LAYANG PRB Eling lan waspada ngadhepi bebaya
Edisi Agustus-September 2012
Urun Rembug
Info Jogja & Jateng
Opini
Subandriyo : Media Komunitas Punya Peran Penting
Siswa SD Berlatih Mitigasi Bencana Gunung Berapi
Urgensi Komunikasi dan Koordinasi dalam Situasi Bencana
Halaman 2
Halaman 5
Halaman 6
Radio yang Memiliki “Roh”
IOM / Sampur
Radio Komunitas “Gema Merapi”
Rahmat Prasetyo (21), penyiar Radio Komunitas Gema Merapi menyapa pendengar dari dalam studio di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY, Rabu (29/8). Dengan peralatan sederhana, Gema Merapi berupaya mengabarkan kondisi Merapi pada pendengarnya.
Sam Cheng datang terlalu siang, Minggu (2/9) itu. Jarum jam hampir menunjuk pukul 13.00. Mestinya ia sudah duduk manis menyapa pendengarnya, namun ia harus menyelesaikan dulu tugas hariannya : mencari rumput. Sam Cheng adalah nama tenar Samadi di radio. Setelah rutinitas harian mencari rumput ditunaikan, barulah ia masuk ke ruang siaran. Bersama Yani alias Neng Chua, pemuda itu membawa pendengar program “Musang (Musik Siang)” Radio Komunitas Lintas Merapi mengudara. Radio Komunitas Lintas Merapi terletak di Dusun Deles, Desa Sidorejo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Radio ini disiarkan dari sebuah ruang sederhana dengan dinding berlapis karpet biru, di lantai dua rumah Sukiman Mochtar Pratomo (42), yang merupakan salah satu pendiri Radio Komunitas Lintas Merapi. Di ruang siaran itu, terdapat jendela kaca kecil di sisi utara dinding. Dari situlah, para penyiar bisa menengok pucuk Gunung Merapi, lalu mengabarkan perkembangan kondisi terkininya. “Selamat siang pendengar Radio Komunitas Lintas Merapi. (bersambung ke hlm. 7)
Upaya Warga Mengabarkan Merapi YOGYAKARTA – Warga yang tinggal di Lereng Gunung Merapi memiliki cara sendiri untuk mengabarkan segenap informasi tentang Gunung Merapi dan dinamika masyarakat yang tinggal di sekelilingnya. Mereka membangun jejaring yang menampung informasi lalu menyebarkannya untuk mengajak warga tanggap dan siaga terhadap bencana. Sekelompok warga di Dusun Pentingsari, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY, misalnya, membangun Radio Komunitas Gema Merapi pada akhir 2010 lalu. Ruang siaran radio ini berada di salah satu sudut ruang tamu rumah Rahmat Prasetyo (21), pengurus sekaligus salah satu penyiar Gema Merapi. Berbekal seperangkat komputer, mixer, power dan pemancar tanpa tower, mereka sudah bisa menyapa pendengarnya setiap hari
Ketika hujan abu kembali turun pada Juli lalu, misalnya, Gema Merapi ikut andil menyebarkan informasi tersebut. Untuk menjaga keakuratan informasi, merek a berkonsultasi dengan para ahli gunung api di Balai P e n y e l i d i k a n d a n P e n g e m b a n g a n Te k n o l o g i Kegunungapian (BPPTK) Yogakarta. “Kadang-kadang berita itu dilebih-lebihkan sehingga membuat panik warga. Kami yang dekat dengan Merapi kan lebih tahu kondisi di lapangan, jadi apa yang kami lihat itu kami tanyakan dulu ke BPPTK sebelum disiarkan biar tidak bikin panik,” tutur Totok Hartanto (29), pengurus Gema Merapi lainnya, Rabu (29/8). Jaringan Radio Komunitas Gema Merapi merupakan salah satu simpul baru dalam Jaringan Informasi Lingkar Merapi atau
Jalin Merapi. Jaringan yang dibangun sejak 2006 ini digagas bersama oleh tiga radio komunitas yakni Lintas Merapi FM (Kemalang, Kabupaten Klaten), MMC FM (Selo, Kabupaten Boyolali) dan K FM (Dukun, Kabupaten Magelang) bersama beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mart Widarto dari Combine Resource Institution (CRI), salah satu LSM yang turut menginisiasi Jalin Merapi menjelaskan, informasi yang disiarkan lewat jaringan ini digali oleh warga bersama relawan. Mereka memanfaatkan berbagai alat dan media komunikasi. Pada 2006, media yang tersedia dan dianggap cocok untuk menyebarkan informasi adalah handy talky (HT), yahoo messenger dan telepon genggam. Pada erupsi 2010, mereka lebih banyak menggunakan media sosial seperti twitter dan facebook. Informasi (bersambung ke hlm. 7)
LAYANG PRB
URUN REMBUG TAJUK
Mencatat Praktik yang Baik Di Lereng Gunung Merapi, warga memiliki cara sendiri untuk menyikapi aktivitas Merapi dan dampaknya bagi kehidupan mereka. Respons itu diwujudkan dengan mendirikan media komunikasi untuk menginformasikan perkembangan Merapi. Mereka memaksimalkan fungsi peralatan seperti handy talky (HT), telepon genggam, maupun radio untuk menyiarkan informasi. Dari markasnya, mereka memantau perkembangan Merapi dari menit ke menit dan melaporkannya secara langsung. Jika Merapi tiba-tiba menunjukkan gejala yang tidak biasa, mereka akan meminta penjelasan dari para ahli gunung api di Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta sebelum menyiarkan informasi tersebut pada warga. Tujuannya agar puluhan ribu warga yang tinggal tidak jauh dari puncak Merapi mendapatkan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan. M