Policy Brief Maret 2015
Studi tentang Program Sertifikasi Guru Sekolah Dasar: Analisis Kepuasan Pengguna Layanan Pendidikan Dasar Studi Kasus di DKI Jakarta dan Labuan Bajo, NTT PESAN UTAMA Program Sertifikasi Guru berdasar UU No.14 Tahun 2005 yang dilaksanakan pada 2007 telah berhasil menyertifikasi 49% dari lebih dari 3 juta guru di Indonesia. Namun, sangat disayangkan, dana sertifikasi yang telah dikucurkan nampaknya belum memberikan manfaat yang signifikan terhadap kompetensi guru. Studi yang meminta pendapat orangtua dan siswa ini menunjukan lebih jauh bahwa orang tua dan siswa cukup puas, meskipun kompetensi pedagogik dan profesional guru perlu perbaikan. Hal ini mendorong pemerintah untuk segera mengadakan pelatihan yang rutin, mendalam, dan berkelanjutan.
REKOMENDASI UTAMA KEBIJAKAN 1. Perlunya pemerintah memperbaiki pelatihan bagi guru yang dirasakan kurang dari segi kuantitas maupun mutu dari pelatihan yang sudah ada. Maka untuk mendukung perbaikan pelatihan bagi guru dibutuhkan prasyarat hadirnya kebijakan dan politik anggaran pemerintah pusat dan daerah terkait pelatihan 2. Untuk memperbaiki konteks penyelenggaraan tunjangan profesi guru, maka kriteria untuk guru yang belum disertifikasi perlu mencakup beberapa hal yaitu: lamanya masa kerja, telah mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG), mempunyai potensi bagi pengembangan profesionalitas dapat berupa prestasi akademik dan non akademik, telah berpendidikan S1 dengan PKL/Magang/Asistensi/PPG 3. Pemerintah perlu mempertimbangkan secara seksama usulan sentralisasi kebijakan pendidikan yang mencakup terbatas pada dua aspek: pertama, remunerasi guru sehingga dapat mencapai transparansi dan integritas dan kedua, tentang rekrutmen guru.
Ringkasan Eksekutif Guru menjadi pusat gravitasi peningkatan mutu pendidikan. Konsekuensinya, pemerintah meluncurkan program sertifikasi guru pada 2007 berdasarkan UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Ibarat umpan yang manis, program sertifikasi berhasil mendorong guru memenuhi persyaratan untuk mendapatkannya; mulai dari portofolio sampai pelatihan wajib. Setelah tujuh tahun berjalan, melebar dari Indonesia bagian Barat ke Tengah dan Timur, jumlah guru yang sudah disertifikasi mencapai sekitar 1,5 juta orang dari lebih dari 3 juta guru di seluruh Indonesia. Cerita yang negatif sebagai dampak sertifikasi mulai bermunculan, meskipun sporadis dan kasuistis. Benarkah program sertifikasi gagal mencapai tujuannya? Studi ini bertujuan untuk: (1) evaluasi efek sertifikasi terhadap kepuasan guru, siswa, dan orangtua; (2) analisis iklim sekolah; (3) mengetahui apakah terdapat diskrepansi kebijakan dalam pelaksanaan sertifikasi guru. Studi ini berjalan selama 4 bulan di dua daerah: Jakarta dan Labuan Bajo, NTT. Dua studi kasus ini mewakili dua kondisi yang berbeda, sehingga diharapkan temuan studi ini dapat mewakili kondisi sekolah di tanah air. Studi ini menggunakan metodologi kuantitatif dan kualitatif. Selanjutnya, dua SD negeri di setiap lokasi dipilih untuk survei (guru dan siswa), focus group discussion (orangtua), dan wawancara (kepala sekolah, dinas, dan Pemda). Studi ini mengadaptasi studi dari Mardapi dkk (2008) untuk iklim sekolah dan kompetensi serta menggunakan ServQual (1988) Policy Brief PPPI | 1
untuk mengukur perbedaan antara ekspektasi dan persepsi dalam mengukur kepuasan. Data kuantitatif selanjutnya diolah dengan analisa faktorial MANOVA (multiple analysis of variance) untuk melihat kepuasan, iklim sekolah, dan kompetensi dari tiga faktor tetap: lokasi, jenis kelamin, dan status sertifikasi. Data kualitatif diolah dengan bantuan piranti lunak NVIVO.
