakan selama 3 bulan, mulai buat buku kas, penulisan voucher dan kelengkapan dokumen. Pengalaman yang tak terlupakan dalam proses audit, yaitu pada tahun 2003, ketika semua laporan yang sudah disiapkan hilang karena komputer rusak, kena virus. Kami terpaksa lembur dua hari dua malam untuk mengerjakan ulang laporan itu. Untunglah ada staf keuangan dari serikat anggota HAPSARI yang dapat diminta bantuannya, karena selain sebagai penugasan dari HAPSARI, mereka juga menyadari bahwa ini tanggung jawab bersama. Audit membutuhkan proses yang tidak sebentar, karena ini adalah pemeriksaan dokumendokumen, mulai dari dokumen yang tertulis, hingga verifikasi di lapangan. Cukup panjang dan melelahkan. Laporan ini sangat penting bagi organisasi kami, akuntabilitas organisasi dipertaruhkan. Jika mengajukan proposal ke donor maka laporan audit ini menjadi bagian dari berkas atau lampiran proposal. Itulah pekerjaan yang kulakukan sejak tahun 2005 sampai sekarang. Mulai dari tidak tahu apa-apa sampai bisa membantu Kak Sri menyelesaikan laporan keuangan yang diaudit. Tapi yang membuat puas dari seluruh proses ini adalah setelah hasil auditnya selesai dan dinyatakan wajar tanpa pengecualian, kami menyebutnya “wajar tanpa syarat�. ***
Selain pekerjaan rutin mengurus bukti pengeluaran keuangan, kami juga dipercaya untuk mengatur 91
Narasi Perempuan
Jejak Perempuan Ari Purjantati
92
Jejak Perempuan
Š Feri Latief/USAID Program Representasi 93
Narasi Perempuan
S
iang itu di pertengahan bulan Februari tahun 2010, mamak dapat undangan, ada organisasi yang mengajak berkenalan dengan beberapa tokoh masyarakat yang ada di kampungku. Mamak mau menghadiri undangan dan meminta aku mengantarkannya. Awalnya hanya mengantar tetapi beberapa orang yang ada di sana mengajak aku ikut serta dalam pertemuan tersebut. Setelah saling berkenalan dengan orang-orang yang sebagian besar aku tidak kenal, kemudian datang dua orang perempuan yaitu Kak Lely dan Mbak Ning, mengenalkan diri, Kak Lely berasal dari Medan dan Mbak Ning dari Pekalongan. Wah, jauh juga asal orang ini, pikirku. Setelah ngobrol-ngobrol maka disepakati akan membentuk organisasi petani di wilayah Kulon Progo yang kemudian nama organisasi itu adalah Sertani (Serikat Tani). Rupanya mereka berdua sudah punya teman di wilayah sini, sebelum bertemu denganku. Tak lama setelah itu, pertemuan kami berlanjut dan Kak Lely mengajak membentuk organisasi perempuan. Wah, jauh-jauh datang dari Medan hanya untuk membentuk organisasi. Penting sekalikah? tanyaku dalam hati, tapi tidak kukatakan pada mereka.
Aku merasa bangga menjadi perempuan yang lahir dari perempuan hebat dan kemudian bertemu dengan banyak perempuan-perempuan hebat yang ada disekelilingku. Mereka semua adalah ibuku, kakakku, guruku dan saudaraku yang akan selalu menjadi bagian sejarah hidupku saat aku mulai tahu tentang organisasi dan dikenalkan dengan dunia baru yang setiap hari menemukan hal yang baru lagi. 94
Seminggu setelah acara tersebut kami diajak berkumpul lagi dengan beberapa teman yang baru, walaupun berasal dari Kulon Progo, tetapi baru kali ini aku bertemu mereka. Beberapa dari mereka diundang sebagai calon anggota Sertani yang sedang dalam proses kongres. Di tempat pertemuan, selain ada teman-teman dari Kulon Progo, ada juga yang datang dari Bantul, mereka sudah tergabung dalam organisasi perempuan yaitu Serikat Perempuan Bantul (SPB). Kak Lely memperkenalkan mereka, Ibu Sumirah sebagai Sekertaris SPB, Ibu Laminem sebagai bendahara, dan seorang staf SPB. Mereka berkenalan dan bercerita tentang organisasi tempat mereka bergabung, yaitu SPB. Menurut Kak Lely saat ini kawan-kawan SPB akan melakukan ekspansi atau membantu terbentuknya serikat baru di wilayah terdekat di Yogyakarta ini. Jadi, mereka akan membantu terbentuknya serikat perempuan di Kulon Progo. Saat itu cerita Kak Lely dan teman-teman SPB tentang organisasi dan pengorganisasian masyarakat membuatku tertarik untuk mencoba ikut beroganisasi. ***
Jejak Perempuan
Aku adalah seorang perempuan desa biasa yang berasal dari Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang, yang berada di daerah Pegunungan Menoreh, tepatnya di Kabupaten Kulon Progo. Namaku Ari Purjantati yang lahir dari mamak Srenti Lestari dan bapakku Waluyo pada tanggal 5 Februari 1981 atau sekitar 33 tahun yang lalu. Kedua orangtuaku berasal dan tinggal di daerah Pegunungan Menoreh, aku memiliki seorang adik perempuan. Kami dua bersaudara. Kami tumbuh bersama sepupu-sepupu kami, ada enam orang, dan semua diurus oleh mamak dan bapak, karena kedua orangtua mereka bekerja. Bapak hanya sebagai buruh tani biasa, dan bekerja sampingan sebagai buruh di penggilingan batu yang gajinya hanya cukup buat makan keluarga. Aku bersekolah di SD Negeri Semaken, berjarak hanya sekitar 200 meter dari rumah. Kemudian lulus dan meneruskan SLTP di Jatisarono Nanggulan dan meneruskan di SMKN I Godean Sleman mengambil jurusan Akuntansi. Penduduk di lingkungan rumahku bekerja sebagai buruh tani, petani, dan pekebun. Hanya beberapa orang saja yang menjadi pegawai negeri atau guru. Desaku termasuk daerah miskin, banyak perempuan yang menjadi buruh tani pada musim panen dan kawan-kawan masa kecilku nasibnya sama. Setelah tamat sekolah mereka meninggalkan kampung untuk bekerja di Jakarta, Batam, dan kota besar lainnya. Ada juga yang menjadi TKW di luar negeri. Beberapa orang setelah lulus sekolah langsung menikah. Dan yang tinggal di kampung biasanya bekerja sebagai buruh tani atau buruh angkut batu dan pasir. Setelah lulus dari Sekolah SMKN I Godean aku merantau ke Bekasi. Seperti halnya anak-anak di kampung yang lain, kami ingin bekerja di kota. Sebelum masuk organisasi ini, selama 10 tahun aku bekerja di Bekasi. Di kota ini pula aku akhirnya menikah. Kami memiliki seorang anak laki-laki yang sekarang sudah kelas 6 SD. Rutinitasku sehari-hari hanya di sekitar lingkungan rumah dan pabrik. Pada pertengahan tahun 2009 aku memutuskan untuk kembali ke desa. Niat awalnya untuk menyekolahkan anak di desa, mengingat daerah Yogyakarta yang dikenal sebagai Kota Pelajar.
Anak baru di organisasi Sebenarnya aku belum mengerti apa organisasi itu, yang kutahu, ya cuma PKK. Karena mamak menjadi anggota PKK di dusun, desa, dan kecamatan. Selebihnya aku tidak tahu bahwa ada organisasi lain yang juga membantu masyarakat dan bersifat sosial. Pada bulan Juni 2010 dimulailah pembentukan Serikat Tani (Sertani) Kulon Progo. Awalnya banyak rapat persiapan dan pembekalan, banyak orang dari beberapa kecamatan, bergabung dalam diskusi. Orang-orang itu antusias mengikuti acara dan berbicara hal-hal yang aku tidak banyak tahu. Namun hal tersebut semakin membuatku ingin tahu tentang organisasi. Karena waktu itu, rumahku dekat dengan kantor bersama, di Semaken II, Banjararum, Kaliabawang, Kulon Progo dan rumahku digunakan sebagai tempat masak pada acara pembekalan Sertani. Aku dan mamaku bertindak sebagai panitia lokal yang membantu proses acara pembekalan dan persiapan Kongres Sertani Kulon Progo. Menjadi bagian dari panitia membuatku kurang menyimak bahasan dalam pembekalan. Aku mondar-mandir menyiapkan keperluan konsumsi rapat tersebut. Tapi setelah acara pembekalan selesai, aku mulai diajak oleh Mbak Ning untuk pembentukan pengurus Kecamatan dan melakukan persiapan kongres organisasi perempuan yang rencananya akan dibentuk di Kulon Progo. Sedikit demi sedikit aku mulai tahu cara mengorganisir, dimulai dengan mengumpulkan orang-orang untuk membentuk kelompok dan memberi pemahaman serta pembekalan-pembekalan, tentang apa itu organisasi, bentuk-bentuk organisasi dan kenapa rakyat dan perempuan perlu berorganisasi. Pada bulan Juni 2010, rapat persiapan Kongres I SPI Kulon Progo dimulai. Pesertanya dari 5 Kecamatan yaitu; Kecamatan Kalibawang, Kecamatan Samigaluh, Kecamatan Girimulyo, Kecamatan Nanggulan, dan Kecamatan Pengasih. Di sini, aku sudah ikut terlibat mendata orang-orang yang akan diajak berkumpul dan membahas rencana pembentukan serikat perempuan. Ini adalah bagian dari persiapan kongres, atau rapat untuk mengambil keputusan tertinggi dalam organisasi. Tapi sebelum kongres, kami membentuk struktur 95
Narasi Perempuan
kepengurusan tingkat kecamatan lebih dulu. Dalam pembentukan struktur kecamatan ini, dilakukan pembekalan tentang: apa itu organisasi rakyat; kenapa perempuan penting berorganisasi; dan bentuk-bentuk organisasi. Lalu kami diarahkan untuk memilih bentuk serikat, karena serikat adalah organisasi yang memiliki dapat keanggotaan secara individu, sehingga organisasi ini berbasiskan anggota dan anggota menjadi kekuatan organisasi ini. Sedangkan kata independen untuk menegaskan bahwa organisasi yang kami bangun adalah milik kami sendiri, bukan bentukan dari partai politik tertentu atau bentukan pemerintah. Di sini aku sudah mulai belajar tentang organisasi dan mulai mendapat banyak kawan baru, sesama perempuan di beberapa kabupaten di Kulon Progo. Selanjutnya tanggal 24 Juli 2010, Kongres Pertama SPI Kulon Progo dilakukan di Kantor Bersama Semaken II, memutuskan bentuk organisasi adalah serikat dengan nama Serikat Perempuan Independen (SPI) untuk tingkat kabupaten, dan inilah yang antara lain membedakannya dengan PKK. Semua anggota SPI adalah perempuan dan terdaftar menjadi anggota dengan mengisi formulir pendaftaran. Kongres juga menetapkan kepengurusan SPI periode 2010-2013 dan aku terpilih menjadi sekretaris. Kemudian tanggal 4 September 2010 dilakukan deklarasi SPI yang menghadirkan Gusti Kanjeng Ratu Hemas atau biasa di sebut Bu Ratu. Kami semua bangga sekali karena acara ini dihadiri oleh Bu Ratu dan beliau berpesan agar SPI sungguh-sungguh melakukan upaya untuk penguatan perempuan desa, baik di Kulon Progo maupun di wilayah lain di Yogyakarta. Banyak sekali permasalahan-permasalahan perempuan, dan kaum perempuan sendiri harus memberdayakan dirinya. Demikian antara lain pesan Bu Ratu waktu itu. Hal ini semakin mengokohkan organisasi dan banyak kalangan yang mulai memperhitungkan keberadaan SPI Kulon Progo. Setelah itu, tidak sulit bagi organisasiku untuk dapat bertemu atau mengundang Bu Ratu, juga kalangan dari pemerintahan daerah di Kulon Progo ini. Setelah kongres dilaksanakan, kami mendaftar menjadi anggota baru HAPSARI, dan kami 96
mulai mengurus legalitas organisasi, antara lain mendaftarkannya ke kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) kabupaten. Dimulailah pendidikan kader untuk anggota baru HAPSARI. Tahun 2011 aku mengikuti pendidikan kader muda HAPSARI, walaupun aku tidak muda lagi tapi masih tergolong anak baru di dunia organisasi. Pendidikan kader muda yang aku ikuti adalah pengalaman baru yang tak terlupakan. Aku bertemu kader muda lainnya dari Pekalongan, Sumatera, dan daerah sekitar Yoagyakarta. Pada awalnya tidak tahu apa-apa tentang dunia gerakan perempuan, sedikit demi sedikit mulai tahu. Aku pun mulai mengenal HAPSARI lebih banyak, yang ternyata adalah organisasi federasi, dimana SPI Kulon Progo menjadi anggotanya. Pantas saja, Kak Lely dari HAPSARI begitu gigih melakukan pengorganisasian dan pembentukan serikat baru di sini karena itu adalah misi organisasi, walaupun ketika itu kak Lely bukan ketua HAPSARI. Kalyanamitra di Jakarta menjadi tempat kami berproses dalam mengikuti pendidikan kader yang dilaksanakan HAPSARI ini. Kami berkumpul dan mendapat materi-materi dari aktivis senior Kalyanamitra. Aku ingat sekali, di hari kedua ada narasumber yang membuat aku jadi mengerti satu hal, beliau memaparkan tentang sejarah organisasi di Indonesia, dari sebelum kemerdekaan hingga sekarang. Ketika sampai pada penjelasan tentang PKI dan Gerwani-nya, cerita yang disampaikan oleh narasumber membuatku bertanya, kenapa ada perbedaan dengan kisah yang aku pelajari dan pahami selama ini. Saat ini banyak kawan-kawan aktivis yang tau kebenaran cerita tentang Gerakan PKI dan GERWANI pada masa itu, namun banyak masyarakat yang masih belum tau kebenaran cerita yang terjadi karena sampai saat ini banyak yang masih bilang organisasi PKI dan GERWANI itu pembunuh. Pada zaman Presiden Gus Dur, di awal tahun 2000, banyak diungkap cerita dengan versi yang lain tentang Gerwani, tapi ternyata banyak orang-orang kampung, buruh, dan pekerja yang tetap tidak tahu tentang cerita yang sebenarnya, karena sampai saat ini masih banyak yang bilang kalau PKI dan Gerwani itu organisasi terlarang. Mungkin informasi yang sebenarnya tentang
Jejak Perempuan
organisasi PKI dan Gerwani harus dipublikasikan lebih sering dan luas agar semua masyarakat tahu kebenarannya. *** Pada awal berorganisasi aku masih ingat sekali bagaimana untuk pertama kalinya aku diajak naik ke Suroloyo, sebuah tempat yang sering kudengar dari teman-teman yang sudah pernah ke sana. Mereka mengatakan bahwa tempatnya indah dan penduduknya ramah, tetapi hawa disana dingin. Waktu itu persiapan kongres Sertani di Suroloyo dan dimulainya pengorganisasian di wilayah itu. Aku diajak Pak Dhe dan beberapa teman dari Bantul untuk naik ke Suroloyo. Sebenarnya aku takut karena harus bawa motor sendiri tetapi karena penasaran maka aku pun bertekad ke sana dan pasti bisa. Bersama teman dari Bantul aku naik dengan menggunakan sepeda motor dan di tengah perjalanan tiba-tiba hujan turun, bertambahlah keteganganku karena belum tahu medan yang akan dilewati. Perlahan kami naik ke Suroloyo yang letaknya di puncak pegunungan Menoreh. Hampir satu jam lama perjalanan sebelum akhirnya kami sampai di Suroloyo. Di Suroloyo kami langsung menuju kediaman Ibu Salmi. Disana kami berkenalan sebentar dengan tuan rumah dan mengobrol. Nyatanya benar, udara disana sangat dingin dan karena hari sudah sore maka kabut pun mulai turun, semakin membuat tubuhku menggigil. Kami akhirnya berkumpul di depan perapian di dapur, untuk menghangatkan badan sambil ngobrol dengan Ibu Salmi. Karena air teh yang dihidangkan cepat dingin, maka kami lebih enak minum teh tepat di depan tungku. Kami pun bermalam disana. Pagi harinya, aku diajak berkeliling, sebuah tempat yang indah, dengan penduduk yang sangat ramah – benar adanya. Kami berkeliling ke beberapa rumah untuk berkenalan. Kebiasaan disana yang paling membuat kami tidak tahan adalah budaya ‘menjamu tamu’ masih sangat kental. Di setiap rumah kami dijamu dengan minuman dan makanan kecil, entah apapun itu dan pasti sebelum pulang kami harus makan besar. Awalnya kupikir karena kami adalah