etode ini menjadi alternatif untuk menghadapi simpang siur kondisi Merapi dalam situasi bencana. Warga di Lereng Merapi sebagai pihak yang akan paling merasakan dampak erupsi harus mendapatkan informasi dari sumber terpercaya agar mereka tidak panik atau salah mengambil sikap dalam merespons situasi. Media semacam itu juga sukses menjadi ruang penghubung antara warga terdampak dengan masyarakat luar yang ingin menyalurkan bantuan. Informasi warga yang butuh bantuan dari berbagai pelosok desa ditampung, lalu disalurkan melalui berbagai media : HT, telepon genggam, yahoo messenger, website, twitter, facebook hingga radio. M asyarak at yang ingin membantu bisa menyalurkan bantuannya ke tempat yang tepat. Pascaerupsi, media komunitas itu terus bergerak. Mereka aktif menyampaikan informasi tentang kegiatan warga di lingkungan terdekat, termasuk aktivitas perekonomian mereka, sembari tak lupa menyelipkan informasi pengurangan risiko bencana. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, mereka punya andil besar dalam mengajak dan mengedukasi warga untuk aktif mengurangi risiko bencana. Lewat media komunitas, warga menjadi subyek dari penyebarluasan informasi tentang kehidupan dan lingkungan mereka. Mereka menolong dirinya sendiri. Praktik-praktik semacam itu perlu dicatat agar bisa diingat, juga ditiru dengan segala kemungkinan pengembangannya. Dengan mencatat, kita akan lebih siaga terhadap bencana.
Edisi Agustus-September 2012
2
Subandriyo :
Media Komunitas Punya Peran Penting
IOM / Idha
Keberadaan media komunitas dengan segala bentuknya di lereng Gunung Merapi dinilai memiliki peran penting dalam upaya menyebarkan informasi kesiapsiagaan bencana erupsi Merapi. Badan Penyelidian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Badan Geologi Yogyakarta selaku pihak yang berwenang memberikan peringatan dini terkait ancaman erupsi Gunung Merapi membutuhkan media komunitas agar informasi yang ingin disampaikan bisa cepat sampai ke sasaran. Kepala BPPTK/Badan Geologi Yogyakarta Subandriyo menuturkan, selama ini pihaknya sudah menjalin komunikasi dengan sejumlah radio komunitas yang ada di Lereng Merapi. “Dalam situasi yang insidentil, mereka biasanya berkomunikasi dengan petugas kami di pos-pos pengamatan. Petugas di pos pengataman itu sudah berkoordinasi dengan kami di BPPTK. Informasi itulah yang kemudian di sampaikan lewat media komunitas,” ujarnya, saat ditemui Rabu (5/9). Menurut dia, informasi yang disampaikan lewat media seperti radio komunitas bisa lebih cepat sampai dan tepat sasaran karena mereka memiliki sasaran pendengar yang spesifik. Fungsi semacam ini sangat mendukung tugas BPPTK saat harus menyampaikan peringatan dini terkait aktivitas Merapi. Informasi kegunungapian yang dimiliki BPPTK bisa didapatkan pengelola media komunitas lewat petugas di pos pengataman, website resmi BPPTK, frekuensi radio komunikasi BPPTK, maupun telepon. “Untuk radio itu ada laporan setiap jam 08.00 dan 18.00, rata-rata pengelola radio komunitas sepertinya sudah kenal dengan radio komunikasi kami,” katanya. Bisa dipertanggungjawabkan Melihat peran penting media komunitas, ia berharap agar informasi status Merapi yang disampaikan oleh media komunitas diambil dari sumber yang bisa
dipertanggungjawabkan. Dalam kaitannya dengan segala fenomena yang terjadi di Gunung Merapi, BPPTK/Badan Geologi adalah pihak yang mendapat wewenang untuk menginterpretasikan segala fenomena yang terjadi di gunung tersebut. Oleh karena itu, informasi yang disampaikan sebaiknya adalah informasi yang sudah dikonfirmasi ke sumber BPPTK. Menurut dia, warga memang bisa mengamati gunung Merapi secara visual. Hasil pengamatan semacam itu bisa dilaporkan lewat medianya, asal tidak ditambahi dengan interpretasi tertentu. “Sebab yang punya keahlian dan peralatan untuk menginterpretasikan fenomena di Gunung Merapi itu ya BPPTK,” jelasnya. Ia menjelaskan, interpretasi mengenai aktivitas Gunung Merapi itu dilakukan dengan menganalisis laporan dari sejumlah peralatan yang sudah dipasang di Gunung Merapi, serta laporan petugas di pos-pos pengamatan. “Kami melihat trend data yang ada, karena setiap hari juga memang selalu ada laporan aktivitas Merapi. Kalau tidak ada anomali, maka interpretasinya ak an cepat sehingga k alau perlu diinformasikan ya bisa cepat diinformasikan,” tambahnya. Laporan mengenai Merapi akan berdampak besar pada warga Lereng Merapi yang mendapatkan informasi tersebut. Oleh karena itu, informasi yang disampaikan harus bisa dipertanggungjawabkan agar tidak merugikan warga. Media komunitas memiliki tugas penting untuk menyampaikan informasi yang benar kepada warga. (RAS)
Informasi yang disampaikan lewat media seperti radio komunitas bisa lebih cepat sampai dan tepat sasaran karena mereka memiliki sasaran pendengar yang spesifik. Fungsi semacam ini sangat mendukung tugas BPPTK saat harus menyampaikan peringatan dini terkait aktivitas Merapi - Subandriyo -
