Buku ini merupakan hasil riset independen yang didukung oleh rakyat Amerika melalui Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika (USAID). Isi buku maupun hasil riset independen merupakan tanggungjawab Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan tidak merefleksikan pandangan USAID atau pemerintah Amerika Serikat.
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Menuju Politik Anggaran Berbasis Kinerja (Catatan Satu Dekade UU Keuangan Negara) Karya: Emil Radhiansyah, Junaidi, Muhamad Iksan, Tatok Djoko Sudiarto Copyright @2014, Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dengan dukungan Program Representasi Chemonics xxiv + 160 hal; 14 x 21 cm ISBN: 978-602-98252-1-3 Editor Proof Reader Desain Cover Layout
: Arief Ardiansyah & Luqman Hakim Arifin : Agus Khudlori : Apung : Hendrik Ferdiansyah & Kholishotul Hidayah
Cetakan I, April 2014 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Jl. Gatot Subroto Kav. 97 Mampang, Jakarta 12790 t. +62-21 7918 1188 f. +62-21 799 3375 http://policy.paramadina.ac.id
iv
Daftar Isi Kata Pengantar | viii Anies R Baswedan, Ph.D. — Rektor Universitas Paramadina | viii John K. Johnson, Ph.D. — Chief of Party Program Representasi (ProRep) USAID | xii
Pengantar Penulis
| xv
6 Bab Buku, 2 Riset Kebijakan Ucapan Terima kasih | xxi
Pendahuluan
| xvii
|1
Politik Anggaran | 5 Manajemen Anggaran | 8 Rentang Waktu dan Tujuan Khusus Outline Buku | 13
| 12
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini | 17 Sistem Penganggaran dan Perencanaan Pembangunan Nasional | 20 Konsep Perencanaan dan Penganggaran Baru | 24 Konteks Sejarah Pengesahaan UU Keuangan Negara | 29 Kondisi Mutakhir Perencanaan dan Penganggaran | 33 Simpulan Bab 2 | 46
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen | 49 Tentang Penganggaran Berbasis Kinerja
| 50
v
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
PBK Secara Konseptual | 64 PBK Secara Operasional | 70 Beberapa Pengalaman Negara Lain dalam Penerapan PBK Simpulan Bab 3 | 87
| 76
Politik Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara | 89 Mekanisme Pembahasan dan Penetapan APBN | 92 APBN dan Fungsi DPR | 93 Peran DPR dalam Pembahasan dan Pengesahan APBN | 98 Proses Pembahasan dan Pengesahan APBN pada DPR | 106 Penguatan Peran DPR dan Dampaknya pada Mekanisme Pembahasan dan Pengesahan APBN | 108 Simpulan Bab 4 | 114
Membangun Institusi Baru bagi Reformasi Perencanaan dan Penganggaran | 117 Beberapa Institusi yang Telah Bekerja | 119 Pusat Kajian Anggaran DPR: Congressional Budget Office ala Indonesia | 122 Perlunya UU Kinerja Instansi Pemerintah | 128 Simpulan Bab 5 | 130
Penutup | 133 Simpulan | 133 Rekomendasi | 136 Kualitas Pembahasan dan Pengesahan APBN Perbaikan Kualitas Implementasi PBK | 138
Endnotes | 141 DAFTAR PUSTAKA | 146 Indeks | 152 Tentang Penulis | 157
vi
| 136
Daftar Isi
Daftar Tabel Tabel 1: Perbandingan Pengeluaran Pemerintah Berdasarkan Fungsi | 7 Tabel 2: Ringkasan Kerangka Regulasi Penerapan PBK | 36 Tabel 3: Perbandingan Format RKA-KL | 45 Tabel 4: The Power of Performance Measurement menurut Osborn dan Gaebler (1993) | 55 Tabel 5: Perbandingan Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Amerika, Taiwan dan Provinsi Guandong | 77 Tabel 6: Komparasi Desain, Implementasi dan Evaluasi PBK di 3 Negara (Korea Selatan, Australia dan Belanda) | 81 Tabel 7: Informasi Kinerja yang tersedia dalam Anggaran Negara | 83 Tabel 8: Daftar Anggota DPR yang Terkena Proses Hukum | 111 Tabel 9: Review Karakteristik 6 Kantor Anggaran ParlemenV125
Daftar GAMBAR Gambar 1: Mekanisme Penyusunan, Pembahasan, dan Pengesahan APBN | 23 Gambar 2: Transformasi Utama Pasca-Krisis 1997/1998 | 30 Gambar 3: Kerangka Reformasi Perencanaan dan Penganggaran | 34 Gambar 4: Delegasi Kewenangan dalam Pelaksanaan Anggaran | 42 Gambar 5: Alur Kerangka Implementasi PBKV44 Gambar 6: The Production Model of Performance | 71 Gambar 7: Logic Model dalam Penyusunan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran | 86 Gambar 8: Tahapan Pembahasan dan Pengesahan APBN di DPR | 106
Daftar Grafik Grafik 1: Perkembangan Proporsi Realisasi Belanja Pemerintah Pusat | 5 Grafik 2: Jumlah Responden yang Mengetahui PBO
| 128
Daftar Boks Boks 1: Panduan Reformasi Manajemen Keuangan Publik | 40 Boks 2: Cuplikan Hasil Survei Kualitas Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Enam Kementerian/Lembaga | 73 Boks 3: Perbandingan Peran Parlemen dalam Penganggaran | 100 Boks 4: Tentang Congressional Budget Office Amerika Serikat | 123
vii
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Kata Pengantar Membedah Jantung Politik: Pentingnya Mengkaji Politik Anggaran Anies R Baswedan, Ph.D. Rektor Universitas Paramadina
Jika kita menerima pandangan Laswellian bahwa politik adalah
“siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana,� tentu saja politik anggaran dapat dilihat sebagai jantungnya. Sebagai jantung, tentu saja ia dapat menjadi penanda apakah sistem politik itu sehat atau malah sebaliknya. Para pengkaji politik anggaran secara umum menemukan bahwa manipulasi anggaran yang digunakan untuk tujuan politis (seperti dana bantuan sosial untuk mendongkrak capaian elektoral dan yang semacamnya), lazim dijumpai di negara non demokratis atau negara demokrasi baru (new democracies). Di negara-negara yang demokrasinya sudah mapan (established democracies), manipulasi anggaran untuk kepentingan politik justru jarang terjadi karena publik ‘menghukum’ perilaku tersebut (Brender dan Drazen, 2005). Artinya, maraknya manipulasi anggaran untuk kepentingan politik dapat menjadi tanda bahwa sebuah negara belum sampai pada demokrasi yang mapan.
viii
Kata Pengantar
Saya ingin melanjutkan pandangan ini lebih jauh lagi: sistem anggaran negara yang dijangkiti beragam manipulasi anggaran untuk kepentingan politik dapat menjadi ancaman bagi proses konsolidasi demokrasi. Sama seperti politik uang yang ramairamai dikecam namun dilakukan, politik anggaran yang ditujukan untuk melanggengkan kekuasaan dan membangun patronase membuat proses elektoral tidak menghasilkan pemimpin-pe mim p in yang kapabel. Tidak hanya itu, sumber daya negara yang terbatas pun digunakan dengan tidak bertanggung jawab, sehingga agenda-agenda pembangunan yang besar seperti pengembangan infrastruktur pun terbengkalai. Seperti jantung yang denyutnya menentukan usia manusia, politik anggaran dapat menentukan nasib demokrasi di sebuah negara. Dalam konteks inilah, buku yang ditulis oleh para kolega dari Paramadina Public Policy Institute (PPPI) ini sangat penting. Terlebih lagi, tahun ini kita melaksanakan Pemilihan Umum secara demokratis yang keempat setelah Reformasi. Tentu ini adalah momentum penting untuk melihat sejauh mana proses reformasi politik itu telah berhasil. Saya kira, pentingnya politik anggaran ini juga telah menjadi kesadaran yang mendorong proses Reformasi. Seiring reformasi politik, anggaran negara juga mengalami proses penyempurnaan dari sisi regulasi maupun segi manajemen penganggaran. UUD 1945 pada pasal 23 telah mengamanatkan APBN dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk menunaikan mandat konstitusi itu lahirlah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara beserta perangkat regulasi lainnya. Kehadiran UU tersebut menjadi tanda bahwa Indonesia telah memasuki sistem baru dalam Perencanaan dan Pembahasan APBN. Mungkin tak banyak yang menyadari bahwa UU itu beserta UU Pokok Keuangan Negara lainnya—UU Perbedaharaan Negara dan
ix
"
Buku ini hadir di waktu yang tepat: setelah Pemilu Legislatif 2014. Saya yakin bahwa buku ini dapat memberikan catatan penting untuk memberikan penilaian dan catatan bagi pelaksanaan UU Keuangan Negara. Tak hanya untuk para anggota DPR, baik yang lama maupun baru, buku ini tentu juga sangat bermanfaat bagi pengambil kebijakan lainnya di kementerian/lembaga. —Anies R Baswedan, Ph.D.
"
Kata Pengantar
UU Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara— telah berusia satu dekade. Di antara perubahan mendasar dalam UU KN adalah mandat melaksanakan anggaran secara akuntabel, terpadu, terencana dan berbasis kinerja. Anggaran yang terpadu terwujud melalui unified budget atau penganggaran terpadu. Anggaran yang terencana dilakukan dengan mengadopsi Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah. Sedangkan anggaran yang akuntabel dan berbasis kinerja memerlukan sistem penganggaran berbasis kinerja. Apa dan bagaimana anggaran berbasis kinerja? Inilah yang ingin dipaparkan dengan terang benderang oleh buku ini di dalam enam babnya yang renyah dibaca. Buku hasil penelitian rekan-rekan di PPPI ini juga merupakan kristalisasi dari dua kajian empiris tentang politik dan manajemen anggaran, terutama yang terkait dengan pengeluaran negara. Buku ini hadir di waktu yang tepat: setelah Pemilu Legislatif 2014. Saya yakin bahwa buku ini dapat memberikan catatan penting untuk memberikan penilaian dan catatan bagi pelaksanaan UU Keuangan Negara. Tak hanya untuk para anggota DPR, baik yang lama maupun baru, buku ini tentu juga sangat bermanfaat bagi pengambil kebijakan lainnya di kementerian/lembaga. Mewakili Universitas Paramadina, saya mengapresiasi energi dan kerja keras rekan-rekan PPPI dalam merampungkan buku hasil penelitian ini. Kepada para penulis saya ucapkan selamat dan sukses atas peluncuran buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi pemicu diskusi yang lebih intens tentang politik dan manajemen anggaran bagi kepentingan publik. Di dalam demokrasi yang sehat, terdapat sistem anggaran yang sehat. Mari kita lanjutkan demokrasi kita, untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.
xi
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Kata Pengantar
John K. Johnson, Ph.D. Chief of Party Program Representasi (ProRep) USAID
I AM DELIGHTED that Paramadina Public Policy Institute (PPPI)
has asked me to write a foreword to their new book, Menuju Politik Anggaran Berbasis Kinerja (Vision Toward Performance-Based Political Budgeting). This new publication, developed as a result of two extensive Paramadina research projects, will be useful for a wide range of readers and especially relevant to newly-elected MPs. Worldwide, newly-elected MPs come to their parliaments representing hundreds of professions, and they bring this wealth of experience into their parliamentary careers. Few, however, arrive with experience in parliamentary budgeting and oversight, and this new Paramadina publication is a valuable resource that should help them better understand and more effectively conduct their constitutionally assigned budgeting and oversight roles.1 In their budgeting role, parliaments may amend and refine the executive budget presented to the parliament. We can think of this as the “before” side of the budget, and MPs may (depending on the specific powers of a given parliament) adjust spending
xii
1 Article 20A of Indonesia’s Constitution states that the Indonesian DPR “. . . shall hold legislative, budgeting and oversight functions.”
Kata Pengantar
priorities, approve or amend methods of collecting revenue, etc. At this stage MPs will also generally seek to ensure that the needs of their constituencies are covered adequately in these budgets. MPs perform the second, or oversight role, during and after government programs are implemented. In conducting oversight, parliaments review national audit agency audits and investigate government programs to determine whether there has been waste or corruption, and whether programs are achieving their objectives. PPPI’s new book, Menuju Politik Anggaran Berbasis Kinerja (Vision Toward Performance-Based Political Budgeting), provides Indonesia-specific information to help newly-elected MPs in both their budget and oversight roles. According to Paramadina, the 2003 Law on State Finances required that ministries advance beyond simple “incremental budgeting” (i.e., building budgets “incrementally” based on the previous year’s budget) and begin developing budgets designed to accomplish specific, defined objectives (performance based budgeting, or PBB). Under PBB, ministry officials are required to systematically determine the impact of their proposed budgets and clearly define the results their programs will achieve. Performance based budgeting should result in more effective programs that better meet the needs of Indonesians. PPPI’s extensive research into the use of PBB in six Indonesian ministries revealed that the shift from incremental to performance based budgeting has been slow, but that there has been progress. Menuju Politik Anggaran Berbasis Kinerja (Vision Toward Performance-Based Political Budgeting) updates MPs on the status of PBB implementation in Indonesian ministries, offers recommendations for improving public transparency in budgeting, and provides insights into ways MPs can encourage ministries to continue implementing PBB. With the creation of the DPR’s public
xiii
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
accounts committee (BAKN) through the 2009 amendment to MD3 Law, and its successful development in recent years, the DPR is indeed playing a more significant oversight role over government spending and programs. And proposed amendments to the new MD3 law presage a more professional dedicated parliamentary budget staff. These developments, and the growing expertise and participation of think tanks such as PPPI, bode well for the development of a stronger, more professional parliamentary role in the budget process.
Jakarta, April 2014
xiv
Pengantar Penulis
MENUJU POLITIK ANGGARAN BERBASIS KINERJA: RETORIK ATAU REALITAS? Legislators are sometimes depicted as always trying to increase spending. —The Politics of Public Budgeting, 2010
POLITISI ADALAH manusia konsumtif di mana pun dan kapan pun.
Narasi itu petuah Irene S Rubin dari Northern Illinois University (NIU), bukan dari kami. Bahwa terdapat tendensi lembaga perwakilan (parlemen) berupaya selalu meningkatkan belanja (spending) dengan motif utama: Terpilih kembali pada pemilihan berikutnya, terlebih menjelang dan di tahun pemilu. Motif bertransaksi mendominasi ikatan antara legislator dan konstituen, suksesnya politisi menggelontorkan “gentong babi� (pork barrel) berupa pekerjaan dan proyek-proyek baru di daerah pemilihannya, ialah kunci kembali terpilih. Seturut dengan para politisi, birokrasi bekerja secara organis memperluas cakupan kerja mereka. Bagi birokrat, penambahan tugas pokok dan fungsi berita baik yang berarti jumlah pekerja lebih banyak, peralatan kantor lebih modern, ruangan kerja lebih luas, dan secara disengaja, gaji yang lebih besar. Birokrasi dapat
xv
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
diibaratkan seperti mesin yang terus beroperasi tanpa pernah ditinjau ulang, apakah layanan birokrasi semakin berkualitas dengan semangat ekspansionis dari mesin birokrasi? Di Amerika Serikat, statistik US Central Bureau mencatat total lembaga pemerintah berkembang terus dari 83,237 lembaga di tahun 1987 menjadi 89,527 lembaga di tahun 2007 dengan pemerintah daerah sebagai juara wahid (Lewis & Hildreth, 2011:13). Di Indonesia, Bagian Anggaran kementerian/ lembaga saja bertambah 18 dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir (2005-2012). Bagian Anggaran memperoleh porsi APBN dalam menjalankan mesin organisasi. Komparasi yang tidak terbantahkan, birokrasi semakin membesar di kedua negara itu. Sementara itu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (2014) mencatat ada 687 lembaga pemerintahan di Indonesia. Apa yang menjadi persamaan politisi dan birokrasi? Sangat jelas keduanya tidak suka kinerja. Apakah hanya kasus birokrasi dan parlemen Indonesia yang emoh kinerja? Jawabnya juga clear, Indonesia bukanlah kasus yang unik. Bahwa secara alamiah kinerja sektor publik memang tidak pernah sederhana dalam pengukurannya, berbeda dari sektor bisnis di mana ukuran kinerja lebih mudah dimengerti. Namun bukan berarti kinerja sektor publik mustahil dilakukan. Walaupun tema sentral buku ini terkesan berjarak dari soal-soal politik praktis yang in saat ini yakni Pemilihan Umum. Sekurangnya tidak demikian buat kami penulisnya. Secara khusus, buku yang berjudul “Menuju Politik Anggaran Berbasis Kinerja� dimaksudkan sebagai panduan awal soal seluk beluk penganggaran bagi kandidat terpilih di Dewan Perwakilan Rakyat 2014-2019. Selain itu, buku ini ditujukan pula bagi para pengambil
xvi
kebijakan di pemerintahan, terutama lead ministries sektor anggaran yaitu: Kementerian Keuangan, Kementerian Negara
Pengantar Penulis
Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Kementerian Dalam Negeri. Namun demikian, kementerian lain patut pula menyimaknya sebagai bahan evaluasi pelaksanaan PBK dan perbaikan proses perencanaan dan penganggaran pada umumnya. Semangat kami dalam menulis buku ini ialah menggagas demokrasi pasca-Pemilihan Umum melalui partisipasi publik di bidang anggaran. Sudah terlalu lama memang di masa transisi demokrasi kita hanya terjebak pada urusan remeh temeh, yaitu saat Anda memberikan suara di bilik suara yang kurang dari lima menit itu, plus sesi obrolan berseri di ruang keluarga, kedai-kedai kopi dan tempat nongkrong, juga di rumah-rumah ibadah saat berhimpun bersama saudara seiman. Bahwa kualitas demokrasi kita tidak beranjak dari demokrasi prosedural-transaksional telah lama kita sadari bersama. Namun pertanyaan yang bermakna saat ini adalah bagaimana upaya kita bersama dalam mempercepat proses “naik kelas� demokrasi Indonesia kepada suatu capaian demokrasi substantif. Kami percaya bahwa esensi keterwakilan yang substantif menjadi prasyarat
terpenting
bagi
perbaikan
kualitas
demokrasi,
keterlibatan banyak pemangku kepentingan akan mempercepat kualitas representasi di waktu mendatang.
6 Bab Buku, 2 Riset Kebijakan Pada esensinya, buku ini adalah kristalisasi gagasan dari 2 Riset Kebijakan yang didukung oleh Program Representasi. Riset pertama kami selenggarakan dalam tempo 8 bulan (Medio 2012) bertajuk “Pembahasan dan Pengesahan APBN Secara De Facto dan De Jure: Langkah Awal Pembenahan� dan riset kedua kami laksanakan dalam kurun waktu lebih panjang 18 bulan (September
xvii
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
2012–Desember 2013) bertajuk “Satu Dekade Penganggaran Berbasis Kinerja di Indonesia: Rekomendasi Kebijakan untuk Perbaikan�. Sumber terutama dalam buku ini, kami elaborasi dari kedua riset kebijakan tersebut menggunakan bahasa dan pendekatan yang semoga mudah dipahami sebagaimana tujuan awal buku ini. Kami memperoleh kesempatan meningkatkan jam terbang para peneliti PPPI dari 2 riset kebijakan itu. Di antara perbaikan kualitas riset yang bisa terlihat melalui perbaikan instrumen penelitian berupa kuesioner dan wawancara mendalam. Selain itu, kedua hasil riset telah beberapa kali mengalami proses peer review dari para narasumber yang kompeten di bidang legislasi, manajemen anggaran, maupun keuangan negara. Keenam bab dalam buku ini adalah pertama Pendahuluan, memberikan konteks serta relevansi studi. Kedua, Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini. Ketiga, Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen. Keempat, Memahami Politik Pembahasan dan Pengesahan APBN. Kelima, Membangun Institusi Baru bagi Reformasi Perencanaan dan Penganggaran. Keenam, Penutup. Secara praktis, kami memanfaatkan maksimal konsepsi siklus anggaran. Bila pembaca yang budiman menelaah dengan teliti bab per bab tadi, dengan sengaja kami susun mengikuti siklus penganggaran yang lazim berlaku di banyak negara. Perencanaan dan Penganggaran oleh Eksekutif, Pembahasan dan Pengesahan oleh Parlemen, Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban oleh Eksekutif melibatkan Government Accounting Office (Badan Pemeriksa Keuangan di Indonesia). Kami belum tahu apakah model penulisan seperti ini cukup efektif? Para pembaca yang budimanlah sebagai pemilih vote sah terhadap buku kami.
xviii
Riset kebijakan sangat peduli dengan fokus target kebijakan yang ingin direformasi yakni peraturan atau regulasi. Buku ini kami
Pengantar Penulis
tujukan sebagai catatan satu dekade Undang-undang Keuangan Negara. Pertanyaan yang mendesak kita jawab sekarang setelah lebih dari satu dekade UU KN berlaku, apakah kondisi emoh kinerja masih menjangkiti birokrat dan parlemen? Penelitian empiris dari PPPI (2013) mendapati birokrasi sudah mulai belajar merubah dari penganggaran inkremental, di mana birokrasi cenderung mempertahankan anggaran tahun sebelumnya, tanpa adanya kesadaran akan kebutuhan masyarakat. Kini dengan kerangka model logic, birokrasi “dipaksa� secara sistematis menentukan dampak dari anggaran yang mereka usulkan, hasil dari program yang mereka usung serta keluaran dari rangkaian kegiatan penyusun program. Walaupun tidak banyak diketahui umum, kerangka model logic ini perlahan merubah cara kerja birokrasi. Sayangnya kami menemukan bahwa inefisiensi masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai. Apa buktinya inefisiensi belum terselesaikan? Sederhana, Anda buat konsinering pekerjaan kantor Anda di hotel di sekitar Jakarta seperti Bogor dan Tanggerang niscaya terdapat kementerian/lembaga dengan kantor-kantor mereka yang megah masih harus mengadakan kegiatan di hotel itu. Selain itu, birokrasi kerap tidak memiliki fleksibilitas dalam pengelolaan anggaran walaupun let’s the managers manage ciri utama performance budgeting. Apa pasal? Kementerian Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara dan Kementerian lainnya kerap sukar menemukan pemahaman yang sama tentang bagaimana birokrasi
kementerian
lain
mendapat
keleluasaan
dalam
menggunakan anggaran yang sudah ditetapkan. Keluhan lainnya dari kementerian lain (selain Kemenkeu dan Bappenas), para PNS kerap dibebani oleh beragam permintaan data monitoring dan evaluasi (Monev) dari berbagai instansi Pemerintah. Waktu mereka tersita oleh berbagai permintaan data Monev termasuk penyiapan data tersebut. Padahal, seperti terungkap
xix
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
dalam studi PPPI (2012) yang mengkaji proses pembahasan dan pengesahan APBN di DPR, permasalahan krusial terkait masukan adalah belum memadainya kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran program serta kegiatan dari Pemerintah. Mandat konstitusional DPR membahas sampai satuan tiga dalam proses pembahasan APBN di Komisi dan Badan Anggaran juga temuan terpenting lainnya ditengarai sebagai problem proses yang menyeret anggota DPR pada potensi penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Dalam buku ini, PPPI berupaya menyajikan kerangka rekomendasi bagi peningkatan kualitas pembahasan APBN serta rekomendasi kebijakan bagi perbaikan penganggaran berbasis kinerja di Indonesia. Sedapat mungkin, rekomendasi kami menjadi diskusi publik (public discourse) yang bernas dan konstruktif, sehingga pada waktunya nanti mampu diterapkan secara konkret. Pada esensinya rekomendasi kebijakan terbagi menjadi dua bagian besar. Pertama, mendorong praktik transparansi melalui keterlibatan publik, seperti aktivisme publik pada rapat-rapat anggaran. Selain terbukanya rapat anggaran mengurangi praktik “setengah kamar� Dewan, anggota Parlemen sangat terbantu mengembalikan kepercayaan publik. Bahwa masih banyak anggota DPR yang sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat. Adapun upaya Pe merintah menginisasi citizen budget perlu diapreasiasi, sayangnya masih sebatas formalitas belaka karena analisis independen tentang anggaran yang disediakan Pemerintah belum tersedia. Untuk itulah, kehadiran lembaga dukungan bagi Parlemen di bidang anggaran seperti Legislative Budget Office (Kantor Anggaran Parlemen) di AS Congressional Budget Office, di Filipina CPBD, di Meksiko CEFP, di Uganda PBO, dan di Korea Selatan
xx
NABO menjadi suatu alternatif kebijakan yang perlu dijajaki.
Pengantar Penulis
Kedua,
memperbaiki
arsitektur
dan
informasi
kinerja
kementerian yang berguna buat publik. Kepentingan publik yang mesti jadi acuan para birokrat –pusat dan daerah –dalam menyusun rencana program dan kegiatan. Kita menyadari proses belajar organisasi memang akan melewati kurva tertentu. Oleh sebab itu, bila informasi kinerja yang bermakna bagi publik telah mulai terlihat dibutuhkan penyempurnaan peraturan yang mengikat Parlemen. UU Capaian Kinerja Instansi Pemerintah berguru dari Government Performance Result Act (GPRA, 1993) menjadi pelajaran berharga yang bisa dipertimbangkan.
Ucapan Terima kasih Kami yang berada di Paramadina Public Policy Institute (PPPI) merasa sangat beruntung dan berterima kasih setulus-tulusnya kepada Program Representasi (ProRep) USAID yang telah “sangat suportif” dan “belajar bersama” kami selama kurun waktu yang cukup lama, 26 bulan (lebih dari 2 tahun terakhir). Tentu sebagai sebuah proses kemitraan kami dengan ProRep meninggalkan banyak pelajaran berharga maupun pengetahuan-pengetahuan baru untuk kami. Di antara tim ProRep: Pak John Johnson (Chief of the Parties) yang berkenan memberi Kata Pengantar, Mbak Siti Budi Wardhani (Dhani) dan Bung Ridaya Laode Ngkowe (Dayat) yang melayani pertanyaan-pertanyaan kami, Kang Trias Utomo (Monev Specialist) yang kritis namun bersahabat, Mbak Nurlia Wuliyanti (d/h Grant Manager) yang sabar mengingatkan deliverables, dan Mas Agus Loekman (d/h Koordinator Komponen 2) yang memberi kepercayaan penuh kepada PPPI. Kepada bapak-bapak dan ibuibu lain di ProRep yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Secara de facto, ProRep juga telah memulai tradisi baru riset kebijakan di Indonesia dengan menghadirkan mentor langsung
xxi
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
dari Amerika Serikat bekerjasama dengan Urban Institute, PPPI merasa senang dan menerima manfaat yang banyak selama proses mentoring bersama ibu Ritu Nayyar-Stone (d/h Urban Institute) dan Pak Jamie Boex. Dua per tiga perjalanan PRG kami tempuh bersama Ibu Ritu, satu per tiga sisa perjalanan kami jalani bersama Pak Jamie ditambah Mbak Renata Simatupang (World Bank Jakarta Office) sebagai asisten mentor. Studi De Facto De Jure Pembahasan dan Pengesahan APBN mendapat manfaat besar dari masukan para reviewer sebagai berikut: Mas Danang Widayoko (ICW), Bung Jamil Mubarok (MTI) dan Bung Maulana (Seknas FITRA), Bung Arif Nur Alam (IBC), Pak Fadhil Hasan (Indef). Mereka bertindak sebagai reviewer riset De Facto dan De Jure. Narasumber awal studi di antaranya: Amin Subekti (d/h BRR Aceh Nias), Wjayanto Samirin (PPPI), Sohibul Iman (FPKS DPR), Budiman Sujatmiko dan Arif Budimanta (FPDI-P DPR). Narasumber riset Pembahasan dan Pengesahan APBN juga ada yang berasal dari Pemerintahan—DPR dan Eksekutif— penting disebutkan di sini seperti Ernest Raihan (DJA), Hanif Ary (UKP4) dan Setyana Nugraha (Biro Analisa Anggaran DPR). Adapun studi Satu Dekade Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) mendapat input berharga dari para reviewer sbb: Mas Heri Triatmoko (Kemenkeu), Bung Jamil Mubarok (MTI), Bung Yuna Farhan (Seknas FITRA), Pak Rakhmat Hadisudarmo (DJA), dan Mba Riatu Qibtiah (LPEM FEUI). Narasumber riset Satu Dekade PBK banyak yang berasal dari pemerintahan khususnya 6 K/L sampel penting disebutkan di sini seperti Ibu Sumiati dan Marudut Napitupulu (Sekjen Kemenkeu), Pak Agung Nurwandono (Dirjen BC), Pak Oentarto Wibowo dan Ibu Elly Safrida (PUSKI DJBC), Pak Langgeng Suwito dan Mas Walidi dkk (DJA), Pak Soffan Marsus dkk (BPPK Kemenkeu), Pak Widiyanto dkk (BKF Kemenkeu), Pak Arief Haryana, Ibu Ellyana Chairani dan Pak Arif Wisaksono
xxii
(Bappenas-EKP), Pak Slamet Sudarso dkk (Itjen Bappenas), Pak
Pengantar Penulis
Wismana, Pak Syafril Basir dan Pak Dono (Bappenas-Alokasi Pendanaan Pembangunan), Pak Djoko Santoso (Dirjen Dikti) dan Pak Patdono, Pak Ananta Seta, Pak Ikhsan, Pak Kacung Maridjan, Pak Amin, Pak Mahsun, Pak Thamrin Kasman dan kawan-kawan Kemdikbud, Ibu Harkristuti Harkrisnowo dkk (Dirjen HAM) dan Pak Ayub Suratman (Direktur Ditjen Lapas) dan Pak Akbar Hernowo (Lapas), Pak Samsudin (Dirjen Perlindungan Sosial) dkk, Pak Boby Mamahit (Dirjen Perhubungan Laut) dan Pak Bambang Istianto (Ditjen Perekeretaapian). Tanpa kesediaan waktu dan uluran tangan dari bapak dan ibu yang berasal dari K/L mustahil survei implementasi PBK di masing-masing eselon 1 dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu, kami mengucapkan penghargaan setinggitingginya untuk dedikasi Bapak dan Ibu dalam menunaikan tugas pekerjaan. Penulis juga merasa mendapat kesempatan sangat berharga melalui wawancara mendalam kepada para inistiator UU KN yang berasal dari Pemerintah khususnya Departemen Keuangan: Pak Mulia Nasution, Pak Hekinus Manao, Pak Taukhid, dan Pak Siswo Sujanto. Kepada mereka, PPPI berterima kasih melalui “kenduri” satu dekade UU Paket Keuangan Negara. Ucapan terima kasih juga, penulis sampaikan kepada tim Magnitude-Renebook: Pak Abdul Rahman Mamun, Mas Luqman Hakim Arifin (koordinator), Mas Arief Ardiansyah (editor) dan teman-teman lain yang ikut “turun tangan” dalam proses produksi buku ini. Tanpa semangat, determinasi dan kesabaran dari temanteman semua, buku ini adalah mimpi di siang bolong. Rekan-rekan peneliti PPPI terutama Ibu Tia Rahmania dan Pak Wahyutama, Pak Tedy Jiwantara Sitepu, Ibu Iin Mayasari dan Pak Bima Priya Santosa yang telah bersedia meluangkan waktu menyelesaikan rangkaian studi De Facto De jure Pembahasan dan Pengesahaan APBN serta studi Satu Dekade PBK di Indonesia. Segala kekompakan, semangat kerjasama, dan beragam bantuan
xxiii
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Bapak dan Ibu selama menjalankan riset kebijakan sangat kami hargai setinggi-tingginya. Penulis
menghaturkan
penghargaan
setinggi-tingginya
atas dedikasi dan kesediaan Bapak dan Ibu rekan-rekan PPPI mengizinkan materi tulisan Bapak/Ibu/Rekan sebagai sumber terpenting bagi dasar tulisan kami. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga istri dan anak-anak kami, waktu luang tersita untuk penyelesaian buku ini akhirnya terbayar lunas dengan terbitnya buku ini. Akhirul kalam, melalui buku sederhana ini kami mengajak para pembaca yang budiman untuk proaktif, bergotong-royong, ikut serta “turun tangan� mewujudkan cita-cita pendiri Republik ini: SATU INDONESIA UNTUK SEMUA.