orang-orang yang akan membentuk kelompok disana dan mereka tahu maksud kedatangan kami, sehingga menyiapkan makanan, karena di setiap rumah kami disuruh makan. Ternyata aku salah, sampai saat inipun budaya memberi hidangan kepada tamu yang datang ke rumah-rumah di Dusun Keceme, Suroloyo masih berjalan. Adat seperti itu sudah mulai hilang di daerah pinggir kota ataupun di kota, pun di Yogya, sekarang orang cenderung tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Namun di Suroloyo masyarakatnya sangat ramah, membuat kita merasa di kampung sendiri. Kegiatan penduduk asli disana adalah beternak kambing dan peladang, dengan kondisi lahan yang masih alami dan sejuk, tanah disana masih tergolong subur walaupun air sangat sulit didapat, apalagi di musim kemarau, pasti terjadi kekeringan. Tetapi dengan posisi di daerah pegunungan dan adanya kabut, membuat kelembaban tanah terjaga. Setiap pagi orang-orang mulai mencari rumput untuk ternak mereka, kemudian mereka pergi ke ladang untuk membersihkan, menanam, atau memetik hasil ladang mereka. Tanaman yang paling banyak ditanam adalah talas, kapulaga, cengkeh, kopi, teh, dan beberapa tanaman hortikultur lain yang tumbuh subur di tanah-tanah mereka. Betapa Tuhan sangat sayang kepada umatnya di daerah yang tinggi terjal tetapi bertanah subur. Dari ide ke pasar Tahun 2011 kami sudah membentuk struktur kepengurusan SPI di Dusun Keceme, dan Sertani sudah ada lebih dulu di sana. Maka bersama temanteman Sertani dan SPI Keceme mulai merencanakan program. Sertani membuat program pariwisata, pertanian dan budaya. Untuk pariwisata dimulai dengan kegiatan pembuatan Pondok Wisata dan Padepokan Tani yang dilakukan secara bergotongroyong, dikelola dalam kelompok yang berjumlah 14 orang dengan modal yang berasal dari pinjaman Credit Union (CU) di daerah Condong Catur Yogyakarta. Lahan perkebunan teh, digunakan sedikit, diubah menjadi pondok-pondok wisata dan tempat rapat yang asri. Dikerjakan secara manual karena tidak memungkinkan alat berat dibawa 97
Narasi Perempuan
Mereka berangkat jam dua pagi, karena jam empat pagi sudah harus kembali ke rumah untuk masak dan sebagainya. Dalam perjalanan menuju tempatku menginap, sepanjang hari itu aku tak habis pikir, merasa tak percaya bahwa inilah beban ganda yang harus dipikul oleh perempuan yang ada disini. Mereka harus gigih bekerja untuk mencari uang, tetapi juga harus menyelesaikan urusan domestik rumahtangganya. Menjelang siang mereka ke kebun untuk mencari rumput pakan ternaknya dan memetik hasil kebun yang bisa dijual ke pasar, besok. naik. Jadilah sebuah tempat wisata bernuansa bambu, yang kebetulan juga tumbuh subur disana. Peletakan batu pertama pada pembangunan Padepokan Tani dilakukan oleh Bupati Kulon Progo waktu itu, Bapak Toyo Santoso Dipo. Melihat semangat kawan-kawan disana aku jadi ikut bersemangat untuk membantu. Setelah pondok wisata berdiri banyak kegiatan yang dilaksanakan di sana. Ternyata hal ini menarik lebih banyak lagi tamu, maka wilayah pariwisata yang disebut “Negeri Kahyangan” ini pun semakin dikenal dan semakin banyak pengunjungnya. Perhatian pemerintah pun mulai kelihatan dengan program-programnya. Saat ini jalan-jalan yang pada awalnya rusak parah dan sempit, sudah diperbaiki dan dilebarkan sehingga orang mudah melaluinya untuk mencapai Puncak Suroloyo sebagai daerah tujuan wisata. Untuk kegiatan budaya, pernah diadakan Festival Punokawan, acara rutin setiap malam Jumat Kliwon dengan berbagai tampilan kesenian, dialog budaya, dan pasar rakyat yang direspon baik oleh masyarakat dan kalangan pemerintahan. Sampai saat ini kegiatan-kegiatan itu masih rutin dilakukan, karena dengan pendekatan budaya masyarakat juga bisa mengembangkan daerah mereka, khususnya mengembangkan kegiatan ekonomi. Pada awal 2012, SPI Kulon Progo melaksanakan program bersama HAPSARI tentang Sustainable Livelihood atau Keberlanjutan Penghidupan dengan 98
berbagai kegiatannya. Pusat kegiatan dilakukan di Suroloyo, karena di sana telah terbentuk kepengurusan SPI Dusun Keceme. Program Keberlanjutan Penghidupan dimulai dengan perencanaan pembuatan pasar komunitas, setelah kami menemukan hasil analisis sosial yang dilakukan bersama-sama oleh SPI Dusun Keceme. Mereka menyebutkan bahwa masyarakat membutuhkan pasar di daerah tersebut. Karena pasar terdekat jaraknya sekitar 8 km dari dusun, sehingga untuk pergi ke pasar, ibu-ibu harus berangkat dari rumah jam dua pagi dengan membawa senter atau obor, baru pulang kembali ke rumah jam enam pagi. Untuk pembuatan pasar, kami melakukan riset kecil dengan melakukan wawancara dan ikut melihat keseharian ibu-ibu Keceme ke pasar untuk menjual hasil bumi mereka. Agar hasil analisa lebih baik kami mengikuti Ibu-ibu ke pasar, dan agar data yang kami dapat lebih lengkap dengan foto-foto yang kami ambil secara langsung, maka kami datang kerumah Bu Kartinah dan Bu Umini untuk mohon izin ikut ke pasar Samigaluh bersama mereka. “Bu, besok Ari ikut ke pasar ya?” pintaku mantap. Beberapa ibu-ibu yang ada disana langsung menjawab, “Oh ayo, monggo, kami tunggu jam dua pagi ya.” Aku kaget. “Lha, jam dua pagi mau ngapain memang, apa yang dikerjakan di hari yang masih tengah malam itu?” tanyaku. Ibu-ibu itu hanya tertawa, mereka bilang bahwa setiap hari mereka ke pasar jam jam dua pagi, karena perjalanan memakan waktu hampir dua jam. Mereka berangkat jam dua
Jejak Perempuan
pagi, karena jam empat pagi sudah harus kembali ke rumah untuk masak dan sebagainya. Dalam perjalanan menuju tempatku menginap, sepanjang hari itu aku tak habis pikir, merasa tak percaya bahwa inilah beban ganda yang harus dipikul oleh perempuan yang ada disini. Mereka harus gigih bekerja untuk mencari uang, tetapi juga harus menyelesaikan urusan domestik rumahtangganya. Menjelang siang mereka ke kebun untuk mencari rumput pakan ternaknya dan memetik hasil kebun yang bisa dijual ke pasar, besok. Akhirnya, hari itu jam dua pagi aku pun sudah siap di depan rumah salah seorang pengurus SPI Keceme. Dia dan beberapa ibu bersiap berangkat ke pasar. Ada yang membawa obor, ada juga yang membawa senter sebagai penerang jalan. Bu Umini menggendong kapulaga basah sekitar 15 kg, Bu Mariyem membawa labu siam dan talas, seorang ibu lainnya membawa beberapa kilogram cabe, batang talas, singkong, dan sayuran lainnya. Menurut mereka tidak ada angkutan yang mau mengambil barang-barang hasil bumi mereka, padahal hasil ladang itu akan mereka tukarkan dengan beras, garam, minyak, dan kebutuhan lainnya. Dulu jalan masih jelek, rusak, biaya transportasi juga mahal. Kami berjalan hampir dua jam menuruni bukit melewati ladang yang sisi kiri-kanannya tebing dan jurang, menyusur jalan setapak yang gelap dan sepi. Semua dilewati sambil ngobrol, saya salut dengan ibu-ibu itu, mereka berjalan sambil menggendong beban, tapi masih bisa berjalan dengan santai dan semangat. Sedangkan aku yang cuma membawa badan sendiri saja, baru separuh perjalanan rasanya sudah tidak sanggup lagi meneruskannya. Padahal dalam hati ingin sekali membantu ibu-ibu, tapi berjalan tanpa beban saja terasa berat, apalagi membawa beban. Sampai di pasar ibu-ibu langsung menjual hasil bumi mereka dan belanja beberapa keperluan seharihari, kemudian kembali berjalan pulang katanya takut kesiangan. Anak-anak mereka akan berangkat ke sekolah dan mereka juga belum menyiapkan masakan. Ampun! kataku dalam hati. Betapa berat beban yang harus ditanggung para ibu itu, tetapi
mereka menjalaninya dengan bahagia. Tahun 2012, akhirnya pasar komunitas Keceme berdiri. Telah dibangun 10 kios, masing-masing menjual aneka kebutuhan, dan ada juga warung kopi yang menjual minuman dan makanan ringan produksi setempat. Nguri-uri budaya dan koperasi Puncaknya adalah Festival Punokawan. Paguyuban Budaya Suroloyo, Sertani dan SPI Kulon Progo mengadakan Festival Punakawan tahun 2012 yang menghadirkan Bu Ratu dalam pembukaan acara, serta ditutup oleh Bupati Kulon Progo. Tujuannya, selain nguri-uri budaya, juga sebagai salah satu cara melakukan advokasi ke masyarakat, agar tetap mencintai kebudayaannya dan memelihara nilainilai budaya sebagai semangat dalam membangun masyarakatnya. Selain itu juga untuk mengenalkan organisasi dan kemajuan pariwisata yang ada di Suroloyo. Festival ini digelar selama 4 hari dengan berbagai kegiatan budaya seperti sarasehan, jathilan, ketoprak, dan wayang. Acara tersebut didukung oleh anak-anak dari Sekolah Menengah Kejuruan jurusan tari, gamelan, wayang, dsb. Di hari terakhir atau penutupan festival, kami membuat kegiatan mengekspos capaian hasil-hasil program yang kami laksanakan bekerjasama dengan ACE – PKM. Ada banyak sekali orang yang datang, mulai dari kalangan pemerintahan daerah: Bupati, Wakil Bupati dan dinas/instansi terkait, kalangan organisasi non pemerintah seperti HAPSARI dengan jaringan nasionalnya, Pergerakan dari Bandung dan jaringan nasionalnya, hingga kalangan pemerintahan dari DIY dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas dari Keraton. Ada kesempatan dialog antara warga Dusun Keceme di Puncak Suroloyo dengan Bu Ratu. Salah seorang warga menyampaikan permintaan agar pemerintah melakukan pembangunan dan perbaikan jalan menuju Suroloyo yang masih kurang bagus, karena sudah banyak yang rusak. Waktu itu Bu Ratu berjanji akan mengupayakan perbaikan jalan, dan ternyata janji itu memang dipenuhi. Dalam acara tersebut HAPSARI menampilkan pagelaran Punokawan Perempuan, dan aku menjadi Romo Semar. Awalnya kami tidak begitu paham karakter dari masing-masing tokoh yang 99
Narasi Perempuan
akan diperankan. Tetapi kami belajar, dengan mengingat-ingat kembali dan bertanya pada tokoh yang kami anggap mengerti tentang Punakawan tersebut. Akhirnya kami tampil di panggung untuk menyampaikan pesan tentang hasil kerja program HAPSARI dalam melakukan penguatan kapasitas masyarakat untuk keberlanjutan penghidupan. Dalam pertunjukkan ini kami mempromosikan kegiatan program yang sudah berjalan; ada pasar komunitas di Keceme, pondok wisata, homestay, serta pengolahan produk kopi dan teh Suroloyo. Meski penampilan kami sebagai Punokawan agak berantakan, tetapi pesan masih tersampaikan. Kami juga gugup karena tampil langsung di hadapan Bupati, Camat dan dinas-dinas yang ada, serta diliput oleh media massa. Tapi ternyata penampilan Punokawan Perempuan dari HAPSARI mendapat sambutan yang sangat baik. Setelah festival punokawan tersebut, kami mulai memfokuskan kegiatan di basis produksi yaitu pengolahan produksi petani/pekebun dari hulu sampai hilir. Kami memulainya dengan produk kopi dan teh. Dengan pengolahan yang dilakukan secara manual, ternyata menghasilkan cita rasa tradisional yang tak kalah dengan produk pabrikan. Tahun 2012 kami mendirikan Koperasi Serba Usaha dengan nama Koperasi Hapsari, dengan pendampingan langsung dari Dinas Koperasi Kulon Progo. Melalui koperasi, kami membeli bahan baku kopi dan teh dari petani Dusun Keceme di Puncak Suroloyo dan mengolahnya menjadi produk siap dikonsumsi, mulai dari teh celup, teh seduh, kopi green bean, kopi sangrai, hingga kopi seduh dari jenis robusta dan arabika. Produk ini kami beri merek “Java Menoreh� dan telah memiliki Sertifikat Pangan Industri Rumah Tangga(PIRT) dari Dinas Kesehatan. Hal yang menggembirakan adalah respon pemerintah daerah terhadap kegiatan yang kami lakukan melalui Koperasi Hapsari. Bupati Kulon Progo dan kalangan dinas/instansi terkait, terutama Dinas Koperasi selalu mempromosikan kopi dan teh yang kami produksi sebagai produk lokal dan unggulan di kabupaten Kulon Progo. Hasil kerja pengorganisasian dan penguatan ekonomi 100
masyarakat yang menghasilkan produk ekonomi (kopi dan teh) ditanggapi positif oleh Pemerintah Daerah Kulon progo. Saat ini Koperasi Hapsari menjadi salah satu koperasi dari enam koperasi terbaik yang selalu difasilitasi mengikuti pameranpameran oleh pemerintah. Hal ini dikatakan oleh salah seorang staf Dinas Koperasi dalam rapat persiapan mengikuti Smesco Festival 2014 di Jakarta dimana Koperasi Hapsari ikut serta. Tetapi semua capaian yang kami hasilkan itu bukan tanpa hambatan. Di tengah-tengah proses pengorganisasian petani teh yang dilakukan oleh pengurus Sertani untuk mendapatkan bahan baku (daun teh) yang baik, kami dituduh memprovokasi petani teh di Suroloyo agar tidak mau menjual daun tehnya kepada PT. Pagilaran. Mulailah disebarkan isu-isu negatif terhadap keberadaan Koperasi Hapsari dan Sertani. Beberapa orang petani teh ada yang mendapat ancaman, bahwa apa yang kami lakukan adalah melawan pihak perusahaan dan pemerintah (Dinas Pertanian dan Perkebunan). Dengan tuduhan begitu, ternyata para petani kecil menjadi takut dan mulai menghentikan penjualan daun teh kepada koperasi, walaupun mereka juga tidak mau menjualnya ke Pagilaran. Padahal ini adalah masalah kualitas produk petani, bukan sekedar harga saja. Kami ingin menata basis produksi dengan mendidik petani teh untuk mengelola hasil panennya agar lebih berkualitas. Sebagaimana kami menyarankan petani kopi untuk melakukan panen dengan hanya memetik kopi yang sudah matang (petik merah). Kepada petani teh di Suroloyo, Koperasi Hapsari hanya membeli daun teh yang dipetik sebanyak tiga sampai empat pucuk daun saja. Daun teh dengan kualitas seperti inilah yang kami beli seharga Rp 2.500 per kilo. Sedangkan sebelumnya petani memetik daun teh mereka dengan ‘sembarang’, dengan harga jual kepada PT. Pagilaran sebesar Rp 1.250 per kilo. Beberapa kali kami, Koperasi Hapsari dan Sertani dipanggil oleh Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo karena mereka mendengar permasalahan ini. Kami dimediasi, dipertemukan dengan pihak PT. Pagilaran bagian
Jejak Perempuan
produksi yang ada di Kecamatan Samigaluh. Dalam pertemuan tersebut, Pagilaran meminta kami agar tidak lagi membeli daun teh petani dengan harga Rp 2.500 tersebut karena mengganggu harga beli yang selama ini diterapkan mereka. Pihak Pagilaran sendiri kemudian menaikkan harga belinya menjadi Rp1.400 dari sebelumnya, Rp 1.250. Representasi masyarakat Tahun 2013 kami juga mengerjakan kegiatan program bersama HAPSARI tentang Implementasi Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang salah satu kegiatannya adalah melakukan penelitian tentang bagaimana implementasi program KUR terhadap perempuan desa. Di akhir program, kami diundang HAPSARI untuk mengikuti Dialog Nasional tentang Representasi Masyarakat di Jakarta. Di sana, kami bertemu dengan beberapa anggota DPR, DPRD dan DPD dari Sumatera, yang menjadi narasumber dalam dialog. Sebelumnya kami telah melakukan audiensi dan lobi ke beberapa anggota DPR dan DPD di Senayan. Waktu beraudiensi ke senayan kami bersama Dewan Pengurus Nasional HAPSARI. Itulah pertama kalinya kudatangi Senayan. Tak pernah terbayangkan bisa sampai di gedung penting ini. Biasanya aku cuma melihat di TV. Sesampainya disana aku agak bingung, karena gedungnya banyak dan orang-orang disana sibuk hilir mudik, waktu menunggu jam diterima kugunakan untuk jalan-jalan berkeliling Senayan. Di sana banyak orang-orang penting, juga beberapa artis yang duduk jadi anggota dewan. Audiensi pertama dilakukan dengan Wakil Ketua DPD yaitu GKR Hemas, kami disambut sangat baik dalam ruang pertemuan. Walaupun beliau adalah Bu Ratu, ternyata ada perbedaan cara berdialog di Senayan dengan di kampungku yang biasanya kami gelar di halaman rumah di bawah pohon atau di lapangan. Kami merasa kikuk karena harus bersikap formal dan memakai mikrofon yang harus dipencet dulu kalau mau bicara, padahal biasanya kalau di Kulon Progo kami santai berdialog dengan beliau. Ini adalah pengalaman yang luar biasa dan membanggakanku. Tanpa organisasi, jelas hal itu tidak mungkin kualami.