LAYANG PRB
INFO FORUM PRB
Edisi Agustus-September 2012
3
Tenaga Lapangan Longitudinal Study Mendapat Pelatihan YOGYAKARTA - Tenaga lapangan yang akan melakukan survei Longitudinal Study Merapi mendapatkan pelatihan teori dan praktik. Mereka diharapkan bisa memiliki kapasitas yang memadai sehingga bisa mengumpulkan data-data penting di lapangan. Pelatihan tenaga lapangan (enumerator) ini diadakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selaku penyelenggara survei Longitudinal Study Merapi bekerjasama dengan Merapi Recovery Response United Nations Development Program (MRR-UNDP), Survey Meter, Forum PRB DIY, dan Forum PRB Jateng. Pelatihan tersebut berlangsung pada 27 Agustus – 2 September di Hotel Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam pelatihan ini, peserta tidak hanya menerima teori di dalam ruangan, namun juga praktik langsung di masyarakat dengan tinggal di desa selama dua hari. Survei Longitudinal Study Merapi dilakukan sebagai salah satu instrumen untuk mengukur tingkat pemulihan kehidupan dan ketahanan terhadap bencana pada
Dokumentasi Tim Manajemen Longitudinal Study Merapi
Suasana pelatihan Longitudinal Sudy bagi para tenaga lapangan selama tujuh hari yang berlangsung di Hotel Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga , Senin (27/8).
masyarakat terdampak bencana. Caranya dengan mengumpulkan informasi secara periodik terhadap rumah tangga dan komunitas di daerah terdampak bencana sehingga bisa menghasilkan indeks pemulihan bencana
atau Disaster Recovery Index (DRI). Survei DRI merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk mengukur kondisi masyarakat pascaerupsi terhadap indikator-indikator kesejahteraan, seperti pendapatan, belanja, kepemilikan aset, akses terhadap layanan dasar, nutrisi, kesehatan, pendidikan, serta indikator-indikator lain termasuk ketahanan komunitas terhadap bencana. Hasil survei tersebut akan dipresentasikan BNPB dalam acara Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) ke V di Yogyakarta pada akhir Oktober 2012. Jika presentasi tersebut berhasil meyakinkan 60 negara peserta konferensi, survei Longitudinal Study Merapi yang menghasilkan DRI akan menjadi hal baru dalam manajemen penanggulangan bencana. DRI bisa menjadi instrumen untuk menjamin keberlanjutan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. (Tim Manajemen Longitudinal Study Merapi)
Info AMCDRR
Peserta AMCDRR Akan Kunjungi Desa Lereng Merapi YOGYAKARTA – Sejumlah desa di lereng Gunung Merapi akan dikunjungi peserta konferensi tentang penanggulangan risiko bencana “The 5th Asian Ministrial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR)” akhir Oktober mendatang. Peserta konferensi akan melihat pola hidup dan ketangguhan warga lereng Merapi di desa-desa yang hidup di kawasan bencana gunung berapi. Rencana kunjungan peserta AMCDRR itu terungkap dalam rapat kerja antara kelompok kerja AMCDRR dengan Bupati Sleman Sri Purnomo, Senin (3/9) di Kantor Bupati Sleman. AMCDRR merupakan konferensi dua tahunan pengurangan risiko bencana di kawasan Asia Pasifik.
Indonesia, dalam hal ini Kota Yogyakarta, terpilih menjadi lokasi konferensi AMCDRR yang ke lima. Konferensi tersebut akan berlangsung pada 22 – 25 Oktober mendatang. Peserta AMCDRR berasal dari 60 negara di kawasan Asia Pasifik, yang terdiri dari jajaran petinggi negara Asia Pasifik, kalangan akademisi, penggiat pengurangan resiko bencana di tataran regional, media, dunia swasta dan pemangku kepentingan lainnya. Dalam kunjungan ke lapangan, para peserta akan diajak melihat desa-desa yang berlokasi sangat dekat dengan Gunung Merapi. Desa yang akan dilewati peserta adalah Desa
Kepuharjo dan Umbulharjo di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Mereka akan melihat jalur Kali Opak serta pemandangan di sekitar Gunung Merapi melalui gardu pandang. Peserta juga akan diajak melihat proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Mereka akan melihat lokasi hunian tetap (Huntap) Pagerjurang di Desa Kepuharjo yang menjadi tempat tinggal baru bagi warga terdampak erupsi Merapi, serta sektor-sektor ekonomi warga yang mulai bangkit di kawasan tersebut. Selain itu, mereka juga akan diajak melihat massifnya dampak erupsi Merapi pada 2010 silam. (RAS)
LAYANG PRB
INFO JOGJA & JATENG
Edisi Agustus-September 2012
4