“Program yang bertujuan mulia ini berhasil meningkatkan kesejahteraan guru secara signifikan, namun ternyata tidak meningkatkan mutu pendidikan atau kompetensi guru secara umum.�
Metodologi Penelitian Riset terhadap manfaat sertifikasi guru ini menggunakan metodologi kuantitatif dan kualitatif. Penggunaan dua metodologi ini dilatarbelakangi keinginan untuk mendapatkan kelebihan dari keduanya, yaitu kemampuan untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan luas (kuantitatif) dan mendalam (kualitatif). Kelebihan-kelebihan tersebut diperlukan karena penelitian terhadap manfaat sertifikasi guru melibatkan banyak pihak, seperti guru, siswa, orangtua siswa, sekolah, dinas, dan masyarakat pada umumnya. Hasil yang sifatnya terlalu umum akan menafikan hal-hal unik yang mungkin saja ditemukan dalam proses penelitian ini. Oleh sebab itu, sekuen antara metodologi kuantitatif dan kualitatif diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai permasalahan seputar sertifikasi guru.
Temuan Data Kuantitatif Data kuantitatif yang dikumpulkan – walaupun jumlahnya mungkin kecil- namun telah melalui uji normalitas. Hasilnya adalah normal. Tabel Jumlah dan Komposisi Responden Jakarta SDN 1 Guru Siswa
Kompetensi Guru di Mata Siswa Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugasnya secara profesional. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan kompetensi professional (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012).
Labuan Bajo SDN 2
SDN 1
22 54
Gambar Status Sertifikasi Responden Guru
SDN 2 44
74
98
66
Kompetensi yang diukur berdasarkan penilaian siswa terhadap guru yang menjadi wali kelas mereka. Walaupun demikian, tidak ada pembedaan yang dilakukan untuk mendeteksi apakah siswa yang menjadi reponden menilai wali kelasnya sudah atau belum disertifikasi. Kompetensi pedagogik. Analisa faktorial MANOVA 1
1
Penjelasan detail tentang factorial MANOVA dapat dilihat pada Makalah Kebijakan lengkap Policy Brief PPPI | 2
terhadap kompetensi pedagogik menunjukkan bahwa siswa kelas 6 dan laki-laki di Jakarta memandang kompetensi pedagogik guru tinggi. Sebaliknya, siswa kelas 6 dan laki-laki di Labuan Bajo justru menilai kompetensi gurunya tidak tinggi. Siswa kelas 5 di dua kota melihat kompetensi pedagogik guru secara relatif sama, mekipun siswa perempuan di Jakarta menilai kompetensi pedagogik gurunya dengan skor lebih tinggi sedikit dibandingkan rekannya di Labuan Bajo. Kompetensi kepribadian. Siswa kelas 6 di Jakarta menilai kompetensi kepribadian guru tinggi, sedangkan siswa kelas 5 di Jakarta menilainya lebih rendah. Siswa kelas 6 di Labuan Bajo menilai kompetensi kepribadian ini lebih rendah daripada adik kelasnya. Siswa laki-laki di Jakarta menilai kompetensi kepribadian gurunya lebih baik daripada rekan perempuan. Sebaliknya siswa perempuan di Labuan Bajo menilai kompetensi kepribadian guru dengan skor lebih baik daripada siswa laki-laki. Kompetensi sosial. Siswa kelas 6 di Jakarta lagi-lagi menilai kompetensi sosial gurunya lebih tinggi daripada siswa kelas 5. Sebaliknya, siswa kelas 5 di Labuan Bajo menilai kompetensi sosial gurunya lebih tinggi dibandingkan dengan kakak kelasnya, siswa kelas 6. Siswa laki-laki di Jakarta menilai kompetensi sosial gurunya lebih tinggi daripada rekan siswa perempuan, sedangkan siswa perempuan di Labuan Bajo justru menilai