xxiv
Bab 1
Pendahuluan
Orang-orang harus dibangunkan. Kenyataan harus dikabarkan. Aku “bernyanyi� menjadi saksi. — WS Rendra, Kesaksian
Anggaran, saat menjadi tema pembicaraan, kerap diartikan
sebagai sejumlah uang yang harus dihabiskan untuk suatu kegiatan. Anggapan ini terjadi baik untuk kegiatan yang bersifat individual, keluarga, rukun tetangga, perusahaan, maupun negara. Banyak di antara kita yang nyaris tidak peduli dari mana asalnya suatu anggaran, begitu pula kemanfaatan penggunaannya. Pokoknya, uang yang sudah dianggarkan harus habis. Titik. Pada level yang paling kecil, anggaran disalahtafsirkan sebagai kelebihan uang yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan yang kurang penting. Untuk level-level berikutnya, anggaran menjelma sebagai rencana keuangan periodik yang disusun berdasarkan program yang telah ditetapkan. Di dalam postur anggaran terdapat pos pendapatan dan pengeluaran. Anggaran menjadi salah satu upaya sebuah organisasi untuk melangkah
1
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
maju ke arah yang lebih baik karena adanya aktivitas yang sudah disiapkan lengkap beserta uang untuk membiayainya. Pada tataran negara, peran sebuah anggaran semakin krusial. Keberadaan anggaran negara menjadi salah satu kunci untuk memajukan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat. Di Indonesia, hak mengajukan, membahas, dan mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan sebagian peran pemerintah selaku eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku legislatif. Setiap tahun Pemerintah mengajukan APBN yang terdiri atas Nota Keuangan Pemerintah dan rincian APBN. Konsepsi pemanfaatan anggaran harus habis juga ada di tingkat negara. Selama ini, salah satu ukuran kinerja presiden terhadap para menterinya adalah dengan menggunakan indikator jumlah anggaran yang bisa diserap (baca: dihabiskan) pada setiap tahun anggaran. Apalagi kita memakai istilah “belanja� pada APBN dan bukan pengeluaran. Terminologi belanja cenderung mengarahkan elemen birokrasi untuk berusaha sekuat mungkin menghabiskan seluruh anggaran setiap tahun. Konsepsi ini mengundang tanya ihwal efektivitas dan efisiensi belanja instansi negara. Yang menarik, ada satu fenomena unik seputar belanja negara. Kerap kali kita mendengar dan membaca, banyaknya anggaran belanja yang tidak diserap pihak kementerian/lembaga (K/L) dalam satu tahun anggaran. Fakta di lapangan, Pemerintah masih belum memaksimalkan alokasi anggaran belanja negara. Akibatnya, sepanjang tahun selalu terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA), yang pada 2013 tercatat sebesar Rp20,5 triliun. Torehan SILPA 2013 ini lebih rendah dari tahun 2010, 2011, dan 2012 yang masing-masing mencapai Rp47 triliun, Rp39,2 triliun,
2
dan Rp34,01 triliun.
"
Perubahan cara pandang anggaran dari belanja menjadi pengeluaran: Terminologi belanja cenderung mengarahkan elemen birokrasi untuk menghabiskan seluruh angaran setiap tahun daripada fokus kepada efisiensi belanja.
"
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Selain kekeliruan pemahaman tentang belanja, banyak pihak seakan lupa bahwa APBN tidak hanya terdiri atas sisi pengeluaran yang selama ini kita soroti. Ada pula sisi penerimaan atau pendapatan yang kerap terlupakan. Belum lagi khalayak umum (publik) tidak banyak mengerti secara mendasar postur APBN yang terdiri atas pendapatan, belanja, defisit/surplus, pembiayaan, dan keseimbangan primer. Bagi publik, urusan-urusan seharihari mencari penghidupan sudah menyita perhatian mereka. Walaupun begitu, kita tidak boleh putus harapan karena sejatinya di era masa kini aktor utama dalam proses bernegara tidak hanya Pemerintah. Proses penganggaran negara setiap tahunnya adalah rangkaian aktivitas yang melibatkan dua pihak (eksekutif dan legislatif), yang pada tahun-tahun terakhir setelah Orde Baru, peran DPR semakin meningkat. Selaku lembaga legislatif, DPR, sesungguhnya telah menerima mandat konstitusi yang kuat terkait hak anggaran. 1 Meskipun, akhir-akhir ini, mandat ini terbebani persepsi publik yang buruk terhadap kinerja maupun perilaku DPR selama ini. Peningkatan peran DPR itu salah satu hasil dari upaya penguatan lembaga DPR pasca Reformasi 1998. Dengan terlaksananya fungsi tersebut, diharapkan mekanisme check and balance dalam pengelolaan keuangan negara menjadi lebih kuat. Check and balance sendiri merupakan satu syarat mendasar dalam pelaksanaan negara yang demokratis. 2 Namun demikian, peran DPR yang semakin aktif belum dapat menjadi solusi bagi ketersediaan anggaran negara yang baik. Kualitas APBN dianggap banyak pihak menunjukkan peran DPR yang belum maksimal. Malah, kualitas belanja negara semakin menurun. Sebelum tahun 1997, porsi belanja pembangunan dan belanja rutin pemerintah pusat cenderung seimbang. Hal ini berbeda dari setelah tahun 1997, porsi APBN justru lebih besar
4
Pendahuluan
untuk belanja rutin sehingga porsi belanja pembangunan jauh lebih sedikit.3 Grafik 1: Perkembangan Proporsi Realisasi Belanja Pemerintah Pusat
Sumber: Harian Kompas, 12 Agustus 2011, Litbang Kompas.
Selain kualitas APBN yang semakin menurun, buku ini juga menyoroti politik anggaran dan manajemen anggaran kita yang masih mengundang tanya. Politik anggaran pada dasarnya adalah penentuan fokus pemberian anggaran pada suatu sektor tertentu yang diputuskan oleh Pemerintah dan DPR. Sedangkan manajemen anggaran berorientasi pada soal pengelolaan dan pemanduan anggaran dari waktu ke waktu.
Politik Anggaran Politik anggaran terkait dengan bagaimana APBN suatu negara diputuskan oleh Legislatif berdasarkan usulan Eksekutif. Berdasarkan istilah politik —yang menjadi esensi politik anggaran
—menurut Laswell (1956), siapa yang mendapat apa, kapan, dan
bagaimana. Terminologi politik dari Laswell sangat erat dengan politik anggaran. Maka politik anggaran merupakan salah satu aspek terpenting dari politik secara umum.4
5
"
Empat isu pokok politik anggaran: Pertama, siapa yang berkuasa terhadap anggaran? Kedua, bagaimana anggaran ditentukan? Ketiga, seberapa mampu lembaga legislatif dan eksekutif dalam merancang anggaran? Keempat, apakah insentif politik yang ada mendorong kerjasama atau justru mendorong persaingan antar kedua lembaga negara itu?
"
Pendahuluan
Setidaknya ada empat isu pokok, menurut Hanan (2013:232), terkait dengan hubungan legislatif dan eksekutif dalam soal politik anggaran. Pertama, siapa yang berkuasa terhadap anggaran? Kedua, bagaimana anggaran ditentukan? Ketiga, seberapa mampu lembaga legislatif dan eksekutif dalam merancang anggaran? Keempat, apakah insentif politik yang ada mendorong kerjasama atau justru persaingan antarkedua lembaga negara itu? Secara praksis, Hanan mengilustrasikan politik anggaran melalui contoh proses perumusan APBN serta kekuasaan presiden versus kekuasaan DPR dalam pembuatan anggaran (Hanan, 2013). Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret tentang politik anggaran, kita dapat belajar dari perbandingan pola pengeluaran negara maju dan negara berkembang dengan pola pengeluaran pemerintah Indonesia. Dari perbandingan ini dapat dilihat bahwa alokasi anggaran menurut fungsi-fungsi pemerintahan pada APBN Indonesia belum optimal. Tabel 1 menunjukkan persentase alokasi APBN menurut fungsi-fungsi pemerintahan
terhadap
GDP
dibandingkan
dengan
hasil
penelitian United Nations Public Administration Network (UNPAN). Tabel 1: Perbandingan Pengeluaran Pemerintah Berdasarkan Fungsi LKPP 2012
Negara Berkembang
Negara Maju
Jenis Pengeluaran
Fungsi Tradisional Negara
3,9
6,1
9,91
Administrasi Umum dan Keteraturan Publik
2,1
3,4
7,60
Keamanan
1,8
2,7
0,07
Fungsi Modern Negara
25,1
14,5
5,42
7
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Pendidikan
2,9
4,1
11,03
Kesehatan
3,8
2,0
1,42
Layanan Sosial Lainnya
14,9
3,9
0,52
Layanan Ekonomi
3,5
4,5
11,43*
Pembayaran Bunga
3,4
3,0
11,02**
Pengeluaran Lainnya
2,6
1,7
NA
LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) * termasuk subsidi energi ** termasuk dalam fungsi pelayanan umum
Tabel 1 di atas memberikan ilustrasi nyata bahwa politik anggaran Pemerintah dan DPR masih belum mencapai taraf yang sejajar dengan alokasi pengeluaran negara berkembang, apalagi negara maju. Politik anggaran di sini termasuk menyoal bagaimana negara menyediakan kebutuhan-kebutuhan men dasar warga negaranya, misalnya pemberian subsidi. Pemerintah masih menyediakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik sebagai barang publik yang dikonsumsi semua warga. Besarnya porsi subsidi energi di Indonesia cukup membuat alokasi pengeluaran sektor-sektor terpenting lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan menjadi “terkorbankan�. Padahal kita semua tahu, subsidi BBM kerap dituding salah sasaran dan hanya menguntungkan kelas menengah ke atas. Buku ini membahas isu politik anggaran dari pendekatan pembahasan dan pengesahaan APBN di Parlemen. Di dalamnya terdapat politik pembahasan dan pengesahaan anggaran pendapatan dan belanja yang merupakan praktik dari politik anggaran DPR dan Pemerintah.
Manajemen Anggaran Pertumbuhan ekonomi yang stabil menjadi salah satu target
8
penting pada masa kepemimpinan Presiden Yudhoyono sejak
Pendahuluan
tahun 2004. Di sini, terjadi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) seiring dengan perkembangan belanja Pemerintah mulai tahun 2006. Pengeluaran yang meningkat tidak hanya merupakan berita positif tetapi juga mengandung tantangan tersendiri. Tanpa pengelolaan dan manajemen anggaran yang terus diperbaiki, maka anggaran tidak memberi dampak yang lebih besar bagi perekonomian secara umum. Ditambah lagi adanya mandat dari UU sektoral seperti Pendidikan, Kesehatan, dan Perimbangan Keuangan Pusat Daerah ihwal adanya pengeluaran yang bersifat wajib (mandatory spending). Seakan-akan “kue pembangunan� melalui APBN telah terbagi-bagi ke dalam pos-pos khusus, sehingga fleksibilitas alokasi anggaran menjadi sulit menggapai tuntutan publik secara luas. Dampaknya, Pemerintah selalu menutupi kekurangan melalui pembiayaan utang berupa penerbitan Surat Utang Negara (SUN) baik dalam mata uang Rupiah maupun asing (Global Bonds). Walaupun patut dipahami utang bukan sesuatu yang tabu bagi sebuah negara.5 Di
sisi
lain,
demokrasi
kita
sekarang
memunculkan
tuntutan publik berupa pelayanan publik yang semakin baik dari Pemerintah. Tuntutan publik yang kuat terhadap anggaran pemerintah yang mencerminkan konsep value for money dan sesuai dengan prioritas nasional berujung pada kelahiran UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (KN). Undang-undang ini menjadi payung hukum reformasi manajemen keuangan publik. Mekanisme perencanaan anggaran direformasi melalui tiga pendekatan sistem: (1). Penganggaran Terpadu (Unified Budget). (2). Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) atau Medium Term Expenditure Framework. (3). Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) atau Performace-Based Budgeting. Buku ini secara khusus mengulas isu manajemen anggaran berdasarkan sistem Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK).
9
"
Tiga pendekatan perencanaan anggaran: (1) Penganggaran Terpadu atau Unified Budget, (2) Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) atau Medium Term Expenditure Framework, (3) Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) atau PerformanceBased Budgeting.
"
Pendahuluan
Pasca pemberlakuan UU KN, lahir beragam produk hukum turunan guna mendukung penerapan tiga pilar UU KN tersebut. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang memberikan panduan tentang program dan kegiatan yang disusun pemerintah yang mengacu pada tiga pilar UU KN. Lalu, PP No. 21/2004 tentang Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-KL) yang berisi panduan dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja diperlukan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan. Pada tahun 2010, Pemerintah mengeluarkan PP No. 90/2010 yang merupakan perubahan PP No. 21/2004 tentang RKAKL. Namun demikian, buku pedoman petunjuk teknis tentang pelaksanaan pilar-pilar Keuangan Negara baru diluncurkan pada tahun 2009 melalui Surat Edaran Bersama (SEB) Meneg PPN & Menkeu (0142/2009 & SE.1848/2009) tentang Pedoman Reformasi Perencanaan Penganggaran Keterlambatan Pemerintah mempersiapkan aturan pelak足 sana
UU
No.
17/2003
mengurangi
kecepatan
reformasi
perencanaan dan penganggaran. Pelaksanaan UU KN menjadi kunci bagi tercapainya perbaikan anggaran dan penguatan akuntabilitas. 6 Tidak boleh dilupakan pula, pasca berlakunya UU ini pelaksanaannya menemui jalan tidak mudah karena terdapat kepentingan lain yang memengaruhi. Di akhir masa kepemimpinan, Presiden Megawati Sukarnoputri mengesahkan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Synnerstorm (2007) mencatat bahwa intensi dibalik kelahiran UU No. 25/2004 tidak lain untuk mempertahankan status quo seraya mempertahankan keberadaan dan kehadiran Lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional di Pusat. Persaingan antarlembaga Pemerintah kerap berulang di Indonesia tanpa
11
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
kesadaran bahwa seluruh lembaga di Republik ini mendapat amanah rakyat dalam mengawal kepentingan bersama.
Rentang Waktu dan Tujuan Khusus Rentang waktu yang menjadi pembatas dalam buku ini ialah pasca penerapan UU KN sampai saat ini. Adapun masa krisis ekonomi dan politik pada tahun 1997/1998 menjadi masa peralihan (turning time) bagi kelangsungan perjalanan bangsa kita. Demikian pula sistem perencanaan dan penganggaran telah banyak berubah setelah krisis tersebut. Perubahan yang telah terjadi menjadi faktor pendorong eksternal bagi sistem baru perencanaan dan penganggaran, selain desentralisasi politik dan ekonomi ke daerah-daerah dan otonomi pemerintah daerah. Masa krisis kerap kali melahirkan kebijakan yang baik, bad times creates good policies. Adagium ini berlaku pula pada proses perencanaan dan penganggaran. Pengambil kebijakan seperti menemukan kembali momentum perubahan kerangka hukum bagi penganggaran. Sedangkan tujuan khusus dari buku ini mengajukan beberapa pertanyaan kunci yang masing-masing jawabannya diuraikan pada masing-masing bab, pertanyaan kunci adalah: 1.
Bagaimana reformasi penganggaran dan perencanaan di masa sekarang? Apa saja yang telah dihasilkannya? Dibandingkan dengan era Orba, perubahan pada isu-isu apakah yang paling signifikan?
2.
Apa yang membedakan UU Keuangan Negara dari peraturan perundangan sebelumnya terkait anggaran? Bagaimana adopsi praktik penganggaran best practices yakni Unified Budget, Performance-Based Budgeting and Medium Term
12
Expenditure Framework pada UU Keuangan Negara? Sejauh
Pendahuluan
mana aktor-aktor menggunakan informasi kinerja—selain alokasi anggaran tradisional—dalam pembahasan dan penetapan APBN? 3.
Bagaimana DPR menentukan APBN pada setiap tahun anggaran? Apa saja catatan-catatan terpenting terhadap pelaksanaan mandat konsitusional DPR (Hak Anggaran)?
4.
Bagaimana institusi yang terbentuk pasca UU Keuangan Negara dan UU Sistem Perencanaan Pembangunan Negara yang melengkapi UU KN lainnya? Apakah diperlukan lembaga
baru
seperti
Congressional
Budget
Officer/
Parliamentary Budget Officer (CBO/PBO) sebagai decision support institution bagi DPR? Dari sisi K/L, apa langkah yang bisa dilakukan guna memperkuat kapasitas perencanaan dan penganggaran K/L?
Outline Buku Buku ini secara umum menarasikan politik penganggaran selama kurun waktu satu dekade terakhir, utamanya pada isu terkini politik anggaran, pembelajaran dari manajemen anggaran, serta usulan-usulan rekomendasi kebijakan guna perbaikan proses penganggaran pada masa mendatang. Secara khusus, buku ini bermaksud memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan kunci di atas yang dibahas sebelumnya melalui masing-masing bab selanjutnya. Bab 2 akan mengulas dan menjawab pertanyaan khusus yang pertama melalui beberapa sub bab antara lain: Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Konsep Perencanaan dan Penganggaran Baru, Konteks Sejarah Pengesahaan UU Keuangan Negara, Kondisi Terkini Perencanaan dan Penganggaran. Pada dasarnya, Bab 2 memberi pemahaman atas adanya tekanan
13
"
Buku ini menarasikan politik anggaran selama satu dekade terakhir, utamanya pada isu terkini politik anggaran, pembelajaran dari manajemen anggaran, serta usulan-usulan rekomendasi kebijakan guna perbaikan proses penganggaran ke depan.
"
Pendahuluan
dari lingkungan eksternal kepada perubahan perencanaan dan penganggaran selama kurun waktu sepuluh tahun lebih. Lingkungan eksternal berperan pula memberi tekanan pada perubahan substansi UU Keuangan Negara dari apa yang pertama sekali ingin dicapai oleh para inisiator UU tersebut. Simpulan Bab 2 memberikan pembaca jawaban sementara dari pertanyaan kedua. Bab 3 akan menjelaskan dan menemukan alternatif-alternatif jawaban pertanyaan kedua melalui empat sub bab. Sub bab pertama memberi penjelasan tentang Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK). Adapun sub bab kedua dan ketiga menerangkan PBK secara konseptual dan PBK secara operasional. Sub bab keempat berisi beberapa pengalaman negara lain dalam penerapan PBK. Dari pengalaman negara lain ini, satu pelajaran yang bisa dipetik adalah tidak adanya suatu model universal penerapan performance-based budgeting, yang lantas bisa ditiru dan dicangkokkan dengan mudah ke sistem penganggaran negara lain. Banyak ahli seperti Schick, misalnya, sudah mewantiwanti negara-negara berkembang (seperti Indonesia) untuk tidak mengambil peta jalan reformasi yang diambil negara Selandia Baru, karena bisa dipastikan akan gagal.7 Simpulan Bab 3 memberikan kita jawaban sementara dari pertanyaan ketiga. Bab 4 menarasikan dan coba menjawab pertanyaan ketiga melalui beberapa sub bab antara lain: mekanisme dan proses pembahasan dan penetapan APBN, APBN dalam konteks fungsi DPR, penguatan peran DPR dan dampaknya terhadap mekanisme pembahasan dan pengesahan APBN. Bab 4 akan ditutup dengan Simpulan Bab 4 yang memberi jawaban tentatif dari pertanyaan keempat. Bab 5 akan mengulas dan mencoba menjawab pertanyaan keempat melalui beberapa sub bab, yaitu: beberapa institusi yang telah bekerja, Pusat Kajian Anggaran DPR: CBO ala Indonesia,
15
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
dan perlunya UU Kinerja Instansi Pemerintah. Pada dasarnya bab ini menawarkan gagasan perbaikan institusi yang dapat menunjang percepatan transparansi anggaran untuk publik maupun meningkatkan akuntabilitas instansi Pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Bab 6 merangkum hal-hal terpenting dari buku ini. Bab ini juga akan memberikan simpulan final, walaupun tidak bermaksud memberikan kata final mengenai proses reformasi pengangggaran dan perencanaan selama ini. Bab 6 juga memberikan tawaran kebijakan yang dapat dilakukan guna perbaikan proses yang selama ini mandek serta mempercepat proses reformasi yang selama ini sudah berjalan.
16
Bab 2
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini Budget reforms are often ushered in with great fanfare, with little attention to their implementation. — Allen Schick
Salah satu nilai plus bangsa ini adalah kepemilikan rasa
syukur dalam menghadapi setiap kejadian, walau itu buruk dan menyedihkan. Pada tahun 1997, Indonesia mengalami guncangan ekonomi yang dahsyat. Tingkat inflasi melonjak tinggi, nilai tukar Rupiah berantakan, investasi baik asing maupun lokal surut, hingga kerusuhan berdarah bertebaran di berbagai daerah mengiringi kejatuhan rezim pemerintah Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Berbekal optimisme setelah kesulitan pasti ada kemudahan, saat ini kita merasakan adanya blessing in disguise alias sesuatu yang tidak kita inginkan untuk terjadi, tetapi akibat adanya kejadian itu dapat membawakan berkah dan hasil positif. Seperti telah disinggung sekilas di akhir Bab 1, masa krisis justru melahirkan kebijakan yang baik, bad times creates good policies.
17
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Setidaknya, ungkapan ini berlaku pada proses perencanaan dan penganggaran. Pengambil kebijakan seperti menemukan kembali momentum perubahan kerangka hukum bagi penganggaran. Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang, muncul tekanan hingga tuntutan agar dilakukan reformasi pada birokrasi pemerintahan dan sedikit banyak membuahkan hasil. Penyusunan anggaran negara menjadi salah satu bentuk tuntutan reformasi yang banyak menarik perhatian. Memang, penganggaran pada masa pemerintahan Orde Baru cenderung lebih stabil dan seimbang. Data menunjukkan pola penganggaran yang berimbang dan stabil dalam menyusun pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan pemerintah sebelum tahun 1997. Namun, sudah menjadi rahasia umum selama bertahun-tahun bahwa tidak ada mekanisme check and balance terhadap setiap pelaksanaan kebijakan baik yang menyangkut bidang politik, hukum, dan keamanan. Ketiadaan kontrol tersebut juga terjadi dalam penyusunan dan penggunaan anggaran pengeluaran negara. Kala itu, penggunaan anggaran pengeluaran negara dinilai berhasil bila nilai yang dianggarkan bisa dipergunakan semuanya. Pandangan ini sebenarnya tidak sepenuhnya salah, namun kita tidak dapat mengetahui dan memastikan ketepatan dan kemanfaatan penggunaan anggaran itu bagi publik. Kesadaran terhadap permasalahan pada pemerintahan sebelumnya di atas mendasari kemunculan pendekatan baru dalam penyusunan dan pemanfaatan anggaran negara. Adalah UU Keuangan Negara yang mengamanatkan penyusunan dan penggunaan anggaran yang dikenal sebagai Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) atau Performance-Based Budgeting. Definisi PBK adalah sebuah konsep dan prosedur yang memungkinkan proses pembuatan keputusan hingga pengguna-
18
an dana untuk kepentingan publik dapat dievaluasi secara terukur. Konsep ini memungkinkan terjadinya kesesuaian antara
"
Konsep Penganggaran Berbasis Kinerja adalah sebuah konsep dan prosedur yang memungkinkan proses pembuatan keputusan hingga penggunaan dana untuk kepentingan publik dapat dievaluasi secara terukur.
"
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
alokasi anggaran dan capaian hasil yang ingin digapai, serta terpenuhinya disiplin agregat fiskal.8
Sistem Penganggaran dan Perencanaan Pembangunan Nasional Dickson mendefinisikan pembangunan sebagai an ongoing process of qualitatively ameliorated social, political, economic change-that is progressive change which improves and sustains the quality life of human society. Ini berarti pembangunan adalah sebuah proses perubahan berkelanjutan terhadap kualitas hidup manusia secara sosial, ekonomi dan politik. Adapun
dalam
Tujuan
Pembangunan
Milenium
atau
Millennium Development Goals (MDGs), definisi pembangunan adalah sebuah kebijakan yang dinilai memiliki indikator serta rentang waktu. Berdasarkan dua pengertian tersebut, secara umum, pembangunan didefinisikan sebagai sebuah perubahan terhadap kualitas hidup manusia secara berkelanjutan dalam berbagai bidang dalam suatu rentang waktu yang dibuat melalui suatu kebijakan yang dalam pelaksanaannya memiliki indikator pencapaian. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Pemerintah Indonesia mencanangkan suatu rencana pembangunan bertahap yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Namun tahap akhir dari rencana ini “kandas� diakibatkan krisis moneter yang menimpa Indonesia dan berdampak meluas menjadi krisis multidimensi. Selanjutnya, pemerintahan berikutnya mulai menerapkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diwujudkan dalam bentuk Undang-undang No. 25/2004. Undang-
20
undang tersebut menjelaskan ruang lingkup perencanaan
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini
pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan nasional disusun oleh kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Dalam penyusunan dan pelaksanaan rencana pembangunan nasional tersebut terdapat beberapa rancangan waktu yaitu Rencana
Pembangunan
Jangka
Panjang
(RPJP)
dengan
rentang waktu 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan rentang waktu lima tahun dan Rencana Pembangunan Tahunan. Dari sisi konsep perencanaan pembangunan, tidak banyak perubahan antara masa Orde Baru dan masa kini, walaupun dampak kebijakan perencanaan pembangunan lebih efektif kita rasakan pada masa dahulu. Untuk melaksanakan rencana pembangunan, Pemerintah pusat melalui K/L dan pemerintah daerah menyusun perencanaan secara nasional yang sistematis dan tanggap terhadap perubahan. Adapun tujuan dari penerapan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah terciptanya suatu koordinasi yang tepat antarpelaku pembangunan, adanya sinergi pusat dan daerah yang terintegrasi sesuai dengan fungsi masing-masing dan terpadu antarruang dan antarwaktu. Selain itu, sesuai dengan tujuan yang tertuang pada UU No. 25/2004, perencanaan pembangunan menyaratkan adanya konsistensi antara perencanaan anggaran dan pelaksanaan. Hal ini dimaksudkan agar mampu mencapai output yang maksimal dan tepat guna. Adanya fungsi penganggaran mengindikasikan adanya pedoman dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Pengeluaran Negara (RAPPN/RAPBN). Oleh karenanya adanya peran dan partisipasi masyarakat dalam
pengawasan
terhadap
penggunaan
anggaran
dan
pelaksanaan dari perencanaan pembangunan tersebut sangat dibutuhkan. Untuk memberi ilustrasi mekanisme penyusunan, pembahasan, dan pengesahan Anggaran Pendapatan dan
21
"
Robinson dan Brumby mendefinisikan PBK sebagai prosedur dan mekanisme untuk memperkuat kaitan antara dana yang disediakan untuk entitas sektor publik dengan hasil (outcome) dan/atau keluaran (output) entitas tersebut melalui penggunaan informasi kinerja formal dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya.
"
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini
Belanja Negara (APBN) dari periode waktu (bulan) serta pihakpihak yang terlibat disajikan Gambar 1 berikut. Gambar 1: Mekanisme Penyusunan, Pembahasan, dan Pengesahan APBN
Gambar 1 di atas menunjukkan mekanisme penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan APBN. Terlihat jelas alur pengajuan penyusunan rencana kerja yang melibatkan K/L dan instansi terkait menjadi Rencana Kerja Pemerintah (RKP), untuk selanjutnya disusun menjadi sebuah kebijakan umum dan prioritas anggaran. Dari RKP yang telah disusun dilakukan pembahasan bersama antara pemerintah (K/L) dan DPR untuk
23
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
kemudian dibentuk konsep dokumen pelaksanaan anggaran yang berasal dari RAPBN dan disahkan menjadi dokumen pelaksanaan anggaran.
Konsep Perencanaan dan Penganggaran Baru Proses Reformasi yang sudah berjalan selama kurang lebih 13 tahun telah menggeser paradigma manajemen pemerintahan dari orientasi proses kepada orientasi hasil (Cipta, 2011). Penerapan Undang-undang No. 25/2004 tentang SPPN merupakan salah satu dari penerapan manajemen pemerintahan yang berorientasi hasil. Dalam hal pengelolaan keuangan negara, Undang-undang No. 17/2003 hadir sebagai sebuah produk Reformasi. Undangundang ini menjelaskan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) melalui tiga pendekatan yang saling berkaitan, Penganggaran Terpadu, Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM), serta PBK. Tentang mandat PBK dinyatakan pada pasal 14 ayat 2 yang menyebutkan bahwa rencana kerja dan anggaran disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Untuk memahami konsep dalam perencanaan berbasis kinerja (PBK), rasanya perlu bagi kita untuk memahami sekali lagi definisi mengenai PBK itu. Robinson dan Brumby mendefinisikan PBK sebagai prosedur dan mekanisme yang dimaksudkan untuk memperkuat kaitan antara dana yang disediakan untuk entitas sektor publik dengan hasil (outcome) dan/atau keluaran (output) entitas tersebut melalui penggunaan informasi kinerja formal dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya. Dari definisi tadi didapatkan tujuan dari PBK, yaitu untuk meningkatkan
24
efektifitas
pengeluaran
publik
dengan
cara
mengaitkan
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini
pendanaan organisasi sektor publik dengan hasil yang dicapai informasi kinerja sistematik.9 Oleh karenanya, dalam penerapan PBK ada beberapa persyaratan mendasar yang harus dipenuhi, yaitu: 1.