Warga Mulai Tempati Huntap YOGYAKARTA – Sebagian warga terdampak Merapi yang semula tinggal di hunian sementara atau Huntara mulai menempati hunian tetap atau Huntap. Mereka membenahi rumah barunya untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada 19 – 20 Agustus. Suratini (37), warga Dusun Monggang, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, DIY mengaku sudah mulai menempati Huntap Pagerjurang di Desa Kepuharjo sejak seminggu menjelang hari raya Idul Fitri. “Enak enggak enak, ya tetep enak tinggal di sini. Lagipula kalau tidak di sini, mau tinggal dimana lagi,” katanya saat ditemui, Rabu (29/8). Begitu menempati rumah barunya, Suratini yang sebelumnya tinggal di Huntara Gondang 3 segera memasang daun pintu dan jendela yang ia beli jadi dari tukang kayu. Dinding masih dibiarkan seperti semula. Sedangkan lantai yang belum dipasangi ubin ia lapisi dengan karpet plastik sehingga lebih nyaman di kaki. Saat Idul Fitri tiba sanak saudara dari luar desa datang mengunjunginya di Huntap. “Tapi banyak juga yang sempat kecelik (salah masuk), soalnya mereka mengira saya masih di shelter,” ujarnya. Warga lainnya Poniman (35) juga mengaku sudah tenang karena bisa tinggal di rumah yang baru. Suasana hari raya masih terasa di rumahnya. Berbagai jenis kue dan keripik sisa suguhan hari raya masih tersedia di atas tikar di ruang tamunya. “Pokoknya asal sudah ada wc (toilet) sama air, rumah sudah bisa ditempati,” katanya. Menurut dia, penghuni Huntap saat ini masih harus bergiliran untuk mendapatkan pasokan air. Ia berharap ke depan pasokan air diperlancar dengan memanfaatkan
sumber air terdekat, sehingga penghuni Huntap bisa langsung menyalakan air di rumah tanpa menunggu giliran. Huntap Pagerjurang yang berkapasitas 301 rumah sudah ditempati tak kurang dari 45 kepala keluarga. Rumah-rumah yang dihuni tampak mulai semarak dengan aktivitas warga. Selain memasang daun pintu dan jendela, warga mulai menanam bunga di halaman serta memasang sangkar burung di teras rumah mereka. Selain Huntap Pagerjurang Desa Kepuharjo, Huntap di
Info Cuaca
Subandi, Staf Prakirawan BMKG Yogyakarta, Kamis (13/9). Menurut Subandi, faktor topografi dan geografi itu juga akan membuat kawasan Merapi bagian selatan mendapat hujan lebih awal dibandingkan wilayah lain di DIY. “Di awal Oktober beberapa daerah mungkin akan mendapat hujan, tapi curah hujannya masih rendah. Baru pada akhir Oktober hujan akan merata, dengan curah hujan yang normal,” tambahnya. Hingga akhir Oktober mendatang cuaca di kawasan Merapi akan cenderung cerah saat pagi, dan berawan mulai siang hingga sore. Suhu pada waktu siang berkisar antara 23 hingga 32 derajat celcius. Sedangkan suhu udara pada malam hari yang sempat turun hingga di bawah 20
Hujan Turun Akhir Oktober YOGYAKARTA – Memasuki pertengahan September, puncak kemarau di kawasan Gunung Merapi dan sekitarnya sudah lewat. Meski begitu, hujan diperkirakan baru akan turun pada akhir Oktober sehingga warga di sekitar Merapi harus tetap mengantisipasi potensi kekeringan dan kekurangan air. Berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta, saat ini kawasan Merapi masih berada di musim kemarau. Namun fenomena kekeringan akibat badai elnino lemah yang melanda beberapa kawasan di wilayah DIY seperti di di Bantul maupun Gunung Kidul, diperkirakan tidak berpengaruh di kawasan Merapi. “Faktor topografi dan geografi yang lebih tinggi membuat kawasan Merapi tidak terpengaruh elnino lemah itu,” kata
Desa Umbulharjo dan Wukirsari juga mulai dihuni warga. Menurut Wijang Wijanarko, Urban Design Expert Rekompak, saat ini jumlah Huntap yang sudah dihuni mencapai 634 unit. Berdasarkan data dari Sofyan Aziz, Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah DIY, hingga 7 Agustus 2012, sejumlah 895 unit Huntap telah selesai dibangun. Total ada 2.052 unit Huntap yang akan dibangun. (RAS)
IOM / Sampur
Sejumlah warga mulai menampati rumah barunya di Hunian Tetap (HUNTAP) Pager Jurang, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman seperti yang terlihat Rabu (29/8).
LAYANG PRB
derajat celcius pada Juli - Agustus lalu, kini berangsur naik, seiring bergesernya matahari ke sisi selatan. Walaupun tidak terkena dampak badai elnino lemah, sejumlah warga di kawasan Merapi tetap masih akan merasakan dampak musim kemarau hingga akhir Oktober mendatang. Oleh karena itu, warga harus tetap mengantisipasi kekurangan air. Sejak awal Agustus, sejumlah warga di kawasan Merapi sudah mengeluhkan pasokan air dari sumber mata air di Kali Kuning yang mulai berkurang. Padahal air itu tidak hanya berguna untuk konsumsi rumah tangga, namun juga untuk memelihara ternak dan mengairi lahan pertanian. (RAS)
PENANGGUNG JAWAB PRODUKSI : Diana Setiawati (IOM), Danang Samsurizal (Koordinator Forum PRB DIY) PENYUNTING : Diana Setiawati, Idha Saraswati (IOM ), Aris Sustiyono (Forum PRB DIY), Mariana Pardede (Forum PRB DIY) REPORTER : Idha Saraswati, Lubabun Ni’am LAYOUT : Sampur Ariyanto (IOM) KONTRIBUTOR : Humam Zarodi, Aris Sustiyono Alamat Redaksi : Gedung KESBANGLINMAS DIY Lt 2, Jl Sudirman No 5, Yogyakarta email : layang_prb@yahoo.com Redaksi Layang PRB menerima tulisan opini sepanjang 5000 karakter (termasuk spasi) dilengkapi biodata singkat penulis. Bagi tulisan yang dimuat, redaksi akan memberikan honor sepantasnya.