Forum Dialog Nasional adalah kegiatan yang kami lakukan selanjutnya, di Hotel Sofyan Betawi Jakarta. Di hadapan peserta yang berjumlah lebih dari 50 orang, ada utusan DPR dari beberapa partai dan seorang anggota DPD, kami kembali mementaskan lakon Punokawan untuk mempresentasikan kegiatan-kegiatan HAPSARI bersama serikat anggotanya. Walaupun sudah melakukan beberapa kali pementasan tetapi ternyata pentas dihadapan orang-orang penting membuat grogi juga, bagian paling sulit adalah saat kami main punokawan yang banyak menggunakan bahasa Jawa, tetapi kami meyakinkan diri kami bahwa peserta dialog paham apa yang kami bicarakan. Sungguh pengalaman menegangkan, kami lega karena pementasan kami disambut baik oleh para peserta dialog. Apalagi pameran produk yang digelar oleh Koperasi Hapsari di sebelah ruang dialog juga dikunjungi oleh seluruh tamu, dan terjual cukup banyak. Mengorganisasikan Pilihan Tahun 2014 ini adalah awal bagiku untuk melihat dunia politik, dengan turut berperan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Awal mulanya hanya membantu salah seorang teman aktivis perempuan, Mbak Tunggal Pawestri, yang akan maju menjadi caleg DPRD Provinsi DIY. Karena dia masuk daerah pemilihan (dapil) Kulon Progo, maka kami bersepakat untuk membantu. Setelah rapat perencanaan kegiatan maka aku diutus untuk membantu beliau dalam menjalankan agendanya. Selama tiga bulan aku mengikuti proses pemilu, mulai dari kampanye sampai pemilihan dan penghitungan suara. Waktu itu kami ada dalam tim relawan yang bekerja dengan beberapa teman dari berbagai komunitas, aktivitas ini menambah lagi satu pengetahuanku, bahwa banyak komunitas yang ada di Kulon Progo yang bergerak dalam kegiatan politik yang awalnya aku tidak tahu. Pada pilpres aku juga turut serta bergabung untuk berpartisipasi mendukung calon presiden yang telah disepakati didukung bersama. Aku terlibat aktif dalam pembentukan Seknas Perempuan Kulon Progo serta berbagai kegiatan lain yang sangat menyenangkan karena menimba pengalaman 101
Narasi Perempuan
baru. Sebelum ini aku tak pernah peduli, tak pernah ingin tahu siapa yang akan duduk di DPR atau menjadi presiden kita, karena menurutku tidak ada pengaruhnya terhadap kehidupanku, dari dulu-dulu setiap pemilu juga begitu. Tetapi setelah membantu Mbak Tunggal menjadi calon legislatif dan menjadi Relawan Jokowi, akhirnya aku lebih banyak tahu bahwa permainan politik itu sangat sulit diikuti, sehingga sangat penting untuk memiliki wakil rakyat yang peduli dan satu visi dengan kita. Kebanyakan anggota DPR terpilih karena menggunakan politik uang maka akhirnya begitu terpilih mereka tidak peduli lagi dengan rakyat. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana uang yang mereka keluarkan dalam kampanye bisa kembali selama mereka menjabat. Harapan kami sebagai rakyat, adalah ada perwakilan perempuan yang berasal dari kelompok perempuan yang peduli dengan perempuan. Terbukti bahwa pengalaman kami di organisasi sangat membantu untuk penambahan suara bagi calon yang kami dukung. Hampir seluruh anggota sepakat untuk satu suara dalam memilih calon yang ditetapkan bersama, dengan alasan yang sama-sama kami bahas dan kami analisa untung ruginya. *** Saat ini aku sudah hampir empat tahun di organisasi, begitu banyak ilmu yang aku terima, aku harus banyak belajar lagi kalau ingin seperti Kak Lely dan kawan-kawan yang lain, baik di HAPSARI atau lembaga lain. Mereka adalah tokoh-tokoh perempuan yang tak kenal lelah memperjuangkan hak-hak perempuan. Sebelum aku masuk organisasi, aku tidak peduli dengan apapun yang terjadi dengan perempuan, baik di lingkunganku ataupun tempat lain. Aku sering mendengar dan menonton berita, tapi aku hanya sibuk dengan urusan pribadi dan rumah-tanggaku. Namun saat ini, hati dan pikiranku berkata bahwa banyak perempuan-perempuan yang perlu pertolongan dari berbagai aspek, dari sisi ekonomi sampai aspek kebebasannya, termasuk kebebasan berorganisasi yang belum sepenuhnya dimiliki oleh kaum perempuan, terutama perempuan di akar rumput. Dan aku terus mengikuti jejak Kak Lely serta kawan102
kawan yang lain untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, melalui organisasi SPI dan HAPSARI. Itulah sebabnya, ketika aku dicalonkan menjadi salah seorang pengurus HAPSARI, aku tidak menolak. Pasti bisa, karena organisasi mengajari kami memimpin, mengajari kami berpikir bersama untuk bertindak bersama. Aku harus berterima kasih kepada semua orang yang mendukungku, meski ini tidak mudah, karena aku harus menjadi orang yang tidak bisa selalu hadir bersama keluargaku. Terima kasih banyak untuk anakku Vallent yang selama ini tidak pernah marah bila mamanya jarang dirumah, terima kasih pada suamiku Antok yang selalu mendukungku. Terima kasih pada mamaku yang selalu mengiringi langkahku dalam berorganisasi, dan terima kasih pada Kak Lely serta kawan-kawan yang selalu sabar menjadi kakak dan guru bagiku. Dengan dukungan dari semua pihak ini, maka aku saat ini bisa menjadi orang yang berguna bukan sekedar perempuan biasa yang akan dilupakan setelah tua dan mati. ***
Jejak Perempuan
© HAPSARI
103
Narasi Perempuan
Angka-angka di Atas Meja Asriyanti
Š Feri Latief/USAID Program Representasi 104
Angka-angka di Atas Meja
105
Narasi Perempuan
Penting bagi seorang perempuan berorganisasi, selain mendapat banyak teman sebagai saudara, juga untuk menambah pengetahuan lainnya yang tidak dipelajari di sekolah, juga untuk membebaskan diri dari kungkungan ‘hanya di rumah saja’. Kalau mempunyai pengetahuan luas, kita bisa melakukan sesuatu untuk sesama perempuan dan untuk orang lain
A
SRIYANTI, itu nama yang diberikan kedua orangtuaku, lahir tahun 1972, anak kelima dari sepuluh bersaudara dan sekarang tinggal sembilan orang. Satu orang adik perempuanku meninggal, ketika berumur 6 tahun. Aku adalah anak perempuan pertama setelah empat orang di atasku semuanya lelaki. Bapak dan mamakku petani, walaupun pada masa tahun 1960-an pernah bekerja sebagai buruh perkebunan. Bapak dan mamak tidak tamat sekolah rakyat, mamak hanya kelas 1 dan dilanjutkan sekolah menjahit. Tempat tinggalku di desa Bingkat dusun IX A, Kecamatan Pegajahan Serdang Bedagai. Kami dikaruniai tiga orang anak, dua laki-laki dan seorang perempuan. Nama suamiku Ngateman, anak buruh perkebunan yang sekarang bertani. Masa kecilku tidak seperti anak-anak zaman sekarang, aku masih punya enam orang adik. Ketika sore setelah pulang sekolah aku harus menjaga adikku dan memasak di rumah karena mamakku pergi ke ladang. Kedua orang tuaku tidak membedakan perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan. Karena keluarga kami banyak, jadi kami berbagi pekerjaan rumah, kecuali kedua abangku karena sekolah di luar kota. Saat SMA, sambil bersekolah aku juga mencari uang, sore hari mencari buah kelapa sawit yang sudah kering di perkebunan untuk dijual, waktu musim tanam padi mencari upahan mencabut bibit dan jika libur sekolah ikut bekerja sebagai buruh harian lepas di areal perkebunan. Aku tamat SMA tahun 1991 dan tidak melanjutkan kuliah, karena harus berbagi biaya dengan adik-adikku. Prinsip kedua orangtuaku, semua anaknya harus sekolah dan pintar, jangan bodoh seperti mereka. 106
Dengan susah payah kedua orangtuaku dapat menyekolahkan sembilan orang anaknya hingga tamat SMA/STM/SPG. Kalau kupikir-pikir, hebat juga kedua orangtuaku yang hanya petani biasa. Setelah tamat sekolah, aku pergi merantau ke Jambi ikut bapak angkatku, dengan niat mendapatkan uang untuk membantu orangtua. Satu tahun di Jambi, usaha bapak angkatku bangkrut, aku kembali ke rumah. Aku mencoba melamar pekerjaan, dan diterima menjadi sales untuk jualan coklat bubuk di daerah Binjai. Pekerjaan ini tidak lama hanya satu minggu dan aku melarikan diri dari pekerjaan, karena gaji yang kuterima berdasarkan presentase hasil penjualan, sedangkan barang dagangannya tidak diminati pembeli. Coba lagi cari pekerjaan, diterima di pabrik plastik tempat pembuatan barang-barang seperti rantang, piring, botol, dll. Pekerjaanku melubangi botol dengan mesin, cukup lumayan gaji yang kuterima pada masa itu. Setelah enam bulan menjalani pekerjaan ini aku berhenti karena terlalu capek. Setelah itu di rumah, bingung mau mengerjakan apa, paling hanya bisa bantu mamak di rumah dan jika musim tanam padi maka aku cari upahan menanam padi. Di masa inilah aku ditawari pekerjaan mengajar dan membantu tata usaha di sebuah sekolah Madrasah Tsanawiyah di desaku. Dari Madrasah inilah aku mengenal seorang perempuan dari desa tetanggaku, dan inilah momen awal perjalanan karirku di organisasi yang selanjutnya banyak merubah cara berpikirku. Enam tahun aku menjadi tata usaha di Madrasah, selama itulah aku memperhatikan seorang perempuan bernama Lely itu yang agak lain. Lain
Angka-angka di Atas Meja
karena cara mengajarnya yang serba kreatif, metode baru dan kadang menimbulkan kontroversi di antara guru-guru yang lain. Kak Lely sering mengajak murid belajar di bawah pohon, menggunakan metode diskusi kelompok, melatih anak-anak melakukan presentasi dan sebagainya yang pada waktu itu dinilai “banyak tingkah�. Hal lain, Kak Lely yang gaji mengajarnya tak seberapa, seringkali meminjam uang padaku dan minta nanti dipotong dari gajinya bulan depan. Ternyata uang itu dipakainya untuk ongkos, karena dia sering pergi-pergi ke desa-desa lain, konon ada pertemuan dengan kelompok ibuibu di sana dan dia perlu ongkos. Lama-lama aku tertarik juga dan sering pula Kak Lely membujuk-bujuk aku untuk ikut pergi bersamanya. Mulai dari rapat dengan beberapa orang kawan Kak Lely lainnya, diantaranya ada Kak Amni, sampai dengan pertemuan kelompok yang diikuti oleh banyak ibu-ibu maupun bapak-bapak. Aku heran, ada saja topik yang dibahas dan saja ada jadwal pertemuan rutin mereka. Tapi lama-lama aku mengerti, karena Kak Lely selalu menyebut kata HAPSARI sebagai sebuah kelompok yang didirikannya dan dia menjadi pengurusnya. Kak Lely sering menginap di rumahku dan melakukan pendekatan tidak hanya denganku, tapi juga dengan keluargaku. Mamak dan bapak, juga adik-adikku mengenalnya dengan baik dan percaya padanya. Lama-lama aku mengerti apa itu organisasi, sebuah tempat berkumpul di luar sekolah, di luar rumah. Tak lelah Kak Lely menjelaskan kenapa penting bagi seorang perempuan berorganisasi, selain mendapat banyak teman sebagai saudara, juga untuk menambah pengetahuan lainnya yang tidak dipelajari di sekolah, juga untuk membebaskan diri dari kungkungan ‘hanya di rumah saja’. Kalau mempunyai pengetahuan luas, kita bisa melakukan sesuatu untuk sesama perempuan dan untuk orang lain, katanya berulang-ulang. Akhirnya tanpa disadari aku mengikuti hampir semua kegiatan yang dilakukan Kak Lely dan HAPSARI. Kegiatan formal yang pertama kuikuti adalah membentuk kelompok ibu-ibu di Desa Bingkat dengan nama kelompok Srikandi dan membentuk kelompok bapakbapak petani dengan nama Kelompok Keluarga
Sejahtera (KKS). Kalau ada pertemuan kelompok, topik yang dibahas adalah pembagian peran yang adil untuk perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga. Ternyata itulah pertama kalinya HAPSARI membuat program Sosialisasi Kesetaraan Gender, bekerja sama dengan sebuah LSM di Jakarta yang namanya YAPIKA (Yayasan Persahabatan Indonesia Kanada), tetapi program ini melalui Forum LSM di Medan. Kedua kelompok ini saling belajar bersama, bertukar pengalaman hingga mempraktekkan pembagian kerjasama yang adil, dengan membuat demplot pertanian. Hingga saat ini, KKS masih ada, sedangkan kelompok perempuan (Srikandi) sudah bergabung, menjadi bagian dari Serikat Perempuan Independen (SPI) Serdang Bedagai. Dari desa Bingkat, aku juga ikut Kak Lely ke Pematang Alai, daerah pesisir di Desa Kotapari Kecamatan Pantai Cermin. Di sini juga mengorganisir kelompok ibu-ibu nelayan yang mengalami masalah kesulitan air bersih, pukat harimau merajalela dan laut yang mengalami abrasi. Di sini kami melakukan kegiatan konservasi bakau. Kelompok ini sampai sekarangpun masih ada dan sudah bergabung dengan Serikat Nelayan Merdeka (SNM), sebuah organisasi nelayan yang ikut kami mulai proses pendiriannya. Cukup banyak kegiatan Kak Lely dan HAPSARI yang kuikuti waktu itu, juga membantu program HAPSARI di Radio Komunitas yang ada di Desa Bingkat sekitar tahun 1997. Aku membantu menjual kupon dan kadang-kadang ikut siaran, sampai pada suatu hari menjelang Pemilu terakhir Orde Baru, radio itu disegel, tak boleh lagi bersiaran. Aku pernah mengikuti kegiatan HAPSARI, diundang oleh Gubernur Sumatera Utara, di sebuah Hotel. Aduh, bisa masuk hotel saja pada waktu itu sudah sangat senang, apalagi bertemu langsung dengan Bapak Gubernur. Kegiatan ini dilaksanakan oleh forum LSM Sumut dan HAPSARI sebagai anggota forum diundang dalam kegiatan ini. Aku juga pernah diutus HAPSARI untuk menggeluti kegiatan di Berastagi, pelatihan untuk petani bersama seorang kawan LSM yang namanya Bina Potensi Desa (BIPDA). Dalam pelatihan ini ada satu orang peserta dari Samosir bermarga Sirait yang mengatakan salut (kagum) bahwa ada perempuan ikut dalam kegiatan 107
Narasi Perempuan
pelatihan. Pada waktu itu terbukti benar apa yang dikatakan Kak Lely bahwa kegiatan-kegiatan organisasi di luar sana sangat minim perempuan. Aku jadi “gede rasa” mendengar pujian itu dan dalam hati berterima kasih pada Kak Lely. *** Kantor HAPSARI pernah berada di rumah nenekku, dan Kak Lely juga tinggal di sana. Kami semua memanggil nenek dengan sebutan Simbok. Di kantor ini tempat berkumpul dan berdiskusi antara Kak Lely dan teman-teman lainnya. Rumah Simbok tidak pernah sepi. Simbok selalu menyediakan semua kebutuhan orang-orang yang berkumpul di rumah itu, mulai dari ruangan untuk diskusi, makanan dan minuman, hingga ‘keamanannya’. Aku ingat pada masa-masa Orde Baru sangat represif dan menjelang hampir tiba reformasi, pertemuanpertemuan kami sering didatangi orang tak dikenal, lalu dtanya macam-macam, “Ini pertemuan apa? Siapa saja yang datang dan membahas apa?” Biasanya Simbok-lah yang menemui orang semacam itu dan dengan santai Simbok menjawab “Oh, itu pertemuan guru-guru madrasah membahas masalah ujian, memang biasa begitu,” dan orang itu percaya begitu saja pada wajah jujur Simbok, lalu pergi. Simbok begitu mendukung semua kegiatan kami dan menyediakan semua keperluan kami. Kami selalu mencatatnya begini: “Anak-anak terlantar dipelihara oleh Simbok”. Aku Pergi dan Kembali Lagi Tahun 1996 aku menikah dan setelah melahirkan anak pertama, aku dan suami memutuskan pindah ke Pekanbaru tahun 1998 untuk mengurusi lahan perkebunan sawit milik keluarga suamiku. Tapi tidak lama tinggal disana, hanya satu tahun, karena kehidupan kami tidak lebih baik, maka kami sekeluarga kembali ke Bingkat. Enam bulan lamanya rutinitasku hanya di dapur, kasur dan sumur. Rindu juga dengan kesibukan berorganisasi seperti sebelum menikah dulu. Hingga suatu hari datang Zulfa, Pak Kholiq dan Rusmawati menemuiku. Mereka semua masih aktif di HAPSARI. Mereka bercerita tentang aktivitas 108
di Madrasah Aliyah Bingkat dan perkembangan HAPSARI saat itu yang makin meluas baik kegiatan maupun wilayah kerjanya. Pertemuanku dengan mereka membawaku kembali ke kantor HAPSARI yang saat itu sudah berada di Jalan Pantai Cermin, sudah besar, tidak numpak di rumah Simbok lagi. Tiba di kantor HAPSARI, aku bertemu Kak Lely yang masih begitu-begitu saja, masih kurus, banyak jerawat, agak gelap warna kulitnya, tapi masih tetap bersemanga.! Kami berpelukan lama sekali melepas kangen “Apa kabarmu Sri? Ngerjain apa sekarang? Kakak kangen!” Kak Lely memelukku lebih erat. “Sri sehat kak, lagi nganggur sekarang, Sri juga kangen”. Kami sama-sama menahan menangis, dan di akhir pertemuan itu aku ingat kak Lely bilang “HAPSARI menunggumu Sri, banyak yang harus kita kerjakan bersama. Nek wani ojo wedi-wedi, nek wedi ojo waniwani,” bisiknya. Dan kali ini, tangisku meledak, tangis Kak Lely juga. Kalimat terakhir Kak Lely itu adalah pesan dari almarhum Simbok. Dulu, ketika kami pernah mengalami ketakutan dan khawatir apakah mampu meneruskan kegiatan organisasi atau tidak, Simbok berpesan begitu “Nek wani ojo wedi-wedi, nek wedi ojo wani-wani.” Kalau berani jangan takuttakut, kalau takut jangan berani-berani, dan kami telah memutuskan untuk tidak takut. Setelah pertemuan itu, September 1999 aku kembali aktif di organisasi, kali ini di Serikat Perempuan Independen yang waktu itu masih unitaris, tingkat provinsi Sumatera Utara (SPI Sumut) dan berkantor di Lubuk Pakam. Pekerjaanku pertama kali adalah menggantikan posisi Rusmawati sebagai staf keuangan, karena cuti melahirkan. Resmilah aku menjadi Staf Keuangan dengan honor Rp 300.000 per bulan. Sejak itu setiap hari aku pergi-pulang naik angkot dari Bingkat – Lubuk Pakam. Di SPI Sumut atasanku bukan Kak Lely, tetapi Kak Sutri, Ketua SPI Sumut pertama kali ketika SPI dideklarasikan. Aku melakukan semua pencatatan serta menyiapkan bukti-bukti pengeluaran dana, setelah itu dilaporkan ke HAPSARI. Selain mencatat keluar masuknya uang, aku juga mengerjakan pekerjaan sekretariat seperti mengkliping koran, mengarsip surat, dll. Semua kegiatan SPI didukung HAPSARI, karena SPI adalah wujud pencapaian hasil
Angka-angka di Atas Meja
pengorganisasian perempuan basis yang dilakukan HAPSARI sejak aku masih aktif bersama Kak Lely di Desa Bingkat dulu yang harus terus difasilitasi sampai dapat mandiri. Dalam sebuah album dokumentasi kegiatan, aku menemukan catatan tentang HAPSARI: Mulai di Sukasari, Berkembang dari Bingkat. Ah, aku banyak ketinggalan informasi tentang perkembangan HAPSARI yang saat aku pergi masih yayasan, sekarang sudah berhasil membangun serikat perempuan tingkat provinsi, anggotanya ratusan. Banyak orang-orang baru, perempuan desa juga, tetapi pintar-pintar bicara dan percaya diri. Suatu ketika ada lomba pidato untuk anggota SPI. Seperti biasa tugasku adalah sebagai panitia yang bertugas menyiapkan hal-hal teknis dan administrasi. Meskipun sibuk sebagai panitia, aku sempatkan diri masuk ke dalam ruangan lomba. Aku penasaran dengan cara berpidato mereka. Wow! aku terheran-heran, kok bisa ya para peserta yang berasal dari kalangan perempuan desa biasa, sama seperti aku mampu menyampaikan pidatonya dengan sangat bersemangat dan suara yang lantang. Apalagi peserta yang bernama Mardiana, dari Desa Bingkat, dia membuatku terkagum-kagum. Aku kok gak bisa ya, jangankan pidato dengan lantang, bicara dalam rapat di depan teman-teman saja aku gak percaya diri. Payah. Aku kembali ke pekerjaan menyiapkan kuitansi untuk membayar pengganti transportasi dewan juri yang kami undang, hadiah untuk peserta, dan biaya-biaya lainnya. Ini memang pekerjaan yang mampu kulakukan, ini bidangku dan aku senang mengerjakannya. Dua tahun di SPI, aku mulai dilibatkan untuk mengikuti rapat-rapat organisasi untuk membahas kelanjutan organisasi. Kami sedang gelisah dengan perkembangan organisasi, antara HAPSARI yang ketika itu masih yayasan, dengan SPI Sumut yang berbentuk serikat. Ada tumpang-tindih dalam pelaksanaan program dan kegiatan. Di satu sisi, SPI Sumut masih harus dibantu mengurus organisasinya untuk dapat mandiri, orang-orangnya (pengurus) masih harus dilatih menjalankan fungsi kepengurusan dan