Adanya
informasi
mengenai
sasaran
dan
hasil
dari
pengeluaran pemerintah dalam bentuk indikator kinerja dan evaluasi program sederhana. 2.
Adanya proses penyusunan anggaran yang dirancang untuk memfasilitasi penggunaan informasi tersebut. Seirama dengan pemaparan mengenai persyaratan mendasar
di atas, Young pun menyatakan ada empat karakteristik dalam PBK yaitu: 10 1.
Adanya penetapan atau sekumpulan tujuan yang dikaitkan dengan
atau
yang
digunakan
untuk
mengalokasikan
pengeluaran uang. 2.
Memungkinkan ketersediaan informasi dan data mengenai kinerja dan hasil yang telah dicapai, sehingga memungkinkan dilakukan perbandingan antara kemajuan dengan kondisi aktual yang direncanakan.
3.
Adanya
penyusunan
anggaran
penyesuaian
terhadap
program yang dilakukan untuk menutup setiap perbedaan yang terjadi antara target kinerja dan kinerja aktual. 4.
Memberi peluang dilakukannya evaluasi kineja secara reguler yang digunakan untuk pengambilan keputusan. Dari pemaparan di atas, secara garis besar dapat dijelaskan
bahwa dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja diatur di dalamnya mengenai pencantuman indikator kinerja dalam dokumen-dokumen
perencanaan
dan
penganggaran
serta
penggunaan indikator kinerja tersebut dalam proses penyusunan anggaran pemerintah. 11
25
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Setelah memenuhi seluruh perlengkapan dalam penyusunan anggaran, maka sesuai dengan UU No.17/2003 bahwa dalam penerapan PBK diperlukan dua prasyarat lain yaitu adanya penganggaran terpadu dan KPJM. Penerapan KPJM memiliki arti penting dan menjadi pendukung penerapan PBK karena KPJM mengandung informasi kinerja yang hendak dicapai melalui penganggaran tahunan yang disiapkan untuk seluruh pelaksanaan program kegiatan. KPJM merupakan pendekatan yang komprehensif untuk memfasilitasi perhitungan implikasi anggaran untuk beberapa tahun ke depan. Perhitungan implikasi anggaran atau prakiraan diajukan di dalam KPJM menggunakan parameter-parameter yang menjaga aktualitas perhitungan anggaran sehingga dapat digunakan sebagai dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya. Sesuai dengan penjelasan yang tertuang dalam Pasal 14 ayat 1 UU No. 17/2003, seluruh informasi kinerja yang dibutuhkan dalam pengalokasian anggaran yang dibuat oleh K/L harus dituangkan dalam dokumen penganggaran berupa Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L). Selanjutnya RKA-K/L tersebut disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. Untuk menghindari terjadinya duplikasi penyusunan anggaran untuk tahun anggaran berikutnya, diperlukan adanya evaluasi mendalam dan menyeluruh terhadap kriteria yang sudah dicantumkan dalam PBK. Lebih lanjut, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran K/L dan/atau perangkat daerah. Berdasarkan riset kebijakan dari Paramadina Public Policy Institute (2013) ditemukan fakta yang dijelaskan di dalam Buku
26
Putih yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan (2002) mengenai beberapa permasalahan berkaitan dengan manajemen keuangan
"
Tujuan KPJM: (1) transparansi alokasi anggaran yang lebih baik, (2) meningkatkan kualitas perencanaan penganggaran, (3) fokus yang lebih baik terhadap kebijakan prioritas, (4) meningkatkan disiplin fiskal, (5) menjamin adanya kesinambungan fiskal, dan (6) meningkatkan manfaat dana yang dianggarkan.
"
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
publik Indonesia. Terdapat tiga hal yang patut mendapat perhatian karena mendeskripsikan kelemahan mendasar kerangka institusi bagi manajemen kebijakan publik yang baik. Pertama, adanya kewenangan anggaran ganda antara Kementerian Keuangan dan Bappenas yang bermuara pada sulitnya koordinasi yang baik dalam perencanaan dan pelaksana anggaran. Bukti nyata pernyataan pertama adanya Daftar Isian Kegiatan dan Daftar Isian Program dalam dokumen perencanaan dan penganggaran masa itu. Namun demikian, setelah penerapan UU No. 17/2003 kewenangan pelaksanaan anggaran sudah berada sepenuhnya pada otoritas Kementerian Keuangan. Artikel Blondal et al (2009) menyatakan penganggaran terpadu yang bersifat unified dan komprehensif telah dimulai tahun 2005 dan mulai menunjukkan kemajuan dari waktu ke waktu. 12 Penguatan penganggaran dan perencanaan terpadu masih sangat diperlukan di masa mendatang. Kedua,
sistem
informasi
keuangan
pemerintah
yang
terintegrasi dan andal saat itu masih dalam pengembangan. Ketiga, tumpang tindihnya fungsi anggaran dan perbendaharaan dalam tubuh Direktorat Jenderal Anggaran membawa akibat bagi tidak berkembangnya kompetensi anggaran dan manajemen perbedaharaan bersama-sama. Sejak tahun 2003, reorganisasi Kementerian Keuangan berjalan dengan pelimpahan tugas pokok dan fungsi perbendaharaan dan pelaksanaan anggaran kepada Dirjen Perbedaharaan Negara. Demikian pula, Badan Kebijakan Fiskal beroperasi penuh pada tahun 2006 sementara untuk mengelola perimbangan keuangan pusat dan daerah didirikan Dirjen Perimbangan Keuangan. Seirama dengan semangat perubahan mendasar bagi perbaikan manajemen keuangan publik, Blondal et al. juga menunjukkan adaptasi KPJM untuk pengelolaan anggaran.
28
Tujuan adanya KPJM untuk transparansi alokasi sumber daya
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini
anggaran yang lebih baik (allocative efficiency); meningkatkan kualitas perencanaan penganggaran (Improving the quality of planning); fokus yang lebih baik terhadap kebijakan prioritas (best policyoption); meningkatkan disiplin fiskal (fiscal dicipline); menjamin adanya kesinambungan fiskal (fiscal sustainability); dan meningkatkan manfaat dana yang dianggarkan merupakan meningkatnya efisiensi alokasi (allocative efficiency) dalam proses penganggaran.
Konteks Sejarah Pengesahaan UU Keuangan Negara Untuk memahami konteks sejarah pengesahan UU Keuangan Negara terdapat beberapa sumber referensi yang menjelaskan situasi dan kondisi yang melingkupi kelahiran UU tersebut di antaranya: pertama, dokumen The White Paper Kementerian Keuangan (2002). Kedua, dokumen Rancangan Undang-undang Bidang Keuangan Negara (Mei 2001). Ketiga, Prinsip Keuangan Negara
dalam
Paket
Rancangan
Undang-undang
Bidang
Keuangan Negara (Agustus 2001). Ketiga dokumen tersebut membeberkan fakta sejarah bahwa Pemerintah telah membentuk 12 tim untuk melakukan reformasi anggaran terhadap peraturan kolonial bidang anggaran yang dikenal sebagai Indische Comptabiliteitswet (ICW-1925), Indische Bedrijvenwet (IBW-1925) dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB-1933).13 Dalam usahanya untuk merevisi ICW, tim yang dibentuk tersebut mengalami beberapa tantangan yaitu pertama, untuk menghasilkan hukum atau undang-undang yang komprehensif dan mampu mengelola sejumlah keuangan anggaran, manajemen bendahara, dan audit negara bukanlah suatu hal yang mudah. Kedua, pengelolaan anggaran relatif
29
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
cukup sensitif untuk pengelola kepentingan seperti presiden, parlemen, anggota kabinet, Kementerian Keuangan, Bappenas, dan kementerian/lembaga lainnya. Krisis multidimensi 1997/1998 menjadi momen tersendiri bagi pemerintah untuk melaksanakan reformasi di bidang anggaran. Soesastro (2003) berpendapat bahwa krisis merupakan sebuah bentuk “anugerah� yang menghasilkan urgensi untuk memperbaiki kondisi ekonomi.14 Blondal et al menyebut istilah reinventing budgeting untuk mengatasi masalah krisis politik dan ekonomi tersebut. Ada tiga transformasi utama sesudah krisis tersebut diilustrasikan pada gambar 2 di bawah ini: Gambar 2: Transformasi Utama Pasca-Krisis 1997/1998
Pada
masa
pemerintahan
Orde
Baru,
penyusunan
anggaran didasarkan pada perencanaan nasional yang sifatnya tersentralisasi. Penyusunan anggaran dengan menyesuaikan pada perencanaan nasional dianggap ideal, karena anggaran menjadi lebih terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan dalam perencanaan nasional. Di masa Orde Baru, Indonesia mengadopsi Rencana Pembangunan Jangka Lima Tahun dan Pembangunan Jangka 25 tahun. Hal ini merupakan salah satu instrumen kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan. Perencanaan dan penganggaran berubah sesudah terjadinya
30
pemilihan presiden secara langsung di Indonesia. Perencanaan
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini
yang direncanakan dari atas ke bawah (top-down planning) merupakan permulaan disusunnya PBK. Walaupun penerapan UU sudah dilaksanakan pada 2004, namun ketiga pendekatan di dalamnya belum sepenuhnya dilakukan. Ada beberapa penjelasan yang menyatakan mengapa pada tahun 2004, pendekatan Penganggaran Terpadu, PBK, dan KPJM belum sepenuhnya terimplementasi. Pertama, Pemerintah tidak secara sungguh-sungguh mempersiapkan peraturan pendukung yang komprehensif guna segera dapat menerapkan PBK dan KPJM. Kedua, adanya sengketa kewenangan pra-berlakunya UU Keuangan Negara antara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan. Bappenas menganggap berlakunya UU No. 17/2003 beserta produk UU Pokok Keuangan Negara mengancam eksistensi Kementerian Perencanaan Pembangunan. Penjelasan lebih jauh, berdasarkan dokumen rancangan UU Keuangan Negara versi awal tim Departemen Keuangan, peranan Bappenas memang diubah secara drastis. Fungsi perencanaan yang dahulu sangat dominan berada pada kewenangan Bappenas secara drastis diubah menjadi Dewan Perencanaan Nasional (Depernas) lebih bercorak badan penasihat (advisory body). Desain Depernas tidak hanya berisikan para birokrat sebagai anggota Depernas melainkan perwakilan dari kalangan akademis, organisasi masyarakat sipil, dan juga kalangan pengusaha. Rancangan perubahan yang radikal ini membawa reaksi Bappenas. Lembaga ini kemudian mempersiapkan RUU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (RUU SPPN), dengan misi utama mempertahankan eksistensi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tim penulis memperoleh informasi persoalan sengketa kewenangan ini dari dokumen “internal� Pemerintah.
31
"
Perencanaan dan penganggaran berubah sesudah terjadinya pemilihan presiden secara langsung di Indonesia. Namun, penerapan tiga pendekatan penganggaran belum sepenuhnya dilakukan.
"
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini
Selain itu, artikel Staffan Synnerstorm (2007) juga menganalisis fenomena tersebut berikut ini: In addition, implementation of the law on state finance has sometimes been obstructed by vested interests that have taken advantage of the general lack of understanding of how crucial the law is for improved governance. For examples, in its very last days when it was clearly nothing more than a caretaker government, the Megawati government succeeded in having Law No. 25/2004 on National Planning passed. The intention seems to have been retain the status quo and protect the existence of the National Development Planning Agency (Bappenas). Synnerstorm menegaskan implementasi UU Keuangan Negara kerap dirusak oleh kepentingan-kepentingan kelompok atau
golongan.
Ia
mencontohkan
pemerintahan
Presiden
Megawati meloloskan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional (SPPN). Itikad yang terkandung dalam UU SPPN—sekurangnya bagi Synnerstorm—tidak lain dari melanggengkan status quo dan melindungi keberadaan Bappenas. Patut dicatat pula bahwa UU Keuangan Negara tidak ditandatangani oleh Presiden Megawati sampai akhir masa kekuasaannya berdasarkan informasi dari para pencetus UU Keuangan Negara yang notebene mayoritas berasal dari eksponen Departemen Keuangan RI.
Kondisi Mutakhir Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah telah menetapkan PP No. 21/2004 yang menegaskan bahwa rencana kerja dan anggaran disusun menggunakan tiga pendekatan, yaitu: (1) anggaran terpadu (unified budget); (2) Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah
33
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
(KPJM) atau Medium Term Expenditure Framework; dan (3) Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) atau Performance-Based Budget. Secara ilustratif, kerangka reformasi perencanaan dan penganggaran yang digulirkan oleh Pemerintah dapat disajikan sebagai berikut. Gambar 3: Kerangka Reformasi Perencanaan dan Penganggaran
Sumber: Basyir (2010) dalam Prosiding Implementasi PBK pada Sektor Hukum, Peradilan dan HAM
Berdasarkan kerangka reformasi di atas, KPJM dan PBK merupakan instrumen reformasi penganggaran sekaligus sebagai perencanaan guna meningkatkan manfaat dana yang dianggarkan ke sektor publik terhadap hasil suatu program (outcomes) dan keluaran suatu aktivitas (output), melalui informasi kinerja yang
34
terkait dengan tiga hal yaitu pengukuran kinerja, pengukuran
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini
biaya untuk menghasilkan output dan outcomes serta penilaian keefektifan dan efisiensi pengeluaran/belanja dengan berbagai alat analisis.15 Di satu sisi, KPJM adalah cara memperhitungkan konsekuensi putusan terhadap anggaran pada tahun berikutnya. Di sisi lain, PBK adalah pendekatan penganggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari rangkaian Penganggaran Terpadu (PT) dan KPJM. PBK dimaksudkan untuk lebih memberikan hasil maksimal (outcome oriented) dalam efisiensi alokasi anggaran dari sumber daya yang terbatas. Dengan ketiga pendekatan tersebut di atas, satuan kerja dapat memilih dan memutuskan alokasi program/kegiatan terbaik (prioritas) dari berbagai alternatif program/kegiatan yang tersedia secara efisien yaitu mendapatkan tingkat keluaran (output) maksimal dari masukan (input) pada tingkat tertentu alokasi biaya atau input.16 Permasalahan-permasalahan yang ada dalam pelaksanaan tersebut menurut Sancoko et al (2008) adalah:17 1) Tidak jelasnya keterkaitan antara kebijakan, perencanaan, dan penganggaran, karena sering kali kebijakan disusun tanpa mempertimbangkan sumber daya yang tersedia, dan pengalokasian anggaran tidak mencerminkan prioritas yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 2) Rendahnya
kinerja
penyediaan
pelayanan
masyarakat
karena penekanan diberikan pada kontrol terhadap input bukan pada pencapaian output dan outcomes, serta kurang memerhatikan
prediksi
dan
kesinambungan
daripada
pendanaannya. 3) Kurangnya disiplin fiskal, karena total belanja negara tidak
disesuaikan
dengan
kemampuan
penyediaan
pembiayaannya, dan perumusan kebijakan fiskal hanya terfokus pada stabilitas ekonomi makro jangka pendek.
35
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Adapun permasalahan dalam penerapan PBK menurut Kementerian Keuangan dan Bappenas sebagai berikut:18 i.
Belum digunakannya resource envelope sebagai landasan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Renstra K/L.
ii.
Program dan kegiatan belum dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat keefektifan pencapaian sasaran pembangunan nasional dan efisiensi belanja.
iii. Program dan kegiatan juga belum dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur akuntabilitas kinerja suatu unit kerja. iv. Pada tingkat operasional masih ada beberapa pertanyaan mendasar mengenai keterkaitan dokumen perencanaan dan anggarannya. Guna memperbaiki masalah-masalah yang diuraikan Sancoko et al (2008) maupun Kementerian Keuangan dan Bappenas (2009), Pemerintah telah mempersiapkan kerangka hukum reformasi penganggaran melalui UU, Peraturan Pemerintah, Surat Edaran Bersama (SEB), Peraturan Presiden, serta Peraturan Menteri Keuangan. Tabel 2 di bawah ini menjelaskan ringkasan dokumen kerangka hukum PBK termasuk fokus bahasan dari masing-masing regulasi terkait PBK, KPJM, dan Penganggaran Terpadu. Tabel 2: Ringkasan Kerangka Regulasi Penerapan PBK No
1
Dokumen
Mengamanatkan terbuka dan bertanggung PASAL 23 UUD 1945 jawab untuk sebesar besarnya-kemakmuran (Amdemen Ke-III 2001) rakyat.
UU No 17/2003 2 tentang Keuangan Negara
36
Bahasan
Memberikan dasar pendekatan penyusunan anggaran harus berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini
No
Dokumen
Bahasan
Memberikan arahan bahwa dokumen UU No 1/2004 tentang pelaksanaan anggaran berisi uraian sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program, 3 Perbendaharaan dan rincian kegiatan, dan anggaran yang Negara disediakan untuk mencapai sasaran tersebut. UU No. 25/2004 tentang Sistem 4 Perencanaan Pembangunan Nasional
Memberikan arahan tentang rencana kerja Pemerintah, rencana kerja kementerian/ lembaga, program, progran lintas kementerian/lembaga, serta tujuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
PP 20/2004 tentang 5 Rencana Kerja Pemerintah
Memberikan panduan tentang program dan kegiatan yang disusun pemerintah disusun dengan berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu.
Memberikan panduan dalam penyusunan PP 21/2004 tentang anggaran berbasis kinerja diperlukan Rencana Kerja indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi 6 Anggaran Kementerian kinerja dari setiap program dan jenis Lembaga (RKA-KL) kegiatan. PP 39/2006 tentang Tata Cara Pengendalian Memberikan panduan-panduan tentang kriteria efisiensi, kefektifan, kemanfaatan, 7 dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana keluaran (output), dan hasil (outcome). Pembangunan PP 40/2006 tentang Tata Cara 8 Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional
Memberikan panduan teknis penyusunan perencanaan pembangunan nasional yang berdasarkan kinerja.
Memberikan panduan yang lebih fokus terhadap penerapan KPJM, penguatan PP 90/2010 tentang 9 RKA-KL perubahan PP proses penelaahan, evaluasi kebijakan, pengukuran dan evaluasi kinerja anggaran 21/2004 serta sistem informasi yang terintegrasi. SEB MENEG PPN & MENKEU (0142/2009 & SE.1848/2009 10 Pedoman Reformasi Perencanaan Penganggaran Sumber: Hasil Telaah PPPI (2013)
Panduan penerapan penganggaran berbasis kinerja, anggaran terpadu, dan kerangka pengeluaran jangka menengah.
37
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Kelengkapan panduan implementasi penganggaran berbasis kinerja ditandai dengan terbitnya SEB tahun 2009 sebagai milestone terpenting dari reformasi keuangan negara. Bila pada penjelasan sub bab sebelumnya, terdapat paparan perubahan institutional setting sejak berlakunya UU 17/2003. Jelas bahwa SEB tahun 2009 merupakan bukti tidak terbantahkan bahwa saat itu (2009) ada kesadaran bersama antara Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas guna melanjutkan kegiatan yang dahulu telah pimpinan kedua lembaga itu mulai (reformasi penganggaran). Setelah hampir enam tahun vakum tanpa suatu kebijakan nyata dan terukur, 19 SEB tahun 2009 menandai babak baru kerjasama Bappenas dan Kementerian Keuangan. Selanjutnya, setiap tahun Menteri Keuangan menerbitkan peraturan terkait dengan petunjuk penyusunan dan penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga. Peraturan teknis Menteri Keuangan tidak banyak mengubah ketentuan yang telah ada, peraturan baru hanya menyempurnakan hal-hal yang masih belum diatur sebelumnya. Berdasarkan panduan pada Buku 5, SEB tentang Jadwal Pelaksanaan dan Penerapan menyatakan bahwa penerapan PBK diterapkan pada tahun 2011. Buku 5 tersebut juga menjelaskan langkah-langkah penerapan agar pendekatan sebagaimana amanat UU Nomor 17/2003 dapat diwujudkan dengan benar. Tahun 2009 hingga 2010 diisi dengan berbagai kegiatan penyiapan panduan, pelatihan dan sosialisasi, uji coba, serta perubahan berbagai format dokumen. Sesuai jadwal tersebut, tahun 2011 dicanangkan sebagai awal penerapan PBK secara penuh. Uji coba tersebut meliputi 6 K/L20 yang menjadi pilot project yaitu Kementerian Keuangan, Bappenas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pertanian, Kementerian Sosial, dan
38
Kementerian Kesehatan.
"
Kelengkapan panduan implementasi penganggaran berbasis kinerja yang ditandai dengan terbitnya SEB tahun 2009 menjadi milestone terpenting dari reformasi keuangan negara.
"
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Selama program restrukturisasi sepanjang tahun 2010, Kementerian Keuangan menyusun 620-640 program dalam Kementerian Negara. Pada tahun 2011 dan 2012 jumlah program mengalami penurunan masing-masing menjadi 422 program dan 426 program. Esensi restrukturisasi program yang dilakukan sejalan dengan gagasan penyederhanaan Program/Kegiatan menurut PBK. Oleh karena itu, tidak memungkinkan untuk satu program dilaksanakan oleh dua atau lebih unit eselon 1. Masingmasing unit eselon 1 hanya memiliki tugas dan fungsi sesuai dengan program yang spesifik.
Boks 1: Panduan Reformasi Manajemen Keuangan Publik Lima buku panduan berkaitan dengan reformasi manajemen keuangan publik terdiri atas rangkaian aktivitas sebagai berikut: Sosialisasi, Perencanaan Strategis, Format Baru, Restrukturisasi Program dan Kegiatan, Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah, Standar Biaya, Sistem Evaluasi Kinerja, dan Pengukuran Kinerja (Departemen Keuangan Republik Indonesia & Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2009). Pedoman SEB ini djadikan dasar untuk memahami implementasi PBK. Dalam penelitan “Satu Dekade Penganggaran Berbasis Kinerja Di Indonesia: Rekomendasi Kebijakan untuk Perbaikan� merupakan rangkaian aktivitas menjadi indikator sejauh mana kualitas pelaksanaan PBK. (Sitepu et al., 2013).
40
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini
Panduan tersebut dianggap sebagai elemen atau aspek yang mampu mendukung kinerja di setiap kementerian/lembaga (K/L) untuk menjalankan setiap program dan kegiatan yang sudah dianggarkan guna memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Lima panduan tersebut merupakan sebuah tahapan yang sifatnya sistematis dan terpadu untuk menjadi dasar pelaksanaan PBK dengan baik. Berdasarkan ke tujuh indikator yang telah diuraikan secara singkat di atas, kami mengembangkan kuesioner sebagai alat yang mengukur persepsi pelaksana program pada masing-masing eselon 1 di enam K/L. Kuesioner terdiri atas 83 pertanyaan, diawali dengan
41
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
data personal responden hingga persepsi responden terhadap pernyataan yang kami tanyakan tentang kualitas penerapan PBK serta hubungannya dengan kinerja organisasi melalui indikator efisiensi, akuntabilitas, dan keefektifan.
Pada
dasarnya
restrukturisasi
program
berkaitan
erat
dengan prinsip “value for money�. Hal ini dikarenakan UU No. 17/2003 menganut peran kontekstual dan tanggung jawab antara Kementerian Negara Departemen/Non Departemen dan Kementerian Keuangan terpisah dengan delegasi kewenangan dan pencairan anggaran. Hubungan antara masing-masing Kementerian Negara dan Kementerian Keuangan didesain dapat diasosiasikan dengan hubungan antara Chief Operating Officer (COO) dan Chief Financial Officer (CFO) yang bertanggung jawab kepada seorang Chief Executive Officer (CEO) Republik Indonesia yaitu presiden. 21 Gambar 4 menjelaskan delegasi kewenangan menurut UU 17/2003. Gambar 4: Delegasi Kewenangan dalam Pelaksanaan Anggaran
42
Sumber: Menteri Keuangan (2002:28)
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini
Berdasarkan Gambar 4 di atas, terlihat jelas bahwa Pemerintah berusaha meningkatkan akuntabilitas selama proses pelaksanaan anggaran berlangsung. Akuntabilitas berawal dari pemisahan wewenang melaksanakan anggaran antara Menteri Keuangan selaku CFO Republik Indonesia dan para menteri lainnya (termasuk pimpinan Lembaga Negara Non Departemen) selaku COO Republik Indonesia, pada akhirnya CFO dan COO bertanggung jawab kepada presiden selaku CEO. Adapun pelaksanaan PBK di level nasional, sudah diupayakan juga mengenai perencanaan dan kerangka kerjanya sebagai berikut: 1) Pemerintah menargetkan tujuan dalam prioritas dalam periode tahunan yang dinyatakan dalam Perencanaan Pemerintah Tahunan. Hasil ini diharapkan sejalan dengan mandat konstitusional. 2) Berdasarkan tujuan tersebut, pemerintah menyusun aktivitas pada masing-masing kementerian negara didasarkan pada indikator kinerja dan output. Pemerintah menghitung jumlah anggaran yang disesuaikan dengan kesediaan anggaran negara. 3) Pemerintah mendelegasikan perannya kepada kementerian negara, eselon 1 dan eselon 2. Program kementerian negara diharapkan sejalan dengan tugas dan fungsinya. 4) Selain itu, pemerintah menyiapkan action plan untuk melaksanakan PBK di tingkat kementerian. Proses dimulai dari pengembangan perencanaan strategis pada masingmasing kementerian termasuk program, indikator kinerja untuk masing-masing program dan kegiatan. Dalam rangka penerapan PBK maka disusunlah kerangka implementasi
Penganggaran
Berbasis
diilustrasikan pada gambar 5 di bawah ini:
Kinerja
yang
dapat
43
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Gambar 5:22 Alur Kerangka Implementasi PBK
Sumber: Raihan (2010) dalam Prosiding Implementasi PBK pada Sektor Hukum, Peradilan dan HAM
Tiap K/L memiliki sasaran strategis sebagai ukuran kinerja kementerian. Eselon 1 selaku pengelola dan penanggung jawab program memiliki indikator kinerja utama berupa outcome atau hasil program. Sedangkan eselon 2, selaku pengelola dan penanggung jawab kegiatan, memiliki indikator kinerja kegiatan berupa output dan suboutput. Satuan kerja (satker) memiliki tanggung jawab dan pelaksanaan komponen, sub-komponen, akun, dan detail belanja. Berdasarkan hasil riset PPPI (2013) diketahui hingga akhir tahun 2012 telah mencapai beberapa pencapaian yang se足 layaknya diapresiasi, walaupun masih perlu terus disempurnakan dan diperbaiki. Beberapa pencapain yang kami catat antara lain: Kelengkapan Dasar Hukum dan Petunjuk Teknis.
Analisis oleh peneliti PPPI menunjukkan ada identifikasi kelengkapan dasar hukum dan petunjuk teknis untuk implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja. Perundangan yang mengatur Penganggaran Berbasis Kinerja yang telah disiapkan meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, surat edaran, hingga peraturan Menteri Keuangan. Dengan
44
demikian, secara legal formal payung hukum pelaksanaan
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini
telah tersedia secara memadai. Namun demikian, secara substansi perlu dikaji lebih lanjut tentang harmonisasi antarmasing-masing
peraturan
tersebut.
Berdasarkan
argumen Synnerstorm sebelumnya, di level UU kerap terjadi kontradiksi seperti UU 17/2003 dan UU 25/2004. Pada dokumen APBN tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012, kami menemukan adanya perubahan format dokumen. Pada dokumen APBN 2009 dan 2010, informasi kinerja berupa indikator kinerja dan output dari kegiatan instansi belum tersedia terutama pada K/L non pilot project. Pada dokumen APBN 2011 dan 2012 informasi kinerja tersebut telah tersedia untuk semua K/L. Selanjutnya bila dilakukan perbandingan dokumen APBN tahun 2009- 2010 dan dokumen APBN tahun 2011-2012 dapat disajikan pada tabel sebagai berikut. Tabel 3: Perbandingan Format RKA-KL Deskripsi
RKA-KL 2009 & 2010 (Pra SEB)
RKA-KL 2011 & 2012 (Pasca SEB)
Format
Line Budget
Performance-Based Budget
Framework
Organisasi
Target, Indikator Kinerja, Output Informasi pengeluaran berdasarkan input/sumber daya
Informasi
Informasi pengeluaran berdasarkan input/ sumber daya
Jangka Waktu
Tersedia hanya satu tahun
Informasi Kinerja Tersedia: - Output - Volume - Indikator Jangka waktu tiga tahun
Sumber: Telaah Peneliti PPPI (2013)
45
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Simpulan Bab 2 Proses Reformasi yang masih terus bergulir sampai saat ini dari tahun 1998, telah membawa dampak perubahan positif dalam pelaksanaan birokrasi Indonesia. Perubahan positif tersebut tidak hanya dilihat dari pelaksanaan proses demokratisasi di bidang politik, tapi juga dalam tata kelola anggaran negara. Bahkan, terjadi perubahan yang signifikan dalam hal tata kelola anggaran negara. Bila tata kelola anggaran negara yang selama periode Orde Baru hanya berorientasi pada proses dan jumlah nominal alokasi, maka sekarang anggaran mulai diarahkan pada pencapaian dan manajemen hasil dan keluaran. Perubahan ini terjadi melalui kehadiran Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. UU tersebut mengamanatkan pelaksanaan, penerapan PBK , Penganggaran terpadu, dan KPJM. Tidak hanya sampai di situ, banyak pencapaian dalam bentuk produk hukum berupa Peraturan Pemerintah, Perundang-undangan di bawahnya, serta Surat Edaran Bersama. Dalam rangka mengejar ketertinggalan dalam penyusunan anggaran dari negara maju yang telah terlebih dahulu menerapkan PBK, berdasarkan undang-undang yang telah ada Pemerintah menyusun desain kerangka implementasi penyusunan anggaran. Dalam penyusunan tersebut melibatkan K/L, Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menetapkan dan mengesahkan dokumen RAPBN menjadi UU APBN. Peningkatan peran DPR yang terkait anggaran dalam hal pembahasan dan pengesahaan APBN juga dapat dipandang sebagai perubahan terpenting dari masa sebelumnya. Bila dahulu DPR hanya sebagai rubber stamp Pemerintah, maka kini bandul kuasa anggaran berada di tangan anggota DPR. Pada bab 4 akan
46
dibahas praktik Politik Pembahasan dan Pengesahan APBN.
