Kampung Kota Research & Festival 2018

Page 1

KOLEKTIF KURATOR KAMPUNG

Laporan Program Riset dan Festival Kampung Kota Kelas Kurator Muda 2018 Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta


Kolektif Kurator Kampung (KKK) muncul secara tiba-tiba sebagai bagian dari proyek Lokakarya Kurator Muda (Dewan Kesenian Jakarta) pada 2017. Kolektif ini bekerja memanfaatkan ruang publik dan warga kota sebagai arena belajar sekaligus rekan kerja, dengan menempatkan fungsi kerja kuratorial sebagai salah satu elemen dalam praktik keseharian warga. KKK tidak memiliki sistem keanggotaan dan terbuka bagi siapapun yang tertarik untuk menelaah fungsi dan pola kerja kuratorial dalam ruang lingkup yang lebih luas: sosial, politik, ekonomi, arsitektur, antropologi, dan lain sebagainya.







Program Riset dan Festival Kampung Kota

Mengakali Keseharian, Merundingkan Harapan: Catatan Kejadian dalam Program “Riset dan Festival Kampung Kota 2018”

| 16

Satu bulan penuh, pada Agustus 2018, tujuh orang kurator muda dari lima kota berbeda bertemu kembali dengan warga di lima kampung kota Jakarta. Waktu telah berselang enam bulan sejak perkenalan pertama mereka di awal tahun. Dalam rentang waktu itu, banyak dinamika baru yang terjadi di dalam keseharian mereka masing-masing. Gagasan yang telah dirembukan bersama pun harus kompromi dengan keadaan. Saat itu sebagian besar kampung terlihat tengah sibuk berbenah. Hampir seluruhnya siap berpesta menyambut hari kemerdekaan negaranya, tanpa peduli hak-hak dasar mereka sebagai warga negara telah terpenuhi atau belum. Di samping itu, program “Community Action Plan”—inisiatif warga dengan pendampingan profesional untuk pembangunan lingkungan kampung— juga sedang dieksekusi di beberapa tempat. Hampir tiap minggu warga berembuk, larut dalam kerja perencanaan yang cukup menguras pikiran. Meskipun belum mewakili seluruh rutinitas yang ada, gambaran sederhananya: warga sangat sibuk, sebelum kurator datang. Di tengah keadaan itu, bagaimana kurator memposisikan dirinya? Bagaimana model kerja kurator yang bisa disisipkan di antara berbagai agenda warga? Apa karya yang bisa dihasilkan bersama warga di sana? Pertanyaan-pertanyaan itu menarik untuk ditelusuri dengan sadar sebagai sebuah praktik negosiasi pada berbagai konteks kerja kurasi dan kesenian di ruang publik, meskipun barangkali tidak perlu menemukan jawaban yang absolut. Pada program kegiatan “Riset dan Festival Kampung Kota 2018”, tiap persoalan diurai sejalan dengan proses produksi, dimaknai ulang oleh tiap warga dan kurator dengan pendekatannya masing-masing. Setidaknya ada beberapa hal dari proses produksi bersama yang bisa menjadi catatan penting:


| 17

Praktik Situasional

Pada saat rembukan pertama di Gazeboo Mangrove Muara Angke, sebagian besar warga dan kurator tertarik untuk mengaitkan gagasan mereka dengan pesta kemerdekaan di masing-masing kampung. “Kalau dikerjakan nggak buat 17-an, malah takutnya jadi kendor anak-anaknya”, saran seorang pemuda Karang Taruna Kampung Muka. Euforia menyambut pesta kemerdekaan di kampung memberi modal situasi awal yang cukup menguntungkan bagi penyelenggaraan kegiatan Riset dan Festival Kampung Kota 2018. Sebagian warga juga telah melakukan kerja pengorganisasian untuk persiapan acara di kampung mereka. Di sisi lain, meski situasinya terlihat menjanjikan, pada pelaksanaannya muncul banyak kendala lain. Mulai dari keterbatasan sumber daya, tegangan politik internal kampung, konflik sosial, tumpang tindih arus kekuasaan, agenda-agenda warga yang tidak sejalan, dan segala hal yang di luar asumsi awal. Pekerjaan harus berkali-kali dikalibrasi ulang. Situasi bisa tiba-tiba sangat menguntungkan, bisa juga sebaliknya. Mas Gugun, koordinator jaringan warga kampung, sempat menjelaskan jauh sebelum kegiatan ini dimulai perihal karakter psikologis kolektif warga yang umum ditemukan di lingkungan kampung. Warga cenderung lebih mudah untuk diorganisasikan pada situasi genting dan mendesak, seperti saat terancam penggusuran. Namun, menghadapi situasi tegang terus menerus juga berdampak buruk bagi keberlangsungan mental kolektif. Persoalan yang berlarut-larut bisa memunculkan kelompok-kelompok kecil yang malah resisten terhadap persoalan. Situasi baru terkadang perlu diciptakan, untuk meredam ketegangan atau malah memunculkan ketegangan lainnya. Sebelum kurator hadir di kampung, ruang-ruang di sana tentu bukan tempat yang steril seperti di galeri. Di dalamnya melekat nilai-nilai etis kolektif yang terbentuk dari situasi psikologis dan mental warga. Pada dasarnya, hadirnya kurator (atau pihak lain dari luar yang membuat sesuatu di sana) pasti memberi dampak baru pada situasi eksisting, yang bisa berdampak resiprokal, konfliktual, atau menghasilkan perubahan yang tidak terlalu signifikan. Di Kampung Tongkol, warga meminta lokakarya membuat lampion oleh Rurukids bersama anak-anak kampung diundur dari rencana semula yang ingin dijadikan satu dengan kegiatan 17-an. Keputusan ini diambil karena kurangnya persiapan teknis untuk pemasangan lampion di atas sungai. Lokakarya kemudian dipindah ke akhir bulan demi mendapatkan hasil maksimal.