kemampuan kepemimpinannya. Maka, HAPSARI mengambil peran untuk memfasilitasi penguatan kapasitas organisasi SPI. Tetapi di sisi lain, karena di SPI ada kepengurusannya sendiri, peran HAPSARI seperti ‘mengambil alih’ tanggungjawab pengurus SPI. Kerja-kerja organisasi yang dilakukan HAPSARI dan SPI menjadi tumpang tindih, wilayah kerja yang sama, ketergantungan SPI terhadap HAPSARI tinggi. Bukan hanya soal dana, tapi juga soal gagasan, tetapi yang lebih penting adalah tidak tumbuhnya kepemimpinan perempuan di serikat. Akhirnya kami mengadakan lokakarya Pembangunan Struktur dan Desain Organisasi tahun 2001. Dalam rapat ini dibahas keberadaan HAPSARI dan SPI, dan kami menemukan tiga pilihan: (1) HAPSARI sebagai yayasan tetap terpisah dengan SPI yang berbentuk federasi, tidak boleh ada orang dan kegiatan program yang sama; (2) Yayasan HAPSARI dan SPI melebur menjadi satu organisasi di SPI Sumut, sehingga konsekuensinya keberadaan HAPSARI berakhir di sini, yang ada adalah SPI tingkat provinsi yang bentuknya unitaris; (3) Yayasan HAPSARI dan SPI melebur, tetapi organisasinya berubah bentuk, bukan unitaris melainkan federatif. Setelah melewati proses diskusi yang panjang akhirnya disepakati pilihan ketiga, menjadi federasi, dengan catatan nama HAPSARI tetap dipertahankan. Aku ingat betul, untuk menuntaskan pertemuan hingga menemukan keputusan memilih bentuk federasi, pertemuan ini harus dilakukan dua kali. Pertemuan pertama selama lima hari sebagaimana direncanakan dan tertulis dalam undangan. Tetapi karena setelah lima hari pertemuan belum memperoleh keputusan, maka kami sepakat menambah waktu pertemuan dua hari lagi. Akibatnya, peserta harus pulang dulu untuk minta izin lagi pada suaminya, karena sebelumnya hanya pamit untuk lima hari. Mereka berjanji untuk datang lagi besok, mengingat pertemuan ini penting untuk masa depan organisasi. Awalnya kami khawatir kalau peserta tidak kembali lagi, tapi kekhawatiran itu tidak terjadi. Aku tidak ikut pulang, tetapi menitipkan pesan kepada suami dan anak-anak bahwa kegiatan kami belum selesai. Waktu itu kami 109
Narasi Perempuan
belum memiliki HP yang dapat digunakan untuk komunikasi jarak jauh seperti sekarang. Setelah menetapkan memilih bentuk federasi, maka kami melaksanakan Kongres Pertama HAPSARI pada tahun 2001 untuk menetapkan keputusan ini secara organisasional. Waktu itu federasi itu kami sebut dengan Federasi Serikat Perempuan Merdeka, tetapi tetap ada kata HAPSARI, sehingga penulisannya HAPSARI FSPM, atau HAPSARI Federasi Serikat Perempuan Merdeka. Dalam kongres, 90 persen peserta ngotot untuk tetap memakai nama HAPSARI, karena tidak ingin menghilangkan sejarah panjang perjuangan kami, sekaligus menghargai para pendiri HAPSARI yang sudah memulai apa yang kami lakukan ini lebih dulu. Waktu itu, tidak semua staf yang bekerja HAPSARI ketika masih yayasan menyetujui peleburan ini, mereka yang tidak setuju menyatakan mundur dari HAPSARI dan membentuk LSM baru dimana mereka menjadi direkturnya. Tetapi yang kudengar, setelah lima tahun, empat dari lima LSM yang berdiri itu sudah bubar. Di HAPSARI yang baru terbentuk dalam bentuk federasi, aku tetap sebagai Staf Keuangan dibantu oleh Siti Dahniar-yang dulunya adalah Koordinator Program HAPSARI, kader kepercayaan dan kesayangan Kak Lely, karena ia didik sejak masih SMA, diajari berorganisasi, dilatih berbagai keterampilan teknis, diikutkan berbagai pendidikan kepemimpinan, hingga diberi kepercayaan di HAPSARI mulai dari menjadi staf sekretariat, staf program, staf keuangan, hingga menjadi koordinator program yang setara dengan direktur. Waktu itu aku tahu banyak staf lain yang cemburu padanya. Pimpinanku kali ini adalah Kak Lely dan aku harus belajar banyak dari Niar yang secara umur masih di bawahku. Aku harus menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang sekarang. Aku kenal betul Kak Lely, bukan hanya pendiri HAPSARI dengan mimpi besarnya tentang pembebasan perempuan sejak dari dalam rumah tangga hingga di organisasi, di masyarakat dan di pemerintahan, Kak Lely orangnya sangat percaya diri, gigih bekerja dan belajar untuk mencari tahu apa yang ingin ia ketahui. Dan satu hal yang kadang membuat kami 110
“cemas” adalah Kak Lely selalu ingin semuanya “sempurna”. Salah ketik dokumen, salah penomoran surat, atau salah meletakkan arsip, dia bisa membahas ini berjam-jam. Apalagi kalau sampai salah dipencatatan keuangan, wah, bisa panjang ceritanya. “Apa yang bisa dikerjakan hari ini, jangan tunda besok. Karena esok akan mengerjakan hal yang berbeda lagi,” itulah yang selalu diingatkan oleh Kak Lely. Angka-angka di Atas Meja Tetapi belum ada satu tahun di HAPSARI yang federasi ini, Niar keluar dari HAPSARI, bersamaan dengan keluarnya Kepala Bagian Keuangan HAPSARI yang sudah dilatih khusus menjalankan bidangnya, sudah terlatih mengelola manajemen keuangan di HAPSARI. Tidak ada lagi orang yang membantuku setelah Niar keluar dan membentuk LSM sendiri bersama kawan laki-lakinya yang sebelumnya juga sering ke luar masuk di HAPSARI. Akulah yang kemudian membuat laporan keuangan baik untuk donor maupun laporan keuangan organisasi yang akan diaudit oleh auditor independen. Perlahan aku mempelajari dokumen-dokumen yang ada, seperti buku kas, buku besar, voucher, kertas kerja serta laporan keuangan yang sudah jadi dan sudah diaudit. Kesulitannya adalah ketika membuat laporan arus kas, aduh bagaimana rumusnya? Aku harus mencoba mempelajarinya pelan-pelan. Ketika membuat laporan kita harus sangat teliti karena salah memasukkan angka, bisa berubah laporannya, apalagi selip 0,001, wah repotnya minta ampun. Soal ketelitian dan kesabaran, aku memiliki itu, karena sudah terbiasa melakukannya bertahun-tahun ketika menjadi Tata Usaha di Madrasah dulu. Dalam membuat laporan keuangan kami masih menggunakan sistem manual, belum memakai software keuangan. Beberapa dokumen masih harus ditulis dengan tangan, baru kemudian dicatat di komputer untuk dibuat laporannya. Bayangkan kerepotannya jika dalam satu tahun ada lima organisasi donor yang mendukung program, dan itu telah kualami. Sampai saat ini, aku masih dapat menyelesaikan semua tanggung jawabku dengan baik. Organisasi membantuku belajar
Angka-angka di Atas Meja
tentang adminstrasi keuangan untuk organisasi nirlaba melalui pelatihan-pelatihan, dan tahun 2004 HAPSARI merekrut staf baru untuk membantuku di bagian keuangan setelah melalui proses seleksi dan kaderisasi yang cukup ketat bagi kami pada waktu itu karena yang dibutuhkan HAPSARI bukan hanya orang yang mengerti administrasi keuangan, tetapi juga memahami seperti apa organisasi HAPSARI, serta mimpi perubahan apa yang ingin kami capai. Pekerjaanku setiap hari berhadapan dengan angka-angka di atas meja. Aku bekerja bersama Staf Keuangan dan Kasir. Kalau membutuhkan tenaga tambahan, kami menugaskan staf keuangan dari serikat anggota HAPSARI yang terdekat dengan kantor, atau mengangkat staf baru di bagian keuangan dengan sistem kontrak per program. Tetapi staf tetap di bagian keuangan sejak tahun 2004 dan saat ini sudah menjadi Kepala Bagian Keuangan menggantikan posisiku yang sekarang sebagai Bendahara, adalah Een. Dia kader yang baik, menghayati pekerjaannya dan memahami mimpi-mimpi HAPSARI. Orangnya sederhana dan jenaka, membuatku gembira kalau sedang bersamanya. Kami memang menikmati pekerjaan kami dan mengerjakannya dengan gembira. Lebih baik bekerja diam, teliti dan sabar, daripada aku disuruh memimpin rapat, apalagi memfasilitasi diskusi atau pelatihan, aku menyerah. Untuk soal yang satu ini, aku dan Een kompak groginya kalau sudah diminta bicara. Beberapa tahapan yang harus kami kerjakan dalam persiapan laporan keuangan adalah: 1. Membuat Daftar/Nomor Perkiraan: adalah daftar semua kode akun yang dapat disajikan dengan angka, huruf, atau paduan angka dan huruf yang memungkinkan akun tersebut dapat ditempatkan ke dalam buku besar umum. Setiap daftar/klasifikasi/golongan perkiraan digunakan untuk mencatat dan melaporkan transaksi keuangan. 2. Membuat Buku Kas dan Buku Bank: dimana buku ini dipergunakan untuk mencatat masuk keluarnya uang dalam kas dan bank. Bagan buku kas dan buku bank terdiri dari lajurlajur tanggal, keterangan, debit, kredit dan
3.
4.
5.
jumlah uang, bagian debit untuk mencatat penerimaan uang dan bagian kredit untuk mencatat pengeluaran uang. Setiap donor mempunyai buku kas dan buku bank masingmasing dan kami mencatatnya secara terpisah. Membuat Buku Besar: yaitu catatan semua akun biaya, masing-masing dicatat pada halaman terpisah sesuai dengan nama dan nomor dalam daftar perkiraan. Tidak seperti jurnal yang menampilkan semua transaksi keuangan tanpa neraca, buku besar mengikhtisarkan nilai-nilai dari satu jenis transaksi keuangan per akun, yang menjadi dasar bagi laporan keuangan. Jika ada 14 jenis item biaya, maka buku besarnya ada 14 jenis juga berdasarkan nama item dan nomor perkiraan. Kalau di buku kas, penerimaan itu masuk kategori debit, tetapi didalam buku besar penerimaan masuk kategori kredit. Menulis voucher: dimana dalam setiap penerimaan dan pengeluaran kas maupun bank, harus disertai dengan voucher. Voucher adalah bukti adanya persetujuan untuk mengeluarkan uang. Voucher juga digunakan untuk melakukan pengawasan secara efektif terhadap pembayaran atau pengeluaran uang. Setiap satu item pengeluaran dilampiri satu voucher, jika satu hari ada 10 item maka jumlah voucher-nya juga ada 10. Membuat kertas kerja/worksheet. Setelah selesai menulis buku kas, buku bank, menulis voucher serta dilampiri bukti-bukti pengeluaran dan menulis buku besar, kerja selanjutnya adalah memasukkan akun-akun yang ada di buku besar ke dalam kertas kerja atau worksheet yang sudah disiapkan formatnya di komputer. Satu persatu akun dimasukkan sesuai dengan urutannya serta bulan transaksi. Dari worksheet inilah kita akan membuat laporan aktivitas, laporan arus kas dan posisi keuangan (neraca). Laporan keuangan organisasi mencakup semua penerimaan dan pengeluaran, baik dari donor maupun swadaya lembaga. Jadi kalau ada lima donor, berarti ada 5 + 1 (lembaga sendiri) laporan yang harus disiapkan per 111
Narasi Perempuan
masing-masing lembaga lalu dikompilasi untuk menjadi laporan keuangan secara keseluruhan. Setiap pengeluaran harus disertai dengan bukti-bukti pendukung, seperti kuitansi yang ditandatangani oleh si penerima, nota/bon toko, invoice yang dikeluarkan oleh pihak ketiga, bukti perjalanan seperti tiket kereta api, tiket pesawat yang disertai dengan boarding pass dan airport tax. Di dalam laporan keuangan itu dapat dilihat laporan posisi keuangan (neraca), laporan arus kas, laporan aktivitas serta catatan atas laporan keuangan pada periode laporan serta disandingkan dengan periode sebelumnya sehingga bisa tergambar kemampuan organisasi dalam mengelola sumber daya organisasi. Kesulitan yang kami alami adalah ketika peserta tidak mengembalikan/mengirim kembali airport tax dan boarding pass bukti perjalanan tersebut. Ketika ditanya dengan santai mengatakan hilang dan merasa tidak ada urusan lagi dengan masalah tersebut. “Ya ampun, masih tanya soal tiket? Kan sudah kubilang, tiketnya hilang, ya hilang lah.... Jadi bagaimana lagi?� Dan kami, baik aku maupun Een hanya terdiam dan kadang memilih diam, lalu mencari jalan keluarnya sesuai prosedur adminsitrasi dan Standar Operasional Prosedur (SOP) Keuangan kami. Kadang-kadang ada pula yang dengan sengaja menyimpan bukti itu dan tidak menyerahkan ke kami, karena berpikir itu tidak penting. Padahal ketika bukti airport tax dan boarding pass tidak ada, kami tidak bisa mengklaim bukti perjalanan mereka ke pihak donor walaupun sudah ada surat pernyataan hilang. Ini merugikan organisasi, karena harus mengeluarkan dana cadangan untuk sesuatu yang seharusnya dapat dihindari. Kami juga mengalami kesulitan ketika Staf Program malas dan tidak terbiasa menyimpan serta menyerahkan bukti-bukti pengeluaran. Mereka beranggapan bahwa itu adalah tugas orang keuangan seperti kami, untuk itulah kami bekerja dan dibayar organisasi. Kami juga mengalami kesulitan lain dalam pengaturan keuangan karena 112
orang program ketika menjalankan kegiatan sangat bersemangat, kurang peduli ada uang atau tidak, yang penting kegiatan mereka harus dijalankan. Kalau program itu sudah direncanakan, tentulah kami tidak kesulitan. Kadang-kadang kegiatan yang akan dilaksanakan itu bukan bagian dari program, atau tidak ada dalam perencanaan, walaupun mendukung program yang ada dan kalau tidak dilaksanakan, program yang sedang berjalan kurang optimal. Misalnya, untuk program ekonomi dengan kegiatan pendirian koperasi, dilakukan melalui rapat-rapat persiapan, pembuatan Anggaran Dasar, pengurusan akte pendirian koperasi dan pengurusan badan hukum. Tiba-tiba ada usulan kegiatan studi banding untuk pengurus koperasi, sebelum pengurusan akte notaris. Justifikasinya memang dapat diterima, karena pengurus koperasi perlu belajar dari pengurus koperasi lain yang sudah aktif. Kami di bagian keuangan menyebutnya “kegiatan dadakan�. Kondisi seperti ini sering terjadi pada masa-masa awal organisasi menjadi federasi, sampai kami menemukan cara mengatasinya. Untuk mengatasi hal ini, dalam pembuatan rencana kegiatan dan anggaran tahunan kami mendiskusikan masalah ini, bagaimana agar kegiatan-kegiatan dadakan tidak terjadi lagi. Kegiatan ini lalu kami masukkan dalam program peningkatan kapasitas, baik untuk pengurus, staf, maupun pengurus dan anggota serikat. Akhirnya kegiatan yang sifatnya mendukung ini masuk dalam perencanaan, tidak lagi dadakan dan menjadi dari kegiatan rutin yang dianggarkan/dialokasikan sumber dayanya. Dari kegiatan yang berbiaya tinggi, karena tanpa perencanaan menjadi kegiatan yang efisien. Penurunan biaya terlihat nyata, dari sekitar 30 % per bulan, sekarang turun menjadi sekitar10 %. Perubahan ini terjadi setelah kami di bagian keuangan mengikuti berbagai macam pelatihan, seperti Training on Integrated Strategic Financial and Program Planning tahun 2005 di Yogyakarta, dengan perjalanan yang sangat menyiksa. Kami harus naik bus, jam 12 tengah malam dari Jakarta dan aku mabuk di perjalanan. Sampai Tasikmalaya jam 8 pagi dan kami masih harus ganti bus lagi dalam kondisi mabuk. Karena sudah tidak kuat lagi,
Angka-angka di Atas Meja
aku yang berangkat bersama Een, Nur dan Mamik dari SPI Labuhanbatu, memutuskan menyewa dua kursi untuk satu orang supaya lebih nyaman. Tapi yang namanya mabuk di perjalanan tetap saja mabuk, muntah yang tak berhenti keluar dari mulutku berupa cairan kuning yang pahit sekali rasanya, karena sudah tidak ada lagi yang dapat dimuntahkan. Sekitar jam 5 sore kami sampai di wilayah Sleman, Yogyakarta, tempat pelatihan milik organisasi Satunama, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat nasional yang bergerak di bidang penguatan masyarakat sipil. Malam pertama kami tidak bisa mengikuti acara pembukaan karena sudah sangat kelelahan. Dalam training ini kami diajari membuat analisis situasi dan membuat perencanaan program dan keuangan. Selain itu kami juga mendapat asistensi teknis dari Remdec, sebuah lembaga konsultan independen bergerak dalam bidang pengembangan kapasitas dan sumberdaya untuk tranformasi sosial di Jakarta. Kami mendapat penguatan kapasitas dalam hal pembuatan laporan keuangan organisasi nirlaba. Materinya antara lain: dasar-dasar manajemen keuangan untuk organisasi sosial, bagaimana cara membuat nomor perkiraan, membuat jurnal dan memasukkan bukti-bukti ke kertas kerja. *** Tahun 2004, HAPSARI melaksanakan Kongres II di Desa Sukasari, Kecamatan Perbaungan (sekarang menjadi Kecamatan Pegajahan). Dipilihnya lokasi ini, karena Desa Sukasari adalah tempat dimana HAPSARI lahir. Sebelum kongres kami awali dengan kegiatan Napak Tilas yang dilakukan oleh para kader muda HAPSARI. Napak Tilas dilakukan dengan menelusuri kembali lokasi-lokasi dimana kegiatankegiatan HAPSARI pernah dilakukan dan menemui orang-orang yang pernah terlibat dalam proses membangun cikal-bakal organisasi HAPSARI. Kami juga mengadakan lomba kebersihan antar dusun dimana para kader menjadi dewan jurinya. Selama proses kongres, kami menginap di rumah-rumah penduduk yang dengan senang hati menerima kami. Di antaranya di rumah seorang ibu bernama Umiati, beliau adalah salah seorang yang terlibat
dalam fase pertama HAPSARI mendirikan Sanggar Belajar Anak. Kami juga mengunjungi rumah Kak Lely yang terletak sangat jauh dari lokasi kongres, di tengah-tengah perkebunan singkong milik keluarga Kak Lely, jauh dari tetangga dengan jalanan kecil yang becek sampai ke halaman rumahnya. Dalam kongres ini, aku dipilih menjadi pengurus HAPSARI yang strukturnya disebut Dewan Perwakilan Anggota (DPA) dengan jabatan Bendahara sesuai dengan kapasitasku yang dibutuhkan HAPSARI dan akan tetap kusumbangkan untuk HAPSARI. Selain peningkatan kapasitas tentang manajemen keuangan, sebagai DPA aku dan kawan-kawan DPA lainnya dilatih dan diharuskan mampu memfasilitasi pertemuan-pertemuan. Dalam sebuah kegiatan Pendidikan Kepemimpinan Perempuan yang diselenggarakan di Hotel Sibayak Berastagi tanggal 24 – 26 Februari 2010, aku mendapat tugas menjadi salah seorang fasilitator. Kami membentuk tim kerja, aku diberi kesempatan untuk memfasilitasi satu sesi dengan materi Struktur dan Hirarki dalam Kepemimpinan. Ini pengalaman pertamaku, grogi, tentu saja, karena pesertanya sebanyak 30 orang berasal dari para pimpinan dari semua serikat anggota HAPSARI. Kami mengatasi grogi ini dengan melakukan simulasi sebelum kegiatan pendidikan itu dilaksanakan. Ternyata strategi ini cukup membantu, karena beberapa kemungkinan adanya pertanyaan dari peserta pendidikan terbukti memang muncul dan dapat aku jelaskan dengan baik. Senang sekali aku dan sejak itu aku mulai percaya diri ketika diminta untuk membantu memfasilitasi pertemuan, setidaknya dalam rapatrapat bersama Pelaksana Harian di HAPSARI. *** Selama 13 tahun sejak menjadi orang keuangan di HAPSARI, setiap hari aku bergelut dengan kertas dan angka-angka di atas meja kerjaku. Pekerjaan ini tidak sekedar melaporkan dana yang sudah digunakan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengelola dana yang ada sehingga semua program bisa dijalankan dan organisasi bisa berlanjut. Beberapa teman ada yang bilang takut 113
Narasi Perempuan
berhadapan dengan orang keuangan, termasuk denganku. Karena menurut mereka wajahku serius dan seram, karena tidak ada senyumnya. Mungkin mereka benar, karena dengan posisi ruangan kerja bagian keuangan yang agak terpisah dengan ruang program, suara kami jarang terdengar. Dalam ruangan pun kami sering banyak diam kalau sedang menghitung-hitung angka, wajah serius, dahi berkerut dan karena kami tidak ingin ada kesalahan dalam penghitungan, mungkin wajahwajah kami memang jadi seram. Sebab kalau salah, aduh, menelusuri ulang itu butuh waktu lama, satu persatu berkas harus dilihat dan dicek kembali, sementara pengiriman laporan harus tepat waktu.
“Aduh! Jadi bagaimana dataku? Kami mau audit,” tanyaku lemas.
Hingga saat ini laporan keuangan HAPSARI sudah diaudit 13 kali, dan hanya sekali yang tidak menjadi tanggung jawabku. Ada satu peristiwa persiapan audit yang membuat kami harus lintang-pukang, yaitu ketika persiapan untuk audit keuangan tahun ke-empat. Waktu itu kami sudah membuat kesepakatan dengan tim auditor dari Kantor Akuntan Publik Kumalahadi Yogyakarta untuk melakukan audit keuangan. Persiapan berkas sudah dilakukan, aku dan Een berbagi tugas. Tugasku membuat buku kas, buku bank, buku besar masing-masing biaya dan setelah itu memasukkan data ke dalam kertas kerja (worksheet) yang sudah ada formatnya di komputer. Tugas Een menulis voucher pengeluaran dan penerimaan kas, voucher pengeluaran dan penerimaan bank, kuitansi tanda terima, dan bon pembelian. Selesailah sudah semua data kumasukkan, tinggal mencetak berkas dan disatukan menjadi laporan keuangan.