Memahami Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Masa Kini
Walau sudah terdapat kerangka hukum dan kerangka implementasi yang cukup jelas mengenai penyusunan dan penerapan, namun masih terdapat beberapa permasalahan mengenai keterkaitan
antara
kebijakan,
perencanaan dan
penganggaran, serta rendahnya kinerja dikarenakan lemahnya kontrol terhadap keluaran (output) dan hasil (outcome). Selain itu, mekanisme pelaksanaan check and balances terhadap dokumen anggaran Pemerintah oleh DPR dirasa masih kurang, hal ini terlihat dari pengajuan dokemen RKA-K/L yang dilakukan pada bulan Agustus setiap tahunnya untuk kemudian dibahas di Parlemen adalah keterbatasan waktu pembahasan.
47
"
Walau sudah terdapat kerangka hukum dan kerangka implementasi yang cukup jelas mengenai penyusunan dan penerapan, namun masih terdapat beberapa permasalahan mengenai keterkaitan antara kebijakan, perencanaan dan penganggaran, serta rendahnya kinerja dikarenakan lemahnya kontrol terhadap keluaran (output) dan hasil (outcome). Selain itu, mekanisme pelaksanaan check and balances terhadap dokumen anggaran Pemerintah oleh DPR dirasa masih kurang,
"
Bab 3
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen Jalan masih teramat jauh, mustahil berlabuh bila dayung tak terkayuh. — Iwan Fals, Maaf Cintaku
Performance-Based Budgeting reforms introduce rules and norms that make it culturally appropriate for or induce public representatives and managers to concentrate on outputs and outcomes rather that input and procedures. — Matthew Andrews, Performance-Based Budgeting Reform, 2003
Tidak
mudah
untuk
mengenalkan
konsepsi
baru
pada
sekelompok orang yang sudah sangat terbiasa dengan konsepsi lama, walaupun upaya untuk itu bukan sesuatu yang mustahil. Inilah yang mendasari kemunculan dua kutipan di atas. Perubahan menuju konsepsi baru yang lebih baik tidak mungkin bisa berjalan tanpa kemauan dari pelakunya untuk bergerak dan melaksanakan konsepsi baru tersebut. Kesulitan itu juga terjadi dalam reformasi penganggaran. Andrews dengan gamblang menjelaskan reformasi Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK), pada hakekatnya, mengenalkan aturanaturan maupun norma-norma yang menjadikannya secara kultur
49
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
diterima untuk mendorong keterwakilan publik dan memunculkan akuntabilitas dan responsibilitas. Lebih dari keterwakilan publik itu, PBK juga ditujukan kepada para pelaksana program (managers) untuk fokus kepada hasil (outcome) dan keluaran (output) daripada masukan (input) serta prosedur-prosedur. Oleh karenanya, performance-based budgeting selalu seirama dengan apa yang dikenal dengan managing-for-result (manajemen hasil). Pada Bab 3 akan diulas secara sistematis dan runut perkembangan konsep serta operasional dari PBK.
Tentang Penganggaran Berbasis Kinerja Semua kegiatan yang dilakukan pemerintah berhubungan dengan transaksi-transaksi anggaran merupakan bagian dari kegiatan perencanaan dan pengawasan. Menurut Welsech (1981) anggaran adalah “Perencanaan dan pengendalian laba yang secara luas merupakan pendekatan yang bersifat sistematis dan formal dalam melaksanakan perencanaan, koordinasi dan pengawasan terhadap tanggung jawab manajemen.� Sedangkan Shim & Siegel (2001) memberikan pendapat lain bahwa anggaran harus terorganisasi dengan rapi, jelas, dan komprehensif. Angka-angka yang muncul dalam anggaran harus berada pada batas-batas tertentu berdasarkan hasil yang diperoleh sebelumnya, kecenderungan yang ada, persaingan, perekonomian, tingkat pertumbuhan yang diinginkan, prospek, dan kendala peralatan atau tenaga kerja. Harus terdapat juga integrasi antara persiapan anggaran, pengkajian, dan persetujuan. Proses penganggaran harus terbuka, tidak emosional, dan tidak dicampuri tekanan politis. Angka-angka
50
yang termuat dalam anggaran tidak boleh terlalu ketat, namun
"
Perubahan menuju konsepsi baru yang lebih baik tidak mungkin bisa berjalan tanpa kemauan dari pelakunya untuk bergerak dan melaksanakan konsepsi baru tersebut.
"
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
tidak juga terlalu longgar. Anggaran haruslah realistis, dapat dicapai, dan terdokumentasi dengan baik. Sementara Bastian (2006) menuturkan bahwa “Anggaran dapat diinterpretasikan sebagai paket pernyataan perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam satu atau beberapa periode yang akan datang.� Sedangkan Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa “Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran.�23 Penganggaran pemerintah merupakan pekerjaan yang berhubungan
dengan
tugas
keuangan
publik
sehingga
penerapan pendekatan Anggaran Berbasis Kinerja dimaksudkan untuk memberikan solusi pada sistem anggaran tradisional. Di Amerika Serikat, misalnya, Kongres meloloskan Undang-undang Chief Financial Officer pada tahun 1983 yang meletakkan dasar untuk kekuatan legislatif melakukan reformasi PBK. 24 Pengalaman Pemerintah Federal AS dalam menggunakan informasi kinerja untuk mengalokasikan sumber daya keuangan yang ada tidak cukup berhasil beberapa dekade lalu, sehingga hal ini menginisiasi perbaikan evaluasi kinerja. Inisiasi ini didorong oleh Komisi Hoover Pertama melalui Planning Programming Budgeting System, Zero Base Budgeting, dan Management by Objectives.25 Referensi utamanya berasal dari evolusi praktik dan reformasi anggaran dapat ditelusuri pada tahun 1966 ketika Allen Schick, Profesor dari Universitas Maryland menulis buku yang berjudul The Road to Programming Planning Budgeting System: The Stages of Budget Reform. Pada tahun 1960-1980, perkembangan pengeluaran publik di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) membutuhkan
52
alat yang lebih optimal untuk melakukan kontrol pengeluaran dan
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
bukan hanya sekadar anggaran program perencanaan. Sesudah periode tersebut, pengukuran PBK mengalami perkembangan. Sejak 1980, konsepsi performance-based budgeting sudah banyak diadopsi oleh banyak negara untuk meningkatkan aspek keefektifan dan akuntabilitas program pemerintah. Pada tahun 1990-an, antusiasme penerapan PBK mulai semakin tinggi di banyak negara maju. 26 Inisiasi penggunaan PBK telah menjadi bagian penting untuk reformasi pengelolaan sektor publik agar dikelola dengan lebih baik dan optimal. Anggaran kinerja sedapat mungkin bisa digunakan untuk menilai kinerja kelembagaan pada sektor publik, khususnya sektor anggaran dan manajemen keuangan yang tidak hanya ditujukan untuk perbaikan kinerja keuangan namun juga keberlanjutan fiskal dalam jangka panjang. Prawirosentono
(1992:2)
dalam
Widodo
(2001:206)
mengatakan kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. Berdasarkan PP No. 8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah menyatakan bahwa kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur. Osborn dan Gaebler (1993) dalam Bastian (2006:173) mengemukakan The Power of Performance Measurement yang disajikan dalam tabel 4 di bawah. Dengan demikian, ukuran kinerja dalam anggaran memberikan dorongan kepada para pelaksana anggaran untuk dapat mencapai hasil yang maksimal sesuai ukuran kinerja yang ditetapkan. Kegagalan dalam pencapaian kinerja menjadi satu ukuran untuk melakukan perbaikan pada
53
"
Kinerja instansi pemerintah adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur.
"
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
masa yang akan datang. Sementara keberhasilan atas kinerja membutuhkan suatu penghargaan untuk dapat meningkatkan produktivitas serta untuk mendapatkan dukungan publik terhadap pemerintah. Tabel 4: The Power of Performance Measurement menurut Osborn dan Gaebler (1993) What Gets Measured Gets Done:
Pada dasarnya mereka mengatakan bahwa orang atau pegawai akan merespons tindakan yang positif segera setelah ditetapkannya ukuran-ukuran kinerja.
If You Don’t Measure Result, You Can’t Tell
Jika kita tidak mengukur hasil, maka kita tidak dapat membedakan mana organisasi yang berhasil dan mana yang gagal. Akhirnya, sering kali pengambilan keputusan dapat salah.
If You Can’t See Success, You Can’t Reward It.Success from Failure
Pemberian penghargaan terhadap yang berhasil merupakan hal penting dalam memacu pencapaian tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Karenanya penting untuk dapat mengidentifikasi keberhasilan.
If You Can’t Reward Success, You’re Probably Rewarding Failure
Sekali lagi ditekankan di sini bahwa jika kita tidak dapat mengidentifikasi keberhasilan, kemungkinan kita dapat salah mengambil keputusan, yaitu memberi insentif pada pihak yang mengalami kegagalan.
If You Can’t See Success, You Can’t Learn from It.
Ukuran kinerja juga sangat diperlukan agar kita dapat belajar dari keberhasilan-keberhasilan yang ada.
If You Can’t Recognize Ketidakberhasilan dapat dihindari atau diperbaiki dimasa yang akan datang jika kita Failure, You Can’t mempunyai informasi tentangnya. Correct It. If You Can Demonstrate Result, You Can Win Public Support
Pada akhirnya, jika kita mampu mendemonstrasikan hasil, apalagi hasil yang baik, niscaya kita bisa mendapatkan dukungan publik
55
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Berdasarkan pengertian anggaran berbasis kinerja menurut Bastian, komponen-komponen visi, misi, dan rencana strategis ialah bagian yang tidak terpisahkan dari anggaran berbasis kinerja. Dengan demikian penyusunan anggaran berbasis kinerja membutuhkan suatu sistem administrasi publik yang telah ditata dengan baik, konsisten, dan terstruktur sehingga kinerja anggaran dapat dicapai berdasarkan ukuran-ukuran yang telah ditetapkan. Melalui pengukuran kinerja, manajemen dapat menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu unit organisasi dalam pencapaian sasaran dan tujuan untuk selanjutnya memberikan penghargaan untuk keberhasilan atau hukuman untuk kegagalan. Untuk dapat mengimplementasikan anggaran berbasis kinerja secara utuh, terlebih dahulu harus diketahui langkahlangkah dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja. Menurut Ikhsan, dkk (2006:9.21) langkah-langkah pokok dalam penerapan performance budgeting adalah: 1.
Pengembangan suatu struktur program atau aktivitas untuk masing-masing badan atau lembaga;
2.
Memodifikasi sistem akuntansi sehingga biaya untuk masingmasing program dapat ditetapkan;
3.
Mengidentifikasi ukuran kinerja pada tingkat aktivitas atau pelaksana;
4.
Menghubungkan biaya dengan ukuran kinerja sehingga target biaya dan kinerja dapat ditetapkan;
5.
Membangun sistem monitoring sehingga penyimpangan (variance) antara target dengan kenyataan sebenarnya dapat diketahui. Langkah-langkah tersebut mengandung dua aspek penting,
yakni pemrograman (programming) dan pengukuran kinerja (measuring performance). Program merupakan level klasifikasi
56
pekerjaan tertinggi yang dilakukan oleh suatu badan dalam melaksanakan tanggungjawabnya. Program digunakan untuk
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
menetapkan porsi pekerjaan yang harus dihasilkan untuk mencapai produk akhir dengan baik. Sedangkan aktivitas merupakan bagian dari total pekerjaan dalam suatu program. Aktivitas merupakan sekelompok operasi pekerjaan atau tugas yang pada umumnya dilaksanakan oleh unit administratif terendah dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan dan sasaran program organisasi. Selain itu, perlu dimengerti bahwa penerapan PBK menyaratkan adanya partisipasi dari masyarakat yang aktif. Partisipasi aktif ini bermakna adanya keterlibatan masyarakat dalam merumuskan perencanaan anggaran agar bisa menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Seluruh komponen masyarakat aktif terlibat dalam perkembangan dan pelaksanaan kebijakan publik. Selain itu, pemerintah dianggap sebagai aktor utama dalam memberikan pelayanan kepada publik meskipun belum optimal dalam implementasinya. Keberadaan perkembangan teknologi informasi juga telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengetahui proses publik.27 Alasan untuk melaksanakan PBK juga menjadi orientasi untuk memenuhi kebutuhan warga negara dengan baik. Pemerintah telah memerhatikan masukan warga negara dalam penyusunan kebijakan termasuk dalam PBK. Hal ini dikaitkan dengan tuntutan pelaksanaan PBK sebagai cara memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai berikut: 28 1.
Peran utama Pemerintah adalah membantu warga negara dalam mengartikulasi dan memenuhi kepentingannya.
2.
Pengelola publik harus menciptakan suatu mekanisme untuk memerhatikan tuntutan kebutuhan masyarakat sebagai pemenuhan kepentingan bersama.
3.
Kebijakan dan program diharapkan dapat memenuhi kebutuhan publik dan dikelola secara efektif dan bertanggungjawab melalui proses kolaboratif.
57
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
4.
Kepentingan publik merupakan hasil dialog dan komunikasi untuk berbagi kepentingan bersama bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu.
5.
Pengelola publik harus memberikan perhatian lebih pada kepentingan masyarakat, memberi respons pada nilai komunitas, nilai politik, norma, dan nilai profesional.
6.
Organisasi publik dan jaringan pemerintah lainnya akan menunjukkan kinerja yang sukses apabila mereka bersatu melalui proses kolaborasi dan memiliki kepemimpinan bersama berdasarkan prinsip saling menghormati satu sama lain. Anggaran berbasis kinerja juga telah lebih dahulu dikenal
dalam pengelolaan keuangan daerah sejak diterbitkannya PP No. 105/2000 yang dalam pasal 8 dinyatakan bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja. Penerapan anggaran berbasis kinerja pada instansi pemerintah di Indonesia dicanangkan melalui pemberlakuan Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan diterapkan secara bertahap mulai tahun anggaran 2005. Mardiasmo maupun Bastian menyatakan bahwa anggaran memiliki batas waktu. Hal ini untuk memudahkan para pihak yang berkompeten dalam penyusunan anggaran dalam melakukan estimasi yang akurat serta mengevaluasi pelaksanaan anggaran. Dalam Mardiasmo (2002:106) World Bank (1998) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip pokok dalam penganggaran dan manajemen keuangan daerah antara lain sebagai berikut: 1.
Komprehensif dan disiplin. Anggaran daerah adalah satusatunya mekanisme yang akan menjamin terciptanya disiplin pengambilan keputusan. Karenanya, anggaran daerah harus disusun secara komprehensif, yaitu menggunakan pendekatan yang menyeluruh dalam diagnosa permasalahan yang dihadapi, analisis keterkaitan antarmasalah yang mungkin
58
muncul, evaluasi kapasitas kelembagaan yang dipunyai, dan mencari cara-cara terbaik untuk memecahkannya.
"
Prinsip-prinsip pokok penganggaran dan manajemen keuangan: (1) Komprehensif dan disiplin, (2) Fleksibilitas, (3) Terprediksi, (4) Kejujuran, (5) Informasi, dan (6) Transparansi dan akuntabilitas.
"
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
2.
Fleksibilitas. Sampai tingkat tertentu, pemerintah daerah harus diberi keleluasaan yang memadai sesuai dengan ketersediaan informasi-informasi relevan yang dimilikinya.
3.
Terprediksi. Kebijakan yang terprediksi adalah faktor penting dalam peningkatan kualitas implementasi anggaran daerah. Sebaliknya, bila kebijakan sering berubah-ubah, seperti metode pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU) yang tidak jelas misalnya, maka daerah akan menghadapi ketidakpastian (uncertainty) yang sangat besar hingga prinsip efisiensi dan efektivitas pelaksanaan suatu program yang didanai oleh anggaran daerah cenderung terabaikan.
4.
Kejujuran. Tidak hanya menyangkut moral dan etika manusianya tetapi juga menyangkut keberadaan bias proyeksi penerimaan dan pengeluaran. Sumber bias yang memunculkan ketidakjujuran ini dapat berasal dari aspek teknis dan politis.
5.
Informasi. Informasi adalah basis kejujuran dan proses pengambilan keputusan yang baik.
6.
Transparansi dan akuntabilitas. Transparansi mensyaratkan bahwa perumusan kebijakan memiliki pengetahuan tentang permasalahan dan informasi yang relevan sebelum kebijakan dijalankan. Selanjutnya, akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambilan keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Performance budgeting menurut Mardiasmo (2002:105) pada
dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, secara otomatis berorientasi pada kepentingan publik. Selanjutnya Mardiasmo (2002:132) menyatakan pengertian
60
efisiensi
berhubungan
erat
dengan
konsep
produktivitas.
Pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan per-
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
bandingan antara output yang dihasilkan terhadap input yang digunakan (cost of output). Proses
kegiatan
operasional
dapat
dikatakan
efisien
apabila suatu produk atau hasil kerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendahrendahnya (spending well). Pengertian efektivitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kebijakan (hasil guna). Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan (spending wisely). Proses penyusunan anggaran daerah terlebih dahulu mengakomodir dan menyeleksi kebutuhan masyarakat yang akan dipenuhi dalam jangka waktu tertentu sehingga angkaangka yang tercantum dalam anggaran sebanding dengan pemenuhuhan atas kebutuhan masyarakat tersebut. Anggaran berbasis kinerja menghendaki terciptanya program dan kegiatan yang baru (inovasi) dan strategi untuk menyiasati keterbatasan sumber daya. Pendapat lain menyatakan performance budgeting adalah suatu struktur anggaran yang terfokus pada aktivias atau fungsi penciptaan suatu produk atau hasil dan darimana sumber daya yang digunakannya. Selain itu, performance budgeting juga menunjukkan proses penganggaran yang berupaya mengaitkan antara tujuan organisasi dengan penggunaan sumber dayanya. Dalam hal ini prinsip anggaran terfokus pada peningkatan efisiensi dengan cara pengklasifikasian aktivitas dan pengukuran biaya (Ikhsan, 2006) Dalam penjelasan PP No. 58/2005 dinyatakan bahwa anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Berdasarkan
61
"
Setiap input yang ditetapkan dalam anggaran harus dapat diukur hasilnya. Adapun pengukuran hasil bukan pada besarnya dana yang telah dihabiskan tetapi berdasarkan tolok ukur kinerja yang telah ditetapkan.
"
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
pengertian tersebut, setiap input yang ditetapkan dalam anggaran harus dapat diukur hasilnya. Adapun pengukuran hasil bukan pada besarnya dana yang telah dihabiskan sebagaimana yang dilaksanakan pada sistem penganggaran tradisional (line-item & incremental budget) tetapi berdasarkan pada tolok ukur kinerja yang telah ditetapkan. Menurut Permendagri Nomor 13 tahun 2006 pengertian anggaran berbasis kinerja adalah: 1.
Suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.
2.
Didasarkan pada tujuan dan sasaran kinerja. Anggaran dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan.
3.
Penilaian kinerja didasarkan pada pelaksanaan value for money dan efektivitas anggaran.
4.
Anggaran kinerja merupakan sistem yang mencakup kegiatan penyusunan program dan tolok ukur (indikator) kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan sasaran program. Menurut Bastian (2006:171) anggaran yang berorientasi
pada kinerja adalah sistem penganggaran yang berorientasi pada ‘output’ organisasi dan berkaitan sangat erat dengan visi, misi dan rencana strategis organisasi. ‘Performance budgeting’ mengalokasikan sumber daya pada program, bukan pada unit organisasi semata dan memakai ‘output measurement’ sebagai indikator kinerja organisasi. Berdasarkan Undang-undang No. 17/2003, maka penyusunan APBD dilakukan dengan mengintegrasikan program dan kegiatan masing-masing satuan kerja di lingkungan pemerintah daerah untuk mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian tercipta sinergi dan rasionalitas yang tinggi dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas. Hal tersebut juga
63
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
untuk menghindari duplikasi rencana kerja serta bertujuan untuk meminimalisasi kesenjangan antara target dengan hasil yang dicapai berdasarkan tolok ukur kinerja yang telah ditetapkan.
PBK Secara Konseptual Penganggaran berbasis kinerja tersebut dalam pelaksanaan足 nya terdapat tiga konsep utama yang harus diketahui yaitu: (1) disiplin fiskal agregat, (2) efisiensi alokasi, dan (3) perkiraan maju (Schick, 1999). Berikut uraian ringkas terkait ketiga konsep tersebut.
1. Disiplin Fiskal Agregat Konsep disiplin fiskal agregat (aggregate fiscal discipline) diterapkan untuk mewujudkan anggaran yang sehat dan berkesinambungan. Prinsip ini merupakan panduan dalam melakukan penganggaran, terutama dalam menentukan besaran pengeluaran pemerintah. Penerapan konsep disiplin fiskal agregat terkait dengan tahapan penyusunan kerangka ekonomi makro yang berkesinambungan dan sehat terhadap anggaran negara jangka menengah. Kerangka makro ini harus dapat memadukan proyeksi yang bersifat politis yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dan proyeksi yang mempertimbangkan kesinambungan fiskal. Penetapan konsep disiplin fiskal agregat memerlukan penataan institusi yang menitikberatkan pada peran lembaga pusat. Kerjasama dan dan komitmen yang baik antarlembaga menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan konsep ini. Penerapan konsep ini juga harus dapat dipisahkan dari tekanan-tekanan sektoral atau politis. Jika tidak bisa lepas dari
64
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
tekanan-tekanan tersebut maka anggaran negara cenderung akan bersifat akomodatif (Bappenas, 2011). Dalam
penerapan
konsep
aggregate fiscal discipline
diperlukan seting institusi yang menitikberatkan pada peran central agencies. Central agencies berperan dalam menentukan sasaran fiskal. Central agencies harus dapat menyediakan perkiraan pagu total pengeluaran (resources envelope agregat) sehingga disiplin fiskal dapat direncanakan dengan baik melalui pertimbangan yang netral, menyeluruh, dan lintas sektoral. Schick menyebutkan bahwa aturan main untuk memastikan adanya kontrol terhadap pengeluaran fiskal agregat sebaiknya ditetapkan melalui proses pengambilan keputusan yang tersentralisasi atau topdown, dan harus dipatuhi oleh kementerian dan lembaga pemerintahan lainnya. Central agencies berwenang untuk menentukan besaran yang bersifat agregat. Detail pengeluaran dan penggunaan akan dilimpahkan kepada pengguna anggaran maupun ke dalam unitunit lainnya yang bersifat operasional. Untuk itu kerjasama dan komitmen yang baik antarlembaga merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan konsep ini. Konsep ini sebaiknya juga dapat disusun secara independen dari tekanan-tekanan sektoral maupun politis.
2. Efisiensi Alokasi Konsep efisiensi alokasi (allocation efficiency) mengacu pada kapasitas pemerintah untuk mendistribusikan sumber daya yang ada pada program atau kegiatan yang lebih efektif dalam mencapai sasaran pembangunan nasional (strategic objective). Dalam pelaksanaannya, pemerintah dituntut melakukan prioritas terhadap anggaran guna mencapai sasaran pembangunan yang diwujudkan dengan mempertegas keterkaitan yang erat antara prioritas, program, dan kegiatan pokok dengan kegiatan-kegiatan
65
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
prioritas yang jelas dan terukur serta dilengkapi perhitungan biaya yang jelas sehingga dapat lebih mencerminkan pemecahan masalah
terhadap
sasaran
pembangunan
nasional
yang
ditetapkan.
3. Perkiraan Maju Perkiraan maju (forward estimates) yang memperhitungkan konsekuensi putusan terhadap anggaran pada tahun berikutnya dalam bentuk rolling plan. Penerapan perkiraan maju dalam perspektif jangka menengah menciptakan kepastian pendanaan bagi kementerian/lembaga. Kepastian tersebut memberikan kesempatan pada kementerian/lembaga dalam merencanakan pengeluaran-pengeluaran pada tahun-tahun berikutnya secara efisien sesuai dengan prinsip efisiensi alokasi. Anggaran terpadu memperlihatkan keterpaduan (konsolidasi) antara anggaran operasional dan anggaran investasi. Hal ini akan memberikan gambaran pelaksanaan efisiensi alokasi oleh satuan kerja/unit organisasi tertentu. Anggaran
berbasis
kinerja
dengan
prasyarat
berupa
fleksibilitas pada pengguna anggaran serta berfokus terhadap hasil (outcomes). Anggaran berbasis kinerja mengandung pengertian bahwa: (1) penganggaran berbasis kinerja menekankan pada pencapaian hasil dan keluaran dari program/kegiatan dengan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari penggunaan; dan (2) anggaran berbasis kinerja dalam konsep efisiensi alokasi mengarah pada peningkatan efektivitas pengeluaran melalui alokasi sumber daya pada prioritas tertinggi agar hasil diharapkan dapat tercapai. Menurut laporan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, sejak tahun 2005 hingga saat ini pemerintah secara bertahap melakukan penyempurnaan Sistem Penganggaran
66
dalam kerangka penerapan PBK dan KPJM untuk meningkatkan
"
Empat prinsip utama dalam kerangka logis PBK: (1) Money follows function and function follows structure, (2) Let the manager manage, (3) Accountability, dan (4) The link between top-down planning & bottom-up implementation.
"
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
kualitas pengalokasi anggaran dan kualitas laporan keuangan. Namun demikian hingga saat ini pelaksanaannya belum sesuai harapan.29 Pada 18 Februari 2012 bertempat di Kantor Pusat Ditjen Pajak
diselenggarakan
Rapat
Pimpinan
Kinerja
(Rapimja)
Kementerian Keuangan. Pada acara tersebut setiap pimpinan unit eselon I memaparkan capaian kinerja tahun 2011, isu-isu strategis, dan beberapa hal yang membutuhkan dukungan dari Sekretaris Jenderal atau Menteri Keuangan. Pada evaluasinya, Menteri Keuangan memberi catatan tentang Performance Based Budgeting yang menurutnya belum terlihat implementasinya atau masih bersifat slogan. 30 Tahun anggaran 2011 merupakan momentum penerapan KPJM secara penuh. Peraturan Menteri Keuangan No. 104/ PMK.02/2010 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-K/L
Tahun
Anggaran
2011
menjelaskan
mekanisme
penyusunan anggaran dalam rangka penerapan KPJM. Seluruh K/L telah menerapkan pendekatan KPJM pada tahun 2011 melalui pengisian angka prakiraan maju untuk dua tahun setelah alokasi anggaran tahun 2011 (2012 dan 2013). Pengisian angka prakiraan maju tersebut difasilitasi oleh program aplikasi RKA-K/L, sehingga hal tersebut memudahkan bagi K/L untuk mengimplementasikannya. Dalam proses penyusunan KPJM tersebut juga telah diingatkan bahwa angka prakiraan maju yang nantinya ditetapkan merupakan angka alokasi anggaran yang sifatnya mengikat untuk ditetapkan sebagai alokasi angka dasar pada tahun 2012 yang direncanakan. 31 PBK mengikuti kerangka logis dengan empat prinsip utama sebagai berikut (Departemen Keuangan Republik Indonesia & Bappenas, 2009; Sancoko et al, 2008). 1.
68
Prinsip pertama: Money Follows Function, Function Follow Structure. Ini berarti bahwa anggaran dialokasikan untuk
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
mendanai aktivitas yang didasarkan pada kewajiban dan fungsi dari unit kerja. 2.
Prinsip kedua: Let the Manager Manage. Ini berarti bahwa manajer unit kerja diharapkan memiliki fleksibilitas pada metode pelaksanaan supaya mencapai output dan outcome yang ditentukan pada unit kerja dan aktivitas.
3.
Prinsip ketiga: Accountability. Akuntabilitas merupakan aspek yang dimiliki unit kerja untuk bertanggung jawab pencapaian output dan pencapaian efisiensi dan keefektifan indikator.
4.
Prinsip keempat: The Link between Top-Down Planning & Bottom-Up Implementation. Ini berarti bahwa kebijakan dan perencanaan tujuan dicapai melalui delegasi otonomi aktivitas pada unit kerja. Definisi konseptual PBK juga dikemukakan oleh beberapa
lembaga yang berhubungan dengan anggaran dan sektor publik. Menurut International Monetary Fund (IMF), PBK merupakan prosedur atau mekanisme yang ditujukan untuk menguatkan antara pendanaan yang ditujukan untuk entitas sektor publik dan outcome atau output melalui penggunaan informasi kinerja formal dalam pembuatan keputusan alokasi sumber daya. Sedangkan OECD juga mendefinisi PBK sebagai bentuk anggaran yang mengaitkan alokasi pendanaan dengan hasil yang mampu diukur. US General Accounting Office mendefinisi PBK sebagai konsep yang mengaitkan informasi kinerja dengan anggaran (International Monetary Fund, 2005). PBK sebagai alat manajemen yang digunakan untuk mengalokasikan sumber daya sesuai dengan tingkat kinerja untuk target pelayanan yang sudah ditentukan sebelumnya. Tidak seperti pendekatan anggaran berbasis lini yang tradisional, PBK memfokuskan pada outcome, bukan pada input anggaran. Pendekatan baru ini membantu mendefinisi standar ukuran mengenai efisiensi dan keefektifan lebih baik, sekaligus ukuran
69
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
akuntabilitas. Ketiga ukuran tersebut yaitu efisiensi, keefektifan, dan akuntabilitas merupakan elemen penting dalam politik anggaran (Lewis & Hildreth, 2010).