LAYANG PRB
INFO JOGJA & JATENG
Edisi Agustus-September 2012
5
Siswa SD Berlatih Mitigasi Bencana Gunung Berapi YOGYAKARTA – Puluhan siswa sekolah dasar di lereng Gunung Merapi mengikuti pelatihan mitigasi dan simulasi evakuasi gunung berapi. Selain mengenali karakter gunung berapi, mereka diajari cara menyelamatkan diri saat bencana terjadi. Pelatihan simulasi evakuasi bencana itu diadakan pada Sabtu (11/8), oleh Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia (ASMI) Desanta bersama IOM Yogyakarta, di halaman SD Tarakanita Tritis, Kecamatan Turi, Sleman. Pesertanya adalah siswa SD Tarakanita Tritis dan SD Tarakanita Ngembesan, yang lokasi sekolahnya berjarak empat hingga enam kilometer dari puncak Gunung Merapi. Sebelum simulasi dimulai, siswa diajak mengenali ciriciri Gunung Merapi dengan menjawab sejumlah pertanyaan. Nando, siswa kelas VI SD Tarakanita Tritis tampak bersemangat menjawab ciri-ciri Gunung Merapi. Selain mengeluarkan material padat berupa batu, kerikil dan pasir, ia tahu bahwa Merapi juga mengeluarkan awan panas yang biasa disebut wedhus gembel. Siswa lalu diajak menggambar Gunung Merapi dan posisi rumah serta sekolah mereka di sekitar gunung. Dengan cara itu, siswa diajak mengenali posisi rumah dan sekolah mereka yang berada tidak jauh dari puncak Gunung Merapi. Setelah itu siswa dilatih melakukan evakuasi dan pertolongan pertama dalam kondisi bencana oleh petugas dari Palang Merah Indonesia. Mereka juga diajak mengenali anggota tubuh, sehingga bisa mengetahui bagian tubuh vital yang harus dilindungi saat evakuasi.
FX Suwaji, guru SD Tarakanita Tritis Purwobinangun Pakem Sleman mengatakan, dari sekolahnya ada 27 siswa yang ikut. Mereka duduk di kelas lima dan enam. “Dulu pernah ada pelatihan simulasi juga, tapi tentang gempa. Kalau gunung berapi malah belum pernah,” ujarnya. Direktur ASMI Desanta Afra Tien Sotyaningrum menjelaskan, siswa yang tinggal di kawasan rawan bencana Merapi diharapkan bisa tahu apa yang harus mereka lakukan saat bencana tiba. Pelatihan ini juga bertujuan mengurangi rasa panik dan trauma saat menghadapi bencana. “Ini upaya preventif, agar siswa tahu apa yang bisa ia dilakukan sesuai dengan umurnya,” terangnya. Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman, Makwan, menilai pelatihan semacam ini perlu diadakan supaya sekolah menjadi tangguh terhadap bencana. Apalagi, lokasi kedua sekolah tersebut berada di kawasan rawan bencana Merapi. Community Resilience Supervisor IOM Yohan Rahmat Santosa menuturkan, IOM dengan dukungan Indonesia Multi Donor Fund Facility for Disaster Recovery (IMDFF-DR) sangat mendukung kegiatan tersebut. Dalam simulasi itu, pemerintah, komunitas, pihak swasta dan pihak-pihak pendukung seperti PMI dan lembaga internasional telah berkolaborasi dengan baik dalam upaya pengurangan risiko bencana. “Selain itu, pengenalan dan edukasi PRB kepada anak-anak sejak usia dini menjadi sebuah investasi yang sangat berharga untuk komunitas Merapi di masa depan,” katanya. (RAS)
IOM / Intan
Siswa SD Tarakanita Tritis dan SD Tarakanita Ngembesan berlatih mengevakuasi korban bencana, Sabtu (11/8) di lapangan SD Tarakanita Tritis, Kecamatan Turi, Sleman. Latihan ini bertujuan membekali siswa agar siap menghadapi bencana.
Kondisi Merapi Masih Normal
khususnya di wilayah Kabupaten Sleman DIY dan Klaten Jawa Tengah. Badan Geologi juga aktif melakukan sosialisasi agar masyarakat di kawasan Merapi bisa memahami ancaman bencana secara lebih rasional dan proporsional. Adapun untuk banjir lahar dingin, saat ini belum ada ancaman berarti karena cuaca masih kemarau. Sensor untuk mendeteksi getaran telah dipasang di sungai-sungai yang berhulu di Merapi. Dengan sensor itu, ancaman banjir lahar dingin akan bisa dideteksi lebih cepat. (RAS)
YOGYAKARTA - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian atau BPPTK Yogyakarta menegaskan bahwa aktivitas Gunung Merapi masih normal. Berdasarkan pemantauan dengan berbagai metode, sejauh ini belum ada sedikitpun gejala peningkatan aktivitas. Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Badan Geologi Yogyakarta, Subandriyo, mengatakan, berdasarkan pengalaman dan data selama ini, erupsi Merapi selalu didahului dengan gejala-gejala awal yang bisa dideteksi. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu panik. “Seperti ketika terjadi hembusan asap dan hujan abu beberapa bulan lalu, itu hal biasa sebagai aktivitas pascaerupsi. Jadi tidak perlu khawatir Merapi tiba-tiba meletus,” jelasnya, Rabu (5/9). Meski begitu, ia mengingatkan bahwa posisi kawah Merapi yang berdiameter sekitar 400 meter lebih terbuka ke arah selatan. Melihat hal itu, probabilitas arah erupsi Merapi ke depan akan lebih besar ke arah selatan. Hasil kajian bahaya erupsi Merapi yang didasarkan pada data historis dan sains juga menunjukkan bahwa arah erupsi lebih dominan ke selatan. “Jika tidak ada penyimpangan, butuh waktu satu abad untuk mengubah arah eruspi,” katanya. Badan Geologi telah merekomendasikan perubahan tata ruang di kawasan Merapi,
Puncak Gunung Merapi terlihat jelas saat difoto beberapa waktu lalu. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BBPTK) Yogyakarta menyatakan saat ini Merapi berstatus normal.