Akhirnya kami mengambil keputusan untuk membawa pulang dokumen-dokumen administrasi yang belum selesai, dan mengerjakannya di rumahku. Hari Minggu pagi kami sudah mulai untuk mengerjakan semuanya, tetapi jam empat sore tim auditor menelpon dan mengatakan sudah di Polonia dan akan segera meluncur ke Perbaungan, kantor HAPSARI.
Empat hari menjelang kedatangan tim auditor ke HAPSARI, aku masih santai duduk di depan komputer untuk mencetak berkas tersebut. Aduh, komputernya mati. Kucoba menggoyanggoyangkan kabel komputer dan listrik yang saling berhubungan tapi tetap saja komputer tidak menyala. Mati aku! kataku dalam hati. Perasaanku mulai tidak enak. Kupanggil Een dan menyuruhnya memanggil teknisi komputer langganan kantor. “Hardisk-nya kena virus dan harus di-install ulang”, kata abang teknisi itu. 114
“Aku nggak jamin, Kak. Semoga masih bisa diselamatkan,” jawabnya. Akhirnya di-install ulanglah si komputer tadi dan hasilnya data auditku hilang separuh. Aku dan Een terduduk lemas menerima kenyataan ini. Dua hari berikutnya kami kerja keras mengulang lagi memasukkan data ke komputer. Aku memanggil dua orang staf keuangan dari serikat anggota HAPSARI, Nur dan Marni, masing-masing dari SPI dan SPPN Serdang Bedagai.
“Aduh!” serentak kami berempat berpandangan. Atas saran Kak Lely, Een akhirnya bertugas menyambut tamu, sementara aku, Nur dan Marni ngebut menyelesaikan semua pekerjaan sampai jam empat pagi. Tidak ada orang keuangan yang tahu masalah yang kami hadapi ini, kecuali Kak Lely. *** Besoknya, pagi-pagi kami datang ke HAPSARI membawa dokumen laporan yang sudah selesai, sambil mengendap-endap kami masuk ke dalam kantor dari pintu samping, malu sama tim auditor yang sudah datang dari kemarin sore. Setelah satu minggu melakukan pemeriksaan dan verifikasi lapangan, akhirnya selesai sudah pemeriksaan laporan keuangan dan satu bulan kemudian keluarlah laporan dari tim auditor. Dalam salah satu paragraf di halaman Laporan Auditor Independen menyatakan, “Menurut pendapat kami, laporan keuangan yang disebut di atas menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, dalam posisi keuangan Hapsari FSPM
Angka-angka di Atas Meja
Perbaungan pada tanggal 31 Desember 2003, laporan aktivitas, dan laporan arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut.� Alhamdulillah, lega rasanya. Satu pertanggungjawaban organisasi sudah dilakukan. Dengan laporan keuangan organisasi yang telah diaudit oleh auditor independen, bukan hanya untuk lembaga donor, juga penting untuk akuntabilitas organisasi, dimana organisasi mendapat kepercayaan dan akuntabel di mata publik. Dari hasil laporan keuangan, kita bisa mengembangkan strategi-strategi penggalangan dana (fund raising) untuk keberlanjutan organisasi. ***
115
Narasi Perempuan
Š Feri Latief/USAID Program Representasi 116
Perubahan dan Politik Keterlibatan
117
Narasi Perempuan
Perubahan dan Politik Keterlibatan Widhyanto Muttaqien Ahmad
118
Perubahan dan Politik Keterlibatan
Sekarang bisakah dibayangkan, jika perubahan politik bisa terjadi dalam 5-10 tahun sesuai dengan siklus pemilu yang demokratis. Kalangan bisnis percaya bahwa sebuah perusahaan akan mengalami perubahan penting dalam siklus 15-20 tahun. Dan perubahan pada masyarakat sipil atau sebuah komunitas warga diperkirakan membutuhkan waktu sedikitnya satu generasi, paling cepat 25 tahun. Jadi, untuk melihat peluang perubahan pada sebuah masyarakat sipil membutuhkan perspektif jangka panjang. Perubahan dalam masyarakat sipil dengan durasi yang panjang disebabkan bukan hanya karena kompleksnya masalah, namun juga karena majemuknya masyarakat, majemuknya kepentingan, dan tata kelola pemerintahan. Dipercaya, semakin demokratis sebuah pemerintahan maka kesempatan para pihak untuk bersuara dan suara-suara dari liyan dan kaum marjinal lebih terjamin. Ini dapat dilihat misalnya, dalam indeks kebebasan suatu negara, negara yang memiliki pemerintahan demokratis memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan negara dalam rezim otoriter. Kesejahteraan yang tak hanya diukur lewat tingginya laju pertumbuhan ekonomi dan distribusi kekayaan, namun juga dilihat dari hak-hak lain seperti hak politik dan budaya, hak untuk menentukan sikap dan bersuara dalam berbagai ruang kehidupan, ekonomi, sosial, politik dan budaya. Tanpa diskriminasi berdasarkan ras, suku, agama dan kepercayaan yang dianutnya. Bagaimana perubahan-perubahan tersebut dilakukan adalah inti dari kisah-kisah pelaku dalam buku ini. Perubahan yang tidak ditunggu, tapi perubahan yang diskenariokan, perubahan yang diinginkan karena perubahan tersebut dibutuhkan. Artinya, jika ingin berubah, maka tidak ada cara lain untuk melibatkan diri dalam sebuah skenario perubahan. Apakah skenario itu: sesuatu yang berisi visi, tujuan, sasaran, target, langkah, dan siapa saja yang berperan. Skenario membantu aktornya untuk berdialog dengan aktor lain, dan mengantisipasi setiap kemungkinan. Skenario ini membangun interaksi-interaksi baru, sebab dialog tidak pernah buntu. Dalam cerita Riani Dimas di buku ini,
termasuk di dalamnya, bagaimana membuat akhir cerita: bahagia atau nestapa? Skenario tersebut mampu menggerakkan orang, pemain dan penontonnya untuk terlibat. HAPSARI memilih banyak skenario dalam produksi gerakannya. Ini bisa dilihat dari kisah pengkaderan di beberapa cerita dalam buku. Bagi HAPSARI karena ‘kami’ adalah bagian dari ‘warga setempat’ yang memiliki ‘lapangan main’ dari mikro-meso-dan makro (dusun Keceme, desa Stabat, kecamatan Serdang Bedagai, Kabupaten Deli- Serdang, Provinsi Sumatera Utara, dan Indonesia) setempat, maka pengkaderan dilakukan berdasarkan kebutuhan lapangan atau kebutuhan panggung, kebutuhan untuk membuat ending pada cerita yang diskenariokan. Siapa yang membuat cerita? HAPSARI menjawabnya dengan lugas, masyarakat dimana mereka menjadi bagiannya. Cerita-cerita keberhasilan dalam buku ini memang lebih banyak melihat intervensi mikro, dengan fokus intervensi pada proyek dan program. Namun jika dilihat dari latar belakang program, latar belakang aktor, yaitu para penulis sendiri yang menyuarakan partisipasi sebagai warga negara, kesadaran-kesadaran sebagai seorang warga negara perempuan yang selama ini dianggap sebagai ‘kelas dua’ dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat desa sampai tingkat Pusat, tumbuh ketika berorganisasi di HAPSARI. Cerita Ayu, tentang patriarki dalam buku ini mendeskripsikan apa yang ia anggap sebagai sebuah konsep tentang perempuan tidak ia pahami sebagai seorang perempuan. Konsep tersebut bukan ia yang buat, tapi ia harus menurutinya. Setiap pergi kuliah diantar-jemput, selain karena jauh, orang tuaku mengangggap aku perempuan yang lemah, anak perempuan tidak baik pergi sendirian. Ditambah aturan lainnya; kalau makan tidak boleh berbunyi, tidak boleh pergi main jauh dari rumah atau sampai larut malam, dan sebagainya. Ini membuatku tidak mempunyai banyak teman. Yang membuat aku merasa tidak nyaman, aku selalu diejek teman-teman sebayaku dengan sebutan ‘pingitan, jauhan ayamnya main daripada yang punya’. 119
Narasi Perempuan
Padahal dalam hati aku ingin seperti mereka (abangabangku) dan seperti teman-teman seusiaku mereka boleh pergi bermain bersama teman yang lain, mereka boleh berteman dengan siapa saja. (Sri Rahayu, Rumah Keduaku). Demikian halnya pembangunan, warga desa tidak mengetahui apapun tentang proses pembangunan, tentang bagaimana pukat harimau diperbolehkan beroperasi di pesisir desa mereka dan menghabiskan sumberdaya ikan serta membunuhi warga yang menentang keberadaannya. Juga dalam cerita tentang ‘mengambil makuna dan benguk’, sejenis jamur yang tumbuh di pohon kelapa sawit, yang menyebabkan penulis dituduh mencuri oleh pihak perkebunan, dan mengalami proses interogasi yang tidak menyenangkan. Hal ini seperti yang diceritakan oleh Peluso (2008), dalam bukunya ‘Hutan Kaya, Rakyat Melarat’, dimana masyarakat tidak memiliki alternatif pilihan untuk kesejahteraan dirinya sendiri, karena tanah dan wilayah hutan sekitar tempat tinggal mereka tertutup aksesnya untuk mereka, sedangkan untuk pengusaha kayu malah mendapatkan perlindungan. Inipula yang menjadi pertanyaan Riani selepas interogasi, mengapa masyarakat tidak bisa mendapatkan keuntungan dari tanahnya sendiri? Vandana Shiva (1999) mengungkapkan dalam bukunya yang fenomenal, Bebas dari Pembangunan, mengenai betapa konsep patriarki dalam pembangunan ternyata meminggirkan peran kaum perempuan dalam produksi pertanian, hal ini menyebabkan krisis baru dalam pembangunan, krisis ekologi yang disebabkan penyingkiran perempuan dalam pengelolaan aset keluarga dan komunitas, seperti pencadangan
benih sebagai kedaulatan pangan dan keberlajutan penghidupan lewat tanaman-tanaman pekarangan dan pematang sebagai bagian dari ketahanan pangan. Orientasi ini tidak dimiliki oleh perkebunan besar yang padat modal, sehingga memandang tenaga kerja sebagai komponen termurah, apalagi tenaga kerja perempuan. Hal ini dapat dilihat dari cerita-cerita perempuan, pekerjaan produktif mereka dianggap sebagai ‘pembantu atau ‘membantu’ dalam ‘wilayah pekerjaan’ kerja laki-laki. Laki-laki walaupun memberikan nafkah yang pas-pasan tetap dianggap sebagai pencari nafkah, pekerjaan perempuan dalam pertanian/perkebunan menjadi tidak terlihat, pekerjaan perempuan di berbagai sektor informal dan industri rumah tangga tidak dihitung. Persoalan dalam buku ini tidak saja mengurus kesejahteraan dalam ruang publik, yaitu kesejahteraan untuk orang banyak. Tapi juga membawa isu ruang domestik, ruang keluarga. Dimana kekerasan dalam rumah tangga cenderung menyalahkan perempuan yang menjadi korban. Ketidakadilan ini bukan hanya menjadi pemantik kesadaran bagi pelaku di kisah ini, namun juga menjadi arena perjuangan bagi HAPSARI. Bagaimana keberhasilan tersebut bergerak mulai dari tingkat mikro - meso - makro, yang menemui momentumnya saat pemilihan pemilu kepala daerah dan pemilu presiden 2014, dalam cerita Ari - Jejak Perempuan - , diceritakan dalam buku ini. Kesadaran untuk ‘berpolitik’ akhirnya membawa kesadaran lain, yaitu kesadaran untuk bisa merawat ruang politik. Maka pergerakan kawan-kawan HAPSARI dari desa sampai ke pusat adalah soal merawat ruang politik.
Tingkat intervensi
Periode keberhasilan
Fokus intervensi
Tingkat investasi masyarakat sipil
Makro
5-20 tahun
Perubahan tata kelola pemerintahan
5%
Meso
2-10 tahun
Perubahan kebijakan
15%
Mikro
1-3 tahun
Penyalur bantuan proyek dan program
80%
120
Perubahan dan Politik Keterlibatan
Naidoo (2010) memetakan intervensi yang biasa dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil menjadi tiga tingkat. Dimana pada tingkat mikro seharusnya investasi atau keterlibatan masyarakat sangat tinggi, karena selain secara teritorial memiliki ruang yang kecil (dusun, desa) dalam populasi juga lebih sedikit, dan aktor yang terlibat juga saling mengenal dalam hal kebiasaaan (habitus) disamping tata cara pengambilan keputusan juga masih memungkinkan melibatkan sebanyak mungkin warga, tanpa diwakili. Di tingkat desa salah seorang kader HAPSARI, yaitu Riani pernah dicalonkan sebagai bakal kepala desa oleh beberapa tokoh masyarakat, namun karena syarat pendidikkan formal tidak mencukupi maka pencalonan tersebut batal. Hal ini sesungguhnya bisa dilihat dari kapasitas kader dalam aktivitasnya dianggap masyarakat adalah orang yang memiliki kemampuan dan jejak kepemimpinan yang baik. Sedangkan dalam tingkat meso atau kita bisa menyebutnya dalam tingkat kabupaten dalam tata pemerintahan kita, hal yang bisa diubah adalah kebijakan. Namun persoalan utama disini adalah ketidakberpihakan, baik perwakilan rakyat atau legislatif yang dipilih maupun pemerintah daerah. Berbagai penelitian tentang ini menyimpulkan bahwa partai-partai seringkali membajak ‘suara rakyat’, sehingga masyarakat memiliki suara yang disandera wakilnya di legislatif. Kepentingan kontituen dianggap sama sebangun dengan kepentingan partai. Carnegie (2010) menjelaskan bahwa proses demokratisasi yang terjadi memiliki kesenjangan pada keterwakilan suara dan aktor dari kaum marjinal di tingkat pusat, terutama dalam era awal di tahun 1999. Hal yang sama berlaku untuk tingkat daerah, kemampuan masyarakat untuk mengorganisir diri sering kalah oleh kemampuan mesin partai besar di momen Pemilu. Dalam cerita Ayu, hal ini digambarkan bagaimana ‘cara bekerja’ politik uang dalam membujuk kelompok perempuan atau secara halus melakukan kampanye-kampanye terselubung lewat bantuan. Hal ini pula yang menyebabkan HAPSARI aktif mencalonkan kadernya untuk menjadi legislatif,
untuk merawat suara atau merawat ruang politik. Dan dianggap sebagai salah satu cara menuju kesetaraan politik. Sistem Pemilu di Indonesia telah mengafirmasi sistem kuota perwakilan perempuan. Hana Pitkin, seperti dikutip dalam kertas kerja Komnas Perempuan, menyatakan, “…..Mengapa diperlukan kuota perempuan? Pemenuhan kuota perempuan dilandasi pada argumen sebagai berikut: 1. Perempuan mewakilil setengah dari populasi dan punya hak untuk setengah dari kursi (”justice argument”); 2. Perempuan mempunyai pengalaman yang berbeda dari laki-laki (biologis maupun sosial) yang diwakili (”experience argument”). Sejalan dengan argumen ini perempuan dapat memasukiposisi kekuasaan karena mereka akan terikat dalam politik yang berbeda; 3. Perempuan dan laki-laki mempunyai pertentangan kepentingan sehingga laki-laki tidak dapat mewakili perempuan (”interest group argument”); 4. Politisi perempuan mewakili model peran penting mendorong perempuan lain untuk mengikuti. Inti ide di belakang kuota gender pemilihan adalah merekrut perempuan ke dalam institusi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak terisolasi dalam kehidupan politik. Dalam sejarahnya keterwakilan perempuan bisa dilihat dari data berikut: Momentum berikut adalah pemilihan umum 2014 yang memilih presiden. Antusias masyarakat dalam pemilihan ini sangat besar, gerakan masyarakat untuk perubahan luar biasa, sehingga muncul fenomena relawan. Fenomena relawan ini, menarik untuk diketengahkan, mengingat sebelumnya masyarakat hanya menjadi ‘sebuah suara’. Sedangkan relawan, selain sebagai ‘pendulang suara’ juga berfungsi sebagai ‘perawat politik’, dimana, suara selain sayang jika tidak digunakan maka golput itu merugikan -, karena berpengaruh pada kebijakan, juga dianggap memiliki pengaruh pada tata kelola pemerintahan ke depan, yaitu pemerintahan yang demokratis dengan nilai-nilai 121
Narasi Perempuan
Periode
Perempuan
Laki-laki
Jiwa
Persentase
Jiwa
Persentase
1955 – 1956
17
6,3%
272
93,7%
Konstituante 1956 – 1959
25
5,1%
488
94,9%
1971 – 1977
36
7,8%
460
92,2%
1977 – 1982
29
6,3%
460
93,7%
1982 – 1987
39
8,5%
460
91,5%
1987 – 1992
65
13%
500
87%
1992 – 1997
62
12,5%
500
87,5%
1997 – 1999
154
10,8%
500
89,2%
1999 – 2004
46
9%
500
91%
2004 – 2009
61
11,09%
489
88,9%
2009 – 2014
103
18%
457
82%
2014 – 2019
97
17,32
463
82, 68
Sumber: Komnas Perempuan, dan http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_anggota_Dewan_Perwakilan_Rakyat_2014%E2%80%932019
yang emansipatoris. Kampanye para relawan ini cukup sukses membawa para pemilih baru dan pemilih apatis (golput) untuk mengambil peluang perubahan dengan mencoblos salah satu calon presiden. Disini peran masyarakat sipil lewat tindakan kesukarelawanan menjadi penting, jika dilihat dalam konteks tingkat makro. Keterlibatan masyarakat ini dalam berbagai tingkatan tidak dapat dipisahkan, sebab baik pemberdayaan maupun advokasi dalam masyarakat bertujuan untuk melakukan perubahan struktural dengan sadar dan sanggup mengelola konflik. Maka sesuai dengan tujuan tersebut yang dilakukan oleh kader HAPSARI adalah melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perbaikan kesejahteraan mereka, dengan cara transformatif, yaitu lewat perubahan kesadaran, yaitu kesadaran atas posisinya dalam struktur dan sistem, inilah yang menjadi dasar bagi analisis sosial yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Lalu bagaimana dengan penekanan dalam perspektif jangka pendek, seperti pada program dan proyek? Mansour Fakih (1996) dalam bukunya menuliskan bahwa dibutuhkan dua pendekatan dalam sebuah gerakan, yaitu respon cepat atas kebutuhan jangka pendek (praktis) dan respon strategis. Respon praktis selalu berada dalam bagian respon strategis. Dalam cerita Ari tentang cara 122
mendapatkan pengelolaan Afdeling perkebunan teh seluas 5 hektare di Suroloyo, memperlihatkan bagaimana strategi jangka pendek tersebut bersifat praktis sekaligus strategis, yaitu ketika masyarakat melakukan pendekatan ke berbagai pihak, bahkan bekerjasama dengan PT. Pagilaran untuk membeli produknya, merawat kebunnya, sehingga selanjutnya dipercaya untuk mengelola salah satu Afdeling perkebunan teh. Respon jangka pendek dimulai dari pendampingan untuk mendapatkan dana bagi pengembangan industri rumah tangga. Lewat proyek PNPM Peduli jejaring HAPSARI berhasil membuka mata para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten, kemudian mendapatkan kepercayaan untuk mengelola pasar masyarakat (komunitas), dari lahannya yang sebelumnya dikuasai oleh Dinas PU dapat dikuasakan kepada masyarakat. Skenario proyek diperluas dengan scenario kebutuhan strategis masyarakat, yaitu lahan untuk pasar dan lahan untuk pertanian/perkebunan mereka. Di titik inilah pengelolaan konflik masuk pada tingkatan kerjasama pada pihak-pihak yang dianggap dapat mendukung kebutuhan strategis mereka. Hal ini bukannya tanpa hambatan, sebab untuk bisa hidup lama, sebuah organisasi terkadang mengalami berbagai macam pelabelan atau stigmatisasi. Hal ini biasanya dilakukan oleh pihak-
Perubahan dan Politik Keterlibatan
pihak yang merasa kepentingannya terancam atau orang/kelompok yang ingin tidak terjadi perubahan karena akan mengganggu atau mengurangi privelesenya, sebagai elit atau sebagai pihak yang berkuasa atas politik ataupun modal, kenikmatan yang selama ini ia nikmati dengan menghancurkan kehidupan orang banyak. Ini bisa dilihat dari skenario drama (teater) yang pernah dipentaskan oleh HAPSARI dengan judul “Perempuan Bersatu� dengan sinopsis sebagai berikut: Seorang perempuan desa yang tingkat pendidikan (formalnya) rendah, tetapi selalu mau peduli terhadap nasib kaum perempuan. Ini kisah tentang para pemimpin-pemimpin organisasi kami, tentang perempuan desa yang gigih yang ingin menunjukkan banyak kesamaan masalah yang dihadapi kaum perempuan, yaitu; mengalami kekerasan, pembodohan, dan kepentingan perempuan tidak diperhatikan. Hal ini membangkitkan semangatnya untuk membentuk kelompok-kelompok perempuan di desanya dan mulai melakukan diskusi-diskusi untuk penyadaran dan penguatan kaum perempuan. Tetapi ia mendapatkan banyak rintangan, mulai dari keluarganya, para suami dari anggota kelompoknya, sampai pemerintahan desa. Masyarakat menuduhnya menghidupkan Gerwani lagi. Di dalam pemerintahan desa keberadaan kelompok perempuan itu dianggap mengganggu, menyalahi aturan desa, karena sudah ada PKK. Tapi tantangan ini tidak membuat mereka surut, justru makin membuat mereka bersatu untuk maju dan saling peduli pada sesama perempuan.
