Centre for Strategic and International Studies – Jakarta
Maret 2014
Kertas Kebijakan KAJIAN HUBUNGAN ANTARA ANGGOTA LEGISLATIF DAN KONSTITUEN DI INDONESIA: MENCARI CARA MEMBANGUN KETERWAKILAN POLITIK YANG EFEKTIF Mekanisme Kerja Elektoral
Jalur Komunikasi
Sistem evaluasi Internal
Implementasi Dana Aspirasi
Sumber Daya Universal
Latar Belakang
Permasalahan
Indonesia telah menjalani proses transisi menuju demokrasi sejak kejatuhan Suharto pada bulan Mei 1998. Akan tetapi, proses transisi menuju demokrasi itu telah membawa beragam hasil yang sering kali bertolak belakang satu sama lainnya. Pada satu sisi, institusi-institusi negara yang sebelumnya lemah dan tidak demokratis telah bertransformasi menjadi lebih kuat dan demokratis. Sebagai contoh DPR telah menjadi institusi perwakilan yang primer dalam sebuah masyarakat yang demokratik, tanpa terkooptasi oleh eksekutif seperti terjadi pada jaman orde baru. Di sisi lain, institusi yang semakin kuat belum mampu menjalankan fungsinya secara optimal.
Untuk melaksanakan mandat representasi, anggota DPR menerima tunjangan serta memperoleh waktu khusus untuk mengunjungi daerah pemilihannya pada masa reses. Selain itu masih ada kunjungan resmi maupun forum-forum lain yang dapat dimanfaatkan sebagai media penyerapan aspirasi konstituen. Akan tetapi berbagai studi menunjukkan masih jauhnya jarak antara anggota DPR dengan masyarakat yang diwakilinya. Survei CSIS menunjukkan bahwa konstituen memberikan persepsi negative terhadap wakilnya di DPR. Partai politik dan politisi menjadi salah satu lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan dukungan (trust) paling rendah dikalangan masyarakat.
Pada tahun 2004, Indonesia mengambil langkah penting dalam sejarah politik dan demokrasi Indonesia karena untuk pertama kalinya dilakukan Pemilihan Umum secara langsung untuk memilih Presiden maupun anggota Dewan Perwakilan Rakyat baik di tingkat nasional ataupun lokal (provinsi dan kabupaten). Pemilu secara langsung diharapkan meningkatkan partisipasi masyarakat, tidak hanya dalam menggunakan hak pilih, tetapi sekaligus untuk mengartikulasikan tuntutan akan efektivitas lembaga perwakilan baik yang terkait dengan kapasitas anggota DPR dalam menjalankan fungsinya maupun menyangkut kualitas representasi, dimana aspirasi rakyat dimanifestasikan dalam kebijakan, keputusan serta program-program pembangunan. Dalam konteks ini politisi maupun anggota DPR dituntut untuk semakin efektif di dalam memahami dan menyalurkan aspirasi serta kepentingan konstituennya secara partisipatoris, transparan dan akuntabel. Keadaan ini mensyaratkan hubungan yang berkualitas antara anggota DPR dan konstituennya yang ditentukan oleh tingkat intensitas bekerjanya anggota DPR bagi konstituensinya.
Pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif tentang hubungan antara anggota DPR dan konstituennya diperlukan untuk mengenali akar persoalan sehingga dapat dirumuskan saran kebijakan agar DPR dapat berperan sebagai lembaga integrasi yang menciptakan keseimbangan antara kebijakan pemerintah dan tuntutan-tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat.