kompetensi sosial gurunya lebih tinggi daripada siswa laki-laki. Kompetensi profesional. Fenomena yang sama juga terjadi dalam hal kompetensi profesional. Siswa kelas 6 dan laki-laki di Jakarta menilai lebih tinggi daripada siswa kelas 5 dan perempuan. Hal ini berbeda dengan siswa di Labuan Bajo yang justru seimbang: siswa laki-laki dan perempuan sama-sama menilai kompetensi profesional gurunya relatif rendah Siswa sebagai penerima layanan guru merasa puas dengan kinerja guru yang sudah tersertifikasi. Yang paling puas adalah dari sisi jaminan (assurance) yang menunjukan rasa aman terhadap guru. Disusul kemudian aspek nyata (tangible) yang menunjukan penggunaan fasilitas fisik sekolah oleh guru. Yang impas antara ekspektasi dan kepuasan adalah keterandalan (reliability) dan tanggap (responsiveness). Dalam aspek ini guru dapat diandalkan dalam membantu siswa dan sigap menanggapi permintaan siswa. Yang mengejutkan guru masih dianggap kurang empati terhadap siswa. Hal ini bisa dipahami karena seorang guru menghadapi lebih dari 30 siswa per rombongan belajar. Akibatnya perhatian terhadap siswa secara individual masih kurang
Tabel Indeks Kepuasan Siswa SD di Jakarta & Labuan Bajo RATA-RATA TINGKAT KEPUASAN SISWA SD JAKARTA DAN LABUAN BAJO Ekspektasi Persepsi Selisih Ekspektasi - Kepuasan Nyata 4,0 Nyata 3,9 0,1 (puas) Keterandalan 3,5 Keterandalan 3,6 0 (puas) Tanggap 3,6 Tanggap 3,6 0 (puas) Jaminan 3,8 Jaminan 3,6 0,2 (puas) Empati 3,0 Empati 3,2 -0,2 (tidak puas) Rata-rata 3,6 Rata-rata 3,5 0 (puas) Iklim Sekolah menurut Guru dan Siswa Iklim sekolah menjadi bagian sangat penting dalam menilai kepuasan guru dan siswa. Sekolah merupakan tempat kerja utama para guru dan tempat siswa menimba ilmu, sehingga segala sesuatu yang terjadi di dalamnya akan mempengaruhi suasana hati dan semangat guru maupun siswa. Guru belum sertifikasi menilai iklim sekolah lebih tinggi dibandingkan dengan guru sudah sertifikasi. Semua guru
di Labuan Bajo merasa iklim sekolahnya lebih baik dibandingkan koleganya di Jakarta. Yang menarik adalah iklim sekolah dilihat dari sisi jenis kelamin. Guru laki-laki belum sertifikasi menilai iklim sekolah lebih rendah dibandingkan dengan guru laki-laki sudah sertifikasi; Sebaliknya, guru perempuan sudah sertifikasi menilai iklim sekolah lebih rendah dibandingkan guru perempuan yang belum sertifikasi. Guna memperoleh gambaran lebih mendalam, temuan data kualitatif di bawah ini berfungsi sebagai sarana ilustrasi. (*)
Policy Brief PPPI | 3
“…ada guru yang sudah 15 – 20 tahun tidak bisa masuk ke data-base untuk mengajukan sertifikasi. Sementara ada guru baru satu tahun bisa masuk data-base karena saudaranya supir bupati, atau karena dia bisa membayar kepala dinas.”
Temuan Data Kualitatif Hasil penelitian juga didukung oleh data kualitatif2: (1). Kepuasan dan (2). Iklim Sekolah. Selain itu, temuan kualitatif tentang hubungan politik dan otonomi daerah terhadap pendidikan, menyangkut guru juga dipaparkan.