Program Riset dan Festival Kampung Kota

| 18

Beberapa hari setelah lokakarya selesai lampion telah terpasang, menghubungkan dua kampung yang terpisahkan oleh sungai tersebut. Situasi yang terjadi di Kampung Tongkol sepanjang berlangsungnya kegiatan riset ini tergolong pragmatis dengan sistem produksi yang sederhana. Hal ini mungkin terjadi karena komunitas warga di sana sudah terbiasa berkolaborasi dengan berbagai komunitas lain sebelumnya, setidaknya sejak 2015. Berbeda kasusnya dengan Kampung Kerang Ijo Muara Angke. Di kampung ini, terdapat beberapa organisasi masyarakat yang punya kepentingan berbeda. Untuk menyatukan beberapa pendapat perlu pendekatan ekstra ke masing-masing pihak. Pada akhirnya, gagasan kegiatan muncul di tengah kepasrahan saat kurator dan warga nongkrong bersama hingga larut malam. Mereka sepakat untuk membuat monumen yang merepresentasikan kampung dengan medium perahu bekas. Pada perahu itu digambarkan sejarah terbentuknya kampung tersebut, lalu dibingkai dalam mitos “tradisi arak perahu”. Selain itu, sebuah pesta karaoke dan pemutaran film di tepi empang juga disajikan untuk hiburan warga. Meskipun belum terlalu signifikan, kesenian telah berhasil mencairkan suasana dalam beberapa hari. Di Kampung Kali Apuran, yang terjadi justru di luar dugaan. Kali Apuran tengah menjalani program “Community Action Plan” yang dinilai membuat jenuh sebagian warga. Pada situasi itu, membayang-bayangkan keseharian yang lain bisa jadi jalan keluar terhadap kejenuhan itu. Mulanya, hanya segelintir anak muda yang terlibat urun gagasan untuk membuat kegiatan “piknik di kampung sendiri”. Seiring prosesnya, mulai dari anak-anak hingga kelompok ibu-ibu, turut menyumbangkan gagasan untuk kampungnya. Puncaknya adalah pesta penutupan kemerdekaan di akhir bulan. Selama satu hari penuh mereka mentransformasi lingkungan tempat tinggal dengan beragam aktivitas, mulai dari arak-arakan, festival kesenian, acara masak, hingga makan bersama. Situasi yang terbentuk pada festival di Kali Apuran cukup saling menguntungkan. Karang Taruna di Kampung Muka, yang sejak awal telah mantap ingin memeriahkan perayaan 17-an, memanfaatkan momentum kelas kurator untuk menyatukan kembali anak-anak muda berbakat yang ada di kampungnya. Melalui medium mural, Karang Taruna Kampung Muka mulai mengumpulkan kembali anak muda yang ada di sana.Mereka membingkai keseluruhan acara dengan tema “Dua Wajah Kampung Muka”. Meskipun sebenarnya Karang Taruna Kampung Muka familiar dengan kerja-kerja pengorganisasian, kolaborasi dengan orang baru di dalam program ini memberikan perspektif dan jejaring pertemanan yang dapat terus dikembangkan. Terakhir, adalah Kampung Kolong Tol Penjaringan. Hanya berselang beberapa bulan sebelumnya, sebagian sisi kampung ini dibongkar oleh pihak otoritas jalan tol akibat penyelenggaraan sebuah kegiatan yang tidak melalui izin terlebih dahulu terhadap mereka. Hal ini merusak