Rantai Hubungan Isu: Makro-Meso-Mikro Jika penjelasan sebelumnya menghubungkan tingkatan perubahan mikro-meso-makro dari sisi intervensi dan fokus intervensi. Maka penjelasan lain yang dimungkinkan dari cerita-cerita dalam buku ini adalah perubahan mikro dalam pengertian perubahan di level individu, yaitu pola perilaku dan interaksi antara individu yang terlibat. Sementara tingkat makro yaitu menjelaskan skala masyarakat dalam jangka waktu yang panjang. Sedangkan tingkatan meso melihat perubahan struktur pada
fenomena sub-masyarakat seperti organsisasi atau kelompok, misalnya sub-etnis, kelompok petani perempuan, dan lain sebagainya. Organisasi atau kelompok dapat menjadi ‘jembatan’ dari individu untuk ikut terlibat dalam level yang lebih tinggi, dari mikro ke makro. Hal ini dijelaskan William Gamson (1992) dalam Staggenborg (2002), bahwa proses menjembatani adalah bagaimana membangun identitas kolektif, solidaritas dan kesadaran, serta membuat strategi aksi yang berbeda baik terhadap individu atau kelompok yang berbeda, juga dalam pengertian lingkup budaya yang berbeda. Ada beberapa pelajaran utama dari cerita ini yang merupakan bagian dari tingkatan organisasi, yaitu bagaimana HAPSARI bisa membangun identitas kolektif mereka dalam merencanakan perubahan. Pertama: Perubahan butuh Kepemimpinan Ini kesadaran pertama yang dimiliki HAPSARI. Bahwa pemimpin adalah suatu hal yang bisa dipersiapkan, kepemimpinan bisa dipelajari. Proses pengkaderan di HAPSARI yang muncul di semua kisah dalam buku ini adalah bukti, betapa kepemimpinan itu menempati urutan terpenting. Kepemimpinan disini dihubungkan dengan kebutuhan mengorganisasikan pengetahuan untuk mencapai tujuannya. Polanyi (1980) membedakan antara pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) yang sudah dapat dipelajari lewat komunikasi (lisan dan tulisan) serta lewat dokumentasi yang ada (seperti buku, kaset, video belajar), dan pengetahuan tacit (tacit knowledge) yang dimiliki seseorang dalam pengalamannya. Pengetahuan tacit ini dianggap sulit untuk diukur, dihitung sebagai pengetahuan sehingga sering disebut intangiable. Hal lain dalam organisasi yang intangiable adalah nilai-nilai organisasi yang melandasi visi dan misi mereka. Sedangkan yang dianggap bisa diukur (tangiable) seperti pertumbuhan aset perusahaan, baik aset diam dan aset bergerak. Namun kepemimpinan yang baik, tata kelola partisipatif, dan konsep manajemen pengetahuan dapat membuat pengetahuan tacit menjadi pengetahuan yang 123
Narasi Perempuan
eksplisit. Ini dilakukan lewat interaksi sosial antara anggota. Pengalaman HAPSARI dalam menyebarkan pengetahuan tacit ini dapat dilihat dari model pengkaderan mereak yang mengharuskan kader muda untuk menginap di beberapa ‘pendahulu’ mereka. Bahkan, menginap di tempat dimana para ‘pendahulu’ mereka pernah mengecap pelatihan atau pendidikan. Dengan model pengkaderan seperti maka bukan hanya pengetahuan yang mereka bisa dapatkan, namun bagaimana pengetahuan itu diamalkan dalam keseharian dan interaksi sosial, mulai dari keluarga sampai ke komunitas terkecil mereka, dapat diamati oleh kader muda. Dalam mempelajari pengetahuan tacit ini mereka juga secara langsung mempelajari nilainilai. Sedangkan untuk mempelajari konsep-konsep dan teori (organisasi, jender, keuangan dll.) dan berbagai metodologi penelitian, para kader muda ini diceburkan ke dalam perpustakaan, mempelajari berbagai buku dan aneka modul. Mereka juga membuat sendiri modul-modul pelatihan, cerita pengalaman, sebagai bagain dari mengeksplisitkan pengetahuan mereka, ini yang dalam manajemen pengetahuan disebut sebagai stok pengetahuan bagi organisasi. Dalam semua kisah ada seorang tokoh yang selalu hadir, yaitu Lely Zailani, faktor kepemimpinan yang kuat dari Lely Zailani membuatnya menjadi role model (orang yang djadikan teladan) bagi anggota organisasi. Kepemimpinan penting untuk memobilisasi sumberdaya organisasi. Kedua: Perubahan butuh Isu yang Pas Perubahan terjadi bagian per bagian. Sehingga menjadi tak masuk akal jika kita menilai perubahan terjadi menyeluruh, melingkupi semua isu dan semua aktor yang ada. Dalam cerita tentang masyarakat dusun Keceme yang membutuhkan pasar komunitas, dapat dilihat bagaimana anggota Sertani melakukan pendampingan kepada masyarakat sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat disana, bukan berdasarkan atau mendahulukkan kepentingan organisasi mereka 124
sendiri. Memilih isu untuk perubahan adalah pelajaran berharga dari cerita ini. Tentu ini tidak bisa serta merta disamakan (sejajar) dengan metode analisa sosial yang dilakukan oleh ‘orang luar’. Karena analisa sosial tersebut dilakukan oleh masyarakat dusun sendiri. Di Labuhan Batu isu yang paling pas adalah isu kekerasaan dalam rumah tangga, ini menyebabkan HAPSARI masuk dalam isu ini. Pengalaman HAPSARI yang direplikasi di berbagai tempat justru terkait dengan pendidikkan. Mulai dari pendidikkan anak usia dini sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas. Isu ini dipilih ketika pada masa lalu, sekitar tahun 1990-an, masyarakat terutama di daerah perkebunan masih sulit mengakses pendidikan, selain terkait dengan jarak geografis, terkait juga dengan isu bahwa banyak anak-anak bekas anggota Partai Komunis Indonesia mengalami diskriminasi, termasuk dalam bidang pendidikkan pada masa itu. Berbagai isu terkait dengan analisa sosial yang ada di tempat tersebut. Sehingga kebutuhan masyarakat untuk memecahkan masalah adalah sahih. Artinya, masyarakat tidak diajak untuk beranganangan dalam sebuah perencanaan, tapi diajak untuk mengenali satu per satu masalah yang mengungkung mereka, dan mencari prioritas pemecahannya sesuai dengan sumberdaya yang ada. Pemecahan masalah berbasis isu ini merupakan salah satu dasar perencanaan untuk capaian praktis dengan dimensi waktu jangka pendek dan tingkat kemendesakkan tinggi. Ketiga: Perubahan butuh Momentum Ya, perubahan membutuhkan momentum atau saat yang tepat. Bagi HAPSARI momentum itu tidak ditunggu, namun dicari peluangnya. Dan peluang bukanlah tebak-tebakkan angka. Peluang adalah sesuatu yang dihitung dan bisa diukur. Sebuah peristiwa bisa merupakan suatu peluang untuk dimanfaatkan atau dalam pengertian lain sebuah peristiwa dapat memicu gerakan lain. Kisah, Ayu ketika dilecehkan secara seksual dalam angkutan umum oleh seorang penumpang, tanpa bisa ia lawan, kecuali menerima rasa malu merupakan peristiwa yang bukan mengurangi keinginan dia
Perubahan dan Politik Keterlibatan
untuk mempersoalkan konsep patriarki, namun justru menjadi pemantik dalam dirinya untuk mempertanyakan terus mengapa posisi perempuan lemah, termasuk di ruang publik. Sebuah peristiwa dalam kematian nelayan yang diakibatkan oleh ‘perang’ antara nelayan dengan pemilik pukat harimau, memicu protes yang lebih luas. Protes yang dilancarkan kepada DPRD setempat, pemerintahan setempat lewat Dinas Kelautan dan kegiatan teater yang dilakukan HAPSARI untuk menciptakan momentum protes yang lebih luas baik dari sisi wilayah, sisi pemberitaan, sisi dukungan publik adalah contoh bagaimana momentum diciptakan, dari peristiwa atau kejadian yang dapat merangsang orang untuk mempertanyakan apa yang terjadi dibalik sebuah peristiwa atau gejala sosial. Hubungan sebabakibat seperti apa yang bisa menjelaskan mengapa pukat harimau tidak dilarang, bahkan bertambah banyak armadanya? Dan bagiamana menyikapi peritiwa-peristiwa tersebut? Dari sebuah peristiwa dan muculnya pertanyaan itulah gerakan sosial bisa muncul. Sebuah momentum tercipta, kemudian organisasi bisa memperkirakan berapa lama gerakan itu akan berlangsung, apakah gerakan bisa mengambil simpati yang lebih luas, apa yang mesti dilakukan selanjutnya. Hal-hal seperti inilah yang dipelajari oleh kader HAPSARI untuk bisa bertahan sebagai sebuah gerakan sosial. Keterlibatan dalam momen pilpres kemarin juga diakui sebagai momen untuk ‘tidak anti-politik’ dalam pengertian tidak pasif, tidak golput, dan tidak memilih calon yang dianggap bermasalah dengan misalnya, hak azasi manusia, kejahatan korporasi dan sebagainya. Momen ini menyebabkan meningkatnya kepercayaan anggota gerakan bahwa perubahan itu dimungkinkan selama kita terlibat. Momentum dalam organisasi tercipta ketika orangorang yang terlibat, merasakan manfaat perubahan, sehingga mereka mendukung dan merawat organisasi mereka sendiri, misalnya dengan meningkatkan produktifitas mereka, menjaga hubungan baik dengan klien, penerima manfaat
program, dan menjaga nama baik serta reputasi organisasi. Keempat: Perubahan butuh Keterlibatan Inti dari semua jenis skenario perubahan adalah pertanyaan tentang siapa yang mesti dilibatkan. Bagi HAPSARI semua warga terlibat. Semua pihak dilibatkan. Dijalin dengan kuat. Cerita yang ada seperti pertunjukkan teater yang dilakukan untuk mengajak masyarakat menolak dan melawan pukat harimau, adalah cara ‘memprovokasi’ dengan model persuasif, lewat dorongan ‘ingatan kolektif’ penonton, bahwa perubahan yang dilakukan membutuhkan keterlibatan, mulai dari emosional (afeksi) yang ujungnya bisa saja cuma mendoakan agar yang akan berjuang selamat dan berakhir bahagia. Sampai pada pengambilan keputusan dan aksi bersama yang dianggap bermakna bagi kehidupan bersama. Keterlibatan orang-orang di luar organisasi atau keterlibatan anggota organisasi bergantung pada budaya organisasi yang bersangkutan. Semakin partisipatif dan terbuka organisasi (atau pengorganisasian sumberdaya, misalnya dalam sebuah ‘kegiatan’ protes), orang-orang akan semakin termotivasi untuk melibatkan diri, sebab mereka dapat melihat apa yang mungkin mereka berikan, apa yang mungkin mereka lakukan. Sebab perubahan dalam pengertian gerakan adalah ‘apa yang yang mungkin berubah’, bukan ‘semua bisa berubah’. HAPSARI melakukan ritual pengkaderan dan fasilitasi anggotanya dengan mengenalkan mereka pada anggota-anggota serikat lainnya, saling belajar di kalangan mereka sendiri, para ibuibu petani/pekebun. Hal ini menjadikan kegiatan yang dilakukan oleh HAPSARI sebagai unsur pengikat di antara mereka, sesama anggota. Kelima: Perubahan butuh Dukungan Tidak ada pemimpin yang berjalan sendirian. Setiap perubahan butuh dukungan dari pihak lain, baik dukungan moral, dukungan pengetahuan, maupun dukungan finansial. Begitu juga sebuah gerakan, semua membutuhkan dukungan. Di tingkat mikro dukungan keluarga terutama suami menjadi penting, hampir semua perempuan dalam cerita 125
Narasi Perempuan
ini, menceritakan kondisi keluarganya, dukungan suami dan bagaimana proses memperoleh dukungan tersebut, bahwa kegiatan yang dilakukan, seperti rapat-rapat, pelatihan-pelatihan, yang bisa menggunakan waktu mereka sebagai seorang ibu selama dua minggu adalah kegiatan yang bermakna buat eksistensi mereka sebagai manusia, buat kepentingan yang lebih luas, seperti kepentingan masyarakat. Dan mereka, para perempuan yang menulis di buku ini membuktikkan hal tersebut kepada keluarganya, kepada anak dan suami mereka. Dukungan dari pihak lain penting. Sebab ‘ruang publik’ dan ‘ruang politik’ tempat kita beraktivitas adalah majemuk, baik aktornya maupun kepentingannya. Dalam tulisan Menjaga HAPSARI dari Udara, Siti Khadijah menjelaskan bagaimana advokasi dilakukan lewat jalur radio. Dukungan dari komunitas pendengar luar biasa hebatnya, sampai mereka memiliki fans yang mau melayani mereka untuk mengantarkan makan siang atau membelikan pulsa telepon, agar penyiar dapat terus ‘mengudara’. Dengan adanya fans tersebut advokasi dilakukan lebih efektif karena menjangkau publik yang lebih luas dibandingkan pertemuan dalam kelas. Menjembatani komunikasi antar organisasi, seperti juga menjembatani individu di dalam organisasi digambarkan sebagai teknik ‘lobby’ yang sangat penting bagi organisasi. Dalam cerita tentang pertemuan mereka dengan ketua DPRD setempat, yang berjenis kelamin perempuan, terlihat betapa harapan mereka tinggi, jika didukung oleh legislatif untuk program mereka dalam mengadvokasi kebijakan daerah. Juga cerita tentang keberhasilan di Kulon Progo dimana Kanjeng Ratu Hemas dari KesultananYogyakarta berhasil diundang, sehingga berhasil menggaet pemangku kepentingan lain. Keenam: perubahan butuh kompromi dan kooperasi Kompromi menjadi bagian tak terpisahkan dalam gerakan HAPSARI. Tak ada jalan buntu selama ada kompromi, atau tak ada yang tak mungkin di warung kopi - begitu - pepatah Medan. Kooperasi atau kerjasama juga menjadi nilai praktikal yang ditanamkan oleh HAPSARI kepada semua anggotanya. 126
Proses mendapatkan lahan di Suroloyo adalah bentuk kompromi, atau dalam bahasa strategi catur adalah menggerakkan pion untuk membuka akses terhadap raja. Di Suroloyo, keberhasilan mereka dalam proyek simpan-pinjam perempuan dan pelatihan-pelatihan yang dilakukan dalam proyek yang sama, yaitu PNPM Peduli, membuat pemangku kepentingan lain tergugah untuk mendukung dan mempublikasikan keberhasilan tersebut sebagai sebuah kerja sama atau kerja kolaborasi. Dukungan ini menyebabkan terbukanya akses yang lebih besar terhadap jajaran SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) lain untuk bergabung, bekerjasama dengan HAPSARI, untuk program-program lainnya. Yang dilakukan HAPSARI adalah sesuatu yang sederhana, bahwa mereka secara terbuka mengakui peran sekecil apapun bagi yang terlibat sebagai bagian dari suksesnya program mereka. Ketujuh: Perubahan butuh Sumberdaya Produksi Tak mungkin bergantung pada tangan manusia lain, sebab kita masih memiliki tangan atau organ penggantinya untuk menghasilkan apapun yang bisa disebut hasil kerja. Kerja menurut HAPSARI adalah melihat dan menghitung kemungkinan perubahan, yaitu lewat sumberdaya produksi. Terutama, manusia. Jika dilihat investasi utama yang dilakukan HAPSARI adalah investasi sumberdaya manusia. kesadaran utnuk berinvestasi dalam sumbserdaya manusia terlihat dari sisi pengakderan dan pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan HAPSARI kepada anggotanya. Sumberdaya manusia merupakan sumberdaya terbarui, dalam pengertian mengakumulasikan pengetahuan, sehingga sifatnya dinamis dan menghasilkan kreatifitas ataupun inovasi. Investasi pada sumberdaya manusia ini begitu ditekankan, sampai para kader muda yang mau bergabung dengan HAPSARI diajarkan untuk tidak secara instan mengharapkan gaji atau insentif yang besar, sebelum membuktikan dirinya memiliki kepedulian terhadap apa yang menjadi tujuan organisasi. Dan yang dijanjikan adalah HAPSARI memiliki pengetahuan untuk mereka pelajari sebagai bekal mereka untuk berkiprah dalam hidup atau dalam organisasi yang mereka ikuti kelak.
Perubahan dan Politik Keterlibatan
Sumberdaya lain adalah sumberdaya material dan finansial yang dibutuhkan bagi masyarakat untuk menghasilkan pendapatan. Secara sadar, tujuantujuan dari pemberdayaan, adalah meningkatkan kesejahteraan dalam pengertian ekonomi. Sehingga memberikan masyarakat akses untuk mendapatkan alat produksi lain, seperti mesin dan teknologi, serta sumberdaya finansial penting dilakukan untuk menjaga keberlanjutan gerakan. Kedelapan: Perubahan butuh Perspektif Dalam hal ini, yang terpenting adalah perspektif jender, seperti yang dilakukan oleh HAPSARI. Perspektif jender sangat dibutuhkan sebab banyak sekali ketimpangan dalam pembangunan yang meminggirkan perempuan. Termasuk pada awal perencanaan, bahkan pada metodologi partisiptoris yang digunakan untuk menggali isuisu dalam masyarakat. Perempuan dalam berbagai penelitian mengalami bias laki-laki, misalnya dalam menentukan agenda pertemuan-siapa yang harus diundang. Agenda pertemuan ditentukan bukan pada ‘waktu perempuan’ leluasa, misalnya dari tugas domestik mereka, bahkan bagi perempuan petani/pekebun seringkali ‘jam kerja’ perempuan dianggap tidak bermakna, sehingga ketika ada pertemuan, perempuan ‘menggantikan’ atau ‘tidak bisa meninggalkan pekerjaan’ tapi laki-laki bisa meninggalkan pekerjaan karena undangan rapat. Atau siapa yang harus diundang. Seringkali tidak pernah ditanyakan jika laki-laki yang datang, siapapun dia memiliki kapasitas untuk memahami agenda rapat. Namun ketika perempuan akan diundang, maka ‘panitia’ rapat akan sibuk menyeleksi ‘siapa diantara perempuan’ yang dianggap mampu mengikuti proses rapat. Padahal pada kenyataannya banyak laki-laki yang cukup bodoh untuk tidak bisa berpendapat atau mengenali situasi mereka sendiri. Persoalan ini selalu berulang, sebab konsep yang bias itu ingin bicara bahwa laki-laki betapapun bodohnya dia, mampu menjadi subjek. Sedangkan perempuan harus cukup pintar dalam kacamata (cara pandang laki-laki) untuk menjadi subjek, bahkan ini pun harus melalui kacamata laki-laki dan pengakuan laki-laki.