IOM / Sampur
LAYANG PRB
OPINI
Edisi Agustus-September 2012
6
Urgensi Komunikasi dan Koordinasi dalam Situasi Bencana Oleh : Aris Sustiyono Direktur Yayasan Lestari Indonesia/Pokja Forum PRB DIY
Bangsa Indonesia telah mendapatkan pembelajaran yang sangat banyak dalam menghadapi peristiwa bencana. Apalagi dalam satu dasawarsa ini terjadi bencana yang amat massif dengan dampak yang luar biasa baik kerugian materil, imateril maupun korban jiwa. Pengalaman baik maupun buruk perlu dicatat sebagai media pembelajaran sehingga semua pihak tidak lagi gagap saat harus berhadapan lagi dengan bencana. Para pekerja kemanusian yang kerap terlibat dalam tindakan respons tanggap darurat akan selalu menemukan situasi yang tidak mudah bahkan bisa dikatakan sulit, sekalipun misi yang diemban adalah misi kemanusian yang bisa dikatakan mulia karena bermaksud membantu meringankan beban mereka yang terkena dampak bencana. Hadirnya banyak pihak ke lokasi terkena bencana tentu saja akan menimbulkan resistensi masyarakat apabila tidak dilakukan komunikasi dan koordinasi antarsemua
IOM / Sampur
pihak. Jika hal tersebut tidak dilakukan sudah dapat dipastikan akan muncul sikap apriori bahkan penolakan kehadiran para pekerja kemanusian oleh masyarakat, padahal disisi lain ada banyak hal yang membutuhkan bantuan pihak lain. Selain itu, kurangnya komunikasi dan koordinasi juga dapat menimbulkan ketimpangan didalam melakukan respon tanggap darurat. Tidak jarang suatu daerah ada yang sama sekali tidak tersentuh bantuan sementara di daerah satunya berlebihan bahkan menjadi tidak berarti. Sebagai contoh respons tanggap darurat dengan mendistribusikan bantuan nasi bungkus ke pengungsian yang tidak merata. Satu wilayah sama sekali tidak mendapatkan bantuan padahal membutuhkan, sementara di tempat pengungsian lain bantuan berlebihan hingga menjadi basi dan dibuang sehingga menjadi sia-sia. Maka dari itu, salah satu aspek pembelajaran yang sangat penting untuk diperhatikan dalam melakukan tindakan respons suatu kejadian bencana dimanapun adalah komunikasi dan koordinasi antarberbagai pihak yang terlibat. Komunikasi dan koordinasi merupakan dua hal yang menjadi satu kesatuan yang amat menentukan tingkat keberhasilan melakukan respons tanggap darurat secara cepat dan tepat. Sudah menjadi hal yang biasa bahwa ketika ada bencana maka akan tercipta situasi yang begitu kacau dan tidak normal. Perlu ada perubahan paradigma dalam manajemen penanggulangan bencana, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bahwa urusan bencana merupakan urusan bersama yang dikomando oleh Pemerintah Pusat atau Daerah tergantung status bencananya. Oleh karena itu, jika koordinasi dan komunikasi antarberbagai pihak tidak harmonis di wilayah terkena bencana maka jelas akan menciptakan persoalan baru yang menambah situasi menjadi semakin kontraproduktif. Harapan sekarang dan di waktu yang akan datang, para pihak sudah semestinya mengedepankan keterbukaan untuk melakukan koordinasi dan komunikasi sehingga tujuan utama untuk membantu masyarakat terkena bencana dapat berjalan lancar dan benar-benar memberikan manfaat yang baik di tengah-tengah situasi sulit yang sedang membutuhkan perhatian banyak pihak. Bahkan koordinasi dan komunikasi perlu dilakukan jauh-jauh hari sebelum terjadi bencana, karena hal itu juga merupakan bagian dari upaya kesiapsiagaan para pihak ketika melakukan respons tanggap darurat agar tidak terjadi kesenjangan bantuan diantara para penerima manfaat maupun apriori. Tak ada satu pihak pun yang akan mampu sendirian untuk melakukan tindakan respons bencana sekalipun itu pemerintah, melainkan kerja sama semua pihak yang diawali dengan koordinasi dan komunikasi. Semoga catatan ini akan mengingatkan semua pihak yang kerap melakukan tindakan respons tanggap darurat dimanapun bencana itu terjadi. Tidak selamanya niat baik akan ditanggapi baik oleh orang lain jika tidak ada komunikasi yang sejelas-jelasnya.