PBK Secara Operasional Teori terpenting untuk menjelaskan operasional Penganggaran
Berbasis
Kinerja
adalah
dengan
menggunakan
Production Model of Performance sebagai tolok ukur operasional 32
(Van Dooren, Bouckaert, Halligan, 2010). Tolok ukur ini mengikuti skema logika produksi. Gambar di bawah merupakan Production Model of Performance yang menggambarkan skema input, proses atau aktivitas, dan output. Para pembuat keputusan diharapkan menampung aspirasi masyarakat dengan baik dan mempertimbangkan kondisi ekonomi yang sedang terjadi (1). Dengan demikian, aspek eksternal ini menjadi pertimbangan bagi para pembuat keputusan untuk merumuskan hal tersebut sebagai kebutuhan yang harus diperhatikan dan diupayakan untuk terpenuhi (2). Pemerintah seharusnya merumuskan kebutuhan masyarakat sebagai agenda penting dengan mempertimbangkan semua masukan dari pemangku kepentingan termasuk masyarakat sipil, kelompok-kelompok tertentu, dan bahkan media untuk menentukan sejumlah prioritas dan tujuan (3). Dalam merumuskan tujuan, proses ini tentunya akan membutuhkan pertimbangan yang bersifat tarik ulur kepentingan, sehingga menguatkan tujuan tersebut dapat memenuhi kebutuhan yang relevan (7). Dalam logika model produksi ini, juga dibutuhkan input yang berupa sumber daya baik manusia dan finansial (4) yang pada akhirnya dialokasikan dalam program dan aktivitas (5). Aktivitas
70
dijalankan untuk menjalankan program-program yang sudah
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
ditentukan dan menghasilkan output (6). Output ini merupakan rasio input terhadap output (9). Pada sektor publik, penentuan tingkat efisiensi tidak berkaitan dengan maksimalisasi profit namun memaksimalkan pemenuhan kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. Pencapaian efisiensi pada sektor publik lebih sulit dan cenderung mendapatkan hasil yang tidak memuaskan. Artinya, tidak semua lapisan masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan dengan optimal. Jalur terakhir dalam logika produksi ini adalah outcome (14). Rasio antara output dan outcome merupakan bentuk pengukuran keefektifan. Gambar 6: The Production Model of Performance
Sumber: Van, Doreen, Bouckaert, G., and Halligan, J. 2010.Performance Management in the Public Sector. Routledge, New York.
Logika model produksi pada gambar di atas bisa digunakan untuk menganalisis elemen SEB tahun 2009 dengan mengaitkan pada kinerja, dalam hal ini efisiensi, keefektifan, dan akuntabilitas. Berdasarkan skema tersebut, aspek input, aktivitas, dan output
71
"
Pada Rapimja 2012, evaluasi Menteri Keuangan terhadap pelaksanaan Performance-Based Budgeting menyatakan belum terimplementasi dengan baik atau masih bersifat slogan.
"
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
bisa dijabarkan ke dalam masing-masing aspek Surat Edaran Bersama. Aspek input bisa dijelaskan dalam bentuk sosialisasi dan pelatihan. Sosialisasi dan pelatihan diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerapan PBK. Aspek kegiatan atau proses meliputi perencanaan strategis, program restrukturisasi, sistem pembiayaan, dan sistem evaluasi kinerja. Berkaitan dengan aspek output, implementasi format baru menjadi aspek output dalam Surat Edaran Bersama. Penerapan format baru diharapkan juga memberi implikasi pada pencapaian kinerja yang optimal. Kinerja optimal dalam hal ini diukur melalui efisiensi, keefektifan, dan akuntabilitas.
Boks 2: Cuplikan Hasil Survei Kualitas Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja pada Enam Kementerian/Lembaga Untuk kegiatan dengan biaya yang dianggarkan turun dari tahun sebelumnya, mampu menghasilkan kenaikan output.
73
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Unit kerja saya dapat berkoordinasi baik dengan unit kerja lainnya untuk menghindari adanya aktivitas ganda.
Survei PPPI (2013) menghasilkan temuan penting seperti disajikan pada gambar diatas. Temuan yang menarik untuk dibahas lebih lanjut agar dapat memberikan harapan positif terhadap penerapan PBK demi tercapainya tujuan awal PBK. Dari hasil survei diketahui bahwa setelah penerapan SEB sebagai petunjuk teknis PBK pada 2009, mayoritas responden tidak setuju dengan pernyataan “Dengan biaya dianggarkan turun dari tahun sebelumnya, mampu menghasilkan kenaikan output.� Selain itu, walaupun dalam rangkaian PBK pemerintah telah melakukan restrukturisasi program dan kegiatan pada tahun 2010, survei menemukan tanggapan dari K/L bahwa sekitar 38 persen responden masih mengalami kesulitan berkoordinasi dengan unit kerja lainnya untuk menghindari aktivitas ganda. Pemerintah tampaknya perlu terus melakukan monitoring dan evaluasi berkala setelah inistiatif Restrukturisasi Program dan Kegiatan. Banyak ahli keuangan publik menyakini bahwa informasi kinerja yang baik, terperinci, jelas, dan lengkap dalam PBK memudahkan bagi organisasi untuk melakukan sejumlah hal. Pertama, indikator kinerja
74
atau indikator pencapaian program yang lengkap memudahkan dilakukannya evaluasi mengenai kegiatan yang dilaksanakan.
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
Format baru
Review/Evaluasi
Unit kerja saya telah menggunakan hasil evaluasi sebagai umpan balik untuk perbaikan kinerja secara berkelanjutan.
Unit kerja saya melakukan evaluasi pencapaian outcome anggaran.
Unit kerja saya melakukan evaluasi pencapaian ouput anggaran.
Penyusunan indikator sudah mengadopsi indikator kinerja utama untuk kegiatan. Penyusunan indikator sudah mengadopsi indkator kinerja untuk program.
Penyusunan format RKA-KL terbaru sudah mencerminkan penganggaran berbasis kinerja.
Sistem Unit kerja saya menggunakan sistem Pembiayaan pembiayaan berbasis input sekarang ini.
Kategori Sampel
pilot 74,29% 85,71% 86,00% 42,86% 94,29% 70,00% 80,00% nonpilot 83,12% 94,81% 87,00% 76,62% 85,71% 77,00% 79,00% 8,83% 9,09% 1,00% 33,77% 8,57% 7,00% 1,00%
Kedua, indikator kinerja yang lengkap akan memudahkan semua staf untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pegawai dalam melaksanakan program atau kegiatan. Ketiga, adanya indikator yang jelas akan memudahkan untuk penyusunan pembiayaan dengan baik, karena memudahkan untuk alokasi anggaran dengan tepat. Keempat, indikator kinerja yang jelas menjadikan motivator untuk mencapai kinerja dengan baik bagi setiap pegawai yang terlibat karena akan terkait dengan mekanisme reward dan punishment yang akan diterima di masa yang akan datang. Kelima, penyusunan indikator kinerja akan memudahkan bagi organisasi untuk mempromosikan sekaligus mencanangkan program dan kegiatan untuk masyarakat, karena ada indikator yang sifatnya terukur.
75
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Adopsi format baru menjadi cerminan adanya perubahan signifikan yang terjadi pada RKA-KL format baru untuk tahun anggaran 2011 dan 2012, dan hasil transformasi dari format lama ke format baru RKA-KL yang telah dilaksanakan melalui informasi kinerja sebagai hasil restrukturisasi program/kegiatan diambil dan dijadikan referensi dalam program aplikasi format baru RKA-KL; informasi kinerja lainnya misalnya strategi pencapaian sasaran strategi dan pencapaian hasil yang harus diisi secara manual dalam format baru RKA-KL. Temuan utama studi Sitepu et al. (2013) memberikan sinyal positif bahwa PBK sudah mulai diterapkan dan mengarah pada usaha untuk mencapai kinerja K/L yang terus-menerus. Terlebih dengan adanya kekuatan untuk melakukan reformasi, K/L dituntut untuk lebih memfokuskan transparansi dan akuntabilitas terkait dengan pengelolaan anggaran negara bagi tercapainya distribusi kesejahteraan ekonomi nasional dengan baik. Selain itu, penguatan kinerja semakin dituntut karena adanya keterbukaan pada publik yang sekaligus mampu melakukan monitoring terhadap pelaksanaan program dan kegiatan di lingkungan K/L. Kewajiban masyarakat sebagai warga negara yang sudah membayar pajak kepada pemerintah perlu diimbangi dengan pemenuhan hak masyarakat. Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban akan menciptakan kepercayaan yang baik dari masyarakat.
Beberapa Pengalaman Negara Lain dalam Penerapan PBK Beberapa hasil penelitian terkait dampak implementasi penganggaran berbasis kinerja di berbagai negara menunjukkan
76
hasil yang beragam. Hasil implementasi penganggaran berbasis
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
kinerja umumnya tergantung pada komitmen pimpinan negara, keterlibatan legislatif, dukungan sistem manajemen, keterbukaan dan partisipasi publik, serta kemampuan manajerial aparatur birokrasi. Di tengah hasil implementasi yang beragam tersebut, umumnya, para peneliti menyebutkan bahwa investasi untuk pengembangan pengukuran dan informasi kinerja memberikan potensi peningkatan kualitas efisiensi alokasi dan produktivitasnya. Salah satu hasil penelitian yang perlu diperhatikan adalah hasil assessment penerapan PBK di Amerika Serikat, Taiwan, dan Cina (Lee dan Wang, 2009:S60). Lee dan Wang menemukan bahwa, walaupun secara prinsip utama dan tujuan sama, implementasi PBK berbeda di masing-masing negara tersebut dalam banyak hal. Perbedaan implementasi di masing-masing negara tersebut sebagai berikut: Tabel 5: Perbandingan Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Amerika, Taiwan dan Provinsi Guandong
Desain Tujuan Utama
Dorongan Perubahan Perundangan Lingkup Implementasi Komitmen Pimpinan Eksekutif Pendidikan dan Training Evaluasi
Amerika
Taiwan
Provinsi Guandong
Akuntabilitas kinerja, pengendalian pengeluaran Legislator dan administrator Ada Semua agensi
Efisiensi manajemen, pengendalian pengeluaran Administrator
Efisiensi manajemen dan keefektifan
Eksekutif/ administrator Ada Tidak Ada Semua agensi Sebagian agensi
Kuat
Kuat
Moderat
Kuat Sejak 1993
Kuat Sejak 2001
Moderat Sejak 2003
77
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Hasil Kinerja Dikaitkan dengan Keputusan Pendanaan Hasil Kinerja Dikaitkan dengan Perbaikan Manajemen dan Pelayaan
Secara Secara Kuat Moderat Terkait Terkait
Secara Moderat Terkait
Secara Kuat Terkait
Secara Kuat Terkait
Secara Kuat Terkait
Sumber: Lee dan Wang (2009)
Hasil penelitian Lee dan Wang (2009) menemukan bahwa PBK berhasil memengaruhi perilaku pengeluaran (spending behavior)
masing-masing
pengelola
program.
Di
Amerika
Serikat, PBK telah menjadi alat yang esensial dalam administrasi pemerintahan. Hingga saat penelitian dilakukan di tahun 2009, data yang diolah Lee dan Wang menunjukkan penerapan PBK belum mampu memangkas pertumbuhan anggaran pengeluaran pemerintah. Walaupun demikian, PBK memungkinkan pemerintah federal membuat keputusan yang lebih hati-hati. Dari penelitian lainnya, upaya manajemen kinerja di Amerika Serikat mulai menunjukkan hasil penting. Pada tahun 2010, di masa administrasi Presiden Barrack Obama, reformasi manajemen kinerja berhasil menghemat USD17 miliar dari program yang tidak bagus maupun yang gagal. Di tahun 2011, jumlah penghematan tersebut meningkat hingga USD23 miliar (Joyce, 2011). Di Taiwan, penerapan PBK telah mencapai tujuannya. Hasil penelitian Lee dan Wang menunjukkan adanya korelasi terbalik antara penerapan PBK dengan tingkat pertumbuhan anggaran pengeluaran. PBK menempatkan batasan yang ketat pada pengeluaran pemerintah. Di samping itu, PBK memberikan insentif pada upaya pembatasan pengeluaran. Di Guandong, PBK diterapkan sebagai bentuk pilot project di beberapa institusi. Hasil penelitian Lee dan Wang menunjukkan bahwa tidak ada dampak
78
P
n a pe
"
Pelajaran terpenting dari penerapan PBK di negara lain adalah perubahan menuju penganggaran kinerja memang merupakan proses yang kompleks karena berkaitan dengan perubahan yang mendasar dalam sistem, manajemen, maupun perilaku manusia pengelola anggaran.
"
a
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
dari penerapan tersebut pada tingkat pertumbuhan anggaran pengeluaran. Penerapan penganggaran kinerja menurut Wahyuni (2006) dimulai dari Australia dan Selandia Baru pada akhir tahun 1980an. Praktik ini diikuti oleh Kanada, Denmark, Finlandia, Perancis, Belanda, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat pada awal sampai pertengahan dekade 1990-an. Selanjutnya pada akhir tahun 1990-an sampai awal tahun 2000-an penganggaran kinerja mulai diterapkan di Austria, Jerman, dan Swiss. Meskipun sebagian besar negara-negara tersebut telah memasukkan informasi non keuangan dalam dokumen anggarannya, kenyataannya hanya sedikit yang benar-benar melaksanakan anggaran kinerja dalam arti mengaitkan pengeluaran dan hasil, melaporkan kinerja atas target-target dan menggunakan informasi kinerja untuk pengambilan keputusan alokasi anggaran pada masa mendatang, seperti Australia dan Selandia Baru (Sancoko et al,2008). Guna melengkapi Tabel 5 di atas, peneliti melakukan studi literatur lebih mendalam tentang pengalaman tiga negara dalam pelaksanaan Penganggaran Kinerja (Performance budgeting). Ketiga negara tersebut adalah Korea Selatan, Australia, dan Belanda. Dasar pemilihan ketiga negara tersebut sebagai objek studi literatur berdasarkan beberapa pertimbangan sebagai berikut: (i). Ketersediaan sumber literatur yang lengkap dan dapat dibandingkan. (ii). Best practices Internasional. (iii). Kedekatan sistem administrasi pemerintahan dengan Indonesia. Tabel di bawah ini merangkum komparasi penerapan PBK di tiga negara terpilih dari dimensi desain, implementasi, dan evaluasi.
80
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
Tabel 6: Komparasi Desain, Implementasi dan Evaluasi PBK di 3 Negara (Korea Selatan, Australia dan Belanda) Dimensi Indikator Komparasi Komparasi
Desain
Korea Selatan Kim dan Park (2007)
Tujuan Utama
PBK mendorong akuntabilitas kinerja melalui informasi kinerja, Pengendalian pengeluaran, dan keterkaitan antara kinerja dan keputusan anggaran
Dorongan Perubahan
Eksekutif
Australia Lewis Belanda Van Nispen Hawke (2007) dan Posseth (2006) PBK sebagai strategi evaluasi pemerintahan as a whole, manajemen hasil dan keluaran sebagai prioritas dan platform kebijakan publik Eksekutif dan Legislatif
PBK menjadi elemen penting untuk hubungan lebih kuat antara anggaran dan akun, keterkaitan anggaran dan kebijakan, serta wawasan lebih baik relasi tujuan, sumber daya dan kinerja Eksekutif dan Legislatif
Tersedia, misalnya melalui Tersedia melalui Belum tersedia Financial Perundanghingga tahun Management the Financial Law an (Comptabiliteitswet) and 2007 Accountability Act 1997 (FMA Act 1997)
Lingkup
Komitmen ImplemenPimpinan tasi Eksekutif
Dukungan Pendidikan dan Pelatihan
Semua K/L (39 institusi)
Semua organ pemerintah (K/L dan Otoritas Pemerintah)
Semua K/L (16 portfolio Kabinet)
Kuat sejak Kuat sejak akhir Kuat sejak awal pertengahan tahun 1990-an tahun 1980-an dekade 1970-an (Presidensial) (Parlementer) (Parlementer) Kuat melalui Kuat yang Pendidikan mana proses dan Training Tidak tersedia serta dukungan penganggaran informasi (Not melalui proses manual dari Available) Korea Institute market place of ideas of Public Finance
81
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Dimensi Indikator Komparasi Komparasi
Evaluasi
Hasil Kinerja Dikaitkan dengan Keputusan Alokasi anggaran
Korea Selatan Kim dan Park (2007)
Australia Lewis Belanda Van Nispen Hawke (2007) dan Posseth (2006)
Kaitan antara hasil kinerja serta alokasi anggaran setiap Kementerian
Apropriasi anggaran didasarkan pada outcome yang dihasilkan
Alokasi anggaran didasarkan pada tujuan khsus (specific goals) masingmasing K/L (institusi)
Pendekatan hasil kinerja bagi perbaikan manajemen dan pelayanan model Australia suatu proses iteratif, perubahan radikal berisiko tinggi
Informasi kinerja telah mengalami perubahan dari hanya sebatas informasi tambahan (nice o know) menjadi lebih terintegrasi keuangan maupun kebijakan diambil (need to know)
Birokrasi Korea Hasil Kinerja Selatan mulai mengenal Dikaitkan manajemen dengan kinerja Perbaikan Manajemen berorientasi hasil, sebagai dan bagian dari Pelayaan kultur birokrasi
Sumber: John M Kim dan Nowook Park (2007), Lewis Hawke (2007), Franks K.M. van Nispen dan Johan J.A.Posseth (2006), Bambang Sancoko, Djang Tjik A.S, Noor Cholis Madjid, Sumini dan Hery Triatmoko (2008)
Berdasarkan pengalaman negara lain menerapkan PBK dapat diperoleh pelajaran terpenting bahwa perubahan menuju penganggaran kinerja memang merupakan proses kompleks, karena berkaitan dengan perubahan yang mendasar dalam sistem, manajemen, maupun perilaku manusia pengelola anggaran. Selain itu, penganggaran kinerja membutuhkan dukungan sistem manajemen kinerja, sistem akuntansi pemerintahan dan perhitungan biaya. Sementara itu, tiga pendekatan untuk penyusunan anggaran berbasis kinerja (Sancoko et al, 2008:41-42) sebagai berikut: 1) Penyusunan anggaran berbasis kinerja yang bersifat langsung. Dalam pendekatan ini terdapat hubungan bersifat langsung dan sering kali didasarkan atas suatu formula. Sehingga alokasi anggaran untuk sebuah program didasarkan atas kinerja program yang diukur dari keluaran (output) dan hasil (outcome). Misalnya pendanaan universitas yang didasarkan
82
atas jumlah lulusan dari setiap bidang keilmuan.
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
2) Penyusunan anggaran berbasis kinerja yang bersifat tidak langsung. Hal ini adalah bentuk umum dari penyusunan anggaran berbasis kinerja. Informasi pemantauan dan temuantemuan evaluasi tentang hasil-hasil program menjadi salah satu masukan, tetapi hanya merupakan salah satu masukan bagi keputusan alokasi anggaran sebuah program. Prioritas kebijakan pemerintah juga memengaruhi alokasi anggaran. 3) Penyusunan anggaran berbasis kinerja yang bersifat penyajian. Pemerintah
menggunakan
informasi
pemantauan
dan
temuan-temuan evaluasi untuk melaporkan kinerja aktual di masa lalu atau kinerja yang diharapkan pada masa mendatang dalam dokumen anggaran yang dikirimkan kepada legislatif. Informasi ini mungkin saja tidak berpengaruh pada pembuatan keputusan menyangkut anggaran dan merupakan bentuk paling lemah dari penyusunan anggaran berbasis kinerja. Tabel 7 di bawah ini memberikan perbandingan antara negara-negara Non OECD, OECD, dan Indonesia tentang bentuk kinerja yang diukur dan tercantum dalam proses penganggaran. Berdasarkan fakta tersebut, Indonesia perlu lebih meningkatkan standar ukuran kinerja bila ingin mencapai kemanfaatan yang lebih dari proses anggaran dan akuntabilitas publik. Tabel 7: Informasi Kinerja yang tersedia dalam Anggaran Negara
Tidak ada Target kinerja Ukuran kinerja Evaluasi terhadap pengeluaran yang sudah ada dan yang baru Tolok ukur (benchmarking) Lainnya
Non-OECD
OECD
Indonesia
12,5% 37,5% 50% 50%
7% 64% 67% 77%
Terbatas Terbatas
25%
30% 27%
Sumber: Holger van Eden (2008), Accountablity and Legislative Oversight in Budget Reforms, Presentation di Jakarta Mei 2008
83
h
ja
k
"
Bagi publik, yang terpenting adalah dampak yang dihasilkan dari serangkaian aktivitas birokrasi, terutama dalam soal pelayanan publik. Namun, birokrasi tampaknya masih terjebak pada pemenuhan hal-hal yang bersifat “administratif” daripada “substantif”.
"
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
Gambar 7 memberikan contoh model logic framework (logframe) dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran secara konseptual, kemudian dilanjutkan aplikasi model logframe secara operasional di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Urutan kegiatan yang digambarkan dalam alur sistem dengan diawali oleh input dan berakhir pada dampak dari aktivitas berupa hasil kegiatan (outcome) dan umpan balik (feedback) untuk kembali lagi melihat (backward analysis) proses awal sebagai bagian evaluasi dan perbaikan. Untuk melengkapi aplikasi dan model logframe, disajikan contoh aplikasi sasaran strategis, indikator kinerja utama, dan indikator kinerja kegiatan dari empat fokus unit eselon 1 di dalam lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Indikator Kinerja Utama (IKU) adalah target kinerja yang hendak dicapai oleh unit eselon 1 atau outcome dalam model logframe. Guna mencapai IKU diperlukan serangkaian Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) yang menjadi target capaian dari unit eselon 2 atau output dalam model logframe. Bagi publik, yang terpenting adalah dampak yang dihasilkan dari
serangkaian
aktivitas
birokrasi,
terutama
dalam
soal
pelayanan publik. Namun, birokrasi tampaknya masih terjebak pada pemenuhan hal-hal yang bersifat “administratif� daripada “substantif�. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan drastis output atau keluaran dari Program-program K/L dari 20.396 output dari 426 program pada tahun 2011, menjadi 44.311 ouput dari 446 program pada tahun 2013. Program tidak mengalami peningkatan banyak namun tidak demikian dengan ouput.
85
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Gambar 7: Logic Model dalam Penyusunan Dokumen Perencanaan dan Penganggaran
Sumber: Framework for Managing Programme Performance Information, National Treasury, Republic of South Africa, May 2007 dalam Presentasi Wismana Adi Suryabrata di Jakarta Mei 2008
Aplikasi Sasaran Strategis, Indikator Kinerja Utama dan Indikator Kinerja Kegiatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun Anggaran 2012 PENDIDIKAN
86
BUDAYA
MANAJEMEN
SASARAN STRATEGIS
Peningkatan akses dan mutu pendidikan
Perlindungan dan Penerapan pengembangan prinsip-prinsip bahasa dan sastra goog corporate governance (GCG)
IKU
• AKP/AKM (akses) • Jumlah sekolah yang memenuhi SPM (mutu)
• Jumlah bahasa dan sastra yang dilindungi • Jumlah bahasa dan sastra yang dikembangkan
Opini WTP dari BPK
Mengenalkan Konsep Kinerja pada Birokrasi dan Parlemen
PENDIDIKAN IKK
BUDAYA
• Jumlah Peta • Jumlah USB • Jumlah bantuan Bahasa/Sastra • Jumlah siswa miskin Dokumentasi • Jumlah ruang Bahasa Daerah direhab • … • Jumlah guru bersertifikat • …
MANAJEMEN • Skor Lakip • Nilai Intergritas Layanan • …
Simpulan Bab 3 Pembahasan PBK di atas bukanlah sesuatu yang statis berkutat pada definisi dan penjelasan tekstual saja. Akan tetapi, lebih jauh dari itu, bisa mencapai substansi yang diharapkan. Substansi PBK antara lain mengenai fokusnya pada output dan outcome atau capaian kinerja. Kinerja tersebut mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, yang secara otomatis berorientasi pada kepentingan publik. Sehingga diharapkan perbaikan pada sistem penganggaran akan berdampak langsung pada naiknya kualitas dan kuantitas pelayanan publik. Urgensi yang ada dalam PBK yang substansial tersebut di atas mengharuskan Pemerintah untuk menjalankan lebih dari sekadar administratif belaka akan tetapi sudah harus berani melangkah melampaui yang tertulis (beyond textual). Perubahan persepsi para pelaku baik aparat Pemerintah selaku pihak eksekutif dan juga para anggota DPR selaku legislator (pembuat UU) yang berujung pada perubahan perilaku aktor-aktor terpenting dalam pembahasan APBN dan pengesahannya. Bab berikutnya akan menitikberatkan perhatian kita pada peran DPR selaku mitra Pemerintah dalam pembahasan dan pengesahan APBN, kami mengistilahkan Politik Pembahasan dan Pengesahan APBN. Karena DPR adalah lembaga politik, maka bahasa politik lebih
87
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
mendominasi ketimbang bahasa teknokratis dan programatik yang menjadi ciri khas pihak Eksekutif (K/L). Praktik-praktik di luar negeri sebagai referensi pelaksanaan PBK sudah sangat banyak dan sangat advanced. Sehingga kegamangan dalam melaksanakan PBK secara substansial sangatlah tidak berdasar. Berkaca pada praktik-praktik baik maupun praktik buruk yang mereka lakukan kita akan sangat berterima kasih atas kasus-kasus yang terjadi saat pelaksanaannya. Sesuatu yang menjadi payung hukum dalam pelaksanaan PBK merupakan landasan gerak yang pasti dan juga dapat dipandang sebagi hal yang dinamis juga. Karena berdasarkan pelaksanaan di K/L masing-masing oleh birokrat menjadi masukan bagi legislator (anggota parlemen) untuk terus memperbaiki proses pelaksanaan PBK dan juga menampung berbagai masukan sebagai bahan perbaikan. Berkaca pada payung hukum pelaksanaan PBK, UU Keuangan Negara telah mengadopsi pilar reformasi penganggaran yaitu Penganggaran Terpadu, Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah, dan Pengangggaran Berbasis Kinerja. Ketiga pilar ini yang membedakan UU Keuangan Negara dengan kerangka hukum sebelumnya. Selain itu, PBK telah mengawali perubahan mendasar birokrasi menyajikan pencapaian kinerja yang ingin dicapai selama kurun waktu tertentu. Sayangnya informasi kinerja yang sudah dipersiapkan acap kali tidak dipergunakan dengan optimal oleh anggota DPR. Selain kualitas informasi kinerja juga masih sebatas administratif ketimbang substantif.
88
Bab 4
Politik Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara
Wakil Rakyat bukan paduan suara; hanya tahu nyanyian lagu SETUJU. —Iwan Fals, Surat untuk Wakil Rakyat
Dahulu di masa Orde Baru, celotehan penyanyi yang pernah
mendapat julukan Asian Hero dari Majalah Times pada tahun 2002 ini sangat relevan. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada waktu itu dipersepsikan sebagai rubber stamp alias tukang stempel. Secara sayup-sayup maupun lantang di masa itu, masyarakat menyebut kegiatan para wakil Rakyat itu dengan 4D (Duduk-Diam-Duit-Datang). Namun sejak reformasi bergulir, bandul pendulum kuasa pembahasan dan pengesahan Anggaran Negara berpindah dari tangan presiden dan kabinetnya menuju DPR di Senayan.
89
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Perubahan ini sangat berharga dan menjanjikan bagi publik. Sebab pemerintah tidak dapat memonopoli kekuasaan atau mendikte anggota DPR saat penyusunan anggaran. APBN tidak akan disahkan tanpa dibahas dan disetujui lebih dahulu bersama anggota DPR. Bahkan, anggota DPR dapat mengubah bahkan menolak pos anggaran apabila dianggap tidak sesuai dengan maslahat publik. Seperti pengambilan keputusan melalui voting atas rencana pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada Juni 2013 lalu. Melalui mekanisme voting terbuka ini menunjukkan pemerintah dan DPR saling berbagi kekuasaan dalam penyusunan anggaran negara. Kondisi ini tentu sangat berbeda dari Orde Baru. Di Orde Reformasi, DPR RI menjadi penyeimbang bagi Pemerintah dalam banyak hal. Banyak kebijakan Pemerintah sering kali harus dikonsultasikan kepada DPR. Mulai dari penyertaan modal di sebuah perusahaan negara, hingga penentuan pejabat tinggi lembaga Pemerintah. Perubahan besar ini dapat terjadi dalam konteks pelaksanaan fungsi DPR, yakni pengawasan, penyusunan anggaran dan penyusunan undang-undang (legislasi). Bab ini mengulas politik pembahasan dan pengesahan Anggaran Negara di DPR, termasuk di dalamnya penguatan peran DPR serta dampak penguatan peran itu bagi pembahasan dan pengesahan Anggaran Negara. Bila kita berdiskusi soal Anggaran Negara maka fokus bahasan mencakup dua sisi sekaligus: pendapatan dan belanja. Maka seorang wakil rakyat dituntut tidak hanya melulu peduli soal perilaku pengeluaran atau belanja Pemerintah, namun juga memikirkan dan terlibat secara aktif pada pembahasan tentang penerimaan APBN.
90
"
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dan kesejahteraan rakyat.
"
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Mekanisme Pembahasan dan Penetapan APBN Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas per ekonomi an serta pemerataan pendapatan dan kesejahteraan rakyat demi mencapai tujuan bernegara sebagaimana dicitakan oleh konstitusi. Pengelolaan APBN telah mengalami perubahan dalam proses penganggaran, sejak perencanaan hingga ke pe lak sana an anggaran. Perubahan ini terjadi sejak disahkannya Undang-undang (UU) No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Ne gara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/ APBD telah dituangkan secara lengkap dalam UU No. 17 Tahun 2003. Mulai dari tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, peran DPR/DPRD dan Pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, hingga penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran. Pada UU No. 17 Tahun 2003 ini disebutkan bahwa belanja negara dan belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahw a setiap pergeseran anggaran antar-unit organisasi, antar kegiatan, dan antar-jenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/ DPRD. Undang-undang itu juga mengatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pem bagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah
92
di DPR/DPRD.
Politik Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara
APBN dan Fungsi DPR DPR memiliki tiga fungsi sesuai mandat UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPR (MD3), yakni fungsi penyusunan undang-undang atau hak legislasi, fungsi menyusun dan mengawasi anggaran atau hak budget, serta fungsi supervisi atau pengawasan terhadap eksekutif/pemerintah. Dari ketiga fungsi DPR tersebut, penyusunan APBN merupakan bagian dari pelaksanaan hak budget DPR. Kinerja legislasi DPR dalam satu tahun terakhir mendapat sorotan masyarakat luas di media. Fakta menunjukkan kinerja legislasi DPR periode 2009-2014 kurang memuaskan. Penilaian ini diambil atas capaian Rancangan Undang-undang (RUU) yang disahkan menjadi undang-undang baru. Dari daftar Rancangan Undang-undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2013, hanya 10,6% (atau 21 undang-undang) dapat diselesaikan menjadi undang-undang. Dari jumlah 21 undang-undang baru, sebanyak 8 RUU yang disahkan berasal dari Prolegnas, 11 RUU tentang Daerah Otonomi Baru (DOB), dan sisanya di luar RUU Prolegnas. Padahal target DPR di bidang legislasi bersama Pemerintah untuk tahun 2013 adalah 75 RUU. Sementara itu, pelaksanaan fungsi pengawasan eksekutif sangat kental dengan muatan politis, bukan substansial. Ini dapat dilihat dari kinerja pengawasan kasus Bank Century (sekarang menjadi Bank Mutiara). Anggota DPR seperti mendapatkan kesempatan emas untuk terus mengkritik Pemerintah melalui kasus Bank Century. Sayangnya, fungsi pengawasan ini tidak dibarengi dengan upaya serius dari DPR untuk mengusulkan legislasi yang dapat mencegah berulangnya akrobat kebijakan publik yang barkaitan dengan penanganan krisis ekonomi di masa mendatang. Meskipun ada usulan RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) dari pemerintah, nasib RUU tersebut
93
"
Peran aktif DPR dalam proses penyusunan APBN dalam beberapa tahun terakhir ini, seyogianya dapat menjadikan proses penyusunan APBN lebih demokratis.