| 19

tatanan kepercayaan antar warga yang sudah ada sebelumnya. Paradigma yang muncul kemudian, barangsiapa yang membawa “orang lain� dari luar kampung, maka terpaksa harus menanggung beban tanggung jawab penuh pada apa pun yang terjadi di kampung itu. Warga menjadi sangat berhati-hati dan cenderung tidak mau ambil resiko. Akibatnya, kegiatan ini hampir tidak berhasil masuk ke dalam lapisan konteks tersebut. Di penghujung bulan, barulah kurator dan warga sepakat untuk tidak menstimulus kampung dengan sebuah situasi baru. Namun justru menyajikan kembali situasi lama yang pernah dihadapi oleh warga kampung. Foto koleksi Tubagus Rachmat, fotografer UPC yang pernah beberapa tahun tinggal bersama warga Kolong Tol Rawa Bebek, disajikan pada warga di dalam acara yang dikemas dalam bentuk “makan bersama�. Kemudian warga diajak bercerita perihal memori yang mereka miliki selama tinggal di kampung lewat medium foto tersebut. Dalam kegiatan ini, proses produksi melebur dengan situasi-situasi yang ada di kampung. Kapan proses produksi harus dimulai? Siapa saja yang dapat membantu jalannya proses produksi? Situasi macam apa yang perlu direspon? Perlukah adanya situasi baru yang dapat memantik aktivitas lain di lingkungan kampung? Baik kurator dan warga, keduanya sama-sama memiliki tantangan untuk menempatkan agendanya masing-masing di tengah situasi yang ada. Memahami dinamika situasi yang ada di kampung membuat proses kerja kurator dapat lebih dekat pada realitas sekaligus dapat memperkaya perspektif kolektif di dalamnya.

Sketsa Kampung Anak-anak Kampung Tongkol berkolaborasi dengan Rurukids membuat sketsa yang mengimajinasikan tentang kampung mereka di atas kertas.


Membuat Lampion Gambar yang telah dibuat di atas kertas dipindahkan ke medium lampion yang akan dipasang di atas sungai, menghubungkan dua kampung yang berseberangan.




Arak perahu Blok Empang RW 22 Warga bersama-sama mengangkat perahu yang telah selesai dilukis dengan gambar sejarah terbentuknya Kampung Muara Angke. Perahu diarak berkeliling kampung oleh masyarakat dan diletakan di balai RW sebagai “monumen� baru.




Piknik Kampung Merdeka Sepanjang hari, warga Kali Apuran mengokupansi lahan bekas gusuran di tepi sungai untuk acara “piknik�, yang berisi perlombaan, makan bersama, ritus menyiram pohon kapuk, dan tari-tarian.



Dua Wajah Kampung Muka Tema seluruh rangkaian acara di bulan kemerdekaan di Kampung Muka yang digagas oleh Karang Taruna RW 04 bersama kurator.


Sebagai permukiman padat penduduk, Kampung Muka punya banyak wajah untuk dikenal. Ia dekat dengan praktik prostitusi (karena terletak di belakang Alexis), tapi masyarakatnya agamis. Sering mengadakan pengajian dan hadrah, tapi juga suka minum bir. Anak mudanya dekat dengan tindak kriminalitas, tapi banyak juga yang suka berkarya. Hal itu yang mendasari mereka mengangkat tema “Dua Wajah Kampung Muka�.



Makan Bersama Warga Kolong Tol Penjaringan makan bersama di salah satu sudut kampung mereka.


Lewat foto, warga mengingat memori masa lalu yang telah mereka lalui selama tinggal di Kolong Tol. Banyak warga yang telah pergi, banyak juga yang masih hidup dan tinggal di sana. Relasi itu yang direfleksikan lewat foto, yang kemudian memunculkan reaksi psikologis warga.