LAYANG PRB
INFO PETA
Edisi Agustus-September 2012
7
Radio... (sambungan hlm. 1) Merapi siang ini tampak cerah. Selamat mendengarkan Neng Chua ber-cuap-cuap….,” ucap Neng Chua di depan mikrofon. Seperti hari Minggu itu, pada hari-hari biasa pun Lintas Merapi lebih dominan dengan program-program hiburan, mulai dari lagu pop, dangdut, sampai siaran langsung pertunjukan gamelan. Meski begitu, informasi tentang kebencanaan tetap diselipkan. “Karena informasi itu melintas seperti iklan, warga pendengar akan tetap menangkap pesan yang disampaikan,” terang Sukiman. Di luar itu, pada kondisi siaga, peranan Radio Komunitas Lintas Merapi sangat efektif sebagai media komunikasi dalam memantau perkembangan ancaman bencana. Apalagi, Dusun Deles hanya berjarak empat kilometer dari puncak Gunung Merapi. Warga sekitar pun belajar dari pengalaman bencana sebelumnya di desa-desa di lereng Gunung Merapi yang terlambat menanggapi ancaman bahaya karena lambatnya informasi yang sampai kepada mereka. Ide mendirikan Lintas Merapi muncul pada 1994. Waktu itu, Sukiman bersama dengan komunitas Pasag Merapi mulai berpikir untuk menggunakan alat komunikasi yang mudah dan murah. “Saat itu, HT (handy talky) tidak bisa dimiliki semua orang,” kenang lelaki lulusan SMK Muhammadiyah Cangkringan, Sleman, ini. Pada 2001, mereka mendapatkan bantuan seperangkat peralatan radio dari sebuah lembaga swadaya masyarakat. “Saat itu harganya hanya sekitar Rp 2 juta-an. Tetapi, bagi kami, biaya tersebut sangat mahal. Kalau ada uang sejumlah itu lebih baik untuk keperluan sehari-hari,” ungkap bapak dua anak ini. Seiring dengan datangnya peralatan, Sukiman pun mulai melibatkan warga untuk belajar dari satu pelatihan ke pelatihan yang lain. Mereka juga meminta siapa pun yang mereka kenal mengajarkan keterampilan mengoperasikan radio serta komputer. Walaupun masih tertatih-tatih dalam hal teknis, mereka sadar bahwa radio itu selayaknya bergerak mandiri dengan tenaga warga sekitar. “Juga harus hidup swadaya,” tandasnya.
Kini, Radio Komunitas Lintas Merapi dihidupi oleh 26 kru, yang berasal dari Desa Sidorejo, Tegalmulyo, dan Balerante. Perannya pun terus berkembang. Tak hanya menyiarkan program radio, Lintas Merapi juga menjadi pusat kegiatan warga, mulai dari kegiatan belajar anak-anak dan pemuda, pelestarian lingkungan, sampai urusan pengembangan ekonomi warga. “Radio komunitas itu punya roh kalau ada manfaatnya bagi warga setempat. Warga yang akan menghidupi radio ini,” ungkap Sukiman. Bukti bahwa Radio Komunitas Lintas Merapi memiliki ‘roh’ mungkin bisa dilihat dari kesiapan warga Dusun Deles menghadapi ancaman bahaya Gunung Merapi datang berkali-kali. Mereka menjadi lebih tanggap dan siaga. (LBB)
Ni’am
Dua penyiar Radio Komunitas Lintas Merapi tengah mengudara, Minggu (2/9). Radio komunitas di Dusun Deles, Desa Sidorejo, Kemalang, Klaten, Jawa Tengah ini aktif mengajak pendengarnya siaga bencana.
Radio Komunitas ... (sambungan hlm. 1) yang datang melalui berbagai alat ditampung, lalu didistribusikan ke radio, website, twitter, maupun facebook. Jalin Merapi juga memanfaatkan jaringan medianya untuk mempertemukan penyintas dengan donatur. “Selama masa tanggap darurat, kalau ditotal jumlah barang dan sumbangan lain yang disalurkan lewat Jalin Merapi nilainya mencapai lebih dari Rp 360 juta,” ujar Mart. Pascaerupsi Merapi 2010, muncul juga Laskar Jurnalis atau Laskar Merapi yang dibentuk pada 24 Juli 2011. Lajur Merapi ini difasilitasi Yayasan Lestari Indonesia sebagai
mitra pelaksana Plan Indonesia. Program tersebut diselenggarakan di sepuluh desa di Kabupaten Magelang, Sleman, dan Klaten. Anggota Lajur Merapi sudah menghasilkan film bertema kehidupan sosial dan ekonomi penduduk di sekitar lereng Gunung Merapi. Menurut Lilik Rudiyanto (22), koordinator Lajur Merapi, jumlah anggota kini tidak lebih dari sepuluh orang. Namun mereka tetap bertahan mendokumentasikan berbagai hal untuk diunggah ke facebook “Laskar Jurnalis Merapi”.