1. Kepuasan Orang tua di Jakarta dan Labuan Bajo puas pada pelayanan guru dan sekolah. Di Labuan Bajo siswa hanya mengikuti pelajaran tambahan di sekolah bagi siswa kelas 6. Hal ini berbeda dengan SD di Jakarta. Meski puas, siswa mengikuti pelajaran tambahan di luar jam sekolah, bahkan ada yang les sejak di kelas 4 SD. Siswa ikut les biasanya atas permintaan sendiri agar mampu mengerjakan tugas secara mandiri tanpa merepotkan orang tua. Les pelajaran apa yang diikutin anak? “Tia (Jakarta), “Les agama.” Sekolah umum agamanya sedikit, alasannya. Selain ikut les agama, anak ibu Tia (kelas 6) juga ikut les pelajaran lainnya di luar sekolah. “Anak jadi lebih mantap, anak tambah siap menghadapi ujian daripada main,” katanya. Siswa kelas 6, selain ikut pelajaran tambahan di luar jam sekolah, juga ikut les di luar sekolah 2 sampai 4 kali dalam satu minggu agar mereka lulus UN, dan bisa masuk sekolah favorit. Orangtua siswa mengungkapkan alasannya, “Ibu tidak bisa membantu anak mengerjakan pe-er. Sekolah tidak bayar. Les tidak full sepanjang hari. Coba kalau sekolah di swasta, bayarannya mahal.” Meski harus mengeluarkan biaya tambahan, di Jakarta, orang tua pun mendukung keinginan anak. Hal ini mereka 2
Penjelasan detail tentang data kualitatif penelitian dapat dilihat pada Makalah Kebijakan lengkap
lakukan juga antara lain karena soal yang keluar nyeleneh - berbeda dengan pelajaran di sekolah. Orangtua mengeluh bukan terhadap kemampuan guru mengajar siswa.
2. Iklim Sekolah Apa yang menyebabkan siswa menyukai gurunya? Hasil analisis NVIVO menunjukkan karakteristik utama guru yang disukai siswa adalah: baik, tegas, tidak suka marah, lucu (suka bercanda), disiplin, ramah. Meski guru yang suka becanda (lucu) membuat siswa tertawa sehingga belajar menjadi lebih menyenangkan, guru baik hati, tegas dan disiplin, selain disukai siswa, tampaknya juga menjadi kesukaan para orang tua. FA, kelas 6 SD di Jakarta menyebut tiga nama guru serta alasannya. “Pak A: baik, disiplin, tegas, bijaksana, ramah. Bu P: bijaksana, tegas, disiplin, ramah. Bu S: baik, lucu, sopan, tegas, disiplin.” WY (kelas 6 SD) di Labuan Bajo menyatakan suka gurunya karena, “Ibu guru sangat disiplin.” H dari SD berbeda juga suka, “Karena gurunya tegas, dan pintar.” Mengenai guru yang paling disukai anak di SD pertama di Jakarta, Ibu L (orang tua siswa) menguangkapkan, “Gurunya galak banget. Tapi anak-anak senang. Salut sama gurunya. Anak salah, ditegur. Saya dua kali dipanggil.” Anak-anak senang karena guru tersebut mampu menjelaskan sampai seluruh siswa paham pelajaran, pada saat yang sama juga mampu memperhatikan tiap siswa, juga menjaga hubungan antara murid, orang tua dan guruSambil menyebut guru lain yang juga senior, lebih lanjut ibu La mengungkapkan, “Anak-anak kalau diajar (menyebut nama) suka. Karena baiknya itu, anak-anak jadi nyepelein.” Mengapa tegas dan disiplin menjadi karakteristik yang disukai siswa dan orang tua? Guru disiplin menyebabkan kelas menjadi nyaman, tidak berisik, siswa dapat belajar dengan tertib, dengan demikian, jam belajar menjadi efektif. Di Labuan Bajo, siswa mengagumi guru selain baik, bijaksana dan berwibawa, ia juga mampu menjelaskan pelajaran sehingga mudah dipahami. Tidak heran, seluruh siswa menyukai guru laki-laki berusia 50 tahun yang sudah 27 tahun mengajar. Alasan siswa yaitu “Karena dia ingin siswanya menjadi anak pintar dan rajin. Ia juga ingin siswanya tidak putus asa dalam melakukan semua hal.” dan “Ia juga guru yang saya impi-impikan.” Policy Brief PPPI | 4