| 49

Gaya Kerja Kurator

Pada suatu malam, di mushola Kolong Tol Penjaringan, Sigit dan Ayos (kurator untuk Kampung Kolong Tol Penjaringan) merundingkan kegelisahan mereka saat bekerja di sana. Situasi yang kompleks membuat pergerakan mereka terkunci, padahal sebelumnya mereka telah bercita-cita untuk membuat “Kolong Art Space”. Masalahnya, mengajak warga untuk terlibat saja sulit, apalagi membuat ruang baru? Malam itu, Sigit langsung membuat sketsa ukuran eksisting ruang di bawah tol yang diproyeksikan sebagai “Kolong Art Space”. Keesokan harinya, disusul satu buah proposal lengkap dengan renderan 3D kolong tol yang berisi beberapa aktivitas kesenian di sana. Sigit ingin menjadikan proposal itu sebagai bahan untuk bernegosiasi dengan warga dan pihak otoritas jalan tol. Sedangkan Ayos, lebih menempuh jalan “itikaf” di mushola kolong tol berhari-hari demi bisa lebih dekat dengan warga. Sayangnya, ikhtiar mereka berujung pada jalan yang buntu. Belum ada warga yang “nempel” pada mereka, sampai akhirnya mereka memutuskan mencari jalan lain. Menjelang akhir bulan, pembacaan berbeda muncul dari mereka berdua. “Bukan materi fisik yang berharga bagi warga kolong tol, tapi memori kesehariannya”, begitu pelesetan agak putus asa ala Ayos saat itu. Ide itu muncul setelah mereka banyak berinteraksi dengan mas Bagus (Tubagus Rachmat), seorang fotografer UPC yang bertahun-tahun mendokumentasikan keseharian warga kampung kota lewat kameranya. Selain menjadi fotografer warga, mas Bagus adalah warga Kolong Tol itu sendiri, sehingga barangkali minim bias kelas pada proses kekaryaannya. “Ayos dan Sigit itu komposisi yang pas. Ayos orangnya banyak mikir, sedangkan Sigit lebih langsung ke eksekusi”, tukas mas Bagus pada sesi evaluasi akhir, satu malam sebelum “pameran foto” di kolong tol dilaksanakan. Hingga evaluasi akhir kegiatan Riset dan Festival Kampung Kota 2018, belum ada kepastian apakah pameran memungkinkan untuk diadakan atau tidak. Setelah itikaf semalam lagi, dibantu oleh mas Gugun dan mas Bagus, mereka berempat berunding dengan warga kawakan di Kampung Kolong Tol. Akhirnya mereka sepakat untuk mengemas acara itu dalam bentuk acara makan bersama, supaya tidak mengundang perhatian berlebih. Acara pun berjalan lancar keesokan harinya. Ibu-ibu memasak, warga makan bersama, foto-foto dicetak dalam lembaran banner besar, warga bertukar bercerita. Hari itu adalah buah karya komposisi orang yang pas, antara si pemikir, kritikus, eksekutor, dan negosiator.

Selain Ayos dan Sigit, duo kurator lain yang berkolaborasi dalam satu kampung adalah

Program Riset dan Festival Kampung Kota

| 50

Adin dan Gesya. Gesya berlatar belakang sarjana seni rupa, pegiat kolektif, dan beberapa kali menjadi kurator. Sedangkan Adin adalah seorang lulusan magister antropologi yang telah melanglang buana menginisiasi kerja kesenian di kampung kota Semarang. Di Kampung Muka, mereka seperti Bapak dan Ibu bagi pemuda tanggung anggota Karang Taruna. Sedangkan kakeknya, adalah Pak Bahrun, sang ketua RW yang siap antar jaga 24 jam melayani 10.000 warga dalam satu RW, terutama anak muda. Komposisi mereka disempurnakan oleh kolaborasi beberapa pemuda progresif yang mengoordinir Karang Taruna, di antaranya adalah Dadan, Budi, Doni, Ryan, dan kawan-kawan. Sebelum Gesya terlibat di proyek ini, konsep kegiatan telah terlebih dahulu disusun berdasarkan diskusi Adin dan muda-mudi Karang Taruna Kampung Muka pada bulan Januari lalu. Adin lebih banyak melakukan kerja pengorganisasian dan mendorong anak muda untuk mengeluarkan gagasannya sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Kemudian Gesya hadir memperkaya kemungkinan bentuk ekspresi yang bisa diwujudkan di kampung tersebut, mendorong kemungkinan lain dari apa yang dipikirkan oleh anak muda di sana. Mereka berdua juga melibatkan beberapa kolektif lain untuk berkolaborasi dengan Karang Taruna dalam membuat karya di kampungnya. Ismal dan Adi adalah dua kurator yang memiliki sedikit kemiripan dalam praktiknya di kampung, namun dengan gaya kerja yang bertolak belakang. Keduanya sama-sama berusaha melibatkan sebanyak mungkin orang ke dalam kegiatannya, menawarkan medium seni sebagai hiburan warga untuk keluar sejenak dari keseharian yang menjenuhkan. Bedanya, Adi melakukannya dengan beragam perencanaan yang terukur dan jadwal rapat yang padat bersama warga— jurus ala arsitek yang tetap terbuka pada improvisasi. Sedangkan Ismal, lebih mengandalkan insting kenongkrongan dan kepasrahan, sembari menyisipkan mitos-mitos romantis yang memunculkan gairah kebersamaan warga­­—jurus ala Jatiwangi art Factory. Pada perencanaan kegiatan “Piknik Kampung Merdeka” di Kali Apuran, Adi dibantu oleh Harun, Teguh, Andi dan beberapa pemuda setempat untuk melihat kemungkinan yang bisa dilakukan di kampungnya. “Apa benar warga di sini memang susah diajak ngumpul bareng? Apa benar masalahnya cuma di anggaran? Kalau itu masalahnya, gimana pemecahannya?”, kira-kira pertanyaan itu yang membuka diskusi mereka di sana. Diskusi bergulir menemukan jawabannya satu per satu. Dengan melibatkan semakin banyak kepala, semakin banyak pula pertanyaan yang bisa dipikirkan bersama. Kira-kira begitu cara mereka bekerja. Sedangkan di Kerang Ijo, Ismal mulanya dibantu oleh Pak Ratono (biasa dipanggil Bewok). Seiring prosesnya, asupan bahan bakar juga datang dari Yopie, seorang anak muda penuh talenta yang kalau siang kerjanya memahat kalau malam bersilat. Mereka juga banyak dibantu oleh