"
Politik Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara
tidak jelas kabarnya hingga masa jabatan mereka sebagai wakil rakyat berakhir. Adapun tujuan, fungsi dan klasifikasi APBN menurut UU No. 17/2003 Pasal 11 sebagai berikut: (1) APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun menjadi sebuah undang-undang. (2) APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. (3) Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. (4) Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. (5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Catatan kritis atas dominasi peran DPR dalam menentukan belanja negara yang dirinci mulai dari organisasi, fungsi sampai jenis belanja datang dari studi Blondal el al (2009:20) yang dengan tegas menyebutkan dalam kasus penganggaran di Indonesia, hambatan mendasar bagi suksesnya penerapan penganggaran berbasis kinerja ada 2 hal: pertama, sangat detailnya dokumen anggaran dan kedua, proses pembahasan Parlemen yang terlampau “jauh� membahas jenis belanja. DPR dapat kehilangan hal-hal makro bila fokus kepada hal-hal mikro, menurut studi tersebut. Beberapa ketentuan umum dalam penyusunan APBN menurut Pasal 12 UU No. 17/2003, sebagai berikut: (1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
95
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. (3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumbersumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN. (4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (5) Sedangkan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana termaktub dalam Pasal 13-15 UU No. 17/2003 adalah sebagai berikut:
Pasal 13 (1) Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro untuk tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selambatlambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. (2) Pemerintah Pusat dan DPR membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya. (3) Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.
Pasal 14 (1) Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna
96
Politik Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara
barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya. (2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. (3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun. (4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN. (5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang APBN tahun berikutnya. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15 (1) Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumendokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. (2) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pe足 ngeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN. (4) Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
Rancangan
Undang-undang
tentang
APBN
dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
97
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
(5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. (6) Apabila
Dewan
Perwakilan
Rakyat
tidak
menyetujui
Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.34
Peran DPR dalam Pembahasan dan Pengesahan APBN Setiap tahun pemerintah menghimpun dan membelanjakan dana melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Istilah APBN yang dipakai di Indonesia mengacu pada anggaran pendapatan dan belanja negara yang dikelola pemerintah pusat. Oleh karena itu, APBN tidak termasuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan BUMN. Sesuai dengan UUD 1945, APBN harus diwujudkan dalam bentuk undang-undang. Dalam hal ini, presiden berkewajiban menyusun dan mengajukan Rancangan APBN kepada DPR. Oleh karena itu, proses penyusunan anggaran negara merupakan rangkaian aktivitas yang melibatkan banyak pihak, termasuk semua departemen, lembaga, dan DPR. Peran aktif DPR dalam proses penyusunan APBN dalam beberapa tahun terakhir ini, seyogianya dapat menjadikan proses penyusunan APBN lebih demokratis. Landasan hukum anggaran negara tercantum pada Pasal 23 UUD 1945 Pasal 23 (1) yang berbunyi sebagai berikut: “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-
98
"
Tugas komisi DPR dalam fungsi anggaran: 1. Mengadakan pembicaraan Pendahuluan mengenai penyusunan RAPBN bersama pemerintah. 2. Mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan RAPBN. 3. Melakukan Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, Rapat Dengar Pendapat Umum, dan kunjungan kerja.
"
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pasal 23 ayat 2 menyebutkan: “Rancangan Undangundang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memerhatikan Dewan Perwakilan Daerah.” Pasal 23 ayat 3 menyebutkan: “Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.” Pelaksanaan perencanaan dan penyusunan penganggaran tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya Pasal 13, 14, dan 15. Pasal 13 dari UU No 17/2003. Terdapat dua alat kelengkapan DPR yang memegang peranan penting dalam pembahasan dan pengesahan APBN yaitu Komisi-komisi dan Badan Anggaran (Banggar). Tugas masing-masing alat kelengkapan tersebut adalah sebagai berikut.
Boks 3: Perbandingan Peran Parlemen dalam Penganggaran OECD suatu lembaga multinegara yang fokus pada kerjasama ekonomi dan pembangunan, mengadakan survei berjudul Legal Framework for Budgeting System: An International Comparison. Survei OECD pada 2004 itu menunjukkan beberapa karakteristik penganggaran negara-negara anggota OECD sebagai berikut: 1. Sistem penganggaran berdasarkan konstitusi tertulis seperti AS, Jerman, Perancis dan sebagainya. 2. Sistem penganggaran yang tidak berdasarkan pada konstitusi–
100
lebih pada undang-undang seperti Inggris dan Selandia Baru.
Politik Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara
AS menerjemahkan konstitusinya dalam puluhan dan ratusan UU yang berisi anggaran dan alokasi anggaran. Dalam hal negaranegara tidak berdasarkan konstitusi, maka tradisi dan konvensi politik me足rupakan pedoman dasar dan aturan main (OECD, 2004; Susanto , 2013). Selain itu, OECD menyatakan, sekurangnya terdapat empat macam model peran parlemen dalam penganggaran (Susanto, 2013:162-163):
Tugas Komisi-komisi Terkait Anggaran Susunan dan keanggotaan komisi ditetapkan oleh DPR dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang. Setiap anggota, kecuali Pimpinan MPR dan DPR, harus menjadi anggota salah satu komisi. Jumlah Komisi, Pasangan Kerja Komisi dan Ruang Lingkup Tugas Komisi diatur lebih lanjut dengan Keputusan DPR yang didasarkan pada institusi pemerintah, baik lembaga kementerian negara maupun lembaga non-kementerian, dan sekretariat lembaga negara, dengan mempertimbangkan keefektifan tugas DPR.
101
"
Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran DPR berasal dari tiap-tiap komisi yang dipilih oleh komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi. Kepemimpinan Badan Anggaran terdiri atas satu ketua dan maksimal tiga wakil ketua dengan sifat kepemimpinan kolektif dan kolegial.
"
Politik Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara
Tugas Komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan Rancangan Undang-undang yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya. Khusus dalam fungsi anggaran, Komisi bertugas: 35 Mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah; dan Mengadakan nyempurnaan
pembahasan Rancangan
dan
mengajukan
Anggaran
usul
Pendapatan
pedan
Belanja Negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan pemerintah. Komisi-komisi dalam melaksanakan tugasnya dapat: mengadakan Rapat Kerja dengan presiden, yang dapat diwakili oleh menteri; mengadakan Rapat Dengar Pendapat dengan pejabat pemerintah yang mewakili instansinya, mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum, mengadakan kunjungan kerja dalam masa reses.
Badan Anggaran Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas anggota dari tiap-tiap komisi yang dipilih oleh komisi dengan memerhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi. Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua
103
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Adapun Badan Anggaran memiliki tugas sebagai berikut:36 Membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran; Menetapkan
pendapatan
negara
bersama
Pemerintah
dengan mengacu pada usulan komisi terkait; Membahas Rancangan Undang-undang tentang APBN bersama presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga; Melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga; Membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan Membahas pokok-pokok penjelasan atas Rancangan Undangundang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi. Sedangkan tata cara pelaksanaan tugas Badan Anggaran adalah sebagai berikut: 1.
Membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran;
104
Politik Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara
2.
Menetapkan
pendapatan
negara
bersama
Pemerintah
dengan mengacu pada usulan komisi terkait; 3.
Membahas Rancangan Undang-undang tentang APBN bersama presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga;
4.
Melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;
5.
Membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan
6.
Membahas pokok-pokok penjelasan atas Rancangan Undangundang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
7.
Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi.
8.
Anggota komisi dalam Badan Anggaran harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada komisi. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 ayat (1) huruf b, Badan Anggaran bersama pemerintah menetapkan asumsi makro dengan mengacu pada keputusan komisi yang sesuai dengan ruang lingkup tugasnya. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c Badan Anggaran dapat melakukan kunjungan kerja pada masa reses atau pada masa sidang dengan persetujuan pimpinan DPR. Badan Anggaran dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu menetapkan siklus dan jadwal pembahasan APBN bersama pemerintah. Badan Anggaran dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat
105
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
(1) mengacu pada ketentuan dalam Bab VII tentang Tata Cara Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Proses Pembahasan dan Pengesahan APBN pada DPR Setelah membahas mekanisme pembahasan dan pengesahan APBN secara umum, hubungan APBN dan fungsi DPR, serta peran-peran Komisi dan Badan Anggaran, selanjutnya dibahas proses pembahasan dan pengesahan APBN pada DPR, sebagaimana terlihat pada Gambar 8 berikut ini: Gambar 8: Tahapan Pembahasan dan Pengesahan APBN di DPR
106
"
Tugas Badan Anggaran:
1. Bersama Pemerintah menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan. 2. Menetapkan pendapatan negara. 3. Membahas RUU APBN yang mengacu pada hasil Rapat Kerja Komisi mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga. 4. Melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai RKA-K/L. 5. Membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN. 6. Membahas pokok-pokok penjelasan atas RUU tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
"
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Penguatan Peran DPR dan Dampaknya pada Mekanisme Pembahasan dan Pengesahan APBN Penguatan Fungi Legislatif Perubahan terhadap Undang-undang Dasar Tahun 1945, khususnya pada pasal 20 ayat 1 dimaksudkan untuk memperkuat DPR. Pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari presiden kepada DPR merupakan langkah konstitusional untuk memosisikan
fungsi
lembaga
pembentuk
undang-undang
(kekuasaan legislatif) dan presiden sebagai pelaksana undangundang (kekuasaan eksekutif). Tujuan dari pergeseran ini dimaksudkan untuk menjalankan perubahan dari distribution of power menjadi separation of power, dengan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi sebagai ciri khas yang melekat.9 Sesuai dengan amanat UUD Tahun 1945 pasal 20A ayat 1, DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam menjalankan fungsinya, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Di samping itu, setiap anggota DPR RI mempunyai hak untuk mengajukan Rancangan Undang-undang, hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat serta hak-hak lainnya seperti telah diatur oleh undang-undang. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran mempertegas kedudukan DPR RI untuk membahas, termasuk mengubah RAPBN dan menetapkan APBN yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Kedudukan DPR dalam hal penetapan APBN sangat penting, sebab bila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan presiden, Pemerintah berarti menjalankan APBN tahun lalu. Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
108
Politik Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara
undang-undang,
pelaksanaan
anggaran,
dan
pelaksanaan
kebijakan pemerintah dan pembangunan oleh pemerintah. Selanjutnya sebagai upaya menjalankan tugas dan kewenangan tersebut, DPR telah menyusun Rencana Strategis 2010-2014. Dalam hal fungsi anggaran, tujuan pokok DPR dalam fungsi anggaran adalah: (1) Terwujudnya politik anggaran yang akuntabel dan transparan, (2) Terbangunnya kapasitas DPR dalam Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai kebutuhan masyarakat, dan (3) Tercapainya tata kelola kedewanan yang baik dan tepercaya dalam pelaksanaan fungsi anggaran (Dewan Perwakilan Rakyat, 2011). Dalam pelaksanaannya, kewenangan DPR dilengkapi pula dengan aturan tata tertib DPR yang memungkinkan pembahasan APBN secara lengkap. Dokumen Rancangan APBN yang disampaikan presiden pada DPR RI harus meliputi: 1.
Kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran berikutnya;
2.
Kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran; dan
3.
Rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan.
Dampak Penguatan Peran DPR pada Mekanise Pembahasan dan Pengesahan APBN Perubahan
kewenangan
yang
dilakukan
pada
masa
Reformasi memberi dampak positif pada pengelolaan keuangan negara secara keseluruhan. Antara lain, para wakil rakyat dapat melakukan telaah anggaran sampai pada satuan tiga/program dan kegiatan pada RKA K/L. Dengan demikian, para wakil rakyat dapat memastikan apakah masing-masing program dan kegiatan sudah sesuai dengan aspirasi rakyat. Bila terdapat program dan kegiatan yang tidak sesuai dengan prioritas atau tidak sesuai
109
"
DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran mempertegas kedudukan DPR RI untuk membahas, termasuk mengubah RAPBN dan menetapkan APBN yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, pelaksanaan anggaran, dan pelaksanaan kebijakan pemerintah dan pembangunan oleh pemerintah.
"
Politik Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara
dengan aspirasi rakyat, para wakil rakyat dapat segera meminta pemerintah untuk melakukan koreksi dan penyesuaian. Di sisi lain, penguatan peran DPR tersebut juga memiliki dampak negatif. Menguatnya politik akomodasi dan perburuan proyek merupakan salah satu dampak negatif tersebut. Kondisi ini membuat praktik perencanaan dan penganggaran menjadi merisaukan (IRE, 2012:1). Pada gilirannya mendorong timbulnya pelanggaran berupa tindak pidana korupsi. Soesatyo (2011:39), mengutip seorang anggota Badan Anggaran DPR, menyebutkan “Ada oknum Badan Anggaran DPR yang mengutip 7%-15% dari anggaran yang dialokasikan untuk perubahan alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dalam APBN 2011.� Namun demikian, praktik ini sulit dibuktikan, jelas Soesatyo. Dalam tataran pelaksanaan prosedur formal pembahasan dan pengesahan APBN, memang tidak dapat diidentifikasi secara langsung adanya penyimpangan. Namun dari beberapa kasus hukum yang masuk ke proses pengadilan maupun muncul dalam pemberitaan media, kita dapat menangkap adanya gejala penyimpangan tersebut. Tabel 8: Daftar Anggota DPR yang Terkena Proses Hukum No Tahun 1
Tahun 2004
2
Tahun 2006
Proses Hukum Noor Adenan Razak, Fraksi Partai Amanat Nasional, 19992004, Komisi VIII DPR terlibat kasus suap dalam perubahan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) untuk Pembangunan Pusdiklat Bapeten sebesar Rp250 juta dan bilyet giro sebesar Rp1.227.272.000,- pada tahun 2004. Vonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta; 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta (http://tempo.co; 28 Mei 2008) Sarjan Taher, Fraksi Demokrat 2004-2009, Komisi IV DPR. Didakwa: Bahwa pada Oktober 2006 menerima uang sebesar Rp5 miliar secara bertahap dari pengusaha dan pejabat Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dalam proses alih fungsi hutan lindung menjadi Pelabuhan Tanjung Api-api. Vonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta; 4 tahun 5 bulan penjara dan denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan. (http://vivanews.com; 28 Januari 2009)
111
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
No Tahun
Proses Hukum Saleh Djasit, Fraksi Golkar 2004-209, Komisi VII DPR RI Didakwa: terlibat dalam Tindak Pidana Korupsi pengadaan 20 alat pemadam kebakaran Pemrov Riau yang merugikan negara sekitar Rp4,7 miliar. Vonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta; 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta, subsider 6 bulan kurungan
3
Tahun 2008
4
Tahun 2008
5
Tahun 2008
Al Amin Nasution, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan 2004-2009, Komisi IV DPR, tertangkap tangan pada di Pub Hotel Ritz Carlton Jakarta (4/9/2008) dengan dugaan menerima suap dan pemerasan terkait alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau dan pada proyek pengadaan alat komunikasi GPS (Global Positioning System) Departemen Kehutanan (http://kompas.com; 10 Desember 2008)
6
Tahun 2009
7
Tahun 2011
8
Tahun 2011
Abdul Hadi Djamal, Fraksi Partai Amanat Nasional 2004-2009, Komisi V, tertangkap tangan menerima suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Senin, 2 Maret 2009) dengan dugaan menerima suap pada proyek pembangunan dermaga dan pelabuhan di kawasan Indonesia timur. (http://kompas.com; 31 Oktober 2009) Wa Ode Nurhayati, Fraksi Partai Amanat Nasional 20092014, Anggota Banggar, dugaan Korupsi Pembahasan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) tahun 2010 (http://tempo.co; 16 Januari 2011) Muhammad Nazaruddin, Fraksi Partai Demokrat 2009-2014, Anggota Banggar, terdakwa kasus korupsi pebangunan Wisma Atlet tahun 2011
(http://tempo.co; 28 Agustus 2008) Bulyan Royan, Fraksi Bintang Reformasi 2004-2009, Komisi V, tertangkap tangan di Plaza Senayan, Jakarta (1 Agustus 2008) diduga menerima uang 60.000 dolar AS dan 10.000 euro yang diduga merupakan suap terkait proyek pengadaan kapal patroli Ditjen Perhubungan Laut, Dephub. (http://kompas.com; 19 Maret 2009)
(http://antaranews.com; 30 Juni 2011)
Walaupun penyimpangan-penyimpangan tersebut belum dapat menjadi dasar untuk melakukan generalisasi, namun harus tetap menjadi perhatian para anggota DPR maupun calon anggota DPR serta pengelola negara dari Eksekutif. Tanpa perhatian dan penanganan yang memadai, penyimpangan dari undang-undang
112
dan peraturan yang terkait akan mengganggu pencapai dari
Politik Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara
fungsi DPR RI, khususnya di bidang pembahasan dan pengesahan APBN.
Beberapa Pola Kasus Dari beberapa kasus yang terjadi sejak tahun 2004–2011, antara lain kasus di atas, Tim Peneliti PPPI menemukan beberapa pola kasus sebagai berikut: 1.
Menjanjikan pengurusan anggaran suatu program dengan meminta sejumlah imbalan tertentu.
2.
Mengarahkan
persetujuan
dan
pengesahan
anggaran
program atau kegiatan yang kemudian dikerjakan oleh pihak yang ditunjuk. 3.
Menjanjikan pengesahan kebijakan pada permasalahan/ wilayah tertentu dengan imbalan dari pelaksana hasil kebijakan tersebut. Dari kasus-kasus hukum di atas, ada permasalahan pada
mekanisme pembahasan dan pengesahan APBN di DPR. Tim Peneliti PPPI berpendapat bahwa kasus-kasus yang muncul ter sebut adalah puncak gunung es dari potensi permasalahan yang lebih besar. Dari sumber-sumber awal studi literatur, Tim Peneliti PPPI menyimpulkan beberapa risiko yang melekat pada proses pembahasan dan pengesahan APBN di DPR sebagai berikut: Pertama, proses tersebut adalah proses politis yang pada hakikatnya menjadi forum tarik-menarik antarberbagai kepentingan. Dengan demikian, upaya dan perjuangan dari berbagai pihak untuk mendapatkan alokasi anggaran adalah hal yang tidak mungkin dihindarkan. Kedua, proses tersebut melibatkan banyak pihak dan banyak fungsi. Kondisi ini mengakibatkan fungsi kontrol pada administrasi dan dokumen menjadi lemah. Ketiga, adanya kemungkinan proses-proses pembahasan APBN yang dilakukan di luar forum resmi.
113
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Simpulan Bab 4 Setelah membaca Bab 4 ini, kita dapat memberikan penilaian atas capaian peran DPR terhadap proses penganggaran dan perencanaan saat ini: pertama, dibandingkan sebelum Reformasi, pembahasan dan pengesahan anggaran pendapatan dan belanja negara sudah lebih maksimal, dari segi proses keterlibatan parlemen.
Parlemen
(anggota
DPR)
sebagai
representasi
kedaulatan rakyat sudah memungkinkan untuk mengetahui secara detail alokasi dan peruntukan APBN, sehingga dapat dengan mudah menyuarakan pandangan rakyat yang diwakilinya kepada eksekutif. Namun begitu, di samping capaian itu, tidak dapat dipungkiri bahwa dominasi DPR dalam pembahasan anggaran berdampak pada terbukanya peluang penyalahgunaan kewenangan, baik disengaja atau karena kelalaian. Hal ini merupakan tantangan yang harus disikapi oleh semua pihak agar kewenangan yang besar dimiliki oleh DPR dalam pembahasan anggaran perlu didukung dengan kemampuan teknis pengetahuan anggaran. Dan juga penting ialah mengatur secara ketat prinsip-prinsip integeritas yang harus menjadi rujukan setiap anggota DPR dalam menjalankan fungsi budgeting. Dukungan
kemampuan
teknis
seputar
pengetahuan
anggaran untuk anggota Dewan sudah selayaknya difasilitasi oleh Pemerintah—selaku mitra DPR serta Sekretaris Jenderal DPR RI—dengan menyiapkan suatu Kantor Anggaran Parlemen yang bersifat independen, non-partisan (tidak memihak salah satu kelompok), objektif, responsif, transparan dalam analisis dan pengumpulan data, serta memiliki akses kepada pihak Eksekutif (kementerian/lembaga dalam arti sempit). Pada Bab 5 akan diulas tentang institusi baru bagi reformasi
114
Perencanaan dan Pengawasan. Kami mengusulkan institusi baru tersebut tidak terbatas sebagai lembaga baru saja, melainkan
"
Tujuan pokok DPR dalam fungsi anggaran adalah: (1) Terwujudnya politik anggaran yang akuntabel dan transparan, (2) Terbangunnya kapasitas DPR dalam Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai kebutuhan Masyarakat, dan (3) Tercapainya tata kelola kedewanan yang baik dan tepercaya dalam pelaksanaan fungsi anggaran.
"
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
institusi yang mencakup pembuatan hukum atau peraturan perundang-undangan,
termasuk
membuat
“aturan
main�
baru dalam penyusunan anggaran. Bab 5 akan menekankan percepatan proses reformasi penyusunan anggaran negara oleh DPR dan Pemerintah.
116
Bab 5
Membangun Institusi Baru bagi Reformasi Perencanaan dan Penganggaran The first core function of an independent analytic budget office is to make independent budget forecasts. —Barry Anderson
Kerap kali pendekatan DPR dan Pemerintah bertolak belakang
dalam sistem penganggaran. Paling tidak, terdapat dua sistem dalam soal anggaran yang menjadi fokus pembahasan buku ini. Pertama, sistem penganggaran di level Pemerintah Pusat yang menjadi praktik terkini hasil reformasi penganggaran selama satu dekade terakhir. Kedua, Sistem Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara di DPR dengan berbagai peristiwa politik yang melingkupinya. Bab 2, Bab 3, dan Bab 4 secara bersama-sama membangun argumentasi sejauh apa capaian dan tantangan politik dan manajemen Anggaran Negara di masa kini dan masa mendatang. Bab kelima ini membahas bagaimana kedua sistem yang seakan terpisah itu dapat dijembatani. Sesungguhnya nature atau sifat alamiah yang menjadi ciri khas kedua sistem tersebut
117
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
memang berbeda, namun bukan berarti tidak dapat ditemukan konsensus (titik temu). Penganggaran yang bekerja pada level Pemerintah Pusat (kementerian/lembaga) disusun menurut caracara yang teknokratis—terencana, bertahap, dan sistematis— selain juga programatik, berdasarkan program-program spesifik. Sementara pembahasan anggaran yang terjadi di Parlemen kerap kali didominasi oleh pendekatan politis—termasuk kepentingan kelompok maupun konstituen—serta prosedural berdasarkan tata kerja yang baku. Rancangan APBN telah disusun oleh pemerintah melalui sistem
yang
dikenal
dengan
Musyawarah
Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Namun hasil Musrenbang dapat berubah drastis ketika dibahas bersama DPR RI. Sebab, perspektif anggota DPR yang ikut membahasnya berbeda dengan Pemerintah. Anggota DPR memiliki kepentingan untuk menggiring anggaran ke suatu daerah tempat konstituennya berada. Dampaknya, pembahasan bersama anggota DPR menciptakan pos anggaran baru untuk suatu daerah. Contohnya pos anggaran Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID). Dana ini kemudian menimbulkan kasus korupsi yang melibatkan sejumlah anggota Badan Anggaran DPR RI. Kesepakatan bersama sejumlah anggota Badan Anggaran dapat terjadi melalui pembahasan resmi maupun informal. Bahkan menurut informasi yang muncul di pengadilan, kasus pos anggaran PPID sebagian besar dibicarakan di luar forum resmi Badan Anggaran. Antara lain ketika menentukan daftar daerah yang akan menerima dana PPID tersebut. Banyak sekali potensi pelanggaran yang dapat terjadi ketika pembahasan anggaran dilakukan bersama anggota DPR akibat
118
perbedaan perspektif dan sarat muatan kepentingan. Ini terjadi karena anggota DPR memiliki hak untuk mengetahui detail
Membangun Institusi Baru bagi Reformasi Perencanaan dan Penganggaran
anggaran hingga ke tingkat tiga sehingga DPR dapat memengaruhi pemerintah lebih dalam. Sementara itu, dari sisi pengawasan, tidak ada mekanisme pengawasan yang dapat menjamin proses pembahasan dilakukan secara transparan kepada publik. Kami menawarkan pendekatan institusi sebagai jembatan penghubung dua sistem dan dua aktor penganggaran yang terkesan berbeda. Mengapa pendekatan institusi menjadi penting? Apa yang kami maksud dengan institusi? Institusi seperti apa yang perlu kita siapkan? Ketiga pertanyaan tersebut menjadi bahasan utama pada Bab 5 ini.
Beberapa Institusi yang Telah Bekerja Institusi membentuk wajah ekonomi, politik, dan sosial suatu bangsa. Sayangnya tidak semua institusi dapat bekerja dengan sempurna dengan beragam alasan yang belum sepenuhnya dapat dimengerti para ahli. 39 Selain menjadi faktor penentu yang mendasari kemunduran atau kemajuan, para peneliti Asch Center (2010) menekankan bahwa institusi yang sudah tercipta dapat saja merupakan institusi buruk (bad institution), yang dapat bertahan dalam waktu yang panjang. Karena tiada peluang perubahan, institusi buruk itu kemudian melahirkan istilah “terkunci� (lock-in). Bahkan beberapa orang yang memperoeh manfaat dari institusi buruk warisan masa lalu dapat menghalangi kekuatan mayoritas yang tak memiliki kekuatan politis untuk melakukan perubahan. Institusi buruk itu juga sering dikatakan sebagai warisan masa lalu yang membentuk masa kini. Pengalaman negara-negara pascakekuasaan otoriter di wilayah Asia Tenggara seperti dialami Thailand dan Filipina, berupaya keras membangun demokrasi yang stabil dan akuntabel pada satu sisi. Di sisi lain, negara-negara tersebut juga ingin mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang
119
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
tinggi berbasis keadilan sosial. Indonesia bukan suatu pengecualian. Salah satu warisan masa lalu yang amat berharga bagi Indonesia ialah dapat bekerjanya reformasi penganggaran, namun di sisi lain lemah dalam penerapan konsep Negara Hukum (Rule of Law). Para pendiri Republik telah lama memvisikan Indonesia sebagai Negara Hukum, yakni kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Ada dua unsur dalam Negara Hukum yaitu, pertama, hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, melainkan berdasarkan suatu norma objektif, yang juga mengikat pihak yang memerintah. Kedua, norma objektif itu harus memenuhi syarat tidak hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan ide Negara hukum hukum.40 Salah satu unsur Negara Hukum yang relevan dibahas terkait anggaran adalah pemerintahan dijalankan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tidak ada birokrasi pemerintah yang berani keluar dari tugas pokok dan fungsinya yang telah digariskan oleh peraturan perundangan-undangan. Perilaku birokrasi yang bekerja hanya bila ada perintah UU, telah menjebak para penyelenggara negara pada apa yang dikenal dengan rule by law, tetapi bukan rule of law. Gejala “Memerintah dengan Hukum� (rule by law) telah lama menjadi warisan institusional sejak masa Orde Baru. Bisa saja berdampak positif, namun apa jadinya bila ternyata hukum yang ditaati bertentangan satu sektor dengan sektor lainnya? Pelajaran amat berharga dari pelaksanaan UU Keuangan Negara ialah paket UU Pokok Keuangan Negara ternyata mendapat resistensi yang berasal dari internal Pemerintah melalui serangkaian peraturan perUndang-undangan yang muncul kemudian. Pada titik inilah, transisi kekuasaan kepresidenan tidak membantu kita menghadirkan visi Negara Hukum (Rule of Law). Alih-alih menggapai visi hebat itu, birokrasi justru bekerja dalam
120
visi bersebrangan yang destruktif, yaitu “Memerintah dengan
Membangun Institusi Baru bagi Reformasi Perencanaan dan Penganggaran
Hukum� (Rule by Law). Dalam soal rule of law inilah, menurut Davidson (2009:299), mata rantai terlemah dari reformasi. Keberadaan institusi formal yang terdiri atas pihak legislatif, eksekutif, dan yudikatif mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 2005, jumlah Bagian Anggaran (BA) atau kementerian dan lembaga (K/L) yang memperoleh dana APBN berupa sumber pendanaan Rupiah Murni, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Penerimaan Luar Negeri (PLN), dan Hibah Luar Negeri (HLN), sebanyak 68 Bagian Anggaran (K/L) dengan jumlah program yang dilaksanakan mencapai 1030. Sedangkan pada tahun 2012, jumlah K/L meningkat menjadi 86 K/L dengan jumlah program yang diusulkan turun menjadi 426. 41 Kelengkapan peraturan perundang-undangan maupun peraturan pendukungnya guna memberi landasan hukum yang sejalan dengan prinsip Rule of Law dirasakan sudah cukup tersedia. Tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan berupa revisi UU Keuangan Negara. Revisi tersebut perlu dilakukan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan terutama yang berasal dari lead sector. Maka K/L yang menjadi lead sector reformasi perencanaan dan penganggaran ialah Kementerian Keuangan dan Bappenas. Hal ini sebagaimana saran dari Oliver Williamson (2000:597)) tentang perlunya membuat struktur tata kelola yang sesuai dengan perkembangan zaman untuk kurun waktu 1–10 tahun. Struktur tata kelola mencakup kontrak di antara strukturstruktur pemerintah untuk menekan biaya transaksi. Adapun untuk mendukung tata kelola yang baik, diperlukan hadirnya lingkungan institusional yang berisikan aturan-aturan main formal di lembaga politik, lembaga kehakiman dan birokrasi perlu dilakukan penyegaran untuk kurun waktu 10–100 tahun. Sementara upaya untuk memberikan institusi baru guna mendukung anggota DPR melalui pembentukan Pusat Kajian Anggaran DPR seperti tercantum dalam RUU tentang MPR, DPR,
121
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
DPRD dan DPD sebagai perubahan atas UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) terutama pasal 393B dan 393E. Berdasarkan studi PPPI (2012), anggota DPR menyatakan bahwa pembahasan dokumen APBN selama ini dilakukan secara manual. Demikian juga proses notulensi rapat dilakukan secara manual. Sementara itu, peran Sekretariat Jenderal sangat minimal. Sebagian besar narasumber dalam studi itu menyebutkan belum merasakan dukungan dari fungsi sekretariat yang terkait proses pembahasan APBN, khususnya penyediaan informasi dan analisis terkait aspek-aspek substansi anggaran.
