Cerpen tahun baru

Page 1

ROMANCE CERPEN


Dipertemukan Pada Malam Tahun Baru Mimi adalah seorang gadis elok nan rupawan yang tinggal di sebuah desa bersama Nyi Saonah, ibunya yang biasa dipanggil Amah. Mereka hidup dengan keterbatasan ekonomi. Setiap hari Mimi dan amahnya hanya bisa makan singkong dan ikan asin. Banyak pria yang tertarik padanya. Beruntung, Mimi mempunyai pacar bernama Engkos, seorang cowok yang baik hati dan perhatian kepadanya. “Nak, ayo makan! Ini singkong dan ikan asinnya sudah matang,” ajak amah. “Aduh Mah.. Mimi bosan makan singkong dan ikan asin terus setiap hari.” “Nak, bersyukurlah! Masih banyak keluarga yang tidak bisa makan di luar sana.” Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar. “Tok tok tok..” “Iya, silakan masuk!” Mimi membuka pintu. Mimi

terkejut, seorang cowok

tampan bertamu ke rumah gubuknya. Cowok itu

bernama Brian. Ia orang yang sukses merantau di ibukota Jakarta dan biasanya pulang kampung untuk mencari tenaga kerja. “Mimi, aku dengar tadi kamu merasa bosan makan singkong dan ikan asin setiap hari. Apakah engkau ingin merubah keadaan ekonomimu dengan ikut aku ke Jakarta?” “Kamu tahu kan dulu bagaimana kondisi keluarga Titin Tuminah Hona? Dan setelah dirinya ke Jakarta, ia sudah tidak lagi makan singkong. Sekarang ia punya segalanya.” Brian bercerita panjang lebar tentang kesuksesan Titin Tuminah Hona, seorang teman sepermainan waktu kecil bersama Mimi yang dulu ikut merantau ke Jakarta bersamanya. Mendengar cerita Brian, Mimi merasa tertarik. Diam-diam amah juga mendengar omongan Brian di balik kamar tidurnya. “Duh, kebetulan sekali setelah setahun aku menamatkan sekolah SMA, aku memang ingin bekerja ke Jakarta” pikir Mimi dalam hati. “Bagaimana Mimi, kan kutunggu jawabanmu besok”


“Baiklah, akan kutanyakan dulu pada amahku.” Setelah beberapa menit Brian pergi, Mimi langsung menemui amahnya dan berniat agar diizinkan bekerja dengan Brian di Jakarta. Amah sendiri tahu bagaimana keadaan Titin Tuminah Hona yang diceritakan cowok itu. Titin Tuminah Hona dulunya memakai pakaian sopan, namun setelah bekerja di Jakarta, pakaian yang ia kenakan tidak sopan sama sekali. Dengan tegas, amah menolak permintaan Mimi. “Nak, cukuplah kita hidup di desa tapi berharga di mata Tuhan, jangan tergiur dengan kehidupan kota nak!” Tanpa restu Amahnya, keesokan harinya Mimi bertemu dengan Brian. Ia memberikan handphone kepada Mimi. Tanpa pikir panjang, Mimi menyetujui tawaran Brian untuk ikut ke Jakarta. Mimi juga tidak memberi kabar kepada Engkos kalau ia pergi ke Jakarta hari itu. Akhirnya, Mimi pergi ke Jakarta bersama Brian. Mereka ke Jakarta dengan menaiki kereta api. Di tengah perjalanan, Brian meluapkan rasa cinta pada Mimi dan lama-lama kedua bibir dan pipi mereka bertemu. “Aku mencintaimu sayang” ucap Brian kepada Mimi. Sesampainya di Jakarta, Mimi dibawa ke suatu tempat yang aneh. Ramai orang, cowok dan cewek bergabung jadi satu. Ada yang bergandengan tangan, ada yang berdansa, dan masing-masing tangan membawa gelas yang entah apa isinya. Di tempat itu, Mimi bertemu dengan Titin Tuminah Hona. Langsung saja Titin Tuminah Hona membawanya ke suatu ruangan, kemudian memberi pakaian kepada Mimi agar memakainya. Dengan polos, Mimi mengganti pakaian yang diberikan tersebut. Beberapa menit, masuklah seorang cowok bernama Valdo. Valdo memberikan segelas minuman kepadanya. Setelah diminum, tubuh Mimi terasa lemah. Tanpa basa-basi, Valdo memeluk Mimi dan menghempaskan badan Mimi ke kasur. Setengah sadar, Mimi menjerit minta tolong dan berusaha menghindarinya. Mimi menghantamkan sebuah botol minuman tepat mengenai kepala Valdo. Di ruangan itu, ada sebuah jendela terbuka. Mimi berusaha kabur dari ruangan itu. Valdo dan Brian mengejarnya. Napas Mimi terengah-engah. Meski langkahnya terseok, dia terus berlari menerabas belukar. Kedua lututnya seperti terlepas dari sendi-sendi. Lelah. Tak ada lagi kekuatan untuk berlari kencang. Namun cewek itu tak peduli. Dia ingin terus berlari.