| 51

Pak RW (ketua padepokan silat), Pak Dodo, Bu Tati, Pak Bani, dan beberapa pentolan organisasi di Kampung Kerang Ijo. Pelan-pelan Ismal menginjeksikan pola kerjanya di Jatiwangi kepada temanteman di kerang ijo, dengan mencari kemungkinan konteks yang tepat bagi warga. Akhirnya, perahu dipilih jadi satu “artefak” yang dianggap mewakili seluruh komunitas yang ada di sana, yang dianggap sebagai identitas pemersatu Kampung Muara Angke. Di Kampung Tongkol, Angga bekerja bersama Pak Sekjen, Mas Gugun, Dedi, Bu Yayu, Bu Tati, dan beberapa warga lain yang sudah tidak asing dengan kegiatan aktivasi di kampungnya. “Standar Kampung Tongkol lebih tinggi, karena mereka sudah terbiasa sama kerja beginian”, kata Angga. Kampung Tongkol membutuhkan buah karya yang “terlihat”, yang bisa dinikmati baik oleh orang luar maupun orang kampung itu sendiri. Gagasan yang ingin dieksekusi telah muncul sejak bulan Januari lalu melalui diskusi antara Angga dan teman-teman di Kampung Tongkol. Dengan medium lampion, mereka ingin menghubungkan dua kampung yang terpisah oleh sungai. Secara simbolik warga “menyumbangkan” listrik dari masing-masing kampung untuk penerangan sungai pada malam hari. Gagasan itu kontekstual bagi Kampung Tongkol saat itu, namun pertanyaannya apa nilai tambah yang ingin disampaikan dari proses membuat lampion itu? Melalui diskusi lebih lanjut akhirnya diputuskan proses membuat lampion melibatkan anak-anak kecil di Kampung Tongkol dan Lodan (dua kampung yang berseberangan)—dengan dipandu kakak-kakak dari Rurukids, sedangkan orang dewasa di kampung membantu proses instalasi di atas sungai keesokan harinya. Kampung Tongkol (Komunitas Anak Kali Ciliwung) adalah satu model kolektif warga yang telah memiliki modal kerja pengorganisasian yang cukup matang. Di sana barangkali kerja kekuratoran sebetulnya telah menjadi hal sehari-hari. Kolaborasi antara kolektif warga dengan orang lain di kampung memberi kesempatan kedua pihak untuk lebih berjarak pada praktiknya masing-masing dan mencoba perspektif baru dalam cara berkarya. Kegiatan Riset dan Festival Kampung Kota 2018 memberi kesempatan untuk menggali pendekatan gaya kerja masing-masing orang yang bisa ditelusuri sebagai sebuah metode kerja bawah sadar. Dengan begitu bisa dilihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada praktik kolaborasi antara satu individu dengan yang lain. Sekaligus memungkinkan pertukaran keahlian, karakter, pemahaman, dan sudut pandang antar individu di dalam kerja kekuratoran di ruang publik.


Pameran foto dan makan bersama di Kolong Tol Penjaringan dilakukan tanpa persiapan panjang. Hanya melalui satu kali rapat spekulatif bersama warga satu malam sebelum pameran itu berlangsung.