Perspektif kedua adalah kekuasaan, jika dalam metodologi seperti di atas, kekuasaan dipandang dari sisi kuasa/pengetahuan, maka perspektif kekuasaan adalah memasukkan perempuan (atau kelompok perempuan) ke dalam pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga yang selama ini mengeluarkan/menolak perempuan. Hal ini mungkin saja tidak serta merta mengubah struktur yang ada, karena pikiran yang membedakan perempuan mungkin saja masih menjadi kebiasaan dalam berbagai lembaga yang ada. Namun perpektif kekuasaan disini menegaskan perjuangan untuk turut serta dalam menjaga kepentingan perempuan adalah menjadi bagian dari kekuasaan yang terbagi-bagi, tidak terpusat pada kekuasaan laki-laki. Model sederhana dari perspektif ini adalah bagiamana perempuan dapat mengelola keuangan mereka, dapat meminjam uang (akses kredit) tanpa persetujuan suami dan mengembangkan modal pengetahuan serta modal ekonomi mereka sendiri. Seperti dalam kisah pengusaha perempuan di Kulon Progo yang mengembangkan aset mereka dan pengetahuan mereka sendiri untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Perspektif ketiga adalah keberlanjutan penghidupan. Perspektif ini dikenalkan dalam keberlanjutan penghidupan dimana alam (lingkungan hidup) dimasukkan sebagai pertimbangan dalam menyelesaikan masalah kesejahteraan. Aspek ini melihat imbangan antara tujuan pembangunan dari berbagai aspek, yaitu 1. aspek lingkungan alam, 2. aspek lingkungan ekonomi, 3. aspek lingkungan sosial, 4. aspek lingkungan politik. Banyak pembangunan yang tidak memerhatikan keseimbangan ini sehingga, dalam jangka menengah atau panjang programprogram mengalami kerentanan. Seperti program-program kredit mikro misalnya, yang tidak memerhatikan bagaimana pengelolaan dana dalam industri rumah tangga jika dihubungkan dengan pasar, bisa menyebabkan kebangkrutan karena alasan tidak dapat diserap pasar. Di Kulonprogo dapat dilihat bagaimana konsep ini dijalankan, mulai dari hulu, yaitu memetik dan memilih komoditas teh dan kopi yang 127
Narasi Perempuan
Tidak semua yang dapat dihitung, diperhitungkan, menjadi penting. Dan tidak semua hal yang penting, dapat dihitung. ~ Albert Einstein baik, mengolah dengan standar hiegenis yang ada, mengemas dengan menarik dan menampilkan komposisi isi produk, sertifikasi label dari Departemen Kesehatan, sampai membuat trading house sendiri yang dikelola oleh anggota koperasi perempuan yang memberikan kredit. Kesembilan: Perubahan butuh Keterhubungan Isu dan Perspektif Pendekatan yang dilakukan oleh HAPSARI, lebih banyak pendekatan skenario, dimana antar aktor dilihat posisinya dari aktor lain. Begitu juga isu, sebuah isu bisa dilihat posisinya dari isu lain. Misalnya isu kemiskinan rumah tangga petani kebun bisa dilihat dari isu pengkaplingan tanah atau isu kurang akses pendidikan. Secara relatif isu tersebut akan berubah di mata masyarakat, mungkin masyarakat melihat isu pendidikkan dalam bulan Juli-Agsutus sebagai isu utama, namun menjelang lebaran isu kurangnya modal kerja dianggap sebagai biang keladi kemiskinan. Atau ketika harga sawit melonjak, mereka baru menyadari bahwa tanah-tanah mereka sudah dikuasai oleh perusahaan perkebunan besar. Dan harga-harga ditentukkan oleh perusahaan, sehingga mereka tidak bisa memiliki posisi tawar dan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan. Keterhubungan isu ini menyebabkan kita tidak bisa bergerak atau merencanakan sesuatu dengan menganggap faktor lain tidak berubah. Sebab, faktor-faktor lain dalam masyarakat senantiasa berubah, dan kecepatan perubahan tidak bisa tidak kita perhitungkan di era informasi seperti sekarang, dimana informasi dapat tersebar luas dalam hitungan ‘saat ini juga’ dan ini tentu memengaruhi banyak hal, seperti pilihan orang, harga barang, dan sebagainya. Sehingga dalam bukunya, Capra (2002) menyatakan bahwa yang terpenting dalam organisasi adalah jejaring. Salah satu karakter jejaring bagian per bagian saling terhubung dan memengaruhi seluruh bagian bagai satu tubuh. 128
Cerita tentang akuntabilitas keuangan di balik meja akuntan yang tidak terlihat oleh orang di luar organisasi adalah contoh paling pas dalam hal ini. Sebab, akuntabilitas finansial sebuah organisasi adalah ‘nyawa’ bagi organisasi untuk meningkatkan penggalangan dana mereka, menjadikan organisasi kredibel dan berkelanjutan. Model HAPSARI Apa yang diucapkan Einstein mungkin paling pas untuk menggambarkan kerja-kerja di masyarakat. Dimana dibutuhkan lebih dari sekadar biaya untuk mencapai misi yang ditetapkan. HAPSARI jika dilihat dari kisah-kisah dalam buku ini memperlihatkan bagaimana menanamkan apa yang sekarang disebut sebagai aset nilai. Nilai ini yang menggerakkan, memaknai setiap ‘semua yang penting, tak dapat dihitung’. Dengan meminjam istilah kemajuan, maka kisahkisah ini selain memperlihatkan adanya tahapan penting atau fase epos dalam proses yang dilewati oleh penuturnya, juga mendeskripsikan faktorfaktor yang berasal dari dalam (endogen), yang menyebabkan masyarakat berubah. Faktor dari dalam inilah yang ‘dipantik oleh HAPSARI’ lewat pendampingannya di masyarakat untuk perubahan ke arah yang diinginkan bersama. Sama dengan teknik berteater yang ditulis oleh Riani dalam tulisannya, maka proses pengkaderan adalah tahap awal untuk membukakan mata, melewati dinding pembatas, dan memberikan kejutan terhadap apa yang disebut oleh Turner (1974) sebagai wilayah perbatasan (liminal) dimana orang-orang mesti mendefinisikan kembali dirinya, tujuan-tujuannya, nilai-nilai yang dipegangnya. Sebagian dirinya selalu ingin keluar dari situasi, sebagian lagi masih menetap bersama situasi lama, yang seringkali menjadi sebuah situasi kolektif. Dalam kondisi seperti ini, maka kemajuan seperti apa yang diinginkan atau bisa dibayangkan. Apakah
Perubahan dan Politik Keterlibatan
masyarakat dimana di dalamnya termasuk para penulis cukup memiliki kekuatan, Sztompka (2004) memberikan dua syarat agar orang dapat berpikir progresif, (1) motivasi, yaitu agen/aktor/orang yang ‘mau’ bertindak ke arah transformasi masyarakatnya. Orientasinya adalah motivasi. (2) Apakah orang ‘mampu’ bertindak, ini sebuah orientasi oportunis. Jadi, seseorang disebut progresif jika memiliki dua syarat: motivasi dan peluang. Ia mau dan ia dapat melakukannya. Pendampingan seperti diceritakan Ayu dalam kisah Ibu Maryati adalah salah satu cara untuk menghidupkan motivasi dan menajamkan pikiran untuk melihat dan merasakan peluang. Jika digambarkan faktor-faktor di atas, sembilan aspek perubahan yang sempat diperhitungkan, maka dapat dilihat seperti gambar ini. Dimana lapis terluar sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal dari organisasi seperti; ekonomi, politik, ekonomi, sosial-budaya. Lapis ini terdiri dari manajemen isu sebagai pilihan untuk kelanjutan organisasi. Manajemen isu memerhatikan kepentingan pemangku kepentingan dan penerima manfaat, yaitu masyarakat atau publik. Isu strategis
didefinisikan sebagai persoalan mendasar yang memengaruhi mandat organisasi, misi dan nilai, atau produk dan layanan organisasi. Isu strategis juga bisa berhadapan dengan lingkungan internal organisasi seperti keuangan, kapasitas staf, sistem prosedur operasi, dan lain-lain. Sedangkan dukungan adalah para pihak yang dapat diajak bekerjasama. Momentum adalah saat dimana gerakan mengalami percepatan. Momentum dari sudut pandang organisasi dibagi menjadi dua, yaitu internal dimana penciptaan momentum dilakukan dengan cara memberikan kesadaran bahwa organisasi harus siap mengantisipasi perubahan. Sedangkan momentum eksternal adalah saat dimana semua pihak merasakan bahwa inilah saatnya melakukan perubahan. Lapis berikutnya adalah pemaknaan gerakan; yaitu perspektif yang digunakan oleh organisasi dan keterhubungan antara isu, pemangku kepentingan, serta momentum. Lapis inilah yang menjadi penapis ideologi gerakan, dalam memilih isu dan dukungan. Lapis tengah ini adalah lapis yang menghubungkan 129
Narasi Perempuan
antara struktur di luar organisasi dan organisasi dan orang yang terlibat didalamnya.
membangun kebersamaan (sejauh itu menyediakan wahana untuk merangkul semua).
Lapis terdalam adalah lapis organisasi, yang meliputi; kepemimpinan, kerjasama, manajemen sumberdaya dan keterlibatan. Kepemimpinan adalah faktor utama dalam organisasi tugas kepemimpinan adalah melakukan transformasi melalui teladan, sehingga terjadi perubahan cara memandang kehidupan yang akan mengubah cara hidup, cara kerja. Kerjasama adalah pilihan untuk bisa mencapai hasil yang optimal, gerakan sosial cuma bisa diikat oleh suatu kerjasama untuk memelihara momentum perubahan. Keterlibatan adalah keputusan untuk berperan serta dalam perubahan, hanya dengan keterlibatan orang bisa memulai kerjasama, melakukan kompromi dan sebagainya. Keterlibatan memungkinkan orang ikut menyumbangkan bagian yang menjadi kepentingannya, kebutuhannya, dan sumberdayanya. Manajemen sumberdaya adalah inti dari pengorganisasian dimana sumberdaya yang ada dapat diakses oleh semua orang yang terlibat, dapat distribusikan kepada yang membutuhkannya, dapat dicadangkan untuk investasi jangka panjang dan menjaga keberlanjutannya.
Pikiran tentang politik ini menarik untuk diketengahkan, sebab bagi Badiou, kejadian itu tak bisa diramalkan, tak terkalkulasikan. Berbeda (berkebalikkan) dengan apa yang disebut sebagai skenario, sesuatu yang direncanakan dan dikalkulasikan. Lalu mengapa butuh pemikiran tentang politik seperti ini? Jika ternyata, perubahan adalah suatu hal yang ingin diperkecil kesenjangannya antara apa yang diharapkan terjadi dengan apa yang terjadi kemudian. Memperkecil kesenjangan tersebut dengan melakukan kalkulasikalkulasi rasional atas kemungkinan (asumsi yang dikehendaki) akan terjadi dan risiko atas ketidakpastian.
Mengorganisasikan Harapan Jika di atas disebutkan bahwa perubahan dalam masyarakat sipil membutuhkan waktu sedikitnya 25-30 tahun, maka HAPSARI mencoba mempercepatnya. Dengan cara mengorganisasikan diri, hanya dengan perantaraan organisasi maka perubahan bisa dipercepat, baik dalam tingkat individual maupun dalam tingkat komunitas, baik warga dusun misalnya ataupun dalam tubuh organisasi itu sendiri. Meminjam konsep Alain Badiou dalam Takwin (2008) yang mengetengahkan bahwa kejadian politik selalu bersifat kolektif; politik selalu melibatkan sekumpulan orang. Orang-orang itu memiliki pikiran yang sama. Pikiran politik itu niscaya dialamatkan kepada semua yang tercakup dalam kebersamaan. Dan kebenaran politik adalah kebenaran bagi ‘semua’ bukan untuk sebagian. Sehingga orang dapat menambahkan pikiran untuk 130
Persamaannya terletak dalam: pikiran tentang kemungkinan. Dan kemungkinan tersebut ada karena pilihan. Namun apa yang terjadi kemudian bisa jadi bukan sesuatu yang diharapkan, meleset dari kalkulasi. Inilah kejadian. Tapi dengan memilih berarti kita sudah melibatkan diri kita, setidaknya melibatkan diri dalam sebuah harapan atau bahkan ide tentang (harapan) perubahan, disini kolektivitas mendapatkan tempatnya, sebab individu-individu yang terlibat berkumpul sebagai sebuah kolektif (kebersamaan) untuk mendapatkan perlakuan yang sama sebagai kita, tanpa harus kehilangan ‘diri’ atau ‘indvidualitas’, sebab kita adalah hubungan antar subjek, yang memiliki tujuan sama yaitu berpikir tentang kemungkinan perubahan. Disini proses menjadi kita (kebersamaan), adalah proses kooperasi, dimana sekumpulan individu, sekumpulan kolektif, sekumpulan kelompok, atau apapun yang bisa disebut majemuk, setia terhadap kejadian yang memberikan peluang yang sama, sebab yang terjadi kemudian tak sepenuhnya bisa dikalkulasi atau meleset. Berikutnya membayangkan sebuah kemungkinan, lebih bermakna dibandingkan membayangkan ketidakmungkinan. Sebuah gerakan sosial atau tujuan dari pemberdayaan adalah meluaskan horizon kemungkinan. Kemudian mengisi titik-titik dalam horizon tersebut dengan sebuah harapan
Perubahan dan Politik Keterlibatan
dan bagaimana mencapainya secara kolektif (dengan kata lain melalui keterlibatan atau ambil bagian/partisipasi), dan peran apa yang dapat dilakukan sebagai individu sebagai bagian dari kerja yang kolektif tersebut. Disini, kebersamaan selain dibangun juga dirawat untuk keberlangsungan kebersamaan. Dalam pengalaman Ari, kesukarelawanan adalah konsep ‘meso’, dimana politik menjadi menyenangkan, ketika kita mengetahui dan memahami dibalik pilihan ada harapan, ada sebuah kemungkinan perubahan. Tahun 2014 ini adalah awal bagiku untuk melihat dunia politik, dengan turut berperan dalam pemilukada dan pilpres. Awal mulanya hanya membantu salah seorang teman aktivis perempuan, Mbak Tunggal Pawestri yang akan maju menjadi caleg DPRD Provinsi DIY, karena dia masuk Derah Pemilihan (Dapil) Kulon Progo, maka kami bersepakat untuk membantu. Setelah rapat perencanaan kegiatan maka aku diutus untuk membantu beliau dalam menjalankan agendanya. Selama tiga bulan aku mengikuti proses pemilu, mulai dari kampanye sampai pemilihan dan penghitungan suara. Waktu itu kami ada dalam tim relawan yang bekerja dengan beberapa teman dari berbagai komunitas, aktivitas ini menambah lagi satu pengetahuanku, bahwa banyak komunitas yang ada di Kulon Progo yang bergerak dalam kegiatan politik yang awalnya aku tidak tahu.
menjembataninya dengan pengetahuan untuk memiliki kapasitas memahami kenyataan sosial dan politik dalam masyarakatnya dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Dengan partisipasi atau keterlibatan, memungkinkan lahirnya cara-cara baru dalam memandang kehidupan, relasi sosial baru, harapan baru, kemungkinan perjuangan ‘politik’ baru untuk merealisasikan tujuan organisasi. Karena hanya dalam ‘pikiran politik’ seperti yang digambarkan Badiou di atas, politik menjadi sebuah pengorganisasian harapan, atau dalam bahasa Levebvre (1968) dalam hal hak untuk berpartisipasi, hak dipahami sebagai aspek dari keterhubungan sosial, dibandingkan sebagai sesuatu yang alamiah dan melekat dalam individu. Keterhubungan sosial memungkinkan sebuah kelompok menjalin ide yang sama, membuat koalisi, memobilisasi sumberdaya mereka untuk perubahan. Di tingkat meso inilah, organisasi seperti HAPSARI berperan mendidik warga untuk menjadi warga yang baik. ***
Pada pilpres aku juga turut serta bergabung untuk berpartisipasi mendukung calon presiden yang telah disepakati didukung bersama. Aku terlibat aktif dalam pembentukan Seknas Perempuan Kulon Progo serta berbagai kegiatan lain yang sangat menyenangkan karena menimba pengalaman baru. (Ari P, Jejak Perempuan) Disini perempuan, seperti Ari, menampilkan dirinya- bahwa dia telah menyadari hak-haknya sebagai warga negara yang terlibat. Berangkat dari kehidupan sehari-hari, sebagai warga, ia memasak, bekerja, bersenang-senang, bersenda gurau, namun kini ‘melihat’ dunia politik, sebab organisasi 131
Narasi Perempuan
Bahan Bacaan Peluso, Nancy Lee. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Landung Simatupang (penerjemah). Penerbit Konphalindo. Shiva, Vandana. 1997. Bebas Dari Pembangunan; Perempuan, Ekologi, dan Perjuanag Hidup di India. Hira Jhamtani (penerjemah), Mansour Fakih (pengantar). Penerbit YOI dan Konphalindo. Naidoo, Kumi. Boiling Point: Can citizen action save the world? dalam Jurnal Development Dialog, No. 54/ July 2010. Penerbit Dag Hammarskjold Foundation. Carnegie, Paul J. 2010. The Road From Authoritarianism To Democratization In Indonesia. Penerbit Palgrave, Macmillan. Mendorong Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Kertas Posisi Perubahan Atas Undangundang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Diunduh tanggal 14 Oktober 2014, http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/Kertas-Posisi-RUU-Pemilu.pdf Fakih, Mansour. 1996. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakkan Ideologi LSM Indonesia. Pustaka Pelajar. Staggenborg, Suzanne. 2002. The “Meso� in Social Movement Research dalam Social Movements: Identity, Culture, and the State. Meyer, David S., Whittier, Nancy., and Robnett, Belinda. (editor). Oxford University Press. Capra, Fritjof. 2002. The Hidden Connection: Integrating The Biological, Cognitive, And Social Dimensions of Life Into Science Sustainability. Doubleday-Random House Publication. Turner, Victor (1974). Dramas, fields and metaphors: Symbolic action in human society, Cornell University Press, Ithaca Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Diterjemahkan dari The Sociology of Social Change oleh Alimandan. Penerbit Prenada Media. Takwin, Bagus. 2008. Metapolitik Alain Badiou: Keadilan, Kebenaran, dan Perlawanan terhadap Ketidakmungkinan, dalam Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)rendt sampai (Z)izek: Robertus Robert dan Ronny Agustinus (editor). Rocky Gerung (pengantar). Penerbit Marjin Kiri. Disini Badiou tidak membicarakan politik sebagai sebuah tindakan atau politik dalam penertian siapa dan cara apa yang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan, namun sebagai pikiran tentang politik atau filsafat politik. Dalam kerangka ini, pemikiran tentu mendahului tindakan. Levebvre, Henry. 1996. Right to the City, in Lefebvre, Writings on Cities, trans. and intro. E. Kofman and E. Lebas. Blackwell
132
Biografi Penulis Widhyanto Muttaqien Ahmad, peneliti lepas bidang sosial-budaya dan ekonomi-kelembagaan pada Akademi Sinau di Jakarta yang melayani workshop penulisan kreatif, etnografi, dan metode penelitian partisipatif. Beberapa buku yang diterbitkan bersama antara lain; Rakyat Berkarakter (2004)- Penerbit YBUL-SGP GEF, Krue Semangat (2005)- Penerbit Panglima Laot NAD, Walik Lubang - Penerbit Crestpent Press -Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur, Anak Siaga Bencana (2009)- Penerbit MDMC PP Muhammadiyah, Komunitas Siaga Bencana (2009)- Penerbit MDMC PP Muhammadiyah, Aspek Sosial-Budaya Pulau Panggang (2009) - Penerbit Kabupaten Kepulauan Seribu. Penyunting buku antara lain: Ketimpangan Wilayah dan Perdesaan: 70 Tahun Prof. Affendi Anwar - Penerbit Crestpent Press-IPB, Tata Ruang Agropolitan (2005)-Crestpent Press IPB, Agropolitan: Membangun Ekonomi Perdesaan (2008) Crestpent Press IPB, Agropolitan: Strategi Pengembangan Kawasan Pusat Pertumbuhan di Perdesaan (2008)- Crestpent Press IPB, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (2009) Yayasan Obor Indonesia- Crestpent Press IPB. Penulis dan sutradara beberapa skenario film dokumenter antara lain: Perencanaan Partisipatif Jampung Budaya Betawi Situ Babakan (2002) sebagai sutradara/penulis skrip - P4W IPB; Jakarta Under Pressure (2006) sebagai penulis skrip - Produksi Kabupaten Kepulauan Seribu-Gecko; Walik Lubang (2008) sebagai penulis skrip, Produksi Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur; What’s Poetry (2012) sebagai penulis skrip- Produksi Kedai Sinau dan Forum Penyair International Indonesia; Delapan Dokumentasi Cerita Keberhasilan PNPM Peduli (2012) sebagai penulis skrip – Produksi ACE. Beberapa tulisannya memenangkan lomba esei, antara lain, Kembali Melihat Peristiwa Di Pasar Seni (2010) dalam Antologi Lomba Jurnalistik Ancol - TIJA, Antologi Puisi Empat Amanat Hujan (2010) - Dewan Kesenian Jakarta. Dan antologi puisi tunggal Bung (2012) - Penerbit Kedai Buku Sinau, Percakapan Dengan David Tobing (2014) – Penerbit Kedai Buku Sinau. Selain bekerja sebagai peneliti, juga bekerja sebagai fasilitator dan tenaga pendamping masyarakat.