Kedua lelaki yang mengejarnya kini semakin mendekat. Wajah mereka beringas dengan seringai yang menyeramkan. “Hey! Berhenti, sialan! Lebih baik menyerah, dan hidup lo bakal enak!” Itu suara Valdo, lelaki berperawakan tinggi dan besar. “Tolol! Lo nggak akan bisa kabur!” “Jangan bodoh, Mimi! Ayok kembali!” teriak Brian, cowok bermata srigala. Mimi tercekat. Dadanya naik turun dengan gerakan tak beraturan. Di depannya berdiri tembok kokoh setinggi dada. Kedua lelaki itu hanya berjarak beberapa meter saja. Astaga, bagaimana aku melepaskan diri dari kedua lelaki berwajah menyeramkan itu? Aku tak boleh menyerah. Ya, Allah, tolong Mimi. Aku tak ingin jadi budak mereka. Tidak! Dengan susah payah Mimi merangkak, memanjat. Kedua lelaki di belakangnya semakin mendekat. Sesaat ketika kaki cewek itu berhasil menapak di atas tembok, Valdo dan Brian tiba di bawahnya. Kedua lelaki itu melompat dengan gerakan kilat. Tanpa berpikir panjang, Mimi melompat ke balik tembok. Bugh! Dia mengempaskan tubuhnya ke tanah. Poommm! Pom, pooommmm!! Tiba-tiba … suara klakson memekik memekakan telinga. Mimi terkesiap. Saat ini tubuhnya persis berada di atas rel kereta api. Dan … di sana, tak lebih dari sepuluh meter, kereta api tengah meluncur kencang ke arahnya. Mimi menahan napas. Tubuhnya tak bisa digerakkan. Dia tak sempat berbuat apapun selain memejamkan mata dan berteriak. “Huaaaaaaaaa!!” Mimi terperajat dan membuka mata. Astaga! Ternyata dia masih duduk di tempat semula. Suara klakson kereta api nyaring terdengar dari lantai tiga. Rupanya, rasa lelah dan kantuk membuatnya sesaat tertidur. Keringat dingin membasahi keningnya yang lebar. Kerongkongannya terasa kering. Pening masih membaluri kepalanya yang terasa berat.


Cewek berambut Lady Di itu mengawasi suasana sekitar dengan dada naik turun. Waspada jika Valdo atau Brian muncul. Banyak penumpang keluar-masuk pintu stasiun menyeret koper-koper berukuran besar. Tak sedikit yang hanya duduk-duduk membaca surat kabar atau sibuk dengan alat komunikasi masing-masing. Sementara di loket pembelian tiket, beberapa orang berderet membentuk barisan, antrean lumayan panjang. Dalam keadaan seperti itu, Mimi merasakan rindu yang mengentak-entak pada Nyi Saonah, ibunya. Perempuan yang dia anggap kolot itu ternyata benar. Semua perkataannya hanya untuk kebaikan Mimi, anak semata wayangnya. Mimi tahu, terkadang ibunya terlalu protektif. Tapi, mungkin itulah cara dia menjaga buah hatinya. “Amah, semua ini ... memang salah Mimi,” bisik Mimi di dalam hati. “Mimi durhaka, nggak pernah dengar nasehat Amah. Mimi … nggak pernah melakukan nasihat yang sering Amah ajarkan. Mimi nyesel banget, Mah.” Mimi masih duduk termenung di bangku besi di lobi selatan stasiun Gambir. Merasa sendirian dalam keramaian. Sudah lebih dari satu jam ia berada di sana. Menunggu dengan hati yang semakin cemas dan gelisah. Matanya yang sembab menerawang. Cewek itu tak begitu peduli dengan semua aktivitas yang sedang terjadi di sekeliling. Jam 20.40 tepat. KA Parahiyangan akan datang lima belas menit lagi. Meskipun dia tak pernah yakin Engkos akan datang menumpang kereta itu, namun dia tetap berharap. Sebab satu-satunya rute kereta Jawa Barat-Jakarta yang dia tahu hanya itu. Seperti janjinya, cowok itu akan menjemputnya di sini, di tempat yang telah mereka sepakati. “Jangan harap lo bisa kabur dan ke luar dari Jakarta. Gue akan seret lo!” Mimi bergetar ketika membaca kembali sms dari nomer yang tak dikenal. Degup jantungnya semakin tak beraturan. Untuk kesekian kalinya dia mencoba menghubungi Engkos. Nihil. Gusti Allah, semoga Engkos cepat datang dan membawaku pergi dari sini. Dua jam lalu Mimi masih bisa berhubungan dengan Engkos. Saat Mimi meminta cowok itu segera menjemputnya, Engkos menyarankan Mimi menunggunya di Stasiun Gambir. Namun, setelah itu hubungan telepon terputus. Mimi tak pernah tahu kapan Engkos