Karang Taruna RW 04 Kampung Muka banyak melakukan proses konseptual dan pengorganisasian kegiatan, dengan memperbanyak proses diskusi kolektif untuk menemukan potensi-potensi yang dapat diolah.



Perahu dianggap elemen yang memiliki relasi kultural bagi warga Kampung Muara Angke. Melalui benda itu, warga meniupkan mitos baru yang diharapkan dapat menyatukan seluruh masyarakat yang ada di kampung itu.



Kelompok ibu-ibu di Kampung Kali Apuran urun gagasan untuk acara Piknik Kampung Merdeka. Bagi sebagian warga Kali Apuran, membuat “aktivitas hiburan� menjadi jalan keluar dari titik jenuh yang dapat menyatukan kembali relasi sosial antar warga.



Lampion di atas sungai Kampung Tongkol dan Lodan menjadi penghubung dua kampung yang berseberangan.


| 71

Pertemanan, Bukan Proyek Kegiatan

Ketika terbentuk pada tahun 1997, Urban Poor Consortium (UPC)—jaringan warga kampung yang menjembatani kurator dan warga kampung di awal kegiatan ini—beranggotakan gabungan aktivis, NGO, seniman, jurnalis, arsitek, antropolog, dan sebagainya. Keragaman latar belakang anggota UPC didasarkan pada kesadaran permasalahan yang menjadi fokus permasalahan UPC, kemiskinan kota, yang diasumsikan kompleks dan multi-dimensi. Saat program Riset dan Festival Kampung Kota 2018 diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta 21 tahun setelah jaringan warga tersebut terbentuk, maka jelas bahwa kerja multi-disiplin semacam ini bukanlah hal baru bagi masyarakat kampung kota di Jakarta. Mulanya adalah obrolan biasa, antara warga kampung dan teman-teman di skena seni rupa, yang mengawal gagasan kegiatan kesenian di situs kampung kota Jakarta. Ide itu bergulir menjadi lokakarya Kelas Kurator Muda 2017 yang diselenggarakan oleh DKJ bersama Institut Ruangrupa pada bulan Januari lalu. Menempatkan kesenian di ruang publik lewat cara kerja kekuratoran diasumsikan dapat memberi ruang untuk aspek kajian, manajerial, dan diskursus dari praktik kesenian itu sendiri, sebelum terburu-buru mengeksekusi gagasannya. Meskipun hanya berakhir pada gagasan, lokakarya pertama itu turut menghasilkan hal lain yang tak kalah penting: pertemanan baru. Kurator yang terlibat pada program ini sebagian besar memiliki modal sosial yang cukup kuat walaupun kadang terbentur modal finansial. Sebelum program ini diselenggarakan, antar kurator satu dan yang lainnya juga sudah saling kenal. Mereka bertemu pada forum-forum kebudayaan, proyek kolaborasi, atau sekedar pertemanan baik di dunia nyata maupun dunia maya. Preferensi metodologi kerja yang memiliki kemiripan antara satu kurator dan yang lainnya turut memperpendek jarak kultural antara satu orang dengan yang lainnya, yang memudahkan proses kerja bersama. Modal-modal sosial ini yang akhirnya mengkonversi hitungan waktu dan biaya yang dihabiskan, baik oleh kurator dan warga, untuk menyelenggarakan kegiatan di kampung kota Jakarta dengan pertukaran nilai-nilai lain. Pada jeda antara bulan Januari ke Agustus, berbagai gagasan baru bermunculan lewat diskusi dengan teman-teman warga; ingin membesarkan skala kegiatan, memperbanyak kampung yang terlibat, mensinergikannya dengan agenda politik warga, dan lain sebagainya yang hanya berujung pada wacana minim sumberdaya. Namun, pada ruang-ruang yang cair itu pula harapan bisa lebih dinegosiasikan. Melalui pertemanan, ekspektasi bisa dirundingkan