Pusat Kajian Anggaran DPR:
Congressional Budget Office ala Indonesia Keberadaan Pusat Kajian Anggaran DPR perlu dibentuk untuk meningkatkan transparansi terhadap pelaksanaan fungsi DPR di bidang anggaran negara. Pembentukan lembaga ini memiliki tiga pertimbangan. Pertama, meningkatkan kualitas transparansi dengan menyediakan data historis, analisis tentang anggaran, dan laporan-laporan tentang APBN. Kedua, meningkatkan publikasi RAPBN, pembahasan-pembahasan dan keputusannya, serta dokumen hasil akhir APBN melalui website DPR RI maupun media lainnya. Ketiga, pembentukan Pusat Kajian Anggaran DPR. Ini dapat meningkatkan partisipasi publik karena rapat-rapat anggaran dapat diikuti publik secara terbuka. Salah satu contoh yang dapat menjadi acuan dalam pembentukan Kantor Anggaran Parlemen misalnya mengambil lesson learned dari Congressional Budget Office (CBO) Amerika Serikat. Unit kerja tersebut dibiayai oleh negara untuk memberikan analisis aspek ekonomi dan anggaran negara secara non-partisan.
122
Selain CBO AS, beberapa negara di Amerika Selatan memiliki kantor
Membangun Institusi Baru bagi Reformasi Perencanaan dan Penganggaran
sejenis. Meksiko memiliki CEFP (Centre de Estudios en Finanzas Publicas) pada tahun 1998 guna membangun kapasitas Majelis Rendah (Lower Chamber) dan melengkapi kerja ILSEN (Instituto de Investigaciones Legislativas de Senado de la Republica) untuk Majelis Tinggi (Upper Chamber) yang telah berfungsi sejak 1985. Tantangan terbesar dari upaya penguatan parlemen di negara Amerika Selatan ialah sistem pemerintahan presidensial di banyak negara Amerika Latin yang memberikan kekuasaan sangat besar kepada presiden untuk menentukan anggaran (Susanto, 2013). Di samping Meksiko, Brasil dan Peru juga telah memulai upaya penguatan kapasitas pendukung parlemen dengan dukungan dari lembaga donor seperti United State Agency for International Development (USAID) dan Inter-American Development Bank (IADB). Beralih ke Benua Eropa, menurut NDI (2003), sebagian besar parlemen di negara Eropa lebih berperan dalam budget influencing.
Parlemen
memiliki
kewenangan
melakukan
amandemen terhadap usulan anggaran pemerintah, namun memiliki kapasitas terbatas untuk merumuskan anggaran secara mandiri (mengganti usulan pemerintah), seperti di Jerman, Polandia, dan Hongaria. Terlebih peran parlemen di Inggris, hanya sebatas budget approving. Parlemen memiliki kapasitas terbatas untuk melakukan amandemen, menyusun, serta menggantikan usulan anggaran pemerintah.
Boks 4: Tentang Congressional Budget Office Amerika Serikat Congressional Budget Office (CBO) di Amerika didirikan pada 12 Juli 1974 berdasarkan Congressional and Impoundment Control Act. CBO mulai beroperasi pada 24 Februari 1975 dan Alice Rivlin ditunjuk sebagai direktur pertama.
123
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Pendirian CBO tidak terlepas dari dinamika kewenangan penyusunan dan pengendalian anggaran antara presiden dan kongres. Pada tahun 1920-an, presiden Amerika memperoleh kewenangan lebih pada proses penganggaran negara. Budget and Accounting Act 1921 memberi presiden kewenangan dan kewajiban menyeluruh untuk penyusunan anggaran. Undang-undang mewajibkan presiden mengajukan anggaran komprehensif kepada kongres. Undang-undang tersebut juga memperluas kewenangan pengendalian anggaran pada presiden dengan mendirikan Bureau of the Budget. Sebaliknya, kongres kehilangan kapasitas kelembagaan untuk menetapkan dan mendorong suatu prioritas anggaran, mengkoordinasikan langkah legislatif pada pengeluaran dan penerimaan, atau menyediakan suatu informasi terkait anggaran dan informasi yang independen terlepas dari pemerintahan. Konflik antara legislatif dan eksekutif mencapai puncaknya pada tahun 1974, saat anggota kongres menolak anggaran yang diajukan presiden. Sebaliknya, presiden mengancam akan menahan anggaran yang terkait dengan kongres yang tidak konsisten dengan kebijakannya. Perselisihan tersebut kemudian mendorong lahirnya Congressional Budget and Impoundment Control Act. The Budget Act memastikan pengawasan kongres terhadap anggaran negara dengan menetapkan prosedur baru untuk mengendalikan anggaran dan melembagakan suatu proses formal di mana kongres dapat membentuk, mengkoordinasikan, dan mendorong prioritas anggarannya secara independen dari presiden. Sebagai tambahan, undang-undang juga membentuk suatu lembaga legislatif baru untuk menjalankan proses penganggaran kongres tersebut, yaitu: the House and Senate Budget Committees. Komisi tersebut bertugas untuk mengawasi proses penganggaran dan Congressional Budget Office memberikan informasi anggaran dan
124
ekonomi secara objektif dan non partisan.
Membangun Institusi Baru bagi Reformasi Perencanaan dan Penganggaran
CBO juga menghasilkan proyeksi anggaran dalam fokus jangka panjang untuk digunakan oleh kongres. Proyeksi ini dibuat dalam kerangka waktu 25 tahun atau dapat diperluas hingga 75 tahun ke masa depan. Proyeksi ini mengunakan data tren demografi dan dampak jangka panjang dari biaya kesehatan. CBO juga memproyeksikan dampak ekonomi dari berbagai kebijakan anggaran jangka panjang. CBO secara periodik memberikan referensi yang membahas berbagai alternatif untuk mengurangi defisit anggaran. Bahan-bahan tersebut mencakup berbagai alternatif dari berbagai sumber. CBO menyajikan berbagai pro dan kontra untuk setiap alternatif tadi tidak memberikan rekomendasi.
Berdasarkan lesson learned pembentukan CBO di Amerika Serikat, parlemen Indonesia sesungguhnya belum terlambat membangun
institusi
pendukung
bagi
terciptanya
fungsi
penganggaran dewan yang tajam dan berorientasi kepada kebutuhan publik. Selain, CBO di AS telah banyak negara memiliki Kantor Anggaran Parlemen, tabel 9 di bawah ini: Tabel 9: Review Karakteristik 6 Kantor Anggaran Parlemen Membuat Kebijakan atau Rekomendasi Anggaran bagi Legislatif
Terhubung dengan Reformasi Penganggaran yang Lebih Luas
Menjalankan Evaluasi Program
Ukuran Staf Profesional
Nama Kantor dan Tahun Berdiri
California Legislative Analyst Office (LAO), 1941
44
Ya
Tidak
Ya
US Congressional Budget Office, 1974
205
Tidak
Ya
Tidak
Philippines Congressional Planning and Budget Department (CPBD), 1990
NA
Ya
Tidak
Ya
125
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Membuat Kebijakan atau Rekomendasi Anggaran bagi Legislatif
Terhubung dengan Reformasi Penganggaran yang Lebih Luas
Tidak
Tidak*
Tidak
Uganda, Legislative Budget 27 Office (PBO), 2001
Ya
Ya
Tidak
Korea, National Assembly 70 Budget Office (NABO), 2003
Tidak
Tidak
Tidak
Mexico, Center for Public Finance Studies (CEFP), 1998
27
Menjalankan Evaluasi Program
Ukuran Staf Profesional
Nama Kantor dan Tahun Berdiri
Sumber: John K Johson and Rick Stapenhurst. Legislative Budget Office: International Experiences
Tabel 9 memberikan pemantik diskusi yang menarik, walaupun sampai buku ini ditulis, masih belum diperoleh jawaban yang utuh. Misalnya dalam soal ukuran staf profesional, jelas Pusat Kajian Anggaran DPR RI belum bisa memberikan jawaban. Menurut RUU MD3 versi 23 Oktober 2013, Pusat Kajian Anggaran DPR RI memiliki tugas pokok dan fungsi, bertanggung jawab kepada siapa dan desain struktur organisasi sebagai berikut: "Pusat Kajian Anggaran DPR didukung oleh tenaga profesional yang memiliki keahlian dan/atau keterampilan di bidang ekonomi makro, moneter dan fiskal dengan tugas pokok melakukan kajian dan analisa kebijakan fiskal yang termuat dalam RAPBN yang diajukan presiden serta menyediakan data ekonomi makro. � “Pusat Kajian Anggaran DPR berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Badan Anggaran.�
126
Membangun Institusi Baru bagi Reformasi Perencanaan dan Penganggaran
”Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi, tugas dan fungsi serta tata kerja Pusat Kajian Anggaran DPR diatur dalam peraturan DPR tentang Tata Tertib.”
Tugas pokok Pusat Kajian Anggaran DPR ialah melakukan kajian serta analisi kebijakan fiskal yang diajukan oleh presiden dalam APBN dan juga menyediakan data ekonomi makro. Tidak dijelaskan apakah Pusat Kajian Anggaran DPR RI dapat melakukan evaluasi program seperti lembaga-lembaga lain, atau apakah Pusat Kajian Anggaran DPR RI dapat membuat kebijakan atau rekomendasi anggaran bagi Legislatif. Selain itu, tantangan paling besar ialah struktur organisasi Pusat Kajian Anggaran DPR yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Badan Anggaran. Konsekuensi dari struktur ini, independensi dan objektivitas Pusat Kajian Anggaran DPR akan dipertanyakan. Telebih lagi, sistem perwakilan Indonesia sepertinya
masih
akan
multipartai.
Bagaimana
menjamin
independensi serta objektivitas—dua norma dasar institusi seperti Kantor Anggaran Parlemen di negara mana pun—bila desain lembaga tersebut sudah berpotensi dapat membuatnya menjadi partisan dan terkooptasi oleh Badan Anggaran, yang selama ini kinerjanya sudah banyak disorot. Kami mengusulkan Pusat Kajian Anggaran DPR langsung bertanggung jawab kepada ketua DPR dan Ketua DPD RI seperti yang dilakukan oleh Congressional Budget Office AS, karena kedua pimpinan Lembaga Legislatif AS menominasikan satu nama calon kepala CBO dengan berkonsultasi kepada Komisi Anggaran DPR dan Senat. Tidak tepat pula bila Pusat Kajian Anggaran DPR bertanggung jawab kepada Sekretaris Jenderal DPR. Walaupun kami sepenuhnya memahami bahwa pembentukan Pusat Kajian Anggaran ini, sama seperti pusat-pusat penelitian di lingkungan DPR, lebih banyak untuk mewakili persoalan Sekretaris Jenderal
127
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
DPR dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Bila ditanya apakah kehadiran lembaga-lembaga yang berada di lingkungan Sekretariat
Jenderal
DPR
berhubungan
dengan
reformasi
penganggaran yang lebih luas? Jawabannya hampir pasti tidak. Berdasarkan studi PPPI (2013) yang melakukan survei terhadap para pengelola program atau pelaksana kegiatan di 6 K/L, sampel studi menemukan jawaban responden atas pertanyaan: “Pengenalan responden tentang Parliamentary Budget Office.� Grafik 2: Jumlah Responden yang Mengetahui PBO
Mayoritas responden menjawab tidak memiliki pengetahuan tentang PBO. Survei menegaskan tugas awal Pusat Kajian Anggaran DPR RI adalah memperkenalkan eksistensi dan produk mereka setelah resmi dilahirkan. Hal ini mengingat pihak responden akan menjadi mitra kerja Pusat Kajian Anggaran DPR.
Perlunya UU Kinerja Instansi Pemerintah Penyempurnaan kerangka regulasi tentang penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) perlu dilakukan untuk lebih
128
mengikat pihak Legislatif. Di samping itu, indikator kinerja yang
Membangun Institusi Baru bagi Reformasi Perencanaan dan Penganggaran
telah dihasilkan oleh pihak K/L perlu digunakan dengan sungguhsungguh pula oleh pihak Legislatif. Untuk itu, peningkatan kapasitas perencanaan dan penganggaran K/L dapat diawali dari perbaikan arsitektur data dan informasi kinerja pada masingmasing K/L. Kementerian Keuangan sebagai lead ministry yang bertanggung jawab atas reformasi penganggaran perlu terus memperbaiki arsitektur data dan informasi kinerja yang lebih berorientasi pada hasil/capaian (outcome) ketimbang keluaran (output). Perbaikan output administratif menjadi output substantif juga menjadi kebutuhan mendesak berikutnya. Perbaikan kinerja DPR harus bisa dilakukan pasca-terpilihnya anggota Dewan yang baru hasil Pemilu, tertutama dalam agenda reformasi anggaran di Parlemen. Melampaui semua harapan tersebut, kiranya perlu kehadiran sebuah undang-undang yang mengatur dengan jelas bagaimana kinerja Pemerintah seharusnya dievaluasi dan dinilai. Termasuk didalamnya dorongan penggunaan informasi kinerja selain melalui pengalokasian anggaran. UU Kinerja Instansi Pemerintah ini penting agar agenda reformasi penganggaran dapat terus dikawal oleh semua pihak melalui regulasi yang mengikat DPR bersama-sama Pemerintah. Berdasarkan pengalaman reformasi anggaran di berbagai negara, memang diperlukan suatu perangkat hukum tertentu yang sederajat dengan undang-undang guna mengikat para pihak yang terlibat dalam pembahasan dan pelaksanaan APBN, misalnya AS melalui Government Performance and Results Acts (GPRA) tahun 1993. Sebelum inisiatif GPRA menjadi UU, telah banyak usaha manajemen anggaran diterapkan oleh Pemeritah Federal AS melalui Planning Programming Budget System (PPBS), Zero-Based-Budget
(ZBB),
Management-By-Objective (MBO)
sampai Performance-Based Budgeting (PBB) dalam kerangka Managing Results. Kesemua inisiatif reformasi manajemen
129
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
anggaran ini tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Namun harapan akan perbaikan manajemen anggaran kembali memperoleh momentumnya setelah GPRA diberlakukan. Agenda UU Kinerja Instansi Pemerintah ini tidak mungkin dipercayakan kepada Anggota Legislatif DPR periode 20092014. Kiranya harapan UU Kinerja Instansi Pemerintah ini dapat kita titipkan kepada anggota DPR terpilih hasil Pemilihan Umum 2014. Undang-undang Kinerja Instansi Pemerintah akan menjadi payung hukum yang mampu mengikat Pemerintah dan DPR untuk bersama-sama menggunakan sajian informasi tentang kinerja kementerian dan lembaga sebagai faktor penentu alokasi anggaran. Informasi kinerja ini akan memuat bukan hanya besarnya alokasi anggaran tahun sebelumnya atau pun serapan anggaran tahun anggaran sebelumnya, tetapi kinerja dalam indikator lainnya.
Simpulan Bab 5 Upaya pembangunan institusi yang mendukung reformasi penganggaran perlu mencakup dua sistem yang terpisah, yakni Sistem Perencanaan dan Penganggaran di K/L serta Sistem Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara di DPR. Meskipun terkesan terpisah, namun kedua sistem itu sebenarnya tidak dapat dipisahkan sama sekali karena saling terkait satu sama lain. Sifat saling terkait ini dikuatkan oleh fakta bahwa Pemerintah bersama DPR selalu berhasil menyepakati RAPBN menjadi APBN setiap tahun, bahkan dengan perubahan di sana dan di sini melalui pembahasan APBN-Perubahan. Apa artinya capaian yang kerap dianggap sudah lumrah ini? Ekskutif dan Legislatif terbukti dapat bekerjasama untuk banyak hal dalam mencapai konsensus
130
ketimbang mempertahankan sikap masing-masing.
Membangun Institusi Baru bagi Reformasi Perencanaan dan Penganggaran
Ikhtiar
membangun
institusi
melalui
pembentukan
Pusat Kajian Anggaran DPR serta usulan RUU Kinerja Instansi Pemerintah perlu dimaknai sebagai sebuah konsensus bersama Pemerintah dan DPR mempercepat reformasi perencanaan dan penganggaran. Hal-hal yang baik dari reformasi penganggaran perlu dipertahankan bahkan perlu dilanjutkan oleh Pemerintahan dan DPR pasca Pemilihan Umum 2014. Publik tidak ingin melihat kontestasi Pemilihan Umum melahirkan elit-elit politik yang cenderung membalikkan reformasi penganggaran ke masa sebelum UU Keuangan Negara berlaku. Gejala itu harus diakui sudah ada, walaupun masih berupa gejala-gejala kecil (sympthomatic). 42
131
"
Upaya pembangunan institusi yang mendukung reformasi penganggaran perlu mencakup dua sistem yang terpisah, yakni Sistem Perencanaan dan Penganggaran di K/L serta Sistem Pembahasan dan Pengesahan Anggaran Negara di DPR. Meskipun terkesan terpisah, namun kedua sistem itu sebenarnya tidak dapat dipisahkan sama sekali karena saling terkait satu sama lain.
"
Bab 6
Penutup
Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. —Paman Doblang, Album Kantata Takwa 1990
Simpulan Reformasi
penganggaran memasuki
fase krusial, yakni
tahap implementasi dengan fokusnya pada pencapain kinerja berupa hasil dan atau keluaran (output). Efisiensi dan efektivitas pelayanan publik merupakan orientasi langsung dari pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK). Sehingga perbaikan pada sistem penganggaran melalui PBK akan berdampak langsung pada naiknya kualitas dan kuantitas pelayanan publik. Menyediakan dan melengkapi peraturan perundangan-undangan untuk melaksanakan PBK merupakan landasan gerakan reformasi anggaran menyeluruh. Juga diperlukan peraturan pelaksanaaan agar anggota legislatif mempunyai keleluasaan gerak dalam menjadikan PBK sebagai instrumen perubahan terhadap perencanaan,
133
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
pembahasan, pelaksanaan dan juga pengawasan anggaran yang lebih akurat, transparan, terukur, dan tepat sasaran pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Ke depan, selain di ranah politik yang melibatkan lembaga legislatif dan eksekutif, perlu dilibatkan juga masyarakat melalui elemen masyarakat seperti lembaga pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk ikut serta memantau dampak dari tercapainya keluaran (output) dan hasil (outcome) dari anggaran yang telah disetujui. Keterlibatan
publik
dimaksudkan
untuk
mewujudkan
transparansi terhadap masyarakat perihal kinerja Pemerintah dan juga menyangkut besaran serapan anggaran dari berbagai macam kegiatan atau agenda pembangunan yang telah ditetapkan. Hal ini tentunya mendorong adanya pengawasan secara terbuka terhadap birokrasi pemerintahan sebagai pelayan publik yang memiliki dan mengemban kewajiban menjalankan amanah rakyat, demi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Pengawasan secara terbuka tentu juga diharapkan mampu mendorong naiknya profesionalitas dari aparatur negara melalui evaluasi secara berkelanjutan. Hal-hal tersebut juga mendorong meningkatnya kepercayaan publik terhadap kinerja birokrasi. Anggota Legislatif dan Pemerintah adalah aktor utama dalam menjalankan reformasi penganggaran, misalnya dalam soal penerapan PBK. Secara substantif yang harus diperhatikan bahwa pelaksanaan PBK bukan hanya mengambil “cara lama� dengan “format baru� akan tetapi melakukan perubahan perilaku dan perbaikan tata kelola. Diharapkan perubahan perilaku serta tata kelola pemerintahan yang baik yang dilakukan oleh kedua aktor utama tadi mampu melahirkan perilaku baru berintegritas dalam merencanakan dan melaksanakan anggaran, serta pelaporan anggaran.
134
Perubahan perilaku yang diharapkan antara lain orientasi anggaran sudah harus pada kinerja atau hasil, dana mengikuti
Penutup
pelaksanaan kegiatan dengan dukungan sumber daya yang tepat, proporsi anggaran didasarkan kepada kebutuhan dan prioritas rasional, penilaian hasil berdasar kepada pencapaian optimal dari program kegiatan, dan juga penggunaan anggaran selalu berorientasi pada prinsip berdaya guna dan berhasil guna. Secara substansial, hal tersebut di atas mengharuskan Pemerintah dan DPR untuk menjalankan proses perencanaan dan penganggaran lebih dari sekadar administratif belaka, akan tetapi sudah harus berani melangkah melampaui yang tertulis (beyond textual). Politik anggaran yang selama satu dekade lebih ini diperankan oleh DPR dan Pemerintah belum berdampak terhadap meningkatkan kepercayaan publik kepada lembaga perwakilan dan pihak Eksekutif di negeri ini. Alih-alih kepercayaan publik membaik terhadap DPR dan Pemerintah, publik semakin memiliki persepsi negatif kepada penyelenggara negara akibat kasuskasus penyimpangan kekuasaan dan korupsi yang tak kunjung berkurang, malah semakin masif. Tugas berat dan besar menanti Parlemen dan Pemerintahan hasil Pemilihan Umum 2014. Di tengah ekspektasi publik yang tinggi kepada calon pemimpin RI serta anggota DPR baru hasil Pemilu 2014, maka sudah sepatutnya beberapa usulan kebijakan dapat dipertimbangkan. Pertama, reformasi penganggaran perlu terus dilanjutkan dengan mempercepat lahirnya RUU capaian kinerja Pemerintah. Latar belakang kehadiran UU Keuangan Negara memang tidak secara spesifik dimaksudkan menghadirkan kinerja Pemerintah, misalnya definisi hasil (outcome), keluaran (output), dampak (impact), dan kerangka kerja model logic tidak tersedia. UU Keuangan
Negara
lebih
dimaksudkan
sebagai
peraturan
payung hukum yang mendudukkan peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, presiden, Kementerian Keuangan, dan kementerian lainnya dalam konteks pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran.
135
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Kedua, penguatan hak anggaran DPR perlu diperkuat dengan sumber daya pendukung berupa sumber daya organisasi dan sumber daya informasi. Bentuk penguatan misalnya kehadiran Kantor Anggaran Parlemen. Adapun sumber daya organisasi berupa sumber daya manusia yang mumpuni dan tidak partisan. Sumber daya informasi berupa informasi sandingan yang berguna bagi DPR menyajikan angka-angka indikator makroekonomi pembanding kredibel dan valid di samping yang disediakan Pemerintah. Kehadiran Kantor Anggaran Parlemen menjadi langkah terobosan yang perlu dipersiapkan dengan sebaikbaiknya.
Rekomendasi Berdasarkan simpulan akhir sebelumnya, kami mengusulkan beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas proses pembahasan dan pengesahan APBN di DPR serta memperbaiki pelaksanaan PBK sebagai berikut:
Kualitas Pembahasan dan Pengesahan APBN 1. Melanjutkan Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja Bertahap dan Terarah Sebagaimana
diamanatkan
oleh
Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2003, penganggaran berbasis kinerja harus diimplementasikan. Seyogianya, keberhasilan implementasi itu harus menjadi agenda penting bagi bangsa ini setelah Pemilu 2014. DPR harus terus melakukan monitoring dan evaluasi
136
sejauh mana implementasi penganggaran berbasis kinerja
Penutup
tersebut di tiap kementrian dan lembaga. Capaian implementasi PBK perlu ditingkatkan melalui penguatan penganggaran terpadu, melanjutkan restrukturiasi program dan kegiatan, serta menerapkan standar biaya khusus yang operasional untuk K/L.
2. Mengembangkan Sistem E-Budgeting di DPR Perlu dilakukan investasi terhadap sistem pengelolaan anggaran yang berbasiskan teknologi informasi. Sistem yang dibangun di DPR tersebut hendaknya dihubungkan pula dengan sistem yang dibangun oleh Kementerian Keuangan dalam mengelola anggaran dan perbendaharaan selama ini.
3. Menyediakan Buku Panduan Pembahasan dan Pengesahan APBN untuk Para Anggota DPR, Staf Ahli, dan Pihak-pihak Terkait Diperlukan buku panduan komprehensif untuk para anggota DPR dan stakeholders lainnya untuk memberikan referensi yang cepat dan praktis. Buku panduan tersebut hendaknya meliputi pemahaman tentang anggaran negara dari berbagai aspek, baik yang memberikan gambaran besar maupun gambaran teknis keuangan negera, khususnya di bidang penganggaran.
4. Mendorong praktik transparansi Perlu
dilakukan
peningkatan
transparansi
terhadap
pelaksanaan fungsi DPR di bidang anggaran negara. Pertama, membuka rapat-rapat anggaran untuk diikuti publik. Kedua, meningkatkan publikasi RAPBN, pembahasan-pembahasan dan keputusannya, serta dokumen hasil akhir APBN melalui website DPR RI maupun media lainnya. Ketiga, meningkatkan kualitas transparansi dengan menyediakan data historis, analisis tentang anggaran, dan laporan-laporan tentang APBN. Salah satu contoh yang dapat menjadi acuan misalnya Congressional Budget Office
137
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
yang berlaku di Amerika. Di mana unit tersebut dibiayai negara untuk memberikan analisis aspek ekonomi dan anggaran negara secara non partisan.
Perbaikan Kualitas Implementasi PBK 1. Meningkatkan Kualitas Implementasi PBK Berbasis Riset Empiris Sebagaimana disampaikan oleh para pengelola program di enam K/L, bahwa implementasi PBK yang telah berjalan belum mampu mencapai level efisiensi sebagaimana desain awal, walaupun telah ada perbaikan dari sisi keterkaitan antara program prioritas dan alokasi anggaran sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing unit eselon I. Akuntabilitas juga perlu terus dibangun dengan mengedepankan prinsip fleksibilitas dalam kerangka akuntabilitas manajerial.
2. Melakukan Perbaikan Arsitektur dan Informasi Kinerja Kementerian/Lembaga serta Menyosialisasikan Intensif kepada Publk Upaya perbaikan aristektur dan informasi kinerja K/L kepada publik dapat dilakukan melalui jejaring sistem terintegrasi yang akan membantu publik mengawal agenda prioritas nasional. Usulan konkret dari studi, misalnya dapat belajar dari negara lain yang telah terlebih dahulu memulai keterlibatan publik dalam mengawal agenda prioritas nasional: New Zealand (http://www. ssc.govt.nz/pif), India (www.performance.gov.in).
138
3. Perlunya Indonesia Memiliki UU Kinerja Instansi Pemerintah
Penutup
UU Kinerja Instansi Pemerintah dapat mendorong indikator kinerja yang telah dihasilkan oleh pihak K/L, juga dapat dipergunakan dengan sungguh-sungguh oleh pihak Legislatif. Berdasarkan riset PBK, pihak Legislatif belum bisa memanfaatkan ketersediaan informasi kinerja—hasil maupun keluaran—guna menetapkan alokasi anggaran di samping alokasi anggaran tradisional.
Untuk
itu,
berdasarkan
pengalaman
reformasi
anggaran di berbagai negara memang diperlukan suatu perangkat hukum tertentu selevel UU guna mengingat para pihak yang terlibat dalam pembahasan dan pelaksanaan anggaran negara, misalnya AS melalui Government Performance and Results Acts (GPRA) tahun 1993. Terobosan UU Kinerja Instansi Pemeritah akan mengikat DPR membahas anggaran tidak hanya berdasarkan besaran alokasi pendapatan dan belanja, tetapi lebih dari itu, kinerja anggaran Pemerintah untuk perbaikan kesejahteraan publik.
4. Melakukan Integrasi Fungsi Perencanaan (Bappenas) dan Penganggaran (Direktorat Jenderal Anggaran) Proses Integrasi dua fungsi—yang kerap dianggap berbeda walaupun sesungguhnya sejalan—di bawah Unit Kerja Presiden pasca 2014, akan semakin memantapkan sistem presidensial yang dianut. Sebab, praktis sejak redefinisi peran MPR era Reformasi kita tidak memiliki arah pembangunan nasional yang komprehesif seperti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) zaman dahulu. Janji presidenlah yang kemudian diformulasikan sebagai Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Integrasi kedua fungsi ini diharapkan mampu melahirkan efisiensi perencanaan dan penganggaran. Tentunya integrasi fungsi perencanaan dan penganggaran ini memerlukan persiapan dan masa transisi yang cukup, agar integrasi sistem
139
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
sempurna dan memperbaiki situasi kondisi, bukan malah permasalahan baru yang muncul. Salah satu pelajaran penting dari integrasi fungsi anggaran dan perencanaan, berasal dari Kementerian Keuangan dan Strategi Korea Selatan. Kementerian Keuangan dan Strategi adalah organisasi payung yang dibentuk setelah penyatuan Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan pada tahun 2008.