akan datang. Hanya keyakinan yang membuatnya bertahan menunggu cowok itu. Mimi yakin, Engkos tak akan pernah mengingkari janji. Berulang kali Mimi mengutuki diri sendiri. Kenapa dia begitu mudah mengikuti kemauan Brian. Beberapa waktu lalu, cowok itu meminta Mimi membersihkan semua kontak di ponselnya. Tanpa pikir panjang, cewek itu menurut. Dan ‌ penyesalan selalu datang kemudian. Di saat-saat genting seperti ini, dia tak bisa menghubungi siapa pun. Satu-satunya nomer yang dia ingat adalah milik Engkos, pacarnya. Dengan jari-jari yang gemetar, cewek itu membuang sim card di tablet-nya lalu memasukkan benda itu ke dalam tas kecil di pangkuannya. Dia menjumput sim card yang lain dari dalam dompet kecil dan memasukkannya ke dalam ponsel tua berwarna hitam. Sesaat setelah ponsel itu menyala, dia mendapati puluhan miss call dan sms dari Engkos sejak beberapa hari lalu. Ada nyeri yang merambati hatinya secara tiba-tiba. Ya, Tuhan, itu artinya Engkos begitu memerhatikannya. Cowok itu tak pernah bosan menanyakan kabar. Tak pernah bosan memintanya untuk terus menjaga diri dan tak pernah bosan mengatakan bahwa ia merindukan Mimi. Tapi, ah ‌ Mimi sudah mengabaikan Engkos. Setelah memiliki tablet, dia nyaris tak pernah mengaktifkan sim card lama dan menghidupkan ponsel tua miliknya. Sms atau panggilan masuk di sim card baru, lebih sering dia abaikan. Mimi menuruti apa kata Brian, selalu mengganti kartu telepon baru. Alasannya hanya satu, agar orang-orang di desa tak bisa menghubunginya. Untung saja, akal kecilnya masih bekerja, diam-diam dia menyembunyikan kartu telepon lamanya. Rasa sesal semakin meyergap. Nyeri semakin menusuk-nusuk ulu hatinya. Mimi menggeser duduk, menyelipkan diri di antara kerumunan orang-orang. Sekarang dia merasa sedikit lega. Setidaknya, ada yang bisa melihat jika sesuatu terjadi pada dirinya. “Amah benar, Valdo bukan orang baik. Mimi yang salah, Mah. Tanpa restu Amah dan Engkos, Mimi nekad ke ibukota.â€? Kembali batinnya berbisik pilu. Mimi merasakan sesal yang teramat dalam karena telah mengabaikan nasihat-nasihat ibunya. Waktu menunjukkan pukul 21.00. Jam kerja sudah habis dan Engkos tak kunjung datang. Mimi menarik nafas dan bergegas untuk keluar dari stasiun. Dua jam


lamanya Mimi menyusuri jalan seorang diri di tengah kerumunan manusia yang akan pesta kembang api menyambut tahun baru. Di tengah perjalanan, Mimi mendapati perawakan mirip Engkos. Langsung saja Mimi memanggilnya dan lelaki itu membalik badan. Ternyata benar, ia adalah Engkos. “Mimi..!� Dengan rasa haru sambil sesenggukan Mimi memeluk Engkos. Dan sekarang tepat pukul 12.00. mereka dipertemukan di bawah ribuan kembang api yang menyambut tahun baru.


Setia Ningsih, lahir di kota Medan pada 23 Maret 1996. Sekarang sedang menempuh pendidikan S1 jurusan Pendidikan Bahasa Arab di Uin Maulana Malik Ibrahim Malang. Karya buku yang sudah diterbitkan berjudul “Mengapa Harus Berjilbab?�, penerbit Gema Media Wonosobo. Info lebih lanjut hubungi 085361198480, email: setianingsih859@gmail.com dan facebook: Setia Ningsih.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.