Program Riset dan Festival Kampung Kota

| 72

ulang dengan melihat kembali sumberdaya yang ada, saling memahami, dan mencari jalan keluar yang sama-sama menguntungkan, atau setidaknya tidak ada yang dirugikan. Akhirnya, kegiatan kedua dieksekusi pada bulan Agustus lalu. Mulanya, kurator dan warga membawa modal gagasan dari obrolan mereka di bulan Januari. Seiring prosesnya pemahaman dan ekspektasi kembali dinegosiasikan sesuai dengan dinamika keadaan yang ada di lapangan. Beberapa kurator juga melibatkan seniman kolaborator untuk ambil bagian dalam proses berkarya. Beberapa di antaranya Kolektif Tankga, LabTanya, Cut and Rescue, Sunday Screen, Rurukids, dan Garduhouse. Keberadaan mereka menghasilkan jejaring baru bagi warga di kampung, yang dapat memantik kemungkinan kolaborasi lain di kemudian hari. Kolektif Tankga dan Garduhouse masuk ke Kampung Muka saat proses pembuatan mural berlangsung. Budi, salah satu motor penggerak Karang Taruna di Kampung Muka mengaku, saat Garduhouse datang dan memberi lokakarya di kampungnya, jumlah anak muda yang terlibat lebih banyak dari biasanya. Selepas acara mereka pun melanjutkan nongkrong bareng di sekitar kawasan Kota Tua hingga larut malam, melanjutkan obrolan yang masih tersangkut di kepala mereka. Sedangkan Cut and Rescue mengisi hiburan malam di blok empang, Kampung Kerang Ijo Muara Angke, Jakarta Utara dengan berkolaborasi bersama warga. Bermodalkan satu buah LCD projector, dua buah lampu TL, laptop, microphone, speaker milik warga, dan kain banner yang dipasang di atas perahu, mereka membuat kompetisi karaoke berhadiah untuk semua kalangan umur. Beberapa warga turut menginvestasikan sumber daya yang dimilikinya untuk ditukar dengan kegiatan hiburan semalam suntuk. Lokakarya yang dilakukan oleh Rurukids bersama anak-anak di Kampung Tongkol barangkali satu-satunya kegiatan yang bentuknya menghasilkan artefak fisik. Anak-anak diajak untuk berimajinasi dan menggambar di medium dan material yang telah ditentukan dengan oleh orang dewasa di lingkungan mereka. Sejak awal ekspektasi warga Kampung Tongkol memang mengarah pada hal-hal yang lebih terlihat (tangible) dan dapat dinikmati sebagai “wajah” baru dari Kampung Tongkol. Ekspektasi itu mungkin muncul karena warga telah beberapa kali kedatangan seniman yang menurut istilah mereka melakukan aksi “tabrak lari”. Setelah membuat karya, tidak ada yang ditinggalkan, lalu pergi. Melihat berbagai respon warga pada kegiatan Riset dan Festival Kampung Kota 2018 ini, nyatanya kegiatan kesenian di Kampung Kota Jakarta bukan lah hal yang sulit dibuat. Seni (dan juga kerja kesenian) telah ada di keseharian warga. Ia muncul lewat stimulus kreativitas warga


sehari-hari. Kolaborasi dengan seniman, kurator, dan pihak-pihak yang datang dari luar terkadang hanya memberi cara pandang yang berbeda bagi persoalan yang ada di keseharian warga. Praktik aktivasi ruang yang melibatkan publik semacam ini umumnya dikenal dengan istilah praktik partisipatif, yang menempatkan si pendatang sebagai pendamping bagi publik yang dihampirinya. Sebaliknya, pandangan kritis lainnya beranggapan aktivitas tersebut rentan terhada praktik-praktik eksploitatif, yang memanfaatkan publik atau warga sebagai objek bagi si pendatang dengan nilai benefit yang tidak berimbang. Sayangnya, kedua pandangan tersebut tidak luput dari bias ketidaksetaraan, yang menempatkan satu pihak di atas yang lainnya. Padahal nyatanya, bila kita meminjam perspektif warga dalam memandang kegiatan ini, maka mereka juga memiliki kepentingannya sendiri seperti yang terjabar di atas. Pertemanan memberi ruang transaksi bagi nilai-nilai yang belum dimiliki oleh dua pemilik kepentingan. Hal itu yang membuat warga, seniman, dan kurator masih bisa terus berkarya. Bukan sekedar proyek kegiatannya.









| 89

Program Riset dan Festival Kampung Kota

| 90

Taktik Berkelanjutan?