3. Politik dan Otonomi Daerah Gambar di bawah adalah wordtree dengan analisa NVIVO. Gambar tersebut menunjukkan bahwa persepi pendidikan menjadi komoditas politik kuat. Pendidikan dikooptasi oleh kepentingan politik lokal. Mantan anggota DPR-RI mengungkapkan, “Di daerah, orang tersertifikasi atau tidak, tergantung dia masuk lingkaran kekuasaan atau tidak. Ini data empirik,� katanya bersemangat. Lebih lanjut ia menjelaskan ada guru yang sudah 15 – 20 tahun tidak bisa masuk ke data-base untuk mengajukan sertifikasi. Sementara ada guru baru satu tahun bisa masuk data-base karena saudaranya supir bupati, atau karena dia bisa membayar kepala dinas. Untuk mengatasi masalah ini, ia menyarankan kebijakan masalah pendidikan dibuat terpusat, dan perbaikan sistem rekrutmen guru. Selain itu, kebijakan pendidikan juga wajib memperhatikan aspek sosiologis dan geografis, yang berlandaskan pada riset.
Persepsi di atas juga terjadi di daerah Labuan Bajo. Pada masa pilkada, para kandidat sering memanfaatkan pertemanan mereka dengan guru dan kepala sekolah untuk kampanye. Ada yang menggunakan pendekatan personal, ada pula yang menggunakan ancaman mutasi ke sekolah terpencil. Kondisi ini sudah berkurang di pilkada terakhir. Perbedaan kebijakan yang menyangkut sertifikasi guru sudah semakin transparan dengan sistem on-line. Kesempatan untuk mendapatkan sertifikasi sudah lebih terbuka, dan bahkan guru-guru yang belum mendapatkan gelar sarjana S-1 dapat menjalani kuliah di sore hari. Diskrepansi (perbedaan) kebijakan pusat dan daerah dalam hal sertifikasi guru ini semakin berkurang, terutama dengan semakin terbukanya proses pelatihan dan evaluasi. Guru di pusat dan daerah memiliki kesempatan yang sama dalam mengurus sertifikasi mereka. (*)
Rekomendasi Kebijakan Opsi Jangka Pendek 1) Perlunya pemerintah memperbaiki pelatihan bagi guru yang dirasakan kurang dari segi kuantitas maupun mutu dari pelatihan yang sudah ada. Beberapa alternatif solusi yang kami tawarkan dengan mengadakan pelatihan model One Way/Classical, mengadakan pelatihan model two-way, mengadakan pelatihan model simulasi atau praktik melalui metode kasus maupun role play. Dengan demikian untuk mendukung perbaikan pelatihan bagi guru dibutuhkan prasyarat hadirnya kebijakan dan politik anggaran pemerintah pusat dan daerah terkait pelatihan. 2) Dari temuan studi diketahui bahwa kurang lebih 49% sudah disertifikasi dari total guru yang kita miliki, masih ada kurang lebih sekitar 51% guru yang belum disertifikasi. Untuk memperbaiki konteks penyelenggaraan tunjangan profesi guru, maka kriteria untuk guru yang belum disertifikasi perlu mencakup beberapa hal sekaligus: lamanya masa kerja, telah mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG), mempunyai potensi bagi pengembangan profesionalitas dapat berupa prestasi akademik dan non akademik, telah berpendidikan S1 dengan PKL/Magang/Asistensi/PPG Policy Brief PPPI | 5