Centre for Strategic and International Studies ( CSIS ) di Jakarta adalah organisasi non -profit independen yang memfokuskan diri pada studi yang berorientasi pada kebijakan isu-isu domestik dan internasional. CSIS didirikan pada tahun 1971. Misi CSIS adalah berkontribusi terhadap pembuatan kebijakan, peningkatan melalui penelitian yang berorientasi pada kebijakan, dialog, dan debat publik. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa perencanaan dan visi jangka panjang di Indonesia harus didasarkan pada pemahaman mendalam tentang isu-isu ekonomi, politik dan sosial termasuk perkembangan regional dan internasional . Penelitian dan studi CSIS disalurkan dalam berbagai bentuk sebagai masukan independen untuk pemerintah, universitas dan lembaga penelitian, organisasi masyarakat sipil, media, dan bisnis. CSIS melakukan penelitian di bidang ekonomi, politik dan perubahan sosial, dan hubungan internasional, dengan topik yang dipilih berdasarkan relevansinya dengan kebijakan publik. Penelitian ini dilengkapi dan diperkuat dengan hubungan dengan jaringan penelitian yang luas, akademik, dan organisasi lainnya di seluruh dunia. Jalan Tanah Abang III/No.23-27
Jakarta 10160
Tel.+62-21- 386 5532
Fax. +62-21-384 7517
E-mail: csis@csis.or.id
Website: www.csis.or.id
TEMUAN PENELITIAN Secara umum, setelah menjalankan seluruh komponen penelitian hubungan politisi dan konstituen ada gambaran deskriptif dan juga permasalahan yang ada dalam hubungan antara politisi dan konstituennya. Dengan pertanyaan riset dan obyektif utama mengevaluasi tingkat representasi dan kualitas hubungan antara anggota legislatif dan konstituennya, ditemukan banyak kendala di lapangan yang berasal dari dua sisi: sisi politisi dan sisi konstituen. Sentimen anti partai politik dan politisi dalam media yang menggambarkan politisi yang jauh dari konstituen dan tidak bekerja efektif hanya merupakan satu sisi dari sebuah koin yang sama. Permasalahan jarak yang renggang dan kualitas yang rendah dalam representasi politisi bagi konstituennya merupakan hal yang menjadi masalah pada banyak titik simpul, selain pada partai dan politisi itu sendiri. Hipotesa penelitian ini menyatakan makin intensifnya seorang politisi bekerja dalam konstituensinya maka kualitas hubungan akan terbangun baik dan seterusnya akan menaikkan kemungkinan seorang politisi untuk terpilih kembali dalam pemilu legislatif berikutnya. Namun, dalam kenyataannya hubungan dua arah tersebut tidak terbentuk karena berbagai kendala. Dalam dua kali survei nasional yang dilakukan CSIS bulan April dan November 2013, lebih dari delapan puluh persen responden tidak mengenal anggota legislatif dari daerah pemilihannya. Bisa dikatakan ada diskoneksi dan kesenjangan yang jauh antara para politisi dan konstituen. Namun ada juga diskoneksi yang penting antara partai politik dan politisinya, serta para konstituen. Kurangnya sinergi antara partai politik dengan para politisinya menjadi salah satu akar kurangnya koneksi dan kualitas hubungan antara para politisi dan konstituen. 1. Fungsi representasi terkendala karena terjadinya dilema antara sistem elektoral yang mendorong politisi untuk membuat strategi elektoral yang paling efisien, namun mengurangi kesempatan untuk merepresentasi dengan luas dan efektif. Di sisi lain, konstituen belum paham benar akansistem politik dan fungsi serta kewajiban para legislatif yang menyebabkan munculnya pemahaman bahwa hubungan antara politisi dan konstituen adalah hubungan transaksional. 2. Desain elektoral yang membentuk daerah pemilihan yang besar dengan jumlah kursi/anggota DPR di dapil yang banyak menyulitkan masyarakat kesulitan menilai siapa
anggota DPR yang mewakili kepentingannya. Selain itu, dapil yang besar menyebabkan masyarakat kesulitan mengatribusikan line of responsibility dimana keberhasilan maupun kegagalan tugas anggota DPR sulit diatribusikan kepada seorang anggota DPR. 3. Hasil konkrit yang bisa dibawa para politisi untuk dibawa kepada konstituen terbatas bagi para legislator yang duduk dalam komisi yang dapat berkoordinasi dengan pemerintah untuk kebutuhan langsung masyarakat setempat. Legislator yang duduk di komisi kesehatan, infrastruktur, dan lainnya dapat mensosialisasikan dan membawa proyek pemerintah pusat kepada konstituennya. Namun sulit bagi anggota DPR yang duduk di komisi hubungan luar negeri dan serupa. 4. Tingkat pengenalan masyarakat terhadap wakilnya tergolong rendah. Hanya satu dari lima pemilih yang menyatakan mengenal anggota DPR dari dapilnya. 5. Interaksi antara anggota DPR dan konstituennya sering tidak terkait dengan pelaksanaan fungsifungsi anggota legislatif seperti fungsi budgeting, pembuatan undang-undang maupun pengawasan, melainkan lebih terfokus pada pemenuhan kebutuhan konstituen berjangka pendek. 6. Masyarakat pada umumnya tidak mengetahui atau mengabaikan asal komisi anggota DPR. Masyarakat cenderung menyampaikan aspirasi tentang apa saja yang menjadi kebutuhan mereka saat itu yang dirasakan perlu segera dipenuhi. Dari sinilah politik transaksional dan patron-clientilistic seringkali bermula. 7. Komunikasi antara anggota DPR /partai dengan konstituen berbiaya mahal dan bersifat transaksional. Kesediaan konstituen untuk bertemu dengan anggota DPR adalah karena imbalan, dan bukan merupakan kebutuhan yang bersifat timbal balik. 8. Pada saat menjelang Pemilu, tujuan utama kunjungan anggota DPR ke daerah pemilihan adalah untuk memperoleh suara. Usaha untuk menjangkau konstituen daerah pemilihan yang seluas-luasnya tidak dilakukan dan terkonsentrasi pada “kantong-kantong� pemilih dari partai politisi bersangkutan. Terjadi persaingan ketat dengan sesama anggota DPR atau politisi lain dari partai yang sama.