Sistim informasi Langkah lain untuk melibatkan warga dalam upaya pengurangan r isiko bencana dilak uk an lewat pengembangan Sistim Informasi Desa (SID) berbasis bencana. Merapi Recovery Response (MRR) – UNDP bekerjasama CRI, IDEA dan Lingkar mengembangkan SID di kawasan Merapi, yaitu di Desa Kepuharjo dan Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, serta Desa Sirahan dan Desa Jumoyo, di Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. SID akan membantu pemerintah desa dalam mengelola data kependudukan yang terintegrasi dengan fungsi pelayanan publik. SID juga berfungsi untuk mengelola database kebencanaan, data kesiapsiagaan, data rehabilitasi dan rekonstruski Merapi, hingga sistem peringatan dini. Sutiyani, Kepala Bagian Pemerintahan Desa Sirahan mengatakan, SID akan membantu pemerintah desa untuk memperoleh data dengan cepat, termasuk data dan informasi tentang bencana di wilayahnya. (RAS, LBB, HUM) Produksi Layang PRB ini didukung oleh : NZ
NEW ZEALAND MINISTRY OF FOREIGN AFFAIRS & TRADE
Aid Programme
Isi dari artikel yang berupa opini dalam Layang PRB ini adalah tanggung jawab penulis dan tidak mewakili opini lembaga.
LAYANG PRB
PROFIL
Edisi Agustus-September 2012
8
Manisnya Salak Merapi Menunggu Dicicipi Tak sekadar menjual buahnya yang masir manis, petani salak di Kabupaten Sleman DI Yogyakarta juga aktif berinovasi menghasilkan produk olahan salak yang layak jual. Pascaerupsi Merapi, petani salak yang sempat terpuruk kini siap bangkit dengan berbagai inovasi baru. Salah satu produk yang siap diluncurkan adalah kurma salak rasa mete. Kurma ini terbuat dari daging buah salak, dipadukan dengan kacang mete sebagai pengganti biji salak. Iskandar, penggagas kurma salak rasa mete yang juga Ketua Asosiasi Petani Salak Sleman Prima Sembada menuturkan, kurma salak itu sudah mulai diproduksi. Namun untuk diluncurkan ke pasar, produk tersebut masih menunggu hasil uji kedaluwarsa dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta. “Kalau hasil ujinya keluar, produk kurma salak itu akan langsung kami luncurkan,” ujarnya, Jumat (10/8). Selain kurma, para petani salak sebelumnya juga sudah berinovasi dengan membuat berbagai produk dari salak. Inisiatif itu muncul karena mereka ingin menaikkan harga jual salak agar mendapatkan pemasukan lebih. Musrin, salah satu petani salak di Dusun Trumpon, Desa Merdikorejo, Tempel, Sleman menuturkan, pada tahun 1980-an, salak pondoh di Sleman masih langka sehingga harga jual satu kilogram salak setara dengan 10 kg beras. Namun di tahun 2000-an, 2 kg salak hanya setara dengan 1 kg beras. “Kalau musim panen, harga salak jatuh sampai di bawah Rp 1.000 per kg. Petani tidak punya daya tawar sehingga tidak bisa ikut menentukan harga salak,” ujarnya.
IOM / Idha
Kenyataan itu memaksa petani memutar otak. Mereka lantas mencari terobosan. Salah satunya dengan membentuk Asosiasi Petani Salak Sleman Prima Sembada pada 2009. Lewat asosiasi, para petani salak dari 21 kelompok tani di Sleman berkumpul dan bekerjasama. Mereka menguasai tak kurang dari 300 hektar lahan salak, sehingga memiliki daya tawar lebih di hadapan pedagang. Sebelum erupsi Merapi pada akhir 2010, anggota Asosiasi Petani Salak Sleman Prima Sembada sudah meluncurkan salak pondoh super, salak madu, serta produk olahan seperti keripik, jenang dodol, wajik, hingga roti berbahan salak. Selain dipasarkan di dalam negeri, buah salak yang berkualitas tinggi juga sudah menembus pasar China. Jika salak di pasaran lokal harganya bisa jatuh hingga di level Rp 2.500 per kg, maka salak yang diekspor bisa terjual hingga Rp 9.500 per kg. Salak menjadi tumpuan hidup bagi para petani. Apalagi selain menjual buah dan produk olahannya, mereka juga bisa menjual bibit, menjual wadah pengepak salak, serta membuka kebun salak sebagai obyek agrowisata. Namun erupsi Merapi pada akhir 2010 menghantam petani salak. Sekitar 3 juta rumpun tanaman salak rusak terkena material erupsi Merapi. Petani yang semula menggantungkan hidup pada salak tiba-tiba dipaksa kehilangan sumber pendapatan utama. Menurut Iskandar, para petani salak yang memiliki lahan luas mungkin masih memiliki tabungan untuk hidup pascaerupsi. Namun petani dengan kebun yang sempit
harus segera mencari sumber penghasilan lain. “Akhirnya ada yang memakai sistim tumpang sari, jadi di sela-sela salak ditanami cabai dan tanaman lain. Ada juga yang ikut mencari pasir,” tuturnya. Akhir 2011, sebagian kecil rumpun salak milik petani mulai berbuah. Sejak saat itu, jumlah rumpun tanaman salak yang pulih terus bertambah. Namun untuk pulih seperti sediakala, dibutuhkan waktu satu hingga dua tahun ke depan. Namun mereka tidak tinggal diam menunggu tanaman salaknya pulih. Selain terus berinovasi dengan menciptakan produk olahan salak yang baru, mereka juga siap membangkitkan agrowisata salak dengan menggelar atraksi wisata. Saat ini, lokasi agrowisata salak di sejumlah desa sudah mulai didatangi pengunjung. Namun hasilnya belum optimal. Iskandar mengatakan, petani salak tidak bisa bangkit sendirian. Mereka membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. “Kami membutuhkan dukungan promosi, baik nasional maupun kalau bisa internasional sehingga kebun salak di Sleman bisa dikunjungi wisatawan dari berbagai tempat,” ujarnya. (RAS)
IOM / Idha
IOM / Intan