Opsi Jangka Menengah dan Jangka Panjang 3) Pemerintah juga perlu mendesain kebijakan resertifikasi guru yang sudah disertifikasi lebih dari 5 tahun. Mengapa kami membawa isu resertifikasi guru ini? Secara sederhana, guru-guru yang telah disertifikasi seperti memasuki zona aman dalam kariernya. Secara empiris, riset Pusat Penelitian Kebijakan (2013) menemukan bukti bahwa setelah memperoleh Tunjangan Profesi Guru lebih dari 5 tahun para guru akan cenderung mengalami demotivasi. Opsi ini perlu persiapan kurang lebih antara 1-2 tahun ke depan. Dengan usulan prasyarat dari kami: 5 Karya ilmiah Praktek Tindakan Kelas (PTK), 1 karya per tahun, aistem pelaporan online (user name dan password), 1 Komputer dengan bandwith/sekolah, 1 tenaga ahli komputer, UKG online bekerjasama dengan Universitas Terbuka. Proses resertifikasi dimaksud memerlukan beberapa prakondisi agar lancar dan berhasil diantaranya: pelatihan yang berkualitas guna memenuhi 4 kompetensi (Pedagogik, Sosial, Kepribadian, Profesional) dan etika, pengawasan yang baik mencakup evaluasi berkala yang terkait remunerasi, pembinaan yang berkelanjutan berupa On Site Training, Peer to peer support dapat belajar dari contoh baik (best practice) dari berbagai Negara dan crowd sourcing dimana orang yang tahu tidak harus menyimpan sendiri ilmunya. Untuk mendapat legitimasi terhadap opsi resertifikasi ini maka perlu mereviu ketentuan resertifikasi guru dalam UU No 14 Tahun 2005. Hal ini dikarenakan dalam peraturan tentang sertifikasi guru hanya dilakukan satu kali sesuai amanat UU Guru dan Dosen tersebut. 4) Pemerintah perlu mempertimbangkan secara seksama usulan sentralisasi kebijakan pendidikan yang mencakup terbatas pada dua aspek pertama, remunerasi guru sehingga dapat mencapai transparansi dan integritas dan kedua, tentang rekrutmen guru. 5) Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan perlu menggerakan potensi anak bangsa melalui aksi kolektif bersama (collective action) bahwa pendidikan kita perlu kerjasama bila ingin lebih cepat, lebih berdampak dan lebih berkualitas. Aksi kolektif tersebut akan melibatkan orangtua, masyarakat, pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan dengan demikian ada pembelajaran kolektif pula. (*) Penelitian terlaksana dengan dukungan dari Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID)/ Program Representasi. Konten dari policy brief ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab dari Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dan tidak mencermikan pandangan dari USAID atau pemerintah Amerika Serikat. Penelitian dan penyusunan dokumen ini dikerjakan oleh tim riset Paramadina Public Policy Institute (PPPI): Totok A Soefijanto, Ed. D, Dr. Fatchiah Kertamuda, Dr. Nurhayani Saragih, Christiani Ajeng Rianti, MM, Muhammad Iksan, MM.
Paramadina Public Policy Institute (PPPI) merupakan pusat studi dibawah Universitas Paramadina dengan fokus perhatian pada kebijakan publik. Didirikan pada tanggal 12 Januari 2010, aktivitas utama PPPI adalah: Mendorong konsep pemerintahan yang efektif dan transparan. Melakukan monitoring dan evaluasi atas layanan publik Memberikan rekomendasi solusi berdasarkan riset dan analisis akademis Memperkuat proses perencanaan layanan publik dengan memberikan proyeksi atas potensi isu di masa mendatang Melakukan gerakan anti korupsi dan penekanan pada integritas dengan bekerja sama dengan institusi penegak hukum dan organisasi masyarakat madani di Indonesia. Jl. Gatot Subroto Kav. 97 Mampamng, Jakarta 12790 – Indonesia t. +62-21 7918 1188 f. +62-21 799 3375 policy.paramadina.ac.id
Policy Brief PPPI | 6