9.
Kondisi geografis menjadi salah satu kendala utama bagi para politisi di daerah pemilihan (dapil) dengan banyak daerah rural, khususnya yang di luar Jawa. Akhirnya bisa dikatakan secara strategis, usaha untuk menjangkau pemilih di daerah-daerah pelosok, terlalu besar ongkos waktu dan tenaga di tengah terbatasnya waktu kunjungan yang ada, menyebabkan fungsi representasi yang minimal.
10. Komunikasi antara anggota DPR dan pemilih relatif lemah, hanya kurang lebih 6,3 persen warga menyatakan tahu cara menghubungi wakil rakyatnya, sementara hampir separuh (45,6 persen) menyatakan menghubungi wakil rakyatnya sebanyak 1 sampai 3 kali dalam satu tahun terakhir.
11. Lebih dari tiga perempat warga (75,8 persen) menyatakan tidak pernah mendapat kunjungan dari wakil rakyatnya. Angka yang besar ini antara lain disebabkan kendala geografis yang luas, sehingga kunjungan anggota DPR mungkin tidak menjangkau sebagian besar warga pemilih.
12. Partisipasi politik dari warga yang rendah. Hanya 5,4 persen responden yang menyatakan menjadi anggota partai dan hanya 2,4 persen menyatakan pernah menyumbang partai politik.
penduduk yang di daerah pedesaan dibanding masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. 14. Walaupun secara umum mayoritas masyarakat tidak mengenal anggota legislatif terpilih (81,1 persen), survei dalam penelitian ini menemukan perbedaan antara pemilih yang tinggal di daerah pedesaan (rural) dan perkotaan (urban). 14,6 persen masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan mengenal anggota legislatif terpilih, dan 85,4 persen menyatakan tidak mengenal. Sementara, pemilih yang tinggal di perkotaan memiliki tingkat pengenalan yang cenderung lebih baik: 22,9 persen mengenal anggota DPR dari daerah pemilihannya dan yang tidak mengenal sebesar 77,1 persen. Dengan menghitung rasio probabilitas kondisional antara pemilih di perkotaan dan pemilih di pedesaan, bisa disimpulkan secara statistik bahwa pemilih di perkotaan 1,57 kali lebih tinggi kemungkinannya mengenal anggota DPR dari dapilnya dibanding pemilih yang tinggal di pedesaan.
15. Studi ini juga menemukan efek gender terhadap tingkat pengenalan masyarakat terhadap anggota DPR. Data survei memperlihatkan bahwa kelompok pemilih laki-laki masih satu setengah kali (tepatnya 1,53) lebih mungkin mengenal anggota DPR terpilih di dapilnya dibandingkan dengan pemilih perempuan
13. Dalam penelitian ini ditemukan adanya perbedaan tingkat pengenalan politisi antara
Makalah kebijakan ini merupakan bagian dari penelitian tentang “Kajian Hubungan antara Anggota Legislatif dan Konstituen di Indonesia: Mencari Cara Membangun Keterwakilan Politik yang Efektif� oleh Centre for Strategic and International Studies didukung oleh Program Representasi (ProRep) Chemonics International - USAID.