133
Narasi Perempuan
Lely Zailani, umurnya 44 tahun pada tahun 2014. Sepanjang 24 tahun dia habiskan waktunya membangun gerakan perempuan basis akar rumput. Ini adalah buku ke-10 yang ditulisnya bersama rekan-rekannya di HAPSARI. Pendidikan formalnya Madrasah Aliyah tamat tahun 1989, pernah kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam, tanpa gelar karena tidak tamat. Lely adalah salah satu pendiri HAPSARI, pernah menjadi Direktur tahun 1997 – 2001 (ketika HAPSARI menjadi yayasan), lalu menjadi Ketua Dewan Eksekutif tahun 2001 – 2004, dan tahun 2012 – 2015 kembali dipercaya menjadi Ketua Dewan Pengurus Nasional. Sangat berminat terhadap media elektronik radio, tidak hanya membuatnya pernah menjadi “Puteri Idola Pendengar Radio” tahun 1989, juga menjadikannya Fellow Ashoka Indonesia pada tahun 2000 dengan gagasan inovatif Pengorganisasian Perempuan melalui Siaran Radio. Sangat gigih ingin memiliki radio sendiri, dan berhasil mewujudkannya dengan mendirikan Radio Komunitas HAPSARI_fm, tahun 2009. Gagasannya yang menarik tentang “Orang Miskin Membantu Orang Miskin” memenangkan kompetisi Indonesia Daya Masyarakat (IDM) 2005, di Jakarta. Sejak tahun 1990, Lely banyak mengikuti berbagai pendidikan dalam bentuk training, workshop, lokakarya, studi banding dll, baik di tingkat nasional maupun internasional. Sering menjadi narasumber dan fasilitator di berbagai kegiatan organisasi non-pemerintah, khususnya untuk organisasi perempuan dan tema-tema gerakan perempuan akar rumput. Pernah terlibat dalam proses pembentukan organisasi perempuan dan menjadi pengurusnya, antara lain pernah menjadi Dewan Pengurus Nasional Solidaritas Perempuan (SP) Jakarta tahun 2001 - 2005, Presidium Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) pada periode pertama tahun 1999, Pokja Akuntabilitas dan Transparansi Organisasi Masyarakat Sipil di Jakarta, Kelompok Kerja Jaringan Demokrasi (KKJD) Sumut tahun 2007, Presidium Sekretariat Bersama Organisasi Rakyat Independen (Sekber ORI), sebuah lembaga yang beranggotakan organisasi-organisasi rakyat sektoral (perempuan, petani, nelayan, buruh perkebunan) di Sumatera Utara tahun 2004-2007. Sejak tahun 2004 hingga sekarang sering bolak-balik Medan – Jakarta - Bandung, karena menjadi Ketua Dewan Pengarah di PERGERAKAN (Perhimpunan Penggerak Advokasi Kerakyatan untuk Keadilan Sosial) yang kemudian menjadi Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) yang berkantor di Bandung. Juga menjadi salah satu Deputi Direktur INDEPOLIS, sebuah organisasi nonpemerintah yang melakukan kajian politik dan demokrasi, berkantor di Jakarta (2009). Saat ini lebih sering menetap di Kulon Progo, Yogyakarta, membantu serikat anggota dan Koperasi HAPSARI di sini. Mimpi masa depan yang belum sepenuhnya terwujud; serikat-serikat perempuan basis akar rumput yang mandiri, anggota HAPSARI, ada di seluruh wilayah di Indonesia.
134
Riani, dengan perjuangan keras: ia meluangkan waktu diantara kesibukan sebagai ibu rumah tangga dan aktif di organisasi, menyingkirkan perasaan malu dan merasa lucu karena harus duduk bersama anak-anak kecil seusia anaknya sendiri, dan perasaan rendah diri karena ditertawakan masyarakat yang menganggapnya “aneh”. Tahun 2007 Riani berhasil menyelesaikan Pendidikan Paket A, setara SD. “Selamat, telah mengalahkan diri sendiri!”, kami menyalaminya. Dalam berorganisasi di HAPSARI, Riani melewati seluruh proses mulai dari hanya mendengar (sambil mengasuh anak), menjadi anggota kelompok, lalu menjadi pengurus serikat tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten. Puncak dari prestasi kepemimpinannya adalah ketika Kongres HAPSARI tahun 2011 menetapkannya menjadi Anggota Dewan Pengurus Nasional HAPSARI dengan pembagian peran sebagai Pelaksana Harian. Prestasi sebelumnya adalah menjadi Koordinator Teater Perempuan di HAPSARI sampai sekarang. Puluhan kali pementasan teater yang menjadi “panggung demokrasi” bagi perempuan basis akar rumput (termasuk dirinya), dipimpinnya dengan gemilang. Ia bahkan sering diutus HAPSARI menjadi narasumber dalam diskusi-diskusi tentang bagaimana teater sebagai media untuk penguatan perempuan, di kalangan organisasi mitra HAPSARI. Kisah yang ditulisnya dalam buku ini adalah prestasi yang tak kalah membanggakan dari seorang Riani dalam berorganisasi dan berteater. Ini buku kedua yang ditulisnya bersama kader HAPSARI lainnya.
Siti Khadijah, perempuan desa, ibu rumah tangga yang lahir di Desa Sukasari tanggal 13 Maret 1978. Mempunyai seorang anak laki-laki berusia tiga tahun yang selaku setia menemani kemanapun dia pergi. Menamatkan pendidikan formal di Universitas Muslim Nusantara Medan stambuk 1997 bergelar Ss. Tahun 1997 Ia bergabung di HAPSARI sebagai volunteer, tahun 1998 – 2004 ia menjadi pengajar di sekolah Madrasah Tsanawiyah Swasta dan Madrasah Aliyah Swasta di Desa Bingkat sebagai guru Bahasa Inggris. Tahun 2004, ia mencoba mengubah nasib dengan meninggalkan pekerjaan yang sudah enam tahun ia geluti. Meninggalkan profesi guru dan bergabung di Radio Tuah Suara Murni (TSM) AM di Lubuk Pakam, mulai dari staf administrasi, lalu menjadi penyiar. Setelah mendapat beasiswa di School Broadcast Media (SBM) di Jakarta, ia dipercaya menjadi Direktur. Di luar pendidikan formalnya, sejak tahun 2004 Siti banyak mengikuti berbagai pendidikan dalam bentuk training, workshop, lokakarya, dll. baik ditingkat lokal maupun nasional. Tahun 2009 ketika HAPSARI mendirikan Radio Komunitas HAPSARI_fm, ia pun kembali dipercaya menjadi direkturnya. Saat ini, Siti bergabung di HAPSARI dalam Divisi Media dan Jaringan. Ini adalah buku pertama yang ia tulis, yang juga merupakan karya besarnya.
135
Narasi Perempuan
Sri Rahayu, ibu rumah tangga dengan dua anak ini, biasa dipanggil Ayu. Lahir 1978 dan cukup beruntung berhasil menamatkan pendidikan formal, hingga Diploma 1 jurusan sekretaris. Ia mulai terlibat dalam proses pengorganisasian di HAPSARI tahun 1999. Anak pensiunan buruh perkebunan ini, mulai ‘menggugat’ dan mempertanyakan ketimpangan relasi sosial dan politik antara perempuan dan laki-laki, setelah ia terlibat aktif dalam pengorganisasian perempuan basis akar rumput yang dilakukan HAPSARI hingga terbentuknya Serikat Perempuan Independen (SPI) di Kabupaten Deli Serdang. Minatnya terhadap isu perempuan berorganisasi sangat kuat, dibuktikannya dengan seriusnya Ayu melakukan pengorganisasian dan membentuk struktur organisasi serikat perempuan, mulai tingkat desa, kecamatan, hingga melakukan pendampingan terhadap perempuan yang mengalami pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai kader HAPSARI, Ayu telah mengikuti berbagai proses kaderisasi kepemimpinan perempuan basis, mulai dari Pendidikan Gender dan Patriarki, Keorganisasian, Kepemimpinan Perempuan dan Feminis Muda, workshop Konseling bagi Konselor, Manajemen dan Informasi, ToT Fasilitator, hingga training Manajemen Keuangan, baik yang dilakukan HAPSARI maupun oleh organisasi mitra. Ayu juga telah berpengalaman dan dapat diandalkan menjadi fasilitator dalam diskusi-diskusi di tingkat perempuan basis akar rumput, lobi dengan kalangan pejabat pemerintahan hingga legislatif daerah, serta menjadi mediator bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan konseling dan bantuan hukum. Prestasi yang sangat membanggakan adalah ketika ia dipercaya memimpin SPI Deli Serdang, terpilih melalui kongres menjadi ketua. Saat ini di HAPSARI ia dipercaya sebagai Staf Pendamping untuk program MAMPU yang dikelola HAPSARI bersama Komnas Perempuan Jakarta. Ini buku pertama yang ia tulis, merupakan prestasi membanggakan darinya di akhir tahun 2014.
136
Retno Wulan, lahir di Bingkat, 8 Januari 1986 dan dibesarkan di Perbaungan, Sumatera Utara. Anak pertama dari 4 bersaudara yang beruntung karena berhasil menyelesaikan studinya di jurusan Sastra Inggris di Universitas Islam Sumatera Utara. Selesai kuliah bergabung di HAPSARI pada tahun 2010, dengan mulai menjadi staf kesektariatan, lalu tahun 2013 diberi tugas membantu SPI Kulon Progo, salah satu serikat anggota HAPSARI di Yogyakarta. Retno yang awalnya hanya ingin membuang kesepian di rumah setelah tidak kuliah, ternyata sangat menghayati pekerjaannya melakukan pengorganisasian perempuan basis akar rumput, di serikat-serikat anggota HAPSARI. Ia berhasil melewati proses kaderisasi yang dilakukan HAPSARI tahun 2011 bersama yang lain dan ditetapkan sebagai Kader Muda HAPSARI. Salah satu prestasi yang membanggakan adalah ketika Retno dipercaya untuk mengurus Trading House HAPSARI untuk serikat–serikat yang ada di region Sumatera dan Jawa. Ini adalah buku pertama yang ia tulis bersama kawan-kawannya, alumni peserta pelatihan menulis yang diselenggarakan oleh Movement Building Institute (MBI) dan sudah mendapat persetujuan tertulis untuk diterbitkan dalam buku ini.
Kartika Ayu Br Ginting, kader muda HAPSARI dari Serikat Perempuan Independen (SPI) Tanah Karo ini, lahir tahun 1990. Saat ini sedang kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (STIK-P) di Medan. Tika memang meminati dunia penulisan dan aktif menulis sejak sekolah di Madrasah Aliyah Negeri Kabanjahe. Sebagai kader muda HAPSARI sejak tahun 2009, Tika telah berpengalaman melakukan pengorganisasian untuk kalangan muda, terutama di tingkat basis akar rumput, karena telah mengikuti berbagai pendidikan, baik yang dilaksanakan sendiri oleh HAPSARI, maupun diutus HAPSARI mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh organisasi mitra. Di HAPSARI, ia juga diandalkan untuk pekerjaan pendokumentasian, membuat notulensi dan mengelola media sosial. Kemampuannya terus berkembang. Di kampus, Tika telah menjuarai berbagai lomba penulisan antara lain: juara I menulis feature; juara II News Presenting pada Dies Natalis STIK-P ke-26, tahun 2014; serta juara I Menulis Feature Pemilu Marginal tahun 2014 oleh KIPPAS, sebuah LSM di Medan. Ini adalah buku pertama yang ditulisnya, sebuah prestasi yang membanggakan.
137
Narasi Perempuan
Suindrawati, lahir 29 November 1982 di Bingkat, Serdang Bedagai. Ibu muda dengan dua anak ini beruntung karena dapat menyelesaikan pendidikan formalnya di SMK tahun 2001, jurusan Akuntasi. Beruntung, karena setelah mengenal HAPSARI ia memiliki kesempatan mengikuti program magang untuk merekrut kader baru. Seperti para kader muda HAPSARI lainnya, Een juga telah mengikuti berbagai pendidikan untuk penguatan kapasitas. Mulai dari Pendidikan Kader (dasar), Pendidikan Adil Gender, Training Manajemen Keuangan, Training Integrated Strategi Financial and Program Planning, Pendidikan Kepemimpinan Perempuan, Pendidikan Kader Muda (lanjutan), Pendidikan Demokrasi, hingga Training Fasilitator. Prestasi yang membanggakan darinya adalah, dipercaya menjadi Staf Keuangan HAPSARI (2005 – 2012), lalu menjadi Manager Keuangan tahun 2013 hingga sekarang. Hasil kerjanya membuat Laporan Keuangan bersama Bendahara HAPSARI, selalu mendapat penilaian ‘wajar tanpa pengecualian’ dari auditor independen. Buku ini juga merupakan prestasi gemilang dari Een. Bukan hanya mampu membuat laporan keuangan, Een juga berhasil menuliskan kisahnya yang menarik dan sedikit jenaka dalam buku ini.
Asriyanti, lahir 1972 dan berhasil menyelesaikan pendidikan formal di SMA Negeri Perbaungan jurusan IPS. Sejak tahun 1993 ia telah bergabung di HAPSARI, mulai sebagai Relawan. Sri, begitu ia biasa disapa. Perempuan desa anak petani ini, memiliki tiga anak dari suami yang juga petani. Untuk tanggungjawabnya sebagai pengelola keuangan organisasi di HAPSARI, Sri telah dibekali dengan berbagai pelatihan penguatan kapasitas, antara lain; Pelatihan Penyelenggara Program Tingkat Desa/Fasiltator oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Deli Serdang, Training on Integrated Strategic Financial and Program Planning oleh Satunama di Yogyakarta (2005), Pendidikan Dasar dan Strategic Planning Credit Union dan Lanjutan (2010 - 2011), Project Cycle Management Training oleh Uni Eropa di Medan (2012). Juga berbagai pelatihan keorganisasian, fasilitator, kepemimpinan, gender dan feminis, baik yang dilakukan sendiri oleh HAPSARI, maupun organisasi mitra HAPSARI. Prestasi yang sangat membanggakan darinya antara lain, kesiapannya menjadi Bendahara dalam struktur Dewan Pengurus Nasional HAPSARI tahun 2012, setelah prestasi sebelumnya menghasilkan Laporan Keuangan HAPSARI yang diaudit oleh akuntan publik dengan keterangan wajar tanpa pengecualian.
138
Ari Purjantati, ibu dari satu orang anak (Kelas VI SD) dan suami yang bekerja sebagai montir ini, tamatan SMKN jurusan akuntansi tahun 2000. Pada periode HAPSARI melakukan perluasan gagasan memperluas gerakan perempuan basis akar rumput di Indonesia dengan membangun serikat-serikat peremuan yang kelak menjadi anggota (baru) HAPSARI, Ari muncul sebagai kader HAPSARI, tahun 2010. Ia terlibat aktif dalam proses pengorganisasian hingga terbentuknya Serikat Perempuan Independen (SPI) Kulon Progo di Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia memulai proses berorganisasi dari tidak tahu sama sekali tentang organisasi dan gerakan perempuan basis (selain PKK), karena awalnya hanya mengantar Mamanya dan ikut mendengar topik diskusi. Tetapi minatnya berogranisasi, belajar, dan hoby “kumpul-kumpul” telah menghantarkannya sukses membentuk SPI Kulon Progo melalui kongres pertama (2010) yang juga menetapkan jabatannya sebagai Sekretaris. Prestasinya berorganisasi yang sangat membanggakan antara lain, ketika dirinya dipilih menjadi Anggota Dewan Pengurus Nasional HAPSARI (2011 – 2015) sebagai sekretaris. Sebelumnya, ia dipercaya menjadi Staf HAPSARI untuk Program Penguatan Life Lihood (2012) bekerjasama dengan ACE/PKM – PNPM Peduli yang menghasilkan terbentuknya Koperasi HAPSARI di Kulon Progo. Lalu menjadi Staf Program Penguatan Kapasitas Advokasi Hak-hak Ekonomi Perempuan, kerjasama HAPSARI dengan Program Representasi (ProRep – USAID) tahun 2012, 2013, 2014. Ari semakin terlatih dan dapat diandalkan menjadi fasilitator dalam diskusi-diskusi tingkat komunitas perempuan basis, hingga musyawarah dalam perencanaan strategis. Saat ini, Ari baru saja menerima pengangkatannya sebagai Fasilitator/Pendamping Program Kredit Untuk Rakyat (KUR) dari Kementrian Koperasi dan UKM, atas rekomendasi dari Dinas Koperasi Kabupaten Kulon Progo. Selain di SPI Kulon Progo, saat ini Ari juga aktif dalam gerakan Seknas Perempuan Jokowi dan Sekertariat Bersama (Sekber) Masyarakat Sipil Kulon Progo yang sedang berproses. Buku ini adalah buku pertama yang ia ditulis, baginya, ini merupakan prestasi yang paling membanggakan dalam perjalanannya berorganisasi.
139
Narasi Perempuan
140
141
Narasi Perempuan
142