140
Endnotes
1
Menurut Susanti (2013:154), UU Keuangan Negara No 17 Tahun
2003 menempatkan DPR pada posisi yang kuat dengan dapat membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah untuk dibahas bersama. Selain itu, kewenangan DPR juga dapat mengajukan usul yang mengakibatkan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam rancangan UU tentang APBN. 2 Simabura, Charles. (2011). Parlemen Indonesia: Lintas Sejarah Sistemnya. Rajagrafindo Persada. Jakarta. 3 Saat ini istilah Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan sudah digabung menjadi Anggaran Terpadu. Walaupun data stok belanja rutin dan belanja pembangunan yang kami sajikan sampai tahun 2011, tiga tahun terakhir tidak banyak perubahan berarti. Belanja pegawai mendominasi belanja barang dan belanja modal. Akan halnya belanja sosial cenderung meningkat mendekati Pemilihan Umum, pagu Anggaran Belanja Bantuan Sosial melonjak hingga Rp91, 8 triliun (Kompas, Sabtu, 22 Maret 2014). 4 Gagasan awal pada Politik Anggaran banyak diilhami oleh Djayadi Hanan (2013), Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis Dalam Konteks Indonesia. Mizan. Bandung. 5
Utang memiliki efek positif dan efek negatif bersamaan, efek positif
daripada instrumen pembiayaan utang memberi leverage terhadap aset-
141
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
aset yang dimiliki suatu institusi (bisnis/privat). Sementara efek negatifnya adalah risiko gagal bayar (default risk) sebagai risiko yang inheren. 6 Staffan Synnerstorm (2007). The Civil Service Toward Efficiency, Effectiveness and Honesty. Dalam Ross McLeod dan Andrew MacIntyre (eds). (2007). Indonesia: Democracy and the Promise of Good Governance. Indonesia Update Series. ISEAS. Singapore. 7
Allen Schick (1998), Why Most Developing Countries Should Not
Try New Zealand Reforms. The World Bank Research Observer Vol 13 No. 1 (Februari 1998), pp. 121-131. 8 Konsep disiplin aggregat fiskal diterapkan untuk mewujudkan anggaran yang sehat dan berkesinambungan. Konsep disiplin aggregat fiskal dikutip dari A Contemporary Approach to Public Expenditute Managemen yang ditulis oleh Prof. Allen Schick (1999), sebagai dokumen yang disiapkan World Bank Institute untuk rangkaian pelatihan public finance management di berbagai negara. 9 Cipta, H. (2011). Analisis Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) Pada Pemerintah Daerah (Studi Eksploratif pada Pemerintah Kabupaten Tanah Datar). Padang, Sumatera Barat: Program Pascasarjana Universitas Andalas. 10 Cipta, H. Ibid 11 Cipta, H. Ibid 12 Blondal, Jon R, Ian Hawkesworth and Hyun-Deok Choi (2009). Budgeting in Indonesia. OECD Journal on BudgetingVolume 2/2009. Page 1-31. 13 Haryanto, A (2004). Legal Aspect in Determining Policy Financial Policy (Aspek Hukum dalam Penetapan Kebijakan Keuangan Negara). Dalam Subiyantoro dan Riphat (eds). Fiscal Policy: Idea, Concept and Implementation. 14 Soesastro, H (2003). Economic Recovery and Reform in Indonesia. CSIS Working Paper Series WPE 066, Jakarta: CSIS.
142
Endnotes
15 Robinson, M. & Brumby, J. 2005. Does Performance Budgeting Work? An Analytical Review of the Empirical Literature. IMF Working Paper SeriesIMF Working Paper Series. 16 Ministry of Finance and Bappenas. 2009. Pedoman Restrukturisasi Program and Kegiatan. [Principles of Program and Activities Restructuring]. Jakarta 17 Sancoko, Bambang, Djang Tjik A.S, Noor Cholis Madjid, Sumini dan Hery Triatmoko. 2008. Kajian Terhadap Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja di Indonesia. Hasil Riset Empiris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Jakarta. 18 Ministry of Finance and Bappenas. 2009. Pedoman Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja. [Principles of Performance Based Budgeting Enactment]. Jakarta. 19 Istilah nyata dan terukur kami gunakan mengingat birokrasi selalu memerlukan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan. Pada hemat kami PP 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, PP 21/2004 tentang Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-KL), dan PP 90/2010 tentang RKA-KL perubahan PP 21/2004 belum cukup memberi petunjuk teknis dan pelaksanaan bagi birokrasi Pemerintah. 20 Pada riset PPPI (2013) kami hanya memilih 3 dari 6 K/L pilot project PBK, selain itu mengambil pula 3 K/L non-pilot project sebagai pembanding (Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Sosial). 21 Ministry of Finance. 2002. The White Paper Reform of Public Financial Management System in Indonesia: Principles and Strategy. Publication Series 2002/KPMK/VII/MK/003. 22 Gambar 5 ini akan dibahas pula pada Bab 3 dengan terminologi lain model logic framework (logframe). 23 Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi. 24 Rhee, Dong-.Young. 2009. Performance-Based Budgeting: Reality Or Rhetoric? Dissertation submitted to the Graduate School Newark Rutgers,
143
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
The State University of New Jersey. Dissertation submitted to Graduate School-Newark Rutgers, The State University of New Jersey. 25 Lee, J. Y.J. & Wang, X. 2009. Assessing the Impact of PerformanceBased Budgeting: A Comparative Analysis across the United States, Taiwan, and China. Public Administration Review, December. 26 Denhardt, R,B. & Denhart, J.D. 2000. The new public service: Serving rather than steering. Public Administration Review 60(6): 249-259. 27 Denhardt, R,B. & Denhart, J.D. 2000. Ibid. 28 Denhardt, R,B. & Denhart, J.D. 2000. Ibid. 29 Direktorat Jenderal Anggaran. Sekilas APBN (2011): Dinamika Penganggaran di Indonesia. Halaman 74. 30 http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-konten-view. asp?id=915. Akses pada tanggal 18 Februari 2012 31 Direktorat Jenderal Anggaran. Sekilas APBN (2011): Dinamika Penganggaran di Indonesia. Halaman 80. 32 Van, Doreen, Bouckaert, G., and Halligan, J. 2010.Performance Management in the Public Sector. Routledge, New York. 33 Blondal el al (2009:22) juga mengingatkan perihal simplifikasi dokumen anggaran pada umumnya terjadi beriringan dengan reformasi penganggaran lainnya seperti pengenalan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) dan Penganggaran Kinerja (Performance Budgeting). Hingga buku ini ditulis, Pemerintah telah berupaya menerbitkan Citizen Budget guna peningkatan transparansi dan akuntabilitas, namun dokumen anggaran ke Parlemen relatif tidak berubah. 34 Berdasarkan penjelasan Direktur Sistem Penganggaran Dirjen Anggaran pada Seminar Hasil Penelitian, Rabu, 18 Desember 2013 Pemerintah sampai saat ini belum memiliki protokol kerja apabila RAPBN tidak disetujui DPR maka setinggi-tingginya menggunakan angka APBN tahun sebelumnya. 35 Tata Tertib DPR 2009 – 2014 pasal 53. 36 Tata Tertib DPR 2009 – 2014 Pasal 62.
144
37 Simabura, Charles. Op.Cit, hal 21.
Endnotes
38 North, Douglass. 1994. Economic Performance through time dalam American Economic Review, 84(3): pp 359-68. 39 Ash Center for Democractic Governance and Innovation. 2010. From Reformasi to Institutional Transformation: A Strategic Assessment of Indonesia’s Prospect for Growth, Equity and Democratic Governance. 40 http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_hukum. 41 Penurunan jumlah program merupakan kebijakan yang diinginkan pemerintah melalui Restrukturisasi Program dan Kegiatan K/L. Upaya ini sejalan dengan prinsip penerapan PBK – money follow function, function follow structure diharapkan tidak ada lagi tumpang tindih tugas pokok dan fungsi setelah kebijakan Restrukturisasi Program dan Kegiatan 42 Misalnya Artikel Opini di Media Indonesia oleh W Riawan Tjandra berjudul “(Jangan) Lucuti Pengawasan Preventif APBN”
145
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Daftar Pustaka
Buku Arinanto, Satya. 2011. Kebebasan Informasi Publik versus Rahasia Negara. Ghalia Indonesia. Bappenas. 2009. Kerangka Pemikiran Reformasi Perencanaan dan Penganggaran. Indonesia. Chalid, Hamid, Jamil Mubarok, Eflina P Sinulingga, dan Sigit I. Prianto. 2010. Kapita Seleksi Kasus-Kasus Korupsi di Indonesia. Masyarakat Transparansi Indonesia. Department of Human Services. 1999. Office of the Legislative Fiscal Analyst. Performance Based Budgeting. Division of Child And Family Services. Dewan Perwakilan Rakyat. 2011. Rencana Strategis Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 2010–2014. Djaja, Ermansjah. 2010. Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sinar Grafika Hair, Jr., Anderson, R.E., Tatham, R.L., & Black, W.C. 2010. Multivariate Data Analysis. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. Hair, J.F., Bush, R.P and Ortinau, D.J. 2009. Marketing Research. McGraw-Hill.
146
Daftar Pustaka
Hanan, Djayadi. 2014. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia. Mizan.Bandung. Kelly, J. M. & Rivenbark, W. 2003. Performance Budgeting for State and Local Government. M.E. Sharpe. Kementerian Keuangan dan Bappenas. 2009. Pedoman Restrukturisasi Program and Kegiatan. [Principles of Program and Activities Restructuring]. Jakarta. Lewis, Carol W & W Bartley Hildreth. 2010. Budgeting Politics and Power. Oxford University Press, North Carolina. Lewis-Beck, M. 1988. Economics and Elections, University of Michigan Press, Ann Arbor. Madani, Muchlis. 2011. Dimensi Interaksi Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik. Graha Ilmu. Nordiawan, Deddi. 2006. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Nugroho, Riant. 2011. Manajemen Perencanaan Pembangunan. Elex Media. Pramudya, Kelik, dan Ananto Widiatmoko. 2010. Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum. Pustaka Yustisia Republik Indonesia. 2011. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011. Novindo Pustaka Mandiri Republik Indonesia. 2010. Kompilasi Perundangan Anti Korupsi. Pustaka Yustisia Republik Indonesia. 2010. Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sinar Grafika Republik Indonesia. 2010. Petunjuk Penyusunan dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Cipta Jaya. Sangadji, Etta Mamang dan Sopiah. 2010. Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dalam Penelitian. Andi
147
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Soesatyo, Bambang. 2011. Perang-Perangan Melawan Korupsi: Pemerintahan Korupsi di Bawah Pemerintah SBY. Ufuk Publishing House. Susanto, Mei. 2013. Hak Budget Parlemen di Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. The Performance Based Management Handbook. 2001. Establishing and Maintaining a Performance Based Management Program. Training Resources and Data Exchange Performance-Based Management Special Interest Group. Tufte, E. 1978. Political Control of the Economy, Princeton University Press, New Jersey. Van, Doreen, Bouckaert, G., and Halligan, J. 2010. Performance Management in the Public Sector. Routledge, New York.
Artikel Berkala Besley, T and A. Case. 1995. “Does Political Accountability Affect Economic Policy Choices,” Quarterly Journal of Economics, Vol. 110: 769-798. Brender, Adi and Allan Drazen. 2005. “Political Budget Cycles In New Versus Established Democracies,” Journal of Monetary Economics, Vol. 52: 1271-1295. Brinkerhoff, D. W. 2000. Democratic Governance and Sectoral Policy Reform: Tracing Linkages and Exploring Synergies. World Development, 28(4): 601-615. Blondal, Jon R, Ian Hawkesworth and Hyun-Deok Choi. 2009. Budgeting in Indonesia. OECD Journal on Budgeting Volume 2/2009: 1-31. Denhardt, R,B. & Denhart, J.D. 2000. The New Public Service: Serving Rather Than Steering. Public Administration Review 60 (6): 249259.
148
Daftar Pustaka
Denhardt, R.B. & Denhart, J.V. 2003. The New Public service: An Approach to Reform. International Review of Public Administration 3. Dose,J.J. 1997. Work values: An integrative Framework and Illustrative Application to Organization. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 70: 219. Lee, J. Y.J. & Wang, X. 2009. Assessing the Impact of PerformanceBased Budgeting: A Comparative Analysis Across the United States, Taiwan, and China. Public Administration Review, December. OECD. 2004. The Legal Framework for Budget System: An International Comparison, OECD Journal on Budgeting, Volume 4 No.3. Robinson, M. & Brumby, J. 2005. Does Performance Budgeting Work? An Analytical Review of the Empirical Literature. IMF Working Paper Series IMF Working Paper Series Rodriguez, A. & Bijotat, F. 2003. Performance Measurement, Strategic Planning, and Performance-Based Budgeting in Illinois Local and Regional Public Airports. Public Works Management & Policy, 8: 132-145. Young, R.D. 2003. Performance-Based Budget Systems. Public Policy & Practice, January 2003 17
Laporan, Makalah, Presentasi di Konferensi Agus, Puji. 2012. Bagaimana Penganggaran Berbasis Kinerja dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah mempengaruhi Efisiensi Operasional pada Satuan Kerja. [How Performance Based Budgeting and MTEF impact operational efficiency in working unit]. Paper Balai Diklat Keuangan, Cimahi. Basyir, Syafril. 2010. Konsep dan Roadmap Implementasi Sistem Perencanaan dan Penganggaran. [Concept and Roadmap Reform of Planning and Budgeting System]. Paper Proceeding
149
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Seminar Implementation of Performance Based Budgeting in Law, Judiciary and Human Right Sector. Jakarta. Indonesia Infrastructure Initiative and Australia Indonesia Partnership. 2010. Expenditure Planning and Performance-Based Budgeting: In The Directorate General Of Highways. Kaufmann, D., Kraay, A., Mastruzzi, M. 2010. The Worldwide Governance Indicators: Methodology and Analytical Issues. The World Bank Development Research Group Macroeconomics and Growth Team. Johnson, John K. & Rick Stapenhurst. 2008. Legislative Budget Office: International Experiences in Legislative Oversight and Budgeting: A World Perspective. Rick Stapenhurst, Riccardo Pelizzo, David M.Olson and Lisa Von Trapp (eds). World Bank Institue, WBI Development Studies. Ministry of Finance. 2001. Prinsip Keuangan Negara dalam Paket Rancangan Undang-Undang Bidang Keuangan Negara. [State Finance Principle in the Bill of State Finance]. Jakarta. Ministry of Finance. 2002. The White Paper Reform of Public Financial Management System in Indonesia: Principles and Strategy. Publication Series 2002/KPMK/VII/MK/003. Mercer, J.
2002. Performance Budgeting at Federal Agencies: A
Framework. Sancoko, Bambang, Djang Tjik A.S, Noor Cholis Madjid, Sumini dan
Hery
Triatmoko. 2008. Kajian
Terhadap
Penerapan
Penganggaran Berbasis Kinerja di Indonesia. Hasil Riset Empiris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Jakarta. Sitepu, T.J., Santosa, B.P., Mayasari, I., Ikhsan, M., Junaidi. 2013. Satu Dekade Penganggaran Berbasis Kinerja Di Indonesia: Rekomendasi Kebijakan Untuk Perbaikan. Dipresentasikan di The 3rd International Conference on Government Performance
150
Daftar Pustaka
Management and Leadership,
September 22-23, Waseda
University Tokyo. Sitepu, T.J., Santosa, B.P., Junaidi, Rahmania, Tia dan Wahyutama. 2012. Pembahasan dan Pengesahan APBN di DPR secara De Facto dan De Jure: Langkah Awal Pembenahan. Jakarta: Laporan Riset ProRep-USAID.
Tesis dan Disertasi Doktoral Rhee, Dong-.Young. 2009. Performance-Based Budgeting: Reality Or Rhetoric? Dissertation submitted to the Graduate School Newark Rutgers, The State University of New Jersey. Dissertation submitted to Graduate School-Newark Rutgers, The State University of New Jersey. Napitupulu, Marudut R. 2011. Medium Term Expenditure Framework Reform: A Preliminary Review of Indonesia’s Experiences. Thesis Submitted to The Crawford School of Economics and Government, Australian National University, Australia.
Koran, Majalah, Internet Joyce, Philip. 2010. Obama’s Performance Measurement Agenda. Dalam
http://www.governing.com/columns/mgmt-insights/
obama-performance-measurement-agenda.html, 1 Januari 2013 Wahyuni, Trisacti. 2006. Penganggaran Berbasis Kinerja pada Kementerian/Lembaga: Masih Harus Banyak Berbenah. http:// www.bpkp.go.id/warta.
151
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Indeks
A Abdul Hadi Djamal 112
Pembangunan Nasional
Advisory Body 31
(Bappenas) xvii, xix, 28, 30,
Akuntabilitas 11, 15, 26, 35, 41-
31 - 32, 38, 46, 65, 68, 121,
42, 48, 50, 57, 59, 65-66, 69, 74, 81, 89, 91, 138, 144
139, 143 Bagian Anggaran (BA) 121
Al Amin Nasution 112
Bahan Bakar Minyak 8, 88
Allen Schick 17, 49, 141
Bank Century 90
Amerika ii, vii, xvi, xxi, 49, 75-76,
Barrack Obama 76
122-123, 125, 137 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 96 Anggaran Pendapatan dan
152
Badan Perencanaan dan
Action Plan 42
Barry Anderson 117 Basyir 34, 149 Belanda vii, 76-77 birokrasi vi, xv, xvi, xviii, xix, 2-3,
Belanja Negara (APBN) 2, 21,
18, 45, 47, 74, 82, 84, 86, 120-
96, 105, 115
121, 134, 142-143
Anies R Baswedan v, viii
Blondal, Jon R 142, 148
Asch Center 119
Bouckaert 66, 69, 143, 148
Australia vii, 76-77, 149
Brasil 123
Austria 77
Budget approving 123
B
Budget influencing 123
Badan Anggaran (Banggar) 97
Bulyan Royan 112
Indeks
C
E
California, Lihat LAO 125
E-Budgeting 137
Center for Public Finance
Efisiensi 2-3, 28, 34-35, 41, 57-
Studies (CEFP) xx,123,126
58, 61, 63-66, 68-69, 75, 85,
Check and balance 4, 18 Congressional Budget Office
133, 138-139, 149 Ekonomi Makro 35, 61, 93, 106,
(CBO) 122-123 Congressional Planning and
126, 140 Eksekutif xviii, xxii, 2, 4-6, 85-86,
Budget Department (CPBD)
90, 104, 109, 112, 121, 124,
xx, 125
134-135
D
Eropa 123
Daerah Otonomi Baru 90
F
Dana Alokasi Umum 57
Filipina xx, 119
Dana Percepatan Pembangunan
Finlandia 76
Infrastruktur Daerah (PPID)
Fiskal 20, 27-28, 35, 50, 61, 63, 93, 100-101, 106-107, 126,
112
140-141
Davidson 120 Demokrat 111-112
G
Denhardt, R,B. & Denhart 144,
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 139
148 Denmark 76
Golongan Karya (Golkar) 112
Dewan Perencanaan Nasional
Government Performance Result Act (GPRA) xxi,129-
31
130,139
Dewan Perwakilan Daerah 96 Dewan Perwakilan Rakyat xvi, 2, 26, 45, 87, 93, 95-96, 105, 146
Guandong vii, 75-76
H
Dickson 20
Hak angket 105
Distribution of Power 104
Halligan 66, 69, 143, 148
Ditjen Perhubungan 112
Haryanto, A 142
Djang Tjik A.S 80, 142, 150
Hibah Luar Negeri (HLN) 121
Djayadi Hanan 141
Holger Van Eden 81 Hongaria 123
153
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Hyun-Deok Choi 142, 148
130, 135, 137-139, 142-143,
I
147
Ian Hawkesworth 142, 148
Kementerian Keuangan xix,
Indische Comptabiliteitswet
28, 29, 36, 40, 42, 124, 129,
(ICW) xxi, 29 Informasi Kinerja vii, xx, 12, 22,
140,147 Kementerian Pendidikan dan
24, 26-27, 32, 34, 44, 49, 66,
Kebudayaan (Kemdikbud) 38,
71, 73-75, 77, 79, 81, 84, 86,
85-86
128-130, 138
Kerangka Pengeluaran Jangka
Inggris 76, 97, 123
Menengah (KPJM) 9-10, 24,
Input xxii, 35, 47-48, 57-58, 60, 62, 66, 68-69, 82
33 Kinerja iv, vi, vii, x, xi, xii, xv, xvi,
Institute of Research and
xvii, xviii, xx, xxi, xxii, 2, 4, 9-13,
Empowerment (IRE) 111
15, 18-19, 22, 24-27, 32-35,
International Monetary Fund
37, 39-44, 46-50, 52-54, 56-
(IMF) 66
58, 60-62, 64, 66, 69-71, 73-
Interpelasi 105
77, 79-86, 89-90, 92, 128-130,
J
133-136, 138-139, 142, 144,
Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) 90
149-150 Komisi Pemberantasan Korupsi
Jerman 77, 97, 123 Johan J.A.Posseth 80
Korea Selatan vii, xx, 77, 139
Joyce 76
L
K
Laporan Keuangan Pemerintah
Kanada 76 Keefektifan 32, 34-35, 41, 50, 65-66, 68-69, 98 Kementerian vii, x, xvi, xvii, xix,
Pusat (LKPP) 7-8 Laswell 5 Lee dan Wang 75-76 Legislatif x, 2, 4-6, 49, 74, 81,
xx, 2, 9, 21, 26, 28-31, 35-36,
104-105, 110, 121, 124, 127-
38, 40-43, 45, 63-64, 70, 82-
130, 133-134, 138
83, 89, 93, 95, 98, 100-101,
154
(KPK) 112, 146
106-107, 112, 118, 121, 128,
Legislative Analysis Office (LAO) 125
Indeks
Lewis Hawke 80
Outcome 22, 24, 34, 43, 46, 48,
Logic Model vii, 82
65-66, 68, 80, 82, 85, 129,
M
134-135
Management by Objectives 52
Output 21-22, 24, 32, 34-35,
Manajemen Anggaran v, x, xviii,
42-44, 46, 48, 57-58, 60,
5, 8-9, 13-14, 117, 129
65-66, 68-71, 80, 82, 85, 129,
Mardiasmo 49, 56-57, 143
133-135
Matthew Andrews 47
P
Megawati Sukarnoputri 11
Paramadina Public Policy
Meksiko xx, 122-123 Millenium Development Goals (MDGs) 20
Institute (PPPI) ii, iv, ix, xi, xxi Parlemen vi, vii, xv, xvi, xviii, xix, xx, xxi, 8, 29, 46-47, 86, 92, 97,
Muhammad Nazaruddin 112
112, 118, 122-123, 125, 127,
N
129, 135-136, 140, 144, 148
National Assemby Budget Office (NABO) 20,126 National Democratic Institute (NDI) 123 New Zealand 138, 141 Noor Adenan Razak 111 Noor Cholis Madjid 80, 142, 150 North, Douglass. 144
O
Parliamentary Budget Office (PBO) xx, 13, 126, 128 Partai Amanat Nasional (PAN) 111-112 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 112 Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) xxii, 9-10, 13, 18, 33, 47, 128, 133
Oliver Williamson 121 Orde Baru 4, 17-18, 20-21, 30, 45, 87-88, 120 Organization of Economic
Penganggaran Terpadu x, 9-10, 24-25, 28, 30, 34, 36, 45, 86, 136 Perancis 76, 97
Cooperation and
Pilot Project 38, 44, 76, 143
Development (OECD) 52, 69,
Planning Programming Budget
83, 100, 101 148, 149, 161
System (PPBS) 129
Osborn dan Gaebler vii, 50, 52 Otonomi 12, 65, 90, 143
155
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Politik Anggaran iv, v, viii, ix, xi,
Rencana Pembangunan Lima
xii, xv, xvi, 5-8, 13-14, 66, 105, 115, 135, 141
Tahun (Repelita) 20 Rencana Strategis (Renstra) 36
Produk Domestik Bruto 8
Reses 100, 103
Program Legislasi Nasional 90
Resource envelope 35
Program Representasi iv, v, xi,
Restrukturisasi 38, 40-41, 69, 71,
xvii, xxi
73, 142, 144, 147
Rapat Dengar Pendapat (RDP) 99, 103
Reward and Punishment 75 Rhee, Dong-.Young 143
R
Riset Empiris 138, 142, 150
Reformasi v, vi, vii, ix, xvi, xviii, 4,
Robinson dan Brumby 22, 24
9, 11-12, 15, 17-18, 24, 29, 33-
Rubber stamp 45, 87
34, 36-40, 45, 47, 49-50, 74,
RUU 31, 90, 92, 107, 121, 126,
76, 86-88, 106, 112-113, 117, 120-121, 127-135, 138-139,
S
144, 146
Saleh Djasit 112
Reglement voor het Adminis-
足
tratief Beheer (RAB) 29
Sarjan Taher 111 Selandia Baru 15, 76-77, 97
Reinventing Budget 30
Separation of Power 104
Rencana Anggaran Pendapatan
Shim dan Siegel 50
dan Belanja Negara (RAPBN)
Simabura, Charles 140, 144
21, 24, 46, 99, 108, 110, 122,
Sisa Lebih Penggunaan
126, 130, 137, 144 Rencana Kerja dan Anggaran
Anggaran (SILPA) 2 Spending Well 58
Kementerian/Lembaga
Spending Wisely 58
(RKA-K) 26
Status Quo 11, 31, 33
Rencana Kerja Pemerintah 9, 23, 92, 142 Rencana Pembangunan Jangka Menengah 21, 35, 139 Rencana Pembangunan Jangka
156
130, 135
Panjang 21, 139
Subsidi Energi 8 Surat Edaran Bersama (SEB) 11, 36 Surat Utang Negara 9 Swedia 76 Swiss 77
Indeks
Sympthomatic 131
V
Synnerstorm 11, 31, 33, 44, 141
Value for Money 9, 41, 60
T
Van Dooren 66
Taiwan vii, 75-76, 143, 149
Van Nispen & Posseth 81
Tanjung Api-api 111
W
Tindak Pidana Pemberantasan
Wa Ode Nurhayati 112
Korupsi (Tipikor) 111-112 Transparansi xx, 15, 27-28, 57,
Wisma Atlet 112 World Bank xxii, 56, 141, 150
59, 74, 122, 134, 137, 144,
Y
146
Yudikatif 121
Turning Time 12
Z
U
Zero-Based Budgeting 129
Unified Budget – lihat Penganggaran Tepadu x,33 United Nation Public Administration Network (UNPAN) 7 unit eselon 38, 64, 82, 138 Unites States Agency for International Development (USAID) ii, xi, xxi, 123 UUD 1945 ix, 96 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ix, 9, 97 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) 121 UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional 11, 21, 33, 37
157
Menuju Politik Anggran Berbasis Kinerja
Tentang Penulis
Emil Radhiansyah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan International Fakultas Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina, Jakarta. Saat ini, Ia menjabat Ketua Program Studi Hubungan Internasional November 2013–sekarang dan dipercaya menjadi Koordinator Jurnal Hubungan Internasional. Magister Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia ini berpengalaman bekerja pada sektor swasta, terlibat diberbagai forum kerjasama internasional yang didukung Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pendidikan dan dan Kebudayaan, serta Kementerian Perdagangan. Emil— demikian biasa disapa—dapat dihubungi di emil.radhiansyah@ paramadina.ac.id.
Junaidi Peneliti dengan spesialisasi pada bidang hukum (legal specialist) pada Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Universitas Paramadina, Jakarta. Di PPPI, Junaidi telah banyak menghasilkan riset kebijakan, di antaranya Riset De Facto dan De Jure Pembahasan dan Pengesahan APBN dan Riset Satu Dekade Penganggaran Berbasis Kinerja di Indonesia. Sarjana Hukum dari
158
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ini telah lama berkecimpung
Tentang Penulis
sebagai pengacara Lembaga Bantuan Hukum Aceh (LBH Aceh) maupun pengabdian di sektor publik. Pada tahun 2006-2009, Ia bekerja pada Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NADNias sebagai Manajer Organisasi Judisiari dan Kepala Monitoring Evaluasi Deputi Hubungan Kelembagaan dan SDM BRR NADNIAS. Jun —begitu biasa dipanggil —dapat dihubungi di junaidi@ policy.paramadina.ac.id dan akun twitter @joenaidhie.
Muhamad Iksan Peneliti dengan spesialisasi pada bidang keuangan publik (public finance specialist) pada PPPI. Ia mengajar pula pada Program Studi Manajemen Fakultas Manajemen dan Bisnis, Universitas Paramadina, Jakarta. Di PPPI, Ia telah banyak merampungkan penulisan riset kebijakan, di antaranya Riset Satu Dekade Penganggaran Berbasis Kinerja di Indonesia dan Studi Dampak Penanaman Modal Asing Perusahaan Amerika Serikat bagi Perek. Sebelum bergabung dengan PPPI, Magister Manajemen dari Universitas Paramadina bekerja pada Perusahaan Sekuritas BUMN dan mengajar di FISIP Universitas Indonesia. Iksan dapat ditemui di muhamad.ikhsan@policy.paramadina.ac.id dan akun twitter @mh_ikhsan.
Tatok Djoko Sudiarto Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan International Fakultas Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina, Jakarta. Ia telah berpengalaman bekerja pada sektor pendidikan di beberapa universitas dan juga bekerja pada sektor swasta. Kandidat Doktor dari Universitas Trisakti ini terlibat diberbagai forum kajian ekonomi syariah serta isu-isu politik ekonomi internasional pada berbagai seminar. Tatok dapat dihubungi di tatok.sudiarto@paramadina. ac.id
159
Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Pusat Studi (Think Tank) di bawah Universitas Paramadina dengan fokus perhatian pada kebijakan publik. PPPI didirikan pada tanggal 12 Januari 2010, memiliki berbagai aktivitas utama, yaitu: • Mendorong konsep pemerintahan yang efektif dan transparan. • Melakukan monitoring dan evaluasi atas layanan publik. • Memberikan rekomendasi solusi berdasarkan riset dan analisis akademis. • Memperkuat proses perencanaan layanan publik dengan memberikan proyeksi atas potensi isu di masa mendatang. • Melakukan gerakan anti korupsi dan pengecekan integeritas bekerja sama dengan institusi penegakan hukum dan organisasi masyarakat madani di Indonesia. PPPI mempunyai visi: Promoting a sound public policy and enabling Indonesia to explore its great potential. Nilai utama yang PPPI jadikan pedoman bagi setiap aktivitas riset maupun advokasi kebijakan publik dapat dirangkum dalam tiga nilai: 1. Independency (Kemandirian): suara kepentingan publik adalah yang ter penting, dalam aktivitas PPPI menghindari benturan kepentingan. 2. Excellent (Unggul): PPPI selalu menggunakan data dan metode dengan sumber yang dapat dipercaya dalam menjalankan riset dan aktivitas studi lainnya. 3. Influence (Pengaruh): PPPI berupaya memastikan hasil riset para penelitinya tidak hanya berkualitas secara akademis, lebih dari itu, berdampak kepada pengambil kebijakan. Di usianya yang masih belia, PPPI telah dipercaya menjadi host launching Indonesian Economic Quarterly World Bank setiap triwulan tiap tahun. Beberapa seminar bekerjasama dengan Asia Development Bank (ADB), Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan workshop tentang antikorupsi pernah diselenggarakan dan diorganisasi oleh PPPI. Jl. Gatot Subroto Kav. 97 Mampang, Jakarta 12790 – Indonesia t. +62-21 7918 1188 f. +62-21 799 3375 m.+62-81 517 555 712 http://policy.paramadina.ac.id email: info@policy.paramadina.ac.id