“Berdasarkan pengalamanku, kegiatan semacam ini sangat terkait pada momentum. Bisa jadi, kalau tahun depan kita ulang kegiatan serupa di waktu yang sama, hasilnya belum tentu sesukses ini karena momentumnya berbeda”. Mas Gugun menyampaikan evaluasinya pada penutupan kegiatan ini, berkaca pada pengalaman bertahun-tahun melakukan kerja pengorganisasian di Kampung Kota Jakarta. Setiap yang terjun pada ranah kerja di komunitas masyarakat selalu menemukan tantangan yang sama, yakni menjaga keberlanjutan kegiatan. Bisa dibilang hal itu adalah yang paling penting dan dituju dari segala bentuk kegiatan di kampung. Di titik itu, sebuah gagasan menjadi adiluhung, serupa budaya yang dipelihara agar tidak hilang. Pertanyaannya, bagaimana cara mendekati keberlanjutan itu? Di awal program, teman-teman kurator berbagi mengenai taktik yang mereka uji coba di daerah asal mereka masing-masing. Begitu pula teman-teman warga kampung, mereka berbagi bermacam taktik yang dilakukan lewat jaringan warga UPC, JRMK, KAKC, SEBAJA, Karang Taruna, dan lain sebagainya yang membuat mereka masih terus bertahan hingga hari ini. Posisi kegiatan ini sebetulnya hanya menjadi titik temu bagi berbagai pola-pola kerja yang telah dilakukan, yang keberlanjutannya justru perlu terus diuji dan dipertanyakan ulang berdasarkan keadaan yang berlaku. Baik kurator, seniman, dan warga yang terlibat dalam kegiatan Riset dan Festival Kampung Kota 2018—yang kemudian menyebut diri mereka dengan KKK—pada dasarnya hidup dalam konteks yang berbeda-beda. Apalagi usia perkumpulannya baru seumur jagung. Berbeda kasusnya dengan apa yang telah dibangun oleh, baik kurator dan warga, di tempat mereka masing-masing. Tidak ada akar kultural yang mengikat mereka secara bersama-sama dalam kegiatan ini. Hanya faktor rasa penasaran dan ketertarikan untuk saling mempelajari pengetahuan yang dimiliki satu sama lain. Dalam aktivitas semacam ini, nilai tukar paling sederhana adalah daya apresiasi, peran, dan partisipasi dari para pelaku itu sendiri. Dengan adanya komponen tersebut, baik kurator, seniman, warga atau siapapun yang terlibat akan merasa dihargai keberadaannya. Maka, boleh pula dikatakan, untuk menjaga keberlanjutan hubungan antara keduanya, tiap pihak yang terlibat perlu membangun “transaksi” lain di kemudian hari.

Jika transaksi tersebut terus berlangsung dan menjelma dalam taktik-taktik kecil yang terus berlaku pada kurun waktu yang panjang, bukankah sebuah siklus keberlanjutan sebetulnya juga telah terjadi? Meskipun faktor resiko untuk sewaktu-waktu bubar tetap lebih tinggi ketimbang menjadi institusi, namun taktik-taktik spekulatif ini punya kekuatan untuk terus mengisi celah-celah kosong yang dibutuhkan oleh kedua belah pihak. Dewan Kesenian Jakarta sebetulnya memiliki posisi yang strategis dalam persoalan ini. Apalagi sebagai institusi DKJ memiliki komite yang menaungi tidak hanya seni rupa, tapi juga cabang ilmu seni lain yang bisa diterima langsung ke masyarakat di Jakarta. DKJ perlu ambil posisi dan turut berbagi manfaat dengan modal yang dimilikinya. Titik penting penyelenggaraan Program Riset dan Festival Kampung Kota 2018 ini adalah mengupayakan proses produksi dan konsumsi kesenian untuk masing-masing kampung itu sendiri. Bukankah dengan begitu kesenian menjadi medium bagi warga untuk kembali mengenal dirinya lewat sudut pandang yang lebih beragam? Bagaimana jika seni tetap menjadi taktik kecil di sana, yang membuat ia tetap dipelihara dengan sederhana, ketimbang menjadikannya strategi untuk menjadi besar dan menaklukan yang lainnya?





Kolektif Kurator Kampung Laporan Program Riset dan Festival Kampung Kota 2018 Kelas Kurator Muda 2018

Disusun Oleh:

Kolaborator Warga Kampung:

Rifandi Septiawan Nugroho

Adi Pesakih Andi Bahrun Budi Deddy Dhadan Dodo Guntoro Muhammad Harun Kasim Rasdullah Ratono Salijan Tati Teguh Yopie Nugraha

Manajer Program: Rifandi Septiawan Nugroho Leonhard Bartolomeus Kurator: Ahmad Khairudin Angga Wijaya Ayos Purwoaji Gesyada Namora Ignatius Susi Adi Wibowo Ismal Muntaha M. Sigit Budi Santoso Dokumentasi: Nissal Nur Afriansyah Tubagus Rachmat Sunday Screen

Kolaborator Komunitas/Organisasi: Urban Poor Consortium Jaringan Rakyat Miskin Kota Karang Taruna RW 04 Ancol Warga Kampung Kali Apuran Gerakan Nelayan Tradisional Kali Adem Padepokan Silat SMB Muara Angke Rurukids LabTanya ŠKolektif Kurator Kampung 2018


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.