REKOMENDASI Rekomendasi Umum
Rekomendasi Khusus
Beberapa rekomendasi kebijakan umum Beberapa rekomendasi khusus untuk memperkuat hubungan bisa diberikan sebagai berikut: antara anggota DPR dan konsituten bisa disampaikan sebagai berikut: 1. Memperkuat dukungan partai terhadap anggota-anggotanya yang duduk di DPR 1. Partai politik perlu membangun mekanisme kerja elektoral untuk mengelola aspirasi konstituen yang tidak bergantung pada popularitas politisinya, tetapi serta mendorong wakil-wakil partai kinerja kualitas hubungan dengan konstituen yang yang duduk dalam lembaga perwakilan terbangun secara berakar. Politisi yang sudah mempunyai rakyat agar menjalankan representasi ikatan dan jalur komunikasi yang baik dengan konstituen di secara substansial. suatu dapil sedapat mungkin tidak dipindahkan ke dapil lain pada pemilu selanjutnya. 2. Memperkuat dan menjadikan dapur internal partai politik sebagai 2. Jalur komunikasi dan hubungan konstituen harus dibangun pengolahan informasi konstituen (think dengan adanya sumber daya manusia dan juga tempat bagi tank partai). Platform think tank partai para konstituen untuk membawa aspirasi dan bisa membantu dan mendorong permasalahannya secara berkesinambungan. Mendorong anggota partai bersangkutan di DPR dan memperluas pembentukan Rumah Aspirasi oleh para memperjuangkan aspirasi rakyat anggota DPR di dapil masing-masing. dengan cara mengartikulasikan dan mengintegrasi-kannya dalam program 3. Partai politik perlu membangun sistem evaluasi internal bagi para politisinya dalam menjalankan tugas representasi, yang terkait dengan pengawasan legislatif, maupun anggarannya. penyelenggaraan pemerintahan serta pembentukan kebijakan dan undang4. Terkait dengan poin 3, sistem evaluasi internal juga mungkin undang. diinkorporasikan ke dalam UU MD3. 3. Memanfaatkan kemajuan teknologi untuk lebih mendekatkan diri dengan 5. Eksplorasi kemungkinan mengimplementasi usulan-usulan berkaitan dengan “dana aspirasi” bagi semua anggota DPR publik dan konstituennya, seperti yang akan disalurkan kepada konstituen di daerah pemilihan penggunaan media sosial dan masing-masing. “Dana aspirasi” bisa memenuhi tujuan elektronik, misalnya untuk para pemilih penting yaitu menciptakan ‘playing field’ yang sama antara di luar negeri. Anggota DPR juga bisa anggota DPR dari partai incumbent yang berkuasa dan nonmenggunakan saran multimedia yang incumbent. Partai dan anggota partai incumbent berada canggih melalui Vodcast dan Podcast dalam posisi lebih menguntungkan karena dimungkinan dan mengikuti forum diskusi yang untuk melakukan constant campaign karena akses kepada membahas isu-isu yang menjadi pihak eksekutif dan sumber daya. Karena itu, dana aspirasi perhatian masyarakat luas. yang diberikan proporsional akan menempatkan partai dan anggota partai non-incumbent berada dalam posisi tawar 4. Memperkuat aturan-aturan reses bagi menawar yang sama dengan partai dan anggota partai anggota DPR diantaranya incumbent dihadapan konstituen. Berdasarkan penelitian ini, meningkatkan frekuensi turun ke dapil, terlihat bahwa anggota DPR yang tergabung dalam komisimendesain hubungan kerja anggota komisi yang memiliki mitra kerja pemerintah yang memiliki DPR secara umum, bukan hanya yang dana pembangunan lebih mudah menjangkau dan memiliki akses di Komisi, dengan mitra membangun hubungan baik dengan konstituen (seperti Dinas Kesehatan, Pendidikan, dibandingkan dengan anggota DPR yang tergabung dalam BKKBN dan lainnya) maupun dengan komisi yang tidak memiliki mitra kerja pemerintah yang konstituen. memiliki dana pembangunan. 5. Anggota DPR maupun Sekretariat DPR dapat membantu mendekatkan wakil 6. Tersedianya sumber daya “universal” bagi anggota DPR seperti dana aspirasi diatas dapat menjadi salah satu solusi rakyat dengan publik dengan cara dalam menghadapi penyekatan yang tajam pada tugas-tugas menyediakan informasi lengkap antar komisi di DPR yang menjadikan tugas representasi mengenai setiap anggota dewan yang menjadi sulit. Sehingga, seorang anggota DPR tetap dapat bisa dengan mudah diakses (foto, menjalankan tugas representasinya di luar tugas dan curriculum vitae, alamat e-mail, jadwal kewajiban di komisinya. pertemuan rutin dengan konstituen).